Perserikatan Naga Api Jilid 25
TERLIHATLAH kepala Hwe-liong-pang-cu mengangguk sedikit, tanda bahwa dia sudah menangkap suara adiknya itu dan mengetahui maksudnya. Ia lalu berkata kepada Au-yang Siau-pa, “Permintaanmu kukabulkan. Kakak misanmu akan dikuburkan selayaknya, tetapi kau sendiri untuk sementara akan dikurung untuk mempertimbangkan hukuman apa untukmu.”
“Terima kasih atas kemurahan hati Pang-cu,” sahut Au-yang Siau-pa sambil menekuk lututnya. Kemudian dia tidak melawan sama sekali ketika para pengawal Hwe-liong-pang-cu melucuti senjatanya dan membawanya pergi dengan tangan terikat. Wajahnya nampak tenang-tenang saja seakan-akan sudah pasrah apapun yang akan dialaminya.
Dengan demikian Tong-cu dari Jing-ki-tong sudah dianggap selesai mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya di kota Tay-beng. Tentang orang-orang Jing-ki-tong yang terlibat itu, akan diselesaikan kemudian, misalnya Song Kim dan Han Toan.
Kemudian terdengarlah Hwe-liong-pang-cu berkata lagi dengan suaranya yang dingin, “sekarang aku minta pertanggungan-jawab Hek-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) tentang peristiwa pembantaian lebih dari dua ratus jiwa yang tak bersalah anggota perguruan Sin-hou-bun (Perguruan Harimau Sakti) di Kwi-tang!”
Lamkiong Hok insyaf bahwa hari itu dia tidak bisa lolos lagi tapi dia tidak ingin mengalami nasib seperti Au-yang Siau-hui yang membunuh diri atau Au-yang Siau-pa yang telah menjadi tawanan. Dia juga sudah melihat contoh bahwa tidak ada gunanya menggantungkan diri kepada Tang Kiau-po atau Sebun Say, sebab mereka tidak bakal membelanya. Maka Lamkiong Hok menjadi nekad. Bukan saja dia tidak menjawab pertanyaan Ketuanya itu, dia justru melompat maju sambil berteriak kepada Ko Ce-yang dan Mo Hui,
“Saudara Ko dan Saudara Mo, apakah kita akan rela diringkus seperti pengecut she Auyang itu? Daripada kita mati konyol, marilah kita pertahankan hidup kita secara laki-laki dengan senjata kita!”
Ternyata jalan pikiran Mo Hui dan Ko Ce-yang juga sama dengan rekannya dari Hek-ki-tong itu. Mereka melihat sendiri bagaimana Te-liong Hiang-cu, Tang Kiau-po dan Sebun Say acuh tak acuh saja terhadap nasib malang yang menimpa Au-yang Siau-hui. Jelas Te-liong Hiang-cu dan lain-lainnya itu lebih suka mengorbankan seluruh anggota komplotannya daripada membahayakan diri mereka sendiri. Karena itu Mo Hui, Ko Ce-yang dan Lamkiong Hok-pun menjadi nekad seperti binatang buas yang sudah terpojok. Mereka sadar bahwa nasib mereka tergantung kepada diri mereka sendiri.
Serentak Mo Hui dan Ko Ce-yang juga meloncat berdiri dan berdampingan dengan Lamkiong Hok dengan muka yang tegang. Sementara itu Lamkiong Hok telah berseru pula, “Saudara-saudara dari Jai-ki-tong, Hek-ki-tong, Jing-ki-tong dan Ang-ki-tong, jika kalian tidak ingin dibantai mentah-mentah, sekarang juga cabut senjata kalian dan bergabung dengan kami!”
Kata-kata Lamkiong Hok itu ternyata punya pengaruh yang kuat bagi anggota-anggota yang merasa mempunyai kesalahan tetapi takut untuk menerima hukuman, dan lebih suka melawan. Serentak orang-orang jenis inipun bangkit menghunus senjatanya dan berdiri di belakang Lamkiong Hok, jumlah mereka mencapai hampir lima ratus orang lebih, diantaranya termasuk pula Song Kim, Han Toan dan sisa-sisa dari orang yang pernah menamakan diri Lam-gak-su-koay (Empat Siluman dari Gunung Selatan).
Tetapi ternyata tidak semua anggota Jing, Hek, Ang, dan Jai- ki-tong terlibat dalam komplotan itu. Tidak sedikit diantara mereka yang justru berpihak kepada Hwe-liong-pang-cu.
Melihat peristiwa itu, meluaplah murka Hwe-liong-pang-cu. Teriaknya dengan suara yang seram menggidikkan bulu roma, “Bagus! Kini sudah nyata kulihat siapa penyeleweng-penyeleweng yang patut dibasmi dari tubuh Hwe-liong-pang! Jika aku tidak berhasil membersihkan kalian hari ini, aku malu sebagai manusia!”
Sementara itu suasana di dalam lembah itu sudah mulai ribut. Sekian ribu manusia berseragam hitam itu dengan cepatnya telah “terbelah” menjadi dua bagian besar yang saling berhadapan dengan senjata terhunus. Bagian yang memihak Lamkiong Hok terutama terdiri dari para penjahat atau orang-orang tamak yang masuk Hwe-liong-pang hanya sekedar untuk mendapat pernaungan yang aman dari musuh-musuh mereka.
Sedang sebagian lain adalah orang-orang yang ingin benar-benar berjuang mendobrak kebobrokan Kerajaan Beng dengan melalui Hwe-liong-pang, mereka adalah orang-orang yang selama ini merasa hatinya sakit melihat nama Hwe-liong-pang dinodai oleh anggota-anggota yang tidak bertanggung-jawab. Kelompok ini dipimpin oleh Oh Yun-kim, In Yong, Lu Siong dan Kwa Heng.
Alangkah marah dan pedihnya hati Hwe-liong-pang-cu ketika melihat kenyataan ini. Namun dia memang sudah bertekad untuk mempertahankan kemurnian garis perjuangannya, bahkan dengan pengorbanan akan kehilangan sebagian dari kekuatannya. Dalam pedihnya, dia menoleh ke arah Te-liong Hiang-cu sambil menggeram, “Inilah rupanya hasil kerjamu selama ini. Kau benar-benar tega menohok kawan seiring dan menggunting dalam lipatan.”
Te-liong Hiang-cu akhirnya merasa tidak ada gunanya berpura-pura lagi, agaknya semua perbuatannya diketahui oleh Ketuanya itu. Tiba-tiba saja Te-liong Hiang-cu berteriak marah dan melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke dada Hwe-liong-pang-cu. Rupanya ia bermaksud mengambil keuntungan dari suatu gebrakan pertama yang mendadak.
Namun maksud Te-liong Hiang-cu itu gagal, sebab Hwe-liong-pang-cu berhasil menghindarinya, bahkan kemarahannya semakin berkobar setelah melihat pemberontakan secara terang-terangan itu. Dalam murkanya, Hwe-liong-pang-cu berteriak menjatuhkan perintahnya, “Tumpas habis semua pemberontak!”
Jatuhnya perintah itu bagaikan sumbu peledak yang dinyalakan, segera disambut dengan meledaknya gemuruh sorak-sorai ribuan orang, disusul dengan gemerincingnya senjata di seluruh lembah. Ribuan manusia segera bertarung hebat untuk mempertahankan pendirian kelompoknya masing-masing. Sementara itu antara Hwe-liong-pang-cu dan Te-liong Hiang-cu juga telah saling gebrak dan beberapa kali bertukar serangan dahsyat.
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po serta Sebun Say yang juga termasuk dalam komplotan Te-liong Hiang-cu, ketika melihat perkembangan keadaan itupun segera ikut menentukan sikap. Secara licik tiba-tiba Sebun Say menyergap Rahib Hong-goan dari arah punggung, gerakan yang digunakannya adalah Yalong-tiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit). Sabitnya yang berwarna keungu-unguan karena direndam racun itu digerakkan langsung untuk merobek punggung Rahib Hong-goan.
Namun meskipun rahib itu membelakangi bekas rekannya itu, sebenarnyalah dia tidak pernah kehilangan kewaspadaannya terhadap rekannya yang dikenalnya sangat licik itu. Begitu mendengar desir angin keras di belakang punggungnya, rahib itu tertawa dingin dan berseru, “Inilah kesempatan yang kunantikan sejak dulu!”
Cepat Hong-goan Hweshio membalikkan badan sambil menyodokkan ujung Hong-pian-jan (Toya Berujung Bulan Sabit) itu ke dada Sebun Say dengan gerakan Ci-kui-keng-sin (Hantu Menangis Malaikat Terkejut). Hong-pian-jan si rahib lebih panjang dari sabit Sebun Say, maka kalau keduanya menyerang bersamaan Hong-pian-jan akan sampai lebih dulu ke sasarannya. Untunglah Sebun Say dengan tangkas berhasil menggeser luncuran kakinya dan menekuk tubuhnya ke belakang, sehingga terhindarlah dadanya dari terobek oleh senjata Rahib Hong-goan.
Begitu Sebun Say tertahan, lawannya lah yang kemudian mendesak maju. Tanpa mengganti napas, Rahib Hong-goan meneruskan gerakan senjatanya dengan senjatanya dengan jurus Hui-in-kilo (Awan Terbang Naik Turun), toyanya bagaikan terpecah menyerang bagian atas, tengah dan bawah tubuh lawannya secara gencar. Sebun Say kembali dipaksa untuk surut tiga langkah ke belakang.
Namun si cebol dari Jing-hay itupun bukan sembarang tokoh persilatan, kepandaian dan pengalaman tempurnya cukup dapat diandalkan untuk berganti kedudukan dari bertahan menjadi menyerang. Begitu melihat Rahib Hong-goan berganti napas untuk melanjutkan serangan berikutnya, Sebun Say telah mengambil kesempatan itu untuk menyerang lagi dengan gerakan Jian-san-lok-hio (Daun Rontok di Seribu Gunung).
Sabitnya yang berlumuran racun itu kali ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang sabit yang serempak menghujani lawannya. Kali ini Rahib Hong-goan lah yang disudutkan dalam keadaan bertahan, bahkan kemudian Hong-pian-jan-nya kena terkait oleh sabit Sebun Say.
“Lepaskan senjatanmu sekarang!” teriak Sebun Say kegirangan sekuat tenaganya ia memutar sabitnya dan berusaha untuk merampas senjata lawannya.
Sebenarnya sepasang tangan Rahib Hong-goan cukup kokoh untuk mempertahankan toyanya dari tarikan lawan, tetapi rupanya rahib ini punya perhitungan lain. Pura-pura ia tertarik ke depan sehingga tubuhnya doyong, bahkan kemudian membiarkan toyanya lepas terkait lawan. Tetapi berbareng dengan lepasnya toya itu, sepasang ujung jubah si rahib yang longgar itu segera menyabet ke sepasang mata Sebun Say dengan gerakan bagaikan hidup. Gerakannya mirip jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Memperebutkan Mustika), hanya saja tidak menggunakan jari-jari tangan tetapi dengan ujung baju. Itulah ilmu Tiat-siu-sin-kang yang telah mencapai tingkat tinggi.
Gerak tipu Hong-goan Hweshio itu memang diluar dugaan, terpaksa Sebun Say melompat mundur dan membatalkan niatnya untuk merampas senjata lawan. Sedangkan Rahib Hong-goan dengan gerakan yang lincah telah berhasil merebut kembali senjatanya.
Begitulah, dalam waktu yang singkat dua orang yang sama- sama menjabat Su-cia dalam Hwe-liong-pang itu telah saling gebrak sengit sekali. Selama ini mereka memang sudah saling tidak menyenangi satu sama lain, tapi baru kinilah mereka mendapat kesempatan untuk menumpahkan rasa permusuhannya secara terbuka. Keduanya juga sama-sama merupakan orang-orang dari suku Hui, sebuah suku padang pasir yang berdarah panas, maka tidak mengherankan kalau pertempuran antara kedua orang itu segera meningkat semakin seru.
Sebun Say dengan senjata beracunnya bergerak ringan memutari lawannya, menyambar-nyambar seperti sesosok hantu yang buas dengan intaian mautnya. Sedangkan Rahib Hong-goan memang tidak selincah dan secepat lawannya, namun tenaganya benar-benar luar biasa. Pertahanannya kokoh bagaikan bukit karang, sedang serangan-serangannya membawa tenaga kekuatan bagaikan gunung runtuh, sehingga Sebun Say pun tidak pernah berani membenturkan secara keras lawan keras.
Di bagian tengah panggung, berlangsung suatu pertempuran lain yang jauh lebih dahsyat daripada pertempuran antara Rahib Hong-goan melawan Sebun Say itu. Di sinilah dua orang yang kedudukannya paling tinggi dalam Hwe-liong-pang, yaitu Hwe-liong-pang-cu dan Te-liong Hiang-cu bertempur dengan penuh kebencian hebat. Satu sama lain bukan hanya saling ingin mengalahkan, tetapi bahkan kalau bisa mencincang lawannya sampai hancur berkeping-keping.
Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang merasa sangat marah dan kecewa, karena seorang sahabat lamanya yang sangat dipercayanya sejak masa remajanya di An-yang-shia ternyata sampai hati membentuk komplotan yang hendak menggulingkan kedudukannya. Sedang Te-liong Hiang-cu yang bukan lain dari Tan Goan-ciau itu juga sangat marah dan putus asa, karena rencananya yang sudah tersusun rapi untuk menggantikan kedudukan Tong Wi-siang sebagai Hwe-liong-pang-cu itu ternyata kini telah gagal berantakan.
Pertarungan antara kedua bekas sahabat dari An-yang-shia itu ternyata tidak mirip pertarungan antara dua orang manusia, melainkan lebih mirip perkelahian antara dua ekor siluman iblis. Gerakan mereka selalu menimbulkan angin yang kencang luar biasa namun bukan karena tenaga dalam yang tinggi, tapi disebabkan oleh kekuatan gaib yang menyertai mereka sehingga angin itupun terasa tidak wajar.
Sementara sorot mata mereka pun berubah menjadi kehijau-hijauan seperti mata kucing di malam hari, dan sayup-sayup terdengarlah mulut mereka melagukan mantera-mantera yang aneh bahasanya dan seram kedengarannya. Jelaslah kedua orang itu bukan hanya mengadu ilmu silat biasa, tetapi juga mengadu ilmu hitam dan ilmu beracun mereka!
“Mengerikan sekali,” desis Wi-hong yang menyaksikan perkelahian antara kedua orang itu. “Itulah sebabnya kenapa banyak tokoh seperti Tang Kiau-po dan Sebun Say sampai dapat ditundukkan oleh A-siang, karena ilmu-ilmu hitam seperti ini memang tidak bisa ditandingi dengan ilmu silat melulu.”
Sahut Wi-lian dengan wajah yang agak murung, “Ya, dugaan bahwa A-siang telah berhasil menemukan kitab peninggalan Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) ternyata menjadi kenyataan. Semoga A-siang belum terlalu jauh terjerumus ke dalam pemahaman ilmu-ilmu terkutuk itu.”
Dalam pada itu, antara Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dengan Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Bertangan Seribu) Ling Thian-ki juga telah berlangsung suatu pertempuran hidup mati. Tang Kiau-po nampak ganas dan beringas sekali dengan tongkat besinya yang berbentuk ular itu. Mula-mula Ling Thian-ki mencoba melayaninya hanya dengan tangan kosong saja, namun karena ia terdesak terus, akhirnya Ling Thian-ki mengeluarkan senjatanya berupa sepasang cundrik pendek yang dimainkannya dengan cepat dan lincah sekali. Kecepatannya itulah agaknya yang membuahkan julukan “Seribu Tangan” bagi dirinya. Dengan kecepatan dan kelincahannya itu barulah ia dapat menandingi raja golongan hitam wilayah timur itu.
Dalam pada itu, pertempuran besar antara pengikut setia Hwe-liong-pang-cu melawan pengikut Te-liong Hiang-cu yang putus asa itupun telah meluas ke seluruh lembah Jian-hoa-kok. Para pengikut Te-liong Hiang-cu itu berkelahi bukan karena mempertahankan cita-citanya, melainkan hanya demi menyelamatkan hidupnya dari hukuman. Karena mereka merasa bahwa kesalahan mereka tidak mungkin lagi diampuni, maka mereka pun bertempur dengan buas dan kalapnya, seperti binatang liar yang meronta-ronta setelah berada di dalam perangkap.
Sebaliknya para pengikut setia Hwe-liong-pang-cu juga bertempur dengan penuh semangat. Mereka kini mendapat kesempatan untuk melampiaskan kekesalan mereka terhadap orang-orang yang selama ini telah menodai garis perjuangan Hwe-liong-pang. Dengan semangat berkobar antara kedua pihak, maka tak pelak lagi pertempuran di lembah Jian-hoa-kok itu merupakan suatu pertempuran yang dahsyat, perang saudara yang mengerikan, udara lembah bagaikan menjadi kotor oleh nafsu membunuh yang berlebihan.
Tubuh-tubuh yang berlumuran darah bergelimpangan di mana-mana, pekik kematian dan bentakan-bentakan kemarahan berkumandang di segala sudut lembah itu, bercampur aduk dengan dentang senjata yang saling diadu. Lembah Seribu Bunga yang indah itu kini patut berganti nama menjadi Lembah Seribu Mayat.
Dalam hiruk-pikuknya pembantaian antar anggota Hwe-liong- pang itu, Lamkiong Hok yang licik itu diam-diam menggunakan kesempatan untuk menyusup ke tengah-tengah orang banyak dan berusaha untuk melarikan diri. Tujuannya menghasut rekan-rekan sekomplotannya untuk bertempur tadi, rupanya hanya sebagai siasat agar timbul kekacauan dan dia akan punya kesempatan untuk lolos dari lembah Jian-hoa-kok itu.
Namun pemimpin Hek-ki-tong ini tak menyadari bahwa gerak-geriknya terus diawasi oleh Oh Yun-kim yang juga berada di tengah-tengah medan yang kisruh itu. Ketika Lamkiong Hok hampir saja mencapai mulut lembah, Oh Yun-kim tanpa banyak bicara lagi langsung melompat dan menyerang dengan tendangan Hui-hou-tui (Tendangan Harimau Terbang) yang secepat kilat.
Lamkiong Hok terkejut oleh serangan mendadak itu. Tapi dalam gugupnya dia masih sempat melakukan gerakan Hong-hong-tiam-thau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) sehingga tendangan Oh Yun-kim hanya berdesis di atas kepalanya. Bahkan dengan cepatnya ia membalas menggunakan pedangnya untuk menusuk ke atas dengan gerakan Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Obor Membakar Langit).
“Korea gila, kubuat mampus tanpa kubur kau hari ini!” teriaknya penuh dendam kebencian.
Namun di tengah udara Oh Yun-kim dapat membuat gerakan jungkir-balik yang lincah sehingga tusukan Lamkiong Hok itu hanya mengenai tempat kosong. Lamkiong Hok yang tengah marah itu cepat memburu lawannya dan melancarkan Lian-cu-sam-kai (Tusukan Tiga Berantai). Oh Yun-kim adalah seorang ahli tendangan yang hebat, sehingga ia mendapat gelar Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan).
Melihat jurus serangan Lamkiong Hok itu, cepat Oh Yun-kim mundur dua langkah untuk menghindari dua tusukan pendahuluan, dan ketika Lamkiong Hok melakukan tusukan yang ketiga, Oh Yun-kim telah menyambutnya dengan gerakan Pay-lian-ka, yaitu kakinya berputar dan menyapu ke atas. Seketika itu juga tangan Lamkiong Hok yang memegang pedang itu tertendang ke samping, meskipun pedangnya tidak sampai lepas namun cukup membuat pegal juga.
Si Tendangan Tanpa Bayangan itu tidak pernah melewatkan kesempatan baiknya, maka gerakan Pai-lian-ka itu langsung disambungnya dengan gerakan-gerakan berturut-turut Ce-bi- kiak (Tendangan Setinggi Alis) lalu Coan-sin-teng-kak (Menendang Sambil Memutar Tubuh). Lamkiong Hok menjadi kerepotan dan tidak dapat menggunakan pedangnya dengan baik, sebab Oh Yun-kim terus mendesaknya dalam suatu pertarungan berjarak pendek.
Dalam geramnya, Lamkiong Hok nekad juga melakukan gerakan Wan-kiong-sia-tiau (Merentang Busur Memanah Rajawali), meskipun sebenarnya jaraknya dengan lawan kurang menguntungkan untuk jurus itu. Cepat sekali Oh Yun-kim menundukkan kepalanya dan menggunakan tangannya untuk menepis lengan lawan yang memegang pedang, lalu membalas dengan gerakan Kau-tui-hoan-tui (menekuk lutut menendang ke belakang), yaitu memutar tubuh dan melakukan tendangan rendah ke perut lawan. Ternyata tendangan ini cukup telak mendarat di perut Lamkiong Hok sehingga membuat pemimpin Hek-ki-tong ini roboh dengan perut mulas.
“Saudara Lamkiong, menyerahlah,” kata Oh Yun-kim.
“Persetan kau, Korea keparat, aku hanya akan menyerah jika tubuhku sudah tidak bernyawa lagi!” bentak Lamkiong Hok sambil melompat bangun.
Sebenarnya tingkat kepandaian antara Lamkiong Hok dan Oh Yun-kim dapatlah dikatakan cukup seimbang. Dengan kecepatan tendangannya, Oh Yun-kim sampai mendapat julukan Bu-ing-tui (si tendangan Tanpa bayangan). Tetapi kecepatan pedang Lamkiong Hok juga bukan main, sebab diapun punya julukan yang agak mirip dengan julukan Oh Yun-kim, yaitu Jit-ing-kiam (Pedang Tujuh Bayangan). Tetapi kali ini Lamkiong Hok sampai bisa didesak oleh Oh Yun-kim adalah karena hatinya yang sedang gugup, sehingga permainan pedanngya terpengaruh karenanya. Kini setelah Lamkiong Hok bangkit kembali, sikapnya pun menjadi lebih berhati-hati.
Di sudut lain, terlihatlah pula Jian-kin-sin-kun (tinju malaikat seribu kati) Lu Siong juga sedang bergebrak sengit melawan Tui-hui-mo-kay (pengemis iblis pemburu nyawa) Ko Ce-yang. Nampak pula In Yong yang berjulukan Hong-lui-siant-to (sepasang golok angin dan petir) itu juga telah berhadapan dengan Mo Hui, si Serigala Gila.
Begitulah keadaan di Lembah Jian-hoa-kok itu. Tong-cu berhadapan dengan Tong-cu, Hu-tong-cu berhadapan dengan Hu-tong-cu, anggota biasa berhadapan dengan anggota biasa. Mereka yang bertempur itu pernah bernaung di bawah satu bendera yang sama pernah pula berjuang satu cita-cita yang sama, namun kemudian sebagian telah menyeleweng dan sebagian yang lainnya berusaha membersihkan kembali cita-cita perjuangan yang telah dianggap telah ternoda itu, Hwe-liong-pang kekuatan raksasa yang menakutkan dalam dunia persilatan itu kini terancam runtuh dari dalam!
Tong Wi-hong dan kawan-kawannya menyaksikan “perang saudara” besar-besaran itu dengan hati yang tegang. Kelihatanlah bahwa pihak yang mendukung dan tetap setia kepada Hwe-liong-pang-cu masih tetap lebih banyak, namun karena pengikut Te-liong Hiang-cu juga tidak sedikit, maka agaknya akan diperlukan suatu waktu yang lama untuk menumpas para pembangkang itu. Pertempuran pasti akan berlarut-larut dan memakan korban yang banyak di kedua belah pihak.
Sementara itu Thian-liong Hiang-cu serta Kim-liong Hiang-cu, masih berdiri di atas panggung dan sedang menebarkan pandangan matanya ke seluruh lembah, untuk mengamati jalannya pertempuran itu. Beberapa kali mereka nampak menarik napas.
Sedangkan Wi-hong yang merasa ingin membantu kakaknya itu, lalu berseru kepada Hwe-liong-pang-cu yang tengah bertempur itu, “Pang-cu, ijinkan kami ikut terjun ke medan laga untuk mempercepat menyelesaikan perselisihan ini!”
Meskipun dalam keadaan tegang, namun Wi-hong masih tetap memperhatikan kewibawaan kakaknya di hadapan anak buahnya, sehingga ia tetap saja memanggilnya dengan sebutan resmi “Pang-cu” dan bukan panggilan akrab “A-siang” seperti biasanya.
Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang pun tidak lagi menolak maksud baik adiknya serta kawan-kawannya itu, maka sahutnya, “Baik, tetapi hati-hatilah. Kalian berenam jangan berpencar-pencar dan tetap dalam satu rombongan!”
“Baiklah,” kata Wi-hong menyanggupi pesan kakaknya itu. Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata, “Bersiap-siaplah. Kita akan terjun ke kancah dan bertempur di pihak Hwe-liong-pang-cu.”
Cian Ping telah bersiap dengan sepasang hau-thau-kau nya, dengan suara penuh dendam ia berkata, “kebetulan si murid pengkhianat Song Kim itu termasuk orang-orangnya Te-liong Hiang-cu. Sambil membantu Hwe-liong-pang-cu aku juga akan punya kesempatan untuk melampiaskan sakit hati terbunuhnya ayahku yang telah dikhianatinya.”
Wi-hong memaklumi bahwa dendam yang membara di hati kekasihnya itu memerlukan penyaluran keluar, agar gadis itu terlepas dari beban hatinya selama ini. Karena itu ia pun langsung menyetujui bahwa pertama-tama mereka akan mencari Song Kim dulu di tengah hiruk-pikuknya pertempuran hebat itu.
Dari atas panggung, lebih dulu mereka menebarkan mata ke segenap penjuru untuk mencari di manakah gerangan Song Kim, dan akhirnya nampak bahwa Song Kim berada di sebelah selatan panggung itu. Ia sedang bertempur dengan seorang anak muda yang berwajah kekanak-kanakan, namun mampu memainkan senjata Jit-goat-siang-lun (sepasang Roda Matahari dan Rembulan) dengan dahsyat dan gencarnya. Nampak benar bahwa Song Kim dengan tombaknya yang panjang dan berat itu keripuhan sekali.
Dari atas panggung, Wi-hong mengenal bahwa anak muda yang bersenjata Jit-goat-siang-lun itu adalah anggota Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang pernah dilihatnya bersama-sama dengan In Yong di tempat penyeberangan perahu di tepi sungai Tiang-kang. Anak muda itu pulalah yang nampak berang ketika mendengar Wi-hong menceritakan tentang kejahatan-kejahatan orang-orang Hwe-liong-pang.
Tidak jauh dari Song Kim, Han Toan dipaksa memeras keringat habis-habisan karena lawannya adalah Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning), yaitu Siang-po-kay-san Ji Tiat, si Sepasang Kampak Pembuka Gunung, yang perkasa itu.
Wi-lian pernah berkelahi dengan Ji Tiat ini, yaitu ketika ia membela Hong-ho-sam-hiong di kota Kay-hong. Namun Wi-lian punya kesan baik terhadap Ui-ki-hu-tong-cu ini. Sebaliknya terhadap Han Toan, Wi-lian punya kesan yang buruk, sebab orang itu telah ikut menculik Cian Ping di kota Tay-beng dulu.
“Song Kim di sana!” seru Wi-hong sambil menunjuk ke tempat Song Kim. “Hayo kita terjang ke sana. Tetap dalam satu barisan dan jangan berpencaran.”
Keenam orang muda itupun segera melompat turun dari panggung dan menerjang kerumunan manusia yang tengah saling membunuh itu. Seperti diketahui, kepandaian Wi-hong maupun Wi-lian ada di atas rata-rata Tong-cu Hwe-liong-pang, dan hanya setingkat di bawah kepandaian para Su-cia. Begitu pula kepandaian para Su-cia Ting Bun, Cian Ping serta dua saudara So juga tidak lemah, andaikata mereka menjadi anggota Hwe-liong-pang, mungkin paling tidak mereka akan menjabat setingkat dengan Hu-tong-cu.
Karena itu, begitu keenam orang ini terjun ke gelanggang, mereka bagaikan sebuah pisau yang menyuruk di tengah-tengah segumpal tahu saja. Atas anjuran Wi-hong mereka tidak sembarangan melukai anggota Hwe-liong-pang, sebab mereka tidak tahu manakah orang Hwe-liong-pang yang berpihak kepada Hwe- liong-pang-cu dan mana yang berpihak kepada Te-liong Hiang-cu. Namun mereka hanya membela diri apabila ada senjata yang menyelonong ke tubuh mereka.
Dalam pada itu, Song Kim yang merasa bahwa ilmu silatnya sudah cukup mengalami kemajuan karena hasil bimbingan guru barunya, yaitu Ang-mo-coa-ong, sekarang benar-benar merasa kecewa. Dia bagaikan membentur tembok, lawannya kali ini adalah Lam-ki-hu-tong-cu yang bernama Ma Hiong dan berjulukan Siau-lo-cia (Lo-cia kecil).
Meskipun wajah Ma Hiong masih seperti wajah kanak-kanak usia belasan tahun, ternyata permainan sepasang rodanya begitu hebat, sehingga Song Kim hanya bisa bertahan dan tidak bisa menyerang. Bertahan itupun dilakukannya dengan susah- payah. Sebenarnya Song Kim mengharapkan bantuan Han Toan yang tidak jauh dari padanya. Namun, Han Toan sendiri sedang sulit mempertahankan diri sendiri dari amukan sepasang kampak pendek Ji Tiat, tentu saja tidak bisa membantunya.
Dan semangat Song Kim semakin berantakan ketika melihat Tong Wi-hong dan lima orang kawannya tengah mendekati ke arahnya, apalagi ketika Song Kim melihat wajah Cian Ping yang membara penuh dendam kesumat itu. Mata Song Kim mulai celingukan kian-kemari, mencari jalan yang aman untuk melarikan diri.
Siau-lo-cia Ma Hiong tertawa dingin melihat tingkah lawannya itu, ejeknya, “Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri bagi setiap pengkhianat yang telah menodai Hwe-liong-pang!”
Song Kim menjadi semakin gugup, sementara gempuran-gempuran lawannya setiap saat terasa bertambah berat. Karena lengah, suatu ketika Ma Hiong berhasil mengait dan menjepit tombak Song Kim dengan gerigi pada Jit-lun (Roda Matahari) di tangan kanannya, lalu ia susulkan sebuah hantaman Goat-lun (Roda Rembulan) ke ubun-ubunnya.
Meskipun tampang Ma Hiong masih kekanak-kanakan, namun dalam segala tindakannya ternyata ia cukup tegas dan tidak ragu-ragu sedikitpun, maka nampaknya sebentar lagi batok kepala Song Kim akan pecah berantakan dan otaknya pun akan terburai keluar. Namun dalam gugupnya Song Kim masih sempat melepaskan tombaknya dan menggulingkan diri untuk menjauhi lawannya yang garang itu.
Tetapi begitu Song Kim melompat berdiri kembali, terdengarlah bentakan dingin dari seorang gadis di dekatnya, “Murid durhaka yang tidak tahu membalas budi, kini adalah saat kematianmu!”
Punggung Song Kim langsung saja dialiri keringat dingin setelah melihat siapa yang berdiri dihadapannya kini. Dulu Song Kim pernah sangat mengagumi wajah cantik itu, dan bahkan mendambakan untuk memilikinya. Tetapi kini wajah Cian Ping yang berapi-api dan dengan senjata tergenggam di tangannya, tidak kurang mengerikannya dari wajah sesosok malaikat elmaut yang siap menjemput nyawanya.
“Su-moay, harap kau mengingat hubungan baik kita yang dulu...” seru Song Kim setengah meratap, mukanya menjadi pucat.
Sebenarnya, dalam keadaan biasa Song Kim pasti akan sanggup mengalahkan puteri bekas gurunya itu, namun saat itu keadaan Song Kim lain dari biasanya. Selain karena hatinya dibebani perasaan bersalah, juga karena orang-orang yang datang bersama dengan Cian Ping itu adalah orang-orang yang paling ditakutinya. Di situ nampak pula Tong Wi-hong yang sangat ditakuti tapi juga sangat dibenci oleh Song Kim itu.
Nampak pula Tong Wi-lian, macan betina Siau-lim-pay, yang dengan sendirian saja berhasil membunuh sepasang penjahat dari Shoa-tong, serta mengalahkan Mo Hui di luar kota Kiang-leng itu. Masih ada pula Ting Bun dan dua saudara So serta Ma Hiong yang kini telah berdiri melingkari Song Kim. Kini Song Kim benar-benar seperti seekor binatang buruan yang terperangkap dalam jerat para pemburu.
Cian Ping tertawa dingin ketika melihat Song Kim meratap mohon ampun seperti itu. Ejeknya lagi, “Bangsat berjantung anjing, ke manakah gerangan semua keberanian dan kegaranganmu yang selama ini kau pamer-pamerkan? Kau bicara pula tentang hubungan baik masa lalu, tetapi ketika kau membawa kawan-kawanmu untuk meluruk membunuh ayahku, apakah kau juga ingat akan budi yang dilimpahkan oleh ayahku kepadamu?”
“Bu... bukan aku yang membunuh ayahmu....”
“Pengecut!” bentak Cian Ping dengan muak. Dengan penuh kemarahan segera gadis itu menerjang dengan sepasang hau-thau-kau nya.
Terpaksa Song Kim yang tidak ingin mati konyol itu harus melakukan perlawanan, meskipun tombaknya sudah lepas dari tangannya, tapi ternyata ia punya ilmu tangan kosong yang lumayan juga. Demikianlah, di tengah hiruk-pikuknya baku-hantam antara orang-orang Hwe-liong-pang yang berbeda pendirian, terjadi pula pertarungan sengit yang tidak ada hubungannya dengan urusan Hwe-liong-pang melainkan semata-mata karena urusan pribadi.
Siau-lo-cia Ma Hiong yang telah kehilangan lawan karena digantikan oleh Cian Ping itu, tidak ingin menganggur saja. Maka sambil memutarkan sepasang roda bajanya, ia menerjang ke arah para pengikut Te-liong Hiang-cu dan mengamuk hebat. Anggota-anggota biasa yang sudah kenal kehebatan Lam-ki-hu-tong-cu ini lebih suka menyingkir daripada menjadi korban Jit-goat-siang- lun nya. Namun akhirnya Ma Hiong pun menemukan lawan yang seimbang, yaitu Jai-ki-hu-tong- cu (Wakil Pemimpin Kelompok Bendera Cokelat) yang bernama Lo Tong- bun.
Di sebelah lain, pertarungan antara Ji Tiat dengan Han Toan sudah mendekati penyelesaiannya. Han Toan telah merasa pegal-pegal seluruh tangannya, karena dengan toyanya dia dipaksa terus-menerus menangkis sepasang kampak Ji Tiat yang digerakkan dengan tenaga raksasa itu. Toya perunggunya yang selama ini dibanggakan sebagai senjata andalannya, kini sudah tidak keruan lagi bentuknya, bengkok sana bengkok sini karena berpuluh-puluh kali diadu dengan kampak Ji Tiat.
Beberapa saat kemudian, Han Toan merasa tidak ada gunanya melawan terus. Maka akhirnya dia melompat mundur sambil menjatuhkan toyanya, dan berseru, “Ji Toako, harap kau mengingat bahwa kita pernah satu perjuangan. Ampunilah jiwaku!”
Ji Tiat memang bukan seorang pembunuh haus darah yang ganas. Melihat Han Toan telah menyerah, diapun menghentikan serangannya, lalu Han Toan diserahkan kepada beberapa orang anak buahnya untuk diborgol dan dikurung untuk menunggu hukuman.
Setelah pertempuran sengit di tengah lembah Jian-hoa-kok itu berjalan setengah harian lebih, kelihatan semakin jelas bahwa kedudukan para pengikut Te-liong Hiang-cu ternyata semakin jauh berada di bawah angin. Banyak di antara mereka yang terbunuh, tertawan, menyerah, atau berhasil melarikan diri keluar dari lembah itu. Yang masih gigih bertahan di dalam lembah itu sudah tidak seberapa lagi jumlahnya, mereka lah orang-orang nekad yang telah terbius oleh mimpi indah yang pernah dijanjikan oleh Te-liong Hiang-cu!
Namun demikian tidak berarti bahwa di antara pengikut Hwe-liong-pang-cu tidak ada korban yang jatuh. Paling tidak ada puluhan orang yang tewas, sedang yang luka-luka jauh lebih banyak lagi. Perang saudara yang tidak seimbang itu kini berlangsung semakin tidak seimbang.
Para pengikut Te-liong Hiang-cu yang masih berkeras kepala itu perlahan-lahan “digiring” ke tengah lembah untuk dikepung rapat-rapat. Kemungkinan untuk meloloskan diri pun semakin kecil, sebab di tengah lembah itulah masih ada dua tokoh sakti yang berpihak kepada Hwe-liong-pang-cu, yaitu Thian-liong Hiang-cu dan Kim-liong Hiang-cu.
Di tengah semrawutnya pertentangan itu, nampaklah Song Kim yang telah berlumuran darah karena luka-lukanya itu tengah terpontang-panting menyelamatkan diri dari amukan bekas su-moay nya itu. Terlihat pula Lamkiong Hok sudah kehilangan harapan juga, karena ia harus menghadapi kerubutan dua orang rekannya yang berilmu setingkat dengannya, yaitu masing-masing adalah Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim dan Ui-ki-tong-cu Kwa Heng.
Yang satu sangat ampuh dan berbahaya dengan tendangan kilatnya, yang lain begitu mahir dengan Kau-kun (Silat Kera) yang dikuasainya dengan matang. Maka si Pedang Tujuh Bayangan itu sudah dapat membayangkan nasib apa yang kira-kira bakal menimpanya.
Sambil melawan, Lamkiong Hok melirik ke kiri dan kanan, mencari-cari kalau-kalau ada rekan sekomplotannya yang bisa membantu kesulitannya. Namun Hong-long-cu Mo Hui dan Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang tidak nampak lagi batang hidungnya, entah terbunuh entah tertawan, atau mungkin juga berhasil melepaskan diri keluar lembah. Sedangkan Sebun Say, Tang Kiau-po dan Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau juga sudah tidak bisa lagi diharapkan bantuannya.
Sebab mereka masing-masing pun sedang sibuk mempertahankan nyawanya sendiri-sendiri. Akhirnya Lamkiong Hok menyesal kenapa dia dulu begitu tolol untuk terpikat kepada janji-janji muluk Te-liong Hiang-cu, dan akhirnya memasuki menjadi anggota komplotan yang akan menggulingkan Hwe-liong-pang-cu itu. Tetapi ternyata beginilah nasib yang bakal diterimanya.
Gelagat buruk buat komplotan pembangkang itu juga sudah tercium oleh Te-liong Hiang-cu dsari atas panggung. Saat itu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau sudah terdesak selangkah demi selangkah oleh Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang. Sedang tidak jauh dari padanya, Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin sudah siap mencegatnya jika ia berusaha melarikan diri.
Mereka berempat adalah bekas anak-anak An-yang-shia yang kini menjadi empat orang tokoh puncak Hwe-liong-pang, pernah mengalami suka-duka bersama selama bertahun-tahun, namun kini mereka benar-benar telah berdiri sebagai musuh bebuyutan. Akhirnya Tan Goan-ciau terpaksa menerima kenyataan bahwa rencana yang disusunnya selama ini telah gagal seluruhnya. Rusak berantakan seperti patung tanah yang direndam dalam air.
Dalam keadaan yang amat pahit itu, Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk melarikan diri saja. Ia tidak peduli lagi akan mati hidup dari anggota komplotannya yang masih terkurung di dalam lembah itu, yang penting dirinya sendiri selamat. Memang begitulah sifatnya sejak ia masih menjadi seorang penjudi kecil di An-yang-shia.
Karena merasa sangat mustahil untuk mengalahkan Tong Wi-siang dengan ilmu-ilmu biasa, maka akhirnya Tan Goan-ciau bertekad akan menggunakan sejenis ilmu hitam yang bernama Thian-mopay-goat-sin-kang (Tenaga Sakti Hantu langit Menyembah Rembulan). Karena itu tiba-tiba saja Tan Goan-ciau melompat mundur dan melepaskan ikat kepalanya.
Sehingga rambutnya terurai menutupi mukanya, sinar matanya pun semakin hijau dan mantera-mantera yang digumamkannya semakin keras. Ilmu ini memang sangat dahsyat, tetapi penggunaannya dapat melukai diri sendiri, sehingga umumnya para penganutnya tidak akan menggunakan ilmu ini jika tidak dalam keadaan yang terdesak.
Perubahan sikap itu mengejutkan Tong Wi-siang. Wi-siang tahu juga akan ilmu itu, sebab ilmu itu tercantum dalam kitab kuno peninggalan Bu-san-jit-kui. Dia tahu pula bahwa orang yang mengetrapkan ilmu itu akan berlipat ganda kekuatannya, tetapi dirinya sendiripun akan luka dalam.
Dalam kejutnya, Wi-siang melompat mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi ilmu yang dahsyat itu. Namun Tan Goan-ciau sama sekali tidak membiarkan Tong Wi-siang sempat mempersiapkan dirinya. Cepat cepat ia menggigit lidahnya sendiri sehingga berdarah, lalu disemburkannya segumpal darah mengenai tubuh Tong Wi-siang. Itulah satu-satunya cara yang diajarkan oleh Kitab Bu-san-jit-kui untuk mencegah agar Wi-siang tidak dapat mempergunakan ilmu yang sama.
Segala sesuatunya terjadi dalam waktu yang amat singkat. Semburan darah Tan Goan-ciau disusul dengan sergapan kilatnya yang menghantam dada Tong Wi-siang. Tanpa sempat menghindari lagi, ketua Hwe-liong-pang itu terpental roboh sambil memuntahkan darah segar, topeng yang dipakainya pun berlumuran darah.
“A-siang!” Hampir bersamaan terdengarlah seruan kaget dari Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin. Siangkoan Hong cepat memburu ke depan untuk menyanggah tubuh Wi-siang, sedangkan Lim Hong-pin cepat melompat menghadang Tan Goan-ciau agar jangan menyerang lagi ke arah Wi-siang.
Namun Tan Goan-ciau sendiri agaknya memang tidak berniat melanjutkan serangannya, dia hanya mencari kesempatan untuk melarikan diri saja. Maka begitu melihat Wi-siang roboh, ia langsung melompat pergi dengan kecepatan kilat, sekejap saya bayangannya sudah tidak terlihat lagi. Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak mengejarnya, sebab mereka lebih mementingkan keadaan Sang Ketua yang nampak agak parah itu.
Dengan agak tertatih Wi-siang berhasil juga untuk bangkit berdiri. Setelah menarik napas beberapa kali, ia berkata dengan suara yang lemah, “Goan-ciau memang gila, aku tidak menduga ia akan berani menggunakan ilmu itu. A-hong dan A-pin berdua, keadaanku tidak terlalu menguatirkan, cepatlah kalian terjun ke gelanggang untuk mempercepat penyelesaian agar korban di pihak kita tidak terlalu banyak.”
Meskipun masih mencemaskan keadaan tubuh Tong Wi-siang yang masih lemah itu, namun Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin langsung menjalankan perintah Ketua dan sahabatnya itu tanpa membantah. Dengan meratnya Te-liong Hiang-cu serta terjunnya Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu yang berkepandaian seperti iblis itu, maka keseimbangan pertempuran di lembah Jian-hoa-kok itu dengan cepatnya terasa makin berat sebelah.
Para pengikut Te-liong Hiang-cu menjadi patah semangat karena ditinggalkan begitu saja oleh pemimpinnya, apalagi setelah mereka melihat bagaimana dengan mudahnya Te-liong dan lainnya tidak berdaya apa-apa. Kemudian Sebun Say dan Tang Kiau-po yang menerima nasib sial untuk pertama kalinya, sebab mereka dengan mudahnya diringkus oleh Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu.
Seruan untuk menyerah segera dikumandangkan kepada para pengikut Te-liong Hiang-cu yang masih melawan. Seruan itu ditaati oleh sebagian dari mereka, namun yang sebagian lainnya tetap berkepala batu untuk melawan, sehingga tidak ada jalan lain kecuali ditumpas habis. Di antara orang-orang yang tertumpas habis itu terdapat pula Lamkiong Hok, yang tulang-tulang dadanya rontok oleh tendangan Oh Yun-kim, juga Song Kim yang mati di bawah senjata seorang gadis yang pernah dicintainya.
Meskipun pemberontakan dalam Hwe-liong-pang itu akhirnya berhasil dipadamkan, namun korban di pihak pengikut Hwe-liong-pang-cu tidak sedikit pula. Anggota-anggota dari berbagai Tong yang tewas, ada seratus orang lebih, sedang yang luka-luka jauh lebih banyak lagi. Di antara pengikut-pengikut yang tewas itu terdapat pula Hu-tong-cu (wakil pemimpin kelompok) dari Pek-ki-tong dan Ci-ki-tong.
Para pembangkang yang menyerah segera diikat kaki tangannya dan dikumpulkan di salah satu sudut lembah untuk menunggu keputusan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada mereka. Sedang orang-orang yang tewas, baik pengikut Hwe-liong-pang-cu maupun pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu, segera dimakamkan di lembah itu juga. Kini di antara bunga-bunga yang bertaburan di lembah itu, bertaburan pula gundukan-gundukan tanah merah yang berisi mayat-mayat anggota-anggota Hwe-liong-pang.
Meskipun isi dadanya masih terasa agak nyeri, Tong Wi-siang menguatkan diri untuk duduk di atas batu di tengah-tengah panggung. Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu serta dua orang Su-cia mengapit di kiri dan kanan Sang Ketua dengan sikap mengawal. Sementara Tong Wi-hong dan kawan-kawannya pun telah berada kembali di atas panggung.
Wajah mereka rata-rata menampilkan kesedihan, karena penertiban dalam tubuh Hwe-liong-pang itu ternyata memakan korban jiwa begitu banyak, namun mereka pun merasa terhibur bahwa di kemudian hari para pengacau yang bernaung dibawah bendera Hwe-liong-pang itu tidak akan meresahkan dunia persilatan lagi.
Tong Wi-siang pun nampak sedih. Meskipun wajahnya tidak terlihat, sebab tertutup topeng, namun perasaan sedihnya itu dapat dilihat dari tarikan napas panjangnya yang berulang-ulang. Matanya yang redup menatap kepada Wi-hong, Wi-lian dan kawan-kawannya, katanya dengan suara agak parau, “Aku tidak berbohong bukan? Aku benar-benar melakukan penertiban itu, meskipun hal itu nyaris saja membuat Hwe-liong-pang hancur berkeping-keping oleh perang saudara.”
“Tetapi itu adalah tindakan yang berani dan terpuji,” sahut Wi-hong. “Sebuah luka yang membusuk harus segera diobati dan diberantas, betapapun rasa sakitnya, agar luka itu tidak menjalar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh tubuhnya menjadi busuk.”
“Ucapan yang tepat,” sambung Thian-liong Hiang-cu dari balik topengnya. “Memang sangat menyedihkan, bahwa hampir sepertiga dari kekuatan Hwe-liong-pang kita telah hancur begitu saja karena bentrokan dalam tubuh sendiri. Namun untuk waktu-waktu selanjutnya Hwe-liong-pang kita akan berjalan lurus dalam garis perjuangan tanpa menyeleweng.”
Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Kata-kata kalian sangat membesarkan hatiku. Sekarang aku akan mengumumkan suatu keputusan. Tan Goan-ciau kunyatakan kupecat dari Hwe-liong-pang, selanjutnya jika kalian bertemu dengan dia dimana saja, kalian boleh langsung menumpasnya.”
Setelah menarik napas beberapa kali, Wi-siang berkata lagi, “Kita akan tetap punya delapan kelompok yang bekerja di wilayahnya masing-masing. Para Tong-cu (Kepala Kelompok) Hu-tong-cu (wakil Kepala Kelompok) yang telah gugur atau telah dipecat, akan segera diangkat penggantinya. Sedang untuk jabatan Su-cia (Utusan) untuk sementara biarlah diduduki oleh dua orang saja, kelak perlahan-lahan akan kulihat siapa yang pantas untuk mengisi lowongan yang dua lagi.”
Sementara itu, penguburan mayat-mayat sudah selesai, dan matahari pun sudah condong ke sebelah barat. Para anggota Hwe-liong-pang segera berbaris tertib dalam kelompoknya masing-masing untuk menantikan perintah lebih lanjut. Ternyata tidak semua anggota dari kelompok Bendera Merah, Coklat, Hijau dan Hitam itu ikut memberontak seperti pemimpin kelompok mereka. Ada sebagian kecil dari anggota kelompok-kelompok itu yang tadi bertempur gigih di pihak Ketua yang sah.
Kini merekapun berbaris menurut kelompoknya lagi, dan meskipun jumlah mereka sangat sedikit, namun wajah-wajah mereka menampilkan perasaan puas dan bangga, karena merasa telah menyumbangkan tenaga untuk ikut menegakkan kewibawaan Ketua yang sah.
Setelah seluruh anggota berkumpul dalam kelompoknya masing-masing, terdengarlah suara Hwe-liong-pang-cu mengumandang ke seluruh lembah, “Kita merasa puas bahwa kita berhasil menertibkan diri sendiri, membersihkan tubuh kita sendiri dari penyakit yang selama ini menggerogoti dari dalam dan membuat nama kita menjadi busuk di luaran. Peristiwa pahit ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap anggota tetap setia kepada tujuan akhir kita tanpa punya pikiran untuk menyeleweng. Hendaknya peristiwa seperti ini hanya terjadi sekali ini, dan merupakan cambuk bagi kita agar di kemudian hari lebih berhati-hati dalam menerima anggota, jangan sembarangan menerima orang yang tidak diketahui asal-usulnya.”
Suasana di lembah hening sejenak, sampai terdengar lagi suara Hwe-liong-pang-cu, “Aku juga berterima kasih kepada mereka yang gigih menegakkan kewibawaan Pang tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, bahkan nama-nama mereka yang gugur membela nama Hwe-liong-pang, akan tetap kita ukirkan dalam hati kita. Marilah bersama kita hadapi hari esok yang cerah, namun tidak berarti perjuangan kita akan mandeg. Hari ini kalian boleh beristirahat, pertemuan ini akan kita lanjutkan besok pagi dengan acara lain, menetapkan kembali garis perjuangan kita dalam menghadapi perkembangan-perkembangan baru.”
Begitulah pertemuan hari pertama itu ternyata diwarnai dengan mengalirkan darah dan melayangnya ratusan nyawa. Namun hal itu memang sudah dalam perkiraan semua pihak. Tong Wi-hong dan kawan-kawannya merasa sudah cukup menghadiri dan menyaksikan pertemuan hari itu. Sedangkan pertemuan esok hari tentunya lebih bersifat urusan dalam rumah tangga Hwe-liong-pang sendiri yang tidak pantas untuk dicampuri orang luar, maka Wi-hong dan kawan-kawannya lalu memutuskan bahwa besok pagi-pagi akan meninggalkan lembah.
Namun ketika Wi-hong mengemukakan hal itu kepada kakaknya yang Ketua Hwe-liong-pang itu, sang kakak minta diberi kesempatan untuk lebih dulu menjamu Wi-hong dan kawan-kawannya dalam suatu perjamuan perpisahan. Maka pada malam harinya berlangsunglah sebuah perjamuan yang berlangsung sangat sederhana tetapi bersuasana akrab, tempatnya ialah di salah satu barak yang memang didirikan di sekitar lembah itu.
Yang mengitari meja perjamuan adalah Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang merasa tidak perlu lagi mengenakan topeng mereka, juga Hong-goan Hweshio, Ling Thian-ki, para Tong-cu serta Hu-tong-cu yang masih setia kepada Ketua, dan tentu saja Wi-hong sendiri dan rombongannya.
Karena Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak hadir sebagai tokoh-tokoh Hwe-liong-pang melainkan hadir sebagai pribadi, maka pertemuan itu berjalan akrab dan tidak kaku, lebih menyerupai pesta anak-anak An-yang-shia daripada pesta yang diselenggarakan oleh tokoh seangker Hwe-liong-pang-cu.
Saat itu pulalah Cian Ping baru mengetahui bahwa Hwe-liong-pang-cu yang menakutkan itu ternyata adalah bakal kakak iparnya sendiri, begitu pula Ting Bun tidak menduga kalau sahabatnya semasa kanak-kanak itulah yang ternyata bersembunyi di balik kedok Hwe-liong-pang-cu yang menggemparkan itu. Namun dendam kesumat di hati Cian Ping sudah terhapus bersih, dia sudah melihat sendiri bagaimana Hwe-liong-pang ternyata terbagi dua dalam bagian yang baik dan yang jahat, lagipula Cian Ping juga puas karena Song Kim, si pengkhianat, sudah berhasil dibunuhnya dengan tangannya sendiri.
Muka Tong Wi-siang masih agak pucat karena luka dalamnya akibat hantaman Te-liong Hiang-cu tadi, namun ia nampak gembira dan berkali-kali mengajak tamu-tamunya untuk meneguk cawan araknya. Katanya kepada Wi-hong dan rombongannya,
“Adik-adikku dan saudara-saudara sekalian, kalian sudah melihat sendiri sebuah peristiwa besar di lembah ini, bagaimana kami benar-benar berusaha mencuci diri, meskipun harus kehilangan sebagian dari kekuatan kami. Mulai detik ini, aku berharap bahwa Hwe-liong-pang yang kejam dan sewenang-wenang akan terhapus dari ingatan orang, digantikan dengan Hwe-liong-pang yang bersih, dengan cita-cita luhur kami untuk mendobrak kebobrokan pemerintahan Cong-ceng dan mengusahakan kesejahteraan rakyat banyak.”
Kata-kata yang terakhir itu cukup menggetarkan dada Ting Bun, Cian Ping dan dua saudara So yang memang belum pernah mendengarnya, sebab kalimat itu mengandung makna bahwa Hwe-liong-pang akan berusaha merobohkan Kerajaan Beng yang saat itu berkuasa! Jika hal itu yang betul-betul digariskan sebagai cita-cita Hwe-liong-pang.
Maka agaknya Tong Wi-siang ingin agar namanya tercatat dalam sejarah sebagai pendiri dinasti baru. Sejajar dengan Tio Khong-in, itu pendiri dinasti Song, atau Li Yan si pendiri dinasti Tong, atau Temuchin si pendiri dinasti Goan dan juga Cu Goan-ciang si pendiri dinasti Beng. Benar-benar suatu cita-cita yang tidak tanggung-tanggung.
Sementara itu Tong Wi-siang telah melanjutkan kata-katanya dengan bersemangat, “Adik-adikku, kelak jika kalian menghadiri pertemuan besar kaum kesatria di Siong-san, kuharap kalian menceritakan apa yang kalian lihat di lembah ini. Sampaikanlah pesanku kepada kaum kesatria di Siong-san itu, bahkan Hwe-liong-pang bukan musuh mereka, namun justru kawan mereka yang akan mengajak mereka untuk bergandengan tangan memperjuangkan cita-cita luhur.”
Keesokan harinya, ketika baru saja matahari terbit, Wi-hong dan kelima orang kawannya itu berkuda meninggalkan lembah Jian-hoa-kok yang penuh kenangan itu. Kepergian mereka diantarkan sendiri oleh Wi-siang sampai ke luar lembah, juga oleh beberapa orang tokoh Hwe-liong-pang.
LEBIH dulu Tong Wi-hong dan kawan-kawannya menuju ke rumah keluarga Tong di An-yang-shia itu untuk mengambil perbekalan yang mereka tinggalkan di sana. Kemudian setelah mengambil bekal dan berpesan kepada para pelayan agar merawat rumah itu dan makam Tong Tian sebaik-baiknya, Tong Wi-hong mengajak rombongannya menuju ke Siong-san di wilayah Ho-lam, untuk menghadiri pertemuan kaum pendekar yang diprakarsai oleh pihak Siau-lim-pay.
Seperti diketahui, Tiong-gi Piau-hang menerima pula sepucuk undangan dari Siau-lim-pay. Meskipun Tiong-gi Piau-hang itu pada hakekatnya bukanlah sebuah aliran atau perguruan silat, melainkan hanya sebuah perusahaan di bidang pengawalan, namun kekuatannya yang cukup tangguh itu dianggap dapat ikut berperanan dalam setiap peristiwa dunia persilatan.
Dalam Tiong-gi Piau-hang itulah bernaung puluhan orang jagoan tangguh, sehingga pihak penyelenggara pertemuan itu merasa lebih bijaksana untuk merangkul Tiong-gi Piau-hang sebagai sekutu. Yang diundang hadir itu sebenarnya adalah Cian Sin-wi, namun karena Cian Sin-wi telah tewas, maka kehadirannya diwakili oleh Tong Wi-hong yang telah menjadi pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang itu.
So Hou dan So Pa sebenarnya sudah ditawari oleh Wi-hong untuk pulang kembali ke Bu-sek, namun kedua saudara So itu menyatakan bertekad untuk mengawal Tong Wi-hong sampai ke Siong-san. Menurut pendapat kedua saudara itu, seorang pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang terkenal itu tidak pantas kalau muncul seorang diri tanpa pengawal, harus ada pengawalan supaya nampak kewibawaannya.
Mau tak mau Tong Wi-hong tersenyum mendengar alasan yang dikemukakan oleh kedua orangnya itu. Katanya, “Kadang-kadang aku lupa bahwa aku adalah Cong-piau-thau Tiong-gi Piau-hang, sehingga aku masih saja berbuat sesuka hatiku seperti dulu ketika masih bebas.”
Karena Siau-lim-si terletak di wilayah Ho-lam, maka perjalanan mereka pun ditujukan ke arah utara. Hari pertama perjalanan mereka sejak meninggalkan An-yang-shia, mereka tiba di kota Kiu-kiang yang terletak di tepian sungai besar Yang-ce-kiang. Mereka bermalam di kota itu, dan di kota itu pula mereka masih dapat menikmati danau Po-yang-ou yang membentang luas sampai bersentuhan dengan sungai Yang-ce-kiang.
Setelah keesokan harinya mereka menyeberangi sungai yang terkenal itu, tidak lama kemudian mereka pun memasuki wilayah Ou-pak. Begitu masuk daerah Ou-pak, mulailah Tong Wi-hong dan kawan-kawannya merasakan suasana tegangnya kaum persilatan di wilayah itu. Sebentar-sebentar nampak orang-orang yang berkuda dan menyandang senjata, hilir-mudik di jalanan dan bersikap mengawasi setiap orang asing.
Pertemuan kaum pendekar di Siong-san itu memang bermaksud untuk menghadapi Hwe-liong-pang, maka tidak mengherankan jika kaum pendekar pun menyiapkan penjagaan ketat karena kuatir akan pengacauan dari pihak Hwe-liong-pang.
Para-para jago persilatan yang ditemui sepanjang jalan menuju ke Siong-san itu, rata-rata terdiri dari jago-jago muda usia dari berbagai perguruan terkenal dunia persilatan. Mereka dilengkapi dengan burung-burung merpati pembawa surat serta kuda-kuda tunggangan yang dapat berlari cepat, supaya dapat segera saling berhubungan bila ada keadaan darurat. Demikianlah, suasananya mirip suasana perang.
Namun untunglah, bahwa banyak diantara jago-jago muda itu yang mengenal Wi-hong sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, atau banyak pula murid-murid Siau-lim-pay yang mengenal Wi-lian sebagai sesama murid Siau-lim-pay pula. Bahkan tidak sedikit pula yang sudah mengenal dua saudara So yang luas pengalamannya karena sering berkelana itu. Dengan demikian perjalanan Wi-hong dan rombongannya cukup lancar.
Meskipun perjalanan cukup lancar, tapi “suasana perang” yang ditunjukkan oleh para jago muda dari berbagai perguruan itu cukup mendebarkan hati. Maklumlah, mereka adalah anak-anak muda yang baru keluar dari perguruan dan dalam anggapan mereka maka mereka sudah merupakan orang-orang yang tak terkalahkan, mereka menjual lagak dan selalu mencari kesempatan untuk menghunus pedang mereka dan memamerkan kebolehannya bermain pedang.
Selain itu, melihat sekian banyak jagoan yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang, maka Tong Wi-hong menjadi bimbang, dapatkah nanti ia meyakinkan para pendekar itu bahwa Hwe-liong-pang bukanlah musuh? Dan bagaimana nanti sikap golongan-golongan atau perguruan-perguruan yang pernah dirugikan oleh Hwe-liong-pang? Semuanya itu masih merupakan pertanyaan-pertanyaan yang belum dipastikan jawabannya.
Rombongan Tong Wi-hong melalui wilayah Ou-pak dalam waktu lima hari berkuda, pada hari yang keenam mereka telah mulai menginjak wilayah Ho-lam. Di sini perjalanan lebih lancar lagi, sebab nama besar Siau-lim-pay sangat terasa pengaruhnya di wilayah ini, dan banyak di antara jago-jago Siau-lim-pay itu yang mengenal Wi-lian, baik yang pendeta maupun yang bukan pendeta.
Setelah melakukan perjalanan dua hari lagi, Wi-hong dan rombongannya mulai memasuki kota Teng-hong, jaraknya dengan bukit Siong-san sudah tidak jauh lagi. Maka Tong Wi-hong memutuskan untuk beristirahat satu hari di kota itu, sambil melihat-lihat suasana. Mereka beristirahat di sebuah rumah makan merangkap rumah penginapan yang bernama “Hui-in-lau” yang terletak tepat di jantung kota Teng-hong.
Di situ mereka menyewa tiga kamar. Cian Ping dan Wi-lian menempati satu kamar, begitu pula Wi-hong dan Ting Bun serta dua saudara So masing-masing mendapat satu kamar. Mereka sengaja memilih kamar di loteng atas yang jendelanya menghadap ke jalan raya, sehingga mereka akan dapat memperhatikan keadaan di jalan raya itu.
Ketika hari sore, Ting Bun dan Tong Wi-hong duduk bercakap-cakap di dekat jendela kamar mereka, sambil sekali-kali menghirup teh wangi mereka. Mereka sedang membicarakan bagaimana caranya mengadakan pendekatan kepada kaum pendekar, dan bagaimana menerangkan tujuan Hwe-liong-pang kepada kaum pendekar itu...?
“Terima kasih atas kemurahan hati Pang-cu,” sahut Au-yang Siau-pa sambil menekuk lututnya. Kemudian dia tidak melawan sama sekali ketika para pengawal Hwe-liong-pang-cu melucuti senjatanya dan membawanya pergi dengan tangan terikat. Wajahnya nampak tenang-tenang saja seakan-akan sudah pasrah apapun yang akan dialaminya.
Dengan demikian Tong-cu dari Jing-ki-tong sudah dianggap selesai mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya di kota Tay-beng. Tentang orang-orang Jing-ki-tong yang terlibat itu, akan diselesaikan kemudian, misalnya Song Kim dan Han Toan.
Kemudian terdengarlah Hwe-liong-pang-cu berkata lagi dengan suaranya yang dingin, “sekarang aku minta pertanggungan-jawab Hek-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) tentang peristiwa pembantaian lebih dari dua ratus jiwa yang tak bersalah anggota perguruan Sin-hou-bun (Perguruan Harimau Sakti) di Kwi-tang!”
Lamkiong Hok insyaf bahwa hari itu dia tidak bisa lolos lagi tapi dia tidak ingin mengalami nasib seperti Au-yang Siau-hui yang membunuh diri atau Au-yang Siau-pa yang telah menjadi tawanan. Dia juga sudah melihat contoh bahwa tidak ada gunanya menggantungkan diri kepada Tang Kiau-po atau Sebun Say, sebab mereka tidak bakal membelanya. Maka Lamkiong Hok menjadi nekad. Bukan saja dia tidak menjawab pertanyaan Ketuanya itu, dia justru melompat maju sambil berteriak kepada Ko Ce-yang dan Mo Hui,
“Saudara Ko dan Saudara Mo, apakah kita akan rela diringkus seperti pengecut she Auyang itu? Daripada kita mati konyol, marilah kita pertahankan hidup kita secara laki-laki dengan senjata kita!”
Ternyata jalan pikiran Mo Hui dan Ko Ce-yang juga sama dengan rekannya dari Hek-ki-tong itu. Mereka melihat sendiri bagaimana Te-liong Hiang-cu, Tang Kiau-po dan Sebun Say acuh tak acuh saja terhadap nasib malang yang menimpa Au-yang Siau-hui. Jelas Te-liong Hiang-cu dan lain-lainnya itu lebih suka mengorbankan seluruh anggota komplotannya daripada membahayakan diri mereka sendiri. Karena itu Mo Hui, Ko Ce-yang dan Lamkiong Hok-pun menjadi nekad seperti binatang buas yang sudah terpojok. Mereka sadar bahwa nasib mereka tergantung kepada diri mereka sendiri.
Serentak Mo Hui dan Ko Ce-yang juga meloncat berdiri dan berdampingan dengan Lamkiong Hok dengan muka yang tegang. Sementara itu Lamkiong Hok telah berseru pula, “Saudara-saudara dari Jai-ki-tong, Hek-ki-tong, Jing-ki-tong dan Ang-ki-tong, jika kalian tidak ingin dibantai mentah-mentah, sekarang juga cabut senjata kalian dan bergabung dengan kami!”
Kata-kata Lamkiong Hok itu ternyata punya pengaruh yang kuat bagi anggota-anggota yang merasa mempunyai kesalahan tetapi takut untuk menerima hukuman, dan lebih suka melawan. Serentak orang-orang jenis inipun bangkit menghunus senjatanya dan berdiri di belakang Lamkiong Hok, jumlah mereka mencapai hampir lima ratus orang lebih, diantaranya termasuk pula Song Kim, Han Toan dan sisa-sisa dari orang yang pernah menamakan diri Lam-gak-su-koay (Empat Siluman dari Gunung Selatan).
Tetapi ternyata tidak semua anggota Jing, Hek, Ang, dan Jai- ki-tong terlibat dalam komplotan itu. Tidak sedikit diantara mereka yang justru berpihak kepada Hwe-liong-pang-cu.
Melihat peristiwa itu, meluaplah murka Hwe-liong-pang-cu. Teriaknya dengan suara yang seram menggidikkan bulu roma, “Bagus! Kini sudah nyata kulihat siapa penyeleweng-penyeleweng yang patut dibasmi dari tubuh Hwe-liong-pang! Jika aku tidak berhasil membersihkan kalian hari ini, aku malu sebagai manusia!”
Sementara itu suasana di dalam lembah itu sudah mulai ribut. Sekian ribu manusia berseragam hitam itu dengan cepatnya telah “terbelah” menjadi dua bagian besar yang saling berhadapan dengan senjata terhunus. Bagian yang memihak Lamkiong Hok terutama terdiri dari para penjahat atau orang-orang tamak yang masuk Hwe-liong-pang hanya sekedar untuk mendapat pernaungan yang aman dari musuh-musuh mereka.
Sedang sebagian lain adalah orang-orang yang ingin benar-benar berjuang mendobrak kebobrokan Kerajaan Beng dengan melalui Hwe-liong-pang, mereka adalah orang-orang yang selama ini merasa hatinya sakit melihat nama Hwe-liong-pang dinodai oleh anggota-anggota yang tidak bertanggung-jawab. Kelompok ini dipimpin oleh Oh Yun-kim, In Yong, Lu Siong dan Kwa Heng.
Alangkah marah dan pedihnya hati Hwe-liong-pang-cu ketika melihat kenyataan ini. Namun dia memang sudah bertekad untuk mempertahankan kemurnian garis perjuangannya, bahkan dengan pengorbanan akan kehilangan sebagian dari kekuatannya. Dalam pedihnya, dia menoleh ke arah Te-liong Hiang-cu sambil menggeram, “Inilah rupanya hasil kerjamu selama ini. Kau benar-benar tega menohok kawan seiring dan menggunting dalam lipatan.”
Te-liong Hiang-cu akhirnya merasa tidak ada gunanya berpura-pura lagi, agaknya semua perbuatannya diketahui oleh Ketuanya itu. Tiba-tiba saja Te-liong Hiang-cu berteriak marah dan melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke dada Hwe-liong-pang-cu. Rupanya ia bermaksud mengambil keuntungan dari suatu gebrakan pertama yang mendadak.
Namun maksud Te-liong Hiang-cu itu gagal, sebab Hwe-liong-pang-cu berhasil menghindarinya, bahkan kemarahannya semakin berkobar setelah melihat pemberontakan secara terang-terangan itu. Dalam murkanya, Hwe-liong-pang-cu berteriak menjatuhkan perintahnya, “Tumpas habis semua pemberontak!”
Jatuhnya perintah itu bagaikan sumbu peledak yang dinyalakan, segera disambut dengan meledaknya gemuruh sorak-sorai ribuan orang, disusul dengan gemerincingnya senjata di seluruh lembah. Ribuan manusia segera bertarung hebat untuk mempertahankan pendirian kelompoknya masing-masing. Sementara itu antara Hwe-liong-pang-cu dan Te-liong Hiang-cu juga telah saling gebrak dan beberapa kali bertukar serangan dahsyat.
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po serta Sebun Say yang juga termasuk dalam komplotan Te-liong Hiang-cu, ketika melihat perkembangan keadaan itupun segera ikut menentukan sikap. Secara licik tiba-tiba Sebun Say menyergap Rahib Hong-goan dari arah punggung, gerakan yang digunakannya adalah Yalong-tiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit). Sabitnya yang berwarna keungu-unguan karena direndam racun itu digerakkan langsung untuk merobek punggung Rahib Hong-goan.
Namun meskipun rahib itu membelakangi bekas rekannya itu, sebenarnyalah dia tidak pernah kehilangan kewaspadaannya terhadap rekannya yang dikenalnya sangat licik itu. Begitu mendengar desir angin keras di belakang punggungnya, rahib itu tertawa dingin dan berseru, “Inilah kesempatan yang kunantikan sejak dulu!”
Cepat Hong-goan Hweshio membalikkan badan sambil menyodokkan ujung Hong-pian-jan (Toya Berujung Bulan Sabit) itu ke dada Sebun Say dengan gerakan Ci-kui-keng-sin (Hantu Menangis Malaikat Terkejut). Hong-pian-jan si rahib lebih panjang dari sabit Sebun Say, maka kalau keduanya menyerang bersamaan Hong-pian-jan akan sampai lebih dulu ke sasarannya. Untunglah Sebun Say dengan tangkas berhasil menggeser luncuran kakinya dan menekuk tubuhnya ke belakang, sehingga terhindarlah dadanya dari terobek oleh senjata Rahib Hong-goan.
Begitu Sebun Say tertahan, lawannya lah yang kemudian mendesak maju. Tanpa mengganti napas, Rahib Hong-goan meneruskan gerakan senjatanya dengan senjatanya dengan jurus Hui-in-kilo (Awan Terbang Naik Turun), toyanya bagaikan terpecah menyerang bagian atas, tengah dan bawah tubuh lawannya secara gencar. Sebun Say kembali dipaksa untuk surut tiga langkah ke belakang.
Namun si cebol dari Jing-hay itupun bukan sembarang tokoh persilatan, kepandaian dan pengalaman tempurnya cukup dapat diandalkan untuk berganti kedudukan dari bertahan menjadi menyerang. Begitu melihat Rahib Hong-goan berganti napas untuk melanjutkan serangan berikutnya, Sebun Say telah mengambil kesempatan itu untuk menyerang lagi dengan gerakan Jian-san-lok-hio (Daun Rontok di Seribu Gunung).
Sabitnya yang berlumuran racun itu kali ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang sabit yang serempak menghujani lawannya. Kali ini Rahib Hong-goan lah yang disudutkan dalam keadaan bertahan, bahkan kemudian Hong-pian-jan-nya kena terkait oleh sabit Sebun Say.
“Lepaskan senjatanmu sekarang!” teriak Sebun Say kegirangan sekuat tenaganya ia memutar sabitnya dan berusaha untuk merampas senjata lawannya.
Sebenarnya sepasang tangan Rahib Hong-goan cukup kokoh untuk mempertahankan toyanya dari tarikan lawan, tetapi rupanya rahib ini punya perhitungan lain. Pura-pura ia tertarik ke depan sehingga tubuhnya doyong, bahkan kemudian membiarkan toyanya lepas terkait lawan. Tetapi berbareng dengan lepasnya toya itu, sepasang ujung jubah si rahib yang longgar itu segera menyabet ke sepasang mata Sebun Say dengan gerakan bagaikan hidup. Gerakannya mirip jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Memperebutkan Mustika), hanya saja tidak menggunakan jari-jari tangan tetapi dengan ujung baju. Itulah ilmu Tiat-siu-sin-kang yang telah mencapai tingkat tinggi.
Gerak tipu Hong-goan Hweshio itu memang diluar dugaan, terpaksa Sebun Say melompat mundur dan membatalkan niatnya untuk merampas senjata lawan. Sedangkan Rahib Hong-goan dengan gerakan yang lincah telah berhasil merebut kembali senjatanya.
Begitulah, dalam waktu yang singkat dua orang yang sama- sama menjabat Su-cia dalam Hwe-liong-pang itu telah saling gebrak sengit sekali. Selama ini mereka memang sudah saling tidak menyenangi satu sama lain, tapi baru kinilah mereka mendapat kesempatan untuk menumpahkan rasa permusuhannya secara terbuka. Keduanya juga sama-sama merupakan orang-orang dari suku Hui, sebuah suku padang pasir yang berdarah panas, maka tidak mengherankan kalau pertempuran antara kedua orang itu segera meningkat semakin seru.
Sebun Say dengan senjata beracunnya bergerak ringan memutari lawannya, menyambar-nyambar seperti sesosok hantu yang buas dengan intaian mautnya. Sedangkan Rahib Hong-goan memang tidak selincah dan secepat lawannya, namun tenaganya benar-benar luar biasa. Pertahanannya kokoh bagaikan bukit karang, sedang serangan-serangannya membawa tenaga kekuatan bagaikan gunung runtuh, sehingga Sebun Say pun tidak pernah berani membenturkan secara keras lawan keras.
Di bagian tengah panggung, berlangsung suatu pertempuran lain yang jauh lebih dahsyat daripada pertempuran antara Rahib Hong-goan melawan Sebun Say itu. Di sinilah dua orang yang kedudukannya paling tinggi dalam Hwe-liong-pang, yaitu Hwe-liong-pang-cu dan Te-liong Hiang-cu bertempur dengan penuh kebencian hebat. Satu sama lain bukan hanya saling ingin mengalahkan, tetapi bahkan kalau bisa mencincang lawannya sampai hancur berkeping-keping.
Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang merasa sangat marah dan kecewa, karena seorang sahabat lamanya yang sangat dipercayanya sejak masa remajanya di An-yang-shia ternyata sampai hati membentuk komplotan yang hendak menggulingkan kedudukannya. Sedang Te-liong Hiang-cu yang bukan lain dari Tan Goan-ciau itu juga sangat marah dan putus asa, karena rencananya yang sudah tersusun rapi untuk menggantikan kedudukan Tong Wi-siang sebagai Hwe-liong-pang-cu itu ternyata kini telah gagal berantakan.
Pertarungan antara kedua bekas sahabat dari An-yang-shia itu ternyata tidak mirip pertarungan antara dua orang manusia, melainkan lebih mirip perkelahian antara dua ekor siluman iblis. Gerakan mereka selalu menimbulkan angin yang kencang luar biasa namun bukan karena tenaga dalam yang tinggi, tapi disebabkan oleh kekuatan gaib yang menyertai mereka sehingga angin itupun terasa tidak wajar.
Sementara sorot mata mereka pun berubah menjadi kehijau-hijauan seperti mata kucing di malam hari, dan sayup-sayup terdengarlah mulut mereka melagukan mantera-mantera yang aneh bahasanya dan seram kedengarannya. Jelaslah kedua orang itu bukan hanya mengadu ilmu silat biasa, tetapi juga mengadu ilmu hitam dan ilmu beracun mereka!
“Mengerikan sekali,” desis Wi-hong yang menyaksikan perkelahian antara kedua orang itu. “Itulah sebabnya kenapa banyak tokoh seperti Tang Kiau-po dan Sebun Say sampai dapat ditundukkan oleh A-siang, karena ilmu-ilmu hitam seperti ini memang tidak bisa ditandingi dengan ilmu silat melulu.”
Sahut Wi-lian dengan wajah yang agak murung, “Ya, dugaan bahwa A-siang telah berhasil menemukan kitab peninggalan Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) ternyata menjadi kenyataan. Semoga A-siang belum terlalu jauh terjerumus ke dalam pemahaman ilmu-ilmu terkutuk itu.”
Dalam pada itu, antara Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dengan Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Bertangan Seribu) Ling Thian-ki juga telah berlangsung suatu pertempuran hidup mati. Tang Kiau-po nampak ganas dan beringas sekali dengan tongkat besinya yang berbentuk ular itu. Mula-mula Ling Thian-ki mencoba melayaninya hanya dengan tangan kosong saja, namun karena ia terdesak terus, akhirnya Ling Thian-ki mengeluarkan senjatanya berupa sepasang cundrik pendek yang dimainkannya dengan cepat dan lincah sekali. Kecepatannya itulah agaknya yang membuahkan julukan “Seribu Tangan” bagi dirinya. Dengan kecepatan dan kelincahannya itu barulah ia dapat menandingi raja golongan hitam wilayah timur itu.
Dalam pada itu, pertempuran besar antara pengikut setia Hwe-liong-pang-cu melawan pengikut Te-liong Hiang-cu yang putus asa itupun telah meluas ke seluruh lembah Jian-hoa-kok. Para pengikut Te-liong Hiang-cu itu berkelahi bukan karena mempertahankan cita-citanya, melainkan hanya demi menyelamatkan hidupnya dari hukuman. Karena mereka merasa bahwa kesalahan mereka tidak mungkin lagi diampuni, maka mereka pun bertempur dengan buas dan kalapnya, seperti binatang liar yang meronta-ronta setelah berada di dalam perangkap.
Sebaliknya para pengikut setia Hwe-liong-pang-cu juga bertempur dengan penuh semangat. Mereka kini mendapat kesempatan untuk melampiaskan kekesalan mereka terhadap orang-orang yang selama ini telah menodai garis perjuangan Hwe-liong-pang. Dengan semangat berkobar antara kedua pihak, maka tak pelak lagi pertempuran di lembah Jian-hoa-kok itu merupakan suatu pertempuran yang dahsyat, perang saudara yang mengerikan, udara lembah bagaikan menjadi kotor oleh nafsu membunuh yang berlebihan.
Tubuh-tubuh yang berlumuran darah bergelimpangan di mana-mana, pekik kematian dan bentakan-bentakan kemarahan berkumandang di segala sudut lembah itu, bercampur aduk dengan dentang senjata yang saling diadu. Lembah Seribu Bunga yang indah itu kini patut berganti nama menjadi Lembah Seribu Mayat.
Dalam hiruk-pikuknya pembantaian antar anggota Hwe-liong- pang itu, Lamkiong Hok yang licik itu diam-diam menggunakan kesempatan untuk menyusup ke tengah-tengah orang banyak dan berusaha untuk melarikan diri. Tujuannya menghasut rekan-rekan sekomplotannya untuk bertempur tadi, rupanya hanya sebagai siasat agar timbul kekacauan dan dia akan punya kesempatan untuk lolos dari lembah Jian-hoa-kok itu.
Namun pemimpin Hek-ki-tong ini tak menyadari bahwa gerak-geriknya terus diawasi oleh Oh Yun-kim yang juga berada di tengah-tengah medan yang kisruh itu. Ketika Lamkiong Hok hampir saja mencapai mulut lembah, Oh Yun-kim tanpa banyak bicara lagi langsung melompat dan menyerang dengan tendangan Hui-hou-tui (Tendangan Harimau Terbang) yang secepat kilat.
Lamkiong Hok terkejut oleh serangan mendadak itu. Tapi dalam gugupnya dia masih sempat melakukan gerakan Hong-hong-tiam-thau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) sehingga tendangan Oh Yun-kim hanya berdesis di atas kepalanya. Bahkan dengan cepatnya ia membalas menggunakan pedangnya untuk menusuk ke atas dengan gerakan Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Obor Membakar Langit).
“Korea gila, kubuat mampus tanpa kubur kau hari ini!” teriaknya penuh dendam kebencian.
Namun di tengah udara Oh Yun-kim dapat membuat gerakan jungkir-balik yang lincah sehingga tusukan Lamkiong Hok itu hanya mengenai tempat kosong. Lamkiong Hok yang tengah marah itu cepat memburu lawannya dan melancarkan Lian-cu-sam-kai (Tusukan Tiga Berantai). Oh Yun-kim adalah seorang ahli tendangan yang hebat, sehingga ia mendapat gelar Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan).
Melihat jurus serangan Lamkiong Hok itu, cepat Oh Yun-kim mundur dua langkah untuk menghindari dua tusukan pendahuluan, dan ketika Lamkiong Hok melakukan tusukan yang ketiga, Oh Yun-kim telah menyambutnya dengan gerakan Pay-lian-ka, yaitu kakinya berputar dan menyapu ke atas. Seketika itu juga tangan Lamkiong Hok yang memegang pedang itu tertendang ke samping, meskipun pedangnya tidak sampai lepas namun cukup membuat pegal juga.
Si Tendangan Tanpa Bayangan itu tidak pernah melewatkan kesempatan baiknya, maka gerakan Pai-lian-ka itu langsung disambungnya dengan gerakan-gerakan berturut-turut Ce-bi- kiak (Tendangan Setinggi Alis) lalu Coan-sin-teng-kak (Menendang Sambil Memutar Tubuh). Lamkiong Hok menjadi kerepotan dan tidak dapat menggunakan pedangnya dengan baik, sebab Oh Yun-kim terus mendesaknya dalam suatu pertarungan berjarak pendek.
Dalam geramnya, Lamkiong Hok nekad juga melakukan gerakan Wan-kiong-sia-tiau (Merentang Busur Memanah Rajawali), meskipun sebenarnya jaraknya dengan lawan kurang menguntungkan untuk jurus itu. Cepat sekali Oh Yun-kim menundukkan kepalanya dan menggunakan tangannya untuk menepis lengan lawan yang memegang pedang, lalu membalas dengan gerakan Kau-tui-hoan-tui (menekuk lutut menendang ke belakang), yaitu memutar tubuh dan melakukan tendangan rendah ke perut lawan. Ternyata tendangan ini cukup telak mendarat di perut Lamkiong Hok sehingga membuat pemimpin Hek-ki-tong ini roboh dengan perut mulas.
“Saudara Lamkiong, menyerahlah,” kata Oh Yun-kim.
“Persetan kau, Korea keparat, aku hanya akan menyerah jika tubuhku sudah tidak bernyawa lagi!” bentak Lamkiong Hok sambil melompat bangun.
Sebenarnya tingkat kepandaian antara Lamkiong Hok dan Oh Yun-kim dapatlah dikatakan cukup seimbang. Dengan kecepatan tendangannya, Oh Yun-kim sampai mendapat julukan Bu-ing-tui (si tendangan Tanpa bayangan). Tetapi kecepatan pedang Lamkiong Hok juga bukan main, sebab diapun punya julukan yang agak mirip dengan julukan Oh Yun-kim, yaitu Jit-ing-kiam (Pedang Tujuh Bayangan). Tetapi kali ini Lamkiong Hok sampai bisa didesak oleh Oh Yun-kim adalah karena hatinya yang sedang gugup, sehingga permainan pedanngya terpengaruh karenanya. Kini setelah Lamkiong Hok bangkit kembali, sikapnya pun menjadi lebih berhati-hati.
Di sudut lain, terlihatlah pula Jian-kin-sin-kun (tinju malaikat seribu kati) Lu Siong juga sedang bergebrak sengit melawan Tui-hui-mo-kay (pengemis iblis pemburu nyawa) Ko Ce-yang. Nampak pula In Yong yang berjulukan Hong-lui-siant-to (sepasang golok angin dan petir) itu juga telah berhadapan dengan Mo Hui, si Serigala Gila.
Begitulah keadaan di Lembah Jian-hoa-kok itu. Tong-cu berhadapan dengan Tong-cu, Hu-tong-cu berhadapan dengan Hu-tong-cu, anggota biasa berhadapan dengan anggota biasa. Mereka yang bertempur itu pernah bernaung di bawah satu bendera yang sama pernah pula berjuang satu cita-cita yang sama, namun kemudian sebagian telah menyeleweng dan sebagian yang lainnya berusaha membersihkan kembali cita-cita perjuangan yang telah dianggap telah ternoda itu, Hwe-liong-pang kekuatan raksasa yang menakutkan dalam dunia persilatan itu kini terancam runtuh dari dalam!
Tong Wi-hong dan kawan-kawannya menyaksikan “perang saudara” besar-besaran itu dengan hati yang tegang. Kelihatanlah bahwa pihak yang mendukung dan tetap setia kepada Hwe-liong-pang-cu masih tetap lebih banyak, namun karena pengikut Te-liong Hiang-cu juga tidak sedikit, maka agaknya akan diperlukan suatu waktu yang lama untuk menumpas para pembangkang itu. Pertempuran pasti akan berlarut-larut dan memakan korban yang banyak di kedua belah pihak.
Sementara itu Thian-liong Hiang-cu serta Kim-liong Hiang-cu, masih berdiri di atas panggung dan sedang menebarkan pandangan matanya ke seluruh lembah, untuk mengamati jalannya pertempuran itu. Beberapa kali mereka nampak menarik napas.
Sedangkan Wi-hong yang merasa ingin membantu kakaknya itu, lalu berseru kepada Hwe-liong-pang-cu yang tengah bertempur itu, “Pang-cu, ijinkan kami ikut terjun ke medan laga untuk mempercepat menyelesaikan perselisihan ini!”
Meskipun dalam keadaan tegang, namun Wi-hong masih tetap memperhatikan kewibawaan kakaknya di hadapan anak buahnya, sehingga ia tetap saja memanggilnya dengan sebutan resmi “Pang-cu” dan bukan panggilan akrab “A-siang” seperti biasanya.
Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang pun tidak lagi menolak maksud baik adiknya serta kawan-kawannya itu, maka sahutnya, “Baik, tetapi hati-hatilah. Kalian berenam jangan berpencar-pencar dan tetap dalam satu rombongan!”
“Baiklah,” kata Wi-hong menyanggupi pesan kakaknya itu. Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata, “Bersiap-siaplah. Kita akan terjun ke kancah dan bertempur di pihak Hwe-liong-pang-cu.”
Cian Ping telah bersiap dengan sepasang hau-thau-kau nya, dengan suara penuh dendam ia berkata, “kebetulan si murid pengkhianat Song Kim itu termasuk orang-orangnya Te-liong Hiang-cu. Sambil membantu Hwe-liong-pang-cu aku juga akan punya kesempatan untuk melampiaskan sakit hati terbunuhnya ayahku yang telah dikhianatinya.”
Wi-hong memaklumi bahwa dendam yang membara di hati kekasihnya itu memerlukan penyaluran keluar, agar gadis itu terlepas dari beban hatinya selama ini. Karena itu ia pun langsung menyetujui bahwa pertama-tama mereka akan mencari Song Kim dulu di tengah hiruk-pikuknya pertempuran hebat itu.
Dari atas panggung, lebih dulu mereka menebarkan mata ke segenap penjuru untuk mencari di manakah gerangan Song Kim, dan akhirnya nampak bahwa Song Kim berada di sebelah selatan panggung itu. Ia sedang bertempur dengan seorang anak muda yang berwajah kekanak-kanakan, namun mampu memainkan senjata Jit-goat-siang-lun (sepasang Roda Matahari dan Rembulan) dengan dahsyat dan gencarnya. Nampak benar bahwa Song Kim dengan tombaknya yang panjang dan berat itu keripuhan sekali.
Dari atas panggung, Wi-hong mengenal bahwa anak muda yang bersenjata Jit-goat-siang-lun itu adalah anggota Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang pernah dilihatnya bersama-sama dengan In Yong di tempat penyeberangan perahu di tepi sungai Tiang-kang. Anak muda itu pulalah yang nampak berang ketika mendengar Wi-hong menceritakan tentang kejahatan-kejahatan orang-orang Hwe-liong-pang.
Tidak jauh dari Song Kim, Han Toan dipaksa memeras keringat habis-habisan karena lawannya adalah Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning), yaitu Siang-po-kay-san Ji Tiat, si Sepasang Kampak Pembuka Gunung, yang perkasa itu.
Wi-lian pernah berkelahi dengan Ji Tiat ini, yaitu ketika ia membela Hong-ho-sam-hiong di kota Kay-hong. Namun Wi-lian punya kesan baik terhadap Ui-ki-hu-tong-cu ini. Sebaliknya terhadap Han Toan, Wi-lian punya kesan yang buruk, sebab orang itu telah ikut menculik Cian Ping di kota Tay-beng dulu.
“Song Kim di sana!” seru Wi-hong sambil menunjuk ke tempat Song Kim. “Hayo kita terjang ke sana. Tetap dalam satu barisan dan jangan berpencaran.”
Keenam orang muda itupun segera melompat turun dari panggung dan menerjang kerumunan manusia yang tengah saling membunuh itu. Seperti diketahui, kepandaian Wi-hong maupun Wi-lian ada di atas rata-rata Tong-cu Hwe-liong-pang, dan hanya setingkat di bawah kepandaian para Su-cia. Begitu pula kepandaian para Su-cia Ting Bun, Cian Ping serta dua saudara So juga tidak lemah, andaikata mereka menjadi anggota Hwe-liong-pang, mungkin paling tidak mereka akan menjabat setingkat dengan Hu-tong-cu.
Karena itu, begitu keenam orang ini terjun ke gelanggang, mereka bagaikan sebuah pisau yang menyuruk di tengah-tengah segumpal tahu saja. Atas anjuran Wi-hong mereka tidak sembarangan melukai anggota Hwe-liong-pang, sebab mereka tidak tahu manakah orang Hwe-liong-pang yang berpihak kepada Hwe- liong-pang-cu dan mana yang berpihak kepada Te-liong Hiang-cu. Namun mereka hanya membela diri apabila ada senjata yang menyelonong ke tubuh mereka.
Dalam pada itu, Song Kim yang merasa bahwa ilmu silatnya sudah cukup mengalami kemajuan karena hasil bimbingan guru barunya, yaitu Ang-mo-coa-ong, sekarang benar-benar merasa kecewa. Dia bagaikan membentur tembok, lawannya kali ini adalah Lam-ki-hu-tong-cu yang bernama Ma Hiong dan berjulukan Siau-lo-cia (Lo-cia kecil).
Meskipun wajah Ma Hiong masih seperti wajah kanak-kanak usia belasan tahun, ternyata permainan sepasang rodanya begitu hebat, sehingga Song Kim hanya bisa bertahan dan tidak bisa menyerang. Bertahan itupun dilakukannya dengan susah- payah. Sebenarnya Song Kim mengharapkan bantuan Han Toan yang tidak jauh dari padanya. Namun, Han Toan sendiri sedang sulit mempertahankan diri sendiri dari amukan sepasang kampak pendek Ji Tiat, tentu saja tidak bisa membantunya.
Dan semangat Song Kim semakin berantakan ketika melihat Tong Wi-hong dan lima orang kawannya tengah mendekati ke arahnya, apalagi ketika Song Kim melihat wajah Cian Ping yang membara penuh dendam kesumat itu. Mata Song Kim mulai celingukan kian-kemari, mencari jalan yang aman untuk melarikan diri.
Siau-lo-cia Ma Hiong tertawa dingin melihat tingkah lawannya itu, ejeknya, “Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri bagi setiap pengkhianat yang telah menodai Hwe-liong-pang!”
Song Kim menjadi semakin gugup, sementara gempuran-gempuran lawannya setiap saat terasa bertambah berat. Karena lengah, suatu ketika Ma Hiong berhasil mengait dan menjepit tombak Song Kim dengan gerigi pada Jit-lun (Roda Matahari) di tangan kanannya, lalu ia susulkan sebuah hantaman Goat-lun (Roda Rembulan) ke ubun-ubunnya.
Meskipun tampang Ma Hiong masih kekanak-kanakan, namun dalam segala tindakannya ternyata ia cukup tegas dan tidak ragu-ragu sedikitpun, maka nampaknya sebentar lagi batok kepala Song Kim akan pecah berantakan dan otaknya pun akan terburai keluar. Namun dalam gugupnya Song Kim masih sempat melepaskan tombaknya dan menggulingkan diri untuk menjauhi lawannya yang garang itu.
Tetapi begitu Song Kim melompat berdiri kembali, terdengarlah bentakan dingin dari seorang gadis di dekatnya, “Murid durhaka yang tidak tahu membalas budi, kini adalah saat kematianmu!”
Punggung Song Kim langsung saja dialiri keringat dingin setelah melihat siapa yang berdiri dihadapannya kini. Dulu Song Kim pernah sangat mengagumi wajah cantik itu, dan bahkan mendambakan untuk memilikinya. Tetapi kini wajah Cian Ping yang berapi-api dan dengan senjata tergenggam di tangannya, tidak kurang mengerikannya dari wajah sesosok malaikat elmaut yang siap menjemput nyawanya.
“Su-moay, harap kau mengingat hubungan baik kita yang dulu...” seru Song Kim setengah meratap, mukanya menjadi pucat.
Sebenarnya, dalam keadaan biasa Song Kim pasti akan sanggup mengalahkan puteri bekas gurunya itu, namun saat itu keadaan Song Kim lain dari biasanya. Selain karena hatinya dibebani perasaan bersalah, juga karena orang-orang yang datang bersama dengan Cian Ping itu adalah orang-orang yang paling ditakutinya. Di situ nampak pula Tong Wi-hong yang sangat ditakuti tapi juga sangat dibenci oleh Song Kim itu.
Nampak pula Tong Wi-lian, macan betina Siau-lim-pay, yang dengan sendirian saja berhasil membunuh sepasang penjahat dari Shoa-tong, serta mengalahkan Mo Hui di luar kota Kiang-leng itu. Masih ada pula Ting Bun dan dua saudara So serta Ma Hiong yang kini telah berdiri melingkari Song Kim. Kini Song Kim benar-benar seperti seekor binatang buruan yang terperangkap dalam jerat para pemburu.
Cian Ping tertawa dingin ketika melihat Song Kim meratap mohon ampun seperti itu. Ejeknya lagi, “Bangsat berjantung anjing, ke manakah gerangan semua keberanian dan kegaranganmu yang selama ini kau pamer-pamerkan? Kau bicara pula tentang hubungan baik masa lalu, tetapi ketika kau membawa kawan-kawanmu untuk meluruk membunuh ayahku, apakah kau juga ingat akan budi yang dilimpahkan oleh ayahku kepadamu?”
“Bu... bukan aku yang membunuh ayahmu....”
“Pengecut!” bentak Cian Ping dengan muak. Dengan penuh kemarahan segera gadis itu menerjang dengan sepasang hau-thau-kau nya.
Terpaksa Song Kim yang tidak ingin mati konyol itu harus melakukan perlawanan, meskipun tombaknya sudah lepas dari tangannya, tapi ternyata ia punya ilmu tangan kosong yang lumayan juga. Demikianlah, di tengah hiruk-pikuknya baku-hantam antara orang-orang Hwe-liong-pang yang berbeda pendirian, terjadi pula pertarungan sengit yang tidak ada hubungannya dengan urusan Hwe-liong-pang melainkan semata-mata karena urusan pribadi.
Siau-lo-cia Ma Hiong yang telah kehilangan lawan karena digantikan oleh Cian Ping itu, tidak ingin menganggur saja. Maka sambil memutarkan sepasang roda bajanya, ia menerjang ke arah para pengikut Te-liong Hiang-cu dan mengamuk hebat. Anggota-anggota biasa yang sudah kenal kehebatan Lam-ki-hu-tong-cu ini lebih suka menyingkir daripada menjadi korban Jit-goat-siang- lun nya. Namun akhirnya Ma Hiong pun menemukan lawan yang seimbang, yaitu Jai-ki-hu-tong- cu (Wakil Pemimpin Kelompok Bendera Cokelat) yang bernama Lo Tong- bun.
Di sebelah lain, pertarungan antara Ji Tiat dengan Han Toan sudah mendekati penyelesaiannya. Han Toan telah merasa pegal-pegal seluruh tangannya, karena dengan toyanya dia dipaksa terus-menerus menangkis sepasang kampak Ji Tiat yang digerakkan dengan tenaga raksasa itu. Toya perunggunya yang selama ini dibanggakan sebagai senjata andalannya, kini sudah tidak keruan lagi bentuknya, bengkok sana bengkok sini karena berpuluh-puluh kali diadu dengan kampak Ji Tiat.
Beberapa saat kemudian, Han Toan merasa tidak ada gunanya melawan terus. Maka akhirnya dia melompat mundur sambil menjatuhkan toyanya, dan berseru, “Ji Toako, harap kau mengingat bahwa kita pernah satu perjuangan. Ampunilah jiwaku!”
Ji Tiat memang bukan seorang pembunuh haus darah yang ganas. Melihat Han Toan telah menyerah, diapun menghentikan serangannya, lalu Han Toan diserahkan kepada beberapa orang anak buahnya untuk diborgol dan dikurung untuk menunggu hukuman.
Setelah pertempuran sengit di tengah lembah Jian-hoa-kok itu berjalan setengah harian lebih, kelihatan semakin jelas bahwa kedudukan para pengikut Te-liong Hiang-cu ternyata semakin jauh berada di bawah angin. Banyak di antara mereka yang terbunuh, tertawan, menyerah, atau berhasil melarikan diri keluar dari lembah itu. Yang masih gigih bertahan di dalam lembah itu sudah tidak seberapa lagi jumlahnya, mereka lah orang-orang nekad yang telah terbius oleh mimpi indah yang pernah dijanjikan oleh Te-liong Hiang-cu!
Namun demikian tidak berarti bahwa di antara pengikut Hwe-liong-pang-cu tidak ada korban yang jatuh. Paling tidak ada puluhan orang yang tewas, sedang yang luka-luka jauh lebih banyak lagi. Perang saudara yang tidak seimbang itu kini berlangsung semakin tidak seimbang.
Para pengikut Te-liong Hiang-cu yang masih berkeras kepala itu perlahan-lahan “digiring” ke tengah lembah untuk dikepung rapat-rapat. Kemungkinan untuk meloloskan diri pun semakin kecil, sebab di tengah lembah itulah masih ada dua tokoh sakti yang berpihak kepada Hwe-liong-pang-cu, yaitu Thian-liong Hiang-cu dan Kim-liong Hiang-cu.
Di tengah semrawutnya pertentangan itu, nampaklah Song Kim yang telah berlumuran darah karena luka-lukanya itu tengah terpontang-panting menyelamatkan diri dari amukan bekas su-moay nya itu. Terlihat pula Lamkiong Hok sudah kehilangan harapan juga, karena ia harus menghadapi kerubutan dua orang rekannya yang berilmu setingkat dengannya, yaitu masing-masing adalah Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim dan Ui-ki-tong-cu Kwa Heng.
Yang satu sangat ampuh dan berbahaya dengan tendangan kilatnya, yang lain begitu mahir dengan Kau-kun (Silat Kera) yang dikuasainya dengan matang. Maka si Pedang Tujuh Bayangan itu sudah dapat membayangkan nasib apa yang kira-kira bakal menimpanya.
Sambil melawan, Lamkiong Hok melirik ke kiri dan kanan, mencari-cari kalau-kalau ada rekan sekomplotannya yang bisa membantu kesulitannya. Namun Hong-long-cu Mo Hui dan Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang tidak nampak lagi batang hidungnya, entah terbunuh entah tertawan, atau mungkin juga berhasil melepaskan diri keluar lembah. Sedangkan Sebun Say, Tang Kiau-po dan Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau juga sudah tidak bisa lagi diharapkan bantuannya.
Sebab mereka masing-masing pun sedang sibuk mempertahankan nyawanya sendiri-sendiri. Akhirnya Lamkiong Hok menyesal kenapa dia dulu begitu tolol untuk terpikat kepada janji-janji muluk Te-liong Hiang-cu, dan akhirnya memasuki menjadi anggota komplotan yang akan menggulingkan Hwe-liong-pang-cu itu. Tetapi ternyata beginilah nasib yang bakal diterimanya.
Gelagat buruk buat komplotan pembangkang itu juga sudah tercium oleh Te-liong Hiang-cu dsari atas panggung. Saat itu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau sudah terdesak selangkah demi selangkah oleh Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang. Sedang tidak jauh dari padanya, Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin sudah siap mencegatnya jika ia berusaha melarikan diri.
Mereka berempat adalah bekas anak-anak An-yang-shia yang kini menjadi empat orang tokoh puncak Hwe-liong-pang, pernah mengalami suka-duka bersama selama bertahun-tahun, namun kini mereka benar-benar telah berdiri sebagai musuh bebuyutan. Akhirnya Tan Goan-ciau terpaksa menerima kenyataan bahwa rencana yang disusunnya selama ini telah gagal seluruhnya. Rusak berantakan seperti patung tanah yang direndam dalam air.
Dalam keadaan yang amat pahit itu, Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk melarikan diri saja. Ia tidak peduli lagi akan mati hidup dari anggota komplotannya yang masih terkurung di dalam lembah itu, yang penting dirinya sendiri selamat. Memang begitulah sifatnya sejak ia masih menjadi seorang penjudi kecil di An-yang-shia.
Karena merasa sangat mustahil untuk mengalahkan Tong Wi-siang dengan ilmu-ilmu biasa, maka akhirnya Tan Goan-ciau bertekad akan menggunakan sejenis ilmu hitam yang bernama Thian-mopay-goat-sin-kang (Tenaga Sakti Hantu langit Menyembah Rembulan). Karena itu tiba-tiba saja Tan Goan-ciau melompat mundur dan melepaskan ikat kepalanya.
Sehingga rambutnya terurai menutupi mukanya, sinar matanya pun semakin hijau dan mantera-mantera yang digumamkannya semakin keras. Ilmu ini memang sangat dahsyat, tetapi penggunaannya dapat melukai diri sendiri, sehingga umumnya para penganutnya tidak akan menggunakan ilmu ini jika tidak dalam keadaan yang terdesak.
Perubahan sikap itu mengejutkan Tong Wi-siang. Wi-siang tahu juga akan ilmu itu, sebab ilmu itu tercantum dalam kitab kuno peninggalan Bu-san-jit-kui. Dia tahu pula bahwa orang yang mengetrapkan ilmu itu akan berlipat ganda kekuatannya, tetapi dirinya sendiripun akan luka dalam.
Dalam kejutnya, Wi-siang melompat mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi ilmu yang dahsyat itu. Namun Tan Goan-ciau sama sekali tidak membiarkan Tong Wi-siang sempat mempersiapkan dirinya. Cepat cepat ia menggigit lidahnya sendiri sehingga berdarah, lalu disemburkannya segumpal darah mengenai tubuh Tong Wi-siang. Itulah satu-satunya cara yang diajarkan oleh Kitab Bu-san-jit-kui untuk mencegah agar Wi-siang tidak dapat mempergunakan ilmu yang sama.
Segala sesuatunya terjadi dalam waktu yang amat singkat. Semburan darah Tan Goan-ciau disusul dengan sergapan kilatnya yang menghantam dada Tong Wi-siang. Tanpa sempat menghindari lagi, ketua Hwe-liong-pang itu terpental roboh sambil memuntahkan darah segar, topeng yang dipakainya pun berlumuran darah.
“A-siang!” Hampir bersamaan terdengarlah seruan kaget dari Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin. Siangkoan Hong cepat memburu ke depan untuk menyanggah tubuh Wi-siang, sedangkan Lim Hong-pin cepat melompat menghadang Tan Goan-ciau agar jangan menyerang lagi ke arah Wi-siang.
Namun Tan Goan-ciau sendiri agaknya memang tidak berniat melanjutkan serangannya, dia hanya mencari kesempatan untuk melarikan diri saja. Maka begitu melihat Wi-siang roboh, ia langsung melompat pergi dengan kecepatan kilat, sekejap saya bayangannya sudah tidak terlihat lagi. Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak mengejarnya, sebab mereka lebih mementingkan keadaan Sang Ketua yang nampak agak parah itu.
Dengan agak tertatih Wi-siang berhasil juga untuk bangkit berdiri. Setelah menarik napas beberapa kali, ia berkata dengan suara yang lemah, “Goan-ciau memang gila, aku tidak menduga ia akan berani menggunakan ilmu itu. A-hong dan A-pin berdua, keadaanku tidak terlalu menguatirkan, cepatlah kalian terjun ke gelanggang untuk mempercepat penyelesaian agar korban di pihak kita tidak terlalu banyak.”
Meskipun masih mencemaskan keadaan tubuh Tong Wi-siang yang masih lemah itu, namun Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin langsung menjalankan perintah Ketua dan sahabatnya itu tanpa membantah. Dengan meratnya Te-liong Hiang-cu serta terjunnya Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu yang berkepandaian seperti iblis itu, maka keseimbangan pertempuran di lembah Jian-hoa-kok itu dengan cepatnya terasa makin berat sebelah.
Para pengikut Te-liong Hiang-cu menjadi patah semangat karena ditinggalkan begitu saja oleh pemimpinnya, apalagi setelah mereka melihat bagaimana dengan mudahnya Te-liong dan lainnya tidak berdaya apa-apa. Kemudian Sebun Say dan Tang Kiau-po yang menerima nasib sial untuk pertama kalinya, sebab mereka dengan mudahnya diringkus oleh Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu.
Seruan untuk menyerah segera dikumandangkan kepada para pengikut Te-liong Hiang-cu yang masih melawan. Seruan itu ditaati oleh sebagian dari mereka, namun yang sebagian lainnya tetap berkepala batu untuk melawan, sehingga tidak ada jalan lain kecuali ditumpas habis. Di antara orang-orang yang tertumpas habis itu terdapat pula Lamkiong Hok, yang tulang-tulang dadanya rontok oleh tendangan Oh Yun-kim, juga Song Kim yang mati di bawah senjata seorang gadis yang pernah dicintainya.
Meskipun pemberontakan dalam Hwe-liong-pang itu akhirnya berhasil dipadamkan, namun korban di pihak pengikut Hwe-liong-pang-cu tidak sedikit pula. Anggota-anggota dari berbagai Tong yang tewas, ada seratus orang lebih, sedang yang luka-luka jauh lebih banyak lagi. Di antara pengikut-pengikut yang tewas itu terdapat pula Hu-tong-cu (wakil pemimpin kelompok) dari Pek-ki-tong dan Ci-ki-tong.
Para pembangkang yang menyerah segera diikat kaki tangannya dan dikumpulkan di salah satu sudut lembah untuk menunggu keputusan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada mereka. Sedang orang-orang yang tewas, baik pengikut Hwe-liong-pang-cu maupun pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu, segera dimakamkan di lembah itu juga. Kini di antara bunga-bunga yang bertaburan di lembah itu, bertaburan pula gundukan-gundukan tanah merah yang berisi mayat-mayat anggota-anggota Hwe-liong-pang.
Meskipun isi dadanya masih terasa agak nyeri, Tong Wi-siang menguatkan diri untuk duduk di atas batu di tengah-tengah panggung. Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu serta dua orang Su-cia mengapit di kiri dan kanan Sang Ketua dengan sikap mengawal. Sementara Tong Wi-hong dan kawan-kawannya pun telah berada kembali di atas panggung.
Wajah mereka rata-rata menampilkan kesedihan, karena penertiban dalam tubuh Hwe-liong-pang itu ternyata memakan korban jiwa begitu banyak, namun mereka pun merasa terhibur bahwa di kemudian hari para pengacau yang bernaung dibawah bendera Hwe-liong-pang itu tidak akan meresahkan dunia persilatan lagi.
Tong Wi-siang pun nampak sedih. Meskipun wajahnya tidak terlihat, sebab tertutup topeng, namun perasaan sedihnya itu dapat dilihat dari tarikan napas panjangnya yang berulang-ulang. Matanya yang redup menatap kepada Wi-hong, Wi-lian dan kawan-kawannya, katanya dengan suara agak parau, “Aku tidak berbohong bukan? Aku benar-benar melakukan penertiban itu, meskipun hal itu nyaris saja membuat Hwe-liong-pang hancur berkeping-keping oleh perang saudara.”
“Tetapi itu adalah tindakan yang berani dan terpuji,” sahut Wi-hong. “Sebuah luka yang membusuk harus segera diobati dan diberantas, betapapun rasa sakitnya, agar luka itu tidak menjalar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh tubuhnya menjadi busuk.”
“Ucapan yang tepat,” sambung Thian-liong Hiang-cu dari balik topengnya. “Memang sangat menyedihkan, bahwa hampir sepertiga dari kekuatan Hwe-liong-pang kita telah hancur begitu saja karena bentrokan dalam tubuh sendiri. Namun untuk waktu-waktu selanjutnya Hwe-liong-pang kita akan berjalan lurus dalam garis perjuangan tanpa menyeleweng.”
Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Kata-kata kalian sangat membesarkan hatiku. Sekarang aku akan mengumumkan suatu keputusan. Tan Goan-ciau kunyatakan kupecat dari Hwe-liong-pang, selanjutnya jika kalian bertemu dengan dia dimana saja, kalian boleh langsung menumpasnya.”
Setelah menarik napas beberapa kali, Wi-siang berkata lagi, “Kita akan tetap punya delapan kelompok yang bekerja di wilayahnya masing-masing. Para Tong-cu (Kepala Kelompok) Hu-tong-cu (wakil Kepala Kelompok) yang telah gugur atau telah dipecat, akan segera diangkat penggantinya. Sedang untuk jabatan Su-cia (Utusan) untuk sementara biarlah diduduki oleh dua orang saja, kelak perlahan-lahan akan kulihat siapa yang pantas untuk mengisi lowongan yang dua lagi.”
Sementara itu, penguburan mayat-mayat sudah selesai, dan matahari pun sudah condong ke sebelah barat. Para anggota Hwe-liong-pang segera berbaris tertib dalam kelompoknya masing-masing untuk menantikan perintah lebih lanjut. Ternyata tidak semua anggota dari kelompok Bendera Merah, Coklat, Hijau dan Hitam itu ikut memberontak seperti pemimpin kelompok mereka. Ada sebagian kecil dari anggota kelompok-kelompok itu yang tadi bertempur gigih di pihak Ketua yang sah.
Kini merekapun berbaris menurut kelompoknya lagi, dan meskipun jumlah mereka sangat sedikit, namun wajah-wajah mereka menampilkan perasaan puas dan bangga, karena merasa telah menyumbangkan tenaga untuk ikut menegakkan kewibawaan Ketua yang sah.
Setelah seluruh anggota berkumpul dalam kelompoknya masing-masing, terdengarlah suara Hwe-liong-pang-cu mengumandang ke seluruh lembah, “Kita merasa puas bahwa kita berhasil menertibkan diri sendiri, membersihkan tubuh kita sendiri dari penyakit yang selama ini menggerogoti dari dalam dan membuat nama kita menjadi busuk di luaran. Peristiwa pahit ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap anggota tetap setia kepada tujuan akhir kita tanpa punya pikiran untuk menyeleweng. Hendaknya peristiwa seperti ini hanya terjadi sekali ini, dan merupakan cambuk bagi kita agar di kemudian hari lebih berhati-hati dalam menerima anggota, jangan sembarangan menerima orang yang tidak diketahui asal-usulnya.”
Suasana di lembah hening sejenak, sampai terdengar lagi suara Hwe-liong-pang-cu, “Aku juga berterima kasih kepada mereka yang gigih menegakkan kewibawaan Pang tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, bahkan nama-nama mereka yang gugur membela nama Hwe-liong-pang, akan tetap kita ukirkan dalam hati kita. Marilah bersama kita hadapi hari esok yang cerah, namun tidak berarti perjuangan kita akan mandeg. Hari ini kalian boleh beristirahat, pertemuan ini akan kita lanjutkan besok pagi dengan acara lain, menetapkan kembali garis perjuangan kita dalam menghadapi perkembangan-perkembangan baru.”
Begitulah pertemuan hari pertama itu ternyata diwarnai dengan mengalirkan darah dan melayangnya ratusan nyawa. Namun hal itu memang sudah dalam perkiraan semua pihak. Tong Wi-hong dan kawan-kawannya merasa sudah cukup menghadiri dan menyaksikan pertemuan hari itu. Sedangkan pertemuan esok hari tentunya lebih bersifat urusan dalam rumah tangga Hwe-liong-pang sendiri yang tidak pantas untuk dicampuri orang luar, maka Wi-hong dan kawan-kawannya lalu memutuskan bahwa besok pagi-pagi akan meninggalkan lembah.
Namun ketika Wi-hong mengemukakan hal itu kepada kakaknya yang Ketua Hwe-liong-pang itu, sang kakak minta diberi kesempatan untuk lebih dulu menjamu Wi-hong dan kawan-kawannya dalam suatu perjamuan perpisahan. Maka pada malam harinya berlangsunglah sebuah perjamuan yang berlangsung sangat sederhana tetapi bersuasana akrab, tempatnya ialah di salah satu barak yang memang didirikan di sekitar lembah itu.
Yang mengitari meja perjamuan adalah Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang merasa tidak perlu lagi mengenakan topeng mereka, juga Hong-goan Hweshio, Ling Thian-ki, para Tong-cu serta Hu-tong-cu yang masih setia kepada Ketua, dan tentu saja Wi-hong sendiri dan rombongannya.
Karena Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak hadir sebagai tokoh-tokoh Hwe-liong-pang melainkan hadir sebagai pribadi, maka pertemuan itu berjalan akrab dan tidak kaku, lebih menyerupai pesta anak-anak An-yang-shia daripada pesta yang diselenggarakan oleh tokoh seangker Hwe-liong-pang-cu.
Saat itu pulalah Cian Ping baru mengetahui bahwa Hwe-liong-pang-cu yang menakutkan itu ternyata adalah bakal kakak iparnya sendiri, begitu pula Ting Bun tidak menduga kalau sahabatnya semasa kanak-kanak itulah yang ternyata bersembunyi di balik kedok Hwe-liong-pang-cu yang menggemparkan itu. Namun dendam kesumat di hati Cian Ping sudah terhapus bersih, dia sudah melihat sendiri bagaimana Hwe-liong-pang ternyata terbagi dua dalam bagian yang baik dan yang jahat, lagipula Cian Ping juga puas karena Song Kim, si pengkhianat, sudah berhasil dibunuhnya dengan tangannya sendiri.
Muka Tong Wi-siang masih agak pucat karena luka dalamnya akibat hantaman Te-liong Hiang-cu tadi, namun ia nampak gembira dan berkali-kali mengajak tamu-tamunya untuk meneguk cawan araknya. Katanya kepada Wi-hong dan rombongannya,
“Adik-adikku dan saudara-saudara sekalian, kalian sudah melihat sendiri sebuah peristiwa besar di lembah ini, bagaimana kami benar-benar berusaha mencuci diri, meskipun harus kehilangan sebagian dari kekuatan kami. Mulai detik ini, aku berharap bahwa Hwe-liong-pang yang kejam dan sewenang-wenang akan terhapus dari ingatan orang, digantikan dengan Hwe-liong-pang yang bersih, dengan cita-cita luhur kami untuk mendobrak kebobrokan pemerintahan Cong-ceng dan mengusahakan kesejahteraan rakyat banyak.”
Kata-kata yang terakhir itu cukup menggetarkan dada Ting Bun, Cian Ping dan dua saudara So yang memang belum pernah mendengarnya, sebab kalimat itu mengandung makna bahwa Hwe-liong-pang akan berusaha merobohkan Kerajaan Beng yang saat itu berkuasa! Jika hal itu yang betul-betul digariskan sebagai cita-cita Hwe-liong-pang.
Maka agaknya Tong Wi-siang ingin agar namanya tercatat dalam sejarah sebagai pendiri dinasti baru. Sejajar dengan Tio Khong-in, itu pendiri dinasti Song, atau Li Yan si pendiri dinasti Tong, atau Temuchin si pendiri dinasti Goan dan juga Cu Goan-ciang si pendiri dinasti Beng. Benar-benar suatu cita-cita yang tidak tanggung-tanggung.
Sementara itu Tong Wi-siang telah melanjutkan kata-katanya dengan bersemangat, “Adik-adikku, kelak jika kalian menghadiri pertemuan besar kaum kesatria di Siong-san, kuharap kalian menceritakan apa yang kalian lihat di lembah ini. Sampaikanlah pesanku kepada kaum kesatria di Siong-san itu, bahkan Hwe-liong-pang bukan musuh mereka, namun justru kawan mereka yang akan mengajak mereka untuk bergandengan tangan memperjuangkan cita-cita luhur.”
Keesokan harinya, ketika baru saja matahari terbit, Wi-hong dan kelima orang kawannya itu berkuda meninggalkan lembah Jian-hoa-kok yang penuh kenangan itu. Kepergian mereka diantarkan sendiri oleh Wi-siang sampai ke luar lembah, juga oleh beberapa orang tokoh Hwe-liong-pang.
* * * * * * *
LEBIH dulu Tong Wi-hong dan kawan-kawannya menuju ke rumah keluarga Tong di An-yang-shia itu untuk mengambil perbekalan yang mereka tinggalkan di sana. Kemudian setelah mengambil bekal dan berpesan kepada para pelayan agar merawat rumah itu dan makam Tong Tian sebaik-baiknya, Tong Wi-hong mengajak rombongannya menuju ke Siong-san di wilayah Ho-lam, untuk menghadiri pertemuan kaum pendekar yang diprakarsai oleh pihak Siau-lim-pay.
Seperti diketahui, Tiong-gi Piau-hang menerima pula sepucuk undangan dari Siau-lim-pay. Meskipun Tiong-gi Piau-hang itu pada hakekatnya bukanlah sebuah aliran atau perguruan silat, melainkan hanya sebuah perusahaan di bidang pengawalan, namun kekuatannya yang cukup tangguh itu dianggap dapat ikut berperanan dalam setiap peristiwa dunia persilatan.
Dalam Tiong-gi Piau-hang itulah bernaung puluhan orang jagoan tangguh, sehingga pihak penyelenggara pertemuan itu merasa lebih bijaksana untuk merangkul Tiong-gi Piau-hang sebagai sekutu. Yang diundang hadir itu sebenarnya adalah Cian Sin-wi, namun karena Cian Sin-wi telah tewas, maka kehadirannya diwakili oleh Tong Wi-hong yang telah menjadi pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang itu.
So Hou dan So Pa sebenarnya sudah ditawari oleh Wi-hong untuk pulang kembali ke Bu-sek, namun kedua saudara So itu menyatakan bertekad untuk mengawal Tong Wi-hong sampai ke Siong-san. Menurut pendapat kedua saudara itu, seorang pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang terkenal itu tidak pantas kalau muncul seorang diri tanpa pengawal, harus ada pengawalan supaya nampak kewibawaannya.
Mau tak mau Tong Wi-hong tersenyum mendengar alasan yang dikemukakan oleh kedua orangnya itu. Katanya, “Kadang-kadang aku lupa bahwa aku adalah Cong-piau-thau Tiong-gi Piau-hang, sehingga aku masih saja berbuat sesuka hatiku seperti dulu ketika masih bebas.”
Karena Siau-lim-si terletak di wilayah Ho-lam, maka perjalanan mereka pun ditujukan ke arah utara. Hari pertama perjalanan mereka sejak meninggalkan An-yang-shia, mereka tiba di kota Kiu-kiang yang terletak di tepian sungai besar Yang-ce-kiang. Mereka bermalam di kota itu, dan di kota itu pula mereka masih dapat menikmati danau Po-yang-ou yang membentang luas sampai bersentuhan dengan sungai Yang-ce-kiang.
Setelah keesokan harinya mereka menyeberangi sungai yang terkenal itu, tidak lama kemudian mereka pun memasuki wilayah Ou-pak. Begitu masuk daerah Ou-pak, mulailah Tong Wi-hong dan kawan-kawannya merasakan suasana tegangnya kaum persilatan di wilayah itu. Sebentar-sebentar nampak orang-orang yang berkuda dan menyandang senjata, hilir-mudik di jalanan dan bersikap mengawasi setiap orang asing.
Pertemuan kaum pendekar di Siong-san itu memang bermaksud untuk menghadapi Hwe-liong-pang, maka tidak mengherankan jika kaum pendekar pun menyiapkan penjagaan ketat karena kuatir akan pengacauan dari pihak Hwe-liong-pang.
Para-para jago persilatan yang ditemui sepanjang jalan menuju ke Siong-san itu, rata-rata terdiri dari jago-jago muda usia dari berbagai perguruan terkenal dunia persilatan. Mereka dilengkapi dengan burung-burung merpati pembawa surat serta kuda-kuda tunggangan yang dapat berlari cepat, supaya dapat segera saling berhubungan bila ada keadaan darurat. Demikianlah, suasananya mirip suasana perang.
Namun untunglah, bahwa banyak diantara jago-jago muda itu yang mengenal Wi-hong sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, atau banyak pula murid-murid Siau-lim-pay yang mengenal Wi-lian sebagai sesama murid Siau-lim-pay pula. Bahkan tidak sedikit pula yang sudah mengenal dua saudara So yang luas pengalamannya karena sering berkelana itu. Dengan demikian perjalanan Wi-hong dan rombongannya cukup lancar.
Meskipun perjalanan cukup lancar, tapi “suasana perang” yang ditunjukkan oleh para jago muda dari berbagai perguruan itu cukup mendebarkan hati. Maklumlah, mereka adalah anak-anak muda yang baru keluar dari perguruan dan dalam anggapan mereka maka mereka sudah merupakan orang-orang yang tak terkalahkan, mereka menjual lagak dan selalu mencari kesempatan untuk menghunus pedang mereka dan memamerkan kebolehannya bermain pedang.
Selain itu, melihat sekian banyak jagoan yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang, maka Tong Wi-hong menjadi bimbang, dapatkah nanti ia meyakinkan para pendekar itu bahwa Hwe-liong-pang bukanlah musuh? Dan bagaimana nanti sikap golongan-golongan atau perguruan-perguruan yang pernah dirugikan oleh Hwe-liong-pang? Semuanya itu masih merupakan pertanyaan-pertanyaan yang belum dipastikan jawabannya.
Rombongan Tong Wi-hong melalui wilayah Ou-pak dalam waktu lima hari berkuda, pada hari yang keenam mereka telah mulai menginjak wilayah Ho-lam. Di sini perjalanan lebih lancar lagi, sebab nama besar Siau-lim-pay sangat terasa pengaruhnya di wilayah ini, dan banyak di antara jago-jago Siau-lim-pay itu yang mengenal Wi-lian, baik yang pendeta maupun yang bukan pendeta.
Setelah melakukan perjalanan dua hari lagi, Wi-hong dan rombongannya mulai memasuki kota Teng-hong, jaraknya dengan bukit Siong-san sudah tidak jauh lagi. Maka Tong Wi-hong memutuskan untuk beristirahat satu hari di kota itu, sambil melihat-lihat suasana. Mereka beristirahat di sebuah rumah makan merangkap rumah penginapan yang bernama “Hui-in-lau” yang terletak tepat di jantung kota Teng-hong.
Di situ mereka menyewa tiga kamar. Cian Ping dan Wi-lian menempati satu kamar, begitu pula Wi-hong dan Ting Bun serta dua saudara So masing-masing mendapat satu kamar. Mereka sengaja memilih kamar di loteng atas yang jendelanya menghadap ke jalan raya, sehingga mereka akan dapat memperhatikan keadaan di jalan raya itu.
Ketika hari sore, Ting Bun dan Tong Wi-hong duduk bercakap-cakap di dekat jendela kamar mereka, sambil sekali-kali menghirup teh wangi mereka. Mereka sedang membicarakan bagaimana caranya mengadakan pendekatan kepada kaum pendekar, dan bagaimana menerangkan tujuan Hwe-liong-pang kepada kaum pendekar itu...?
Selanjutnya;