Roro Centil - Pembalasan Si Setan Cengkrong
Karya : Mario Gembala
ANGIN malam membersit keras menyibak dedaunan di malam senyap itu. Daun-daun kering berguguran ke tanah. Tak tampak sepotong rembulan pun di atas langit yang hitam pekat. Kebisuan mencekam ketika sesosok tubuh berindap-indap meninggalkan gedung Kadipaten. Dua orang penjaga yang tertidur lelap menyandar di pintu pendopo itu, tak melihat adanya sesosok tubuh yang melewatinya. Dengkurnya terdengar saling bersahutan.
Dengan gerakan hati-hati sosok tubuh itu melewati pintu penjagaan ruangan pendopo. Kini bergerak lagi untuk melewati taman. Di sini dia berhenti sejenak untuk berpaling, melihat ke sekitar yang agak remang. Rupanya suasana aman untuk meneruskan langkahnya. Tak berapa lama sudah tiba di muka pintu. Cahaya lampu yang temaram dari obor kecil di sudut tembok itu menerangi wajahnya.
Ternyata dia seorang gadis berwajah cantik. Akan tetapi raut wajahnya tampak pucat dan tegang... Rambutnya kusut masai, dengan pakaian yang menyingkap di sana-sini. Sepasang matanya tampak memancar redup seperti habis menangis. Kembali sejenak dia berpaling ke belakang. Dengkur kedua penjaga itu masih terdengar dari kejauhan.
Cepat-cepat gadis ini palingkan wajahnya untuk menatap ke arah api obor, dan segera beranjak untuk meniupnya. Lalu cepat-cepat melangkah ke depan pintu. Membuka palang pintunya dan meletakkannya dengan hat-hati di tanah. Lalu ia membuka daun pintu secukupnya. Selanjutnya dia sudah menyelinap keluar.
Beberapa saat kemudian gadis, itu sudah berlari cepat meninggalkan gedung Kadipaten itu, dan lenyap di kegelapan malam. Gadis itu berlari, dan terus berlari. Sesekali terdengar suara isaknya menyibak lengangnya malam. Akan tetapi isak tersendat itu seperti ditahannya. Jatuh bangun dia berlari dan berjalan cepat tersaruksaruk. Hingga sebentar kemudian telah berada jauh dari gedung Kadipaten itu.
Kini di hadapannya terbentang anak sungai. Tertegun sejenak gadis itu. Tapi dengan menggigit bibir dan singsingkan kainnya, segera beranjak menuruni. Terdengar suara air menyibak. Tubuh si gadis terendam sampai separuhnya. Ada tersirat rasa seram di hati si gadis, akan tetapi dia terus melangkah untuk menyeberanginya. Beruntung dalamnya cuma sebatas dada.
Selang sesaat si gadis sudah sampai di seberang. Ketika beranjak ke darat.. menggigil tubuh itu kedinginan. Namun dengan menggigit bibir dia teruskan langkah kakinya. Ke mana tujuannya sebenarnya dia sendiri tak mengetahui, karena yang penting adalah meninggalkan Gedung Kadipaten itu sejauh-jauhnya.
Fajar mulai menampakkan diri, ketika gadis itu melangkah terhuyung. Hampir semalam suntuk dia berjalan tak pernah berhenti. Hawa dingin yang mencengkeram tubuh serta luka-luka pada telapak kakinya sudah tak dirasakan lagi. Namun di wajah gadis ini tersungging satu senyuman. Dia sudah bebas bagai seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Walau kebebasan itu cuma untuk sementara, karena orangorang Kadipaten tentu akan memburunya.
Walau demikian dia sudah dapat menarik nafas 1ega. Dijatuhkannya sang tubuh untuk duduk di rumputan. Di hadapannya adalah padang ilalang dari sebuah lembah yang hijau. Sementara Mentari pagi sudah bersitkan sinarnya dari balik punggung bukit. Wajah gadis ini tampilkan senyum berseri. Sepasang matanya menatap ke atas perbukitan. Ada cahaya cerah terpancar dan sedikit harapan tampak dari tatapannya.
"Ah, PRAMANA...! Mengapa kejadiannya jadi begini... !?" Gumam gadis ini lirih. Sementara wajahnya kembali tertunduk menatap rerumputan. Seperti terbayang lagi wajah pemuda itu di pelupuk matanya. Pemuda yang dicintainya. Akan tetapi nasib telah merenggutnya untuk tidak berjodoh dengan pemuda itu. Nasib telah merenggut dirinya yang jatuh ke dalam pelukan Adipati BANU REKSO.
Gadis ini bernama RATIH DEWI. Ia adalah puteri seorang Demang di desa Guci Alit. Hubungan yang dibinanya secara diam-diam dengan seorang pemuda bernama PRAMANA akhirnya diketahui juga oleh kedua orang tuanya.
"Ratih, anakku...!" Suatu hari ibunya berkata, ia duduk berhadapan. "Bukan ibu melarangmu bergaul dengan PRAMANA! Ibu memberi kebebasan padamu untuk bersahabat dengan siapa saja! Akan tetapi..."
"Tetapi apa, bu...?" Tanya Ratih Dewi dengan alis dinaikkan. Tersirat di wajah gadis ini satu pertanyaan yang membuat ia tercenung, karena dilihatnya si ibu termangu memandang jauh keluar jendela.
"Tunggulah kedatangan ayahmu. Beliau baru dipanggil oleh Kanjeng Adipati. Mungkin sebentar lagi akan pulang!" Menyahut perempuan tua itu, seraya menghela napas. Lalu beranjak meninggalkan Ratih Dewi yang cuma terpaku dalam kebingungan. Kata-kata ibunya yang cuma sepotong itu cukup membuatnya merasa risau.
Malamnya Ratih Dewi sudah berada di hadapan kedua ayah dan ibunya. Kali ini terasa jantung Ratih Dewi berdebaran. Terasa ada keganjilan pada sikap sang ayah, yang menatapnya tajam-tajam. Akan tetapi jelas terlihat kalau sang ayah pun amat berat untuk mengatakannya, karena sampai sekian lama mereka tetap terpaku.
Terdengar Ki Demang Harya Winangun ini menghela napas. Tatapannya sekali-sekali dilayangkan keluar jendela. Lalu tertunduk lagi. Ki Demang menyulut pipa tembakaunya, serta menghisapnya dalam-dalam. Lalu hembuskan asapnya seperti membuang keresahan hati yang menggeluti sanubarinya. Kemudian terdengar kata-katanya;
"Ratih Dewi anakku. Terlalu berat bagiku untuk mengatakannya padamu, akan tetapi apa boleh buat. Kau anakku satu-satunya. Kau pasti tidak akan mengecewakan orang tuamu. Aku amat yakin akan pribadimu. Nah. Dengarlah..."
Demikianlah dengan hati berat Ki Demang menceritakan bahwa kedatangannya ke Kadipaten adalah karena sang Adipati bermaksud melamar Ratih Dewi. Pembicaraan mereka adalah untuk yang ketiga kalinya. Kali ini Adipati Banu Rekso sudah tak dapat menahan gejolak hatinya. Dan meminta anak gadis Ki Demang dengan terang-terangan.
Bagaikan ada petir menggelegar di telinga, Ratih Dewi terkejut bukan kepalang. Wajahnya seketika pucat pias. Benarkah atau hanya main-main kata-kata ayahnya itu?. Adipati Banu Rekso sudah beristri empat. Mungkinkah kalau dia mau mempersuntingnya pula..? Terhenyak Ratih Dewi seketika.
"Kau... kau... menerimanya ayah...?" Tanya Ratih Dewi.
"Yah...! Tak ada jalan lain. Aku mengetahui watak sang Adipati Banu Rekso. Kalau kutolak besar bahayanya buat kedudukanku. Semua ini kuterima dengan terpaksa!" Ujar Ki Demang.
Hancur luluh seketika hati Ratih Dewi. Air matanya sudah segera menetes keluar dari pelupuk matanya. Kandaslah sudah harapannya. Tiba-tiba di jatuhkannya dirinya ke pangkuan sang ibu, dan menangislah gadis itu terisak-isak. Sang ibu cuma linangkan air mata dengan menunduk sedih.
Wanita ini mengetahui betapa kehancuran hati anak gadisnya. Hati wanita inipun menangis. Sebagai wanita dia dapat merasakan kepedihan hati Ratih Dewi, namun mana bisa ditentang keinginan sang Adipati?. Sepasang lengan wanita tua ini cuma bisa mengelus-elus rambut anak gadis yang dicintainya.
Sejak itu Ratih Dewi tak pernah keluar rum ah. Sia-sia kedatangan Pramana untuk menjumpainya. Pemuda ini pun maklum sudah. Dia cuma bisa menghela napas tanpa berdaya untuk bisa menentang kehadiran sang Adipati di rumah Ki Demang. Cuma bisa tatapkan mata melihat dari kejauhan, tatkala Ratih Dewi diboyong oleh Adipati Banu Rekso.
Sepasang mata Pramana berkaca-kaca menatap tandu yang mengangkut Ratih Dewi, dengan dikawal oleh beberapa prajurit dari Kadipaten. Sementara kedua orang tuanya cuma terpaku memandang. Upacara pernikahan berlangsung sederhana saja di rumah Ki Demang. Selesai upacara itu, Ratih Dewi segera diboyong.
Seperti nanar tatapan mata Pramana melihat apa yang terpampang di depan matanya. Ternyata kisah cinta mereka putus di tengah jalan. Tak ada lagi harapan yang rasanya lebih baik bagi Pramana. Saat itu juga dia kembali ke pondok. Mengemasi pakaiannya. Lalu menghadap gurunya, Panembahan Kumitir.
Tentu saja membuat Panembahan Galih Kumitir terheran-heran. Namun saat itu Parta Kendala sang murid tertua Perguruan Elang Putih membisiki di telinga sang Panembahan, yang membuatnya segera manggut-manggut.
"Pergilah tenangkan hatimu, Pramana. Memang sebaiknya kau turun gunung...! Kelak kalau menemui kesulitan jangan segan-segan untuk kemari...!" Berkata sang Guru. Agaknya orang tua ini maklum akan kepatahan hati pemuda muridnya itu.
"Terima kasih. Guru....! Kakang Parta Kendala, Guru...! Hamba mohon diri!" Kedua orang itu pun mengangguk. Pramana segera tinggalkan padepokan yang selama beberapa tahun didiaminya. Juga tempat dia digembleng dengan berbagai ilmu kedigjayaan oleh Panembahan Galih Kumitir.
Di sana pula tempat terpautnya hati pada seorang gadis jelita, puteri Ki Demang Harya Winangun. Demang yang menguasai wilayah Desa Guci Alit dan sekitarnya. Namun di sana pula kandas cintanya, karena direnggut oleh sang Adipati Banu Rekso. Adipati yang punya wewenang besar di wilayah itu. Adipati yang keinginannya tak dapat dibantah. Juga Adipati yang menghancurkan harapannya.
Sementara Ratih Dewi cuma bisa titikkan air mata di dalam tandu yang memboyongnya untuk tinggal di rumah Gedung sang Adipati Banu Rekso. Ternyata Ratih Dewi sudah mempunyai rencana yang tersirat dalam benaknya. Rencana yang hanya dia saja yang mengetahui. Cinta memang bisa membuat orang jadi nekat. Cinta memang tak dapat dipaksakan.
Ratih Dewi tak mampu untuk menolak lamaran sang Adipati yang sudah diterima ayahnya. Dia telah berusaha menjadi seorang anak yang berbakti terhadap kedua orang tuanya, akan tetapi ternyata dia tak berhasil mendustai dirinya sendiri. Ratih Dewi tak dapat menerima kehadiran sang Adipati Banu Rekso. Adipati yang serakah! Pikirnya. Seorang pembesar yang mementingkan dirinya sendiri tanpa mau tahu akan penderitaan orang lain.
Berdebar hati Ratih Dewi kala sang Adipati telah memasuki kamarnya. Saat itu para tamu sudah pulang. Acara pesta di gedung Kadipaten sudah usai. Tiga orang istrinya masing-masing telah pamit untuk mengundurkan diri ke bilik masing-masing. Cuma istri pertamanya yang paling tua tak terlihat menampakkan diri. Wanita berusia sekitar 40 tahun itu cuma bisa menghela nafas berat. Betapa pun ia cumalah seorang istri yang tak punya wewenang apa-apa terhadap sang Adipati.
Wanita ini mempunyai tempat tinggal, sebuah gedung yang terpisah agak jauh dari gedung Kadipaten. Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya di hati wanita tua itu terpendam kepedihan. Walau ia sudah tawar akan artinya kehidupan sebagai seorang istri Adipati, yang pada kenyataannya adalah melulu penderitaan batin belaka yang harus dialami.
"Kau belum mengantuk dinda...?" Tanya sang Adipati seraya menghampiri Ratih Dewi. Sebelah lengannya menggamit pinggang istrinya yang sedari tadi tetap duduk dengan setia di sisi pembaringan yang berbau harum itu.
Kedua belah pipi Ratih Dewi segera mendapat ciuman mesra dari laki-laki berusia 50 tahun itu. Ratih Dewi tersenyum manis seraya tundukkan wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Detak jantungnya semakin cepat. Tak berani dia menatap wajah sang Adipati itu, walau rasanya ingin dia menampar wajah kasar itu sekuat-kuatnya.
"Aku menantikan kakanda... Kanjeng Adipati...!" Ujar Ratih Dewi lirih.
"Oh...? Begitukah ...? Ha ha ha... kau memang seorang gadis ayu yang menggairahkan, istriku...! Kau berbeda dengan yang lainnya. Pantas kalau aku tergila-gila padamu. Kau cantik, ayu dan kenes, Ratih Dewi...!" Berkata sang Adipati.
Selanjutnya sang Adipati Banu Rekso telah mendekapnya erat-erat, akan tetapi Ratih Dewi cepat-cepat mendorongnya seraya berkata. "Mengapa terlalu tergesa kakanda...? Bukalah pakaianmu dulu, dan simpan dulu keris pusaka itu. Aku ngeri menyentuhnya...!"
"Oh, ya aku lupa, maafkan aku istriku...!" Menyahut Banu Rekso seraya lepaskan pelukannya. Dan menyingkirkan benda pusaka itu dari punggungnya. Lalu meletakkannya di atas meja. Ratih Dewi sudah beranjak menghampiri. Meraih keris pusaka sang Adipati, lalu menyimpannya dalam lemari pakaian. Banu Rekso cuma tersenyum.
"Kau takut dengan senjata pusaka itu, sayang ku...?" Tanya Banu Rekso.
Ratih Dewi cuma mengangguk, seraya menghampiri lagi sang Adipati. Di lengannya sudah tersedia handuk. Sementara sang Adipati telah selesai menyingkirkan apa yang menjadi penghalang. Cepat-cepat Ratih Dewi belitkan handuk pada tubuh sang Adipati.
"Tubuhmu berkeringat, kakanda kanjeng Adipati. Mandilah segarkan badanmu lebih dahulu. Bukankah akan lebih bergairah untuk malam pertama ini bagi hamba...!"
"Oh...? Baik. Baiklah...! Ha ha ha... Kau memang benar-benar seorang istri teladan. Sebentar aku sudah bebas dari bau keringat, sayang ku...!" Berkata Adipati Banu Rekso. Ia tampaknya amat penurut sekali, padahal keinginannya sudah tak terbendung lagi. Banu Rekso beranjak meninggalkan kamar, dan menutup pintunya kembali.
Ratih Dewi sudah baringkan tubuhnya dipembaringan, berselimutkan kain sutera tipis yang membuat samar-samar tampak bayangan tubuh sang pengantin jelita itu. Sementara Ratih Dewi menanti dengan hati berdebar. Degup jantungnya serasa berdeburan keras. Namun dia masih bisa menahan ketegangan. Rencana itu tak boleh gagal, pekik hatinya. Sepasang mata laki-laki tua itu sudah merayapi setiap lekuk liku di balik tirai sutera tipis di hadapannya. Senyumnya terlihat melebar. Sementara sepasang kakinya telah melangkah mendekati.
Ratih Dewi pejamkan kelopak matanya. Hatinya terasa hancur berkepingan. Kala dia biarkan juluran lengan nakal sang bandot tua itu menelusuri segalanya. Akan kuberikanlah apa yang ada semuanya untuk si manusia keparat ini...? Tersentak hati sang pelanduk ketika sesuatu yang ditakutkan itu sesaat lagi akan terjadi. Akan mandahkah dia untuk berdiam pasrahkan diri? Hati sang pelanduk menjerit, akan tetapi wajahnya tetap tak menampakkan reaksi.
Beberapa kali lengannya sudah bergerak ke sisi pembaringan, di mana di bawah tilam telah dia siapkan sepucuk keris berlekuk tujuh. Keris telanjang yang telah ditaruh di situ adalah keris pusaka milik sang Adipati. Namun beberapa kali pula dia urungkan niatnya, karena khawatir akan mengalami kegagalan. Gagal berarti mautlah yang justru akan menimpa dirinya.
Beruntung sang Adipati sudah keluarkan keluhannya. Wajahnya menampilkan kekecewaan. Kemudian gulingkan tubuhnya ke sisi. Terlihat sekujur tubuhnya bermandikan peluh. Ratih Dewi menarik nafas lega. Puncak kengerian itu sudah terlewati. Kebulatan hati Ratih Dewi telah tertanam untuk tak bisa dihapuskan lagi. Di saat laki-laki tua itu sudah terdengar mendengkur di sebelah tubuhnya, saat itu pula Ratih Dewi telah sibakkan kain tilam di sisi pembaringan.
Segera lengannya sudah menggenggam sepucuk keris berlekuk tujuh yang sudah telanjang itu. Di tatapnya sejenak wajah sang Adipati Banu Rekso. Lengan Ratih Dewi menggeletar. Akan tetapi keris itu sudah di hunjamkan berkali-kali ke dada dan lambung laki-laki bandot tua itu. Tak sempat lagi Adipati Banu Rekso untuk berteriak. Tubuhnya sudah menggelinjang berkelojotan mandi darah.
Namun sesaat kemudian segera mengejang untuk lepaskan nyawanya melayang ke akhirat. Selanjutnya segera beranjak keluar kamar. Ternyata dia harus menunggu sampai semua orang tertidur, dan barulah dengan berindap-indap keluar, yang untuk seterusnya berhasil meloloskan diri.
Demikianlah awal kisah dari kejadian yang menimpanya. Sepasang mata Ratih Dewi kembali jatuhkan air mata yang mengalir ke pipi. Isaknya kembali terdengar. Ratih Dewi menekap wajahnya dengan kesepuluh jari tangannya. Air mata itu mengalir turun lewat sela jemarinya yang lentik.
Namun selang sesaat dia sudah kembali dapat menguasai diri lagi. Setelah menghapus air matanya, kemudian bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap ke atas perbukitan di mana cahaya mentari baru pancarkan sinarnya. Lalu beranjak melangkah lagi untuk kembali meneruskan perjalanannya...
Sepasang pemuda bertubuh kekar, berpakaian dari sutra warna biru yang mahal. Ikat kepalanya berwarna merah, dengan sabuk terbuat dari baja tipis yang melingkar di pinggang. Sikapnya amat gagah. Berwajah garang dan angkuh, namun boleh dibilang cukup tampan. Tampak tengah ayunkan kakinya berjalan cepat menuju ke tengah desa.
Dia bernama REKSO JIWO. Pemuda ini baru pulang dari berguru, yang kedatangannya ke desa ini adalah untuk yang ketiga kalinya sejak satu tahun yang lalu. Siapakah adanya Rekso Jiwo ini... ? Pemuda yang umurnya berkisar antara 23 tahun itu adalah putera sang Adipati Banu Rekso. Tampak dia sudah tiba di tengah desa. Beberapa orang yang mengenalinya segera menyapa dengan menjura hormat.
"Raden...! Oh, anda baru datang lagi. Salah seorang dari yang menyapa adalah seorang laki-laki berusia 40 tahun yang bernama Sentani.
"Benar, paman! Tampaknya wajah-wajah kalian menampilkan kesusahan? Ada apakah yang terjadi...! Apakah orang-orang ELANG PUTIH menantang kalian lagi...?" Bertanya Rekso Jiwo. Kedua lengannya sudah bertolak pinggang.
Setahun yang lalu ketika Rekso Jiwo datang ke desa ini, tengah terjadi keributan antara beberapa orang anak-anak buah Sentani dengan orang-orang Perguruan Elang Putih. Persoalannya karena beberapa murid Perguruan Elang Putih turut campur dalam urusan perbuatan Sentani dan anak-anak buahnya.
Tindakan Sentani yang semaunya menguras harta benda penduduk, tentu saja membuat kegusaran beberapa anak murid Perguruan Elang Putih. Seperti di ketahui, Sentani adalah orang kepercayaan Adipati Banu Rekso. Dan mendapat pula dukungan dari Rekso Jiwo. Tentu saja jadi besar kepala, dan bertindak semaunya memeras penduduk, terutama para pedagang dan petani, serta melakukan bermacam perbuatan tercela lainnya. Bentrokan pun terjadi. Namun segera ditengahi oleh Ki Demang Harya Winangun.
Rekso Jiwo yang mengetahui Ki Demang mempunyai anak gadis cantik yang diam-diam tengah diincarnya, terpaksa tak turut campur. Padahal diam-diam Rekso Jiwo mendongkol sekali, karena memang dia tak menyenangi adanya Perguruan Elang Putih berada di wilayah itu. Dia menganggap ilmu-ilmu kedigjayaan Perguruan Elang Putih adalah kelas rendah.
Justru itulah Rekso Jiwo tak berniat berguru di Padepokan tersebut. Bahkan dia telah menepuk dada di hadapan kawan-kawannya bahwa kelak akan dijatuhkannya wibawa Perguruan Elang Putih olehnya. Selanjutnya Rekso Jiwo akan mendirikan satu Perguruan sendiri yang punya wibawa besar. Apa lagi dengan dibawah naungan kekuasaan ayahnya yang sebagai Adipati, serta mempunyai wewenang besar di beberapa wilayah.
Kedatangannya kali ini adalah untuk menun jukkan serta membuktikan apa yang telah dicapainya selama berguru lebih dari tiga tahun. Disamping memang perlu menjumpai ayahnya, karena Rekso Jiwo punya satu gagasan yang lebih baik dalam mengelola pemerintahan ayahnya di sekitar wilayah yang dikuasai.
Gagasan itu memang perlu dibicarakan pada sang Adipati Banu Rekso. Tentu saja bagi seorang yang berwatak kurang baik, akan menelorkan satu gagasan yang tidak baik pula. Mungkin baik bagi si pengelola, akan tetapi amat merugikan bagi rakyat.
"Mengapa kalian diam semua?!" Tiba-tiba Rekso Jiwo membentak, karena dilihatnya Sentani dan anak-anak buahnya terpaku dengan wajah menunduk. Wajah-wajah mereka seperti menampakkan sesuatu kesusahan yang sukar disampaikan.
Mendengar bentakan itu tentu saja mereka jadi terkejut. Sentani pelahan mengangkat wajahnya. Lalu tiba-tiba jatuhkan diri berlutut di hadapan Rekso Jiwo. "Kami... kami tengah berkabung. Juga semua rakyat di wilayah Kadipaten tengah berkabung, Raden...! Ramanda Raden, Kanjeng Gusti Adipati telah berpulang...!"
"Hah...!?" Terkejut seketika Rekso Jiwo. Sepasang matanya menatap pada Sentani, lalu alihkan pada keenam orang anak buah Sentani itu. Mereka semua menundukkan wajah tanpa ada yang berani mengangkatnya.
"Ramanda wafat...!?" Gumam Rekso Jiwo.
Tampak laki-laki ini tertunduk lesu. Sentani sudah bangkit berdiri, lalu berkata, setelah menatap sejenak pada Rekso Jiwo. "Sebaiknya Raden segera ke Kadipaten. Ataukah mau mendengarkan penuturan hamba terlebih dulu...?"
"Ceritakanlah...! Tuturkanlah apa yang menjadi penyebab kematian ayahku! Sudah berapa harikah menjelang kematian beliau?" Berkata Rekso Jiwo.
"Baiklah Raden. Mari kita bicara di bawah pohon itu, di sana udara sejuk!" Ujar Sentani seraya menunjuk pada sebuah pohon rindang kira-kira sepuluh tombak di sebelah mereka.
Tak berapa lama mereka sudah berkumpul di tempat itu. Mulailah Sentani membuka kisah penuturannya. Setelah menghela nafas sejenak segera mulai bicara.
"Sebenarnya kejadian itu tak ada yang mengetahui, akan tetapi banyak dugaan orang memperkuat siapa pelaku dari pembunuhan itu. Kejadian itu berlangsung sudah dua hari ini, yaitu pada malam pengantinnya Kanjeng Gusti Adipati..."
Rekso Jiwo beliakkan matanya mendengar ayahnya ternyata telah kawin lagi untuk yang kelima kalinya. Siapakah pengantin wanitanya...? Berkata Rekso Jiwo dalam hati, akan tetapi dia tak hendak memutuskan cerita Sentani. Hingga Sentani terus berikan penuturannya panjang lebar pada Rekso Jiwo. Tentu saja dengan beberapa dugaan yang dia berikan semaunya saja mengenai pelaku pembunuhan itu. Sementara Rekso Jiwo mendengarkan dengan wajah sebentar pucat sebentar merah.
"Tak mungkin rasanya Ratih Dewi yang melakukannya. Dia seorang wanita Lemah. Dugaanku adalah ada orang kedua di belakang Ratih Dewi, yang sengaja melenyapkan nyawa Gusti Kanjeng Adipati dan membawa kabur gadis itu...!" Ujar Sentani setelah mengakhiri penuturannya.
"Maksudmu siapa...?" Tanya Rekso Jiwo. Sepasang alisnya bergerak menyatu dengan mata membelalak menatap Sentani.
"Heh! Siapa lagi kalau bukan PRAMANA...! Pemuda murid Panembahan Galih Kumitir Ketua Perguruan ELANG PUTIH itu adalah kekasihnya. Buktinya begitu ramanda mu tewas, si Pramana itu lenyap tak ketahuan ke mana perginya...!" Ujar Sentani.
"Bedebah...! Benar paman, dugaanmu pasti tak akan meleset. Tunggu kelak kedatanganku orang-orang Elang Putih!" Teriak Rekso Jiwo dengan kemarahan luar biasa. Selanjutnya mereka segera bubar. Rekso Jiwo kelebatkan tubuhnya untuk segera berangkat menuju gedung Kadipaten.
Panembahan Galih Kumitir duduk di tengah ruangan padepokan. Sementara lima belas orang murid-muridnya duduk bersimpuh di hadapannya. Para Kendala murid tertuanya berada di sebelah kiri ketua Perguruan Elang Putih itu. Tampaknya ada sesuatu yang tengah dibicarakan oleh sang Panembahan. Laki-laki tua yang berusia lebih dari setengah abad itu tampak duduk merenung dengan sepasang mata terpejam.
Sementara jari-jari tangannya mengelus-elus jenggotnya yang panjang memutih. Kepalanya terbungkus dengan belitan kain kasar berwarna putih. Memakai jubah warna abu-abu yang tidak terlalu bagus, tetapi bersih. Terdengar sang ketua Elang Putih itu menghela napas, lalu berujar;
"Kita dalam kesulitan murid-muridku. Karena orang-orang Kadipaten menganggap kita telah terlibat dalam perkara pembunuhan Adipati Banu Rekso...!"
Terkejut kelima belas murid-murid sang Panembahan. Mereka tatapkan pandangan pada gurunya dengan wajah pucat. Beberapa orang saling pandang dengan kawannya.
"Mengapa demikian Guru...? Kita tak mengetahui masalah pembunuhan itu, mengapa kita bisa terlibat...?" Bertanya salah seorang yang duduk paling depan.
"Hm, semua ini adalah karena kesalahan yang sengaja dijatuhkan pada kita!"
"Apakah kita tak patut mencurigai juga, guru! Bisa saja Pramana dianggap yang telah membunuh Adipati dan melarikan Ratih Dewi, karena gadis anak Ki Demang itu adalah kekasihnya! Cinta terkadang bisa membuat orang jadi kejam, dan merubah fikiran sehat menjadi tidak waras...!" Berkata Parta Kendala, si murid tertua sang Panembahan.
"Tidak...! Aku tak sependapat. Aku tahu watak serta pribadinya. Sejak selama empat tahun dalam gemblengan ku, tak nantinya dia berhati telengas! Tindakan itu pasti telah difikirkan sebelumnya, karena dengan berbuat demikian berarti dia telah membawa Perguruan Elang Putih ke ambang kehancuran...! Jalan terbaik adalah kau Parta Kendala segera pergi bersama beberapa orang saudara seperguruanmu mencari di mana adanya Pramana...!"
Akan tetapi terlambat sudah, karena pada waktu itu juga sudah terdengar suara teriakan di luar padepokan...
"Orang-orang Elang Putih! Keluarlah kalian...! Aku REKSO JIWO akan menuntut balas kematian ayahku...!"
Terkejut semua yang hadir termasuk sang Panembahan Galih Kumitir. Parta Kendala sudah melompat ke luar diikuti lima belas orang murid-murid sang Panembahan.
"Bagus...! Mana Tua bangka keparat gurumu si Ketua Elang Putih. Suruh dia menghadapku...!"
Teriak laki-laki tegap di luar padepokan itu. Ternyata di sisi Rekso Jiwo, tegak berdiri seorang kakek berjubah hitam berwajah kaku, dengan sebelah matanya meram. Giginya besar-besar menonjol keluar. Pada lengannya tergenggam sebuah tongkat bercagak dua, berwarna hitam.
Semua murid-murid Perguruan Elang Putih segera pentang mata untuk melihat ke arah kedua orang itu. Parta Kendala belum menjawab, namun sang Panembahan Galih Kumitir telah berada di muka pintu padepokan. Tampak wajah sang Panembahan tampilkan perubahan melihat si kakek berjubah hitam itu.
Tak salah lagi, dia si Setan Hitam! Ada apakah dia muncul di sini...? Gumam sang Panembahan Galih Kumitir dalam hati. Akan tetapi dia sudah mengetahui kalau manusia itu adalah Gurunya Rekso Jiwo, anak Adipati Banu Rekso itu.
"He he he... he he... Bagus! Bagus... ! Selamat berjumpa Elang Putih. Kiranya baru sekarang kita berjumpa setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Tak dinyana kau kini sudah jadi ketua Perguruan dan punya kewibawaan di desa ini...!" Terdengar suara si kakek jubah hitam yang ditujukan pada sang Panembahan Galih.
"Angin apakah yang telah meniup mu datang kemari, Setan Hitam? Kami merasa tak mempunyai kesalahan, mengapa datang-datang Raden Rekso Jiwo muridmu ini mau menuntut balas kematian ayahandanya... ?"
"Bedebah...! Tua bangka keparat...! Muridmu yang bernama Pramana itulah yang telah melakukan perbuatan keji. Masakan aku akan tinggal diam? Kalau muridnya pembunuh dan juga telah melarikan istri orang, tentu Gurunya yang harus bertanggung jawab...!" Teriak Rekso Jiwo dengan wajah berang.
"Tutup mulutmu Rekso Jiwo...! Kau menuduh orang yang belum jelas kesalahannya. Belum tentu itu perbuatan saudara seperguruanku!" Teriak Parta Kendala. Laki-laki ini amat gusar, karena Gurunya dimaki-maki seenaknya.
"Hoh...! Aku telah kehilangan ayahandaku, juga seluruh rakyat di wilayah ini telah kehilangan pemimpinnya. Kalau tak kutumpas biang keladi pembunuhnya, serta meratakan padepokan ini dengan tanah janganlah aku bisa meram tidur...! Kini tunjukkan di mana adanya si bedebah Pramana itu. Kalian kira dengan menyembunyikan pemuda itu, kalian akan aman....? Huh! Jangan kalian harap...!"
Merasa kata-katanya diremehkan, Parta Kendala jadi naik pitam. Tubuhnya sudah melompat ke hadapan Rekso Jiwo. "Maaf, sobat Rekso Jiwo! Perguruan kami tak menerima kedatangan tetamu yang tak tahu adat! Silahkan kalian keluar...! Pramana sudah turun gunung sebelum terjadi kejadian pembunuhan itu. Kalau kau menganggap saudara seperguruanku itu yang melakukan, tentu saja kami tidak terima...!"
Kata-kata pedas Parta Kendala membuat alis Rekso Jiwo naik ke atas, lalu bergerak turun menyatu. Sepasang matanya menatap Parta Kendala dengan sinar kemarahan. Tiba-tiba Rekso Jiwo sudah keluarkan teriakan keras. Sebelah lengannya bergerak menghantam dada laki-laki itu.
Plakk...! Parta Kendala cepat silangkan lengan untuk menangkis. Tampak tubuh kedua pemuda itu terhuyung. Dalam segebrakan saja, mereka telah saling menjajal kekuatan tenaga dalam lawan.
"Bagus...! Urusan tak perlu berlama-lama muridku. Manusia-manusia yang cuma menyebalkan ini sebaiknya cepat-cepat disingkirkan dari wilayah mu...!" Berkata si Setan Hitam dengan nada sinis.
Tentu saja kelima belas murid-murid perguruan Elang Putih tak tinggal diam. Segera sudah mengurung mereka. "Kalian mencari keributan tanpa sebab dan bukti yang kuat, kami akan mempertahankan kebenaran. Karena kami yakin kejadian itu bukan perbuatan saudara seperguruan kami...!" Berkata salah seorang dari tiga murid utama Panembahan Galih. Yaitu yang bernama Subala. Pada saat itu sudah berkelebat tubuh sang Panembahan ke dalam padepokan.
"Tahan...! Sebaiknya kita bermusyawarah. Atau kalau perlu kami akan berusaha mencari Pramana, untuk membuktikan kebenaran tuduhanmu itu, raden Rekso Jiwo!"
Akan tetapi jawabannya adalah serangan hebat yang dilancarkan si Setan Hitam. Satu pukulan keras bertenaga dalam telah menghantam dada sang panembahan secara tak terduga.
Buk...! Terdengar laki-laki tua itu mengeluh. Tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Gusarlah sang Panembahan. Pukulan itu cukup membuat dada sang panembahan terasa sesak. Beruntung tidak terlalu keras, karena si Setan Hitam itu sengaja menguji kekuatan lawan.
"He he he... Sebaiknya kita bermusyawarah di atas pertarungan, Elang Putih! Ingin kulihat sudah sampai di mana kehebatan ilmu silatmu sejak sepuluh tahun ini...!" Teriak si kakek berjubah hitam.
"Huh...! Kalian memang sengaja mencari keributan...! Baik! Aku akan hadapi kau... Setan Hitam!" Berkata sang panembahan. Selanjutnya dia sudah mengirim satu pukulan dengan jurus Elang Sakti Menyambar Mangsa. Hebat pukulan itu, yang ternyata dibarengi dengan cengkeraman yang mengarah ke batok kepala si Setan Hitam. Suara angin menderu keras ketika lenganlengan si Elang Putih itu bergerak ke arah lawan.
Namun dengan berseru keras, si Tongkat Setan Hitam telah sambarkan tongkatnya, yang bersitkan hawa dingin. Tubuh Elang Putih berbalik untuk menukik. Sepasang lengannya telah ditarik lagi. Kini telah jejakkan kaki di tanah. Cuma sekejap, karena selanjutnya sudah hantamkan telapak tangan mengarah dada. Inilah jurus pukulan Menghantam Bukit. Terkejut si Setan Hitam. Akan tetapi dengan tertawa dingin sudah disambutnya serangan itu. Justru anehnya dia tak menggerakkan tangan untuk menangkis.
Buk...! Hantaman itu telah mengenai sasarannya dengan telak. Terkejut sang Panembahan, karena lengannya seperti menghantam kapas... Tenaga pukulannya seperti lenyap tak berbekas. Pada saat itulah tongkat si Setan Hitam berkelebat menyambar kaki. Disertai lengan jubahnya bergerak menghantam kepala lawan.
Dalam posisi demikian ternyata cukup sulit untuk menghindar. Namun dengan gulingkan tubuhnya serta lakukan salto beberapa kali, ternyata si Elang Putih telah mampu menyelamatkan diri. Namun tak urung jubahnya kena disambar robek.
"Bagus...! Masih lincah juga kau, Elang Putih...!" Teriak si Setan Hitam. Dia tidak mengejar. Akan tetapi bahkan berkelebat ke arah pertarungan, di mana tiga orang murid utama si Elang Putih tengah bertarung dengan Rekso Jiwo.
"Celaka Guru...! Kita tak akan dapat menang melawannya.. !" Berkata sang Murid.
Tercenung sang panembahan. Dilihatnya satu persatu para muridnya dibantai habis oleh Rekso Jiwo. Pemuda itu cuma pergunakan lengan kosong saja, tapi mampu mematahkan setiap serangan yang datang. Bahkan bila sepasang lengannya bergerak, tentu akan jatuh bertumbangan tubuh para muridnya dengan dada remuk.
"Iblis telengas! Hadapilah aku...!" Sang panembahan gusar bukan main melihat keadaan para muridnya. Dengan menggerung keras dia sudah hantamkan pukulannya bertubi-tubi. Dengan tertawa jumawa si kakek jubah hitam itu putarkan tongkatnya menghalau serangan.
Sebentar saja pertarungan kedua tokoh yang sudah kawakan dan telah lama tak bertemu itu terjadi dengan hebatnya. Dua puluh jurus telah berlalu, akan tetapi si Elang Putih tetap tak mampu menembus bentengan hitam yang melindungi tubuh si Setan Hitam. Bentengan hitam itu seperti mengeluarkan hawa aneh yang dinginnya luar biasa, yaitu dari putaran tongkat si Setan Hitam.
Sementara Parta Kendala sudah pula melompat untuk menerjang Rekso Jiwo. Pemuda ini tertawa sinis. Merasa ada sambaran angin di belakangnya, dia sudah balikkan tubuh secepat kilat dan lancarkan hantaman lengannya memapaki serangan.
Wut! Wuttt...! Kedua pukulan masing-masing di elakkan oleh mereka. Akan tetapi tenaga pukulan telah membuat ikat kepala Rekso Jiwo terlepas. Pemuda ini tampak gusar. Tiba-tiba dia telah cabut keluar senjatanya. Yaitu sebuah pedang berwarna hitam. Terkejut Parta Kendala karena sinar dari pedang itu membuat hawa mengantuk pada sepasang matanya.
Empat orang sisa para murid sang Panembahan terkejut melihat sinar hitam yang telah membuat tubuhnya bergidik, karena pedang itu keluarkan hawa dingin yang aneh. Ketika senjata itu digerakkan berputar, segera membersit keluar suara bagaikan hantu-hantu yang tertawa cekikikan, disertai hawa mengantuk yang menyerang mereka.
"Ilmu Sihir Hitam...!" Terperangah seketika Parta Kendala. Dia pernah mendengar dari Gurunya akan adanya Pedang Setan ini yang telah lenyap dua puluh tahun yang lalu. Tak dinyana kalau benda pusaka itu akan muncul lagi. Dan anehnya berada di tangan Rekso Jiwo.
Sementara pada saat itu sang Panembahan Galih Kumitir dalam keadaan terdesak. Namun masih sempat melihat ke arah Parta Kendala yang tengah terperangah menatap pada Rekso Jiwo yang keluarkan Pedang Pusaka berwarna hitam itu. Terkejut pendekar tua ini, karena segera dia sudah mengenali senjata langka itu. Celaka...! Parta Kendala harus cepat-cepat menyingkir pergi sebelum terlambat. Pikir sang Panembahan.
Akan tetapi justru terpecahnya perhatian, membuat kesempatan baik tak disiasiakan oleh si Setan Hitam. Satu serangan ke arah dada dengan gerak tipuan, membuat si Elang Putih melompat menghindar. Lompatan yang sudah diperhitungkan itu ternyata adalah kesempatan yang paling baik untuk menghantamkan tongkatnya.
Buk...! Terdengar suara teriakan keras sang Panembahan, tubuhnya terjungkal dan menggelinding beberapa kali. Ketika berhenti tampak jubahnya bagian dada telah sobek hangus. Wajah sang panembahan tampak pucat pias, karena terasa dadanya remuk terhantam tongkat si Satan Hitam. Akan tetapi dia sudah berteriak untuk memperingati murid tertuanya.
"Parta Kendala, muridku... Pergilah cepat. Selamatkan dirimu... Suaranya putus seketika, berbareng dengan berkelebatnya tongkat si Setan Hitam yang menembus dadanya.
Detik itu, Parta Kendala sudah segera sadar akan apa yang harus dikerjakan. Sekejap, sang murid tertua panembahan Galih Kumitir itu sudah berkelebat cepat untuk tinggalkan padepokan. Gerakan yang tak terduga itu membuat Rekso Jiwo tak sempat untuk mengejar. Sementara dilihatnya sisa empat orang dari murid-murid Perguruan Elang Putih itu beranjak untuk melarikan diri.
Kemendongkolan hatinya jadi ditumpahkan pada mereka. Terdengar suara bentakannya, dan ketika tubuh Rekso Jiwo berkelebat, segera sinar pedang yang memukau itu telah membuat mereka berhenti berlari. Selanjutnya sudah terdengar jeritan-jeritan mengerikan, ketika dada dan leher mereka terkoyak oleh tebasan pedang. Bertumbanganlah keempat tubuh murid-murid sang Panembahan, untuk roboh mandi darah. Setelah berkelojotan, kemudian tewas.
"Bagus, muridku...! Menumpas musuh harus sampai akarnya. Kelak harus kau cari satu orang yang tadi melarikan diri. Dan cari si Pramana itu...!" Berkata si Setan Hitam, yang sudah mencabut tongkatnya dari hujamannya di dada sang Panembahan Galih Kumitir alias si Elang Putih.
"He he he... kekalahan 10 tahun yang lalu telah tertebus, muridku...! Si Ketua Perguruan ELANG PUTIH ini dulunya manusia yang selalu ikut campur urusan orang. Dia dulu berjulukan si Pendekar Elang Putih. Beberapa orang saudara seperguruanku tewas di tangannya. Cuma aku yang berhasil lolos. Namun sejak aku memperdalam ilmu silatku hingga aku berhasil memiliki Pedang Setan di tanganmu itu, dia sudah bukan apa-apa lagi bagiku. He he he... kelak kau boleh dirikan lagi Perguruan yang pasti sebentar akan membuat kewibawaan mu terkenal ke setiap penjuru...!"
Rekso Jiwo manggut-manggut dengan tersenyum, lalu sarungkan lagi Pedang Setannya ke belakang punggung. Kedatangan sang Guru memang amat di harapkan oleh Rekso Jiwo, yang memang memerlukan bantuan untuk melenyapkan sang Panembahan Galih Kumitir. Ternyata justru datang dengan membawa Pedang Setan yang diberikan padanya...
Sementara diam-diam Rekso Jiwo bergirang hati juga, karena dengan kematian ayahnya kelak dia bisa menggantikan kedudukan sebagai Adipati yang menguasai beberapa wilayah, serta punya wibawa. Namun walau bagaimana tetap saja dia merasa kehilangan, atas kematian sang Adipati Banu Rekso ayahnya...
PRAMANA sudah jauh meninggalkan kawasan perguruan Elang Putih. Tatapannya tak bergairah menatap ke depan. Berkali-kali terdengar dia menghela nafas. Ditatapnya burung-burung elang di angkasa, dan seketika teringatlah dia akan Gurunya sang Panembahan Galih Kumitir yang bergelar Pendekar Elang Putih itu. Terasa trenyuh hatinya. Orang tua itu sudah menggemblengnya dengan pelbagai ilmu kedigjayaan selama lebih dari empat tahun.
Kini dia meninggalkan Perguruan karena semata-mata buat melipur hatinya yang terluka. Karena untuk terus berdiam di sana cuma akan membuat hatinya semakin pedih. Cintanya terlalu besar pada Ratih Dewi. Kepergiannya justru untuk menenangkan perasaan hatinya yang kalut.
Beberapa saat kemudian dia telah tiba di sisi sebuah muara sungai yang di kiri-kanannya banyak tumbuh rumput ilalang, serta pohon-pohon rimbun. Keadaan di sini memang lebih menyenangkan. Pemandangan yang cukup bagus! Pikir Pramana. Dia pun mengambil keputusan untuk menetap di sekitar hutan itu.
Pramana adalah anak yatim piatu. Ketika kejadian perampokan dua belas tahun yang lalu dia masih kecil. Tak banyak yang diketahui dengan kematian kedua orang tuanya. Cuma yang diingatnya adalah dia mempunyai seorang saudara kembar yang bernama WIRATMANA.
Wiratmana terhitung kakaknya, karena lahir lebih dulu. Namun sejak kejadian mengerikan yang menimpa keluarganya, Pramana tak mengetahui ke mana gerangan sang kakak. Seingatnya adalah, dia ikut bersama seorang laki-laki tua yang dipanggilnya paman WANGSIT. Ketika Pramana berusia lima belas tahun, paman Wangsit meninggal karena usia tua dan serangan penyakit yang dideritanya.
Sayang paman Wangsit tak pernah bisa menceritakan peristiwa kematian orang tuanya, karena paman Wangsit adalah orang yang tunawicara alias gagu. Pramana pergi mengembara ke mana saja sepembawa kakinya. Lalu berjumpa dengan seorang tua bernama Galih Kumitir. Demikianlah, hingga dia menetap di padepokan ELANG PUTIH, bersama gurunya Panembahan Galih Kumitir itu.
Telah beberapa hari ini Pramana merasa hatinya tak enak. Lama-lama merasa bosan juga dia tinggal di hutan rimba itu. Suatu hari terkejut ketika tengah berburu mengejar pelanduk, telah mendengar suara jeritan seorang wanita. Suara itu seperti berteriak minta tolong, yang nampaknya amat ketakutan sekali.
Apakah yang terjadi...? Sentak hati pemuda itu. Sekejap tubuhnya sudah berkelebat melompat untuk mencari di mana arah suara itu. Dengan pergunakan indra pendengarannya yang cukup tajam, Pramana menyusup ke semak belukar. Suara teriakan itu semakin jelas. Lalu bergegas melompat ke sebatang pohon. Dari atas cabang segera dia dapat menyaksikan kejadian di bawahnya.
Ternyata seorang gadis tengah berteriak-teriak dikejar beberapa orang laki-laki yang menyoren senjata di pinggang. Bahkan salah seorang sudah berhasil memenangkannya. Siapakah mereka...?. Dan siapa pula gadis itu...?. Sentak Hati Pramana. Dengan gerakan ringan Pramana melompat turun. Jarak di hadapannya masih sekitar dua puluh tombak. Tak berapa lama dia sudah mengintai di balik semak belukar.
"Tidaak...! Tidaak...! Jangan ganggu aku! Tolooong...!" Teriak gadis itu.
"Ha ha ha... berteriaklah sekuatmu, manis. Di tempat ini tak ada pendekar yang nyasar, untuk menolongmu!" Berkata salah seorang, yang tak lain dari SENTANI. Beberapa orang anak buahnya telah berhasil meringkus wanita itu.
Sementara itu di tempat persembunyiannya, Pramana jadi terkejut, karena gadis itu tak lain dari RATIH DEWI. Istri Adipati Banu Rekso, alias bekas kekasihnya sendiri. Pramana menahan diri untuk tetap di tempat persembunyiannya. Sepasang matanya menatap dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah yang terjadi dengan Ratih Dewi...? Apakah dia melarikan diri dari Kadipaten?
"Hahaha... haha... Aku akan mendapat hadiah besar bila membawamu ke Kadipaten, bocah ayu...! Kau telah membawa bencana besar, dengan terbunuhnya Adipati Banu Rekso. Katakanlah, siapa yang telah lakukan pembunuhan itu...!" Tanya Sentani seraya mencekal dagu Ratih Dewi.
Gadis ini sorotkan wajah ketakutan, akan tetapi segera menjawab setelah kuatkan hati. Toh dia akan mati setelah usahanya melarikan diri gagal. Dan kini tertangkap di tangan orang-orang bayaran dari kadipaten! Pikir Ratih Dewi.
"Heh! Baik aku katakan! Akulah yang membunuhnya, karena aku tak sudi menjadi istri kelima Adipati itu. Aku bukan ayam yang dapat diperbuat semaunya. Manusia itu telah merenggutkan diriku dari orang yang kucintai, yaitu Pramana! Nah! Jelaslah sudah! Kini bunuhlah aku sekarang juga. Tak perlu kau bawa aku ke Kadipaten...! Bunuhlah! Bunuh...!" Teriak sang dara, yang dengan mata beringas menantang wajah Sentani.
Kata-kata itu membuat Sentani jadi melengak, akan tetapi dia sudah tertawa lebar seraya berkata. "Hahaha... Bagus! Tapi apakah kata-katamu itu bisa dipercaya...?. Aku tak yakin kau yang membunuhnya! Akan tetapi biarlah, lupakan saja mengenai siapa yang melakukannya. Namun untuk membunuhmu siang-siang adalah amat disayangkan. Kau masih pengantin baru, dan... kau memang amat mempesonakan. Pantas kalau mendiang Adipati Banu Rekso menginginkan kau jadi istrinya...!"
Tampak sepasang mata Sentani semakin binal. Juluran lengannya semakin turun ke leher, yang kemudian meraba ke dada. Menggelinjang tubuh Ratih Dewi untuk meronta. Wajahnya merah padam dan terasa jantungnya berdebar keras. Untuk menghadapi kematian tak ditakutinya, akan tetapi justru satu hal yang seperti sudah terbayang di depan matanya saja yang dikhawatiri. Ketika tahu-tahu lengan Sentani telah menotok tubuhnya. Ratih Dewi perdengarkan keluhan, dan seketika tulang-tulang persendiannya terasa lemah. Kepalanya terkulai menunduk.
"Ha ha ha... Tinggalkan wanita ini, dan kalian boleh beristirahat agak jauhan...!" Berkata Sentani pada anak buahnya.
Tiga orang yang mencekal tubuh si dara itu segera merebahkan tubuh yang sudah tak berdaya itu di rerumputan. Lalu cepat-cepat menghilang pergi ke balik semak. Sementara beberapa orang lainnya sudah melangkah pergi menjauh. Namun tidak terlalu jauh, sudah berhenti untuk palingkan tubuhnya. Tentu saja berpasang-pasang mata dari anak buah Sentanu, menatap ke arah sang ketuanya.
Bret! Bret...! Brettt... !
Lagi-lagi lengannya bergerak untuk menyibakkan kain penutup tubuh yang putih mulus itu. Segera saja satu pemandangan yang mendebarkan membuat sepasang mata Sentani semakin melebar bulat, seolah kedua biji matanya mau meloncat keluar dari kelopaknya. Napas Sentani semakin menggebu. Bibirnya terbuka menyeringai meneteskan air liur.
Selanjutnya dia sudah gerakkan lengannya membuka kancing bajunya, yang seperti sekejap saja sang baju bagian atasnya telah diloloskan terbuka. Golok panjang yang tersoren di pinggang segera di copotnya terlebih dulu berikut sarungnya. Tampaknya Sentani sudah tak sabar untuk menerkam.
Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras. Satu hantaman kaki telah membuat tubuh Sentani jatuh tersungkur ke sebelah kiri. Terjangan hebat itu membuat seketika tubuhnya menggelinding sejauh empat tombak. Bukan saja Sentani yang terkejut, akan tetapi juga anak buahnya. Karena segera mereka melihat di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh, yang tak lain dari Pramana.
"Setan Alas...! Kiranya kau bersembunyi di sini...? Bagus! Anak-anak. ringkus dia...! Dia si PRAMANA...!" Teriak Sentani dengan wajah merah padam.
Beberapa anak buahnya yang tadi terkesima, seketika sadar kembali. Serentak mereka bergerak mengurung Pramana dengan mencabut senjatanya masing-masing. Pertarungan pun segera terjadi. Pramana telah mencabut keluar pedangnya untuk menangkis serangan-serangan gencar para anak buah Sentani.
Pramana dan kawan-kawannya memang pernah bentrok dengan Sentani dan anak-anak buahnya setahun yang lalu, yang dilerai oleh Ki Demang. Kini untuk kedua kalinya Pramana berhadapan dengan orang-orang Sentani dengan lain persoalan. Kalau dulu adalah karena membela seorang pedagang yang uang dan dagangannya dikuras habis oleh begundal-begundal ini, akan tetapi sekarang adalah karena membela kehormatan seorang wanita yang adalah bekas kekasihnya sendiri.
Suara benturan-benturan senjata tajam, serta teriakan-teriakan dan bentakan segera mengoyak kesunyian di mulut hutan itu. Dua orang roboh terjungkal terkena tebasan pedang Pramana. Untuk pertarungan ini Pramana telah keluarkan jurus-jurus permainan pedangnya yang berkelebatan hebat. Tiga orang merangsak maju dengan berteriak membentak. Tiga buah golok berkelebatan menabas pemuda itu.
Nyaris memapas pinggangnya, kalau Pramana tak cepat berkelit. Selanjutnya kembali terjadi pertarungan dua lawan satu. Pramana terus merangsak lawan-lawannya. Jelas ilmu pedang dari jurus-jurus Elang Putih cukup membuat anak-anak buah Sentani agak gentar. Namun khawatir dibentak oleh ketuanya mereka terpaksa dengan bersemangat kembali maju menempur. Delapan orang anak buah Sentani kini tinggal enam orang. Dua orang sudah terkapar tak bernyawa.
Setahun belakangan ini ternyata membuat kepandaian Pramana maju pesat, tapi dengan mengeroyok bersama rasanya tak mungkin kalau tak dapat meringkusnya...! Demikian pikir Sentani. Tiba-tiba dia sudah melompat untuk turut menempur Pramana!
Menghadapi empat orang anak buah Sentani ditambah lagi dengan kedatangan si Ketua begundal-begundal itu, ternyata membuat Pramana cukup kewalahan juga. Di samping satu keteledoran telah membuat lengannya terluka.
"He he... Bagus! Ayo, serang terus... !" Teriak Sentani memberi semangat pada anak buahnya. Melihat darah semakin mengucur di lengan Pramana. Sentani tertawa gelak-gelak. "Ha ha ha... Semua senjata anak buahku telah direndam dengan racun. Kau harus hati-hati dengan lukamu Pramana, karena lebih banyak bergerak racun akan cepat menjalar!" Teriak Sentani.
Terkesiap juga hati Pramana mendengar teriakan Sentani. Padahal Sentani hanya menggertaknya. Namun hal itu telah membuat gerakannya tidak lagi terarah. Permainan ilmu pedangnya agak kacau. justru hal itu yang diinginkan Sentani. Pramana mengeluh panjang, tubuhnya jatuh bergulingan tanpa dapat dicegah lagi. Saat itu Sentanu kembali lancarkan serangan ganasnya. Goloknya meluncur deras menyambar tubuh Pramana. Akan tetapi pada saat yang genting itu berkelebat sesosok tubuh menghalau serangan ganas Sentani.
Trang...!
Terdengar suara beradunya dua senjata tajam. Terkejut Sentani. Benturan keras itu membuat tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa tindak. Terasa telapak tangannya tergetar, yang nyaris saja membuat goloknya terlepas dari tangannya. Belum lagi diketahui siapa yang datang, sang penolong itu sudah berkelebat menyambar lengan pemuda itu untuk ditariknya pergi. Dalam beberapa kejap saja sudah lenyap di balik semak belukar.
"Sudahlah! Tak usah dikejar. Mari kita kembali...!" Sentani sudah mendahului melompat ke arah awal pertarungan tadi. Akan tetapi terkejut Sentani karena tak mendapatkan tubuh Ratih Dewi di tempatnya lagi.
"Hah...! Kemana perempuan itu...?!" Teriak Sentani dengan kepala berpaling ke beberapa arah. Dia cuma dapatkan sisa-sisa sobekan kain dan baju wanita itu saja yang berceceran di rerumputan, serta bajunya sendiri yang tadi dilepaskan. Apakah wanita itu dapat melepaskan diri dari pengaruh totokannya? Bukankah dia tadi dalam keadaan pingsan? Berfikir Sentani dalam benaknya. Tiba-tiba Sentani telah melompat ke arah se orang anak buahnya yang terluka.
"Kau tidak melihatnya...?" Tanyanya dengan plototkan sepasang mata pada si anak buah.
Laki-laki yang terluka itu cuma gelengkan kepala dengan lemah. Sementara bibirnya tampak menyeringai menahan sakit dari luka goresan pedang di dadanya.
"Bodoh! Goblok! Dungu... !" Berteriak Sentani memaki. Lalu palingkan kepala pada keempat anak buahnya. "Hayo kalian cari perempuan itu.
Serentak hampir berbareng mereka menyahuti, dan segera berkelebatan mencari dengan berpencar. Sementara Sentani sendiri duduk mendeprok sambil menggarukgaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun tak berapa lama, satu persatu sudah kembali lagi, seraya memberi laporan nihil.
PRAMANA mengikuti orang yang menarik lengannya itu untuk berlari cepat menembus hutan rimba belantara. Beberapa saat antaranya mereka sudah hentikan larinya. Terkejut juga girang hati Pramana mengetahui orang itu tak lain dari kakak seperguruannya, yaitu Parta Kendala.
"Terima kasih kakang...! Kalau tak ditolong mu mungkin aku sudah celaka!". Berkata Pramana.
Parta Kendala tak menyahut, tapi balikkan tubuhnya untuk menatap ke arah lain. Wajahnya kaku tak menampakkan senyum secuilpun. Kedua tangannya tampak terkepal, dan sesaat sudah tundukkan kepala disertai terdengarnya suara helaan napas.
"Kakang...!? Kenapakah kau? Kalau kau tak mau dengar ucapan terima kasihku mengapa kau tolong aku?" Berkata Pramana.
Tiba-tiba Parta Kendala balikkan tubuhnya, dengan wajah memerah. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca menatap pada adik seperguruannya. Terkejut Pramana melihatnya. Hatinya tersentak seketika. Pasti ada apa-apa yang terjadi, pikirnya.
"Kakang Parta Kendala! Maafkanlah aku. Katakanlah kakang, apa gerangan yang membuatmu bersedih? Apakah karena aku dituduh orang-orang Kadipaten telah membunuh Kanjeng Adipati Banu Rekso...?" Tanya Pramana dengan suara lembut.
Sang kakak seperguruan tak menjawab, tapi menggelengkan kepalanya. "Bukan itu yang jadi masalah, Pramana!" Akhirnya Parta Kendala bicara juga. "Akan tetapi..." Sambung kata-katanya; dan seterusnya segera tuturkan peristiwa di Padepokan Perguruan Elang Putih beberapa hari yang lalu.
Serasa mendengar petir menggelegar di siang hari layaknya, Pramana terkejut bukan main. Sepasang matanya membeliak seperti tak percaya. Dadanya tergetar menahan kepedihan yang amat luar biasa.
"Aku cuma bisa melihat kematian Guru dari kejauhan. Semua saudara-saudara seperguruan kita tak satupun yang hidup! Kalau aku tak menuruti perintah Guru waktu itu untuk menyelamatkan diri, mungkin akupun sudah tak hidup lagi di Dunia ini!" Ujar Parta Kendala mengakhiri penuturannya.
"Kakang Parta Kendala...! Ini semua adalah gara-gara kepergianku! Hingga aku dituduh Rekso Jiwo melarikan Ratih Dewi dan membunuh sang Adipati. Maafkanlah aku, kakang! Kini apa yang harus kita perbuat?" Berkata Pramana.
Wajah Parta Kendala kini menampakkan senyum, walau sepasang matanya masih berkaca-kaca. Seraya ujarnya; "Kau tak bersalah, Pramana. Mungkin kesalahan itu terletak pada nasib. Dan berpangkal pada kenekadan Ratih Dewi, yang nekad melenyapkan jiwa Adipati Banu Rekso, suaminya! Kukira titik kesalahannya adalah pada kekasihmu itu, Pramana!"
"Akan tetapi hal itu tak bisa menjadikan orang-orang ELANG PUTIH kehilangan segala-galanya." Teriak Pramana, yang secara tak sadar telah keluarkan suara keras. Wajahnya tampak merah padam, dadanya turun-naik. Pramana tak dapat menerima alasan yang dilontarkan Rekso Jiwo, sebagai dalih untuk menumpas habis Perguruan Elang Putih. "Aku akan menuntut balas kematian Guru dan saudara-saudara seperguruan kita itu, kelak...!" Berkata Pratama dengan menggeram. Kedua lengannya terkepal, namun tibatiba dia mengeluh seraya memegangi lengannya yang terluka.
"Oh, aku terkena tabasan golok yang mengandung racun. Apakah kau punya obat pemunah racun, kakang?" Tanya Pramana dengan khawatir.
Parta Kendala terkejut, serta sudah melompat untuk memeriksa lengan Pramana. Akan tetapi selang sesaat, tiba-tiba telah tertawa geli. "Hahaha... Rupanya kau kena dibohongi si Sentani itu. Lukamu biasa, tak begitu membahayakan. Tapi kau obatilah, sebentar rasa nyerinya akan hilang!" Ujar Parta Kendala seraya berikan obat berupa serbuk halus.
Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara tertawa dingin disertai berkelebatnya dua sosok tubuh. Bukan main terkejutnya Parta Kendala, karena keduanya adalah si Setan Hitam yang datang beserta muridnya. Yaitu Rekso Jiwo.
"Hah...?" Pucat bias seketika wajah Parta Kendala. Sementara Pramana segera mengetahui siapa yang datang. Melihat wajah pucat saudara seperguruannya ketika menatap pada si kakek berjubah hitam, tahulah Pramana kalau orang itu adalah yang berjuluk si Setan Hitam.
"Hahahehe... hehe.... Menumpas musuh harus sampai ke akar-akarnya, muridku! Kini keduanya sudah berada di depan mata! Segeralah kau turun tangan...!"
Si kakek jubah hitam yang berwajah menyeramkan, dengan gigi besar-besar mencuat keluar serta mata yang tinggal sebelah itu berkata se-enaknya. Suaranya seperti tempayan rengat, tak enak didengar, dan membuat daun telinga jadi gatal seperti dikilik-kilik. Kalau Parta Kendala wajahnya seketika menjadi pucat, akan tetapi sebaliknya Pramana men jadi gusar dan kertak gigi melihat kedatangan kedua musuh yang telah membinasakan Gurunya ini.
"Bagus... ! Macam beginikah tampangnya manusia-manusia keji yang telah membunuhi orang-orang yang tak punya kesalahan di Padepokan Elang Putih?" Berkata Pramana dengan sepasang mata melotot tajam.
"He!? Besar juga nyalimu, bocah! Apakah kau tak takut mati?" Bentak si Setan Hitam. Akan tetapi jawabannya justru membuat si kakek jubah hitam ini jadi melengak.
"Cuih...! Siapa yang takut akan mati. Bagiku mati atau hidup sama saja tak ada bedanya. Cuma yang berbeda adalah hidup seperti anjing hina dan mati sebagai pahlawan, kukira lebih berharga kematian!"
"Bedebah! Kunyuk...! Kurcaci semacammu lebih baik dibuat mati tidak hiduppun tidak, barulah kau bisa hilangkan kesombonganmu!" Bentak Rekso Jiwo.
"Bagus! Bagus! Kau buatlah dia cacat seumur hidup, muridku. Biar lebih sengsara hidupnya melebihi sengsaranya anjing kudisan! He he he he..."
Selesai membentak Rekso Jiwo sudah mencabut keluar Pedang Setan dari sarangnya. Segera hawa dingin menyibak membuat hawa aneh yang menjadikan mata seperti mengantuk. Juga membuat semangat orang bisa menghilang punah.
Sepasang mata Pramana terpaku menatap pedang berwarna hitam legam itu. Adapun Parta Kendala sudah segera salurkan kekuatan batinnya untuk menolak kekuatan ilmu Hitam dari Pedang Setan. Namun saat itu pedang dilengan Rekso Jiwo telah berkelebat menabas ke arah leher.
Wuttt...! Nyaris membuat putus menggelinding kepala Parta Kendala kalau dia tak cepat membuang diri ke samping. Akan tetapi sepasang matanya jadi nanar, karena Rekso Jiwo telah putarkan pedangnya membuat hawa aneh menyerang semakin hebat. Parta Kendala hampir-hampir jatuh karena mengantuk, tak kuat menahan tubuhnya. Saat itulah berkelebat kembali beberapa kilatan Pedang Setan, yang tahu-tahu Parta Kendala tak mampu lagi mengelakkannya.
Desss! Desss...!
Terdengar jeritan menyayat hati dari Parta Kendala. Keadaan tubuhnya amat mengerikan, karena kedua tangannya terpapas putus. Dan di saat tubuh laki-laki itu terhuyung limbung, satu kilatan Pedang Setan yang berkelebat terlalu cepat telah menghunjam di dada Parta Kendala. Robohlah sang murid tertua Panembahan Galih Kumitir dengan keadaan yang mengerikan. Tubuhnya bersimbah darah yang menyemburat dari kedua luka lengannya yang putus sebatas pundak.
Setelah meregang nyawa beberapa saat, maka putuslah nyawa laki-laki murid ketua Perguruan ELANG PUTIH itu. Pramana beliakkan sepasang matanya dengan mulut ternganga. Tubuhnya terguncang gemetaran.
"Aku akan adu jiwa denganmu, Iblis...!" Teriaknya lantang. Suaranya bagaikan hendak membuat runtuhkan langit layaknya, saking gusarnya yang bagai sudah tak terbendung lagi.
Plakk! Plakk...! Wesss...!
Beberapa serangan dahsyat Pramana mendapat tangkisan telak dari lengan Rekso Jiwo, yang mempergunakan satu jurus hebat. Itulah jurus Tiga Iblis Membendung Lautan, yang sudah matang dipelajarinya. Serangan yang bagaimanapun lihainya akan punah dengan jurus itu. Karena saat menerjang itu Pramana sendiri terheran. Sekonyong-konyong tubuh Rekso Jiwo seperti berubah jadi tiga.
Tentu saja serangannya lolos. Tahu-tahu terasa lengannya kena terhantam di saat posisinya dalam keadaan tak menguntungkan. Qua kali hantaman itu membuat tubuh Pramana berpusing atau memutar beberapa kali. Dan saat berikutnya satu tendangan telak telah menghantam dada Pramana, yang seketika terjungkal dengan teriakan tertahan.
"Hahaha... hehehe... Bagus! Bagus, muridku. Ilmu Bayangan Sepuluh Iblis itu telah sempurna betul kau kuasai! Ayolah cepat jangan membuang waktu. Kau buat dia orang yang cacat tanpa daksa seumur hidup!". Berkata si Setan Hitam dengan suara sember yang membuat lubang telinga gatal.
"Baik, guru...! Aku memang akan membuatnya mati tidak hiduppun tidak. Dan kelak aku akan adakan satu permainan hebat di hadapannya. Hahaha... haha..."
Begitu habis suara tertawanya, kesepuluh tubuh bayangan Rekso Jiwo telah semakin rapat mengurungnya. Mengamuklah Pramana sejadi-jadinya, dengan menerjang kesana-kemari dengan pukulanpukulan dahsyatnya. Akan tetapi semuanya seperti menemui tempat kosong. Bahkan kali ini Pramana tak dapat lagi menghindar ketika Rekso Jiwo gerakkan lengannya menotok tubuhnya.
Pemuda keluarkan keluhannya. Baru saja tubuhnya terhuyung roboh, telah terasa tengkuknya dicekal orang. Tahu-tahu dia rasakan tubuhnya telah melayang di udara. Kiranya Rekso Jiwo telah melemparkannya ke atas.
Pemuda ini mengeluh ketika rasakan tubuhnya sudah meluncur turun kembali ke bawah. Dan selanjutnya terdengar suara tulang-tulang yang berderak pat ah. Pramana keluarkan jeritannya yang menyayat hati.
"Hehehe... Berikan padaku bocah itu, murid ku...!" Teriak si Setan Hitam tiba-tiba. Entah mengapa manusia ini jadi kepingin ikut-ikutan menyiksa.
"Baik, guru...! Sambutlah! Tapi jangan kau bunuh dia, guru!" Teriak Rekso Jiwo. Sekali gerakkan tangan, tubuh Pramana kembali melayang ke udara.
Akan tetapi sebelum si Setan Hitam sempat menanggapinya, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dengan gerakan bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu. Dan selanjutnya dengan gerakan yang cepat sekali, telah membawanya berkelebat cepat sekali. Hingga sebentar saja sudah lenyap.
Adapun si Setan Hitam jadi terkejut bukan main, karena tahu-tahu tubuhnya terhuyung dua tindak. Kiranya di saat lengannya sudah bergerak untuk menyambuti tubuh pemuda itu, tiba-tiba segelombang angin halus tapi bertenaga besar, telah membuat tubuhnya terdorong.
Dan berbareng dengan itu, satu bayangan putih berkelebat menyambar tubuh Pramana. Tadinya dia sudah gerakkan kaki untuk mengejar, akan tetapi telah terdengar satu suara halus yang dikirim dari jarak jauh. Padahal orangnya sudah tidak kelihatan.
"Setan Hitam telengas....! Kelak akan datang masanya kalian menyesali perbuatan keterlaluan kalian...!" Suara itu cuma si Setan Hitam yang mendengarnya.
"Siapa kau...?" Bentak kakek tonggos ini dengan suara berkumandang.
Akan tetapi tiada jawaban apa-apa. Semuanya berlalu seperti angin lewat saja. Kini di tempat itu kembali sunyi. Rekso Jiwo cuma saling pandang dengan gurunya. Namun tak berapa lama kemudian kedua sosok tubuh guru dan murid itu telah berkelebat pergi meninggalkan tempat tersebut.
PELAHAN LAHAN si gadis mulai membuka kelopak matanya. Kelihatannya dia telah tersadar dari pingsannya akibat pengaruh totokan. Gadis itu tak lain dari Ratih Dewi. Terkejut sang gadis ini mengetahui dirinya berada dalam sebuah ruangan yang gelap. Sekelilingnya adalah cuma dinding yang terbuat dari batu bertonjolan, yang ternyata adalah sebuah Goa. Dia sendiri ter baring pada sebuah balai-balai beralasan tikar rumput kering.
"Dimanakah aku ini...? Dan tempat apakah ini...?" Gumam Ratih Dewi berdesis. Dilihatnya samar-samar di ujung ruangan ada bayangan sesosok tubuh membelakangi. Tak jauh di dekatnya ada sebuah meja, yang di atasnya terpasang sebuah lampu minyak tanah. Siapakah orang itu? Tanya Ratih Dewi dalam hati.
Sementara dia mulai mengingat-ingat peristiwa dirinya. Terkejut Ratih Dewi ketika dapatkan tubuhnya telanjang bulat. Dan dia cuma berselimutkan selembar kain tipis yang tak seberapa panjang. Barulah dia sadar akan apa yang dialami, karena seingatnya dia telah terjatuh dalam cengkeraman orang-orang Kadipaten.
Terutama ada laki-laki bernama Sentani itu yang telah berbuat kurang ajar terhadapnya, ketika menjadi tawanan. Ratih Dewi memang sudah tak mengharapkan hidup. Akan tetapi tetap saja dia mengkhawatirkan nasibnya kalau harus terpaksa melayani nafsu bejat. laki-laki itu.
Tapi kini dia berada di tempat lain. Entah siapakah orang itu. Apakah Sentani...? pikirnya dalam benak.
Karena Ratih Dewi cuma melihat punggungnya saja, dia tak mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu. Namun dia sudah memastikan orang itu adalah Sentani, karena siapa lagi kalau bukan manusia itu, yang telah menodainya. Perlahan dia bangkit. Sepasang matanya memancar tajam menatap punggung orang itu. Keberanian Ratih Dewi memang luar biasa.
Tiba-tiba matanya telah melihat sepotong kayu tergeletak di sudut ruang yang samar-samar itu. Diraihnya benda itu. Lalu dengan berjingkat-jingkat beranjak mendekati orang yang tengah duduk membelakangi. Entah apa yang tengah dilakukan sosok tubuh itu, yang tampaknya seperti tengah bersemadhi.
Ketika itu Ratih Dewi telah tiba di belakangnya dengan langkah tak menimbulkan suara. Potongan kayu itu sudah diangkatnya tinggi-tinggi siap untuk dihantamkan ke kepala orang itu. Akan tetapi orang itu menoleh... Segera terlihat wajahnya yang tertawa menyeringai.
"Hah...!?". Terperanjat Ratih Dewi. Sepasang matanya hampir-hampir tak percaya, karena orang itu adalah ayahnya. Alias Ki Demang Harya Winangun. Akan tetapi wajah itu tampak pucat, dan menyeringai menyeramkan. Membuat gadis ini tersentak kaget. dan melangkah mundur dua tindak. Sebelah lengannya memegangi kain yang membungkus tubuhnya sebatas dada.
"Hehehe... Ratih Dewi, anakku... kau sudah sadar, sayang...?" Suara sang "ayah" ini kedengarannya begitu mesra. Tiba-tiba cepat sekali tubuhnya telah melompat ke dekat sang gadis. Tahu-tahu lengannya sudah menangkap pinggang Ratih Dewi.
"Ayah...!? Kau... kau... Akan tetapi selanjutnya gadis itu sudah perdengarkan teriakannya, karena sekonyong-konyong wajah ayahnya itu telah berubah menakutkan. Giginya besar-besar menonjol keluar. Matanya cuma sebelah. Rambutnya yang panjang sebatas bahu berwarna putih beriapan itu bergerak-gerak bagaikan cacing-cacing kecil yang berjuntaian.
"Hah!? Kau bukan ayah? Si... siapa kau...? Tidaak! Tidaaak! Lepaskan aku!" Berteriak Ratih Dewi.
Akan tetapi sosok tubuh itu telah memondongnya dengan tertawa terkekeh-kekeh. Lalu diletakkan di pembaringan beralaskan tikar rumput itu. Kain penutup tubuhnya telah melayang lagi entah ke mana. Ratih Dewi serasa bermimpi yang amat menakutkan. Akan tetapi seperti sungguhan.
Anehnya dia berada di tengah hutan dalam keadaan telanjang bulat, dan tubuh basah kuyup disiram hujan. Tak mengerti dia sama sekali akan semua itu. Segera dia berlari untuk mencari tempat meneduh. Tubuhnya menggigil bukan main. Akan tetapi mau cari selimut atau pakaian kemari? Hampir gila, dan seperti sudah hilang akal wanita ini.
Pada saat itulah terdengar suara menyeramkan di telinganya. Suara tertawa yang membuat bulu tengkuknya meremang berdiri. Tiba-tiba angin bersiur keras. Hawa dingin semakin merasuk ke tubuh menembus ke tulang. Bergetaran tubuh gadis ini. Di samping rasa takut, tapi juga karena hawa dingin yang tak tertahankan.
"Hoaha... hahaha... anak manis...! Kau akan kutolong dari kesusahanmu, asalkan kau menerima beberapa syaratku. Hoahaha... haha...! Kalau kau tak bersedia, kau akan mati dengan ketakutan dan kesengsaraan... !" Terdengar suara orang berkata.
Terperangah seketika Ratih Dewi. Suara itu berkumandang di sekitarnya, akan tetapi tak ada orangnya. Setankah? Makhluk haluskah...? Pikir dalam benaknya. Ratih belum memberikan jawaban. Ketika pada saat itu kilatan petir membuat cuaca gelap itu terang sekilas. Terlihat di hadapannya sesosok tubuh berdiri menatap ke arahnya. Siapakah...? Tak pikir panjang Ratih Dewi sudah gerakkan tubuh untuk berlutut. Seraya berkata;.
"Bapak yang berada di hadapanku! Tolonglah aku segera dari kesusahan, dan kekalutan fikiranku ini. Apapun syarat itu akan aku kabulkan asalkan aku terlepas dari kesusahan ini..."
Baru saja selesai kata-katanya sudah terdengar suara tertawa lagi terbahak-bahak. Tahu-tahu hujan deras serta angin yang menderu-deru menerpa tubuhnya itu sirna. Cuaca pelahan-lahan berubah kembali terang. Akan tetapi sudah terdengar bentakan keras.
"Anak manis, cepat tutup matamu! Kalau tidak cuaca akan kembali berubah seperti tadi...! Dan ingat, jangan dibuka sebelum aku memerintahkanmu...!"
"Oh, baik...! Baik, aku akan menutup mataku!" Ujar Ratih Dewi. Padahal baru saja dia ingin melihat siapakah orang di hadapannya. Tahu-tahu terasa tubuhnya melayang cepat sekali. Namun dia benar-benar tak berani membuka matanya. Terasa ada lengan yang mencekal pinggangnya.
Selang sesaat tiupan angin telah mereda, dan dirasakannya tubuhnya menyentuh alas rumput kering. Lengannya sudah meraba sebuah selimut kering yang hangat. Tak ayal segera dipakainya untuk membungkus tubuhnya yang menggigil kedinginan. Ketika Ratih Dewi diperintahkan membuka matanya, di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh menatapnya. Sesosok tubuh laki-laki berbadan tegap, namun wajahnya tak terlihat jelas, karena memakai topi tudung yang menutupi sebagian wajahnya.
Ikutlah aku...!" Berkata orang itu.
Ratih Dewi terpaku sejenak. "Andakah yang telah menolongku...?" Tanya Ratih Dewi.
Orang itu tak menyahut, karena tubuhnya telah melompat ke depan ruangan goa yang luas itu. Pada bagian ujungnya ada terdapat sebuah batu besar, yang tingginya hampir setinggi manusia. Kesanalah orang itu melompat, dan sekejap sudah duduk di atas batu.
"Kalau di sini tak ada lain orang selain aku, siapa lagi yang melakukan pertolongan padamu...? Heh, seandainya kubiarkan dirimu tanpa kuselamatkan, niscaya kau sudah dijadikan pelampias nafsu manusia bejat yang bakal membawamu ke tiang gantungan! Kini cepatlah kau duduk di hadapanku!"
Tak ayal lagi Ratih Dewi sudah berucap dengan suara tergetar takut dan girang menjadi satu. Ratih Dewi cuma bisa mengangguk. Selanjutnya sudah terdengar lagi suara orang bertudung itu dengan nada suara dingin.
"Bagus! Kau harus bersedia menjadi muridku!"
Terkejut Ratih Dewi mendengarnya, akan tetapi dia sudah segera bersujud di hadapan orang itu. "Oh, terima kasih, guru...! Aku benar-benar merasa amat senang sekali!" Ujarnya dengan wajah girang.
"Bagus...! Ketahuilah, ayahmu Ki Demang telah tewas, juga ibumu...! Kasihan orang tua itu, karena gara-gara kau membunuh Adipati Banu Rekso, mereka telah dijatuhi hukuman gantung oleh Tumenggung Kadipaten...!" Ujar si orang bertudung.
"Oh...!? Ayah, ibu.... !?" Terkesiap Ratih Dewi. Seketika wajahnya berubah pucat. Kemudian terdengarlah isaknya tersendat. Betapa hancur hatinya mendengar berita itu. Selang beberapa saat setelah tangisnya mereda gadis ini dongakkan wajahnya menatap sang guru, seraya berkata.
"Guru...! Ajarilah aku ilmu kepandaian. Aku... aku..." Tak mampu Ratih Dewi meneruskan kata-katanya, karena kembali dia terisak, dengan air mata bercucuran.
"Kau mau menuntut balas, bukan?. Hahaha... Bagus! Kau memang anak yang berbakti pada kedua orang tua! Nah, tinggallah di sini sampai kau berhasil mempunyai ilmu kepandaian. Jangan khawatir, aku SILUMAN MUKA SERIBU akan menurunkan ilmu-ilmu yang hebat padamu...!" Ujar si orang bertudung dengan suara berwibawa.
"Oh, terima kasih, guru! Terima kasih...!". Teriak Ratih Dewi dengan girang, seraya jatuhkan diri lagi untuk berlutut beberapa kali.
TIGA TAHUN berlalu sudah, sejak kejadian di dalam goa itu. Di pertengahan musim kemarau... langit tampak amat bersih membiru tak berawan. Udara siang itu amat cerah. Seorang gadis cantik tampak berdiri di ujung bukit. Di bawahnya mengalir sebuah sungai berair jernih berbatu-batu. Itulah sungai yang bernama Kali Kendil.
Sedang bukit yang dipijaknya adalah dataran tinggi di mana jauh di sebelah sana tegak menjulang Gunung Bromo dengan megahnya. Angin pegunungan yang menerpa membuat rambut si gadis ayu tersibak beriapan. Dia memakai pakaian persilatan berwarna hijau lumut. Ikat pinggangnya terbuat dari kulit ular. Sementara ikat kepalanya yang terjuntai juga berkibaran, yang juga berwarna hijau.
Siapa lagi gadis ayu yang bertubuh semampai itu kalau bukan RORO CENTIL adanya. Seulas senyum tampak terlihat pada bibirnya yang merah ranum ketika menatap ke arah sungai yang mengalir di bawah bukit. Lain pandangan matanya beralih ke sebelah barat sungai, di mana terlihat satu dua wuwungan rumah penduduk di sela-sela pepohonan. Pasti di bagian sebelah dalamnya terdapat perkampungan. Berkata sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini dalam hati.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berkelebatan menuruni bukit. Bagi mata manusia biasa yang tak mempunyai kekuatan ilmu batin, akan merasa aneh melihatnya. Karena sang gadis Pendekar ini tampaknya seperti tengah duduk dengan kaki terjuntai, tapi tubuhnya meluncur pesat ke bawah bukit yang sekejap saja sudah tiba di tepian sungai.
Padahal bagi yang dapat melihat dengan mata batin, akan mengetahui kalau gadis ini telah menunggang seekor macan Tutul yang amat besar yang tak tampak oleh mata biasa. Itulah si TUTUL sahabatnya Roro Centil, yang selalu setia menemani kemanapun majikannya pergi. Tapi satu keanehan si makhluk siluman ini, adalah tak bisa bertindak sendiri tanpa diperintah.
Kini Roro Centil sudah tak gunakan kata-kata biasa lagi untuk menitahnya kalau sedang diperlukan. Akan tetapi mempergunakan kata-kata batin yang tak diucapkan dengan mulut, melainkan dengan hati yang disalurkan lewat kekuatan batin. Roro Centil tatapkan sepasang matanya ke arah seberang sungai.
Tampak ada tiga buah pondok yang jarak antara satu dengan lainnya tak begitu jauh. Tiba-tiba gadis pendekar ini kerutkan alisnya. Nalurinya yang peka telah mengatakan ada sesuatu terjadi di seberang sungai. Kejap selanjutnya adalah, tubuh sang gadis sudah melesat untuk melompat ke seberang sungai.
Sementara itu di dalam sebuah pondok yang berada paling ujung, memang telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Tampak empat sosok tubuh terkapar bersimbah darah... Sekejap Roro sudah berada di muka pondok. Terkejut bukan main gadis ini. Sekali bergerak melompat, dia sudah tiba di dalam.
Roro tegak berdiri di depan mayat-mayat, memasang telinganya untuk mengetahui ada tidaknya orang di dalam. Tapi ternyata sudah kosong ketika Roro memeriksanya. Selanjutnya dia segera periksa keempat mayat, yang ternyata sudah tewas cukup lama.
"Apakah yang sudah terjadi? Siapakah pembunuh mereka ini...?" Desis Roro. Sekejap Roro sudah melompat keluar lagi. Kini tubuhnya sudah memasuki lagi pondok-pondok di seberang sungai itu. Ternyata di sini pun banyak mayatmayat berserakan.
"Gila...! Apakah di dalam perkampungan pun semua penduduk tewas?" Desis Roro, seraya berkelebat terus semakin masuk ke dalam daerah yang merupakan perkampungan penduduk di wilayah sekitar kaki bukit itu.
Tiga-empat rumah penduduk kembali dijumpai. Tidak semua terdapat mayat, karena ada juga yang sudah kosong melompong. Tampak Roro keluar dengan wajah lesu. Dia berdiri di depan pondok. Kepalanya mendongak ke atas, dengan sepasang mata terpejam. Sementara hatinya bergemuruh menahan lonjakan-lonjakan kuat dari dalam dadanya. Rasa gusar, marah, sedih berkumpul menjadi satu. Dia harus temukan si pelaku pembantaian ini.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa gadis Pendekar ini. Tertawa yang mengikik geli. Semakin lama semakin keras, dan terdengar seperti berkumandang di beberapa tempat dan arah. Bahkan seperti ada ratusan orang yang tertawa, karena suara tertawa itu tak putus-putusnya berpantulan.
Tapi anehnya, dalam tertawa ini tampak air mata si dara bercucuran. Inilah satu kekuatan tenaga dalam yang amat hebat menakutkan. Karena akibat suara itu, keadaan sekitar tempat itu telah jadi berubah...
Beberapa buah genting telah merosot dari atas wuwungan rumah yang berada di belakang Roro. Burung-burung kecil yang sembunyi di daun-daun pohon, serentak beterbangan dengan suara bercuit-cuit ketakutan. Kira-kira hal itu berlangsung tiga kali sepeminuman teh hangat, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras dari ujung jalan desa.
"Kurang aja ...! Berhenti! Hentikan tertawa itu bocah keparat...!" Disusul dengan munculnya sesosok tubuh yang berjalan dengan sempoyongan, menekan kedua daun telinganya. Itulah tubuh seorang laki-laki berjubah hitam. Di lengannya tercekal sebuah tongkat yang ujungnya bercagak. Tiga buah gigi yang besar-besar menonjol keluar dari mulutnya. Sebelah matanya tak berbiji lagi.
Roro sudah hentikan tertawanya. "Hi!? Bocah cantik, siapa kau?" Bentaknya dengan garang. Wajahnya menampakkan kegusaran.
Roro perhatikan orang sekilas, tapi tiba-tiba sudah berlalu tinggalkan orang itu. Melengak si laki-laki berjubah, yang tak lain dari si Setan Hitam adanya. Sebagai tokoh yang sudah kawakan, dan punya nama besar, serta ditakuti di sekitar wilayah tempat itu, tentu saja perbuatan Roro itu seperti menghinanya. Di samping heran, karena justru suara tertawa yang membuat telinganya menjadi sakit, tak lain dari suara tertawa seorang gadis cantik jelita.
Dari pengaruh yang dirasakannya jelaslah kalau gadis itu berilmu tinggi dan bertenaga dalam hebat, karena getarannya mengandung kekuatan hebat yang menggetarkan jantung dan syaraf. Laki-laki tua jubah hitam ini sudah julurkan lengannya menyambar tengkuk orang, disertai bentakan keras.
Gerakan menyambar ini bukan sembarangan, karena jangankan tubuh manusia, batu pun akan hancur kena cengkeraman tangannya. Inilah salah satu jurus kejinya si Setan Hitam, yang sengaja di pergunakan untuk menyerang lawan yang berilmu tinggi. Tenaga dalam yang tersalur dalam tangannya bisa meremukkan tulang leher Roro, kalau gadis ini tak gunakan rambutnya mengepret ke belakang.
Terkejut si Setan Hitam, namun segera dia buru-buru tarik kembali serangannya. Dilihatnya gadis itu menolehpun tidak kepadanya, membuat wajah si Setan Hitam jadi semakin merah dan panas. Jelas gadis yang berilmu tinggi! Pikir si Setan Hitam. Tapi tingkah lakunya yang aneh itu justru membuat dia jadi semakin penasaran. Apalagi melihat caranya berjalan untuk berlalu tinggalkan tempat itu, seperti santai saja kelihatannya.
"Hihihi... banyak mayat yang kujumpai di tiap rumah, ternyata cara pembunuhannya kurang kejam! Entah setan atau iblis mana yang memperbuatnya? Benar-benar membuat malu aku si Ratu Segala Iblis!"
"Hei! Perempuan sinting! Baru aku mendengar ada julukan Ratu Segala Iblis! Kalau kau benar orangnya, coba tunjukkan padaku cara bagaimana membunuh orang dengan kejam?!"
Roro hentikan tindakan kakinya. Sepasang matanya memang tidak terbuka seluruhnya, karena mirip orang mengantuk. Seperti lagak orang baru bangun tidur, Roro kucak-kucak matanya yang masih mengembang bekas air mata. "Siapakah yang bertanya...?" Tanyanya jumawa. Justru dia tak memandang sama sekali pada si kakek jubah hitam di hadapannya.
Diam-diam Setan Hitam mendongkol bukan main. Rasanya sudah mau menghantamkan tongkatnya saja ke kepala gadis aneh itu. Akan tetapi dengan menahan sabar, dia menjawab. "Heh! Ketahuilah, aku si Setan Hitam yang bercokol dan menguasai di lima wilayah ini! Harap kau buka lebar-lebar matamu, untuk melihatku! Agar kau ketahui yang bagaimana wajah si Setan Hitam!"
Akan tetapi setelah mendengar penjelasan orang, justru Roro Centil malah tertawa geli. "Hihihi... hihi... Pantas! pantas! Setan Hitam keroco yang baru kenal kejahatan kemarin sore, mana bisa menandingi ketelangasan ku, si Ratu Segala Iblis? Hi hi hi... hihi..."
Tentu saja merah wajah si Setan Hitam bagaikan kepiting direbus. Tubuhnya tampak tergetar hebat. Tiba-tiba dia berteriak keras. Lengannya bergerak menghantam tanah di hadapannya, yang seketika jadi hangus. Lalu hantamkan lagi ke kiri dan ke kanannya. Terdengar suara batang-batang pohon yang batangnya patah berantakan, dan roboh dengan suara gemuruh.
Melihat orang unjuk kepandaian di depan matanya, Roro cuma perhatikan dengan mata meram melek, dan bibir unjukkan senyum tipis. "Kau tunggulah di sini, akan kutunjukkan kekejaman ku dihadapanmu" Teriak si Setan Hitam.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap. Apakah yang dilakukannya? Ternyata dia telah berkelebatan menghantami semua pondok penduduk di sekitar tempat itu dengan pukulan dahsyatnya, yang membuat kobaran api segera membakar setiap wuwungan atau dinding rumah. Hingga sebentar saja api berkobar di setiap penjuru. Membakar dan menambus mayat-mayat yang banyak berkaparan di dalamnya. Selang sesaat sudah kembali lagi ke hadapan Roro. Tapi kini di lengannya sesosok tubuh kecil dari seorang anak laki-laki yang dijambak rambutnya.
"Hehehe... hehe... kau lihat! Aku akan beset-beset bocah ini sampai jadi tiga belas bagian. Apakah aku si Setan Hitam masih kurang kejam?" Seraya berkata lengannya sudah bergerak untuk membeset tubuh anak kecil itu menjadi dua bagian. Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar bentakan halus.
"Tunggu...!" Suara bentakan itu datangnya dari mulut Roro. Gadis pendekar yang aneh ini tolak pinggang di depan si Setan Hitam. Suara bentakan itu cukup berpengaruh untuk urungkan niat keji si Setan Hitam.
"Heh. Bukankah kau mau aku tunjukkan caranya berbuat kejam?"
"Cara kekejamanmu untuk membeset tubuh bocah itu jadi tiga belas bagian adalah cara kuno! Mana bisa dikatakan kejam? Bisa-bisa aku tertawa sampai terkentut-kentut! Apakah kau mau ku anggap sebagai penjahat keroco atau iblis kemarin sore...?" Berkata Roro. Selanjutnya dia sudah lanjutkan kata-katanya. "Berikan padaku bocah itu! Segera akan kutunjukkan bagaimana caranya berbuat yang paling kejam!"
Dengan sebelah mata melotot, si Setan Hitam lemparkan bocah itu pada Roro. Diam-diam hatinya semakin mendongkol, karena tetap saja apa yang diperbuatnya tidak merupakan kekejaman yang berhasil membuat si gadis aneh itu mengambil perhatian.
"Nah, aku akan melemparkan bocah ini sejauh-jauhnya. Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, aku akan menghantam dengan pukulanku yang sekaligus akan membuat tubuh bocah ini hancur berserpihan. Itu baru yang kuanggap kejam. Asalkan kau sanggup lebih dulu menghantam, bukan saja aku mengakui kekejamanmu, akan tetapi juga menganggapmu bukan sebangsa iblis keroco yang baru lahir kemarin sore! Sanggupkah kau?" Berkata Roro, setelah menyambuti tubuh si bocah itu.
"Baik...! Hehehe... agaknya kau menganggap aku tak mampu. Kau teramat meremehkan aku, bocah perempuan!" Berkata si Setan Hitam dengan mendongkol.
Siuuuttt...! Roro sudah melemparkan tubuh anak kecil itu, yang segera saja meluncur ke udara. Dan berkelebatanlah dua tubuh itu mengejar. Akan tetapi terkejut si Setan Hitam, karena tahu-tahu bocah itu lenyap. Bukannya bocah itu saja yang lenyap, karena si gadis aneh itu pun lenyap entah ke mana.
Merah padam wajah orang tua berjubah ini. Dia benar-benar merasa dipecundangi. Bukan saja dia tetaplah sebagai seorang iblis keroco, tapi juga sudah dibuat malu yang luar biasa oleh gadis aneh yang mengaku berjulukan si Ratu Segala Iblis.
"Haiiii...! Ratu Segala Iblis! Tampakkan diri mu. Akan kubuat tubuhmu lumat menjadi tiga belas bagian...!" Teriaknya dengan marah. Namun tetap saja Roro tak menampakkan diri. Akhirnya dia pun berkelebat tinggalkan tempat itu.
Ke manakah gerangan Roro Centil? Dan ke mana lenyapnya bocah kecil itu?. Baiklah kita ikuti apa yang terjadi sebenarnya. Kiranya sewaktu bocah itu dilemparkan, Roro Centil telah bisikkan kata-kata, melalui batinnya. Yaitu perintahkan si Tutul menyelamatkan nyawa bocah itu. Hingga ketika si bocah itu melayang dalam jarak lemparan sekitar dua puluh tombak di atas pepohonan, detik itu pula si harimau siluman telah menyambarnya terlebih dulu. Dan membawanya berkelebat lenyap.
Sementara Roro Centil ternyata langsung bergerak menuju ke setiap rumah yang terjadi kebakaran. Dengan pergunakan hantaman telapak tangan yang berhawa dingin, sekejap api-api yang baru menjilati wuwungan setiap rumah segera punah padam. Berkelebatanlah tubuh pendekar wanita yang aneh itu untuk memusnahkan api di setiap tempat.
Dalam pada itu sesosok tubuh telah memperhatikannya dengan sepasang mata menatap terbelalak. Itulah sepasang mata dari sesosok tubuh, laki-laki yang berdiri di ujung jalan desa. Sepasang mata pemuda ini mengagumi kehebatan ilmu pukulan Roro, juga kecantikannya yang membuat dia terpesona.
Akan tetapi di satu tempat, sepasang mata jeli juga tengah menatap pemuda itu dengan tatapan Kecemburuan yang amat besar. Dialah si gadis bernama Ratih Dewi. Di samping cemburu, tapi juga tertegun. Karena tak menyangka dia dapat menjumpai pemuda itu lagi, yang disangkanya sudah tak ada di dunia ini lagi.
Tiga tahun sudah Ratih Dewi berguru dengan si orang laki-laki bertudung yang misterius, yang dijumpainya di saat memberikan pelajaran ilmu padanya. Selama itu Ratih Dewi telah melupakan PRAMANA, kekasihnya. Sang kekasih yang sudah dilupakannya, sejak dia mencari dan mencari di mana ada kesempatan. Namun tak pernah dijumpai... kini tahu-tahu telah berada di depan mata. Berdiri dengan gagah. Menyoren pedang di punggung.
Oh, Pramana, aku masih mencintai dirimu sampai kapan pun! Kau adalah milikku! Dan kau tak boleh jatuh ke tangan lain wanita, sejak ku menjumpai mu! Desis Ratih Dewi dalam hati. Wajahnya membersitkan kecemburuan, betapa pemuda itu menatap dengan kagum pada gadis aneh berbaju hijau itu. Akan tetapi dia tak mau buru-buru bertindak. Ingin dilihatnya apakah yang akan dilakukan si Pramana itu setelah menatap pada dara baju hijau itu? Pikir Ratih Dewi.
"Siapakah anda, sobat berpedang....? Tampaknya ada sesuatu yang aneh padaku. Mengapa kau menatapku tak lepas-lepas...?" Tanya Roro dengan berjalan melangkah ke hadapannya. Tentu saja gerakan langkah seenaknya. Namun hal demikian itu justru membuat sepasang mata Ratih Dewi jadi melotot kian lebar. Gadis Centil... ! Makinya dalam hati.
Laki-laki itu menjura hormat. Sikapnya amat sopan sekali. Lalu terdengar suaranya berkata; "Ah, maafkan kelancanganku, nona Pendekar! Namaku WIRATMANA...! Entah siapakah gerangan nona yang berilmu tinggi ini...!"
Roro Centil naikkan alisnya. Segera saja bibirnya terulas satu senyuman manis. Melihat penampilan orang di hadapannya amat sopan santun, Roro tak tega untuk mempermainkan. Apa lagi dari wajah pemuda di hadapannya itu menampakkan kejujuran hati, serta sikap yang gagah berwibawa.
"Aih, anda terlalu memujiku, sekedar ilmu penjinak api yang tak berarti itu mengapa pujianmu bukan main? Hihihi... namaku Roro!" Ujar Roro Centil singkat. Selanjutnya mereka telah tampak akrab berbicara. Terutama mengenai keadaan di tempat itu yang penuh dengan mayat-mayat manusia.
"Nona Roro, terus terang aku datang ke wilayah ini adalah karena mendengar berita dari beberapa keluarga yang telah berhasil melarikan diri dari "neraka" di tempat ini, bahwa adanya seorang tokoh keji yang menguasai wilayah ini. Dia berbuat semaunya saja. Membunuh, merampas, menganiaya, memperkosa wanita, dan lain-lain perbuatan kejam. Seperti kau lihat sendiri banyak mayat berserakan di pelbagai tempat. Di rumah-rumah penduduk, di sawah, di kebun atau di sembarang tempat akan terjumpai satu dua mayat. Kalau tidak yang masih baru, tentu yang sudah membusuk. Semua itu adalah ulah perbuatan Manusia keji itu..."
"Apakah tokoh keji itu kau maksudkan si SETAN HITAM?" Tanya Roro dengan kerutkan keningnya.
"Ah, rasanya bukan...? Menurut yang kudengar adalah bergelar si SETAN CENGKRONG!" Ujar Wiratmana.
Tentu saja Roro Centil jadi tercenung. Tadi dia lihat sendiri si Setan Hitam membakari rumah dengan ilmu pukulan hawa panasnya yang mengeluarkan api. Juga di hadapannya telah siap membeset tubuh seorang anak kecil menjadi tiga belas bagian. Kakek berjubah hitam, berwajah seram itu sudah dipastikan Roro, kalau semua perbuatan kejam itu adalah perbuatannya.
Karena ketika Roro Centil mengaku bergelar si Ratu Segala Iblis, manusia itu menampilkan kekejaman di hadapan matanya dengan tanpa kenal peri kemanusiaan. Kini mendengar di sebutnya satu tokoh bergelar si Setan Cengkrong, adalah baru didengarnya. Hal mana membuat Roro jadi terheran dan melengak.
Sementara di tempat persembunyiannya Ratih Dewi mendengarkan pembicaraan. Sayang Ratih Dewi tak begitu memperhatikan saat si pemuda itu memperkenalkan namanya tadi. Kata-kata Wiratmana kedengaran olehnya adalah PRAMANA. Siapakah sebenarnya laki-laki bernama Wiratmana itu? Dialah saudara kembar Pramana yang justru kemunculannya adalah di samping mencari si Setan Cengkrong, juga mencari jejak adiknya yaitu Pramana, di manapun dia jejakkan kakinya.
Adanya berita kejahatan di wilayah itu yang menurut yang didengarnya adalah perbuatan si Setan Cengkrong, membuat dia merasa penasaran untuk mengetahui manusia keji yang membuat keonaran itu. Adapun Roro Centil rupanya telah mengetahui adanya sesosok tubuh yang sembunyi mendengarkan pembicaraan. Segera dia berkata;
"Di manakah adanya penginapan yang paling besar di tempat ini?" Tanya Roro setelah manggut-manggut. Mendengar penuturan Wiratmana tentang tokoh yang bernama Setan Cengkrong itu.
"Apakah anda mau menginap di sana? Kebetulan akupun menginap di tempat itu. Penginapan itu cukup jauh dari sini. Kalau anda bersedia mari kuantar. Kita bersama-sama ke sana. Kukira kita bisa bercakap-cakap dengan leluasa. Ada tiga orang kawanku di sana. Mereka bergelar si Tiga Pendekar Ular Mas!"
Setelah, berfikir sejenak, Roro Centil menjawab. "Sebenarnya aku masih punya urusan lain. Tunjukkan saja di arah mana letaknya, aku akan ke sana menjelang senja nanti!"
"Baiklah, kalau begitu! Silahkan anda berjalan ke utara. Tak jauh dari batas wilayah Kadipaten, anda menjumpai satu penginapan yang lumayan besarnya. Penginapan itu bernama Penginapan Sindu Rejo" Ujar Wiratmana menjelaskan.
"Ya, ya...! Aku akan mencarinya nanti! Nah sobat, kukira aku harus tinggalkan tempat ini. Kelak kita jumpa di penginapan tersebut...!"
Selesai berkata Roro Centil kelebatkan tubuhnya dengan cepat. Dan sekejap kemudian segera lenyap di balik pepohonan. Wiratmana menatap ke arah lenyapnya tubuh Roro, dengan pandangan kagum. Tampak bibirnya menggumam lirih.
"Roro...! Ah, nama yang indah seindah orangnya...!" Akan tetapi baru saja dia mau balikkan tubuhnya untuk berlalu, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh ramping di hadapannya dari arah samping.
Terkejut Wiratmana, karena lagi-lagi muncul seorang gadis yang cukup cantik. Berbaju kembang-kembang sewarna daun. Rambutnya berkepang dua, yang satu dengan lainnya diikat menjadi satu di belakang. Mengenakan pita berwarna kuning. Di pinggangnya tersoren pedang yang tak seberapa panjang, namun melengkung bagai bulan sabit. Siapakah gerangan gadis ini? Pikir Wiratmana.
Sementara sang dara telah menatapnya dengan tajam. Bibirnya tampak bergetar seperti mau mengucapkan kata-kata. Dan satu keanehan adalah dari sepasang matanya yang nampak galak itu, tampak berkaca-kaca memandang kepadanya.
"Eh, siapakah anda nona? Apakah ada yang anda cari...?" Tanya si pemuda.
Dengan suara gemetar Ratih Dewi menjawab, sementara wajahnya sudah menunduk seperti menyembunyikan air matanya yang mulai menggenang. "Kau... kau sudah tidak mengenali diriku lagi, PRAMANA... ?" Sahutnya pendek.
Pramana...? Kata-kata itu hampir membuat si pemuda itu telonjak karena terkejutnya. Jelas itu adalah nama adik kembarnya. "Aku... aku..."
Pemuda ini berkata tergagap. Tadinya dia mau menyebut kata-kata bahwa dirinya adalah bukan Pramana. Akan tetapi tiba-tiba diurungkan lagi. Karena rasa ingin tahu siapa gerangan sang dara ini. Juga Wiratmana ingin mendengar di mana gerangan adik kembarnya itu.
Sementara dia sudah punya dugaan kalau adiknya berada di sekitar wilayah ini. Tak dinyana kalau tiba-tiba sang gadis sudah berlari ke arahnya, dan tahu-tahu sudah memeluknya. Mendekapnya erat-erat sambil terisak-isak bersimbah air mata.
"Pramana...! Kau... oh, betapa aku menanggung rindu padamu, kasihku! Aku sengsara lahir batin. Aku ingin mati saja di hadapanmu, Pramana...!"
Tercenung Wiratama. Dalam keadaan serba salah, terpaksa dia biarkan saja gadis itu memeluki dan menciumi wajahnya. Hingga air mata sang gadis membasahi wajah pemuda berbaju putih itu. Perlahan-lahan Wiratama mendorong tubuh gadis itu, sesaat setelah isaknya agak mereda. Gadis ini lepaskan pelukannya dan berdiri membelakangi pemuda itu. Terdengar suara helaan nafasnya lirih di antara isaknya yang tinggal satu-satu.
"Kuakui Pramana,... kau agak canggung karena aku bukan lagi Ratih Dewi kekasihmu yang dulu. Aku telah jadi istri Adipati Banu Rekso, walau cuma semalam dan walau tanpa berhasil aku digagahi, karena aku telah membunuh suamiku. Membunuhnya dengan kejam! Aku telah membantainya dengan keris pusakanya sendiri! Tak ada seorang pun yang mengetahui. Kukira hanya dugaan orang saja yang mengira aku telah membunuhnya. Juga dugaan-dugaan lain yang telah membuat kau disangka yang melakukan perbuatan keji itu, dan melarikan aku. Aku banyak berdosa pada semua orang...! Kepada suamiku, kepada kedua orang tuaku, juga kepada orang-orang Perguruan ELANG PUTIH! Karena semua mereka tewas di tangan Rekso Jiwo...!" Berkata Ratih Dewi dengan wajah tertunduk. Sebelah lengannya bergerak mengusap air matanya, dan dia sudah duduk mendeprok di tanah.
Wiratmana tercenung mendengarkan. Tiba-tiba dia sudah memberanikan diri bicara. "Siapakah Rekso Jiwo itu...?".Ujarnya lirih. Sementara pelahan dia sudah mendekati sang dara dan ikut duduk di sebelahnya.
"Rekso Jiwo adalah anak Adipati Banu Rekso...!" Sahutnya. Dan segera Ratih Dewi ceritakan panjang lebar tentang nasib dirinya hingga jatuh ke tangan seorang tokoh sakti misterius yang bernama gelar si IBLIS MUKA SERIBU.
Wiratmana semakin berani bertanya panjang lebar pada sang dara, yang ternyata tetap belum mengetahui kalau laki-laki di sebelahnya itu bukanlah Pramana. Sayang Wiratmana tak mengetahui kalau di belakangnya telah berdiri sesosok tubuh berwajah mengerikan mirip tengkorak. Rambutnya putih beriapan. Memakai jubah warna ungu. Keadaan tubuhnya ternyata tidak sempurna, alias cacat.
Sebelah lengannya melengkung kaku menekuk ke bawah, dengan jari-jari terentang. Dan sebelah kakinya putus sebatas lutut. Lengannya yang satu memegang sebuah tongkat kayu. Tiba-tiba saja telah gerakkan tongkatnya menotok tubuh Wiratmana, yang selanjutnya sudah disambar untuk dibawa berkelebat pergi. Tentu saja membuat Ratih Dewi terkejut melengak. Dia melompat untuk mengejar seraya membentak keras.
"Heiii...! Berhenti keparat ...!". Namun gerakan si manusia cacat itu amat cepat, Ratih Dewi pergunakan ilmu larinya mengejar. Akan tetapi sia-sia, karena manusia cacat itu punya gerakan secepat angin yang sekejap saja sudah lenyap tak kelihatan lagi.
Dalam keadaan dibawa berlari cepat itu, Wiratmana benar-benar terperanjat, karena tak mengetahui siapa adanya orang yang telah menotoknya. Namun masih sempat lakukan pertanyaan dengan suara tergagap.
"Eh, siapakah kau, mengapa menotok ku? Mau dibawa ke mana aku ini...?"
Orang itu cuma mendengus di hidung tak menjawab pertanyaan Wiratmana. Bahkan mempercepat larinya yang berkelebat bagaikan terbang. Sementara Ratih Dewi berdiri tertegun menatap ke depan. Hatinya jadi mencelos karena dia sudah dapat menduga siapa adanya manusia cacat itu. Benar saja! Karena tiba-tiba telinganya telah mendengar satu suara menyusup ke telinganya yang dilontarkan dari jarak jauh, dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
"Eh, nona manis istri Adipati Banu Rekso, silahkan datang ke Bukit Kelelawar kalau kau inginkan kekasihmu ini tetap hidup... ! Aku si Setan Cengkrong menanti kedatanganmu...!"
"Benar...! Dia si Setan Cengkrong!" Desis Ratih Dewi. Dan tak ayal ia sudah gerakkan kaki untuk tinggalkan tempat itu.
Sementara itu sesosok tubuh berbaju hijau telah berkelebat mengejar si manusia cacat itu, dan membuntutinya dengan diam-diam. Ternyata adalah Roro Centil adanya. Hati gadis pendekar ini tercekat untuk terus mengikuti si manusia cacat itu hingga sampai mengetahui siapa gerangan orangnya. Bagaimana Roro Centil bisa mengetahui munculnya si Setan Cengkrong itu?
Kiranya sewaktu Roro berkelebat pergi tinggalkan Wiratmana, Roro telah bergerak memutar. Tujuannya adalah ingin mengetahui siapa adanya wanita yang mengintai di belakang Wiratmana. Hingga akhirnya dia berhasil mengutip pembicaraan keduanya. Satu keanehan adalah si gadis itu telah menganggap Wiratmana adalah PRAMANA.
Tengah Roro menduga-duga apa latar belakangnya sang gadis menyebut sang pemuda demikian, tiba-tiba bersyiur angin halus di sebelahnya. Dan tahu-tahu telah menotok Wiratmana, serta membawanya berkelebat pergi. Tentu saja Roro mengetahui keadaan tubuh orang yang cacat itu. Cuma karena membelakanginya, Roro tak dapat lihat jelas wajahnya. Dan di saat Wiratmana dilarikan, Roro sudah berkelebat mengikutinya...
Bukit Kelelawar ternyata adalah sebuah bukit yang sudah terkenal di wilayah itu, karena memang di sana banyak kelelawar bergelantungan di siang hari pada pepohonan. Agaknya memang merupakan tempat yang menjadi sarang binatang-binatang itu.
Wiratmana sudah berada di dalam goa, saat si manusia cacat itu membuka totokannya. Kini dengan sepasang mata terbeliak, dia memandang pada orang di hadapannya. "Apa yang kau inginkan diri ku, dan siapakah kau ini...?" Tanya Wiratmana.
"Hm, aku adalah orang yang tengah kau cari itu, sobat! Orang yang kau tuduh melakukan kejahatan. Bukan saja kau, akan tetapi semua pendekar tengah mencariku, karena khabar cerita amat santer bahwa aku adalah orang yang telah melakukan bermacam perbuatan keji...!" Ujar si manusia cacat.
"Jadi kau... kau si SETAN CENGKRONG itu?" Tanya Wiratmana terkejut.
"Benar! Aku memang yang dijuluki demikian, akan tetapi semua perbuatan itu bukan perbuatan ku!"
"Tidak mungkin...!" Bentak Wiratmana. Lengannya sudah bergerak mencabut pedangnya yang tersoren di punggung, dan sudah menghunusnya dengan wajah tegang.
Pada saat itu tiba-tiba berkelebatan beberapa sosok tubuh memasuki mulut goa, disertai bentakan-bentakan keras menggema. Sebentar saja lebih dari dua puluh orang telah mengurung si Setan Cengkrong. Rata-rata mereka telah menghunus senjatanya yang bermacam-macam.
"Hahaha... Setan Cengkrong! Kali tak dapat melarikan diri! Kau telah terkepung! Tak ada jalan keluar lagi bagimu selain kematian..." Teriak seorang yang bersenjatakan tombak bermata tiga. Dialah yang dijuluki si Tombak Malaikat.
Sementara dua orang yang berpakaian kulit harimau berkepala botak adalah si Dua Macan Kembar. Dan tiga orang lagi yang berpakaian warna merah adalah yang berjulukan Tri Tunggal Cemeti Alam. Senjata yang dipergunakan adalah cambuk yang ujungnya berduri-duri. Serta beberapa tokoh lainnya yang tak begitu terkenal.
Ruangan goa Kelelawar memang sangat luas, namun kini sudah dipadati oleh puluhan manusia, membuat jadi penuh sesak. Masing-masing mulai beranjak membuat lingkaran. Hingga tak memungkinkan si Setan Cengkrong dapat meloloskan diri. Karena ruangan goa itu cuma mempunyai satu pintu, akan sukarlah kiranya si Setan Cengkrong meloloskan diri.
Namun hal itu tak membuat si manusia cacat ini jadi gentar, bahkan tak terlihat wajahnya berubah pucat sedikitpun. Sementara Wiratmana sudah melompat mundur. Ternyata si Setan Cengkrong membiarkannya saja tanpa menoleh.
"Biarlah kami yang akan meringkusnya terlebih dulu...!" Teriak salah seorang dari para pendekar yang berbaju merah. Dan berkelebatlah tiga sosok tubuh ke hadapan si Setan Cengkrong.
Memang bila dilihat sepintas adalah tak masuk akal kalau seorang manusia yang sudah cacat, dengan sebelah lengan melengkung, sebelah kaki putus dan tubuh yang agak membungkuk itu harus dikepung sedemikian rupa. Akan tetapi kenyataannya adalah demikian.
"Setan Cengkrong... ! Kami Tri Tunggal Cemeti Alam, cuma menjalankan perintah untuk menangkap mu dari Adipati Rekso Jiwo! Tetapi entah kawan-kawanku akan mengampuni nyawamu atau tidak, aku tak mengetahui...! Kalau kau menyerah secara sukarela adalah hal yang memungkinkan akan memperpanjang umurmu untuk beberapa waktu! Pertimbangkanlah baik-baik, sebelum terlambat..!" Berkata salah seorang dari Tri Tunggal Cemeti Alam yang tertua.
Akan tetapi yang ditanya cuma berdiam diri termenung. Kalau saja mau diperhatikan lebih jelas, akan tampak setitik air bening yang tersembul di sudut mata yang cekung itu. Akan tetapi wajahnya memang tak menampakkan perubahan.
Terdengar bibirnya berkemak-kemik, entah apa yang digumamkan. Akan tetapi Wiratmana telah mendengarnya, karena itulah suara si Setan Cengkrong yang khusus ditujukan padanya.
"Wiratmana...! Tampaknya sulit bagiku menjelaskan pada semua orang, karena kau sendiripun takkan mempercayai kata-kataku. Tak apalah, namun seandainya aku panjang umur, kelak kau akan ketahui semuanya... Ya, semuanya...!"
Tercenung Wiratmana. Sepasang matanya menatap pada wajah si Setan Cengkrong yang menunduk menatap tanah. Ketika dia palingkan wajahnya ke sekitar, terlihat wajah-wajah garang yang sudah siap mengantarkan kematian si manusia cacat itu.
"Setan Cengkrong! Kesabaran ada batasnya! Rupanya kau lebih ingin memilih cepatnya kematian mu! Baiklah, jangan kau menyesal...!" Seraya berkata, si orang tertua dari tiga pendekar ini sudah meluruskan cambuk berdurinya. Selanjutnya mereka memutari si Setan Cengkrong yang masih berdiri terpaku tak bergeming. Dan... tiga utas cambuk berduri itu sudah meluncur meluruk ke arah si tubuh cacat.
Ctarrr...! Ctarrr...! Ctarrr...!
Hampir berbareng suara keras menggema memekakkan telinga. Tubuh si Setan Cengkrong tiba-tiba berkelebat menghindar. Gerakannya ternyata amat tak terduga, karena seperti bayangan putih yang melesat ketiga arah. Sementara lingkaran semakin diperbesar, hingga masing-masing orang hampir merapat ke dinding goa. Namun kini sudah tak beraturan lagi, karena harus siap menjaga kemungkinan si Setan Cengkrong meloloskan diri.
Dalam enam jurus saja keadaan sudah berubah. Kini si Setan Cengkrong merubah gerakannya. Kini tubuhnya bergelindingan cepat di antara kaki-kaki ketiga orang lawannya. Tiba-tiba terdengar suara teriakan tertahan, ketika tiba-tiba satu persatu dari ketiga tokoh bercambuk duri itu keluarkan teriakan tertahan, dan masing-masing roboh terguling.
Kiranya tongkat si Setan Cengkrong telah menghantam tulang keringnya. Beruntung hantaman itu tidak terlalu keras, hingga mereka cuma meringis kesakitan memegangi tulang keringnya yang benjol sebesar telur angsa. Otomatis ketiga cambuknya terlepas. Bahkan dengan satu gerakan aneh, ketiga cambuk si Tri Tunggal Cemeti Alam telah di sampok mental ke arah puluhan orang yang mengelilinginya. Keruan saja keadaan jadi berubah kacau.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua orang berbaju macan loreng. Mereka adalah si Macan Kembar, yang berkepala gundul klimis alias botak. Langsung saja menerjang si Setan Cengkrong dengan sepasang lengan masing-masing yang memakai kuku besi sepanjang satu jengkal. Kuku-kuku ini mengandung racun yang mematikan. Dibarengi bentakan keras, mereka gunakan cakar besinya untuk menyerang si Setan Cengkrong.
"Bret....! Brettt...!
Dua serangan dengan mendadak itu membawa hasil cukup mengejutkan, karena jubah si Setan Cengkrong kena dijambret hingga robek hampir separuhnya. Menggerung keras si Setan Cengkrong. Tubuhnya melejit naik dengan tongkat menempel di tanah. Tiba-tiba si Setan Cengkrong gerakkan tubuh memutar bagai gasing.
Buk! Bukk...!
Serangan mendadak itu membuat si Macan Kembar terperangah, tak sempat lagi mereka mengelakkan diri. Kedua dada manusia ini terkena hantaman kaki si Setan Cengkrong dengan telak. Tak ampun lagi keduanya jatuh ngusruk menubruk kawan-kawannya. Keadaan kembali gaduh dan kacau.
Dengan gunakan kegesitan tubuhnya yang melompat-lompat, disertai sambaran tongkatnya yang terkadang berputar bagai baling-baling, dia terus merangsak hebat. Tiga pedang yang meluruk ke arahnya terpental ke atas, bahkan salah satunya menancap di pundak salah seorang yang mengepungnya. Terdengar suara teriakan di sana-sini, disertai beberapa tubuh terlempar keluar goa. Pada saat itu si Setan Cengkrong telah gelindingkan tubuhnya dengan cepat menerobos kepungan.
Namun begitu kakinya menjejak di tanah, beberapa sosok tubuh sudah lompat menghadang. Kini giliran si Tombak Malaikat yang menerjang terlebih dulu. Ujung tombak. bermata tiganya menghunjam ke dada, nyaris menembus jantungnya, kalau dia tak cepat menangkis dengan tongkatnya yang disilangkan di depan dada.
"Kau tak akan dapat meloloskan diri Setan Cengkrong...!" Membentak si Tombak Malaikat. Senjata tombak bermata tiganya mencecar terus si Setan Cengkrong yang dalam keadaan rebah di tanah, segera putarkan tongkatnya.
Trang...!
Terkejut si Tombak Malaikat. Tombaknya terpental balik. Telapak tangannya terasa tergetar. Kiranya yang menangkis adalah Wiratmana. Pemuda ini tak tega membiarkan si Setan Cengkrong dalam keadaan mengkhawatirkan sedemikian rupa.
"Bedebah! Kau menolongnya...?" Teriak si Tombak Malaikat. Sepasang matanya mendelik gusar.
"Berilah kesempatan dia untuk bicara!" Teriak Wiratmana dengan suara santar berwibawa. Pemuda ini berdiri dengan gagah melintangkan pedang di atas tubuh si Setan Cengkrong. Lalu berputar ke sekelilingnya.
"Aku Wiratmana akan melindungi jiwanya, dan membunuh mampus siapa yang menolak untuk diajak berdamai. Orang ini telah mengatakan padaku bahwa semua perbuatan keji yang terjadi selama ini di beberapa wilayah adalah bukan perbuatannya!"
Melengak semua orang yang berada di situ, yang segera merenggang beberapa langkah, serta saling pandang dengan kawannya. Wiratmana sudah menatap kembali pada si Setan Cengkrong seraya berkata. "Bangunlah sobat! Bicaralah...! Kau dapat berikan bantahan atas tuduhan mereka, dan berikan alasanmu..!"
Namun pada saat itu terdengar suara tertawa terbahak-bahak, disertai munculnya sesosok tubuh. "Hahaha... haha... Iblis perusuh sudah tertangkap dan terkepung, mengapa tak dibunuh mampus segera?"
Semua kepala segera berpaling ke arahnya. Ternyata yang datang adalah Adipati Rekso Jiwo. Terkejut semua orang, dan serentak mundur memberi jalan seraya menjura hormat Wiratmana pun menjura, seraya berkata. "Maaf, Gusti Adipati. Bukan hamba mau membela penjahat, akan tetapi orang ini telah lakukan penyangkalan atas dirinya yang tidak bersalah. Hamba kira ada baiknya kita memberi kesempatan untuk dia membela diri..."
Termenung sejurus sang Adipati. Semua jadi hening ketika sang Adipati tengah merenung. Lalu terdengar bicaranya.
"Sebenarnya aku takkan pernah menerima saran dari siapa pun, tapi kali ini biarlah. Kau berani melindungi tentu punya hubungan baik dengan manusia ini. Berikan padaku pedangmu, kau kini jadi sandera ku. Dan kuberi waktu si Setan Cengkrong untuk membela diri!" Seraya berkata lengan sang Adipati sudah terjulur cepat merampas pedang di tangan Wiratmana.
Tentu saja gerakan tak terduga itu yang dilakukan dengan cepat, membuat Wiratmana terkejut. Namun! pedangnya sudah kena dirampas. Dan satu tenaga keras tahu-tahu telah mendorong tubuhnya terhuyung ke belakang. Pada saat itu terdengar bentakan keras sang Adipati.
"Ringkus dia...!" Serentak saja tiga orang sudah bergerak menangkap kedua lengan Wiratmana. Bahkan selanjutnya sang Adipati sudah lemparkan seutas tali untuk mengikat tubuh pemuda itu. Tak ayal segera saja Wiratmana sudah diikat erat.
Namun di saat semua mata mengarah pada Wiratmana, tiba-tiba si Setan Cengkrong bergerak melompat. Sebelah kakinya telah digunakan menghantam dada sang Adipati. Bukk..! Terjangan kaki itu telak mengenai dada Adipati Rekso Jiwo, yang membuat tubuhnya terhuyung. Tapi dengan cepat pedang di lengannya sudah dipakai menabas. Wuttt. ..!
Sayang serangan dalam keadaan tubuh limbung itu tak membawa hasil. Karena si Setan Cengkrong sudah menggelinding cepat. Sebelah lengannya menyambar sebuah tombak di tangan salah seorang yang sedang terpukau, dan selanjutnya dengan gesit sudah gunakan tombak itu untuk melompat pergi.
"Kejarrrr...!" Teriak Adipati Rekso Jiwo dengan gusar. Sementara sebelah lengannya masih memegangi dadanya yang terasa sesak akibat hantaman kaki si Setan Cengkrong. Namun semua orang masih terpaku melihat kecepatan serta kegesitan manusia cacat itu. Saat mana si Setan Cengkrong sudah berkelebat lenyap.
"Bodoh...!" Maki sang Adipati. Akan tetapi pada saat itu terdengar satu suara menyusup ke telinganya.
"Rekso Jiwo...! Manusia licik, pengecut! Aku sudah tahu! Semua perbuatan keji itu kau dan gurumu si Setan Hitam yang melakukan! Tunggulah pembalasanku..."
"Hehe, Setan Cengkrong! Kuberi waktu kau selama tiga hari, seandainya kau tak datang, sahabatmu ini akan kubunuh mampus! Datanglah ke Goa Lembah Pelangi, aku akan nantikan kau untuk menerima tantanganmu...!"
Terkesiap si Setan Cengkrong. Tampak manusia cacat ini menggeram amat marahnya. Akan tetapi dia sudah berkelebat pergi tinggalkan tempat ketinggian itu. Akan halnya kata-kata dalam pengiriman suara jarak jauh itu, tak seorangpun dari kaum tokoh-tokoh persilatan yang mendengarnya.
Namun ternyata Roro Centil telah mendengar dengan jelas. Tentu saja si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu bisa mendengar, karena secara kebetulan dia berada tak jauh dari si Setan Cengkrong di tempat persembunyiannya. Karena ketika terjadi pertarungan hebat di dalam goa, Roro berada di tempat itu, hingga sampai kelanjutannya muncul sang Adipati Rekso Jiwo.
"Hm, jelaslah sudah! Kalau begitu biang keroknya adalah si Setan Hitam dan Rekso Jiwo! Setan Cengkrong cuma jadi korban kelicikan adipati itu. Entah ada permusuhan apakah dengan kedua manusia itu...!" Desis Roro perlahan.
Sementara itu sang Adipati telah perintahkan Wiratmana segera dibawa, sebagai tawanan. "Bawa dia ke Kadipaten! Dia merupakan jaminan nyawa si Setan Cengkrong...!"
Tiga orang anak buah sang Adipati segera menggusurnya jalan. Sedangkan Adipati Rekso Jiwo yang berilmu tinggi itu, sekali berkelebat segera lenyap dari situ. Para kaum Rimba Hijau yang lainnya pun segera angkat kaki, dengan wajah-wajah yang menampilkan kekecewaannya.
Ratih Dewi berjalan cepat menuju bukit Kelelawar. Sementara hatinya berdebar tak keruan karena mengkhawatirkan keselamatan Wiratmana, yang di sangkanya Permana. Akan tetapi Ratih Dewi menemui kesulitan untuk mencari bukit itu, karena disamping dia jarang turun gunung sejak selama tiga tahun berguru dengan si manusia misterius yang berjulukan Iblis Muka Seribu, dia juga belum hafal situasi daerah itu.
Tujuan yang sebenarnya adalah membawa tugas dari gurunya si Iblis Muka Seribu untuk mengambil perbekalan yang telah disediakan, di desa Atas Angin. Hal demikian memang sering dilakukan satu bulan sekali.
Sekalian untuk menguji ilmu kekuatan lari cepat yang dipelajarinya. Dan juga merupakan ujian bagi dirinya, apakah akan melarikan diri atau merasa betah berdiam di goa tersembunyi itu. Perjumpaan dengan gurunya boleh dibilang hanya berkisar dalam pelajaran ilmu kedigjayaan saja, yang dilakukan secara aneh.
Yaitu Ratih Dewi diperintahkan menghapal setiap gerakan. Dan pada menjelang malam dia harus sudah siap menerima serangan mendadak dari sesosok tubuh yang tak diketahuinya apakah gurunya, ataukah orang lain. Demikianlah hingga selama tiga tahun itu Ratih Dewi tak pernah mengetahui wajah gurunya. Terkadang dia menduga sang guru adalah seorang yang cacat mukanya, hingga tak ingin menampakkan wajahnya.
Demikianlah, hingga ketika giliran mengambil perbekalan, Ratih menjumpai banyak mayat bergelimpangan di mana-mana. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dirinya. Sebulan yang lalu dia memang telah mendengar adanya tokoh persilatan yang berjulukan si Setan Cengkrong.
Ratih Dewi memang punya dugaan kalau hal itu perbuatan si Setan Cengkrong, yang menurut apa yang didengar dari gurunya bahwa ada tokoh golongan hitam yang sengaja membuat keonaran. Padahal Ratih Dewi sendiri tak mengetahui entah Gurunya dari golongan mana? Bila melihat dari julukannya, tentu akan menyangka tokoh golongan hitam, tapi tindak-tanduk terhadap dirinya amat baik. Itulah kemisteriusan si Iblis Muka Seribu yang memang amat misterius.
Sementara diam-diam hati sang dara ini semakin kebat kebit. Disamping mengkhawatirkan nasib sang kekasihnya, juga takut kalau kepergok sang guru karena menyeleweng dari tugasnya. Kekhawatirannya menjadi kenyataan, ketika tiba-tiba terdengar suara tanpa ada orangnya.
"Ratih Dewi..! Sebaiknya kalau kau memang mau menunda tugasmu tak menjadi soal. Akan tetapi urungkan niatmu ke bukit Kelelawar. Kembalilah segera...!"
Terkejut bukan main Ratih Dewi, seketika wajahnya berubah pucat Akan tetapi dia sudah menyahut. "Ba... baik guru!"
Dan tak ayal lagi dara ini sudah putar tubuh untuk selanjutnya tancap kaki berlari cepat tinggalkan tempat itu. Sementara hatinya semakin kebat-kebit. Entah hukuman apa yang akan diterimanya nanti. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh dan melelahkan, namun dia terus berlari, dan berlari, untuk segera sampai di tempat tujuan.
Tak dikisahkan perjalanannya... Ratih Dewi telah sampai di mulut goa di mana selama ini menetap. Ternyata sang guru sudah berada di dalam goa, duduk di atas batu seperti biasa dengan topi tudung yang menutupi wajahnya. Suara si Iblis Muka Seribu sudah terdengar bernada dingin mencekam.
"Silahkan masuk, muridku. Dan kembali ke kamar...!"
Ratih Dewi mengangguk dan beranjak masuk dengan wajah menunduk. Dara ini rebahkan tubuhnya di pembaringan dengan tubuh letih lesu. Sementara hatinya berdebaran tak keruan rasa. Hawa panas yang cukup membuat tubuh sang dara ini mandi keringat, membuat dia lepaskan pakaian luarnya, untuk duduk sambil mengipas. Saat itulah terdengar satu suara yang tak asing lagi baginya, yaitu suara sang guru yang didengarnya di balik dinding kamar.
"Ratih Dewi, kau tahu hukuman apa bagi murid yang menyeleweng dari tugasnya?"
Pucat seketika wajah dara ini. Segera dia menyahuti dengan suara bergetar. "Aku memang bersalah, guru! Silahkan beri hukuman padaku! Aku... aku akan menerimanya!"
"Bagus!" Sahut sang guru, yang tahu-tahu sosok tubuhnya sudah berdiri di depan pintu ruangan kamarnya.
Terperangah Ratih Dewi, ketika baru untuk pertama kalinya dia melihat wajah sang guru adalah ternyata seorang laki-laki yang gagah dan cukup tampan.
"Hukumanmu adalah melayani gurumu murid ku...! Tiga tahun waktu yang cukup untuk aku mendidikmu menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Kau pernah berjanji tak menolak syarat-syarat yang ku ajukan. Ini adalah salah satu syarat itu, yang merupakan juga hukuman atas penyelewengan mu...! Apakah kau berani menolaknya...?" Tanya si Iblis Muka Seribu.
Pucat pias wajah Ratih Dewi, akan tetapi dia sudah menjawab dengan suara tergetar. "Ti... tidak, guru...!"
Tersenyum si Iblis Muka Seribu seraya berucap. "Bagus! Kau memang seorang murid yang berbakti terhadap gurumu..."
Sementara di luar goa telah terdengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh yang sudah berkelebat masuk. Ternyata tak lain dari si Setan Hitam. "Hehehe... hehe... Iblis Muka Seribu, aku bawa seekor kelinci putih yang montok. Apakah kau tak mengilar untuk menyantapnya?"
Berkata si Setan Hitam. Kakek jubah hitam ini memang membawa seekor kelinci di tangannya, yang segera beranjak masuk ke dalam. Akan tetapi karena tak ada sahutan, dia sudah berkata sendirian seraya membawa kelincinya ke belakang. "Hmm...! Biarlah aku akan memasaknya, kau tinggal menyantapnya saja nanti, hehehe..."
Dasar orang kejam dan telengas, si Setan Hitam bukannya memotong dulu kelinci itu, baru mengulitinya. Akan tetapi langsung saja menguliti tanpa memotong terlebih dulu. Keruan saja binatang itu mencicit-cicit setengah mati.
Keadaan di belakang goa ternyata adalah sebuah bukit yang penuh tumbuh rumput ilalang. Cuaca tidak begitu bagus. Angin sesekali berhembus menyibak daun-daun ilalang. Agaknya senja sudah tiba. Mentari mulai membenam di ufuk barat, si Setan Hitam dengan tertawa-tawa menyeringai asyik dengan pekerjaannya.
Selang tak lama sudah tercium bau wangi dari sedapnya daging kelinci panggang. Ketika sosok tubuh si Iblis Muka Seribu muncul di muka pintu ruang belakang, kelinci itu sudah matang keseluruhannya. "Ah, kebetulan...! Boleh aku mencicipinya, guru ?" Berkata si Iblis Muka Seribu yang tak lain adalah Rekso Jiwo alias sang Adipati.
"Hehehe... silahkan! silahkan...". Berkata si Setan Hitam, seraya angkat daging kelinci dari panggangnya. Selanjutnya sudah membelahnya menjadi dua bagian. Dan tak berapa lama mereka sudah menggayamnya panas-panas.
Mentari sudah hampir masuk ke peraduannya, ketika di lembah dekat lereng perbukitan yang menghijau itu terjadi kegaduhan. Enam belas orang bergerak mengejar sesosok tubuh semampai yang berambut panjang beriapan. Di pundaknya memanggul sesosok tubuh yang kedua lengannya terikat. Sosok tubuh itu tak lain dari RORO CENTIL adanya.
Kiranya ketika sang adipati berkelebat meninggalkan anak buah dan kaum persilatan, Roro melihat Wiratmana diseret dan didorong oleh tiga anak buah sang adipati itu untuk dibawa ke Kadipaten. Diam-diam Roro mengikuti. Tapi ternyata bukan Kadipaten yang dituju, melainkan adalah Lembah Pelangi.
Di tengah perjalanan dekat sebuah candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya telah dijemput oleh tiga belas orang yang berpakaian rata-rata berwarna gelap. Ternyata adalah orang-orangnya Adipati Rekso Jiwo. Dua orang yang menunggang kuda menaikkan Wiratmana ke punggung salah seekor kuda, lalu membawanya lebih dulu melalui satu lembah rumput.
Sementara yang lainnya mengiringi di belakang. Perjalanan tidak begitu cepat, sehingga ke empat belas orang leluasa mengikuti di belakang. Tentu saja Roro sudah mengetahui kalau tujuannya adalah ke Lembah Pelangi. Namun karena tak mengetahui di mana adanya lembah tersebut, sengaja Roro menguntitnya.
Menjelang cuaca agak redup di mana matahari mulai terbenam mereka sudah tiba di Lembah Pelangi. Terkejut Roro Centil melihat situasi keadaan di lembah tersebut dari kejauhan. Karena nampaknya di tempat itu seperti keadaan di dalam kota tua. Terlihat banyak prajurit-prajurit lengkap dengan tombaknya, mondarmandir di depan sebuah goa yang sekilas mirip sebuah bangunan gedung yang ada undakan tangga batu di bagian depannya.
Mengetahui keadaan akan lebih gawat, bila sampai Wiratmana tertawan di Goa Lembah Pelangi, segera Roro bertindak menyelamatkan Wiratmana. Sementara Roro Centil terus tancap kaki dengan kerahkan ilmu lari meninggalkan kawasan Lembah Pelangi. Selang tak lama segera hentikan larinya, ketika memasuki mulut sebuah desa. Segera Roro Centil lepaskan ikatan pada lengan si pemuda.
Sementara Wiratmana sudah hampir tak sadarkan diri, karena sepanjang jalan sesekali tangan-tangan iseng sering melayang ke arah tubuh dan kepalanya. Sepasang matanya sudah berkunang-kunang. Ketika tahu-tahu terasa ada sebuah lengan yang menyambar tubuhnya, dan melarikannya dengan cepat.
Terkejut Wiratmana, karena dirinya telah ditolong oleh dara yang baru beberapa saat dikenalnya. Dengan sepasang mata menatap seperti hampir tak percaya, dia melihat dara jelita itu tersenyum padanya seraya berucap.
"Sobat Wiratmana. Sukurlah aku bisa menyelamatkan dirimu. Hingga kau bukan lagi sandera yang dapat dipermainkan seenaknya saja oleh si Adipati itu...!"
"Oh, terima kasih atas pertolongan anda, nona Roro! Aih, membuat aku jadi malu karena laki-laki ditolong oleh seorang wanita...!"
"Hihihi... hihi... memangnya kenapa?" Roro tertawa mengikik tampakkan sebaris giginya yang putih. Membuat hati Wiratmana tergetar. Oh, indahnya wajahnya, dan kedua lesung pipit di pipi itu...
Roro yang memang berniat mengunjungi penginapan Sindu Rejo, yaitu tempat di mana Wiratmana menginap, segera mengajak pemuda itu ke sana. Tentu saja Wiratmana setuju, bahkan berlega hati, karena di sana dia bisa menjumpai ketiga orang kawannya yang tengah menantinya. Yaitu yang bergelar si Tiga Pendekar Ular Mas.
Penginapan Sindu Rejo adalah satu-satunya penginapan di daerah itu, yang amat ramai baik siang mau pun malam. Memang rata-rata penginapan selalu menyediakan ruang untuk makan, yang dijadikan restoran di bagian bawahnya. Begitu juga pada siang hari itu.
Penginapan Sindu Rejo tampak ramai dikunjungi orang. Terutama pada restorannya. Karena letaknya di kota yang ramai, tak jarang dari para pengunjung yang datang adalah orang-orang terpandang, pembesar pembesar Keraton dan juga tak sedikit para kaum persilatan. Juga rakyat biasa.
Dua meja makan yang berada di sudut ruangan tampak telah terisi oleh lima orang tokoh persilatan. Mereka tak lain dari si Tiga Pendekar Ular Mas, Roro Centil, dan Wiratmana. Kelima orang itu asyik dalam pembicaraan yang dilakukan tidak terlalu keras membuka suara. Semua kursi telah penuh. Cuma ada satu bangku kosong di belakang Wiratama, yang sengaja kursinya ditarik mendekat dengan para sahabatnya untuk mengobrol sambil menikmati hidangan.
Ketika tiba-tiba masuk seorang laki-laki berusia kira-kira 40 tahun lebih, diikuti delapan orang kawannya. Laki-laki ini tak lain dari Sentani. Kedatangannya disambut oleh si pemilik restoran dengan terbungkuk-bungkuk menjura.
"Oh, selamat datang Kanjeng Tumenggung. Aduuh, sayang sekali tak ada meja yang kosong. Harap maafkan. Mungkin sebentar lagi."
Belum lagi habis bicara si pemilik Restoran, sudah terdengar bentakan keras, dibarengi dengan disambarnya baju di dada orang tua itu. "Aku bukan mau makan di restoran mu, tua bangka! Tapi akan menyita rumah Penginapan ini berikut semua isinya...!"
"Hah!?" Terkejut si pemilik Restoran. Wajahnya jadi pias berubah pucat, dan tubuhnya gemetaran. Dengan tergagap-gagap orang tua itu berkata... "Oh, apakah kesalahanku Kanjeng Tumenggung...! Me... mengapa bisa demikian?"
"Kau telah menyembunyikan penjahat diPenginapan mu! Kesalahan ini tak dapat diampuni!" Bentak Sentani, seraya menghempaskan si Pemilik Restoran itu, hingga jatuh ngusruk mencium lantai.
Ketika bangkit lagi mulutnya mengucurkan darah. Ternyata giginya sudah tanggal dua buah. Tentu saja kejadian itu membuat panik para tetamu yang sedang makan. Tiba-tiba dua orang dari orang-orang bawahannya telah menunjuk pada Wiratmana dan Roro Centil. Seraya salah seorang berteriak.
"Itulah dia manusianya! Keduanya memang sembunyi di tempat ini!"
Ke delapan orang itu sudah mengurung mereka, seraya mencabut pedang dari pinggang dan menghunusnya. Sementara si pemilik restoran sudah menyingkir dengan wajah pucat ketakutan.
Roro Centil maju ke tengah seraya menjura pada Sentani. "Maaf, apakah anda Tumenggung yang menguasai wilayah ini?" Tanya Roro.
"Pakai tanya-tanya segala! Menyerahlah kau, nona! Kau telah melindungi dan membawa lari sandera Adipati Rekso Jiwo! Aku bawa surat perintah dari Kanjeng Sultan. Beliau memerintahkan kami untuk menangkapmu berdua!"
Melengak Roro Centil dan Wiratmana. Adapun si Tiga Pendekar Ular Mas tampak tampilkan wajah pias, dan saling pandang pada kawannya. Juga menatap Roro dan Wiratmana. Tumenggung Sentani mengeluarkan segulung kertas dari balik bajunya. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih memasuki Restoran. Tahu-tahu terdengar bentakan keras...
"Surat Palsu...!"
Begitu terdengar bentakan itu, tahu-tahu Tumenggung Sentani membeliak sepasang matanya. Karena tiba-tiba punggungnya telah tertembus tongkat kayu hingga ke dadanya. Selanjutnya sudah roboh dengan berkelojotan meregang nyawa.
Delapan orang lainnya terkejut, dan serentak palingkan kepalanya. Akan tetapi ke delapan orang itu hampir serentak bertumbangan satu persatu ketika tongkat si pendatang itu berkelebatan menabas leher mereka. Seketika ramailah suara teriakan dari orangorang yang sekarat. Bergelinjangan tubuh-tubuh itu meregang nyawa. Namun sesaat mereka sudah tewas dengan darah membanjir menganak sungai.
Ternyata di hadapan mereka telah berdiri sesosok tubuh dengan satu kaki, dan sebelah lengannya melengkung ke dada. Wajahnya mengerikan mirip tengkorak. Siapa lagi kalau bukan si Setan Cengkrong adanya. Terkejut Wiratmana, juga Roro dan si Tiga Pendekar Ular Mas. Sebelum mereka ucapkan kata-kata, si Setan Cengkrong telah mendahului bicara.
"Tumenggung yang kubunuh mampus ini adalah Tumenggung palsu! Mereka semua adalah begundalnya si Rekso Jiwo!" Selesai berkata, sepasang mata si Setan Cengkrong tiba-tiba beralih menatap pada Wiratmana. Di balik wajahnya yang kaku menyeramkan itu, sepasang mata si Setan Cengkrong seperti membersitkan sinar aneh. Lalu alihkan menatap pada Roro, dan si Tiga Pendekar Ular Mas.
"Sukurlah, kalian telah menyelamatkan sahabat ku itu dari sandera si Rekso Jiwo. Ketahuilah, Adipati palsu itu sebenarnya tengah dalam kejaran Gusti Kanjeng Sultan Hadibowo dari Kasepuhan. Dia tak berhak menggantikan ayahnya, Adipati Banu Rekso yang tewas dibunuh! Karena dia cuma anak angkat dari istri pertamanya. Namun dia telah memanfaatkan jabatan sebagai Adipati selama hampir tiga tahun, tanpa memberi laporan pada Kanjeng Sultan!" Tutur si Setan Cengkrong.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan keras. "Setan Cengkrong! Manusia keparat...! Berani kau memalsukan diriku?! Keluarlah untuk menerima kematian...!"
Terkejutlah lima pasang mata dari para pendekar ini, termasuk Roro Centil. Karena di luar terlihat pula manusia cacat yang bertubuh dan berwajah serupa dengan Setan Cengkrong yang berada di dalam.
"Kaulah yang memalsukan diriku, manusia bejat!" Teriak Setan Cengkrong yang berada di dalam. Dan sekejap saja dia sudah berkelebat keluar. Tak ayal Roro Centil-pun menyusul melompat keluar di susul si Tiga Pendekar Ular Mas dan Wiratmana.
Tiba-tiba si Setan Cengkrong yang tadi berada di luar telah tarik keluar sebilah pedang berwarna hitam legam. Itulah Pedang Setan. Tentu saja membuat sekonyong-konyong si Tiga Pendekar Ular Mas terkesiap. Seraya sudah maju melompat dengan berbareng ke tengah kalangan.
"Darimana kau dapatkan Pedang Setan itu!" Bentak salah seorang yang paling tua dari kedua kawannya.
"Hahaha... aku merampasnya dari gurunya si Setan Cengkrong palsu itu!"
Melengak si Tiga Pendekar Ular Mas. Seraya sudah balikkan tubuh menatap si Setan Cengkrong satunya lagi.
"Gurunya adalah yang berjulukan si SETAN HITAM!" Setan Cengkrong lanjutkan kata-katanya.
"Bedebah! Laknat...! Itulah gurumu... manusia setan!" Teriak si Setan Cengkrong yang satu ini. Sementara diam-diam hatinya mengeluh. Bedebah laknat ini sengaja mau mengkambing hitamkan aku lagi! Celaka, semua orang telah terpedaya dengan pengaruh ilmu SIHIR HITAMNYA!
Memikir demikian si Setan Cengkrong yang satu ini terpaksa mengambil keputusan untuk menyelamatkan diri, karena bisa-bisa semua kaum pendekar yang berada di situ akan membunuhnya. Segera saja dia berkelebat melompat ke samping rumah penginapan, dan lenyap.
Saat itu si Setan Cengkrong sudah keluarkan bentakannya untuk selanjutnya melompat mengejar. Akan tetapi sebelum kakinya bergerak, sudah berkelebat ke hadapannya sesosok tubuh ramping. Ternyata Roro Centil. Dengan tertawa genit, Roro Centil sudah angkat sebelah lengannya, seraya berkata.
"Maaf...! aku menahan anda sebentar, sobat Setan Cengkrong!"
Tentu saja melenguk si Setan Cengkrong yang baru ini. Akan tetapi melihat yang menghadang adalah seorang gadis muda yang amat cantik, membuat dia sejenak tertegun. "Apakah keperluanmu, adik manis? Ah, gara-gara kau menahanku si manusia yang menyaru diriku itu bisa kabur!" Ujar si manusia cacat ini.
Akan tetapi kata-kata itu justru membuat Roro jadi tertawa terpingkal-pingkal. Membuat si Setan Cengkrong jadi plototkan matanya dengan tatapan aneh.
"Eh, adik! Siapakah kau adanya? Mengapa kau tertawa geli...?" Tanyanya.
"Hihihi... hihi... kau mengatakan bahwa dia telah menyamar sebagai dirimu! Itulah yang membuat aku tertawa! Kau adalah seorang manusia yang bertubuh normal, mengapa kau katakan dia menyaru sebagai dirimu? Bukankah aneh...!" Berkata Roro.
Tentu saja hal itu membuat si Setan Cengkrong ini jadi terkesiap. Hatinya segera membatin. Celaka! Gadis ini telah memunahkan ilmu SIHIR HITAM KU...! Terkejut bukan main si Setan Cengkrong palsu ini, yang dirinya tak lain adalah Rekso Jiwo adanya. Kekuatan ilmu SIHIR HITAM yang luar biasa hebatnya, ternyata telah berhasil menyaru menyerupai si Setan Cengkrong yang sebenarnya.
Bahkan telah pula merubah wajah dan perawakan menjadi seorang tokoh persilatan yang berjulukan si Iblis Muka Seribu. Seperti diketahui Iblis Muka Seribu telah menjadi guru Ratih Dewi, yang sampai kini dara itu sedikitpun tak mengetahui kalau gurunya sendiri itu adalah musuh besarnya. Karena kedua orang tuanya, yaitu Ki Demang Harya Winangun dan istrinya telah dibunuh mati oleh Rekso Jiwo, alias gurunya sendiri.
Kekuatan ilmu SIHIR HITAM itu cuma berlaku sampai satu pekan, atau tujuh hari. Beberapa bulan belakangan ini Rekso Jiwo telah meminjam wajah dan perawakan si manusia cacat, yang sebenarnya berjulukan si Cengkrong. Karena sejak kemunculannya beberapa bulan yang lalu, si orang cacat yang berilmu tinggi itu banyak berbuat kebajikan menolong orang.
Rekso Jiwo segera dapat mengetahui siapa adanya orang cacat itu, yang tak lain adalah PRAMANA. Seperti yang pernah diceritakan, Pramana adalah kekasih Ratih Dewi, juga salah seorang murid Penambahan Galih Kumitir, yang telah tewas dibunuhnya, berikut kelima belas murid-muridnya. Cuma Pramana yang diberinya hidup, dan dibuatnya menjadi orang cacat tanpa daksa.
Saat Rekso Jiwo mengetahuinya adalah dengan menguntitnya, ketika pemuda itu berhasil menggagalkan maksudnya merampok kereta kuda berisi barang upeti yang diperuntukkan buat kerajaan Medang yang sudah berganti dengan nama MATARAM. Dengan mengetahui siapa adanya si manusia cacat yang dijuluki si Cengkrong itu, serta mengetahui pula siapa gurunya, maka Rekso Jiwo pergunakan ilmu sesatnya menyaru sebagai Pramana.
Hingga bermacam kejahatan itu jatuhkan nama si manusia cacat alias Pramana yang terakhir dijuluki si SETAN CENGKRONG. Demikianlah, terkadang Rekso Jiwo menjadi Adipati, terkadang menjadi si Setan Cengkrong. Juga terkadang menjadi guru Ratih Dewi yang bergelar si Iblis Muka Seribu.
Kini mengetahui adanya seorang gadis yang tak terkena pengaruh ilmu SIHIR HITAMnya, membuat Rekso Jiwo jadi terkejut bukan main. Padahal Roro sendiri sebenarnya tetap dalam pengaruh ilmu Sihir Hitam Roro Centil memang sudah berusaha menggunakan kekuatan batinnya untuk melihat siapa ujud asli si Setan Cengkrong yang belakangan ini.
Itulah sebabnya Roro Centil bisa mengatakan bahwa tubuh si "Setan Cengkrong" dihadapannya itu normal. Sungguh tak dinyana kata-kata Roro itu sekaligus membuat punahnya ilmu SIHIR HITAM-nya Rekso Jiwo. Terlihat secara nyata tubuh si Setan Cengkrong berangsur-angsur berubah ujud. Dan kembali ke asal ujudnya sebagai Rekso Jiwo yang memang bertubuh Normal.
Sayangnya hal itu tak disadari oleh Rekso Jiwo sendiri. Tentu saja kejadian aneh itu membuat semua mata jadi terbeliak, termasuk juga Roro Centil. Juga tak kurang dari dua puluh pasang mata dari orang-orang yang menonton mengelilingi dari tempat yang agak jauh, melihat perubahan aneh itu.
"Oh, maafkan aku, sobat Setan Cengkrong! Aku hanya main-main saja. Kakimu memang cacat, kok...! Siapa yang bilang kau orang normal...? Hihi hi... hihi..." Seraya berkata, tiba-tiba Roro Centil telah gerakkan kakinya menghantam kaki Rekso Jiwo hingga berderak hancur. Dan dua kali lengannya bergerak secara hampir berbareng membuat Rekso Jiwo terlempar lima tombak, dengan perdengarkan jeritannya.
Keadaannya lebih parah lagi dari si Setan Cengkrong yang sebenarnya. Karena berkali-kali Rekso Jiwo berdiri, berkali-kali jatuh lagi. Sebabnya karena telah terlepas sambungan tulang lututnya, hingga tak bisa berdiri lagi walau dengan satu kaki. Saat Rekso Jiwo tengah berjingkrakan jatuh bangun itulah berkelebat sesosok tubuh menghantam dada Rekso Jiwo dengan telak.
Laki-laki itu kembali berteriak parau. Kali ini kekuatan tenaga dalamnya telah punah sebagian, hingga dia terjungkal dengan semburkan darah dari mulutnya. Si penerjang itu tak lain dari Setan Cengkrong, yang telah kembali muncul secara tiba-tiba. Ternyata Setan Cengkrong memang masih sembunyi di sekitar tempat itu.
"Tahan...!" Satu teriakan menggema ketika si Setan Cengkrong gerakkan tongkatnya disertai lompatan tubuhnya, menusuk dada Rekso Jiwo.
Akan tetapi teriakan itu terlambat sudah. Tongkat si Setan Cengkrong telah meluncur deras tak tertahankan lagi. Dan menembus amblas ke dada Rekso Jiwo. Terdengar lagi teriakan mengerikan Rekso Jiwo. Tubuhnya menggeliat dengan wajah menyeringai kesakitan. Sementara kedua lengannya telah mencekal tongkat yang amblas ke dadanya. Ternyata yang berteriak adalah Ratih Dewi.
"Guruuu...!" Teriaknya, seraya melompat kehadapan Rekso Jiwo. Sepasang mata gadis ini bersimbahkan air mata.
Ternyata Rekso Jiwo belum tewas. Melihat kemunculan Ratih Dewi sepasang matanya bersinar kembali. Bahkan masih sempat dia memaksakan diri untuk tersenyum. Dan berkata dengan suara lirih. "Murid... ku! Aku me...nyesal mem... bunuh kedua... orang... tua...mu..."
Selesai mengatakan demikian, terkulailah kepala Rekso Jiwo. Nafasnya telah putus dan kembali menghadap Tuhan. Tentu saja kata-kata itu bak petir yang menggelegar didengar Ratih Dewi. Hatinya tak keruan rasa. Gurunya sendiri ternyata adalah pembunuh ke dua orang tuanya.
Pada saat itulah tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hitam ke arah mayat Rekso Jiwo. Ternyata tak lain dari si Setan Hitam. Tampak lengannya mencabut tongkat kayu di tubuh Rekso Jiwo dengan cepat. Dan di luar dugaan telah melemparkannya ke arah Pramana. Terkejut bukan main Roro Centil yang tak sempat memperhatikan lemparan mendadak itu. Saat itu Pramana memang tengah membelakangi si Setan Hitam. Akan tetapi di saat yang amat gawat itu, Ratih Dewi telah berseru keras. Dibarengi dengan berkelebatnya sang tubuh ke arah Pramana.
"Awas!. Serangan gelap!" Tujuan Ratih yang memperingati Pramana, yang tadinya bermaksud mendorong tubuh pemuda itu, ternyata membawa kematian pada dirinya sendiri. Karena sekejap antaranya Ratih Dewi perdengarkan jeritan menyayat hati, ketika tongkat kayu milik Pramana alias si Cengkrong itu menghunjam tepat ke jantungnya.
Sukar untuk diceritakan bagaimana Ratih Dewi meregang nyawa di saat sekarat itu. Semua orang jadi terkesima. Sementara Roro Centil telah keluarkan bentakan keras mengejar si Setan Hitam, yang telah menyambar tubuh Rekso Jiwo untuk dibawa berkelebat. Di lain kejap si Tiga Pendekar Ular Mas juga telah berkelebatan mengejar.
"Berhenti...!" Bentak Roro Centil yang sudah melompat menghadang di depan si Setan Hitam. "Hihihi... hihi... kita ketemu lagi Setan Hitam eh, Setan Hitam! Mau kau bawa kemana rongsokan itu? Dijualpun takkan laku!" Ujar Roro seenaknya.
Melotot mata si kakek tonggos ini. Namun juga terkejut, karena tak menyangka kalau mereka bisa berjumpa lagi di tempat ini. Di samping mendongkol, akan tetapi juga hatinya kebat-kebit. Karena dilihatnya sang dara genit itu telah keluarkan sebuah pedang dari belakang punggungnya. Itulah Pedang Setan miliknya.
Yaitu Pedang yang berada di tangan Rekso Jiwo sang murid. Pedang Pusaka yang telah didapatnya dengan susah payah itu kini berada di tangan seorang dara cantik yang berjulukan Ratu Segala Iblis. Roro Centil memang pernah mempergunakan julukan demikian pada si Setan Hitam, ketika mereka saling bertemu. Melihat benda pusaka itu, si Setan Hitam sudah berkata bengis.
"Berikan padaku pedang itu! Itu punyaku...!" Sebelah lengannya bergerak dengan telapak tangan tertelentang ke arah Roro.
Sementara Roro Centil terkejut bukan main karena tahu-tahu pedang yang dicekalnya itu seperti tersedot keras sekali oleh segelombang tenaga yang tak terlihat. Akan tetapi sebagai tokoh yang sudah cukup lama berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil segera keluarkan ilmu dari lembar daun lontar, warisan gurunya. Yaitu ilmu tenaga dalam yang dinamakan Ajian Sari Rapet.
Apakah yang terjadi? Kalau tadinya Roro Centil tampak agak kewalahan menahan pedangnya agar jangan sampai kena tersedot, tapi kini tampak tenang-tenang saja. Sementara genggaman tangannya semakin rapat seperti sudah menempel saja menjadi satu dengan gagang pedang. Tentu saja melihat sang dara tampaknya enak saja menahan kekuatan tenaga dalam yang menyedot dahsyat itu, si Tiga Pendekar Ular Mas jadi menatap kagum. Ternyata Ketiga Pendekar itu sudah berhasil menyusul keduanya yang tengah adu kekuatan, menarik dan menahan.
Dilihatnya si Setan Hitam sampai keluarkan air liur dari mulutnya yang tonggos alias giginya tersembul keluar. Kekuatannya ditambah lagi seperempat bagian. Namun Roro tetap tenang-tenang saja. Membuat si Setan Hitam jadi terheran-heran, tetapi juga penasaran. Saat itu dengan sebelah lengannya yang lain, Roro Centil loloskan sebuah senjata Rantai Genitnya. Tentu saja hal itu tak luput dari sepasang mata tuanya yang masih tajam.
Terkejut juga aneh, si Setan Hitam melihat ujung rantai yang terdapat bandulan bentuknya mirip payudara wanita. Belum lagi dia mampu menarik Pedang Setan, selanjutnya Roro telah memutarkan si Rantai Genit di atas kepala. Segera saja mengeluarkan suara yang berdengung bagaikan suara ratusan atau ribuan tawon. Hal mana amat mengganggu konsentrasi si Setan Hitam.
Namun dengan kerahkan kekuatan menyedot tenaga yang ditambah secara tiba-tiba, dia berhasil membuat pedang di tangan Roro terlepas. Akan tetapi terkejutnya bukan alang kepalang, karena justru Pedang Setan terlalu deras meluncur ke arah tubuhnya. Mana mampu dia menangkapnya dengan tenaga yang terlalu berlebihan demikian?
Kecepatan jari-jari tangannya untuk menangkap, ternyata lebih cepat sang Pedang Setan yang meluncur deras ke arah lambungnya. Tak ampun lagi pedang pusaka itu telah lewat nyeplos menembus tubuhnya. Menyembur darah segar dari lambung dan punggung si manusia berjubah hitam itu. Sementara Pedang Setan yang nyeplos itu telah menancap amblas di batu gunung sampai tak kelihatan lagi. Bersamaan dengan robohnya tubuh si Setan Hitam itu, teriakan parauhya pun terdengar santar.
Tubuh manusia itu berkelojotan meregang nyawa yang jatuhnya saling tindih dengan mayat Rekso Jiwo. Saat itu si Tiga Pendekar Ular Mas cuma bisa terpaku saja melihat kejadian yang berlangsung begitu cepat. Akan tetapi di luar dugaan si Tiga Pendekar Ular Mas telah hantamkan lengannya dengan berbareng ke batu gunung di belakang si Setan Hitam yang tengah sekarat. Terdengar suara bagai ledakan.
Saat mereka menunggu asap menipis seraya menjauh untuk memperhatikan ke mana melayangnya sang pedang, saat itu pula Roro Centil sudah berkelebat lenyap. Ketika mereka melihat ke tempat kejadian pertarungan, cuma dapatkan tubuh si Setan Hitam yang sudah kaku tak bergeming. Sementara sang dara yang bernama Roro itu sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya.....
Dengan gerakan hati-hati sosok tubuh itu melewati pintu penjagaan ruangan pendopo. Kini bergerak lagi untuk melewati taman. Di sini dia berhenti sejenak untuk berpaling, melihat ke sekitar yang agak remang. Rupanya suasana aman untuk meneruskan langkahnya. Tak berapa lama sudah tiba di muka pintu. Cahaya lampu yang temaram dari obor kecil di sudut tembok itu menerangi wajahnya.
Ternyata dia seorang gadis berwajah cantik. Akan tetapi raut wajahnya tampak pucat dan tegang... Rambutnya kusut masai, dengan pakaian yang menyingkap di sana-sini. Sepasang matanya tampak memancar redup seperti habis menangis. Kembali sejenak dia berpaling ke belakang. Dengkur kedua penjaga itu masih terdengar dari kejauhan.
Cepat-cepat gadis ini palingkan wajahnya untuk menatap ke arah api obor, dan segera beranjak untuk meniupnya. Lalu cepat-cepat melangkah ke depan pintu. Membuka palang pintunya dan meletakkannya dengan hat-hati di tanah. Lalu ia membuka daun pintu secukupnya. Selanjutnya dia sudah menyelinap keluar.
Beberapa saat kemudian gadis, itu sudah berlari cepat meninggalkan gedung Kadipaten itu, dan lenyap di kegelapan malam. Gadis itu berlari, dan terus berlari. Sesekali terdengar suara isaknya menyibak lengangnya malam. Akan tetapi isak tersendat itu seperti ditahannya. Jatuh bangun dia berlari dan berjalan cepat tersaruksaruk. Hingga sebentar kemudian telah berada jauh dari gedung Kadipaten itu.
Kini di hadapannya terbentang anak sungai. Tertegun sejenak gadis itu. Tapi dengan menggigit bibir dan singsingkan kainnya, segera beranjak menuruni. Terdengar suara air menyibak. Tubuh si gadis terendam sampai separuhnya. Ada tersirat rasa seram di hati si gadis, akan tetapi dia terus melangkah untuk menyeberanginya. Beruntung dalamnya cuma sebatas dada.
Selang sesaat si gadis sudah sampai di seberang. Ketika beranjak ke darat.. menggigil tubuh itu kedinginan. Namun dengan menggigit bibir dia teruskan langkah kakinya. Ke mana tujuannya sebenarnya dia sendiri tak mengetahui, karena yang penting adalah meninggalkan Gedung Kadipaten itu sejauh-jauhnya.
Fajar mulai menampakkan diri, ketika gadis itu melangkah terhuyung. Hampir semalam suntuk dia berjalan tak pernah berhenti. Hawa dingin yang mencengkeram tubuh serta luka-luka pada telapak kakinya sudah tak dirasakan lagi. Namun di wajah gadis ini tersungging satu senyuman. Dia sudah bebas bagai seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Walau kebebasan itu cuma untuk sementara, karena orangorang Kadipaten tentu akan memburunya.
Walau demikian dia sudah dapat menarik nafas 1ega. Dijatuhkannya sang tubuh untuk duduk di rumputan. Di hadapannya adalah padang ilalang dari sebuah lembah yang hijau. Sementara Mentari pagi sudah bersitkan sinarnya dari balik punggung bukit. Wajah gadis ini tampilkan senyum berseri. Sepasang matanya menatap ke atas perbukitan. Ada cahaya cerah terpancar dan sedikit harapan tampak dari tatapannya.
"Ah, PRAMANA...! Mengapa kejadiannya jadi begini... !?" Gumam gadis ini lirih. Sementara wajahnya kembali tertunduk menatap rerumputan. Seperti terbayang lagi wajah pemuda itu di pelupuk matanya. Pemuda yang dicintainya. Akan tetapi nasib telah merenggutnya untuk tidak berjodoh dengan pemuda itu. Nasib telah merenggut dirinya yang jatuh ke dalam pelukan Adipati BANU REKSO.
Gadis ini bernama RATIH DEWI. Ia adalah puteri seorang Demang di desa Guci Alit. Hubungan yang dibinanya secara diam-diam dengan seorang pemuda bernama PRAMANA akhirnya diketahui juga oleh kedua orang tuanya.
"Ratih, anakku...!" Suatu hari ibunya berkata, ia duduk berhadapan. "Bukan ibu melarangmu bergaul dengan PRAMANA! Ibu memberi kebebasan padamu untuk bersahabat dengan siapa saja! Akan tetapi..."
"Tetapi apa, bu...?" Tanya Ratih Dewi dengan alis dinaikkan. Tersirat di wajah gadis ini satu pertanyaan yang membuat ia tercenung, karena dilihatnya si ibu termangu memandang jauh keluar jendela.
"Tunggulah kedatangan ayahmu. Beliau baru dipanggil oleh Kanjeng Adipati. Mungkin sebentar lagi akan pulang!" Menyahut perempuan tua itu, seraya menghela napas. Lalu beranjak meninggalkan Ratih Dewi yang cuma terpaku dalam kebingungan. Kata-kata ibunya yang cuma sepotong itu cukup membuatnya merasa risau.
Malamnya Ratih Dewi sudah berada di hadapan kedua ayah dan ibunya. Kali ini terasa jantung Ratih Dewi berdebaran. Terasa ada keganjilan pada sikap sang ayah, yang menatapnya tajam-tajam. Akan tetapi jelas terlihat kalau sang ayah pun amat berat untuk mengatakannya, karena sampai sekian lama mereka tetap terpaku.
Terdengar Ki Demang Harya Winangun ini menghela napas. Tatapannya sekali-sekali dilayangkan keluar jendela. Lalu tertunduk lagi. Ki Demang menyulut pipa tembakaunya, serta menghisapnya dalam-dalam. Lalu hembuskan asapnya seperti membuang keresahan hati yang menggeluti sanubarinya. Kemudian terdengar kata-katanya;
"Ratih Dewi anakku. Terlalu berat bagiku untuk mengatakannya padamu, akan tetapi apa boleh buat. Kau anakku satu-satunya. Kau pasti tidak akan mengecewakan orang tuamu. Aku amat yakin akan pribadimu. Nah. Dengarlah..."
Demikianlah dengan hati berat Ki Demang menceritakan bahwa kedatangannya ke Kadipaten adalah karena sang Adipati bermaksud melamar Ratih Dewi. Pembicaraan mereka adalah untuk yang ketiga kalinya. Kali ini Adipati Banu Rekso sudah tak dapat menahan gejolak hatinya. Dan meminta anak gadis Ki Demang dengan terang-terangan.
Bagaikan ada petir menggelegar di telinga, Ratih Dewi terkejut bukan kepalang. Wajahnya seketika pucat pias. Benarkah atau hanya main-main kata-kata ayahnya itu?. Adipati Banu Rekso sudah beristri empat. Mungkinkah kalau dia mau mempersuntingnya pula..? Terhenyak Ratih Dewi seketika.
"Kau... kau... menerimanya ayah...?" Tanya Ratih Dewi.
"Yah...! Tak ada jalan lain. Aku mengetahui watak sang Adipati Banu Rekso. Kalau kutolak besar bahayanya buat kedudukanku. Semua ini kuterima dengan terpaksa!" Ujar Ki Demang.
Hancur luluh seketika hati Ratih Dewi. Air matanya sudah segera menetes keluar dari pelupuk matanya. Kandaslah sudah harapannya. Tiba-tiba di jatuhkannya dirinya ke pangkuan sang ibu, dan menangislah gadis itu terisak-isak. Sang ibu cuma linangkan air mata dengan menunduk sedih.
Wanita ini mengetahui betapa kehancuran hati anak gadisnya. Hati wanita inipun menangis. Sebagai wanita dia dapat merasakan kepedihan hati Ratih Dewi, namun mana bisa ditentang keinginan sang Adipati?. Sepasang lengan wanita tua ini cuma bisa mengelus-elus rambut anak gadis yang dicintainya.
Sejak itu Ratih Dewi tak pernah keluar rum ah. Sia-sia kedatangan Pramana untuk menjumpainya. Pemuda ini pun maklum sudah. Dia cuma bisa menghela napas tanpa berdaya untuk bisa menentang kehadiran sang Adipati di rumah Ki Demang. Cuma bisa tatapkan mata melihat dari kejauhan, tatkala Ratih Dewi diboyong oleh Adipati Banu Rekso.
Sepasang mata Pramana berkaca-kaca menatap tandu yang mengangkut Ratih Dewi, dengan dikawal oleh beberapa prajurit dari Kadipaten. Sementara kedua orang tuanya cuma terpaku memandang. Upacara pernikahan berlangsung sederhana saja di rumah Ki Demang. Selesai upacara itu, Ratih Dewi segera diboyong.
Seperti nanar tatapan mata Pramana melihat apa yang terpampang di depan matanya. Ternyata kisah cinta mereka putus di tengah jalan. Tak ada lagi harapan yang rasanya lebih baik bagi Pramana. Saat itu juga dia kembali ke pondok. Mengemasi pakaiannya. Lalu menghadap gurunya, Panembahan Kumitir.
Tentu saja membuat Panembahan Galih Kumitir terheran-heran. Namun saat itu Parta Kendala sang murid tertua Perguruan Elang Putih membisiki di telinga sang Panembahan, yang membuatnya segera manggut-manggut.
"Pergilah tenangkan hatimu, Pramana. Memang sebaiknya kau turun gunung...! Kelak kalau menemui kesulitan jangan segan-segan untuk kemari...!" Berkata sang Guru. Agaknya orang tua ini maklum akan kepatahan hati pemuda muridnya itu.
"Terima kasih. Guru....! Kakang Parta Kendala, Guru...! Hamba mohon diri!" Kedua orang itu pun mengangguk. Pramana segera tinggalkan padepokan yang selama beberapa tahun didiaminya. Juga tempat dia digembleng dengan berbagai ilmu kedigjayaan oleh Panembahan Galih Kumitir.
Di sana pula tempat terpautnya hati pada seorang gadis jelita, puteri Ki Demang Harya Winangun. Demang yang menguasai wilayah Desa Guci Alit dan sekitarnya. Namun di sana pula kandas cintanya, karena direnggut oleh sang Adipati Banu Rekso. Adipati yang punya wewenang besar di wilayah itu. Adipati yang keinginannya tak dapat dibantah. Juga Adipati yang menghancurkan harapannya.
Sementara Ratih Dewi cuma bisa titikkan air mata di dalam tandu yang memboyongnya untuk tinggal di rumah Gedung sang Adipati Banu Rekso. Ternyata Ratih Dewi sudah mempunyai rencana yang tersirat dalam benaknya. Rencana yang hanya dia saja yang mengetahui. Cinta memang bisa membuat orang jadi nekat. Cinta memang tak dapat dipaksakan.
Ratih Dewi tak mampu untuk menolak lamaran sang Adipati yang sudah diterima ayahnya. Dia telah berusaha menjadi seorang anak yang berbakti terhadap kedua orang tuanya, akan tetapi ternyata dia tak berhasil mendustai dirinya sendiri. Ratih Dewi tak dapat menerima kehadiran sang Adipati Banu Rekso. Adipati yang serakah! Pikirnya. Seorang pembesar yang mementingkan dirinya sendiri tanpa mau tahu akan penderitaan orang lain.
Berdebar hati Ratih Dewi kala sang Adipati telah memasuki kamarnya. Saat itu para tamu sudah pulang. Acara pesta di gedung Kadipaten sudah usai. Tiga orang istrinya masing-masing telah pamit untuk mengundurkan diri ke bilik masing-masing. Cuma istri pertamanya yang paling tua tak terlihat menampakkan diri. Wanita berusia sekitar 40 tahun itu cuma bisa menghela nafas berat. Betapa pun ia cumalah seorang istri yang tak punya wewenang apa-apa terhadap sang Adipati.
Wanita ini mempunyai tempat tinggal, sebuah gedung yang terpisah agak jauh dari gedung Kadipaten. Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya di hati wanita tua itu terpendam kepedihan. Walau ia sudah tawar akan artinya kehidupan sebagai seorang istri Adipati, yang pada kenyataannya adalah melulu penderitaan batin belaka yang harus dialami.
"Kau belum mengantuk dinda...?" Tanya sang Adipati seraya menghampiri Ratih Dewi. Sebelah lengannya menggamit pinggang istrinya yang sedari tadi tetap duduk dengan setia di sisi pembaringan yang berbau harum itu.
Kedua belah pipi Ratih Dewi segera mendapat ciuman mesra dari laki-laki berusia 50 tahun itu. Ratih Dewi tersenyum manis seraya tundukkan wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Detak jantungnya semakin cepat. Tak berani dia menatap wajah sang Adipati itu, walau rasanya ingin dia menampar wajah kasar itu sekuat-kuatnya.
"Aku menantikan kakanda... Kanjeng Adipati...!" Ujar Ratih Dewi lirih.
"Oh...? Begitukah ...? Ha ha ha... kau memang seorang gadis ayu yang menggairahkan, istriku...! Kau berbeda dengan yang lainnya. Pantas kalau aku tergila-gila padamu. Kau cantik, ayu dan kenes, Ratih Dewi...!" Berkata sang Adipati.
Selanjutnya sang Adipati Banu Rekso telah mendekapnya erat-erat, akan tetapi Ratih Dewi cepat-cepat mendorongnya seraya berkata. "Mengapa terlalu tergesa kakanda...? Bukalah pakaianmu dulu, dan simpan dulu keris pusaka itu. Aku ngeri menyentuhnya...!"
"Oh, ya aku lupa, maafkan aku istriku...!" Menyahut Banu Rekso seraya lepaskan pelukannya. Dan menyingkirkan benda pusaka itu dari punggungnya. Lalu meletakkannya di atas meja. Ratih Dewi sudah beranjak menghampiri. Meraih keris pusaka sang Adipati, lalu menyimpannya dalam lemari pakaian. Banu Rekso cuma tersenyum.
"Kau takut dengan senjata pusaka itu, sayang ku...?" Tanya Banu Rekso.
Ratih Dewi cuma mengangguk, seraya menghampiri lagi sang Adipati. Di lengannya sudah tersedia handuk. Sementara sang Adipati telah selesai menyingkirkan apa yang menjadi penghalang. Cepat-cepat Ratih Dewi belitkan handuk pada tubuh sang Adipati.
"Tubuhmu berkeringat, kakanda kanjeng Adipati. Mandilah segarkan badanmu lebih dahulu. Bukankah akan lebih bergairah untuk malam pertama ini bagi hamba...!"
"Oh...? Baik. Baiklah...! Ha ha ha... Kau memang benar-benar seorang istri teladan. Sebentar aku sudah bebas dari bau keringat, sayang ku...!" Berkata Adipati Banu Rekso. Ia tampaknya amat penurut sekali, padahal keinginannya sudah tak terbendung lagi. Banu Rekso beranjak meninggalkan kamar, dan menutup pintunya kembali.
Ratih Dewi sudah baringkan tubuhnya dipembaringan, berselimutkan kain sutera tipis yang membuat samar-samar tampak bayangan tubuh sang pengantin jelita itu. Sementara Ratih Dewi menanti dengan hati berdebar. Degup jantungnya serasa berdeburan keras. Namun dia masih bisa menahan ketegangan. Rencana itu tak boleh gagal, pekik hatinya. Sepasang mata laki-laki tua itu sudah merayapi setiap lekuk liku di balik tirai sutera tipis di hadapannya. Senyumnya terlihat melebar. Sementara sepasang kakinya telah melangkah mendekati.
Ratih Dewi pejamkan kelopak matanya. Hatinya terasa hancur berkepingan. Kala dia biarkan juluran lengan nakal sang bandot tua itu menelusuri segalanya. Akan kuberikanlah apa yang ada semuanya untuk si manusia keparat ini...? Tersentak hati sang pelanduk ketika sesuatu yang ditakutkan itu sesaat lagi akan terjadi. Akan mandahkah dia untuk berdiam pasrahkan diri? Hati sang pelanduk menjerit, akan tetapi wajahnya tetap tak menampakkan reaksi.
Beberapa kali lengannya sudah bergerak ke sisi pembaringan, di mana di bawah tilam telah dia siapkan sepucuk keris berlekuk tujuh. Keris telanjang yang telah ditaruh di situ adalah keris pusaka milik sang Adipati. Namun beberapa kali pula dia urungkan niatnya, karena khawatir akan mengalami kegagalan. Gagal berarti mautlah yang justru akan menimpa dirinya.
Beruntung sang Adipati sudah keluarkan keluhannya. Wajahnya menampilkan kekecewaan. Kemudian gulingkan tubuhnya ke sisi. Terlihat sekujur tubuhnya bermandikan peluh. Ratih Dewi menarik nafas lega. Puncak kengerian itu sudah terlewati. Kebulatan hati Ratih Dewi telah tertanam untuk tak bisa dihapuskan lagi. Di saat laki-laki tua itu sudah terdengar mendengkur di sebelah tubuhnya, saat itu pula Ratih Dewi telah sibakkan kain tilam di sisi pembaringan.
Segera lengannya sudah menggenggam sepucuk keris berlekuk tujuh yang sudah telanjang itu. Di tatapnya sejenak wajah sang Adipati Banu Rekso. Lengan Ratih Dewi menggeletar. Akan tetapi keris itu sudah di hunjamkan berkali-kali ke dada dan lambung laki-laki bandot tua itu. Tak sempat lagi Adipati Banu Rekso untuk berteriak. Tubuhnya sudah menggelinjang berkelojotan mandi darah.
Namun sesaat kemudian segera mengejang untuk lepaskan nyawanya melayang ke akhirat. Selanjutnya segera beranjak keluar kamar. Ternyata dia harus menunggu sampai semua orang tertidur, dan barulah dengan berindap-indap keluar, yang untuk seterusnya berhasil meloloskan diri.
Demikianlah awal kisah dari kejadian yang menimpanya. Sepasang mata Ratih Dewi kembali jatuhkan air mata yang mengalir ke pipi. Isaknya kembali terdengar. Ratih Dewi menekap wajahnya dengan kesepuluh jari tangannya. Air mata itu mengalir turun lewat sela jemarinya yang lentik.
Namun selang sesaat dia sudah kembali dapat menguasai diri lagi. Setelah menghapus air matanya, kemudian bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap ke atas perbukitan di mana cahaya mentari baru pancarkan sinarnya. Lalu beranjak melangkah lagi untuk kembali meneruskan perjalanannya...
* * * * * * *
Sepasang pemuda bertubuh kekar, berpakaian dari sutra warna biru yang mahal. Ikat kepalanya berwarna merah, dengan sabuk terbuat dari baja tipis yang melingkar di pinggang. Sikapnya amat gagah. Berwajah garang dan angkuh, namun boleh dibilang cukup tampan. Tampak tengah ayunkan kakinya berjalan cepat menuju ke tengah desa.
Dia bernama REKSO JIWO. Pemuda ini baru pulang dari berguru, yang kedatangannya ke desa ini adalah untuk yang ketiga kalinya sejak satu tahun yang lalu. Siapakah adanya Rekso Jiwo ini... ? Pemuda yang umurnya berkisar antara 23 tahun itu adalah putera sang Adipati Banu Rekso. Tampak dia sudah tiba di tengah desa. Beberapa orang yang mengenalinya segera menyapa dengan menjura hormat.
"Raden...! Oh, anda baru datang lagi. Salah seorang dari yang menyapa adalah seorang laki-laki berusia 40 tahun yang bernama Sentani.
"Benar, paman! Tampaknya wajah-wajah kalian menampilkan kesusahan? Ada apakah yang terjadi...! Apakah orang-orang ELANG PUTIH menantang kalian lagi...?" Bertanya Rekso Jiwo. Kedua lengannya sudah bertolak pinggang.
Setahun yang lalu ketika Rekso Jiwo datang ke desa ini, tengah terjadi keributan antara beberapa orang anak-anak buah Sentani dengan orang-orang Perguruan Elang Putih. Persoalannya karena beberapa murid Perguruan Elang Putih turut campur dalam urusan perbuatan Sentani dan anak-anak buahnya.
Tindakan Sentani yang semaunya menguras harta benda penduduk, tentu saja membuat kegusaran beberapa anak murid Perguruan Elang Putih. Seperti di ketahui, Sentani adalah orang kepercayaan Adipati Banu Rekso. Dan mendapat pula dukungan dari Rekso Jiwo. Tentu saja jadi besar kepala, dan bertindak semaunya memeras penduduk, terutama para pedagang dan petani, serta melakukan bermacam perbuatan tercela lainnya. Bentrokan pun terjadi. Namun segera ditengahi oleh Ki Demang Harya Winangun.
Rekso Jiwo yang mengetahui Ki Demang mempunyai anak gadis cantik yang diam-diam tengah diincarnya, terpaksa tak turut campur. Padahal diam-diam Rekso Jiwo mendongkol sekali, karena memang dia tak menyenangi adanya Perguruan Elang Putih berada di wilayah itu. Dia menganggap ilmu-ilmu kedigjayaan Perguruan Elang Putih adalah kelas rendah.
Justru itulah Rekso Jiwo tak berniat berguru di Padepokan tersebut. Bahkan dia telah menepuk dada di hadapan kawan-kawannya bahwa kelak akan dijatuhkannya wibawa Perguruan Elang Putih olehnya. Selanjutnya Rekso Jiwo akan mendirikan satu Perguruan sendiri yang punya wibawa besar. Apa lagi dengan dibawah naungan kekuasaan ayahnya yang sebagai Adipati, serta mempunyai wewenang besar di beberapa wilayah.
Kedatangannya kali ini adalah untuk menun jukkan serta membuktikan apa yang telah dicapainya selama berguru lebih dari tiga tahun. Disamping memang perlu menjumpai ayahnya, karena Rekso Jiwo punya satu gagasan yang lebih baik dalam mengelola pemerintahan ayahnya di sekitar wilayah yang dikuasai.
Gagasan itu memang perlu dibicarakan pada sang Adipati Banu Rekso. Tentu saja bagi seorang yang berwatak kurang baik, akan menelorkan satu gagasan yang tidak baik pula. Mungkin baik bagi si pengelola, akan tetapi amat merugikan bagi rakyat.
"Mengapa kalian diam semua?!" Tiba-tiba Rekso Jiwo membentak, karena dilihatnya Sentani dan anak-anak buahnya terpaku dengan wajah menunduk. Wajah-wajah mereka seperti menampakkan sesuatu kesusahan yang sukar disampaikan.
Mendengar bentakan itu tentu saja mereka jadi terkejut. Sentani pelahan mengangkat wajahnya. Lalu tiba-tiba jatuhkan diri berlutut di hadapan Rekso Jiwo. "Kami... kami tengah berkabung. Juga semua rakyat di wilayah Kadipaten tengah berkabung, Raden...! Ramanda Raden, Kanjeng Gusti Adipati telah berpulang...!"
"Hah...!?" Terkejut seketika Rekso Jiwo. Sepasang matanya menatap pada Sentani, lalu alihkan pada keenam orang anak buah Sentani itu. Mereka semua menundukkan wajah tanpa ada yang berani mengangkatnya.
"Ramanda wafat...!?" Gumam Rekso Jiwo.
Tampak laki-laki ini tertunduk lesu. Sentani sudah bangkit berdiri, lalu berkata, setelah menatap sejenak pada Rekso Jiwo. "Sebaiknya Raden segera ke Kadipaten. Ataukah mau mendengarkan penuturan hamba terlebih dulu...?"
"Ceritakanlah...! Tuturkanlah apa yang menjadi penyebab kematian ayahku! Sudah berapa harikah menjelang kematian beliau?" Berkata Rekso Jiwo.
"Baiklah Raden. Mari kita bicara di bawah pohon itu, di sana udara sejuk!" Ujar Sentani seraya menunjuk pada sebuah pohon rindang kira-kira sepuluh tombak di sebelah mereka.
Tak berapa lama mereka sudah berkumpul di tempat itu. Mulailah Sentani membuka kisah penuturannya. Setelah menghela nafas sejenak segera mulai bicara.
"Sebenarnya kejadian itu tak ada yang mengetahui, akan tetapi banyak dugaan orang memperkuat siapa pelaku dari pembunuhan itu. Kejadian itu berlangsung sudah dua hari ini, yaitu pada malam pengantinnya Kanjeng Gusti Adipati..."
Rekso Jiwo beliakkan matanya mendengar ayahnya ternyata telah kawin lagi untuk yang kelima kalinya. Siapakah pengantin wanitanya...? Berkata Rekso Jiwo dalam hati, akan tetapi dia tak hendak memutuskan cerita Sentani. Hingga Sentani terus berikan penuturannya panjang lebar pada Rekso Jiwo. Tentu saja dengan beberapa dugaan yang dia berikan semaunya saja mengenai pelaku pembunuhan itu. Sementara Rekso Jiwo mendengarkan dengan wajah sebentar pucat sebentar merah.
"Tak mungkin rasanya Ratih Dewi yang melakukannya. Dia seorang wanita Lemah. Dugaanku adalah ada orang kedua di belakang Ratih Dewi, yang sengaja melenyapkan nyawa Gusti Kanjeng Adipati dan membawa kabur gadis itu...!" Ujar Sentani setelah mengakhiri penuturannya.
"Maksudmu siapa...?" Tanya Rekso Jiwo. Sepasang alisnya bergerak menyatu dengan mata membelalak menatap Sentani.
"Heh! Siapa lagi kalau bukan PRAMANA...! Pemuda murid Panembahan Galih Kumitir Ketua Perguruan ELANG PUTIH itu adalah kekasihnya. Buktinya begitu ramanda mu tewas, si Pramana itu lenyap tak ketahuan ke mana perginya...!" Ujar Sentani.
"Bedebah...! Benar paman, dugaanmu pasti tak akan meleset. Tunggu kelak kedatanganku orang-orang Elang Putih!" Teriak Rekso Jiwo dengan kemarahan luar biasa. Selanjutnya mereka segera bubar. Rekso Jiwo kelebatkan tubuhnya untuk segera berangkat menuju gedung Kadipaten.
* * * * * * *
Panembahan Galih Kumitir duduk di tengah ruangan padepokan. Sementara lima belas orang murid-muridnya duduk bersimpuh di hadapannya. Para Kendala murid tertuanya berada di sebelah kiri ketua Perguruan Elang Putih itu. Tampaknya ada sesuatu yang tengah dibicarakan oleh sang Panembahan. Laki-laki tua yang berusia lebih dari setengah abad itu tampak duduk merenung dengan sepasang mata terpejam.
Sementara jari-jari tangannya mengelus-elus jenggotnya yang panjang memutih. Kepalanya terbungkus dengan belitan kain kasar berwarna putih. Memakai jubah warna abu-abu yang tidak terlalu bagus, tetapi bersih. Terdengar sang ketua Elang Putih itu menghela napas, lalu berujar;
"Kita dalam kesulitan murid-muridku. Karena orang-orang Kadipaten menganggap kita telah terlibat dalam perkara pembunuhan Adipati Banu Rekso...!"
Terkejut kelima belas murid-murid sang Panembahan. Mereka tatapkan pandangan pada gurunya dengan wajah pucat. Beberapa orang saling pandang dengan kawannya.
"Mengapa demikian Guru...? Kita tak mengetahui masalah pembunuhan itu, mengapa kita bisa terlibat...?" Bertanya salah seorang yang duduk paling depan.
"Hm, semua ini adalah karena kesalahan yang sengaja dijatuhkan pada kita!"
"Apakah kita tak patut mencurigai juga, guru! Bisa saja Pramana dianggap yang telah membunuh Adipati dan melarikan Ratih Dewi, karena gadis anak Ki Demang itu adalah kekasihnya! Cinta terkadang bisa membuat orang jadi kejam, dan merubah fikiran sehat menjadi tidak waras...!" Berkata Parta Kendala, si murid tertua sang Panembahan.
"Tidak...! Aku tak sependapat. Aku tahu watak serta pribadinya. Sejak selama empat tahun dalam gemblengan ku, tak nantinya dia berhati telengas! Tindakan itu pasti telah difikirkan sebelumnya, karena dengan berbuat demikian berarti dia telah membawa Perguruan Elang Putih ke ambang kehancuran...! Jalan terbaik adalah kau Parta Kendala segera pergi bersama beberapa orang saudara seperguruanmu mencari di mana adanya Pramana...!"
Akan tetapi terlambat sudah, karena pada waktu itu juga sudah terdengar suara teriakan di luar padepokan...
"Orang-orang Elang Putih! Keluarlah kalian...! Aku REKSO JIWO akan menuntut balas kematian ayahku...!"
Terkejut semua yang hadir termasuk sang Panembahan Galih Kumitir. Parta Kendala sudah melompat ke luar diikuti lima belas orang murid-murid sang Panembahan.
"Bagus...! Mana Tua bangka keparat gurumu si Ketua Elang Putih. Suruh dia menghadapku...!"
Teriak laki-laki tegap di luar padepokan itu. Ternyata di sisi Rekso Jiwo, tegak berdiri seorang kakek berjubah hitam berwajah kaku, dengan sebelah matanya meram. Giginya besar-besar menonjol keluar. Pada lengannya tergenggam sebuah tongkat bercagak dua, berwarna hitam.
Semua murid-murid Perguruan Elang Putih segera pentang mata untuk melihat ke arah kedua orang itu. Parta Kendala belum menjawab, namun sang Panembahan Galih Kumitir telah berada di muka pintu padepokan. Tampak wajah sang Panembahan tampilkan perubahan melihat si kakek berjubah hitam itu.
Tak salah lagi, dia si Setan Hitam! Ada apakah dia muncul di sini...? Gumam sang Panembahan Galih Kumitir dalam hati. Akan tetapi dia sudah mengetahui kalau manusia itu adalah Gurunya Rekso Jiwo, anak Adipati Banu Rekso itu.
"He he he... he he... Bagus! Bagus... ! Selamat berjumpa Elang Putih. Kiranya baru sekarang kita berjumpa setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Tak dinyana kau kini sudah jadi ketua Perguruan dan punya kewibawaan di desa ini...!" Terdengar suara si kakek jubah hitam yang ditujukan pada sang Panembahan Galih.
"Angin apakah yang telah meniup mu datang kemari, Setan Hitam? Kami merasa tak mempunyai kesalahan, mengapa datang-datang Raden Rekso Jiwo muridmu ini mau menuntut balas kematian ayahandanya... ?"
"Bedebah...! Tua bangka keparat...! Muridmu yang bernama Pramana itulah yang telah melakukan perbuatan keji. Masakan aku akan tinggal diam? Kalau muridnya pembunuh dan juga telah melarikan istri orang, tentu Gurunya yang harus bertanggung jawab...!" Teriak Rekso Jiwo dengan wajah berang.
"Tutup mulutmu Rekso Jiwo...! Kau menuduh orang yang belum jelas kesalahannya. Belum tentu itu perbuatan saudara seperguruanku!" Teriak Parta Kendala. Laki-laki ini amat gusar, karena Gurunya dimaki-maki seenaknya.
"Hoh...! Aku telah kehilangan ayahandaku, juga seluruh rakyat di wilayah ini telah kehilangan pemimpinnya. Kalau tak kutumpas biang keladi pembunuhnya, serta meratakan padepokan ini dengan tanah janganlah aku bisa meram tidur...! Kini tunjukkan di mana adanya si bedebah Pramana itu. Kalian kira dengan menyembunyikan pemuda itu, kalian akan aman....? Huh! Jangan kalian harap...!"
Merasa kata-katanya diremehkan, Parta Kendala jadi naik pitam. Tubuhnya sudah melompat ke hadapan Rekso Jiwo. "Maaf, sobat Rekso Jiwo! Perguruan kami tak menerima kedatangan tetamu yang tak tahu adat! Silahkan kalian keluar...! Pramana sudah turun gunung sebelum terjadi kejadian pembunuhan itu. Kalau kau menganggap saudara seperguruanku itu yang melakukan, tentu saja kami tidak terima...!"
Kata-kata pedas Parta Kendala membuat alis Rekso Jiwo naik ke atas, lalu bergerak turun menyatu. Sepasang matanya menatap Parta Kendala dengan sinar kemarahan. Tiba-tiba Rekso Jiwo sudah keluarkan teriakan keras. Sebelah lengannya bergerak menghantam dada laki-laki itu.
Plakk...! Parta Kendala cepat silangkan lengan untuk menangkis. Tampak tubuh kedua pemuda itu terhuyung. Dalam segebrakan saja, mereka telah saling menjajal kekuatan tenaga dalam lawan.
"Bagus...! Urusan tak perlu berlama-lama muridku. Manusia-manusia yang cuma menyebalkan ini sebaiknya cepat-cepat disingkirkan dari wilayah mu...!" Berkata si Setan Hitam dengan nada sinis.
Tentu saja kelima belas murid-murid perguruan Elang Putih tak tinggal diam. Segera sudah mengurung mereka. "Kalian mencari keributan tanpa sebab dan bukti yang kuat, kami akan mempertahankan kebenaran. Karena kami yakin kejadian itu bukan perbuatan saudara seperguruan kami...!" Berkata salah seorang dari tiga murid utama Panembahan Galih. Yaitu yang bernama Subala. Pada saat itu sudah berkelebat tubuh sang Panembahan ke dalam padepokan.
"Tahan...! Sebaiknya kita bermusyawarah. Atau kalau perlu kami akan berusaha mencari Pramana, untuk membuktikan kebenaran tuduhanmu itu, raden Rekso Jiwo!"
Akan tetapi jawabannya adalah serangan hebat yang dilancarkan si Setan Hitam. Satu pukulan keras bertenaga dalam telah menghantam dada sang panembahan secara tak terduga.
Buk...! Terdengar laki-laki tua itu mengeluh. Tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Gusarlah sang Panembahan. Pukulan itu cukup membuat dada sang panembahan terasa sesak. Beruntung tidak terlalu keras, karena si Setan Hitam itu sengaja menguji kekuatan lawan.
"He he he... Sebaiknya kita bermusyawarah di atas pertarungan, Elang Putih! Ingin kulihat sudah sampai di mana kehebatan ilmu silatmu sejak sepuluh tahun ini...!" Teriak si kakek berjubah hitam.
"Huh...! Kalian memang sengaja mencari keributan...! Baik! Aku akan hadapi kau... Setan Hitam!" Berkata sang panembahan. Selanjutnya dia sudah mengirim satu pukulan dengan jurus Elang Sakti Menyambar Mangsa. Hebat pukulan itu, yang ternyata dibarengi dengan cengkeraman yang mengarah ke batok kepala si Setan Hitam. Suara angin menderu keras ketika lenganlengan si Elang Putih itu bergerak ke arah lawan.
Namun dengan berseru keras, si Tongkat Setan Hitam telah sambarkan tongkatnya, yang bersitkan hawa dingin. Tubuh Elang Putih berbalik untuk menukik. Sepasang lengannya telah ditarik lagi. Kini telah jejakkan kaki di tanah. Cuma sekejap, karena selanjutnya sudah hantamkan telapak tangan mengarah dada. Inilah jurus pukulan Menghantam Bukit. Terkejut si Setan Hitam. Akan tetapi dengan tertawa dingin sudah disambutnya serangan itu. Justru anehnya dia tak menggerakkan tangan untuk menangkis.
Buk...! Hantaman itu telah mengenai sasarannya dengan telak. Terkejut sang Panembahan, karena lengannya seperti menghantam kapas... Tenaga pukulannya seperti lenyap tak berbekas. Pada saat itulah tongkat si Setan Hitam berkelebat menyambar kaki. Disertai lengan jubahnya bergerak menghantam kepala lawan.
Dalam posisi demikian ternyata cukup sulit untuk menghindar. Namun dengan gulingkan tubuhnya serta lakukan salto beberapa kali, ternyata si Elang Putih telah mampu menyelamatkan diri. Namun tak urung jubahnya kena disambar robek.
"Bagus...! Masih lincah juga kau, Elang Putih...!" Teriak si Setan Hitam. Dia tidak mengejar. Akan tetapi bahkan berkelebat ke arah pertarungan, di mana tiga orang murid utama si Elang Putih tengah bertarung dengan Rekso Jiwo.
"Celaka Guru...! Kita tak akan dapat menang melawannya.. !" Berkata sang Murid.
Tercenung sang panembahan. Dilihatnya satu persatu para muridnya dibantai habis oleh Rekso Jiwo. Pemuda itu cuma pergunakan lengan kosong saja, tapi mampu mematahkan setiap serangan yang datang. Bahkan bila sepasang lengannya bergerak, tentu akan jatuh bertumbangan tubuh para muridnya dengan dada remuk.
"Iblis telengas! Hadapilah aku...!" Sang panembahan gusar bukan main melihat keadaan para muridnya. Dengan menggerung keras dia sudah hantamkan pukulannya bertubi-tubi. Dengan tertawa jumawa si kakek jubah hitam itu putarkan tongkatnya menghalau serangan.
Sebentar saja pertarungan kedua tokoh yang sudah kawakan dan telah lama tak bertemu itu terjadi dengan hebatnya. Dua puluh jurus telah berlalu, akan tetapi si Elang Putih tetap tak mampu menembus bentengan hitam yang melindungi tubuh si Setan Hitam. Bentengan hitam itu seperti mengeluarkan hawa aneh yang dinginnya luar biasa, yaitu dari putaran tongkat si Setan Hitam.
Sementara Parta Kendala sudah pula melompat untuk menerjang Rekso Jiwo. Pemuda ini tertawa sinis. Merasa ada sambaran angin di belakangnya, dia sudah balikkan tubuh secepat kilat dan lancarkan hantaman lengannya memapaki serangan.
Wut! Wuttt...! Kedua pukulan masing-masing di elakkan oleh mereka. Akan tetapi tenaga pukulan telah membuat ikat kepala Rekso Jiwo terlepas. Pemuda ini tampak gusar. Tiba-tiba dia telah cabut keluar senjatanya. Yaitu sebuah pedang berwarna hitam. Terkejut Parta Kendala karena sinar dari pedang itu membuat hawa mengantuk pada sepasang matanya.
Empat orang sisa para murid sang Panembahan terkejut melihat sinar hitam yang telah membuat tubuhnya bergidik, karena pedang itu keluarkan hawa dingin yang aneh. Ketika senjata itu digerakkan berputar, segera membersit keluar suara bagaikan hantu-hantu yang tertawa cekikikan, disertai hawa mengantuk yang menyerang mereka.
"Ilmu Sihir Hitam...!" Terperangah seketika Parta Kendala. Dia pernah mendengar dari Gurunya akan adanya Pedang Setan ini yang telah lenyap dua puluh tahun yang lalu. Tak dinyana kalau benda pusaka itu akan muncul lagi. Dan anehnya berada di tangan Rekso Jiwo.
Sementara pada saat itu sang Panembahan Galih Kumitir dalam keadaan terdesak. Namun masih sempat melihat ke arah Parta Kendala yang tengah terperangah menatap pada Rekso Jiwo yang keluarkan Pedang Pusaka berwarna hitam itu. Terkejut pendekar tua ini, karena segera dia sudah mengenali senjata langka itu. Celaka...! Parta Kendala harus cepat-cepat menyingkir pergi sebelum terlambat. Pikir sang Panembahan.
Akan tetapi justru terpecahnya perhatian, membuat kesempatan baik tak disiasiakan oleh si Setan Hitam. Satu serangan ke arah dada dengan gerak tipuan, membuat si Elang Putih melompat menghindar. Lompatan yang sudah diperhitungkan itu ternyata adalah kesempatan yang paling baik untuk menghantamkan tongkatnya.
Buk...! Terdengar suara teriakan keras sang Panembahan, tubuhnya terjungkal dan menggelinding beberapa kali. Ketika berhenti tampak jubahnya bagian dada telah sobek hangus. Wajah sang panembahan tampak pucat pias, karena terasa dadanya remuk terhantam tongkat si Satan Hitam. Akan tetapi dia sudah berteriak untuk memperingati murid tertuanya.
"Parta Kendala, muridku... Pergilah cepat. Selamatkan dirimu... Suaranya putus seketika, berbareng dengan berkelebatnya tongkat si Setan Hitam yang menembus dadanya.
Detik itu, Parta Kendala sudah segera sadar akan apa yang harus dikerjakan. Sekejap, sang murid tertua panembahan Galih Kumitir itu sudah berkelebat cepat untuk tinggalkan padepokan. Gerakan yang tak terduga itu membuat Rekso Jiwo tak sempat untuk mengejar. Sementara dilihatnya sisa empat orang dari murid-murid Perguruan Elang Putih itu beranjak untuk melarikan diri.
Kemendongkolan hatinya jadi ditumpahkan pada mereka. Terdengar suara bentakannya, dan ketika tubuh Rekso Jiwo berkelebat, segera sinar pedang yang memukau itu telah membuat mereka berhenti berlari. Selanjutnya sudah terdengar jeritan-jeritan mengerikan, ketika dada dan leher mereka terkoyak oleh tebasan pedang. Bertumbanganlah keempat tubuh murid-murid sang Panembahan, untuk roboh mandi darah. Setelah berkelojotan, kemudian tewas.
"Bagus, muridku...! Menumpas musuh harus sampai akarnya. Kelak harus kau cari satu orang yang tadi melarikan diri. Dan cari si Pramana itu...!" Berkata si Setan Hitam, yang sudah mencabut tongkatnya dari hujamannya di dada sang Panembahan Galih Kumitir alias si Elang Putih.
"He he he... kekalahan 10 tahun yang lalu telah tertebus, muridku...! Si Ketua Perguruan ELANG PUTIH ini dulunya manusia yang selalu ikut campur urusan orang. Dia dulu berjulukan si Pendekar Elang Putih. Beberapa orang saudara seperguruanku tewas di tangannya. Cuma aku yang berhasil lolos. Namun sejak aku memperdalam ilmu silatku hingga aku berhasil memiliki Pedang Setan di tanganmu itu, dia sudah bukan apa-apa lagi bagiku. He he he... kelak kau boleh dirikan lagi Perguruan yang pasti sebentar akan membuat kewibawaan mu terkenal ke setiap penjuru...!"
Rekso Jiwo manggut-manggut dengan tersenyum, lalu sarungkan lagi Pedang Setannya ke belakang punggung. Kedatangan sang Guru memang amat di harapkan oleh Rekso Jiwo, yang memang memerlukan bantuan untuk melenyapkan sang Panembahan Galih Kumitir. Ternyata justru datang dengan membawa Pedang Setan yang diberikan padanya...
Sementara diam-diam Rekso Jiwo bergirang hati juga, karena dengan kematian ayahnya kelak dia bisa menggantikan kedudukan sebagai Adipati yang menguasai beberapa wilayah, serta punya wibawa. Namun walau bagaimana tetap saja dia merasa kehilangan, atas kematian sang Adipati Banu Rekso ayahnya...
* * * * * * *
PRAMANA sudah jauh meninggalkan kawasan perguruan Elang Putih. Tatapannya tak bergairah menatap ke depan. Berkali-kali terdengar dia menghela nafas. Ditatapnya burung-burung elang di angkasa, dan seketika teringatlah dia akan Gurunya sang Panembahan Galih Kumitir yang bergelar Pendekar Elang Putih itu. Terasa trenyuh hatinya. Orang tua itu sudah menggemblengnya dengan pelbagai ilmu kedigjayaan selama lebih dari empat tahun.
Kini dia meninggalkan Perguruan karena semata-mata buat melipur hatinya yang terluka. Karena untuk terus berdiam di sana cuma akan membuat hatinya semakin pedih. Cintanya terlalu besar pada Ratih Dewi. Kepergiannya justru untuk menenangkan perasaan hatinya yang kalut.
Beberapa saat kemudian dia telah tiba di sisi sebuah muara sungai yang di kiri-kanannya banyak tumbuh rumput ilalang, serta pohon-pohon rimbun. Keadaan di sini memang lebih menyenangkan. Pemandangan yang cukup bagus! Pikir Pramana. Dia pun mengambil keputusan untuk menetap di sekitar hutan itu.
Pramana adalah anak yatim piatu. Ketika kejadian perampokan dua belas tahun yang lalu dia masih kecil. Tak banyak yang diketahui dengan kematian kedua orang tuanya. Cuma yang diingatnya adalah dia mempunyai seorang saudara kembar yang bernama WIRATMANA.
Wiratmana terhitung kakaknya, karena lahir lebih dulu. Namun sejak kejadian mengerikan yang menimpa keluarganya, Pramana tak mengetahui ke mana gerangan sang kakak. Seingatnya adalah, dia ikut bersama seorang laki-laki tua yang dipanggilnya paman WANGSIT. Ketika Pramana berusia lima belas tahun, paman Wangsit meninggal karena usia tua dan serangan penyakit yang dideritanya.
Sayang paman Wangsit tak pernah bisa menceritakan peristiwa kematian orang tuanya, karena paman Wangsit adalah orang yang tunawicara alias gagu. Pramana pergi mengembara ke mana saja sepembawa kakinya. Lalu berjumpa dengan seorang tua bernama Galih Kumitir. Demikianlah, hingga dia menetap di padepokan ELANG PUTIH, bersama gurunya Panembahan Galih Kumitir itu.
Telah beberapa hari ini Pramana merasa hatinya tak enak. Lama-lama merasa bosan juga dia tinggal di hutan rimba itu. Suatu hari terkejut ketika tengah berburu mengejar pelanduk, telah mendengar suara jeritan seorang wanita. Suara itu seperti berteriak minta tolong, yang nampaknya amat ketakutan sekali.
Apakah yang terjadi...? Sentak hati pemuda itu. Sekejap tubuhnya sudah berkelebat melompat untuk mencari di mana arah suara itu. Dengan pergunakan indra pendengarannya yang cukup tajam, Pramana menyusup ke semak belukar. Suara teriakan itu semakin jelas. Lalu bergegas melompat ke sebatang pohon. Dari atas cabang segera dia dapat menyaksikan kejadian di bawahnya.
Ternyata seorang gadis tengah berteriak-teriak dikejar beberapa orang laki-laki yang menyoren senjata di pinggang. Bahkan salah seorang sudah berhasil memenangkannya. Siapakah mereka...?. Dan siapa pula gadis itu...?. Sentak Hati Pramana. Dengan gerakan ringan Pramana melompat turun. Jarak di hadapannya masih sekitar dua puluh tombak. Tak berapa lama dia sudah mengintai di balik semak belukar.
"Tidaak...! Tidaak...! Jangan ganggu aku! Tolooong...!" Teriak gadis itu.
"Ha ha ha... berteriaklah sekuatmu, manis. Di tempat ini tak ada pendekar yang nyasar, untuk menolongmu!" Berkata salah seorang, yang tak lain dari SENTANI. Beberapa orang anak buahnya telah berhasil meringkus wanita itu.
Sementara itu di tempat persembunyiannya, Pramana jadi terkejut, karena gadis itu tak lain dari RATIH DEWI. Istri Adipati Banu Rekso, alias bekas kekasihnya sendiri. Pramana menahan diri untuk tetap di tempat persembunyiannya. Sepasang matanya menatap dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah yang terjadi dengan Ratih Dewi...? Apakah dia melarikan diri dari Kadipaten?
"Hahaha... haha... Aku akan mendapat hadiah besar bila membawamu ke Kadipaten, bocah ayu...! Kau telah membawa bencana besar, dengan terbunuhnya Adipati Banu Rekso. Katakanlah, siapa yang telah lakukan pembunuhan itu...!" Tanya Sentani seraya mencekal dagu Ratih Dewi.
Gadis ini sorotkan wajah ketakutan, akan tetapi segera menjawab setelah kuatkan hati. Toh dia akan mati setelah usahanya melarikan diri gagal. Dan kini tertangkap di tangan orang-orang bayaran dari kadipaten! Pikir Ratih Dewi.
"Heh! Baik aku katakan! Akulah yang membunuhnya, karena aku tak sudi menjadi istri kelima Adipati itu. Aku bukan ayam yang dapat diperbuat semaunya. Manusia itu telah merenggutkan diriku dari orang yang kucintai, yaitu Pramana! Nah! Jelaslah sudah! Kini bunuhlah aku sekarang juga. Tak perlu kau bawa aku ke Kadipaten...! Bunuhlah! Bunuh...!" Teriak sang dara, yang dengan mata beringas menantang wajah Sentani.
Kata-kata itu membuat Sentani jadi melengak, akan tetapi dia sudah tertawa lebar seraya berkata. "Hahaha... Bagus! Tapi apakah kata-katamu itu bisa dipercaya...?. Aku tak yakin kau yang membunuhnya! Akan tetapi biarlah, lupakan saja mengenai siapa yang melakukannya. Namun untuk membunuhmu siang-siang adalah amat disayangkan. Kau masih pengantin baru, dan... kau memang amat mempesonakan. Pantas kalau mendiang Adipati Banu Rekso menginginkan kau jadi istrinya...!"
Tampak sepasang mata Sentani semakin binal. Juluran lengannya semakin turun ke leher, yang kemudian meraba ke dada. Menggelinjang tubuh Ratih Dewi untuk meronta. Wajahnya merah padam dan terasa jantungnya berdebar keras. Untuk menghadapi kematian tak ditakutinya, akan tetapi justru satu hal yang seperti sudah terbayang di depan matanya saja yang dikhawatiri. Ketika tahu-tahu lengan Sentani telah menotok tubuhnya. Ratih Dewi perdengarkan keluhan, dan seketika tulang-tulang persendiannya terasa lemah. Kepalanya terkulai menunduk.
"Ha ha ha... Tinggalkan wanita ini, dan kalian boleh beristirahat agak jauhan...!" Berkata Sentani pada anak buahnya.
Tiga orang yang mencekal tubuh si dara itu segera merebahkan tubuh yang sudah tak berdaya itu di rerumputan. Lalu cepat-cepat menghilang pergi ke balik semak. Sementara beberapa orang lainnya sudah melangkah pergi menjauh. Namun tidak terlalu jauh, sudah berhenti untuk palingkan tubuhnya. Tentu saja berpasang-pasang mata dari anak buah Sentanu, menatap ke arah sang ketuanya.
Bret! Bret...! Brettt... !
Lagi-lagi lengannya bergerak untuk menyibakkan kain penutup tubuh yang putih mulus itu. Segera saja satu pemandangan yang mendebarkan membuat sepasang mata Sentani semakin melebar bulat, seolah kedua biji matanya mau meloncat keluar dari kelopaknya. Napas Sentani semakin menggebu. Bibirnya terbuka menyeringai meneteskan air liur.
Selanjutnya dia sudah gerakkan lengannya membuka kancing bajunya, yang seperti sekejap saja sang baju bagian atasnya telah diloloskan terbuka. Golok panjang yang tersoren di pinggang segera di copotnya terlebih dulu berikut sarungnya. Tampaknya Sentani sudah tak sabar untuk menerkam.
Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras. Satu hantaman kaki telah membuat tubuh Sentani jatuh tersungkur ke sebelah kiri. Terjangan hebat itu membuat seketika tubuhnya menggelinding sejauh empat tombak. Bukan saja Sentani yang terkejut, akan tetapi juga anak buahnya. Karena segera mereka melihat di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh, yang tak lain dari Pramana.
"Setan Alas...! Kiranya kau bersembunyi di sini...? Bagus! Anak-anak. ringkus dia...! Dia si PRAMANA...!" Teriak Sentani dengan wajah merah padam.
Beberapa anak buahnya yang tadi terkesima, seketika sadar kembali. Serentak mereka bergerak mengurung Pramana dengan mencabut senjatanya masing-masing. Pertarungan pun segera terjadi. Pramana telah mencabut keluar pedangnya untuk menangkis serangan-serangan gencar para anak buah Sentani.
Pramana dan kawan-kawannya memang pernah bentrok dengan Sentani dan anak-anak buahnya setahun yang lalu, yang dilerai oleh Ki Demang. Kini untuk kedua kalinya Pramana berhadapan dengan orang-orang Sentani dengan lain persoalan. Kalau dulu adalah karena membela seorang pedagang yang uang dan dagangannya dikuras habis oleh begundal-begundal ini, akan tetapi sekarang adalah karena membela kehormatan seorang wanita yang adalah bekas kekasihnya sendiri.
Suara benturan-benturan senjata tajam, serta teriakan-teriakan dan bentakan segera mengoyak kesunyian di mulut hutan itu. Dua orang roboh terjungkal terkena tebasan pedang Pramana. Untuk pertarungan ini Pramana telah keluarkan jurus-jurus permainan pedangnya yang berkelebatan hebat. Tiga orang merangsak maju dengan berteriak membentak. Tiga buah golok berkelebatan menabas pemuda itu.
Nyaris memapas pinggangnya, kalau Pramana tak cepat berkelit. Selanjutnya kembali terjadi pertarungan dua lawan satu. Pramana terus merangsak lawan-lawannya. Jelas ilmu pedang dari jurus-jurus Elang Putih cukup membuat anak-anak buah Sentani agak gentar. Namun khawatir dibentak oleh ketuanya mereka terpaksa dengan bersemangat kembali maju menempur. Delapan orang anak buah Sentani kini tinggal enam orang. Dua orang sudah terkapar tak bernyawa.
Setahun belakangan ini ternyata membuat kepandaian Pramana maju pesat, tapi dengan mengeroyok bersama rasanya tak mungkin kalau tak dapat meringkusnya...! Demikian pikir Sentani. Tiba-tiba dia sudah melompat untuk turut menempur Pramana!
Menghadapi empat orang anak buah Sentani ditambah lagi dengan kedatangan si Ketua begundal-begundal itu, ternyata membuat Pramana cukup kewalahan juga. Di samping satu keteledoran telah membuat lengannya terluka.
"He he... Bagus! Ayo, serang terus... !" Teriak Sentani memberi semangat pada anak buahnya. Melihat darah semakin mengucur di lengan Pramana. Sentani tertawa gelak-gelak. "Ha ha ha... Semua senjata anak buahku telah direndam dengan racun. Kau harus hati-hati dengan lukamu Pramana, karena lebih banyak bergerak racun akan cepat menjalar!" Teriak Sentani.
Terkesiap juga hati Pramana mendengar teriakan Sentani. Padahal Sentani hanya menggertaknya. Namun hal itu telah membuat gerakannya tidak lagi terarah. Permainan ilmu pedangnya agak kacau. justru hal itu yang diinginkan Sentani. Pramana mengeluh panjang, tubuhnya jatuh bergulingan tanpa dapat dicegah lagi. Saat itu Sentanu kembali lancarkan serangan ganasnya. Goloknya meluncur deras menyambar tubuh Pramana. Akan tetapi pada saat yang genting itu berkelebat sesosok tubuh menghalau serangan ganas Sentani.
Trang...!
Terdengar suara beradunya dua senjata tajam. Terkejut Sentani. Benturan keras itu membuat tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa tindak. Terasa telapak tangannya tergetar, yang nyaris saja membuat goloknya terlepas dari tangannya. Belum lagi diketahui siapa yang datang, sang penolong itu sudah berkelebat menyambar lengan pemuda itu untuk ditariknya pergi. Dalam beberapa kejap saja sudah lenyap di balik semak belukar.
"Sudahlah! Tak usah dikejar. Mari kita kembali...!" Sentani sudah mendahului melompat ke arah awal pertarungan tadi. Akan tetapi terkejut Sentani karena tak mendapatkan tubuh Ratih Dewi di tempatnya lagi.
"Hah...! Kemana perempuan itu...?!" Teriak Sentani dengan kepala berpaling ke beberapa arah. Dia cuma dapatkan sisa-sisa sobekan kain dan baju wanita itu saja yang berceceran di rerumputan, serta bajunya sendiri yang tadi dilepaskan. Apakah wanita itu dapat melepaskan diri dari pengaruh totokannya? Bukankah dia tadi dalam keadaan pingsan? Berfikir Sentani dalam benaknya. Tiba-tiba Sentani telah melompat ke arah se orang anak buahnya yang terluka.
"Kau tidak melihatnya...?" Tanyanya dengan plototkan sepasang mata pada si anak buah.
Laki-laki yang terluka itu cuma gelengkan kepala dengan lemah. Sementara bibirnya tampak menyeringai menahan sakit dari luka goresan pedang di dadanya.
"Bodoh! Goblok! Dungu... !" Berteriak Sentani memaki. Lalu palingkan kepala pada keempat anak buahnya. "Hayo kalian cari perempuan itu.
Serentak hampir berbareng mereka menyahuti, dan segera berkelebatan mencari dengan berpencar. Sementara Sentani sendiri duduk mendeprok sambil menggarukgaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun tak berapa lama, satu persatu sudah kembali lagi, seraya memberi laporan nihil.
* * * * * * *
PRAMANA mengikuti orang yang menarik lengannya itu untuk berlari cepat menembus hutan rimba belantara. Beberapa saat antaranya mereka sudah hentikan larinya. Terkejut juga girang hati Pramana mengetahui orang itu tak lain dari kakak seperguruannya, yaitu Parta Kendala.
"Terima kasih kakang...! Kalau tak ditolong mu mungkin aku sudah celaka!". Berkata Pramana.
Parta Kendala tak menyahut, tapi balikkan tubuhnya untuk menatap ke arah lain. Wajahnya kaku tak menampakkan senyum secuilpun. Kedua tangannya tampak terkepal, dan sesaat sudah tundukkan kepala disertai terdengarnya suara helaan napas.
"Kakang...!? Kenapakah kau? Kalau kau tak mau dengar ucapan terima kasihku mengapa kau tolong aku?" Berkata Pramana.
Tiba-tiba Parta Kendala balikkan tubuhnya, dengan wajah memerah. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca menatap pada adik seperguruannya. Terkejut Pramana melihatnya. Hatinya tersentak seketika. Pasti ada apa-apa yang terjadi, pikirnya.
"Kakang Parta Kendala! Maafkanlah aku. Katakanlah kakang, apa gerangan yang membuatmu bersedih? Apakah karena aku dituduh orang-orang Kadipaten telah membunuh Kanjeng Adipati Banu Rekso...?" Tanya Pramana dengan suara lembut.
Sang kakak seperguruan tak menjawab, tapi menggelengkan kepalanya. "Bukan itu yang jadi masalah, Pramana!" Akhirnya Parta Kendala bicara juga. "Akan tetapi..." Sambung kata-katanya; dan seterusnya segera tuturkan peristiwa di Padepokan Perguruan Elang Putih beberapa hari yang lalu.
Serasa mendengar petir menggelegar di siang hari layaknya, Pramana terkejut bukan main. Sepasang matanya membeliak seperti tak percaya. Dadanya tergetar menahan kepedihan yang amat luar biasa.
"Aku cuma bisa melihat kematian Guru dari kejauhan. Semua saudara-saudara seperguruan kita tak satupun yang hidup! Kalau aku tak menuruti perintah Guru waktu itu untuk menyelamatkan diri, mungkin akupun sudah tak hidup lagi di Dunia ini!" Ujar Parta Kendala mengakhiri penuturannya.
"Kakang Parta Kendala...! Ini semua adalah gara-gara kepergianku! Hingga aku dituduh Rekso Jiwo melarikan Ratih Dewi dan membunuh sang Adipati. Maafkanlah aku, kakang! Kini apa yang harus kita perbuat?" Berkata Pramana.
Wajah Parta Kendala kini menampakkan senyum, walau sepasang matanya masih berkaca-kaca. Seraya ujarnya; "Kau tak bersalah, Pramana. Mungkin kesalahan itu terletak pada nasib. Dan berpangkal pada kenekadan Ratih Dewi, yang nekad melenyapkan jiwa Adipati Banu Rekso, suaminya! Kukira titik kesalahannya adalah pada kekasihmu itu, Pramana!"
"Akan tetapi hal itu tak bisa menjadikan orang-orang ELANG PUTIH kehilangan segala-galanya." Teriak Pramana, yang secara tak sadar telah keluarkan suara keras. Wajahnya tampak merah padam, dadanya turun-naik. Pramana tak dapat menerima alasan yang dilontarkan Rekso Jiwo, sebagai dalih untuk menumpas habis Perguruan Elang Putih. "Aku akan menuntut balas kematian Guru dan saudara-saudara seperguruan kita itu, kelak...!" Berkata Pratama dengan menggeram. Kedua lengannya terkepal, namun tibatiba dia mengeluh seraya memegangi lengannya yang terluka.
"Oh, aku terkena tabasan golok yang mengandung racun. Apakah kau punya obat pemunah racun, kakang?" Tanya Pramana dengan khawatir.
Parta Kendala terkejut, serta sudah melompat untuk memeriksa lengan Pramana. Akan tetapi selang sesaat, tiba-tiba telah tertawa geli. "Hahaha... Rupanya kau kena dibohongi si Sentani itu. Lukamu biasa, tak begitu membahayakan. Tapi kau obatilah, sebentar rasa nyerinya akan hilang!" Ujar Parta Kendala seraya berikan obat berupa serbuk halus.
Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara tertawa dingin disertai berkelebatnya dua sosok tubuh. Bukan main terkejutnya Parta Kendala, karena keduanya adalah si Setan Hitam yang datang beserta muridnya. Yaitu Rekso Jiwo.
"Hah...?" Pucat bias seketika wajah Parta Kendala. Sementara Pramana segera mengetahui siapa yang datang. Melihat wajah pucat saudara seperguruannya ketika menatap pada si kakek berjubah hitam, tahulah Pramana kalau orang itu adalah yang berjuluk si Setan Hitam.
"Hahahehe... hehe.... Menumpas musuh harus sampai ke akar-akarnya, muridku! Kini keduanya sudah berada di depan mata! Segeralah kau turun tangan...!"
Si kakek jubah hitam yang berwajah menyeramkan, dengan gigi besar-besar mencuat keluar serta mata yang tinggal sebelah itu berkata se-enaknya. Suaranya seperti tempayan rengat, tak enak didengar, dan membuat daun telinga jadi gatal seperti dikilik-kilik. Kalau Parta Kendala wajahnya seketika menjadi pucat, akan tetapi sebaliknya Pramana men jadi gusar dan kertak gigi melihat kedatangan kedua musuh yang telah membinasakan Gurunya ini.
"Bagus... ! Macam beginikah tampangnya manusia-manusia keji yang telah membunuhi orang-orang yang tak punya kesalahan di Padepokan Elang Putih?" Berkata Pramana dengan sepasang mata melotot tajam.
"He!? Besar juga nyalimu, bocah! Apakah kau tak takut mati?" Bentak si Setan Hitam. Akan tetapi jawabannya justru membuat si kakek jubah hitam ini jadi melengak.
"Cuih...! Siapa yang takut akan mati. Bagiku mati atau hidup sama saja tak ada bedanya. Cuma yang berbeda adalah hidup seperti anjing hina dan mati sebagai pahlawan, kukira lebih berharga kematian!"
"Bedebah! Kunyuk...! Kurcaci semacammu lebih baik dibuat mati tidak hiduppun tidak, barulah kau bisa hilangkan kesombonganmu!" Bentak Rekso Jiwo.
"Bagus! Bagus! Kau buatlah dia cacat seumur hidup, muridku. Biar lebih sengsara hidupnya melebihi sengsaranya anjing kudisan! He he he he..."
Selesai membentak Rekso Jiwo sudah mencabut keluar Pedang Setan dari sarangnya. Segera hawa dingin menyibak membuat hawa aneh yang menjadikan mata seperti mengantuk. Juga membuat semangat orang bisa menghilang punah.
Sepasang mata Pramana terpaku menatap pedang berwarna hitam legam itu. Adapun Parta Kendala sudah segera salurkan kekuatan batinnya untuk menolak kekuatan ilmu Hitam dari Pedang Setan. Namun saat itu pedang dilengan Rekso Jiwo telah berkelebat menabas ke arah leher.
Wuttt...! Nyaris membuat putus menggelinding kepala Parta Kendala kalau dia tak cepat membuang diri ke samping. Akan tetapi sepasang matanya jadi nanar, karena Rekso Jiwo telah putarkan pedangnya membuat hawa aneh menyerang semakin hebat. Parta Kendala hampir-hampir jatuh karena mengantuk, tak kuat menahan tubuhnya. Saat itulah berkelebat kembali beberapa kilatan Pedang Setan, yang tahu-tahu Parta Kendala tak mampu lagi mengelakkannya.
Desss! Desss...!
Terdengar jeritan menyayat hati dari Parta Kendala. Keadaan tubuhnya amat mengerikan, karena kedua tangannya terpapas putus. Dan di saat tubuh laki-laki itu terhuyung limbung, satu kilatan Pedang Setan yang berkelebat terlalu cepat telah menghunjam di dada Parta Kendala. Robohlah sang murid tertua Panembahan Galih Kumitir dengan keadaan yang mengerikan. Tubuhnya bersimbah darah yang menyemburat dari kedua luka lengannya yang putus sebatas pundak.
Setelah meregang nyawa beberapa saat, maka putuslah nyawa laki-laki murid ketua Perguruan ELANG PUTIH itu. Pramana beliakkan sepasang matanya dengan mulut ternganga. Tubuhnya terguncang gemetaran.
"Aku akan adu jiwa denganmu, Iblis...!" Teriaknya lantang. Suaranya bagaikan hendak membuat runtuhkan langit layaknya, saking gusarnya yang bagai sudah tak terbendung lagi.
Plakk! Plakk...! Wesss...!
Beberapa serangan dahsyat Pramana mendapat tangkisan telak dari lengan Rekso Jiwo, yang mempergunakan satu jurus hebat. Itulah jurus Tiga Iblis Membendung Lautan, yang sudah matang dipelajarinya. Serangan yang bagaimanapun lihainya akan punah dengan jurus itu. Karena saat menerjang itu Pramana sendiri terheran. Sekonyong-konyong tubuh Rekso Jiwo seperti berubah jadi tiga.
Tentu saja serangannya lolos. Tahu-tahu terasa lengannya kena terhantam di saat posisinya dalam keadaan tak menguntungkan. Qua kali hantaman itu membuat tubuh Pramana berpusing atau memutar beberapa kali. Dan saat berikutnya satu tendangan telak telah menghantam dada Pramana, yang seketika terjungkal dengan teriakan tertahan.
"Hahaha... hehehe... Bagus! Bagus, muridku. Ilmu Bayangan Sepuluh Iblis itu telah sempurna betul kau kuasai! Ayolah cepat jangan membuang waktu. Kau buat dia orang yang cacat tanpa daksa seumur hidup!". Berkata si Setan Hitam dengan suara sember yang membuat lubang telinga gatal.
"Baik, guru...! Aku memang akan membuatnya mati tidak hiduppun tidak. Dan kelak aku akan adakan satu permainan hebat di hadapannya. Hahaha... haha..."
Begitu habis suara tertawanya, kesepuluh tubuh bayangan Rekso Jiwo telah semakin rapat mengurungnya. Mengamuklah Pramana sejadi-jadinya, dengan menerjang kesana-kemari dengan pukulanpukulan dahsyatnya. Akan tetapi semuanya seperti menemui tempat kosong. Bahkan kali ini Pramana tak dapat lagi menghindar ketika Rekso Jiwo gerakkan lengannya menotok tubuhnya.
Pemuda keluarkan keluhannya. Baru saja tubuhnya terhuyung roboh, telah terasa tengkuknya dicekal orang. Tahu-tahu dia rasakan tubuhnya telah melayang di udara. Kiranya Rekso Jiwo telah melemparkannya ke atas.
Pemuda ini mengeluh ketika rasakan tubuhnya sudah meluncur turun kembali ke bawah. Dan selanjutnya terdengar suara tulang-tulang yang berderak pat ah. Pramana keluarkan jeritannya yang menyayat hati.
"Hehehe... Berikan padaku bocah itu, murid ku...!" Teriak si Setan Hitam tiba-tiba. Entah mengapa manusia ini jadi kepingin ikut-ikutan menyiksa.
"Baik, guru...! Sambutlah! Tapi jangan kau bunuh dia, guru!" Teriak Rekso Jiwo. Sekali gerakkan tangan, tubuh Pramana kembali melayang ke udara.
Akan tetapi sebelum si Setan Hitam sempat menanggapinya, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dengan gerakan bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu. Dan selanjutnya dengan gerakan yang cepat sekali, telah membawanya berkelebat cepat sekali. Hingga sebentar saja sudah lenyap.
Adapun si Setan Hitam jadi terkejut bukan main, karena tahu-tahu tubuhnya terhuyung dua tindak. Kiranya di saat lengannya sudah bergerak untuk menyambuti tubuh pemuda itu, tiba-tiba segelombang angin halus tapi bertenaga besar, telah membuat tubuhnya terdorong.
Dan berbareng dengan itu, satu bayangan putih berkelebat menyambar tubuh Pramana. Tadinya dia sudah gerakkan kaki untuk mengejar, akan tetapi telah terdengar satu suara halus yang dikirim dari jarak jauh. Padahal orangnya sudah tidak kelihatan.
"Setan Hitam telengas....! Kelak akan datang masanya kalian menyesali perbuatan keterlaluan kalian...!" Suara itu cuma si Setan Hitam yang mendengarnya.
"Siapa kau...?" Bentak kakek tonggos ini dengan suara berkumandang.
Akan tetapi tiada jawaban apa-apa. Semuanya berlalu seperti angin lewat saja. Kini di tempat itu kembali sunyi. Rekso Jiwo cuma saling pandang dengan gurunya. Namun tak berapa lama kemudian kedua sosok tubuh guru dan murid itu telah berkelebat pergi meninggalkan tempat tersebut.
* * * * * * *
PELAHAN LAHAN si gadis mulai membuka kelopak matanya. Kelihatannya dia telah tersadar dari pingsannya akibat pengaruh totokan. Gadis itu tak lain dari Ratih Dewi. Terkejut sang gadis ini mengetahui dirinya berada dalam sebuah ruangan yang gelap. Sekelilingnya adalah cuma dinding yang terbuat dari batu bertonjolan, yang ternyata adalah sebuah Goa. Dia sendiri ter baring pada sebuah balai-balai beralasan tikar rumput kering.
"Dimanakah aku ini...? Dan tempat apakah ini...?" Gumam Ratih Dewi berdesis. Dilihatnya samar-samar di ujung ruangan ada bayangan sesosok tubuh membelakangi. Tak jauh di dekatnya ada sebuah meja, yang di atasnya terpasang sebuah lampu minyak tanah. Siapakah orang itu? Tanya Ratih Dewi dalam hati.
Sementara dia mulai mengingat-ingat peristiwa dirinya. Terkejut Ratih Dewi ketika dapatkan tubuhnya telanjang bulat. Dan dia cuma berselimutkan selembar kain tipis yang tak seberapa panjang. Barulah dia sadar akan apa yang dialami, karena seingatnya dia telah terjatuh dalam cengkeraman orang-orang Kadipaten.
Terutama ada laki-laki bernama Sentani itu yang telah berbuat kurang ajar terhadapnya, ketika menjadi tawanan. Ratih Dewi memang sudah tak mengharapkan hidup. Akan tetapi tetap saja dia mengkhawatirkan nasibnya kalau harus terpaksa melayani nafsu bejat. laki-laki itu.
Tapi kini dia berada di tempat lain. Entah siapakah orang itu. Apakah Sentani...? pikirnya dalam benak.
Karena Ratih Dewi cuma melihat punggungnya saja, dia tak mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu. Namun dia sudah memastikan orang itu adalah Sentani, karena siapa lagi kalau bukan manusia itu, yang telah menodainya. Perlahan dia bangkit. Sepasang matanya memancar tajam menatap punggung orang itu. Keberanian Ratih Dewi memang luar biasa.
Tiba-tiba matanya telah melihat sepotong kayu tergeletak di sudut ruang yang samar-samar itu. Diraihnya benda itu. Lalu dengan berjingkat-jingkat beranjak mendekati orang yang tengah duduk membelakangi. Entah apa yang tengah dilakukan sosok tubuh itu, yang tampaknya seperti tengah bersemadhi.
Ketika itu Ratih Dewi telah tiba di belakangnya dengan langkah tak menimbulkan suara. Potongan kayu itu sudah diangkatnya tinggi-tinggi siap untuk dihantamkan ke kepala orang itu. Akan tetapi orang itu menoleh... Segera terlihat wajahnya yang tertawa menyeringai.
"Hah...!?". Terperanjat Ratih Dewi. Sepasang matanya hampir-hampir tak percaya, karena orang itu adalah ayahnya. Alias Ki Demang Harya Winangun. Akan tetapi wajah itu tampak pucat, dan menyeringai menyeramkan. Membuat gadis ini tersentak kaget. dan melangkah mundur dua tindak. Sebelah lengannya memegangi kain yang membungkus tubuhnya sebatas dada.
"Hehehe... Ratih Dewi, anakku... kau sudah sadar, sayang...?" Suara sang "ayah" ini kedengarannya begitu mesra. Tiba-tiba cepat sekali tubuhnya telah melompat ke dekat sang gadis. Tahu-tahu lengannya sudah menangkap pinggang Ratih Dewi.
"Ayah...!? Kau... kau... Akan tetapi selanjutnya gadis itu sudah perdengarkan teriakannya, karena sekonyong-konyong wajah ayahnya itu telah berubah menakutkan. Giginya besar-besar menonjol keluar. Matanya cuma sebelah. Rambutnya yang panjang sebatas bahu berwarna putih beriapan itu bergerak-gerak bagaikan cacing-cacing kecil yang berjuntaian.
"Hah!? Kau bukan ayah? Si... siapa kau...? Tidaak! Tidaaak! Lepaskan aku!" Berteriak Ratih Dewi.
Akan tetapi sosok tubuh itu telah memondongnya dengan tertawa terkekeh-kekeh. Lalu diletakkan di pembaringan beralaskan tikar rumput itu. Kain penutup tubuhnya telah melayang lagi entah ke mana. Ratih Dewi serasa bermimpi yang amat menakutkan. Akan tetapi seperti sungguhan.
Anehnya dia berada di tengah hutan dalam keadaan telanjang bulat, dan tubuh basah kuyup disiram hujan. Tak mengerti dia sama sekali akan semua itu. Segera dia berlari untuk mencari tempat meneduh. Tubuhnya menggigil bukan main. Akan tetapi mau cari selimut atau pakaian kemari? Hampir gila, dan seperti sudah hilang akal wanita ini.
Pada saat itulah terdengar suara menyeramkan di telinganya. Suara tertawa yang membuat bulu tengkuknya meremang berdiri. Tiba-tiba angin bersiur keras. Hawa dingin semakin merasuk ke tubuh menembus ke tulang. Bergetaran tubuh gadis ini. Di samping rasa takut, tapi juga karena hawa dingin yang tak tertahankan.
"Hoaha... hahaha... anak manis...! Kau akan kutolong dari kesusahanmu, asalkan kau menerima beberapa syaratku. Hoahaha... haha...! Kalau kau tak bersedia, kau akan mati dengan ketakutan dan kesengsaraan... !" Terdengar suara orang berkata.
Terperangah seketika Ratih Dewi. Suara itu berkumandang di sekitarnya, akan tetapi tak ada orangnya. Setankah? Makhluk haluskah...? Pikir dalam benaknya. Ratih belum memberikan jawaban. Ketika pada saat itu kilatan petir membuat cuaca gelap itu terang sekilas. Terlihat di hadapannya sesosok tubuh berdiri menatap ke arahnya. Siapakah...? Tak pikir panjang Ratih Dewi sudah gerakkan tubuh untuk berlutut. Seraya berkata;.
"Bapak yang berada di hadapanku! Tolonglah aku segera dari kesusahan, dan kekalutan fikiranku ini. Apapun syarat itu akan aku kabulkan asalkan aku terlepas dari kesusahan ini..."
Baru saja selesai kata-katanya sudah terdengar suara tertawa lagi terbahak-bahak. Tahu-tahu hujan deras serta angin yang menderu-deru menerpa tubuhnya itu sirna. Cuaca pelahan-lahan berubah kembali terang. Akan tetapi sudah terdengar bentakan keras.
"Anak manis, cepat tutup matamu! Kalau tidak cuaca akan kembali berubah seperti tadi...! Dan ingat, jangan dibuka sebelum aku memerintahkanmu...!"
"Oh, baik...! Baik, aku akan menutup mataku!" Ujar Ratih Dewi. Padahal baru saja dia ingin melihat siapakah orang di hadapannya. Tahu-tahu terasa tubuhnya melayang cepat sekali. Namun dia benar-benar tak berani membuka matanya. Terasa ada lengan yang mencekal pinggangnya.
Selang sesaat tiupan angin telah mereda, dan dirasakannya tubuhnya menyentuh alas rumput kering. Lengannya sudah meraba sebuah selimut kering yang hangat. Tak ayal segera dipakainya untuk membungkus tubuhnya yang menggigil kedinginan. Ketika Ratih Dewi diperintahkan membuka matanya, di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh menatapnya. Sesosok tubuh laki-laki berbadan tegap, namun wajahnya tak terlihat jelas, karena memakai topi tudung yang menutupi sebagian wajahnya.
Ikutlah aku...!" Berkata orang itu.
Ratih Dewi terpaku sejenak. "Andakah yang telah menolongku...?" Tanya Ratih Dewi.
Orang itu tak menyahut, karena tubuhnya telah melompat ke depan ruangan goa yang luas itu. Pada bagian ujungnya ada terdapat sebuah batu besar, yang tingginya hampir setinggi manusia. Kesanalah orang itu melompat, dan sekejap sudah duduk di atas batu.
"Kalau di sini tak ada lain orang selain aku, siapa lagi yang melakukan pertolongan padamu...? Heh, seandainya kubiarkan dirimu tanpa kuselamatkan, niscaya kau sudah dijadikan pelampias nafsu manusia bejat yang bakal membawamu ke tiang gantungan! Kini cepatlah kau duduk di hadapanku!"
Tak ayal lagi Ratih Dewi sudah berucap dengan suara tergetar takut dan girang menjadi satu. Ratih Dewi cuma bisa mengangguk. Selanjutnya sudah terdengar lagi suara orang bertudung itu dengan nada suara dingin.
"Bagus! Kau harus bersedia menjadi muridku!"
Terkejut Ratih Dewi mendengarnya, akan tetapi dia sudah segera bersujud di hadapan orang itu. "Oh, terima kasih, guru...! Aku benar-benar merasa amat senang sekali!" Ujarnya dengan wajah girang.
"Bagus...! Ketahuilah, ayahmu Ki Demang telah tewas, juga ibumu...! Kasihan orang tua itu, karena gara-gara kau membunuh Adipati Banu Rekso, mereka telah dijatuhi hukuman gantung oleh Tumenggung Kadipaten...!" Ujar si orang bertudung.
"Oh...!? Ayah, ibu.... !?" Terkesiap Ratih Dewi. Seketika wajahnya berubah pucat. Kemudian terdengarlah isaknya tersendat. Betapa hancur hatinya mendengar berita itu. Selang beberapa saat setelah tangisnya mereda gadis ini dongakkan wajahnya menatap sang guru, seraya berkata.
"Guru...! Ajarilah aku ilmu kepandaian. Aku... aku..." Tak mampu Ratih Dewi meneruskan kata-katanya, karena kembali dia terisak, dengan air mata bercucuran.
"Kau mau menuntut balas, bukan?. Hahaha... Bagus! Kau memang anak yang berbakti pada kedua orang tua! Nah, tinggallah di sini sampai kau berhasil mempunyai ilmu kepandaian. Jangan khawatir, aku SILUMAN MUKA SERIBU akan menurunkan ilmu-ilmu yang hebat padamu...!" Ujar si orang bertudung dengan suara berwibawa.
"Oh, terima kasih, guru! Terima kasih...!". Teriak Ratih Dewi dengan girang, seraya jatuhkan diri lagi untuk berlutut beberapa kali.
* * * * * * *
TIGA TAHUN berlalu sudah, sejak kejadian di dalam goa itu. Di pertengahan musim kemarau... langit tampak amat bersih membiru tak berawan. Udara siang itu amat cerah. Seorang gadis cantik tampak berdiri di ujung bukit. Di bawahnya mengalir sebuah sungai berair jernih berbatu-batu. Itulah sungai yang bernama Kali Kendil.
Sedang bukit yang dipijaknya adalah dataran tinggi di mana jauh di sebelah sana tegak menjulang Gunung Bromo dengan megahnya. Angin pegunungan yang menerpa membuat rambut si gadis ayu tersibak beriapan. Dia memakai pakaian persilatan berwarna hijau lumut. Ikat pinggangnya terbuat dari kulit ular. Sementara ikat kepalanya yang terjuntai juga berkibaran, yang juga berwarna hijau.
Siapa lagi gadis ayu yang bertubuh semampai itu kalau bukan RORO CENTIL adanya. Seulas senyum tampak terlihat pada bibirnya yang merah ranum ketika menatap ke arah sungai yang mengalir di bawah bukit. Lain pandangan matanya beralih ke sebelah barat sungai, di mana terlihat satu dua wuwungan rumah penduduk di sela-sela pepohonan. Pasti di bagian sebelah dalamnya terdapat perkampungan. Berkata sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini dalam hati.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berkelebatan menuruni bukit. Bagi mata manusia biasa yang tak mempunyai kekuatan ilmu batin, akan merasa aneh melihatnya. Karena sang gadis Pendekar ini tampaknya seperti tengah duduk dengan kaki terjuntai, tapi tubuhnya meluncur pesat ke bawah bukit yang sekejap saja sudah tiba di tepian sungai.
Padahal bagi yang dapat melihat dengan mata batin, akan mengetahui kalau gadis ini telah menunggang seekor macan Tutul yang amat besar yang tak tampak oleh mata biasa. Itulah si TUTUL sahabatnya Roro Centil, yang selalu setia menemani kemanapun majikannya pergi. Tapi satu keanehan si makhluk siluman ini, adalah tak bisa bertindak sendiri tanpa diperintah.
Kini Roro Centil sudah tak gunakan kata-kata biasa lagi untuk menitahnya kalau sedang diperlukan. Akan tetapi mempergunakan kata-kata batin yang tak diucapkan dengan mulut, melainkan dengan hati yang disalurkan lewat kekuatan batin. Roro Centil tatapkan sepasang matanya ke arah seberang sungai.
Tampak ada tiga buah pondok yang jarak antara satu dengan lainnya tak begitu jauh. Tiba-tiba gadis pendekar ini kerutkan alisnya. Nalurinya yang peka telah mengatakan ada sesuatu terjadi di seberang sungai. Kejap selanjutnya adalah, tubuh sang gadis sudah melesat untuk melompat ke seberang sungai.
Sementara itu di dalam sebuah pondok yang berada paling ujung, memang telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Tampak empat sosok tubuh terkapar bersimbah darah... Sekejap Roro sudah berada di muka pondok. Terkejut bukan main gadis ini. Sekali bergerak melompat, dia sudah tiba di dalam.
Roro tegak berdiri di depan mayat-mayat, memasang telinganya untuk mengetahui ada tidaknya orang di dalam. Tapi ternyata sudah kosong ketika Roro memeriksanya. Selanjutnya dia segera periksa keempat mayat, yang ternyata sudah tewas cukup lama.
"Apakah yang sudah terjadi? Siapakah pembunuh mereka ini...?" Desis Roro. Sekejap Roro sudah melompat keluar lagi. Kini tubuhnya sudah memasuki lagi pondok-pondok di seberang sungai itu. Ternyata di sini pun banyak mayatmayat berserakan.
"Gila...! Apakah di dalam perkampungan pun semua penduduk tewas?" Desis Roro, seraya berkelebat terus semakin masuk ke dalam daerah yang merupakan perkampungan penduduk di wilayah sekitar kaki bukit itu.
Tiga-empat rumah penduduk kembali dijumpai. Tidak semua terdapat mayat, karena ada juga yang sudah kosong melompong. Tampak Roro keluar dengan wajah lesu. Dia berdiri di depan pondok. Kepalanya mendongak ke atas, dengan sepasang mata terpejam. Sementara hatinya bergemuruh menahan lonjakan-lonjakan kuat dari dalam dadanya. Rasa gusar, marah, sedih berkumpul menjadi satu. Dia harus temukan si pelaku pembantaian ini.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa gadis Pendekar ini. Tertawa yang mengikik geli. Semakin lama semakin keras, dan terdengar seperti berkumandang di beberapa tempat dan arah. Bahkan seperti ada ratusan orang yang tertawa, karena suara tertawa itu tak putus-putusnya berpantulan.
Tapi anehnya, dalam tertawa ini tampak air mata si dara bercucuran. Inilah satu kekuatan tenaga dalam yang amat hebat menakutkan. Karena akibat suara itu, keadaan sekitar tempat itu telah jadi berubah...
Beberapa buah genting telah merosot dari atas wuwungan rumah yang berada di belakang Roro. Burung-burung kecil yang sembunyi di daun-daun pohon, serentak beterbangan dengan suara bercuit-cuit ketakutan. Kira-kira hal itu berlangsung tiga kali sepeminuman teh hangat, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras dari ujung jalan desa.
"Kurang aja ...! Berhenti! Hentikan tertawa itu bocah keparat...!" Disusul dengan munculnya sesosok tubuh yang berjalan dengan sempoyongan, menekan kedua daun telinganya. Itulah tubuh seorang laki-laki berjubah hitam. Di lengannya tercekal sebuah tongkat yang ujungnya bercagak. Tiga buah gigi yang besar-besar menonjol keluar dari mulutnya. Sebelah matanya tak berbiji lagi.
Roro sudah hentikan tertawanya. "Hi!? Bocah cantik, siapa kau?" Bentaknya dengan garang. Wajahnya menampakkan kegusaran.
Roro perhatikan orang sekilas, tapi tiba-tiba sudah berlalu tinggalkan orang itu. Melengak si laki-laki berjubah, yang tak lain dari si Setan Hitam adanya. Sebagai tokoh yang sudah kawakan, dan punya nama besar, serta ditakuti di sekitar wilayah tempat itu, tentu saja perbuatan Roro itu seperti menghinanya. Di samping heran, karena justru suara tertawa yang membuat telinganya menjadi sakit, tak lain dari suara tertawa seorang gadis cantik jelita.
Dari pengaruh yang dirasakannya jelaslah kalau gadis itu berilmu tinggi dan bertenaga dalam hebat, karena getarannya mengandung kekuatan hebat yang menggetarkan jantung dan syaraf. Laki-laki tua jubah hitam ini sudah julurkan lengannya menyambar tengkuk orang, disertai bentakan keras.
Gerakan menyambar ini bukan sembarangan, karena jangankan tubuh manusia, batu pun akan hancur kena cengkeraman tangannya. Inilah salah satu jurus kejinya si Setan Hitam, yang sengaja di pergunakan untuk menyerang lawan yang berilmu tinggi. Tenaga dalam yang tersalur dalam tangannya bisa meremukkan tulang leher Roro, kalau gadis ini tak gunakan rambutnya mengepret ke belakang.
Terkejut si Setan Hitam, namun segera dia buru-buru tarik kembali serangannya. Dilihatnya gadis itu menolehpun tidak kepadanya, membuat wajah si Setan Hitam jadi semakin merah dan panas. Jelas gadis yang berilmu tinggi! Pikir si Setan Hitam. Tapi tingkah lakunya yang aneh itu justru membuat dia jadi semakin penasaran. Apalagi melihat caranya berjalan untuk berlalu tinggalkan tempat itu, seperti santai saja kelihatannya.
"Hihihi... banyak mayat yang kujumpai di tiap rumah, ternyata cara pembunuhannya kurang kejam! Entah setan atau iblis mana yang memperbuatnya? Benar-benar membuat malu aku si Ratu Segala Iblis!"
"Hei! Perempuan sinting! Baru aku mendengar ada julukan Ratu Segala Iblis! Kalau kau benar orangnya, coba tunjukkan padaku cara bagaimana membunuh orang dengan kejam?!"
Roro hentikan tindakan kakinya. Sepasang matanya memang tidak terbuka seluruhnya, karena mirip orang mengantuk. Seperti lagak orang baru bangun tidur, Roro kucak-kucak matanya yang masih mengembang bekas air mata. "Siapakah yang bertanya...?" Tanyanya jumawa. Justru dia tak memandang sama sekali pada si kakek jubah hitam di hadapannya.
Diam-diam Setan Hitam mendongkol bukan main. Rasanya sudah mau menghantamkan tongkatnya saja ke kepala gadis aneh itu. Akan tetapi dengan menahan sabar, dia menjawab. "Heh! Ketahuilah, aku si Setan Hitam yang bercokol dan menguasai di lima wilayah ini! Harap kau buka lebar-lebar matamu, untuk melihatku! Agar kau ketahui yang bagaimana wajah si Setan Hitam!"
Akan tetapi setelah mendengar penjelasan orang, justru Roro Centil malah tertawa geli. "Hihihi... hihi... Pantas! pantas! Setan Hitam keroco yang baru kenal kejahatan kemarin sore, mana bisa menandingi ketelangasan ku, si Ratu Segala Iblis? Hi hi hi... hihi..."
Tentu saja merah wajah si Setan Hitam bagaikan kepiting direbus. Tubuhnya tampak tergetar hebat. Tiba-tiba dia berteriak keras. Lengannya bergerak menghantam tanah di hadapannya, yang seketika jadi hangus. Lalu hantamkan lagi ke kiri dan ke kanannya. Terdengar suara batang-batang pohon yang batangnya patah berantakan, dan roboh dengan suara gemuruh.
Melihat orang unjuk kepandaian di depan matanya, Roro cuma perhatikan dengan mata meram melek, dan bibir unjukkan senyum tipis. "Kau tunggulah di sini, akan kutunjukkan kekejaman ku dihadapanmu" Teriak si Setan Hitam.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap. Apakah yang dilakukannya? Ternyata dia telah berkelebatan menghantami semua pondok penduduk di sekitar tempat itu dengan pukulan dahsyatnya, yang membuat kobaran api segera membakar setiap wuwungan atau dinding rumah. Hingga sebentar saja api berkobar di setiap penjuru. Membakar dan menambus mayat-mayat yang banyak berkaparan di dalamnya. Selang sesaat sudah kembali lagi ke hadapan Roro. Tapi kini di lengannya sesosok tubuh kecil dari seorang anak laki-laki yang dijambak rambutnya.
"Hehehe... hehe... kau lihat! Aku akan beset-beset bocah ini sampai jadi tiga belas bagian. Apakah aku si Setan Hitam masih kurang kejam?" Seraya berkata lengannya sudah bergerak untuk membeset tubuh anak kecil itu menjadi dua bagian. Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar bentakan halus.
"Tunggu...!" Suara bentakan itu datangnya dari mulut Roro. Gadis pendekar yang aneh ini tolak pinggang di depan si Setan Hitam. Suara bentakan itu cukup berpengaruh untuk urungkan niat keji si Setan Hitam.
"Heh. Bukankah kau mau aku tunjukkan caranya berbuat kejam?"
"Cara kekejamanmu untuk membeset tubuh bocah itu jadi tiga belas bagian adalah cara kuno! Mana bisa dikatakan kejam? Bisa-bisa aku tertawa sampai terkentut-kentut! Apakah kau mau ku anggap sebagai penjahat keroco atau iblis kemarin sore...?" Berkata Roro. Selanjutnya dia sudah lanjutkan kata-katanya. "Berikan padaku bocah itu! Segera akan kutunjukkan bagaimana caranya berbuat yang paling kejam!"
Dengan sebelah mata melotot, si Setan Hitam lemparkan bocah itu pada Roro. Diam-diam hatinya semakin mendongkol, karena tetap saja apa yang diperbuatnya tidak merupakan kekejaman yang berhasil membuat si gadis aneh itu mengambil perhatian.
"Nah, aku akan melemparkan bocah ini sejauh-jauhnya. Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, aku akan menghantam dengan pukulanku yang sekaligus akan membuat tubuh bocah ini hancur berserpihan. Itu baru yang kuanggap kejam. Asalkan kau sanggup lebih dulu menghantam, bukan saja aku mengakui kekejamanmu, akan tetapi juga menganggapmu bukan sebangsa iblis keroco yang baru lahir kemarin sore! Sanggupkah kau?" Berkata Roro, setelah menyambuti tubuh si bocah itu.
"Baik...! Hehehe... agaknya kau menganggap aku tak mampu. Kau teramat meremehkan aku, bocah perempuan!" Berkata si Setan Hitam dengan mendongkol.
Siuuuttt...! Roro sudah melemparkan tubuh anak kecil itu, yang segera saja meluncur ke udara. Dan berkelebatanlah dua tubuh itu mengejar. Akan tetapi terkejut si Setan Hitam, karena tahu-tahu bocah itu lenyap. Bukannya bocah itu saja yang lenyap, karena si gadis aneh itu pun lenyap entah ke mana.
Merah padam wajah orang tua berjubah ini. Dia benar-benar merasa dipecundangi. Bukan saja dia tetaplah sebagai seorang iblis keroco, tapi juga sudah dibuat malu yang luar biasa oleh gadis aneh yang mengaku berjulukan si Ratu Segala Iblis.
"Haiiii...! Ratu Segala Iblis! Tampakkan diri mu. Akan kubuat tubuhmu lumat menjadi tiga belas bagian...!" Teriaknya dengan marah. Namun tetap saja Roro tak menampakkan diri. Akhirnya dia pun berkelebat tinggalkan tempat itu.
Ke manakah gerangan Roro Centil? Dan ke mana lenyapnya bocah kecil itu?. Baiklah kita ikuti apa yang terjadi sebenarnya. Kiranya sewaktu bocah itu dilemparkan, Roro Centil telah bisikkan kata-kata, melalui batinnya. Yaitu perintahkan si Tutul menyelamatkan nyawa bocah itu. Hingga ketika si bocah itu melayang dalam jarak lemparan sekitar dua puluh tombak di atas pepohonan, detik itu pula si harimau siluman telah menyambarnya terlebih dulu. Dan membawanya berkelebat lenyap.
Sementara Roro Centil ternyata langsung bergerak menuju ke setiap rumah yang terjadi kebakaran. Dengan pergunakan hantaman telapak tangan yang berhawa dingin, sekejap api-api yang baru menjilati wuwungan setiap rumah segera punah padam. Berkelebatanlah tubuh pendekar wanita yang aneh itu untuk memusnahkan api di setiap tempat.
Dalam pada itu sesosok tubuh telah memperhatikannya dengan sepasang mata menatap terbelalak. Itulah sepasang mata dari sesosok tubuh, laki-laki yang berdiri di ujung jalan desa. Sepasang mata pemuda ini mengagumi kehebatan ilmu pukulan Roro, juga kecantikannya yang membuat dia terpesona.
Akan tetapi di satu tempat, sepasang mata jeli juga tengah menatap pemuda itu dengan tatapan Kecemburuan yang amat besar. Dialah si gadis bernama Ratih Dewi. Di samping cemburu, tapi juga tertegun. Karena tak menyangka dia dapat menjumpai pemuda itu lagi, yang disangkanya sudah tak ada di dunia ini lagi.
Tiga tahun sudah Ratih Dewi berguru dengan si orang laki-laki bertudung yang misterius, yang dijumpainya di saat memberikan pelajaran ilmu padanya. Selama itu Ratih Dewi telah melupakan PRAMANA, kekasihnya. Sang kekasih yang sudah dilupakannya, sejak dia mencari dan mencari di mana ada kesempatan. Namun tak pernah dijumpai... kini tahu-tahu telah berada di depan mata. Berdiri dengan gagah. Menyoren pedang di punggung.
Oh, Pramana, aku masih mencintai dirimu sampai kapan pun! Kau adalah milikku! Dan kau tak boleh jatuh ke tangan lain wanita, sejak ku menjumpai mu! Desis Ratih Dewi dalam hati. Wajahnya membersitkan kecemburuan, betapa pemuda itu menatap dengan kagum pada gadis aneh berbaju hijau itu. Akan tetapi dia tak mau buru-buru bertindak. Ingin dilihatnya apakah yang akan dilakukan si Pramana itu setelah menatap pada dara baju hijau itu? Pikir Ratih Dewi.
"Siapakah anda, sobat berpedang....? Tampaknya ada sesuatu yang aneh padaku. Mengapa kau menatapku tak lepas-lepas...?" Tanya Roro dengan berjalan melangkah ke hadapannya. Tentu saja gerakan langkah seenaknya. Namun hal demikian itu justru membuat sepasang mata Ratih Dewi jadi melotot kian lebar. Gadis Centil... ! Makinya dalam hati.
Laki-laki itu menjura hormat. Sikapnya amat sopan sekali. Lalu terdengar suaranya berkata; "Ah, maafkan kelancanganku, nona Pendekar! Namaku WIRATMANA...! Entah siapakah gerangan nona yang berilmu tinggi ini...!"
Roro Centil naikkan alisnya. Segera saja bibirnya terulas satu senyuman manis. Melihat penampilan orang di hadapannya amat sopan santun, Roro tak tega untuk mempermainkan. Apa lagi dari wajah pemuda di hadapannya itu menampakkan kejujuran hati, serta sikap yang gagah berwibawa.
"Aih, anda terlalu memujiku, sekedar ilmu penjinak api yang tak berarti itu mengapa pujianmu bukan main? Hihihi... namaku Roro!" Ujar Roro Centil singkat. Selanjutnya mereka telah tampak akrab berbicara. Terutama mengenai keadaan di tempat itu yang penuh dengan mayat-mayat manusia.
"Nona Roro, terus terang aku datang ke wilayah ini adalah karena mendengar berita dari beberapa keluarga yang telah berhasil melarikan diri dari "neraka" di tempat ini, bahwa adanya seorang tokoh keji yang menguasai wilayah ini. Dia berbuat semaunya saja. Membunuh, merampas, menganiaya, memperkosa wanita, dan lain-lain perbuatan kejam. Seperti kau lihat sendiri banyak mayat berserakan di pelbagai tempat. Di rumah-rumah penduduk, di sawah, di kebun atau di sembarang tempat akan terjumpai satu dua mayat. Kalau tidak yang masih baru, tentu yang sudah membusuk. Semua itu adalah ulah perbuatan Manusia keji itu..."
"Apakah tokoh keji itu kau maksudkan si SETAN HITAM?" Tanya Roro dengan kerutkan keningnya.
"Ah, rasanya bukan...? Menurut yang kudengar adalah bergelar si SETAN CENGKRONG!" Ujar Wiratmana.
Tentu saja Roro Centil jadi tercenung. Tadi dia lihat sendiri si Setan Hitam membakari rumah dengan ilmu pukulan hawa panasnya yang mengeluarkan api. Juga di hadapannya telah siap membeset tubuh seorang anak kecil menjadi tiga belas bagian. Kakek berjubah hitam, berwajah seram itu sudah dipastikan Roro, kalau semua perbuatan kejam itu adalah perbuatannya.
Karena ketika Roro Centil mengaku bergelar si Ratu Segala Iblis, manusia itu menampilkan kekejaman di hadapan matanya dengan tanpa kenal peri kemanusiaan. Kini mendengar di sebutnya satu tokoh bergelar si Setan Cengkrong, adalah baru didengarnya. Hal mana membuat Roro jadi terheran dan melengak.
Sementara di tempat persembunyiannya Ratih Dewi mendengarkan pembicaraan. Sayang Ratih Dewi tak begitu memperhatikan saat si pemuda itu memperkenalkan namanya tadi. Kata-kata Wiratmana kedengaran olehnya adalah PRAMANA. Siapakah sebenarnya laki-laki bernama Wiratmana itu? Dialah saudara kembar Pramana yang justru kemunculannya adalah di samping mencari si Setan Cengkrong, juga mencari jejak adiknya yaitu Pramana, di manapun dia jejakkan kakinya.
Adanya berita kejahatan di wilayah itu yang menurut yang didengarnya adalah perbuatan si Setan Cengkrong, membuat dia merasa penasaran untuk mengetahui manusia keji yang membuat keonaran itu. Adapun Roro Centil rupanya telah mengetahui adanya sesosok tubuh yang sembunyi mendengarkan pembicaraan. Segera dia berkata;
"Di manakah adanya penginapan yang paling besar di tempat ini?" Tanya Roro setelah manggut-manggut. Mendengar penuturan Wiratmana tentang tokoh yang bernama Setan Cengkrong itu.
"Apakah anda mau menginap di sana? Kebetulan akupun menginap di tempat itu. Penginapan itu cukup jauh dari sini. Kalau anda bersedia mari kuantar. Kita bersama-sama ke sana. Kukira kita bisa bercakap-cakap dengan leluasa. Ada tiga orang kawanku di sana. Mereka bergelar si Tiga Pendekar Ular Mas!"
Setelah, berfikir sejenak, Roro Centil menjawab. "Sebenarnya aku masih punya urusan lain. Tunjukkan saja di arah mana letaknya, aku akan ke sana menjelang senja nanti!"
"Baiklah, kalau begitu! Silahkan anda berjalan ke utara. Tak jauh dari batas wilayah Kadipaten, anda menjumpai satu penginapan yang lumayan besarnya. Penginapan itu bernama Penginapan Sindu Rejo" Ujar Wiratmana menjelaskan.
"Ya, ya...! Aku akan mencarinya nanti! Nah sobat, kukira aku harus tinggalkan tempat ini. Kelak kita jumpa di penginapan tersebut...!"
Selesai berkata Roro Centil kelebatkan tubuhnya dengan cepat. Dan sekejap kemudian segera lenyap di balik pepohonan. Wiratmana menatap ke arah lenyapnya tubuh Roro, dengan pandangan kagum. Tampak bibirnya menggumam lirih.
"Roro...! Ah, nama yang indah seindah orangnya...!" Akan tetapi baru saja dia mau balikkan tubuhnya untuk berlalu, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh ramping di hadapannya dari arah samping.
Terkejut Wiratmana, karena lagi-lagi muncul seorang gadis yang cukup cantik. Berbaju kembang-kembang sewarna daun. Rambutnya berkepang dua, yang satu dengan lainnya diikat menjadi satu di belakang. Mengenakan pita berwarna kuning. Di pinggangnya tersoren pedang yang tak seberapa panjang, namun melengkung bagai bulan sabit. Siapakah gerangan gadis ini? Pikir Wiratmana.
Sementara sang dara telah menatapnya dengan tajam. Bibirnya tampak bergetar seperti mau mengucapkan kata-kata. Dan satu keanehan adalah dari sepasang matanya yang nampak galak itu, tampak berkaca-kaca memandang kepadanya.
"Eh, siapakah anda nona? Apakah ada yang anda cari...?" Tanya si pemuda.
Dengan suara gemetar Ratih Dewi menjawab, sementara wajahnya sudah menunduk seperti menyembunyikan air matanya yang mulai menggenang. "Kau... kau sudah tidak mengenali diriku lagi, PRAMANA... ?" Sahutnya pendek.
Pramana...? Kata-kata itu hampir membuat si pemuda itu telonjak karena terkejutnya. Jelas itu adalah nama adik kembarnya. "Aku... aku..."
Pemuda ini berkata tergagap. Tadinya dia mau menyebut kata-kata bahwa dirinya adalah bukan Pramana. Akan tetapi tiba-tiba diurungkan lagi. Karena rasa ingin tahu siapa gerangan sang dara ini. Juga Wiratmana ingin mendengar di mana gerangan adik kembarnya itu.
Sementara dia sudah punya dugaan kalau adiknya berada di sekitar wilayah ini. Tak dinyana kalau tiba-tiba sang gadis sudah berlari ke arahnya, dan tahu-tahu sudah memeluknya. Mendekapnya erat-erat sambil terisak-isak bersimbah air mata.
"Pramana...! Kau... oh, betapa aku menanggung rindu padamu, kasihku! Aku sengsara lahir batin. Aku ingin mati saja di hadapanmu, Pramana...!"
Tercenung Wiratama. Dalam keadaan serba salah, terpaksa dia biarkan saja gadis itu memeluki dan menciumi wajahnya. Hingga air mata sang gadis membasahi wajah pemuda berbaju putih itu. Perlahan-lahan Wiratama mendorong tubuh gadis itu, sesaat setelah isaknya agak mereda. Gadis ini lepaskan pelukannya dan berdiri membelakangi pemuda itu. Terdengar suara helaan nafasnya lirih di antara isaknya yang tinggal satu-satu.
"Kuakui Pramana,... kau agak canggung karena aku bukan lagi Ratih Dewi kekasihmu yang dulu. Aku telah jadi istri Adipati Banu Rekso, walau cuma semalam dan walau tanpa berhasil aku digagahi, karena aku telah membunuh suamiku. Membunuhnya dengan kejam! Aku telah membantainya dengan keris pusakanya sendiri! Tak ada seorang pun yang mengetahui. Kukira hanya dugaan orang saja yang mengira aku telah membunuhnya. Juga dugaan-dugaan lain yang telah membuat kau disangka yang melakukan perbuatan keji itu, dan melarikan aku. Aku banyak berdosa pada semua orang...! Kepada suamiku, kepada kedua orang tuaku, juga kepada orang-orang Perguruan ELANG PUTIH! Karena semua mereka tewas di tangan Rekso Jiwo...!" Berkata Ratih Dewi dengan wajah tertunduk. Sebelah lengannya bergerak mengusap air matanya, dan dia sudah duduk mendeprok di tanah.
Wiratmana tercenung mendengarkan. Tiba-tiba dia sudah memberanikan diri bicara. "Siapakah Rekso Jiwo itu...?".Ujarnya lirih. Sementara pelahan dia sudah mendekati sang dara dan ikut duduk di sebelahnya.
"Rekso Jiwo adalah anak Adipati Banu Rekso...!" Sahutnya. Dan segera Ratih Dewi ceritakan panjang lebar tentang nasib dirinya hingga jatuh ke tangan seorang tokoh sakti misterius yang bernama gelar si IBLIS MUKA SERIBU.
Wiratmana semakin berani bertanya panjang lebar pada sang dara, yang ternyata tetap belum mengetahui kalau laki-laki di sebelahnya itu bukanlah Pramana. Sayang Wiratmana tak mengetahui kalau di belakangnya telah berdiri sesosok tubuh berwajah mengerikan mirip tengkorak. Rambutnya putih beriapan. Memakai jubah warna ungu. Keadaan tubuhnya ternyata tidak sempurna, alias cacat.
Sebelah lengannya melengkung kaku menekuk ke bawah, dengan jari-jari terentang. Dan sebelah kakinya putus sebatas lutut. Lengannya yang satu memegang sebuah tongkat kayu. Tiba-tiba saja telah gerakkan tongkatnya menotok tubuh Wiratmana, yang selanjutnya sudah disambar untuk dibawa berkelebat pergi. Tentu saja membuat Ratih Dewi terkejut melengak. Dia melompat untuk mengejar seraya membentak keras.
"Heiii...! Berhenti keparat ...!". Namun gerakan si manusia cacat itu amat cepat, Ratih Dewi pergunakan ilmu larinya mengejar. Akan tetapi sia-sia, karena manusia cacat itu punya gerakan secepat angin yang sekejap saja sudah lenyap tak kelihatan lagi.
Dalam keadaan dibawa berlari cepat itu, Wiratmana benar-benar terperanjat, karena tak mengetahui siapa adanya orang yang telah menotoknya. Namun masih sempat lakukan pertanyaan dengan suara tergagap.
"Eh, siapakah kau, mengapa menotok ku? Mau dibawa ke mana aku ini...?"
Orang itu cuma mendengus di hidung tak menjawab pertanyaan Wiratmana. Bahkan mempercepat larinya yang berkelebat bagaikan terbang. Sementara Ratih Dewi berdiri tertegun menatap ke depan. Hatinya jadi mencelos karena dia sudah dapat menduga siapa adanya manusia cacat itu. Benar saja! Karena tiba-tiba telinganya telah mendengar satu suara menyusup ke telinganya yang dilontarkan dari jarak jauh, dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
"Eh, nona manis istri Adipati Banu Rekso, silahkan datang ke Bukit Kelelawar kalau kau inginkan kekasihmu ini tetap hidup... ! Aku si Setan Cengkrong menanti kedatanganmu...!"
"Benar...! Dia si Setan Cengkrong!" Desis Ratih Dewi. Dan tak ayal ia sudah gerakkan kaki untuk tinggalkan tempat itu.
Sementara itu sesosok tubuh berbaju hijau telah berkelebat mengejar si manusia cacat itu, dan membuntutinya dengan diam-diam. Ternyata adalah Roro Centil adanya. Hati gadis pendekar ini tercekat untuk terus mengikuti si manusia cacat itu hingga sampai mengetahui siapa gerangan orangnya. Bagaimana Roro Centil bisa mengetahui munculnya si Setan Cengkrong itu?
Kiranya sewaktu Roro berkelebat pergi tinggalkan Wiratmana, Roro telah bergerak memutar. Tujuannya adalah ingin mengetahui siapa adanya wanita yang mengintai di belakang Wiratmana. Hingga akhirnya dia berhasil mengutip pembicaraan keduanya. Satu keanehan adalah si gadis itu telah menganggap Wiratmana adalah PRAMANA.
Tengah Roro menduga-duga apa latar belakangnya sang gadis menyebut sang pemuda demikian, tiba-tiba bersyiur angin halus di sebelahnya. Dan tahu-tahu telah menotok Wiratmana, serta membawanya berkelebat pergi. Tentu saja Roro mengetahui keadaan tubuh orang yang cacat itu. Cuma karena membelakanginya, Roro tak dapat lihat jelas wajahnya. Dan di saat Wiratmana dilarikan, Roro sudah berkelebat mengikutinya...
Bukit Kelelawar ternyata adalah sebuah bukit yang sudah terkenal di wilayah itu, karena memang di sana banyak kelelawar bergelantungan di siang hari pada pepohonan. Agaknya memang merupakan tempat yang menjadi sarang binatang-binatang itu.
Wiratmana sudah berada di dalam goa, saat si manusia cacat itu membuka totokannya. Kini dengan sepasang mata terbeliak, dia memandang pada orang di hadapannya. "Apa yang kau inginkan diri ku, dan siapakah kau ini...?" Tanya Wiratmana.
"Hm, aku adalah orang yang tengah kau cari itu, sobat! Orang yang kau tuduh melakukan kejahatan. Bukan saja kau, akan tetapi semua pendekar tengah mencariku, karena khabar cerita amat santer bahwa aku adalah orang yang telah melakukan bermacam perbuatan keji...!" Ujar si manusia cacat.
"Jadi kau... kau si SETAN CENGKRONG itu?" Tanya Wiratmana terkejut.
"Benar! Aku memang yang dijuluki demikian, akan tetapi semua perbuatan itu bukan perbuatan ku!"
"Tidak mungkin...!" Bentak Wiratmana. Lengannya sudah bergerak mencabut pedangnya yang tersoren di punggung, dan sudah menghunusnya dengan wajah tegang.
Pada saat itu tiba-tiba berkelebatan beberapa sosok tubuh memasuki mulut goa, disertai bentakan-bentakan keras menggema. Sebentar saja lebih dari dua puluh orang telah mengurung si Setan Cengkrong. Rata-rata mereka telah menghunus senjatanya yang bermacam-macam.
"Hahaha... Setan Cengkrong! Kali tak dapat melarikan diri! Kau telah terkepung! Tak ada jalan keluar lagi bagimu selain kematian..." Teriak seorang yang bersenjatakan tombak bermata tiga. Dialah yang dijuluki si Tombak Malaikat.
Sementara dua orang yang berpakaian kulit harimau berkepala botak adalah si Dua Macan Kembar. Dan tiga orang lagi yang berpakaian warna merah adalah yang berjulukan Tri Tunggal Cemeti Alam. Senjata yang dipergunakan adalah cambuk yang ujungnya berduri-duri. Serta beberapa tokoh lainnya yang tak begitu terkenal.
Ruangan goa Kelelawar memang sangat luas, namun kini sudah dipadati oleh puluhan manusia, membuat jadi penuh sesak. Masing-masing mulai beranjak membuat lingkaran. Hingga tak memungkinkan si Setan Cengkrong dapat meloloskan diri. Karena ruangan goa itu cuma mempunyai satu pintu, akan sukarlah kiranya si Setan Cengkrong meloloskan diri.
Namun hal itu tak membuat si manusia cacat ini jadi gentar, bahkan tak terlihat wajahnya berubah pucat sedikitpun. Sementara Wiratmana sudah melompat mundur. Ternyata si Setan Cengkrong membiarkannya saja tanpa menoleh.
"Biarlah kami yang akan meringkusnya terlebih dulu...!" Teriak salah seorang dari para pendekar yang berbaju merah. Dan berkelebatlah tiga sosok tubuh ke hadapan si Setan Cengkrong.
Memang bila dilihat sepintas adalah tak masuk akal kalau seorang manusia yang sudah cacat, dengan sebelah lengan melengkung, sebelah kaki putus dan tubuh yang agak membungkuk itu harus dikepung sedemikian rupa. Akan tetapi kenyataannya adalah demikian.
"Setan Cengkrong... ! Kami Tri Tunggal Cemeti Alam, cuma menjalankan perintah untuk menangkap mu dari Adipati Rekso Jiwo! Tetapi entah kawan-kawanku akan mengampuni nyawamu atau tidak, aku tak mengetahui...! Kalau kau menyerah secara sukarela adalah hal yang memungkinkan akan memperpanjang umurmu untuk beberapa waktu! Pertimbangkanlah baik-baik, sebelum terlambat..!" Berkata salah seorang dari Tri Tunggal Cemeti Alam yang tertua.
Akan tetapi yang ditanya cuma berdiam diri termenung. Kalau saja mau diperhatikan lebih jelas, akan tampak setitik air bening yang tersembul di sudut mata yang cekung itu. Akan tetapi wajahnya memang tak menampakkan perubahan.
Terdengar bibirnya berkemak-kemik, entah apa yang digumamkan. Akan tetapi Wiratmana telah mendengarnya, karena itulah suara si Setan Cengkrong yang khusus ditujukan padanya.
"Wiratmana...! Tampaknya sulit bagiku menjelaskan pada semua orang, karena kau sendiripun takkan mempercayai kata-kataku. Tak apalah, namun seandainya aku panjang umur, kelak kau akan ketahui semuanya... Ya, semuanya...!"
Tercenung Wiratmana. Sepasang matanya menatap pada wajah si Setan Cengkrong yang menunduk menatap tanah. Ketika dia palingkan wajahnya ke sekitar, terlihat wajah-wajah garang yang sudah siap mengantarkan kematian si manusia cacat itu.
"Setan Cengkrong! Kesabaran ada batasnya! Rupanya kau lebih ingin memilih cepatnya kematian mu! Baiklah, jangan kau menyesal...!" Seraya berkata, si orang tertua dari tiga pendekar ini sudah meluruskan cambuk berdurinya. Selanjutnya mereka memutari si Setan Cengkrong yang masih berdiri terpaku tak bergeming. Dan... tiga utas cambuk berduri itu sudah meluncur meluruk ke arah si tubuh cacat.
Ctarrr...! Ctarrr...! Ctarrr...!
Hampir berbareng suara keras menggema memekakkan telinga. Tubuh si Setan Cengkrong tiba-tiba berkelebat menghindar. Gerakannya ternyata amat tak terduga, karena seperti bayangan putih yang melesat ketiga arah. Sementara lingkaran semakin diperbesar, hingga masing-masing orang hampir merapat ke dinding goa. Namun kini sudah tak beraturan lagi, karena harus siap menjaga kemungkinan si Setan Cengkrong meloloskan diri.
Dalam enam jurus saja keadaan sudah berubah. Kini si Setan Cengkrong merubah gerakannya. Kini tubuhnya bergelindingan cepat di antara kaki-kaki ketiga orang lawannya. Tiba-tiba terdengar suara teriakan tertahan, ketika tiba-tiba satu persatu dari ketiga tokoh bercambuk duri itu keluarkan teriakan tertahan, dan masing-masing roboh terguling.
Kiranya tongkat si Setan Cengkrong telah menghantam tulang keringnya. Beruntung hantaman itu tidak terlalu keras, hingga mereka cuma meringis kesakitan memegangi tulang keringnya yang benjol sebesar telur angsa. Otomatis ketiga cambuknya terlepas. Bahkan dengan satu gerakan aneh, ketiga cambuk si Tri Tunggal Cemeti Alam telah di sampok mental ke arah puluhan orang yang mengelilinginya. Keruan saja keadaan jadi berubah kacau.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua orang berbaju macan loreng. Mereka adalah si Macan Kembar, yang berkepala gundul klimis alias botak. Langsung saja menerjang si Setan Cengkrong dengan sepasang lengan masing-masing yang memakai kuku besi sepanjang satu jengkal. Kuku-kuku ini mengandung racun yang mematikan. Dibarengi bentakan keras, mereka gunakan cakar besinya untuk menyerang si Setan Cengkrong.
"Bret....! Brettt...!
Dua serangan dengan mendadak itu membawa hasil cukup mengejutkan, karena jubah si Setan Cengkrong kena dijambret hingga robek hampir separuhnya. Menggerung keras si Setan Cengkrong. Tubuhnya melejit naik dengan tongkat menempel di tanah. Tiba-tiba si Setan Cengkrong gerakkan tubuh memutar bagai gasing.
Buk! Bukk...!
Serangan mendadak itu membuat si Macan Kembar terperangah, tak sempat lagi mereka mengelakkan diri. Kedua dada manusia ini terkena hantaman kaki si Setan Cengkrong dengan telak. Tak ampun lagi keduanya jatuh ngusruk menubruk kawan-kawannya. Keadaan kembali gaduh dan kacau.
Dengan gunakan kegesitan tubuhnya yang melompat-lompat, disertai sambaran tongkatnya yang terkadang berputar bagai baling-baling, dia terus merangsak hebat. Tiga pedang yang meluruk ke arahnya terpental ke atas, bahkan salah satunya menancap di pundak salah seorang yang mengepungnya. Terdengar suara teriakan di sana-sini, disertai beberapa tubuh terlempar keluar goa. Pada saat itu si Setan Cengkrong telah gelindingkan tubuhnya dengan cepat menerobos kepungan.
Namun begitu kakinya menjejak di tanah, beberapa sosok tubuh sudah lompat menghadang. Kini giliran si Tombak Malaikat yang menerjang terlebih dulu. Ujung tombak. bermata tiganya menghunjam ke dada, nyaris menembus jantungnya, kalau dia tak cepat menangkis dengan tongkatnya yang disilangkan di depan dada.
"Kau tak akan dapat meloloskan diri Setan Cengkrong...!" Membentak si Tombak Malaikat. Senjata tombak bermata tiganya mencecar terus si Setan Cengkrong yang dalam keadaan rebah di tanah, segera putarkan tongkatnya.
Trang...!
Terkejut si Tombak Malaikat. Tombaknya terpental balik. Telapak tangannya terasa tergetar. Kiranya yang menangkis adalah Wiratmana. Pemuda ini tak tega membiarkan si Setan Cengkrong dalam keadaan mengkhawatirkan sedemikian rupa.
"Bedebah! Kau menolongnya...?" Teriak si Tombak Malaikat. Sepasang matanya mendelik gusar.
"Berilah kesempatan dia untuk bicara!" Teriak Wiratmana dengan suara santar berwibawa. Pemuda ini berdiri dengan gagah melintangkan pedang di atas tubuh si Setan Cengkrong. Lalu berputar ke sekelilingnya.
"Aku Wiratmana akan melindungi jiwanya, dan membunuh mampus siapa yang menolak untuk diajak berdamai. Orang ini telah mengatakan padaku bahwa semua perbuatan keji yang terjadi selama ini di beberapa wilayah adalah bukan perbuatannya!"
Melengak semua orang yang berada di situ, yang segera merenggang beberapa langkah, serta saling pandang dengan kawannya. Wiratmana sudah menatap kembali pada si Setan Cengkrong seraya berkata. "Bangunlah sobat! Bicaralah...! Kau dapat berikan bantahan atas tuduhan mereka, dan berikan alasanmu..!"
Namun pada saat itu terdengar suara tertawa terbahak-bahak, disertai munculnya sesosok tubuh. "Hahaha... haha... Iblis perusuh sudah tertangkap dan terkepung, mengapa tak dibunuh mampus segera?"
Semua kepala segera berpaling ke arahnya. Ternyata yang datang adalah Adipati Rekso Jiwo. Terkejut semua orang, dan serentak mundur memberi jalan seraya menjura hormat Wiratmana pun menjura, seraya berkata. "Maaf, Gusti Adipati. Bukan hamba mau membela penjahat, akan tetapi orang ini telah lakukan penyangkalan atas dirinya yang tidak bersalah. Hamba kira ada baiknya kita memberi kesempatan untuk dia membela diri..."
Termenung sejurus sang Adipati. Semua jadi hening ketika sang Adipati tengah merenung. Lalu terdengar bicaranya.
"Sebenarnya aku takkan pernah menerima saran dari siapa pun, tapi kali ini biarlah. Kau berani melindungi tentu punya hubungan baik dengan manusia ini. Berikan padaku pedangmu, kau kini jadi sandera ku. Dan kuberi waktu si Setan Cengkrong untuk membela diri!" Seraya berkata lengan sang Adipati sudah terjulur cepat merampas pedang di tangan Wiratmana.
Tentu saja gerakan tak terduga itu yang dilakukan dengan cepat, membuat Wiratmana terkejut. Namun! pedangnya sudah kena dirampas. Dan satu tenaga keras tahu-tahu telah mendorong tubuhnya terhuyung ke belakang. Pada saat itu terdengar bentakan keras sang Adipati.
"Ringkus dia...!" Serentak saja tiga orang sudah bergerak menangkap kedua lengan Wiratmana. Bahkan selanjutnya sang Adipati sudah lemparkan seutas tali untuk mengikat tubuh pemuda itu. Tak ayal segera saja Wiratmana sudah diikat erat.
Namun di saat semua mata mengarah pada Wiratmana, tiba-tiba si Setan Cengkrong bergerak melompat. Sebelah kakinya telah digunakan menghantam dada sang Adipati. Bukk..! Terjangan kaki itu telak mengenai dada Adipati Rekso Jiwo, yang membuat tubuhnya terhuyung. Tapi dengan cepat pedang di lengannya sudah dipakai menabas. Wuttt. ..!
Sayang serangan dalam keadaan tubuh limbung itu tak membawa hasil. Karena si Setan Cengkrong sudah menggelinding cepat. Sebelah lengannya menyambar sebuah tombak di tangan salah seorang yang sedang terpukau, dan selanjutnya dengan gesit sudah gunakan tombak itu untuk melompat pergi.
"Kejarrrr...!" Teriak Adipati Rekso Jiwo dengan gusar. Sementara sebelah lengannya masih memegangi dadanya yang terasa sesak akibat hantaman kaki si Setan Cengkrong. Namun semua orang masih terpaku melihat kecepatan serta kegesitan manusia cacat itu. Saat mana si Setan Cengkrong sudah berkelebat lenyap.
"Bodoh...!" Maki sang Adipati. Akan tetapi pada saat itu terdengar satu suara menyusup ke telinganya.
"Rekso Jiwo...! Manusia licik, pengecut! Aku sudah tahu! Semua perbuatan keji itu kau dan gurumu si Setan Hitam yang melakukan! Tunggulah pembalasanku..."
"Hehe, Setan Cengkrong! Kuberi waktu kau selama tiga hari, seandainya kau tak datang, sahabatmu ini akan kubunuh mampus! Datanglah ke Goa Lembah Pelangi, aku akan nantikan kau untuk menerima tantanganmu...!"
Terkesiap si Setan Cengkrong. Tampak manusia cacat ini menggeram amat marahnya. Akan tetapi dia sudah berkelebat pergi tinggalkan tempat ketinggian itu. Akan halnya kata-kata dalam pengiriman suara jarak jauh itu, tak seorangpun dari kaum tokoh-tokoh persilatan yang mendengarnya.
Namun ternyata Roro Centil telah mendengar dengan jelas. Tentu saja si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu bisa mendengar, karena secara kebetulan dia berada tak jauh dari si Setan Cengkrong di tempat persembunyiannya. Karena ketika terjadi pertarungan hebat di dalam goa, Roro berada di tempat itu, hingga sampai kelanjutannya muncul sang Adipati Rekso Jiwo.
"Hm, jelaslah sudah! Kalau begitu biang keroknya adalah si Setan Hitam dan Rekso Jiwo! Setan Cengkrong cuma jadi korban kelicikan adipati itu. Entah ada permusuhan apakah dengan kedua manusia itu...!" Desis Roro perlahan.
Sementara itu sang Adipati telah perintahkan Wiratmana segera dibawa, sebagai tawanan. "Bawa dia ke Kadipaten! Dia merupakan jaminan nyawa si Setan Cengkrong...!"
Tiga orang anak buah sang Adipati segera menggusurnya jalan. Sedangkan Adipati Rekso Jiwo yang berilmu tinggi itu, sekali berkelebat segera lenyap dari situ. Para kaum Rimba Hijau yang lainnya pun segera angkat kaki, dengan wajah-wajah yang menampilkan kekecewaannya.
Ratih Dewi berjalan cepat menuju bukit Kelelawar. Sementara hatinya berdebar tak keruan karena mengkhawatirkan keselamatan Wiratmana, yang di sangkanya Permana. Akan tetapi Ratih Dewi menemui kesulitan untuk mencari bukit itu, karena disamping dia jarang turun gunung sejak selama tiga tahun berguru dengan si manusia misterius yang berjulukan Iblis Muka Seribu, dia juga belum hafal situasi daerah itu.
Tujuan yang sebenarnya adalah membawa tugas dari gurunya si Iblis Muka Seribu untuk mengambil perbekalan yang telah disediakan, di desa Atas Angin. Hal demikian memang sering dilakukan satu bulan sekali.
Sekalian untuk menguji ilmu kekuatan lari cepat yang dipelajarinya. Dan juga merupakan ujian bagi dirinya, apakah akan melarikan diri atau merasa betah berdiam di goa tersembunyi itu. Perjumpaan dengan gurunya boleh dibilang hanya berkisar dalam pelajaran ilmu kedigjayaan saja, yang dilakukan secara aneh.
Yaitu Ratih Dewi diperintahkan menghapal setiap gerakan. Dan pada menjelang malam dia harus sudah siap menerima serangan mendadak dari sesosok tubuh yang tak diketahuinya apakah gurunya, ataukah orang lain. Demikianlah hingga selama tiga tahun itu Ratih Dewi tak pernah mengetahui wajah gurunya. Terkadang dia menduga sang guru adalah seorang yang cacat mukanya, hingga tak ingin menampakkan wajahnya.
Demikianlah, hingga ketika giliran mengambil perbekalan, Ratih menjumpai banyak mayat bergelimpangan di mana-mana. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dirinya. Sebulan yang lalu dia memang telah mendengar adanya tokoh persilatan yang berjulukan si Setan Cengkrong.
Ratih Dewi memang punya dugaan kalau hal itu perbuatan si Setan Cengkrong, yang menurut apa yang didengar dari gurunya bahwa ada tokoh golongan hitam yang sengaja membuat keonaran. Padahal Ratih Dewi sendiri tak mengetahui entah Gurunya dari golongan mana? Bila melihat dari julukannya, tentu akan menyangka tokoh golongan hitam, tapi tindak-tanduk terhadap dirinya amat baik. Itulah kemisteriusan si Iblis Muka Seribu yang memang amat misterius.
Sementara diam-diam hati sang dara ini semakin kebat kebit. Disamping mengkhawatirkan nasib sang kekasihnya, juga takut kalau kepergok sang guru karena menyeleweng dari tugasnya. Kekhawatirannya menjadi kenyataan, ketika tiba-tiba terdengar suara tanpa ada orangnya.
"Ratih Dewi..! Sebaiknya kalau kau memang mau menunda tugasmu tak menjadi soal. Akan tetapi urungkan niatmu ke bukit Kelelawar. Kembalilah segera...!"
Terkejut bukan main Ratih Dewi, seketika wajahnya berubah pucat Akan tetapi dia sudah menyahut. "Ba... baik guru!"
Dan tak ayal lagi dara ini sudah putar tubuh untuk selanjutnya tancap kaki berlari cepat tinggalkan tempat itu. Sementara hatinya semakin kebat-kebit. Entah hukuman apa yang akan diterimanya nanti. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh dan melelahkan, namun dia terus berlari, dan berlari, untuk segera sampai di tempat tujuan.
Tak dikisahkan perjalanannya... Ratih Dewi telah sampai di mulut goa di mana selama ini menetap. Ternyata sang guru sudah berada di dalam goa, duduk di atas batu seperti biasa dengan topi tudung yang menutupi wajahnya. Suara si Iblis Muka Seribu sudah terdengar bernada dingin mencekam.
"Silahkan masuk, muridku. Dan kembali ke kamar...!"
Ratih Dewi mengangguk dan beranjak masuk dengan wajah menunduk. Dara ini rebahkan tubuhnya di pembaringan dengan tubuh letih lesu. Sementara hatinya berdebaran tak keruan rasa. Hawa panas yang cukup membuat tubuh sang dara ini mandi keringat, membuat dia lepaskan pakaian luarnya, untuk duduk sambil mengipas. Saat itulah terdengar satu suara yang tak asing lagi baginya, yaitu suara sang guru yang didengarnya di balik dinding kamar.
"Ratih Dewi, kau tahu hukuman apa bagi murid yang menyeleweng dari tugasnya?"
Pucat seketika wajah dara ini. Segera dia menyahuti dengan suara bergetar. "Aku memang bersalah, guru! Silahkan beri hukuman padaku! Aku... aku akan menerimanya!"
"Bagus!" Sahut sang guru, yang tahu-tahu sosok tubuhnya sudah berdiri di depan pintu ruangan kamarnya.
Terperangah Ratih Dewi, ketika baru untuk pertama kalinya dia melihat wajah sang guru adalah ternyata seorang laki-laki yang gagah dan cukup tampan.
"Hukumanmu adalah melayani gurumu murid ku...! Tiga tahun waktu yang cukup untuk aku mendidikmu menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Kau pernah berjanji tak menolak syarat-syarat yang ku ajukan. Ini adalah salah satu syarat itu, yang merupakan juga hukuman atas penyelewengan mu...! Apakah kau berani menolaknya...?" Tanya si Iblis Muka Seribu.
Pucat pias wajah Ratih Dewi, akan tetapi dia sudah menjawab dengan suara tergetar. "Ti... tidak, guru...!"
Tersenyum si Iblis Muka Seribu seraya berucap. "Bagus! Kau memang seorang murid yang berbakti terhadap gurumu..."
Sementara di luar goa telah terdengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh yang sudah berkelebat masuk. Ternyata tak lain dari si Setan Hitam. "Hehehe... hehe... Iblis Muka Seribu, aku bawa seekor kelinci putih yang montok. Apakah kau tak mengilar untuk menyantapnya?"
Berkata si Setan Hitam. Kakek jubah hitam ini memang membawa seekor kelinci di tangannya, yang segera beranjak masuk ke dalam. Akan tetapi karena tak ada sahutan, dia sudah berkata sendirian seraya membawa kelincinya ke belakang. "Hmm...! Biarlah aku akan memasaknya, kau tinggal menyantapnya saja nanti, hehehe..."
Dasar orang kejam dan telengas, si Setan Hitam bukannya memotong dulu kelinci itu, baru mengulitinya. Akan tetapi langsung saja menguliti tanpa memotong terlebih dulu. Keruan saja binatang itu mencicit-cicit setengah mati.
Keadaan di belakang goa ternyata adalah sebuah bukit yang penuh tumbuh rumput ilalang. Cuaca tidak begitu bagus. Angin sesekali berhembus menyibak daun-daun ilalang. Agaknya senja sudah tiba. Mentari mulai membenam di ufuk barat, si Setan Hitam dengan tertawa-tawa menyeringai asyik dengan pekerjaannya.
Selang tak lama sudah tercium bau wangi dari sedapnya daging kelinci panggang. Ketika sosok tubuh si Iblis Muka Seribu muncul di muka pintu ruang belakang, kelinci itu sudah matang keseluruhannya. "Ah, kebetulan...! Boleh aku mencicipinya, guru ?" Berkata si Iblis Muka Seribu yang tak lain adalah Rekso Jiwo alias sang Adipati.
"Hehehe... silahkan! silahkan...". Berkata si Setan Hitam, seraya angkat daging kelinci dari panggangnya. Selanjutnya sudah membelahnya menjadi dua bagian. Dan tak berapa lama mereka sudah menggayamnya panas-panas.
* * * * * * *
Mentari sudah hampir masuk ke peraduannya, ketika di lembah dekat lereng perbukitan yang menghijau itu terjadi kegaduhan. Enam belas orang bergerak mengejar sesosok tubuh semampai yang berambut panjang beriapan. Di pundaknya memanggul sesosok tubuh yang kedua lengannya terikat. Sosok tubuh itu tak lain dari RORO CENTIL adanya.
Kiranya ketika sang adipati berkelebat meninggalkan anak buah dan kaum persilatan, Roro melihat Wiratmana diseret dan didorong oleh tiga anak buah sang adipati itu untuk dibawa ke Kadipaten. Diam-diam Roro mengikuti. Tapi ternyata bukan Kadipaten yang dituju, melainkan adalah Lembah Pelangi.
Di tengah perjalanan dekat sebuah candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya telah dijemput oleh tiga belas orang yang berpakaian rata-rata berwarna gelap. Ternyata adalah orang-orangnya Adipati Rekso Jiwo. Dua orang yang menunggang kuda menaikkan Wiratmana ke punggung salah seekor kuda, lalu membawanya lebih dulu melalui satu lembah rumput.
Sementara yang lainnya mengiringi di belakang. Perjalanan tidak begitu cepat, sehingga ke empat belas orang leluasa mengikuti di belakang. Tentu saja Roro sudah mengetahui kalau tujuannya adalah ke Lembah Pelangi. Namun karena tak mengetahui di mana adanya lembah tersebut, sengaja Roro menguntitnya.
Menjelang cuaca agak redup di mana matahari mulai terbenam mereka sudah tiba di Lembah Pelangi. Terkejut Roro Centil melihat situasi keadaan di lembah tersebut dari kejauhan. Karena nampaknya di tempat itu seperti keadaan di dalam kota tua. Terlihat banyak prajurit-prajurit lengkap dengan tombaknya, mondarmandir di depan sebuah goa yang sekilas mirip sebuah bangunan gedung yang ada undakan tangga batu di bagian depannya.
Mengetahui keadaan akan lebih gawat, bila sampai Wiratmana tertawan di Goa Lembah Pelangi, segera Roro bertindak menyelamatkan Wiratmana. Sementara Roro Centil terus tancap kaki dengan kerahkan ilmu lari meninggalkan kawasan Lembah Pelangi. Selang tak lama segera hentikan larinya, ketika memasuki mulut sebuah desa. Segera Roro Centil lepaskan ikatan pada lengan si pemuda.
Sementara Wiratmana sudah hampir tak sadarkan diri, karena sepanjang jalan sesekali tangan-tangan iseng sering melayang ke arah tubuh dan kepalanya. Sepasang matanya sudah berkunang-kunang. Ketika tahu-tahu terasa ada sebuah lengan yang menyambar tubuhnya, dan melarikannya dengan cepat.
Terkejut Wiratmana, karena dirinya telah ditolong oleh dara yang baru beberapa saat dikenalnya. Dengan sepasang mata menatap seperti hampir tak percaya, dia melihat dara jelita itu tersenyum padanya seraya berucap.
"Sobat Wiratmana. Sukurlah aku bisa menyelamatkan dirimu. Hingga kau bukan lagi sandera yang dapat dipermainkan seenaknya saja oleh si Adipati itu...!"
"Oh, terima kasih atas pertolongan anda, nona Roro! Aih, membuat aku jadi malu karena laki-laki ditolong oleh seorang wanita...!"
"Hihihi... hihi... memangnya kenapa?" Roro tertawa mengikik tampakkan sebaris giginya yang putih. Membuat hati Wiratmana tergetar. Oh, indahnya wajahnya, dan kedua lesung pipit di pipi itu...
Roro yang memang berniat mengunjungi penginapan Sindu Rejo, yaitu tempat di mana Wiratmana menginap, segera mengajak pemuda itu ke sana. Tentu saja Wiratmana setuju, bahkan berlega hati, karena di sana dia bisa menjumpai ketiga orang kawannya yang tengah menantinya. Yaitu yang bergelar si Tiga Pendekar Ular Mas.
Penginapan Sindu Rejo adalah satu-satunya penginapan di daerah itu, yang amat ramai baik siang mau pun malam. Memang rata-rata penginapan selalu menyediakan ruang untuk makan, yang dijadikan restoran di bagian bawahnya. Begitu juga pada siang hari itu.
Penginapan Sindu Rejo tampak ramai dikunjungi orang. Terutama pada restorannya. Karena letaknya di kota yang ramai, tak jarang dari para pengunjung yang datang adalah orang-orang terpandang, pembesar pembesar Keraton dan juga tak sedikit para kaum persilatan. Juga rakyat biasa.
Dua meja makan yang berada di sudut ruangan tampak telah terisi oleh lima orang tokoh persilatan. Mereka tak lain dari si Tiga Pendekar Ular Mas, Roro Centil, dan Wiratmana. Kelima orang itu asyik dalam pembicaraan yang dilakukan tidak terlalu keras membuka suara. Semua kursi telah penuh. Cuma ada satu bangku kosong di belakang Wiratama, yang sengaja kursinya ditarik mendekat dengan para sahabatnya untuk mengobrol sambil menikmati hidangan.
Ketika tiba-tiba masuk seorang laki-laki berusia kira-kira 40 tahun lebih, diikuti delapan orang kawannya. Laki-laki ini tak lain dari Sentani. Kedatangannya disambut oleh si pemilik restoran dengan terbungkuk-bungkuk menjura.
"Oh, selamat datang Kanjeng Tumenggung. Aduuh, sayang sekali tak ada meja yang kosong. Harap maafkan. Mungkin sebentar lagi."
Belum lagi habis bicara si pemilik Restoran, sudah terdengar bentakan keras, dibarengi dengan disambarnya baju di dada orang tua itu. "Aku bukan mau makan di restoran mu, tua bangka! Tapi akan menyita rumah Penginapan ini berikut semua isinya...!"
"Hah!?" Terkejut si pemilik Restoran. Wajahnya jadi pias berubah pucat, dan tubuhnya gemetaran. Dengan tergagap-gagap orang tua itu berkata... "Oh, apakah kesalahanku Kanjeng Tumenggung...! Me... mengapa bisa demikian?"
"Kau telah menyembunyikan penjahat diPenginapan mu! Kesalahan ini tak dapat diampuni!" Bentak Sentani, seraya menghempaskan si Pemilik Restoran itu, hingga jatuh ngusruk mencium lantai.
Ketika bangkit lagi mulutnya mengucurkan darah. Ternyata giginya sudah tanggal dua buah. Tentu saja kejadian itu membuat panik para tetamu yang sedang makan. Tiba-tiba dua orang dari orang-orang bawahannya telah menunjuk pada Wiratmana dan Roro Centil. Seraya salah seorang berteriak.
"Itulah dia manusianya! Keduanya memang sembunyi di tempat ini!"
Ke delapan orang itu sudah mengurung mereka, seraya mencabut pedang dari pinggang dan menghunusnya. Sementara si pemilik restoran sudah menyingkir dengan wajah pucat ketakutan.
Roro Centil maju ke tengah seraya menjura pada Sentani. "Maaf, apakah anda Tumenggung yang menguasai wilayah ini?" Tanya Roro.
"Pakai tanya-tanya segala! Menyerahlah kau, nona! Kau telah melindungi dan membawa lari sandera Adipati Rekso Jiwo! Aku bawa surat perintah dari Kanjeng Sultan. Beliau memerintahkan kami untuk menangkapmu berdua!"
Melengak Roro Centil dan Wiratmana. Adapun si Tiga Pendekar Ular Mas tampak tampilkan wajah pias, dan saling pandang pada kawannya. Juga menatap Roro dan Wiratmana. Tumenggung Sentani mengeluarkan segulung kertas dari balik bajunya. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih memasuki Restoran. Tahu-tahu terdengar bentakan keras...
"Surat Palsu...!"
Begitu terdengar bentakan itu, tahu-tahu Tumenggung Sentani membeliak sepasang matanya. Karena tiba-tiba punggungnya telah tertembus tongkat kayu hingga ke dadanya. Selanjutnya sudah roboh dengan berkelojotan meregang nyawa.
Delapan orang lainnya terkejut, dan serentak palingkan kepalanya. Akan tetapi ke delapan orang itu hampir serentak bertumbangan satu persatu ketika tongkat si pendatang itu berkelebatan menabas leher mereka. Seketika ramailah suara teriakan dari orangorang yang sekarat. Bergelinjangan tubuh-tubuh itu meregang nyawa. Namun sesaat mereka sudah tewas dengan darah membanjir menganak sungai.
Ternyata di hadapan mereka telah berdiri sesosok tubuh dengan satu kaki, dan sebelah lengannya melengkung ke dada. Wajahnya mengerikan mirip tengkorak. Siapa lagi kalau bukan si Setan Cengkrong adanya. Terkejut Wiratmana, juga Roro dan si Tiga Pendekar Ular Mas. Sebelum mereka ucapkan kata-kata, si Setan Cengkrong telah mendahului bicara.
"Tumenggung yang kubunuh mampus ini adalah Tumenggung palsu! Mereka semua adalah begundalnya si Rekso Jiwo!" Selesai berkata, sepasang mata si Setan Cengkrong tiba-tiba beralih menatap pada Wiratmana. Di balik wajahnya yang kaku menyeramkan itu, sepasang mata si Setan Cengkrong seperti membersitkan sinar aneh. Lalu alihkan menatap pada Roro, dan si Tiga Pendekar Ular Mas.
"Sukurlah, kalian telah menyelamatkan sahabat ku itu dari sandera si Rekso Jiwo. Ketahuilah, Adipati palsu itu sebenarnya tengah dalam kejaran Gusti Kanjeng Sultan Hadibowo dari Kasepuhan. Dia tak berhak menggantikan ayahnya, Adipati Banu Rekso yang tewas dibunuh! Karena dia cuma anak angkat dari istri pertamanya. Namun dia telah memanfaatkan jabatan sebagai Adipati selama hampir tiga tahun, tanpa memberi laporan pada Kanjeng Sultan!" Tutur si Setan Cengkrong.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan keras. "Setan Cengkrong! Manusia keparat...! Berani kau memalsukan diriku?! Keluarlah untuk menerima kematian...!"
Terkejutlah lima pasang mata dari para pendekar ini, termasuk Roro Centil. Karena di luar terlihat pula manusia cacat yang bertubuh dan berwajah serupa dengan Setan Cengkrong yang berada di dalam.
"Kaulah yang memalsukan diriku, manusia bejat!" Teriak Setan Cengkrong yang berada di dalam. Dan sekejap saja dia sudah berkelebat keluar. Tak ayal Roro Centil-pun menyusul melompat keluar di susul si Tiga Pendekar Ular Mas dan Wiratmana.
Tiba-tiba si Setan Cengkrong yang tadi berada di luar telah tarik keluar sebilah pedang berwarna hitam legam. Itulah Pedang Setan. Tentu saja membuat sekonyong-konyong si Tiga Pendekar Ular Mas terkesiap. Seraya sudah maju melompat dengan berbareng ke tengah kalangan.
"Darimana kau dapatkan Pedang Setan itu!" Bentak salah seorang yang paling tua dari kedua kawannya.
"Hahaha... aku merampasnya dari gurunya si Setan Cengkrong palsu itu!"
Melengak si Tiga Pendekar Ular Mas. Seraya sudah balikkan tubuh menatap si Setan Cengkrong satunya lagi.
"Gurunya adalah yang berjulukan si SETAN HITAM!" Setan Cengkrong lanjutkan kata-katanya.
"Bedebah! Laknat...! Itulah gurumu... manusia setan!" Teriak si Setan Cengkrong yang satu ini. Sementara diam-diam hatinya mengeluh. Bedebah laknat ini sengaja mau mengkambing hitamkan aku lagi! Celaka, semua orang telah terpedaya dengan pengaruh ilmu SIHIR HITAMNYA!
Memikir demikian si Setan Cengkrong yang satu ini terpaksa mengambil keputusan untuk menyelamatkan diri, karena bisa-bisa semua kaum pendekar yang berada di situ akan membunuhnya. Segera saja dia berkelebat melompat ke samping rumah penginapan, dan lenyap.
Saat itu si Setan Cengkrong sudah keluarkan bentakannya untuk selanjutnya melompat mengejar. Akan tetapi sebelum kakinya bergerak, sudah berkelebat ke hadapannya sesosok tubuh ramping. Ternyata Roro Centil. Dengan tertawa genit, Roro Centil sudah angkat sebelah lengannya, seraya berkata.
"Maaf...! aku menahan anda sebentar, sobat Setan Cengkrong!"
Tentu saja melenguk si Setan Cengkrong yang baru ini. Akan tetapi melihat yang menghadang adalah seorang gadis muda yang amat cantik, membuat dia sejenak tertegun. "Apakah keperluanmu, adik manis? Ah, gara-gara kau menahanku si manusia yang menyaru diriku itu bisa kabur!" Ujar si manusia cacat ini.
Akan tetapi kata-kata itu justru membuat Roro jadi tertawa terpingkal-pingkal. Membuat si Setan Cengkrong jadi plototkan matanya dengan tatapan aneh.
"Eh, adik! Siapakah kau adanya? Mengapa kau tertawa geli...?" Tanyanya.
"Hihihi... hihi... kau mengatakan bahwa dia telah menyamar sebagai dirimu! Itulah yang membuat aku tertawa! Kau adalah seorang manusia yang bertubuh normal, mengapa kau katakan dia menyaru sebagai dirimu? Bukankah aneh...!" Berkata Roro.
Tentu saja hal itu membuat si Setan Cengkrong ini jadi terkesiap. Hatinya segera membatin. Celaka! Gadis ini telah memunahkan ilmu SIHIR HITAM KU...! Terkejut bukan main si Setan Cengkrong palsu ini, yang dirinya tak lain adalah Rekso Jiwo adanya. Kekuatan ilmu SIHIR HITAM yang luar biasa hebatnya, ternyata telah berhasil menyaru menyerupai si Setan Cengkrong yang sebenarnya.
Bahkan telah pula merubah wajah dan perawakan menjadi seorang tokoh persilatan yang berjulukan si Iblis Muka Seribu. Seperti diketahui Iblis Muka Seribu telah menjadi guru Ratih Dewi, yang sampai kini dara itu sedikitpun tak mengetahui kalau gurunya sendiri itu adalah musuh besarnya. Karena kedua orang tuanya, yaitu Ki Demang Harya Winangun dan istrinya telah dibunuh mati oleh Rekso Jiwo, alias gurunya sendiri.
Kekuatan ilmu SIHIR HITAM itu cuma berlaku sampai satu pekan, atau tujuh hari. Beberapa bulan belakangan ini Rekso Jiwo telah meminjam wajah dan perawakan si manusia cacat, yang sebenarnya berjulukan si Cengkrong. Karena sejak kemunculannya beberapa bulan yang lalu, si orang cacat yang berilmu tinggi itu banyak berbuat kebajikan menolong orang.
Rekso Jiwo segera dapat mengetahui siapa adanya orang cacat itu, yang tak lain adalah PRAMANA. Seperti yang pernah diceritakan, Pramana adalah kekasih Ratih Dewi, juga salah seorang murid Penambahan Galih Kumitir, yang telah tewas dibunuhnya, berikut kelima belas murid-muridnya. Cuma Pramana yang diberinya hidup, dan dibuatnya menjadi orang cacat tanpa daksa.
Saat Rekso Jiwo mengetahuinya adalah dengan menguntitnya, ketika pemuda itu berhasil menggagalkan maksudnya merampok kereta kuda berisi barang upeti yang diperuntukkan buat kerajaan Medang yang sudah berganti dengan nama MATARAM. Dengan mengetahui siapa adanya si manusia cacat yang dijuluki si Cengkrong itu, serta mengetahui pula siapa gurunya, maka Rekso Jiwo pergunakan ilmu sesatnya menyaru sebagai Pramana.
Hingga bermacam kejahatan itu jatuhkan nama si manusia cacat alias Pramana yang terakhir dijuluki si SETAN CENGKRONG. Demikianlah, terkadang Rekso Jiwo menjadi Adipati, terkadang menjadi si Setan Cengkrong. Juga terkadang menjadi guru Ratih Dewi yang bergelar si Iblis Muka Seribu.
Kini mengetahui adanya seorang gadis yang tak terkena pengaruh ilmu SIHIR HITAMnya, membuat Rekso Jiwo jadi terkejut bukan main. Padahal Roro sendiri sebenarnya tetap dalam pengaruh ilmu Sihir Hitam Roro Centil memang sudah berusaha menggunakan kekuatan batinnya untuk melihat siapa ujud asli si Setan Cengkrong yang belakangan ini.
Itulah sebabnya Roro Centil bisa mengatakan bahwa tubuh si "Setan Cengkrong" dihadapannya itu normal. Sungguh tak dinyana kata-kata Roro itu sekaligus membuat punahnya ilmu SIHIR HITAM-nya Rekso Jiwo. Terlihat secara nyata tubuh si Setan Cengkrong berangsur-angsur berubah ujud. Dan kembali ke asal ujudnya sebagai Rekso Jiwo yang memang bertubuh Normal.
Sayangnya hal itu tak disadari oleh Rekso Jiwo sendiri. Tentu saja kejadian aneh itu membuat semua mata jadi terbeliak, termasuk juga Roro Centil. Juga tak kurang dari dua puluh pasang mata dari orang-orang yang menonton mengelilingi dari tempat yang agak jauh, melihat perubahan aneh itu.
"Oh, maafkan aku, sobat Setan Cengkrong! Aku hanya main-main saja. Kakimu memang cacat, kok...! Siapa yang bilang kau orang normal...? Hihi hi... hihi..." Seraya berkata, tiba-tiba Roro Centil telah gerakkan kakinya menghantam kaki Rekso Jiwo hingga berderak hancur. Dan dua kali lengannya bergerak secara hampir berbareng membuat Rekso Jiwo terlempar lima tombak, dengan perdengarkan jeritannya.
Keadaannya lebih parah lagi dari si Setan Cengkrong yang sebenarnya. Karena berkali-kali Rekso Jiwo berdiri, berkali-kali jatuh lagi. Sebabnya karena telah terlepas sambungan tulang lututnya, hingga tak bisa berdiri lagi walau dengan satu kaki. Saat Rekso Jiwo tengah berjingkrakan jatuh bangun itulah berkelebat sesosok tubuh menghantam dada Rekso Jiwo dengan telak.
Laki-laki itu kembali berteriak parau. Kali ini kekuatan tenaga dalamnya telah punah sebagian, hingga dia terjungkal dengan semburkan darah dari mulutnya. Si penerjang itu tak lain dari Setan Cengkrong, yang telah kembali muncul secara tiba-tiba. Ternyata Setan Cengkrong memang masih sembunyi di sekitar tempat itu.
"Tahan...!" Satu teriakan menggema ketika si Setan Cengkrong gerakkan tongkatnya disertai lompatan tubuhnya, menusuk dada Rekso Jiwo.
Akan tetapi teriakan itu terlambat sudah. Tongkat si Setan Cengkrong telah meluncur deras tak tertahankan lagi. Dan menembus amblas ke dada Rekso Jiwo. Terdengar lagi teriakan mengerikan Rekso Jiwo. Tubuhnya menggeliat dengan wajah menyeringai kesakitan. Sementara kedua lengannya telah mencekal tongkat yang amblas ke dadanya. Ternyata yang berteriak adalah Ratih Dewi.
"Guruuu...!" Teriaknya, seraya melompat kehadapan Rekso Jiwo. Sepasang mata gadis ini bersimbahkan air mata.
Ternyata Rekso Jiwo belum tewas. Melihat kemunculan Ratih Dewi sepasang matanya bersinar kembali. Bahkan masih sempat dia memaksakan diri untuk tersenyum. Dan berkata dengan suara lirih. "Murid... ku! Aku me...nyesal mem... bunuh kedua... orang... tua...mu..."
Selesai mengatakan demikian, terkulailah kepala Rekso Jiwo. Nafasnya telah putus dan kembali menghadap Tuhan. Tentu saja kata-kata itu bak petir yang menggelegar didengar Ratih Dewi. Hatinya tak keruan rasa. Gurunya sendiri ternyata adalah pembunuh ke dua orang tuanya.
Pada saat itulah tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hitam ke arah mayat Rekso Jiwo. Ternyata tak lain dari si Setan Hitam. Tampak lengannya mencabut tongkat kayu di tubuh Rekso Jiwo dengan cepat. Dan di luar dugaan telah melemparkannya ke arah Pramana. Terkejut bukan main Roro Centil yang tak sempat memperhatikan lemparan mendadak itu. Saat itu Pramana memang tengah membelakangi si Setan Hitam. Akan tetapi di saat yang amat gawat itu, Ratih Dewi telah berseru keras. Dibarengi dengan berkelebatnya sang tubuh ke arah Pramana.
"Awas!. Serangan gelap!" Tujuan Ratih yang memperingati Pramana, yang tadinya bermaksud mendorong tubuh pemuda itu, ternyata membawa kematian pada dirinya sendiri. Karena sekejap antaranya Ratih Dewi perdengarkan jeritan menyayat hati, ketika tongkat kayu milik Pramana alias si Cengkrong itu menghunjam tepat ke jantungnya.
Sukar untuk diceritakan bagaimana Ratih Dewi meregang nyawa di saat sekarat itu. Semua orang jadi terkesima. Sementara Roro Centil telah keluarkan bentakan keras mengejar si Setan Hitam, yang telah menyambar tubuh Rekso Jiwo untuk dibawa berkelebat. Di lain kejap si Tiga Pendekar Ular Mas juga telah berkelebatan mengejar.
"Berhenti...!" Bentak Roro Centil yang sudah melompat menghadang di depan si Setan Hitam. "Hihihi... hihi... kita ketemu lagi Setan Hitam eh, Setan Hitam! Mau kau bawa kemana rongsokan itu? Dijualpun takkan laku!" Ujar Roro seenaknya.
Melotot mata si kakek tonggos ini. Namun juga terkejut, karena tak menyangka kalau mereka bisa berjumpa lagi di tempat ini. Di samping mendongkol, akan tetapi juga hatinya kebat-kebit. Karena dilihatnya sang dara genit itu telah keluarkan sebuah pedang dari belakang punggungnya. Itulah Pedang Setan miliknya.
Yaitu Pedang yang berada di tangan Rekso Jiwo sang murid. Pedang Pusaka yang telah didapatnya dengan susah payah itu kini berada di tangan seorang dara cantik yang berjulukan Ratu Segala Iblis. Roro Centil memang pernah mempergunakan julukan demikian pada si Setan Hitam, ketika mereka saling bertemu. Melihat benda pusaka itu, si Setan Hitam sudah berkata bengis.
"Berikan padaku pedang itu! Itu punyaku...!" Sebelah lengannya bergerak dengan telapak tangan tertelentang ke arah Roro.
Sementara Roro Centil terkejut bukan main karena tahu-tahu pedang yang dicekalnya itu seperti tersedot keras sekali oleh segelombang tenaga yang tak terlihat. Akan tetapi sebagai tokoh yang sudah cukup lama berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil segera keluarkan ilmu dari lembar daun lontar, warisan gurunya. Yaitu ilmu tenaga dalam yang dinamakan Ajian Sari Rapet.
Apakah yang terjadi? Kalau tadinya Roro Centil tampak agak kewalahan menahan pedangnya agar jangan sampai kena tersedot, tapi kini tampak tenang-tenang saja. Sementara genggaman tangannya semakin rapat seperti sudah menempel saja menjadi satu dengan gagang pedang. Tentu saja melihat sang dara tampaknya enak saja menahan kekuatan tenaga dalam yang menyedot dahsyat itu, si Tiga Pendekar Ular Mas jadi menatap kagum. Ternyata Ketiga Pendekar itu sudah berhasil menyusul keduanya yang tengah adu kekuatan, menarik dan menahan.
Dilihatnya si Setan Hitam sampai keluarkan air liur dari mulutnya yang tonggos alias giginya tersembul keluar. Kekuatannya ditambah lagi seperempat bagian. Namun Roro tetap tenang-tenang saja. Membuat si Setan Hitam jadi terheran-heran, tetapi juga penasaran. Saat itu dengan sebelah lengannya yang lain, Roro Centil loloskan sebuah senjata Rantai Genitnya. Tentu saja hal itu tak luput dari sepasang mata tuanya yang masih tajam.
Terkejut juga aneh, si Setan Hitam melihat ujung rantai yang terdapat bandulan bentuknya mirip payudara wanita. Belum lagi dia mampu menarik Pedang Setan, selanjutnya Roro telah memutarkan si Rantai Genit di atas kepala. Segera saja mengeluarkan suara yang berdengung bagaikan suara ratusan atau ribuan tawon. Hal mana amat mengganggu konsentrasi si Setan Hitam.
Namun dengan kerahkan kekuatan menyedot tenaga yang ditambah secara tiba-tiba, dia berhasil membuat pedang di tangan Roro terlepas. Akan tetapi terkejutnya bukan alang kepalang, karena justru Pedang Setan terlalu deras meluncur ke arah tubuhnya. Mana mampu dia menangkapnya dengan tenaga yang terlalu berlebihan demikian?
Kecepatan jari-jari tangannya untuk menangkap, ternyata lebih cepat sang Pedang Setan yang meluncur deras ke arah lambungnya. Tak ampun lagi pedang pusaka itu telah lewat nyeplos menembus tubuhnya. Menyembur darah segar dari lambung dan punggung si manusia berjubah hitam itu. Sementara Pedang Setan yang nyeplos itu telah menancap amblas di batu gunung sampai tak kelihatan lagi. Bersamaan dengan robohnya tubuh si Setan Hitam itu, teriakan parauhya pun terdengar santar.
Tubuh manusia itu berkelojotan meregang nyawa yang jatuhnya saling tindih dengan mayat Rekso Jiwo. Saat itu si Tiga Pendekar Ular Mas cuma bisa terpaku saja melihat kejadian yang berlangsung begitu cepat. Akan tetapi di luar dugaan si Tiga Pendekar Ular Mas telah hantamkan lengannya dengan berbareng ke batu gunung di belakang si Setan Hitam yang tengah sekarat. Terdengar suara bagai ledakan.
Saat mereka menunggu asap menipis seraya menjauh untuk memperhatikan ke mana melayangnya sang pedang, saat itu pula Roro Centil sudah berkelebat lenyap. Ketika mereka melihat ke tempat kejadian pertarungan, cuma dapatkan tubuh si Setan Hitam yang sudah kaku tak bergeming. Sementara sang dara yang bernama Roro itu sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya.....
Selanjutnya,