Perserikatan Naga Api Jilid 18
“KUDENGAR bagaimana Hek-ki-tong (Kelompok Panji Hitam) kita secara kejam telah menumpas perguruan Sin-hou-bun (Perguruan Harimau Sakti), sehingga kaum persilatan di wilayah Kwi-tang menjadi gempar dan bersikap antipati kepada kita. Lalu kudengar pula Ang-ki-tong dengan cara melibatkan Ui-ki-tong telah menumpas Hong-ho-sam-hiong dan beberapa kawannya, dengan cara yang sangat menimbulkan kebencian umum. Kudengar pula Jai-ki-tong bertindak sewenang-wenang di wilayah Ho-pak sehingga menimbulkan bentrokan dengan murid-murid Bu-tong-pay.
"Dan yang terakhir kudengar adalah Jing-ki-tong telah menyatroni dan membunuh Cian Sin-wi di Tay-beng. Jelaslah dengan tindakan anak buah kita yang tak terkendali ini maka kita tidak akan mendapat kawan, malahan akan mendapatkan banyak musuh, dan cita-cita besar Toa-su-heng bisa terwujud? Kita sama saja dengan melawan kesatria seluruh dunia secara membabi buta, dan akhirnya kita sendirilah yang akan hancur!”
Bentak Te-liong Hiang-cu dengan marahnya. “Dalam beberapa peristiwa yang kau sebutkan itu, memang aku sendirilah yang telah memerintahkan beberapa Tong-cu (Kepala Kelompok) untuk melakukannya, bahkan beberapa Su-cia juga kusuruh untuk bertindak keras terhadap golongan-golongan musuh kita. Kewibawaan dan keangkeran Hwe-liong-pang harus ditegakkan dengan darah! Hanya orang-orang banci saja yang ketakutan melihat mengalirnya darah!”
Agaknya Thian-liong Hiang-cu juga mulai marah karena dibentak-bentak seperti itu, maka ketika ia berkata lagi suaranya terdengar bergetar hebat menahan kemarahan, “Tetapi yang kita peroleh bukanlah kewibawaan, melainkan kebencian dan permusuhan di mana-mana!”
Sesaat lamanya suasana menjadi tegang. Te-liong Hiang-cu dan Thian-liong Hiang-cu telah berhadapan dengan menyimpan kemarahannya masing-masing, kelihatannya baku hantam antara tokoh-tokoh puncak Hwe-liong-pang itu tidak akan terhindar lagi. Tang Kiau-po, Han Toan dan Song Kim tentu saja tidak berani mencampuri pertengkaran itu, namun di dalam hati mereka tentu saja lebih condong kepada Te-liong Hiang-cu. Sebaliknya Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping tentu saja mengharap kemenangan untuk Thian-liong Hiang-cu.
Tetapi ketegangan yang semakin memuncak antara dua orang Hiang-cu Hwe-liong-pang itu ternyata tidak sampai meledak menjadi suatu perkelahian. Meskipun perasaan marah sudah menguasai diri kedua orang bertopeng itu, namun mereka masih dapat menahan diri untuk tidak berkelahi dengan ditonton oleh bawahan mereka, apalagi disaksikan pula oleh orang luar yang bukan anggota. Hal itu tentu merugikan nama Hwe-liong-pang sendiri.
Thian-liong Hiang-cu kemudian menarik napas panjang untuk melegakan dadanya yang terasa pepat. Katanya dengan suara selunak mungkin, “Sudahlah, Ji-su-heng, pertengkaran di antara kita sendiri hanyalah akan menjadi bahan tertawaan orang luar saja. Apa yang kukatakan tadi hendaklah Ji-su-heng sudi menjadikannya bahan pertimbangan. Kita masih sempat memperbaiki nama baik Hwe-liong-pang, meskipun saat ini nama Hwe-liong-pang sudah terlanjur dimusuhi oleh sebagian besar para kesatria dunia persilatan.”
Namun agaknya kakak seperguruannya justru masih berkeras kepala, sahutnya dengan ketus, “Persetan dengan orang-orang munafik yang menamakan dirinya kaum kesatria itu! Suatu saat nanti, seluruh dunia persilatan harus berlutut kepada kita dan mengakui kekuasaan kita!”
Thian-liong Hiang-cu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap putus asa. Agaknya dia kehabisan akal juga untuk memberi pengertian kepada Ji-su-hengnya itu. Katanya, “Toa-su-heng sendiripun kira tidak punya cita-cita demikian.”
Te-liong Hiang-cu mendengus dingin, katanya, “Itu tafsiranmu sendiri, Sam-su-te. Sekarang kau jangan menghalangi Tang Su-cia untuk melaksanakan tugasnya membereskan kedua tikus Soat-san-pay dan Siau-lim-pay yang telah berani menentang kita itu.”
Kata-kata terakhir itu nyaris merupakan suatu putusan hukuman mati buat Wi-hong dan Wi-lian. Tetapi mereka tidak merengek-rengek minta ampun, apalagi mencoba memperpanjang umur dengan memohon perlindungan dari Thian-liong Hiang-cu, sebab betapapun juga Wi-hong dan Wi-lian masih punya harga diri sebagai putera-puteri Kiang-se-tay-hiap dan murid-murid dari mahaguru-mahaguru terkenal jaman itu. Daripada memohon ampun, mereka lebih bertekad untuk bertempur mati-matian, apapun yang terjadi.
Sedangkan Tang Kiau-po menunjukkan sikap gembira ketika mendengar ucapan Te-liong Hiang-cu itu. Cepat dicabutnya tongkat besinya yang tadi ditancapkannya di tanah itu, sambil menyahut, “Hamba menyambut perintah Hiang-cu dengan senang hati.”
Lalu ia menyeringai buas kepada Wi-hong dan Wi-lian, sambil melangkah maju setapak demi setapak dengan nafsu membunuh yang terpancar pada sepasang matanya. Geramnya, “Kali ini bukan pertandingan lagi, sebab aku telah menerima perintah untuk membinasakan kalian. Tentu saja kalian akan diperbolehkan melawan. Nah, bersiaplah.”
Tetapi pada saat Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po sudah siap bertindak untuk memuaskan nafsu haus darahnya, kembali terdengar Thian-liong Hiang-cu berseru mencegah, “Tahan!”
Te-liong Hiang-cu menggeram marah, “Sam-su-te, jika sekali ini kau berani menghalangi kemauanku lagi, maka akan kuanggap kau langsung menantang diriku!”
Gertakan itu ternyata tidak begitu mempan kepada diri Thian-liong Hiang-cu. Kata Thian-liong Hiang-cu sambil tertawa, “Jangan cepat-cepat naik darah dulu, Ji-su-heng. Tindakanku mencegah hal ini justru untuk menjaga agar di kemudian hari Ji-su-heng tidak mengalami kesulitan, sebab Ji-su-heng harus tahu lebih dulu siapakah kedua calon korbanmu itu?”
“Aku tahu mereka murid Soat-san-pay dan Siau-lim-pay. Kepada mereka aku tidak takut seujung rambut pun.”
“Bukan itu yang kumaksud, Ji-su-heng, tetapi kesulitan yang bakal merepotkan Ji-su-heng itu adalah kesulitan yang datangnya dari Toa-su-heng sendiri. Nah, beranikah Ji-su-heng melawan Toa-su-heng?”
Te-liong Hiang-cu nampak terkejut. “Apa maksudmu?” serunya.
Sahut Thian-liong Hiang-cu, “Kedua orang ini bernama marga Tong, itu artinya sama dengan nama marga dari Toa-su-heng.”
Mendengar jawaban adik seperguruannya itu, terbahak-bahaklah Te-liong Hiang-cu, “Ha-ha-ha, Sam-su-te, hanya dengan alasan selemah itu kau mencoba menyelamatkan kedua tikus kecil ini? Apa hubungannya orang yang bernama marga sama? Di dunia ini terdapat ribuan orang yang satu sama lain punya nama marga yang sama, hal itu sudah lumrah.”
Tetapi Thian-liong Hiang-cu melanjutkan kata-katanya dengan tenang, “Ucapanku belum selesai, Ji-su-heng. Kedua anak she Tong ini bukan saja bernama marga sama dengan Toa-su-heng, bahkan kota kelahiran mereka pun sama dengan Toa-su-heng, yaitu An-yang-shia.”
Kali ini Te-liong Hiang-cu tidak berani memandang enteng lagi. biarpun perubahan airmukanya tidak terlihat karena tertutup oleh topeng tengkoraknya, namun jelas sekali bahwa ia merasa kaget. Bentaknya dengan penasaran, “Sam-su-te, kau jangan mengarang cerita yang bukan-bukan untuk menakut-nakuti aku. Toa-su-heng adalah seorang yang sebatangkara, kukira kedua tikus ini tidak ada hubungan apapun dengannya.”
Meskipun suaranya dibuat semantap dan segarang mungkin, tetapi jelas Te-liong Hiang-cu ini mulai dirambati perasaan bimbang, antara percaya dan tidak percaya akan ucapan adik seperguruannya itu. Kelemahan ini agaknya cukup diketahui oleh Thian-liong Hiang-cu yang lalu mendesaknya lagi,
“Aku tidak menakut-nakutimu, Ji-su-heng. Tetapi aku sudah menyelidiki dan yakin bahwa kedua orang she Tong ini ada hubungan erat dengan Toa-su-heng. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, jangan sampai Ji-su-heng salah tindakan dan kelak akan membahayakan nama Ji-su-heng sendiri.”
Orang yang bersembunyi di balik topeng Te-liong Hiang-cu itu meskipun bersikap garang, namun sebenarnya mempunyai hati yang lemah. Gertakan halus dari Thian- liong Hiang-cu itu benar-benar termakan ke dalam hatinya. Meskipun kepandaiannya cukup tinggi, tetapi ia tidak akan berani untuk cari perkara terhadap Toa-suhengnya yang berkepandaian lebih tinggi.
Akhirnya Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk tidak menyerempet bahaya. Katanya, “Baiklah, Sam-su-te, mengingat kau begitu membela kedua tikus kecil itu, biarlah kali ini aku mengampuninya. Tetapi jika lain kali mereka berani menentang Hwe-liong-pang lagi, sudah tentu aku tidak akan bersikap selunak ini. Camkanlah ini baik-baik.”
Thian-liong Hiang-cu berkata sambil tertawa, “Putusan Ji-su-heng kali ini cukup bijaksana. Baiklah, urusan di sini sudah selesai. Marilah kita segera menuju ke Lam-cang untuk berkumpul dengan Toa-su-heng dan Si-su-te (adik seperguruan keempat) yang tentu sudah lama menunggu kita.”
Sedangkan kepada Wi-hong dan Wi-lian, Thian-liong Hiang-cu memesan, “Hati-hatilah, janganlah bertindak sembarangan. Ada banyak orang yang mengharapkan agar kalian selalu berada dalam keadaan selamat.”
Ucapan Thian-liong Hiang-cu itu seakan mengandung maksud tertentu, membuat Wi-hong dan Wi-lian merasa heran. Hampir bersamaan kakak beradik itu bertanya, “Apa maksudmu?”
Namun Thian-liong Hiang-cu tidak menyahut dan berkelebat pergi, dalam beberapa kali lompatan saja ia telah tidak terlihat bayangannya lagi. Sementara orang-orang Hwe-liong-pang yang lainpun telah berjalan semakin menjauhi tempat itu. Tang Kiau-po dan Song Kim beberapa kali masih menoleh ke arah mereka dengan perasaan penasaran. Sebaliknya Cian Ping juga memandang kepergian Song Kim dengan dendam membara di hatinya, tetapi puteri Cian Sin-wi itu menyadari bahwa saat itu memang belum tepat saatnya untuk membalaskan dendam ayahnya.
Tubuh Cian Ping sudah agak kuat setelah tadi ia terkena sambaran pukulan Ang-mo-coa-ong. Wajahnya masih nampak agak pucat, namun untung ia tidak sampai keracunan oleh Ang-se-tok-jiu yang hebat itu, karena tadi Cian Ping hanya tersambar oleh ujung lengan jubah Tang Kiau-po saja, bukan langsung kena tangannya.
Saat itu sudah tengah hari lewat, matahari sudah bergeser meninggalkan puncak langit dan setapak demi setapak turun ke sebelah barat. Ketiga orang muda itu kini merasakan betapa lelah dan laparnya tubuh mereka yang telah mengalami pertempuran beruntun sejak kemarin malam. Bekal yang dibawa oleh Wi-hong tak bersisa sedikit pun, karena jatuh berceceran ketika mengejar orang-orang Hwe-liong-pang.
“Kutu buku, biarlah aku akan mengobati taci ini, karena mungkin masih ada sisa racun di tubuhnya,” kata Wi-lian kepada kakaknya. “Dan kau cobalah cari makanan apa saja di sekitar tempat ini untuk mengisi perut kita.”
Wi-hong yang telah merasa lega karena perginya musuh, kini bisa tertawa dan bergurau, “Huh, baru kali ini ada seorang adik yang menyuruh kakaknya dan cara menyuruhpun begitu kurang ajar.” Dan meskipun dengan pura-pura menggerutu, toh ia beranjak juga dari tempat itu untuk melaksanakan permintaan adiknya.
Sementara itu Wi-lian mencoba mengurut beberapa jalan darah di badan Cian Ping untuk melancarkan beberapa jalan darah bekas totokan yang belum lancar sepenuhnya. Lalu diberikannya pula sebutir obat pulung Siau-hoan-tan buatan kuil Siau-lim yang terkenal kemanjurannya untuk menguatkan badan itu. Muka Cian Ping yang tadinya pucat itu kini berangsur-angsur menjadi bercahaya merah.
“Terima kasih,” kata Cian Ping kepada Wi-lian dengan tulus.
Sebetulnya tadi Cian Ping sudah merasa agak cemburu ketika melihat munculnya Wi-hong itu dengan didampingi seorang gadis ayu. Namun setelah mendengar percakapan akrab antara Wi-hong dan Wi-lian mengertilah Cian Ping bahwa gadis yang dicemburui itu ternyata adalah adik iparnya sendiri. Diam-diam ia menjadi malu sendiri karena punya perasaan cemburu tadi.
Kini, sementara Wi-lian mengobatinya, Cian Ping memperhatikan Wi-lian dengan saksama. Dilihatnya seraut wajah ayu yang agak mirip dengan Wi-hong, dan meskipun wajah itu cukup ayu namun kulitnya tidak seputih gadis-gadis pingitan yang tidak pernah terkena sinar matahari. Sedang sinar matanya maupun bentuk bibirnya menandakan bahwa adik Wi-hong ini adalah seorang gadis yang berhati keras dan penuh keberanian, bahkan nampaknya lebih keras dari Wi-hong yang laki-laki.
Diam-diam Cian Ping menjadi kagum bukan main kalau mengingat bahwa gadis dengan muka seayu itu ternyata sanggup juga bertempur bagaikan harimau kelaparan dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Wi-lian yang merasa dirinya sedang diamat-amati itu segera mengangkat mukanya, tanyanya sambil tertawa, “Sudah selesai kau lihat diriku atau belum?”
Melihat sikap akrab dan santai dari Wi-lian itu, untuk sejenak Cian Ping melupakan urusan-urusan yang menyedihkan hatinya. Sahutnya sambil tertawa pula, “Sayang aku bukan seorang laki-laki, andaikata aku seorang laki-laki maka matipun aku rela untuk memperebutkan dirimu.”
“Kaupun cantik sekali. Pantas kakakku begitu kelabakan ketika kau dibawa oleh orang-orang Hwe-liong-pang itu.”
Wajah Cian Ping menjadi semburat merah oleh pujian Wi-lian itu, sahutnya, “A-hong sering bercerita kepadaku, katanya ia mempunyai seorang adik yang jahil dan suka menggoda orang lain. Ternyata cerita A-hong itu tidak berdusta.”
Begitulah, dalam waktu singkat saja kedua orang gadis yang baru saja mengalami suka duka bersama itu telah menjadi sangat akrab, seolah telah saling mengenal beberapa tahun sebelumnya. Tanya Cian Ping kemudian, “Adik Lian, menurut cerita A-hong kau telah terpisah dari dia ketika sedang bertempur menghadapi sekelompok pembunuh bayaran. Bahkan menurut A-hong kemungkinannya kecil sekali untuk bertemu lagi denganmu, sekarang entah bagaimana kau masih selamat dan bahkan dapat berkumpul lagi dengan kakakmu?”
“Thian Yang Maha Adil telah menyelamatkan umat-Nya yang tidak berdosa,” sahut Wi-lian. “Dari keadaan terancam musibah, aku malahan berbalik mendapatkan keuntungan besar, sebab aku kemudian ditolong oleh Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay dan diangkat menjadi muridnya. Dapatnya aku bertemu dengan Wi-hong kembali adalah karena beberapa hari yang lalu aku datang ke Tay-beng, tujuannya untuk menyampaikan surat Suhuku kepada Cian Lo-piau-thau. Sayang sekali aku terlambat datang sehingga Cian Lo-piau-thau telah menemui bencana di tangan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Aku mengejar orang-orang Hwe-liong-pang ke arah sini, dan di padang perdu ini pula aku menemui A-hong sedang kebingungan mencari jejak para penculikmu itu. Maka kami pun bergabung.”
Mengingat akan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang dialaminya dalam beberapa hari belakangan ini, wajah Cian Ping menjadi sangat murung. Namun dia berusaha keras untuk tidak meneteskan air matanya, ia menyadari memang demikianlah jalannya roda kehidupan, baru saja naik ke atas dan dalam sekejap kemudian telah terjungkir balik ke bawah. Baru beberapa hari Cian Ping menikmati kebahagiaan karena kembalinya Tong Wi-hong ke kota Tay-beng, lalu malapetaka pun datang menggantikan kebahagiaan itu, berupa munculnya orang-orang Hwe- liong-pang.
Melihat Cian Ping bersedih, Wi-lian mencoba menghiburnya, “Aku ikut sedih dan menyesali atas gugurnya ayahmu, kakak Ping. Aku pun pernah mengalami kesedihan serupa itu pada kira-kira dua tahun yang lalu. Dari sebuah keluarga yang hangat dan penuh kegembiraan, tiba-tiba saja aku dan kakakku terbanting ke suatu kancah gelombang keganasan dunia persilatan yang tak kenal ampun ini. Namun dengan keteguhan jiwa kita, kita pasti akan sanggup mengatasi semua gelombang ini.”
Merasa mendapat teman senasib, Cian Ping menggenggam tangan Wi-lian dengan perasaan terharu, tapi sekaligus juga merasa mendapat aliran kekuatan batin untuk menghadapi musibah itu. Kata Cian Ping kemudian, “Adik Lian, jika kelak kau dan kakakmu pergi ke An-yang-shia untuk menuntut balas kepada orang yang bernama Cia To- bun itu, aku akan ikut bersama kalian. Aku sudah mendengar cerita tentang jahatnya orang itu, dan aku ingin menghadiahkan beberapa bacokan ke tubuhnya untuk membalaskan sakit hati orang tuamu.”
Di luar dugaan Cian Ping, tiba-tiba nampak Wi-lian menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dengan tenangnya, “Aku memang ingin balik ke An-yang-shia. Tetapi hanya karena rindu kampung halaman dan ingin mencari makam ayahku, sama sekali bukan untuk membalas dendam.”
“A... apa katamu?” Cian Ping sangat tercengang mendengar jawaban itu, seakan-akan ia tidak percaya lagi kepada pendengarannya.
Sahut Wi-lian dengan tetap tenang seperti tadi, “Dulu aku begitu membenci Cia To-bun, tetapi sekarang ini setitikpun aku tidak mendendam atau membencinya. Dendam dan kebencian hanya akan merampas ketenangan batinku sendiri, sedikitpun tidak menguntungkan.”
Berkerutlah alis Cian Ping mendengar jawaban itu, “Kau sama sekali tidak mendendam kepada orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluargamu itu? Kau sama sekali tidak ingat akan sakit hati orang tuamu? Jika kau tidak membenci musuhmu, kenapa kau juga membunuh orang-orang Hwe-liong-pang ini?”
“Jika aku membenci orang Hwe-liong-pang, terkutuklah aku. Aku membunuh mereka bukan karena membenci melainkan karena sangat terpaksa, demi ketenteraman hidup masyarakat. Orang-orang Hwe-liong-pang itu bagaikan serigala-serigala buas yang berkeliaran di tengah-tengah domba-domba yang lemah, untuk melindungi domba-domba itu tentu saja kita tidak dapat bersikap lemah lembut kepada serigala-serigala itu, karena mereka justru akan menggigit kita. Kita harus memberantasnya. Sikapku terhadap Cia To-bun juga sama. Jika dia masih saja merupakan serigala bagi sesamanya yang lemah, aku akan memperingatkannya dan jika tidak berhasil akan kuberantas. Tetapi jika dia telah menjadi seorang yang berguna bagi sesamanya, aku tidak akan membuka-buka urusan masa lalu lagi. Biarlah dia tetap hidup dan biarlah masyarakat di sekitarnya menikmati manfaat dari hidupnya itu. Jika aku membunuhnya justru aku telah merugikan masyarakat.”
Cian Ping adalah puteri Cian Sin-wi, tokoh yang terkenal karena sikapnya dalam menghadapi kaum liok-lim (rimba hijau). Biasanya ia hanya mendengar falsafah “hutang darah bayar darah, kekerasan dibayar dengan kekerasan pula”. Namun kini mendengar falsafah “baru” yang diucapkan oleh Wi-lian itu terketuklah hatinya. Namun alangkah sulitnya jika ia harus melupakan begitu saja akan kematian ayahnya yang begitu menyedihkan itu.
Dalam pada itu Tong Wi-hong telah muncul kembali dengan menjinjing telinga dua ekor kelinci yang berhasil ditangkapnya dengan jalan dilempar dengan batu itu. Wi- lian segera menyambut kelinci-kelinci itu dan berkata, “Ha, binatang-binatang yang cukup gemuk. Biarlah kumatangkan kedua binatang ini, tetapi A-hong akan mendapat pekerjaan baru. Tolong kau kuburkan mayat-mayat itu, rasanya nafsu makanku menjadi hilang jika harus makan sambil ditunggui mayat-mayat itu.”
Begitulah, sementara si adik menguliti kelinci dan membuat api, maka Wi-hong sebisa-bisanya mengubur mayat kedua saudara Cong dari Shoa-tang itu, juga batok kepala An Siau-lun yang tanpa tubuh itu. Diam-diam ngeri juga Wi-hong kalau membayangkan betapa kejamnya orang yang bernama Ang-mo-coa-ong itu. Kalau terhadap orang segolongannya sendiri saja ia sanggup bertindak sekejam itu, bagaimana kalau terhadap lawan-lawannya? Orang sekejam itu masih berkeliaran dengan bebas di dunia persilatan, hal itu benar-benar bukan sesuatu yang patut digembirakan.
Ketiga orang muda itu terpaksa harus satu malam lagi menginap di tengah padang perdu itu, sebab matahari telah keburu turun di ufuk barat. Untunglah masih ada sisa-sisa kayu bakar yang ditinggalkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang itu, sehingga mereka bertiga dapat membuat api unggun untuk mengusir hawa dingin dan menakut-nakuti kawanan anjing liar.
ORANG-ORANG Tiong-gi Piau-hang menyambut kedatangan Wi-hong bertiga dengan perasaan syukur bercampur haru. Bersyukur karena Cian Ping ternyata berhasil direbut kembali dengan tak kurang suatu apa, setelah hampir lima hari lima malam berada dalam tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Terharu karena mengingat nasib gadis itu yang baru saja ditinggal mati ayahnya.
Dengan tergopoh-gopoh Can Lo-toa, piau-su tua kepercayaan Cian Sin-wi itu, menyambut datangnya Cian Ping. Seperti seorang ayah yang menemukan kembali anaknya, ia memeluk Cian Ping dengan menangis terisak- isak. Ketiga orang yang baru datang dari padang perdu itu kemudian dibawa masuk ke ruangan tengah, di mana peti jenazah Cian Sin-wi masih terbujur di situ, sebab penguburannya menunggu kembalinya Cian Ping atau Wi-hong.
Cian Ping menguatkan hati melihat peti jenazah ayahnya itu, namun ketika ia berlutut untuk memberi hormat, tak tertahan lagi Cian Ping jatuh pingsan karena sedihnya. Ia segera digotong masuk oleh beberapa orang pelayan wanita. Tong Wi-lian pun membantu usaha menyadarkan Cian Ping dengan mengurut-urut tubuhnya.
Demikianlah suasana kesedihan dan perkabungan terasa meliputi gedung Tiong-gi Piau-hang yang megah itu. Tetapi di tengah-tengah perkabungan itu orang-orang masih bisa bersyukur untuk nasib baik Cian Ping.
Malam itu tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang mengadakan perundingan di loteng ruangan belakang yang tertutup. Meskipun perundingan itu khusus buat para pengurus Tiong-gi Piau-hang, namun Wi-hong dan Wi-lian diundang hadir pula dalam pembicaraan itu, karena dianggap telah berjasa besar bagi Tiong-gi Piau-hang dari berbagai kota. Sedangkan Cian Ping sebagai ahli waris satu-satunya dari mendiang Cian Sin-wi, justru tidak hadir karena kesehatannya yang belum memungkinkan untuk ikut berpikir keras.
Pembicaraan berlangsung sampai tengah malam lewat, dan akhirnya menghasilkan dua keputusan. Keputusan pertama, jenazah Cian Sin-wi akan dimakamkan lusa hari, mengingat bahwa semua keluarga dekat maupun jauh sudah berkumpul di Tay-beng, begitu pula semua pemimpin cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang. Keputusan kedua, mengingat bahwa Tiong-gi Piau-hang bukan suatu aliran persilatan melainkan lebih bersifat perusahaan dagang, maka yang akan ditetapkan sebagai pengganti Cian Sin-wi haruslah “orang dalam” yang erat hubungannya dengan almarhum.
Dengan persetujuan umum, Akhirnya ditetapkan bahwa Tong Wi-hong sebagai calon menantu Cian Sin-wi akan diserahi pengelolaan Tiong-gi Piau-hang lebih lanjut. Tong Wi-hong dengan rendah hati menerima pengangkatan itu, namun ia mengajukan dua syarat. Pertama ia minta didampingi oleh beberapa tokoh tua Tiong-gi Piau-hang yang cukup berpengalaman, mengingat dirinya belum tahu apa-apa tentang urusan Piau-hang.
Kedua, Wi-hong minta agar sementara waktu pengelolaan Piau-hang diserahkan dulu kepada Can Lo-toa, karena Wi-hong sendiri masih punya tugas-tugas keluarga dan pribadi yang belum diselesaikan. Kedua permintan Wi-hong itu dapat disetujui, bahkan para pemimpin cabang menghargai sikap rendah hati dari si pemimpin baru mereka itu. Dengan demikian peti jenazah Cian Sin-wi masih akan dibaringkan di gedung itu satu hari lagi. Sementara segala persiapan untuk upacara pemakaman pun disediakan dengan saksama.
Keesokan harinya, para pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah pun semakin berlimpah, apalagi setelah umum mengetahui hari itu adalah hari terakhir kesempatan untuk memberi hormat. Begitu hebat wibawa Cian Sin-wi dalam dunia persilatan di wilayah Kang-pak, sehingga para pelayat yang datang bukan hanya dari Tay-beng tetapi juga dari tempat-tempat yang jauh.
Untuk menampung para tamu dari jauh, Tong Wi-hong sebagai pimpinan baru Tiong-gi Piau-hang telah memerintahkan anak buahnya agar memborong seluruh kamar-kamar penginapan di kota Tay-beng. Ternyata itu pun masih belum dapat menampung sepenuhnya para tetamu, sehingga para tamu terpaksa agak berdesakan dalam kamar penginapannya. Ada yang satu kamar ditempati sampai lima atau enam orang, untungnya para tetamu itu bukan orang-orang yang rewel.
Bersamaan dengan menyebarnya berita kematian Cian Sin-wi, tersebar pula berita tentang keberanian dan kegagahan Tong Wi-hong dan adiknya yang telah berhasil merampas Cian Ping dari tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Timbul pula harapan di kalangan kaum liok-lim (rimba hijau) bahwa pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang ini akan bersikap lebih “lunak” dari pendahulunya. Selama kepemimpinan Cian Sin-wi sudah sering kaum rimba hijau ini menelan “pil pahit” dari Tiong-gi Piau-hang.
Menjelang tengah hari, mendadak muncul serombongan tetamu yang cukup menarik perhatian. Tamu-tamu itu terdiri dari lima orang yang semuanya berpakaian seragam prajurit Kerajaan Beng. Dan menilik seragamnya yang agak mentereng, dapat disimpulkan bahwa kelima orang itu bukan prajurit-prajurit dari kesatuan biasa, melainkan dari pasukan Khusus yang hanya terdapat di Ibukota.
Seragam mereka jauh lebih gagah dari prajurit-prajurit biasa, sedang sikap mereka pun menunjukkan bahwa mereka lebih tangguh dari prajurit-prajurit biasa. Pemimpin dari rombongan kecil prajurit Kerajaan itu adalah seorang anak muda berumur kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, bertubuh tegap kuat, berwajah angker dan berwibawa. Di pinggang kirinya tergantung sebatang golok.
Pada jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng itu, pada umumnya kaum prajurit atau pejabat Kerajaan kurang disenangi oleh orang-orang dari kalangan persilatan, sebab umumnya prajurit kerajaan itu dianggap sebagai penindas-penindas rakyat. Tetapi Tiong-gi Piau-hang bukan aliran persilatan melainkan suatu perusahaan dagang, sehingga mau tidak mau hubungan dengan pihak pembesar negeri harus terpelihara baik demi kelancaran usaha.
Kedatangan pembesar-pembesar tentara untuk memberi hormat kepada Cian Sin-wi bukanlah hal yang aneh, tetapi kemunculan serombongan prajurit dari Pasukan Khusus di Ibukota benar-benar di luar dugaan dan cukup menarik perhatian. Tong Wi-hong yang bertindak mewakili Tiong-gi Piau-hang, segera menyambut keluar begitu mendengar tentang datangnya rombongan Pasukan Khusus itu.
Begitu berhadapan dengan pemimpin rombongan prajurit itu, terkejutlah Wi-hong. Serunya, “Ki... kiranya Ting... ting Tay-jin.”
Perwira muda yang memimpin rombongan prajurit itu tersenyum dan berkata, “Saudara Tong, ayahmu dan ayahku bersaudara angkat, kenapa kau memanggil tay-jin kepadaku? Hendaknya kau tidak terlalu sungkan. Oh, ya, aku sudah mendengar berita tentang pengangkatanmu sebagai pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang. Aku mengucapkan selamat.”
Sikap perwira muda yang dipanggil “Ting Tay-jin” itu ternyata begitu akrab dan hangat, berbeda dengan sikap orang-orang Kerajaan pada umumnya. Sebaliknya ternyata Wi-hong menanggapi sikap Ting tay-jin itu dengan dingin dan tawar sekali. Beberapa tokoh Tiong-gi Piau-hang yang melihat sikap Wi-hong itu diam-diam merasa cemas bahwa sikap Wi-hong itu akan membawa kesulitan besar di kemudian hari.
Sikap kaku Tong Wi-hong itu sebenarnya punya alasan tersendiri. Wi-hong ingat kejadian kira-kira dua tahun yang lalu, ketika ia meninggalkan rumah Cian Sin-wi tanpa pamit gara-gara pertengkaran dengan Song Kim waktu itu. Di luar kota Tay-beng, Wi-hong dicegat oleh musuh besarnya, yaitu Te-yong Tojin, yang hendak membunuhnya.
Lalu muncul pula saat itu si paman angkat Ting Ciau-kun. Tetapi sang paman ini bukan hendak menolong Wi-hong, malahan berkomplot dengan Te-yong Tojin hendak membunuh Wi-hong bersama-sama. Untung saat itu Wi-hong dapat diselamatkan oleh Hong-koan Hwesio dan Oh Yu-thian.
Kini Wi-hong bersikap dingin dan tidak bersahabat, karena perwira muda yang berdiri di hadapannya itu bukan lain adalah Ting Bun, putera Ting Ciau-kun. Hanya dengan mengingat kedudukannya sekarang sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, maka Wi-hong tidak berani bersikap kasar kepada rombongan Tembok Besar itu. Demi basa-basi ia pun mempersilakan Ting Bun dan rombongannya untuk masuk ke ruang tengah dan bersembahyang di depan peti jenazah Cian Sin-wi.
Ting Bun adalah seorang yang bersifat jujur dan berjiwa terbuka, dengan setulus hati dia bersembahyang di depan jenazah Cian Sin-wi, karena dia pun mengagumi kebesaran Cian Sin-wi. Tetapi sikap Tong Wi-hong yang begitu tawar itu membuat Ting Bun merasa tidak enak sendiri. Kedatangannya ke gedung Tiong-gi Piau-hang itu sebenarnya hendak menanyakan pula beberapa masalah yang bersangkut-paut dengan tugasnya sebagai perwira Pasukan Khusus, tetapi sikap Wi-hong membuat Ting Bun terpaksa membatalkan niatnya.
Ting Bun dan keempat pengiringnya tidak lama di gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Setelah mengucapkan ikut berduka cita dan menghormat sekali lagi ke peti jenazah, mereka pun berpamitan dan berlalu dari situ. Begitu kelima orang itu pergi, menggerutulah Wi-hong, “Heran sekali, orang she Ting itu ternyata masih punya muka juga untuk menemui aku. Benar-benar bermuka tebal.”
Can Lo-toa yang kebetulan berdiri di dekat Wi-hong dan mendengar gerutunya itu lalu bertanya, “Kehadiran lima orang prajurit dari Pasukan Khusus Kerajaan Beng itu memang sangat di luar dugaan. Entah ada hubungan apa antara mereka dengan Cong-piau-thau, kenapa nampaknya sudah saling mengenal?”
Terhadap orang tua yang pernah menjadi kepercayaan Cian Sin-wi ini, Wi-hong tidak sanggup untuk berbohong. Katanya, “Perwira muda itu bernama Ting Bun. Ayahnya yang bernama Ting Ciau-kun adalah saudara angkat dari mendiang ayahku, jadi ayah Ting Bun itu adalah paman angkatku. Tetapi Ting Ciau-kun itu justru sangat tega mengincar nyawaku hanya karena ingin memiliki sejilid kitab ilmu pedang Soat-san-pay yang dikiranya selalu kubawa. Paman Can, coba pikir, pantaskah paman angkat seperti itu dihormati?”
Can Lo-toa mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berkata, “Seorang angkatan tua yang tidak menghargai martabatnya sendiri dan sama sekali tidak pantas untuk dihormati. Kata pepatah, harimau tidak beranak anjing dan anjing tidak beranak harimau. Tetapi pepatah ini tidak berlaku seluruhnya untuk setiap orang.”
Wi-hong mengerutkan alisnya, “Apa maksud paman Can?” tanyanya.
Sahut Can Lo-toa dengan hati-hati, “Maaf, Cong-piau-thau, menurut pendapatku, perwira muda Ting Bun tadi agaknya adalah seorang jujur dan mempunyai sifat-sifat kesatria. Dan menurut pandangan mata tuaku, dia nampaknya bukan jenis manusia yang suka berlaku licik.”
Wi-hong menarik napas. “Hemm, pandangan mata bisa mengelabuhi. Dulu ketika aku dan adikku masih terlunta-lunta di dunia persilatan, kami segera mencari Ting Ciau-kun dengan harapan akan mendapat naungan sementara, dan orang she Ting itupun menerima kami berdua dengan muka yang manis serta sikap yang luar biasa ramahnya. Siapa tahu di balik sikapnya itu dia hanyalah seekor serigala berbulu domba. Aku tidak ingin tertipu untuk kedua kalinya.
Rupanya Can Lo-toa segan berdebat lagi dengan pemimpinnya itu, terpaksa dia hanya mengangguk- anggukkan kepalanya. Dalam pada itu, seorang penerima tamu telah melaporkan tentang datangnya seorang tamu lagi. Wi-hong dan Can Lo-toa segera menyambut keluar.
Tamu yang datang kali ini ternyata adalah seorang muda pula, seusia dengan Wi-hong dan bermuka tampan pula. Pakaiannya terdiri dari bahan-bahan yang mahal, penampilannya secara keseluruhan menyatakan bahwa dia adalah seorang yang kaya raya.
Munculnya anak muda hartawan itu pun tidak terlalu mengherankan sebab Tiong-gi Piau-hang sudah terlalu sering berhubungan dengan kaum hartawan yang biasanya minta dikawalkan harta bendanya. Namun aneh, Tong Wi-hong justru punya kesan tersendiri terhadap anak muda hartawan itu seperti sudah pernah dikenalnya, begitu pula gerak-geriknya. Sayang sekali Wi-hong sudah lupa bilamana dan di mana ia pernah melihatnya.
Selesai bersembahyang di depan peti jenazah Cian Sin-wi, anak muda hartawan itu segera mendekati Tong Wi-hong dan berkata sambil tersenyum ramah, “Tong Cong-piau-thau, jika Cong-piau-thau punya sedikit waktu, sudikah Cong-piau-thau meluangkan sedikit waktu untuk berbicara denganku?”
Sekali lagi Wi-hong mengamat-amati tamu-tamunya itu, dan kembali ia menemukan satu keistimewaan dari tamu muda ini. Sinar matanya tajam berkilat-kilat, menandakan bahwa anak muda hartawan ini memiliki tingkatan tenaga dalam yang cukup hebat! Wi-hong heran bukan main, sebab biasanya kalau anak hartawan itu sulit untuk “jadi” di dalam kalangan dunia persilatan, sebab biasanya mereka kurang tekun berlatih dan terlalu dimanja dalam kemewahan. Tetapi anak muda yang berdiri di depan Wi-hong itu agaknya merupakan suatu perkecualian.
Sahut Wi-hong tidak kurang hormatnya, “Silakan tuan berbicara, aku akan mendengarkannya.”
Anak muda hartawan itu menampilkan sikap serba salah, lalu berkata sambil tertawa canggung, “Maaf, Cong-piau-thau, barangkali aku terlalu rewel, tetapi aku mohon dengan sangat agar bisa berbicara hanya empat mata dengan Cong-piau-thau.”
“Apakah urusannya begitu penting?”
“Sangat penting, bahkan menyangkut urusan pribadi Cong-piau-thau sendiri. Urusan ini menyangkut seseorang yang sangat dekat hubungannya dengan Cong-piau-thau.”
Tanpa sadar Wi-hong menjadi semakin tertarik kepada anak muda hartawan yang aneh itu. Tanyanya, “Siapakah orang itu?”
Anak muda hartawan itu menjawab dengan kalem, sepatah demi sepatah kata tanpa meninggalkan senyuman ramahnya, “Tong Wi-siang.”
Jika ada halilintar meledak di pinggir telinga Wi-hong, barangkali tidak sekaget ketika mendengar nama itu. Cepat ia memanggil Can Lo-toa supaya mendekat, lalu pesannya kepada orang tua itu, “Paman Can, tolong kau gantikan tugasku sebentar untuk menyambut para tetamu, aku akan berbicara dengan saudara ini tentang sesuatu yang sangat penting. Jangan sekali-sekali kurang menghormat kepada tetamu.”
Melihat Cong-piau-thaunya yang begitu bersungguh-sungguh itu, heran juga perasaan Can Lo-toa, agaknya tetamu muda yang aneh itu memang merupakan orang penting bagi Cong-piau-thaunya. Tetapi Can Lo-toa tidak banyak bertanya lagi dan langsung menerima tugas itu.
“Kita akan berbicara di ruangan belakang,” kata Wi-hong kepada anak muda hartawan itu. Lalu ia melangkah mendahului sambil menggandeng tangan anak muda itu. ketika Wi-hong bertemu dengan seorang pelayan yang sedang berada di halaman tengah, Wi-hong segera berkata kepada pelayan itu, “He, kau, kau panggillah nona A-lian dan suruhlah dia menyusul aku ke ruangan kitab di sebelah timur. Ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan.”
Anak muda hartawan itu menurut saja tangannya ditarik Wi-hong sampai ke ruangan kitab sebelah timur, yang letaknya memang di bagian belakang dari gedung besar itu. Tidak lama kemudian kedua orang muda itu telah duduk berhadap-hadapan di ruangan itu, muka Wi-hong nampak tegang menanti berita apa yang akan dibawa oleh tamunya itu.
Sebelum kedua orang itu mulai berbicara, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ruangan itu, lalu pintu didorong dari luar dan masuklah Wi-lian dengan wajah yang tegang pula. Sebenarnya gadis itu hendak langsung bertanya kepada kakaknya tentang urusan penting apa yang dimaksud, tetapi ketika melihat adanya seorang tetamu muda yang belum dikenalnya juga sedang berada dalam ruangan itu, terpaksa Wi-lian mengurungkan maksudnya untuk bertanya.
Di luar dugaan Wi-hong maupun Wi-lian, pemuda hartawan itu menyambut kedatangan Wi-lian dengan senyum ramah dan panggilan yang sangat akrab, “Selamat bertemu, A-lian, lupakah kau kepadaku?”
Tentu saja kakak beradik itu sangat heran melihat sikap anak muda hartawan itu, sebab panggilan “A-lian” hanya diucapkan oleh orang-orang yang sudah akrab dengan gadis itu. Tetapi kenapa pemuda itu bersikap demikian pula? Apa maksud tujuannya?
“Siapakah saudara ini?” tanya Wi-hong.
Anak muda hartawan itu tertawa, “Ternyata kau juga lupa kepadaku, A-hong, padahal kita adalah satu kampung halaman. Aku adalah sahabat dekat kakak kalian, A-siang, dan dulu sering juga aku bermain-main di rumah kalian. Kau tentu masih ingat kepada Siangkoan Hong, yang rumahnya di pinggir pertigaan jalan yang hanya satu- satunya pertigaan di An-yang-shia itu.”
“Siangkoan Hong!” seru Wi-hong sambil menepuk pahanya. “Pantas ketika kau datang tadi aku merasa pernah mengenalmu. Kiranya kau adalah Siangkoan Hong yang sering juga dipanggil A-hong, sehingga nama panggilan kita adalah sama!”
Anak muda hartawan itu tertawa. “Betul,” sahutnya.
Wi-hong ingat bahwa kakaknya punya teman-teman yang terdiri dari anak-anak muda berandalan, sama berandalnya dengan Wi-siang sendiri, yang sering membuat keonaran di An-yang-shia dan bahkan sering pula mengacau sampai ke Lam-cang. Dan salah satu dari anak-anak muda berandalan teman kakaknya itu kini sedang duduk di depannya, meskipun sekarang Siangkoan Hong nampaknya tidak mengesankan lagi sifat-sifat bengalnya yang dulu.
Meskipun demikian hati Wi-hong berdesir juga ketika melihat bahwa samar-samar di jidat Siangkoan Hong terlihat selapis tipis warna kehitam-hitaman yang hampir tak terlihat, menandakan bahwa sekarang Siangkoan Hong telah membekal ilmu sesat yang lihai. Selain itu dilihatnya mata Siangkoan Hong kadang-kadang bersinar-sinar aneh, seakan-akan berubah warna menjadi kehijau- hijauan seperti mata kucing. Kesan anak muda berandalan sudah tak terlihat lagi pada diri Siangkoan Hong, digantikan dengan kesan seorang tokoh silat yang lihai dan aneh!
Tong Wi-hong menenangkan debaran jantungnya, lalu katanya dengan mencoba bersikap seakrab mungkin, “Ya, kaupun sering dipanggil A-hong, sehingga orang sering keliru jika memanggil kita berdua.”
Sementara itu, Wi-lian yang sudah tidak sabaran itu segera menimbrung, “A-hong, tadi kau mengatakan bahwa ada urusan penting. Urusan apakah itu?”
Wi-hong tersenyum kepada adiknya itu, sahutnya, “Siangkoan Hong membawa berita tentang kakak kesayanganmu yang bengal itu.”
Hampir-hampir Wi-lian melompat dari kursinya karena terkejutnya. “Berita tentang A-siang? Benarkah itu? Tidak sedang bermimpikah aku?” serunya dengan perasaan meluap.
Siangkoan Hong agaknya cukup memahami kerinduan kakak beradik itu. Katanya, “Aku tahu kalian sangat rindu kepada A-siang. Tetapi bukan kalian saja yang rindu kepadanya, namun kakak kalian itupun sangat rindu kepada kalian, kedua adiknya itu.”
“Di manakah dia sekarang? Bagaimanakah keadaannya? Sehat-sehatkah dia?” desak Wi-lian dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Jawaban Siangkoan Hong ternyata agak menimbulkan kekecewaan, “Tentang di manakah beradanya dia sekarang, maaf, aku dipesan oleh A-siang agar tidak memberitahukan untuk sementara waktu. Tetapi tentang keadaannya, kalian boleh berlega hati bahwa dia dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun. Dia bergembira ketika mendengar bahwa adik-adiknya telah tumbuh menjadi pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kalian jangan kecewa bahwa aku tidak memberitahukan tempatnya, tetapi A-siang berkata bahwa tidak lama lagi dialah yang akan menemui kalian, sebab diam-diam ia selalu memperhatikan gerak-gerik kalian.”
Benar-benar jawaban yang kurang memuaskan, tetapi sedikit banyak dapat juga memuaskan dahaga kerinduan Wi-hong dan Wi-lian kepada kakak mereka yang tadinya telah dianggap hilang itu. Tetapi mereka pun merasa agak heran bahwa Siangkoan Hong yang nampaknya sudah berilmu tinggi itu ternyata masih mau disuruh oleh Tong Wi-siang, lalu entah bagaimanakah keadaan Wi-siang saat itu?
Sementara itu Siangkoan Hong berkata lagi, “Aku mengerti bahwa kalian tidak puas akan jawabanku ini, tapi memang hanya itulah yang dapat kujawab, aku tidak berani melanggar pesan A-siang tentang apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan kepada kalian. Tapi itu bukan berarti A-siang tidak percaya kepada kalian. Bukan begitu, A-siang hanyalah terbentur pada suatu kesulitan yang belum bisa diatasinya sehingga terpaksa masih menyimpan beberapa rahasia terhadap kalian. Nah, kalian tentu dapat memakluminya bukan? Selain itu, aku membawa sebuah pesan dan sebuah pertanyaan untuk kalian, yang berasal dari A-siang.”
“Sebuah pesan dan sebuah pertanyaan dari A-siang?”
Siangkoan Hong mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Pesannya kepada kalian memusuhi suatu golongan, hendaknya kalian dapat membedakan bahwa dalam golongan itu sendiri ada orang yang baik dan ada orang yang jahat, jangan dipukul rata saja. Begitulah pesannya kepada kalian.”
“Pesan yang aneh,” kata Wi-lian sambil tertawa. “Ada-ada saja A-siang ini. Tentu saja dalam bertindak apapun kami akan membedakan yang baik dan yang jahat, tidak main hantam koromo saja.”
Siangkoan Hong tersenyum sambil menarik napas, “Pesan itu memang sangat sederhana, tetapi yang A-siang kuatirkan adalah jika kalian terbawa oleh arus dendam kalian sehingga pesan itu akan sulit kalian laksanakan. Tetapi baiklah tidak usah kita bicarakan lagi pesan itu, akupun sudah cukup puas dapat menyampaikan pesan A-siang kepada kalian, sedang pelaksanaan pesan itu terserah kepada kalian sendiri. Sekarang A-siang juga akan mengajukan sebuah pertanyaan kepada kalian, dan mengharapkan jawaban tegas kalian.”
“Apa pertanyaannya?” desak Wi-hong dan Wi-lian penuh minat. Namun diam-diam dalam hati kakak beradik itupun heran karena kakak mereka bertindak begitu penuh rahasia.
Siangkoan Hong memandang tajam-tajam muka Wi-hong dan Wi-lian secara bergantian. Hilanglah senyum ramahnya yang terlihat sejak tadi, suaranya pun begitu bersungguh-sungguh dan mengandung tekanan, “Inilah pertanyaannya. Jika suatu saat A-siang mengobarkan pertempuran besar untuk melaksanakan cita-citanya menjunjung tinggi martabat marga Tong, maukah kalian berdiri di pihaknya?”
Jantung Wi-hong maupun Wi-lian bagaikan berhenti berdenyut ketika mendengar pertanyaan itu, samar-samar mereka mulai merasa bahwa di balik semua kejanggalan itu tentu sedang berlangsung suatu yang dahsyat. Mereka tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Mereka sudah cukup mengenal kakak mereka sebagai tukang membuat onar di An-yang-shia, dan sekarang entah apa lagi yang dimaksudkan dengan “mengobarkan pertempuran besar untuk menjunjung martabat marga Tong” itu? Suatu kekacauan lagikah?
Melihat kakak beradik itu sangat ragu-ragu dalam menjawab, Siangkoan Hong menarik napas dalam-dalam, katanya dengan nada agak menyesal, “Memang pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab. Namun andaikata kalian sebagai adik-adiknya memahami apa yang terkandung sebagai isi hati kakak kalian yang luhur itu, maka aku yakin bahwa kalian tanpa ragu-ragu lagi pasti akan berdiri di pihaknya.”
“Cita-cita apakah sebenarnya yang sedang dikandung oleh A-siang?” tanya Wi-lian menjajagi.
Sahut Siangkoan Hong, “A-siang merasa sangat berdosa besar, sebab kelakuannya telah menyebabkan seluruh keluarga Tong yang tadinya hidup tenteram itu menjadi berantakan. Dia bertekad kuat akan menebus kesalahannya di masa lampau itu. Dia akan mengangkat derajat keluarga Tong setinggi mungkin, sehingga mencapai martabat yang paling tinggi yang paling dimungkinkan untuk seorang manusia.”
Hati Wi-hong dan adiknya bergetar mendengar perkataan Siangkoan Hong itu. Sesaat ruangan itu dicengkam oleh ketegangan, hanya jantung kakak beradik she Tong itulah yang bergemuruh dalam rongga dadanya masing-masing. Kemudian terdengar suara Wi-hong bertanya dengan suara yang masih agak gemetar,
“A-hong, a... apakah... kesehatan A-siang cu... cukup baik? Maksudku... maksudku kesehatan pikirannya?”
Muka Siangkoan Hong tiba-tiba berubah jadi dingin membesi, sepasang matanya pun tiba-tiba bersinar kehijau-hijauan seperti mata harimau. Sikap lemah lembutnya yang tadi telah lenyap, digantikan dengan geraman kemarahan, “He, kau menuduh A-siang sudah miring otaknya? Tegakah kau menuduh kakakmu sendiri dengan tuduhan semacam itu? Gilakah kalau seseorang itu mempunyai cita-cita yang tinggi? Gilakah kalau seorang laki-laki, apalagi merupakan anak laki-laki tertua dalam keluarganya itu, ingin mengangkat derajat keluarganya setinggi-tingginya?”
Wi-hong menghembuskan napas untuk mengurangi kepepatan dadanya, lalu tanyanya, “Maafkan aku, aku tidak menuduh A-siang sekeji itu. Tetapi, apakah yang dimaksud oleh kakakku itu ialah ingin menjadikan dirinya sebagai... sebagai... Kaisar?”
Jawaban Siangkoan Hong sangat tegas, “Ya, kalian jangan kaget, tetapi justru harus bangga punya kakak setinggi itu cita-citanya. Itu bukan sesuatu yang gila bukan? Aku kagum kepadanya, karena dialah lelaki sejati yang berani mendobrak semua rintangan untuk mencapai cita-citanya. A-hong, kau sebagai seorang yang gemar membaca buku-buku kuno tentu pernah membaca tentang riwayat raja-raja besar jaman dahulu. Kau tentu ingat akan Tio Khong-in, seorang pengembara tanpa tempat tinggal yang akhirnya mendirikan dinasti Song dan menjadi Kaisar pertama dari dinasti itu? Ingatkah kau akan Temuchin, gembala miskin yang di hari tuanya berhasil mendirikan Kerajaan Goan yang menyatukan seluruh dunia, dan dia sendiri kemudian bergelar Jengis Khan, raja di raja yang tiada tandingannya? Ingatkah kau akan seorang pendeta cacad dan miskin bernama Cu Goan-ciang yang kemudian berhasil mendirikan dinasti Beng dan bergelar Beng-thay-cou itu? Nah, sejarah menyajikan contoh yang cukup banyak. Ketahuilah bahwa keadaan A-siang saat ini jauh lebih kokoh dari Tio Khong-in, Temuchin maupun Cu Goan-ciang ketika mereka memulai pergerakan besar mereka. Aku yakin, dan aku mendukungnya sepenuh hati, bahwa A-siang pasti akan mencapai apa yang dicita-citakannya.”
Wi-hong dan Wi-lian hanya bungkam saja “diberondong” perkataan Siangkoan Hong yang bersemangat dan berapi- api itu. Tanya Wi-lian kemudian, “Kau katakan bahwa keadaan A-siang lebih baik dari Tio Khong-in segala, sebenarnya bagaimanakah keadaannya sekarang? Ceritakanlah sebenarnya, supaya kami dapat menilai bahwa perjuangannya itu benar-benar berpijak kepada kenyataan atau cuma sekedar mimpi di siang hari bolong.”
Siangkoan Hong tertawa dingin, “Aku dipesan untuk tidak mengatakannya sekarang. Untuk sementara waktu, bolehlah kalian anggap bahwa A-siang itu gila atau bermimpi di siang hari bolong, tetapi kalian akan melihat buktinya kelak bahwa dia bisa mewujudkan cita-citanya. Nah, kalian belum menjawab pertanyaannya yang tadi. Di manakah kalian berpihak? Di pihak kakak kalian atau di pihak musuh-musuhnya?”
“Masalah ini sulit diputuskan dalam sekejap mata, tapi membutuhkan waktu berpikir yang panjang,” sahut Tong Wi-hong. “Bagaimana aku bisa memutuskan tentang suatu masalah yang belum aku ketahui dengan jelas?”
Agaknya Siangkoan Hong tidak dapat menahan perasaannya. Tanpa sadar ia menghentakkan kakinya dengan marah dan tahu-tahu di lantai yang diinjaknya itu “tercetaklah” sebuah bekas telapak kaki yang dalamnya hampir satu jari! Terkesiaplah Wi-hong dan Wi-lian menyaksikan pameran kekuatan yang hebat itu, karena ubin di ruangan itu terbuat dari batu hitam yang keras sekali. Kepandaian seperti itu agaknhya cukup pantas untuk disejajarkan dengan deretan “Sepuluh Tokoh Sakti” jaman itu.
Wi-hong dan adiknya juga heran melihat tingkat kepandaian Siangkoan Hong yang begitu tinggi. Dua tahun yang lalu, ketika Siangkoan Hong masih dikenal sebagai anak berandalan di An-yang-shia, meskipun ia gemar berkelahi namun ilmu silatnya masih termasuk kelas kambing. Kenapa kini dalam waktu dua tahun saja telah meningkat begitu hebat? Bahkan telah melebihi Wi-hong dan adiknya yang selama dua tahun ini telah berlatih begitu keras.
Siangkoan Hong nampaknya sangat bangga ketika melihat kakak beradik itu kaget melihat kepandaiannya. Katanya sambil tertawa, “Maaf, aku kurang dapat mengendalikan diri sehingga tanpa sengaja telah merusakkan lantai ruangan ini. Tetapi hal ini sekaligus ingin kujadikan tolok ukur agar kalian dapat menilai kepandaian A-siang saat ini. Kepandaian yang kuperlihatkan tadi masih beberapa tingkat di bawah kepandaian yang dimiliki A-siang saat ini. Kepandaian A-siang sekarang sudah sulit diukur lagi tingginya.”
“Berguru di manakah dia?” tanya Wi-hong.
Siangkoan Hong menjawab, “Di jaman ini tidak ada seorang tokoh pun yang cukup pantas untuk menjadi gurunya. Ia hanya menemukan suatu penemuan aneh di suatu tempat yang dirahasiakan.”
Wi-hong berkata sambil menarik napas, “Aku ikut bersyukur dan bergembira untuk nasib baiknya, bahkan aku dan adikku minta tolong kepadamu untuk menyampaikan rasa bahagia kami ini kepadanya. Tentang cita-cita besarnya itu, aku memang belum dapat memutuskannya sekarang. Suatu ketika aku ingin berbicara sendiri dengannya, dan tidak tertutup kemungkinannya kami akan mendukung cita-citanya itu. Jika cita-citanya itu memang membawa kesejahteraan bagi umat manusia.”
Siangkoan Hong nampak kurang puas dengan jawaban yang kurang tegas itu, tetapi apa boleh buat, ia memang tidak bisa memaksakan kehendaknya dengan begitu saja. “Baiklah, akan aku sampaikan jawabanmu ini kepada A-siang,” kata Siangkoan Hong akhirnya. “Aku memang tidak bisa memaksa kalian. Jika kalian kelak memutuskan untuk memihak kepada A-siang, tentu ia akan gembira sekali. Sebaliknya ia akan bersedih hati jika harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh.”
Jawab Wi-hong sambil mengerutkan alisnya, “Aku sebenarnya kurang mengerti akan jalan pikiran kakakku itu. Kenapa dia sampai berpikiran bahwa kami kakak beradik akan saling berhadapan sebagai musuh? Akupun sama sekali tidak ingin menghadapinya sebagai musuh, begitu pula A-lian juga tidak ingin, karena kami bertiga adalah saudara-saudara seayah dan seibu, dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang sama.”
“Aku sendiri meskipun hanya orang luar, juga tidak ingin melihat kalian kakak beradik ini akan berbaku hantam,” kata Siangkoan Hong. “Nah, kupersilakan kalian memikirkan hal ini baik-baik, dan aku sekarang akan berpamitan dulu.” Siangkoan Hong segera bangkit berdiri lalu berjalan keluar. Tong Wi-hong sendiri mengantarkannya sampai ke pintu depan.
Demikianlah, pada hari itu Wi-hong telah bertemu kembali dengan dua orang kenalan lamanya dengan membawa kenangan yang berbeda-beda pula. Ting Bun yang mengingatkannya kepada Ting Ciau-kun dan menimbulkan ketidak senangannya kepada si paman angkat itu, kemudian pertemuan dengan Siangkoan Hong yang membawa berita tentang kakaknya yang hampir-hampir dianggap hilang itu. Tetapi berita tentang kakaknya itu justru menimbulkan kesan kekaburan dan diliputi kabut rahasia yang tebal.
Para tetamu yang datang melayat pada hari itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Kota bernilai sejarah Tay-beng yang biasanya hanya dikunjungi oleh kaum kutu buku atau kaum pelancong yang ingin menikmati peninggalan-peninggalan bersejarah, kini dipenuhi dengan manusia-manusia dunia persilatan yang rata-rata bertampang keras dan garang.
Rumah-rumah penginapan telah penuh, bahkan tidak sedikit yang terpaksa malam itu harus tidur di emperan rumah orang. Banyak di antara pelayat itu benar-benar ingin memberi penghormatan terakhir kepada Cian Sin-wi, karena pernah menerima budi baiknya atau karena pernah mengenalnya, tetapi juga tidak sedikit yang hanya ingin melihat ramai- ramai orang berkumpul.
Jumlah pelayat yang luar biasa itu membuat Tong Wi-hong sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang merasa bangga, tetapi sekaligus juga merasa betapa beratnya beban yang terpanggul di pundaknya. Ia menyadari akan kebesaran dan kejayaan Tiong-gi Piau-hang, dan berarti Tong Wi- hong juga harus berhasil mempertahankan kejayaan itu, bahkan kalau perlu membuatnya bertambah jaya.
Keesokan harinya, upacara pemakaman Cian Sin-wi berjalan dalam suasana khidmat, megah dan lancar. Peti jenazah Cian Sin-wi diangkut dengan sebuah kereta yang berlapis kain belacu putih dan ditarik oleh dua ekor kuda berbulu putih pula. Tong Wi-hong, Cian Ping dan para pemimpin cabang Tiong-gi Piau-hang berjalan kaki dan mengawal di samping kereta, mereka semua berpakaian belacu putih pula dan kepalanya juga diikat dengan kain putih.
Sedangkan iring-iringan pelayat memanjang ke belakang sampai beberapa li panjangnya. Bahkan ketika kereta jenazah sudah mencapai sebuah bukit di luar kota Tay-beng, di mana liang lahat sudah disiapkan, ekor dari iring-iringan pelayat itu masih berada di dalam kota Tay- beng.
Wi-lian berjalan di belakang kereta, bersama dengan beberapa orang Tiong-gi Piau-hang yang telah dikenalnya. Hari itu terpaksa Wi-lian harus menanggalkan kesenangannya memakai pakaian berwarna merah, dan digantinya dengan warna putih tanda berkabung. Tepat pada saat iringan jenazah mendaki ke atas bukit, tiba-tiba Wi-lian mendengar ada seseorang yang memanggil namanya.
Ketika ia menoleh, nampaklah bahwa orang yang memanggilnya itu ternyata adalah seorang anak muda yang berpakaian seragam perwira Pasukan Khusus Kerajaan Beng. Perwira muda itu bukan lain adalah Ting Bun. Tong Wi-lian bagaikan tertegun ketika melihat anak muda itu. Selama dua tahun ini Wi-lian belum pernah sekejap pun melupakan anak muda yang menarik hatinya ini. Tetapi sekarang Wi-lian menjadi sangat kecewa ketika melihat anak muda itu mengenakan seragam prajurit Kerajaan Beng, seragam yang tidak disenanginya....
"Dan yang terakhir kudengar adalah Jing-ki-tong telah menyatroni dan membunuh Cian Sin-wi di Tay-beng. Jelaslah dengan tindakan anak buah kita yang tak terkendali ini maka kita tidak akan mendapat kawan, malahan akan mendapatkan banyak musuh, dan cita-cita besar Toa-su-heng bisa terwujud? Kita sama saja dengan melawan kesatria seluruh dunia secara membabi buta, dan akhirnya kita sendirilah yang akan hancur!”
Bentak Te-liong Hiang-cu dengan marahnya. “Dalam beberapa peristiwa yang kau sebutkan itu, memang aku sendirilah yang telah memerintahkan beberapa Tong-cu (Kepala Kelompok) untuk melakukannya, bahkan beberapa Su-cia juga kusuruh untuk bertindak keras terhadap golongan-golongan musuh kita. Kewibawaan dan keangkeran Hwe-liong-pang harus ditegakkan dengan darah! Hanya orang-orang banci saja yang ketakutan melihat mengalirnya darah!”
Agaknya Thian-liong Hiang-cu juga mulai marah karena dibentak-bentak seperti itu, maka ketika ia berkata lagi suaranya terdengar bergetar hebat menahan kemarahan, “Tetapi yang kita peroleh bukanlah kewibawaan, melainkan kebencian dan permusuhan di mana-mana!”
Sesaat lamanya suasana menjadi tegang. Te-liong Hiang-cu dan Thian-liong Hiang-cu telah berhadapan dengan menyimpan kemarahannya masing-masing, kelihatannya baku hantam antara tokoh-tokoh puncak Hwe-liong-pang itu tidak akan terhindar lagi. Tang Kiau-po, Han Toan dan Song Kim tentu saja tidak berani mencampuri pertengkaran itu, namun di dalam hati mereka tentu saja lebih condong kepada Te-liong Hiang-cu. Sebaliknya Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping tentu saja mengharap kemenangan untuk Thian-liong Hiang-cu.
Tetapi ketegangan yang semakin memuncak antara dua orang Hiang-cu Hwe-liong-pang itu ternyata tidak sampai meledak menjadi suatu perkelahian. Meskipun perasaan marah sudah menguasai diri kedua orang bertopeng itu, namun mereka masih dapat menahan diri untuk tidak berkelahi dengan ditonton oleh bawahan mereka, apalagi disaksikan pula oleh orang luar yang bukan anggota. Hal itu tentu merugikan nama Hwe-liong-pang sendiri.
Thian-liong Hiang-cu kemudian menarik napas panjang untuk melegakan dadanya yang terasa pepat. Katanya dengan suara selunak mungkin, “Sudahlah, Ji-su-heng, pertengkaran di antara kita sendiri hanyalah akan menjadi bahan tertawaan orang luar saja. Apa yang kukatakan tadi hendaklah Ji-su-heng sudi menjadikannya bahan pertimbangan. Kita masih sempat memperbaiki nama baik Hwe-liong-pang, meskipun saat ini nama Hwe-liong-pang sudah terlanjur dimusuhi oleh sebagian besar para kesatria dunia persilatan.”
Namun agaknya kakak seperguruannya justru masih berkeras kepala, sahutnya dengan ketus, “Persetan dengan orang-orang munafik yang menamakan dirinya kaum kesatria itu! Suatu saat nanti, seluruh dunia persilatan harus berlutut kepada kita dan mengakui kekuasaan kita!”
Thian-liong Hiang-cu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap putus asa. Agaknya dia kehabisan akal juga untuk memberi pengertian kepada Ji-su-hengnya itu. Katanya, “Toa-su-heng sendiripun kira tidak punya cita-cita demikian.”
Te-liong Hiang-cu mendengus dingin, katanya, “Itu tafsiranmu sendiri, Sam-su-te. Sekarang kau jangan menghalangi Tang Su-cia untuk melaksanakan tugasnya membereskan kedua tikus Soat-san-pay dan Siau-lim-pay yang telah berani menentang kita itu.”
Kata-kata terakhir itu nyaris merupakan suatu putusan hukuman mati buat Wi-hong dan Wi-lian. Tetapi mereka tidak merengek-rengek minta ampun, apalagi mencoba memperpanjang umur dengan memohon perlindungan dari Thian-liong Hiang-cu, sebab betapapun juga Wi-hong dan Wi-lian masih punya harga diri sebagai putera-puteri Kiang-se-tay-hiap dan murid-murid dari mahaguru-mahaguru terkenal jaman itu. Daripada memohon ampun, mereka lebih bertekad untuk bertempur mati-matian, apapun yang terjadi.
Sedangkan Tang Kiau-po menunjukkan sikap gembira ketika mendengar ucapan Te-liong Hiang-cu itu. Cepat dicabutnya tongkat besinya yang tadi ditancapkannya di tanah itu, sambil menyahut, “Hamba menyambut perintah Hiang-cu dengan senang hati.”
Lalu ia menyeringai buas kepada Wi-hong dan Wi-lian, sambil melangkah maju setapak demi setapak dengan nafsu membunuh yang terpancar pada sepasang matanya. Geramnya, “Kali ini bukan pertandingan lagi, sebab aku telah menerima perintah untuk membinasakan kalian. Tentu saja kalian akan diperbolehkan melawan. Nah, bersiaplah.”
Tetapi pada saat Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po sudah siap bertindak untuk memuaskan nafsu haus darahnya, kembali terdengar Thian-liong Hiang-cu berseru mencegah, “Tahan!”
Te-liong Hiang-cu menggeram marah, “Sam-su-te, jika sekali ini kau berani menghalangi kemauanku lagi, maka akan kuanggap kau langsung menantang diriku!”
Gertakan itu ternyata tidak begitu mempan kepada diri Thian-liong Hiang-cu. Kata Thian-liong Hiang-cu sambil tertawa, “Jangan cepat-cepat naik darah dulu, Ji-su-heng. Tindakanku mencegah hal ini justru untuk menjaga agar di kemudian hari Ji-su-heng tidak mengalami kesulitan, sebab Ji-su-heng harus tahu lebih dulu siapakah kedua calon korbanmu itu?”
“Aku tahu mereka murid Soat-san-pay dan Siau-lim-pay. Kepada mereka aku tidak takut seujung rambut pun.”
“Bukan itu yang kumaksud, Ji-su-heng, tetapi kesulitan yang bakal merepotkan Ji-su-heng itu adalah kesulitan yang datangnya dari Toa-su-heng sendiri. Nah, beranikah Ji-su-heng melawan Toa-su-heng?”
Te-liong Hiang-cu nampak terkejut. “Apa maksudmu?” serunya.
Sahut Thian-liong Hiang-cu, “Kedua orang ini bernama marga Tong, itu artinya sama dengan nama marga dari Toa-su-heng.”
Mendengar jawaban adik seperguruannya itu, terbahak-bahaklah Te-liong Hiang-cu, “Ha-ha-ha, Sam-su-te, hanya dengan alasan selemah itu kau mencoba menyelamatkan kedua tikus kecil ini? Apa hubungannya orang yang bernama marga sama? Di dunia ini terdapat ribuan orang yang satu sama lain punya nama marga yang sama, hal itu sudah lumrah.”
Tetapi Thian-liong Hiang-cu melanjutkan kata-katanya dengan tenang, “Ucapanku belum selesai, Ji-su-heng. Kedua anak she Tong ini bukan saja bernama marga sama dengan Toa-su-heng, bahkan kota kelahiran mereka pun sama dengan Toa-su-heng, yaitu An-yang-shia.”
Kali ini Te-liong Hiang-cu tidak berani memandang enteng lagi. biarpun perubahan airmukanya tidak terlihat karena tertutup oleh topeng tengkoraknya, namun jelas sekali bahwa ia merasa kaget. Bentaknya dengan penasaran, “Sam-su-te, kau jangan mengarang cerita yang bukan-bukan untuk menakut-nakuti aku. Toa-su-heng adalah seorang yang sebatangkara, kukira kedua tikus ini tidak ada hubungan apapun dengannya.”
Meskipun suaranya dibuat semantap dan segarang mungkin, tetapi jelas Te-liong Hiang-cu ini mulai dirambati perasaan bimbang, antara percaya dan tidak percaya akan ucapan adik seperguruannya itu. Kelemahan ini agaknya cukup diketahui oleh Thian-liong Hiang-cu yang lalu mendesaknya lagi,
“Aku tidak menakut-nakutimu, Ji-su-heng. Tetapi aku sudah menyelidiki dan yakin bahwa kedua orang she Tong ini ada hubungan erat dengan Toa-su-heng. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, jangan sampai Ji-su-heng salah tindakan dan kelak akan membahayakan nama Ji-su-heng sendiri.”
Orang yang bersembunyi di balik topeng Te-liong Hiang-cu itu meskipun bersikap garang, namun sebenarnya mempunyai hati yang lemah. Gertakan halus dari Thian- liong Hiang-cu itu benar-benar termakan ke dalam hatinya. Meskipun kepandaiannya cukup tinggi, tetapi ia tidak akan berani untuk cari perkara terhadap Toa-suhengnya yang berkepandaian lebih tinggi.
Akhirnya Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk tidak menyerempet bahaya. Katanya, “Baiklah, Sam-su-te, mengingat kau begitu membela kedua tikus kecil itu, biarlah kali ini aku mengampuninya. Tetapi jika lain kali mereka berani menentang Hwe-liong-pang lagi, sudah tentu aku tidak akan bersikap selunak ini. Camkanlah ini baik-baik.”
Thian-liong Hiang-cu berkata sambil tertawa, “Putusan Ji-su-heng kali ini cukup bijaksana. Baiklah, urusan di sini sudah selesai. Marilah kita segera menuju ke Lam-cang untuk berkumpul dengan Toa-su-heng dan Si-su-te (adik seperguruan keempat) yang tentu sudah lama menunggu kita.”
Sedangkan kepada Wi-hong dan Wi-lian, Thian-liong Hiang-cu memesan, “Hati-hatilah, janganlah bertindak sembarangan. Ada banyak orang yang mengharapkan agar kalian selalu berada dalam keadaan selamat.”
Ucapan Thian-liong Hiang-cu itu seakan mengandung maksud tertentu, membuat Wi-hong dan Wi-lian merasa heran. Hampir bersamaan kakak beradik itu bertanya, “Apa maksudmu?”
Namun Thian-liong Hiang-cu tidak menyahut dan berkelebat pergi, dalam beberapa kali lompatan saja ia telah tidak terlihat bayangannya lagi. Sementara orang-orang Hwe-liong-pang yang lainpun telah berjalan semakin menjauhi tempat itu. Tang Kiau-po dan Song Kim beberapa kali masih menoleh ke arah mereka dengan perasaan penasaran. Sebaliknya Cian Ping juga memandang kepergian Song Kim dengan dendam membara di hatinya, tetapi puteri Cian Sin-wi itu menyadari bahwa saat itu memang belum tepat saatnya untuk membalaskan dendam ayahnya.
Tubuh Cian Ping sudah agak kuat setelah tadi ia terkena sambaran pukulan Ang-mo-coa-ong. Wajahnya masih nampak agak pucat, namun untung ia tidak sampai keracunan oleh Ang-se-tok-jiu yang hebat itu, karena tadi Cian Ping hanya tersambar oleh ujung lengan jubah Tang Kiau-po saja, bukan langsung kena tangannya.
Saat itu sudah tengah hari lewat, matahari sudah bergeser meninggalkan puncak langit dan setapak demi setapak turun ke sebelah barat. Ketiga orang muda itu kini merasakan betapa lelah dan laparnya tubuh mereka yang telah mengalami pertempuran beruntun sejak kemarin malam. Bekal yang dibawa oleh Wi-hong tak bersisa sedikit pun, karena jatuh berceceran ketika mengejar orang-orang Hwe-liong-pang.
“Kutu buku, biarlah aku akan mengobati taci ini, karena mungkin masih ada sisa racun di tubuhnya,” kata Wi-lian kepada kakaknya. “Dan kau cobalah cari makanan apa saja di sekitar tempat ini untuk mengisi perut kita.”
Wi-hong yang telah merasa lega karena perginya musuh, kini bisa tertawa dan bergurau, “Huh, baru kali ini ada seorang adik yang menyuruh kakaknya dan cara menyuruhpun begitu kurang ajar.” Dan meskipun dengan pura-pura menggerutu, toh ia beranjak juga dari tempat itu untuk melaksanakan permintaan adiknya.
Sementara itu Wi-lian mencoba mengurut beberapa jalan darah di badan Cian Ping untuk melancarkan beberapa jalan darah bekas totokan yang belum lancar sepenuhnya. Lalu diberikannya pula sebutir obat pulung Siau-hoan-tan buatan kuil Siau-lim yang terkenal kemanjurannya untuk menguatkan badan itu. Muka Cian Ping yang tadinya pucat itu kini berangsur-angsur menjadi bercahaya merah.
“Terima kasih,” kata Cian Ping kepada Wi-lian dengan tulus.
Sebetulnya tadi Cian Ping sudah merasa agak cemburu ketika melihat munculnya Wi-hong itu dengan didampingi seorang gadis ayu. Namun setelah mendengar percakapan akrab antara Wi-hong dan Wi-lian mengertilah Cian Ping bahwa gadis yang dicemburui itu ternyata adalah adik iparnya sendiri. Diam-diam ia menjadi malu sendiri karena punya perasaan cemburu tadi.
Kini, sementara Wi-lian mengobatinya, Cian Ping memperhatikan Wi-lian dengan saksama. Dilihatnya seraut wajah ayu yang agak mirip dengan Wi-hong, dan meskipun wajah itu cukup ayu namun kulitnya tidak seputih gadis-gadis pingitan yang tidak pernah terkena sinar matahari. Sedang sinar matanya maupun bentuk bibirnya menandakan bahwa adik Wi-hong ini adalah seorang gadis yang berhati keras dan penuh keberanian, bahkan nampaknya lebih keras dari Wi-hong yang laki-laki.
Diam-diam Cian Ping menjadi kagum bukan main kalau mengingat bahwa gadis dengan muka seayu itu ternyata sanggup juga bertempur bagaikan harimau kelaparan dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Wi-lian yang merasa dirinya sedang diamat-amati itu segera mengangkat mukanya, tanyanya sambil tertawa, “Sudah selesai kau lihat diriku atau belum?”
Melihat sikap akrab dan santai dari Wi-lian itu, untuk sejenak Cian Ping melupakan urusan-urusan yang menyedihkan hatinya. Sahutnya sambil tertawa pula, “Sayang aku bukan seorang laki-laki, andaikata aku seorang laki-laki maka matipun aku rela untuk memperebutkan dirimu.”
“Kaupun cantik sekali. Pantas kakakku begitu kelabakan ketika kau dibawa oleh orang-orang Hwe-liong-pang itu.”
Wajah Cian Ping menjadi semburat merah oleh pujian Wi-lian itu, sahutnya, “A-hong sering bercerita kepadaku, katanya ia mempunyai seorang adik yang jahil dan suka menggoda orang lain. Ternyata cerita A-hong itu tidak berdusta.”
Begitulah, dalam waktu singkat saja kedua orang gadis yang baru saja mengalami suka duka bersama itu telah menjadi sangat akrab, seolah telah saling mengenal beberapa tahun sebelumnya. Tanya Cian Ping kemudian, “Adik Lian, menurut cerita A-hong kau telah terpisah dari dia ketika sedang bertempur menghadapi sekelompok pembunuh bayaran. Bahkan menurut A-hong kemungkinannya kecil sekali untuk bertemu lagi denganmu, sekarang entah bagaimana kau masih selamat dan bahkan dapat berkumpul lagi dengan kakakmu?”
“Thian Yang Maha Adil telah menyelamatkan umat-Nya yang tidak berdosa,” sahut Wi-lian. “Dari keadaan terancam musibah, aku malahan berbalik mendapatkan keuntungan besar, sebab aku kemudian ditolong oleh Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay dan diangkat menjadi muridnya. Dapatnya aku bertemu dengan Wi-hong kembali adalah karena beberapa hari yang lalu aku datang ke Tay-beng, tujuannya untuk menyampaikan surat Suhuku kepada Cian Lo-piau-thau. Sayang sekali aku terlambat datang sehingga Cian Lo-piau-thau telah menemui bencana di tangan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Aku mengejar orang-orang Hwe-liong-pang ke arah sini, dan di padang perdu ini pula aku menemui A-hong sedang kebingungan mencari jejak para penculikmu itu. Maka kami pun bergabung.”
Mengingat akan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang dialaminya dalam beberapa hari belakangan ini, wajah Cian Ping menjadi sangat murung. Namun dia berusaha keras untuk tidak meneteskan air matanya, ia menyadari memang demikianlah jalannya roda kehidupan, baru saja naik ke atas dan dalam sekejap kemudian telah terjungkir balik ke bawah. Baru beberapa hari Cian Ping menikmati kebahagiaan karena kembalinya Tong Wi-hong ke kota Tay-beng, lalu malapetaka pun datang menggantikan kebahagiaan itu, berupa munculnya orang-orang Hwe- liong-pang.
Melihat Cian Ping bersedih, Wi-lian mencoba menghiburnya, “Aku ikut sedih dan menyesali atas gugurnya ayahmu, kakak Ping. Aku pun pernah mengalami kesedihan serupa itu pada kira-kira dua tahun yang lalu. Dari sebuah keluarga yang hangat dan penuh kegembiraan, tiba-tiba saja aku dan kakakku terbanting ke suatu kancah gelombang keganasan dunia persilatan yang tak kenal ampun ini. Namun dengan keteguhan jiwa kita, kita pasti akan sanggup mengatasi semua gelombang ini.”
Merasa mendapat teman senasib, Cian Ping menggenggam tangan Wi-lian dengan perasaan terharu, tapi sekaligus juga merasa mendapat aliran kekuatan batin untuk menghadapi musibah itu. Kata Cian Ping kemudian, “Adik Lian, jika kelak kau dan kakakmu pergi ke An-yang-shia untuk menuntut balas kepada orang yang bernama Cia To- bun itu, aku akan ikut bersama kalian. Aku sudah mendengar cerita tentang jahatnya orang itu, dan aku ingin menghadiahkan beberapa bacokan ke tubuhnya untuk membalaskan sakit hati orang tuamu.”
Di luar dugaan Cian Ping, tiba-tiba nampak Wi-lian menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dengan tenangnya, “Aku memang ingin balik ke An-yang-shia. Tetapi hanya karena rindu kampung halaman dan ingin mencari makam ayahku, sama sekali bukan untuk membalas dendam.”
“A... apa katamu?” Cian Ping sangat tercengang mendengar jawaban itu, seakan-akan ia tidak percaya lagi kepada pendengarannya.
Sahut Wi-lian dengan tetap tenang seperti tadi, “Dulu aku begitu membenci Cia To-bun, tetapi sekarang ini setitikpun aku tidak mendendam atau membencinya. Dendam dan kebencian hanya akan merampas ketenangan batinku sendiri, sedikitpun tidak menguntungkan.”
Berkerutlah alis Cian Ping mendengar jawaban itu, “Kau sama sekali tidak mendendam kepada orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluargamu itu? Kau sama sekali tidak ingat akan sakit hati orang tuamu? Jika kau tidak membenci musuhmu, kenapa kau juga membunuh orang-orang Hwe-liong-pang ini?”
“Jika aku membenci orang Hwe-liong-pang, terkutuklah aku. Aku membunuh mereka bukan karena membenci melainkan karena sangat terpaksa, demi ketenteraman hidup masyarakat. Orang-orang Hwe-liong-pang itu bagaikan serigala-serigala buas yang berkeliaran di tengah-tengah domba-domba yang lemah, untuk melindungi domba-domba itu tentu saja kita tidak dapat bersikap lemah lembut kepada serigala-serigala itu, karena mereka justru akan menggigit kita. Kita harus memberantasnya. Sikapku terhadap Cia To-bun juga sama. Jika dia masih saja merupakan serigala bagi sesamanya yang lemah, aku akan memperingatkannya dan jika tidak berhasil akan kuberantas. Tetapi jika dia telah menjadi seorang yang berguna bagi sesamanya, aku tidak akan membuka-buka urusan masa lalu lagi. Biarlah dia tetap hidup dan biarlah masyarakat di sekitarnya menikmati manfaat dari hidupnya itu. Jika aku membunuhnya justru aku telah merugikan masyarakat.”
Cian Ping adalah puteri Cian Sin-wi, tokoh yang terkenal karena sikapnya dalam menghadapi kaum liok-lim (rimba hijau). Biasanya ia hanya mendengar falsafah “hutang darah bayar darah, kekerasan dibayar dengan kekerasan pula”. Namun kini mendengar falsafah “baru” yang diucapkan oleh Wi-lian itu terketuklah hatinya. Namun alangkah sulitnya jika ia harus melupakan begitu saja akan kematian ayahnya yang begitu menyedihkan itu.
Dalam pada itu Tong Wi-hong telah muncul kembali dengan menjinjing telinga dua ekor kelinci yang berhasil ditangkapnya dengan jalan dilempar dengan batu itu. Wi- lian segera menyambut kelinci-kelinci itu dan berkata, “Ha, binatang-binatang yang cukup gemuk. Biarlah kumatangkan kedua binatang ini, tetapi A-hong akan mendapat pekerjaan baru. Tolong kau kuburkan mayat-mayat itu, rasanya nafsu makanku menjadi hilang jika harus makan sambil ditunggui mayat-mayat itu.”
Begitulah, sementara si adik menguliti kelinci dan membuat api, maka Wi-hong sebisa-bisanya mengubur mayat kedua saudara Cong dari Shoa-tang itu, juga batok kepala An Siau-lun yang tanpa tubuh itu. Diam-diam ngeri juga Wi-hong kalau membayangkan betapa kejamnya orang yang bernama Ang-mo-coa-ong itu. Kalau terhadap orang segolongannya sendiri saja ia sanggup bertindak sekejam itu, bagaimana kalau terhadap lawan-lawannya? Orang sekejam itu masih berkeliaran dengan bebas di dunia persilatan, hal itu benar-benar bukan sesuatu yang patut digembirakan.
Ketiga orang muda itu terpaksa harus satu malam lagi menginap di tengah padang perdu itu, sebab matahari telah keburu turun di ufuk barat. Untunglah masih ada sisa-sisa kayu bakar yang ditinggalkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang itu, sehingga mereka bertiga dapat membuat api unggun untuk mengusir hawa dingin dan menakut-nakuti kawanan anjing liar.
* * * * * * *
ORANG-ORANG Tiong-gi Piau-hang menyambut kedatangan Wi-hong bertiga dengan perasaan syukur bercampur haru. Bersyukur karena Cian Ping ternyata berhasil direbut kembali dengan tak kurang suatu apa, setelah hampir lima hari lima malam berada dalam tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Terharu karena mengingat nasib gadis itu yang baru saja ditinggal mati ayahnya.
Dengan tergopoh-gopoh Can Lo-toa, piau-su tua kepercayaan Cian Sin-wi itu, menyambut datangnya Cian Ping. Seperti seorang ayah yang menemukan kembali anaknya, ia memeluk Cian Ping dengan menangis terisak- isak. Ketiga orang yang baru datang dari padang perdu itu kemudian dibawa masuk ke ruangan tengah, di mana peti jenazah Cian Sin-wi masih terbujur di situ, sebab penguburannya menunggu kembalinya Cian Ping atau Wi-hong.
Cian Ping menguatkan hati melihat peti jenazah ayahnya itu, namun ketika ia berlutut untuk memberi hormat, tak tertahan lagi Cian Ping jatuh pingsan karena sedihnya. Ia segera digotong masuk oleh beberapa orang pelayan wanita. Tong Wi-lian pun membantu usaha menyadarkan Cian Ping dengan mengurut-urut tubuhnya.
Demikianlah suasana kesedihan dan perkabungan terasa meliputi gedung Tiong-gi Piau-hang yang megah itu. Tetapi di tengah-tengah perkabungan itu orang-orang masih bisa bersyukur untuk nasib baik Cian Ping.
Malam itu tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang mengadakan perundingan di loteng ruangan belakang yang tertutup. Meskipun perundingan itu khusus buat para pengurus Tiong-gi Piau-hang, namun Wi-hong dan Wi-lian diundang hadir pula dalam pembicaraan itu, karena dianggap telah berjasa besar bagi Tiong-gi Piau-hang dari berbagai kota. Sedangkan Cian Ping sebagai ahli waris satu-satunya dari mendiang Cian Sin-wi, justru tidak hadir karena kesehatannya yang belum memungkinkan untuk ikut berpikir keras.
Pembicaraan berlangsung sampai tengah malam lewat, dan akhirnya menghasilkan dua keputusan. Keputusan pertama, jenazah Cian Sin-wi akan dimakamkan lusa hari, mengingat bahwa semua keluarga dekat maupun jauh sudah berkumpul di Tay-beng, begitu pula semua pemimpin cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang. Keputusan kedua, mengingat bahwa Tiong-gi Piau-hang bukan suatu aliran persilatan melainkan lebih bersifat perusahaan dagang, maka yang akan ditetapkan sebagai pengganti Cian Sin-wi haruslah “orang dalam” yang erat hubungannya dengan almarhum.
Dengan persetujuan umum, Akhirnya ditetapkan bahwa Tong Wi-hong sebagai calon menantu Cian Sin-wi akan diserahi pengelolaan Tiong-gi Piau-hang lebih lanjut. Tong Wi-hong dengan rendah hati menerima pengangkatan itu, namun ia mengajukan dua syarat. Pertama ia minta didampingi oleh beberapa tokoh tua Tiong-gi Piau-hang yang cukup berpengalaman, mengingat dirinya belum tahu apa-apa tentang urusan Piau-hang.
Kedua, Wi-hong minta agar sementara waktu pengelolaan Piau-hang diserahkan dulu kepada Can Lo-toa, karena Wi-hong sendiri masih punya tugas-tugas keluarga dan pribadi yang belum diselesaikan. Kedua permintan Wi-hong itu dapat disetujui, bahkan para pemimpin cabang menghargai sikap rendah hati dari si pemimpin baru mereka itu. Dengan demikian peti jenazah Cian Sin-wi masih akan dibaringkan di gedung itu satu hari lagi. Sementara segala persiapan untuk upacara pemakaman pun disediakan dengan saksama.
Keesokan harinya, para pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah pun semakin berlimpah, apalagi setelah umum mengetahui hari itu adalah hari terakhir kesempatan untuk memberi hormat. Begitu hebat wibawa Cian Sin-wi dalam dunia persilatan di wilayah Kang-pak, sehingga para pelayat yang datang bukan hanya dari Tay-beng tetapi juga dari tempat-tempat yang jauh.
Untuk menampung para tamu dari jauh, Tong Wi-hong sebagai pimpinan baru Tiong-gi Piau-hang telah memerintahkan anak buahnya agar memborong seluruh kamar-kamar penginapan di kota Tay-beng. Ternyata itu pun masih belum dapat menampung sepenuhnya para tetamu, sehingga para tamu terpaksa agak berdesakan dalam kamar penginapannya. Ada yang satu kamar ditempati sampai lima atau enam orang, untungnya para tetamu itu bukan orang-orang yang rewel.
Bersamaan dengan menyebarnya berita kematian Cian Sin-wi, tersebar pula berita tentang keberanian dan kegagahan Tong Wi-hong dan adiknya yang telah berhasil merampas Cian Ping dari tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Timbul pula harapan di kalangan kaum liok-lim (rimba hijau) bahwa pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang ini akan bersikap lebih “lunak” dari pendahulunya. Selama kepemimpinan Cian Sin-wi sudah sering kaum rimba hijau ini menelan “pil pahit” dari Tiong-gi Piau-hang.
Menjelang tengah hari, mendadak muncul serombongan tetamu yang cukup menarik perhatian. Tamu-tamu itu terdiri dari lima orang yang semuanya berpakaian seragam prajurit Kerajaan Beng. Dan menilik seragamnya yang agak mentereng, dapat disimpulkan bahwa kelima orang itu bukan prajurit-prajurit dari kesatuan biasa, melainkan dari pasukan Khusus yang hanya terdapat di Ibukota.
Seragam mereka jauh lebih gagah dari prajurit-prajurit biasa, sedang sikap mereka pun menunjukkan bahwa mereka lebih tangguh dari prajurit-prajurit biasa. Pemimpin dari rombongan kecil prajurit Kerajaan itu adalah seorang anak muda berumur kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, bertubuh tegap kuat, berwajah angker dan berwibawa. Di pinggang kirinya tergantung sebatang golok.
Pada jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng itu, pada umumnya kaum prajurit atau pejabat Kerajaan kurang disenangi oleh orang-orang dari kalangan persilatan, sebab umumnya prajurit kerajaan itu dianggap sebagai penindas-penindas rakyat. Tetapi Tiong-gi Piau-hang bukan aliran persilatan melainkan suatu perusahaan dagang, sehingga mau tidak mau hubungan dengan pihak pembesar negeri harus terpelihara baik demi kelancaran usaha.
Kedatangan pembesar-pembesar tentara untuk memberi hormat kepada Cian Sin-wi bukanlah hal yang aneh, tetapi kemunculan serombongan prajurit dari Pasukan Khusus di Ibukota benar-benar di luar dugaan dan cukup menarik perhatian. Tong Wi-hong yang bertindak mewakili Tiong-gi Piau-hang, segera menyambut keluar begitu mendengar tentang datangnya rombongan Pasukan Khusus itu.
Begitu berhadapan dengan pemimpin rombongan prajurit itu, terkejutlah Wi-hong. Serunya, “Ki... kiranya Ting... ting Tay-jin.”
Perwira muda yang memimpin rombongan prajurit itu tersenyum dan berkata, “Saudara Tong, ayahmu dan ayahku bersaudara angkat, kenapa kau memanggil tay-jin kepadaku? Hendaknya kau tidak terlalu sungkan. Oh, ya, aku sudah mendengar berita tentang pengangkatanmu sebagai pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang. Aku mengucapkan selamat.”
Sikap perwira muda yang dipanggil “Ting Tay-jin” itu ternyata begitu akrab dan hangat, berbeda dengan sikap orang-orang Kerajaan pada umumnya. Sebaliknya ternyata Wi-hong menanggapi sikap Ting tay-jin itu dengan dingin dan tawar sekali. Beberapa tokoh Tiong-gi Piau-hang yang melihat sikap Wi-hong itu diam-diam merasa cemas bahwa sikap Wi-hong itu akan membawa kesulitan besar di kemudian hari.
Sikap kaku Tong Wi-hong itu sebenarnya punya alasan tersendiri. Wi-hong ingat kejadian kira-kira dua tahun yang lalu, ketika ia meninggalkan rumah Cian Sin-wi tanpa pamit gara-gara pertengkaran dengan Song Kim waktu itu. Di luar kota Tay-beng, Wi-hong dicegat oleh musuh besarnya, yaitu Te-yong Tojin, yang hendak membunuhnya.
Lalu muncul pula saat itu si paman angkat Ting Ciau-kun. Tetapi sang paman ini bukan hendak menolong Wi-hong, malahan berkomplot dengan Te-yong Tojin hendak membunuh Wi-hong bersama-sama. Untung saat itu Wi-hong dapat diselamatkan oleh Hong-koan Hwesio dan Oh Yu-thian.
Kini Wi-hong bersikap dingin dan tidak bersahabat, karena perwira muda yang berdiri di hadapannya itu bukan lain adalah Ting Bun, putera Ting Ciau-kun. Hanya dengan mengingat kedudukannya sekarang sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, maka Wi-hong tidak berani bersikap kasar kepada rombongan Tembok Besar itu. Demi basa-basi ia pun mempersilakan Ting Bun dan rombongannya untuk masuk ke ruang tengah dan bersembahyang di depan peti jenazah Cian Sin-wi.
Ting Bun adalah seorang yang bersifat jujur dan berjiwa terbuka, dengan setulus hati dia bersembahyang di depan jenazah Cian Sin-wi, karena dia pun mengagumi kebesaran Cian Sin-wi. Tetapi sikap Tong Wi-hong yang begitu tawar itu membuat Ting Bun merasa tidak enak sendiri. Kedatangannya ke gedung Tiong-gi Piau-hang itu sebenarnya hendak menanyakan pula beberapa masalah yang bersangkut-paut dengan tugasnya sebagai perwira Pasukan Khusus, tetapi sikap Wi-hong membuat Ting Bun terpaksa membatalkan niatnya.
Ting Bun dan keempat pengiringnya tidak lama di gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Setelah mengucapkan ikut berduka cita dan menghormat sekali lagi ke peti jenazah, mereka pun berpamitan dan berlalu dari situ. Begitu kelima orang itu pergi, menggerutulah Wi-hong, “Heran sekali, orang she Ting itu ternyata masih punya muka juga untuk menemui aku. Benar-benar bermuka tebal.”
Can Lo-toa yang kebetulan berdiri di dekat Wi-hong dan mendengar gerutunya itu lalu bertanya, “Kehadiran lima orang prajurit dari Pasukan Khusus Kerajaan Beng itu memang sangat di luar dugaan. Entah ada hubungan apa antara mereka dengan Cong-piau-thau, kenapa nampaknya sudah saling mengenal?”
Terhadap orang tua yang pernah menjadi kepercayaan Cian Sin-wi ini, Wi-hong tidak sanggup untuk berbohong. Katanya, “Perwira muda itu bernama Ting Bun. Ayahnya yang bernama Ting Ciau-kun adalah saudara angkat dari mendiang ayahku, jadi ayah Ting Bun itu adalah paman angkatku. Tetapi Ting Ciau-kun itu justru sangat tega mengincar nyawaku hanya karena ingin memiliki sejilid kitab ilmu pedang Soat-san-pay yang dikiranya selalu kubawa. Paman Can, coba pikir, pantaskah paman angkat seperti itu dihormati?”
Can Lo-toa mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berkata, “Seorang angkatan tua yang tidak menghargai martabatnya sendiri dan sama sekali tidak pantas untuk dihormati. Kata pepatah, harimau tidak beranak anjing dan anjing tidak beranak harimau. Tetapi pepatah ini tidak berlaku seluruhnya untuk setiap orang.”
Wi-hong mengerutkan alisnya, “Apa maksud paman Can?” tanyanya.
Sahut Can Lo-toa dengan hati-hati, “Maaf, Cong-piau-thau, menurut pendapatku, perwira muda Ting Bun tadi agaknya adalah seorang jujur dan mempunyai sifat-sifat kesatria. Dan menurut pandangan mata tuaku, dia nampaknya bukan jenis manusia yang suka berlaku licik.”
Wi-hong menarik napas. “Hemm, pandangan mata bisa mengelabuhi. Dulu ketika aku dan adikku masih terlunta-lunta di dunia persilatan, kami segera mencari Ting Ciau-kun dengan harapan akan mendapat naungan sementara, dan orang she Ting itupun menerima kami berdua dengan muka yang manis serta sikap yang luar biasa ramahnya. Siapa tahu di balik sikapnya itu dia hanyalah seekor serigala berbulu domba. Aku tidak ingin tertipu untuk kedua kalinya.
Rupanya Can Lo-toa segan berdebat lagi dengan pemimpinnya itu, terpaksa dia hanya mengangguk- anggukkan kepalanya. Dalam pada itu, seorang penerima tamu telah melaporkan tentang datangnya seorang tamu lagi. Wi-hong dan Can Lo-toa segera menyambut keluar.
Tamu yang datang kali ini ternyata adalah seorang muda pula, seusia dengan Wi-hong dan bermuka tampan pula. Pakaiannya terdiri dari bahan-bahan yang mahal, penampilannya secara keseluruhan menyatakan bahwa dia adalah seorang yang kaya raya.
Munculnya anak muda hartawan itu pun tidak terlalu mengherankan sebab Tiong-gi Piau-hang sudah terlalu sering berhubungan dengan kaum hartawan yang biasanya minta dikawalkan harta bendanya. Namun aneh, Tong Wi-hong justru punya kesan tersendiri terhadap anak muda hartawan itu seperti sudah pernah dikenalnya, begitu pula gerak-geriknya. Sayang sekali Wi-hong sudah lupa bilamana dan di mana ia pernah melihatnya.
Selesai bersembahyang di depan peti jenazah Cian Sin-wi, anak muda hartawan itu segera mendekati Tong Wi-hong dan berkata sambil tersenyum ramah, “Tong Cong-piau-thau, jika Cong-piau-thau punya sedikit waktu, sudikah Cong-piau-thau meluangkan sedikit waktu untuk berbicara denganku?”
Sekali lagi Wi-hong mengamat-amati tamu-tamunya itu, dan kembali ia menemukan satu keistimewaan dari tamu muda ini. Sinar matanya tajam berkilat-kilat, menandakan bahwa anak muda hartawan ini memiliki tingkatan tenaga dalam yang cukup hebat! Wi-hong heran bukan main, sebab biasanya kalau anak hartawan itu sulit untuk “jadi” di dalam kalangan dunia persilatan, sebab biasanya mereka kurang tekun berlatih dan terlalu dimanja dalam kemewahan. Tetapi anak muda yang berdiri di depan Wi-hong itu agaknya merupakan suatu perkecualian.
Sahut Wi-hong tidak kurang hormatnya, “Silakan tuan berbicara, aku akan mendengarkannya.”
Anak muda hartawan itu menampilkan sikap serba salah, lalu berkata sambil tertawa canggung, “Maaf, Cong-piau-thau, barangkali aku terlalu rewel, tetapi aku mohon dengan sangat agar bisa berbicara hanya empat mata dengan Cong-piau-thau.”
“Apakah urusannya begitu penting?”
“Sangat penting, bahkan menyangkut urusan pribadi Cong-piau-thau sendiri. Urusan ini menyangkut seseorang yang sangat dekat hubungannya dengan Cong-piau-thau.”
Tanpa sadar Wi-hong menjadi semakin tertarik kepada anak muda hartawan yang aneh itu. Tanyanya, “Siapakah orang itu?”
Anak muda hartawan itu menjawab dengan kalem, sepatah demi sepatah kata tanpa meninggalkan senyuman ramahnya, “Tong Wi-siang.”
Jika ada halilintar meledak di pinggir telinga Wi-hong, barangkali tidak sekaget ketika mendengar nama itu. Cepat ia memanggil Can Lo-toa supaya mendekat, lalu pesannya kepada orang tua itu, “Paman Can, tolong kau gantikan tugasku sebentar untuk menyambut para tetamu, aku akan berbicara dengan saudara ini tentang sesuatu yang sangat penting. Jangan sekali-sekali kurang menghormat kepada tetamu.”
Melihat Cong-piau-thaunya yang begitu bersungguh-sungguh itu, heran juga perasaan Can Lo-toa, agaknya tetamu muda yang aneh itu memang merupakan orang penting bagi Cong-piau-thaunya. Tetapi Can Lo-toa tidak banyak bertanya lagi dan langsung menerima tugas itu.
“Kita akan berbicara di ruangan belakang,” kata Wi-hong kepada anak muda hartawan itu. Lalu ia melangkah mendahului sambil menggandeng tangan anak muda itu. ketika Wi-hong bertemu dengan seorang pelayan yang sedang berada di halaman tengah, Wi-hong segera berkata kepada pelayan itu, “He, kau, kau panggillah nona A-lian dan suruhlah dia menyusul aku ke ruangan kitab di sebelah timur. Ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan.”
Anak muda hartawan itu menurut saja tangannya ditarik Wi-hong sampai ke ruangan kitab sebelah timur, yang letaknya memang di bagian belakang dari gedung besar itu. Tidak lama kemudian kedua orang muda itu telah duduk berhadap-hadapan di ruangan itu, muka Wi-hong nampak tegang menanti berita apa yang akan dibawa oleh tamunya itu.
Sebelum kedua orang itu mulai berbicara, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ruangan itu, lalu pintu didorong dari luar dan masuklah Wi-lian dengan wajah yang tegang pula. Sebenarnya gadis itu hendak langsung bertanya kepada kakaknya tentang urusan penting apa yang dimaksud, tetapi ketika melihat adanya seorang tetamu muda yang belum dikenalnya juga sedang berada dalam ruangan itu, terpaksa Wi-lian mengurungkan maksudnya untuk bertanya.
Di luar dugaan Wi-hong maupun Wi-lian, pemuda hartawan itu menyambut kedatangan Wi-lian dengan senyum ramah dan panggilan yang sangat akrab, “Selamat bertemu, A-lian, lupakah kau kepadaku?”
Tentu saja kakak beradik itu sangat heran melihat sikap anak muda hartawan itu, sebab panggilan “A-lian” hanya diucapkan oleh orang-orang yang sudah akrab dengan gadis itu. Tetapi kenapa pemuda itu bersikap demikian pula? Apa maksud tujuannya?
“Siapakah saudara ini?” tanya Wi-hong.
Anak muda hartawan itu tertawa, “Ternyata kau juga lupa kepadaku, A-hong, padahal kita adalah satu kampung halaman. Aku adalah sahabat dekat kakak kalian, A-siang, dan dulu sering juga aku bermain-main di rumah kalian. Kau tentu masih ingat kepada Siangkoan Hong, yang rumahnya di pinggir pertigaan jalan yang hanya satu- satunya pertigaan di An-yang-shia itu.”
“Siangkoan Hong!” seru Wi-hong sambil menepuk pahanya. “Pantas ketika kau datang tadi aku merasa pernah mengenalmu. Kiranya kau adalah Siangkoan Hong yang sering juga dipanggil A-hong, sehingga nama panggilan kita adalah sama!”
Anak muda hartawan itu tertawa. “Betul,” sahutnya.
Wi-hong ingat bahwa kakaknya punya teman-teman yang terdiri dari anak-anak muda berandalan, sama berandalnya dengan Wi-siang sendiri, yang sering membuat keonaran di An-yang-shia dan bahkan sering pula mengacau sampai ke Lam-cang. Dan salah satu dari anak-anak muda berandalan teman kakaknya itu kini sedang duduk di depannya, meskipun sekarang Siangkoan Hong nampaknya tidak mengesankan lagi sifat-sifat bengalnya yang dulu.
Meskipun demikian hati Wi-hong berdesir juga ketika melihat bahwa samar-samar di jidat Siangkoan Hong terlihat selapis tipis warna kehitam-hitaman yang hampir tak terlihat, menandakan bahwa sekarang Siangkoan Hong telah membekal ilmu sesat yang lihai. Selain itu dilihatnya mata Siangkoan Hong kadang-kadang bersinar-sinar aneh, seakan-akan berubah warna menjadi kehijau- hijauan seperti mata kucing. Kesan anak muda berandalan sudah tak terlihat lagi pada diri Siangkoan Hong, digantikan dengan kesan seorang tokoh silat yang lihai dan aneh!
Tong Wi-hong menenangkan debaran jantungnya, lalu katanya dengan mencoba bersikap seakrab mungkin, “Ya, kaupun sering dipanggil A-hong, sehingga orang sering keliru jika memanggil kita berdua.”
Sementara itu, Wi-lian yang sudah tidak sabaran itu segera menimbrung, “A-hong, tadi kau mengatakan bahwa ada urusan penting. Urusan apakah itu?”
Wi-hong tersenyum kepada adiknya itu, sahutnya, “Siangkoan Hong membawa berita tentang kakak kesayanganmu yang bengal itu.”
Hampir-hampir Wi-lian melompat dari kursinya karena terkejutnya. “Berita tentang A-siang? Benarkah itu? Tidak sedang bermimpikah aku?” serunya dengan perasaan meluap.
Siangkoan Hong agaknya cukup memahami kerinduan kakak beradik itu. Katanya, “Aku tahu kalian sangat rindu kepada A-siang. Tetapi bukan kalian saja yang rindu kepadanya, namun kakak kalian itupun sangat rindu kepada kalian, kedua adiknya itu.”
“Di manakah dia sekarang? Bagaimanakah keadaannya? Sehat-sehatkah dia?” desak Wi-lian dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Jawaban Siangkoan Hong ternyata agak menimbulkan kekecewaan, “Tentang di manakah beradanya dia sekarang, maaf, aku dipesan oleh A-siang agar tidak memberitahukan untuk sementara waktu. Tetapi tentang keadaannya, kalian boleh berlega hati bahwa dia dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun. Dia bergembira ketika mendengar bahwa adik-adiknya telah tumbuh menjadi pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kalian jangan kecewa bahwa aku tidak memberitahukan tempatnya, tetapi A-siang berkata bahwa tidak lama lagi dialah yang akan menemui kalian, sebab diam-diam ia selalu memperhatikan gerak-gerik kalian.”
Benar-benar jawaban yang kurang memuaskan, tetapi sedikit banyak dapat juga memuaskan dahaga kerinduan Wi-hong dan Wi-lian kepada kakak mereka yang tadinya telah dianggap hilang itu. Tetapi mereka pun merasa agak heran bahwa Siangkoan Hong yang nampaknya sudah berilmu tinggi itu ternyata masih mau disuruh oleh Tong Wi-siang, lalu entah bagaimanakah keadaan Wi-siang saat itu?
Sementara itu Siangkoan Hong berkata lagi, “Aku mengerti bahwa kalian tidak puas akan jawabanku ini, tapi memang hanya itulah yang dapat kujawab, aku tidak berani melanggar pesan A-siang tentang apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan kepada kalian. Tapi itu bukan berarti A-siang tidak percaya kepada kalian. Bukan begitu, A-siang hanyalah terbentur pada suatu kesulitan yang belum bisa diatasinya sehingga terpaksa masih menyimpan beberapa rahasia terhadap kalian. Nah, kalian tentu dapat memakluminya bukan? Selain itu, aku membawa sebuah pesan dan sebuah pertanyaan untuk kalian, yang berasal dari A-siang.”
“Sebuah pesan dan sebuah pertanyaan dari A-siang?”
Siangkoan Hong mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Pesannya kepada kalian memusuhi suatu golongan, hendaknya kalian dapat membedakan bahwa dalam golongan itu sendiri ada orang yang baik dan ada orang yang jahat, jangan dipukul rata saja. Begitulah pesannya kepada kalian.”
“Pesan yang aneh,” kata Wi-lian sambil tertawa. “Ada-ada saja A-siang ini. Tentu saja dalam bertindak apapun kami akan membedakan yang baik dan yang jahat, tidak main hantam koromo saja.”
Siangkoan Hong tersenyum sambil menarik napas, “Pesan itu memang sangat sederhana, tetapi yang A-siang kuatirkan adalah jika kalian terbawa oleh arus dendam kalian sehingga pesan itu akan sulit kalian laksanakan. Tetapi baiklah tidak usah kita bicarakan lagi pesan itu, akupun sudah cukup puas dapat menyampaikan pesan A-siang kepada kalian, sedang pelaksanaan pesan itu terserah kepada kalian sendiri. Sekarang A-siang juga akan mengajukan sebuah pertanyaan kepada kalian, dan mengharapkan jawaban tegas kalian.”
“Apa pertanyaannya?” desak Wi-hong dan Wi-lian penuh minat. Namun diam-diam dalam hati kakak beradik itupun heran karena kakak mereka bertindak begitu penuh rahasia.
Siangkoan Hong memandang tajam-tajam muka Wi-hong dan Wi-lian secara bergantian. Hilanglah senyum ramahnya yang terlihat sejak tadi, suaranya pun begitu bersungguh-sungguh dan mengandung tekanan, “Inilah pertanyaannya. Jika suatu saat A-siang mengobarkan pertempuran besar untuk melaksanakan cita-citanya menjunjung tinggi martabat marga Tong, maukah kalian berdiri di pihaknya?”
Jantung Wi-hong maupun Wi-lian bagaikan berhenti berdenyut ketika mendengar pertanyaan itu, samar-samar mereka mulai merasa bahwa di balik semua kejanggalan itu tentu sedang berlangsung suatu yang dahsyat. Mereka tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Mereka sudah cukup mengenal kakak mereka sebagai tukang membuat onar di An-yang-shia, dan sekarang entah apa lagi yang dimaksudkan dengan “mengobarkan pertempuran besar untuk menjunjung martabat marga Tong” itu? Suatu kekacauan lagikah?
Melihat kakak beradik itu sangat ragu-ragu dalam menjawab, Siangkoan Hong menarik napas dalam-dalam, katanya dengan nada agak menyesal, “Memang pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab. Namun andaikata kalian sebagai adik-adiknya memahami apa yang terkandung sebagai isi hati kakak kalian yang luhur itu, maka aku yakin bahwa kalian tanpa ragu-ragu lagi pasti akan berdiri di pihaknya.”
“Cita-cita apakah sebenarnya yang sedang dikandung oleh A-siang?” tanya Wi-lian menjajagi.
Sahut Siangkoan Hong, “A-siang merasa sangat berdosa besar, sebab kelakuannya telah menyebabkan seluruh keluarga Tong yang tadinya hidup tenteram itu menjadi berantakan. Dia bertekad kuat akan menebus kesalahannya di masa lampau itu. Dia akan mengangkat derajat keluarga Tong setinggi mungkin, sehingga mencapai martabat yang paling tinggi yang paling dimungkinkan untuk seorang manusia.”
Hati Wi-hong dan adiknya bergetar mendengar perkataan Siangkoan Hong itu. Sesaat ruangan itu dicengkam oleh ketegangan, hanya jantung kakak beradik she Tong itulah yang bergemuruh dalam rongga dadanya masing-masing. Kemudian terdengar suara Wi-hong bertanya dengan suara yang masih agak gemetar,
“A-hong, a... apakah... kesehatan A-siang cu... cukup baik? Maksudku... maksudku kesehatan pikirannya?”
Muka Siangkoan Hong tiba-tiba berubah jadi dingin membesi, sepasang matanya pun tiba-tiba bersinar kehijau-hijauan seperti mata harimau. Sikap lemah lembutnya yang tadi telah lenyap, digantikan dengan geraman kemarahan, “He, kau menuduh A-siang sudah miring otaknya? Tegakah kau menuduh kakakmu sendiri dengan tuduhan semacam itu? Gilakah kalau seseorang itu mempunyai cita-cita yang tinggi? Gilakah kalau seorang laki-laki, apalagi merupakan anak laki-laki tertua dalam keluarganya itu, ingin mengangkat derajat keluarganya setinggi-tingginya?”
Wi-hong menghembuskan napas untuk mengurangi kepepatan dadanya, lalu tanyanya, “Maafkan aku, aku tidak menuduh A-siang sekeji itu. Tetapi, apakah yang dimaksud oleh kakakku itu ialah ingin menjadikan dirinya sebagai... sebagai... Kaisar?”
Jawaban Siangkoan Hong sangat tegas, “Ya, kalian jangan kaget, tetapi justru harus bangga punya kakak setinggi itu cita-citanya. Itu bukan sesuatu yang gila bukan? Aku kagum kepadanya, karena dialah lelaki sejati yang berani mendobrak semua rintangan untuk mencapai cita-citanya. A-hong, kau sebagai seorang yang gemar membaca buku-buku kuno tentu pernah membaca tentang riwayat raja-raja besar jaman dahulu. Kau tentu ingat akan Tio Khong-in, seorang pengembara tanpa tempat tinggal yang akhirnya mendirikan dinasti Song dan menjadi Kaisar pertama dari dinasti itu? Ingatkah kau akan Temuchin, gembala miskin yang di hari tuanya berhasil mendirikan Kerajaan Goan yang menyatukan seluruh dunia, dan dia sendiri kemudian bergelar Jengis Khan, raja di raja yang tiada tandingannya? Ingatkah kau akan seorang pendeta cacad dan miskin bernama Cu Goan-ciang yang kemudian berhasil mendirikan dinasti Beng dan bergelar Beng-thay-cou itu? Nah, sejarah menyajikan contoh yang cukup banyak. Ketahuilah bahwa keadaan A-siang saat ini jauh lebih kokoh dari Tio Khong-in, Temuchin maupun Cu Goan-ciang ketika mereka memulai pergerakan besar mereka. Aku yakin, dan aku mendukungnya sepenuh hati, bahwa A-siang pasti akan mencapai apa yang dicita-citakannya.”
Wi-hong dan Wi-lian hanya bungkam saja “diberondong” perkataan Siangkoan Hong yang bersemangat dan berapi- api itu. Tanya Wi-lian kemudian, “Kau katakan bahwa keadaan A-siang lebih baik dari Tio Khong-in segala, sebenarnya bagaimanakah keadaannya sekarang? Ceritakanlah sebenarnya, supaya kami dapat menilai bahwa perjuangannya itu benar-benar berpijak kepada kenyataan atau cuma sekedar mimpi di siang hari bolong.”
Siangkoan Hong tertawa dingin, “Aku dipesan untuk tidak mengatakannya sekarang. Untuk sementara waktu, bolehlah kalian anggap bahwa A-siang itu gila atau bermimpi di siang hari bolong, tetapi kalian akan melihat buktinya kelak bahwa dia bisa mewujudkan cita-citanya. Nah, kalian belum menjawab pertanyaannya yang tadi. Di manakah kalian berpihak? Di pihak kakak kalian atau di pihak musuh-musuhnya?”
“Masalah ini sulit diputuskan dalam sekejap mata, tapi membutuhkan waktu berpikir yang panjang,” sahut Tong Wi-hong. “Bagaimana aku bisa memutuskan tentang suatu masalah yang belum aku ketahui dengan jelas?”
Agaknya Siangkoan Hong tidak dapat menahan perasaannya. Tanpa sadar ia menghentakkan kakinya dengan marah dan tahu-tahu di lantai yang diinjaknya itu “tercetaklah” sebuah bekas telapak kaki yang dalamnya hampir satu jari! Terkesiaplah Wi-hong dan Wi-lian menyaksikan pameran kekuatan yang hebat itu, karena ubin di ruangan itu terbuat dari batu hitam yang keras sekali. Kepandaian seperti itu agaknhya cukup pantas untuk disejajarkan dengan deretan “Sepuluh Tokoh Sakti” jaman itu.
Wi-hong dan adiknya juga heran melihat tingkat kepandaian Siangkoan Hong yang begitu tinggi. Dua tahun yang lalu, ketika Siangkoan Hong masih dikenal sebagai anak berandalan di An-yang-shia, meskipun ia gemar berkelahi namun ilmu silatnya masih termasuk kelas kambing. Kenapa kini dalam waktu dua tahun saja telah meningkat begitu hebat? Bahkan telah melebihi Wi-hong dan adiknya yang selama dua tahun ini telah berlatih begitu keras.
Siangkoan Hong nampaknya sangat bangga ketika melihat kakak beradik itu kaget melihat kepandaiannya. Katanya sambil tertawa, “Maaf, aku kurang dapat mengendalikan diri sehingga tanpa sengaja telah merusakkan lantai ruangan ini. Tetapi hal ini sekaligus ingin kujadikan tolok ukur agar kalian dapat menilai kepandaian A-siang saat ini. Kepandaian yang kuperlihatkan tadi masih beberapa tingkat di bawah kepandaian yang dimiliki A-siang saat ini. Kepandaian A-siang sekarang sudah sulit diukur lagi tingginya.”
“Berguru di manakah dia?” tanya Wi-hong.
Siangkoan Hong menjawab, “Di jaman ini tidak ada seorang tokoh pun yang cukup pantas untuk menjadi gurunya. Ia hanya menemukan suatu penemuan aneh di suatu tempat yang dirahasiakan.”
Wi-hong berkata sambil menarik napas, “Aku ikut bersyukur dan bergembira untuk nasib baiknya, bahkan aku dan adikku minta tolong kepadamu untuk menyampaikan rasa bahagia kami ini kepadanya. Tentang cita-cita besarnya itu, aku memang belum dapat memutuskannya sekarang. Suatu ketika aku ingin berbicara sendiri dengannya, dan tidak tertutup kemungkinannya kami akan mendukung cita-citanya itu. Jika cita-citanya itu memang membawa kesejahteraan bagi umat manusia.”
Siangkoan Hong nampak kurang puas dengan jawaban yang kurang tegas itu, tetapi apa boleh buat, ia memang tidak bisa memaksakan kehendaknya dengan begitu saja. “Baiklah, akan aku sampaikan jawabanmu ini kepada A-siang,” kata Siangkoan Hong akhirnya. “Aku memang tidak bisa memaksa kalian. Jika kalian kelak memutuskan untuk memihak kepada A-siang, tentu ia akan gembira sekali. Sebaliknya ia akan bersedih hati jika harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh.”
Jawab Wi-hong sambil mengerutkan alisnya, “Aku sebenarnya kurang mengerti akan jalan pikiran kakakku itu. Kenapa dia sampai berpikiran bahwa kami kakak beradik akan saling berhadapan sebagai musuh? Akupun sama sekali tidak ingin menghadapinya sebagai musuh, begitu pula A-lian juga tidak ingin, karena kami bertiga adalah saudara-saudara seayah dan seibu, dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang sama.”
“Aku sendiri meskipun hanya orang luar, juga tidak ingin melihat kalian kakak beradik ini akan berbaku hantam,” kata Siangkoan Hong. “Nah, kupersilakan kalian memikirkan hal ini baik-baik, dan aku sekarang akan berpamitan dulu.” Siangkoan Hong segera bangkit berdiri lalu berjalan keluar. Tong Wi-hong sendiri mengantarkannya sampai ke pintu depan.
Demikianlah, pada hari itu Wi-hong telah bertemu kembali dengan dua orang kenalan lamanya dengan membawa kenangan yang berbeda-beda pula. Ting Bun yang mengingatkannya kepada Ting Ciau-kun dan menimbulkan ketidak senangannya kepada si paman angkat itu, kemudian pertemuan dengan Siangkoan Hong yang membawa berita tentang kakaknya yang hampir-hampir dianggap hilang itu. Tetapi berita tentang kakaknya itu justru menimbulkan kesan kekaburan dan diliputi kabut rahasia yang tebal.
Para tetamu yang datang melayat pada hari itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Kota bernilai sejarah Tay-beng yang biasanya hanya dikunjungi oleh kaum kutu buku atau kaum pelancong yang ingin menikmati peninggalan-peninggalan bersejarah, kini dipenuhi dengan manusia-manusia dunia persilatan yang rata-rata bertampang keras dan garang.
Rumah-rumah penginapan telah penuh, bahkan tidak sedikit yang terpaksa malam itu harus tidur di emperan rumah orang. Banyak di antara pelayat itu benar-benar ingin memberi penghormatan terakhir kepada Cian Sin-wi, karena pernah menerima budi baiknya atau karena pernah mengenalnya, tetapi juga tidak sedikit yang hanya ingin melihat ramai- ramai orang berkumpul.
Jumlah pelayat yang luar biasa itu membuat Tong Wi-hong sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang merasa bangga, tetapi sekaligus juga merasa betapa beratnya beban yang terpanggul di pundaknya. Ia menyadari akan kebesaran dan kejayaan Tiong-gi Piau-hang, dan berarti Tong Wi- hong juga harus berhasil mempertahankan kejayaan itu, bahkan kalau perlu membuatnya bertambah jaya.
Keesokan harinya, upacara pemakaman Cian Sin-wi berjalan dalam suasana khidmat, megah dan lancar. Peti jenazah Cian Sin-wi diangkut dengan sebuah kereta yang berlapis kain belacu putih dan ditarik oleh dua ekor kuda berbulu putih pula. Tong Wi-hong, Cian Ping dan para pemimpin cabang Tiong-gi Piau-hang berjalan kaki dan mengawal di samping kereta, mereka semua berpakaian belacu putih pula dan kepalanya juga diikat dengan kain putih.
Sedangkan iring-iringan pelayat memanjang ke belakang sampai beberapa li panjangnya. Bahkan ketika kereta jenazah sudah mencapai sebuah bukit di luar kota Tay-beng, di mana liang lahat sudah disiapkan, ekor dari iring-iringan pelayat itu masih berada di dalam kota Tay- beng.
Wi-lian berjalan di belakang kereta, bersama dengan beberapa orang Tiong-gi Piau-hang yang telah dikenalnya. Hari itu terpaksa Wi-lian harus menanggalkan kesenangannya memakai pakaian berwarna merah, dan digantinya dengan warna putih tanda berkabung. Tepat pada saat iringan jenazah mendaki ke atas bukit, tiba-tiba Wi-lian mendengar ada seseorang yang memanggil namanya.
Ketika ia menoleh, nampaklah bahwa orang yang memanggilnya itu ternyata adalah seorang anak muda yang berpakaian seragam perwira Pasukan Khusus Kerajaan Beng. Perwira muda itu bukan lain adalah Ting Bun. Tong Wi-lian bagaikan tertegun ketika melihat anak muda itu. Selama dua tahun ini Wi-lian belum pernah sekejap pun melupakan anak muda yang menarik hatinya ini. Tetapi sekarang Wi-lian menjadi sangat kecewa ketika melihat anak muda itu mengenakan seragam prajurit Kerajaan Beng, seragam yang tidak disenanginya....
Selanjutnya;