Perserikatan Naga Api Jilid 16
SI ADIK segera menceritakan tentang semua pengalamannya secara singkat. Diam-diam Tong Wi-hong bersyukur karena mendengar adiknya yang seharusnya mengalami malapetaka besar itu malahan berbalik mendapat nasib sebaik itu. Kata Wi-hong dengan muka berseri,
“Bagus! Hebat! Jadi kau sekarang adalah murid dari rahib sakti yang terkenal itu? Pantas kau berani omong besar, dan tentunya ilmu silatmu pun maju pesat juga.”
Sahut Wi-lian sambil tertawa, “Sekarang kalau kau berani menggodaku lagi, ke manapun kau lari pasti berhasil kukejar dan kuhantam pantatmu.”
Demikianlah, untuk sesaat lamanya kedua kakak beradik itu melupakan apa yang sedang menjadi beban pikirannya masing-masing. Mereka bergurau dengan riang gembira seperti dulu lagi, bahkan kelakuan mereka kadang-kadang seperti anak kecil saja.
Tiba-tiba Wi-lian bertanya, “Eh, A-hong, kudengar dari orang Tiong-gi Piau-hang katanya kau sekarang adalah calon menantu Cian Lo-eng-hiong? Ketika mendengar berita itu, aku jadi sulit membayangkan bagaimana caranya kau merayu gadis itu, entah cara merayu itu kau dapatkan dari kitab yang mana?”
Kata-kata Wi-lian itu seakan-akan mengingatkan Wi-hong akan tugasnya yang belum selesai dalam menemukan Cian Ping kembali. Seketika itu juga air mukanya yang riang gembira itu berubah menjadi muram dan lesu, “Ya, tetapi sekarang aku tidak tahu di mana beradanya calon isteriku itu aku tidak tahu, bahkan bagaimana nasibnya di tangan penculik-penculik itupun aku tidak tahu. Ia ibarat seekor domba gemuk di tengah serigala-serigala Hwe-liong-pang itu. Kuharap saja Song Kim masih punya hati nurani yang mengingatkan akan kebaikan bekas gurunya dulu.”
Wi-lian dapat memaklumi kerisauan hati kakaknya itu, maka ia pun tidak bersenda-gurau lagi. Tanyanya, “Apakah jejak penculik-penculik itu sedikitpun belum kau temui?”
Wi-hong menggelengkan kepalanya, “Kalau sudah kutemui, masakan aku akan duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini? Sudah satu hari dua malam aku berputar-putar di padang perdu yang luas ini, tapi belum kelihatan batang hidung mereka seorang pun juga.”
“Tetapi justru baru pada sore ini aku menemui suatu kejadian yang barangkali bisa menjadi petunjuk penting,” kata Wi-lian.
Sang kakak terlonjak dari duduknya dan tanyanya dengan hampir berteriak, “Apa katamu? Cepat ceritakan kepadaku!”
Wi-lian lalu menceritakan tentang pengalamannya bertemu dengan tiga orang petugas rahasia Kerajaan Beng yang juga sedang memburu orang-orang Hwe-liong-pang. Tetapi ketiga orang petugas itu telah mengalami nasib malang dan menemui ajalnya semuanya. Tidak lupa Wi-lian mengemukakan tentang bentuk luka-luka yang terdapat pada diri ketiga korban itu.
“Bekas cengkeraman lima jari tangan dan bekas sabetan golok yang memanjang?” tanya Wi-hong.
“Ya, kukira begitu.”
Sang kakak segera menepuk pahanya sambil berseru, “Pasti kakak beradik sepupu keparat itu!”
“Siapa mereka?” adiknya bertanya dengan tertarik.
“Pemimpin Kelompok dan Wakil Pemimpin Kelompok dari Jing- ki-tong, kakak beradik sepupu she Au-yang,” kakaknya menerangkan. “Si kakak sepupu bernama Au-yang Siau-hui dan di Su-coan terkenal dengan gelarnya sebagai Co-siang-hui-mo, adik sepupunya bernama Au-yang Siau-pa dan permainan golok sabitnya memang cukup hebat.”
Wi-lian mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Oh, kiranya cuma seorang Tong-cu dan seorang Hu-tong-cu. Di Kay-hong aku bahkan pernah bertempur dengan seorang Tong-cu dan dua orang Hu-tong-cu mereka, bahkan aku pernah bertempur pula dengan yang mereka sebut Su-cia, yang kedudukannya lebih tinggi dari Tong-cu.”
Wi-hong tidak tahu apakah adiknya itu sedang membual atau tidak, tetapi keterangan adiknya tentang mayat ketiga petugas Kerajaan itu telah merampas perhatian Wi-hong. Katanya dengan bernafsu, “Kalau begitu orang-orang Hwe-liong-pang itu sebenarnya tidak tahu dari tempat ini. Adikku, marilah kita cari mereka!”
Namun Wi-lian menggelengkan kepalanya, “Dalam keadaan yang kelelahan dan serba tidak terawat seperti ini, andaikata kau temukan mereka juga belum tentu kau bisa menang. Aku usulkan bagaimana kalau kau makan dulu dan beristirahat sejenak memulihkan tenagamu, setelah itu barulah kita akan berangkat bersama-sama untuk memburu mereka. Kau setuju?”
Wi-hong merasa bahwa usul adiknya itu cukup masuk akal, karena andaikata bertemu dengan kakak beradik sepupu she Au-yang itu dalam keadaan lelah, maka sama saja dengan mengantarkan nyawa. Maka ia pun menyetujuinya. Kemudian dengan lahapnya Wi-hong menghabiskan semua makanan dan minuman yang disodorkan kepadanya oleh adiknya. Keadaan tubuhnya memang tidak terawat sejak ia meninggalkan Tay-beng, maka kini terasa betul betapa lelahnya.
Setelah mengisi perut, kakak beradik itu segera duduk bersila dan mulai bersemedi untuk mengumpulkan semangat mereka. Ketika tengah malam telah lewat sedikit, Wi-honglah yang hatinya sudah tidak sabaran untuk mengejar orang-orang Hwe-liong-pang. Maka ialah yang lebih dulu menghentikan semedinya dan katanya, “Kukira sudah cukup istirahat kita. Kita berangkat sekarang.”
Wi-lian memahami kegelisahan kakaknya itu, apalagi karena Wi-lian sendiripun juga sudah gatal tangannya ingin menghajar orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka ia pun menghentikan semedinya dan mempersiapkan diri. Diringkaskannya pakaiannya. Tanyanya kepada kakaknya, “Kita akan berjalan kaki saja atau menunggang kuda?”
“Kita berjalan kaki saja, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, sebab jika kita menunggang kuda maka derapnya akan mengejutkan buruan-buruan kita itu, dan memberi mereka kesempatan untuk melarikan diri. Eh, A-lian, mana senjatamu?”
Wi-lian melancarkan beberapa pukulan dan tendangan yang cepat dan keras untuk merobohkan beberapa batang pohon, lalu katanya sambil tertawa, “Tangan dan kakiku inilah senjataku.”
Wi-hong kagum juga melihat kehebatan ilmu tangan kosong adiknya itu, tetapi ia pura-pura menggerutu, “Wah, sifat kepala besarmu itu agaknya belum hilang-hilang juga.”
Mulailah kakak beradik itu mengitari padang perdu itu dengan silang menyilang. Mereka hanya setengah berlari, sengaja mereka tidak berlari keras-keras agar tenaga mereka tetap terpelihara sebelum bertemu dengan musuh.
Tetapi dasar anak-anak muda, kadang-kadang timbul juga rasa iseng di hati kakak beradik itu untuk saling menjajaki kemajuan masing-masing. Jika sudah demikian, maka kedua sosok tubuh itu tidak nampak bentuknya lagi karena gerakannya yang begitu cepat. Mereka hanya berujud dua sosok bayangan yang berkelebat bagaikan kilat di tengah-tengah padang perdu itu.
Ternyata mereka tidak dapat saling meninggalkan satu sama lain, meskipun salah satu telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Mau tidak mau kedua saudara itu timbul rasa bangganya melihat kemajuan saudaranya yang lain.
Sampai hari hampir menjadi terang, kedua saudara itu telah mengelilingi padang perdu itu tanpa hasil. Akhirnya mereka kembali ke kaki bukit kecil, di mana kuda tunggangan Wi-lian dan kuda tunggangan dua orang petugas Kerajaan itu masih ditambatkan. Di tempat itu kakak beradik itu beristirahat lagi sambil memakan bekalnya.
“Gila, mereka bagaikan hilang lenyap begitu saja ditelan bumi,” gerutu Wi-hong.
“Jika kita menyelidiki selama hari terang, kemungkinan besar kita akan menemukan jejak mereka,” kata Wi-lian. “Kukira mereka tidak mungkin berjalan kaki saja, tentu mereka berkuda, dan kuda-kuda mereka tentu meninggalkan jejak di tanah.”
“Lalu kita sekarang harus berbuat apa?” Wi-hong yang pikirannya sedang keruh itu agaknya sulit untuk berpikir dengan jernih lagi.
Perlahan-lahan Wi-lian merebahkan diri ke atas rumput yang tebal sambil berkata, “Masih ada waktu sedikit sebelum matahari muncul benar-benar. Kita akan beristirahat lagi sebentar, sebab tidak mungkin melawan mereka dalam keadaan selelah ini.”
Untunglah bahwa Wi-hong masih mempercayai akan kecermatan berpikir dari adik perempuannya itu, sehingga ia pun menuruti usul adiknya itu. Meskipun demikian hatinya selalu saja melonjak-lonjak gelisah.
Kakak beradik itu melompat bangun ketika sinar matahari pagi mulai menyengat tubuh mereka. Dan begitu melompat bangun sambil memandang tanah, Wi-lian pun telah berkata, “Nah, kata-kataku betul tidak?”
“Kata-katamu yang mana?” tanya kakaknya dengan heran. Gadis itu menunjuk ke tanah sambil berkata, “Jejak kaki kuda. Dalam keadaan gelap kita kebingungan mencari jejak mereka sampai ke mana-mana, padahal setelah hari terang barulah kita ketahui bahwa jejak musuh itu sebenarnya hanya beberapa langkah dari tempat istirahat kita. Aku yakin jejak kaki kuda ini bukanlah jejak kuda para petugas Kerajaan, sebab para petugas itu dari arah kota Tay-beng, padahal jejak ini jelas sedang menuju ke arah barat-laut.”
Maka pelacakan jejak musuh pun dimulai, kali ini mereka menunggang kuda sebab musuh pun menunggang kuda. Kini kakak beradik itu tidak perlu lagi berputar-putar mengitari padang perdu itu, sebab jejak lawan telah memberikan petunjuk arah yang jelas. Jejak itu masih nyata kelihatan di atas tanah meskipun telah lewat semalam.
Setelah mereka berkuda puluhan li ke arah barat laut dengan melacak jejak itu, tiba-tiba Wi-lian berkata, “A-hong, berhenti!”
“Ada apa?”
Dari atas punggung kudanya Wi-lian menunjuk ke tanah, sambil berkata, “Orang-orang Hwe-liong-pang itu agaknya memang cukup cerdik. Mereka tahu kalau diri mereka sedang dikejar. Maka mereka sengaja meninggalkan jejak ke arah barat laut, padahal di tempat ini mereka telah berbelok ke selatan setelah lebih dulu turun dari kuda mereka. Bekas-bekas penghapusan jejak ini cukup rapi dan hampir sempurna, tapi untung aku masih bisa melihatnya.”
Sekali lagi Wi-hong harus mengagumi kecermatan adiknya itu. Dia merasa beruntung bahwa dalam saat seperti itu ia telah bertemu dengan adik perempuannya, yang bukan hanya telah memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi juga memiliki kecermatan dan kecerdikan dalam menghadapi semua keadaan.
Jika Wi- hong sendiri, mungkin dalam keadaan pikiran yang keruh itu ia tidak akan dapat menemukan arah yang tepat, dan mungkin saat itu ia masih saja berputar-putar di tengah- tengah padang perdu itu tanpa tujuan. Melihat jejak lawan, seketika itu juga semangat tempur Wi- hong berkobar hebat. Geramnya, “Bagus! Kini kita telah menemukan jejak bangsat-bangsat itu. Tunggulah pembalasanku!”
Sementara itu si kun-su (penasehat perang) telah berkata pula, “A-hong, sekarang kita melanjutkan perburuan kita dengan berjalan kaki saja. Jangan sampai musuh lari semakin jauh begitu mendengar derap kaki kuda kita.”
Dugaan dan perhitungan gadis itu ternyata tepat juga. Dengan mengikuti jejak-jejak yang sengaja disamarkan itu, kini kedua kakak beradik itu memang telah semakin dekat dengan orang- orang yang mereka buru. Tetapi karena kakak beradik itu memang tertinggal agak lama, hampir semalam suntuk, maka setelah berjalan sampai hampir sore barulah berdua benar-benar berhasil mendekati tempat musuh.
Sementara itu, Song Kim dan kawan-kawannya sedang duduk bergerombol di rerumputan sambil membakar daging binatang buruan mereka. Tubuh Cian Ping yang masih dalam keadaan tertotok itupun rebah di antara mereka. Orang-orang Hwe-liong-pang itu tidak tergesa-gesa lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Karena mereka mengira bahwa orang-orang yang memburu mereka tentu telah tersesat oleh jejak palsu yang mereka buat. Bahkan orang-orang Hwe-liong-pang itu berani membuat perapian untuk menghangatkan badan dan berani pula bercakap-cakap dengan suara yang keras.
“Orang-orang tolol Tiong-gi Piau-hang dan gerombolan kantong nasi yang menamakan diri petugas-petugas Kerajaan itu tentu tidak mampu lagi menyusul kita,” kata Han Toan dengan bangganya, sambil menggerogoti segumpal daging rusa bakar.
“Tong-cu dan Hu-tong-cu kita telah mendahului kita menuju ke Lam-cang, dan kita harus secepatnya menyusul ke sana,” kata An Siau-lun.
Keempat kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya menyetujui usul An Siau-lun itu. Keempat kawannya itu masing-masing adalah Han Toan, si murid durhaka Song Kim, serta dua orang saudara kembar bermuka burik yang mahir ilmu pukulan Thi-sah-ciang (Pukulan Pasir Besi), yaitu Cong Yo dan Cong Hun dari Shoa-tang.
Terdengar pula suara Han Toan di antara suara mulutnya yang berkecap-kecap mengunyah makanan, “Ya, kudengar kabar bahwa bukan hanya Tong-cu dan Hu-tong-cu dari Jing-ki-tong kita saja yang berkumpul di sana. Namun tujuh orang Tong-cu dan tujuh Hu-tong-cu dari ke tujuh kelompok yang lain pun kabarnya juga sedang menuju ke Lam-cang.”
“Wah, kalau begitu ramai sekali nih,” kata Cong Hun.
“Tentu saja,” sahut Song Kim. “Inilah pertemuan terlengkap dari Pang kita yang diadakan di luar congtoh (Markas Pusat). Seluruh anggota dari Kepala Kelompok sampai anggota terendah harus berkumpul di sana, kecuali yang sedang menjalankan tugas. Selain Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau) kita, akan hadir pula semua anggota dari Ui-ki-tong (Kelompok Panji Kuning), Ang-ki-tong (Kelompok Panji Merah), Hek-ki-tong (Kelompok Panji Hitam), Pek-ki-tong (Kelompok Panji Putih), Ci-ki-tong (Kelompok Panji Ungu), Lam-ki-tong (Kelompok Panji Biru) serta Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat). Siapa yang berani melanggar perintah untuk menghadiri pertemuan itu, ancamannya adalah hukuman mati.”
Terdengar Cong Yo bertanya, “Kira-kira bagaimana kepandaian Tong-cu kita kalau dibandingkan dengan ketujuh orang Tong-cu lainnya?”
Song Kim yang merasa dirinya lebih tahu dari siapapun, segera mulai bicara panjang lebar tanpa disuruh, “Menurut Suhu (maksudnya guru barunya bukan Cian Sin-wi), ke delapan orang Tong-cu dari Hwe-liong-pang kita itu memiliki kepandaian istimewa dan keunggulannya masing-masing. Misalnya saja Au-yang Tong-cu kita punya ilmu silat Mo-ci-jiau (Cengkeraman Jari Iblis) yang hebat, sedangkan Kwa Tong-cu dari Ui-ki-tong punya ilmu silat Kau-kun (Jurus Kera) yang ampuh, sehingga ia mendapat julukan Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi). Begitu pula para Tong-cu lain juga punya kepandaian masing-masing, tapi sulitlah diketahui siapa yang lebih unggul.”
Melihat keempat orang kawannya terangguk-angguk dengan kagum akan ceritanya, maka Song Kim pun meneruskan ceritanya dengan penuh semangat, “Pertemuan Hwe-liong- pang di Lam-cang adalah pertemuan terbesar yang pernah diadakan oleh Pang kita. Yang akan hadir bukan hanya delapan Tong-cu dan delapan Hu-tong-cu saja, tetapi juga akan dihadiri oleh empat orang Su-cia (Duta Keliling) kita. Bahkan Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi), Thiang-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit), dan Kim-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Emas) juga akan hadir untuk mendampingi Pang-cu (Ketua) kita.”
“Hebat!” seru Cong Hun. “Tetapi apa maksudnya Pang-cu mengadakan pertemuan selengkap itu?”
“Hal ini aku kurang tahu,” sahut Song Kim dengan agak tersipu.
Sebaliknya Han Toan cepat menimbrung, “Nah, hal ini malahan aku yang tahu!”
Serentak semua mata diarahkan kepada Han Toan, An Siau- lun segera mendesaknya dengan perasaan ingin tahu, “Hayolah cepat kau ceritakan kepada kami, jangan membuat kami jadi penasaran.”
Sengaja Han Toan berlagak jual mahal dengan menghabiskan dulu sisa-sisa daging bakarnya, dan membiarkan teman- temannya menunggu ceritanya dengan tidak sabar. Setelah dagingnya habis, barulah ia bercerita,
“Aku pernah mendengar percakapan antara Tong-cu dengan adik sepupunya itu. Katanya berkumpulnya para pimpinan Pang kita di Lam-cang itu adalah untuk mengimbangi gerakan dari golongan yang menamakan diri golongan lurus itu. Tahukah kalian, bahwa pada bulan depan di kuil Siau-lim-si di Siong-san akan diadakan pertemuan seluruh tokoh dunia persilatan untuk membahas tindakan bersama dalam menghadapi Hwe-liong- pang kita? Nah, tentu saja kita tidak boleh kalah gertak, oleh karena itulah Pang-cu mengumpulkan seluruh anggota di Lam- cang, untuk menunjukkan bahwa kita pun punya kekuatan yang tidak dapat dihina begitu saja. Bahkan Pang-cu juga mengundang golongan-golongan yang selama ini tersingkir dari pergaulan, untuk bergabung dengan kita.”
Cong Yo menyambut penjelasan Han Toan itu dengan tepuk tangan dan kata yang berapi-api, “Bagus sekali! Selama ini kita-kita yang dicap sebagai golongan hitam ini telah kehilangan kebebasan bergerak kita, digencet oleh kaum munafik yang menamakan diri pendekar-pendekar budiman itu. Huh, sudah masanya kita harus bangkit dan mempersatukan segenap kekuatan kita, kini gilirannya kaum munafik itu yang harus gemetar ketakutan melihat keangkeran kita.”
Untuk sesaat orang-orang Hwe-liong-pang mencoba meresapi kata-kata itu. Nampaklah betapa wajah mereka telah dipenuhi dengan perasaan bangga dan semangat yang berkobar-kobar. Yang terdengar hanyalah suara gemeretak kayu yang termakan api, sementara di kejauhan terdengar sayup-sayup kokok ayam hutan, menandakan tengah malam telah dilewati dan dini hari sudah mendekat.
Beberapa saat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara An Siau-lun, “He, adakah di antara kita yang pernah melihat bagaimana wajah asli Hwe-liong-pang-cu kita?”
Tidak seorang pun menjawab pertanyaan itu. Tetapi sikap diam mereka sudah merupakan jawaban “tidak”. Kemudian Han Toan berkata dengan suara yang berat, “Kita sebagai anggota biasa, jangan harap seumur hidup bisa melihat wajah asli Ketua kita. Bahkan para Tong-cu dan Hu-tong-cu pun hanya kadang-kadang saja bisa memandang wajah asli beliau. Kabarnya yang dapat melihat wajah Pang-cu setiap hari hanyalah Te-liong, Thian-liong dan Kim-liong Hiang cu bertiga, karena mereka bertiga adalah saudara-saudara angkat Pang-cu yang hubungannya sangat erat. Namun agaknya ketiga Hiang-cu itupun meniru jejak Pang-cu, yaitu menutup wajah mereka di balik topeng-topeng yang menakutkan itu.”
“Entahlah, mereka memang orang-orang berkepandaian tinggi tetapi bersikap aneh,” kata Song Kim. “Namun kudengar belakangan ini bahwa di antara ketiga Hiang-cu itu terjadi perselisihan pendapat yang agak hebat. Bahkan keretakan itu sudah menjalar ke bawah dan agak mempengaruhi ke delapan kelompok dalam Pang kita.”
“He, kenapa aku belum pernah mendengar hal itu?” tanya An Siau-lun dengan keheranan. “Kenapa ketiga Hiang-cu itu sampai berselisih?”
Tiba-tiba Song Kim menyadari bahwa ia telah membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak patut dibicarakan secara terbuka. Membicarakan urusan para atasan Pang adalah sama halnya dengan mencari malapetaka buat dirinya sendiri, sebab hal itu tabu untuk dibicarakan. Muka Song Kim tiba-tiba menjadi pucat setelah sadar bahwa ia tidak dapat mengendalikan mulutnya. Dengan serta merta ia mencoba membelokkan arah pembicaraan, “Ah, tidak ada apa-apa, mulutku memang sering tidak terkendali. Anggap saja ucapanku yang tadi itu tidak ada.”
Tetapi sifat ingin tahu adalah salah satu sifat manusia yang paling menonjol, tidak terkecuali bagi orang-orang Hwe-liong-pang itu. Ucapan Song Kim yang setengah-setengah itu malah menimbulkan perhatian mereka, sehingga An Siau-lun mendesak lagi,
“Katakan saja apa yang kau ketahui, Song Kim, kenapa sampai ada perselisihan di antara ketiga Hiang-cu itu. Kami berjanji akan menutup mulut serapat-rapatnya, semua pembicaraan di tempat ini tidak akan bocor keluar. Bukankah begitu, kawan-kawan?”
“Ya, apa yang kita dengar dari Song Kim ini hanya khusus untuk kita berlima,” sahut Han Toan. “Aku bersumpah akan menutup mulut serapat-rapatnya. Hatiku sudah terlanjur gatal ingin mengetahui cerita selanjutnya.”
Si kembar dari Shoa-tang pun agaknya mempunyai perasaan yang sama. Kata Cong Hun, “Betul, di tempat ini tidak ada orang yang mendengar pembicaraan kita...”
Dan Cong Yo menyambung, “Barangsiapa di antara kita yang membocorkan percakapan ini, akan bersama-sama kita tangkap dan kita robek mulutnya!”
Mendengar desakan kawan-kawannya itu, diam-diam Song Kim mengutuk keteledorannya sendiri yang tidak dapat mengendalikan mulutnya itu. Dengan berat hati ia menjawab, “Maaf, kawan-kawanku, bukannya aku tidak mempercayai janji dan sumpah kalian, tetapi kalian harus ingat bahwa manusia adalah penuh kekhilafan. Apalagi kalian tergolong manusia-manusia yang doyan arak. Jika suatu ketika kalian mabuk dan mengeluarkan perkataan ini tanpa sadar, maka bagian kita masing-masing adalah sebutir Racun Penghancur Tubuh yang mengerikan itu. Kita akan mengalami nasib seperti Tong-cu kita yang lama, Thio Tong-cu, yang mati dengan tubuh meleleh. Karena itu lebih aman buat aku dan buat kalian, jika sesedikit mungkin saja di antara kita yang mengetahui urusan yang tabu ini.”
An Siau-lun menarik napas panjang dengan kesalnya, sedangkan Han Toan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Meskipun rasa ingin tahu itu menggebu-gebu dalam diri mereka, tetapi mereka pun memaklumi kenapa Song Kim begitu ketakutan untuk membicarakan hal itu, seakan-akan membicarakan suatu mantra pemanggil iblis saja.
Mengetahui urusan rahasia para pucuk pimpinan Hwe-liong- pang adalah sama halnya dengan menyimpan racun di dalam perutnya sendiri. Siapa yang berani menanggung bahwa di kemudian hari mereka tidak akan kelepasan bicara? Dan hal itu berarti kematianlah yang menjadi bagian mereka.
Akhirnya pembicaraan pun mulai beralih kepada soal-soal yang sudah biasa mereka percakapkan sehari-hari. Mulai soal arak, judi, main perempuan atau membunuh. Lalu kata-kata kotor pun mulai berhamburan dari mulut-mulut mereka, diselingi gelak tertawa mereka. Namun nampaklah bahwa Song Kim agaknya belum merasa tenang betul akan kata-kata yang terlanjur diucapkannya tadi, suara tertawanya masih kelihatan agak dipaksakan.
Pembicaraan yang paling “panas” adalah yang mengenai soal main perempuan, masing-masing menceritakan pengalamannya sendiri-sendiri sehingga tanpa sadar mereka mulai terangsang. Dan kini mata jalang mereka mulai tertuju kepada Cian Ping yang masih meringkuk dengan tubuh tertotok itu. Meskipun saat itu Cian Ping nampak agak kusut dan kurus, tetapi perempuan tetap perempuan. Apalagi Cian Ping bukan tergolong gadis yang buruk rupa.
Diam-diam Song Kim mulai berdebar-debar melihat kawan- kawannya mulai semakin sering melirik ke arah Song Kim, dengan pancaran mata yang mirip serigala kelaparan itu. Akhirnya apa yang dikuatirkan oleh Song Kim itupun terjadilah. An Siau-lun tiba-tiba saja berkata kepada Song Kim dengan cengar-cengir,
“Eh, Song Kim, sungguh beruntung kita ini. Tak kuduga bahwa tugas untuk membereskan si tua bangka Cian Sin-wi itu ternyata demikian lancar. Bahkan kita berhasil pula... eh, berhasil... he-he-he...”
Song Kim pura-pura tidak mendengar perkataan itu dan pura- pura sedang mengunyah dagingnya. Tapi agaknya Han Toan juga sependapat dengan An Siau-lun, maka ia berkata sambil tertawa, “Wah, Siau-lun bicara berbelit-belit. Bilang saja terus terang, bahwa kita butuh penghangat badan di malam yang dingin ini. Anak perempuan Cian Sin-wi ini telah berhasil kita tawan dengan kerjasama kita berlima, maka hasilnya pun akan kita nikmati bersama-sama pula.”
Mata Song Kim tiba-tiba menjadi berapi-api, geramnya, “Han Toan, harap kau jaga mulutmu baik-baik selama kau masih ingin kuanggap sebagai kawanku. Khusus untuk gadis she Cian ini, ia punya tempat yang istimewa dalam hatiku, ia tidak akan bisa kita samakan dengan perempuan-perempuan yang biasa kita culik lalu kita pakai beramai-ramai itu.”
“Ah, masakan gadis ini lain daripada yang lain?” potong Cong Yo dengan acuh tak acuh. Dan saudaranya menyambungnya sambil tertawa peringisan, “Perempuan tetap perempuan, mana ada yang lain daripada yang lain segala. Kalau tidak percaya, coba buka pakaiannya, semuanya akan sama saja.”
Serempak meledaklah tawa orang-orang Hwe-liong-pang itu. tentu saja Song Kim terkecuali, bahkan darahnya semakin mendidih mendengarkan senda-gurau kawannya itu. “Tutup mulut kalian!” teriaknya.
Serentak orang-orang Hwe-liong-pang itu terdiam bagaikan cengkerik diinjak sarangnya. Kemudian terdengar suara An Siau-lun dingin, “Agaknya kau mulai hendak merusak kebiasaan yang selama ini sudah kita anut, Song Kim. Kau sudah mulai menjadi serakah dan mementingkan diri sendiri.”
Han Toan juga berkata, “Selama ini kita selalu bekerja-sama, lalu menikmati hasilnya secara bersama-sama pula. Aku tidak ingin kebiasaan itu menjadi rusak hanya karena pokal salah seorang diantara kita, dengan alasan apapun.”
Sementara itu dua saudara kembar dari Shoa-tang itu nampak tenang-tenang saja menggerogoti daging bakar mereka. Meskipun mereka tidak berbicara apapun, namun jelas bahwa sikap mereka ada di pihak An Siau-lun dan Han Toan. Song Kim menghadapi semuanya itu dengan gigi gemeretak menahan amarah. Ia menyadari bahwa dirinya telah mendapat kemajuan ilmu silat yang berarti sejak menjadi murid Tang Kiau-po dari Thay-san itu.
Bamun ia ragu-ragu jika harus bertempur melawan keempat kawannya itu, sebab keempat orang itupun bukan anak-anak kemarin sore dalam urusan berkelahi. Si kembar Cong Yo dan Cong Hun itu merupakan bekas begal-begal yang cukup ditakuti di wilayah Shoa-tang, entah berapa banyak nyawa manusia yang telah melayang di bawah Pukulan Pasir Besi mereka.
Sedangkan An Siau-lun dan Han Toan juga punya riwayat hidup yang tidak kalah menggetarkannya, sebab mereka juga bekas bajak-bajak laut di Lautan Timur yang cukup tangguh pula. Menghadapi mereka berempat sekaligus, jelas Song Kim akan menghadapi kesulitan besar.
Sesaat lamanya Song Kim menjadi ragu-ragu. Ia harus memilih kehilangan Cian Ping yang bertahun-tahun dirindukannya itu, atau harus kehilangan keempat orang kawannya yang akan berubah sebagai lawan? Betapapun jahatnya hati Song Kim, tapi apakah ia akan sampai hati melihat gadis yang telah dikenalnya sejak kecil itu akan dijadikan bahan pesta pora, seperti kambing gemuk di tangan kawanan serigala?
Begitulah keadaan menjadi tegang. Empat pasang mata yang buas sedang menatap ke arah mata Song Kim untuk menantikan keputusan anak muda itu. Namun keempat orang itupun tidak berani terlalu memojokkan Song Kim, sebab merekapun masih cukup menyegani guru Song Kim. Hanya saja gadis secantik Cian Ping memang sudah pantas diperebutkan dengan sedikit menyerempet bahaya.
Dalam pada itu, meskipun tubuh Cian Ping tidak dapat bergerak karena tertotok, namun telinganya tetap dapat mendengar semua pembicaraan orang-orang yang menculiknya itu. Maka bergidiklah Cian Ping kalau mengenang nasib mengerikan yang bakal dialaminya. Diam-diam ia berharap agar Song Kim tetap kokoh dengan pendiriannya, agar orang-orang itu terus bertengkar dan kalau perlu biarlah berkelahi dan saling bunuh sendiri. Selama ini Cian Ping hanya mengharap agar daya kerja totokan atas tubuhnya semakin berkurang sehingga ia akan punya kesempatan untuk melarikan diri dari tangan iblis-iblis itu.
Ternyata harapan Cian Ping itu terkabul. Song Kim benar-benar adalah seorang anak muda yang berhati keras. Setelah berpikir, terdengarlah jawabannya yang keras, “Aku adalah lelaki yang punya harga diri. Aku mencintai gadis itu dan aku akan mempertahankannya. Murid-murid Gunung Thay-san bukanlah pengecut-pengecut yang takut mati.”
Jawaban yang keras itu memancing tanggapan yang keras pula. Han Toan yang berwatak keras itu menyahut dengan suara hampir berteriak, “Tidak usah menyebut-nyebut nama perguruanmu untuk mencoba menakut-nakuti kami! Kalau kami berlima membunuhmu sekarang juga dan melenyapkan mayatmu, maka gurumu si ular keropos itu tidak akan tahu nasib apa yang menimpa dirimu. Dan kami dapat membohonginya dengan mengarang cerita tentang kematianmu. Nah, Song Kim, pikirkan baik-baik.”
Namun Song Kim justru telah melompat berdiri sambil menyambar tombak panjangnya, sahutnya nekad, “Gadis ini akan tetap kupertahankan! Persetan apapun yang terjadi!”
Mata Han Toan pun telah menjadi merah, ia maju selangkah sambil membentak, “He, kau menantang kami?!”
Di saat suasana sudah berkembang menjadi begitu panas, dan hampir saja pecah baku hantam antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan, “Bangsat-bangsat Hwe-liong-pang! Jangan harap malam ini kalian lolos dari tanganku!”
Jika pada permulaannya kalimat itu masih terdengar agak jauh puluhan tombak maka pada akhir kalimatnya sudah terdengar dekat, hanya beberapa langkah saja dari tempat orang-orang Hwe-liong-pang itu. Jelas orang yang membentaknya itu punya kecepatan bergerak yang mengejutkan. Hal itu cukup menyadarkan orang Hwe-liong-pang dari pertengkaran antara mereka sendiri. Dengan sigapnya mereka segera mempersiapkan dirinya masing-masing untuk menghadapi yang mendatangi itu.
Terlihatlah dua sosok tubuh melayang datang dengan cepatnya, seakan-akan jatuh dari langit begitu saja. Dan tahu- tahu di tempat itu telah berdiri seorang anak muda dan seorang gadis. Si pemuda berpakaian serba putih, meskipun agak kusut namun cukup tampan, dan tangannya membawa sebatang pedang. Sedangkan si gadis tidak membawa senjata sepotong pun, namun wajahnya menampakkan kepercayaan kepada diri sendiri yang begitu besar. Mereka bukan lain adalah Tong Wi-hong dan adiknya.
Kemunculan Tong Wi-hong di tempat itu membuat Song Kim terkejut bagaikan melihat hantu di siang hari bolong. Bagaimana Tong Wi-hong yang telah “dipertemukan” dengan Au-yang Siau-hui dan Au-yang Siau-pa itu kini masih tetap segar bugar tak kurang suatu apapun?
Sedangkan bagi Cian Ping, kemunculan Wi-hong itu bagaikan kemunculan sang dewa penolong yang selalu dirindukannya. Namun hatinya merasa kurang enak juga, ketika melihat munculnya Wi-hong itu dengan didampingi seorang gadis ayu berusia sebaya dengannya.
“Siapakah gadis yang muncul bersama-sama dengan A-hong itu?” demikian Cian Ping bertanya-tanya dalam hatinya. “Kelihatannya hubungannya dengan A-hong cukup rapat juga.”
Dalam pada itu Wi-hong tidak dapat lagi menahan kemarahannya yang sudah beberapa hari dipendam dalam hatinya itu. Sambil mengacungkan pedangnya ia melangkah maju dan membentak Song Kim, “Murid durhaka yang tidak tahu membalas budi! Gurumu memperlakukan kau bagaikan putera sendiri, tapi kau si hati binatang ini telah membalasnya dengan tindakan yang paling keji. Sekarang bersiaplah untuk menerima kematianmu!”
Sebaliknya Song Kim pun mendidih darahnya ketika bertemu dengan saingan asmaranya yang dibencinya sejak beberapa tahun yang lalu itu. Song Kim menganggap bahwa ia diusir oleh gurunya adalah gara-gara Wi-hong, dan hubungannya dengan Cian Ping putus beberapa tahun. Suara Song Kim pun kini bergetar menahan perasaan dendam,
“Hemm, agaknya nasibmu cukup baik sehingga kau berhasil lolos dari tangan Au-yang Tong-cu dan adik sepupunya itu. Tapi yakinlah bahwa saat ini kau tidak akan lolos lagi, dan mayatmu akan terkapar tak terkubur di tengah padang perdu ini!”
“Tong Wi-hong tidak sendiri,” tiba-tiba terdengar suara seorang gadis, yang suaranya halus tetapi mengandung kewibawaan.
Orang-orang Hwe-liong-pang itu serentak menolehkan kepala mereka kepada Wi-lian. Mereka menjadi sangat heran melihat gadis yang tidak bersenjata itu bersikap demikian berani, dan nampaknya sangat percaya kepada dirinya sendiri. Sedangkan dalam hati Cian Ping mendadak saja timbul rasa tidak sukanya kepada gadis itu.
“Siapa kau!” Song Kim membentak Wi-lian dengan garangnya. Song Kim berharap bahwa sikapnya yang garang itu akan membuat Wi-lian ketakutan.
“Aku adalah nenekmu,” sahut Wi-lian acuh tak acuh, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Tiba-tiba terdengar Han Toan tertawa, katanya, “Aku kini tidak ingin berebut gadis she Cian itu lagi. Dasar rejeki nomplok, sekarang aku sudah melihat gantinya yang lebih hangat dan segar.”
Wi-lian pun bersiap-siap ketika melihat orang she Han itu melangkah mendekatinya sambil menjinjing toya perunggunya. Nampaknya orang-orang Hwe-liong-pang itu memandang enteng kepada Wi-lian, dan hal mana cukup membuat Wi-lian jadi gatal tangan untuk menghajar lawan-lawannya itu agar mengenal kelihaiannya.
“Hati-hatilah, Han Toan,” tiba-tiba An Siau-lun memperingatkan kawan-kawannya. “Aku menjadi curiga kepada gadis ini. Apakah kalian sudah mendengar dari rekan-rekan kita dari kelompok Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong, bahwa di Kay-hong telah muncul seorang gadis yang hanya dengan tangan kosong saja sanggup melukai dua orang Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong?”
Han Toan agak tertegun mendengar peringatan kawannya itu. Tapi ia tetap melangkah maju sambil menjawab peringatan An Siau-lun itu, “Aku memang pernah mendengar berita itu, tapi kau tidak perlu merasa kuatir. Memang orang-orang Ui-ki dan Ang-ki yang tidak becus bekerja, lalu mereka sengaja menyebarkan berita bohong katanya lawan berkepandaian sangat tinggi. Tapi aku tidak percaya gadis ini bisa berbuat banyak, paling-paling mencubit dan menggigit.”
Sementara itu Song Kim telah mulai membuka pertempuran. Disertai sebuah pekik nyaring yang penuh dengan nafsu membunuh, ia mulai menyerang. Bagaikan seekor naga yang sedang murka, ujung tombaknya mematuk secepat kilat ke dada Wi-hong. Wi-hong pun mengimbangi serangan ganas itu dengan tepat. Cepat ia menggeser langkah ke samping, pedangnya dengan tidak kalah cepatnya telah membalas menusuk jalan darah jing-ling-hiat di lengan Song Kim.
Song Kim tidak menduga bahwa Wi-hong dapat bergerak secepat itu. Bahkan kecepatan yang ditunjukkan Wi-hong itu hampir menyamai kecepatan guru Song Kim yang baru, Ang-mo-coa-cong Tang Kiau-po. Cepat Song Kim melompat ke belakang, sambil membatin, “Pantas bocah ini bisa lolos dari tangan Tong-cu dan Hu-tong-cu kami, kiranya anak ini memang jauh lebih hebat dari dua tahun yang lalu.”
Tong Wi-hong yang telah dibakar api dendam oleh kematian Cian Sin-wi itu, kini telah merangsak dengan ganas tanpa kenal ampun. Jika Song Kim mundur dua langkah, Wi-hong pun maju dua langkah. Pedangnya berkilauan dengan jurus Pek-coa-sam-hian (Ular Putih Muncul Tiga Kali).
Seketika itu juga Song Kim merasakan matanya menjadi kabur oleh kilauan pedang lawan, sebab dilihatnya lawannya seakan-akan memegang tiga batang pedang yang digerakkan serempak. Yang mana serangan asli, yang mana serangan palsu sulitlah dibedakan. Sekali lagi Song Kim dipaksa melompat mundur dengan gugup.
Melihat Song Kim terdesak, mau tidak mau rekan-rekan Hwe- liong-pang harus melupakan pertengkaran di antara mereka sendiri. Cong Yo segera mulai bergerak membantu Song Kim. Telapak tangannya yang terlatih dan mampu menghancurkan setumpuk batu merah itu kini diayunkan untuk menggebrak tengkuk Wi-hong. Dari sudut lain, saudara kembarnya pun ikut turun tangan dengan melancarkan sebuah tendangan “pisau kaki” yang kuat ke lambung Wi-hong.
Serbuan penjahat kembar dari Shoa-tang itu tidak dapat dianggap remeh, sebab keduanya ternyata menunjukkan tingkatan ilmu yang tidak berselisih jauh dengan Song Kim. Kini dengan dikepung bertiga jelaslah Wi-hong harus memeras keringat untuk mengalahkan mereka.
Namun demikian, dengan semangat untuk membalaskan dendam Cian Sin-wi, Tong Wi-hong meladeni ketiga orang lawannya itu dengan gagah berani. Ia juga tidak berani lengah kepada penjahat kembar dari Shoa-tang itu, sebab meskipun sepasang penjahat itu tidak bersenjata tetapi kepalan dan tendangan mereka bagaikan martil-martil besi yang bisa meluluh-lantakkan tulang-belulang lawannya.
Di samping itu, ilmu tombak Song Kim juga tidak dapat diabaikan, semenjak mengangkat guru kepada Tang Kiau-po, Song Kim telah mempermantap dan memperkaya jurus-jurus ilmu tombaknya. Dan kini nampaklah tombaknya itu bagaikan seekor naga yang sedang menari-nari di angkasa dengan dahysatnya.
Wi-lian mengamat-amati jalannya pertarungan satu lawan tiga itu dengan penuh perhatian. Ia merasa gembira melihat bahwa ilmu silat kakaknya telah meningkat berlipat ganda dibandingkan dua tahun yang lalu. Tetapi dalam menghadapi tiga orang lawan tangguh dari Hwe-liong-pang, kedua pihak hanya dapat mempertahankan kedudukan “sama kuat” saja.
“Aku harus segera turun tangan,” kata gadis itu dalam hatinya.
Dalam pada itu An Siau-lun dan Han Toan juga tidak habis mengerti, kenapa gabungan kekuatan antara Song Kim dan kedua orang she Cong itu ternyata tidak dapat menyelesaikan lawan dengan cepat? Kedua penjahat itu tersentak kaget ketika mendengar Wi-lian telah menantangnya, “He, kenapa kalian hanya menjadi penonton saja? Buat apa senjata itu kalian bawa? Hendak kalian loakkan?”
“Maksudmu, apakah kami berdua orang laki-laki ini harus bertempur melawanmu?” tanya Han Toan sambil cengar cengir. Sedangkan An Siau-lun bersikap lebih hati-hati, dan dengan waspada ia memperhatikan gerak-gerik gadis yang berani itu.
Agaknya Wi-lian lebih dulu ingin menghajar Han Toan yang memuakkannya itu. Dan orang she Han itu jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat Wi-lian berkelebat cepat ke arahnya. Begitu cepatnya sehingga tubuh gadis itu hanya berujud segumpal bayangan yang menerjangnya, secara naluriah Han Toan mengangkat toya perunggunya untuk membela dirinya.
Tapi tubuh gadis itu seperti seekor burung camar yang bermain-main di atas gelombang samudera, begitu lincah tiba-tiba ia melejit ke sebelah lain dari tubuh lawannya. Dan begitu sepasang tangannya ikut bergerak pula, terdengarlah Han Toan menjerit, disusul suara pipi digampar beberapa kali.
Sewaktu Wi-lian melayang mundur kembali, mana nampaklah bahwa Han Toan sudah “berganti rupa”. Kini sepasang pipinya bengkak membiru seperti martabak hangus, bibirnya berdarah dan juga membengkak hampir dua kali lipat dari ukuran aslinya. Dan ketika ia membuka mulutnya maka berlompatanlah empat buah gigi dari mulutnya.
Selama kejadian itu berlangsung, An Siau-lun hanya berdiri sambil melongo di tempatnya, tanpa kuasa menolongnya. Hampir-hampir tidak percaya menyaksikan bahwa kawannya itu ditampar pulang balik tanpa mampu menangkis atau menghindar sedikitpun oleh seorang gadis remaja. Gerakan gadis itu yang begitu cepat benar-benar telah mempesonanya.
Kata An Siau-lun kemudian, kepada Han Toan, “Sudah kuperingatkan kepadamu, kau pasti tidak mengalami nasib seburuk ini jika kau cukup berhati-hati. Dan aku pun yakin bahwa gadis inilah yang membantu Hong-ho-sam-hiong ketika hendak dibunuh oleh orang-orang Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong.”
Ucapan An Siau-lun itu mengingatkan Wi-lian akan peristiwa di kota Kay-hong, di mana Hong-ho-sam-hiong bertiga terbunuh tanpa tertolong lagi, maka seketika itu juga menggelegaklah darah gadis itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia pun menyerang An Siau-lun dengan sebuah “tendangan sabit” yang cepat dan keras ke arah leher An Siau-lun.
An Siau-lun memang lebih berhati-hati dari Han Toan, dan ia sudah waspada sejak tadi. Maka begitu tendangan Wi-lian datang, cepat dia mengendapkan tubuhnya untuk menghindar, bersamaan dengan itu goloknya pun digunakan untuk membabat kaki Wi-lian yang bertumpu ke tanah. Namun gadis itu justru melompat ke atas dan menendangkan lagi kakinya ke batok kepala lawannya.
Tanpa An Siau-lun sempat menarik goloknya, tahu-tahu tendangan lawan sudah meluncur begitu dekat dan begitu cepat ke kepalanya. Hanya ada satu jalan, yaitu membanting diri dan bergulingan menjauhi lawannya. Dia berhasil menyelamatkan diri, namun keringat dingin telah membasahi punggungnya. Hampir saja ubun-ubunnya pecah berantakan terkena tendangan macan betina Siau-lim-pay yang perkasa itu.
Dalam pada itu, Han Toan menjadi sangat murka karena telah dipermalukan begitu hebat oleh gadis itu, maka dengan beringasnya ia maju kembali. Dengan sebuah sapuan keras toya perunggunya, ia bermaksud mematahkan kaki gadis itu supaya bisa ditangkapnya hidup-hidup dan kemudian akan dipermainkannya sesuka hati.
Demikianlah, sebuah ajang pertempuran baru telah “dibuka” di tengah padang perdu yang sepi itu. Wi-lian hanya dengan mengandalkan kekuatan jari-jari tangannya serta kecepatan tendangan dan kelincahannya, telah menghadapi dua serangkai bekas bajak laut yang bersenjata golok Tan-to dan toya Ce-bi-kun itu.
Tadinya An Siau-lun dan Han Toan berharap, bahwa dengan gabungan kekuatan mereka berdua tentu paling tidak akan dapat mendesak gadis lawannya itu. Tetapi mereka terkejut bukan kepalang setelah menemui kenyataan bahwa mereka bagaikan membentur sebuah tembok baja, karena gadis itu begitu tangguhnya. Wi-lian bukan cuma bertahan, tetapi juga mampu memberondongkan serangan-serangan terarah yang membuat kedua lawannya harus menyelamatkan diri dengan sibuknya.
Kedua bekas bajak Laut Kuning itu akhirnya menjadi marah juga. Akhirnya terdengar suara An Siau-lun kepada kawannya, “Han Toan, kukira sulit sekali untuk menangkap hidup-hidup gadis ini. Kini biarlah kita tidak usah ragu-ragu lagi andaikata senjata-senjata kita merobek kulitnya atau meremukkan tulang belulangnya, asal jangan sampai kita dihina tidak becus menghadapi seorang perempuan.”
“Betul, akupun tidak berselera lagi kepada kecantikannya. Aku kini hanya ingin mencincang tubuhnya untuk melampiaskan kemarahanku!” sahut Han Toan.
Begitulah kedua bekas bajak laut itu kini tidak ragu-ragu lagi dalam memainkan senjata mereka, sebab mereka telah menyingkirkan niat mereka untuk menangkap Wi-lian hidup-hidup. Kini mereka benar-benar telah berkelahi dengan ganas dan diwarnai oleh nafsu membunuh yang berkobar-kobar, biarpun lawan mereka adalah seorang gadis cantik yang usianya pantas untuk menjadi keponakan mereka.
Golok tan-to di tangan An Siau-lun berputar kencang menggulung lawannya seperti sebuah baling-baling yang dihembus badai, menyebarkan udara kematian yang menggidikkan perasaan. Dan permainan golok yang hebat itu masih digabungkan dengan gaya permainan toya Ce-bin-kun Han Toan yang dapat diumpamakan sehebat pusaran air yang siap untuk menghisap, menggulung dan membinasakan lawannya.
Menghadapi dua orang lawan yang bertempur dengan penuh kemarahan itu, Wi-lian bertindak semakin hati-hati dan cermat. Dalam hatinya diam-diam ia juga memuji ketangkasan lawan-lawannya, sebab sebagai anggota biasa Hwe-liong-pang saja mereka sudah begitu tangguh, lalu kira-kira entah bagaimana kepandaian para pemimpinnya, terutama Hwe-liong-pang-cu sendiri?
Tidak mengherankan kalau Siau-lim-pay sampai merasa perlu untuk menyebarkan eng-hiong-tiap kepada para ksatria dunia persilatan untuk merundingkan perkembangan ini. Dengan munculnya Hwe-liong-pang, agaknya memang keamanan dunia persilatan bagaikan “telur di ujung tanduk”.
Tetapi gadis itu sedikitpun tidak merasa gentar, ia masih tetap percaya bahwa kepandaiannya akan dapat mengatasi kedua lawannya itu, meskipun mungkin ia harus dipaksa memeras keringat sampai puluhan jurus. Bahkan timbul niatnya untuk membinasakan kedua lawannya ini sama sekali, karena hal itu sedikit banyak akan mengurangi kekuatan Hwe-liong-pang. Selain itu juga agar secepatnya ia bisa membantu kakaknya yang sedang menghadapi tiga orang lawan.
Memang saat itu Tong Wi-hong pun sudah basah kuyup dengan keringat, karena menghadapi tiga orang lawannya itu benar-benar memerlukan pengerahan seluruh kepandaiannya. Apalagi selama dua hari dua malam ini Wi-hong dalam keadaan kelelahan dan kurang merawat keadaan tubuhnya, sehingga keadaan tubuhnya pun tidak sesegar lawan-lawannya. Akhirnya Wi-hong dipaksa untuk mengakui kenyataan bahwa mustahil ia dalam keadaan seperti itu akan dapat mengalahkan musuh.
Namun bagaimana pun juga Wi-hong tetap bertempur dengan gigihnya, sehingga Song Kim, Cong Hun dan Song Yo juga dipaksa untuk memeras keringat secara habis-habisan. Jika Wi-hong menyerang, maka gerak pedangnya bagaikan seekor ular sakti yang menggeliat, meliuk dan mematuk dengan ganasnya. Tetapi kepungan lawan-lawannya bagaikan benteng besi yang makin lama makin menyempit dan menggencetnya.
Ternyata Wi-hong bukan seorang pemuda berotak buntu. Menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan bagi dirinya itu, ia akhirnya mengambil keputusan untuk mengambil kedudukan bertahan saja sambil mencoba “mengambil napas”. Ia hanya akan membela diri saja, sambil menunggu sampai musuh-musuhnya berbuat kesalahan sendiri.
Dalam pada itu Song Kim telah mengutuk habis-habisan di dalam hatinya, karena ia ternyata tidak dapat segera membereskan orang yang dibencinya sampai ke tulang sumsum itu. Meskipun kadang-kadang Wi-hong nampak terdesak, tapi jalannya pertempuran itu entah masih harus berapa lama lagi untuk membunuh Wi-hong? Tadinya Song Kim mengira bahwa setelah dirinya mendapat gemblengan dari guru barunya, maka ilmu silatnya telah meningkat pesat sehingga Wi-hong tentu akan dapat dikalahkannya tanpa banyak susah payah.
Apa lagi dengan bantuan dua saudara she Cong yang cukup tangguh pula. Namun yang terjadi di hadapan matanya sekarang ini benar-benar sesuatu yang sangat menjengkelkan. Setelah bertarung ratusan jurus, ternyata masih belum nampak gejala-gejala Wi-hong akan kalah. Memang anak muda she Tong itu kadang-kadang berlompatan mundur untuk menghindari “banjir” serangan lawannya, tapi itu tidak berarti kalah.
Bukan hanya Song Kim, tetapi sepasang penjahat dari Shoa- tang itu juga mulai menjadi gondok karena menemui perlawanan setangguh itu. Beberapa kali kedua saudara itu berhasil mendesak Wi-hong, dan mereka mengira bahwa pertempuran akan segera berakhir tapi ternyata lawan mereka berhasil memperbaiki dirinya dan kembali sanggup meneruskan perlawanannya.
Bahkan setelah Wi-hong dapat memulihkan ketenangannya dan memusatkan diri hanya kepada pertahanannya, maka ia nampak semakin ulet dan tangguh. Sedangkan lawan- lawannya yang semakin naik darah itu jadi semakin kalap dan bernafsu, dan tanpa sadar mereka telah menghamburkan tenaganay jauh lebih cepat dari Wi-hong.
“Anak gila ini entah kesurupan demit dari mana,” gerutu Cong Hun di dalam hatinya. “Di Tay-beng dia berhasil melepaskan diri dari kakak beradik sepupu Au-yang yang ganas seperti setan itu, dan kini tampaknya kami bertiga pun tidak akan bisa berbuat terlalu banyak kepadanya.”
Dan ketika Cong Hun menoleh ke lingkaran pertempuran antara Wi-lian dengan kedua lawannya, maka hati Cong Hun menjadi kecut ketika melihat bagaimana dua orang rekannya itupun mengalami kesulitan besar melawan Wi-lian.
Langit di ufuk timur semakin cerah, selubung gelap malam bagaikan tersingkap oleh cahaya merah keemasan yang begitu gemilang. Cahaya fajar yang begitu lembut dan indah telah muncul. Tetapi segala keindahan fajar di tengah padang perdu itu dipersetankan begitu saja oleh tujuh orang manusia yang sedang mempertarungkan nyawa di tempat itu.
Panca indera dan perasaan mereka tertutup sama sekali dari keindahan sinar surya yang keemasan, kicau unggas liar yang bagaikan nyanyian dewata atau gemerisik lembutnya rerumputan. Yang ada di dalam pikiran mereka hanyalah semboyan “membunuh atau dibunuh”, tidak ada pilihan yang ketiga. Dendam dan kebencian telah membutakan manusia-manusia lemah itu.
Sejalan dengan munculnya sang surya yang merambat sejengkal demi sejengkal ke puncak langit itu, maka makin panas pula jalannya pertempuran itu. Jurus-jurus mematikan dikeluarkan semua, dicoba keampuhannya melawan jurus-jurus lawan yang juga mematikan. Bentakan-bentakan yang mengandung kemarahan dan kebencian terdengar mengoyak-oyak dan menodai kesyahduan pagi yang indah itu. Semua yang bertempur telah berubah menjadi makhluk-makhluk haus darah dan mabuk dendam.
Dalam keadaan tubuh yang belum bisa bergerak sedikitpun karena tertotok, Cian Ping menyaksikan jalan pertempuran yang sengit itu, perasaannya tegang bukan main. Dapatkah kekasihnya dan temannya itu mengalahkan lawan-lawannya? Ataukah Song Kim dan kawan-kawannya yang akan merebut kemenangan, sehingga dirinya akan mengalami nasib yang sangat buruk dengan menjadi barang permainan dari orang- orang Hwe-liong-pang?
Ketika Cian Ping mengamat-amati pertarungan antara Wi-lian melawan keroyokan An Siau-lun dan Han Toan, timbullah keheranan Cian Ping melihat gadis yang dicemburuinya itu ternyata justru berhasil mendesak kedua lawannya. Padahal kedua orang bekas bajak laut itu adalah penjahat-penjahat yang garang dan ditakuti, namun tidak berkutik menghadapi seorang gadis remaja yang bertempur tanpa senjata!
Diam-diam Cian Ping mulai berpikir dalam hati, “Alangkah hebatnya teman A-hong ini, entah di mana A-hong berkenalan dengannya? Apabila gadis itu berhasil merobohkan kedua lawannya, maka ia akan bertempur berpasangan dengan A-hong, alangkah serasinya, dan aku di sini hanya bisa meringkuk tak berkutik tanpa mampu berbuat apa-apa.”
Rupanya sedikit banyak Cian Ping mulai dipengaruhi perasaan bersaing dengan gadis yang belum dikenalnya itu. Ia tidak sudi kelak akan dianggap sebagai gadis yang tidak punya guna. Keinginan untuk berbuat sesuatu itu telah mendorong Cian Ping untuk mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendobrak jalan darahnya yang buntu karena tertotok itu.
Daya kerja totokan itu memang sudah hampir habis dan semakin melemah, maka ketika Cian Ping menyalurkan tenaganya untuk mendobrak beberapa kali, akhirnya terbukalah jalan darah yang tadinya buntu itu! Tetapi untuk mengakali lawannya, gadis itu masih pura-pura terbaring tak berdaya, padahal ia sedang membiarkan otot-ototnya yang kaku itu agar melemas kembali.
Maka terkejutlah orang-orang Hwe-liong-pang itu ketika melihat Cian Ping kemudian melompat bangun dengan garangnya. Song Kim cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian puteri bekas gurunya itu. Meskipun kepandaian Cian Ping belum bisa disejajarkan dengan Wi-hong maupun gadis yang satunya lagi itu, tetapi tingkat ilmu yang dimiliki Cian Ping lebih dari cukup untuk mengubah keseimbangan pertempuran yang tengah berlangsung itu. Bebasnya Cian Ping bukan merupakan pertanda yang baik bagi orang-orang Hwe-liong-pang.
Karena agak terganggu perhatiannya oleh bebasnya Cian Ping, hampir saja tenggorokan Song Kim tertusuk tembus oleh pedang Wi-hong. Untunglah ia masih sempat menggunakan gerak Hong-hong-tiam-thau (Burung Hong Mengangguk), selain itu juga karena kedua saudara Cong menolongnya tepat pada waktunya.
Setelah bebas, Cian Ping kini benar-benar merasa mendapat kesempatan untuk melampiaskan semua perasaannya yang terpendam selama ini. Sejak diculik dari rumahnya, gadis itu merasa kebebasannya hilang dan perasaannya sangat tertekan, meskipun orang-orang Hwe-liong-pang itu belum sempat berbuat sesuatupun yang menodai dirinya.
Meskipun demikian gurauan dan percakapan orang-orang Hwe-liong-pang itu sempat membuat dirinya marah dan jijik, apalagi kalau mengingat bahwa orang-orang inilah yang telah membunuh ayahnya. Puteri Cian Sin-wi itu segera memungut sebatang kayu sepanjang lengan dan sebesar lengan orang dewasa pula. Dengan “senjata” itulah ia menghantam kepala Song Kim yang sangat dibencinya itu, sambil berteriak marah.
Ikut sertanya Cian Ping dalam gelanggang pertempuran itu sempat membuat Song Kim dan kawan-kawannya terpecah perhatiannya. Song Kim sendiri harus cepat-cepat melompat mundur sambil menundukkan kepalanya, karena tidak mau kepalanya pecah oleh pukulan yang dipegang Cian Ping.
Mundurnya Song Kim sama dengan bobolnya kepungan atas diri Tong Wi-hong. Dengan serangan pedangnya yang gencar dan bertubi-tubi, Wi-hong berhasil memaksa kedua saudara Cong itu berlompatan mundur dengan kacau balau. Kesempatan itu segera digunakan oleh Wi-hong untuk mendekati Cian Ping.
“Adik Ping, kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Cian Ping tidak begitu menghiraukan pertanyaan itu. Dengan kebencian dan kemarahan yang meluap-luap ia memburu Song Kim sambil berteriak, “Manusia berjantung anjing! Manusia tidak kenal budi! Aku bersumpah tidak sudi hidup bersama-sama denganmu di bawah satu kolong langit!”
Song Kim yang biasanya bersikap garang itu kini menjadi gugup dan kecut hati menghadapi kemarahan gadis itu. Ia berlompatan mundur dengan ngerinya, sambil mencoba menenangkan gadis itu, “Adik Ping, coba kau dengar dulu penjelasanku...”
Namun gadis yang sedang kalap itu terus mengejarnya, serunya dengan suara yang agak terisak, “Siapa sudi adikmu? Hubungan kita sudah putus. Kau adalah seorang murid yang tidak tahu membalas budi. Ingatkah kau siapa yang telah membesarkan dan merawatmu sejak kecil, dengan kasih sayang seperti kepada anak laki-lakinya sendiri? Bukankah ketika itu kau hampir mati kelaparan di pinggir jalan?”
Menyusul dengan ucapannya itu, kayu di tangan Cian Ping telah disodokkan kembali ke ulu hati Song Kim. Si bekas kakak seperguruan ternyata hanya menghindar saja dan tidak berani menangkis atau membalas menyerang, rupanya kuatir kalau membuat gadis she Cian itu bertambah marah.
Sebagai puteri tunggal Cian Sin-wi, tokoh yang disegani di wilayah Kang-pak, maka Cian Ping sudah mempelajari ilmu silat sejak umur 10 tahun, dasar ilmu silatnya pun cukup kuat. Maka begitu serangan yang pertama dapat dihindari Song Kim, gadis itu menyusulkan serangan berikutnya dengan memutar kayunya dan menghantam ke lambung Song Kim dengan derasnya....
“Bagus! Hebat! Jadi kau sekarang adalah murid dari rahib sakti yang terkenal itu? Pantas kau berani omong besar, dan tentunya ilmu silatmu pun maju pesat juga.”
Sahut Wi-lian sambil tertawa, “Sekarang kalau kau berani menggodaku lagi, ke manapun kau lari pasti berhasil kukejar dan kuhantam pantatmu.”
Demikianlah, untuk sesaat lamanya kedua kakak beradik itu melupakan apa yang sedang menjadi beban pikirannya masing-masing. Mereka bergurau dengan riang gembira seperti dulu lagi, bahkan kelakuan mereka kadang-kadang seperti anak kecil saja.
Tiba-tiba Wi-lian bertanya, “Eh, A-hong, kudengar dari orang Tiong-gi Piau-hang katanya kau sekarang adalah calon menantu Cian Lo-eng-hiong? Ketika mendengar berita itu, aku jadi sulit membayangkan bagaimana caranya kau merayu gadis itu, entah cara merayu itu kau dapatkan dari kitab yang mana?”
Kata-kata Wi-lian itu seakan-akan mengingatkan Wi-hong akan tugasnya yang belum selesai dalam menemukan Cian Ping kembali. Seketika itu juga air mukanya yang riang gembira itu berubah menjadi muram dan lesu, “Ya, tetapi sekarang aku tidak tahu di mana beradanya calon isteriku itu aku tidak tahu, bahkan bagaimana nasibnya di tangan penculik-penculik itupun aku tidak tahu. Ia ibarat seekor domba gemuk di tengah serigala-serigala Hwe-liong-pang itu. Kuharap saja Song Kim masih punya hati nurani yang mengingatkan akan kebaikan bekas gurunya dulu.”
Wi-lian dapat memaklumi kerisauan hati kakaknya itu, maka ia pun tidak bersenda-gurau lagi. Tanyanya, “Apakah jejak penculik-penculik itu sedikitpun belum kau temui?”
Wi-hong menggelengkan kepalanya, “Kalau sudah kutemui, masakan aku akan duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini? Sudah satu hari dua malam aku berputar-putar di padang perdu yang luas ini, tapi belum kelihatan batang hidung mereka seorang pun juga.”
“Tetapi justru baru pada sore ini aku menemui suatu kejadian yang barangkali bisa menjadi petunjuk penting,” kata Wi-lian.
Sang kakak terlonjak dari duduknya dan tanyanya dengan hampir berteriak, “Apa katamu? Cepat ceritakan kepadaku!”
Wi-lian lalu menceritakan tentang pengalamannya bertemu dengan tiga orang petugas rahasia Kerajaan Beng yang juga sedang memburu orang-orang Hwe-liong-pang. Tetapi ketiga orang petugas itu telah mengalami nasib malang dan menemui ajalnya semuanya. Tidak lupa Wi-lian mengemukakan tentang bentuk luka-luka yang terdapat pada diri ketiga korban itu.
“Bekas cengkeraman lima jari tangan dan bekas sabetan golok yang memanjang?” tanya Wi-hong.
“Ya, kukira begitu.”
Sang kakak segera menepuk pahanya sambil berseru, “Pasti kakak beradik sepupu keparat itu!”
“Siapa mereka?” adiknya bertanya dengan tertarik.
“Pemimpin Kelompok dan Wakil Pemimpin Kelompok dari Jing- ki-tong, kakak beradik sepupu she Au-yang,” kakaknya menerangkan. “Si kakak sepupu bernama Au-yang Siau-hui dan di Su-coan terkenal dengan gelarnya sebagai Co-siang-hui-mo, adik sepupunya bernama Au-yang Siau-pa dan permainan golok sabitnya memang cukup hebat.”
Wi-lian mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Oh, kiranya cuma seorang Tong-cu dan seorang Hu-tong-cu. Di Kay-hong aku bahkan pernah bertempur dengan seorang Tong-cu dan dua orang Hu-tong-cu mereka, bahkan aku pernah bertempur pula dengan yang mereka sebut Su-cia, yang kedudukannya lebih tinggi dari Tong-cu.”
Wi-hong tidak tahu apakah adiknya itu sedang membual atau tidak, tetapi keterangan adiknya tentang mayat ketiga petugas Kerajaan itu telah merampas perhatian Wi-hong. Katanya dengan bernafsu, “Kalau begitu orang-orang Hwe-liong-pang itu sebenarnya tidak tahu dari tempat ini. Adikku, marilah kita cari mereka!”
Namun Wi-lian menggelengkan kepalanya, “Dalam keadaan yang kelelahan dan serba tidak terawat seperti ini, andaikata kau temukan mereka juga belum tentu kau bisa menang. Aku usulkan bagaimana kalau kau makan dulu dan beristirahat sejenak memulihkan tenagamu, setelah itu barulah kita akan berangkat bersama-sama untuk memburu mereka. Kau setuju?”
Wi-hong merasa bahwa usul adiknya itu cukup masuk akal, karena andaikata bertemu dengan kakak beradik sepupu she Au-yang itu dalam keadaan lelah, maka sama saja dengan mengantarkan nyawa. Maka ia pun menyetujuinya. Kemudian dengan lahapnya Wi-hong menghabiskan semua makanan dan minuman yang disodorkan kepadanya oleh adiknya. Keadaan tubuhnya memang tidak terawat sejak ia meninggalkan Tay-beng, maka kini terasa betul betapa lelahnya.
Setelah mengisi perut, kakak beradik itu segera duduk bersila dan mulai bersemedi untuk mengumpulkan semangat mereka. Ketika tengah malam telah lewat sedikit, Wi-honglah yang hatinya sudah tidak sabaran untuk mengejar orang-orang Hwe-liong-pang. Maka ialah yang lebih dulu menghentikan semedinya dan katanya, “Kukira sudah cukup istirahat kita. Kita berangkat sekarang.”
Wi-lian memahami kegelisahan kakaknya itu, apalagi karena Wi-lian sendiripun juga sudah gatal tangannya ingin menghajar orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka ia pun menghentikan semedinya dan mempersiapkan diri. Diringkaskannya pakaiannya. Tanyanya kepada kakaknya, “Kita akan berjalan kaki saja atau menunggang kuda?”
“Kita berjalan kaki saja, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, sebab jika kita menunggang kuda maka derapnya akan mengejutkan buruan-buruan kita itu, dan memberi mereka kesempatan untuk melarikan diri. Eh, A-lian, mana senjatamu?”
Wi-lian melancarkan beberapa pukulan dan tendangan yang cepat dan keras untuk merobohkan beberapa batang pohon, lalu katanya sambil tertawa, “Tangan dan kakiku inilah senjataku.”
Wi-hong kagum juga melihat kehebatan ilmu tangan kosong adiknya itu, tetapi ia pura-pura menggerutu, “Wah, sifat kepala besarmu itu agaknya belum hilang-hilang juga.”
Mulailah kakak beradik itu mengitari padang perdu itu dengan silang menyilang. Mereka hanya setengah berlari, sengaja mereka tidak berlari keras-keras agar tenaga mereka tetap terpelihara sebelum bertemu dengan musuh.
Tetapi dasar anak-anak muda, kadang-kadang timbul juga rasa iseng di hati kakak beradik itu untuk saling menjajaki kemajuan masing-masing. Jika sudah demikian, maka kedua sosok tubuh itu tidak nampak bentuknya lagi karena gerakannya yang begitu cepat. Mereka hanya berujud dua sosok bayangan yang berkelebat bagaikan kilat di tengah-tengah padang perdu itu.
Ternyata mereka tidak dapat saling meninggalkan satu sama lain, meskipun salah satu telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Mau tidak mau kedua saudara itu timbul rasa bangganya melihat kemajuan saudaranya yang lain.
Sampai hari hampir menjadi terang, kedua saudara itu telah mengelilingi padang perdu itu tanpa hasil. Akhirnya mereka kembali ke kaki bukit kecil, di mana kuda tunggangan Wi-lian dan kuda tunggangan dua orang petugas Kerajaan itu masih ditambatkan. Di tempat itu kakak beradik itu beristirahat lagi sambil memakan bekalnya.
“Gila, mereka bagaikan hilang lenyap begitu saja ditelan bumi,” gerutu Wi-hong.
“Jika kita menyelidiki selama hari terang, kemungkinan besar kita akan menemukan jejak mereka,” kata Wi-lian. “Kukira mereka tidak mungkin berjalan kaki saja, tentu mereka berkuda, dan kuda-kuda mereka tentu meninggalkan jejak di tanah.”
“Lalu kita sekarang harus berbuat apa?” Wi-hong yang pikirannya sedang keruh itu agaknya sulit untuk berpikir dengan jernih lagi.
Perlahan-lahan Wi-lian merebahkan diri ke atas rumput yang tebal sambil berkata, “Masih ada waktu sedikit sebelum matahari muncul benar-benar. Kita akan beristirahat lagi sebentar, sebab tidak mungkin melawan mereka dalam keadaan selelah ini.”
Untunglah bahwa Wi-hong masih mempercayai akan kecermatan berpikir dari adik perempuannya itu, sehingga ia pun menuruti usul adiknya itu. Meskipun demikian hatinya selalu saja melonjak-lonjak gelisah.
Kakak beradik itu melompat bangun ketika sinar matahari pagi mulai menyengat tubuh mereka. Dan begitu melompat bangun sambil memandang tanah, Wi-lian pun telah berkata, “Nah, kata-kataku betul tidak?”
“Kata-katamu yang mana?” tanya kakaknya dengan heran. Gadis itu menunjuk ke tanah sambil berkata, “Jejak kaki kuda. Dalam keadaan gelap kita kebingungan mencari jejak mereka sampai ke mana-mana, padahal setelah hari terang barulah kita ketahui bahwa jejak musuh itu sebenarnya hanya beberapa langkah dari tempat istirahat kita. Aku yakin jejak kaki kuda ini bukanlah jejak kuda para petugas Kerajaan, sebab para petugas itu dari arah kota Tay-beng, padahal jejak ini jelas sedang menuju ke arah barat-laut.”
Maka pelacakan jejak musuh pun dimulai, kali ini mereka menunggang kuda sebab musuh pun menunggang kuda. Kini kakak beradik itu tidak perlu lagi berputar-putar mengitari padang perdu itu, sebab jejak lawan telah memberikan petunjuk arah yang jelas. Jejak itu masih nyata kelihatan di atas tanah meskipun telah lewat semalam.
Setelah mereka berkuda puluhan li ke arah barat laut dengan melacak jejak itu, tiba-tiba Wi-lian berkata, “A-hong, berhenti!”
“Ada apa?”
Dari atas punggung kudanya Wi-lian menunjuk ke tanah, sambil berkata, “Orang-orang Hwe-liong-pang itu agaknya memang cukup cerdik. Mereka tahu kalau diri mereka sedang dikejar. Maka mereka sengaja meninggalkan jejak ke arah barat laut, padahal di tempat ini mereka telah berbelok ke selatan setelah lebih dulu turun dari kuda mereka. Bekas-bekas penghapusan jejak ini cukup rapi dan hampir sempurna, tapi untung aku masih bisa melihatnya.”
Sekali lagi Wi-hong harus mengagumi kecermatan adiknya itu. Dia merasa beruntung bahwa dalam saat seperti itu ia telah bertemu dengan adik perempuannya, yang bukan hanya telah memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi juga memiliki kecermatan dan kecerdikan dalam menghadapi semua keadaan.
Jika Wi- hong sendiri, mungkin dalam keadaan pikiran yang keruh itu ia tidak akan dapat menemukan arah yang tepat, dan mungkin saat itu ia masih saja berputar-putar di tengah- tengah padang perdu itu tanpa tujuan. Melihat jejak lawan, seketika itu juga semangat tempur Wi- hong berkobar hebat. Geramnya, “Bagus! Kini kita telah menemukan jejak bangsat-bangsat itu. Tunggulah pembalasanku!”
Sementara itu si kun-su (penasehat perang) telah berkata pula, “A-hong, sekarang kita melanjutkan perburuan kita dengan berjalan kaki saja. Jangan sampai musuh lari semakin jauh begitu mendengar derap kaki kuda kita.”
Dugaan dan perhitungan gadis itu ternyata tepat juga. Dengan mengikuti jejak-jejak yang sengaja disamarkan itu, kini kedua kakak beradik itu memang telah semakin dekat dengan orang- orang yang mereka buru. Tetapi karena kakak beradik itu memang tertinggal agak lama, hampir semalam suntuk, maka setelah berjalan sampai hampir sore barulah berdua benar-benar berhasil mendekati tempat musuh.
Sementara itu, Song Kim dan kawan-kawannya sedang duduk bergerombol di rerumputan sambil membakar daging binatang buruan mereka. Tubuh Cian Ping yang masih dalam keadaan tertotok itupun rebah di antara mereka. Orang-orang Hwe-liong-pang itu tidak tergesa-gesa lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Karena mereka mengira bahwa orang-orang yang memburu mereka tentu telah tersesat oleh jejak palsu yang mereka buat. Bahkan orang-orang Hwe-liong-pang itu berani membuat perapian untuk menghangatkan badan dan berani pula bercakap-cakap dengan suara yang keras.
“Orang-orang tolol Tiong-gi Piau-hang dan gerombolan kantong nasi yang menamakan diri petugas-petugas Kerajaan itu tentu tidak mampu lagi menyusul kita,” kata Han Toan dengan bangganya, sambil menggerogoti segumpal daging rusa bakar.
“Tong-cu dan Hu-tong-cu kita telah mendahului kita menuju ke Lam-cang, dan kita harus secepatnya menyusul ke sana,” kata An Siau-lun.
Keempat kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya menyetujui usul An Siau-lun itu. Keempat kawannya itu masing-masing adalah Han Toan, si murid durhaka Song Kim, serta dua orang saudara kembar bermuka burik yang mahir ilmu pukulan Thi-sah-ciang (Pukulan Pasir Besi), yaitu Cong Yo dan Cong Hun dari Shoa-tang.
Terdengar pula suara Han Toan di antara suara mulutnya yang berkecap-kecap mengunyah makanan, “Ya, kudengar kabar bahwa bukan hanya Tong-cu dan Hu-tong-cu dari Jing-ki-tong kita saja yang berkumpul di sana. Namun tujuh orang Tong-cu dan tujuh Hu-tong-cu dari ke tujuh kelompok yang lain pun kabarnya juga sedang menuju ke Lam-cang.”
“Wah, kalau begitu ramai sekali nih,” kata Cong Hun.
“Tentu saja,” sahut Song Kim. “Inilah pertemuan terlengkap dari Pang kita yang diadakan di luar congtoh (Markas Pusat). Seluruh anggota dari Kepala Kelompok sampai anggota terendah harus berkumpul di sana, kecuali yang sedang menjalankan tugas. Selain Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau) kita, akan hadir pula semua anggota dari Ui-ki-tong (Kelompok Panji Kuning), Ang-ki-tong (Kelompok Panji Merah), Hek-ki-tong (Kelompok Panji Hitam), Pek-ki-tong (Kelompok Panji Putih), Ci-ki-tong (Kelompok Panji Ungu), Lam-ki-tong (Kelompok Panji Biru) serta Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat). Siapa yang berani melanggar perintah untuk menghadiri pertemuan itu, ancamannya adalah hukuman mati.”
Terdengar Cong Yo bertanya, “Kira-kira bagaimana kepandaian Tong-cu kita kalau dibandingkan dengan ketujuh orang Tong-cu lainnya?”
Song Kim yang merasa dirinya lebih tahu dari siapapun, segera mulai bicara panjang lebar tanpa disuruh, “Menurut Suhu (maksudnya guru barunya bukan Cian Sin-wi), ke delapan orang Tong-cu dari Hwe-liong-pang kita itu memiliki kepandaian istimewa dan keunggulannya masing-masing. Misalnya saja Au-yang Tong-cu kita punya ilmu silat Mo-ci-jiau (Cengkeraman Jari Iblis) yang hebat, sedangkan Kwa Tong-cu dari Ui-ki-tong punya ilmu silat Kau-kun (Jurus Kera) yang ampuh, sehingga ia mendapat julukan Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi). Begitu pula para Tong-cu lain juga punya kepandaian masing-masing, tapi sulitlah diketahui siapa yang lebih unggul.”
Melihat keempat orang kawannya terangguk-angguk dengan kagum akan ceritanya, maka Song Kim pun meneruskan ceritanya dengan penuh semangat, “Pertemuan Hwe-liong- pang di Lam-cang adalah pertemuan terbesar yang pernah diadakan oleh Pang kita. Yang akan hadir bukan hanya delapan Tong-cu dan delapan Hu-tong-cu saja, tetapi juga akan dihadiri oleh empat orang Su-cia (Duta Keliling) kita. Bahkan Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi), Thiang-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit), dan Kim-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Emas) juga akan hadir untuk mendampingi Pang-cu (Ketua) kita.”
“Hebat!” seru Cong Hun. “Tetapi apa maksudnya Pang-cu mengadakan pertemuan selengkap itu?”
“Hal ini aku kurang tahu,” sahut Song Kim dengan agak tersipu.
Sebaliknya Han Toan cepat menimbrung, “Nah, hal ini malahan aku yang tahu!”
Serentak semua mata diarahkan kepada Han Toan, An Siau- lun segera mendesaknya dengan perasaan ingin tahu, “Hayolah cepat kau ceritakan kepada kami, jangan membuat kami jadi penasaran.”
Sengaja Han Toan berlagak jual mahal dengan menghabiskan dulu sisa-sisa daging bakarnya, dan membiarkan teman- temannya menunggu ceritanya dengan tidak sabar. Setelah dagingnya habis, barulah ia bercerita,
“Aku pernah mendengar percakapan antara Tong-cu dengan adik sepupunya itu. Katanya berkumpulnya para pimpinan Pang kita di Lam-cang itu adalah untuk mengimbangi gerakan dari golongan yang menamakan diri golongan lurus itu. Tahukah kalian, bahwa pada bulan depan di kuil Siau-lim-si di Siong-san akan diadakan pertemuan seluruh tokoh dunia persilatan untuk membahas tindakan bersama dalam menghadapi Hwe-liong- pang kita? Nah, tentu saja kita tidak boleh kalah gertak, oleh karena itulah Pang-cu mengumpulkan seluruh anggota di Lam- cang, untuk menunjukkan bahwa kita pun punya kekuatan yang tidak dapat dihina begitu saja. Bahkan Pang-cu juga mengundang golongan-golongan yang selama ini tersingkir dari pergaulan, untuk bergabung dengan kita.”
Cong Yo menyambut penjelasan Han Toan itu dengan tepuk tangan dan kata yang berapi-api, “Bagus sekali! Selama ini kita-kita yang dicap sebagai golongan hitam ini telah kehilangan kebebasan bergerak kita, digencet oleh kaum munafik yang menamakan diri pendekar-pendekar budiman itu. Huh, sudah masanya kita harus bangkit dan mempersatukan segenap kekuatan kita, kini gilirannya kaum munafik itu yang harus gemetar ketakutan melihat keangkeran kita.”
Untuk sesaat orang-orang Hwe-liong-pang mencoba meresapi kata-kata itu. Nampaklah betapa wajah mereka telah dipenuhi dengan perasaan bangga dan semangat yang berkobar-kobar. Yang terdengar hanyalah suara gemeretak kayu yang termakan api, sementara di kejauhan terdengar sayup-sayup kokok ayam hutan, menandakan tengah malam telah dilewati dan dini hari sudah mendekat.
Beberapa saat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara An Siau-lun, “He, adakah di antara kita yang pernah melihat bagaimana wajah asli Hwe-liong-pang-cu kita?”
Tidak seorang pun menjawab pertanyaan itu. Tetapi sikap diam mereka sudah merupakan jawaban “tidak”. Kemudian Han Toan berkata dengan suara yang berat, “Kita sebagai anggota biasa, jangan harap seumur hidup bisa melihat wajah asli Ketua kita. Bahkan para Tong-cu dan Hu-tong-cu pun hanya kadang-kadang saja bisa memandang wajah asli beliau. Kabarnya yang dapat melihat wajah Pang-cu setiap hari hanyalah Te-liong, Thian-liong dan Kim-liong Hiang cu bertiga, karena mereka bertiga adalah saudara-saudara angkat Pang-cu yang hubungannya sangat erat. Namun agaknya ketiga Hiang-cu itupun meniru jejak Pang-cu, yaitu menutup wajah mereka di balik topeng-topeng yang menakutkan itu.”
“Entahlah, mereka memang orang-orang berkepandaian tinggi tetapi bersikap aneh,” kata Song Kim. “Namun kudengar belakangan ini bahwa di antara ketiga Hiang-cu itu terjadi perselisihan pendapat yang agak hebat. Bahkan keretakan itu sudah menjalar ke bawah dan agak mempengaruhi ke delapan kelompok dalam Pang kita.”
“He, kenapa aku belum pernah mendengar hal itu?” tanya An Siau-lun dengan keheranan. “Kenapa ketiga Hiang-cu itu sampai berselisih?”
Tiba-tiba Song Kim menyadari bahwa ia telah membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak patut dibicarakan secara terbuka. Membicarakan urusan para atasan Pang adalah sama halnya dengan mencari malapetaka buat dirinya sendiri, sebab hal itu tabu untuk dibicarakan. Muka Song Kim tiba-tiba menjadi pucat setelah sadar bahwa ia tidak dapat mengendalikan mulutnya. Dengan serta merta ia mencoba membelokkan arah pembicaraan, “Ah, tidak ada apa-apa, mulutku memang sering tidak terkendali. Anggap saja ucapanku yang tadi itu tidak ada.”
Tetapi sifat ingin tahu adalah salah satu sifat manusia yang paling menonjol, tidak terkecuali bagi orang-orang Hwe-liong-pang itu. Ucapan Song Kim yang setengah-setengah itu malah menimbulkan perhatian mereka, sehingga An Siau-lun mendesak lagi,
“Katakan saja apa yang kau ketahui, Song Kim, kenapa sampai ada perselisihan di antara ketiga Hiang-cu itu. Kami berjanji akan menutup mulut serapat-rapatnya, semua pembicaraan di tempat ini tidak akan bocor keluar. Bukankah begitu, kawan-kawan?”
“Ya, apa yang kita dengar dari Song Kim ini hanya khusus untuk kita berlima,” sahut Han Toan. “Aku bersumpah akan menutup mulut serapat-rapatnya. Hatiku sudah terlanjur gatal ingin mengetahui cerita selanjutnya.”
Si kembar dari Shoa-tang pun agaknya mempunyai perasaan yang sama. Kata Cong Hun, “Betul, di tempat ini tidak ada orang yang mendengar pembicaraan kita...”
Dan Cong Yo menyambung, “Barangsiapa di antara kita yang membocorkan percakapan ini, akan bersama-sama kita tangkap dan kita robek mulutnya!”
Mendengar desakan kawan-kawannya itu, diam-diam Song Kim mengutuk keteledorannya sendiri yang tidak dapat mengendalikan mulutnya itu. Dengan berat hati ia menjawab, “Maaf, kawan-kawanku, bukannya aku tidak mempercayai janji dan sumpah kalian, tetapi kalian harus ingat bahwa manusia adalah penuh kekhilafan. Apalagi kalian tergolong manusia-manusia yang doyan arak. Jika suatu ketika kalian mabuk dan mengeluarkan perkataan ini tanpa sadar, maka bagian kita masing-masing adalah sebutir Racun Penghancur Tubuh yang mengerikan itu. Kita akan mengalami nasib seperti Tong-cu kita yang lama, Thio Tong-cu, yang mati dengan tubuh meleleh. Karena itu lebih aman buat aku dan buat kalian, jika sesedikit mungkin saja di antara kita yang mengetahui urusan yang tabu ini.”
An Siau-lun menarik napas panjang dengan kesalnya, sedangkan Han Toan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Meskipun rasa ingin tahu itu menggebu-gebu dalam diri mereka, tetapi mereka pun memaklumi kenapa Song Kim begitu ketakutan untuk membicarakan hal itu, seakan-akan membicarakan suatu mantra pemanggil iblis saja.
Mengetahui urusan rahasia para pucuk pimpinan Hwe-liong- pang adalah sama halnya dengan menyimpan racun di dalam perutnya sendiri. Siapa yang berani menanggung bahwa di kemudian hari mereka tidak akan kelepasan bicara? Dan hal itu berarti kematianlah yang menjadi bagian mereka.
Akhirnya pembicaraan pun mulai beralih kepada soal-soal yang sudah biasa mereka percakapkan sehari-hari. Mulai soal arak, judi, main perempuan atau membunuh. Lalu kata-kata kotor pun mulai berhamburan dari mulut-mulut mereka, diselingi gelak tertawa mereka. Namun nampaklah bahwa Song Kim agaknya belum merasa tenang betul akan kata-kata yang terlanjur diucapkannya tadi, suara tertawanya masih kelihatan agak dipaksakan.
Pembicaraan yang paling “panas” adalah yang mengenai soal main perempuan, masing-masing menceritakan pengalamannya sendiri-sendiri sehingga tanpa sadar mereka mulai terangsang. Dan kini mata jalang mereka mulai tertuju kepada Cian Ping yang masih meringkuk dengan tubuh tertotok itu. Meskipun saat itu Cian Ping nampak agak kusut dan kurus, tetapi perempuan tetap perempuan. Apalagi Cian Ping bukan tergolong gadis yang buruk rupa.
Diam-diam Song Kim mulai berdebar-debar melihat kawan- kawannya mulai semakin sering melirik ke arah Song Kim, dengan pancaran mata yang mirip serigala kelaparan itu. Akhirnya apa yang dikuatirkan oleh Song Kim itupun terjadilah. An Siau-lun tiba-tiba saja berkata kepada Song Kim dengan cengar-cengir,
“Eh, Song Kim, sungguh beruntung kita ini. Tak kuduga bahwa tugas untuk membereskan si tua bangka Cian Sin-wi itu ternyata demikian lancar. Bahkan kita berhasil pula... eh, berhasil... he-he-he...”
Song Kim pura-pura tidak mendengar perkataan itu dan pura- pura sedang mengunyah dagingnya. Tapi agaknya Han Toan juga sependapat dengan An Siau-lun, maka ia berkata sambil tertawa, “Wah, Siau-lun bicara berbelit-belit. Bilang saja terus terang, bahwa kita butuh penghangat badan di malam yang dingin ini. Anak perempuan Cian Sin-wi ini telah berhasil kita tawan dengan kerjasama kita berlima, maka hasilnya pun akan kita nikmati bersama-sama pula.”
Mata Song Kim tiba-tiba menjadi berapi-api, geramnya, “Han Toan, harap kau jaga mulutmu baik-baik selama kau masih ingin kuanggap sebagai kawanku. Khusus untuk gadis she Cian ini, ia punya tempat yang istimewa dalam hatiku, ia tidak akan bisa kita samakan dengan perempuan-perempuan yang biasa kita culik lalu kita pakai beramai-ramai itu.”
“Ah, masakan gadis ini lain daripada yang lain?” potong Cong Yo dengan acuh tak acuh. Dan saudaranya menyambungnya sambil tertawa peringisan, “Perempuan tetap perempuan, mana ada yang lain daripada yang lain segala. Kalau tidak percaya, coba buka pakaiannya, semuanya akan sama saja.”
Serempak meledaklah tawa orang-orang Hwe-liong-pang itu. tentu saja Song Kim terkecuali, bahkan darahnya semakin mendidih mendengarkan senda-gurau kawannya itu. “Tutup mulut kalian!” teriaknya.
Serentak orang-orang Hwe-liong-pang itu terdiam bagaikan cengkerik diinjak sarangnya. Kemudian terdengar suara An Siau-lun dingin, “Agaknya kau mulai hendak merusak kebiasaan yang selama ini sudah kita anut, Song Kim. Kau sudah mulai menjadi serakah dan mementingkan diri sendiri.”
Han Toan juga berkata, “Selama ini kita selalu bekerja-sama, lalu menikmati hasilnya secara bersama-sama pula. Aku tidak ingin kebiasaan itu menjadi rusak hanya karena pokal salah seorang diantara kita, dengan alasan apapun.”
Sementara itu dua saudara kembar dari Shoa-tang itu nampak tenang-tenang saja menggerogoti daging bakar mereka. Meskipun mereka tidak berbicara apapun, namun jelas bahwa sikap mereka ada di pihak An Siau-lun dan Han Toan. Song Kim menghadapi semuanya itu dengan gigi gemeretak menahan amarah. Ia menyadari bahwa dirinya telah mendapat kemajuan ilmu silat yang berarti sejak menjadi murid Tang Kiau-po dari Thay-san itu.
Bamun ia ragu-ragu jika harus bertempur melawan keempat kawannya itu, sebab keempat orang itupun bukan anak-anak kemarin sore dalam urusan berkelahi. Si kembar Cong Yo dan Cong Hun itu merupakan bekas begal-begal yang cukup ditakuti di wilayah Shoa-tang, entah berapa banyak nyawa manusia yang telah melayang di bawah Pukulan Pasir Besi mereka.
Sedangkan An Siau-lun dan Han Toan juga punya riwayat hidup yang tidak kalah menggetarkannya, sebab mereka juga bekas bajak-bajak laut di Lautan Timur yang cukup tangguh pula. Menghadapi mereka berempat sekaligus, jelas Song Kim akan menghadapi kesulitan besar.
Sesaat lamanya Song Kim menjadi ragu-ragu. Ia harus memilih kehilangan Cian Ping yang bertahun-tahun dirindukannya itu, atau harus kehilangan keempat orang kawannya yang akan berubah sebagai lawan? Betapapun jahatnya hati Song Kim, tapi apakah ia akan sampai hati melihat gadis yang telah dikenalnya sejak kecil itu akan dijadikan bahan pesta pora, seperti kambing gemuk di tangan kawanan serigala?
Begitulah keadaan menjadi tegang. Empat pasang mata yang buas sedang menatap ke arah mata Song Kim untuk menantikan keputusan anak muda itu. Namun keempat orang itupun tidak berani terlalu memojokkan Song Kim, sebab merekapun masih cukup menyegani guru Song Kim. Hanya saja gadis secantik Cian Ping memang sudah pantas diperebutkan dengan sedikit menyerempet bahaya.
Dalam pada itu, meskipun tubuh Cian Ping tidak dapat bergerak karena tertotok, namun telinganya tetap dapat mendengar semua pembicaraan orang-orang yang menculiknya itu. Maka bergidiklah Cian Ping kalau mengenang nasib mengerikan yang bakal dialaminya. Diam-diam ia berharap agar Song Kim tetap kokoh dengan pendiriannya, agar orang-orang itu terus bertengkar dan kalau perlu biarlah berkelahi dan saling bunuh sendiri. Selama ini Cian Ping hanya mengharap agar daya kerja totokan atas tubuhnya semakin berkurang sehingga ia akan punya kesempatan untuk melarikan diri dari tangan iblis-iblis itu.
Ternyata harapan Cian Ping itu terkabul. Song Kim benar-benar adalah seorang anak muda yang berhati keras. Setelah berpikir, terdengarlah jawabannya yang keras, “Aku adalah lelaki yang punya harga diri. Aku mencintai gadis itu dan aku akan mempertahankannya. Murid-murid Gunung Thay-san bukanlah pengecut-pengecut yang takut mati.”
Jawaban yang keras itu memancing tanggapan yang keras pula. Han Toan yang berwatak keras itu menyahut dengan suara hampir berteriak, “Tidak usah menyebut-nyebut nama perguruanmu untuk mencoba menakut-nakuti kami! Kalau kami berlima membunuhmu sekarang juga dan melenyapkan mayatmu, maka gurumu si ular keropos itu tidak akan tahu nasib apa yang menimpa dirimu. Dan kami dapat membohonginya dengan mengarang cerita tentang kematianmu. Nah, Song Kim, pikirkan baik-baik.”
Namun Song Kim justru telah melompat berdiri sambil menyambar tombak panjangnya, sahutnya nekad, “Gadis ini akan tetap kupertahankan! Persetan apapun yang terjadi!”
Mata Han Toan pun telah menjadi merah, ia maju selangkah sambil membentak, “He, kau menantang kami?!”
Di saat suasana sudah berkembang menjadi begitu panas, dan hampir saja pecah baku hantam antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan, “Bangsat-bangsat Hwe-liong-pang! Jangan harap malam ini kalian lolos dari tanganku!”
Jika pada permulaannya kalimat itu masih terdengar agak jauh puluhan tombak maka pada akhir kalimatnya sudah terdengar dekat, hanya beberapa langkah saja dari tempat orang-orang Hwe-liong-pang itu. Jelas orang yang membentaknya itu punya kecepatan bergerak yang mengejutkan. Hal itu cukup menyadarkan orang Hwe-liong-pang dari pertengkaran antara mereka sendiri. Dengan sigapnya mereka segera mempersiapkan dirinya masing-masing untuk menghadapi yang mendatangi itu.
Terlihatlah dua sosok tubuh melayang datang dengan cepatnya, seakan-akan jatuh dari langit begitu saja. Dan tahu- tahu di tempat itu telah berdiri seorang anak muda dan seorang gadis. Si pemuda berpakaian serba putih, meskipun agak kusut namun cukup tampan, dan tangannya membawa sebatang pedang. Sedangkan si gadis tidak membawa senjata sepotong pun, namun wajahnya menampakkan kepercayaan kepada diri sendiri yang begitu besar. Mereka bukan lain adalah Tong Wi-hong dan adiknya.
Kemunculan Tong Wi-hong di tempat itu membuat Song Kim terkejut bagaikan melihat hantu di siang hari bolong. Bagaimana Tong Wi-hong yang telah “dipertemukan” dengan Au-yang Siau-hui dan Au-yang Siau-pa itu kini masih tetap segar bugar tak kurang suatu apapun?
Sedangkan bagi Cian Ping, kemunculan Wi-hong itu bagaikan kemunculan sang dewa penolong yang selalu dirindukannya. Namun hatinya merasa kurang enak juga, ketika melihat munculnya Wi-hong itu dengan didampingi seorang gadis ayu berusia sebaya dengannya.
“Siapakah gadis yang muncul bersama-sama dengan A-hong itu?” demikian Cian Ping bertanya-tanya dalam hatinya. “Kelihatannya hubungannya dengan A-hong cukup rapat juga.”
Dalam pada itu Wi-hong tidak dapat lagi menahan kemarahannya yang sudah beberapa hari dipendam dalam hatinya itu. Sambil mengacungkan pedangnya ia melangkah maju dan membentak Song Kim, “Murid durhaka yang tidak tahu membalas budi! Gurumu memperlakukan kau bagaikan putera sendiri, tapi kau si hati binatang ini telah membalasnya dengan tindakan yang paling keji. Sekarang bersiaplah untuk menerima kematianmu!”
Sebaliknya Song Kim pun mendidih darahnya ketika bertemu dengan saingan asmaranya yang dibencinya sejak beberapa tahun yang lalu itu. Song Kim menganggap bahwa ia diusir oleh gurunya adalah gara-gara Wi-hong, dan hubungannya dengan Cian Ping putus beberapa tahun. Suara Song Kim pun kini bergetar menahan perasaan dendam,
“Hemm, agaknya nasibmu cukup baik sehingga kau berhasil lolos dari tangan Au-yang Tong-cu dan adik sepupunya itu. Tapi yakinlah bahwa saat ini kau tidak akan lolos lagi, dan mayatmu akan terkapar tak terkubur di tengah padang perdu ini!”
“Tong Wi-hong tidak sendiri,” tiba-tiba terdengar suara seorang gadis, yang suaranya halus tetapi mengandung kewibawaan.
Orang-orang Hwe-liong-pang itu serentak menolehkan kepala mereka kepada Wi-lian. Mereka menjadi sangat heran melihat gadis yang tidak bersenjata itu bersikap demikian berani, dan nampaknya sangat percaya kepada dirinya sendiri. Sedangkan dalam hati Cian Ping mendadak saja timbul rasa tidak sukanya kepada gadis itu.
“Siapa kau!” Song Kim membentak Wi-lian dengan garangnya. Song Kim berharap bahwa sikapnya yang garang itu akan membuat Wi-lian ketakutan.
“Aku adalah nenekmu,” sahut Wi-lian acuh tak acuh, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Tiba-tiba terdengar Han Toan tertawa, katanya, “Aku kini tidak ingin berebut gadis she Cian itu lagi. Dasar rejeki nomplok, sekarang aku sudah melihat gantinya yang lebih hangat dan segar.”
Wi-lian pun bersiap-siap ketika melihat orang she Han itu melangkah mendekatinya sambil menjinjing toya perunggunya. Nampaknya orang-orang Hwe-liong-pang itu memandang enteng kepada Wi-lian, dan hal mana cukup membuat Wi-lian jadi gatal tangan untuk menghajar lawan-lawannya itu agar mengenal kelihaiannya.
“Hati-hatilah, Han Toan,” tiba-tiba An Siau-lun memperingatkan kawan-kawannya. “Aku menjadi curiga kepada gadis ini. Apakah kalian sudah mendengar dari rekan-rekan kita dari kelompok Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong, bahwa di Kay-hong telah muncul seorang gadis yang hanya dengan tangan kosong saja sanggup melukai dua orang Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong?”
Han Toan agak tertegun mendengar peringatan kawannya itu. Tapi ia tetap melangkah maju sambil menjawab peringatan An Siau-lun itu, “Aku memang pernah mendengar berita itu, tapi kau tidak perlu merasa kuatir. Memang orang-orang Ui-ki dan Ang-ki yang tidak becus bekerja, lalu mereka sengaja menyebarkan berita bohong katanya lawan berkepandaian sangat tinggi. Tapi aku tidak percaya gadis ini bisa berbuat banyak, paling-paling mencubit dan menggigit.”
Sementara itu Song Kim telah mulai membuka pertempuran. Disertai sebuah pekik nyaring yang penuh dengan nafsu membunuh, ia mulai menyerang. Bagaikan seekor naga yang sedang murka, ujung tombaknya mematuk secepat kilat ke dada Wi-hong. Wi-hong pun mengimbangi serangan ganas itu dengan tepat. Cepat ia menggeser langkah ke samping, pedangnya dengan tidak kalah cepatnya telah membalas menusuk jalan darah jing-ling-hiat di lengan Song Kim.
Song Kim tidak menduga bahwa Wi-hong dapat bergerak secepat itu. Bahkan kecepatan yang ditunjukkan Wi-hong itu hampir menyamai kecepatan guru Song Kim yang baru, Ang-mo-coa-cong Tang Kiau-po. Cepat Song Kim melompat ke belakang, sambil membatin, “Pantas bocah ini bisa lolos dari tangan Tong-cu dan Hu-tong-cu kami, kiranya anak ini memang jauh lebih hebat dari dua tahun yang lalu.”
Tong Wi-hong yang telah dibakar api dendam oleh kematian Cian Sin-wi itu, kini telah merangsak dengan ganas tanpa kenal ampun. Jika Song Kim mundur dua langkah, Wi-hong pun maju dua langkah. Pedangnya berkilauan dengan jurus Pek-coa-sam-hian (Ular Putih Muncul Tiga Kali).
Seketika itu juga Song Kim merasakan matanya menjadi kabur oleh kilauan pedang lawan, sebab dilihatnya lawannya seakan-akan memegang tiga batang pedang yang digerakkan serempak. Yang mana serangan asli, yang mana serangan palsu sulitlah dibedakan. Sekali lagi Song Kim dipaksa melompat mundur dengan gugup.
Melihat Song Kim terdesak, mau tidak mau rekan-rekan Hwe- liong-pang harus melupakan pertengkaran di antara mereka sendiri. Cong Yo segera mulai bergerak membantu Song Kim. Telapak tangannya yang terlatih dan mampu menghancurkan setumpuk batu merah itu kini diayunkan untuk menggebrak tengkuk Wi-hong. Dari sudut lain, saudara kembarnya pun ikut turun tangan dengan melancarkan sebuah tendangan “pisau kaki” yang kuat ke lambung Wi-hong.
Serbuan penjahat kembar dari Shoa-tang itu tidak dapat dianggap remeh, sebab keduanya ternyata menunjukkan tingkatan ilmu yang tidak berselisih jauh dengan Song Kim. Kini dengan dikepung bertiga jelaslah Wi-hong harus memeras keringat untuk mengalahkan mereka.
Namun demikian, dengan semangat untuk membalaskan dendam Cian Sin-wi, Tong Wi-hong meladeni ketiga orang lawannya itu dengan gagah berani. Ia juga tidak berani lengah kepada penjahat kembar dari Shoa-tang itu, sebab meskipun sepasang penjahat itu tidak bersenjata tetapi kepalan dan tendangan mereka bagaikan martil-martil besi yang bisa meluluh-lantakkan tulang-belulang lawannya.
Di samping itu, ilmu tombak Song Kim juga tidak dapat diabaikan, semenjak mengangkat guru kepada Tang Kiau-po, Song Kim telah mempermantap dan memperkaya jurus-jurus ilmu tombaknya. Dan kini nampaklah tombaknya itu bagaikan seekor naga yang sedang menari-nari di angkasa dengan dahysatnya.
Wi-lian mengamat-amati jalannya pertarungan satu lawan tiga itu dengan penuh perhatian. Ia merasa gembira melihat bahwa ilmu silat kakaknya telah meningkat berlipat ganda dibandingkan dua tahun yang lalu. Tetapi dalam menghadapi tiga orang lawan tangguh dari Hwe-liong-pang, kedua pihak hanya dapat mempertahankan kedudukan “sama kuat” saja.
“Aku harus segera turun tangan,” kata gadis itu dalam hatinya.
Dalam pada itu An Siau-lun dan Han Toan juga tidak habis mengerti, kenapa gabungan kekuatan antara Song Kim dan kedua orang she Cong itu ternyata tidak dapat menyelesaikan lawan dengan cepat? Kedua penjahat itu tersentak kaget ketika mendengar Wi-lian telah menantangnya, “He, kenapa kalian hanya menjadi penonton saja? Buat apa senjata itu kalian bawa? Hendak kalian loakkan?”
“Maksudmu, apakah kami berdua orang laki-laki ini harus bertempur melawanmu?” tanya Han Toan sambil cengar cengir. Sedangkan An Siau-lun bersikap lebih hati-hati, dan dengan waspada ia memperhatikan gerak-gerik gadis yang berani itu.
Agaknya Wi-lian lebih dulu ingin menghajar Han Toan yang memuakkannya itu. Dan orang she Han itu jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat Wi-lian berkelebat cepat ke arahnya. Begitu cepatnya sehingga tubuh gadis itu hanya berujud segumpal bayangan yang menerjangnya, secara naluriah Han Toan mengangkat toya perunggunya untuk membela dirinya.
Tapi tubuh gadis itu seperti seekor burung camar yang bermain-main di atas gelombang samudera, begitu lincah tiba-tiba ia melejit ke sebelah lain dari tubuh lawannya. Dan begitu sepasang tangannya ikut bergerak pula, terdengarlah Han Toan menjerit, disusul suara pipi digampar beberapa kali.
Sewaktu Wi-lian melayang mundur kembali, mana nampaklah bahwa Han Toan sudah “berganti rupa”. Kini sepasang pipinya bengkak membiru seperti martabak hangus, bibirnya berdarah dan juga membengkak hampir dua kali lipat dari ukuran aslinya. Dan ketika ia membuka mulutnya maka berlompatanlah empat buah gigi dari mulutnya.
Selama kejadian itu berlangsung, An Siau-lun hanya berdiri sambil melongo di tempatnya, tanpa kuasa menolongnya. Hampir-hampir tidak percaya menyaksikan bahwa kawannya itu ditampar pulang balik tanpa mampu menangkis atau menghindar sedikitpun oleh seorang gadis remaja. Gerakan gadis itu yang begitu cepat benar-benar telah mempesonanya.
Kata An Siau-lun kemudian, kepada Han Toan, “Sudah kuperingatkan kepadamu, kau pasti tidak mengalami nasib seburuk ini jika kau cukup berhati-hati. Dan aku pun yakin bahwa gadis inilah yang membantu Hong-ho-sam-hiong ketika hendak dibunuh oleh orang-orang Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong.”
Ucapan An Siau-lun itu mengingatkan Wi-lian akan peristiwa di kota Kay-hong, di mana Hong-ho-sam-hiong bertiga terbunuh tanpa tertolong lagi, maka seketika itu juga menggelegaklah darah gadis itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia pun menyerang An Siau-lun dengan sebuah “tendangan sabit” yang cepat dan keras ke arah leher An Siau-lun.
An Siau-lun memang lebih berhati-hati dari Han Toan, dan ia sudah waspada sejak tadi. Maka begitu tendangan Wi-lian datang, cepat dia mengendapkan tubuhnya untuk menghindar, bersamaan dengan itu goloknya pun digunakan untuk membabat kaki Wi-lian yang bertumpu ke tanah. Namun gadis itu justru melompat ke atas dan menendangkan lagi kakinya ke batok kepala lawannya.
Tanpa An Siau-lun sempat menarik goloknya, tahu-tahu tendangan lawan sudah meluncur begitu dekat dan begitu cepat ke kepalanya. Hanya ada satu jalan, yaitu membanting diri dan bergulingan menjauhi lawannya. Dia berhasil menyelamatkan diri, namun keringat dingin telah membasahi punggungnya. Hampir saja ubun-ubunnya pecah berantakan terkena tendangan macan betina Siau-lim-pay yang perkasa itu.
Dalam pada itu, Han Toan menjadi sangat murka karena telah dipermalukan begitu hebat oleh gadis itu, maka dengan beringasnya ia maju kembali. Dengan sebuah sapuan keras toya perunggunya, ia bermaksud mematahkan kaki gadis itu supaya bisa ditangkapnya hidup-hidup dan kemudian akan dipermainkannya sesuka hati.
Demikianlah, sebuah ajang pertempuran baru telah “dibuka” di tengah padang perdu yang sepi itu. Wi-lian hanya dengan mengandalkan kekuatan jari-jari tangannya serta kecepatan tendangan dan kelincahannya, telah menghadapi dua serangkai bekas bajak laut yang bersenjata golok Tan-to dan toya Ce-bi-kun itu.
Tadinya An Siau-lun dan Han Toan berharap, bahwa dengan gabungan kekuatan mereka berdua tentu paling tidak akan dapat mendesak gadis lawannya itu. Tetapi mereka terkejut bukan kepalang setelah menemui kenyataan bahwa mereka bagaikan membentur sebuah tembok baja, karena gadis itu begitu tangguhnya. Wi-lian bukan cuma bertahan, tetapi juga mampu memberondongkan serangan-serangan terarah yang membuat kedua lawannya harus menyelamatkan diri dengan sibuknya.
Kedua bekas bajak Laut Kuning itu akhirnya menjadi marah juga. Akhirnya terdengar suara An Siau-lun kepada kawannya, “Han Toan, kukira sulit sekali untuk menangkap hidup-hidup gadis ini. Kini biarlah kita tidak usah ragu-ragu lagi andaikata senjata-senjata kita merobek kulitnya atau meremukkan tulang belulangnya, asal jangan sampai kita dihina tidak becus menghadapi seorang perempuan.”
“Betul, akupun tidak berselera lagi kepada kecantikannya. Aku kini hanya ingin mencincang tubuhnya untuk melampiaskan kemarahanku!” sahut Han Toan.
Begitulah kedua bekas bajak laut itu kini tidak ragu-ragu lagi dalam memainkan senjata mereka, sebab mereka telah menyingkirkan niat mereka untuk menangkap Wi-lian hidup-hidup. Kini mereka benar-benar telah berkelahi dengan ganas dan diwarnai oleh nafsu membunuh yang berkobar-kobar, biarpun lawan mereka adalah seorang gadis cantik yang usianya pantas untuk menjadi keponakan mereka.
Golok tan-to di tangan An Siau-lun berputar kencang menggulung lawannya seperti sebuah baling-baling yang dihembus badai, menyebarkan udara kematian yang menggidikkan perasaan. Dan permainan golok yang hebat itu masih digabungkan dengan gaya permainan toya Ce-bin-kun Han Toan yang dapat diumpamakan sehebat pusaran air yang siap untuk menghisap, menggulung dan membinasakan lawannya.
Menghadapi dua orang lawan yang bertempur dengan penuh kemarahan itu, Wi-lian bertindak semakin hati-hati dan cermat. Dalam hatinya diam-diam ia juga memuji ketangkasan lawan-lawannya, sebab sebagai anggota biasa Hwe-liong-pang saja mereka sudah begitu tangguh, lalu kira-kira entah bagaimana kepandaian para pemimpinnya, terutama Hwe-liong-pang-cu sendiri?
Tidak mengherankan kalau Siau-lim-pay sampai merasa perlu untuk menyebarkan eng-hiong-tiap kepada para ksatria dunia persilatan untuk merundingkan perkembangan ini. Dengan munculnya Hwe-liong-pang, agaknya memang keamanan dunia persilatan bagaikan “telur di ujung tanduk”.
Tetapi gadis itu sedikitpun tidak merasa gentar, ia masih tetap percaya bahwa kepandaiannya akan dapat mengatasi kedua lawannya itu, meskipun mungkin ia harus dipaksa memeras keringat sampai puluhan jurus. Bahkan timbul niatnya untuk membinasakan kedua lawannya ini sama sekali, karena hal itu sedikit banyak akan mengurangi kekuatan Hwe-liong-pang. Selain itu juga agar secepatnya ia bisa membantu kakaknya yang sedang menghadapi tiga orang lawan.
Memang saat itu Tong Wi-hong pun sudah basah kuyup dengan keringat, karena menghadapi tiga orang lawannya itu benar-benar memerlukan pengerahan seluruh kepandaiannya. Apalagi selama dua hari dua malam ini Wi-hong dalam keadaan kelelahan dan kurang merawat keadaan tubuhnya, sehingga keadaan tubuhnya pun tidak sesegar lawan-lawannya. Akhirnya Wi-hong dipaksa untuk mengakui kenyataan bahwa mustahil ia dalam keadaan seperti itu akan dapat mengalahkan musuh.
Namun bagaimana pun juga Wi-hong tetap bertempur dengan gigihnya, sehingga Song Kim, Cong Hun dan Song Yo juga dipaksa untuk memeras keringat secara habis-habisan. Jika Wi-hong menyerang, maka gerak pedangnya bagaikan seekor ular sakti yang menggeliat, meliuk dan mematuk dengan ganasnya. Tetapi kepungan lawan-lawannya bagaikan benteng besi yang makin lama makin menyempit dan menggencetnya.
Ternyata Wi-hong bukan seorang pemuda berotak buntu. Menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan bagi dirinya itu, ia akhirnya mengambil keputusan untuk mengambil kedudukan bertahan saja sambil mencoba “mengambil napas”. Ia hanya akan membela diri saja, sambil menunggu sampai musuh-musuhnya berbuat kesalahan sendiri.
Dalam pada itu Song Kim telah mengutuk habis-habisan di dalam hatinya, karena ia ternyata tidak dapat segera membereskan orang yang dibencinya sampai ke tulang sumsum itu. Meskipun kadang-kadang Wi-hong nampak terdesak, tapi jalannya pertempuran itu entah masih harus berapa lama lagi untuk membunuh Wi-hong? Tadinya Song Kim mengira bahwa setelah dirinya mendapat gemblengan dari guru barunya, maka ilmu silatnya telah meningkat pesat sehingga Wi-hong tentu akan dapat dikalahkannya tanpa banyak susah payah.
Apa lagi dengan bantuan dua saudara she Cong yang cukup tangguh pula. Namun yang terjadi di hadapan matanya sekarang ini benar-benar sesuatu yang sangat menjengkelkan. Setelah bertarung ratusan jurus, ternyata masih belum nampak gejala-gejala Wi-hong akan kalah. Memang anak muda she Tong itu kadang-kadang berlompatan mundur untuk menghindari “banjir” serangan lawannya, tapi itu tidak berarti kalah.
Bukan hanya Song Kim, tetapi sepasang penjahat dari Shoa- tang itu juga mulai menjadi gondok karena menemui perlawanan setangguh itu. Beberapa kali kedua saudara itu berhasil mendesak Wi-hong, dan mereka mengira bahwa pertempuran akan segera berakhir tapi ternyata lawan mereka berhasil memperbaiki dirinya dan kembali sanggup meneruskan perlawanannya.
Bahkan setelah Wi-hong dapat memulihkan ketenangannya dan memusatkan diri hanya kepada pertahanannya, maka ia nampak semakin ulet dan tangguh. Sedangkan lawan- lawannya yang semakin naik darah itu jadi semakin kalap dan bernafsu, dan tanpa sadar mereka telah menghamburkan tenaganay jauh lebih cepat dari Wi-hong.
“Anak gila ini entah kesurupan demit dari mana,” gerutu Cong Hun di dalam hatinya. “Di Tay-beng dia berhasil melepaskan diri dari kakak beradik sepupu Au-yang yang ganas seperti setan itu, dan kini tampaknya kami bertiga pun tidak akan bisa berbuat terlalu banyak kepadanya.”
Dan ketika Cong Hun menoleh ke lingkaran pertempuran antara Wi-lian dengan kedua lawannya, maka hati Cong Hun menjadi kecut ketika melihat bagaimana dua orang rekannya itupun mengalami kesulitan besar melawan Wi-lian.
Langit di ufuk timur semakin cerah, selubung gelap malam bagaikan tersingkap oleh cahaya merah keemasan yang begitu gemilang. Cahaya fajar yang begitu lembut dan indah telah muncul. Tetapi segala keindahan fajar di tengah padang perdu itu dipersetankan begitu saja oleh tujuh orang manusia yang sedang mempertarungkan nyawa di tempat itu.
Panca indera dan perasaan mereka tertutup sama sekali dari keindahan sinar surya yang keemasan, kicau unggas liar yang bagaikan nyanyian dewata atau gemerisik lembutnya rerumputan. Yang ada di dalam pikiran mereka hanyalah semboyan “membunuh atau dibunuh”, tidak ada pilihan yang ketiga. Dendam dan kebencian telah membutakan manusia-manusia lemah itu.
Sejalan dengan munculnya sang surya yang merambat sejengkal demi sejengkal ke puncak langit itu, maka makin panas pula jalannya pertempuran itu. Jurus-jurus mematikan dikeluarkan semua, dicoba keampuhannya melawan jurus-jurus lawan yang juga mematikan. Bentakan-bentakan yang mengandung kemarahan dan kebencian terdengar mengoyak-oyak dan menodai kesyahduan pagi yang indah itu. Semua yang bertempur telah berubah menjadi makhluk-makhluk haus darah dan mabuk dendam.
Dalam keadaan tubuh yang belum bisa bergerak sedikitpun karena tertotok, Cian Ping menyaksikan jalan pertempuran yang sengit itu, perasaannya tegang bukan main. Dapatkah kekasihnya dan temannya itu mengalahkan lawan-lawannya? Ataukah Song Kim dan kawan-kawannya yang akan merebut kemenangan, sehingga dirinya akan mengalami nasib yang sangat buruk dengan menjadi barang permainan dari orang- orang Hwe-liong-pang?
Ketika Cian Ping mengamat-amati pertarungan antara Wi-lian melawan keroyokan An Siau-lun dan Han Toan, timbullah keheranan Cian Ping melihat gadis yang dicemburuinya itu ternyata justru berhasil mendesak kedua lawannya. Padahal kedua orang bekas bajak laut itu adalah penjahat-penjahat yang garang dan ditakuti, namun tidak berkutik menghadapi seorang gadis remaja yang bertempur tanpa senjata!
Diam-diam Cian Ping mulai berpikir dalam hati, “Alangkah hebatnya teman A-hong ini, entah di mana A-hong berkenalan dengannya? Apabila gadis itu berhasil merobohkan kedua lawannya, maka ia akan bertempur berpasangan dengan A-hong, alangkah serasinya, dan aku di sini hanya bisa meringkuk tak berkutik tanpa mampu berbuat apa-apa.”
Rupanya sedikit banyak Cian Ping mulai dipengaruhi perasaan bersaing dengan gadis yang belum dikenalnya itu. Ia tidak sudi kelak akan dianggap sebagai gadis yang tidak punya guna. Keinginan untuk berbuat sesuatu itu telah mendorong Cian Ping untuk mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendobrak jalan darahnya yang buntu karena tertotok itu.
Daya kerja totokan itu memang sudah hampir habis dan semakin melemah, maka ketika Cian Ping menyalurkan tenaganya untuk mendobrak beberapa kali, akhirnya terbukalah jalan darah yang tadinya buntu itu! Tetapi untuk mengakali lawannya, gadis itu masih pura-pura terbaring tak berdaya, padahal ia sedang membiarkan otot-ototnya yang kaku itu agar melemas kembali.
Maka terkejutlah orang-orang Hwe-liong-pang itu ketika melihat Cian Ping kemudian melompat bangun dengan garangnya. Song Kim cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian puteri bekas gurunya itu. Meskipun kepandaian Cian Ping belum bisa disejajarkan dengan Wi-hong maupun gadis yang satunya lagi itu, tetapi tingkat ilmu yang dimiliki Cian Ping lebih dari cukup untuk mengubah keseimbangan pertempuran yang tengah berlangsung itu. Bebasnya Cian Ping bukan merupakan pertanda yang baik bagi orang-orang Hwe-liong-pang.
Karena agak terganggu perhatiannya oleh bebasnya Cian Ping, hampir saja tenggorokan Song Kim tertusuk tembus oleh pedang Wi-hong. Untunglah ia masih sempat menggunakan gerak Hong-hong-tiam-thau (Burung Hong Mengangguk), selain itu juga karena kedua saudara Cong menolongnya tepat pada waktunya.
Setelah bebas, Cian Ping kini benar-benar merasa mendapat kesempatan untuk melampiaskan semua perasaannya yang terpendam selama ini. Sejak diculik dari rumahnya, gadis itu merasa kebebasannya hilang dan perasaannya sangat tertekan, meskipun orang-orang Hwe-liong-pang itu belum sempat berbuat sesuatupun yang menodai dirinya.
Meskipun demikian gurauan dan percakapan orang-orang Hwe-liong-pang itu sempat membuat dirinya marah dan jijik, apalagi kalau mengingat bahwa orang-orang inilah yang telah membunuh ayahnya. Puteri Cian Sin-wi itu segera memungut sebatang kayu sepanjang lengan dan sebesar lengan orang dewasa pula. Dengan “senjata” itulah ia menghantam kepala Song Kim yang sangat dibencinya itu, sambil berteriak marah.
Ikut sertanya Cian Ping dalam gelanggang pertempuran itu sempat membuat Song Kim dan kawan-kawannya terpecah perhatiannya. Song Kim sendiri harus cepat-cepat melompat mundur sambil menundukkan kepalanya, karena tidak mau kepalanya pecah oleh pukulan yang dipegang Cian Ping.
Mundurnya Song Kim sama dengan bobolnya kepungan atas diri Tong Wi-hong. Dengan serangan pedangnya yang gencar dan bertubi-tubi, Wi-hong berhasil memaksa kedua saudara Cong itu berlompatan mundur dengan kacau balau. Kesempatan itu segera digunakan oleh Wi-hong untuk mendekati Cian Ping.
“Adik Ping, kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Cian Ping tidak begitu menghiraukan pertanyaan itu. Dengan kebencian dan kemarahan yang meluap-luap ia memburu Song Kim sambil berteriak, “Manusia berjantung anjing! Manusia tidak kenal budi! Aku bersumpah tidak sudi hidup bersama-sama denganmu di bawah satu kolong langit!”
Song Kim yang biasanya bersikap garang itu kini menjadi gugup dan kecut hati menghadapi kemarahan gadis itu. Ia berlompatan mundur dengan ngerinya, sambil mencoba menenangkan gadis itu, “Adik Ping, coba kau dengar dulu penjelasanku...”
Namun gadis yang sedang kalap itu terus mengejarnya, serunya dengan suara yang agak terisak, “Siapa sudi adikmu? Hubungan kita sudah putus. Kau adalah seorang murid yang tidak tahu membalas budi. Ingatkah kau siapa yang telah membesarkan dan merawatmu sejak kecil, dengan kasih sayang seperti kepada anak laki-lakinya sendiri? Bukankah ketika itu kau hampir mati kelaparan di pinggir jalan?”
Menyusul dengan ucapannya itu, kayu di tangan Cian Ping telah disodokkan kembali ke ulu hati Song Kim. Si bekas kakak seperguruan ternyata hanya menghindar saja dan tidak berani menangkis atau membalas menyerang, rupanya kuatir kalau membuat gadis she Cian itu bertambah marah.
Sebagai puteri tunggal Cian Sin-wi, tokoh yang disegani di wilayah Kang-pak, maka Cian Ping sudah mempelajari ilmu silat sejak umur 10 tahun, dasar ilmu silatnya pun cukup kuat. Maka begitu serangan yang pertama dapat dihindari Song Kim, gadis itu menyusulkan serangan berikutnya dengan memutar kayunya dan menghantam ke lambung Song Kim dengan derasnya....
Selanjutnya;