Perserikatan Naga Api Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Jilid 04 Karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Perserikatan Naga Api Jilid 04

SI MATA TIKUS, teman si raksasa Mongol itu juga ikut lenyap keberaniannya. Tetapi untuk angkat kaki begitu saja dia merasa malu, sebab dia sudah biasa main gagah-gagahan di wilayah Pak-khia barat itu. Maka dengan berlagak sebagai tokoh dunia persilatan, ia menjura kepada Wi-hing dan berkata,

“Sungguh-sungguh kami punya mata tetapi tidak melihat gunung Thay-san melintang di depan mata. Mohon tuan menyebutkan nama tuan.”

“Aku Tong Wi-hong,” sahut Wi-hong tanpa gentar.

“Dan aku adiknya, bernama Wi-lian,” sang adikpun ikut nimbrung bicara. “Jika kalian tidak terima akan sikap kami ini, silahkan laporkan pada tuanmu dan bawa kawan-kawanmu lebih banyak lagi untuk menangkap kami.”

Lelaki bermata tikus itu lalu mendengus dingin, katanya, “Hem, baiklah. Ada budi harus dibalas, tindakan kalian hari ini pun pasti tidak akan luput dari pembalasan kami. Sampai ketemu lagi.”

Lalu kedua orang itupun membalikkan tubuh hendak mengeloyor pergi dari situ. Tetapi sebelum mereka mencapai ambang pintu, maka di ambang pintu itu telah terdengar sebuah suara dingin yang berat dan berwibawa,

“Benar-benar tidak tahu malu. Sudah kalah masih menggertak pula.”

Kini di ambang ointu itu telah berdiri seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya mantap dan menampakkan kesungguhan hatinya dalam segala hal, sinar matanya tajam dan tenang. Pakaiannya terbuat dari bahan yang mahal, tapi potongannya justru sangat sederhana dan ringkas. Dengan menggendong tangan di belakang punggungnya, perlahan-lahan dia melangkah masuk ke dalam ruangan rumah makan yang berantakan itu.

Sungguh aneh, lelaki bermata tikus dan si raksasa Mongol yang tadinya garang sekali kini mendadak berubah menjadi seperti dua ekor tikus yang kepergok seekor kucing candramawa. Si muka tikus membungkukkan badannya dan memberi hormat sambil menyapa dengan sikap sehormat mungkin, “Oh, kiranya Siau-ya.”

Pemuda berwibawa itu mendengus, tanyanya, “Apa yang sedang kalian perbuat di tempat ini?”

Si tikus jadi gugup, “Ah... eh... ini... ini adalah perintah dari Lo-ya,” sahutnya dengan tergagap-gagap sambil berkali-kali melirik ke arah si raksasa.

“Kalian cepat pergi dari sini dan jangan menggangu pedagang itu lagi,” kata si pemuda berwibawa dengan nada memerintah.

Si muka tikus dan si raksasa tidak menduga akan mendapat perintah seperti itu, seketika mereka menjadi kelabakan. Kata si tikus, “Te...tetapi, siau-ya, perintah Lo-ya harus dijalankan. Kalau tidak, hancurlah sumber nafkah kami berdua.”

“Oh, bagus, kiranya kau masih memikirkan sumber nafkahmu, tapi apa kau kira orang lain juga tidak perlu sumber nafkah?” jawab si anak muda berwibawa itu. Katanya lagi, “Jangan banyak mulut lagi, cepat pergi dari sini, aku yang akan bertanggung-jawab kepada ayah tentang kejadian ini.”

Seperti dua ekor anjing yang habis ditendang, kedua orang itu memberi hormat kepada si anak muda, lalu cepat-cepat melangkah pergi tanpa berani menoleh lagi. Sementara itu Tong Wi-hong dan adiknya tengah memperhatikan anak muda itu dengan perasaan kagum. Siapakah dia? Masih semuda itu namun memiliki kewibawaan yang mengagumkan.

Anak muda itupun menoleh ke arah kakak beradik itu lalu menganggukkan kepala sambil tersenyum ramah. Sikapnya kini tidak dingin lagi. Ketika tatapan matanya menyambar wajah Wi-lian, tanpa sembunyi- sembunyi ia menunjukkan mimik kagumnya. Terpaksa Wi-lian jadi tersipu-sipu dan menundukkan mukanya yang menjadi merah.

Anak muda itu lalu berjalan mendekat dan menyapa, “Tendangan Kim-kong-tui-hong (Malaikat Menendang Puncak Gunung) dari perguruan Soat-san-pay memang hebat. Pantas kedua kantong nasi itu jadi terbirit-birit lari.”

Diam-diam Wi-hong dan Wi-lian terkejut. Pikir mereka, “Benar-benar tajam mata pemuda ini. Tendangan yang menjadi pusaka perguruan kami ini ternyata dapat dikenalinya.” Tetapi di mulutnya Tong Wi-hong merendah sebagai basa-basi, “Ah, saudara terlalu memuji, aku khawatir justru saudara mentertawakan di dalam hati.”

Anak muda itu tertawa bebas, “Ha-ha-ha, aku memuji saudara dengan sepenuh hati dan bukan cuma untuk basa-basi saja. Tapi memang ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan kepada saudara”

“Silahkan...,”

Kata pemuda itu, “Jurus Kim-kong-tui-hong adalah jurus khas dalam perguruan Soat-san-pay. Dan tadi sempat pula kudengar pengakuan kedua saudara ini bahwa kalian she Tong. Lalu apa hubungannya dengan keluarga Tong Tay-hiap, Tong Tian di An-yang-shia?”

Mendengar pertanyaan itu, seketika timbullah kecurigaan Tong Wi-hong dan adiknya. Jangan-jangan pemuda ini adalah orangnya pihak Cia To-bun atau Thio Ban-kiat yang bertugas untuk mengejar dan menangkap sisa-sisa keluarga Tong? Karena keraguan-keraguannya ini, maka Tong Wi-hong tidak segera menjawab pertanyaan pemuda itu, bahkan ia saling bertukar pandang dengan adiknya.

Anak muda itu heran ketika melihat sikap kakak beradik itu, namun ia tidak mendesakkan pertanyaannya lagi. Bahkan kemudian ia menarik napas seperti orang menyesal, lalu berkata, “Ah, agaknya saudara berdua ingin menolak uluran persahabatanku. Baiklah, itu hak setiap orang. Maafkan atas tindakan orang-orangku tadi, sekarang aku mohon diri.”

Pemuda itu lalu memberi hormat dan siap untuk melangkah pergi. Sebaliknya Tong Wi-hong menjadi merasa tidak enak sendiri setelah melihat sikap pemuda itu. Maka katanya, “Maaf, berhubung keadaan kami yang sulit, maka kami tidak dapat memberitahukan tentang diri kami kepada sembarangan orang, dan bukan maksud kami untuk menyakiti hati orang lain. Kalau saudara tidak berkeberatan, maukah saudara memperkenalkan diri lebih dahulu?”

Seketika berserilah air muka anak muda itu. Di dalam hatinya dia sebetulnya memang sangat ingin berkenalan dan bersahabat dengan Wi-hong, terutama dengan adiknya itu, maka tanpa pikir panjang diapun segera memperkenalkan dirinya, “Aku bernama Ting Bun, dan ayahku bernama Ting Ciau-kan. Antara ayahku dan Tong Tay-hiap ada hubungan saudara angkat, maka aku memanggil Tong tay-hiap dengan sebutan pek-hu (uwak).

Hampir melonjak karena gembiranya Wi-hong dan Wi-lian mendengar pengakuan pemuda itu. Hampir bersamaan segera berseru, “Jadi kau adalah putera paman Ting?’

Anak muda yang mengaku bernama Ting Bun itupun nampak gembira. Ia pun sudah mulai dapat menebak siapakah kakak beradik yang berada didepannya itu. “Kudengar Tong Pek-hu mempunyai tiga orang anak, dua lelaki dan satu perempuan. Puteranya yang tertua, Wi-siang, aku sudah pernah bertemu dengannya. Maka tentunya kalian ini adalah adik-adik Wi-siang, yang sering dipanggil A-hong dan A-lian bukan?”

Tong Wi-hong tertawa, “Tepat sekali dugaan Ting Toako.”

“Selain itu, wajah kalian pun agak mirip dengan si bengal A-siang. Eh, kenapa si bengal itu tidak ikut kemari?”

Karena tidak ingin merusak suasana pertemuan itu, maka Wi-hong menghindari pembicaraan yang menyangkut musibah yang menimpa keluarganya. Pertanyaan Ting Bun tentang kakaknya itu dijawabnya secara samar-samar saja. Ting Bun agak heran juga melihat sikap yang agak menyembunyikan sesuatu itu, tapi ia cukup bijaksana untuk mengerti bahwa memang seharusnya begitu.

Ia kemudian memanggil pengurus rumah makan itu dan menyuruhnya membuka sebuah meja perjamuan yang baru dengan beberapa macam masakan terpilih. Ia juga berjanji kepada pengurus rumah makan untuk mengganti semua kerusakan yang diakibatkan oleh si tikus dan si raksasa Mongol tadi. Dan si pedagang setengah tua yang sempat dihajar oleh si raksasa tadi pun diberinya biaya untuk berobat.

Setelah meja perjamuan yang baru tersusun rapi, Ting Bun mempersilahkan Wi-hong dan adiknya untuk mengambil tempat duduk, katanya sambil tertawa, “Silahkan, berikan aku kesempatan sebagai tuan rumah yang baik untuk menghormati tamu-tamunya.”

Perjamuan itu berlangsung dalam suasana gembira. Sikap Ting Bun yang terbuka dan ramah itu perlahan-lahan telah menyapu bersih semua kecanggungan, percakapan semakin lancar. Sikap Ting Bun yang demikian itu sangat menyenangkan Wi-hong dan adiknya.

Selesai denga perjamuan itu, Ting Bun menepati janjinya kepada si pemilik rumah makan, kemudian mengajak Wi-hong dan adiknya menuju ke rumahnya. Tujuan Tong Wi-hong dan adiknya menuju Pak-khia itu memang bermaksud mencari sang paman untuk belajar ilmu silat Ngo-heng-kun dan Eng-jiau-kang, maka ajakan Ting Bun itu terasa sangat kebetulan bagi mereka.

Rumah Ting Ciau-kun terletak di kota Pak-khia bagian barat. Setelah ketiga orang muda itu berjalan tidak lama, sampailah mereka ke sebuah rumah gedung yang sangat indah, bahkan keindahan rumah Cia to-bun di An-yang-shia itupun tidak ada sebagian kecilnya dari keindahan rumah ini. Untuk sesaat Tong Wi-hong dan adiknya terlongong kagum melihat rumah ini.

“Kita sudah sampai,” kata Ting Bun.

“Di An-yang-shia tidak ada rumah sebagus ini,” desis Wi-hong dengan lugu.

Ting Bun cuma tersenyum bangga mendengar pujian itu. Lalu ia mengetuk pintu rumah yang tebal itu dengan gelang tembaga yang tergantung di daun pintu. Seorang pelayan membukakan pintu, dan Ting Bun bertiga segera masuk.

Tanpa diketahui oleh ketiga anak muda itu, ada sepasang mata yang diam-diam terus memperhatikan tindak-tanduk mereka bertiga. Sepasang mata kepunyaan seorang yang berdandan seperti seorang rahib Buddha yang melarat, dan duduk seenaknya di emperan sebuah warung arak yang terletak berseberangan dengan rumah Ting Ciau-kun.

Rahib itu nampaknya sudah berhari-hari tidak mandi, terlihat dari sekujur badan dan pakaiannya yang begitu dekil, sedang tangan kirinya memeluk buli-buli arak yang setiap kali ditenggak isinya. Melihat Tong Wi-hong dan adiknya mengikuti Ting Bun memasuki rumah indah itu, rahib dekil itu menggerutu perlahan, “Hem, dua ekor kambing gemuk sedang menyodorkan dirinya ke mulut serigala. Keparat busuk, ini jelas akan menambah kerepotanku.”

Masih dengan menggerutu diselingi dengan menenggak araknya, rahib itu bangkit dari tempat duduknya lalu mulai melangkah dengan agak sempoyongan. Tidak seorangpun memperdulikan rahib miskin itu, sikapnya saja sudah menunjukkan seperti orang yang kurang beres otaknya. Apalagi ketika kemudian paderi itu mulai bernyanyi-nyanyi kecil dengan suara tidak jelas.

* * * * * * *

Bagian dalam rumah Ting Ciau-kun ternyata benar-benar luar biasa mewahnya sehingga tidak mengesankan rumah seorang tokoh persilatan namun lebih mirip rumah seorang hartawan besar. Tong Wi-hong dan adinya yang berasal dari sebuah kota kecil seperti An-yang-shia, tak habis-habisnya mengagumi rumah itu dan segala benda-benda isinya.

Untuk lebih mengakrabkan suasana, Ting Bun memanggil kedua tamunya langsung dengan panggilan sehari-hari mereka, “A-hong dan A-lian, kalian duduklah lebih dulu. Aku akan memanggil ayah, mungkin beliau sedang berlatih di halaman belakang.”

Lalu Ting Bun melangkah ke bagian dalam, setelah menyibakkan sebuah tirai indah. Keluarga Tong di An-yang-shia sebenarnya tergolong bukan keluarga miskin juga, tapi dibandingkan dengan keluarga Ting ini, jelas selisihnya sangat jauh. Tong Tian bukanlah seorang yang mementingkan kekayaan lahiriah. Falsafah hidupnya asal makan cukup, berpakaian cukup, tempat tinggal cukup dan hidupnya dapat berguna bagi sesama manusia, maka itulah kebahagiaannya.

Ting Ciau-kun sedang berlatih silat di halaman belakang rumahnya, ketika tahu-tahu anaknya datang menemuinya dan melaporkan, “Ayah, putera-puteri Tong Pek-hu dari An-yang-shia, A-hong dan A-lian, datang mengunjungi kita. Mereka sedang menanti di ruangan depan untuk dapat menemui ayah.”

Tidak seperti umumnya seorang paman bergembira menyambut kedatangan keponakannya yang datang dari jauh. Ting Ciau-kun justru nampak kurang suka mendengar laporan itu. Pikirnya, “Apakah Ting Ciau-kun sudah dicurigai sebagai orang yang mencegat tong Tian di luar kota Kiang-le itu? Dan kini Tong Tian mengirim anaknya untuk pura-pura berkunjung padahal untuk menyelidiki diriku? Hemm, aku harus waspada.”

Namun Ting Ciau-kun mampu bersandiwara dihadapan anaknya sendiri, dan dengan sikap yang berpura-pura gembira ia berkata, “Ah, tidak kuduga hari ini aku akan dikunjungi oleh keponakan-keponakanku itu. Anak Bun, temanilah mereka sebentar, ayah akan berganti pakaian."

Setelah mengeringkan keringatnya dan berganti dengan pakaian bersih, Ting Ciau-kun segera menuju ke ruangan depan. Begitu memasuki ruangan depan maka langsung dipasangnya wajah seramah mungkin dan katanya, “Keponakanku yang baik, kalian membuat pamanmu ini hampir mampus karena rindunya kepada kalian!”

Melihat keluarga sang paman, Wi-hong dan adiknya cepat menjalankan adat-istiadat dengan berlutut dan memanggil, “Paman Ting.”

Ting Ciau-kun cepat berkata, “He, kenapa kalian jadi begini banyak adat seakan-akan aku adalah orang lain saja. Ayo bangunlah. Aku dan ayah kalian bukan hanya sahabat-sahabat sejati, bahkan telah bersumpah sebagai saudara angkat.”

Ketika Ting Ciau-kun menggerakkan tangannya untuk mengangkat kedua anak Tong Tian itu supaya bangkit, maka Wi-hong dan adiknya merasa ada tenaga yang begitu besar mengangkat mereka untuk bangkit. Wi-hong segera menyatakan kekagumannya, “Hebat betul kekuatan paman, agaknya paman tidak pernah lalai berlatih.”

Sang paman tertawa dan pura-pura sungkan, namun nada suaranya mengandung rasa bangga juga, “Jangan omong kosong sembarangan, A-hong. Pamanmu ini makin tua makin loyo, kau jangan menyindirku ya?”

Demikianlah keempat orang itu lalu bercakap-cakap dengan gembiranya, apa yang dibicarakan pun tidak menentu. Semuanya nampak gembira, tetapi sebenarnya kegembiraan Ting Ciau-kun hanya pada lahirnya saja, sedang dalam hatinya dia justru sedang menyusun rencana-rencana keji.

Suatu ketika Ting Ciau-kun berkata, “Wah, pelupa benar aku ini, masakan setelah bicara sekian lama aku belum juga ingat untuk menanyakan sesuatu. A-hong, bagaimana keadaan ayah dan ibumu di An-yang-shia? Bagaimana pula dengan si bandel A-siang? Apakah semuanya dalam keadaan baik?”

Kegembiraan yang sedang meliputi Wi-hong dan Wi-lian karena bertemu dengan pamannya mendadak lenyap, diganti dengan awan kemurungan yang menyaput wajah mereka. Diam-diam Ting Ciau-kun memperhatikan perubahan wajah mereka dan mulai menduga-duga di dalam hatinya,

“Apakah telah terjadi sesuatu, A-hong?” tanyanya.

Tong Wi-hong dan adiknya telah menganggap Ting Ciau-kun sebagai satu-satunya tempat berlindung yang masih ada di dunia ini, karenanya mereka tidak ingin merahasiakan soal apapun di hadapan sang paman. Dengan suara yang sedih Tong Wi-hong lalu bercerita bagaimana keluarganya terlibat permusuhan dengan Cia To-bun, dan akhirnya tertimpa malapetaka yang mencerai-beraikan keluarga pendekar itu. Ayahnya terbunuh, dan sebelumnya si kakak tertua telah lebih dulu menghilang tak tentu rimbanya, begitu pula keselamatan sang ibu masih belum dapat dipastikan bagaimana halnya.

Diam-diam Ting Ciau-kun terkejut juga ketika mendengar berita hebat tentang saudara angkatnya. Hanya saja terkejutnya itu bukan karena bersedih bagi nasib saudara angkatnya tersebut, melainkan lebih bertitik-berat kepada kepentingan dirinya sendiri. Pikirnya dengan cemas, “Hah, kiranya kejadiannya begitu berat, sehingga melibatkan pula seorang Panglima Daerah. Kini kedua bocah she Tong ini berada di rumahku, ini bisa membuatku terlibat dalam urusan dengan pihak pemerintah dan bisa mengganggu usaha dagangku.”

Tetapi di hadapan Tong wi-hong dan adiknya, Ting Ciau-kun pura-pura menggertakkan gigi dengan geram, dan ternyata ia cukup mampu pula untuk memperdengarkan nada sedih dan penasaran dalam nada bicaranya, “Kurang ajar benar Cia To-bun itu. Kelakuannya sama sekali tidak pantas sebagai orang yang ditugaskan untuk melindungi rakyat. Dia tidak memandang sebelah mata pun kepada Ji-ko (kakak kedua), berarti juga tidak memandang mata kepadaku!”

Lalu nadanya menurun, dan dengan air mata bercucuran ia berkata kepada Wi-hong dan Wi-lian, “Jika kalian belum punya tujuan tetap, untuk sementara kalian boleh tinggal di sini. Anggap saja aku sebagai pengganti kedua orang tuamu.” Sedangkan dalam hatinya Ting Ciau-kun sudah punya rencana khusus dengan berdiamnya kedua anak itu di rumahnya.

Tong Wi-hong dan adiknya sangat terkesan oleh “keluhuran budi” paman Ting ini. Mereka pun menghaturkan terima kasih sambil berlutut, sekalian mengajukan permohonan untuk mempelajari Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang, dua macam ilmu silat yang membuat paman Ting terkenal di dunia persilatan. Dan karena punya rencana tertentu, tanpa pikir panjang lagi Ting Ciau-kun menyanggupi permintaan kedua keponakannya itu.

Wi-hong dan Wi-lian sama sekali tidak menyadari bahwa sang paman yang kelihatan begitu baik hati itu sebenarnya adalah seekor serigala berbulu domba. Di dalam hati Wi-hong dan adiknya hanya ada perasaan terima kasih dan bersyukur kepada sang paman.

Sementara itu Ting Ciau-kun telah memerintahkan beberapa orang pelayan untuk mempersiapkan dua buah kamar yang akan menjadi tempat tinggal Wi-hong dan Wi-lian selama belajar silat di situ. Letak kamar mereka agak di bagian belakang rumah Ting Ciau-kun yang luas itu, namun justru terasa tenteram karena jauh dari kesibukan dan letaknya berdekatan dengan Lian-bu-thia yang lengkap dengan segala macam alat latihan. Di rumah keluarga Tong juga ada ruangan semacam itu.

Tak terasa, beberapa hari telah lewat pula. Wi-hong dan adiknya merasa betah tinggal di situ, karena sikap tuan rumah yang baik dan tidak canggung. Apalagi Ting Bun, hampir setiap saat ia kelihatan bersama-sama dengan kedua kakak beradik itu, atau kadang-kadang hanya dengan salah satu diantara mereka.

Dalam waktu beberapa hari itu, sudah belasan kali Ting Ciau-kun mencoba memancing dengan kata-kata yang halus, menanyakan di manakah kitab ilmu pedang Soat-san-pay yang dibawa Tong Tian dulu. Namun setiap kali dia jadi kecewa, sebab baik Wi-hong maupun Wi-lian benar-benar tidak mengetahui di mana beradanya kitab yang ditanyakan oleh sang paman Ting itu.

Diam-diam kesabaran Ting Ciau-kun juga hampir habis, “Jangan-jangan kedua bocah ini cuma berlagak tidak tahu, karena sudah diberi tahu tentang kejadian di luar kota Kiang-leng itu? Tapi jika menilik mereka masih berani berkunjung kemari, dan bahkan berdiam di sini, agaknya mereka benar-benar tidak tahu. Namun kitab itu juga tidak mungkin dibawa ke liang kubur oleh Tong Tian. Jadi yang membawa kitab itu kalau bukan isteri Tong Tian tentunya ya A-siang.”

Meskipun demikian Ting Ciau-kun masih belum hilang harapannya, sikapnya masih tetap begitu ramah dan menyayangi kedua keponakannya itu. Bahkan sampai Tong Bun sendiri, anaknya, tidak tahu kandungan hati ayahnya.

Pada suatu sore yang cerah sekali, Ting Bun timbul seleranya untuk berkuda keluar kota melihat keindahan bukit Bwe-san di luar kota Pak-khia yang terkenal keindahannya itu. Ketika ia mengatakan natnya itu kepada kakak beradik she Tong, seketika mendapat sambutan baik.

Wi-hong sebagai “kutu buku” yang gemar membaca, memang pernah membaca tentang tempat-tempat indah dan tempat-tempat bersejarah yang terletak di luar Pak- khia, kini tentu saja tidak akan dilewatkannya kesempatan untuk menyaksikan tempat-tempat itu dengan mata kepalanya sendiri. Maka tidak lama kemudian, ketiga orang muda itu sudah berada di punggung kudanya masing-masing menuju ke luar kota.

Kepergian ketiga orang muda itu itdak lepas dari pengamatan Ting Ciau-kun. Kini ia melihat kesempatan bagus telah terbentang di depan mata, lebih dulu ia menyelinap masuk ke dalam kamar Wi-hong tanpa diketahui seorang pelayanpun. Setelah meyakinkan diri tidak ada orang yang mengetahui perbuatannya.

Mulailah Ting Ciau kun dengan cermat menggeledah setiap barang bawaan Wi-hong. Pakaiannya, beberapa bukunya, bahkan sampai kasur dan bantal pun dibalikkannya untuk mencari sesuatu. Matanya berputaran kesana-kemari, tidak seinci pun isi kamar itu yang lolos dari pemeriksaannya, namun kitab Soat-san-pay yang dicarinya itu tidak didapatnya.

Setelah gagal mencari barang impiannya, ia merapikan kembali semua barang-barang yang habis diobrak-abriknya. Sungguh hebat dan cermat cara kerja si paman Ting ini, sebab dalam waktu yang singkat keadaan kamar Wi-hong itu telah pulih seperti semula. Siapapun tidak akan menduga kalau kamar itu habis digeledah habis-habisan.

Selesai menggeledah kamar Wihong, maka kamar Wi-lian pun mendapat giliran untuk diaduk habis-habisan. Tetapi sekali lagi hatinya digigit rasa kecewa yang mendalam. Tidak ada kitab ilmu pedang Soat-san-pay segala. Wajah Ting Ciau-kun yang gemuk itu nampak berkerut-kerut dan giginya memeretak menahan gejolak hatinya.

Ketika ia telah selesai merapikan kembali kamar Wi-lian dan hendak keluar dari kamar, tiba-tiba kupingnya yang sangat terlatih menangkap sebuah suara yang sangat lembut di luar kamar. Suara kain pakaian yang bergeseran dengan tembok, jadi ternyata ada orang yang telah mengintip segala kelakuannya itu! Bentaknya,

“Siapa di luar?!” Mulutnya membentak, tubuhnyapun ikut melompat keluar setelah tangannya lebih dulu mendorong jendela. Meskipun Ting Ciau-kun bertubuh gemuk karena hidup makmur, tetapi kelincahannya sama sekali tidak berkurang oleh kegemukannya itu. Bagaikan seekor burung ia telah meloncat keluar jendela dan kedua tangannya bersilang melindungi dadanya.

Gerakan Ting Ciau-kun sangat cepat, namun tak terduga gerakannya masih kalah cepat dari gerakan orang yang di luar ruangan itu. Begitu Ting Ciau kun sampai di luar, ia cuma sempat melihat sesosok bayangan hitam bergerak secepat kilat dalam keremangan senja. Tubuh orang itu begitu ringan sehingga hanya seperti segulung asap yang tak berbobot sama sekali, dan tahu-tahu telah hinggap di atas genteng dan berkelebat lenyap seperti hantu saja.

Berdesirlah hati Ting Ciau-kun melihat kesaktian orang itu, tingkatan ilmu silat seperti itu adalah jauh di atas tingkatannya sendiri, padahal Ting Ciau-kun sendiri tergolong seorang jagoan tangguh yang cukup disegani di wilayah Ho-pak, terutama di Pak-khia. Orang yang diburu Ting Ciau-kun itu ternyata bergerak sedemikian cepat, sehingga ketajaman mata Ting Ciau-kun pun tidak mampu membedakan apakah orang itu lelaki atau perempuan, tua atau muda, kurus atau gemuk.

Ting Ciau-kun melompat ke atas genteng dan mengedarkan pandangannya, tapi yang dilihatnya cuma ribuan atap rumah, bayangan orang tadi sudah tidak terlihat sedikitpun juga. Tak terasa keringat dingin mulai mengaliri punggungnya.

“Kepandaian ilmu silat yang bagaikan setan saja” katanya dalam hati. “Untuk membunuhku, ia akan dapat melakukannya dengan mudah dan cukup membutuhkan beberapa jurus saja. Tetapi kenapa dia tidak membunuhku? Apa maksudnya dia menyelundup ke dalam rumahku dan mengintip perbuatanku? Siapakah di sebenarnya?”

Ternyata pertanyaan-pertanyaan yang bergelut dalam hatinya itu tidak satupun yang terjawab. Akhirnya dengan hati gelisah ia melompat turun kembali dari genteng. Dikancingnya kembali jendela kamar Wi-lian seperti semula, lalu dengan langkah lesu ia berlalu dari halaman belakang menuju ke ruangan depan.

Diam-diam hatinya masih diliputi oleh rasa ngeri melihat kepandaian orang itu. Jika orang itu memusuhinya, maka ia benar-benar merupakan seorang musuh berat yang di luar kemampuannya untuk mengatasi.

Ketika ia melewati pintu rembulan di samping rumahnya, ia berjumpa dengan Ting Bun dan kakak beradik she Tong yang baru saja selesai dengan acara gembira mereka. Ketiga orang muda itu nampak riang gembira, namun mereka menjadi heran ketika melihat Ting Ciau-kun yang berwajah gugup dan berkeringat, sedang langkahnya pun nampak gugup dan ragu-ragu. Tidak seperti biasanya sang paman berpenampilan seperti itu.

“Selamat sore, paman,” Wi-hong dan adiknya menyapa.

Ting Ciau-kun memaksakan bibirnya untuk membentuk senyuman, lalu katanya dengan gaya sewajar mungkin, “Puaskah kalian melihat tempat-tempat indah di Bwe-san dan sekitarnya? Besok jika aku ada waktu luang, akan kuantar kalian ke tempat-tempat lain yang lebih jauh lagi.”

“Terima kasih paman. Tentu akan menyenangkan sekali.”

Sementara Ting Bun telah bertanya kepada ayahnya, “Ayah, kelihatannya kau dalam keadaan kurang sehat. Muka ayah nampak agak pucat dan berkeringat pula,”

Ting Ciau-kun menggoyangkan tangannya sambil berkata, “Tidak jadi soal. Sore ini aku memang merasa kurang sehat, lalu kucoba untuk berlatih sebentar di lian-bu-thia, namun agaknya aku memang kurang sehat sehingga latihan kuhentikan.”

Ketika ketiga orang muda itu masih memandangnya dengan ragu-ragu, Ting Ciau-kun berkata lagi, “Tidak perlu mencemaskan aku. Aku hanya agak kelelahan rupanya.”

Tong Wi-lian lalu berkata, “Pantas paman selalu awet muda dan ilmu silatnya pun semakin lihai. Kiranya paman begitu giat berlatih sehingga semalam inipun masih melatih diri.”

Muka Ting Ciau-kun menjadi agak merah, untung ia cepat-cepat menoleh ke arah lain sehingga perubahan air mukanya itu tidak terlihat oleh ketiga ortang muda itu. Namun sebenarnyalah otak Wi-lian yang cukup cerdas itu mulai menangkap adanya gejala-gejala tidak wajar dalam tingkah laku pamannya itu. Masakan ada orang berlatih silat di sore hari sehabis mandi? Dan kenapa sang paman tidak mengenakan pakaian silat yang ringkas tetapi memakai jubah panjang seperti itu? Namun begitu, gadis itu tidak berkata apapun lagi.

Malam itu Ting Ciau-kun tidak dapat memejamkan matanya barang sekejappun. Semalam suntuk pikirannya gelisah memikirkan peristiwa sore itu. Orang yang kelihaiannya seperti setan itu seorang kawan atau lawan? Jika orang itu bermaksud mencampuri urusannya, maka semua rencana yang sudah dirancang atas diri Wi-hong dan Wi-lian itu harus ditinjau kembali, dan dirancang lebih cermat.

“Mulai besok pagi aku akan mulai mengajarkan ilmu silat kepada kedua anak itu,” demikian Ting Ciau-kun akhirnya memutuskan di dalam hatinya. “Mudah-mudahan dengan pancingan-pancingan halus aku akan dapat mengetahui di mana disimpannya kitab imu pedang itu. Aku masih punya sedikit harapan dalam hal ini.”

Sampai hari hampir fajar, barulah Ting Ciau-kun dapat memejamkan matanya sejenak. Tapi ia harus segera bangun lagi ketika merasa sinar matahari yang hangat menerobos masuk lewat jendela kamarnya. Mulai hari berikutnya, Ting Ciau-kun “menurunkan ilmu” kepada kedua orang keponakannya itu.

Ia sendiri berada di lian-bu-thia sambil memperagakan tangkisan-tangkisan dasar, langkah-langkah dasar dan beberapa bentuk kuda-kuda serta kegunaannya. Ting Bun berada pula di tempat itu untuk menemani berlatih.

Begitu hebat semangat Wi-hong dan adiknya dalam berlatih, dengan harapan kelak akan dapat membalas kepada Cia To-bun dengan tangan mereka sendiri. Karena mereka melakukan semua petunjuk dengan sungguh-sungguh, maka dalam waktu yang singkat mereka telah basah kuyup dengan keringat. Gerakan-gerakan sesederhana apapun yang diperagakan oleh paman Ting diulang-ulanginya sampai puluhan kali.

Menyaksikan semangat yang begitu hebat, Ting Ciau-kun menjadi ngeri sendiri. Pikirnya dngan perasaan dengki, “Kedua bocah ini ternyata selain berbakat bagus juga punya semangat yang tinggi, apabila aku mengajarkan ilmuku secara sungguh-sungguh, jangan-jangan nanti mereka malah menjadi lebih lihai dari pada aku? Ini tidak boleh terjadi.”

Dasar Ting Ciau-kun memang berpikiran sempit dan hanya mementingkan diri sendiri, maka ia suka mengukur orang lain dengan ukurannya sendiri. Dipikirnya semua orang sama culasnya dengan dirinya sendiri.

Berdasarkan wataknya itu, maka dalam mengajarkan dasar-dasar Ngo-heng-ciang kepada kedua keponakannya, ia sengaja menyelipkan keterangan-keterangan yang keliru, yang justru akan dapat menghambat perkembangan ilmu itu dalam mencapai taraf tertinggi. Ting Ciau-kun tidak rela jika kedua keponakannya itu pun akan mahir Ngo-heng-ciang sehingga dapat menyainginya kelak.

Tong Wi-hong dan adiknya masih terlalu hijau dalam pengalaman, mereka sama sekali tidak menyadari keculasan pamannya. Bahkan Ting Bun sendiri tidak mengetahui kalau sang ayah punya watak seperti itu.

“A-hong dan A-lian,” begitulah Ting Ciau-kun berkata pada suatu hari, dalam suatu latihan. “Kurasa terlalu lambat jika kalian harus mempelajari Ngo-heng-ciang mulai dari dasar-dasarnya. Maka aku pikir aku akan langsung menyesuaikan latihan Ngo-heng-kun kalian dengan tingkat ilmu silat kalian yang sekarang. Untuk itu, aku perlu melihat ilmu silat apa saja yang sudah kalian pelajari dan sampai dimana kematangan kalian dalam memainkannya.”

Tanpa menaruh kecurigaan sedikitpun, Wi-hong dan adiknya menuruti kemauan pamannya untuk memainkan semua ilmu silat yang mereka punyai. Lebih dulu mereka mempertunjukkan silat tangan kosong dari Soat-san-pay yang disebut Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Terbang), sebuah ilmu pukulan yang lincah dan ringan. Berbeda dengan watak imu Ngo-heng-ciang yang keras, maka Ting Cia-kun nampaknya kurang tertarik dengan ilmu tangan kosong itu.

Tetapi ketika kedua keponakannya itu mulai memainkan ilmu pedang, melototlah mata Ting Ciau-kun untuk memperhatikan bagian-bagian yang sekecil-kecilnya dari setiap gerakan. Namun kemudian ia kecewa untuk kedua kalinya, sebab meskipun Soat-san-kiam-hoat yang dilihatnya itu dibawakan itu cukup bagus, tapi itu sudah pernah dilihatnya. Padahal yang sangat ingin diketahui oleh Ting Ciau-kun adalah ilmu pedang ciptaan terbaru dari Soat-san-pay yang kabarnya sangat ampuh itu. Pikirnya dengan jengkel,

“Percuma saja aku melindungi kedua anak ini, ternyata mereka sama sekali tidak bisa memberi petunjuk apapun tentang ilmu pedang itu. Rupanya Tong Tian belum sempat mengajarkannya kepada anak-anaknya, tapi mustahil ia membawa kitab itu ke liang kubur?”

Rupanya Ting Ciau-kun ini seorang yang serakah ilmu silat di dunia ini. Dan dalam mencapai tujuannya itu dia tidak segan-segan menghalalkan segala cara. Meskipun hatinya kecewa, namun muka Ting Ciau-kun tetap ramah dan berseri-seri, katanya,

“Bagus, Soat-san-kiam-hoat telah dapat kalian mainkan dengan mantap dan tanpa kesalahan. Tapi bila bicara soal kematangan, kalian masih kurang cukup dan harus berlatih lebih baik lagi. Pernah kudengar bahwa ketua Soat-san-pay, guru dari ayah kalian, baru saja menyelesaikan karyanya berupa sebuah rangkaian jurus-jurus ilmu pedang yang hebat dan ditulis dalam sebuah kitab. Bolehkah aku melihat kitab itu?”

Wi-hong dan Wi-lian merasa bangga juga karena pujian sang paman itu. Tetapi merekapun merasa heran, kenapa sudah berkali-kali paman Ting ini ngotot untuk melihat kitab itu? Bukankah Wi-hong maupun Wi-lian sudah berkali-kali menjawab bahwa kitab itu tidak ada pada mereka, kenapa paman Ting masih terus bertanya saja dan seakan-akan kurang mempercayai jawaban mereka?

Sahut Tong Wi-hong, “Ilmu pedang karya terbaru dari Su-co (kakek guru) itu kabarnya memang lhai dan juga amat rumit sekali, sulit dipahami dalam waktu singkat. Ayah sendiri belum memahaminya dan baru hapal garis besarnya, apalagi kami yang masih dangkal dalam ilmu pedang? Tentang kitab itu, selalu disimpan oleh ayah, dan kami belum pernah diperkenankan untuk melihatnya, apalagi menyimpannya.”

“Ah, sayang sekali, sebuah kitab yang berisi hasil karya seorang pendekar tua yang termasyhur telah lenyap begitu saja. Hemm, sayang sekali,” begitu Ting Ciau-kun berkata dengan nada menyesal.

Karena Wi-hong dan adiknya memang tidak tahu menahu tentang hal itu, maka dipancing bagaimanapun mereka akan tetap menjawab tidak tahu. Selain jawaban itu, tidak ada jawaban lain yang bisa mereka berikan kepada sang paman.

“Kami tidak becus melindungi karya besar Su-cou itu. Ketika begundal-begundal Cia To-bun menyerbu ke rumah kami, kami berdua bersama ibu serta Su-siok-co Oh Yu-thian telah berusaha bertahan mati-matian, tapi kawanan penyerbu itu ternyata merupakan jago-jago tangguh dan berjumlah banyak. Kami dipaksa untuk mundur dengan berpencaran, bahkan sampai kini kami saling tidak mengetahui akan nasib kami masing-masing.”

Akhirnya habis juga harapan Ting Ciau-kun untuk mengorek keterangan dari kedua keponakannya itu tentang kitab yang diimpikannya. Sebuah pikiran keji timbul dalam benaknya, “Nampaknya memang aku tidak dapat mengharapkan keuntungan apa-apa lagi dari kedua anak ini. Kalau sudah begini, apa untungnya aku membiarkan mereka lebih lama lagi tinggal di rumah ini? Mereka adalah buronan negara, dan salah-salah akupun bisa ikut dituduh menyembunyikan buronan negara. Sebaiknya kuserahkan saja kedua anak itu kepada yang berwajib, dan dengan begitu kau mendapat muka terang di hadapan pemerintah.”

Sesungguhnya manusia yang hanya memikirkan diri sendiri semacam Ting Ciau-kun ini jauh lebih berbahaya dari lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Seorang lawan, bagaimanapun kuatnya, akan dapat dihindari atau dilawan sekuat tenaga, sedang manusia seperti Ting Ciau-kun ini tanpa diketahui akan dapat menusuk punggung sahabatnya sekalipun, dari belakang.

Ting Ciau-kun menjadi sangat lesu pagi itu. Dengan alasan kurang enak badan ia meninggalkan latihan dan menyuruh Wi-hong serta adiknya untuk berlatih sendiri. Suasana latihan yang tadinya bergairah dan penuh semangat, kini berganti dengan suasana lesu. Dan kini sang paman lebih suka duduk di belakang mejanya sambil menghitung hutang-hutang orang lain yang belum ditagihnya.

Dia adalah seorang pelepas uang yang terkenal di Pak-khia bagian barat. Dengan bunga yang mencekik leher, maka Ting Ciau-kun berhasil memeras harta orang lain, sehingga memiliki kekayaan seperti sekarang ini. Tak ada yang berani menentangnya secara terang-terangan, sebab ia memelihara banyak tukang pukul yang setiap saat menjalankan perintahnya. Selain itu, juga karena Ting Ciau-kun punya hubungan baik dengan penguasa kota Pak-khia.

Kadang-kadang dengan terpaksa Ting Bun mencegah perbuatan anak buah ayahnya, tidak jarang menghajarnya sendiri jika perbuatan mereka dianggapnya sudah keterlaluan. Dan ats sikap anaknya ini, Ting Ciau-kun berpura-pura tidak tahu saja. Hari itu semuanya berjalan seperti biasanya, tidak ada kejadian apapun. Namun pada malam harinya, terjadilah sesuatu...

Malam itu Ting Ciau-kun sedang duduk tepekur sendirian di ruangan tengah rumahnya yang besar itu. Ia sedang memikirkan bagaimana jalan yang terbaik untuk menyingkirkan kedua keponakannya itu secara halus dan bebas dari tanggung jawab. Ia sudah tidak dapat mengharap apapun lagi dari kedua bocah she Tong itu. Karenanya Ting Ciau-kun sungkan untuk terlibat dengan urusan keluarga Tong yang sudah dianggap memberontak.

Tetapi Ting Ciau-kun masih ragu-ragu untuk bertindak. Terbayanglah di pelupuk matanya akan sesosok bayangan hitam yang bergerak secepat hantu, yang telah memergokinya ketika ia sedang menggeledah kamar Wi-lian. Orang itu harus dimasukkan dalam perhitungan! Tetapi Ting Ciau-kun masih belum bisa menduga siapakah orang itu? Punya hubungan apa dengan keluarga Tong?

Malam itu sang rembulan agaknya melalaikan tugasnya. Hanya bintang-bintang yang masih setia di tempatnya masing-masing, berkelip-kelip tersebar di sebuah bentangan maha luas yang berwarna biru gelap. Di kejauhan, masih sayup-sayup terdengar suara kesibukan orang di pusat kota.

Ting Ciau-kun memikirkan si bayangan “hantu” itu, tak terduga orang yang dipikirkannya ternyata muncul malam itu. Menjelang tengah malam, orang itu muncul di atas atap rumah Ting Ciau-kun dengan gerakan ringan, cepat dan tanpa suara sedikitpun. Pakaiannya berwarna hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki. Gerak-geriknya memang menyerupai hantu gentayangan.

Orang itu bergerak ke arah bagian belakang rumah Ting Ciau-kun, dan ketika tiba di dekat amar yang ditempati oleh Wi-hong dan adiknya, orang itu melompat turun dengan gerakan seringan daun kering. Dengan dua buah batu kerikil yang dipungutnya dari tanah, ia membidik jendela kamar kakak beradik she Tong itu, dan kedua batu itupun menembus ke dalam kamar dengan suara berkelotak.

Tong Wi-hong dan adiknya adalah putera-puteri dari seorang pendekar terkenal yang telah mendapat didikan ilmu silat sejak kecil, panca indera mereka pun cukup tajam. Suara berkelotaknya batu yang dilemparkan oleh si “hantu” itu telah cukup membuat mereka bangun. Serempak mereka meraih pedang masing-masing dan melompat keluar jendela sambil membentak,

“Siapa di luar?!”

Di luar jendela telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar yang terbalut kain hitam dari kepala sampai kaki, hanya sepasang matanya yang tidak tertutup, dan sepasang mata itu menampilkan sorot yang tajam dan berpengaruh. Ia berdiri dengan kokohnya bagaikan sebuah menara besi.

“Sebutkan namamu!!” bentak Wi-lian sambil menodongkan pedangnya ke dada orang itu.

Tapi bayangan hitam itu tidak menyahut, sebagai jawabannya ia malah mengulurkan kedua tangannya sekaligus untuk mencengkeram pundak Wi-hong dan Wi-lian. Gerakannya dilakukan dengan cepat dan membawa desiran angin kuat. Melihat kebandelan orang itu, Tong Wi-lian membentak sambil membabatkan pedangnya dari bawah ke atas, maksudnya ingin memaksa agar orang itu membatalkan serangannya.

Serempak dengan itu, kakaknya pun melancarkan jurus Wan-kiong-sia-tiau (Mementang Busur Memanah Rajawali) yang diarahkan ke leher lawan. Dalam hatinya Tong Wi-hong tidak berniat membunuh orang, gerakannya itu hanya untuk menakut-nakuti orang itu. Ilmu pedang kedua kakak-beradik itu cukup terlatih, dan jika mereka menggabungkan serangan maka akan berkali lipat hebatnya.

Namun kejadian berikutnya telah membuat Wi-hong dan Wi-lian terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahu-tahu mereka merasakan pergelangan tangan mereka kaku, dan pedang merekapun jatuh ke tanah. Tenaga mereka mendadak amblas semua. Rupanya dengan kecepatan luar biasa si manusia bertopeng itu telah menotok jalan darah pelumpuh di tubuh kakak beradik itu.

Baik Wi-hong dan adiknya menjadi bergidik menghadapi peristiwa itu. Manusia atau siluman kah makhluk yang mereka hadapi itu? Kalau manusia, kenapa gerakannya demikian cepatnya dan tidak terlihat bagaimana ia menotok kakak beradik itu?

Kini sepasang telapak tangan orang berkedok itu telah mencengkeram kuduk Wi-hong dan adiknya. Mereka masih berusaha meronta, tapi seluruh anggota tubuh sudah tidak menurut perintah otak lagi, lumpuh tidak berdaya sama sekali. Bahkan hanya ingin membuka mulut untuk berteriak minta tolongpun tidak mampu lagi.

Tetapi suara keributan yang hanya sebentar itu sempat juga didengar oleh Ting Ciau-kun yang belum tidur. Terburu-buru ia menuju ke tempat suara keributan untuk melihat apa yang terjadi, diikuti pula oleh Ting Bun yang juga belum tidur. Bahkan Ting Bun masih sempat menyambar sebuah golok yang tergantung di dinding kamarnya. Sebentar saja suasana rumah itu menjadi ribut, beberapa centeng yang belum tidur pun ikut terbangun ketika mendengar derap langkah majikan mereka.

Begitu keluar, mereka langsung berteriak, “Maling! Maling!”

Ting Ciau-kun menjadi mendongkol melihat keributan yang ditimbulkan oleh orang-orangnya itu, ia menampar salah seorang centengnya yang berteriak paling keras. Katanya, “Tutup mulutmu! Semua ikut aku!”

Tepat ketika Ting Ciau-kun dan orang-orangnya tiba di halaman belakang dekat kamar Wi-hong dan Wi-lian, masih sempat dilihatnya sesosok tubuh tinggi besar tengah melompat ke atas genteng. Orang itu nampak mengempit tubuh Wi-hong dan Wi-lian di ketiak kanan dan kirinya. Ting Ciau-kun terkesiap. Inikah orangnya yang beberapa hari lalu menyatroni rumahnya?

Sebenarnya Ting Ciau-kun sudah punya rencana yang rapi untuk membereskan kedua anak Tong Tian itu. Pertama, ia sudah tidak dapat mengharap lagi tentang kitab pedang Soat-san-pay. Kedua, ia tidak ingin perhubungan dengan keluarga Tong yang dicap sebagai pemberontak itu diketahui oleh umum, sehingga membahayakan kedudukannya yang sudah empuk itu.

Kini melihat Wi-hong dan adiknya dibawa oleh seseorang yang berselubung rahasia, yang belum diketahui apakah berdiri sebagai kawan atau lawan, tentu saja Ting Ciau-kun tidak akan membiarkannya begitu saja. Maka dengan sepenuh kekuatannya Ting Ciau-kun menghantam punggung orang itu sebelum orang itu sempat melompat ke atas. Bentak Ting Ciau-kun,

“Bangsat penculik! Lepaskan kedua keponakanku!” sebagai seorang jago pukulan tangan kosong yang cukup disegani, pukulan yang dilontarkan sepenuh tenaga itu cukup ampuh, bahkan terdengarlah deru angin keras menyertai gerak pukulannya.

Tapi si bayangan hitam itu seolah tidak menggubris pukulan dahsyat itu, bahkan menolehpun tidak. Dibiarkannya saja pukulan sehebat itu meluncur ke punggungnya. Diam-diam Ting Ciau-kun bersorak dalam hatinya,

“Mampus kau. Batu karangpun akan hancur terkena pukulanku, apalagi cuma tulang-belulangmu...!”

Tapi punggung orang itu ternyata jauh lebih keras dari sebongkah karang, ibaratnya sebuah tembok besi setebal beberapa depa. Pukulan ting Ciau-kun itu mendarat telak di punggung orang itu, namun malahan Ting Ciau-kun sendiri yang tersentak balik oleh tenaga pukulannya sendiri. Sedang orang berkedok itu tetap berdiri dengan kokoh di tempatnya semula. Tidak mampus, tidak roboh, bahkan bergeser seujung rambutpun tidak!

Ibarat orang menyeberang sungai yang sudah terlanjur basah, Ting Ciau-kun pantang mundur. Tiba-tiba saja ia telah merebut golok yang ada di tangan Ting Bun. Waktu orang berkedok itu melompat ke atas genteng, Ting Ciau-kun juga menyusul ke atas sambil melancarkan jurus Tai-san-ap-teng (Gunung Tai-san Roboh ke Kepala) untuk membacok kuduk orang itu. Jurus itu bukan saja membahayakan si penculik, tapi juga membahayakan kedua keponakannya sendiri yang dikempit di kedua ketiak orang itu.

Tetapi agaknya mati-hidup kedua orang keponakannya itu sudah tidak lagi menjadi pertimbangan Ting Ciau-kun yang sudah murka. Seakan-akan punya mata di punggungnya, orang itu berhasil menghindari bacokan Ting Ciau-kun. Ting Ciau-kun cepat merobah jurusnya menjadi gerakan Tiat-so-heng-kang (Rantai Besi Melintang di Sungai), tapi kali ini terang-terangan ditujukan kepada Tong Wi-hong!

Namun dasar orang licik, mulut Ting Ciau-kun masih sempat berteriak, “Bangsat penculik! Kau berani menggunakan tubuh keponakanku sebagai perisai?!”

Segala lagak dan lagu Ting Ciau-kun itu cuma disambut dengan tertawa dingin oleh orang itu. Ketika mata golok tinggal sejengkal dari tubuh Wi-hong, orang berkedok itu cepat memutar tubuhnya dan melancarkan sebuah tendangan kilat ke pergelangan tangan Ting Ciau-kun yang memegang golok.

Bukan cuma kekuatan dan kekebalannya yang mengejutkan, orang berkedok itu ternyata punya gerak cepat yang diluar dugaan pula. Ting Ciau-kun tidak bisa menghindari kenyataan itu. Pergelangan tangannya tertendang telak dan goloknya terlempar ke bawah genteng, hampir saja menimpa salah seorang anak buahnya. Sedangkan pergelangan tangan Ting Ciau-kun sendiri bagaikan retak rasanya.

Si orang berkedok menyusuli dengan sebuah sapuan kaki, membuat Ting Ciau-kun terlempar jatuh dari atas genteng. Meskipun tubuh Ting Ciau-kun cukup kuat berkat latihannya selama bertahun-tahun, tak urung tubuhnya menjadi babak-belur juga, untung kakinya tidak sampai patah.

Ketika Ting Ciau-kun dengan tertatih-tatih mencoba bangun kembali, orang berkedok itu dengan membawa kedua orang tawanannya telah lenyap ditelan malam. Dengan lompatan-lompatan secepat angin, ia melompat-lompat dari pucuk genteng yang satu ke pucuk genteng yang lain, dalam waktu yang singkat ia sudah cukup jauh meninggalkan rumah Ting Ciau-kun.

Waktu orang itu tiba di bawah tembok kota Pak-khia, ia segera meluncur ke atas dengan gaya Ui-ho-cong-thian (Burung Jenjang Menembus Langit). Tapi arena tingginya tembok kota Pak-khia tidak mungkin dilampaui dengan sekali lompat saja, maka sampai di tengah-tengah tembok ia menendang tembok untuk menambah daya luncurnya, dan sedetik kemudian ia telah “hinggap” di atas tembok kota dengan tetap masih membawa kedua orang tawanannya!

Dua orang prajurit jaga kebetulan melihatnya, dan kedua prajurit itu mengira sesosok arwah penasaran yang sedang bergentayangan. Kalau manusia biasa, mana mungkin bergerak seringan dan secepat itu sehingga seolah-olah tidak menginjak tanah? Cepat-cepat kedua prajurit itu membaca mantera-mantera pengusir setan dengan bibir gemetar.

* * * * * * *

Perlahan tetapi pasti, malam berlalulah. Kerudung langit biru tua itu mulai tersingkap perlahan dari arah timur, dan cahaya keemasan yang hangatpun muncul kembali menghidupkan jagat raya yang beku dan gelap. Konon segala macam hantu, setan dan siluman gentar terhadap cahaya fajar ini, sebab cahaya yang hangat dan menyehatkan ini adalah perwujudan dari kasih sayang dan pemeliharaan dari Sang Pencipta Agung kepada umat manusia.

Agak jauh di sebelah barat kota Pak-khia, ada sebuah kuil rusak yang sudah lama tidak dipakai untuk bersembahyang lagi, terletak di lereng sebuah bukit kecil. Di lantai di dalam kuil itulah Wi-hong dan adiknya masih tertidur pulas. Benarkah kakak beradik itu telah dibawa oleh hantu ke tempat yang terpencil itu?

Tapi ternyata ada orang ketiga di tempat itu. Begitu Wi-hong membuka kelopak matanya dan mulai siuman, pandangannya segera menangkap adanya seorang rahib Buddha yang berjubah kumal dan sedang duduk santai sambil mengunyah daging bakar. Kelihatannya rahib ini bukan seorang rahib yang taat kepada ajaran agamanya, terbukti ia melanggar pantangan makan barang berjiwa. Bahkan di sebelah tempat duduknya ada buli-buli arak pula. Masih ada lagi dua gumpal daging bakar yang belum sempat dimakannya, masih terpanggang di atas perapian kecil.

Tong Wi-hong segera bangkit dan berkata, “He, kaukah yang telah menculik kami dari rumah paman Ting?”

Rahib itu hanya menyeringai dan tidak menyahut karena mulutnya masih penuh dengan makanan. Tapi kepala gundulnya terangguk sedikit, membenarkan tuduhan Tong Wi-hong. Setelah itu dengan santainya ia kembali menggerogoti daging bakarnya.

“Siapa kau sebenarnya? Apa maksud tindakanmu itu?” tanya Wi-lian yang telah siuman pula dari pengaruh totokan si bayangan hitam, yang bukan lain adalah rahib Buddha ini.

Rahib itu membuang tulang menjangan yang baru saja digerogoti dagingnya, mengusap bibirnya dan menenggak araknya lebih dulu, setelah itu baru menyahut dengan gaya kemalas-malasan, “Nama agamaku adalah Hong-koan. Tapi kawan-kawan di dunia persilatan memanggilku dengan sebutan Siau-lim-hong-ceng (Rahib Gila dari Kuil Siau-lim).”

Terkesiaplah Wi-hong dan adiknya setelah mendengar nama rahib itu, itulah sebuah nama yang cukup menggetarkan dunia persilatan. Sejenak Wi-hong bertukar pandangan dengan adiknya. Tanya Wi-hong dengan nada berhati-hati tetapi lebih menghormat,

“Jadi... jadi... Tay-su (bapak pendeta ini) adalah saudara angkat yang tertua dari mendiang ayah kami?”

“Betul. Kami bertiga, yaitu aku sendiri, ayah kalian dan Ting Ciau-kun memang pernah bersumpah untuk mengangkat saudara. Musibah yang menimpa keluarga kalian di An-yang-shia itupun aku sudah mendengarnya dari si dewa gadungan yang kurus itu.”

Wi-hong dan adiknya paham, bahwa yang disebut “dewa gadungan” oleh rahib itu tentu su-siok-co mereka, Oh Yu-thian yang berjuluk “Soat-san-kiam-sian” (Dewa Pedang dari Soat-san). Baik Siau-lim-hong-ceng hong-koan maupun Soat-san-kiam-sian Oh Yu-thian adalah tokoh-tokoh yang merupakan anggota dari “sepuluh Tokoh Sakti” yang diakui dunia persilatan di jaman itu, keduanya juga merupakan sepasang sahabat karib.

Wi-hong telah bertanya pula, “Maaf, barangkali pertanyaan kami ini akan agak menyinggung tay-su. Jika tay-su benar-benar Hong-koan Hwesio, kenapa harus keluar-masuk rumah paman Ting secara sembunyi-sembunyi? Bukankah paman Ting itu merupakan saudara angkat tay-su pula?”

Rahib dekil itu membelalakkan matanya sejenak, lalu katanya, “Baiklah aku terangkan, kalau tidak tentu kau anggap aku ini tukang memalsu orang lain. Ketahuilah, Ting Ciau-kun memang saudara angkatku, namun aku kini sangat menyesal telah mengangkat saudara dengan seekor serigala berbulu domba semacam dia itu. Hanya dengan mengingat hubungan lama, maka aku masih belum tega membunuhnya.”

Tapi jawaban itupun masih belum meyakinkan hati Wi-hong dan adiknya. Kenapa rahib ini menyebut paman Ting sebagai serigala berbulu domba? Bukankah selama beberapa hari ini sang paman telah menampung mereka dan melindungi mereka, dan bersikap sangat baik? Bahkan berjanji akan menurunkan ilmu Ngo-heng-ciang dan Eng-jaiu-kang untuk membalas sakit hati ayah mereka?

“Tetapi... tetapi paman Ting selama ini sangat baik kepada kami,” bantah Wi-hong dengan ragu-ragu. Hatinya setengah percaya setengah tidak.

“Baik? Hem, baik gundulmu itu!” sahut Hong-koan Hwesio dengan suara mendongkol. “Ketahuilah, kalian masuk ke dalam rumahnya itu ibarat dua ekor kambing gemuk masuk ke mulut serigala, aku tidak akan menerangkannya panjang lebar, kalian boleh percaya dan boleh tidak. Jika kalian tidak percaya ucapanku dan ingin kembali lagi ke rumah paman Ting mu itu, silahkan.”

Baik Tong Wi-hong maupun adiknya menjadi serba salah menghadapi sikap rahib yang agak kaku dan pemberang itu. Meskipun demikian merekapun dapat merasakan bahwa rahib itu tidak berniat buruk. Tetapi Wi-lian masih bertanya juga,

“Dapatkah tay-su mengatakan kepada kami, kejahatan apa saja yang telah diperbuatnya atas diri kami?”

“Jika harus kujelaskan semua, mungkin tiga hari tiga malam kalian tidak akan habis mendengarkannya. Tapi kusebut saja beberapa perbuatan liciknya. Misalnya dia tidak segan-segan menyewa tenaga bandit-bandit semacam Thay-san-sam-long (Tiga Serigala Gunung Thay-san) untuk mencegat dan berusaha merampas kitab milik saudara angkatnya sendiri, yaitu mendiang ayah kalian. Diapun pernah tertangkap basah olehku ketika sedang menggeledah kamar kalian, mencari buku ilmu pedang Soat-san-pay yang diincarnya dari dulu itu. Kalian harus percaya kepadaku, sebab aku bermaksud baik,” kata rahib itu.

Nada yang meyakinkan dari ucapan rahib itu mau tidak mau menggoyahkan juga kepercayaan Wi-hong dan adiknya akan “keluhuran budi” paman Ting mereka. Apalagi ketika mereka teringat bagaimana Ting Ciau-kun tetap ngotot ingin mengetahui dimana beradanya kitab ilmu pedang itu, meskipun kakak beradik itu sudah berkali-kali menjawab tidak tahu. Nampaknya ucapan rahib Hong-koan itu bukannya tidak beralasan sama sekali.

Dan untuk lebih meyakinkan lagi, Hong-koan lalu menyodorkan sebatang tongkat bambu sambil berkata, “Mungkin kalian masih juga mencurigai bahwa aku adalah Hong-koan gadungan. Baiklah, orangnya bisa dipalsukan, masakan tongkat bambu pusaka inipun bisa dipalsukan? Kalian boleh memeriksanya dan mengujinya kalau kurang percaya.”

Tongkat bambu yang disodorkan oleh rahib itu sekilas pintas memang tidak ada keistimewaannya, seperti bambu-bambu lainnya. Namun Tong Wi-hong kemudian teringat cerita ayahnya tentang riwayat tongkat bambu itu. Beberapa tahun yang lalu senjata andalan Hong-koan Hwesio sebenarnya bukan tongkat bambu semacam itu melainkan sepasang gelang baja yang beratnya hampir 70 kati.

Karena Hong-koan Hwesio adalah seorang yang gemar berkelana, pada suatu hari sampailah dia di lereng pegunungan Himalaya, di perbatasan antara Tibet dan India. Di sinilah Hong-koan Hwesio berjumpa dan bahkan bertempur dengan seorang pengembara fakir dari India yang tidak kalah lihainya dengan dia sendiri. Keduanya bertempr sama kuat dan sama-sama ambruk kehabisan tenaga, namun sekaligus juga timbul rasa saling mengagumi dan permusuhan pun lenyap diganti dengan persahabatan.

Sebagai tanda mata untuk mengenang perjumpaan mereka yang aneh itu, keduanya lalu sepakat untuk saling bertukar senjata. Padahal biasanya senjata-senjata itu merupakan “nyawa kedua” bagi kedua tokoh sakti itu, namun kini mereka saling menukarnya dengan rela, menandakan persahabatan yang tulus. Tongkat bambu milik fakir India itu ternyata terbukti merupakan sebuah pusaka bernilai tinggi, meskipun ujudnya sama sekali tidak menarik. Tongkat itu pernah diadu dengan pedang pusaka milik ketua Kun-lun-pay dan ternyata tidak rusak sedikitpun.

Diam-diam Tong Wi-hong menjadi tertarik juga untuk coba-coba menguji kehebatan tongkat butut itu. Katanya sambil menerima tongkat itu, “Ba... bagaimana kalau ku uji tongkat ini?”

Rahib itu tertawa masam sambil menyahut, “Jika dengan demikian baru bisa membuat kalian percaya, ujilah.”

Tong Wihong tidak sungkan-sungkan lagi. Ia segera melangkah menuju ke arah sebuah pohon sebesar paha orang dewasa yang tumbuh di halaman kuil kosong itu. Tanpa ragu-ragu lagi ia ayunkan tongkat itu untuk menghajar pohon tersebut. Terdengar suara berderak keras, dan hasil gebukannya itu membuat Tong Wihong menjadi takjub sendiri. Bukan tongkat bambu itu yang patah, melainkan justru batang pohon itulah yang membekas tongkat, dalamnya hampir selebar telapak tangan.

Padahal tongkat besipun tidak akan meninggalkan bekas sedalam itu. Masih belum puas dengan percobaan pertamanya, Wi-hong meletakkan tongkat itu di tanah lalu ditimpanya dengan sebuah batu padas sebesar kepala kerbau. Terdengar suara berdebuk keras dan debu mengepul. Tongkat bambu itu tetap utuh tanpa retak sedikitpun, sebaliknya batu padas itulah yang terbelah menjadi tiga bagian....

Selanjutnya;
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.