Perserikatan Naga Api Jilid 33
NAMUN nafsu Te-liong Hiang-cu untuk merebut kedudukan Ketua Hwe-liong-pang telah bergejolak mengalahkan segala pertimbangan-pertimbangan lain, akhirnya, dengan berat hati diapun menganggukkan kepalanya dan memberikan janjinya, "Baiklah aku terima persyaratan yang diajukan oleh Panglimamu itu."
Dan kepada anak buahnya Te-liong Hiang-cu berkata, "Jadi kita akan tetap pada rencana semula, yaitu berusaha mengadu-domba dan membenturkan Tong Wi-siang dengan orang-orang munafik itu, sampai mereka bertempur satu sama lain dan akhirnya kehabisan kekuatan. Setelah itu kita baru akan menumpas mereka dengan bantuan Tio Ciangkun." Dengan demikian perjanjian itupun ditutup, dan rencana mulai dijalankan.
Pegunungan Bu-san merupakan pegunungan yang panjang dan terletak dari Su-coan sampai ke dekat perbatasan dengan India dan Birma, sedang ke utaranya hampir memasuki daerah orang-orang suku Hui. Di salah satu puncaknya, Tiau-im-hong, berdirilah sebuah bangunan megah yang luas dan bersusun-susun menurut tinggi rendahnya tanah, itulah markas Hwe-liong-pang yang dibangun oleh Tong Wi-siang dengan harta karun peninggalan Bu-san-Jit-kui yang berlimpah itu.
Di tengah-tengah bangunan yang berderet-deret itu, ada sebuah bangunan mungil yang dikelilingi tembok rendah dan dilengkapi pula dengan kolam ikan serta kebun bunga yang permai. Suasana di tempat itu sangat tenteram dan memberi kesan sangat pribadi. Di permukaan kolam, bunga-bunga teratai yang berwarna merah dan putih mengapung dengan tenangnya, sementara gerombolan ikan yang beraneka jenis kelihatan hilir-mudik di bawah naungan daun-daun teratai yang lebar, dan kadang-kadang ikan itu muncul di permukaan air untuk menghirup udara pegunungan Bu-san yang segar.
Di tempat yang agak terpisah dari kediaman para anggota biasa itulah berdiamnya para tokoh-tokoh tertinggi, bahkan dapat disebut pendiri Hwe-liong-pang. Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin. Dulu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau juga berdiam di tempat ini, sebelum dia memberontak dan memisahkan diri dari bekas sahabat-sahabatnya sejak dari An-yang-shia itu.
Sahabat-sahabat sejak mereka masih menjadi anak-anak muda yang nakal dan sering mengganggu ketenteraman An-yang-shia itu. Namun kemudian ruangan yang biasa ditempati Tan Goan-ciau itu dikosongkan, karena ia telah dianggap berkhianat kepada Hwe-liong-pang dan tidak mungkin kembali ke situ.
Pagi itu udara cerah, matahari bersinar ceria, namun Tong Wi-siang yang tampan itu justru sedang termenung di tepi kolam dengan wajah tersaput awan kemurungan, ia melangkah hilir-mudik dengan gelisah, kemudian duduk termenung di bangku batu itu, lalu melangkah hilir-mudik lagi. Pandangan matanya yang kosong dan kesepian itu kadang-kadang memancarkan rasa iri melihat ikan-ikan yang bergembira dalam air itu.
Tiba-tiba didengarnya langkah-langkah kaki di belakangnya, lalu didengarnya suara seseorang yang sudah amat dikenalnya, suara yang hampir setiap hari didengarnya, "A-siang...."
Tong Wi-siang tersentak dari lamunannya dan mengangkat wajahnya, dilihatnya Lim Hong-pin telah melangkah mendekatinya dan kemudian dengan santainya menepuk pundaknya sambil menepuk pundak sahabat dan Ketuanya itu, "Kau nampaknya sedang risau, A-siang?”
Mendengar tegur-sapa sahabatnya yang akrab itu, tegur seorang sahabat yang bersama-sama mengalami suka- duka sejak mereka sama-sama masih remaja di An-yang- shia, maka sikap Tong Wi-siang bukan lagi sikap seorang Hwe-liong Pang-cu yang garang dan perkasa, dingin tak kenal ampun, namun sikap Tong Wi-siang sebagal manusia biasa yang berdarah-daging dan berperasaan, tak ada bedanya dengan manusia-manusia lainnya. Tiba-tiba Tong Wi-siang nampak agak tersipu-sipu, dan tatapan matanya menerawang jauh, memancarkan kerinduan entah kepada siapa.
Melihat sikap Tong Wi-siang itu, tiba-tiba Lim Hong-pin tertawa dan berkata, "Agaknya aku dapat menebak apa yang sedang kau pikirkan itu, A-siang. Tentunya kau sedang merindukan gadis anak petani semangka di desa Bu-sian-tin itu bukan?"
Tong Wi-siang cuma tertawa, dan mengiakan pertanyaan itu secara terselubung, "Dasar matamu memang mata maling, A-pin, agaknya apapun tidak bisa tersembunyi dari mata malingmu itu.”
Lim Hong-pin tertawa terbahak. “Nah, ternyata tebakanku tepat. Kau memang sedang merindukan dia. Kau memang sudah cukup lama meninggalkannya, hampir setengah tahun menurut perkiraanku, yaitu ketika kita mulai berangkat ke Kang-lam untuk melakukan pembersihan di Jian-hoa-kok itu. Cukup lama. Ada baiknya kau tengok dia lagi, jangan sampai ia putus harapan dan kemudian kawin dengan orang lain, atau menggantung diri."
Terhadap sahabatnya ini Tong Wi-siang bicara blak-blakan, "Pertemuan kami yang terakhir adalah beberapa hari menjelang keberangkatanku ke Kang-lam itu, pertemuan paling indah, di tengah kebun semangka milik bapaknya, si tua botak yang bawel itu. Waktu itu A-giok menemui aku di tengah kebun dan tidak menghiraukan larangan bapaknya, bahkan malam itu di kebun semangka itu A-giok telah... telah menyerahkan dirinya sepenuhnya... ke... kepadaku."
Lim Hong-pin terbelalak kaget mendengar ucapan terakhir sahabatnya itu, “He, jadi kau dan dia telah... telah berbuat hal itu?”
Wi-siang tidak menyahut terang-terangan melainkan hanya menyeringai dengan kikuknya, dan itu sudah merupakan jawaban yang maha jelas bagi Lim Hong-pin. Maka Lim Hong-pin pun menggeleng-gelengkan kepala dan menahan tertawanya, sambil berkata, "Dasar bajingan An-yang-shia....”
Mau tidak mau Wi-siang tertawa juga, dan menyahut, "Jangan berlagak alim. Aku yakin kau tidak lebih baik dari padaku apabila mendapat kesempatan yang sama."
“Lalu sekarang apa yang kau pikir baik untuk dilakukan?"
Terhadap sahabatnya ini memang Wi-siang hampir tidak pernah menyimpan rahasia apapun. Bahkan sikap Wi-siang kepada Lim Hong-pin jauh lebih terbuka dari pada terhadap adik laki-lakinya sendiri, Tong Wi-hong yang sering dianggapnya sebagai kutu buku itu. Tanpa tedeng aling-aling lagi Wi-siang menyahut, "A-giok memang cuma seorang gadis desa terpencil, tapi dia luar biasa, dia telah mampu merebut seluruh perhatian dan pikiranku. Aku akan memboyongnya kemari."
"Kalau bapaknya yang botak itu tidak mengijinkan, bagaimana?"
"Si botak itu? Bukankah aku ini Ketua Hwe-liong-pang? Jika kutempelkan sebatang pedang ke lehernya maka diapun akan mengangguk-angguk menyetujui puterinya kuambil sebagai isteri.”
"Oh, calon mertua yang malang."
Terdengar suara menyahut, "Beginilah kalau seorang bandit dilanda cinta." Ternyata Siangkoan Hong juga telah tiba di tempat itu, dan agaknya diapun mendengar sebagian pembicaraan sahabat-sahabatnya itu dan kemudian berhasil menyimpulkannya sendiri. Kata Siangkoan Hong lebih lanjut sambil tertawa, "Tapi aku yakin bahwa si tua yang kepalanya botak seperti semangka yang ditanamnya itu pasti akan menyetujui punya menantu Ketua Hwe-liong-pang yang tampan dan gagah perkasa. Tidak usah menempelkan pedang ke lehernya, nanti kau dianggap menantu kurang ajar."
Kemudian Lim Hong-pin menyambung ucapan Siangkoan Hong tadi, “A-siang, lebih baik kau temui A-giok dan orang tuanya secepat-cepatnya dan kalau perlu langsung saja kau bawa ke sini, tidak usah dengan upacara tetek-bengek yang menjemukan itu. Dalam suasana perang sekisruh ini, tidak sempat kita memenuhi segala adat-istiadat, apapun bisa terjadi tanpa diduga sebelumnya. Siapa berani menjamin bahwa gadismu itu aman berada di Bu-sian-tin, bukankah desa itu sering dilewati keiompow-kelompok pasukan pemerintah ataupun laskar pemberontak? Belum lagi ancaman bahaya jika si pengkhianat Tan Goan-ciau itu tahu hubunganmu dengan A-giok dan mencoba memerasmu lewat A-giok..."
Bicara tentang gadis bernama A-giok ini, maka segala kegarangan Wi-siang sehari-hari sudah sirna tak berbekas lagi, segala usul sahabat-sahabatnya itu dirasakannya bagaikan sinar terang di tengah kegelapan kebuntuan pikirannya. Maka iapun memutuskan bahwa hari itu juga ia akan berangkat ke Bu-sian-tin yang terletak kira-kira sepuluh li dari kaki bukit Tiau-im-hong. Wi-siang berangkat tidak dengan berkuda dan dengan pakaiannya sebagai Ketua Hwe-liong-pang, tapi hanya berjalan kaki dan berpakaian seperti orang dusun yang sederhana.
Tidak seorangpun anak buahnya yang mengetahui keberangkatannya yang diam-diam itu, kecuali dua orang sahabatnya, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, yang mengantarkannya sampai ke kaki puncak melewati sebuah jalan rahasia dl belakang lereng. Sebelum berpisah, Siangkoan Hong sempat berpesan sambil tertawa,
"Sebelum kau menakut-nakuti si botak itu, lebih baik kau coba dulu perananmu sebagai seorang calon menantu yang alim dan baik, jika ini berhasil akan lebih baik daripada jika si botak itu menyerahkan anak gadisnya sambil menggigil ketakutan."
Sahut Wi-siang, “Selama bertahun-tahun kita bersahabat, baru kali ini kudengar kata-kata mutiara yang indah keluar dari mulut bangsatmu itu, dan mungkin juga yang terakhir kali. Kau memang bangsat."
"Kita memang bangsat semuanya," sahut Siangkoan Hong.
Ketiga sahabat itupun kemudian tertawa berderai. Kemudian Tong Wi-siang pun melangkah tergesa-gesa menjauhi kaki bukit Tiau-im-hong di bawah tatapan mata kedua sahabatnya. Ketika Tong Wi-siang sudah tidak nampak lagi di balik tikungan jalan sana, Lim Hong-pin berkata sambil tersenyum,
"A-siang cukup beruntung. Ia akan mendapat seorang istri yang cantik dan sangat mencintainya, bahkan dalam waktu tidak lama lagi anaknyapun akan lahir."
Siangkoan Hong terkejut, "Anaknya?"
Lim Hong-pin tertawa semakin keras. “Kau benar-benar terkejut atau cuma pura-pura terkejut? Aku tahu, jika kau atau aku mendapat kesempatan yang sama seperti A-siang, ada gadis cantik yang sudi menaksir kita, kita akan berbuat seperti dia pula. Kita bertiga sudah saling mengetahui isi perut masing-masing."
Demikianlah, sambil bergurau dan saling memaki dengan kata-kata kotor, kedua orang itupun berjalan kembali ke markas, tentu saja dengan melalui jalan rahasia seperti keluarnya tadi. Selama Wi-siang tidak berada di markas, mereka berdualah yang memimpin Hwe-liong-pang menghadapi suasana yang semakin panas dan penuh kemelut itu.
Dalam pada itu, Tong Wi-siang melangkah meninggalkan Tiau-im-hong dengan langkah-langkah yang semakin lama semakin cepat, seirama dengan degup kerinduannya untuk segera menemui gadis kekasihnya yang ditinggalkannya berbulan-bulan namun tidak pernah dilupakannya itu. Hati dan pikirannya benar-benar telah dikuasai oleh bayangan A-giok, anak petani semangka dari Bu-sian-tin itu. Jika dia punya sayap, ingin rasanya dia terbang saja ke Bu-sian-tin.
Dengan pakaiannya yang sederhana, dan tidak terlihat membawa senjata sepotongpun, perjalanan Wi-siang menjadi aman dan tidak terganggu, biarpun dia beberapa kali berpapasan dengan kelompok-kelompok prajurit Beng yang beronda ataupun laskar Li Cu-seng. Wi-siang dengan seseorang pengungsi miskin yang pada jaman perang itu memang merupakan pemandangan yang dapat dilihat di segala tempat.
Dilewatinya beberapa dusun kecil yang sudah hancur atau setengah hancur, biasanya sebagian penduduknya sudah mengungsi. Yang masih menempati dusun-dusun itu hanyalah orang-orang yang tak berpengharapan dan pasrah nasib begitu saja. Kadang-kadang dijumpainya mayat-mayat yang berserakan begitu saja di jalan-jalan yang sepi.
Mayat prajurit Beng, mayat laskar pemberontak, atau mayat penduduk yang barangkali tidak tahu menahu tentang pertentangan itu, semuanya terlantar begitu saja, membusuk dikerumuni lalat dan semut, atau sudah terkoyak-koyak oleh gigi anjing-anjing liar. Meskipun Wi-siang sendiri bukanlah seorang yang terlalu baik hati, namun melihat akibat kebiadaban perang itu, mau tak mau bergidiklah bulu tengkuknya.
Tiba-tiba Tong Wi-siang teringat kepada dirinya sendiri, kepada cita-citanya untuk menumbangkan Kerajaan Beng lewat sebuah pemberontakan, dan andaikata ia berhasil mengorbankan perang bukankah hasilnya akan sama dengan yang dilihatnya saat ini? Mayat bergelimpangan serta tanah garapan yang terbengkalai, pengungsi kelaparan di semua tempat dan juga desa-desa yang dibumi-hanguskan? Akhirnya dia menarik napas,
"Itu adalah harga sebuah cita-cita, alangkah mahalnya. Semoga Li Cu-seng benar-benar berjuang untuk rakyat kecil, bukan sekedar meminjam nama rakyat untuk memperoleh dukungan, sebab pengorbanan semahal ini tidak boleh hanya untuk kepentingan pribadi, atau cita-cita pribadi. Harga ini memang harus dibayar apabila ingin menggulingkan Cong-ceng dari singgasananya, dan kemudian menyusun sebuah masyarakat baru yang adil sejahtera."
Sekonyong-konyong Tong Wi-siang tersentak hebat. Jika dusun-dusun yang telah dilaluinya itu begitu hancur berantakan, lalu bagaimana keadaan Bu-sian-tin yang tidak jauh dari situ? Apakah juga hancur dan penduduknya sudah mengungsi atau tertumpas? Didera oleh kegelisahan yang mencekamnya, Tong Wi-siang mempercepat langkahnya, dan akhirnya dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyusuri jalan yang sepi itu.
Desa Bu-sian-tin adalah sebuah desa yang tergolong cukup besar untuk daerah itu, mirip sebuah kota kecil, dikelilingi dengan perladangan dan padang rumput yang menghijau luas. Penduduknya yang campuran antara orang Han yang beragama Buddha serta orang Hui yang Muslim itu hidup dengan rukun dan saling menghormati, rumah ibadah dari kedua agama itupun tidak saling berjauhan letaknya.
Mereka mengerjakan sawah bersama-sama, menggembalakan ternak bersama-sama pula, serba tenteram dan penuh kedamaian. Kehidupan setenang itulah yang ingin dilihat oleh Wi-siang, seorang anak muda bercita-cita setinggi langit yang hampir seluruh hidupnya bergelimang dengan kekerasan.
Namun karena api pertentangan antara Kerajaan Beng dengan laskar Li Cu-seng mulai terasa pula panasya di desa itu, maka ketenangan itu mulai terganggu. Pasukan kedua pihak yang bertikai itu mulai sering memasuki dusun dan memaksa penduduk untuk menyumbang perbekalan "demi perjuangan" masing-masing pihak.
Penduduk sendiri merasa tidak pernah diperjuangkan nasibnya, malahan diperas habis-habisan sampai untuk makan diri sendiri dan keluarganya pun sulit. Gangguan kemudian meningkat, bukan sekedar meminta perbekalan, tetapi terjadi pula perkosaan, atau pembunuhan atas penduduk yang tak berdaya, dengan tuduhan yang kadang mengada-ada.
Itulah sebabnya ketika Tong Wi-siang melangkahi gerbang desa Bu-sian-tin, maka yang dijumpainya adalah Bu-sian-tin yang kosong dan sepi seperti kuburan. Sawah-sawah kering tak terurus, sebab saluran-saluran airpun macet, rumput-rumput liar tumbuh di jalan-jalan desa yang dulunya bersih. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di desa itu.
"Oh, Buddha Yang Pengasih", desis Wi-siang dengan jantung berdentang keras.
Dengan langkah ragu-ragu dilangkahkannya kakinya menyusuri jalan desa yang sepi itu. Tidak terdengar lagi jeritan gembira anak-anak yang bermain-main, atau lenguh lembu yang melambangkan kehidupan, cuma desir angin yang menerbangkan debu dan dedaunan kering. Seekor anjing kurus menyeberangi jalan dengan lidah terjulur keluar, ia mengais-ngais di sudut jalan, pada sebuah onggokan sampah, namun kemudian dengan lunglai ditinggalkannya onggokan sampah itu karena tidak ditemuinya sesuatu yang dapat dimakan untuk memperpanjang hidupnya. Kini Bu-sian-tin telah mati.
Dengan tergesa-gesa Tong Wi-siang melangkah ke sebuah rumah yang terletak agak dipinggir desa, rumah seorang petani semangka. Namun setelah ia sampai di sana, maka keadaan rumah itupun tidak ada bedanya dengan rumah-rumah lainnya di desa itu. Kosong, mati dan serba tak teratur, namun debunya belum terlalu tebal, menandakan bahwa penghuni rumah itu belum lama meninggalkan rumahnya.
Tong Wi-siang memasuki setiap ruangan, memeriksa segenap sudut, kalau-kalau ia menjumpai gadis yang diimpikannya itu, namun bayangannya pun tidak nampak juga. Dilangkahinya pintu belakang dan sampailah ia ke sepetak kebun semangka yang agak luas, di tengah- tengah kebun semangka itulah pada malam yang indah itu Wi-siang menerima penyerahan diri sepenuhnya dari gadis itu, sebuah kenangan tak terlupakan.
Tapi kini kebun itu tak terurus lagi. Selain dipenuhi rumput liar, pagarnya pun telah ambruk dan semangkanya agaknya sudah habis dicuri orang. Tong Wi-siang kehilangan ketenangannya, hatinya pepat bukan main menghadapi kenyataan yang sebenarnya sudah pernah diperhitungkannya itu, tapi toh kenyataan itu terlalu hebat memukul jiwanya. Tiba-tiba ia menjerit sekeras-kerasnya, dan tanpa terbendung lagi air matanya pun mengalir deras. Ia menangis.
Ia tidak menangis selama bertahun-tahun karena hal itu dianggapnya perbuatan cengeng, namun kini ia menangis sehebat- hebatnya. Dikutukinya dirinya seumur hidupnya ia selalu kehilangan dan kehilangan terus? Kehilangan ayah, kehilangan ibu, kehilangan adik-adiknya dan kemudian kehilangan seorang sahabat karib yang telah mengkhianatinya, dan kini ia kehilangan lagi kekasihnya dan bahkan calon anak yang ada dalam kandungan kekasihnya itu.
Sekali lagi Tong Wi-siang berteriak sekeras-kerasnya, seolah ia murka kepada langit, dendam kepada bumi, lalu menangis lagi di tengah kebun semangka itu. Disurukkannya wajahnya ke tanah, tidak peduli tanah kotor yang menempel di wajah dan pakaiannya. Pukulan batin yang dialaminya kali ini terasa benar-benar berat, lebih berat dibandingkan ketika Te-liong Hiang-cu mengkhianatinya dan merampas sebagian besar dari anak buahnya.
Waktu itu terjadi, ia masih bisa bersikap tabah dan berbagai keberatan dengan beberapa anak buahnya yang setia kepadanya, namun sekarang ia harus berbagi keberatan dengan siapa? Akhirnya Ketua Hwe-liong-pang itu jatuh pingsan di tengah kebun itu. Entah berapa lama ia berada dalam alam ketidaksadaran itu, sampai suara guruh di langit dan hujan yang rintik-rintik mulai menyadarkannya dari siumannya.
Waktu itu senja sudah jatuh menyelubungi sebagian besar jagad. Perlahan-lahan Tong Wi-siang bangkit, pandangan matanya yang merah dan liar itu menyapu keadaan sekelilingnya, lumpur dan rumput-rumput serta daun-daun kering yang mengotori pakaian dan tubuhnya tak dihiraukannya, dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak menyaingi kerasnya halilintar,
“Ha-ha-ha......, aku datang, A-giok, sampai ke ujung langitpun pasti akan kucari kau dan kurampas kau dari tangan-tangan yang akan memisahkan kita...!”
Lalu ia bangkit dan langsung berlari secepat-cepatnya, tanpa arah tertentu. Ia tidak melangkahkan kakinya melewati jalan yang lazim dilewati manusia biasa, namun menerjang ke mana saja sesuka hatinya. Menerjang ladang penduduk, pagar, melompati pematang, memukul roboh dinding-dinding pekarangan, dan tidak jarang ia menghajar patah sebuah pohon besar yang sebenarnya tidak merintangi jalannya. Hujan yang tercurah semakin deraspun tidak dihiraukannya.
Hari semakin larut, hujan tidak semakin reda, tetapi bahkan semakin deras. Sekian lama Tong Wi-siang berlari-lari, dan biarpun ia memiliki ilmu yang tinggi warisan Bu-san-jit-kui, namun diapun tetap manusia biasa yang akhirnya dlrayapi pula oleh rasa kelelahan. Bukan itu saja, ternyata pikirannya juga merasa lelah, dan perutnya lapar. Kini ia telah berada di tengah sebuah hutan yang gelap gulita, dengan langkah agak terhuyung dia terus melangkah ke depan sambil kadang-kadang tertawa terkekeh sendirian dan menyebut-nyebut nama gadis Bu-sian-tin itu.
Tiba-tiba Tong Wi-siang menggerakkan cuping hidungnya, menangkap bau daging bakar yang begitu sedapnya mengalir dari sekitar tempat itu. Cepat ia bergegas menuju ke depan, biarpun ia agaknya mengalami guncangan jiwa yang parah, namun naluri untuk mengisi perutnya tidak hilang. Maka seperti seekor harimau mencium bau calon korbannya, diapun mulai menggunakan penciumannya untuk menuntun langkahnya mencari sumber bau daging yang membangkitkan selera itu.
Tidak lama ia berjalan, sumber bau itupun terasa kian dekat, sampai akhirnya nampaklah beberapa puluh langkah di depan sana ada sebuah bangunan bobrok yang terletak di pinggir hutan. Menilik bentuk bangunannya, agaknya bangunan bobrok itu adalah sebuah rumah abu milik sebuah keluarga kaya, karena cukup besar dan indah, namun jelas sudah sekian lamanya tidak terawat lagi. Dari dalam bangunan bobrok itulah terlihat cahaya api berkelap-kelip di malam gelap, dan agaknya daging bakar yang sedap itupun ada di dalam sana.
Waktu itu Wi-siang sudah kehilangan pikiran sehatnya, maka tanpa pikir panjang lagi ia segera berlari-lari menuju ke rumah bobrok itu sambil berteriak-teriak, "Bagus, daging panggang yang hebat! Hayo sediakan untukku, untuk ketua Hwe-liong-pang yang perkasa, yang bakal membongkar kebobrokan Cong Ceng si bangsat itu!”
Orang-orang yang sedang berduh dalam bangunan bobrok itu rupanya adalah beberapa keluarga pengungsi yang agaknya kemalaman dan kehujanan dalam perjalanan pengungsian mereka. Rupanya pengungsi-pengungsi itu berhasil menangkap beberapa ekor ayam dan kelinci hutan dan memanggangnya sekali untuk mengisi perut mereka. Kini mereka dikejutkan oleh seorang pemuda yang meskipun cukup tampan namun agaknya berotak miring, itu terlihat dari bicaranya yang mengacau serta pakaian dan rambutnya yang tak teratur serta kotor itu.
"Kasihan, anak muda ini agaknya gila, mungkin karena seluruh keluarganya tertumpas oleh perang keparat ini,” kata seorang lelaki yang agak tua. Berdasar belas kasihannya itu dia mencabik sebuah paha ayam panggang dan diulurkannya kepada Wi-siang.
Namun Wi-siang membentaknya dengan murka, "Apa? Aku hanya akan kau beri secuil ini? Aku adalah ketua Hwe-liong-pang yang agung! Kalian harus menunjukkan tanda bakti kalian dengan mempersembahkan semua milik kalian, bahkan andaikata aku menginginkan batok kepala kalianpun kalian harus merasa mendapat kehormatan dan menyerahkan dengan sukarela, tahu?"
Perang dan kelaparan telah mengubah watak manusia jadi mementingkan diri sendiri, demikian pula yang terjadi dengan rombongan pengungsi itu. Tadinya mereka merasa kasihan melihat keadaan Wi-siang, namun mereka tentu tidak rela jika harus menyerahkan makanan mereka seluruhnya dan membiarkan mereka sendiri akan kelaparan sepanjang malam, padahal entah kapan lagi mereka dapat mendapatkan makanan seperti itu.
Salah seorang pengungsi-pengungsi itu adalah seorang lelaki bertubuh tegap kuat, segera bangkit dari duduknya dan membentak marah, "He, orang gila, kau tidak mengenal kebaikan kami dan malahan ingin merampas semua milik kami. Jika ingin daging bakar, sana tangkap sendiri kelinci atau ayam di luar sana, dan jangan ganggu kami lagi!"
Sambil membentak, orang itu sekaligus juga telah menghadangkan tubuhnya yang penuh otot itu ke hadapan Tong Wi-siang, dan langsung mengulurkan tangannya untuk mencengkeram dan mendorong tubuh Wi-siang. Namun lelaki kekar itu terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa anak muda sinting yang bertubuh lebih kecil dari dirinya itu ternyata tidak bergeming sedikitpun oleh dorongannya, rasanya bagaikan mendorong selembar tembok besi. Lelaki terkuat di desanya itu sekarang telah mengerahkan seluruh kekuatannya sampai otot-ototnya bertonjolan keluar bagaikan cacing bergeliatan, namun musuhnya tetap tidak bergeming seujung rambutpun.
Tong Wi-siang tertawa terkekeh-kekeh, dengan acuh tak acuh ia mengibaskan tangannya untuk menyingkirkan tangan orang itu, namun akibat dari gerakannya yang acuh tak acuh itu sungguh hebat bagi orang itu. Sambil menjerit keras tubuh orang itu terlempar ke belakang dengan tangan keseleo, jatuhnya pun hampir menimpa perapian para pengungsi itu, untunglah seorang lelaki lainnya berhasil menahan tubuhnya, meskipun ia pun kemudian berguling-guling bersama orang yang ditolongnya itu.
Kawanan pengungsi ini rupanya memiliki setia kawan yang kuat, karena mereka berasal dari satu desa. Meskipun mereka telah melihat bahwa teman mereka yang bertubuh kuatpun dirobohkan begitu mudah, tapi lelaki-lelaki yang lain segera bangkit dan beramai-ramai mengeroyok Tong Wi-siang tanpa kenal takut. Mereka berpikir, masakah beberapa orang lelaki sehat dan kuat hanya kalah oleh seorang pemuda sinting?
Namun tetap saja orang-orang itu bukan tandingan Tong Wi-siang si pewaris Bu-san-jit-kui itu, hanya dengan kibasan-kibasan ringan atau sepakan-sepakan santai, tubuh lelaki-lelaki pengeroyok itu jatuh bergelimpangan sambil menjerit kesakitan. Ada yang tangannya terkilir berat, jidatnya benjol membentur lantai dan bahkan ada yang langsung pingsan tanpa ingat sekitarnya lagi. Kaum wanita dari anak-anak dari kelompok pengungsi itu lalu menjerit-jerit ketakutan melihat “orang gila” mengamuk sehebat itu.
Salah seorang wanita tua yang agak tabah, segera berseru kepada kawan-kawannya, "Cepatlah salah seorang dari kalian pergi ke belakang dan minta pertolongan kepada tuan-tuan pendekar yang beristirahat di ruang belakang sana! Cepat!"
Tujuan Tong Wi-siang memang tidak ingin melukai orang tak berdaya, ia hanya menurutkan naluri manusiawinya untuk mengisi perutnya dengan daging bakar berbau sedap itu, maka begitu perintang-perintang telah disingkirkan, ia langsung melompat ke dekat perapian dan meraup gumpalan-gumpalan daging ayam hutan milik pengungsi itu. Daging yang masih panas berasap itu lalu digerogoti dengan tangan dan mulutnya begitu saja, seakan-akan tidak terasa panas sedikitpun.
Tentu saja kawanan pengungsi itu semakin gemetar ketakutan melihat ulah si gila itu, mengira Tong Wi-siang bukan manusia biasa melainkan siluman penunggu hutan itu, dan merekapun dengan perasaan apa boleh buat membiarkan “siluman” itu merampasi makanan mereka semuanya.
Tangan Tong Wi-siang yang linglung itu menggerogoti daging panggang dengan lahapnya, tiba-tiba dari pintu tengah rumah bobrok itu terdengar bentakan dingin, "Hemm, seorang berilmu tinggi mengandalkan ilmunya untuk berbuat semena-mena. Benar-benar tidak pantas!"
Lalu dari pintu itu muncullah beberapa orang yang semuanya bertampang seperti tokoh-tokoh persilatan dan masing-masing menyandang senjata pula. Yang melangkah paling depan, juga yang mengeluarkan bentakan tadi, adalah seorang rahib bertubuh tinggi besar dan bermuka berewokan, meskipun kepalanya gundul licin. Ia menggendong sebatang pedang panjang di punggungnya, langkahnya tegap dan matanya bersorot tajam, menandakan bahwa rahib ini memiliki kepandaian yang dapat diandalkan.
Meskipun saat itu jiwa Tong Wi-siang sedang mengalami goncangan hebat, namun dia tidak kehilangan pikiran warasnya meskipun sangat terpengaruh. Ketika melihat munculnya rombongan orang-orang bertampang pendekar dunia persilatan sisa-sisa pikiran warasnya mengingatkannya untuk waspada karena ia telah berhadapan dengan serombongan pendekar berilmu tinggi, yang agaknya juga sedang berteduh di rumah bobrok itu namun di bagian lain.
"Siapa kau?!" tanya Wi-siang garang, sambil memamang ke arah rahib yang berjalan paling depan itu.
"Aku Thian-goan Hweshio, dari Go-bi-pay."
Wi-siang nampak tidak terkejut sedikitpun mendengar rahib itu menyebut namanya, dengan harapan si "gila" akan ketakutan mendengar nama besarnya dan kemudian terbirit-birit tanpa melawan lagi. Namun ternyata si "gila" tidak lari dan juga tidak ketakutan, bahkan sorot mata si "gila" yang amat tajam itu malahan mengejutkan Thian-goan Hweshio dan kawan-kawannya.
Orang yang berdiri di samping Thian-goan Hweshio itupun cukup tegap, biarpun tidak tinggi besar seperti Thian-goan Hweshio. Dia memakai pakaian ringkas warna abu-abu dan dirangkapi dengan jubah abu-abu pula, sementara dari pinggang kirinya mencuat tangkai sebatang pedang.
Lelaki gagah ini bukan lain adalah tokoh dari Hoa san-pay yang tidak kalah terkenalnya dengan Thian-goan Hweshio, yaitu Kiau Bun-han yang bergelar Pat-hong-kiam-khong (Sinar Pedang Delapan Mata Angin). Dia berwatak lebih cermat dari Thian-goan Hweshio dan tidak sekedar menuruti nafsu amarah saja, maka ia menjadi curiga sekaligus berhati-hati ketika melihat sikap Tong Wi-siang yang nampak acuh tak acuh itu.
Kiau Bun-han lalu melangkah ke depan dan memberi hormat, mencoba memperkenalkan diri dengan tata-cara dunia persilatan, "Tuan tentunya adalah seorang pendekar besar yang tidak sudi menganiaya kaum lemah, karena itu kami harap sukalah tuan mengasihani kaum pengungsi yang malang ini dan mengembalikan makanan mereka. Jika tuan merasa lapar dan tidak memandang rendah kepada kami, kaum Hoa-san-pay dan Go-bi-pay, kami undang tuan untuk berkenalan dan membagi bekal dengan kami."
“Siapa pula kau?” tanya Wi-siang dengan matanya yang liar.
Melihat pandangan mata seliar itu, diam-diam Kiau Bun-han agak bergidik juga, dan bertambah pula keyakinannya bahwa anak muda yang kegila-gilaan ini adalah seorang yang berilmu tinggi namun agaknya penganut aliran ilmu sesat. Maka sikap Kiau Bun-han semakin berhati-hati, "Aku bernama Kiau Bun-han dari Hoa-san-pay. Beberapa orang sahabat dunia persilatan yang suka berolok-olok telah menjuluki aku sebagai Pat-hong-kiam-kong segala, padahal aku malu dengan julukan itu."
Sikap Kiau Bun-han yang kelihatannya merendah tapi sekaligus juga menyombongkan diri itu bermaksud menggertak Wi-siang. Namun lagi-lagi salah alamat, sebab Wi-siang sambil tetap menggerogoti daging bakarnya telah menjawab acuh tak acuh, “Hemm, tong kosong berbunyi nyaring, manusia kerdil memakai julukan yang dahsyat. Tapi ketahuilah, biarpun julukanmu kau tingkatkan lagi sepuluh kali lebih seram dari yang sekarang, kau tetap belum setimpal untuk mengajak bersahabat denganku. Lebih baik kalian sekarang merangkak pergi dari hadapanku secepatnya dan jangan mengganggu selera makanku lagi.”
Dengan kepandaian dan ketenarannya, Kiau Bun-han senantiasa dihormati orang di mana-mana, namun kini seorang anak muda “gila” telah merendahkannya begitu rupa dan tidak memberi muka sedikitpun kepadanya, tentu saja Kiau Bun-han menjadi malu dan marah. Sambil menggenggam tangkai pedangnya, dia telah berkata lagi dengan nada suara berubah dingin,
“Kalau begitu tuan yang terhormat ini tentunya seorang maha sakti yang berkepandaian tinggi bukan? Aku akan merasa sangat beruntung bila dapat mengetahui nama besarmu dan juga mohon pengajaranmu."
Masih tetap bersikap acuh tak acuh, Wi-siang menyahut, "Aku bernama Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang.”
Pengakuan itu bagaikan halilintar yang meledak di pinggir telinga Kiau Bun-han dan rombongannya. Tentu saja mereka pernah mendengar berita tentang Ketua Hwe-liong-pang yang masih muda namun telah memiliki kepandaian sangat tinggi itu. Mereka juga sudah tahu bahwa orang bertopeng yang pernah menyerbu Siong-san itu bukan ketua Hwe-liong-pang yang sah, melainkan hanya salah seorang adik seperguruannya yang telah berkhianat kepada Ketua yang asli.
Kabarnya Ketua yang asli beberapa tingkat lebih lihai dibandingkan wakilnya itu, Hong-tay Hwesio pun ragu-ragu dapat mengimbanginya. Maka Kiau Bun-han dan kawan-kawannya lalu membayangkan bahwa Ketua Hwe-liong-pang yang asli itu tentunya bertubuh tegap dan bertampang garang, namun kini pemuda yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu cuma berpakaian kotor dan nampaknya kurang waras.
Tetapi tadi sudah menyaksikan betapa Wi-siang merobohkan orang-orang yang mengeroyoknya begitu mudah, karena itu mau tidak mau Kiau Bun-han dan kawan-kawannya jadi setengah percaya setengah tidak. Tapi karena Wi-siang sudah menghina sedemikian rupa kepada tokoh Hoa-san-pay itu, maka tidak peduli Ketua Hwe-liong-pang asli atau palsu, Kiau Bun-han merasa malu kalau harus melangkah mundur.
Pat-hong-kiam-khong Kiau Bun-han sudah terlanjur menantang dan pantang menjilat kembali ludahnya. Secepat kilat ia telah mencabut pedang dari sarungnya, lalu tanpa banyak bicara lagi ia meluncur maju dan menyerang dengan jurus Pek-hong-koan-jit (Pelangi Menutup Matahari). Gerakannya begitu cepat dan indah, bahkan karena cepatnya maka wujud pedang telah lenyap dan hanya kelihatan sebagai garis cahaya perak berkilauan yang mengancam lawannya.
Menghadapi serangan hebat dari tokoh Hoa-san-pay itu, Tong Wi-siang tidak mengubah sikapnya yang santai, sepasang kakinya pun berdiri seenaknya tanpa bentuk kuda-kuda apapun, sedang mulutnya masih saja lahap menggerogoti daging panggangnya. Namun begitu ujung pedang lawan sampai di dekatnya, dia menggeliat dan pedang Kiau Bun-han pun hanya meluncur lewat di atas pundaknya.
Kiau Bun-han terkesiap melihat ketangkasan lawan yang dapat menghindari tikamannya hanya dengan sikap sesantai itu. Namun sebagai pendekar berpengalaman dia sudah memperhitungkan bahwa serangan pertama biasanya sulit mencapai sasaran, maka serangan berikutnya sudah dipersiapkan pula. Dengan gerakan pergelangan tangannya yang terlatih kuat, dia cepat mengubah jurus pertamanya menjadi Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san) ke pundak Wi-siang.
Jurus ini biasanya digunakan dengan senjata berbobot berat seperti golok, ruyung atau toya, dan juga memerlukan ayunan lengan dengan lengkung panjang untuk pengerahan tenaganya. Namun tokoh selihai Kiau Bun-han ini agaknya merupakan perkecualian dari semua dalil ilmu silat itu.
Pedangnya termasuk senjata berbobot ringan, sedang ayunan senjatanya pun hanya mengandalkan kekuatan pergelangan tangan saja, namun karena tenaga dalamnya yang hebat itu telah terlasur ke batang pedangnya maka bacokan itupun ternyata menjadi dahsyat sekali dan menimbulkan deru angin keras.
Beberapa murid Hoa-san-pay segera bersorak memuji kehebatan tokoh andalan perguruan mereka itu. Mereka beranggapan bahwa sebentar lagi si "gila" yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu pasti akan terbacok putus pundaknya, sulit menghindar lagi.
Secara naluriah, Wi-siang pun menyadari hebatnya serangan tokoh Hoa-san-pay itu. Meskipun pikirannya sedang kisruh, namun ilmu silat yang telah mendarah daging dalam dirinya itu mampu berjalan sendiri tanpa perintah otak lagi, dengan gerak naluriah. Hampir tak terlihat dia telah melangkah ke samping, pedang lawan lewat di sisi tubuhnya, bersamaan dengan itu Tong Wi-siang pun mengayunkan daging panggang di tangannya untuk menghantam muka lawannya.
Cepat Kiau Bun-han menundukkan tubuhnya sambil memutar pedangnya untuk bertahan. Dengan demikian mulailah kedua orang itu bertempur dengan sengitnya. Kiau Bun-han yang marah itu telah memainkan pedangnya dengan tangkas dan penuh semangat.
Sebaliknya Tong Wi-siang hanya memegang sepotong ayam panggang namun memainkan jurus-jurus aneh warisan Bu-san-jit-kui, sehingga Kiau Bun-hanpun tidak berani meremehkan "senjata" Ketua Hwe-liong-pang itu, sebab ayam panggang itu ternyata membawakan desir angin yang keras, menandakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin cepat dan semakin seru. Sinar pedang Kiau Bun-han berputar dan berkerdepan semakin gencar, sehingga sinar pedangnya bagaikan mengurung delapan arah mata angin bagi lawannya. Tepatlah kiranya julukan yang dimilikinya sebagai Pat-hong-kiam-kong. Sementara Thian-goan Hweshio dan lain-lainnya yakin bahwa si gila yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu tentu akan dapat dikalahkan.
Meskipun hal itu yang diduga oleh Thian-goan Hweshio, namun tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Kiau Bun-han sendiri sebagai orang yang langsung merasakan tekanan lawannya. Diam-diam jago pedang Hoa-san-pay itu mengeluh dalam hatinya, karena dia telah bertempur dengan segenap kemampuan dengan jurus-jurus tertingginya.
Namun masih belum ada tanda-tanda ia akan memenangkan pertarungan itu. lawan masih belum tersentuh ujung pedangnya. Kiau Bun-han merasa bahwa yang sedang dihadapinya itu bukan sesosok manusia yang berdarah dan berdaging, melainkan rasanya seperti segumpal asap yang tak dapat disentuh. Bahkan sambil berkelit dan membalas, lawannya yang muda itu masih juga menyempatkan diri untuk menggigiti ayam panggangnya!
Murid-murid Hoa-san-pay yang ilmunya belum begitu tinggi itu, masih saja salah paham dan mengira Tong Wi- siang terdesak oleh jago mereka, sehingga murid-murid itu masih saja bersorak-sorak dan bertepuk tangan mendukung jagonya.
Tetapi Thian-goan Hweshio yang berilmu tinggi dan lebih tajam penglihatannya, segera dapat melihat bahwa rekannya itu mulai dilibat kesulitan hebat, biarpun nampaknya seperti mendesak maju. Diam-diam rahib ttu mulai mengubah pandangannya terhadap Wi-siang, dan mulai menguatirkan rekannya. Jauh di dasar hatinya dia juga mengagumi kelihaian Ketua Hwe-liong-pang itu.
Sementara itu, Wi-siang bukanlah seorang yang sabar, tentu saja ia tidak sudi hanya menghindar saja, maka mulai mengalirkan serangan balasannya. Begitu dia mulai membalas, pecahlah cahaya pedang Kiau Bun-han yang tadinya berkeredapan mengurung badan Wi-siang itu. Kini di tengah gelanggang pertempuran itu muncul bayangan berpuluh-puluh ayam panggang yang berputaran dan menghujani Kiau Bun-han dari segala arah. Pemandangan yang aneh dan menggelikan, namun sangat menakutkan bagi Kiau Bun-han yang mengalaminya sendiri.
Thian-goan Hweshio tidak dapat menahan sabar lagi, "Hwe-liong-pang adalah perkumpulan kaum iblis yang mengganggu ketenteraman masyarakat ramai, untuk menyingkirkan mereka kita tidak usah peduli lagi akan ditertawakan orang lain. Saudara Kiau, aku akan ikut mempercepat penyelesaian pertarungan ini!”
Ternyata Kiau Bun-han tidak menolak dengan sikap diamnya. Agaknya pendekar Hoa-san-pay itupun mengakui kenyataan bahwa dirinya sendirian saja tidak akan mampu mengatasi Tong Wi-siang, salah-salah malahan bisa celaka sendiri. Maka dibiarkannya saja rekannya dari Go-bi-pay itu ikut terjun ke gelanggang.
Rahib tinggi besar itu telah menghunus pedangnya, kemudian dengan loncatan bagaikan seekor rajawali, dia telah melompat masuk ke gelanggang pertempuran dan langsung menyerang Tong Wi-siang dengan jurus Tay- peng-tian-ci (Garuda Mementang Sayap) yang mengarah iga musuh. Yang dimainkan oleh rahib pemarah dari Go-bi-pay itu ternyata adalah Tat-mo-kiam-hoat (llmu Pedang Tat-mo) gaya Go-bi-pay.
Berbeda dengan gaya ilmu pedang Kiau Bun-han yang kaya akan gerak tipu dan kegesitan, maka ilmu rahib ini justru keras, cepat dan langsung, tanpa banyak tipu yang berbelit-belit, namun tidak kalah berbahayanya dengan ilmu pedang Hoa-san-pay.
Menghadapi keroyokan dua orang tokoh terkenal dunia persilatan itu, mau tidak mau Tong Wi-siang terdesak juga, apalagi karena "senjata"nya cuma sepotong ayam panggang. Dalam keadaan terdesak itu, untunglah bahwa dia belum kehilangan ingatannya sama sekali akan ilmu-ilmu ajaran Bu-san-jit-kui.
Cepat-cepat ia melompat mundur untuk mengambil jarak, dilemparkannya ayam panggangnya yang tengah dipegangnya, diuraikannya ikatan rambutnya, lalu bibirpun mulai berkomat-kamit menggumamkan mantera dalam bahasa yang aneh. Perlahan-lahan biji mata Tong Wi-siang pun mulai berubah warna kehijau-hijauan seperti mata kucing. Itulah ilmu warisan Bu-san-jit-kui yang diberinya nama "Jit-kui-tiau- goat-sin-kang" (Ilmu Sakti Tujuh Iblis Menyembah Rembulan).
Baik Kiau Bun-han maupun Thian-goan Hweshio sebagal pendekar-pendekar berpengalaman, terkesiap ketika melihat sikap Tong Wi-siang itu. Mereka sadar akan gawatnya keadaan, maka Thian-goan Hweshiopun berseru, "Bangsat cilik ini menerapkan ilmu iblisnya. Saudara Kiau, hayo kita gempur bersama!"
Rahib berdarah panas itu bukan cuma berani mementang mulutnya, tapi juga berani bertindak untuk mempelopori serangannya. Dibarengi dengan bentakannya yang menggeledek ia telah melompat dan melancarkan gerakan Soat-hoa-kay-teng (Bunga Salju Menutup Kepala), gemerlap pedangnya disertai desiran tajam telah membabat ke batok kepala Tong Wi-siang.
Kiau Bun-han juga ikut menyerang, namun mengarah sepasang kaki Wi-siang. Begitulah dua orang pendekar yang disegani di dunia persilatan terpaksa tidak malu-malu lagi mengorbankan nama besar mereka dengan jalan mengeroyok seorang anak muda yang pantas menjadi anak mereka. Namun anak muda itu adalah Ketua Hwe-liong-pang yang menggemparkan rimba persilatan.
Menyongsong serangan gabungan itu Tong Wi-siang tidak gentar, malahan memperdengarkan suara tertawanya yang menyeramkan. Lengannya yang hanya terbungkus kulit itu telah diangkat dan ditangkisnya begitu saja menyongsong mata pedang Thian-goan Hweshio yang terbuat dari baja pilihan itu.
Akibatnya ternyata cukup mengejutkan, pedang Thian-goan Hweshio terpental balik bagaikan membacok lempengan baja tebal, sedang kulit lengan Tong Wi-siang tidak lecet seujung rambutpun, hanya kain bajunya yang terkoyak.
Kiau Bun-han ternyata juga mengalami kejadian yang sama. Pedangnya dengan telak sekali berhasil mengenai kaki Wi-siang, namun bukan kaki Wi-siang yang putus melainkan pedangnya sendiri yang terpental balik dan hampir saja melukai dirinya sendiri. Dengan terkejut kedua tokoh Go-bi-pay dan Hoa-san-pay itu memandang lawan mereka yang masih muda itu dengan ngeri, lalu mereka pun saling bertukar pandangan satu sama lain sambil mengangkat bahu.
Mereka pernah mendengar tentang adanya ilmu kebal sejenis Tiat-po-san (Baju Besi) atau Kim-ciong-to (Lonceng Emas), namun jenis-jenis ilmu itu masih belum bisa diandalkan untuk menghadapi tajamnya senjata yang digerakkan dengan dilambari tenaga lwe-kang. Tapi kini mereka melihat jenis ilmu kebal lain yang hampir-hampir tidak masuk akal, jenis ilmu kebal yang nampaknya lebih hebat dari Tiat-po-san maupun Kim-ciong-to, bahkan samar-samar memancarkan suasana gaib yang seram pula.
“Kita benar-benar sedang berhadapan dengan ilmu siluman,” gumam Kiau Bun-han marah bercampur ngeri.
Pada waktu itulah terdengar gemerincing lima batang pedang yang dicabut keluar dari sarungnya. Ternyata dua orang murid Hoa-san-pay serta tiga orang murid Go-bi-pay itu telah menyadari kegawatan yang mengancam guru mereka masing-masing, maka disertai gelegak darah muda mereka, merekapun berniat ikut terjun ke gelanggang pertempuran. Mereka berseru,
"Suhu, ijinkan kami ikut ambil bagian untuk membasmi siluman yang membahayakan umat manusia ini!"
Kelima orang muda itupun kemudian tidak menunggu lagi persetujuan guru-guru mereka, sebab mereka yakin guru merekapun pasti tidak mencela tindakan mereka, bahkan mungkin akan memujinya. Dengan semangat meluap mereka berlima segera menyerbu ke arah Tong Wi-siang. Lima batang pedang berkilauan serempak ke berbagai bagian tubuh Tong Wi-siang.
Sayang, agaknya nasib buruklah yang telah siap menunggu kelima orang pendekar muda yang berani itu, sebab saat itu Tong Wi-siang sedang mata gelap, pikirannya keruh, dan sama sekali tidak dapat mengendalikan diri lagi. Melihat serangan serempak itu, cepat Wi-siang memekik dahsyat dan sekuat tenaga melancarkan jurus Jit-kui-keng-te (Tujuh Iblis Menggoncangkan Bumi).
Terdengar suara berdentangan yang dahsyat ketika lima batang pedang itu mengenai tubuh Tong Wi-siang yang kebal, kemudian ayunan tangan Ketua Hwe-liong-pang itu membuat murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu terpental berpencaran seperti daun-daun kering dihembus badai. Dua orang di antara mereka kini hanya memegang tangkai pedang yang telah buntung.
Sedang seorang yang lainnya malahan telah roboh memuntahkan darah, setelah bergerak-gerak sebentar di tanah, diapun lalu terdiam kaku dan nyawanyapun melayang. Rupanya pemuda itu telah menyerang Tong Wi-siang terlalu berani, sehingga pukulan Wi-siang berhasil masuk telak ke dadanya dan meremukkan tulang-tulang dadanya seketika.
Melihat salah seorang muridnya telah menjadi korban Hwe-liong Pang-cu berkobarlah amarah Thian-goan Hweshio yang memang berwatak berangasan itu. Tidak peduli lagi ilmu-ilmu sesat lawannya yang lihai, ia telah menyerang kembali dengan jurus-jurus andalannya. Begitu pula Kiau Bun-han ikut menyerang bersama rekannya ini.
Namun kali ini Kiau Bun-han bertindak agak cerdik, ujung pedangnya tidak menyambar ke sembarangan bagian tubuh lawan, melainkan memilih sasaran-sasaran yang biasanya tidak dapat dilindungi ilmu kebal seperti mata, bagian bawah dagu dan sebagainya.
Begitulah, di bawah siraman hujan deras itu pertempuran telah berkobar kembali, lebih dahsyat dari semula, sebab kini murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay juga telah ikut terjun ke gelanggang. Tong Wi-siang yang hanya bertangan kosong itu harus bertempur meladeni enam orang lawan yang semuanya bersenjata pedang. Pertempuran kali inipun lain sifatnya dengan pertempuran yang mula-mula tadi.
Kalau tadi masih bersifat pertandingan dan saling menjajaki, maka yang sekarang ini sudah diwarnai oleh dendam kesumat dan kemarahan yang meluap di hati orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Satu korban jiwa yang jatuh di pihak Go-bi-pay sudah cukup untuk mengobarkan api kebencian kaum pendekar.
Tapi Tong Wi-siang adalah pemimpin resmi dari sebuah perkumpulan yang pernah membuat dunia persilatan menggigil ketakutan, dengan demikian tingkatan ilmunyapun sangat tinggi, apalagi Tong Wi-siang juga meladeni lawan-lawannya dengan tidak kurang marahnya. Sebagai seorang bekas anak berandalan di An-yang-shia yang memang gemar berkelahi dan tidak kenal takut, ia sudah biasa mengumbar perasaan marahnya itu tanpa peduli tempat, waktu dan siapa yang dihadapinya.
Ia merasa sangat jemu dan muak melihat tingkah para pendekar yang dianggapnya orang-orang munafik yang sok alim itu. Sifatnya yang pemarah itu masih ditambah lagi dengan pengaruh ilmu sesat warisan Bu-san-jit-kui yang sedikit banyak mempengaruhi kepribadiannya juga, membentuknya menjadi pribadi yang agak liar dan ganas. Maka ketika pertempuran meningkat semakin seru dan hati Tong Wi-siang pun semakin panas, ia tidak mengendalikan dirinya lagi dan bertarung sejadi-jadinya.
Pertempuran mati hidup itu bergeser perlahan-lahan dari dalam aula kuil ke arah halaman kuil. Tapi ke tujuh orang yang tengah bergulat dengan nyawanya itu tidak peduli air hujan yang menyiram mereka, kilat yang menyambar-nyambar di langit, semuanya sudah lupa diri dan dikeruhkan oleh nafsu membunuh yang harus mendapat penyalurannya. Nafsu melihat tumpahnya darah sesama manusia. Patung-patung para malaikat dan dewa yang dipuja dalam rumah abu itu, serta hiasan-hiasan kuil lainnya, kini telah porak-poranda karena tersentuh tangan-tangan dan kaki-kaki yang digerakkan oleh angkara murka itu.
Suaranya menggidikkan hati, sehingga para pengungsi yang menyaksikan pertempuran itupun merasa diri mereka bagaikan mahluk-mahluk lemah tak berdaya yang berada di lingkungan siluman-siluman yang berilmu tinggi. Apalagi ketika melihat sepasang mata Wi-siang yang telah berubah bersinar kehijau-hijauan seperti kucing, sementara rambutnya yang terurai acak-acakan itu menambah seramnya penampilannya.
Sementara itu, betapapun tangguhnya Tong Wi-siang, tapi karena harus menghadapi keroyokan enam orang pendekar tua dan muda itu, mau tidak mau ia terdesak juga. Yang muda berani luar biasa, yang tua mengandalkan pengalamannya dan kematangan ilmunya, benar-benar gabungan kemampuan yang tidak dapat dianggap remeh. Thian-goan Hweshio dan Kiau Bun-han jika maju sendiri-sendiri pasti akan kalah, namun mereka berdua maju serempak, masih ditambah lagi dengan empat orang pemuda berbakat dari Go-bi-pay dan Hoa-san-pay, maka Tong Wi-siang benar-benar dalam bahaya.
Ilmu kebal warisan Bu-san-jit-kui itupun terasa mengendor juga, sebab ilmu ini memerlukan pemusatan kekuatan batin dalam ketenangan, sedangkan saat itu Wi-siang tidak sempat memusatkan kekuatan batinnya karena ujung- ujung pedang lawan-lawannya yang terus melandanya bagaikan hujan gerimis. Lama-kelamaan terasa juga bahwa ujung-ujung pedang itu ternyata dapat menyakiti kulitnya.
Namun Tong Wi-siang bukan Tong Wi-siang kalau gampang menyerah begitu saja, anak berandalan dari An-yang-shia ini sudah terkenal karena kekerasan hati dan kebandelannya. Ilmu kebalnya kini dilepaskannya begitu saja, namun justru ilmu Jit-kui-tiau-goat-sin-kang-nya ditingkatkannya sampai ke tahapan yang tertinggi. Matanya bersinar semakin hijau, suara mantera yang digumamkannya semakin jelas terdengar mendengung di pinggir kuping lawan-lawannya.
Akibat dari pengerahan ilmu itu, yang paling merasakan adalah para murid-murid muda Go-bi-pay dan Hoa-san-pay yang baik tenaga dalamnya maupun keteguhan batinnya belum begitu tinggi itu. Mereka segera merasa hati mereka mulai terguncang oleh dengung mantera berbahasa aneh dan berirama aneh itu, pemusatan pikiran terhadap ilmu silat merekapun dengan sendirinya mulai terganggu. Selain suara mendengung lembut itu, sinar mata yang kehijau-hijauan itu ternyata punya pengaruh tersendiri pula, yaitu dapat mengendalikan dan memerintah pikiran lawan-lawannya.
Beberapa kali para pendekar muda itu seakan-akan kehilangan kendali atas diri dan senjatanya sendiri, seakan mereka mendapat perintah lewat pikirannya untuk menusukkan pedang-pedang mereka ke arah... kawan-kawan atau guru mereka sendiri! Dengan demikian pemuda-pemuda ini mulai kebingungan mengatasi keadaan yang belum pernah diajarkan dalam ilmu silat ini, mereka bertempur tanpa pegangan lagi.
Thian-goan Hweshio dan Kiau Bun-han agaknya dapat memahami oleh murid-murid mereka itu, sebab mereka berdua pun mengalami hal yang sama, tapi tidak terlalu parah karena keteguhan batin mereka. Namun toh tokoh-tokoh itu sedikit banyak terpengaruh juga, paling tidak mereka harus memencarkan pemusatan pikiran mereka, sebagian untuk bertahan dari pengaruh gaib dan sebagian lagi untuk menggerakkan senjata mereka.
Mereka juga harus berhati-hati terhadap ujung-ujung pedang murid-murid mereka sendiri yang kadang-kadang kehilangan arah itu. Untunglah bahwa Tong Wi-siang tidak dapat mempengaruhi enam orang sekaligus dengan ilmunya, namun hanya seorang demi seorang secara bergantian, dengan kadar kekuatan yang berbeda-beda pula. Namun toh cukup mengacaukan perlawanan para pendekar itu.
Melihat kekacauan yang melanda pihaknya itu, Thian-goan Hweshio tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dengan ilmu Sau-cu-hau-kang (Ilmu Singa Meraung) yang berdasar dari ilmu kaum Hud-kau yang dilontarkan dengan pengerahan kekuatan batin tinggi, sehingga dapat mempengaruhi kawan dan lawan.
Suara gelegar raungannya bagaikan menggetarkan ruangan itu, meskipun memekakkan telinga kawan-kawannya tetapi bagaikan segayung air dingin yang disiramkan di atas kepala mereka, menyadarkan mereka dari kebingungan mereka.
"Kerahkan kekuatan batin! Kepung terus! Ilmu kebalnya tidak mutlak dapat melindungi kulitnya!" teriak Thian-goan Hweshio.
Tong Wi-siang tertawa dingin dan menggeram, "Bagus, keledai gundul bangsat, sebelum aku membunuh lain-lainnya agaknya aku harus mengambil batok kepalamu lebih dulu. Sekarang jika kau benar-benar lihai, cobalah ilmu-ilmuku yang lainnya!"
Berbareng dengan selesainya kalimatnya itu, Wi-siang telah menggigit lidahnya sendiri sehingga luka dan berdarah, lalu mengalirkan suatu kekuatan dahsyat ke seluruh tubuhnya, suatu kekuatan yang beberapa kali lipat dari kekuatan wajarnya dalam keadaan biasa.
Thian-goan Hweshio yang kaya dengan pengalaman itu segera mengetahui apa yang diperbuat lawannya, apalagi ketika melihat ada tetesan darah mengalir dari sudut mulut lawannya itu, maka dengan terkejutnya ia telah berseru memperingatkan rekan-rekannya, "Ilmu iblis Thian-mo-kay-teh-kang! Awas, iblis cilik ini mengeluarkan ilmu lainnya yang dapat melipatgandakan kekuatannya! Ambil jarak dan jangan menyerang secara gegabah!"
Ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-karg yang sedang digunakan oleh Tong Wi-siang itu adalah ilmu bagaimana cara melipat gandakan kekuatannya tetapi dengan jalan melukai dirinya sendiri, yaitu menggigit lidahnya. Kekuatan yang didapatkannya akan menjadi dahsyat bukan main, namun tenaga yang dahsyat itupun tidak akan dapat bertahan terlalu lama, jika dipaksakan dapat merusak diri sendiri.
Banyak tokoh golongan hitam tingkat atas yang mempelajari ilmu ini tapi takut menggunakannya, sebab setiap kali digunakan berarti dirinya sendiri harus terluka dan tenaga dalam yang dipupuknya bertahun-tahunpun bisa dirugikan.
Teriakan Thian-goan Hweshio yang memperingatkan untuk menjauhi lawan, dengan maksud agar lawan kehabisan tenaga lebih dulu, tetapi peringatan itu agak terlambat rupanya. Para murid-murid muda Hoa-san-pay serta Go-bi pay yang masih dibakar kemarahan itu sama sekali tidak memahami maksud Thian-goan Hweshio itu, mereka tetap saja merangsak Tong Wi-siang tanpa kenal takut. Akibatnya, seorang murid Hoa-san-pay kemudian terkapar dengan batok kepala remuk seperti tomat diinjak terkena sambaran pukulan Tong Wi-siang yang maha dahsyat itu.
"Kian-ji!" teriak Kiau Bun-han ketika melihat nasib buruk yang menimpa muridnya itu.
Belum habis rasa kejut dan ngeri dari pendekar-pendekar itu, lagi-lagi Wi-siang berhasil mencengkeram pundak salah seorang murid Go-bi-pay, dan diiringi tertawa seramnya dia menggunakan tangan satunya lagi untuk menarik dan memutar lengan anak Go-bi-pay itu sekuat tenaganya. Tak ampun lagi tangan murid Go-bi-pay itu dapat "dicabut"-nya mentah-mentah dari pangkal lengannya dan dilemparkannya, sedang si pemilik lengan itupun langsung jatuh pingsan di tanah becek.
Betapapun keberanian menyala di hati murid-murid muda Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu, tetapi setelah melihat bagaimana brutal dan ganasnya Ketua Hwe-liong-pang itu, tergoncanglah perasaan mereka. Sungguh tidak pernah terbayangkan oleh mereka bahwa di dunia persilatan ada cara berkelahi semacam itu.
Tadinya mereka mengira bahwa pertempuran di rimba persilatan hanyalah adu kekuatan, kecepatan dan keterampilan mamainkan jurus-jurus andalannya, namun kini di hadapan mata mereka telah terpampang sesuatu yang sangat menggetarkan. Tetapi di samping perasaan takut mereka, semakin berkobar pula rasa marah mereka ketika melihat saudara-saudara seperguruan mereka mengalami nasib seburuk itu.
Tong Wi-siang sendiri merasa kekuatannya mulai menurun setingkat setelah membereskan dua orang lawan mudanya itu. Itulah akibat wajar dari pemakaian ilmu Thian-mo-kay-teh-kang itu, cepat pula pertambahan tenaganya, namun cepat pula menurunnya.
Pada saat itulah Kiau Bun-han telah meluncur maju sambil menggerakkan pedangnya dengan gerakan Pek-coa-tou-sin (Ular Putih Menyemburkan Racun) yang dilambari dengan seluruh kekuatan dalamnya. Pedangnya bagaikan petir menyambar ke arah perut Tong Wi-siang, agaknya tokoh Hoa-san-pay ini sudah nekad mengadu jiwa untuk membalaskan dendam murid-muridnya.
Tong Wi-siang agak terkejut melihat serangan secepat itu, padahal ilmu kebalnya sudah "dilepas" dari tadi, sebisa-bisanya dia menghindar ke kanan, namun tidak sepenuhnya lolos dari jurus maut tokoh Hoa-san-pay itu. Lambungnya tetap saja tersobek oleh ujung pedang Kiau Bun-han, menghasilkan luka panjang yang cukup dalam. Namun Kiau Bun-han sendiri telah kehilangan keseimbangannya dan terjerumus ke depan....
Dan kepada anak buahnya Te-liong Hiang-cu berkata, "Jadi kita akan tetap pada rencana semula, yaitu berusaha mengadu-domba dan membenturkan Tong Wi-siang dengan orang-orang munafik itu, sampai mereka bertempur satu sama lain dan akhirnya kehabisan kekuatan. Setelah itu kita baru akan menumpas mereka dengan bantuan Tio Ciangkun." Dengan demikian perjanjian itupun ditutup, dan rencana mulai dijalankan.
* * * * * * *
Pegunungan Bu-san merupakan pegunungan yang panjang dan terletak dari Su-coan sampai ke dekat perbatasan dengan India dan Birma, sedang ke utaranya hampir memasuki daerah orang-orang suku Hui. Di salah satu puncaknya, Tiau-im-hong, berdirilah sebuah bangunan megah yang luas dan bersusun-susun menurut tinggi rendahnya tanah, itulah markas Hwe-liong-pang yang dibangun oleh Tong Wi-siang dengan harta karun peninggalan Bu-san-Jit-kui yang berlimpah itu.
Di tengah-tengah bangunan yang berderet-deret itu, ada sebuah bangunan mungil yang dikelilingi tembok rendah dan dilengkapi pula dengan kolam ikan serta kebun bunga yang permai. Suasana di tempat itu sangat tenteram dan memberi kesan sangat pribadi. Di permukaan kolam, bunga-bunga teratai yang berwarna merah dan putih mengapung dengan tenangnya, sementara gerombolan ikan yang beraneka jenis kelihatan hilir-mudik di bawah naungan daun-daun teratai yang lebar, dan kadang-kadang ikan itu muncul di permukaan air untuk menghirup udara pegunungan Bu-san yang segar.
Di tempat yang agak terpisah dari kediaman para anggota biasa itulah berdiamnya para tokoh-tokoh tertinggi, bahkan dapat disebut pendiri Hwe-liong-pang. Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin. Dulu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau juga berdiam di tempat ini, sebelum dia memberontak dan memisahkan diri dari bekas sahabat-sahabatnya sejak dari An-yang-shia itu.
Sahabat-sahabat sejak mereka masih menjadi anak-anak muda yang nakal dan sering mengganggu ketenteraman An-yang-shia itu. Namun kemudian ruangan yang biasa ditempati Tan Goan-ciau itu dikosongkan, karena ia telah dianggap berkhianat kepada Hwe-liong-pang dan tidak mungkin kembali ke situ.
Pagi itu udara cerah, matahari bersinar ceria, namun Tong Wi-siang yang tampan itu justru sedang termenung di tepi kolam dengan wajah tersaput awan kemurungan, ia melangkah hilir-mudik dengan gelisah, kemudian duduk termenung di bangku batu itu, lalu melangkah hilir-mudik lagi. Pandangan matanya yang kosong dan kesepian itu kadang-kadang memancarkan rasa iri melihat ikan-ikan yang bergembira dalam air itu.
Tiba-tiba didengarnya langkah-langkah kaki di belakangnya, lalu didengarnya suara seseorang yang sudah amat dikenalnya, suara yang hampir setiap hari didengarnya, "A-siang...."
Tong Wi-siang tersentak dari lamunannya dan mengangkat wajahnya, dilihatnya Lim Hong-pin telah melangkah mendekatinya dan kemudian dengan santainya menepuk pundaknya sambil menepuk pundak sahabat dan Ketuanya itu, "Kau nampaknya sedang risau, A-siang?”
Mendengar tegur-sapa sahabatnya yang akrab itu, tegur seorang sahabat yang bersama-sama mengalami suka- duka sejak mereka sama-sama masih remaja di An-yang- shia, maka sikap Tong Wi-siang bukan lagi sikap seorang Hwe-liong Pang-cu yang garang dan perkasa, dingin tak kenal ampun, namun sikap Tong Wi-siang sebagal manusia biasa yang berdarah-daging dan berperasaan, tak ada bedanya dengan manusia-manusia lainnya. Tiba-tiba Tong Wi-siang nampak agak tersipu-sipu, dan tatapan matanya menerawang jauh, memancarkan kerinduan entah kepada siapa.
Melihat sikap Tong Wi-siang itu, tiba-tiba Lim Hong-pin tertawa dan berkata, "Agaknya aku dapat menebak apa yang sedang kau pikirkan itu, A-siang. Tentunya kau sedang merindukan gadis anak petani semangka di desa Bu-sian-tin itu bukan?"
Tong Wi-siang cuma tertawa, dan mengiakan pertanyaan itu secara terselubung, "Dasar matamu memang mata maling, A-pin, agaknya apapun tidak bisa tersembunyi dari mata malingmu itu.”
Lim Hong-pin tertawa terbahak. “Nah, ternyata tebakanku tepat. Kau memang sedang merindukan dia. Kau memang sudah cukup lama meninggalkannya, hampir setengah tahun menurut perkiraanku, yaitu ketika kita mulai berangkat ke Kang-lam untuk melakukan pembersihan di Jian-hoa-kok itu. Cukup lama. Ada baiknya kau tengok dia lagi, jangan sampai ia putus harapan dan kemudian kawin dengan orang lain, atau menggantung diri."
Terhadap sahabatnya ini Tong Wi-siang bicara blak-blakan, "Pertemuan kami yang terakhir adalah beberapa hari menjelang keberangkatanku ke Kang-lam itu, pertemuan paling indah, di tengah kebun semangka milik bapaknya, si tua botak yang bawel itu. Waktu itu A-giok menemui aku di tengah kebun dan tidak menghiraukan larangan bapaknya, bahkan malam itu di kebun semangka itu A-giok telah... telah menyerahkan dirinya sepenuhnya... ke... kepadaku."
Lim Hong-pin terbelalak kaget mendengar ucapan terakhir sahabatnya itu, “He, jadi kau dan dia telah... telah berbuat hal itu?”
Wi-siang tidak menyahut terang-terangan melainkan hanya menyeringai dengan kikuknya, dan itu sudah merupakan jawaban yang maha jelas bagi Lim Hong-pin. Maka Lim Hong-pin pun menggeleng-gelengkan kepala dan menahan tertawanya, sambil berkata, "Dasar bajingan An-yang-shia....”
Mau tidak mau Wi-siang tertawa juga, dan menyahut, "Jangan berlagak alim. Aku yakin kau tidak lebih baik dari padaku apabila mendapat kesempatan yang sama."
“Lalu sekarang apa yang kau pikir baik untuk dilakukan?"
Terhadap sahabatnya ini memang Wi-siang hampir tidak pernah menyimpan rahasia apapun. Bahkan sikap Wi-siang kepada Lim Hong-pin jauh lebih terbuka dari pada terhadap adik laki-lakinya sendiri, Tong Wi-hong yang sering dianggapnya sebagai kutu buku itu. Tanpa tedeng aling-aling lagi Wi-siang menyahut, "A-giok memang cuma seorang gadis desa terpencil, tapi dia luar biasa, dia telah mampu merebut seluruh perhatian dan pikiranku. Aku akan memboyongnya kemari."
"Kalau bapaknya yang botak itu tidak mengijinkan, bagaimana?"
"Si botak itu? Bukankah aku ini Ketua Hwe-liong-pang? Jika kutempelkan sebatang pedang ke lehernya maka diapun akan mengangguk-angguk menyetujui puterinya kuambil sebagai isteri.”
"Oh, calon mertua yang malang."
Terdengar suara menyahut, "Beginilah kalau seorang bandit dilanda cinta." Ternyata Siangkoan Hong juga telah tiba di tempat itu, dan agaknya diapun mendengar sebagian pembicaraan sahabat-sahabatnya itu dan kemudian berhasil menyimpulkannya sendiri. Kata Siangkoan Hong lebih lanjut sambil tertawa, "Tapi aku yakin bahwa si tua yang kepalanya botak seperti semangka yang ditanamnya itu pasti akan menyetujui punya menantu Ketua Hwe-liong-pang yang tampan dan gagah perkasa. Tidak usah menempelkan pedang ke lehernya, nanti kau dianggap menantu kurang ajar."
Kemudian Lim Hong-pin menyambung ucapan Siangkoan Hong tadi, “A-siang, lebih baik kau temui A-giok dan orang tuanya secepat-cepatnya dan kalau perlu langsung saja kau bawa ke sini, tidak usah dengan upacara tetek-bengek yang menjemukan itu. Dalam suasana perang sekisruh ini, tidak sempat kita memenuhi segala adat-istiadat, apapun bisa terjadi tanpa diduga sebelumnya. Siapa berani menjamin bahwa gadismu itu aman berada di Bu-sian-tin, bukankah desa itu sering dilewati keiompow-kelompok pasukan pemerintah ataupun laskar pemberontak? Belum lagi ancaman bahaya jika si pengkhianat Tan Goan-ciau itu tahu hubunganmu dengan A-giok dan mencoba memerasmu lewat A-giok..."
Bicara tentang gadis bernama A-giok ini, maka segala kegarangan Wi-siang sehari-hari sudah sirna tak berbekas lagi, segala usul sahabat-sahabatnya itu dirasakannya bagaikan sinar terang di tengah kegelapan kebuntuan pikirannya. Maka iapun memutuskan bahwa hari itu juga ia akan berangkat ke Bu-sian-tin yang terletak kira-kira sepuluh li dari kaki bukit Tiau-im-hong. Wi-siang berangkat tidak dengan berkuda dan dengan pakaiannya sebagai Ketua Hwe-liong-pang, tapi hanya berjalan kaki dan berpakaian seperti orang dusun yang sederhana.
Tidak seorangpun anak buahnya yang mengetahui keberangkatannya yang diam-diam itu, kecuali dua orang sahabatnya, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, yang mengantarkannya sampai ke kaki puncak melewati sebuah jalan rahasia dl belakang lereng. Sebelum berpisah, Siangkoan Hong sempat berpesan sambil tertawa,
"Sebelum kau menakut-nakuti si botak itu, lebih baik kau coba dulu perananmu sebagai seorang calon menantu yang alim dan baik, jika ini berhasil akan lebih baik daripada jika si botak itu menyerahkan anak gadisnya sambil menggigil ketakutan."
Sahut Wi-siang, “Selama bertahun-tahun kita bersahabat, baru kali ini kudengar kata-kata mutiara yang indah keluar dari mulut bangsatmu itu, dan mungkin juga yang terakhir kali. Kau memang bangsat."
"Kita memang bangsat semuanya," sahut Siangkoan Hong.
Ketiga sahabat itupun kemudian tertawa berderai. Kemudian Tong Wi-siang pun melangkah tergesa-gesa menjauhi kaki bukit Tiau-im-hong di bawah tatapan mata kedua sahabatnya. Ketika Tong Wi-siang sudah tidak nampak lagi di balik tikungan jalan sana, Lim Hong-pin berkata sambil tersenyum,
"A-siang cukup beruntung. Ia akan mendapat seorang istri yang cantik dan sangat mencintainya, bahkan dalam waktu tidak lama lagi anaknyapun akan lahir."
Siangkoan Hong terkejut, "Anaknya?"
Lim Hong-pin tertawa semakin keras. “Kau benar-benar terkejut atau cuma pura-pura terkejut? Aku tahu, jika kau atau aku mendapat kesempatan yang sama seperti A-siang, ada gadis cantik yang sudi menaksir kita, kita akan berbuat seperti dia pula. Kita bertiga sudah saling mengetahui isi perut masing-masing."
Demikianlah, sambil bergurau dan saling memaki dengan kata-kata kotor, kedua orang itupun berjalan kembali ke markas, tentu saja dengan melalui jalan rahasia seperti keluarnya tadi. Selama Wi-siang tidak berada di markas, mereka berdualah yang memimpin Hwe-liong-pang menghadapi suasana yang semakin panas dan penuh kemelut itu.
Dalam pada itu, Tong Wi-siang melangkah meninggalkan Tiau-im-hong dengan langkah-langkah yang semakin lama semakin cepat, seirama dengan degup kerinduannya untuk segera menemui gadis kekasihnya yang ditinggalkannya berbulan-bulan namun tidak pernah dilupakannya itu. Hati dan pikirannya benar-benar telah dikuasai oleh bayangan A-giok, anak petani semangka dari Bu-sian-tin itu. Jika dia punya sayap, ingin rasanya dia terbang saja ke Bu-sian-tin.
Dengan pakaiannya yang sederhana, dan tidak terlihat membawa senjata sepotongpun, perjalanan Wi-siang menjadi aman dan tidak terganggu, biarpun dia beberapa kali berpapasan dengan kelompok-kelompok prajurit Beng yang beronda ataupun laskar Li Cu-seng. Wi-siang dengan seseorang pengungsi miskin yang pada jaman perang itu memang merupakan pemandangan yang dapat dilihat di segala tempat.
Dilewatinya beberapa dusun kecil yang sudah hancur atau setengah hancur, biasanya sebagian penduduknya sudah mengungsi. Yang masih menempati dusun-dusun itu hanyalah orang-orang yang tak berpengharapan dan pasrah nasib begitu saja. Kadang-kadang dijumpainya mayat-mayat yang berserakan begitu saja di jalan-jalan yang sepi.
Mayat prajurit Beng, mayat laskar pemberontak, atau mayat penduduk yang barangkali tidak tahu menahu tentang pertentangan itu, semuanya terlantar begitu saja, membusuk dikerumuni lalat dan semut, atau sudah terkoyak-koyak oleh gigi anjing-anjing liar. Meskipun Wi-siang sendiri bukanlah seorang yang terlalu baik hati, namun melihat akibat kebiadaban perang itu, mau tak mau bergidiklah bulu tengkuknya.
Tiba-tiba Tong Wi-siang teringat kepada dirinya sendiri, kepada cita-citanya untuk menumbangkan Kerajaan Beng lewat sebuah pemberontakan, dan andaikata ia berhasil mengorbankan perang bukankah hasilnya akan sama dengan yang dilihatnya saat ini? Mayat bergelimpangan serta tanah garapan yang terbengkalai, pengungsi kelaparan di semua tempat dan juga desa-desa yang dibumi-hanguskan? Akhirnya dia menarik napas,
"Itu adalah harga sebuah cita-cita, alangkah mahalnya. Semoga Li Cu-seng benar-benar berjuang untuk rakyat kecil, bukan sekedar meminjam nama rakyat untuk memperoleh dukungan, sebab pengorbanan semahal ini tidak boleh hanya untuk kepentingan pribadi, atau cita-cita pribadi. Harga ini memang harus dibayar apabila ingin menggulingkan Cong-ceng dari singgasananya, dan kemudian menyusun sebuah masyarakat baru yang adil sejahtera."
Sekonyong-konyong Tong Wi-siang tersentak hebat. Jika dusun-dusun yang telah dilaluinya itu begitu hancur berantakan, lalu bagaimana keadaan Bu-sian-tin yang tidak jauh dari situ? Apakah juga hancur dan penduduknya sudah mengungsi atau tertumpas? Didera oleh kegelisahan yang mencekamnya, Tong Wi-siang mempercepat langkahnya, dan akhirnya dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyusuri jalan yang sepi itu.
Desa Bu-sian-tin adalah sebuah desa yang tergolong cukup besar untuk daerah itu, mirip sebuah kota kecil, dikelilingi dengan perladangan dan padang rumput yang menghijau luas. Penduduknya yang campuran antara orang Han yang beragama Buddha serta orang Hui yang Muslim itu hidup dengan rukun dan saling menghormati, rumah ibadah dari kedua agama itupun tidak saling berjauhan letaknya.
Mereka mengerjakan sawah bersama-sama, menggembalakan ternak bersama-sama pula, serba tenteram dan penuh kedamaian. Kehidupan setenang itulah yang ingin dilihat oleh Wi-siang, seorang anak muda bercita-cita setinggi langit yang hampir seluruh hidupnya bergelimang dengan kekerasan.
Namun karena api pertentangan antara Kerajaan Beng dengan laskar Li Cu-seng mulai terasa pula panasya di desa itu, maka ketenangan itu mulai terganggu. Pasukan kedua pihak yang bertikai itu mulai sering memasuki dusun dan memaksa penduduk untuk menyumbang perbekalan "demi perjuangan" masing-masing pihak.
Penduduk sendiri merasa tidak pernah diperjuangkan nasibnya, malahan diperas habis-habisan sampai untuk makan diri sendiri dan keluarganya pun sulit. Gangguan kemudian meningkat, bukan sekedar meminta perbekalan, tetapi terjadi pula perkosaan, atau pembunuhan atas penduduk yang tak berdaya, dengan tuduhan yang kadang mengada-ada.
Itulah sebabnya ketika Tong Wi-siang melangkahi gerbang desa Bu-sian-tin, maka yang dijumpainya adalah Bu-sian-tin yang kosong dan sepi seperti kuburan. Sawah-sawah kering tak terurus, sebab saluran-saluran airpun macet, rumput-rumput liar tumbuh di jalan-jalan desa yang dulunya bersih. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di desa itu.
"Oh, Buddha Yang Pengasih", desis Wi-siang dengan jantung berdentang keras.
Dengan langkah ragu-ragu dilangkahkannya kakinya menyusuri jalan desa yang sepi itu. Tidak terdengar lagi jeritan gembira anak-anak yang bermain-main, atau lenguh lembu yang melambangkan kehidupan, cuma desir angin yang menerbangkan debu dan dedaunan kering. Seekor anjing kurus menyeberangi jalan dengan lidah terjulur keluar, ia mengais-ngais di sudut jalan, pada sebuah onggokan sampah, namun kemudian dengan lunglai ditinggalkannya onggokan sampah itu karena tidak ditemuinya sesuatu yang dapat dimakan untuk memperpanjang hidupnya. Kini Bu-sian-tin telah mati.
Dengan tergesa-gesa Tong Wi-siang melangkah ke sebuah rumah yang terletak agak dipinggir desa, rumah seorang petani semangka. Namun setelah ia sampai di sana, maka keadaan rumah itupun tidak ada bedanya dengan rumah-rumah lainnya di desa itu. Kosong, mati dan serba tak teratur, namun debunya belum terlalu tebal, menandakan bahwa penghuni rumah itu belum lama meninggalkan rumahnya.
Tong Wi-siang memasuki setiap ruangan, memeriksa segenap sudut, kalau-kalau ia menjumpai gadis yang diimpikannya itu, namun bayangannya pun tidak nampak juga. Dilangkahinya pintu belakang dan sampailah ia ke sepetak kebun semangka yang agak luas, di tengah- tengah kebun semangka itulah pada malam yang indah itu Wi-siang menerima penyerahan diri sepenuhnya dari gadis itu, sebuah kenangan tak terlupakan.
Tapi kini kebun itu tak terurus lagi. Selain dipenuhi rumput liar, pagarnya pun telah ambruk dan semangkanya agaknya sudah habis dicuri orang. Tong Wi-siang kehilangan ketenangannya, hatinya pepat bukan main menghadapi kenyataan yang sebenarnya sudah pernah diperhitungkannya itu, tapi toh kenyataan itu terlalu hebat memukul jiwanya. Tiba-tiba ia menjerit sekeras-kerasnya, dan tanpa terbendung lagi air matanya pun mengalir deras. Ia menangis.
Ia tidak menangis selama bertahun-tahun karena hal itu dianggapnya perbuatan cengeng, namun kini ia menangis sehebat- hebatnya. Dikutukinya dirinya seumur hidupnya ia selalu kehilangan dan kehilangan terus? Kehilangan ayah, kehilangan ibu, kehilangan adik-adiknya dan kemudian kehilangan seorang sahabat karib yang telah mengkhianatinya, dan kini ia kehilangan lagi kekasihnya dan bahkan calon anak yang ada dalam kandungan kekasihnya itu.
Sekali lagi Tong Wi-siang berteriak sekeras-kerasnya, seolah ia murka kepada langit, dendam kepada bumi, lalu menangis lagi di tengah kebun semangka itu. Disurukkannya wajahnya ke tanah, tidak peduli tanah kotor yang menempel di wajah dan pakaiannya. Pukulan batin yang dialaminya kali ini terasa benar-benar berat, lebih berat dibandingkan ketika Te-liong Hiang-cu mengkhianatinya dan merampas sebagian besar dari anak buahnya.
Waktu itu terjadi, ia masih bisa bersikap tabah dan berbagai keberatan dengan beberapa anak buahnya yang setia kepadanya, namun sekarang ia harus berbagi keberatan dengan siapa? Akhirnya Ketua Hwe-liong-pang itu jatuh pingsan di tengah kebun itu. Entah berapa lama ia berada dalam alam ketidaksadaran itu, sampai suara guruh di langit dan hujan yang rintik-rintik mulai menyadarkannya dari siumannya.
Waktu itu senja sudah jatuh menyelubungi sebagian besar jagad. Perlahan-lahan Tong Wi-siang bangkit, pandangan matanya yang merah dan liar itu menyapu keadaan sekelilingnya, lumpur dan rumput-rumput serta daun-daun kering yang mengotori pakaian dan tubuhnya tak dihiraukannya, dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak menyaingi kerasnya halilintar,
“Ha-ha-ha......, aku datang, A-giok, sampai ke ujung langitpun pasti akan kucari kau dan kurampas kau dari tangan-tangan yang akan memisahkan kita...!”
Lalu ia bangkit dan langsung berlari secepat-cepatnya, tanpa arah tertentu. Ia tidak melangkahkan kakinya melewati jalan yang lazim dilewati manusia biasa, namun menerjang ke mana saja sesuka hatinya. Menerjang ladang penduduk, pagar, melompati pematang, memukul roboh dinding-dinding pekarangan, dan tidak jarang ia menghajar patah sebuah pohon besar yang sebenarnya tidak merintangi jalannya. Hujan yang tercurah semakin deraspun tidak dihiraukannya.
Hari semakin larut, hujan tidak semakin reda, tetapi bahkan semakin deras. Sekian lama Tong Wi-siang berlari-lari, dan biarpun ia memiliki ilmu yang tinggi warisan Bu-san-jit-kui, namun diapun tetap manusia biasa yang akhirnya dlrayapi pula oleh rasa kelelahan. Bukan itu saja, ternyata pikirannya juga merasa lelah, dan perutnya lapar. Kini ia telah berada di tengah sebuah hutan yang gelap gulita, dengan langkah agak terhuyung dia terus melangkah ke depan sambil kadang-kadang tertawa terkekeh sendirian dan menyebut-nyebut nama gadis Bu-sian-tin itu.
Tiba-tiba Tong Wi-siang menggerakkan cuping hidungnya, menangkap bau daging bakar yang begitu sedapnya mengalir dari sekitar tempat itu. Cepat ia bergegas menuju ke depan, biarpun ia agaknya mengalami guncangan jiwa yang parah, namun naluri untuk mengisi perutnya tidak hilang. Maka seperti seekor harimau mencium bau calon korbannya, diapun mulai menggunakan penciumannya untuk menuntun langkahnya mencari sumber bau daging yang membangkitkan selera itu.
Tidak lama ia berjalan, sumber bau itupun terasa kian dekat, sampai akhirnya nampaklah beberapa puluh langkah di depan sana ada sebuah bangunan bobrok yang terletak di pinggir hutan. Menilik bentuk bangunannya, agaknya bangunan bobrok itu adalah sebuah rumah abu milik sebuah keluarga kaya, karena cukup besar dan indah, namun jelas sudah sekian lamanya tidak terawat lagi. Dari dalam bangunan bobrok itulah terlihat cahaya api berkelap-kelip di malam gelap, dan agaknya daging bakar yang sedap itupun ada di dalam sana.
Waktu itu Wi-siang sudah kehilangan pikiran sehatnya, maka tanpa pikir panjang lagi ia segera berlari-lari menuju ke rumah bobrok itu sambil berteriak-teriak, "Bagus, daging panggang yang hebat! Hayo sediakan untukku, untuk ketua Hwe-liong-pang yang perkasa, yang bakal membongkar kebobrokan Cong Ceng si bangsat itu!”
Orang-orang yang sedang berduh dalam bangunan bobrok itu rupanya adalah beberapa keluarga pengungsi yang agaknya kemalaman dan kehujanan dalam perjalanan pengungsian mereka. Rupanya pengungsi-pengungsi itu berhasil menangkap beberapa ekor ayam dan kelinci hutan dan memanggangnya sekali untuk mengisi perut mereka. Kini mereka dikejutkan oleh seorang pemuda yang meskipun cukup tampan namun agaknya berotak miring, itu terlihat dari bicaranya yang mengacau serta pakaian dan rambutnya yang tak teratur serta kotor itu.
"Kasihan, anak muda ini agaknya gila, mungkin karena seluruh keluarganya tertumpas oleh perang keparat ini,” kata seorang lelaki yang agak tua. Berdasar belas kasihannya itu dia mencabik sebuah paha ayam panggang dan diulurkannya kepada Wi-siang.
Namun Wi-siang membentaknya dengan murka, "Apa? Aku hanya akan kau beri secuil ini? Aku adalah ketua Hwe-liong-pang yang agung! Kalian harus menunjukkan tanda bakti kalian dengan mempersembahkan semua milik kalian, bahkan andaikata aku menginginkan batok kepala kalianpun kalian harus merasa mendapat kehormatan dan menyerahkan dengan sukarela, tahu?"
Perang dan kelaparan telah mengubah watak manusia jadi mementingkan diri sendiri, demikian pula yang terjadi dengan rombongan pengungsi itu. Tadinya mereka merasa kasihan melihat keadaan Wi-siang, namun mereka tentu tidak rela jika harus menyerahkan makanan mereka seluruhnya dan membiarkan mereka sendiri akan kelaparan sepanjang malam, padahal entah kapan lagi mereka dapat mendapatkan makanan seperti itu.
Salah seorang pengungsi-pengungsi itu adalah seorang lelaki bertubuh tegap kuat, segera bangkit dari duduknya dan membentak marah, "He, orang gila, kau tidak mengenal kebaikan kami dan malahan ingin merampas semua milik kami. Jika ingin daging bakar, sana tangkap sendiri kelinci atau ayam di luar sana, dan jangan ganggu kami lagi!"
Sambil membentak, orang itu sekaligus juga telah menghadangkan tubuhnya yang penuh otot itu ke hadapan Tong Wi-siang, dan langsung mengulurkan tangannya untuk mencengkeram dan mendorong tubuh Wi-siang. Namun lelaki kekar itu terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa anak muda sinting yang bertubuh lebih kecil dari dirinya itu ternyata tidak bergeming sedikitpun oleh dorongannya, rasanya bagaikan mendorong selembar tembok besi. Lelaki terkuat di desanya itu sekarang telah mengerahkan seluruh kekuatannya sampai otot-ototnya bertonjolan keluar bagaikan cacing bergeliatan, namun musuhnya tetap tidak bergeming seujung rambutpun.
Tong Wi-siang tertawa terkekeh-kekeh, dengan acuh tak acuh ia mengibaskan tangannya untuk menyingkirkan tangan orang itu, namun akibat dari gerakannya yang acuh tak acuh itu sungguh hebat bagi orang itu. Sambil menjerit keras tubuh orang itu terlempar ke belakang dengan tangan keseleo, jatuhnya pun hampir menimpa perapian para pengungsi itu, untunglah seorang lelaki lainnya berhasil menahan tubuhnya, meskipun ia pun kemudian berguling-guling bersama orang yang ditolongnya itu.
Kawanan pengungsi ini rupanya memiliki setia kawan yang kuat, karena mereka berasal dari satu desa. Meskipun mereka telah melihat bahwa teman mereka yang bertubuh kuatpun dirobohkan begitu mudah, tapi lelaki-lelaki yang lain segera bangkit dan beramai-ramai mengeroyok Tong Wi-siang tanpa kenal takut. Mereka berpikir, masakah beberapa orang lelaki sehat dan kuat hanya kalah oleh seorang pemuda sinting?
Namun tetap saja orang-orang itu bukan tandingan Tong Wi-siang si pewaris Bu-san-jit-kui itu, hanya dengan kibasan-kibasan ringan atau sepakan-sepakan santai, tubuh lelaki-lelaki pengeroyok itu jatuh bergelimpangan sambil menjerit kesakitan. Ada yang tangannya terkilir berat, jidatnya benjol membentur lantai dan bahkan ada yang langsung pingsan tanpa ingat sekitarnya lagi. Kaum wanita dari anak-anak dari kelompok pengungsi itu lalu menjerit-jerit ketakutan melihat “orang gila” mengamuk sehebat itu.
Salah seorang wanita tua yang agak tabah, segera berseru kepada kawan-kawannya, "Cepatlah salah seorang dari kalian pergi ke belakang dan minta pertolongan kepada tuan-tuan pendekar yang beristirahat di ruang belakang sana! Cepat!"
Tujuan Tong Wi-siang memang tidak ingin melukai orang tak berdaya, ia hanya menurutkan naluri manusiawinya untuk mengisi perutnya dengan daging bakar berbau sedap itu, maka begitu perintang-perintang telah disingkirkan, ia langsung melompat ke dekat perapian dan meraup gumpalan-gumpalan daging ayam hutan milik pengungsi itu. Daging yang masih panas berasap itu lalu digerogoti dengan tangan dan mulutnya begitu saja, seakan-akan tidak terasa panas sedikitpun.
Tentu saja kawanan pengungsi itu semakin gemetar ketakutan melihat ulah si gila itu, mengira Tong Wi-siang bukan manusia biasa melainkan siluman penunggu hutan itu, dan merekapun dengan perasaan apa boleh buat membiarkan “siluman” itu merampasi makanan mereka semuanya.
Tangan Tong Wi-siang yang linglung itu menggerogoti daging panggang dengan lahapnya, tiba-tiba dari pintu tengah rumah bobrok itu terdengar bentakan dingin, "Hemm, seorang berilmu tinggi mengandalkan ilmunya untuk berbuat semena-mena. Benar-benar tidak pantas!"
Lalu dari pintu itu muncullah beberapa orang yang semuanya bertampang seperti tokoh-tokoh persilatan dan masing-masing menyandang senjata pula. Yang melangkah paling depan, juga yang mengeluarkan bentakan tadi, adalah seorang rahib bertubuh tinggi besar dan bermuka berewokan, meskipun kepalanya gundul licin. Ia menggendong sebatang pedang panjang di punggungnya, langkahnya tegap dan matanya bersorot tajam, menandakan bahwa rahib ini memiliki kepandaian yang dapat diandalkan.
Meskipun saat itu jiwa Tong Wi-siang sedang mengalami goncangan hebat, namun dia tidak kehilangan pikiran warasnya meskipun sangat terpengaruh. Ketika melihat munculnya rombongan orang-orang bertampang pendekar dunia persilatan sisa-sisa pikiran warasnya mengingatkannya untuk waspada karena ia telah berhadapan dengan serombongan pendekar berilmu tinggi, yang agaknya juga sedang berteduh di rumah bobrok itu namun di bagian lain.
"Siapa kau?!" tanya Wi-siang garang, sambil memamang ke arah rahib yang berjalan paling depan itu.
"Aku Thian-goan Hweshio, dari Go-bi-pay."
Wi-siang nampak tidak terkejut sedikitpun mendengar rahib itu menyebut namanya, dengan harapan si "gila" akan ketakutan mendengar nama besarnya dan kemudian terbirit-birit tanpa melawan lagi. Namun ternyata si "gila" tidak lari dan juga tidak ketakutan, bahkan sorot mata si "gila" yang amat tajam itu malahan mengejutkan Thian-goan Hweshio dan kawan-kawannya.
Orang yang berdiri di samping Thian-goan Hweshio itupun cukup tegap, biarpun tidak tinggi besar seperti Thian-goan Hweshio. Dia memakai pakaian ringkas warna abu-abu dan dirangkapi dengan jubah abu-abu pula, sementara dari pinggang kirinya mencuat tangkai sebatang pedang.
Lelaki gagah ini bukan lain adalah tokoh dari Hoa san-pay yang tidak kalah terkenalnya dengan Thian-goan Hweshio, yaitu Kiau Bun-han yang bergelar Pat-hong-kiam-khong (Sinar Pedang Delapan Mata Angin). Dia berwatak lebih cermat dari Thian-goan Hweshio dan tidak sekedar menuruti nafsu amarah saja, maka ia menjadi curiga sekaligus berhati-hati ketika melihat sikap Tong Wi-siang yang nampak acuh tak acuh itu.
Kiau Bun-han lalu melangkah ke depan dan memberi hormat, mencoba memperkenalkan diri dengan tata-cara dunia persilatan, "Tuan tentunya adalah seorang pendekar besar yang tidak sudi menganiaya kaum lemah, karena itu kami harap sukalah tuan mengasihani kaum pengungsi yang malang ini dan mengembalikan makanan mereka. Jika tuan merasa lapar dan tidak memandang rendah kepada kami, kaum Hoa-san-pay dan Go-bi-pay, kami undang tuan untuk berkenalan dan membagi bekal dengan kami."
“Siapa pula kau?” tanya Wi-siang dengan matanya yang liar.
Melihat pandangan mata seliar itu, diam-diam Kiau Bun-han agak bergidik juga, dan bertambah pula keyakinannya bahwa anak muda yang kegila-gilaan ini adalah seorang yang berilmu tinggi namun agaknya penganut aliran ilmu sesat. Maka sikap Kiau Bun-han semakin berhati-hati, "Aku bernama Kiau Bun-han dari Hoa-san-pay. Beberapa orang sahabat dunia persilatan yang suka berolok-olok telah menjuluki aku sebagai Pat-hong-kiam-kong segala, padahal aku malu dengan julukan itu."
Sikap Kiau Bun-han yang kelihatannya merendah tapi sekaligus juga menyombongkan diri itu bermaksud menggertak Wi-siang. Namun lagi-lagi salah alamat, sebab Wi-siang sambil tetap menggerogoti daging bakarnya telah menjawab acuh tak acuh, “Hemm, tong kosong berbunyi nyaring, manusia kerdil memakai julukan yang dahsyat. Tapi ketahuilah, biarpun julukanmu kau tingkatkan lagi sepuluh kali lebih seram dari yang sekarang, kau tetap belum setimpal untuk mengajak bersahabat denganku. Lebih baik kalian sekarang merangkak pergi dari hadapanku secepatnya dan jangan mengganggu selera makanku lagi.”
Dengan kepandaian dan ketenarannya, Kiau Bun-han senantiasa dihormati orang di mana-mana, namun kini seorang anak muda “gila” telah merendahkannya begitu rupa dan tidak memberi muka sedikitpun kepadanya, tentu saja Kiau Bun-han menjadi malu dan marah. Sambil menggenggam tangkai pedangnya, dia telah berkata lagi dengan nada suara berubah dingin,
“Kalau begitu tuan yang terhormat ini tentunya seorang maha sakti yang berkepandaian tinggi bukan? Aku akan merasa sangat beruntung bila dapat mengetahui nama besarmu dan juga mohon pengajaranmu."
Masih tetap bersikap acuh tak acuh, Wi-siang menyahut, "Aku bernama Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang.”
Pengakuan itu bagaikan halilintar yang meledak di pinggir telinga Kiau Bun-han dan rombongannya. Tentu saja mereka pernah mendengar berita tentang Ketua Hwe-liong-pang yang masih muda namun telah memiliki kepandaian sangat tinggi itu. Mereka juga sudah tahu bahwa orang bertopeng yang pernah menyerbu Siong-san itu bukan ketua Hwe-liong-pang yang sah, melainkan hanya salah seorang adik seperguruannya yang telah berkhianat kepada Ketua yang asli.
Kabarnya Ketua yang asli beberapa tingkat lebih lihai dibandingkan wakilnya itu, Hong-tay Hwesio pun ragu-ragu dapat mengimbanginya. Maka Kiau Bun-han dan kawan-kawannya lalu membayangkan bahwa Ketua Hwe-liong-pang yang asli itu tentunya bertubuh tegap dan bertampang garang, namun kini pemuda yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu cuma berpakaian kotor dan nampaknya kurang waras.
Tetapi tadi sudah menyaksikan betapa Wi-siang merobohkan orang-orang yang mengeroyoknya begitu mudah, karena itu mau tidak mau Kiau Bun-han dan kawan-kawannya jadi setengah percaya setengah tidak. Tapi karena Wi-siang sudah menghina sedemikian rupa kepada tokoh Hoa-san-pay itu, maka tidak peduli Ketua Hwe-liong-pang asli atau palsu, Kiau Bun-han merasa malu kalau harus melangkah mundur.
Pat-hong-kiam-khong Kiau Bun-han sudah terlanjur menantang dan pantang menjilat kembali ludahnya. Secepat kilat ia telah mencabut pedang dari sarungnya, lalu tanpa banyak bicara lagi ia meluncur maju dan menyerang dengan jurus Pek-hong-koan-jit (Pelangi Menutup Matahari). Gerakannya begitu cepat dan indah, bahkan karena cepatnya maka wujud pedang telah lenyap dan hanya kelihatan sebagai garis cahaya perak berkilauan yang mengancam lawannya.
Menghadapi serangan hebat dari tokoh Hoa-san-pay itu, Tong Wi-siang tidak mengubah sikapnya yang santai, sepasang kakinya pun berdiri seenaknya tanpa bentuk kuda-kuda apapun, sedang mulutnya masih saja lahap menggerogoti daging panggangnya. Namun begitu ujung pedang lawan sampai di dekatnya, dia menggeliat dan pedang Kiau Bun-han pun hanya meluncur lewat di atas pundaknya.
Kiau Bun-han terkesiap melihat ketangkasan lawan yang dapat menghindari tikamannya hanya dengan sikap sesantai itu. Namun sebagai pendekar berpengalaman dia sudah memperhitungkan bahwa serangan pertama biasanya sulit mencapai sasaran, maka serangan berikutnya sudah dipersiapkan pula. Dengan gerakan pergelangan tangannya yang terlatih kuat, dia cepat mengubah jurus pertamanya menjadi Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san) ke pundak Wi-siang.
Jurus ini biasanya digunakan dengan senjata berbobot berat seperti golok, ruyung atau toya, dan juga memerlukan ayunan lengan dengan lengkung panjang untuk pengerahan tenaganya. Namun tokoh selihai Kiau Bun-han ini agaknya merupakan perkecualian dari semua dalil ilmu silat itu.
Pedangnya termasuk senjata berbobot ringan, sedang ayunan senjatanya pun hanya mengandalkan kekuatan pergelangan tangan saja, namun karena tenaga dalamnya yang hebat itu telah terlasur ke batang pedangnya maka bacokan itupun ternyata menjadi dahsyat sekali dan menimbulkan deru angin keras.
Beberapa murid Hoa-san-pay segera bersorak memuji kehebatan tokoh andalan perguruan mereka itu. Mereka beranggapan bahwa sebentar lagi si "gila" yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu pasti akan terbacok putus pundaknya, sulit menghindar lagi.
Secara naluriah, Wi-siang pun menyadari hebatnya serangan tokoh Hoa-san-pay itu. Meskipun pikirannya sedang kisruh, namun ilmu silat yang telah mendarah daging dalam dirinya itu mampu berjalan sendiri tanpa perintah otak lagi, dengan gerak naluriah. Hampir tak terlihat dia telah melangkah ke samping, pedang lawan lewat di sisi tubuhnya, bersamaan dengan itu Tong Wi-siang pun mengayunkan daging panggang di tangannya untuk menghantam muka lawannya.
Cepat Kiau Bun-han menundukkan tubuhnya sambil memutar pedangnya untuk bertahan. Dengan demikian mulailah kedua orang itu bertempur dengan sengitnya. Kiau Bun-han yang marah itu telah memainkan pedangnya dengan tangkas dan penuh semangat.
Sebaliknya Tong Wi-siang hanya memegang sepotong ayam panggang namun memainkan jurus-jurus aneh warisan Bu-san-jit-kui, sehingga Kiau Bun-hanpun tidak berani meremehkan "senjata" Ketua Hwe-liong-pang itu, sebab ayam panggang itu ternyata membawakan desir angin yang keras, menandakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin cepat dan semakin seru. Sinar pedang Kiau Bun-han berputar dan berkerdepan semakin gencar, sehingga sinar pedangnya bagaikan mengurung delapan arah mata angin bagi lawannya. Tepatlah kiranya julukan yang dimilikinya sebagai Pat-hong-kiam-kong. Sementara Thian-goan Hweshio dan lain-lainnya yakin bahwa si gila yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu tentu akan dapat dikalahkan.
Meskipun hal itu yang diduga oleh Thian-goan Hweshio, namun tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Kiau Bun-han sendiri sebagai orang yang langsung merasakan tekanan lawannya. Diam-diam jago pedang Hoa-san-pay itu mengeluh dalam hatinya, karena dia telah bertempur dengan segenap kemampuan dengan jurus-jurus tertingginya.
Namun masih belum ada tanda-tanda ia akan memenangkan pertarungan itu. lawan masih belum tersentuh ujung pedangnya. Kiau Bun-han merasa bahwa yang sedang dihadapinya itu bukan sesosok manusia yang berdarah dan berdaging, melainkan rasanya seperti segumpal asap yang tak dapat disentuh. Bahkan sambil berkelit dan membalas, lawannya yang muda itu masih juga menyempatkan diri untuk menggigiti ayam panggangnya!
Murid-murid Hoa-san-pay yang ilmunya belum begitu tinggi itu, masih saja salah paham dan mengira Tong Wi- siang terdesak oleh jago mereka, sehingga murid-murid itu masih saja bersorak-sorak dan bertepuk tangan mendukung jagonya.
Tetapi Thian-goan Hweshio yang berilmu tinggi dan lebih tajam penglihatannya, segera dapat melihat bahwa rekannya itu mulai dilibat kesulitan hebat, biarpun nampaknya seperti mendesak maju. Diam-diam rahib ttu mulai mengubah pandangannya terhadap Wi-siang, dan mulai menguatirkan rekannya. Jauh di dasar hatinya dia juga mengagumi kelihaian Ketua Hwe-liong-pang itu.
Sementara itu, Wi-siang bukanlah seorang yang sabar, tentu saja ia tidak sudi hanya menghindar saja, maka mulai mengalirkan serangan balasannya. Begitu dia mulai membalas, pecahlah cahaya pedang Kiau Bun-han yang tadinya berkeredapan mengurung badan Wi-siang itu. Kini di tengah gelanggang pertempuran itu muncul bayangan berpuluh-puluh ayam panggang yang berputaran dan menghujani Kiau Bun-han dari segala arah. Pemandangan yang aneh dan menggelikan, namun sangat menakutkan bagi Kiau Bun-han yang mengalaminya sendiri.
Thian-goan Hweshio tidak dapat menahan sabar lagi, "Hwe-liong-pang adalah perkumpulan kaum iblis yang mengganggu ketenteraman masyarakat ramai, untuk menyingkirkan mereka kita tidak usah peduli lagi akan ditertawakan orang lain. Saudara Kiau, aku akan ikut mempercepat penyelesaian pertarungan ini!”
Ternyata Kiau Bun-han tidak menolak dengan sikap diamnya. Agaknya pendekar Hoa-san-pay itupun mengakui kenyataan bahwa dirinya sendirian saja tidak akan mampu mengatasi Tong Wi-siang, salah-salah malahan bisa celaka sendiri. Maka dibiarkannya saja rekannya dari Go-bi-pay itu ikut terjun ke gelanggang.
Rahib tinggi besar itu telah menghunus pedangnya, kemudian dengan loncatan bagaikan seekor rajawali, dia telah melompat masuk ke gelanggang pertempuran dan langsung menyerang Tong Wi-siang dengan jurus Tay- peng-tian-ci (Garuda Mementang Sayap) yang mengarah iga musuh. Yang dimainkan oleh rahib pemarah dari Go-bi-pay itu ternyata adalah Tat-mo-kiam-hoat (llmu Pedang Tat-mo) gaya Go-bi-pay.
Berbeda dengan gaya ilmu pedang Kiau Bun-han yang kaya akan gerak tipu dan kegesitan, maka ilmu rahib ini justru keras, cepat dan langsung, tanpa banyak tipu yang berbelit-belit, namun tidak kalah berbahayanya dengan ilmu pedang Hoa-san-pay.
Menghadapi keroyokan dua orang tokoh terkenal dunia persilatan itu, mau tidak mau Tong Wi-siang terdesak juga, apalagi karena "senjata"nya cuma sepotong ayam panggang. Dalam keadaan terdesak itu, untunglah bahwa dia belum kehilangan ingatannya sama sekali akan ilmu-ilmu ajaran Bu-san-jit-kui.
Cepat-cepat ia melompat mundur untuk mengambil jarak, dilemparkannya ayam panggangnya yang tengah dipegangnya, diuraikannya ikatan rambutnya, lalu bibirpun mulai berkomat-kamit menggumamkan mantera dalam bahasa yang aneh. Perlahan-lahan biji mata Tong Wi-siang pun mulai berubah warna kehijau-hijauan seperti mata kucing. Itulah ilmu warisan Bu-san-jit-kui yang diberinya nama "Jit-kui-tiau- goat-sin-kang" (Ilmu Sakti Tujuh Iblis Menyembah Rembulan).
Baik Kiau Bun-han maupun Thian-goan Hweshio sebagal pendekar-pendekar berpengalaman, terkesiap ketika melihat sikap Tong Wi-siang itu. Mereka sadar akan gawatnya keadaan, maka Thian-goan Hweshiopun berseru, "Bangsat cilik ini menerapkan ilmu iblisnya. Saudara Kiau, hayo kita gempur bersama!"
Rahib berdarah panas itu bukan cuma berani mementang mulutnya, tapi juga berani bertindak untuk mempelopori serangannya. Dibarengi dengan bentakannya yang menggeledek ia telah melompat dan melancarkan gerakan Soat-hoa-kay-teng (Bunga Salju Menutup Kepala), gemerlap pedangnya disertai desiran tajam telah membabat ke batok kepala Tong Wi-siang.
Kiau Bun-han juga ikut menyerang, namun mengarah sepasang kaki Wi-siang. Begitulah dua orang pendekar yang disegani di dunia persilatan terpaksa tidak malu-malu lagi mengorbankan nama besar mereka dengan jalan mengeroyok seorang anak muda yang pantas menjadi anak mereka. Namun anak muda itu adalah Ketua Hwe-liong-pang yang menggemparkan rimba persilatan.
Menyongsong serangan gabungan itu Tong Wi-siang tidak gentar, malahan memperdengarkan suara tertawanya yang menyeramkan. Lengannya yang hanya terbungkus kulit itu telah diangkat dan ditangkisnya begitu saja menyongsong mata pedang Thian-goan Hweshio yang terbuat dari baja pilihan itu.
Akibatnya ternyata cukup mengejutkan, pedang Thian-goan Hweshio terpental balik bagaikan membacok lempengan baja tebal, sedang kulit lengan Tong Wi-siang tidak lecet seujung rambutpun, hanya kain bajunya yang terkoyak.
Kiau Bun-han ternyata juga mengalami kejadian yang sama. Pedangnya dengan telak sekali berhasil mengenai kaki Wi-siang, namun bukan kaki Wi-siang yang putus melainkan pedangnya sendiri yang terpental balik dan hampir saja melukai dirinya sendiri. Dengan terkejut kedua tokoh Go-bi-pay dan Hoa-san-pay itu memandang lawan mereka yang masih muda itu dengan ngeri, lalu mereka pun saling bertukar pandangan satu sama lain sambil mengangkat bahu.
Mereka pernah mendengar tentang adanya ilmu kebal sejenis Tiat-po-san (Baju Besi) atau Kim-ciong-to (Lonceng Emas), namun jenis-jenis ilmu itu masih belum bisa diandalkan untuk menghadapi tajamnya senjata yang digerakkan dengan dilambari tenaga lwe-kang. Tapi kini mereka melihat jenis ilmu kebal lain yang hampir-hampir tidak masuk akal, jenis ilmu kebal yang nampaknya lebih hebat dari Tiat-po-san maupun Kim-ciong-to, bahkan samar-samar memancarkan suasana gaib yang seram pula.
“Kita benar-benar sedang berhadapan dengan ilmu siluman,” gumam Kiau Bun-han marah bercampur ngeri.
Pada waktu itulah terdengar gemerincing lima batang pedang yang dicabut keluar dari sarungnya. Ternyata dua orang murid Hoa-san-pay serta tiga orang murid Go-bi-pay itu telah menyadari kegawatan yang mengancam guru mereka masing-masing, maka disertai gelegak darah muda mereka, merekapun berniat ikut terjun ke gelanggang pertempuran. Mereka berseru,
"Suhu, ijinkan kami ikut ambil bagian untuk membasmi siluman yang membahayakan umat manusia ini!"
Kelima orang muda itupun kemudian tidak menunggu lagi persetujuan guru-guru mereka, sebab mereka yakin guru merekapun pasti tidak mencela tindakan mereka, bahkan mungkin akan memujinya. Dengan semangat meluap mereka berlima segera menyerbu ke arah Tong Wi-siang. Lima batang pedang berkilauan serempak ke berbagai bagian tubuh Tong Wi-siang.
Sayang, agaknya nasib buruklah yang telah siap menunggu kelima orang pendekar muda yang berani itu, sebab saat itu Tong Wi-siang sedang mata gelap, pikirannya keruh, dan sama sekali tidak dapat mengendalikan diri lagi. Melihat serangan serempak itu, cepat Wi-siang memekik dahsyat dan sekuat tenaga melancarkan jurus Jit-kui-keng-te (Tujuh Iblis Menggoncangkan Bumi).
Terdengar suara berdentangan yang dahsyat ketika lima batang pedang itu mengenai tubuh Tong Wi-siang yang kebal, kemudian ayunan tangan Ketua Hwe-liong-pang itu membuat murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu terpental berpencaran seperti daun-daun kering dihembus badai. Dua orang di antara mereka kini hanya memegang tangkai pedang yang telah buntung.
Sedang seorang yang lainnya malahan telah roboh memuntahkan darah, setelah bergerak-gerak sebentar di tanah, diapun lalu terdiam kaku dan nyawanyapun melayang. Rupanya pemuda itu telah menyerang Tong Wi-siang terlalu berani, sehingga pukulan Wi-siang berhasil masuk telak ke dadanya dan meremukkan tulang-tulang dadanya seketika.
Melihat salah seorang muridnya telah menjadi korban Hwe-liong Pang-cu berkobarlah amarah Thian-goan Hweshio yang memang berwatak berangasan itu. Tidak peduli lagi ilmu-ilmu sesat lawannya yang lihai, ia telah menyerang kembali dengan jurus-jurus andalannya. Begitu pula Kiau Bun-han ikut menyerang bersama rekannya ini.
Namun kali ini Kiau Bun-han bertindak agak cerdik, ujung pedangnya tidak menyambar ke sembarangan bagian tubuh lawan, melainkan memilih sasaran-sasaran yang biasanya tidak dapat dilindungi ilmu kebal seperti mata, bagian bawah dagu dan sebagainya.
Begitulah, di bawah siraman hujan deras itu pertempuran telah berkobar kembali, lebih dahsyat dari semula, sebab kini murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay juga telah ikut terjun ke gelanggang. Tong Wi-siang yang hanya bertangan kosong itu harus bertempur meladeni enam orang lawan yang semuanya bersenjata pedang. Pertempuran kali inipun lain sifatnya dengan pertempuran yang mula-mula tadi.
Kalau tadi masih bersifat pertandingan dan saling menjajaki, maka yang sekarang ini sudah diwarnai oleh dendam kesumat dan kemarahan yang meluap di hati orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Satu korban jiwa yang jatuh di pihak Go-bi-pay sudah cukup untuk mengobarkan api kebencian kaum pendekar.
Tapi Tong Wi-siang adalah pemimpin resmi dari sebuah perkumpulan yang pernah membuat dunia persilatan menggigil ketakutan, dengan demikian tingkatan ilmunyapun sangat tinggi, apalagi Tong Wi-siang juga meladeni lawan-lawannya dengan tidak kurang marahnya. Sebagai seorang bekas anak berandalan di An-yang-shia yang memang gemar berkelahi dan tidak kenal takut, ia sudah biasa mengumbar perasaan marahnya itu tanpa peduli tempat, waktu dan siapa yang dihadapinya.
Ia merasa sangat jemu dan muak melihat tingkah para pendekar yang dianggapnya orang-orang munafik yang sok alim itu. Sifatnya yang pemarah itu masih ditambah lagi dengan pengaruh ilmu sesat warisan Bu-san-jit-kui yang sedikit banyak mempengaruhi kepribadiannya juga, membentuknya menjadi pribadi yang agak liar dan ganas. Maka ketika pertempuran meningkat semakin seru dan hati Tong Wi-siang pun semakin panas, ia tidak mengendalikan dirinya lagi dan bertarung sejadi-jadinya.
Pertempuran mati hidup itu bergeser perlahan-lahan dari dalam aula kuil ke arah halaman kuil. Tapi ke tujuh orang yang tengah bergulat dengan nyawanya itu tidak peduli air hujan yang menyiram mereka, kilat yang menyambar-nyambar di langit, semuanya sudah lupa diri dan dikeruhkan oleh nafsu membunuh yang harus mendapat penyalurannya. Nafsu melihat tumpahnya darah sesama manusia. Patung-patung para malaikat dan dewa yang dipuja dalam rumah abu itu, serta hiasan-hiasan kuil lainnya, kini telah porak-poranda karena tersentuh tangan-tangan dan kaki-kaki yang digerakkan oleh angkara murka itu.
Suaranya menggidikkan hati, sehingga para pengungsi yang menyaksikan pertempuran itupun merasa diri mereka bagaikan mahluk-mahluk lemah tak berdaya yang berada di lingkungan siluman-siluman yang berilmu tinggi. Apalagi ketika melihat sepasang mata Wi-siang yang telah berubah bersinar kehijau-hijauan seperti kucing, sementara rambutnya yang terurai acak-acakan itu menambah seramnya penampilannya.
Sementara itu, betapapun tangguhnya Tong Wi-siang, tapi karena harus menghadapi keroyokan enam orang pendekar tua dan muda itu, mau tidak mau ia terdesak juga. Yang muda berani luar biasa, yang tua mengandalkan pengalamannya dan kematangan ilmunya, benar-benar gabungan kemampuan yang tidak dapat dianggap remeh. Thian-goan Hweshio dan Kiau Bun-han jika maju sendiri-sendiri pasti akan kalah, namun mereka berdua maju serempak, masih ditambah lagi dengan empat orang pemuda berbakat dari Go-bi-pay dan Hoa-san-pay, maka Tong Wi-siang benar-benar dalam bahaya.
Ilmu kebal warisan Bu-san-jit-kui itupun terasa mengendor juga, sebab ilmu ini memerlukan pemusatan kekuatan batin dalam ketenangan, sedangkan saat itu Wi-siang tidak sempat memusatkan kekuatan batinnya karena ujung- ujung pedang lawan-lawannya yang terus melandanya bagaikan hujan gerimis. Lama-kelamaan terasa juga bahwa ujung-ujung pedang itu ternyata dapat menyakiti kulitnya.
Namun Tong Wi-siang bukan Tong Wi-siang kalau gampang menyerah begitu saja, anak berandalan dari An-yang-shia ini sudah terkenal karena kekerasan hati dan kebandelannya. Ilmu kebalnya kini dilepaskannya begitu saja, namun justru ilmu Jit-kui-tiau-goat-sin-kang-nya ditingkatkannya sampai ke tahapan yang tertinggi. Matanya bersinar semakin hijau, suara mantera yang digumamkannya semakin jelas terdengar mendengung di pinggir kuping lawan-lawannya.
Akibat dari pengerahan ilmu itu, yang paling merasakan adalah para murid-murid muda Go-bi-pay dan Hoa-san-pay yang baik tenaga dalamnya maupun keteguhan batinnya belum begitu tinggi itu. Mereka segera merasa hati mereka mulai terguncang oleh dengung mantera berbahasa aneh dan berirama aneh itu, pemusatan pikiran terhadap ilmu silat merekapun dengan sendirinya mulai terganggu. Selain suara mendengung lembut itu, sinar mata yang kehijau-hijauan itu ternyata punya pengaruh tersendiri pula, yaitu dapat mengendalikan dan memerintah pikiran lawan-lawannya.
Beberapa kali para pendekar muda itu seakan-akan kehilangan kendali atas diri dan senjatanya sendiri, seakan mereka mendapat perintah lewat pikirannya untuk menusukkan pedang-pedang mereka ke arah... kawan-kawan atau guru mereka sendiri! Dengan demikian pemuda-pemuda ini mulai kebingungan mengatasi keadaan yang belum pernah diajarkan dalam ilmu silat ini, mereka bertempur tanpa pegangan lagi.
Thian-goan Hweshio dan Kiau Bun-han agaknya dapat memahami oleh murid-murid mereka itu, sebab mereka berdua pun mengalami hal yang sama, tapi tidak terlalu parah karena keteguhan batin mereka. Namun toh tokoh-tokoh itu sedikit banyak terpengaruh juga, paling tidak mereka harus memencarkan pemusatan pikiran mereka, sebagian untuk bertahan dari pengaruh gaib dan sebagian lagi untuk menggerakkan senjata mereka.
Mereka juga harus berhati-hati terhadap ujung-ujung pedang murid-murid mereka sendiri yang kadang-kadang kehilangan arah itu. Untunglah bahwa Tong Wi-siang tidak dapat mempengaruhi enam orang sekaligus dengan ilmunya, namun hanya seorang demi seorang secara bergantian, dengan kadar kekuatan yang berbeda-beda pula. Namun toh cukup mengacaukan perlawanan para pendekar itu.
Melihat kekacauan yang melanda pihaknya itu, Thian-goan Hweshio tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dengan ilmu Sau-cu-hau-kang (Ilmu Singa Meraung) yang berdasar dari ilmu kaum Hud-kau yang dilontarkan dengan pengerahan kekuatan batin tinggi, sehingga dapat mempengaruhi kawan dan lawan.
Suara gelegar raungannya bagaikan menggetarkan ruangan itu, meskipun memekakkan telinga kawan-kawannya tetapi bagaikan segayung air dingin yang disiramkan di atas kepala mereka, menyadarkan mereka dari kebingungan mereka.
"Kerahkan kekuatan batin! Kepung terus! Ilmu kebalnya tidak mutlak dapat melindungi kulitnya!" teriak Thian-goan Hweshio.
Tong Wi-siang tertawa dingin dan menggeram, "Bagus, keledai gundul bangsat, sebelum aku membunuh lain-lainnya agaknya aku harus mengambil batok kepalamu lebih dulu. Sekarang jika kau benar-benar lihai, cobalah ilmu-ilmuku yang lainnya!"
Berbareng dengan selesainya kalimatnya itu, Wi-siang telah menggigit lidahnya sendiri sehingga luka dan berdarah, lalu mengalirkan suatu kekuatan dahsyat ke seluruh tubuhnya, suatu kekuatan yang beberapa kali lipat dari kekuatan wajarnya dalam keadaan biasa.
Thian-goan Hweshio yang kaya dengan pengalaman itu segera mengetahui apa yang diperbuat lawannya, apalagi ketika melihat ada tetesan darah mengalir dari sudut mulut lawannya itu, maka dengan terkejutnya ia telah berseru memperingatkan rekan-rekannya, "Ilmu iblis Thian-mo-kay-teh-kang! Awas, iblis cilik ini mengeluarkan ilmu lainnya yang dapat melipatgandakan kekuatannya! Ambil jarak dan jangan menyerang secara gegabah!"
Ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-karg yang sedang digunakan oleh Tong Wi-siang itu adalah ilmu bagaimana cara melipat gandakan kekuatannya tetapi dengan jalan melukai dirinya sendiri, yaitu menggigit lidahnya. Kekuatan yang didapatkannya akan menjadi dahsyat bukan main, namun tenaga yang dahsyat itupun tidak akan dapat bertahan terlalu lama, jika dipaksakan dapat merusak diri sendiri.
Banyak tokoh golongan hitam tingkat atas yang mempelajari ilmu ini tapi takut menggunakannya, sebab setiap kali digunakan berarti dirinya sendiri harus terluka dan tenaga dalam yang dipupuknya bertahun-tahunpun bisa dirugikan.
Teriakan Thian-goan Hweshio yang memperingatkan untuk menjauhi lawan, dengan maksud agar lawan kehabisan tenaga lebih dulu, tetapi peringatan itu agak terlambat rupanya. Para murid-murid muda Hoa-san-pay serta Go-bi pay yang masih dibakar kemarahan itu sama sekali tidak memahami maksud Thian-goan Hweshio itu, mereka tetap saja merangsak Tong Wi-siang tanpa kenal takut. Akibatnya, seorang murid Hoa-san-pay kemudian terkapar dengan batok kepala remuk seperti tomat diinjak terkena sambaran pukulan Tong Wi-siang yang maha dahsyat itu.
"Kian-ji!" teriak Kiau Bun-han ketika melihat nasib buruk yang menimpa muridnya itu.
Belum habis rasa kejut dan ngeri dari pendekar-pendekar itu, lagi-lagi Wi-siang berhasil mencengkeram pundak salah seorang murid Go-bi-pay, dan diiringi tertawa seramnya dia menggunakan tangan satunya lagi untuk menarik dan memutar lengan anak Go-bi-pay itu sekuat tenaganya. Tak ampun lagi tangan murid Go-bi-pay itu dapat "dicabut"-nya mentah-mentah dari pangkal lengannya dan dilemparkannya, sedang si pemilik lengan itupun langsung jatuh pingsan di tanah becek.
Betapapun keberanian menyala di hati murid-murid muda Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu, tetapi setelah melihat bagaimana brutal dan ganasnya Ketua Hwe-liong-pang itu, tergoncanglah perasaan mereka. Sungguh tidak pernah terbayangkan oleh mereka bahwa di dunia persilatan ada cara berkelahi semacam itu.
Tadinya mereka mengira bahwa pertempuran di rimba persilatan hanyalah adu kekuatan, kecepatan dan keterampilan mamainkan jurus-jurus andalannya, namun kini di hadapan mata mereka telah terpampang sesuatu yang sangat menggetarkan. Tetapi di samping perasaan takut mereka, semakin berkobar pula rasa marah mereka ketika melihat saudara-saudara seperguruan mereka mengalami nasib seburuk itu.
Tong Wi-siang sendiri merasa kekuatannya mulai menurun setingkat setelah membereskan dua orang lawan mudanya itu. Itulah akibat wajar dari pemakaian ilmu Thian-mo-kay-teh-kang itu, cepat pula pertambahan tenaganya, namun cepat pula menurunnya.
Pada saat itulah Kiau Bun-han telah meluncur maju sambil menggerakkan pedangnya dengan gerakan Pek-coa-tou-sin (Ular Putih Menyemburkan Racun) yang dilambari dengan seluruh kekuatan dalamnya. Pedangnya bagaikan petir menyambar ke arah perut Tong Wi-siang, agaknya tokoh Hoa-san-pay ini sudah nekad mengadu jiwa untuk membalaskan dendam murid-muridnya.
Tong Wi-siang agak terkejut melihat serangan secepat itu, padahal ilmu kebalnya sudah "dilepas" dari tadi, sebisa-bisanya dia menghindar ke kanan, namun tidak sepenuhnya lolos dari jurus maut tokoh Hoa-san-pay itu. Lambungnya tetap saja tersobek oleh ujung pedang Kiau Bun-han, menghasilkan luka panjang yang cukup dalam. Namun Kiau Bun-han sendiri telah kehilangan keseimbangannya dan terjerumus ke depan....
Selanjutnya;