Penunggang Kuda Setan

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Penunggang Kuda Setan Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Penunggang Kuda Setan

Karya : Mario Gembala
SATU
"Aku tidak bersalah...! Mengapa kalian mau menghukumku? Bukan aku yang melakukan! Demi Tuhan aku tidak melakukan apa-apa...!"

"Bedebah... Kau berani berdusta?"

Plak! Dess...!

Pemuda tanggung itu menjerit keras, dan jatuh tersungkur bergulingan. Ketika bangkit lagi bibirnya telah mengucurkan darah dan pipinya jadi merah membengkak. Sementara sebelah lengannya memegangi dadanya yang berusaha kena jejakkan kaki. Terperangah pemuda tanggung ini dengan sepasang mata membelalak dan tubuh gemetaran ketika tiga sosok tubuh tegap itu kembali beranjak menghampiri.

Dengan wajah pucat bagai kertas, dia beringsut menyeret tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia sudah melompat berdiri. Pemuda tanggung ini bertampang lugu dan polos, serta tampaknya seperti orang dungu. Mengetahui dirinya sudah kepepet, membuat dia jadi nekat.

"Percuma! Manusia-manusia ini tak dapat lagi menerima penjelasanku... apapun daya upaya yang kulakukan untuk membela diri, tak mungkin dianggap! Agaknya kematian akan segera kuhadapi... Apa boleh buat! Aku tak akan melawan, demi membela kebenaran ku..." Berkata dalam hati si pemuda bertampang dungu itu. Pakaiannya yang terbuat dari bahan kain kasar berwajah putih tampak sudah berlepotan dengan darah bercampur debu tanah.

"Bagus! Kau mau melawan? Hahahaha... silakan majulah kau kacung tengik!" Berkata laki-laki kekar di hadapannya dengan tertawa sinis.

Sementara kedua kawannya cuma perlihatkan senyum menghina. Mereka adalah tiga orang laki-laki berusia sekitar 20 tahun lebih. Orang yang barusan bicara adalah seorang laki-laki yang berwajah kasar dengan sepasang mata agak sipit. Bibirnya agak lebar dengan hidung mencuat ke atas. Pakaiannya dari sutera yang berwarna warni. Dialah yang bernama Braja pati. Murid tertua dari Pesanggrahan di puncak Gunung Argasomala.

Sedangkan yang dua lagi bertubuh agak pendek namun kekar. Seorang yang berpakaian serba hitam, berambut keriting adalah yang bernama Dasa mukti. Dan yang seorang lagi tubuhnya lebih hebat dan lebih kekar lagi. Dadanya yang bidang dibiarkan telanjang terbuka separuhnya. Tampak bulu dadanya yang lebat, tak beda dengan wajahnya yang penuh ditumbuhi dengan cambang bauk. Mempunyai raut wajah yang melebar.

Cukup gagah, akan tetapi sepasang matanya agak menonjol dan mempunyai sorot mata yang liar. Memakai baju rompi warna merah, dan celana dari sutera hitam. Dialah yang bernama Kala Bhuto. Murid ketiga dari Pesanggrahan di puncak Argasomala.

Siapakah pemuda bertampang dungu yang dalam keadaan diancam maut itu? Dia bernama Wibisana. Kejadian apakah yang telah menimpanya hingga dia dituduh telah berbuat sesuatu yang tak dapat diampuni? Marilah kita tengok dulu kejadian di belakang, sebelum kedatangan ketiga murid Pesanggrahan puncak Argasomala. Dan siapakah sebenarnya pemuda bernama Wibisana itu...

Kutut Praja Setha sudah lebih dari dua belas tahun mendiami Pesanggrahan yang dibangunnya di puncak Argasomala. Tiga tahun yang lalu menerima tiga orang murid yang datang berturut-turut ke tempat kediamannya. Pemuda yang pertama datang adalah yang bernama Braja Pati. Sebulan kemudian muncul Dasa Mukti dan terakhir Kala Butho. Entah mengapa tokoh Rimba Hijau yang telah lama menyembunyikan diri itu tak sampai hati menolak keinginan mereka untuk berguru.

Demikianlah, selama tiga tahun itu Kutut Praja Setha menggembleng mereka dengan sungguh-sungguh. Diwariskan segenap ilmu yang ada padanya untuk dapat di amalkan. Karena mereka mengaku adalah orang-orang yang teraniaya, yang orang tuanya masing-masing tewas oleh kaum penjahat.

"Aku tak menginginkan kalian membalas dendam, murid-muridku...! Karena dendam-mendendam takkan ada habisnya kalau cuma menuruti hawa nafsu saja! Akan tetapi kalau memang orang yang telah membunuh orang tua kalian itu tidak juga berhenti melakukan kejahatan, silahkanlah! Karena dengan melenyapkannya berarti telah pula menghindarkan malapetaka buat orang lain!" Berpesan Kutut Praja Setha wanti-wanti dengan suara agak di tekan. Ketiga orang muridnya itu manggut-manggut mendengarkan wejangan sang guru mereka.

Sehari kemudian, ketiga muridnya itu berpamitan untuk turun gunung. Kakek tua bertubuh kurus jangkung yang rambut kumis dan jenggotnya telah panjang memutih semua itu, memberinya izin serta do'a dan restu. Berangkatlah ketiga pemuda itu dengan telah dibekali ilmu-ilmu kedigjayaan yang telah dituntutnya. Kutut Praja Setha mengantarkan kepergiannya dengan helaan napas lega. Karena seperti melepaskan tiga ekor anak singa dari kandangnya. Hatinya membatin;

"Hah...! Aku telah sembarangan saja menerima orang...! Mudah-mudahan kecerobohanku tak membawa bencana di kemudian hari. Untunglah aku sudah waspada sejak setahun yang lalu, hingga ilmu simpananku tak kuturunkan padanya..."

Sementara itu sejak delapan tahun yang lalu Ki Kutut Praja Setha telah ketitipan seorang bocah laki-laki berusia dua belas tahun. Bernama Wibisana. Anehnya Wibisana tak mau diangkat murid oleh Kutut Praja Setha. Selama itu si bocah laki-laki cuma membantu-bantu saja di Pesanggrahan puncak Argasomala. Watak Wibisana memang tak seperti umumnya seorang bocah normal. Selain bertampang dungu juga otaknya kurang cerdas. Tapi bertulang baik dan kuat.

"Terimalah dia sebagai pembantumu, kakang...! bocah ini anak sahabatku! Bukan aku tak mau menerimanya berdiam di tempatku, tapi kau hidup sendiri di tempat sunyi dan tenang ini. Kalau kubawakan seorang teman, tentu dapat membantu-bantu pekerjaanmu...! Dia seorang bocah yang jujur dan amat rajin !"

Demikianlah yang diucapkan Kurut maja padanya delapan tahun yang lalu. Kutut Maja adalah adik kandungnya yang berdiam diwilayah Kota Raja. Waktu itu Kutut Maja masih menjabat sebagai seorang Tumenggung. Dan datang ke puncak Argasomala dengan membawa seorang bocah laki-laki bernama Wibisana itu. Menampak bocah yang dibawa adiknya itu bertampang dungu dan kelihatan tolol, Kutut Setha kerutkan keningnya.

"Anak siapakah bocah ini? Apakah kau mengenal orang tuanya?" Bertanya Kutut Praja Setha.

"Dia anak seorang sahabatku...!" Jawab Kutut Maja singkat.

"Mengapa dengan sahabatmu itu? Mengapa dia tak turut mengantar anaknya?" Tanya Kutut Praja Setha yang sengaja ingin mengetahui lebih banyak.

"Sahabatku itu pernah berjasa padaku. Dia telah gugur dalam menjalankan tugas...! Aku amat sibuk dengan urusan tugasku selama ini, hingga tak dapat mengurusnya dengan baik. Makanya kubawa kemari, karena kulihat kakang disini kesepian. Bukankah akan lebih leluasa kalau kakang beroleh teman yang bisa disuruh bila ada keperluan...?" Tutur Kutut Maja.

"Hm, kemanakah ibu anak ini?" Tanya lagi Kutut Praja Setha setelah manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya yang cuma sejumput.

"Telah meninggal...!" Sahut Kutut Maja lirih.

Terangguk-angguk kepala Kutu Praja Setha sambil memandangi bocah itu yang tampak terduduk diam sambil mempermainkan jari-jari lengannya. Demikianlah, Kutut Praja Setha pun menerima bocah lakilaki itu berdiam di pesanggrahannya di Puncak Argasomala. Tumenggung Kutut Maja kemudian meninggalkan tempat sunyi diatas gunung itu, setelah memberitahukan nama si bocah, yang bernama Wibisana.

Wibisana bekerja dengan rajin membantu Kutut Praja Setha, ternyata susunan tulangnya amat baik. Juga bertubuh kuat, walau kelihatannya kurus dan lemah. Wibisana jarang bicara. Sikapnya yang tampak seperti dungu itu menimbulkan perasaan kasihan dihati Kutut Praja Setha. Akan tetapi Wibisana selalu menolak untuk menjadi muridnya. Jawabannya cuma menggelengkan kepala atau mengangguk-angguk bila setuju atau mengerti apa yang diperintahkan Kutut Praja Setha.

Ketika lima tahun berselang Ki Kutut Praja Setha menerima berturut-turut tiga orang murid, Wibisana masih tetap seperti dulu tanpa berkeinginan mempelajari ilmu kedigjayaan. Dan sikapnya masih seperti orang bodoh. Demikianlah, hingga tiga tahun berlalu sudah, dimana ketiga orang murid Kutut Praja Setha telah menamatkan pelajarannya di Pesanggrahan puncak Argasomala...

Kini mereka kembali tinggal berdua lagi. Dengan ditemani oleh Wibisana Ki Kutut Praja Setha lebih tenteram dan bahagia sekali tampaknya. Serta rasa lega memenuhi dadanya. Dua pekan sejak kepergian ketiga muridnya turun gunung, Ki Kutut Praja Setha mulai sering bersemadhi di kamarnya. Segala keperluannya dan tugas mengurus Pesanggrahan diserahkan semua pada Wibisana. Malam itu puncak Argasomala dalam keadaan gelap gulita. Tak sepotong bulan pun menampakkan diri.

Wibisana duduk di depan Pesanggrahan memandang ke atas langit. Dilihatnya secercah sinar berwarna merah meluncur cepat sekali atas puncak Argasomala. Benda apakah itu...? Apakah tahi bintang yang jatuh...? Bertanya Wibisana dalam hati. Akan tetapi segera dia sadar kalau malam yang gelap pekat itu tak ada bintang sebutirpun tersembul di atas langit. Dia sudah melompat keluar, dan lihat sinar merah itu semakin mendekati ke atas pesanggrahannya. Tepat di atas wuwungan, sinar kemerahan itu lenyap.

"Aneh! Cahaya apakah?" Gumamnya lirih. Dan dengan terpaku menatap ke atas wuwungan pesanggrahan, akan tetapi tak ada tanda-tanda yang ditimbulkan dari bekas lenyapnya sinar merah itu. Keadaan cuaca kembali gelap seperti semula lagi.

Tak berapa lama tiba-tiba angin bertiup keras membersit, dengan suaranya yang bersiutan. Beberapa lampu lilin terbuat dari damar, di dalam ruangan Pesanggrahan tertiup padam. Wibisana cepat-cepat masuk. Tak mungkin baginya untuk memasang lampu lagi, karena pasti akan padam percuma. Segera dia beranjak masuk ke kamarnya. Mengunci pintu, dan tidur. Malam memang sudah amat larut. Dan Ki Kutut Praja Setha memang sudah beberapa hari tak keluarkan dari kamar semadhinya.

Menjelang pagi, terkejutlah Wibisana ketika melihat pintu kamar semadhi sang kakek telah jebol berantakan. Terperanjat pemuda dungu ini. Segera dia sudah melompat menghampiri untuk memeriksa. Dan terkejutlah seketika Wibisana, mengetahui keadaan diruang semadhi sang kakek telah berantakan. Sesosok tubuh tampak terkapar tak bergeming di atas batu tempat semadhi...

"Kakeeeek ....!?" Teriaknya dengan tersentak kaget. Dan sudah melompat memburunya. Tampak Ki Kutut Praja Setha sudah terkapar tak bernyawa. Keadaannya amat mengerikan, karena dari mulut, mata dan telinganya mengalirkan darah.

"Apakah gerangan yang terjadi....?" Desis Wibisana dengan mata terbelalak lebar menyaksikan kejadian itu. Seketika air matanya sudah menggenang dan meleleh turun. Dan dipelukinya tubuh kaku yang sudah tak bernyawa itu dengan isak tersendat dikerongkongan.

Selang beberapa saat Wibisana baru tersadar. Dia sudah menghapus air matanya, dan melompat keluar memeriksa sekitar tempat di pesanggrahan. Akan tetapi tak di jumpai tanda-tanda yang mencurigakan atau adanya arang jahat yang mendatangi ke Pesanggrahan malam tadi.

Tercenung seketika Wibisana. Dia jadi tak tahu harus berbuat apa...! Apakah sinar merah yang kulihat semalam itu, yang telah mencelakai kakek...? Bertanya Wibisana dalam hati.

Akan tetapi hal itu tak masuk akal. Entah sinar apakah itu yang telah meluncur ke atas pesanggrahan, dan tiba-tiba lenyap di atas wuwungan, tepat pada atas genting kamar kakek...! Pikir si pemuda dungu dalam benaknya. Namun otaknya menemui jalan buntu. Akhirnya dia cuma termangu-mangu di depan pesanggrahan tanpa tahu harus berbuat apa.

DUA

Saat itulah terdengar derap suara kaki-kaki kuda mendatangi. Dan segera terlihat tiga penunggang kuda tersebut dari lereng gunung, mendaki jalan menuju ke atas ke tempat Pesanggrahan. Ternyata ketiganya adalah Braja Pati, Dasa dan kala Bhuto. Yaitu tiga, orang murid Ki Kutut Praja Setha.

Tentu saja membuat air muka Wibisana jadi berseri girang karena akan segera terlepaslah dia dari kebingungannya. Namun kembali berubah keruh ketika mengingat akan musibah yang telah menimpa di Pesanggrahan itu.

Sekejap antaranya tiga ekor kuda sudah di depan halaman Pesanggrahan. Dasa Mukti dan Kala Butho melompat turun, lalu mencancang kudanya di tiang pendopo di sisi Pesanggrahan. Braja Pati masih berada di atas punggung kuda. Sepasang matanya melirik pada Wibisana yang tengah menghampiri dengan wajah pucat.

Setelah menjura hormat, Wibisana segera ceritakan kejadian yang telah dilihatnya itu dengan peluh bercucuran dan tubuh gemetar. Karena tak tertahankan kesedihannya, hingga dia bercerita sambil menangis. Dasa Mukti dan Kala Butho sudah melompat untuk mendengarkan penuturan Wibisana.

"Hah!? Guru... telah tewas....?!" Hampir berbareng mereka berteriak. Dan wajah-wajah mereka tampak berubah pucat. Sekejapan saja mereka telah berlompatan memburu ke arah kamar gurunya. Segera terpampang dihadapan mereka keadaan mayat Ki Kutut Praja Setha yang terkapar dengan keadaan yang mengenaskan.

Sementara Wibisana cuma terpaku ditempatnya dengan masih terisak-isak. Bajunya pada bagian lengan telah basah oleh ingus dan air mata, yang digunakan untuk menyekanya. Tak sanggup dia untuk dua kali melihat keadaan sang kakek majikannya itu. Karena terasa amat ngeri menatap mayatnya.

Pada saat itulah tiga orang murid Ki Kutut Praja Setha telah melompat kembali ke hadapannya. Dan Braja Pati sudah perdengarkan bentakan keras. Pucat seketika wajah Wibisana karena tanpa sebab, tahu-tahu dialah yang kena sasaran tuduhan membunuh guru mereka. Tentu saja Wibisana membela diri.

Akan tetapi mereka tetap menuduhnya sebagai si pembunuh. Hal itu memang satu hal yang amat tidak mungkin, karena apalah artinya kepandaian seorang kacung, yang tak pernah mempelajari ilmu silat. Dan untuk apa membunuh si kakek sakti yang berilmu tinggi itu, yang telah lima tahun dia mengabdi padanya?

"Hm! Wibisana! Kau pergunakanlah ilmu kedigjayaan mu untuk menghadapiku! Kau telah berada diPesanggrahan ini lebih dulu sebelum kami, tentu ilmu yang kau miliki lebih hebat!" Berkata Braja Pati dengan perlihatkan senyum sinis.

"Aku tak pernah belajar silat apapun dari beliau! Mengapa kalian menuduhku membunuhnya? Aku.... aku sendiri tak mengetahui kejadiannya. Ketika pagi-pagi aku melintas ke kamarnya ternyata keadaan kamar semedhi kakek Kutut Praja telah berantakan! Dan sudah  kujumpai dalam  keadaan tak bernyawa!" Berkata Wibisana.

"Hm, bolehlah kau bilang begitu, dan kau memang tak ada kemampuan untuk membunuh beliau, akan tetapi kau bisa menyuruh lain orang untuk mencabut nyawanya, bukan...?" Kala Butho menyelak bicara dengan plototkan matanya.

"Aku tak pernah mengenal siapa-siapa ditempat ini, dan tak pernah aku pergi kemana-mana. Mana mungkin aku melakukan perbuatan keji itu...?" Bela Wibisana dengan ketus.

"Sudahlah, kakang! Kita habisi saja nyawanya, biar arwah sang Guru kita tenteram di alam Baka! Kacung tak berguna ini biar merasakan siksaan di alam Akhirat!" Teriak Dasa Mukti dengan serius. Lengannya sudah dikepalkan, seperti tak sabar untuk menghajar orang.

"Kalian bunuhlah aku! Matipun bukanlah apa-apa bagiku! Akan tetapi demi Tuhan aku tak melakukan apa-apa...!" Teriak Wibisana dengan menggertak gigi, dan busungkan dada di hadapan ketiga laki-laki itu.

"Kau tak akan melakukan perlawanan untuk membela diri...?" Tanya Braja Pati dengan naikkan alis.

"Sudah kukatakan, aku tak punya kepandaian apa-apa. Membela diri pun tak guna!" Berkata Wibisana dengan mata menatap tajam pada mereka, lalu menengadah ke langit sambil menghela napas. Sepasang matanya yang menitikkan air bening itu dikatupkan. Dia sudah tak perduli lagi akan nasibnya. Cuma satu yang ditunggunya yaitu kematian..."

Braja Pati memberi isyarat pada kedua saudara seperguruannya untuk mengurung Wibisana, karena mengira Wibisana tengah merapalkan mantera ajiannya untuk menghadapi mereka. Dan dengan berteriak berbareng mereka sudah menerjang Wibisana.

Buk! Buk....! Dess....!

Tiga hantaman yang hampir berbareng itu jatuh berdebukan ke tubuh Wibisana. Terhuyung tubuh pemuda dungu itu dengan seketika. Dari mulutnya menyembur darah segar. Akan tetapi tak ada teriakan keluar dari mulutnya, karena Wibisana telah menahan rasa sakit sekuat tenaga. Sekejap tubuhnya sudah roboh ambruk.

Akan tetapi tiba-tiba kembali melompat berdiri. Dan pentangkan lengan, serta tengadahkan kepalanya ke langit. Sepasang matanya kembali dipejamkan, seperti menantang maut. Ketiga saudara seperguruan itu sejenak saling pandang, akan tetapi mereka sudah menerjang lagi dengan hantamkan pukulan yang lebih keras...

Kali ini Wibisana roboh untuk tidak bangkit lagi, karena dia sudah pingsan tak sadarkan diri. Ketiganya menampakkan senyuman dibibir. Kaki Kala Butho kembali menendang. Dan tubuh si pemuda bertampang dungu itu terlempar membalik dengan tubuh terlentang. Akan tetapi memang sudah tak tahu apa-apa lagi. Sepasang matanya mengatup dengan bibir setengah terbuka, yang mengucurkan darah membasahi tanah dan pakaiannya.

"Apakah tak sebaiknya bocah ini dibunuh saja, kakang?" Bertanya Kala Butho.

"Heh, biarkanlah dulu! Mari kita periksa dulu ruangan kamar Ki Kutut Praja Setha itu! Kitab itu lebih penting untuk kita temui!" Ujar Braja Pati seraya melompat ke dalam Pesanggrahan. Lalu diikuti dengan cepat oleh Kala Butho dan Dasa Mukti.

Akan tetapi betapa terkejutnya mereka ketika tak menjumpai lagi tubuh guru mereka yang telah terkapar menjadi mayat. Kejadian aneh itu membuat mereka terperangah. "Apakah si Dewi Setan Kemangmang telah menyatroni kemari dan menjemput mayatnya?" Desis Dasa Mukti pelahan.

"Untuk apa...?" Tanya Kala Butho dengan kerutkan keningnya menatap Dasa Mukti.

"Siapa tahu dia memang memerlukan! Kulihat di kamar dukun sakti itu ada beberapa mayat manusia yang sudah dikeringkan...!" Berkata Dasa Mukti dengan tubuh bergidik seram.

"Kita tidak tahu pasti akan hal itu! Segera kita bisa mengetahui kalau kita sudah kesana! Sekarang mari kita geledah seisi tempat ini, cari kitab itu sampai ketemu!" Ucap Braja Pati dengan cepat.

Dan segera mulai menggeledah. Sebentar saja seisi kamar telah menjadi berantakan. Akan tetapi setelah mengobrak abrik setiap tempat, kitab yang dicarinya tak juga di temukan.

"Celaka! Kita telah minta si Dukun Sakti itu membunuhnya, jangan-jangan kitab itupun telah pula diambilnya...!" Berkata Braja Pati dengan mengeluh. Kala Butho dan Dasa Mukti pun jadi mengeluh putus asa.

"Haih! Kalau benar jatuh ke tangan si Dewi Setan Kemangmang, ludaslah harapan kita...!"

Gerutu Kala Butho dengan garuk-garuk kepalanya yang gatal. Dasa Mukti si rambut keriting itu cuma mengeluh sambil jatuhkan pantatnya ke lantai batu. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh disebelahnya. Sekonyong-konyong dinding di belakangnya menjeblak terbuka.

Terkejut mereka, karena disitu ada sebuah ruang lagi. Serentak mereka telah menerobos masuk ke dalam. Segera saja diruang yang agak gelap itu ditemukan sebuah rak buku. Akan tetapi setelah diperiksa, tak satupun buku yang dimaksud ada disitu.

"Menurut guru, kitab itu disimpan di dalam sebuah peti kayu cendana berukiran tengkorak!" Berkata Kala Butho.

"Cari peti kayu cendana itu...!" Teriak Braja Pati dengan suara berdesis. Sekejapan ruangan rahasia itu sudah diacak-acak. Akan tetapi tak dijumpai kotak yang dimaksud.

"Hm, kalau begitu, kita harus menanyakan pada si Dewi Setan Kemangmang dengan terang-terangan. Apakah dia yang telah mengambilnya?" Kata Braja Pati tegas.

Kedua saudara seperguruannya mengangguk. Tak lama mereka sudah bergegas keluar dari Pesanggrahan itu. Wibisana tampak masih terkapar di tempatnya. Kala Butho sudah lebih dulu melompat menghampiri.

"Hm, dia masih hidup! Apakah kita biarkan saja bocah ini? Toh dia tak mempunyai kepandaian apa-apa...!" Tanya Kala Butho, seraya palingkan wajah menatap Braja Pati.

"Bodoh! Apakah tak kau perhatikan bahwa dia mempunyai kekuatan tubuh yang luar biasa? Tiga serangan kita sekaligus tadi dia telah mampu menahannya. Selama lima tahun di Pesanggrahan ini tak mungkin tenaga dalamnya tak mengalami kemajuan hebat, walaupun dia tak mempunyai kepandaian ilmu silat!" Berkata Braja Pati dengan tegas.

"Benar! Membiarkan penyakit tanpa menumpasnya sama saja dengan membiarkan diri kita terancam bahaya kelak!" Ujar Dasa Mukti tandas.

"Kalau begitu biarkan aku saja yang mengantarkan nyawanya ke Akherat!" Berkata Kala Butho seraya sudah mencabut senjatanya. Sebuah kapak yang bermata lebar berkilatan telah berada dalam genggaman tangannya. Baru saja dia mau mengayunkan senjatanya, telah terdengar suara bentakan Braja Pati.

"Tunggu!"

Terpaksa Kala Butho menahan gerakannya. "Cara itu akan menimbulkan kesan bahwa kematiannya dibunuh oleh senjata tajam! Bagi kaum Rimba Hijau golongan putih, akan mudah mengenali bekas senjatamu!"

"Lalu dengan cara apakah yang akan kita pergunakan membunuh mampus kacung tak berguna ini?" Tukas Kala Butho yang sudah tak sabaran menghunjamkan kapak mautnya.

"Bawa kemari ketiga ekor kuda kita!" Perintah Braja Pati.

Tak ayal Dasa Mukti dan Kala Butho sudah melompat ke arah kuda-kuda mereka, dan membawanya ke dekat Wibisana tergeletak. Braja Pati ikatkan tambang yang berada pada leher kuda lengan Wibisana.

"Nah, kalian masing-masing ikat tambangmu pada sebelah lengannya!" Perintah Braja Pati.

Mengertilah Kala Butho dan Dasa Mukti. Segera mereka cepat bekerja mengikat sebelah lengan Wibisana dengan kuat. Tak lama ketiganya sudah melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Braja Pati segera memberi tanda, setelah kudakuda mereka telah menghadap ketiga arah.

"Bersiaplah! Satu... dua... tiga! Yaaaak...!"

Ketiga ekor kuda mereka perdengarkan ringkikannya, dan masing-masing melompat berlari dengan cepat, ketika sang majikan masing-masing mengeprak pantatnya. Dasa Mukti ke arah barat, Kala Butho ke arah timur, dan Braja Pati ke arah Utara. Sekejap kemudian terjadilah satu pemandangan yang amat tragis...."

Krakkk....! Mengerikan sekali, karena seketika tubuh Wibisana sudah tersebar menjadi tiga bagian. Darah menyemburat memercik kebumi... Dan putuslah nyawa Wibisana si pemuda dungu itu dengan seketika.

TIGA

Angin santar membersit keras ketika ketiga penunggang kuda itu menuruni puncak Argasomala. Asap hitam membumbung ke udara dari atas puncak gunung itu. Ternyata manusia-manusia ini telah membakarnya. Beberapa saat antaranya mereka sudah berada di bagian lereng paling bawah.

Dan sesaat kemudian telah mencongklang pesat kuda-kuda mereka melalui jalan yang rata. Suara-suara ringkik kuda mereka dan derap kaki-kaki kuda itu semakin menjauh dari tempat sunyi dan tenang itu. Tak lama kemudian lenyap... meninggalkan sisa-sisa debu tipis yang masih terlihat mengepul di kejauhan.

"Kita menemui guru lebih dahulu untuk menceritakan kejadian tadi! Khususnya mengenai lenyapnya mayat Ki Kutut Praja Setha dan peti besi berisi kitab pusaka itu...!" Berkata Braja Pati, ketika telah tiba di wilayah sekitar kota Raja setelah melewati tugu perbatasan.

"Pelahan dulu, kakang Braja!" Tiba-tiba Kala Butho berkata, seraya berpaling pada kakak seperguruannya.

"Hm, ada apakah?" Tanya Braja Pati, seraya perlambat lari kudanya.

Kala Butho termenung sejenak seperti sedang berfikir. Lalu ujarnya dengan tersenyum. "Kapankah kakang akan mengunjungi ke tempat si Dewi Setan Kemangmang?"

"Entahlah, kukira menunggu keputusan dari guru lebih dulu!"

"Ada apakah dengan pertanyaanmu itu Kala Butho? Kok tampaknya penting seka...!" Tanya Braja Pati dengan kerutkan keningnya. Kala Butho perlihatkan giginya, tertawa kecil menyeringai.

"Benar, kakang...! Aku ada sedikit urusan di desa sebelah utara itu! Kalau bisa, dan kau tak keberatan tunggulah sampai besok. Kita berangkat bersama-sama menemui dukun sakti itu...!" Berkata Kala Butho. Setelah berfikir sejenak, Braja Pati segera menjawab.

"Pergilah! Awas, hati-hati! Kejadian di puncak Argasomala jangan sampai bocor! Hati-hati berbicara, kalau sampai terdengar kejadian itu ke telinga salah seorang anak buah Tumenggung Kutut Maja, akan membahayakan kedudukan kita untuk berdiam diwilayah Kota Raja ini!"

Kala Butho mengangguk. Lalu segera putar kudanya setelah minta diri pada Braja Pati. Dasa Mukti cuma memonyongkan mulutnya pada laki-laki itu.

"Paling-paling mau menemui si janda anak pak Kuwu didesa Waru...!" Gerutu Dasa Mukti. Akan tetapi cepat memacu kudanya menyusul kakak seperguruannya yang telah memacu kudanya...

* * * * * * *

Rumah besar yang terletak disudut Kota Raja itu tampak kelihatan sunyi, ketika dua penunggang kuda memasuki halamannya. Terdengar suara batuk-batuk dari dalam rumah berdinding papan kayu Mahoni itu. Dan sesosok tubuh muncul di pintu. Seorang tua bertubuh jangkung, memakai pakaian jubah warna hitam dengan sebuah pipa dari gading terselip di bibir, tampak memandang keluar.

"Heh! Kalian sudah kembali lagi...! Tentu membawa hasil yang memuaskan...!" Berkata laki-laki tua berwajah seperti orang mengantuk itu. Lalu beranjak lagi masuk ke dalam.

Braja Pati dan Dasa Mukti saling pandang, lalu melompat turun dan tuntun kudanya untuk diikat ke tiang kayu pagar di depan rumah. Tak lama sudah memasuki rumah papan itu. Braja Pati segera menjura di hadapan orang tua itu, yang masih asik menghisap pipanya.

"Guru...! Hamba membawa kabar yang kurang baik, dari puncak Argasomala!" Berkata Braja Pati dengan suara rendah. Terbatuk-batuk laki-laki tua, segera sudah buka matanya yang menyipit.

"Ha...?" Kurang baik bagaimana? Apakah tak kau dapatkan Kitab Pusaka Tengkorak Hitam itu...!" Tanyanya dengan suara serak.

"Benar Guru...! Bahkan..." Segera Braja Pati tuturkan kejadian di Pesanggrahan pada gurunya, juga mengenai lenyapnya mayat Kutut Praja Setha. Sementara Desa Mukti sudah mengambil tempat duduk disebelah belakang kakak seperguruannya. Tercenung lakilaki tua itu dengan wajah sebentar pucat sebentar merah.

"Jadi si Kutut Praja Setha itu telah tewas...?" Tanya laki-laki tua itu. "Benar, guru...! Kami telah lihat sendiri mayatnya! Aku punya dugaan si Dewi Setan Kemangmang yang telah membawa mayatnya tanpa setahu kami ketika kami tengah mengurusi anak muda tolol, kacung Ki Kutut Praja Setha itu!" Ujar Dasa Mukti yang ikut menimbrung bicara.

"Huh! Percuma saja kalian berguru selama tiga tahun! Tujuan kalian adalah mencuri Kitab Pusaka yang berada di dalam kotak kayu cendana itu. Aku merasa yakin benar dia masih menyimpannya! Agaknya dia telah waspada, dan akupun telah menduga, dia takkan mewariskan ilmu-ilmu yang berada dalam Kitab Pusaka Tengkorak Hitam pada kalian...!" Gerutu orang tua itu seraya kembali terbatuk-batuk hebat. Setelah reda batuknya, sepasang mata sipitnya sudah menyapu wajah mereka.

"Kalian harus tanyakan pada Dukun Sakti itu, apakah dia yang telah mengambil kitab itu?"

"Rencana kami pun memang demikian, guru! Sekalian menyelidiki apakah mayat Ki Kutut Praja Setha ada disana...! Dan bagaimana kalau memang benar dia yang telah mengambilnya...!" Tanya Braja Pati.

"Kalian harus memintanya...!" Ucap si orang tua itu dengan tegas.

"Kalau dia tak memberikan Apakah yang harus kami lakukan?"

Tercenung orang tua itu hingga beberapa saat. "Hm, kukira kalian bukan sebangsa keledai yang tolol! Carilah akal untuk mendapatkannya, kalau perlu pakai siasat licik!" Ujar si guru ini seraya kembali menghisap pipanya, dan menyedotnya dalam-dalam. Lalu hembuskan asapnya dengan mata meram-melek. "He? Tak kulihat ada si Kala Butho? Kemana dia?" Tanyanya tiba-tiba.

Braja Pati cepat ceritakan kemana Kala Butho pergi. "Bocah setan! Lebih mementingkan urusannya sendiri! Baiklah! Besok kalian sudah harus pergi ke tempat si Dewi Setan Kemangmang...! Nah, kalau kalian mau beristirahat, segeralah beristirahat...!" Ucapnya kemudian.

Braja Pati dan Dasa Mukti mengangguk, lalu beranjak bangkit untuk segera menuju kebiliknya. "Haih! Seandainya luka dalamku telah sembuh, aku yang akan melabrak sendiri si Dukun Sakti itu!" Gumam orang tua itu sambil rebahkan tubuhnya pada bantal yang selalu berada di belakang kursi tempat duduknya. Tiba-tiba dia sudah angkat lagi tubuhnya. Dan bentangkan lebar sepasang matanya yang seperti orang mengantuk itu.

"He!? Bagaimana kalau ternyata bukan dia yang mengambilnya? Wah, akan jadi runyam akibatnya! Seandainya Ki Kutut Praja Setha telah mempelajari isi kitab itu, kurasa tak mungkin si Dewi Setan Kemangmang berhasil membunuhnya dengan ilmu teluh yang di pergunakannya. Aku tahu betul kehebatan ilmu yang berada dalam kitab Tengkorak Hitam itu..." Berkata dalam hati laki-laki tua itu.

"Apakah selama ini Ki Kutut Praja Setha tak pernah mempelajari?" Desisnya pelahan. "Hm, bisa juga! Karena Ki Kutut Praja Setha seorang golongan putih!" Jawabnya dalam hati. Lalu termangu-mangu beberapa saat, hingga tanpa disadari api pipanya telah padam. Laki-laki tua itu tak menyulutnya lagi, tapi segera beranjak bangkit meninggalkan kursinya. Dan melangkah ke arah kamarnya dengan tubuh terbungkuk-bungkuk.

"Haih...! Gagallah harapanku memiliki kitab Pusaka itu karena kebodohan ketiga muridku..." Gerutunya lirih. Tubuhnya pun lenyap dibalik tirai pintu kamar.

* * * * * * *

Siapakah gerangan laki-laki tua bertubuh jangkung, yang mempunyai wajah mirip orang mengantuk itu? Dialah tokoh Rimba Hijau yang pada beberapa tahun yang silam digelari si Siluman Naga Buntung. Karena sebelah lengannya memang buntung sebatas pergelangan tangan. Akan tetapi kini telah disambungnya kembali tangan palsu yang terbuat dari perunggu.

Ternyata dia telah mengirim ketiga orang muridnya untuk berguru pada Ki Kutut Praja Setha, dengan harapan sang murid dapat mencuri Kitab Pusaka yang berada di tangan kakek tua penghuni puncak Argasomala itu. Tampaknya laki-laki tokoh Rimba Persilatan itu telah terluka dalam yang dideritanya sejak lama. Kejadian apakah yang dialaminya pada beberapa tahun yang lalu? Baiklah, kita coba mengguar sedikit kisah pada beberapa tahun yang silam...

Pada tiga belas tahun yang silam, terbetik berita adanya seorang kakek pertapa yang kurang waras, yang muncul dan perginya mirip siluman. Kakek pertapa gila itu mendiami sebuah pulau yang bernama Pulau Tengkorak Hitam. Karena para nelayan sering melihat seakan-akan di atas pulau itu dihuni oleh makhlukmakhluk halus.

Bila malam purnama akan tampak bayangan-bayangan hitam mirip tengkorak manusia berseliweran di atas bukit batu di pulau itu. Itulah sebabnya pulau terpencil itu dinamakan Pulau Tengkorak Hitam. Bahkan tak seorang nelayan pun berani lewat dekat pulau itu...

Akan tetapi suatu ketika sebuah kapal pesiar milik seorang saudagar kaya bernama I Made Sora Dwipa terpaksa singgah untuk merapat ke Pulau Tengkorak Hitam. Kapal pesiarnya mengalami kerusakan berat. Dan harus diperbaiki. Untunglah I Made Sora Dwipa membawa serta orang-orang ahli dan para pengawal yang berkepandaian tinggi. Hingga tak sampai tenggelam diperairan sekitar Pulau itu.

Demikianlah, mereka segera mendarat. Dan selama beberapa hari terpaksa menjadi penghuni Pulau Hantu itu. Tentu saja kesempatan baik itu tak disia-siakan I Made Sora Dwipa untuk menyelidiki sekitar pulau, yang ternyata tak berpenghuni. Beberapa hari berkeliling mengitari pulau itu bersama para pengawalnya, tak dijumpainya sepotong pun manusia. Sementara beberapa orang ahli yang dibawanya sibuk memperbaiki kapalnya.

Menjelang malam bulan purnama, terperangah I Made Sora Dwipa dan para pengawalnya ketika melihat bayangan-bayangan hitam mirip tengkorak berseliweran dipuncak bukit. Entah apa yang telah terjadi di pulau itu, karena I Made Sora Dwipa didapati telah tewas berikut para pengawalnya. Beberapa orang ahli yang di bawanyapun tewas semua. Dan kapal pesiarnya musnah menjadi abu.

Kejadian itu diceritakan oleh seorang pengawal yang berhasil hidup, dan dapat menyelamatkan diri, setelah beberapa bulan tersiksa di pulau tersebut. Kiranya dari sekian banyak orang, cuma laki-laki itulah yang cuma tinggal hidup. Dia seorang ahli membuat huruf dan mengukir kapal. Keahliannya itu ternyata telah menolong jiwanya. Karena si pertapa gila itu telah menyuruhnya menulis rahasia ilmu hitam yang telah diciptakannya selama puluhan tahun.

Nyaris laki-laki itupun menjadi gila, karena si pertapa aneh itu telah menyiksa setengah mati dalam membuat huruf-huruf tulisan itu, yang di suruhnya menulis dengan darahnya sendiri. Dendam kesumat yang luar biasa terpendam dalam dada laki-laki itu. Dia memutuskan untuk membalas perlakuan yang teramat menyakitkan itu.

Dan laki-laki itu berhasil menemukan sejenis tumbuhan yang mengandung racun. Kitab itu selesai ditulis dengan penderitaan yang luar biasa. Akan tetapi diapun berhasil meracun mati si pertapa gila itu, setelah selesai membuat peti kayu cendana yang diukir dengan ukiran kepala tengkorak.

* * * * * * *

EMPAT

Dengan sebuah rakit yang dibuatnya, laki-laki itu meninggalkan Pulau Tengkorak Hitam. Ternyata peti kayu cendana yang berisi kitab itu telah ditinggalkannya di pulau itu. Dalam keadaan terapung-apung di tengah laut, seorang nelayan telah menolongnya. Tentu saja di dalam perahu nelayan itu si laki-laki menuturkan kisah tragisnya yang dialaminya di Pulau Tengkorak Hitam.

Berita itupun menyebar kemana-mana, dan terdengar pula oleh Siluman Naga Buntung, yang pada waktu itu masih berjulukan si Siluman Sungai Kuning. Siluman Sungai Kuning adalah seorang kepala perampok yang berada di perairan Sungai Kuning, dan amat ditakuti orang diwilayah itu. Dicarinya laki-laki itu untuk diminta keterangannya. Terutama mengenai dimana tempat di sembunyikannya peti kayu cendana yang berisi kitab pusaka itu. Akan tetapi laki-laki itu ditemuinya telah tewas.

Ternyata kematiannya adalah di tangan si Raja Racun bernama Gruno. Siluman Sungai Kuning yang bernama Aryo Rudita itu bergegas menyusul Gruno si Raja Racun. Ternyata manusianya telah berangkat berlayar menuju Pulau Tengkorak Hitam. Tentu saja Arya Rudita tak mau keduluan untuk memiliki kitab keramat yang ditulis dengan darah itu. Segera siapkan kapal layarnya, dan bersama anak buahnya segera berlayar pula menyusul si Raja Racun ke pulau tersebut.

Dalam pertarungan memperebutkan peti kayu cendana berisi kitab itu, Arya Rudita terkena pukulan beracun yang membuat hitam sebelah telapak tangannya. Akan tetapi dia berhasil membinasakan si Raja Racun itu dengan senjata andalannya yaitu Sepasang Tombak Rantai Maut. Akan tetapi Arya Rudita kalah cepat, karena pada waktu itu ada beberapa orang lagi dari kaum golongan hitam yang turut memperebutkan peti kayu cendana berisi kitab itu.

Satu pertarungan seru terjadi di pulau itu. Tampak seorang tua berpedang kayu di kerubuti oleh empat orang tokoh Rimba Hijau yang berjulukan si Empat Iblis Kembar. Ternyata laki-laki tua berpedang kayu itu adalah Kutut Praja Setha. Yaitu seorang Pendekar dari Golongan Putih.

Keempat Iblis Kembar berhasil ditewaskan Kutut Praja Setha. Sayang, disaat Arya Rudita mau melabrak untuk merebut peti Kayu cendana yang berada ditangan Pendekar tua itu, keadaan lukanya semakin parah. Hingga tak mungkin baginya untuk mengejar Kutut Praja Setha, yang sudah segera berlayar pergi meninggalkan Pulau Tengkorak Hitam.

Arya Rudita terpaksa membuntungi sebelah lengannya sebatas pergelangan tangan untuk menghindari menjalarnya racun jahat mengalir ketubuhnya. Demikianlah, dengan tangan hampa Arya Rudita alias si Siluman Sungai Kuning pulang dengan tangan hampa. Bahkan kembali pulang dengan membawa luka, kehilangan sepotong lengannya.

Sejak itu Arya Rudita menyembunyikan diri untuk mengobati luka pada lengannya. Dan baru muncul lagi di Rimba persilatan dengan gelar Siluman Naga Buntung. Tapi Arya Rudita tidak lagi beroperasi di Sungai Kuning, melainkan mencari kehidupan baru dilain tempat. Beberapa tahun kemudian Siluman Naga Buntung terjebak dalam satu pertarungan dengan musuh besarnya yang pernah mendendam padanya.

Dalam pertarungan itu, ternyata Siluman Naga Buntung mengalami kekalahan. Dengan menderita luka dalam dia berhasil menyelamatkan diri. Beruntunglah dia dapat berkenalan dengan seorang Tumenggung bernama Kutut Maja yang tak mengetahui kalau dia adalah seorang penjahat kawakan.

Dengan menyamar menjadi orang biasa atau rakyat jelata yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, serta seorang tua yang berpenyakitan, Arya Rudita berhasil tinggal diwilayah Kota Raja. Dengan mendapat perlindungan sang Tumenggung yang baik hati itu. Bahkan namanya pun dirubah menjadi Parto Kendal. Dari sang Tumenggung itulah Arya Rudita alias Parto Kendal itu mengetahui dimana berdiamnya Kutut Praja Setha, yang ternyata adalah kakak kandung (kakak tertua) sang Tumenggung itu.

Demikianlah, dengan diam-diam Arya Rudita mengirim ketiga muridnya bekas anak buahnya yang setia, untuk berguru pada Ki Kutut Praja Setha yang pernah berjulukan si Pendekar Pedang Kayu. Tujuan utamanya adalah mencuri Kitab pusaka dari pulau Tengkorak Hitam yang telah berada di tangan tokoh golongan putih itu.

Ternyata selama tiga tahun, dan sampai ketiga muridnya itu menamatkan pelajarannya, mereka tak berhasil menemukan dimana disimpannya Kitab Pusaka itu. Yang menuntut penjelasan sang guru mereka (Arya Rudita) disimpan dalam sebuah peti kayu Cendana, berukiran kepala tengkorak. Hingga membuat Arya Rudita alias Parto Kendal jadi uring-uringan.

Adapun ketiga muridnya itu telah mempunyai hubungan dengan seorang Dukun Sakti bergelar si Dewi Setan Kemangmang. Ternyata sebelum datang ke puncak Argasemala, masing-masing ketiga murid Arya Rudita itu telah meminta Ilmu Pengasihan agar diterima menjadi murid oleh Ki Kutut Praja Setha. Tentu saja mereka telah memenuhi persayaratan yang diajukan sang Dukun Sakti itu, hingga ternyata kemudian mereka berhasil menjadi murid penghuni puncak Argasomala itu.

Gagal mencuri Kitab Pusaka, Arya Rudita memerintahkan untuk mencoba meminta si Dukun Sakti itu untuk membunuh Kutut Praja Setha. Ternyata hal itu memang sudah direncanakan ketiga muridnya. Pembunuhan dengan ilmu "Teluh" itu berhasil baik. Akan tetapi peti kayu Cendana berisi Kitab Pusaka itu tak dijumpai, walaupun telah diketahui tempat rahasia penyimpanan kitab, oleh ketiga murid si Siluman Naga Buntung itu.

Dan kembalilah mereka dengan tangan hampa. (Setelah membunuh Wibisana si kacung dungu di Pesanggrahan puncak Argasomala). Bahkan mayat Kutu Praja Setha pun telah lenyap dengan misterius...

* * * * * * *

Kala Butho pacu kudanya memasuki desa Waru. Sebentar kemudian dia sudah berada di tengah desa. Mulailah laki-laki kekar yang mengenakan Rompi warna merah dengan celana pangsi hitam ini pentang mata jelalatan ke setiap tempat dan lorong rumah penduduk.

Sikapnya yang petantang-petenteng itu dengan sebilah kapak bermata dua terselip di belakang punggung membuat beberapa orang desa sudah cepat-cepat menyingkir. Akan tetapi beberapa pasangan mata telah memperhatikan kedatangannya.

"Siapakah laki-laki sombong itu?. Sikapnya membuat aku muak melihatnya...!" Bertanya dengan berbisik-bisik salah seorang dari beberapa orang muda-muda yang berkerumun disudut sebuah rumah besar.

"Hm, dialah yang bernama Kala Butho! Kabarnya murid dari puncak Argasomala...!" Menyahut salah seorang yang berusia lebih tua.

"Puncak Argasomala?" Gumam laki-laki berbaju putih itu. Dia adalah anak dari Pak Kuwu, atau Kepala Desa yang baru datang dari daerah lain. Tentu saja sebagai orang "baru" walaupun sudah sejak kecil dia berdiam di tempat ini, namun karena pemuda itu baru pulang dari berguru di lain daerah, membuat dia tak mengetahui keadaan kampungnya.

"Ya! Di puncak Argasomala itu tinggal seorang tua sakti yang mendirikan sebuah Pesanggrahan. Menurut yang kutahu kakek tua itu bernama Ki Kutut Praja Setha. Pada belasan tahun yang silam dia bekas seorang Pendekar yang bergelar si Pendekar Pedang Kayu...!" Ujar pemuda kawannya itu.

Mendengar penuturan itu laki-laki ini manggut-manggut seraya memperhatikan ke arah mana perginya si penunggang kuda yang bersikap sombong itu. "Eh, apa katamu tadi? Gurunya di atas puncak Argasomala itu bernama... Kutut Praja Setha yang bergelar si Pendekar Pedang Kayu?"

"Benar...! Dan dia adalah salah seorang dari tiga muridnya...!"

"Hm, seperti pernah kudengar guruku menyebut-nyebut nama dan gelarnya itu. Akan tetapi aku tak menyangka kalau kakek tua itu berdiam di puncak Argasomala. Dan sungguh tak kuduga kalau laki-laki penunggang kuda itu adalah muridnya. Ah, tentu berkepandaian tinggi...!" Berkata laki-laki berusia 20 tahun lebih itu. Dia bernama Bondan.

"He? Dia menuju ke rumahku... Tampaknya ada keperluan penting! Baiklah, aku tinggal dulu kawan-kawan. Barangkali dia mau menemui ayahku...! Ayahku sedang tak ada di rumah..." Ujar Bondan, dang bergegas beranjak setengah berlari menuju ke arah rumahnya yang berada agak ke sudut desa.

Kala Butho sudah memasuki halaman rumah panggung yang besar itu. Sepasang matanya jelalatan menatap ke beberapa jendela dan pintu rumah. Saat itu didengarnya suara orang berlari di belakangnya. Dilihatnya seorang pemuda berhidung mancung, dengan kulit agak kehitaman berlari menghampiri. Begitu sampai pemuda itu segera menjura. Kala Butho tak memperlihatkan sikap sopan untuk membalas penghormatan orang. Bahkan dengan kerutkan keningnya dia bertanya.

"Siapakah kau...?" Tanyanya dengan tanpa turun dari punggung kudanya.

Melengak juga si pemuda bernama Bondan itu melihat sikap laki-laki ini. "Aku... aku... namaku Bondan! Aku anak dari Kepala Desa disini! Siapakah kau sobat? Apakah kau ada perlu dengan ayahku? Beliau sedang tidak ada...!" Berkata Bondan dengan agak tergagap, tapi segera kembali biasa lagi, dan lakukan pertanyaan pada Kala Butho.

"Ooo... begitu..." Jawab Kala Butho dengan perlihatkan senyumnya. Lalu melompat turun dari kudanya. "Bagus! Haha... aku bukan mau bertemu dengan ayahmu! Kau pasti adiknya Surmila! Mukamu amat mirip benar dengannya! Hahaha... tolong kau ikatkan kudaku, aku sahabat kakak perempuanmu, Surmila...! Dan kedatanganku adalah untuk menemuinya..."

Sambil berkata Kala Butho berikan tali kendali kudanya pada pemuda itu. Tentu saja membuat wajah Bondan jadi memerah. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sang kakak dari lubang jendela.

"Kakang Kala Butho...! Kaukah yang datang...?" Dan sebuah kepala tersembul dari jendela. Kepala seorang wanita yang berwajah cantik dengan perlihatkan senyumannya. Dialah Surmila kakak perempuannya yang telah menjadi seorang janda.

Kala Butho sudah palingkan wajahnya menatap pada wanita muda itu. Dan tanpa perdulikan kudanya, segera melompat ke tangga rumah panggung itu. Sekejap sudah berada dalam kamar.

"Bondan! Tolong cancang kuda itu ditiang rumah...!" Seraya berkata, sang kakak sudah gerakkan tangannya menutup jendela.

Bondan berdiri terperangah dengan sepasang mata membelalak. Begitukah kiranya sikap sang kakak perempuannya, menerima lelaki yang jelas bukan suaminya untuk memasuki kamar sembarangan? Berkata dalam hati pemuda ini. Namun kakinya sudah beranjak melangkah untuk mendekati tiang rumah, dan mengikatkan kuda Kala Butho pada tiang itu. Sesaat dia sudah mendengar suara tertawa mengkikik kakak perempuannya dari sela jendela.

"Ah, aku jadi merasa malu berdiam di rumah ini...!" Gumam Bondan. Seraya melangkah pergi dengan kepala tertunduk layu. "Entahlah, apakah hal demikian sering dilakukan pula selagi ada ayah...?" Bisik hati pemuda itu.

Tiba-tiba rasa muak telah membuat si pemuda itu melangkah lebih cepat, untuk segera tinggalkan rumahnya. Seperti telinganya mendengar suara setan tertawa dari balik jendela yang tertutup itu... Tak lama Bondan sudah melenyap dibalik tikungan jalan.

* * * * * * *

LIMA

"Hik hik hik... hihihik... Sudahlah, tak usah kalian risaukan kemana lenyapnya mayat Ki Kutut Praja Setha! Kalian adalah laki-laki bertubuh kuat yang amat aku senangi. Asalkan kalian mau meninggalkan gurumu yang tak berguna itu dan menghamba padaku selama beberapa tahun, ku tanggung kalian akan memiliki semua ilmu-ilmuku dengan sempurna! Dan kalian dapat malang melintang di dunia Rimba Hijau tanpa harus ada yang kalian takuti...!"

"Benarkah itu, nenek Dukun Sakti...?"

"Mengapa aku harus berdusta? Kalau kalian bersedia, kita akan pindah untuk mendiami Pulau Tengkorak Hitam...!"

Terbelalak tiga pasang mata laki-laki itu, yang tak lain dari Kala Butho, Braja Pati dan Dasa Mukti. Ternyata mereka telah berada di tempat kediaman si Dukun Sakti alias si Dewi Setan Kemangmang. Untuk beberapa saat mereka cuma kasak-kusuk tanpa bisa memberi jawaban.

"Hik hik hik... itu terserah kalian. Kalau tidak mau aku takkan memaksa!" Ujar wanita Dukun Sakti itu seraya meneruskan pekerjaannya; mengaduk-aduk cairan berbau busuk dalam kuali di atas tungku panas.

Sementara disekeliling ruangan kamarnya tampak beberapa mayat manusia yang telah dikeringkan bergelantungan mirip Mummi. Tapi diantara mayat-mayat yang telah kering itu tak ada tubuh Ki Kutut Praja Setha. Bermacam ramuan dan kembang beraneka warna berada di beberapa tempat di atas meja. Sementara asap pedupaan tak hentinya mengepul, menebarkan bau yang menusuk hidung!

Berdiri bulu kuduk ketiga laki-laki itu ketika melongok ke ruang tempat si wanita Dukun Sakti itu. Akan tetapi memandang bahwa mereka amati memerlukan ilmu-ilmu Hitam yang dimiliki si wanita Dukun itu, akhirnya selang beberapa saat kasak-kusuk, mereka pun membulatkan tekad bersama untuk menerima tawaran si Dewi Setan Kemangmang. Dan serentak mereka sudah bersujud. Braja Pati segera berkata.

"Guru...! Terimalah kami menjadi muridmuridmu ...! Kami akan mengabdi padamu untuk mendalami ilmu-ilmu yang kau miliki, dan menjalankan semua perintahmu...!"

Wanita Dukun Sakti yang tampaknya masih sangat muda itu tiba-tiba perdengarkan suara tertawanya mengikik. "Hik hik hik... bagus! Bagus...! Kalian memang sudah kuduga akan menerima tawaranku! Disamping kalian akan mendapat kenikmatan, juga akan bertambahnya ilmu kalian dengan menghamba dan menjadi muridku ...! Hik hik hik!"

* * * * * * *

LIMA TAHUN BERSELANG....

Sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan tugar Alam telah berdiri di wilayah sebelah tenggara di Pulau Jawa. Tentu saja terciptanya Kerajaan Pugar Alam itu membuat orang merasa aneh, karena dalam waktu cepat Kerajaan itu telah berkembang menjadi besar dan wilayahnya semakin meluas. Adapun Istana Kerajaan Pugar Alam berada di tengah sebuah telaga yang disekelilingnya selalu dipenuhi kabut tipis. Hingga keadaan Istana itu selalu tampak samar-samar.

Menurut berita yang terdengar, sang Raja Kerajaan Pugar Alam itu bergelar Baginda Raja Nara Syiwa. Dengan permaisurinya yang bernama Sinom Sari. Tak sembarang orang dapat menyeberangi telaga yang tertutup kabut itu walau pun telah bayak dibuat jembatan untuk menghubungkannya. Bahkan mana jembatan mana telaga sudah tak kelihatan lagi. Sebuah Istana Kerajaan yang misterius... karena memang mirip dengan sebuah Kerajaan Setan atau Siluman.

Para pengawal Istananya adalah terdiri orang-orang bekas tawanan dari Kerajaan yang telah ditaklukannya. Akan tetapi setelah berada di dalam lingkungan Istana yang selalu tutup kabut itu, sikap mereka amatlah aneh. Karena mereka tak pernah berbicara, dan memang sudah tak dapat berbicara lagi.

Kemunculan serta perginya para pengawal dan penjaga di Istana itu ketahuan lagi. Lenyap begitu saja dibalik asap kabut. Ah, benar-benar membuat orang menjadi penasaran untuk mendatangi Istana yang aneh itu. Sementara orang-orang Kerajaannya menyebar luas di sekitar wilayah yang dikuasai Baginda Raja Nara Syiwa itu.

* * * * * * *

Hari sudah hampir senja. Ketika pada permulaan musim hujan seorang gadis berkerudung kain selendang, berjalan dengan bergegas di satu jalan setapak menuju desa. Sebentar-sebentar langkahnya agak dipercepat, namun terkadang juga berhenti untuk menghapus keringat yang mengalir di dahinya.

Tiba-tiba tiga sosok tubuh berlompatan dari sisi kiri dan kanan jalan setapak yang banyak tumbuh menggerombol semak lebat. Sekejap saja tiga-orang laki-laki dengan wajah menyeringai telah berdiri menghalangi jalan. Tersentak hati si gadis berkerudung ini, dengan sepasang mata beningnya membeliak menatap mereka. Tak terasa bibirnya sudah bergetar mengeluarkan seman kaget.

"Ohh...! Si... siapa kalian? Mengapa menghadangku di tengah jalan?"

"Hahaha... hari sudah sore begini, adik manis. Kau pasti akan kemalaman di jalan. Sebaliknya kau menginap saja malam ini di rumah kami...!" Berkata salah seorang yang berkumis tikus. Matanya menatap pada sang dara di hadapannya dengan biji mata memutar menelusuri sekujur tubuh orang.

"Benar, adik cantik...! Besok pagi tentu aku akan antarkan kau sampai ke rumah! Hehehe... jangan khawatir, orang tuamu pasti tak akan marah, bahkan jangan-jangan aku lantas diangkat menjadi menantu...!"

"Hoahaha... hahaha... Eh, mengacalah dulu kau Muka Babi! Kalau aku yang mengantarkannya pasti bisa jadi...!" Tiba-tiba kawannya yang satu berkata menyela sambil pasang gaya gagah.

Merengut si Muka Babi mendengar cemooh sobatnya itu. "Huh! Kukira kaupun tak lebih baik dariku Muka Macan! Belum lagi calon mertuamu datang menyambut, dia sudah ngacir lari lintang pukang! Heheheh."

Yang bernama julukan Muka Macan itu memang kulit wajahnya belang-belang. Akan tetapi mendapat ejekan si Muka Babi itu dia tidak marah, bahkan tertawa mengakak. "Hohoho... hahahahehehaha... hak hak... tak apalah kalau cuma calon mertua yang ngacir! Asal calon biniku ini sayang padaku habis perkara!"

"Hehehe... bukankah begitu adik cantik...? Eh, boleh aku tahu siapa namamu?" Tiba-tiba si Muka Macan sudah melompat mendekati dara itu.

Tentu saja membuat si gadis berkerudung itu jadi terperanjat. Kakinya secara tak sengaja telah melangkah ke belakang... akan tetapi bahkan tersangkut akar pohon. Dan tak ampun lagi sudah jatuh terlentang.

"Aiiih, hati-hati adik cantik...!" Berkata si Muka Macan. Dan sekonyong-konyong tubuhnya sudah menubruk dara yang tengah terperangah kaget. Tahu-tahu tubuh si Muka Macan telah menindihnya. Berteriak-teriak gadis itu dengan ketakutan, ketika tanpa ayal lagi laki-laki bermuka belang itu sudah menciumi pipinya. Akan tetapi tiba-tiba...

Buk...! Satu hantaman keras membuat tubuh si Muka Macan terlempar bergulingan. Ternyata si Muka Tikus telah melompat, dan sudah berdiri di situ. Dialah yang telah menghantam pundak si Muka Macan dengan telapak tangannya. Sementara si Muka Macan sekejap sudah melompat berdiri lagi dengan terkejut. Akan tetapi segera tertawa menyeringai, melihat siapa yang menyerangnya.

"Hehehe... kakang Muka Tikus! Mengapa kau mencegahku? Bukankah aku yang lebih dulu punya kesempatan...?"

"Heh! Kita bertiga adalah satu perguruan! Segala sesuatu tak bisa dikangkangi sendirian! Dan bukan disini tempatnya...!" Membentak si Muka Tikus.

"Betul! Kakang Muka Tikus...! Si Muka Macan memang terlalu rakus! Seharusnya mengenai korban yang kita temukan bertiga, harus diadakan undian secara adil untuk menentukan siapa yang berhak dulu mencicipi tubuh gadis manis ini!" Si Muka Babi telah menimbrung bicara.

"Heheheh... baik! Baiklah, aku memang salah! Aku serahkan keputusan ini padamu kakang Muka Tikus! Bagaimana rencanamu yang baik!" Ujar si Muka Macan seraya menatap pada kedua saudara seperguruannya, sambil usap-usap pundaknya yang terasa nyeri.

Muka Tikus tak menjawab, tapi menatap pada gadis itu, yang sudah bangkit duduk dengan wajah pias bagai mayat menatap mereka berganti-ganti. Tubuhnya gemetaran menahan rasa takut yang luar biasa. Karena dia tak menyangka bakal menemui kejadian ini.

Tahu-tahu dengan sekali lengannya bergerak, si Muka Tikus telah menotok tubuhnya. Gadis ini keluarkan keluhan pelahan dari mulutnya lalu roboh tak sadarkan diri. Dan sekejap sudah berada dalam pondongan si Muka Tikus yang bertubuh kurus jangkung itu. Tak berapa lama ketiganya sudah berkelebatan lenyap dirimbunnya pepohonan...

Bret! Bret! Bret...!

Terdengar suara kain baju yang dirobek dari dalam pondok terpencil di tempat paling sudut di sisi hutan itu. Sementara dua sosok mayat seorang kakek dan nenek tua renta terlihat tumpang tindih di semaksemak belakang rumah gubuk itu. Si Muka Macan dan Muka Babi telah melemparkannya dari jendela, lalu segera menutupnya lagi.

Dalam undian yang tadi dilaksanakan, ternyata si Muka Tikuslah yang justru menang dan mendapat giliran pertama untuk mencicipi korbannya. Terpaksa kedua laki-laki seperguruan itu menunggu di luar gubuk. Akan tetapi keduanya tampak tidak tenang, karena selalu mondar-mandir seperti gelisah menunggu giliran.

"Heheheh... habis ini pasti giliranku, Muka Babi!" Berkata si Muka Macan.

"Hm, belum tentu...! Apakah kau sudah yakin akan memenangkan undian nanti!" Tugas si Muka Babi dengan sepasang mata sipitnya yang diplototkan, akan tetapi tetap saja sipit. Cuma agak membeliak sedikit.

"Kita lihat sajalah nanti, karena kakang Muka Tikus yang berhak mengundi!" Ujar si Muka Macan dengan garuk-garuk kepalanya. Rambut keritingnya yang gondrong itu bergerak-gerak bagaikan hidup. Sementara sepasang matanya sebentar-sebentar menatap ke arah jendela gubuk petani tua itu.

Sementara di dalam kamar gubuk itu, di atas pembaringan dari balai-balai bambu, tampak terbujur tubuh mulus si gadis berkerudung tadi. Pakaiannya telah hancur beserpihan pada bagian atasnya, karena telah dirobek dengan paksa si Muka Tikus. Sepasang mata laki-laki tinggi kurus itu terbeliak semakin lebar menampak sepasang buah dada yang membuntal padat tersembul di hadapannya.

"Hehehe... nasib baik, aku memenangkan undian lebih dulu! Aiih lembutnya..." Berdesis keluar suara dari mulutnya.

ENAM

Jari-jari lengan si Muka Tikus merayapi bagian-bagian perbukitan tubuh si dara cantik yang sudah tak ingat apa-apa lagi itu. Dan beberapa kejap kemudian seluruh pakaian sang gadis telah terlepas semua dari tempatnya. Kini terpampang sudah satu pemandangan yang membuat dengus napas si Muka Tikus semakin berdesahan. Wajahnya tertawa menyeringai. Tak ayal lengannya sudah bergerak membuka pakaiannya.

Akan tetapi baru bagian atasnya saja yang terbuka, tiba-tiba laki-laki ini merandek sejenak ketika lapat-lapat di luar gubuk didengarnya suara ringkik kuda. "Siapakah yang datang...?" Desisnya pelahan, dan tersentak kaget. Segera dia sudah beranjak mengintip dari celah jendela.

Seekor kuda hitam tahu-tahu telah muncul di belakang si Muka Babi dan Si Muka Macan. Binatang ini perdengarkan ringkikannya berkali-kali dengan melompat-lompat mengelilingi sekitar tempat itu. Tentu saja membuat kedua orang itu jadi terheran, karena binatang itu tak berpenunggang. Munculnya pun tak ketahuan, karena tahu-tahu sudah berada dibelakang mereka.

"Hahaha.... kukira kuda orang yang terlepas! Bagaimana kalau kita tangkap saja, Muka Babi. Bertanya si Muka Macan seraya berpaling pada kawannya.

"Heheheheh... boleh juga! Ayolah, kau jaga sebelah sana aku disini!" Teriak si Muka Babi.

Muka Macan mengangguk, lalu berkelebat melompat. Sementara si kuda hitam yang masih berlari-larian memutar itu, tiba-tiba menerjangkan ke arah si Muka Macan. Terkejut manusia itu, untung dengan gesit dia sudah melompat menghindar. Muka Babi tiba-tiba melompat dari arah belakang ke atas punggung kuda.

"Hehehe... aku yang akan berhasil menangkap!" Sorak hatinya. Akan tetapi di luar dugaan, sepasang kaki kuda hitam itu telah menyambutnya dengan cepat.

Desss...!

Terlemparlah tubuh si Muka Babi yang memang bulat itu diiringi teriakan tertahan. Krakk...! Tubuhnya sudah menghantam batang pohon yang seketika patah berderak. Dan tubuh bulat itu menggelinding ke tanah. Tak lama dia sudah mencoba bangun dengan terhuyung. Wajahnya menyeringai kesakitan, sambil memegangi punggungnya yang terasa sakit sekali.

"Kuda setan...!" Teriaknya dengan wajah berubah gusar. Dan lengannya telah bergerak menghantam dari jarak jauh. Kebetulan sang kuda sudah bergerak memutar lagi ke arahnya. "Modarlah kau...!" Bentaknya dengan keras. Whukk...! Angin pukulan dahsyat tiba-tiba terlontar dari lengan si Muka Babi.

Bhusss...! Begitu angin pukulan itu tiba, tiba-tiba si Kuda Hitam lenyap menjadi segumpal asap hitam. Dan sekejap kemudian sirna tak menampak apa-apa lagi. Tentu saja hal itu membuat keduanya belalakkan mata.

"Aneh!? Apakah kuda itu benar-benar kuda setan...?" Sentak si Muka Babi dengan suara berdesis.

Sementara si Muka Macan telah melompat mendekatinya. "Hati-hati, Muka Babi! Kukira ada musuh yang telah menyelinap kemari...!" Berkata si Muka Macan dengan wajah tenang.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bergedubrakan dari arah gubuk. Serentak mereka segera menoleh. Apakah yang dilihatnya? Sosok tubuh si Muka Tikus terlempar menjebol wuwungan rumah diiringi teriakan menyayat hati. Serpihan atap rumbia dan potongan-potongan bambu berpentalan ke udara.

Keduanya jadi terbelalak terkesima. Akan tetapi si Muka Macan telah melompat cepat dari situ. Dan dengan sigap sekali telah menangkap tubuh si Muka Tikus. Lalu dengan tergopoh-gopoh segera memondongnya ke tempat kawannya. Ketika mereka memeriksanya seketika terperanjatlah si Muka Macan dan si Muka Babi, karena kakak seperguruan mereka itu telah tewas dengan keadaan muka hancur mengerikan!

"Hah!? Siapakah yang telah membunuhnya?" Teriak si Muka Macan dengan wajah pucat.

Sementara si Muka Babi telah kucurkan keringat dingin. Tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda di belakangnya. Seketika kedua manusia itu sudah putar tubuh dan melompat mundur. Segera terlihat di hadapan mereka seekor kuda hitam yang tadi. Akan tetapi kini lengkap dengan penunggang kudanya. Yaitu seorang laki-laki yang mengenakan jubah warna merah. Wajahnya mengenakan topeng Tengkorak berwarna Hitam.

"Akulah yang telah membunuhnya...!" Berkata orang itu dengan suara bagai es.

"Ssssii.... siapa kkkau... kau?!" Membentak si Muka Macan dengan suara bentakan yang agak tergagap dan bergetar. Karena dari kemunculannya yang tiba-tiba itu mereka bagaikan melihat kedatangan hantu.

"Hm, tak perlu aku memperkenalkan diri... Sebutlah aku Si Penunggang kuda setan...!" Selesai orang itu berkata lengannya bergerak bagai bayangan.

Tahu-tahu tengkuk si Muka Babi telah dicengkeram. Laki-laki pendek bulat ini seketika rasakan nyawanya bagaikan terbang. Akan tetapi lengannya sudah lakukan hantaman ke arah dada si Penunggang Kuda Setan. Bhusss...! Aneh! Bagaikan menghantam angin saja, pukulan lengannya itu sudah nyeplos lewat. Laki-laki berjubah merah itu perdengarkan suara di hidung, dan sekali lengannya bergerak, melayanglah tubuh si Manusia Babi entah kemana...

Bukan main terkejut dan gusarnya si Muka Macan. Sekejap saja dia sudah keluarkan senjatanya, yaitu sepasang cakar baja, yang bagian ujungnya berbentuk telapak kaki macan, dengan ujung cakarnya yang runcing-runcing. Dengan membentak keras dia sudah menerjang si Penunggang Kuda Setan.

Bersiuran senjata itu ke arah tubuh lawan, akan tetapi semua yang dilakukan sia-sia belaka. Karena tubuh si Penunggang Kuda Setan bagaikan tubuh bayangan saja. Hantaman beruntun itu luput bagai menghantam angin. Dan tahu-tahu si Muka Macan telah perdengarkan perdengarkan teriakan kaget. Ketika sekali lengan si Penunggang Kuda Setan berkelebat, sepasang senjata tak berguna itu terpental entah kemana.

"Hah!? Celaka...! Aku bukan berhadapan dengan manusia..." Desis suara si Muka Macan dengan terperangah kaget. Serentak tanpa ayal lagi dia sudah putar tubuh, dan tiba-tiba telah berkelebat melarikan diri..."

"Hahahaha... sekali lagi aku menjumpai kalian melakukan kejahatan, nyawamu takkan kuampuni lagi!" Terdengar suara tertawa si Penunggang Kuda Setan dan kata-kata ancaman yang seperti itu menusuk-nusuk lubang telinganya.

Jatuh bangun si Muka Macan menyelamatkan diri, namun sekejap kemudian segera lenyap di balik rimbunnya pepohonan lebat. Sementara cuaca senja di sekitar tempat itu semakin gelap. Hujan mulai turun rintik-rintik terbawa angin.

Dalam keremangan itu tampak sekilas bayangan tubuh si laki-laki berjubah merah dengan topeng muka Tengkoraknya yang sudah tak jelas kelihatan lagi. Suara ringkik kuda kembali terdengar, dan diantara keremangan yang semakin memudar berganti dengan gelap gulita itu, bayangan si Penunggang Kuda Setan itupun melenyap pula.

* * * * * * *

Di tepi telaga itu sesosok tubuh duduk di hadapan api memanaskan tubuhnya. Cuaca pagi itu masih diselimuti kabut. Dan hawa dingin menyebar di sekitarnya. Ternyata seorang laki-laki yang bertubuh separuh telanjang. Bercelana pangsi yang sudah kumal. Rambutnya dikepang dua, yang diikatkan menjadi satu di belakang kepala. Memandang ke tengah telaga yang tampak hanyalah kabut putih yang menyelimuti, menghalangi pandangan mata.

Di belakang punggung laki-laki yang duduk menghadap api unggun itu adalah sebuah bukit batu. Pada satu celah lubang tampak terbujur sesosok tubuh wanita, yang membuntal tubuh dengan selimut... Ternyata wanita itu adalah si gadis yang hampir menjadi korban nafsu iblis si Muka Tikus.

Selang beberapa saat tampak tubuh gadis itu mulai bergerak. Kelopak matanya pun membelalak terbuka. Tiba-tiba setelah berkedipan beberapa saat gadis ini telah melompat bangun. Terdengar suaranya tersentak ketika memandang tubuhnya yang berselimutkan sebuah jubah warna merah. Dan semakin terkejut mengetahui keadaan tubuhnya dalam keadaan tak berpakaian.

"Dimanakah aku? Dan... jubah siapakah ini?" Desisnya tersentak. Segera saja dia teringat akan kejadian yang telah menimpa dirinya. "Kemanakah tiga manusia yang telah mencegatku di jalan tadi?" Berkata dalam hati si gadis ini.

Tiba-tiba pandangan matanya tertatap ke arah sesosok tubuh yang duduk membelakangi, menghadap ke api unggun. Menduga kalau orang itu adalah salah satu dari tiga orang yang mau memperkosanya, dan mengingat akan hal itu si gadis sudah lantas menangis terisak-isak.

"Eh mengapa kau menangis...?" Tiba-tiba satu suara telah terdengar di belakangnya. Terkejut si gadis ini ketika menoleh, tahu-tahu laki-laki yang duduk menghadap ke api unggun itu telah berada di dekatnya.

"Kau... kau manusia jahanam...! Kau telah nodai diriku... oh... hhh...!" Teriak sang dara ini dengan terisak seraya tatap wajah orang. Akan tetapi segera saja dia tampak tersentak kaget, karena wajah laki-laki di hadapannya mengenakan topeng yang mengerikan sekali. Yaitu topeng Tengkorak yang berwarna hitam legam.

"Kau... kau siapakah?" Sentak sang gadis yang sudah beringsut ke sudut dinding batu. Sementara matanya menjalari wajah dan perawakan laki-laki di hadapannya.

"Ah, apakah namaku cukup berguna buatmu? Aku telah memberi pelajaran pada tiga manusia bejat yang mau mengganggumu itu. Tenangkan hatimu adik...! Aku bukan manusia jahat, walau tampangku mungkin akan membuat orang menilai demikian...! Kau dalam keadaan baik-baik tak kurang suatu apa, percayalah...!" Berkata si laki-laki itu dengan suara ramah. Akan tetapi segera balikkan tubuhnya untuk kembali beranjak mendekati api unggun.

Tercenung sang gadis ini dengan sepasang mata menatap punggung laki-laki itu. Ahh, aku telah salah menduga! Kalau begitu aku... aku telah terhindar dari bencana...? Seolah serasa mimpi si dara cantik ini setelah mengetahui kalau kemudian ternyata benarlah dia tak merasakan apaapa dan kelainan dari tubuhnya.

"Dia pasti seorang Pendekar yang telah berilmu tinggi yang telah menyelamatkan kehormatanku! Oh, aku harus berterima kasih padanya....!" Desis gadis ini pelahan. Wajahnya kembali berseri. Segera dia bangkit berdiri, dan kenakan jubah warna merah itu membungkus tubuhnya. Udara dingin di pagi remang dinihari itu membuat tubuhnya agak menggigil. Dengan berjingkat-jingkat dihampirinya laki-laki itu. Ternyata kedatangannya sudah diketahui.

"Kau kedinginan? Hangatkanlah tubuhmu dekat api! Duduklah...!" Ucap pemuda itu seraya geserkan sebongkah batu di sebelahnya.

Gadis ini tanpa sungkan-sungkan segera duduk di atas batu itu, seraya ucapnya. "Aku... aku mau mengucapkan terimakasih padamu..... ng... Tuan Pendekar...! Dan... mohon kau maafkan aku karena aku telah menyangka yang tidak baik!"

"Ah, sudahlah! Manusia hidup memang harus tolong menolong! Siapa tahu dengan menolong orang, kelak kalau aku mendapat celaka orang pun akan menolongku..." Potong laki-laki itu seraya tambahkan kayu kering pada onggokan api hingga api semakin membesar. Dan menampakkan jelas wajahnya.

Terlongong si dara itu sambil mengangguk-angguk. Suasana kembali senyap. Cuma yang terdengar suara kayu kering yang terbakar api.

Cuaca pun mulai terang. Bunyi suara burungburung sudah terdengar menyambut datangnya pagi yang cerah. Kabut yang menyelubungi alam sekitar itu mulai menipis. Dan beberapa saat kemudian, cahaya Mentari mulai menampak di langit sebelah timur. Terdengar suara menghela nafas laki-laki bertopeng itu.

"Sebentar lagi aku akan mengantarkan mu ke tempat tinggal mu ....!" Berkata si laki-laki itu seraya bangkit berdiri. Tiba-tiba tubuhnya telah berkelebat lenyap.

Terkejut si gadis itu, seketika wajahnya berubah pucat. "Ah, apakah dia bukan manusia...!" Desisnya pelahan dengan tersentak kaget. Namun akhirnya dia cuma termangu-mangu duduk di atas batu. "Mau kemanakah dia... ?" Gumamnya dalam hati.

Gadis desa ini tak mengerti ilmu kepandaian orang-orang Rimba Hijau, hingga tak mengetahui kalau laki-laki itu adalah seorang yang berilmu amat tinggi. Dia cuma melihat tahu-tahu tubuh si laki-laki bertopeng tengkorak itu telah lenyap dari hadapannya.

Sebenarnya dia bernama Sutirah, yang bertujuan pulang ke rumah orang tuanya di desa yang ditujunya itu. Sudah beberapa pekan dia tinggal sementara di rumah pamannya. Sang paman tadinya akan mengantarkannya pulang, akan tetapi tak ada kesempatan hari itu. Dan lagi hari sudah menjelang sore. Hingga menahan sang gadis keponakannya itu sampai besok. Tak dinyana setelah kepergian sang paman, Sutirah telah meminta izin pada bibinya untuk pulang sendiri hari itu juga.

Sang bibi tak mampu mencegah, karena Sutirah memaksa untuk pulang hari itu juga. Dan tanpa menunggu jawaban Sutirah langsung berangkat pulang sendirian. Hingga kemudian di saat melalui jalan setapak ketika sudah hampir mendekati desa yang ditujunya, telah dicegat oleh tiga orang kawanan begal. Ketiga begal itu ternyata yang menamakan dirinya si Tiga Setan Brandal. Yaitu si Muka Tikus, Muka Babi dan si Muka Macan.

Untunglah dalam keadaan tak sadarkan diri, ketika Sutirah mau dirampas kehormatannya, telah ditolong oleh si Penunggang Kuda Setan. Namun si Penunggang Kuda Setan itu tak mau memberitahukan siapa dirinya pada sang gadis.

Dan bahkan Sutirah menyangka pemuda bertopeng Tengkorak itu sebangsa makhluk halus yang menyerupai manusia, yang telah menyelamatkan dirinya. Sutirah sudah mulai gelisah karena sampai beberapa saat si Muka Tengkorak tak juga munculkan diri. Tahu-tahu sudah terdengar suara di sebelah kirinya.

"Aku akan mengantarmu pulang sekarang! Kau pakailah pakaian ini...!"

Terhenyak si gadis, karena ketika berpaling, si laki-laki itu sudah berada lagi ditempat itu, seraya julurkan lengannya yang mencekal seperangkat pakaian. Namun dengan segera Sutirah cepat-cepat menyambuti, dengan wajah masih pucat.

Selesai berikan pakaian itu, si laki-laki Muka Tengkorak segera balikkan tubuh beranjak ke tepi telaga. Dan berdiri disana tak bergeming. Langkah-langkah kakinya sejenak menjadi perhatian dara ini. Legalah hatinya, karena jelas sepasang kakinya menginjak tanah, menandakan laki-laki itu bukanlah sebangsa siluman atau dedemit makhluk halus. Akan tetapi manusia biasa.

"Oh, tentu dia seorang yang berilmu amat tinggi...! Kalau tidak, mustahil dapat menolongku, dan menghajar tiga orang jahat yang mau mencelakai diriku itu...!" Pikirannya dalam benak.

Segera dia bergegas memakai pakaian pemberian laki-laki penolongnya itu. "Entah dari mana dia dapatkan pakaian ini...!" Bisik hatinya. Selang sesaat antaranya Sutirah sudah selesai mengenakannya. Agak kebesaran sedikit, tapi Sutirah sudah bersukur dapat menutupi tubuhnya.

* * * * * * *

TUJUH

Matahari sudah berada tepat di atas kepala ketika terdengar suara ringkik kuda, dan sekejap sudah terlihat di tepian telaga tadi, seekor kuda berbulu hitam dengan penunggangnya. Siapa lagi kalau bukan si Penunggang Kuda Setan. "Hm, gadis itu sudah kuantarkan ke rumah orang tuanya, selesailah tugasku!"

Terdengar suaranya menggumam. Sepasang mata laki-laki misterius itu kini menatap tajam ke tengah telaga berkabut. Jelas pancaran matanya membersit seperti mau menembus pekatnya kabut, yang memancar dari balik topeng Tengkoraknya. Hembusan angin keras dari arah perbukitan membuat jubah merahnya berkibaran. Pada pundak sebelah kanannya tampak tersembul sebuah gagang pedang dari kayu hitam.

"Apakah anda mau menyeberang kesana...?" Tiba-tiba terdengar satu suara merdu di belakangnya, mirip suara wanita.

Laki-laki Muka Tengkorak itu menoleh. Tampaknya seperti terkejut, karena tak mengetahui kalau di belakangnya ada orang. Segera sudah dilihatnya seorang gadis cantik berbaju hitam tengah duduk ongkang-ongkang kaki di atas tebing batu. Adalah aneh, kalau jarak antara tebing batu dan tempatnya berdiri cukup jauh sekitar tujuh-delapan tombak. Akan tetapi suaranya seperti berada dekat di belakangnya.

"Siapakah nona...?" Bertanya si Penunggang Kuda Setan, yang sudah putarkan kudanya menghadap ke arah gadis itu.

"Namaku Roro centil...!" Sahut sang dara kenes, dan tampak ayu itu, Dan tubuhnya sudah melompat ringan ke hadapan laki-laki itu. Ujung kakinya hinggap di atas batu besar tanpa timbulkan suara. Kiranya gadis manis itu tak lain dari si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

"Aku telah melihat sepak terjang mu menghajar si Tiga Setan Brandal, yang mau memperkosa gadis desa itu! Hihihih... kalau aku jadi laki-laki setidaknya aku cium dulu gadis desa itu sebelum kuantarkan ke rumah orang tuanya...!" Ujar Roro Centil dengan masukkan jari kelingkingnya mengorek tahi hidung, lalu sentilkan ke arah depan.

Tentu saja sikap dan kata-kata si gadis yang baru muncul itu membuat si Penunggang Kuda Setan jadi melengak heran. Akan tetapi juga membuat geli. Seandainya dia tak memakai topeng, tentu sudah kelihatan bibirnya tersenyum. Gadis aneh...! Baru bertemu sudah berkata seenaknya saja! Tapi seumur hidupku baru kutemui gadis yang seperti ini... !

Gumam si Penunggang Kuda Setan dengan tertegun. Dan yang lebih membuatnya tertegun adalah si gadis itu mengetahui nama julukan ketiga begal yang dihajarnya. Bahkan mengetahui pula sepak terjangnya. Setelah berfikir sejenak, segera laki-laki itu melompat turun dari punggung kuda.

"Nona...! Tampaknya kau tahu banyak tentang orang-orang kaum Rimba Hijau. Tujuanku memang mau menyelidiki Istana Kerajaan Pugar Alam yang berada di tengah danau berkabut itu...!" Berkata si Lakilaki Penunggang Kuda Setan seraya menjura pada Roro Centil.

"Hm, apa maksudmu mau menyelidiki Istana Setan itu?" Tanya Roro sambil rapikan rambutnya yang tersibak angin.

"Istana Setan...?" Tanya laki-laki bertopeng tengkorak dengan heran.

"Ya! Karena semua pengawal disana terdiri dari orang-orang yang sudah mati. Kalau ternyata bisa hidup lagi apakah bukannya sudah menjadi setan?" Tukas Roro dengan serius.

Tentu saja penjelasan Roro itu membuat si laki-laki Muka Tengkorak jadi kepingin tahu lebih jelas. "Kau pernah kesana?" Tanyanya lagi.

Roro jatuhkan pantatnya untuk duduk di atas batu. Kepalanya menggeleng. "Melihat Istana Setan itupun aku belum pernah, aku cuma mendengar berita dari sahabatku...!" Ujar Roro.

Laki-laki Muka Tengkorak itu pun jadi ikut-ikutan duduk di atas batu di hadapannya. "Siapakah sahabatmu itu?"

"Dia bernama Joko Sangit! Sahut Roro. "Eh, bicara padamu seperti bicara dengan hantu saja...! Apakah mukamu jelek hingga kau pakai topeng Tengkorak itu?" Tiba-tiba Roro balas bertanya dengan pertanyaan lain.

Tentu saja membuat si laki-laki Muka Tengkorak jadi melengak. Pertanyaan itu memang wajar, akan tetapi hal itu membuat si laki-laki Muka Tengkorak jadi menunduk. "Jelek atau bagus adalah pemberian Tuhan! Aku memakai topeng ini bukan karena wajahku jelek atau bagus, akan tetapi aku memang tak akan membukanya, kecuali di hadapan musuh besarku...!" Ujarnya dengan tertawa hambar.

Roro jadi tercenung sesaat. Namun segera manggut-manggut mengerti. "Siapakah musuh besarmu...?" Tanya Roro tiba-tiba.

Laki-laki Muka Tengkorak tak segera menjawab. Terdengar suara helaan nafasnya sejenak, lalu ujarnya dengan suara yang terdengar agak serak, dan bernada dingin. "Aku tak dapat memberitahukan, karena hal ini adalah urusanku...!"

"Hm, baiklah! Akupun tak ingin mengetahui urusanmu, serta mencampuri urusan dendam pati! Cuma aku mau memperingatkan, hati-hatilah kalau kau mau menyeberangi telaga! Tak sedikit nyawa manusia, dan tokoh-tokoh kosen kaum Rimba Hijau yang setelah menyeberang tak pernah ada kabarnya lagi. Hihihh... hihi...!" Seraya tertawa mengikik, Roro Centil sudah bangkit berdiri. Lalu putarkan tubuh untuk beranjak pergi.

"Eh, nona...ng...mau kemanakah kau?" Si laki-laki Muka Tengkorak sudah berseru menahan dengan tergagap.

"Namaku Roro Centil!" Sahut Roro seraya menahan langkahnya.

"Oh, ya ...! Nona Roro Centil, boleh aku tahu kemana tujuanmu...?" Ulangnya seraya sudah melompat ke hadapan Roro.

Roro tatap wajah laki-laki bertopeng Tengkorak itu seperti mau melihat wajah asli orang di hadapannya. "Saat ini aku berdiam di Lembah Soka, bergabung dengan para Senapati dari Tiga Kerajaan yang telah bersatu...!" Sahutnya datar.

"Ah...!?" Tersentak si laki-laki Muka Tengkorak. Sepasang mata dari balik topeng Tengkoraknya itu membelalak lebar. "Apakah sebenarnya yang telah terjadi?" Tanya si Penunggang Kuda Setan.

"Hihihi... tak tahukah kau, bahwa ratusan, bahkan hampir lebih dari seribu laskar para Senapati dari Tiga Kerajaan telah bergabung menjadi satu. Mereka tengah mempersiapkan untuk menggempur Kerajaan Setan bernama Pugar Alam yang Istananya berada di tengah telaga ini...!" Tutur Roro dengan suara dingin.

Lagi-lagi si laki-laki Muka Tengkorak itu melengak. Akan tetapi kembali tundukkan wajahnya. Seraya berkata lemah. "Ah, sayang... urusanku membalas dendam belum lagi terlaksana, seandainya sudah tuntas urusanku, aku pasti akan turut bergabung dengan mereka...!"

"Nah, selesaikanlah urusanmu dulu, aku dan kaum Pendekar dari segenap penjuru, dengan di restui serta mendapat bala bantuan dari Kerajaan Mataram, siap menunggu kedatanganmu untuk bergabung dengan kami...!" Berkata Roro Centil dengan tersenyum. Lalu sudah enjot tubuhnya melompat ke atas tebing batu. Disana dia balikkan tubuhnya lagi. Sepasang mata dara perkasa itu menatap ke bawah. Ke arah si Penunggang Kuda Setan. Lengannya menggapai. "Penunggang Kuda Setan...! Sampai jumpa lagi...!"

Laki-laki Muka Tengkorak ini balas lambaikan tangannya. "Aku pasti kesana bila urusanku sudah selesai...!" Teriaknya lantang.

Namun Roro sudah balikkan tubuhnya, dan berkelebat cepat tinggalkan tebing di sisi telaga itu. Sekejap kemudian sudah lenyap tak kelihatan lagi. Laki-laki si Penunggang Kuda Setan kembali tundukkan wajahnya. Tampak dari sela topengnya mengalir turun setetes air bening. Dadanya bergerak naik turun seperti menahan kesedihan, kemarahan serta kekecewaan yang mengaduk menjadi satu! dalam dada.

Akan tetapi tiba-tiba dia sudah melompat ke atas punggung kudanya. Dan diiringi suara meringkiknya si Kuda Hitam tunggangannya itu. Binatang itu sudah melesat cepat sekali, melompati tebing batu di hadapannya. "Tunggulah kalian manusia-manusia jahanam...! Si Penunggang Kuda Setan akan menuntut balas pati!" Terdengar suara gumamnya. Sekejap antaranya suara ringkik kuda itu sudah lenyap bersama lenyapnya mahluk dan penunggangnya!

* * * * * * *

Sepekan kemudian di satu wilayah jajahan Kerajaan Pugar Alam.....

Laki-laki berwajah belang ini bergegas memasuki pendopo Kadipaten. Dua orang penjaga menjura hormat, dan mempersilahkan masuk. Mereka telah mengenal akan siapa adanya laki-laki ini. Akan tetapi heran juga karena tak seperti biasanya datang sendirian. Mereka mengenalnya yang bergelar si Muka Macan. "Kemanakah si Muka Babi dan si Muka Tikus...?"

Namun mereka cuma berbisik-bisik saja tak berani menanyakan. Setelah melewati satu pintu lagi, segera telah berada di ruangan dalam.

"Ah, kemanakah Adipati Rama Sepuh?" Desisnya pelahan. Sepasang matanya jelalatan mengitari ruangan.

Suara tertawa cekikikan dari ruangan kamar disebelah mengundang keinginan untuk mengintip. Dari lubang kunci segera terlihat satu pemandangan yang membuat darahnya tersirap. Karena sang Adipati tengah digeluti oleh dua orang wanita yang separuh telanjang.

"Kakang Rama Sepuh... Hihihihi.... ah, geli...! Hihihi..."

Kembali terdengar suara tertawa yang renyah mengundang perhatian. Dua penjaga di ujung ruangan sudah beranjak mendekati si Muka Macan ini. Akan tetapi baru mau membentak, segera di urungkan karena mengetahui orang itu adalah si Muka Macan yang asik mengintip. Lalu cepat-cepat melangkah pergi.

"Siapa di luar...!" Tiba-tiba satu bentakan menggeledek telah membuat si Muka Macan terlonjak kaget. Seraya buru-buru mengambil sikap sebaik mungkin seolah tak melakukan apa-apa.

"Ham... hamba, Gusti Adipati...!" Ujarnya dengan tergagap. "Ada keperluan penting Gusti Adipati, hamba... Mandraka, si Muka Macan!"

Hening sejenak... Dan terdengar lagi suara dari dalam. "Tunggulah di ruang depan. Sebentar aku datang...!"

"Baik, Gusti Adipati...!" Sahut si Muka Macan, dan dengan senyum pahit dia sudah "ngeloyor" pergi menuju ke ruangan depan tempat biasa diadakan pertemuan. Agak lama juga laki-laki berwajah belang ini menanti kedatangan sang Adipati itu. Namun tak lama sudah datang yang ditunggunya. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan pakaian dinas, segera keluar menemuinya.

"Ada hal penting apakah Mandraka...?" Tanya sang Adipati. Menilik dari usianya Adipati ini berusia sekitar 37 tahun. Dengan pakaian kebesarannya sebagai seorang Adipati, tampak benar kelihatan kewibawaannya. Akan tetapi sinar matanya memang terlalu liar untuk seorang pejabat yang berhati bersih.

"Celaka, Gusti...! Hamba baru tiba dari Pesanggrahan Puri Kencana...!"

"Apa yang telah terjadi disana? Dan... mana kawanmu yang lain?" Belum lagi si muka macan yang bernama Mandraka itu selesai berbicara, sudah disambar pertanyaan sang Adiati.

"Begini, Gusti..." Segera Mandraka tuturkan kejadiannya dengan secara singkat, yaitu pertama adalah kejadian yang membuat kematian saudara seperguruannya si Muka Tikus, dan si Muka Babi yang di jumpai tubuhnya dalam keadaan terluka. Karena tangan dan kakinya patah, akibat dilemparkan si penunggang Kuda setan. Dan yang kedua diceritakan kejadian di pesanggrahan Puri Kencana.

DELAPAN

Puri Kencana adalah tempat menampung para wanita tawanan, dari Kerajaan Swarna Mega yang berhasil dikuasai Kerajaan Pugar Alam. Dan Adipati Rama Sepuh ini. Puri Kencana bukan saja tempat para tawanan wanita, akan tetapi merupakan tempat pelesir sang Adipati Rama Sepuh dan para pejabat baru lainnya. Sejak didudukinya Kerajaan Swarna Mega itu. Banyak terjadi perubahan kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang dari Kerajaan Pugar Alam.

Setelah membawa si Muka Babi ke rumah seorang sahabatnya yang ahli dalam menyambung tulang patah, si Muka Macan bermaksud akan segera melaporkan kejadian itu pada Adipati Rama Sepuh. Akan tetapi diurungkan. Dan tujuannya dirubah dengan mengunjungi dulu Puri Kencana. Tentu saja sebagai manusia yang sudah berwatak bejad, apalagi maksudnya tak kesampaian untuk mengagahi si gadis desa bernama Sutirah itu.

Akan tetapi betapa terkejutnya dia mengetahui keadaan Puri Kencana telah porak-poranda. Dan para wanita tawanan telah meloloskan diri. Beberapa mayat penjaga di Puri itu telah bergelimpangan menjadi mayat. Dari seorang penjaga yang luka parah segera diketahui kalau mereka dibebaskan oleh para pemberontak dari rakyat dan sisa-sisa lasykar Kerajaan Swarna Mega, yang pada terjadi penyerahan kedaulatan banyak menyembunyikan diri.

"Cuma itu laporan hamba, Gusti Adipati...! Selebihnya kalau ada kekurangan hamba tak mengetahui..." Tutur Mandraka si Muka Macan.

Merah padam seketika wajah sang Adipati Rama Sepuh. Lengannya sudah menggebrak meja hingga sempal bagian ujungnya. "Keparat...! Rupanya rakyat Swarna Mega sudah merencanakan pemberontakan...!" Sang Adipati ini segera berdiri, lengannya bertepuk tiga kali. Dan dengan tergesa-gesa dua pengawal datang menghadap.

"Pengawal! Perintahkan semua kawan-kawan mu untuk menjaga ketat lingkungan Kadipaten ini!" Perintahnya.

"Daulat Kanjeng Gusti Adipati!" Segera kedua penjaga mengundurkan diri. Tak lama di luar gedung Kadipaten segera sibuk para Ketua pengawal untuk membagi tugas pada anak buahnya.

"Apakah yang harus hamba lakukan, Gusti Adipati...?" Tanya Mandraka.

Termenung sejenak sang Adipati Rama Sepuh. Lalu ujarnya. "Hubungilah Resi Parto Kendal! Suruh beliau kemari...!"

"Baik, Gusti Adipati!" Sahut Mandraka. Akan tetapi sebelum si Muka Macan itu beranjak keluar ruangan, sudah terdengar suara tertawa terkekeh diluar gedung.

"Heheheheheh... heheh... Aku sudah datang, Adipati...!" Dan sesosok tubuh telah berkelebat masuk. Ternyata seorang kakek berjubah mewah berwarna kuning gemerlapan. Lengannya mencekal sebatang tongkat bergagang perak. Pada bibirnya terselip sebatang pipa terbuat dari gading gajah, yang masih mengepulkan asap. Sang kakek ini sudah mengambil tempat duduk di kursi, berhadapan dengan sang Adipati Rama Sepuh.

"Aku sudah tahu akan kerusuhan itu..." Ujar sang Resi Parto Kendal. Pemberontakan tidak hanya berada di Kerajaan jajahan Swarna Mega ini saja, akan tetapi juga di Kerajaan Swarna Megai dan Kerajaan Songgo Langit!" Tutur sang Resi, seraya menghisap pipanya.

"Hah!? Begitukah Resi...?" Sentak Adipati Rama Sepuh dengan belalakkan matanya. Sang Resi cuma manggut-manggut.

"Heheheh... tenanglah Adipati! Permaisuri Ratu Kerajaan Pugar Alam tentu takkan membiarkan hal ini... !" Sambung sang Resi Parto Kendal.

"Apakah tak sebaiknya aku bergabung dengan dua saudaraku di Dua Kerajaan itu?" Bertanya Adipati Rama Sepuh, meminta pendapat sang Resi. Akan tetapi tiba-tiba sudah terdengar suara tertawa cekikikan, kali ini adalah suara wanita yang terdengar mengikik.

"Hihihi.... hihi.... sudah terlambat, sobat Tumenggung! Peperangan sudah berkecamuk! Pemberontakan di dua Kerajaan itu sudah di mulai. Orangorangmu sudah tinggal menunggu kematiannya saja!"

Brakkk...! Tiba-tiba atap genting di atas ruang pertemuan gedung Kadipaten itu sudah berlubang besar. Dan serpihan-serpihan genting meluruk berjatuhan. Tentu saja hal itu membuat terperanjat ketiga manusia yang tengah berunding dibawahnya. Serentak berlompatan untuk menyingkir. Dan melayanglah sesosok tubuh, dari lubang menganga di atap wuwungan itu. Ringan sekali gerakannya, tahu-tahu sudah berdiri di hadapan mereka sesosok wanita tua alias neneknenek.

"Bikhu Sokalima ....!" Tersentak ketika Resi Parto Kendal melihat siapa yang datang. Akan tetapi sang Resi cepat-cepat merubah sikap jumawa, menutupi rasa terkejutnya. Sementara hatinya diam-diam mengeluh. "Haii! Mau apa jauh-jauh nenek peot penghuni puncak Ratawu ini datang kemari...?

"Hihihi... Resi Palsu! Kau masih ingat padaku?" Berkata si nenek dengan suara dingin. Sepasang matanya memancar tajam menatap wajah orang.

"Sukurlah kalau demikian! Hm, Arya Rudita alias iblis Siluman Sungai Kuning... dan alias Siluman Naga Buntung...! Hihihi.... namamu banyak sekali. Dan kini adalah Resi Parto Kendal! Wah, wah, wah...! Bukan main! Hihihi... akan tetapi seribu kali kau ganti nama dan julukan, nyatanya aku masih bisa mencarimu! Kau tentu menyangka aku takkan turun gunung lagi sejak menjadi pertapa di puncak Ratawu! Berdirinya Kerajaan Pagar Alam itulah yang mengundang aku meninggalkan puncak Gunung Ratawu! Sekalian mencarimu! Bukankah dendam diantara kita belum terselesaikan?" Ujar si nenek yang terus nyerocos bicara seperti tak ada putusnya. Akan tetapi tampaknya Resi Parto Kendal tak merasa jeri. Bahkan mengekeh tertawa.

"Heheheheh.... sukurlah kedatanganmu di saat luka dalam yang kuderita telah sembuh! Tentu ilmu yang kau miliki semakin hebat Bikhu Sokalima? Selamat berjumpa lagi...dan ah, kau masih cantik walaupun sudah nenek-nenek peot...!" Seraya berkata Resi Parto Kendal bungkukkan tubuh menjura.

"Hihihi... tingkahmu masih seperti berandal berangkat birahi saja, Arya Rudita. Tak usah pakai penghormatan segala...!" Seraya berkata si nenek kibaskan lengannya pelahan.

Akan tetapi pada saat itu telah terjadi satu benturan tenaga dalam yang luar biasa. Karena disaat Resi Parto Kendal membungkuk, telah mengirim serangan tenaga dalam menghantam si nenek puncak Ratawu itu. Segelombang angin dahsyat menyambar ke arah perut. Akan tetapi dengan kibaskan lengannya, ternyata si nenek bergelar Bikhu Sokalima itu telah memakai serangan halus yang tak kelihatan itu.

Desss...! Satu benturan keras terdengar, disertai mengepulnya uap putih dan hitam yang bergulung menjadi satu. Tampak tubuh si nenek puncak Ratawu itu terhuyung dua tindak. Dan sang Resi Parto Kendal terdorong ke belakang sampai tiga tindak. Terkejut sang Adipati Rama Sepuh.

Pada kesempatan itu satu lirikan kilat dari sepasang mata Resi Parto Kendal telah membuat sang Adipati itu mengerti kalau lirikan itu tanda isyarat padanya. Diam-diam Adipati ini telah kerahkan ajiannya. Tampak bibirnya komat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba dia sudah keluarkan bentakan menggeledek.

"Nenek tua! Kau berlututlah! Kau telah lancang masuk kekadipaten dan membuat keonaran...! Berlututlah, agar aku dapat meringankan dosamu!"

Terkejut Bikhu Sokalima. Suara bentakan itu ternyata telah mempengaruhi syarafnya. Seketika tampak perubahan wajah si nenek, yang tampak pucat pias. Di luar kesadarannya sepasang kakinya tahu-tahu terasa lemah, dan sudah menekuk untuk segera berlutut. Akan tetapi satu bisikan halus telah menyusup ke telinganya. "Aiii.... sungguh dunia sudah terbalik. Masakan orang yang lebih tua mau sujud di hadapan bocah kemarin sore?"

Terkejut Bikhu Sokalima. Entah suara siapa yang telah menyadarkan dirinya dari pengaruh dahsyat yang menyerang otaknya itu. Tiba-tiba si nenek telah kerahkan kekuatan batinnya untuk menolak. Tiba-tiba dia sudah membentak keras. "Tidak! Kaulah yang seharusnya sujud padaku, bocah edan...!"

Berbareng dengan itu, dengan satu kekuatan dahsyat si nenek telah menyentakkan tubuhnya untuk kembali bangkit. Dan dia sudah terbebas dari pengaruh itu. Akan tetapi pada detik itu tongkat Resi Parto Kendal telah menyambar deras, dibarengi hantaman sebelah telapak tangannya. Inilah telapak tangan palsu yang terbuat dari perunggu, dan sudah direndam racun. Dua serangan itu membuat Bikhu Sokalima terkesiap. Namun dengan miringkan kepalanya, serangan tongkat yang dahsyat itu lewat.

Wukk....! Desss...!

Akan tetapi hantaman telapak tangan manusia itu sukar dielakkan, terpaksa sebelah lengannya dipakai menangkis. Akan tetapi akibatnya si nenek menjerit kaget. Seketika tubuhnya sudah terlempar keluar Pendopo sampai delapan tombak. Ketika bangkit berdiri, Bikhu Sokalima meringis kesakitan, karena sebelah lengannya telah lumpuh. Terkejut si nenek ini melihat sebelah lengannya sebatas siku berwarna kehitaman. Tahulah dia kalau telah terkena racun.

"Heheheh... nenek peot! Kini kau sudah bukan tandinganku lagi. Sebaiknya kau menyerah dan bergabung dengan kami. Mudah-mudahan Adipati akan mengampuni kesalahanmu...!" Berkata sang Resi Parto Kendal yang telah melompat keluar. Kemudian disusul dengan berkelebatnya tubuh Adipati Rama Sepuh dan si Muka Macan.

"Bedebah! Kau terlalu bermulut besar Arya Rudita! Siapa sudi bergabung dengan anak buah Kerajaan Setan...!" Teriak Bikhu Sokalima, seraya gerakkan lengannya menotok sebelah atas lengannya yang keracunan. Dengan begitu darah beracun segera terhenti untuk tidak menyebar keseluruh tubuh.

Diam-diam dalam hati si nenek ini mengeluh. "Celaka aku lupa kalau dia telah mengganti lengannya yang buntung itu dengan tangan palsu dari perunggu...!"

Sementara beberapa pengawal Kadipaten telah mengurung sekitar tempat itu. Mereka terkejut, karena tak mengetahui datang mana datangnya musuh yang telah masuk menyelinap ke dalam gedung Kadipaten.

"Hm, serahkan nenek tua renta ini padaku Resi..." Tiba-tiba Adipati Rama Sepuh sudah melompat ke hadapan Bikhu Sokalima. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan keras, disusul dengan munculnya Tumenggung Kutut Maja.

"Parto Kendal! Manusia busuk...! Tak kukira manusia yang kuanggap sahabat dan kulindungi, ternyata adalah manusia yang hatinya beracun!" Teriak Kutut Maja. Sang kakek ini menatap Resi Parto Kendal, dengan tatapan mata berapi-api.

"Ternyata belakangan baru kuketahui bahwa kaulah yang menyebabkan kehancuran keluarga sahabatku bernama Pamuji...! Istrinya kau perkosa, lalu kau bunuh setelah kau puas menyiksanya. Kemudian menyusul kematian Pamuji sendiri di tangan mu! Ah, betapa aku menjadi menyesal setengah mati, justru orang yang kulindungi....! Seorang manusia iblis yang telah membunuh sahabat baikku itu!"

Terasa suara kakek tua bernama Kutut Maja ini mengandung penyesalan luar biasa. Segera teringat dia ketika membawa Wibisana ke puncak gunung Argasomala untuk diserahkan pada kakak kandungnya yang bernama Kutut Praja Setha. Ketika beberapa tahun yang lalu dia mengunjungi puncak Argasomala, ternyata tempat itu telah musnah menjadi abu.

Tak diketahui kemana lenyapnya sang kakak dan juga bocah yatim piatu bernama Wibisana itu. Yang melaporkan kejadian itu adalah seorang pembantu keluarga Pamuji sendiri. Yaitu seorang lakilaki pengurus kuda. Ketika terjadinya peristiwa itu dia diancam akan dibunuh bila berani membuka mulut. Karena ketakutan si laki-laki pengurus kuda menghilang entah kemana.

Beberapa tahun kemudian laki-laki itu datang ke gedung kediaman Tumenggung Kutut Maja untuk meminta pekerjaan. Dan dari penuturan si pengurus kuda itulah di ketahui siapa adanya Parto Kendal. Karena saat Parto Kendal mengunjungi Gedungnya, si pengurus kuda yang telah diterima bekerja padanya itu segera mengenali wajahnya.

"Kedatanganku bukan dengan urusan sahabatku itu saja. Akan tetapi tentu saja untuk menumpas kaki tangan Kerajaan Pugar Alam, yang telah jelasjelas mau menguasai kekuasaan di seluruh Pulau Jawa ini!" Berkata Tumenggung Kutut Maja dengan suara dingin dan tegas.

"Tak perlu banyak bicara Kutut Maja! Kau berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Pugar Alam. Dan kedatanganmu cuma mengantarkan kematian!"

"Pengawal! Mengapa kalian melongo saja! Bunuh manusia pengacau ini!" Teriak Parto Kendal seraya menyapu pandangan pada para pengawalnya yang telah mengurung tempat itu. Serentak sudah terdengar suara-suara bentakan keras, disusul menerjangnya beberapa pengawal Kadipaten dengan senjata-senjata telanjang.

"Keparat....! Kau benar-benar memandang rendah padaku Parto Kendal?" Tumenggung Kutut Maja berteriak marah. Lengannya telah bergerak mencabut senjatanya sebuah tombak pendek bercabang dua dari belakang punggungnya.

Dan sekali tubuhnya berkelebat, tiga pengawal Kadipaten roboh terjungkal dengan diiringi teriakan kematian. Karena leher dan dada mereka telah terpanggang senjata sang Tumenggung tua ini. Yang lainnya seketika mundur ketakutan. Melihat demikian Resi Parto Kendal perdengarkan bentakan keras, dan sudah menerjang dengan senjata tongkatnya.

Wuk! Wukkk....! Trang...!!

Tiga rangkaian serangan Parto Kendal berhasil dielakkan Kutut Maja, dan serangan terakhir mendapat sambutan tangkisan senjata tombak bercabangnya. Sementara Adipati Rama Sepuh menerjang si nenek puncak Ratawu yang mendapat sambutan dengan segera. Kali ini Bikhu Sokalima harus hati-hati menghadapi serangan tenaga batin yang sewaktu-waktu digunakan lawan. Namun masih sempat nenek itu memperingati Tumenggung Kutut Maja.

"Awas, hati-hati dengan tangan kirinya, Tumenggung...!"

"Aku sudah mengetahui nini Bikhu! Terima kasih atas peringatanmu!" Berkata Kutut Maja seraya lengannya menghantam batok kepala sang Resi.

Wuttt...!

Serangan itu disusul dengan berkelebatnya tombak pendek bercabang dua ditangan kanannya. Trang...! Lagi-lagi terjadi benturan kedua senjata mereka. Kali ini Kutut Maja telah gunakan dengan tenaga dalam lebih dari separuh, membuat tubuh Arya Rudita alias Parto Kendal itu terhuyung tiga-empat tindak. Kesempatan ini dipergunakan sang Tumenggung untuk melompat menerjang dan hantamkan lagi senjatanya.

Trangng...!

Lagi-lagi Parto Kendal luput dari serangan, dan sudah pergunakan lagi tongkatnya untuk menangkis. Akan tetapi tenaga dalamnya memang berada setingkat di bawah Kutut Maja. Kembali tubuhnya terhuyung.

SEMBILAN

Buk...! Satu hantaman telak dari pukulan Kutut Maja mengenai dada Parto Kendal. Aneh! Laki-laki tua itu tak menangkis, akan tetapi bersama dengan itu lengannya telah bergerak menghantam ke arah selangkangan lawan. Untunglah Kutut Maja waspada, tombaknya berputar dengan cepat, menangkis serangan.

Prakkk...! Memekik Parto Kendal ketika lengan palsunya terhantam putus. Putaran tombak Kutut Maja tidak berhenti di situ saja, akan tetapi terus menerjang ke arahnya. Sang Resi ini memang mempunyai taktik bertarung yang sudah berpengalaman.

Di saat Kutut Maja hantamkan lengannya, sengaja dia tak mengelak, karena mengharap dapat memukulkan telapak tangan perunggunya menghabisi nyawa lawan, yaitu dengan mengerahkan kebagian alat vital Kutut Maja. Dengan mempergunakan ilmu memberatkan tubuh dan salurkan tenaga dalam ke arah dada, membuat tubuhnya tak bergeming.

Akan tetapi dia salah perhitungan. Tak di sangka Kutut Maja mempunyai sepasang mata yang tajam. Nalurinya yang peka membuat dia dapat menangkis serangan colongan itu dengan putarkan tombaknya. Bahkan berhasil membabat putus lengan palsunya. Di saat bahaya maut mengancam, karena putaran tombak bercabang Kutut Maja menyerbu ke arahnya, saat itulah terdengar bentakan keras.

"Tahan...!" Itulah suara Adipati Rama Sepuh. Bentakan itu mengandung tenaga batin yang kuat. Membuat Kutut Maja melengak, dan kena terpengaruh. Tanpa disadari hantaman yang sedianya sudah disiapkan mengarah batok kepala lawan, seraya tertahan. Bahkan dia sudah melompat mundur dua tombak.

Satu Kedipan mata Adipati ini membuat si Muka Macan mengerti isyarat itu. Dia berada di belakang Kutut Maja sekitar satu tombak. Sekejap dia sudah lontarkan dua buah pisau belati yang tergenggam di kedua tangannya. Cepat sekali meluruknya dua senjata itu. Dan Kutut Maja yang dalam keadaan lengah tak menyadari bahaya. Akan tetapi pada saat itu telah berkelebat sebuah bayangan merah. Dan...

Trakkk...!

Kedua buah belati itu terpental ke udara. Terkesiap Kutut Maja yang baru menyadari bahaya ketika dia putarkan tubuh melihat si Muka Macan berada dibelakangnya. Sekejap masih dilihatnya dua buah pisau belati yang melayang di udara...

Sekonyong-konyong sebuah bayangan merah melesat ke atas dan menyampok dua belati itu. Cepat sekali meluruknya kedua belati itu, tahu-tahu si Muka Macan perdengarkan jeritannya. Lalu tubuhnya berkelojotan bagai ayam disembelih. Sesaat sudah terlempar tak bernyawa lagi. Ternyata kedua belati miliknya itu terhujam menembus leher dan punggungnya.

Terperangah Adipati Rama Sepuh. Namun cuma sekejap, karena dia harus melompat menghindari serangan si nenek puncak Ratawu, yang sambarkan tongkat ke kepalanya. PLAK! Lengannya bergerak menangkis... Dan dengan berteriak keras si Adipati ini lambungkan tubuhnya melompat. Kedua lengannya bergerak saling susul menerjang Bikhu Sokalima.

"Kau berangkatlah ke Akhirat, nenek keparat!" Bentakannya disusul lagi dengan terjangan-terjangan sepasang kakinya.

Terkejut nenek tua ini. Beberapa serangan masih dapat dielakkan tapi sambaran kaki Adipati Rama Sepuh ini terpaksa disambuti sebelah lengannya yang memegang tongkat, karena sebelah lengannya telah lumpuh.

Dess....! Terjangan kaki Adipati Rama Sepuh teramat cepat dan keras, membuat si nenek puncak Ratawu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Seketika sudah terlepas dari cekalannya. Saat itu satu hantaman lengan lawan sudah tak mampu dihindarkan lagi. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik kuda. Dan...

Bluk...! Tubuh Adipati Rama Sepuh terlempar bergulingan. Ketika dia bangkit lagi jadi terkejut, karena yang menghajar pantatnya tak lain dari seekor kuda. Entah dari mana munculnya tahu-tahu seekor kuda berbulu hitam sudah ada di situ.

Saat dia terkesima itulah, sebuah bayangan merah telah melayang ke atas punggung kuda. Dan sekejap kemudian diatas punggung kuda telah duduk sesosok tubuh berjubah merah berwajah mengerikan mirip tengkorak, yang hitam legam.

"Siapa kau...?!" Bentak Adipati Rama Sepuh, yang sudah melompat berdiri.

"Akulah yang akan mengirim nyawamu ke Neraka Braja Pati...!" Bentak sosok tubuh itu dengan suara yang seperti menembus ke jantungnya.

"Kau... kaukah si Penunggang Kuda Setan...?" Tanya Adipati Rama Sepuh, yang jadi terkejut karena si Muka Tengkorak itu mengetahui nama aslinya.

"Benar! Dan mungkin kau masih ingat akan wajahku ini!" Berkata si Penunggang Kuda Setan, seraya tiba-tiba lengannya telah bergerak membuka topeng Tengkorak yang dikenakannya. Selang sesaat suasana menjadi hening mencekam. Akan tetapi sudah terdengar suara terkejut si Adipati Rama Sepuh alias Braja Pati ini.

"Kau... kau si bocah dungu Wibisana?"

Bukan saja Braja Pati yang terkejut, akan tetapi Tumenggung Kutut Maja juga terperanjat. Karena tak menyangka kalau si penunggang kuda hitam itu adalah Wibisana. Yaitu si bocah laki-laki, yang pada tiga belas tahun yang silam di bawanya ke Puncak Argasomala di kediaman kakak kandungnya Kutut Praja Setha. Kalau Kutut Maja terkejut bercampur girang, adalah Braja Pati pucat pias wajahnya. Karena seketika seperti berhadapan dengan hantu.

"Bukankah kau... kau...???" Kata-katanya tersumbat dikerongkongan. Karena segera terlintas pada benaknya ketika lima tahun yang lalu di puncak Argasomala, dia bersama Dasa Mukti dan Kala Butho telah membunuh Wibisana dengan cara yang mengerikan.

Yaitu kaki dan tangan Wibisana diikat dengan tiga tambang pad tiga ekor kuda. Lalu bersama-sama mereka menariknya, hingga tubuh Wibisana terbelah menjadi tiga bagian. Setelah itu mereka membakar Pesanggrahan di atas puncak Argasomala itu.

Merasa berhadapan dengan hantu, Braja Pati segera merapal mantera. Seketika tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Terkesiap Kutu Maja. Sementara itu dengan diam-diam Arya Rudita alias Resi Parto Kendal telah melarikan diri. Terkejut Bikhu Sokalima, namun terpaksa dia urungkan mengejar mengetahui dirinya sudah terluka.

Kini sepasang mata nenek itupun jadi terbelalak mengetahui tiba-tiba tubuh Adipati Rama Sepuh menghilang dari pandangan mata. Akan tetapi itu saat itu sudah terdengar bentakan keras si Penunggang Kuda Setan. Lengannya bergerak menghantam!

Bhusss...! Segelombang uap putih meluncur cepat ke arah dimana tubuh Braja Pati melenyap. Terdengar suara teriakan kaget. Dan tahu-tahu sesosok tubuh sudah terlempar bergelimpangan. Sekejap saja si Penunggang Kuda Setan telah menyusulnya. Sang Kuda Hitam melompat cepat ke arah tubuh Braja Pati yang sudah menampakkan diri lagi. Dan.... Sret! Ditangan Wibisana sudah tergenggam sebuah pedang kayu.

"Kau takkan dapat lolos lagi dari tanganku Braja Pati!" Bentak si Penunggang Kuda Setan. Braja Pati rasakan seluruh tubuhnya kesemutan. Namun dia sudah melompat berdiri seraya merapal mantera lagi.

"Ah...?" Tersentak Kutut Maja melihat pedang itu, karena jelas itulah pedang kayu milik kakak kandungya. Dengan pedang itulah sang kakak telah mendapat julukan si Pendekar Pedang Kayu pada puluhan tahun yang silam.

"Hahahahah... Wibisana! Kau kira aku takut walau kau telah menjadi setan setelah kubunuh mampus? Kali ini kau akan jadi setan betulan yang tak dapat menjelma lagi!" Berkata Braja Pati. Ternyata dia sudah mampu memulihkan kekuatannya, bahkan pada kedua lengannya telah tercekal dua ekor ular hitam sebesar ibu jari kaki.

"Kau hadapilah ularku...!" Bentak Braja Pati, seraya bantingkan ular itu ke tanah. Tiba-tiba terjadilah keanehan. Kabut hitam bergulung-gulung di hadapan si Penunggang Kuda Setan. Sekejap dua ekor ular raksasa telah menjelma dari gumpalan asap kabut hitam itu.

Kuda hitam tampak perdengarkan ringkikannya hingga melonjak berjingkrakan, seperti takut. Akan tetapi segera si Penunggang Kuda Setan sudah menenangkannya. Sementara Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah melihat kejadian itu.

Hooossy...! Hooosssy...!

Wut! Wut! Wuttt....!

Kedua ekor ular raksasa itu sudah menerjang Wibisana, yang segera keprak kudanya menghindar. Pedang kayunya menabas. Akan tetapi pada saat itu Braja Pati sudah turut menerjang mengirimkan tusukan senjatanya, yaitu sebuah keris yang berwarna merah. Entah sejak kapan benda itu sudah tercabut dari serangkanya di belakang punggung.

Trakk...! Pedang kayu si penunggang kuda Setan telah bergerak menangkis. Sementara kuda hitamnya melonjak menerjang dengan kedua kakinya.

Braja Pati cepat lemparkan tubuhnya kesamping. Sementara kedua ular raksasa telah julurkan lagi kepalanya menerjang ganas. Namun kali ini agaknya si Penunggang Kuda Setan tak dapat mengelakkan diri. Tubuhnya terlempar dari atas kuda. Saat itu Braja Pati sudah memburunya dengan lompatan kilat. Keris merahnya meluncur deras ke arah dada.

Jros...! Cepat sekali senjata itu sudah terhujam telak ke dada Wibisana. Terkaparlah tubuh laki-laki berusia dua puluh tahun itu tanpa berkelojotan lagi. Karena keris merahnya mengandung racun yang luar biasa ganasnya.

"Hahaha... hahahaha... ternyata cuma begitu saja kehebatan si kacung dungu! Heh, akan kulihat apakah kali ini kau mampu untuk jadi setan untuk kedua kali...!" Berkata Braja Pati.

Manusia ini sejak berguru pada si Dukun Sakti alias si Dewi Setan Kemangmang, telah menjadi seorang yang sakti. Dan memiliki bermacam ilmu sihir yang hebat menakutkan. Kedua Ular Siluman itu kembali mengecil lalu melenyap.

Sementara Kutut Maja dan Bikhu Sokalima jadi terperanjat melihat kematian Wibisana yang telah membuatnya bergirang dengan kemunculannya lagi. Walau merasa aneh. Karena mendengar bahwa Adipati Rama Sepuh alias Braja Pati itu telah membunuhnya.

"Aha! Braja Pati jangan bergirang dulu! Masakan orang yang sudah mampus masih kau bunuh juga!"

Tentu saja kata-kata itu membuat Braja Pati jadi terperanjat. Karena si Penunggang Kuda Setan masih tetap tegak duduk di atas kuda hitamnya dengan pedang kayu di tangan. Ketika melihat ke bawah dimana dia barusan menghujamkan kerisnya, ternyata yang tergeletak di situ tak lain dari mayat si Muka Macan.

Bukan saja Braja Pati yang terkejut akan tetapi Kutut Maja dan si nenek puncak Ratawu juga terkejut, karena hal itu tak luput dari matanya. Si Penunggang Kuda Setan terbunuh tewas oleh keris merah Braja Pati. Akan tetapi nyatanya Wibisana masih segar bugar berada di atas punggung kuda hitamnya.

Pucat pias wajah Braja Pati. Akan tetapi dengan menggerung keras, dia sudah menerjang dengan keris merahnya. Ketika bibirnya membaca mantera, dari ujung keris itu menyembur segelombang api yang menerjang ke tubuh si Penunggang Kuda Setan.

Akan tetapi dengan kibaskan pedang kayunya, semburan api itu mendadak lenyap. Dibarengi dengan ringkikan kuda hitamnya, pedang kayu Wibisana meluncur deras ke arah leher Braja Pati. Terkesiap laki-laki ini. Namun dengan sebat dia pergunakan keris merahnya untuk menangkis.

Trak! Sekali hantam ternyata keris Braja Pati telah terpental entah kemana. Dalam keadaan terkejut itu Braja Pati seperti hilang akal. Dia sudah balikkan tubuh untuk melarikan diri. Akan tetapi.....

SEPULUH

Crat...! Satu pemandangan mengerikan segera terpampang didepan mata Kutut Maja dan Bikhu Sokalima. Apa yang terjadi? Dengan pekik mengerikan menyayat hati sang Adipati Romo Sepuh alias Braja Pati hentikan langkahnya. Karena tubuhnya telah terpanggang oleh pedang kayu si Penunggang Kuda Setan, yang telah melesat dari punggung kuda hitamnya.

Dan kejadian berikutnya adalah darah segar menyemburat ke udara, ketika si Penunggang Kuda Setan menyontekkan pedangnya. Sekejap kemudian tubuh Braja Pati telah terbelah dua, dari sebatas perut sampai kepala.

Bruk...! Tubuh laki-laki itu ambruk ke tanah tak berkutik lagi. Berkubang dalam genangan darahnya sendiri. Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah dengan mata membelalak. Tumenggung tua ini sudah beranjak menghampiri laki-laki si Penunggang Kuda Setan.

"Wibisana...! Benarkah kau... kau bocah anak sahabatku, bernama Pamuji itu?" Tergetar suara Kutut Maja, yang telah menatapnya dengan sepasang mata membelalak tak berkedip. Seperti tak percaya pada penglihatannya.

"Benar, Paman...! Aku bocah yang malang itu. Yang pernah kau antarkan ke puncak Argasomala...!" Berkata si Penunggang Kuda Setan dengan suara haru. Tampak setetes air bening mengalir turun dari sudut matanya.

"Ah, anak mas...! Betapa hebatnya kau...!" Teriak Kutut Maja dengan suara berdesis. Selanjutnya laki-laki tua itu sudah memeluk pemuda itu dengan bercucuran air mata.

Sementara Bikhu Sokalima segera tundukkan wajahnya. Diapun jadi terharu karenanya. Namun tiba-tiba nenek puncak Ratawu ini telah keluarkan suara keluhan, dan roboh ke tanah. Akibat banyak mengeluarkan tenaga dan gerakan, totokan yang telah digunakan menghentikan darah beracun dari luka di lengannya telah terbuka. Dan darah beracun segera mengalir ke tubuhnya.

Terkesiap Kutut Maja melihat nenek tua sahabatnya itu roboh berdebuk. Segera dia sudah lepaskan pelukannya, dan melompat ke arah Bikhu Sokalima.

"He? Kemana gerangan si Adipati keparat itu?" Desisnya tersentak. Rupanya dia baru teringat akan Resi Parto Kendal, yang sudah sedari tadi melarikan diri.

Sementara Wibisana telah pula melompat ke dekat mereka. "Ah? Celaka paman...! Dia telah terkena racun jahat Resi palsu itu!" Berkata Wibisana.

Kutut Maja tak menjawab, namun lengannya sudah bekerja cepat menotok ke beberapa bagian tubuh Bikhu Sokalima, untuk mencegah menjalarnya darah beracun ke jantung. Lalu ambil dua butir pil, dan jejalkan ke mulut si nenek.

Tiba-tiba tubuh laki-laki tua ini telah berkelebat masuk ke dalam gedung Kadipaten. Tak lama sudah keluar lagi dengan membawa segelas air. Cepat-cepat dia membungkuk, dan mengangkat tubuh si nenek seraya meminumkan air dalam gelas. Ternyata si nenek itu belum lagi pingsan. Segera meneguknya dengan lemah.

Pelahan Kutut Maja merebahkannya lagi. Tampak laki-laki Tumenggung ini pejamkan sepasang matanya. Sebelah telapak tangannya ditempelkan ke bagian perut Bikhu Sokalima, dan sebelah lagi berada di atas dadanya. Tangan yang berada di atas dada itu mengejang bergetaran. Sedangkan yang menempel di perut si nenek kepulkan uap putih. Ternyata dia sedang berusaha menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh si nenek puncak Ratawu itu untuk mengusir racun.

Wibisana tersenyum melihatnya. Ada harapan dapat tertolong! Pikir si Penunggang Kuda Setan ini. Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda ini menegang. Kepalanya berpaling ke kiri dan kanan. Sepasang matanya menyebar ke beberapa arah.

"Bedebah! Iblis pembunuh kedua orang tuaku itu tak boleh lolos lagi hari ini...!" Desis Wibisana. "Paman, aku harus segera pergi menyusul Resi palsu itu untuk membalas dendam pati!"

Berkata Wibisana. Dan tanpa menunggu jawaban juga tak perlu menunggu jawaban sang Tumenggung itu karena dia tahu orang tua itu sedang berusaha keras menolong Bikhu Sokalima. Wibisana sudah berkelebat melompat ke atas punggung kudanya.

Tak lama terdengar suara ringkik sang kuda hitam yang sekejap sudah mencongklang pesat bagai deru angin tanpa menimbulkan suara tampak kakinya. Sesaat si Penunggang Kuda Setan telah melenyap. Diam-diam Kutut Maja telah melihat kejadian itu, karena matanya sedikit terbuka.

"Ah...!? Apakah dia telah mewariskan ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam...?" Desisnya pelahan. "Luar biasa...! Gerakannya bagaikan siluman!" Sentak hatinya. Bibirnya menampakkan senyum. Akan tetapi hatinya membatin. "Ah, entah kemanakah gerangan kakang Kutut praja Setha. Kalau dia yang telah mengajarkan ilmu dalam kitab yang telah diwariskan pada bocah itu, tentu dia masih hidup! Bocah itu memang patut dijuluki si Penunggang Kuda Setan. kuda dan penunggangnya sama-sama aneh dan menakjubkan! Semoga dendam bocah itu dapat cepat terbalaskan!" Gumamnya lirih.

Dan terdengar laki-laki tua itu menghela napas panjang. Ternyata usahanya menyembuhkan Bikhu Sokalima membawa hasil memuaskan. Wanita tua dari puncak Ratawu itu sudah buka kelopak matanya. Tak lama tubuhnya mulai bergerak-gerak, dan dengan mengeluh lirih, dia sudah berusaha untuk bangkit duduk.

"Hehehe. sukurlah kau bisa tertolong, nini Bikhu!" Berkata Kutut Maja.

Nampak wajah si nenek yang pucat itu pelahan mulai berobah merah. Bahkan sebelah lengannya yang lumpuh dan kehitaman sudah dapat menipis. Sementara sejak tadi uap hitam terus merembus keluar dari telapak tangannya. "Ah! Kau hebat sekali Tumenggung! Terima kasih atas pertolonganmu...!"

Sang Tumenggung tua ini cuma tersenyum seraya berkata. "Cuma sedikit kepandaian yang kupunyai, kesembuhanmu hakekatnya adalah Kebesaran Tuhan juga yang masih memberi kau umur panjang, Nini Bikhu!"

Nenek puncak Ratawu itupun manggut-manggut dengan tersenyum. Ketika matahari mulai condong ke arah barat, kedua tokoh tua itu sudah berkelebat pergi tinggalkan tempat itu. Ternyata Tumenggung Kutut Maja telah mengajak Bikhu Sokalima menuju ke lembah Soka untuk bergabung dengan para pejuang lainnya.

* * * * * * *

Kita ikuti langkah-langkah Roro Centil. Sulit untuk menerka kemana tujuan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Ternyata sejak berpisah dari si Penunggang Kuda Setan, Roro tidak terus menuju ke lembah Soka. Akan tetapi diam-diam terus mengikuti kemana perginya pemuda berkuda itu, yang diketahui memang mencari musuh-musuh besarnya. Rasa penasaran untuk bisa mengetahui wajah dibalik topeng Tengkorak laki-laki misterius itu akhirnya terbuka juga.

Ketika tengah terjadi pertarungan di halaman gedung Kadipaten Kerajaan Swarna Mega, ternyata Roro sudah mengetahui, akan tetapi tak memunculkan diri. Sengaja ingin melihat kehebatan, serta mengetahui wajah laki-laki bertopeng tengkorak itu. Dan memang akhirnya Roro segera dapat melihat jelas ketika si Penunggang Kuda Setan membuka topengnya di hadapan musuh besarnya.

Akan tetapi ketika Resi Parto Kendal melarikan diri di saat si Penunggang Kuda Setan tengah bertarung melayani Adipati Romo Sepuh alias Braja Pati, yang ternyata adalah salah seorang dari musuh besarnya, Roro segera menguntitnya. Ternyata Resi Parto Kendal yang tak lain dari Arya Rudita yang pernah bergelar si Siluman Sungai Kuning itu tak berlari jauh, akan tetapi menonton pertarungan dari tempat persembunyiannya.

Kemunculan Tumenggung Kutut Maja dan si Penunggang Kuda Setan membuat nyalinya menjadi ciut. Apalagi menyaksikan bahwa si Penunggang Kuda Setan itu tak lain dari Wibisana, yang sudah jelas telah mewarisi ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam yang di incarnya. Saat Braja Pati tewas di tangan pemuda berkuda itu, sang Resi segera berkelebat melarikan diri dengan tubuh kucurkan keringat dingin.

"Eh, Resi...! Mau kemana kau...? Mengapa terburu-buru pergi?" Tiba-tiba Roro sudah berkelebat menghadang.

Tentu saja sang Resi Palsu ini jadi tersentak kaget, karena tahu-tahu di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh semampai berwajah jelita. "Siapa kau, bocah perempuan...?" Bentak sang Resi.

"Hihihi... namaku Roro Centil! Tampaknya kau ketakutan sekali melihat kemunculan si Penunggang Kuda Setan. Apakah dia musuh besarmu...?"

"Perduli apa dengan urusanku! Menyingkirlah kau bocah...!" Bentak Resi Parto Kendal dengan mendongkol, namun dengan hati kebat-kebit. Apakah bocah centil inipun salah seorang musuh? Gerakannya ringan sekali, tentu berilmu tinggi...! Gumam hatinya.

"Hihi... aku tak akan pergi menyingkir sebelum kau jawab pertanyaanku!" Berkata Roro dengan bertolak pinggang.

Mata Resi ini melotot karena gusarnya. Akan tetapi hatinya memikir. "Hm kalau kuladeni bisa-bisa aku akan tertahan lebih lama lagi disini...! Akan gagallah tujuanku untuk menyeberang ke Istana Kerajaan Pugar Alam. Aku harus secepatnya menyeberang kesana, sebelum terlambat. Aku yakin Ratu Permaisuri Sinom Sari dan Baginda Raja Nara Syiwa akan dapat mempertahankan Istananya, dan memusnahkan para pemberontak dari tiga Kerajaan jajahannya!" Berfikir demikian Resi Parto Kendal alias Arya Rudita ini segera memutar otak untuk dapat lolos dari daerah ini, secepatnya.

"Baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu, bocah centil! Akan tetapi kau harus pegang janjimu untuk lekas menyingkir bila telah kujawab!" Ujarnya dengan suara datar menahan kemendongkolan hatinya.

"Baik...! Aku akan pegang janji. Setelah kau jawab pertanyaanku, silahkan kau lewat dengan aman!" Ujar Roro dengan serius.

"Si Penunggang Kuda Setan itu adalah bekas muridku! Dia telah mendurhakai aku gurunya, dan mencuri kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam dari tanganku! Tentu saja bocah setan itu adalah musuh besarku...! Nah! Kau sudah mengerti bukan? Aku tak dapat menandinginya dengan ilmu yang cuma segelintir padaku ini....! Makanya aku terpaksa melarikan diri, untuk kelak membunuh mampus bocah durhaka itu...!" Tutur sang Resi berdusta.

"Oooh, begitu !" Tukas Roro dengan manggut-manggut. "Sungguh jahat sekali muridmu itu! Baiklah, aku akan memberimu jalan! Tapi eh, tunggu dulu!" Teriak Roro.

Resi ini sudah mau beranjak untuk melompat  pergi,  ketika Roro menyingkir ke tepi jalan yang akan dilalui. "Apa maumu lagi, bocah centil?" Tanyanya. Terpaksa dia tahan langkahnya.

"Boleh aku tahu kemana tujuanmu...?" Tanya Roro sambil garuk-garuk tengkuknya yang gatal.

"Aku mau ke arah selatan...!" Sahut sang Resi, dan sambungnya lagi.

"Cukup dengan pertanyaanmu itu! Apakah kau mau mengingkari janjimu?"

"Hihihi.... ah, tidak! Silahkanlah kau lewat..." Ujar Roro nyengir. Tak ayal Arya Rudita sudah kelebatkan tubuhnya untuk berlalu dengan cepat. Dan sebentar saja sudah lenyap dibalik rimbunnya pepohonan di atas bukit.

SEBELAS

"Bocah perempuan yang genit dan aneh!? Apa maunya menanyakan segala tetek bengek! Bagusnya dia tak menyulitkanku...!" Gumam Arya Rudita sambil percepat langkahnya.

Tak berapa lama tempat yang dituju sudah kelihatan. Itulah tepian telaga berkabut, dimana di tengah telaga berdiri Istana Kerajaan Pugar Alam. Wajah laki-laki tua ini bersitkan sinar cerah. Karena tak lama lagi dia akan segera tiba di tempat yang aman. Memikir demikian, segera makin dipercepat tindakan kakinya.

Akan tetapi laki-laki tua ini sudah merandek dengan wajah pucat. Apakah yang dilihatnya? Ternyata di hadapannya telah berdiri seekor harimau tutul sebesar kerbau yang menghadang di tengah jalan.

"Hah?! Edan! Dari mana munculnya makhluk ini....?" Desis Resi Parto Kendal dengan mata membeliak. Karena tak mau berurusan dengan si Raja Rimba itu sang Resi segera berkelebat ke lain arah. Akan tetapi lagi-lagi sang harimau tutul telah berada lagi di hadapannya menghadang jalan yang akan dilalui.

"Keparat...!" Memaki Arya Rudita, sementara kakinya sudah melangkah mundur. Tetapi harimau tutul itu tak mengejar. Cuma menggeram menatap padanya. Bahkan selonjorkan kaki di tengah jalan, lalu menguap memperlihatkan deretan gigi dan taringnya yang runcing-runcing.

Bolak-balik Resi itu mencari jalan untuk bisa meneruskan perjalanan ke tempat tujuannya, akan tetapi selalu saja sang harimau tutul itu menghadang jalan. Lama-kelamaan resi ini jadi tak sabar untuk segera bertindak. Segera sudah menerobos cepat disaat sang harimau belum menampakkan diri. Akan tetapi tiba-tiba...

Buk...! Satu hantamam yang tak kelihatan telah membuat tubuhnya terlempar kembali ke tempat semula, dan jatuh bergulingan.

"Setan keparat...!" Makinya. Akan tetapi keringat dingin sudah keluar membasahi sekujur tubuh. Dan tampak harimau tutul itu sudah berada di hadapannya lagi menghadang jalan.

"Oh, habislah aku hari ini...! Akan tertunda waktuku untuk menyeberangi telaga!" Gumamnya dengan wajah pucat pias. Setelah diperhatikan baik-baik, yakinlah Resi ini kalau harimau tutul itu bukan harimau biasa.

"Pasti ada yang mengecohku agar langkahku jadi tertunda...! He? Jangan-jangan perbuatan si perawan centil itu? Apakah dia punya piaraan makhluk harimau siluman...?" Desisnya tersentak. "Baiknya aku cari jalan lain, atau pura-pura aku kembali lagi...!" Berkata sang Resi dalam hati.

Dan dia sudah putar tubuh untuk kembali menuju ke arah utara. Kira-kira sepenanak nasi, laki-laki tua ini bergerak memutar, setelah beberapa saat berkelebatan cepat dengan mengerahkan ilmu larinya. Kini dia menuju arah timur, yang untuk kemudian merobah arah menuju lagi ke selatan.

Di satu sisi bukit dicobanya untuk berhenti dengan menyelinap kebalik batu, mengamati ke sekitar tempat. Tampaknya suasana aman, karena tak ada terlihat bayangan tubuh harimau siluman itu. Akan tetapi begitu Resi ini munculkan diri sungguh terkejut bukan kepalang, karena tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda tak seberapa jauh dari situ.

"Ah!? Celaka...!" Sentaknya dengan suara tergetar. Jelas itulah tanda-tanda kemunculan si Penunggang Kuda Setan. Belum lagi dia angkat kaki untuk melesat dari situ, sudah terdengar suara bentakan keras.

"Iblis keparat, pembunuh ayah ibuku...! Jangan harap kau dapat melarikan diri lagi...!" Dan tahu-tahu di hadapannya telah muncul seekor kuda hitam dengan penunggangnya yang duduk tegak di atas punggung kuda. Jubah merahnya berkibaran tertiup angin yang membersit dari arah perbukitan.

Resi Parto Kendal tak dapat berkutik lagi. Akan tetapi mana manusia itu mau unjukkan diri takut menghadapi si Penunggang Kuda Setan? Bahkan sudah lebih dulu menerjang ganas dengan tongkat peraknya.

Wukkk....! Wukkk....!

Walaupun sebelah lengannya sudah tak mempunyai telapak lagi, ternyata masih dapat digunakan untuk menghantam lawan. Dan tongkat peraknya digunakan sebaik-baiknya. Dua serangan beruntun dan terjangan sebelah lengannya yang buntung itu cuma lolos lewat ketika si Penunggang Kuda Setan melompat setinggi lima tombak. Sret...! Pedang kayu si Penunggang Kuda Setan telah tercabut keluar dari serangkanya.

Satu bentakan keras dari pemuda bernama Wibisana itu sudah terdengar menggeledek dibarengi terjangan kilat ke arah leher Resi Parto Kendal. Namun dengan jatuhkan diri ke arah samping dia masih mampu menghindarkan diri. Bahkan tongkat peraknya sudah membersitkan ratusan jarum berbisa menyerang lawan. Saat itu Wibisana dalam keadaan mengambang di udara. Tampak terkejut pemuda ini.

Akan tetapi pada saat gawat itu serangkum angin telah menyambar buyar jarum-jarum maut itu. Dalam keadaan heran, si Penunggang Kuda Setan sudah kirimkan tabasan kilat ke arah leher Resi Parto Kendal alias si Siluman Naga Buntung. Terperangah Resi ini karena justru dia sedang dalam posisi yang tak menguntungkan.

Desss...! Tanpa sempat berfikir lagi, sang Resi ini sudah lenyap suaranya. Karena sekejap mata lehernya sudah tertabas putus. Menggelindinglah kepala Tokoh Rimba Hijau yang pernah membuat bermacam keonaran itu. Darah menyemburat memancar dari batang tubuhnya yang sudah tak berkepala. Dan ambruk ke tanah tanpa berkelojotan lagi.

Angin pegunungan membersit keras, melurukkan daun-daun kering yang berjatuhan ke tanah. Sesaat antaranya tubuh pemuda itu sudah melesat ke atas punggung kudanya. Dan kejap berikutnya sudah tinggalkan tempat itu dengan diiringi suara ringkik kuda.

Bersamaan dengan berkelebatnya si Penunggang Kuda Setan. Sebuah bayangan melesat menyusul pemuda berkuda itu. Dialah Roro Centil, yang barusan telah membantu menghalau jarum-jarum berbisa dengan pukulan jarak jauhnya. Angin pukulan dara Perkasa Pantai Selatan itu telah buyarkan jarum-jarum maut Resi Parto Kendal, tanpa diketahui lagi oleh si Penunggang Kuda Setan.

Kalau Wibisana melesat dengan Kuda Silumannya yang luar biasa itu, adalah Roro Centil meluncur di belakangnya dengan duduk di atas punggung si Harimau Tutul sahabatnya. Hingga yang tampak adalah dua bayangan kilat melesat cepat bagaikan angin, melewati bukit dan ngarai. Ke manakah tujuan mereka? Ternyata Roro telah kirimkan suara melalui tenaga dalamnya yang hebat ke telinga pemuda itu.

"Sobat Wibisana...! Apakah kau mau menuju ke lembah Soka...?" Tentu saja si Penunggang Kuda Setan terkejut. Ketika itu juga sudah hentikan lari kudanya. Tampak di belakangnya sebuah bayangan menyusulnya. Lalu berhenti pula di hadapannya kira-kira lima tombak di atas bukit itu. Terperangah seketika Wibisana melihat gadis ayu yang belum lama dikenalnya itu tengah duduk tegak di atas punggung seekor harimau tutul yang amat besar.

"Ah!? Kiranya anda... nona Roro Centil...!" Roro mengangguk sambil tersenyum, lalu tepuk leher si harimau tutul untuk segera mendekat ke tempat pemuda itu. Tiba-tiba kuda hitam Wibisana perdengarkan ringkikannya seraya melonjak-lonjak mengangkat kedua kaki depannya. Tampaknya seperti takut melihat harimau tutul di hadapannya itu. Akan tetapi tak lama sudah dapat tenang kembali. Roro tersenyum manis seraya berkata.

"Aiiih, agaknya kudamu baru mengenal binatang sahabatku ini...!"

"Biarlah mereka saling kenal mengenal. Bukankah kitapun baru saja saling mengenal...?" Tukas Wibisana.

"Benar juga katamu, sobat Wibisana...! Eh, ya... mengapa tak kau pakai topeng setanmu lagi?" Tanya Roro seraya melompat turun dari punggung si Tutul.

"Kukira tak perlu lagi! Musuh besarku sudah kukirim nyawanya ke Akherat. Walaupun masih dua orang lagi yang belum kutemukan...! Namun sudah cukup puas hatiku. Dendam pati itu sedikitnya telah terbalaskan...!" Berkata Wibisana. Kemudian laki-laki inipun melompat turun dari punggung kuda hitamnya.

"Oh, ya...! Boleh aku tahu siapa kedua orang lagi musuh besarmu itu?" Tanya Roro lagi. Sementara matanya melirik pada kedua binatang Siluman yang tampak saling mendekati. Akan tetapi tampaknya mengerti kalau mereka tak boleh bermusuhan, seperti juga kedua majikan mereka. Dan tampak saling tatap dengan mengendus-ngendus hidungnya. Wibisana menghela napas, seraya sahutnya.

"Mereka adalah dua orang yang pernah turut menganiayaku di puncak Argasomala. Juga manusia yang telah merencanakan pembunuhan pada guruku...! Mereka bernama Kala Butho dan Dasa Mukti...!"

Roro manggut-manggut mendengarkan penuturan singkat Wibisana. "Ceritamu menarik sekali, sobat Wibisana...! Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah selengkapnya. Aku juga ingin tahu siapa gerangan gurumu itu. Muridnya begini hebat, tentu gurunya seorang yang amat sakti...!" Ujar Roro.

"Ah, baiklah! Bagaimana kalau kita bicara sambil jalan saja?"

"Kudamu...?" Tanya Roro.

Wibisana tak menjawab, akan tetapi tepukkan lengannya satu kali, dan sekejap si kuda hitam itu sudah melenyapkan diri. Roro pun segera beri isyarat pada si Tutul. Dan binatang siluman itu segera tak menampakkan diri.

Demikianlah... Wibisana segera tuturkan secara keseluruhan riwayat dirinya pada Roro. Entah mengapa pemuda ini tak mampu untuk menolak. Senyum manis dan kerlingan mata wanita Pantai Selatan itu membuat hatinya terasa bergetar aneh. Saat itu seperti dia menemukan sebuah jarum dari dasar laut.

Selama ini Wibisana tak pernah mempunyai sahabat wanita. Dan untuk pertama kalinyalah dia jalan dan mengobrol berdua dengan wanita. Sementara Mentari semakin condong ke arah barat. Pantulkan sinar merahnya dari balik perbukitan, yang tampak indah sekali. Kedua remaja berlaian jenis itu tampak akrab sekali, seperti sepasang Sejoli yang tengah bercinta, membicarakan soal asmara.

* * * * * * *

Untuk lebih lengkapnya kisah Wibisana itu, marilah kita menengok pada kejadian delapan tahun yang silam di puncak Argasomala. Yaitu pada kejadian lenyapnya mayat Ki Kutut Praja Setha dan tewasnya Wibisana yang dibunuh oleh ketiga murid si Penghuni puncak Argasomala itu sendiri. Ketiga orang itu adalah Braja Pati, Dasa Mukti dan Kala Butho. Ternyata ketiga laki-laki itu adalah murid Arya Rudita alias si Siluman Naga Buntung, yang pernah juga bergelar si Siluman Sungai Kuning.

Arya Rudita mengutus ketiga muridnya untuk berguru ke puncak Argasomala adalah dengan satu maksud, yaitu mencuri Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam. Namun tak membawa hasil. Selama tiga tahun mereka berguru pada Ki Kutut Praja Setha. Akhirnya ketiga murid murtad Ki Kutut Praja Setha itu meminta bantuan pada seorang Dukun Sakti yang bergelar si Dewi Setan Kemangmang, untuk membunuh Ki Kutut Praja Setha.

Ketiga murid murtad itu sudah melihat bukti kematian guru kedua mereka, di Pesanggrahan puncak Agrasomala. Namun ternyata mayat kakek itu lenyap disaat mereka menganiaya Wibisana yang menjadi kacung atau pembantu di Pesanggrahan itu.

Kemanakah lenyapnya mayat Ki Kutut Praja Setha? Sebenarnya Ki Kutut Praja Setha tidak tewas...! Mayat yang dilihat ketiga murid itu adalah sebongkah batu. Dengan kesaktiannya yang dimiliki, Kutut Praja Setha berhasil menipu pandangan Braja Pati, Dasa Mukti dan Kala Butho. Kekuatan Ilmu telu yang dipergunakan si Dewi Setan Kemangmang itu telah menemui sasaran yang salah.

Karena Kutut Praja Setha telah berhasil menukar terlebih dulu raganya dengan sebongkah batu yang telah dipersiapkan. Naluri tokoh sakti tokoh puncak Argasomala itu teramat peka. Dia telah mengetahui bakal terjadi bencana yang menimpa tempat tinggalnya. Hingga bukan saja berhasil menipu si tiga murid murtadnya, akan tetapi menipu juga si Dukun Sakti Dewi Setan Kemangmang itu, yang mengirimkan serangan ilmu hitam melalui siluman jahat!

Dengan demikian tahulah Kutut Praja Setha akan watak ketiga muridnya itu. Bahkan mengetahui pula maksud tujuan mereka sebenarnya, yang didalangi oleh gurunya. Yaitu Arya Rudita alias kakek tua sakitan yang mengaku bernama Parto Kendal. Ilmu Malih Raga itu adalah salah satu dari ilmu yang berada dalam Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam, yang telah berhasil dikuasai. Bahkan selanjutnya Kakek penghuni puncak Argasomala itupun menolong Wibisana. Yaitu mengganti tubuhnya dengan sebuah ranting kayu.

Tentu saja Wibisana sendiri terkecoh. Karena dari tempat persembunyiannya bersama Ki Kutut Praja Setha, dia telah saksikan tubuhnya sendiri telah diikat dengan tiga utas tambang, lalu ditarik tiga ekor kuda hingga tubuh palsu pemuda itu beserpihan menjadi tiga bagian. Hampir saja pemuda dungu itu berteriak karena ngerinya. Untung Ki Kutut Praja Setha telah cepat menekap mulutnya.

Setelah membakar Pesanggrahan ketiga murid durhaka itu tinggalkan puncak Argasomala, setelah terlebih dulu mengacak-acak kamar semadhi Kutut Praja Setha mencari Kitab Pusaka. Namun tak membawa hasil. Demikianlah kisah sebenarnya. Hingga kemudian Wibisana menjadi murid tokoh sakti itu, dan mewarisi ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam.

* * * * * * *

DUA BELAS

Bau sedapnya daging panggang yang berhembus dari atas bukit itu membangkitkan selera orang yang kebetulan lewat tak jauh dari bukit itu.

"Aih.... perutku mendadak lapar...!" Berkata Roro seraya mengelus perutnya. Hidungnya sudah mengendus bau sedap dari puncak bukit itu. "Eh, Wibisana! Bagaimana kalau kita singgah ke tempat orang memanggang daging itu? Kukira dia tak keberatan kalau kita memintanya barang sedikit...!" Belum lagi Wibisana menyahut, Roro sudah berkelebat.

"Ah? Gadis aneh...!" Gumam Wibisana dengan gelengkan kepala. Sikap Roro itu di nilainya seperti sikap seorang laki-laki saja. Akan tetapi diapun memang rasakan perutnya lapar. Mau tak mau Wibisana segera beranjak menyusul. Akan tetapi tak lama segera menahan langkahnya. Dilihatnya Roro sudah berdiri di hadapan seseorang yang sedang membolak-balik panggang daging kelinci pada sebuah api unggun.

Di belakang orang itu ada sebuah gubuk kecil beratap rumbia. Cahaya api pada senja yang kian temaram itu jelas menampakkan wajah orang itu. Dan jantungnya jadi berdetak keras. Karena itulah wajah Dasa Mukti. Wibisana takkan lupa melihat mimik wajah serta rambutnya yang keriting itu.

"Hehehe... tampaknya kau lapar, nona...! Apakah kau ingin mencicipi daging panggang kelinciku?" Bertanya laki-laki itu. Wajahnya tampak menyeringai tersenyum melihat kedatangan seorang gadis ayu yang sebentar kemudian sudah berdiri di dekatnya.

"Benar sekali dugaanmu, paman...! Kalau kau sudi membaginya sedikit padaku untuk berdua aku makan dengan sahabatku, aku amat berterima kasih sekali!" Ujar Roro dengan tersenyum.

"Berdua...?" Tanya orang itu yang ternyata memang Dasa Mukti adanya. Cepat sekali Dasa Mukti jelalatkan matanya mengintari tempat itu dengan pandangan mata tajam. Akan tetapi tak dilihatnya ada siapa-siapa. Tentu saja, karena Wibisana sudah pergunakan ajian Halimunan untuk melenyapkan diri.

"Siapa yang datang...?" Tahu-tahu terdengar suara dari dalam gubuk. Dan sesosok tubuh sudah melompat keluar. Ternyata seorang laki-laki kekar yang telanjang dada, menampakkan bulu-bulu dadanya yang lebat.

Roro palingkan wajahnya menatap pendatang itu. Sepasang mat si laki-laki kekar itu mendadak berbinar menatap Roro, dan sudah rayapi sekujur tubuh gadis di hadapannya dari kepala sampai ke kaki.

Saat itu telinga Roro sudah menangkap suara seperti orang terisak menangis, dari dalam gubuk Roro krenyitkan alisnya, dan tiba-tiba sudah bergerak melompat masuk ke dalam gubuk yang pintunya masih menjeblak terbuka. Apakah yang dilihat Roro? Ternyata seorang wanita tengah terisak menutupi wajahnya di atas pembaringan, dengan keadaan tubuh telanjang bulat. Serpihan-serpihan bajunya berserakan disana-sini. Tahulah dia apa yang telah terjadi.

"Bedebah...!" Desis Roro. Dan dia sudah melesat lagi keluar dari dalam pondok. Akan tetapi pada saat itu dua bayangan tubuh telah menyergapnya. Kalau saja bukan Roro Centil yang saat itu disergap mereka, tentu dua laki-laki itu sudah berhasil meringkusnya. Akan tetapi hati mereka jadi mencelos, karena pada saat itu Roro justru pentangkan lengan dan kaki dengan gerakan cepat sekali.

Buk! Dess....!

Akibatnya kedua laki-laki itu terlempar bergulingan. Seorang kena tendangan kaki, dan seorang lagi terkena jotosan lengan Roro. Namun dengan cepat kedua laki-laki itu sudah melompat berdiri. Ternyata keduanya tak lain dari Kala Butho dan Dasa Mukti adanya. Keadaan gawat akibat diserangnya Kerajaan Swarna Mega dan Songgo Langit yang dikuasai oleh kedua tokoh ini, sebagai orang-orang dari Kerajaan Pugar Alam, membuat mereka menyingkirkan diri mencari keselamatan. Karena banyaknya kaum Pendekar dari tokoh Rimba Hijau yang datang bermunculan, membantu pemberontakan rakyat kedua Kerajaan jajahan itu.

Tak dinyana akibat ulah mereka yang brutal, terpaksa harus berurusan dengan Roro Centil sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Bahkan saat itu juga sudah terdengar suara ringkik kuda... Dan muncullah di tempat itu si Penunggang Kuda Setan.

"Heh! Dasa Mukti! Kala Butho...! Tak ada cara baik lagi bagi kalian, selain serahkan nyawa mu dengan segera...!" Berkata Wibisana yang sudah kenakan lagi topeng tengkoraknya.

Terperangah Kala Butho dan Dasa Mukti melihat kemunculan si penunggang kuda berwajah Tengkorak yang muncul dengan misterius. Tahulah mereka kalau berhadapan dengan tokoh berilmu tinggi. Akan tetapi kedua manusia ini memang tak gentar untuk menghadapinya, karena mereka juga punya bekal ilmu hitam yang belum dikeluarkan. Sementara Roro Centil segera mengetahui kalau kedua manusia itu adalah justru musuh besar si Penunggang Kuda Setan yang tengah dicarinya.

"Bagus! Sementara mereka bertempur, aku yang makan besar!" Gumam Roro. Sekaligus bergerak, Roro Centil sudah menyambar panggang daging kelinci di atas bara api unggun. "Hihihi... silahkan kau lunasi hutangmu, Wibisana! Aku mengisi perutku dulu yang lapar...!" Berkata Roro dengan mengerling.

"Silahkan nona Roro Centil! Rasa laparku akan segera hilang, bila sudah membunuh mampus kedua manusia durhaka ini ...!" Sahut si Penunggang Kuda Setan. Terperangah seketika Kala Butho dan Dasa Mukti. "Dia dia si Wibisana, kacung dungu itu?" Desis Kala Butho, yang segera saling pandang pada kawannya.

"Benar! Akulah Wibisana! Kacung dungu Ki Kutut Praja Setha! Kedatanganku adalah untuk mewakilkan beliau mengirim nyawa kalian ke Neraka!" Membentak si Penunggang Kuda Setan. Seraya berkata, si Penunggang Kuda Setan telah lepaskan topengnya. Sengaja dilakukan agar membuat mereka terkejut.

Tampak keduanya segera belalakkan mata memandang wajah si laki-laki penunggang kuda. Yaitu wajah seorang pemuda yang menampak seperti wajah orang dungu. Seketika jantung mereka menyentak kaget. Karena mengetahui Wibisana telah tewas ditangannya. Otak mereka tak mampu memikirkan lebih lanjut, karena segera Dasa Mukti memberi isyarat untuk siap siaga.

Laki-laki ini cepat cabut senjatanya yang terselip di pinggang. Sebuah rantai berujung sebuah tengkorak lengan dari besi telah tercekal ditangannya. Sementara Kala Butho tercenung sejenak. Senjatanya berada di dalam gubuk. Tiba-tiba dia sudah melompat. menerobos masuk dari jendela.

Brakk! Jendela kayu itu sudah jebol diterjangya. Terdengar suara menjerit dari dalam. Itulah suara wanita yang telah disekapnya, yang jadi terkejut karena melihat jendela terjebol berantakan. Sekejap tubuh Kala Butho sudah berada di dekatnya. Lengan laki-laki itu bergerak cepat menyambar sebuah kapak bermata lebar yang menyandar di sisi pembaringan. Baru saja lengannya mencekal gagang kapak, sesosok tubuh sudah berkelebat ke dalam.

"Hm! Cepatlah kau keluar lagi!" terdengar suara dingin di belakangnya. Ternyata Roro Centil yang sudah berkelebat masuk menyusul yang mengkhawatirkan Kala Butho melarikan diri. Juga khawatir mencelakai si wanita sekapan yang berada di dalam pondok.

"Heh!?" Mendengus Kala Butho. Sekejap dia sudah balikkan tubuh, dan tiba-tiba langsung tabaskan senjata yang dicekalnya.

Wuttt...!  whukk...!. Brakkk...!

Terpekik Kala Butho, karena sekejap tubuhnya sudah terlempar keluar menjebol dinding anyaman bambu pondok itu, dan terlempar keluar. Roro yang masih memegangi tusukan panggang daging kelinci di tangannya, bahkan masih komat-kamit mulutnya mengunyah, seketika jadi terkejut karena Kala Butho menyerangnya. Namun dengan melompat, tabasan maut itu lolos. Secepat kilat kakinya lakukan tendangan keras, hingga  tak ampun tubuh Kala Butho terlempar keluar menjebol dinding.

Dengan terhuyung laki-laki ini bangkit berdiri. Untung pedangnya tak terlepas dari genggamannya. Saat itu sudah terdengar bentakan keras. "Manusia-manusia laknat...! Segera terimalah kematianmu...!" Secercah sinar berkelebat menghantam tubuh Kala Butho. Laki-laki ini tak sempat berkutik lagi. Kilatan itu begitu cepat datangnya. Dan...

Bhuss... Sekejap tubuh manusia ini telah terbakar hangus diiringi teriakan menyayat hati. Dan roboh ke tanah untuk tidak berkutik lagi. Sekujur tubuhnya menghitam hangus, hingga mengelupas kulitnya menampakkan tulang-tulangnya yang memutih. Sesosok tubuh telah berdiri di tempat itu. Seorang tua berjubah putih dengan kumis dan jenggotnya yang panjang menjuntai.

"Guru...!" Teriak si Penunggang Kuda Setan tersentak. Kiranya kakek tua renta itu tak lain dari Ki Kutut Praja Setha.

Melihat siapa yang datang, Dasa Mukti terperangah dengan mata membelalak. Wajahnya pucat pias bagai mayat. Dan tubuhnya sudah bergetaran hebat, dengan keringat mengucur di sekujur tubuh. Senjatanya pun terlepas dari tangannya. Dan dia sudah jatuhkan diri berlutut di tanah.

"Guru...! Ampunilah kesalahanku...!" Berkata Dasa Mukti dengan suara Parau. Nyalinya sudah terbang seketika, karena dia tak akan sanggup menyelamatkan nyawanya lagi. Kemunculan demi kemunculan dari orang-orang yang telah dibunuhnya bersama saudara seperguruannya, juga melalui tangan si Dukun Sakti Dewi Setan Kemangmang, membuat dia ketakutan sekali. Seolah-olah berhadapan dengan hantu para arwah dari alam Akhirat.

"Kesalahanmu teramat besar, Dasa Mukti. Gurumu si Arya Rudita dari Braja Pati sudah mampus terlebih dulu! Kini adalah giliranmu menyusul mereka ke Neraka! Kau tidak saja turut melakukan kejahatan membunuh Wibisana dengan cara keji, akan tetapi telah mengangkat guru pada si Dewi Setan Kemangmang Dukun Sesat itu!

"Aku sudah mengetahui siapa adanya Ratu Permaisuri Sinom Sari yang menguasai Kerajaan Setan Pugar alam! Tak lain dari Dukun Sesat Dewi Setan Kemangmang gurumu itu! Kau adalah salah seorang dari murid si wanita penghamba iblis yang sesat! Otakmu sudah di pengaruhi kejahatan...! Maka tak ada jalan lain selain kau mati!" Berkata Ki Kutut Praja Setha dengan suara dingin. Menggigil seketika tubuh Dasa Mukti.

"Pilihlah diantara tiga! Aku yang turun tangan atau muridku Wibisana yang mewakilkan mencabut nyawamu! Ataukah kau membunuh diri!" Bentak Ki Kutut Praja Setha.

Ternyata diam-diam tokoh sakti ini telah mengikuti sepak terjang muridnya si Penunggang Kuda Setan. Sekalian untuk menguji kemampuannya menumpas para muridnya yang murtad, yang menghamba pada manusia iblis sesat si Dewi Setan Kemangmang. Karena tak sabar, kakek puncak Argasomala itu telah melenyapkan nyawa Kala Butho sekalian munculkan diri. Akan tetapi pada saat itu bersyiur angin keras disertai hawa busuk yang memuakkan, Dan...

Bhuss...! Tubuh Dasa Mukti lenyap seketika. Terperangah seketika semua yang berada ditempat itu. Pada saat itulah terdengar suara tertawa mengikik menyeramkan.

"Hihihihihi... hik hik hik... Kalian orang-orang gagah! Silahkanlah datang menyeberang ke Istana Kerajaan Pugar Alam di tengah Telaga Berkabut! Aku menanti kalian... Hihihi... hik hik..."

Tampaklah di atas kepala mereka sejarak dua puluh tombak seekor makhluk menyerupai Kelelawar yang bertanduk, terbang melayang berputar-putar. Di atas punggung makhluk yang besarnya tiga kali tubuh manusia itu duduk seorang wanita cantik berpakaian Kerajaan. Sementara pada sepasang kaki binatang Kelelawar raksasa itu tercengkeram tubuh Dasa Mukti.

Setelah perdengarkan suara tertawa mengikik lagi, tubuh makhluk kelelawar raksasa itupun melesat ke angkasa... dan lenyap di kegelapan awan hitam. Sejenak mereka terpukau... Roro Centil masih menatap ke arah makhluk itu melenyap. Ketika menoleh pada Ki Kutut Praja Setha, tampak orang tua itu tundukkan kepalanya dengan menghela nafas. Dan ucapannya datar, namun penuh semangat.

"Heh...! Kita kaum Pendekar memang saat ini menghadapi banyak tantangan! Si Dewi Setan Kemangmang jelas sudah sesumbar. Tentunya dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan! Dan sudah tugas kita menumpas manusia iblis itu, demi terciptanya kedamaian di bumi ini...!"

Roro Centil dan Wibisana sama manggut-manggut mendengar sabda kakek sakti puncak Argasomala itu. Selang sesaat...

"Ah, aku lupa memperkenalkan padamu, guru...! Inilah sahabatku dari Pendekar golongan putih. Dia bernama Roro Centil." Berkata Wibisana yang sudah melompat turun dari kudanya. Dan si kuda hitam pun sudah melenyapkan diri.

Kutut Praja Setha naikkan alis putihnya menatap pada Roro. Lengannya sudah bergerak mengelus jenggotnya. "Oh...!? Aku baru teringat akan nama itu, apakah nona yang terkenal dengan julukan si pendekar Wanita Pantai Selatan...?" Bertanya si kakek puncak Argasomala.

"Hihi... begitulah orang menggelariku, kakek Kutut Praja Setha! Dan aku yang muda ini sungguh amat beruntung dapat berkenalan dengan kau orang tua sakti!" Berkata Roro seraya menjura padanya. Roro memang selalu menaruh hormat pada orang-orang tertentu yang dikaguminya. Terutama pada para tokoh Rimba Persilatan Golongan Putih.

"Hahahaha... sudahlah! Tak perlu banyak peradatan! Aku yang tua ini sudah jarang berkelana! Tak tahu lagi kalau pada zaman ini sudah muncul seorang Pendekar Wanita, yang sepak terjangnya banyak kudengar sejak aku turun gunung lagi!" Berkata Kutut Praja Setha. Lalu melirik pada muridnya.

"Hm, Wibisana! Kau masih kurang cukup pengalaman...! Banyak-banyaklah belajar pada nona Pendekar Roro Centil ini...!" Ujarnya dengan suara tandas.

"Baik, guru...! Aku memang merasa kurang dalam hal pengalaman!" Sahut Wibisana.

"Ah, ah... ah...! Kalian membuat aku jadi malu hati!" Tukas Roro dengan tersenyum.

"Hahaha... mengapa malu? Kenyataan mana bisa dibantah. Bahkan aku yang tua ini merasa sepak terjangku di waktu muda tidaklah membuat aku malu!"

"Nah! Hari sudah menjelang malam! Apakah rencana nona Roro selanjutnya?"

"Aku akan mengantarkan dulu wanita yang berada di dalam gubuk, ke tempat tinggalnya!" Berkata Roro, yang segera teringat akan wanita korban si Kala Butho itu.

"Hm, baiklah! Kukira sebaiknya kalian antarkan berdua! Sekalian cari tempat bermalam. Selanjutnya cepat-cepatlah kalian ke lembah Soka, bergabung dengan para Pendekar lainnya...!" Ujar Ki Kutut Praja Setha. Kedua remaja ini mengangguk. "Nah! Baik-baiklah menjaga diri." Selesai berkata, Kutut Praja Setha berkelebat pergi Sekejap kemudian sudah tak nampak lagi dalam keremangan malam.

Esok harinya... Mentari baru saja beranjak dari peraduan, dan sembulkan diri dari balik bukit. Akan tetapi sepagi itu dua sosok tubuh sudah berkelebatan tinggalkan sebuah gedung sederhana di satu kota kecil di wilayah itu.

Mereka tak lain Roro dan Wibisana si Penunggang Kuda Setan. Selesai mengantar wanita malang itu, mereka menginap di sebuah penginapan kecil yang cukup baik dan bersih. Dan menjelang pagi sudah berangkat untuk teruskan perjalan ke lembah Soka.

"Haii...! Tunggu..!" Satu suara telah memanggil dibelakang mereka. Keduanya segera hentikan langkah. Dan sesosok tubuh sudah melompat kehadapan mereka. Ternyata seorang laki-laki bercambang bauk lebat.

"Aii...! Joko Sangit! Kau dari mana...?"

"Hahaha... aku menginap di Penginapan itu juga! Apakah kau tak melihatku?"

"Huh! Kalau aku tahu masakan aku tak menegur mu...!" Tukas Roro.

"Hahahaha.... bukankah kau ada menanyakan tempat penginapan pada seseorang?" Tanya Joko Sangit.

Roro turunkan alisnya mengerenyit. "Benar! Pada seorang tua bungkuk yang mondar-mandir di jalanan!" Jawab Roro.

"Hehehehe... itulah aku...!" tukas Joko Sangit.

"Ha...?" Sepasang mata Roro membeliak. "Hm, aku tahu! Kau sengaja menguntitku bukan? Hihihi... kau tak perlu curiga! Roro Centil bukan sebangsa Kuntilanak pencari mangsa!" Ujar Roro dengan tersenyum genit, dan cibirkan bibirnya.

"Siapa dia...?" Tanya Joko Sangit, seraya meneguk arak yang sedari tadi dicekalnya dalam sebuah guci. Tahulah Roro kalau diam-diam Joko Sangit mencemburuinya.

"Hm, kenalkan sahabatku yang baru turun gunung ini. Namanya Wibisana alias si Penunggang Kuda Setan! Dia murid Ki Kutut Praja Setha...!" Ujar Roro.

"Ah...!? Selamat jumpa sobat Wibisana!" Seru Joko Sangit seraya mengajaknya berjabat tangan. Keduanya sama-sama menjura.

"Hihihi... kita tak perlu khawatir menghadapi manusia-manusia setan Istana Kerajaan Pugar Alam! Kita telah ke tambahan seorang pendekar lagi yang akan turut membantu perjuangan kaum Pendekar, menumpas manusia-manusia setan di tengah Telaga Berkabut...!" Ucap Roro dengan sepasang mata bersinar.

Joko Sangit manggut-manggut sambil tersenyum, lalu tenggak lagi araknya sampai ludas. Sementara jantungnya diam-diam sudah berdetak kencang. Heh! Apakah ilmunya jauh berada di atasku? Sentak hati Joko Sangit. Tak dapat disangkal lagi kalau diam-diam Joko Sangit merasa takut tersaing oleh si pemuda bernama Wibisana itu di hadapan Roro Centil. Dan setelah bersahabat sekian lama, laki-laki ini mulai ada hati pada Pendekar Wanita Pantai Selatan. Karena nyatanya sampai saat ini Roro Centil masih dalam keadaan sendiri tanpa pasangan.

Namun walau demikian Joko Sangit amat menghormati Roro, karena adanya tali persaudaraan diantara guru mereka. Sesaat kemudian tiga sosok tubuh sudah berkelebatan cepat di atas perbukitan hijau. Entah kelak apakah mereka masih bisa bercengkerama lagi. Karena tak lama lagi mereka bakal menghadapi satu perjuangan besar dengan taruhan nyawa.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.