Perserikatan Naga Api Jilid 10
UNTUNGLAH hutan itu cukup lebat sehingga Ting Ciau-kun bisa menyusup ke sana ke mari seperti seekor kelinci, bahkan kadang-kadang merayaprayap seperti kadal pun tidak segan-segan dilakukannya asal bisa lolos dari pengejaran orang yang ditakutinya. Sementara teriakan-teriakan Hong-koan Hwesio yang seolah bergaung di seluruh sudut hutan masih juga terdengar,
“Pengecut! Bangsat! Anak Kura-kura! Hayo keluar dari persembunyianmu!”
Karena tidak berhasil menemukan buruannya, rahib berangasan itu semakin marah. Untuk melampiaskan kemarahannya ia menghajar roboh beberapa pohon yang batangnya sebesar paha! Demikianlah, hutan itu bagaikan diamuk seekor gajah karena kemarahan rahib itu. Tengah sang rahib mengamuk kalang kabut, tiba-tiba didengarnya suitan nyaring dari arah tempat semula, yaitu tempat tubuh A-hong masih terbaring dalam keadaan pingsan.
Terkesiaplah Hong-koan Hwesio mendengar suitan tajam menusuk telinga tersebut, menandakan bahwa di tempat itu kembali telah muncul seorang tokoh sakti yang paling tidak sejajar dengan dirinya. Sang rahib juga menyesal karena merasa telah berbuat ceroboh dengan meninggalkan A-hong terbaring luka sendirian tanpa ada yang menjaga., sehingga segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi atas diri anak itu. Dengan tergesa-gesa Hong-koan Hwesio berbalik ke tempat semula.
Begitu tiba di tempat semula, berteriaklah Hong-koan Hwesio dengan gugup dan marah, “Celaka tigabelas! Kenapa aku begitu terburu napsu dan ceroboh meninggalkan A-hong sendirian di sini? Kini bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada ayahnya di alam baka?”
Ternyata tubuh A-hong sudah tidak ada di tempat itu lagi, jelas tidak mungkin pergi sendiri sebab anak itu sedang dalam keadaan luka parah. Satu-satunya kemungkinan adalah diculik oleh orang yang memperdengarkan suitan tadi. Dalam bingung dan marahnya, segera Hong-koan Hwesio mengerahkan tenaga dalam dan berteriak sekuatnya, “Sahabat dari manakah yang telah mengambil keponakanku?! Harap suka memperlihatkan diri jika kau cukup jantan!”
Suaranya bergetar hebat bagaikan halilintar, biarpun si penculik sudah lari beberapa li tentu masih akan dapat mendengarnya. Teriakan si rahib memang mendapatkan tanggapan. Dari kaki bukit yang berjarak kira-kira empat li dari situ, terdengarlah suitan nyaring seperti tadi, lalu disusul suara jawaban yang lembut seperti nyamuk mengiang namun terdengar jelas kata demi kata menyusup ke telinga Hong-koan Hwesio,
“Keledai gundul edan, tidak dapat berbuat lainkah kau selain berteriak-teriak dan mengamuk seperti orang gila? Akulah yang membawa A-hong. Ia dalam keadaan luka parah dan perlu pengobatan secepatnya. Jika ia harus menunggu sampai kau menghabiskan semua pepohonan di hutan ini, ia akan mati tak tertolong lagi. Nah, sampai jumpa lagi.”
Mendengar suara yang dilontarkan dengan kepandaian Coan-im- jip-bit (Mengirim Gelombang Suara) tersebut, seketika tenanglah hati Hong-koan Hwesio sebab ia sangat mengenal suara itu. Itu adalah suara seorang sahabatnya yang bernama Oh Yu-thian dan berjuluk Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang dari Soat-san). Antara Siau-lim-hong-ceng dan Soat-san-kiam-sian ada kesamaan tabiat, yaitu sama-sama bertabiat keras dan juga sama-sama gemar mengembara.
Sedang antara Soat-san-kiam-sian dengan Wi-hong ada hubungan perguruan, sebab Oh Yu-thian adalah angkatan tua dalam perguruan Soat-san-pay, dan W-hong harus memanggilnya “Su-siok-co” (Paman kakek guru) kepada tokoh tersebut. Setelah merasa yakin bahwa nasib Wi-hong akan cukup terjamin dalam perlindungan tokoh Soat-san-pay tersebut, maka kemarahan Hong-koan Hwesio juga mulai susut sebagian besar, bahkan niatnya untuk menangkap dan menghukum Ting Ciau-kun juga mulai luntur.
Kini Hong-koan Hwesio mulai berpikir untuk menguburkan mayat Te-yong Tojin. Bagaimanapun jahatnnya si imam semasa hidupnya, tapi Hong-koan Hwesio tidak akan sampai hati membiarkan mayatnya terkapar tidak terurus dan akan menjadi santapan binatang-binatang liar.
Maka meskipun dengan sangat sederhana, tubuh Te-yong Tojin akhirnya dimakamkan selayaknya. Bahkan Hong-koan Hwesio sempat membuatkan sebuah tanda khusus di atas kubur si imam agar kelak jika tokoh-tokoh Bu-tong-pay menanyakan tentang murid murtad mereka ini, ia kan dapat menunjukkan kuburnya.
Matahari terbit di sebelah timur lalu berjalan dan kemudian tenggelam ke sebelah barat, membuat semua garis lingkaran raksasa yang diulang-ulanginya setiap hari. Peredaran alam semesta terus berlangsung dengan teratur dan mempesona. Tak seorang manusia pun, betapa hebatnya dia di dalam dunia ini, yang bisa mempercepat atau memperlambat peredaran yang dikendalikan oleh Tangan Yang Maha Agung itu.
Hari demi hari berlalu, dan tak terasa sudah dua tahun sejak kejadian terbunuhnya Te-yong Tojin di dekat kota Tay-beng. Dua tahun bagaikan sedetik dalam umur alam semesta, namun cukup berarti bagi manusia. Selama dua tahun ini dunia persilatan tidak pernah lowong dari gejolak. Gejolak kecil ataupun gejolak besar.
Pertentangan, pembunuhan demi pembunuhan, pembalasan demi pembalasan terus berlangsung, manusia tidak jemu-jemunya saling menumpahkan darah di antara sesamanya. Kebangkitan dan keruntuhan silih berganti. Dan dalam anggapan kaum persilatan, hal itu cukup wajar. Siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang benar, dan si lemahpun tergilas tanpa daya.
Di antara gejolak-gejolak dunia persilatan tersebut, ada suatu kegiatan yang memaksa seluruh dunia persilatan untuk menumpahkan seluruh perhatiannya. Tidak peduli yang memandangnya dengan penuh harapan, maupun yang memandangnya dengan cemas. Sudah setahun ini dunia persilatan digemparkan dengan munculnya suatu gerombolan kuat yang menamakan dirinya Hwe-liong-pang (Perkumpulan Naga Api).
Hanya dalam waktu satu tahun, gerombolan yang tadinya tidak dikenal orang ini telah berubah menjadi sebuah gerombolan yang paling ditakuti oleh dunia persilatan. Tokoh-tokohnya yang berkepandaian tinggi muncul di mana-mana, dan akibat-akibat perbuatannya pun terasa di mana-mana. Tetapi belum juga ada seorangpun yang tahu apa tujuan perjuangan gerombolan Hwe-liong-pang tersebut, bahkan masih membingungkan sebagian besar umat persilatan.
Di beberapa daerah terdengar pujian-pujian yang memuji mereka sebagai gerombolan pembela rakyat tertindas dalam menentang penguasa-penguasa lalim. Tapi di tempat lain terdengar keluhan dan kutukan yang dialamatkan kepada mereka, dianggap sebagai gerombolan penjahat kejam yang tidak segan-segan berbuat apapun demi mencapai tujuan. Untuk sementara tidak dapat ditentukan apakah munculnya Hwe-liong-pang ini merupakan berkah atau kutuk bagi dunia persilatan.
Masih ada satu hal lagi yang membuat orang bingung terhadap Hwe-liong-pang ini. Yaitu, siapakah pemimpinnya dan di manakah cong-toh (markas pusat) Hwe-liong-pang tak seorangpun tahu, kecuali tokoh-tokohnya sendiri. Yang terang, Hwe-liong-pang itu ada dan bekerja dengan sangat rapi serta punya kekuatan besar.
Kota Kay-hong adalah sebuah kota besar yang terletak di dataran rendah sungai Hoang-ho (Sungai Kuning). Kota ini sangat ramai dan hidup. Selain karena letaknya yang bagus untuk perdagangan, juga karena peninggalan kebudayaan kunonya dan pernah menjadi pusat pemerintahan di jaman dulu.
Siang itu nampak kesibukan kota Kay-hong tidak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Orang hilir-mudik di jalan raya dengan keperluannya sendiri-sendiri, ada yang begitu tergesa-gesa dan ada pula yang kelihatannya santai-santai saja. Nampak pula banyaknya orang-orang asing dari luar daerah, karena kota Kay-hong memang terletak di jalur lalu lintas yang ramai, baik melalui darat maupun melalui sungai.
Di antar orang-orang yang berhilir-mudik di jalan raya, kelihatanlah seorang lelaki memasuki kota dari sebelah timur hanya dengan berjalan kaki. Dia bertubuh semampai dan padat, berpakaian ringkas, dan pada pinggangnya terlibat sehelai joan-pian (ruyung lemas atau cambuk) yang terbuat dari baja. Kepalanya memakai sebuah tudung bambu lebar yang tepinya melengkung ke bawah sehingga mukanya terlindung oleh bayangan tutup kepalanya.
Dengan langkah-langkah yang mantap tapi tidak tergesa-gesa, orang tersebut menuju ke arah sebuah rumah makan yang cukup ramai di tepi jalan, dan mengambil tempat duduk di dalamnya. Dengan acuh tak acuh ia perlahan membuka tudung bambunya dan menyandarkannya di kaki meja. Kini nampaklah muka yang pucat dan dingin seperti muka mayat. Dilengkapi dengan pakaiannya yang berwarna abu-abu pucat, maka orang ini secara keseluruhan telah menimbulkan kesan dingin dan menyeramkan. Membuat orang yang memandangnya jadi bergidik ngeri, meskipun saat itu adalah siang hari bolong.
Pelayan-pelayan rumah makan agaknya cukup banyak pengalaman dalam meladeni tamu, sebab Kay-hong adalah kota besar tempat berkumpulnya macam-macam manusia. Pelayan-pelayan itu tahu bahwa tamu bermuka pucat tersebut tentu orang-orang dunia persilatan yang biasanya gemar berkelahi, maka pelayan-pelayan itu tidak berani terlambat dalam meladeninya.
Begitu orang tersebut duduk, seorang pelayan dengan sopan menanyakan apa yang hendak dimakan tamunya, dan si tamu memesan sepoci teh serta sepiring daging kambing bakar yang dimasak cara Mongol. Para tetamu lain di rumah makan itu tidak begitu menghiraukan kehadiran tamu bermuka pucat tersebut. Tamu-tamu aneh semacang itu memang tidak kurang jumlahnya di kota sebesar Kay-hong.
Tiba-tiba dari arah jalan raya di depan rumah makan tersebut terdengar suara derap beberapa ekor kuda. Lalu tiga ekor kuda gurun yang perkasa muncul di depan rumah makan tersebut dengan tiga orang penunggang yang berbadan tegap-tegap. Beberapa pelayan segera menyambut tamu-tamu baru itu, bahkan membantu menambatkan kuda-kuda mereka di samping rumah makan.
Ketiga orang yang baru datang itu lantas memasuki rumah makan dengan langkah lebar dan dada membusung gagah. Sikap mereka yang gagah jelas menunjukkan bahwa mereka termasuk orang dunia persilatan juga. Dua orang bertubuh tinggi kekar, dan yang seorang bertubuh gemuk pendek tetapi berotot gempal. Pakaian mereka yang berlumut debu menandakan bahwa ketiganya baru saja menempuh sebuah perjalanan yang cukup jauh.
Tamu muka dingin yang datang lebih dulu itu melirik sejenak ke arah ketiga orang tersebut. Pandangan matanya nampak bersinar sejenak, setelah itu dengan santai dan acuh ia melanjutkan menikmati daging kambing bakarnya. Ketiga orang itupun telah pula mengambil tempat duduk dan meletakan senjata-senjata yang mereka bawa lalu memesan makanan dan minuman.
Sementara menunggu datangnya pesanan makanan, mereka bertiga saling berbicara dengan ributnya menandakan bahwa mereka berasal dari lingkungan kasar yang kurang terdidik. Ketiganya inipun tidak terlalu diperhatikan oleh orang-orang lain yang sedang di rumah makan itu. Terlalu banyak jumlah orang-orang seperti mereka, dan mereka bertiga tidak memiliki keistimewaan apapun untuk diperhatikan secara berlebihan.
Namun tidak lama kemudian datang lagi seorang tamu, dan tamu kali ini sangat menarik perhatian, terutama bagi kaum lelaki. Sebab yang muncul belakangan ini adalah seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, berpakaian ringkas dan membawa sebuah tudung bambu yang digendong di punggungnya.
Dalam jaman sekacau itu, ternyata ada juga seorang gadis cantik yang berani melakukan perjalanan seorang diri, hal ini cukup mengherankan. Namun kalau orang melihat buku-buku tangan gadis tersebut yang berkulit tebal, jelaslah bahwa gadis itu nampaknya memiliki bekal yang dapat diandalkan untuk berjalan seorang diri. Apalagi tatapan mata gadis itu sangat tajam dan memancarkan rasa percaya diri yang tebal.
Dengan tenangnya si gadis melintasi ruangan makan itu dan mendekat ke arah pengurusnya yang tengah duduk di belakang meja sambil membuat catatan-catatan. Si gadis bertanya, “Paman, apakah tempat paman ini menyediakan tempat beristirahat yang cukup nyaman?”
Pengurus rumah makan itu ternyata adalah seorang lelaki setengah tua yang berpunggung agak bungkuk. Cepat-cepat ia meletakkan pena serta menjawab sambil tertawa ramah, “Tentu saja ada, nona, bahkan tempatku ini merupakan tempat yang paling bersih dan paling nyaman di seluruh kota Kay-hong ini.”
Gadis itu tertawa mendengar si pengurus memuji tempatnya sendiri. Katanya, “Asal bersih, udaranya segar dan suasananya nyaman, itu cukup buat aku.”
Lalu si pengurus tersebut mengantarkan sendiri si gadis menuju bagian belakang rumah makan yang dijadikan tempat penginapan. Di situ masih ada beberapa tempat kosong. Si gadis memilih sebuah tempat yang agak menyendiri, yang dikelilingi oleh rerumpunan bunga yang manis dan sejuk.
Sebelum si pengurus pergi, si gadis sempat memberi setahil perak dan memesan agar disediakan nasi, beberapa macam sayuran dan sepoci arak ringan. Diam-diam makin yakinlah si pengurus bahwa si gadis adalah seorang dari dunia persilatan, sebab pada jaman itu kurang lazim kalau seorang gadis minum arak, kecuali gadis-gadis dunia persilatan.
Setelah menutup pintu dan sendirian di kamar tersebut, gadis itu meletakkan pau-hok (buntalan bekal) dan tudung bambunya. Dibukanya jendela yang menghadap ke arah taman bunga agar harum bunga yang segar masuk ke dalam. Lalu iapun duduk termenung sambil menunggu datangnya pesanannya.
Tiba-tiba lamunannya terputus ketika mendengar langkah- langkah kaki beberapa orang melintas di depan biliknya diselingi suara orang bercakap-cakap. Didengar dari suara mereka yang keras dan kasar, jelaslah yang sedang berjalan lewat itu adalah ketiga orang yang tadi duduk makan di ruang depan, dan agaknya mereka juga menginap di tempat ini.
Sebenarnya si gadis sudah cukup lelah oleh perjalanan jauh yang telah ditempuhnya, namun percakapan orang-orang yang lewat didepan biliknya ini ternyata cukup menarik perhatiannya. Terdengar salah seorang dari ketiga orang tersebut berkata dengan suara yang agak ditahan-tahan,
“Tidak ada salahnya kita melepaskan lelah dan menyegarkan diri sejenak di tempat ini. Sudah beberapa hari kita terus-menerus berpacu di atas punggung kuda sehingga rasanya pinggangku hampir patah.”
Lalu terdengar suara yang lain, “Baiklah sam-te (adik ke tiga), tapi aku tegaskan bahwa kita hanya akan menginap semalam, tidak boleh lebih. Besok pagi-pagi benar kita harus sudah berangkat kembali, tidak boleh berlambat-lambat. Kita harus ingat, bukan kebiasaan orang-orang Hwe-liong-pang untuk melepaskan buruannya begitu saja, mereka pasti akan terus mengejar kita.”
Terdengar suara yang pertama tadi tertawa dan menyahut, “Ha- ha-ha, ji-ko (kakak ke dua), kenapa nyalimu jadi sekecil nyali tikus? Baru mengalami bahaya kecil saja kau sudah berubah demikian penakut. Secepat-cepatnya gerakan orang-orang Hwe-liong-pang itu, mereka tidak akan sanggup mengejar kita lagi. Dalam hal inipun kita masih akan ditertawai teman-teman kita di dunia persilatan karena terbirit-birit lari ketakutan, ibaratnya sampai suara daun jatuh pun sudah membuat kita kaget dan bermuka pucat. Ji-ko, betapa hebatnya orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun hendaknya jangan engkau lupakan bahwa kita bertiga adalah orang-orang yang berjuluk Hoang-ho-sam-hiong (Tiga Jagoan dari Hoang-ho) yang pernah malang-melintang sepanjang sungai Hong-ho ini. Sikapmu itu bisa membuat pamor kita jadi merosot.”
Orang yang dipanggil sam-te itu agaknya masih akan mengoceh lebih panjang lagi, tapi terdengar suara lain yang bernada dalam dan cukup berwibawa, “Sam-te, jangan kehilangan kewaspadaan, perkataan ji-te (adik ke dua) itu cukup beralasan. Bagaimanapun juga kita harus bersikap hati-hati mengingat lawan yang kita hadapi ini bukan lawan sembarangan. Berurusan dengan Hwe-liong-pang tidak ada urusan benar atau salah, yang ada cuma siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Dan kita juga tidak perlu malu untuk mengakui bahwa kita bukan tandingan mereka sehingga kita harus melarikan diri.”
Agaknya si sam-te ini cukup menyegani toa-ko (kakak tertua)nya yang bicara terakhir itu sehingga iapun tidak membantah lagi. Langkah ketiganya terdengar semakin jauh, kemudian tak terdengar lagi.
Si gadis dapat menangkap percakapan tersebut lalu ia menarik napas dalam-dalam sambil bergumam, “Hemm, di mana-mana kudengar orang membicarakan masalah Hwe-liong-pang dengan ketakutan atau dengan kekaguman. Memangnya orang-orang Hwe-liong-pang ini sesakti malaikat, atau berkepala tiga dan bertangan enam? Huh, benar-benar menjemukan. Aku justru ingin bertemu orang- orang Hwe-liong-pang ini untuk menguji apakah ketanggunhan mereka setimpal dengan nama besarnya yang menakutkan, atau cuma bualan kosong saja.”
Sambil tetap duduk di tepi pembaringannya, gadis itu menggerak-gerakkan kedua tangannya melakukan gerakan-gerakan silat. Agaknya tangannya benar-benar sudah gatal-gatal ingin berkelahi. Tidak lama kemudian, seorang pelayan masuk setelah lebih dulu mengetuk pintu. Tangannya membawa nampan berisi semua makanan dan minuman pesanannya tadi.
Setelah meletakkan makanan dan minuman di atas meja, pelayan itu segera hendak pergi. Tetapi gadis itu telah mengeluarkan perak setengah tahil yang di letakkan di atas meja sambil berkata, “Uang ini akan menjadi milikmu apabila kau dapat menjawab beberapa pertanyaanku secara baik.”
Pelayan itu menyeringai memperlihatkan deretan gigi coklat karena terlalu banyak menghisap tembakau. Dengan gerak yang cepat karena sudah terbiasa menerima hadiah, ia menyambar potongan perak tersebut dan memasukkannya ke kantongnya. “Silahkan bertanya, nona,” katanya.
Gadis itu tidak bicara berputar-putar, langsung saja ia mulai bertanya tentang hal-hal yang ingin dia ketahui, “Kau lihat tiga orang yang berbicara keras dan menyebut dirinya Hong-ho-sam-hiong?” dan ketika si pelayan menganggukkan kepala, si gadis lalu melanjutkan, “Nah, mereka menginap di sebelah mana?”
Menurut adat istiadat sangatlah janggal seorang gadis menanyakan di mana tempat laki-laki yang belum dikenalnya. Tetapi pelayan itu cukup paham bahwa gadis yang berada di depannya ini bukanlah gadis sembarangan namun seorang gadis berkepandaian tinggi, urusan yang hendak dibicarakan dengan Hong-ho-sam-hiong pun tentu urusan dunia persilatan yang tidak bisa dicampuri oleh sembarang orang. Karena itu si pelayan dengan tak ambil pusing segera menerangkan bahwa Hong-ho-sam-hiong mengambil sebuah kamar besar di bagian belakang yang sewanya agak murah karena berdekatan dengan istal kuda.
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan bertanya lagi, “Bagus. Kau tentu juga tahu di mana tempat menginapnya lelaki berpakaian abu-abu yang bermuka dingin seperti mayat hidup itu?”
Sahut si pelayan, “Ya, orang yang menyeramkan itu justru menyewa kamar tepat berhadapan dengan kamar ketiga orang kasar itu. Meskipun berhadapan tetapi terpisah oleh sebuah halaman bunga yang agak luas.”
Meskipun si gadis sendiri belum banyak pengalamanya di dunia persilatan, namun dengan cerdik ia dapat menduga bahwa lelaki bertampang seperti mayat hidup itu agaknya sengaja mengawasi ketiga orang jagoan sungai Hong-ho tersebut, dan agaknya diantara mereka “ada urusan”. Tapi dari pihak manakah lelaki bertampang seperti mayat hidup itu? Apakah dari Hwe-liong-pang yang bertugas memburu dan “menyelesaikan” Hong-ho-sam-hiong? Jelas pertanyaan demikian tidak mungkin diajukan kepada si pelayan.
Maka si gadis lalu mengajukan pertanyaan yang lain dalam masalah yang lain pula, “Baiklah, sekarang satu pertanyaan lagi dan setelah itu kau boleh pergi. Apakah kau tahu di kota Kay-hong ini ada seorang sastrawan tua yang bernama Liu-tay-liong? Kalau tahu, dimana tempat tinggalnya?”
“Tak pernah kudengar nama itu,” sahut si pelayan. “Aku memang mengenal beberapa orang she Liu. Ada Liu Sam si tukang sepatu, ada pula Liu Toa-ya yang punya rumah jagal babi, juga Liu...”
“Sudahlah kalau tidak tahu,” potong gadis itu mulai duduk memikirkan beberapa persoalan yang bergalau di dalam kepalanya. Didengar dari pembicaraan Hong-ho-sam-hiong yang sempat dikupingnya tadi, jelaslah bahwa ketiga orang itu sedang diburu oleh orang-orang Hwe-liong-pang, entah karena urusan apa. Sedangkan sikap orang bermuka dingin itu cukup menarik perhatian.
Tadi ketika gadis itu lewat di ruang makan, ia sempat melirik ke pinggang orang itu dan dapat dilihatnya sehelai cambuk baja yang melilit di pinggang orang tersebut. Orang itu pun sempat melirik beberapa kali ke arah Hong-ho-sam-hiong, dan ternyata menyewa kamar di depan ketiganya pula, agaknya bukan tanpa maksud tertentu. Apakah orang bermuka dingin itu adalah suruhan Hwe-liong-pang yang hendak memburu Hong-ho-sam-hiong?
Selain rasa keingian tahu dari si gadis tentang urusan Hwe-liong-pang, ia pun masih mengemban tugas, yaitu mencari sastrawan tua bernama Lu Tay-liong di kota ini untuk menyampaikan surat dari gurunya. Tapi nampaknya orang yang bernama Liu Tay-liong itu cukup sulit untuk dicari. Akhirnya gadis itu merasa bahwa yang penting adalah mengenyangkan perutnya lebih dulu.
Begitu perutnya kenyang, ditambah lagi secawan arak yang terasa menghangatkan urat-uratnya, maka semangat gadis itu pun berkobar kembali dan kelelahannya pun lenyap sebagian. Terdorong oleh keinginannya untuk mengetahui tentang gerombolan Hwe-liong-pang yang sedang menjadi buah bibir orang, maka si gadis memutuskan untuk menemui Hong-ho-sam-hiong hari itu juga dan mencari keterangan yang diperlukan.
Tekadnya sudah bulat, ia akan ikut campur dalam urusan itu, untuk menguji sampai dimana hasil latihan keras ilmu silatnya selama ini. Selain itu ia pun cukup berbesar hati bahwa ia akan mendapat keterangan seperlunya dari ketiga orang tersebut, sebab nampaknya mereka merupakan orang-orang yang bersikap cukup terbuka.
Setelah agak merapikan pakaiannya, gadis itu lalu berjalan menuju tempat Hong-ho-sam-hiong menurut petunjuk pelayan tadi. Tidak sulit menemukan tempat tersebut, sebab dari jarak belasan langkah sudah terdengar suara “sam-te” yang keras itu, diselingi dengan suara dua orang lainnya yang memperingatkannya untuk berhati-hati.
Ketika gadis itu mengetuk pintu, terdengar suara gemerincing senjata-senjata disiapkan, agaknya ketiga jagoan Hong-ho itu begitu was-was sehingga setiap gerakan yang bagaimanapun kecilnya sudah cukup membuat mereka bersiap dengan senjata-senjatanya.
“Siapa?!” terdengar suara bentakan sam-te paling keras.
“Aku ingin bertemu dan berbicara dengan tuan-tuan bertiga, harap tuan-tuan bertiga suka membukakan pintu bagiku,” gadis itu menyahut dengan beraninya.
Ketiga jagoan Hong-ho itu tercengang karena mereka mendengar suara perempuan, apalagi perempuan muda. Sejenak mereka bertiga saling bertukar pandang. “Sam-te‟ yang bersenjatakan sebatang toya besi itu adalah yang paling tidak sabaran, ia sudah melangkah ke pintu namun keburu dicegah oleh toa-ko-nya yang bersenjata sebuah sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas) dan ji-ko-nya yang bersenjatakan sepasang liu-yap-to (golok tipis daun liu).
“Siapa kau? Harap menyebutkan nama,” kata ji-ko yang sifatnya lebih berhati-hati daripada sam-te-nya.
Gadis di luar pintu yang masih hijau dalam dunia persilatan itu menjawab dengan polosnya, “Aku she Tong bernama Wi-lian. Aku ingin berbicara dengan tuan bertiga tentang urusan tuan-tuan dengan Hwe-liong-pang.”
Jawaban yang terlalu langsung tanpa berliku-liku itu ternyata telah menimbulkan salah paham di pihak Hong-ho-sam-hiong. Ibarat bara api yang masih merah, sedikit tiupan saja akan cukup mengobarkan kembali. Sam-te yang pemarah itu langsung menanggapinya sesuai dengan sifat pembawaannya, teriaknya,
“Bagus, bangsat-bangsat Hwe-liong-pang! Ternyata kalian berhasil juga mengejar kami sampai ke tempat ini! Tapi kau kira Hong-ho-sam-hiong akan menyerah begitu saja untuk diperlakukan semau kalian?!”
Gadis itu yang bukan lain dari Tong Wi-lian, anak ke tiga dari Tong Tian, yang baru saja berguru selama dua tahun di Siong-san, sangat terkejut mendengar tanggapan Hong-ho-sam-hiong yang kasar, namun ia pun cukup menyadari bahwa ia telah kesalahan bicara. Terhadap orang-orang yang sedang dalam keadaan perasaan terlalu peka karena terancam bahaya itu, ucapan yang terlalu langsung bisa menimbulkan salah paham.
Ternyata sebelum Wi-lian sempat memberi penjelasan kepada ketiganya, pintu telah terbuka. Dan sam-te yang bertubuh pendek gemuk tetapi gempal telah melompat keluar sambil memutar toya besinya, lalu disodokkan ke ulu hati Wi-lian. Toya besi itu nampaknya cukup berat, namun sam-te ini ternyata mampu menggerakkannya seringan orang memainkan sepotong bambu saja.
Dari sini dapatlah dinilai bahwa orang ketiga dari Hong-ho-sam-hiong ini merupakan seorang jagoan gwa-kang (Tenaga Luar) yang cukup dapat diandalkan. Toa-ko dan ji-ko-nya terkejut melihat adik mereka langsung melakukan serangan yang demikian ganas mematikan. Bagaimana kalau keliru membunuh orang? Tetapi mereka sudah tidak sempat lagi mencegah si sam-te yang pemarah itu.
Ternyata Tong Wi-lian yang sekarang berbeda dengan Tong Wi-lian dua tahun yang lalu. Serangan si pendek dari Hong-ho-sam-hiong itu tidak menyentuh sasarannya sedikitpun, sebab dengan gerakan Yan-cu-hoan-sin (Walet Membalik Badan) tubuh gadis itu telah melayang ke belakang, berputar sekali di udara dan kemudian mendarat di tanah dengan sangat ringannya.
“Harap tuan menyabarkan diri,” Wi-lian masih mencoba bicara. Kepandaian yang dipertontonkan Wi-lian telah mengejutkan Toa-ko dan Ji-ko. Sebagai orang-orang yang tengah terancam bahaya yang sangat ditakuti, mereka mudah berprasangka buruk terhadap orang lain. Begitu melihat gadis itu berkepandaian tinggi, mereka segera menghubungkan jangan-jangan gadis ini utusan Hwe-liong-pang yang ditugaskan untuk memburu dan membantai mereka?
Sebagai orang-orang yang hidup di dunia persilatan yang keras, Hong-ho-sam-hiong cukup kenal semboyan “lebih baik keliru membunuh orang tidak bersalah daripada diri sendiri terbunuh”. Dan melihat si gadis selihai itu, seketika rasa curiga pun timbul. Melihat sam-te gagal dengan serangan pertamanya, si Toa-ko segera berseru kepada Ji-ko, “Turun tangan lebih dulu untuk merebut kedudukan, makin cepat makin baik!” dan ia pun turun tangan lebih dulu dengan menyabetkan sam-ciat-kun-nya ke batok kepala Tong Wi-lian.
Saudara tertua dari Hong-ho-sam-hiong ini adalah seorang yang selama belasan tahun sudah terkenal kegesitannya di sepanjang sungai Hong-ho. Gerakannya yang menubruk sambil mengepruk kepala itupun merupakan salah satu gerakan andalannya yang selama ini jarang meleset dari sasaran. Terhadap seorang gadis muda yang tidak dikenalnya saja si Toa-ko yang bernama Ang Hay-liong ini sampai mengeluarkan jurus kebanggaannya, hal mana menandakan bahwa ia memandang urusaan ini sebagai urusan mati hidup bagi dirinya dan bagi saudara-saudaranya.
Saat itu Wi-lian sedang “menari” dengan lincahnya diantara deru hantaman toya besi si pendek gemuk yang menggebu. Gadis itu menjadi agak terkejut ketika merasa angin menerjang ke arah kepalanya dan tahu-tahu Ang Hay-liong telah menyerang dengan hebatnya.
Cepat gadis itu mengendapkan tubuh dan kepalanya dengan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) sambil meluncur mundur. Gerakan menunduk dan meluncur mundur ini dilakukannya dengan cepat dan rapi tanpa banyak melakukan gerak pendahuluan yang membuang tenaga. Sedetik kemudian ia sudah berada di luar jangkauan senjata lawan-lawannya.
Tiba-tiba dalam diri Wi-lian timbul keinginan untuk menguji sampai di mana kemajuan ilmu silatnya setelah dua tahun berlatih di Siong-san di bawah asuhan tokoh-tokoh Siau-lim-pay. Selama dua tahun ia mendapat gemblengan keras. Lari pagi dengan betis dan pundak dibebani kantong-kantong pasir adalah “sarapan” paginya, menuruni tempat-tempat berbukit dan mendaki lereng-lereng sehingga napasnya hampir putus dan kakinya hampir patah.
Dilanjutkan dengan melakukan jurus-jurus silat sehingga ribuan kali, memukuli kantong-kantong pasir sehingga tangannya yang halus itu kini berubah menjadi berkulit tebal, menusukkan jari-jarinya ke dalam pasir panas, bersemedi semalam suntuk di udara terbuka yang dingin hanya dengan pakaian yang tipis dan berbagai latihan berat lainnya. Dan begitu turun gunung dan tiba di Kay-hong, ia langsung mendapat “bahan ujian” yang baik untuk menguji sampai di mana kemajuannya selama ini.
Maka dengan bersemangat ia segera melayani ketiga lawannya yang garang ini. Dalam pada itu sam-te yang bernama Suma Hun ini telah menyeruduk maju kembali bagaikan kerbau gila. Bahkan kali ini ia dibantu oleh si ji-ko Pang Lun yang menggempur dari samping dengan sepasang golok liu-yap-to-nya yang secepat kilat itu. Sepasang golok milik Yap Lun bergerak demikian cepatnya sehingga bagaikan gumpalan-gumpalan awan yang menutup langit, “beterbangan” di atas kepala lawannya.
Meskipun Pang Lun bukan seorang yang bertenaga raksasa seperti Suma Hun, namun kecepatan dan ketajaman goloknya sedikitpun tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan toya besi Suma Hun yang menggempur bagaikan gelombang samudera. Sedangkan Ang Hay-liong, si Toa-ko, kini tidak ikut menyerang, hanya berdiri dipinggiran sambil bersikap memperhatikan jalannya pertempuran saja.
Diam-diam timbul sepercik rasa malu di hatinya. Apa kata orang kalau sampai mendengar kabar bahwa Hong-ho-sam-hiong yang perkasa itu maju serentak dengan menggunakan senjatanya hanya untuk mengeroyok seorang gadis bertangan kosong? Akhirnya Ang Hay-liong memutuskan bahwa ia hanya akan turun tangan apabila kedua orang adiknya itu sudah tidak dapat mengatasi keadaan.
Perkelahian antara dua laki-laki garang bersenjata melawan seorang gadis cantik bertangan kosong itu ternyata telah menarik perhatian seisi rumah makan merangkap penginapan tersebut. Bahkan orang-orang yang sedang makan di ruang depan pun serempak meluruk ke halaman belakang untuk menyaksikan perkelahian aneh itu.
Tapi kebanyakan para penonton tidak berniat untuk melerai atau ikut campur, sebab mereka tahu bahwa perkelahian itu terjadi antara kaum persilatan. Perkelahian kaum persilatan sudah terlalu biasa terjadi, bisa terjadi hanya karena alasan-alasan yang remeh dan tidak memandang waktu dan tempat.
Di antara para penonton yang paling tertarik perhatiannya adalah si lelaki bermuka mayat yang kamarnya tepat berhadapan dengan kamar Hong-ho-sam-hiong. Ia berdiri memeluk tangan dengan tenangnya di depan pintu sambil memperhatikan jalannya perkelahian.
Perkelahian berlangsung semakin sengit. Tidak percuma Pang Lun dan Suma Hun menjadi terkenal sebagai orang ke dua dan ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong, sebab mereka nampak sangat mahir dengan senjatanya masing-masing. Suma Hun nampak begitu kuat dan dahsyat, setiap gerakan toya besinya menimbulkan deru angin keras yang menakutkan.
Di lain pihak, Pang Lun memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan, sehingga golok tipisnya itu seakan-akan kehilangan bentuknya dan yang kelihatan cuma tinggal cahaya keperakan yang menyambar silang-menyilang bagaikan halilintar cepatnya.
Namun lawan mereka adalah murid Hong-tay Hwesio, tokoh agung dari biara Siau-lim, tokoh yang menduduki urutan kedua dalam deretan “Sepuluh Maha Sakti” di jaman itu. Meskipun Tong Wi-lian hanya sempat berlatih dua tahun di Siong-san, namun cara latihan yang diterapkan atas dirinya telah membuat suatu lompatan panjang dalam kemajuan ilmu silatnya.
Jika pertempuran ini terjadi dua tahun yang lalu, jangan dikata menghadapi keroyokan Suma Hun dan Pang Lun, menghadapi salah seorang saja mungkin Wi-lian akan keok dalam waktu singkat. Masa penggemblengan yang dialami Wi-lian di Siong-san itu tidak sia-sia. Bagi Wi-lian, Hong-tay Hwesio bukan hanya gurunya tetapi seakan-akan menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada.
Selama dua tahun Tong Wi-lian hanya mendapatkan dua macam ilmu silat, yaitu Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) dan Coa-kun (Silat Ular). Dua macam ilmu silat yang tidak memerlukan tenaga besar sehingga cocok buat kaum wanita. Meskipun hanya dua macam ilmu, namun dilatihnya dengan keras dan tidak tanggung-tanggung. Gadis she Tong ini telah melatih jari-jari tangannya sedemikian rupa sehingga dengan merangkapkan jari tengah dan jari telunjuk, ia sanggup melubangi sehelai papan kayu mahoni hanya dengan sekali tusuk!
Tidak mengherankan kalau Pang Lun dan Suma Hun yang telah mengerahkan tenaga itu masih belum dapat mengalahkan Wi-lian. Bahkan kadang-kadang kedua orang tokoh Hong-ho-sam-hiong itulah yang harus berlompatan mundur dengan gugupnya manakala si gadis melancarkan serangan beruntun yang terarah dengan ujung-ujung jari tangannya.
Orang ke dua dan ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong ini jadi makin penasaran. Mereka berdua dan memegang senjata ternyata masih belum mampu mengalahkan seorang gadis bertangan kosong, bahkan diri merekalah yang mulai terdesak! Sekali lagi keduanya mengerahkan semangat dan kemampuan mereka. Sepasang golok di tangan Pang Lun mengeluarkan suara mendesis-desis mengerikan, diselingi dengan bentakan-bentakan mengelegar dari mulut Suma Hun yang seakan-akan hendak merontokkan bumi.
Tapi itu semua tidak banyak menolong. Tong Wi-lian yang semakin bersemangat setelah merasakan sendiri kemajuan ilmu silatnya, kini bukan hanya bertahan tapi juga mulai balas menyerang. Biarpun serangan-serangannya hanya menggunakan tangan dan kaki, tapi lawan-lawannya menyadari bahwa serangan-serangan gadis itu cukup berbahaya.
Tiba-tiba Tong Wi-lian bersuit nyaring dengan menggunakan ilmu Liong-ling-kang (Ilmu Jerit Naga) yang beralaskan tenaga dalam aliran Hud-bun (Perguruan Buddha) yang murni. Dengan latihan tenaga dalam yang terpupuk baik, suitan tersebut ternyata mampu menindih perbawa bentakan-bentakan Suma Hun.
Beberapa penonton segera mendekap telinga mereka erat-erat karena telinganya bagaikan mendenging oleh ketajaman suara suitan tersebut. Bahkan tamu bermuka dingin pun menekan dadanya dengan telapak tangan sambil berdesis, “Bukan main gadis ini.”
Jika para penonton saja merasakan akibat dari suara suitan Wi-lian, apalagi Pang Lun dan Suma Hun yang berhadapan secara langsung. Keduanya merasakan telinga mereka bagai mendenging keras dan serasa kepala hendak pecah. Semangat tempur mereka seketika runtuh dan gerak silat mereka pun menjadi kacau, apa boleh buat, mereka pun berlompatan mundur. Sedang Ang Hay-liong yang berdiri di luar gelanggang itupun cepat-cepat mengerahkan semangat untuk menentramkan jantungnya yang bergoncang keras akibat suara suitan tersebut.
Wi-lian ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Lebih dulu ia merangsek ke arah Pang Lun yang langkahnya masih gontai akibat suara suitan. Sepasang kaki Wi-lian lalu melancarkan tendangan berantai ke arah pergelangan tangan Pang Lun yang memegang senjata, dan sepasang golok Liu-yap-to orang she Pang itupun terbanglah keudara.
Suma Hun terkesiap arena mengira kakak ke duanya tertimpa bahaya. Dengan menggertak gigi ia menyerobot maju dan menyapukan toya besinya dalam jurus Thio-so-heng-kang (Rantai Besi Melintang di Sungai). Bersamaan dengan itu, Ang Hay-liong juga telah melompat ke tengah lapangan, langsung menghantamkan sam-ciat-kun-nya ke pinggang Wi-lian.
Sekali lagi gadis murid Siau-lim-pay tersebut memekik nyaring, tapi kali ini tanpa landasan ilmu Liong-ling-kang-nya. Tubuhnya melompat ke atas, telapak tangan kanan menghantam ke arah Ang Hay-liong dan telapak tangan kiri menghantam toya besi Suma Hun, kedua gerakan tersebut dilakukan dari atas udara.
Ang Hay-liong yang tengah dalam keadaan melompat menjadi sangat terkejut ketika merasakan sebuah tenaga pukulan hebat menekan dadanya. Diam-diam tokoh utama Hong-ho-sam-hiong itu juga merasa heran kenapa gadis semuda itu sudah memiliki tingkat lwe-kang (Tenaga Dalam) yang cukup dapat diandalkan?
Cepat Ang Hay-liong menggeliatkan badannya di tengah udara, serangan Wi-lian pun luput dan hanya lewat sejengkal dari kepalanya, tetapi serangan ruyung Ang Hay-liong juga luput dan menjadi kacau.
Pukulan telapak tangan Wi-lian yang luput itu mengenai sebuah dahan pohon sebesar lengan yang tumbuh agak menjorok ke tengah halaman, dan seketika dahan tersebut patah terkena hantaman si gadis!
Ang Hay-liong yang baru saja lolos dari serangan hebat itu kini berdiri melongo dengan punggung basah oleh keringat dingin. Sementara itu, Suma Hun pun agak heran melihat gadis itu berani menepuk toya besinya yang tengah dihantamkan dengan seluruh kekuatan. Apakah gadis ini sudah tidak sayang kepada tangannya lagi?
Tapi keheranannya segera berubah menjadi kekagetan luar biasa, sebab tiba-tiba dirasanya seluruh tenaga yang dikerahkannya telah “terseret” dan lenyap, bagai sebuah batu besar yang dilemparkan ke dalam kubangan lumpur. Betapapun dahsyatnya daya rusak batu tersebut namun kubangan lumpur dapat menerimanya tanpa kurang suatu apapun. Suma Hun menjadi sangat penasaran, masakan dia, tokoh ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong yang menggetarkan itu akan dikalahkan oleh seorang gadis yang tak terkenal? Cepat ia mengerahkan tenaga untuk merenggut toya besinya.
Namun Wi-lian bertempur bukan hanya dengan tenaga saja tapi juga dengan otak, ia justru telah melepaskan tekanannya ketika Suma Hun menarik tongkatnya, maka tak ampun lagi orang ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong itu terjatuh sendiri. Hampir saja toya besinya menghantam kepalanya sendiri, untung Suma Hun masih dapat menguasainya.
Sementara itu, Ang Hay-liong telah menjadi masygul bukan main karena Hong-ho-sam-hiong yang selama ini cukup ditakuti, kini tidak berdaya apa-apa dalam menghadapi gadis yang sama sekali belum terkenal ini. Namun Ang Hay-liong pun bukan seorang pengecut. Dengan sikap siap untuk mengadu jiwa, ia telah melangkah masuk kembali ke gelanggang pertempuran.
Tong Wi-lian merasa bahwa kesalah pahaman ini tidak boleh berkelanjutan. Maka cepat gadis itu melompat mundur sambil berseru, “Tahan! Kalian telah salah paham! Aku bukan orang Hwe-liong-pang!"
Sejenak Ang Hay-liong tertegun mendengar seruan si gadis. Ketika dilihatnya kedua kawannya ternyata tidak menderita luka apapun, maka kemarahannya menjadi reda. Meskipun begitu suaranya masih saja cukup garang, “Lalu dari pihak mana sebetulnya kau? Kenapa tadi kau tidak mengatakannya?”
Wi-lian tidak segera menjawab pertanyaan yang bersifat menyalahkan tersebut. Lebih dulu Wi-lian berkata kepada Suma Hun, “Tuan, lain kali jika hendak turun tangan kepada seseorang hendaknya dipikir masak-masak lebih dulu, jangan mengandalkan dan main terjang saja. Jika aku kurang dapat membela diri, bukankah saat ini aku telah menjadi mayat dengan tulang-tulang remuk?”
Suma Hun jadi salah tingkah dan tidak mampu menjawab teguran si gadis. Mulutnya ingin membantah, namun kenyataannya memang dia yang bersalah, dialah yang langsung menyerang saja tanpa menyelidiki lebih jelas dulu. Ia hanya angguk-anggukkan kepalanya dengan sikap agak ketolol-tololan. Ketika ia hendak memungut toya besi yang tergeletak di sampingnya, terkesiaplah Suma Hun.
Dilihatnya bagian toya yang tadi dihantam telapak tangan si gadis kini telah agak melengkung, tidak begitu lurus lagi! Seketika meremanglah bulu tengkuk Suma Hun. Begitu hebat pukulan gadis itu, bagaimana kalau pukulan tersebut mengenai batok kepalanya atau tulang lehernya? Bukankah gadis itu tadi sebenarnya punya banyak kesempatan untuk membunuhnya?
Ang Hay-liog pun kini telah menyadari betapa lihai gadis di depannya itu. Ia tahu, jika mau, gadis itu dapat membunuh Hong-ho-sam-hiong bertiga sekaligus. Namun ternyata gadis itu tidak melakukannya, hal mana menandakan bahwa gadis itu sebenarnya tidak berniat bermusuhan dengannya dan saudara-saudaranya.
Setelah melampiaskan kemendongkolannya kepada Suma Hun, lalu Wi-lian berkata dengan nada yang lebih lunak, “Tanpa berkelahi mungkin kita tidak akan saling mengenal. Harap kalian bertiga pun memaafkan kelakuanku yang kurang adat tadi dan tidak membuat kalian jadi berkecil hati.”
Lalu lebih dulu W-lian menjura ke arah ketiga orang bekas lawannya, yang dibalas oleh ketiganya dengan agak tersipu-sipu. “Kami juga mohon maaf atas kebodohan kami yang telah menuduh nona secara sembarangan dan bertindak tanpa pikir panjang,” sahut Ang Hay-liong mewakili kedua saudaranya. “Mohon bertanya, nona dari perguran mana dan siapakah guru nona yang terhormat?”
Wi-lian tersenyum dan menyahut, “Tadi aku hanya menyebutkan namaku tapi lupa menyebutkan dari mana perguruanku, sehingga membuat tuan-tuan salah paham. Nah, kini kujelaskan bahwa aku adalah murid Siau-lim-pay, guruku adalah rahib Hong-tay di Siong- san.”
Wajah Hong-ho-sam-hiong segera berubah hebat begitu mendengar disebutnya nama Rahib Hong-tay yang termasyhur. Sekali lagi Ang Hay-liong menjura dengan hormat sambil berkata, “Kiranya nona adalah murid adri rahib sakti yang tersohor bagaikan dewa itu. Kami benar-benar bermata buta dan tidak tahu diri sehingga berani melawan nona. Sekali lagi maafkan kami.”
Pada jaman itu, nama Hong-tay Hwesio memang sangat terkenal. Diantara deretan nama sepuluh tokoh yang dianggap paling sakti di jaman itu, nama Rahib Hong-tay menduduki urutan ke dua, hanya setingkat di bawah nama Tiam-jong-lo-sia (Si Sesat Tua dari Tiam-jong-san) Ang Huan yang berdiam di gunung Tiam-jong-san di wilayah In-lam. Tidaklah mengherankan kalau Ang Hay-liong bertiga menjadi bersikap sangat menghormat begitu mengetahui bahwa Wi-lian adalah murid rahib sakti yang suka berkelana itu.
“Pantas nona dapat mempermainkan kami seperti mempermainkan tiga ekor tikus saja,” Ang Hay-liong memuji. Kemudian orang tertua Hong-ho-sam-hiong itupun memperkenalkan dirinya sendiri, dan juga kedua orang saudara angkatnya.
Meskipun hatinya senang karena dipuji, tapi Wi-lian merendahkan diri, katanya, “Janganlah terlalu memujiku. Aku masih hijau dalam pengalaman dunia persilatan, masih memerlukan petunjuk tuan-tuan yang lebih berpengalaman.”
Sikap yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri itu telah menggoreskan kesan baik di hati Hong-ho-sam-hiong. Kata Ang Hay-liong sambil tertawa, “Ha-ha-ha, baru saja kami bertiga dibuat jungkir balik olehmu, bagaimana sekarang nona bilang hendak meminta petunjuk kami?”
Sedangkan Suma Hun biarpun seorang yang bersikap kasar dan pemarah, tapi juga punya sifat-sifat jujur dan terbuka. Ia ikut menimbrung pula, “Selama ini aku mengagulkan kekuatan tanganku yang kukira tiada tandingan, namun hari ini terbukalah mataku bahwa di hadapan nona Tong aku tidak lebih dari seekor kerbau gila yang tidak berotak sama sekali. Untung tadi nona Tong tidak menurunkan tangan secara sungguh-sungguh. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah berkumpul dengan leluhur marga Suma di alam baka. Ha-ha-ha...”
Demikianlah, setelah salah paham dapat dibereskan, maka kedua belah pihak dengan cepat menjadi akrab. Ang Hay-liong segera mempersilahkan Wi-lian untuk duduk di dalam, agar dapat berbincang-bincang lebih leluasa lagi.
Dalam pada itu, si tamu bermuka dingin yang menginap di depan kamar Hong-ho-sam-hiong itu menjadi kurang senang ketika melihat Tong Wi-lian telah menjadi rukun dengan Hong-ho-sam-hiong. Sambil menutup pintu kamarnya, ia menggerutu seorang diri, “Benar-benar keparat! Kalau sampai gadis itu bergabung dengan ketiga tikus itu, maka pekerjaanku malam ini benar-benar akan mengalami hambatan yang tidak ringan. Barangkali terpaksa harus minta bantuan Kwa-heng.”
Tiba-tiba timbullah niat orang itu untuk mencoba menguping pembicaraan antara si gadis dengan Hong-ho-sam-hiong. “Namun aku harus sangat berhati-hati, sebab gadis itu benar-benar bukan main lihainya meskipun ia masih hijau dalam hal pengalaman dunia persilatan,” kata orang tersebut memperingatkan dirinya sendiri.
Sementara itu Wi-lian dan Hong-ho-sam-hiong telah duduk di dalam ruangan. Sengaja semua jendela dibuka lebar-lebar agar supaya jika ada orang yang mencoba mengintip pembicaraan, akan dapat diketahui dengan cepat. Ang Hay-liong membuka pembicaraan,
“Nona, apakah sebenarnya maksud nona yang menghubungi kami untuk membicarakan urusan dengan Hwe-liong-pang itu?”
Tanpa berbelit-belit lagi Wi-lian segera bicara langsung ke pokok persoalan, “Aku sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya sedikitpun dengan gerombolan yang menamakan diri Hwe-liong-pang itu. Namun di sepanjang jalan aku mendengar orang membicarakan gerombolan itu melulu, ada yang memuji setinggi langit seperti memuja malaikat, ada yang mengutuk dan ketakutan setengah mati seperti berhadapan dengan iblis saja. Aku menjadi penasaran, apakah orang-orang Hwe-liong-pang ini berkepala tiga dan bertangan enam? Aku langsung mencari kalian sebab tanpa sengaja kudengar percakapan kalian tadi, katanya kalian sedang ada urusan dengan Hwe-liong-pang, apa betul?”
Ketiga tokoh Hong-ho-sam-hiong jadi melongo heran mendengar ucapan si gadis yang membicarakan Hwe-liong-pang dengan nada seenaknya itu. Jika orang lain sebisa-bisanya menghindarkan diri agar jangan sampai terbit urusan dengan pihak Hwe-liong-pang, tapi gadis itu sebaliknya malah ingin mencari urusan dengan mereka. Diam-diam Ang Hay-liong membatin dalam hatinya,
“Memang betul pepatah yang mengatakan bahwa anak kambing yang baru dilahirkan tidak takut kepada harimau. Bocah inipun benar-benar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Dikiranya Hwe-liong-pang dapat dihadapi melulu dengan ilmu silat yang tinggi. Ia belum tahu bahwa orang-rang Hwe- liong-pang bisa berbuat berbagai macam kelicikan, bahkan mahir pula bermain-main dengan segala jenis racun.”
Namun Ang Hay-liong tidak mengutarakan perasaannya, ia hanya bertanya dengan halus, “Maksud nona yang sebenarnya bagaimana?”
Ketika Wi-kian hendak menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja kening gadis itu berkerut, dan ia nampak memiringkan kepala untuk mengerahkan pendengarannya. Mendadak Wi-lian bangkit dari tempat duduk sambil berkata dengan suara tertahan, “Ada orang yang mencuri dengar pembicaraan kita!”
Ang Hay-liong dan saudara-saudaranya terkejut. Orang yang berhasil mendekati tempat itu sampai tidak diketahui oleh mereka, tentunya adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Sementara itu Tong Wi-lian telah melompat keluar lewat jendela dengan tangkasnya. Diam-diam Hong-ho-sam-hiong membatin, menilik gerakan gadis itu cukup cepat, maka tidak bisa tidak, si penguping itu pasti tidak akan sempat meloloskan diri.
Tak terduka orang yang menguping pembicaraan itupun ternyata cukup tangkas dalam menghadapi perubahan keadaan. Begitu merasa bahwa jejaknya sudah diketahui lawan, ia secepat kilat melompat pergi. Ketika Wi-lian tiba di luar jendela, maka gadis itu hanya sempat melihat sesosok bayangan manusia berpakaian abu-abu bergerak sangat cepat menyelinap ke sebuah lorong berbau busuk yang letaknya berdekatan dengan tempat buag air besar.
Tanpa menghiraukan bau busuk yang menusuk hidung, Wi-lian memburu ke tempat itu, namun bayangan yang diburunya memiliki gerakan tubuh yang tidak kalah dengan dirinya sendiri. Apalagi karena orang itu menang waktu, sebab ketika hendak melompat keluar tadi, si gadis sudah bersuara memperingatkan lebih dulu.
Dengan masih penasaran, Wi-lian celingukan di lorong busuk itu. Tiba-tiba salah satu pintu dari tempat buang air besar itu terbuka dari dalam, lalu si lelaki berbaju abu-abu dan bermuka dingin itu muncul dari dalam sambil masih memegangi celananya. Begitu melihat Wi-lian celingukan di situ, orang itu tertawa kaku dan berkata,
”Oh, apakah nona juga sakit perut? Tetapi agaknya nona salah jalan. Tempat ini untuk kaum pria, sedangkan untuk kaum wanita yang letaknya di dekat kebun sayur itu.”
Keruan muka Wi-lian jadi merah karena malunya, namun bersamaan dengan itu muncul kecurigaannya kepada orang ini. Ada dugaan kuat bahwa si penguping pembicaraan tadi adalah orang ini. Kalau tidak, kenapa orang ini bisa menghilang begitu cepat di tempat ini, padahal di sini tidak ada tempat yang bisa dijadikan persembunyian secara baik? Apalagi Wi-lian mendapat kesan bahwa manusia bermuka mayat ini bukan manusia sembarangan.
Tetapi tanpa mendapat bukti- bukti yang kuat, Wi-lian tidak dapat menuduh sembarangan. Tanpa menggubris pertanyaan orang itu, Wi-lian segera melangkah balik ke tempat Hong-ho-sam-hiong bertiga untuk meneruskan pembicaraan yang tertunda tadi. Tapi diam-diam ia mencatat dalam hatinya,
“Ternyata di tempat ini ada seorang yang berkepandaian cukup tinggi, seseorang yang benar-benar patut diperhitungkan kehadirannya. Jelas orang itu punya kepentingan, sebab ternyata ia menguping pembicaraan kami. Kemungkinan besar dialah orang Hwe-liong-pang yang ditugaskan untuk memburu dan membunuh Hong-ho-sam-hiong.”
Ketika gadis itu telah berada kembali bersama Hong-ho-sam-hiong, nampaklah ketiga jagoan Hong-ho-sam-hiong itu masih bersiap sedia dengan senjata terhunus. Pada wajah mereka jelas tertera ketegangan yang menekan perasaan mereka. Mereka menunjukkan perasaan lega ketika melihat munculnya Wi-lian kembali.
Ketiga jagoan yang ditakuti itu kini seperti tiga orang anak-anak yang cemas ketika ibunya pergi, dan ketika ketika melihat sang ibu datang kembali. Mereka jadi mrip tiga orang anak yang tidak berdaya mengatasi kawan-kawannya yang nakal, dan terpaksa sangat mengandalkan bantuan ibu mereka. Begitu Wi-lian datang, pandangan mata mereka seakan bertanya,
“Siapakah orang yang mengintip itu? Apakah ada hubunganya dengan Hwe-liong-pang? Di manakah dia sekarang?”
Wi-lian dapat menangkap perasaan mereka bertiga, diam-diam timbul rasa kasihannya melihat sikap ketiganya tersebut. Untuk tidak menimbulkan kecemasan Hong-ho-sam-hiong, Wi-lian berkata dengan nada agak sedikit menghibur, “Cuma seorang cecunguk yang berkepandaian agak lumayan. Agaknya ia mengira kita membawa barang berharga supaya bisa disambarnya. Aku sudah tahu orangnya, namun karena kekurangan bukti, aku tidak dapat menangkapnya.”
Ketiga orang Hong-ho-sam-hiong itu tidak percaya sepenuhnya akan jawaban itu, maka mereka hanya dapat saling bertukar pandang. Mereka punya jalan pikiran yang sama, “Gadis yang masih hijau dalam pengalaman dan kerasnya hidup dunia persilatan ini mana bisa diharapkan bantuannya untuk menghadapi Hwe-liong-pang?”
Rata-rata golongan liok-lim (Rimba Hijau) termasuk Hong-ho-sam-hiong, berpendapat bahwa “turun tangan lebih dulu akan menang dan tidak menghiraukan apakah keliru bertindak atau tidak, pokoknya diri sendiri sudah tenteram lebih dulu.” Tapi jika menurut Wi-lian, untuk menangkap orang dan menanyainya saja harus menunggu bukti dan tetek bengek lainnya, sudah tentu jalan pikiran semacam ini kurang cocok dengan jalan pikiran Hong-ho-sam-hiong.
“Kenapa dibiarkan lolos?” kata Suma Hun dengan suara agak penasaran. Katanya pula, “Kita adalah kaum persilatan yang setiap saat bergelut di ujung pedang, jika tindakan kita selalu kurang tegas dan bertele-tele, boleh jadi nyawa kita sudah melayang sejak dulu....”
“Pengecut! Bangsat! Anak Kura-kura! Hayo keluar dari persembunyianmu!”
Karena tidak berhasil menemukan buruannya, rahib berangasan itu semakin marah. Untuk melampiaskan kemarahannya ia menghajar roboh beberapa pohon yang batangnya sebesar paha! Demikianlah, hutan itu bagaikan diamuk seekor gajah karena kemarahan rahib itu. Tengah sang rahib mengamuk kalang kabut, tiba-tiba didengarnya suitan nyaring dari arah tempat semula, yaitu tempat tubuh A-hong masih terbaring dalam keadaan pingsan.
Terkesiaplah Hong-koan Hwesio mendengar suitan tajam menusuk telinga tersebut, menandakan bahwa di tempat itu kembali telah muncul seorang tokoh sakti yang paling tidak sejajar dengan dirinya. Sang rahib juga menyesal karena merasa telah berbuat ceroboh dengan meninggalkan A-hong terbaring luka sendirian tanpa ada yang menjaga., sehingga segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi atas diri anak itu. Dengan tergesa-gesa Hong-koan Hwesio berbalik ke tempat semula.
Begitu tiba di tempat semula, berteriaklah Hong-koan Hwesio dengan gugup dan marah, “Celaka tigabelas! Kenapa aku begitu terburu napsu dan ceroboh meninggalkan A-hong sendirian di sini? Kini bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada ayahnya di alam baka?”
Ternyata tubuh A-hong sudah tidak ada di tempat itu lagi, jelas tidak mungkin pergi sendiri sebab anak itu sedang dalam keadaan luka parah. Satu-satunya kemungkinan adalah diculik oleh orang yang memperdengarkan suitan tadi. Dalam bingung dan marahnya, segera Hong-koan Hwesio mengerahkan tenaga dalam dan berteriak sekuatnya, “Sahabat dari manakah yang telah mengambil keponakanku?! Harap suka memperlihatkan diri jika kau cukup jantan!”
Suaranya bergetar hebat bagaikan halilintar, biarpun si penculik sudah lari beberapa li tentu masih akan dapat mendengarnya. Teriakan si rahib memang mendapatkan tanggapan. Dari kaki bukit yang berjarak kira-kira empat li dari situ, terdengarlah suitan nyaring seperti tadi, lalu disusul suara jawaban yang lembut seperti nyamuk mengiang namun terdengar jelas kata demi kata menyusup ke telinga Hong-koan Hwesio,
“Keledai gundul edan, tidak dapat berbuat lainkah kau selain berteriak-teriak dan mengamuk seperti orang gila? Akulah yang membawa A-hong. Ia dalam keadaan luka parah dan perlu pengobatan secepatnya. Jika ia harus menunggu sampai kau menghabiskan semua pepohonan di hutan ini, ia akan mati tak tertolong lagi. Nah, sampai jumpa lagi.”
Mendengar suara yang dilontarkan dengan kepandaian Coan-im- jip-bit (Mengirim Gelombang Suara) tersebut, seketika tenanglah hati Hong-koan Hwesio sebab ia sangat mengenal suara itu. Itu adalah suara seorang sahabatnya yang bernama Oh Yu-thian dan berjuluk Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang dari Soat-san). Antara Siau-lim-hong-ceng dan Soat-san-kiam-sian ada kesamaan tabiat, yaitu sama-sama bertabiat keras dan juga sama-sama gemar mengembara.
Sedang antara Soat-san-kiam-sian dengan Wi-hong ada hubungan perguruan, sebab Oh Yu-thian adalah angkatan tua dalam perguruan Soat-san-pay, dan W-hong harus memanggilnya “Su-siok-co” (Paman kakek guru) kepada tokoh tersebut. Setelah merasa yakin bahwa nasib Wi-hong akan cukup terjamin dalam perlindungan tokoh Soat-san-pay tersebut, maka kemarahan Hong-koan Hwesio juga mulai susut sebagian besar, bahkan niatnya untuk menangkap dan menghukum Ting Ciau-kun juga mulai luntur.
Kini Hong-koan Hwesio mulai berpikir untuk menguburkan mayat Te-yong Tojin. Bagaimanapun jahatnnya si imam semasa hidupnya, tapi Hong-koan Hwesio tidak akan sampai hati membiarkan mayatnya terkapar tidak terurus dan akan menjadi santapan binatang-binatang liar.
Maka meskipun dengan sangat sederhana, tubuh Te-yong Tojin akhirnya dimakamkan selayaknya. Bahkan Hong-koan Hwesio sempat membuatkan sebuah tanda khusus di atas kubur si imam agar kelak jika tokoh-tokoh Bu-tong-pay menanyakan tentang murid murtad mereka ini, ia kan dapat menunjukkan kuburnya.
* * * * * * *
Matahari terbit di sebelah timur lalu berjalan dan kemudian tenggelam ke sebelah barat, membuat semua garis lingkaran raksasa yang diulang-ulanginya setiap hari. Peredaran alam semesta terus berlangsung dengan teratur dan mempesona. Tak seorang manusia pun, betapa hebatnya dia di dalam dunia ini, yang bisa mempercepat atau memperlambat peredaran yang dikendalikan oleh Tangan Yang Maha Agung itu.
Hari demi hari berlalu, dan tak terasa sudah dua tahun sejak kejadian terbunuhnya Te-yong Tojin di dekat kota Tay-beng. Dua tahun bagaikan sedetik dalam umur alam semesta, namun cukup berarti bagi manusia. Selama dua tahun ini dunia persilatan tidak pernah lowong dari gejolak. Gejolak kecil ataupun gejolak besar.
Pertentangan, pembunuhan demi pembunuhan, pembalasan demi pembalasan terus berlangsung, manusia tidak jemu-jemunya saling menumpahkan darah di antara sesamanya. Kebangkitan dan keruntuhan silih berganti. Dan dalam anggapan kaum persilatan, hal itu cukup wajar. Siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang benar, dan si lemahpun tergilas tanpa daya.
Di antara gejolak-gejolak dunia persilatan tersebut, ada suatu kegiatan yang memaksa seluruh dunia persilatan untuk menumpahkan seluruh perhatiannya. Tidak peduli yang memandangnya dengan penuh harapan, maupun yang memandangnya dengan cemas. Sudah setahun ini dunia persilatan digemparkan dengan munculnya suatu gerombolan kuat yang menamakan dirinya Hwe-liong-pang (Perkumpulan Naga Api).
Hanya dalam waktu satu tahun, gerombolan yang tadinya tidak dikenal orang ini telah berubah menjadi sebuah gerombolan yang paling ditakuti oleh dunia persilatan. Tokoh-tokohnya yang berkepandaian tinggi muncul di mana-mana, dan akibat-akibat perbuatannya pun terasa di mana-mana. Tetapi belum juga ada seorangpun yang tahu apa tujuan perjuangan gerombolan Hwe-liong-pang tersebut, bahkan masih membingungkan sebagian besar umat persilatan.
Di beberapa daerah terdengar pujian-pujian yang memuji mereka sebagai gerombolan pembela rakyat tertindas dalam menentang penguasa-penguasa lalim. Tapi di tempat lain terdengar keluhan dan kutukan yang dialamatkan kepada mereka, dianggap sebagai gerombolan penjahat kejam yang tidak segan-segan berbuat apapun demi mencapai tujuan. Untuk sementara tidak dapat ditentukan apakah munculnya Hwe-liong-pang ini merupakan berkah atau kutuk bagi dunia persilatan.
Masih ada satu hal lagi yang membuat orang bingung terhadap Hwe-liong-pang ini. Yaitu, siapakah pemimpinnya dan di manakah cong-toh (markas pusat) Hwe-liong-pang tak seorangpun tahu, kecuali tokoh-tokohnya sendiri. Yang terang, Hwe-liong-pang itu ada dan bekerja dengan sangat rapi serta punya kekuatan besar.
Kota Kay-hong adalah sebuah kota besar yang terletak di dataran rendah sungai Hoang-ho (Sungai Kuning). Kota ini sangat ramai dan hidup. Selain karena letaknya yang bagus untuk perdagangan, juga karena peninggalan kebudayaan kunonya dan pernah menjadi pusat pemerintahan di jaman dulu.
Siang itu nampak kesibukan kota Kay-hong tidak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Orang hilir-mudik di jalan raya dengan keperluannya sendiri-sendiri, ada yang begitu tergesa-gesa dan ada pula yang kelihatannya santai-santai saja. Nampak pula banyaknya orang-orang asing dari luar daerah, karena kota Kay-hong memang terletak di jalur lalu lintas yang ramai, baik melalui darat maupun melalui sungai.
Di antar orang-orang yang berhilir-mudik di jalan raya, kelihatanlah seorang lelaki memasuki kota dari sebelah timur hanya dengan berjalan kaki. Dia bertubuh semampai dan padat, berpakaian ringkas, dan pada pinggangnya terlibat sehelai joan-pian (ruyung lemas atau cambuk) yang terbuat dari baja. Kepalanya memakai sebuah tudung bambu lebar yang tepinya melengkung ke bawah sehingga mukanya terlindung oleh bayangan tutup kepalanya.
Dengan langkah-langkah yang mantap tapi tidak tergesa-gesa, orang tersebut menuju ke arah sebuah rumah makan yang cukup ramai di tepi jalan, dan mengambil tempat duduk di dalamnya. Dengan acuh tak acuh ia perlahan membuka tudung bambunya dan menyandarkannya di kaki meja. Kini nampaklah muka yang pucat dan dingin seperti muka mayat. Dilengkapi dengan pakaiannya yang berwarna abu-abu pucat, maka orang ini secara keseluruhan telah menimbulkan kesan dingin dan menyeramkan. Membuat orang yang memandangnya jadi bergidik ngeri, meskipun saat itu adalah siang hari bolong.
Pelayan-pelayan rumah makan agaknya cukup banyak pengalaman dalam meladeni tamu, sebab Kay-hong adalah kota besar tempat berkumpulnya macam-macam manusia. Pelayan-pelayan itu tahu bahwa tamu bermuka pucat tersebut tentu orang-orang dunia persilatan yang biasanya gemar berkelahi, maka pelayan-pelayan itu tidak berani terlambat dalam meladeninya.
Begitu orang tersebut duduk, seorang pelayan dengan sopan menanyakan apa yang hendak dimakan tamunya, dan si tamu memesan sepoci teh serta sepiring daging kambing bakar yang dimasak cara Mongol. Para tetamu lain di rumah makan itu tidak begitu menghiraukan kehadiran tamu bermuka pucat tersebut. Tamu-tamu aneh semacang itu memang tidak kurang jumlahnya di kota sebesar Kay-hong.
Tiba-tiba dari arah jalan raya di depan rumah makan tersebut terdengar suara derap beberapa ekor kuda. Lalu tiga ekor kuda gurun yang perkasa muncul di depan rumah makan tersebut dengan tiga orang penunggang yang berbadan tegap-tegap. Beberapa pelayan segera menyambut tamu-tamu baru itu, bahkan membantu menambatkan kuda-kuda mereka di samping rumah makan.
Ketiga orang yang baru datang itu lantas memasuki rumah makan dengan langkah lebar dan dada membusung gagah. Sikap mereka yang gagah jelas menunjukkan bahwa mereka termasuk orang dunia persilatan juga. Dua orang bertubuh tinggi kekar, dan yang seorang bertubuh gemuk pendek tetapi berotot gempal. Pakaian mereka yang berlumut debu menandakan bahwa ketiganya baru saja menempuh sebuah perjalanan yang cukup jauh.
Tamu muka dingin yang datang lebih dulu itu melirik sejenak ke arah ketiga orang tersebut. Pandangan matanya nampak bersinar sejenak, setelah itu dengan santai dan acuh ia melanjutkan menikmati daging kambing bakarnya. Ketiga orang itupun telah pula mengambil tempat duduk dan meletakan senjata-senjata yang mereka bawa lalu memesan makanan dan minuman.
Sementara menunggu datangnya pesanan makanan, mereka bertiga saling berbicara dengan ributnya menandakan bahwa mereka berasal dari lingkungan kasar yang kurang terdidik. Ketiganya inipun tidak terlalu diperhatikan oleh orang-orang lain yang sedang di rumah makan itu. Terlalu banyak jumlah orang-orang seperti mereka, dan mereka bertiga tidak memiliki keistimewaan apapun untuk diperhatikan secara berlebihan.
Namun tidak lama kemudian datang lagi seorang tamu, dan tamu kali ini sangat menarik perhatian, terutama bagi kaum lelaki. Sebab yang muncul belakangan ini adalah seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, berpakaian ringkas dan membawa sebuah tudung bambu yang digendong di punggungnya.
Dalam jaman sekacau itu, ternyata ada juga seorang gadis cantik yang berani melakukan perjalanan seorang diri, hal ini cukup mengherankan. Namun kalau orang melihat buku-buku tangan gadis tersebut yang berkulit tebal, jelaslah bahwa gadis itu nampaknya memiliki bekal yang dapat diandalkan untuk berjalan seorang diri. Apalagi tatapan mata gadis itu sangat tajam dan memancarkan rasa percaya diri yang tebal.
Dengan tenangnya si gadis melintasi ruangan makan itu dan mendekat ke arah pengurusnya yang tengah duduk di belakang meja sambil membuat catatan-catatan. Si gadis bertanya, “Paman, apakah tempat paman ini menyediakan tempat beristirahat yang cukup nyaman?”
Pengurus rumah makan itu ternyata adalah seorang lelaki setengah tua yang berpunggung agak bungkuk. Cepat-cepat ia meletakkan pena serta menjawab sambil tertawa ramah, “Tentu saja ada, nona, bahkan tempatku ini merupakan tempat yang paling bersih dan paling nyaman di seluruh kota Kay-hong ini.”
Gadis itu tertawa mendengar si pengurus memuji tempatnya sendiri. Katanya, “Asal bersih, udaranya segar dan suasananya nyaman, itu cukup buat aku.”
Lalu si pengurus tersebut mengantarkan sendiri si gadis menuju bagian belakang rumah makan yang dijadikan tempat penginapan. Di situ masih ada beberapa tempat kosong. Si gadis memilih sebuah tempat yang agak menyendiri, yang dikelilingi oleh rerumpunan bunga yang manis dan sejuk.
Sebelum si pengurus pergi, si gadis sempat memberi setahil perak dan memesan agar disediakan nasi, beberapa macam sayuran dan sepoci arak ringan. Diam-diam makin yakinlah si pengurus bahwa si gadis adalah seorang dari dunia persilatan, sebab pada jaman itu kurang lazim kalau seorang gadis minum arak, kecuali gadis-gadis dunia persilatan.
Setelah menutup pintu dan sendirian di kamar tersebut, gadis itu meletakkan pau-hok (buntalan bekal) dan tudung bambunya. Dibukanya jendela yang menghadap ke arah taman bunga agar harum bunga yang segar masuk ke dalam. Lalu iapun duduk termenung sambil menunggu datangnya pesanannya.
Tiba-tiba lamunannya terputus ketika mendengar langkah- langkah kaki beberapa orang melintas di depan biliknya diselingi suara orang bercakap-cakap. Didengar dari suara mereka yang keras dan kasar, jelaslah yang sedang berjalan lewat itu adalah ketiga orang yang tadi duduk makan di ruang depan, dan agaknya mereka juga menginap di tempat ini.
Sebenarnya si gadis sudah cukup lelah oleh perjalanan jauh yang telah ditempuhnya, namun percakapan orang-orang yang lewat didepan biliknya ini ternyata cukup menarik perhatiannya. Terdengar salah seorang dari ketiga orang tersebut berkata dengan suara yang agak ditahan-tahan,
“Tidak ada salahnya kita melepaskan lelah dan menyegarkan diri sejenak di tempat ini. Sudah beberapa hari kita terus-menerus berpacu di atas punggung kuda sehingga rasanya pinggangku hampir patah.”
Lalu terdengar suara yang lain, “Baiklah sam-te (adik ke tiga), tapi aku tegaskan bahwa kita hanya akan menginap semalam, tidak boleh lebih. Besok pagi-pagi benar kita harus sudah berangkat kembali, tidak boleh berlambat-lambat. Kita harus ingat, bukan kebiasaan orang-orang Hwe-liong-pang untuk melepaskan buruannya begitu saja, mereka pasti akan terus mengejar kita.”
Terdengar suara yang pertama tadi tertawa dan menyahut, “Ha- ha-ha, ji-ko (kakak ke dua), kenapa nyalimu jadi sekecil nyali tikus? Baru mengalami bahaya kecil saja kau sudah berubah demikian penakut. Secepat-cepatnya gerakan orang-orang Hwe-liong-pang itu, mereka tidak akan sanggup mengejar kita lagi. Dalam hal inipun kita masih akan ditertawai teman-teman kita di dunia persilatan karena terbirit-birit lari ketakutan, ibaratnya sampai suara daun jatuh pun sudah membuat kita kaget dan bermuka pucat. Ji-ko, betapa hebatnya orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun hendaknya jangan engkau lupakan bahwa kita bertiga adalah orang-orang yang berjuluk Hoang-ho-sam-hiong (Tiga Jagoan dari Hoang-ho) yang pernah malang-melintang sepanjang sungai Hong-ho ini. Sikapmu itu bisa membuat pamor kita jadi merosot.”
Orang yang dipanggil sam-te itu agaknya masih akan mengoceh lebih panjang lagi, tapi terdengar suara lain yang bernada dalam dan cukup berwibawa, “Sam-te, jangan kehilangan kewaspadaan, perkataan ji-te (adik ke dua) itu cukup beralasan. Bagaimanapun juga kita harus bersikap hati-hati mengingat lawan yang kita hadapi ini bukan lawan sembarangan. Berurusan dengan Hwe-liong-pang tidak ada urusan benar atau salah, yang ada cuma siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Dan kita juga tidak perlu malu untuk mengakui bahwa kita bukan tandingan mereka sehingga kita harus melarikan diri.”
Agaknya si sam-te ini cukup menyegani toa-ko (kakak tertua)nya yang bicara terakhir itu sehingga iapun tidak membantah lagi. Langkah ketiganya terdengar semakin jauh, kemudian tak terdengar lagi.
Si gadis dapat menangkap percakapan tersebut lalu ia menarik napas dalam-dalam sambil bergumam, “Hemm, di mana-mana kudengar orang membicarakan masalah Hwe-liong-pang dengan ketakutan atau dengan kekaguman. Memangnya orang-orang Hwe-liong-pang ini sesakti malaikat, atau berkepala tiga dan bertangan enam? Huh, benar-benar menjemukan. Aku justru ingin bertemu orang- orang Hwe-liong-pang ini untuk menguji apakah ketanggunhan mereka setimpal dengan nama besarnya yang menakutkan, atau cuma bualan kosong saja.”
Sambil tetap duduk di tepi pembaringannya, gadis itu menggerak-gerakkan kedua tangannya melakukan gerakan-gerakan silat. Agaknya tangannya benar-benar sudah gatal-gatal ingin berkelahi. Tidak lama kemudian, seorang pelayan masuk setelah lebih dulu mengetuk pintu. Tangannya membawa nampan berisi semua makanan dan minuman pesanannya tadi.
Setelah meletakkan makanan dan minuman di atas meja, pelayan itu segera hendak pergi. Tetapi gadis itu telah mengeluarkan perak setengah tahil yang di letakkan di atas meja sambil berkata, “Uang ini akan menjadi milikmu apabila kau dapat menjawab beberapa pertanyaanku secara baik.”
Pelayan itu menyeringai memperlihatkan deretan gigi coklat karena terlalu banyak menghisap tembakau. Dengan gerak yang cepat karena sudah terbiasa menerima hadiah, ia menyambar potongan perak tersebut dan memasukkannya ke kantongnya. “Silahkan bertanya, nona,” katanya.
Gadis itu tidak bicara berputar-putar, langsung saja ia mulai bertanya tentang hal-hal yang ingin dia ketahui, “Kau lihat tiga orang yang berbicara keras dan menyebut dirinya Hong-ho-sam-hiong?” dan ketika si pelayan menganggukkan kepala, si gadis lalu melanjutkan, “Nah, mereka menginap di sebelah mana?”
Menurut adat istiadat sangatlah janggal seorang gadis menanyakan di mana tempat laki-laki yang belum dikenalnya. Tetapi pelayan itu cukup paham bahwa gadis yang berada di depannya ini bukanlah gadis sembarangan namun seorang gadis berkepandaian tinggi, urusan yang hendak dibicarakan dengan Hong-ho-sam-hiong pun tentu urusan dunia persilatan yang tidak bisa dicampuri oleh sembarang orang. Karena itu si pelayan dengan tak ambil pusing segera menerangkan bahwa Hong-ho-sam-hiong mengambil sebuah kamar besar di bagian belakang yang sewanya agak murah karena berdekatan dengan istal kuda.
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan bertanya lagi, “Bagus. Kau tentu juga tahu di mana tempat menginapnya lelaki berpakaian abu-abu yang bermuka dingin seperti mayat hidup itu?”
Sahut si pelayan, “Ya, orang yang menyeramkan itu justru menyewa kamar tepat berhadapan dengan kamar ketiga orang kasar itu. Meskipun berhadapan tetapi terpisah oleh sebuah halaman bunga yang agak luas.”
Meskipun si gadis sendiri belum banyak pengalamanya di dunia persilatan, namun dengan cerdik ia dapat menduga bahwa lelaki bertampang seperti mayat hidup itu agaknya sengaja mengawasi ketiga orang jagoan sungai Hong-ho tersebut, dan agaknya diantara mereka “ada urusan”. Tapi dari pihak manakah lelaki bertampang seperti mayat hidup itu? Apakah dari Hwe-liong-pang yang bertugas memburu dan “menyelesaikan” Hong-ho-sam-hiong? Jelas pertanyaan demikian tidak mungkin diajukan kepada si pelayan.
Maka si gadis lalu mengajukan pertanyaan yang lain dalam masalah yang lain pula, “Baiklah, sekarang satu pertanyaan lagi dan setelah itu kau boleh pergi. Apakah kau tahu di kota Kay-hong ini ada seorang sastrawan tua yang bernama Liu-tay-liong? Kalau tahu, dimana tempat tinggalnya?”
“Tak pernah kudengar nama itu,” sahut si pelayan. “Aku memang mengenal beberapa orang she Liu. Ada Liu Sam si tukang sepatu, ada pula Liu Toa-ya yang punya rumah jagal babi, juga Liu...”
“Sudahlah kalau tidak tahu,” potong gadis itu mulai duduk memikirkan beberapa persoalan yang bergalau di dalam kepalanya. Didengar dari pembicaraan Hong-ho-sam-hiong yang sempat dikupingnya tadi, jelaslah bahwa ketiga orang itu sedang diburu oleh orang-orang Hwe-liong-pang, entah karena urusan apa. Sedangkan sikap orang bermuka dingin itu cukup menarik perhatian.
Tadi ketika gadis itu lewat di ruang makan, ia sempat melirik ke pinggang orang itu dan dapat dilihatnya sehelai cambuk baja yang melilit di pinggang orang tersebut. Orang itu pun sempat melirik beberapa kali ke arah Hong-ho-sam-hiong, dan ternyata menyewa kamar di depan ketiganya pula, agaknya bukan tanpa maksud tertentu. Apakah orang bermuka dingin itu adalah suruhan Hwe-liong-pang yang hendak memburu Hong-ho-sam-hiong?
Selain rasa keingian tahu dari si gadis tentang urusan Hwe-liong-pang, ia pun masih mengemban tugas, yaitu mencari sastrawan tua bernama Lu Tay-liong di kota ini untuk menyampaikan surat dari gurunya. Tapi nampaknya orang yang bernama Liu Tay-liong itu cukup sulit untuk dicari. Akhirnya gadis itu merasa bahwa yang penting adalah mengenyangkan perutnya lebih dulu.
Begitu perutnya kenyang, ditambah lagi secawan arak yang terasa menghangatkan urat-uratnya, maka semangat gadis itu pun berkobar kembali dan kelelahannya pun lenyap sebagian. Terdorong oleh keinginannya untuk mengetahui tentang gerombolan Hwe-liong-pang yang sedang menjadi buah bibir orang, maka si gadis memutuskan untuk menemui Hong-ho-sam-hiong hari itu juga dan mencari keterangan yang diperlukan.
Tekadnya sudah bulat, ia akan ikut campur dalam urusan itu, untuk menguji sampai dimana hasil latihan keras ilmu silatnya selama ini. Selain itu ia pun cukup berbesar hati bahwa ia akan mendapat keterangan seperlunya dari ketiga orang tersebut, sebab nampaknya mereka merupakan orang-orang yang bersikap cukup terbuka.
Setelah agak merapikan pakaiannya, gadis itu lalu berjalan menuju tempat Hong-ho-sam-hiong menurut petunjuk pelayan tadi. Tidak sulit menemukan tempat tersebut, sebab dari jarak belasan langkah sudah terdengar suara “sam-te” yang keras itu, diselingi dengan suara dua orang lainnya yang memperingatkannya untuk berhati-hati.
Ketika gadis itu mengetuk pintu, terdengar suara gemerincing senjata-senjata disiapkan, agaknya ketiga jagoan Hong-ho itu begitu was-was sehingga setiap gerakan yang bagaimanapun kecilnya sudah cukup membuat mereka bersiap dengan senjata-senjatanya.
“Siapa?!” terdengar suara bentakan sam-te paling keras.
“Aku ingin bertemu dan berbicara dengan tuan-tuan bertiga, harap tuan-tuan bertiga suka membukakan pintu bagiku,” gadis itu menyahut dengan beraninya.
Ketiga jagoan Hong-ho itu tercengang karena mereka mendengar suara perempuan, apalagi perempuan muda. Sejenak mereka bertiga saling bertukar pandang. “Sam-te‟ yang bersenjatakan sebatang toya besi itu adalah yang paling tidak sabaran, ia sudah melangkah ke pintu namun keburu dicegah oleh toa-ko-nya yang bersenjata sebuah sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas) dan ji-ko-nya yang bersenjatakan sepasang liu-yap-to (golok tipis daun liu).
“Siapa kau? Harap menyebutkan nama,” kata ji-ko yang sifatnya lebih berhati-hati daripada sam-te-nya.
Gadis di luar pintu yang masih hijau dalam dunia persilatan itu menjawab dengan polosnya, “Aku she Tong bernama Wi-lian. Aku ingin berbicara dengan tuan bertiga tentang urusan tuan-tuan dengan Hwe-liong-pang.”
Jawaban yang terlalu langsung tanpa berliku-liku itu ternyata telah menimbulkan salah paham di pihak Hong-ho-sam-hiong. Ibarat bara api yang masih merah, sedikit tiupan saja akan cukup mengobarkan kembali. Sam-te yang pemarah itu langsung menanggapinya sesuai dengan sifat pembawaannya, teriaknya,
“Bagus, bangsat-bangsat Hwe-liong-pang! Ternyata kalian berhasil juga mengejar kami sampai ke tempat ini! Tapi kau kira Hong-ho-sam-hiong akan menyerah begitu saja untuk diperlakukan semau kalian?!”
Gadis itu yang bukan lain dari Tong Wi-lian, anak ke tiga dari Tong Tian, yang baru saja berguru selama dua tahun di Siong-san, sangat terkejut mendengar tanggapan Hong-ho-sam-hiong yang kasar, namun ia pun cukup menyadari bahwa ia telah kesalahan bicara. Terhadap orang-orang yang sedang dalam keadaan perasaan terlalu peka karena terancam bahaya itu, ucapan yang terlalu langsung bisa menimbulkan salah paham.
Ternyata sebelum Wi-lian sempat memberi penjelasan kepada ketiganya, pintu telah terbuka. Dan sam-te yang bertubuh pendek gemuk tetapi gempal telah melompat keluar sambil memutar toya besinya, lalu disodokkan ke ulu hati Wi-lian. Toya besi itu nampaknya cukup berat, namun sam-te ini ternyata mampu menggerakkannya seringan orang memainkan sepotong bambu saja.
Dari sini dapatlah dinilai bahwa orang ketiga dari Hong-ho-sam-hiong ini merupakan seorang jagoan gwa-kang (Tenaga Luar) yang cukup dapat diandalkan. Toa-ko dan ji-ko-nya terkejut melihat adik mereka langsung melakukan serangan yang demikian ganas mematikan. Bagaimana kalau keliru membunuh orang? Tetapi mereka sudah tidak sempat lagi mencegah si sam-te yang pemarah itu.
Ternyata Tong Wi-lian yang sekarang berbeda dengan Tong Wi-lian dua tahun yang lalu. Serangan si pendek dari Hong-ho-sam-hiong itu tidak menyentuh sasarannya sedikitpun, sebab dengan gerakan Yan-cu-hoan-sin (Walet Membalik Badan) tubuh gadis itu telah melayang ke belakang, berputar sekali di udara dan kemudian mendarat di tanah dengan sangat ringannya.
“Harap tuan menyabarkan diri,” Wi-lian masih mencoba bicara. Kepandaian yang dipertontonkan Wi-lian telah mengejutkan Toa-ko dan Ji-ko. Sebagai orang-orang yang tengah terancam bahaya yang sangat ditakuti, mereka mudah berprasangka buruk terhadap orang lain. Begitu melihat gadis itu berkepandaian tinggi, mereka segera menghubungkan jangan-jangan gadis ini utusan Hwe-liong-pang yang ditugaskan untuk memburu dan membantai mereka?
Sebagai orang-orang yang hidup di dunia persilatan yang keras, Hong-ho-sam-hiong cukup kenal semboyan “lebih baik keliru membunuh orang tidak bersalah daripada diri sendiri terbunuh”. Dan melihat si gadis selihai itu, seketika rasa curiga pun timbul. Melihat sam-te gagal dengan serangan pertamanya, si Toa-ko segera berseru kepada Ji-ko, “Turun tangan lebih dulu untuk merebut kedudukan, makin cepat makin baik!” dan ia pun turun tangan lebih dulu dengan menyabetkan sam-ciat-kun-nya ke batok kepala Tong Wi-lian.
Saudara tertua dari Hong-ho-sam-hiong ini adalah seorang yang selama belasan tahun sudah terkenal kegesitannya di sepanjang sungai Hong-ho. Gerakannya yang menubruk sambil mengepruk kepala itupun merupakan salah satu gerakan andalannya yang selama ini jarang meleset dari sasaran. Terhadap seorang gadis muda yang tidak dikenalnya saja si Toa-ko yang bernama Ang Hay-liong ini sampai mengeluarkan jurus kebanggaannya, hal mana menandakan bahwa ia memandang urusaan ini sebagai urusan mati hidup bagi dirinya dan bagi saudara-saudaranya.
Saat itu Wi-lian sedang “menari” dengan lincahnya diantara deru hantaman toya besi si pendek gemuk yang menggebu. Gadis itu menjadi agak terkejut ketika merasa angin menerjang ke arah kepalanya dan tahu-tahu Ang Hay-liong telah menyerang dengan hebatnya.
Cepat gadis itu mengendapkan tubuh dan kepalanya dengan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) sambil meluncur mundur. Gerakan menunduk dan meluncur mundur ini dilakukannya dengan cepat dan rapi tanpa banyak melakukan gerak pendahuluan yang membuang tenaga. Sedetik kemudian ia sudah berada di luar jangkauan senjata lawan-lawannya.
Tiba-tiba dalam diri Wi-lian timbul keinginan untuk menguji sampai di mana kemajuan ilmu silatnya setelah dua tahun berlatih di Siong-san di bawah asuhan tokoh-tokoh Siau-lim-pay. Selama dua tahun ia mendapat gemblengan keras. Lari pagi dengan betis dan pundak dibebani kantong-kantong pasir adalah “sarapan” paginya, menuruni tempat-tempat berbukit dan mendaki lereng-lereng sehingga napasnya hampir putus dan kakinya hampir patah.
Dilanjutkan dengan melakukan jurus-jurus silat sehingga ribuan kali, memukuli kantong-kantong pasir sehingga tangannya yang halus itu kini berubah menjadi berkulit tebal, menusukkan jari-jarinya ke dalam pasir panas, bersemedi semalam suntuk di udara terbuka yang dingin hanya dengan pakaian yang tipis dan berbagai latihan berat lainnya. Dan begitu turun gunung dan tiba di Kay-hong, ia langsung mendapat “bahan ujian” yang baik untuk menguji sampai di mana kemajuannya selama ini.
Maka dengan bersemangat ia segera melayani ketiga lawannya yang garang ini. Dalam pada itu sam-te yang bernama Suma Hun ini telah menyeruduk maju kembali bagaikan kerbau gila. Bahkan kali ini ia dibantu oleh si ji-ko Pang Lun yang menggempur dari samping dengan sepasang golok liu-yap-to-nya yang secepat kilat itu. Sepasang golok milik Yap Lun bergerak demikian cepatnya sehingga bagaikan gumpalan-gumpalan awan yang menutup langit, “beterbangan” di atas kepala lawannya.
Meskipun Pang Lun bukan seorang yang bertenaga raksasa seperti Suma Hun, namun kecepatan dan ketajaman goloknya sedikitpun tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan toya besi Suma Hun yang menggempur bagaikan gelombang samudera. Sedangkan Ang Hay-liong, si Toa-ko, kini tidak ikut menyerang, hanya berdiri dipinggiran sambil bersikap memperhatikan jalannya pertempuran saja.
Diam-diam timbul sepercik rasa malu di hatinya. Apa kata orang kalau sampai mendengar kabar bahwa Hong-ho-sam-hiong yang perkasa itu maju serentak dengan menggunakan senjatanya hanya untuk mengeroyok seorang gadis bertangan kosong? Akhirnya Ang Hay-liong memutuskan bahwa ia hanya akan turun tangan apabila kedua orang adiknya itu sudah tidak dapat mengatasi keadaan.
Perkelahian antara dua laki-laki garang bersenjata melawan seorang gadis cantik bertangan kosong itu ternyata telah menarik perhatian seisi rumah makan merangkap penginapan tersebut. Bahkan orang-orang yang sedang makan di ruang depan pun serempak meluruk ke halaman belakang untuk menyaksikan perkelahian aneh itu.
Tapi kebanyakan para penonton tidak berniat untuk melerai atau ikut campur, sebab mereka tahu bahwa perkelahian itu terjadi antara kaum persilatan. Perkelahian kaum persilatan sudah terlalu biasa terjadi, bisa terjadi hanya karena alasan-alasan yang remeh dan tidak memandang waktu dan tempat.
Di antara para penonton yang paling tertarik perhatiannya adalah si lelaki bermuka mayat yang kamarnya tepat berhadapan dengan kamar Hong-ho-sam-hiong. Ia berdiri memeluk tangan dengan tenangnya di depan pintu sambil memperhatikan jalannya perkelahian.
Perkelahian berlangsung semakin sengit. Tidak percuma Pang Lun dan Suma Hun menjadi terkenal sebagai orang ke dua dan ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong, sebab mereka nampak sangat mahir dengan senjatanya masing-masing. Suma Hun nampak begitu kuat dan dahsyat, setiap gerakan toya besinya menimbulkan deru angin keras yang menakutkan.
Di lain pihak, Pang Lun memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan, sehingga golok tipisnya itu seakan-akan kehilangan bentuknya dan yang kelihatan cuma tinggal cahaya keperakan yang menyambar silang-menyilang bagaikan halilintar cepatnya.
Namun lawan mereka adalah murid Hong-tay Hwesio, tokoh agung dari biara Siau-lim, tokoh yang menduduki urutan kedua dalam deretan “Sepuluh Maha Sakti” di jaman itu. Meskipun Tong Wi-lian hanya sempat berlatih dua tahun di Siong-san, namun cara latihan yang diterapkan atas dirinya telah membuat suatu lompatan panjang dalam kemajuan ilmu silatnya.
Jika pertempuran ini terjadi dua tahun yang lalu, jangan dikata menghadapi keroyokan Suma Hun dan Pang Lun, menghadapi salah seorang saja mungkin Wi-lian akan keok dalam waktu singkat. Masa penggemblengan yang dialami Wi-lian di Siong-san itu tidak sia-sia. Bagi Wi-lian, Hong-tay Hwesio bukan hanya gurunya tetapi seakan-akan menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada.
Selama dua tahun Tong Wi-lian hanya mendapatkan dua macam ilmu silat, yaitu Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) dan Coa-kun (Silat Ular). Dua macam ilmu silat yang tidak memerlukan tenaga besar sehingga cocok buat kaum wanita. Meskipun hanya dua macam ilmu, namun dilatihnya dengan keras dan tidak tanggung-tanggung. Gadis she Tong ini telah melatih jari-jari tangannya sedemikian rupa sehingga dengan merangkapkan jari tengah dan jari telunjuk, ia sanggup melubangi sehelai papan kayu mahoni hanya dengan sekali tusuk!
Tidak mengherankan kalau Pang Lun dan Suma Hun yang telah mengerahkan tenaga itu masih belum dapat mengalahkan Wi-lian. Bahkan kadang-kadang kedua orang tokoh Hong-ho-sam-hiong itulah yang harus berlompatan mundur dengan gugupnya manakala si gadis melancarkan serangan beruntun yang terarah dengan ujung-ujung jari tangannya.
Orang ke dua dan ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong ini jadi makin penasaran. Mereka berdua dan memegang senjata ternyata masih belum mampu mengalahkan seorang gadis bertangan kosong, bahkan diri merekalah yang mulai terdesak! Sekali lagi keduanya mengerahkan semangat dan kemampuan mereka. Sepasang golok di tangan Pang Lun mengeluarkan suara mendesis-desis mengerikan, diselingi dengan bentakan-bentakan mengelegar dari mulut Suma Hun yang seakan-akan hendak merontokkan bumi.
Tapi itu semua tidak banyak menolong. Tong Wi-lian yang semakin bersemangat setelah merasakan sendiri kemajuan ilmu silatnya, kini bukan hanya bertahan tapi juga mulai balas menyerang. Biarpun serangan-serangannya hanya menggunakan tangan dan kaki, tapi lawan-lawannya menyadari bahwa serangan-serangan gadis itu cukup berbahaya.
Tiba-tiba Tong Wi-lian bersuit nyaring dengan menggunakan ilmu Liong-ling-kang (Ilmu Jerit Naga) yang beralaskan tenaga dalam aliran Hud-bun (Perguruan Buddha) yang murni. Dengan latihan tenaga dalam yang terpupuk baik, suitan tersebut ternyata mampu menindih perbawa bentakan-bentakan Suma Hun.
Beberapa penonton segera mendekap telinga mereka erat-erat karena telinganya bagaikan mendenging oleh ketajaman suara suitan tersebut. Bahkan tamu bermuka dingin pun menekan dadanya dengan telapak tangan sambil berdesis, “Bukan main gadis ini.”
Jika para penonton saja merasakan akibat dari suara suitan Wi-lian, apalagi Pang Lun dan Suma Hun yang berhadapan secara langsung. Keduanya merasakan telinga mereka bagai mendenging keras dan serasa kepala hendak pecah. Semangat tempur mereka seketika runtuh dan gerak silat mereka pun menjadi kacau, apa boleh buat, mereka pun berlompatan mundur. Sedang Ang Hay-liong yang berdiri di luar gelanggang itupun cepat-cepat mengerahkan semangat untuk menentramkan jantungnya yang bergoncang keras akibat suara suitan tersebut.
Wi-lian ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Lebih dulu ia merangsek ke arah Pang Lun yang langkahnya masih gontai akibat suara suitan. Sepasang kaki Wi-lian lalu melancarkan tendangan berantai ke arah pergelangan tangan Pang Lun yang memegang senjata, dan sepasang golok Liu-yap-to orang she Pang itupun terbanglah keudara.
Suma Hun terkesiap arena mengira kakak ke duanya tertimpa bahaya. Dengan menggertak gigi ia menyerobot maju dan menyapukan toya besinya dalam jurus Thio-so-heng-kang (Rantai Besi Melintang di Sungai). Bersamaan dengan itu, Ang Hay-liong juga telah melompat ke tengah lapangan, langsung menghantamkan sam-ciat-kun-nya ke pinggang Wi-lian.
Sekali lagi gadis murid Siau-lim-pay tersebut memekik nyaring, tapi kali ini tanpa landasan ilmu Liong-ling-kang-nya. Tubuhnya melompat ke atas, telapak tangan kanan menghantam ke arah Ang Hay-liong dan telapak tangan kiri menghantam toya besi Suma Hun, kedua gerakan tersebut dilakukan dari atas udara.
Ang Hay-liong yang tengah dalam keadaan melompat menjadi sangat terkejut ketika merasakan sebuah tenaga pukulan hebat menekan dadanya. Diam-diam tokoh utama Hong-ho-sam-hiong itu juga merasa heran kenapa gadis semuda itu sudah memiliki tingkat lwe-kang (Tenaga Dalam) yang cukup dapat diandalkan?
Cepat Ang Hay-liong menggeliatkan badannya di tengah udara, serangan Wi-lian pun luput dan hanya lewat sejengkal dari kepalanya, tetapi serangan ruyung Ang Hay-liong juga luput dan menjadi kacau.
Pukulan telapak tangan Wi-lian yang luput itu mengenai sebuah dahan pohon sebesar lengan yang tumbuh agak menjorok ke tengah halaman, dan seketika dahan tersebut patah terkena hantaman si gadis!
Ang Hay-liong yang baru saja lolos dari serangan hebat itu kini berdiri melongo dengan punggung basah oleh keringat dingin. Sementara itu, Suma Hun pun agak heran melihat gadis itu berani menepuk toya besinya yang tengah dihantamkan dengan seluruh kekuatan. Apakah gadis ini sudah tidak sayang kepada tangannya lagi?
Tapi keheranannya segera berubah menjadi kekagetan luar biasa, sebab tiba-tiba dirasanya seluruh tenaga yang dikerahkannya telah “terseret” dan lenyap, bagai sebuah batu besar yang dilemparkan ke dalam kubangan lumpur. Betapapun dahsyatnya daya rusak batu tersebut namun kubangan lumpur dapat menerimanya tanpa kurang suatu apapun. Suma Hun menjadi sangat penasaran, masakan dia, tokoh ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong yang menggetarkan itu akan dikalahkan oleh seorang gadis yang tak terkenal? Cepat ia mengerahkan tenaga untuk merenggut toya besinya.
Namun Wi-lian bertempur bukan hanya dengan tenaga saja tapi juga dengan otak, ia justru telah melepaskan tekanannya ketika Suma Hun menarik tongkatnya, maka tak ampun lagi orang ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong itu terjatuh sendiri. Hampir saja toya besinya menghantam kepalanya sendiri, untung Suma Hun masih dapat menguasainya.
Sementara itu, Ang Hay-liong telah menjadi masygul bukan main karena Hong-ho-sam-hiong yang selama ini cukup ditakuti, kini tidak berdaya apa-apa dalam menghadapi gadis yang sama sekali belum terkenal ini. Namun Ang Hay-liong pun bukan seorang pengecut. Dengan sikap siap untuk mengadu jiwa, ia telah melangkah masuk kembali ke gelanggang pertempuran.
Tong Wi-lian merasa bahwa kesalah pahaman ini tidak boleh berkelanjutan. Maka cepat gadis itu melompat mundur sambil berseru, “Tahan! Kalian telah salah paham! Aku bukan orang Hwe-liong-pang!"
Sejenak Ang Hay-liong tertegun mendengar seruan si gadis. Ketika dilihatnya kedua kawannya ternyata tidak menderita luka apapun, maka kemarahannya menjadi reda. Meskipun begitu suaranya masih saja cukup garang, “Lalu dari pihak mana sebetulnya kau? Kenapa tadi kau tidak mengatakannya?”
Wi-lian tidak segera menjawab pertanyaan yang bersifat menyalahkan tersebut. Lebih dulu Wi-lian berkata kepada Suma Hun, “Tuan, lain kali jika hendak turun tangan kepada seseorang hendaknya dipikir masak-masak lebih dulu, jangan mengandalkan dan main terjang saja. Jika aku kurang dapat membela diri, bukankah saat ini aku telah menjadi mayat dengan tulang-tulang remuk?”
Suma Hun jadi salah tingkah dan tidak mampu menjawab teguran si gadis. Mulutnya ingin membantah, namun kenyataannya memang dia yang bersalah, dialah yang langsung menyerang saja tanpa menyelidiki lebih jelas dulu. Ia hanya angguk-anggukkan kepalanya dengan sikap agak ketolol-tololan. Ketika ia hendak memungut toya besi yang tergeletak di sampingnya, terkesiaplah Suma Hun.
Dilihatnya bagian toya yang tadi dihantam telapak tangan si gadis kini telah agak melengkung, tidak begitu lurus lagi! Seketika meremanglah bulu tengkuk Suma Hun. Begitu hebat pukulan gadis itu, bagaimana kalau pukulan tersebut mengenai batok kepalanya atau tulang lehernya? Bukankah gadis itu tadi sebenarnya punya banyak kesempatan untuk membunuhnya?
Ang Hay-liog pun kini telah menyadari betapa lihai gadis di depannya itu. Ia tahu, jika mau, gadis itu dapat membunuh Hong-ho-sam-hiong bertiga sekaligus. Namun ternyata gadis itu tidak melakukannya, hal mana menandakan bahwa gadis itu sebenarnya tidak berniat bermusuhan dengannya dan saudara-saudaranya.
Setelah melampiaskan kemendongkolannya kepada Suma Hun, lalu Wi-lian berkata dengan nada yang lebih lunak, “Tanpa berkelahi mungkin kita tidak akan saling mengenal. Harap kalian bertiga pun memaafkan kelakuanku yang kurang adat tadi dan tidak membuat kalian jadi berkecil hati.”
Lalu lebih dulu W-lian menjura ke arah ketiga orang bekas lawannya, yang dibalas oleh ketiganya dengan agak tersipu-sipu. “Kami juga mohon maaf atas kebodohan kami yang telah menuduh nona secara sembarangan dan bertindak tanpa pikir panjang,” sahut Ang Hay-liong mewakili kedua saudaranya. “Mohon bertanya, nona dari perguran mana dan siapakah guru nona yang terhormat?”
Wi-lian tersenyum dan menyahut, “Tadi aku hanya menyebutkan namaku tapi lupa menyebutkan dari mana perguruanku, sehingga membuat tuan-tuan salah paham. Nah, kini kujelaskan bahwa aku adalah murid Siau-lim-pay, guruku adalah rahib Hong-tay di Siong- san.”
Wajah Hong-ho-sam-hiong segera berubah hebat begitu mendengar disebutnya nama Rahib Hong-tay yang termasyhur. Sekali lagi Ang Hay-liong menjura dengan hormat sambil berkata, “Kiranya nona adalah murid adri rahib sakti yang tersohor bagaikan dewa itu. Kami benar-benar bermata buta dan tidak tahu diri sehingga berani melawan nona. Sekali lagi maafkan kami.”
Pada jaman itu, nama Hong-tay Hwesio memang sangat terkenal. Diantara deretan nama sepuluh tokoh yang dianggap paling sakti di jaman itu, nama Rahib Hong-tay menduduki urutan ke dua, hanya setingkat di bawah nama Tiam-jong-lo-sia (Si Sesat Tua dari Tiam-jong-san) Ang Huan yang berdiam di gunung Tiam-jong-san di wilayah In-lam. Tidaklah mengherankan kalau Ang Hay-liong bertiga menjadi bersikap sangat menghormat begitu mengetahui bahwa Wi-lian adalah murid rahib sakti yang suka berkelana itu.
“Pantas nona dapat mempermainkan kami seperti mempermainkan tiga ekor tikus saja,” Ang Hay-liong memuji. Kemudian orang tertua Hong-ho-sam-hiong itupun memperkenalkan dirinya sendiri, dan juga kedua orang saudara angkatnya.
Meskipun hatinya senang karena dipuji, tapi Wi-lian merendahkan diri, katanya, “Janganlah terlalu memujiku. Aku masih hijau dalam pengalaman dunia persilatan, masih memerlukan petunjuk tuan-tuan yang lebih berpengalaman.”
Sikap yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri itu telah menggoreskan kesan baik di hati Hong-ho-sam-hiong. Kata Ang Hay-liong sambil tertawa, “Ha-ha-ha, baru saja kami bertiga dibuat jungkir balik olehmu, bagaimana sekarang nona bilang hendak meminta petunjuk kami?”
Sedangkan Suma Hun biarpun seorang yang bersikap kasar dan pemarah, tapi juga punya sifat-sifat jujur dan terbuka. Ia ikut menimbrung pula, “Selama ini aku mengagulkan kekuatan tanganku yang kukira tiada tandingan, namun hari ini terbukalah mataku bahwa di hadapan nona Tong aku tidak lebih dari seekor kerbau gila yang tidak berotak sama sekali. Untung tadi nona Tong tidak menurunkan tangan secara sungguh-sungguh. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah berkumpul dengan leluhur marga Suma di alam baka. Ha-ha-ha...”
Demikianlah, setelah salah paham dapat dibereskan, maka kedua belah pihak dengan cepat menjadi akrab. Ang Hay-liong segera mempersilahkan Wi-lian untuk duduk di dalam, agar dapat berbincang-bincang lebih leluasa lagi.
Dalam pada itu, si tamu bermuka dingin yang menginap di depan kamar Hong-ho-sam-hiong itu menjadi kurang senang ketika melihat Tong Wi-lian telah menjadi rukun dengan Hong-ho-sam-hiong. Sambil menutup pintu kamarnya, ia menggerutu seorang diri, “Benar-benar keparat! Kalau sampai gadis itu bergabung dengan ketiga tikus itu, maka pekerjaanku malam ini benar-benar akan mengalami hambatan yang tidak ringan. Barangkali terpaksa harus minta bantuan Kwa-heng.”
Tiba-tiba timbullah niat orang itu untuk mencoba menguping pembicaraan antara si gadis dengan Hong-ho-sam-hiong. “Namun aku harus sangat berhati-hati, sebab gadis itu benar-benar bukan main lihainya meskipun ia masih hijau dalam hal pengalaman dunia persilatan,” kata orang tersebut memperingatkan dirinya sendiri.
Sementara itu Wi-lian dan Hong-ho-sam-hiong telah duduk di dalam ruangan. Sengaja semua jendela dibuka lebar-lebar agar supaya jika ada orang yang mencoba mengintip pembicaraan, akan dapat diketahui dengan cepat. Ang Hay-liong membuka pembicaraan,
“Nona, apakah sebenarnya maksud nona yang menghubungi kami untuk membicarakan urusan dengan Hwe-liong-pang itu?”
Tanpa berbelit-belit lagi Wi-lian segera bicara langsung ke pokok persoalan, “Aku sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya sedikitpun dengan gerombolan yang menamakan diri Hwe-liong-pang itu. Namun di sepanjang jalan aku mendengar orang membicarakan gerombolan itu melulu, ada yang memuji setinggi langit seperti memuja malaikat, ada yang mengutuk dan ketakutan setengah mati seperti berhadapan dengan iblis saja. Aku menjadi penasaran, apakah orang-orang Hwe-liong-pang ini berkepala tiga dan bertangan enam? Aku langsung mencari kalian sebab tanpa sengaja kudengar percakapan kalian tadi, katanya kalian sedang ada urusan dengan Hwe-liong-pang, apa betul?”
Ketiga tokoh Hong-ho-sam-hiong jadi melongo heran mendengar ucapan si gadis yang membicarakan Hwe-liong-pang dengan nada seenaknya itu. Jika orang lain sebisa-bisanya menghindarkan diri agar jangan sampai terbit urusan dengan pihak Hwe-liong-pang, tapi gadis itu sebaliknya malah ingin mencari urusan dengan mereka. Diam-diam Ang Hay-liong membatin dalam hatinya,
“Memang betul pepatah yang mengatakan bahwa anak kambing yang baru dilahirkan tidak takut kepada harimau. Bocah inipun benar-benar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Dikiranya Hwe-liong-pang dapat dihadapi melulu dengan ilmu silat yang tinggi. Ia belum tahu bahwa orang-rang Hwe- liong-pang bisa berbuat berbagai macam kelicikan, bahkan mahir pula bermain-main dengan segala jenis racun.”
Namun Ang Hay-liong tidak mengutarakan perasaannya, ia hanya bertanya dengan halus, “Maksud nona yang sebenarnya bagaimana?”
Ketika Wi-kian hendak menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja kening gadis itu berkerut, dan ia nampak memiringkan kepala untuk mengerahkan pendengarannya. Mendadak Wi-lian bangkit dari tempat duduk sambil berkata dengan suara tertahan, “Ada orang yang mencuri dengar pembicaraan kita!”
Ang Hay-liong dan saudara-saudaranya terkejut. Orang yang berhasil mendekati tempat itu sampai tidak diketahui oleh mereka, tentunya adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Sementara itu Tong Wi-lian telah melompat keluar lewat jendela dengan tangkasnya. Diam-diam Hong-ho-sam-hiong membatin, menilik gerakan gadis itu cukup cepat, maka tidak bisa tidak, si penguping itu pasti tidak akan sempat meloloskan diri.
Tak terduka orang yang menguping pembicaraan itupun ternyata cukup tangkas dalam menghadapi perubahan keadaan. Begitu merasa bahwa jejaknya sudah diketahui lawan, ia secepat kilat melompat pergi. Ketika Wi-lian tiba di luar jendela, maka gadis itu hanya sempat melihat sesosok bayangan manusia berpakaian abu-abu bergerak sangat cepat menyelinap ke sebuah lorong berbau busuk yang letaknya berdekatan dengan tempat buag air besar.
Tanpa menghiraukan bau busuk yang menusuk hidung, Wi-lian memburu ke tempat itu, namun bayangan yang diburunya memiliki gerakan tubuh yang tidak kalah dengan dirinya sendiri. Apalagi karena orang itu menang waktu, sebab ketika hendak melompat keluar tadi, si gadis sudah bersuara memperingatkan lebih dulu.
Dengan masih penasaran, Wi-lian celingukan di lorong busuk itu. Tiba-tiba salah satu pintu dari tempat buang air besar itu terbuka dari dalam, lalu si lelaki berbaju abu-abu dan bermuka dingin itu muncul dari dalam sambil masih memegangi celananya. Begitu melihat Wi-lian celingukan di situ, orang itu tertawa kaku dan berkata,
”Oh, apakah nona juga sakit perut? Tetapi agaknya nona salah jalan. Tempat ini untuk kaum pria, sedangkan untuk kaum wanita yang letaknya di dekat kebun sayur itu.”
Keruan muka Wi-lian jadi merah karena malunya, namun bersamaan dengan itu muncul kecurigaannya kepada orang ini. Ada dugaan kuat bahwa si penguping pembicaraan tadi adalah orang ini. Kalau tidak, kenapa orang ini bisa menghilang begitu cepat di tempat ini, padahal di sini tidak ada tempat yang bisa dijadikan persembunyian secara baik? Apalagi Wi-lian mendapat kesan bahwa manusia bermuka mayat ini bukan manusia sembarangan.
Tetapi tanpa mendapat bukti- bukti yang kuat, Wi-lian tidak dapat menuduh sembarangan. Tanpa menggubris pertanyaan orang itu, Wi-lian segera melangkah balik ke tempat Hong-ho-sam-hiong bertiga untuk meneruskan pembicaraan yang tertunda tadi. Tapi diam-diam ia mencatat dalam hatinya,
“Ternyata di tempat ini ada seorang yang berkepandaian cukup tinggi, seseorang yang benar-benar patut diperhitungkan kehadirannya. Jelas orang itu punya kepentingan, sebab ternyata ia menguping pembicaraan kami. Kemungkinan besar dialah orang Hwe-liong-pang yang ditugaskan untuk memburu dan membunuh Hong-ho-sam-hiong.”
* * * * * * *
Ketika gadis itu telah berada kembali bersama Hong-ho-sam-hiong, nampaklah ketiga jagoan Hong-ho-sam-hiong itu masih bersiap sedia dengan senjata terhunus. Pada wajah mereka jelas tertera ketegangan yang menekan perasaan mereka. Mereka menunjukkan perasaan lega ketika melihat munculnya Wi-lian kembali.
Ketiga jagoan yang ditakuti itu kini seperti tiga orang anak-anak yang cemas ketika ibunya pergi, dan ketika ketika melihat sang ibu datang kembali. Mereka jadi mrip tiga orang anak yang tidak berdaya mengatasi kawan-kawannya yang nakal, dan terpaksa sangat mengandalkan bantuan ibu mereka. Begitu Wi-lian datang, pandangan mata mereka seakan bertanya,
“Siapakah orang yang mengintip itu? Apakah ada hubunganya dengan Hwe-liong-pang? Di manakah dia sekarang?”
Wi-lian dapat menangkap perasaan mereka bertiga, diam-diam timbul rasa kasihannya melihat sikap ketiganya tersebut. Untuk tidak menimbulkan kecemasan Hong-ho-sam-hiong, Wi-lian berkata dengan nada agak sedikit menghibur, “Cuma seorang cecunguk yang berkepandaian agak lumayan. Agaknya ia mengira kita membawa barang berharga supaya bisa disambarnya. Aku sudah tahu orangnya, namun karena kekurangan bukti, aku tidak dapat menangkapnya.”
Ketiga orang Hong-ho-sam-hiong itu tidak percaya sepenuhnya akan jawaban itu, maka mereka hanya dapat saling bertukar pandang. Mereka punya jalan pikiran yang sama, “Gadis yang masih hijau dalam pengalaman dan kerasnya hidup dunia persilatan ini mana bisa diharapkan bantuannya untuk menghadapi Hwe-liong-pang?”
Rata-rata golongan liok-lim (Rimba Hijau) termasuk Hong-ho-sam-hiong, berpendapat bahwa “turun tangan lebih dulu akan menang dan tidak menghiraukan apakah keliru bertindak atau tidak, pokoknya diri sendiri sudah tenteram lebih dulu.” Tapi jika menurut Wi-lian, untuk menangkap orang dan menanyainya saja harus menunggu bukti dan tetek bengek lainnya, sudah tentu jalan pikiran semacam ini kurang cocok dengan jalan pikiran Hong-ho-sam-hiong.
“Kenapa dibiarkan lolos?” kata Suma Hun dengan suara agak penasaran. Katanya pula, “Kita adalah kaum persilatan yang setiap saat bergelut di ujung pedang, jika tindakan kita selalu kurang tegas dan bertele-tele, boleh jadi nyawa kita sudah melayang sejak dulu....”
Selanjutnya;