Perserikatan Naga Api Jilid 13
MESKIPUN Wi-lian sedang dalam keadaan kesakitan, mau tidak mau timbul juga perasaan gelinya melihat si sastrawan yang jenaka itu. Bahkan di hadapan Sebun Say pun ia berani bersikap begitu santai dan seenaknya. Selain itu, timbul dugaan Wi-lian bahwa orang bertampang sastrawan rudin inilah yang bernama Liu Tay-liong, orang yang harus diserahi surat gurunya.
Sementara itu, Sebun Say mulai membuat perhitungan dalam otaknya. Ia terpaksa harus membatalkan niatnya untuk membunuh Wi-lian, sebab orang she Liu itu pasti akan menyebarkannya di luaran, padahal Sebun Say tidak merasa yakin dapat merintangi orang she Liu itu jika orang itu ingin pergi dari situ. Tapi untuk melampiaskan rasa mendongkolnya, akhirnya si cebol ini menantang sastrawan rudin itu,
“Baiklah, Liu Tay-liong, aku membatalkan untuk membunuh gadis kurang ajar ini. Bukan karena takut kepada orang-orang Siau- lim-pay, melainkan hanya karena memandang mukamu sebagai seorang kenalan lama. Tapi malam ini cukup dingin, bagaimana kalau kita rayakan pertemuan kita ini dengan sedikit melemaskan otot?”
Tantangan itu sebenarnya mengandung maksud tersembunyi lainnya. Sastrawan rudin she Liu Tay-liong itu pun termasuk “Sepuluh Tokoh Sakti”, bahkan menduduki urutan kelima, jadi lebih tinggi dari Sebun Say. Sebun Say telah berlatih keras selama beberapa tahun di daerah Jing-hay, dan kini ia punya keinginan untuk mengalahkan Liu Tay-liong, agar kedudukannya di urutan ke delapan itu diperhitungkan kembali, kalau bisa melonjak ke urutan di atasnya.
Agaknya Liu Tay-liong maklum apa yang menjadi kandungan hati Sebun Say itu, maka sambil tertawa menyindir ia berkata, “Wah, hebat sekali ambisimu, saudara Sebun, bahkan aku ikut berdoa agar sekali tempo kelak kau dapat mengalahkan tua bangka she Ang dari Tiam-jong-san itu untuk merebut tempat pertama. Tapi antara nama dan kemampuan harus seimbang lho. Selain itu juga harus siap menelan kenyataan pahit jika impianmu gagal.”
Betapa tebalnya muka Sebun Say, namun ia agak tersipu juga karena isi hatinya kena dikorek dengan tepat oleh Liu Tay-liong. Tapi dengan bandelnya ia pantang mundur, “Persetan dengan omong kosongmu itu. Hayolah kita mulai!”
Lalu iblis cebol itu mengeluarkan senjatanya yang berbentuk seperti sabit panjang, yang pada bagian tajamnya memancarkan warna keungu-unguan, menandakan bahwa senjata itu direndam racun yang cukup ganas. Dengan sikapnya itu, jelaslah yang dikehendaki Sebun Say bukan cuma menginginkan “pemanasan” melainkan benar-benar bertempur.
Sedangkan Liu Tay-liong pun tidak berani bersikap lengah, meskipun tampaknya saja ia masih santai dan tersenyum-senyum. Agaknya orang she Liu inipun tahu betul bahwa lawannya itu tentu sudah berlatih keras demi mewujudkan impiannya untuk menduduki tempat nomor satu dalam urutan “Sepuluh Tokoh Sakti” di jaman itu.
Dalam pada itu Sebun Say tidak membuang waktu lagi. Sambil mengeluarkan bentakan keras ia menubruk ke depan dengan dahsyatnya, senjatanya itu tiba-tiba lenyap bentuknya digantikan dengan segulung cahaya keungu-unguan yang berputar mengerikan bagaikan angin pusaran. Dalam gebrakan pertama saja Sebun Say telah menunjukkan kekejamannya.
Tapi yang dihadapi oleh Sebun Say saat itu adalah tokoh yang diakui berkedudukan nomor lima di dunia persilatan. Kedudukannya hanyalah di bawah empat orang sakti lainnya, yaitu Tiam-jong-lo-sia (Si Sesat Tua Dari Tiam-jong-san) Ang Hoan, Rahib Hong-tay dari Siong-san Siau-lim-si, Kim-hian Tojin dari Kuil Giok-hi-koan di Butong-san serta Soat-san-lo-sian (Dewa Tua dari Soat-san) Yu Hau-seng. Liu Tay-liong menunggu sampai serangan lawan itu hampir mengenai dadanya, setelah itu barulah menghindar ke samping.
Wi-lian melihat jalannya pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar, ia menguatirkan keselamatan sastrawan rudin itu, sebab Wi-lian sendiri sudah mengalami betapa lihainya iblis cebol dari Jing-hay itu. Sementara itu Sebun Say tidak berhenti dengan serangan pertamanya saja. Dengan gesitnya si cebol ini telah merubah arah luncuran badannya di tengah udara, dan kembali menubruk Liu Tay-liong dengan kecepatan yang sama seperti gebrakan pertama tadi.
Tetapi kali ini si sastrawan rudin bukan cuma menghindar, tapi juga mulai membalas serangan dengan menggunakan kipasnya untuk mengetuk jalan darah yang-ti-hiat di pergelangan tangan lawan. Gerakan Liu Tay-liong ini adalah perwujudan dari salah satu ajaran ilmu silat tingkat tinggi yang disebut “bergerak lebih lambat, tiba lebih cepat”.
Gerakan Sebun Say adalah gerakan yang cukup cepat, namun gerakan Liu Tay-liong adalah gerakan yang maha cepat, sehingga meskipun cara bergeraknya kelihatan seenaknya, tapi tepat tertuju ke titik lemah pertahanan lawan, dan memaksa sang lawan harus menutup diri lebih dulu.
Sebun Say juga menginsyafi bahwa jika serangannya dilanjutkan, maka lengan kanannya akan kena diketuk lumpuh. Terpaksa Sebun Say mengangkat lengannya sedikit, dan meskipun gerakan itu hanya sedikit, tapi telah membuyarkan semua jurus lanjutan dari serangan pertamanya tadi. Namun iblis dari Jing-hay inipun sudah menyiapkan telapak tangan kirinya untuk melepaskan sebuah serangan susulan.
Sekarang tibalah giliran Liu Tay-liong yang bergerak lebih dulu untuk memamerkan kecepatannya. Sebelum pukulan susulan Sebun Say “keluar”, lengan jubah Liu Tay-liong yang longgar itu lebih dulu telah bergerak ke luar secepat kilat, sekalipun ujung lengan jubah itu mengancam empat jalan darah bu-hiang, hong-bwe, siau-yo dan gi-bun. Sedang dibalik lengan jubah yang kedodoran itu masih tersembunyi pula cengkeraman dahsyat ke arah empat jalan darah pula, yaitu tong-bun, ih-gi, yang-kau dan hok-tho.
Jadi dengan sebuah gerakan saja si sastrawan rudin ini mampu memaksa Sebun Say harus melindungi sekian banyak sasaran. Keringat dingin mengucur di punggung Sebun Say melihat serangan segencar dan secepat itu. Dalam waktu yang kurang dari sedetik, Sebun Say masih sempat membuang diri ke belakang dan menggulingkan tubuhnya untuk menjauhi lawan. Demikianlah, cara menyerangnya tadi begitu garang menakutkan, tapi caranya menghindari serangan balasan lawan ternyata begitu konyol.
Sementara Sebun Say menjauhkan diri, Liu Tay-liong tidak memburunya, ia tetap berdiri santai di tempatnya sambil melihat musuhnya bergulingan di tanah. Tangan kirinya yang memegang kipas itu mengipas-ipas mukanya dengan santainya, sambil tersenyum-senyum dilihatnya Sebun Say telah bergulingan beberapa langkah.
Sebun Say dengan cepat melompat bangun, mukanya menjadi merah padam karena malu dan marah. Di hadapan mata Kwa Heng, Ji Tiat dan Tong Wi-lian, dia kena dipaksa berkelakuan demikian konyol oleh Liu Tay-liong, maka tentu saja pamornya turun beberapa derajat. Begitu melompat bangun, ia langsung menggeram marah, “Hebat kau, orang she Liu. Ilmumu cukup maju juga agaknya.”
Liu Tay-liong tersenyum, balasnya, “Ah, saudara Sebun terlalu memuji. Aku justru iri pada jurus bergulinganmu yang indah tadi, tentunya itu adalah hasil karya terbarumu? Aku mengucapkan selamat atas keberhasilanmu.”
Dengus Sebun Say, “Jangan sombong kau. Mari kita lanjutkan.” Dan tanpa mengucap apapun, kembali Sebun Say telah menerjang ke depan. Kali ini ia tidak mau lagi main tubruk secara kasar, tapi dengan langkah-langkah seringan awan tertiup angin, ia menyerang dengan sebuah jurus ciptaannya yang diberi nama Wan-hun-yu-hui (Arwah Penasaran Mengembara). Senjata sabit beracunnya menyelonong dari samping dibarengi dengan hantaman tangan kirinya yang juga berwarna ungu kehitam-hitaman dan mengeluarkan bau memuakkan itu.
Cepat Liu Tay-liong menggeser langkah mengikuti arus gerakan lawannya, kemudian kipas besi dan lengan jubahnya yang lebar itu serempak menebar dengan gerakan Hui-thian-soat-hoa (Bunga Salju Beterbangan Di Langit). Dalam waktu singkat, dua orang tokoh yang sama-sama merupakan tokoh terkenal di jaman itupun telah terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit sekali. Selisih kepandaian di antara mereka tidak terlalu menyolok.
Sebun Say telah berlatih keras menggembleng diri hampir sepuluh tahun lamanya di pedalaman Jing-hay, tetapi si sastrawan rudin itupun tidak pernah melalaikan latihan ilmu silatnya. Apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini Liu Tay-liong sudah punya rumah sederhana untuk menetap di Kay-hong, sehingga tidak lagi mengembara tanpa tujuan di dunia persilatan, dengan demikian ia lebih punya banyak waktu untuk meningkatkan ilmunya pula.
Kedua orang itu berkelebatan saling menyambar bagaikan dua sosok setan gentayangan, jurus-jurus simpanan yang hebat silih berganti dihamburkan keluar. Ilmu silat Sebun Say berciri telak, ganas dan mengutamakan kecepatan untuk langsung mengincar sasarannya. Sebaliknya gerakan Liu Tay-liong nampak begitu ringan dan tidak begitu cepat, namun serangan lawan yang gencar itu anehnya tidak dapat menyentuh ujung jubahnya sedikitpun.
Gerakan Liu Tay-liong hanya seperti orang menari- nari, tetapi serangan-serangan kipasnya maupun ujung-ujung lengan jubahnya selalu terarah ke jalan darah-jalan darah penting di tubuh lawannya, incarannya selalu tepat dan memaksa lawan harus berhati-hati. Makin lama pertarungan itu meningkat semakin seru. Sebun Say betul-betul telah mempertaruhkan seluruh hasil latihannya untuk merebut kemenangan.
Senjata sabitnya bagaikan belasan buah halilintar yang sabung menyambung di langit, diselingi gempuran-gempuran tangan kirinya yang menimbulkan badai angin pukulan. Didukung pula dengan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup mahir, maka tubuh si iblis Jing-hay itu seolah-olah telah terpecah-pecah menjadi beberapa orang yang bergerak secara serentak, mengepung lawan dari berbagai jurusan.
Tapi di sela-sela deru kilat dan angin ribut yang menakutkan itu, terlihatlah ratusan, bahkan ribuan, titik-titik terang bagaikan bunga-bunga salju yang beterbangan ringan kian-kemari menyusup di antara keganasan lawannya. Kadang-kadang nampak gerakan-gerakan “bunga salju” seolah-olah terhisap dan mengikuti arus serangan lawannya, namun tidak dapat dimusnahkan! “Bunga salju” itu tak lain tak bukan adalah gerakan-gerakan Liu Tay-liong.
Wi-lian yang merasa beruntung dapat menyaksikan pertempuran ilmu silat tingkat tinggi itu, diam-diam membatin, “Dasar sastrawan, dalam perkelahian mati hiduppun ia mengeluarkan jurus-jurus yang tidak mengabaikan segi keindahan. Tapi gerakan-gerakannya agak mirip dengan Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Terbang) dari Soat-san-pay yang pernah kupelajari ketika masih di An-yang- shia.”
Sementara itu pertarungan itu sudah tidak diketahui lagi memasuki jurus ke berapa, sebab kedua orang yang bertarung itu bergerak demikian cepat sehingga tidak dapat diikuti pandangan mata orang-orang yang setaraf kepandaiannya dengan Wi-lian. Dan semua orang tak merasa bahwa sinar matahari yang tipis mulai menggores kaki langit sebelah timur, dan di kejauhan terdengar kokok ayam.
Meskipun pertarungan itu belum berakhir secara tuntas, namun sudah kelihatan bahwa Liu Tay-liong sedikit lebih unggul dibandingkan lawannya yang pendek kecil itu. Kini terlihatlah bahwa beberapa kali Sebun Say harus melangkah mundur, meskipun ia masih mempertahankan diri dengan gigihnya. Suara deru napasnya makin terdengar nyata, menandakan orang she Sebun itu sudah hampir kehabisan napas.
Liu Tay-liong sendiri bukannya tidak memeras tenaga, bajunya sudah basah kuyup dengan keringat. Tapi napasnya agaknya lebih panjang dari lawannya, bahkan ia masih bisa berkata mengejek lawannya, “Saudara Sebun, apakah kau masih belum puas dengan permainan kita yang hampir semalam suntuk ini?”
Begitu ucapannya selesai, Liu Tay-liong membentak keras dan melancarkan serangkaian serangan hebat. Terdengar suara benturan senjata yang gencar, lalu tiba-tiba kedua tokoh yang sedang bertarung itu berlompatan saling menjauhi. Nampak Sebun Say meringis sambil memegangi pergelangan tangannya dengan tangan kiri, sedangkan senjatanya itu telah terbang ke udara. Ketika senjata sabit itu meluncur turun kembali, cepat Liu Tay-liong mengebaskan lengan jubahnya, sambil berseru,
“Saudara Sebun, terima kembali senjatamu!”
Agaknya Sebun Say sudah tidak punya muka lagi untuk menerima senjatanya kembali. Senjata yang meluncur kembali kepadanya itu tidak diterimanya, melainkan dihindarinya dengan melompat ke samping. Kemudian ia menggapaikan tangannya kepada Kwa Heng dan Ji Tiat, sambil berseru marah, “Mari kita pergi. Hwe-liong-pang kita tidak akan pernah melupakan penghinaan ini.”
Agaknya iblis Jing-hay ini memang seorang yang berpikiran sempit dan mau menangnya sendiri. Pertempurannya dengan Liu Tay-liong itu adalah pertempuran antar pribadi, dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Hwe-liong-pang, bahkan Sebun Say sendirilah yang tadi menantang lebih dulu.
Namun begitu ia kalah, iblis kecil ini rupanya sangat mendendam sehingga bermaksud untuk menyeret seluruh Hwe-liong-pang terlibat urusan ini. Sekejap kemudian, bayangan ketiga orang tokoh Hwe-liong-pang sudah tidak nampak bayangannya lagi.
Liu Tay-liong hanya memandang kepergian ketiga orang itu sambil menghela napas beberapa kali, sambil bergumam sendiri, “Ah, mulai hari ini agaknya kehidupan tenteram yang kudambakan itu akan kembali direpotkan berbagai urusan tetek-bengek, dan aku dengan tulang-tulang tuaku ini harus berkecimpung lagi dengan urusan-urusan yang memusingkan kepala.”
Wi-lian cepat memberi hormat kepada pendekar tua yang telah menyelamatkan nyawanya itu, dan mengucapkan terima kasihnya. Tanpa bicara bertele-tele, sekaligus gadis itu menyatakan bahwa ia diutus oleh gurunya, Hong-tay Hweshio, untuk menyampaikan sepucuk surat kepada pendekar tua she Liu itu.
Sambil membuka sampul surat itu, Liu Tay-liong berkata sambil tersenyum. “Aku pernah mendengar kabar dari si rahib gadungan Hong-koan, katanya Rahib Hong-tay telah menemukan seorang murid yang berbakat. Eh, ternyata mulut si rahib gila itu dapat dipercaya juga kali ini.”
Mendengar pujian tidak langsung kepada dirinya itu, Wi-lian agak tersipu, katanya merendah, “Toasiok Hong-koan terlalu memuji diriku. Jika tadi lo-eng-hiong (Pendekar Tua) tidak menolong aku, tentu saat ini aku sudah mati di tangan iblis cebol itu.”
“Kau jangan membandingkan dirimu dengan setan kecil itu,” sahut Liu Tay-liong. “Tahukah kau bahwa Sebun Say itu adalah orang yang menduduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti jaman ini? Aku sendiri, untuk mengusirnya harus mengeluarkan tenaga habis-habisan dan membutuhkan ribuan jurus. Tapi tadi kuintip kau sempat melawan siluman itu sampai tiga puluh jurus lebih, meskipun terdesak dan bahkan kemudian hampir celaka. Tapi angkatan muda dunia persilatan yang seusia denganmu yang sanggup menahan siluman itu puluhan jurus seperti kau, barangkali jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Kau patut berbangga untuk hal ini, sekaligus juga kau jadikan pelajaran agar jangan terlalu gegabah bertindak.”
Lalu sastrawan tua itu tertawa gembira, “Aku percaya untuk beberapa hari ini tentu Sebun Say tidak nyenyak tidur dan tidak berselera makan karena rasa penasaran dan dongkolnya. Ia sudah berlatih keras dan merasa bahwa ilmunya sudah meningkat banyak, tidak tahunya begitu muncul di sini ia langsung terbentur seorang lawan muda seperti kau.”
Diam-diam Wi-lian menjadi sangat bergembira mendengar penilaian pendekar tua itu tentang tingkat ilmu silatnya sekarang. Tidak percuma selama ini ia mengalami penderitaan hebat karena gemblengan keras di Siong-san itu. Di dalam hatinya, gadis itu juga berjanji kepada diri sendiri untuk berlatih giat setiap ada waktu yang terluang, supaya ilmunya meningkat lagi.
Liu Tay-liong ternyata tidak hanya memuji, tapi kemudian juga “menyentil” kesembronoan gadis itu, “Tapi kunilai kau juga terlalu ceroboh dalam tindakanmu. Orang-orang Hwe-liong-pang bukanlah orang-orang yang dibuat permainan begitu saja. Mereka memiliki banyak jagoan lihay, dan tersebar dimana-mana. Bahkan Ketua mereka, Hwe-liong-pang-cu itu, menurut kepandaiannya dia tidak di bawah tingkatan dari Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan.”
Berdesirlah jantung Wi-lian mendengar keterangan Liu Tay-liong itu. Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan adalah tokoh yang menduduki urutan pertama dalam deretan sepuluh tokoh maha sakti jaman itu, bahkan kepandaiannya lebih tinggi dari Rahib Hong-tay, guru Wi-lian. Tapi kini dengan telinganya sendiri Wi-lian mendengar Liu Tay-liong berkata bahwa kepandaian Hwe-liong-pang-cu sejajar, bahkan mungkin lebih tinggi dari Ang Hoan!
Diam-diam Wi- lian jadi bergidik mendengarnya. Jika benar-benar Hwe-liong-pang-cu selihai itu dan kemudian berniat mengobrak-abrik dunia persilatan, lalu siapakah yang mampu membendung tindakannya? “Apakah lo-eng-hiong pernah bertemu dengan tokoh tertinggi Hwe-liong-pang itu?” tanya Wi-lian kemudian.
“Hanya melihatnya dari jarak yang agak jauh, dan secara kebetulan pula. Ketua Hwe-liong-pang itu pernah berkeliaran di sekitar kota ini, diikuti oleh seorang pembantunya yang agaknya juga lihai bukan main. Hwe-liong-pang-cu itu memakai pakaian dan jubah serba hitam, mukanya tertutup sebuah topeng tengkorak yang menakutkan, gerak-geriknya pun mirip siluman, sehingga aku tidak mampu mengikuti gerakannya lebih lanjut. Lagipula aku masih sayang kepada nyawaku.”
“Dan bagaimana dengan pembantunya itu?”
“Ia juga mengenakan topeng, dan nampaknya juga sangat tangguh. Aku bukan seorang munafik yang senang merendahkan diri, tetapi terhadap pembantu Hwe-liong-pang-cu ini aku harus mengaku terus terang, bahwa aku tidak merasa yakin menang bila bertempur dengannya.”
Bulu tengkuk Wi-lian meremang mendengar keterangan itu. Jika itu benar, bukankah Hwe-liong-pang merupakan suatu kekuatan yang benar-benar menakutkan di dunia persilatan dan dapat berbuat sewenang-wenang? Baru Ketua dan Pembantunya sudah begitu lihai, belum terhitung jago-jago yang setaraf dengan Sebun Say, Kwa Heng, Ji Tiat atau Tan Han-ciang yang telah cacat itu, entah berapa jumlahnya. Dengan demikian dunia persilatan agaknya benar-benar akan diguncang oleh suatu badai yang dahsyat, dan mungkin menimbulkan banjir darah yang mengerikan.
Pendekar tua Liu Tay-liong itu agaknya dapat membaca apa yang tersirat di hati gadis itu. Katanya “A-lian, bukankah aku boleh memanggil nama panggilanmu? Kuberi peringatan kepadamu agar kau jangan salah bertindak. Tidak semua orang-orang Hwe-liong-pang itu berbuat kejahatan, meskipun tidak dapat dibantah bahwa gerak-gerik mereka diselimuti kabut rahasia. Bahkan kabarnya mereka punya sebuah cita-cita luhur yang sedang mereka perjuangkan, meskipun aku sendiri belum jelas apa yang mereka maksudkan dengan cita-cita luhur itu. Tapi memang ada juga anggota-anggota Hwe-liong-pang yang berasal dari dunia kejahatan, mereka menggunakan Hwe-liong-pang hanya sebagai tulang punggung dan tempat berlindung saja. Mereka inilah yang berbuat sewenang-wenang dan kejam luar biasa. Karena itu selanjutnya kau tidak boleh main hantam saja bila bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang. Misalnya saja si bungkuk Kwa Heng dan Ji Tiat itu, aku kenal mereka sebagai penduduk Kay-hong yang cukup lama, dan menurut pendapatku, pribadi kedua orang itu tidak bisa disamakan dengan Sebun Say misalnya.”
Di dalam hatinya Wi-lian mengakui kebenaran ucapan itu. Dalam pertempuran sempit di halaman belakang rumah penginapan tadi, nampak benar perbedaan sikap antara Kwa Heng dan Ji Tiat di satu pihak dengan Tan Han-ciang di lain pihak, meskipun mereka bernaung di bawah panji yang sama. Kupingnya mendengar sendiri bagaimana Kwa Heng beberapa kali mencegah Ji Tiat agar tidak membunuh Hong-ho-sam-hiong, meskipun kemudian kampak Ji Tiat sempat juga membuat nyawa Pang Lun menyeberang.
Dalam pada itu Liu Tay-liong telah membuka surat dari Rahib Hong-tay itu dan membacanya. Alisnya nampak sedikit berkerut, tapi kemudian suaranya pun terdengar bernada riang, “Pertemuan besar kaum kesatria dunia persilatan di Kuil Siau-lim-si dua bulan kemudian? Bagus. Inilah kesempatan untuk berjumpa kembali dengan sahabat-sahabat lamaku. Baiklah, aku akan berusaha memenuhi undangan ini.”
Lalu tanya Liu Tay-liong kepada Wi-lian, “Agaknya kau mendapat tugas untuk menyebarkan undangan?”
Sahut Wi-lian, “Tidak, aku cuma kebagian dua buah undangan, satu kepada lo-eng-hiong dan satu lagi kepada Cian Cong-piau-thau (Pemimpin Perusahaan Pengawalan She Cian) dari Tiong-gi Piau-hang di Tay-beng. Undangan untuk tokoh-tokoh lain dibawa oleh murid-murid Siau-lim-si lainnya.”
Sebenarnya terasa agak janggal jika Pemimpin dari sebuah Perusahaan Pengawalan diundang dalam pertemuan kaum persilatan. Sebab umumnya orang-orang dari Perusahaan Pengawalan itu dianggap orang-orang yang tidak teguh pendiriannya, orang-orang yang hanya mengikuti arah angin untuk mencari sesuap nasi. Biasanya mereka tidak peduli apakah dunia persilatan kacau atau tidak, pokoknya asal perusahaan mereka bisa jalan dan mendapat keuntungan.
Namun anggapan yang demikian tidak berlaku bagi Tiong-gi Piau-hang. Siau-lim-pay sebagai pihak penyelenggara ternyata punya pertimbangan lain terhadap Cian Sin-wi yang dianggap sebagai tokoh yang lain daripada yang lain. Ia dapat dianggap tokoh keras, bahkan terlalu keras dalam sikapnya kepada golongan hitam.
Selain itu, Tiong-gi Piau-hang di bawah pimpinan Cian Sian-wi telah berkembang dengan cabang-cabangnya di seluruh Kang-pak, dan dianggap sebagai kekuatan tersendiri yang cukup berpengaruh. Dengan pertimbangan itulah Siau-lim-pay merasa tidak ada salahnya mengirim sepucuk undangan kepada Pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu.
Kalau diterima dengan baik ya syukur, andaikata ditolakpun maka paling tidak tata-krama dunia persilatan sudah terpenuhi, sehingga jangan sampai tokoh keras Cian Sin-wi itu merasa tersinggung. Liu Tay-liong agaknya juga dapat memahami tindakan Siau-lim-pay itu, katanya sambil mengangguk-anggukkan kepala,
“Rahib Hong-tay bertindak cukup bijaksana dan berpikir jauh. Biarpun Tiong-gi Piau-hang itu resminya hanyalah sebuah perusahaan dagang dan bukan merupakan perguruan atau aliran silat, tapi memang tidak boleh diabaikan, mengingat pengaruhnya yang besar di wilayah Kang-pak. Apalagi Hwe-liong-pang juga sedang berusaha menghimpun kekuatan dengan jalan merangkul kekuatan dari manapun juga. Sebelum Tiong-gi Piau-hang berhasil dirangkul oleh Hwe-liong-pang, sebaiknya memang harus kita pikat ke pihak kita lebih dulu.”
Wi-lian hanya mengangguk-angguk saja, dan bertambahlah pengetahuannya tentang lika-liku dunia persilatan. Ternyata dunia persilatan bukan cuma membutuhkan ketangkasan memainkan golok atau pedang saja, melainkan juga mengandalkan ketangkasan berpikir secara bijaksana dan tidak asal gagah-gagahan saja.
Langit di timur semakin berwarna cerah, Liu Tay-liong pun segera hendak melangkah pergi. Tapi Tong Wi-lian cepat mencegahnya, “Maaf, Liu Lo-eng-hiong, aku ingin mengajukan satu pertanyaan....
....di dalam kota Kay-hong sedang Wi-lian bermaksud mengambil bungkusan bekalnya yang tertinggal di rumah penginapan Kwa Heng. Ia harus sudah menyelesaikan urusan itu sebelum terang tanah, supaya tidak usah tersangkut urusan dengan para petugas keamanan yang brengsek itu.
Demikianlah Wi-lian berlari-lari kembali menuju ke Kay-hong, berlomba dengan sang matahari yang sebentar lagi akan menampakkan dirinya di ufuk timur. Karena pintu kota belum dibuka, terpaksa Wi-lian harus melalui tembok kota yang cukup tinggi itu dengan mengandalkan Pia-hou-yu-jio (Cecak Merayap Tembok). Setelah tiba di dalam kota, secara bebas ia menggunakan ginkang untuk berlompatan dari atap ke atap, menuju ke penginapan itu.
Tak lama kemudian gadis itu telah tiba di tempat penginapannya kembali. Dengan ketangkasannya ia berhasil menyelinap masuk, tanpa diketahui oleh beberapa orang prajurit yang kini berkeliaran di dalam dan di sekitar rumah penginapan yang baru saja menjadi ajang pembunuhan Hong-ho-sam-hiong itu.
Wi-lian menemukan buntalan pakaiannya masih utuh, hanya saja agak morat-marit karena habis digeledah, namun semua uang bekalnya sudah ludes tidak tersisa sepeserpun. Agaknya para petugas keamanan itu selain “mengamankan” juga tidak lupa mengisi kantongnya masing-masing.
Tapi Wi-lian tidak merisaukan hal itu. Cepat ia mengikatkan bungkusan pakaian di punggungnya, dan seperti juga datangnya maka perginya pun secepat kilat, tidak sempat diketahui para penjaga itu. Untung cuaca yang masih agak gelap di pagi buta itu cukup membantunya. Dan sesaat kemudian gadis itu sudah berada kembali di luar kota Kay-hong.
Tujuannya kini adalah menuju ke kota Tay-beng, untuk menyampaikan undangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Kaum Pendekar) kepada Cian Sin-wi, itu pimpinan Tiong-gi Piau-hang yang terkenal. Menurut kata Gurunya, di kota Tay-beng itu mungkin Wi-lian akan menemukan jejak kakak keduanya, Tong Wi-hong.
Teringat akan kakak keduanya yang sering dipanggilnya dengan olokan “si kutu buku” itu, seketika berkecamuklah rasa rindu gadis itu. Dua tahun lebih ia tidak bertemu dengan kakaknya itu, entah bagaimana keadaannya? Teringat akan hal itu, semua rasa lelahnya bagaikan lenyap mendadak, dan dengan bersemangat ia mulai mengayunkan langkah-langkah kakinya menuju kota Tay beng.
“Setelah tugasku di Tay beng selesai, lalu hendak ke mana tujuanku?” diam-diam gadis itu bertanya kepada dirinya sendiri. Ingatan gadis itu lalu melayang ke kota kelahirannya, kota kecil An-yang-shia yang indah permai dan terletak di tepi danau Po-yang-ou itu.
Dan begitu ingat kota kelahirannya itu, ingat pulalah ia akan keluarganya yang telah menjadi berantakan gara-gara ulah seorang pembesar kerajaan yang bertindak sewenang-wenang, yaitu Cia To-bun dan puteranya yang sangat memuakkan, Cia Bok. Entah bagaimana keadaan musuh-musuh keluarganya itu?
Namun rasa dendam dan benci Tong Wi-lian sudah banyak berkurang, karena selama ia berguru di Siong-san ia bukan hanya mendalami ilmu silat, tapi sekaligus juga telah belajar ajaran-ajaran Buddha yang mengutamakan welas-asih itu. Jika dia ingin ke An-yang-shia, maka tujuannya bukan hendak membalas dendam kepada Cia To-bun dan lain-lainnya, tapi hanyalah untuk memuaskan rasa rindunya kepada kampung halamannya.
Wi-lian merasa bahwa perjalanannya ke Tay-beng dengan berjalan kaki saja tentu akan memakan waktu yang sangat lama. Ia ingin membeli kuda, tetapi uangnya sudah dikuras para petugas keamanan yang menggeledah penginapannya. Akhirnya sambil tertawa sendiri gadis itu memutuskan, “Uangku dirampas oleh petugas-petugas Kerajaan Beng, maka Kerajaan Beng pulalah yang harus mengganti rugi kepadaku.”
Dan beberapa saat kemudian gadis itupun sudah duduk dengan enaknya di atas punggung seekor kuda yang tegak, yang dirampasnya dari seorang prajurit Beng yang sedang meronda keliling sebuah desa. Sementara gadis itu sedang berjalan menuju kota Tay-beng, maka saat itu kota Tay-beng sendiri masih tidak menampakkan banyak perubahan.
Masih tetap anggun dengan gedung-gedung kunonya. Kota yang penuh dengan sejarah kepahlawanan dari Kerajaan Song itulah yang merupakan kediaman Cian Sin-wi, tokoh berhati sekeras baja, yang dengan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) membuat kaum hek-to (Golongan Hitam) menggigil ketakutan jika mendengar namanya.
Hari itu suasana kota Tay-beng tidak berbeda dengan hari-hari lainnya, masih tetap seperti dua tahun yang lalu. Tetap ramai dengan para pedagang setempat dan para wisatawan dari luar daerah yang ingin bertamasya ke tempat-tempat bersejarah. Tay-beng memang hiruk-pikuk. Sayup terdengar tukang jual obat di sudut jalan yang tengah berteriak-teriak memuji obat anti kutu busuknya yang katanya nomor satu di dunia. Di sudut lain terdengar suara tambur dan gembreng, ditabuh oleh kawanan penjual silat atau tukang sulap untuk menarik perhatian penonton.
Di tengah-tengah Tay-beng yang ribut itu, berdirilah dengan megahnya sebuah gedung besar yang di atas pintu gerbangnya terukir dengan empat huruf emas “Tiong-gi Piau-hang”. Sepasang arca singa- singaan batu yang mengapit kedua sisi pintu gerbang itu menambah keangkeran gedung besar itu. Tiong-gi Piau-hang juga tidak banyak berubah, masih kelihatan seperti dua tahun yang lalu, di mana saat dua orang anak muda meninggalkan gedung itu dalam waktu yang hampir bersamaan, gara-gara persoalan yang menyangkut seorang gadis.
Yang satu pergi dengan perasaan kecewa dan dendam karena cintanya tidak terbalas, dan yang lain pergi karena rasa harga dirinya menuntutnya agar tidak menjadi “benalu” di rumah itu. Namun kepergian mereka hampir tidak ada pengaruhnya sama sekali dengan perkembangan Tiong-gi Piau- hang secara keseluruhan. Perusahaan Pengawalan itu tetap jaya, ditakuti lawan dan disegani kawan, jumlah piau-su (pengawal) yang tangguhpun terus berkembang dengan pesat.
Panji-panji berwarna emas di tengah-tengahnya, tetap berkibar megah, dan tetap merupakan sesuatu yang ditakuti kaum rimba hijau. Namun kemajuan demi kemajuan yang dicapai Tiong-gi Piau-hang selama ini terasa bagaikan tidak ada artinya bagi Cian Ping, putera Cian Sin-wi itu. Semenjak kepergian Tong Wi-hong, maka kehidupan dunia ini mulai terasa hambar baginya, hari demi hari lewat begitu saja tanpa terasa apa maknanya.
Seakan-akan ia hidup hanya karena ia harus hidup, begitu saja. Tingkah lakunya yang riang kekanak- kanakan, tawanya yang segar berderai dan senda- guraunya yang ceria itu kini sudah lama tidak terdengar di gedung itu. Kini Cian Ping nampak agak kurus, sayu dan gerak-geriknya lesu. Cinta pertama seorang gadis terasa direnggut begitu saja dari dirinya, menimbulkan luka hati yang berdarah.
Hal yang tidak menggembirakan ini ternyata juga mempengaruhi ayahnya, yang menumpahkan seluruh cinta dan harapannya kepada puterinya itu. Dari hari ke hari, Cian Sin-wi pun nampak semakin loyo, semangat untuk berlatih silat pun sudah tidak seperti dulu. Dulu setiap hari ia berlatih silat, sekarang hal itu dilakukannya dua atau tiga hari sekali, itupun kurang bersemangat.
Di dalam hatinya, Cian Sin-wi sering mengutuk Song Kim dan Tong Wi-hong yang dianggapnya menjadi sumber penderitaan batin bagi puterinya, namun kadang-kadang timbul juga rasa rindunya kepada Wi-hong agar datang dan mengobati batin puterinya. Tidak jarang Cian Sin-wi juga menyesali dirinya sendiri, kenapa dulu ia mesti membawa pulang Tong Wi-hong yang luka itu? Kenapa tidak diobatinya saja di tengah jalan dan kemudian disuruhnya pergi setelah sembuh?
Dan sambil mengusap-usap rambutnya yang telah memutih dengan cepatnya itu, Cian Sin-wi bergumam sendirian, “Andaikata bocah she Tong itu tidak pernah hadir di tempat ini dan tidak pernah mengenal puteriku, mungkin saat ini Cian Ping telah hidup berbahagia dengan Song Kim, bahkan aku mungkin sudah menimang seorang cucu. Meskipun pribadi Song Kim kurang sempurna, namun toh hal itu dapat diubah secara pelan-pelan.”
Agaknya tokoh tua itu agak menyesal juga karena “mengejar burung di udara, burung di tangan dilepaskan”, menginginkan seorang menantu yang sempurna, tanpa sadar melukai hati muridnya, dan akhirnya ia kehilangan kedua-duanya. Demikianlah, di balik kemegahan Tiong-gi Piau-hang itu tersembunyilah kemurungan hati Cian Sin-wi, orang yang seharusnya merasa paling gembira dengan kejayaan perusahaan itu. Ia kini agak malas mengurusi sendiri urusan-urusan Tiong-gi Piau- hang, semuanya cukup ditangani oleh pembantu-pembantunya yang pandai-pandai itu.
Tetapi hari itu, agaknya mendung yang selama ini menaungi keluarga Cian akan tersapu bersih. Dari pintu gerbang kota Tay-beng sebelah barat, masuklah seorang anak muda berwajah tampan dan berpakaian ringkas serba putih. Ia menunggangi seekor kuda gurun yang tegap, sedang di punggungnya tergendonglah sebatang pedang yang bersarung besi berwarna hitam berkilat, menambah kegagahan anak muda itu. Sayang sekali, di wajah yang tampan itu terlapis awan kemurungan.
Pemuda berpakaian serba putih itulah orangnya yang dikenang siang malam oleh Cian Ping, tak lain tak bukan Tong Wi-hong adanya. Dua tahun yang lalu, ketika Tong Wi-hong selamat dari usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Hong-koan Hweshio dan kemudian dibawa oleh Oh Yu-tian pergi ke Gunung Soat-san, pusat dari perguruan silat Soat-san-pay.
Di gunung bersalju yang terpencil di daerah barat itulah Wi-hong dapat bertemu dengan ibunya yang lebih dulu telah tiba di sana. Dan tempat itu pulalah ibu dan anak itu digembleng langsung oleh Ketua Soat-san-pay, Yu-Hau-seng yang merupakan guru dari mendiang Tong Tian. Di bawah bimbingan tokoh nomor satu Soat-san-pay inilah maka Wi-hong mengalami peningkatan ilmu yang pesat sekali, terutama dalam hal ilmu pedang, karena keistimewaan perguruan Soat-san-pay memang terletak pada ilmu pedangnya.
Kemajuan Wi-hong itu tidak mengherankan, sebab Yu Hau-seng merupakan orang keempat dalam urutan sepuluh tokoh sakti di jaman itu. Kedudukannya setingkat di bahwa Kim-hian To-jin dari Bu-tong-pay, dan setingkat di atas si sastrawan rudin Liu Tay-liong dari Kay-hong.
Kini Wi-hong telah turun kembali ke dunia ramai dengan membekal ilmu silat yang bahkan lebih tinggi dari mendiang ayahnya dulu. Di pundaknya terbebanlah tugasnya, yaitu menemukan kembali kedua orang saudaranya, Tong Wi-siang dan Tong Wi-lian, lalu kemudian membalas sakit hati kepada Cia To-bun di An-yang-shia.
Namun Wi-hong masih punya perasaan berdosa sekaligus berhutang budi kepada keluarga Cian di Tay-beng. Perasaan berdosa, karena ia telah meninggalkan rumah itu tanpa pamit, dalam urusan Song-kim dulu. Dan perasaan berhutang budi, karena Cian Sin-wi lah yang telah menyelamatkan nyawanya dari keganasan perampok-perampok dulu.
Karena itu, begitu ia diijinkan turun gunung oleh kakek gurunya, maka tujuan pertamanya adalah kota Tay-beng. Ia ingin berlutut dan memohon maaf kepada tuan penolongnya, dan sekaligus menilik keadaan gadis yang selama ini tidak pernah dilupakannya itu. Setelah itu barulah ia akan menjalankan kewajiban keluarganya.
Sementara kudanya melangkah perlahan-lahan dan semakin mendekati gedung megah Tiong-gi Piau-hang itu, jantung Wi-hong pun berdentang semakin keras. “Apakah paman Cian dan adik Ping akan mengampuni kesalahanku?” pikirnya dengan gelisah. “Jika mereka tidak mau mengampuniku, maka untuk selanjutnya akan dinginlah hidupku ini.”
Selain itu timbul pula bayangan-bayangan menggelisahkan di pelupuk matanya. Jangan-jangan ia akan menjumpai Cian Ping sudah didampingi seorang lelaki gagah dan bahkan sudah menggendong bayi? Atau jangan-jangan Cian Ping berputus-asa itu sudah... Ah, Wi-hong tidak berani melanjutkan pemikirannya itu. Akhirnya pemuda itu cuma bisa menarik napas panjang berkali-kali dan menghibur dirinya sendiri,
“Ah, memang akulah yang bersalah. Andaikata adik Ping sudah menikah, itupun bukan salahnya. Aku harus tetap bersikap sebagai kesatria, aku hanya ingin mohon maaf dan setelah itu tidak akan mengganggu kebahagiaan mereka.”
Tak terasa tibalah di depan gedung megah itu, gedung yang ditinggalkan dua tahun yang lalu itu. Dipandanginya dengan nanar panji-panji berwarna putih dan bersulam hati warna emas yang tengah melambai perkasa itu, seakan-akan sedang mengucapkan selamat datang kepadanya itu. Tong Wi-hong turun dari kudanya, tetapi ia masih ragu-ragu untuk segera melangkah masuk ke dalam gedung itu.
Ia berdiri termangu-mangu di dekat arca singa yang menghiasi pintu gerbang. Entah bagaimana keadaan Cian Ping sekarang? Dua tahun bagi seorang lelaki memang bukan waktu yang lama, tetapi akan merupakan waktu yang menggelisahkan bagi seorang gadis yang senantiasa dibayangi umurnya.
Cukup lama Wi-hong berdiri ragu-ragu di depan pintu gerbang. Tak terasa oleh Wi-hong, bahwa sepasang mata sedang menatapnya dari atas sebuah loteng rumah makan yang terletak berseberangan dengan gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Sepasang mata yang berapi-api dan penuh memancarkan dendam kesumat. Mata Song Kim!!
Dua orang anak muda yang pernah berselisih karena memperebutkan cinta seorang gadis, dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula meninggalkan Tay-beng, dan sekarang mereka datang ke Tay-beng dalam waktu yang hampir bersamaan pula! Dan keduanya sudah membekal ilmu silat yang tinggi!
Dari jendela loteng rumah makan itu Song Kim menatap Wi-hong yang tengah berdiri ragu-ragu di muka gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Tiba-tiba gigi Song Kim gemeretak hebat, dan geramnya dengan hati yang panas, “Bangsat kutu buku itu datang lagi! Tapi kali ini ia akan bernasib buruk jika berani merintangi kehendakku!”
Ternyata Song Kim tidak duduk sendirian di rumah makan itu. Ada tiga orang lelaki lain yang duduk semeja dengannya. Dan ketiga teman semeja Song Kim itu terkejut ketika melihat perubahan muka Song Kim. Seorang yang hampir menyeruput pangsit kuahnya telah meletakkan kembali mangkuknya sambil bertanya, “He, kenapa kau mendadak kelihatan begitu marah, Song Kim? Apa yang kau lihat?”
Song Kim menyahut tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Wi-hong, “Anak gila she Tong yang pernah kuceritakan kepada kalian itu.”
Teman Song Kim yang berwajah licik, segera menyahut dengan nada seenaknya, “Oh, saingan cintamu itu? Bunuh saja, apa susahnya?”
Jawab Song Kim, “Aku senang jika dia mampus. Tapi membunuhnya harus jangan sampai diketahui oleh gadis itu, sebab kukuatirkan ia bisa ikut-ikutan bunuh diri.”
Lelaki pertama yang bermuka burikan dan yang satunya yang bermuka licik itu segera tertawa serempak. Kata si burikan, “Jika gadis itu sampai bunuh diri menyertai kematian bocah she Tong itu, berarti gadis itu benar-benar mencintai bocah she Tong itu dan sama sekali tidak ada tempat buatmu di hatinya, Song Kim. Kalau begitu buat apa kau merebutnya?”
Geram Song Kim, “Aku tidak peduli gadis itu mencintaiku atau tidak, pokoknya aku mencintainya. Dan aku paksa agar ia melahirkan anak-anakku. Kalau sudah begitu, biarpun ia tidak mencintaiku pun ia akan terpaksa selalu mengikutiku.”
Si burikan dan si muka licik serempak tertawa berderai. Hanya ada seorang teman semeja Song Kim yang sama sekali tidak ikut tertawa, bahkan ia begitu acuh tak acuh atas percakapan ketiga orang temannya. Orang ini adalah seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh semampai, bermuka dingin tanpa perasaan, pandangan matanya tajam dan keras. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian daerah Su-coan, yaitu baju katun yang dirangkapi dengan rompi kulit, dilengkapi pula dengan ikat kepala putih khas orang Su-coan.
Orang Su-coan ini agaknya punya pengaruh yang kuat atas diri ketiga orang lainnya. Terbukti begitu ia membuka suara, maka ketiga orang lainnya segera diam dan tidak berani tertawa-tawa lagi. Kata orang Su-coan ini, “Benar-benar menjemukan, kalian hanya membicarakan urusan perempuan tiap hari. Urusan perempuan adalah urusan kecil, sedangkan urusan Hwe-liong-pang kitalah yang merupakan urusan besar. Itulah yang harus diutamakan, dan sama sekali tidak boleh gagal.”
Si muka burik lalu berkata kepada orang Su-coan itu dengan nada yang sangat sungkan, “Harap Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) tidak menjadi salah paham. Tentu saja kami semua lebih mengutamakan tugas Pang di atas urusan pribadi kami sendiri. Niat Song Kim untuk merampas bekas pacarnya itupun hanya merupakan tugas sampingan saja, untuk pengobat kekecewaannya di masa lalu.”
Orang berpakaian Su-coan itu lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menyahut, “Baik, kalau hanya begitu saja aku tidak keberatan, asal harus mengingat agar jangan sampai kita mengalami akibat-akibat yang kurang enak. Harus kalian ketahui, bahwa Pang-cu (Ketua) kita saat ini sedang keluar dari cong-oh (markas pusat) dan sedang berkeliling di seluruh Tiong-goan untuk meninjau cara kerja kita. Jika kita sampai menunjukkan ketidak-becusan kita, kemungkinan nasib kita pun tidak akan berbeda jauh dengan nasib mendiang Thio Tong-cu (Kepala Kelompok Thio). Kalian tentu masih ingat cara kematiannya bukan?”
Song Kim dan kawan-kawannya menjadi agak bergidik ketika mendengar cara kematian Thio Tong- cu diingatkan kembali. Masih terbayang dalam ingatan mereka, bagaimana Thio Tong-cu dipaksa menelan sebutir Racun Penghancur Tubuh oleh seseorang Su-cia she Tang, dengan disaksikan oleh segenap anak buah kelompok Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau), gara-gara berani mendebat Su-cia she Tang itu tentang garis perjuangan Hwe-liong-pang.
Masih terbayang pula bagaimana tubuh Thio Tong-cu yang tegap itu dalam waktu sekejap telah meleleh dan membusuk, dan akhirnya tinggal sesosok tulang-tulang putih dan segumpal rambut yang mengerikan. Itulah contoh akibat kegagalan tugas dalam Hwe-liong-pang, hukuman yang tidak kenal ampun. Maka Song Kim dan kedua kawannya pun serempak mengucapkan kesanggupannya, diperdengarkan kepada orang Su-coan itu,
“Kami akan bekerja sekuat tenaga demi kejayaan Hwe-liong-pang.”
“Bagus!” kata orang Su-coan itu sambil menepuk meja. “Kalau kulaporkan kesungguhan hati kalian ini kepada Tong-cu (Kepala Kelompok), pasti kalian akan mendapat manfaat besar di kemudian hari.”
“Terima kasih atas budi baik Hu Tong-cu,” kata Song Kim dan kedua kawannya bersahut-sahutan.
Keempat orang itu lalu meneruskan makan minumnya. Meskipun Song Kim masih penasaran kepada Wi-hong, namun ia tidak berani lagi sembarangan bicara tentang Cian Ping lagi, karena takut menimbulkan kemarahan orang Su-coan yang dipanggil “hu-Tong-cu” itu.
Sementara itu, dalam keragu-raguannya, Tong Wi-hong yang masih termangu-mangu di depan pintu gerbang itu telah didekati oleh seorang piau-su muda, yang lalu menyapanya dengan sikap hormat, “Selamat siang, saudara, adakah saudara mempunyai keperluan dengan Piau-hang kami?”
Wi-hong membalas hormat piau-su muda itu, sahutnya, “Aku punya sedikit keperluan dengan Cian Cong-piau-thau pribadi. Dapatkah saudara menolongku dengan menyampaikan keinginanku untuk bertemu dengan beliau?”
Sikap Wi-hong yang gagah tetapi halus dan sopan itu tak terasa telah menimbulkan rasa suka hati piau-su muda itu. Lebih dulu ia mempersilakan Wi-hong duduk di ruangan depan, lalu ia sendiri masuk untuk melaporkan kepada Cian Sin-wi. Diam-diam Wi-hong memuji sikap para piau-su Tiong-gi Piau-hang, yang tidak kasar-kasar sebagaimana piau-su pada umumnya.
Agaknya Cian Sin-wi mendidik anak buahnya untuk bersikap sopan dan hormat kepada siapapun yang berhubungan dengan Tiong-gi Piau- hang, dan inilah agaknya yang menjadi salah satu kunci kemajuan pesat yang dialami oleh perusahaan pengawalan itu.
Cian Sin-wi sendiri tidak terkejut ketika salah seorang anak buahnya melaporkan tentang adanya seorang “tuan muda” yang ingin bertemu dengannya secara pribadi itu. Memang hampir setiap hari ia menerima tamu yang ingin bicara secara pribadi dengannya, urusannya kebanyakan menyangkut barang kawalan yang bersifat rahasia dan sangat penting. Tetapi begitu ia melangkahi pintu tengah dan melihat siapa orang yang tengah menunggunya itu, seketika terbelalaklah matanya.
“Kau?!” serunya tertahan dengan suara yang bergetar.
Melihat keadaan Cian Sin-wi saat itu, serasa runtuhlah hati Wi-hong. Orang tua penolongnya itu nampak jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu, ketika ditinggalkannya. Meskipun sekarangpun masih kelihatan gagah, namun nampak agak kurus, dan semangat yang terpancar dari sepasang matanya pun tidak segairah dulu lagi. Dulu sebagian besar rambutnya masih hitam, tapi dalam waktu dua tahun ini sudah tidak nampak lagi rambut hitam di kepalanya sehelaipun.
Alangkah terharunya Wi-hong melihat kemunduran yang dialami oleh Cian Sin-wi itu. Cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan orang tua itu, katanya dengan tersendat, “Tong Wi-hong yang tidak berbudi datang bersujud untuk memohon ampun dan menilik kesehatan In-kong (tuan penolong) sekeluarga.”
Sesaat Cian Sin-wi berdiri mematung dan membiarkan saja Wi-hong terus berlutut dihadapannya. Kepergian pemuda itu tanpa pamit pada dua tahun yang lalu itu bukan saja telah menyinggung perasaan Cian Sin-wi, tapi juga telah menimbulkan siksaan batin pada diri Cian Ping selama ini, dan membuat gadis itu hampir-hampir kehilangan semangat hidupnya sama sekali. Kini, melihat pemuda itu datang dan memohon ampun kepadanya, Cian Sin-wi tidak tahu apakah harus marah atau harus gembira.
Setelah agak reda gejolak hati orang tua itu, akhirnya terdengarlah suara Cian Sin-wi yang berat sambil menarik napas, “Kau... kau masih ingat kepada kami?”
Serasa remuk hati Wi-hong mendengar pertanyaan itu, jawabnya dalam keadaan masih berlutut, “Paman telah menyelamatkan jiwaku dari ancaman kematian para pembunuh bayaran itu, tetapi perbuatanku yang meninggalkan rumah ini tanpa pemberitahuan sungguh-sungguh merupakan perbuatan yang tidak kenal budi, perbuatan seorang yang berhati binatang. Kini aku datang untuk minta ampun dan menerima hukuman.”
Luluh juga akhirnya hati Cian Sin-wi ketika melihat Wi-hong berani secara jujur mengakui kesalahannya, dan bahkan meratap memohon ampun kepadanya. Apalagi ketika dilihatnya dua titik air mata menetes dari pelupuk mata Wi-hong, jatuh bergulir di lantai di hadapannya. Akhirnya Cian Sin-wi menarik napas dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan hendak dibuangnya semua kenangan pahit masa lalu yang selama ini menindih perasaannya. Katanya, “Bangunlah, A-hong, mari kita masuk ke dalam.”
Namun Wi-hong tidak bergeser sedikitpun dari sikap berlututnya, sahutnya dengan tegas, “Aku tidak akan bangkit dari berlututku sebelum menerima hukuman setimpal dari paman.”
Mengembanglah senyuman lebar di bibir Cian Sin-wi itu, katanya, “Ah, kau masih begitu bandel dan keras kepala seperti dua tahun yang lalu. Tapi sikapmu memang tidak mengecewakan sebagai putera Kiang-se-tay-hiap Tong Tian almarhum. Bangunlah, tidak ada hukuman buatmu karena aku telah melupakan semuanya.”
Kali ini Wi-hong tidak berkeras kepala lagi. Ia pun bangkit dari berlututnya, namun masih belum berani menengadahkan mukanya untuk menatap Cian Sin-wi, sampai dirasakannya tangan Cian Sin-wi menepuk-nepuk pundaknya. Dan begitu Wi-hong menengadah, segera melihat wajah Cian Sin-wi seolah-olah telah pulih seperti dua tahun yang lalu. Bukan rambutnya menghitam kembali, tapi sinar matanya yang kelihatan bergairah kembali, begitu pula wajahnya nampak gembira dan suaranya hangat kembali.
Kata Cian Sin-wi, “Ping-ji tentu akan gembira sekali melihatmu, maaf kalau aku bicara terlalu terbuka, Ping-ji sudah menceritakan semua perasaannya kepadaku, dan aku sebagai orang tua telah merestui pilihan anakku itu.”
Hati Wi-hong tiba-tiba mengembang penuh kebahagiaan, namun wajahnya menjadi agak merah tersipu. Sahutnya, “Aku berdosa besar telah membuat paman dan adik Ping mengalami kedukaan selama ini. Aku berjanji tidak akan mensia-siakan harapan paman dan adik Ping.”
Betapa longgar perasaan Cian Sin-wi setelah mendengar perkataan yang diucapkan Wi-hong dengan penuh kesungguhan itu. Masa depan anak gadisnya itu telah terbayang, mendapat sisihan seorang pemuda yang berpribadi baik dan berkepandaian tinggi pula. Sambil merangkul pundak Wi-hong, Cian Sin-wi melangkah ke dalam.
Melihat keadaan rumah itu yang hampir tidak berbeda dengan dua tahun yang lalu itu, Wi-hong merasa terharu juga. Kenangannya melayang mundur ke suatu peristiwa dua tahun yang lalu. Waktu itu, ia juga sedang berjalan dengan Cian Sin- wi di tempat itu, ketika kemudian dari pintu samping halaman tengah itu muncullah seorang gadis manis yang dengan manjanya menyambut ayahnya. Dan ternyata kemudian nama dan wajah gadis itupun terpahat dalam-dalam di relung hatinya.
Cian Sin-wi agaknya dapat menebak apa yang sedang direnungkan oleh Wi-hong itu. Sedangkan Wi-hong yang tidak dapat lagi menahan desakan kerinduannya itu, akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya kepada Cian Sin-wi, “Paman, di manakah adik Ping?”
“Sebentar lagi kau akan menemuinya,” sahut sang paman sambil tersenyum penuh pengertian. “Biasanya ia ada di taman belakang pada saat seperti ini.”
Cian Ping memang sedang berada di taman belakang, sambil merenung memandangi kupu-kupu yang beterbangan gembira di atas kuntum-kuntum bunga itu. Alangkah irinya ia melihat kebahagiaan kupu-kupu yang terbang berpasang-pasangan itu. Di saat itulah tiba-tiba ayahnya muncul dengan wajah berseri-seri luar biasa, sehingga membuat Cian Ping tercengang, sebab selama dua tahun ini belum pernah dilihatnya ayahnya segembira itu.
“Ayah, kau nampak gembira sekali, apakah perusahaan kita akan mendapat pengawalan kelas kakap?” tanyanya.
Sahut sang ayah, “Tepat sekali dugaanmu. Hari ini seekor kakap besar telah menyasar masuk ke dalam jaring kita. Anak Ping, cobalah lihat, hebat tidak kakap ini?”
Dari tadi Cian Ping memang melihat ada seseorang yang berdiri di belakang punggung ayahnya, tapi kurang diperhatikannya. Lagipula ayahnya memang berbadan besar dan berbahu lebar, sehingga tubuhnya menutupi orang yang di belakangnya itu. Dan kini, begitu ayahnya menyingkir ke samping dan membiarkan ia melihat “kakap” itu, barulah gadis itu ternganga kaget. Ia membelalakkan matanya lebar-lebar dan mulutnya terasa terkunci, ia kuatir apa yang dilihatnya itu cuma mimpi dan bukan kenyataan yang sesungguhnya.
“Adik Ping...” sapa Wi-hong.
Pertemuan yang mengharukan dan sekaligus menggembirakan itupun terjadilah di taman belakang gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Dan sejak saat itu, siapapun dapat ikut merasakan perubahan suasana di gedung besar itu, sehingga para piau-su pun menjadi heran. Cian Sin-wi dan puterinya kini tiba-tiba menjadi penuh dengan gairah hidup kembali senda-gurau dan tawa riang terdengar lagi di situ.
Beberapa orang piau-su tua yang sudah cukup lama bekerja di Tiong-gi Piau-hang, memaklumi apa yang menyebabkan perubahan itu. Diam-diam para piau-su tua itupun bergembira karena pemimpin mereka mendapatkan semangat hidupnya kembali.
Cian Sin-wi, Tong Wi-hong dan Cian Ping sama sekali tidak menyadari bahwa hari-hari pertemuan yang cerah itu kemudian hari akan diikuti dengan badai malapetaka yang dahsyat. Mereka belum tahu, bahwa bukan Tong Wi-hong saja yang kembali ke Tay-beng, melainkan juga Song Kim, yang bahkan membawa dendam dan kebencian yang menyala di hatinya.
Beberapa hari kemudian, Cian Sin-wi mengerutkan alisnya, ketika ia menerima surat dari seseorang yang tidak dikenal. Ketika ia membuka surat itu ternyata dikirimkan oleh sebuah perserikatan yang pada masa itu sedang menjadi buah bibir setiap manusia persilatan, yaitu Hwe-liong-pang. Pengirimnya adalah Jing-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Hijau) yang menyatakan dirinya bertindak atas nama Hwe-liong-pang secara keseluruhan....
Sementara itu, Sebun Say mulai membuat perhitungan dalam otaknya. Ia terpaksa harus membatalkan niatnya untuk membunuh Wi-lian, sebab orang she Liu itu pasti akan menyebarkannya di luaran, padahal Sebun Say tidak merasa yakin dapat merintangi orang she Liu itu jika orang itu ingin pergi dari situ. Tapi untuk melampiaskan rasa mendongkolnya, akhirnya si cebol ini menantang sastrawan rudin itu,
“Baiklah, Liu Tay-liong, aku membatalkan untuk membunuh gadis kurang ajar ini. Bukan karena takut kepada orang-orang Siau- lim-pay, melainkan hanya karena memandang mukamu sebagai seorang kenalan lama. Tapi malam ini cukup dingin, bagaimana kalau kita rayakan pertemuan kita ini dengan sedikit melemaskan otot?”
Tantangan itu sebenarnya mengandung maksud tersembunyi lainnya. Sastrawan rudin she Liu Tay-liong itu pun termasuk “Sepuluh Tokoh Sakti”, bahkan menduduki urutan kelima, jadi lebih tinggi dari Sebun Say. Sebun Say telah berlatih keras selama beberapa tahun di daerah Jing-hay, dan kini ia punya keinginan untuk mengalahkan Liu Tay-liong, agar kedudukannya di urutan ke delapan itu diperhitungkan kembali, kalau bisa melonjak ke urutan di atasnya.
Agaknya Liu Tay-liong maklum apa yang menjadi kandungan hati Sebun Say itu, maka sambil tertawa menyindir ia berkata, “Wah, hebat sekali ambisimu, saudara Sebun, bahkan aku ikut berdoa agar sekali tempo kelak kau dapat mengalahkan tua bangka she Ang dari Tiam-jong-san itu untuk merebut tempat pertama. Tapi antara nama dan kemampuan harus seimbang lho. Selain itu juga harus siap menelan kenyataan pahit jika impianmu gagal.”
Betapa tebalnya muka Sebun Say, namun ia agak tersipu juga karena isi hatinya kena dikorek dengan tepat oleh Liu Tay-liong. Tapi dengan bandelnya ia pantang mundur, “Persetan dengan omong kosongmu itu. Hayolah kita mulai!”
Lalu iblis cebol itu mengeluarkan senjatanya yang berbentuk seperti sabit panjang, yang pada bagian tajamnya memancarkan warna keungu-unguan, menandakan bahwa senjata itu direndam racun yang cukup ganas. Dengan sikapnya itu, jelaslah yang dikehendaki Sebun Say bukan cuma menginginkan “pemanasan” melainkan benar-benar bertempur.
Sedangkan Liu Tay-liong pun tidak berani bersikap lengah, meskipun tampaknya saja ia masih santai dan tersenyum-senyum. Agaknya orang she Liu inipun tahu betul bahwa lawannya itu tentu sudah berlatih keras demi mewujudkan impiannya untuk menduduki tempat nomor satu dalam urutan “Sepuluh Tokoh Sakti” di jaman itu.
Dalam pada itu Sebun Say tidak membuang waktu lagi. Sambil mengeluarkan bentakan keras ia menubruk ke depan dengan dahsyatnya, senjatanya itu tiba-tiba lenyap bentuknya digantikan dengan segulung cahaya keungu-unguan yang berputar mengerikan bagaikan angin pusaran. Dalam gebrakan pertama saja Sebun Say telah menunjukkan kekejamannya.
Tapi yang dihadapi oleh Sebun Say saat itu adalah tokoh yang diakui berkedudukan nomor lima di dunia persilatan. Kedudukannya hanyalah di bawah empat orang sakti lainnya, yaitu Tiam-jong-lo-sia (Si Sesat Tua Dari Tiam-jong-san) Ang Hoan, Rahib Hong-tay dari Siong-san Siau-lim-si, Kim-hian Tojin dari Kuil Giok-hi-koan di Butong-san serta Soat-san-lo-sian (Dewa Tua dari Soat-san) Yu Hau-seng. Liu Tay-liong menunggu sampai serangan lawan itu hampir mengenai dadanya, setelah itu barulah menghindar ke samping.
Wi-lian melihat jalannya pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar, ia menguatirkan keselamatan sastrawan rudin itu, sebab Wi-lian sendiri sudah mengalami betapa lihainya iblis cebol dari Jing-hay itu. Sementara itu Sebun Say tidak berhenti dengan serangan pertamanya saja. Dengan gesitnya si cebol ini telah merubah arah luncuran badannya di tengah udara, dan kembali menubruk Liu Tay-liong dengan kecepatan yang sama seperti gebrakan pertama tadi.
Tetapi kali ini si sastrawan rudin bukan cuma menghindar, tapi juga mulai membalas serangan dengan menggunakan kipasnya untuk mengetuk jalan darah yang-ti-hiat di pergelangan tangan lawan. Gerakan Liu Tay-liong ini adalah perwujudan dari salah satu ajaran ilmu silat tingkat tinggi yang disebut “bergerak lebih lambat, tiba lebih cepat”.
Gerakan Sebun Say adalah gerakan yang cukup cepat, namun gerakan Liu Tay-liong adalah gerakan yang maha cepat, sehingga meskipun cara bergeraknya kelihatan seenaknya, tapi tepat tertuju ke titik lemah pertahanan lawan, dan memaksa sang lawan harus menutup diri lebih dulu.
Sebun Say juga menginsyafi bahwa jika serangannya dilanjutkan, maka lengan kanannya akan kena diketuk lumpuh. Terpaksa Sebun Say mengangkat lengannya sedikit, dan meskipun gerakan itu hanya sedikit, tapi telah membuyarkan semua jurus lanjutan dari serangan pertamanya tadi. Namun iblis dari Jing-hay inipun sudah menyiapkan telapak tangan kirinya untuk melepaskan sebuah serangan susulan.
Sekarang tibalah giliran Liu Tay-liong yang bergerak lebih dulu untuk memamerkan kecepatannya. Sebelum pukulan susulan Sebun Say “keluar”, lengan jubah Liu Tay-liong yang longgar itu lebih dulu telah bergerak ke luar secepat kilat, sekalipun ujung lengan jubah itu mengancam empat jalan darah bu-hiang, hong-bwe, siau-yo dan gi-bun. Sedang dibalik lengan jubah yang kedodoran itu masih tersembunyi pula cengkeraman dahsyat ke arah empat jalan darah pula, yaitu tong-bun, ih-gi, yang-kau dan hok-tho.
Jadi dengan sebuah gerakan saja si sastrawan rudin ini mampu memaksa Sebun Say harus melindungi sekian banyak sasaran. Keringat dingin mengucur di punggung Sebun Say melihat serangan segencar dan secepat itu. Dalam waktu yang kurang dari sedetik, Sebun Say masih sempat membuang diri ke belakang dan menggulingkan tubuhnya untuk menjauhi lawan. Demikianlah, cara menyerangnya tadi begitu garang menakutkan, tapi caranya menghindari serangan balasan lawan ternyata begitu konyol.
Sementara Sebun Say menjauhkan diri, Liu Tay-liong tidak memburunya, ia tetap berdiri santai di tempatnya sambil melihat musuhnya bergulingan di tanah. Tangan kirinya yang memegang kipas itu mengipas-ipas mukanya dengan santainya, sambil tersenyum-senyum dilihatnya Sebun Say telah bergulingan beberapa langkah.
Sebun Say dengan cepat melompat bangun, mukanya menjadi merah padam karena malu dan marah. Di hadapan mata Kwa Heng, Ji Tiat dan Tong Wi-lian, dia kena dipaksa berkelakuan demikian konyol oleh Liu Tay-liong, maka tentu saja pamornya turun beberapa derajat. Begitu melompat bangun, ia langsung menggeram marah, “Hebat kau, orang she Liu. Ilmumu cukup maju juga agaknya.”
Liu Tay-liong tersenyum, balasnya, “Ah, saudara Sebun terlalu memuji. Aku justru iri pada jurus bergulinganmu yang indah tadi, tentunya itu adalah hasil karya terbarumu? Aku mengucapkan selamat atas keberhasilanmu.”
Dengus Sebun Say, “Jangan sombong kau. Mari kita lanjutkan.” Dan tanpa mengucap apapun, kembali Sebun Say telah menerjang ke depan. Kali ini ia tidak mau lagi main tubruk secara kasar, tapi dengan langkah-langkah seringan awan tertiup angin, ia menyerang dengan sebuah jurus ciptaannya yang diberi nama Wan-hun-yu-hui (Arwah Penasaran Mengembara). Senjata sabit beracunnya menyelonong dari samping dibarengi dengan hantaman tangan kirinya yang juga berwarna ungu kehitam-hitaman dan mengeluarkan bau memuakkan itu.
Cepat Liu Tay-liong menggeser langkah mengikuti arus gerakan lawannya, kemudian kipas besi dan lengan jubahnya yang lebar itu serempak menebar dengan gerakan Hui-thian-soat-hoa (Bunga Salju Beterbangan Di Langit). Dalam waktu singkat, dua orang tokoh yang sama-sama merupakan tokoh terkenal di jaman itupun telah terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit sekali. Selisih kepandaian di antara mereka tidak terlalu menyolok.
Sebun Say telah berlatih keras menggembleng diri hampir sepuluh tahun lamanya di pedalaman Jing-hay, tetapi si sastrawan rudin itupun tidak pernah melalaikan latihan ilmu silatnya. Apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini Liu Tay-liong sudah punya rumah sederhana untuk menetap di Kay-hong, sehingga tidak lagi mengembara tanpa tujuan di dunia persilatan, dengan demikian ia lebih punya banyak waktu untuk meningkatkan ilmunya pula.
Kedua orang itu berkelebatan saling menyambar bagaikan dua sosok setan gentayangan, jurus-jurus simpanan yang hebat silih berganti dihamburkan keluar. Ilmu silat Sebun Say berciri telak, ganas dan mengutamakan kecepatan untuk langsung mengincar sasarannya. Sebaliknya gerakan Liu Tay-liong nampak begitu ringan dan tidak begitu cepat, namun serangan lawan yang gencar itu anehnya tidak dapat menyentuh ujung jubahnya sedikitpun.
Gerakan Liu Tay-liong hanya seperti orang menari- nari, tetapi serangan-serangan kipasnya maupun ujung-ujung lengan jubahnya selalu terarah ke jalan darah-jalan darah penting di tubuh lawannya, incarannya selalu tepat dan memaksa lawan harus berhati-hati. Makin lama pertarungan itu meningkat semakin seru. Sebun Say betul-betul telah mempertaruhkan seluruh hasil latihannya untuk merebut kemenangan.
Senjata sabitnya bagaikan belasan buah halilintar yang sabung menyambung di langit, diselingi gempuran-gempuran tangan kirinya yang menimbulkan badai angin pukulan. Didukung pula dengan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup mahir, maka tubuh si iblis Jing-hay itu seolah-olah telah terpecah-pecah menjadi beberapa orang yang bergerak secara serentak, mengepung lawan dari berbagai jurusan.
Tapi di sela-sela deru kilat dan angin ribut yang menakutkan itu, terlihatlah ratusan, bahkan ribuan, titik-titik terang bagaikan bunga-bunga salju yang beterbangan ringan kian-kemari menyusup di antara keganasan lawannya. Kadang-kadang nampak gerakan-gerakan “bunga salju” seolah-olah terhisap dan mengikuti arus serangan lawannya, namun tidak dapat dimusnahkan! “Bunga salju” itu tak lain tak bukan adalah gerakan-gerakan Liu Tay-liong.
Wi-lian yang merasa beruntung dapat menyaksikan pertempuran ilmu silat tingkat tinggi itu, diam-diam membatin, “Dasar sastrawan, dalam perkelahian mati hiduppun ia mengeluarkan jurus-jurus yang tidak mengabaikan segi keindahan. Tapi gerakan-gerakannya agak mirip dengan Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Terbang) dari Soat-san-pay yang pernah kupelajari ketika masih di An-yang- shia.”
Sementara itu pertarungan itu sudah tidak diketahui lagi memasuki jurus ke berapa, sebab kedua orang yang bertarung itu bergerak demikian cepat sehingga tidak dapat diikuti pandangan mata orang-orang yang setaraf kepandaiannya dengan Wi-lian. Dan semua orang tak merasa bahwa sinar matahari yang tipis mulai menggores kaki langit sebelah timur, dan di kejauhan terdengar kokok ayam.
Meskipun pertarungan itu belum berakhir secara tuntas, namun sudah kelihatan bahwa Liu Tay-liong sedikit lebih unggul dibandingkan lawannya yang pendek kecil itu. Kini terlihatlah bahwa beberapa kali Sebun Say harus melangkah mundur, meskipun ia masih mempertahankan diri dengan gigihnya. Suara deru napasnya makin terdengar nyata, menandakan orang she Sebun itu sudah hampir kehabisan napas.
Liu Tay-liong sendiri bukannya tidak memeras tenaga, bajunya sudah basah kuyup dengan keringat. Tapi napasnya agaknya lebih panjang dari lawannya, bahkan ia masih bisa berkata mengejek lawannya, “Saudara Sebun, apakah kau masih belum puas dengan permainan kita yang hampir semalam suntuk ini?”
Begitu ucapannya selesai, Liu Tay-liong membentak keras dan melancarkan serangkaian serangan hebat. Terdengar suara benturan senjata yang gencar, lalu tiba-tiba kedua tokoh yang sedang bertarung itu berlompatan saling menjauhi. Nampak Sebun Say meringis sambil memegangi pergelangan tangannya dengan tangan kiri, sedangkan senjatanya itu telah terbang ke udara. Ketika senjata sabit itu meluncur turun kembali, cepat Liu Tay-liong mengebaskan lengan jubahnya, sambil berseru,
“Saudara Sebun, terima kembali senjatamu!”
Agaknya Sebun Say sudah tidak punya muka lagi untuk menerima senjatanya kembali. Senjata yang meluncur kembali kepadanya itu tidak diterimanya, melainkan dihindarinya dengan melompat ke samping. Kemudian ia menggapaikan tangannya kepada Kwa Heng dan Ji Tiat, sambil berseru marah, “Mari kita pergi. Hwe-liong-pang kita tidak akan pernah melupakan penghinaan ini.”
Agaknya iblis Jing-hay ini memang seorang yang berpikiran sempit dan mau menangnya sendiri. Pertempurannya dengan Liu Tay-liong itu adalah pertempuran antar pribadi, dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Hwe-liong-pang, bahkan Sebun Say sendirilah yang tadi menantang lebih dulu.
Namun begitu ia kalah, iblis kecil ini rupanya sangat mendendam sehingga bermaksud untuk menyeret seluruh Hwe-liong-pang terlibat urusan ini. Sekejap kemudian, bayangan ketiga orang tokoh Hwe-liong-pang sudah tidak nampak bayangannya lagi.
Liu Tay-liong hanya memandang kepergian ketiga orang itu sambil menghela napas beberapa kali, sambil bergumam sendiri, “Ah, mulai hari ini agaknya kehidupan tenteram yang kudambakan itu akan kembali direpotkan berbagai urusan tetek-bengek, dan aku dengan tulang-tulang tuaku ini harus berkecimpung lagi dengan urusan-urusan yang memusingkan kepala.”
Wi-lian cepat memberi hormat kepada pendekar tua yang telah menyelamatkan nyawanya itu, dan mengucapkan terima kasihnya. Tanpa bicara bertele-tele, sekaligus gadis itu menyatakan bahwa ia diutus oleh gurunya, Hong-tay Hweshio, untuk menyampaikan sepucuk surat kepada pendekar tua she Liu itu.
Sambil membuka sampul surat itu, Liu Tay-liong berkata sambil tersenyum. “Aku pernah mendengar kabar dari si rahib gadungan Hong-koan, katanya Rahib Hong-tay telah menemukan seorang murid yang berbakat. Eh, ternyata mulut si rahib gila itu dapat dipercaya juga kali ini.”
Mendengar pujian tidak langsung kepada dirinya itu, Wi-lian agak tersipu, katanya merendah, “Toasiok Hong-koan terlalu memuji diriku. Jika tadi lo-eng-hiong (Pendekar Tua) tidak menolong aku, tentu saat ini aku sudah mati di tangan iblis cebol itu.”
“Kau jangan membandingkan dirimu dengan setan kecil itu,” sahut Liu Tay-liong. “Tahukah kau bahwa Sebun Say itu adalah orang yang menduduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti jaman ini? Aku sendiri, untuk mengusirnya harus mengeluarkan tenaga habis-habisan dan membutuhkan ribuan jurus. Tapi tadi kuintip kau sempat melawan siluman itu sampai tiga puluh jurus lebih, meskipun terdesak dan bahkan kemudian hampir celaka. Tapi angkatan muda dunia persilatan yang seusia denganmu yang sanggup menahan siluman itu puluhan jurus seperti kau, barangkali jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Kau patut berbangga untuk hal ini, sekaligus juga kau jadikan pelajaran agar jangan terlalu gegabah bertindak.”
Lalu sastrawan tua itu tertawa gembira, “Aku percaya untuk beberapa hari ini tentu Sebun Say tidak nyenyak tidur dan tidak berselera makan karena rasa penasaran dan dongkolnya. Ia sudah berlatih keras dan merasa bahwa ilmunya sudah meningkat banyak, tidak tahunya begitu muncul di sini ia langsung terbentur seorang lawan muda seperti kau.”
Diam-diam Wi-lian menjadi sangat bergembira mendengar penilaian pendekar tua itu tentang tingkat ilmu silatnya sekarang. Tidak percuma selama ini ia mengalami penderitaan hebat karena gemblengan keras di Siong-san itu. Di dalam hatinya, gadis itu juga berjanji kepada diri sendiri untuk berlatih giat setiap ada waktu yang terluang, supaya ilmunya meningkat lagi.
Liu Tay-liong ternyata tidak hanya memuji, tapi kemudian juga “menyentil” kesembronoan gadis itu, “Tapi kunilai kau juga terlalu ceroboh dalam tindakanmu. Orang-orang Hwe-liong-pang bukanlah orang-orang yang dibuat permainan begitu saja. Mereka memiliki banyak jagoan lihay, dan tersebar dimana-mana. Bahkan Ketua mereka, Hwe-liong-pang-cu itu, menurut kepandaiannya dia tidak di bawah tingkatan dari Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan.”
Berdesirlah jantung Wi-lian mendengar keterangan Liu Tay-liong itu. Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan adalah tokoh yang menduduki urutan pertama dalam deretan sepuluh tokoh maha sakti jaman itu, bahkan kepandaiannya lebih tinggi dari Rahib Hong-tay, guru Wi-lian. Tapi kini dengan telinganya sendiri Wi-lian mendengar Liu Tay-liong berkata bahwa kepandaian Hwe-liong-pang-cu sejajar, bahkan mungkin lebih tinggi dari Ang Hoan!
Diam-diam Wi- lian jadi bergidik mendengarnya. Jika benar-benar Hwe-liong-pang-cu selihai itu dan kemudian berniat mengobrak-abrik dunia persilatan, lalu siapakah yang mampu membendung tindakannya? “Apakah lo-eng-hiong pernah bertemu dengan tokoh tertinggi Hwe-liong-pang itu?” tanya Wi-lian kemudian.
“Hanya melihatnya dari jarak yang agak jauh, dan secara kebetulan pula. Ketua Hwe-liong-pang itu pernah berkeliaran di sekitar kota ini, diikuti oleh seorang pembantunya yang agaknya juga lihai bukan main. Hwe-liong-pang-cu itu memakai pakaian dan jubah serba hitam, mukanya tertutup sebuah topeng tengkorak yang menakutkan, gerak-geriknya pun mirip siluman, sehingga aku tidak mampu mengikuti gerakannya lebih lanjut. Lagipula aku masih sayang kepada nyawaku.”
“Dan bagaimana dengan pembantunya itu?”
“Ia juga mengenakan topeng, dan nampaknya juga sangat tangguh. Aku bukan seorang munafik yang senang merendahkan diri, tetapi terhadap pembantu Hwe-liong-pang-cu ini aku harus mengaku terus terang, bahwa aku tidak merasa yakin menang bila bertempur dengannya.”
Bulu tengkuk Wi-lian meremang mendengar keterangan itu. Jika itu benar, bukankah Hwe-liong-pang merupakan suatu kekuatan yang benar-benar menakutkan di dunia persilatan dan dapat berbuat sewenang-wenang? Baru Ketua dan Pembantunya sudah begitu lihai, belum terhitung jago-jago yang setaraf dengan Sebun Say, Kwa Heng, Ji Tiat atau Tan Han-ciang yang telah cacat itu, entah berapa jumlahnya. Dengan demikian dunia persilatan agaknya benar-benar akan diguncang oleh suatu badai yang dahsyat, dan mungkin menimbulkan banjir darah yang mengerikan.
Pendekar tua Liu Tay-liong itu agaknya dapat membaca apa yang tersirat di hati gadis itu. Katanya “A-lian, bukankah aku boleh memanggil nama panggilanmu? Kuberi peringatan kepadamu agar kau jangan salah bertindak. Tidak semua orang-orang Hwe-liong-pang itu berbuat kejahatan, meskipun tidak dapat dibantah bahwa gerak-gerik mereka diselimuti kabut rahasia. Bahkan kabarnya mereka punya sebuah cita-cita luhur yang sedang mereka perjuangkan, meskipun aku sendiri belum jelas apa yang mereka maksudkan dengan cita-cita luhur itu. Tapi memang ada juga anggota-anggota Hwe-liong-pang yang berasal dari dunia kejahatan, mereka menggunakan Hwe-liong-pang hanya sebagai tulang punggung dan tempat berlindung saja. Mereka inilah yang berbuat sewenang-wenang dan kejam luar biasa. Karena itu selanjutnya kau tidak boleh main hantam saja bila bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang. Misalnya saja si bungkuk Kwa Heng dan Ji Tiat itu, aku kenal mereka sebagai penduduk Kay-hong yang cukup lama, dan menurut pendapatku, pribadi kedua orang itu tidak bisa disamakan dengan Sebun Say misalnya.”
Di dalam hatinya Wi-lian mengakui kebenaran ucapan itu. Dalam pertempuran sempit di halaman belakang rumah penginapan tadi, nampak benar perbedaan sikap antara Kwa Heng dan Ji Tiat di satu pihak dengan Tan Han-ciang di lain pihak, meskipun mereka bernaung di bawah panji yang sama. Kupingnya mendengar sendiri bagaimana Kwa Heng beberapa kali mencegah Ji Tiat agar tidak membunuh Hong-ho-sam-hiong, meskipun kemudian kampak Ji Tiat sempat juga membuat nyawa Pang Lun menyeberang.
Dalam pada itu Liu Tay-liong telah membuka surat dari Rahib Hong-tay itu dan membacanya. Alisnya nampak sedikit berkerut, tapi kemudian suaranya pun terdengar bernada riang, “Pertemuan besar kaum kesatria dunia persilatan di Kuil Siau-lim-si dua bulan kemudian? Bagus. Inilah kesempatan untuk berjumpa kembali dengan sahabat-sahabat lamaku. Baiklah, aku akan berusaha memenuhi undangan ini.”
Lalu tanya Liu Tay-liong kepada Wi-lian, “Agaknya kau mendapat tugas untuk menyebarkan undangan?”
Sahut Wi-lian, “Tidak, aku cuma kebagian dua buah undangan, satu kepada lo-eng-hiong dan satu lagi kepada Cian Cong-piau-thau (Pemimpin Perusahaan Pengawalan She Cian) dari Tiong-gi Piau-hang di Tay-beng. Undangan untuk tokoh-tokoh lain dibawa oleh murid-murid Siau-lim-si lainnya.”
Sebenarnya terasa agak janggal jika Pemimpin dari sebuah Perusahaan Pengawalan diundang dalam pertemuan kaum persilatan. Sebab umumnya orang-orang dari Perusahaan Pengawalan itu dianggap orang-orang yang tidak teguh pendiriannya, orang-orang yang hanya mengikuti arah angin untuk mencari sesuap nasi. Biasanya mereka tidak peduli apakah dunia persilatan kacau atau tidak, pokoknya asal perusahaan mereka bisa jalan dan mendapat keuntungan.
Namun anggapan yang demikian tidak berlaku bagi Tiong-gi Piau-hang. Siau-lim-pay sebagai pihak penyelenggara ternyata punya pertimbangan lain terhadap Cian Sin-wi yang dianggap sebagai tokoh yang lain daripada yang lain. Ia dapat dianggap tokoh keras, bahkan terlalu keras dalam sikapnya kepada golongan hitam.
Selain itu, Tiong-gi Piau-hang di bawah pimpinan Cian Sian-wi telah berkembang dengan cabang-cabangnya di seluruh Kang-pak, dan dianggap sebagai kekuatan tersendiri yang cukup berpengaruh. Dengan pertimbangan itulah Siau-lim-pay merasa tidak ada salahnya mengirim sepucuk undangan kepada Pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu.
Kalau diterima dengan baik ya syukur, andaikata ditolakpun maka paling tidak tata-krama dunia persilatan sudah terpenuhi, sehingga jangan sampai tokoh keras Cian Sin-wi itu merasa tersinggung. Liu Tay-liong agaknya juga dapat memahami tindakan Siau-lim-pay itu, katanya sambil mengangguk-anggukkan kepala,
“Rahib Hong-tay bertindak cukup bijaksana dan berpikir jauh. Biarpun Tiong-gi Piau-hang itu resminya hanyalah sebuah perusahaan dagang dan bukan merupakan perguruan atau aliran silat, tapi memang tidak boleh diabaikan, mengingat pengaruhnya yang besar di wilayah Kang-pak. Apalagi Hwe-liong-pang juga sedang berusaha menghimpun kekuatan dengan jalan merangkul kekuatan dari manapun juga. Sebelum Tiong-gi Piau-hang berhasil dirangkul oleh Hwe-liong-pang, sebaiknya memang harus kita pikat ke pihak kita lebih dulu.”
Wi-lian hanya mengangguk-angguk saja, dan bertambahlah pengetahuannya tentang lika-liku dunia persilatan. Ternyata dunia persilatan bukan cuma membutuhkan ketangkasan memainkan golok atau pedang saja, melainkan juga mengandalkan ketangkasan berpikir secara bijaksana dan tidak asal gagah-gagahan saja.
Langit di timur semakin berwarna cerah, Liu Tay-liong pun segera hendak melangkah pergi. Tapi Tong Wi-lian cepat mencegahnya, “Maaf, Liu Lo-eng-hiong, aku ingin mengajukan satu pertanyaan....
Halaman 29 – 30 hilang
....di dalam kota Kay-hong sedang Wi-lian bermaksud mengambil bungkusan bekalnya yang tertinggal di rumah penginapan Kwa Heng. Ia harus sudah menyelesaikan urusan itu sebelum terang tanah, supaya tidak usah tersangkut urusan dengan para petugas keamanan yang brengsek itu.
Demikianlah Wi-lian berlari-lari kembali menuju ke Kay-hong, berlomba dengan sang matahari yang sebentar lagi akan menampakkan dirinya di ufuk timur. Karena pintu kota belum dibuka, terpaksa Wi-lian harus melalui tembok kota yang cukup tinggi itu dengan mengandalkan Pia-hou-yu-jio (Cecak Merayap Tembok). Setelah tiba di dalam kota, secara bebas ia menggunakan ginkang untuk berlompatan dari atap ke atap, menuju ke penginapan itu.
Tak lama kemudian gadis itu telah tiba di tempat penginapannya kembali. Dengan ketangkasannya ia berhasil menyelinap masuk, tanpa diketahui oleh beberapa orang prajurit yang kini berkeliaran di dalam dan di sekitar rumah penginapan yang baru saja menjadi ajang pembunuhan Hong-ho-sam-hiong itu.
Wi-lian menemukan buntalan pakaiannya masih utuh, hanya saja agak morat-marit karena habis digeledah, namun semua uang bekalnya sudah ludes tidak tersisa sepeserpun. Agaknya para petugas keamanan itu selain “mengamankan” juga tidak lupa mengisi kantongnya masing-masing.
Tapi Wi-lian tidak merisaukan hal itu. Cepat ia mengikatkan bungkusan pakaian di punggungnya, dan seperti juga datangnya maka perginya pun secepat kilat, tidak sempat diketahui para penjaga itu. Untung cuaca yang masih agak gelap di pagi buta itu cukup membantunya. Dan sesaat kemudian gadis itu sudah berada kembali di luar kota Kay-hong.
Tujuannya kini adalah menuju ke kota Tay-beng, untuk menyampaikan undangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Kaum Pendekar) kepada Cian Sin-wi, itu pimpinan Tiong-gi Piau-hang yang terkenal. Menurut kata Gurunya, di kota Tay-beng itu mungkin Wi-lian akan menemukan jejak kakak keduanya, Tong Wi-hong.
Teringat akan kakak keduanya yang sering dipanggilnya dengan olokan “si kutu buku” itu, seketika berkecamuklah rasa rindu gadis itu. Dua tahun lebih ia tidak bertemu dengan kakaknya itu, entah bagaimana keadaannya? Teringat akan hal itu, semua rasa lelahnya bagaikan lenyap mendadak, dan dengan bersemangat ia mulai mengayunkan langkah-langkah kakinya menuju kota Tay beng.
“Setelah tugasku di Tay beng selesai, lalu hendak ke mana tujuanku?” diam-diam gadis itu bertanya kepada dirinya sendiri. Ingatan gadis itu lalu melayang ke kota kelahirannya, kota kecil An-yang-shia yang indah permai dan terletak di tepi danau Po-yang-ou itu.
Dan begitu ingat kota kelahirannya itu, ingat pulalah ia akan keluarganya yang telah menjadi berantakan gara-gara ulah seorang pembesar kerajaan yang bertindak sewenang-wenang, yaitu Cia To-bun dan puteranya yang sangat memuakkan, Cia Bok. Entah bagaimana keadaan musuh-musuh keluarganya itu?
Namun rasa dendam dan benci Tong Wi-lian sudah banyak berkurang, karena selama ia berguru di Siong-san ia bukan hanya mendalami ilmu silat, tapi sekaligus juga telah belajar ajaran-ajaran Buddha yang mengutamakan welas-asih itu. Jika dia ingin ke An-yang-shia, maka tujuannya bukan hendak membalas dendam kepada Cia To-bun dan lain-lainnya, tapi hanyalah untuk memuaskan rasa rindunya kepada kampung halamannya.
Wi-lian merasa bahwa perjalanannya ke Tay-beng dengan berjalan kaki saja tentu akan memakan waktu yang sangat lama. Ia ingin membeli kuda, tetapi uangnya sudah dikuras para petugas keamanan yang menggeledah penginapannya. Akhirnya sambil tertawa sendiri gadis itu memutuskan, “Uangku dirampas oleh petugas-petugas Kerajaan Beng, maka Kerajaan Beng pulalah yang harus mengganti rugi kepadaku.”
Dan beberapa saat kemudian gadis itupun sudah duduk dengan enaknya di atas punggung seekor kuda yang tegak, yang dirampasnya dari seorang prajurit Beng yang sedang meronda keliling sebuah desa. Sementara gadis itu sedang berjalan menuju kota Tay-beng, maka saat itu kota Tay-beng sendiri masih tidak menampakkan banyak perubahan.
Masih tetap anggun dengan gedung-gedung kunonya. Kota yang penuh dengan sejarah kepahlawanan dari Kerajaan Song itulah yang merupakan kediaman Cian Sin-wi, tokoh berhati sekeras baja, yang dengan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) membuat kaum hek-to (Golongan Hitam) menggigil ketakutan jika mendengar namanya.
Hari itu suasana kota Tay-beng tidak berbeda dengan hari-hari lainnya, masih tetap seperti dua tahun yang lalu. Tetap ramai dengan para pedagang setempat dan para wisatawan dari luar daerah yang ingin bertamasya ke tempat-tempat bersejarah. Tay-beng memang hiruk-pikuk. Sayup terdengar tukang jual obat di sudut jalan yang tengah berteriak-teriak memuji obat anti kutu busuknya yang katanya nomor satu di dunia. Di sudut lain terdengar suara tambur dan gembreng, ditabuh oleh kawanan penjual silat atau tukang sulap untuk menarik perhatian penonton.
Di tengah-tengah Tay-beng yang ribut itu, berdirilah dengan megahnya sebuah gedung besar yang di atas pintu gerbangnya terukir dengan empat huruf emas “Tiong-gi Piau-hang”. Sepasang arca singa- singaan batu yang mengapit kedua sisi pintu gerbang itu menambah keangkeran gedung besar itu. Tiong-gi Piau-hang juga tidak banyak berubah, masih kelihatan seperti dua tahun yang lalu, di mana saat dua orang anak muda meninggalkan gedung itu dalam waktu yang hampir bersamaan, gara-gara persoalan yang menyangkut seorang gadis.
Yang satu pergi dengan perasaan kecewa dan dendam karena cintanya tidak terbalas, dan yang lain pergi karena rasa harga dirinya menuntutnya agar tidak menjadi “benalu” di rumah itu. Namun kepergian mereka hampir tidak ada pengaruhnya sama sekali dengan perkembangan Tiong-gi Piau- hang secara keseluruhan. Perusahaan Pengawalan itu tetap jaya, ditakuti lawan dan disegani kawan, jumlah piau-su (pengawal) yang tangguhpun terus berkembang dengan pesat.
Panji-panji berwarna emas di tengah-tengahnya, tetap berkibar megah, dan tetap merupakan sesuatu yang ditakuti kaum rimba hijau. Namun kemajuan demi kemajuan yang dicapai Tiong-gi Piau-hang selama ini terasa bagaikan tidak ada artinya bagi Cian Ping, putera Cian Sin-wi itu. Semenjak kepergian Tong Wi-hong, maka kehidupan dunia ini mulai terasa hambar baginya, hari demi hari lewat begitu saja tanpa terasa apa maknanya.
Seakan-akan ia hidup hanya karena ia harus hidup, begitu saja. Tingkah lakunya yang riang kekanak- kanakan, tawanya yang segar berderai dan senda- guraunya yang ceria itu kini sudah lama tidak terdengar di gedung itu. Kini Cian Ping nampak agak kurus, sayu dan gerak-geriknya lesu. Cinta pertama seorang gadis terasa direnggut begitu saja dari dirinya, menimbulkan luka hati yang berdarah.
Hal yang tidak menggembirakan ini ternyata juga mempengaruhi ayahnya, yang menumpahkan seluruh cinta dan harapannya kepada puterinya itu. Dari hari ke hari, Cian Sin-wi pun nampak semakin loyo, semangat untuk berlatih silat pun sudah tidak seperti dulu. Dulu setiap hari ia berlatih silat, sekarang hal itu dilakukannya dua atau tiga hari sekali, itupun kurang bersemangat.
Di dalam hatinya, Cian Sin-wi sering mengutuk Song Kim dan Tong Wi-hong yang dianggapnya menjadi sumber penderitaan batin bagi puterinya, namun kadang-kadang timbul juga rasa rindunya kepada Wi-hong agar datang dan mengobati batin puterinya. Tidak jarang Cian Sin-wi juga menyesali dirinya sendiri, kenapa dulu ia mesti membawa pulang Tong Wi-hong yang luka itu? Kenapa tidak diobatinya saja di tengah jalan dan kemudian disuruhnya pergi setelah sembuh?
Dan sambil mengusap-usap rambutnya yang telah memutih dengan cepatnya itu, Cian Sin-wi bergumam sendirian, “Andaikata bocah she Tong itu tidak pernah hadir di tempat ini dan tidak pernah mengenal puteriku, mungkin saat ini Cian Ping telah hidup berbahagia dengan Song Kim, bahkan aku mungkin sudah menimang seorang cucu. Meskipun pribadi Song Kim kurang sempurna, namun toh hal itu dapat diubah secara pelan-pelan.”
Agaknya tokoh tua itu agak menyesal juga karena “mengejar burung di udara, burung di tangan dilepaskan”, menginginkan seorang menantu yang sempurna, tanpa sadar melukai hati muridnya, dan akhirnya ia kehilangan kedua-duanya. Demikianlah, di balik kemegahan Tiong-gi Piau-hang itu tersembunyilah kemurungan hati Cian Sin-wi, orang yang seharusnya merasa paling gembira dengan kejayaan perusahaan itu. Ia kini agak malas mengurusi sendiri urusan-urusan Tiong-gi Piau- hang, semuanya cukup ditangani oleh pembantu-pembantunya yang pandai-pandai itu.
Tetapi hari itu, agaknya mendung yang selama ini menaungi keluarga Cian akan tersapu bersih. Dari pintu gerbang kota Tay-beng sebelah barat, masuklah seorang anak muda berwajah tampan dan berpakaian ringkas serba putih. Ia menunggangi seekor kuda gurun yang tegap, sedang di punggungnya tergendonglah sebatang pedang yang bersarung besi berwarna hitam berkilat, menambah kegagahan anak muda itu. Sayang sekali, di wajah yang tampan itu terlapis awan kemurungan.
Pemuda berpakaian serba putih itulah orangnya yang dikenang siang malam oleh Cian Ping, tak lain tak bukan Tong Wi-hong adanya. Dua tahun yang lalu, ketika Tong Wi-hong selamat dari usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Hong-koan Hweshio dan kemudian dibawa oleh Oh Yu-tian pergi ke Gunung Soat-san, pusat dari perguruan silat Soat-san-pay.
Di gunung bersalju yang terpencil di daerah barat itulah Wi-hong dapat bertemu dengan ibunya yang lebih dulu telah tiba di sana. Dan tempat itu pulalah ibu dan anak itu digembleng langsung oleh Ketua Soat-san-pay, Yu-Hau-seng yang merupakan guru dari mendiang Tong Tian. Di bawah bimbingan tokoh nomor satu Soat-san-pay inilah maka Wi-hong mengalami peningkatan ilmu yang pesat sekali, terutama dalam hal ilmu pedang, karena keistimewaan perguruan Soat-san-pay memang terletak pada ilmu pedangnya.
Kemajuan Wi-hong itu tidak mengherankan, sebab Yu Hau-seng merupakan orang keempat dalam urutan sepuluh tokoh sakti di jaman itu. Kedudukannya setingkat di bahwa Kim-hian To-jin dari Bu-tong-pay, dan setingkat di atas si sastrawan rudin Liu Tay-liong dari Kay-hong.
Kini Wi-hong telah turun kembali ke dunia ramai dengan membekal ilmu silat yang bahkan lebih tinggi dari mendiang ayahnya dulu. Di pundaknya terbebanlah tugasnya, yaitu menemukan kembali kedua orang saudaranya, Tong Wi-siang dan Tong Wi-lian, lalu kemudian membalas sakit hati kepada Cia To-bun di An-yang-shia.
Namun Wi-hong masih punya perasaan berdosa sekaligus berhutang budi kepada keluarga Cian di Tay-beng. Perasaan berdosa, karena ia telah meninggalkan rumah itu tanpa pamit, dalam urusan Song-kim dulu. Dan perasaan berhutang budi, karena Cian Sin-wi lah yang telah menyelamatkan nyawanya dari keganasan perampok-perampok dulu.
Karena itu, begitu ia diijinkan turun gunung oleh kakek gurunya, maka tujuan pertamanya adalah kota Tay-beng. Ia ingin berlutut dan memohon maaf kepada tuan penolongnya, dan sekaligus menilik keadaan gadis yang selama ini tidak pernah dilupakannya itu. Setelah itu barulah ia akan menjalankan kewajiban keluarganya.
Sementara kudanya melangkah perlahan-lahan dan semakin mendekati gedung megah Tiong-gi Piau-hang itu, jantung Wi-hong pun berdentang semakin keras. “Apakah paman Cian dan adik Ping akan mengampuni kesalahanku?” pikirnya dengan gelisah. “Jika mereka tidak mau mengampuniku, maka untuk selanjutnya akan dinginlah hidupku ini.”
Selain itu timbul pula bayangan-bayangan menggelisahkan di pelupuk matanya. Jangan-jangan ia akan menjumpai Cian Ping sudah didampingi seorang lelaki gagah dan bahkan sudah menggendong bayi? Atau jangan-jangan Cian Ping berputus-asa itu sudah... Ah, Wi-hong tidak berani melanjutkan pemikirannya itu. Akhirnya pemuda itu cuma bisa menarik napas panjang berkali-kali dan menghibur dirinya sendiri,
“Ah, memang akulah yang bersalah. Andaikata adik Ping sudah menikah, itupun bukan salahnya. Aku harus tetap bersikap sebagai kesatria, aku hanya ingin mohon maaf dan setelah itu tidak akan mengganggu kebahagiaan mereka.”
Tak terasa tibalah di depan gedung megah itu, gedung yang ditinggalkan dua tahun yang lalu itu. Dipandanginya dengan nanar panji-panji berwarna putih dan bersulam hati warna emas yang tengah melambai perkasa itu, seakan-akan sedang mengucapkan selamat datang kepadanya itu. Tong Wi-hong turun dari kudanya, tetapi ia masih ragu-ragu untuk segera melangkah masuk ke dalam gedung itu.
Ia berdiri termangu-mangu di dekat arca singa yang menghiasi pintu gerbang. Entah bagaimana keadaan Cian Ping sekarang? Dua tahun bagi seorang lelaki memang bukan waktu yang lama, tetapi akan merupakan waktu yang menggelisahkan bagi seorang gadis yang senantiasa dibayangi umurnya.
Cukup lama Wi-hong berdiri ragu-ragu di depan pintu gerbang. Tak terasa oleh Wi-hong, bahwa sepasang mata sedang menatapnya dari atas sebuah loteng rumah makan yang terletak berseberangan dengan gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Sepasang mata yang berapi-api dan penuh memancarkan dendam kesumat. Mata Song Kim!!
Dua orang anak muda yang pernah berselisih karena memperebutkan cinta seorang gadis, dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula meninggalkan Tay-beng, dan sekarang mereka datang ke Tay-beng dalam waktu yang hampir bersamaan pula! Dan keduanya sudah membekal ilmu silat yang tinggi!
Dari jendela loteng rumah makan itu Song Kim menatap Wi-hong yang tengah berdiri ragu-ragu di muka gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Tiba-tiba gigi Song Kim gemeretak hebat, dan geramnya dengan hati yang panas, “Bangsat kutu buku itu datang lagi! Tapi kali ini ia akan bernasib buruk jika berani merintangi kehendakku!”
Ternyata Song Kim tidak duduk sendirian di rumah makan itu. Ada tiga orang lelaki lain yang duduk semeja dengannya. Dan ketiga teman semeja Song Kim itu terkejut ketika melihat perubahan muka Song Kim. Seorang yang hampir menyeruput pangsit kuahnya telah meletakkan kembali mangkuknya sambil bertanya, “He, kenapa kau mendadak kelihatan begitu marah, Song Kim? Apa yang kau lihat?”
Song Kim menyahut tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Wi-hong, “Anak gila she Tong yang pernah kuceritakan kepada kalian itu.”
Teman Song Kim yang berwajah licik, segera menyahut dengan nada seenaknya, “Oh, saingan cintamu itu? Bunuh saja, apa susahnya?”
Jawab Song Kim, “Aku senang jika dia mampus. Tapi membunuhnya harus jangan sampai diketahui oleh gadis itu, sebab kukuatirkan ia bisa ikut-ikutan bunuh diri.”
Lelaki pertama yang bermuka burikan dan yang satunya yang bermuka licik itu segera tertawa serempak. Kata si burikan, “Jika gadis itu sampai bunuh diri menyertai kematian bocah she Tong itu, berarti gadis itu benar-benar mencintai bocah she Tong itu dan sama sekali tidak ada tempat buatmu di hatinya, Song Kim. Kalau begitu buat apa kau merebutnya?”
Geram Song Kim, “Aku tidak peduli gadis itu mencintaiku atau tidak, pokoknya aku mencintainya. Dan aku paksa agar ia melahirkan anak-anakku. Kalau sudah begitu, biarpun ia tidak mencintaiku pun ia akan terpaksa selalu mengikutiku.”
Si burikan dan si muka licik serempak tertawa berderai. Hanya ada seorang teman semeja Song Kim yang sama sekali tidak ikut tertawa, bahkan ia begitu acuh tak acuh atas percakapan ketiga orang temannya. Orang ini adalah seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh semampai, bermuka dingin tanpa perasaan, pandangan matanya tajam dan keras. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian daerah Su-coan, yaitu baju katun yang dirangkapi dengan rompi kulit, dilengkapi pula dengan ikat kepala putih khas orang Su-coan.
Orang Su-coan ini agaknya punya pengaruh yang kuat atas diri ketiga orang lainnya. Terbukti begitu ia membuka suara, maka ketiga orang lainnya segera diam dan tidak berani tertawa-tawa lagi. Kata orang Su-coan ini, “Benar-benar menjemukan, kalian hanya membicarakan urusan perempuan tiap hari. Urusan perempuan adalah urusan kecil, sedangkan urusan Hwe-liong-pang kitalah yang merupakan urusan besar. Itulah yang harus diutamakan, dan sama sekali tidak boleh gagal.”
Si muka burik lalu berkata kepada orang Su-coan itu dengan nada yang sangat sungkan, “Harap Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) tidak menjadi salah paham. Tentu saja kami semua lebih mengutamakan tugas Pang di atas urusan pribadi kami sendiri. Niat Song Kim untuk merampas bekas pacarnya itupun hanya merupakan tugas sampingan saja, untuk pengobat kekecewaannya di masa lalu.”
Orang berpakaian Su-coan itu lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menyahut, “Baik, kalau hanya begitu saja aku tidak keberatan, asal harus mengingat agar jangan sampai kita mengalami akibat-akibat yang kurang enak. Harus kalian ketahui, bahwa Pang-cu (Ketua) kita saat ini sedang keluar dari cong-oh (markas pusat) dan sedang berkeliling di seluruh Tiong-goan untuk meninjau cara kerja kita. Jika kita sampai menunjukkan ketidak-becusan kita, kemungkinan nasib kita pun tidak akan berbeda jauh dengan nasib mendiang Thio Tong-cu (Kepala Kelompok Thio). Kalian tentu masih ingat cara kematiannya bukan?”
Song Kim dan kawan-kawannya menjadi agak bergidik ketika mendengar cara kematian Thio Tong- cu diingatkan kembali. Masih terbayang dalam ingatan mereka, bagaimana Thio Tong-cu dipaksa menelan sebutir Racun Penghancur Tubuh oleh seseorang Su-cia she Tang, dengan disaksikan oleh segenap anak buah kelompok Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau), gara-gara berani mendebat Su-cia she Tang itu tentang garis perjuangan Hwe-liong-pang.
Masih terbayang pula bagaimana tubuh Thio Tong-cu yang tegap itu dalam waktu sekejap telah meleleh dan membusuk, dan akhirnya tinggal sesosok tulang-tulang putih dan segumpal rambut yang mengerikan. Itulah contoh akibat kegagalan tugas dalam Hwe-liong-pang, hukuman yang tidak kenal ampun. Maka Song Kim dan kedua kawannya pun serempak mengucapkan kesanggupannya, diperdengarkan kepada orang Su-coan itu,
“Kami akan bekerja sekuat tenaga demi kejayaan Hwe-liong-pang.”
“Bagus!” kata orang Su-coan itu sambil menepuk meja. “Kalau kulaporkan kesungguhan hati kalian ini kepada Tong-cu (Kepala Kelompok), pasti kalian akan mendapat manfaat besar di kemudian hari.”
“Terima kasih atas budi baik Hu Tong-cu,” kata Song Kim dan kedua kawannya bersahut-sahutan.
Keempat orang itu lalu meneruskan makan minumnya. Meskipun Song Kim masih penasaran kepada Wi-hong, namun ia tidak berani lagi sembarangan bicara tentang Cian Ping lagi, karena takut menimbulkan kemarahan orang Su-coan yang dipanggil “hu-Tong-cu” itu.
Sementara itu, dalam keragu-raguannya, Tong Wi-hong yang masih termangu-mangu di depan pintu gerbang itu telah didekati oleh seorang piau-su muda, yang lalu menyapanya dengan sikap hormat, “Selamat siang, saudara, adakah saudara mempunyai keperluan dengan Piau-hang kami?”
Wi-hong membalas hormat piau-su muda itu, sahutnya, “Aku punya sedikit keperluan dengan Cian Cong-piau-thau pribadi. Dapatkah saudara menolongku dengan menyampaikan keinginanku untuk bertemu dengan beliau?”
Sikap Wi-hong yang gagah tetapi halus dan sopan itu tak terasa telah menimbulkan rasa suka hati piau-su muda itu. Lebih dulu ia mempersilakan Wi-hong duduk di ruangan depan, lalu ia sendiri masuk untuk melaporkan kepada Cian Sin-wi. Diam-diam Wi-hong memuji sikap para piau-su Tiong-gi Piau-hang, yang tidak kasar-kasar sebagaimana piau-su pada umumnya.
Agaknya Cian Sin-wi mendidik anak buahnya untuk bersikap sopan dan hormat kepada siapapun yang berhubungan dengan Tiong-gi Piau- hang, dan inilah agaknya yang menjadi salah satu kunci kemajuan pesat yang dialami oleh perusahaan pengawalan itu.
Cian Sin-wi sendiri tidak terkejut ketika salah seorang anak buahnya melaporkan tentang adanya seorang “tuan muda” yang ingin bertemu dengannya secara pribadi itu. Memang hampir setiap hari ia menerima tamu yang ingin bicara secara pribadi dengannya, urusannya kebanyakan menyangkut barang kawalan yang bersifat rahasia dan sangat penting. Tetapi begitu ia melangkahi pintu tengah dan melihat siapa orang yang tengah menunggunya itu, seketika terbelalaklah matanya.
“Kau?!” serunya tertahan dengan suara yang bergetar.
Melihat keadaan Cian Sin-wi saat itu, serasa runtuhlah hati Wi-hong. Orang tua penolongnya itu nampak jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu, ketika ditinggalkannya. Meskipun sekarangpun masih kelihatan gagah, namun nampak agak kurus, dan semangat yang terpancar dari sepasang matanya pun tidak segairah dulu lagi. Dulu sebagian besar rambutnya masih hitam, tapi dalam waktu dua tahun ini sudah tidak nampak lagi rambut hitam di kepalanya sehelaipun.
Alangkah terharunya Wi-hong melihat kemunduran yang dialami oleh Cian Sin-wi itu. Cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan orang tua itu, katanya dengan tersendat, “Tong Wi-hong yang tidak berbudi datang bersujud untuk memohon ampun dan menilik kesehatan In-kong (tuan penolong) sekeluarga.”
Sesaat Cian Sin-wi berdiri mematung dan membiarkan saja Wi-hong terus berlutut dihadapannya. Kepergian pemuda itu tanpa pamit pada dua tahun yang lalu itu bukan saja telah menyinggung perasaan Cian Sin-wi, tapi juga telah menimbulkan siksaan batin pada diri Cian Ping selama ini, dan membuat gadis itu hampir-hampir kehilangan semangat hidupnya sama sekali. Kini, melihat pemuda itu datang dan memohon ampun kepadanya, Cian Sin-wi tidak tahu apakah harus marah atau harus gembira.
Setelah agak reda gejolak hati orang tua itu, akhirnya terdengarlah suara Cian Sin-wi yang berat sambil menarik napas, “Kau... kau masih ingat kepada kami?”
Serasa remuk hati Wi-hong mendengar pertanyaan itu, jawabnya dalam keadaan masih berlutut, “Paman telah menyelamatkan jiwaku dari ancaman kematian para pembunuh bayaran itu, tetapi perbuatanku yang meninggalkan rumah ini tanpa pemberitahuan sungguh-sungguh merupakan perbuatan yang tidak kenal budi, perbuatan seorang yang berhati binatang. Kini aku datang untuk minta ampun dan menerima hukuman.”
Luluh juga akhirnya hati Cian Sin-wi ketika melihat Wi-hong berani secara jujur mengakui kesalahannya, dan bahkan meratap memohon ampun kepadanya. Apalagi ketika dilihatnya dua titik air mata menetes dari pelupuk mata Wi-hong, jatuh bergulir di lantai di hadapannya. Akhirnya Cian Sin-wi menarik napas dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan hendak dibuangnya semua kenangan pahit masa lalu yang selama ini menindih perasaannya. Katanya, “Bangunlah, A-hong, mari kita masuk ke dalam.”
Namun Wi-hong tidak bergeser sedikitpun dari sikap berlututnya, sahutnya dengan tegas, “Aku tidak akan bangkit dari berlututku sebelum menerima hukuman setimpal dari paman.”
Mengembanglah senyuman lebar di bibir Cian Sin-wi itu, katanya, “Ah, kau masih begitu bandel dan keras kepala seperti dua tahun yang lalu. Tapi sikapmu memang tidak mengecewakan sebagai putera Kiang-se-tay-hiap Tong Tian almarhum. Bangunlah, tidak ada hukuman buatmu karena aku telah melupakan semuanya.”
Kali ini Wi-hong tidak berkeras kepala lagi. Ia pun bangkit dari berlututnya, namun masih belum berani menengadahkan mukanya untuk menatap Cian Sin-wi, sampai dirasakannya tangan Cian Sin-wi menepuk-nepuk pundaknya. Dan begitu Wi-hong menengadah, segera melihat wajah Cian Sin-wi seolah-olah telah pulih seperti dua tahun yang lalu. Bukan rambutnya menghitam kembali, tapi sinar matanya yang kelihatan bergairah kembali, begitu pula wajahnya nampak gembira dan suaranya hangat kembali.
Kata Cian Sin-wi, “Ping-ji tentu akan gembira sekali melihatmu, maaf kalau aku bicara terlalu terbuka, Ping-ji sudah menceritakan semua perasaannya kepadaku, dan aku sebagai orang tua telah merestui pilihan anakku itu.”
Hati Wi-hong tiba-tiba mengembang penuh kebahagiaan, namun wajahnya menjadi agak merah tersipu. Sahutnya, “Aku berdosa besar telah membuat paman dan adik Ping mengalami kedukaan selama ini. Aku berjanji tidak akan mensia-siakan harapan paman dan adik Ping.”
Betapa longgar perasaan Cian Sin-wi setelah mendengar perkataan yang diucapkan Wi-hong dengan penuh kesungguhan itu. Masa depan anak gadisnya itu telah terbayang, mendapat sisihan seorang pemuda yang berpribadi baik dan berkepandaian tinggi pula. Sambil merangkul pundak Wi-hong, Cian Sin-wi melangkah ke dalam.
Melihat keadaan rumah itu yang hampir tidak berbeda dengan dua tahun yang lalu itu, Wi-hong merasa terharu juga. Kenangannya melayang mundur ke suatu peristiwa dua tahun yang lalu. Waktu itu, ia juga sedang berjalan dengan Cian Sin- wi di tempat itu, ketika kemudian dari pintu samping halaman tengah itu muncullah seorang gadis manis yang dengan manjanya menyambut ayahnya. Dan ternyata kemudian nama dan wajah gadis itupun terpahat dalam-dalam di relung hatinya.
Cian Sin-wi agaknya dapat menebak apa yang sedang direnungkan oleh Wi-hong itu. Sedangkan Wi-hong yang tidak dapat lagi menahan desakan kerinduannya itu, akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya kepada Cian Sin-wi, “Paman, di manakah adik Ping?”
“Sebentar lagi kau akan menemuinya,” sahut sang paman sambil tersenyum penuh pengertian. “Biasanya ia ada di taman belakang pada saat seperti ini.”
Cian Ping memang sedang berada di taman belakang, sambil merenung memandangi kupu-kupu yang beterbangan gembira di atas kuntum-kuntum bunga itu. Alangkah irinya ia melihat kebahagiaan kupu-kupu yang terbang berpasang-pasangan itu. Di saat itulah tiba-tiba ayahnya muncul dengan wajah berseri-seri luar biasa, sehingga membuat Cian Ping tercengang, sebab selama dua tahun ini belum pernah dilihatnya ayahnya segembira itu.
“Ayah, kau nampak gembira sekali, apakah perusahaan kita akan mendapat pengawalan kelas kakap?” tanyanya.
Sahut sang ayah, “Tepat sekali dugaanmu. Hari ini seekor kakap besar telah menyasar masuk ke dalam jaring kita. Anak Ping, cobalah lihat, hebat tidak kakap ini?”
Dari tadi Cian Ping memang melihat ada seseorang yang berdiri di belakang punggung ayahnya, tapi kurang diperhatikannya. Lagipula ayahnya memang berbadan besar dan berbahu lebar, sehingga tubuhnya menutupi orang yang di belakangnya itu. Dan kini, begitu ayahnya menyingkir ke samping dan membiarkan ia melihat “kakap” itu, barulah gadis itu ternganga kaget. Ia membelalakkan matanya lebar-lebar dan mulutnya terasa terkunci, ia kuatir apa yang dilihatnya itu cuma mimpi dan bukan kenyataan yang sesungguhnya.
“Adik Ping...” sapa Wi-hong.
Pertemuan yang mengharukan dan sekaligus menggembirakan itupun terjadilah di taman belakang gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Dan sejak saat itu, siapapun dapat ikut merasakan perubahan suasana di gedung besar itu, sehingga para piau-su pun menjadi heran. Cian Sin-wi dan puterinya kini tiba-tiba menjadi penuh dengan gairah hidup kembali senda-gurau dan tawa riang terdengar lagi di situ.
Beberapa orang piau-su tua yang sudah cukup lama bekerja di Tiong-gi Piau-hang, memaklumi apa yang menyebabkan perubahan itu. Diam-diam para piau-su tua itupun bergembira karena pemimpin mereka mendapatkan semangat hidupnya kembali.
Cian Sin-wi, Tong Wi-hong dan Cian Ping sama sekali tidak menyadari bahwa hari-hari pertemuan yang cerah itu kemudian hari akan diikuti dengan badai malapetaka yang dahsyat. Mereka belum tahu, bahwa bukan Tong Wi-hong saja yang kembali ke Tay-beng, melainkan juga Song Kim, yang bahkan membawa dendam dan kebencian yang menyala di hatinya.
* * * * * * *
Beberapa hari kemudian, Cian Sin-wi mengerutkan alisnya, ketika ia menerima surat dari seseorang yang tidak dikenal. Ketika ia membuka surat itu ternyata dikirimkan oleh sebuah perserikatan yang pada masa itu sedang menjadi buah bibir setiap manusia persilatan, yaitu Hwe-liong-pang. Pengirimnya adalah Jing-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Hijau) yang menyatakan dirinya bertindak atas nama Hwe-liong-pang secara keseluruhan....
Selanjutnya;