Perserikatan Naga Api Jilid 11
ALIS Wi-lian berkerut mendengar pendirian semacam itu. sahutnya, “Meskipun aku masih hijau dalam pengalaman, tapi hati nuraniku melarang untuk bertindak tanpa alasan yang kuat, apalagi sampai mencelakakan orang lain yang mungkin tidak bersalah.”
Suma Hun terpaksa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Selama hidupnya yang penuh petualangan, baru kali inilah ia mendengar tentang persoalan “hati nurani” diikut sertakan dalam tindakan-tindakan kaum persilatan. Hal itu terdengar sangat janggal bagi Hong-ho-sam-hiong yang hampir seluruh hidupnya dilewati dengan bergulat di ujung senjata, penuh dengan kekerasan dan mengalirnya darah. Namun tidak ada yang membantah kata-kata Wi-lian tersebut.
Sementara itu Pang Lun bertanya pula, “Tadi nona Tong mengatakan „sudah tahu siapa orangnya‟ Dapatkah nona mengatakan kepada kami?”
Wi-lian merenung sejenak sebelum menjawab. Gadis itu agak ragu- ragu untuk langsung menunjuk kepada orang bermuka mayat. Ia sudah tahu akan watan Suma Hun yang berangasan. Jika ia memberitahukan tentang orang itu, maka tidak mustahil Suma Hun akan langsung menyerbu ke tempat orang itu. Hal itu sama saja dengan “mengusik rumput mengagetkan ular”, sehingga rencana Wi-lian untuk memancing munculnya orang-orang Hwe-liong-pang lebih banyak lagi akan gagal.
Dengan pertimbangan tersebut, akhirnya gadis itu menjawab juga tetapi secara samar dan tidak jelas, “Aku memang pernah melihat orang itu ketika aku pertama kali memasuki kota Kay-hong, namun aku tidak tahu lagi di mana dia sekarang. Dan lagi pula nampaknya orang itu bukan seorang yang terlalu berbahaya.”
Sahutan itu membuat ketiga orang tokoh Honh-ho-sam-hiong itu tidak banyak bertanya lagi. Sementara itu Wi-lian mulai dengan pokok persoalan yang sangat ingin diketahuinya, “Kita lupakan orang tadi. Sekarang, bolehkah aku mengetahui urusan apa yang terjadi antara kalian dengan Hwe-liong-pang? Barangkali aku bisa membantu?”
Dalam pikiran Ang Hay-liong yang cerdik segera timbul akal untuk menarik gadis she Tong ini agar berpihak kepadanya. Mungkin gadis ini memang hijau dalam pengalaman, tapi bukankah menurut pengakuan gadis ini adalah murid rahib Siau-lim-pay, bahkan murid rahib Hong-tay yang bernama besar? Jika bisa mendapat perlindungan dari suatu golongan sekuat Siau-lim-pay, betapapun terasa lebih baik daripada diburu-buru ke sana ke mari oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
Maka mulailah Ang Hay-liong bercerita, “Kalau hal ini dibicarakan sesungguhnya sangat memalukan. Kami yang sering menepuk dada sebagai jagoan, sekarang dipaksa terbirit-birit meninggalkan tempat kami sampai kabur ke Kay-hong ini.”
Tong Wi-lian memperhatikan cerita orang itu dengan seksama. Dulunya Hong-ho-sam-hiong ini merupakan pentolan yang cukup ternama di kalangan liok-lim (rimba hijau, dunia kejahatan). Ang Hay-liong adalah bekas seorang begal ternak di daerah Shoa-tang, sedangkan Pang Lun dan Suma Hun berasal dari daerah barat laut, yaitu dari Hun-lam, yang pekerjaannya juga tidak banyak berbeda dengan Ang Hay-liong.
Suatu ketika, ketiga orang ini saling bertemu, saling merasa cocok satu sama lain, dan akhirnya mengangkat saudara. Karena modal yang mereka dapatkan dari hasil merampok itu sudah cukup banyak, mereka memutuskan untuk berhenti sebagai petualang, dan memulai hidup sebagai orang “terhormat”.
Ketiganya akhirnya menjadi orang yang sangat berpengaruh di kalangan bajak di sepanjang sungai Hong-ho. Meskipun mereka sendiri sudah tidak pernah turun tangan secara langsung, tapi mereka menjadi semacam “pelindung” bagi kawanan bajak, sebaliknya kawanan bajak itupun menyerahkan hasil kerja mereka kepada ketiganya ini. Mereka hidup di sebuah desa kecil bernama Pek-hoa-tin yang terletak di tepi sungai, kira-kira duaratus li sebelah timur Kay-hong.
Meskipun ketiganya tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan kaum liok-lim, namun sering juga mereka “gatal tangan” dan mempertontonkan kepandaian mereka. Misalnya, suatu hari ada seekor kerbau gila mengamuk di desa Pek-hoa-tin, maka Suma Hun menaklukkan dan memukul mampus kerbau itu hanya dengan kedua tangannya. Dengan demikian nama ketiganya menjadi terkenal.
Sayang, ketenaran itu pulalah yang mengundang malapetaka buat mereka. Sejak gerombolan yang menamakan diri Hwe-liong-pang muncul di dunia persilatan, maka hati setiap orang dunia persilatan sudah jauh dari rasa tenteram. Tidak jarang terdengar berita bahwa orang-orang Hwe-liong-pang itu gemar menaklukkan para jagoan liok-lim yang berpengaruh di daerahnya masing-masing, dan kemudian dijadikan bawahan Hwe-liong-pang.
Dan pada suatu hari, Hong-ho-sam-hiong menerima gilirannya. Pada suatu hari, ketika pelayan rumah Ang Hay-liong membuka pintu gerbang rumah majikannya, si pelayan menemukan sehelai panji kecil tertancap di tembok depan. Panji itu cuma sehelai kain segi tiga berwarna merah darah, bersulam gambar seekor naga yang menyala seluruh tubuhnya (Naga Api). Dan pada daun pintu terukirlah deretan huruf-huruf:
“Dalam waktu sepuluh hari, Hong-ho-sam-hiong dan seluruh daerah pengaruhnya harus secara terbuka menyatakan masuk ke dalam Hwe-liong-pang, dan bersumpah setia kepada Hwe-liong-pang-cu (Ketua Perkumpulan Naga Api). Jika mengabaikan perintah suci ini, Hong-ho- sam-jiong akan ditumpas habis sekeluarga.”
Ukiran di atas daun pintu itu nampaknya diukir dengan jari tangan, padahal pintu gerbang rumah Ang Hay-liong itu terbuat dari kayu jati Lam-yang yang terkenal keras bukan main. Maka jelaslah bahwa orang yang mampu mengukir jari tangannya di atas daun pintu tersebut merupakan seorang lihay luar biasa. Hampir sepanjang umurnya, Hong-ho-sam-hiong hanya kenal menggertak dan menekan orang lain.
Namun kali ini gantian mereka yang digertak dan diancam, tentu saja hal ini sulit diterima oleh ketiga jagoan tersebut. Mereka lalu berunding untuk mengatasi hal ini. Suma Hun yang berangasan telah mengusulkan untuk bertempur mati-matian melawan Hwe-liong-pang, kalau perlu dengan mengerahkan seluruh gerombolan bajak sepanjang sungai Hong-ho yang ada di bawah pengaruh mereka.
Namun Ang Hay-liong menolak usul tersebut. Apa artinya bajak-bajak kecil itu meskipun jumlahnya banyak, jika dibandingkan dengan gembong-gembong Hwe-liong-pang? Meskipun bajak-bajak itu cukup garang jika menakut-nakuti korban mereka, namun mereka jelas tidak akan dapat berkutik jika dihadapkan kepada seseorang yang telah mampu mengukir jarinya di atas papan pintu rumah Ang Hay-liong itu.
Sedangkan Pang Lun berpendapat lain lagi. Ia berkata tidak ada salahnya bergabung dengan Hwe-liong-pang. Mereka toh adalah bekas penjahat, tidak ada halangannya kalau kembali ke dunia lama. Demikianlah perbedaan tajam muncul antara orang ke dua dengan orang ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong itu. Akhirnya Ang Hay-liong lah yang menemukan usul yang dapat diterima oleh kedua rekannya, sebuah usul yang lebih tepat merupakan jalan tengah di antara kedua usul terdahulu.
Yaitu mengungsi ke tempat guru Ang Hay-liong yang berdiam di Ki-lian-san, sedang anggota keluarga mereka untuk sementara akan dititipkan kepada sahabat mereka yang bernama Ho Tian, yang juga merupakan salah seorang tokoh liok-lim yang cukup berpengaruh di tepian Hong-ho. Kelak jika keadaan sudah aman, mereka akan menjemput anak istri mereka untuk kembali ke tempat semula.
Usul Ang Hay-liong ini kemudian disetujui. Betapapun juga Hong-ho-sam-hiong sudah merasakan betapa nikmatnya hidup tenteram berkelimpahan harta dan kekuasaan, mana mau mereka balik kembali ke dunia hitam di mana setiap saat nyawa mereka terancam?
Tong Wi-lian mendengarkan cerita Ang Hay-liong itu dengan beberapa kali mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam ia menilai bahwa Hong-ho-sam-liong cukup jujur juga karena mau menceritakan masa silam mereka yang kurang terhormat. Selain itu timbul pula ketidak-senangannya mendengar tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang suka memaksakan kehendak kepada orang lain dengan sewenang- wenang.
“Siapa Ho Tian itu? Dapatkah ia dipercaya?” tanya Wi-lian.
Ang Hay-liong menjawab, “Dia adalah bekas rekanku sejak bekerja tanpa modal dulu. Saat ini, meskipun Ho Tian masih menjalankan pekerjaan lama, tapi sasarannya hanya memilih kepada kaum kaya yang mendapatkan kekayaannya dengan memeras rakyat. Sarangnya di bukit Ceng-seng-nia dan anak buahnya ada ratusan orang. Kukira keluarga kami akan aman di sana.”
Alis Wi-lian agak berkerut ketika mendengar tentang “pekerjaan” Ho Tian. Betapapun juga timbul rasa kurang sesuai dalam diri gadis itu jika harus bergaul dengan orang-orang semacam itu.
Melihat perubahan muka gadis itu, buru-buru Ang Hay-liong menambah penjelasannya, “Kudengar Ho Tian tidak pernah membegal pedagang kecil, bahkan pedagang kaya pun asal ia jujur tidak akan dibegalnya. Sasarannya lebih banyak kepada kaum pembesar yang perutnya gendut karena menghisap darah rakyat. Kekayaan mereka berlimpah, jika diambil seribu atau duaribu tahil saja belum terasa apa- apa. Sedang uang sebesar itu akan sangat berarti bagi saudara-saudara kami yang hidup dengan mengandalkan ramainya lalu lintas sungai Hong-ho.”
Tong Wi-lian tidak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut. Kalau perdebatan itu dilanjutkan, mungkin tiga hari tiga malam pun tidak akan selesai. Sudah umum, bahwa orang-orang yang menjalankan pekerjaan yang paling buruk pun akan punya segudang alasan untuk membenarkan pekerjaannya tersebut.
Ketika itu matahari sudah agak condong ke sebelah barat. Akhirnya Wi-lian mengundurkan diri dan mengucapkan terima kasih kepada Hong-ho-sam-liong yang telah memberi keterangan itu. terdorong oleh rasa tidak senangnya kepada Hwe-liong-pang, maka gadis itu bahkan berani menjanjikan,
“Kami, murid-murid Siau-lim-pay paling benci melihat kesewenang-wenangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Hwe-liong-pang. Urusan sam-wi (tuan bertiga) dengan Hwe-liong-pang bagaimanapun juga aku harus ikut campur. Sekarang baiklah kita masing-masing akan berpisah dan beristirahat.”
Ketiga Hong-ho-sam-hiong itupun berdiri dan mengucapkan terima kasih kepada Wi-lian yang sudi berbagi nasib dengan mereka.
Matahari perlahan mulai turun ke barat dan kegelapan pun mulai turun menyungkup bumi bagaikan sehelai selimut raksasa berwarna kelam. Senja lewat dan berganti dengan malam, ternyata senja itu tidak ada apapun yang terjadi. Bola bumi terus berputar dan malampun terus menukik menuju ke kedalamannya.
Kota Kay-hong dalam keadaan dingin mencekam, penduduknya telah tertidur dalam kehangatan rumah masing-masing. Yang masih berkeliaran di luar rumah hanyalah para peronda yang menjalankan tugas tetapnya dengan rasa jemu, dengan langkah segan mereka mengelilingi kota sambil sekali-sekali membunyikan gembreng.
Rumah penginapan tempat menginapnya Hong-ho-sam-hiong itupun keadaannya sama gelapnya dengan keadaan kota Kay-hong umumnya. Kamar lelaki berbaju abu-abu dan bermuka mayat itu nampak gelap gulita dan ternyata kosong! Dalam kegelapan sepintas lalu memang nampak ada sesosok tubuh meringkuk di atas pembaringan. Namun itu hanyalah tipuan yang lazim dijalankan oleh orang-orang dunia persilatan untuk mengelabuhi orang yang mengintai ke dalam kamar.
Si muka dingin itu ternyata sudah berada di luar kamarnya. Dengan berpakaian ringkas berwarna hitam, ia tengah berjalan mengendap-endap mendekati jendela kamar tidur dari si pengurus penginapan yang bongkok itu. Setibanya di dekat jendela, lebih dulu ia menengok ke kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa perbuatannya itu tidak diawasi orang. Ternyata ia merasa aman. Lalu diketuknya daun jendela itu dengan irama tertentu, dan diulanginya beberapa kali.
Pengurus rumah makan yang bongkok dan tua itu terkejut mendengar ketukan itu, ia terjaga dari tidurnya dan mendengarkan baik-baik irama ketukan itu. Wajahnya nampak agak tegang. Lalu dengan suara tertahan ia berkata, “Siapa?”
Orang bermuka mayat yang di luar jendela itu menjawab, meskipun dengan suara lirih namun cukup terdengar dari dalam, “Ang-ki-tong (Ruang/ kelompok Panji Merah), Hu-tong-cu (wakil kepala kelompok), Lam-thian-hwe-liong (Naga Api di Langit Selatan).”
Si bongkok pengurus penginapan itu mengerutkan alisnya katanya dengan kata-kata sandi, “Wibawa Hwe-liong-pang-cu menudungi matahari...”
Sahut si muka dingin dari luar, “...menutup rembulan. Ang-ki-hu-tong-cu Tan Han-ciang mohon diijinkan menghadap kepada Ui-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Panji Kuning).”
Si bongkok nampak tersenyum kecut. Sambil menggerutu ia menyalakan sebatang lilin untuk menerangi kamarnya, setelah itu dengan sikap malas barulah ia membuka jendela dan berkata, “Maaf, kau harus melompat lewat jendela, saudara Tan, silahkan masuk.”
Si muka mayat cepat melompat masuk dengan gerakan yang ringan dan cepat, menandakan tingkat ilmu silatnya tidak bisa dianggap ringan. Ruyung baja itu masih terlilit di pinggangnya. Si pengurus penginapan yang bongkok itu menyambutnya dengan tertawa terkekeh-kekeh, “He- he-he, saudara Tan, angin apa gerangan yang meniupmu sampai ke sini?”
Si muka mayat yang biasanya angkuh dan bermuka dingin itu kini ternyata bersikap sangat sungkan dan sangat menghormat kepada si tua bongkok yang bahkan giginya pun hampir habis itu. kata si muka dingin sambil memberi hormat,
“Harap Kwa Tong-cu (kepala kelompok she Kwa) memaafkan aku yang telah berani memasuki wilayah kerja Ui-ki-tong tanpa pemberitahuan lebih dulu. Harap Tong-cu memaklumi bahwa karena tugasku lah yang memaksa aku harus bertindak secara sembunyi-sembunyi semacam ini.”
Si bongkok yang dipanggil Kwa Tong-cu nampak mengerutkan alisnya dan tanpa sungkan sedikitpun ia menunjukkan ketidak-senangannya. Ia diam saja tanpa menyahut, membuat orang bermuka mayat yang bernama Tan Han-ciang itu jadi salah tingkah untuk beberapa saat lamanya. Akhirnya terdengar Tan Han-ciang berkata pula,
“Dan aku minta maaf sekali lagi, Kwa Tong-cu malam ini terpaksa aku memberanikan diri untuk merepotkan Tong-cu dengan meminta bantuan Tong-cu.”
“Bantuan apa?” tanya Kwa Tong-cu dingin.
Sungguh mengherankan bahwa si muka mayat yang tadinya begitu menyeramkan bagi orang lain itu, kini bersikap seperti tikus berhadapan dengan kucing saja. Meskipun si bongkok sudah terang-terangan menunjukkan rasa tidak senangnya, namun si muka mayat dengan tak kenal malu masih berkata juga,
“Kwa Tong-cu, bantuan yang hendak kuminta ini bukan hanya menyangkut kepentingan Ang-ki-tiong kami, tapi juga menyangkut kewibawaan seluruh Hwe-liong-pang kita. Saat ini aku sedang menjalankan tugas dari Ang-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Panji Merah) untuk memburu dan menumpas Hong-ho-sam-hiong karena mereka telah berani melarikan diri untuk menghindari panggilan suci dari Pang kita. Tiga orang buruanku itu saat ini berada di dalam rumah penginapanmu ini.”
Tong-cu she Kwa itu mendengus dingin, katanya dengan nada yang tawar, “Kalau buruanmu sudah ada di sini, kenapa kalian tidak segera turun tangan, membabat tanpa kenal ampun dan tanpa peduli caci maki orang-orang dunia persilatan? Bukankah begitu kebiasaan Ang-ki-tong kalian? Saudara Tan, terus terang saja selama ini aku tidak setuju dengan gerak-gerik Ang-ki-tong kalian yang ganas itu. ada masalah kecil saja terus main bunuh dan main babat seenaknya saja. Jika tindakan-tindakan semacam ini terus berkelanjutan, lama-lama Hwe-liong-pang kita ini akan dianggap sebagai golongan sesat, dan ini jelas tidak sesuai dengan garis perjuangan yang ditetapkan oleh Pangcu."
Ditatap oleh mata Tong-cu she Kwa itu, Tan Han-ciang cuma dapat menundukkan kepalanya tanpa berani membantah. Akhirnya terdengarlah suaranya yang agak gugup, “A...aku cuma menjalankan apa yang diperintahkan oleh Ang-ki-tong-cu tanpa punya kekuasaan untuk membantah. Kali inipun aku dengan sangat mohon bantuan Tong-cu, sebab kalau sampai aku gagal, berarti kepalakupun akan terpisah dari leherku. Meskipun ketiga orang Hong-ho-sam-hiong itu sendiri bukan lawan berat, tetapi gadis yang bersilat dengan gaya Siau-lim-pay itulah yang merupakan perintang yang benar-benar tangguh.”
Lelaki bongkok yang sebenarnya bernama Kwa Hneg itu nampak menarik napas dalam-dalam dengan sikap kesal. Katanya dengan nada yang terpaksa, “Baiklah, baiklah, kalau sudah begini terpaksa kita harus saling bantu juga akhirnya. Tetapi tidak adakah jalan lain dari pembunuhan?”
Tan Han-ciang pun menarik napas, “Sekali lagi harap Kwa Tong-cu memaklumi keadaanku yang cuma menjalankan perintah atasan. Siapa yang membantah perintah atasan, hukumannya adalah dihadiahi dengan sebutir Racun Penghancur yang mengerikan itu. contohnya adalah Thio Tong-cu (Kepala Kelompok Thio) dari Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau) yang telah dipaksa minum Racun Penghancur oleh Tang Su-cia (utusan she Tang) karena berani membantah perintah Tang Su-cia. Peraturan dalam Pang kita sangat keras. Jika aku gagal menjalankan tugasku, maka Racun Penghancurlah bagianku. Kwa Tong-cu, sekali ini kau benar-benar telah menyelamatkan aku dari hukuman yang menakutkan itu.”
Iba juga hati Kwa Heng melihat Tan Han-ciang sampai merengek seperti anak kecil itu. sahutnya kemudian, “Baiklah, tetapi tentu aku harus berganti pakaian ya-heng-i (pakaian berjalan malam) lebih dulu. Eh, ngomong-ngomong sekarang siapa yang menggantikan Thio Tong-cu sebagai pemimpin Jing-ki-tong? Hubungan antara Jing-ki-tong dan Ang-ki-tong kalian cukup akrab, tentu kau mengetahuinya.”
"Kalau tidak salah jabatan Jing-ki-tong-cu sekarang dijabat oleh Au-yang Siau-hui, orang dari Su-coan itu.”
“Astaga, kiranya iblis kecil itu,” keluh Kwa Heng sambil memegang keningnya. “Omong terus terang, orang she Au-yang ini tidak berbeda gilanya dengan kepala kelompokmu itu. semakin banyak orang macam ini bercokol dalam Hwe-liong-pang, semakin kaburlah garis perjuangan yang digariskan oleh Pangcu kita. Orang-orang semacam Tong-cu mu dan si setan kecil she Au-yang itu hanya tahu satu jalan jika timbul perselisihan, yaitu membunuh. Selain cara itu mereka tidak melihat cara lain lagi. Orang semacam mereka suatu ketika akan menjerumuskan Hwe-liong-pang ke dalam kesulitan.”
Meskipun dalam hatinya tidak setuju, namun Tan Han-ciang tidak berani memotong atau membantah ucapan Kwa Heng itu. yang meluncur dari mulutnya hanya kata-kata “ya” dan “baik” saja.
“Bagaimana menurut pendapatmu saudara Tan. Apakah tenaga kita berdua saja sudah cukup untuk mengatasi Hog-ho-sam-hiong dan gadis Siau-lim-pay itu?” tiba-tiba Kwa Heng bertanya kepada Tan Han-ciang.
Sahut Tan Han-ciang, “Lebih baik kelebihan tenaga daripada menanggung kemungkinan kegagalan. Menurut pendapatku, ada baiknya Kwa Tong-cu menghubungi beberapa saudara dari Ui-ki-tong yang berilmu silat cukup kuat untuk diikut-sertakan dalam gerakan kita.”
Kwa heng si bongkok mengangguk-anggukkan kepalanya yang berambut kelabu itu. ia mempersilahkan Tan Han-ciang untuk menunggu sebentar, sementara ia sendiri membangunkan seorang pelayannya yang sudah tidur pulas untuk memanggil seseorang.
“A-liok, sekarang juga kau keluar dan panggillah Ji Tiat supaya datang ke mari, sekarang juga dan jangan diketahui orang,” perintahnya.
Pelayan yang masih mengantuk itupun bangkit dan menjalankan perintah tersebut, meskipun sambil mengerutu dalam hati karena kenimatan tidurnya terganggu. Untunglah rumah orang yang bernama Ji Tiat itu letaknya tidak jauh dari rumah penginapan. Maka tidak lama kemudian pelayan itu telah kembali menghadap Kwa Heng bersama seorang lelaki yang bertubuh tegap kekar, meskipun tubuhnya tidak terlau besar.
Mukanya merah dan matanya besar, sekitar mukanya dihiasi brewok pendek. Matanya yang dinaungi sepasang alis hitam lebat itu bersinar-sinar mengesankan kejujuran dan keberanian. Pakaiannya sangat sederhana, hanya baju pendek dan celana pendek pula, serta sepatu rumput di kakinya. Pada iakt pinggangnya yang terbuat dari kulit itu tergantunglah sepasang kampak bergagang pendek yang agaknya merupakan senjata andalannya.
Setelah menyuruh A-liok untuk kembali tidur, Kwa Heng memperkenalkan Tan Han-ciang kepada orang yang datang bersama dengan A-liok itu. ternyata orang itu adalah Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong yang bernama Ji Tiat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai tukang jagal hewan di pasar, dan itu cocok dengan keadaan tubuhnya yang memang menyimpan kekuatan hebat di dalamnya.
Namun hanya orang-orang tertentu di Kay-hong yang mengetahui bahwa Ji Tiat ini adalah anggota Hwe-liong-pang, bahkan kedudukannya cukup tinggi, yaitu Hu-tong-cu (wakil kepala kelompok) dari kelompok Ui-ki-tong. Dua orang Hu-tong-cu, satu dari Ui-ki-tong dan satu lagi dari Ang-ki-tong itu segera saling berkenalan satu sama lain. Setelah itu mereka saling berembug untuk mencari cara yang sebaik-baiknya untuk “merampungkan” Hong-ho-sam-hiong secepat mungkin dan tanpa banyak berisik.
Mula-mula Tan Han-ciang mengusulkan supaya gadis Siau-lim-pay itu dibunuh sekalian, dengan alasan untuk “menunjukkan keangkeran Hwe-liong-pang”. Tapi usul itu ditentang keras oleh Kwa Heng dan Ji Tiat karena menanam permusuhan dengan Siau-lim-pay yang punya banyak orang-orang berilmu itu akan sama saja dengan menanam benih kesulitan dan akan membuahkan kesulitan pula di kemudian hari. Akhirnya Tan Han-ciang menyerah.
Sementara itu, di dalam kamarnya Hong-ho-sam-hiong tidak dapat memejamkan matanya sekejap pun. Hati mereka diliputi rasa tegang, bahkan mereka seakan-akan sudah mendapat firasat bahwa malam itu akan merupakan malam terakhir dari perjalanan hidup mereka. Tapi tak seorangpun berani mengungkapkan perasaanya itu kepada yang lain, takut melemahkan semangat lainnya. Senjata mereka tidak pernah terpisah jauh di samping mereka.
Udara di dalam ruagan itupun seakan-akan menjadi terlalu sedikit sehingga menyesakkan napas. Suara yang bagaimanapun kecilnya yang sampai ke telinga mereka, cukup untuk membuat mereka bertiga berlompatan kaget sambil menghunus senjatanya masing-masing. Jika mengenang masa lalunya sebagai seorang begal yang ditakuti di daerah Shoa-tang, maka Ang Hay-liong sempat juga tertawa meskipun dengan getirnya. Saat itu dengan senjata sam-ciat-kunnya, ang Hay-liong seakan-akan tidak gentar kepada langit dan bumi sekalipun.
Namun sungguh berbeda dengan keadaannya sekarang, di mana kenikmatan dan kemewahan hidup sudah melunturkan sebagian besar keberanianya, keluhnya dalam hati, “Agaknya setelah merasakan hidup makmur belasan tahun, aku telah berubah menjadi manusia penakut bernyali tikus.”
Di kamar lain, “si anak lembu yang tidak takut harimau” Tong Wi-lian sedang duduk bersemedi untuk mengumpulkan tenaga dan semangatnya. Gadis itu tidak membawa senjata sepotongpun, sebab selama berguru di Siong-san ia lebih mendalami ilmu silat tangan kosong. Dia telah melatih jari-jari tangannya yang kini merupakan senjata yang paling diandalkannya.
Setelah setengah malam lewat dan ternyata tidak terjadi sesuatu apapun, gadis itu mulai bertanya-tanya dalam hatinya, mungkinkah pihak Hwe-liong-pang menunggu setelah dirinya berpisah dengan Hong-ho-sam-hiong, setelah itu mereka baru bertindak?
“Kalau begitu, celakalah Ang Hay-liong dan saudara-saudara angkatnya itu,” pikir Wi-lian. “Sebab aku tidak akan bisa terus-menerus mengawal mereka, sebab akupun punya beberapa urusan yang harus diselesaikan. Jika demikian, sebaiknya kucarikan dulu beberapa perlindungan yang aman buat mereka.”
Tengah Wi-lian berpikir-pikir bagaimana sebaiknya menyelamatkan Hong-ho-sam-hiong dari kebuasan Hwe-liong-pang, tiba-tiba telinganya yang tajam dan terlatih menangkap suara berkibarnya kain pakaian di atas genteng. Jelas ada orang-orang berilmu silat yang bergerak di atas genteng. Dan menilik gerakannya yang hampir tanpa suara, maka agaknya orang-orang yang bergerak itu merupakan orang-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tangguh.
Cepat Wi-lian bangkit, melompat keluar jendela tanpa menimbulkan suara sama sekali, lalu menyembunyikan diri dengan berjongkok di balik rumpun pohon-pohon bunga yang terdapat di sekitar kamar sewaannya, ia agak leluasa untuk menebarkan pandangannya ke segala sudut halaman belakang dari rumah penginapan yang tengah dicekam kesunyian itu. Dan pandangan matanya yang tajam melihat ada tiga sosok tubuh bergerak dengan ringannya bagaikan arwah-arwah gentayangan mendekati ke arah kamar Hong-ho-sam-hiong!
“Itulah mereka,” desis Wi-lian seorang diri. Meskipun gadis ini bernyali besar, namun hatinya agak tegang juga sebab ia sudah berjanji kepada Hong-ho-sam-hiong untuk membantu mereka melawan orang- orang Hwe-liong-pang, padahal ia sudah mendengar kabar bahwa orang- orang Hwe-liong-pang itu terkenal dengan kekejamannya dan tingkat ilmunya rata-rata cukup tinggi.
Meskipun malam cukup gelap, namun beberapa bintang yang bergantungan di langit cukup membantu Wi-lian untuk mengenali bentuk tubuh dari ketiga orang yang tengah mengendap-endap ke tempat Hong-ho-sam-hiong itu. Salah seorang dari mereka adalah lelaki bermuka mayat yang oleh Wi-lian dicurigai sebagai pengintip pembicaraan siang tadi. Yang seorang lagi adalah seorang bongkok namun kelihatan sangat lincah, dan seorang bertubuh tegap dan kokoh tapi juga cukup gesit, tidak kalah gesitnya dengan orang bermuka dingin.
“Sudah kuduga bahwa orang bermuka dingin itu tentu punya maksud tertentu, ternyata dugaanku ini tidak salah,” pikir Wi-lian. “Bahkan ia membawa dua orang kawan yang agaknya tenaga-tenaga yang dapat diandalkan pula. Aku harus berhati-hati.”
Ketika Wi-lian melihat orang yang bongkok itu, tiba-tiba ingatlah dia akan seorang tokoh yang pernah diceritakan oleh gurunya, dan mau tidak mau jantungnya pun berdebar lebih kencang jika ingat akan tokoh itu. Pikir Wi-lian,
“Jangan-jangan orang bongkok itu adalah Kwa Heng, tokoh yang bergelar Thi-jiau-tho-kau (Monyet Bongkok Berkuku Besi) itu? Kudengar ia sering berpasangan dengan tokoh lainnya yang bernama Ji Tiat dan berjuluk Siang-po-kay-san (Sepasang Kapak Pembelah Gunung). Meskipun nama mereka tidak terlalu harum, tapi merekapun bukan orang-orang jahat, kenapa sekarang nampaknya bergabung dengan Hwe-liong-pang? Ah, hati manusia memang susah diduga.”
Sementara itu, telah terdengar Tan Han-ciang berteriak, “he, tiga cecurut busuk, lekaslah keluar untuk menerima kematian!”
Seruan Tan han-ciang itu mendapat jawaban langsung. Daun pintu nampak “terbang” karena ditendang dari dalam, dan yang muncul paling dulu ternyata adalah si berangasan Suma Hun. Disusul kemudian oleh Ang Hay-liong dan Pang Lun.
Tan Han-ciang tertawa dingin melihat munculnya Hong-ho-sam-hiong. Katanya mengejek, “he-he-he, kalian berani mengingkari ajakan Tong-cu kami dan melarikan diri begitu jauh, tentunya kalian tidak menduga kalau aku berhasil memburu kalian bukan?”
Ang Hay-liong maju selangkah dan berkata sambil menudingkan tangannya, “Kalian orang-orang Hwe-liong-pang benar-benar keterlaluan. Apa kesalahan kami terhadap perkumpulanmu sehingga kalian terus mengejar kami dan tidak membiarkan kami menikmati hari tua kami?”
“Hemm, mengingkari ajakan Tong-cu untuk bergabung dengan kami itu saja sudah merupakan dosa tak terampun, sebab itu berarti menghina Pang kami dan memandang rendah kami. Kalian memang orang-orang yang tidak tahu diri. Seharusnya kalian bangga jika Pang kami ada perhatian kepada kalian dan bahkan mengajak bekerja sama, kenapa kalian malah melarikan diri? Dasar memang kalian orang-orang yang ditakdirkan mampus malam ini!”
Suma Hun yang pemarah sudah tidak sabar lagi nampaknya. Sambil memutar-mutar toya besinya, ia berkata kepada Ang Hay-liong, “Twako, tidak ada gunanya kita bicara panjang lebar kepada manusia-manusia binatang ini. Bicara dengan senjata, itu lebih tepat.”
Tan Han-ciang tertawa dingin melihat sikap Suma Hun, katanya, “Siapa orangnya yang tidak mengenal keberanian dan kegagahan Suma Hun? Tapi siapa pula yang tidak mengenal ketololannya? Harap kalian ingat ancaman kami tidak pernah kosong melompong, jika kalian mengira bahwa kalian telah berhasil menyelamatkan keluarga kalian yang kalian titipkan di rumah orang she Ho itu, hemm, kalian benar-benar mimpi di siang hari bolong.”
Hal yang benar-benar dicemaskan oleh Hong-ho-sam-hiong memang masalah keselamatan anggota keluarga mereka. Mereka bahkan rela terbunuh oleh orang-orang Hwe-liong-pang asal keluarga mereka selamat. Tapi kini setelah mendengar ucapan Tan Han-ciang itu, terkejutlah Ang Hay-long dan kawan-kawannya. Dengan suara bergetar, Ang Hay-liong membentak, “Kau... kau... telah berbuat apa terhadap mereka?”
Tan Han-ciang tertawa terbahak-bahak, lalu sahutnya dengan acuh tak acuh, “Bukan salah kami kalau terjadi apa-apa atas diri meeka, sebab kalian memang tidak menghiraukan peringatan kami. Semua ancaman yang kami canangkan itu telah kami laksanakan. Limapuluh enam jiwa anggota keluarga kalian dan anggota keluarga Ho yang telah melindunginya, semuanya telah kami kirim ke neraka!”
Bukan Hong-ho-sam-hiong saja yang bergetar hatinya, bahkan Kwa Heng dan Ji Tiat yang sebagai sama-sama orang Hwe-liong-pang pun ikut terkejut mendengar ucapan Tan han-ciang itu. Diam-diam Kwa Heng mengeluh dalam hati, “Jika tindakan-tindakan kejam seperti ini dibiarkan terus menerus, maka nama Hwe-liong-pang benar-benar akan rusak, dan tidak mustahil suatu saat akan dianggap sebagai musuh bersama dunia persilatan.”
Sedangkan bagi Hong-ho-sam-hiong berita itu benar-benar sebuah pukulan berat kepada batin mereka. Begitu pula Tong Wi-lian yang masih bersembunyi itu telah meluap darahnya, namun gadis itu masih berusaha mengendalikan kemarahannya sambil menunggu perkembangan berikutnya. Pang Lun nampak menengadah ke langit yang kelam, mulutnya berkemak-kemik seakan bicara kepada bintang-bintang di langit. Bisiknya,
“Saudara Ho, budimu kepada kami bertiga sungguh tak terukur dalamnya. Harap kau tenangkan dirirmu di alam baka. Jika malam ini kami gagal membalas sakit hatimu, kami bersumpah tidak ingin hidup lagi dan biarlah menyusulmu ke alam baka saja.”
Jika Pang Lun meratap demikian memilukan, sebaliknya Suma Hun telah meraung keras bagaikan harimau terluka, “Malam ini harus ada ketentuan, kalian atau kami bertiga yang harus lenyap dari muka bumi ini!”
Dan Suma Hun langsung melompat maju sambil menggerakkan toya besinya dengan jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Ribuan Prajurit) untuk menyerampang sekaligus ketiga orang Hwe-liong-pang itu. Tan Han-ciang cepat berjungkir balik ke belakang untuk menghindar. Begitu pula Kwa Heng telah melejit dengan gesitnya. Namun Ji Tiat yang juga bertenaga raksasa itu sama sekali tidak menghindar, justru dengan sepasang kapak pendeknya ia membentur toya besi Suma Hun secara keras lawan keras.
Terdengar suara berdentang yang memekakkan telinga, mengguncangkan udara malam yang dingin dan beku. Suara keras itu sebetulnya sudah cukup untuk membangunkan seluruh tetamu yang menginap di penginapan itu, namun ternyata tidak seorangpun yang berani keluar dan melibatkan diri dengan permusuhan antara orang-orang dunia persilatan itu.
Dari akibat benturan itu, nampaklah perbandingan tenaga antara Suma Hun dengan Ji Tiat. Ternyata Ji Tiat lebih unggul setingkat dalam hal tenaga. Ia hanya tergeliat sedikit meskipun telapak tangan yang memegang sepasang kapaknya itu terasa panas. Sedangkan Suma Hun terdorong mundur dua langkah dan toyanya pun hampir-hampir terlempar lepas dari tangannya.
Dalam keadaan biasa, tentu Suma Hun akan terkejut oleh kekuatan lawan dan berpikir-pikir untuk melawan lagi. Tapi saat itu Suma Hun sudah mata gelap, dan yang ada dalam pikirannya tidak lain hanya keinginan untuk mebunuh lawan, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan diri sendiri. Dengan ganasnya ia kembali menubruk maju dan lawannya pun menyambutnya dengan “hangat”.
Ang Hay-liong dan Pang Lun, ketika melihat saudara muda mereka telah terlibat dalam bentrokan senjata, segera menerjunkan diri ke tengah gelanggang pula. Didorong oleh kemarahan yang meluap-luap dan tekad untuk mengadu jiwa, tokoh-tokoh Hong-ho-sam-hiong itu kini benar- benar merupakan orang-orang yang berbahaya.
Tan Han-ciang segera mengurai pecut bajanya yang terlilit dipinggangnya dan segera menggetarkannya di udara. Suara geletarnya terdengar mengerikan bagai suara halilintar. Dengan senjatanya inilah Tan Han-ciang sekaligus menyapu ke arah Ang Hay-liong dan Pang Lun yang tengah bergerak maju. Agaknya kali ini Tan Han-ciang salah dalam membuat perhitungan. Dalam keadaan biasa, Hong-ho-sam-hiong memang bukan orang-orang yang terlalu ditakuti karena kepandaian mereka yang tidak begitu tinggi.
Namun kali ini mereka sudah dalam keadaan nekad dan tidak peduli lagi mati hidupnya sendiri. Karena itu, sapuan cambuk baja Tan Han-ciang itu tidak membuat Ang Hay-liong dan Pang Lun mundur, melainkan mereka terus merangsek dengan keras kepala. Mau tidak mau Hu-tong-cu dari Ang-ki-tong itulah yang harus melompat mundur dengan kagetnya.
Terdengar Pang Lun berteriak melengking, sepasang liu-yap-tonya bergerak sekaligus dengan dua jurus yang berbeda. Golok di tangan kanan menyapu dengan jurus Ciu-hong-sau-yap (Angin Kemarau Menyapu Daun), dan golok kiri bergerak mendatar ke depan setinggi dada dengan gerakan Wan-hun-kok-so (Arwah Penasaran Mengajukan Tuntutan). Kedua gerakan itu amat ganas dan merupakan jurus-jurus andalan dari tokoh penengah Hong-ho-sam-hiong ini.
Dari jurusan lain, Ang Hay-liong pun telah menyerang dengan gerakan aneh. Ia memegang sam-ciat-kun pada ruas tengahnya, sedangkan kedua ruas pinggirnya bergerak menyerang jalan darah tay-yang-hiat di pelipis dan tan-yang-hiat di belakang kepala Tan Han-ciang. Kedua jalan darah itu merupakan jalan darah jalan darah kematian. Betapapun Tan Han-ciang adalah Ang-ki-hu-tong-cu yang cukup disegani, karena didesak begitu rupa, akhirnya meluap juga kemarahannya.
Wajahnya tiba-tiba menyeringai kejam, menamplkan hawa napsu membunuh yang mulai menguasai dirinya. Cambuk bajanya diputar kencang, dan bagaikan seekor naga yang meluncur dari langit, cambuk itu menyambar ke jalan darah pek-hwe-hiat di ubun-ubun Pang Lun. Bersamaan dengan itu telapak tangan kirinya pun ikut bekerja dengan melakukan babatan keras ke rusuk Ang Hay-liong.
Golok liu-yap-siang-to Pang Lun pendek, sedang cambuk lawan panjangnya satu tombak lebih, maka sebelum golok Pang Lun mengenai kulit lawan, pasti batok kepalanya akan lebih dulu remuk terhantam cambuk baja lawannya. Namun sekali lagi Pang Lun berbuat suatu tindakan yang diluar perhitungan lawannya.
Ia tidak mundur, namun justru mempercepat luncuran majunya dan mengubah gerakan sepasang goloknya menjadi jurus Siang-seng-tui-goat (Sepasang Bintang Mengejar Rembulan), di mana sepasang goloknya bergerak sejajar ke dada lawannya. Dengan demikian, meskipun cambuk Tan Han-ciang akan memecahkan kepalanya, tapi sepasang golok Pang Lun pun akan menancap di dada Tan Han-ciang.
Tan Han-ciang, orang yang bisa membunuh korban-korbannya dengan darah dingin itu kali ini mau tidak mau merasa ngeri juga diajak bertempur secara gila-gilaan semacam itu. gerakannya menjadi agak kacau karena hatinya mulai gugup. Sabetan telapak tangannya memang berhasil mengenai rusuk Ang Hay-liong, namun karena pemusatan pikirannya sedang tergoncang, maka daya pukulannya pun berkurang banyak. Pukulan yang seharusnya bisa menjebol iga Ang Hay-liong, kini hanya membuat lawannya itu terhuyung ke belakang.
Pada detik yang sama terdengar suara kain terkoyak dan suara Tan Han-ciang yang memaki geram. Ternyata sepasang golok liu-yap-to Pang Lun sempat juga membuat robekan sejajar pada pakaian di dadanya meskipun tidak melukai sebab orang she Tan itu sempat melompat mundur. Dalam bingungnya, Tan Han-ciang menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi Pang Lun yang berkelahi seperti kerasukan setan. Dan tanpa disadarinya, ia bergulingan kearah lingkaran pertempuran antara Ji Tiat dengan Suma Hun yang sedang seru-serunya.
Saat itu sebenarnya Suma Hun sedang merasa putus harapan karena lawannya yang bersenjata sepasang kapak pendek itu ternyata begitu hebat. Bahkan ia dapat meladeni kenekatan Suam Hun dengan tenangnya. Ketika melihat Tan Han-ciang bergulingan mendekat kearahnya, seketika itu juga timbullah pikiran nekad Suma Hun,
“Lambat atau cepat aku pasti akan mati. Daripada aku mati percuma, lebih baik kubunuh salah seorang Hwe-liong-pang ini agar mereka pun menderita kerugian.”
Membunuh Ji Tiat sudah terang tidak bisa, maka Tan Han-ciang lah sasaran yang lebih mudah dijangkau. Dan di luar dugaan siapapun, tiba-tiba Suma Hun mengayunkan tongkat besinya untuk mengepruk kepala Tan Han-ciang yang sedang bergulingan di dekatnya. Padahal ia sendiri sedang terancam oleh serangan ganas sepasang kapak Ji Tiat, namun hal ini sama sekali tidak dihiraukannya. Bahkan Suma Hun berteriak, “Biar aku mampus, paling tidak di antara kalian juga harus ada yang mampus!”
Sikap yang demikian nekadnya itu mau tidak mau membuat tercengang siapapun yang melihatnya, termasuk Wi-lian di tempat persembunyiannya yang hampir copot jantungnya melihat peristiwa itu. Sedetik lagi, batok kepala Tan Han-ciang akan remuk terhantam toya besi Suma Hun, tapi bersamaan dengan itu tubuh Suma Hun pun akan dirajang menjadi beberapa potong oleh sepasang kapak Ji Tiat.
Adegan pertarungan sebrutal dan segila itu bahkan belum pernah sekalipun dilihat oleh Kwa Heng yang sudah cukup berpengalaman. Di saat sepasang kapak pendek Ji Tiat hampir mengenai tubuh Suma Hun, tiba-tiba terdengarlah Kwa Heng berkata tidak begitu keras tetapi bernada tegas, “Saudara Ji, itu bukan tugas Ui-ki-tong kita!”
Sedangkan Tan Han-ciang dengan mengerahkan seluruh ketangkasannya barulah dapat menghindari serangan maut Suma Hun dan melompat bangun dengan keringat dingin membasahi punggungnya. Hatinya panas bukan main ketika mendengar seruan Kwa Heng kepada Ji Tiat tadi. Pikirnya dengan geram,
“Orang-orang Ui-ki-tong benar-benar tidak menghargai setia kawan antar sesama anggota Hwe-liong-pang. Agaknya mereka tidak ambil peduli andaikata aku mampus sekalipun. Suatu saat mereka harus mengenal kelihaian Ang-ki-tong kami.”
Sementara itu Suma Hun sendiri merasa heran, kenapa lawannya yang bersenjata sepasang kapak pendek itu tidak melanjutkan serangannya? Sesaat ia termangu oleh keadaan yang membingungkan itu. Akhirnya dengan polos ia memberi sebuah anggukan hormat kepada Ji Tiat, dan setelah itu kembali melabrak Tan Han-ciang dengan sengitnya.
Di satu pihak ada orang-orang kalap yang siap mengadu jiwa, di lain pihak ada seorang yang sangat murka dan dipenuhi napsu membunuh yang berkobar-kobar, maka pertempuran di halaman belakang rumah penginapan itu benar-benar merupakan sebuah arena yang seru bukan main.
Di tempat persembunyiannya Tong Wi-lian mencoba menilai kekuatan orang-orang Hwe-liong-pang itu sebelum ia turun tangan nanti. Agaknya Tan Han-ciang dan Ji Tiat mempunyai kepandaian yang sejajar, tapi Wi-lian harus merasa bangga sebab nampaknya kedua orang itu masih setingkat di bawah dirinya. Namun Kwa Heng, si bongkok yang sama sekali belum turun tangan itulah yang agaknya harus diperhitungkan baik-baik. Dalam hati gadis itupun timbul pertanyaan, kenapa Kwa Heng mencegah Ji Tiat membunuh Suma Hun? Akhirnya ia mengambil keputusan sendiri,
“Agaknya dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri ada ketidak-rukunan dan persaingan antar kelompok. Ini bagus, sebab akan memperlemah kekuatan mereka sendiri.” Akhirnya gadis itu sudah tidak sabar lagi untuk terus bersembunyi. Tidak peduli urusan apapun yang ada di antara orang-orang Hwe-liong- pang sendiri, pokoknya mereka harus dihajar, demikian tekadnya.
Maka bagaikan seekor burung elang ia melompat keluar dari persembunyiannya secepat kilat. Kemunculannya tersebut telah membuat ketiga orang Hong-ho-sam-hiong bertambah semangatnya, sebaliknya ketiga orang Hwe-liong-pang menjadi bertambah waspada. Begitu kakinya menginjak tanah, Wi-lian langsung melompat lagi dan menyerang Tan Han-ciang dengan dua buah tendangan berturut-turut ke arah pelipis dan muka Ang-ki-hu-tong-cu itu. tong Wi-lian memang telah merasa mendongkol kepada Tan Han-ciang sejak siang tadi.
Sebagai seorang wakil kepala kelompok dalam sebuah perkumpulan sekuat Hwe-liong-pang, tentu saja kepandaian Tan Han-ciang tidaklah rendah. Tapi saat itu ia sedang dikepung oleh Hong-ho-sam-hiong yang kalap, maka serangan dari lawan baru itu cukup mengejutkannya. Dalam bingungnya ia mengambil tindakan untung-untungan dengan jalan melompat ke atas dengan gerakan Ui-no-cong-thian (Burung Jenjang Naik Ke Langit).
Desakan Hong-ho-sam-hiong akhirnya dapat dihindari, tapi tidak demikian dengan tendangan Wi-lian yang datangnya terlalu cepat itu. Karena Tan Han-ciang melompat ke atas, kaki Wi-lian yang seharusnya mengenai pelipis jadi mengenai pinggangnya yang membuat tokoh Hwe-liong-pang tersebut terbanting sambil meringis kesakitan. Sesaat lamanya ia tidak bisa bangun karena sakitnya.
Si berangasan Suma Hun sungkan melewatkan kesempatan sebaik ini, cepat ia menghantamkan toyanya untuk mengemplang kepala lawan. Tindakan Suma Hun yang kurang perhitungan dan hanya menurutkan napsu amarah saja telah mengejutkan Tong Wi-lian dan Ang Hay-liong sekaligus, sebab betapapun juga Tan Han-ciang tetap merupakan seorang lawan yang berbahaya.
“Sam-te, hati-hati!” hampir bersamaan Ang Hay-liong dan Pang Lun berseru memperingatkan.
Tapi peringatan itu terlambat datangnya. Tan Han-ciang yang sedang marah besar itu kini melihat sebuah kesempatan baik yang tidak akan disia-siakannya. Cepat ia melompat ke atas sehingga sambaran toya besi itu hanya lewat di bawah kakinya, dan cambuk bajanya membalas menghantam kepala Suma Hun sekuat tenaga.
Dengan mengeluarkan suara berderak keras bercampur dengan jeritan ngeri Suma Hun, robohlah orang ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong tersebut dengan batok kepala remuk. Tentu saja nyawanya pun amblas saat itu juga.
Sementara itu Wi-lian menjadi marah dan malu pula. Ia sudah terlanjur berjanji akan melindungi Hong-ho-sam-hiong, dan kini Suma Hun terjungkal mati di depan hidungnya tanpa ia bisa mencegah. Maka dengan berteriak nyaring, gadis itu segera menyerang Tan Han-ciang, diikuti oleh Ang Hay-liong dan Pang Lun yang ingin membalaskan kematian Suma Hun.
Tan Han-ciang yang sudah pernah melihat kelihayan Tong Wi-lian tentu saja hatinya menjadi gentar ketika melihat gadis itu menerjang ke arahnya dengan sengit. Cepat ia melompat mundur beberapa langkah sambl berseru kepada Kwa Heng, “Kwa Tong-cu, kau jangan berpangku tangan saja...”
Dan baru saja mulutnya terkatup, sebuah jotosan keras dari Wi-lian telah menyambar hidungnya. Untung Ang-ki-hu-tong-cu itu masih sempat menyelamatkan diri dengan gaya Thi-pan-kio (Jembatan Papan Besi), yaitu menekuk punggung ke belakang, sehingga hampir mengenai tanah. Gerakan yang sebetulnya berbahaya dalam pertempuran jarak dekat, namun Tan Han-ciang sudah tidak ingat lagi akan hal tersebut karena gugupnya.
Wi-lian tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada orang yang dibencinya tersebut. Sebelum Tan Han-ciang sempat merubah kedudukan, ia telah menyusulkan sebuah tendangan rendah ke arah sambungan lutut lawannya. Terpaksa Kwa Heng tidak dapat membiarkan hal itu terjadi didepan matanya.
Meskipun ia punya ketidak-sesuaian pendapat dengan orang-orang Hwe-liong-pang. Punggungnya yang melengkung itu ternyata bukan merupakan rintangan untuk bertindak gesit, karena dengan secepat kilat ia telah melompat ke arah Wi-lian dan jari-jarinya yang sekuat besi langsung menerkam ke tengkuk si gadis.
Betapapun cepatnya gerakan si bongkok, ia tidak dapat menolong Tan Han-ciang sepenuhnya. Terdengar wakil kepala kelompok Ang-ki-tong itu mengaduh pendek dan roboh ke tanah, ternyata sambungan lutut kanannya telah kena ditendang patah oleh murid Hong tay Hwesio ini.
Saat itulah Wi-lian mendengar ada desir angin di belakangnya, cepat ia merendahkan diri sambil memutar tubuh sekaligus tangan kirinya melakukan tangkisan. Detik itu juga, dua buah tangan yang sama-sama penuh tenaga dalam dan yang sama-sama terlatih telah berbenturan dengan kerasnya. Wi-lian tergeliat selangkah surut, sedangkan Kwa Heng yang kakinya tengah tidak menginjak tanah itu dipaksa untuk bersalto ke belakang untuk mementahkan dorongan tenaga lawan.
Di lain bagian, Ang Hay-liong telah melanjutkan pertempuran dengan Tan Han-ciang yang telah patah kaki kanannya. Karena cedera tersebut, Ang-ki-hu-tong-cu harus berkelahi dengan tetap berdiri di tempat tanpa berani menggerakkan kaki sedikitpun, itupun kadang-kadang membuatnya menyeringai karena menahan nyeri di lutut kanannya. Meskipun demikian, pada dasarnya memang Tan Han-ciang berkepandaian lebih tinggi dari Ang Hay-liong, selain itu juga lebih licik dan cerdik.
Sedangkan Ang Hay-liong tidak sebuas Suma Hun sehingga lebih mudah dilayani. Cambuk baja Tan Han-ciang tidak henti-hentinya menggetar dengan dahsyatnya mencambuk dan melibat seluruh bagian badan lawan secara berganti-ganti. Namun Ang Hay-liong dengan ruyung tiga ruasnya juga pantang menyerah sebelum ajal. Keberaniannya menempuh bahaya kadang membuat Tan Han-ciang mencaci maki dengan gemasnya.
Ji Tiat pun sedang bertarung dengan Pang Lun dan nampaknya seimbang. Itu bukan berarti ilmu Pang Lun begitu tingginya sehingga dapat mengimbangi lawan, namun adalah karena Ji Tiat meladeni musuhnya dengan setengah hati dan hanya bersikap bertahan saja. Sedang semangat berani mati dari Pang Lun itu cukup memaksa tokoh yang berjuluk Siang-po-kay-san itu untuk berhati-hati.
Sementara itu, setelah Kwa Heng berdiri berhadapan dengan Tong Wi-lian, mulailah si bongkok itu menilai lawannya, “Pantas Tan Han- ciang tidak segan-segan menunjukkan rasa gentarnya kepada gadis ini, kiranya kemampuannya memang pantas mendapat perhatian dalam percaturan dunia persilatan di jaman ini. Apalagi dengan Siau-lim-pay dibelakangnya.”
Sebaliknya Wi-lian terkejut setelah memperhatikan wajah lawannya, sebab ternyata si bongkok ini adalah orang yang tadi siang duduk di belakang meja kasir dan bersikap begitu ramah terhadap setiap tetamu. Kata Wi-lian dingin, “Huh, kiranya rumah makan dan penginapan ini hanyalah sebuah kedok untuk menyelubungi perbuatan-perbuatan jahat kaum Hwe-liong-pang. Kalian sudah cukup berdosa terhadap ketenteraman orang banyak, maka malam ini biarlah kucoba untuk mengurangi penyakit masyarakat seperti kalian ini.”
Kwa Heng, tokoh yang bergelar Thi-jiau-tho-kau atau Monyet Bongkok Berkuku Besi itu agaknya ingin bersikap hati-hati sebelum turun tangan. Katanya sabar, “Nona, antara pihakku dan pihakmu tidak pernah terjadi permusuhan atau urusan apapun, kenapa nona mengganggu pekerjaan kami? Kalau kami boleh tahu, apakah nona bertindak atas nama nona pribadi atau atas nama Siau-lim-pay?”
Wi-lian menjawab dengan suara tetap dingin, “Memang tidak ada permusuhan pribadi antara diriku dan dirimu. Tapi sebagai murid Siau-lim-pay sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan kekejaman seperti yang kalian lakukan.”
Kwa Heng mengeluh dalam hati mendengar jawaban macam itu. Betapapun kuatnya Hwe-liong-pang, namun perkumpulan itu belum punya niat sedikitpun untuk mengusik-usik perguruan kuat seperti Siau-lim-pay. Maklumlah, Siau-lim-pay bagi umat prsilatan di Tiong-goan dianggap tempat suci, diibaratkan gua macan dan kubangan naga, rahib-rahib sakti yang berdiam di dalamnya tak terhitung banyaknya, begitu pula kaum pendekar lulusan Siau-lim-pay terkenal sebagai tokoh-tokoh yang tangguh.
Karena itu Kwa Heng sebisa-bisanya menjaga agar Hwe-liong-pang jangan sampai berbenturan dengan Siau-lim-pay. Katanya sambil memberi hormat, “Nona, hanya dengan kejadian malam ini nona sudah langsung menganggap seluruh Hwe-liong-pang kami sebagai orang jahat? Harap nona suka mempertimbangkannya baik-baik sebelum nona ikut campur dalam urusan ini. Golongan kami punya garis perjuangan yang tegas dan sama sekali bukan golongan sesat seperti anggapan nona.”
Wi-lian hanya tertawa dingin mendengar penjelasan dari Kwa heng. Katanya sambil menuding mayat Suma Hun, “Jika aku belum melihat jatuhnya korban, boleh jadi aku akan percaya omongan manismu itu. Tapi saat ini aku lebih percaya kepada kenyataan yang kulihat di depan mata, percuma saja kau bicara muluk-muluk. Bersiaplah, jika aku tidak berani menindak Hwe-liong-pang kalian, aku malu sebagai murid Siau-lim!”
Kwa Heng mengeluh dalam hati karena ia tahu bahwa sudah tidak ada jalan lain lagi. Namun ia tidak menyalahkan sikap gadis itu, bahkan kagum akan keberaniannya. Sebaliknya ia malah menyalahkan Tan Han-ciang yang gemar kekerasan. Saat berikutnya, Wi-lian telah menyerang lebih dulu. Kakinya melangkah ke depan dan ia membuka serangan dengan ujung jari kedua tangannya secara bergantian. Gerakannya cepat dan cukup mengejutkan lawannya.
Karena tidak berani memandang rendah, Kwa Heng langsung menyambutnya dengan ilmu silat andalannya, yaitu Kau-kun (Silat Kera) yang sudah dilatihnya matang selama belasan tahun. Lincah sekali ia merendahkan badannya sambil menggeser ke samping, dan jari-jari tangannya pun balas mencakar ke tenggorokan Wi-lian. Tidak percuma ia terkenal sebagai seorang jagoan yang cukup disegani di Kay-hong dan sekitarnya. Gerakannya gesit dan cepat luar biasa, malahan dengan jari-jarinya ia sanggup “merobek-robek” sehelai papan dengan gerakan mencakar.
Sebaliknya Tong Wi-lian pun tidak berani kehilangan kewaspadaan menghadapi musuh sehebat itu. Cepat ia membalik tangan kirinya untuk menangkis cakaran Kwa Heng dibarengi dengan sebuah sapuan ke kaki lawan. Kembali Kwa Heng melejit ke samping dengan licinnya. Demikianlah, berkobarlah pertempuran hebat antara seorang jago tua melawan seorang jago muda yang sama-sama ahli dalam ilmu silat tangan kosong. Kwa Heng yang segesit kera, sepasang cakarnya menyambar kian kemari dengan ganas dan cepat sehingga nampak si bongkok itu punya belasan pasang tangan yang bergerak-gerak sekaligus!
Namun Wi-lian pun tidak mengecewakan Rahib Hong-tay dan tokoh-tokoh Siau-lim-pay lainnya yang telah menggemblengnya di bukit Siong-san. Dihadapinya Kwa Heng dengan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), dimana jari-jari tangannya yang dirangkapkan seperti paruh bangau menyambar-nyambar, mematuk-matuk tidak kalah berbahayanya dengan cakaran-cakaran Kwa Heng.
Apalagi sepasang kakinya yang terlatih itupun dapat membuat tubuhnya seakan-akan tidak berbobot sama sekali sehingga gadis itu benar-benar seperti seekor burung bangau yang berterbangan di angkasa. Bahkan kadang-kadang gadis itu berani pula membentur tenaga lawan, keras lawan keras, yaitu dengan menyisipkan jurus-jurus Thay-co-kun (Silat Maharaja) ciptaan Tio Khong-in yang seharusnya dilakukan seorang laki-laki namun toh gadis itu sanggup mengejutkan lawan....
Suma Hun terpaksa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Selama hidupnya yang penuh petualangan, baru kali inilah ia mendengar tentang persoalan “hati nurani” diikut sertakan dalam tindakan-tindakan kaum persilatan. Hal itu terdengar sangat janggal bagi Hong-ho-sam-hiong yang hampir seluruh hidupnya dilewati dengan bergulat di ujung senjata, penuh dengan kekerasan dan mengalirnya darah. Namun tidak ada yang membantah kata-kata Wi-lian tersebut.
Sementara itu Pang Lun bertanya pula, “Tadi nona Tong mengatakan „sudah tahu siapa orangnya‟ Dapatkah nona mengatakan kepada kami?”
Wi-lian merenung sejenak sebelum menjawab. Gadis itu agak ragu- ragu untuk langsung menunjuk kepada orang bermuka mayat. Ia sudah tahu akan watan Suma Hun yang berangasan. Jika ia memberitahukan tentang orang itu, maka tidak mustahil Suma Hun akan langsung menyerbu ke tempat orang itu. Hal itu sama saja dengan “mengusik rumput mengagetkan ular”, sehingga rencana Wi-lian untuk memancing munculnya orang-orang Hwe-liong-pang lebih banyak lagi akan gagal.
Dengan pertimbangan tersebut, akhirnya gadis itu menjawab juga tetapi secara samar dan tidak jelas, “Aku memang pernah melihat orang itu ketika aku pertama kali memasuki kota Kay-hong, namun aku tidak tahu lagi di mana dia sekarang. Dan lagi pula nampaknya orang itu bukan seorang yang terlalu berbahaya.”
Sahutan itu membuat ketiga orang tokoh Honh-ho-sam-hiong itu tidak banyak bertanya lagi. Sementara itu Wi-lian mulai dengan pokok persoalan yang sangat ingin diketahuinya, “Kita lupakan orang tadi. Sekarang, bolehkah aku mengetahui urusan apa yang terjadi antara kalian dengan Hwe-liong-pang? Barangkali aku bisa membantu?”
Dalam pikiran Ang Hay-liong yang cerdik segera timbul akal untuk menarik gadis she Tong ini agar berpihak kepadanya. Mungkin gadis ini memang hijau dalam pengalaman, tapi bukankah menurut pengakuan gadis ini adalah murid rahib Siau-lim-pay, bahkan murid rahib Hong-tay yang bernama besar? Jika bisa mendapat perlindungan dari suatu golongan sekuat Siau-lim-pay, betapapun terasa lebih baik daripada diburu-buru ke sana ke mari oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
Maka mulailah Ang Hay-liong bercerita, “Kalau hal ini dibicarakan sesungguhnya sangat memalukan. Kami yang sering menepuk dada sebagai jagoan, sekarang dipaksa terbirit-birit meninggalkan tempat kami sampai kabur ke Kay-hong ini.”
Tong Wi-lian memperhatikan cerita orang itu dengan seksama. Dulunya Hong-ho-sam-hiong ini merupakan pentolan yang cukup ternama di kalangan liok-lim (rimba hijau, dunia kejahatan). Ang Hay-liong adalah bekas seorang begal ternak di daerah Shoa-tang, sedangkan Pang Lun dan Suma Hun berasal dari daerah barat laut, yaitu dari Hun-lam, yang pekerjaannya juga tidak banyak berbeda dengan Ang Hay-liong.
Suatu ketika, ketiga orang ini saling bertemu, saling merasa cocok satu sama lain, dan akhirnya mengangkat saudara. Karena modal yang mereka dapatkan dari hasil merampok itu sudah cukup banyak, mereka memutuskan untuk berhenti sebagai petualang, dan memulai hidup sebagai orang “terhormat”.
Ketiganya akhirnya menjadi orang yang sangat berpengaruh di kalangan bajak di sepanjang sungai Hong-ho. Meskipun mereka sendiri sudah tidak pernah turun tangan secara langsung, tapi mereka menjadi semacam “pelindung” bagi kawanan bajak, sebaliknya kawanan bajak itupun menyerahkan hasil kerja mereka kepada ketiganya ini. Mereka hidup di sebuah desa kecil bernama Pek-hoa-tin yang terletak di tepi sungai, kira-kira duaratus li sebelah timur Kay-hong.
Meskipun ketiganya tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan kaum liok-lim, namun sering juga mereka “gatal tangan” dan mempertontonkan kepandaian mereka. Misalnya, suatu hari ada seekor kerbau gila mengamuk di desa Pek-hoa-tin, maka Suma Hun menaklukkan dan memukul mampus kerbau itu hanya dengan kedua tangannya. Dengan demikian nama ketiganya menjadi terkenal.
Sayang, ketenaran itu pulalah yang mengundang malapetaka buat mereka. Sejak gerombolan yang menamakan diri Hwe-liong-pang muncul di dunia persilatan, maka hati setiap orang dunia persilatan sudah jauh dari rasa tenteram. Tidak jarang terdengar berita bahwa orang-orang Hwe-liong-pang itu gemar menaklukkan para jagoan liok-lim yang berpengaruh di daerahnya masing-masing, dan kemudian dijadikan bawahan Hwe-liong-pang.
Dan pada suatu hari, Hong-ho-sam-hiong menerima gilirannya. Pada suatu hari, ketika pelayan rumah Ang Hay-liong membuka pintu gerbang rumah majikannya, si pelayan menemukan sehelai panji kecil tertancap di tembok depan. Panji itu cuma sehelai kain segi tiga berwarna merah darah, bersulam gambar seekor naga yang menyala seluruh tubuhnya (Naga Api). Dan pada daun pintu terukirlah deretan huruf-huruf:
“Dalam waktu sepuluh hari, Hong-ho-sam-hiong dan seluruh daerah pengaruhnya harus secara terbuka menyatakan masuk ke dalam Hwe-liong-pang, dan bersumpah setia kepada Hwe-liong-pang-cu (Ketua Perkumpulan Naga Api). Jika mengabaikan perintah suci ini, Hong-ho- sam-jiong akan ditumpas habis sekeluarga.”
Ukiran di atas daun pintu itu nampaknya diukir dengan jari tangan, padahal pintu gerbang rumah Ang Hay-liong itu terbuat dari kayu jati Lam-yang yang terkenal keras bukan main. Maka jelaslah bahwa orang yang mampu mengukir jari tangannya di atas daun pintu tersebut merupakan seorang lihay luar biasa. Hampir sepanjang umurnya, Hong-ho-sam-hiong hanya kenal menggertak dan menekan orang lain.
Namun kali ini gantian mereka yang digertak dan diancam, tentu saja hal ini sulit diterima oleh ketiga jagoan tersebut. Mereka lalu berunding untuk mengatasi hal ini. Suma Hun yang berangasan telah mengusulkan untuk bertempur mati-matian melawan Hwe-liong-pang, kalau perlu dengan mengerahkan seluruh gerombolan bajak sepanjang sungai Hong-ho yang ada di bawah pengaruh mereka.
Namun Ang Hay-liong menolak usul tersebut. Apa artinya bajak-bajak kecil itu meskipun jumlahnya banyak, jika dibandingkan dengan gembong-gembong Hwe-liong-pang? Meskipun bajak-bajak itu cukup garang jika menakut-nakuti korban mereka, namun mereka jelas tidak akan dapat berkutik jika dihadapkan kepada seseorang yang telah mampu mengukir jarinya di atas papan pintu rumah Ang Hay-liong itu.
Sedangkan Pang Lun berpendapat lain lagi. Ia berkata tidak ada salahnya bergabung dengan Hwe-liong-pang. Mereka toh adalah bekas penjahat, tidak ada halangannya kalau kembali ke dunia lama. Demikianlah perbedaan tajam muncul antara orang ke dua dengan orang ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong itu. Akhirnya Ang Hay-liong lah yang menemukan usul yang dapat diterima oleh kedua rekannya, sebuah usul yang lebih tepat merupakan jalan tengah di antara kedua usul terdahulu.
Yaitu mengungsi ke tempat guru Ang Hay-liong yang berdiam di Ki-lian-san, sedang anggota keluarga mereka untuk sementara akan dititipkan kepada sahabat mereka yang bernama Ho Tian, yang juga merupakan salah seorang tokoh liok-lim yang cukup berpengaruh di tepian Hong-ho. Kelak jika keadaan sudah aman, mereka akan menjemput anak istri mereka untuk kembali ke tempat semula.
Usul Ang Hay-liong ini kemudian disetujui. Betapapun juga Hong-ho-sam-hiong sudah merasakan betapa nikmatnya hidup tenteram berkelimpahan harta dan kekuasaan, mana mau mereka balik kembali ke dunia hitam di mana setiap saat nyawa mereka terancam?
Tong Wi-lian mendengarkan cerita Ang Hay-liong itu dengan beberapa kali mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam ia menilai bahwa Hong-ho-sam-liong cukup jujur juga karena mau menceritakan masa silam mereka yang kurang terhormat. Selain itu timbul pula ketidak-senangannya mendengar tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang suka memaksakan kehendak kepada orang lain dengan sewenang- wenang.
“Siapa Ho Tian itu? Dapatkah ia dipercaya?” tanya Wi-lian.
Ang Hay-liong menjawab, “Dia adalah bekas rekanku sejak bekerja tanpa modal dulu. Saat ini, meskipun Ho Tian masih menjalankan pekerjaan lama, tapi sasarannya hanya memilih kepada kaum kaya yang mendapatkan kekayaannya dengan memeras rakyat. Sarangnya di bukit Ceng-seng-nia dan anak buahnya ada ratusan orang. Kukira keluarga kami akan aman di sana.”
Alis Wi-lian agak berkerut ketika mendengar tentang “pekerjaan” Ho Tian. Betapapun juga timbul rasa kurang sesuai dalam diri gadis itu jika harus bergaul dengan orang-orang semacam itu.
Melihat perubahan muka gadis itu, buru-buru Ang Hay-liong menambah penjelasannya, “Kudengar Ho Tian tidak pernah membegal pedagang kecil, bahkan pedagang kaya pun asal ia jujur tidak akan dibegalnya. Sasarannya lebih banyak kepada kaum pembesar yang perutnya gendut karena menghisap darah rakyat. Kekayaan mereka berlimpah, jika diambil seribu atau duaribu tahil saja belum terasa apa- apa. Sedang uang sebesar itu akan sangat berarti bagi saudara-saudara kami yang hidup dengan mengandalkan ramainya lalu lintas sungai Hong-ho.”
Tong Wi-lian tidak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut. Kalau perdebatan itu dilanjutkan, mungkin tiga hari tiga malam pun tidak akan selesai. Sudah umum, bahwa orang-orang yang menjalankan pekerjaan yang paling buruk pun akan punya segudang alasan untuk membenarkan pekerjaannya tersebut.
Ketika itu matahari sudah agak condong ke sebelah barat. Akhirnya Wi-lian mengundurkan diri dan mengucapkan terima kasih kepada Hong-ho-sam-liong yang telah memberi keterangan itu. terdorong oleh rasa tidak senangnya kepada Hwe-liong-pang, maka gadis itu bahkan berani menjanjikan,
“Kami, murid-murid Siau-lim-pay paling benci melihat kesewenang-wenangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Hwe-liong-pang. Urusan sam-wi (tuan bertiga) dengan Hwe-liong-pang bagaimanapun juga aku harus ikut campur. Sekarang baiklah kita masing-masing akan berpisah dan beristirahat.”
Ketiga Hong-ho-sam-hiong itupun berdiri dan mengucapkan terima kasih kepada Wi-lian yang sudi berbagi nasib dengan mereka.
* * * * * * *
Matahari perlahan mulai turun ke barat dan kegelapan pun mulai turun menyungkup bumi bagaikan sehelai selimut raksasa berwarna kelam. Senja lewat dan berganti dengan malam, ternyata senja itu tidak ada apapun yang terjadi. Bola bumi terus berputar dan malampun terus menukik menuju ke kedalamannya.
Kota Kay-hong dalam keadaan dingin mencekam, penduduknya telah tertidur dalam kehangatan rumah masing-masing. Yang masih berkeliaran di luar rumah hanyalah para peronda yang menjalankan tugas tetapnya dengan rasa jemu, dengan langkah segan mereka mengelilingi kota sambil sekali-sekali membunyikan gembreng.
Rumah penginapan tempat menginapnya Hong-ho-sam-hiong itupun keadaannya sama gelapnya dengan keadaan kota Kay-hong umumnya. Kamar lelaki berbaju abu-abu dan bermuka mayat itu nampak gelap gulita dan ternyata kosong! Dalam kegelapan sepintas lalu memang nampak ada sesosok tubuh meringkuk di atas pembaringan. Namun itu hanyalah tipuan yang lazim dijalankan oleh orang-orang dunia persilatan untuk mengelabuhi orang yang mengintai ke dalam kamar.
Si muka dingin itu ternyata sudah berada di luar kamarnya. Dengan berpakaian ringkas berwarna hitam, ia tengah berjalan mengendap-endap mendekati jendela kamar tidur dari si pengurus penginapan yang bongkok itu. Setibanya di dekat jendela, lebih dulu ia menengok ke kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa perbuatannya itu tidak diawasi orang. Ternyata ia merasa aman. Lalu diketuknya daun jendela itu dengan irama tertentu, dan diulanginya beberapa kali.
Pengurus rumah makan yang bongkok dan tua itu terkejut mendengar ketukan itu, ia terjaga dari tidurnya dan mendengarkan baik-baik irama ketukan itu. Wajahnya nampak agak tegang. Lalu dengan suara tertahan ia berkata, “Siapa?”
Orang bermuka mayat yang di luar jendela itu menjawab, meskipun dengan suara lirih namun cukup terdengar dari dalam, “Ang-ki-tong (Ruang/ kelompok Panji Merah), Hu-tong-cu (wakil kepala kelompok), Lam-thian-hwe-liong (Naga Api di Langit Selatan).”
Si bongkok pengurus penginapan itu mengerutkan alisnya katanya dengan kata-kata sandi, “Wibawa Hwe-liong-pang-cu menudungi matahari...”
Sahut si muka dingin dari luar, “...menutup rembulan. Ang-ki-hu-tong-cu Tan Han-ciang mohon diijinkan menghadap kepada Ui-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Panji Kuning).”
Si bongkok nampak tersenyum kecut. Sambil menggerutu ia menyalakan sebatang lilin untuk menerangi kamarnya, setelah itu dengan sikap malas barulah ia membuka jendela dan berkata, “Maaf, kau harus melompat lewat jendela, saudara Tan, silahkan masuk.”
Si muka mayat cepat melompat masuk dengan gerakan yang ringan dan cepat, menandakan tingkat ilmu silatnya tidak bisa dianggap ringan. Ruyung baja itu masih terlilit di pinggangnya. Si pengurus penginapan yang bongkok itu menyambutnya dengan tertawa terkekeh-kekeh, “He- he-he, saudara Tan, angin apa gerangan yang meniupmu sampai ke sini?”
Si muka mayat yang biasanya angkuh dan bermuka dingin itu kini ternyata bersikap sangat sungkan dan sangat menghormat kepada si tua bongkok yang bahkan giginya pun hampir habis itu. kata si muka dingin sambil memberi hormat,
“Harap Kwa Tong-cu (kepala kelompok she Kwa) memaafkan aku yang telah berani memasuki wilayah kerja Ui-ki-tong tanpa pemberitahuan lebih dulu. Harap Tong-cu memaklumi bahwa karena tugasku lah yang memaksa aku harus bertindak secara sembunyi-sembunyi semacam ini.”
Si bongkok yang dipanggil Kwa Tong-cu nampak mengerutkan alisnya dan tanpa sungkan sedikitpun ia menunjukkan ketidak-senangannya. Ia diam saja tanpa menyahut, membuat orang bermuka mayat yang bernama Tan Han-ciang itu jadi salah tingkah untuk beberapa saat lamanya. Akhirnya terdengar Tan Han-ciang berkata pula,
“Dan aku minta maaf sekali lagi, Kwa Tong-cu malam ini terpaksa aku memberanikan diri untuk merepotkan Tong-cu dengan meminta bantuan Tong-cu.”
“Bantuan apa?” tanya Kwa Tong-cu dingin.
Sungguh mengherankan bahwa si muka mayat yang tadinya begitu menyeramkan bagi orang lain itu, kini bersikap seperti tikus berhadapan dengan kucing saja. Meskipun si bongkok sudah terang-terangan menunjukkan rasa tidak senangnya, namun si muka mayat dengan tak kenal malu masih berkata juga,
“Kwa Tong-cu, bantuan yang hendak kuminta ini bukan hanya menyangkut kepentingan Ang-ki-tiong kami, tapi juga menyangkut kewibawaan seluruh Hwe-liong-pang kita. Saat ini aku sedang menjalankan tugas dari Ang-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Panji Merah) untuk memburu dan menumpas Hong-ho-sam-hiong karena mereka telah berani melarikan diri untuk menghindari panggilan suci dari Pang kita. Tiga orang buruanku itu saat ini berada di dalam rumah penginapanmu ini.”
Tong-cu she Kwa itu mendengus dingin, katanya dengan nada yang tawar, “Kalau buruanmu sudah ada di sini, kenapa kalian tidak segera turun tangan, membabat tanpa kenal ampun dan tanpa peduli caci maki orang-orang dunia persilatan? Bukankah begitu kebiasaan Ang-ki-tong kalian? Saudara Tan, terus terang saja selama ini aku tidak setuju dengan gerak-gerik Ang-ki-tong kalian yang ganas itu. ada masalah kecil saja terus main bunuh dan main babat seenaknya saja. Jika tindakan-tindakan semacam ini terus berkelanjutan, lama-lama Hwe-liong-pang kita ini akan dianggap sebagai golongan sesat, dan ini jelas tidak sesuai dengan garis perjuangan yang ditetapkan oleh Pangcu."
Ditatap oleh mata Tong-cu she Kwa itu, Tan Han-ciang cuma dapat menundukkan kepalanya tanpa berani membantah. Akhirnya terdengarlah suaranya yang agak gugup, “A...aku cuma menjalankan apa yang diperintahkan oleh Ang-ki-tong-cu tanpa punya kekuasaan untuk membantah. Kali inipun aku dengan sangat mohon bantuan Tong-cu, sebab kalau sampai aku gagal, berarti kepalakupun akan terpisah dari leherku. Meskipun ketiga orang Hong-ho-sam-hiong itu sendiri bukan lawan berat, tetapi gadis yang bersilat dengan gaya Siau-lim-pay itulah yang merupakan perintang yang benar-benar tangguh.”
Lelaki bongkok yang sebenarnya bernama Kwa Hneg itu nampak menarik napas dalam-dalam dengan sikap kesal. Katanya dengan nada yang terpaksa, “Baiklah, baiklah, kalau sudah begini terpaksa kita harus saling bantu juga akhirnya. Tetapi tidak adakah jalan lain dari pembunuhan?”
Tan Han-ciang pun menarik napas, “Sekali lagi harap Kwa Tong-cu memaklumi keadaanku yang cuma menjalankan perintah atasan. Siapa yang membantah perintah atasan, hukumannya adalah dihadiahi dengan sebutir Racun Penghancur yang mengerikan itu. contohnya adalah Thio Tong-cu (Kepala Kelompok Thio) dari Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau) yang telah dipaksa minum Racun Penghancur oleh Tang Su-cia (utusan she Tang) karena berani membantah perintah Tang Su-cia. Peraturan dalam Pang kita sangat keras. Jika aku gagal menjalankan tugasku, maka Racun Penghancurlah bagianku. Kwa Tong-cu, sekali ini kau benar-benar telah menyelamatkan aku dari hukuman yang menakutkan itu.”
Iba juga hati Kwa Heng melihat Tan Han-ciang sampai merengek seperti anak kecil itu. sahutnya kemudian, “Baiklah, tetapi tentu aku harus berganti pakaian ya-heng-i (pakaian berjalan malam) lebih dulu. Eh, ngomong-ngomong sekarang siapa yang menggantikan Thio Tong-cu sebagai pemimpin Jing-ki-tong? Hubungan antara Jing-ki-tong dan Ang-ki-tong kalian cukup akrab, tentu kau mengetahuinya.”
"Kalau tidak salah jabatan Jing-ki-tong-cu sekarang dijabat oleh Au-yang Siau-hui, orang dari Su-coan itu.”
“Astaga, kiranya iblis kecil itu,” keluh Kwa Heng sambil memegang keningnya. “Omong terus terang, orang she Au-yang ini tidak berbeda gilanya dengan kepala kelompokmu itu. semakin banyak orang macam ini bercokol dalam Hwe-liong-pang, semakin kaburlah garis perjuangan yang digariskan oleh Pangcu kita. Orang-orang semacam Tong-cu mu dan si setan kecil she Au-yang itu hanya tahu satu jalan jika timbul perselisihan, yaitu membunuh. Selain cara itu mereka tidak melihat cara lain lagi. Orang semacam mereka suatu ketika akan menjerumuskan Hwe-liong-pang ke dalam kesulitan.”
Meskipun dalam hatinya tidak setuju, namun Tan Han-ciang tidak berani memotong atau membantah ucapan Kwa Heng itu. yang meluncur dari mulutnya hanya kata-kata “ya” dan “baik” saja.
“Bagaimana menurut pendapatmu saudara Tan. Apakah tenaga kita berdua saja sudah cukup untuk mengatasi Hog-ho-sam-hiong dan gadis Siau-lim-pay itu?” tiba-tiba Kwa Heng bertanya kepada Tan Han-ciang.
Sahut Tan Han-ciang, “Lebih baik kelebihan tenaga daripada menanggung kemungkinan kegagalan. Menurut pendapatku, ada baiknya Kwa Tong-cu menghubungi beberapa saudara dari Ui-ki-tong yang berilmu silat cukup kuat untuk diikut-sertakan dalam gerakan kita.”
Kwa heng si bongkok mengangguk-anggukkan kepalanya yang berambut kelabu itu. ia mempersilahkan Tan Han-ciang untuk menunggu sebentar, sementara ia sendiri membangunkan seorang pelayannya yang sudah tidur pulas untuk memanggil seseorang.
“A-liok, sekarang juga kau keluar dan panggillah Ji Tiat supaya datang ke mari, sekarang juga dan jangan diketahui orang,” perintahnya.
Pelayan yang masih mengantuk itupun bangkit dan menjalankan perintah tersebut, meskipun sambil mengerutu dalam hati karena kenimatan tidurnya terganggu. Untunglah rumah orang yang bernama Ji Tiat itu letaknya tidak jauh dari rumah penginapan. Maka tidak lama kemudian pelayan itu telah kembali menghadap Kwa Heng bersama seorang lelaki yang bertubuh tegap kekar, meskipun tubuhnya tidak terlau besar.
Mukanya merah dan matanya besar, sekitar mukanya dihiasi brewok pendek. Matanya yang dinaungi sepasang alis hitam lebat itu bersinar-sinar mengesankan kejujuran dan keberanian. Pakaiannya sangat sederhana, hanya baju pendek dan celana pendek pula, serta sepatu rumput di kakinya. Pada iakt pinggangnya yang terbuat dari kulit itu tergantunglah sepasang kampak bergagang pendek yang agaknya merupakan senjata andalannya.
Setelah menyuruh A-liok untuk kembali tidur, Kwa Heng memperkenalkan Tan Han-ciang kepada orang yang datang bersama dengan A-liok itu. ternyata orang itu adalah Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong yang bernama Ji Tiat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai tukang jagal hewan di pasar, dan itu cocok dengan keadaan tubuhnya yang memang menyimpan kekuatan hebat di dalamnya.
Namun hanya orang-orang tertentu di Kay-hong yang mengetahui bahwa Ji Tiat ini adalah anggota Hwe-liong-pang, bahkan kedudukannya cukup tinggi, yaitu Hu-tong-cu (wakil kepala kelompok) dari kelompok Ui-ki-tong. Dua orang Hu-tong-cu, satu dari Ui-ki-tong dan satu lagi dari Ang-ki-tong itu segera saling berkenalan satu sama lain. Setelah itu mereka saling berembug untuk mencari cara yang sebaik-baiknya untuk “merampungkan” Hong-ho-sam-hiong secepat mungkin dan tanpa banyak berisik.
Mula-mula Tan Han-ciang mengusulkan supaya gadis Siau-lim-pay itu dibunuh sekalian, dengan alasan untuk “menunjukkan keangkeran Hwe-liong-pang”. Tapi usul itu ditentang keras oleh Kwa Heng dan Ji Tiat karena menanam permusuhan dengan Siau-lim-pay yang punya banyak orang-orang berilmu itu akan sama saja dengan menanam benih kesulitan dan akan membuahkan kesulitan pula di kemudian hari. Akhirnya Tan Han-ciang menyerah.
Sementara itu, di dalam kamarnya Hong-ho-sam-hiong tidak dapat memejamkan matanya sekejap pun. Hati mereka diliputi rasa tegang, bahkan mereka seakan-akan sudah mendapat firasat bahwa malam itu akan merupakan malam terakhir dari perjalanan hidup mereka. Tapi tak seorangpun berani mengungkapkan perasaanya itu kepada yang lain, takut melemahkan semangat lainnya. Senjata mereka tidak pernah terpisah jauh di samping mereka.
Udara di dalam ruagan itupun seakan-akan menjadi terlalu sedikit sehingga menyesakkan napas. Suara yang bagaimanapun kecilnya yang sampai ke telinga mereka, cukup untuk membuat mereka bertiga berlompatan kaget sambil menghunus senjatanya masing-masing. Jika mengenang masa lalunya sebagai seorang begal yang ditakuti di daerah Shoa-tang, maka Ang Hay-liong sempat juga tertawa meskipun dengan getirnya. Saat itu dengan senjata sam-ciat-kunnya, ang Hay-liong seakan-akan tidak gentar kepada langit dan bumi sekalipun.
Namun sungguh berbeda dengan keadaannya sekarang, di mana kenikmatan dan kemewahan hidup sudah melunturkan sebagian besar keberanianya, keluhnya dalam hati, “Agaknya setelah merasakan hidup makmur belasan tahun, aku telah berubah menjadi manusia penakut bernyali tikus.”
Di kamar lain, “si anak lembu yang tidak takut harimau” Tong Wi-lian sedang duduk bersemedi untuk mengumpulkan tenaga dan semangatnya. Gadis itu tidak membawa senjata sepotongpun, sebab selama berguru di Siong-san ia lebih mendalami ilmu silat tangan kosong. Dia telah melatih jari-jari tangannya yang kini merupakan senjata yang paling diandalkannya.
Setelah setengah malam lewat dan ternyata tidak terjadi sesuatu apapun, gadis itu mulai bertanya-tanya dalam hatinya, mungkinkah pihak Hwe-liong-pang menunggu setelah dirinya berpisah dengan Hong-ho-sam-hiong, setelah itu mereka baru bertindak?
“Kalau begitu, celakalah Ang Hay-liong dan saudara-saudara angkatnya itu,” pikir Wi-lian. “Sebab aku tidak akan bisa terus-menerus mengawal mereka, sebab akupun punya beberapa urusan yang harus diselesaikan. Jika demikian, sebaiknya kucarikan dulu beberapa perlindungan yang aman buat mereka.”
Tengah Wi-lian berpikir-pikir bagaimana sebaiknya menyelamatkan Hong-ho-sam-hiong dari kebuasan Hwe-liong-pang, tiba-tiba telinganya yang tajam dan terlatih menangkap suara berkibarnya kain pakaian di atas genteng. Jelas ada orang-orang berilmu silat yang bergerak di atas genteng. Dan menilik gerakannya yang hampir tanpa suara, maka agaknya orang-orang yang bergerak itu merupakan orang-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tangguh.
Cepat Wi-lian bangkit, melompat keluar jendela tanpa menimbulkan suara sama sekali, lalu menyembunyikan diri dengan berjongkok di balik rumpun pohon-pohon bunga yang terdapat di sekitar kamar sewaannya, ia agak leluasa untuk menebarkan pandangannya ke segala sudut halaman belakang dari rumah penginapan yang tengah dicekam kesunyian itu. Dan pandangan matanya yang tajam melihat ada tiga sosok tubuh bergerak dengan ringannya bagaikan arwah-arwah gentayangan mendekati ke arah kamar Hong-ho-sam-hiong!
“Itulah mereka,” desis Wi-lian seorang diri. Meskipun gadis ini bernyali besar, namun hatinya agak tegang juga sebab ia sudah berjanji kepada Hong-ho-sam-hiong untuk membantu mereka melawan orang- orang Hwe-liong-pang, padahal ia sudah mendengar kabar bahwa orang- orang Hwe-liong-pang itu terkenal dengan kekejamannya dan tingkat ilmunya rata-rata cukup tinggi.
Meskipun malam cukup gelap, namun beberapa bintang yang bergantungan di langit cukup membantu Wi-lian untuk mengenali bentuk tubuh dari ketiga orang yang tengah mengendap-endap ke tempat Hong-ho-sam-hiong itu. Salah seorang dari mereka adalah lelaki bermuka mayat yang oleh Wi-lian dicurigai sebagai pengintip pembicaraan siang tadi. Yang seorang lagi adalah seorang bongkok namun kelihatan sangat lincah, dan seorang bertubuh tegap dan kokoh tapi juga cukup gesit, tidak kalah gesitnya dengan orang bermuka dingin.
“Sudah kuduga bahwa orang bermuka dingin itu tentu punya maksud tertentu, ternyata dugaanku ini tidak salah,” pikir Wi-lian. “Bahkan ia membawa dua orang kawan yang agaknya tenaga-tenaga yang dapat diandalkan pula. Aku harus berhati-hati.”
Ketika Wi-lian melihat orang yang bongkok itu, tiba-tiba ingatlah dia akan seorang tokoh yang pernah diceritakan oleh gurunya, dan mau tidak mau jantungnya pun berdebar lebih kencang jika ingat akan tokoh itu. Pikir Wi-lian,
“Jangan-jangan orang bongkok itu adalah Kwa Heng, tokoh yang bergelar Thi-jiau-tho-kau (Monyet Bongkok Berkuku Besi) itu? Kudengar ia sering berpasangan dengan tokoh lainnya yang bernama Ji Tiat dan berjuluk Siang-po-kay-san (Sepasang Kapak Pembelah Gunung). Meskipun nama mereka tidak terlalu harum, tapi merekapun bukan orang-orang jahat, kenapa sekarang nampaknya bergabung dengan Hwe-liong-pang? Ah, hati manusia memang susah diduga.”
Sementara itu, telah terdengar Tan Han-ciang berteriak, “he, tiga cecurut busuk, lekaslah keluar untuk menerima kematian!”
Seruan Tan han-ciang itu mendapat jawaban langsung. Daun pintu nampak “terbang” karena ditendang dari dalam, dan yang muncul paling dulu ternyata adalah si berangasan Suma Hun. Disusul kemudian oleh Ang Hay-liong dan Pang Lun.
Tan Han-ciang tertawa dingin melihat munculnya Hong-ho-sam-hiong. Katanya mengejek, “he-he-he, kalian berani mengingkari ajakan Tong-cu kami dan melarikan diri begitu jauh, tentunya kalian tidak menduga kalau aku berhasil memburu kalian bukan?”
Ang Hay-liong maju selangkah dan berkata sambil menudingkan tangannya, “Kalian orang-orang Hwe-liong-pang benar-benar keterlaluan. Apa kesalahan kami terhadap perkumpulanmu sehingga kalian terus mengejar kami dan tidak membiarkan kami menikmati hari tua kami?”
“Hemm, mengingkari ajakan Tong-cu untuk bergabung dengan kami itu saja sudah merupakan dosa tak terampun, sebab itu berarti menghina Pang kami dan memandang rendah kami. Kalian memang orang-orang yang tidak tahu diri. Seharusnya kalian bangga jika Pang kami ada perhatian kepada kalian dan bahkan mengajak bekerja sama, kenapa kalian malah melarikan diri? Dasar memang kalian orang-orang yang ditakdirkan mampus malam ini!”
Suma Hun yang pemarah sudah tidak sabar lagi nampaknya. Sambil memutar-mutar toya besinya, ia berkata kepada Ang Hay-liong, “Twako, tidak ada gunanya kita bicara panjang lebar kepada manusia-manusia binatang ini. Bicara dengan senjata, itu lebih tepat.”
Tan Han-ciang tertawa dingin melihat sikap Suma Hun, katanya, “Siapa orangnya yang tidak mengenal keberanian dan kegagahan Suma Hun? Tapi siapa pula yang tidak mengenal ketololannya? Harap kalian ingat ancaman kami tidak pernah kosong melompong, jika kalian mengira bahwa kalian telah berhasil menyelamatkan keluarga kalian yang kalian titipkan di rumah orang she Ho itu, hemm, kalian benar-benar mimpi di siang hari bolong.”
Hal yang benar-benar dicemaskan oleh Hong-ho-sam-hiong memang masalah keselamatan anggota keluarga mereka. Mereka bahkan rela terbunuh oleh orang-orang Hwe-liong-pang asal keluarga mereka selamat. Tapi kini setelah mendengar ucapan Tan Han-ciang itu, terkejutlah Ang Hay-long dan kawan-kawannya. Dengan suara bergetar, Ang Hay-liong membentak, “Kau... kau... telah berbuat apa terhadap mereka?”
Tan Han-ciang tertawa terbahak-bahak, lalu sahutnya dengan acuh tak acuh, “Bukan salah kami kalau terjadi apa-apa atas diri meeka, sebab kalian memang tidak menghiraukan peringatan kami. Semua ancaman yang kami canangkan itu telah kami laksanakan. Limapuluh enam jiwa anggota keluarga kalian dan anggota keluarga Ho yang telah melindunginya, semuanya telah kami kirim ke neraka!”
Bukan Hong-ho-sam-hiong saja yang bergetar hatinya, bahkan Kwa Heng dan Ji Tiat yang sebagai sama-sama orang Hwe-liong-pang pun ikut terkejut mendengar ucapan Tan han-ciang itu. Diam-diam Kwa Heng mengeluh dalam hati, “Jika tindakan-tindakan kejam seperti ini dibiarkan terus menerus, maka nama Hwe-liong-pang benar-benar akan rusak, dan tidak mustahil suatu saat akan dianggap sebagai musuh bersama dunia persilatan.”
Sedangkan bagi Hong-ho-sam-hiong berita itu benar-benar sebuah pukulan berat kepada batin mereka. Begitu pula Tong Wi-lian yang masih bersembunyi itu telah meluap darahnya, namun gadis itu masih berusaha mengendalikan kemarahannya sambil menunggu perkembangan berikutnya. Pang Lun nampak menengadah ke langit yang kelam, mulutnya berkemak-kemik seakan bicara kepada bintang-bintang di langit. Bisiknya,
“Saudara Ho, budimu kepada kami bertiga sungguh tak terukur dalamnya. Harap kau tenangkan dirirmu di alam baka. Jika malam ini kami gagal membalas sakit hatimu, kami bersumpah tidak ingin hidup lagi dan biarlah menyusulmu ke alam baka saja.”
Jika Pang Lun meratap demikian memilukan, sebaliknya Suma Hun telah meraung keras bagaikan harimau terluka, “Malam ini harus ada ketentuan, kalian atau kami bertiga yang harus lenyap dari muka bumi ini!”
Dan Suma Hun langsung melompat maju sambil menggerakkan toya besinya dengan jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Ribuan Prajurit) untuk menyerampang sekaligus ketiga orang Hwe-liong-pang itu. Tan Han-ciang cepat berjungkir balik ke belakang untuk menghindar. Begitu pula Kwa Heng telah melejit dengan gesitnya. Namun Ji Tiat yang juga bertenaga raksasa itu sama sekali tidak menghindar, justru dengan sepasang kapak pendeknya ia membentur toya besi Suma Hun secara keras lawan keras.
Terdengar suara berdentang yang memekakkan telinga, mengguncangkan udara malam yang dingin dan beku. Suara keras itu sebetulnya sudah cukup untuk membangunkan seluruh tetamu yang menginap di penginapan itu, namun ternyata tidak seorangpun yang berani keluar dan melibatkan diri dengan permusuhan antara orang-orang dunia persilatan itu.
Dari akibat benturan itu, nampaklah perbandingan tenaga antara Suma Hun dengan Ji Tiat. Ternyata Ji Tiat lebih unggul setingkat dalam hal tenaga. Ia hanya tergeliat sedikit meskipun telapak tangan yang memegang sepasang kapaknya itu terasa panas. Sedangkan Suma Hun terdorong mundur dua langkah dan toyanya pun hampir-hampir terlempar lepas dari tangannya.
Dalam keadaan biasa, tentu Suma Hun akan terkejut oleh kekuatan lawan dan berpikir-pikir untuk melawan lagi. Tapi saat itu Suma Hun sudah mata gelap, dan yang ada dalam pikirannya tidak lain hanya keinginan untuk mebunuh lawan, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan diri sendiri. Dengan ganasnya ia kembali menubruk maju dan lawannya pun menyambutnya dengan “hangat”.
Ang Hay-liong dan Pang Lun, ketika melihat saudara muda mereka telah terlibat dalam bentrokan senjata, segera menerjunkan diri ke tengah gelanggang pula. Didorong oleh kemarahan yang meluap-luap dan tekad untuk mengadu jiwa, tokoh-tokoh Hong-ho-sam-hiong itu kini benar- benar merupakan orang-orang yang berbahaya.
Tan Han-ciang segera mengurai pecut bajanya yang terlilit dipinggangnya dan segera menggetarkannya di udara. Suara geletarnya terdengar mengerikan bagai suara halilintar. Dengan senjatanya inilah Tan Han-ciang sekaligus menyapu ke arah Ang Hay-liong dan Pang Lun yang tengah bergerak maju. Agaknya kali ini Tan Han-ciang salah dalam membuat perhitungan. Dalam keadaan biasa, Hong-ho-sam-hiong memang bukan orang-orang yang terlalu ditakuti karena kepandaian mereka yang tidak begitu tinggi.
Namun kali ini mereka sudah dalam keadaan nekad dan tidak peduli lagi mati hidupnya sendiri. Karena itu, sapuan cambuk baja Tan Han-ciang itu tidak membuat Ang Hay-liong dan Pang Lun mundur, melainkan mereka terus merangsek dengan keras kepala. Mau tidak mau Hu-tong-cu dari Ang-ki-tong itulah yang harus melompat mundur dengan kagetnya.
Terdengar Pang Lun berteriak melengking, sepasang liu-yap-tonya bergerak sekaligus dengan dua jurus yang berbeda. Golok di tangan kanan menyapu dengan jurus Ciu-hong-sau-yap (Angin Kemarau Menyapu Daun), dan golok kiri bergerak mendatar ke depan setinggi dada dengan gerakan Wan-hun-kok-so (Arwah Penasaran Mengajukan Tuntutan). Kedua gerakan itu amat ganas dan merupakan jurus-jurus andalan dari tokoh penengah Hong-ho-sam-hiong ini.
Dari jurusan lain, Ang Hay-liong pun telah menyerang dengan gerakan aneh. Ia memegang sam-ciat-kun pada ruas tengahnya, sedangkan kedua ruas pinggirnya bergerak menyerang jalan darah tay-yang-hiat di pelipis dan tan-yang-hiat di belakang kepala Tan Han-ciang. Kedua jalan darah itu merupakan jalan darah jalan darah kematian. Betapapun Tan Han-ciang adalah Ang-ki-hu-tong-cu yang cukup disegani, karena didesak begitu rupa, akhirnya meluap juga kemarahannya.
Wajahnya tiba-tiba menyeringai kejam, menamplkan hawa napsu membunuh yang mulai menguasai dirinya. Cambuk bajanya diputar kencang, dan bagaikan seekor naga yang meluncur dari langit, cambuk itu menyambar ke jalan darah pek-hwe-hiat di ubun-ubun Pang Lun. Bersamaan dengan itu telapak tangan kirinya pun ikut bekerja dengan melakukan babatan keras ke rusuk Ang Hay-liong.
Golok liu-yap-siang-to Pang Lun pendek, sedang cambuk lawan panjangnya satu tombak lebih, maka sebelum golok Pang Lun mengenai kulit lawan, pasti batok kepalanya akan lebih dulu remuk terhantam cambuk baja lawannya. Namun sekali lagi Pang Lun berbuat suatu tindakan yang diluar perhitungan lawannya.
Ia tidak mundur, namun justru mempercepat luncuran majunya dan mengubah gerakan sepasang goloknya menjadi jurus Siang-seng-tui-goat (Sepasang Bintang Mengejar Rembulan), di mana sepasang goloknya bergerak sejajar ke dada lawannya. Dengan demikian, meskipun cambuk Tan Han-ciang akan memecahkan kepalanya, tapi sepasang golok Pang Lun pun akan menancap di dada Tan Han-ciang.
Tan Han-ciang, orang yang bisa membunuh korban-korbannya dengan darah dingin itu kali ini mau tidak mau merasa ngeri juga diajak bertempur secara gila-gilaan semacam itu. gerakannya menjadi agak kacau karena hatinya mulai gugup. Sabetan telapak tangannya memang berhasil mengenai rusuk Ang Hay-liong, namun karena pemusatan pikirannya sedang tergoncang, maka daya pukulannya pun berkurang banyak. Pukulan yang seharusnya bisa menjebol iga Ang Hay-liong, kini hanya membuat lawannya itu terhuyung ke belakang.
Pada detik yang sama terdengar suara kain terkoyak dan suara Tan Han-ciang yang memaki geram. Ternyata sepasang golok liu-yap-to Pang Lun sempat juga membuat robekan sejajar pada pakaian di dadanya meskipun tidak melukai sebab orang she Tan itu sempat melompat mundur. Dalam bingungnya, Tan Han-ciang menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi Pang Lun yang berkelahi seperti kerasukan setan. Dan tanpa disadarinya, ia bergulingan kearah lingkaran pertempuran antara Ji Tiat dengan Suma Hun yang sedang seru-serunya.
Saat itu sebenarnya Suma Hun sedang merasa putus harapan karena lawannya yang bersenjata sepasang kapak pendek itu ternyata begitu hebat. Bahkan ia dapat meladeni kenekatan Suam Hun dengan tenangnya. Ketika melihat Tan Han-ciang bergulingan mendekat kearahnya, seketika itu juga timbullah pikiran nekad Suma Hun,
“Lambat atau cepat aku pasti akan mati. Daripada aku mati percuma, lebih baik kubunuh salah seorang Hwe-liong-pang ini agar mereka pun menderita kerugian.”
Membunuh Ji Tiat sudah terang tidak bisa, maka Tan Han-ciang lah sasaran yang lebih mudah dijangkau. Dan di luar dugaan siapapun, tiba-tiba Suma Hun mengayunkan tongkat besinya untuk mengepruk kepala Tan Han-ciang yang sedang bergulingan di dekatnya. Padahal ia sendiri sedang terancam oleh serangan ganas sepasang kapak Ji Tiat, namun hal ini sama sekali tidak dihiraukannya. Bahkan Suma Hun berteriak, “Biar aku mampus, paling tidak di antara kalian juga harus ada yang mampus!”
Sikap yang demikian nekadnya itu mau tidak mau membuat tercengang siapapun yang melihatnya, termasuk Wi-lian di tempat persembunyiannya yang hampir copot jantungnya melihat peristiwa itu. Sedetik lagi, batok kepala Tan Han-ciang akan remuk terhantam toya besi Suma Hun, tapi bersamaan dengan itu tubuh Suma Hun pun akan dirajang menjadi beberapa potong oleh sepasang kapak Ji Tiat.
Adegan pertarungan sebrutal dan segila itu bahkan belum pernah sekalipun dilihat oleh Kwa Heng yang sudah cukup berpengalaman. Di saat sepasang kapak pendek Ji Tiat hampir mengenai tubuh Suma Hun, tiba-tiba terdengarlah Kwa Heng berkata tidak begitu keras tetapi bernada tegas, “Saudara Ji, itu bukan tugas Ui-ki-tong kita!”
Sedangkan Tan Han-ciang dengan mengerahkan seluruh ketangkasannya barulah dapat menghindari serangan maut Suma Hun dan melompat bangun dengan keringat dingin membasahi punggungnya. Hatinya panas bukan main ketika mendengar seruan Kwa Heng kepada Ji Tiat tadi. Pikirnya dengan geram,
“Orang-orang Ui-ki-tong benar-benar tidak menghargai setia kawan antar sesama anggota Hwe-liong-pang. Agaknya mereka tidak ambil peduli andaikata aku mampus sekalipun. Suatu saat mereka harus mengenal kelihaian Ang-ki-tong kami.”
Sementara itu Suma Hun sendiri merasa heran, kenapa lawannya yang bersenjata sepasang kapak pendek itu tidak melanjutkan serangannya? Sesaat ia termangu oleh keadaan yang membingungkan itu. Akhirnya dengan polos ia memberi sebuah anggukan hormat kepada Ji Tiat, dan setelah itu kembali melabrak Tan Han-ciang dengan sengitnya.
Di satu pihak ada orang-orang kalap yang siap mengadu jiwa, di lain pihak ada seorang yang sangat murka dan dipenuhi napsu membunuh yang berkobar-kobar, maka pertempuran di halaman belakang rumah penginapan itu benar-benar merupakan sebuah arena yang seru bukan main.
Di tempat persembunyiannya Tong Wi-lian mencoba menilai kekuatan orang-orang Hwe-liong-pang itu sebelum ia turun tangan nanti. Agaknya Tan Han-ciang dan Ji Tiat mempunyai kepandaian yang sejajar, tapi Wi-lian harus merasa bangga sebab nampaknya kedua orang itu masih setingkat di bawah dirinya. Namun Kwa Heng, si bongkok yang sama sekali belum turun tangan itulah yang agaknya harus diperhitungkan baik-baik. Dalam hati gadis itupun timbul pertanyaan, kenapa Kwa Heng mencegah Ji Tiat membunuh Suma Hun? Akhirnya ia mengambil keputusan sendiri,
“Agaknya dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri ada ketidak-rukunan dan persaingan antar kelompok. Ini bagus, sebab akan memperlemah kekuatan mereka sendiri.” Akhirnya gadis itu sudah tidak sabar lagi untuk terus bersembunyi. Tidak peduli urusan apapun yang ada di antara orang-orang Hwe-liong- pang sendiri, pokoknya mereka harus dihajar, demikian tekadnya.
Maka bagaikan seekor burung elang ia melompat keluar dari persembunyiannya secepat kilat. Kemunculannya tersebut telah membuat ketiga orang Hong-ho-sam-hiong bertambah semangatnya, sebaliknya ketiga orang Hwe-liong-pang menjadi bertambah waspada. Begitu kakinya menginjak tanah, Wi-lian langsung melompat lagi dan menyerang Tan Han-ciang dengan dua buah tendangan berturut-turut ke arah pelipis dan muka Ang-ki-hu-tong-cu itu. tong Wi-lian memang telah merasa mendongkol kepada Tan Han-ciang sejak siang tadi.
Sebagai seorang wakil kepala kelompok dalam sebuah perkumpulan sekuat Hwe-liong-pang, tentu saja kepandaian Tan Han-ciang tidaklah rendah. Tapi saat itu ia sedang dikepung oleh Hong-ho-sam-hiong yang kalap, maka serangan dari lawan baru itu cukup mengejutkannya. Dalam bingungnya ia mengambil tindakan untung-untungan dengan jalan melompat ke atas dengan gerakan Ui-no-cong-thian (Burung Jenjang Naik Ke Langit).
Desakan Hong-ho-sam-hiong akhirnya dapat dihindari, tapi tidak demikian dengan tendangan Wi-lian yang datangnya terlalu cepat itu. Karena Tan Han-ciang melompat ke atas, kaki Wi-lian yang seharusnya mengenai pelipis jadi mengenai pinggangnya yang membuat tokoh Hwe-liong-pang tersebut terbanting sambil meringis kesakitan. Sesaat lamanya ia tidak bisa bangun karena sakitnya.
Si berangasan Suma Hun sungkan melewatkan kesempatan sebaik ini, cepat ia menghantamkan toyanya untuk mengemplang kepala lawan. Tindakan Suma Hun yang kurang perhitungan dan hanya menurutkan napsu amarah saja telah mengejutkan Tong Wi-lian dan Ang Hay-liong sekaligus, sebab betapapun juga Tan Han-ciang tetap merupakan seorang lawan yang berbahaya.
“Sam-te, hati-hati!” hampir bersamaan Ang Hay-liong dan Pang Lun berseru memperingatkan.
Tapi peringatan itu terlambat datangnya. Tan Han-ciang yang sedang marah besar itu kini melihat sebuah kesempatan baik yang tidak akan disia-siakannya. Cepat ia melompat ke atas sehingga sambaran toya besi itu hanya lewat di bawah kakinya, dan cambuk bajanya membalas menghantam kepala Suma Hun sekuat tenaga.
Dengan mengeluarkan suara berderak keras bercampur dengan jeritan ngeri Suma Hun, robohlah orang ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong tersebut dengan batok kepala remuk. Tentu saja nyawanya pun amblas saat itu juga.
Sementara itu Wi-lian menjadi marah dan malu pula. Ia sudah terlanjur berjanji akan melindungi Hong-ho-sam-hiong, dan kini Suma Hun terjungkal mati di depan hidungnya tanpa ia bisa mencegah. Maka dengan berteriak nyaring, gadis itu segera menyerang Tan Han-ciang, diikuti oleh Ang Hay-liong dan Pang Lun yang ingin membalaskan kematian Suma Hun.
Tan Han-ciang yang sudah pernah melihat kelihayan Tong Wi-lian tentu saja hatinya menjadi gentar ketika melihat gadis itu menerjang ke arahnya dengan sengit. Cepat ia melompat mundur beberapa langkah sambl berseru kepada Kwa Heng, “Kwa Tong-cu, kau jangan berpangku tangan saja...”
Dan baru saja mulutnya terkatup, sebuah jotosan keras dari Wi-lian telah menyambar hidungnya. Untung Ang-ki-hu-tong-cu itu masih sempat menyelamatkan diri dengan gaya Thi-pan-kio (Jembatan Papan Besi), yaitu menekuk punggung ke belakang, sehingga hampir mengenai tanah. Gerakan yang sebetulnya berbahaya dalam pertempuran jarak dekat, namun Tan Han-ciang sudah tidak ingat lagi akan hal tersebut karena gugupnya.
Wi-lian tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada orang yang dibencinya tersebut. Sebelum Tan Han-ciang sempat merubah kedudukan, ia telah menyusulkan sebuah tendangan rendah ke arah sambungan lutut lawannya. Terpaksa Kwa Heng tidak dapat membiarkan hal itu terjadi didepan matanya.
Meskipun ia punya ketidak-sesuaian pendapat dengan orang-orang Hwe-liong-pang. Punggungnya yang melengkung itu ternyata bukan merupakan rintangan untuk bertindak gesit, karena dengan secepat kilat ia telah melompat ke arah Wi-lian dan jari-jarinya yang sekuat besi langsung menerkam ke tengkuk si gadis.
Betapapun cepatnya gerakan si bongkok, ia tidak dapat menolong Tan Han-ciang sepenuhnya. Terdengar wakil kepala kelompok Ang-ki-tong itu mengaduh pendek dan roboh ke tanah, ternyata sambungan lutut kanannya telah kena ditendang patah oleh murid Hong tay Hwesio ini.
Saat itulah Wi-lian mendengar ada desir angin di belakangnya, cepat ia merendahkan diri sambil memutar tubuh sekaligus tangan kirinya melakukan tangkisan. Detik itu juga, dua buah tangan yang sama-sama penuh tenaga dalam dan yang sama-sama terlatih telah berbenturan dengan kerasnya. Wi-lian tergeliat selangkah surut, sedangkan Kwa Heng yang kakinya tengah tidak menginjak tanah itu dipaksa untuk bersalto ke belakang untuk mementahkan dorongan tenaga lawan.
Di lain bagian, Ang Hay-liong telah melanjutkan pertempuran dengan Tan Han-ciang yang telah patah kaki kanannya. Karena cedera tersebut, Ang-ki-hu-tong-cu harus berkelahi dengan tetap berdiri di tempat tanpa berani menggerakkan kaki sedikitpun, itupun kadang-kadang membuatnya menyeringai karena menahan nyeri di lutut kanannya. Meskipun demikian, pada dasarnya memang Tan Han-ciang berkepandaian lebih tinggi dari Ang Hay-liong, selain itu juga lebih licik dan cerdik.
Sedangkan Ang Hay-liong tidak sebuas Suma Hun sehingga lebih mudah dilayani. Cambuk baja Tan Han-ciang tidak henti-hentinya menggetar dengan dahsyatnya mencambuk dan melibat seluruh bagian badan lawan secara berganti-ganti. Namun Ang Hay-liong dengan ruyung tiga ruasnya juga pantang menyerah sebelum ajal. Keberaniannya menempuh bahaya kadang membuat Tan Han-ciang mencaci maki dengan gemasnya.
Ji Tiat pun sedang bertarung dengan Pang Lun dan nampaknya seimbang. Itu bukan berarti ilmu Pang Lun begitu tingginya sehingga dapat mengimbangi lawan, namun adalah karena Ji Tiat meladeni musuhnya dengan setengah hati dan hanya bersikap bertahan saja. Sedang semangat berani mati dari Pang Lun itu cukup memaksa tokoh yang berjuluk Siang-po-kay-san itu untuk berhati-hati.
Sementara itu, setelah Kwa Heng berdiri berhadapan dengan Tong Wi-lian, mulailah si bongkok itu menilai lawannya, “Pantas Tan Han- ciang tidak segan-segan menunjukkan rasa gentarnya kepada gadis ini, kiranya kemampuannya memang pantas mendapat perhatian dalam percaturan dunia persilatan di jaman ini. Apalagi dengan Siau-lim-pay dibelakangnya.”
Sebaliknya Wi-lian terkejut setelah memperhatikan wajah lawannya, sebab ternyata si bongkok ini adalah orang yang tadi siang duduk di belakang meja kasir dan bersikap begitu ramah terhadap setiap tetamu. Kata Wi-lian dingin, “Huh, kiranya rumah makan dan penginapan ini hanyalah sebuah kedok untuk menyelubungi perbuatan-perbuatan jahat kaum Hwe-liong-pang. Kalian sudah cukup berdosa terhadap ketenteraman orang banyak, maka malam ini biarlah kucoba untuk mengurangi penyakit masyarakat seperti kalian ini.”
Kwa Heng, tokoh yang bergelar Thi-jiau-tho-kau atau Monyet Bongkok Berkuku Besi itu agaknya ingin bersikap hati-hati sebelum turun tangan. Katanya sabar, “Nona, antara pihakku dan pihakmu tidak pernah terjadi permusuhan atau urusan apapun, kenapa nona mengganggu pekerjaan kami? Kalau kami boleh tahu, apakah nona bertindak atas nama nona pribadi atau atas nama Siau-lim-pay?”
Wi-lian menjawab dengan suara tetap dingin, “Memang tidak ada permusuhan pribadi antara diriku dan dirimu. Tapi sebagai murid Siau-lim-pay sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan kekejaman seperti yang kalian lakukan.”
Kwa Heng mengeluh dalam hati mendengar jawaban macam itu. Betapapun kuatnya Hwe-liong-pang, namun perkumpulan itu belum punya niat sedikitpun untuk mengusik-usik perguruan kuat seperti Siau-lim-pay. Maklumlah, Siau-lim-pay bagi umat prsilatan di Tiong-goan dianggap tempat suci, diibaratkan gua macan dan kubangan naga, rahib-rahib sakti yang berdiam di dalamnya tak terhitung banyaknya, begitu pula kaum pendekar lulusan Siau-lim-pay terkenal sebagai tokoh-tokoh yang tangguh.
Karena itu Kwa Heng sebisa-bisanya menjaga agar Hwe-liong-pang jangan sampai berbenturan dengan Siau-lim-pay. Katanya sambil memberi hormat, “Nona, hanya dengan kejadian malam ini nona sudah langsung menganggap seluruh Hwe-liong-pang kami sebagai orang jahat? Harap nona suka mempertimbangkannya baik-baik sebelum nona ikut campur dalam urusan ini. Golongan kami punya garis perjuangan yang tegas dan sama sekali bukan golongan sesat seperti anggapan nona.”
Wi-lian hanya tertawa dingin mendengar penjelasan dari Kwa heng. Katanya sambil menuding mayat Suma Hun, “Jika aku belum melihat jatuhnya korban, boleh jadi aku akan percaya omongan manismu itu. Tapi saat ini aku lebih percaya kepada kenyataan yang kulihat di depan mata, percuma saja kau bicara muluk-muluk. Bersiaplah, jika aku tidak berani menindak Hwe-liong-pang kalian, aku malu sebagai murid Siau-lim!”
Kwa Heng mengeluh dalam hati karena ia tahu bahwa sudah tidak ada jalan lain lagi. Namun ia tidak menyalahkan sikap gadis itu, bahkan kagum akan keberaniannya. Sebaliknya ia malah menyalahkan Tan Han-ciang yang gemar kekerasan. Saat berikutnya, Wi-lian telah menyerang lebih dulu. Kakinya melangkah ke depan dan ia membuka serangan dengan ujung jari kedua tangannya secara bergantian. Gerakannya cepat dan cukup mengejutkan lawannya.
Karena tidak berani memandang rendah, Kwa Heng langsung menyambutnya dengan ilmu silat andalannya, yaitu Kau-kun (Silat Kera) yang sudah dilatihnya matang selama belasan tahun. Lincah sekali ia merendahkan badannya sambil menggeser ke samping, dan jari-jari tangannya pun balas mencakar ke tenggorokan Wi-lian. Tidak percuma ia terkenal sebagai seorang jagoan yang cukup disegani di Kay-hong dan sekitarnya. Gerakannya gesit dan cepat luar biasa, malahan dengan jari-jarinya ia sanggup “merobek-robek” sehelai papan dengan gerakan mencakar.
Sebaliknya Tong Wi-lian pun tidak berani kehilangan kewaspadaan menghadapi musuh sehebat itu. Cepat ia membalik tangan kirinya untuk menangkis cakaran Kwa Heng dibarengi dengan sebuah sapuan ke kaki lawan. Kembali Kwa Heng melejit ke samping dengan licinnya. Demikianlah, berkobarlah pertempuran hebat antara seorang jago tua melawan seorang jago muda yang sama-sama ahli dalam ilmu silat tangan kosong. Kwa Heng yang segesit kera, sepasang cakarnya menyambar kian kemari dengan ganas dan cepat sehingga nampak si bongkok itu punya belasan pasang tangan yang bergerak-gerak sekaligus!
Namun Wi-lian pun tidak mengecewakan Rahib Hong-tay dan tokoh-tokoh Siau-lim-pay lainnya yang telah menggemblengnya di bukit Siong-san. Dihadapinya Kwa Heng dengan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), dimana jari-jari tangannya yang dirangkapkan seperti paruh bangau menyambar-nyambar, mematuk-matuk tidak kalah berbahayanya dengan cakaran-cakaran Kwa Heng.
Apalagi sepasang kakinya yang terlatih itupun dapat membuat tubuhnya seakan-akan tidak berbobot sama sekali sehingga gadis itu benar-benar seperti seekor burung bangau yang berterbangan di angkasa. Bahkan kadang-kadang gadis itu berani pula membentur tenaga lawan, keras lawan keras, yaitu dengan menyisipkan jurus-jurus Thay-co-kun (Silat Maharaja) ciptaan Tio Khong-in yang seharusnya dilakukan seorang laki-laki namun toh gadis itu sanggup mengejutkan lawan....
Jilid selanjutnya;