Perserikatan Naga Api Jilid 19

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Jilid 19 Karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Perserikatan Naga Api Jilid 19

Cerita silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
“OH, kiranya Ting Toako,” sahut Wi-lian dengan suara tawar, menyatakan perasaan kecewanya. “Sungguh tidak pernah kuduga kalau Toako akhirnya menjadi seorang hamba Kaisar.”

Perasaan Ting Bun cukup peka, dia dapat menangkap perkataan Wi-lian yang kecewa itu. Jawab Ting Bun sambil menarik napas, “Adik Lian, kau kira aku bangga mengenakan seragam ini? Jika kau tahu apa yang mengganjal dalam hatiku, kuharap kau tidak bersikap sedingin ini lagi kepadaku.”

Tidak dapat dipungkiri, sebenarnya perasaan Wi-lian bergejolak juga ketika bertemu dengan Ting Bun ini. Meskipun gadis itu tidak menyukai orang-orang yang memakai pakaian seragam Kerajaan Beng, namun gadis itu tidak dapat menutup telinganya untuk mendengarkan kata-kata Ting Bun selanjutnya,

“Adik Lian, aku menjadi seorang prajurit Kerajaan adalah karena terpaksa benar-benar, bahkan aku merasa hal ini terjadi di luar kemauanku sendiri. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu ayahku telah menghubungi beberapa orang panglima yang menjadi kenalannya, dan mencarikan kedudukan buat aku, aku sendiri tidak tahu perbuatan ayahku itu sampai tahu-tahu aku mendapat surat panggilan untuk masuk tentara dan langsung mendapat pangkat perwira. Jadi aku menjadi prajurit ini bukan keinginanku sendiri namun keinginan ayahku. Adik Lian kau dapat memahami kesulitanku bukan?”

“Hemm, paham sekali,” kata Wi-lian dengan suara yang masih tetap dingin. Wi-lian masih belum bisa melupakan bahwa kehancuran keluarga Tong di An-yang-shia adalah karena orang-orang berseragam hamba Kerajaan yang menyalahgunakan kekuasannya.

Ting Bun benar-benar terpukul oleh sikap dingin Wi-lian itu, namun dia nekad berkata terus, “Tetapi jika kau tidak menyukai seragamku ini, seketika itu juga aku akan melepaskan semua kedudukanku, aku tidak peduli lagi bagaimana akibatnya. Ayah sudah terlalu sering memaksakan kehendaknya kepadaku dan menindas pikiran bebasku, kini aku akan mencari kebebasanku sendiri.”

Kalimat yang terakhir inilah yang membuat Wi-lian menggerakkan kepalanya untuk menoleh ke samping, memandang wajah Ting Bun yang berjalan di sampingnya itu. Dilihatnya seraut wajah yang tampan, tetapi sekaligus juga memancarkan kejantanan dan kewibawaan. Alisnya yang tebal itu menaungi sepasang matanya yang bundar bening, memancarkan ketulusan hatinya. Betapapun juga, Wi-lian masih mengagumi wajah itu.

“Aku bersungguh-sungguh,” kata Ting Bun menegaskan. “Aku muak dengan keterikatanku kepada kedudukanku yang sama sekali tidak sesuai dengan suara hati kecilku. Aku ingin bebas menentukan jalan hidupku sendiri, bebas seperti kalian ini.”

Akhirnya Wi-lian menundukkan kepalanya karena tidak tahan membalas tatapan mata Ting Bun yang memancarkan kesungguhan hatinya itu. Kata Wi-lian kemudian, “Aku agaknya masih mempercayai Toako. Jika Toako memang masih sudi membina hubungan baik dengan keluarga kami, maka Toako memang harus melepaskan kedudukanmu sebagai perwira Kerajaan. Kami keluarga Tong telah mengalami kehancuran di tangan orang-orang yang menamakan diri penjaga-penjaga ketertiban yang berseragam prajurit, sehingga setiap kami melihat orang berseragam prajurit, timbullah kenangan buruk masa lalu.”

Ting Bun nampak gembira sekali mendengar perkataan gadis itu, dan sedikitpun tidak nampak penyesalannya bahwa dia akan kehilangan kedudukannya yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap sebagai kedudukan yang “empuk” itu. Katanya dengan bersemangat, “Terima kasih bahwa kau masih mempercayai aku. Begitu upacara pemakaman ini selesai, akan segera kusuruh pengawal-pengawalku itu untuk pulang ke Pak-khia sambil membawa surat permohonanku untuk mengundurkan diri.”

Wi-lian ikut senang mendengar keputusan itu, tetapi ia masih bertanya, “Tetapi apakah kau tidak akan mengalami kesulitan dengan Panglima-panglima atasanmu?”

Ting Bun tersenyum sinis, “Terhadap semua kaki tangannya Kaisar Cong-ceng, segumpal perak atau sekantung uang akan membuat semua kesulitan menyingkir jauh-jauh.”

Suasana yang kaku antara Ting Bun dengan Wi-lian kini sudah mencair. Mereka menjadi akrab kembali seperti dulu, yaitu sebelum Wi-lian dan kakaknya “diculik” oleh Rahib Hong-koan dari rumah Ting Ciau-kun. Meskipun keakraban itu telah pulih, namun mereka membatasi diri untuk tidak bercakap-cakap secara berlebihan, sebab betapapun juga mereka sedang berada di tengah-tengah suasana berkabung dari suatu upacara pemakaman.

Dalam percakapan berikutnya Ting Bun berkata, “Adik Lian, kedatanganku ke Tay-beng bersama rombongan prajurit ini sebenarnya bukan suatu hal yang kebetulan saja. Aku sebenarnya diberi tugas untuk memimpin satu regu prajurit pilihan untuk memburu orang-orang Hwe-liong-pang. Meskipun aku sudah berniat untuk meninggalkan tugasku yang menjemukan ini, namun aku masih bertanggung jawab untuk keselamatan setiap orang anggota reguku. Beberapa hari yang lalu, aku sengaja memecah-mecah reguku menjadi beberapa kelompok kecil, untuk melacak jejak orang-orang Hwe-liong-pang yang katanya berkeliaran di sekitar tempat ini. Ketika kelompok-kelompok kecil kami berkumpul kembali, ternyata kurang satu kelompok yang tidak menampakkan diri sampai waktu yang ditentukan...”

Wi-lian tersenyum karena sudah tahu kelanjutan kata-kata itu. Tukasnya, “Regumu yang tidak muncul kembali itu tentu terdiri dari tiga orang dipimpin seorang perwira setengah tua yang berjenggot kambing dan bernama Ong Lian?”

Ting bun tidak terlalu kaget mendengar ucapan Wi-lian itu, katanya, “Sudah dalam dugaanku. Ketika aku mendengar kabar bahwa calon menantu Cian Lo-eng-hiong dan adiknya sedang mengejar orang-orang Hwe-liong-pang ke arah padang perdu, aku sudah memikirkan kemungkinan bertemu dengan regu Ong Lian itu, karena regu itu kutugaskan pula ke arah yang sama dengan arah pengejaran kalian.”

Kata Wi-lian, “Mereka bernasib malang. Dengan kedua tanganku sendiri inilah aku menguburkan mayat-mayat mereka.”

Ting Bun menarik napas, “Hal inipun sudah dalam dugaanku, hanya saja aku belum berani memastikan. Jika kelompok Ong Lian itu selamat tak kurang suatu apa, tentunya mereka sudah bergabung dengan regu induk sejak beberapa hari yang lalu, sebab tugas mereka hanya untuk melacak jejak orang-orang Hwe-liong-pang dan bukan untuk menempurnya.”

Sementara Wi-lian dan Ting Bun berjalan sambil bercakap-cakap perlahan, kereta jenazah pun sudah tiba di dekat liang lahat. Dalam suasana yang khidmat dan penuh kemegahan, peti jenazah Cian Sin-wi diturunkan ke dalam liang lahat. Cian Ping dengan sikap yang sangat tabah melihat jenazah ayahnya itu menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Gadis itu tidak menangis, meskipun matanya merah, ia lebih banyak mengepalkan tinjunya dan mengertakkan giginya. Banyak para pelayat yang diam-diam mengagumi kekerasan hati dan ketabahan gadis itu.

Setelah liang lahat ditutup dengan tanah, Tong Wi-hong sebagai wakil Tiong-gi Piau-hang maupun keluarga Cian lalu tampil untuk mengucapkan terima kasih kepada para pelayat. Dalam ucapan terima kasihnya itu dia tidak lupa menekankan pentingnya sikap bersatu dari semua kesatria untuk menghadapi Hwe-liong-pang yang semakin merajalela.

Tetapi seruan persatuannya itu menghadapi sikap kurang bersemangat dari para pendengarnya. Siapapun terlalu kecut hatinya untuk mempelihatkan permusuhan dengan Hwe-liong-pang secara terang-terangan, sebab masa itu nama Hwe-liong-pang masih begitu ditakuti ibarat nama hantu yang paling mengerikan.

Upacara pemakaman itupun akhirnya selesai. Bukit kecil yang tadinya bagaikan tertutup lautan manusia itu, perlahan- lahan mulai menjadi sunyi kembali. Tinggal gundukan- gundukan tanah yang tersebar di sana-sini, dimana di dalamnya terdapat tulang-belulang manusia. Dan hari itu gundukannya bertambah satu lagi, tanahnya masih merah, di dalamnya berbaring untuk selama-lamanya seseorang yang pernah sangat disegani di seluruh Kang-pak pada masa hidupnya.

Wi-hong dan Cian Ping masih belum beranjak dari samping kuburan Cian Sin-wi. Beberapa puluh langkah dari mereka, nampaklah Wi-lian dan Ting Bun juga belum pergi dan sedang berteduh di bawah sebuah pohon rindang. Dan tidak jauh pula masih kelihatan para pemimpin cabang Tiong-gi Piau-hang juga belum pergi, menunggu giliran untuk bersembahyang di depan makam.

Sementara menunggu Cian Ping bersembahyang di depan makam ayahnya, Tong Wi-hong mengedarkan pandangannya dan alisnya pun berkerut kurang senang ketika melihat adiknya nampak begitu akrab dengan Ting Bun. Wi-hong bukannya tidak tahu bahwa antara adiknya dengan Ting Bun itu terjalin rasa saling mencinta, namun jika Wi-hong ingat akan tindakan ayah Ting Bun (Ting Ciau-kun) bersama dengan Te-yong Tojin ketika hendak membunuhnya itu, rasanya Wi-hong tidak rela jika adiknya harus berjodoh dengan Ting Bun.

“Perlahan-lahan dan dengan cara halus aku harus memisahkan mereka,” demikian tekad Wi-hong di dalam hatinya. “Ada cukup banyak murid-murid Soat-san-pay yang masih bujangan, berwajah tampan, berilmu tinggi dan berbudi luhur. Suatu saat akan kuperkenalkan mereka kepada A-lian, agar A-lian tahu bahwa Ting Bun bukan satu-satunya laki-laki di dunia ini yang pantas menjadi jodohnya.”

Selesai Cian Ping bersembahyang, maka yang lain-lainnya pun bergiliran satu persatu bersembahyang pula. Setelah itu, maka rombongan itupun meninggalkan bukit pekuburan itu. Ting Bun ikut bergabung dalam rombongan itu, meskipun sikap Wi-hong terhadap dirinya masih begitu tawar dan dingin.

Ting Bun mengira bahwa pakaian seragamnya lah yang membuat Wi-hong jadi tidak suka kepadanya, karena itu semakin teballah tekad Ting Bun untuk meletakkan sama sekali jabatan perwiranya. Ting Bun rela kehilangan segala-galanya, tapi sedikit pun tidak rela kehilangan Wi-lian.

Ketika rombongan kecil itu mulai memasuki kota Tay-beng, maka Ting Bun memisahkan diri dari rombongan. Katanya ia akan pulang dulu untuk menemui anggota-anggota regunya, mengurus pemulangan anak buahnya ke Pak-khia sambil membawakan surat pengunduran diri Ting Bun, setelah itu Ting Bun berjanji akan selalu mendampingi Wi-lian.

Ketika mendengar janji Ting Bun itu, Wi-hong hanya menjawab dengan dingin, “Kami keluarga Tong adalah keluarga yang miskin dan tidak punya apa-apa, kami tidak berani membuat repot Ting Tay-jin untuk mengikuti kami.”

Ting Bun menarik napas dan berusaha untuk memaklumi sikap Wi-hong itu. Setelah memberi salam perpisahan sekali lagi, ia segera memisahkan diri. Begitu bayangan tubuh Ting Bun semakin menjauh, Wi-lian lalu berkata kepada kakaknya dengan nada teguran halus,

“A-hong, tidak seharusnya kau bersikap begitu menyakiti hatinya. Dia sudah berjanji akan melepaskan kedudukannya sebagai perwira Kerajaan, dan itu kukira sudah cukup untuk mengetahui kesungguhannya dalam membina hubungan baik dengan kita.”

Sahut kakaknya, “Hemm, seragam dan jabatan mudah untuk dilepaskan, tetapi sifat asli yang sudah menulang-sungsum tidak mudah dihapuskan.”

Wi-lian mengerutkan keningnya, “Apa maksudmu?”

“Adikku, suatu saat akan kuceritakan sebuah peristiwa yang kualami kepadamu, tetapi waktunya tidak sekarang,” kata Wi-hong. “Setelah mendengar cerita itu, kuharap kau dapat berpikir dengan jernih dan mungkin pandanganmu selama ini kepada keluarga Ting akan mengalami perubahan.”

Wi-lian tidak membantah lagi setelah melihat sikap kakaknya yang begitu bersungguh-sungguh. Wi-lian paham betul akan tabiat kakaknya yang cermat itu, tanpa alasan yang kuat tidak mungkin ia menuduh sembarangan kepada orang lain. Lagi pula Wi-lian berusaha menahan diri agar tidak bertengkar dengan kakaknya yang baru beberapa hari berkumpul lagi itu. Tetapi hatinya merasa cemas, jangan-jangan Ting Bun benar-benar sejelek yang diduga oleh kakaknya?

Dengan selesainya urusan pemakaman Cian Sin-wi, maka Tong Wi-hong mulai memikirkan urusan-urusan lainnya. Pikirannya mulai melayang ke kota kelahiran yang sangat dirindukannya, An-yang-shia, kota kecil mungil yang indah di tepi danau Po-yang-ou itu. Di sana sudah menanti dua macam pekerjaan baginya. Menemukan makam ayahnya, dan membalas sakit hati keluarga kepada Cia To-bun.

Ketika Wi-hong mengutarakan tujuannya untuk pergi ke An-yang-shia kepada adiknya, adiknya langsung saja menyambutnya dengan gembira. Bahkan Wi-lian berkata pula, “Letak kota Lam-cang tidak jauh dari An-yang-shia, kita bisa menuju pula ke Lam-cang setelah tugas menghajar Cia To-bun selesai.”

“Untuk apa ke Lam-cang?” tanya kakaknya.

“A-hong, ingatkah kau bahwa Cia To-bun dalam memusuhi keluarga kita itu tidak bertindak sendirian, melainkan didukung oleh Cong-tok (Panglima Wilayah) Kiang-se yang bernama Thio Ban-kiat itu? Nah, Cia To-bun akan kita hajar, Thio Ban-kiat pun harus menerima sedikit bayaran. Selain itu, di Lam-cang akan terjadi pula suatu peristiwa yang menarik perhatian.”

“Peristiwa apa?”

“Pertemuan lengkap kaum Hwe-liong-pang, di mana akan dihadiri mulai dari pucuk pimpinan sampai anggota paling rendah, nah, kukira inilah kesempatan paling baik untuk menilai sampai di mana kekuatan Hwe-liong-pang yang sesungguhnya. Kudengar pertemuan kaum Hwe-liong-pang ini dimaksudkan untuk menandingi Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan agung para pendekar) yang akan diselenggarakan di Siong-san.”

“Aku setuju,” jawab Wi-hong tanpa berpikir lagi. “Anggap saja kita membantu kaum pendekar dengan jalan mengintip kekuatan pihak musuh, agar kaum pendekar pun dapat menentukan tindakan sesuai dengan keadaan.”

Rencana itu segera diberitahukan kepada tokoh-tokoh Tiong- gi Piau-hang lainnya. Ternyata Cian Ping menyatakan ingin ikut, sebab gadis itu tidak akan betah lagi jika harus kesepian seorang diri di gedung yang besar itu, sementara ayahnya sudah tidak ada lagi. Tong Wi-hong tidak keberatan akan keinginan Cian Ping itu. Bahkan Wi-hong berharap kegembiraan Cian Ping akan dapat dipulihkan kembali dengan melihat pemandangan indah sepanjang jalan.

“Jika enci Ping kelak melihat danau Po-yang-ou yang terletak tidak jauh dari rumah kami di An-yang-shia, aku yakin enci Ping tidak akan melupakannya seumur hidup,” kata Wi-lian kepada Cian Ping.

“Kuharap saja kau tidak membual,” sahut Cian Ping sambil tertawa.

Para tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang tidak dapat merintangi kemauan sang pemimpin baru itu, terpaksa mereka hanya memesankan agar hati-hati dan menyelesaikan segala urusan dengan waktu sesingkat-singkatnya. Persiapan untuk suatu perjalanan yang jauh pun telah disiapkan, tiga ekor kuda yang tegar dan sehat serta perbekalannya pun sudah siap.

Cian Ping tidak lupa menyiapkan sepasang hau-thau-kau (kaitan kepala harimau) yang ukurannya agak lebih kecil dan lebih ringan dari kepunyaan ayahnya. Senjata itu memang dirancang oleh ayahnya sendiri, disesuaikan dengan kodrat Cian Ping sebagai seorang perempuan yang tenaganya tidak sekuat laki-laki. Sedangkan Wi-hong pun menyiapkan pedangnya. Wi-lian tidak menyiapkan senjata apa-apa, sebab senjata yang paling diandalkannya adalah pukulan dan tendangannya sendiri.

Dalam pada itu, para pemimpin cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang dari berbagai kota itupun telah berpamitan untuk kembali ke kotanya masing-masing untuk menjalankan tugasnya. Rumah yang besar dan megah itu jadi semakin sepi. Tinggal Can Lo-toa dan beberapa pembantu kepercayaan Cian Sin-wi lainnya yang berkedudukan sebagai pelaksana semua urusan Tiong-gi Piau-hang selama Wi-hong tidak ada di Tay-beng.

Dan rumah gedung itu jadi semakin bertambah sepi ketika keesokan harinya Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping pergi pula meninggalkan rumah. Sebelum pergi, mereka sempat menerima macam-macam nasehat dan petunjuk dari Can Lo-toa.

Pesan Can Lo-toa, “Dari Tay-beng sampai ke An-yang-shia, jika kita melewati jalan besar, maka kita akan melewati dua kota di mana ada cabang Tiong-gi Piau-hang kita, yaitu di Kiang-leng dan di kota kecil Bu-sek. Jika Cong-piau-thau membutuhkan bantuan, kedua cabang itu akan dengan senang hati membantu Cong-piau-thau.”

“Aku berharap tidak sampai membuat mereka repot,” kata Wi-hong sambil melompat ke atas punggung kudanya. “Nah, selamat tinggal paman Can. Kuharap kau menjaga diri baik- baik.” Cian Ping dan Wi-lian pun berpamitan kepada orang itu.

* * * * * * *

UDARA yang cerah pada pagi hari itu membuat cerah pula wajah ketiga orang penunggang kuda yang masih muda itu. Semua kesedihan dan keruwetan yang dialami secara bertubi-tubi dalam beberapa hari ini telah terlupakan, yang terbayang adalah masa depan yang penuh perjuangan tetapi menggairahkan.

Begitu Wi-hong dan kedua kawan seperjalanannya itu keluar dari pintu gerbang kota Tay-beng sebelah selatan, mereka pun segera memacu kudanya masing-masing seakan-akan berlomba. Mereka mengambil jurusan tenggara.

“Semoga dalam perjalanan ini kita akan dapat pula menemui jejak si berandalan itu,” kata Wi-lian kepada kakaknya. “Berita yang dibawa oleh Siangkoan Hong itu agak kabur dan membingungkan, tetapi aku tetap percaya bahwa pada suatu ketika A-siang akan menemui kita.”

Sahut Wi-hong sambil tertawa, “A-siang tidak pernah berhenti membuat kita kebingungan. Entah keonaran apa lagi yang sedang dia rencanakan sekarang, kuharap semoga saja ia sudah jera dengan peristiwa An-yang-shia dua tahun yang lalu itu.”

Cian Ping ikut menimbrung percakapan kakak beradik itu, “Aku sudah kenal A-hong dan A-lian, tetapi entah bagaimana dengan kakak kalian yang bernama A-siang itu?”

Sahut Wi-lian, “Kakak kami yang tertua itu berwajah agak mirip dengan A-hong, hanya saja ia agak bercambang dan tubuhnya lebih tinggi sedikit dari A-hong. Jika A-hong suka menenggelamkan diri dalam tumpukan buku-bukunya sehingga mendapatkan julukan kutu buku, maka A-siang ini justru lebih suka keluyuran di luar rumah bersama dengan kawan-kawannya, dan kadang-kadang pulang ke rumah dengan wajah babak-belur karena habis berkelahi.”

Semakin membicarakan kakaknya, semakin berkobarlah rasa rindu Wi-lian kepada kakaknya itu. Katanya lebih lanjut, “A-siang memang seorang anak lelaki yang nakal dan bengal bukan main, sehingga ayah dan ibu pun semakin pusing kepala memikirkannya. Orang-orang di seluruh An-yang-shia barangkali tak seorang pun yang tidak jengkel kepada A-siang, tetapi A-siang sangat sayang kepadaku. Sering ia menangkapkan kupu-kupu atau menangkapkan burung untukku, atau mengajakku memancing ke tengah danau Po-yang-ou. Semua orang boleh membencinya, tapi aku tetap merindukannya.”

Gadis yang garang seperti macan betina jika berhadapan dengan lawan-lawannya itu, kini tiba-tiba matanya menjadi basah ketika membicarakan soal kakaknya itu. Ucapnya dengan suara bergetar, “Semoga kami semua kakak beradik segera dapat berkumpul kembali.”

“Aku akan ikut berdoa buat kalian,” kata Cian Ping dengan tulus. “Jika A-hong dan A-lian memujinya sebagai anak baik, akupun percaya dia benar-benar orang baik. Bahkan aku percaya dia juga akan bersikap baik kepadaku, seperti juga adik-adiknya yang manis-manis ini.”

Wi-hong dan Wi-lian memandang Cian Ping dengan pandangan mata yang penuh dengan rasa terima kasih. Kata Wi-hong, “Terima kasih, adik Ping, A-siang pasti akan bersikap baik kepadamu pula. Aku pun sangat rindu kepadanya, meskipun dulu ia sering menjitak kepalaku.”

Demikianlah percakapan itu hanya berkisar tentang diri A-siang. Agaknya Wi-hong dan Wi-lian begitu rindu kepada kakak mereka, sehingga pembicaraan mereka pun tidak bergeser dari kenangan masa lalu yang begitu mengesankan. Mereka mengenang bagaimana dulu mereka bertiga kakak beradik telah bermain hujan-hujanan sehingga basah kuyup, dan ketiga-tiganya dihukum oleh ayah mereka untuk berdiri menghadap tembok sehari suntuk.

Teringat pula bagaimana A-siang sampai menjadi babak-belur seluruh tubuhnya, gara-gara membela A-hong yang dikeroyok oleh anak-anak lain sebayanya, dan masih banyak kenangan masa kanak-kanak lainnya yang tak mudah dilupakan.

Kota Tay-beng kini sudah jauh tertinggal di belakang mereka, bahkan hutan cemara yang merupakan tempat di mana Wi-hong hampir mati dibunuh oleh Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun juga telah mereka lewati. Mereka sudah melewati pula beberapa buah pedesaan berpenduduk sedikit yang nampak tenteram sekali.

Ketika mereka mulai mengambah jalan yang sepi, di mana kanan kirinya hanya terdapat lereng-lereng hutan cemara atau perladangan penduduk, tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar suara derapan kaki kuda yang menyusul mereka. Ketika Wi-hong menoleh, nampaklah ada seorang penunggan kuda agaknya sedang berusaha untuk menyusul mereka.

Penunggang kuda di belakang itu adalah seorang anak muda berumur kira-kira dua puluh empat tahun, berwajah keras dan berwibawa, mengenakan pakaian ringkas berwarna biru laut dengan potongan yang sederhana tapi gagah, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok bersarung besi. Dialah Ting Bun.

Timbullah rasa tidak senang Tong Wi-hong melihat anak Ting Ciau-kun ini, “Mau apa orang she Ting ini menyusul kita?”

Wi-lian berkata kepada kakaknya, “A-hong, kau sekarang adalah seorang Cong-piau-thau yang dihormati orang, kuharap kau dapat bersikap bijaksana dalam menghadapi setiap orang. Meskipun mungkin kau punya prasangka buruk kepada Ting Bun tetapi sebelum hal itu dibuktikan dengan kuat maka kau tidak boleh bersikap kurang adil.”

Bahkan sikap Cian Ping juga sama dengan Wi-lian, “Perkataan adikmu itu tidak ada salahnya kau turuti, A-hong. Ayah pernah berkata semasa hidupnya, bahwa kejayaan Tiong-gi Piau-hang selama ini bukan hanya mengandalkan kekuatan senjata tetapi juga mengandalkan pergaulan yang luas dengan semua orang.”

Dalam pada itu Ting Bun telah berhasil menyusul mereka. Kata anak muda itu sambil menyeka keringat di dahinya, “Huh, hampir saja aku ketinggalan, aku tidak melihat keberangkatan kalian dari kota Tay-beng. Ketika aku tanyakan ke gedung Tiong-gi Piau-hang, paman tua itu mengatakan bahwa kalian telah berangkat, maka buru-buru saja aku menyusul ke arah sini.”

Sikap Ting Bun begitu hangat dan akrab, kata-katanya pun meluncur begitu lancar tanpa canggung-canggung, bahkan ia pura-pura tidak melihat sikap Wi-hong yang dingin dan tawar itu. Diam-diam Tong Wi-lian semakin kagum akan kelapangan dada anak muda she Ting ini, tetapi entah ada masalah apakah sampai kakaknya bersikap sedingin itu kepada Ting Bun? Selama ini kakaknya belum menceritakan apa-apa.

Sementara itu Wi-hong pun menerima kedatangan Ting Bun itu dengan sikap yang resmi dan sama sekali tidak akrab, katanya, “Ting Tay-jin (tuan pembesar she Ting), terima kasih atas perhatianmu kepada kami. Tetapi kami tidak ingin merepotkan Tay-jin.”

Mendengar sebutan “tay-jin” diucapkan berkali-kali dengan diberi tekanan suara, Ting Bun hanya menarik napas saja. Katanya, “A-hong, kuharap sebutan yang tidak enak itu tidak kau gunakan lagi. Ayahmu dan ayahku bersaudara angkat, kenapa tidak kita gunakan saja sebutan yang lebih akrab di antara kita?”

Masih mendingan jika Ting Bun tidak menyebut-nyebut tentang persaudaraan angkat ayah mereka, namun begitu Ting Bun menyebutnya, kemarahan Wi-hong justru berkobar semakin hebat. Katanya sambil tertawa sinis, “Bersaudara angkat? Ha-ha-ha, kau jangan bergurau, Ting Tay-jin....”

Kata-kata Wi-hong itu mendadak terputus oleh suara Wi-lian dengan suara yang hampir menjerit karena marah pula, “A-hong! Kau terlalu tidak menghargai maksud baik orang lain!”

Wi-hong terkejut dan menghentikan tertawanya, dia sama sekali tidak menduga kalau adiknya bisa bersikap sekeras itu. Ia cukup paham akan tabiat adiknya itu, dan dia paham bahwa saat itu adiknya sudah sampai kepada batas kesabarannya. Wi-lian berhati keras, bahkan sama kerasnya dengan kakak tertuanya, Tong Wi-siang, dan jika gadis itu sampai tersinggung maka dia bisa saja melampiaskan kemarahannya dengan berbuat di luar dugaan. Dia bisa membuat onar seperti Tong Wi-siang juga membuat onar!

Melihat adiknya mulai bersikap marah, terpaksa Wi-hong berusaha mengalah dengan melunakkan suaranya. Tapi nadanya masih tetap dingin dan mengandung ketidak-senangan hatinya, “Baiklah, Ting... Ting-heng (saudara Ting) sudi merepotkan dirinya untuk melakukan perjalanan bersama kita. Sebelumnya kuucapkan terima kasih.”

Kata Ting Bun sambil tersenyum kecut, “Tidak perlu Tong-heng bersikap demikian sungkan kepadaku. Barangkali memang aku yang kurang tahu diri berhadapan dengan seorang Cong-piau-thau yang begitu dihormati di Kang-pak.”

Ucapan tajam Ting Bun itu segera disanggah oleh Wi-hong, “Apa artinya kedudukan Cong-piau-thau dengan dibandingkan perwira kesayangan Kaisar?”

“Aku bukan kuku garudanya Cong-ceng lagi!” potong Ting Bun.

“Jubah gampang dilepaskan, watak sulit dirubah,” bantah Wi-hong.

Selapang-lapangnya hati Ting Bun dan sesabar-sabarnya sifatnya, tetapi darah mudanya mulai menjadi panas juga karena terus menerus diberondong dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan hati dari Wi-hong itu. Tetapi ia masih mampu mengendalikan diri. Bahkan timbul tekadnya untuk menunjukkan maksud baiknya, tekadnya dalam hati, “Hem, kau ingin kupaksa kau untuk melihat pribadiku yang sebenarnya tidak sehina yang kau duga.”

Maka sindiran Wi-hong yang terakhir itu tidak dijawabnya, didiamkannya saja, sebab Ting Bun percaya bahwa kebenaran kenyataan pada akhirnya pasti akan muncul dan memporak-porandakan tuduhan-tuduhan sebelumnya. Cepat atau lambat. Sampai di situ tidak ada lagi yang bisa diperdebatkan.

Tong Wi-hong pun terpaksa menyerah dan membiarkan Ting Bun ikut dalam rombongannya karena ia tidak punya alasan kuat untuk mengusir Ting Bun. Mengusir dengan kekerasan bisa saja dilakukan oleh Wi-hong, tetapi entah bagaimana sikap adiknya nanti.

Dengan masuknya Ting Bun ke dalam rombongan itu, maka jumlah rombongan menjadi empat orang. Antara Wi-hong dan Ting Bun masih terdapat kekakuan suasana yang menjadi sekat di antara mereka, tetapi Ting Bun tidak begitu menghiraukannya. Anak muda itu berkuda di sebelah belakang, berjajar dan bercakap-cakap dengan Wi-lian.

Karena perjalanan dilakukan tidak dengan terburu-buru, maka setiap harinya mereka hanya dapat menempuh jarak beberapa puluh li. Dan itupun kadang-kadang diselingi jika mereka berhenti dan beristirahat di tempat-tempat yang pemandangannya indah.

Pada hari yang keempat keberangkatan mereka, tibalah rombongan kecil itu di sebuah simpang tiga yang sangat ramai lalu-lintasnya. Jika mereka mengikuti jalan yang lurus ke depan, maka dalam jarak 10 li lagi mereka akan memasuki kota Kiang-leng, sesuai dengan batu petunjuk jalan yang ditanam di tepi jalan. Sedang jika membelok ke arah kiri akan menuju ke kota An-peng.

Simpang tiga itu bukan saja ramai dengan orang berlalu-lalang, tapi juga ramai karena ada sebuah perkampungan kecil yang hidup. Karena terletak di persimpangan yang menghubungkan tiga buah kota besar, maka perkampungan di simpang tiga itu cukup ramai dan lengkap, meskipun jumlah penghuninya tidak lebih dari dua puluh rumah.

Di situ ada rumah-rumah makanan dan arak yang berdiri berderet-deret di pinggir jalan, ada pula rumah-rumah peristirahatan yang meskipun sederhana tetapi banyak disinggahi oleh para musafir yang kelelahan.

“Kita akan melepaskan lelah sebentar di sini,” kata Wi-hong. Selama perjalanan itu, seolah-olah Wi-hong telah menjadi pemimpin rombongan kecil itu, dan yang lain-lainnya pun tidak menunjukkan keberatannya.

Maka kali inipun tidak ada seorang pun yang membantah keinginan Wi-hong yang ingin beristirahat di simpang tiga yang ramai itu. Ting Bun juga tidak membantah, sebab ia sedang berusaha mengembangkan hubungan sebaik mungkin dengan Wi-hong. Apalagi karena rombongan kecil itu telah merasakan pula betapa haus dan lelahnya mereka setelah melakukan perjalanan jauh.

Mereka memilih sebuah warung arak kecil yang kelihatan bersih dan rapi. Setelah mereka menambatkan kuda dan melangkah masuk, si pemilik warung itu telah menyambutnya dan mempersilakan duduk kepada tamu-tamunya. Warung kecil itu ternyata hampir terisi penuh oleh para pengunjung yang rata-rata bertampang orang dari jauh. Untung masih ada sebuah meja dengan jendela, maka Tong Wi-hong dan kawan-kawannya pun segera menempati meja itu. Senjata-senjata tajam yang mereka bawa segera dilepas dan disandarkan ke dinding.

Ketika mereka sedang menunggu datangnya makanan dan minuman yang mereka pesan, tiba-tiba dari jalan arah ke kota An-peng terdengar suara gemuruh derap kaki kuda, ringkik kuda, dan berderak-deraknya roda kereta di atas jalan yang berbatu. Maka nampaklah sebuah rombongan sebuah perusahaan pengawalan, namun entah dari perusahaan mana sebab belum terlihat benderanya.

Wi-hong menjadi tertarik perhatiannya dan memperhatikan rombongan itu. Tiba-tiba dia melihat pada kereta yang paling depan ada berhiaskan sehelai bendera kecil segitiga berwarna putih, dan di tengah-tengahnya tersulam dengan gambar sebuah hati berwarna kuning emas. Itulah bendera Tiong-gi Piau-hang.

Melihat rombongan Tiong-gi Piau-hang di tempat itu tidak mengherankan bagi Wi-hong, sebab tempat itu sudah dekat sekali dengan kota Kiang-leng, dan di kota itu ada cabang Tiong-gi Piau-hang yang cukup besar. Namun yang mengejutkan Wi-hong adalah ketika melihat keadaan rombongan Tiong-gi Piau-hang itu ternyata begitu berantakan!

Para piau-su (pengawal) dalam rombongan itu berjumlah kira-kira dua puluh orang, tetapi semuanya dalam keadaan luka-luka dan berwajah lesu seperti baru saja mengalami kekalahan berat dalam pertempuran. Ada yang dibalut kepalanya, ada yang dibalut kakinya dan sebagainya. Bahkan ada yang tidak mampu menunggang kuda namun berbaring di dalam kereta barang, entah luka parah entah sudah mati.

Ternyata banyak orang-orang yang di pinggir jalan pun menjadi tertarik melihat rombongan Tiong-gi Piau-hang yang nampak begitu konyol itu. Seorang tamu dalam warung arak, yang duduknya tidak jauh dari meja Wi-hong, langsung memberikan komentarnya,

“Tiong-gi Piau-hang selama ini malang-melintang di wilayah Kang-pak tanpa tandingan, kenapa sekarang bisa mengalami nasib begini buruk?”

Temannya yang duduk satu meja dengannya segera menyahut sambil menarik napas, “Ibarat roda yang berputar, tidak selamanya berada di atas tetapi suatu ketika akan terjungkir juga ke bawah. Kudengar berita katanya baru saja Cian Sin-wi dibunuh oleh orang-orang Hwe-liong-pang karena tidak mau tunduk kepada kemauan Hwe-liong-pang. Dan kini agaknya cabang-cabangnya di kota-kota lainpun sudah mulai ditentukan nasibnya oleh pihak Hwe-liong-pang.”

Sementara itu Wi-hong telah hilang nafsu makan minumnya ketika menyaksikan hal itu. Dipandangnya Cian Ping, Wi-lian dan Ting Bun bergantian, lalu katanya, “Kalian teruskan dulu makan dan minum kalian di sini sambil mengawasi keadaan. Aku akan mendahului kalian ke Kiang-leng untuk melihat apa yang sedang terjadi atas cabang itu.”

Kata Ting Bun menawarkan jasa baiknya, “Biarlah aku ikut denganmu, A-hong, meskipun kepandaianku tidak tinggi tetapi barangkali dapat membantumu.”

Sikap Wi-hong tawar-tawar saja menghadapi uluran tangan Ting Bun itu, katanya, “Maaf, ini adalah urusan dalam tubuh Tiong-gi Piau-hang sendiri. Kau tidak perlu merepotkan diri untuk ikut campur.”

Ting Bun yang hampir saja bangkit dari kursinya itu lalu meletakkan kembali pantatnya di atas kursi. Katanya sambil menarik napas, “Maaf, mungkin aku memang terlalu lancang.”

Ucapan Ting Bun itu cukup menyentuh perasaan Wi-hong juga. Bahkan di dalam hati kecilnya Wi-hong sudah merasa bahwa sikapnya kepada Ting Bun selama ini memang agak keterlaluan dinginnya. Betapapun bencinya ia kepada Ting Ciau-kun, namun betapapun harus diingat bahwa Ting Bun bukan Ting Ciau-kun.

Tetapi Wi-hong yang keras kepala itu tidak menggubris lagi perasaannya. Dengan tergesa-gesa ia bangkit berdiri dan menyandang pedangnya, dan sesaat kemudian ia telah berpacu di atas punggung kudanya untuk menyusul rombongan Tiong-gi Piau-hang yang kocar-kacir tadi.

Begitu Wi-hong sudah berlalu, Cian Ping berkata kepada Ting Bun dengan sikap menyesal, “Ting Toako, harap kau tidak menjadi kecil hati atas sikap A-hong itu.”

Sahut Ting Bun sambil tertawa dipaksakan, “Ah, aku berusaha melupakan semuanya dan tidak menyimpannya dalam hati. Aku tahu pikirannya sedang ruwet dan penuh beban sehingga mempengaruhi ketenangannya dalam bersikap. Tetapi dulu aku mengenalnya sebagai seorang anak muda yang mudah menyadari kesalahan dirinya sendiri dan cukup berani untuk mengakui kesalahannya. Dan aku yakin sifat itu masih ada pada dirinya.”

Cian Ping nampak lega melihat sikap Ting Bun itu. Katanya, “Kau adalah seorang yang penuh pengertian dan berpikiran lapang. Berbahagialah kelak gadis yang menjadi pendampingmu.”

Ketika mengucapkan “gadis yang menjadi pendampingmu” itu diam-diam Cian Ping menggerakkan kakinya di bawah meja untuk menendang kaki Wi-lian. Wi-lian yang sedang meneguk tehnya itu menjadi terkejut sehingga terbatuk-batuk, mukanya pun berubah menjadi merah.

Sedangkan Ting Bun sendiri menjadi salah tingkah karena dia tahu gerak-gerik Cian Ping di bawah meja itu. Rupanya kaki Cian Ping tadi tanpa disadari telah menyentuh sedikit kaki Ting Bun! Dengan sikap yang agak kikuk, Ting Bun mencoba membelokkan arah pembicaraan, “Entah pihak mana yang bernyali begitu besar sehingga berani memusuhi Tiong-gi Piau-hang di wilayah Kiang-leng ini?”

Pertanyaan Ting Bun itu sebenarnya tidak memerlukan jawaban, sebab siapapun tentu tahu bahwa antara Tiong-gi Piau-hang dengan Hwe-liong-pang telah terbentang jurang permusuhan yang lebar. Ting Bun sendiri juga tidak memerlukan jawaban, dia hanya bicara asal bicara saja untuk menghilangkan salah tingkahnya.

Sahut Cian Ping, “Kemungkinan besar ini adalah perbuatan orang-orang Hwe-liong-pang, karena mereka telah bertekad untuk menghancurkan Tiong-gi Piau-hang sama sekali yang dianggapnya tidak mau tunduk kepada kemauan mereka. Dulu mereka hanya menyerang pusat Piau-hang di Tay-beng, dan kini mereka agaknya mulai menyerang cabang kami yang terpencar-pencar.”

Ting Bun menganggukkan kepalanya, katanya, “Aku secara pribadi tidak mempunyai permusuhan dengan Hwe-liong-pang. Tetapi aku telah mendengar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini selalu melanggar tata tertib dunia persilatan dan bertindak sewenang-wenang di luar batas-batas perikemanusiaan, jika dibiarkan terus menerus tentu akan menggelisahkan masyarakat.”

Baru saja Ting Bun selesai dengan ucapannya, tiba-tiba dari arah pintu masuk warung makan itu terdengar orang tertawa mengejek, dan disusul dengan kata-kata, “Ha-ha-ha, seekor tikus kecil seperti ini pun juga berani menentang kekuasaan Hwe-liong-pang kami yang jaya?”

Ting Bun dan kawan-kawannya terkejut dan menoleh ke arah pintu masuk, bahkan semua pengunjung warung makan itupun serentak menoleh ke arah yang sama untuk melihat siapa yang berbicara itu. Dari pintu masuk itu muncullah berturut-turut tujuh orang lelaki. Yang paling depan adalah seorang lelaki bertubuh ceking yang sebelah matanya cacat dan ditutup dengan kain hitam, bentuk bibirnya menandakan bahwa orang ini memiliki sifat-sifat yang kejam luar biasa.

Dan tangan orang ini menjinjing sebatang tombak pendek yang mata tombaknya bergerigi seperti rahang serigala, yang melangkah di belakang si mata satu ini berturut-turut adalah Song Kim si murid murtad serta Han Toan si bekas bajak laut, kedua orang ini tentu saja sudah dikenal oleh Cian Ping dan Wi-lian.

Selanjutnya muncul pula empat orang lelaki yang berpakaian sama dan bahkan mukanya pun mirip satu sama lain, tentunya mereka berempat adalah bersaudara. Keempat orang itu masing-masing, gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka agaknya ahli-ahli dalam perkelahian jarak dekat.

Begitu tujuh orang itu melangkah masuk ke dalam warung arak, maka para tetamu lain yang tahu gelagat dan tidak senang keributan segera membayar harga makanannya masing-masing dan buru-buru meninggalkan tempat itu.

Tetapi buat Cian Ping, Wi-lian dan Ting Bun yang bernyali besar itu, penampilan pendatang-pendatang baru itu sama sekali tidak menggentarkan mereka. Mereka bertiga tetap makan minum dengan tenangnya bahkan Cian Ping dengan berani telah memelototkan matanya kepada Song Kim dengan penuh dendam kesumat.

Dipandang semacam itu, Song Kim ngeri juga. Tetapi di luarnya dia justru bersikap tertawa-tawa sambil berkata, “Selamat bertemu kembali, adik Ping, kau nampak kurus sekarang tetapi kecantikanmu tidak berkurang sedikitpun. Eh, kenapa kau memandangku dengan cara yang begitu menakutkan?”

Cian Ping telah meraih sepasang hau-thau-kaunya yang disandarkan di dinding, sahutnya dingin, “Manusia berhati binatang dan berjantung anjing, kau masih punya muka untuk menemui aku?”

Song Kim menyahut masih dengan cengar-cengir, “Kenapa tidak berani menemuimu? Aku sama sekali tidak rela kau diperistri oleh bocah she Tong keparat itu. Kudengar kabar dia telah diangkat menjadi Cong-piau-thau menggantikan ayahmu, hem, tapi sebentar lagi dia hanya akan memimpin sebuah Piau-hang yang berantakan dan bangkrut.”

Air muka Cian Ping seketika berubah hebat mendengar ucapan Song Kim itu. Semakin yakinlah Cian Ping bahwa kerusakan Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu adalah hasil ulah orang-orang Hwe-liong-pang. Karena kaget dan marahnya, untuk sementara Cian Ping malahan bagaikan terkunci mulutnya, tidak mampu berkata-kata sepatah katapun.

Song Kim dan rombongannya tertawa kesenangan melihat ucapan mereka telah mengenai sasarannya, bahkan Song Kim melanjutkan, “Itu hanya sebagai contoh bahwa siapapun yang berlagak sok pahlawan dan tidak mau tunduk kepada kami, akan kami babat habis sampai ke akar-akarnya.”

Wi-lian yang berdarah panas itu tidak tahan mendengar ucapan takabur itu. Ejeknya, “Membabat habis sampai ke akar-akarnya? Hemm, aku sedikitpun tak percaya. Masakah Hwe-liong-pang kalian punya kekuatan sehebat itu?”

Song Kim mengalihkan perhatiannya kepada Wi-lian, lalu katanya sambil tersenyum sinis, “Aku tahu kau adalah seorang murid Siau-lim-pay yang berkepandaian tinggi, ketika di padang perdu pun aku sudah melihat bagaimana kau membunuh Cong Yo dan Cong Hun. Tetapi kau jangan terlalu bangga dengan kepandaianmu itu. Jika kau tahu siapa orang-orang yang datang bersama dengan aku ini, maka kau akan menyesal bahwa kau bersikap begitu sombong.”

Dan tanpa diminta lagi, dengan sikap bangga Song Kim menyebutkan teman-temannya itu lengkap dengan julukan-julukannya. Lebih dulu ia menunjuk si mata satu yang membawa tombak duri pandan itu, katanya, “Kuperkenalkan yang ini adalah Tong-cu dari Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat) dalam Pang kami bernama Mo Hui dan berjulukan Hong-long-cu (Si Serigala Gila). Dan keempat bersaudara ini tentu pernah pula kau dengar namanya yang menggetarkan, mereka inilah yang berjuluk Lam-gak-su-koay (Empat Siluman Gunung Lam-gak) yang kini telah bergabung dengan Hwe-liong-pang kami.”

Airmuka Wi-lian sama sekali tidak pernah berubah mendengar julukan-julukan seram itu bahkan jawabnya dengan santai, “Aku memang pernah mendengar nama-nama itu. Kabarnya si anjing gila itu mahir ilmu tombak yang diberinya nama Sha-cap-lak-hong-long-cio-hoat (Tigapuluh enam Jurus Ilmu Tombak Serigala Gila), entah ilmu tombaknya benar-benar hebat atau hanya untuk menakut- nakuti anak-anak kecil saja?”

Baru saja Wi-lian mengatupkan mulutnya sehabis mengeluarkan kata-kata ejekan itu, sudah menggereng dengan marahnya dan menendang meja yang ada di depannya itu sehingga mencelat ke samping. Lalu bagaikan seekor serigala kelaparan dia melompat, dan ujung tombak gigi serigalanya telah membesat ke arah lambung Wi-lian.

Agaknya si serigala gila bermata satu ini seorang pemarah yang tidak tahan ejekan Wi-lian yang tajam tadi. Dia memang seorang yang jarang menggunakan mulutnya untuk bicara, namun lebih siap untuk senantiasa menghunjamkan tombaknya ke tubuh korban-korbannya.

Serangan kilat itu disebut jurus Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit), serangannya cepat dan ganas luar biasa. Cian Ping dan Ting Bun sampai menjerit serempak, “A-lian, awas!”

Namun peringatan itu sebenarnya tidak perlu bagi murid Rahib Hong-tay itu, sebab bersamaan dengan datangnya serangan itu tubuh Wi-lian telah “terbang” ke atas, dan dalam keadaan melompat itu dia melancarkan tendangan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibaskan Ekor) yang dengan tepat sekali mengenai pundak Mo Hui. Terdengar si mata satu ini meraung sekali lagi, namun raungannya kali ini adalah raungan kesakitan. Ia merasakan pundaknya bagaikan tertimpa reruntuhan bukit, dan tubuhnya terlempar ke samping menimpa seperangkat meja kursi.

Dengan tenangnya Wi-lian duduk kembali di kursinya, meneguk kembali tehnya, dan berkata kepada Song Kim sambil tertawa, “Wah, hebat sekali temanmu yang kau bangga-banggakan itu ya? Nah, siapa lagi ingin mencoba? Barangkali keempat orang siluman kecil ini?”

Bahwa seorang Tong-cu dalam Hwe-liong-pang bisa dirobohkan dengan sekali gebrakan saja oleh Wi-lian, hal itu cukup mencengangkan Song Kim dan teman-temannya. Sesungguhnya Mo Hui tidak selemah itu, bahkan dapat digolongkan tokoh tangguh dalam dunia persilatan, hanya saja dia terlalu gegabah dan memandang rendah kepada Wi-lian sehingga harus mengalami pil pahit macam itu. Serangan Mo-Hui yang menakutkan tadi juga kurang perhitungan, hanya bisa menakut-nakuti orang yang bernyali kecil, tapi bagi ahli silat yang bersikap tenang akan terlihat banyak sekali kelemahannya.

Kini, meskipun Lam-gak-su-koay telah ditantang secara terang-terangan, tapi tidak berani langsung menjawab tantangan itu, mereka agaknya tidak ingin mengalami nasib buruk seperti Tong-cu mereka. Dalam pada itu Mo Hui dengan tertatih-tatih telah bangkit dari reruntuhan meja kursi yang dijatuhi tubuhnya tadi. Mukanya yang biasanya dingin dan pucat itu sekarang telah berubah menjadi merah membara, pandangan matanya yang hanya satu itupun memancarkan keingingan membunuhnya yang menggidikkan hati.

Teriaknya, “Bunuh mereka semuanya! Jangan seorangpun dibiarkan dengan tubuh yang utuh! Akan kukirim mayat-mayat mereka ke Kiang-leng supaya orang-orang Tiong-gi Piau-hang di sana menggigil ketakutan!”

Tujuh orang Hwe-liong-pang itupun segera berlompatan mengitari Wi-lian bertiga dengan senjatanya masing-masing. Song Kim siap dengan tombak panjangnya yang bergagang besi itu, Han Toan dengan toya ce-bi-kun (toya setinggi alis) yang terbuat dari perunggu, sedangkan masing-masing Lam-gak-cu-koay telah memegang sepasang belati pendek di kedua belah tangan masing-masing.

Cian Ping bertiga pun segera mempersiapkan diri karena tidak berani memandang remeh lawan-lawan mereka. Cian Ping sudah siap dengan sepasang hau-thau-kau nya, Ting Bun dengan golok Toan-bun-to (golok penghadang pintu), sementara Wi-lian tidak memegang senjata apapun sebab gadis itu agaknya lebih percaya kepada tangan kakinya.

Pemilik warung arak itu menjadi ketakutan karena melihat tamu-tamunya sudah berhadapan dan siap bertempur. Dengan menggigil ketakutan ia menyembunyikan dirinya di ruangan belakang, sementara itu di matanya sudah terbayang bahwa semua meja, kursi, mangkuk dan barang-barang modal lainnya akan hancur berantakan tanpa sisa.

Wi-lian agaknya masih punya pikiran untuk tidak menghancurkan warung arak itu. Tiba-tiba ia berseru kepada Cian Ping dan Ting Bun, “Terjang ke luar pintu! Kita akan mencari tempat yang cukup luas untuk menghajar bangsat-bangsat Hwe-liong-pang ini!”

Namun Mo Hui telah menghadang gerakan Wi-lian, sambil berteriak ganas ia menikamkan tombaknya ke leher Wi-lian. Ketika gadis itu menggunakan gerakan menunduk untuk menghindari serangan tombaknya, cepat Mo Hui memutar tombaknya dan mencoba menggunakan gerigi pada mata tombaknya untuk mengoyak punggung Wi-lian.

Tetapi murid Rahib Hong-tay itu terlalu tangkas untuk dipecundangi hanya dalam segebrakan saja. Selicin belut selincah kupu-kupu dia berhasil menyelinap ke samping sambil menyodorkan sebuah hantaman keras ke dagu Mo Hui dengan jurus Wan-kiong-sia-tiau (Pentang Busur Memanah Rajawali). Gerakan setangkas itu memaksa Mo Hui harus melompat mundur kembali supaya dagunya tidak berantakan terhantam lawan.

Ting Bun dan Cian Ping juga tidak dapat menerobos keluar dengan mudah, sebab lawan-lawannya tidak membiarkannya berbuat sesuka hati. Ting Bun seorang diri harus meladeni keroyokan Lam-gak-su-koay yang ganas itu, begitu pula Cian Ping terdesak dalam menghadapi keroyokan Song Kim dan Han Toan. Anak gadis Cian Sin-wi itu bukannya berhasil mendekati pintu, namun malahan terdesak semakin ke bagian dalam warung itu.

Melihat hal itu, Wi-lian bertindak cepat untuk menolong kawan-kawannya. Lebih dulu ia memaksa Mo Hui mundur kelabakan setelah dicecar dengan serangkaian serangan hebat. Setelah itu Wi-lian melompat secepat kilat kepada Han Toan dan langsung diluncurkan sebuah tendangan ke pinggang bekas bajak laut itu.

Han Toan terkesiap, senjata toya perunggunya terlalu berat untuk digerakkan dengan lincah untuk melindungi bagian yang diserang itu, maka tendangan Wi-lian itu tak ampun lagi mendarat telak di lambungnya, langsung melemparkannya menubruk dinding dan membuat Han Toan pingsan seketika itu juga.

Rontoklah keberanian Song Kim melihat keperkasaan Tong Wi-lian itu. Terpaksa dia harus menyingkir mundur dan membiarkan Wi-lian untuk bergabung dengan Cian Ping dan menerobos ke pintu keluar. Di dekat pintu keluar, Ting Bun sedang keripuhan menghadapi empat pasang belati yang dimainkan oleh Lam-gak-su-koay secara cepat dan mahir itu.

Sebatang golok yang dimainkan Ting Bun itu ternyata justru sangat merepotkan jika dimainkan di tempat yang sesak dengan meja dan kursi itu, apalagi lawan-lawannya itu agaknya sangat mahir berkelahi dalam jarak pendek. Terpaksa untuk sementara waktu Ting Bun hanya bersikap bertahan serapat-rapatnya, namun tak urung pundak dan lengannya sempat tergores juga oleh senjata lawan sehingga mengeluarkan darah.

Tong Wi-lian tidak mempedulikan Mo Hui yang memburunya dari belakang itu. Gadis itu sudah memperhitungkan, bahwa jika dirinya menerjunkan diri langsung untuk membantu Ting Bun, maka Mo Hui pasti tidak akan leluasa menyerangnya karena terhalang oleh teman-temannya sendiri.

Dengan perhitungan semacam itu, Wi-lian tanpa pikir panjang lagi langsung “menyusup” ke dalam arena pertempuran yang rapat antara Ting Bun dengan Lam-gak- su-koay itu. Tindakan gadis yang berani itu sempat menggoncangkan hati Lam-gak-su-koay. Salah seorang dari Lam-gak-su-koay yang menjadi bimbang, langsung saja menjadi korban pertama Wi-lian, terpental keluar arena dengan gigi depan rontok semua!

“Ting Toako, cepat terjang keluar!” teriak Wi-lian.

Ting Bun juga melihat kesempatan itu. Sesaat selagi kepungan Lam-gak-su-koay menjadi agak kacau, maka Ting Bun telah menerobos keluar pintu sambil membolang-balingkan goloknya, tapi sebuah goresan kecil sempat juga “hinggap” di punggungnya. Dalam pada itu Mo Hui telah menerjang kepada Cian Ping, namun Tong Wi-lian lah yang menghadapi amukan serigala gila bermata satu itu.

Sambil mendorong pundak Cian Ping ke samping, Wi-lian berteriak, “Cici Ping, kau pun cepat keluar, jangan merisaukan aku!”

Cian Ping yang bertarung gigih itupun menyahut, “Kau tidak boleh bertempur seorang diri di sini!”

Sambil tetap melayani serangan Mo Hui yang gencar luar biasa itu, Wi-lian menyahut, “Tidak perlu Cici menguatirkan aku. Telah Cici lihat sendiri bahwa monyet Hwe-liong-pang ini tidak dapat berbuat apa-apa kepada aku.”

Dasar memang seorang gadis yang cerdik, dalam satu perkataan saja Wi-lian sekaligus punya dua tujuan. Pertama, ucapan itu bertujuan untuk meyakinkan Cian Ping agar gadis itu sebaiknya menerjang keluar. Kedua, ucapan itu bermaksud memanaskan hati orang-orang Hwe-liong-pang, terutama Hong-long-cu Mo Hui yang berangasan itu, agar kemarahan mereka terpancing.

Dalam asas ilmu silat dikenal suatu pelajaran yang sangat umum, bahwa orang yang dikuasai oleh kemarahan akan kehilangan sebagian dari kecermatannya, dan dengan demikian berarti menguntungkan lawannya. Maka Wi-lian mencoba mengalahkan Mo Hui dengan lebih dulu mengobarkan kemarahannya.

Cian Ping pun cukup cerdik untuk memahami maksud Wi-lian itu, maka sambil mendesak Lam-gak-su-koay yang tinggal tiga itu, Cian Ping ikut berkata untuk menambahkan 'minyak', “Baiklah kalau begitu. Tolong kau buka kain hitam yang menutupi mata kiri anjing gila itu, aku ingin melihat di balik kain hitam itu ada biji matanya atau cuma sarang kecoak!”

Sahut menyahut antara Cian Ping dan Wi-lian itu memang berhasil membuat dada Mo Hui serasa hampir meledak. sambil mengertakkan giginya ia menghamburkan tigapuluh enam jurus ilmu tombaknya tanpa kenal kasihan, sambil berteriak penuh kebencian, “Gadis-gadis sombong! Akan kuhancur-leburkan tubuh kalian!”

Dalam pada itu, Song Kim yang bersenjatakan tombak panjang dan berat itu, pertempuran di tempat yang luas akan lebih menguntungkan dirinya. Di tempat yang luas ia akan dapat mengembangkan ilmu tombak kebanggaannya. Namun karena Song Kim tidak dapat melewati pintu, maka ia melompat saja lewat jendela.

Begitu sepasang kakinya menginjak halaman luar, Ting Bun telah siap menyambutnya dengan sengit. Maka bertempurlah kedua anak muda itu. Baik Song Kim maupun Ting Bun adalah anak-anak muda yang sama-sama berdarah panas, dan ternyata gaya bertempur mereka pun sama persis, yaitu sama-sama cepat dan keras.

Tombak besi Song Kim maupun golok Ting Bun sama mengeluarkan desing-desingan keras yang menggidikkan hati. Meskipun Ting Bun telah mengalami luka namun hanya luka-luka ringan yang untuk sementara tidak menghalangi gerak-geriknya yang garang.

Di bagian dalam warung arak itu, Wi-lian bertempur melawan Mo Hui sambil bergeser ke arah pintu. Ia beradu punggung dengan Cian Ping yang memainkan sepasang kaitannya dengan lincah cepat sehingga Lam-gak-su-koay yang sudah biasa mengepung lawan-lawannya dari segala penjuru itu kini mau tidak mau jadi mati kutu. Permainan sepasang belati mereka jadi ragu-ragu dan tidak bisa dikembangkan sepenuhnya.

“A-lian mari kita kerahkan tenaga sebab Ting Toako sudah terluka,” kata Cian Ping. Karena bertempur dengan menghadapi ke arah halaman luar, maka Cian Ping lah yang dapat melihat keadaan Ting Bun yang agak menguatirkan itu, meskipun anak muda itu masih bertarung dengan gigihnya.

Seruan Cian Ping itu ternyata secara tidak langsung telah membawa akibat buruk bagi orang-orang Hwe-liong-pang, sebab hal itu berarti mengisyaratkan agar si macan betina dari Siau-lim-pay itu berkelahi lebih sungguh-sungguh lagi. Dan begitu Wi-lian menggeram sambil meningkatkan kecepatannya, maka lagi-lagi seorang dari Lam-gak-su-koay mengerang kesakitan karena lututnya telah tertendang patah oleh Wi-lian.

“Bangsat-bangsat Hwe-liong-pang, jika kalian cukup tahu diri, cepatlah menggelinding pergi dari hadapanku,” gertak Wi-lian.

Saat itu pihak Hwe-liong-pang sudah berkurang dengan tiga orang yang tidak dapat melanjutkan pertempuran, dan ketiga orang itu semuanya adalah korban dari Wi-lian. Yang pertama adalah Han Toan yang saat itu belum juga siuman dari pingsannya, kemudian dua orang dari Lam-gak-su-koay yang sudah terluka dan tidak dapat berkelahi lagi. Yang masih bertempur menghadapi Wi-lian kini hanyalah Mo Hui serta dua orang sisa Lam-gak-su-koay.

Dua orang sisa Lam-gak-su-koay yang masih mengeraskan kepala itupun sebenarnya sudah susut semangat tempurnya. Andaikata mereka tidak sungkan kepada Mo Hui, mereka lebih suka ngacir meninggalkan gelanggang untuk menyelamatkan diri. Tetapi Mo Hui justru bersikap kebalikannya dari anak buahnya yang sudah patah semangat itu.

Mo Hui sudah biasa berlaku ganas dan sewenang-wenang kepada siapapun, dia sudah sangat senang jika melihat calon korbannya sampai terkencing-kencing ketakutan, apalagi kalau kemudian ia menyiksa korban-korbannya dengan tangannya sendiri. Dalam Hwe-liong-pang pun dia dihormati dan disegani.

Tapi Mo Hui benar-benar penasaran karena sekian lama bertempur ia belum juga dapat menundukkan seorang gadis muda tak bersenjata. Bahkan sambil bertempur dengannya, gadis lawannya itu masih sempat pula melakukan “kerja sambilan” dengan mempreteli anak buahnya satu per satu. Maka dengan mengeraskan kepala terpaksa Mo Hui bertempur terus, bahkan telah cenderung menjadi gelap.

Sebaliknya Wi-lian sendiri bukan seorang gadis yang bersifat terlalu sabar. Sifatnya keras, bahkan lebih keras dari Wi- hong yang laki-laki itu. Mendengar bahwa Ting Bun telah terluka, gadis itu tidak menahan diri lagi, seluruh kepandaiannya yang didapatnya di Siong-san telah dihamburkannya keluar tanpa sisa.

Ujung jari-jarinya yang telah dilatih dengan direndam pasir panas itu tidak kalah berbahayanya dengan ujung senjata tajam manapun juga, sedang tendangan kakinya yang cepat dan keras itu pasti bisa merontokkan tulang-tulang korbannya apabila dikenainya...

Selanjutnya;
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.