Sukma Kala Wrenggi

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Sukma Kala Wrenggi Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Sukma Kala Wrenggi

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
SATU
DUA PERISTIWA menggemparkan yang melanda Partai Perguruan Lereng Merapi dan Perguruan Kelabang Wungu tersiar cepat di kalangan persilatan. Bahkan sampai terdengar beritanya ke wilayah Kota Raja. Kemunculan sukma Kala Wrenggi membuat keresahan setiap penduduk hingga membuat mereka tak dapat hidup tenang.

Bayangan ketakutan tampak terlihat di setiap wajah para petani penduduk desa Gading Rejo, juga beberapa desa terdekat lainnya. Desa-desa itu berdekatan dengan wilayah Perguruan Kelabang Wungu yang baru saja mengalami kehancuran. Puluhan murid-murid perguruan itu mengalami kematian di tangan sukma Kala Wrenggi yang masuk ke goa garba Shinduro, murid Ki Bogota dari partai Lereng Merapi.

Dua hari kemudian sejak diadakan penguburan massal di lereng bukit itu, Randu Wangi tertunduk layu menatap gundukan tanah yang baru. Di bawah tanah merah itu terbaring jasad Shinduro yang telah dijadikan alat untuk membantai orang-orang Partai Lereng Merapi dan perguruan Kelabang Wungu.

"Tuhan. Semoga engkau memberinya tempat yang lapang di alam kubur dan mengampuni segala dosanya." berkata Randu Wangi dengan suara terisak. Akan tetapi segera cepat bangkit berdiri seraya menghapus air matanya, ketika didengar suara di belakang.

"Sudahlah, anak manis. Orang yang sudah mati janganlah dikenang lagi. Kau harus merelakan kepergiannya dengan hati ikhlas."

"Ya, paman. Aku memang telah ikhlas dan merelakan kematiannya. Manusia memang takkan luput dari kematian. Maafkan aku telah terhanyut dalam kesedihan." sahut Randu Wangi seraya cepat menjura pada orang tua berjubah ungu itu yang berdiri dibelakangnya sambil meggendong tangan.

Kelabang Wungu tersenyum manggut-manggut. "Kau benar, anak baik. Nah, sebaiknya kau segera kembali ke pesanggrahan. Tak baik berada di tempat sesunyi ini seorang diri!" ujar Kelabang Wungu, ketua dari Perguruan Kelabang Wungu itu dengan lemah lembut. Segera balikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari tempat itu.

"Baiklah, paman" sahut Randu Wangi seraya beranjak melangkah mengikuti di belakang si Kelabang Wungu, yang telah melangkah terlebih dulu. Randu Wangi masih sempat untuk menoleh lagi pada gundukan tanah merah itu. "Selamat tinggal Shinduro, semoga kau tenang di alam Baka." bisiknya perlahan. Lalu bergegas menyusul orang tua itu. Pada saat itu satu bayangan tubuh berkelebat dihadapannya.

"Randu Wangi! Kau ada disini?"

Tersentak gadis ini, karena segera melihat siapa orang tua dihadapannya. "Ayah..!? ya! Aku memang berada disini. Mau apakah kau menyusulku?" berkata Randu Wangi. Gadis ini masih mendongkol dengan sang ayah. Bahkan kini rasa mendongkol itu telah berubah jadi kebencian. Karena gara-gara ayahnyalah, hingga Shinduro harus kehilangan nyawanya. Bahkan jasadnya dipergunakan sukma Kala Wrenggi untuk menyebar maut.

Wajah Ki Bogota menampilkan kemarahan. Lagi lagi dia membentak dengan suara parau dan kasar. "Randu Wangi! Kau memang anak yang tak tahu diuntung! Sudahlah! ayo, kau pulanglah ke Lereng Merapi. Bukankah kau sudah mengetahui siapa Shinduro kini? Lihatlah! Bukan orang-orang Partai Lereng Merapi saja yang telah kehilangan nyawa, akan tetapi orang-orang Perguruan Kelabang Wungu pun menjadi korban Shinduro. Dia adalah masih keturunan Kala Wrenggi. Kalau kubiarkan kau menikah dengannya akan cemarlah namaku dimata orang banyak!" berkata Ki Bogota.

"Harap anda maafkan aku, Ki Bogota! Sungguh aku tak mengetahui kalau sore ini aku akan kedatangan tetamu agung!" Diiringi kata-kata demikian, Kelabang Wungu sudah berkelebat dan berdiri tepat dihadapan Ki Bogota.

Laki-laki tua ketua Partai Lereng Merapi ini menatapnya dengan wajah sinis. "Hm, sudah lama kita tak pernah berjumpa, sobat Kelabang Wungu. Akan tetapi aku bukan tetamu agung. Aku kemari bukan mau bertamu ke tempat tinggalmu. Melainkan aku akan membawa pulang anak ku!"

"O, begitu? Aku mana berani menghalangi niatmu itu, sobat Bogota. Aku baru saja mengalami musibah besar. Kudengar kau juga baru mengalami bencana ditempat bercokolmu!"

"Tidak salah!" potong Ki Bogota. "Tapi itu bukan urusanmu. Sejak kau memisahkan diri dari Partai Lereng Merapi, kukira sudah tak ada lagi hubungan kita. Nah cukup bukan?" seraya menyahuti demikian, Ki Bogota menoleh pada Randu Wangi. "Ayo, Randu Wangi! segera kita pulang!" ujarnya pada gadis itu.

Akan tetapi Randu Wangi melangkah mundur dua tindak. "Tidak! aku tak akan kembali lagi ke Lereng Merapi! Sementara aku memang akan menetap disini. Tapi tidak untuk selamanya. Selanjutnya aku tak perlu memberitahu kemana aku akan pergi!" sahut Randu Wangi ketus.

Mendengar kata-kata demikian dapat dibayangkan betapa marahnya Ki Bogota. "Bocah sialan!" memaki orang tua ini. "Kau mau memutuskan hubungan antara ayah dan anak? Kau mau putuskan pertalian darah keluarga kita? Katakan sekarang juga! Apakah kau masih mengakui aku ayahmu?" bentak ketua Partai Lereng Merapi ini dengan mata mendelik gusar.

"Hubungan darah mana bisa diputuskan? Aku masih mengakui kau ayahku, walau sebenarnya aku amat membencimu! Aku dendam padamu! Karena kau telah membunuh Shinduro. Aku tahu bukan kau yang telah menurunkan tangan keji membunuhnya. Akan tetapi kau telah menganiayanya, dan perintahkan anak buahmu membunuhnya! Shinduro bisa hidup lagi akan tetapi bukan berisi sukmanya lagi melainkan sukma Kala Wrenggi. Ada hubungan atau tidaknya Shinduro dengan Kala Wrenggi kukira bukan soal. Tapi yang menjadi persoalan adalah, kau telah memberikan hukuman yang teramat kejam, tanpa menaruh belas kasihan sedikitpun! Bahkan kau tega menyuruh orang membunuhnya! Kelakuan seorang ayah yang sedemikian itu telah membuat aku tak bersimpati padamu lagi! Oleh sebab itu maafkan, aku terpaksa tak dapat kembali lagi ke Lereng Merapi untuk selamanya!" ucap Randu Wangi dengan kata-kata keras dan pasti. Dia telah nekat untuk menghadapi apapun yang bakal terjadi.

Merah padam seketika wajah Ki Bogota. Giginya berkrotakan menahan geram. "Bocah sialan!" makinya. "Kalau begitu kau mampuslah!" Seraya membentak keras Ki Bogota arahkan telapak tangannya untuk menghantam Randu Wangi dengan pukulannya. Akan tetapi satu tolakan tenaga dalam segera menghadangnya. Terdengar suara beradunya telapak tangan.

Plakk!

Ki Bogota terhuyung ke belakang dua-tiga tindak. Hantaman barusan terasa oleh laki-laki tua ini bagaikan dihalang oleh sambaran angin yang berhawa dingin. Bahkan tolakan itu sekaligus telah membuat dia terhuyung. Segera dia tahu siapa yang melakukannya.

"Sabar, sobat tua bangka! kukira anda telah berbuat amat keliru kalau mau membunuh anak sendiri!" terdengar suara halus Kelabang Wungu. Walaupun dia dapat menggagalkan serangan kakek ketua Partai Lereng Merapi itu, namun diam-diam dia terkejut, karena merasakan telapak tangannya kesemutan. Tahulah Kelabang Wungu kalau bekas sahabat dari satu Partai itu telah banyak kemajuannya dalam hal tenaga dalam. Ternyata si Kelabang Wungupun barusan terhuyung dua-tiga tindak.

"Bagus! kau mau melindungi bocah sialan ini? Hm, kau memang terlalu sombong, Kelabang Wungu! Kau kira aku akan jeri melihat kehebatan ilmu mu? Heh! Boleh juga aku menjajal, sampai dimana kemajuan ilmu kedigjayaan mu selama ini!"

"Aku hanya melindungi seorang gadis yang baru berduka cita karena kematian seorang pemuda yang dicintainya, walau bagaimanapun aku takkan biarkan kau meminta nyawanya!" berkata Kelabang Wungu dengan suara datar.

"Kelabang Wungu! cukuplah! jangan putar lidah di depanku! Aku atau kau yang sampai hari ini masih bisa bernapas! Mari bertarung denganku sampai 1000 jurus!" membentak Ki Bogota.

"Atau kau memang mau mengangkangi Pedang Pusakaku yang dicuri anak bengal ini?" berkata Ki Bogota dengan wajah geram menatap pada Randu Wangi. Lalu beralih pada Kelabang Wungu dengan mendelik tajam.

"Hm, segala Pedang Pusaka aku tak tahu menahu, akan tetapi yang jelas aku akan menerima tantanganmu untuk berduel denganku! Akupun sudah lama ingin merasai kehebatan ilmu silat Ketua Partai Lereng Merapi yang kabarnya ilmu silatnya semakin hebat!" ujar Kelabang Wungu dengan tandas.

Ki Bogota tak banyak bicara lagi. Sepasang lengannya telah terangkat untuk segera lancarkan serangan dahsyat mengarah ke dada dan satu lagi berputar untuk selanjutnya menghantam kepala Kelabang Wungu. Akan tetapi Kelabang Wungu sudah maklum dengan kehebatan lawan. Dengan membentak keras sepasang tinjunya digunakan menangkis serangan barusan, dengan menggunakan tenaga dalam yang telah diperhitungkan. Terdengar suara...

Buk! Bak! Bhesss...!

Asap putih membumbung ke udara akibat benturan kedua tenaga dalam mereka. Ki Bogota terhuyung ke belakang sejauh satu tombak. Dan Kelabang Wungu terlempar keras. Tubuhnya menghantam batu besar dibelakangnya. Akibat dari beradunya dua pukulan bertenaga dalam tinggi telah mengakibatkan Kelabang Wungu harus menanggung resiko cukup besar. Karena Ki Bogota telah mempergunakan jurus terhebat dari Lereng Merapi. Yaitu jurus Dewa Kawah Merapi.

Jurus ini mengandung hawa panas seperti panasnya kawah gunung Berapi. Beruntunglah bagi Kelabang Wungu yang telah mengandalkan pukulan berhawa dingin hingga rasa panas yang bersarang ditubuhnya agak berkurang. Namun tak urung dia sempat kelojotan, sesaat setelah tubuhnya beradu dengan batu besar dan merasai kesakitan yang membuat dia menyeringai.

"Jurusku ini bisa menghantar nyawamu keliang kubur, Kelabang Wungu! Kuharap kau tak sesalkan aku. Karena kau menghalangi niat serta urusan pribadiku antara ayah dan anak!" berkata Ki Bogota dengan suara parau.

"Heh! siapa takut dengan segala jurusmu? Walau yang kau pergunakan adalah ilmu setan sekalipun, aku tiada gentar secuilpun. Hidup matiku sudah ada yang mengatur! Akan tetapi aku tak bisa tinggal diam untuk membiarkan kau membunuh anak gadismu!"

DUA

"Keparat! kalau begitu akan kuhantarkan nyawa kalian berdua ke Akhirat!" Menggembor marah Ki Bogota. Dan selanjutnya sudah mencabut senjatanya. Yaitu sebuah keris bersinar hijau.

Kelabang Wungupun cepat mencabut senjatanya dipinggang. Sementara diam-diam dia tersentak kaget ketika melihat keris bersinar hijau di tangan Ki Bogota. Keris itu mengeluarkan hawa dingin berbau amis.

"Hahaha, tampaknya kau terkejut melihat keris ini ditanganku! Bukankah begitu, sobat? heh! ketahuilah! Senjata ini baru saja selesai pembuatannya yang dikerjakan oleh seorang Empu ternama di Kadipaten Jombang. Justru baru sekali ini aku mempergunakan. Dan untuk kedua kalinya korban yang akan dihirup darahnya oleh si Kyai Nogo Ijo ini adalah darahmu!" berkata Ki Bogota dengan tertawa menyeringai.

"Kyai Nogo Ijo?" desis Kelabang Wungu, tanpa sadar kakinya melangkah mundur satu tindak. "Aku seperti pernah mendengar nama itu...? Tapi dimanakah?" berkata Kelabang Wungu dalam hati.

Adapun Randu Wangi dengan hati kebat-kebit menyaksikan kedua orang yang siap mengadu jiwa itu. Melihat keris di tangan ayahnya, Wajah Randu Wangi seketika pucat pias. "Pastilah itu keris pusaka. Ternyata selain memiliki Pedang Pusaka, ayah memiliki juga sebuah Keris Pusaka yang bernama Kyai Nogo Ijo...!" desis Randu Wangi dengan mata membelalak.

Tanpa terasa gadis ini meraba hulu pedangnya. Akan tetapi pada saat itu sinar hijau berkelebat ke arahnya dengan amat cepat sekali. Hawa dingin berbau amis bersyiur di hidungnya. Belum lagi dia tersadar apa yang akan terjadi dengan dirinya, tahu-tahu kepalanya terasa pusing luar biasa. Dan dengan mengeluh pendek, gadis ini terhuyung roboh.

"Apa yang telah kau lakukan dengan gadis itu, tua bangka? Aku akan adu jiwa denganmu!" membentak Kelabang Wungu dengan suara menggeledek. Selanjutnya laki-laki tua ini telah menerjang hebat dengan senjatanya. Kelabang Wungu cuma melihat gerakan tak terduga Ki Bogota yang kibaskan keris pusaka di tangannya didepan hidung Randu Wangi. Selanjutnya gadis itu roboh. Dan tampak Ki Bogota berdiri tegak. Di tangannya telah tercekal pedang milik gadis itu.

Serangan Kelabang Wungu yang tiba-tiba jadi kalap karena dia mengira si kakek edan itu telah membunuh Randu Wangi. Kelabang Wungu menerjang dengan kemarahan meluap. Tambang baja yang menyerupai kelabang itu meluncur deras ke arah Ki Bogota. Tapi dengan tangkas Ki Bogota telah menangkis dengan kedua senjata pusakanya.

Kilatan-kilatan sinar hijau dan jingga berkelebatan diiringi benturan-benturan keras yang memercikkan lelatu api. Terkesiap kelabang Wungu ketika beberapa kali benturan terjadi, senjatanya terpotong putus hingga beberapa bagian. Dalam kagetnya dia telah melompat mundur.

"Gila!? pedang dan keris pusaka itu benar-benar luar biasa!" memaki Kelabang Wungu dalam hati. "Dan... bau amis keris pusaka Kyai Nogo Ijo itu membuat kepalaku jadi pusing." desis Kelabang Wungu dalam kagetnya. Tiba-tiba dia segera teringat gurunya pernah menyebut nama Kyai Nogo Ijo. Nogo Ijo adalah nama seorang Empu ternama pada beberapa puluh tahun yang silam. Dia seorang ahli pembuat keris yang ternama di wilayah Tenggara.

Akan tetapi Kelabang Wungu tak dapat berpikir lebih banyak, karena saat itu juga tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Rasa berat di kepalanya yang diakibatkan dari terendusnya bau amis dari keris bernama Kyai Nogo Ijo membuat Kelabang Wungu tak dapat mengkonsentrasikan panca indranya lagi. Hingga ketika sambaran keris dan pedang Ki Bogota yang dilancarkan dengan secepat kilat, Kelabang Wungu tak mampu mengelakkan diri.

Jeritan parau mengoyak udara. Disertai robohnya tubuh Kelabang Wungu menggoser di tanah dengan berkelojotan. Keris Kyai Nogo Ijo bersarang tepat di jantungnya. Dan pedang Pusaka Ki Bogota menghunjam amblas menembus perut sampai menembus ke punggung. Dari luka yang berada ditubuhnya mengalir darah kental berwarna hitam. Dan sungguh amat mengerikan. Karena sekujur tubuh Kelabang Wungu telah berubah menjadi kehijauan.

Ternyata keris Kyai Nogo Ijo mengandung racun luar biasa ganasnya. Dalam waktu sekejapan saja Kelabang Wungu sudah tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang. Cepat sekali Ki Bogota gunakan kesempatan untuk menyambar tubuh Randu Wangi ketika didengarnya dikejauhan suara orang berteriak.

"Ki Bogota! kemanapun kau lari jangan harap lolos dari tanganku!" Dan disaat tubuh ki Bogota berkelebat lenyap. sesosok tubuh kakek bertubuh kurus bagaikan sebatang galah, telah berada ditempat itu. Suara injakan kakinya hampir-hampir tak menimbulkan suara.

"Sialan! aku kalah cepat. Kukira dia baru saja angkat kaki dari tempat ini. Dan... keris Kyai Nogo Ijo telah meminta korban!" menggumam kakek ini dengan wajah menampakkan kekecewaan.

Saat itu seorang laki-laki berusia 40 tahun lebih tampak berlari-lari menghampiri tempat itu. Begitu melihat kakek kurus bertubuh bagai galah ini dia segera menjura hormat, seraya berucap. "Guru! selamat datang di pesanggrahan Kelabang Wungu..."

Akan tetapi tiba-tiba wajah laki-laki ini berubah pucat bagai kertas ketika melihat sosok tubuh Kelabang Wungu yang telah tak berkutik lagi terkapar berlumuran darah, tak jauh dari kakek kurus itu berdiri.

"Kakang Kelabang Wungu...! Hah!? apakah yang telah terjadi?" teriaknya seraya melompat menghampiri mayat ketua perguruan Kelabang Wungu itu.

"Siapakah pembunuhnya? katakanlah, guru! Hutang jiwa harus dibayar jiwa. Kami baru saja mengalami musibah yang amat luar biasa ditempat kami. Kini telah datang lagi musibah kedua. Kakang Kelabang Wungu tewas dengan amat mengerikan begini! Oh, apakah ini awal dari kehancuran perguruan kami?"

Wajah laki-laki ini menampilkan kesedihan dan rasa terkejut yang amat luar biasa. Dia memandang dan menatap tajam-tajam pada kakek kurus jubah putih yang penuh tambalan itu dengan harapan dia dapat memberikan penjelasan.

Kakek tua ini cuma menghela napas sambil mengelus jenggotnya yang cuma sejumput. Tampak sebuah balutan pada salah satu jari tangannya yang putus. "Gembong Singo! Aku baru saja menjumpai saudara seperguruanmu ini dalam keadaan tewas ditempat ini. Aku tak bisa memastikan siapa yang telah membunuhnya. Akan tetapi dugaanku adalah perbuatan Ki Bogota!"

Gembong Singo adalah adik seperguruan kelabang Wungu. Selesai melakukan tugas segera kembali ke pesanggrahan untuk memberi laporan. Karena tak dijumpai kakak seperguruannya berada di pesanggrahan dia segera memastikan kalau Kelabang Wungu berada ditempat pemakaman Shinduro. Jenazah Shinduro yang murid dari Partai Perguruan Lereng Merapi itu memang dikuburkan secara terpisah di sebelah utara pesanggrahan.

Ketika itulah dia melihat seorang kakek berjubah putih bertambalan berjalan cepat seperti mencari jejak seseorang. Segera dia mengenali kalau kakek itu adalah gurunya. Ketika dia berhasil menyusul, dijumpai sang guru tengah berdiri tegak didepan sesosok tubuh yang terkapar di tanah. Ternyata sosok tubuh Kelabang Wungu, sang kakak seperguruannya yang telah menjadi mayat.

Gembong Singo duduk di hadapan kakek tua kurus berjubah penuh tambalan. Dialah yang berjulukan si Dewa Pengemis Tangan Seribu. Nama sebenarnya adalah REKSO MANDIRI. Kakek kurus ini dapat ditaksir usianya sekitar delapan puluh tahun.

"Ketahuilah olehmu, Gembong Singo. Di Jombang ada seorang Empu, ahli membuat senjata. Dia telah menyimpan keris Kyai Nogo Ijo sejak lebih dari 10 tahun lamanya. Keris titipan itu memang milik Kyai Nogo Ijo, gurunya sendiri. Ketika mendengar berita kemunculan Sukma Kala Wrenggi, aku bergegas kesana. Tujuanku adalah untuk meminjam keris pusaka itu.

"Akan tetapi ternyata aku terlambat datang. Empu Santri Bubulen telah tewas dengan keadaan menyedihkan. Menurut berita yang kuselidiki, ternyata dua hari belakangan telah datang seorang kakek bertubuh tinggi besar. Kakek itu mengatakan bahwa dia adalah ketua Partai Perguruan Lereng Merapi. Segera aku tahu kalau dia itu adalah Ki Bogota.

"Manusia itu telah membawa seorang bocah perempuan bernama Randu Wangi sejak masih berusia 10 tahun. Bocah perempuan itu saat ini telah menjadi dewasa dan dianggap anaknya sendiri oleh Ki Bogota. Ternyata Ki Bogota telah menjanjikan akan mengembalikan sang cucu Empu Santri Bubulen itu kelak, bila sang Empu berhasil membuatkan sebuah keris yang mirip dengan keris Kyai Nogo Ijo.

"Empu itu memang telah berdusta dengan mengatakan bahwa keris milik KyAi Nogo Ijo gurunya telah hilang. Untuk membuat keris pusaka senilai dengan keris Kyai Nogo Ijo ternyata membutuhkan waktu lama. Yaitu mencapai waktu tujuh atau delapan tahun. Empu yang tak memiliki Ilmu kepandaian dalam persilatan itu tak mau memberikan keris pusaka Kyai Nogo Ijo pada Ki Bogota, dan menyatakan keris pusaka itu telah hilang.

"Dengan mengatakan bahwa dalam membuat keris senilai itu membutuhkan waktu lama, dia menduga Ki Bogota pasti takkan sabar menunggunya. Akan tetapi Ki Bogota telah menyandera cucu perempuan Empu Santri Bubulen itu, bernama Randu Wangi..." tutur kakek kurus berjulukan si Dewa Pengemis Tangan Seribu.

Gembong Singo mendengarkan dengan penuh perhatian. "Lalu bagaimana selanjutnya, guru...?" bertanya Gembong Singo.

"Ya, terpaksa Empu itu bekerja keras siang malam untuk membuat keris Kyai Nogo Ijo yang baru. Sebenarnya dalam waktu satu tahun dia telah berhasil membuat keris Kyai Nogo Ijo tiruan. Akan tetapi berdasarkan perjanjian, sang Empu harus bersabar menunggu sampai Ki Bogota mengantarkan cucu perempuannya ke tempat kediamannya.

"Dapat dibayangkan betapa menderitanya Empu Santri Bubulen. Dengan sabar dia menanti dan menanti! Delapan tahun sudah dia menanti kembalinya cucu perempuannya dengan sabar, namun penantian yang memakan waktu lama itu telah membuat sang Empu menanam bibit dendam pada Ki Bogota.

"Dia telah merendam keris tiruan Kyai Nogo Ijo dengan racun yang amat dahsyat. Dia telah siap menanti kedatangan Ki Bogota, dan menyambut kedatangan cucu perempuannya dengan membunuh Ki Bogota dengan keris pusaka tiruan itu kelak. Akan tetapi setelah Ki Bogota muncul, ternyata Empu tua yang malang itu justru tewas di tangan Ki Bogota oleh keris pusaka tiruan itu sendiri..."

Demikianlah, Rekso Mandiri alias si Dewa Pengemis Tangan Seribu mengakhiri penuturannya. Dengan melihat mayat si Kelabang Wungu muridnya itu, si Dewa Pengemis Tangan seribu yakin kalau yang membunuhnya adalah Ki Bogota sendiri.

Adapun dia telah mendengar sebelumnya tentang kejadian di pesanggrahan Kelabang Wungu yang telah membawa banyak korban dari anak-anak buah muridnya itu. Dari Jombang setelah mendengar penuturan istri Empu Santri Bubulen, segera bergegas menuju ke tempat kediaman perguruan Kelabang Wungu.

Diperjalanan Ki Rekso Mandiri melihat sekelebatan bayangan orang berlari cepat. Dia segera mengejar, karena ingin tahu siapa adanya orang tersebut. Segera dia mengenali orang itu adalah Ki Bogota, yang justru tengah dicarinya. Kakek tua tokoh Rimba Persilatan golongan putih itu amat khawatir keris pusaka tiruan Kyai Nogo Ijo itu akan banyak membawa malapetaka yang telah diketahui berada di tangan Ki Bogota.

Ternyata dia tak mampu berbuat banyak dengan keris beracun di tangan ketua Partai Lereng Merapi itu. Upayanya untuk merebut kembali keris tiruan Kyai Nogo Ijo mengalami kegagalan. Ki Rekso Mandiri sempat bertarung beberapa jurus dengan Ki Bogota. Dalam pertarungan itu Ki Rekso Mandiri terluka jari tangannya kena goresan keris pusaka tiruan Kyai Nogo Ijo.

Terpaksa kakek tua ini memapas putus sebuah jari tangannya untuk menghindari menjalarnya racun. Sedangkan Ki Bogota dalam kesempatan itu segera melenyapkan diri dengan berkelebat cepat. Rekso Mandiri alias si Dewa Pengemis Tangan Seribu akhirnya menjumpai si Kelabang Wungu yang telah tewas dengan kulit tubuh berubah hijau serta dua luka besar di dada dan perutnya.

Gembong Singo tertunduk menatap lantai. Air matanya jatuh menetes. Sesaat terbayang lagi wajah si Kelabang Wungu saat kemarin dia masih bisa bercakap-cakap. Tak nyana kalau hari ini Kelabang Wungu akan menemui ajal di tangan KI Bogota, dan baru saja selesai penguburan jenazahnya. Ketika hari menjelang senja, Ki Rekso Mandiri baru saja berkelebat pergi meninggalkan pesanggrahan Perguruan Kelabang Wungu yang semakin sunyi.

"Akupun tak dapat berdiam lebih lama di tempat ini!" gumam Gembong Singo. Selang sesaat. Gembong Singopun segera meninggalkan tempat yang dirasakan semakin sunyi itu. Perguruan Kelabang Wungu memang telah punah tak dapat dipungkiri lagi...

* * * * * * *

TIGA

GINANJAR baru saja duduk melepaskan lelah setelah selama tiga hari melakukan perjalanan. Pemuda yang berasal dari lereng Gunung ROGO JEMBANGAN ini terkejut mendengar suara teriakan seorang wanita tak jauh dari tempat dia beristirahat.

"He? apakah yang telah terjadi?" pikir pemuda berpakaian sederhana ini. Tubuhnya berkelebat ke balik rumpun bambu di sisi tebing itu. Dari arah rumpun bambu itulah terdengar suara teriakan wanita tadi. Membelalak mata pemuda ini ketika melihat seekor harimau belang akan menerkam seorang gadis yang menjerit-jerit ketakutan.

"Harimau keparat!" membentak Ginanjar. Tubuhnya melesat, dan siap mengirimkan hantaman kepalan tangannya ke tengkuk harimau itu.

Akan tetapi pada saat itu si raja hutan ini telah balikkan tubuhnya. Seperti seekor harimau yang telah terlatih, binatang ini menyurut mundur, Terpaksa Ginanjar batalkan serangannya. Namun di luar dugaan justru harimau itu melakukan terjangan hebat. Kuku-kukunya yang runcing siap menerkam dengan mulut yang menganga menampakkan taringnya.

Serangan ganas ini mungkin tak dapat lolos kalau yang diserangnya adalah seorang manusia biasa yang tak berkepandaian. Ginanjar mengegos ke samping kiri, sementara lengannya membarengi menghantam kepala harimau itu dengan pukulannya.

Buk...! Terkejut pemuda ini karena tangannya seperti menghantam kapas yang amat lunak sekali. Dan harimau itu seperti tak merasakan apa-apa. Dengan menggeram harimau belang ini balikkan tubuhnya. Mulutnya menyeringai menyeramkan. Tiba-tiba binatang ini kembali menerjang Ginanjar. Kali ini Ginanjar tak membuang kesempatan lagi untuk segera membunuh harimau itu. Segera dia siapkan pukulan mengandung tenaga dalam yang telah di tambahnya beberapa kali lipat.

Buk! Bukk! Bukkk!

Tiga serangan beruntun dilancarkan pemuda ini. Akibatnya memang cukup lumayan. Harimau itu terlempar bergulingan. Ginanjar ternyata tak memberinya peluang sedikitpun Untuk binatang itu kembali menyerang. Beberapa hantaman telak lagi yang dilancarkan pemuda itu telah membuat sang harimau belang itu meraung. Akan tetapi terkejut Ginanjar, karena binatang itu lenyap sirna.

"Aneh!? apakah binatang itu sebangsa siluman?" gumam Ginanjar dengan suara berdesis dan mata membelalak. Tak sempat lagi pemuda ini memikirkan kemisteriusan harimau kejadian itu karena sudah terdengar suara dibelakangnya.

"Terimakasih atas pertolongan anda, sobat pendekar..." Ternyata suara gadis itu, yang dengan tersenyum segera melangkah menghampiri. Ginanjar mengangguk.

"Siapakah nona? mengapa berada ditempat ini seorang diri?" tanya Ginanjar. Sementara mata pemuda ini memperhatikan wajah serta pakaian gadis dihadapannya. Wanita muda ini mengenakan pakaian warna hijau yang menyingkapkan sebagian pahanya. Rambutnya dikepang dua. Wajahnya boleh dikatakan cantik, dengan kulit yang putih.

Berdebar juga hati Ginanjar karena sikap gadis ini amat manja, juga agak genit. Langkahnya seperti dibuat-buat ketika berjalan menghampirinya. Bahkan langsung memegang tangan si pemuda yang jadi seperti terkesima memandangnya.

"Namaku Rinjani. Aku tersesat ditempat ini ketika mencari adikku." berkata sang dara cantik ini. "Beruntung anda telah datang menolong, kalau tidak ada anda mungkin aku sudah jadi mangsa di perut harimau tadi."

"Mencari adikmu? berapa usianya adikmu itu? lakilaki atau perempuan?" tanya Ginanjar semakin terheran.

"Adikku, laki-laki. Usianya sekitar dua puluh tahun lebih..." sahut wanita ini dengan menatap pada Ginanjar serta berikan kerlingan mata yang genit.

"Oooh...?" terkejut pemuda ini, tapi dengan menatap heran.

"Dia seorang pemuda?" tanya Ginanjar, seraya menepiskan lengan gadis itu dengan pura-pura menggaruk kepalanya, tapi juga dengan semakin keheranan.

Gadis bernama Rinjani itu mengangguk, "Benar! apakah anda merasa aneh?" tanyanya. "Tentu saja. Kau sendiri kukira baru berusia sekitar delapan belas tahun. Tapi kau mengatakan adikmu yang laki-laki sudah berusia dua puluhan tahun!" sahut Ginanjar.

Rinjani tertawa mengikik geli. "Hihihi.... kau katakan usiaku sekitar delapan belas tahun? Ketahuilah sobat pendekar. Usiaku saat ini sudah hampir empat puluh tahun!" berkata si gadis baju hijau itu. "Dan adikku yang hilang itu bukanlah adik kandungku! Melainkan adik yang bertemu diperjalanan...!"

"Huh! kata-katamu melantur! Baiklah! Ini kau sudah selamat dari bahaya. Aku akan meneruskan perjalananku." ujar Ginanjar, seraya balikkan tubuh dan segera melangkah beberapa tindak. Pemuda ini mulai merasa kalau wanita dihadapannya itu bukanlah wanita biasa. Juga merasakan sesuatu yang aneh dengan sikap serta ucapan gadis itu.

"Eh, tunggu dulu! Mengapa anda harus terburu-buru? Kau belum sebutkan siapa namamu" berkata Rinjani. Dan sekali gerakkan tubuh telah berada di sisi Ginanjar.

"Hm, apakah namaku pun kau perlu mengetahuinya?" balik bertanya Ginanjar.

"Ehm, perlu juga!" sahut si gadis. "Kau telah menanyakan namaku, dan aku tak segan-segan memberitahu. Mengapa kau tampaknya keberatan sekali memberitahukan namamu?"

"Oh, eh... ya, ya! baiklah! namaku Ginanjar! Nah cukup bukan? Maaf, aku tak dapat berlama-lama berada ditempat ini!" Selesai berkata, Ginanjar segera berkelebat dari tempat itu. Akan tetapi baru saja kakinya melayang di udara, pemuda ini merasai sambaran angin dibelakangnya.

Ternyata itulah sambaran angin yang terbit dari gerakan tangan si wanita cantik yang telah menjulur ke arah punggung. Gerakan yang mempunyai pengaruh tenaga dalam itu membuat Ginanjar terkejut. Karena tubuhnya telah kembali terbetot ke belakang. Belum lagi dia sempat bertindak menghindar, tahu-tahu gadis baju hijau itu telah gerakkan dua jari tangannya untuk menotok.

Ginanjar cuma mampu mengeluh, dan seketika merasa kaki tangannya berubah kaku. Saat selanjutnya dia sudah terkulai dalam pelukan wanita itu.

"Hihihi... kau telah datang, mengapa mau pergi begitu saja? Sungguh sayang jika pemuda segagahmu disia-siakan." Berkata demikian, lengan si wanita telah menyambar sehelai sapu tangan dari balik pakaiannya. Dan Ginanjar cuma bisa melotot ketika hidungnya dibekap dengan sapu tangan yang berbau harum. Akan tetap selanjutnya dia sudah tak sadarkan diri.

Dengan tertawa mengikik, wanita genit berbaju hijau itu berkelebat cepat dari tempat itu, dengan memondong tubuh Ginanjar di pundaknya. Ternyata gadis yang kelihatannya tak berkepandaian apa-apa itu mempunyai ilmu yang tinggi. Bahkan sekaligus telah mempecundangi pemuda yang menolongnya.

EMPAT

Kakek tua renta bergelar Siluman Setan belang itu terkekeh-kekeh melihat seorang wanita muda berbaju hijau yang memondong tubuh laki-laki di pundaknya telah berada dihadapannya. "Heheheh... Rinjani! Apakah kau masih belum puas dengan dua jejaka yang kemarin menginap di kamar mu?" berkata kakek tua ini.

Wanita ini tersenyum lalu menjawab. "Mungkin yang ini agak memuaskan hatiku, Datuk!" Selesai menjawab. Rinjani segera melangkah cepat menuju ruangan dalam dengan melalui pintu di sisi kiri ruangan Keraton kuno itu. Akan tetapi suara si kakek berjubah hitam ini terdengar lagi.

"Tunggu! Tak kuizinkan kau memasuki ruangan itu dengan keadaan tubuhmu seperti itu. Apakah kau memang sengaja mau melanggar tata-susila di tempatku ini?"

Wanita baju hijau itu berandek menahan langkah, "Oh, maafkan aku datuk! Sekali aku tak berniat melanggarnya. Aku terlalu tergesa hingga lupa kalau aku tak boleh menggunakan ujud manusia memasuki ruangan Keraton."

Wanita itu cepat turunkan pemuda yang dipondongnya ke lantai. Selanjutnya dia telah merobah ujudnya menjadi seekor harimau belang. Tak lama harimau itu dengan cepat segera menyeret korbannya memasuki ruangan itu.

Kakek tua kurus berjubah hitam ini tersenyum manggut-manggut. Matanya menatap ke pintu ruangan dimana harimau belang jelmaan dari Rinjani itu lenyap. Bibir kakek tua-renta bergerak keluarkan suara desisan perlahan dari mulutnya.

"Hm, kuberi kau kepuasan hingga sampai saatnya aku memerlukan darah mu, Rinjani!"

Kakek jubah hitam ini bangkit berdiri dari tempat duduknya. Lalu melangkah keluar dari ruang pendopo Keraton. Di pintu pendopo dia memutar pandangannya ke sekitar halaman Keraton tua. Tampaknya di sekitar halaman Keraton kuno itu tak kelihatan apa-apa. Tapi sebenarnya puluhan ekor harimau jejadian simpang siur ditempat itu yang cuma bisa terlihat oleh pandangan mata batin.

"Heh! hari ini adalah hari ketiga dimana si Roro Centil menjanjikan akan datang kemari untuk memberi jawaban atas lamaranku! Sampai sore ini tak kelihatan batang hidungnya, apakah dia tak menepati janji!" gumam kakek yang disebut Datuk ini.

Baru saja si Datuk Siluman Setan Belang Selesai menggumam, terdengar suara tertawa dikejauhan. Suara tertawa seorang wanita yang nyaring merdu. Siapa lagi yang datang kalau bukan Roro Centil Dan sesaat manusianya sudah berdiri tegak tak jauh dari halaman pendopo Keraton kuno.

"Hihihi... hihi... sobat siluman tua Setan Belang! aku telah datang. Mengapa kau tak memberi sambutan atas kedatanganku?"

Suara Roro yang berkumandang merdu itu membuat para harimau jejadian jadi terkejut, dan serentak menampakkan diri. Roro Centil yang memang telah mengetahui adanya puluhan harimau jejadian ditempat itu dengan pandangan mata batinnya, tentu saja tak terkejut melihat puluhan harimau yang telah menampakkan diri.

"Hahahah... selamat datang nona Roro Centil. Silahkan masuk. Kau benar-benar seorang pendekar sejati yang menepat janjinya!" Datuk siluman Setan Belang segera menyambut dengan tertawa terbahakbahak.

Tiba-tiba tubuhnya lenyap sirna. Dan sekejap kemudian dia telah merubah dirinya menjadi seorang pemuda tampan yang berusia sekitar dua puluh tahun lebih. Lengannya terangkat memberi isyarat agar para anak buahnya segera menyingkir pergi. Harimauharimau jejadian itu sekejapan segera lenyap kembali. Bahkan segera menyingkir dari tempat itu menurutkan perintah sang Datuk.

Roro melangkah santai tanpa mengkhawatirkan sesuatu yang bisa mencelakakan dirinya oleh jebakan Datuk. Sesaat mereka sudah duduk berhadapan di ruangan itu. Di atas meja terbuat dari marmer terdapat sebuah pedupaan yang masih mengepulkan asap berbau harum.

"Tentu kedatangan nona Pendekar Roro Centil adalah dengan membawa kabar gembira, bukan?" memulai berkata si "pemuda" samaran Datuk Siluman Setan Belang. Roro tersenyum.

"Tentu saja, aku memang membawa khabar gembira, Datuk Muda. Kau membuat aku kagum dengan ketampanan wajahmu!" Roro memuji. Akan tetapi mata batinnya melihat wajah si Datuk yang tetap tua keriput dan jelek.

"Hahaha, sudah kukatakan, tak nantinya kalau kau takkan terpikat. Dengan menjadi permaisuri ku di keraton ku, kau dapat meminta apa saja. Bahkan merubah keraton ini menjadi Keraton Emaspun aku masih sanggup!" ujar sang Datuk. Wajahnya berseri-seri menandakan suka hatinya.

"Nah berikanlah jawabanmu, cah ayu..." Ujar Datuk muda Siluman Setan Belang itu dengan memandang Roro seperti tak berkedip. Bahkan beberapa kali si Datuk menelan air liurnya.

Roro Centil tersenyum, lalu jawabnya dengan suara datar. "Baiklah! Nah, dengarlah baik-baik, Datuk muda yang gagah. Aku bersedia menjadi permaisuri mu, akan tetapi bisakah kau memenuhi syaratnya?"

"Hm, syarat apakah yang akan kau berikan padaku?" Datuk siluman Setan Belang kerutkan keningnya. "Kalau syarat itu tidak terlalu berat, aku pasti sanggup memenuhinya!" ucapnya tandas.

"Baik! Syarat yang ku ajukan adalah syarat yang tidak terlalu berat. Kukira bagi manusia sakti seperti kau, tentu akan dapat mengerjakannya dengan mudah. Nah, syarat itu adalah..." Roro bangkit berdiri. "Mampukah kau masuk ke dalam bumbung bambu ini?" ujar Roro seraya keluarkan sebuah bumbung bambu sebesar lengan bayi dan meletakkannya di atas meja. Bumbung bambu itu panjangnya cuma sejengkal tangan orang dewasa.

Datuk Siluman Setan Belang menatap bumbung bambu itu dengan heran. "Apakah kau mau menguji kesaktianku?" berkata si Datuk.

"Boleh saja kau anggap demikian. Apakah kau tak sanggup?" ujar Roro dengan tersenyum seperti juga mengejek.

Tentu saja membuat si Datuk sakti ini tersenyum dan selanjutnya sudah mengumbar tertawanya berkakakan. "Kalau cuma itu, bagiku adalah soal yang kecil. Masuk ke lobang semut pun aku masih sanggup!" ucap Datuk Siluman Setan Belang.

Dan selesai berkata, tubuh Datuk Siluman Setan Belang berubah ujud menjadi segumpal asap putih tipis. Asap itu mengecil, lalu meluncur masuk ke dalam bumbung bambu yang berada di atas meja itu. Sesaat setelah asap itu lenyap di dalam bumbung bambu, tiba-tiba secepat kilat Roro Centil telah gerakkan tangannya untuk menyumbatnya dengan sumbat yang memang telah disediakan.

"Hihihi... Datuk muda yang gagah. Silahkan kau mendekam di dalam bumbung Bambu ini. Ternyata kau seorang yang sakti, tapi tolol!" Roro Centil tertawa mengikik geli. Selanjutnya dengan cepat dia sudah memasukkan bumbung bambu itu ke dalam saku bajunya. Akan tetapi saat itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh di belakang Roro.

"Heheheh... heheh... Kau memang cerdik, Roro Centil! Akan tetapi ketahuilah! aku lebih cerdik lagi. Kau kena dikelabuhi oleh ilmuku. Yang masuk ke dalam bumbung bambu itu cuma asap ciptaanku saja, sedangkan aku yang sesungguhnya masih tetap berada di luar bumbung bambu mu itu. Hahaha... heheheheheh..."

Ketika Roro balikkan tubuh segera terlihat si kakek berjubah hitam alias Datuk Siluman Setan Belang tengah berdiri tegak menyandar di tiang pendopo sambil mengakak tertawa. Tentu saja membuat Roro Centil melengak, tapi juga kagum akan kehebatan ilmu Datuk itu.

Tiba-tiba sang Datuk acungkan tongkatnya ke arah Roro. Segumpal asap hitam menyambar bergulung-gulung. Roro kibaskan rambutnya menghalau serbuan asap hitam yang timbulkan hawa dingin mencekam itu. Sementara bibirnya mendesis.

"Ilmu sihir hitam apakah yang akan digunakannya lagi?" Asap yang bergulung-gulung itu buyar. Akan tetapi tiba-tiba ratusan kelelawar segera memenuhi ruangan itu. Dengan suara bercicitan, makhluk-makhluk itu menyerbu Roro.

"Edan!? maki Roro Centil dengan terperangah. Namun tak ayal dia segera gunakan kibasan-kibasan rambutnya menghantam makhluk-makhluk itu. Sementara lengannya bergerak menghantam dengan pukulan Malaikat Gurun Pasir merambah iblis. Hebat akibatnya. Karena segera kelelawar-kelelawar ciptaan itu lenyap.

Akan tetapi asap lain tiba-tiba muncul mengelilingi Roro. Asap yang muncul ini berwarna biru, yang berubah bagaikan menjadi ribuan benang-benang sutera. Kali ini Roro Tak boleh main-main untuk menghadapi lawannya yang mempunyai ilmu sihir hitam luar biasa. Lagi-lagi pandangan mata Roro tertipu, karena menampak bayangan-bayangan tubuh si Datuk Siluman Setan Belang seperti menjadi berpuluh-puluh.

Roro tampaknya agak terpengaruh dengan pandangan mata batinnya. Justru karena si Datuk itu mengelabuhi pandangan mata batin Roro. Pandangan mata Roro jadi berkunang-kurang, karena dimana dia melihat pasti ada bayangan tubuh si Datuk. Bahkan disekeliling Roro terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh sang Datuk sakti itu.

LIMA

Sementara pertarungan Roro Centil dengan si Datuk Siluman Setan Belang tengah berlangsung seru, kita beralih dulu pada pemuda bernama Ginanjar, yang telah menjadi tawanan Rinjani. Harimau belang penjelmaan dari Rinjani itu terus menyeret tubuh pemuda lereng gunung rogojembangan memasuki sebuah kamar yang memang khusus kamar pribadinya. Dalam keadaan setengah sadar Ginanjar merasakan pakaiannya melorot satu persatu dari tubuhnya.

"Oh, dimanakah aku ini?" berkata hati Ginanjar. Dia merasa tubuhnya berbaring di atas kasur yang empuk. Diam-diam dia mengintip perlahan dengan membuka kelopak matanya sedikit. Segera dia tahu kalau dirinya berada disatu ruangan kamar yang bersih. "Kamar siapakah?" pikirnya dalam benak. Terkejut dia mengetahui kalau tubuhnya tak mengenakan pakaian lagi.

"Celaka, aku mau diperkosa..." tersentak pemuda itu, seraya gerakkan tubuh untuk melompat bangun. Akan tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat digerakkan Sadarlah dia kalau dia dalam keadaan tertotok.

"Kemana perginya perempuan sialan itu?" berdesis Ginanjar, seraya bentangkan kelopak matanya lebih lebar. Ternyata memang Rinjani yang menjelma menjadi seekor harimau belang itu tak berada di ruangan kamar itu. Kemanakah gerangan perginya Rinjani?

Ternyata setelah membuka pakaian pemuda itu dan segera akan melampiaskan keinginannya, dia mendengar suara orang bertempur di ruangan depan. Dengan kesal dia tinggalkan kamarnya untuk segera melihat apakah gerangan yang telah terjadi...

Demikianlah, hingga ketika tengah terjadi pertarungan Roro Centil dengan sang Datuk, diam-diam Rinjani telah menyaksikan jalannya pertarungan. Melihat sang Datuk berada di atas angin dalam pertarungan itu, Rinjani tersenyum.

"Hm, agaknya tak berapa lama lagi tentu Datuk akan menyudahi pertarungan. Entah siapa perempuan yang telah nekat menyatroni Keraton kuno ini" Rinjani seperti telah menduga akan kemenangan sang Datuk dalam pertarungan itu. Segera dia beringsut untuk segera kembali ke kamarnya.

Ginanjar cepat-cepat katupkan kelopak matanya ketika didengarnya derit pintu, seekor harimau memasuki ruangan kamar itu. "Hah...! Harimau..." tersentak Ginanjar ketika baru mengatupkan matanya. "Kemana gerangan gadis sialan itu? Apakah aku disekap di kamar ini untuk dijadikan santapan harimau?" pikir Ginanjar. Karena dia menyangka yang masuk adalah Rinjani. Ginanjar memang tak mengetahui kalau Rinjani telah merobah ujud menjadi seekor harimau.

"Celaka aku! Kalau begitu harimau yang mau menerkamnya di hutan tadi adalah kawannya sendiri. Dia cuma berpura-pura saja. Haiih Ginanjar! kau telah kena tipu mentah-mentah! Oh, nasib...! Entah bagaimana selanjutnya nasibku...?" berkata Ginanjar dalam hati dan menyesali kebodohannya. Akan tetapi diamdiam pemuda ini kerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk melepaskan diri dari pengaruh totokan. Yaitu dengan menyalurkan hawa murni ke sekujur persendian tubuhnya.

Sementara sang harimau belang itu telah mendekati ke tempat pembaringan dimana Ginanjar terlentang tanpa busana. Sang harimau menatap Ginanjar dengan mata jalang dan menyeringai. Hidungnya mengendus-endus tak ubahnya bagai harimau betulan. Terdengar suara menggeramnya perlahan. Ginanjar yang cuma bisa pasrah menanti apa yang akan terjadi itu cuma bisa mengintip dari celah pelupuk matanya.

Apakah yang dilihatnya sungguh membuat matanya mau dipentang lebar-lebar. Sementara keringat dingin telah mengembun di sekujur tubuh, jantungnya berdetak semakin cepat. Ternyata harimau telah melepaskan kulitnya. Kulit berbulu belang-belang itu seperti lenyap, dan sebagai gantinya didepan Ginanjar telah berdiri tegak seorang wanita yang tak lain dari Rinjani.

Wanita ini dalam keadaan telanjang bulat. Kulit tubuhnya yang putih. Payudara yang membuntal padi serta tatapan matanya yang mengandung berahi memandang Ginanjar bagaikan mau menelannya bulat-bulat. Pemuda ini seperti melihat didalam mimpi saja. Hatinya tersentak kaget.

"Jadi... jadi harimau itu adalah dia!" terperangah pemuda ini.

Akan tetapi sebelum Rinjani sempat melaksanakan maksudnya, tiba-tiba terdengar bentakan keras. Rinjani menjerit. Tubuhnya tiba-tiba terlempar dari atas pembaringan. Ternyata sesosok bayangan telah berkelebat masuk ke ruangan kamar itu dan dengan gerakan cepat sekali telah menyambar rambut Rinjani. Sekali sentak terlemparlah wanita cabul itu dari atas pembaringan.

Ginanjar cuma bisa membelalakkan matanya, ketika tahu-tahu siuran angin halus membuat dia terkejut juga bergirang karena segera merasakan pengaruh totokan ditubuhnya telah sirna. Tak ayal dia telah melompat bangun. Pertama-tama yang disambarnya adalah pakaiannya. Tentu saja tergesa-gesa Ginanjar mengenakannya kembali. Sementara Rinjani terkejut bukan buatan karena ketika akan melompat bangun mendadak dia merasakan tubuhnya menjadi kaku. Ternyata dia dalam keadaan tertotok.

Ginanjar tak sempat lagi melihat siapa yang telah menolongnya. Dia cuma menatap sekilas pada wanita cabul itu yang menggeletak terlentang dilantai kamar. Lalu tubuhnya telah berkelebat keluar dari ruangan kamar.

"He? kemana gerangan dia? Cepat sekali gerakannya. Aku tak sempat lagi melihat jelas apakah si penolongku itu laki-laki atau perempuan?" bertanyatanya hati Ginanjar. Akan tetapi begitu dia tiba di luar pintu kamar, terdengar suara dari balik tiang bangunan.

"Kak Nanjar...! Kuharap kau sudah rapi berpakaian. Sudah bolehkah kita bertatapan muka?"

Ginanjar menoleh. Sesosok tubuh berdiri membelakangi, menyender ditiang bangunan. Sosok tubuh berbaju serba putih dengan pakaian persilatan. Walau rambutnya dipotong pendek, tapi dari bentuk tubuh dan suaranya jelas seorang wanita.

"Ya... yyaa... aku sudah berpakaian!" sahut Ginanjar tergagap.

Diam-diam hatinya tersentak karena seperti mengenali suaranya. Sebutan "Kak Nanjar" itu amat hapal ditelinganya. Wanita pendekar yang membelakanginya itu jelas yang telah memberikan pertolongan barusan. Ketika wanita itu balikkan tubuh, segera mata Ginanjar terpentang lebar. Seongok senyum tampak dibibir dara baju putih berambut pendek itu. "Kasmini...? ka... kau...?"

"Benar kak Nanjar, aku Kasmini, gadis yang pernah kau tolong dari begundal-begundal pasar. Cucu dari orang kakek tua renta tanpa daksa yang mati di tangan begundal pasar. Kemudian aku kau bawa ke rumah paman angkatmu bernama Ronggo Alit di Kota Raja." berkata gadis baju putih itu dengan tersenyum.

"Ah, Kasmini..! Kau selalu mengingat-ingat masa yang telah lalu itu" ujar Ginanjar dengan garuk-garuk kepala. "Bukan hal itu yang aku tanyakan. Sekali melihatmu, aku sudah langsung ingat. Suaramu saja aku sudah mengenal tanpa harus melihatmu lagi. Tapi yang ku anehkan adalah sejak kapan kau belajar ilmu silat? Dan... dan mengapa kau bisa berada ditempat ini? Bagaimana dengan paman Ronggo Alit?"

Ginanjar langsung berikan beberapa pertanyaan. Sementara matanya menatap tak berkedip. Terasa aneh sekali, karena Ginanjar tahu kalau Kasmini adalah gadis yang tak berkepandaian ilmu silat sedikitpun. Kasmini memang pernah ditolongnya dari para begundal pasar pada beberapa tahun yang silam. Dia berhasil memulangkan Kasmini pada kakeknya yang telah tua dan dalam keadaan sakit.

Seorang kakek tua renta berkaki buntung yang tinggal direruntuhan gedung tua disudut pasar. Akan tetapi Ginanjar harus berhadapan dengan Empat Iblis Kali Progo. Dalam pertarungan itu Ginanjar telah dibantu oleh Roro Centil yang berhasil menewaskan keempat penjahat berkepandaian tinggi itu.

(Baca: Empat Iblis Kali Progo. Kisah pertama dari serial Roro Centil). Sebagaimana diceritakan, Kasmini dibawa oleh Ginanjar ke rumah tempat tinggalnya sementara sejak dia turun gunung dari lereng Rogojembangan. Kasmini menetap digedung Ronggo Alit, sahabat gurunya yaitu si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta. Sejak beberapa tahun yang lalu, Ginanjar meninggalkan tempat kediaman paman angkatnya, dan berpetualang mencari Roro.

Sungguh tak dinyana, kalau ditempat itu dia bisa berjumpa Kasmini. Gadis yang dipekerjakan oleh paman angkatnya sebagai pelayan di toko obat-obatan itu kini telah berilmu tinggi. Siapa yang telah memberikan ilmu kedigjayaan pada gadis ini? Apakah Ki Ronggo Alit? Ginanjar jadi terlongong memandang Kasmini yang telah pula membebaskan dia dari pengaruh totokan, menolongnya dari perbuatan bejat Rinjani si manusia harimau.

ENAM

Ditanya siapa yang telah mengajarinya ilmu kedigjayaan, Kasmini lagi-lagi tersenyum. "Hm, nantilah aku ceritakan. Marilah kita tinggalkan tempat ini!" Seraya berkata Kasmini mendahului berkelebat.

Ginanjar tak dapat buang waktu lagi untuk segera mengikutinya. Menyusuri jalan di sisi tembok Keraton kuno itu, mereka tiba di belakang bangunan tua itu.

"Nah! tempat ini kurasa cukup aman!" berkata Kasmini. Tubuhnya melesat ke atas sebuah batu besar, tepat berada dibawah sebatang pohon rindang. Mereka telah berlari-lari cepat selama sepenanak nasi, dan telah cukup jauh dari tempat pemukiman si Datuk Setan Belang. Ginanjar enjot tubuh untuk menyusul. Dengan gerak ringan kakinya menginjak batu.

"Rasanya aku sudah tak sabar mendengar ceritamu dik Kasmini. Kau kini telah banyak berubah. Di samping berilmu tinggi, juga tambah cantik" Berkata Ginanjar sekaligus memuji.

Dipuji cantik demikian Kasmini jadi tersipu. Wajahnya memerah. Siapa yang tak bahagia mendapat pujian dari orang yang selama ini telah merebut hatinya. Dan yang selama ini tengah dicarinya? Akan tetapi senyumnya yang tersipu itu mendadak jadi berubah tatkala tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh parau menyibak kelenganan di hutan itu.

"Heheheh... heheh... alangkah bahagianya kalian anak-anak muda. Main kejar-kejaran dan bercinta didalam hutan yang sunyi sungguh membuat aku jadi mengiri, yang bukannya mengiri lagi, akan tetapi rasanya aku ingin menjadi salah satu dari kalian. Heheheh... heheheh... hehe..."

Terperangah keduanya mendengar suara tanpa wujud itu. Ginanjar dan Kasmini saling pandang dengan keheranan karena melihat kesana-kemari tak melihat manusianya. Sementara Ginanjar merasa bulu tengkuknya mulai berdiri meremang. Kasmini memandang Ginanjar dengan perasaan khawatir. Hawa dingin terasa mulai mengembara ke sekitar tempat itu.

Kekhawatiran gadis semakin memuncak ketika melihat Ginanjar menatapkan matanya ke arah dengan seperti terkesima. Apakah yang telah dilihatnya? pikir Kasmini, karena dia sendiri tak melihat apa-apa. Kasmini yang mengkhawatirkan terjadi apa apa dengan pemuda yang dicintainya itu dengan gerakan secepat kilat telah menyambar lengannya. Seraya mengguncang-guncangkan beberapa kali.

"Kak Nanjar! kak Nanjar!? Ayo cepat kita pergi dari sini!" teriaknya dengan suara agak gemetar. Akan tetapi menatap pada wajah Ginanjar, gadis ini jadi terkejut heran. Karena justru Ginanjar tengah tertawa menyeringai menatap padanya. Sinar matanya terasa aneh. Sinar mata pemuda itu seperti telah berubah jalang. Begitu seram dan menakutkan, hingga membuat Kasmini jadi bergidik dan menyurut mundur, seraya lepaskan pegangan pada tangan pemuda itu.

"Kak Nanjar...!" ke... kenapakah ka... kau...?"

"Heheheheheh.. aku tidak kenapa-kenapa. Mengapa kau takut padaku, manis?" berkata Ginanjar. Akan tetapi suaranya telah berubah serak parau. Bahkan suara tertawanya mirip tertawa seorang kakek yang terkekeh-kekeh.

Tersentak gadis ini ketika dengan sebat sekali lengan pemuda itu telah menyambar untuk merangkul pinggang. Dalam terkejutnya Kasmini gerakkan tubuh dengan reflek untuk menghindar. Tapi sungguh di luar dugaan, karena tahu-tahu pinggangnya telah kena disambar.

Brreettt! Weekk...!

Terdengar suara kain yang sobek ketika sinar pelangi membersit dari arah sisi hutan, dan bagaikan selendang sutra tipis telah membelit tubuh Kasmini. Selanjutnya menariknya, hingga tubuh gadis itu meluncur terbetot dan terlepas dari rangkulan lengan Ginanjar.

Kasmini rasakan tubuhnya meluncur cepat sekali akan tetapi segera tertahan berhenti seperti menabrak segumpal kapas lembut. Ketika kakinya menjejak tanah dihadapannya telah berdiri seorang gadis cantik berbaju hijau. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil adanya.

Ginanjar belalakkan mata menatap sobekan baju Kasmini di tangannya. Sementara Kasmini melihat pada bajunya yang koyak dari sebatas pinggang hingga kedada. Lalu membelalak menatap pada Ginanjar dan Roro Centil hinggap di atas batu besar dibekas tempat berdiri Ginanjar. Ternyata seorang kakek berjubah putih yang berkaki buntung sebatas lutut. Dialah si Pendekar Gentayangan alias Ki Jagur Wedha. Atau lebih jelasnya lagi adalah guru dari Joko Sangit.

Sedangkan para pendatang lainnya yang bermunculan, tak lain dari para tokoh persilatan golongan putih. Diantaranya terdapat Ki Panunjang Jagat, Gembul Sora dan Ki Kutut Praja Setha, serta beberapa tokoh lain. Roro Centil memandang sekelilingnya. Sungguh dia tak menyangka kalau dalam waktu sekejapan saja ditempat itu telah bermunculan para tokoh Rimba Hijau golongan putih, yang beberapa orang dikenalnya.

Roro yang memang telah mengetahui siapa yang berada dalam tubuh Ginanjar, segera melompat tinggi dengan menyambar tubuh Kasmini. Sesaat dia telah berada dalam kelompok para pengepung itu.

"Sobat-sobat kaum tua Rimba Hijau golongan putih, sungguh aku Roro Centil merasa bergirang hati kalian telah berkumpul disini untuk mencegah perbuatan jahat sukma Kala Wrenggi! Akan tetapi kuharap anda semua tidak turun tangan. Serahkan urusan ini padaku. Karena dengan tindakan yang ceroboh, bisa-bisa korban berada dipihak kita" berkata Roro dengan suara berbisik.

Satu persatu para tokoh kaum tua golongan putih itu menoleh pada Roro. Ternyata Roro telah lakukan keahliannya mengirim suara yang masing-masing dari para tokoh tua itu berganti-ganti. Tahulah dia kalau gadis baju hijau ini telah menyelamatkannya dari tangan Ginanjar yang tiba-tiba berubah aneh. Ya! memang dia merasakan keanehan dari sikap Ginanjar. Suaranyapun telah berubah parau dan menyeramkan, mirip dengan suara tanpa wujud yang didengarnya tadi.

"Heheheheh... Kasmini! Mengapa kau ketakutan melihatku? Bukankah aku kak Nanjarmu? Dan kau, gadis baju hijau mengapa merebut kekasihku dari tanganku? Mengapa ikut campur urusan orang yang sedang bercintaan?" Berkata demikian Ginanjar telah melompat dengan gerakan seperti terbang, dan sekejap telah berdiri tegak dihadapan kedua dara cantik ini.

"Hm, siapa kau nona?" tanya Ginanjar pada Roro. Sinar matanya membersit tajam menatap pendekar wanita itu.

"Heh! Kala Wrenggi! Tinggalkan tubuh pemuda itu! Jangan kau mengacau ditempat ini!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Dan beberapa sosok tubuh berkelebatan mengurung pemuda bernama Ginanjar itu.

"Benar! Hentikanlah kekacauan yang kau lakukan. Kau telah terkepung!" terdengar lagi suara teriakan keras dari sosok tubuh terakhir yang muncul dengan kelebatkan tubuhnya. Dengan ringan sekali sosok tubuh itu telah mendengar bisikannya. Itulah ilmu mengirim suara yang amat luar biasa. Karena Roro telah mendemonstrasikan pengiriman suara yang dapat diterima oleh si pendengarnya lebih dari satu orang.

Pengiriman suara jarak jauh ini telah dibantu dengan saluran tenaga batin yang amat luar biasa, dan boleh dibilang amat langka. Hingga masing-masing yang mendengar segera menoleh pada Roro, lalu manggut-manggut.

Ki Panunjang Jagat melompat mendekati si Pendekar Gentayangan Ki Jagur Wedha, lalu berbisik. "Apakah anda mendengar bisikan gadis pendekar itu?"

"Ya! Dalam waktu bersamaan kita telah mendengar bisikan jarak jauh gadis pendekar Roro Centil yang cuma diucapkan satu kali. Bocah yang luar biasa!" bisik Ki Panunjang Jagat dengan kagum. Karena ketika berpandangan pada para tokoh lainnya, mereka semua sama menganggukkan kepala.

Saat itu Roro telah berkelebat lagi melompat ke hadapan Ginanjar. "Hm, Kala Wrenggi! Spa sih sebenarnya keinginanmu memasuki tubuh pemuda ini? Kau pura-pura tak mengenalku. Hihihi... apakah kau kira aku tak mengetahui kalau kau adalah si Kala Wrenggi?" berkata Roro dengan bertolak pinggang.

Melihat sikap Roro yang jumawa itu, Kala Wrenggi tertawa terkekeh-kekeh. "Heheheh... Siapa yang tak mengenalmu, Roro Centil? Bocah centil macam kau yang berilmu tinggi memang baru kujumpai sejak aku bangkit lagi dari kematian. Aku telah merasai kehebatan ilmu pukulan mu yang terasa panas. Akan tetapi kau keliru kalau kau menganggapku aku telah kalah! Aku memang merencanakan untuk mempersatukan tokoh-tokoh persilatan untuk menjadi budak-budakku. Kulihat kini telah berkumpul tokoh-tokoh tua kaum golongan putih. Hahahahaheheheh... bukankah amat kebetulan sekali?" ujar sukma Kala Wrenggi yang berada ditubuh Ginanjar.

Pemuda yang kemasukan roh Kala Wrenggi itu tertawa menyeringai. Lalu putar pandangan menatap pada jago-jago tua yang mengelilinginya. Roro tercenung sesaat. Diam-diam Roro berfikir untuk mengakali sukma Kala Wrenggi.

"Rencana yang bagus!" berkata Roro dengan suara berdesis yang dibisikkan ke telinga sukma Kala Wrenggi. "Apakah kau tak merencanakan untuk bekerja sama, sobat Kala Wrenggi? Rencana itu bagus sekali. Dari pada membunuh mereka, lebih baik memperalatnya. Ketahuilah, aku sebenarnya amat mencintai pemuda yang kau masuki tubuhnya itu. Akan tetapi ternyata dia malah mencintai gadis bernama Kasmini itu. Walau sebenarnya kau yang berada didalam tubuh pemuda ini tapi aku tak penasaran. Pemuda yang kau masuki tubuhnya itu bernama Ginanjar. Aku akan melupakan permusuhan kita asalkan kau mau bekerja sama. Yang penting Ginanjar tetap bersamaku walau dalam tubuhnya hakekatnya adalah kau si Kala Wrenggi..." Bisikan Roro yang hanya ditujukan pada sukma Kala Wrenggi tak seorangpun diantara jago-jago tua golongan putih itu yang mendengarnya.

Sejenak "Ginanjar" tampak termanggu. Akan tetapi tiba-tiba perdengarkan suara tertawa bergelak terkekeh-kekeh hingga tanah serasa bergetar karenanya. "Bagus! aku setuju dengan pendapatmu, nona centil. Agaknya kita sudah dijodohkan untuk bertemu dan bersahabat." bisik sukma Kala Wrenggi. "Bagaimana rencanamu selanjutnya?"

"Hihihi... tentu saja segera kita tinggalkan tempat ini. Aku ingin sekali mengetahui tempat jasadmu di pulau yang baru lahir itu di wilayah Tenggara. Apakah tak sebaiknya kita kesana?" ujar Roro dengan bisikan ajaibnya.

Sejenak sukma Kala Wrenggi tak menyahut seperti tengah berpikir. Tapi tak lama kemudian terdengar lagi suaranya tertawa terkekeh menyibak keheningan yang mencekam. Sementara para tokoh tua kaum putih itu cuma saling berpandangan satu sama lain. Tak mengerti mengapa Roro sebentar-sebentar tertawa dan tersenyum, demikian pula Ginanjar yang dimasuki sukma Kala Wrenggi itu.

Memang beberapa hari kemudian sejak terjadinya peristiwa yang menimpa dua perguruan besar di wilayah itu, para tokoh tua kaum golongan putih yang telah bersatu ini telah mencium jejak cahaya merah yang segera diketahui adalah sukma Kala Wrenggi. Entah apa yang dibisikkan sukma kala Wrenggi pada Roro para tokoh kaum golongan putih itu tak mengetahui. Selesai tertawa terkekeh-kekeh "Ginanjar" berkata keras dengan suara parau.

"Heh! kalian orang-orang tua jompo harap bersabarlah untuk segera menjadi budak-budakku!" kemudian kembali tertawa sekali lagi. Dan selanjutnya sekali gerakkan tubuh, "Ginanjar" melesat ke udara. Gerakan kilat itu membuat para jago tua itu terperangah, termasuk Kasmini. Mereka cuma melihat berkelebatnya bayangan putih yang membersih ke udara. Selanjutnya tubuh Ginanjar telah lenyap bagaikan terhembus angin.

"Jangan biarkan dia kabur! Kejaaar!" teriak Ki Jagur Wedha. Tubuhnya sudah melompat tinggi untuk mengejar. Akan tetapi satu bayangan hijau segera menyusul. Tak lama dua bayangan putih dan hijau kembali meluncur turun. Ternyata Roro yang mencegahnya. Dara perkasa Pantai Selatan ini berkata,

"Maafkan aku kakek. Kukira dalam waktu sementara ini sukma Kala Wrenggi tak akan mengganggu. Aku akan segera menyusulnya ke Tenggara."

Pendekar tua kaki buntung ini yang pernah ditolong Roro dalam kisah: "Misteri Sepasang Pedang Siluman", cuma bisa terpaku memandang Roro. "Jadi kau si bocah centil diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan sukma si Kala Wrenggi edan itu?" bertanya Ki Jagur Wedha.

"Benar, kakek..." sahut Roro dengan tersenyum.

Semua jadi membelalak memandang pada Roro Centil. Akan tetapi pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan menggeledek. "Bocah sialan! jangan harap kau dapat lolos dari tanganku!"

Wuukkkk...!

Tanah menyemburat tepat dibawah kaki kedua tokoh persilatan yang usianya berbeda jauh itu. Akan tetapi kedua tokoh kita dari pihak golongan putih ini telah melesat lebih dulu dari tempat itu. Sesaat tampak dengan bergandengan tangan, Roro dan Ki Jagur Wedha baru saja "hinggap" di atas batu besar. Tepat di sisi Ki Panunjang Jagat. Si kakek bertubuh jangkung ini menghela napas lega.

TUJUH

Semua mata segera menatap pada sosok tubuh yang telah berdiri tegak di hadapan mereka. Kiranya yang barusan menyerang adalah si Datuk alias si Siluman Setan Belang. Bagaimana hingga sampai si kakek Datuk dari para harimau jejadian itu bisa sampai ke tempat ini? Juga Roro? Marilah kita ikuti kisah di belakang.

Saat pertarungan tengah berlangsung seru di dalam ruangan Keraton Kuno tempat bercokolnya si Datuk Siluman Setan Belang, seperti diceritakan Ginanjar nyaris "diperkosa" oleh Rinjani si manusia harimau jejadian. Akan tetapi muncul Kasmini yang menolong Ginanjar. Sementara itu pertarungan Roro dengan sang Datuk semakin seru. Roro tampaknya terdesak oleh ilmu-ilmu si Datuk yang dapat merubah tubuhnya menjadi banyak.

Sedangkan upaya Roro mengakali si Datuk untuk memasuki bumbung bambu ternyata menemui kegagalan. Karena si Datuk Siluman Setan Belang ternyata masih berada di luar bumbung. Yang menjelma menjadi asap putih tipis dan memasuki bumbung bambu itu cuma ilmu sihirannya belaka. Roro terjerat dalam benang-benang sutera ciptaan sang Datuk. Tampaknya sebentar lagi dapat dipastikan oleh si Datuk bahwa Roro akan berhasil jadi tawanannya.

Saat Roro tengah sibuk menghalau benang-benang sutera ciptaan itu, si kakek berhidung melesak ini berkelebat seraya menaburkan serbuk halus berwarna putih yang berbau harum. Serbuk ini menghalangi pandangan mata Roro. Tampak tubuh dara perkasa Pantai Selatan ini terhuyung. Belum lagi tubuhnya roboh karena hidungnya telah mengendus bau harum yang dapat membuat orang tak sadarkan diri, lengan sang Datuk telah bergerak menyambarnya.

"Hehehehehe... hahaha. cah ayu, ternyata tak begitu sukar menawan mu" berkata Datuk Siluman Setan Belang dengan tertawa terkekeh. Dipanggulnya tubuh Roro yang tak berkutik untuk dibawa masuk ke ruangan kamarnya.

Tubuhnya yang tampaknya telah lemah lunglai tanpa tenaga itu dibaringkan di peraduan. Kembali dia tertawa mengekeh. Sementara sepasang matanya menjalari lekuk-liku tubuh korbannya. Sepasang matanya membinar-binar menimbulkan hawa birahi. Beberapa kali lengannya menyibak, maka tubuh sang dara perkasa yang cantik jelita itu telah dalam keadaan tanpa busana.

Dengus napaspun mulai terdengar mengembara di sekitar ruangan kamar sang Datuk. Sekejap dia sudah lorotkan jubahnya. Gemetar lengan tua itu ketika menjamah kulit pipi sang korban yang bagaikan seorang dewi tengah tertidur pulas.

"Ohh... cantiknya kau cah ayu..." menggeletar suara sang Datuk.

Perlahan-lahan direbahkan tubuhnya menindih tubuh Roro. Akan tetapi tiba-tiba kakek tua ini berteriak tertahan. Seketika tubuhnya terlompat dari pembaringannya bagaikan dipagut ular. Sepasang matanya membelalak menatap sosok tubuh yang tergolek di pembaringan itu. Datuk tua ini mengucak-ngucak matanya seperti tak percaya, karena apa yang dilihatnya adalah sebongkah batu terbujur di peraduannya.

"Gila! Setan alas! Dedemit...! Mengapa bisa begini????" Memaki-maki sang Datuk Siluman Setan Belang dengan wajah merah padam. "Aku telah tertipu mentah-mentah!" mendesis si kakek dengan kesal. Segera disambar jubahnya. Dan sekali lengannya bergerak, hancurlah batu itu berikut berderak hancur peraduannya. Selang sesaat dia telah berkelebat keluar dari ruangan kamar.

Ternyata yang ditujunya adalah kamar Rinjani, setelah berteriak-teriak memanggil anak buahnya agar mencari jejak Roro Centil yang tak ketahuan kemana lenyapnya. Didapati Rinjani terlentang di lantai kamar dalam keadaan telanjang bulat. Akibatnya marahnya, justru Rinjanilah yang jadi korban.

Sekali lengannya bergerak, tubuh Rinjani yang dalam keadaan tertotok itu terlempar membentur dinding kamar. Tak terdengar jeritannya lagi. Karena nyawanya langsung melayang seiring dengan hancurnya tulang-tulang tubuh wanita cabul itu dengan suara yang berkelotakan. Darah menyemburat ke setiap penjuru. Dan sang Datuk telah melompat keluar dari ruangan kamar dengan, kemarahan yang membludak. Melihat di sekeliling tempat itu berkumpul lebih dari lima orang kakek si Datuk Siluman Setan Belang mendengus.

"Heh! ada apakah kalian sobat-sobat berada di wilayah ku ini?" berkata demikian kembali dia memandang pada Roro Centil yang tersenyum-senyum melihat si Datuk yang mendelikkan mata ke arah dia.

"Kau bocah sialan, jangan harapkan dirimu bisa berlindung di ketiak kakek-kakek moyangmu! huh! awas kau bocah centil! Kau telah mengelabuiku mentah-mentah. Tapi suatu saat aku akan buktikan ucapanku untuk menawanmu hidup-hidup!"

"Persoalan apakah gerangan antara kau dengan nona Pendekar Roro Centil sahabatku ini, sobat? Apakah kau dapat memberi penjelasan?" Ki Kutut Praja Setha yang sejak tadi berdiri saja sambil berpeluk tangan ajukan pertanyaan.

"Maaf, aku tak dapat menjawab pertanyaan itu. Dan aku tak mau lain orang mencampuri urusanku!" sahut sang Datuk dengan ketus. Selesai berkata si Datuk ini balikkan tubuh, dan melompat pergi dari situ.

"Heeei! sobat tua! Sungguh sombong benar kau! Sebutkan dulu siapa nama dan gelarmu biar aku tak penasaran!" teriak Ki Gembul Sona membentak. Tubuhnya berkelebatan menyusul. Lengan kakek yang berjulukan si Belut Putih ini menjulur jubah si Datuk.

Akan tetapi saat itu berdesir puluhan jarum dari ujung tongkat Siluman Setan Belang. Kalau saja Ki Gembul Sona tak memiliki kelincahan, sudah dapat dipastikan bahaya maut mengancam jiwanya. Untunglah dengan gerakan gesit dia miringkan tubuh. Lengan jubahnya yang lebar menghantam jarum-jarum maut itu hingga buyar. Namun ketika dia jejakkan kakinya ke tanah, si kakek jubah hitam itu lenyap. Lapat-lapat terdengar suara tertawanya terkekeh.

"Hehehe... hahaha... nama gelarku adalah si Datuk Siluman Setan Belang! Harap kau jangan coba-coba urusan denganku!"

Ketika semua mata memandang ke arah Gembul Sona dan ke arah tempat berkelebat lenyapnya sosok tubuh Si Datuk Siluman Setan Belang, saat itu Roro telah berkelebat cepat sekali meninggalkan tempat itu. Para tokoh tua kaum putih itu cuma bisa gelengkan kepala mengetahui Roro Centil sudah berlalu meninggalkan mereka tanpa permisi lagi.

* * * * * * *

DELAPAN

RORO CENTIL telah jejakkan kakinya di satu kota bernama Bolulawang. Dalam perjalanannya ke wilayah Tenggara ini ternyata Roro tak begitu tergesagesa. Kota Bolulawang tak seberapa besar. Melangkah lebih jauh memasuki tengah kota, Roro menampak keganjilan di dalam kota ini. Karena warung-warung, penginapan dan toko-toko tak nampak ada yang buka. Semuanya tutup. Orang-orang yang lalu-lalangpun terlihat sepi.

"Aneh! ada apakah yang terjadi?" pikir Roro.

Di ujung jalan Roro melihat seorang laki-laki tua yang baru saja mengangkat papan terakhir untuk menutup penginapannya. "Heh! Kebetulan. Aku bisa tanyakan pada orang itu!" desis Roro tersenyum.

Laki-laki tua ini adalah pelayan penginapan itu yang kerjanya agak lambat. Sementara dari dalam terdengar suara sang majikan yang memerintahkan si pelayan agar secepatnya masuk dan mengunci pintu. Ketika tahu-tahu...

"Paman...! Maaf, aku mengganggu. Boleh aku numpang beristirahat di sini?"

Terkejut laki-laki pelayan mengetahui seorang. gadis entah dari mana munculnya tahu-tahu telah berada disampingnya. "Oh, ma... maaf noo... nona. Hari ini kami tak menerima tamu..." tergagap pelayan itu menyahut.

"Mengapa?" tanya Roro.

Akan tetapi belum lagi sang pelayan itu menyahuti telah terdengar suara bentakan dari dalam. "Cepat masuk! tunggu apa lagi kau Bejo? Apa kau mau mampus siang-siang?"

Tentu saja membuat pelayan tua ini tak ayal lagi segera melompat masuk tanpa pedulikan Roro lagi, dan... Bruk! Dia telah tutup pintu penginapan dan sekaligus menguncinya dengan palang pintu.

"Aneh!?" menggumam Roro. Dia jadi terlongong di muka pintu. "Mengapa tampaknya orang begitu ketakutan?" Roro putar pandangan ke sekeliling tempat. "Hm, benar-benar tak ada manusia yang berani unjukan diri. Apakah ada iblis yang mengincar nyawa hingga semua penduduk kota ketakutan menyembunyikan diri?" pikir Roro dalam benak.

Sementara itu di balik pintu penginapan terdengar suara bisik-bisik. "Sssst! siapa orang yang mau menginap tadi? Seperti kudengar suara perempuan?"

Suara yang terdengar agak berat itu adalah suara si pemilik penginapan. "Seorang gadis, Ndoro..."

"Cantik?"

"Wah! coantiik sekali Ndoro. Dia mau menumpang beristirahat, katanya tadi. Tapi Ndoro sudah memanggilku agar cepat-cepat masuk dan menutup pintu," menyahut sang pelayan dengan suara berbisik pula.

"Hm... apa dia masih ada di luar?"

"Entahlah, Ndoro..."

"Coba kau periksa!" perintah sang majikan.

"Baik, Ndoro. Apa disuruh masuk sekalian?" bertanya sang pelayan bernama Bejo itu.

"Pakai tanya, ya maksudku begitu! Kasihan kan gadis secantik gitu kalau mau beristirahat masakan bisa ku tolak?"

Bisik-bisik itupun berakhir. Dan terdengar suara palang pintu dibuka dari dalam. Kepala si pelayan tersembul di pintu. Matanya jelalatan mencari Roro. Akan tetapi dia tak menampak adanya gadis tadi berada di depan pintu. Dia melangkah agak lebih jauh dan memandang ke sekeliling. Tak nampak bayangan seorang manusiapun

"Ada, Jo... ?" terdengar suara agak keras dari dalam.

"Ti... tidak, Ndoro...! dia sudah pergi" menyahut Bejo.

"Huuuuh! sudahlah, ayo cepat kau masuk dan kunci pintu lagi!"

Akan tetapi belum lagi Bejo melangkah, tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak-bahak, diiringi katakata keras.

"Hahahahha... haha... perutku lapar begini, semua warung tak ada yang buka. He! aku mau makan di warung mu, apa kau ada persediaan makanan?"

Tentu saja si pelayan tua bernama Bejo itu jadi gelagapan, karena tahu-tahu pundaknya telah dicengkeram orang. Ketika dia balikkan tubuh, seorang laki-laki kekar berambut gondrong telah berada di situ. Menatap padanya dengan sorot mata seram.

Laki-laki ini berwajah penuh brewok. Bajunya terbuat dari karung goni. Sebelah lengan bajunya yang panjang dibiarkan menggantung seperti tak berlengan. Ternyata laki-laki brewok ini memang berlengan satu. Jelas terlihat tangan yang sebuah lagi telah kutung sebatas pangkal lengan. Di punggungnya terikat sebuah buntalan.

"Oh, hari ini kami tak punya persediaan makanan. Harap maafkan..." menyahut si pelayan.

"Apakah kau berkata betul? Kalau ku geledah ternyata ada makanan, apakah kau mau bertaruh dengan kepala mu sebagai taruhannya?" bentak si brewok.

"Ampun, Raden...! Sebenarnya ada, tapi hari ini kami tak bisa menerima tetamu, karena... karena..." Tergagap si pelayan mendengar gertakan laki-laki brewok itu.

"Bagus! Hayo, antar aku masuk!" berkata si brewok.

Belum lagi si pelayan mengangguk, tahu-tahu tubuhnya serasa terbang. Dan sekejap kemudian telah berada di dalam penginapan. Nyaris bertubrukan dengan si pemilik penginapan yang mau melongok keluar melihat apa yang terjadi. Laki-laki gemuk ini belalakkan mata memandang pada si laki-laki berewok yang telah masuk ke dalam penginapan.

"Ndoro, tet.. tetamu ini mau..." berkata si pelayan dengan gugup. Namun kata-katanya segera dipotong oleh si brewok.

"Ya! Perutku lapar. Aku mau makan. Apa bisa kalian sediakan aku makan?"

"A... ada..! Bejo! segera kau siapkan makanan untuk tuan ini!" perintah si pemilik penginapan, yang memang juga membuka restoran. "Tu... tutup pintu itu dulu!" perintahnya lagi pada Bejo.

"Baik! baik, Ndoro..." Bejo cepat bergegas menutup pintu dan memalangnya sekaligus.

"Ada apakah? tampaknya kalian seperti ketakutan. Kulihat semua orang menutup pintu rumah makan dan tokonya rapat-rapat." berkata si laki-laki brewok.

Si pemilik penginapan menatap wajah laki-laki brewok itu...! Sekali melihat sudah dapat menduga kalau laki-laki itu adalah orang baik-baik. Walaupun berwajah penuh cambang-bauk tetapi jelas laki-laki itu punya penampilan gagah. Dan di balik brewoknya menampakkan ketampanan wajahnya.

"Boleh aku mengetahui siapa nama Anda? Aku Singo Wulung pemilik penginapan dan rumah makan ini." berkata si pemilik penginapan.

"Hahaha... aku tak punya nama. Tapi baiklah kau panggil aku si Brewok Lengan Tunggal..."

Mendengar nama itu, Singo Wulung jadi tersenyum manggut-manggut. Segera dia memaklumi kalau berhadapan dengan seorang tokoh Rimba Hijau. "Baiklah sobat Brewok, sebenarnya...." segera Singo Wulung menceritakan secara singkat apa yang telah terjadi.

"Laki-laki tua jubah hitam itu memondong seorang gadis yang tak pernah lepas dari pundaknya. Dia dalam keadaan tidak waras!" Singo Wulung mengakhiri penuturannya.

"Gila! dia telah lakukan pembunuhan pada beberapa orang penduduk?" tanya si brewok.

"Benar, sobat brewok...!" menyahut Singo Wulung.

Sementara itu di luar pintu penginapan sesosok tubuh baru saja menjelma. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Dara perkasa ini memang sejak tadi berada di tempat itu. Ternyata Roro telah mempergunakan aji Halimunan, hingga tubuhnya tak nampak oleh mata biasa. Kemunculan si Brewok Lengan Tunggal juga telah diketahui Roro, termasuk percakapan dari balik pintu penginapan.

Yang membuat Roro terkejut bukanlah tentang si manusia laki-laki jubah hitam yang menyebar maut di kota itu. Akan tetapi kemunculan si lakilaki brewok, yang segera dikenalnya adalah Joko Sangit. Terpana mata Roro memandang ke pintu penginapan, seolah mata itu berhasil menembus papan pintu.

"Joko... ah, Joko Sangit! Apa yang terjadi denganmu? Siapakah manusianya yang telah memutuskan tanganmu itu?" berbisik Roro dalam hati. Akan tetapi Roro tak dapat berpikir lebih jauh, karena pada saat itu terdengar suara jeritan orang dari arah ujung jalan. Tak ayal, Roro segera gerakkan tubuhnya untuk melesat ke sana.

SEMBILAN

APAKAH yang terjadi di ujung jalan kota sunyi itu? Ternyata seorang laki-laki tua berjubah tengah dikepung oleh belasan orang. Para mengepung itu tak lain dari para prajurit Kadipaten. Dua orang telah roboh terjungkal dengan jerit mengerikan. Sebelas pengeroyoknya melompat mundur.

Sangat mengerikan, karena sekejap kedua tubuh tamtama itu telah berubah hijau. Keris berluk tujuh di tangan laki-laki tinggi besar jubah hitam itu pancarkan sinar hijau. itulah keris Kyai Nogo Ijo. Ternyata laki-laki tua itu tak lain dari KI Bogota adanya.

"Hoahaha... haha... hayo majulah kalian semua kutu kutu Kadipaten. Kyai Nogo Ijo akan menghirup darah kalian semua! hahaha... haha..." tertawa berkakakan Ki Bogota. Wajahnya memerah bagai kepiting direbus. Sebelah tangannya mencekal keris, dan sebelah lagi memanggul tubuh seorang gadis di pundaknya.

Tersentak Roro ketika mengenali gadis itu adalah Ranfu Wangi. Tiga orang perwira saat itu telah menerjang dari arah kanan. Pedang dan golok berkelebatan. Mereka adalah tiga orang perwira kelas satu dari pengawal Adipati Bolulawang. Khawatir mengenal gadis yang dalam pondongan laki-laki gila itu, mereka menerjang dengan hati-hati. Dua orang menabas kaki. Sedangkan yang seorang lagi menabas lengan.

Akan tetapi Ki Bogota dengan tertawa terbahak segera melompat. Kerisnya digunakan menangkis serangan lawan yang mengarah pangkal lengan.

Trang..! Wutt! Wuttt...!

Dua jeritan kembali terdengar. Dua dari perwira Kadipaten itu terlempar dengan perut robek. Ternyata dengan kecepatan kilat Ki Bogota telah lemparkan tubuh gadis yang dipondongnya ke udara. Di detik itu dia berkelebat menyarangkan kerisnya di perut kedua lawan. Sementara tangkisan tadi telah membuat pedang lawan tertabas putus.

Luar biasa memang keris Kyai Nogo Ijo itu. Tapi juga luar biasa gerakan tubuh Ki Bogota. Karena saat dua tubuh lawannya terlempar, dia telah siap kembali menyangga tubuh gadis itu untuk dipondongnya. Akan tetapi belum sempat lengan Ki Bogota menyentuh tubuh gadis itu satu bayangan telah menerjang.

Buk...! Ki Bogota terjungkal berguling-guling. Terperanjat laki-laki tua ini, ketika melompat berdiri sesosok tubuh berambut panjang telah berdiri di hadapannya dengan memanggul tubuh gadis itu.

Roro yang belum mengambil tindakan apa-apa tersentak kaget, karena segera mengenali siapa dia. tubuh barusan tak lain dari Joko Sangit alias si Brewok Lengan Tunggal.

"Manusia gila! Kau mampuslah!" membentak si brewok.

Wukkk! Blarrrr...!

Semua mata membelalak menatap dengan mulut ternganga. Karena sukar untuk diduga ketika laki-laki brewok itu gerakan lengannya, tahu-tahu terdengar ledakan dahsyat. Seiring ledakan itu, mereka melihat tubuh Ki Bogota telah menjadi serpihan-serpihan yang melambung di udara. Bercampur dengan menyemburatnya tanah dan batu.

Ketika debu menipis, tampak potongan-potongan tubuh laki-laki tua bekas ketua Partai Lereng Merapi itu yang sudah tak berbentuk lagi. Ketika mereka memandang pada si brewok, ternyata orangnya sudah lenyap entah kemana...

Roro cuma melihat berkelebatnya bayangan ke arah utara. Tak ayal lagi Roro segera mengejar. Sementara sembilan tamtama Kadipaten itu cuma bisa terperangah dengan mulut ternganga tanpa ucapkan sepatah kata. Berdiri terpaku memandang tubuh manusia edan yang telah membunuhi penduduk dan menewaskan beberapa tamtama itu.

Dalam keadaan demikian, tanpa seorangpun yang melihat. Sepotong lengan yaitu potongan lengan Ki Bogota yang masih erat mencekal keris Kyai Nogo Ijo yang menggeletak di balik bongkah-bongkah batu, tiba-tiba bergerak hidup. Potongan lengan yang menggeletak di balik bongkah-bongkah batu itu melayang ke udara. Fantastis sekali, karena tiba-tiba potongan lengan itu meluncur ke arah para tamtama itu. Sinar hijau berkelebat, dan....

Terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan membelah udara. Kesembilan tamtama Kadipaten itu roboh satu persatu hampir berbareng. Darah memercik menyiram tanah. Karena dada dan leher mereka telah terkoyak keris maut Kyai Nogo Ijo.

Sekejap saja sembilan tubuh itu telah roboh dengan nyawa masing-masing lepas dari tubuhnya. Kejap berikutnya sinar hijau telah berkelebat membelah udara meluncur pesat menuju ke arah utara. Seperti menyusul kedua bayangan yang telah lebih dulu melesat dari tempat itu...

* * * * * * *

RORO CENTIL berkelebat mengejar bayangan tubuh si Brewok yang sudah dapat dipastikan adalah Joko Sangit. Mana Roro bisa melupakan wajah laki-laki yang telah membuat dia jatuh hati itu? Roro sendiri tak mengetahui mengapa dia bisa jatuh hati pada bekas berandal itu. Apakah karena kebaikan hatinya, ataukah karena Joko Sangit memang berwajah tampan?

Akan tetapi Roro mengetahui banyak laki-laki seperti Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok, atau Raja Muda tanah Melayu, Ginanjar dan banyak lagi yang lainnya. Namun justru Roro lebih tertarik pada Joko Sangit. Dia tak dapat mengelabui isi hatinya untuk mencintai laki-laki itu.

Joko Sangit memang sudah dapat dikatakan seorang laki-laki yang amat mudah jatuh ke tangan wanita. Tapi Roro yakin kalau kelakuan tidak baik itu bisa dihilangkan. Semua itu karena Joko Sangit seorang laki-laki yang kurang kuat iman. Apakah rasa cintanya itu timbul karena rasa kasihan pada laki-laki Itu? Entahlah...

Ketika pada beberapa tahun yang lalu Ki Jagur Wedha guru Joko Sangit bergurau akan mengambil menantu padanya, Roro cuma tersipu dengan wajah berubah merah. Biasanya Roro tak ambil peduli dengan setiap laki-laki. Karena Roro memang masih mau hidup menyendiri, bebas dari ikatan suami istri.

Yah, memang jiwa kependekaran Roro lebih tampak menonjol. Roro memang lebih mementingkan urusan kependekaran ketimbang urusan pribadi. Tapi sebagai manusia Roro tak mampu menolak apa yang namanya "Cinta". Walau Roro sendiri tak mengetahui apakah dia jatuh cinta, apakah cuma rasa kasihan pada laki-laki itu.

Yang jelas, Roro tengah mengejarnya dengan hati trenyuh tak menentu. Karena setelah lama tak pernah berjumpa, Roro melihat laki-laki brewok itu muncul dengan ilmu yang tinggi. Akan tetapi Joko Sangit telah kehilangan sebelah lengannya. Dan berjulukan si Brewok Lengan Tunggal.

Saat itu senja hampir merambah malam. Cuaca tidak lagi terang benderang. Matahari hampir redup. Beberapa saat lagi akan lenyap terhalang pegunungan. Gerakan Roro memang agak lambat, karena Roro di samping memikirkan keadaan Joko Sangit, juga memikirkan Ginanjar yang gua garbanya kemasukan sukma Kala Wrenggi.

Dua orang laki-laki muda yang sama-sama mencintai dirinya itu telah muncul. Yang seorang adalah masih saudara seperguruannya sendiri, yaitu Ginanjar. Sedang Joko Sangit masih ada pertalian hubungan antara guru Joko Sangit dengan gurunya, yaitu si Manusia Aneh Pantai Selatan. Namun Roro telah kehilangan jejak ketika mengejar Joko Sangit.

Mendadak cahaya hijau membersit di atas kepalanya. "Hahaha... heheh... Roro Centil! Untuk apa kau mengejar dia? Bukankah kau mau ke Tenggara?"

Terkejut Roro melihat sepotong lengan yang mencekal sebuah Keris bersinar hijau bisa berkata-kata. Nada suara tertawa dan kata-kata itu membuat Roro segera mengetahui dengan cepat. Namun membuat Roro jadi terperanjat, karena dia tahu potongan lengan itu adalah potongan lengan manusia edan yang tubuhnya mengalami kehancuran akibat benda peledak yang dilakukan Joko Sangit alias si Brewok.

"Kala Wrenggi...!?" sentak Roro dengan mata terbelalak. Sekejap dia sudah hentikan langkahnya. Menengadah menatap pada potongan lengan yang mencekal keris hijau berlumuran darah.

"Benar, aku sukma Kala Wrenggi! Segera hentikan pengejaranmu, dan ikut aku ke Tenggara!" menyahut sukma Kala Wrenggi dengan suara seram.

"Mengapa kau masuk ke dalam lengan kutung itu? Di mana kau tinggalkan tubuh Ginanjar?" bertanya Roro dengan heran. Akan tetapi diam-diam dia bergirang, karena sukma Kala Wrenggi telah keluar dari gua garba Ginanjar. "Bagus!" pikir Roro; "Aku akan berupaya agar dia tak memasuki lagi tubuh si tolol itu ..! Akan tetapi aku terpaksa harus tetap ke Tenggara. Walau sampai saat ini aku tak tahu bagaimana caranya melenyapkan manusia iblis pantang mati ini!"

Roro yang memang telah bertekad untuk menghancurkan kebatilan, telah menempuh jalan dengan caranya sendiri. Tanpa memikirkan resiko lagi, gadis berwatak aneh ini memang mempunyai keberanian yang luar biasa. Entah, apakah dia mampu melenyapkan manusia iblis pantang mati itu? Kita ikuti saja jalan ceritanya.

"Bocah laki-laki itu telah kubunuh mampus!" menyahut sukma Kala Wrenggi.

"Hah!?" tersentak Roro. Keringat dingin mengucur di dahinya. Sejenak dia terhenyak mendengar katakata itu. "Mengapa kau lakukan itu? mengapaaa!?" suara Roro melengking tajam hingga berpantulan di sekitar tempat itu. "Kau... kau dasar iblis! Mengapa tak kau tepati janjimu?" Gemuruh dada Roro karena terkejutnya.

"Hohoho... hehehe... dia masih hidup. Aku hanya menakut-nakuti mu!" tertawa mengekeh sukma Kala Wrenggi.

"Benarkah demikian?" tanya Roro lirih. Sementara matanya menatap lengan kutung yang mencekal keris bersinar hijau itu tak berkedip.

"Percayalah! Aku tak berdusta. Aku hanya menakut-nakuti kau. Dari sikapmu itu aku mengetahui kalau kau memang benar-benar mencintai dia!"

Roro tersenyum. Sementara diam-diam dia menarik napas lega. "Ya! aku memang mencintainya. Tapi pemuda sombong itu lebih memperhatikan gadis bernama Kasmini ketimbang aku..." sahut Roro berdusta.

Diam-diam Roro mulai mencari akal untuk membujuk sukma Kala Wrenggi agar tak memasuki lagi gua garba Ginanjar. Tapi Roro harus melihat bukti dulu bahwa Ginanjar masih hidup.

SEPULUH

SEMENTARA terjadi percakapan Roro dengan sukma Kala Wrenggi, telah didengar oleh sesosok tubuh di balik semak belukar. Sepasang matanya yang bersinar tajam menatap dengan aneh pada Roro dan sepotong lengan yang mencekal keris bersinar hijau itu.

"Sukma Kala Wrenggi?" berdesis pelahan laki-laki itu yang tak lain dari si brewok alias Joko Sangit.

Tubuh Randu Sari yang tak sadarkan diri dibaringkan tak jauh dari tempat dia bersembunyi. Sementara dia sendiri mendengarkan percakapan itu dengan serius, dengan hati berdebar. Karena Joko Sangit segera meraba lengan kiri yang telah kutung. Lengan yang putus itu telah ditabasnya atas permintaan Roro untuk membuktikan cintanya pada dara perkasa Pantai Selatan itu, Joko Sangit telah nekad memutuskan lengannya sendiri.

Betapa marahnya Joko Sangit ketika ternyata Roro telah menipunya. Dalam keadaan menderita Joko Sangit menggelepar kesakitan dengan luka pada lengannya yang putus, hingga dengan kemarahan menggelegak, dia menerjang Roro. Joko Sangit yang dalam keadaan mabuk itu akhirnya tergelincir jatuh ke dalam jurang yang dalamnya susah diukur.

Agaknya nasib baik masih melindungi dia, hingga masih berumur panjang. Seorang kakek tua renta telah menolongnya. Dialah seorang tokoh persilatan dari Negeri Sakura, bernama Matsui. Peruntungan Joko Sangit justru amat baik. Kakek Matsui memang bertujuan mencari Roro Centil untuk mewariskan sebuah Kitab Pusaka. Kitab Pusaka itu berisi ilmu-ilmu persilatan yang bernama Ninja.

Kakek Matsui yang pernah berhutang budi pada Roro Centil telah mengarungi lautan untuk menyerahkan Kitab Pusaka Ninja itu pada dia. Joko Sangit mengambil kesempatan baik itu, untuk membantu Matsui menyampaikan Kitab Pusaka itu pada Roro. Tokoh Negeri Sakura itu percaya pada Joko Sangit yang memberitahukan bahwa dia adalah sahabat baik Roro Centil.

Demikianlah. Hingga kemudian Joko Sangit sendirilah yang mempelajari ilmu NINJA itu. Joko Sangit memang berniat tak akan memberikan Kitab Pusaka Ninja itu pada Roro. Joko Sangit yang bekas si pemuja Roro Dentil itu telah salah menyangka. Karena sebenarnya yang melakukan perbuatan jahat menipunya itu adalah Giri Mayang.

Wanita yang amat mendendam pada Roro Centil. Dengan menggunakan Ilmu Malih Rupa, Giri Mayang telah menyaru Roro Centil. Bahkan dengan perbuatannya itu, Roro pernah dituduh sebagai seorang wanita Pendekar berakhlak bejat. Dan banyak melakukan perbuatan-perbuatan tercela.

Joko Sangit yang tak mengetahui kalau Roro tengah mengakali sukma Kala Wrenggi, terkejut mendengar Roro mengatakan bahwa dia amat mencintai pemuda bernama Ginanjar. Dia memang mengenal Ginanjar, yang diketahuinya adalah seorang pemuda yang masih saudara seperguruan Roro. Seperti diketahui Roro pernah menjadi murid Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti. Dan Ginanjar adalah murid Ki Bayu Sheta atau si Pendekar Bayangan, yang punya hubungan antara mereka adalah menantu dan mertua.

(baca: Kisah pertama Roro Centil, berjudul; Empat Iblis Kali Progo). Roro sendiri masih terhitung murid Ki Bayu Sheta, karena kakek tua bekas pejuang dari kaum Partai Pengemis yang berjulukan si Pendekar Bayangan itu menurunkan pula ilmu-ilmu kepandaiannya pada Roro.

Seketika wajah Joko Sangit berubah merah padam. Dadanya bergetar. "Pantas dia menipuku! ternyata diam-diam dia telah mencintai si bocah ingusan itu...!" berdesis Joko Sangit dengan geram.

Namun di samping geram karena cemburunya, juga sakit hati pada Roro yang telah memperdayai dia, Joko Sangit tak habis pikir melihat kejadian di depan matanya. Jelas lengan yang putus dan masih memegang keris itu adalah lengan manusia gila yang telah dihabisi nyawanya dengan ledakan peluru maut.

Di samping heran dia juga terkejut mengetahui lengan kutung yang bisa bicara itu adalah karena dimasuki sukma Kala Wrenggi. "Siapakah Kala Wrenggi itu? Sukmanya bisa gentayangan dan dapat masuk ke tubuh manusia atau kemana saja yang disukainya?" berpikir Joko Sangit dalam benak dengan 1001 pertanyaan.

Sementara sukma Kala Wrenggi telah mulai buka suara lagi. "Heh Bocah Centil, apakah kau mau aku memasuki lagi tubuh pemuda bernama Ginanjar itu lagi?"

Roro Centil merasa mendapat peluang dengan adanya pertanyaan itu. Segera dia menjawab. "Kurasa tidak perlu" sahut Roro. "Masih banyak pemuda gagah lainnya yang bisa menawan hatiku. Tapi aku lebih menyukai kau Kala Wrenggi. Selain sakti mandraguna kau juga seorang manusia yang pantang mati. Aku amat tertarik padamu. Kalau tak keberatan ingin sekali aku melihat jasadmu di pantai Tenggara..." rayu Roro dengan tersenyum manis.

Mendengar jawaban Roro Centil sukma Kala Wrenggi tertawa terbahak-bahak. "Hahaha... hehehe... lucu! sungguh lucu sekali. Kalau gadis secantik dan sehebatmu sampai tak dicintai oleh pemuda bernama Ginanjar itu saja sudah suatu hal yang tak mungkin. Kini kau katakan bahwa kau menyenangi aku yang jasadnya saja belum pernah kau lihat. Bagaimana kalau jasadku itu cuma sesosok tulang kerangka?"

Tersentak Roro mendengar kata-kata sukma Kala Wrenggi. "Edan! apakah roh manusia setan ini bisa menerka isi hatiku?" bertanya Roro dalam hati. Namun walaupun demikian Roro tetap mengumbar senyum. "Aku tak perduli apakah jasadmu cuma sesosok kerangka atau segumpal daging busuk. Yang jelas aku ingin sekali melihat jasadmu. Bukankah punya suami manusia aneh yang sakti seperti kau banyak sekali keuntungannya? Kau bisa berpindah pada jasad siapa saja. Dan kau tak akan pernah tua. Juga tak kan pernah mati. Nah aku merasa pilihanku tidak meleset!" ucap Roro dengan tegas.

Karuan saja Joko Sangit yang mendengarkan pembicaraan Roro jadi belalakkan matanya seperti tak percaya. "Jadi si Kala Wrenggi ini adalah manusia setan yang pantang mati? Gila Edan! si Roro juga edan! Dunia Ini memang benar-benar sudah edan!" memaki Joko Sangit kalang-kabut dalam hati.

Sementara sukma Kala Wrenggi mulai bicara lagi setelah perdengarkan tertawanya yang terkekeh-kekeh. "Bagus! bagus! baiklah! aku tak keberatan dengan keinginanmu itu. Sebaiknya kita berangkat sekarang ke Tenggara!"

"Tunggu!" berkata Roro. "Bolehkah aku mengetahui mana adanya pemuda bernama Ginanjar itu kini?" bertanya Roro.

"Hm, segera akan kutunjukkan! Apakah yang akan kau lakukan? Kalau kau sudah tak menyukainya, aku akan segera membunuhnya mampus saja sekalian, seperti sembilan nyawa para tamtama tadi!"

"He? kau telah membunuh sisa-sisa tamtama Kadipaten itu?" terhenyak Roro dengan terkejut. Matanya membelalak menatap lengan kutung yang mencekal keris bersinar hijau itu, yang menggantung di udara.

"Hehehe... siapa berhak melarang kemauanku?" menyahut sukma Kala Wrenggi.

"Benar! benar, siapa yang berhak melarang kemauanmu?" timpal Roro. Dia memang tak dapat berbuat apa-apa selain menelan ludah yang terasa menyangkut di tenggorokan.

"Tidak! kau tak perlu membunuh pemuda itu. Kalau sudah kuketahui dia masih hidup, kita langsung berangkat ke Tenggara. Kelak aku punya cara sendiri untuk melakukan apa yang akan kulakukan pada pemuda sombong yang angkuh itu!" berkata Roro.

"Kalau begitu segera kutunjukkan di mana dia."

"Tunggu! Aku tak bisa jalan bersama sepotong lengan yang mengerikan seperti itu. Apakah..." Roro berpikir sejurus,

"Hehehe... apakah kau punya usul bagus?"

"Ya, apakah tak sebaiknya kau masuk saja ke dalam cincinku?" ujar Roro seraya mengangkat lengannya dan mengembangkan jemari tangannya. Pada jari manis Roro melekat sebentuk cincin berbatu Merah Delima. Cincin warisan dari gurunya si Manusia Banci, yang tak pernah lepas melingkar di jari manis Roro.

"Bagus! aku sepenuju dengan usulmu!" sahut sukma Kala Wrenggi. "Dan keris ini kukira aku tak memerlukannya!" berkata sukma Kala Wrenggi. Selesai berkata, tiba-tiba lengan kutung itu bergerak mengibas. Jari-jari tangannya mengembang. Dan... meluncurlah keris bersinar hijau itu menembus semak belukar.

Terperanjat Joko Sangit. Keringat dingin merembes di tengkuknya. Keris maut itu nyaris menembus lehernya. Benda itu menancap tepat di dahan kayu semak belukar tempat dia bersembunyi. Ketika dia memandang ke arah Roro. Ternyata Roro Centil baru saja berkelebat meninggalkan tempat itu. Dia cuma bisa melihat punggung dara Pantai Selatan itu sesaat sebelum lenyap.

"Edan! benar-benar manusia sudah pada edan!" memaki si brewok seraya melompat berdiri. Tak ada niat Joko Sangit untuk menyusul. Segera dia berpaling memandang pada Randu Wangi yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Terdengar helaan napas laki-laki ini. Akan tetapi tersentak dia ketika melihat semak belukar dihadapannya telah menjadi layu. Jelas terlihat semak yang layu itu adalah yang dahannya tertancap keris bersinar hijau itu.

"Keris beracun!?" sentak Joko Sangit dengan membelalak. Dan lagi-lagi di tengkuknya merembes keringat dingin. "Edan...!" makinya.

Joko Sangit julurkan lengannya mencabut keris itu, lalu mengamatinya. Tampak cairan darah yang belum mengering di badan keris itu. Akan tetapi Joko Sangit bukan memperhatikan bekas-bekas darah itu, melainkan ukiran berbentuk seekor Naga yang terdapat di badan keris. Ukiran Naga itu tergambar sama di kedua belah badan keris itu.

"Ini pasti sebuah keris Pusaka..." gumam laki-laki brewok ini dengan kerutkan keningnya. "Entah siapa manusia gila yang sudah mampus itu. Aku tak mengenalinya. Dan aku memang tak perlu mengetahuinya lagi, karena toh orangnya sudah mampus!" gerutu si brewok. Tiba-tiba laki-laki ini balikkan tubuhnya dengan cepat, ketika merasakan ada syiuran angin halus di belakangnya.

"Berikan benda itu padaku, sobat muda...! Kukira benda itu tak berguna buat anda!"

Joko Sangit pentang matanya lebih lebar. Seorang kakek berjubah putih, kepalanya terbungkus lilitan kain yang juga berwarna putih. Seuntai tasbih kuning tergantung di lehernya. Pada sebelah lengan kakek itu tercekal sebuah pedang yang masih terbungkus serangkanya. Kakek yang berjenggot dan berkumis tipis ini memandang pada Joko Sangit dengan tersenyum. Suaranya seperti mengandung wibawa.

"Siapakah anda...?" bertanya Joko Sangit yang menatap dengan terpaku.

"Haiiihi namaku sudah hampir tak diingat orang. Sebenarnya aku enggan menyebutkannya, tapi tak apalah. Kulihat watakmu baik walau kelihatannya kau seorang kasar. Baiklah aku akan memberitahukannya padamu..." menyahut si kakek. "Sebenarnya aku seorang pertapa dari gunung Sumbing. Namaku Sujiwo. Tapi aku digelari orang dengan julukan si Pertapa Tasbih Kuning..." ujar si kakek sambil tersenyum. "Tapi belakangan orang menyebutku Kyai Sumbing."

Joko Sangit manggut-manggut mendengar penjelasan orang tua itu. “Terima kasih atas pemberitahuan nama dan gelar anda. Aku sendiri bernama Joko Sangit." laki-laki brewok itu perkenalkan dirinya seraya menjura hormat pada kakek tua yang ramah itu. "Boleh aku tahu, apakah hubungan anda dengan keris ini?" bertanya Joko Sangit.

"Bukan saja dengan keris itu, akan tetapi juga dengan gadis yang kau tolong itu aku memang ada hubungannya." sahut Kyai Sumbing sambil lengannya menunjuk pada Randu Wangi yang juga masih belum sadarkan diri.

"Oh, ya...?" terkejut Joko Sangit.

"Gadis itu bernama Randu Wangi" ujar Kyai Sumbing. "Dia adalah anak seorang Empu yang bernama Santri Bubulen. Santri Bubulen adalah masih terhitung keponakanku. Dan gurunya adalah sahabatku sendiri yang bernama Kyai Nogo Ijo..."

Joko Sangit manggutmanggut. "Lalu hubungan apakah anda dengan keris ini?" potong Joko Sangit.

"Keris itu menjadi tanggung jawabku untuk memusnahkannya. Benda bercahaya itu adalah ciptaan Santri Bubulen keponakanku itu, atas pesanan orang yang bernama Bogota. Manusia bernama Bogota itu telah menyandra anak gadisnya yang bernama Randu Wangi selama belasan tahun karena menginginkan keris pusaka yang dimiliki Santri Bubulen.

"Santri Bubulen memang memiliki sebuah keris pusaka dari gurunya yang bernama Kyai Nogo Ijo. Nama keris itu memang serupa dengan nama si pemiliknya. Santri Bubulen yang tak mau memberikan pusaka warisan gurunya pada Bogota, telah mengatakan bahwa keris pusaka itu telah hilang. Tapi dia sanggup membuat keris yang serupa dengan keris Kyai Nogo Ijo jika Bogota menginginkan.

"Santri Bubulen memang seorang ahli membuat keris dan boleh disebut sebagai seorang Empu. Tapi dikatakan oleh Santri Bubulen bahwa pembuatannya akan memakan waktu lama hingga mencapai belasan tahun. Karena Bogota menginginkan mutunya yang sama dengan keris Kyai Nogo Ijo yang asli. Tujuan Santri Bubulen adalah agar Bogota membatalkan maksudnya memiliki keris itu.

"Tak dinyana manusia itu malah menyandera anak Santri Bubulen. Dia akan mengembalikan anak itu kelak sebatas waktu Santri Bubulen menjanjikan selesainya pembuatan keris tiruan Kyai Nogo Ijo. Tak terkira sedih dan menyesalnya Santri Bubulen. Dengan dendam yang tersemat di dada dia membuat keris tiruan Kyai Nogo Ijo dan menunggu waktu sampai Bogota mengembalikan anak gadisnya sambil menjemput keris.

"Akan tetapi Santri Bubulen telah merendam keris ciptaannya itu dengan racun yang amat ganas. Tujuannya adalah bila anaknya sudah kembali, dia akan membunuh Bogota dengan keris pesanannya sendiri. Tak dinyana ketika Bogota muncul, justru tak membawa anak gadisnya.

"Namun tekad Santri Bubulen telah bulat untuk membunuh Bogota. Tapi ternyata justru Santri Bubulenlah yang terbunuh oleh keris tiruan Kyai Nogo Ijo itu di tangan Bogota.." tutur Kyai Sumbing.

"Sayang aku tak mengetahui peristiwa penyanderaan itu sejak awal. Karena Santri Bubulen merahasiakannya!" sejenak orang tua itu termenung dan menghela napas.

* * * * * * *

JOKO SANGIT duduk termenung di akar pohon. Malam telah merayapi sekitar perbukitan itu. Laki-laki brewok ini seperti tenggelam dalam lamunannya dalam keheningan yang membisu. Sepotong bulan tampak mengambang di atas awan menyinari Mayapada dengan cahaya yang tak begitu terang. Joko Sangit memang tengah tenggelam dalam lamunan mengingat pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini.

Baru muncul lagi setelah menyembunyikan diri untuk mempelajari kitab Ninja. Joko Sangit telah membunuh orang. Dan orang itu adalah seorang Ketua Partai Besar yang bernama Partai Lereng Merapi, menurut penuturan Kyai Sumbing. Kyai Sumbing memang tengah mengejar manusia gila bernama Bogota itu, dan berhasil merampas Pedang Pusaka di tangan bekas Ketua Lereng Merapi itu.

Dari penuturan Kyai Sumbing, Bogota ternyata bukanlah orang yang berhak menduduki jabatan Ketua di partai Lereng Merapi yang sudah terpecah belah. Perbuatannya banyak yang menyalahi peraturan-peraturan partai itu.

Kabar yang mengejutkan Joko Sangit adalah bahwa kemunculan sukma Kala Wrenggi telah membuat kehancuran Partai Lereng Merapi dan sebuah perguruan lain dengan membantai habis orang-orangnya.

Randu Wangi gadis yang telah ditolongnya itu ternyata telah ternoda oleh manusia bernama Bogota. Gadis yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri itu akan dibawa oleh Kyai Sumbing untuk dipertemukan dengan ibunya yang masih hidup. Joko Sangit tak dapat menghalangi.

Setelah memberikan keris tiruan Kyai Nogo Ijo, Joko Sangit segera mohon diri untuk pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Kyai Sumbing pun segera berangkat pergi dengan membawa Randu Wangi.

Terdengar laki-laki brewok itu menghela napas. Dia belum punya tujuan untuk ke mana dia langkahkan kakinya. Namun kemunculan Roro dan sukma Kala Wrenggi membuat dia seperti tak dapat tenangkan hati. Entah mengapa tampaknya dia seperti mengkhawatirkan keselamatan Roro, ataukah memang ingin tahu apa yang terjadi di Tenggara, karena Roro dan sukma Kala Wrenggi tengah menuju kesana.

"Kukira sebaiknya aku menyusul ke Tenggara..." gumam laki-laki kekar ini, seperti mengambil keputusan. "Aku tak dapat mengetahui apakah aku bisa menjumpai dia atau tidak, karena aku tak tahu ke mana mereka pergi. Tapi dengan perjalanan ini kukira mungkin akan menambah pengalamanku di wilayah Tenggara...!" demikian keputusan Joko Sangit.

Sesaat dia sudah bangkit berdiri. Kepalanya menengadah menatap bulan sepotong di atas kepala. "Bagus! sekalian aku mencari penginapan di kota. Sudah lama aku tak mencicipi arak. hahaha..." Joko Sangit tertawa kecil lalu tubuhnya berkelebat dari atas bukit itu. Sekejap kemudian sudah tak nampak lagi bayangan tubuhnya.

* * * * * * *

SEBELAS

Malam semakin melarut, ketika sesosok tubuh berindap-indap mendekati sebuah rumah panggung di sisi kota. Di luar cahaya bulan masih cukup menerangi sekitar tempat itu walaupun cahayanya remang-remang. Tetapi berbeda dengan keadaan di dalam rumah panggung itu, karena dari luar tak menampak ada cahaya pelita. Terhuyung sosok tubuh itu yang semakin mendekati rumah panggung.

"Rumah siapakah gerangan?" terdengar suara sosok tubuh itu bergumam. "Perutku lapar... Apakah yang punya rumah bisa memberikan sedikit nasi untuk menangsal perutku?" gumamnya lirih. Tampaknya laki-laki itu amat menderita sekali seperti sudah beberapa hari tak bertemu makanan. Siapakah gerangan dia? Ternyata tak lain dari Ginanjar adanya.

Pemuda ini memang dalam keadaan bingung karena ketika sukma Kala Wrenggi meninggalkan gua garbanya, Ginanjar tak mengetahui dia berada di mana. Apalagi cuaca telah berubah gelap dengan pergantian siang menjadi malam. Dalam keadaan bingung karena tahu-tahu di hadapannya tak ada lagi gadis bernama Kasmini yang dikagumi kehebatannya dan telah menyelamatkan dirinya dari perbuatan mesum Rinjani.

Seingatnya dia mendengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh dan bersuara parau yang tanpa kelihatan ujudnya. Selanjutnya sudah tak tahu apa-apa lagi. Tentu saja Ginanjar tak menyadari kalau sukma Kala Wrenggi telah memasuki gua garbanya dan tubuhnya ke mana saja tanpa dia tahu ke arah mana dia pergi. Bahkan perbuatan apa yang telah dilakukannya dia tak mengetahui.

Baru saja dia mau melangkah masuk, dari dalam rumah yang gelap itu terdengar suara tertawa mengikik. Tersentak Ginanjar bukan kepalang. Sebuah bayangan putih tahu-tahu tersembul di pintu rumah dengan rambut putih yang beriapan menakutkan.

Dan yang membuat Ginanjar seperti copot nyalinya adalah muka sosok tubuh itu amat mengerikan. Sepasang mata yang besar dengan mulut yang menampakkan taring di kedua sisi bibir. Hidungnya melesak serta mempunyai kerut-kerut wajah bagaikan kera.

"Huah!? sse... set... setaaaan!" sentaknya kaget. Suara tertawa makhluk itu semakin menjadi-jadi ketika Ginanjar lari pontang panting dengan terhuyung-huyung jatuh bangun seraya berteriak-teriak.

"Tolooong! tolooong...! Kun... kun... kuntilanaaaak!" Sesaat sosok tubuh Ginanjar telah lenyap di kegelapan malam.

"Hahahaha... haha... dasar bocah ingusan yang masih bau kencur! Bocah macam kau baiknya tinggal saja di dapur, atau menyusu pada ibumu!" berkata makhluk itu.

Tiba-tiba lengannya bergerak. Rambut kepala dijambret terlepas. Kulit mukanya juga terkelupas. Ternyata hanya sebuah topeng serta rambut palsu belaka. Cahaya rembulan cukup menerangi wajahnya. Ternyata si brewok, alias Joko Sangit.

Entah bagaimana sampai laki-laki brewok itu bisa sampai di tempat itu. Sembunyi di dalam pondok dan menakut-nakuti Ginanjar hingga lari pontang-panting ketakutan. Joko Sangit tarik buntalannya di punggung. Lalu dengan cepat telah benahi alat-alatnya untuk kembali dibuntal. Dan sekejap kemudian buntalan itu telah disangkutkan kembali di punggungnya.

"Hm, perutku sudah kenyang menyikat makanan dalam rumah ini. Aku akan teruskan perjalanan ke kota..." berkata sendiri Joko Sangit. Selanjutnya dengan beberapa kali lompatan, beberapa kejap kemudian sosok tubuh lak-laki brewok itu telah lenyap di kegelapan malam.

* * * * * * *

PULAU terpencil di tengah laut itu masih terhalang kabut. Tak ada sebuah perahupun yang nampak di dekat situ. Akan tetapi dalam keremangan pagi yang masih dinihari, tampak sebuah bayangan berkelebatan di atas ombak. Bila diamati orang tak akan percaya kalau sosok tubuh itu adalah manusia biasa. Karena satu hal yang tak mungkin bagi pemikiran orang biasa, kalau ada manusia bisa berlari-lari di atas air seperti menginjak tanah saja.

Sosok tubuh semampai itu memang manusia biasa, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dialah Roro Centil, alias si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tampak senjata Roro si Rantai Genit yang mirip mainan itu tergantung terayun-ayun di pinggangnya.

"Di arah sebelah manakah pulau tempat jasadmu itu, sobat Kala Wrenggi?" terdengar suara Roro seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Hehehehe... teruslah ke arah depan, sesaat  lagi kau akan melihatnya." terdengar suara sahutan tanpa terlihat ujudnya.

"Aiiiiih, aku sudah tak sabar untuk melihat jasadmu!" ujar Roro seraya menatap pada cincin di jari manisnya. Dari dalam cincin itulah terdengarnya suara menyahut tadi.

"Hehehehe... sabarlah! Tak lama lagi kau akan melihatnya!" menyahut sukma Kala Wrenggi.

Ketika Kabut mulai melenyap Roro Centil sudah jejakkan kaki di pulau yang baru lahir itu. Itulah pulau yang menyembul dari dasar laut. Pulau baru yang menjadi tempat tenggelamnya jasad Kala Wrenggi dari atas permukaan laut, ketika tubuhnya dilemparkan dalam keadaan terbelenggu oleh musuh-musuhnya.

Roro memandang berkeliling dengan takjub. Karang-karang yang bertonjolan di sekitar pulau itu seperti mempunyai keindahan tersendiri. Akan tetapi juga seperti menimbulkan kesan menyeramkan. Pulau yang terlihat seperti mati tanpa penghuni. Bahkan tak nampak seekor burung camarpun yang mendekati pulau itu. Bau amis mengembara di mana-mana. Bangkai-bangkai ikan yang membusuk seperti menyesakkan pernapasan. Hal itu di sadari Roro ketika kakinya mulai melangkah lebih jauh memasuki pulau itu.

"Di mana dapat kutemukan jasadmu, Kala Wrenggi?" Roro bertanya lagi. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit. Sementara benaknya terus memikir, akan menggunakan cara bagaimanakah dia untuk melenyapkan manusia Iblis yang pantang mati itu? Roro tak mendengar sahutan suara sukma Kala Wrenggi.

"He? Kala Wrenggi apakah kau masih berada di dalam cincin ku?" sentak Roro terheran. Ditatapnya cincin berbatu Merah Delima yang melingkar di jari manis. Tetap tak ada sahutan.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di hadapannya. Batu karang yang menonjol setinggi tiga kali tubuh manusia depannya telah runtuh. Karang-karang berlumut meluruk bergelundungan. Roro belalakkan matanya. Sementara dia sudah pasang panca indranya untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Matanya semakin membelalak lebar, ketika sesosok tubuh muncul di antara celah-celah batu karang yang bertimbunan.

Sosok tubuh yang mengerikan. Karena persis mayat hidup. Sosok tubuh yang sekujur tubuhnya penuh dengan lumut, dalam keadaan telanjang bulat. Lumut-lumut itu menutupi aurat dan sekujur tubuhnya. Wajahnya menampilkan wajah seorang kakek tua yang berusia 70 tahun lebih. Tulang-tulang rusuknya tampak menonjol.

Rambutnya hampir menyerupai lumut yang hijau. Sepasang matanya cekung ke dalam, dengan sorot mata memerah bagaikan api. Tangan dan kakinya terbelenggu oleh rantai yang baru saja putus. Inilah jasad Kala Wrenggi. Jasad yang telah terkubur di dasar laut selama dua puluh tahun.

Roro terperangah memandang. Tak terasa kakinya melangkah mundur. "Owh? betapa mengerikan..." berdesis suara dara Pantai Selatan ini, "Inikah jasad Kala Wrenggi?" sentaknya dengan mata membelalak.

"Hehehehe... hoho... Roro Centil! Jangan terkejut! Akulah Kala Wrenggi yang telah menyatu lagi dengan sukmanya! Kau telah datang di pulau gersang ini untuk mengantar Kematian!" Makhluk berlumut itu tertawa seram, mengumbar kata-kata.

Roro kembali mundur dua tindak. Jantungnya berdetak keras. "Inilah agaknya yang bakal terjadi...?" desisnya tersentak. Roro memang tak menduga kalau justru Kala Wrenggi akan bersikap demikian mendadak. Namun lambat atau cepat toh dia memang harus mengalami pertarungan maut. Karena dia telah bertekad untuk menumpas manusia iblis yang bakal membawa bencana dan sudah menyebar maut itu!

Sampai saat ini Roro belum tahu akan mempergunakan cara bagaimana untuk memusnahkan manusia yang pantang mati itu. Agaknya waktu untuk berpikir sudah tak ada lagi. Karena tiba-tiba di sekeliling Roro telah bersembulan kobaran api. Terperanjat Roro melihat dalam sekejap saja dia telah terkurung oleh kobaran api yang menghalangi pandangan matanya ke sekitar pulau.

"Hah!? Edan! Dia memang benar-benar mau membuat aku terkubur di pulau ini tanpa jasad" gumam Roro dengan mata membelalak.

"Hoahaha... hahahaha... Roro Centil! Hari ini akan kau rasakan kematian! Kau takkan dapat menipuku, atau mengakali aku. Juga membunuhku! Tak ada lagi jalan keluar bagimu, karena api neraka ini akan membakar tubuhmu sampai luluh!" Kala Wrenggi gerakkan tubuhnya seperti terbang. Dan...

Whuukkk...! Lengannya bergerak menghantam Roro. Dari telapak tangan Kala Wrenggi keluar cahaya merah yang mengeluarkan hawa panas seperti lahar.

Blarrr...! Gemuruh terdengar suara ledakan. Batu karang itu seperti luluh mencair terkena sinar merah. Akan tetapi Roro telah melambung ke atas sejarak 10 tombak. Kakinya hinggap di atas batu karang lainnya. Wajah Roro tampak berubah tegang. Tiada lagi rasanya pertarungan dahsyat yang dialaminya selain melawan manusia iblis pantang mati ini. Akan mampukah Roro membunuh Kala Wrenggi si manusia iblis ini? Ikuti saja pertarungannya.

Roro telah gunakan tenaga dalam Inti Es untuk melindungi tubuhnya dari hawa panas luar biasa. Hingga tampak keringat membasahi sekujur tubuhnya. Inilah saat penentuan mati dan hidup Roro. Sementara itu api berkobar-kobar mengitari seluruh pulau.

Kala Wrenggi keluarkan suara menggeram menyeramkan. Kembali manusia setan itu menerjang Roro. Sepasang lengannya terpentang menyambar dibarengi meluncurnya tubuh Kala Wrenggi bagaikan terbang. Roro telah waspada dan bertekad akan menempur manusia iblis itu mati-matian. Dengan membentak nyaring Roro telah gunakan jurus pukulannya.

Blarrr! Blarrrr...!

Cahaya perak dan pelangi berkelebatan menyambar. Roro yang sudah bertekad menghancurkan manusia iblis itu telah menghantamnya dengan pukulanpukulan saktinya, yaitu jurus pukulan warisan Muri Asih. Tubuh Kala Wrenggi lenyap terbungkus sinar pelangi yang berkelebatan di udara.

Roro segera gunakan mata batinnya untuk mengetahui ke mana lenyapnya tubuh Kala Wrenggi. Sementara api semakin berkobar dan kian menyempit mengurung Roro. Tenaga Inti Esnya mulai mengendur. Dan Roro mulai rasakan hawa panas yang menyengat kulit.

"Celaka...!" tersentak Roro. Segera dia gunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk menambah tenaga Inti Esnya. Cepat-cepat dia silangkan tangan didepan dada seperti sikap orang yang bersemadi. Sepasang matanya terpejam. Sekejap tubuh dara perkasa Pantai Selatan itu seperti dipenuhi butir-butir salju. Mengembun dan keluarkan hawa dingin luar biasa.

Whusss...! Buk!

Menjerit Roro Centil ketika merasai tubuhnya terlempar. Satu hantaman pukulan serasa membuat isi tubuhnya serasa remuk. Tapi Roro belum hilang kesadarannya. Sebelum tubuhnya terbanting ke batu karang dan tertambus api, dia gunakan hantaman ke bumi. itulah jurus "Kosongkan Perut Menahan Lapar".

Tubuh Roro melambung ke udara setinggi dua puluh tombak. Dan mengambang di udara. Tampak Kala Wrenggi tengah menengadah ke atas. Sepasang matanya memancarkan sinar merah yang menyala.

Blarrr...! Terdengar ledakan dahsyat. Apakah yang terjadi? Cahaya merah itu membalik menghantam ke arah penyerangnya. Ledakan dahsyat itu telah membuat kejadian mengerikan. Karena tampak batok kepala Kala Wrenggi hancur lumat terhantam sinar merah.

Melihat keberhasilan pukulannya, Roro bersorak girang dalam hati. Dan dengan dibarengi melesatnya tubuh Roro bagaikan anak panah, Roro segera gunakan pukulan-pukulan "Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis" dengan bertubi-tubi. Ledakan-ledakan dahsyat terdengar beberapa kali. Tak menampak lagi adanya tubuh Kala Wrenggi, karena telah hancur lumat menjadi abu.

Saat itu langit tampak berubah kehitaman. Angin bersyiur keras. Cahaya petir menyambar-nyambar di angkasa. Mendadak api yang mengelilingi pulau itu padam. Bayangan hitam dan cahaya merah itu sirna. Cuaca segera berangsur-angsur berubah menjadi terang benderang. Dan terjadilah pemandangan yang aneh.

Pulau misterius itu mendadak berguncang hebat. Ombak laut berdeburan keras. Menggelombang dan menyemburat setinggi beberapa kaki. Apakah yang terjadi? Ternyata pulau yang baru lahir itu telah tenggelam lagi ke dasar laut. Hanya beberapa saat saja di hamparan air itu sudah tak menampak lagi adanya sebuah pulau. Pulau itu telah kembali ke asalnya.

Sesosok tubuh manusia tertelungkup di atas permukaan air. Saat mana sebuah perahu meluncur pesat membelah ombak. Dikemudikan oleh si Brewok Lengan Tunggal. Matanya jelalatan memandang ke sekelilingnya. Perahu itu berputar-putar mengelilingi perairan itu.

"Hah? Roro...?" tersentak Joko Sangit mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu. Pucat seketika wajah Joko Sangit bagaikan kertas. Tak lama Roro keluarkan keluhan lirih. Wajah Joko Sangit berubah cerah. Tampak dia amat girang sekali.

"Roro...! Roro...!" teriaknya lirih, seraya mengguncang-guncang tubuh dara itu.

Akan tetapi Roro Centil tak menyahut. Namun tampak bibirnya tersenyum. Dan perlahan kelopak matanya terbuka. Menatap wajah di dekatnya dengan tatapan redup.

"Roro...! aku masih mencintaimu, Roro...! Aku tak akan mendendam padamu walau aku telah kehilangan sebelah lenganku! Aku akan memaafkan kelakuanmu tempo hari!" ucap Joko Sangit dengan suara menggetar. Tapi suara itu tersekat di kerongkongannya. Dia cuma ucapkan dalam hati.

"Joko... siapakah manusianya yang telah memutuskan lenganmu? Katakanlah. Demi langit dan bumi aku akan melumatkan manusia jahanam itu!" ucap Roro dengan suara lirih.

"Roro, nanti akan kuceritakan siapa orangnya. Apakah yang terjadi denganmu, Roro? Bagaimana dengan sukma Kala Wrenggi?"

"Dia telah kembali ke asalnya, Joko...! Iblis boleh tidak mati, dan tak akan pernah mati sampai hari kiamat. Tapi sukma yang gentayangan akan tetap kembali pada Tuhan, bila telah tiba waktunya. Kesaktian apapun akan punah. Dan keangkara-murkaan tetap tak akan bisa bertahan lama di atas dunia ini...!" ucap Roro Centil dengan tersenyum.

Roro Centil katupkan lagi kelopak matanya. Bibirnya masih tersenyum. Tapi tampak seperti mengharap. "Joko...! Ah, Joko...! Kau tak tahu betapa aku mencintai mu..." bisikan itu teramat lirih. Hampir-hampir Joko Sangit tak mendengarnya. Camar-camar semakin banyak beterbangan di atas permukaan laut.

Joko Sangit semakin mendekatkan wajahnya. Bibirnya mendesah. "Roro...! Roro... aku cinta padamu...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.