Perserikatan Naga Api Jilid 03
TAPI dalam hatinya, Te-yong Tojin berkata lain, “Hemm, kau si gendut ini benar-benar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, enak saja kau bicara. Baru Tong Tian seorang diri saja sudah mampu membikin tempatmu berantakan seperti ini. Apalagi jika semua jago-jago Soat-san-pay menyerbu kemari, biarpun sepuluh orang macam aku dan ratusan tukang pukul ini juga sulit melindungi jiwamu.”
Kemudian Cia To-bun memberi perintah kepada salah seorang prajurit, “Pergilah kau ke kota Lam-cang sekarang juga, temuilah Cong-tok (Panglima Daerah) Thio Ban-kiat dan katakan kepada beliau bahwa aku ingin meminjam pasukan untuk menumpas sisa-sisa keluarga Tong. Kau berangkat sekarang juga, dan bala bantuan itu kalau bisa harus sudah ada di An-yang-shia pada malam nanti, supaya dapat langsung digerakkan.”
Kiranya Panglima Daerah Kiang-se itu adalah sahabat karib Cia To-bun. Puluhan ribu tentara kerajaan yang ada di seluruh Kiang-se ada di bawah perintahnya, sedang kedudukan markasnya ada di kota Lam-cang yang jaraknya hanya sepuluh li dari An-yang-shia. Ternyata Thio Ban-kiat ini tidak mau repot-repot lagi menyelidiki benar atau tidaknya laporan Cia To-bun tentang “memberontaknya keluarga Tong”, ia terlalu malas untuk berbuat itu.
Maka laporan Cia To-bun ditelannya mentah-mentah begitu saja, dan langsung saja Thio Ban-kiat mengirimkan sepasukan prajuritnya dan beberapa perwira yang berilmu cukup tinggi untuk “menumpas pemberontak”. Begitulah gambaran kebobrokan keadaan pemerintahan di masa berkuasanya Kaisar Cong-ceng.
Para penguasa begitu mudah menggerakkan tentara dan main tumpas begitu saja begitu ada laporan, tanpa menyelidiki dulu benar atau tidaknya laporan itu. Pokoknya mereka ingin cepat menyelesaikan urusan itu, tidak peduli bahwa cara penyelesaiannya itu betul atau tidak.
Senja itu, rumah keluarga Tong yang menghadap ke danau Po-yang-ou itu nampak sepi dan mencekam. Senda-gurau para pelayan yang biasanya ramai terdengar dan menyemarakkan suasana rumah itu, kini tidak terdengar sedikitpun. Desir angin yang menggoyangkan pucuk-pucuk cemara bagaikan membawa berita menyedihkan.
Dari ruangan tengah, masih nampak cahaya lilin menyorot keluar menembus kertas jendela yang tipis. Tong Hu-jin masih duduk terpekur, begitu pula Tong Wi-lian. Sedang Tong Wi-hong juga berada di dalam ruangan itu dan sedang berjalan hilir-mudik dengan kegelisahannya, berkali-kali ia mengepalkan tinjunya sambil menggigit-gigit bibirnya.
Tiba-tiba Tong Wi-hong berhenti melangkah, katanya memecah kesunyian, “Ibu, daripada kita menunggu dan disiksa kegelisahan di tempat ini, lebih baik biarkan aku menyusul ke rumah Cia To-bun. Barangkali ayah memerlukan bantuan untuk sesuatu hal.”
“Jangan gegabah menyimpulkan sesuatu,” sahut Tong Hu-jin. “Kepandaian ayahmu cukup tinggi dan pengalamannya pun cukup banyak, tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan anak kecil yang bermain-main di pinggir sumur.”
Meskipun muka Tong Hu-jin masih kelihatan tenang, tapi suaranya agak bergetar, rupanya dia pun sedang menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya. Ia bukannya tidak tahu bahwa di rumah Cia To-bun ada dua orang jagoan terkenal yang amu diperintah untuk berbuat apa saja demi uang. Apalagi hubungan batin antara Tong Hu-jin dan suaminya cukup erat, dan samar-samar ia mulai merasakan adanya firasat jelek.
Sahut Tong Wi-lian, “Jika saja ayah tidak menemui kesulitan, kenapa sampai semalam ini dia belum pulang juga? Cia To-bun adalah seorang yang licin dan licik, apalagi dia sangat membenci ayah, bisa jadi ia telah menyiapkan suatu perangkap buat ayah. Secara berhadapan memang ayah sulit untuk dikalahkan, tetapi bagaimana kalau secara licik dengan tipu muslihat keji? Ibu, kita harus pergi ke rumah Cia To-bun untuk melihat keadaan, jangan sampai semuanya menjadi terlambat.”
Didesak terus-menerus oleh kedua orang anaknya, mau tidak mau goyah juga pendirian Tong Hu-jin. Apalagi karena ia sendiri pun sudah hampir tidak tahan disiksa oleh perasaan gelisah dan firasat-firasatnya. Tengah ibu dan anak-anaknya dilanda kegelisahan, tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak-bahak dari atas genteng, disusul suara bernada mengejek,
“Ha-ha-ha, tikus-tikus yang malang, kalian tidak perlu menyusul ke An-yang-shia. Nih, bapakmu sudah kubawakan pulang!” Menyusul sebuah bungkusan besar dilemparkan dari atas genteng dan jatuh di tengah-tengah latar depan.
Tong Hu-jin dan kedua anaknya segera menghunus pedangnya masing-masing dan berlari-larian menghampiri bungkusan besar itu. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang, bungkusan itu berbentuk mirip manusia, bahkan pada kain pembungkusnya pun nampak bercak-bercak kehitam-hitaman. Seketika itu bergetarlah hati Tong Hu-jin dan anak-anaknya.
Dari atas genteng terdengar suara ejekan pula, “Kenapa kalian ragu-ragu? Bukalah bingkisan dari kami itu!”
Waktu Tong Hu-jin menengok ke atas genteng, maka nampaklah di atas genteng telah muncul dua orang manusia aneh. Kedua-duanya memakai seragam perwira kerajaan. Yang satu bertubuh gemuk pendek, bentuk tubuhnya serba bulat dan ia memanggul sebuah ruyung besi yang kelihatannya cukup berat.
Sedang yang satu lagi adalah kebalikannya, tubuhnya begitu kurus dan tinggi sehingga hanya mirip sebatang galah bambu saja, tangannya memutar-mutar dan mempermainkan sebatang badik pendek. Kedua orang itu dapat berdiri di atas genteng tanpa menimbulkan suara, hal mana menandakan bahwa kepandaian mereka cukup tangguh.
Sementara itu Tong Wi-lian telah membuka bingkisan itu. Mendadak gadis itu menjerit kaget dan menangis keras-keras, ternyata bungkusan itu adalah mayat ayahnya. Terjawablah pertanyaan kenapa sang ayah belum pulang sampai hari selarut itu, dan kini ternyata ayahnya pulang hanya sebagai sesosok mayat.
Kemarahan dan kedukaan hebat segera berkecamuk di hati orang-orang yang ditinggalkan itu, mereka juga menyesal karena tidak menyusul ke rumah Cia To-bun. Andaikata mereka menyusul sejak tadi, barangkali Tong Tian tidak mengalami nasib seburuk itu.
Sementara kedua manusia aneh yang berdiri di atas genteng itu tertawa-tawa melihat ibu dan anak-anaknya itu bertangisan. Si gemuk berkata di sela-sela tawanya, “Heh-heh... itulah hukuman yang pantas buat seorang pemberontak. Tetapi yang membunuhnya bukan aku, eh, kenapa kau melotot kepadaku?”
“Anjing-anjing kaisar, turunlah kau!” bentak Tong Wi-hong dengan penuh kemarahan sambil menudingkan pedangnya.
Si kurus menoleh kepada si gemuk sambil berkata, “Aduh, belum pernah kulihat tuan rumah segarang ini. Toako, mereka sudah mempersilahkan kita untuk turun.”
“Turun ya turun,” sahut si gemuk dengan tetap tertawa-tawa. “Barangkali mereka masih ingin menyuguh kita sebelum kita meringkus mereka. Adik Kang, ayo kita lompat ke bawah!”
Begitu kalimat itu selesai, kedua orang itu langsung melayang dari atas genteng bagaikan dua ekor elang menyambar mangsanya. Si gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat dan tangkas, gerak-geriknya sama sekali tidak terganggu oleh tubuhnya yang hampir bulat itu.
Kedua orang aneh itu adalah perwira-perwira bawahan Cong-tok Thio Ban-kiat dan keduanya adalah bersaudara. Yang gemuk pendek dan bersenjata ruyung itu bernama Phu In dan adiknya yang kurus seperti galah itu adalah Phui Kang. Tadinya kakak-beradik ini merupakan tokoh-tokoh Hek-to (jalan hitam) di Hun-lam, namun kemudian keduanya “insyaf” dan mengabdi kepada Kerajaan Beng dan mendapat pangkat perwira.
Begitu kaki menginjak tanah, Phui In langsung menyerampangkan ruyung besinya ke pinggang Tong Hu-jin yang berdiri paling depan, diimbangi oleh Phui Kang dengan tusukan badiknya ke arah tenggorokan dengan kecepatan seekor ular mematuk. Kakak beradik itu memang sudah terbiasa bertempur berpasangan secara rapi, yang satu unggul dalam hal kekuatan, lainnya punya gerakan secepat kilat.
Tapi isteri Tong Tian juga bukan perempuan lemah. Dia adalah adik seperguruan Tong Tian sendiri dan tingkat ilmunya tidak berselisih banyak dengan Tong Tian sendiri. Bahkan dalam hal ilmu meringankan tubug (Gin-kang), ia setingkat lebih unggul dari suaminya.
Demikian kedua saudara Phui itu menyerang, Tong Hu-jin pun memutar pedangnya dan melayani kedua musuhnya itu secara sengit. Meskipun hatinya tengah dibebani kesedihan akan kematian suaminya, namun permainan ilmu pedangnya hampir tidak terpengaruh sama sekali, sehingga tidak mudah bagi kedua saudara Phui untuk mengalahkannya. Dengan demikian berkobarlah sebuah pertempuran sengit di halaman rumah keluarga Tong itu. Untuk sementara sulit ditentukan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
Ternyata jago-jago yang menyerbu ke tempat itu bukan Cuma Phui In dan Phui Kang saja, sebab dari balik tembok melompatlah dua orang lagi yang langsung menyerbu ke arah Tong Wi-hong dan adiknya. Yang seorang bersenjata tan-to (Golok Tunggal) dan yang lainnya membawa tombak pendek berkait. Gerak-gerik mereka cukup tangkas dan lincah, menandakan bahwa mereka pun termasuk jagoan-jagoan terpilih yang dibawahi oleh Cong-tok Thio Ban-kiat.
Tong Hu-jin dan kedua anaknya bertempur dengan perasaan diliputi kemarahan dan kedukaan, tidak mengherankan kalau gerak-gerik merekapun kadang-kadang kurang terkendali. Mereka bertempur dengan nafsu untukk membalaskan sakit hati suami dan ayah mereka, dan untuk itu mereka bersedia mengadu nyawa. Maka sulitlah bagi jago-jagonya Cong-tok untuk menangkap mereka hidup-hidup.
Karena merasa sulit mengatasi keadaan, akhirnya perwira yang bersenjata tan-to itu memasukkan jari tangan kirinya ke mulut, lalu mengeluarkan bunyi suitan nyaring. Ternyata ia memberi isyarat kepada teman-temannya yang menunggu di luar agar langsung menyerbu ke dalam saja. Suitan itu segera bersambut.
,, Dari luar tembok berlompatanlah orang-orang bersenjata yang jumlahnya mencapai belasan orang. Meskipun hanya belasan, tapi jelas orang-orangnya Cong-tok ini lebih sulit dilayani daripada orang-orangnya Cia To-bun yang berjumlah puluhan orang itu. Anak buah Thio Cong-tok ini rata-rata membekali diri dengan ilmu silat yang tangguh.
Hal itu dapat dimaklumi, sebab Thio Cong-tok bertanggungjawab untuk keamanan daerah Kiang-se yang cukup luas, sehingga banyak diantara anak buahnya itu merupakan jago-jago pilihan. Sedangkan Cia To-bun berkuasa di kota sekecil An-yang-shia, maka mutu anak buahnya pun berbeda dengan mutu anak buah Thio Cong-tok, meskipun Te-yong Tojin merupakan pengecualian.
Tong Hu-jin bertempur dengan tekad yang menyala-nyala, tetapi diapun tidak kehilangan perhitungan sehatnya. Ia sadar bahwa dirinya dan kedua naknya itu tidak akan mampu mengatasi belasan lawan tangguh itu, bahkan ia dan anak-anaknya mulai “digiring” ke dalam suatu kepungan yang makin lama makin menyempit. Nampaknya malam itu keluarga Tong akan benar-benar tertumpas habis!
“A-hong, A-lian!” teriak Tong Hu-jin tiba-tiba. “Keluarga Tong tidak boleh putus turunan. Kalian harus cepat keluar dari sini dan menyelamatkan diri. Aku masih sanggup menahan keroyokan anjing-anjing ini!”
“Tidak, ibu!” seru Wi-hong dan adiknya hampir bersamaan. “Mana bisa kami membiarkan ibu sendirian menempuh bahaya?! Ibu, mari kita bersama-sama membalaskan kematian ayah!”
Tong Hu-jin memang tidak memikirkan lagi keselamatan dirinya sendiri, bahkan ia sudah bertekad untuk gugur menemani suaminya, tapi ia tidak ingin anak-anaknya pun ikut menjadi korban sehingga tadi ia menyuruh anak- anaknya untuk lari. Tapi ternyata kedua putera-puteri Tong Tian itupun bukan berjiwa pengecut, mereka sudah mendidih darahnya dan tidak memikirkan mati-hidup lagi.
Perwira yang bersenjata tombak pendek berkait itu tertawa mengejek, “Ha-ha, tidak usah kalian berusaha untuk menyuruh menyelamatkan diri, percuma, tempat ini sudah terkepung rapat. Lagi pula bukankah lebih berbahagia kalau sekeluarga dapat berkumpul di sorga?” Mulutnya mengejek, tombak pendeknya pun ikut bekerja menikam rusuk Tong Hu-jin, dibarengi oleh Phui In dengan menyerampangkan ruyungnya ke kaki Tong Hu-jin.
Darah Tong Hu-jin bagaikan meluap mendengar ucapan itu. Meskipun ia berhasil menghindari serangan-serangan itu, tetapi kepungan para jago pemerintah itu terasa semakin berat dan semakin ketat. Di sebelah lain, keadaan Tong Wi-hong dan adiknya pun semakin payah, bahkan kemudian terdengar jeritan Wi-lian karena pedangnya terpental dari tangannya ketika berbenturan dengan golok tan-to lawannya.
Lalu seorang perwira menyelonong maju ke hadapan Wi-lian dan langsung merangsek Wi-lian dengan ilmu Kim-na-jiu (Ilmu Menangkap), sambil mengejek, “Sayang gadis secantik kau ikut-ikutan menjadi buruan pemerintah. Baiknya kau ikut aku saja untuk menjadi bini mudaku.”
Melihat adiknya terancam bahaya, Wi-hong berusaha lepas dari lawannya untuk membantu sang adik. Namun lawannya sangat mahir dalam Kau-kun (Ilmu Silat Monyet) dan terus mendesak Wi-hong secara rapat tanpa memberi kesempatan bernapas. Akhirnya Wi-hong menjadi nekad. Ia tidak peduli lagi akan sebuah tendangan lawan yang tengah menuju ke perutnya, secara nekad ia menikam kepada orang yang hendak menangkap adiknya itu.
Terdengar suara mengeluh dua kali berturut-turut dalam waktu yang hampir bersamaan. Orang yang hendak menangkap Wi-lian itu melompat kesakitan sambil memegangi lengannya yang terluka oleh ujung pedang Tong Wi-hong. Tetapi Tong Wi-hong sendiri jatuh bergulingan karena perutnya termakan oleh tendangan lawan yang mahir Kau-kun itu.
Si jago Kau-kun tertawa puas, ia memburu untuk meringkus Tong Wi-hong sambil berkata, “Ilmu silat Soat-san-pay yang disohor-sohorkan sebagai ilmu tingkat tinggi itu ternyata hanya nama kosong belaka. Ha-ha-ha...haup, aduh!”
Entah apa yang terjadi, si jago Kau-kun ini tiba-tiba menjerit kesakitan sambil menekap mulutnya. Ternyata mulutnya kini telah tersumbat segumpal bakpao yang tinggal separoh. Bakpao itu hanyalah barang lunak yang terbuat dari gandum, tapi ternyata mampu merontokkan beberapa biji gigi dari si jago Kau-kun. Jelaslah bahwa orang yang menyambitkan tentu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi.
Kejadian tak terduga itu telah mengejutkan kedua belah pihak yang sedang bertempur. Serentak masing-masing berlompatan menjauhi lawan untuk melihat apa sebenarnya terjadi. Udara malam yang yang sudah cukup dingin itu makin bertambah dingin ketika terdengar suatu suara yang bernada amat dingin dari arah sebatang pohon,
“Sungguh si mulut besar yang pantas dihajar, makhluk yang berani mengatakan bahwa ilmu silat perguruan kami hanya nama kosong belaka.”
Semua orang menoleh ke arah asal suara itu. Nampaklah seorang lelaki yang berusia kira-kira enampuluh tahun, berwajah sedingin es dan berpakaian serba putih. Jenggotnya berwarna kelabu dan panjangnya sampai ke dada. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Yang membuat kagum semua orang adalah ketika melihat cara orang itu berdiri di atas pohon. Ternyata kaki orang itu cuma menginjak sebatang ranting yang besarnya tidak melebihi jari tangan, tapi ranting itu tidak patah, bahkan, orang itu seolah-olah berayun-ayun naik turun dengan santainya. Suatu pameran ilmu meringankan tubuh yang menggetarkan!
Melihat orang itu, Tong Hu-jin segera berseru, “Su-siok (Paman Guru)!”
Sedangkan Wi-hong dan adiknya menyapa hormat, “Su-siok-co!”
Para jagoan yang dikirim oleh Thio Cong-tok itu menjadi kaget dan gentar setelah mengetahui bahwa orang aneh yang lihai itu ternyata dari golongan lawan. Mereka sudah melihat sendiri kekuatan tenaga dalam orang itu, yang mampu merontokkan gigi teman mereka hanya dengan lemparan sepotong bakpao, dan melihat pula ilmu meringankan tubuh yang begitu lihai, mau tak mau mereka keder juga.
Phui Kang lalu memberi hormat ke arah tokoh Soat-san-pay tersebut, sambil bertanya, “Siapakah nama besar Lo-cianpwe? Antara Lo-sian-seng dan kami tidak pernah bermusuhan, apalagi kami juga sedang melaksanakan tugas negara, harap Lo-sin-seng tidak merintangi pekerjaan kami.”
“Hemm, anjing-anjing Kaisar yang menjemukan,” dengus kakek itu acuh tak acuh. Seringan daun kering ia melompat turun ke tanah dan mendekati mayat Tong Tian. Tiba-tiba mukanya menjadi beringas, bentaknya kepada jagoan-jagoannya Thio Cong-tok, “He, siapa yang telah membunuh keponakan muridku ini?!”
Karena orang-orangnya Thio Cong-tok itu hanya saling berpandangan saja tanpa menjawab, maka Tong Wi-hong lah yang menerangkan kejadian yang sebenarnya. Selama mendengar penuturan Tong Wi-hong itu, kakek itu menggeram berulang kali, nampak jelas bahwa kemarahan mulai berkobar di dalam hatinya.
Kakek yang lihai itu ternyata adalah paman guru (Su-siok) dari Tong Tian, bernama Oh Yu-thian dan berjuluk Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang Dari Soat-san) karena sangat terkenal kelihaian ilmu pedangnya. Ia memiliki tabiat yang cukup aneh, yaitu ingin menangnya sendiri dan selalu menganggap bahwa perguruannyalah yang paling unggul.
Ia paling benci jika orang mencela perguruannya, sikapnya pun selalu berpihak kepada orang-orang dari golongannya sendiri, tidak peduli benar atau salah. Dengan watak seperti itu, jaranglah orang-orang dunia persilatan yang mau berurusan dengannya.
Begitu mendengar cerita Tong Wi-hong tentang cara kematian ayahnya, seketika kambuhlah sifat-sifat lama Oh Yu-thian. Perlahan-lahan ia melolos pedang yang tergantung di pinggangnya, lalu katanya dingin, “Hemm, anjing-anjingnya Cong-ceng terlalu tidak memandang sebelah mata kepada Soat-san-pay kami. Malam ini biarlah kutunjukkan kepada mereka bagaimana lihainya Soat-san-kiam-hoat.”
Baru saja mulut Phui In bergerak-gerak hendak menyahut, Oh Yu-thian sudah memotongnya, “Tidak perlu banyak mulut! Tidak ada alasan untuk menolak tantanganku ini! Lihat pedang!” Begitu selesai kalimatnya, begitu pula pedangnya meluncur secepat kilat ke dada Phui In. Tidak percuma ia berjuluk Soat-san kiam-sian, sebab gerakan pedangnya benar-benar secepat kilat!
Phui In terkejut, tubuhnya yang gemuk itu agak merintangi keleluasaan gerak-geriknya. Hampir saja dadanya berlubang kalau dua orang kawannya tidak cepat menolongnya dengan jalan serempak menyerbu Oh Yu-thian dari dua jurusan.
Oh Yu-thian tertawa dingin, dengan langkah ringan ia mengeser kesamping dan pedangnya pun mulai berkelebat ke sana ke mari untuk “membagi-bagi” tusukan dengan cepatnya. Belasan orang jagoan Thio Cong- tok itu dipaksa mundur oleh badai serangan yang cepat itu. Beberapa orang rupanya agak terlambat menghindar sehingga menderita luka.
Demikianlah, dalam satu jurus saja tokoh tua Soat-san-pay itu telah memperlihatkan keampuhan permainan pedangnya. Keberanian Phui In dan kawan-kawannya menjadi susut sebagian. Dalam kesempatan itu Tong Hu-jin punya waktu untuk memeriksa tubuh suaminya. Dan menangislah ia sambil menelungkup di tubuh sang suami yang telah dingin itu. Baru kemarin malam ia dan suaminya bercakap-cakap dan bergurau di ruangan buku, dan kini suami yang dicintainya itu hanyalah sesosok tubuh beku.
Tong Wi-hong dan adiknya pun ingin menghibur hati ibunya, tapi hati mereka sendiri sangat sedih sehingga keduanya malah ikut menangis. Tiba-tiba Tong Hu-jin menyeka air matanya dan berkata kepada kedua orang anaknya,
“A-hong, A-lian, jika kalian masih ingin menurut kepadaku, cepatlah tinggalkan rumah ini dan selamatkan diri kalian. Jangan menjadi gelap pikiran sehingga keluarga Tong kita akan putus keturunan. Aku dan Su-siok-co kalian pasti sanggup menahan anjing-anjing Cong-ceng itu di sini. Cepatlah!”
Tetapi kedua anak itu menggeleng-gelengkan kepala, sahut Wi-lian dengan tegas, “Tidak, akulah yang telah memukul anak Cia Tay-jin sehingga menimbulkan malapetaka ini. Bagaimana sekarang aku bisa meninggalkan tanggung-jawab dan menyelamatkan diri sendiri? Aku ingin mengadu jiwa dengan pembunuh-pembunuh ini!”
“Jangan,” cegah ibunya. “Kau akan mengantar jiwa dengan cuma-cuma, sedangkan Cia To-bun yang ingin kau balas akan tetap enak-enak di rumahnya tanpa kurang suatu apapun.”
Tengah ibu dan kedua anak-anaknya itu saling berbantahan, Oh Yu-thian yang tengah berkelahi itu berseru dengan jengkelnya, “Kalian benar-benar goblok, kenapa berbantahan tanpa guna sepeti itu? Membalas dendam sepuluh tahun lagi pun masih belum terlambat. Tapi jika kalian mampus semua di tempat ini, maka sakit hati ini benar-benar tidak akan terbalas sampai akhir jaman sekalipun!”
Ternyata, betapapun lihainya Soat-san-kiam-sian Oh Yu-thian, namun menghadapi belasan orang jago-jago pilihan Thio Cong-tok mau tidak mau menjadi agak kewalahan juga. Sebaliknya belasan orang jagoan itupun sudah tidak sempat memperhatikan hal-hal lainnya lagi, mereka harus menggabungkan tenaga dan pikiran untuk membendung si dewa pedang yang sangat digdaya itu.
Sementara itu Oh Yu-thian telah berteriak pula, “He, lekaslah lari! Aku mendengar derap langkah ratusan prajurit sedang menuju ke tempat ini. Jangan menunggu sampai rumah ini terkepung rapat!”
Tong Wi-hong lau memungut pedangnya yang diletakkan di tanah, dan bukannya ia lari, namun malah menerjunkan diri ke tengah gelanggang pertempuran, diikuti pula oleh adik perempuannya.
Sesungguhnya belasan orang jagoan Cong-tok itu hanya merupakan pelopor saja, di belakang mereka masih ada sebuah pasukanyang jauh lebih kuat yang benar-benar akan menumpas keluarga Tong Tian sampai tuntas. Jika pasukan itu telah tiba di situ, maka biarpun kepandaian Oh Yu-thian setinggi langit, ia tidak akan mampu melindungi sisa-sisa keluarga Tong itu. Itulah sebabnya ia berteriak-teriak dengan gugupnya untuk menganjurkan lari.
Sementara itu Phui In telah melompat mundur dari tengah gelanggang, ia mengeluarkan sebuah peluru api yang langsung dinyalakannya dan dilemparkan ke udara. Peluru itu meledak di langit yang kelam dan membentuk sebuah garis api yang panjang. Itulah isyarat kepada seluruh pasukan agar mempercepat gerakannya. Rupanya Phui In khawatir jika sisa-sisa keluarga Tong itu sampai melarikan diri, tentu akan menjadi bibit penyakit di kemudian hari.
Sedangkan Oh Yu-thian bertambah gugup melihat Tong Wi-hong dan adiknya masih juga berkeras kepala tidak mau melarikan diri. Teriaknya, “Hm, anak-anak goblok! Jika kalian tidak mau pergi juga, biarlah malam inipun aku ikut mampus di tempat ini!”
Kepungan para jagoan yang dikirim Thio Cong-tok itu ternyata cukup ketat, sedikit saja perhatian Oh Yu-thian terpecah, pahanya telah kena tendangan perwira yang mahir Kau-kun tadi. Untung tubuh Oh Yu-thian cukup kuat, sehingga tendangan itu tidak terlalu dirasakannya, bahkan ia membalas perwira itu dengan menikam pinggangnya.
Mendadak di tengah kesunyian malam itu sayup-sayup mulai terdengar derap langkah ratusan orang di kejauhan, makin lama makin mendekat, dan bahkan kedengaran pula suara gemerincingnya senjata. Mendengar itu, Phui In dan kawan-kawannya bersorak dalam hati dan mereka pun tambah bersemangat dalam bertempur.
Sebaliknya, Oh Yu-thian semakin naik darah, tiba-tiba ia berteriak menggeledek sambil melancarkan jurus Pat Hong-hong-i (Hujan Angin Delapan Penjuru), pedangnya seakan-akan terpecah menjadi puluhan batang yang bergerak dalam tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan secepat kilat. Lawan-lawannya terperanjat dan serentak berlompatan mundur, tetapi dua orang perwira bernasib malang telah menemui ajalnya karena kurang cepat bergerak.
Setelah membubarkan kepungan, secepat angin Oh Yu-thian telah meluncur ke arah Tong Wi-hong dan dengan gampangnya mencengkeram kuduk anak muda itu. Bentaknya, “Anak gila, jika kau tidak mau menyelamatkan diri untuk membalaskan sakit hati ayahmu di kemudian hari, lebih baik kau tidak usah memakai nama marga Tong lagi!”
Dan tubuh Tong Wi-hong yang beratnya puluhan kati itu dilemparkannya ke luar halaman, seringan orang melemparkan anak anjing saja. Tong Wi-lian pun mengalami nasib yang sama, yaitu dilemparkan keluar tembok halaman setelah didamprat lebih dulu.
Jagoan-jagoan Thio Cong-tok itu bertugas untuk menumpas keluarga Tong, tidak boleh tersisa seorangpun. Begitu melihat Tong Wi-hong dan Tng wi-lian telah dilempar keluar oleh Oh Yu-thian, mereka segera membagi diri. Sebagian tetap bertahan di tempat itu untuk menahan amukan Oh Yu-thian dan Tong Hu-jin, sebagian lagi mengejar ke arah larinya Wi-hong dan adiknya.
Tong Hu-jin melompat mengejar orang-orang yang hendak memburu anak-anaknya itu. Namun karena kepandaiannya pun terbatas, maka ia hanya berhasil menahan dua orang diantara mereka, dan masih ada empat orang yang dengan leluasa meneruskan pengejarannya.
Semua perkembangan itu tidak lepas dari pengamatan Oh Yu-thian. Dengan tangan kirinya tokoh Soat-san-pay itu segera menyebarkan segenggam senjata rahasia berbentuk bintang-bintang besi ke arah orang-orang yang hendak mengejar Wi-hong dan Wi-lian itu.
Senjata-senjata rahasia itu meluncur dengan suara bercuitan, tiga orang terjungkal roboh sebelum sempat melompati tembok halaman. Yang satu lagi berhasil menginjak puncak tembok, namun jatuh kembali ke tanah karena pundaknya pun terkena bintang besi dari Soat-san-pay.
Terdengar Oh Yu-thian tertawa terbahak-bahak dengan puasnya, tandangnya semakin garang setelah jumlah musuh-musuhnya berkurang. Dalam beberapa gebrakan saja. Phui In dan kawan-kawannya telah diporak-porandakan oleh ilmu pedangnya yang hebat. Sedangkan Tong Hu-jin pun mulai unggul di atas angin, sebab ia cuma menghadapi dua orang perwira yang kepandaiannya tidak begitu lihai. Bahkan dengan sengit isteri Tong Tian itu mendesak terus.
Saat itulah pasukan besar yang dikirim oleh Thio Cong-tok telah tiba di sekeliling rumah segera terdengar suara hiruk-pikuk, cahaya obor dan suara teriakan-teriakan terdengar, “Kepung rapat-rapat rumah ini! Jangan sampai para pemberontak itu lolos seorangpun!”
Muka Oh Yu-thian berubah hebat. Betapa lihainya seorang ahli silat, ia tidak mungkin menghadapi ratusan prajurit sekaligus. Cepat Oh Yu-thian berseru kepada Tong Hu-jin, “Tit-li (keponakan perempuan), cepat kau susul kedua anakmu. Sisa-sisa anjing kaisar ini biarlah kuhadapi sendiri!”
Phui Kang mendengus dan berkata dingin, “Hem, kau boleh memaki kami apa saja, tapi setelah kau tertangkap nanti, lihat saja kau masih bisa menggonggong apa lagi!” lalu dengan badiknya secepat kilat ia menikam ke dada Oh Yu-thian.
Oh Yu-thian menggertakkan giginya, beruntun ia memainkan serangkaian jurus-jurus Soat-san-kiam-hoat yang membuat ketujuh sisa lawannya itu dipaksa untuk bertahan melulu. Namun segera terlihat bahwa pintu gerbang rumah telah didobrak dari luar dan puluhan prajurit membanjir masuk. Bahkan tidak sedikit prajurit-prajurit pemerintah yang masuk kehalaman dengan jalan memanjat tembok.
Dalam keadaan sekisruh itu, para pelayan keluarga Tong menunjukkan kesetiaannya. Meskipun mereka hanya berjumlah sedikit dan tidak mahir menggunakan senjata, tapi sekuat tenaga mereka mencoba membela rumah tuannya dari pengerusakan oleh prajurit-prajurit Cong-tok.
Tapi apa artinya pelayan-pelayan itu dibandingkan ratusan prajurit yang paling tangguh di Kiang-se? Bukan saja para pelayan itu tidak sanggup mencegah, bahkan mereka berguguran dengan mudahnya. Dan prajurit-prajurit Cong-tok itu memperlakukan lawannya dengan bengis, membabat orang-orang lemah itu seperti membabat rumput saja.
Tong Hu-jin menjadi sangat terharu melihat kesetiaan pelayan- pelayannya. Makin besarlah tekadnya untuk bertahan sampai titik darah yang penghabisan di tempat itu. Namun Oh Yu-thian justru punya pikiran lain yang tidak sesuai dengan tekad Tong Hu-jin itu. Serunya,
“Tit-li, bila kau sudah tidak menghiraukan keselamatanmu sendiri, itu urusanmu. Tetapi apakah kau juga akan membiarkan anak-anakmu berkeliaran di dunia persilatan tanpa seorang pembimbing pun? Jika demikian kau benar-benar seorang yang hanya mementingkan diri sendiri!”
Kata-kata yang pedas itu ternyata cukup berkesan dihati perempuan perkasa itu. Ia mulai dapat berpikir dengan kepala dingin. Di saat dia ragu-ragu itulah maka seorang perwira hampir berhasil mendaratkan goloknya untuk membelah batok kepala Tong Hu-jin.
Melihat itu, cepat Oh Yu-thian bergerak untuk menolong. Perwira yang hampir berhasil itu tiba-tiba mengeluh pendek, pedang Oh Yu-thian secara telak telah menembus pinggangnya, dari pinggang kanan tembus ke pinggang kiri. Sementara lawan-lawannya tertegun, secepat kilat Oh Yu-thian telah menyarungkan pedangnya.
Kemudian dengan tangan kiri ia menyambar mayat Tong Tian dan dengan tangan lainnya ia menarik Tong Hu-jin, lalu dengan sekali mengayunkan badan ia telah melompat ke atas genteng. Bobot tubuh dua orang yang dibawanya itu ternyata hampir-hampir tidak mempengaruhi ilmu meringankan tubuhnya, dalam beberapa kali lompatan saja dia telah pergi cukup jauh.
Melihat itu, Phui In dan kawan-kawannya mau tidak mau terlongong kagum dan bergumam, “Tidak kosong nama Soat-san-kiam-sian!”
Meskipun para perwira itu merasa tidak ada gunanya mengejar pendekar tua itu, namun untuk menunjukkan “kegagahan” di hadapan prajurit-prajurit rendahan, para perwira itu pura-pura mengejar puluhan langkah, dan setelah itu balik kembali. Betapapun lebih enak menguras barang-barang berharga di rumah Tong Tian daripada mempertaruhkan nyawa mengejar jago tua yang perkasa itu.
Tong Tian memang bukan orang kaya, tapi banyak harta simpanannya yang cukup berharga. Maka berpestalah Phui In dan perwira-perwira lainnya, tingkah laku mereka benar-benar tidak mirip prajurit sebagai pelindung rakyat melainkan sama persis dengan kaum perampok. Meskipun gagal memikul tugasnya, tidak mengapa, asal kantong sudah penuh dan nanti di hadapan Cong-tok mereka akan mengarang alasan yang kuat untuk kegagalan itu.
Dalam pada itu, Oh Yu-thian dengan memanggul dua sosok tubuh, yang satu hidup dan yang lain mayat, terus berlari-lari meninggalkan rumah itu. Dengan gin-kang dan lwe-kangnya yang tangguh, jarak lima li ditempuhnya dalam waktu yang cukup singkat. Setelah itu barulah ia berhenti berlari.
Begitu berhenti, kembali Tong Hu-jin terguguk-guguk menangsi kematian suaminya. Oh Yu-thian membiarkan saja perempuan itu melepaskan kepepatan hatinya yang tadinya tertahan-tahan. Bahkan jago tua itu ikut merasa penasaran bagi kematian Tong Tian. Setelah Tong Hu-jin selesai dengan tangisnya dan mulai agak tenang, barulah Oh Yu-thian bertanya,
“Tit-li, ketika mendiang Tong Su-tit meninggalkan Soat-san, ia membawa sejilid kitab ilmu pedang karya terbaru dari Suheng (kakak seperguruan). Kini Tong Su-tit telah tiada, kitab hasil jerih payah Su-heng itu jangan samapai jatuh ke tangan anjing-anjing kaisar. Dimanakah kitab itu?”
Tong Hu-jin tidak segera menyahut, tapi ia segera menggeledah pakaian mayat suaminya, dan akhirnya di bagian dalam pakaian itu ditemukan sejilid kitab yang sampulnya telah bernoda darah dan berbau keringat. Ternyata Tong Tian begitu menyayangi kitab pemberian gurunya, sehingga di manapun dia berada, ia selalu membawa kitab itu di tubuhnya. Untung Cia To-bun tidak menggeledah badannya, kalau tidak tentu kitab itupun sudah ikut lenyap bersama lenyapnya nyawa pemiliknya.
Oh Yu-thian menjadi lega setelah melihat kitab itu masih utuh tidak berkurang satu apapun. Ia adalah seorang yang sangat mengunggulkan golongannya sendiri, dan tentu tidak rela bila kitab ilmu pedang dari perguruannya itu jatuh ke tangan golongan lain, bahkan andaikata jatuh ke tangan sesama golongan lurus sekalipun. Ia berpendapat bahwa sahabat adalah manusianya, tetapi ilmu silat tiap perguruan akan tetap bersaing dengan keunggulannya masing-masing dan saling merahasiakan keunggulan masing- masing.
Kemudian kata Oh Yu-thian kepada Tong Hu-jin, “Kitab itu oleh Suhengku telah dihadiahkan kepada suamimu, karena itu engkaulah kini yang berhak menyimpan dan merawatnya. Harap hati-hati, jangan sampai ada orang lain yang mengetahui bahwa ktab itu ada padamu, sebab jika demikian kau akan dilanda macam-macam kesulitan.”
Dengan khidmat Tong Hu-jin menyimpan kitab itu di tubuhnya sendiri. Katanya, “Terima kasih atas bantuan Su-siok yang telah menyelamatkan sisa-sisa keluarga kami. Selanjutnya tit-li mohon bantuan Su-siok agar membantuku mencari dan melindungi anak-anakku yang kini telah terpencar-pencar. Anak tertuaku, A-siang, sekarang entah berada di mana. Sedangkan A-hong dan A-lian pun tidak tahu lari ke jurusan mana. Semoga Thian selalu melindungi mereka.”
Oh Yu-Thian tidak berkata apapun. Dengan mata yang menyala ia menatap rumah Tong Tian di kejauhan, yang kini telah tampak kemerah-merahan karena dilanda nyala api. Kiranya setelah Phui In dan kawan-kawannya puas menguras isi rumah, mereka lalu membakarnya.
Tong Hu-jin pun memandang nyala api di kejauhan itu dengan macam- macam perasaan berkobar di dalam dadanya. Sedih, geram, dan dendam. Kemudian Oh Yu-thian dan Tong Hu-jin bersama-sama menggali sebuah lubang untuk menguburkan mayat Kiang-se-tay-hiap secara sederhana saja.
Tubuh pendekar nomor satu di seluruh Kiang-se itu kini telah berada di bawah sebuah gundukan tanah yang sangat sederhana, hanya ditandai dengan sebuah batu sebagai batu nisannya. Mereka memang sengaja menyamarkan kuburan pendekar itu agar Cia To-hun tidak menemukannya dan membongkarnya kembali.
Setelah itu, Oh Yu-thian bertanya kepada Tong Hu-jin, “Sekarang tit-li hendak pergi ke mana?”
Untuk sesaat lamanya Tong Hu-jin jadi kebingungan harus menjawab bagaimana. Ke mana kini ia hendak menggantungkan hidupnya? Mencari dua orang saudara angkat Kiang-se-tay-hiap? Tapi Siong-koan Hwesio, si kakak angkat, adalah seorang rahib pengembara yang tidak tentu tempat tinggalnya. Apalagi Tong Hu-jin sebagai seorang perempuan merasa tidak pantas kalau melakukan perjalanan bersama-sama dengan seorang rahib. Menuju ke tempat tinggal Ting Ciau-kun, si adik angkat di Pak-khia?
“Aku tidak sudi ke sana,” pikir Tong Hu-jin. “Meskipun Tong Ciau-kun adalah adik angkat suamiku, sikapnya pun manis dan ramah, tapi aku tahu bahwa dia adalah seorang munafik yang pandai berpura-pura. Lalu sekarang harus ke manakah aku?”
Melihat isteri Tong Tian itu masih kebingungan menjawab, Oh Yu-thian lalu memberi usul, “Kukira tempat yang paling aman bagimu saat ini adalah Soat-san, meskipun cukup jauh dari sini. Tetapi di tempat yang tenteram dan indah itu kau akan dapat mengistirahatkan tubuh dan pikiranmu yang kelelahan setelah mengalami bencana hebat ini. Di tempat itu pula kau dapat lebih memusatkan diri untuk memperdalam ilmu pedang guna membalas sakit hati, sekaligus melepaskan kerinduan kepada saudara-saudara seperguruanmu yang sudah cukup lama berpisahan denganmu.”
Dalam keadaan bingung tanpa pegangan itu, usul Oh Yu-thian langsung mendapat tempat di hatinya. Dan ia bertambah mantap ketika Oh Yu-thian berkata, “Mengenai ketiga orang anak-anakmu, jangan kau cemaskan mereka. Kebetulan akupun sedang menganggur dan tidak ingin cepat-cepat pulang ke Soat-san. Aku akan berkeliling dulu ke seluruh negeri untuk menjumpai sahabat-sahabat lama, sekalian mencari berita tentang anak-anakmu itu.”
Tong Hu-jin bagaikan tersumbat tenggorokannya oleh rasa haru dan terima kasihnya, cepat ia berlutut dan menyatakan syukurnya kepada paman gurunya itu.
“Sudahlah, kesedihan dan kepahitan tidak ada gunanya disimpan terus dalam hati,” kata Oh Yu-thian. “Lebih baik mulai sekarang kita pusatkan pikiran untuk langkah-langkah apa yang bakal kita jalankan. Nah, aku pergi dulu.”
Dengan beberapa kali lompatan saja, tubuh Oh Yu-thian telah berkelebat lenyap dari pandangan. Langit di sebelah timur telah berangsur-angsur menjadi semakin cerah, ternyata masih secerah hari kemarin. Tetapi nasib pendekar di tepi danau Po-yang-ou itu sudah berubah hebat. Tong Tian terbunuh, anak-anak mereka berpencaran tak tentu arahnya, dan rumah tempat mereka berlindung pun kini hanya berujud puing-puing hangus yang masih berasap dan bercampur bau daging terbakar.
Sebelum meninggalkan tempat itu, sekali lagi Tong Hu-jin berlutut sembahyang di depan makam suaminya. Setelah itu mulailah ia melangkahkan kakinya untuk menempuh suatu perjalanan yang sangat jauh ke arah barat, ke Soat-san, tempat dimana ia pernah menghabiskan sebagian besar masa mudanya untuk berguru ilmu silat di sana. Setelah berpuluh tahun meninggalkan tempat itu, ada juga rasa kerinduannya kepada tempat itu.
Tong Wi-hong dan adiknya terus berlari sampai menjelang fajar. Ketika mendekati kota Lam-cang, mereka menjumpai dua orang prajurit yang tengah meronda. Kebetulan jalan masih sepi dari lalu-lintas, maka kedua prajurit itu langsung dihajar dan dirampas kudanya, sekalian untuk melampiaskan kemarahan kepada pihak kerajaan yang telah semena-mena melemparkan tuduhan dan membasmi keluarga mereka.
Masih untung prajurit-prajurit itu, sebab kedua saudara Tong itu masih belum sampai hati membunuh mereka, hanya membuat beberapa biji gigi mereka rontok. Dengan kuda rampasan itu perjalanan Wi-hong dan Wi-lan jadi lebih cepat. Mereka sengaja menghindari kota Lam-cang dan langsung menujukan kuda mereka ke arah utara.
Pakaian mereka yang terkoyak-koyak dan bernoda cipratan darah, serta pedang yang terselip di pinggang tanpa sarung itu, membuat kakak beradik itu mirip sepasang perampok muda yang baru saja gagal merampok dan sedang diburu-buru orang sekampung.
Tong Wi-hong akhirnya menyadari bahwa keadaan mereka yang semacam itu tentu sangat menarik perhatian orang-orang yang berpapasan dengan mereka, dan itu akan sangat memudahkan bagi orang-orang Cia To-bun untuk mencari jejak mereka. Karena itu mereka harus berganti pakaian. Tapi mereka meninggalkan rumah tanpa membawa bekal uang sepeserpun, dari mana bisa mendapatkan pakaian yang pantas?
Keduanya lalu berunding. Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya mereka memutuskan untuk mencuri, suatu pekerjaan yang selama ini terpikirkan pun belum pernah. Tapi keadaan telah memaksa mereka untuk berbuat demikian. Tapi mereka pun tidak ingin menyusahkan mereka yang miskin, maka sasaran pencurianpun ditetapkan kepada seorang hartawan desa yang pelit.
Dari situlah mereka berhasil mencuri pakaian yang cukup pantas, meskipun dengan potongan pakaian orang desa, bahkan sempat pula mengambil sekantong uang untuk bekal perjalanan mereka. Tidak lupa mereka meninggalkan sepucuk surat ucapan “terima kasih” dan kata-kata penghibur hati untuk sang korban.
Keesokan harinya hartawan itu menemukan hartanya telah berkurang, dan karena gemasnya maka surat ucapan terima kasih Wi-hong itu diremasnya dan ditelannya mentah-mentah. Sedangkan Tong Wi-hong dan adiknya kini telah berganti rupa. Meskipun pakaian yang mereka kenakan itu berpotongan sederhana tapi sudah cukup menjadikan Wi-hong seorang pemuda yang tampan dan gagah, serta Wi-lan tampak cukup manis dan ayu.
Sayang sepasang wajah tampan dan ayu itu nampak diliputi kemurungan. Keduanya terus mengaburkan kudanya ke arah utara, dan hanya beristirahat bila perlu saja. Kota-kota dan tempat-tempat ramai mereka hindari sebisa-bisanya, sebab mereka khawatir bertemu dengan orang-orangnya Cia To-bun.
Kenapa kakak beradik itu menuju ke utara? Rupanya mereka telah berunding dan memutuskan akan mencari paman angkat mereka, Ting Ciau- kun, yang tinggal di Pak-khia. Di situlah mereka akan menumpang untuk sementara sambil mohon sang paman mengajarkan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan Eng-jiau-kang (Tenaga Kuku Elang) yang kabarnya cukup lihai itu, untuk membalas dendam sakit hati mereka.
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari tanpa kenal lelah, akhirnya sampai juga mereka ke Pak-khia, ibukota kerajaan di jaman dinasti Beng itu. Tong Wi-hong dan adiknya dibesarkan di sebuah kota kecil seperti An- yang-shia, dan andaikata mereka pernah melihat kota besar, paling-paling hanya melihat kota Lam-cang yang jaraknya tidak jauh dari An-yang-shia. Dan kini setelah melihat kota Pak-khia, kota pusat pemerintahan itu, maka Lam- cang hanya seperti dusun kecil saja.
Kakak beradik itu benar-benar takjub melihat pemandangan yang terbentang di hahadapannya. Jalan-jalan raya yang lebar dan berlapis batu halus itu terasa begitu panjang, dan jumlah persimpangan-persimpangannya bagaikan sarang laba-laba banyaknya. Di kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang indah dan besar, rumah-rumah makan yang mewah, kuil-kuil pemujaan yang berukir indah, pagoda-pagoda yang tingginya bagaikan menggapai langit, dan sebagainya.
Dan orang-orang yang berhilir-mudik di jalan raya yang lebar itu bukan cuma orang-orang Han saja, tapi nampak pula orang-orang dari suku luar perbatasan (Kwan-gwa) seperti suku-suku Mongol, Mancu, atau Korea, juga orang-orang dari daerah barat seperti suku-suku Hui (Uigur), Kozak dan sebagainya. Terlihat pula orang-orang Thian-tiok (India) dengan pakaian suteranya yang indah dan kumisnya yang melintang seperti tanduk kerbau, atau orang-orang Persia dengan matanya yang berwarna kecoklat-coklatan dan brewoknya yang tebal.
Karena khawatir menubruk orang di jalan raya yang seramai itu, maka Tong Wi-hong dan adiknya merasa lebih aman untuk menitipkan kudanya dan berjalan kaki saja. Meskipun begitu, toh suatu ketika Wi-hong hampir saja menabrak seorang saudagar India. Agak lama kakak beradik itu berputaran di kota itu, sampai Wi-lian mengingatkan kakaknya akan tujuan mereka datang ke kota itu,
“A-hong, di mana rumah paman Ting?”
“Kita akan mencarinya sekalian menikmati keindahan kota. Akupun belum tahu di mana rumah paman Ting,” sahut sang kakak seenaknya. Pikirnya berapa luasnya Pak-khia sehingga rumah paman Ting tidak dapat ditemukan?
Adiknya menjadi agak bingung, tanyanya, “Kenapa dulu kau mengajakku ke sini, seolah-olah kau sudah tahu semua jalan di sini?”
Sahut sang kakak, “Kapan aku pernah berkata begitu? Tetapi kau tidak perlu kebingungan, A-lian dulu A-siang pernah di ajak oleh ayah pergi ke rumah paman Ting, dan A-siang pernah menceritakan kepadaku bahwa rumah paman Ting ada di bagian barat kota ini. Yang penting sekarang kita mengisi perut dulu.”
Sepanjang jalan yang mereka lewati memang tidak sedikit terdapat rumah makan yang memancarkan bau-bauan sedap yang merangsang selera. Maka kakak beradik itu lalu masuk salah satu di antara rumah-rumah makan itu. Beberapa orang tetamu memandang kakak beradik yang berpakaian seperti orang desa itu, namun Wi-hong dan Wi-lian tidak peduli dan langsung mengambil tempat duduk.
Keduanya lalu memesan masakan dan minuman, dengan uang curian mereka dari si hartawan pelit, mereka dapat berfoya-foya untuk beberapa hari lagi. Begitu pesanan makanan mereka telah terhidang, terlihat nyata bedanya denga masakan-masakan di Lam-cang maupun An-yang-shia, meskipun namanya sama. Di sini cara penyajiannya lebih membangkitkan selera. Maklumlah Pak-khia bukan hanya dikunjungi oleh orang-orang setempat tapi juga oleh orang-orang asing yang ingin mencicipi masakan bangsa Han.
Tengah orang-orang di dalam rumah makan itu menyuapi mulutnya masing-masing, tiba-tiba serentak semua perhatian tertuju ke arah pintu masuk. Ternyata di ambang pintu itu telah muncul dua orang manusia yang menarik perhatian. Yang seorang bertubuh kurus kering, agak bungkuk dan mulutnya monyong. Meskipun tampangnya jelek, tapi cara berpakaiannya justru agak mewah dan nampaknya ia berusaha keras untuk menarik perhatian kaum wanita. Tapi agaknya hanyalah perempuan rabun saja yang bakal tertarik kepadanya.
Yang seorang lagi adalah seorang lelaki raksasa tinggi besar, otot-ototnya bertonjolan di seluruh permukaan kulitnya, mengenakan baju lengan pendek, dan caranya berjalanpun tegap membusungkan dada. Jika lelaki yang pertama matanya sekecil mata tikus, maka si raksasa justru punya mata yang besarnya hampir sepuluh kali lipat dari mata temannya. Nampaknya si raksasa ini berdarah Mongol.
Begitu kedua orang aneh itu melangkah masuk ke dalam rumah makan itu, serempak suasana dalam rumah makan itu menjadi sunyi dan tegang. Agaknya kedua orang ini merupakan orang-orang yang dikenal di daerah itu, bahkan ada beberapa orang tetamu yang mencoba menyembunyikan mukanya dengan sikap gelisah.
Si mata tikus dan si raksasa itu menyapukan pandangan kepada semua orang yang berada di rumah makan itu, kemudian mereka melangkah ke salah satu sudut, mendekati sebuah meja. Di meja itu ada seorang lelaki setengah umur yang bertampang pedagang kelas menengah, sedang menikmati semangkuk bakso kuah. Begitu melihat si raksasa dan si mata tikus mendekatinya, orang itu terkejut sekali, sebutir bakso yang hampir ditelannya telah melompat keluar kembali dan mencebur pulang ke mangkoknya.
Si raksasa nampak tertawa senang melihat orang itu ketakutan. Seenaknya saja ia mencengkeram rambut pedagang setengah umur itu, lalu digabrokannya muka orang itu ke permukaan meja sehingga jidatnya benjol seketika. Anehnya saudagar itu tidak menjerit kesakitan tapi justru berusaha untuk menunjukkan muka seramah mungkin, maka mukanya jadi kelihatan lucu.
Si mata tikus tertawa dingin, ia pun ikut-ikutan mencengkeram rambut orang itu, sambil berkata dingin, “Hem, bagus sekali kelakuanmu ini. Sudah beberapa kali aku mencarimu ke tokomu, dan isterimu bilang tidak punya uang karena dagangannya sedang sepi. Tak terduga kau malahan sedang enak-enak makan minum di sini.”
Pedagang setengah umur itu menyahut dengan suara gemetar, “Tunggu dulu, ha... harap disampaikan kepada Ting Toaya (Tuan Besar Ting) bahwa aku a... akan segera mee... membayar hutangku. Tetapi tolong jangan rampas tokoku, anak isteriku bisa mati kelaparan nantinya...”
“Baiklah, kalau kau tidak ingin tokomu disita, kau harus melunasi semua hutang dalam tempo tiga hari. Hutang induknya limapuluh tahil emas, bunganya perbulan sepuluh tahil. Kau sudah menunggak empat bulan, berarti tiga hari lagi kau harus membayar hutang berikut bunganya berjumlah sembilanpuluh tahil emas. Jelas?!”
Pedagang setengah umur itu melotot bagaikan dicekik ketika mendengar jumlah yang harus dibayarnya untuk melunasi hutang. Katanya dengan suara setengah menangis, “Wah, ma... mana bisa begitu? Tokoku sedang sepi, dalam sehari hanya ada empat atau lima orang pembeli yang mampir, bagaimana aku bisa mendapat uang sembilanpuluh tahil emas dalam waktu sesingkat itu?”
Si mata tikus menjawab, “Terserah kau. Merampok atau mencopet atau menipu bukan urusan kami. Tapi dalam tiga hari, sembilanpuluh tahil emas harus tersedia, atau kami terpaksa mengambil tindakan keras.”
Si pedagang nampak makin bingung, “Wah, bagaimana ini?”
Tapi si raksasa telah mengaplok mukanya sehingga si pedagang terlempar dari kursinya dan jatuh ke lantai. Baru saja ia hendak merayap bangun, si raksasa telah menginjak dadanya sehingga ia terpaku di lantai tanpa bisa bergerak. Bentak si raksasa,
“Menyerahkan toko tidak mau, membayar hutang juga tidak mau, lalu apa maumu? Minta ku bakar tokomu atau ku ambil gigimu beberapa buah? Memangnya duit yang kau pakai itu kepunyaan nenek moyangmu?!”
Kelakuan si mata tikus dan si raksasa itu mengingatkan Tong Wi-hong akan Cia To-bun di an-yang-shia. Pejabat she Cia itu meskipun namanya pelindung rakyat, namun pada hakikatnya adalah penindas rakyat kecil. Selama dia berkuasa di An-yang-shia, entah berapa banyak kerugian yang ditimbulkannya atas diri rakyat kecil. Kini di Pak-khia, di kota pusat pemerintahan, di mana katanya hukum ditegakkan dengan sebaik-baiknya, Tong Wi-hong kembali menjumpai peristiwa si kuat menindas si lemah dengan semena-mena.
Bahkan Wi-hong menjadi heran kenapa orang-orang lain di tempat itu seakan-akan acuh tak acuh saja, tak seorangpun berusaha melerai atau menolong si pedagang setengah tua itu. Akhirnya darah Tong Wi-hong semakin mendidih dan ia memutuskan untuk ikut campur dalam urusan itu.
Sementara itu si raksasa telah mengayunkan tangannya lagi untuk memukul remuk orang yang diinjaknya itu. Tong Wi-hong tidak dapat menahan diri lagi, dengan cepat disambarnya poci arak di depannya dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah si raksasa.
Si raksasa terkejut ketika tiba-tiba melihat sebuah poci melayang deras ke arahnya, ia berusaha menghindar dengan membungkukkan badan, tapi poci itu tetap mengenai pundaknya dan terasalah pundaknya agak pegal. Diam-diam ia heran akan tenaga si pelempar poci.
Dengan pandangan mata menyala sambil memijiat-mijat pundaknya, raksasa itu menatap ke arah Tong Wi-hong. Lalu perlahan-lahan melangkah mendekati sambil menggeram, “Bangsat cilik! Siapa kau dan kenapa kau ikut campur urusan kami?!”
Tong Wi-hong bukan seorang pemuda yang gemar berkelahi, jauh berbeda denga Tong Wi-siang kakaknya, namun bukan berarti dia penakut. Bila melihat kesewenang-wenangan berlangsung dimanapun juga, dia pasti akan ikut campur, dan jika sudah demikian dia tidak takut biarpun kepada Kaisar sendiri. Kini Tong Wi-hong pun telah bangkit dari tempat duduknya dan menunggu datangnya si raksasa sambil bertolak pinggang, sahutnya, “Aku cuma seorang yang gemar menendang anjing.”
Sementara Tong Wi-hong berdiri dan siap berkelahi, adik perempuannya masih duduk dengan santainya sambil meneruskan makan minumnya. Si raksasa itu agaknya bukan makhluk menakutkan buat gadis itu. Sikap tenang dari kedua kakak beradik itu mengherankan para tetamu rumah makan lainnya. Bagaimana sepasang “muda-mudi desa” itu berani mencari perkara kepada anak buah Ting Toaya, orang yang paling ditakuti di Pak-khia bagian barat itu?
Si raksasa Mongol itu melotot saking marahnya, andaikata dia melebarkan matanya sedikit lagi maka pasti biji matanya akan melompat dari kelopaknya. Tiba-tiba ia meraung seperti binatang buas lalu melompati meja yang ada di depannya, dan tinjunya yang sebesar mangkok itu telah melayang ke wajah Tong wi-hong. Cepat Tong Wi-hong menggeser ke samping dengan tendangan Coan-sin- teng-kak (Menendang sambil Memutar Tubuh).
Raksasa itu belum sempat memasang kuda-kuda sehabis menubruk tadi, tahu-tahu tendangan Wi-hong telah menghantam pinggulnya dengan keras. Tubuhnya yang besar itu segera sempoyongan hampir jatuh, meskipun belum sampai jatuh, tetapi mukanya sudah merah padam karena malunya. Ternyata manusia bertubuh raksasa ini tidak memiliki otak yang sebanding dengan besar badannya. Ia hanya berkelahi mengandalkan kekuatannya, tentu saja bukan tandingan Tong Wi-hong, putera Kiang-se-tay- hiap itu.
Kembali raksasa itu menubruk ke arah Wi-hong, kedua tangannya terkembang dan siap untuk menekuk tubuh Wi-hong menjadi dua potong. Kali ini agaknya ia ingin menggunakan ilmu gulat sukunya yang pernah ia pelajari meskipun tidak matang. Jika tubuh Wi-hong sampai tertangkap oleh sepasang tangan yang kokoh kuat itu, maka jangan harap dapat lepas lagi, satu-satunya jalan hanyalah menunggu nasib.
Untung Tong Wi-hong pun menyadari hal itu. Dengan kelincahan tubuhnya ia dapat menghindar kian kemari, membuat musuhnya jadi makin kalap karena merasa di ejek. Sambil memburu Wi-hong, si raksasa menendangi dan melempar-lemparkan meja kursi yang menghalang-halangi geraknya. Si pemilik rumah makan cuma mengeluh dalam hati tanpa berani berbuat apa-apa.
Setelah kucing-kucingan sekian lama, napas si raksasa Mongol mulai mendengus-dengus berat, sebaliknya Wi-hong masih dengan segarnya berlincahan kian kemari meskipun agak berkeringat juga. Tapi ujung bajunya pun belum tersentuh oleh tangan si raksasa. Karena mendongkolnya, akhirnya si raksasa menyambar sebuah bangku panjang yang digunakan sebagai toya dan langsung dihantamkan ke arah kepala Wi-hong.
Beberapa penonton berseru kaget, kini tentu si “anak desa” yang tak kenal takut itu akan mampus dengan kepala hancur. Beberapa penonton telah memalingkan mukanya, karena merasa tidak sampai hati melihat otak berceceran. Sebaliknya Wi-lian masih tenang-tenang saja menyaksikan perkelahian antara kakaknya dengan si raksasa. Dia sudah tahu sampai di mana kemampuan kakaknya, dan dia tidak mencemaskannya.
Melihat si raksasa Mongol itu benar-benar berniat membunuhnya, meluap juga darah Tong Wi-hong dan timbullah sifat-sifat mudanya ingin membuat si raksasa itu jera. Dengan sepenuh tenaga dan semangatnya ia menyambut bangku yang meluncur ke arah kepalanya dengan tendangan kakinya.
Bangku panjang itu memang bukan terbuat dari kayu yang paling keras, tapi tebalnya beberapa jari dan masih agak baru pula. Namun begitu terkena tendangan Tong Wi-hong, maka bangku itu bagaikan meledak oleh kekuatan dari dalam, berubah menjadi serpihan kayu kecil-kecil yang beterbangan ke seluruh ruangan. Si lelaki Mongol itu menjadi pucat wajahnya, ia cuma berdiri terlongong-longong sambil memegangi separuh bagian bangku yang masih utuh.
Wi-hong menahan kakinya sejenak di udara, lalu menurunkannya pelan-pelan sambil bertanya kepada si raksasa Mongol, “Bagaimana kira-kira kalau tendanganku ini tidak ku kenakan ke bangku panjang itu melainkan ke batok kepalamu...?”
Kemudian Cia To-bun memberi perintah kepada salah seorang prajurit, “Pergilah kau ke kota Lam-cang sekarang juga, temuilah Cong-tok (Panglima Daerah) Thio Ban-kiat dan katakan kepada beliau bahwa aku ingin meminjam pasukan untuk menumpas sisa-sisa keluarga Tong. Kau berangkat sekarang juga, dan bala bantuan itu kalau bisa harus sudah ada di An-yang-shia pada malam nanti, supaya dapat langsung digerakkan.”
Kiranya Panglima Daerah Kiang-se itu adalah sahabat karib Cia To-bun. Puluhan ribu tentara kerajaan yang ada di seluruh Kiang-se ada di bawah perintahnya, sedang kedudukan markasnya ada di kota Lam-cang yang jaraknya hanya sepuluh li dari An-yang-shia. Ternyata Thio Ban-kiat ini tidak mau repot-repot lagi menyelidiki benar atau tidaknya laporan Cia To-bun tentang “memberontaknya keluarga Tong”, ia terlalu malas untuk berbuat itu.
Maka laporan Cia To-bun ditelannya mentah-mentah begitu saja, dan langsung saja Thio Ban-kiat mengirimkan sepasukan prajuritnya dan beberapa perwira yang berilmu cukup tinggi untuk “menumpas pemberontak”. Begitulah gambaran kebobrokan keadaan pemerintahan di masa berkuasanya Kaisar Cong-ceng.
Para penguasa begitu mudah menggerakkan tentara dan main tumpas begitu saja begitu ada laporan, tanpa menyelidiki dulu benar atau tidaknya laporan itu. Pokoknya mereka ingin cepat menyelesaikan urusan itu, tidak peduli bahwa cara penyelesaiannya itu betul atau tidak.
* * * * * * *
Senja itu, rumah keluarga Tong yang menghadap ke danau Po-yang-ou itu nampak sepi dan mencekam. Senda-gurau para pelayan yang biasanya ramai terdengar dan menyemarakkan suasana rumah itu, kini tidak terdengar sedikitpun. Desir angin yang menggoyangkan pucuk-pucuk cemara bagaikan membawa berita menyedihkan.
Dari ruangan tengah, masih nampak cahaya lilin menyorot keluar menembus kertas jendela yang tipis. Tong Hu-jin masih duduk terpekur, begitu pula Tong Wi-lian. Sedang Tong Wi-hong juga berada di dalam ruangan itu dan sedang berjalan hilir-mudik dengan kegelisahannya, berkali-kali ia mengepalkan tinjunya sambil menggigit-gigit bibirnya.
Tiba-tiba Tong Wi-hong berhenti melangkah, katanya memecah kesunyian, “Ibu, daripada kita menunggu dan disiksa kegelisahan di tempat ini, lebih baik biarkan aku menyusul ke rumah Cia To-bun. Barangkali ayah memerlukan bantuan untuk sesuatu hal.”
“Jangan gegabah menyimpulkan sesuatu,” sahut Tong Hu-jin. “Kepandaian ayahmu cukup tinggi dan pengalamannya pun cukup banyak, tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan anak kecil yang bermain-main di pinggir sumur.”
Meskipun muka Tong Hu-jin masih kelihatan tenang, tapi suaranya agak bergetar, rupanya dia pun sedang menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya. Ia bukannya tidak tahu bahwa di rumah Cia To-bun ada dua orang jagoan terkenal yang amu diperintah untuk berbuat apa saja demi uang. Apalagi hubungan batin antara Tong Hu-jin dan suaminya cukup erat, dan samar-samar ia mulai merasakan adanya firasat jelek.
Sahut Tong Wi-lian, “Jika saja ayah tidak menemui kesulitan, kenapa sampai semalam ini dia belum pulang juga? Cia To-bun adalah seorang yang licin dan licik, apalagi dia sangat membenci ayah, bisa jadi ia telah menyiapkan suatu perangkap buat ayah. Secara berhadapan memang ayah sulit untuk dikalahkan, tetapi bagaimana kalau secara licik dengan tipu muslihat keji? Ibu, kita harus pergi ke rumah Cia To-bun untuk melihat keadaan, jangan sampai semuanya menjadi terlambat.”
Didesak terus-menerus oleh kedua orang anaknya, mau tidak mau goyah juga pendirian Tong Hu-jin. Apalagi karena ia sendiri pun sudah hampir tidak tahan disiksa oleh perasaan gelisah dan firasat-firasatnya. Tengah ibu dan anak-anaknya dilanda kegelisahan, tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak-bahak dari atas genteng, disusul suara bernada mengejek,
“Ha-ha-ha, tikus-tikus yang malang, kalian tidak perlu menyusul ke An-yang-shia. Nih, bapakmu sudah kubawakan pulang!” Menyusul sebuah bungkusan besar dilemparkan dari atas genteng dan jatuh di tengah-tengah latar depan.
Tong Hu-jin dan kedua anaknya segera menghunus pedangnya masing-masing dan berlari-larian menghampiri bungkusan besar itu. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang, bungkusan itu berbentuk mirip manusia, bahkan pada kain pembungkusnya pun nampak bercak-bercak kehitam-hitaman. Seketika itu bergetarlah hati Tong Hu-jin dan anak-anaknya.
Dari atas genteng terdengar suara ejekan pula, “Kenapa kalian ragu-ragu? Bukalah bingkisan dari kami itu!”
Waktu Tong Hu-jin menengok ke atas genteng, maka nampaklah di atas genteng telah muncul dua orang manusia aneh. Kedua-duanya memakai seragam perwira kerajaan. Yang satu bertubuh gemuk pendek, bentuk tubuhnya serba bulat dan ia memanggul sebuah ruyung besi yang kelihatannya cukup berat.
Sedang yang satu lagi adalah kebalikannya, tubuhnya begitu kurus dan tinggi sehingga hanya mirip sebatang galah bambu saja, tangannya memutar-mutar dan mempermainkan sebatang badik pendek. Kedua orang itu dapat berdiri di atas genteng tanpa menimbulkan suara, hal mana menandakan bahwa kepandaian mereka cukup tangguh.
Sementara itu Tong Wi-lian telah membuka bingkisan itu. Mendadak gadis itu menjerit kaget dan menangis keras-keras, ternyata bungkusan itu adalah mayat ayahnya. Terjawablah pertanyaan kenapa sang ayah belum pulang sampai hari selarut itu, dan kini ternyata ayahnya pulang hanya sebagai sesosok mayat.
Kemarahan dan kedukaan hebat segera berkecamuk di hati orang-orang yang ditinggalkan itu, mereka juga menyesal karena tidak menyusul ke rumah Cia To-bun. Andaikata mereka menyusul sejak tadi, barangkali Tong Tian tidak mengalami nasib seburuk itu.
Sementara kedua manusia aneh yang berdiri di atas genteng itu tertawa-tawa melihat ibu dan anak-anaknya itu bertangisan. Si gemuk berkata di sela-sela tawanya, “Heh-heh... itulah hukuman yang pantas buat seorang pemberontak. Tetapi yang membunuhnya bukan aku, eh, kenapa kau melotot kepadaku?”
“Anjing-anjing kaisar, turunlah kau!” bentak Tong Wi-hong dengan penuh kemarahan sambil menudingkan pedangnya.
Si kurus menoleh kepada si gemuk sambil berkata, “Aduh, belum pernah kulihat tuan rumah segarang ini. Toako, mereka sudah mempersilahkan kita untuk turun.”
“Turun ya turun,” sahut si gemuk dengan tetap tertawa-tawa. “Barangkali mereka masih ingin menyuguh kita sebelum kita meringkus mereka. Adik Kang, ayo kita lompat ke bawah!”
Begitu kalimat itu selesai, kedua orang itu langsung melayang dari atas genteng bagaikan dua ekor elang menyambar mangsanya. Si gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat dan tangkas, gerak-geriknya sama sekali tidak terganggu oleh tubuhnya yang hampir bulat itu.
Kedua orang aneh itu adalah perwira-perwira bawahan Cong-tok Thio Ban-kiat dan keduanya adalah bersaudara. Yang gemuk pendek dan bersenjata ruyung itu bernama Phu In dan adiknya yang kurus seperti galah itu adalah Phui Kang. Tadinya kakak-beradik ini merupakan tokoh-tokoh Hek-to (jalan hitam) di Hun-lam, namun kemudian keduanya “insyaf” dan mengabdi kepada Kerajaan Beng dan mendapat pangkat perwira.
Begitu kaki menginjak tanah, Phui In langsung menyerampangkan ruyung besinya ke pinggang Tong Hu-jin yang berdiri paling depan, diimbangi oleh Phui Kang dengan tusukan badiknya ke arah tenggorokan dengan kecepatan seekor ular mematuk. Kakak beradik itu memang sudah terbiasa bertempur berpasangan secara rapi, yang satu unggul dalam hal kekuatan, lainnya punya gerakan secepat kilat.
Tapi isteri Tong Tian juga bukan perempuan lemah. Dia adalah adik seperguruan Tong Tian sendiri dan tingkat ilmunya tidak berselisih banyak dengan Tong Tian sendiri. Bahkan dalam hal ilmu meringankan tubug (Gin-kang), ia setingkat lebih unggul dari suaminya.
Demikian kedua saudara Phui itu menyerang, Tong Hu-jin pun memutar pedangnya dan melayani kedua musuhnya itu secara sengit. Meskipun hatinya tengah dibebani kesedihan akan kematian suaminya, namun permainan ilmu pedangnya hampir tidak terpengaruh sama sekali, sehingga tidak mudah bagi kedua saudara Phui untuk mengalahkannya. Dengan demikian berkobarlah sebuah pertempuran sengit di halaman rumah keluarga Tong itu. Untuk sementara sulit ditentukan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
Ternyata jago-jago yang menyerbu ke tempat itu bukan Cuma Phui In dan Phui Kang saja, sebab dari balik tembok melompatlah dua orang lagi yang langsung menyerbu ke arah Tong Wi-hong dan adiknya. Yang seorang bersenjata tan-to (Golok Tunggal) dan yang lainnya membawa tombak pendek berkait. Gerak-gerik mereka cukup tangkas dan lincah, menandakan bahwa mereka pun termasuk jagoan-jagoan terpilih yang dibawahi oleh Cong-tok Thio Ban-kiat.
Tong Hu-jin dan kedua anaknya bertempur dengan perasaan diliputi kemarahan dan kedukaan, tidak mengherankan kalau gerak-gerik merekapun kadang-kadang kurang terkendali. Mereka bertempur dengan nafsu untukk membalaskan sakit hati suami dan ayah mereka, dan untuk itu mereka bersedia mengadu nyawa. Maka sulitlah bagi jago-jagonya Cong-tok untuk menangkap mereka hidup-hidup.
Karena merasa sulit mengatasi keadaan, akhirnya perwira yang bersenjata tan-to itu memasukkan jari tangan kirinya ke mulut, lalu mengeluarkan bunyi suitan nyaring. Ternyata ia memberi isyarat kepada teman-temannya yang menunggu di luar agar langsung menyerbu ke dalam saja. Suitan itu segera bersambut.
,, Dari luar tembok berlompatanlah orang-orang bersenjata yang jumlahnya mencapai belasan orang. Meskipun hanya belasan, tapi jelas orang-orangnya Cong-tok ini lebih sulit dilayani daripada orang-orangnya Cia To-bun yang berjumlah puluhan orang itu. Anak buah Thio Cong-tok ini rata-rata membekali diri dengan ilmu silat yang tangguh.
Hal itu dapat dimaklumi, sebab Thio Cong-tok bertanggungjawab untuk keamanan daerah Kiang-se yang cukup luas, sehingga banyak diantara anak buahnya itu merupakan jago-jago pilihan. Sedangkan Cia To-bun berkuasa di kota sekecil An-yang-shia, maka mutu anak buahnya pun berbeda dengan mutu anak buah Thio Cong-tok, meskipun Te-yong Tojin merupakan pengecualian.
Tong Hu-jin bertempur dengan tekad yang menyala-nyala, tetapi diapun tidak kehilangan perhitungan sehatnya. Ia sadar bahwa dirinya dan kedua naknya itu tidak akan mampu mengatasi belasan lawan tangguh itu, bahkan ia dan anak-anaknya mulai “digiring” ke dalam suatu kepungan yang makin lama makin menyempit. Nampaknya malam itu keluarga Tong akan benar-benar tertumpas habis!
“A-hong, A-lian!” teriak Tong Hu-jin tiba-tiba. “Keluarga Tong tidak boleh putus turunan. Kalian harus cepat keluar dari sini dan menyelamatkan diri. Aku masih sanggup menahan keroyokan anjing-anjing ini!”
“Tidak, ibu!” seru Wi-hong dan adiknya hampir bersamaan. “Mana bisa kami membiarkan ibu sendirian menempuh bahaya?! Ibu, mari kita bersama-sama membalaskan kematian ayah!”
Tong Hu-jin memang tidak memikirkan lagi keselamatan dirinya sendiri, bahkan ia sudah bertekad untuk gugur menemani suaminya, tapi ia tidak ingin anak-anaknya pun ikut menjadi korban sehingga tadi ia menyuruh anak- anaknya untuk lari. Tapi ternyata kedua putera-puteri Tong Tian itupun bukan berjiwa pengecut, mereka sudah mendidih darahnya dan tidak memikirkan mati-hidup lagi.
Perwira yang bersenjata tombak pendek berkait itu tertawa mengejek, “Ha-ha, tidak usah kalian berusaha untuk menyuruh menyelamatkan diri, percuma, tempat ini sudah terkepung rapat. Lagi pula bukankah lebih berbahagia kalau sekeluarga dapat berkumpul di sorga?” Mulutnya mengejek, tombak pendeknya pun ikut bekerja menikam rusuk Tong Hu-jin, dibarengi oleh Phui In dengan menyerampangkan ruyungnya ke kaki Tong Hu-jin.
Darah Tong Hu-jin bagaikan meluap mendengar ucapan itu. Meskipun ia berhasil menghindari serangan-serangan itu, tetapi kepungan para jago pemerintah itu terasa semakin berat dan semakin ketat. Di sebelah lain, keadaan Tong Wi-hong dan adiknya pun semakin payah, bahkan kemudian terdengar jeritan Wi-lian karena pedangnya terpental dari tangannya ketika berbenturan dengan golok tan-to lawannya.
Lalu seorang perwira menyelonong maju ke hadapan Wi-lian dan langsung merangsek Wi-lian dengan ilmu Kim-na-jiu (Ilmu Menangkap), sambil mengejek, “Sayang gadis secantik kau ikut-ikutan menjadi buruan pemerintah. Baiknya kau ikut aku saja untuk menjadi bini mudaku.”
Melihat adiknya terancam bahaya, Wi-hong berusaha lepas dari lawannya untuk membantu sang adik. Namun lawannya sangat mahir dalam Kau-kun (Ilmu Silat Monyet) dan terus mendesak Wi-hong secara rapat tanpa memberi kesempatan bernapas. Akhirnya Wi-hong menjadi nekad. Ia tidak peduli lagi akan sebuah tendangan lawan yang tengah menuju ke perutnya, secara nekad ia menikam kepada orang yang hendak menangkap adiknya itu.
Terdengar suara mengeluh dua kali berturut-turut dalam waktu yang hampir bersamaan. Orang yang hendak menangkap Wi-lian itu melompat kesakitan sambil memegangi lengannya yang terluka oleh ujung pedang Tong Wi-hong. Tetapi Tong Wi-hong sendiri jatuh bergulingan karena perutnya termakan oleh tendangan lawan yang mahir Kau-kun itu.
Si jago Kau-kun tertawa puas, ia memburu untuk meringkus Tong Wi-hong sambil berkata, “Ilmu silat Soat-san-pay yang disohor-sohorkan sebagai ilmu tingkat tinggi itu ternyata hanya nama kosong belaka. Ha-ha-ha...haup, aduh!”
Entah apa yang terjadi, si jago Kau-kun ini tiba-tiba menjerit kesakitan sambil menekap mulutnya. Ternyata mulutnya kini telah tersumbat segumpal bakpao yang tinggal separoh. Bakpao itu hanyalah barang lunak yang terbuat dari gandum, tapi ternyata mampu merontokkan beberapa biji gigi dari si jago Kau-kun. Jelaslah bahwa orang yang menyambitkan tentu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi.
Kejadian tak terduga itu telah mengejutkan kedua belah pihak yang sedang bertempur. Serentak masing-masing berlompatan menjauhi lawan untuk melihat apa sebenarnya terjadi. Udara malam yang yang sudah cukup dingin itu makin bertambah dingin ketika terdengar suatu suara yang bernada amat dingin dari arah sebatang pohon,
“Sungguh si mulut besar yang pantas dihajar, makhluk yang berani mengatakan bahwa ilmu silat perguruan kami hanya nama kosong belaka.”
Semua orang menoleh ke arah asal suara itu. Nampaklah seorang lelaki yang berusia kira-kira enampuluh tahun, berwajah sedingin es dan berpakaian serba putih. Jenggotnya berwarna kelabu dan panjangnya sampai ke dada. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Yang membuat kagum semua orang adalah ketika melihat cara orang itu berdiri di atas pohon. Ternyata kaki orang itu cuma menginjak sebatang ranting yang besarnya tidak melebihi jari tangan, tapi ranting itu tidak patah, bahkan, orang itu seolah-olah berayun-ayun naik turun dengan santainya. Suatu pameran ilmu meringankan tubuh yang menggetarkan!
Melihat orang itu, Tong Hu-jin segera berseru, “Su-siok (Paman Guru)!”
Sedangkan Wi-hong dan adiknya menyapa hormat, “Su-siok-co!”
Para jagoan yang dikirim oleh Thio Cong-tok itu menjadi kaget dan gentar setelah mengetahui bahwa orang aneh yang lihai itu ternyata dari golongan lawan. Mereka sudah melihat sendiri kekuatan tenaga dalam orang itu, yang mampu merontokkan gigi teman mereka hanya dengan lemparan sepotong bakpao, dan melihat pula ilmu meringankan tubuh yang begitu lihai, mau tak mau mereka keder juga.
Phui Kang lalu memberi hormat ke arah tokoh Soat-san-pay tersebut, sambil bertanya, “Siapakah nama besar Lo-cianpwe? Antara Lo-sian-seng dan kami tidak pernah bermusuhan, apalagi kami juga sedang melaksanakan tugas negara, harap Lo-sin-seng tidak merintangi pekerjaan kami.”
“Hemm, anjing-anjing Kaisar yang menjemukan,” dengus kakek itu acuh tak acuh. Seringan daun kering ia melompat turun ke tanah dan mendekati mayat Tong Tian. Tiba-tiba mukanya menjadi beringas, bentaknya kepada jagoan-jagoannya Thio Cong-tok, “He, siapa yang telah membunuh keponakan muridku ini?!”
Karena orang-orangnya Thio Cong-tok itu hanya saling berpandangan saja tanpa menjawab, maka Tong Wi-hong lah yang menerangkan kejadian yang sebenarnya. Selama mendengar penuturan Tong Wi-hong itu, kakek itu menggeram berulang kali, nampak jelas bahwa kemarahan mulai berkobar di dalam hatinya.
Kakek yang lihai itu ternyata adalah paman guru (Su-siok) dari Tong Tian, bernama Oh Yu-thian dan berjuluk Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang Dari Soat-san) karena sangat terkenal kelihaian ilmu pedangnya. Ia memiliki tabiat yang cukup aneh, yaitu ingin menangnya sendiri dan selalu menganggap bahwa perguruannyalah yang paling unggul.
Ia paling benci jika orang mencela perguruannya, sikapnya pun selalu berpihak kepada orang-orang dari golongannya sendiri, tidak peduli benar atau salah. Dengan watak seperti itu, jaranglah orang-orang dunia persilatan yang mau berurusan dengannya.
Begitu mendengar cerita Tong Wi-hong tentang cara kematian ayahnya, seketika kambuhlah sifat-sifat lama Oh Yu-thian. Perlahan-lahan ia melolos pedang yang tergantung di pinggangnya, lalu katanya dingin, “Hemm, anjing-anjingnya Cong-ceng terlalu tidak memandang sebelah mata kepada Soat-san-pay kami. Malam ini biarlah kutunjukkan kepada mereka bagaimana lihainya Soat-san-kiam-hoat.”
Baru saja mulut Phui In bergerak-gerak hendak menyahut, Oh Yu-thian sudah memotongnya, “Tidak perlu banyak mulut! Tidak ada alasan untuk menolak tantanganku ini! Lihat pedang!” Begitu selesai kalimatnya, begitu pula pedangnya meluncur secepat kilat ke dada Phui In. Tidak percuma ia berjuluk Soat-san kiam-sian, sebab gerakan pedangnya benar-benar secepat kilat!
Phui In terkejut, tubuhnya yang gemuk itu agak merintangi keleluasaan gerak-geriknya. Hampir saja dadanya berlubang kalau dua orang kawannya tidak cepat menolongnya dengan jalan serempak menyerbu Oh Yu-thian dari dua jurusan.
Oh Yu-thian tertawa dingin, dengan langkah ringan ia mengeser kesamping dan pedangnya pun mulai berkelebat ke sana ke mari untuk “membagi-bagi” tusukan dengan cepatnya. Belasan orang jagoan Thio Cong- tok itu dipaksa mundur oleh badai serangan yang cepat itu. Beberapa orang rupanya agak terlambat menghindar sehingga menderita luka.
Demikianlah, dalam satu jurus saja tokoh tua Soat-san-pay itu telah memperlihatkan keampuhan permainan pedangnya. Keberanian Phui In dan kawan-kawannya menjadi susut sebagian. Dalam kesempatan itu Tong Hu-jin punya waktu untuk memeriksa tubuh suaminya. Dan menangislah ia sambil menelungkup di tubuh sang suami yang telah dingin itu. Baru kemarin malam ia dan suaminya bercakap-cakap dan bergurau di ruangan buku, dan kini suami yang dicintainya itu hanyalah sesosok tubuh beku.
Tong Wi-hong dan adiknya pun ingin menghibur hati ibunya, tapi hati mereka sendiri sangat sedih sehingga keduanya malah ikut menangis. Tiba-tiba Tong Hu-jin menyeka air matanya dan berkata kepada kedua orang anaknya,
“A-hong, A-lian, jika kalian masih ingin menurut kepadaku, cepatlah tinggalkan rumah ini dan selamatkan diri kalian. Jangan menjadi gelap pikiran sehingga keluarga Tong kita akan putus keturunan. Aku dan Su-siok-co kalian pasti sanggup menahan anjing-anjing Cong-ceng itu di sini. Cepatlah!”
Tetapi kedua anak itu menggeleng-gelengkan kepala, sahut Wi-lian dengan tegas, “Tidak, akulah yang telah memukul anak Cia Tay-jin sehingga menimbulkan malapetaka ini. Bagaimana sekarang aku bisa meninggalkan tanggung-jawab dan menyelamatkan diri sendiri? Aku ingin mengadu jiwa dengan pembunuh-pembunuh ini!”
“Jangan,” cegah ibunya. “Kau akan mengantar jiwa dengan cuma-cuma, sedangkan Cia To-bun yang ingin kau balas akan tetap enak-enak di rumahnya tanpa kurang suatu apapun.”
Tengah ibu dan kedua anak-anaknya itu saling berbantahan, Oh Yu-thian yang tengah berkelahi itu berseru dengan jengkelnya, “Kalian benar-benar goblok, kenapa berbantahan tanpa guna sepeti itu? Membalas dendam sepuluh tahun lagi pun masih belum terlambat. Tapi jika kalian mampus semua di tempat ini, maka sakit hati ini benar-benar tidak akan terbalas sampai akhir jaman sekalipun!”
Ternyata, betapapun lihainya Soat-san-kiam-sian Oh Yu-thian, namun menghadapi belasan orang jago-jago pilihan Thio Cong-tok mau tidak mau menjadi agak kewalahan juga. Sebaliknya belasan orang jagoan itupun sudah tidak sempat memperhatikan hal-hal lainnya lagi, mereka harus menggabungkan tenaga dan pikiran untuk membendung si dewa pedang yang sangat digdaya itu.
Sementara itu Oh Yu-thian telah berteriak pula, “He, lekaslah lari! Aku mendengar derap langkah ratusan prajurit sedang menuju ke tempat ini. Jangan menunggu sampai rumah ini terkepung rapat!”
Tong Wi-hong lau memungut pedangnya yang diletakkan di tanah, dan bukannya ia lari, namun malah menerjunkan diri ke tengah gelanggang pertempuran, diikuti pula oleh adik perempuannya.
Sesungguhnya belasan orang jagoan Cong-tok itu hanya merupakan pelopor saja, di belakang mereka masih ada sebuah pasukanyang jauh lebih kuat yang benar-benar akan menumpas keluarga Tong Tian sampai tuntas. Jika pasukan itu telah tiba di situ, maka biarpun kepandaian Oh Yu-thian setinggi langit, ia tidak akan mampu melindungi sisa-sisa keluarga Tong itu. Itulah sebabnya ia berteriak-teriak dengan gugupnya untuk menganjurkan lari.
Sementara itu Phui In telah melompat mundur dari tengah gelanggang, ia mengeluarkan sebuah peluru api yang langsung dinyalakannya dan dilemparkan ke udara. Peluru itu meledak di langit yang kelam dan membentuk sebuah garis api yang panjang. Itulah isyarat kepada seluruh pasukan agar mempercepat gerakannya. Rupanya Phui In khawatir jika sisa-sisa keluarga Tong itu sampai melarikan diri, tentu akan menjadi bibit penyakit di kemudian hari.
Sedangkan Oh Yu-thian bertambah gugup melihat Tong Wi-hong dan adiknya masih juga berkeras kepala tidak mau melarikan diri. Teriaknya, “Hm, anak-anak goblok! Jika kalian tidak mau pergi juga, biarlah malam inipun aku ikut mampus di tempat ini!”
Kepungan para jagoan yang dikirim Thio Cong-tok itu ternyata cukup ketat, sedikit saja perhatian Oh Yu-thian terpecah, pahanya telah kena tendangan perwira yang mahir Kau-kun tadi. Untung tubuh Oh Yu-thian cukup kuat, sehingga tendangan itu tidak terlalu dirasakannya, bahkan ia membalas perwira itu dengan menikam pinggangnya.
Mendadak di tengah kesunyian malam itu sayup-sayup mulai terdengar derap langkah ratusan orang di kejauhan, makin lama makin mendekat, dan bahkan kedengaran pula suara gemerincingnya senjata. Mendengar itu, Phui In dan kawan-kawannya bersorak dalam hati dan mereka pun tambah bersemangat dalam bertempur.
Sebaliknya, Oh Yu-thian semakin naik darah, tiba-tiba ia berteriak menggeledek sambil melancarkan jurus Pat Hong-hong-i (Hujan Angin Delapan Penjuru), pedangnya seakan-akan terpecah menjadi puluhan batang yang bergerak dalam tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan secepat kilat. Lawan-lawannya terperanjat dan serentak berlompatan mundur, tetapi dua orang perwira bernasib malang telah menemui ajalnya karena kurang cepat bergerak.
Setelah membubarkan kepungan, secepat angin Oh Yu-thian telah meluncur ke arah Tong Wi-hong dan dengan gampangnya mencengkeram kuduk anak muda itu. Bentaknya, “Anak gila, jika kau tidak mau menyelamatkan diri untuk membalaskan sakit hati ayahmu di kemudian hari, lebih baik kau tidak usah memakai nama marga Tong lagi!”
Dan tubuh Tong Wi-hong yang beratnya puluhan kati itu dilemparkannya ke luar halaman, seringan orang melemparkan anak anjing saja. Tong Wi-lian pun mengalami nasib yang sama, yaitu dilemparkan keluar tembok halaman setelah didamprat lebih dulu.
Jagoan-jagoan Thio Cong-tok itu bertugas untuk menumpas keluarga Tong, tidak boleh tersisa seorangpun. Begitu melihat Tong Wi-hong dan Tng wi-lian telah dilempar keluar oleh Oh Yu-thian, mereka segera membagi diri. Sebagian tetap bertahan di tempat itu untuk menahan amukan Oh Yu-thian dan Tong Hu-jin, sebagian lagi mengejar ke arah larinya Wi-hong dan adiknya.
Tong Hu-jin melompat mengejar orang-orang yang hendak memburu anak-anaknya itu. Namun karena kepandaiannya pun terbatas, maka ia hanya berhasil menahan dua orang diantara mereka, dan masih ada empat orang yang dengan leluasa meneruskan pengejarannya.
Semua perkembangan itu tidak lepas dari pengamatan Oh Yu-thian. Dengan tangan kirinya tokoh Soat-san-pay itu segera menyebarkan segenggam senjata rahasia berbentuk bintang-bintang besi ke arah orang-orang yang hendak mengejar Wi-hong dan Wi-lian itu.
Senjata-senjata rahasia itu meluncur dengan suara bercuitan, tiga orang terjungkal roboh sebelum sempat melompati tembok halaman. Yang satu lagi berhasil menginjak puncak tembok, namun jatuh kembali ke tanah karena pundaknya pun terkena bintang besi dari Soat-san-pay.
Terdengar Oh Yu-thian tertawa terbahak-bahak dengan puasnya, tandangnya semakin garang setelah jumlah musuh-musuhnya berkurang. Dalam beberapa gebrakan saja. Phui In dan kawan-kawannya telah diporak-porandakan oleh ilmu pedangnya yang hebat. Sedangkan Tong Hu-jin pun mulai unggul di atas angin, sebab ia cuma menghadapi dua orang perwira yang kepandaiannya tidak begitu lihai. Bahkan dengan sengit isteri Tong Tian itu mendesak terus.
Saat itulah pasukan besar yang dikirim oleh Thio Cong-tok telah tiba di sekeliling rumah segera terdengar suara hiruk-pikuk, cahaya obor dan suara teriakan-teriakan terdengar, “Kepung rapat-rapat rumah ini! Jangan sampai para pemberontak itu lolos seorangpun!”
Muka Oh Yu-thian berubah hebat. Betapa lihainya seorang ahli silat, ia tidak mungkin menghadapi ratusan prajurit sekaligus. Cepat Oh Yu-thian berseru kepada Tong Hu-jin, “Tit-li (keponakan perempuan), cepat kau susul kedua anakmu. Sisa-sisa anjing kaisar ini biarlah kuhadapi sendiri!”
Phui Kang mendengus dan berkata dingin, “Hem, kau boleh memaki kami apa saja, tapi setelah kau tertangkap nanti, lihat saja kau masih bisa menggonggong apa lagi!” lalu dengan badiknya secepat kilat ia menikam ke dada Oh Yu-thian.
Oh Yu-thian menggertakkan giginya, beruntun ia memainkan serangkaian jurus-jurus Soat-san-kiam-hoat yang membuat ketujuh sisa lawannya itu dipaksa untuk bertahan melulu. Namun segera terlihat bahwa pintu gerbang rumah telah didobrak dari luar dan puluhan prajurit membanjir masuk. Bahkan tidak sedikit prajurit-prajurit pemerintah yang masuk kehalaman dengan jalan memanjat tembok.
Dalam keadaan sekisruh itu, para pelayan keluarga Tong menunjukkan kesetiaannya. Meskipun mereka hanya berjumlah sedikit dan tidak mahir menggunakan senjata, tapi sekuat tenaga mereka mencoba membela rumah tuannya dari pengerusakan oleh prajurit-prajurit Cong-tok.
Tapi apa artinya pelayan-pelayan itu dibandingkan ratusan prajurit yang paling tangguh di Kiang-se? Bukan saja para pelayan itu tidak sanggup mencegah, bahkan mereka berguguran dengan mudahnya. Dan prajurit-prajurit Cong-tok itu memperlakukan lawannya dengan bengis, membabat orang-orang lemah itu seperti membabat rumput saja.
Tong Hu-jin menjadi sangat terharu melihat kesetiaan pelayan- pelayannya. Makin besarlah tekadnya untuk bertahan sampai titik darah yang penghabisan di tempat itu. Namun Oh Yu-thian justru punya pikiran lain yang tidak sesuai dengan tekad Tong Hu-jin itu. Serunya,
“Tit-li, bila kau sudah tidak menghiraukan keselamatanmu sendiri, itu urusanmu. Tetapi apakah kau juga akan membiarkan anak-anakmu berkeliaran di dunia persilatan tanpa seorang pembimbing pun? Jika demikian kau benar-benar seorang yang hanya mementingkan diri sendiri!”
Kata-kata yang pedas itu ternyata cukup berkesan dihati perempuan perkasa itu. Ia mulai dapat berpikir dengan kepala dingin. Di saat dia ragu-ragu itulah maka seorang perwira hampir berhasil mendaratkan goloknya untuk membelah batok kepala Tong Hu-jin.
Melihat itu, cepat Oh Yu-thian bergerak untuk menolong. Perwira yang hampir berhasil itu tiba-tiba mengeluh pendek, pedang Oh Yu-thian secara telak telah menembus pinggangnya, dari pinggang kanan tembus ke pinggang kiri. Sementara lawan-lawannya tertegun, secepat kilat Oh Yu-thian telah menyarungkan pedangnya.
Kemudian dengan tangan kiri ia menyambar mayat Tong Tian dan dengan tangan lainnya ia menarik Tong Hu-jin, lalu dengan sekali mengayunkan badan ia telah melompat ke atas genteng. Bobot tubuh dua orang yang dibawanya itu ternyata hampir-hampir tidak mempengaruhi ilmu meringankan tubuhnya, dalam beberapa kali lompatan saja dia telah pergi cukup jauh.
Melihat itu, Phui In dan kawan-kawannya mau tidak mau terlongong kagum dan bergumam, “Tidak kosong nama Soat-san-kiam-sian!”
Meskipun para perwira itu merasa tidak ada gunanya mengejar pendekar tua itu, namun untuk menunjukkan “kegagahan” di hadapan prajurit-prajurit rendahan, para perwira itu pura-pura mengejar puluhan langkah, dan setelah itu balik kembali. Betapapun lebih enak menguras barang-barang berharga di rumah Tong Tian daripada mempertaruhkan nyawa mengejar jago tua yang perkasa itu.
Tong Tian memang bukan orang kaya, tapi banyak harta simpanannya yang cukup berharga. Maka berpestalah Phui In dan perwira-perwira lainnya, tingkah laku mereka benar-benar tidak mirip prajurit sebagai pelindung rakyat melainkan sama persis dengan kaum perampok. Meskipun gagal memikul tugasnya, tidak mengapa, asal kantong sudah penuh dan nanti di hadapan Cong-tok mereka akan mengarang alasan yang kuat untuk kegagalan itu.
Dalam pada itu, Oh Yu-thian dengan memanggul dua sosok tubuh, yang satu hidup dan yang lain mayat, terus berlari-lari meninggalkan rumah itu. Dengan gin-kang dan lwe-kangnya yang tangguh, jarak lima li ditempuhnya dalam waktu yang cukup singkat. Setelah itu barulah ia berhenti berlari.
Begitu berhenti, kembali Tong Hu-jin terguguk-guguk menangsi kematian suaminya. Oh Yu-thian membiarkan saja perempuan itu melepaskan kepepatan hatinya yang tadinya tertahan-tahan. Bahkan jago tua itu ikut merasa penasaran bagi kematian Tong Tian. Setelah Tong Hu-jin selesai dengan tangisnya dan mulai agak tenang, barulah Oh Yu-thian bertanya,
“Tit-li, ketika mendiang Tong Su-tit meninggalkan Soat-san, ia membawa sejilid kitab ilmu pedang karya terbaru dari Suheng (kakak seperguruan). Kini Tong Su-tit telah tiada, kitab hasil jerih payah Su-heng itu jangan samapai jatuh ke tangan anjing-anjing kaisar. Dimanakah kitab itu?”
Tong Hu-jin tidak segera menyahut, tapi ia segera menggeledah pakaian mayat suaminya, dan akhirnya di bagian dalam pakaian itu ditemukan sejilid kitab yang sampulnya telah bernoda darah dan berbau keringat. Ternyata Tong Tian begitu menyayangi kitab pemberian gurunya, sehingga di manapun dia berada, ia selalu membawa kitab itu di tubuhnya. Untung Cia To-bun tidak menggeledah badannya, kalau tidak tentu kitab itupun sudah ikut lenyap bersama lenyapnya nyawa pemiliknya.
Oh Yu-thian menjadi lega setelah melihat kitab itu masih utuh tidak berkurang satu apapun. Ia adalah seorang yang sangat mengunggulkan golongannya sendiri, dan tentu tidak rela bila kitab ilmu pedang dari perguruannya itu jatuh ke tangan golongan lain, bahkan andaikata jatuh ke tangan sesama golongan lurus sekalipun. Ia berpendapat bahwa sahabat adalah manusianya, tetapi ilmu silat tiap perguruan akan tetap bersaing dengan keunggulannya masing-masing dan saling merahasiakan keunggulan masing- masing.
Kemudian kata Oh Yu-thian kepada Tong Hu-jin, “Kitab itu oleh Suhengku telah dihadiahkan kepada suamimu, karena itu engkaulah kini yang berhak menyimpan dan merawatnya. Harap hati-hati, jangan sampai ada orang lain yang mengetahui bahwa ktab itu ada padamu, sebab jika demikian kau akan dilanda macam-macam kesulitan.”
Dengan khidmat Tong Hu-jin menyimpan kitab itu di tubuhnya sendiri. Katanya, “Terima kasih atas bantuan Su-siok yang telah menyelamatkan sisa-sisa keluarga kami. Selanjutnya tit-li mohon bantuan Su-siok agar membantuku mencari dan melindungi anak-anakku yang kini telah terpencar-pencar. Anak tertuaku, A-siang, sekarang entah berada di mana. Sedangkan A-hong dan A-lian pun tidak tahu lari ke jurusan mana. Semoga Thian selalu melindungi mereka.”
Oh Yu-Thian tidak berkata apapun. Dengan mata yang menyala ia menatap rumah Tong Tian di kejauhan, yang kini telah tampak kemerah-merahan karena dilanda nyala api. Kiranya setelah Phui In dan kawan-kawannya puas menguras isi rumah, mereka lalu membakarnya.
Tong Hu-jin pun memandang nyala api di kejauhan itu dengan macam- macam perasaan berkobar di dalam dadanya. Sedih, geram, dan dendam. Kemudian Oh Yu-thian dan Tong Hu-jin bersama-sama menggali sebuah lubang untuk menguburkan mayat Kiang-se-tay-hiap secara sederhana saja.
Tubuh pendekar nomor satu di seluruh Kiang-se itu kini telah berada di bawah sebuah gundukan tanah yang sangat sederhana, hanya ditandai dengan sebuah batu sebagai batu nisannya. Mereka memang sengaja menyamarkan kuburan pendekar itu agar Cia To-hun tidak menemukannya dan membongkarnya kembali.
Setelah itu, Oh Yu-thian bertanya kepada Tong Hu-jin, “Sekarang tit-li hendak pergi ke mana?”
Untuk sesaat lamanya Tong Hu-jin jadi kebingungan harus menjawab bagaimana. Ke mana kini ia hendak menggantungkan hidupnya? Mencari dua orang saudara angkat Kiang-se-tay-hiap? Tapi Siong-koan Hwesio, si kakak angkat, adalah seorang rahib pengembara yang tidak tentu tempat tinggalnya. Apalagi Tong Hu-jin sebagai seorang perempuan merasa tidak pantas kalau melakukan perjalanan bersama-sama dengan seorang rahib. Menuju ke tempat tinggal Ting Ciau-kun, si adik angkat di Pak-khia?
“Aku tidak sudi ke sana,” pikir Tong Hu-jin. “Meskipun Tong Ciau-kun adalah adik angkat suamiku, sikapnya pun manis dan ramah, tapi aku tahu bahwa dia adalah seorang munafik yang pandai berpura-pura. Lalu sekarang harus ke manakah aku?”
Melihat isteri Tong Tian itu masih kebingungan menjawab, Oh Yu-thian lalu memberi usul, “Kukira tempat yang paling aman bagimu saat ini adalah Soat-san, meskipun cukup jauh dari sini. Tetapi di tempat yang tenteram dan indah itu kau akan dapat mengistirahatkan tubuh dan pikiranmu yang kelelahan setelah mengalami bencana hebat ini. Di tempat itu pula kau dapat lebih memusatkan diri untuk memperdalam ilmu pedang guna membalas sakit hati, sekaligus melepaskan kerinduan kepada saudara-saudara seperguruanmu yang sudah cukup lama berpisahan denganmu.”
Dalam keadaan bingung tanpa pegangan itu, usul Oh Yu-thian langsung mendapat tempat di hatinya. Dan ia bertambah mantap ketika Oh Yu-thian berkata, “Mengenai ketiga orang anak-anakmu, jangan kau cemaskan mereka. Kebetulan akupun sedang menganggur dan tidak ingin cepat-cepat pulang ke Soat-san. Aku akan berkeliling dulu ke seluruh negeri untuk menjumpai sahabat-sahabat lama, sekalian mencari berita tentang anak-anakmu itu.”
Tong Hu-jin bagaikan tersumbat tenggorokannya oleh rasa haru dan terima kasihnya, cepat ia berlutut dan menyatakan syukurnya kepada paman gurunya itu.
“Sudahlah, kesedihan dan kepahitan tidak ada gunanya disimpan terus dalam hati,” kata Oh Yu-thian. “Lebih baik mulai sekarang kita pusatkan pikiran untuk langkah-langkah apa yang bakal kita jalankan. Nah, aku pergi dulu.”
Dengan beberapa kali lompatan saja, tubuh Oh Yu-thian telah berkelebat lenyap dari pandangan. Langit di sebelah timur telah berangsur-angsur menjadi semakin cerah, ternyata masih secerah hari kemarin. Tetapi nasib pendekar di tepi danau Po-yang-ou itu sudah berubah hebat. Tong Tian terbunuh, anak-anak mereka berpencaran tak tentu arahnya, dan rumah tempat mereka berlindung pun kini hanya berujud puing-puing hangus yang masih berasap dan bercampur bau daging terbakar.
Sebelum meninggalkan tempat itu, sekali lagi Tong Hu-jin berlutut sembahyang di depan makam suaminya. Setelah itu mulailah ia melangkahkan kakinya untuk menempuh suatu perjalanan yang sangat jauh ke arah barat, ke Soat-san, tempat dimana ia pernah menghabiskan sebagian besar masa mudanya untuk berguru ilmu silat di sana. Setelah berpuluh tahun meninggalkan tempat itu, ada juga rasa kerinduannya kepada tempat itu.
* * * * * * *3
Tong Wi-hong dan adiknya terus berlari sampai menjelang fajar. Ketika mendekati kota Lam-cang, mereka menjumpai dua orang prajurit yang tengah meronda. Kebetulan jalan masih sepi dari lalu-lintas, maka kedua prajurit itu langsung dihajar dan dirampas kudanya, sekalian untuk melampiaskan kemarahan kepada pihak kerajaan yang telah semena-mena melemparkan tuduhan dan membasmi keluarga mereka.
Masih untung prajurit-prajurit itu, sebab kedua saudara Tong itu masih belum sampai hati membunuh mereka, hanya membuat beberapa biji gigi mereka rontok. Dengan kuda rampasan itu perjalanan Wi-hong dan Wi-lan jadi lebih cepat. Mereka sengaja menghindari kota Lam-cang dan langsung menujukan kuda mereka ke arah utara.
Pakaian mereka yang terkoyak-koyak dan bernoda cipratan darah, serta pedang yang terselip di pinggang tanpa sarung itu, membuat kakak beradik itu mirip sepasang perampok muda yang baru saja gagal merampok dan sedang diburu-buru orang sekampung.
Tong Wi-hong akhirnya menyadari bahwa keadaan mereka yang semacam itu tentu sangat menarik perhatian orang-orang yang berpapasan dengan mereka, dan itu akan sangat memudahkan bagi orang-orang Cia To-bun untuk mencari jejak mereka. Karena itu mereka harus berganti pakaian. Tapi mereka meninggalkan rumah tanpa membawa bekal uang sepeserpun, dari mana bisa mendapatkan pakaian yang pantas?
Keduanya lalu berunding. Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya mereka memutuskan untuk mencuri, suatu pekerjaan yang selama ini terpikirkan pun belum pernah. Tapi keadaan telah memaksa mereka untuk berbuat demikian. Tapi mereka pun tidak ingin menyusahkan mereka yang miskin, maka sasaran pencurianpun ditetapkan kepada seorang hartawan desa yang pelit.
Dari situlah mereka berhasil mencuri pakaian yang cukup pantas, meskipun dengan potongan pakaian orang desa, bahkan sempat pula mengambil sekantong uang untuk bekal perjalanan mereka. Tidak lupa mereka meninggalkan sepucuk surat ucapan “terima kasih” dan kata-kata penghibur hati untuk sang korban.
Keesokan harinya hartawan itu menemukan hartanya telah berkurang, dan karena gemasnya maka surat ucapan terima kasih Wi-hong itu diremasnya dan ditelannya mentah-mentah. Sedangkan Tong Wi-hong dan adiknya kini telah berganti rupa. Meskipun pakaian yang mereka kenakan itu berpotongan sederhana tapi sudah cukup menjadikan Wi-hong seorang pemuda yang tampan dan gagah, serta Wi-lan tampak cukup manis dan ayu.
Sayang sepasang wajah tampan dan ayu itu nampak diliputi kemurungan. Keduanya terus mengaburkan kudanya ke arah utara, dan hanya beristirahat bila perlu saja. Kota-kota dan tempat-tempat ramai mereka hindari sebisa-bisanya, sebab mereka khawatir bertemu dengan orang-orangnya Cia To-bun.
Kenapa kakak beradik itu menuju ke utara? Rupanya mereka telah berunding dan memutuskan akan mencari paman angkat mereka, Ting Ciau- kun, yang tinggal di Pak-khia. Di situlah mereka akan menumpang untuk sementara sambil mohon sang paman mengajarkan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan Eng-jiau-kang (Tenaga Kuku Elang) yang kabarnya cukup lihai itu, untuk membalas dendam sakit hati mereka.
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari tanpa kenal lelah, akhirnya sampai juga mereka ke Pak-khia, ibukota kerajaan di jaman dinasti Beng itu. Tong Wi-hong dan adiknya dibesarkan di sebuah kota kecil seperti An- yang-shia, dan andaikata mereka pernah melihat kota besar, paling-paling hanya melihat kota Lam-cang yang jaraknya tidak jauh dari An-yang-shia. Dan kini setelah melihat kota Pak-khia, kota pusat pemerintahan itu, maka Lam- cang hanya seperti dusun kecil saja.
Kakak beradik itu benar-benar takjub melihat pemandangan yang terbentang di hahadapannya. Jalan-jalan raya yang lebar dan berlapis batu halus itu terasa begitu panjang, dan jumlah persimpangan-persimpangannya bagaikan sarang laba-laba banyaknya. Di kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang indah dan besar, rumah-rumah makan yang mewah, kuil-kuil pemujaan yang berukir indah, pagoda-pagoda yang tingginya bagaikan menggapai langit, dan sebagainya.
Dan orang-orang yang berhilir-mudik di jalan raya yang lebar itu bukan cuma orang-orang Han saja, tapi nampak pula orang-orang dari suku luar perbatasan (Kwan-gwa) seperti suku-suku Mongol, Mancu, atau Korea, juga orang-orang dari daerah barat seperti suku-suku Hui (Uigur), Kozak dan sebagainya. Terlihat pula orang-orang Thian-tiok (India) dengan pakaian suteranya yang indah dan kumisnya yang melintang seperti tanduk kerbau, atau orang-orang Persia dengan matanya yang berwarna kecoklat-coklatan dan brewoknya yang tebal.
Karena khawatir menubruk orang di jalan raya yang seramai itu, maka Tong Wi-hong dan adiknya merasa lebih aman untuk menitipkan kudanya dan berjalan kaki saja. Meskipun begitu, toh suatu ketika Wi-hong hampir saja menabrak seorang saudagar India. Agak lama kakak beradik itu berputaran di kota itu, sampai Wi-lian mengingatkan kakaknya akan tujuan mereka datang ke kota itu,
“A-hong, di mana rumah paman Ting?”
“Kita akan mencarinya sekalian menikmati keindahan kota. Akupun belum tahu di mana rumah paman Ting,” sahut sang kakak seenaknya. Pikirnya berapa luasnya Pak-khia sehingga rumah paman Ting tidak dapat ditemukan?
Adiknya menjadi agak bingung, tanyanya, “Kenapa dulu kau mengajakku ke sini, seolah-olah kau sudah tahu semua jalan di sini?”
Sahut sang kakak, “Kapan aku pernah berkata begitu? Tetapi kau tidak perlu kebingungan, A-lian dulu A-siang pernah di ajak oleh ayah pergi ke rumah paman Ting, dan A-siang pernah menceritakan kepadaku bahwa rumah paman Ting ada di bagian barat kota ini. Yang penting sekarang kita mengisi perut dulu.”
Sepanjang jalan yang mereka lewati memang tidak sedikit terdapat rumah makan yang memancarkan bau-bauan sedap yang merangsang selera. Maka kakak beradik itu lalu masuk salah satu di antara rumah-rumah makan itu. Beberapa orang tetamu memandang kakak beradik yang berpakaian seperti orang desa itu, namun Wi-hong dan Wi-lian tidak peduli dan langsung mengambil tempat duduk.
Keduanya lalu memesan masakan dan minuman, dengan uang curian mereka dari si hartawan pelit, mereka dapat berfoya-foya untuk beberapa hari lagi. Begitu pesanan makanan mereka telah terhidang, terlihat nyata bedanya denga masakan-masakan di Lam-cang maupun An-yang-shia, meskipun namanya sama. Di sini cara penyajiannya lebih membangkitkan selera. Maklumlah Pak-khia bukan hanya dikunjungi oleh orang-orang setempat tapi juga oleh orang-orang asing yang ingin mencicipi masakan bangsa Han.
Tengah orang-orang di dalam rumah makan itu menyuapi mulutnya masing-masing, tiba-tiba serentak semua perhatian tertuju ke arah pintu masuk. Ternyata di ambang pintu itu telah muncul dua orang manusia yang menarik perhatian. Yang seorang bertubuh kurus kering, agak bungkuk dan mulutnya monyong. Meskipun tampangnya jelek, tapi cara berpakaiannya justru agak mewah dan nampaknya ia berusaha keras untuk menarik perhatian kaum wanita. Tapi agaknya hanyalah perempuan rabun saja yang bakal tertarik kepadanya.
Yang seorang lagi adalah seorang lelaki raksasa tinggi besar, otot-ototnya bertonjolan di seluruh permukaan kulitnya, mengenakan baju lengan pendek, dan caranya berjalanpun tegap membusungkan dada. Jika lelaki yang pertama matanya sekecil mata tikus, maka si raksasa justru punya mata yang besarnya hampir sepuluh kali lipat dari mata temannya. Nampaknya si raksasa ini berdarah Mongol.
Begitu kedua orang aneh itu melangkah masuk ke dalam rumah makan itu, serempak suasana dalam rumah makan itu menjadi sunyi dan tegang. Agaknya kedua orang ini merupakan orang-orang yang dikenal di daerah itu, bahkan ada beberapa orang tetamu yang mencoba menyembunyikan mukanya dengan sikap gelisah.
Si mata tikus dan si raksasa itu menyapukan pandangan kepada semua orang yang berada di rumah makan itu, kemudian mereka melangkah ke salah satu sudut, mendekati sebuah meja. Di meja itu ada seorang lelaki setengah umur yang bertampang pedagang kelas menengah, sedang menikmati semangkuk bakso kuah. Begitu melihat si raksasa dan si mata tikus mendekatinya, orang itu terkejut sekali, sebutir bakso yang hampir ditelannya telah melompat keluar kembali dan mencebur pulang ke mangkoknya.
Si raksasa nampak tertawa senang melihat orang itu ketakutan. Seenaknya saja ia mencengkeram rambut pedagang setengah umur itu, lalu digabrokannya muka orang itu ke permukaan meja sehingga jidatnya benjol seketika. Anehnya saudagar itu tidak menjerit kesakitan tapi justru berusaha untuk menunjukkan muka seramah mungkin, maka mukanya jadi kelihatan lucu.
Si mata tikus tertawa dingin, ia pun ikut-ikutan mencengkeram rambut orang itu, sambil berkata dingin, “Hem, bagus sekali kelakuanmu ini. Sudah beberapa kali aku mencarimu ke tokomu, dan isterimu bilang tidak punya uang karena dagangannya sedang sepi. Tak terduga kau malahan sedang enak-enak makan minum di sini.”
Pedagang setengah umur itu menyahut dengan suara gemetar, “Tunggu dulu, ha... harap disampaikan kepada Ting Toaya (Tuan Besar Ting) bahwa aku a... akan segera mee... membayar hutangku. Tetapi tolong jangan rampas tokoku, anak isteriku bisa mati kelaparan nantinya...”
“Baiklah, kalau kau tidak ingin tokomu disita, kau harus melunasi semua hutang dalam tempo tiga hari. Hutang induknya limapuluh tahil emas, bunganya perbulan sepuluh tahil. Kau sudah menunggak empat bulan, berarti tiga hari lagi kau harus membayar hutang berikut bunganya berjumlah sembilanpuluh tahil emas. Jelas?!”
Pedagang setengah umur itu melotot bagaikan dicekik ketika mendengar jumlah yang harus dibayarnya untuk melunasi hutang. Katanya dengan suara setengah menangis, “Wah, ma... mana bisa begitu? Tokoku sedang sepi, dalam sehari hanya ada empat atau lima orang pembeli yang mampir, bagaimana aku bisa mendapat uang sembilanpuluh tahil emas dalam waktu sesingkat itu?”
Si mata tikus menjawab, “Terserah kau. Merampok atau mencopet atau menipu bukan urusan kami. Tapi dalam tiga hari, sembilanpuluh tahil emas harus tersedia, atau kami terpaksa mengambil tindakan keras.”
Si pedagang nampak makin bingung, “Wah, bagaimana ini?”
Tapi si raksasa telah mengaplok mukanya sehingga si pedagang terlempar dari kursinya dan jatuh ke lantai. Baru saja ia hendak merayap bangun, si raksasa telah menginjak dadanya sehingga ia terpaku di lantai tanpa bisa bergerak. Bentak si raksasa,
“Menyerahkan toko tidak mau, membayar hutang juga tidak mau, lalu apa maumu? Minta ku bakar tokomu atau ku ambil gigimu beberapa buah? Memangnya duit yang kau pakai itu kepunyaan nenek moyangmu?!”
Kelakuan si mata tikus dan si raksasa itu mengingatkan Tong Wi-hong akan Cia To-bun di an-yang-shia. Pejabat she Cia itu meskipun namanya pelindung rakyat, namun pada hakikatnya adalah penindas rakyat kecil. Selama dia berkuasa di An-yang-shia, entah berapa banyak kerugian yang ditimbulkannya atas diri rakyat kecil. Kini di Pak-khia, di kota pusat pemerintahan, di mana katanya hukum ditegakkan dengan sebaik-baiknya, Tong Wi-hong kembali menjumpai peristiwa si kuat menindas si lemah dengan semena-mena.
Bahkan Wi-hong menjadi heran kenapa orang-orang lain di tempat itu seakan-akan acuh tak acuh saja, tak seorangpun berusaha melerai atau menolong si pedagang setengah tua itu. Akhirnya darah Tong Wi-hong semakin mendidih dan ia memutuskan untuk ikut campur dalam urusan itu.
Sementara itu si raksasa telah mengayunkan tangannya lagi untuk memukul remuk orang yang diinjaknya itu. Tong Wi-hong tidak dapat menahan diri lagi, dengan cepat disambarnya poci arak di depannya dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah si raksasa.
Si raksasa terkejut ketika tiba-tiba melihat sebuah poci melayang deras ke arahnya, ia berusaha menghindar dengan membungkukkan badan, tapi poci itu tetap mengenai pundaknya dan terasalah pundaknya agak pegal. Diam-diam ia heran akan tenaga si pelempar poci.
Dengan pandangan mata menyala sambil memijiat-mijat pundaknya, raksasa itu menatap ke arah Tong Wi-hong. Lalu perlahan-lahan melangkah mendekati sambil menggeram, “Bangsat cilik! Siapa kau dan kenapa kau ikut campur urusan kami?!”
Tong Wi-hong bukan seorang pemuda yang gemar berkelahi, jauh berbeda denga Tong Wi-siang kakaknya, namun bukan berarti dia penakut. Bila melihat kesewenang-wenangan berlangsung dimanapun juga, dia pasti akan ikut campur, dan jika sudah demikian dia tidak takut biarpun kepada Kaisar sendiri. Kini Tong Wi-hong pun telah bangkit dari tempat duduknya dan menunggu datangnya si raksasa sambil bertolak pinggang, sahutnya, “Aku cuma seorang yang gemar menendang anjing.”
Sementara Tong Wi-hong berdiri dan siap berkelahi, adik perempuannya masih duduk dengan santainya sambil meneruskan makan minumnya. Si raksasa itu agaknya bukan makhluk menakutkan buat gadis itu. Sikap tenang dari kedua kakak beradik itu mengherankan para tetamu rumah makan lainnya. Bagaimana sepasang “muda-mudi desa” itu berani mencari perkara kepada anak buah Ting Toaya, orang yang paling ditakuti di Pak-khia bagian barat itu?
Si raksasa Mongol itu melotot saking marahnya, andaikata dia melebarkan matanya sedikit lagi maka pasti biji matanya akan melompat dari kelopaknya. Tiba-tiba ia meraung seperti binatang buas lalu melompati meja yang ada di depannya, dan tinjunya yang sebesar mangkok itu telah melayang ke wajah Tong wi-hong. Cepat Tong Wi-hong menggeser ke samping dengan tendangan Coan-sin- teng-kak (Menendang sambil Memutar Tubuh).
Raksasa itu belum sempat memasang kuda-kuda sehabis menubruk tadi, tahu-tahu tendangan Wi-hong telah menghantam pinggulnya dengan keras. Tubuhnya yang besar itu segera sempoyongan hampir jatuh, meskipun belum sampai jatuh, tetapi mukanya sudah merah padam karena malunya. Ternyata manusia bertubuh raksasa ini tidak memiliki otak yang sebanding dengan besar badannya. Ia hanya berkelahi mengandalkan kekuatannya, tentu saja bukan tandingan Tong Wi-hong, putera Kiang-se-tay- hiap itu.
Kembali raksasa itu menubruk ke arah Wi-hong, kedua tangannya terkembang dan siap untuk menekuk tubuh Wi-hong menjadi dua potong. Kali ini agaknya ia ingin menggunakan ilmu gulat sukunya yang pernah ia pelajari meskipun tidak matang. Jika tubuh Wi-hong sampai tertangkap oleh sepasang tangan yang kokoh kuat itu, maka jangan harap dapat lepas lagi, satu-satunya jalan hanyalah menunggu nasib.
Untung Tong Wi-hong pun menyadari hal itu. Dengan kelincahan tubuhnya ia dapat menghindar kian kemari, membuat musuhnya jadi makin kalap karena merasa di ejek. Sambil memburu Wi-hong, si raksasa menendangi dan melempar-lemparkan meja kursi yang menghalang-halangi geraknya. Si pemilik rumah makan cuma mengeluh dalam hati tanpa berani berbuat apa-apa.
Setelah kucing-kucingan sekian lama, napas si raksasa Mongol mulai mendengus-dengus berat, sebaliknya Wi-hong masih dengan segarnya berlincahan kian kemari meskipun agak berkeringat juga. Tapi ujung bajunya pun belum tersentuh oleh tangan si raksasa. Karena mendongkolnya, akhirnya si raksasa menyambar sebuah bangku panjang yang digunakan sebagai toya dan langsung dihantamkan ke arah kepala Wi-hong.
Beberapa penonton berseru kaget, kini tentu si “anak desa” yang tak kenal takut itu akan mampus dengan kepala hancur. Beberapa penonton telah memalingkan mukanya, karena merasa tidak sampai hati melihat otak berceceran. Sebaliknya Wi-lian masih tenang-tenang saja menyaksikan perkelahian antara kakaknya dengan si raksasa. Dia sudah tahu sampai di mana kemampuan kakaknya, dan dia tidak mencemaskannya.
Melihat si raksasa Mongol itu benar-benar berniat membunuhnya, meluap juga darah Tong Wi-hong dan timbullah sifat-sifat mudanya ingin membuat si raksasa itu jera. Dengan sepenuh tenaga dan semangatnya ia menyambut bangku yang meluncur ke arah kepalanya dengan tendangan kakinya.
Bangku panjang itu memang bukan terbuat dari kayu yang paling keras, tapi tebalnya beberapa jari dan masih agak baru pula. Namun begitu terkena tendangan Tong Wi-hong, maka bangku itu bagaikan meledak oleh kekuatan dari dalam, berubah menjadi serpihan kayu kecil-kecil yang beterbangan ke seluruh ruangan. Si lelaki Mongol itu menjadi pucat wajahnya, ia cuma berdiri terlongong-longong sambil memegangi separuh bagian bangku yang masih utuh.
Wi-hong menahan kakinya sejenak di udara, lalu menurunkannya pelan-pelan sambil bertanya kepada si raksasa Mongol, “Bagaimana kira-kira kalau tendanganku ini tidak ku kenakan ke bangku panjang itu melainkan ke batok kepalamu...?”
Selanjutnya;