Perserikatan Naga Api Jilid 28
LERENG bukit Siong-san yang biasanya sunyi itu, kini telah penuh dengan murid-murid dari berbagai perguruan dengan seragamnya masing-masing, sementara ujung-ujung senjata mencuat di sana-sini, menimbulkan suasana tegang yang mencengkam perasaan.
Di antara perguruan-perguruan yang akan ambil bagian dalam menghadapi serbuan musuh itu, Siau-lim-pay sebagai tuan rumah merupakan perguruan yang paling banyak mengikut-sertakan anggotanya, bukan saja golongan pendeta yang di dalam kuil tetapi juga murid-murid premannya.
Agaknya penghormatan yang selama ini diberikan oleh umat persilatan terhadap Siau-lim-pay merasa tidak keliru, sebab Siau-lim-pay ini memang selalu merasa paling bertanggung jawab terhadap ketentraman dunia persilatan. Itulah sebabnya Siau-lim-pay dapat menegakkan selama ratusan tahun dengan namanya yang harum.
Dalam persiapan menyambut musuh itu, dari pihak Siau-lim- pay nampaklah rahib tua angkatan huruf “Hong” seperti Hong-tay, Hong-koang yang angin-anginan itu, Hong-leng, Hong-bun dan yang lain-lainnya yang rata-rata kepandaiannya hampir sejajar. Sedangkan rahib-rahib angkatan bawahnya lagi, yaitu yang namanya memakai huruf “Bu” ada puluhan jumlahnya, tersebar di sudut-sudut bukit Siong-san. Ada juga di antara mereka yang berkelompok-kelompok membentuk barisan Lo-han-tin yang terkenal itu.
Ketika matahari sudah mulai terasa hangatnya, maka seorang penunggang kuda muncul di kaki bukit, dan langsung memacu kudanya ke atas bukit. Orang itu berseragam murid Hoa-san-pay, masih muda dan tangkas. Ia langsung menemui Hong-tay Hwesio yang telah diangkat sebagai beng-cu (Pemimpin Umum) dalam gerakan seluruh kaum pendekar itu.
“Ada berita apa?” tanya Hong-tay Hwesio.
Murid Hoa-san-pay itu melompat turun dari kudanya dan memberi hormat, laporannya, “Beng-cu, orang-orang Hwe-liong-pang sudah melewati kota Teng-hong dan sedang bergerak menuju ke mari. Mereka bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, tapi jumlahnya seluruh hampir dua ribu orang, dan diperkirakan mereka akan bergabung kembali menjadi barisan besar kira-kira lima li dari kaki bukit ini!”
Laporan itu membuat para pendekar jadi berubah hebat wajahnya. Kaum pendekar yang berkumpul di Siong-san itu kalau dijumlahkan semuanya paling banter hanya empat ratus orang, termasuk rahib-rahib Siau-lim-pay. Jika pihak lawan benar-benar berjumlah sebesar itu, berarti setiap pendekar harus menghadapi lima orang lawan yang belum diketahui entah sampai di mana kepandaian silatnya. Sebab serendah rendahnya ilmu silat seorang anggota biasa, tapi orang yang sudah berani berkecimpung dalam dunia persilatan tentu punya keyakinan dengan kemampuan dirinya sendiri.
Namun Rahib Hong-tay memperlihatkan sikap tenang-tenang saja mendengarkan laporan itu. Katanya, “Baiklah, kau boleh pergi dan bergabung dengan teman-temanmu.”
Lalu kepada beberapa pendekar tua serta ketua-ketua perguruan yang akan menjadi “panglima”-nya, Hong-tay Hwesio berkata, “Jangan gugup mendengar jumlah lawan yang lebih besar. Kita tidak akan menghadapi mereka dalam suatu pertarungan keras lawan keras secara terbuka, tetapi kita pancing mereka dalam pertempuran di hutan pohon siong, supaya kita mendapat keuntungan tempat dan dapat saling membantu.”
Setelah itu Hong-tay Hwesio lalu memanggil seorang Rahib tua lainnya, “Hong-leng Sute, kemarilah!”
Rahib tua yang bernama Hong-leng itu segera mendekat dan mendengarkan perintah kakak-seperguruannya, “Kau boleh membawa beberapa murid dan keponakan murid kita untuk membentuk beberapa buah barisan Lo-han-tin di beberapa tempat penting dalam kuil kita. Tidak seorang musuh pun boleh masuk untuk menodai kesucian kuil kita, dan juga jangan sampai Ciang-bun Suheng (kakak seperguruan yang menjadi Ketua) dikagetkan dari semedinya dalam usaha penyembuhan penyakitnya.”
“Baik, Suheng,” sahut Hong-leng Hweshio.
Setiap orang yang mendengar perintah Hong-tay Hwesio itu tergetar hatinya, terutama murid-murid Hwe-liong-pang sendiri. Mereka sudah bertekad bulat, bukan saja mempertahankan kuil dari jamahan tangan-tangan berdarah Hwe-liong-pang, melainkan menumpas Hwe-liong-pangnya sekalian sebagai sumber penyakit.
Dan kepada “panglima-panglima”-nya, Hong-tay Hwesio berkata, “Marilah kita sambut hangat tamu-tamu tak diundang itu.”
Maka berjalanlah paderi tua Siau-lim-si itu menuju ke kaki bukit, diiringi oleh beberapa rahib muda, serta tokoh-tokoh berbagai golongan lainnya seperti Kim-hian dan Kim-gi Tojin dari Bu-tong-pay, Soat-san-kiam-sian Yu Hau-seng dan Soat-san-kiam-sin Oh Yu-thian dari Soat-san-pay, Pat-pi-sin-kay Ling Kok-yang dari Kay-pang, Hong-lui kiam-khek Kongsun Tiau dari Jing-sia-pay, Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han dari Hoa-san-pay, Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay, Thi-sim Tojin dari Khong-tong-pay, Cia Hok-tong dari Cong-lam-pay serta tokoh-tokoh utama lainnya.
Dalam pada itu, dari arah selatan Siong-san nampaklah debu mengepul ke udara, sayup-sayup terdengar pula gemuruhnya derap ribuan ekor kuda yang menghentak-hentak bumi. Suatu barisan panjang yang terdiri dari orang-orang berbaju hitam nampak bergerak seperti seekor naga raksasa yang hendak menelan bukit Siong-san.
Begitu tiba di kaki bukit, rombongan musuh itu langsung memecahkan diri menjadi delapan kelompok warna bendera, dengan ikat kepala dan ikat pinggang yang berbeda-beda, dipimpin oleh Tong-cunya masing-masing. Setelah itu barulah Te-liong Hiang-cu muncul dengan dikawal oleh Sebun Say serta Tang Kiau-po.
Tanpa turun dari kudanya, mereka bertiga naik ke lereng bukit dan mendekati Hong-tay Hwesio serta tokoh-tokoh utama kaum pendekar lainnya. Gayanya yang sombong itu telah membuat beberapa tokoh pendekar yang berwatak berangasan telah naik pitam.
“Hemm, tong kosong berbunyi nyaring, orang ini besar lagaknya hanya untuk menutup kekerdilan dirinya sendiri,” geram Thian-goan Hweshio. Meskipun perkataannya itu diucapkan tidak terlalu keras, namun karena keadaan sunyi-senyap karena tegangnya, maka suara Thian-goan Hweshio itu cukup jelas terdengar.
Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio yang bermulut jahil itupun ikut menimbrung, “Tepat sekali, jika memang jantan kenapa harus menyembunyikan diri di balik topeng jelek itu? Topeng semacam itu dijual beberapa ketip pun belum tentu laku.”
Beberapa orang pendekar tertawa mendengar perkataan Hong-koan Hwesio itu, sebaliknya Sebun Say telah berteriak untuk menunjukkan kegarangannya, “Keledai gundul gila, tutup mulutmu sebelum kurobek-robek!”
Namun mana bisa Hong-koan Hwesio digertak semacam itu. Disuruh diam, ia justru semakin menyerocos sambil tertawa-tawa, “Eh, saudara Sebun, rupanya bajumu baru ya?”
Bagi orang lain, pertanyaan semacam itu mungkin tidak berarti apa-apa, tetapi bagi Sebun Say justru menimbulkan rasa malu dan dendam luar biasa. Pertanyaan itu rupanya telah mengingatkannya kepada peristiwa di dekat Kiang-leng, ketika Sebun Say “ditelanjangi” oleh Kim-hian Tojin di hadapan orang banyak. Menurut adatnya yang pemarah dan tidak mau kalah itu, ingin rasanya Sebun Say menerkam dan menghajar rahib dekil yang sangat dibencinya itu.
Tapi Sebun Say masih berusaha menahan diri, sebab ia menyadari bahwa di tempat itu sedang berkumpul tokoh-tokoh puncak dunia persilatan, jika ia bertindak kurang hati-hati bukan saja dendamnya tak dapat terlampiaskan, salah-salah malah ia bisa kehilangan muka lagi.
Sementara itu Hong-koan Hwesio masih hendak memberondong lagi dengan serangkaian kata-kata ejekan kepada iblis kerdil dari Jing-hay itu, namun Hong-tay Hwesio telah menoleh kepadanya dan menegurnya, “Sute, harap kita agak menghormati tetamu.”
Seketika itu juga Hong-koan Hwesio bungkam, namun ia menggerutu dalam hati karena merasa belum puas mempermainkan Sebun Say. Dan ia bertambah mendongkol ketika melihat Liu Tay-liong tersenyum ke arahnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Sementara itu Hong-tay Hwesio telah merangkapkan telapak tangan dan memberi hormat kepada Te-liong Hiang-cu, katanya dengan suara yang tenang, “Selama ini antara Siau-lim-pay dengan Hwe-liong-pang tidak pernah terjadi permusuhan apapun, kenapa Pang-cu telah melukai dan menewaskan beberapa orang anggota kami dan menyerang kemari?”
Te-liong Hiang-cu menjawab dengan suaranya yang dingin dan congkak, “Sudah lama aku mendengar kabar angin bahwa Siau-lim-pay merupakan tulang punggung dunia persilatan, maka tanganku menjadi gatal untuk membuktikan sendiri. Selain itu ada pepatah yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada dua matahari, di gunung tidak boleh ada dua harimau, dunia persilatan tidak boleh ada dua pemimpin. Hari ini akan ditentukan mana yang lebih pantas memimpin dunia persilatan, Siau-lim-pay atau Hwe-liong-pang!”
Ucapan yang sama sekali tidak sungkan-sungkan itu seketika telah membangkitkan kobaran amarah para pendekar. Hong-tay Hwesio yang berhati sangat sabar itu pun telah mengerutkan alisnya. Sedangkan Liu Tay-liong memperdengarkan tertawa mengejeknya, “Heh-heh, benar-benar ucapan tak tahu malu. Kekuatan kalian sampai berapa besarpun belum berhasil kalian tunjukkan, tapi kalian sudah berani mensejajarkan diri dengan Siau-lim-pay untuk merebut pucuk pimpinan dunia persilatan?”
Sementara itu orang-orang dari Khong-tong-pay, Ki-lian-pay dan perguruan-perguruan lainpun telah mencabut senjatanya dengan marah. Mereka merasa sangat terhina oleh sikap Te-liong Hiang-cu yang hanya menyebut-nyebut Siau-lim-pay saja, seakan-akan perguruan-perguruan lain itu tidak ada nilainya sama sekali bagi Hwe-liong-pang.
Orang yang bersembunyi di balik topeng Te-liong Hiang-cu itu sebenarnya adalah Tan Goan-ciau, bekas seorang penjudi kecil-kecilan di An-yang-shia yang kemudian menjadi lihai karena menemukan kitab pusaka Bu-san-jit-kui. Karena itu, pengalamannya dalam dunia persilatan pun tidak ada sama sekali, pandangannya juga sangat picik. Tan Goan-ciau mengira bahwa dengan kekuatan sekian banyak anak buahnya itu sudah cukup untuk menaklukkan dunia, dan dengan pandangan piciknya itulah dia memberanikan diri untuk menyerbu Siong-san dan mencari nama.
Hatinya jadi semakin mekar setelah melihat bahwa kaum pendekar yang berkumpul di Siong-san itu jumlahnya hanya sekitar empat ratus orang, sedang anak buah Hwe-liong-pang yang dibawanya itu berjumlah dua ribu orang lebih. Sama sekali tidak terpikir oleh Tan Goan-ciau bahwa banyak pendekar-pendekar di tempat itu yang berilmu tinggi, yang tiap orangnya bernilai sama dengan sepuluh atau lima belas orang anggota biasa Hwe-liong-pang!
Mendengar ejekan Liu Tay-liong itu, timbullah niat Te-liong Hiang-cu untuk memamerkan kebolehan orang-orangnya. Dengan lagak setenang mungkin Te-liong Hiang-cu memerintahkan kepada Sebun Say, “Sebun Say, tangkaplah hidup-hidup sastrawan dekil itu, untuk membuktikan kekuatan kita.”
Terkejutlah Sebun Say mendengar perintah itu, karena dia pernah mengalami sendiri bahwa kepandaiannya masih setingkat di bawah kepandaian Liu Tay-liong, jelas tidak mungkin untuk mengalahkannya. Sayangnya Te-liong Hiang-cu yang tidak berpengalaman di dunia persilatan itu justru kurang menyadari hal itu. Ini disebabkan oleh karena Sebun Say terlalu sering membual dan menyombongkan kepandaiannya di hadapan Sang Ketua, dan kini setelah ia diperintahkan membuktikan kepandaiannay, bingunglah dia.
Tapi Sebun Say cukup licin juga. Merasa tidak mungkin mengungguli Liu Tay-liong seorang diri, maka Sebun Say berteriak kepada Tang Kiau-po, “Saudara Tang, untuk mempercepat pekerjaan ini, ayo kita turun tangan secara serempak!”
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po menyadari akan kesulitan yang dihadapi oleh rekannya itu, maka diapun telah melompat turun dari kudanya dan menyahut, “Baik, mari kita ringkus bersama-sama makhluk busuk itu.”
Tak terduga bahwa kepicikan dan kesombongan Te-liong Hiang-cu ternyata semakin menyulitkan anak buahnya sendiri. Kata Te-liong Hiang-cu, “Sebun Su-cia dan Tang Su-cia, jika kita main keroyok mana bisa menunjukkan kelihaian kita di hadapan orang-orang munafik ini? Yang aku kehendaki justru supaya kita menunjukkan kemampuan kita orang demi orang.”
Tergagap-gagap Sebun Say menyahut, “Harap Pang-cu ketahui bahwa si dekil she Liu itu punya ilmu siluman. Biarpun aku sanggup mengalahkannya tapi akan lebih cepat selesainya jika Tang Su-cia membantuku.”
Mendengar percakapan di antara tokoh-tokoh Hwe-liong- pang yang terdengar cukup menggelikan itu, Hong-koan Hwesio kembali tidak dapat menahan kegatalan mulutnya, “Sekarang aku tahu kenapa sampai terjadi begini. Rupanya si cebol Sebun Say ini sering membual di hadapan Ketuanya, membanggakan kepandaiannya, tetapi begitu diperintahkan untuk menghadapi lawan, maka dia ketakutan setengah mati dan mencari-cari alasan untuk menghindari tugasnya. Ha-ha-ha...”
Sindiran itu tepat betul mengorek kandungan hati Sebun Say, dan langsung saja membuat Sebun Say marah dan malu bukan kepalang. Apalagi ketika terdengar Te-liong Hiang-cu berkata pula,
“Kau dengarlah sendiri, Sebun Su-cia, musuh akan memandang rendah kepada kita jika kita tidak menunjukkan kepandaian kita.”
Akhirnya, dengan mengeraskan kepala Sebun Say menghunus senjata sabitnya yang telah dilumuri racun ganas itu, lalu dengan nekadnya menerjang ke arah Liu Tay-liong yang sebenarnya ditakutinya itu.
Sastrawan sakti dari kota Kay-hong itupun mengetahui bahwa lawannya dalam keadaan mata gelap karena malu dan marahnya, maka Liu Tay-liong pun melayaninya dengan hati-hati dan cermat. Kipas besinya yang merupakan senjatanya yang terkenal itu segera dimainkan, dikembangkan dan dilipat berganti-ganti dengan gerakan-gerakan cepat dan indah. Seketika itu juga terpesonalah ratusan pasang mata ketika melihat ilmu silat yang indah mirip tarian, namun sangat berbahaya itu.
Hong-tay Hwesio sebagai pimpinan seluruh kaum ksatria, sebenarnya masih ingin berbicara banyak untuk menyelesaikan persoalan itu tanpa kekerasan, tetapi karena pihak Hwe-liong-pang sudah menyerang lebih dulu maka agaknya pertempuran tak terhindarkan lagi. Bahkan dalam hati pendeta tua itu timbul harapan agar Liu Tay-liong dapat mengalahkan Sebun Say, supaya agak mengurangi kesombongan orang-orang Hwe-liong-pang yang merasa mampu menggulung dunia itu.
Sementara itu Te-liong Hiang-cu sendiri menjadi tidak senang ketika melihat Sebun Say ternyata tidak dapat segera mengatasi lawannya. Bahkan, karena Sebun Say bertempur dengan kalap dan mata gelap, maka tenaganya cepat terkuras habis dan akhirnya malahan ia yang terdesak mundur. Melihat itu, menggeramlah Te-liong Hiang-cu, “Tang Su-cia, bantulah Sebun Su-cia!”
Tang Kiau-po menyahut, “Pang-cu, jika aku terjun pula ke gelanggang pertempuran, hal itu sama saja dengan memancing pula jago-jago di pihak lawan untuk terjun pula ke gelanggang. Hal ini...”
Tapi ucapan Tang Kiau-po itu terpotong oleh bentakan Te-liong Hiang-cu, “Kita datang ke sini memang untuk bertempur, kau kira untuk bertamasya? Perduli apa kalau orang-orang munafik itu terjun ke gelanggang pula? Kita tidak takut dan akan menyapu mereka! Hayo maju!”
Apa boleh buat, sambil menenteng tongkat ular merahnya, dia melompat ke dalam gelanggang pertempuran. Dan ternyata dari pihak kaum pendekar juga tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan secara licik.
Rahib Hong-koan yang angin-anginan itu segera melompat maju pula ke tengah gelanggang, sambil berkata, “He, rambut merah, tampaknya kau juga sudah gatal tangan. Mari kutemani kau bermain-main beberapa jurus!”
Maka kedua orang itupun segera terlibat dalam baku hantam yang seru. Karena terdorong keinginan untuk mengalahkan lawannya secepat mungkin, maka begitu pertarungan dimulai Tang Kiau-po langsung mengerahkan kekuatan dan kecepatannya. Gerakannya amat dahsyat bagaikan angin puyuh yang menggulung lawanya.
“Sungguh ganas!” teriak Hong-koan Hwesio dengan kaget, terpaksa ia melangkah mundur dua langkah.
Melihat bahwa lawannya dapat dipaksa mundur dalam gebrakan pertama saja, Tang Kiau-po menjadi besar hatinya. Secara beruntun segera ia keluarkan jurus-jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Ribuan Prajurit), Coa-heng-li-hoan (Ular Merayap dan Rase Melompat) serta Liong-thian-i-ya (Naga Bertarung di Daratan). Yang tampak kemudian hanyalah segumpal bayangan merah dan puluhan batang tongkat yang nampaknya bergerak sekaligus. Kebesaran nama Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po, tokoh jahat dari Gunung Thay-san ini ternyata memang cukup mengejutkan orang.
Tapi serbuan berantai Tang Kiau-po kali ini telah membentur tembok besi ibaratnya. Hong-koan Hwesio tadi melangkah mundur bukan karena terdesak, tapi karena mempersiapkan pertahanan yang lebih baik. Dan kini serangan beruntun Tang Kiau-po itu disambutnya secara keras lawan keras dengan tiga jurus pula! Masing-masing adalah Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Obor Menerangi Langit), Koay-bong-hoan-sin (Ular Siluman Membalik Badan) dan Kim-kong-hok-mo (Malaikat Menundukkan Iblis).
Serentetan suara benturan keras yang memekakkan telinga segera berkumandang di lereng bukit Siong-san itu. Tongkat besi berkepala ular yang di tangan Tang Kiau-po itu telah berbenturan dengan dahsyatnya dengan tongkat bambu sakti milik Siau-lim-hong-ceng, sehingga memercikkan bunga-bunga api yang mendebarkan.
Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio tergetar mundur lima langkah akibat benturan itu, sedangkan Tang Kiau-po tidak tergetar mundur selangkah pun. Serempak orang-orang Hwe-liong-pang bersorak-sorai melihat keunggulan jagonya itu.
Dalam urut-urutan sepuluh tokoh paling sakti di jaman itu, Hong-koan Hwesio menduduki urutan ke enam, lebih tinggi dari Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po yang hanya menduduki nomor paling buncit, yaitu nomor sepuluh. Tetapi susunan itu dibuat pada lima belas tahun yang lalu, dan sudah tidak dapat dipercayai lagi untuk masa kini. Misalnya saja Tang Kiau-po yang menduduki nomor urut paling belakang, selama lima belas tahun ini telah melakukan latihan keras di Gunung Thay-san, sehingga kemajuan ilmunya semakin pesat.
Sedangkan Hong-koan Hwesio telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkelana ke sana ke mari, seperti seekor burung yang bebas terbang di udara. Dengan demikian, meskipun ilmunya telah mengalami kemajuan pula, namun kemajuannya sangat sedikit, maka tidak mengherankan kalau dalam benturan tenaga itu dia dapat didesak oleh Tang Kiau-po.
Hong-tay Hwesio hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat keadaan adik seperguruannya yang suka mengembara itu. Pikirnya, “Selama ini Hong-koan Sute kurang tekun dalam mendalami ilmu silatnya, karena merasa kepandaiannya telah cukup tinggi untuk malang-melintang di dunia persilatan. Tetapi biarlah pertempuran kali ini akan memberi pelajaran pahit kepadanya, agar dapat mencambuknya untuk lebih tekun latihan di kemudian hari.”
Antara Hong-koan Hwesio dan Tang Kiau-po memang telah berlangsung suatu pertempuran sengit. Hong-koan Hwesio yang sudah merasa bahwa dirinya kalah beberapa tingkat dari lawannya, ternyata tidak berkecil hati. Dengan cerdik dia mengambil kedudukan lebih banyak bertahan dan sedikit menyerang, sehingga pertahanannya pun sangat rapat. Sebaliknya Ang-mo-coa-ong sangat bernafsu untuk menaikkan urutannya dalam Sepuluh Tokoh Sakti itu, maka ia telah menyerang lawannya secara bertubi-tubi, ganas dan tidak kenal ampun! Semua hasil latihannya selama lima belas tahun ini telah dihamburkan keluar semuanya tanpa ada yang disembunyikan lagi.
Dengan telah dimulainya pertempuran antara tokoh-tokoh itu, kelihatannya memang pertempuran besar-besaran antara kaum pendekar dengan Hwe-liong-pang itu sudah tidak dapat dielakkan lagi. Rahib Hong-tay sebenarnya masih ingin berusaha menyelesaikan masalah itu tanpa tumpahan darah, tetapi ia tidak dapat mengendalikan perkembangan keadaan yang semakin panas dan penuh dengan hawa nafsu kebencian itu.
Apalagi karena Te-liong Hiang-cu sama sekali tidak berusaha mengekang dirinya. Ia merasa unggul di atas angin dengan jumlah anak buahnya yang ribuan itu, dan merasa bahwa tidak sulit untuk membasmi kaum pendekar yang jumlahnya cuma seperlima jumlah anak buahnya itu. Maka terluncurlah aba-aba untuk menyerang!
Karena lereng bukit Siong-san memang kurang menguntungkan untuk bertempur di atas kuda, maka orang-orang Hwe-liong-pang itu telah berlompatan turun dari kuda mereka, dan sambil bersorak-sorak dengan hebatnya mereka menyerbu ke arah bukit, dipimpin oleh delapan orang Tong-cu.
Para pendekar pun segera mempersiapkan diri untuk menyambut serbuan musuh itu. Mereka menyadari bahwa pembicaraan telah habis dan tidak bisa dilanjutkan lagi, kini giliran senjata lah yang akan berbicara. Nafsu Te-liong Hiang-cu untuk menumpas kaum pendekar dan ingin berkuasa di dunia persilatan agaknya sudah tidak mungkin dipadamkan lagi.
Karena pertempuran itu adalah pertempuran antara kaum persilatan yang biasa bertempur secara perorangan, maka jalannya pertempuran pun tidak seperti apabila dua pasukan bertempur secara teratur. Benturan antara kaum pendekar dengan Hwe-liong-pang itu tidak teratur, sebab kedua belah pihak langsung melepaskan diri dari barisannya masing- masing dan langsung mencari lawannya masing-masing.
Bukit Siong-san, tempat ziarah yang khidmat itu, kini telah berubah menjadi ajang pertumpahan darah yang penuh kebencian. Golongan yang sedang berusaha mengubah dunia menurut seleranya sendiri, sedang bertarung dengan golongan yang tetap mempertahankan tegaknya kebenaran dan keadilan di jagad ini.
Namun tidak dapat diingkari pula bahwa di antara kaum pendekar itupun ada yang didorong oleh pamrih kurang murni, yaitu akan menjadikan ajang pertempuran itu sebagai arena untuk mengangkat namanya sendiri. Orang-orang yang mencari nama inilah yang bertempur tidak kalah ganasnya dengan orang-orang Hwe-liong-pang.
Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau agaknya juga ingin memamerkan kepandaiannya yang diperolehnya dari kitab Bu-san-jit-kui itu. Ia telah melompat turun dari kudanya, lalu menerjang ke dalam barisan kaum pendekar. Dengan ayunan-ayunan tangannya yang cepat dan kuat luar biasa, dia telah membuat beberapa korbannya terpental dengan kepala retak tulang dada yang remuk!
Hong-tay Hwesio tidak sampai hati melihat barisannya diporak-porandakan oleh manusia bertopeng tengkorak itu. Sambil mengumandangkan pujian kepada Sang Buddha, ia segera memotong langkah Te-liong Hiang-cu itu sambil berseru dengan hati pedih, “Omitohud, harap Pang-cu ingat bahwa orang-orang yang Pang-cu bunuhi itu adalah sesama manusia!”
Tapi Te-liong Hiang-cu sedang mabuk kemenangan dan kekuasaan, sebab dia merasa pasti bahwa kemenangan akan ada di pihaknya. Seruan Rahib Hong-tay yang memelas itu tidak digubrisnya sama sekali, ketika ia mengayunkan tangannya lagi, maka seorang pemuda berseragam perguruan Tiam-jong-pay telah terkapar dengan leher patah. Kemudian sekali lagi ia mengayunkan tangannya dan kali ini sasarannya adalah seorang rahib muda Go-bi-pay.
Hong-tay Hwesio kehabisan kesabarannya, ia tidak dapat membiarkan Te-liong Hiang-cu mengumbar keganasannya dan mencabuti nyawa orang lain seenaknya saja. Maka rahib sakti itu segera melompat maju dan melancarkan sebuah pek-khong-ciang (Pukulan Udara Kosong) untuk memotong gerakan Te-liong Hiang-cu itu.
Dua buah arus tenaga raksasa yang tak berwujud segera berbenturan di tengah udara. Te-liong Hiang-cu dipaksa untuk surut setengah langkah, sebaliknya Hong-tay Hwesio pun harus menggeliatkan pinggangnya untuk mematahkan gempuran lawan. Ternyata tenaga dalam kedua orang itu hampir setingkat.
“Bagus, keledai gundul tua, hari ini aku ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat Siau-lim-pay yang banyak dibualkan orang itu!” teriak Te-liong Hiang-cu dengan murka. Kemudian mulutnya mulai berkemak-kemik membaca mantera sambil melancarkan sebuah jurus hebat yang bernama Jit-kui-tiau-goat (Tujuh Iblis Menyembah Rembulan), salah satu jurus tertinggi dalam ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui.
Begitu jurus itu dilancarkan, mendadak tubuh Te-liong Hiang-cu seakan-akan telah terpecah menjadi tujuh buah bayangan yang mengerikan, bahkan sayup-sayup terdengar suara bergumam seram dari balik topeng tengkorak itu, memancarkan sebuah pengaruh gaib kepada lawannya. Dan berbareng dengan itu sebuah pukulan dahsyat pun menggulung ke depan.
Namun Hong-tay Hwesio yang sudah memiliki kekuatan batin yang tinggi itu tidak mudah terjatuh ke dalam pengaruh yang berlandaskan ilmu hitam itu. Dengan tenangnya Hong-tay Hwesio menantikan pukulan lawan sampai dekat, menangkisnya dan kemudian langsung membalas dengan jurus Se-ceng-pay-Hud (Se-ceng menyembah Buddha). Sebuah tenaga tak berwujud yang tidak kalah dahsyatnya segera mendampar ke dada Te-liong Hiang-cu!
Alangkah terkejutnya Te-liong Hiang-cu ketika melihat serangannya yang sangat dibanggakannya itu ternyata kandas begitu saja, bahkan lawan sanggup membalasnya dengan tidak kalah hebatnya. Padahal dengan jurus ilmu silat yang berlandaskan ilmu hitam itu Te-liong Hiang-cu pernah berhasil dengan mudah menaklukkan Sebun Say dan Tang Kiau-po dan kemudian menarik mereka masuk menjadi anggota Hwe-liong-pang. Tetapi Te-liong Hiang-cu lupa, bahwa jika berhadapan dengan orang yang berbatin bersih dan beriman kuat, maka ilmu hitamnya itu kehilangan sebagian besar dari pengaruhnya.
Dalam kejutnya, cepat-cepat Te-liong Hiang-cu memasang kuda-kuda dan mengerahkan tenaga untuk menangkis serangan balasan pendeta tua itu. Dan sekali lagi dia membuat kekeliruan besar. Dia boleh bangga dengan ilmu hitam atau ilmu beracun tinggalan Bu-san-jit-kui, namun dalam hal ilmu silat sejati tentu saja dia kalah matang dibandingkan rahib sakti Siau-lim-pay itu. Maka begitu benturan tenaga dalam itu terjadi lagi, Te-liong Hiang-cu harus melompat ke belakang untuk mengurangi tekanan tenaga lawan yang hebat itu.
Dalam sekejap saja kedua orang itu telah terlibat dalam suatu perkelahian hebat. Ilmu warisan Bu-san-jit-kui adalah ilmu yang merupakan gabungan dari ilmu silat, ilmu sihir hitam, ilmu penggunaan racun serta ilmu-ilmu sesat lainnya, sifatnya ganas dan keji bukan main. Sejarah dunia persilatan telah mencatat, bahwa Bu-san-jit-kui adalah penganut suatu agama sesat penyembah dewi bulan yang berasal dari negeri Persia. Kesesatan dan keganasan itulah yang mewarnai gaya bertempur Te-liong Hiang-cu saat itu.
Sebaliknya lawan Te-liong Hiang-cu saat itu adalah seorang tokoh utama Siau-lim-si, sebuah kuil yang termashur sebagai pusatnya ilmu silat beraliran Hud-bun (aliran Buddha). Maka tidak pelak lagi pertempuran antara Hong-tay Hwesio melawan Te-liong Hiang-cu itu dapat dianggap lambang pertempuran antara ilmu sejati melawan ilmu sesat.
Sementara itu, hampir seluruh lereng bukit itu telah diramaikan dengan suara pertempuran yang riuh rendah. Anggota-anggota Hwe-liong-pang umumnya terdiri dari para buronan hamba hukum, para penjahat yang tadinya berdiri sendiri-sendiri, para murid-murid perguruan silat yang sudah dipecat karena melakukan kesalahan besar dan sebagainya.
Mereka berhimpun dalam Hwe-liong-pang sebagai tempat pernaungan yang mereka anggap aman. Selama ini, kaum buangan itu merasa bahwa hidup mereka terlalu tertindas dan senantiasa dibatasi oleh kaum pendekar itu, tetapi kini orang-orang buangan itu merasa mendapat kesempatan untuk membalas dendam, maka bertempurlah mereka dengan sengitnya.
Di pihak kaum pendekar, Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay yang berwatak berangasan itu telah menghunus pedangnya dan menyambut serbuan musuh. Serunya dengan suara menggelegar, “Demi membersihkan dunia dari kaum pengacau ini, biarlah hari ini aku akan membuka pantangan membunuh!”
Akibat amukan Thian-goan Hweshio ini, sebentar saja sudah ada tiga orang anggota Hwe-liong-pang yang bergelimpangan terbabat pedangnya. Namun Thian-goan Hweshio tidak dapat melanjutkan amukannya, sebab tiba-tiba gerombolan orang-orang Hwe-liong-pang itu muncullah seseorang yang langsung menghadangnya. Orang itu berseragam Hwe-liong-pang pula, dan ia langsung menegur Thian-goan Hweshio, “Suheng, selamat bertemu kembali!”
Thian-goan Hweshio terkejut dan menoleh ke arah orang yang memanggilnya “suheng” itu. Orang itu ternyata adalah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, bermulut lebar dan bermuka bengis, tangannya memegang pedang pula. Meskipun ia telah memanggil “suheng” kepada Thian-goan Hweshio, namun pandangan matanya justru memancarkan rasa permusuhan dan dendam kebencian sedalam lautan.
“Kau kiranya!” teriak Thian-goan Hweshio terkejut.
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh dan menjawab, “Benar, kau tidak menduga akan bertemu dengan aku di sini bukan? Kalian telah mengusir aku dari Go-bi-pay seperti mengusir seekor anjing saja, sedangkan di Hwe-liong-pang aku diterima dengan hormat dan penuh rasa persahabatan, karena itu aku memutuskan untuk menjadi anggota Hwe-liong-pang dan bertempur di bawah bendera Hwe-liong-ki! He-he-he, Suheng, kesempatan ini boleh kita jadikan arena untuk melunasi hutang-piutang kita, setuju?”
Orang yang menegur Thian-goan Hweshio itu ternyata adalah seorang bekas murid Go-bi-pay pula. Dia bernama Ho Teng-siong, karena kelakuannya yang sangat memalukan nama perguruan, maka dia telah dipecat dan diusir oleh Thian-goan Hweshio sebagai Ketuanya. Ternyata Ho Teng-siong mendendam akan pemecatan itu, dan kini ia bergabung dengan Hwe-liong-pang.
Thian-goan Hweshio menarik napas dan berkata, “Ho Sute, dengan hukuman yang telah kau terima itu seharusnya kau merenungi diri dan berusaha memperbaiki kelakuanmu, kenapa kau justru jadi semakin sesat dan malahan bergabung dengan kaum Hwe-liong-pang yang dikutuk oleh kaum ksatria sejagad ini?”
Ho Teng-siong tertawa terbahak-bahak, “Ha-ha-ha... kaum ksatria? Kawanan iblis? Bagi Ho Teng-siong siapa yang mau menerima aku, maka dia kawanku. Sudahlah, Suheng, kedatanganku ke bukit Siong-san ini bukan untuk mengadu bicara, melainkan untuk ikut serta dalam menegakkan cita-cita Hwe-liong-pang untuk menjadi jaya di dunia persilatan...”
“Sute kau benar-benar telah terjerumus...”
Namun ucapan Thian-goan Hweshio itu telah terputus oleh bentakan Ho Teng-siong, “Lihat pedangku!” disusul dengan ujung pedang yang meluncur berkilauan ke dada Thian-goan Hweshio. Itulah jurus Hui-seng-kiong-goat (Bintang Terbang Mengejar Rembulan), salah satu jurus paling ampuh dari Tat-mo-kiam-hoat gaya Go-bi-pay.
Apa boleh buat, terpaksa Thian-goan Hweshio bertempur melayani bekas adik seperguruannya yang telah sesat ini. Menghadapi gelombang serbuan orang-orang Hwe-liong-pang yang berjumlah lebih banyak itu, pihak kaum pendekar agak terdesak sedikit dan terpaksa mengundurkan diri ke lereng atas yang banyak pohon siongnya. Di tempat yang banyak pepohonannya itu barulah kaum pendekar bisa menunjukkan kekuatannya secara perorangan, dan di situ pulalah pertempuran berlangsung dengan kisruhnya.
Di tengah ributnya pertempuran itu, tiba-tiba nampak sebuah bola api meluncur dan meledak di tengah-tengah kaum pendekar, disusul dengan suara jeritan menyayat hati dari seorang pendekar muda berseragam Soat-san-pay yang telah terbakar hidup-hidup. Terdengar pula tertawa seram penuh kepuasan dan beberapa bola api meluncur kembali ke barisan kaum pendekar.
Untuk sementara, barisan pendekar menjadi agak kacau menghadapi senjata bola api yang lihai itu, yang dapat meledak hanya dengan sentuhan kecil saja. Banyak yang dapat menghindari senjata maut itu, namun ada pula beberapa orang yang menjadi korban sia-sia.
Ternyata kaum Hwe-liong-pang yang menyerbu bagian itu adalah dari kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang dipimpin oleh Hwe-tan (Si Peluru Api) Seng Cu-bok. Begitu pertempuran dimulai, maka Seng Cu-bok langsung saja menghambur-hamburkan peluru api kebanggaannya itu untuk mengacaukan barisan lawan.
Maka dengan bersorak-sorai liar, orang-orang Hwe-liong- pang kelompok Lam-ki-tong ini menyerbu ke atas bukit. Mereka menjadi berbesar hati setelah melihat kelihaian peluru api dari Tong-cu mereka. Pada saat Seng Cu-bok “berpesta” dengan peluru apinya itu, tiba-tiba muncullah seorang pendekar muda yang berseragam kuning Hoa-san-pay yang langsung menghadang serbuan Seng Cu-bok itu. Teriaknya dengan garang,
“Penjahat Hwe-liong-pang! Jangan mengganas di sini!” Pendekar muda itu langsung melancarkan sebuah serangan hebat. Ujung pedangnya gemeredep membentuk sekuntum bunga keperak-perakan, sebuah jurus yang sangat indah tetapi juga membawa desir angin yang tajam, menandakan bahwa jurus itu bukan cuma tarian indah tetapi juga bisa mencabut nyawa lawannya. Ternyata yang menghadang Seng Cu-bok itu tidak lain adalah pendekar muda Hoa-san-pay yang sedang menanjak namanya, yaitu Auyang Seng yang berjuluk Gin-hoa-kim (Pedang Bunga Perak) itu.
Karena tidak sempat lagi melemparkan peluru apinya, maka Seng Cu-bok segera melompat mundur sambil melolos golok dari pinggangnya. Ternyata dalam hal ilmu golok pun Seng Cu-bok cukup tangguh, ilmu golok yang dimainkannya ternyata bergaya perguruan Koay-to-bun (Perguruan Golok Kilat) yang cukup terkenal di daerah Koan-tong.
Auyang Seng adalah pendekar muda yang cukup punya nama pula, tapi hanya untuk wilayah barat, di sekitar Gunung Hoa-san saja. Sekarang ia ikut serta datang ke Siong-san di wilayah Ho-lam ini tujuannya antara lain juga akan mengangkat nama di daerah ini. Maka dengan penuh semangat dia segera mainkan pedangnya untuk melayani permainan golok Seng Cu-bok.
Jago muda Hoa-san-pay ini lebih dulu membuka serangan dengan jurus Kim-ke-tok-siok (Ayam Emas Mematuk Gabah). Dan ketika Seng Cu-bok menghindar ke samping, maka Auyang Seng meneruskannya dengan sebuah babatan ke pinggang lawan dengan jurus Hui-hong-sau-liu (Angin Puyuh Menyapu Pohon Liu).
Seng Cu-bok menggeram jengkel melihat lawan ciliknya itu mendesaknya tanpa sungkan-sungkan lagi. Maka serangan lawan ke arah pinggang itu tidak dihindarinya melainkan ditangkisnya dengan sekuat tenaganya. Terdengar suara berdentang nyaring hasil benturan kedua senjata itu, dan Auyang Seng terkejut bukan kepalang karena telapak tangannya terasa pedih dan hampir saja pedangnya lepas dari tangannya. Kini sadarlah Auyang Seng bahwa lawannya itu bukanlah lawan empuk seperti yang diduganya semula.
Sebaliknya Seng Cu-bok kini merasa bahwa dia kalah dalam urusan keaneka ragaman tipu silat, namun unggul dalam hal kekuatan dan pengalaman. Maka ia segera mendesak Auyang Seng dengan bacokan-bacokan bertubi-tubi, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada pendekar muda Hoa-san-pay itu untuk mengembangkan tipu-tipu pedangnya yang bermacam-macam itu, dan hanya dipaksa untuk bertahan terus.
Auyang Seng sekarang benar-benar tidak berdaya di bawah “hujan golok” yang dilancarkan oleh lawannya. Tangannya yang memegang pedang merasa pegal bukan main karena harus selalu menangkis bacokan-bacokan lawan yang beratnya seperti runtuhan gunung itu.
Sedang Seng Cu-bok yang merasa senang di atas angin itupun sempat mengeluarkan ejekan, “Kalau tidak salah bukankah kau ini si tikus kecil yang berhasil lolos dari tangan kami, ketika kami melakukan penyergapan di kota Sin-yang itu? Ha-ha, saat itu kau bisa lolos, tapi kali ini kau jangan harap bisa mengulangi nasib baikmu itu.”
Auyang Seng tidak menyahut ejekan lawan itu. Untuk bernapaspun sudah tersengal-sengal, mana ada kesempatan untuk membalas ejekan lawan? Dalam kerepotannya dia mencoba siasat baru, yaitu dengan jalan mencoba bertempur kucing-kucingan di antara pohon-pohon siong yang tumbuh di situ. Namun siasat itupun tidak membawa hasil yang memuaskan, sebab dengan begitu telah memberi kesempatan kepada Seng Cu-bok untuk kembali menghambur-hamburkan peluru apinya, meskipun hanya dengan tangan kiri.
Pada saat Auyang Seng ibaratnya seperti telur di ujung tanduk itu, mendadak seorang gadis muda muncul di tempat itu tanpa membawa sepotong senjata pun. Begitu muncul, ia langsung berseru kepada Auyang Seng, “Saudara Auyang, serahkan orang ini kepadaku!”
Ketika Auyang Seng dipergoki oleh gadis itu sedang dalam keadaan “petak umpet” dengan Seng Cu-bok, alangkah malunya dia. Auyang Seng kenal gadis itu sebagai gadis yang kemarin berani mengeluarkan kata-kata yang keras di hadapan pertemuan kaum ksatria. Gadis itu pernah memancing kekaguman pemuda itu, dan ia sungguh tidak berharap akan dilihat oleh gadis itu ketika sedang dalam keadaan sekonyol itu.
Namun dasar Auyang Seng memang keras kepala, demi menjaga gengsinya dia menjawab dengan keras, “Tidak usah nona merepotkan diri. Aku memang sengaja ingin melihat sampai dimana kelihaian bangsat ini dengan peluru-peluru apinya, sebelum dia merasakan kelihaian Hoa-san-kiam-hoat (Ilmu Pedang Hoa-san-pay) kami!” Lalu dengan nekad Auyang Seng mengakhiri permainan kucing-kucingannya dan menerjang Seng Cu-bok secara berhadapan.
Di dalam hatinya, Tong Wi-lian geli juga melihat pemuda Hoa-san-pay yang keras kepala itu. Namun dia sengaja akan membiarkan pemuda itu merasakan pil pahit dulu, setelah itu barulah menolongnya. Ternyata, begitu Auyang Seng berhenti dari siasat kucing-kucingannya, kembali ia terkurung di bawah bacokan-bacokan Seng Cu-bok yang cepat, keras dan bertubi-tubi itu. Tipu-tipu ilmu pedang Hoa-san-kiam-hoat yang terkenal akan keindahannya itu kini dapat “dikebiri” oleh Seng Cu-bok yang telah kenyang dengan pengalaman bertempur itu.
Bahkan terdengar Seng Cu-bok mengejek lagi, “Ha-ha... julukanmu sungguh indah, Si Pedang Bunga Perak, tak tahunya hanya sebegini saja kemampuanmu. Orang-orang muda memang suka membual dan mengarang julukan yang hebat-hebat untuk dirinya sendiri, tapi isinya kosong melompong belaka. Ha-ha-ha-ha...”
Sungguh tidak ada yang lebih memalukan daripada seorang anak muda yang bangga akan keadaannya, tahu-tahu dimaki-maki orang dihadapan seorang gadis tanpa bisa membantah sepatah katapun. Demikian pula keadaan Auyang Seng saat itu. Dadanya terasa hampir meledak mendengar maki-makian Seng Cu-bok itu, namun dalam kenyataannya memang dia terus terdesak mundur oleh lawannya. Bahkan sesaat kemudian, pedangnya benar-benar telah terpental lepas dari tangannya.
“Gin-hoa-kiam, sekarang akan kubikin kau menjadi pendekar tanpa kepala!” teriak Seng Cu-bok sambil mengayunkan goloknya untuk menebas leher Auyang Seng, yang kini sudah tidak berdaya dan tinggal menunggu nasib saja.
Tapi sebelum golok itu mengenai leher korbannya, sekonyong-konyong Seng Cu-bok merasakan lengannya tergetar keras dan bahkan tubuhnya terdorong mundur tiga langkah dengan kerasnya. Tentu saja bacokannya itu tidak mengenai sasarannya. Dengan pandangan mata tidak percaya, Seng Cu-bok melihat seorang gadis telah bertolak pinggang didepannya tanpa membawa senjata sepotongpun. Jelas gadis itulah yang telah menggagalkan serangan mautnya atas Auyang Seng tadi.
Sementara itu, dengan tersipu-sipu Auyang Seng telah menyingkirkan dirinya dari gelanggang itu setelah lebih dulu memungut pedangnya. Pengalamannya yang sangat memalukan pada hari itu tidak terlupakan seumur hidupnya, namun justru pengalaman pahit itu membawa kebaikan untuknya. Di kemudian hari Auyang Seng lebih giat berlatih ilmu pedangnya, sedang sikap sombongnya itu terhapus sama sekali. Di kemudian hari Auyang Seng akan terkenal sebagai seorang pendekar yang berkepandaian tinggi namun rendah hati.
Kini Seng Cu-bok telah berhadapan dengan Tong Wi-lian. Seng Cu-bok langsung mengenal gadis itu sebagai gadis yang kemarin malam telah berhasil lolos dari kuil Tay-hud-si, ketika kepergok sedang mengintai pertemuan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Kemarin malam, Seng Cu-bok kurang dapat melihat jelas gadis itu. Namun sekarang, di tengah ributnya pertempuran di lereng bukit Siong-san itu, Seng Cu-bok dapat melihat betapa cantik dan manisnya gadis itu, sehingga Seng Cu-bok tak terasa telah menelan air liurnya.
“Kiranya kau, yang kemarin beruntung berhasil lolos dari kawan-kawanku.” Kata Seng Cu-bok disertai tertawa cengar-cengirnya. “Kau seorang gadis yang secantik dan semanis ini, kenapa berkeliaran di tengah pertempuran yang ganas dan berbahaya ini? Tidak sayangkah kau jika wajah ayumu itu terkena senjata tajam sehingga mengurangi kecantikanmu?”
Tidak jauh dari tempat itu, Cian Ping juga sedang bertarung melawan dua orang anggota Hwe-liong-pang. Puteri Cian Sin-wi itu, dengan sepasang hau-thau-kau nya nampak bertempur agak santai karena kedua lawannya berkepandaian rendah. Ketika Cian Ping sempat pula mendengar ucapan Seng Cu-bok terhadap Wi-lian itu, dia tertawa geli, lalu teriaknya kepada Seng Cu-bok, “He, penjual kembang api, ini adalah medan pertempuran dan bukan taman bunga tempat orang mencari jodoh!”
Dan kepada Wi-lian, Cian Ping berteriak, “A-lian, hati-hatilah jangan sampai terbujuk oleh rayuan si penjual petasan itu, jangan sampai Ting Toako patah hati dan mencukur gundul rambutnya menjadi hweshio. Terhadap petasannya sih tidak perlu takut, di kota Tay-beng anak-anak umur lima tahun pun bisa membuat petasan macam itu.”
Wi-lian mau tak mau tertawa mendengar senda-gurau Cian Ping itu, begitu pula Ting Bun yang juga tidak jauh dari situ sambil menghadapi tiga orang lawan.
Sedangkan Seng Cu-bok menjadi merah padam mukanya saking marahnya karena dirinya dijadikan bahan senda-gurau oleh gadis-gadis itu. Hwe-tan kebanggaannya pun hanya disebut “petasan yang tidak perlu ditakuti”. Maka dengan geram ia merogoh ke dalam kantung kulitnya sambil menggeram ke arah Cian Ping, “Gadis cilik liar, rupanya kau menyukai petasanku, baiklah akan kuhadiahkan beberapa butir kepadamu.”
Namun sebelum Seng Cu-bok sempat melemparkan peluru-peluru apinya, Wi-lian telah berkata lebih dulu, “Simpan saja petasan busukmu itu, sekarang bersiaplah untuk kuantarkan menghadap nenek moyangmu!”
Seng Cu-bok sudah pernah melihat kelihaian gadis itu, maka diapun tidak berani memandang enteng. Dengan penuh perhatian ia segera mempersiapkan diri menunggu serangan Wi-lian. Diam-diam ia agak malu juga karena harus menghadapi gadis bertangan kosong itu dengan goloknya, namun Seng Cu-bok membuang jauh-jauh rasa malunya itu, sebab menyadari kelihaian lawan.
Tong Wi-lian pun bersikap hati-hati. Lebih dulu ia menyerang dengan sebuah serangan pancingan yang disebut Ji-liong-jio- cu (Dua Naga Berebut Mutiara), menggunakan dua jari tangannya untuk menusuk ke mata lawan. Ketika Seng Cu-bok menyambut tangannya dengan sebuah bacokan tegak lurus, maka Wi-lian cepat sekali bergeser ke samping sambil menggunakan jurus Tin-jiu-kin-na (Menurunkan Siku Tangan dan Menangkap) untuk mencengkeram pergelangan tangan Seng Cu-bok yang memegang golok. Terpaksa Seng Cu-bok menarik kembali goloknya dan menghadapkan tajam goloknya ke atas untuk melukai telapak tangan Wi-lian.
Kedua orang itu segera bertempur dengan serunya. Pada kesempatan itu Tong Wi-lian mencoba mengukur dan membandingkan bagaimanakah kiranya kemampuan para Tong-cu di bawah pimpinan Te-liong Hiang-cu dengan para Tong-cu di bawah pimpinan Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang?
Ternyata meskipun Seng Cu-bok merupakan seorang yang tangguh pula ilmu goloknya, namun ia masih kalah setingkat kalau dibandingkan para Tong-cu bawahan Tong Wi-siang seperti In Yong, Lu Siong, Kwa Heng atau si orang Korea Oh Yun-kim itu. Dari situ dapatlah disimpulkan bahwa Te-liong Hiang-cu agaknya tidak terlalu ketat dalam mencari anak buah untuk memupuk kekuatannya.
Beberapa langkah dari situ, Cian Ping dengan lincah dan santainya memainkan sepasang kaitannya untuk menghadapi dua orang anggota Hwe-liong-pang yang masing-masing bersenjata pedang dan ruyung. Kedua-duanya memakai ikat kepala dan ikat pinggang berwarna kuning, menandakan bahwa mereka dari kelompok Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning).
Mereka berdua merupakan bekas penjahat yang disegani orang, namun kini mereka tidak berkutik menghadapi seorang gadis semuda Cian Ping, keruan mereka menjadi penasaran. Apalagi, sambil bertempur pun Cian Ping masih sempat bergurau dan saling mengolok dengan Wi-lian, hal ini benar-benar membuat kedua anggota Hwe-liong-pang itu mata gelap karena merasa sangat terhina.
Namun kedua orang itu memang bukan tandingan puteri Cian Sin-wi yang perkasa itu. Apalagi selama dalam perjalanannya dengan Tong Wi-hong, gadis itu telah mengalami penyempurnaan dalam ilmu silatnya. Tidak mengherankan kalau belasan jurus kemudian orang Hwe-liong-pang yang bersenjata ruyung itu telah berteriak kesakitan sambil melepaskan ruyungnya. Rupanya lengannya telah terkait oleh kaitan tajam Cian Ping sehingga luka berat. Cepat-cepat dia melompat keluar dari gelanggang dan membebat lukanya dengan sobekan bajunya, supaya ia tidak mati kehabisan darah.
Namun keluarnya orang itu dari gelanggang pertempuran berarti malapetaka bagi kawannya yang bersenjata pedang itu. Dia tentu saja tidak dapat bertahan lama menghadapi rangsakan puteri Cian Sin-wi yang perkasa itu, dan nasibnya jauh lebih buruk dari nasib kawannya, sebab kaitan Cian Ping bukan cuma melukai lengan namun langsung merobek lambungnya, dan tubuh orang itupun terguling ke kaki bukit, entah bagaimana nasib selanjutnya.
Baru saja Cian Ping hendak beranjak untuk mencari lawan baru, tiba-tiba gadis itu merasa ada desiran angin tajam yang menyambarnya dari samping dengan kecepatan tinggi. Cian Ping sempat menundukkan kepalanya untuk mengelak, namun tak urung segumpal tipis rambutnya telah tersambar putus oleh serangan gelap itu.
Nampak sesosok bayangan hitam telah melayang turun di depan Cian Ping, dan setelah Cian Ping memperhatikan bentuk orang itu, seketika itu juga bergidiklah ia karena ngerinya. Orang yang berdiri di muka Cian Ping itu adalah seorang lelaki bertubuh kurus dan demikian pucatnya, sehingga mukanya mirip muka mayat, seakan dalam tubuhnya itu tak ada setetes darahpun. Kulitnya pucat, tetapi matanya justru liar kemerah-merahan, begitu pula bibirnya yang tipis itu nampak begitu merahnya, sehingga terlihat kurang wajar.
Dan pada ujung bibir-bibir yang tipis itu, tersembullah taring-taring tajam yang putih mengkilat! Jubah orang ini berwarna hitam, sehingga kelihatan menyolok dengan kulitnya yang pucat itu. Senjata yang dipegangnya pun cukup aneh, yaitu mirip mata tombak yang panjangnya tidak lebih dari sejengkal dan cara memegangnya seperti orang memegang pisau belati. Ujung sepasang senjatanya itu masih basah oleh darah segar, menandakan bahwa orang yang menyeramkan ini baru saja membunuh beberapa korban.
Yang membuat Cian Ping bergidik adalah pandangan mata yang buas dari orang itu, bukan buas seperti umumnya seorang lelaki melihat kecantikan seorang perempuan, melainkan buasnya seekor serigala yang melihat daging mentah atau mencium bau darah! Ditambah dengan taring-taring di sudut bibirnya, maka penampilan orang itu benar-benar tidak mirip manusia melainkan lebih tepat disebut golongan siluman atau hantu! Tetapi kalau hantu kenapa berkeliaran di siang hari bolong dan di tempat seramai itu? Kalau manusia biasa kenapa di mulutnya ada taringnya?
“Si... siapa... kau?” tanya Cian Ping dengan suara setenang mungkin, namun tak urung suaranya bergetar juga.
Orang itu tidak menjawab malahan balik bertanya, suaranya dingin bergulung-gulung seperti suara hantu dari alam kubur, “Kau anak Cian Sin-wi dari Tay-beng?”
Cian Ping mengiakan, dengan harapan agar orang itu agak gentar karena nama besar ayahnya. Di luar dugaan, bukannya orang itu menjadi gentar, malahan ia tertawa terkekeh-kekeh sehingga sepasang taringnya yang mengerikan itu menonjol semakin jelas. Katanya, “Bagus, tak kusangka akan kujumpai anak Cian Sin-wi di tempat ini. Bapaknya punya hutang, anaknyalah yang harus membayarnya. He, gadis cilik, ketahuilah bahwa bapakmu masih punya hutang nyawa kepadaku, karena ia telah membunuh adikku, dan kini sebagai puteri Cian Sin-wi kau harus membayar hutang bapakmu itu. Akan kuhisap darahmu sampai kering, dan nampaknya darahmu pasti akan cukup segar untuk menghilangkan rasa hausku.”
Orang yang dihadapi oleh Cian Ping itu bukan lain adalah Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Pengisap Darah) Liong Pek-ji, yang kini menduduki Ui-ki-tong-cu. Liong Pek-ji adalah seorang penganut ilmu hitam yang disebut Siu-bok-tiang-seng-kang (yaitu semacam ilmu untuk mendapatkan umur panjang dengan jalan bersemedi dalam peti mati, syarat lain untuk mempelajari ilmu itu ialah dengan jalan menghisap darah gadis-gadis perawan pada waktu-waktu tertentu.
Karena kebiasaannya menghidap darah itulah maka lama kelamaan sepasang taringnya tumbuh menjadi lebih tajam dan lebih panjang sedikit dibandingkan orang lain. Tokoh sesat ini cukup menghantui masyarakat daerah Ou-lam, dan karena keluarnya selalu pada malam hari seperti seekor kalong, maka dia mendapat julukan Sip-hiat-mo-hok itu. Di daerah Ou-lam sendiri entah sudah berapa ratus gadis yang mati menjadi korbannya, gadis-gadis itu semuanya mati dengan darah terhisap habis, dan pada leher korbannya selalu terdapat dua buah lubang kecil bekas gigitan sepasang taringnya!
Beberapa orang pendekar yang tidak senang kepada kesewenang-wenangan Sip-hiat-mo-hok pernah berusaha untuk menangkapnya, namun persembunyian orang ini tidak pernah dapat diketemukan, sementara korbannya berjatuhan terus. Ketika di wilayah Ou-lam didirikan Hwe-liong-pang kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang dipimpin oleh Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Halilintar) In Yong.
Maka Liong Pek-ji menjadi sangat terbatas gerak-geriknya, sebab In Yong bersikap sangat memusuhinya. Waktu mendengar tentang terjadinya pergeseran dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang, yaitu tersingkirnya Tong Wi-siang dan pengikut-pengikutnya, termasuk In Yong, oleh karena pengkhianatan Te-liong Hiang-cu, maka Liong Pek-ji yang telah bosan bersembunyi terus menerus dalam peti mati itupun mulai keluar kandang.
Dia langsung menggabungkan diri dengan Hwe-liong-pang pimpinan Te-liong Hiang-cu, dan bahkan kemudian dalam waktu singkat telah mendapat kedudukan Ui-ki-tong-cu, menggantikan kedudukan Thi-jiau-tho-wan (Lutung Buntung Berkuku Besi) Kwa Heng yang ikut tersingkir bersama Tong Wi-siang itu. Ketika masih melakukan kejahatannya seorang diri saja Liong Pek-ji sudah begitu kejam dan ganas, apalagi kini setelah bergabung dengan Hwe-liong-pang dia mendapat kawan-kawan sehaluan.
Tentu saja kekejamannya semakin menjadi-jadi. Kini dia merasa tidak takut lagi kepada musuh-musuh yang selama ini mencarinya. Tujuannya untuk keluar kandang dan bergabung dengan Hwe-liong-pang ini antara lain juga karena ingin membalas musuh-musuhnya, di samping tergiur pula oleh janji-janji muluk yang diucapkan oleh Te-liong Hiang-cu.
Kini setelah melihat kulit leher Cian Ping yang halus mulus itu, teringatlah Liong Pek-ji akan seleranya dalam meminum darah segar para gadis perawan itu, dan langsung timbullah keinginan jahatnya untuk menancapkan sepasang taringnya ke leher yang mulus itu. Begitulah kelainan Liong Pek-ji dari lelaki-lelaki lainnya jika melihat wanita cantik. Jika lelaki lain tentu lebih tertarik kepada kecantikannya, maka Liong Pek-ji lebih tertarik untuk meminum darahnya!
Kini musuh yang begitu mengerikan itu telah ada di depan Cian Ping dan membuat gadis itu gemetar juga. Tapi sebagai puteri Cian Sin-wi yang berhati sekeras baja, ia tidak sudi menyerah begitu saja. Dengan menggenggam erat sepasang hau-thau-kau nya, dia bersiap menantikan serangan musuh.
Liong Pek-ji nampaknya bersikap sombong sekali dan tidak memandang sebelah matapun kepada lawannya itu. Tiba-tiba ia memekik nyaring dan melompat menerkam Cian Ping dengan sepasang tangan yang terkembang lebar. Dengan gerakannya itu dia jadi mirip seekor kelelawar raksasa yang tengah mengembangkan sayapnya.
Cepat Cian Ping memiringkan tubuhnya dan menggerakkan sepasang kaitanya dengan jurus Siang-hi-kiat-ging (Sejodoh Ikan Berbahagia), ujung tajam kedua hau-thau-kau nya menyongsong ke arah dada dan lambung si kelelawar hantu itu.
Liong Pek-ji tertawa mengejek melihat sambutan lawannya. Di tengah udara dia memutar tubuhnya seperti gasingan dan menimbulkan tekanan udara yang mampu memaksa Cian Ping melompat mundur sambil mengambil napas. Dengan demikian serangan balasan Cian Ping itu telah digagalkan dengan cara yang aneh sekali.
Sip-hiat-mo-hok ternyata tidak berhenti sampai di situ saja, begitu kakinya menyentuh tanah dia telah melompat kembali ke arah Cian Ping, sepasang belati pendeknya segera menikam kedua buah jalan darah, masing-masing jalan darah kian-keng-hiat di pundak serta ki-keng-hiat di pinggang.
Liong Pek-ji memang seorang yang jago dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) sehingga gerakan tubuhnya pun ringan sekali, seperti asap yang melayang-layang tanpa bobot saja. Belum sampai Cian Ping mempersiapkan diri lagi, tahu-tahu serangan Liong Pek-ji telah tiba di depan mata...!
Di antara perguruan-perguruan yang akan ambil bagian dalam menghadapi serbuan musuh itu, Siau-lim-pay sebagai tuan rumah merupakan perguruan yang paling banyak mengikut-sertakan anggotanya, bukan saja golongan pendeta yang di dalam kuil tetapi juga murid-murid premannya.
Agaknya penghormatan yang selama ini diberikan oleh umat persilatan terhadap Siau-lim-pay merasa tidak keliru, sebab Siau-lim-pay ini memang selalu merasa paling bertanggung jawab terhadap ketentraman dunia persilatan. Itulah sebabnya Siau-lim-pay dapat menegakkan selama ratusan tahun dengan namanya yang harum.
Dalam persiapan menyambut musuh itu, dari pihak Siau-lim- pay nampaklah rahib tua angkatan huruf “Hong” seperti Hong-tay, Hong-koang yang angin-anginan itu, Hong-leng, Hong-bun dan yang lain-lainnya yang rata-rata kepandaiannya hampir sejajar. Sedangkan rahib-rahib angkatan bawahnya lagi, yaitu yang namanya memakai huruf “Bu” ada puluhan jumlahnya, tersebar di sudut-sudut bukit Siong-san. Ada juga di antara mereka yang berkelompok-kelompok membentuk barisan Lo-han-tin yang terkenal itu.
Ketika matahari sudah mulai terasa hangatnya, maka seorang penunggang kuda muncul di kaki bukit, dan langsung memacu kudanya ke atas bukit. Orang itu berseragam murid Hoa-san-pay, masih muda dan tangkas. Ia langsung menemui Hong-tay Hwesio yang telah diangkat sebagai beng-cu (Pemimpin Umum) dalam gerakan seluruh kaum pendekar itu.
“Ada berita apa?” tanya Hong-tay Hwesio.
Murid Hoa-san-pay itu melompat turun dari kudanya dan memberi hormat, laporannya, “Beng-cu, orang-orang Hwe-liong-pang sudah melewati kota Teng-hong dan sedang bergerak menuju ke mari. Mereka bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, tapi jumlahnya seluruh hampir dua ribu orang, dan diperkirakan mereka akan bergabung kembali menjadi barisan besar kira-kira lima li dari kaki bukit ini!”
Laporan itu membuat para pendekar jadi berubah hebat wajahnya. Kaum pendekar yang berkumpul di Siong-san itu kalau dijumlahkan semuanya paling banter hanya empat ratus orang, termasuk rahib-rahib Siau-lim-pay. Jika pihak lawan benar-benar berjumlah sebesar itu, berarti setiap pendekar harus menghadapi lima orang lawan yang belum diketahui entah sampai di mana kepandaian silatnya. Sebab serendah rendahnya ilmu silat seorang anggota biasa, tapi orang yang sudah berani berkecimpung dalam dunia persilatan tentu punya keyakinan dengan kemampuan dirinya sendiri.
Namun Rahib Hong-tay memperlihatkan sikap tenang-tenang saja mendengarkan laporan itu. Katanya, “Baiklah, kau boleh pergi dan bergabung dengan teman-temanmu.”
Lalu kepada beberapa pendekar tua serta ketua-ketua perguruan yang akan menjadi “panglima”-nya, Hong-tay Hwesio berkata, “Jangan gugup mendengar jumlah lawan yang lebih besar. Kita tidak akan menghadapi mereka dalam suatu pertarungan keras lawan keras secara terbuka, tetapi kita pancing mereka dalam pertempuran di hutan pohon siong, supaya kita mendapat keuntungan tempat dan dapat saling membantu.”
Setelah itu Hong-tay Hwesio lalu memanggil seorang Rahib tua lainnya, “Hong-leng Sute, kemarilah!”
Rahib tua yang bernama Hong-leng itu segera mendekat dan mendengarkan perintah kakak-seperguruannya, “Kau boleh membawa beberapa murid dan keponakan murid kita untuk membentuk beberapa buah barisan Lo-han-tin di beberapa tempat penting dalam kuil kita. Tidak seorang musuh pun boleh masuk untuk menodai kesucian kuil kita, dan juga jangan sampai Ciang-bun Suheng (kakak seperguruan yang menjadi Ketua) dikagetkan dari semedinya dalam usaha penyembuhan penyakitnya.”
“Baik, Suheng,” sahut Hong-leng Hweshio.
Setiap orang yang mendengar perintah Hong-tay Hwesio itu tergetar hatinya, terutama murid-murid Hwe-liong-pang sendiri. Mereka sudah bertekad bulat, bukan saja mempertahankan kuil dari jamahan tangan-tangan berdarah Hwe-liong-pang, melainkan menumpas Hwe-liong-pangnya sekalian sebagai sumber penyakit.
Dan kepada “panglima-panglima”-nya, Hong-tay Hwesio berkata, “Marilah kita sambut hangat tamu-tamu tak diundang itu.”
Maka berjalanlah paderi tua Siau-lim-si itu menuju ke kaki bukit, diiringi oleh beberapa rahib muda, serta tokoh-tokoh berbagai golongan lainnya seperti Kim-hian dan Kim-gi Tojin dari Bu-tong-pay, Soat-san-kiam-sian Yu Hau-seng dan Soat-san-kiam-sin Oh Yu-thian dari Soat-san-pay, Pat-pi-sin-kay Ling Kok-yang dari Kay-pang, Hong-lui kiam-khek Kongsun Tiau dari Jing-sia-pay, Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han dari Hoa-san-pay, Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay, Thi-sim Tojin dari Khong-tong-pay, Cia Hok-tong dari Cong-lam-pay serta tokoh-tokoh utama lainnya.
Dalam pada itu, dari arah selatan Siong-san nampaklah debu mengepul ke udara, sayup-sayup terdengar pula gemuruhnya derap ribuan ekor kuda yang menghentak-hentak bumi. Suatu barisan panjang yang terdiri dari orang-orang berbaju hitam nampak bergerak seperti seekor naga raksasa yang hendak menelan bukit Siong-san.
Begitu tiba di kaki bukit, rombongan musuh itu langsung memecahkan diri menjadi delapan kelompok warna bendera, dengan ikat kepala dan ikat pinggang yang berbeda-beda, dipimpin oleh Tong-cunya masing-masing. Setelah itu barulah Te-liong Hiang-cu muncul dengan dikawal oleh Sebun Say serta Tang Kiau-po.
Tanpa turun dari kudanya, mereka bertiga naik ke lereng bukit dan mendekati Hong-tay Hwesio serta tokoh-tokoh utama kaum pendekar lainnya. Gayanya yang sombong itu telah membuat beberapa tokoh pendekar yang berwatak berangasan telah naik pitam.
“Hemm, tong kosong berbunyi nyaring, orang ini besar lagaknya hanya untuk menutup kekerdilan dirinya sendiri,” geram Thian-goan Hweshio. Meskipun perkataannya itu diucapkan tidak terlalu keras, namun karena keadaan sunyi-senyap karena tegangnya, maka suara Thian-goan Hweshio itu cukup jelas terdengar.
Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio yang bermulut jahil itupun ikut menimbrung, “Tepat sekali, jika memang jantan kenapa harus menyembunyikan diri di balik topeng jelek itu? Topeng semacam itu dijual beberapa ketip pun belum tentu laku.”
Beberapa orang pendekar tertawa mendengar perkataan Hong-koan Hwesio itu, sebaliknya Sebun Say telah berteriak untuk menunjukkan kegarangannya, “Keledai gundul gila, tutup mulutmu sebelum kurobek-robek!”
Namun mana bisa Hong-koan Hwesio digertak semacam itu. Disuruh diam, ia justru semakin menyerocos sambil tertawa-tawa, “Eh, saudara Sebun, rupanya bajumu baru ya?”
Bagi orang lain, pertanyaan semacam itu mungkin tidak berarti apa-apa, tetapi bagi Sebun Say justru menimbulkan rasa malu dan dendam luar biasa. Pertanyaan itu rupanya telah mengingatkannya kepada peristiwa di dekat Kiang-leng, ketika Sebun Say “ditelanjangi” oleh Kim-hian Tojin di hadapan orang banyak. Menurut adatnya yang pemarah dan tidak mau kalah itu, ingin rasanya Sebun Say menerkam dan menghajar rahib dekil yang sangat dibencinya itu.
Tapi Sebun Say masih berusaha menahan diri, sebab ia menyadari bahwa di tempat itu sedang berkumpul tokoh-tokoh puncak dunia persilatan, jika ia bertindak kurang hati-hati bukan saja dendamnya tak dapat terlampiaskan, salah-salah malah ia bisa kehilangan muka lagi.
Sementara itu Hong-koan Hwesio masih hendak memberondong lagi dengan serangkaian kata-kata ejekan kepada iblis kerdil dari Jing-hay itu, namun Hong-tay Hwesio telah menoleh kepadanya dan menegurnya, “Sute, harap kita agak menghormati tetamu.”
Seketika itu juga Hong-koan Hwesio bungkam, namun ia menggerutu dalam hati karena merasa belum puas mempermainkan Sebun Say. Dan ia bertambah mendongkol ketika melihat Liu Tay-liong tersenyum ke arahnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Sementara itu Hong-tay Hwesio telah merangkapkan telapak tangan dan memberi hormat kepada Te-liong Hiang-cu, katanya dengan suara yang tenang, “Selama ini antara Siau-lim-pay dengan Hwe-liong-pang tidak pernah terjadi permusuhan apapun, kenapa Pang-cu telah melukai dan menewaskan beberapa orang anggota kami dan menyerang kemari?”
Te-liong Hiang-cu menjawab dengan suaranya yang dingin dan congkak, “Sudah lama aku mendengar kabar angin bahwa Siau-lim-pay merupakan tulang punggung dunia persilatan, maka tanganku menjadi gatal untuk membuktikan sendiri. Selain itu ada pepatah yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada dua matahari, di gunung tidak boleh ada dua harimau, dunia persilatan tidak boleh ada dua pemimpin. Hari ini akan ditentukan mana yang lebih pantas memimpin dunia persilatan, Siau-lim-pay atau Hwe-liong-pang!”
Ucapan yang sama sekali tidak sungkan-sungkan itu seketika telah membangkitkan kobaran amarah para pendekar. Hong-tay Hwesio yang berhati sangat sabar itu pun telah mengerutkan alisnya. Sedangkan Liu Tay-liong memperdengarkan tertawa mengejeknya, “Heh-heh, benar-benar ucapan tak tahu malu. Kekuatan kalian sampai berapa besarpun belum berhasil kalian tunjukkan, tapi kalian sudah berani mensejajarkan diri dengan Siau-lim-pay untuk merebut pucuk pimpinan dunia persilatan?”
Sementara itu orang-orang dari Khong-tong-pay, Ki-lian-pay dan perguruan-perguruan lainpun telah mencabut senjatanya dengan marah. Mereka merasa sangat terhina oleh sikap Te-liong Hiang-cu yang hanya menyebut-nyebut Siau-lim-pay saja, seakan-akan perguruan-perguruan lain itu tidak ada nilainya sama sekali bagi Hwe-liong-pang.
Orang yang bersembunyi di balik topeng Te-liong Hiang-cu itu sebenarnya adalah Tan Goan-ciau, bekas seorang penjudi kecil-kecilan di An-yang-shia yang kemudian menjadi lihai karena menemukan kitab pusaka Bu-san-jit-kui. Karena itu, pengalamannya dalam dunia persilatan pun tidak ada sama sekali, pandangannya juga sangat picik. Tan Goan-ciau mengira bahwa dengan kekuatan sekian banyak anak buahnya itu sudah cukup untuk menaklukkan dunia, dan dengan pandangan piciknya itulah dia memberanikan diri untuk menyerbu Siong-san dan mencari nama.
Hatinya jadi semakin mekar setelah melihat bahwa kaum pendekar yang berkumpul di Siong-san itu jumlahnya hanya sekitar empat ratus orang, sedang anak buah Hwe-liong-pang yang dibawanya itu berjumlah dua ribu orang lebih. Sama sekali tidak terpikir oleh Tan Goan-ciau bahwa banyak pendekar-pendekar di tempat itu yang berilmu tinggi, yang tiap orangnya bernilai sama dengan sepuluh atau lima belas orang anggota biasa Hwe-liong-pang!
Mendengar ejekan Liu Tay-liong itu, timbullah niat Te-liong Hiang-cu untuk memamerkan kebolehan orang-orangnya. Dengan lagak setenang mungkin Te-liong Hiang-cu memerintahkan kepada Sebun Say, “Sebun Say, tangkaplah hidup-hidup sastrawan dekil itu, untuk membuktikan kekuatan kita.”
Terkejutlah Sebun Say mendengar perintah itu, karena dia pernah mengalami sendiri bahwa kepandaiannya masih setingkat di bawah kepandaian Liu Tay-liong, jelas tidak mungkin untuk mengalahkannya. Sayangnya Te-liong Hiang-cu yang tidak berpengalaman di dunia persilatan itu justru kurang menyadari hal itu. Ini disebabkan oleh karena Sebun Say terlalu sering membual dan menyombongkan kepandaiannya di hadapan Sang Ketua, dan kini setelah ia diperintahkan membuktikan kepandaiannay, bingunglah dia.
Tapi Sebun Say cukup licin juga. Merasa tidak mungkin mengungguli Liu Tay-liong seorang diri, maka Sebun Say berteriak kepada Tang Kiau-po, “Saudara Tang, untuk mempercepat pekerjaan ini, ayo kita turun tangan secara serempak!”
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po menyadari akan kesulitan yang dihadapi oleh rekannya itu, maka diapun telah melompat turun dari kudanya dan menyahut, “Baik, mari kita ringkus bersama-sama makhluk busuk itu.”
Tak terduga bahwa kepicikan dan kesombongan Te-liong Hiang-cu ternyata semakin menyulitkan anak buahnya sendiri. Kata Te-liong Hiang-cu, “Sebun Su-cia dan Tang Su-cia, jika kita main keroyok mana bisa menunjukkan kelihaian kita di hadapan orang-orang munafik ini? Yang aku kehendaki justru supaya kita menunjukkan kemampuan kita orang demi orang.”
Tergagap-gagap Sebun Say menyahut, “Harap Pang-cu ketahui bahwa si dekil she Liu itu punya ilmu siluman. Biarpun aku sanggup mengalahkannya tapi akan lebih cepat selesainya jika Tang Su-cia membantuku.”
Mendengar percakapan di antara tokoh-tokoh Hwe-liong- pang yang terdengar cukup menggelikan itu, Hong-koan Hwesio kembali tidak dapat menahan kegatalan mulutnya, “Sekarang aku tahu kenapa sampai terjadi begini. Rupanya si cebol Sebun Say ini sering membual di hadapan Ketuanya, membanggakan kepandaiannya, tetapi begitu diperintahkan untuk menghadapi lawan, maka dia ketakutan setengah mati dan mencari-cari alasan untuk menghindari tugasnya. Ha-ha-ha...”
Sindiran itu tepat betul mengorek kandungan hati Sebun Say, dan langsung saja membuat Sebun Say marah dan malu bukan kepalang. Apalagi ketika terdengar Te-liong Hiang-cu berkata pula,
“Kau dengarlah sendiri, Sebun Su-cia, musuh akan memandang rendah kepada kita jika kita tidak menunjukkan kepandaian kita.”
Akhirnya, dengan mengeraskan kepala Sebun Say menghunus senjata sabitnya yang telah dilumuri racun ganas itu, lalu dengan nekadnya menerjang ke arah Liu Tay-liong yang sebenarnya ditakutinya itu.
Sastrawan sakti dari kota Kay-hong itupun mengetahui bahwa lawannya dalam keadaan mata gelap karena malu dan marahnya, maka Liu Tay-liong pun melayaninya dengan hati-hati dan cermat. Kipas besinya yang merupakan senjatanya yang terkenal itu segera dimainkan, dikembangkan dan dilipat berganti-ganti dengan gerakan-gerakan cepat dan indah. Seketika itu juga terpesonalah ratusan pasang mata ketika melihat ilmu silat yang indah mirip tarian, namun sangat berbahaya itu.
Hong-tay Hwesio sebagai pimpinan seluruh kaum ksatria, sebenarnya masih ingin berbicara banyak untuk menyelesaikan persoalan itu tanpa kekerasan, tetapi karena pihak Hwe-liong-pang sudah menyerang lebih dulu maka agaknya pertempuran tak terhindarkan lagi. Bahkan dalam hati pendeta tua itu timbul harapan agar Liu Tay-liong dapat mengalahkan Sebun Say, supaya agak mengurangi kesombongan orang-orang Hwe-liong-pang yang merasa mampu menggulung dunia itu.
Sementara itu Te-liong Hiang-cu sendiri menjadi tidak senang ketika melihat Sebun Say ternyata tidak dapat segera mengatasi lawannya. Bahkan, karena Sebun Say bertempur dengan kalap dan mata gelap, maka tenaganya cepat terkuras habis dan akhirnya malahan ia yang terdesak mundur. Melihat itu, menggeramlah Te-liong Hiang-cu, “Tang Su-cia, bantulah Sebun Su-cia!”
Tang Kiau-po menyahut, “Pang-cu, jika aku terjun pula ke gelanggang pertempuran, hal itu sama saja dengan memancing pula jago-jago di pihak lawan untuk terjun pula ke gelanggang. Hal ini...”
Tapi ucapan Tang Kiau-po itu terpotong oleh bentakan Te-liong Hiang-cu, “Kita datang ke sini memang untuk bertempur, kau kira untuk bertamasya? Perduli apa kalau orang-orang munafik itu terjun ke gelanggang pula? Kita tidak takut dan akan menyapu mereka! Hayo maju!”
Apa boleh buat, sambil menenteng tongkat ular merahnya, dia melompat ke dalam gelanggang pertempuran. Dan ternyata dari pihak kaum pendekar juga tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan secara licik.
Rahib Hong-koan yang angin-anginan itu segera melompat maju pula ke tengah gelanggang, sambil berkata, “He, rambut merah, tampaknya kau juga sudah gatal tangan. Mari kutemani kau bermain-main beberapa jurus!”
Maka kedua orang itupun segera terlibat dalam baku hantam yang seru. Karena terdorong keinginan untuk mengalahkan lawannya secepat mungkin, maka begitu pertarungan dimulai Tang Kiau-po langsung mengerahkan kekuatan dan kecepatannya. Gerakannya amat dahsyat bagaikan angin puyuh yang menggulung lawanya.
“Sungguh ganas!” teriak Hong-koan Hwesio dengan kaget, terpaksa ia melangkah mundur dua langkah.
Melihat bahwa lawannya dapat dipaksa mundur dalam gebrakan pertama saja, Tang Kiau-po menjadi besar hatinya. Secara beruntun segera ia keluarkan jurus-jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Ribuan Prajurit), Coa-heng-li-hoan (Ular Merayap dan Rase Melompat) serta Liong-thian-i-ya (Naga Bertarung di Daratan). Yang tampak kemudian hanyalah segumpal bayangan merah dan puluhan batang tongkat yang nampaknya bergerak sekaligus. Kebesaran nama Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po, tokoh jahat dari Gunung Thay-san ini ternyata memang cukup mengejutkan orang.
Tapi serbuan berantai Tang Kiau-po kali ini telah membentur tembok besi ibaratnya. Hong-koan Hwesio tadi melangkah mundur bukan karena terdesak, tapi karena mempersiapkan pertahanan yang lebih baik. Dan kini serangan beruntun Tang Kiau-po itu disambutnya secara keras lawan keras dengan tiga jurus pula! Masing-masing adalah Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Obor Menerangi Langit), Koay-bong-hoan-sin (Ular Siluman Membalik Badan) dan Kim-kong-hok-mo (Malaikat Menundukkan Iblis).
Serentetan suara benturan keras yang memekakkan telinga segera berkumandang di lereng bukit Siong-san itu. Tongkat besi berkepala ular yang di tangan Tang Kiau-po itu telah berbenturan dengan dahsyatnya dengan tongkat bambu sakti milik Siau-lim-hong-ceng, sehingga memercikkan bunga-bunga api yang mendebarkan.
Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio tergetar mundur lima langkah akibat benturan itu, sedangkan Tang Kiau-po tidak tergetar mundur selangkah pun. Serempak orang-orang Hwe-liong-pang bersorak-sorai melihat keunggulan jagonya itu.
Dalam urut-urutan sepuluh tokoh paling sakti di jaman itu, Hong-koan Hwesio menduduki urutan ke enam, lebih tinggi dari Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po yang hanya menduduki nomor paling buncit, yaitu nomor sepuluh. Tetapi susunan itu dibuat pada lima belas tahun yang lalu, dan sudah tidak dapat dipercayai lagi untuk masa kini. Misalnya saja Tang Kiau-po yang menduduki nomor urut paling belakang, selama lima belas tahun ini telah melakukan latihan keras di Gunung Thay-san, sehingga kemajuan ilmunya semakin pesat.
Sedangkan Hong-koan Hwesio telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkelana ke sana ke mari, seperti seekor burung yang bebas terbang di udara. Dengan demikian, meskipun ilmunya telah mengalami kemajuan pula, namun kemajuannya sangat sedikit, maka tidak mengherankan kalau dalam benturan tenaga itu dia dapat didesak oleh Tang Kiau-po.
Hong-tay Hwesio hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat keadaan adik seperguruannya yang suka mengembara itu. Pikirnya, “Selama ini Hong-koan Sute kurang tekun dalam mendalami ilmu silatnya, karena merasa kepandaiannya telah cukup tinggi untuk malang-melintang di dunia persilatan. Tetapi biarlah pertempuran kali ini akan memberi pelajaran pahit kepadanya, agar dapat mencambuknya untuk lebih tekun latihan di kemudian hari.”
Antara Hong-koan Hwesio dan Tang Kiau-po memang telah berlangsung suatu pertempuran sengit. Hong-koan Hwesio yang sudah merasa bahwa dirinya kalah beberapa tingkat dari lawannya, ternyata tidak berkecil hati. Dengan cerdik dia mengambil kedudukan lebih banyak bertahan dan sedikit menyerang, sehingga pertahanannya pun sangat rapat. Sebaliknya Ang-mo-coa-ong sangat bernafsu untuk menaikkan urutannya dalam Sepuluh Tokoh Sakti itu, maka ia telah menyerang lawannya secara bertubi-tubi, ganas dan tidak kenal ampun! Semua hasil latihannya selama lima belas tahun ini telah dihamburkan keluar semuanya tanpa ada yang disembunyikan lagi.
Dengan telah dimulainya pertempuran antara tokoh-tokoh itu, kelihatannya memang pertempuran besar-besaran antara kaum pendekar dengan Hwe-liong-pang itu sudah tidak dapat dielakkan lagi. Rahib Hong-tay sebenarnya masih ingin berusaha menyelesaikan masalah itu tanpa tumpahan darah, tetapi ia tidak dapat mengendalikan perkembangan keadaan yang semakin panas dan penuh dengan hawa nafsu kebencian itu.
Apalagi karena Te-liong Hiang-cu sama sekali tidak berusaha mengekang dirinya. Ia merasa unggul di atas angin dengan jumlah anak buahnya yang ribuan itu, dan merasa bahwa tidak sulit untuk membasmi kaum pendekar yang jumlahnya cuma seperlima jumlah anak buahnya itu. Maka terluncurlah aba-aba untuk menyerang!
Karena lereng bukit Siong-san memang kurang menguntungkan untuk bertempur di atas kuda, maka orang-orang Hwe-liong-pang itu telah berlompatan turun dari kuda mereka, dan sambil bersorak-sorak dengan hebatnya mereka menyerbu ke arah bukit, dipimpin oleh delapan orang Tong-cu.
Para pendekar pun segera mempersiapkan diri untuk menyambut serbuan musuh itu. Mereka menyadari bahwa pembicaraan telah habis dan tidak bisa dilanjutkan lagi, kini giliran senjata lah yang akan berbicara. Nafsu Te-liong Hiang-cu untuk menumpas kaum pendekar dan ingin berkuasa di dunia persilatan agaknya sudah tidak mungkin dipadamkan lagi.
Karena pertempuran itu adalah pertempuran antara kaum persilatan yang biasa bertempur secara perorangan, maka jalannya pertempuran pun tidak seperti apabila dua pasukan bertempur secara teratur. Benturan antara kaum pendekar dengan Hwe-liong-pang itu tidak teratur, sebab kedua belah pihak langsung melepaskan diri dari barisannya masing- masing dan langsung mencari lawannya masing-masing.
Bukit Siong-san, tempat ziarah yang khidmat itu, kini telah berubah menjadi ajang pertumpahan darah yang penuh kebencian. Golongan yang sedang berusaha mengubah dunia menurut seleranya sendiri, sedang bertarung dengan golongan yang tetap mempertahankan tegaknya kebenaran dan keadilan di jagad ini.
Namun tidak dapat diingkari pula bahwa di antara kaum pendekar itupun ada yang didorong oleh pamrih kurang murni, yaitu akan menjadikan ajang pertempuran itu sebagai arena untuk mengangkat namanya sendiri. Orang-orang yang mencari nama inilah yang bertempur tidak kalah ganasnya dengan orang-orang Hwe-liong-pang.
Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau agaknya juga ingin memamerkan kepandaiannya yang diperolehnya dari kitab Bu-san-jit-kui itu. Ia telah melompat turun dari kudanya, lalu menerjang ke dalam barisan kaum pendekar. Dengan ayunan-ayunan tangannya yang cepat dan kuat luar biasa, dia telah membuat beberapa korbannya terpental dengan kepala retak tulang dada yang remuk!
Hong-tay Hwesio tidak sampai hati melihat barisannya diporak-porandakan oleh manusia bertopeng tengkorak itu. Sambil mengumandangkan pujian kepada Sang Buddha, ia segera memotong langkah Te-liong Hiang-cu itu sambil berseru dengan hati pedih, “Omitohud, harap Pang-cu ingat bahwa orang-orang yang Pang-cu bunuhi itu adalah sesama manusia!”
Tapi Te-liong Hiang-cu sedang mabuk kemenangan dan kekuasaan, sebab dia merasa pasti bahwa kemenangan akan ada di pihaknya. Seruan Rahib Hong-tay yang memelas itu tidak digubrisnya sama sekali, ketika ia mengayunkan tangannya lagi, maka seorang pemuda berseragam perguruan Tiam-jong-pay telah terkapar dengan leher patah. Kemudian sekali lagi ia mengayunkan tangannya dan kali ini sasarannya adalah seorang rahib muda Go-bi-pay.
Hong-tay Hwesio kehabisan kesabarannya, ia tidak dapat membiarkan Te-liong Hiang-cu mengumbar keganasannya dan mencabuti nyawa orang lain seenaknya saja. Maka rahib sakti itu segera melompat maju dan melancarkan sebuah pek-khong-ciang (Pukulan Udara Kosong) untuk memotong gerakan Te-liong Hiang-cu itu.
Dua buah arus tenaga raksasa yang tak berwujud segera berbenturan di tengah udara. Te-liong Hiang-cu dipaksa untuk surut setengah langkah, sebaliknya Hong-tay Hwesio pun harus menggeliatkan pinggangnya untuk mematahkan gempuran lawan. Ternyata tenaga dalam kedua orang itu hampir setingkat.
“Bagus, keledai gundul tua, hari ini aku ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat Siau-lim-pay yang banyak dibualkan orang itu!” teriak Te-liong Hiang-cu dengan murka. Kemudian mulutnya mulai berkemak-kemik membaca mantera sambil melancarkan sebuah jurus hebat yang bernama Jit-kui-tiau-goat (Tujuh Iblis Menyembah Rembulan), salah satu jurus tertinggi dalam ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui.
Begitu jurus itu dilancarkan, mendadak tubuh Te-liong Hiang-cu seakan-akan telah terpecah menjadi tujuh buah bayangan yang mengerikan, bahkan sayup-sayup terdengar suara bergumam seram dari balik topeng tengkorak itu, memancarkan sebuah pengaruh gaib kepada lawannya. Dan berbareng dengan itu sebuah pukulan dahsyat pun menggulung ke depan.
Namun Hong-tay Hwesio yang sudah memiliki kekuatan batin yang tinggi itu tidak mudah terjatuh ke dalam pengaruh yang berlandaskan ilmu hitam itu. Dengan tenangnya Hong-tay Hwesio menantikan pukulan lawan sampai dekat, menangkisnya dan kemudian langsung membalas dengan jurus Se-ceng-pay-Hud (Se-ceng menyembah Buddha). Sebuah tenaga tak berwujud yang tidak kalah dahsyatnya segera mendampar ke dada Te-liong Hiang-cu!
Alangkah terkejutnya Te-liong Hiang-cu ketika melihat serangannya yang sangat dibanggakannya itu ternyata kandas begitu saja, bahkan lawan sanggup membalasnya dengan tidak kalah hebatnya. Padahal dengan jurus ilmu silat yang berlandaskan ilmu hitam itu Te-liong Hiang-cu pernah berhasil dengan mudah menaklukkan Sebun Say dan Tang Kiau-po dan kemudian menarik mereka masuk menjadi anggota Hwe-liong-pang. Tetapi Te-liong Hiang-cu lupa, bahwa jika berhadapan dengan orang yang berbatin bersih dan beriman kuat, maka ilmu hitamnya itu kehilangan sebagian besar dari pengaruhnya.
Dalam kejutnya, cepat-cepat Te-liong Hiang-cu memasang kuda-kuda dan mengerahkan tenaga untuk menangkis serangan balasan pendeta tua itu. Dan sekali lagi dia membuat kekeliruan besar. Dia boleh bangga dengan ilmu hitam atau ilmu beracun tinggalan Bu-san-jit-kui, namun dalam hal ilmu silat sejati tentu saja dia kalah matang dibandingkan rahib sakti Siau-lim-pay itu. Maka begitu benturan tenaga dalam itu terjadi lagi, Te-liong Hiang-cu harus melompat ke belakang untuk mengurangi tekanan tenaga lawan yang hebat itu.
Dalam sekejap saja kedua orang itu telah terlibat dalam suatu perkelahian hebat. Ilmu warisan Bu-san-jit-kui adalah ilmu yang merupakan gabungan dari ilmu silat, ilmu sihir hitam, ilmu penggunaan racun serta ilmu-ilmu sesat lainnya, sifatnya ganas dan keji bukan main. Sejarah dunia persilatan telah mencatat, bahwa Bu-san-jit-kui adalah penganut suatu agama sesat penyembah dewi bulan yang berasal dari negeri Persia. Kesesatan dan keganasan itulah yang mewarnai gaya bertempur Te-liong Hiang-cu saat itu.
Sebaliknya lawan Te-liong Hiang-cu saat itu adalah seorang tokoh utama Siau-lim-si, sebuah kuil yang termashur sebagai pusatnya ilmu silat beraliran Hud-bun (aliran Buddha). Maka tidak pelak lagi pertempuran antara Hong-tay Hwesio melawan Te-liong Hiang-cu itu dapat dianggap lambang pertempuran antara ilmu sejati melawan ilmu sesat.
Sementara itu, hampir seluruh lereng bukit itu telah diramaikan dengan suara pertempuran yang riuh rendah. Anggota-anggota Hwe-liong-pang umumnya terdiri dari para buronan hamba hukum, para penjahat yang tadinya berdiri sendiri-sendiri, para murid-murid perguruan silat yang sudah dipecat karena melakukan kesalahan besar dan sebagainya.
Mereka berhimpun dalam Hwe-liong-pang sebagai tempat pernaungan yang mereka anggap aman. Selama ini, kaum buangan itu merasa bahwa hidup mereka terlalu tertindas dan senantiasa dibatasi oleh kaum pendekar itu, tetapi kini orang-orang buangan itu merasa mendapat kesempatan untuk membalas dendam, maka bertempurlah mereka dengan sengitnya.
Di pihak kaum pendekar, Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay yang berwatak berangasan itu telah menghunus pedangnya dan menyambut serbuan musuh. Serunya dengan suara menggelegar, “Demi membersihkan dunia dari kaum pengacau ini, biarlah hari ini aku akan membuka pantangan membunuh!”
Akibat amukan Thian-goan Hweshio ini, sebentar saja sudah ada tiga orang anggota Hwe-liong-pang yang bergelimpangan terbabat pedangnya. Namun Thian-goan Hweshio tidak dapat melanjutkan amukannya, sebab tiba-tiba gerombolan orang-orang Hwe-liong-pang itu muncullah seseorang yang langsung menghadangnya. Orang itu berseragam Hwe-liong-pang pula, dan ia langsung menegur Thian-goan Hweshio, “Suheng, selamat bertemu kembali!”
Thian-goan Hweshio terkejut dan menoleh ke arah orang yang memanggilnya “suheng” itu. Orang itu ternyata adalah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, bermulut lebar dan bermuka bengis, tangannya memegang pedang pula. Meskipun ia telah memanggil “suheng” kepada Thian-goan Hweshio, namun pandangan matanya justru memancarkan rasa permusuhan dan dendam kebencian sedalam lautan.
“Kau kiranya!” teriak Thian-goan Hweshio terkejut.
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh dan menjawab, “Benar, kau tidak menduga akan bertemu dengan aku di sini bukan? Kalian telah mengusir aku dari Go-bi-pay seperti mengusir seekor anjing saja, sedangkan di Hwe-liong-pang aku diterima dengan hormat dan penuh rasa persahabatan, karena itu aku memutuskan untuk menjadi anggota Hwe-liong-pang dan bertempur di bawah bendera Hwe-liong-ki! He-he-he, Suheng, kesempatan ini boleh kita jadikan arena untuk melunasi hutang-piutang kita, setuju?”
Orang yang menegur Thian-goan Hweshio itu ternyata adalah seorang bekas murid Go-bi-pay pula. Dia bernama Ho Teng-siong, karena kelakuannya yang sangat memalukan nama perguruan, maka dia telah dipecat dan diusir oleh Thian-goan Hweshio sebagai Ketuanya. Ternyata Ho Teng-siong mendendam akan pemecatan itu, dan kini ia bergabung dengan Hwe-liong-pang.
Thian-goan Hweshio menarik napas dan berkata, “Ho Sute, dengan hukuman yang telah kau terima itu seharusnya kau merenungi diri dan berusaha memperbaiki kelakuanmu, kenapa kau justru jadi semakin sesat dan malahan bergabung dengan kaum Hwe-liong-pang yang dikutuk oleh kaum ksatria sejagad ini?”
Ho Teng-siong tertawa terbahak-bahak, “Ha-ha-ha... kaum ksatria? Kawanan iblis? Bagi Ho Teng-siong siapa yang mau menerima aku, maka dia kawanku. Sudahlah, Suheng, kedatanganku ke bukit Siong-san ini bukan untuk mengadu bicara, melainkan untuk ikut serta dalam menegakkan cita-cita Hwe-liong-pang untuk menjadi jaya di dunia persilatan...”
“Sute kau benar-benar telah terjerumus...”
Namun ucapan Thian-goan Hweshio itu telah terputus oleh bentakan Ho Teng-siong, “Lihat pedangku!” disusul dengan ujung pedang yang meluncur berkilauan ke dada Thian-goan Hweshio. Itulah jurus Hui-seng-kiong-goat (Bintang Terbang Mengejar Rembulan), salah satu jurus paling ampuh dari Tat-mo-kiam-hoat gaya Go-bi-pay.
Apa boleh buat, terpaksa Thian-goan Hweshio bertempur melayani bekas adik seperguruannya yang telah sesat ini. Menghadapi gelombang serbuan orang-orang Hwe-liong-pang yang berjumlah lebih banyak itu, pihak kaum pendekar agak terdesak sedikit dan terpaksa mengundurkan diri ke lereng atas yang banyak pohon siongnya. Di tempat yang banyak pepohonannya itu barulah kaum pendekar bisa menunjukkan kekuatannya secara perorangan, dan di situ pulalah pertempuran berlangsung dengan kisruhnya.
Di tengah ributnya pertempuran itu, tiba-tiba nampak sebuah bola api meluncur dan meledak di tengah-tengah kaum pendekar, disusul dengan suara jeritan menyayat hati dari seorang pendekar muda berseragam Soat-san-pay yang telah terbakar hidup-hidup. Terdengar pula tertawa seram penuh kepuasan dan beberapa bola api meluncur kembali ke barisan kaum pendekar.
Untuk sementara, barisan pendekar menjadi agak kacau menghadapi senjata bola api yang lihai itu, yang dapat meledak hanya dengan sentuhan kecil saja. Banyak yang dapat menghindari senjata maut itu, namun ada pula beberapa orang yang menjadi korban sia-sia.
Ternyata kaum Hwe-liong-pang yang menyerbu bagian itu adalah dari kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang dipimpin oleh Hwe-tan (Si Peluru Api) Seng Cu-bok. Begitu pertempuran dimulai, maka Seng Cu-bok langsung saja menghambur-hamburkan peluru api kebanggaannya itu untuk mengacaukan barisan lawan.
Maka dengan bersorak-sorai liar, orang-orang Hwe-liong- pang kelompok Lam-ki-tong ini menyerbu ke atas bukit. Mereka menjadi berbesar hati setelah melihat kelihaian peluru api dari Tong-cu mereka. Pada saat Seng Cu-bok “berpesta” dengan peluru apinya itu, tiba-tiba muncullah seorang pendekar muda yang berseragam kuning Hoa-san-pay yang langsung menghadang serbuan Seng Cu-bok itu. Teriaknya dengan garang,
“Penjahat Hwe-liong-pang! Jangan mengganas di sini!” Pendekar muda itu langsung melancarkan sebuah serangan hebat. Ujung pedangnya gemeredep membentuk sekuntum bunga keperak-perakan, sebuah jurus yang sangat indah tetapi juga membawa desir angin yang tajam, menandakan bahwa jurus itu bukan cuma tarian indah tetapi juga bisa mencabut nyawa lawannya. Ternyata yang menghadang Seng Cu-bok itu tidak lain adalah pendekar muda Hoa-san-pay yang sedang menanjak namanya, yaitu Auyang Seng yang berjuluk Gin-hoa-kim (Pedang Bunga Perak) itu.
Karena tidak sempat lagi melemparkan peluru apinya, maka Seng Cu-bok segera melompat mundur sambil melolos golok dari pinggangnya. Ternyata dalam hal ilmu golok pun Seng Cu-bok cukup tangguh, ilmu golok yang dimainkannya ternyata bergaya perguruan Koay-to-bun (Perguruan Golok Kilat) yang cukup terkenal di daerah Koan-tong.
Auyang Seng adalah pendekar muda yang cukup punya nama pula, tapi hanya untuk wilayah barat, di sekitar Gunung Hoa-san saja. Sekarang ia ikut serta datang ke Siong-san di wilayah Ho-lam ini tujuannya antara lain juga akan mengangkat nama di daerah ini. Maka dengan penuh semangat dia segera mainkan pedangnya untuk melayani permainan golok Seng Cu-bok.
Jago muda Hoa-san-pay ini lebih dulu membuka serangan dengan jurus Kim-ke-tok-siok (Ayam Emas Mematuk Gabah). Dan ketika Seng Cu-bok menghindar ke samping, maka Auyang Seng meneruskannya dengan sebuah babatan ke pinggang lawan dengan jurus Hui-hong-sau-liu (Angin Puyuh Menyapu Pohon Liu).
Seng Cu-bok menggeram jengkel melihat lawan ciliknya itu mendesaknya tanpa sungkan-sungkan lagi. Maka serangan lawan ke arah pinggang itu tidak dihindarinya melainkan ditangkisnya dengan sekuat tenaganya. Terdengar suara berdentang nyaring hasil benturan kedua senjata itu, dan Auyang Seng terkejut bukan kepalang karena telapak tangannya terasa pedih dan hampir saja pedangnya lepas dari tangannya. Kini sadarlah Auyang Seng bahwa lawannya itu bukanlah lawan empuk seperti yang diduganya semula.
Sebaliknya Seng Cu-bok kini merasa bahwa dia kalah dalam urusan keaneka ragaman tipu silat, namun unggul dalam hal kekuatan dan pengalaman. Maka ia segera mendesak Auyang Seng dengan bacokan-bacokan bertubi-tubi, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada pendekar muda Hoa-san-pay itu untuk mengembangkan tipu-tipu pedangnya yang bermacam-macam itu, dan hanya dipaksa untuk bertahan terus.
Auyang Seng sekarang benar-benar tidak berdaya di bawah “hujan golok” yang dilancarkan oleh lawannya. Tangannya yang memegang pedang merasa pegal bukan main karena harus selalu menangkis bacokan-bacokan lawan yang beratnya seperti runtuhan gunung itu.
Sedang Seng Cu-bok yang merasa senang di atas angin itupun sempat mengeluarkan ejekan, “Kalau tidak salah bukankah kau ini si tikus kecil yang berhasil lolos dari tangan kami, ketika kami melakukan penyergapan di kota Sin-yang itu? Ha-ha, saat itu kau bisa lolos, tapi kali ini kau jangan harap bisa mengulangi nasib baikmu itu.”
Auyang Seng tidak menyahut ejekan lawan itu. Untuk bernapaspun sudah tersengal-sengal, mana ada kesempatan untuk membalas ejekan lawan? Dalam kerepotannya dia mencoba siasat baru, yaitu dengan jalan mencoba bertempur kucing-kucingan di antara pohon-pohon siong yang tumbuh di situ. Namun siasat itupun tidak membawa hasil yang memuaskan, sebab dengan begitu telah memberi kesempatan kepada Seng Cu-bok untuk kembali menghambur-hamburkan peluru apinya, meskipun hanya dengan tangan kiri.
Pada saat Auyang Seng ibaratnya seperti telur di ujung tanduk itu, mendadak seorang gadis muda muncul di tempat itu tanpa membawa sepotong senjata pun. Begitu muncul, ia langsung berseru kepada Auyang Seng, “Saudara Auyang, serahkan orang ini kepadaku!”
Ketika Auyang Seng dipergoki oleh gadis itu sedang dalam keadaan “petak umpet” dengan Seng Cu-bok, alangkah malunya dia. Auyang Seng kenal gadis itu sebagai gadis yang kemarin berani mengeluarkan kata-kata yang keras di hadapan pertemuan kaum ksatria. Gadis itu pernah memancing kekaguman pemuda itu, dan ia sungguh tidak berharap akan dilihat oleh gadis itu ketika sedang dalam keadaan sekonyol itu.
Namun dasar Auyang Seng memang keras kepala, demi menjaga gengsinya dia menjawab dengan keras, “Tidak usah nona merepotkan diri. Aku memang sengaja ingin melihat sampai dimana kelihaian bangsat ini dengan peluru-peluru apinya, sebelum dia merasakan kelihaian Hoa-san-kiam-hoat (Ilmu Pedang Hoa-san-pay) kami!” Lalu dengan nekad Auyang Seng mengakhiri permainan kucing-kucingannya dan menerjang Seng Cu-bok secara berhadapan.
Di dalam hatinya, Tong Wi-lian geli juga melihat pemuda Hoa-san-pay yang keras kepala itu. Namun dia sengaja akan membiarkan pemuda itu merasakan pil pahit dulu, setelah itu barulah menolongnya. Ternyata, begitu Auyang Seng berhenti dari siasat kucing-kucingannya, kembali ia terkurung di bawah bacokan-bacokan Seng Cu-bok yang cepat, keras dan bertubi-tubi itu. Tipu-tipu ilmu pedang Hoa-san-kiam-hoat yang terkenal akan keindahannya itu kini dapat “dikebiri” oleh Seng Cu-bok yang telah kenyang dengan pengalaman bertempur itu.
Bahkan terdengar Seng Cu-bok mengejek lagi, “Ha-ha... julukanmu sungguh indah, Si Pedang Bunga Perak, tak tahunya hanya sebegini saja kemampuanmu. Orang-orang muda memang suka membual dan mengarang julukan yang hebat-hebat untuk dirinya sendiri, tapi isinya kosong melompong belaka. Ha-ha-ha-ha...”
Sungguh tidak ada yang lebih memalukan daripada seorang anak muda yang bangga akan keadaannya, tahu-tahu dimaki-maki orang dihadapan seorang gadis tanpa bisa membantah sepatah katapun. Demikian pula keadaan Auyang Seng saat itu. Dadanya terasa hampir meledak mendengar maki-makian Seng Cu-bok itu, namun dalam kenyataannya memang dia terus terdesak mundur oleh lawannya. Bahkan sesaat kemudian, pedangnya benar-benar telah terpental lepas dari tangannya.
“Gin-hoa-kiam, sekarang akan kubikin kau menjadi pendekar tanpa kepala!” teriak Seng Cu-bok sambil mengayunkan goloknya untuk menebas leher Auyang Seng, yang kini sudah tidak berdaya dan tinggal menunggu nasib saja.
Tapi sebelum golok itu mengenai leher korbannya, sekonyong-konyong Seng Cu-bok merasakan lengannya tergetar keras dan bahkan tubuhnya terdorong mundur tiga langkah dengan kerasnya. Tentu saja bacokannya itu tidak mengenai sasarannya. Dengan pandangan mata tidak percaya, Seng Cu-bok melihat seorang gadis telah bertolak pinggang didepannya tanpa membawa senjata sepotongpun. Jelas gadis itulah yang telah menggagalkan serangan mautnya atas Auyang Seng tadi.
Sementara itu, dengan tersipu-sipu Auyang Seng telah menyingkirkan dirinya dari gelanggang itu setelah lebih dulu memungut pedangnya. Pengalamannya yang sangat memalukan pada hari itu tidak terlupakan seumur hidupnya, namun justru pengalaman pahit itu membawa kebaikan untuknya. Di kemudian hari Auyang Seng lebih giat berlatih ilmu pedangnya, sedang sikap sombongnya itu terhapus sama sekali. Di kemudian hari Auyang Seng akan terkenal sebagai seorang pendekar yang berkepandaian tinggi namun rendah hati.
Kini Seng Cu-bok telah berhadapan dengan Tong Wi-lian. Seng Cu-bok langsung mengenal gadis itu sebagai gadis yang kemarin malam telah berhasil lolos dari kuil Tay-hud-si, ketika kepergok sedang mengintai pertemuan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Kemarin malam, Seng Cu-bok kurang dapat melihat jelas gadis itu. Namun sekarang, di tengah ributnya pertempuran di lereng bukit Siong-san itu, Seng Cu-bok dapat melihat betapa cantik dan manisnya gadis itu, sehingga Seng Cu-bok tak terasa telah menelan air liurnya.
“Kiranya kau, yang kemarin beruntung berhasil lolos dari kawan-kawanku.” Kata Seng Cu-bok disertai tertawa cengar-cengirnya. “Kau seorang gadis yang secantik dan semanis ini, kenapa berkeliaran di tengah pertempuran yang ganas dan berbahaya ini? Tidak sayangkah kau jika wajah ayumu itu terkena senjata tajam sehingga mengurangi kecantikanmu?”
Tidak jauh dari tempat itu, Cian Ping juga sedang bertarung melawan dua orang anggota Hwe-liong-pang. Puteri Cian Sin-wi itu, dengan sepasang hau-thau-kau nya nampak bertempur agak santai karena kedua lawannya berkepandaian rendah. Ketika Cian Ping sempat pula mendengar ucapan Seng Cu-bok terhadap Wi-lian itu, dia tertawa geli, lalu teriaknya kepada Seng Cu-bok, “He, penjual kembang api, ini adalah medan pertempuran dan bukan taman bunga tempat orang mencari jodoh!”
Dan kepada Wi-lian, Cian Ping berteriak, “A-lian, hati-hatilah jangan sampai terbujuk oleh rayuan si penjual petasan itu, jangan sampai Ting Toako patah hati dan mencukur gundul rambutnya menjadi hweshio. Terhadap petasannya sih tidak perlu takut, di kota Tay-beng anak-anak umur lima tahun pun bisa membuat petasan macam itu.”
Wi-lian mau tak mau tertawa mendengar senda-gurau Cian Ping itu, begitu pula Ting Bun yang juga tidak jauh dari situ sambil menghadapi tiga orang lawan.
Sedangkan Seng Cu-bok menjadi merah padam mukanya saking marahnya karena dirinya dijadikan bahan senda-gurau oleh gadis-gadis itu. Hwe-tan kebanggaannya pun hanya disebut “petasan yang tidak perlu ditakuti”. Maka dengan geram ia merogoh ke dalam kantung kulitnya sambil menggeram ke arah Cian Ping, “Gadis cilik liar, rupanya kau menyukai petasanku, baiklah akan kuhadiahkan beberapa butir kepadamu.”
Namun sebelum Seng Cu-bok sempat melemparkan peluru-peluru apinya, Wi-lian telah berkata lebih dulu, “Simpan saja petasan busukmu itu, sekarang bersiaplah untuk kuantarkan menghadap nenek moyangmu!”
Seng Cu-bok sudah pernah melihat kelihaian gadis itu, maka diapun tidak berani memandang enteng. Dengan penuh perhatian ia segera mempersiapkan diri menunggu serangan Wi-lian. Diam-diam ia agak malu juga karena harus menghadapi gadis bertangan kosong itu dengan goloknya, namun Seng Cu-bok membuang jauh-jauh rasa malunya itu, sebab menyadari kelihaian lawan.
Tong Wi-lian pun bersikap hati-hati. Lebih dulu ia menyerang dengan sebuah serangan pancingan yang disebut Ji-liong-jio- cu (Dua Naga Berebut Mutiara), menggunakan dua jari tangannya untuk menusuk ke mata lawan. Ketika Seng Cu-bok menyambut tangannya dengan sebuah bacokan tegak lurus, maka Wi-lian cepat sekali bergeser ke samping sambil menggunakan jurus Tin-jiu-kin-na (Menurunkan Siku Tangan dan Menangkap) untuk mencengkeram pergelangan tangan Seng Cu-bok yang memegang golok. Terpaksa Seng Cu-bok menarik kembali goloknya dan menghadapkan tajam goloknya ke atas untuk melukai telapak tangan Wi-lian.
Kedua orang itu segera bertempur dengan serunya. Pada kesempatan itu Tong Wi-lian mencoba mengukur dan membandingkan bagaimanakah kiranya kemampuan para Tong-cu di bawah pimpinan Te-liong Hiang-cu dengan para Tong-cu di bawah pimpinan Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang?
Ternyata meskipun Seng Cu-bok merupakan seorang yang tangguh pula ilmu goloknya, namun ia masih kalah setingkat kalau dibandingkan para Tong-cu bawahan Tong Wi-siang seperti In Yong, Lu Siong, Kwa Heng atau si orang Korea Oh Yun-kim itu. Dari situ dapatlah disimpulkan bahwa Te-liong Hiang-cu agaknya tidak terlalu ketat dalam mencari anak buah untuk memupuk kekuatannya.
Beberapa langkah dari situ, Cian Ping dengan lincah dan santainya memainkan sepasang kaitannya untuk menghadapi dua orang anggota Hwe-liong-pang yang masing-masing bersenjata pedang dan ruyung. Kedua-duanya memakai ikat kepala dan ikat pinggang berwarna kuning, menandakan bahwa mereka dari kelompok Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning).
Mereka berdua merupakan bekas penjahat yang disegani orang, namun kini mereka tidak berkutik menghadapi seorang gadis semuda Cian Ping, keruan mereka menjadi penasaran. Apalagi, sambil bertempur pun Cian Ping masih sempat bergurau dan saling mengolok dengan Wi-lian, hal ini benar-benar membuat kedua anggota Hwe-liong-pang itu mata gelap karena merasa sangat terhina.
Namun kedua orang itu memang bukan tandingan puteri Cian Sin-wi yang perkasa itu. Apalagi selama dalam perjalanannya dengan Tong Wi-hong, gadis itu telah mengalami penyempurnaan dalam ilmu silatnya. Tidak mengherankan kalau belasan jurus kemudian orang Hwe-liong-pang yang bersenjata ruyung itu telah berteriak kesakitan sambil melepaskan ruyungnya. Rupanya lengannya telah terkait oleh kaitan tajam Cian Ping sehingga luka berat. Cepat-cepat dia melompat keluar dari gelanggang dan membebat lukanya dengan sobekan bajunya, supaya ia tidak mati kehabisan darah.
Namun keluarnya orang itu dari gelanggang pertempuran berarti malapetaka bagi kawannya yang bersenjata pedang itu. Dia tentu saja tidak dapat bertahan lama menghadapi rangsakan puteri Cian Sin-wi yang perkasa itu, dan nasibnya jauh lebih buruk dari nasib kawannya, sebab kaitan Cian Ping bukan cuma melukai lengan namun langsung merobek lambungnya, dan tubuh orang itupun terguling ke kaki bukit, entah bagaimana nasib selanjutnya.
Baru saja Cian Ping hendak beranjak untuk mencari lawan baru, tiba-tiba gadis itu merasa ada desiran angin tajam yang menyambarnya dari samping dengan kecepatan tinggi. Cian Ping sempat menundukkan kepalanya untuk mengelak, namun tak urung segumpal tipis rambutnya telah tersambar putus oleh serangan gelap itu.
Nampak sesosok bayangan hitam telah melayang turun di depan Cian Ping, dan setelah Cian Ping memperhatikan bentuk orang itu, seketika itu juga bergidiklah ia karena ngerinya. Orang yang berdiri di muka Cian Ping itu adalah seorang lelaki bertubuh kurus dan demikian pucatnya, sehingga mukanya mirip muka mayat, seakan dalam tubuhnya itu tak ada setetes darahpun. Kulitnya pucat, tetapi matanya justru liar kemerah-merahan, begitu pula bibirnya yang tipis itu nampak begitu merahnya, sehingga terlihat kurang wajar.
Dan pada ujung bibir-bibir yang tipis itu, tersembullah taring-taring tajam yang putih mengkilat! Jubah orang ini berwarna hitam, sehingga kelihatan menyolok dengan kulitnya yang pucat itu. Senjata yang dipegangnya pun cukup aneh, yaitu mirip mata tombak yang panjangnya tidak lebih dari sejengkal dan cara memegangnya seperti orang memegang pisau belati. Ujung sepasang senjatanya itu masih basah oleh darah segar, menandakan bahwa orang yang menyeramkan ini baru saja membunuh beberapa korban.
Yang membuat Cian Ping bergidik adalah pandangan mata yang buas dari orang itu, bukan buas seperti umumnya seorang lelaki melihat kecantikan seorang perempuan, melainkan buasnya seekor serigala yang melihat daging mentah atau mencium bau darah! Ditambah dengan taring-taring di sudut bibirnya, maka penampilan orang itu benar-benar tidak mirip manusia melainkan lebih tepat disebut golongan siluman atau hantu! Tetapi kalau hantu kenapa berkeliaran di siang hari bolong dan di tempat seramai itu? Kalau manusia biasa kenapa di mulutnya ada taringnya?
“Si... siapa... kau?” tanya Cian Ping dengan suara setenang mungkin, namun tak urung suaranya bergetar juga.
Orang itu tidak menjawab malahan balik bertanya, suaranya dingin bergulung-gulung seperti suara hantu dari alam kubur, “Kau anak Cian Sin-wi dari Tay-beng?”
Cian Ping mengiakan, dengan harapan agar orang itu agak gentar karena nama besar ayahnya. Di luar dugaan, bukannya orang itu menjadi gentar, malahan ia tertawa terkekeh-kekeh sehingga sepasang taringnya yang mengerikan itu menonjol semakin jelas. Katanya, “Bagus, tak kusangka akan kujumpai anak Cian Sin-wi di tempat ini. Bapaknya punya hutang, anaknyalah yang harus membayarnya. He, gadis cilik, ketahuilah bahwa bapakmu masih punya hutang nyawa kepadaku, karena ia telah membunuh adikku, dan kini sebagai puteri Cian Sin-wi kau harus membayar hutang bapakmu itu. Akan kuhisap darahmu sampai kering, dan nampaknya darahmu pasti akan cukup segar untuk menghilangkan rasa hausku.”
Orang yang dihadapi oleh Cian Ping itu bukan lain adalah Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Pengisap Darah) Liong Pek-ji, yang kini menduduki Ui-ki-tong-cu. Liong Pek-ji adalah seorang penganut ilmu hitam yang disebut Siu-bok-tiang-seng-kang (yaitu semacam ilmu untuk mendapatkan umur panjang dengan jalan bersemedi dalam peti mati, syarat lain untuk mempelajari ilmu itu ialah dengan jalan menghisap darah gadis-gadis perawan pada waktu-waktu tertentu.
Karena kebiasaannya menghidap darah itulah maka lama kelamaan sepasang taringnya tumbuh menjadi lebih tajam dan lebih panjang sedikit dibandingkan orang lain. Tokoh sesat ini cukup menghantui masyarakat daerah Ou-lam, dan karena keluarnya selalu pada malam hari seperti seekor kalong, maka dia mendapat julukan Sip-hiat-mo-hok itu. Di daerah Ou-lam sendiri entah sudah berapa ratus gadis yang mati menjadi korbannya, gadis-gadis itu semuanya mati dengan darah terhisap habis, dan pada leher korbannya selalu terdapat dua buah lubang kecil bekas gigitan sepasang taringnya!
Beberapa orang pendekar yang tidak senang kepada kesewenang-wenangan Sip-hiat-mo-hok pernah berusaha untuk menangkapnya, namun persembunyian orang ini tidak pernah dapat diketemukan, sementara korbannya berjatuhan terus. Ketika di wilayah Ou-lam didirikan Hwe-liong-pang kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang dipimpin oleh Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Halilintar) In Yong.
Maka Liong Pek-ji menjadi sangat terbatas gerak-geriknya, sebab In Yong bersikap sangat memusuhinya. Waktu mendengar tentang terjadinya pergeseran dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang, yaitu tersingkirnya Tong Wi-siang dan pengikut-pengikutnya, termasuk In Yong, oleh karena pengkhianatan Te-liong Hiang-cu, maka Liong Pek-ji yang telah bosan bersembunyi terus menerus dalam peti mati itupun mulai keluar kandang.
Dia langsung menggabungkan diri dengan Hwe-liong-pang pimpinan Te-liong Hiang-cu, dan bahkan kemudian dalam waktu singkat telah mendapat kedudukan Ui-ki-tong-cu, menggantikan kedudukan Thi-jiau-tho-wan (Lutung Buntung Berkuku Besi) Kwa Heng yang ikut tersingkir bersama Tong Wi-siang itu. Ketika masih melakukan kejahatannya seorang diri saja Liong Pek-ji sudah begitu kejam dan ganas, apalagi kini setelah bergabung dengan Hwe-liong-pang dia mendapat kawan-kawan sehaluan.
Tentu saja kekejamannya semakin menjadi-jadi. Kini dia merasa tidak takut lagi kepada musuh-musuh yang selama ini mencarinya. Tujuannya untuk keluar kandang dan bergabung dengan Hwe-liong-pang ini antara lain juga karena ingin membalas musuh-musuhnya, di samping tergiur pula oleh janji-janji muluk yang diucapkan oleh Te-liong Hiang-cu.
Kini setelah melihat kulit leher Cian Ping yang halus mulus itu, teringatlah Liong Pek-ji akan seleranya dalam meminum darah segar para gadis perawan itu, dan langsung timbullah keinginan jahatnya untuk menancapkan sepasang taringnya ke leher yang mulus itu. Begitulah kelainan Liong Pek-ji dari lelaki-lelaki lainnya jika melihat wanita cantik. Jika lelaki lain tentu lebih tertarik kepada kecantikannya, maka Liong Pek-ji lebih tertarik untuk meminum darahnya!
Kini musuh yang begitu mengerikan itu telah ada di depan Cian Ping dan membuat gadis itu gemetar juga. Tapi sebagai puteri Cian Sin-wi yang berhati sekeras baja, ia tidak sudi menyerah begitu saja. Dengan menggenggam erat sepasang hau-thau-kau nya, dia bersiap menantikan serangan musuh.
Liong Pek-ji nampaknya bersikap sombong sekali dan tidak memandang sebelah matapun kepada lawannya itu. Tiba-tiba ia memekik nyaring dan melompat menerkam Cian Ping dengan sepasang tangan yang terkembang lebar. Dengan gerakannya itu dia jadi mirip seekor kelelawar raksasa yang tengah mengembangkan sayapnya.
Cepat Cian Ping memiringkan tubuhnya dan menggerakkan sepasang kaitanya dengan jurus Siang-hi-kiat-ging (Sejodoh Ikan Berbahagia), ujung tajam kedua hau-thau-kau nya menyongsong ke arah dada dan lambung si kelelawar hantu itu.
Liong Pek-ji tertawa mengejek melihat sambutan lawannya. Di tengah udara dia memutar tubuhnya seperti gasingan dan menimbulkan tekanan udara yang mampu memaksa Cian Ping melompat mundur sambil mengambil napas. Dengan demikian serangan balasan Cian Ping itu telah digagalkan dengan cara yang aneh sekali.
Sip-hiat-mo-hok ternyata tidak berhenti sampai di situ saja, begitu kakinya menyentuh tanah dia telah melompat kembali ke arah Cian Ping, sepasang belati pendeknya segera menikam kedua buah jalan darah, masing-masing jalan darah kian-keng-hiat di pundak serta ki-keng-hiat di pinggang.
Liong Pek-ji memang seorang yang jago dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) sehingga gerakan tubuhnya pun ringan sekali, seperti asap yang melayang-layang tanpa bobot saja. Belum sampai Cian Ping mempersiapkan diri lagi, tahu-tahu serangan Liong Pek-ji telah tiba di depan mata...!
Selanjutnya;