Perserikatan Naga Api Jilid 17

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Jilid 17 Karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Perserikatan Naga Api Jilid 17

Cerita silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
MELIHAT Song Kim hanya berlompatan menghindar dan tidak berani memberi perlawanan sama sekali, orang-orang Hwe- liong-pang lainnya menjadi sangat mendongkol. Cong Hun yang tengah megap-megap di bawah tekanan Wi-hong itu segera berteriak, “Song Kim, jangan cengeng! Cepat bereskan gadis itu dan bantu kami!”

Han Toan dan An Siau-lun berdua yang juga sama kelabakannya dengan rekan-rekannya dari Shoa-tang, juga ikut berseru kepada Song Kim, “Song Kim, ini adalah pertempuran mati hidup! Jangan anggap lagi gadis itu sebagai calon isterimu!”

Dalam pada itu Song Kim masih saja “diburu” oleh Cian Ping dengan potongan kayunya itu. Nampaknya Song Kim masih ragu-ragu dalam menentukan sikap terhadap gadis yang masih dicintainya itu, bahkan seruan dari teman-temannya tadi tidak digubrisnya sama sekali.

Cong Hun akhirnya kehabisan kesabaran melihat kebimbangan Song Kim itu. Secara nekad ia tiba-tiba melompat keluar dari gelanggangnya, dan tanpa bertanya kepada Song Kim apakah setuju atau tidak, ia langsung menerjang Cian Ping.

Cian Ping yang mengetahui akan datangnya serangan itu, segera memutar tubuhnya dan mengemplangkan kayunya ke kepala Cong Hun, sambil membentak, “Kau penjahat bermuka jelek ini pun harus mampus juga!”

Tanpa menahan laju tubuhnya, Cong Hun menyahut dingin, “Lihat saja siapa yang bakalan mampus, kau atau aku!” Tangan kanannya menangkis kayu itu, dan dengan tangan kirinya ia membalas menyodok ulu hati Cian Ping sekuat tenaga. Jelas bahwa Cong Hun bermaksud membinasakan Cian Ping sekali gebrak, agar Song Kim bisa “dibebaskan” dari ikatan perasaannya.

Penjahat dari Shoa-tang ini memang lihai, kayu yang dipegang oleh Cian Ping itu langsung patah menjadi dua begitu bersentuhan dengan tangannya, remuk menjadi serpihan-serpihan, sementara tangan kirinya siap mengantar Cian Ping ke alam kematian.

“Cong Hun!” seru Song Kim terkejut.

Saat itu Tong Wi- hong sedang mendesak Cong Yo yang kini bertempur seorang diri itu. Wi-hong juga melihat bahaya yang mengancam Cian Ping, tetapi jaraknya tidak jauh dan paling tidak memerlukan dua kali lompatan untuk menolong kekasihnya itu. Dada Wi-hong berdesir hebat membayangkan sebentar lagi kekasihnya itu akan roboh dengan tulang-tulang remuk.

Namun tidak boleh dilupakan bahwa tiga langkah di dekat Cian Ping masih ada Tong Wi-lian yang tengah mengungguli kedua lawannya itu. Melihat Cian Ping terancam bahaya, cepat Wi-lian meninggalkan lawan-lawannya, dan dengan segenap kecepatannya ia melompat untuk langsung menyerang punggung Cong Hun dengan tusukan jari-jarinya. Agaknya Wi-lian menggunakan akal “menggempur Gui untuk menolong Tio” suatu siasat untung-untungan yang diharapkan akan dapat memaksa musuh untuk menyelamatkan dirinya lebih dulu.

Akal itu memang membuahkan hasil juga agaknya. Begitu Cong Hun mendengar ada bentakan di belakang punggungnya, mengertilah dia bahwa biar pun ia bisa membunuh Cian Ping namun dirinya sendiri pun akan mampus di tangan gadis tak dikenalnya itu. Karena Cong Hun masih sayang nyawa, terpaksa ia menarik serangannya dan menjatuhkan diri ke samping dan bergulingan untuk menyelamatkan diri.

Wi-hong dan Wi-lian merasa lega bukan main setelah melihat bahwa Cian Ping belum tersentuh oleh pukulan maut si burik itu, meskipun nyawanya baru saja lolos dari lubang jarum. Sebaliknya orang-orang Hwe-liong-pang juga menghembuskan napas lega melihat Cong Hun juga berhasil menyelamatkan diri, meskipun dengan cara yang agak konyol.

Sesaat pertempuran sengit itu terhenti. Semua orang berusaha menenangkan jantungnya sehabis detik-detik yang mendebarkan tadi. Kesempatan itu segera digunakan oleh Wi-hong untuk melompat mendekati Cian Ping sambil menyerahkan pedangnya, “Adik Ping, pakailah pedangku!”

Dengan ragu-ragu Cian Ping menerima pedang itu dari tangan Wi-hong, sambil bertanya, “Lalu kau sendiri bagaimana?”

Sahut Wi-hong, “Tidak usah kuatir. Ketika aku bertempur seorang diri melawan Co-siang-hui-mo Au-yang Siau-hui serta adik sepupunya itu, aku pun hanya bertangan kosong saat itu. Dan kukira monyet-monyet ini tidak lebih hebat dari kakak beradik sepupu itu.”

Han Toan mendidih darahnya mendengar ucapan Wi-hong yang agaknya memang sengaja untuk memanaskan hati itu. Seperti seekor macan kelaparan Han Toan menubruk Wi-hong, toya perunggunya menghantam kepala Wi-hong. Kali ini Han Toan bekerja sama dengan Song Kim yang menyerang lambung Wi-hong dengan tombak panjangnya.

Kini Wi-hong hanya dengan bertangan kosong harus menghadapi dua macam gaya bertempur yang sama-sama berbahaya. Sebagai bekas bajak laut yang berkelana di lautan, maka gerak-gerak ilmu silat Han Toan agaknya diilhami oleh gerakan-gerakan gelombang lautan. Sebaliknya tombak panjang Song Kim mengutamakan gerakan menikam dan menggores yang berubah-ubah secepat kilat dengan puluhan perubahan tak terduga.

Tetapi Wi-hong tidak menjadi berkecil hati menghadapi dua lawan yang garang ini. Ia menilai bahwa ilmu tombak Song Kim agak lebih berbahaya dibandingkan dengan ce-bi-kunnya Han Toan yang lugu dan hanya mengutamakan kekuatan itu. Tetapi ilmu tombak Song Kim itu secara keseluruhan masih kalah beberapa tingkat dibandingkan dengan ilmu cengkeraman jari maut Au-yang Siau-hui yang pernah dihadapinya.

Bahkan dibandingkan dengan Au-yang Siau-pa dengan golok bulan sabitnya itupun Song Kim belum tandingannya. Padahal Wi-hong pernah sanggup mengimbangi keroyokan kakak beradik sepupu dari Su-coan itu, maka kini keroyokan Song Kim dan Han Toan itu justru terasa lebih ringan daripada pertempuran yang tadi. Dengan ringan dan lincahnya Wi-hong berlompat-lompatan di antara sambaran-sambaran maut kedua senjata lawannya, mirip sekali dengan seekor burung camar yang bermain-main dengan riang gembira di atas gelombang lautan.

Tetapi Wi-hong tidak hanya menghindari saja, ia membalas pula dengan ilmu silat tangan kosong aliran Soat-san-pai yang disebut Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Terbang). Gaya pukulannya melayang ringan, benar-benar mirip salju yang diterbangkan angin, tetapi tidak berarti tidak mengandung kekuatan sebab pukulan ini sanggup membelah sebutir batu sebesar kepala manusia. Rupanya baik Song Kim maupun Han Toan juga menyadari kelihaian pukulan Soat-san-pai ini. Merekapun tidak berani bertindak gegabah dalam menghadapinya.

Dalam pada itu, si kembar Cong Hun dan Cong Yo yang sudah jera berhadapan dengan Wi-hong, kini memilih Wi-lian sebagai lawan mereka. Dalam anggapan kedua saudara kembar ini, Wi-lian sebagai seorang gadis tentu lebih ringan untuk dilawan. Namun setelah pertarungan berjalan beberapa jurus, mulailah kedua saudara kembar ini berubah anggapan. Lawan mereka ternyata adalah macan betina Siau-lim-pay yang kepandaian maupun kegarangannya tidak berada di bawah Wi-hong. Kedua saudara kembar itu mulai merasakan betapa beratnya menghadapi gadis bertangan kosong itu.

Yang paling santai adalah An Siau-lun. Selagi keempat rekannya harus berjuang mati-matian menghadapi lawan-lawan berat, maka An Siau-lun sendiri telah mendapat seorang lawan yang paling ringan, yaitu Cian Ping. Meskipun gadis itu kini telah bersenjata pedang, tetapi ia tetap tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi An Siau-lun yang lebih kuat dan lebih berpengalaman dalam banyak pertempuran itu.

Yang agak menolong Cian Ping adalah kekerasan hatinya sendiri. Setiap kali Cian Ping merasa telapak tangannya nyeri apabila pedangnya berbenturan dengan golok tan-to An Siau-lun, tetapi sambil mengertak gigi ia terus melawan dengan gigihnya. Setiap kali ia membayangkan kembali tubuh ayahnya yang telah bergelimpangan di kubangan darahnya sendiri, dan setiap kali pula kekuatannya bagaikan tumbuh berlipat ganda. Itulah kekuatan dendam.

Menghadapi gadis yang keras hati dan nekad ini, mau tidak mau An Siau-lun harus berhati-hati dan tidak berani mengharapkan kemenangan terlalu cepat. Apalagi karena gadis ini berkelahi hanya beberapa langkah dari Wi-hong yang nampaknya sudah mulai mengungguli lawan-lawannya.

Panas matahari terasa semakin hangat di permukaan kulit, dan semakin menghangatkan darah dari orang-orang yang sedang dimabuk darah itu. Kini bukan cuma keringat yang meleleh di tubuh mereka, namun titik-titik darah pun mulai nampak di pakaian mereka.

Tong Wi-lian mulai tidak sabar lagi dengan jalannya pertempuran yang dianggap lamban dan berlarut-larut itu. Ia ingin segera mengakhirinya, maka dikerahkannya seluruh kemampuannya untuk mendesak lawan-lawannya. Ilmu silat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) dan Coa-kun (Silat Ular) yang paling digemarinya dan telah dilatihnya dengan matang itu kini dikeluarkannya. Selama berguru di Siong-san, Wi-lian mengulangi jurus-jurus dari kedua macam ilmu silat itu sampai ratusan kali setiap harinya.

Tidak mengherankan kalau kedua saudara kembar she Cong itu kemudian merasa menyesal bahwa mereka telah memilih lawan ini. Tetapi sudah terlanjur bertempur, apa boleh buat, mereka terpaksa mengeraskan kepala untuk memperpanjang umur sedetik demi sedetik, sambil menunggu datangnya suatu pertolongan.

Ketika Wi-lian bertarung dalam puncak kemampuannya, maka keadaan kedua saudara Cong itu memang payah sekali. Untuk membela diri saja mereka sudah repot bukan main, apalagi untuk membalas menyerang. Kadang-kadang keduanya harus berjungkir balik atau bergulingan dengan konyol dan sama sekali tidak sesuai dengan tingkah-laku sehari-hari mereka yang begitu garang. Jika kedua saudara itu masih bisa bertahan sampai saat itu, itu hanyalah karena terdorong oleh perasaan takut mati yang kini begitu menghantui mereka.

Ketika Wi-lian semakin mempercepat gerakannya, lawan-lawannya semakin bingung. Satu atau dua kali tendangan dan pukulan gadis itu mulai mengenai tubuh lawan-lawannya. Biarpun bukan tendangan yang telak namun cukup kuat untuk membuat bekas-bekas matang biru di kulit lawan-lawannya dari Shoa-tang itu.

“Tidak masuk akal kalau gadis ini begitu lihai,” gerutu Cong Hun penasaran. “Barangkali gadis ini sedang kesurupan jin penunggu padang perdu ini.”

Wi-lian mendengar pula gerutuan lawannya itu. Ia tertawa mengejek dan berkata, “Apanya yang tidak masuk akal? Memang kalian berdua inilah yang tidak becus.”

Gadis itu bukan cuma mengejek namun juga sempat mendaratkan sebuah tendangan ke wajah Cong Yo, dengan sebuah gerakan manis yang disebut Coan-sin-teng-kak (Memutar Tubuh Sambil Menendang). Untung bahwa tendangan itu tidak terlalu telak, sebab ketika Wi-lian menendang ia juga sedang menghadapi serbuan Cong Hun pada waktu yang bersamaan. Meskipun tidak telak, toh cukup membuat dua buah gigi depan Cong Yo harus berpisah dengan pemiliknya, sehingga Cong Yo mengaduh-aduh sambil menekap mulutnya.

Kedua orang bekas begal dari Shoa-tang itu akhirnya menyadari kenyataan bahwa gadis itu benar-benar membahayakan bagi jiwa mereka. Maka mereka mulai memberi isyarat dengan saling mengedip mata, untuk mulai bersama-sama menggunakan jurus gabungan yang selama ini belum menemui tandingannya.

Tiba-tiba saja kedua saudara kembar itu melompat dan mengambil jarak yang cukup jauh dari lawannya. Kini sepasang penjahat itu berdiri tegak dengan pundak sejajar, masing-masing memasang kuda-kuda Tiang-ma. Bedanya, kalau Cong Hun berdiri dengan kaki kanan di depan, maka sebaliknya si saudara kembar berdiri dengan kaki kiri yang di depan.

Sepasang tangan mereka membentuk seperti cakar harimau yang siap di sisi tubuh masing-masing. Itulah jurus gabungan ciptaan saudara kembar itu, yang diberi nama dengan nama yang keren, yaitu Siang-hou-keng-thian-hok-te (Sepasang Harimau Mengejutkan Langit dan Membalik Bumi).

Namun dalam pandangan Wi-lian sebagai murid Siau-lim-pay, jurus gabungan saudara Cong itu tidak lain hanya menjiplak dan menggubah Hau-kun (Silat Harimau) dari Siau-lim-pay Cabang Utara. Wi-lian sendiri tidak bisa memainkan ilmu silat itu, karena hanya cocok untuk kaum lelaki yang bertenaga besar, tetapi Wi-lian pernah melihat salah seorang rahib Siau-lim memainkan ilmu silat itu. Ilmu silat itu memang tergolong ilmu “keras” yang lihai. Kini kedua saudara Cong itu telah menggubahnya, entah sampai di mana perubahannya kalau dibandingkan dengan aslinya?

Kata Wi-lian setelah melihat sikap lawan-lawannya itu, “Hemm, kiranya kalian adalah murid-murid murtad dari Siau-lim Utara. Perbuatan busuk kalian benar-benar telah mencoreng keluhuran nama perguruan Siau-lim, karena itu hari ini juga biarlah aku mewakili perguruan untuk membersihkan diri dari cecunguk-cecunguk jahat macam kalian ini.”

Cong Hun dan Cong Yo agak gentar mendengar ucapan Wi-lian yang angker itu. Untuk menutupi hati mereka yang mulai merasa kecut, mereka membuka serangan lebih dulu. Dibarengi dengan teriakan keras seperti harimau meraung mereka serempak menerkam ke depan, empat buat telapak tangan berbentuk cakar harimau telah menggempur berbagai bagian tubuh yang mematikan dari lawannya.

Diam-diam terkejut juga Wi-lian setelah merasakan betapa hebat perbawa yang terkandung dari gerakan itu, terutama terasa benar kekuatan tenaga yang dikandung dalam gerakan itu. Karena merasa tidak mampu melawannya secara keras lawan keras, Wi-lian cepat melakukan lompatan Yan-cu-hoan-sin (Walet Membalikkan Badan) dan ia menghindar ke belakang sampai enam tombak lebih.

Namun jurus gabungan Siang-hou-keng-thian-hok-te itu agaknya punya berbagai perubahan gerak. Begitu gebrakan pertama luput, mendadak sepasang orang kembar itu serempak memecar ke kiri dan kanan, dan pada detik berikutnya mereka telah melancarkan dua tendangan geledek ke arah Wi-lian dari dua sudut yang berbeda.

“Hebat,” diam-diam Wi-lian memuji dalam hatinya. “Cerdas juga bangsat-bangsat ini dalam mengolah suatu ilmu silat.”

Sekali lagi murid Rahib Hong-tay ini dipaksa mundur ke belakang. Hamun di saat ia melayang mundur itulah maka matanya yang tajam telah melihat suatu titik kelemahan pada lawan-lawannya. Bukan kelemahan pada jurusnya atau ilmunya, tetapi kelemahan pada manusianya. Titik kelemahan itu memang terlalu kecil dan hampir tidak terlihat sama sekali, hanya orang-orang bermata tajam sajalah yang dapat melihatnya.

Meskipun sudah melihat kelemahan lawan, tidak berarti Wi-lian langsung dapat menggempurnya sesuka hati. Pada saat gadis itu sedang merancang suatu akal untuk menggempurnya, maka kedua lawannyalah yang telah menggempur lebih dulu dengan serangan-serangan yang bagaikan badai dahsyatnya. Terpaksa sekali Wi-lian harus mundur kembali.

Titik kelemahan yang dilihat oleh Wi-lian itu ada pada diri Cong Hun, terutama jika sedang melakukan tendangan berpasangan. Ada selisih kecepatan antara Cong Hun dengan saudara kembarnya, dan meskipun selisih kecepatan itu nampaknya kurang berarti, tetapi jelas membuka suatu peluang lemah pada jurus gabungan itu.

Sedangkan kedua orang kembar itu belum tahu kalau Wi-lian sudah mengincar titik lemah mereka. Mereka masih saja mabuk kemenangan karena berhasil mendesak gadis itu. Dengan garangnya mereka mendesak maju pula, lebih dulu mereka menggempur dengan aneka ragam pukulan dari kanan kiri secara berpasangan, tujuannya adalah untuk membingungkan lawan. Setelah nantinya lawan bingung, barulah mereka akan serempak melepaskan tendangan yang bersifat “menggunting” yang agaknya merupakan gerakan inti dari jurus gabungan itu.

Wi-lian berpura-pura kebingungan dalam menangkis dan menghindari aneka ragam pukulan itu, namun ia sengaja tidak mau mundur untuk mencoba memaksakan pertarungan jarak dekat dengan lawan-lawannya. Sambil bertahan, diam-diam Wi-lian berjaga-jaga terhadap tendangan lawan, sebab ia merasa hampir pasti bahwa rangkaian pukulan itu akan ditutup dengan tendangan berpasangan yang bersifat menggunting.

Dugaan Wi-lian ternyata tepat. Begitu kedua saudara Cong itu melihat lawan sudah “tersudut”, serempak mereka memutar tubuh dan melancarkan tendangan hau-bwe-tui (Tendangan Buntut Macan) dari kiri dan kanan, siap untuk menghancurkan batok kepala Wi-lian. Kedua saudara Cong itu memperhitungkan bahwa lawannya tentu akan melompat mundur lagi seperti tadi. Namun dugaan mereka kali ini telah meleset.

Wi-lian tidak melompat mundur tetapi justru menyelinap maju dengan gerakan selicin belut, dan hilang pula kesan-kesan gugup pada diri gadis itu. Seketika itu juga kedua saudara Cong itu jadi kelabakan, kerjasama mereka menjadi agak macet, karena kedudukan lawan seperti itu sama sekali tidak pernah diperhitungkan ketika mereka bersama-sama melatih jurus gabungan itu.

Dalam keadaan bingung itulah kedua saudara Cong bertindak sendiri-sendiri dan sama sekali tidak dalam kerjasama lagi, Cong Yo melancarkan jotosan Wan-kiong-sia-tiau (Merentang Busur Memanah Elang) untuk memaksa Wi-lian mundur dan menempati kedudukan semula. Tetapi gadis itu telah menempati kedudukan bagus, mana mau ia melepaskannya begitu saja?

Wi-lian tidak menangkis jotosan lawan, bahkan menyeplos di antara tubuh-tubuh lawannya, dan ketika kakinya sudah menginjak “pintu” (istilah silat) Say-mui maka tubuhnya sudah berada di belakang tubuh Cong Hun yang tidak setangkas saudaranya. Kedua orang kembar itu menjadi kalang-kabut dan hampir saja mereka saling hantam sendiri karena perkembangan tak terduga itu.

“Awas di belakangmu!” Cong Yo berseru kepada saudara kembarnya. Ia sendiri tidak bisa langsung menyerang Wi- lian, sebab terhalang oleh badan saudara kembarnya. Namun ia masih berusaha juga untuk menyerang dari atas dengan jalan melompati kepala Cong Hun.

Kini jurus gabungan Siang-hou-keng-thian-hok-te yang sangat dibangga-banggakan itu pada hakekatnya sudah berantakan, karena sepasang bandit kembar itu sudah bertempur sendiri-sendiri, dan tentu saja daya gempur mereka menjadi jauh lebih merosot dibandingkan ketika masih bekerjasama tadi.

Semangat Wi-lian berkobar hebat begitu melihat siasatnya berhasil mengacaukan lawan. Gadis perkasa itu masih sempat menghindari gempuran Cong Yo dari atas, dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan-lawannya untuk bergabung kembali, Wi-lian telah melancarkan tendangan kao-tui (Tendangan Setinggi Kepala) ke arah dagu Cong Hun. Dengan siku tangannya Cong Hun masih mencoba untuk menghantam tempurung lutut Wi-lian, itulah suatu gaya tangkisan yang khas dari Siau-lim-pay Cabang Utara.

Namun Wi-lian sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Kaki kanan yang menendang tinggi itu cepat ditarik dan diganti dengan tendangan rendah ke sambungan lutut lawannya. Perubahan gerak Wi-lian begitu cepat dan tak terduga, maka Cong Hun tidak sempat berbuat apa-apa lagi untuk menyelamatkan kakinya. Maka terdengarlah jeritan yang menyayat hati, Cong Hun roboh dengan persendian lutut yang telah patah.

Bukan main terkejut Cong Yo melihat saudaranya telah berhasil dirobohkan. Secepat kilat ia membabatkan telapak tangannya ke leher Wi-lian dengan jurus Tay-hong-sau-hun (Badai Menyapu Mega). Tapi hanya dengan sedikit memiringkan kepalanya, Wi-lian berhasil lolos dari serangan hebat itu.

“Kau pun akan segera menerima bagianmu!” seru Wi-lian. Sambil membentak Wi-lian melancarkan salah satu gerakan silat dari Pek-ho-kun kesayangannya. Jari-jari tangannya dirangkapkan membentuk seperti mata lembing dan langsung mencocor ke leher Cong Yo. Dengan jari-jari yang telah terlatih menusuk-nusuk pasir panas itu, jika tenggorokan Cong Yo dapat dikenainya maka tak pelak lagi pasti akan mampus.

Cong Yo berusaha menghindari serangan yang maha cepat itu, namun suratan nasibnya agaknya telah mentakdirkan bahwa ia harus mengakhiri hidupnya saat itu juga. Gerakan tangan Wi-lian terlalu cepat. Ketika mengenai leher Cong Yo ternyata tidak merobek kulit dan menembusnya, hanya meninggalkan sebuah cekungan berwarna matang biru. Namun karena tepat mengenai saluran napas Cong Yo, maka jagoan dari Shoa-tang itupun mampus seketika.

“Ganti jiwa saudaraku!” Cong Hun yang telah patah lututnya itu meraung dengan kalap ketika melihat saudara kembarnya telah gugur. Secara nekad ia melompat memeluk kaki Wi-lian sekuatnya dan menggigit betis gadis itu sehingga berdarah.

Melihat “jurus” semacam itu, teringatlah Wi-lian akan pertempuran hebat di Kay-hong antara Hong-ho-sam-hiong melawan Tan Han-ciang, dan Wi-lian merasa ngeri ketika mengingat bahwa muka Tan Han-ciang telah “berkurang” sebagian karena digigit oleh lawannya. Kini Wi-lian mengalaminya sendiri, jika ia tidak dapat segera mengatasi keadaan, maka sebentar lagi segumpal daging betisnya pasti akan “dimakan” mentah-mentah oleh Cong Hun yang sedang kalap itu.

Terpaksa Wi-lian harus menguatkan hati untuk bertindak agak kejam, apalagi kalau mengingat bahwa orang she Cong itu adalah seorang penjahat yang telah begitu banyak merugikan masyarakat. Dengan telapak tangannya Wi-lian sekuat tenaga menghantam jalan darah Pek-hwe-hiat di ubun-ubun Cong Hun yang merupakan jalan darah kematian. Cong Hun hanya menggelepar sekali dan setelah itu nyawanya pun terbang menyusul saudara kembarnya.

Kematian sepasang penjahat dari Shoa-tang itu telah menggoncangkan hati orang-orang Hwe-liong-pang itu. Mereka sudah kenal bagaimana tangguhnya kedua saudara kembar bermuka burik itu, terutama dengan Pukulan Pasir Besinya, tetapi sungguh sulit dipercaya bahwa hari ini mereka terbantai di tangan seorang gadis berumur dua puluh tahun!

Bukan orang-orang Hwe-liong-pang saja yang terkejut, namun Wi-hong pun tidak menduga kalau adiknya ternyata telah menjadi gadis selihai itu. Tadinya Wi-hong sendiri sudah merasakan betapa beratnya menghadapi sepasang saudara kembar itu. Di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu An Siau-lun adalah yang paling cerdik, tapi sekaligus juga paling pengecut. Ia tahu pasti bahwa keseimbangan pertempuran itu kini sudah berbalik, sekarang pihak Hwe-liong-pang lah yang terancam bahaya kekalahan.

Maka si pengecut itu merasa tidak ada gunanya bertempur lebih lanjut, salah-salah malah bisa ikut tamasya ke akherat seperti si kembar itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi An Siau-lun mendadak melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan lari terbirit-birit secepat angin. Sedikitpun tidak dihiraukannya rasa setia kawan dengan rekan-rekannya yang masih menghadapi musuh.

Song Kim dan Han Toan menjadi sangat marah melihat sikap pengecut rekan mereka itu. Mereka pun sebenarnya ingin lari juga bila keadaannya memungkinkan, tetapi sayang kesempatan untuk itu tidak ada sedikitpun bagi mereka. Wi-hong nampaknya sama sekali tidak berniat untuk melepaskan atau mengampuni kedua lawannya ini, terutama kepada Song Kim yang telah sampai hati mengkhianati gurunya yang telah memeliharanya sejak kecil itu.

Namun orang-orang yang masih berada di gelanggang pertempuran itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara jeritan ngeri di kejauhan. Suara jeritan An Siau-lun, lalu nampaklah An Siau-lun kembali ke tempat itu lagi namun hanya batok kepalanya saja, tanpa tubuhnya. Kepala An Siau-lun yang masih meneteskan darah itu dijinjing dengan tangan oleh seorang lelaki bertubuh kurus bermuka panjang seperti kuda dan pucat seperti mayat.

Rambutnya berwarna merah kekuning-kuningan dan terjurai panjang sampai ke pundak, jubahnya juga berwarna merah darah. Tangan kirinya menjinjing batok kepala An Siau-lun, sedang tangan kanannya menjinjing sebatang tongkat besi panjang yang ujungnya diukir dengan bentuk kepala ular.

Begitu melihat munculnya orang ini, Song Kim segera berseru dengan gembira, “Suhu!”

Sedangkan Han Toan pun cepat memberi salam kepada orang itu, “Selamat bertemu, Tang Su-cia (duta she Tang)!”

Pendatang baru ini ternyata adalah seorang tokoh dari Gunung Thay-san yang sudah lama namanya cukup terkenal. Dialah Tang Kiau-po yang bergelar Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah). Dia duduk pula dalam urutan sepuluh manusia sakti jaman itu, meskipun hanya menduduki urutan paling buncit, yaitu nomor sepuluh. Namun tokoh persilatan yang manapun tidak berani memandang rendah kepada tokoh ini.

Baik Tong Wi-hong maupun Tong Wi-lian terkesiap menyaksikan munculnya tokoh hebat ini, apalagi karena tokoh ini agaknya sudah bergabung dengan Hwe-liong-pang. Wi-hong dan Wi-lian sudah diberi keterangan oleh gurunya masing-masing tentang ciri-ciri dari sepuluh tokoh sakti di Tiong-goan, karena itu merekapun langsung tahu dengan siapa mereka sedang berhadapan, karena Ang-mo-coa-ong memang punya ciri-ciri yang cukup menyolok.

Tang Kiau-po tertawa dingin dan angkuh menyambut ucapan hormat Song Kim dan Han Toan itu. Sinar matanya yang licik dan tajam seperti ular itu menyapu berkeliling. Dilihatnya mayat sepasang saudara Cong masih tergeletak di situ, dan ketika pandangan matanya menatap Wi-hong dan Wi-lian maka nampaklah sinar berapi-api memancar dari sepasang mata si raja ular itu.

Sebagai seorang angkatan muda, Wi-hong mencoba bersikap sesuai dengan tata-krama dunia persilatan. Ia memberi hormat, dan lebih dulu menyapa, “Selamat bertemu, Tang Lo-cian-pwe.”

Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po hanya mendengus dingin, katanya, “Jika kulihat bentuk pedangmu itu, tak salah lagi kau tentunya murid Soat-san-pay. Kau tentu punya hubungan perguruan dengan si congkak Yu Hau-seng yang mengira ilmu pedangnya sudah nomor satu di dunia itu bukan?”

Hati Wi-hong mulai menjadi panas karena si rambut merah itu sangat memandang rendah kepada Ketua Soat-san-pay yang sangat dihormati oleh Wi-hong itu. Namun Wi-hong masih berusaha menahan diri, sahutnya, “Kaum Soat-san-pay tidak pernah merasa dirinya paling unggul di dunia ini, namun kami hanya menuntut keadilan bagi Tiong-gi Piau-hang yang telah menjadi korban kesewenang-wenangan Hwe-liong-pang.”

Sahut Ang-mo-coa-ong dingin, “Sudah menjadi hukum dalam dunia persilatan bahwa siapa yang kuat dialah yang dapat hidup terus, siapa yang lemah dia pantas mampus. Pepatah yang sederhana ini masakan tidak kau pahami?”

Jawaban yang bernada mentang-mentang dan seenaknya itu telah membuat darah Wi-hong dan Wi-lian bagaikan mendidih, apalagi Cian Ping yang ayahnya telah dibunuh oleh orang-orang Hwe-liong-pang.

Sebaliknya sikap Song Kim pun kini ikut berubah menjadi congkak dan tersenyum-senyum penuh kemenangan. Song Kim yakin bahwa dengan ketinggian ilmu gurunya itu, bukan soal sulit untuk membinasakan Wi-hong dan Wi-lian sekaligus. Namun Song Kim merasa perlu juga untuk berpesan kepada gurunya,

“Suhu, yang dua orang itu boleh langsung Suhu bunuh saja. Tetapi Suhu harap mengampuni puteri Cian Sin-wi itu untukku.”

“Buat apa?” tanya Ang-mo-coa-ong.

Muka Song Kim menjadi merah dan tidak dapat langsung menjawab, dan hal itu cukup bagi Tang Kiau-po untuk mengetahui apa isi hati muridnya itu. Lalu Tang Kiau-po melemparkan batok kepala An Siau-lun seperti melemparkan suatu barang yang sangat menjijikkan. Katanya setelah meludah, “Orang ini adalah seorang pengecut busuk yang tidak mengenal setia kawan dan mementingkan dirinya sendiri, tidak pantas menjadi anggota Hwe-liong-pang kita. Dia pantas mampus.”

Umumnya para anggota Hwe-liong-pang sudah tahu cara bagaimana Tang Kiau-po membunuh korban-korbannya. Lebih dulu ia akan melumpuhkan orang itu, lalu didudukinya punggung si korban sambil memutar kepala si korban secara paksa sampai lehernya putus. Maka dapat dibayangkan betapa ngerinya kematian yang dialami oleh An Siau-lun itu, lehernya di “petik” mentah-mentah seperti orang memetik buah dari pohonnya saja.

Diam-diam Han Toan menjadi sakit hati melihat rekannya yang pernah bersama-sama menjadi bajak laut itu diperlakukan demikian keji oleh Tang Kiau-po. Tetapi Han Toan tidak berani berbuat apa pun, bahkan untuk memperlihatkan rasa tidak sukanya pun dia tidak berani. Ia sadar bawah membantah kemauan Ang-mo-coa-ong sama saja dengan bermain-main dengan nyawanya sendiri.

Dalam pada itu Tang Kiau-po telah berjalan selangkah demi selangkah mendekati Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping yang berdiri berjajar. Tang Kiau-po sengaja memperlambat langkahnya dengan maksud supaya ketiga calon korbannya itu lebih dulu tersiksa oleh ketakutan dan kengerian sebelum dibunuhnya. Namun tokoh Thay-san itu menjadi kecewa bukan main.

Ketiga orang muda calon korbannya itu ternyata tidak menggigil ketakutan melainkan berdiri tegak penuh keberanian, siap menantang maut yang bagaimana pun ngerinya. Mereka adalah keturunan pendekar dan bukan keturunan pengecut. Wi-hong dan Wi-lian adalah putera-puteri Kiang-se-tay-hiap Tong Tian dan Cian Ping adalah puteri tunggal Cian Sin-wi yang mewarisi sifat-sifat keras dari ayahnya. Keberanian yang ditunjukkan oleh ketiga orang muda itu telah membuat Tang Kiau-po jadi mendidih darahnya.

Dengan sekali hentakan, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po telah menancapkan tongkat besinya ke tanah, sehingga amblas separuhnya lebih. Katanya sengit, “Karena kalian bertangan kosong, aku pun tidak akan merendahkan derajatku dengan melawan kalian dengan tongkatku. Anggaplah suatu kehormatan besar bagi kalian akan mati di tanganku. Nah, bersiap-siaplah.”

Wi-hong dan adiknya tidak menyahut sepatah katapun, tetapi kakak beradik itu sudah bersiap-siap untuk bertarung sampai titik darah yang penghabisan. Mereka sadar bahwa lawan mereka kali ini tidak bisa disamakan dengan An Siau-lun, Han Toan, Song Kim atau kedua saudara Cong yang telah almarhum itu, namun benar-benar merupakan seorang lawan yang mengerikan karena merupakan salah satu dari sepuluh tokoh sakti jaman itu.

Sedetik kemudian Ang-mo-coa-ong telah berkelebat menyerang, begitu cepat gerak tubuhnya sehingga yang nampak hanyalah bayangan merah seperti segumpal awan terhembus angin. Tangan kanannya mencengkeram ke ubun-ubun Wi-hong, sedang jari-jari tangan kirinya menusuk ke mata Wi-lian dengan jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Memperebutkan Mustika). Dua buah gerakan dilakukan dengan serempak dengan kecepatan yang hampir tak dapat diikuti oleh mata, demikian hebatnya tokoh dari timur ini.

Putera-puteri Tong Tian pun bergerak serentak. Wi-hong menghindar ke sebelah kiri sambil merendahkan tubuhnya, telapak tangannya balas menghantam ke rusuk Tang Kiau- po. Sedangkan Wi-lian pun membalas menendang ke lambung lawan setelah lebih dulu menghindari serangan lawannya.

Ang-mo-coa-ong yang masih melayang di udara itu tertawa terbahak-bahak, serunya, “Ha-ha-ha... Hui-soat-sin-ciang yang setengah matang dan Lo-han-kun yang buruk!”

Sebenarnya Ang-mo-coa-ong cukup dikejutkan oleh serangan balasan dari anak-anak muda itu, namun untuk menjaga pamornya maka ia sengaja mengejek keburukan ilmu kedua lawannya itu. Di udara, sebelum kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba Ang-mo-coa-ong memutar tubuhnya seperti gasingan. Dengan lengan jubahnya yang lebar itu dia mencoba untuk melibat pergelangan tangan Wi-hong, sementara tangan lainnya mencoba menghantam remuk persendian kaki Wi-lian yang tengah digunakan untuk menendang.

Wi-hong dan Wi-lian terkejut akan kelihaian si raja ular itu. Cepat mereka menarik balik serangan mereka dan berlompatan mundur.

“Hitung saja, kalian tidak akan mampu menahan seranganku sampai jurus yang ke lima belas!” ejek Tang Kiau-po dengan sombongnya.

Begitu mulutnya terkatup, kedua tangannya pun bergerak berbarengan. Seketika itu juga Wi-hong dan adiknya merasa pandangannya menjadi kabur, karena dihadapan mereka kini muncul “puluhan” telapak tangan yang berlapis-lapis dan menggempur bertubi-tubi.

“Benar-benar lihai,” desis Wi-lian terkesiap.

Demikianlah si iblis rambut merah dari Thay-san itu kini dikerubuti oleh putera-puteri Tong Tian yang gagah berani itu. Namun biarpun Wi-hong dan adiknya telah mengerahkan seluruh ilmu mereka, lawan mereka memang tergolong angkatan tua yang tangguh sekali. Bahkan terasalah bahwa Ang-mo-coa-ong semakin menambah kekuatan pukulannya lapis demi lapis.

Ketika pertempuran meningkat semakin dahsyat, lambat laun hidung Wi-hong dan adiknya mulai mencium bau amis menyertai setiap desir angin pukulan Tang Kiau-po. Ketika mereka memperhatikan, terlihatlah di tengah-tengah telapak tangan Tang Kiau-po nampak ada bintik-bintik merah yang semakin lama semakin melebar ke seluruh telapak tangan, sehingga akhirnya seluruh telapak tangannya berwarna merah.

“Latihan Ang-se-tok-jiu (Pukulan Beracun Pasir Merah) yang hampir mencapai tingkatan tertinggi,” pikir Wi-lian dengan dada berguncang hebat. Diam-diam Wi-lian agak menjadi penasaran juga. Dia pernah bertarung dengan Sebun Say yang katanya menduduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti di jaman itu, yang berarti urutan Sebun Say di atas Tang Kiau-po, tetapi saat itu Wi-lian mampu memberi perlawanan gigih sampai berpuluh-puluh jurus.

Meskipun akhirnya toh Wi-lian terdesak dan harus ditolong oleh Liu Tay-liong, namun peristiwa itu cukup membuat Wi-lian merasa bangga akan kemajuan ilmu silatnya. Tetapi sekarang menghadapi Tang Kiau-po yang kedudukannya di bawah Sebun Say, dibantu pula oleh Wi- hong, kenapa keadaannya justru tidak sebaik ketika menghadapi Sebun Say?

Kiranya ada dua penyebab yang menjadikan keadaan seperti itu. Pertama, meskipun kedudukan Tang Kiau-po hanya sebagai “juru kunci” namun sebenarnya kepandaiannya saat itu justru telah meningkat melampaui Sebun Say, terutama latihan Ang-se-tok-ciangnya telah mendekati tahap paling akhir. Urut-urutan kedudukan dalam sepuluh tokoh sakti itu dibuat orang kira-kira lima belas tahun yang lalu, tentu saja sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman sekarang.

Kemajuan yang dicapai oleh Ang-mo-coa-ong itu sekarang bukan saja berhasil melampaui Sebun Say, tapi bahkan mungkin sudah melampaui pula Siau-lim-hong-ceng (rahib sinting dari Siau-lim) Hong-koan Hwesio yang angin-anginan dan kurang rajin berlatih itu. Agaknya Tang Kiau-po sangat sakit hati ketika orang mendudukkannya pada kedudukan juru kunci, sehingga hal itu mendorongnya untuk berlatih mati-matian di Gunung Thay-san.

Kedua, Wi-lian dan kakaknya sedang ada dalam keadaan kelelahan karena mereka baru saja bertempur memeras tenaga menghadapi Song Kim dan kawan-kawannya, masih ditambah lagi dengan kelelahan akibat ketegangan yang mereka alami selama dua hari dua malam di padang perdu selama melacak jejak orang-orang Hwe-liong-pang itu.

Sebaliknya lawan mereka dalam keadaan segar bugar karena baru saja datang. Andaikata kedua kakak beradik she Tong itu sedang dalam keadaan sesegar lawannya, maka gabungan kekuatan mereka pasti akan sanggup menahan Tang Kiau-po sampai beratus-ratus jurus, biarpun Tang Kiau-po mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Sambil mendesak kedua lawannya, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po terus menghitung jurus demi jurus, “... dua belas... tiga belas...”

Tapi agaknya untuk mengalahkan kedua lawannya dalam waktu lima belas jurus agaknya merupakan hal mustahil bagi Tang Kiau-po, agaknya tokoh ini salah hitung dalam menilai kemampuan lawan-lawannya yang masih muda itu. Wi-hong dan adiknya memang telah terdesak, namun mereka masih bertempur begitu gigih dan nampaknya masih punya cadangan kekuatan untuk bertarung puluhan jurus lagi.

Hal itu membuat Tang Kiau-po menjadi mata gelap. Jika ia sampai gagal membunuh kedua lawannya dalam waktu lima belas jurus, maka akan hilanglah mukanya di hadapan Song Kim dan Han Toan yang telah menjadi saksi akan omong besarnya tadi. Memasuki jurus ke empat belas, mulailah si raja ular yang marah itu mengerahkan ilmu sehebat-hebatnya untuk menyelesaikan lawan-lawannya secepat-cepatnya.

Peningkatan ilmu Tang Kiau-po itu dapat dilihat jelas pada warna merah yang menjalar di tangannya. Kini yang berwarna merah bukan cuma telapak tangannya tapi juga seluruh lengannya sampai ke siku tangan, ilmu kebanggaan Ang-se-tok-jiu sudah dikerahkan sampai ke puncaknya. Hawa udara yang berbau racun semakin tebal menyelimuti tempat itu, membuat Wi-hong dan adiknya mulai merasa pusing dan mual, dan gerakan silat mereka pun semakin lamban dan kacau.

Di saat kakak beradik itu dalam keadaan terancam bahaya, tiba-tiba Cian Ping memekik nyaring dan melompat maju ke tengah gelanggang pertempuran. Pedangnya ditikamkan sekuat tenaga ke dada Ang-mo-coa-ong, pertahanan dirinya sudah tidak dihiraukan lagi, ia siap mengorbankan diri asal Wi-hong dan Wi-lian mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri.

“Adik Ping!” Wi-hong berseru dengan cemas.

Tang Kiau-po melihat pula serangan nekad itu, lalu dikebaskannya tangan kirinya ke arah Cian Ping. Segulung tenaga tak berwujud yang maha kuat segera mendampar tubuh Cian Ping, dan sebelum ujung pedang Cian Ping menyentuh kulitnya, maka si gadis lebih dulu telah terpental mundur dengan memuntahkan segumpal darah.

“Adik Ping!” teriak Wi-hong sekali lagi.

“Suhu! Jangan bunuh!” berbareng dengan itu pun Song Kim berteriak kepada gurunya, karena kuatir gurunya yang mata gelap itu akan membunuh gadis yang dicintainya.

Agaknya Ang-mo-coa-ong sudah dikuasai oleh nafsu membunuhnya yang berkobar-kobar. Bahkan ia tidak peduli lagi akan seruan Song Kim yang memintakan pengampunan bagi Cian Ping, yang ada dalam kepala Tang Kiau-po saat itu hanyalah membunuh dan membunuh.

“Kalian susullah adik Ping mu itu!” teriaknya sambil menghantam kedua telapak tangannya serempak ke arah Wi-hong dan Wi-lian. Lagi-lagi segulung tenaga tak berwujud yang sangat kuat dan mengandung racun telah menyerbu Wi-hong dan adiknya.

Wi-hong dan Wi-lian mengerti bahwa serangan maha dahsyat yang menggunakan seluruh kekuatan dari tokoh Hwe-liong- pang itu. Namun Wi-hong dan adiknya pun pantang menyerah sebelum melawan dengan seluruh kekuatannya. Tanpa berjanji mereka berdua pun serempak mengerahkan kekuatannya masing-masing untuk menyongsong serangan itu secara keras lawan keras.

Wi-hong mengerahkan tenaga dalam aliran Soat-san-pay nya yang bersifat lembut tetapi ulet luar biasa, sedangkan Wi-lian telah mengerahkan tenaga dalam Siau-lim-pay yang bersifat keras dan tajam itu. Biarpun Wi-lian cuma seorang gadis remaja, namun hasil keuletan latihannya selama ini telah menghasilkan suatu tingkatan tenaga dalam yang cukup tangguh.

Terjadilah benturan tenaga antara ketiga orang itu. Mau tidak mau Tang Kiau-po kaget juga ketika membentur kekuatan lawan-lawannya yang masih muda itu. Ia dapat merasakan bagaimana tenaga pukulannya telah terbentur oleh dua macam kekuatan yang berbeda sifatnya tetapi sama tangguhnya.

Sedangkan bagi Wi-hong dan adiknya, benturan itu telah membuat dada mereka merasa sesak dan mata berkunang-kunang. Untuk mematahkan daya gempuran lawan, mereka melompat mundur beberapa langkah. Jika Tang Kiau-po berpegang kepada ucapan yang telah dikeluarkannya sendiri, maka tentu saat itu juga ia akan menghentikan pertempuran, sebab benturan yang baru saja terjadi itu dapat dianggap sebagai “jurus yang ke lima belas”.

Tetapi dasar licik, Tang Kiau-po justru telah merubah pikirannya. Pikirannya telah digelapkan oleh nafsu membunuhnya, didorong pula rasa iri hatinya melihat bakat silat Wi-hong dan Wi-lian, sebab ketika usia Tang Kiau-po semuda itu ia belum punya tingkatan ilmu seperti mereka. Tekadnya bahwa Wi-hong dan Wi-lian harus dibunuh, ibarat membunuh seekor anak macan sebelum tumbuh besar dan keluar taringnya.

Sambil menggeram murka, Ang-mo-coa-ong sekali lagi mengerahkan tenaganya untuk dihantamkan ke kedua orang lawannya. Wi-hong dan Wi-lian sekali lagi dipaksa untuk membenturkan tenaga, sebab gerakan lawan terlalu cepat dan tidak memberikan kesempatan untuk menghindar. Adu kekerasan yang kedua kalinya itu berakibat cukup berat untuk putera-puteri Tong Tian itu. Kali ini mereka berdua terpental mundur dan ujung bibir mereka mulai meneteskan darah, sedang muka mereka pucat seputih kertas!

Tang Kiau-po tertawa terbahak-bahak, menggemakan suara kemenangannya yang mirip ringkikan iblis itu, “Ha-ha-ha-ha! Anak-anak muda yang gagah berani tetapi bernasib malang! Aku mengakui bahwa kalian adalah tunas-tunas muda yang berbakat, tetapi justru karena berbakat itulah maka aku harus membinasakan kalian sbml kalian tumbuh menjadi semakin kuat! Kalian harus mampus di tanganku! Kalian harus mampus karena telah berani menentang kemauan dari utusan-utusan Hwe-liong-pang yang maha jaya!”

Namun pada waktu Tang Kiau-po telah mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan hantaman yang mematikan ke arah lawan-lawannya yang telah bergeletakan tak berdaya itu, mendadak terdengar sebuah teriakan mengguntur yang memekakkan telinga,

“Tang Su-cia! Tahan tanganmu!”

Seruan itu dilontarkan dengan suara yang mengandung pengaruh hebat, bahkan samar-samar terasa pula adanya sesuatu yang gaib terkandung dalam suara bentakan itu. Tang Kiau-po yang ilmunya cukup tinggi itupun menghentikan gerakan tangannya yang siap menurunkan maut itu.

Begitu gema suaranya habis, orang yang berteriak itupun muncullah. Dia adalah seorang yang bertubuh ramping dan memakai pakaian mewah berwarna ungu, begitu pula mantel bulunya berwarna ungu. Namun tidak seorangpun dapat melihat wajahnya, sebab wajah itu tertutup oleh sebuah topeng tengkorak yang menyeramkan.

Terkejutlah orang-orang Hwe-liong-pang, termasuk Tang Kiau-po, ketika melihat munculnya orang bertopeng itu. Cepat-cepat mereka membungkuk “Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit)!”

Orang bertopeng itu menyambut penghormatan itu hanya dengan sedikit menganggukkan kepalanya. Dari sikapnya itu dapat disimpulkan bahwa orang bertopeng tengkorak yang dipanggil Thian-liong Hiang-cu ini tentu punya kedudukan sangat tinggi dalam Hwe-liong-pang, bahkan lebih tinggi dari Tang Kiau-po, Sebun Say dan lain-lainnya.

Sebaliknya Wi-hong dan Wi-lian mengeluh dalam hatinya masing- masing. Seorang Tang Kiau-po saja sudah begitu susah untuk diladeni, apalagi kini muncul Thian-liong Hiang- cu yang kepandaiannya sudah pasti lebih tinggi dari Tang Kiau-po. Agaknya hari ini kami bertiga sukar untuk lolos dari tempat ini, begitu pikiran Wi-hong.

Sesaat lamanya Thian-liong Hiang-cu mengedarkan pandangannya, pandangan matanya lalu berhenti kepada mayat si kembar she Cong serta batok kepala An Siau-lun yang tidak ada tubuhnya itu. Tanyanya dengan suara berat, “Siapa yang membunuh mereka?”

Tang Kiau-po menuding kepada Wi-lian dan menerangkan, “Bocah perempuan inilah yang telah membunuh dua saudara Cong itu, agaknya ia mengandalkan tulang punggungnya sebagai murid Siau-lim-pay dan telah berani mencampuri urusan Pang kita. Sedang An Siau-lun ini hambalah yang telah membunuhnya sendiri karena berani menunjukkan sikap pengecut dan mementingkan diri sendiri. Ia melarikan diri dari gelanggang pertempuran dan meninggalkan kawan-kawannya begitu saja, meskipun kawan-kawannya tengah bertempur menyabung nyawa.”

Orang bertopeng tengkorak itu kini mengalihkan pandangannya kepada Wi-lian, dan gadis itu pun membalas memandangnya tanpa menunjukkan rasa takutnya. Begitu pandangan mata mereka bertemu, seketika itu terkesiaplah Wi-lian. Gadis itu mendadak merasakan ada suatu kekuatan gaib terpancar dari sorot mata orang itu, perlahan mengaliri perasaannya sehingga kehendaknya sendiri mulai kabur. Untunglah Wi-lian cepat menyadari hal itu, dengan kekuatan batinnya gadis itu mulai mengusir pengaruh gaib itu sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.

“Benarkah kau yang membunuh kedua saudara Cong itu?” tanya Thian-liong Hiang-cu kepada Wi-lian.

Wi-lian tidak berani lagi menatap mata Thian-liong Hiang-cu, namun sikapnya masih tetap berani ketika ia menjawab pertanyaan itu, “Ya, aku yang membunuh mereka. Sampah masyarakat yang gemar mengacau seperti mereka ini perlahan-lahan memang harus dikurangi jumlahnya dari muka bumi ini, agar dunia menjadi aman.”

Yang mengherankan, Thian-liong Hiang-cu ternyata tidak menunjukkan sikap marah atau sikap bermusuhan setelah mendengar jawaban itu. Bahkan ia tertawa lepas. Sambil mengacungkan jempolnya dia memuji Wi-lian dengan yang bernada jujur tanpa dibuat-buat, “Kau gadis yang hebat. Selain berilmu silat tinggi, kau ternyata juga bernyali macan pula.”

Tang Kiau-po, Song Kim dan Han Toan serempak mengerutkan alisnya ketika mendengar Thian-liong Hiang-cu justru telah memuji Wi-lian secara terang-terangan. Tetapi mereka tidak berani membuka mulut menyatakan tidak senangnya, sebab mereka tahu bahwa Thian-liong Hiang-cu adalah adik seperguruan dari Ketua Hwe-liong-pang sendiri, dan merupakan tokoh nomor tiga kedudukannya dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang.

Dia bukan saja memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi menguasai pula bermacam-macam ilmu gaib dan ilmu racun yang sulit untuk dilawan dengan ilmu silat biasa. Bagi Wi-lian sendiri, sikap bersahabat yang ditunjukkan oleh Thian-liong Hiang-cu itu benar-benar di luar dugaannya. Sebenarnya Wi-lian sudah mengeraskan kepala dan bertekad untuk bertempur mati-matian, gugur pun asal jangan membikin malu nama harum Siau-lim-pay dan nama keluarga Tong.

Tetapi sikap Thian-liong Hiang-cu justru membuat Wi-lian kebingungan harus bersikap bagaimana. Tiba-tiba Wi-lian teringat pula kepada Kwa Heng dan Ji Tiat yang pernah berkelahi dengannya di Kay-hong. Merekapun orang-orang Hwe-liong-pang, namun mereka bukan orang-orang yang gemar membunuh dan ternyata mereka cukup punya sifat-sifat kesatria pula.

Bahkan Ji Tiat nampak agak menahan diri ketika bertempur dengan Pang Lun, meskipun akhirnya Pang Lun tewas juga di ujung senjata Ji Tiat. Kwa Heng dan Ji Tiat nampak berbeda dengan orang-orang Hwe-liong-pang pada umumnya, yang menganggap pembantaian sebagai suatu “keperluan” yang tidak bisa ditawar lagi. Kini Wi-lian menjumpai sikap Thian-liong Hiang-cu ini ternyata mirip dengan sikap Ji Tiat, sama sekali tidak sesuai dengan penampilan dengan topeng tengkoraknya yang begitu menyeramkan.

Kini Thian-liong Hiang-cu telah memutar tubuh menghadap ke arah Tang Kiau-po dan berkata dengan nada mengandung teguran, “Tang Su-cia, ketiga orang rekanmu sudah berkumpul di Lam-cang dan sudah siap untuk menjalankan perintah Pang-cu (Ketua), kenapa kau dan orang-orangmu justru masih berkeliaran di sini dan melakukan pekerjaan yang tidak ada perlunya?”

Cepat Tang Kiau-po membungkukkan badan dengan hormat, sahutnya dengan suara yang sangat sungkan, “Harap Thian-liong Hiang-cu memahami kesulitan hamba. Bukannya maksud hamba untuk mengabaikan perintah Pang-cu, namun kelambatan perjalanan hamba ini gara-gara karena selama dalam perjalanan hamba telah bertemu dan bertempur dengan kaum pendekar yang memusuhi Hwe-liong-pang. Antara lain kedua bocah she Tong ini, yang telah ikut campur pula dalam urusan kami dengan pihak Tiong-gi Piau-hang.”

Thian-liong Hiang-cu tertawa dingin mendengar alasan Tang Kiau-po yang nampak dibuat-buat itu. Katanya, “Kiranya beralasanlah dugaanku selama ini. Aku memang pernah mendengar desas-desus di luaran bahwa banyak anggota Pang yang telah berbuat sewenang-wenang terhadap kaum lemah dengan mengandalkan nama besar Pang kita, sehingga hal itu menimbulkan sikap bermusuhan dari kaum pendekar pada umumnya. Tang Sucia, kau tidak perlu mengarang banyak alasan lagi. Sekarang juga kau dan orang-orangmu harus berangkat ke Lam-cang untuk menyusul Pang-cu dan rekan-rekan lainnya yang sudah berkumpul di sana.”

Tang Kiau-po nampak kebingungan menanggapi Thian-liong Hiang-cu itu. Di dalam hatinya dia sama sekali belum rela kalau harus melepaskan Wi-hong dan Wi-lian begitu saja. Ia mencoba membantah, “Tetapi, Hiang-cu, bagaimana dengan anak-anak muda yang kurang ajar ini? Apakah akan dibiarkan begitu saja? Mereka telah berani menentang Hwe-liong-pang dengan terang-terangan, jika dibiarkan saja akan memerosotkan kewibawaan Pang kita!”

Geram Thian-liong Hiang-cu, “Tang Su-cia, apakah kau artikan dengan kewibawaan itu? Apakah sesuatu yang harus ditegakkan kekerasan dan membuat orang lain tunduk karena takut? Bukankah kau pun sudah mendengar perintah Pang-cu bahwa kita harus sebanyak mungkin dan sesedikit mungkin membuat permusuhan sehingga cita-cita besar Hwe-liong-pang kita tidak terhambat?”

Ang-mo-coa-ong yang garang itu diam tak berkutik mendengar teguran Thian-liong Hiang-cu itu. Dan terdengar Thian-liong Hiang-cu berkata lagi, “Waktu sudah sangat mendesak, pertemuan di Lam-cang akan segera dibuka, cepatlah menuju ke Lam-cang.”

Apa boleh buat, Tang Kiau-po mulai bergerak untuk menuruti perintah itu. Namun baru ia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara lain yang bernada dingin, “Apapun yang dikerjakan oleh Tang Su-cia dan orang-orang Jing-ki-tong adalah atas perintahku! Siapa saja tidak berhak membatalkan perintahku, kecuali Pang-cu sendiri!”

Lalu orang yang bersuara itupun muncul. Ternyata penampilannya mirip dengan Thian-liong Hiang-cu, yaitu berjubah dan bertopeng yang berbentuk sama. Bedanya hanyalah bahwa si topeng tengkorak yang muncul belakangan ini bertubuh agak lebih jangkung, dan jubah serta mantelnya berwarna merah tua.

Kembali Tang Kiau-po, Song Kim dan Han Toan membungkuk hormat sambil menyapa, “Salam hormat kami kepada Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi).”

Sedangkan Thian-liong Hiang-cu tidak memberi hormat tetapi hanya menyapa dengan sikap tawar, “Ji-su-heng (kakak seperguruan kedua)!”

Sementara itu Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping yang mengikuti semua perkembangan itu menjadi terkejut menyaksikan telah munculnya satu lagi tokoh puncak dari Hwe-liong-pang. Bahkan si jubah merah tua yang dipanggil Te-liong Hiang-cu ini agaknya merupakan kakak seperguruan dari Thian-liong Hiang-cu.

Pikir Wi-lian, “Jika aku bercerita kepada Suhu atau paman Liu (maksudnya Liu Tay-liong) bahwa hari ini sekaligus aku telah bertemu dengan Te-liong dan Thian-liong Hiang-cu dari Hwe-liong-pang, barangkali beliau itu tidak akan percaya lagi jika kukatakan bahwa sebenarnya di antara tokoh-tokoh puncak Hwe-liong-pang sendiri nampaknya ada keretakan.”

Dalam hatinya, Wi-lian sudah lebih condong berpihak kepada Thian-liong Hiang-cu yang nampaknya cukup bijaksana itu. Sedangkan si jubah merah Te-liong Hiang-cu itu nampaknya adalah seorang yang keras dan sikapnya agak sewenang- wenang, suka main perintah ini perintah itu, dapat disimpulkan dari sikapnya yang congkak itu.

Terdengar Te-liong Hiang-cu tertawa dingin, katanya, “Sam-sute (adik seperguruan ketiga), kau adalah orang kepercayaan pang-cu kita, kenapa kau justru bersikap melunturkan kewibawaan Hwe-liong-pang dengan jalan mempermalukan anak buah kita sendiri di hadapan orang luar? Hemm, aku jadi tidak mengerti melihat sikapmu ini.”

Bantah Thian-liong Hiang-cu, “Aku justru hendak meluruskan kembali garis perjuangan yang telah diamanatkan oleh Toa-suheng, yang telah diselewengkan oleh manusia-manusia semacam Tang Su-cia ini. Toa su-heng tidak pernah memerintahkan kita untuk menaklukkan orang lain dengan sewenang-wenang dan hanya mengandalkan kekuatan belaka. Cita-cita besar Toa-su-heng justru dapat terlaksana dengan dukungan segenap kesatria di Tiongkok ini, menjadikan mereka sebagai kawan seperjuangan dan bukan justru membuat mereka marah dan memusuhi kita. Namun laporan yang kuterima dari orang-orang suruhanku justru membuat aku merasa prihatin, kudengar orang-orang kita banyak yang bertindak kejam tak kenal perikemanusiaan....”

Selanjutnya;
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.