Perserikatan Naga Api Jilid 21
DIA adalah seorang lelaki bertubuh langsing tegap, berpakaian ungu, namun wajahnya tidak nampak sebab tertutup oleh sebuah topeng tengkorak yang menyeramkan. Biarpun di siang hari bolong, namun cara pemunculannya yang mirip hantu itu mau tak mau membuat orang jadi bergidik melihatnya. Majikan rumah obat dan si tukang sayur itu serempak menyebut sebuah nama dengan mulut gemetar, “Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit)!”
Thian-liong Hiang-cu mengebaskan lengan jubahnya, dan bagaikan segumpal asap saja maka tahu-tahu tubuhnya telah melayang masuk dan tiba di tengah-tengah ruangan itu. Majikan rumah obat dan si penjual sayur itu cepat-cepat memberi hormat. Terdengar Thian-liong Hiang-cu menggeram,
“Sudah kudengar semua pembicaraan kalian tadi, dan aku sama sekali tidak senang. Aku menyesal sekali bahwa Hwe-liong-pang kita, yang tadinya punya garis perjuangan yang tegas dan mulia, kini telah berubah menjadi suatu gerombolan perampok-perampok rakus!”
Majikan rumah obat dan penjual sayur itu mulai gemetar tubuhnya, rasa takut yang amat sangat mulai menyusupi hati mereka. Mereka cukup menyadari akan tata tertib Hwe-liong-pang yang maha keras, jika Thian-liong Hiang-cu ini sampai murka, maka barangkali mereka berdua masing-masing akan menerima “hadiah” berupa sebutir Racun Penghancur Badan. Maka satu-satunya jalan adalah berdiam diri dan jangan menambah kemarahan orang bertopeng itu.
Thian-liong Hiang-cu agaknya belum puas memaki-maki, katanya pula dengan sengit, “Aku mendengar bahwa belakangan ini beberapa kelompok sudah mulai kendor tata tertibnya, dan mulai berani bertindak di luar garis perjuangan yang telah ditetapkan oleh Pang-cu. Dengan mengandalkan kebesaran nama Hwe-liong-pang mereka telah berbuat seperti pencoleng-pencoleng kecil! Benar-benar memalukan!”
Suasana dalam ruangan itu seketika menjadi hening mencekam. Hanya terdengar dengus-dengus napas kemarahan dari Thian-liong Hiang-cu, sementara dua lelaki di hadapannya bersikap seperti dua ekor tikus yang sudah terpojok dan berhadapan dengan seekor kucing galak. Mereka merasa jantung mereka berdenyut tiga kali lebih cepat dari biasanya.
“Lam-kiong Hok,” tiba-tiba Thian-liong Hiang-cu berteriak.
Si majikan rumah obat itu cepat-cepat berlutut dan menyahut panggilan itu, “Hamba siap menjalankan perintah Hiang-cu!”
Thian-liong Hiang-cu menatap tajam-tajam kepada orang yang berlutut di hadapannya itu, katanya sepatah demi sepatah kata, “Dengarkan baik-baik perintahku! Sekarang juga, kembalikan semua barang yang telah kalian rampas dari Tiong-gi Piau-hang. Semuanya. Tidak ada sehelai benang atau sebutir debupun yang boleh kurang. Kau mengerti perintahku?”
Si majikan rumah obat yang ternyata bernama Lam-kiong Hok itu nampak berkali-kali menelan air liurnya mendengar perintah yang terasa sangat berat itu. Katanya dengan terbata-bata, “Tetapi... tetapi perampasan itu adalah atas perintah Tang Su-cia dan Sebun Sucia...”
Potong Thian-liong Hiang-cu sambil berteriak, “Lebih tinggi mana kedudukan kedua siluman gentayangan itu dengan kedudukanku sebagai Thian-liong Hiang-cu! Ini adalah perintah Thian-liong Hiang-cu! Jika setan rambut merah dan setan cebol itu akan marah kepadamu, suruh dia menghadap aku. Sekarang juga kerjakan perintahku.”
“Si... siap,” jawab Lamkiong Hok masih agak ragu-ragu.
Kemarahan Thian-liong Hiang-cu nampak agak mereda. Ia bangkit dari tempat duduknya dan perlahan-lahan berjalan mendekati jendela, katanya mengancam, “Jika dalam waktu tiga hari perintahku ini belum selesai dikerjakan, kau tunggu saja akibatnya. Kau jangan merasa aku bertindak kurang adil, sebab jika kau kutindak, maka si setan-setan rambut merah dan setan cebol itu juga akan menerima hukumanku, begitu pula kawan-kawanmu dari kelompok Bendera Hijau, Coklat dan Merah atas kelancangan mereka.”
“Hamba mengerti, Hiang-cu,” sahut Lamkiong Hok lagi.
Ketika Lamkiong Hok hendak bangkit dari berlututnya, ia hanya merasa ada angin berdesir di ruangan itu, dan tahu-tahu Thian-liong Hiang-cu sudah tidak terlihat lagi bayangannya dalam ruangan itu, lenyap begitu saja seperti iblis. Mau tidak mau Lamkiong Hok dan “si tukang sayur” itu bergidik kalau melihat kelihaian tokoh nomor tiga dalam Hwe-liong-pang itu.
Lamkiong Hok menyeringai kecut ke arah si tukang sayur gadungan itu, lalu berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Percuma kita membantah, kita tidak berhadapan dengan manusia, tapi agaknya berhadapan dengan arwah-arwah gentayangan. Jalankan perintah ini supaya kita tidak usah menikmati Racun Penghancur Badan.”
“Sekarang juga aku akan mengatur pengembalian barang-barang itu,” sahut si “tukang sayur” dengan lesu. Rejeki besar yang sudah di depan mata telah terbang pergi begitu saja, ditukar dengan keselamatan nyawanya.
“Cepat kerjakan. Sebaiknya pengirimannya tidak oleh orang-orang kita sendiri, tapi pakailah perusahaan pengawalan yang lain.”
Si “tukang sayur” itu menjalankan perintah itu dengan taat. Sementara itu, di gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng nampak persiapan yang semakin meningkat. Tong Wi-hong benar-benar ingin memberi kesan kepada pihak luar, bahwa barang bawaan kali ini benar-benar “kambing gemuk” sehingga diharapkan orang-orang Hwe-liong-pang akan tergiur dan terpancing keluar dari sarangnya.
Pada hari yang telah ditentukan untuk berangkat, nampaklah iring-iringan kereta-kereta Tiong-gi Piau-hang yang membuat “barang berharga” itu sudah berderet-deret dan siap berangkat, para pengawal nampak hilir-mudik dengan senjata terhunus. Ada tiga buah kereta yang tertutup rapat, di dalam salah satu dari ketiga kereta itu bersembunyilah seorang tokoh yang disegani dunia persilatan, yaitu Siau-lim- hong-ceng Hong-koan Hwesio.
Ting Bun menyamar sebagai piau-su biasa dan bercampur dengan hampir tujuh puluh orang piau-su yang akan mengawal kafilah itu. Tong Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping juga nampak hilir-mudik dengan sibuknya, mengatur persiapan anak buahnya. Untuk menimbulkan kesan bahwa kafilah itu benar mengawal barang, dan bukan cuma jebakan saja.
Sengaja Tong Wi-hong memanggil pula beberapa jago Tiong-gi Piau-hang yang cukup punya nama dari cabang-cabang Lok-yang dan Bu-sek untuk diperbantukan pada kafilah itu. Selain untuk memberi kesang sungguh-sungguh, maka jago-jago Tiong-gi Piau-hang itupun akan merupakan tenaga tempur yang berarti, jika benar-benar mereka harus bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang.
Jago-jago Tiong-gi Piau-hang dari cabang Lok-yang yang nampak di situ antara lain adalah Pek-lui-to (Si Golok Halilintar) The Toan-yong serta Tok-gan-sin-eng (Elang Sakti Bermata Tunggal) Ho Po-jian. Sedang jagoan-jagoan yang datang dari cabang Bu-sek ada tiga orang, yaitu dua bersaudara So Hou dan So Pa yang berjulukan Tiong-san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung) ditambah dengan Yap Lam-heng yang berjuluk Kui-gi-to (Si Golok Bergerigi).
Masih ada pula beberapa piau-su tangguh dari cabang Kiang-leng sendiri. Semuanya nampak bersikap gagah penuh semangat, siap untuk berkorban demi kebesaran Tiong-gi Piau-hang. Bendera Tiong-gi Piau-hang yang berwarna putih dengan sulaman gambar hati berwarna emas, telah berkibar-kibar dengan megahnya di atas kereta yang paling depan.
Diam-diam Tong Wi-hong menjadi bangga juga melihat keangkeran anak buahnya itu. Dia juga merasa bersyukur bahwa orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu tetap setia kepadanya sebagai pengganti Cian Sin-wi, meskipun para jago itu sendiri merupakan tokoh-tokoh yang menonjol di daerahnya masing-masing.
Matahari naik semakin tinggi, persiapan untuk keberangkatan kafilah sudah mendekati akhirnya, semua orang sudah menggelegak darahnya untuk bertempur. Para piau-su sudah berbaris dengan senjata terhunus di kedua sisi kereta-kereta, kuda-kuda yang tegar pun sudah terpasang di depan kereta. Tinggallah kini menunggu aba-aba dari Wi-hong dan kafilah itu akan berangkat.
Namun di saat bibir Wi-hong sudah bergerak untuk meneriakkan aba-aba berangkat, mendadak terjadilah sesuatu yang di luar perhitungan. Dari jalan besar di arah depan, tiba-tiba terlihat ada debu mengepul tinggi, dan nampak sebuah rombongan besar sedang mendekati ke arah rombongan Tiong-gi Piau-hang itu. Tong Wi-hong tidak dapat menduga rombongan mana yang datang itu, maka aba-aba untuk berangkat yang sudah siap di pinggir bibirnya itupun kini terpaksa diganti dengan aba-aba, “Semuanya bersiap!”
Suasana menjadi tegang seketika. Tiong-gi Piau-hang memang sedang diliputi suasana perang dengan Hwe-liong-pang. Dan kini melihat ada rombongan tak dikenal mendekati mereka, tentu saja mereka semua bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan. Gemerincing senjata yang dicabut dari sarungnya terdengar berturut-turut.
Rombongan yang datang dari depan itu ternyata rombongan Pia-hang (Perusahaan Pengawalan) pula, itu dapat disimpulkan dari adanya beberapa buah kereta barang dalam barisan itu. sedang jumlah pengiringnyapun hampir menyamai jumlah orang-orang Tiong-gi Piau-hang yang cukup banyak itu. Untuk sesaat lamanya Tong Wi-hong tidak dapat mengenali apakah rombongan itu dari pihak lawan atau kawan.
Setelah rombongan pendatang itu cukup dekat dan debu yang mengepulpun telah mengendap kembali, dapatlah dilihat bendera kecil yang tertancap di atas kereta yang paling depan dari rombongan pendatang itu. Bendera itu berwarna dasar hitam, di tengahnya bersulam dengan gambar seekor singa berbulu emas yang bersikap garang.
Tong Wi-hong yang masih kurang pengalaman dalam dunia persilatan itu tidak tahu entah dari perusahaan pengawalan mana yang memakai lambang seperti itu. Namun Yap Lam-heng yang cukup berpengalaman itu segera memperdengarkan desis kaget dan heran, “Kim-say Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Singa Emas)! Biasanya mereka hanya bekerja di wilayah selatan, kenapa hari ini mereka bisa muncul di tempat ini?”
Wi-hong menolehkan kepalanya kepada Yap Lam-heng dan bertanya, “Paman Yap, kau mengenal mereka?”
Sahut Yap Lam-heng, “Benar. Hubungan Kim-say Piau-hang dengan Tiong-gi Piau-hang tidak terlalu akrab, tetapi juga tidak buruk, biasa saja. Tiong-gi Piau-hang kita biasanya bekerja di wilayah Kang-pak (sebelah utara Sungai Besar) dan Kim-say Piau-hang di Kang-lam (sebelah selatan Sungai Besar), tidak pernah saling mengganggu. Pemimpinnya bernama Yo Hui-jiang dan berjulukan Kim-say-kong-pian (Singa Emas Ruyung Baja).”
Dalam pada itu rombongan Kim-say Piau-hang pun sudah semakin dekat, dan kemudian berhenti tepat berhadapan dengan rombongan Tiong-gi Piau-hang yang sudah siap untuk berangkat itu. Dari rombongan Kim-say Piau-hang muncullah seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, namun masih nampak kekar dan tangkas, dan menunggangi seekor kuda putih yang baik pula.
Melihat orang ini, Yap Lam-heng cepat membisikkan sesuatu kepada Tong Wi-hong, “Cong-piau-thau, ternyata rombongan Kim-say Piau-hang itu dipimpin sendiri oleh pemimpin mereka, Ho Hui-jiang sendiri, cepatlah Cong-piau-tahu menyambutnya sendiri agar jangan sampai dianggap kurang menghormati tamu!”
Wi-hong yang memang belum pengalaman dalam tata cara dunia persilatan itu hanya menurut saja anjuran itu. Dengan diapit oleh Yap Lam-heng dan The Toan-yong, Wi-hong menggerakkan kudanya ke depan untuk menyambut pemimpin Kim-say Piau-hang itu.
Terlihat Yo Hui-jiang mengangkat tangannya ke arah Wi- hong memberi isyarat bahwa dia dan rombongannya tidak bermaksud jahat. Wi-hong sebagai pihak yang lebih muda, lebih dulu memberi hormat sambil menyapa, “Aku tidak tahu kalau hari ini Yo Lo-piau-thau akan datang kemari, maafkan jika penyambutan kami kurang hormat!”
Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang tertawa terbahak-bahak, ia membalas hormat dan menyahut, “Jangan terlalu sungkan, Tong Cong-piau-thau, kamipun minta maaf karena telah mengejutkan kalian dengan kedatangan yang sangat mendadak ini. Kami memang sedang diburu oleh waktu yang sangat mendesak sehingga untuk mengirim pemberitahuanpun tidak sempat lagi. Sekali lagi aku minta maaf.”
Berkerutlah alis Wi-hong mendengar ucapan yang mengandung arti itu. Tanyanya dengan heran, “Ada urusan apakah, Yo Cong-piau-thau?”
Agaknya Kim-say-kong-pian ini seorang yang suka tertawa, Itulah sebabnya ia awet muda. Kali ini pun ia tertawa lagi sebelum menjawab, “Kalau dibicarakan memang aneh. Kim-say dan Tiong-gi adalah dua buah perusahaan pengawalan yang paling disegani di selatan dan utara Sungai Besar, biasanya kita menerima pekerjaan untuk mengawal barang atau orang dari tempat ke tempat. Kali inipun Kim-say Piau-hang kami mendapat tugas mengantar barang, dan tahukah siapakah yang harus menerima barang ini?”
Mau tak mau Wi-hong tersenyum juga melihat Yo Hui-jiang yang sudah tua tapi masih senang bergurau dan berteka-teki itu. “Mana bisa aku menebaknya?” kata Wi-hong.
Sahut Yo Hui-jiang di luar dugaan, “Kiriman besar yang harus kukawal kali ini ternyata ditujukan kepada kalian, Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng! Bahkan jumlahnya luar biasa tingginya, sehingga demi tanggung jawabku maka aku terpaksa memaksakan tubuh tuaku ini untuk mengawalnya sendiri sampai dengan selamat ke alamat kalian.”
Sekali lagi Wi-hong menjura kepada Yo Hui-jiang sambil mengucapkan terima kasihnya, namun di dalam hatinya mulailah terasa adanya suatu urusan yang tidak beres dibalik semuanya itu. Ketika Wi-hong menoleh ke arah jago-jago Tiong-gi Piau-hang lainnya, nampaklah muka para jagoan itupun berkerut aneh, agaknya mereka dapat merasakan pula adanya keganjilan itu.
Tanya Wi-hong kemudian kepada Yo Hui-jiang, “Mohon tanya kepada Yo Cong-piau-thau, siapakah orangnya yang telah mengirimkan kiriman sebanyak dan semahal ini kepada kami?”
Sahut Yo Hui-jiang, “Kejadiannya berlangsung kira-kira tiga hari yang lalu. Cabang Kim-say Piau-hang kami di kota Han-koh mendadak didatangi seorang pemuda yang usianya kurang lebih sama dengan Tong Cong Piau-thau, berwajah tampan, berpakaian cukup bersih dan rapi, nampaknya anak orang terpandang. Dia tidak menyebutkan namanya, tapi hanya menyerahkan beberapa peti barang ini dan menyuruh kami untuk mengantarkan ke Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Perusahaan kami memang selalu berusaha untuk menyenangkan langganan, maka tanpa banyak rewel lagi kami segera mengirimkannya kemari. Karena pentingnya barang ini, maka aku sendiri ikut mengawalnya, ditengah jalan kamipun tidak berani berlambat-lambatan.”
Sementara itu Yap Lam-heng yang kenyang pengalaman itu segera mengusulkan sesuatu kepada Wi-hong, “Cong-piau-thau, urusan ini benar-benar aneh. Kukira keberangkatan kita untuk memancing keluar bangsat-bangsat Hwe-liong-pang itu bisa kita tunda untuk lain waktu, yang penting sekarang adalah menyambut Yo Cong-piau-thau, sebagai tetamu terhormat, sekalian kita mencoba mencari keterangan yang lengkap tentang pengiriman yang aneh yang ditujukan kepada kita ini.”
Wi-hong mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya kepada Yo Hui-jiang, “Kami sangat bersyukur atas kesudian Yo Cong-piau-thau yang mau meluangkan waktu dan tenaga untuk mengantarkan sendiri barang-barang itu kepada kami. Kedatangan Yo Cong-piau-thau inipun merupakan suatu kehormatan yang besar bagiku yang masih muda dan masih banyak membutuhkan petunjuk dari Cong-piau-thau ini. Karena itu jika Cong-piau-thau tidak keberatan, biarlah barang-barang itu diterima oleh orangku, sedang Cong-piau-thau bersama-sama dengan seluruh saudara-saudara dari Kim-say Piau-hang yang telah menempuh perjalanan jauh, kami persilahkan untuk beristirahat sambil menikmati secangkir teh.”
Begitulah, kereta-kereta barang yang dibawa oleh rombongan Kim-say Piau-hang itupun segera didorong masuk ke dalam gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Para piau-su dari kedua Piau-hang itupun segera saling berkenalan dan bercakap dengan santainya. Karena Piau-hang memang hanya bersifat perusahaan dagang, dan bukan suatu aliran persilatan.
Maka sikap orang-orang dari kedua belah pihak tidak setegang jika terjadi pertemuan antara dua perguruan silat. Bahkan ada pula piau-su dari kedua pihak yang saling bersahabat pada waktu sebelumnya, ada pula yang kakak beradik seperguruan tetapi bekerja pada Piau-hang yang berbeda.
Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang dengan didampingi oleh Tong Wi-hong dan tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang lainnya segera melangkah masuk ke ruangan tengah gedung itu. Sesaat kemudian, dalam suasana akrab, mereka telah mengelilingi meja perjamuan. Yo Hui-jiang didampingi oleh beberapa orang kepercayaannya yang kelihatannya cukup tangguh juga.
Sedang Tong Wi-hong pun didampingi oleh Kui-gito Yap Lam-heng, Pek-lui-to The Toan-yong, Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian, Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa, Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng, Tong Wi-lian, Cian Ping dan Ting Bun. Sedangkan Hong-koan Hwesio tidak ikut jamuan penyambutan tamu itu, melainkan lebih suka tidur mendengkur di ruangan lain. Tong Wi-hong dapat menyelami watak aneh dari uwa angkatnya itu, maka ia tidak menaruh keberatan apa pun.
Di tengah berlangsungnya perjamuan itu, kembali Wi-hong mencoba menanyakan kepada Yo Hui-jiang, “Yo Cong-piau- thau, maafkan aku yang terlalu cerewet ini, aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang pengiriman barang kepada kami ini. Apakah Cong-piau-thau dapat menerangkan bahwa anak muda perlente yang mengirimkan barang lewat Kim-say Piau-hang itu mempunyai ciri-ciri khusus?”
Kim-say-kong-pian mengerutkan sepasang alisnya yang telah memutih seperti kapas itu. Sesaat ia nampak berpikir keras untuk mengingat-ingat, lalu kemudian menjawab, “Ya, aku akan mencoba menggambarkannya kepada Tong Cong-piau-thau. Dia berwajah cukup tampan, tetapi sayang sekali bahwa di bagian tengah-tengah antara kedua alisnya ada cahaya kehitam-hitaman yang samar-samar. Cahaya kehitam-hitaman itu begitu tipisnya, sehingga jika tidak diperhatikan benar-benar tidak akan terlihat. Menurut pendapatku, cahaya kehitaman di antara dua alis mata itu memberi pertanda bahwa orang itu berlatih ilmu sesat, mungkin pukulan berbisa atau sejenis ilmu hitam (hoat-sut).”
“Dia tidak memperkenalkan namanya?”
Yo Hui-jiang menggelengkan kepalanya, “Dia tetap tidak mau menyebut namanya meskipun telah kami desak, katanya Tong Cong-piau-thau akan tahu sendiri setelah melihat barang kirimannya. Dia secara murah hati juga membayar tarif pengangkutan ini tiga kali lipat banyaknya dari tarif yang berlaku, namun sekaligus juga memesan agar kiriman ini secepatnya dikirim kemari. Itulah sebabnya dalam perjalanan ini kami hampir tidak beristirahat sama sekali untuk memenuhi pesanan itu, bahkan pergantian kudapun dilakukan sampai beberapa kali.”
Pada saat itu tiba-tiba dari halaman samping gedung itu terdengar suara keributan. Hua Yong-ceng nampak mendongkol mendengar keributan itu, cepat ia berdiri dari duduknya dan menjura kepada Tong Wi-hong maupun Yo Hui-jiang, sambil berkata memohon maaf, “Silahkan kedua Cong-piau-thau melanjutkan perjamuan ini. Anak buahku yang kurang tahu aturan itu entah kenapa telah menimbulkan keributan, biar aku menghukum mereka.”
Habis itu, dengan langkah yang lebih Hua Yong-ceng meninggalkan meja perjamuan menuju ke halaman samping. Suara keributan itu ternyata berasal dari halaman samping kanan gedung, dimana halaman itu biasa digunakan untuk menumpuk barang-barang kiriman yang belum sempat dikirimkan. Kereta-kereta yang memuat kiriman Kim-say Piau-hang tadipun dibawa ke halaman ini.
Kini nampak peti-peti kiriman Kim-say Piau-hang itu sudah terbuka tutupnya semua, dan sedang dikerumuni oleh para piau-su. Wajah-wajah mereka nampak heran dan penasaran, bahkan mereka berdebat satu sama lain dengan ributnya. Ketika Hua Yong-ceng muncul di tempat itu, maka para piau-su yang sedang ribut itupun serentak diam.
“He, kalian tahu tata tertib atau tidak?” tegur Hua Yong-ceng dengan mata melotot. “Di ruangan tengah sedang diselenggarakan perjamuan untuk menghormati Yo Cong-piau-thau, tetapi di tempat ini kalian malah demikian gaduh sehingga mengganggu suasana perjamuan?”
Masih sambil menggerutu, Hua Yong-ceng lalu melangkah mendekati peti-peti kiriman Kim-say Piau-hang yang sudah terbuka tutupnya itu, karena dia pun sebenarnya terdorong oleh rasa ingin tahunya tentang apa yang di dalam peti-peti itu. Dan begitu Hua Yong-ceng melongok ke dalam peti-peti itu, seketika mulutnya yang lebar itu melongo dan tidak bisa menggerutu lagi, matanya melotot ke dalam peti dengan pandangan yang kurang percaya.
Peti-peti itu ternyata berisi dengan bingkisan-bingkisan yang dikawal Tiong-gi Piau-hang yang selama ini dirampas oleh orang-orang Hwe-liong-pang itu! Semua barang yang hilang itu lengkap, tidak kurang suatu apapun. Bahkan perhiasan-perhiasan terbuat dari batu giok yang sangat mahal, bingkisan dari Ho-Lam Sun-bu kepada Kaisar Cong-ceng itupun telah kembali tidak kurang sedikitpun.
Hua Yong-ceng biarpun nampaknya tolol, namun sebenarnya otaknya cukup encer juga, terbukti ia bisa diangkat menjadi pimpinan cabang Kiang-leng. Namun kali ini otak Hua Yong-ceng serasa beku tidak mampu mencerna peristiwa yang dihadapinya itu. Merasa bahwa peristiwa yang dihadapinya itu cukup aneh dan rumit, Hua Yong-ceng tidak berani mengambil keputusan sendiri. Bergegas-gegas ia melangkah balik ke ruangan perjamuan, dan raut mukanya yang nampak agak kebingungan itu ternyata telah cukup untuk menarik perhatian dari orang-orang di sekitar meja perjamuan itu.
“Ada kejadian apa, paman Hua?” tanya Tong Wi-hong yang tak dapat menyembunyikan keheranannya.
Hua Yong-ceng melirik sejenak kepada Yo Hui-jiang dan nampak bimbang sejenak untuk berkata-kata. Namun akhirnya dia menyahut juga dengan suara ragu-ragu, “Cong-piau-thau, bingkisan yang dibawa oleh Yo Cong-piau-thau dengan Kim-say Piau-hang nya ternyata adalah...”
Saat itu Kim-say-kong-pian sedang mengangkat cawan hendak meneguk araknya, tetapi begitu mendengar ucapan Hua Yong-ceng itu dia segera meletakkan cawan araknya kembali. Katanya dengan heran, “Saudara Hua, kenapa dengan barang bingkisan yang kami bawa sejak dari Han-koh itu? Katakan saja, jangan ragu-ragu.”
Hua Yong-ceng menarik napas menenangkan debaran jantungnya, lalu berkata, “Maaf jika perkataanku kurang berkenan dihati Yo Cong-piau-thau, aku sama sekali tidak ingin menuduh siapapun, aku hanya akan bicara soal kenyataan. Barang-barang yang kalian bawa dan kalian kirimkan kepada kami itu ternyata adalah... barang-barang kawalan Tiong-gi Piau-hang sendiri, yang telah hilang dirampas orang pada beberapa saat yang lalu.”
Andaikata ada halilintar menyambar ditengah-tengah ruangan perjamuan itu, belum tentu orang-orang dalam ruangan itu sekaget ketika mendengar perkataan Hua Yong-ceng itu. Terdengar suara cawan terbanting jatuh, ternyata Yo Hui-jiang telah melepaskan cawan araknya lalu menggebrak meja, teriaknya dengan muka yang merah padam menahan amarah,
“Saudara Hua, selama ini Kim-say Piau-hang dan Tiong-gi Piau-hang hidup mencari rejeki sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu, antara kita juga belum pernah terbit suatu permusuhan apapun, tetapi kenapa sekarang ini kau berbicara sengawur itu? Bukankah dengan ucapanmu itu kau seakan-akan menuduh bahwa kami ada hubungan dengan orang-orang yang membegal kafilah kalian itu?”
Suasana perjamuan yang tadinya ramah tamah penuh persahabatan itu kini berubah menjadi tegang. Dua orang jago andalan Kim-say Piau-hang yang duduk di sebelah kiri dan kanan Yo Hui-jiang itupun telah meletakkan cawan dan sumpit masing-masing, dan tangan mereka mulai bergeser untuk menggenggam gagang senjatanya masing-masing. Keduanya siap turun tangan untuk membela pemimpin mereka.
wajah Tong Wi-hong serta jagoan-jagoan Tiong-gi Piau-hang lainnya pun ikut berubah dengan hebat. Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian lalu berkata kepada Hua Yong-ceng dengan nada menegur secara halus, “Saudara Hua, apakah kau sudah memeriksa baik-baik? Harap hati-hati dalam mengemukakan pendapat.”
Hua Yong-ceng sudah menduga bahwa ucapannya tidak bakal mudah dipercaya begitu saja. Sambil menarik napas, ia memberi hormat berkeliling kepada semua orang, serta berkata, “Apa yang kuucapkan tadi adalah kenyataan yang telah kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Di hadapan Yo dan Tong Cong-piau-thau yang berkedudukan terhormat ini mana berani aku bicara sembarangan saja? Kalian boleh melihatnya di halaman samping sana, jika ternyata kata-kataku tadi tidak terbukti, kuserahkan leherku ini untuk kalian gorok!”
Para tokoh Tiong-gi Piau-hang saling bertukar pandangan mendengar jawaban Hua Yong-ceng yang begitu meyakinkan itu. Mereka semua sudah cukup mengenal akan watak Hua Yong-ceng yang jujur itu, tidak mungkin ia bicara seenaknya tanpa dasar bukti yang kuat. Dan jika yang dikatakan itu benar, maka kecurigaan memang pantas dialamatkan kepada orang-orang Kim-say Piau-hang. Meskipun kecurigaan itu belum sampai terucapkan lewat mulut, namun pandangan mata para tokoh Tiong-gi Piau-hang itu sudah menunjukkan kecurigaannya.
Yo Hui-jiang memang seorang yang penaik darah, maka melihat sikap orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu, seketika meluaplah marahnya. Katanya, “Kami seluruh orang Kim-say Piau-hang selalu berada di jalan yang benar, berani berbuat berani bertanggung jawab! Tetapi jika ada orang yang hendak memaksa kami untuk bertanggung-jawab atas sesuatu yang tidak kami perbuat, hemm, apa boleh buat, kami bukan orang-orang yang dapat seenaknya difitnah begitu saja!”
Seorang jago andalan Yo Hui-jiang yang berkumis lebat, segera berkata sambil tertawa mengejek, “Kalian orang-orang Tiong-gi Piau-hang benar-benar orang-orang yang tidak tahu malu. Kalian sendiri yang tidak becus mengawal barang, sehingga sampai kena dirampas orang di tengah jalan, kenapa lalu dengan seenaknya menjadikan kami sebagai kambing hitam?”
Sebenarnya Tong Wi-hong dan orang-orang Tiong-gi Piau-hang lainnya sudah bertekad untuk menyabarkan diri demi menyelidiki urusan itu sampai seterang-terangnya, namun begitu mendengar ucapan pembantu Kim-say Piau-hang yang berkumis lebat itu bagaikan membuat udara dalam ruangan itu menjadi terbakar panas. Memang di antara Kim-say Piau-hang dan Tiong-gi Piau-hang tidak ada permusuhan apapun, namun sebenarnya masing-masing punya perasaan bersaingan juga, gara-gara adanya ucapan dunia persilatan yang mengatakan,
“Tiong-gi di Utara, Kim-say di Selatan” itu. Ucapan itu membuat orang-orang dari kedua Piau-hang itu punya kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya kebanggaan masing-masing itu berubah menjadi rasa persaingan. Persaingan secara terbuka memang belum terjadi, namun persaingan diam-diam sudah tertanam dalam hati masing-masing.
Kini si orang berkumis lebat itu telah mengeluarkan suatu ucapan yang kebetulan merupakan titik paling peka dalam hubungan antara kedua Piau-hang itu, maka tidak mengherankan kalau para jago Tiong-gi Piau- hang itu sampai berubah hebat wajahnya. Bahkan Tong Wi- lian serta Ting Bun yang tidak termasuk orang Tiong-gi Piau-hang ikut tersinggung.
Pek-lui-to The Toan-yong, si golok halilintar, tertawa dingin dan berkata, “Memangnya kalian merasa lebih becus daripada kami? Biarpun kami harus kehilangan beberapa orang rekan yang gugur dalam menghadapi Hwe-liong-pang, namun mereka semuanya gugur secara ksatria. Jika kalian yang menghadapi mereka, hemm, he-he-he...”
Meskipun kalimat itu tidak dilanjutkan, tapi siapapun akan tahu bahwa nadanya mengejek. Kini ucapan-ucapan yang tajam sudah saling dilontarkan secara terbuka, wajah-wajah manusia-manusia bertampang keras itupun sudah jadi merah padam, tangan-tangan mereka pun sudah terkepal kencang dan siap untuk menjotos hidung lawannya.
Sementara itu Hua Yong-ceng, orang yang merasa paling bertanggung jawab dalam peristiwa dibegalnya barang-barang itu, mulai berbicara pula. Meskipun nadanya seakan-akan melerai, namun terkandung pula tuduhan halus ke arah Kim-say Piau-hang, “Yo Cong-piau-thau, kuharap kau dapat memaklumi keadaan kami. Urusan hilangnya harta kawalan itu adalah urusan kecil, meskipun cukup berat bagi kami, tetapi bagaimana dengan urusan belasan orang piau-su kami yang tewas itu? Ini adalah urusan nyawa, sekaligus menyangkut pula kehormatan Tiong-gi Piau-hang! Ini bukan urusan kecil!”
Sahut jagoan Kim-say Piau-hang yang berkumis lebat itu, “Kalau bukan urusan kecil lalu kalian mau apa? Kami...”
Ucapan itu tidak terselesaikan sebab Yo Hui-jiang telah menekan pundak orang itu dan menyuruhnya diam. Lalu Yo Hui-jiang sendiri yang berkata dengan menahan diri, “Kamipun tidak menganggap remeh urusan belasan orang piau-su kalian itu, meskipun hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, bahkan tentang tewasnya mereka itu baru kali ini kami mendengarnya. Tetapi penjelasan kamipun tidak pernah kalian terima dengan kepala dingin, tapi dengan curiga yang berlebih-lebihan. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku hanya menjalankan pesanan dari seorang pemuda yang tidak mau menyebutkan namanya? Dia membayar tiga kali lipat dari tarif biasanya, namun kami tidak diperkenankan untuk memeriksa isi peti-peti itu. Bukan kebiasaan perusahaan kami untuk menyelidiki rahasia para langganan kami. Kami hanya tahu mengawal dan mengantar sampai ke tujuan, sesudah itu habis perkara!”
Waktu itu, Tong Wi-hong yang juga masih muda dan berdarah panas itu, juga sudah mulai terpengaruh oleh suasana yang menghangat itu. Katanya dengan halus tetapi tajam, “Yo Cong-piau-thau, kuharap kita akan bicara dengan lebih tenang dan pikiran lebih jernih. Kita bukan anak-anak kecil lagi, yang hanya urusan sedikit saja langsung saling cakar dan saling mengejek. Aku punya sebuah pikiran, mari kita renungkan bersama-sama.”
“Silahkan Tong Cong-piau-thau bicara,” sahut Yo Hui-jiang dingin.
Tong Wi-hong menarik napas sejenak untuk menenangkan gelombang perasaannya, lalu katanya lagi, “Yo Cong-piau-thau, urusan ini memang cukup aneh. Selama ini kedudukan dan hubungan antara Kim-say dan Tiong-gi memang dikatakan seimbang, baik dalam hal kekuatan anggota-anggotanya maupun dalam urusan keuangan, pelayanan terhadap langganan dan juga dalam hal pengaruh masing-masing Piau-hang di kalangan rimba hijau.
"Hendaknya kita tetap menjaga keseimbangan ini, demi hubungan baik, dan tidak perlu kita sampai pikiran untuk saling mengungguli, apalagi dengan meminjam tangan orang luar untuk memukul satu sama lain. Coba Cong-piau-thau renungkan baik-baik. Mendadak saja hari-hari belakangan ini kami mengalami gangguan orang-orang Hwe-liong-pang, kami kehilangan barang-barang kawalan bernilai tinggi yang tidak mungkin kami ganti semuanya dan sekaligus kehilangan beberapa rekan seperjuangan kami yang secara gagah perkasa menjalankan tugasnya sebagai piau-su terhormat.
"Ini jelas merupakan corengan arang di wajah kami yang tidak terhapus, bahkan dapat menjungkir-balikkan periuk nasi drai saudara-saudara kami yang berjumlah ratusan orang. Tengah kami tergencet seperti ini, tiba-tiba muncullah Yo Cong-piau-thau dengan barisan Kim-say Piau-hang nya yang megah, bagaikan malaikat penolong turun dari langit, mengembalikan semua barang yang hilang itu.
"Tidak bisa tidak, di kemudian hari nama Kim-say Piau-hang akan semakin megah menjulang ke langit, sebaliknya Tiong-gi Piau-hang kami akan kehilangan kepercayaan langganan dan akhirnya gulung tikar. Bukankah begitu, Yo Cong-piau-thau?” tanya Wi-hong dengan tajamnya.
Hampir meledak rasanya dada Yo Hui-jiang ketika mendengar ucapan Tong Wi-hong semacam itu. Jelaslah bahwa secara halus Tong Wi-hong telah menuduh bahwa Kim-say Piau-hang telah berkomplot dengan Hwe-liong-pang untuk menjatuhkan Tiong-gi Piau-hang, kemudian Kim-say Piau-hang akan malang-melintang di dunia pengawalan barang tanpa saingan lagi.
Kumis dan rambut Yo Hui-jiang yang telah berwarna putih bagaikan perak itu nampak menyolok sekali dengan warna kulit mukanya yang merah padam bagaikan kepiting direbus itu. Jika ia tidak ingat akan kedudukannya sebagai seorang tokoh yang cukup disegani di daerah selatan, ingin rasanya Yo Hui-jiang mengamuk menjungkir-balikkan meja kursi, untuk melampiaskan luapan hatinya.
Dengan bersusah-payah akhirnya dia berusaha menahan diri. Dengan menarik napas penuh penyesalan dia berkata, “Aku menyesal bahwa karena serakah uang maka telah menerima saja pesanan orang muda tak dikenal itu, sehingga kesalah-pahamlah yang kudapatkan sekarang. Tetapi, Tong-piau-thau akupun menyesalkan pandanganmu yang begitu sempit.
"Bicara terus terang saja, bukankah dengan ucapanmu itu kau telah menuduh Kim-say Piau-hang kami bekerja-sama dengan Hwe-liong-pang, dan meminjam tangan-tangan kotor orang-orang Hwe-liong-pang itu untuk menjatuhkan kalian sambil mengangkat pamor Kim-say Piau-hang sendiri?
"Tong Cong-piau-thau, meskipun segala macam tipu-muslihat orang dagang sudah pernah kami jalankan semua, namun tipu muslihat selicik dan sekeji itu belum pernah terlintas di benak kami. Kami memang mengejar uang dan pencari keuntungan, namun kamipun masih mampu untuk menghormati kesetia-kawanan dan persahabatan antara kaum ksatria!”
Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian menyahut dengan sinis, “Barangkali tipu muslihat itu memang tidak terpikir oleh Yo Cong-piau-thau, namun tidak mustahil orang-orang Hwe-liong-pang lah yang membisikkan tipu itu ke kuping kalian sehingga kalian menjadi sangat tertarik untuk mencobanya. Coba pikir, masuk akalkah kalau Hwe-liong-pang telah bersusah-payah merebut barang-barang itu dari tangan kami, dan bahkan mereka pun kehilangan beberapa anak buahnya yang gugur.
"Lalu mendadak mereka mengembalikannya begitu saja kepada kami tanpa mengambilnya sedikit pun? Tentu mereka ada keuntungannya dengan berbuat demikian. Mereka akan kehilangan anak buah beberapa orang tetapi mereka akan mendapatkan sekutu sebuah perusahaan pengawalan yang paling kaya dan paling kuat di Kang-lam.”
“Orang she Ho, tutup bacotmu!” bentak Yo Hui-jiang.
Namun si Elang Sakti Bermata Tunggal yang sudah terlanjur terbakar hatinya itupun sudah tidak perduli lagi bentakan Yo Hui-jiang dan terus saja menyerocos dengan sengit, “Setiap umat persilatan cukup mengenal bagaimana Hwe-liong-pang memikat orang untuk memperluas pengaruhnya. Tiong-gi Piau-hang kamipun pernah dibujuknya untuk bergabung, namun mendiang Cian Lo-piau-thau lebih suka pecah sebagai ratna daripada masuk ke dalam rangkulan iblis-iblis itu.
"Kalau mereka mencoba merangkul Tiong-gi Piau-hang, tidak mustahil merekapun akan mencoba merangkul Kim-say Piau-hang kalian, dan ternyata kali ini orang-orang Hwe-liong- pang itu berhasil! Demi nafsu ingin menguasai dunia pengawalan, kalian telah tidak segan-segan menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan, kalian menjegal Tiong-gi Piau-hang kami dengan cara yang sangat keji dan hina!”
Terdengar suara gemerincing nyaring di ruangan itu, ketika bermacam-macam senjata mulai ditarik keluar dari sarungnya. The Toan-yong yang terkenal dengan julukan Golok Halilintar itu telah siap dengan goloknya. Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian juga telah siap dengan sebuah senjata berbentuk cakar elang dari besi dan bertangkai panjang, sebuah jenis senjata langka yang digunakan untuk merampas senjata lawan atau untuk menyerang persendian.
Begitu pula si Golok Bergerigi Yap Lam-heng telah siap dengan senjatanya, Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa menyiapkan lembing-lembing pendek mereka, Ting Bun dengan goloknya sedangkan Wi-lian yang biasa bertangan kosong itupun telah siap tempur. Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng juga tidak bersenjata apa-apa karena lebih mengandalkan kepada sepasang tinju besinya.
Di pihak Kim-say Piau-hang, si Singa Emas Ruyung Baja Yo Hui-jiang juga sudah siap dengan ruyung baja yang telah mengangkat namanya itu. Sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar, maka Yo Hui-jiang benar-benar nampak perkasa dengan senjatanya itu. Pembantunya yang berkumis lebat itu telah mencabut pedang yang tadinya tersarung melintang di punggungnya sedangkan pembantunya yang satu lagi bersenjatakan sebuah gada segi delapan yang nampak berat. Agaknya orang ini adalah seorang jagoan gun-kang (tenaga luar).
Tong Wi-hong masih belum mencabut pedang yang tergendong di punggungnya, namun nampaknya ia tidak ingin mencegah tindakan anak buahnya. Bahkan dia berkata kepada Yo Hui-jiang, “Yo Cong-piau-thau, kami sama sekali tidak bermaksud menghina dan merendahkanmu. Tetapi kami mohon dengan hormat, sudilah kiranya Cong-piau-thau tinggal di tempat ini sampai semua persoalan dapat kami selidiki sehingga jelas. Jika ternyata kami yang bersalah, kami tidak segan-segan minta maaf dan permintaan maaf itu disiarkan secara meluas.”
Yo Hui-jiang memegang ruyung bajanya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya membelai ruyung itu seperti seorang yang membelai kekasihnya. Katanya, “Aku sebenarnya bersedia saja, namun barangkali sahabatku inilah yang tidak mengijinkan.”
Tong Wi-hong adalah seorang anak muda yang berdarah panas pula, apalagi dalam hatinya dia sudah yakin bahwa sesungguhnya Kim-say Piau-hang berkomplot dengan Hwe-liong-pang, maka jawaban Yo Hui-jiang yang bernada menantang itu telah menghabiskan kesabarannya. Sahut Wi-hong dingin, “Baiklah kalau hal itu yang Yo Cong-piau-thau kehendaki, terpaksa kami akan berlaku kurang hormat kepada Cong-piau-thau.”
Tetapi pada saat kedua belah pihak sudah bersitegang leher dan siap untuk adu senjata itu, tiba-tiba entah dari mana terdengarlah suara bentakan yang menggetarkan hati, “semuanya harap menahan senjatanya!”
Belum lagi gaung suaranya lenyap dari pendengarannya, orang yang bersuara sudah memunculkan dirinya. Dia berjubah warna ungu dan memakai sebuah topeng muka tengkorak yang menyeramkan. Dia bukan lain adalah Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit), yang merupakan tokoh urutan ketiga dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang!
Semua orang yang berada dalam ruangan perjamuan itu umumnya belum pernah bertemu dengan Thian-liong Hiang-cu, kecuali Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping. Maka penampilan Thian-liong Hiang-cu yang muncul seperti setan gentayangan tanpa diketahui kapan datangnya itu telah membuat bergidik baik orang-orang Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang.
“Siapa kau?!” bentak Yo Hui-jiang.
Thian-liong Hiang-cu belum menyahut, Tong Wi-hong lah yang telah menyahut lebih dahulu, “Dia adalah Thian-liong Hiang-cu dari Hwe-liong-pang. Yo Cong-piau-thau, kau bertemu dengan sekutumu sendiri, kukira kau tidak perlu bersandiwara untuk mengelabuhi kami.”
Yo Hui-jiang memelototkan matanya sehingga seakan-akan biji matanya hampir melompat keluar. Tiba-tiba ia memutar tubuh menghadap ke arah Thian-liong Hiang-cu, lalu bentaknya dengan sengit, “Kau bangsat Hwe-liong-pang, gara-gara ulah kalianlah kami mengalami fitnah sekeji ini. Kini rasakanlah ruyungku!”
Meskipun umurnya sudah cukup tua, namun Yo Hui-jiang tidak pernah mengabaikan latihan ilmu silatnya, bahkan permainan ruyungnya bertambah matang. Jurus yang digunakan untuk menggempur Thian-liong Hiang-cu itu adalah jurus Cun-lui-ce-tong (Guntur Menggelegar Di Musim Semi) yang dilakukan sepenuh tenaganya.
Seketika itu juga ruyung Yo Hui-jiang bagaikan terpecah menjadi puluhan batang ruyung yang secara serempak menggulung ke tubuh Thian-liong Hiang-cu. Deru angin serangannya pun sayup-sayup mirip suara guruh di langit. Jurus Cun-lui-ce-tong ini memang sesuai dengan namanya, baik gayanya maupun daya gempurnya.
Diam-diam Wi-hong dan orang-orang Tiong-gi Piau-hang lainnya pun ikut kagum melihat tandang singa tua itu. Namun sedetik kemudian kekaguman mereka berubah menjadi rasa heran, dan akhirnya berubah lagi menjadi rasa kejut luar biasa. Ketika ruyung baja Kim-say-kong-pian hampir mengenai tubuh Thian-liong Hiang-cu, tiba-tiba saja jurus yang begitu dahsyat itu berubah menjadi “Jinak” hanya karena kebasan lengan jubah Thian-liong Hiang-cu itu. Bahkan nampak Yo Hui-jiang terhuyung mundur beberapa langkah dengan muka pucat karena terkejutnya.
“Iblis Hwe-liong-pang, sambut jurusku yang kedua!” bentak Yo Hui-jiang lagi. Lalu tanpa kenal jera ia menerjang lagi ke depan, kali ini ia menggunakan jurus dahsyat pula, yaitu Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Membelah Hoa-san). Ruyung baja yang telah membuat namanya terkenal itu kini menggempur Thian-liong Hiang-cu bagaikan gugur gunung dahsyatnya.
Diluar dugaan siapapun, tiba-tiba Thian-liong Hiang-cu mengulurkan tangannya untuk menyambut hantaman ruyung itu dan mencengkeramnya. Secara perhitungan orang waras, tangan Thian-liong Hiang-cu yang hanya terdiri dari darah dan daging itu tidak akan mampu menahan gempuran ruyung baja itu, pastilah telapak tangannya akan remuk jika berani melakukannya.
Namun kenyataan yang berlangsung di depan mata memang sangat menakjubkan. Tenaga hantaman Kim-say-kong-pian yang begitu dahsyat itu bagaikan sebutir batu besar yang dicemplungkan ke kubangan lumpur pekat, amblas begitu saja. Dan hanya dengan sekali sentakan tangan, tahu-tahu ruyung baja itu sudah berpindah ke tangan Thian-liong Hiang-cu.
Terdengar Thian-liong Hiang-cu tertawa mengejek, lalu dengan kedua belah tangannya dia mematah-matahkan ruyung baja seberat enam puluh empat kati itu dengan enaknya, seperti seorang yang mematah-matahkan kayu kering saja! Ruyung itu patah menjadi tiga potong! Tidak peduli dari pihak Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang semuanya melongo melihat pameran kekuatan sehebat itu.
Setelah puas memamerkan ketinggian ilmunya, Thian-liong Hiang-cu lalu menjura memberi hormat kepada Tong Wi- hong dan berkata, “Selamat bertemu kembali, Tong Cong-piau-thau, inilah pertemuan kita yang kedua kali sejak di padang perdu Tay-beng itu. Maafkan aku yang datang dengan cara yang kurang sopan itu. Sesungguhnya kesalah-pahaman yang terjadi di ruang ini adalah diluar kehendakku. Aku tidak menduga kalau pengembalian kiriman itu telah membuat kedua pihak menjadi begitu panas, sehingga hampir saja baku hantam.”
“Bukankah memang begitu yang dikehendaki oleh Hwe-liong-pang dan sekutu-sekutunya?” sahut Wi-hong sinis. Diam-diam Wi-hong mengukur bahwa kekuatan pihak Tiong-gi Piau-hang dengan Kim-say Piau-hang tidak berselisih jauh. Pikir Wi-hong, “Meskipun pihak Kim-say Piau-hang akan dibantu oleh Thian-liong Hiang-cu, namun Wi-hong yakin bahwa hadirnya Rahib Hong-koan di tempat itu tentu akan banyak bermanfaat juga.
Thian-liong Hiang-cu menghadapi sikap dingin Tong Wi-hong itu dengan tenang-tenang saja. Kata tokoh Hwe-liong-pang itu, “Yang membegal barang-barang kawalan itu, tidak kami pungkiri, memang benar adalah anak buah kami yang termasuk dalam kelompok Kelompok Bendera Hijau, Merah, Hitam dan Coklat. Namun perbuatan menyeleweng mereka itu sama sekali diluar pengetahuan kami sebagai pimpinan. Dan begitu kami mengetahui perbuatan mereka, kami telah langsung menghukum orang-orang yang berbuat lancang itu. Kami pun berusaha mengembalikan barang-barang yang dirampas itu, dengan melalui Kim-say Piau-hang, tak terpikir oleh kami akan menimbulkan salah paham. Sekali lagi aku minta maaf kepada kedua Cong-piau-thau!”
Sikap demikian itu justru diluar dugaan baik orang-orang Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang. Tadinya mereka sudah bersiap sedia untuk bertarung mati-matian melawan Thian-liong Hiang-cu yang perkasa itu. Namun sikap Thian-liong Hiang-cu ternyata begitu hormat dan tahu aturan, hal mana justru membuat Wi-hong jadi serba salah dan bingung harus bersikap bagaimana?
Dalam kebingungannya itu, untunglah Wi-lian ikut pula bicara, “Thian-liong Hiang-cu, ucapanmu itu memang sangat manis kedengarannya, kau pikir segala persoalan yang ruwet ini hanya akan selesai dengan sepatah kata minta maaf saja? Bagaimana dengan beberapa orang piau-su Tiong-gi Piau-hang kami yang telah kehilangan nyawanya di ujung senjata orang-orangmu?”
Thian-liong Hiang-cu menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang, nampaknya dia sangat menyesal. Meskipun wajahnya tidak nampak karena tertutup sebuah topeng tengkorak, namun sinar matanya sama sekali tidak menyembunyikan rasa penyesalannya. Katanya, “sekali lagi kuakui itu memang kesalahan kami. Kami kurang ketat dalam mengawasi tingkah laku anak buah kami, sehingga mereka bertindak liar dan melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan dunia persilatan. Namun kami berjanji akan mengadakan pembersihan ke dalam tubuh perkumpulan kami sendiri, meskipun untuk itu barangkali kami akan kehilangan anggota cukup banyak.”
“Aku mengusulkan sebuah jalan keluar kepada Hiang-cu,” potong Wi-lian tiba-tiba.
“Katakanlah, nona.”
Sahut Wi-lian, “Serahkanlah kepada kami anggota-anggota Hwe-liong-pang yang telah membuat kerusuhan-kerusuhan itu, dan kami akan mengadili mereka dalam pertemuan besar kaum kesatria yang akan berlangsung di Siong-san, Ho-lam, pada bulan mendatang. Setelah itu bubarkan Hwe-liong-pang untuk meredakan keresahan umat persilatan. Aku yakin bahwa kaum ksatria yang berkumpul di Siong-san itu tentu tidak akan mengambil sikap yang sempit, mereka pasti akan bisa memaafkan bekas-bekas anggota Hwe-liong-pang yang tidak pernah berbuat kejahatan apapun.”
Terdengar suara tertawa dingin Thian-liong Hiang-cu dari balik topeng tengkoraknya yang seram itu, “Hemm, usulmu itu mustahil kami jalankan, nona Tong. Kau menganggap bahwa pimpinan Hwe-liong-pang sudah tidak punya wibawa lagi, sehingga untuk menghukum anak buahnya sendiripun harus diserahkan kepada orang lain? Apalagi usulmu untuk membubarkan Hwe-liong-pang, lebih-lebih tidak dapat kami terima, sebab hal itu sama saja dengan membubarkan cita-cita luhur yang sedang diperjuangkan oleh Pang-cu (Ketua) kami!”
“Jadi tegasnya Hwe-liong-pang akan tetap dalam keadaan seperti sekarang ini? Tetap menjadi kekuatan dan tempat berkumpulnya pengacau-pengacau dunia persilatan?” tanya Wi-lian sengit.
“Hal itu tidak akan terjadi lagi,” sahut Thian-liong Hiang-cu dengan mantap tanpa ragu-ragu. “Kami tidak akan ragu-ragu lagi menghukum mati atau mencacatkan badan dari setiap anggota Hwe-liong-pang yang menimbulkan kekacauan. Nona, aku menjamin hal ini. Aku adalah pimpinan nomor tiga di Hwe-liong-pang yang sangat berkepentingan dengan tercapainya tujuan perjuangan kami, karena itu aku lebih rela Hwe-liong-pang kehilangan sebagian anggotanya daripada kehilangan tujuan perjuangannya!”
Ucapan yang dikeluarkan dengan suara mantap dan lantang itu seketika membuat setiap pendengarnya jadi tertegun dan mau tidak mau harus mempercayainya. Tong Wi-hong lah yang pertama-tama menanggapi ucapan itu sambil memberi hormat kepada Thian-liong Hiang-cu, “Semoga Hiang-cu benar-benar memenuhi janji Hiang-cu itu sehingga dunia persilatan akan terhindar dari malapetaka yang mengerikan.”
Lalu Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang menyambung, “Tetapi masih ada satu soal yang harus dijelaskan oleh Thian-liong Hiang-cu. Yaitu, kenapa Hwe-liong-pang mengirimkan barang-barang Tiong-gi Piau-hang yang hilang itu dengan perantaraan perusahaan kami? Sehingga hampir saja terjadi kesalah-pahaman berdarah antara kami dan Tiong-gi Piau- hang? Harap Hiang-cu menjelaskannya.”
Jawab Thian-liong Hiang-cu, “Aku merasa bahwa pamor Hwe-liong-pang agak surut dengan kelakuan anak buah kami yang mirip perampok-perampok rakus itu. Karena kuatir akan menimbulkan kesalah-pahaman Hwe-liong-pang dan Tiong-gi Piau-hang semakin mendalam, maka kami terpaksa meminjam tangan Yo Cong-piau-thau untuk mengembalikan barang-barang itu kepada Tiong-gi Piau-hang, dengan harapan bahwa hubungan baik antara kedua Piau-hang kalian akan mencegah jangan sampai timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, ternyata perhitungan kami inipun meleset juga. Untuk itu kami pun minta maaf kepada Yo Cong-piau-thau, bahwa tindakanku ini ternyata sempat menimbulkan kerepotan bagi Cong-piau-thau.”
Memangnya antara Hwe-liong-pang dengan Kim-say Piau-hang belum pernah bentrok dalam urusan apapun, maka setelah Thian-liong Hiang-cu mohon maaf dengan cara yang begitu sungkan, Yo Hui-jiang pun membalasnya, “Kesalah-pahaman antara orang-orang yang berkecimpung di dunia persilatan memang sering terjadi, tetapi untunglah bahwa kali inipun belum sempat menimbulkan korban di kedua pihak.”
“Itulah sebabnya aku buru-buru mencegahnya,” kata Thian- liong Hiang-cu. “Kalau aku bermaksud buruk, maka akan kubiarkan saja kalian saling membunuh tak terkendali, bahkan akan kuanggap saja bentroknya kalian justru akan menguntungkan Hwe-liong-pang kami. Tetapi kami tidak ingin hal itu terjadi. Nama Hwe-liong-pang sudah cukup dinodai oleh pokal beberapa anggota kami, dan nama itu tidak boleh lebih ternoda lagi.”
Sikap yang sungguh-sungguh dan tulus dari Thian-liong Hiang-cu itu akhirnya termakan juga kepada orang-orang Tiong-gi Piau-hang yang tadinya bersitegang leher menuduh Kim-say Piau-hang bersekutu dengan Hwe-liong-pang itu. Maka Tong Wi-hong pun segera memberi hormat kepada Yo Hui-jiang dan meminta maaf,
“Yo Cong-piau-thau, maafkan sikap sembrono dari pihak kami tadi, yang menuduh pihak Kim-say Piau-hang dengan tuduhan yang bukan-bukan. Kini silakan Cong-piau-thau melanjutkan perjamuan ini sebagai tanda permintaan maaf kami.”
Sebenarnya Wi-hong juga ingin mempersilakan Thian-liong Hiang-cu untuk ikut serta dalam perjamuan, karena timbul kesan baiknya kepada tokoh Hwe-liong-pang itu, namun akhirnya Tong Wi-hong memutuskan untuk tidak mengundangnya. Betapapun juga Tong Wi-hong masih ingat bahwa Cian Sin-wi, dewa penolongnya yang dihormati dan juga calon mertuanya itu, telah binasa di tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Begitu pula dengan belasan orang piau-su cabang Kiang-leng. Betapapun kesan baiknya kepada Thian-liong Hiang-cu, namun suasana permusuhan dengan Hwe-liong-pang belum terhapus sama sekali.
Thian-liong Hiang-cu yang cukup tajam membaca sikap Tong Wi-hong itu pun agaknya cukup tahu diri. Maka ia segera memberi hormat bergantian kepada Yo Hui-jiang dan Tong Wi-hong lalu berkata, “Aku bersyukur bahwa kalian sudah berdamai kembali, sehingga Hwe-liong-pang tidak menanggung beban yang lebih berat lagi. Sekarang aku mohon pamit.” Begitu kata terakhir selesai diucapkan, tubuhnya telah “berhembus” bagaikan angin, dan dalam sekejap saja sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
“Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) yang luar biasa,” desis Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian. Dia sendiri memakai julukan “sin-eng” (Elang Sakti), menandakan bahwa dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup dapat dibuat kebanggaan. Namun setelah melihat cepatnya gerakan Thian-liong Hiang-cu tadi, Ho Po-jian jadi merasa bahwa tingkat ilmunya yang sekarang ini bagaikan mainan anak kecil saja di hadapan Thian-liong Hiang-cu itu.
Yo Hui-jiang juga ikut memuji, “Bukan cuma gerakannya yang cepat, bahkan tenaganya pun luar biasa. Ia mematah-matahkan ruyung bajaku seringan mematah-matahkan lidi saja.”
Tiba-tiba dari ruangan sebelah dalam terdengar suara yang menimbrung, “Kalian keliru. Meskipun siluman itu nampak hebat, namun yang digunakannya bukanlah ilmu sejati dari aliran lurus, melainkan ilmu sesat. Jika tadi kalian perhatikan lebih seksama, kalian akan melihat bahwa semua gerakannya tentu diselubungi dengan suasana gaib yang mencekam. Coba saja kalian perhatikan sinar matanya yang mengandung kekuatan aneh yang hampir tak terlawan itu.”
Menyusul itu, masuklah Rahib Hong-koan ke dalam ruangan itu. Sikapnya yang santai itu sudah tak terlihat lagi, digantikan dengan sikapnya yang bersungguh-sungguh. Suasana tegang yang hampir mengakibatkan berbaku hantamnya orang-orang Tiong-gi Piau-hang dengan Kim-say Piau-hang, kini telah mencair. Hua Yong-ceng telah memerintahkan orang-orangnya agar meja perjamuan dipindahkan ke ruangan depan, sebab keadaan ruang tengah sudah agak berantakan akibat keributan tadi.
Bahkan kini perjamuan bertambah ramai karena hadirnya Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio di tengah-tengah mereka. Yo Hui-jiang sangat mengagumi kebesaran nama rahib yang termasuk golongan “Sepuluh Tokoh Sakti” itu, maka pemimpin Kim-say Piau-hang itu memanggil Rahib Hong-koan dengan panggilan “Lo-cianpwe” (angkatan tua yang terhormat), meskipun usia Yo Hui-jiang sendiri adalah sepuluh tahun lebih tua dari Hong-koan Hwesio.
Begitu perjamuan berjalan lancar kembali, Tong Wi-hong lalu mengajukan pertanyaan kepada Rahib Hong-koan, “Pek-hu (uwak), tadi kau mengatakan bahwa yang digunakan Thian-liong Hiang-cu itu bukan ilmu sejati melainkan ilmu kaum sesat, dapatkah pek-hu menerangkan hal ini?”
Memangnya semua orang ingin tahu kelanjutan kata-kata Hong-koan Hwesio tadi, maka kini semua mata di sekeliling meja perjamuan telah ditujukan kepada rahib dekil itu. Jawaban yang bakal diberikan oleh rahib yang gemar mengembara itu pasti akan cukup menarik, dan merupakan tambahan pengetahuan yang berharga buat mereka.
Rahib yang biasanya senang bergurau itu, kini bersikap begitu sungguh-sungguh, bahkan kadang-kadang ia memejamkan matanya sekian lama, seolah-olah sedang berusaha mengingat-ingat suatu kisah yang lama terpendam dalam ingatannya. Akhirnya ia berkata,
“Aku tidak dapat menebak secara pasti dari manakah asal-usul perguruan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu. Aku hanya akan menceritakan suatu kisah, yang barangkali akan dapat menjadi bahan pertimbangan kalian untuk menebak asal usul tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu. Begini kisahnya. Aku pernah mengembara sampai ke pegunungan Himalaya yang berbatasan dengan negeri Thian-tiok (India), dan di situ aku bertemu dengan seorang fakir sakti dari India. Kami bertempur sampai ribuan jurus, tanpa ada yang kalah dan menang, bahkan kemudian kami saling mengagumi dan kemudian menjadi sahabat karib dan bahkan kami tukar menukar tanda mata...”
Thian-liong Hiang-cu mengebaskan lengan jubahnya, dan bagaikan segumpal asap saja maka tahu-tahu tubuhnya telah melayang masuk dan tiba di tengah-tengah ruangan itu. Majikan rumah obat dan si penjual sayur itu cepat-cepat memberi hormat. Terdengar Thian-liong Hiang-cu menggeram,
“Sudah kudengar semua pembicaraan kalian tadi, dan aku sama sekali tidak senang. Aku menyesal sekali bahwa Hwe-liong-pang kita, yang tadinya punya garis perjuangan yang tegas dan mulia, kini telah berubah menjadi suatu gerombolan perampok-perampok rakus!”
Majikan rumah obat dan penjual sayur itu mulai gemetar tubuhnya, rasa takut yang amat sangat mulai menyusupi hati mereka. Mereka cukup menyadari akan tata tertib Hwe-liong-pang yang maha keras, jika Thian-liong Hiang-cu ini sampai murka, maka barangkali mereka berdua masing-masing akan menerima “hadiah” berupa sebutir Racun Penghancur Badan. Maka satu-satunya jalan adalah berdiam diri dan jangan menambah kemarahan orang bertopeng itu.
Thian-liong Hiang-cu agaknya belum puas memaki-maki, katanya pula dengan sengit, “Aku mendengar bahwa belakangan ini beberapa kelompok sudah mulai kendor tata tertibnya, dan mulai berani bertindak di luar garis perjuangan yang telah ditetapkan oleh Pang-cu. Dengan mengandalkan kebesaran nama Hwe-liong-pang mereka telah berbuat seperti pencoleng-pencoleng kecil! Benar-benar memalukan!”
Suasana dalam ruangan itu seketika menjadi hening mencekam. Hanya terdengar dengus-dengus napas kemarahan dari Thian-liong Hiang-cu, sementara dua lelaki di hadapannya bersikap seperti dua ekor tikus yang sudah terpojok dan berhadapan dengan seekor kucing galak. Mereka merasa jantung mereka berdenyut tiga kali lebih cepat dari biasanya.
“Lam-kiong Hok,” tiba-tiba Thian-liong Hiang-cu berteriak.
Si majikan rumah obat itu cepat-cepat berlutut dan menyahut panggilan itu, “Hamba siap menjalankan perintah Hiang-cu!”
Thian-liong Hiang-cu menatap tajam-tajam kepada orang yang berlutut di hadapannya itu, katanya sepatah demi sepatah kata, “Dengarkan baik-baik perintahku! Sekarang juga, kembalikan semua barang yang telah kalian rampas dari Tiong-gi Piau-hang. Semuanya. Tidak ada sehelai benang atau sebutir debupun yang boleh kurang. Kau mengerti perintahku?”
Si majikan rumah obat yang ternyata bernama Lam-kiong Hok itu nampak berkali-kali menelan air liurnya mendengar perintah yang terasa sangat berat itu. Katanya dengan terbata-bata, “Tetapi... tetapi perampasan itu adalah atas perintah Tang Su-cia dan Sebun Sucia...”
Potong Thian-liong Hiang-cu sambil berteriak, “Lebih tinggi mana kedudukan kedua siluman gentayangan itu dengan kedudukanku sebagai Thian-liong Hiang-cu! Ini adalah perintah Thian-liong Hiang-cu! Jika setan rambut merah dan setan cebol itu akan marah kepadamu, suruh dia menghadap aku. Sekarang juga kerjakan perintahku.”
“Si... siap,” jawab Lamkiong Hok masih agak ragu-ragu.
Kemarahan Thian-liong Hiang-cu nampak agak mereda. Ia bangkit dari tempat duduknya dan perlahan-lahan berjalan mendekati jendela, katanya mengancam, “Jika dalam waktu tiga hari perintahku ini belum selesai dikerjakan, kau tunggu saja akibatnya. Kau jangan merasa aku bertindak kurang adil, sebab jika kau kutindak, maka si setan-setan rambut merah dan setan cebol itu juga akan menerima hukumanku, begitu pula kawan-kawanmu dari kelompok Bendera Hijau, Coklat dan Merah atas kelancangan mereka.”
“Hamba mengerti, Hiang-cu,” sahut Lamkiong Hok lagi.
Ketika Lamkiong Hok hendak bangkit dari berlututnya, ia hanya merasa ada angin berdesir di ruangan itu, dan tahu-tahu Thian-liong Hiang-cu sudah tidak terlihat lagi bayangannya dalam ruangan itu, lenyap begitu saja seperti iblis. Mau tidak mau Lamkiong Hok dan “si tukang sayur” itu bergidik kalau melihat kelihaian tokoh nomor tiga dalam Hwe-liong-pang itu.
Lamkiong Hok menyeringai kecut ke arah si tukang sayur gadungan itu, lalu berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Percuma kita membantah, kita tidak berhadapan dengan manusia, tapi agaknya berhadapan dengan arwah-arwah gentayangan. Jalankan perintah ini supaya kita tidak usah menikmati Racun Penghancur Badan.”
“Sekarang juga aku akan mengatur pengembalian barang-barang itu,” sahut si “tukang sayur” dengan lesu. Rejeki besar yang sudah di depan mata telah terbang pergi begitu saja, ditukar dengan keselamatan nyawanya.
“Cepat kerjakan. Sebaiknya pengirimannya tidak oleh orang-orang kita sendiri, tapi pakailah perusahaan pengawalan yang lain.”
Si “tukang sayur” itu menjalankan perintah itu dengan taat. Sementara itu, di gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng nampak persiapan yang semakin meningkat. Tong Wi-hong benar-benar ingin memberi kesan kepada pihak luar, bahwa barang bawaan kali ini benar-benar “kambing gemuk” sehingga diharapkan orang-orang Hwe-liong-pang akan tergiur dan terpancing keluar dari sarangnya.
Pada hari yang telah ditentukan untuk berangkat, nampaklah iring-iringan kereta-kereta Tiong-gi Piau-hang yang membuat “barang berharga” itu sudah berderet-deret dan siap berangkat, para pengawal nampak hilir-mudik dengan senjata terhunus. Ada tiga buah kereta yang tertutup rapat, di dalam salah satu dari ketiga kereta itu bersembunyilah seorang tokoh yang disegani dunia persilatan, yaitu Siau-lim- hong-ceng Hong-koan Hwesio.
Ting Bun menyamar sebagai piau-su biasa dan bercampur dengan hampir tujuh puluh orang piau-su yang akan mengawal kafilah itu. Tong Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping juga nampak hilir-mudik dengan sibuknya, mengatur persiapan anak buahnya. Untuk menimbulkan kesan bahwa kafilah itu benar mengawal barang, dan bukan cuma jebakan saja.
Sengaja Tong Wi-hong memanggil pula beberapa jago Tiong-gi Piau-hang yang cukup punya nama dari cabang-cabang Lok-yang dan Bu-sek untuk diperbantukan pada kafilah itu. Selain untuk memberi kesang sungguh-sungguh, maka jago-jago Tiong-gi Piau-hang itupun akan merupakan tenaga tempur yang berarti, jika benar-benar mereka harus bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang.
Jago-jago Tiong-gi Piau-hang dari cabang Lok-yang yang nampak di situ antara lain adalah Pek-lui-to (Si Golok Halilintar) The Toan-yong serta Tok-gan-sin-eng (Elang Sakti Bermata Tunggal) Ho Po-jian. Sedang jagoan-jagoan yang datang dari cabang Bu-sek ada tiga orang, yaitu dua bersaudara So Hou dan So Pa yang berjulukan Tiong-san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung) ditambah dengan Yap Lam-heng yang berjuluk Kui-gi-to (Si Golok Bergerigi).
Masih ada pula beberapa piau-su tangguh dari cabang Kiang-leng sendiri. Semuanya nampak bersikap gagah penuh semangat, siap untuk berkorban demi kebesaran Tiong-gi Piau-hang. Bendera Tiong-gi Piau-hang yang berwarna putih dengan sulaman gambar hati berwarna emas, telah berkibar-kibar dengan megahnya di atas kereta yang paling depan.
Diam-diam Tong Wi-hong menjadi bangga juga melihat keangkeran anak buahnya itu. Dia juga merasa bersyukur bahwa orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu tetap setia kepadanya sebagai pengganti Cian Sin-wi, meskipun para jago itu sendiri merupakan tokoh-tokoh yang menonjol di daerahnya masing-masing.
Matahari naik semakin tinggi, persiapan untuk keberangkatan kafilah sudah mendekati akhirnya, semua orang sudah menggelegak darahnya untuk bertempur. Para piau-su sudah berbaris dengan senjata terhunus di kedua sisi kereta-kereta, kuda-kuda yang tegar pun sudah terpasang di depan kereta. Tinggallah kini menunggu aba-aba dari Wi-hong dan kafilah itu akan berangkat.
Namun di saat bibir Wi-hong sudah bergerak untuk meneriakkan aba-aba berangkat, mendadak terjadilah sesuatu yang di luar perhitungan. Dari jalan besar di arah depan, tiba-tiba terlihat ada debu mengepul tinggi, dan nampak sebuah rombongan besar sedang mendekati ke arah rombongan Tiong-gi Piau-hang itu. Tong Wi-hong tidak dapat menduga rombongan mana yang datang itu, maka aba-aba untuk berangkat yang sudah siap di pinggir bibirnya itupun kini terpaksa diganti dengan aba-aba, “Semuanya bersiap!”
Suasana menjadi tegang seketika. Tiong-gi Piau-hang memang sedang diliputi suasana perang dengan Hwe-liong-pang. Dan kini melihat ada rombongan tak dikenal mendekati mereka, tentu saja mereka semua bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan. Gemerincing senjata yang dicabut dari sarungnya terdengar berturut-turut.
Rombongan yang datang dari depan itu ternyata rombongan Pia-hang (Perusahaan Pengawalan) pula, itu dapat disimpulkan dari adanya beberapa buah kereta barang dalam barisan itu. sedang jumlah pengiringnyapun hampir menyamai jumlah orang-orang Tiong-gi Piau-hang yang cukup banyak itu. Untuk sesaat lamanya Tong Wi-hong tidak dapat mengenali apakah rombongan itu dari pihak lawan atau kawan.
Setelah rombongan pendatang itu cukup dekat dan debu yang mengepulpun telah mengendap kembali, dapatlah dilihat bendera kecil yang tertancap di atas kereta yang paling depan dari rombongan pendatang itu. Bendera itu berwarna dasar hitam, di tengahnya bersulam dengan gambar seekor singa berbulu emas yang bersikap garang.
Tong Wi-hong yang masih kurang pengalaman dalam dunia persilatan itu tidak tahu entah dari perusahaan pengawalan mana yang memakai lambang seperti itu. Namun Yap Lam-heng yang cukup berpengalaman itu segera memperdengarkan desis kaget dan heran, “Kim-say Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Singa Emas)! Biasanya mereka hanya bekerja di wilayah selatan, kenapa hari ini mereka bisa muncul di tempat ini?”
Wi-hong menolehkan kepalanya kepada Yap Lam-heng dan bertanya, “Paman Yap, kau mengenal mereka?”
Sahut Yap Lam-heng, “Benar. Hubungan Kim-say Piau-hang dengan Tiong-gi Piau-hang tidak terlalu akrab, tetapi juga tidak buruk, biasa saja. Tiong-gi Piau-hang kita biasanya bekerja di wilayah Kang-pak (sebelah utara Sungai Besar) dan Kim-say Piau-hang di Kang-lam (sebelah selatan Sungai Besar), tidak pernah saling mengganggu. Pemimpinnya bernama Yo Hui-jiang dan berjulukan Kim-say-kong-pian (Singa Emas Ruyung Baja).”
Dalam pada itu rombongan Kim-say Piau-hang pun sudah semakin dekat, dan kemudian berhenti tepat berhadapan dengan rombongan Tiong-gi Piau-hang yang sudah siap untuk berangkat itu. Dari rombongan Kim-say Piau-hang muncullah seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, namun masih nampak kekar dan tangkas, dan menunggangi seekor kuda putih yang baik pula.
Melihat orang ini, Yap Lam-heng cepat membisikkan sesuatu kepada Tong Wi-hong, “Cong-piau-thau, ternyata rombongan Kim-say Piau-hang itu dipimpin sendiri oleh pemimpin mereka, Ho Hui-jiang sendiri, cepatlah Cong-piau-tahu menyambutnya sendiri agar jangan sampai dianggap kurang menghormati tamu!”
Wi-hong yang memang belum pengalaman dalam tata cara dunia persilatan itu hanya menurut saja anjuran itu. Dengan diapit oleh Yap Lam-heng dan The Toan-yong, Wi-hong menggerakkan kudanya ke depan untuk menyambut pemimpin Kim-say Piau-hang itu.
Terlihat Yo Hui-jiang mengangkat tangannya ke arah Wi- hong memberi isyarat bahwa dia dan rombongannya tidak bermaksud jahat. Wi-hong sebagai pihak yang lebih muda, lebih dulu memberi hormat sambil menyapa, “Aku tidak tahu kalau hari ini Yo Lo-piau-thau akan datang kemari, maafkan jika penyambutan kami kurang hormat!”
Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang tertawa terbahak-bahak, ia membalas hormat dan menyahut, “Jangan terlalu sungkan, Tong Cong-piau-thau, kamipun minta maaf karena telah mengejutkan kalian dengan kedatangan yang sangat mendadak ini. Kami memang sedang diburu oleh waktu yang sangat mendesak sehingga untuk mengirim pemberitahuanpun tidak sempat lagi. Sekali lagi aku minta maaf.”
Berkerutlah alis Wi-hong mendengar ucapan yang mengandung arti itu. Tanyanya dengan heran, “Ada urusan apakah, Yo Cong-piau-thau?”
Agaknya Kim-say-kong-pian ini seorang yang suka tertawa, Itulah sebabnya ia awet muda. Kali ini pun ia tertawa lagi sebelum menjawab, “Kalau dibicarakan memang aneh. Kim-say dan Tiong-gi adalah dua buah perusahaan pengawalan yang paling disegani di selatan dan utara Sungai Besar, biasanya kita menerima pekerjaan untuk mengawal barang atau orang dari tempat ke tempat. Kali inipun Kim-say Piau-hang kami mendapat tugas mengantar barang, dan tahukah siapakah yang harus menerima barang ini?”
Mau tak mau Wi-hong tersenyum juga melihat Yo Hui-jiang yang sudah tua tapi masih senang bergurau dan berteka-teki itu. “Mana bisa aku menebaknya?” kata Wi-hong.
Sahut Yo Hui-jiang di luar dugaan, “Kiriman besar yang harus kukawal kali ini ternyata ditujukan kepada kalian, Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng! Bahkan jumlahnya luar biasa tingginya, sehingga demi tanggung jawabku maka aku terpaksa memaksakan tubuh tuaku ini untuk mengawalnya sendiri sampai dengan selamat ke alamat kalian.”
Sekali lagi Wi-hong menjura kepada Yo Hui-jiang sambil mengucapkan terima kasihnya, namun di dalam hatinya mulailah terasa adanya suatu urusan yang tidak beres dibalik semuanya itu. Ketika Wi-hong menoleh ke arah jago-jago Tiong-gi Piau-hang lainnya, nampaklah muka para jagoan itupun berkerut aneh, agaknya mereka dapat merasakan pula adanya keganjilan itu.
Tanya Wi-hong kemudian kepada Yo Hui-jiang, “Mohon tanya kepada Yo Cong-piau-thau, siapakah orangnya yang telah mengirimkan kiriman sebanyak dan semahal ini kepada kami?”
Sahut Yo Hui-jiang, “Kejadiannya berlangsung kira-kira tiga hari yang lalu. Cabang Kim-say Piau-hang kami di kota Han-koh mendadak didatangi seorang pemuda yang usianya kurang lebih sama dengan Tong Cong Piau-thau, berwajah tampan, berpakaian cukup bersih dan rapi, nampaknya anak orang terpandang. Dia tidak menyebutkan namanya, tapi hanya menyerahkan beberapa peti barang ini dan menyuruh kami untuk mengantarkan ke Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Perusahaan kami memang selalu berusaha untuk menyenangkan langganan, maka tanpa banyak rewel lagi kami segera mengirimkannya kemari. Karena pentingnya barang ini, maka aku sendiri ikut mengawalnya, ditengah jalan kamipun tidak berani berlambat-lambatan.”
Sementara itu Yap Lam-heng yang kenyang pengalaman itu segera mengusulkan sesuatu kepada Wi-hong, “Cong-piau-thau, urusan ini benar-benar aneh. Kukira keberangkatan kita untuk memancing keluar bangsat-bangsat Hwe-liong-pang itu bisa kita tunda untuk lain waktu, yang penting sekarang adalah menyambut Yo Cong-piau-thau, sebagai tetamu terhormat, sekalian kita mencoba mencari keterangan yang lengkap tentang pengiriman yang aneh yang ditujukan kepada kita ini.”
Wi-hong mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya kepada Yo Hui-jiang, “Kami sangat bersyukur atas kesudian Yo Cong-piau-thau yang mau meluangkan waktu dan tenaga untuk mengantarkan sendiri barang-barang itu kepada kami. Kedatangan Yo Cong-piau-thau inipun merupakan suatu kehormatan yang besar bagiku yang masih muda dan masih banyak membutuhkan petunjuk dari Cong-piau-thau ini. Karena itu jika Cong-piau-thau tidak keberatan, biarlah barang-barang itu diterima oleh orangku, sedang Cong-piau-thau bersama-sama dengan seluruh saudara-saudara dari Kim-say Piau-hang yang telah menempuh perjalanan jauh, kami persilahkan untuk beristirahat sambil menikmati secangkir teh.”
Begitulah, kereta-kereta barang yang dibawa oleh rombongan Kim-say Piau-hang itupun segera didorong masuk ke dalam gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Para piau-su dari kedua Piau-hang itupun segera saling berkenalan dan bercakap dengan santainya. Karena Piau-hang memang hanya bersifat perusahaan dagang, dan bukan suatu aliran persilatan.
Maka sikap orang-orang dari kedua belah pihak tidak setegang jika terjadi pertemuan antara dua perguruan silat. Bahkan ada pula piau-su dari kedua pihak yang saling bersahabat pada waktu sebelumnya, ada pula yang kakak beradik seperguruan tetapi bekerja pada Piau-hang yang berbeda.
Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang dengan didampingi oleh Tong Wi-hong dan tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang lainnya segera melangkah masuk ke ruangan tengah gedung itu. Sesaat kemudian, dalam suasana akrab, mereka telah mengelilingi meja perjamuan. Yo Hui-jiang didampingi oleh beberapa orang kepercayaannya yang kelihatannya cukup tangguh juga.
Sedang Tong Wi-hong pun didampingi oleh Kui-gito Yap Lam-heng, Pek-lui-to The Toan-yong, Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian, Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa, Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng, Tong Wi-lian, Cian Ping dan Ting Bun. Sedangkan Hong-koan Hwesio tidak ikut jamuan penyambutan tamu itu, melainkan lebih suka tidur mendengkur di ruangan lain. Tong Wi-hong dapat menyelami watak aneh dari uwa angkatnya itu, maka ia tidak menaruh keberatan apa pun.
Di tengah berlangsungnya perjamuan itu, kembali Wi-hong mencoba menanyakan kepada Yo Hui-jiang, “Yo Cong-piau- thau, maafkan aku yang terlalu cerewet ini, aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang pengiriman barang kepada kami ini. Apakah Cong-piau-thau dapat menerangkan bahwa anak muda perlente yang mengirimkan barang lewat Kim-say Piau-hang itu mempunyai ciri-ciri khusus?”
Kim-say-kong-pian mengerutkan sepasang alisnya yang telah memutih seperti kapas itu. Sesaat ia nampak berpikir keras untuk mengingat-ingat, lalu kemudian menjawab, “Ya, aku akan mencoba menggambarkannya kepada Tong Cong-piau-thau. Dia berwajah cukup tampan, tetapi sayang sekali bahwa di bagian tengah-tengah antara kedua alisnya ada cahaya kehitam-hitaman yang samar-samar. Cahaya kehitam-hitaman itu begitu tipisnya, sehingga jika tidak diperhatikan benar-benar tidak akan terlihat. Menurut pendapatku, cahaya kehitaman di antara dua alis mata itu memberi pertanda bahwa orang itu berlatih ilmu sesat, mungkin pukulan berbisa atau sejenis ilmu hitam (hoat-sut).”
“Dia tidak memperkenalkan namanya?”
Yo Hui-jiang menggelengkan kepalanya, “Dia tetap tidak mau menyebut namanya meskipun telah kami desak, katanya Tong Cong-piau-thau akan tahu sendiri setelah melihat barang kirimannya. Dia secara murah hati juga membayar tarif pengangkutan ini tiga kali lipat banyaknya dari tarif yang berlaku, namun sekaligus juga memesan agar kiriman ini secepatnya dikirim kemari. Itulah sebabnya dalam perjalanan ini kami hampir tidak beristirahat sama sekali untuk memenuhi pesanan itu, bahkan pergantian kudapun dilakukan sampai beberapa kali.”
Pada saat itu tiba-tiba dari halaman samping gedung itu terdengar suara keributan. Hua Yong-ceng nampak mendongkol mendengar keributan itu, cepat ia berdiri dari duduknya dan menjura kepada Tong Wi-hong maupun Yo Hui-jiang, sambil berkata memohon maaf, “Silahkan kedua Cong-piau-thau melanjutkan perjamuan ini. Anak buahku yang kurang tahu aturan itu entah kenapa telah menimbulkan keributan, biar aku menghukum mereka.”
Habis itu, dengan langkah yang lebih Hua Yong-ceng meninggalkan meja perjamuan menuju ke halaman samping. Suara keributan itu ternyata berasal dari halaman samping kanan gedung, dimana halaman itu biasa digunakan untuk menumpuk barang-barang kiriman yang belum sempat dikirimkan. Kereta-kereta yang memuat kiriman Kim-say Piau-hang tadipun dibawa ke halaman ini.
Kini nampak peti-peti kiriman Kim-say Piau-hang itu sudah terbuka tutupnya semua, dan sedang dikerumuni oleh para piau-su. Wajah-wajah mereka nampak heran dan penasaran, bahkan mereka berdebat satu sama lain dengan ributnya. Ketika Hua Yong-ceng muncul di tempat itu, maka para piau-su yang sedang ribut itupun serentak diam.
“He, kalian tahu tata tertib atau tidak?” tegur Hua Yong-ceng dengan mata melotot. “Di ruangan tengah sedang diselenggarakan perjamuan untuk menghormati Yo Cong-piau-thau, tetapi di tempat ini kalian malah demikian gaduh sehingga mengganggu suasana perjamuan?”
Masih sambil menggerutu, Hua Yong-ceng lalu melangkah mendekati peti-peti kiriman Kim-say Piau-hang yang sudah terbuka tutupnya itu, karena dia pun sebenarnya terdorong oleh rasa ingin tahunya tentang apa yang di dalam peti-peti itu. Dan begitu Hua Yong-ceng melongok ke dalam peti-peti itu, seketika mulutnya yang lebar itu melongo dan tidak bisa menggerutu lagi, matanya melotot ke dalam peti dengan pandangan yang kurang percaya.
Peti-peti itu ternyata berisi dengan bingkisan-bingkisan yang dikawal Tiong-gi Piau-hang yang selama ini dirampas oleh orang-orang Hwe-liong-pang itu! Semua barang yang hilang itu lengkap, tidak kurang suatu apapun. Bahkan perhiasan-perhiasan terbuat dari batu giok yang sangat mahal, bingkisan dari Ho-Lam Sun-bu kepada Kaisar Cong-ceng itupun telah kembali tidak kurang sedikitpun.
Hua Yong-ceng biarpun nampaknya tolol, namun sebenarnya otaknya cukup encer juga, terbukti ia bisa diangkat menjadi pimpinan cabang Kiang-leng. Namun kali ini otak Hua Yong-ceng serasa beku tidak mampu mencerna peristiwa yang dihadapinya itu. Merasa bahwa peristiwa yang dihadapinya itu cukup aneh dan rumit, Hua Yong-ceng tidak berani mengambil keputusan sendiri. Bergegas-gegas ia melangkah balik ke ruangan perjamuan, dan raut mukanya yang nampak agak kebingungan itu ternyata telah cukup untuk menarik perhatian dari orang-orang di sekitar meja perjamuan itu.
“Ada kejadian apa, paman Hua?” tanya Tong Wi-hong yang tak dapat menyembunyikan keheranannya.
Hua Yong-ceng melirik sejenak kepada Yo Hui-jiang dan nampak bimbang sejenak untuk berkata-kata. Namun akhirnya dia menyahut juga dengan suara ragu-ragu, “Cong-piau-thau, bingkisan yang dibawa oleh Yo Cong-piau-thau dengan Kim-say Piau-hang nya ternyata adalah...”
Saat itu Kim-say-kong-pian sedang mengangkat cawan hendak meneguk araknya, tetapi begitu mendengar ucapan Hua Yong-ceng itu dia segera meletakkan cawan araknya kembali. Katanya dengan heran, “Saudara Hua, kenapa dengan barang bingkisan yang kami bawa sejak dari Han-koh itu? Katakan saja, jangan ragu-ragu.”
Hua Yong-ceng menarik napas menenangkan debaran jantungnya, lalu berkata, “Maaf jika perkataanku kurang berkenan dihati Yo Cong-piau-thau, aku sama sekali tidak ingin menuduh siapapun, aku hanya akan bicara soal kenyataan. Barang-barang yang kalian bawa dan kalian kirimkan kepada kami itu ternyata adalah... barang-barang kawalan Tiong-gi Piau-hang sendiri, yang telah hilang dirampas orang pada beberapa saat yang lalu.”
Andaikata ada halilintar menyambar ditengah-tengah ruangan perjamuan itu, belum tentu orang-orang dalam ruangan itu sekaget ketika mendengar perkataan Hua Yong-ceng itu. Terdengar suara cawan terbanting jatuh, ternyata Yo Hui-jiang telah melepaskan cawan araknya lalu menggebrak meja, teriaknya dengan muka yang merah padam menahan amarah,
“Saudara Hua, selama ini Kim-say Piau-hang dan Tiong-gi Piau-hang hidup mencari rejeki sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu, antara kita juga belum pernah terbit suatu permusuhan apapun, tetapi kenapa sekarang ini kau berbicara sengawur itu? Bukankah dengan ucapanmu itu kau seakan-akan menuduh bahwa kami ada hubungan dengan orang-orang yang membegal kafilah kalian itu?”
Suasana perjamuan yang tadinya ramah tamah penuh persahabatan itu kini berubah menjadi tegang. Dua orang jago andalan Kim-say Piau-hang yang duduk di sebelah kiri dan kanan Yo Hui-jiang itupun telah meletakkan cawan dan sumpit masing-masing, dan tangan mereka mulai bergeser untuk menggenggam gagang senjatanya masing-masing. Keduanya siap turun tangan untuk membela pemimpin mereka.
wajah Tong Wi-hong serta jagoan-jagoan Tiong-gi Piau-hang lainnya pun ikut berubah dengan hebat. Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian lalu berkata kepada Hua Yong-ceng dengan nada menegur secara halus, “Saudara Hua, apakah kau sudah memeriksa baik-baik? Harap hati-hati dalam mengemukakan pendapat.”
Hua Yong-ceng sudah menduga bahwa ucapannya tidak bakal mudah dipercaya begitu saja. Sambil menarik napas, ia memberi hormat berkeliling kepada semua orang, serta berkata, “Apa yang kuucapkan tadi adalah kenyataan yang telah kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Di hadapan Yo dan Tong Cong-piau-thau yang berkedudukan terhormat ini mana berani aku bicara sembarangan saja? Kalian boleh melihatnya di halaman samping sana, jika ternyata kata-kataku tadi tidak terbukti, kuserahkan leherku ini untuk kalian gorok!”
Para tokoh Tiong-gi Piau-hang saling bertukar pandangan mendengar jawaban Hua Yong-ceng yang begitu meyakinkan itu. Mereka semua sudah cukup mengenal akan watak Hua Yong-ceng yang jujur itu, tidak mungkin ia bicara seenaknya tanpa dasar bukti yang kuat. Dan jika yang dikatakan itu benar, maka kecurigaan memang pantas dialamatkan kepada orang-orang Kim-say Piau-hang. Meskipun kecurigaan itu belum sampai terucapkan lewat mulut, namun pandangan mata para tokoh Tiong-gi Piau-hang itu sudah menunjukkan kecurigaannya.
Yo Hui-jiang memang seorang yang penaik darah, maka melihat sikap orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu, seketika meluaplah marahnya. Katanya, “Kami seluruh orang Kim-say Piau-hang selalu berada di jalan yang benar, berani berbuat berani bertanggung jawab! Tetapi jika ada orang yang hendak memaksa kami untuk bertanggung-jawab atas sesuatu yang tidak kami perbuat, hemm, apa boleh buat, kami bukan orang-orang yang dapat seenaknya difitnah begitu saja!”
Seorang jago andalan Yo Hui-jiang yang berkumis lebat, segera berkata sambil tertawa mengejek, “Kalian orang-orang Tiong-gi Piau-hang benar-benar orang-orang yang tidak tahu malu. Kalian sendiri yang tidak becus mengawal barang, sehingga sampai kena dirampas orang di tengah jalan, kenapa lalu dengan seenaknya menjadikan kami sebagai kambing hitam?”
Sebenarnya Tong Wi-hong dan orang-orang Tiong-gi Piau-hang lainnya sudah bertekad untuk menyabarkan diri demi menyelidiki urusan itu sampai seterang-terangnya, namun begitu mendengar ucapan pembantu Kim-say Piau-hang yang berkumis lebat itu bagaikan membuat udara dalam ruangan itu menjadi terbakar panas. Memang di antara Kim-say Piau-hang dan Tiong-gi Piau-hang tidak ada permusuhan apapun, namun sebenarnya masing-masing punya perasaan bersaingan juga, gara-gara adanya ucapan dunia persilatan yang mengatakan,
“Tiong-gi di Utara, Kim-say di Selatan” itu. Ucapan itu membuat orang-orang dari kedua Piau-hang itu punya kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya kebanggaan masing-masing itu berubah menjadi rasa persaingan. Persaingan secara terbuka memang belum terjadi, namun persaingan diam-diam sudah tertanam dalam hati masing-masing.
Kini si orang berkumis lebat itu telah mengeluarkan suatu ucapan yang kebetulan merupakan titik paling peka dalam hubungan antara kedua Piau-hang itu, maka tidak mengherankan kalau para jago Tiong-gi Piau- hang itu sampai berubah hebat wajahnya. Bahkan Tong Wi- lian serta Ting Bun yang tidak termasuk orang Tiong-gi Piau-hang ikut tersinggung.
Pek-lui-to The Toan-yong, si golok halilintar, tertawa dingin dan berkata, “Memangnya kalian merasa lebih becus daripada kami? Biarpun kami harus kehilangan beberapa orang rekan yang gugur dalam menghadapi Hwe-liong-pang, namun mereka semuanya gugur secara ksatria. Jika kalian yang menghadapi mereka, hemm, he-he-he...”
Meskipun kalimat itu tidak dilanjutkan, tapi siapapun akan tahu bahwa nadanya mengejek. Kini ucapan-ucapan yang tajam sudah saling dilontarkan secara terbuka, wajah-wajah manusia-manusia bertampang keras itupun sudah jadi merah padam, tangan-tangan mereka pun sudah terkepal kencang dan siap untuk menjotos hidung lawannya.
Sementara itu Hua Yong-ceng, orang yang merasa paling bertanggung jawab dalam peristiwa dibegalnya barang-barang itu, mulai berbicara pula. Meskipun nadanya seakan-akan melerai, namun terkandung pula tuduhan halus ke arah Kim-say Piau-hang, “Yo Cong-piau-thau, kuharap kau dapat memaklumi keadaan kami. Urusan hilangnya harta kawalan itu adalah urusan kecil, meskipun cukup berat bagi kami, tetapi bagaimana dengan urusan belasan orang piau-su kami yang tewas itu? Ini adalah urusan nyawa, sekaligus menyangkut pula kehormatan Tiong-gi Piau-hang! Ini bukan urusan kecil!”
Sahut jagoan Kim-say Piau-hang yang berkumis lebat itu, “Kalau bukan urusan kecil lalu kalian mau apa? Kami...”
Ucapan itu tidak terselesaikan sebab Yo Hui-jiang telah menekan pundak orang itu dan menyuruhnya diam. Lalu Yo Hui-jiang sendiri yang berkata dengan menahan diri, “Kamipun tidak menganggap remeh urusan belasan orang piau-su kalian itu, meskipun hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, bahkan tentang tewasnya mereka itu baru kali ini kami mendengarnya. Tetapi penjelasan kamipun tidak pernah kalian terima dengan kepala dingin, tapi dengan curiga yang berlebih-lebihan. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku hanya menjalankan pesanan dari seorang pemuda yang tidak mau menyebutkan namanya? Dia membayar tiga kali lipat dari tarif biasanya, namun kami tidak diperkenankan untuk memeriksa isi peti-peti itu. Bukan kebiasaan perusahaan kami untuk menyelidiki rahasia para langganan kami. Kami hanya tahu mengawal dan mengantar sampai ke tujuan, sesudah itu habis perkara!”
Waktu itu, Tong Wi-hong yang juga masih muda dan berdarah panas itu, juga sudah mulai terpengaruh oleh suasana yang menghangat itu. Katanya dengan halus tetapi tajam, “Yo Cong-piau-thau, kuharap kita akan bicara dengan lebih tenang dan pikiran lebih jernih. Kita bukan anak-anak kecil lagi, yang hanya urusan sedikit saja langsung saling cakar dan saling mengejek. Aku punya sebuah pikiran, mari kita renungkan bersama-sama.”
“Silahkan Tong Cong-piau-thau bicara,” sahut Yo Hui-jiang dingin.
Tong Wi-hong menarik napas sejenak untuk menenangkan gelombang perasaannya, lalu katanya lagi, “Yo Cong-piau-thau, urusan ini memang cukup aneh. Selama ini kedudukan dan hubungan antara Kim-say dan Tiong-gi memang dikatakan seimbang, baik dalam hal kekuatan anggota-anggotanya maupun dalam urusan keuangan, pelayanan terhadap langganan dan juga dalam hal pengaruh masing-masing Piau-hang di kalangan rimba hijau.
"Hendaknya kita tetap menjaga keseimbangan ini, demi hubungan baik, dan tidak perlu kita sampai pikiran untuk saling mengungguli, apalagi dengan meminjam tangan orang luar untuk memukul satu sama lain. Coba Cong-piau-thau renungkan baik-baik. Mendadak saja hari-hari belakangan ini kami mengalami gangguan orang-orang Hwe-liong-pang, kami kehilangan barang-barang kawalan bernilai tinggi yang tidak mungkin kami ganti semuanya dan sekaligus kehilangan beberapa rekan seperjuangan kami yang secara gagah perkasa menjalankan tugasnya sebagai piau-su terhormat.
"Ini jelas merupakan corengan arang di wajah kami yang tidak terhapus, bahkan dapat menjungkir-balikkan periuk nasi drai saudara-saudara kami yang berjumlah ratusan orang. Tengah kami tergencet seperti ini, tiba-tiba muncullah Yo Cong-piau-thau dengan barisan Kim-say Piau-hang nya yang megah, bagaikan malaikat penolong turun dari langit, mengembalikan semua barang yang hilang itu.
"Tidak bisa tidak, di kemudian hari nama Kim-say Piau-hang akan semakin megah menjulang ke langit, sebaliknya Tiong-gi Piau-hang kami akan kehilangan kepercayaan langganan dan akhirnya gulung tikar. Bukankah begitu, Yo Cong-piau-thau?” tanya Wi-hong dengan tajamnya.
Hampir meledak rasanya dada Yo Hui-jiang ketika mendengar ucapan Tong Wi-hong semacam itu. Jelaslah bahwa secara halus Tong Wi-hong telah menuduh bahwa Kim-say Piau-hang telah berkomplot dengan Hwe-liong-pang untuk menjatuhkan Tiong-gi Piau-hang, kemudian Kim-say Piau-hang akan malang-melintang di dunia pengawalan barang tanpa saingan lagi.
Kumis dan rambut Yo Hui-jiang yang telah berwarna putih bagaikan perak itu nampak menyolok sekali dengan warna kulit mukanya yang merah padam bagaikan kepiting direbus itu. Jika ia tidak ingat akan kedudukannya sebagai seorang tokoh yang cukup disegani di daerah selatan, ingin rasanya Yo Hui-jiang mengamuk menjungkir-balikkan meja kursi, untuk melampiaskan luapan hatinya.
Dengan bersusah-payah akhirnya dia berusaha menahan diri. Dengan menarik napas penuh penyesalan dia berkata, “Aku menyesal bahwa karena serakah uang maka telah menerima saja pesanan orang muda tak dikenal itu, sehingga kesalah-pahamlah yang kudapatkan sekarang. Tetapi, Tong-piau-thau akupun menyesalkan pandanganmu yang begitu sempit.
"Bicara terus terang saja, bukankah dengan ucapanmu itu kau telah menuduh Kim-say Piau-hang kami bekerja-sama dengan Hwe-liong-pang, dan meminjam tangan-tangan kotor orang-orang Hwe-liong-pang itu untuk menjatuhkan kalian sambil mengangkat pamor Kim-say Piau-hang sendiri?
"Tong Cong-piau-thau, meskipun segala macam tipu-muslihat orang dagang sudah pernah kami jalankan semua, namun tipu muslihat selicik dan sekeji itu belum pernah terlintas di benak kami. Kami memang mengejar uang dan pencari keuntungan, namun kamipun masih mampu untuk menghormati kesetia-kawanan dan persahabatan antara kaum ksatria!”
Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian menyahut dengan sinis, “Barangkali tipu muslihat itu memang tidak terpikir oleh Yo Cong-piau-thau, namun tidak mustahil orang-orang Hwe-liong-pang lah yang membisikkan tipu itu ke kuping kalian sehingga kalian menjadi sangat tertarik untuk mencobanya. Coba pikir, masuk akalkah kalau Hwe-liong-pang telah bersusah-payah merebut barang-barang itu dari tangan kami, dan bahkan mereka pun kehilangan beberapa anak buahnya yang gugur.
"Lalu mendadak mereka mengembalikannya begitu saja kepada kami tanpa mengambilnya sedikit pun? Tentu mereka ada keuntungannya dengan berbuat demikian. Mereka akan kehilangan anak buah beberapa orang tetapi mereka akan mendapatkan sekutu sebuah perusahaan pengawalan yang paling kaya dan paling kuat di Kang-lam.”
“Orang she Ho, tutup bacotmu!” bentak Yo Hui-jiang.
Namun si Elang Sakti Bermata Tunggal yang sudah terlanjur terbakar hatinya itupun sudah tidak perduli lagi bentakan Yo Hui-jiang dan terus saja menyerocos dengan sengit, “Setiap umat persilatan cukup mengenal bagaimana Hwe-liong-pang memikat orang untuk memperluas pengaruhnya. Tiong-gi Piau-hang kamipun pernah dibujuknya untuk bergabung, namun mendiang Cian Lo-piau-thau lebih suka pecah sebagai ratna daripada masuk ke dalam rangkulan iblis-iblis itu.
"Kalau mereka mencoba merangkul Tiong-gi Piau-hang, tidak mustahil merekapun akan mencoba merangkul Kim-say Piau-hang kalian, dan ternyata kali ini orang-orang Hwe-liong- pang itu berhasil! Demi nafsu ingin menguasai dunia pengawalan, kalian telah tidak segan-segan menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan, kalian menjegal Tiong-gi Piau-hang kami dengan cara yang sangat keji dan hina!”
Terdengar suara gemerincing nyaring di ruangan itu, ketika bermacam-macam senjata mulai ditarik keluar dari sarungnya. The Toan-yong yang terkenal dengan julukan Golok Halilintar itu telah siap dengan goloknya. Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian juga telah siap dengan sebuah senjata berbentuk cakar elang dari besi dan bertangkai panjang, sebuah jenis senjata langka yang digunakan untuk merampas senjata lawan atau untuk menyerang persendian.
Begitu pula si Golok Bergerigi Yap Lam-heng telah siap dengan senjatanya, Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa menyiapkan lembing-lembing pendek mereka, Ting Bun dengan goloknya sedangkan Wi-lian yang biasa bertangan kosong itupun telah siap tempur. Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng juga tidak bersenjata apa-apa karena lebih mengandalkan kepada sepasang tinju besinya.
Di pihak Kim-say Piau-hang, si Singa Emas Ruyung Baja Yo Hui-jiang juga sudah siap dengan ruyung baja yang telah mengangkat namanya itu. Sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar, maka Yo Hui-jiang benar-benar nampak perkasa dengan senjatanya itu. Pembantunya yang berkumis lebat itu telah mencabut pedang yang tadinya tersarung melintang di punggungnya sedangkan pembantunya yang satu lagi bersenjatakan sebuah gada segi delapan yang nampak berat. Agaknya orang ini adalah seorang jagoan gun-kang (tenaga luar).
Tong Wi-hong masih belum mencabut pedang yang tergendong di punggungnya, namun nampaknya ia tidak ingin mencegah tindakan anak buahnya. Bahkan dia berkata kepada Yo Hui-jiang, “Yo Cong-piau-thau, kami sama sekali tidak bermaksud menghina dan merendahkanmu. Tetapi kami mohon dengan hormat, sudilah kiranya Cong-piau-thau tinggal di tempat ini sampai semua persoalan dapat kami selidiki sehingga jelas. Jika ternyata kami yang bersalah, kami tidak segan-segan minta maaf dan permintaan maaf itu disiarkan secara meluas.”
Yo Hui-jiang memegang ruyung bajanya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya membelai ruyung itu seperti seorang yang membelai kekasihnya. Katanya, “Aku sebenarnya bersedia saja, namun barangkali sahabatku inilah yang tidak mengijinkan.”
Tong Wi-hong adalah seorang anak muda yang berdarah panas pula, apalagi dalam hatinya dia sudah yakin bahwa sesungguhnya Kim-say Piau-hang berkomplot dengan Hwe-liong-pang, maka jawaban Yo Hui-jiang yang bernada menantang itu telah menghabiskan kesabarannya. Sahut Wi-hong dingin, “Baiklah kalau hal itu yang Yo Cong-piau-thau kehendaki, terpaksa kami akan berlaku kurang hormat kepada Cong-piau-thau.”
Tetapi pada saat kedua belah pihak sudah bersitegang leher dan siap untuk adu senjata itu, tiba-tiba entah dari mana terdengarlah suara bentakan yang menggetarkan hati, “semuanya harap menahan senjatanya!”
Belum lagi gaung suaranya lenyap dari pendengarannya, orang yang bersuara sudah memunculkan dirinya. Dia berjubah warna ungu dan memakai sebuah topeng muka tengkorak yang menyeramkan. Dia bukan lain adalah Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit), yang merupakan tokoh urutan ketiga dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang!
Semua orang yang berada dalam ruangan perjamuan itu umumnya belum pernah bertemu dengan Thian-liong Hiang-cu, kecuali Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping. Maka penampilan Thian-liong Hiang-cu yang muncul seperti setan gentayangan tanpa diketahui kapan datangnya itu telah membuat bergidik baik orang-orang Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang.
“Siapa kau?!” bentak Yo Hui-jiang.
Thian-liong Hiang-cu belum menyahut, Tong Wi-hong lah yang telah menyahut lebih dahulu, “Dia adalah Thian-liong Hiang-cu dari Hwe-liong-pang. Yo Cong-piau-thau, kau bertemu dengan sekutumu sendiri, kukira kau tidak perlu bersandiwara untuk mengelabuhi kami.”
Yo Hui-jiang memelototkan matanya sehingga seakan-akan biji matanya hampir melompat keluar. Tiba-tiba ia memutar tubuh menghadap ke arah Thian-liong Hiang-cu, lalu bentaknya dengan sengit, “Kau bangsat Hwe-liong-pang, gara-gara ulah kalianlah kami mengalami fitnah sekeji ini. Kini rasakanlah ruyungku!”
Meskipun umurnya sudah cukup tua, namun Yo Hui-jiang tidak pernah mengabaikan latihan ilmu silatnya, bahkan permainan ruyungnya bertambah matang. Jurus yang digunakan untuk menggempur Thian-liong Hiang-cu itu adalah jurus Cun-lui-ce-tong (Guntur Menggelegar Di Musim Semi) yang dilakukan sepenuh tenaganya.
Seketika itu juga ruyung Yo Hui-jiang bagaikan terpecah menjadi puluhan batang ruyung yang secara serempak menggulung ke tubuh Thian-liong Hiang-cu. Deru angin serangannya pun sayup-sayup mirip suara guruh di langit. Jurus Cun-lui-ce-tong ini memang sesuai dengan namanya, baik gayanya maupun daya gempurnya.
Diam-diam Wi-hong dan orang-orang Tiong-gi Piau-hang lainnya pun ikut kagum melihat tandang singa tua itu. Namun sedetik kemudian kekaguman mereka berubah menjadi rasa heran, dan akhirnya berubah lagi menjadi rasa kejut luar biasa. Ketika ruyung baja Kim-say-kong-pian hampir mengenai tubuh Thian-liong Hiang-cu, tiba-tiba saja jurus yang begitu dahsyat itu berubah menjadi “Jinak” hanya karena kebasan lengan jubah Thian-liong Hiang-cu itu. Bahkan nampak Yo Hui-jiang terhuyung mundur beberapa langkah dengan muka pucat karena terkejutnya.
“Iblis Hwe-liong-pang, sambut jurusku yang kedua!” bentak Yo Hui-jiang lagi. Lalu tanpa kenal jera ia menerjang lagi ke depan, kali ini ia menggunakan jurus dahsyat pula, yaitu Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Membelah Hoa-san). Ruyung baja yang telah membuat namanya terkenal itu kini menggempur Thian-liong Hiang-cu bagaikan gugur gunung dahsyatnya.
Diluar dugaan siapapun, tiba-tiba Thian-liong Hiang-cu mengulurkan tangannya untuk menyambut hantaman ruyung itu dan mencengkeramnya. Secara perhitungan orang waras, tangan Thian-liong Hiang-cu yang hanya terdiri dari darah dan daging itu tidak akan mampu menahan gempuran ruyung baja itu, pastilah telapak tangannya akan remuk jika berani melakukannya.
Namun kenyataan yang berlangsung di depan mata memang sangat menakjubkan. Tenaga hantaman Kim-say-kong-pian yang begitu dahsyat itu bagaikan sebutir batu besar yang dicemplungkan ke kubangan lumpur pekat, amblas begitu saja. Dan hanya dengan sekali sentakan tangan, tahu-tahu ruyung baja itu sudah berpindah ke tangan Thian-liong Hiang-cu.
Terdengar Thian-liong Hiang-cu tertawa mengejek, lalu dengan kedua belah tangannya dia mematah-matahkan ruyung baja seberat enam puluh empat kati itu dengan enaknya, seperti seorang yang mematah-matahkan kayu kering saja! Ruyung itu patah menjadi tiga potong! Tidak peduli dari pihak Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang semuanya melongo melihat pameran kekuatan sehebat itu.
Setelah puas memamerkan ketinggian ilmunya, Thian-liong Hiang-cu lalu menjura memberi hormat kepada Tong Wi- hong dan berkata, “Selamat bertemu kembali, Tong Cong-piau-thau, inilah pertemuan kita yang kedua kali sejak di padang perdu Tay-beng itu. Maafkan aku yang datang dengan cara yang kurang sopan itu. Sesungguhnya kesalah-pahaman yang terjadi di ruang ini adalah diluar kehendakku. Aku tidak menduga kalau pengembalian kiriman itu telah membuat kedua pihak menjadi begitu panas, sehingga hampir saja baku hantam.”
“Bukankah memang begitu yang dikehendaki oleh Hwe-liong-pang dan sekutu-sekutunya?” sahut Wi-hong sinis. Diam-diam Wi-hong mengukur bahwa kekuatan pihak Tiong-gi Piau-hang dengan Kim-say Piau-hang tidak berselisih jauh. Pikir Wi-hong, “Meskipun pihak Kim-say Piau-hang akan dibantu oleh Thian-liong Hiang-cu, namun Wi-hong yakin bahwa hadirnya Rahib Hong-koan di tempat itu tentu akan banyak bermanfaat juga.
Thian-liong Hiang-cu menghadapi sikap dingin Tong Wi-hong itu dengan tenang-tenang saja. Kata tokoh Hwe-liong-pang itu, “Yang membegal barang-barang kawalan itu, tidak kami pungkiri, memang benar adalah anak buah kami yang termasuk dalam kelompok Kelompok Bendera Hijau, Merah, Hitam dan Coklat. Namun perbuatan menyeleweng mereka itu sama sekali diluar pengetahuan kami sebagai pimpinan. Dan begitu kami mengetahui perbuatan mereka, kami telah langsung menghukum orang-orang yang berbuat lancang itu. Kami pun berusaha mengembalikan barang-barang yang dirampas itu, dengan melalui Kim-say Piau-hang, tak terpikir oleh kami akan menimbulkan salah paham. Sekali lagi aku minta maaf kepada kedua Cong-piau-thau!”
Sikap demikian itu justru diluar dugaan baik orang-orang Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang. Tadinya mereka sudah bersiap sedia untuk bertarung mati-matian melawan Thian-liong Hiang-cu yang perkasa itu. Namun sikap Thian-liong Hiang-cu ternyata begitu hormat dan tahu aturan, hal mana justru membuat Wi-hong jadi serba salah dan bingung harus bersikap bagaimana?
Dalam kebingungannya itu, untunglah Wi-lian ikut pula bicara, “Thian-liong Hiang-cu, ucapanmu itu memang sangat manis kedengarannya, kau pikir segala persoalan yang ruwet ini hanya akan selesai dengan sepatah kata minta maaf saja? Bagaimana dengan beberapa orang piau-su Tiong-gi Piau-hang kami yang telah kehilangan nyawanya di ujung senjata orang-orangmu?”
Thian-liong Hiang-cu menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang, nampaknya dia sangat menyesal. Meskipun wajahnya tidak nampak karena tertutup sebuah topeng tengkorak, namun sinar matanya sama sekali tidak menyembunyikan rasa penyesalannya. Katanya, “sekali lagi kuakui itu memang kesalahan kami. Kami kurang ketat dalam mengawasi tingkah laku anak buah kami, sehingga mereka bertindak liar dan melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan dunia persilatan. Namun kami berjanji akan mengadakan pembersihan ke dalam tubuh perkumpulan kami sendiri, meskipun untuk itu barangkali kami akan kehilangan anggota cukup banyak.”
“Aku mengusulkan sebuah jalan keluar kepada Hiang-cu,” potong Wi-lian tiba-tiba.
“Katakanlah, nona.”
Sahut Wi-lian, “Serahkanlah kepada kami anggota-anggota Hwe-liong-pang yang telah membuat kerusuhan-kerusuhan itu, dan kami akan mengadili mereka dalam pertemuan besar kaum kesatria yang akan berlangsung di Siong-san, Ho-lam, pada bulan mendatang. Setelah itu bubarkan Hwe-liong-pang untuk meredakan keresahan umat persilatan. Aku yakin bahwa kaum ksatria yang berkumpul di Siong-san itu tentu tidak akan mengambil sikap yang sempit, mereka pasti akan bisa memaafkan bekas-bekas anggota Hwe-liong-pang yang tidak pernah berbuat kejahatan apapun.”
Terdengar suara tertawa dingin Thian-liong Hiang-cu dari balik topeng tengkoraknya yang seram itu, “Hemm, usulmu itu mustahil kami jalankan, nona Tong. Kau menganggap bahwa pimpinan Hwe-liong-pang sudah tidak punya wibawa lagi, sehingga untuk menghukum anak buahnya sendiripun harus diserahkan kepada orang lain? Apalagi usulmu untuk membubarkan Hwe-liong-pang, lebih-lebih tidak dapat kami terima, sebab hal itu sama saja dengan membubarkan cita-cita luhur yang sedang diperjuangkan oleh Pang-cu (Ketua) kami!”
“Jadi tegasnya Hwe-liong-pang akan tetap dalam keadaan seperti sekarang ini? Tetap menjadi kekuatan dan tempat berkumpulnya pengacau-pengacau dunia persilatan?” tanya Wi-lian sengit.
“Hal itu tidak akan terjadi lagi,” sahut Thian-liong Hiang-cu dengan mantap tanpa ragu-ragu. “Kami tidak akan ragu-ragu lagi menghukum mati atau mencacatkan badan dari setiap anggota Hwe-liong-pang yang menimbulkan kekacauan. Nona, aku menjamin hal ini. Aku adalah pimpinan nomor tiga di Hwe-liong-pang yang sangat berkepentingan dengan tercapainya tujuan perjuangan kami, karena itu aku lebih rela Hwe-liong-pang kehilangan sebagian anggotanya daripada kehilangan tujuan perjuangannya!”
Ucapan yang dikeluarkan dengan suara mantap dan lantang itu seketika membuat setiap pendengarnya jadi tertegun dan mau tidak mau harus mempercayainya. Tong Wi-hong lah yang pertama-tama menanggapi ucapan itu sambil memberi hormat kepada Thian-liong Hiang-cu, “Semoga Hiang-cu benar-benar memenuhi janji Hiang-cu itu sehingga dunia persilatan akan terhindar dari malapetaka yang mengerikan.”
Lalu Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang menyambung, “Tetapi masih ada satu soal yang harus dijelaskan oleh Thian-liong Hiang-cu. Yaitu, kenapa Hwe-liong-pang mengirimkan barang-barang Tiong-gi Piau-hang yang hilang itu dengan perantaraan perusahaan kami? Sehingga hampir saja terjadi kesalah-pahaman berdarah antara kami dan Tiong-gi Piau- hang? Harap Hiang-cu menjelaskannya.”
Jawab Thian-liong Hiang-cu, “Aku merasa bahwa pamor Hwe-liong-pang agak surut dengan kelakuan anak buah kami yang mirip perampok-perampok rakus itu. Karena kuatir akan menimbulkan kesalah-pahaman Hwe-liong-pang dan Tiong-gi Piau-hang semakin mendalam, maka kami terpaksa meminjam tangan Yo Cong-piau-thau untuk mengembalikan barang-barang itu kepada Tiong-gi Piau-hang, dengan harapan bahwa hubungan baik antara kedua Piau-hang kalian akan mencegah jangan sampai timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, ternyata perhitungan kami inipun meleset juga. Untuk itu kami pun minta maaf kepada Yo Cong-piau-thau, bahwa tindakanku ini ternyata sempat menimbulkan kerepotan bagi Cong-piau-thau.”
Memangnya antara Hwe-liong-pang dengan Kim-say Piau-hang belum pernah bentrok dalam urusan apapun, maka setelah Thian-liong Hiang-cu mohon maaf dengan cara yang begitu sungkan, Yo Hui-jiang pun membalasnya, “Kesalah-pahaman antara orang-orang yang berkecimpung di dunia persilatan memang sering terjadi, tetapi untunglah bahwa kali inipun belum sempat menimbulkan korban di kedua pihak.”
“Itulah sebabnya aku buru-buru mencegahnya,” kata Thian- liong Hiang-cu. “Kalau aku bermaksud buruk, maka akan kubiarkan saja kalian saling membunuh tak terkendali, bahkan akan kuanggap saja bentroknya kalian justru akan menguntungkan Hwe-liong-pang kami. Tetapi kami tidak ingin hal itu terjadi. Nama Hwe-liong-pang sudah cukup dinodai oleh pokal beberapa anggota kami, dan nama itu tidak boleh lebih ternoda lagi.”
Sikap yang sungguh-sungguh dan tulus dari Thian-liong Hiang-cu itu akhirnya termakan juga kepada orang-orang Tiong-gi Piau-hang yang tadinya bersitegang leher menuduh Kim-say Piau-hang bersekutu dengan Hwe-liong-pang itu. Maka Tong Wi-hong pun segera memberi hormat kepada Yo Hui-jiang dan meminta maaf,
“Yo Cong-piau-thau, maafkan sikap sembrono dari pihak kami tadi, yang menuduh pihak Kim-say Piau-hang dengan tuduhan yang bukan-bukan. Kini silakan Cong-piau-thau melanjutkan perjamuan ini sebagai tanda permintaan maaf kami.”
Sebenarnya Wi-hong juga ingin mempersilakan Thian-liong Hiang-cu untuk ikut serta dalam perjamuan, karena timbul kesan baiknya kepada tokoh Hwe-liong-pang itu, namun akhirnya Tong Wi-hong memutuskan untuk tidak mengundangnya. Betapapun juga Tong Wi-hong masih ingat bahwa Cian Sin-wi, dewa penolongnya yang dihormati dan juga calon mertuanya itu, telah binasa di tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Begitu pula dengan belasan orang piau-su cabang Kiang-leng. Betapapun kesan baiknya kepada Thian-liong Hiang-cu, namun suasana permusuhan dengan Hwe-liong-pang belum terhapus sama sekali.
Thian-liong Hiang-cu yang cukup tajam membaca sikap Tong Wi-hong itu pun agaknya cukup tahu diri. Maka ia segera memberi hormat bergantian kepada Yo Hui-jiang dan Tong Wi-hong lalu berkata, “Aku bersyukur bahwa kalian sudah berdamai kembali, sehingga Hwe-liong-pang tidak menanggung beban yang lebih berat lagi. Sekarang aku mohon pamit.” Begitu kata terakhir selesai diucapkan, tubuhnya telah “berhembus” bagaikan angin, dan dalam sekejap saja sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
“Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) yang luar biasa,” desis Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian. Dia sendiri memakai julukan “sin-eng” (Elang Sakti), menandakan bahwa dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup dapat dibuat kebanggaan. Namun setelah melihat cepatnya gerakan Thian-liong Hiang-cu tadi, Ho Po-jian jadi merasa bahwa tingkat ilmunya yang sekarang ini bagaikan mainan anak kecil saja di hadapan Thian-liong Hiang-cu itu.
Yo Hui-jiang juga ikut memuji, “Bukan cuma gerakannya yang cepat, bahkan tenaganya pun luar biasa. Ia mematah-matahkan ruyung bajaku seringan mematah-matahkan lidi saja.”
Tiba-tiba dari ruangan sebelah dalam terdengar suara yang menimbrung, “Kalian keliru. Meskipun siluman itu nampak hebat, namun yang digunakannya bukanlah ilmu sejati dari aliran lurus, melainkan ilmu sesat. Jika tadi kalian perhatikan lebih seksama, kalian akan melihat bahwa semua gerakannya tentu diselubungi dengan suasana gaib yang mencekam. Coba saja kalian perhatikan sinar matanya yang mengandung kekuatan aneh yang hampir tak terlawan itu.”
Menyusul itu, masuklah Rahib Hong-koan ke dalam ruangan itu. Sikapnya yang santai itu sudah tak terlihat lagi, digantikan dengan sikapnya yang bersungguh-sungguh. Suasana tegang yang hampir mengakibatkan berbaku hantamnya orang-orang Tiong-gi Piau-hang dengan Kim-say Piau-hang, kini telah mencair. Hua Yong-ceng telah memerintahkan orang-orangnya agar meja perjamuan dipindahkan ke ruangan depan, sebab keadaan ruang tengah sudah agak berantakan akibat keributan tadi.
Bahkan kini perjamuan bertambah ramai karena hadirnya Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio di tengah-tengah mereka. Yo Hui-jiang sangat mengagumi kebesaran nama rahib yang termasuk golongan “Sepuluh Tokoh Sakti” itu, maka pemimpin Kim-say Piau-hang itu memanggil Rahib Hong-koan dengan panggilan “Lo-cianpwe” (angkatan tua yang terhormat), meskipun usia Yo Hui-jiang sendiri adalah sepuluh tahun lebih tua dari Hong-koan Hwesio.
Begitu perjamuan berjalan lancar kembali, Tong Wi-hong lalu mengajukan pertanyaan kepada Rahib Hong-koan, “Pek-hu (uwak), tadi kau mengatakan bahwa yang digunakan Thian-liong Hiang-cu itu bukan ilmu sejati melainkan ilmu kaum sesat, dapatkah pek-hu menerangkan hal ini?”
Memangnya semua orang ingin tahu kelanjutan kata-kata Hong-koan Hwesio tadi, maka kini semua mata di sekeliling meja perjamuan telah ditujukan kepada rahib dekil itu. Jawaban yang bakal diberikan oleh rahib yang gemar mengembara itu pasti akan cukup menarik, dan merupakan tambahan pengetahuan yang berharga buat mereka.
Rahib yang biasanya senang bergurau itu, kini bersikap begitu sungguh-sungguh, bahkan kadang-kadang ia memejamkan matanya sekian lama, seolah-olah sedang berusaha mengingat-ingat suatu kisah yang lama terpendam dalam ingatannya. Akhirnya ia berkata,
“Aku tidak dapat menebak secara pasti dari manakah asal-usul perguruan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu. Aku hanya akan menceritakan suatu kisah, yang barangkali akan dapat menjadi bahan pertimbangan kalian untuk menebak asal usul tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu. Begini kisahnya. Aku pernah mengembara sampai ke pegunungan Himalaya yang berbatasan dengan negeri Thian-tiok (India), dan di situ aku bertemu dengan seorang fakir sakti dari India. Kami bertempur sampai ribuan jurus, tanpa ada yang kalah dan menang, bahkan kemudian kami saling mengagumi dan kemudian menjadi sahabat karib dan bahkan kami tukar menukar tanda mata...”
Selanjutnya;