Ninja Edan Lengan Tunggal

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Ninja Edan Lengan Tunggal Karya Mario Gembala

Roro Centil - Ninja Edan Lengan Tunggal

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
SATU
RADEN MAS BEI KARTOMARMO duduk di kursi goyang berukir itu dengan mata terpejam-pejam. Sebentar-sebentar dia menghisap pipanya, dan menghembuskan asap tembakau yang mengeluarkan suara mendesis.

Tubuhnya bergoyang-goyang dan kepalanya terangguk-angguk mengikuti alunan kursi yang bergoyang. Tampaknya orang tua yang usianya sudah menjelang 50 tahun ini sedang menikmati acara santainya diruang pendopo gedungnya yang besar dan luas.

Nama julukan Raden Mas Bei Kartomarmo adalah nama terhormat yang diberikan penduduk desa Blambangan. Bukan saja dia sebagai seorang Carik Desa, akan tetapi juga seorang hartawan kaya raya yang mendiami wilayah itu. Pantaslah kalau Raden Mas Bei Kartomarmo bisa menggaji belasan orang pegawai dan dapat duduk berleha-leha sedemikian rupa. Karena tidaklah dia begitu memusingkan urusan hidup.

Hari itu... Seorang pegawainya menghampiri Raden Mas Bei Kartomarmo dengan langkah tergesa-gesa. "Raden Mas Bei... maaf hamba mengganggu.." berkata pegawai laki-laki ini dengan tubuh membungkuk-bungkuk di hadapan Raden Mas Bei Kartomarmo.

Laki-laki tua yang berjenggot cuma sejumput tanpa kumis ini membuka matanya. Dia memang telah mendengar suara langkah mendekat. Bahkan telah tahu siapa yang datang, dengan mengintip dari celah kelopak matanya yang setengah terpejam. "Ada apa Gembeng, kau menghadapku?" tanyanya.

Pegawai laki-laki bernama Gembeng itu membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. "Maaf, Raden Mas Bei, hamba mengganggu istirahat Raden...!" ucap Gembeng sekali lagi. Bicaranya amat sopan dan amat hormat serta hati-hati.

"Hm, tak apa. Katakan maksudmu, Gembeng! Apa kau perlu uang? Kulihat sudah dua bulan kau tak pulang menemui anak istrimu!" berkata sang majikan.

"Ah, memang hamba amat memerlukannya, Raden. Hamba memang sudah sangat rindu untuk menemui anak-anak!" menyahut Gembeng yang tak menyangka akan mendapat tawaran sebaik itu. Padahal maksudnya bukan untuk itu. Tapi cepat-cepat dia menyambung kata-katanya. "Selain itu, kedatangan hamba kemari juga bermaksud mengantarkan surat ini, dari... dari Kanjeng Adipati!" Gembeng keluarkan sepucuk surat dari saku bajunya. Lalu serahkan benda itu pada Raden Mas Bei Kartomarmo.

"Surat dari Kanjeng Adipati?" tersentak Raden Mas Bei Kartomarmo. Seketika dia melompat berdiri dari kursi goyangnya. Lengannya menerima kertas lipatan ditangan Gembeng.

"Aneh!? Tak biasanya dia menitipkan surat pada pegawai lain selain si gendut Sento?" berkata dalam hati Carik ini. "Baik! aku terima! Hm, apakah kau tak melihat Sento? sudah beberapa hari aku tak melihat dia?" tanyanya.

"Sento sakit, Raden Mas Bei...! Maksud hamba juga sekalian mau menjenguknya" sahut Gembeng menjelaskan.

"Sudah sejak kapan kau terima surat ini dan siapa yang memberikan padamu?" tanya lagi Raden Mas Bei Kartomarmo.

"Tentu saja dari... dari Sento, Den Bei. Mengenai lamanya surat ini hamba tak mengetahui" sahut Gembeng menjelaskan.

Carik desa ini kerutkan keningnya, namun dia manggut-manggut mendengar jawaban Gembeng. "Bagaimana kau tahu kalau surat ini dari kanjeng Adipati?" tiba-tiba Raden Mas Bei Kartomarmo bertanya lagi.

"Sento yang mengatakan pada hamba..." sahut Gembeng dengan mengusap dahinya yang berkeringat. Dia tak menyangka kalau akan mendapat banyak pertanyaan.

"Baiklah, Gembeng. Ini untukmu, dan kau boleh pulang!" ujar Raden Mas Bei Kartomarmo, seraya berikan beberapa keping uang yang barusan di rogohnya dari saku bajunya. Lega hati Gembeng. Terbungkukbungkuk dia menerima uang pinjaman itu dengan mengucapkan terimakasih.

"Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk istirahat?" tanya sang majikan.

"Cukup hanya... dua hari saja, Den Bei..." sahut Gembeng. Sebelum Gembeng melangkah keluar gedung setelah mohon diri, Raden Mas Bei Kartomarmo berkata.

"Kuharap kau langsung saja menjenguk Sento. Kalau dia sudah sehat, segera suruh menghadapku secepatnya!"

"Baik, Den...!" sahut Gembeng. Dan setelah membungkuk sekali lagi dia balikkan tubuhnya. Dan melangkah cepat keluar dari pendopo gedung. Tukang kebun merangkap penjaga gedung majikannya itu cuma diberi anggukan kepala, lalu bergegas keluar dari halaman rumah terindah ditengah desa itu.

Sepeninggal Gembeng, Kartomarmo membuka surat dari Adipati itu. Beberapa saat setelah membaca isi surat, tampak wajah Kartomarmo berubah. "Aku diharuskan datang ke Puri Kuno malam nanti...?" mendesis suara Den Mas Bei Kartomarmo, Sesaat dia tercenung. Lalu melipat kertas, kemudian beranjak masuk ke ruangan dalam.

* * * * * * *

Sementara Gembeng melangkah cepat ke arah timur desa. Di belokan yang rapat dengan semak belukar dan jauh dari rumah penduduk, dia berhenti. Sesosok tubuh keluar dari balik semak belukar. Gembeng melihat ke kiri dan kanan seperti khawatir ada yang mengetahui. Lalu menyelinap masuk ke semak, dan berbisik-bisik pada laki-laki yang barusan menampakkan tubuhnya. Entah apa yang dibicarakan. Yang terdengar cuma suara laki-laki berpakaian singsat warna hitam itu berkata.

"Bagus! Mari kita beri laporan pada Raden Puja Sangara!"

Gembeng mengangguk. Tak lama kedua orang itu dengan berindap-indap menelusuri semak belukar, dan lenyap di balik hutan. Sebuah tempat rahasia di dalam hutan yang tampaknya sukar diketemukan orang karena pondokan beratap alang-alang itu tertutup rapat oleh pepohonan dan terletak disisi sungai terapit oleh sebuah bukit.

Ternyata di dalam pondok itu terdapat beberapa orang berpakaian serba hitam. Tampak seorang laki-laki muda berusia sekitar 20 tahun berpakaian serba putih. Berambut gondrong, dengan ikat kepala warna hitam. Dialah orang yang bernama Raden Puja Sengara. Siapakah adanya laki-laki ini? Mari kita ikuti pembicaraan mereka.

"Apakah rencana Ketua akan berhasil menyuruh Kartomarmo mendatangi Puri kuno malam nanti?" bertanya salah seorang berpakaian hitam.

Laki-laki jembros ini bernama Gudri. Dia orang kepercayaan yang sekaligus menjadi tangan kanan Raden Puja Sengara. "Hm, kita lihat saja nanti. Sekarang kita tunggu hasil kerja Gembeng yang mengantarkan surat palsu dari Adipati Renggo Seto!" Sahut Puja Sengara.

"Baiknya kau bawa kehadapan ku, si gendut Sento kemari!" sambung pemuda ini.

"Baik, Raden!" sahut Gudri, yang segera bangkit berdiri. Gudri melangkah lebar ke belakang pondokan. Memasuki satu ruang yang lebar didapati seorang laki-laki gendut terikat ditiang kayu.

"Ayo, ikut aku menghadap Ketua ku!" berkata Gudri seraya melepaskan ikatan di tangan Sento.

Nampak wajah Sento pucat pias. "Mau... mau diapakan aku...?"

"Jangan banyak tanya babi gendut! ayo, jalan!" bentak Gudri menghardik.

Sento tak dapat berbuat apa-apa selain segera melangkah, karena Gudri telah menggusurnya dengan kasar. "Oh, nasibku..." mengguman Sento. Terbayang sesaat dimata laki-laki gendut ini ketika dua hari yang lalu tengah malam beberapa orang bertopeng menyatroni rumahnya, sesaat setelah dia menerima surat dari Adipati Renggo Seto untuk diserahkan pada Carik Raden Mas Kartomarmo.

* * * * * * *

DUA

Sento memang orang kepercayaan Raden Mas Kartomarmo. Tak heran kalau rumahnya besar, dan tampaknya dia hidup berkecukupan dengan anak istrinya. Bahkan dialah orang yang menjadi perantara Adipati Renggo Seto bila akan menghubungi Carik itu. Adipati Renggo Seto setiap datang selalu pada malam hari, dengan menyamar. Tentu saja agar tindakan rahasianya tak diketahui orang.

Akan tetapi sepeninggal Adipati itu, rumahnya di datangi beberapa orang berropeng yang meringkusnya. dia tak mampu berteriak karena golok tajam telah menempel dileher. Gerakan mereka tak menimbulkan suara, pertanda orang-orang bertopeng itu mempunyai ilmu yang tinggi.

Entah dengan cara bagaimana mereka bisa masuk ke dalam rumahnya, istrinya yang terbangun dibekap mulutnya lalu disumpal dengan kain. Hingga dapat memandangi suaminya yang digondol pergi oleh penculik-penculik itu, setelah memaksa menunjukkan surat dari Adipati.

"Berani kau berteriak, kubunuh kau! Awas! jangan kau ceritakan pada siapa-siapa tentang suamimu. Katakan saja dia pergi ke desa lain! Jangan khawatir, lakimu akan terjamin keselamatannya bila kau tak buka mulut!" mengancam laki-laki bertopeng itu setelah melepaskan sumbatan dimulut istri Sento. Perempuan itu cuma mengangguk-angguk.

Dan beberapa saat setelah beberapa orang bertopeng itu lenyap dikegelapan malam, wanita itu cuma bisa menangis terisak-isak. Tak tahu dia kesalahan apakah yang membuat suaminya diculik komplotan orang bertopeng itu. Sento tahu jelas kalau laki-laki brewok bernama Gudri inilah yang telah mengancam istrinya itu. Bahkan selama dalam perjalanan tak hentinya Gudri menyiksanya, menendang dan memukul.

"Enak kau ya? Sering dapat hadiah dari Adipati dan Carik. Sama saja kau telah membantu komplotan terselubung yang merusak wibawa Kerajaan! Dan bahkan merusak serta merongrong pemerintahan. Kelak bila kami telah berhasil menggulung dan membuka selubung mereka, kau bisa terlibat. Dan tali gantungan siap menggantung lehermu!" bentak si berewok Gudri.

"Hah!? Aku tak tahu menahu hal itu!" Aku hanya mengantar surat dari Adipati tanpa membaca isinya!" sahut Sento meringis-ringis menahan sakit pada pantatnya yang kena tendang.

"Dusta!" Plak! Lengan Gudri telah melayang menampar pipi laki-laki gendut itu hingga membekas merah. Sento mengaduh kesakitan. Tapi dia tak dapat berbuat apa-apa selain pasrah pada nasib.

"Duduklah, Sento!" berkata pemuda dihadapannya yang mengenakan topeng hitam membungkus wajahnya. Pemuda itu tak lain dari Puja Sangara. Mata Sento sekilas menatap pada laki-laki itu, lalu menunduk dengan hati kebat-kebit. "Apakah kau tetap membungkam mulut, tak mau membeberkan rahasia hubungan Adipati Renggo Seto dengan Carik Kartomarmo?" berkata Puja Sangara dengan suara datar.

"Am... ampun gusti raden... hamba... hamba benar-benar tak tahu menahu dengan urusan beliau..." menyahut Sento dengan tergagap. Wajahnya sejak tadi sudah pucat pasi karena takutnya.

"Kau berani bersumpah?" tanya sang Ketua komplotan itu.

"Sungguh mati, gusti raden...! Hamba tak tahu apa-apa..."

Puja Sangara terdiam sejurus. Matanya menatap pada Sento yang gemetaran dengan keluarkan keringat dingin disekujur tubuh. "Baik! Baiklah...! kau kubebaskan!" berkata Puja Sangara.

Seperti mimpi disiang hari rasanya Sento mendengar kata-kata itu seolah dia tak percaya. "Oh, hamba... hamba dibebaskan, gusti raden? Oh, te... terima kasih.....! terima kasih, gusti raden!" berkata Sento terbata-bata dengan kegirangan yang luar biasa.

Tak ayal dia sudah jatuhkan tubuhnya menyembah laki-laki dihadapannya itu, dengan ucapkan terimakasih berkali-kali. Sementara beberapa orang anak buah Puja Sangara termasuk Gudri saling pandang sesama kawannya, tanpa berkata apa-apa.

"Gudri! kau antarkan dia kebatas desa!" ujar Puja Sangara dengan berpaling pada Gudri. Lengan laki-laki ini bergerak memberi kode dengan Ibu jarinya serta kedipan mata pada Gudri. Tahulah Gudri apa yang harus dia lakukan.

"Baik, Ketua...! perintah akan hamba lakukan!" menyahut Gudri. Lalu berdiri seraya menepuk-nepuk pundak Sento. "Marilah Sento! Nasibmu baik! Kau bisa berjumpa lagi dengan anak istrimu!" berkata Gudri yang membimbing Sento bangun dari duduknya.

"Tentu saja dengan syarat!" berkata Puja Sangara. "kau tak akan membuka mulut dan menceritakan apa-apa tentang semua ini. Jaminannya adalah nyawamu!"

"Tentu...! tentu, gusti raden. Hamba berjanji..." sahut Sento dengan wajah berseri. Lalu dengan terbungkuk-bungkuk dia menjura pada Puja Sangara.

Gudri segera mendorongnya untuk segera keluar dari pondokan rahasia itu. Langkah Sento semakin cepat ketika mereka telah keluar dari dalam hutan dengan melalui jalan yang berliku-liku. Hingga tersembul di perbatasan desa. Kaki Sento berhenti melangkah. Lalu menoleh pada Gudri dibelakangnya.

"Cukuplah sampai disini saja kau mengantarku, sobat Gudri. Dan terimakasih atas kebaikanmu mengantar ku..." berkata Sento.

"Ya, ya terimakasih kembali! Semoga kau dapat menjaga mulut, demi keselamatan nyawamu!" ujar Gudri tersenyum.

Sento manggut-manggut seraya berkata. "Akan kuingat selalu pesan itu, sobat Gudri!" Setelah mengangguk sekali lagi, Sento balikkan tubuhnya untuk segera bergegas melangkah menuju ke arah desa. Tempat itu telah dikenalnya, hingga untuk menuju ke desa Wlingi tak jauh lagi. Gudripun balikkan tubuhnya untuk kembali memasuki hutan. Akan tetapi setelah tiba dibelokan jalan setapak, Gudri menyelinap.

Sento terus mempercepat langkahnya. Dia mulai merasakan hatinya tak enak seperti bakal terjadi sesuatu dengan dirinya. Sebentar-sebentar dia menoleh ke belakang. Gudri memang sudah tak tampak lagi. Sudah kembali ke dalam hutan. Tepat diujung mulut desa, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat muncul dihadapannya. Tersirap darah Sento ketika melihat Gudri berdiri menyeringai dihadapannya dengan menghunus golok yang berkilatan.

"Hehehe... Sento! Jangan terkejut. Karena sebentar lagi nyawamu akan melayang. Segeralah berdo'a sebelum kau berangkat ke Akhirat!"

Suara Gudri seperti terdengar Sento bagai mendengar petir disiang hari. Seketika pucatlah wajah laki-laki gendut ini. Kakinya melangkah mundur dua tindak. "Gudri! apa maksudmu semua ini!" berkata Sento menggetar.

Akan tetapi kata-katanya ditutup dengan sabetan golok Gudri ke leher laki-laki gendut itu. Gerakan tak terduga itu dilakukan secepat kilat. Sento yang bertubuh gendut itu dan tak punya kepandaian apa-apa tak dapat mengelakkan diri lagi.

Des...! Darah memuncrat seketika. Dan tubuh Sento ambruk ke tanah berkelojotan dengan mengeluarkan suara bagaikan kerbau disembelih. Tak lama tubuh laki-laki gendut itu terdiam tak berkutik. Nyawanya telah lepas keluar dari raganya.

Gudri tersenyum menyeringai. Lalu membersihkan darah yang melekat dimata goloknya kerumput. Dan masukkan lagi senjata pencabut nyawa itu kedalam serangkanya lagi. Kemudian dengan cepat dia menyeret tubuh gendut itu kesemak belukar. Menimbunnya dengan ranting-ranting kayu, tak lama dia telah keluar lagi dari semak.

"Beres!" berdesis suara Gudri. Sesaat antaranya dia telah kembali berkelebat dan menyelinap untuk kemudian lenyap dikerimbunan pepohonan.

* * * * * * *

TIGA

DUA ORANG UTUSAN Puja Sangara telah tiba dipondokan rahasia itu. Tampak Gembeng menceritakan hasil usahanya memberikan surat kepada Carik Raden Mas Bei Kartomarmo.

"Bagus! Bersiap-siaplah! Seperti rencana semula segera kalian menuju ke Puri Kuno. Hari sudah menjelang tengah hari. Senja nanti kalian sudah siap ditempat persembunyian masing-masing. Sementara aku akan mengawasi keadaan diluar!" berkata Puja Sangara.

"Kita berangkat sekarang, Ketua?" bertanya Gudri.

"Ya! kau pimpinlah kawan-kawanmu. Tugas ini kuserahkan padamu untuk meringkus Carik itu. Akan tetapi ingat! Jangan sampai dia kehilangan nyawa. Dan tunggu sampai aku datang!" ujar laki-laki muda ini.

Serentak belasan orang-orang berpakaian serba hitam itu bergegas mengadakan persiapan. Dan tak lama telah berkelebatan menyelinap untuk menuju ke Puri Kuno dengan dipimpin oleh Gudri. Puja Sangara menatap mereka dengan tersenyum. Tampaknya dia puas dengan apa yang telah direncakannya.

Pemuda ini melangkah masuk ke dalam pondok. Lalu bantingkan tubuhnya dipembaringan bambu hingga berbunyi suara berderak. Dengan terlentang itu dia keluarkan sebuah kertas dari balik bajunya. Itulah surat asli dari Adipati Renggo Seto. Surat itu bertulisan demikian.

"Carik Kartomarmo!
Hasil kerja orang-orangmu berhasil baik. Penyergapan yang ku lakukan terpaksa menewaskan beberapa orang anak buahmu. Terpaksa, karena dalam penyerbuan itu telah ikut serta anak Tumenggung Kaniraga. Dia bernama Puja Sangara! Bocah muda itu amat berbahaya. Tak ada jalan lain, selain melenyapkan dia secepat mungkin, sebelum rahasia bocor ke telinga Raja. Atur rencanamu, dan segera hubungi aku melalui Sento!
Tertanda: Adipati Renggo Seto


"Hm, Adipati keparat! Kau takkan dapat membunuhku! Bahkan akulah yang akan menghancurkanmu! Termasuk si Carik Kartomarmo. Kelak suatu saat setelah terbukanya rahasia terselubung kalian!" berkata mengguman Puja Sangara. Lalu melipat kertas itu dan masukkan lagi ke celah bajunya. Pemuda inipun tenggelam dalam lamunannya.

Ternyata Puja Sangara adalah anak Tumenggung Kaniraga yang baru saja turun gunung setelah tiga tahun berguru pada seorang tua pertapa kosen dipuncak Gunung Cula Badak. Sebulan berada dirumah ayahnya. Sang ayah menyuruhnya menghadap Adipati Renggo Seto. Sebenarnya Puja Sangara tak berkeinginan menjadi orang Kerajaan. Tapi karena mematuhi perintah sang ayah, terpaksa dia menurut kehendak orang tuanya itu.

Dia diangkat oleh Adipati Renggo Seto menjadi seorang perwira Kerajaan, dengan pangkat Kepala Prajurit, karena sangatlah tidak enak Adipati Renggo Seto pada Tumenggung Kaniraga kalau mengangkat Puja Sangara menjadi prajurit biasa. ditambah setelah diuji ternyata Puja Sangara cukup memadai untuk menjadi seorang kepala Prajurit. Disamping masih muda, juga berkepandaian tinggi.

Namun yang membuat Puja Sangara penasaran, adalah dia tak puas dengan sikap Adipati itu yang tak pernah memberi tugas dalam setiap kesempatan dalam menggulung kejahatan. Pendeknya pangkat Kepala Prajurit itu seperti tak berarti apa-apa. Puja Sangara seolah dirinya tak lebih dari seorang prajurit biasa.

"Apa artinya pangkatku, kalau terus menerus begini?" pikirnya dalam hati pada waktu itu. Hingga kemudian Puja Sangara mengadu pada ayahnya.

Tumenggung Kaniraga segera menemui Adipati Renggo Seto untuk membicarakan perihal anaknya. Puja Sangara yang telah berniat keluar dari keprajuritan terpaksa batalkan niat karena dipanggil oleh Adipati Renggo Seto. Demikianlah, hingga dia ikut serta dalam melakukan penyergapan kesarang penjahat. Dalam pertarungan itu dia berhasil menewaskan beberapa orang penjahat. Akan tetapi aneh! Dia tak mendapat tanggapan atau pujian dari Adipati. Bahkan para tamtama Kerajaan pada pasukannya kelihatan menjauhi dirinya.

Suatu ketika, dua hari setelah usai pertarungan dengan kemenangan pihak Kerajaan dan berhasil menggulung para perampok, dia terpanggil untuk menjalankan tugas dari Adipati Renggo Seto. Yaitu menyerbu komplotan penjahat yang berada dihutan Kaliki. Sebagai penunjuk jalan adalah Wirasanca. Bekas seorang Kepala Prajurit yang diangkat menjadi tangan kanan Adipati Rekso Seto.

Ternyata perintah ini adalah jebakan atas dirinya, dan rencana busuk Adipati Renggo Seto untuk melenyapkan jiwanya. Tengah malam ketika mereka beristirahat ditepi hutan untuk mengadakan serangan kesarang penjahat, terjadi serangan mendadak diluar dugaan. Kemah mereka didatangi belasan orang berpakaian serba hitam. Semua prajurit tertidur lelap, kecuali dia yang masih duduk diperapian.

Terjadilah pertarungan seru! Puja Sangara harus berhadapan dengan enam orang berkepandaian tinggi yang mengincar nyawanya. Bahkan mendesaknya hingga menjauhi perkemahan. Puja Sangara merasakan keanehan, karena tak seorangpun lasykarnya yang terbangun untuk memberi pertolongan membantunya. Serangan-serangan gencar harus dihadapinya seorang diri.

Untunglah dalam pertarungan yang tak seimbang itu, Puja Sangara dibantu oleh seseorang yang tak dikenal. Orang itu muncul dan membantunya bertarung. Seorang dari para pengeroyok itu melarikan diri setelah yang lainnya tewas. Namun dia tak dapat berlari jauh, karena si penolong telah menotok tubuhnya. Sang penolong yang aneh dan misterius itu berkelebat lenyap tanpa tahu diketahui siapa adanya.

"Aneh!? siapakah gerangan orang yang membantuku itu?" pikir Puja Sangara. Puja Sangara ternyata berotak cerdas. Dia tak membunuh lawannya. Karena kalau mau, mengapa si penolong tak membunuhnya sekaligus? Ketika Puja Sangara membuka topeng wajahnya, ternyata dia tak lain dari Wirasanca.

"Kau?" tersentak Puja Sangara. "Apa artinya semua ini? katakanlah!" membentak Puja Sangara dengan amat gusar.

"Jangan bunuh, ampunkan nyawaku, Puja Sangara...!" memohon Wirasanca dengan wajah pucat.

"Baik! aku ampuni jiwamu! katakan siapa dalang dari semua ini...!" membentak Puja Sangara dengan tempelkan golok tipisnya ke leher Wirasanca.

"Aku... aku diperintah Kanjeng Adipati..." berkata gemetar Wirasanca yang bernyali tikus dan takut mati itu. Dia memang tak turut bertarung. Melihat bermunculan orang misterius yang membantu Puja Sangara dan berhasil membunuh kelima konconya, dia segera melarikan diri. Namun malang nasibnya karena sesosok tubuh bagaikan bayangan telah mengejar, dan menotoknya hingga dia tak berdaya.

Tentu saja keterangan Wirasanca membuat Puja Sangara terkejut. Dari keterangan Wirasanca segera diketahui kalau perintah Adipati Ronggo Seto hanyalah sebagai jebakan saja untuk menghabiskan nyawanya. Kelima orang itu tak lain dari Lima Iblis Kali Gondang. Diam-diam terkejut hati Puja Sangara, karena dia telah mendengar nama kelima tokoh golongan hitam itu. Jelaslah sudah mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang diperalat Adipati Renggo Seto untuk membunuhnya.

Setelah cukup memberi keterangan, Wirasanca mohon dibebaskan dari totokan dan berjanji akan berpihak pada Puja Sangara. Namun watak berangasan Puja Sangara tak mengijinkan manusia itu tinggal hidup. Seketika golok tipisnya berkelebat. Tanpa ampun lagi Wirasanca menggelosor menemui kematian!

Dengan kemarahan meluap dia berkelebat kembali ke perkemahan. Didapati belasan prajurit itu telah berkumpul dalam keadaan bersimpuh dimuka kemah. Ketika dia muncul, serentak para prajurit itu bersujud dihadapannya memohon ampun agar tak dibunuh.

Kalau menurutkan hatinya yang sedang gusar, tak nantinya dia memberi ampun pada belasan prajuritnya itu. Tapi penjelasan seorang prajurit bernama Gudri telah mengendurkan kemarahannya. Mereka memang tak bersalah. Karena mereka cuma prajurit biasa yang menjalankan perintah walau tahu tentang rencana Adipati dan Wirasanca.

Sejak itulah, Puja Sangara memutuskan untuk keluar dari keprajuritan. Dan belasan prajurit Kadipaten itu menjadi anak-anak buahnya dan kawan-kawan seperjuangan. Pengikut Puja Sangara bertambah dengan masuknya Gembeng si pegawai Carik Kartomarmo.

Yang masih menjadi pemikiran Puja Sangara itu adalah si penolongnya. Karena sampai saat ini dia tak mengetahui siapa adanya dia. Namun dia berkesimpulan sang penolong itu adalah seorang wanita. Lama dia termangu diatas balai-balai bambu itu.

Hingga ketika matahari menyorot wajahnya, dia baru tersadar kalau senja kian menjelang. Puja Sangara cepat bangkit berdiri. Lalu beranjak menuju bilik kamar. Setelah menyambar golok tipisnya yang tergantung di tiang bambu, dia melesat keluar pondok. Tak lama telah berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu...

* * * * * * *

EMPAT

BUKAN KEPALANG terkejutnya Tumenggung Kaniraga ketika malam itu telah diserang oleh sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Dia baru saja kembali dari Kadipaten, menyangkut urusan tugas. Sekalian menanyakan perkembangan kemajuan anaknya. Dalam pembicaraan mereka yang berlanjut sampai agak larut malam itu, Adipati Renggo Seto telah menjamu Tumenggung Kaniraga dengan makan dan minum.

Wuttt...!

Kalau saja dia tak cepat mengelakkan diri dengan gesit, tentu kepalanya akan menggelinding tersabat putus golok si penyerang gelap itu. "Edan! Siapa kau?!" membentak Tumenggung ini. Kudanya meringkik ketakutan mengangkat kedua kaki depannya.

Akan tetapi tanpa memberi jawaban, si manusia berbaju serba hitam itu kembali menerjang. Kilatan golok berkelebat. Akan tetapi yang diserang ternyata kuda tunggangan Tumenggung Kaniraga. Tak ampun lagi binatang itu roboh terjungkal dengan suara bergedebugan. Ringkiknya terputus karena tubuhnya berkelojotan sekarat. Golok itu menebas lehernya hampir sarat. Namun sang Tumenggung sendiri telah melompat cekatan dan berhasil selamatkan diri dengan melompat dari punggung kuda.

Sreek! Tumenggung telah cabut keris pusakanya dari balik punggung. Sementara si sosok tubuh misterius bagai kilat telah menerjangnya lagi.

Trang! Trang...! Tringng!

Percikan lelatu api diremang cahaya bulan mengukir udara, ketika dengan gesit Tumenggung Kaniraga menangkis beberapa kali menahan serangan lawan yang mengingini jiwanya.

"Keparat! Sebutkan siapa dirimu!" membentak Tumenggung Kaniraga. Tiba-tiba dia merobah gerakan silatnya, dari menangkis kini menyerang. Ternyata sang Tumenggung tua ini memiliki ilmu kedigjayaan yang cukup lumayan.

Tampaknya si manusia bertopeng hitam itu agak terkejut melihat perubahan gerakan silat yang menindih sambaran-sambaran goloknya. Bahkan setiap kali sang Tumenggung tak mau mengalami benturan senjata. Rangsakan Tumenggung Kaniraga semakin hebat. Karena dia telah gunakan jurus-jurus serangan andalannya. Sebagai seorang Tumenggung yang telah banyak pengalaman.

Tumenggung Kaniraga telah banyak berhadapan dengan lawan-lawan tangguh dari bangsa perampok. Baginya menghadapi pertarungan adalah sudah hampir sebagian dari hidupnya. Rasa penasaran laki-laki tua ini adalah dia ingin tahu siapa wajah dibalik topeng itu. Dan mengapa tahu-tahu menyerang untuk membunuhnya.

"Buka topengmu bangsat tengik!" bentak Kaniraga seraya mengirim sodokan kaki ke arah ulu hati lawan. Sementara tinjunya membarengi menghantam tengkuk orang dengan sedikit menekuk tubuh.

Buk...! si penyerang gelap mengaduh disusul terlemparnya tubuh manusia itu beberapa tombak. Kaniraga cepat memburu. Keris ditangan siap untuk ditempelkan ketengkuk lawan, dan sebelah lengannya siap menyambar topeng untuk merenggutnya. Akan tetapi diluar dugaan...

Sssrrrrr!

Puluhan jarum berbisa meluruk bagai hujan dari balik pohon besar. Saat itu Kaniraga sedang dalam keadaan menyergap lawan. Agaknya serangan maut dari orang kedua dibalik potion itu takkan dapat terelakkan. Namun pada saat itu terdengar teriakan memperingati.

"Awas, ayah...!" Itulah suara yang dikenalnya. Suara Puja Sangara.

Dengan gerak reflek sang Tumenggung menghindarkan diri. Dia memang dapat merasai adanya serangan bokongan dengan mendengar suara berdesis puluhan batang jarum senjata rahasia mengancam tubuhnya. Tubuh Tumenggung Kaniraga berguling ketanah, disertai gerakan memutar keris yang menimbulkan angin tenaga dalam menerpa puluhan jarum yang meluruk itu hingga buyar! Akan tetapi akibatnya si penyerang bertopeng itulah yang jadi sasaran.

Tak dapat dicegah lagi, manusia itu menjerit parau. Tubuhnya berkelojotan ketika belasan jarum menembus ke kulit tubuhnya. Tak lama tubuh itu sudah diam tak berkutik. Mati! Keringat dingin Kaniraga mengembun ditengkuk. Nyaris dia mengalami nasib naas kalau tak diperingati Puja Sangara. Pemuda ini menatap pada sang ayah dan korban kematian itu. Sesaat keduanya saling pandang. Namun Kaniraga cepat menangkap gerakan melarikan diri sesosok tubuh dari balik pohon. itulah sosok tubuh si penyerang tadi.

Tumenggung Kaniraga cuma bisa melihat berkelebatnya sesosok tubuh mengejar si penyerang gelap itu. Sesaat dia tersadar dari terperangahnya. Sekali bergerak tubuh Tumenggung melompat ke arah si manusia bertopeng. Dan... Brreeet! Dia telah menyambar kain penutup wajah si penyerang yang mengingini jiwanya ini. Sang Tumenggung cuma bisa melihat wajah seorang laki-laki tak dikenal yang berkumis lebat berdagu panjang.

"Siapakah orang ini" desisnya dengan kerutkan kening. "Hm, apakah dia pembunuh yang dibayar untuk melenyapkanku? Apa salahku? Aku jadi agak curiga dengan Adipati Renggo Seto. Jangan-jangan ada udang dibalik batu dengan semua ini...!"

Orang tua ini bangkit berdiri. Ketika dia baru mau masukkan keris keserangka dibalik punggung, terdengar suara berkrosak. Cepat dia berbalik. Darahnya sudah tersirap akan adanya bahaya lagi. Tapi segera dia menarik napas lega karena yang muncul adalah Puja Sangara.

"Dia kabur cepat sekali! Syukurlah ayah, kau tak apa-apa...!" berkata Puja Sangara dengan memandang girang pada sang ayah.

"Kau tak mengenali orang ini?" tanya Tumenggung Kaniraga. Akan tetapi belum sempat Puja Sangara menoleh, tiba-tiba...

Bhusssss...! Asap putih membumbung tepat di hadapan mereka. Dan sesosok tubuh muncul dibalik asap perdengarkan suara tertawa berkakakan.

"Hahahaha... hahaha... kalian dua manusia ayah dan anak akan segera mampus! Karena adanya kau akan menjadi duri di dalam daging yang membahayakan kami." Sesosok tubuh laki-laki yang juga mengenakan topeng pembungkus kepala sekalipun tubuhnya, berwarna hitam, membuat keduanya melangkah mundur dua tindak.

"Siapa kau?!" membentak Puja Sangara hampir berbareng dengan sang Tumenggung.

"Hahaha... panggillah aku si Ninja Edan Lengan Tunggal!" Seraya berkata lengan manusia aneh ini bergerak. Dan sekejap ditangannya telah tercekal sebuah pedang Samurai.

Barulah keduanya sadar kalau sosok tubuh orang ini cuma punya sebuah lengan. Seketika Tumenggung Kaniraga telah mencabut lagi kerisnya. Sementara Puja Sangara yang masih mencekal golok tipisnya, segera slap bertarung untuk melabrak manusia ini. Jelas kalau orang ini adalah orang bayaran Adipati Renggo Seto! pikir Puja Sangara. Namun dia tak dapat berpikir lama karena si manusia aneh yang menamakan dirinya Ninja Edan Lengan Tunggal itu telah menerjang...

Trang! Trang! Trang!

Berguling-guling tubuh Puja Sangara dan Tumenggung Kaniraga menghindari serangan beruntun yang dahsyat itu. Pedang Samurai si manusia pencabut nyawa itu berkelebatan menabas dan menusuk dengan serangan bertubi-tubi.

"Hahaha... kalian takkan dapat menyelamatkan diri!" sesumbar si Ninja Edan Lengan Tunggal dengan suara seram.

Gerakan orang ini memang amat luar biasa cepatnya. Nyaris dada Puja Sangara dan pinggang Tumenggung Kaniraga terkoyak kalau dia tak cepat menghindarkan diri. Kali ini yang dicecar adalah Puja Sangara.

"Hahaha Ingin kulihat apakah ilmu silatmu sudah boleh diandalkan untuk kau memimpin pemberontakan?" berkata Ninja Edan Lengan Tunggal dengan mendengus. Pedang Samurainya membabat tiga kali ke arah leher, dada dan kaki.

Dengan mengkonsentrasikan panca indranya Puja Sangara berhasil menghindar. Dua kali lakukan salto dengan lompatan ke belakang, dan jejakkan kaki ke tanah dengan baik. Terkejut Puja Sangara mendengar kata-kata itu. Dadanya bergolak karena gusar.

"Pemberontakan?" Apa maksudmu, keparat? Kalianlah yang akan melakukan pemberontakan. Aku tahu, kau pasti orangnya Adipati Renggo Seto! Kalianlah manusia yang merongrong kewibawaan pemerintah! Aku punya bukti kalau Adipati Renggo Seto bekerja sama dengan kaum penjahat!" teriak Puja Sangara.

Kali ini dia yang melompat menerjang. Golok tipisnya berkelebatan mencercah tubuh lawan dengan jurus-jurus yang amat berbahaya. Namun gerakan si Ninja Edan Lengan Tunggal memang amat menakjubkan. Setiap serangan dengan mudah dipatahkan. Bahkan lengan bajunya dapat digunakan menangkis atau menyambar lawan tak lebih bagaikan sebuah lempengan baja yang bisa membuat nyawa melayang bila mengenai sasaran.

"Hahaha... untuk itulah, maka kau harus mampus, termasuk ayahmu yang bisa jadi penyakit!" berkata Ninja Edan Lengan Tunggal. Serangan gencar Puja Sangara punah total. Bahkan kini pemuda itu sendiri yang harus mati-matian mempertahankan nyawanya.

Sementara Tumenggung Kaniraga yang mendengar kata-kata itu semakin kuat kecurigaannya pada Adipati Renggo Seto. Melihat anaknya terdesak dia tak berlaku ayal untuk segera melompat memberi bantuan. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking renyah seperti suara seorang wanita.

"Hihihi... serahkan padaku yang muda ini, sobat Ninja Edan!" Dan sesosok tubuh berkelebat dari cabang pohon kayu. Laki-laki pakaian serba hitam bertopeng itu tertawa melihat orang yang muncul.

"Hahaha... matamu masih saja hijau kalau melihat orang ganteng! Apakah kau mau menangkapnya hidup-hidup? Baik! kuserahkan dia untukmu, Ninja Wadon!" ujarnya.

Pendatang ini memang seorang wanita. Jelas terlihat dari bentuk potongan tubuhnya. Tentu saja Puja Sangara melengak melihat orang ini karena jelas sekali dari bentuk potongan yang telah menolongnya. Namun dia tak dapat bertanya lagi karena Ninja Wadon telah menyerangnya dengan pukulan-pukulan ganas.

Desir angin pukulannya saja telah membuat Puja Sangara mengetahui kalau perempuan ini bertenaga dalam tinggi. Sementara Tumenggung Kaniraga telah bertarung dengan si Ninja Edan Lengan Tunggal. Keduanya terlibat dalam pertarungan yang seru. Karena Tumenggung ini telah keluarkan seluruh kepandaiannya.

LIMA

NINJA WADON menyerang gencar membuat Puja Sangara terpaksa harus mengelakkan diri kesana kemari. Dia agak ragu untuk mempergunakan goloknya karena semakin yakin kalau wanita ini adalah orang yang pernah menolongnya. Yang menjadikan dia terheran adalah mengapa wanita ini berkomplot dengan si Ninja Edan Lengan Tunggal. Dan mengapa kini berbalik memusuhi? pikir pemuda ini dalam benaknya yang kusut.

Ternyata Puja Sangara tak diberi kesempatan untuk buka suara. Karena setiap kali dia mau buka mulut, tentu si Ninja Wadon segera merangsaknya dengan pukulan-pukulan ganas. Sebagai murid seorang kosen Puja Sangara boleh dikatakan berilmu tinggi. Namun menghadapi si Ninja Wadon ini dia cuma bisa mengelakkan diri tanpa balas menyerang.

Dalam waktu beberapa kejap saja jarak kedua pertarungan itu telah semakin jauh, karena Ninja Wadon seperti mendesaknya agar menjauhi sang Tumenggung. Mengelak terus yang dilakukan Puja Sangara membuat tenaganya semakin mengendur. Bila di lakukan terus akan berbahaya bagi dirinya.

Demikianlah, akhirnya Puja Sangara terpaksa lakukan serangan membalas. Golok tipisnya mulai digunakan untuk menangkis. Dan tiba-tiba dengan membentak keras tubuh Puja Sangara melompat lima tombak. Lengannya menghantam ke arah si Ninja Wadon dalam gerakan menukik.

Whuuuk! Krrraak...!

Batang pohon sebesar betis remuk terhantam. Saat berikutnya dia menerjang dengan lompatan Naga Sakti menerjang Bukit. Gerakan ini dibarengi dengan serangan beruntun dari golok tipisnya yang dinamakan jurus Ombak Laut Menyapu Karang. Jurus istimewa ini memang luar biasa. Terdengar teriakan tertahan si Ninja Wadon. Akan tetapi dengan meletik ke atas bagai ikan dia berhasil menghindari serangan.

Tak diduga serangan berikutnya adalah serangan yang berbahaya. Karena dia harus menghadapi serbuan serangan maut. Whut! Whut! Whut! Gerakan kilat golok tipis Puja Sangara nyaris menabas putus pinggang, perut leher dan kaki. Dan terakhir...

Prass...! Ujung rambut si Ninja Wadon terbabat putus sepanjang satu jengkal, setelah dia berhasil mengelakkan serangan maut yang bertubi-tubi itu.

"Ahhh!?" Memekik kaget Ninja Wadon. Tubuhnya bersalto dua kali ke belakang, dan... lenyap dikegelapan serta rimbunnya pepohonan.

"Jangan lari!" membentak Puja Sangara. Tubuhnya melesat memburu ke arah lenyapnya wanita Ninja itu. Akan tetapi tahu-tahu dia berteriak kaget ketika sebuah bayangan menyambar ke arah kaki.

"Ahhh!" Bluk!

Puja Sangara tak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Karena kakinya kena dicekal orang. Tak ampun dia jatuh terbanting ketanah.

"Hihihi pemuda gagah! Kakimu tak bermata!" terdengar ejek si wanita Ninja. Tubuh Ninja Wadon mendadak melompat ke atas punggung Puja Sangara. Dan disaat pemuda itu belum berbuat apa-apa, lengan wanita ini telah terjulur menotok. Puja Sangara cuma bisa perdengarkan keluhan. Mendadak dia jatuh menggeloso karena rasakan tubuhnya menjadi lunglai.

"Hihihi... Ilmu silatmu cukup hebat. Tapi menghadapiku, kau takkan mampu karena aku punya seribu satu macam akal!" berkata wanita Ninja ini.

Apakah selanjutnya yang dilakukan wanita Ninja itu? Ternyata setelah menyelipkan golok tipis Puja Sangara pada lipatan ikat pingganggnya, dia memondong tubuh laki-laki itu ke atas pundak. Dan berkelebat pergi dengan tertawa mengikik. Dari balik semak tiba-tiba muncul pula sesosok tubuh yang berkelebat menyusul membuntuti si Ninja Wadon. Tempat itu kembali senyap....

Pertarungan Tumenggung Kaniraga dengan si Ninja Edan Lengan Tunggal mencapai pada puncaknya. Walaupun orang tua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi namun lawannya kali ini sukar untuk dijatuhkan. Bahkan sang Tumenggung sempat dibuat terheran, karena terkadang lawan bisa lenyap sukar diikuti kemana gerakannya.

Hingga disatu saat Tumenggung yang malang ini tersentak kaget ketika pedang Samurai yang panjang itu tahu-tahu menabas dari arah samping. Dalam keadaan gawat itu dia sempat jatuhkan diri bergulingan. Namun... Cras! Sabetan pedang lawan tak terhindarkan lagi, yang selalu memburu nyawanya. Dada orang tua ini terkoyak. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah.

"Bangsat! Ssi... siapa kau sebenarnya...!" masih sempat dia memaki. Secepat kilat dengan tenaga terakhir dia lontarkan kerisnya ke arah jantung lawan. Serangan ini amat berbahaya karena diluar dugaan si Ninja Edan Lengan Tunggal. Tapi ketika itu juga lengan bajunya mengibas, dibarengi dengan gerakan pedang menangkis.

Trang!..... Bles!

Diiringi jeritan menyayat hati tubuh Tumenggung Kaniraga roboh terjungkal. Kerisnya terlempar ke udara terkena sontekan pedang Samurai si Ninja itu. Sedangkan gerakan mengibas barusan telah meluncurkan dua buah belati kecil yang tepat menembus perut dan dada sang Tumenggung. Sejenak setelah hal ini berlangsung, tiba-tiba terdengar bentakan suara seorang wanita.

"Iblis keji!" Dan...

Whuuuuk! Segelombang angin menerpa tubuh si Ninja Edan Lengan Tunggal, membuat orang ini terperanjat. Tapi dengan gesit dia melompat setinggi sepuluh tombak. Dengan gerakan melompat-lompat dari pohon ke pohon sekejap saja manusia itu telah lenyap! Sesosok tubuh tiba-tiba muncul ditempat itu yang berkelebat ke arah sang Tumenggung.

"Tumenggung Kaniraga? Hah! siapa yang telah menyerangmu?" berteriak tertahan orang ini.

Tumenggung Kaniraga menyeringai menahan rasa sakit. Ketika kelopak matanya terbuka dan melihat siapa orang dihadapannya, mendadak... napas laki-laki tua ini memburu. Terpancar rasa girang pada wajahnya. Dia tersenyum. Dan ucapnya dengan suara terputus-putus.

"Nona pe... pendekar Ro... Ro... Cen...Til..."

Memanglah orang ini tak lain dari Roro Centil adanya. Roro mengangguk dengan tersenyum. Sementara diam-diam dia salurkan hawa hangat dari tenaga dalamnya dan menotok di beberapa urat darah untuk memberhentikan aliran darah. Dipandangnya wajah yang tua itu. Wajah yang baru dikenalnya beberapa bulan yang lalu sejak dia menolong Tumenggung ini dari serbuan para perampok dihutan Jati Nongko.

"Katakan siapa yang menyerangmu, paman Kaniraga...! Maafkan, aku datang terlambat..." berkata Roro dengan menatap haru.

"Mengapa harus meminta maaf, nona Pendekar...? Kita tak pernah berjanji apa-apa. Dan kau datang... se... secara kebetulan. Seperti juga pada saat kau menolongku melawan para perampok dihutan... Jati Nong...ko..." menjawab Tumenggung Kaniraga dengan suara lemah. "Yang tahu hal ini adalah anak...ku... Puja Sangara..." sambung Tumenggung ini. "Ah, seandainya umurku pan...jang, aku tak menyesal bila punya menantu seperti k..kau, nona Pendekar Roro..."

Roro cuma tersenyum haru. dia tak dapat berbuat apa-apa, selain manggut-manggut mendengar apa yang diucapkan orang tua abdi Kerajaan ini. Selang sesaat napas laki-laki tua ini kian memburu. Dan ujarnya dengan terputus. "Ca...carilah, dia... carilah Puja Sangara. Dan... tolonglah bantu perjuangannya..."

Roro kembali mengangguk-angguk seraya menyahuti. "Tentu, paman Kaniraga. Aku pasti akan membantunya. Apakah kau mengetahui siapa yang menyerangmu tadi?" tanya Roro.

"Dia... dia... si Ninja Edan.. Lengan Tunggal..." Setelah ucapkan demikian lengan orang tua ini mencekal lengan Roro erat-erat. Lalu tergolek layu. Ternyata dia telah hembuskan napasnya yang terakhir.

ENAM

RORO CENTIL termangu-mangu beberapa saat lama ditempat itu. Bibirnya mengguman, "Ninja Edan Lengan Tunggal? Apa hubungannya dengan si Brewok Lengan Tunggal?" Lama Roro berpikir, sementara hatinya berkata. "Apakah dia yang telah melakukannya?"

Segera Roro teringat akan nama Joko Sangit. Dia yang dimaksudkan adalah laki-laki itu. Setelah lama tercenung tanpa bicara apa-apa. Pelahan Roro bangkit berdiri. Matanya mencari-cari tempat yang baik untuk menguburkan jenazah Tumenggung Kaniraga. Tiba-tiba dara Pantai Selatan ini kerahkan tenaga dalam yang disalurkan ke telapak tangan. Tampak uap putih mengepul diantara jari-jarinya yang mengembang. Tiba-tiba lengan gadis ini menghantam tanah di bawah pohon besar itu.

Bhlarrr...! Tanah menyemburat ke udara. Dan sebuah lubang segera terlihat menguak memanjang. Hantaman pukulan bertenaga dalam itu telah membuat sebuah lubang yang cukup dalam. Tak ayal Roro segera pondong tubuh Tumenggung Kaniraga. Kejap berikutnya tubuh abdi Kerajaan itu telah dibaringkan didalam lubang. Sejenak setelah menatap wajah laki-laki tua itu, Roro segera menimbunnya dengan tanah.

Sebuah cabang kayu digunakan untuk nisannya. Tak lama setelah menghela napas, Roro segera bertindak meninggalkan tempat itu. Sepuluh langkah kemudian dia enjot tubuh. Sekejapan saja pendekar wanita perkasa itu telah lenyap dikeremangan malam.

* * * * * * *

"Mau dibawa kemana aku?" berdesah suara Puja Sangara dalam pondongan si Ninja Wadon. ketika dia membuka matanya merasakan tubuhnya berguncangguncang. Tahulah dia kalau berada dipundak wanita ini.

"Hihihi... tenang sajalah! Pokoknya kau tak usah khawatir aku membunuhmu cepat-cepat!" sahut wanita ini. Rembulan yang mengambang di langit kelam itu menerangi jalan yang ditempuh si Ninja Wadon. Ninja Wadon tanpa dia mengetahui kalau dia dikuntit oleh sesosok tubuh yang juga sejenis dengannya.

Diujung jalan setapak itu segera terlihat sebuah kuil. Di pelataran kuil itulah si wanita meletakkan tubuh Puja Sangara. Sejurus setelah dia mengamati sekitarnya, lalu melangkah masuk ke dalam kuil. Terdengar dia menguak sebuah pintu. Tak lama tampak ada cahaya dari dalam ruangan. Ternyata dia barusan menyalakan sebuah pelita dalam kamar.

Tak lama dia keluar lagi. Sementara sosok tubuh penguntitnya menyelinap ke sisi tembok. Tampaknya dia seperti ragu untuk mengambil tindakan. Hingga keburu wanita itu keluar lagi. Puja Sangara cuma merasa tubuhnya diangkat orang. Dan sesaat dia telah dibaringkan di atas sebuah pembaringan kayu.

Lampu itu cukup menerangi wajah si Ninja Wadon, ketika dia menyibak topeng penutup wajahnya. Ternyata dia seorang wanita yang cantik. Berwajah bulat telur dengan mata yang membinar menatap pada Puja Sangara.

"Ah, sayang sekali kalau wajah tampan mu terkena pedang Samurai kakak angkatku! Apalagi kalau kau sampai tewas...!" berkata dia seraya duduk dipembaringan. Lengannya mengusap wajah Puja Sangara.

"Kau amat gagah, sobat Puja Sangara. Membuat aku kepincut! hihihi... bajumu ini sudah bau apek. Baiknya dibuka saja!" berkata sendiri si Ninja Wadon. Dan tanpa tunggu waktu lagi segera melolosi pakaian pemuda anak Tumenggung Kaniraga yang cuma bisa menatap dengan mata membelalak.

"Apa yang kau mau lakukan, perempuan genit!" tersentak Puja Sangara ketika lengan wanita itu merabai sekujur tubuhnya. Akan tetapi sebagai jawabannya lengan wanita itu menotok urat suaranya. Hingga laki-laki itu cuma bisa berdesis ditenggorokan.

"Pintu ini kurapatkan dulu!" berkata wanita muda itu seraya melompat ke arah pintu. Dan dengan cepat dia telah menutup serta memalangnya.

Tampak dia seperti sudah tidak tahan untuk melakukan sesuatu. Lengannya bergerak membukai pakaiannya sendiri. Selanjutnya dengan tubuh tanpa busana dia mendekati Puja Sangara. Membelalak mata laki-laki yang masih tabu pada wanita ini melihat pemandangan dihadapannya.

Sebisanya dia mencari akal untuk melepaskan diri dari pengaruh totokan. Dia memang mempelajari cara untuk membuka totokan. Tapi totokan dara ini sukar dibuka. Mau tak mau dia terpaksa cuma mandah saja seketika lengan wanita itu menarik celananya hingga merosot. Belaian-belaian halus membuat sekujur bulu ditubuhnya seperti bangkit berdiri. Yang terdengar cuma suara desahan napas si Ninja Wadon yang memburu.

Tahu-tahu Puja Sangara merasakan dua buah benda lunak yang mempesona itu telah menekan dadanya. Belaihan tangan terus menelusuri wajah menimbulkan rasa geli, akan tetapi membuat darahnya bergolak oleh rangsangan yang hebat. Ketika selanjutnya cekatan sekali si dara yang sudah dimabuk asmara itu membasahi bibirnya dengan leletan lidah. Yang kemudian melumat bibirnya dengan lumatan penuh nafsu.

Lengan itu meluncur lagi ke bawah. Gemetar sekujur tubuh Puja Sangara yang baru sekali ini seumur hidupnya disentuh seorang wanita. Sementara dibalik pintu dengan berjingkat sosok. tubuh yang tadi menguntit mendekati celah pintu. Tampak dia dekatkan kepalanya ke arah celah. Kamar yang terang oleh cahaya lampu itu menerangi apa saja yang terlihat dari celah. Seketika tampak tubuh orang ini gemetar.

Desah demi desah semakin membauri ruangan kamar. Sebentar-sebentar sosok tubuh ini mengangkat wajahnya. Tapi kembali mengintip dengan dada berombak-ombak. Akan tetapi tiba-tiba dia balikkan tubuhnya. Wajahnya tampak memucat seperti mau menangis.

Braakkk...! Dia telah menghantam pintu yang tertutup itu dengan pukulan tangannya. Tak ampun pintu berderak hancur. Terdengar suara si Ninja Wadon terkejut.

"Bedebah! Siapa diluar!?" membentak dia. Wanita yang tengah dibuai asmara ini cepat kibaskan lengannya. Sekali kibas, padamlah pelita itu. Dan kamar menjadi gelap. Akan tetapi tak ada sahutan, juga tak ada tanda-tanda ada serangan dari luar. Ninja Wadon yang siap menghadapi segala kemungkinan jadi terheran. Dalam kegelapan dia merangkak ke pintu. Kembali dia membentak. Tapi yang terdengar cuma suaranya sendiri berpantulan.

"Setan siapa pula yang mengganggu kesenanganku? Apakah si Ninja Edan Lengan Tunggal?" desis wanita ini yang mengawasi sekitar ruangan.

Walau dia telah memeriksa sekitar kuil tak ada tanda-tanda adanya orang lain, tapi hal itu telah membuat dia kecewa setengah mati. Juga menggagalkan hasratnya yang telah menggebu. Malam itu dilalui si Ninja Wadon dengan berjaga-jaga didepan pintu kuil. Sementara hatinya memaki.

"Sial dangkalan! Siapa yang usil menggangguku itu?" bergumam dia dalam kesenyapan yang kian mencekam. Malampun semakin melarut. Dan hawa dingin menebar ke tulang sumsum. Dengan tiada habis-habisnya menggerutu wanita ini kembali melangkah masuk ke dalam kuil. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh kaget, karena seketika tubuhnya lunglai. Dan... bluk! dia sudah roboh menggeloso ke lantai.

"Ganti aku yang menotok mu, Ninja Wadon!" Selang sesaat terdengar suara seorang laki-laki. Suara Puja Sangara.

TUJUH

PUJA SANGARA menyeret tubuh si Ninja Wadon ke dekat pembaringan. Lalu menggulingkannya ke kolong tempat tidur. Dalam kamar yang gelap itu Puja Sangara segera menyusul kelebatan tubuh berpinggang ramping yang baru saja menyelinap keluar dari ruangan yang gelap itu. Fajar baru saja menyingsing ketika dua sosok tubuh itu tersembul diujung jalan yang menuju ke arah kota Singosari.

"Aku berhutang budi padamu, nona." berkata Puja Sangara. Sejak mengikuti berlari dibelakang wanita ini Puja Sangara baru berani buka suara.

"Apa yang kulakukan adalah demi kebaikanmu. Karena aku tak mau kau jatuh ke tangan si Ninja Wadon!" menyahut wanita yang masih mengenakan cadar penutup wajahnya. Cadar penutup wajahnya yang berwarna biru itu kini disibakkan. Segera terpampanglah seraut wajah cantik. Agak terpana Puja Sangara karena wajah itu amat mirip dengan si Ninja Wadon.

"Boleh aku tahu siapa nama nona? Dan apa hubungannya kau dengan si Ninja Wadon serta si Ninja Edan Lengan Tunggal? Juga apakah kau yang pernah menolongku ketika aku menghadapi pertarungan dihutan Kaliki?" Pertanyaan Puja Sangara yang beruntun itu membuat si dara cantik ini tersenyum.

"Pertanyaan yang cukup banyak, tapi baik sekali" ucapnya. "Namaku rasanya telah hampir tak kuingat lagi. Karena aku cuma disebut si Kerudung Biru! Hubunganku dengan si Ninja Wadon dan Ninja Edan Lengan Tunggal? Ninja Wadon adalah saudara kembarku, dan si Ninja Edan Lengan Tunggal adalah ketua dari komplotan Rahasia yang selama ini sudah bentangkan sayapnya diperbagai tempat! sahut gadis ini.

"Ha...?" membelalak mata Puja Sangara. "Apakah komplotan rahasia itu didalangi oleh Adipati Rekso Seto?" bertanya lagi pemuda ini.

Dara ini tatapkan matanya ke puncak bukit. "Benar... !" sahutnya datar.

Puja Sangara tercenung sesaat. Darahnya kembali bergolak bila disebut nama Adipati itu. Dan dia semakin terperanjat mengetahui begitu besar kekuasaan Adipati Rekso Seto diluar. "Keparat! Sudah kuduga! Dan bukti semakin jelas, bahwa Adipati Rekso Seto akan melakukan pemberontakan pada Kerajaan!" memaki Puja Sengara.

"Nona Kerudung Biru. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah kau yang telah menolongku ketika aku menghadapi pertarungan dihutan Kaliki?"

"Aku baru pertama kali ini menolongmu. Mengenai siapa yang telah menolongmu dihutan Kaliki itu aku tak mengetahui!" sahut si dara Kerudung Biru. Melengak Puja Sangara mendengar jawaban itu.

"Bukan dia?" berkata dalam hati pemuda ini." Jadi siapakah perempuan kosen yang telah menolongku itu?" bertanya-tanya dalam hati Puja Sangara.

"Baiklah!" sejurus antaranya Puja Sangara kembali berkata. "Satu hal lagi yang akan kutanyakan padamu, nona! Kau adalah orang yang ada dalam keanggotaan komplotan rahasia itu. Mengapa kau menolongku? Dan apa maksudmu mengajakku ke tempat ini?"

Sejurus lamanya si Kerudung Biru tak menjawab. Yang terdengar adalah suara helaan napas berat. Seolah dalam dadanya ada tertindih suatu masalah yang sukar untuk dielakkan. Namun tak lama dia membuka suara.

"Aku memang orang komplotan rahasia itu. Tapi aku tak menyetujui tindakan-tindakan yang dilakukan orang-orang komplotan rahasia itu. Pendek kata kalau ada orang yang bersedia membawaku ke tempat yang amat jauh, aku bersedia mengikuti. Asal aku bisa keluar dari komplotan manusia-manusia tamak, serakah, yang berwajah iblis itu. Aku... aku benar-benar sudah muak dengan tingkah laku mereka!" menyahut gadis Kerudung biru dengan suara tersendat.

Terkejut Puja Sangara mendengar kata-kata itu. "Nona... jadi untuk itulah kau membebaskanku?" tanyanya terheran.

"Ya! apakah kau bersedia membawaku pergi jauh-jauh dari tempat ini?" berkata dara Kerudung Biru dengan menatap Puja Sangara. Wajah itu tampak memelas. Dan sepasang mata bulat yang indah itu tampak berkaca-kaca.

Dihati Puja Sangara segera timbul perasaan kasihan, salut, juga tak mengerti. Tak terasa Puja Sangarapun menghela napas, seraya menunduk. Benaknya memikir keras karena saat itu dia menghadapi tiga masalah. Masalah kesatu adalah, dia harus mengetahui keselamatan ayahnya yang tadi malam bertarung melawan si Ninja Edan Lengan Tunggal.

Masalah kedua, dia harus pula pergi ke Puri Kuno untuk melihat hasil kerja anak buahnya untuk menawan hidup-hidup Carik Kartomarmo. Karena dia harus mengorek rahasia terselubung yang dilakukan Adipati Rekso Seto dari mulut Carik itu. Masalah kedua itu mungkin bisa dikesampingkan karena dia bisa mengorek keterangan dari gadis Kerudung Biru.

Akan tetapi toh dia harus melihat keadaan anak buahnya yang perlu dijaga keselamatannya. Masalah yang ketiga adalah dia merasa bertanggung jawab untuk menumpas komplotan rahasia itu yang didalangi oleh Adipati Renggo Seto. Tiga masalah itulah yang membuat dia bingung untuk mengambil keputusan.

"Kalau kau tak bersedia, tak mengapalah...! Tapi mungkin kau takkan pernah mendengar namaku lagi, karena setiap anggota komplotan rahasia yang berkhianat, hukumannya adalah kematian!" tiba-tiba gadis kerudung biru berkata memecah keheningan. Puja Sangara terkejut melihat dara itu balikkan tubuh dan berkelebat lari.

"Hai...!? tunggu!" teriak Puja Sangara. Cepat dia mengejar. Namun si dara cantik tak hentikan gerakan larinya. Bahkan mempercepat gerakan lari menuju ke atas tebing terjal.

"Nona Kerudung Biru...! tunggu dulu. Aku akan beri penjelasan!" teriak lagi pemuda ini seraya menambah kecepatan larinya. Namun tetap gadis itu tak menoleh. Dia terus berlari cepat dengan terisak-isak. Beberapa saat saja si dara cantik itu telah tiba diujung tebing. Disana dia berhenti. Matanya menatap nanar ke bawah tebing curam.

"Hiduppun sudah tak berguna..." menggumam suara gadis ini.

"Nona...? Apa yang kau mau lakukan?" teriak Puja Sangara dengan wajah pias. Jantungnya berdetak cepat. hatinya membatin. "Jangan-jangan dia mau bunuh diri..."

Tak ayal pemuda ini bergegas mendaki tebing. "Aku harus mencegahnya!" sentaknya. Akan tetapi terlambat. Baru saja dia menyembul di puncak tebing, dilihatnya dara Kerudung Biru baru saja melompat terjun.

"Nona...!? Jangaaaan..." teriakan Puja Sangara melengking berkumandang. Sekejap dia telah enjot tubuh dengan kekuatan penuh. Ketika Puja Sangara jejakkan kaki dibibir tebing, kedatangannya sudah kasip. Suara jeritan gadis Kerudung Biru baru saja lenyap bersamaan dengan lenyapnya tubuh wanita itu ke bawah tebing yang masih tertutup kabut.

Tertegunlah pemuda ini hingga beberapa saat, memandangi ke bawah tebing dengan mata membelalak. Sekujur tubuhnya terasa lunglai. "Ah, mengapa kau berbuat senekad itu, Kerudung Biru..." mengguman Puja Sangara. Diam-diam dia amat menyesali tindakan yang diambil si dara cantik itu.

"Begitu kerasnya peraturan yang dibuat oleh komplotan rahasia itu, hingga si Kerudung Biru harus korbankan jiwanya karena mau melepaskan diri dari keterikatannya pada komplotan tersebut!" berkata dalam hati pemuda ini. Ada rasa berdosa dihatinya pada sang gadis. Membuat lama dia tercenung dipuncak tebing itu. Namun selang tak lama dia segera menuruni tebing terjal itu.

"Aku harus melihat keadaan ayah untuk mengetahui nasibnya!" desisnya ketika sejenak merandek. Demikianlah. Puja Sangara segera mengambil keputusan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Semakin menggebu niatnya untuk menumpas habis komplotan rahasia itu, walaupun di harus korbankan nyawa untuk itu. Pengkhianatan Adipati Renggo Seto semakin nyata dengan keterangan yang diperoleh dari gadis Kerudung Biru.

* * * * * * *

DELAPAN

SESOSOK tubuh berkelebat menyambar tubuh yang meluncur deras ke dasar jurang itu sebelum batu-batu runcing menghabisi nyawanya. Dan sekejap saja telah berada dalam pondongannya.

"Aiiiii! nyaris saja kau menemui ajal, nona cantik! mengapa kau berbuat senekad itu?" terdengar suara menggumam sosok tubuh itu. Tak lama dia telah tersembul dari asap kabut yang menyelimuti sekitar dasar jurang. Ternyata sosok tubuh itu tak lain dari Roro Centil. Gadis Kerudung Biru itu tertelungkup menyampir dipundaknya.

Nasib baik agaknya masih mengikuti diri si dara cantik Kerudung Biru yang berbuat nekad membunuh diri dengan terjun ke bawah tebing, karena Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan telah menyelamatkan jiwanya. Bagaimana sampai Roro berada di tempat itu?

Ternyata Roro yang malam itu melacak jejak Puja Sangara, telah melihat dua sosok tubuh yang berkelebatan berlari-lari ke arah timur. Tentu saja Roro segera mengikuti mereka. Dengan Aji Halimunan yang dimiliki Roro kedua orang yang dikuntit itu tidak mengetahui. Ternyata kedua orang itu tak lain dari Puja Sangara dan si gadis Kerudung Biru.

Demikianlah, hingga Roro berhasil mengutip pembicaraan mereka, hingga ketika terjadinya ke peristiwa bunuh diri si dara cantik Kerudung Biru tidaklah luput dari mata Roro. Disaat dara itu terjunkan diri, Roro segera bertindak cepat untuk menyelamatkan nyawa si gadis. Tampak Roro merandek sejenak untuk melakukan tindakan apa yang akan dilakukan. Tiba-tiba dia tersenyum. Dan...

Whusssssss!

Tubuh Roro bagaikan angin lewat meluncur kembali ke puncak tebing. Gerakan melompat bagai terbang yang dimilikinya adalah warisan gurunya yang terakhir yaitu si Manusia Gurun Pasir. Puja Sangara yang tengah bergegas menuruni puncak tebing baru saja jejakkan kaki didataran rendah. Segera dia tentukan arah yang bakal di tempuh. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa berkakakan di iringi dengan tersembulnya dua sosok tubuh.

Membelalak mata pemuda ini melihat siapa dihadapannya. Ternyata tak lain dari Si Ninja Edan Lengan Tunggal dan si Wanita cabul Ninja Wadon. Melihat adanya wanita itu yang bersama Ninja Edan Lengan Tunggal, tahulah Puja Sangara kalau si wanita itu telah ditolong oleh si Ketua komplotan rahasia ini yang membebaskannya dari totokan si gadis Kerudung Biru.

Perbuatan si gadis Kerudung Biru ketika menyelamatkan dia dari perbuatan kotor Ninja Wadon memang dilakukan secara sembunyi. Yaitu di saat ruangan menjadi gelap, dia menyelinap masuk, lalu sembunyi disudut ruangan dengan menempelkan tubuhnya ditembok sambil menahan napas.

Ninja Wadon yang berjaga-jaga menunggu datangnya serangan, tak kunjung datang. Bahkan dengan berteriak-teriak dia membentak si manusia yang telah menjebolkan pintu kamar kuil itu, namun tak ada jawaban. Disaat itulah dia berindap-indap mendekati Puja Sangara. Setelah membisiki ke telinga pemuda itu, segera dia melepaskan totokan ditubuh Puja Sangara. kemudian menanti di pintu kamar yang gelap gulita. Menunggu kedatangan Ninja Wadon yang memeriksa sekitar kuil.

Ketika wanita cabul itu melangkah masuk ke kamar, disaat itulah si gadis Kerudung Biru menotoknya. Lalu berkelebat keluar. Tak lama Puja Sangara telah berada didekat tubuh Ninja Wadon yang berjingkat-jingkat mendekati. Lalu ucapkan kata-kata "Ninja Wadon! kini giliran aku yang menotokmu!"

Hal itu direncanakan si gadis Kerudung Biru adalah agar tak diketahui perbuatannya menggagalkan maksud bejad wanita yang menjadi saudara kembarnya. Saat itu Ninja Edan Lengan Tunggal telah membentak.

"Huahaha... Puja Sangara! Anak pemberontak! Kau takkan dapat loloskan diri dari kematian!"

"Hm, serahkan dia padaku, Ketua! Aku yang akan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!" berkata Ninja Wadon seraya melangkah lebih dekat kehadapan pemuda ini.

Matanya liar dan tampak berapi-api memandang Puja Sangara. Tentu saja gadis ini amat mendongkol karena nafsunya tak tersalurkan. Bahkan dia berhasil dipecundangi Puja Sangara. Kalau tak muncul sang Ketua alias si Ninja Edan Lengan Tunggal, tak nantinya dia bisa terlepas dari totokan itu.

"Heh! Penipu busuk! Kiranya kau telah bekerja sama dengan si Kerudung Biru? Bagus! dia lebih baik mampus membunuh diri dari pada kami yang harus membunuh! Itu lebih baik dilakukan bagi manusia yang mau mengkhianati dan keluar dari komplotan rahasia kami!" berkata lagi Ninja Wadon.

"Kini terimalah kematianmu, menyusul ayahmu si Tumenggung tua bangka Kaniraga!" bentak Ninja Wadon. Seraya membentak dia keluarkan senjatanya dua buah gelang yang separuh bergerigi. Lalu dipasang pada tekukan keempat jarinya. Dengan sepasang senjata inilah dia menerjang Puja Sangara.

Bukan serangkaian kilat yang datang mendadak dan nyaris menggores kulit lehernya membuat dia terkejut. Akan tetapi kata-kata wanita itulah yang membuatnya lebih terperanjat. "Hah!? Ayah telah tewas?" sentaknya dalam hati. Dua kali bersalto dia sudah melompat agak jauh. "Ninja Edan Lengan Tunggal! betulkah ucapan perempuan anak buahmu ini?" teriak Puja Sangara membentak dengan suara menggetar.

"Hahaha... apa susahnya memindahkan nyawa Tumenggung tak berguna itu ke alam Akhirat?" ujar Ninja Edan Lengan Tunggal.

Membludak kemarahan Puja Sangara seketika itu. Disertai teriakan histeris seakan halilintar membelah bumi, dia melompat menerjang Ninja Edan Lengan Tunggal. "Iblis keparat! aku akan adu jiwa denganmu!"

Puja Sangara masih sempat membawa golok tipisnya yang ditemukan di sudut pembaringan di dalam kuil. Dia menerjang dengan senjata itu. Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam pertarungan seru. Akan tetapi Ninja Edan cuma menghindari serangan saja dengan sebentar-sebentar tertawa. Agaknya serangan-serangan gencar Puja Sangara dianggap tak berarti bahkan dengan mudah dihindarkannya.

Lagi-lagi Ninja Wadon melompat seraya berteriak. "Ketua! sudahlah! berikan padaku. Biar aku yang mengurusi!"

"Perempuan bejat! Kau akan kubunuh terlebih dulu!" bentak Puja Sangara dengan menggerung. Dan...

Whuk! Whukk!

Trang! Trang!

Dua terjangan menabas telah ditangkis oleh si Ninja Wadon dengan sepasang gelang besinya. Hingga menimbulkan suara nyaring yang memercikkan lelatu api. Tiba-tiba Puja Sangara melompat mundur. Kakinya terpacak ditanah dengan kuda-kuda yang kokoh. Sepasang lengannya membuat gerakan memutar. Nampak bergetaran, dan menimbulkan uap putih.

Tak dapat disangsikan lagi kalau dia tengah mengeluarkan ilmu tenaga dalam pada sepasang lengan, serta siap menerjang dengan jurus-jurus lain dari pada yang lain. Tampak bibir pemuda ini berkemak-kemik membaca mantera. Sementara ingatan pemuda ini terpancang pada gurunya Panembahan Gumintar di puncak gunung Cula Badak.

Tampak dimata batin Puja Sangara pertapa tua itu berkata. "Jangan kau pergunakan jurus ilmu dan ajian Paweling Sukma bila kau dalam keadaan marah!"

Akan tetapi tampaknya Puja Sangara sudah tak dapat membendung kemarahannya mengingat kematian sang ayah yang amat dihormati dan dicintai tewas di tangan si Ninja Edan Lengan Tunggal. Dia merasa amat terhina karena lawannya si Ketua komplotan rahasia melayani serangannya sambil tertawa mengejek dan meremehkan. Dia merasa malu pada dirinya sendiri karena dapat dijatuhkan oleh si Ninja Wadon, yang nyaris membuat dia melakukan perbuatan hina!

Ketika berguru pada Panembahan Gumintar dia mempelajari satu ilmu yang lain dari pada yang lain. inilah dia ilmu itu, yaitu sebuah ilmu kebatinan. Ilmu yang bisa merubah manusia berganti ujud, serta menjadi sakti mandraguna dalam sekejap. Tapi ilmu itu bisa menjadikan si empunya ilmu akan menjadi gila alias tidak waras otaknya kalau digunakan dalam keadaan marah. Dan Puja Sangara telah melanggarnya!

Ninja Edan Lengan Tunggal membelalakkan matanya ketika melihat sosok tubuh Puja Sangara berubah menjadi sesosok makhluk berbulu mirip seekor gorilah yang menyeramkan. Matanya nyalang merah mengerikan. Wajah Ninja Edan Lengan Tunggal tiba-tiba berubah pucat. Kakinya melangkah mundur dua tindak.

Kejadian itu ternyata tak luput dari mata sesosok tubuh di atas tebing yang agak rendah. Dialah Roro Centil yang mengintai dari atas pohon. Sebenarnya sejak tadi Roro sudah mau turun tangan membantu pemuda itu. Akan tetapi entah mengapa Roro ingin tahu kehebatan Puja Sangara, hingga dia urungkan niat.

Roro yang tahu dari pembicaraan siapa adanya kedua orang itu, semakin penasaran untuk mengetahui siapa sebenarnya si Ninja Edan Lengan Tunggal itu. Dugaannya adalah Joko Sangit. Bukankah Joko Sangitpun seorang Ninja yang lengannya buntung? Bahkan beberapa bulan yang lalu dia pernah menjumpai Joko Sangit, yang menamakan dirinya si Brewok Lengan Tunggal.

Akan tetapi lagi-lagi dia urungkan niat, karena melihat kejadian aneh pada tubuh Puja Sangara yang berubah jadi mengerikan. "Hah? Ilmu apakah?" berkata Roro dalam hati. "Apakah Puja Sangara berguru pada seorang golongan hitam?" pikir Roro dalam benak.

Bhussss...! Cepat sekali Ninja Edan Lengan tunggal gunakan ilmu anehnya untuk menghilang dari tempat itu. Dengan membanting sebuah benda yang menimbulkan asap hitam bergulung, tubuh Ninja Edan Lengan Tunggal lenyap terbungkus asap.

Melihat demikian, Ninja Wadon yang sudah berniat mau membunuh Puja Sangara dengan kedua tangannya sendiri, jadi urungkan niat. Seketika tubuhnya menggigit gemetar. Begitulah takutnya dia melihat perubahan tubuh pemuda itu. "Celaka! Lebih baik aku melarikan diri!" berkata Ninja Wadon dalam hati. Berpikir demikian, Ninja Wadon segera balikkan tubuh untuk melompat pergi. Akan tetapi tiba-tiba lengan si makhluk menyeramkan itu telah terulur panjang dan menyambar pinggang.

"Aaah?" tersentak kaget wanita ini. Serta merta lengannya menghantam lengan berbulu itu. Akan tetapi terkejut dia karena seperti menghantam kapas saja. Hantaman itu tak berarti. Bahkan kejap selanjutnya tubuhnya telah ditarik. Karena lengan itu kembali meluncur memendek. Dan... Sekejap si Ninja Wadon telah berada dalam Pelukan makhluk menyeramkan itu.

* * * * * * *

SEMBILAN

RORO CENTIL baru saja mau bertindak mengejar si Ninja Edan Lengan Tunggal yang menghilang dibalik asap, tiba-tiba telah urungkan lagi niatnya karena mendengar suara jeritan menyayat hati dari si Ninja Wadon. Apa yang dilihatnya membuat Roro membelalakkan mata. Karena diiringi berderaknya suara tulang yang remuk, tampak tubuh wanita itu terkulai dalam pelukan si makhluk berbulu yang menyeramkan itu.

Bruk! Dengan keluarkan suara menggeram tubuh wanita itu dibantingkan ke tanah. Selanjutnya dengan buas makhluk itu menginjak-injak tubuh wanita cabul itu hingga remuk. Tampaknya makhluk itu puas sudah dengan apa yang telah dilakukannya. Dia berdiri memandangi tubuh lawannya. Lalu tiba-tiba berteriak menggeram dengan mata jelalatan mencari si Ninja Edan Lengan Tunggal yang telah tak kelihatan lagi batang hidungnya.

Selang sesaat dia terkulai lesu. Tubuh makhluk itu mendeprok di tanah. Tubuhnya terlihat bergetar hebat. Dan selang tak lama berangsur-angsur sosok tubuh yang menyeramkan itupun berubah lagi menjadi Puja Sangara. Saat itulah Roro Centil melompat menghampiri. Tersentak Puja Sangara melihat Roro yang memandangnya tak berkedip.

"Ssi...siapa kau?" bentak Puja Sangara. "Apakah kau kawannya si wanita keparat ini ataukah kau anak buahnya si Ninja Edan Lengan Tunggal?"

Roro tampilkan senyuman seraya berkata. "Aku bukan siapa-siapa dan tak ada hubungannya dengan kedua orang yang kau maksudkan itu. Apakah anda yang bernama Puja Sangara?" balas bertanya Roro setelah menjawab pertanyaan pemuda itu.

"Ada maksud apa kau mencariku?" tanya ketus laki-laki muda ini.

"Aku Roro Centil! aku pernah menolongmu ketika kau bertarung dengan kawanan penjahat dihutan Kaliki! Tujuanku menemuimu adalah membawa amanat dari ayahmu Tumenggung Kaniraga. Beliau memang benar telah tewas di tangan si Ninja Edan Lengan Tunggal! Dan wasiat itu adalah menyuruhku membantu perjuangan mu, dalam menggulung komplotan rahasia yang diketuai si Ninja Edan Lengan Tunggal!" tutur Roro.

Puja Sangara menyimak kata-kata Roro. Akan tetapi tampaknya dia amat kesulitan untuk memahami. Dia berusaha mengkonsentrasikan ingatan, tapi selalu saja buyar. Dalam keadaan demikian Puja Sangara hanya mampu tertawa dan menjawab dengan berteriak keras.

"Ayahku sudah tewas! Pembunuhnya adalah si Ninja Edan Lengan Tunggal! Tak seorangpun kuizinkan mencampuri urusanku! Hahaha... haha... aku tak kenal Roro Centil! Dan aku tak perlu bantuan siapa-siapa! Hahaha... haha... tunggulah kau Ninja Edan Lengan Tunggal. Kemanapun kau pergi takkan luput dari tanganku!"

Seusai berkata Puja Sangara tertawa berkakakan. Dan tiba-tiba berkelebat melompat, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dari kejauhan masih terdengar suaranya berteriak-teriak.

"Adipati Rekso Seto! pengkhianat Kerajaan! Kau yang akan terlebih dulu kuhancurkan! Karena kaulah dalangnya kericuhan ini. Hahaha... dan kau Carik Kartomarmo! kau si pelempar batu sembunyi tangan yang bekerja sama dengan Adipati keparat itu. Kaupun takkan luput dari kematian! hahaha... hahaha..."

Terhenyak Roro Centil melihat perubahan sikap Puja Sangara. Sadarlah Roro kalau pemuda itu telah berubah tidak waras otaknya. Dalam ketercenungannya mendengar kata-kata Puja Sangara barusan, tiba-tiba Roro tersadar ketika mendengar suara keluhan dari atas tebing. Sekejap dia telah melompat ke atas. Dan didapati dara Kerudung Biru telah sadarkan diri dari pingsannya.

Gadis Kerudung Biru terpaku memandang sosok tubuh si Ninja Wadon saudara kembarnya yang sudah tak berbentuk lagi. Pelahan Roro bertindak menghampiri, lalu bimbing lengannya untuk menjauh.

"Sudahlah! Tuhan sudah menggariskan kematiannya sedemikian rupa. Kau tak perlu mendendam pada Puja Sangara. Bahkan Sebaliknya kau harus mengasihaninya, karena saat ini dia dalam keadaan tidak waras!" ujar Roro.

"Tidak! Aku takkan mendendam padanya, kakak pendekar Roro. Kematian saudara kembarku memang sudah layak. Dia seorang yang kejam. Banyak perbuatan terkutuk yang telah dia lakukan. Dan bila setiap laki-laki telah puas menuruti hawa napsunya tak segan-segan dia membunuhnya. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih atas pertolongan anda, kakak Pendekar Roro. Sungguh girang sekali aku bisa berjumpa dengan anda. Nama besarmu sudah kudengar sejak lama. Mengapa kau sudi menolongku, kakak Roro? Bukankah aku termasuk anggota komplotan rahasia yang menjadi musuh setiap kaum pendekar?" berkata si kerudung Biru.

Roro Centil tersenyum dan tertawa kecil. "Hihihi... siapa yang tak tahu pribadimu sebenarnya? Bukankah kau telah mengatakan bahwa kau membenci komplotan itu. Dan kau akan keluar dari keanggotaannya? Kesadaranmu itulah yang membuat aku menolongmu. Di samping itu aku perlu keterangan lebih terperinci mengenai komplotan itu. Kau tak boleh mati. Bahkan aku berjanji akan melindungimu dari kejaran komplotan rahasia itu yang pasti menginginkan nyawa mu!" ujar Roro dengan suara tegas.

Terpaku si Kerudung Biru menatap pada Roro. Sepasang mata yang indah itupun kembali berkacakaca. Dan tiba-tiba dia jatuhkan dirinya berlutut di hadapan wanita Pendekar Pantai Selatan. "Budi baikmu terlalu besar, kakak Pendekar. Ah, entah bagaimana aku harus membalasnya?"

"Aiiii....! Sudahlah! hayo kau bangun adik manis!" berkata Roro. Lengannya terulur menempel ke pundak si gadis Kerudung Biru. Gadis ini tiba-tiba rasakan seperti ada tenaga yang amat luar biasa yang mengangkat tubuhnya hingga dia kembali berdiri.

"Baiknya jenazah saudara kembar mu itu dikebumikan. Secepatnya kita pergi dari sini!" berkata Roro seraya menyuruti si Kerudung Biru menyingkir ke sisi.

Pendekar Wanita Pantai Selatan ini tumpukan telapak tangannya pada bawah telapak tangan kanannya yang berdiri. Tampak telapak tangan itu kepulkan uap putih. Mata Roro menatap pada jenazah si Ninja Wadon. Tiba-tiba dia berseru keras seraya arahkan telapak tangannya pada tanah di sebelah depan jenazah. Selarik sinar perak meluncur. Dan...

Bhlarrrr...!

Tanah menyemburat membuat lubang besar didekat jenazah si Ninja Wadonpun telah lenyap teruruk tanah. Dengan cara itu Roro telah mengebumikan sang jenazah tanpa harus bersusah payah menggali tanah. Dara Kerudung Biru memuji kagum. Bibirnya keluarkan desisan lirih.

"Ah, jurus pukulan yang hebat!" Namun dia tak dapat berlama-lama berdiri di tempat itu, karena lengan Roro telah menyambarnya untuk dibawa berkelebat, seraya berkata.

"Hayo, adik manis, kita pergi dari sini!"

Tentu saja si Kerudung Biru tak dapat tidak harus mengikuti larinya si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Hingga dalam beberapa kejap saja kedua dara cantik itu telah lenyap dari tempat itu...

SEPULUH

Dari si dara Kerudung Biru itulah Roro berhasil mengorek keterangan mengenai komplotan rahasia yang didalangi oleh Adipati Renggo Seto itu. Ternyata bukan saja Adipati itu bekerja sama dengan kaum penjahat, tapi juga mendirikan markas yang berada dibukit Nala Gareng. Kelicikan komplotan rahasia yang didalangi Adipati Renggo Seto adalah dengan mengadakan persekongkolan dengan Carik Kartomarmo yang berhubungan dengan kaum penjahat.

Dimana telah direncanakan satu kejahatan atau perampokan yang dilakukan oleh orang-orang carik Kartomarmo sendiri. Kemudian diadakan laporan yang seolah didengar oleh Adipati Rekso Seto. Maka segera lasykar pasukan Kadipaten mengejar ke sarang penjahat untuk menumpas mereka. Hasilnya? Komplotan penjahat seolah telah dapat digulung oleh pasukan prajurit Kadipaten. Tentu saja tak ada yang tahu seluk beluknya, kecuali "orang-orang sendiri" dari komplotan terselubung itu.

Raja hanya menerima laporan yang menggembirakan dari Adipati Rekso Seto. Tampaknya dimata Raja, keadaan wilayah pemerintahan yang dipasrahkan dalam pembinaan Adipati Rekso Seto aman sentosa. Padahal di dalamnya penuh kemelut. Penculikan gadis hampir sering terjadi dua tiga kali dalam satu bulan. Perampokan, pemerasan, pemerkosaan.

Bahkan yang membuat Roro menjadi gregetan adalah Adipati itu membangun sebuah istana kecil yang di dalamnya ditempatkan perempuan-perempuan cantik hasil penculikan. Pada tiap kesempatan Adipati Rekso Seto tentu menyinggahi "Istana" itu untuk memuaskan hasratnya.

Tempat itu dijaga ketat, dan mempunyai tempat yang tersembunyi hingga sukarlah orang menemukan. Disamping di tempat itu banyak berkumpul jago-jago silat bayaran yang di bawah perintah Carik Kartomarmo.

Suara tertawa cekikikan terdengar di satu ruangan dalam "Istana" rahasia itu yang dibarengi dengan suara laki-laki. Dalam ruang itu ternyata tampak Carik Kartomarmo dalam keadaan terlentang, dipembaringan berseprei bersih dikelilingi tiga orang wanita cantik yang memijiti tubuhnya dengan sebentar-sebentar tertawa mengikik.

"Berapa kali dalam sepekan Adipati Rekso Seto datang kemari?" tanya Cari Kartomarmo sambil meram-melek merasakan kenikmatan.

"Tidak tentu, Den...! Kadang-kadang sepekan sekali, tapi terkadang satu pekan sampai tiga empat kali datang!" sahut wanita yang memijiti bahunya.

Kartomarmo manggut-manggut. Sementara diam-diam dia bersyukur dalam hati karena terhindar dari bahaya. Dalam terlena itu dia terbayang pada kejadian dua hari yang lalu. Kalau saja dia datang ke Puri Kuno pada malam itu, tentu dia tak dapat berleha-leha seperti sekarang ini. Karena belasan anak buah Puja Sangara telah menantinya.

Rencana untuk membekuk Carik Kartomarmo gagal, karena diketemukannya mayat Sento yang dibunuh Gudri oleh tiga orang jago silat bayaran Kartomarmo. Ketiga orang laki-laki yang menamakan dirinya si Tiga Ular Weling segera melaporkan pada Carik Kartomarmo. Untung saja dia yang sudah mau berangkat pergi ke Puri Kuno, segera gagalkan maksudnya.

Sebagai gantinya dia mengutus si Tiga Ular Weling untuk melihat ada apa sebenarnya di Puri Kuno. Dia curiga kalau-kalau itu rencana Puja Sangara yang diketahui telah bergabung dengan belasan orang-orang Adipati Rekso Seto dan sudah diketahuinya menjadi duri penghalang yang harus dilenyapkan!

Akibatnya anak-anak buah Puja Sengara habis menemui ajal dibantai si Tiga Ular Weling tanpa ampun. Ketiga laki-laki jago silat bayaran itu bukanlah tandingan mereka. Carik Kartomarmo secepatnya segera terima laporan dari si Tiga Ular Weling tentang terbasminya anak buah Puja Sangara.

Selesai memberi imbalan, Carik Kartomarmo segera menghubungi Adipati Rekso Seto, lalu mengatur rencana selanjutnya, karena keadaan boleh dikatakan amat gawat. Surat Adipati bisa dijadikan barang bukti pengkhianatannya selama ini yang mencemarkan nama baik Kerajaan. Oleh sebab itu tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Puja Sangara harus dibunuh secepatnya dan Tumenggung Kaniraga harus segera disingkirkan!

Demikianlah hingga terbunuhnya Tumenggung Kaniraga oleh si Ninja Edan Lengan Tunggal, sehabis bercakap-cakap dengan Adipati Rekso Seto yang sengaja diundang oleh Adipati busuk itu untuk melakukan rencana kejinya. Namun sayang, Puja Sangara dapat meloloskan diri. Yang kemudian dikejar oleh Ninja Wadon dan Ninja Edan Lengan Tunggal, seperti diceritakan dibagian depan.

Waktu itu penjagaan memang segera diperketat. Orang-orang Komplotan Rahasia disebar disetiap tempat. Bahkan kepergian Carik Kartomarmo ke tempat rahasia itu untuk bersantai dengan ditemani tiga wanita-wanita cantik itu, gedung kediamannya telah dijaga ketat oleh orang-orangnya.

Siang itu cukup terik. Panasnya menyengat kulit. Tapi dalam ruangan kamar itu Carik Kartomarmo tak merasakannya. Dua orang wanita itu telah menyingkir, ketika sang Carik itu segera merengkuh tubuh mulus wanita yang satu ini. Wanita ini memang mempunyai bentuk tubuh yang amat mempesona, selain juga berwajah cantik.

Terengah-engah si dara cantik ketika si tua bangka ini dengan gejolak nafsu yang sudah tak terbendung. Lengannya mencengkeram dada wanita itu hingga si wanita menyeringai. Kedua tubuh itu saling bergelinjangan berbaur dengan napas sang Carik yang memburu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar telah diketuk orang.

"Siapa?" teriak Carik Kartomarmo dengan wajah berubah. Tak biasanya ada yang berani mengganggu dia bila sedang berada dalam kamar.

"Kami, Den Bei..! Menyahut suara diluar.

"Kami siapa?!" bentak Kartomarmo dengan bergegas mengenakan pakaian. Perempuan itu didorong seraya diberi isyarat untuk lekas menyingkir. Bergegas wanita itu menyambar pakaiannya, langsung menghambur keluar dari pintu rahasia.

"Kami, Tiga Ular Weling!"

Sahutan itu agak melegakan hatinya. Tapi membuat dia terkejut, karena kedatangan si Tiga Ular Weling yang mendadak itu tentu membawa berita atau laporan. Sementara dia merasa hatinya tak enak. Tak lama lengan Carik Kartomarmo gerakkan sebuah benda dikolong tempat tidur. Dan... Klik! Kunci pintu kamar itu telah membuka.

"Masuklah!" berkata Kartomarmo. Dia telah siap menyambut dengan pakaian yang telah dirapikan.

Tampak pintu bergerak didorong dari luar. Dan tiga sosok tubuh melangkah masuk. Ternyata benar si Tiga Ular Weling adanya. Wajah ketiga laki-laki jago silat bayaran yang biasanya bertampang seram itu, kali ini unjukkan wajah pucat bagai kertas.

"Cepat laporkan apa yang kalian mau laporkan? Mengapa cuma berdiri membisu?" membentak Carik Kartomarmo tak sabar menunggu kata-kata si Tiga Ular Weling.

Akan tetapi betapa terperanjatnya sang Carik ini ketika tahu-tahu ketiga sosok tubuh itu berjatuhan ambruk ke lantai. Membuat dia melompat kaget. Ketika memeriksa ternyata si Tiga Ular Weling itu telah tewas. Dari mulut, mata, telinga dan hidung mereka semburkan darah berwarna kuning.

"Ah!? Racun Kuning..!?" tersentak kaget Carik Kartomarmo. Seketika wajahnya berubah pucat. Kartomarmo yang telah cukup berpengalaman segera mengetahui kalau si Tiga Ular Weling telah terkena satu pukulan ganas yang mengandung racun kuning. Jelas terlihat dari warna darah ketiga orang jagoan andalannya itu. Yang membuat wajahnya berubah pucat adalah si pemilik pukulan Racun Kuning adalah orang yang paling ditakutinya.

"Ahh... apakah kakek Pamoksa telah muncul dari Lubang Kuburnya? Bagaimana dia dapat terlepas dari penjara bawah tanah itu?" desisnya dengan tubuh menggeletar. Pemilik pukulan Racun Kuning itu siapa lagi kalau bukan Pamoksa alias si Iblis Racun Kuning!

SEBELAS

Memikir demikian, Carik Kartomarmo sudah mau menghambur untuk melarikan diri masuk pintu rahasia. Akan tetapi telah terdengar suara tertawa mengekeh serak dan berat, diiringi munculnya di depan pintu sesosok tubuh kurus kering bagai jerangkong. Pakaiannya sudah compang camping tak keruan. Kakek ini berambut putih yang gondrong sebatas bahu tak terawat. Bahkan bau tubuhnya santar menusuk hidung.

“Hehehehe... Heheh... Lindu Songo! Kau mau lari kemana? Bila kau kabur lewat pintu rahasia, disana telah menunggu seorang muridku yang telah siap mengirim nyawamu ke liang akhirat. Akan tetapi bila kau tak lari, toh kau akan bernasib sama! Mungkin kau tak begitu cepat mati. Karena aku akan jebloskan kau dalam penjara kuburan itu menjadi pengganti ku!" berkata Pamoksa. Lalu tertawa berkakakan terkekeh-kekeh.

"Pa... Pamoksa? Bagaimana kau masih bisa hidup dan keluar dari penjara itu setelah lewat 10 tahun?" berkata Kartomarmo dengan suara datar. Dia telah bersikap merubah kepucatan wajahnya dengan sikap biasa. Karena Carik Kartomarmo yang nama sebenarnya adalah Lindu Songo itu adalah tokoh golongan hitam yang punya banyak pengalaman. Segera dia menyadari. Rasa takut akan membuat akal orang menjadi buntu. Sedangkan ketenangan akan menguntungkan, karena akal dapat berjalan baik!

Pertanyaan ini membuat Pamoksa kembali terkekeh. Lalu menjawab dengan mendengus di hidung. "Heh! Sudah beberapa bulan yang lewat aku lolos dari penjara keparat itu. Bahkan kalau aku mau sudah sejak tiga tahun yang lalu aku tinggalkan penjara bawah tanah itu untuk ku segera mencarimu dan membunuh mu! Tapi aku harus menamatkan ilmu-ilmuku. Kini aku benar-benar telah tinggalkan penjara keparat itu untuk selamanya, karena sudah waktunya aku membunuhmu!"

Akan tetapi kata-kata Pamoksa tak membuat wajah Kartomarmo berubah. Walau sebenarnya dia amat terkejut luar biasa. Kakek bernama Pamoksa itu adalah paman gurunya. Seorang yang berilmu tinggi. Berwatak brangasan dan telengas. Nama Kartomarmo sendiri sebenarnya Lindu Songo. Lindu Songo tak dapat dikatakan seorang yang berwatak baik.

Karena dia seorang yang amat doyan dengan wanita cantik. Hingga anak gadis gurunya sendiri "dimakan"nya juga. Hingga dia harus berurusan dengan gurunya. Bahkan dengan akal licik terpaksa dia membunuh sang guru yang telah melabraknya, karena gusar anak gadisnya dikerjai si murid gila ini.

Lindu Songo selanjutnya berpetualang menjadi "pendekar" pembela si lemah menindas si kuat. Tapi tujuannya adalah untuk mendapatkan kesenangan. Kalau tak harta benda tentulah wanita cantik yang diincarnya. Perbuatannya amat licik, yang dapat diumpamakan sebagai Musang berbulu Ayam.

Lindu Songo teringat kalau dia punya seorang guru bernama Pamoksa. Akal liciknya kembali timbul untuk memperdaya sang paman guru. Dia mendatangi tempat kediaman Pamoksa, lalu menceritakan tentang tewasnya Ki Bergola (sang guru) dengan dikarang jalan cerita palsu. Dikatakan bahwa si pelakunya adalah adik Adipati Manyar Dewa yang pada waktu itu kerajaan masih diperintah oleh Prabu Candra Bayu. Kerajaan yang sekarang diperintah oleh Prabu Sasra Bheswara.

Akibatnya Pamoksa mengamuk digedung Kedipatian. Menuntut Adipati Manyar Dewa untuk menyerahkan adiknya, dan bertanggung jawab atas perbuatan keji dan amoral Manyar Langit. Dalam kerusuhan itu, Lindu Songo mengambil kesempatan menculik anak gadis Adipati Manyar Dewa. Setelah puas mereguk madusari, anak Adipati itupun dibunuhnya untuk menutupi kejahatannya.

Pertarungan digedung kedipatian membuat tewasnya Adipati Manyar Dewa, juga adik Adipati itu. Sementara dalam kesempatan dikala terjadi kerusuhan, Lindu Songo tak lewatkan kesempatan untuk merampok harta benda Adipati Manyar Dewa. Sempat-sempatnya pula dia meniduri istri sang Adipati.

Lindu Songo yang berniat mempelajari ilmu pukulan Racun Kuning dari sang paman guru, akhirnya tak kesampaian. Karena Pamoksa telah tertawan oleh tokoh Kerajaan, yaitu Patih Gajah Sora. Ki Patih Gajah Sora berbaik hati tak membunuh Pamoksa, melainkan setelah memunahkan kekuatan Pamoksa hingga menjadi orang tanpa daksa, yang kehilangan tenaga dalam seumur hidupnya. Dia dijebloskan dalam penjara bawah tanah!

Keringat dingin mencucur disekujur tubuh Lindu Songo alias Carik Kartomarmo. Memikir dirinya telah terkurung tak dapat meloloskan diri, tiba-tiba laki-laki tua ini hantamkan telapak tangannya ke langit-langit kamar. Di iringi suara berkerotakan hancurnya langitlangit kamar, tak menunggu waktu lagi tubuh Carik Kartomarmo telah melesat keluar dari jebolan langit-langit kamar itu.

Membaur diantara kepingan genting yang melayang di udara, tampak tubuh Carik Kartomarmo yang dengan gerakan kilat segera totolkan ujung kaki ke arah pecahan genting. Hebat! Mengandalkan kekuatan ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna, secepat kilat Lindu Songo telah melesat bagai anak panah berkelebat ke arah hutan.

Menggembor marah Pamoksa. Tentu saja dia tak mau buruannya kabur menghilang begitu saja dari depan hidungnya. Tubuh kakek ini berkelebat 10 tombak ke udara, dan berkelebat bagaikan bayangan hantu putih mengejar Lindu Songo. Sementara itu diarah lain yaitu tepat disisi mulut hutan, sesosok tubuh berkelebat pula memburu bayangan tubuh Lindu Songo yang melarikan diri.

Beralih sejenak ke lain tempat. Sesosok tubuh berpakaian jubah hitam berdiri tegak di atas tebing, dimana dibawahnya terhampar hutan belantara. Angin pegunungan yang bertiup membuat jubah laki-laki bertopeng ini berkibaran. Begitu pula lengan jubahnya. Jelaslah kalau orang ini tak lain dari si Ninja Edan Lengan Tunggal! Belum lagi sepeminuman teh laki-laki itu berdiri disitu mendadak terdengar suara tertawa merdu merobek keheningan, dan sesosok tubuh muncul di belakang si Ninja Edan Lengan Tunggal.

"Hihihi.....Bagus! Sungguh kebetulan! Hari ini aku bisa berhadapan dengan salah seorang anjingnya Adipati Renggo Seto! Dan manusianya adalah orang yang sungguh tak kusangka dan diluar dugaanku sama sekali. Heh! ... Joko Sangi! Begitukah perbuatan seorang pendekar murid si Pendekar Gentayangan?"

Laki-laki jubah hitam yang kepalanya terbungkus kain hitam ini ternyata masih tetap berdiri tanpa membalikkan tubuh mendengar kata-kata dibelakangnya. Agaknya diapun sudah mengetahui siapa yang datang.

"Balikkan tubuhmu menghadap ke arah ku, Joko Sangit! Buka topengmu! Apakah kau malu? Ataukah mukamu rusak hingga kau terus menutupinya?" berkata wanita dibelakang si Ninja Edan Lengan Tunggal. Akan tetapi laki-laki ini tetap tak menggubrisnya.

Hal itu membuat si wanita jadi mendongkol. Akan tetapi tetap dia menunggu reaksi laki-laki itu. Siapa adanya wanita itu? Ternyata siapa lagi kalau bukan Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Karena si Ninja Edan Lengan Tunggal tetap tak menggubrisnya, Roro mulai kesal dan membanting kaki dengan membentak. Suaranya seperti mau menangis. Dan memang disudut kelopak mata itu telah tersembul setitik air bening.

"Joko Sangit...! Sungguh perbuatanmu membuat aku tak bersimpati terhadapmu. Kau sungguh orang yang tak punya hati! Betapapun besarnya cintaku padamu, namun karena perbuatanmu yang membantu manusia seperti Adipati Reggo Seto membuat hatiku terluka! Baiklah! hari ini kulupakan semua kenangan manis masa lalu! Hari ini semuanya telah menjadi terang. Ternyata kau bukanlah orang yang aku idamkan! Maka hari ini pula aku akan menghentikan petualanganmu!"

Selesai berkata Roro Centil perdengarkan suara melolong panjang yang lebih menyerupai jeritan melengklng. itulah ungkapan hati yang penuh dengan kekecewaan yang diungkapkan Roro dengan jeritan melengking panjang. Dan belum lagi terputus suara jeritan yang menyerupai lengkingan serigala itu, tubuh Roro berkelebat.

Lengannya terangkat menghantam ke arah punggung si Ninja Edan Lengan Tunggal. Selarik cahaya perak berkelebat. Itulah pukulan jarak jauh yang bernama ilmu pukulan Selaksa Petir. Akan tetapi pukulan ganas yang mengerikan itu lewat disamping laki-laki Ninja Edan Lengan Tunggal, sedangkan laki-laki itu masih tetap berdiri tak bergeming. Terdengarlah suara ledakan keras. Belahan pohon disisi tebing dimana laki-laki itu berdiri terbakar hangus.

Sedangkan Roro tampak dengan membanting kaki dan mata merah mau menangis menatap laki-laki itu dengan terpaku. Seandainya dia tak miringkan tangannya dikala menghantam tadi, tak dapat disangsikan lagi tubuh si Ninja Edan Lengan Tunggal akan bernasib sama dengan pohon-pohon itu. Tentu saja dia melengak, karena laki-laki itu tak berupaya mengelakkan diri.

Sesaat suasana kembali hening. Dan dalam keheningan yang mencekam itu, terdengar suara si Ninja Edan Lengan Tunggal yang perdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa tawar yang bernada hambar.

"Hahaha... mengapa kau urungkan niatmu membunuhku, Roro? Bukankah aku telah membuat kau kecewa? Bukankah aku telah menyakitkan hatimu? Bukankah seribu kekecewaan telah kau dapati dari diriku?"

"Joko Sangit! Mengapa kau tak mengelakkan diri? Aku enggan membunuh orang yang tak mau melakukan perlawanan. Hayo, persiapkan dirimu untuk menghadapi aku! Kita bertarung sampai ada yang tewas salah satu diantara kita!" teriak Roro dengan menahan isak.

Akan tetapi Ninja Edan Lengan Tunggal kembali tertawa hambar. "Percuma! Apakah keuntungannya? Toh hanya akan membuat manusia pengacau yang mempitnahku justru bergirang hati!" ujar Ninja Edan Lengan Tunggal.

Terhenyak Roro Centil menatap laki-laki itu dengan terheran. "Siapa orang yang telah mempitnahmu? Dan kejadian apakah sebenarnya dibalik semua ini?" tanya Roro agak lirih.

Namun sebagai jawabannya Ninja Edan Lengan Tunggal perdengarkan suara tertawa gelakgelak. Dan... Bhussss! Tubuhnya lenyap seketika diantara gumpalan asap hitam. Roro terperangah. Dan saat itu terdengar suara kata-kata si Ninja Edan Lengan Tunggal.

"Kelak kau akan mengetahuinya! Datanglah ke lembah padang Alang-alang pada malam purnama hari keempat belas tiga hari lagi...!"

Suara itupun lenyap bersamaan dengan lenyapnya asap hitam yang bergulung-gulung menghalangi pandangan mata Roro Centil. Roro tertegun beberapa saat. Diam-diam dia memuji kehebatan ilmu Ninja laki-laki itu. Setelah menghela napas, tubuh si pendekar wanita itupun berkelebat lenyap dari tempat itu.

* * * * * * *

DUA BELAS

"CARIK KARTOMARMO! Kau tak akan dapat meloloskan diri lagi dari kematianmu!" bentakan menggeledek terdengar. Dan di hadapan Lindu Songo telah berdiri sesosok tubuh yang tak lain dari Puja Sangara. Dialah orang yang sembunyi disisi mulut hutan tadi.

Mendelik mata laki-laki ini. Namun dia telah cabut keris pusakanya dari balik punggung. Tanpa ayal lagi dia telah menerjang diiringi bentakan. "Puja Sangara! kaulah yang segera akan pergi ke alam baka menyusul ayahmu!"

Hebat serangan carik Kartomarmo alias Lindu Songo ini. Serangan keris pusakanya bertubi-tubi mengirim tusukan maut ke arah lawannya. Seolah-olah tubuh Puja Sangara terbungkus oleh sinar hijau yang mengurungnya. Hingga sukar bagi laki-laki itu meloloskan diri.

Namun laki-laki itu dengan tangkas berkelebat kesana-kemari menghindari gencarnya tusukan senjata lawan. Bahkan dengan menggerung keras tubuh Puja Sangara mendadak telah berubah menjadi besar dan dihadapan carik itu bukan lagi Puja Sangara, melainkan seekor makhluk yang mirip gorila yang begitu menyeramkan.

Terkejut Lindu Songo. Namun bibirnya segera berkemak-kemik membaca mantera. Mendadak tubuh laki-laki ini telah berubah menjadi sebentuk asap. Asap itu membumbung lenyap. Tentu saja membuat sang gorila seperti terheran karena kehilangan buruannya. Tiba-tiba terdengar suara bentakan Pamoksa.

"Lindu Songo pengecut!! Tampakkan dirimu!" Kakek itu ternyata telah berada ditempat itu.

Melihat kedatangan Pamoksa, Puja Sangara segera berkata. "Dia sudah kabur, guru! Hehehe... hahaha... dia pintar dan licik. Sedangkan kau dan aku tolol! Hahaha... tolol! Dan yang paling tolol adalah kau si tua bangka! Ilmu-ilmumu tak mampu untuk berbuat apa-apa...!

"Bocah keparat!" bentakan keras Pamoksa seperti menggelarkan tanah. Detik itu juga lengannya bergerak menghantam ke arah Puja Sangara. Sukar untuk diduga kalau kakek itu bertindak demikian.

Tanpa ampun lagi terdengarlah suara berderaknya tulang kepala. Dan detik berikutnya tubuh laki-laki itu roboh ke tanah. Darah memuncrat bercampur otak. Seketika itu juga nyawa Puja Sangara langsung melayang ke alam baka.

Pamoksa menatap tubuh sang muridnya dengan dada turun naik. Jelas kalau kakek ini amat tersinggung mendengar kata-kata sang murid. Agaknya memang sudah hari naas Puja Sangara harus tewas ditangan gurunya sendiri akibat otaknya yang tidak waras.

"Lebih baik kau mati! kukira itu jalan terbaik bagimu bocah! Dari pada kau hidup dengan otak sinting! Salahmu! kau melanggar pantangan mempergunakan ilmu itu!" Setelah berkata demikian, kakek inipun berkelebat pergi dari tempat itu.

* * * * * * *

Kemunculan Pamoksa digedung kadipatian telah membuat gempar para prajurit kedipatian. Tentu saja karena sebelah lengan kakek ini mencekal tengkuk seorang tamtama yang kepalanya telah terkulai karena lehernya patah. Tak seorangpun dari para prajurit yang berani mendekati. Mereka cuma mengurung si kakek menyeramkan ini dari jarak yang agak jauh.

Melihat demikian tiga orang kepala prajurit melompat ke arah Pamoksa. Tiga laki-laki ini langsung mencabut masing-masing senjatanya. Salah seorang membentak keras. "Manusia tua bangka manakah yang berani bikin onar disini?"

"Kakek yang sudah dekat liang kubur! Apakah kau mencari mampus?!" bentak pula seorang dari kepala prajurit itu.

Akan tetapi si kakek cuma mendengus. Lengannya bergerak, dan... Krraak! putuslah buah kepala prajurit yang dicekal tengkuknya itu. Darah memancur deras. Blug! batang tubuh prajurit yang sial itu dilemparkan dihadapan ketiga orang kepala prajurit itu. Sedangkan sebelah lengannya masing mencekal buah kepala prajurit itu yang dicengkeram rambutnya.

Melihat kekejian kakek tua yang entah dari mana munculnya itu dan entah kesalahan apa si prajurit sial penjaga pintu itu hingga menemui ajal ditangan si kakek, ketiga kepala prajurit itu membeliakkan mata. Dan serentak mereka telah menerjang dengan masing-masing senjatanya.

Akan tetapi apa yang terjadi? Sekali si kakek mengibaskan lengannya terdengarlah jeritan-jeritan menyayat hati dibarengi dengan terlemparnya tiga tubuh kepala prajurit itu. Dalam waktu cuma sekejap mata ketiga orang kedipatian itu telah menggeletak tak bernyawa, sementara senjata-senjata mereka terlempar entah kemana.

Puluhan tamtama berteriak kaget. Wajah-wajah mereka menjadi pucat tak berdarah. Mereka mundur beberapa belas langkah. Terkejut Adipati Ronggo Seto melihat siapa yang telah muncul dan membuat kericuhan di gedung Kedipatian. Tersentak dia mengetahui tiga orang kepala prajurit yang kepandaiannya tak dapat dikatakan rendah telah berkaparan tak bernyawa dengan tulang dada remuk.

Akan tetapi Adipati Renggo Seto segera menampakkan senyum menyeringai diwajahnya. Bibirnya mengguman lirih. "Bagus! Untuk mendapatkan ikan besar memang harus mengorbankan ikan-ikan kecil sebagai umpan. Si Pamoksa ini bisa ku peralat untuk menjadi orangku! Hehehe..." Dan tak ayal lagi dia telah melompat keluar dari dalam ruang pendopo.

"Haiih! kiranya kakek Pamoksa! Apakah yang terjadi, sahabat? Kukira telah terjadi kesalahan paham. Kuharap anda dapat memaafkan sikap para tamtamaku yang tak mengadakan penyambutan terhadap anda sobat Pamoksa!" berkata Adipati Rekso Seto dengan menjura. Lalu berpaling pada para prajuritnya.

"Hei! Mengapa kalian bersikap bermusuhan pada sahabat dan orang sendiri? Hayo, lekas kalian singkirkan tiga mayat itu!" teriak Adipati Rekso Seto.

Para prajurit Kedipatian itu tentu saja melengak heran. Namun segera mereka menjalankan perintah. Belasan orang lepaskan senjatanya dan bergerak cepat menggotong mayat-mayat ketiga kepala prajurit itu termasuk batang tubuh tanpa kepala si prajurit sial. Lalu dengan menjura setelah mayat-mayat yang berkaparan itu digotong pergi, Adipati Rekso Seto kembali menjura.

"Maafkan sikap penyambutan kami yang kurang ajar, sahabat Pamoksa. Selamat datang kami ucapkan pada anda, dan ada perihal apakah maksud kedatangan sahabat Pamoksa kemari?" berkata ramah Adipati Rekso Seto.

"Heh? 10 tahun aku dikurung dalam penjara bawah tanah adalah akibat pitnah keji yang dilakukan Lindu Songo dan kau sendiri! Kedatanganku adalah untuk mengambil nyawa mu! karena kau termasuk komplotan manusia pengacau yang harus dilenyapkan!" berkata Pamoksa dengan menggereng dan mata menatap tajam seperti mau menembus jantung sang Adipati.

Tersentak kaget Adipati Ronggo Seto, tapi tak kentara pada raut mukanya. Namun kakinya tak terasa telah menyurut mundur selangkah. "Ah, sabarlah dulu sobat Pamoksa...!" cepat-cepat dia berkata. "Anda jangan salah pengertian. Mengenai perihal peristiwa lalu itu aku tak mencampuri urusan. Semua itu adalah perbuatan Lindu Songo atau Carik Kartomarmo. Kita telah kena pitnah keji, sobat Pamoksa. Kau lihat sendiri keadaanku. Bukankah aku tak semewah Kartomarmo. Dan siapakah sebenarnya Lindu Songo alias Kartomarmo itu kau belum mengetahui. Dialah seorang tokoh hitam yang berasal dari tenggara! Julukan dia sebelum menjadi orang kerajaan dan masih menjadi orang Rimba Hijau adalah si Tangan Besi! Dia telah mengadu-domba kita! Apakah kau tak menyadari?"

Mendengar kata-kata Adipati Renggo Seto, kakek ini tercenung beberapa saat. Hatinya ragu setengah mempercayai kata-kata itu tapi setengahnya tidak. Kebimbangan itu nampak jelas oleh Adipati Renggo Seto. Cepat-cepat dia menyambungnya.

"Aku orang kerajaan yang hanya menjalankan tugas kerajaan dengan jujur. Aku sendiri akan membekuk manusia itu yang telah mencemarkan nama baikku. Kalau kau tak percaya kata-kataku, baiknya berikan waktu buat aku membekuk manusia itu agar mengaku dihadapanmu! Dan kau boleh memenggal batang lehernya setelah kau dengar sendiri pengakuannya!"

Kata-kata Adipati Rekso Seto yang tegas membuat Pamoksa membanting kepala prajurit yang tercekal dilengannya hingga hancur amblas terbenam ditanah.

"Aku sendiri yang akan membekuk dan memotes batang leher manusia keparat itu! Karena ulahnya pula aku telah terlepas tangan membunuh muridku sendiri!" menggembor gusar Pamoksa. Rahangnya menggembung dan urat-urat lehernya bergerak-gerak menahan kemarahan.

"Bagus! Tapi sebaiknya sobat Pamoksa beristirahat dulu ditempat kami. Oh, ya boleh aku tahu siapa gerangan muridmu itu!" tanya Adipati.

"Hm, dia seorang laki-laki muda bernama Puja Sangara. Dari dia pulalah aku banyak mengetahui perihal keadaan dan kejadian di Kota Raja ini!" Menyahut Pamoksa.

Terhenyak Adipati Renggo Seto mengetahui hal itu. Diam-diam hatinya bergirang karena telah lenyap orang yang menjadi penghalang yang bisa merusak namanya. Kematian Puja Sangara adalah satu keuntungan bagi Adipati Rekso Seto, karena dengan demikian sulit mencari saksi perbuatannya bila kelak perihal peristiwa ini diketahui raja.

Adipati ini manggut-manggut dan nampak ikut prihatin dengan musibah yang menimpa Pamoksa. Walau diam-diam hatinya bergidig seram, bagaimana bisa Pamoksa melepaskan diri dan dalam keadaan masih hidup setelah terkurung hampir sepuluh tahun diruang penjara bawah tanah? Bahkan kini muncul dengan ilmu yang sedemikian tinggi.

Dia sendiri bila diuji untuk bertarung melawan tiga pengawal yang telah dibunuh Pamoksa rasanya sukar untuk merobohkannya. Tapi si kakek ini cuma dalam waktu sekejap mata telah membuat nyawa ketiga orang pengawal berkepandaian tinggi bawahannya itu melayang ke akhirat!

Dengan upaya serta bujukan dan penyambutan Adipati Rekso Seto yang ramah tamah, maka luluhlah kemarahan Pamoksa. Kakek ini tak menolak ajakan Adipati Rekso Seto untuk singgah di gedung Kedipatian.

* * * * * * *

MALAM PURNAMA yang dinantikan Roro hampir tiba. Gadis pendekar yang sejak senja tadi duduk termangu di depan pura segera bangkit berdiri. Beberapa kejadian telah diikuti Roro dan diketahui setelah dia berkeliling Kota Raja, yaitu telah digulungnya komplotan rahasia orang-orangnya Adipati Renggo Seto oleh para perwira kerajaan dibawah pimpinan Ki Patih Gajah Sora.

Adapun Adipati Ronggo Seto kedapatan telah tewas dengan batok kepala remuk di pintu pendopo Kedipatian tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Dan lenyapnya Pamoksa yang tak diketahui kemana perginya. Hal itu dilaporkan oleh para tamtama yang mengetahui kakek tua yang menyeramkan itu setelah menjadi tamu Adipati Ronggo Seto digedung Kedipatian.

Dapat diduga si pembunuhnya adalah Pamoksa sendiri! Namun amat disayangkan kakek itu tak unjukkan diri, sedangkan Roro yang mengikuti jalannya penyergapan ke gedung Kedipatian dengan sembunyi-sembunyi mengharapkan pertemuan dengan tokoh aneh itu. Karena ingin mengetahui siapa adanya kakek yang dapat bertahan hidup selama hampir sepuluh tahun di penjara bawah tanah.

Kemelut di kerajaan kecil itu memang belum seluruhnya tuntas. Karena tokoh utama dan beberapa orang yang terlibat dalam peristiwa itu masih belum ditangkap. Terutama Carik Kartomarmo dan si Ninja Edan Lengan Tunggal. Yang membuat penasaran Roro adalah terlibatnya Joko Sangit dalam kemelut itu. Hingga dia harus bersabar untuk menunggu datangnya malam purnama dimana dia telah di undang oleh si Ninja Edan Lengan Tunggal untuk datang ke lembah padang Alang-Alang.

Setelah menghela napas, tampak Roro beranjak menuruni tangga undakan dari batu itu. Pandangannya diarahkan ke langit dengan menengadah. Bibirnya bergerak mengeluarkan suara menggumam. "Sudah tiba waktunya!"

Dan seiring dengan suara bergumam itu, tubuh Roro Centil segera saja berkelebat ke arah depan. Selanjutnya dalam beberapa kejap saja telah lenyap terhalang bukit yang menjulur ke arah hutan.

* * * * * * *

Dua manusia yang serupa baik pakaian maupun perawakannya membuat Roro Centil tertegun memandang. Kedua sosok tubuh itu saling berhadapan dalam jarak antara sembilan atau sepuluh langkah. Keduanya adalah si Ninja Edan Lengan Tunggal yang tak diketahui mana yang asli di mana yang palsu. Angin malam berhembus menerpa rumput ilalang menimbulkan suara berkrosakan. Kedua laki-laki yang sama mengenakan topeng itu masih tetap berdiri tak bergeming.

Cahaya purnama menerangi tempat itu, seperti menjadi saksi akan terjadinya satu pertarungan hebat yang bakal meminta korban jika dan pertumpahan darah Roro pentang mata hampir tak berkedip dari tempat berdirinya di atas batu pada sisi bukit kecil disisi lembah. Tempat yang cukup dekat untuk menyaksikan pertarungan yang sebentar lagi bakal berlangsung.

"Hahaha... apakah kau sudah siap, sobat Ninja Edan Lengan Tunggal?" salah seorang dari kedua "Ninja" itu berkata.

"Hm, Aku sudah siap untuk mengirim nyawamu ke Akhirat, Ninja Palsu!" membentak Ninja yang satu lagi. Suara mereka hampir tak dapat dibedakan karena bernada sama-sama parau.

"Keparat! sebentar lagi segera akan diketahui. Siapa yang tergeletak tak bernyawa itulah yang palsu!" Di iringi kata-kata bentakan itu salah seorang dari kedua Ninja itu telah melompat menerjang. Pedang Samurainya menabas dengan gerakan kilat!

Trang! Trang!

Dua tabasan maut itu terhalang oleh pedang Samurai di tangan lawannya menimbulkan benturan nyaring dan pijaran lelatu api. Keduanya sama tertolak ke belakang. Namun segera mereka telah kembali pasang kuda-kuda dengan kaki terentang kekar dan kuat.

"Bagus! Kaulah yang akan menggeletak tanpa kepala, Ninja sial!" bentak salah satu Ninja.

Dan dua tubuh itu kembali saling terjang! Terjadilah pertarungan sengit dari kedua Ninja itu tanpa dapat dibedakan lagi mana Joko Sangit dan mana lawan. Serangan-serangan mereka kini tidak lagi mengandalkan senjata saja, tapi juga pukulan-pukulan tenaga dalam yang menimbulkan suara letupan letupan keras dan menyemburat tanah terkena hantaman pukulan.

Belasan jurus terus terlewati, dan keduanya bukan semakin merenggang tapi malahan semakin rapat bertarung, hingga yang nampak adalah dua bayangan hitam yang bersyuran kesana kemari tanpa diketahui dan dapat dibedakan lagi mana Ninja palsu dan mana Ninja asli.

Roro yang mengikuti jalannya pertarungan cuma memperhatikan dengan seksama dan menanti hasil pertarungan dengan hati berdebar. Diam-diam Roro terkejut karena kedua Ninja seperti mempunyai ilmu dan jurus pukulan yang serupa. Hingga sulit untuk mengetahui yang mana Joko Sangit dan mana Ninja palsu yang menyamar sebagai dirinya.

Tiba-tiba salah seorang merobah gerakan. Tubuhnya mencelat setinggi enam tombak. Kedua lengannya terpentang membuat gerakan memutar. Mendadak tubuhnya menukik dengan gerakan menyambar laksana elang. Tersentak Roro. Itulah jurus Rajawali Menyambar Mangsa, salah satu jurus si kakek pendekar Gentayangan Ki Jagur Wedha. Roro pentang mata tak berkedip. Dia yakin sekali itulah Joko Sangit.

Apakah yang akan dilakukan oleh lawan menghadapi serangan yang telah diketahui kehebatannya itu? Ternyata dengan perdengarkan teriakan menggema Ninja yang berada di bawah secepat kilat bergulingan. Dan...

Serrrrrrr...! Ratusan jarum halus terlontar ke arah Ninja yang diperkirakan Roro adalah Joko Sangit itu.

"Keparat!" membentak Ninja itu. Mendadak pedang Samurainya digerakkan berputar. Sebelah lengannya mengibas. Punahlah serangan ratusan jarum maut itu meluruk kembali ke arah si penyerangnya, sebagian lagi buyar!

Hebat Ninja itu dengan gerakan kilat dia telah totol ujung kakinya ke tanah. Tubuhnya melambung ke atas. Serangan balik itu lolos! Kini dialah yang berada di atas. Dengan gerakan mendadak pedang Samurainya tiba-tiba meluncur deras menabas deras ke arah leher Joko Sangit. Tebasan maut itu memang diluar dugaan Joko Sangit. Namun di detik itu dimana beberapa inci lagi ujung Samurai mendekati kulit leher Ninja yang diperkirakan Joko Sangit itu mendadak secercah kilatan meluncur.

Trakkk!

Kilatan perak yang menyambar itu berasal dari arah Roro yang tegak berdiri menyaksikan pertarungan. Terkejut Ninja itu mengetahui tiba-tiba ujung pedang Samurainya patah! Dan selamatlah Joko Sangit dari maut. Laki-laki Ninja itu jatuhkan tubuhnya bergulingan. Saat yang baik itu ternyata dipergunakan dengan baik untuk melontarkan pedangnya ke arah Ninja lawannya. Terdengarlah suara mengaduh. Dan... bruk! Tubuh Ninja lawannya roboh direrumputan alang-alang.

"Kena!" teriak Ninja ini yang sudah jelas dialah Joko Sangit. Dia telah melompat untuk memburu dengan mempersiapkan pukulan yang akan mengakhiri riwayat hidup lawannya. Akan Tetapi mendadak... Bhusssss! Tubuh Ninja itu mendadak lenyap terbungkus asap hitam.

Roro yang barusan membantu Joko Sangit dengan melemparkan kepingan uang logamnya telah bergirang karena sebentar lagi akan tersingkap siapa adanya Ninja yang menyamar itu. Akan tetapi diapun terperangah dan kecewa karena sang Ninja misterius itupun mendadak lenyap.

Joko Sangit yang berdiri tegak dengan sikap waspada itu mendadak gerakkan lengannya membuka topeng. Segera rambutnya yang gondrong terurai. Cahaya purnama yang terang benderang tak meragukan Roro lagi kalau laki-laki itu adalah Joko Sangit. Roro Centil terperangah memandang wajahnya berseri girang. Pada saat itu tiba-tiba...

Bhusssss!

Tepat di belakang Joko Sangit terjadi kepulan asap hitam. Dan ketika asap lenyap segera tampak sosok tubuh si manusia Ninja berdiri dalam keadaan limbung. Di dada sebelah kirinya tertancap pedang Samurai yang tadi dilontarkan Joko Sangit.

Plash! Brett!

Laki-laki yang terluka itu telah membuka topeng penutup wajah dan merobek lengan jubahnya. Membelalak mata Roro melihat siapa adanya laki-laki Ninja itu, yang tak lain dari Carik Kartomarmo. Dan ternyata sebelah lengan carik tua ini tidaklah kutung seperti halnya si Ninja Edan Lengan Tunggal. Sebelah lengan carik Kartomarmo hanya ditutupi lengan jubah yang menjuntai.

Buk...! Tahu-tahu sebelah lengan Kartomarmo alias Lindu Songo ini telah mulur memanjang menghantam dada Joko Sangit yang tak sempat dielakkan lagi. Terdengar teriakan Joko Sangit disertai terlemparnya tubuh lakilaki Ninja itu.

"Manusia licik!" membentak Roro. Tubuhnya berkelebat ke arah Lindu Songo. Dan sekali lengannya bergerak terlemparlah tubuh manusia Ninja palsu itu berguling-guling. Roro kertak gigi dan melesat untuk memburu. Tapi diluar dugaan lengan Lindu Songo kembali meluncur menyongsongnya.

Trang!

Terdengar suara beradunya dua buah benda. Roro dengan gesit telah menyambutnya dengan senjata Rantai Genit yang tahu-tahu telah berada ditangannya. Terkejut Roro. Jelaslah kalau sebelah tangan Lindu Songo itu terbuat dari besi. Belum lagi Roro sadar dari terkejut, mendadak dia telah diserang hebat oleh laki-laki itu yang telah mencabut pedang Samurai yang tertancap didadanya untuk menyerang Roro. Serangan-serangan gencar itu juga dibarengi pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam yang bertubi-tubi meluruk ke arah Roro.

Namun dengan mempergunakan Ilmu tarian Bidadari Mabuk Kepayang, Roro berhasil menghindari serangan yang menggebu-gebu itu. Diam-diam Roro membatin dalam hati. "Heh!? jadi dia inilah si manusia yang menamakan dirinya si Tangan Besi itu?"

Tiba-tiba Roro sambar pergelangan tangan orang yang menusuk dengan pedang Samurai itu. Kraaak! Sekali lengan Roro bergerak, patahlah tulang lengan Kartomarmo. Laki-laki ini menjerit dan roboh terkulai. Cepat Roro menjambak rambutnya seraya membentak. "Hei! manusia busuk! Apa maksudmu meniru si Brewok Lengan Tunggal?"

Laki-laki tua ini tertawa menyeringai putus asa. "Hehehe... Aku tak mau ada dua ninja. Aku adalah pewaris ilmu Ninja kakek Matsui. Kitab yang dipelajari Joko Sangit kawanmu itu ku temukan di suatu tempat dan ku pelajari!" berkata Kartomarmo alias Lindu Songo.

"Bukankah kau si Tangan Besi?" bentak Roro.

"Hehe... benar! aku... sssi... Tangan Be...si!" menyahut Lindu Songo dengan mata yang semakin membeliak. Tapi mulutnya menyeringai tertawa walau sebenarnya laki-laki itu sudah merasakan maut siap menjemput nyawanya.

"Bedebah!" memaki Roro. Lengannya bergerak menghempaskan tubuh Kartomarmo ke tanah. Praak! Buah kepala laki-laki itu menghantam keras bongkah batu. Sejenak tubuh laki-laki itu menggeliat. Namun sekejap segera terkulai tak bergerak lagi. Nyawanya telah melayang ke Akhirat. Ketika Roro balikkan tubuh untuk melihat bagaimana keadaan Joko Sangit ternyata dia tak melihat sepotong tubuhpun berada di tempat itu.

"Joko Sangit...!" teriak Roro. "Joko Sangitttttt!" Kembali Roro berteriak memecahkan keheningan. Tapi hanya suaranya saja yang berpantulan lagi menggema di telinganya.

"Joko! Ah, Joko...! Maafkan aku...! Aku telah menuduhmu sebagai seorang penjahat!" keluh Roro dengan air muka trenyuh. Kedua bola mata dara ini tampak berkaca-kaca.

Dan sebelum air bening itu meluncur turun membasahi pipinya, sosok tubuh dara ini telah berkelebat diiringi suara memekik panjang. Pekik yang merupakan gejolak dari perasaan kecewa. Selanjutnya dalam beberapa kejap saja bayangan tubuh dara Pantai Selatan itupun lenyap di atas lembah.

Rembulan masih menampakkan sinarnya di langit yang hitam. Bintang-bintang gemerlapan mengelilinginya. Keheningan pun mengembara di sekitar lembah padang Alang-alang, dimana sesosok mayat terkapar membisu. Dari kejauhan samar-samar terdengar suara burung hantu menyelingi desahan angin malam yang menyibak pepohonan.

TAMAT

Daftar judul;
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.