Roro Centil - Tiga Siluman Bukit Hantu
Karya : Mario GembalaSATU
JARAN PERKOSO adalah nama Ketua dari Perusahaan Pengantar dan pengawal barang, yang banyak mempunyai cabang di beberapa tempat. Laki-laki berusia sekitar 50 tahun itu sudah lama menduda sejak kematian istrinya delapan tahun yang lalu. Dan cuma hidup berdua dengan anak gadisnya yang berusia 18 tahun bernama Sri Kemuning.
Namun segera dikenal dengan julukan Pipit Lurik, karena kesukaannya memang mengenakan pakaian bercorak garis-garis atau lurik. Hingga terkenal dengan julukan si Pipit Lurik. Dalam merintis usahanya itu, Jaran Perkoso dibantu oleh dua orang saudara seperguruannya bernama Gantar Sewu dan Jaka Keling. Mereka memang murid-murid kakek sakti dari puncak Gunung Muria, yang bergelar Resi Paksi Sakti Jalatunda.
Namun sejak sepuluh tahun belakangan ini kakek sakti yang bersemayam di puncak Gunung Muria itu, sudah tak ketahuan lagi bagaimana kabarnya. Karena pernah pada beberapa bulan belakangan ini Jaran Perkoso dan kedua saudara seperguruannya menyambangi, namun sang guru yang disebut Eyang Jalatunda itu sudah tak lagi berdiam dipondoknya lagi. Tak seorangpun mengetahui kemana menghilangnya.
Perusahaan Pengangkut dan Pengawalan barang yang dipimpin oleh Jaran Perkoso itu diberi nama Benteng Macan Gunung, yang markasnya terletak di sekitar daerah Ungaran. Pada masa itu memang nama Perusahaan Ekspedisi Benteng Macan Gunung sedang terkenal.
Karena disamping mempunyai alat pengangkutan yang kuat, yaitu kereta-kereta barang dengan kuda-kuda yang kekar, juga dikawal oleh orang-orang yang tangguh dan berkepandaian tinggi. Apalagi nama Tiga Macan Gunung Muria sudah terkenal dengan ketinggian ilmunya. Hingga perampokperampok dan pembegal akan segan mengganggu barang-barang kawalan mereka.
Namun segala sesuatu di dunia ini memang susah diduga. Dan kelanggengan selalu bersifat sementara. Demikian juga dengan keadaan Perusahaan dan Pengawalan barang Benteng Macan Gunung. Sejak berdirinya delapan tahun yang lalu, sudah banyak menjatuhkan beberapa saingan dalam usaha jenis itu. Walaupun sebenarnya langganan bebas memakai jasa siapa saja tanpa paksaan.
Namun kenyataannya para Pedagang atau pengusaha pertanian maupun perkebunan, atau para saudagar dan bangsawan lebih cenderung memakai jasa Benteng Macan Gunung yang sudah tersohor akan keamanannya. Karena mereka tidak Usah khawatir merasa was-was lagi akan terancamnya barang mereka dari gangguan begal atau perampok serta gangguan lainnya. Sehingga sudah sejak lama menimbulkan rasa iri hati atas kewibawaan Benteng Macan Gunung. Dan menimbulkan perbagai dendam terselubung pada si Tiga Macan Gunung Muria yang tengah berjaya.
Sebuah gedung besar dan megah dibangun di ujung kota Ungaran. Disekeliling gedung adalah berdiri puluhan barak-barak tempat kereta, serta beberapa istal kuda. Pada bagian belakang gedung megah itu adalah barak-barak dari para pengawal yang keadaannya bersih dan teratur. Mereka amat senang tinggal di tempat itu, karena sang Ketua atau majikan mereka amat memperhatikan akan kesejahteraan mereka, balk makan dan pakaian. serta gaji yang sesuai.
Sebagai puteri satu-satunya, Pipit Lurik amat manja pada ayahnya. Wajahnya yang cantik dengan sepasang mata jeli berbulu mata lentik, juga raut wajah berbentuk daun sirih dengan dagu kecil, hidung yang mancung serta berbibir tipis itu mengingatkan pada wajah mendiang istrinya yang telah tiada.
Jaran Perkoso amat menyayangi puterinya ini. Namun bukan dengan dimanjakan dengan diumbar segala kemauannya, akan tetapi diam-diam sejak berusia 10 tahun, Pipit Lurik alias Sri Kemuning telah diwarisi ilmu kepandaiannya. Gadis yang baru berusia genap delapan belas tahun ini walau kelihatannya lemah, namun telah terisi dengan kekuatan dalam yang tak kelihatan.
Disamping mewarisi lebih dari separuh ilmu pedangnya, juga Pipit Lurik sudah menguasai berbagai ilmu lainnya. Seperti ilmu tenaga dalam, dan tangan kosong. Sejak kecil memang Pipit Lurik telah diajari cara menunggang kuda, hingga tampak gadis itu mempunyai kelincahan yang mengagumkan dalam menunggang kuda, walaupun semua itu dilakukan di dalam markas yang dipagari dengan tembok tebal.
Terkadang ada rasa sunyi di hati Jaran Perkoso sejak ditinggal sang istri ke alam baka. namun mengingat akan kekhawatirannya pada sang anak, bila mempunyai seorang ibunya yang telah tiada, Jaran Perkoso tak sampai hati untuk mengambil istri lagi. Khawatir kalau sang istri kelak tak menyayangi Pipit Lurik. Dan akan berakibat tidak baik bagi keadaan dalam rumah tangganya.
Demikianlah, hingga sampai sejauh itu Jaran Perkoso selalu memendam perasaannya. Laki-laki ini sering terlihat termangu-mangu menatap keluar jendela, memperhatikan barak-barak di sekeliling gedung. Sembilan belas kereta barang dibarak itu cuma bersisa sebelas kereta. Dan dua puluh ekor kuda dibarak sana cuma tinggal beberapa ekor lagi, karena hal itu Gantar Sewu dan Jaka Keling tengah pergi mengantar barang kawalan kedua tempat.
Pesanan mengantar barang dari seorang bangsawan tua di sebelah Utara kota Ungaran, yang dikawal oleh Gantar Sewu, dan pesanan satu lagi adalah atas pesanan dari Adipati Banyu Biru, yang dikawal oleh Jaka Keling dengan membawa belasan anak buahnya. Tampak laki-laki tua ini menghela napas, seraya hempaskan tubuhnya ke kursi di belakang mejanya. Terkadang di hati Jaran Perkoso ada rasa bangga mempunyai saudara seperguruan yang bekerja rajin, patuh dan jujur.
Akan tetapi juga terasa begitu sepinya kalau sudah keadaan dimarkas Benteng Macan Gunung menjadi sunyi. Ada tersirat dihatinya untuk meninggalkan pekerjaannya. Entah mengapa dorongan itu begitu kuat. Jaran Perkoso merasa usianya sudah semakin menua. Dan sudah pantas rasanya dia mengundurkan diri ke tempat sunyi.
"Ah, seandainya Pipit Lurik telah bersuami, dan mempunyai kesenangan... rasanya aku akan leluasa menyendiri di puncak Muria. Disana tampaknya amat tenang dan tenteram! Sayang Eyang guru telah tak berada di tempat itu, namun biarlah! Aku toh dapat merasakan ketentraman walau hidup menyendiri, sambil mengenang almarhum Sri Lestari...! Mungkin dengan berdiam disana aku dapat menentramkan perasaanku!" Demikian pikir Jaran Perkoso.
Memikir demikian tiba-tiba wajah laki-laki ini menampilkan kecerahan. Bibirnya menampakkan senyuman. "Ah, mengapa tak kubujuk anakku agar menerima lamaran si Bangsawan Tua itu? Dia mengajakku berbesan! Dan aku sudah lihat sendiri anak laki-lakinya cukup tampan! Perangainya kukira baik...! Ya, cukup sepadan bila bersanding dengan Pipit Lurik. Pemuda itu bernama Pitra Sena! Hm, nama yang cukup gagah buat anak seorang Bangsawan!" Menggumam lirih Jaran Perkoso.
"Ah, seandainya Pipit Lurik tak menolak, aku setuju berbesan dengan Raden Mas Anjasmoro itu...!" Desisnya agak keras sambil gerakkan lengannya memukul meja di luar sadar.
Terdengar suara langkah kaki mendekati, dan seorang gadis cantik berwajah bulat sirih sudah muncul di belakang Jaran Perkoso. Gadis ini adalah Sri Kemuning alias Pipit Lurik. Tampak sepasang alis gadis remaja ini bergerak hampir menyatu. Sepasang matanya yang tajam menatap pada ayahnya.
"Ada apakah, ayah? Tak biasanya ayah memukul meja..." Tanya Pipit Lurik seraya menggelendot di punggung sang ayah.
Terkejut Jaran Perkoso, tapi segera merubah wajahnya menjadi senyum yang amat cerah. "Ah, anakku...! Aku lupa akan satu jurus ilmu pukulan yang belum ku turunkan padamu, hingga tanpa sadar aku memukul meja dengan keras!" Ujar Jaran Perkoso yang belum mau berterus terang di hadapan anak gadisnya.
Akan tetapi wajah gadis itu tak menampakkan perubahan cerah seperti biasanya. Bahkan melepaskan lengannya, seraya beranjak beberapa langkah ke arah pintu. Dan menatap keluar dimana terdapat kebun bunga pada halaman gedung.
"Untuk apakah ilmu pukulan itu kupelajari, ayah? Rasanya aku tak memerlukan segala macam ilmu silat! Karena bukankah kau menginginkan aku menikah dengan anak Bangsawan Tua itu...?" Berkata Pipit Lurik tanpa palingkan wajahnya.
Tentu saja kata-kata itu membuat Jaran Perkoso jadi tersentak kaget, karena tak menyangka kalau kata-katanya di luar sadar tadi telah terdengar oleh sang anak. "Anakku...! kau mendengar gumam ku tadi?.. . ahk, aku... aku cuma..."
"Ayah! Mengapa kau begitu tergesa memikirkan diriku...? Aku masih ingin hidup bebas, tak mau terikat dulu dengan perkawinan!" Berkata Pipit Lurik, dengan suara tiba-tiba berubah jadi parau. Dan segera tampak air mukanya menjadi memerah. Sepasang matanya sudah berkaca-kaca tergenang air mata yang mendadak menyembul keluar.
Tergesa-gesa Jaran Perkoso menghampiri, dan cekal perlahan pundak anak gadisnya. Namun laki-laki inipun bingung akan berkata apa pada anak gadisnya, karena sekonyong-konyong bibirnya terasa seperti terkunci, tak tahu apa yang harus diucapkannya.
"Sudahlah, anakku...! kalau kau tak menghendaki, aku tak dapat memaksa...!" Akhirnya Jaran Perkoso membujuk dengan kata-kata lembut, seraya membelai rambut sang anak. Hatinya pun menjadi luluh kembali. Betapapun dia amat menyayangi puteri satunya ini, dan tak ada berniat melukai hatinya..
"Ayah.....!" Teriak Pipit Lurik seraya balikkan tubuhnya dan memeluk sang ayah dengan terisakisak. Jaran Perkoso mengusap-usap punggung anak gadisnya. Sekonyong-konyong hatinya jadi trenyuh, dan di luar sadar laki-laki inipun menitikkan air mata.
Sejak itu Jaran Perkoso tak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal perjodohan yang diharapkan akan membuka jalan melaksanakan niatnya. Bahkan Jaran Perkoso tak mengharapkan sedikitpun untuk berbesan dengan Bangsawan Tua langganannya itu. Namun sejak itu Pipit Lurik nampak sering menyendiri dalam kamar. Tak menampakkan kelincahannya lagi, atau kemanjaannya di hadapan sang ayah.
Gadis itu selalu menunduk tanpa berani memandang padanya jika berhadapan. Dan jarang sekali Pipit Lurik berbicara kalau tak ditanya. Jaran Perkoso merasa amat menyesal dengan kejadian lalu itu, karena tanpa diduga membuat dia dan anak gadisnya jadi kurang akrab seperti biasanya.
Makin sepilah hatinya, dan semakin sering Jaran Perkoso merenung bila telah selesai pekerjaannya. Hingga terbitlah keinginannya membuat keakraban lagi pada sang anak gadis. Yaitu dengan mengajaknya pergi keluar.
Hari itu cuma Gantar Sewu yang pergi mengantar dan mengawal barang. Jaka Keling berada dimarkas. Tampak laki-laki berusia 30 tahun itu tengah membantu para anak buahnya membetulkan keretakereta yang rusak. Dan mengganti roda-rodanya dengan yang baru. Ketika Jaran Perkoso menghampiri, adik seperguruannya ini cepat-cepat menjura.
"Adik Jaka Keling...! Apakah kau tidak pergi kemana-mana hari ini... ?" Tanya Jaran Perkoso sambil menggendong tangan di belakang punggung.
"Ada apakah, kakang? Tak ada niatku untuk keluar! Aku perlu memperbaiki kereta, bukankah dua hari lagi akan mengantar barang ke Rawa Pening...!" Ujar Jaka Keling sambil menepuk-nepukkan kedua lengannya yang berdebu.
Jaran Perkoso manggut-manggut, dan tersenyum. "Ah, sukurlah...! kau amat rajin bekerja! Jangan terlalu berlebihan, adikku! Beristirahatlah kalau memang kau memerlukan istirahat! Pekerjaan itu bisa dikerjakan Singo Bronto atau yang lainnya! Aku ingin mengajak Pipit Lurik pergi keluar menghirup udara pegunungan! Kau berjagalah dimarkas! Kalau ada pesanan mengantar barang, suruh sore nanti kembali lagi! Mungkin aku baru kembali menjelang sore...!" Berkata Jaran Perkoso.
"Baiklah, kakang...!" Menyahut Jaka Keling dengan menunduk menatap jemari kakinya.
Jaran Perkoso menepuk-nepuk bahu pemuda itu yang pantas menjadi muridnya. "Baik-baiklah sepeninggal ku, menjaga markas..!" Ujarnya pula. Jaka Keling mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Tentu, kakang...!" Sahutnya, seraya kembali berjongkok meneruskan kembali pekerjaannya.
Jaran Perkoso putarkan tubuh, kembali melangkah menuju gedung. Sementara Jaka Keling menatapnya sampai laki-laki kakak seperguruannya itu lenyap dibalik pintu depan halaman gedung megah itu.
Dataran tinggi Limbangan memang merupakan tempat pemandangan yang indah. Dari atas perbukitan itu terlihat dikejauhan puncak Gunung Merbabu yang menjulang dikelilingi awan putih. Pada puncaknya mengepulkan asap putih tipis. Namun gunung itu memang amat jauh dari Limbangan dan hanya tampak samar-samar saja kebiru-biruan. Angin pegunungan yang membersit di atas perbukitan itu membuat hawa sejuk nyaman.
Sementara di kejauhan tampak dua ekor kuda tengah mendaki bukit. Suara ringkiknya sesekali terdengar menyibak keheningan. Tak lama kedua kuda sudah berada di atas perbukitan menghijau itu. Kedua penunggangnya adalah seorang laki-laki tua berusia lima-puluhan tahun. Sedang seorang lagi adalah seorang gadis remaja yang cantik berbaju lurik.
Siapa lagi kalau bukan Pipit Lurik dan ayahnya, yaitu Jaran Perkoso yang memang mengajak puterinya untuk bergembira. Tampaknya sang gadis ini memulai pulih lagi kelincahannya. Dia merasa berada di alam yang bebas. Terlihat wajahnya menampilkan senyum tiada hentinya. Terkadang tertawa lepas kalau sang ayah bergurau kata.
Ah, sungguh akan membuat orang yang melihat keakraban ayah dan anak itu akan menjadi mengiri. Tiada orang menduga kalau dibalik kegembiraan lakilaki bernama Jaran Perkoso itu justru tersimpan perasaan sedih. Karena keadaan itu mengingatkan pada masa isterinya masih hidup. Dimana mereka berdua sering berdua-dua bersenda gurau di kala berbulan madu.
Namun semua itu cuma tinggal kenangan. Kenangan yang sudah lewat belasan tahun yang silam. Air-mata laki-laki ini menitik tanpa disadari. Akan tetapi telah disembunyikan dengan gelak tawa. Pipit Lurik tersenyum memandang ayahnya yang melarikan kudanya di atas bukit berputar-putar.
"Ayah...! Oh, lihatlah! Di bawah ada sungai...! Tentu airnya jernih sekali!" Teriak Pipit Lurik sambil menunjuk ke bawah bukit dimana dikejauhan tampak air sungai yang berkelok-kelok bagaikan ular, terhalang pohon dan perbukitan yang menonjol.
"Itulah kali Wringin, anakku...!" Ujar Jaran Perkoso seraya menghampiri sang gadis. "Oh, indahnya...! aku amat betah berdiam disini, ayah...!" Berkata Pipit Lurik. Dan Jaran Perkoso cuma tertawa gelak-gelak.
Sementara benak laki-laki ini sudah dipenuhi lagi dengan bermacam-macam keinginan yang akan membuat kegembiraan sang anak. Apakah lebih baik aku mengantarkan si Pipit Lurik ini ke Gunung Ratawu...? Disana ada berdiam sahabat Eyang Guru! Tampaknya anakku lebih menyenangi keadaan yang bebas seperti ini...! Memikir demikian Jaran Perkoso gerakkan kakinya melompat turun dari punggung kuda.
"Anakku duduklah disini, di dekatku...!" Berkata Jaran Perkoso. Pipit Lurik menoleh, dilihatnya sang ayah sudah duduk di atas batu. Segera dia melompat turun dari kudanya, dan menghampiri kesana. Sementara kudanya dibiarkan makan rumput yang banyak tumbuh lebat di sekitar perbukitan itu.
Jaran Perkoso tatap wajah anak gadisnya lekatlekat. Pipit Lurik menunduk memandang ke bawah. Gadis ini merasa ada satu keanehan yang terlihat di wajah sang ayah. Ada hal apakah gerangan yang akan dibicarakan padaku...? Pikir gadis ini. Selang tak lama terdengar Jaran Perkoso menghela napas, dan mulai berkata.
"Anakku...! Benarkah kau senang tinggal di tempat yang bebas seperti ini?" Tanya Jaran Perkoso membuka percakapan.
Pipit Lurik angkat wajahnya. Kini ganti dia yang menatap pada sang ayah dengan wajah menampilkan keheranan, tapi bibirnya sudah keluarkan kata-kata lirih. "Benar, ayah! Aku bosan hidup terkungkung di dalam markas! Semua yang kulihat adalah itu, dan itu lagi...! Aku amat mengiri pada burung-burung yang bebas lepas di udara itu!"
"Oh, anakku...! Mengapa tak kau katakan sejak dulu-dulu! Ayahmu tentu akan mengabulkan keinginanmu! Kau adalah cahaya mataku, anakku! Sejak kematian Ibumu delapan tahun yang lalu aku tak berhasrat untuk menikah lagi! Semua itu karena sematamata aku menyayangi mu! Karena aku tak sampai hati kalau kedatangan seorang ibu pengganti ibumu yang telah tiada justru akan membuatmu jauh dariku!" Ujar Jaran Perkoso. Mendadak suaranya jadi agak parau. Ternyata laki-laki ini kembali mengingat akan almarhum istrinya.
Pipit Lurik tercenung beberapa saat. Kini dia mulai mengetahui kalau sang ayah amat menyayanginya. "Ayah! aku takkan menghalangi kalau kau mau menikah dengan siapa saja! Mengapa harus mengkhawatirkan diriku? aku amat senang dan berbahagia kalau melihat ayahpun berbahagia...!" Ujar Pipit Lurik dengan mata berkaca-kaca.
"Mungkin sudah nasib, dan takdir diriku, ditinggal ibu...! Aih memang amat menyenangkan seandainya ibu masih hidup...!" Lanjut Pipit Lurik, seraya menatapkan pandangan jauh ke bawah bukit.
"Tidak, anakku... Aku amat mencintai ibumu! Biarlah aku menduda selamanya sampai akhir hayat! Aku cukup bahagia bila kau mempunyai kegembiraan dalam hidup! Biarlah, yang sudah tiada tak usah dikenang lagi! Ibumu sudah rela dipanggil Yang Kuasa...!" Berkata demikian, tampak wajah Jaran Perkoso berubah muram. Akan tetapi dia sudah segera dapat menahan kesedihannya.
"Anakku...! aku ada mempunyai kenalan seorang sakti di Puncak Gunung Ratawu! Beliau bergelar Bikhu Sokalima! Seorang Pendekar Wanita yang sudah lanjut usia!"
"Seorang Pendekar Wanita....?" Tanya Pipit Lurik dengan suara agak tersentak.
"Ya...! Dahulu di kala mudanya adalah tokoh Persilatan yang amat dikagumi di Rimba Hijau! Sebagai seorang tokoh penegak keadilan yang berilmu tinggi!"
"Oh, betapa mengagumkan...!" Berkata Pipit Lurik dengan suara kagum memuji. Perubahan-perubahan wajah Pipit Lurik tampak jelas dimata Jaran Perkoso. Dan sang ayah ini tersenyum. Besar harapannya Pipit Lurik dapat tinggal bersama wanita kosen sahabat Eyang Jalatunda itu di Puncak Ratawu.
"Kau setuju, anakku...?" Tanya Jaran Perkoso dengan tatap tajam-tajam wajah puterinya. Pipit Lurik mengangguk seraya tersenyum. Sepasang matanya yang bening itupun menatap pada sang ayah dengan bibir setengah terbuka.
"Aku gembira sekali, ayah...! Oh, betapa aku amat berterima kasih padamu...!"
"Hahaha... bagus! kau memang anakku, yang cantik dan bengal!" Desah suara Jaran Perkoso seraya mencubit pipi dara manis itu.
Tampak wajah Jaran Perkoso menampilkan kegembiraan. Bukankah habis sudah perkaranya? Dia dapat segera meninggalkan pekerjaannya di Markas Benteng Macan Gunung untuk meneruskan niatnya menyepi dipuncak Gunung Muria. Dan bukankah puncak Gunung Muria dengan Puncak Gunung Ratawu tak begitu berjauhan? Sekali-kali dia dapat mengunjungi Pipit Lurik dipuncak Ratawu.
Akan tetapi manusia bisa berencana, namun segalanya adalah di tangan nasib yang menentukan. Ketika tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda yang santar. Kedua ayah dan anak itu menoleh ke belakang. Seketika mereka jadi terperanjat karena tahu-tahu kedua ekor kuda mereka tengah berkelojotan, melonjak-lonjak disertai ringkikan-ringkikan yang mengenaskan.
Keduanya sudah segera melompat ke dekat kuda masing-masing. Terkejut Pipit Lurik ketika melihat darah menetes dari perut dan leher binatang itu. Sesaat Setelah meregang nyawa, kuda itupun diam tak bergerak lagi, dan telah melepaskan nyawanya.
Demikian juga yang dialami Jaran Perkoso, kuda tunggangannya mati dengan luka-luka pada perut dan lehernya. Ketika memeriksa lukanya, kedapatan beberapa buah paku telah menancap di beberapa bagian tubuh binatang itu. Jelas paku-paku yang mengandung racun. Pucatlah wajah Jaran Perkoso. Dia sudah bangkit berdiri untuk melihat ke beberapa penjuru disekeliling bukit itu.
"Keparat...! Siapakah yang telah melakukan perbuatan keji yang pengecut ini! Keluarlah...! Tampakkan dirimu, binatang...!" Teriak Jaran Perkoso. Wajahnya seketika berubah merah padam bahkan gusarnya.
Sekonyong-konyong dari lamping batu bukit, berlompatan tiga sosok tubuh baju hijau, diiringi suara tertawa mengikik seorang wanita. "Hihihi... hihi... selamat berjumpa Ketua Benteng Macan Gunung...! Hari ini Ketua utama dari tiga Macan Gunung Muria bertemu dengan Tiga Siluman Bukit Hantu! Hihihi... hihi... sungguh satu pertemuan yang jarang terjadi...!"
Terkesiap Jaran Perkoso ketika melihat kemunculan tiga manusia ini. Dua orang laki-laki berjubah hijau itu adalah yang mempunyai kedua tubuh seperti bumi dengan langit. Kalau yang satu adalah manusia pendek cebol dengan kepala botak. Adalah yang satu lagi seorang yang jangkung kurus mirip jerangkong dengan rambut gondrong yang sudah memutih. Pada lengannya masing-masing mencekal sebuah tongkat.
Si jangkung memegang tongkat yang berkepala tengkorak. Pada bagian ujung kepala tengkoraknya menyembul benda runcing mirip ujung tombak. Sedangkan si pendek memegang tongkat yang berkepala berbentuk tulang lengan, terbuat dari besi berwarna kuning dengan jari-jarinya yang terentang.
Si pendek mempunyai wajah yang berkulit kasar bermata sipit dengan hidung besar menggembung. Mulutnya lebar hampir membelah pipinya yang tembam, dengan barisan giginya yang berderet besarbesar. Dikeningnya terdapat benjolan sebesar telur ayam. Dialah yang bernama SETO BUNGKRIK. Berbeda dengan si jangkung yang berwajah lancip dengan kumis lebat yang menutupi seluruh bibirnya, bermata besar yang menonjol keluar, dengan hidung melengkung mirip paruh burung Betet. Dia bernama WONG DUWUR.
Sedang yang satu lagi adalah seorang wanita setengah umur, namun masih tampak genit. Wajahnya masih cukup lumayan cantiknya, karena memakai bedak tebal serta gincu pemulas bibir yang merah merangsang. Di dahinya menampak beberapa kerutan yang menampilkan usia tuanya. Wanita ini memakai baju hijau dengan belahan lebar di dada hingga menampakkan hampir sebagian payudaranya yang sudah, kendur.
Namun dapat diakui wanita ini masih memiliki tubuh yang cukup merangsang laki-laki hidung belang. Pada lehernya tergantung sebuah kalung mirip mutiara sebesar-besar kelereng. Rambutnya memakai gelung kecil di sebelah atas, yang sisa rambutnya dibiarkan terjuntai. Di pinggangnya sebelah kiri terdapat sebuah kantong kulit, serta terselip di antara jemarinya adalah seruas bambu hitam yang panjangnya hampir sedepa. Pada bagian tengah bambu hitam terdapat beberapa lubang, seperti bentuk seruling.
Wanita inilah yang tadi melepaskan paku-paku beracunnya. Dialah yang bernama Kemang Suri. Ketiga orang ini adalah tiga orang Tokoh Hitam yang pada belasan tahun yang silam pernah membuat kegemparan di Rimba Hijau dengan ulah perbuatannya. Tadinya ketiga orang ini berpisah-pisah. Namun kini muncul dengan berbareng serta mempunyai gelaran baru, sejak beberapa tahun tak kedengaran kabarnya. Tentu saja Jaran Perkoso mengenali wanita itu, karena wanita itu pernah mempunyai urusan asmara dengannya.
"Kemang Suri...!? Mau apa kau muncul disini menggangguku... ?" Tanya Jaran Perkoso dengan wajah menampakkan terkejut dan marah.
"Hihihi... Jaran Perkoso...! Aku dengar Istrimu sudah mampus, apakah tak ada niatan kau kawin lagi?" Berkata Kemang Suri tanpa acuhkan pertanyaan orang.
Memerah wajah Jaran Perkoso. "Aku tak perlu saran dari kau kalau aku mau menikah, ataupun tidak! Itu adalah urusanku! Kini jawab pertanyaanku, apa maumu dengan mengganggu ketenteramanku...! Dan kedua monyet hutan ini mengapa bisa bersatu denganmu?"
"Hihihi... jelak-jelek keduanya adalah "suamiku!" Tenaganya masih belum kalah dengan anak muda! Dan ilmunya juga tinggi! Aku khawatir kalau mereka marah, bisa menguliti kulit tubuhmu siang-siang, Jaran Perkoso! Hihihi..."
Wanita itu kembali mengikik tertawa memperlihatkan barisan giginya yang masih rata namun sudah kehitam-hitaman. Wanita inilah yang tadi melepaskan paku-paku beracunnya yang di simpan di kantong kulit.
Sementara Pipit Lurik sudah melompat ke sisi sang ayah, seraya keluarkan bentakan nyaring. "Bedebah! Rupanya kalian yang telah membunuh kuda kuda kami...?!"
Ketiga manusia itu segera menatap pada Pipit Lurik dengan sorot mata tajam. "Heh heh heh. anak gadismu memang cantik, sobat Macan Gunung Muria! Amat mirip sekali dengan ibunya. Sayang Sri Sulastri menolak cintaku, gara-gara munculnya kau yang jual lagak dihadapannya! Heh heh heh. Walau kejadian itu sudah hampir dua puluh tahun tapi sakit hatiku masih tersimpan didadaku, Jaran Perkoso...! Akan tetapi akan kulupakan sakit hati itu, asalkan kau berikan anak gadismu padaku untuk pengganti ibunya...!" Berkata si Pendek Seto Bungkrik, sambil matanya memain mengerling genit pada sang gadis.
Terasa mau meledak dada Jaran Perkoso mendengarkan ocehan si manusia pendek bertongkat kepala Tengkorak itu. "Keparat...! Siapa sudi bermantukan manusia setan macam kau?"
"Aku kau bilang manusia setan...? hehehehehe... kaulah yang jadi setan penyebab kegagalanku menyunting Sri Lestari karena kau telah merebutnya! Memang kini aku sudah jadi setan, yang sebentar lagi akan menguliti kulit tubuhmu...!" Teriak si pendek gusar.
"Huh, manusia iblis semacammu memang pandai berputar lidah! Menyesal aku tak membunuhmu mampus waktu itu! Perbuatanmu yang telah membunuh gurumu sendiri dan mau memperkosa anak gadisnya karena anak gadis sang guru itu telah menolak cintamu! Lalu kedatanganku yang menolong gadis itu, apakah kau anggap aku merebutnya? Hahaha... manusia edan semacammu dibandingkan dengan anjing, kukira masih lebih berharga seekor anjing...!"
Mendeliklah sepasang mata sipit si pendek Seto Bungkrik. Giginya terdengar berkeraot menahan kemarahan. Wajahnya seketika berubah jadi merah bagai kepiting rebus. Akan tetapi tiba-tiba si pendek ini bahkan tertawa gelak-gelak.
"Heheheheh... sudah kukatakan urusan itu akan segera kulupakan, asalkan kau carikan penggantinya! Yaitu anak gadismu yang cantik ini..! hehehe.. hehe.." Berkata lagi si pendek diantara derai tawanya, menutupi kegusaran hatinya.
"Setan keparat...! Enyahlah kau...!" Teriak Pipit Lurik yang diam-diam telah melolos pedangnya. Sejak tadi dadanya sudah bergelombang mendengar katakata si pendek ini. Begitu mengetahui kejahatan manusia di hadapannya itu, dia sudah tak dapat menahan sabar lagi.
Whutt...! Tranggg!
Pedang dilengan Pipit Lurik nyaris terlepas. Ketika pedangnya berkelebat menabas kepala si pendek itu, mendadak tongkat kepala Tengkorak itu bergerak menangkis. Terasa telapak tangan Pipit Lurik tergetar. tenaga sampokannya yang terlihat santai acuh tak acuh itu ternyata bertenaga besar. Gadis itu melompat mundur dua tindak.
"Ahoi... biarlah aku yang menangkapnya, kakang Seto...!" Tiba-tiba si jangkung berkumis sebesar singkong itu buka suara.
"Hihihi... biarlah aku izinkan kalian memiliki gadis itu. Dan si Jaran Perkoso, bapaknya ini adalah bagianku...!" Ujar Kemang Suri dengan perlihatkan senyuman dan kerlingan genitnya pada laki-laki dihadapannya.
Betapa muaknya Jaran Perkoso melihat tingkah si wanita setengah umur yang dimasa mudanya selalu mengejar-ngejarnya. Bahkan sampai dia sudah menikah dengan Sri Lestari, Kemang Suri masih selalu mengganggu ketentraman rumah tangganya. Kemang Suri adalah pernah menjadi saudara seperguruannya pada puluhan tahun yang silam. Namun Jaran Perkoso telah beberapa tahun lebih dulu menjadi murid Eyang Paksi Sakti Jalatunda di puncak Gunung Muria.
Sang guru telah membawa gadis itu ketika sepulang dari turun gunung. Gadis yang tak ketahuan asal-usulnya itupun menjadi murid Eyang Jalatunda. Menurut yang didengar dari cerita gurunya, Kemang Suri ditemukan terikat di sebatang pohon di dalam hutan lebat yang banyak terdapat binatang buas.
Entah apa kesalahan wanita itu, hingga diikat di tempat berbahaya. Karena jelas kalau tak ditolong oleh Ki Jalatunda, pasti tewas kelaparan atau diterkam binatang buas. Ki Jalatunda melepaskan ikatannya, dan mau mengembalikan ke desa. Akan tetapi Kemang Suri menangis, dan memohon menjadi muridnya. Dia mengatakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh orang-orang jahat, yang setelah memperkosa lalu mengikatnya di hutan itu.
Karena merasa kasihan, dan gadis itu merengek-rengek terus-menerus, terpaksa Ki Jalatunda membawanya ke Puncak Gunung Muria. Tak dinyana baru beberapa bulan sudah ketahuan belangnya. Ternyata gadis itu adalah wanita yang amat dibenci di desa itu, karena perbuatannya merusak rumah tangga orang. Dia adalah seorang janda yang berperangai buruk.
Demikianlah, berkali-kali Kemang Suri menggoda Jaran Perkoso untuk berbuat mesum. Karena tak tahan, Jaran Perkoso mengadukan pada gurunya. Hingga Kemang Suri diusir dari Puncak Muria. Dan tak diperkenankan lagi menggunakan ilmu-ilmu yang telah diwariskan padanya. Beruntung dapat diketahui kelakuan buruk Kemang Suri lebih awal, sehingga ilmu-ilmu Resi Paksi Sakti Jalatunda belum meresap kuat ditubuh dan otaknya.
Sejak itu Kemang Suri tak ada kabarnya lagi. Dan beberapa tahun kemudian, sang guru kembali membawa dua orang murid laki-laki. Yaitu Gantar Sewu dan Jaka Keling. Hingga kelihatan perbedaan usianya amat jauh antara Jaran Perkoso dengan kedua saudara seperguruannya itu. Gantar Sewu dan Jaka Keling anak yatim piatu sejak kecil, sebelum diambil murid oleh Ki Jalatunda.
Keduanya bekerja pada seorang pamannya yang amat bengis dan kejam, sebagai penggali tambang intan. Tubuh kedua anak laki-laki tanggung itu kurus kering. Karena tak tahan menderita terus-menerus mereka lari dari tempat pekerjaannya. Namun nyaris tertimpa lorong goa yang longsor. Beruntung datang sang guru menolongnya. Dan mereka dijadikan kedua muridnya.
Ternyata Resi Paksi Sakti Jalatunda banyak mempunyai simpanan harta yang dipendam didalam pondoknya di Puncak Muria. Dan ternyata juga sang guru adalah bekas anak seorang Bangsawan yang kaya-raya. Karena harta dan nyawanya banyak diincar penjahat, sang guru mengasingkan diri ke Puncak Gunung Muria. Disana sang guru memperdalam ilmu-ilmu, dan menciptakan jurus-jurus ilmu silat yang hebat.
Hingga kemudian Rimba Persilatan menjadi geger dengan munculnya seorang tokoh pembela keadilan, dan penjunjung kebenaran yang dikenal dengan julukan si Pendekar Lengan Tunggal. Cacat pada anggota tubuhnya itu adalah akibat keganasan para perampok sewaktu membunuh kedua orang tuanya, dan menguras habis harta bendanya.
Dua belas tahun berumah tangga, ternyata Jaran Perkoso telah dikaruniai seorang anak perempuan, yang diberi nama Sri Kemuning (kemudian dikenal dengan nama Pipit Lurik), berusia waktu itu sekitar 10 tahun. Muncul pula satu musibah, yang berakhir dengan kehancuran rumah tangganya. Yaitu sejak kedatangan seorang wanita yang ternyata adalah bekas kekasih Jaran Perkoso.
Akibat guna-guna serta ilmu hitam yang digunakan wanita itu, Jaran Perkoso berbalik membenci istrinya. Hingga sang istri pergi meninggalkan Jaran Perkoso, yang selanjutnya mereka hidup bersama bagaikan suami istri di rumah yang ditinggali Jaran Perkoso dan istrinya. Sementara sang istri (Sri Lestari) ternyata pergi mengadu pada Ki Jalatunda, di puncak Gunung Muria. Dengan bersusah payah Sri Lestari dapat mencapai puncak gunung itu. Disana dia menangis dihadapan sang Resi Paksi Sakti Jalatunda mengadukan nasibnya.
Sang Resi adalah seorang yang arif bijaksana, segera menanyakan asal mula kejadian yang menimpa musibah keluarga mereka. Tentu saja Sri Lestari menceritakan semua kejadian. Terkejut sang Resi. Karena dia mempunyai dugaan kalau Jaran Perkoso telah terkena tenung wanita itu. Karena Ki Jalatunda memang mempunyai seorang musuh bebuyutan yang memiliki ilmu tenung demikian yang bergelar Jentik kuning hingga dengan tergesa-gesa sang Resi segera turun gunung.
Dengan ilmu kesaktiannya, sang Resi berhasil menumpas ilmu tenung wanita itu dan membebaskan Jaran Perkoso dari pengaruh jahat yang mengendap dalam otaknya. Jaran Perkoso sadar! Dan dia sendiri yang menghabisi nyawa si wanita yang telah meracuni kehidupannya itu. Yaitu wanita bekas kekasihnya.
Jaran Perkoso berangkat ke puncak Muria untuk menjemput lagi istrinya. Namun yang didapati adalah, istrinya telah tewas. Sebuah belati tergenggam di tangan wanita itu dengan beberapa lubang bekas tusukan di dada dan lambungnya. Sedangkan Sri Kemuning, si bocah perempuan yang baru berusia 10 tahun itu telah lenyap entah kemana.
Jaran Perkoso meratap dan berteriak-teriak kalap seperti orang yang tidak waras. Laki-laki inipun nekat mau menghabisi nyawanya sendiri, karena merasa tak guna hidup lagi. Dosanya terasa amat besar terhadap anak dan istrinya. Jaran Perkoso menduga istrinya tewas membunuh diri karena merasa sedih dan putus asa atas tingkah laku perbuatannya yang di luar sadar.
Untunglah Resi Paksi Sakti Jalatunda menolong, dan berhasil mencegah perbuatan dosa itu. Dengan lemah lembut sang guru memberi wejangan, bahwa Jaran Perkoso tak perlu merasa bersalah, karena sudah jelas hilangnya akal waras laki-laki itu adalah akibat perbuatan wanita keji itu, yang menggunakan ilmu jahat dan sesat terhadapnya.
Namun sesuatu yang terjadi adalah di luar dugaan. Karena ternyata Sri Kemuning masih hidup. Bocah perempuan berusia 10 tahun itu telah ditolong oleh seorang nenek tua, yang tak lain adalah Bikhu Sokalima. Wanita sakti itu adalah penghuni puncak Gunung Ratawu, yang tak berapa jauh dari Gunung Muria.
Nenek tua sakti itu memang tengah berada di bawah lereng. Memang kedatangannya ke Puncak Gunung Muria adalah untuk menjumpai Resi Paksi Sakti Jalatunda. Ketika tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh kecil melayang dari atas Puncak Gunung Muria. Dengan takdir Tuhan Sri Kemuning dapat diselamatkan nyawanya. Bocah perempuan itu dalam keadaan pingsan.
Bagaikan mendapat emas sebesar gunung, Jaran Perkoso begitu gembiranya melihat sang anak ternyata masih hidup, dipeluknya Sri Kemuning dengan terisak-isak, dan diciuminya tak putus-putus, serasa tak ingin lagi dia berpisah dengan anak kesayangannya itu, yang telah kehilangan ibunya yang amat dikasihi. Demikianlah, Jaran Perkoso tinggalkan puncak Muria, setelah guru dan murid serta sahabat baik sang Resi menguburkan jenazah Sri Lestari.
Niat baik si nenek Bikhu Sokalima terpaksa ditolaknya untuk menjadikan Sri Kemuning sebagai muridnya, karena Jaran Perkoso tak sampai hati untuk tinggalkan sang anak, dipuncak Ratawu. Kepergiannya adalah membawa pesan dari gurunya, yaitu mencari dua orang adik seperguruannya, yang juga telah turun gunung.
Juga dengan membawa bekal yang cukup berarti dari separuh harta milik sang guru, untuk membangun kehidupan lagi. Sang guru menyuruh Jaran Perkoso menikah lagi. Akan tetapi laki-laki ini cuma menggeleng kepala, sambil tersenyum.
Demikianlah, hingga lebih dari tujuh tahun sudah, Jaran Perkoso hidup menduda. Ilmu dan fikirannya dicurahkan untuk menambah kesejahteraan rakyat. Yaitu mendirikan usaha Pengangkutan dan pengawalan barang, yang sejauh itu dikelola, ternyata menampakkan kemajuan pesat.
Sedangkan kedua saudara seperguruannya yaitu Gantar Sewu dan Jaka Keling turut membantunya didalam perusahaan itu. Hingga terkenallah nama Tiga Macan Gunung Muria yang bermarkas diujung kota Ungaran. Dengan nama markasnya, Benteng Macan gunung.
"Kemang Suri...! Tak dinyana kau masih hidup, dan belum juga dapat menghilangkan kelakuanmu yang buruk! Bahkan bergabung dengan manusia-manusia tengik macam begitu...! Sungguh tak bermalu...!" Ujar Jaran Perkoso.
Sementara sepasang matanya sudah melirik ke arah si jangkung berkumis tebal itu yang maju mendekati Pipit Lurik. Diam-diam tersentak juga hati Jaran Perkoso, karena sulitlah baginya menghadapi mereka disebabkan adanya Pipit Lurik. Dia amat mengkhawatirkan nasib anak gadisnya itu. Tiba-tiba dengan menggertak gigi, Jaran Perkoso melompat ke arah sang anak seraya berteriak.
"Anakku...! Cepatlah menyingkir! Biar aku yang menghadapi anjing-anjing gelandangan ini...!" Lengannya sudah bergerak menyambar lengan Pipit Lurik, dan di bawanya melompat sejauh lima tombak. "Cepatlah pergi menyelamatkan diri...!" Bentak Jaran Perkoso dengan wajah berubah tegang.
"Tidak, ayah! Aku harus membantumu melawan mereka...!" Berkata Pipit Lurik dengan tatap tajam wajah ayahnya. "Mereka bertiga, dan ayah akan menghadapinya seorang diri...? Tidak! Aku harus membantumu! Aku tak mungkin meninggalkanmu seorang diri...!" Teriak Pipit Lurik.
Terbeliak mata Jaran Perkoso. Disamping kagum pada keberanian anak gadisnya, namun juga amat mengkhawatirkan keselamatan diri sang anak. Karena bukan mustahil kalau ketiga manusia yang menamakan dirinya Tiga Siluman Bukit Hantu itu akan sukar dilayani. Terlebih melihat si pendek yang diketahuinya bernama Seto Bungkrik itu, yang amat berhasrat pada anak gadisnya.
"Tidak, anakku...! Sekali ini turutlah perintah ayah! Pergilah selamatkan nyawamu! Pergilah ke puncak gunung Ratawu! Kelak kau akan dapat membalas dendam dibelakang hari, seandainya aku tewas! Tapi aku akan berusaha melawannya sekuat tenaga! Bila aku berhasil menyelamatkan nyawaku, kelak aku akan menyusulmu kesana...!" Bisik Jaran Perkoso dengan suara tergetar.
Akan tetapi tiga manusia itu telah berkelebatan melompat mengurung mereka. Tak ada jalan lain, terpaksa Jaran Perkoso cabut keluar pedangnya dibelakang punggung.
"Majulah kalian Tiga Siluman Bukit Hantu! Kalian kira aku si Jaran Perkoso takut menghadapi cecunguk-cecunguk macam kalian...!" Sementara Pipit Lurik sudah pasang kuda-kuda, siap menghadapi kemungkinan. Jaran Perkoso masih sempat berbisik. "Hati-hati anakku...!"
Dan tubuhnya sudah melompat menerjang Kemang Suri, dengan kelebatkan pedangnya yang berkilatan menebas pinggang dan leher. Dua serangan beruntun telah dilakukan. Sementara sebelah lengannya siap melakukan hantaman.
Wuukkk...!
Tak dikira setelah belasan tahun menghilang, Kemang Suri mempunyai kegesitan luar biasa menghindari serangan maut Jaran Perkoso. Tubuhnya berkelebat menghindar, dan sebelah lengannya lakukan hantaman ke arah dada Jaran Perkoso. Akan tetapi Jaran Perkoso telah siap untuk memapakinya, hingga kedua telapak tangan mereka saling beradu....
Desss...! Tampak uap putih mengepul akibat benturan lengan itu. Tubuh Jaran Perkoso terhuyung lima langkah, sedangkan Kemang Suri terhuyung ke belakang enam-tujuh langkah, akan tetapi sekejap, Kemang Suri sudah tampilkan wajah tertawa menyeringai, tampakkan barisan giginya yang kehitaman. Sepasang kakinya telah berdiri teguh lagi menapak di tanah.
"Hihihi... hihi... hebat! Hebat. ! Hayo keluarkan jurus-jurus ilmu pedang warisan gurumu si kakek tua renta puncak gunung Muria itu, Jaran Perkoso ! Atau kau harus belajar sepuluh tahun lagi pada si kakek bangkotan itu di AKHIRAT...!!" teriak Kemang Suri dengan tertawa mengejek.
Tentu saja kata-kata itu membuat Jaran Perkoso jadi melengak. Hah?! Apakah mereka telah membunuh Eyang Jalatunda? Sentak hati Jaran Perkoso. Perubahan wajah laki-laki berusia setengah abad itu tampak jelas oleh Kemang Suri.
Eh, tampaknya kau merasa aneh dengan ucapanku? Hihihi... si kakek bangkotan yang pernah mengusirku itu telah kami kirim nyawanya ke alam baka!"
"Heheheheh.... Jaran Perkoso...! Kau sudah tak bisa merengek-rengek lagi ke puncak Gunung Muria untuk minta pertolongan! Lebih baik kau berikan anak gadismu ini padaku, lalu aku tak mencampuri urusanmu lagi...!" Teriak si pendek Seto Bungkrik seraya berkelebat ke arahnya.
Sementara si jangkung kawannya itu bergerak melompat ke arah Pipit Lurik. Gadis ini segera tabaskan pedangnya dengan jurus-jurus ajaran sang ayah. Terdengar suara bersiutan mengurung tubuh si jangkung bernama Wong Duwur itu. Akan tetapi Wong Duwur cuma ganda tertawa saja.
"Hahahehehe... ilmu pedang warisan ayahmu itu sudah ketinggalan jaman, anak manis. Lebih baik kau belajar pada si pendek kawanku itu! Jurus-jurus ilmu bergulat di tempat tidur tentu akan dapat diwariskan padamu, tanpa kau pinta.! Hehehe..."
"Tutup bacotmu, setan jerangkong!" Berteriak marah Pipit Lurik. Kini permainan ilmu pedangnya semakin hebat, keluarkan angin menderu yang mengurung setiap langkah lawannya.
Akan tetapi tampaknya hal itu tak membuat si jangkung menjadi terkejut. Tubuhnya berlompatan cepat sekali, hingga yang kelihatan cuma bayangan hijau saja. Apa lagi kini ditambah dengan keluarnya asap tipis dari sepasang mata kepala tengkorak di ujung tongkatnya. Membuat dengan leluasa si jangkung menyelinap menghindar. Adapun Pipit Lurik tampak terkejut, karena hidungnya sudah mengendus asap yang berbau amis, serta menyesakkan pernapasan.
Sementara Jaran Perkoso yang dalam keadaan kalut fikiran, karena mendengar gurunya telah tewas di angan ketiga manusia ini, telah menggerung keras membabatkan pedangnya bagaikan naga mengamuk. Jurus-demi jurus terus berlalu, dan suara benturan senjata kerap terdengar dari beradunya pedang dengan tongkat si pendek Seto Bungkrik.
Laki-laki pendek ini tampaknya amat penasaran untuk menjatuhkan Jaran Perkoso. karena dia pernah dipecundangi belasan tahun yang silam, ketika akan melaksanakan niatnya memperkosa Sri Lestari.
Wutt! Wutt! Wutt...! Tranggg! Tranggg...!
Tiga hantaman berkelebatan saling susul menerjang ke arah Jaran Perkoso. Tongkat berkepala telapak tangan besi, berwarna kuning itu mengarah ke arah leher, lalu berubah menyambar ke bawah selangkangan dan meluncur lagi menyambar batok kepala lawan. Jaran Perkoso tampak terkejut bukan main, karena jelas tongkat berkepala tangan besi yang berujung kuku tajam itu adalah senjata yang telah dilumuri racun.
Bila kurang waspada sedikit saja akan membuat luka yang berbahaya. Beruntung dengan gerakan melompat dan bersalto. dia dapat menghindari serangan-serangan berbahaya tadi. Bahkan lakukan gerakan menangkis dengan pedangnya. Ketika tongkat tangan besi itu meluncur ke arah jantung dan pinggang.
Desss...! Jaran Perkoso balas menyerang dengan pukulan tenaga dalam. Itulah salah satu dari jurus tangan kosong yang bernama Pukulan Geledek. Uap putih panas yang tersimpan di dalam telapak tangannya sudah sejak tadi disiapkan untuk menghantam lawan.
Terkejut si pendek Seto Bungkrik. Karena pukulan itu di luar dugaan. Sedangkan dia dalam keadaan posisi tak menguntungkan sehabis melakukan serangkaian serangan mengandung maut tadi. Namun beruntunglah karena di saat kritis itu yang tak sempat Seto Bungkrik menangkis, sudah terdengar suara bentakan Kemang Suri.
Tubuhnya melompat cepat sekali mendorong tubuh Seto Bungkrik yang jatuh bergulingan. Sedang pukulan maut dari Jurus Pukulan Geledak itu lewat dan menghantam pada batu besar. Batu itu hancur lumat dengan keadaan hangus.
Pada saat mereka terperangah, Jaran Perkoso melirik ke arah anak gadisnya, terkejut laki-laki ini mengetahui Pipit Lurik dalam bahaya. Karena terkurung oleh rapatnya uap beracun yang keluar dari sepasang mata tengkorak di tongkat si jangkung alls WONG DUWUR yang melayani si gadis dengan mengekeh tertawa.
Whuukkk...! Jaran Perkoso telah gigit belakang mata pedangnya, sedangkan kedua lengan dipergunakan menghantamkan angin pukulannya. Inilah satu jurus dari ilmu tenaga dalam yang dinamakan Tiupan Angin Puyuh.
Segera segelombang angin keras bergulunggulung menerjang ke arah pertarungan. Angin bergulung itu tak begitu keras, karena Jaran Perkoso cuma bermaksud mengusir asap beracun berbau amis yang mengurung Pipit Lurik. Gadis ini cuma merasai tubuhnya terhuyung dua langkah, namun asap yang mengurungnya telah sirna seketika.
Wut! Wut! Wuttt...!
Jaran Perkoso sudah menerjang Wong Duwur dengan beberapa tabasan pedang. namun laki-laki jangkung sudah berlompatan menghindar. Seraya perdengarkan dengusan di hidung, si jangkung ini tertawa sinis.
"Heheheh... Jaran Perkoso! Walau kau punya ilmu setinggi langit, namun menghadapi kami yang telah bersatu, akan percuma hasilnya! Sudah sejak lama aku ingin membunuhmu! Sayang aku harus menyiksamu dulu sebelum kau mampus!"
"Wong Duwur! Iblis Hutan Dandaka...! Kau urusilah gadis itu berdua dengan kau si pendek Seto Bungkrik! Aku yang akan tundukkan laki-laki ini...!" Tiba-tiba Kemang Suri memotong kata-kata Wong Duwur.
Seraya berkata, tangannya sudah bergerak mengangkat senjatanya, dengan menempelkan ujungujung bambu berlubang itu pada bibirnya. Segera membersit suara melengking tinggi. Ternyata adalah sebuah seruling.
"Bagus! kita sama-sama menawan kedua ekor kambing ini...!" Berkata si pendek Seto Bungkrik, seraya melompat ke arah Pipit Lurik. Terkejut gadis. ini, yang tak ayal segera putarkan pedangnya melindungi diri.
Tak ada harapan bagi Jaran Perkoso untuk mundur menyelamatkan diri, karena mereka telah terkurung oleh kepungan tiga manusia keji ini, yang sudah terkenal masing-masing kejahatannya di Rimba Persilatan.
Apa lagi kini mereka telah bersatu. Kalau gurunya sendiri sudah dapat mereka tewaskan apalagi, dia seorang yang harus menghadapi cuma ditemani seorang anak gadisnya. Harapannya untuk menyelamatkan sang anak dari tangan mereka ternyata semakin tipis. Karena Pipit Lurik, sekejap sudah dikepung kedua tokoh itu.
Kini suara tiupan seruling itu sudah membersit panjang membuat Jaran Perkoso kerutkan keningnya. Karena terasa telinganya mendadak menjadi bising. Adapun kedua tokoh hitam itu telah mengetahui akan kehebatan suara tiupan seruling Kembang Suri.
Dengan diam-diam telah menyumpal telinganya masingmasing, sedangkan Jaran Perkoso segera putarkan pedangnya yang mengeluarkan suara bersiutan menandingi suara tiupan seruling aneh Kemang Suri, yang mulai melagukan nada-nada tinggi rendah.
Wukk! Wuukk...! Laki-laki ini hantamkan telapak tangannya dua kali dengan pukulan Geledeknya. Kemang Suri tertawa mengikik, seraya jatuhkan tubuhnya bergulingan. Namun ketika bangkit lagi kembali teruskan suara tiupan serulingnya. Melengking-lengking suaranya, membuat telinga Jaran Perkoso tergetar. Tubuhnya bergoyang goyang, dan kepalanya berdenyutan.
"Perempuan setan...!" Bentak Jaran Perkoso seraya melompat menerjang dengan sambarkan pedangnya. Kekalutan memikirkan keadaan anak gadisnya membuat laki-laki ini menyerang membabi-buta. Sementara di luar sadarnya Pipit Lurik sudah roboh terkulai terkena totokan si jangkung Wong Duwur. Dan sekejap saja sudah berada dalam pondongan si pendek Seto Bungkrik.
Terkejut Jaran Perkoso melihat anak gadisnya sudah roboh tertawan. Namun usahanya untuk melompat ke arah kedua orang itu, telah tertahan oleh suara bersitan tiupan seruling yang membuat kepalanya menjadi pening.
Akhirnya terpaksa lengannya bergerak menutupi telinganya yang sebelah, sedang lengannya yang masih mencekal pedang digunakan menunjang tubuhnya agar tidak jatuh. Mau tidak mau Jaran Perkoso harus mengakui kelemahannya. Namun diam-diam dia sudah siapkan satu jurus untuk menghantam si wanita dihadapannya.
Melihat keadaan Jaran Perkoso sudah kena pengaruh tiupan bertenaga dalam yang mempengaruhi lawan, Kemang Suri dengan tertawa mengikik segera lompat menghampiri. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, Jaran Perkoso menggerung keras seraya keluarkan jurus permainan pedang yang dinamakan Naga mengamuk.
Kemang Suri terkejut karena mendadak Jaran Perkoso telah bangkit kembali dengan serangan-serangan berbahayanya. Terpaksa tubuhnya berkelebatan melompat dan menghindar dari tabasan-tabasan maut pedang Jaran Perkoso. Kini wanita itu tak mempunyai kesempatan lagi meniup serulingnya.
Bahkan dengan berteriak-teriak kaget jatuhkan diri bergulingan Nyaris pedang Jaran Perkoso merobek lambungnya. Namun tak urung ujung rambutnya sepanjang satu jengkal telah terbabat putus. Debu mengepul kehitaman disertai suara menderu dari angin pukulan yang dilancarkan Jaran Perkoso.
Buk...! Satu hantaman telak kena menyerempet kulit lengan Kemang Suri. Wanita ini menjerit parau. Bajunya hangus terbakar. Lengannya sebatas pundak mengelupas. Belum lagi dia berbuat sesuatu kilatan pedang telah meluncur ke arah dada.
Tranggg...!
Pedang di tangan Jaran Perkoso terlempar, ketika tongkat si jangkung Wong Duwur menangkis menyelamatkan nyawa Kemang Suri. Dan selanjutnya ganti Wong Duwur yang merangsak Jaran Perkoso.
Wut! Wut! Wut! Trang...! Trang...!
Jarang Perkoso berlompatan menghindar, dan menangkis beberapa kali. Telapak tangannya telah memerah yang memegang gagang pedang akibat benturan-benturan dengan si jangkung yang tenaga dalamnya ternyata setingkat diatasnya. Mengeluh laki-laki ini. Terlebih kini asap beracun berbau amis mulai mengurung dirinya. Sementara sudah terdengar lagi tiupan seruling Kemang Suri yang melengking-lengking.
Trang!... terdengar suara benturan kedua senjata. Kali ini Jaran Perkoso tak mampu mempertahankan pedangnya, yang telah segera terlepas dari genggamannya. Wuttt...! Tongkat berkepala Tengkorak Wong Duwur sudah meluncur ke arah ubun-ubun Jaran Perkoso. Akan tetapi pada saat kritis itu berkelebat bayangan hijau yang menangkis serangan maut itu.
Plakk...! Apa yang terjadi? Kiranya Kemang Suri telah menggagalkan serangan maut Wong Duwur. Kepala tengkorak tongkat si jangkung itu miring ke samping, dan mengenai tanah disamping tubuh Jaran Perkoso.
"Tahan! Kau tak boleh membunuhnya...!" Teriak Kemang Suri. Dan secepat kilat lengannya bergerak menotok tubuh laki-laki yang sudah tak berdaya kehabisan tenaga itu. Jaran Perkoso perdengarkan keluhannya, dan roboh terguling.
"Hahahehehe... hehe... Wong Duwur, biarkan dewi kita mengurusi laki-laki itu! Aku akan berikan bagian padamu setelah beres urusanku...! Hahaha... hahaha... !" Terdengar mengakak tertawa si pendek Seto Bungkrik.
Wong Duwur pun tersenyum manggutmanggut, seraya berkata pada Kemang Suri yang masih melototkan matanya dengan mendongkol. Telapak tangannya terasa kesemutan setelah barusan menolak tongkat maut si jangkung itu.
"Oh, maafkan dewiku...! Aku lupa kalau si Jaran Perkoso itu bagianmu! hehe... hehehe..." Ujar Wong Duwur dengan perdengarkan tertawa yang kurang enak didengar.
"Sudahlah, kau minggatlah yang agak jauh! jangan ganggu urusanku...!" bentak Kemang Suri dengan bibir cemberut. Tapi justru membuat kerlingan tajam pada laki-laki jangkung itu. Pertanda kalau si jangkung itu harus mengerti maksudnya.
"Hihihi.. Jaran Perkoso, aku berani bertaruh kalau kau toh akhirnya akan menyenangi diriku. Walaupun aku sudah usia hampir setengah abad, pasti kau akan tak merasa kecewa, nanti! Hihihi..." Ujar Kemang Suri seraya lengannya bergerak membukai pakaian Jaran Perkoso.
Laki-laki itu cuma pelototkan matanya dengan gusar. Giginya gemeletuk berbunyi menahan geram. Sementara di luar dugaan si pendek Seto Bungkrik, justru membawa sang tawanan ke hadapan Kemang Suri. Lalu jatuhkan tubuh gadis itu tepat di dekat Jaran Perkoso.
"Bagus! kau kerjailah anak si Jaran Perkoso itu di depan matanya, biar semangat jantannya menggebu-gebu... hihihi... hihi..." Terbelalak mata Jaran Perkoso, serasa dadanya mau meledak menyaksikan perbuatan yang tengah diperagakan di depan matanya. Sementara Kemang Suri telah membuka paksa apa yang melekat di tubuh Jaran Perkoso.
Bret! Bret! Brett...!
Kini laki-laki itu sudah bagaikan seekor kambing benggala yang sudah dipentang dengan keadaan selesai dikuliti. Kepalanya disandarkan pada pangkuan Kemang Suri. Laki-laki ini memaki kalang kabut.
"Setan keparat...! Bunuhlah aku! Mengapa kalian menyiksa dengan cara biadab seperti ini? Kalian memang iblis-iblis bermuka manusia..."
Pipit Lurik bukannya tak sadar akan apa yang tengah terjadi terhadap dirinya. Akan tetapi dia memang tak berdaya. Dan biarkan lengan-lengan kasar si pendek itu melepaskan sehelai demi sehelai pakaian yang melekat ditubuhnya. Sepasang matanya dipejamkan kuat-kuat. bibirnya telah digigit sendiri hingga mengeluarkan darah. Daya upayanya melepaskan diri dari pengaruh totokan si jangkung kurus itu tak membawa hasil.
Jaran Perkoso tak akan sanggup melihat kejadian gila yang terpampang dihadapannya. Dilihatnya si pendek Seto Bungkrik dengan tertawa mengekeh mulai memperagakan kepandaian lengannya menjuluri sepasang bukit daging yang masih kencang memutih ranum. Ternyata upaya untuk bertahan dengan segala kepasrahan itu, tidaklah membuat gadis ini bisa gigit bibir belaka. Karena rasa takut yang luar biasa.
Pipit Lurik tiba-tiba belalakkan sepasang matanya. Dan perdengarkan jeritan sekuat-kuat. Berteriak-teriak sang gadis ini bagaikan orang kemasukan setan. Akan tetapi dengan menyeringai, justru si pendek ini telah keluarkan sebuah benda dari dalam saku bajunya.
Benda terdiri dari dua butir pil itu dengan cepat telah dijejalkan masuk ke mulut sang gadis. Sementara lengannya bergerak menotok urat suaranya, hingga lenyaplah suara teriakannya. Cuma sepasang matanya saja yang terbelalak. Kedua butir pel itu sekejap telah tertelan lewat tenggorokannya.
Terperangah Jaran Perkoso. Nafasnya terasa memburu... bagaimana dia dapat sanggup melihat kejadian sedemikian bejatnya di depan mata? Laki-laki ini gerakkan tubuhnya membuka totokan. Tenaga dalamnya dikerahkan sepenuhnya untuk disebar ke sekujur tubuh. Tampaknya hal itu membawa hasil.
Namun baru dia mau bergerak meronta, Kemang Suri telah tutupkan sapu tangan berbau harum dihidungnya. Mendadak terasa kepalanya menjadi pening dan tubuhnya kembali lemas tanpa tenaga. Sepasang matanya mendadak seperti mengantuk, dan terkulai kepalanya di pangkuan Kemang Suri dengan mata terpejam.
Berlainan dengan cara si pendek Seto Bungkrik. Kalau laki-laki itu mengeluarkan dua butir pil yang dijejalkan ke mulut sang korban, adalah Kemang Suri merogoh kantong kulitnya. Dan keluarlah sebuah bumbung bambu. Di dalamnya terdapat cairan berwarna hitam.
Setelah membuka sumbatannya, segera diteguknya benda cair dalam bumbung itu tiga kali tegukan. Lalu menutup kembali sumbatannya, dengan pipi masih menggembung. Setelah menyimpan kembali bumbung bambu itu dalam kantong kulit, kepalanya membungkuk. Menelan sedikit cairan dalam mulutnya itu, lalu sisanya dituangkan dalam mulut Jaran Perkoso yang sudah dipentang ternganga lebar...
Entah cairan apakah itu. Akan tetapi tak lama ketika laki-laki itu sadarkan diri pandangan matanya menjadi aneh dan liar. Bibirnya seperti menyeringai dengan sikap aneh melihat adegan di depan matanya. Dilihatnya si pendek cebol telah lepaskan sesuatu yang mengganggu pada tubuhnya. Dan... Pipit Lurik tidak lagi ketakutan seperti melihat hantu dihadapannya.
Bahkan ketika si pendek Seto Bungkrik merangkulnya serta menghunjamkan wajahnya ke belahan kedua bukit berputik kemerahan itu, tubuhnya bergelinjangan seperti terangsang hebat. Lengannya sudah bergerak mengelus kepala gundul si pendek Seto Bungkrik dan membelainya dengan bibir mendesah dan mata setengah terpejam.
Getarannya terasa sampai ke hati Jaran Perkoso. Membuat tubuh laki-laki ini bergelinjangan menahan kobaran hawa nafsu yang seperti tak terkendalikan. Tahu-tahu Jaran Perkoso rasakan belaian lembut mengelus wajahnya. Belaian dari dua buah benda lunak berputik lebar.
Tak ayal bagaikan seekor bayi yang kehausan, Jaran Perkoso melumatnya dengan lahap. Tentu tak menolak jika sang ibu mengangsongkan sesuatu untuk dilumatnya oleh sang bayi. Dan di lain kejap tampak Kemang Suri perdengarkan rintihannya. Tubuhnya bergelinjangan menahan kenikmatan yang tiada tara.
Angin gunung di sekitar tempat yang seperti teduh, tapi gersang itu berhembus menyentuh kulit-kulit daun dan dahan-dahan telanjang. Menghempas-hempaskan rantingnya. Beberapa helai daun jatuh melayang turun ke tanah... di sela desahan dan suara tertawa mengikik Kemang Suri, terdengar si pendek Seto Bungkrik menggerutu, yang seperti memaki dirinya...!
"Kunyuk...!? Aku lupa memakan obat...!" Dan terpaksa dia harus berdiam menunggu waktu berlalu. Sementara matanya menatap ke arah dua ekor kambing yang saling berpacu di atas rumput.
Kemang Suri seperti dihujani serangan-serangan hebat. Membuat tubuhnya bergelinjangan tak menentu. Mulutnya ternganga berdesahan. Sepasang lengannya bergerak mendekap tubuh Jaran Perkoso berubah. Namun bersamaan dengan keluhan Kemang Suri bergelinjanganlah sepasang kuda yang saling bergumul itu melepaskan semua naluri, mencapai puncak tertinggi diujung syaraf.
Seto Bungkrik, si pendek berkepala gundul ini leletkan lidahnya. Saat itu tiba-tiba satu bayangan hijau berkelebat mendekatinya. "Heheheheh... kini giliran aku, bukan...?" Berkata sosok tubuh itu yang tak lain dari si jangkung Wong Duwur. Dia sudah segera lepaskan jubahnya.
"Kunyuk tua! Menyingkirlah dulu...! Aku belum lakukan apa-apa...!"
"Hah!?... tapi..." Ujar si jangkung penasaran.
"Jangan tanya apa-apa! berikan padaku ramuan simpananmu...! Desis Seto Bungkrik dengan julurkan lengannya.
Wajah Wong Duwur jadi berubah kecewa. Lengannya bergerak menyambar jubahnya. Lalu meraba-raba ke dalam kantung jubah. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu bersyiur angin keras bergulung-gulung seperti pusaran angin puyuh. Seto Bungkrik dan Wong Duwur jadi terkejut. Bahkan jubah si jangkung telah terbawa melayang ke atas. Terpaksa laki-laki itu mengejarnya.
"Setan...!?" Ucap Wong Duwur seraya lakukan lompatan tinggi untuk menangkap jubahnya yang terbawa pusaran angin ke udara.
Si Pendek Seto Bungkrik tak sabaran. Tubuhnya bergerak melompat untuk turut mengejar jubah. "Celaka...! Aku khawatir bungkusan obat ramuan dalam kantung jubahnya lenyap melayang...!" Desisnya.
Ketika jejakkan kaki ke dekat Wong Duwur ternyata laki-laki jangkung itu sudah berhasil menyambar jubahnya. Dan kembali melayang turun. Sementara angin pusaran itu masih berputar-putar menerbangkan dedaunan dan debu pasir dan tanah. Membuat mereka harus menyipitkan mata.
Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan kuning, menyambar tubuh Pipit Lurik, tanpa seorangpun yang melihat kejadian yang begitu cepat. Lalu membawanya berkelebat. Sementara Kemang Suri masih pejamkan mata setelah berhasil mencapai kepuasan. Bahkan ketika angin pusaran itu menerpa seperti tak perduli lagi. Hingga saat tubuh bugil Pipit Lurik dibawa berkelebat dia tak mengetahui sama sekali. Apalagi gerakannya tak menimbulkan suara.
Namun sesaat sesudah bayangan kuning itu lenyap, Kemang Suri baru tersadar setelah membuka mata melihat tubuh Pipit Lurik dan si pendek Seto tak berada di tempat. Saat itu si pendek Seto sudah kembali melompat ke tempat asalnya. Akan tetapi betapa terkejutnya melihat ke tempat sang gadis itu yang sudah tinggal bekasnya saja.
"Hah...!" Kemana dia??!" Teriak si pendek ini dengan mata terbelalak. "Hei, dewiku, apakah kau melihat kemana gadis itu...?" Tanyanya pada Kemang Suri.
Tentu saja Kemang Suri gelengkan kepalanya. "Kunyuk! Pasti ada orang yang telah melarikannya ketika terjadi angin pusaran tadi!" Sentak Seto Bungkrik dengan tercenung. Tak ayal dia sudah bantingkan kaki dengan geram. Lalu tubuhnya bergerak melompat untuk menyambar pakaiannya yang sudah melayang ke beberapa tempat, terkena serempetan angin tadi.
"Huh, sial...! Kita harus cari kemana gadis itu!" Berkata si pendek Seto Bungkrik dengan hati mengkal, karena niatnya belum tercapai, tapi dia sudah keburu lemas karena mengumbar emosi berlebihan. Akibat kemendongkolannya itu, Jaran Perkosolah yang dijadikan sasarannya.
Siapakah gerangan yang telah melarikan tubuh bugil Pipit Lurik? Marilah kita ikuti kemana kepergiannya... Berkelebatnya bayangan kuning itu begitu cepat membawa lari tubuh Pipit Lurik yang dalam keadaan tanpa busana. begitu cepatnya hingga seolah dibawa terbang menuruni bukit, menyeberangi sungai dan memasuki hutan rimba.
Selang kira-kira semakanan nasi, sosok tubuh itu memperlambat larinya, karena jalan yang dilalui adalah memasuki celah-celah pepohonan dan semak belukar. Kiranya yang memondongnya adalah seorang laki-laki berpakaian indah, dari sutera kuning. Memasuki benang-benang emas di bagian dadanya. Ikat kepalanya juga dari bahan yang mahal yang biasa dipakai oleh para bangsawan.
Ternyata laki-laki itu masih berusia cukup muda, yaitu sekitar dua puluhan tahun. Berwajah tidak begitu jelek, dan cukup gagah. Menilai dari pakaiannya, memang mirip anak seorang bangsawan. Di belakang punggung pemuda ini terselip gagang sebuah senjata yang terbungkus kain sutera hitam.
Tak lama pemuda bangsawan itu telah memasuki satu tempat yang bersih dan teratur. Di bagian depan tampak anak tangga dari batu yang memanjang berkelok-kelok. Segera dia mempercepat lagi langkahnya. Sementara bibirnya selalu menampakkan senyuman, yang sebentar-sebentar leletkan lidah. Bahkan entah beberapa kali lengannya bergerak mengelus atau meraba tubuh gadis yang dipanggulnya.
Beberapa kejap antaranya, si pemuda itu telah berada di depan sebuah pondok mungil yang berada di atas undakan tangga. Tempat itu sunyi, tiada orang. Dan pondok mungil beratap ijuk itupun sunyi tanpa penghuni.
Secepatnya pemuda ini sudah mendekati pondok mungil itu, dan terdengar suara pintunya ketika dibuka. Matanya liar meneliti tempat sekitar ruangan, yang cuma terdapat sebuah pembaringan lengkap dengan bantal dan guling beralaskan kulit harimau. Dan sebuah meja kecil dengan sebuah kendi air diatasnya.
"Hm, bagus! Sudah kuduga, tempat yang sering dikunjungi ayah ini adalah tempat yang nyaman! Entah kemana penjaganya...? Apakah tak seorangpun yang menjaga tempat ini...?" Berguman si pemuda.
Tapi segera jatuhkan perlahan beban yang dibawanya di pembaringan. Sementara sentakan-sentakan kuat di hatinya sudah sedari tadi dirasakan pemuda itu. Apalagi kini melihat tubuh mulus tanpa sehelai benangpun menutupi, terpampang dengan segala keindahannya.
"Ah, memang amat cantik, gadis ini...! Kalau tak salah adalah anak si Ketua Perusahaan Pengantar dan Pengawalan barang! Karena aku pernah melihatnya ketika ayah mengajakku memesan kereta untuk mengantar barang-barang milik ayah, berikut mengawalnya. Dan tampaknya ayah amat akrab bercakap-cakap dengan si Ketua Benteng Macan Gunung! Ya, orang tua itu bernama Jaran Perkoso...!"
Memikir si pemuda dalam hati. Sementara lengannya bergerak mengelus kedua perbukitan yang ranum itu dan berhenti di satu putiknya. Makin lama semakin menjulur ke arah yang lainnya. Dan terdengar desahan-desahan keluar dari mulut sang gadis. Rupanya pengaruh dari dua butir pil yang dijejalkan ke mulut gadis itu oleh si pendek Seto Bungkrik masih bereaksi.
Hal mana membuat si pemuda Bangsawan itu semakin tergetar jantungnya. Debaran demi debaran didadanya berkelanjutan dengan dilepaskannya pakaian pemuda itu, yang tampakkan senyum menyeringai. Tak berapa lama terdengar desah-desah angin seperti saling bertumpuan menerpa di dalam pondok mungil itu.
Kegagalan si pendek Seto Bungkrik dalam melaksanakan hajatnya telah membuat Pipit Lurik bagaikan seekor ular betina yang mengeliat dan mendesis tiada henti.
Tiga sosok tubuh tampak berindap-indap mendekati pondok mungil itu. Sesosok tubuh sudah melompat dengan tak sabar ke depan pondok. Dan...
Braakkkk...!
Pintu papan berukir pondok itu telah hancur berantakan dihantam pukulan lengan sosok tubuh itu yang tak lain dari si pendek Seto Bungkrik.
"Bedebah, pencuri busuk! Kuhabisi nyawamu...!" Teriak Seto Bungkrik seraya melompat ke dalam.
Akan tetapi tak ada jawaban, kecuali sesosok tubuh layu yang tergeletak keluarkan keluhan di atas pembaringan bertilamkan seprai dari Kulit macan. Itulah Pipit Lurik, yang masih belum tersadar dari pengaruh pil yang dijejalkan si Seto Bungkrik padanya.
Tubuh wanita itu telah tertutupkan kain selimut. Sepasang matanya masih terpejam dengan wajah pucat dan rambut awut-awutan. Adapun si pendek ini telah jelalatkan matanya mengitari seluruh ruangan, bahkan berjongkok melongok ke bawah pembaringan, namun memang di pondok itu tak dijumpai siapa-siapa.
"Setan belang...! Kemana kaburnya si pencuri sialan itu...?" Desis suara si pendek. Namun disamping mendongkol, tapi juga bergirang karena si gadis telah ditemukan juga. Walau tentunya dia telah keduluan oleh sang pencuri yang tentunya sudah mencicipi kehangatan tubuh gadis incarannya.
Sementara si jangkung Wong Duwur dan Kemang Suri telah menyusul melompat ke depan pondok mungil di ujung batu undakan itu. Akan tetapi pada saat itu juga terdengar satu suara halus di belakang mereka. Entah dari mana munculnya telah berdiri sesosok tubuh berpakaian bagus, dengan menggendong tangan dibelakang, tengah menatap mereka.
"Maaf sobat-sobat orang sakti...! Ada apakah membuat kegaduhan di tempatku...?" Bertanya orang itu.
Terkejut kedua tokoh hitam ini, dan segera palingkan mukanya menatap ke arah suara dibelakangnya. Seorang laki-laki tua bertubuh gemuk dengan baju sutera warna-warni. Memakai jubah panjang warna biru tua yang belahannya terbuka di depan, perlihatkan wajah tersenyum pada mereka.
Laki-laki gemuk ini berkumis tipis yang ujungnya terjuntai memanjang. Jenggotnya yang berwarna putih cuma sejumput saja, bagai jenggot kambing. Wajahnya tampak ramah dengan sepasang mata agak sipit, serta alis terjuntai pula kedua ujungnya. Seto Bungkrik cepat-cepat melompat ke pintu untuk melihat siapa adanya yang telah buka suara. Jangan-jangan ini pencurinya yang menggondol gadisku...! Sentak hatinya begitu melihat ada sesosok tubuh di sisi batu undakan.
Mereka bertiga jadi saling pandang, karena sikap orang tua itu tak seperti orang berilmu tinggi, jelas seorang bangsawan menilik dari pakaiannya. Belum lagi Seto Bungkrik buka mulut, si bangsawan tua itu sudah mengulang bicara.
"Sekali lagi, aku si tua Anjasmoro mohon maaf pada anda orang-orang sakti, ada apakah yang terjadi hingga membuat kegaduhan di tempat ku ini...?" Berkata demikian orang tua bangsawan ini menjura dengan sikap amat hormat.
Hening sejenak. Dan kembali ketiganya saling pandang. Tak mungkin kalau orang ini yang telah melakukan penculikan pada si gadis tadi. Demikian pikir dibenak mereka masing-masing. Tak ayal segera mereka balas menjura.
"Hihihi... kami digelari si Tiga Siluman Bukit Hantu! Kedatangan kami kemari adalah mencari seorang pencuri busuk yang telah mencuri adik perempuan rekan kami!" Ujar Kemang Suri dengan sikap genit, seraya lirikkan mata pada si pendek Seto Bungkrik.
"Oh!? begitukah...? lalu..." Jawab si Bangsawan tua seperti menampakkan keterkejutannya.
"Kami mengejarnya, ternyata malingnya sudah lenyap, sedangkan adik perempuan rekan kami itu berhasil kami temukan lagi berada di dalam pondok mungil ini...!"
"Ya, aku si Seto Bungkrik yang telah menghajar daun pintu pondok ini, karena menduga dia bersembunyi di dalam! Ternyata benar! Namun kami terlambat datang, karena manusianya sudah merat terlebih dulu!" Ujar si pendek dengan wajah geram.
"Apakah anda mengetahui jelas ciri-ciri si penculik itu?"
"Sayang sekali kami tak mengetahuinya sama sekali baik rupa maupun pakaiannya!" Ujar lagi Kemang Suri.
Sementara si Bangsawan tua kerutkan keningnya. "Aneh! Lalu dari siapa kalian orang-orang sakti bisa mengetahui kalau penculiknya sembunyi dalam pondok ini?" tanya si Bangsawan tua.
"Kami menemukan seorang penjaga di tempat ini, akan tetapi sayang dia seorang yang gagu! Di cuma menunjuk-nunjuk saja ke arah sini memberitahukan dengan isyarat! Apakah dia penjaga di tempat ini yang ditugaskan oleh anda?" tutur Kemang Suri seraya ajukan pertanyaan.
Laki-laki tua Bangsawan itu kembali unjukkan wajah tersenyum, dan berkata: "Benar! Sudahlah kalau penculiknya tak dapat ditemukan, kalau adik perempuan sobat... Seto Bungkrik ini sudah dapat ditemukan tak menjadi apa! Oh, ya disamping terkejut, aku si tua Anjasmoro merasa kebetulan sekali berjumpa dengan para tokoh sakti Rimba Persilatan yang ternyata bergelar Tiga Siluman Bukit Hantu! Bagaimana kalau aku si tua ini mengajak anda ke tempat tinggalku? Ya, hitung-hitung menambah pengetahuanku, karena aku amat senang berkenalan dengan orang-orang sakti Rimba Hijau! Hahaha... jangan khawatir, aku si tua akan menjamu kalian orang-orang sakti sampai puas!" Berujar si laki-laki tua Bangsawan dengan menunjukkan sikap persahabatan.
Melengak si Tiga Siluman Bukit Hantu ini, dan lagi-lagi ketiganya saling pandang. Seto Bungkrik dan Wong Duwur cuma manggut-manggut menatap pada Kemang Suri. Kemang Suri palingkan lagi kepalanya menatap pada si laki-laki tua Bangsawan itu, seraya manggut-manggut dan menyatakan bersedia bertamu ke tempat tinggal si Bangsawan tua.
Di sebelah utara kota Ungaran ternyata merupakan daerah yang hidup, karena disana banyak tinggal kaum Ningrat dan para pedagang maupun Bangsawan. Bahkan di tempat itu adapula tinggal keluarga dari Adipati Banyu Biru.
Disudut utara kota yang padat penduduknya itu tinggal seorang bangsawan Tua yang terkenal ramah tamah dan berwibawa. Yaitu Raden Mas Anjasmoro, yang mendiami gedung megah dengan belasan pengawal yang dimilikinya.
Menjelang senja, tampak iringan-iringan orang berkuda memasuki wilayah utara kota Ungaran. Ternyata adalah si Bangsawan Tua Anjasmoro itu, yang datang bersama ketiga tamunya si Tiga Siluman Bukit Hantu. Tentu saja si pendek Seto Bungkrik membawa serta si gadis bernama Pipit Lurik itu dalam pangkuannya di atas kuda.
Beberapa penduduk yang sempat berpapasan dengan rombongan itu tentu akan menjura hormat pada si Bangsawan terkenal itu, yang berikan senyumannya pada setiap orang yang dijumpai. Tak berapa lama dua orang penjaga telah membukakan pintu utama di depan gedung megah milik si Bangsawan Tua itu.
Dan mereka segera beranjak masuk. Ketika mereka masing-masing turun dari kudanya, segera beberapa penjaga berdatangan untuk membenahi kuda-kuda itu. Binatang tunggangan yang mereka naiki adalah didapatkan dengan mudah. Karena di setiap tempat si Bangsawan Tua banyak mempunyai kenalan.
PIPIT LURIK terkejut ketika dapatkan dirinya berada di sebuah pembaringan empuk berseprai bersih dan bagus. Dan dalam sebuah kamar yang indah. Sebuah jendela yang terkuak terbuka sebagian, menampakkan latar belakang sebuah taman bunga. Juga sebuah lampu gantung yang terbuat dari besi ukiran berada di langit-langit ruangan kamar. Gadis ini beranjak bangkit untuk duduk, terkejut dia karena rasakan tubuhnya tak mengenakan pakaian sama sekali, kecuali sebuah selimut berbau harum yang membungkus tubuhnya.
"Oh, apa yang telah terjadi denganku? Di manakah ini? Tempat ini bukan kamarku...! Ya, kamar ini lebih indah, dan amat indah melebihi kamarku...!" Bertanya-tanya Pipit Lurik dalam hati.
Segera dia mulai mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Gadis ini ternyata telah lupa pada kejadian di atas bukit, akibat pengaruh dua butir pil yang dijejalkan dalam mulutnya oleh si pendek Seto Bungkrik. Semalam suntuk dia telah tertidur pulas, bahkan ketika dia tersadar, matahari sudah mulai meninggi.
Setelah lama termangu-mangu, akhirnya Pipit Lurik mulai dapat mengingat lagi kejadian mengerikan di atas bukit, dimana tubuhnya tengah digeluti oleh si pendek Seto Bungkrik salah satu dari Tiga Siluman Bukit Hantu. Mengingat demikian, gadis ini tiba-tiba perdengarkan jeritan histeris. Wajahnya seketika pucat pias ketakutan.
"Tidaaaak...! tidaaaak...! Oh, lepaskan aku...! lepaskaaaann!" Dan dia sudah bangkit dari pembaringan. Sekejap saja sepasang matanya telah membersitkan air bening yang menggenangi pelupuk matanya.
Pada saat itulah sesosok tubuh melompat ke dalam kamar setelah membuka daun pintu dengan cepat. Terkejut pipit Lurik menatap siapa yang datang. Akan tetapi juga terheran... karena di hadapannya bukanlah wajah jelek si pendek gundul itu, melainkan seorang pemuda gagah berpakaian mewah, yang menatap padanya. Dan segera telah berikan senyuman manis terhadapnya.
"Oh...? no... nona sudah sadarkan diri...? Sukurlah! Dan tenanglah, nona..! Kau berada di tempat yang aman! Namaku Pitra Sena! Kau berada di kamar dalam gedung ayahku Raden Mas Anjasmoro...!" Berkata pemuda itu dengan lemah lembut.
Adapun Pipit Lurik tergesa-gesa menutupi kembali tubuhnya, dan membuntalnya dengan selimut. "Apakah gerangan yang terjadi? Mengapa aku bisa berada di gedung si Bangsawan Tua sahabat ayahku ini..?" Sentak hati Pipit Lurik.
Tiba-tiba mendadak gadis ini rasakan kepalanya mendadak jadi pening dan rumit memikirkan semuanya. Dan sekonyong-konyong dia mulai mengingat pada sang ayah. Tak ayal Pipit Lurik kembali menjerit histeris menyebut-nyebut nama ayahnya, dengan menelungkupkan wajah di kedua lengannya. Membuat pemuda itu jadi tampak kebingungan, dan segera mendekati seraya mengelus pundaknya. Akan tetapi Pipit Lurik telah melompat ke sudut pembaringan.
"Pergi kau...! pergii Jangan jamah aku! Ke mana ketiga manusia iblis itu? Katakan di mana mereka! Aku harus membunuhnya mampus! Dia... dia pasti telah bunuh ayahku! Ayaaah...! oh, ayaaaah....." Setelah berteriak-teriak, Pipit Lurik kembali menangis tersedu-sedu.
Pemuda bernama Pitra Sena itu cuma mendiamkan saja menatap si gadis dengan tersenyum, karena maklum kalau dia tengah shok dengan kejadian yang dialaminya. Tiba-tiba sang gadis sudah hentikan lagi tangisnya. Kini hatinya memikir akan apa yang telah dialami. Barulah dia sadar kalau dirinya telah ternoda.
Ya, ternoda oleh si manusia pendek bernama Seto Bungkrik itu. Dan dia ingat benar akan kejadiannya. Seketika lemahlah sekujur tubuhnya. Air matanya yang mengalir di pipi terasa panas. Tibatiba dia telah angkat wajahnya, seraya menatap pada si pemuda yang masih berdiri menatapnya.
"Maafkan kekhilafanku, kakak...! Dapatkah kau ceritakan mengapa aku bisa sampai berada di sini?" Bertanya Pipit Lurik menahan isaknya.
Pitra Sena tersenyum, seraya menyahuti dengan kata-kata lemah lembut. "Tenangkan hatimu, nona..! beristirahatlah, aku akan memanggil pelayan untuk membawakan pakaian buatmu...! Biarlah nanti setelah kau selesai bersantap, aku akan menceritakan kejadiannya pada nona... ng... anda bernama Pi... Pipit Lurik, bukan...?"
Pipit Lurik mengangguk seraya tundukkan wajahnya. Tatapan mata pemuda anak si Bangsawan Tua Raden Mas Anjasmoro itu seperti menembus ke jantungnya, membuat hatinya jadi berdebar. "Diakah yang telah menolongku...? Ataukah ayahnya..? Ah, seandainya dia atau ayahnya yang telah melakukan pertolongan padaku, sama saja! Tapi alangkah menyesalnya aku menolak keinginan ayah menjodohkan aku padanya. Dan kini... kini semua harapan ayah telah musnah! Bahkan aku tak tahu bagaimana nasib ayah kini! Ya, aku tak tahu lagi! Namun aku pasti akan segera tahu, kalau ayah Pitra Sena sudah menuturkannya padaku...!" Memikir gadis ini.
Sementara Pitra Sena telah keluar dari kamar untuk memanggil pelayan. Ternyata beberapa pelayan wanita telah berada di balik pintu sejak tadi, karena telah mendengar suara teriakan-teriakan dan tangis Pipit Lurik di dalam kamar. Segera saja Pitra Sena menyuruhnya menyediakan pakaian untuk sang gadis itu.
Sementara dia sendiri berlalu ke arah ruangan depan, dimana sang ayah masih duduk sambil menghisap cangklongnya. Laki-laki Bangsawan ini sudah sejak tadi mendengar suara teriakan dan tangisan gadis itu. Akan tetapi dilihatnya Pitra Sena telah berlari melihat, hingga dia tak berniat bangun melihatnya.
Adapun Raden Mas Anjasmoro ini tengah bercakap-cakap dengan anak laki-lakinya itu, yang terputus oleh teriakan Pipit Lurik tadi. Tak lama Pitra Sena sudah muncul di ruangan depan. Laki-laki gemuk ini menoleh, seraya menatap pada sang anak.
"Bagaimana dengan gadis itu, Pitra Sena! Apakah sudah dapat kau bujuk dan jelaskan kejadiannya?" Tanyanya.
"Sudah, ayah! akan tetapi aku belum ceritakan apa-apa padanya! Kuharap kau mengerti, ayah...." Pitra Sena mendekati ayahnya, dan bisikkan sesuatu padanya. Selang sesaat, terdengar suara tertawa pelahan Sang Bangsawan Tua ini.
"Jadi kau menginginkannya? Hm, gadis itu telah ternoda! Terserah kau! Asalkan kau tak mengawininya! Kau tahu! Punya istri itu banyak resikonya, dan kau masih terlalu muda!" Ujar sang Bangsawan tua itu.
"Ayah...! Akulah yang telah menodainya! Dan aku yakin bahwa akulah yang pertama...!" Berkata Pitra Sena dengan tersenyum pada sang ayah.
Raden Mas Anjasmoro naikkan alisnya dengan mata melotot menatap sang anak. "Jadi kau yang menculiknya...?" Tanyanya dengan heran.
"Benar ayah! Gadis itu tengah diperkosa...! Akan tetapi aku telah lihat sendiri bahwa si pendek Seto Bungkrik itu belum berhasil melakukannya!"
"Lalu kau culik?"
"Ya, dengan pergunakan jurus "Angin Puyuh Menghalau Naga", tapi tidak terlalu keras! Cukup menerbangkan jubah si jangkung Wong Duwur itu!" Lalu Pitra Sena ceritakan sedikit akan perbuatannya, hingga berhasil menggondol Pipit Lurik.
"Bocah edan! Hati-hati kau, jangan sembarangan membuka rahasia kalau kau ada mempunyai ilmu! Aku memang pernah mengajak si tua Jaran Perkoso itu untuk berbesan! Akan tetapi dengan maksud tertentu..."
"Apakah itu, ayah?" Tanya Pitra Sena ingin tahu.
"Hm, nantilah aku jelaskan...! Kini bagaimana mengenai keadaan si tua Jaran Perkoso itu? Apakah masih bisa diselamatkan nyawanya?"
"Entahlah! Ketika aku kembali lagi ke bukit itu, dia sudah hampir mati! Luka-lukanya amat parah! Sudan pasti dihajar oleh si pendek Seto Bungkrik itu, yang amat mendendam padanya!" ujar Pitra Sena. Lalu teruskan pembicaraannya.
"Tadinya aku tak mau ambil peduli, akan tetapi kudengar dia memanggil namaku. Segera ku hampiri. Ternyata dia ada berkata-kata: "Anak Mas... kau carilah.. a.. anakku Pipit Lurik! Ah, seandainya kau berjodoh... dengan.. anak gadisku, alangkah bahagianya aku..." Berkata si pemuda tirukan suara Jaran Perkoso.
"Lalu bagaimana kelanjutannya?" Tanya Raden Mas Anjasmoro penuh perhatian.
"Dia tuliskan sesuatu yang aku tak mengerti pada sobekan pakaiannya dengan darah, lalu berikan pada ku! Tampaknya dia mau katakan sesuatu lagi, tapi dia sudah keburu pingsan! Karena bukit itu jauh dari desa, dan aku tak mau pakaian ku kotor kena darah. Terpaksa dia ku tinggalkan saja di bukit itu, entah mati ataukah masih bernyawa, aku tak mengetahui..!" Ujar Pitra Sena polos.
Terkejut Raden Mas Anjasmoro, segera terdengar suaranya mendesis. "Apakah, kain bertuliskan darah itu masih berada padamu?"
Pitra Sena mengangguk. "Cepat berikan padaku, aku ingin lihat!" Berkata si Bangsawan Tua dengan nada tak sabar.
Cepat-cepat Pitra Sena berikan sobekan kain yang diselipkan di saku celananya, yang telah dibungkus sobekan kain lagi. Bahkan Pitra Sena sendiri hampir lupa kalau masih mengantongi sobekan kain pemberian Jaran Perkoso. Laki-laki Bangsawan tua itu memperhatikan tulisan yang tak berbentuk huruf, seperti tak mempunyai arti sama sekali. Bahkan beberapa kali dia memutarmutarkan dan membolak-baliknya, akan tetapi tetap tak mengerti.
"Hm, mungkin si tua Jaran Perkoso itu menyuruhmu memberikan kain bertuliskan darah ini untuk anak gadisnya..." Ujarnya perlahan. "Biarlah aku yang menyimpannya." Sambungnya lagi.
Kemunculan si Tiga Siluman Bukit Hantu ternyata membawa bencana besar atas keadaan di sekitar wilayah kota Ungaran. Karena siang itu keadaan di dalam markas Benteng Macan Gunung tengah terjadi kekacauan. Suara benturan senjata dan bentakanbentakan keras, serta teriakan-teriakan ngeri terdengar saling susul. Bercampur dengan suara ringkik kuda yang ketakutan. Apakah gerangan yang terjadi?
Kiranya setelah habis dijamu oleh Raden Mas Anjasmoro, si Tiga Siluman Bukit Hantu mendatangi ke markas itu untuk melakukan pembunuhan. Terutama adalah men cari dua dari Tiga Macan Gunung Muria. Tentu saja kedatangannya disambut oleh para anak buah penghuni markas, hingga terjadi pertarungan seru. Namun para anak buah bagaikan lalat yang dimakan api. Beberapa betas sosok tubuh sudah berkaparan mandi darah dalam keadaan tak bernyawa.
Saat itu Gantar Sewu belum kembali dari mengawal barang. Cuma ada Jaka Keling yang menjaga markas. Laki-laki ini memang sedang resah, karena seperti janji Jaran Perkoso yang akan kembali pada Ssre kemarin, ternyata tak kelihatan datang. Bahkan sampai menjelang slang lagi. Dia baru mengutus beberapa orang anak buahnya untuk melihat atau menyelidiki ke beberapa tempat dataran tinggi.
Namun belum lagi para anak buahnya kembali, telah datang tiga manusia yang menebar maut di markas Benteng Macan Gunung. Di sudut pertarungan tampak pemuda berusia tiga puluh tahun itu tengah bertarung dengan si pendek bertongkat kepala telapak tangan besi yang melayaninya dengan seru.
"Hahaha.. hehe... ilmu pedang Tiga Macan Gunung ternyata cuma begini saja! Hayo, keluarkan jurus-jurus maut mu yang terkenal itu!"
"Iblis pendek keparat! Apa kesalahan pihak kami? Mengapa tiba-tiba kalian lakukan pembantaian di markas kami!" Bentak Jaka Keling, seraya lakukan serangkaian serangan. Pedangnya berkelebatan bagaikan puluhan pedang yang berkelebatan mengurung tubuh sang lawan.
"Hehehe... tak perlu tanya-tanya segala kesalahan! Pokoknya Tiga Macan Gunung Muria harus kutumpas semua sampai lenyap! Setelah Jaran Perkoso, kini giliran saudara-saudara seperguruannya!" Ujar si pendek Seto Bungkrik seraya mengelakkan beberapa serangan bahkan balas merangsak dengan hebat.
Namun Jaka Keling dengan lincah menghindari, walau tak urung ujung telapak tangan besi itu merobek pakaiannya yang menyerempet bahu, dan menggores kulitnya. Jaka Keling melompat mundur tiga tombak. Wajahnya meringis, merasakan pedih dari lukanya. namun hai itu tak membuatnya terkejut. Melainkan kata-kata tentang kakak seperguruannya Jaran Perkoso itulah yang membuatnya terperanjat.
"Hah!? Kalian... telah membunuh kakang Jaran Perkoso?" Teriaknya tertahan.
"Hahaha... tidak salah! kakak seperguruanmu itu sudah mampus! dan anak gadisnya telah berada dalam tawananku...!"
Terkejut bukan alang kepalang Jaka Keling, Seketika dia sudah membentak keras, dan menerjang dengan sambaran-sambaran pedangnya yang menggebu. "Iblis keparat! aku akan adu jiwa denganmu..!" Dan mengamuklah Jaka Keling bagaikan singa terluka.
Sementara Kemang Suri dan Wong Duwur dengan enak saja melakukan pembantaian secara keji. Kepandaian kedua manusia itu bukanlah tandingan para anak buah si Tiga Macan Gunung Muria. Teriakan-teriakan maut terdengar dimana-mana. Singo Bronto salah seorang tangan kanan Tiga Macan Gunung Muria itu tampak telah terluka parah. Sebelah lengannya dihantam remuk oleh tongkat kepala Tengkorak Wong Duwur. Akan tetapi tanpa menghiraukan rasa sakit yang luar biasa itu, dia sesudah menerjang lagi dengan gigih.
"Hehehe... tenagamu kuat juga! Apakah kau salah satu dari si Tiga Macan Gunung Muria?" Berkata dingin si jangkung Wong Duwur.
Akan tetapi Singo Bronto tak menjawab. Bahkan mencecar dengan serangan-serangan tajam dengan sebelah lengan. Ternyata cukup membuat Wong Duwur harus waspada. Salah-salah lengannya bisa kena terbabat putus oleh pedang lawan yang mengamuk hebat ini. Tiba-tiba laki-laki jangkung ini perdengarkan suara geraman menggertak.
Tongkatnya berputar cepat dengan putaran menyilang, membuat Singo Bronto terperangah Karena dia sudah tak dapat membedakan lagi kemana arah sambaran tongkat lawan. Ketika tahu-tahu benda keras telah menghantam kepalanya. Laki-laki ini perdengarkan jeritannya. Lalu roboh terguling meregang nyawa. Sekejap kemudian tewas dengan kepala rengat mengerikan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan keras yang bersuara nyaring. "Iblis-iblis keji! Hentikan perbuatan kalian...!!"
Suara itu terdengar amat berpengaruh. Membuat ketiga tokoh hitam itu segera melompat mundur. Jaka Keling pun dapat bernapas lega, karena segera terlepas dari kepungan ketat tongkat si pendek Seto Bungkrik. Sementara beberapa pasang mata segera tertuju pada berkelebatnya sesosok tubuh yang telah berada di tempat itu.
Siapakah gerangan pendatang bersuara nyaring ini?. Tak lain adalah si Pendekar Wanita Pantai. Selatan Roro Centil. Seorang dara cantik luar biasa dengan rambut lebat terurai ke punggung, berbaju sutera warna merah muda tengah berdiri menatap ketiga manusia dihadapannya, Di kedua lengannya mencekal sepasang senjata Rantai Genit, yang bentuk bandulannya mirip buah dada.
Melengak ketiga manusia bergelar Tiga Siluman Bukit Hantu itu. Jelas suara bentakan barusan amat berpengaruh. Karena seperti bergetar menembus ke masing-masing jantung, menimbulkan hawa aneh yang membuat menciutnya nyali orang. Melihat yang muncul adalah seorang dara cantik, serta bersenjatakan benda aneh demikian si pendek Seto Bungkrik jadi tersenyum lucu.
Akan tetapi bentakan itu memang telah membuat jantungnya serasa copot. Siapakah gerangan adanya gadis aneh ini? Pikir si pendek dalam benaknya. Sementara Kemang Suri sudah mendengus dihidung melihat dara itu. Dia sudah melompat ke hadapan Roro Centil dan berkata dengan nada menghina.
"Eh, dari mana datangnya kuntilanak centil ini? Hihihi.. rupanya masih doyan menyusu, hingga kemana-mana membawa tetek ibunya...?"
Seraya berkata Kemang Suri palingkan kepalanya pada dua kawannya di belakang. Wong Duwur dan Sato Bungkrik lantas saja menimpali dengan tertawa gelak-gelak. Adapun Roro Centil cuma perlihatkan senyumannya, dan tertawa jumawa seraya berkata seenaknya.
"Hu, tidak salah ucapan mu itu Ratu Kuntilanak! Aku memang masih doyan menyusu...!"
Seraya berkata Roro Angkat sebuah Rantai Genitnya. Bandulan aneh berbentuk buah dada itu diangkatnya tinggitinggi. Lalu tengadahkan kepalanya seraya monyongkan mulut untuk mengecup putik "buah dada". Dengan ujung lidah dia telah memutar putik diujung payudara senjatanya itu. yang segera mengucur air. Selanjutnya dengan lahap Roro sudah menenggaknya beberapa teguk.!
Seandainya yang berkata seorang laki-laki gagah, tak nantinya dia akan marah dirinya disebut Ratu Kuntilanak. Akan tetapi yang menyebutnya adalah seorang gadis bertampang lugu seperti remaja baru kemarin sore, tentu saja membuat darahnya seketika naik ke kepala. Apalagi dengan sikap memandang rendah, Roro Jual lagak dihadapannya.
"Eh, setan centil! sebutkan namamu, sebelum aku mengirim mu ke Akhirat! Tidak tahukah kau bahwa tengah berhadapan dengan Tiga Siluman Bukit Hantu...?" Bentak Kemang Suri. Di saat menyebut julukan mereka, sengaja Kemang Suri memberi tekanan keras agar membuat sang dara itu terkejut.
Akan tetapi si dara yang tengah meneguk arak dari sebuah "payudara" senjatanya itu sekonyong-konyong terbatuk-batuk. Karena tiba-tiba saja dia telah tertawa geli. Akibat batuknya itu, sisa-sisa arak dalam mulut telah tersembur ke depan. Menyemprot ke muka dan pakaian Kemang Suri yang berada dihadapannya sejarak lima langkah. Tentu saja Kemang Suri tak mau mukanya kena cepretan air arak. Segera ia melangkah cepat ke belakang, akan tetapi tak urung bajunya terkena juga semburan air arak dari mulut Roro Centil.
"Hihihi.. hihi.. kau menyebutku se.. Setan Centil? Uhuk! uhuk! uhuk! Setannya biarlah kuberikan buatmu! Kalau Centilnya tepat sekali untukku! Karena namaku memang Roro Centil!" Berkata si Pendekar Wanita ini dengan masih terbatuk batuk, dan tertawa mengikik geli.
"Bocah edan...! Mulutmu memang harus kuremukkan...!" Teriak Kemang Suri, seraya sudah mau menerjang. Akan tetapi Wong Duwur sudah melompat untuk menahan.
"Tunggu, dewiku...!" Melengak Kemang Suri. Namun segera laki-laki ini membungkuk bisikkan sesuatu di telinga Kemang Suri. Terkejut wanita ini ketika melirik ke arah pakaiannya ternyata sudah bolong bolong terkena semburan arak tadi. Yakinlah kini kalau gadis yang diremehkannya ternyata berkepandaian tinggi. Segera dia beri isyarat untuk mengurung si dara aneh.
"He, apakah kesalahannya orang-orang markas ini, hingga sampai kalian si Tiga Siluman Tengik telah mengamuk membantai orang semaunya?" Tanya Roro, yang seperti tak acuh meneruskan menenggak arak.
Tiga manusia itu tak memberi jawaban, melainkan saling kedipkan mata memberi isyarat. Dan dengan berbareng telah berlompatan menerjang ke arah Roro. Jaka Keling yang melihat kejadian itu jadi mencelos hatinya. Celaka! wanita itu dalam bahaya...! Sentak hati Jaka Keling. Akan tetapi sungguh di luar dugaan, tahu-tahu ketiga Siluman Bukit Setan itu perdengarkan seruan tertahan, dan bergulingan menghindarkan diri.
Karena tiba-tiba saja bersemburan air arak yang menyemprot ketiga penjuru. Beruntung mereka dapat lolos dari air semburan arak, namun tak urung kepala gundul si pendek Seto Bungkrik terkena juga cipratan air semburan arak itu. Seketika melepuh bagaikan terkena letikan api. Laki-laki pendek ini menyeringai gusar seraya usap-usap kepala gundulnya. Akan tetapi tiba-tiba....
Hukkk...! Kembali dia harus berguling mengelakkan diri ketika merasai sambaran angin ke arah kepalanya.
"Hihihi.. Awas, hati-hati dengan kepala gundulmu, pendek jelek. Kalau hilang tak ada gantinya..!" Terdengar satu suara.
"Bocah edan! Rasakan senjataku." Teriak Kemang Suri seraya melepaskan paku-paku berbisanya. Serangkum senjata rahasia meluruk ke arah Roro. Gadis ini gerakkan lengannya mengibas. Dan segelombang angin santar segera membuat paku-paku berbisa itu berbalik meluruk ke arah si penyerang.
"Gila...!?" Memaki Kemang Suri seraya melompat tinggi tiga tombak. Senjata rahasianya berdesis meluruk lewat di bawah kakinya. Akan tetapi terkejut wanita ini ketika injakkan kaki ke tanah, belasan paku berbisa itu balik kembali menyerang ke arahnya. Edan!? memaki dia dalam hati. Untung dengan cepat Kemang Suri putarkan seruling hitamnya, hingga belasan paku maut itu buyar ke beberapa penjuru.
Adapun si jangkung berkumis baplang itu jadi terkejut melihat ilmu aneh yang dipergunakan Roro. Namun sebagai tokoh yang sudah banyak pengalaman di dunia Rimba hijau, dia sudah keluarkan bentakan seraya menerjang dengan tongkat kepala tengkoraknya. "Sebutkan siapa gurumu, nona Centil!"
Roro tertawa mengikik seraya mengelak dengan pergunakan jurus langkah Bidadari Mabuk Kepayang. "Hihihi... tanyakan pada gurumu diliang kubur, pasti akan tahu siapa guruku...!" Dan sekonyong-konyong...
Dess...! Roro sudah hantamkan sebelah telapak kakinya menendang ke dada lawan. Hal mana dilakukan dengan tiba-tiba, yang si jangkung tak menyangka sama sekali. Untuk mengelak sudah terlambat. Karena dia tengah perhatikan gerakan cara mengelak si dara itu, yang aneh seperti orang terhuyung mabuk, namun telah berhasil meloloskan serangannya. Terpaksa dia gunakan kekuatan tenaga dalam menahan dada. Akan tetapi si jangkung mengeluh, dan terhuyung tiga langkah. Seandainya dia tak bertenaga dalam tinggi, tentu sudah terlempar sejauh lima tombak.
Diam-diam Roro terkejut juga mengetahui kehebatan kekuatan lawan. Dia memang sengaja pergunakan sepertiga tenaga dalam untuk sementara si pendek sudah menggerung keras menerjang dengan tongkatnya, menerjang Roro Centil. Telapak tangan besi itu berdentingan terkena tangkisan senjata Roro yang bagaikan karet. Bila beradu hantaman langsung mental balik menyerang lagi ke arah lawan berpantulan.
Tentu saja membuat si pendek Seto Bungkrik jadi kewalahan menyerang seorang diri. Untunglah datang Wong Duwur yang bantu menerjang Roro. Hingga segera terjadi pertarungan sengit. Belasan juruspun berlalu sudah. Agaknya Roro cukup merasa sulit menjatuhkan lawan karena mereka bekerja sama dalam menyerang dan menyelamatkan kawan. Apa lagi tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling yang membersit tinggi menggetarkan anak telinga.
Roro seperti terkejut, dan berpaling ke arah si peniupnya. Nada seruling yang tinggi rendah itu mungkin akan memberi orang lain akan terkena pengaruh, akan tetapi bagi Roro tidaklah mempunyai arti yang berarti, karena dia sudah salurkan tenaga batinnya untuk menutupi pendengaran. Sementara kedua penyerangnya tiba-tiba melompat mundur.
Roro amat heran, tapi segera manggut-manggut mengerti. Rupanya mereka mempersiapkan diri untuk menutupi telinganya. Adapun Roro Centil segera keluarkan akalnya. Tiba-tiba tampak tubuhnya seperti terhuyung keras mau jatuh. Wajahnya berubah memerah. Dan terhuyung-huyung dia seperti berusaha menahan kekuatan tenaga dalam yang merusak dan menyerang ke otak. Dan pada saat berikutnya dua sosok tubuh jangkung dan pendek itu telah menerjang lagi dengan berbareng.
"Mampuusss...!" Teriak mereka hampir serempak.
Akan tetapi di detik itu terdengar suara pekik kesakitan. Dua tubuh penyerang itu terlempar tiga tombak terguling-guling. Kalau si botak pendek Seto Bungkrik adalah menjerit karena sepotong lengannya hancur. Akan tetapi si jangkung ini adalah sebelah kakinya yang hancur sebatas lutut.
Tentu saja kejadian mendadak itu membuat Kemang Suri terperanjat. Dan sekejap saja tiupan serulingnya terhenti. Saat dia tengah terperangah itulah, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah ke arahnya.
Whusss...! Plak...!
Dia telah hantamkan telapak tangannya, akan tetapi dia sendiri yang terlempar ke belakang. Dan di saat sebelum tubuhnya menyentuh tanah, tahu-tahu... Plas...! Seruling ditangannya telah lenyap disambar bayangan merah itu.
Buk...! tubuhnya terbanting ke tanah. Saat manalah tiba-tiba Jaka Keling yang sejak tadi jadi penonton, dengan menutupi kedua telinganya, tiba-tiba menampak kesempatan di depan mata. Segera disambarnya pedang yang ditancapkan tadi di tanah. Dan...
Jroosss...! Pedangnya telah di hujamkan tepat pada jantung si wanita bernama Kemang Suri itu. Terbeliak sepasang mata Kemang Suri. Akan tetapi Jaka Keling sudah menyentakkan pedangnya. Darah segar segera menyemburat keluar memancar deras. Kemang Suri berkelojotan meregang nyawanya. Namun tak lama sudah tak berkutik lagi. mati, dengan mata melotot.
"Hihihi...bagus! Sobat muda!" Teriak Roro Centil yang sudah berdiri di depan anak muda itu. Pada lengan Roro Centil tercekal seruling hitam Kemang Suri. Krakk...! Roro sudah hancurkan seruling itu.
Sementara si kedua manusia pendek dan jangkung itu mengetahui kematian Kemang Suri segera sambar tongkat ,asing-masing dan melesat kabur melarikan diri,
"Terima... kasih atas bantuan anda... nona pendekar....!!" Berkata Jaka Keling seraya menjura. Suaranya terdengar parau. Tampak wajahnya pucat pias. Agaknya sudah sejak tadi dia menahan kekuatan tubuhnya untuk bisa berdiri, karena luka pada bahunya yang tergores ujung tongkat si pendek Seto Bungkrik itu mengandung racun, yang mulai menjalar ke seluruh tubuh.
Terkejut Roro Centil, baru mau dia berkata, tahu-tahu Jaka Keling sudah jatuh menggabruk di tanah. Tak ayal Roro Centil segera memburunya. Ternyata Roro bertindak cepat tanpa sungkan-sungkan. Segera ia periksa luka orang. Terkejut Roro mengetahui selingkaran bekas luka sudah berwarna hitam.
"Racun ular sendok...? Desis Roro. Dan sekejap dia sudah bungkukkan tubuh, dengan merundukkan kepala. Ternyata mulutnya sudah digunakan untuk menyedot darah pada bekas luka ini.
Tak berapa lama Roro sudah muntahkan lagi cairan darah berwarna hitam dari mulutnya. Lalu salurkan tenaga dalam ke telapak tangan. Dan menempelkannya ke punggung laki-laki itu. Segera terlihat perlahan-lahan wajah laki-laki itu berubah seperti biasa kembali. Bahkan lukanya yang menghitam telah lenyap warna hitamnya.
Roro keluarkan sejumput obat bubuk dari dalam botol kecil dari kantong bajunya. Tak lama tubuh laki-laki itu mulai bergerak kembali. Dan terdengarlah keluhan, lalu bangkit duduk. Merasa keadaan tubuhnya telah kembali normal, dan lihat gadis pendekar itu menatap dengan senyum di hadapannya, tahulah dia kalau dirinya baru saja ditolong. Luka di bahunya sudah tak terasa nyeri lagi.
"Ah, anda telah mengobati lukaku? eh,.. te.. terima kasih, nona Pendekar!" Ucapnya dengan suara tergagap. Akan tetapi Roro menyahuti.
"Hihi... panggillah namaku saja, aku Roro Centil! Racun ular Sendok itu amat jahat! Terlambat sedikit lagi, anda tak mungkin tertolong...!" Tutur Roro Centil.
Melengak pemuda ini. Segera dia manggut-manggut seraya kembali ucapkan terima kasih. "Budi pertolongan anda amat besar, nona... Roro...! Semoga Tuhan membalas kebaikan hati anda!" Ujarnya lirih dan suaranya terdengar bersemangat.
"Ah, sudahlah! Siapakah nama anda, sobat muda...?" Tanya Roro.
"Oh, ya aku Jaka Keling! adik seperguruan dari ketua Markas Benteng Macan Gunung ini!" Menyahuti Jaka Keling, seraya bangkit berdiri menuruti Roro Centil.
Gadis Pendekar Pantai Selatan ini manggut-manggut. "Baiklah, nanti kau bisa ceritakan padaku! Mari kita tolong dulu kawan-kawanmu!" Ujar Roro seraya beranjak melompat. Sementara matanya sudah memandang ke sekitar. Puluhan mayat bergelimpangan. Suara mengerang dari yang terluka terdengar disana sini. Tapi lebih banyak yang tewas ketimbang yang luka.
"Aih, aku datang terlambat! Gara-gara mengurusi orang usil di rumah makan tadi itu, hingga begini besar korban yang berjatuhan!" Gerutu Roro perlahan. Segera dengan sisa-sisa para anak buah yang masih hidup dan dibantu Jaka Keling, Roro Centil lakukan pertolongan dan merawat yang terluka. Keadaan di markas itu begitu trenyuh, sampai-sampai Roro hampir jatuhkan air mata.
Gantar Sewu kepal-kepalkan tinjunya dengan wajah memerah padam. Disudut matanya tampak mengalirkan air mata. Penguburan para jenazah sudah selesai sejak kemarin. Dan biaya-biaya pengeluaran untuk keluarga korban sudah dibagikan. Dan sejak hari itu papan nama yang terpancang di pintu markas, sudah dicopot.
Jaka Keling duduk disudut ruangan dengan wajah tertunduk. Pemuda ini terlalu lelah mengurus penguburan mayat-mayat rekannya dan mengantarkan pada masing-masing keluarganya. Dia telah bekerja keras selama dua hari belakangan ini. Ditambah harus memikirkan nasib Pipit Lurik yang menurut apa yang didengarnya dari si Tiga Siluman Bukit Hantu, sang gadis telah ditawan mereka.
"Sungguh menyesal aku tak menemui pertempuran di markas kita! sehingga yang ku tahu adalah segalanya sudah selesai! Berarti selesai jugalah usia Benteng Macan Gunung!" Ujar Gantar Sewu dengan suara terdengar sedih.
"Kasihan nasib kakang Jaran Perkoso! Beliau memang pernah mengatakan padaku akan mengundurkan diri dari kepemimpinan di Markas Benteng Macan Gunung ini, untuk menyepi ke puncak Muria! Tak dinyana belum lagi terkabul rencana yang sudah lama ditimbang-timbangnya itu, beliau sudah keburu dipanggil oleh Yang Kuasa...!" Lanjut Gantar Sewu dengan suara terdengar bergetar menahan kesedihan.
Jaka Keling angkat kepalanya menatap sang kakak kandungnya. "Kakang Gantar Sewu! Kini apakah rencanamu selanjutnya?" Tanya Jaka Keling setelah suasana lama menjadi hening.
"Yah, aku serahkan pada pilihan mu bagaimana baiknya. Kukira sebaiknya kita berpisah! Silahkan kau ambil jalan mu sendiri! Dan aku juga mengambil langkah sendiri! Kau sudah cukup dewasa, Jaka Keling! Bahkan lebih dari dewasa! Aku tak dapat menghalangi niatmu menentukan jalan hidupmu, disamping kita harus mencari dimana adanya Pipit Lurik, dan membalaskan dendam kakak seperguruan kita yang telah menanam jasa besar pada kita...!"
Hening sejenak. Jaka Keling termenung tanpa berkata apa-apa. Dan Gantar Sewu kembali teruskan bicaranya.
"Kau jangan khawatir, mengenai harta peninggalan kakang Jaran Perkoso, akan segera kita bagi dua! Tanah dan gedung markas ini akan kutawarkan pada seorang hartawan tua kenalan kita, yang sering memesan kereta untuk mengangkut dan mengawal barang! Satu dua hari ini mungkin aku akan berangkat ke Gemolong, sekalian pindah dengan anak istriku! Terserah pada keinginanmu, apakah akan turut bersamaku atau mencari kehidupan sendiri...!" Gantar Sewu lanjutkan ucapannya seraya tatap wajah adiknya dalam-dalam. Seperti ingin mengetahui apa isi hati yang terkandung di dalam dada sang adik.
Akhirnya Jaka Keling bicara juga, setelah merenung lama. "Ya, kalau kakang sudah mengatakan untuk kita mengambil jalan hidup sendiri-sendiri aku tak dapat menolak! Mengenai urusan gedung markas ini aku tak mau mencampuri! Cukup bagiku sedikit bekal untuk perjalanan mencari Pipit Lurik! Dan seekor kuda yang kuperlukan. Mengenai urusan balas dendam, hal itu adalah urusan belakangan. Yang penting adalah menemukan dahulu dimana adanya Pipit Lurik!" Ujar Jaka Keling dengan suara datar.
Tampak Gantar Sewu kerutkan keningnya, seperti terheran mendengar jawaban Jaka Keling. Setelah menghela napas Gantar Sewu perlihatkan senyumnya, seraya berkata; "Hm, baiklah! kalau cuma itu keinginanmu! Aku memuji akan tekadmu untuk mencari Pipit Lurik! Benar! Itu memang tanggung jawab kita! Kepergianku ke Gemolong adalah cuma mengantarkan anak-istriku, sekalian pindah dari wilayah Ungaran ini! Tapi bukan berarti aku tak mengacuhkan anak gadis saudara seperguruan kita? Akupun akan berusaha mencari, dan tentu saja membalaskan dendam pati ini! Kukira walaupun mereka telah terluka oleh pendekar wanita itu, mereka berdua masih bisa membahayakan. Bukan mustahil mereka akan mengacau lagi kemari! itulah sebabnya aku akan menjual tanah dan gedung ini...!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut dihadapan kakaknya. Namun tak lama dia sudah keluar gedung untuk menuju ke baraknya. Jaka Keling memang selalu tidur dibarak. Gantar Sewu cuma menatap punggung sang adik. Yang sudah melangkah lebar keluar gedung.
"Kau akan berangkat sekarang, Jaka...!" Tanya Gantar Sewu.
Laki-laki ini mengangguk. Dia sudah siapkan seekor kuda dari kandang di belakang baraknya. Kuda yang memang miliknya. Pemberian dari Jaran Perkoso yang telah dibelikan kakak seperguruannya itu dengan harga mahal. Barusan kepergiannya ke barak adalah untuk berkemas. Gantar Sewu menatapnya dengan pandangan sedih.
"Baiklah, adikku...! Semoga Tuhan selalu melindungimu...!"
Gantar Sewu masuk kembali ke dalam ruangan kamar. Tak lama sudah keluar dengan membawa sebuah buntelan kecil yang perdengarkan suara gemerincing. Agaknya Gantar Sewu sudah mempersiapkannya sejak tadi.
"Terimalah ini untuk bekal dalam perjalananmu semoga kau dapat menghemat sisa uang ini...!" Ujar Gantar Sewu seraya berikan buntalan itu pada Jaka keling.
"Baik, kakang! Titipkan salamku pada kakang mbok, dan anakmu...!"
"Tentu, Jaka...! Kalau kau temui kesulitan, carilah aku di Gemolong! Berhasil atau tidak pencarian ku menyelidiki dimana adanya Pipit Lurik, aku memang akan menetap disana...! Nah, selamat berjuang! Aku yakin pendekar Wanita itu bisa dijadikan Dewi Penolong dalam upaya menumpas kedua iblis dari Tiga siluman bukit Hantu!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut, talu selipkan sekantung uang itu ke balik pakaian. Lalu beranjak mendekati kudanya. melompat ke atas punggung si hitam. Dan... tanpa menoleh lagi segera keprak kudanya yang membedal cepat meninggalkan halaman markas dengan perdengarkan suara ringkikkannya.
Gantar Sewu menatap kepergian sang adik dengan tersenyum. Dan terdengar suara helaan nafasnya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah aneh. Senyumnya mendadak sirna. Dia sudah balikkan tubuhnya untuk beranjak cepat kembali ke kamar. Kamar itu adalah kamar Jaran Perkoso.
"Hm, aku harus cari dimana kakang Jaran Perkoso menyembunyikan peta sisa harta warisan guru! Aku yakin guru telah berikan seluruh hartanya pada kakang Jaran Perkoso!" Desis suara Gantar Sewu.
Dan segera dia bekerja membongkar kembali, dan mengaduk-aduk seluruh isi lemari. Juga mencari di tempat-tempat lainnya. Sebuah pajangan berbentuk kepala rusa, tempat menggantung pakaian dicopotnya. Lalu diperiksa, kalau-kalau Jaran Perkoso menyembunyikan peta di situ. Entah mengapa hatinya semakin yakin kalau kakak seperguruannya menyimpan peta harta sang guru.
Dan hatinya seperti tersentak. Jantungnya berdebar keras. Dia telah temukan secarik kertas kulit tipis yang digulung kecil, pada sebuah lubang dibalik pajangan kepala menjangan. Segera dengan cepat dibukanya. Tampak wajahnya berubah berseri menyeringai.
"Hahaha... bagus, akhirnya kutemukan juga! Hampir aku mencurigai si Jaka Keling!" Gumam Gantar Sewu. Seraya teliti peta itu. Dugaannya tepat kalau Jaran Perkoso ada menyimpan peta harta pusaka gurunya.
Urusan ini lebih penting, ketimbang mencari Pipit Lurik dan membalaskan dendam pati kakang Jaran Perkoso! Namun aku harus ke Limbangan dulu menyelesaikan urusanku! Pikir Gantar Sewu dengan menampakkan senyum puas..."
Baiklah, kita tinggalkan dulu Gantar Sewu dengan segala rencananya. Mari kita ikuti kemana gerangan langkah sang adik bernama Jaka keling itu.
Kuda hitam itu mencongklang lari dengan pesat. Penunggangnya adalah seorang laki-laki gagah berkulit hitam. Pakaiannya sederhana, berwarna abuabu dengan ikat kepala sehelai kain berwarna jingga. Dialah Jaka Keling yang telah tinggalkan markas Benteng Macan Gunung. Entah kemana tujuannya. Tapi yang jelas dia tengah menuju ke arah barat, dari kota Ungaran.
Laki-laki ini tak membawa sebatang pedang, yang biasa diselipkan di belakang punggungnya. Menjelang Matahari menggelincir, dia sudah tiba di satu kota lagi, setelah menyeberangi dua buah sungai. Yaitu sebuah kota bernama Singorojo. Sepasang matanya mulai mencari dimana adanya tempat penginapan. Beberapa bulan berselang dia memang pernah singgah di kota ini.
Segera saja dia mudah temukan tempat di tengah kota agak menyudut di sebelah selatan jalanan. Setelah tambatkan kudanya, segera Jaka Keling beranjak masuk. Seorang pelayan mempersilahkannya dengan menjura hormat. Segera Jaka keling mencari kursi di dalam ruangan bagian bawah restoran Itu. Dia berniat mengisi perut dulu. Beberapa pasang mata tampak memperhatikannya. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara memanggil namanya.
"Sobat Jaka Keling, silahkan duduk disini...!"
Terkejut Jaka keling ketika melihat yang memanggilnya adalah justru orang yang tengah dicarinya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Wanita Roro Centil. Tergopoh gopoh Jaka Keling menghampiri. Setelah menjura, lalu menyeret kursi untuk segera duduk.
"Hihi... aku tak menyangka kau akan datang begitu cepat, sobat Jaka..." Berkata Roro seraya menatap dengan tersenyum. Sementara seorang pelayan telah menghampiri mejanya. Segera Jaka Keling memesan makanan.
"Aku menyangka takkan menjumpai anda disini, nona Roro! Bukankah anda mengatakan kalau anda sementara ini berada di desa Patean? Niatku memang akan kesana, tapi keburu senja! Justru maksudku mau menginap disini, untuk teruskan lagi perjalananku esok untuk mencari anda di desa Patean!" Ujar Jaka Keling dengan suara perlahan. Roro manggut-manggut dan tersenyum.
"Patean adalah desa tempat kelahiranku...! Namun keadaan desa itu kini sudah tak seperti dulu lagi ketika aku kecil! Bahkan sudah banyak orang-orang yang pindah! Karena wilayah sekitar Kota Raja sudah mulai sepi, sejak Kerajaan Medang atau Mataram dipindahkan ke Jawa Timur!" Ujar Roro datar.
Jaka Keling manggut-manggut. Diapun sudah mengetahui akan kepindahan Kerajaan Medang yang telah berganti dengan nama Mataram itu. Bahkan keretanya sering dipakai untuk mengangkut barang-barang yang dalam kepindahannya dilakukan dengan berangsur-angsur.
Tentu saja dari para pembesar tidak keseluruhannya pindah ke daerah baru itu. Namun walau demikian dari pergantian wilayah Kerajaan, membuat susunan Pemerintahan berubah pula. Bahkan sudah dua kali di wilayah lama terjadi penggantian Raja baru.
Selesai bersantap, Roro mengajak keluar. Niatnya adalah mendengarkan penuturan Jaka Keling, karena untuk pembicaraan demikian kurang leluasa dilakukan di tempat terbuka, yang banyak telinga mendengarkannya. Bahkan sudah sejak tadi lima orang yang duduk melingkar mengelilingi satu meja paling besar, sering lirikan mata memandang ke arah mereka.
"Apakah aku perlu memesan tempat dulu?" Tanya Jaka Keling lirih.
"Tak usahlah. kukira lebih baik kita cari penginapan lain." Berkata Roro dengan suara yang terdengar agak keras.
Membuat beberapa orang segera menoleh. Tanpa perdulikan mata para pengunjung restoran di rumah Penginapan itu, Roro panggil pelayan. Tergesa-gesa seorang pelayan menghampiri. Namun sebelum Roro rogoh sakunya untuk membayar, Jaka Keling sudah berikan beberapa keping uang perak yang dikeluarkan terlebih dulu.
"Ambillah sisanya untukmu!" Ujar Jaka Keling seraya tersenyum pada sang pelayan. Manggut-manggut laki-laki pelayan itu sambil ucapkan terima kasih, lalu beranjak pergi.
Pemandangan di sekitar kota Singorojo cukup indah, jalan-jalan terlihat bersih berpagar bambu memagari deretan rumah penduduk desa disudut kota Singorojo. Pertanda para penduduk adalah orangorang yang mengerti akan kebersihan dan kerapian, serta keindahan desanya. Semakin ke ujung, ternyata semakin sepi dari rumah penduduk. Ternyata di bagian sebelah bawah adalah daerah perkebunan, yang terlihat indah dari tempat ketinggian berpadang rumput itu. Beberapa pohon berdaun rindang tumbuh disana.
Jaka Keling tuntun kudanya disamping Roro Centil Tampaknya mereka sambil melangkah, telah banyak bercakap-cakap. Dan bahkan Jaka Keling telah tuturkan kejadian di markas. Roro tampak manggutmanggut mengerti. Tak lama pembicaraan mereka sudah dilanjutkan sambil duduk di bawah pohon rindang, dengan mata menatap ke bagian bawah tempat ketinggian yang berpemandangan indah itu.
Tampaknya Roro sering menjadi perhatian Jaka Keling dalam setiap gadis pendekar itu berbicara. Karena wajah cantik dan menawan hati dari Roro Centil mau tak mau mendebarkan jantungnya. Akan tetapi Jaka keling bukanlah seorang pemuda yang kurang ajar. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya yang selama ini ditutupnya buat setiap wanita.
Bahkan sampai seusia tiga puluhan tahun, Jaka Keling tak pernah sedikitpun berhasrat untuk mengenal wanita. Namun tak disangka kalau hari ini dia bisa bercakapcakap dengan wanita... Bahkan seorang gadis cantik ayu memikat hati, juga seorang pendekar wanita, yang berkepandaian tinggi. Sungguh suatu keberuntungan pada nasib Jaka Keling bisa berkenalan dengan dara perkasa itu.
"Aku akan membantumu mencari dimana adanya keponakan angkatmu bernama Sri Kemuning alias Pipit Lurik itu...!" Ujar Roro.
"Sayang kedua manusia iblis itu berhasil menyelamatkan diri! akan tetapi andai mereka tewas pun justru menjadi semakin sulit mengetahui dimana adanya gadis itu karena dia toh berada dalam tawanan si tiga Siluman Bukit Hantu?" Ujar Roro Centil. Jaka Keling cuma manggut-manggut membenarkan.
"Ah, sebenarnya aku merasa malu, karena membuat anda menjadi repot, nona Roro!" Ujar Jaka Keling.
Roro kerutkan sedikit keningnya seraya berkata. "Aii... mengapa berkata begitu? Aku si Roro Centil mana bisa berdiam diri melihat segala macam kejahatan? Justru aku kini sedang mencari seorang penjahat terselubung yang telah mengacaukan keadaan di beberapa wilayah...!"
"Oh!? Apakah kejahatan yang telah dilakukannya?" Tanya Jaka Keling.
"Hihihi... kejahatan yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki! Apa lagi kalau bukan pemerkosaan terhadap wanita, termasuk penculikan. Dan tentu saja ada efek lainnya, yaitu pembunuhan...!" Tandas Roro dengan suara terdengar seperti kesal.
Lengan gadis pendekar ini menjumput sebuah batu kecil, dan jentikan keras dengan jarinya ke arah depan, seraya perdengarkan dengusan di hidung. Tak disangka gerakan yang dilakukan Roro seperti melepas rasa kesalnya itu berakibat lain. Karena di luar dugaan Roro telah perlihatkan kepandaiannya menyambit yang tampak aneh. Batu kecil yang melayang ke depan itu mendadak memutar arah, dan meluncur ke balik semak pepohonan lebat.
Terdengar suara orang berteriak mengaduh dari balik belukar itu, yang disusul dengan teriakan suara memaki. "Aduh!?" Setan alas! Siapa yang menyambit ku?" Dan berapa sosok tubuh sudah berlompatan keluar dari semak lebat itu.
"He! Giran...! Sudah pasti laki-laki hitam itu! Mungkin dia mengetahui kita mengintip mereka disini!" Desis suara seseorang. Karena tempat itu lengang suara desisan itu terdengar cukup jelas.
Ternyata kelima orang yang tadi duduk dalam restoran penginapan, ditambah dua orang kawannya lagi. Rupanya mereka mengincar pada Roro, yang memang tak menampakkan seperti orang persilatan. Pakaiannya biasa saja berwarna putih dari kain blacu murahan. Senjata Rantai Genitnya dibungkus dalam kain blacu yang tersangkut di pinggang, tertutup pakaian luarnya.
Namun wajah cantiknya, dan sikapnya yang terlihat memang seperti gadis genit, telah membuat mereka menguntitnya. Apa lagi kedatangan Jaka Keling, ternyata membuat mereka mendongkol. Karena menghalang niatannya yang sudah direncanakan. Adapun Jaka Keling walaupun tanpa menyandang Pedang, salah seorang dari kawan mereka telah mengenal kalau dia adalah salah seorang dari Tiga Macan gunung Muria.
"Heh, kalau memang benar dia, kita sudah kepalang basah ketahuan! Mengapa tak kita ringkus saja laki-laki itu! Sengaja dia mau bikin gara-gara! Aku ada berita yang datang cepat, bahwa Markas Benteng Macan Gunung telah ditutup! Semua karyawannya dibubarkan! Tampaknya ada terjadi perpecahan dengan Ketiga Macan Gunung Muria itu!" Berbisik seseorang, di belakang mereka.
Yang bicara adalah salah seorang dari dua kawannya yang di tengah jalan ikut nimbrung menguntit. Keduanya itu ternyata adalah dua orang pendatang dari wilayah kota Ungaran, yang mempunyai sahabat di sekitar kota Singorojo. Mendapat gosokan dari kedua laki-laki itu, si korban yang tangannya telah melembung benjol kena sambitan batu, jadi beringas.
"Bagus! Biar aku hadapi dia! Sekalian ingin tahu kehebatan yang bagaimanakah yang dimiliki si Macan Gunung Muria itu?". Desis si laki-laki itu dengan geram. Kelima orang itu adalah anggota dari komplotan terselubung, sebagai pelacak mencari korban yang telah ditugaskan oleh ketuanya.
Setelah berunding, tampak kelima orang itu sepakat untuk keluar menampakkan diri. Sementara kedua orang kawan yang nimbrung itu tampaknya tenang-tenang saja. Tak lama segeralah berlompatan kelima tubuh orang itu keluar dari balik semak belukar. Dan sekejap sudah mengurung di belakang Roro dan Jaka keling.
"Eh, Macan Gunung Muria! Tak usah kau menyamar jadi pelancong! Kami sudah tahu kau adalah si Jaka Keling! Kau kira di wilayah sini bisa jual lagak seenaknya?! Hm, kami si Lima Naga Raksasa Dewa bukanlah kaum perampok! Tapi perbuatanmu mencelakai orang adalah tak bisa dibenarkan!" Berkata laki-laki yang tangannya bengkak itu dengan suara menggeledek.
Adapun ke empat kawannya diam-diam berusaha menahan senyum, karena si kawan mereka yang satu ini telah berani membuat gelaran yang amat keterlaluan angkernya, padahal mereka tak mempunyai gelaran sama sekali. Tak lebih dari anak-anak buah dari Ketua komplotannya.
Mendengar bentakan itu Jaka Keling segera palingkan tubuh. dan bangkit berdiri menatap pada kelima orang di hadapannya, yang berdiri membuat setengah lingkaran pada jarak dua tombak dari tempat mereka duduk. Adapun Roro Centil yang sudah mengetahui kemunculannya seolah tiada menggubris sama sekali.
"Ah, anda mungkin salah menduga orang! Aku bukan salah seorang dari Macan Gunung Muria! Dan namaku bukanlah Jaka Keling! Anda mengatakan aku telah jual lagak! Tapi aku merasa tak mengganggu anda?! Harap kalian menyingkirlah, jangan mengganggu pembicaraan kami!" Ujar Jaka Keling dengan tersenyum.
"Setan usil! Kau sudah sambit lenganku sampai bengkak begini, mengapa kau bilang tak mengganggu? Heh, tak usah kau berdusta, kami telah tahu keretakan di markas mu! Tiga Macan Gunung Muria sudah tak punya kewibawaan apa-apa!" Berkata laki-laki bertubuh sama hitamnya dengan Jaka Keling. Berwajah brewok dengan sepasang matanya yang memerah.
Roro Centil sudah melompat bangun berdiri seraya putarkan tubuh. "Hihihi... kami sedari tadi sedang mengobrol disini, masakan bisa mencelakai orang!? Jangan-jangan lengan mu dipatuk ular! Siapa suruh mengintip orang dengan bersembunyi disemak-semak lebat?" Ujar Roro seraya menatap pada lengan orang yang merah membengkak.
Merah seketika wajah kelima orang itu! Sedangkan si laki-laki hitam bertampang brewok itu tampak sedikit terkejut, karena bualannya dengan memperkenalkan "julukan" mata yang seram, tak membawa hasil untuk menggertak orang. Karena dari kelima orang itu tak ada yang bisa bicara lagi, tiba-tiba kedua orang tadi sudah berkelebat ke tempat mereka. Kedua orang itu dengan cepat menjura ke hadapan Roro, seraya berkata.
"Maaf, nona... apakah anda yang bernama nona Roro...?" Tanya salah seorang. Keduanya adalah lakilaki berusia sekitar tiga puluhan tahun.
Roro menatap mereka dengan penuh selidik, tapi tak urung segera mengangguk. "Benar! Ada keperluan apakah kalian menanyakan namaku?" Sementara Roro sudah berpikir kalau dua laki-laki ini cuma cari-cari alasan saja. Mengenai namanya diketahui orang itu, tentu mudah diterka. Karena sewaktu masuk ke restoran di Penginapan itu, Jaka Keling telah menyebut namanya. Keduanya adalah diketahui Roro berada tak berapa jauh dari dekat mejanya; yang seolah tak turut memperhatikan.
"Hamba berdua adalah utusan dari Adipati Banyu Biru! Ada surat rahasia dari beliau untuk anda, untuk segera datang ke tempat yang telah diperuntukkan pertemuan! Silahkan anda membacanya!" Ujar laki-laki itu seraya berikan segulung kertas pada Roro.
Dengan agak heran Roro terpaksa menyambuti. Ketika membaca isi surat yang singkat itu, segera wajahnya tampilkan senyuman. "Baik! Aku akan segera datang kesana dalam satu dua hari ini...!" Ujar Roro Kedua laki-laki itu segera menjura, lalu salah seorang menggamit lengan kawannya untuk segera putar tubuh beranjak meninggalkan mereka dengan berkelebat pergi.
Akan tetapi dikejauhan, salah seorang dad mereka telah berteriak. "Kalau anda tak tahu jalan, silahkan hubungi kami di salah satu penginapan di desa Boja...!"
Roro tak menyahut, namun meneliti isi surat dalam tulisan di kertas itu. Lalu selipkan dalam saku pakaiannya. "Mari kita berangkat, sobat Jaka...!" Berkata Roro seraya palingkan wajah menatap Jaka Keling. laki-laki ini mengangguk, lalu sambar tali di leher kuda, seraya sempat melirik pada kelima orang itu yang cuma terpaku dengan mata melotot padanya.
“Tahan...! Kalian tidak bisa pergi begitu saja!" Berkata si kulit hitam brewok.
Roro Centil menoleh, seraya pasang wajah lucu. "Eh, mengapa? Kau katakan bahwa kalian bukan perampok! Lalu apa maksudmu menahan kami?" Tanya Roro.
"Aku tak tahu menahu dengan surat rahasia dari Adipati Banyu Biru! Tapi kalau anda dengan sukarela mau menemui ketua kami, tanpa laki-laki itu, aku si Kromo Yudho dan ke empat kawanku ini tak akan bertindak kekerasan!"
Roro jadi naikkan alisnya dengan tertawa geli. Tadi sesumbar mengatakan gelar yang hebat sebagai Lima Naga Raksasa Dewa. Kini menggertak lagi untuk menghadap ketuanya. Namun disamping geli, diam-diam Roro berfikir lebih jauh. Siapa tahu penyelidikannya tentang seorang penjahat yang tengah di incarnya Itu bisa di ketahui di tempat sarang kelima orang ini, yang tak diketahui siapa ketuanya. Setelah tatap sejenak pada Jaka Keling, segera Roro berkata.
"Hm, baik! aku tak menolak! Tapi dengan syarat! Kalau bisa jatuhkan sobat kawanku bernama Jaka Tingting ini tanpa pakai senjata, aku segera akan menghadap Ketua kalian!" Ujar Roro.
Melengak kelima orang itu dengan saling pandang. Namun tak lama segera kelimanya tertawa saling susul. "Baik, aku bersedia!" Sahut laki-laki bernama Kromo Yudho itu.
"Apakah kami maju satu persatu, ataukah sekalian...?" Tiba-tiba salah seorang menyelak bicara.
"Majulah kalian semuanya...!" Berkata Jaka Keling dengan tersenyum jumawa.
Tentu saja hal tersebut membuat muka mereka jadi merah. Apalagi mengetahui kalau laki-laki itu bukanlah salah satu dari Tiga macan Gunung Muria. Roro memang pandai mengubah nama orang, yang ternyata telah dipercaya pula.
"Hm, baik! Sebenarnya kami amat main mengeroyok, tapi tak jadi apa! Karena ini adalah permintaannya sendiri!" Ujar Kromo Yudho. Dan serentak mereka sudah menanggalkan masing-masing senjatanya. Lalu bergerak melompat mengurung Jaka Keling.
Jaka Keling telah siap berdiri dengan waspada. Dan Kromo Yudho segera memberi isyarat memulai. Maka dengan serempak kelima orang itu telah menerjang ke arah Jaka Keling dengan masing-masing jotoskan kepalannya. Pemuda itu tiba-tiba rundukkan tubuhnya hingga hampir menyentuh tanah. Dan di iringi hentakan keras, sepasang lengannya bergerak saling susul menghantam ke arah lima penyerangnya. Terdengarlah suara...
Bak! Buk! Bak! Buk!
Dan sekejapan saja dengan diiringi teriakan-teriakan keras, kelima tubuh itu roboh berjungkalan untuk tidak mampu berdiri lagi. Karena masing-masing perutnya telah terkena hantaman tinju Jaka Keling. Sehingga kelimanya meringis-ringis memegangi perutnya yang merasa mulas. Roro bertepuk tangan melihat akhir dari pertarungan yang cuma berlangsung dalam beberapa kejap itu.
"Hebat! hebat... ! Kalian sudah kalah... ! Segeralah kalian merat dari sini!" berkata Roro seraya tatap kelima orang itu. Sambil menahan rasa sakit pada perutnya, segera mereka kembali mengambil senjata masing-masing.
Akan tetapi di luar dugaan mereka telah berkelebatan mengurung Roro. Rupanya isyarat dari Kromo Yudho yang menjadi pimpinan dari keempat kawannya itu amat dipatuhi. "Heh, walau bagaimanapun kau harus ikut menghadap ketua kami! Atau senjata-senjata kami akan berbicara."
Kromo Yudho mengharap dengan menangkap Roro maka si pemuda tak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi ketika Kromo Yudho gerakkan goloknya untuk ditempelkan ke leher Roro, laki-laki ini menjerit parau. Tahu-tahu goloknya telah mental entah kemana. Dan dia sendiri dalam keadaan tertotok dengan berdiri kaku, dengan posisi menyerang. Terkejutlah kelima kawannya. Belum lagi mereka berbuat sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara mengikik tertawa. Dan tubuh Roro lenyap dari pandangannya. Kejap berikutnya, giliran tubuh-tubuh merekalah yang tertotok dengan berdiri kaku bagal arca.
"Hihihi... sebaiknya kalian jadi patung saja disimpan!" Ujar Roro, yang sudah berdiri tegak di hadapan kelima orang itu.
"Nah, untuk membuat patung jadi awet, harus dioleskan bahan pengeras ini supaya kalian tahan lama!" Ujar Roro, seraya keluarkan sebuah tabung bambu yang telah dibuka sumbatnya. Pucat piaslah seketika wajah kelima orang itu. Menghadapi "gertakan" Roro itu mereka seketika berteriak-teriak mohon ampun. Bahkan diantaranya sudah ada yang menangis tersedu sedu.
"Baik! aku akan ampuni nyawa kalian! Tapi sebutkan siapa ketua kalian. Dan apa maksudnya aku kalian suruh menghadap Ketuamu!" Bentak Roro dengan suara berubah bengis.
Keempat orang itu saling lirik dengan kawannya. Rupanya Kromo Yudho lah yang segera buka mulut. Keringat dingin sudah bercucuran dari sekujur tubuh.
Setitik api yang kecil, bisa membuat kebakaran besar... Demikian juga dengan komplotan terselubung yang mendiami wilayah Singorojo. Dengan adanya pengakuan Kromo Yudho pada Roro Centil. Akhirnya diketahui siapa adanya dalang dari komplotan terselubung itu. Ternyata Roro Centil bertindak kejam. Seperti diketahui watak wanita pendekar ini memang aneh, dan sudah diterka. Terkadang genit, lucu dan menarik hati. Namun terkadang kejam tak kenal ampun.
Empat dari kelima orang itu telah diputuskan urat suaranya, hingga mereka tak dapat bicara lagi. Mengenai cara ini jarang orang yang dapat melakukan dari Kaum Rimba Hijau. Karena seperti diketahui Roro Centil banyak mempunyai guru, yang diantaranya adalah Resi Jayeng Rana asal Tibet. Tokoh ahli obat-obatan yang mengenal betul akan keadaan urat-urat tubuh manusia.
Akan tetapi cara kejam ini adalah Roro sendiri yang mendapatkan, setelah mengetahui dan mempelajari. Cuma datangnya niat, dan cara yang dilakukan, adalah bagaimana munculnya waktu itu saja. Seperti diketahui, Roro Centil pernah terluka di kepala yang dialami ketika berusia tujuh tahun. Yaitu terkena terjangan kaki-kaki kuda.
Dan dalam gemblengan gurunya si Wanita Aneh Pantai Selatan alias si Manusia Banci, banyak lagi hal-hal yang membuat Roro menjadi seorang gadis yang berwatak mirip gurunya. Terkadang membuat orang jadi kebingungan akan sikapnya. Tapi terkadang juga apa yang dilakukannya membuat orang jadi kagum.
Roro tinggalkan tempat itu dengan membawa serta Kromo Yudho. Cuma laki-laki yang seorang inilah yang selamat dari diputuskannya urat suara oleh Roro. Surat dari Adipati itu diberikan pada Jaka Keling. Jaka Keling diperintahkannya menunggu di tempat yang dimaksud dalam isi surat itu. Dengan janji, Roro akan segera menyusul pada hari yang ditetapkan.
Sementara Roro sendiri segera membawa Kromo Yudho, yang dicengkeram punggungnya bagaikan mencengkeram seekor kucing. Dan dibawa berkelebat cepat sekali. Jaka Keling cuma terpana, melihat kepergian wanita Pendekar itu. Namun tak ayal dia segera berangkat pergi dengan mencongklang kudanya.
Terkejut Tumenggung Yoga Bumi, ketika tahu-tahu seorang gadis telah datang menghadap, dengan menenteng sesosok tubuh laki-laki berkulit hitam berwajah brewok ke hadapannya. Dan menjatuhkan sosok tubuh laki-laki itu di lantai.
"Andakah tumenggung Yoga Bumi yang menjaga keamanan di wilayah Singorojo ini...?" Tanya Roro Centil.
Terkejut Tumenggung ini karena baru pertama kali didatangi seorang gadis cantik yang sikapnya tanpa sopan santun. Bahkan "nyelonong" saja masuk ke Pesanggrahan tanpa membawa perantara dari pengawal yang memberitahukan kalau mau menghadap. Baru selesai Roro bicara, empat orang prajurit sudah berlarian ke dalam dengan wajah pucat pias. Karena sewaktu ditegur, Roro sudah melesat masuk dengan cepat sekali.
Sang Tumenggung menatap keempat prajurit, lalu menatap pula pada Roro. Dan kemudian terakhir menatap pada laki-laki yang tertunduk menyembunyikan mukanya berjongkok diatas lantai. Otaknya yang encer ternyata sudah dapat menduga kalau yang datang bukanlah orang sembarangan.
Apalagi dengan membawa seorang laki-laki yang tampak gemetaran tubuhnya. Sudah dapat dipastikan adalah seorang penjahat yang tertangkap. Atau juga seorang pesakitan yang baru dibawa ke luar dari tahanan. Segera dia berikan isyarat pada keempat prajurit supaya menyingkir kembali.
"Benar! aku Tumenggung Yoga Bumi adanya! Siapakah anda, nona... ? Dan siapa pulakah orang ini...?" Tanya sang Tumenggung dengan sikap sabar.
"Namaku Roro Centil! Mengenai orang ini, dia adalah salah seorang anak buah dari komplotan terselubung yang selama ini mengganggu ketertiban rakyat! Ketuanya bernama Kala Butho! Perlu diketahui, bahwa komplotannya adalah disamping menculik gadis-gadis cantik untuk dijual dan diumpankan pada para bangsawan hidung belang, juga kepada orang asing dan para pembesar Kerajaan! Bahkan juga melakukan pula serangkaian pembunuhan dan perampokan secara terselubung! Kala Butho baru salah satu anak buah dari gembong besar penyalur wanita-wanita cantik yang mempunyai cabang di wilayah Singorojo ini! Gembongnya telah aku selidiki...! Silahkan anda memeriksanya! Dan tentunya setelah berhasil mengorek keterangan, hendaknya segera menggulung secepatnya komplotan itu disarangnya! Aku cuma bisa membantu anda dengan membawa salah seorang anak buahnya ini!" Ucap Roro dengan suara terdengar nyaring merdu.
Selesai berkata, tiba-tiba lengannya telah bergerak menjambak rambut Kromo Yudho. Tentu saja laki-laki ini berteriak kesakitan dan memohon ampun berulang kali.
"Bicaralah kau yang sebenarnya pada Tumenggung! Dan tunjukkan dimana tempat komplotan itu! Kalau kau berdusta, aku yang akan menghukum mu dengan cara yang paliiing kejam! Mengerti...!" Bentak Roro, seraya lepaskan jambakannya. Kromo Yudho manggut-manggut dengan nyawa terasa seperti sudah di ujung ubun-ubun.
"Nah, aku pergi, tumenggung! Tapi kalau ternyata kau sendiri melindungi komplotan itu, aku akan gantung leher mu di alun-alun...!" Bentak Roro dengan suara sedingin es.
Terkesiap Tumenggung Yoga Bumi. Seperti kepalanya kena palu godam, mendengar ancaman Roro. "Edan! masakan aku mau melindungi penjahat?" sentaknya dalam hati. Akan tetapi baru dia mau buka suara, si gadis aneh itu sudah berkelebat lenyap dengan tinggalkan suara tertawa mengikik yang membuat bulu roma bangun berdiri.
Sejenak tumenggung Yoga Bumi jadi terpaku tak bergeming. "Aneh...!" Siapakah gerangan wanita muda itu...? Namanya Roro... Cen.. til?" Gumam sang Tumenggung seraya mengelus-elus jenggotnya yang cuma sejumput.
"Roro Centil...! Hm, ya.. ya.. aku seperti pernah mendengar nama itu...!? Tiba-tiba wajahnya menyentak kaget seraya mendesis. "Tidak salah...! Dia pasti si Pendekar Wanita Pantai Selatan! Ooooh, pantas! pantas...! Orang Rimba Hijau kelakuannya memang aneh-aneh...!"
Dengan bujuk rayu Pitra Sena yang bersikap manis pada Pipit Lurik, akhirnya jatuh juga sang gadis dalam pelukan si pemuda anak laki-laki Bangsawan Tua Raden Mas Anjasmoro untuk yang kedua kalinya. Gadis cantik puteri Jaran Perkoso itu cuma bisa mandah saja ketika lengan-lengan nakal si pemuda mulai menelusup membelai sekujur tubuhnya.
Udara senja yang dingin di sekitar tempat berpemandangan indah itu menyibak tubuh-tubuhnya yang bergelinjangan di rerumputan menghijau, pada salah satu bukit yang terhalang matahari.
Entah kali ini sang gadis telah berikan kehangatan tubuhnya untuk yang ke berapa kali. Karena cumbuan Pitra Sena benar-benar meluluhkan hati dan jantungnya. Harapannya untuk berguru pada nenek sakti di puncak Ratawu, telah gagal. Karena mau tak mau dia harus membalas budi Keluarga Bangsawan itu yang telah menyelamatkannya dan tangan si Tiga Siluman Bukit Hantu.
Pitra Sena dan ayahnya ternyata manusia-manusia yang pandai berpura-pura. Raden Mas Anjasmoro telah berjanji akan segera menikahkan mereka. Pipit Lurik yang dalam keadaan kalut dan merasa telah ternoda oleh si pendek Seto Bungkrik, tentu saja tak berdaya menolak untuk dinikahi oleh Pitra Sena, bahkan dia merasa bersyukur bahwa masih bisa menuruti keinginan sang ayah, walau keadaannya sekarang sudah lain.
Karena berita kematian ayahnya telah terdengar juga. Bahkan markas Benteng Macan Gunung yang telah bubar pun sampai ke telinganya. Dan tak diketahui lagi nasib kedua pamannya, Gantar Sewu dan Jaka Keling. berada. Bahkan tak diketahui mati dan hidupnya. Yang diketahuinya adalah si Tiga Siluman Bukit Hantu telah melabrak ke sana.
Ada niat Pipit Lurik untuk mencari mereka, mencari tahu kabar beritanya. Akan tetapi Pitra Sena, tak mengizinkannya. Kabar berita itupun diberitahukan oleh Pitra Sena. Bahwa seorang sahabat ayahnya yang telah memberitahukan kejadian tersebut. Dan dari Pitra Sena juga Pipit Lurik mengetahui kalau tanah dan gedung Markas Benteng Macan Gunung telah dibeli oleh calon Mertuanya itu.
Gadis yang tengah shok itu cuma bisa menuruti keinginan sang calon suaminya, yang hampir setiap saat mencumbuinya. Demikian pula halnya dengan hari itu. Pitra Sena telah mengajaknya ke tempat yang berpemandangan indah itu. Pipit Lurik tenggelam dalam madunya cinta berahi, yang seolah-olah melupakan semua kemelut dihatinya.
Direngkuhnya bibir lakilaki tempat menggantungkan nasibnya itu. Dipeluknya kuat-kuat tubuh tegap yang menggelutinya. Dan tenggelamlah Pipit Lurik dalam belaian lembut, serta bisikan-bisikan yang memabukkan. Kembali sehelai demi sehelai pakaiannya berlepasan.
Dengus nafas Pitra Sena bagaikan kerbau liar yang membuat nafas dara cantik itu tertahan-tahan. Terjangan demi terjangan sang kerbau liar itu membuat hatinya semakin menggebu. Mendesah-desah nafasnya seperti saling pacu. Dan tenggelamlah sang dara dalam gelimang noda yang penuh dengan kenikmatan.
Ketika itu Matahari semakin menggelincir... Seorang pemuda menyeruak masuk ke balik semak, meninggalkan kudanya yang ditambatkan di bawah pepohonan. Suara-suara aneh yang telah mengganggu telinganya membuatnya dengan berindap-indap mendekati ke tempat asal suara itu. Ternyata dia tak lain dari Jaka Keling.
Tak jauh di belakang laki-laki itu sesosok tubuh ramping berambut terurai panjang, berkelebat menyusul. Ternyata Roro Centil adanya. Berlainan dengan tempat yang dituju Jaka Keling, Roro Centil mengambil arah ke sebelah barat di seberang sungai itu. Disini dia menjumpai tempat yang rapi seperti telah ada yang merawat. Ketika tengah mengamati sekitarnya, dua sosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak rimbun.
"Hm, kalian adanya?" Tegur Roro dengan suara dingin.
"Silahkan ikuti kami! Segera akan kami tunjukkan dimana tempat Adipati Banyu Biru menunggu nona...!" Ujar salah seorang seraya balikkan tubuh untuk mendahului berjalan. Roro segera mengikuti tanpa banyak tanya.
Tak berapa lama telah memasuki hutan bambu yang berderet rapi bagai pagar. Pada salah satu bagian tengah pagar bambu terdapat satu pintu yang membuat bagai sengaja dibuat untuk jalan menembus hutan bambu. Kedua laki-laki yang telah memberi surat dari Adipati Banyu Biru itu melompat cepat melalui pintu membulat dari ruas-ruas batang bambu. Dan tak kelihatan bayangannya lagi. Tanpa pikir panjang Roro segera melompat mengikut... Akan tetapi tiba-tiba....
Rtrtttttt...!
Terkejut Roro Centil, karena tahu-tahu tubuhnya telah terkena jeratan dalam sebuah jala. Hingga sekejap tubuhnya telah terbungkus masuk dalam talitali jala sutera itu. Bersamaan dengan terjeratnya Roro, segera berlompatan belasan sosok tubuh yang segera mengurung di beberapa penjuru.
"Hahaha... haha... Akhirnya berhasil juga aku menawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil!" Sesosok tubuh gemuk segera perdengarkan suara tertawa dan kata-katanya.
Roro Centil dapat melihat siapa orangnya dari balik tali jala sutera. "Eh, monyet bunting! Aku sudah tahu, kaulah gembong penculikan wanita, dan ketua dari komplotan terselubung yang merampok harta Pusaka Kerajaan Mataram! Aku punya tugas untuk menangkapmu dari Kanjeng Gusti Raja secara rahasia! Kedokmu telah terbuka! Dan kau pula rupanya Adipati Banyu Biru! Hihihi... jangan kau bergirang dulu monyet bunting! Orang-orangmu justru telah menjadi musuhmu, kecuali dua laki-laki yang menjebakku itu...!" Teriak Roro.
Terkejut laki-laki Bangsawan tua itu, yang ternyata tak lain dari Raden Mas Anjasmoro. Segera dia tatap pada para anak buahnya yang memang khusus ditempatkan di sekitar markas tersembunyi itu.
"Para pengawal! Lepaskan tali jala ini....!" Berkata Roro dengan suara berpengaruh. Suara yang telah dilontarkan dengan tenaga dalam yang amat tinggi. Dan suara yang telah menggetarkan jantung setiap orang. Tampak beberapa orang telah melompat ke dekatnya. Dan serentak sudah memutuskan tali jala sutera. Dan sekejap Roro Centil sudah lompat berdiri.
"Gila...!? Edan...! Mengapa bisa jadi demikian?" Sentak hati Adipati Banyu Biru.
Namun belum lagi habis rasa aneh dan terkejutnya sudah terdengar perintah Roro Centil yang membentak keras memberi perintah. "Tangkap hidup atau mati manusia keparat ini...!"
Dan bagaikan di komandokan seorang Senapati, belasan orang-orang Raden Mas Anjasmoro alias Adipati Banyu Biru itu, sudah berlompatan menerjang dengan senjata telanjang. Adapun kedua orang yang telah memberi surat pada Roro itu tampak seperti orang yang kebingungan. Wajahnya pucat pias bagai mayat.
Roro Centil tiba-tiba telah melompat menerjang untuk mengirimkan pukulan mautnya. Dalam keadaan panik demikian, mana mampu keduanya mengelakkan serangan Roro yang dilakukan dengan cepat sekali.
Praakk...! Praakkkk...!
Terdengar suara teriakan pendek parau, disusul dengan robohnya kedua tubuh itu, yang setelah menggeliat sejenak lalu segera lepaskan nyawanya. Ternyata kepalanya telah rengat akibat hantaman kedua telapak tangan Roro.
Sementara itu Raden Mas Anjasmoro dengan membentak gusar segera gerakkan lengannya menghantam para penyerang dari anak-anak buahnya sendiri, pekik dan jeritan maut segera terdengar saling susul. Beberapa sosok tubuh terlempar dengan kepala hancur, dan tulang belulang remuk.
"Hantam teruuuus...!" Teriak Roro memberi semangat pada mereka yang tengah menerjang si laki-laki Bangsawan tua itu. Sementara Roro sudah berkelebat lenyap dari tempat itu. Ternyata Roro terus menyusup masuk ke dalam tempat rahasia itu.
Segera ditemuinya sebuah lobang goa. Roro sudah mau melompat ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba segera batalkan niatnya. Dijumputnya beberapa buah batu hampir sebesar kepalan, lalu dilontarkannya ke dalam. Roro sembunyi di sisi goa. Selang tak lama tiba-tiba terdengar suara bentakan keras dari dalam goa, disusul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kunyuk kurang ajar manakah yang telah iseng sambitkan batu?" Akan tetapi begitu keduanya muncul, Roro Centil bergerak cepat sekali untuk gerakkan tangannya menotok kedua tubuh itu.
Terkesiap keduanya, namun sudah terlambat. Seketika kedua tubuh itu roboh terguling dengan keadaan tubuh kaku tanpa dapat bergerak. Sungguh sukar di duga karena ternyata kedua orang itu adalah si pendek Sato Bungkrik dan si jangkung Wong Duwur. Melihat siapa yang telah menotoknya betapa terperanjatnya kedua manusia itu.
Namun sebelum keduanya sempat buka suara, Roro Centil telah gerakkan lagi lengannya menotok urat suara mereka, gagulah sudah kedua Siluman Bukit Hantu itu. Tak menunggu untuk berlama-lama lagi, tahu-tahu Roro Centil sudah sambar kedua jubah ditengkuk orang, dan apa yang dilakukan gadis Pendekar yang berwatak aneh itu? Ternyata Roro telah menyeretnya pergi dari situ.
Memang janggal kalau seorang gadis yang kelihatan lemah tak bertenaga mampu menyeret dua tubuh manusia. Yang satu panjang bagai galah, dan satu lagi pendek kekar. Namun kenyataannya memanglah demikian.
Mereka cuma bisa mengeluh dengan berdesis, merasa perih dari bekas lukanya yang kembali berdarah terkena batu-batu kerikil tajam yang membentur luka dan tubuhnya. Namun dalam keadaan demikian mereka memang tak dapat berbuat apa apa, selain hati yang kebat-kebit. Karena maut sudah terbayang di depan mata.
"Hihihi... tak usah kalian gelisah, kambing-kambing bandot! Aku cuma berbaik hati untuk mengubur kalian di dasar jurang...!" Berkata Roro Centil. Seraya mempercepat larinya.
Tentu saja membuat kedua manusia ini jadi ketakutan setengah mati. Namun apa mau dikata? Berteriakpun mereka sudah tak sanggup. Kecuali cuma bisa mendesis dengan meringis menyeringai. Karena seketika saja terdengar suara berkelotakan dan bergedebukan, ketika batu dan tanah berpentalan mengenai kepala dan tubuh mereka.
Bahkan ketika melewati belukar, duri-duri tajam itu telah menggores sekujur wajah dan merobek kulit, yang bukan alang kepalang pedihnya. Apalagi bila mengenai bekas luka kutung di tangan maupun di kaki mereka, yang telah dihancurkan Roro. Dan baru diobati beberapa hari.
Mendekati arah tepi bukit, tiba-tiba telinga Roro mendengar suara bentakan dan teriakan dari orang yang bertarung. Ternyata ada pula suara wanita. Tercekat hati Roro. Segera diseretnya kedua tubuh tawanannya itu untuk dibawa menyeruak masuk melewati semak belukar. Terdengar suara ranting-ranting yang patah akibat diterjang oleh kedua tubuh manusia yang diseretnya. Tak lama sudah kelihatan siapa adanya yang bertarung seru disamping bukit.
Ternyata tak lain dari Jaka Keling dengan Pitra Sena. Saat itu Jaka Keling tengah menghadapi lawannya dengan tangan kosong. Begitu juga Pitra Sena yang tak mempergunakan senjata. Sementara seorang gadis tengah menatap ke arah pertarungan dengan sepasang mata basah bersimbah air mata.
"Siapakah gadis itu? Apakah Pipit Lurik...?" Gumam Roro dalam hati. Sekejap Roro sudah melompat ke tempat pertarungan. Tampak sepasang mata Roro menatap pada Pitra Sena. Aneh! Tatapan mata Roro Centil seperti baru melihat orang. Tahu-tahu kedua tawanannya sudah dilepaskan menggabruk ke tanah.
Tampak sepasang mata Roro Centil tiba-tiba dipejamkan. Tubuhnya berdiri tak bergeming. Asap tipis bagai kabut tiba-tiba keluar dari mulut Roro yang agak renggang. Bahkan kabut putih itu juga keluar dari hidung, telinga dan mata. Tiba-tiba sekejap, Roro sudah kembali buka matanya. Terdengar suara gadis pendekar ini berkata perlahan. Akan tetapi sesungguhnya dia tengah mengirim suara jarak jauh.
"Jaka...! Menyingkirlah!" Suara itu menyusup ke dalam cuping telinga Jaka Keling.
Tentu saja dia segera palingkan kepalanya. Dan melihat adanya Roro Centil. Tak ayal segera dia lompat menjauh. Pada saat itu, Roro sudah berkelebat ke hadapan Pitra Sena.
Whusss....!
Segelombang asap kabut meluncur dari lengan Roro menerjang ke arah Pitra Sena, disertai bentakan halus yang menyusup masuk ke telinga Pitra Sena. "Mukamu tidak wajar, sobat...! Kembalilah ke bentuk asalmu...!"
Ketika asap kabut yang bergelombang itu menerpa tubuh Pitra Sena, ternyata telah di iringi pula oleh satu hantaman telak ke arah dada lawan. Buk...! Pitra Sena mengeluh, tubuhnya terlempar. Dan jatuh bergulingan tepat kehadapan Pipit Lurik. Ternyata gadis ini tengah menggenggam sebuah rencong di tangannya.
Niat untuk bunuh diri hampir dilaksanakan, karena tak kuasa menanggung malu. Betapa perbuatannya telah diketahui oleh Jaka Keling, sang paman angkat. bukan kepalang terkejutnya Pipit Lurik ketika tubuh sang calon suaminya yang jatuh ke hadapannya adalah bukan Pitra Sena.
Siapakah gerangan adanya Pitra Sena itu? Ternyata tak lain dari Gantar Sewu, adik seperguruan Jaran Perkoso. Tentu saja membuat Pipit Lurik dan Jaka Keling terkejut. Asap kabut yang dilontarkan Roro Centil telah dibarengi bentakan berkekuatan tenaga batin yang amat tinggi, membuat sirna "ilmu sihir" yang dipergunakan Gantar Sewu. Saat itu satu suara telah menelusup masuk ke telinga Pipit Lurik. Suara itu amat berpengaruh akan tetapi bukanlah suara dari Roro Centil.
"Bunuhlah dia, anakku...! Bunuh mampus manusia licik tak tahu membalas budi itu...!"
Tersentak Pipit Lurik. "Ayah?" Desisnya lirih. "Benarkah itu suara ayah...?" Sentak hatinya. Akan tetapi kedua lengannya mendadak bagaikan digerakkan satu tenaga gaib, segera menghunjamkan rencong milik "Pitra Sena" itu tepat menembus ke jantung laki-laki itu.
Terperangah "Pitra Sena" alias Gantar Sewu. Sepasang matanya membeliak. Dan wajahnya tampak menyeringai kesakitan. Sementara Pipit Lurik sudah melompat berdiri seraya melepaskan rencongnya yang telah terhunjam di dada laki-laki itu.
"Kau... kau...? Ka... Kakang Gantar Sewu ?"
Teriak Jaka Keling. Saat itu tanpa ada seorangpun yang mengetahui sesosok tubuh bagaikan siluman telah muncul di belakang Roro. Sosok tubuh itu tak lain dari Raden Mas Anjasmoro yang telah menyusul Roro Centil. Sepasang lengannya tampak diangkat sebatas dada. Dan tiba-tiba laki-laki bangsawan tua itu telah lancarkan serangan dahsyat pada punggung Roro Centil, pada jarak dua tombak.
Buukkk...!
Terdengarlah suara jerit mengerikan disertai terlemparnya tubuh manusia dengan darah berpuncratan ke setiap penjuru. Dan... Brukkk...! Tubuh yang terlempar itu baru berhenti berguling ketika menghantam batang pohon. Dan sosok tubuh itu telah diam tanpa berkutik lagi. Langsung tewas seketika.
Apakah yang terjadi? Kiranya bukan Roro Centil yang terkena sasaran serangan dahsyat itu. Melainkan si laki-laki bangsawan tua itu sendiri yang terlempar dengan tulang-tulang tubuh remuk. Karena begitu Raden Mas Anjasmoro mengangkat kedua lengannya, telah berkelebat dua sosok tubuh menghantamnya terlebih dulu. Sekejap di tempat itu telah berdiri dua orang tua renta. Ternyata adalah Resi Paksi Sakti Jalatunda dan Bikhu Sokalima. Keduanya telah gerakkan masing-masing lengannya menghantam ke arah Raden Mas Anjasmoro.
Terperangah semua orang, termasuk Roro Centil. Karena jelas kalau tak segera muncul kedua tokoh sakti Rimba Persilatan itu, sukar dipastikan nasib Roro Centil yang dalam keadaan amat kritis.
"Guruuu...!?" Teriak Jaka Keling seraya lompat kehadapan kedua orang kosen itu. Dan segera bersujud di depan sang Resi. Bersamaan dengan itu, berkelebat sesosok tubuh ke tempat itu. Ternyata tak lain dari Jaran Perkoso, yang masih berdiri dengan segar bugar. Cuma keadaan tubuhnya penuh dengan balutan. Terbelalak sepasang mata Pipit Lurik. Dan... melompatlah gadis ini memburunya.
"Ayaaaah !?" Jaran Perkoso menoleh. Dan terjadilah pertemuan yang mengharukan. Kedua ayah dan anak itu berpelukan dengan masing-masing bersimbah air mata.
"Hik hik hik... apakah murid durhaka mu itu belum mampus, sobat Jalatunda?" Tiba-tiba terdengar suara Bikhu Sokalima. Nenek sakti puncak gunung Ratawu itu sudah berkelebat ke arah dimana Gantar Sewu masih terkapar dengan nafas empas-empis tinggal satu-satu.
Akan tetapi memang laki-laki itu belum menghembuskan nafasnya. Segera mereka semua beranjak menghampiri Jaran Perkoso tatap wajah saudara seperguruannya itu dengan bengis.
"Tak kusangka diam-diam hatimu berbulu, Gantar Sewu! Kau kira kejahatanmu tak akan mendapat balasan setimpal?" Bentak Jaran Perkoso dengan suara dingin.
Gantar Sewu tampak tersenyum pedih. Dari kedua pelupuk matanya telah keluarkan air bening yang mengalir turun ke pipi. "Maaf... kan adikmu ini, kakang... ! Me.. memang akulah.. yang te.. telah membunuh.. is.. istrimu, kakang mbok Sri.. Les.. ta.. ri....." Ucap Gantar Sewu dengan suara terputus-putus.
Tentu saja membuat Pipit Lurik jadi terperangah dengan mata terbelalak. Juga Jaka Keling, yang tak menyangka sama sekali. Sedangkan kedua kakek sakti dan nenek kosen itu cuma tersenyum hambar mendengar pengakuan Gantar Sewu. Namun tubuh si kakek sakti Puncak Muria itu tampak bergetar menahan kemendongkolan hatinya.
Betapa muridnya yang telah di didiknya susah payah, ternyata manusia tak berguna. Selanjutnya setelah berkata beberapa patah kata lagi, Gantar Sewu pun tewas. Keadaan di tempat itu jadi hening. Saat itulah tiba-tiba sesosok tubuh berbaju kuning melompat ke tempat itu. Semua orang dengan cepat palingkan kepala.
"Pitra Sena...!" Teriak Pipit Lurik dengan mulut ternganga dan sepasang mata membeliak. Ternyata yang muncul memang benar-benar Pitra Sena. Pemuda ini tak menjawab, akan tetapi melompat menghampiri tubuh Raden Mas Anjasmoro. Dan..... terlihatlah dia duduk bersimpuh di hadapan sang ayah. Terdengar suara kata-katanya bergetar lirih.
"Ayah, agaknya kematianmu memang harus dengan cara begini...! Aku memang anak bengal, ayah...! Tapi aku bukan manusia jahat! Aku bahkan terlibat dalam kejahatan karena perbuatanmu... Oh!, Betapa terkutuknya aku...!" Selanjutnya sudah terdengar suara isak tersebut yang keluar dari bibir pemuda itu.
Perlahan Resi Paksi Sakti Jalatunda alias si Pendekar Lengan tunggal, beranjak menghampiri. Lalu cekal pundak orang dengan perlahan. "Sudahlah, anak muda...! Walau dia ayahmu, akan tetapi pada dasarnya adalah musuhmu! Cuma pertalian darah yang tak dapat dilepaskan! Jasa dan pengorbanan mu amat besar pada bangsa dan Kerajaan atas kesadaran mu membongkar kejahatannya! Kau telah turut membantu melenyapkan gembong dari penculikan para gadis cantik juga gembong dari beberapa perampokan harta pusaka Kerajaan yang telah berlangsung lama sejak dua tahun yang lalu. Dia juga musuh kaum pendekar golongan kanan, yang selama ini dalam kejaran kaum pendekar penegak keadilan, juga buronan dari pihak Kerajaan Mataram! Jarang sekali orang sepertimu berada di dunia ini! Tapi ternyata apapun bisa terjadi!" Ujar sang Resi dengan suara lirih dan tegas. Semua orang yang mendengarkan jadi tercenung. Dan sama-sama menundukkan wajah.
Angin senja berdesir halus menyibak dedaunan. Matahari semakin menggelincir kepermukaan gunung. Saat itu Pitra Sena telah melangkah perlahan ke arah di mana Jaran Perkoso dan Pipit Lurik yang tengah menatap padanya. Tiba-tiba Pitra Sena tunduk berlutut dihadapan laki-laki tua yang masih bertampang gagah itu. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, kecuali isak tertahan yang telah dipersembahkan pada sang Ketua dari markas Benteng Macan Gunung.
Laki-laki gagah ini tiba-tiba gerakkan lengannya mengangkat bahu Pitra Sena. "Bangunlah, calon menantuku....! Aku terima pinanganmu pada anakku Pipit Lurik!" Ujar Jaran Perkoso. Dan wajahnya segera berpaling pada anak perempuannya. "Terimalah dia sebagai calon suamimu, anakku.... Bukankah kalian telah saling mengenal?" Tanya Jaran Perkoso dengan tersenyum haru.
"Aku.... aku menyintainya, ayah..." Berkata perlahan Pipit Lurik dengan hati polos.
Dan Jaran Perkoso menatap lagi pada Pitra Sena lekat-lekat, seraya ucapnya. "Kau bersedia menikahi anakku yang sudah begini keadaannya...?"
Pitra Sena mengangguk. Seraya tatap wajah Jaran Perkoso, lalu beralih pada Pipit Lurik. "Aku akan menikahinya dengan setulus hatiku, Ramanda. Dengan jalan ini aku tinggalkan segala tindak kejahatan kelakuan ku. Aku tak dapat memungkiri untuk tidak mencintainya, Ramanda! Walau apapun yang telah terjadi...!"
Suara kata-kata Pitra Sena terdengar jelas dan pasti. Gelimang hidupnya dari para wanita dan gadis-gadis cantik sekapan ayahnya telah membuatnya semakin sadar dan semakin dewasa. Bahwa dia telah tersesat dalam pendidikan yang salah. Tak di duga cinta justru bersemi pada gadis bernama Pipit Lurik, yang justru akan dijadikan wanita "barang" pesanan oleh ayahnya.
Namun kasih sayang dan cinta ternyata telah semakin berakar pada Pipit Lurik. Bercampur rasa kasihan dan kasih sayang pada gadis itu. Satu kejadian yang tak diduga adalah munculnya Gantar Sewu yang memang menjadi sahabat sang ayah. Gantar Sewu telah pergunakan ilmunya untuk mengelabui Pipit Lurik, saat Pitra Sena berangkat menemui nenek sakti Bikhu Sokalima di puncak Ratawu.
Ternyata di sana dijumpai Jaran Perkoso dan Resi Paksi Sakti Jalatunda. Kiranya sang Resilah yang telah menolong Jaran Perkoso. Pitra Sena telah beberkan segala kejahatan ayahnya pada kedua orang sakti itu, termasuk Jaran Perkoso yang turut mendengarkan penuturannya. Demikianlah, hingga berakhir dengan kejadian seperti tersebut di atas.
Kedua sejoli yang telah bersatu hati itu tampak berangkulan dengan terharu. Semua hadir di situ Cuma bisa tersenyum penuh keharuan, juga memuji atas sikap Pitra Sena. Hal tersebut ternyata memang sudah diketahui oleh Roro Centil dan Jaka Keling, hingga merekapun cuma bisa menarik napas lega.
Tiba-tiba saat dalam keheningan itu, Pipit Lurik lepaskan rangkulannya, dan berpaling mencari dua tubuh yang dibawa Roro Centil tadi. Sekejap dia sudah melompat kesana. karena baru tersadar sang dara ini, setelah sekilas dapat melihat kalau kedua orang itu adalah dua dari si Tiga Siluman Bukit Hantu. Semua orang pun sudah berkelebatan kesana.
Akan tetapi ternyata kedua manusia itu telah tewas. Keadaan tubuhnya tampak mengerikan, karena penuh luka dari goresan duri. Kepala-kepala mereka rengat terhantam batu, dan luka-luka lainnya akibat diseret Roro semau-maunya.
Jaka Keling terpaku menatap Roro. Sungguh tak menyangka kalau akhirnya sang gadis Pendekar Wanita Pantai Selatan itu jugalah yang menumpas sisa dua iblis itu. Saat mereka termangu-mangu menatap mayat si pendek dan si jangkung itulah Roro Centil berkelebat lenyap dari tempat itu, tanpa ada yang mengetahui. Ketika mereka tersadar dan balikkan tubuh, ternyata Roro Centil sudah tak berada di tempat itu.
"Aiiih...? Sungguh aku orang kaum tua merasa mengiri padanya! Rasanya aku kepingin menjadi muda lagi seperti si Roro Centil itu!" Berkata Bikhu Sokalima.
Ki Jalatunda tiba-tiba perdengarkan tertawa mengekeh seraya menyahuti; "Wah, wah, wah...! Kalau kau manusia turunan ular, tentu bisa! Hehehe.. heh... heheheh... Kulitmu yang keriput tinggal mengulitinya aja, jadilah kau si nenek genit yang manja dan centil!"
"Hihihik... hihik... sudahlah, kakek peyot! Mari kita kembali ke puncak gunung masing-masing...!" Ujar sang nenek.
Dan berkelebatanlah kedua tubuh tokoh kaum tua Rimba Persilatan itu melenyapkan diri. Tak berapa lama senjapun semakin memuram. Mentari dibalik gunung itu masih sembulkan cahaya merahnya. Sementara burung-burung kecil mulai riuh berebut tempat untuk tidur.
Pipit Lurik saling bertatapan dengan Pitra Sena. Jari-jari lengan mereka menjalin menjadi satu. Ternyata kebahagiaan tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang bersih saja. Cinta mengalahkan segalanya. Dan kekotoran memang tak luput dari sifat insan di dunia ini, walaupun cuma setitik.
Namun setidak-tidaknya dengan niat orang yang berusaha mencuci kekotoran itu, niscaya mereka sudah menuju kesatu jalan yang bersih Walau kodrat dan takdir adalah Tuhan Yang Maha Menentukan.
Namun segera dikenal dengan julukan Pipit Lurik, karena kesukaannya memang mengenakan pakaian bercorak garis-garis atau lurik. Hingga terkenal dengan julukan si Pipit Lurik. Dalam merintis usahanya itu, Jaran Perkoso dibantu oleh dua orang saudara seperguruannya bernama Gantar Sewu dan Jaka Keling. Mereka memang murid-murid kakek sakti dari puncak Gunung Muria, yang bergelar Resi Paksi Sakti Jalatunda.
Namun sejak sepuluh tahun belakangan ini kakek sakti yang bersemayam di puncak Gunung Muria itu, sudah tak ketahuan lagi bagaimana kabarnya. Karena pernah pada beberapa bulan belakangan ini Jaran Perkoso dan kedua saudara seperguruannya menyambangi, namun sang guru yang disebut Eyang Jalatunda itu sudah tak lagi berdiam dipondoknya lagi. Tak seorangpun mengetahui kemana menghilangnya.
Perusahaan Pengangkut dan Pengawalan barang yang dipimpin oleh Jaran Perkoso itu diberi nama Benteng Macan Gunung, yang markasnya terletak di sekitar daerah Ungaran. Pada masa itu memang nama Perusahaan Ekspedisi Benteng Macan Gunung sedang terkenal.
Karena disamping mempunyai alat pengangkutan yang kuat, yaitu kereta-kereta barang dengan kuda-kuda yang kekar, juga dikawal oleh orang-orang yang tangguh dan berkepandaian tinggi. Apalagi nama Tiga Macan Gunung Muria sudah terkenal dengan ketinggian ilmunya. Hingga perampokperampok dan pembegal akan segan mengganggu barang-barang kawalan mereka.
Namun segala sesuatu di dunia ini memang susah diduga. Dan kelanggengan selalu bersifat sementara. Demikian juga dengan keadaan Perusahaan dan Pengawalan barang Benteng Macan Gunung. Sejak berdirinya delapan tahun yang lalu, sudah banyak menjatuhkan beberapa saingan dalam usaha jenis itu. Walaupun sebenarnya langganan bebas memakai jasa siapa saja tanpa paksaan.
Namun kenyataannya para Pedagang atau pengusaha pertanian maupun perkebunan, atau para saudagar dan bangsawan lebih cenderung memakai jasa Benteng Macan Gunung yang sudah tersohor akan keamanannya. Karena mereka tidak Usah khawatir merasa was-was lagi akan terancamnya barang mereka dari gangguan begal atau perampok serta gangguan lainnya. Sehingga sudah sejak lama menimbulkan rasa iri hati atas kewibawaan Benteng Macan Gunung. Dan menimbulkan perbagai dendam terselubung pada si Tiga Macan Gunung Muria yang tengah berjaya.
* * * * * * *
Sebuah gedung besar dan megah dibangun di ujung kota Ungaran. Disekeliling gedung adalah berdiri puluhan barak-barak tempat kereta, serta beberapa istal kuda. Pada bagian belakang gedung megah itu adalah barak-barak dari para pengawal yang keadaannya bersih dan teratur. Mereka amat senang tinggal di tempat itu, karena sang Ketua atau majikan mereka amat memperhatikan akan kesejahteraan mereka, balk makan dan pakaian. serta gaji yang sesuai.
Sebagai puteri satu-satunya, Pipit Lurik amat manja pada ayahnya. Wajahnya yang cantik dengan sepasang mata jeli berbulu mata lentik, juga raut wajah berbentuk daun sirih dengan dagu kecil, hidung yang mancung serta berbibir tipis itu mengingatkan pada wajah mendiang istrinya yang telah tiada.
Jaran Perkoso amat menyayangi puterinya ini. Namun bukan dengan dimanjakan dengan diumbar segala kemauannya, akan tetapi diam-diam sejak berusia 10 tahun, Pipit Lurik alias Sri Kemuning telah diwarisi ilmu kepandaiannya. Gadis yang baru berusia genap delapan belas tahun ini walau kelihatannya lemah, namun telah terisi dengan kekuatan dalam yang tak kelihatan.
Disamping mewarisi lebih dari separuh ilmu pedangnya, juga Pipit Lurik sudah menguasai berbagai ilmu lainnya. Seperti ilmu tenaga dalam, dan tangan kosong. Sejak kecil memang Pipit Lurik telah diajari cara menunggang kuda, hingga tampak gadis itu mempunyai kelincahan yang mengagumkan dalam menunggang kuda, walaupun semua itu dilakukan di dalam markas yang dipagari dengan tembok tebal.
Terkadang ada rasa sunyi di hati Jaran Perkoso sejak ditinggal sang istri ke alam baka. namun mengingat akan kekhawatirannya pada sang anak, bila mempunyai seorang ibunya yang telah tiada, Jaran Perkoso tak sampai hati untuk mengambil istri lagi. Khawatir kalau sang istri kelak tak menyayangi Pipit Lurik. Dan akan berakibat tidak baik bagi keadaan dalam rumah tangganya.
Demikianlah, hingga sampai sejauh itu Jaran Perkoso selalu memendam perasaannya. Laki-laki ini sering terlihat termangu-mangu menatap keluar jendela, memperhatikan barak-barak di sekeliling gedung. Sembilan belas kereta barang dibarak itu cuma bersisa sebelas kereta. Dan dua puluh ekor kuda dibarak sana cuma tinggal beberapa ekor lagi, karena hal itu Gantar Sewu dan Jaka Keling tengah pergi mengantar barang kawalan kedua tempat.
Pesanan mengantar barang dari seorang bangsawan tua di sebelah Utara kota Ungaran, yang dikawal oleh Gantar Sewu, dan pesanan satu lagi adalah atas pesanan dari Adipati Banyu Biru, yang dikawal oleh Jaka Keling dengan membawa belasan anak buahnya. Tampak laki-laki tua ini menghela napas, seraya hempaskan tubuhnya ke kursi di belakang mejanya. Terkadang di hati Jaran Perkoso ada rasa bangga mempunyai saudara seperguruan yang bekerja rajin, patuh dan jujur.
Akan tetapi juga terasa begitu sepinya kalau sudah keadaan dimarkas Benteng Macan Gunung menjadi sunyi. Ada tersirat dihatinya untuk meninggalkan pekerjaannya. Entah mengapa dorongan itu begitu kuat. Jaran Perkoso merasa usianya sudah semakin menua. Dan sudah pantas rasanya dia mengundurkan diri ke tempat sunyi.
"Ah, seandainya Pipit Lurik telah bersuami, dan mempunyai kesenangan... rasanya aku akan leluasa menyendiri di puncak Muria. Disana tampaknya amat tenang dan tenteram! Sayang Eyang guru telah tak berada di tempat itu, namun biarlah! Aku toh dapat merasakan ketentraman walau hidup menyendiri, sambil mengenang almarhum Sri Lestari...! Mungkin dengan berdiam disana aku dapat menentramkan perasaanku!" Demikian pikir Jaran Perkoso.
Memikir demikian tiba-tiba wajah laki-laki ini menampilkan kecerahan. Bibirnya menampakkan senyuman. "Ah, mengapa tak kubujuk anakku agar menerima lamaran si Bangsawan Tua itu? Dia mengajakku berbesan! Dan aku sudah lihat sendiri anak laki-lakinya cukup tampan! Perangainya kukira baik...! Ya, cukup sepadan bila bersanding dengan Pipit Lurik. Pemuda itu bernama Pitra Sena! Hm, nama yang cukup gagah buat anak seorang Bangsawan!" Menggumam lirih Jaran Perkoso.
"Ah, seandainya Pipit Lurik tak menolak, aku setuju berbesan dengan Raden Mas Anjasmoro itu...!" Desisnya agak keras sambil gerakkan lengannya memukul meja di luar sadar.
Terdengar suara langkah kaki mendekati, dan seorang gadis cantik berwajah bulat sirih sudah muncul di belakang Jaran Perkoso. Gadis ini adalah Sri Kemuning alias Pipit Lurik. Tampak sepasang alis gadis remaja ini bergerak hampir menyatu. Sepasang matanya yang tajam menatap pada ayahnya.
"Ada apakah, ayah? Tak biasanya ayah memukul meja..." Tanya Pipit Lurik seraya menggelendot di punggung sang ayah.
Terkejut Jaran Perkoso, tapi segera merubah wajahnya menjadi senyum yang amat cerah. "Ah, anakku...! Aku lupa akan satu jurus ilmu pukulan yang belum ku turunkan padamu, hingga tanpa sadar aku memukul meja dengan keras!" Ujar Jaran Perkoso yang belum mau berterus terang di hadapan anak gadisnya.
Akan tetapi wajah gadis itu tak menampakkan perubahan cerah seperti biasanya. Bahkan melepaskan lengannya, seraya beranjak beberapa langkah ke arah pintu. Dan menatap keluar dimana terdapat kebun bunga pada halaman gedung.
"Untuk apakah ilmu pukulan itu kupelajari, ayah? Rasanya aku tak memerlukan segala macam ilmu silat! Karena bukankah kau menginginkan aku menikah dengan anak Bangsawan Tua itu...?" Berkata Pipit Lurik tanpa palingkan wajahnya.
Tentu saja kata-kata itu membuat Jaran Perkoso jadi tersentak kaget, karena tak menyangka kalau kata-katanya di luar sadar tadi telah terdengar oleh sang anak. "Anakku...! kau mendengar gumam ku tadi?.. . ahk, aku... aku cuma..."
"Ayah! Mengapa kau begitu tergesa memikirkan diriku...? Aku masih ingin hidup bebas, tak mau terikat dulu dengan perkawinan!" Berkata Pipit Lurik, dengan suara tiba-tiba berubah jadi parau. Dan segera tampak air mukanya menjadi memerah. Sepasang matanya sudah berkaca-kaca tergenang air mata yang mendadak menyembul keluar.
Tergesa-gesa Jaran Perkoso menghampiri, dan cekal perlahan pundak anak gadisnya. Namun laki-laki inipun bingung akan berkata apa pada anak gadisnya, karena sekonyong-konyong bibirnya terasa seperti terkunci, tak tahu apa yang harus diucapkannya.
"Sudahlah, anakku...! kalau kau tak menghendaki, aku tak dapat memaksa...!" Akhirnya Jaran Perkoso membujuk dengan kata-kata lembut, seraya membelai rambut sang anak. Hatinya pun menjadi luluh kembali. Betapapun dia amat menyayangi puteri satunya ini, dan tak ada berniat melukai hatinya..
"Ayah.....!" Teriak Pipit Lurik seraya balikkan tubuhnya dan memeluk sang ayah dengan terisakisak. Jaran Perkoso mengusap-usap punggung anak gadisnya. Sekonyong-konyong hatinya jadi trenyuh, dan di luar sadar laki-laki inipun menitikkan air mata.
Sejak itu Jaran Perkoso tak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal perjodohan yang diharapkan akan membuka jalan melaksanakan niatnya. Bahkan Jaran Perkoso tak mengharapkan sedikitpun untuk berbesan dengan Bangsawan Tua langganannya itu. Namun sejak itu Pipit Lurik nampak sering menyendiri dalam kamar. Tak menampakkan kelincahannya lagi, atau kemanjaannya di hadapan sang ayah.
Gadis itu selalu menunduk tanpa berani memandang padanya jika berhadapan. Dan jarang sekali Pipit Lurik berbicara kalau tak ditanya. Jaran Perkoso merasa amat menyesal dengan kejadian lalu itu, karena tanpa diduga membuat dia dan anak gadisnya jadi kurang akrab seperti biasanya.
Makin sepilah hatinya, dan semakin sering Jaran Perkoso merenung bila telah selesai pekerjaannya. Hingga terbitlah keinginannya membuat keakraban lagi pada sang anak gadis. Yaitu dengan mengajaknya pergi keluar.
Hari itu cuma Gantar Sewu yang pergi mengantar dan mengawal barang. Jaka Keling berada dimarkas. Tampak laki-laki berusia 30 tahun itu tengah membantu para anak buahnya membetulkan keretakereta yang rusak. Dan mengganti roda-rodanya dengan yang baru. Ketika Jaran Perkoso menghampiri, adik seperguruannya ini cepat-cepat menjura.
"Adik Jaka Keling...! Apakah kau tidak pergi kemana-mana hari ini... ?" Tanya Jaran Perkoso sambil menggendong tangan di belakang punggung.
"Ada apakah, kakang? Tak ada niatku untuk keluar! Aku perlu memperbaiki kereta, bukankah dua hari lagi akan mengantar barang ke Rawa Pening...!" Ujar Jaka Keling sambil menepuk-nepukkan kedua lengannya yang berdebu.
Jaran Perkoso manggut-manggut, dan tersenyum. "Ah, sukurlah...! kau amat rajin bekerja! Jangan terlalu berlebihan, adikku! Beristirahatlah kalau memang kau memerlukan istirahat! Pekerjaan itu bisa dikerjakan Singo Bronto atau yang lainnya! Aku ingin mengajak Pipit Lurik pergi keluar menghirup udara pegunungan! Kau berjagalah dimarkas! Kalau ada pesanan mengantar barang, suruh sore nanti kembali lagi! Mungkin aku baru kembali menjelang sore...!" Berkata Jaran Perkoso.
"Baiklah, kakang...!" Menyahut Jaka Keling dengan menunduk menatap jemari kakinya.
Jaran Perkoso menepuk-nepuk bahu pemuda itu yang pantas menjadi muridnya. "Baik-baiklah sepeninggal ku, menjaga markas..!" Ujarnya pula. Jaka Keling mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Tentu, kakang...!" Sahutnya, seraya kembali berjongkok meneruskan kembali pekerjaannya.
Jaran Perkoso putarkan tubuh, kembali melangkah menuju gedung. Sementara Jaka Keling menatapnya sampai laki-laki kakak seperguruannya itu lenyap dibalik pintu depan halaman gedung megah itu.
Dataran tinggi Limbangan memang merupakan tempat pemandangan yang indah. Dari atas perbukitan itu terlihat dikejauhan puncak Gunung Merbabu yang menjulang dikelilingi awan putih. Pada puncaknya mengepulkan asap putih tipis. Namun gunung itu memang amat jauh dari Limbangan dan hanya tampak samar-samar saja kebiru-biruan. Angin pegunungan yang membersit di atas perbukitan itu membuat hawa sejuk nyaman.
Sementara di kejauhan tampak dua ekor kuda tengah mendaki bukit. Suara ringkiknya sesekali terdengar menyibak keheningan. Tak lama kedua kuda sudah berada di atas perbukitan menghijau itu. Kedua penunggangnya adalah seorang laki-laki tua berusia lima-puluhan tahun. Sedang seorang lagi adalah seorang gadis remaja yang cantik berbaju lurik.
Siapa lagi kalau bukan Pipit Lurik dan ayahnya, yaitu Jaran Perkoso yang memang mengajak puterinya untuk bergembira. Tampaknya sang gadis ini memulai pulih lagi kelincahannya. Dia merasa berada di alam yang bebas. Terlihat wajahnya menampilkan senyum tiada hentinya. Terkadang tertawa lepas kalau sang ayah bergurau kata.
Ah, sungguh akan membuat orang yang melihat keakraban ayah dan anak itu akan menjadi mengiri. Tiada orang menduga kalau dibalik kegembiraan lakilaki bernama Jaran Perkoso itu justru tersimpan perasaan sedih. Karena keadaan itu mengingatkan pada masa isterinya masih hidup. Dimana mereka berdua sering berdua-dua bersenda gurau di kala berbulan madu.
Namun semua itu cuma tinggal kenangan. Kenangan yang sudah lewat belasan tahun yang silam. Air-mata laki-laki ini menitik tanpa disadari. Akan tetapi telah disembunyikan dengan gelak tawa. Pipit Lurik tersenyum memandang ayahnya yang melarikan kudanya di atas bukit berputar-putar.
"Ayah...! Oh, lihatlah! Di bawah ada sungai...! Tentu airnya jernih sekali!" Teriak Pipit Lurik sambil menunjuk ke bawah bukit dimana dikejauhan tampak air sungai yang berkelok-kelok bagaikan ular, terhalang pohon dan perbukitan yang menonjol.
"Itulah kali Wringin, anakku...!" Ujar Jaran Perkoso seraya menghampiri sang gadis. "Oh, indahnya...! aku amat betah berdiam disini, ayah...!" Berkata Pipit Lurik. Dan Jaran Perkoso cuma tertawa gelak-gelak.
Sementara benak laki-laki ini sudah dipenuhi lagi dengan bermacam-macam keinginan yang akan membuat kegembiraan sang anak. Apakah lebih baik aku mengantarkan si Pipit Lurik ini ke Gunung Ratawu...? Disana ada berdiam sahabat Eyang Guru! Tampaknya anakku lebih menyenangi keadaan yang bebas seperti ini...! Memikir demikian Jaran Perkoso gerakkan kakinya melompat turun dari punggung kuda.
"Anakku duduklah disini, di dekatku...!" Berkata Jaran Perkoso. Pipit Lurik menoleh, dilihatnya sang ayah sudah duduk di atas batu. Segera dia melompat turun dari kudanya, dan menghampiri kesana. Sementara kudanya dibiarkan makan rumput yang banyak tumbuh lebat di sekitar perbukitan itu.
Jaran Perkoso tatap wajah anak gadisnya lekatlekat. Pipit Lurik menunduk memandang ke bawah. Gadis ini merasa ada satu keanehan yang terlihat di wajah sang ayah. Ada hal apakah gerangan yang akan dibicarakan padaku...? Pikir gadis ini. Selang tak lama terdengar Jaran Perkoso menghela napas, dan mulai berkata.
"Anakku...! Benarkah kau senang tinggal di tempat yang bebas seperti ini?" Tanya Jaran Perkoso membuka percakapan.
Pipit Lurik angkat wajahnya. Kini ganti dia yang menatap pada sang ayah dengan wajah menampilkan keheranan, tapi bibirnya sudah keluarkan kata-kata lirih. "Benar, ayah! Aku bosan hidup terkungkung di dalam markas! Semua yang kulihat adalah itu, dan itu lagi...! Aku amat mengiri pada burung-burung yang bebas lepas di udara itu!"
"Oh, anakku...! Mengapa tak kau katakan sejak dulu-dulu! Ayahmu tentu akan mengabulkan keinginanmu! Kau adalah cahaya mataku, anakku! Sejak kematian Ibumu delapan tahun yang lalu aku tak berhasrat untuk menikah lagi! Semua itu karena sematamata aku menyayangi mu! Karena aku tak sampai hati kalau kedatangan seorang ibu pengganti ibumu yang telah tiada justru akan membuatmu jauh dariku!" Ujar Jaran Perkoso. Mendadak suaranya jadi agak parau. Ternyata laki-laki ini kembali mengingat akan almarhum istrinya.
Pipit Lurik tercenung beberapa saat. Kini dia mulai mengetahui kalau sang ayah amat menyayanginya. "Ayah! aku takkan menghalangi kalau kau mau menikah dengan siapa saja! Mengapa harus mengkhawatirkan diriku? aku amat senang dan berbahagia kalau melihat ayahpun berbahagia...!" Ujar Pipit Lurik dengan mata berkaca-kaca.
"Mungkin sudah nasib, dan takdir diriku, ditinggal ibu...! Aih memang amat menyenangkan seandainya ibu masih hidup...!" Lanjut Pipit Lurik, seraya menatapkan pandangan jauh ke bawah bukit.
"Tidak, anakku... Aku amat mencintai ibumu! Biarlah aku menduda selamanya sampai akhir hayat! Aku cukup bahagia bila kau mempunyai kegembiraan dalam hidup! Biarlah, yang sudah tiada tak usah dikenang lagi! Ibumu sudah rela dipanggil Yang Kuasa...!" Berkata demikian, tampak wajah Jaran Perkoso berubah muram. Akan tetapi dia sudah segera dapat menahan kesedihannya.
"Anakku...! aku ada mempunyai kenalan seorang sakti di Puncak Gunung Ratawu! Beliau bergelar Bikhu Sokalima! Seorang Pendekar Wanita yang sudah lanjut usia!"
"Seorang Pendekar Wanita....?" Tanya Pipit Lurik dengan suara agak tersentak.
"Ya...! Dahulu di kala mudanya adalah tokoh Persilatan yang amat dikagumi di Rimba Hijau! Sebagai seorang tokoh penegak keadilan yang berilmu tinggi!"
"Oh, betapa mengagumkan...!" Berkata Pipit Lurik dengan suara kagum memuji. Perubahan-perubahan wajah Pipit Lurik tampak jelas dimata Jaran Perkoso. Dan sang ayah ini tersenyum. Besar harapannya Pipit Lurik dapat tinggal bersama wanita kosen sahabat Eyang Jalatunda itu di Puncak Ratawu.
"Kau setuju, anakku...?" Tanya Jaran Perkoso dengan tatap tajam-tajam wajah puterinya. Pipit Lurik mengangguk seraya tersenyum. Sepasang matanya yang bening itupun menatap pada sang ayah dengan bibir setengah terbuka.
"Aku gembira sekali, ayah...! Oh, betapa aku amat berterima kasih padamu...!"
"Hahaha... bagus! kau memang anakku, yang cantik dan bengal!" Desah suara Jaran Perkoso seraya mencubit pipi dara manis itu.
Tampak wajah Jaran Perkoso menampilkan kegembiraan. Bukankah habis sudah perkaranya? Dia dapat segera meninggalkan pekerjaannya di Markas Benteng Macan Gunung untuk meneruskan niatnya menyepi dipuncak Gunung Muria. Dan bukankah puncak Gunung Muria dengan Puncak Gunung Ratawu tak begitu berjauhan? Sekali-kali dia dapat mengunjungi Pipit Lurik dipuncak Ratawu.
Akan tetapi manusia bisa berencana, namun segalanya adalah di tangan nasib yang menentukan. Ketika tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda yang santar. Kedua ayah dan anak itu menoleh ke belakang. Seketika mereka jadi terperanjat karena tahu-tahu kedua ekor kuda mereka tengah berkelojotan, melonjak-lonjak disertai ringkikan-ringkikan yang mengenaskan.
Keduanya sudah segera melompat ke dekat kuda masing-masing. Terkejut Pipit Lurik ketika melihat darah menetes dari perut dan leher binatang itu. Sesaat Setelah meregang nyawa, kuda itupun diam tak bergerak lagi, dan telah melepaskan nyawanya.
Demikian juga yang dialami Jaran Perkoso, kuda tunggangannya mati dengan luka-luka pada perut dan lehernya. Ketika memeriksa lukanya, kedapatan beberapa buah paku telah menancap di beberapa bagian tubuh binatang itu. Jelas paku-paku yang mengandung racun. Pucatlah wajah Jaran Perkoso. Dia sudah bangkit berdiri untuk melihat ke beberapa penjuru disekeliling bukit itu.
"Keparat...! Siapakah yang telah melakukan perbuatan keji yang pengecut ini! Keluarlah...! Tampakkan dirimu, binatang...!" Teriak Jaran Perkoso. Wajahnya seketika berubah merah padam bahkan gusarnya.
Sekonyong-konyong dari lamping batu bukit, berlompatan tiga sosok tubuh baju hijau, diiringi suara tertawa mengikik seorang wanita. "Hihihi... hihi... selamat berjumpa Ketua Benteng Macan Gunung...! Hari ini Ketua utama dari tiga Macan Gunung Muria bertemu dengan Tiga Siluman Bukit Hantu! Hihihi... hihi... sungguh satu pertemuan yang jarang terjadi...!"
Terkesiap Jaran Perkoso ketika melihat kemunculan tiga manusia ini. Dua orang laki-laki berjubah hijau itu adalah yang mempunyai kedua tubuh seperti bumi dengan langit. Kalau yang satu adalah manusia pendek cebol dengan kepala botak. Adalah yang satu lagi seorang yang jangkung kurus mirip jerangkong dengan rambut gondrong yang sudah memutih. Pada lengannya masing-masing mencekal sebuah tongkat.
Si jangkung memegang tongkat yang berkepala tengkorak. Pada bagian ujung kepala tengkoraknya menyembul benda runcing mirip ujung tombak. Sedangkan si pendek memegang tongkat yang berkepala berbentuk tulang lengan, terbuat dari besi berwarna kuning dengan jari-jarinya yang terentang.
Si pendek mempunyai wajah yang berkulit kasar bermata sipit dengan hidung besar menggembung. Mulutnya lebar hampir membelah pipinya yang tembam, dengan barisan giginya yang berderet besarbesar. Dikeningnya terdapat benjolan sebesar telur ayam. Dialah yang bernama SETO BUNGKRIK. Berbeda dengan si jangkung yang berwajah lancip dengan kumis lebat yang menutupi seluruh bibirnya, bermata besar yang menonjol keluar, dengan hidung melengkung mirip paruh burung Betet. Dia bernama WONG DUWUR.
Sedang yang satu lagi adalah seorang wanita setengah umur, namun masih tampak genit. Wajahnya masih cukup lumayan cantiknya, karena memakai bedak tebal serta gincu pemulas bibir yang merah merangsang. Di dahinya menampak beberapa kerutan yang menampilkan usia tuanya. Wanita ini memakai baju hijau dengan belahan lebar di dada hingga menampakkan hampir sebagian payudaranya yang sudah, kendur.
Namun dapat diakui wanita ini masih memiliki tubuh yang cukup merangsang laki-laki hidung belang. Pada lehernya tergantung sebuah kalung mirip mutiara sebesar-besar kelereng. Rambutnya memakai gelung kecil di sebelah atas, yang sisa rambutnya dibiarkan terjuntai. Di pinggangnya sebelah kiri terdapat sebuah kantong kulit, serta terselip di antara jemarinya adalah seruas bambu hitam yang panjangnya hampir sedepa. Pada bagian tengah bambu hitam terdapat beberapa lubang, seperti bentuk seruling.
DUA
Wanita inilah yang tadi melepaskan paku-paku beracunnya. Dialah yang bernama Kemang Suri. Ketiga orang ini adalah tiga orang Tokoh Hitam yang pada belasan tahun yang silam pernah membuat kegemparan di Rimba Hijau dengan ulah perbuatannya. Tadinya ketiga orang ini berpisah-pisah. Namun kini muncul dengan berbareng serta mempunyai gelaran baru, sejak beberapa tahun tak kedengaran kabarnya. Tentu saja Jaran Perkoso mengenali wanita itu, karena wanita itu pernah mempunyai urusan asmara dengannya.
"Kemang Suri...!? Mau apa kau muncul disini menggangguku... ?" Tanya Jaran Perkoso dengan wajah menampakkan terkejut dan marah.
"Hihihi... Jaran Perkoso...! Aku dengar Istrimu sudah mampus, apakah tak ada niatan kau kawin lagi?" Berkata Kemang Suri tanpa acuhkan pertanyaan orang.
Memerah wajah Jaran Perkoso. "Aku tak perlu saran dari kau kalau aku mau menikah, ataupun tidak! Itu adalah urusanku! Kini jawab pertanyaanku, apa maumu dengan mengganggu ketenteramanku...! Dan kedua monyet hutan ini mengapa bisa bersatu denganmu?"
"Hihihi... jelak-jelek keduanya adalah "suamiku!" Tenaganya masih belum kalah dengan anak muda! Dan ilmunya juga tinggi! Aku khawatir kalau mereka marah, bisa menguliti kulit tubuhmu siang-siang, Jaran Perkoso! Hihihi..."
Wanita itu kembali mengikik tertawa memperlihatkan barisan giginya yang masih rata namun sudah kehitam-hitaman. Wanita inilah yang tadi melepaskan paku-paku beracunnya yang di simpan di kantong kulit.
Sementara Pipit Lurik sudah melompat ke sisi sang ayah, seraya keluarkan bentakan nyaring. "Bedebah! Rupanya kalian yang telah membunuh kuda kuda kami...?!"
Ketiga manusia itu segera menatap pada Pipit Lurik dengan sorot mata tajam. "Heh heh heh. anak gadismu memang cantik, sobat Macan Gunung Muria! Amat mirip sekali dengan ibunya. Sayang Sri Sulastri menolak cintaku, gara-gara munculnya kau yang jual lagak dihadapannya! Heh heh heh. Walau kejadian itu sudah hampir dua puluh tahun tapi sakit hatiku masih tersimpan didadaku, Jaran Perkoso...! Akan tetapi akan kulupakan sakit hati itu, asalkan kau berikan anak gadismu padaku untuk pengganti ibunya...!" Berkata si Pendek Seto Bungkrik, sambil matanya memain mengerling genit pada sang gadis.
Terasa mau meledak dada Jaran Perkoso mendengarkan ocehan si manusia pendek bertongkat kepala Tengkorak itu. "Keparat...! Siapa sudi bermantukan manusia setan macam kau?"
"Aku kau bilang manusia setan...? hehehehehe... kaulah yang jadi setan penyebab kegagalanku menyunting Sri Lestari karena kau telah merebutnya! Memang kini aku sudah jadi setan, yang sebentar lagi akan menguliti kulit tubuhmu...!" Teriak si pendek gusar.
"Huh, manusia iblis semacammu memang pandai berputar lidah! Menyesal aku tak membunuhmu mampus waktu itu! Perbuatanmu yang telah membunuh gurumu sendiri dan mau memperkosa anak gadisnya karena anak gadis sang guru itu telah menolak cintamu! Lalu kedatanganku yang menolong gadis itu, apakah kau anggap aku merebutnya? Hahaha... manusia edan semacammu dibandingkan dengan anjing, kukira masih lebih berharga seekor anjing...!"
Mendeliklah sepasang mata sipit si pendek Seto Bungkrik. Giginya terdengar berkeraot menahan kemarahan. Wajahnya seketika berubah jadi merah bagai kepiting rebus. Akan tetapi tiba-tiba si pendek ini bahkan tertawa gelak-gelak.
"Heheheheh... sudah kukatakan urusan itu akan segera kulupakan, asalkan kau carikan penggantinya! Yaitu anak gadismu yang cantik ini..! hehehe.. hehe.." Berkata lagi si pendek diantara derai tawanya, menutupi kegusaran hatinya.
"Setan keparat...! Enyahlah kau...!" Teriak Pipit Lurik yang diam-diam telah melolos pedangnya. Sejak tadi dadanya sudah bergelombang mendengar katakata si pendek ini. Begitu mengetahui kejahatan manusia di hadapannya itu, dia sudah tak dapat menahan sabar lagi.
Whutt...! Tranggg!
Pedang dilengan Pipit Lurik nyaris terlepas. Ketika pedangnya berkelebat menabas kepala si pendek itu, mendadak tongkat kepala Tengkorak itu bergerak menangkis. Terasa telapak tangan Pipit Lurik tergetar. tenaga sampokannya yang terlihat santai acuh tak acuh itu ternyata bertenaga besar. Gadis itu melompat mundur dua tindak.
"Ahoi... biarlah aku yang menangkapnya, kakang Seto...!" Tiba-tiba si jangkung berkumis sebesar singkong itu buka suara.
"Hihihi... biarlah aku izinkan kalian memiliki gadis itu. Dan si Jaran Perkoso, bapaknya ini adalah bagianku...!" Ujar Kemang Suri dengan perlihatkan senyuman dan kerlingan genitnya pada laki-laki dihadapannya.
Betapa muaknya Jaran Perkoso melihat tingkah si wanita setengah umur yang dimasa mudanya selalu mengejar-ngejarnya. Bahkan sampai dia sudah menikah dengan Sri Lestari, Kemang Suri masih selalu mengganggu ketentraman rumah tangganya. Kemang Suri adalah pernah menjadi saudara seperguruannya pada puluhan tahun yang silam. Namun Jaran Perkoso telah beberapa tahun lebih dulu menjadi murid Eyang Paksi Sakti Jalatunda di puncak Gunung Muria.
Sang guru telah membawa gadis itu ketika sepulang dari turun gunung. Gadis yang tak ketahuan asal-usulnya itupun menjadi murid Eyang Jalatunda. Menurut yang didengar dari cerita gurunya, Kemang Suri ditemukan terikat di sebatang pohon di dalam hutan lebat yang banyak terdapat binatang buas.
Entah apa kesalahan wanita itu, hingga diikat di tempat berbahaya. Karena jelas kalau tak ditolong oleh Ki Jalatunda, pasti tewas kelaparan atau diterkam binatang buas. Ki Jalatunda melepaskan ikatannya, dan mau mengembalikan ke desa. Akan tetapi Kemang Suri menangis, dan memohon menjadi muridnya. Dia mengatakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh orang-orang jahat, yang setelah memperkosa lalu mengikatnya di hutan itu.
Karena merasa kasihan, dan gadis itu merengek-rengek terus-menerus, terpaksa Ki Jalatunda membawanya ke Puncak Gunung Muria. Tak dinyana baru beberapa bulan sudah ketahuan belangnya. Ternyata gadis itu adalah wanita yang amat dibenci di desa itu, karena perbuatannya merusak rumah tangga orang. Dia adalah seorang janda yang berperangai buruk.
Demikianlah, berkali-kali Kemang Suri menggoda Jaran Perkoso untuk berbuat mesum. Karena tak tahan, Jaran Perkoso mengadukan pada gurunya. Hingga Kemang Suri diusir dari Puncak Muria. Dan tak diperkenankan lagi menggunakan ilmu-ilmu yang telah diwariskan padanya. Beruntung dapat diketahui kelakuan buruk Kemang Suri lebih awal, sehingga ilmu-ilmu Resi Paksi Sakti Jalatunda belum meresap kuat ditubuh dan otaknya.
Sejak itu Kemang Suri tak ada kabarnya lagi. Dan beberapa tahun kemudian, sang guru kembali membawa dua orang murid laki-laki. Yaitu Gantar Sewu dan Jaka Keling. Hingga kelihatan perbedaan usianya amat jauh antara Jaran Perkoso dengan kedua saudara seperguruannya itu. Gantar Sewu dan Jaka Keling anak yatim piatu sejak kecil, sebelum diambil murid oleh Ki Jalatunda.
Keduanya bekerja pada seorang pamannya yang amat bengis dan kejam, sebagai penggali tambang intan. Tubuh kedua anak laki-laki tanggung itu kurus kering. Karena tak tahan menderita terus-menerus mereka lari dari tempat pekerjaannya. Namun nyaris tertimpa lorong goa yang longsor. Beruntung datang sang guru menolongnya. Dan mereka dijadikan kedua muridnya.
Ternyata Resi Paksi Sakti Jalatunda banyak mempunyai simpanan harta yang dipendam didalam pondoknya di Puncak Muria. Dan ternyata juga sang guru adalah bekas anak seorang Bangsawan yang kaya-raya. Karena harta dan nyawanya banyak diincar penjahat, sang guru mengasingkan diri ke Puncak Gunung Muria. Disana sang guru memperdalam ilmu-ilmu, dan menciptakan jurus-jurus ilmu silat yang hebat.
Hingga kemudian Rimba Persilatan menjadi geger dengan munculnya seorang tokoh pembela keadilan, dan penjunjung kebenaran yang dikenal dengan julukan si Pendekar Lengan Tunggal. Cacat pada anggota tubuhnya itu adalah akibat keganasan para perampok sewaktu membunuh kedua orang tuanya, dan menguras habis harta bendanya.
Dua belas tahun berumah tangga, ternyata Jaran Perkoso telah dikaruniai seorang anak perempuan, yang diberi nama Sri Kemuning (kemudian dikenal dengan nama Pipit Lurik), berusia waktu itu sekitar 10 tahun. Muncul pula satu musibah, yang berakhir dengan kehancuran rumah tangganya. Yaitu sejak kedatangan seorang wanita yang ternyata adalah bekas kekasih Jaran Perkoso.
Akibat guna-guna serta ilmu hitam yang digunakan wanita itu, Jaran Perkoso berbalik membenci istrinya. Hingga sang istri pergi meninggalkan Jaran Perkoso, yang selanjutnya mereka hidup bersama bagaikan suami istri di rumah yang ditinggali Jaran Perkoso dan istrinya. Sementara sang istri (Sri Lestari) ternyata pergi mengadu pada Ki Jalatunda, di puncak Gunung Muria. Dengan bersusah payah Sri Lestari dapat mencapai puncak gunung itu. Disana dia menangis dihadapan sang Resi Paksi Sakti Jalatunda mengadukan nasibnya.
Sang Resi adalah seorang yang arif bijaksana, segera menanyakan asal mula kejadian yang menimpa musibah keluarga mereka. Tentu saja Sri Lestari menceritakan semua kejadian. Terkejut sang Resi. Karena dia mempunyai dugaan kalau Jaran Perkoso telah terkena tenung wanita itu. Karena Ki Jalatunda memang mempunyai seorang musuh bebuyutan yang memiliki ilmu tenung demikian yang bergelar Jentik kuning hingga dengan tergesa-gesa sang Resi segera turun gunung.
Dengan ilmu kesaktiannya, sang Resi berhasil menumpas ilmu tenung wanita itu dan membebaskan Jaran Perkoso dari pengaruh jahat yang mengendap dalam otaknya. Jaran Perkoso sadar! Dan dia sendiri yang menghabisi nyawa si wanita yang telah meracuni kehidupannya itu. Yaitu wanita bekas kekasihnya.
Jaran Perkoso berangkat ke puncak Muria untuk menjemput lagi istrinya. Namun yang didapati adalah, istrinya telah tewas. Sebuah belati tergenggam di tangan wanita itu dengan beberapa lubang bekas tusukan di dada dan lambungnya. Sedangkan Sri Kemuning, si bocah perempuan yang baru berusia 10 tahun itu telah lenyap entah kemana.
Jaran Perkoso meratap dan berteriak-teriak kalap seperti orang yang tidak waras. Laki-laki inipun nekat mau menghabisi nyawanya sendiri, karena merasa tak guna hidup lagi. Dosanya terasa amat besar terhadap anak dan istrinya. Jaran Perkoso menduga istrinya tewas membunuh diri karena merasa sedih dan putus asa atas tingkah laku perbuatannya yang di luar sadar.
Untunglah Resi Paksi Sakti Jalatunda menolong, dan berhasil mencegah perbuatan dosa itu. Dengan lemah lembut sang guru memberi wejangan, bahwa Jaran Perkoso tak perlu merasa bersalah, karena sudah jelas hilangnya akal waras laki-laki itu adalah akibat perbuatan wanita keji itu, yang menggunakan ilmu jahat dan sesat terhadapnya.
Namun sesuatu yang terjadi adalah di luar dugaan. Karena ternyata Sri Kemuning masih hidup. Bocah perempuan berusia 10 tahun itu telah ditolong oleh seorang nenek tua, yang tak lain adalah Bikhu Sokalima. Wanita sakti itu adalah penghuni puncak Gunung Ratawu, yang tak berapa jauh dari Gunung Muria.
Nenek tua sakti itu memang tengah berada di bawah lereng. Memang kedatangannya ke Puncak Gunung Muria adalah untuk menjumpai Resi Paksi Sakti Jalatunda. Ketika tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh kecil melayang dari atas Puncak Gunung Muria. Dengan takdir Tuhan Sri Kemuning dapat diselamatkan nyawanya. Bocah perempuan itu dalam keadaan pingsan.
Bagaikan mendapat emas sebesar gunung, Jaran Perkoso begitu gembiranya melihat sang anak ternyata masih hidup, dipeluknya Sri Kemuning dengan terisak-isak, dan diciuminya tak putus-putus, serasa tak ingin lagi dia berpisah dengan anak kesayangannya itu, yang telah kehilangan ibunya yang amat dikasihi. Demikianlah, Jaran Perkoso tinggalkan puncak Muria, setelah guru dan murid serta sahabat baik sang Resi menguburkan jenazah Sri Lestari.
Niat baik si nenek Bikhu Sokalima terpaksa ditolaknya untuk menjadikan Sri Kemuning sebagai muridnya, karena Jaran Perkoso tak sampai hati untuk tinggalkan sang anak, dipuncak Ratawu. Kepergiannya adalah membawa pesan dari gurunya, yaitu mencari dua orang adik seperguruannya, yang juga telah turun gunung.
Juga dengan membawa bekal yang cukup berarti dari separuh harta milik sang guru, untuk membangun kehidupan lagi. Sang guru menyuruh Jaran Perkoso menikah lagi. Akan tetapi laki-laki ini cuma menggeleng kepala, sambil tersenyum.
Demikianlah, hingga lebih dari tujuh tahun sudah, Jaran Perkoso hidup menduda. Ilmu dan fikirannya dicurahkan untuk menambah kesejahteraan rakyat. Yaitu mendirikan usaha Pengangkutan dan pengawalan barang, yang sejauh itu dikelola, ternyata menampakkan kemajuan pesat.
Sedangkan kedua saudara seperguruannya yaitu Gantar Sewu dan Jaka Keling turut membantunya didalam perusahaan itu. Hingga terkenallah nama Tiga Macan Gunung Muria yang bermarkas diujung kota Ungaran. Dengan nama markasnya, Benteng Macan gunung.
* * * * * * *
"Kemang Suri...! Tak dinyana kau masih hidup, dan belum juga dapat menghilangkan kelakuanmu yang buruk! Bahkan bergabung dengan manusia-manusia tengik macam begitu...! Sungguh tak bermalu...!" Ujar Jaran Perkoso.
Sementara sepasang matanya sudah melirik ke arah si jangkung berkumis tebal itu yang maju mendekati Pipit Lurik. Diam-diam tersentak juga hati Jaran Perkoso, karena sulitlah baginya menghadapi mereka disebabkan adanya Pipit Lurik. Dia amat mengkhawatirkan nasib anak gadisnya itu. Tiba-tiba dengan menggertak gigi, Jaran Perkoso melompat ke arah sang anak seraya berteriak.
"Anakku...! Cepatlah menyingkir! Biar aku yang menghadapi anjing-anjing gelandangan ini...!" Lengannya sudah bergerak menyambar lengan Pipit Lurik, dan di bawanya melompat sejauh lima tombak. "Cepatlah pergi menyelamatkan diri...!" Bentak Jaran Perkoso dengan wajah berubah tegang.
"Tidak, ayah! Aku harus membantumu melawan mereka...!" Berkata Pipit Lurik dengan tatap tajam wajah ayahnya. "Mereka bertiga, dan ayah akan menghadapinya seorang diri...? Tidak! Aku harus membantumu! Aku tak mungkin meninggalkanmu seorang diri...!" Teriak Pipit Lurik.
Terbeliak mata Jaran Perkoso. Disamping kagum pada keberanian anak gadisnya, namun juga amat mengkhawatirkan keselamatan diri sang anak. Karena bukan mustahil kalau ketiga manusia yang menamakan dirinya Tiga Siluman Bukit Hantu itu akan sukar dilayani. Terlebih melihat si pendek yang diketahuinya bernama Seto Bungkrik itu, yang amat berhasrat pada anak gadisnya.
"Tidak, anakku...! Sekali ini turutlah perintah ayah! Pergilah selamatkan nyawamu! Pergilah ke puncak gunung Ratawu! Kelak kau akan dapat membalas dendam dibelakang hari, seandainya aku tewas! Tapi aku akan berusaha melawannya sekuat tenaga! Bila aku berhasil menyelamatkan nyawaku, kelak aku akan menyusulmu kesana...!" Bisik Jaran Perkoso dengan suara tergetar.
Akan tetapi tiga manusia itu telah berkelebatan melompat mengurung mereka. Tak ada jalan lain, terpaksa Jaran Perkoso cabut keluar pedangnya dibelakang punggung.
"Majulah kalian Tiga Siluman Bukit Hantu! Kalian kira aku si Jaran Perkoso takut menghadapi cecunguk-cecunguk macam kalian...!" Sementara Pipit Lurik sudah pasang kuda-kuda, siap menghadapi kemungkinan. Jaran Perkoso masih sempat berbisik. "Hati-hati anakku...!"
Dan tubuhnya sudah melompat menerjang Kemang Suri, dengan kelebatkan pedangnya yang berkilatan menebas pinggang dan leher. Dua serangan beruntun telah dilakukan. Sementara sebelah lengannya siap melakukan hantaman.
Wuukkk...!
Tak dikira setelah belasan tahun menghilang, Kemang Suri mempunyai kegesitan luar biasa menghindari serangan maut Jaran Perkoso. Tubuhnya berkelebat menghindar, dan sebelah lengannya lakukan hantaman ke arah dada Jaran Perkoso. Akan tetapi Jaran Perkoso telah siap untuk memapakinya, hingga kedua telapak tangan mereka saling beradu....
Desss...! Tampak uap putih mengepul akibat benturan lengan itu. Tubuh Jaran Perkoso terhuyung lima langkah, sedangkan Kemang Suri terhuyung ke belakang enam-tujuh langkah, akan tetapi sekejap, Kemang Suri sudah tampilkan wajah tertawa menyeringai, tampakkan barisan giginya yang kehitaman. Sepasang kakinya telah berdiri teguh lagi menapak di tanah.
"Hihihi... hihi... hebat! Hebat. ! Hayo keluarkan jurus-jurus ilmu pedang warisan gurumu si kakek tua renta puncak gunung Muria itu, Jaran Perkoso ! Atau kau harus belajar sepuluh tahun lagi pada si kakek bangkotan itu di AKHIRAT...!!" teriak Kemang Suri dengan tertawa mengejek.
Tentu saja kata-kata itu membuat Jaran Perkoso jadi melengak. Hah?! Apakah mereka telah membunuh Eyang Jalatunda? Sentak hati Jaran Perkoso. Perubahan wajah laki-laki berusia setengah abad itu tampak jelas oleh Kemang Suri.
Eh, tampaknya kau merasa aneh dengan ucapanku? Hihihi... si kakek bangkotan yang pernah mengusirku itu telah kami kirim nyawanya ke alam baka!"
"Heheheheh.... Jaran Perkoso...! Kau sudah tak bisa merengek-rengek lagi ke puncak Gunung Muria untuk minta pertolongan! Lebih baik kau berikan anak gadismu ini padaku, lalu aku tak mencampuri urusanmu lagi...!" Teriak si pendek Seto Bungkrik seraya berkelebat ke arahnya.
Sementara si jangkung kawannya itu bergerak melompat ke arah Pipit Lurik. Gadis ini segera tabaskan pedangnya dengan jurus-jurus ajaran sang ayah. Terdengar suara bersiutan mengurung tubuh si jangkung bernama Wong Duwur itu. Akan tetapi Wong Duwur cuma ganda tertawa saja.
"Hahahehehe... ilmu pedang warisan ayahmu itu sudah ketinggalan jaman, anak manis. Lebih baik kau belajar pada si pendek kawanku itu! Jurus-jurus ilmu bergulat di tempat tidur tentu akan dapat diwariskan padamu, tanpa kau pinta.! Hehehe..."
"Tutup bacotmu, setan jerangkong!" Berteriak marah Pipit Lurik. Kini permainan ilmu pedangnya semakin hebat, keluarkan angin menderu yang mengurung setiap langkah lawannya.
Akan tetapi tampaknya hal itu tak membuat si jangkung menjadi terkejut. Tubuhnya berlompatan cepat sekali, hingga yang kelihatan cuma bayangan hijau saja. Apa lagi kini ditambah dengan keluarnya asap tipis dari sepasang mata kepala tengkorak di ujung tongkatnya. Membuat dengan leluasa si jangkung menyelinap menghindar. Adapun Pipit Lurik tampak terkejut, karena hidungnya sudah mengendus asap yang berbau amis, serta menyesakkan pernapasan.
Sementara Jaran Perkoso yang dalam keadaan kalut fikiran, karena mendengar gurunya telah tewas di angan ketiga manusia ini, telah menggerung keras membabatkan pedangnya bagaikan naga mengamuk. Jurus-demi jurus terus berlalu, dan suara benturan senjata kerap terdengar dari beradunya pedang dengan tongkat si pendek Seto Bungkrik.
Laki-laki pendek ini tampaknya amat penasaran untuk menjatuhkan Jaran Perkoso. karena dia pernah dipecundangi belasan tahun yang silam, ketika akan melaksanakan niatnya memperkosa Sri Lestari.
Wutt! Wutt! Wutt...! Tranggg! Tranggg...!
Tiga hantaman berkelebatan saling susul menerjang ke arah Jaran Perkoso. Tongkat berkepala telapak tangan besi, berwarna kuning itu mengarah ke arah leher, lalu berubah menyambar ke bawah selangkangan dan meluncur lagi menyambar batok kepala lawan. Jaran Perkoso tampak terkejut bukan main, karena jelas tongkat berkepala tangan besi yang berujung kuku tajam itu adalah senjata yang telah dilumuri racun.
Bila kurang waspada sedikit saja akan membuat luka yang berbahaya. Beruntung dengan gerakan melompat dan bersalto. dia dapat menghindari serangan-serangan berbahaya tadi. Bahkan lakukan gerakan menangkis dengan pedangnya. Ketika tongkat tangan besi itu meluncur ke arah jantung dan pinggang.
Desss...! Jaran Perkoso balas menyerang dengan pukulan tenaga dalam. Itulah salah satu dari jurus tangan kosong yang bernama Pukulan Geledek. Uap putih panas yang tersimpan di dalam telapak tangannya sudah sejak tadi disiapkan untuk menghantam lawan.
Terkejut si pendek Seto Bungkrik. Karena pukulan itu di luar dugaan. Sedangkan dia dalam keadaan posisi tak menguntungkan sehabis melakukan serangkaian serangan mengandung maut tadi. Namun beruntunglah karena di saat kritis itu yang tak sempat Seto Bungkrik menangkis, sudah terdengar suara bentakan Kemang Suri.
Tubuhnya melompat cepat sekali mendorong tubuh Seto Bungkrik yang jatuh bergulingan. Sedang pukulan maut dari Jurus Pukulan Geledak itu lewat dan menghantam pada batu besar. Batu itu hancur lumat dengan keadaan hangus.
Pada saat mereka terperangah, Jaran Perkoso melirik ke arah anak gadisnya, terkejut laki-laki ini mengetahui Pipit Lurik dalam bahaya. Karena terkurung oleh rapatnya uap beracun yang keluar dari sepasang mata tengkorak di tongkat si jangkung alls WONG DUWUR yang melayani si gadis dengan mengekeh tertawa.
Whuukkk...! Jaran Perkoso telah gigit belakang mata pedangnya, sedangkan kedua lengan dipergunakan menghantamkan angin pukulannya. Inilah satu jurus dari ilmu tenaga dalam yang dinamakan Tiupan Angin Puyuh.
Segera segelombang angin keras bergulunggulung menerjang ke arah pertarungan. Angin bergulung itu tak begitu keras, karena Jaran Perkoso cuma bermaksud mengusir asap beracun berbau amis yang mengurung Pipit Lurik. Gadis ini cuma merasai tubuhnya terhuyung dua langkah, namun asap yang mengurungnya telah sirna seketika.
Wut! Wut! Wuttt...!
Jaran Perkoso sudah menerjang Wong Duwur dengan beberapa tabasan pedang. namun laki-laki jangkung sudah berlompatan menghindar. Seraya perdengarkan dengusan di hidung, si jangkung ini tertawa sinis.
"Heheheh... Jaran Perkoso! Walau kau punya ilmu setinggi langit, namun menghadapi kami yang telah bersatu, akan percuma hasilnya! Sudah sejak lama aku ingin membunuhmu! Sayang aku harus menyiksamu dulu sebelum kau mampus!"
"Wong Duwur! Iblis Hutan Dandaka...! Kau urusilah gadis itu berdua dengan kau si pendek Seto Bungkrik! Aku yang akan tundukkan laki-laki ini...!" Tiba-tiba Kemang Suri memotong kata-kata Wong Duwur.
Seraya berkata, tangannya sudah bergerak mengangkat senjatanya, dengan menempelkan ujungujung bambu berlubang itu pada bibirnya. Segera membersit suara melengking tinggi. Ternyata adalah sebuah seruling.
"Bagus! kita sama-sama menawan kedua ekor kambing ini...!" Berkata si pendek Seto Bungkrik, seraya melompat ke arah Pipit Lurik. Terkejut gadis. ini, yang tak ayal segera putarkan pedangnya melindungi diri.
Tak ada harapan bagi Jaran Perkoso untuk mundur menyelamatkan diri, karena mereka telah terkurung oleh kepungan tiga manusia keji ini, yang sudah terkenal masing-masing kejahatannya di Rimba Persilatan.
Apa lagi kini mereka telah bersatu. Kalau gurunya sendiri sudah dapat mereka tewaskan apalagi, dia seorang yang harus menghadapi cuma ditemani seorang anak gadisnya. Harapannya untuk menyelamatkan sang anak dari tangan mereka ternyata semakin tipis. Karena Pipit Lurik, sekejap sudah dikepung kedua tokoh itu.
Kini suara tiupan seruling itu sudah membersit panjang membuat Jaran Perkoso kerutkan keningnya. Karena terasa telinganya mendadak menjadi bising. Adapun kedua tokoh hitam itu telah mengetahui akan kehebatan suara tiupan seruling Kembang Suri.
Dengan diam-diam telah menyumpal telinganya masingmasing, sedangkan Jaran Perkoso segera putarkan pedangnya yang mengeluarkan suara bersiutan menandingi suara tiupan seruling aneh Kemang Suri, yang mulai melagukan nada-nada tinggi rendah.
Wukk! Wuukk...! Laki-laki ini hantamkan telapak tangannya dua kali dengan pukulan Geledeknya. Kemang Suri tertawa mengikik, seraya jatuhkan tubuhnya bergulingan. Namun ketika bangkit lagi kembali teruskan suara tiupan serulingnya. Melengking-lengking suaranya, membuat telinga Jaran Perkoso tergetar. Tubuhnya bergoyang goyang, dan kepalanya berdenyutan.
"Perempuan setan...!" Bentak Jaran Perkoso seraya melompat menerjang dengan sambarkan pedangnya. Kekalutan memikirkan keadaan anak gadisnya membuat laki-laki ini menyerang membabi-buta. Sementara di luar sadarnya Pipit Lurik sudah roboh terkulai terkena totokan si jangkung Wong Duwur. Dan sekejap saja sudah berada dalam pondongan si pendek Seto Bungkrik.
Terkejut Jaran Perkoso melihat anak gadisnya sudah roboh tertawan. Namun usahanya untuk melompat ke arah kedua orang itu, telah tertahan oleh suara bersitan tiupan seruling yang membuat kepalanya menjadi pening.
Akhirnya terpaksa lengannya bergerak menutupi telinganya yang sebelah, sedang lengannya yang masih mencekal pedang digunakan menunjang tubuhnya agar tidak jatuh. Mau tidak mau Jaran Perkoso harus mengakui kelemahannya. Namun diam-diam dia sudah siapkan satu jurus untuk menghantam si wanita dihadapannya.
Melihat keadaan Jaran Perkoso sudah kena pengaruh tiupan bertenaga dalam yang mempengaruhi lawan, Kemang Suri dengan tertawa mengikik segera lompat menghampiri. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, Jaran Perkoso menggerung keras seraya keluarkan jurus permainan pedang yang dinamakan Naga mengamuk.
TIGA
Kemang Suri terkejut karena mendadak Jaran Perkoso telah bangkit kembali dengan serangan-serangan berbahayanya. Terpaksa tubuhnya berkelebatan melompat dan menghindar dari tabasan-tabasan maut pedang Jaran Perkoso. Kini wanita itu tak mempunyai kesempatan lagi meniup serulingnya.
Bahkan dengan berteriak-teriak kaget jatuhkan diri bergulingan Nyaris pedang Jaran Perkoso merobek lambungnya. Namun tak urung ujung rambutnya sepanjang satu jengkal telah terbabat putus. Debu mengepul kehitaman disertai suara menderu dari angin pukulan yang dilancarkan Jaran Perkoso.
Buk...! Satu hantaman telak kena menyerempet kulit lengan Kemang Suri. Wanita ini menjerit parau. Bajunya hangus terbakar. Lengannya sebatas pundak mengelupas. Belum lagi dia berbuat sesuatu kilatan pedang telah meluncur ke arah dada.
Tranggg...!
Pedang di tangan Jaran Perkoso terlempar, ketika tongkat si jangkung Wong Duwur menangkis menyelamatkan nyawa Kemang Suri. Dan selanjutnya ganti Wong Duwur yang merangsak Jaran Perkoso.
Wut! Wut! Wut! Trang...! Trang...!
Jarang Perkoso berlompatan menghindar, dan menangkis beberapa kali. Telapak tangannya telah memerah yang memegang gagang pedang akibat benturan-benturan dengan si jangkung yang tenaga dalamnya ternyata setingkat diatasnya. Mengeluh laki-laki ini. Terlebih kini asap beracun berbau amis mulai mengurung dirinya. Sementara sudah terdengar lagi tiupan seruling Kemang Suri yang melengking-lengking.
Trang!... terdengar suara benturan kedua senjata. Kali ini Jaran Perkoso tak mampu mempertahankan pedangnya, yang telah segera terlepas dari genggamannya. Wuttt...! Tongkat berkepala Tengkorak Wong Duwur sudah meluncur ke arah ubun-ubun Jaran Perkoso. Akan tetapi pada saat kritis itu berkelebat bayangan hijau yang menangkis serangan maut itu.
Plakk...! Apa yang terjadi? Kiranya Kemang Suri telah menggagalkan serangan maut Wong Duwur. Kepala tengkorak tongkat si jangkung itu miring ke samping, dan mengenai tanah disamping tubuh Jaran Perkoso.
"Tahan! Kau tak boleh membunuhnya...!" Teriak Kemang Suri. Dan secepat kilat lengannya bergerak menotok tubuh laki-laki yang sudah tak berdaya kehabisan tenaga itu. Jaran Perkoso perdengarkan keluhannya, dan roboh terguling.
"Hahahehehe... hehe... Wong Duwur, biarkan dewi kita mengurusi laki-laki itu! Aku akan berikan bagian padamu setelah beres urusanku...! Hahaha... hahaha... !" Terdengar mengakak tertawa si pendek Seto Bungkrik.
Wong Duwur pun tersenyum manggutmanggut, seraya berkata pada Kemang Suri yang masih melototkan matanya dengan mendongkol. Telapak tangannya terasa kesemutan setelah barusan menolak tongkat maut si jangkung itu.
"Oh, maafkan dewiku...! Aku lupa kalau si Jaran Perkoso itu bagianmu! hehe... hehehe..." Ujar Wong Duwur dengan perdengarkan tertawa yang kurang enak didengar.
"Sudahlah, kau minggatlah yang agak jauh! jangan ganggu urusanku...!" bentak Kemang Suri dengan bibir cemberut. Tapi justru membuat kerlingan tajam pada laki-laki jangkung itu. Pertanda kalau si jangkung itu harus mengerti maksudnya.
"Hihihi.. Jaran Perkoso, aku berani bertaruh kalau kau toh akhirnya akan menyenangi diriku. Walaupun aku sudah usia hampir setengah abad, pasti kau akan tak merasa kecewa, nanti! Hihihi..." Ujar Kemang Suri seraya lengannya bergerak membukai pakaian Jaran Perkoso.
Laki-laki itu cuma pelototkan matanya dengan gusar. Giginya gemeletuk berbunyi menahan geram. Sementara di luar dugaan si pendek Seto Bungkrik, justru membawa sang tawanan ke hadapan Kemang Suri. Lalu jatuhkan tubuh gadis itu tepat di dekat Jaran Perkoso.
"Bagus! kau kerjailah anak si Jaran Perkoso itu di depan matanya, biar semangat jantannya menggebu-gebu... hihihi... hihi..." Terbelalak mata Jaran Perkoso, serasa dadanya mau meledak menyaksikan perbuatan yang tengah diperagakan di depan matanya. Sementara Kemang Suri telah membuka paksa apa yang melekat di tubuh Jaran Perkoso.
Bret! Bret! Brett...!
Kini laki-laki itu sudah bagaikan seekor kambing benggala yang sudah dipentang dengan keadaan selesai dikuliti. Kepalanya disandarkan pada pangkuan Kemang Suri. Laki-laki ini memaki kalang kabut.
"Setan keparat...! Bunuhlah aku! Mengapa kalian menyiksa dengan cara biadab seperti ini? Kalian memang iblis-iblis bermuka manusia..."
Pipit Lurik bukannya tak sadar akan apa yang tengah terjadi terhadap dirinya. Akan tetapi dia memang tak berdaya. Dan biarkan lengan-lengan kasar si pendek itu melepaskan sehelai demi sehelai pakaian yang melekat ditubuhnya. Sepasang matanya dipejamkan kuat-kuat. bibirnya telah digigit sendiri hingga mengeluarkan darah. Daya upayanya melepaskan diri dari pengaruh totokan si jangkung kurus itu tak membawa hasil.
Jaran Perkoso tak akan sanggup melihat kejadian gila yang terpampang dihadapannya. Dilihatnya si pendek Seto Bungkrik dengan tertawa mengekeh mulai memperagakan kepandaian lengannya menjuluri sepasang bukit daging yang masih kencang memutih ranum. Ternyata upaya untuk bertahan dengan segala kepasrahan itu, tidaklah membuat gadis ini bisa gigit bibir belaka. Karena rasa takut yang luar biasa.
Pipit Lurik tiba-tiba belalakkan sepasang matanya. Dan perdengarkan jeritan sekuat-kuat. Berteriak-teriak sang gadis ini bagaikan orang kemasukan setan. Akan tetapi dengan menyeringai, justru si pendek ini telah keluarkan sebuah benda dari dalam saku bajunya.
Benda terdiri dari dua butir pil itu dengan cepat telah dijejalkan masuk ke mulut sang gadis. Sementara lengannya bergerak menotok urat suaranya, hingga lenyaplah suara teriakannya. Cuma sepasang matanya saja yang terbelalak. Kedua butir pel itu sekejap telah tertelan lewat tenggorokannya.
Terperangah Jaran Perkoso. Nafasnya terasa memburu... bagaimana dia dapat sanggup melihat kejadian sedemikian bejatnya di depan mata? Laki-laki ini gerakkan tubuhnya membuka totokan. Tenaga dalamnya dikerahkan sepenuhnya untuk disebar ke sekujur tubuh. Tampaknya hal itu membawa hasil.
Namun baru dia mau bergerak meronta, Kemang Suri telah tutupkan sapu tangan berbau harum dihidungnya. Mendadak terasa kepalanya menjadi pening dan tubuhnya kembali lemas tanpa tenaga. Sepasang matanya mendadak seperti mengantuk, dan terkulai kepalanya di pangkuan Kemang Suri dengan mata terpejam.
Berlainan dengan cara si pendek Seto Bungkrik. Kalau laki-laki itu mengeluarkan dua butir pil yang dijejalkan ke mulut sang korban, adalah Kemang Suri merogoh kantong kulitnya. Dan keluarlah sebuah bumbung bambu. Di dalamnya terdapat cairan berwarna hitam.
Setelah membuka sumbatannya, segera diteguknya benda cair dalam bumbung itu tiga kali tegukan. Lalu menutup kembali sumbatannya, dengan pipi masih menggembung. Setelah menyimpan kembali bumbung bambu itu dalam kantong kulit, kepalanya membungkuk. Menelan sedikit cairan dalam mulutnya itu, lalu sisanya dituangkan dalam mulut Jaran Perkoso yang sudah dipentang ternganga lebar...
Entah cairan apakah itu. Akan tetapi tak lama ketika laki-laki itu sadarkan diri pandangan matanya menjadi aneh dan liar. Bibirnya seperti menyeringai dengan sikap aneh melihat adegan di depan matanya. Dilihatnya si pendek cebol telah lepaskan sesuatu yang mengganggu pada tubuhnya. Dan... Pipit Lurik tidak lagi ketakutan seperti melihat hantu dihadapannya.
Bahkan ketika si pendek Seto Bungkrik merangkulnya serta menghunjamkan wajahnya ke belahan kedua bukit berputik kemerahan itu, tubuhnya bergelinjangan seperti terangsang hebat. Lengannya sudah bergerak mengelus kepala gundul si pendek Seto Bungkrik dan membelainya dengan bibir mendesah dan mata setengah terpejam.
Getarannya terasa sampai ke hati Jaran Perkoso. Membuat tubuh laki-laki ini bergelinjangan menahan kobaran hawa nafsu yang seperti tak terkendalikan. Tahu-tahu Jaran Perkoso rasakan belaian lembut mengelus wajahnya. Belaian dari dua buah benda lunak berputik lebar.
Tak ayal bagaikan seekor bayi yang kehausan, Jaran Perkoso melumatnya dengan lahap. Tentu tak menolak jika sang ibu mengangsongkan sesuatu untuk dilumatnya oleh sang bayi. Dan di lain kejap tampak Kemang Suri perdengarkan rintihannya. Tubuhnya bergelinjangan menahan kenikmatan yang tiada tara.
Angin gunung di sekitar tempat yang seperti teduh, tapi gersang itu berhembus menyentuh kulit-kulit daun dan dahan-dahan telanjang. Menghempas-hempaskan rantingnya. Beberapa helai daun jatuh melayang turun ke tanah... di sela desahan dan suara tertawa mengikik Kemang Suri, terdengar si pendek Seto Bungkrik menggerutu, yang seperti memaki dirinya...!
"Kunyuk...!? Aku lupa memakan obat...!" Dan terpaksa dia harus berdiam menunggu waktu berlalu. Sementara matanya menatap ke arah dua ekor kambing yang saling berpacu di atas rumput.
Kemang Suri seperti dihujani serangan-serangan hebat. Membuat tubuhnya bergelinjangan tak menentu. Mulutnya ternganga berdesahan. Sepasang lengannya bergerak mendekap tubuh Jaran Perkoso berubah. Namun bersamaan dengan keluhan Kemang Suri bergelinjanganlah sepasang kuda yang saling bergumul itu melepaskan semua naluri, mencapai puncak tertinggi diujung syaraf.
Seto Bungkrik, si pendek berkepala gundul ini leletkan lidahnya. Saat itu tiba-tiba satu bayangan hijau berkelebat mendekatinya. "Heheheheh... kini giliran aku, bukan...?" Berkata sosok tubuh itu yang tak lain dari si jangkung Wong Duwur. Dia sudah segera lepaskan jubahnya.
"Kunyuk tua! Menyingkirlah dulu...! Aku belum lakukan apa-apa...!"
"Hah!?... tapi..." Ujar si jangkung penasaran.
"Jangan tanya apa-apa! berikan padaku ramuan simpananmu...! Desis Seto Bungkrik dengan julurkan lengannya.
Wajah Wong Duwur jadi berubah kecewa. Lengannya bergerak menyambar jubahnya. Lalu meraba-raba ke dalam kantung jubah. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu bersyiur angin keras bergulung-gulung seperti pusaran angin puyuh. Seto Bungkrik dan Wong Duwur jadi terkejut. Bahkan jubah si jangkung telah terbawa melayang ke atas. Terpaksa laki-laki itu mengejarnya.
"Setan...!?" Ucap Wong Duwur seraya lakukan lompatan tinggi untuk menangkap jubahnya yang terbawa pusaran angin ke udara.
Si Pendek Seto Bungkrik tak sabaran. Tubuhnya bergerak melompat untuk turut mengejar jubah. "Celaka...! Aku khawatir bungkusan obat ramuan dalam kantung jubahnya lenyap melayang...!" Desisnya.
Ketika jejakkan kaki ke dekat Wong Duwur ternyata laki-laki jangkung itu sudah berhasil menyambar jubahnya. Dan kembali melayang turun. Sementara angin pusaran itu masih berputar-putar menerbangkan dedaunan dan debu pasir dan tanah. Membuat mereka harus menyipitkan mata.
Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan kuning, menyambar tubuh Pipit Lurik, tanpa seorangpun yang melihat kejadian yang begitu cepat. Lalu membawanya berkelebat. Sementara Kemang Suri masih pejamkan mata setelah berhasil mencapai kepuasan. Bahkan ketika angin pusaran itu menerpa seperti tak perduli lagi. Hingga saat tubuh bugil Pipit Lurik dibawa berkelebat dia tak mengetahui sama sekali. Apalagi gerakannya tak menimbulkan suara.
Namun sesaat sesudah bayangan kuning itu lenyap, Kemang Suri baru tersadar setelah membuka mata melihat tubuh Pipit Lurik dan si pendek Seto tak berada di tempat. Saat itu si pendek Seto sudah kembali melompat ke tempat asalnya. Akan tetapi betapa terkejutnya melihat ke tempat sang gadis itu yang sudah tinggal bekasnya saja.
"Hah...!" Kemana dia??!" Teriak si pendek ini dengan mata terbelalak. "Hei, dewiku, apakah kau melihat kemana gadis itu...?" Tanyanya pada Kemang Suri.
Tentu saja Kemang Suri gelengkan kepalanya. "Kunyuk! Pasti ada orang yang telah melarikannya ketika terjadi angin pusaran tadi!" Sentak Seto Bungkrik dengan tercenung. Tak ayal dia sudah bantingkan kaki dengan geram. Lalu tubuhnya bergerak melompat untuk menyambar pakaiannya yang sudah melayang ke beberapa tempat, terkena serempetan angin tadi.
"Huh, sial...! Kita harus cari kemana gadis itu!" Berkata si pendek Seto Bungkrik dengan hati mengkal, karena niatnya belum tercapai, tapi dia sudah keburu lemas karena mengumbar emosi berlebihan. Akibat kemendongkolannya itu, Jaran Perkosolah yang dijadikan sasarannya.
Siapakah gerangan yang telah melarikan tubuh bugil Pipit Lurik? Marilah kita ikuti kemana kepergiannya... Berkelebatnya bayangan kuning itu begitu cepat membawa lari tubuh Pipit Lurik yang dalam keadaan tanpa busana. begitu cepatnya hingga seolah dibawa terbang menuruni bukit, menyeberangi sungai dan memasuki hutan rimba.
Selang kira-kira semakanan nasi, sosok tubuh itu memperlambat larinya, karena jalan yang dilalui adalah memasuki celah-celah pepohonan dan semak belukar. Kiranya yang memondongnya adalah seorang laki-laki berpakaian indah, dari sutera kuning. Memasuki benang-benang emas di bagian dadanya. Ikat kepalanya juga dari bahan yang mahal yang biasa dipakai oleh para bangsawan.
Ternyata laki-laki itu masih berusia cukup muda, yaitu sekitar dua puluhan tahun. Berwajah tidak begitu jelek, dan cukup gagah. Menilai dari pakaiannya, memang mirip anak seorang bangsawan. Di belakang punggung pemuda ini terselip gagang sebuah senjata yang terbungkus kain sutera hitam.
Tak lama pemuda bangsawan itu telah memasuki satu tempat yang bersih dan teratur. Di bagian depan tampak anak tangga dari batu yang memanjang berkelok-kelok. Segera dia mempercepat lagi langkahnya. Sementara bibirnya selalu menampakkan senyuman, yang sebentar-sebentar leletkan lidah. Bahkan entah beberapa kali lengannya bergerak mengelus atau meraba tubuh gadis yang dipanggulnya.
Beberapa kejap antaranya, si pemuda itu telah berada di depan sebuah pondok mungil yang berada di atas undakan tangga. Tempat itu sunyi, tiada orang. Dan pondok mungil beratap ijuk itupun sunyi tanpa penghuni.
Secepatnya pemuda ini sudah mendekati pondok mungil itu, dan terdengar suara pintunya ketika dibuka. Matanya liar meneliti tempat sekitar ruangan, yang cuma terdapat sebuah pembaringan lengkap dengan bantal dan guling beralaskan kulit harimau. Dan sebuah meja kecil dengan sebuah kendi air diatasnya.
"Hm, bagus! Sudah kuduga, tempat yang sering dikunjungi ayah ini adalah tempat yang nyaman! Entah kemana penjaganya...? Apakah tak seorangpun yang menjaga tempat ini...?" Berguman si pemuda.
Tapi segera jatuhkan perlahan beban yang dibawanya di pembaringan. Sementara sentakan-sentakan kuat di hatinya sudah sedari tadi dirasakan pemuda itu. Apalagi kini melihat tubuh mulus tanpa sehelai benangpun menutupi, terpampang dengan segala keindahannya.
"Ah, memang amat cantik, gadis ini...! Kalau tak salah adalah anak si Ketua Perusahaan Pengantar dan Pengawalan barang! Karena aku pernah melihatnya ketika ayah mengajakku memesan kereta untuk mengantar barang-barang milik ayah, berikut mengawalnya. Dan tampaknya ayah amat akrab bercakap-cakap dengan si Ketua Benteng Macan Gunung! Ya, orang tua itu bernama Jaran Perkoso...!"
Memikir si pemuda dalam hati. Sementara lengannya bergerak mengelus kedua perbukitan yang ranum itu dan berhenti di satu putiknya. Makin lama semakin menjulur ke arah yang lainnya. Dan terdengar desahan-desahan keluar dari mulut sang gadis. Rupanya pengaruh dari dua butir pil yang dijejalkan ke mulut gadis itu oleh si pendek Seto Bungkrik masih bereaksi.
Hal mana membuat si pemuda Bangsawan itu semakin tergetar jantungnya. Debaran demi debaran didadanya berkelanjutan dengan dilepaskannya pakaian pemuda itu, yang tampakkan senyum menyeringai. Tak berapa lama terdengar desah-desah angin seperti saling bertumpuan menerpa di dalam pondok mungil itu.
Kegagalan si pendek Seto Bungkrik dalam melaksanakan hajatnya telah membuat Pipit Lurik bagaikan seekor ular betina yang mengeliat dan mendesis tiada henti.
* * * * * * *
EMPAT
Tiga sosok tubuh tampak berindap-indap mendekati pondok mungil itu. Sesosok tubuh sudah melompat dengan tak sabar ke depan pondok. Dan...
Braakkkk...!
Pintu papan berukir pondok itu telah hancur berantakan dihantam pukulan lengan sosok tubuh itu yang tak lain dari si pendek Seto Bungkrik.
"Bedebah, pencuri busuk! Kuhabisi nyawamu...!" Teriak Seto Bungkrik seraya melompat ke dalam.
Akan tetapi tak ada jawaban, kecuali sesosok tubuh layu yang tergeletak keluarkan keluhan di atas pembaringan bertilamkan seprai dari Kulit macan. Itulah Pipit Lurik, yang masih belum tersadar dari pengaruh pil yang dijejalkan si Seto Bungkrik padanya.
Tubuh wanita itu telah tertutupkan kain selimut. Sepasang matanya masih terpejam dengan wajah pucat dan rambut awut-awutan. Adapun si pendek ini telah jelalatkan matanya mengitari seluruh ruangan, bahkan berjongkok melongok ke bawah pembaringan, namun memang di pondok itu tak dijumpai siapa-siapa.
"Setan belang...! Kemana kaburnya si pencuri sialan itu...?" Desis suara si pendek. Namun disamping mendongkol, tapi juga bergirang karena si gadis telah ditemukan juga. Walau tentunya dia telah keduluan oleh sang pencuri yang tentunya sudah mencicipi kehangatan tubuh gadis incarannya.
Sementara si jangkung Wong Duwur dan Kemang Suri telah menyusul melompat ke depan pondok mungil di ujung batu undakan itu. Akan tetapi pada saat itu juga terdengar satu suara halus di belakang mereka. Entah dari mana munculnya telah berdiri sesosok tubuh berpakaian bagus, dengan menggendong tangan dibelakang, tengah menatap mereka.
"Maaf sobat-sobat orang sakti...! Ada apakah membuat kegaduhan di tempatku...?" Bertanya orang itu.
Terkejut kedua tokoh hitam ini, dan segera palingkan mukanya menatap ke arah suara dibelakangnya. Seorang laki-laki tua bertubuh gemuk dengan baju sutera warna-warni. Memakai jubah panjang warna biru tua yang belahannya terbuka di depan, perlihatkan wajah tersenyum pada mereka.
Laki-laki gemuk ini berkumis tipis yang ujungnya terjuntai memanjang. Jenggotnya yang berwarna putih cuma sejumput saja, bagai jenggot kambing. Wajahnya tampak ramah dengan sepasang mata agak sipit, serta alis terjuntai pula kedua ujungnya. Seto Bungkrik cepat-cepat melompat ke pintu untuk melihat siapa adanya yang telah buka suara. Jangan-jangan ini pencurinya yang menggondol gadisku...! Sentak hatinya begitu melihat ada sesosok tubuh di sisi batu undakan.
Mereka bertiga jadi saling pandang, karena sikap orang tua itu tak seperti orang berilmu tinggi, jelas seorang bangsawan menilik dari pakaiannya. Belum lagi Seto Bungkrik buka mulut, si bangsawan tua itu sudah mengulang bicara.
"Sekali lagi, aku si tua Anjasmoro mohon maaf pada anda orang-orang sakti, ada apakah yang terjadi hingga membuat kegaduhan di tempat ku ini...?" Berkata demikian orang tua bangsawan ini menjura dengan sikap amat hormat.
Hening sejenak. Dan kembali ketiganya saling pandang. Tak mungkin kalau orang ini yang telah melakukan penculikan pada si gadis tadi. Demikian pikir dibenak mereka masing-masing. Tak ayal segera mereka balas menjura.
"Hihihi... kami digelari si Tiga Siluman Bukit Hantu! Kedatangan kami kemari adalah mencari seorang pencuri busuk yang telah mencuri adik perempuan rekan kami!" Ujar Kemang Suri dengan sikap genit, seraya lirikkan mata pada si pendek Seto Bungkrik.
"Oh!? begitukah...? lalu..." Jawab si Bangsawan tua seperti menampakkan keterkejutannya.
"Kami mengejarnya, ternyata malingnya sudah lenyap, sedangkan adik perempuan rekan kami itu berhasil kami temukan lagi berada di dalam pondok mungil ini...!"
"Ya, aku si Seto Bungkrik yang telah menghajar daun pintu pondok ini, karena menduga dia bersembunyi di dalam! Ternyata benar! Namun kami terlambat datang, karena manusianya sudah merat terlebih dulu!" Ujar si pendek dengan wajah geram.
"Apakah anda mengetahui jelas ciri-ciri si penculik itu?"
"Sayang sekali kami tak mengetahuinya sama sekali baik rupa maupun pakaiannya!" Ujar lagi Kemang Suri.
Sementara si Bangsawan tua kerutkan keningnya. "Aneh! Lalu dari siapa kalian orang-orang sakti bisa mengetahui kalau penculiknya sembunyi dalam pondok ini?" tanya si Bangsawan tua.
"Kami menemukan seorang penjaga di tempat ini, akan tetapi sayang dia seorang yang gagu! Di cuma menunjuk-nunjuk saja ke arah sini memberitahukan dengan isyarat! Apakah dia penjaga di tempat ini yang ditugaskan oleh anda?" tutur Kemang Suri seraya ajukan pertanyaan.
Laki-laki tua Bangsawan itu kembali unjukkan wajah tersenyum, dan berkata: "Benar! Sudahlah kalau penculiknya tak dapat ditemukan, kalau adik perempuan sobat... Seto Bungkrik ini sudah dapat ditemukan tak menjadi apa! Oh, ya disamping terkejut, aku si tua Anjasmoro merasa kebetulan sekali berjumpa dengan para tokoh sakti Rimba Persilatan yang ternyata bergelar Tiga Siluman Bukit Hantu! Bagaimana kalau aku si tua ini mengajak anda ke tempat tinggalku? Ya, hitung-hitung menambah pengetahuanku, karena aku amat senang berkenalan dengan orang-orang sakti Rimba Hijau! Hahaha... jangan khawatir, aku si tua akan menjamu kalian orang-orang sakti sampai puas!" Berujar si laki-laki tua Bangsawan dengan menunjukkan sikap persahabatan.
Melengak si Tiga Siluman Bukit Hantu ini, dan lagi-lagi ketiganya saling pandang. Seto Bungkrik dan Wong Duwur cuma manggut-manggut menatap pada Kemang Suri. Kemang Suri palingkan lagi kepalanya menatap pada si laki-laki tua Bangsawan itu, seraya manggut-manggut dan menyatakan bersedia bertamu ke tempat tinggal si Bangsawan tua.
* * * * * * *
Di sebelah utara kota Ungaran ternyata merupakan daerah yang hidup, karena disana banyak tinggal kaum Ningrat dan para pedagang maupun Bangsawan. Bahkan di tempat itu adapula tinggal keluarga dari Adipati Banyu Biru.
Disudut utara kota yang padat penduduknya itu tinggal seorang bangsawan Tua yang terkenal ramah tamah dan berwibawa. Yaitu Raden Mas Anjasmoro, yang mendiami gedung megah dengan belasan pengawal yang dimilikinya.
Menjelang senja, tampak iringan-iringan orang berkuda memasuki wilayah utara kota Ungaran. Ternyata adalah si Bangsawan Tua Anjasmoro itu, yang datang bersama ketiga tamunya si Tiga Siluman Bukit Hantu. Tentu saja si pendek Seto Bungkrik membawa serta si gadis bernama Pipit Lurik itu dalam pangkuannya di atas kuda.
Beberapa penduduk yang sempat berpapasan dengan rombongan itu tentu akan menjura hormat pada si Bangsawan terkenal itu, yang berikan senyumannya pada setiap orang yang dijumpai. Tak berapa lama dua orang penjaga telah membukakan pintu utama di depan gedung megah milik si Bangsawan Tua itu.
Dan mereka segera beranjak masuk. Ketika mereka masing-masing turun dari kudanya, segera beberapa penjaga berdatangan untuk membenahi kuda-kuda itu. Binatang tunggangan yang mereka naiki adalah didapatkan dengan mudah. Karena di setiap tempat si Bangsawan Tua banyak mempunyai kenalan.
* * * * * * *
PIPIT LURIK terkejut ketika dapatkan dirinya berada di sebuah pembaringan empuk berseprai bersih dan bagus. Dan dalam sebuah kamar yang indah. Sebuah jendela yang terkuak terbuka sebagian, menampakkan latar belakang sebuah taman bunga. Juga sebuah lampu gantung yang terbuat dari besi ukiran berada di langit-langit ruangan kamar. Gadis ini beranjak bangkit untuk duduk, terkejut dia karena rasakan tubuhnya tak mengenakan pakaian sama sekali, kecuali sebuah selimut berbau harum yang membungkus tubuhnya.
"Oh, apa yang telah terjadi denganku? Di manakah ini? Tempat ini bukan kamarku...! Ya, kamar ini lebih indah, dan amat indah melebihi kamarku...!" Bertanya-tanya Pipit Lurik dalam hati.
Segera dia mulai mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Gadis ini ternyata telah lupa pada kejadian di atas bukit, akibat pengaruh dua butir pil yang dijejalkan dalam mulutnya oleh si pendek Seto Bungkrik. Semalam suntuk dia telah tertidur pulas, bahkan ketika dia tersadar, matahari sudah mulai meninggi.
Setelah lama termangu-mangu, akhirnya Pipit Lurik mulai dapat mengingat lagi kejadian mengerikan di atas bukit, dimana tubuhnya tengah digeluti oleh si pendek Seto Bungkrik salah satu dari Tiga Siluman Bukit Hantu. Mengingat demikian, gadis ini tiba-tiba perdengarkan jeritan histeris. Wajahnya seketika pucat pias ketakutan.
"Tidaaaak...! tidaaaak...! Oh, lepaskan aku...! lepaskaaaann!" Dan dia sudah bangkit dari pembaringan. Sekejap saja sepasang matanya telah membersitkan air bening yang menggenangi pelupuk matanya.
Pada saat itulah sesosok tubuh melompat ke dalam kamar setelah membuka daun pintu dengan cepat. Terkejut pipit Lurik menatap siapa yang datang. Akan tetapi juga terheran... karena di hadapannya bukanlah wajah jelek si pendek gundul itu, melainkan seorang pemuda gagah berpakaian mewah, yang menatap padanya. Dan segera telah berikan senyuman manis terhadapnya.
"Oh...? no... nona sudah sadarkan diri...? Sukurlah! Dan tenanglah, nona..! Kau berada di tempat yang aman! Namaku Pitra Sena! Kau berada di kamar dalam gedung ayahku Raden Mas Anjasmoro...!" Berkata pemuda itu dengan lemah lembut.
Adapun Pipit Lurik tergesa-gesa menutupi kembali tubuhnya, dan membuntalnya dengan selimut. "Apakah gerangan yang terjadi? Mengapa aku bisa berada di gedung si Bangsawan Tua sahabat ayahku ini..?" Sentak hati Pipit Lurik.
Tiba-tiba mendadak gadis ini rasakan kepalanya mendadak jadi pening dan rumit memikirkan semuanya. Dan sekonyong-konyong dia mulai mengingat pada sang ayah. Tak ayal Pipit Lurik kembali menjerit histeris menyebut-nyebut nama ayahnya, dengan menelungkupkan wajah di kedua lengannya. Membuat pemuda itu jadi tampak kebingungan, dan segera mendekati seraya mengelus pundaknya. Akan tetapi Pipit Lurik telah melompat ke sudut pembaringan.
"Pergi kau...! pergii Jangan jamah aku! Ke mana ketiga manusia iblis itu? Katakan di mana mereka! Aku harus membunuhnya mampus! Dia... dia pasti telah bunuh ayahku! Ayaaah...! oh, ayaaaah....." Setelah berteriak-teriak, Pipit Lurik kembali menangis tersedu-sedu.
Pemuda bernama Pitra Sena itu cuma mendiamkan saja menatap si gadis dengan tersenyum, karena maklum kalau dia tengah shok dengan kejadian yang dialaminya. Tiba-tiba sang gadis sudah hentikan lagi tangisnya. Kini hatinya memikir akan apa yang telah dialami. Barulah dia sadar kalau dirinya telah ternoda.
Ya, ternoda oleh si manusia pendek bernama Seto Bungkrik itu. Dan dia ingat benar akan kejadiannya. Seketika lemahlah sekujur tubuhnya. Air matanya yang mengalir di pipi terasa panas. Tibatiba dia telah angkat wajahnya, seraya menatap pada si pemuda yang masih berdiri menatapnya.
"Maafkan kekhilafanku, kakak...! Dapatkah kau ceritakan mengapa aku bisa sampai berada di sini?" Bertanya Pipit Lurik menahan isaknya.
Pitra Sena tersenyum, seraya menyahuti dengan kata-kata lemah lembut. "Tenangkan hatimu, nona..! beristirahatlah, aku akan memanggil pelayan untuk membawakan pakaian buatmu...! Biarlah nanti setelah kau selesai bersantap, aku akan menceritakan kejadiannya pada nona... ng... anda bernama Pi... Pipit Lurik, bukan...?"
Pipit Lurik mengangguk seraya tundukkan wajahnya. Tatapan mata pemuda anak si Bangsawan Tua Raden Mas Anjasmoro itu seperti menembus ke jantungnya, membuat hatinya jadi berdebar. "Diakah yang telah menolongku...? Ataukah ayahnya..? Ah, seandainya dia atau ayahnya yang telah melakukan pertolongan padaku, sama saja! Tapi alangkah menyesalnya aku menolak keinginan ayah menjodohkan aku padanya. Dan kini... kini semua harapan ayah telah musnah! Bahkan aku tak tahu bagaimana nasib ayah kini! Ya, aku tak tahu lagi! Namun aku pasti akan segera tahu, kalau ayah Pitra Sena sudah menuturkannya padaku...!" Memikir gadis ini.
Sementara Pitra Sena telah keluar dari kamar untuk memanggil pelayan. Ternyata beberapa pelayan wanita telah berada di balik pintu sejak tadi, karena telah mendengar suara teriakan-teriakan dan tangis Pipit Lurik di dalam kamar. Segera saja Pitra Sena menyuruhnya menyediakan pakaian untuk sang gadis itu.
Sementara dia sendiri berlalu ke arah ruangan depan, dimana sang ayah masih duduk sambil menghisap cangklongnya. Laki-laki Bangsawan ini sudah sejak tadi mendengar suara teriakan dan tangisan gadis itu. Akan tetapi dilihatnya Pitra Sena telah berlari melihat, hingga dia tak berniat bangun melihatnya.
Adapun Raden Mas Anjasmoro ini tengah bercakap-cakap dengan anak laki-lakinya itu, yang terputus oleh teriakan Pipit Lurik tadi. Tak lama Pitra Sena sudah muncul di ruangan depan. Laki-laki gemuk ini menoleh, seraya menatap pada sang anak.
"Bagaimana dengan gadis itu, Pitra Sena! Apakah sudah dapat kau bujuk dan jelaskan kejadiannya?" Tanyanya.
"Sudah, ayah! akan tetapi aku belum ceritakan apa-apa padanya! Kuharap kau mengerti, ayah...." Pitra Sena mendekati ayahnya, dan bisikkan sesuatu padanya. Selang sesaat, terdengar suara tertawa pelahan Sang Bangsawan Tua ini.
"Jadi kau menginginkannya? Hm, gadis itu telah ternoda! Terserah kau! Asalkan kau tak mengawininya! Kau tahu! Punya istri itu banyak resikonya, dan kau masih terlalu muda!" Ujar sang Bangsawan tua itu.
"Ayah...! Akulah yang telah menodainya! Dan aku yakin bahwa akulah yang pertama...!" Berkata Pitra Sena dengan tersenyum pada sang ayah.
Raden Mas Anjasmoro naikkan alisnya dengan mata melotot menatap sang anak. "Jadi kau yang menculiknya...?" Tanyanya dengan heran.
"Benar ayah! Gadis itu tengah diperkosa...! Akan tetapi aku telah lihat sendiri bahwa si pendek Seto Bungkrik itu belum berhasil melakukannya!"
"Lalu kau culik?"
"Ya, dengan pergunakan jurus "Angin Puyuh Menghalau Naga", tapi tidak terlalu keras! Cukup menerbangkan jubah si jangkung Wong Duwur itu!" Lalu Pitra Sena ceritakan sedikit akan perbuatannya, hingga berhasil menggondol Pipit Lurik.
"Bocah edan! Hati-hati kau, jangan sembarangan membuka rahasia kalau kau ada mempunyai ilmu! Aku memang pernah mengajak si tua Jaran Perkoso itu untuk berbesan! Akan tetapi dengan maksud tertentu..."
"Apakah itu, ayah?" Tanya Pitra Sena ingin tahu.
"Hm, nantilah aku jelaskan...! Kini bagaimana mengenai keadaan si tua Jaran Perkoso itu? Apakah masih bisa diselamatkan nyawanya?"
"Entahlah! Ketika aku kembali lagi ke bukit itu, dia sudah hampir mati! Luka-lukanya amat parah! Sudan pasti dihajar oleh si pendek Seto Bungkrik itu, yang amat mendendam padanya!" ujar Pitra Sena. Lalu teruskan pembicaraannya.
"Tadinya aku tak mau ambil peduli, akan tetapi kudengar dia memanggil namaku. Segera ku hampiri. Ternyata dia ada berkata-kata: "Anak Mas... kau carilah.. a.. anakku Pipit Lurik! Ah, seandainya kau berjodoh... dengan.. anak gadisku, alangkah bahagianya aku..." Berkata si pemuda tirukan suara Jaran Perkoso.
"Lalu bagaimana kelanjutannya?" Tanya Raden Mas Anjasmoro penuh perhatian.
"Dia tuliskan sesuatu yang aku tak mengerti pada sobekan pakaiannya dengan darah, lalu berikan pada ku! Tampaknya dia mau katakan sesuatu lagi, tapi dia sudah keburu pingsan! Karena bukit itu jauh dari desa, dan aku tak mau pakaian ku kotor kena darah. Terpaksa dia ku tinggalkan saja di bukit itu, entah mati ataukah masih bernyawa, aku tak mengetahui..!" Ujar Pitra Sena polos.
Terkejut Raden Mas Anjasmoro, segera terdengar suaranya mendesis. "Apakah, kain bertuliskan darah itu masih berada padamu?"
Pitra Sena mengangguk. "Cepat berikan padaku, aku ingin lihat!" Berkata si Bangsawan Tua dengan nada tak sabar.
Cepat-cepat Pitra Sena berikan sobekan kain yang diselipkan di saku celananya, yang telah dibungkus sobekan kain lagi. Bahkan Pitra Sena sendiri hampir lupa kalau masih mengantongi sobekan kain pemberian Jaran Perkoso. Laki-laki Bangsawan tua itu memperhatikan tulisan yang tak berbentuk huruf, seperti tak mempunyai arti sama sekali. Bahkan beberapa kali dia memutarmutarkan dan membolak-baliknya, akan tetapi tetap tak mengerti.
"Hm, mungkin si tua Jaran Perkoso itu menyuruhmu memberikan kain bertuliskan darah ini untuk anak gadisnya..." Ujarnya perlahan. "Biarlah aku yang menyimpannya." Sambungnya lagi.
Kemunculan si Tiga Siluman Bukit Hantu ternyata membawa bencana besar atas keadaan di sekitar wilayah kota Ungaran. Karena siang itu keadaan di dalam markas Benteng Macan Gunung tengah terjadi kekacauan. Suara benturan senjata dan bentakanbentakan keras, serta teriakan-teriakan ngeri terdengar saling susul. Bercampur dengan suara ringkik kuda yang ketakutan. Apakah gerangan yang terjadi?
Kiranya setelah habis dijamu oleh Raden Mas Anjasmoro, si Tiga Siluman Bukit Hantu mendatangi ke markas itu untuk melakukan pembunuhan. Terutama adalah men cari dua dari Tiga Macan Gunung Muria. Tentu saja kedatangannya disambut oleh para anak buah penghuni markas, hingga terjadi pertarungan seru. Namun para anak buah bagaikan lalat yang dimakan api. Beberapa betas sosok tubuh sudah berkaparan mandi darah dalam keadaan tak bernyawa.
Saat itu Gantar Sewu belum kembali dari mengawal barang. Cuma ada Jaka Keling yang menjaga markas. Laki-laki ini memang sedang resah, karena seperti janji Jaran Perkoso yang akan kembali pada Ssre kemarin, ternyata tak kelihatan datang. Bahkan sampai menjelang slang lagi. Dia baru mengutus beberapa orang anak buahnya untuk melihat atau menyelidiki ke beberapa tempat dataran tinggi.
Namun belum lagi para anak buahnya kembali, telah datang tiga manusia yang menebar maut di markas Benteng Macan Gunung. Di sudut pertarungan tampak pemuda berusia tiga puluh tahun itu tengah bertarung dengan si pendek bertongkat kepala telapak tangan besi yang melayaninya dengan seru.
"Hahaha.. hehe... ilmu pedang Tiga Macan Gunung ternyata cuma begini saja! Hayo, keluarkan jurus-jurus maut mu yang terkenal itu!"
"Iblis pendek keparat! Apa kesalahan pihak kami? Mengapa tiba-tiba kalian lakukan pembantaian di markas kami!" Bentak Jaka Keling, seraya lakukan serangkaian serangan. Pedangnya berkelebatan bagaikan puluhan pedang yang berkelebatan mengurung tubuh sang lawan.
"Hehehe... tak perlu tanya-tanya segala kesalahan! Pokoknya Tiga Macan Gunung Muria harus kutumpas semua sampai lenyap! Setelah Jaran Perkoso, kini giliran saudara-saudara seperguruannya!" Ujar si pendek Seto Bungkrik seraya mengelakkan beberapa serangan bahkan balas merangsak dengan hebat.
Namun Jaka Keling dengan lincah menghindari, walau tak urung ujung telapak tangan besi itu merobek pakaiannya yang menyerempet bahu, dan menggores kulitnya. Jaka Keling melompat mundur tiga tombak. Wajahnya meringis, merasakan pedih dari lukanya. namun hai itu tak membuatnya terkejut. Melainkan kata-kata tentang kakak seperguruannya Jaran Perkoso itulah yang membuatnya terperanjat.
"Hah!? Kalian... telah membunuh kakang Jaran Perkoso?" Teriaknya tertahan.
"Hahaha... tidak salah! kakak seperguruanmu itu sudah mampus! dan anak gadisnya telah berada dalam tawananku...!"
Terkejut bukan alang kepalang Jaka Keling, Seketika dia sudah membentak keras, dan menerjang dengan sambaran-sambaran pedangnya yang menggebu. "Iblis keparat! aku akan adu jiwa denganmu..!" Dan mengamuklah Jaka Keling bagaikan singa terluka.
LIMA
Sementara Kemang Suri dan Wong Duwur dengan enak saja melakukan pembantaian secara keji. Kepandaian kedua manusia itu bukanlah tandingan para anak buah si Tiga Macan Gunung Muria. Teriakan-teriakan maut terdengar dimana-mana. Singo Bronto salah seorang tangan kanan Tiga Macan Gunung Muria itu tampak telah terluka parah. Sebelah lengannya dihantam remuk oleh tongkat kepala Tengkorak Wong Duwur. Akan tetapi tanpa menghiraukan rasa sakit yang luar biasa itu, dia sesudah menerjang lagi dengan gigih.
"Hehehe... tenagamu kuat juga! Apakah kau salah satu dari si Tiga Macan Gunung Muria?" Berkata dingin si jangkung Wong Duwur.
Akan tetapi Singo Bronto tak menjawab. Bahkan mencecar dengan serangan-serangan tajam dengan sebelah lengan. Ternyata cukup membuat Wong Duwur harus waspada. Salah-salah lengannya bisa kena terbabat putus oleh pedang lawan yang mengamuk hebat ini. Tiba-tiba laki-laki jangkung ini perdengarkan suara geraman menggertak.
Tongkatnya berputar cepat dengan putaran menyilang, membuat Singo Bronto terperangah Karena dia sudah tak dapat membedakan lagi kemana arah sambaran tongkat lawan. Ketika tahu-tahu benda keras telah menghantam kepalanya. Laki-laki ini perdengarkan jeritannya. Lalu roboh terguling meregang nyawa. Sekejap kemudian tewas dengan kepala rengat mengerikan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan keras yang bersuara nyaring. "Iblis-iblis keji! Hentikan perbuatan kalian...!!"
Suara itu terdengar amat berpengaruh. Membuat ketiga tokoh hitam itu segera melompat mundur. Jaka Keling pun dapat bernapas lega, karena segera terlepas dari kepungan ketat tongkat si pendek Seto Bungkrik. Sementara beberapa pasang mata segera tertuju pada berkelebatnya sesosok tubuh yang telah berada di tempat itu.
Siapakah gerangan pendatang bersuara nyaring ini?. Tak lain adalah si Pendekar Wanita Pantai. Selatan Roro Centil. Seorang dara cantik luar biasa dengan rambut lebat terurai ke punggung, berbaju sutera warna merah muda tengah berdiri menatap ketiga manusia dihadapannya, Di kedua lengannya mencekal sepasang senjata Rantai Genit, yang bentuk bandulannya mirip buah dada.
Melengak ketiga manusia bergelar Tiga Siluman Bukit Hantu itu. Jelas suara bentakan barusan amat berpengaruh. Karena seperti bergetar menembus ke masing-masing jantung, menimbulkan hawa aneh yang membuat menciutnya nyali orang. Melihat yang muncul adalah seorang dara cantik, serta bersenjatakan benda aneh demikian si pendek Seto Bungkrik jadi tersenyum lucu.
Akan tetapi bentakan itu memang telah membuat jantungnya serasa copot. Siapakah gerangan adanya gadis aneh ini? Pikir si pendek dalam benaknya. Sementara Kemang Suri sudah mendengus dihidung melihat dara itu. Dia sudah melompat ke hadapan Roro Centil dan berkata dengan nada menghina.
"Eh, dari mana datangnya kuntilanak centil ini? Hihihi.. rupanya masih doyan menyusu, hingga kemana-mana membawa tetek ibunya...?"
Seraya berkata Kemang Suri palingkan kepalanya pada dua kawannya di belakang. Wong Duwur dan Sato Bungkrik lantas saja menimpali dengan tertawa gelak-gelak. Adapun Roro Centil cuma perlihatkan senyumannya, dan tertawa jumawa seraya berkata seenaknya.
"Hu, tidak salah ucapan mu itu Ratu Kuntilanak! Aku memang masih doyan menyusu...!"
Seraya berkata Roro Angkat sebuah Rantai Genitnya. Bandulan aneh berbentuk buah dada itu diangkatnya tinggitinggi. Lalu tengadahkan kepalanya seraya monyongkan mulut untuk mengecup putik "buah dada". Dengan ujung lidah dia telah memutar putik diujung payudara senjatanya itu. yang segera mengucur air. Selanjutnya dengan lahap Roro sudah menenggaknya beberapa teguk.!
Seandainya yang berkata seorang laki-laki gagah, tak nantinya dia akan marah dirinya disebut Ratu Kuntilanak. Akan tetapi yang menyebutnya adalah seorang gadis bertampang lugu seperti remaja baru kemarin sore, tentu saja membuat darahnya seketika naik ke kepala. Apalagi dengan sikap memandang rendah, Roro Jual lagak dihadapannya.
"Eh, setan centil! sebutkan namamu, sebelum aku mengirim mu ke Akhirat! Tidak tahukah kau bahwa tengah berhadapan dengan Tiga Siluman Bukit Hantu...?" Bentak Kemang Suri. Di saat menyebut julukan mereka, sengaja Kemang Suri memberi tekanan keras agar membuat sang dara itu terkejut.
Akan tetapi si dara yang tengah meneguk arak dari sebuah "payudara" senjatanya itu sekonyong-konyong terbatuk-batuk. Karena tiba-tiba saja dia telah tertawa geli. Akibat batuknya itu, sisa-sisa arak dalam mulut telah tersembur ke depan. Menyemprot ke muka dan pakaian Kemang Suri yang berada dihadapannya sejarak lima langkah. Tentu saja Kemang Suri tak mau mukanya kena cepretan air arak. Segera ia melangkah cepat ke belakang, akan tetapi tak urung bajunya terkena juga semburan air arak dari mulut Roro Centil.
"Hihihi.. hihi.. kau menyebutku se.. Setan Centil? Uhuk! uhuk! uhuk! Setannya biarlah kuberikan buatmu! Kalau Centilnya tepat sekali untukku! Karena namaku memang Roro Centil!" Berkata si Pendekar Wanita ini dengan masih terbatuk batuk, dan tertawa mengikik geli.
"Bocah edan...! Mulutmu memang harus kuremukkan...!" Teriak Kemang Suri, seraya sudah mau menerjang. Akan tetapi Wong Duwur sudah melompat untuk menahan.
"Tunggu, dewiku...!" Melengak Kemang Suri. Namun segera laki-laki ini membungkuk bisikkan sesuatu di telinga Kemang Suri. Terkejut wanita ini ketika melirik ke arah pakaiannya ternyata sudah bolong bolong terkena semburan arak tadi. Yakinlah kini kalau gadis yang diremehkannya ternyata berkepandaian tinggi. Segera dia beri isyarat untuk mengurung si dara aneh.
"He, apakah kesalahannya orang-orang markas ini, hingga sampai kalian si Tiga Siluman Tengik telah mengamuk membantai orang semaunya?" Tanya Roro, yang seperti tak acuh meneruskan menenggak arak.
Tiga manusia itu tak memberi jawaban, melainkan saling kedipkan mata memberi isyarat. Dan dengan berbareng telah berlompatan menerjang ke arah Roro. Jaka Keling yang melihat kejadian itu jadi mencelos hatinya. Celaka! wanita itu dalam bahaya...! Sentak hati Jaka Keling. Akan tetapi sungguh di luar dugaan, tahu-tahu ketiga Siluman Bukit Setan itu perdengarkan seruan tertahan, dan bergulingan menghindarkan diri.
Karena tiba-tiba saja bersemburan air arak yang menyemprot ketiga penjuru. Beruntung mereka dapat lolos dari air semburan arak, namun tak urung kepala gundul si pendek Seto Bungkrik terkena juga cipratan air semburan arak itu. Seketika melepuh bagaikan terkena letikan api. Laki-laki pendek ini menyeringai gusar seraya usap-usap kepala gundulnya. Akan tetapi tiba-tiba....
Hukkk...! Kembali dia harus berguling mengelakkan diri ketika merasai sambaran angin ke arah kepalanya.
"Hihihi.. Awas, hati-hati dengan kepala gundulmu, pendek jelek. Kalau hilang tak ada gantinya..!" Terdengar satu suara.
"Bocah edan! Rasakan senjataku." Teriak Kemang Suri seraya melepaskan paku-paku berbisanya. Serangkum senjata rahasia meluruk ke arah Roro. Gadis ini gerakkan lengannya mengibas. Dan segelombang angin santar segera membuat paku-paku berbisa itu berbalik meluruk ke arah si penyerang.
"Gila...!?" Memaki Kemang Suri seraya melompat tinggi tiga tombak. Senjata rahasianya berdesis meluruk lewat di bawah kakinya. Akan tetapi terkejut wanita ini ketika injakkan kaki ke tanah, belasan paku berbisa itu balik kembali menyerang ke arahnya. Edan!? memaki dia dalam hati. Untung dengan cepat Kemang Suri putarkan seruling hitamnya, hingga belasan paku maut itu buyar ke beberapa penjuru.
Adapun si jangkung berkumis baplang itu jadi terkejut melihat ilmu aneh yang dipergunakan Roro. Namun sebagai tokoh yang sudah banyak pengalaman di dunia Rimba hijau, dia sudah keluarkan bentakan seraya menerjang dengan tongkat kepala tengkoraknya. "Sebutkan siapa gurumu, nona Centil!"
Roro tertawa mengikik seraya mengelak dengan pergunakan jurus langkah Bidadari Mabuk Kepayang. "Hihihi... tanyakan pada gurumu diliang kubur, pasti akan tahu siapa guruku...!" Dan sekonyong-konyong...
Dess...! Roro sudah hantamkan sebelah telapak kakinya menendang ke dada lawan. Hal mana dilakukan dengan tiba-tiba, yang si jangkung tak menyangka sama sekali. Untuk mengelak sudah terlambat. Karena dia tengah perhatikan gerakan cara mengelak si dara itu, yang aneh seperti orang terhuyung mabuk, namun telah berhasil meloloskan serangannya. Terpaksa dia gunakan kekuatan tenaga dalam menahan dada. Akan tetapi si jangkung mengeluh, dan terhuyung tiga langkah. Seandainya dia tak bertenaga dalam tinggi, tentu sudah terlempar sejauh lima tombak.
Diam-diam Roro terkejut juga mengetahui kehebatan kekuatan lawan. Dia memang sengaja pergunakan sepertiga tenaga dalam untuk sementara si pendek sudah menggerung keras menerjang dengan tongkatnya, menerjang Roro Centil. Telapak tangan besi itu berdentingan terkena tangkisan senjata Roro yang bagaikan karet. Bila beradu hantaman langsung mental balik menyerang lagi ke arah lawan berpantulan.
Tentu saja membuat si pendek Seto Bungkrik jadi kewalahan menyerang seorang diri. Untunglah datang Wong Duwur yang bantu menerjang Roro. Hingga segera terjadi pertarungan sengit. Belasan juruspun berlalu sudah. Agaknya Roro cukup merasa sulit menjatuhkan lawan karena mereka bekerja sama dalam menyerang dan menyelamatkan kawan. Apa lagi tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling yang membersit tinggi menggetarkan anak telinga.
Roro seperti terkejut, dan berpaling ke arah si peniupnya. Nada seruling yang tinggi rendah itu mungkin akan memberi orang lain akan terkena pengaruh, akan tetapi bagi Roro tidaklah mempunyai arti yang berarti, karena dia sudah salurkan tenaga batinnya untuk menutupi pendengaran. Sementara kedua penyerangnya tiba-tiba melompat mundur.
Roro amat heran, tapi segera manggut-manggut mengerti. Rupanya mereka mempersiapkan diri untuk menutupi telinganya. Adapun Roro Centil segera keluarkan akalnya. Tiba-tiba tampak tubuhnya seperti terhuyung keras mau jatuh. Wajahnya berubah memerah. Dan terhuyung-huyung dia seperti berusaha menahan kekuatan tenaga dalam yang merusak dan menyerang ke otak. Dan pada saat berikutnya dua sosok tubuh jangkung dan pendek itu telah menerjang lagi dengan berbareng.
"Mampuusss...!" Teriak mereka hampir serempak.
Akan tetapi di detik itu terdengar suara pekik kesakitan. Dua tubuh penyerang itu terlempar tiga tombak terguling-guling. Kalau si botak pendek Seto Bungkrik adalah menjerit karena sepotong lengannya hancur. Akan tetapi si jangkung ini adalah sebelah kakinya yang hancur sebatas lutut.
Tentu saja kejadian mendadak itu membuat Kemang Suri terperanjat. Dan sekejap saja tiupan serulingnya terhenti. Saat dia tengah terperangah itulah, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah ke arahnya.
Whusss...! Plak...!
Dia telah hantamkan telapak tangannya, akan tetapi dia sendiri yang terlempar ke belakang. Dan di saat sebelum tubuhnya menyentuh tanah, tahu-tahu... Plas...! Seruling ditangannya telah lenyap disambar bayangan merah itu.
Buk...! tubuhnya terbanting ke tanah. Saat manalah tiba-tiba Jaka Keling yang sejak tadi jadi penonton, dengan menutupi kedua telinganya, tiba-tiba menampak kesempatan di depan mata. Segera disambarnya pedang yang ditancapkan tadi di tanah. Dan...
Jroosss...! Pedangnya telah di hujamkan tepat pada jantung si wanita bernama Kemang Suri itu. Terbeliak sepasang mata Kemang Suri. Akan tetapi Jaka Keling sudah menyentakkan pedangnya. Darah segar segera menyemburat keluar memancar deras. Kemang Suri berkelojotan meregang nyawanya. Namun tak lama sudah tak berkutik lagi. mati, dengan mata melotot.
"Hihihi...bagus! Sobat muda!" Teriak Roro Centil yang sudah berdiri di depan anak muda itu. Pada lengan Roro Centil tercekal seruling hitam Kemang Suri. Krakk...! Roro sudah hancurkan seruling itu.
Sementara si kedua manusia pendek dan jangkung itu mengetahui kematian Kemang Suri segera sambar tongkat ,asing-masing dan melesat kabur melarikan diri,
"Terima... kasih atas bantuan anda... nona pendekar....!!" Berkata Jaka Keling seraya menjura. Suaranya terdengar parau. Tampak wajahnya pucat pias. Agaknya sudah sejak tadi dia menahan kekuatan tubuhnya untuk bisa berdiri, karena luka pada bahunya yang tergores ujung tongkat si pendek Seto Bungkrik itu mengandung racun, yang mulai menjalar ke seluruh tubuh.
Terkejut Roro Centil, baru mau dia berkata, tahu-tahu Jaka Keling sudah jatuh menggabruk di tanah. Tak ayal Roro Centil segera memburunya. Ternyata Roro bertindak cepat tanpa sungkan-sungkan. Segera ia periksa luka orang. Terkejut Roro mengetahui selingkaran bekas luka sudah berwarna hitam.
"Racun ular sendok...? Desis Roro. Dan sekejap dia sudah bungkukkan tubuh, dengan merundukkan kepala. Ternyata mulutnya sudah digunakan untuk menyedot darah pada bekas luka ini.
Tak berapa lama Roro sudah muntahkan lagi cairan darah berwarna hitam dari mulutnya. Lalu salurkan tenaga dalam ke telapak tangan. Dan menempelkannya ke punggung laki-laki itu. Segera terlihat perlahan-lahan wajah laki-laki itu berubah seperti biasa kembali. Bahkan lukanya yang menghitam telah lenyap warna hitamnya.
Roro keluarkan sejumput obat bubuk dari dalam botol kecil dari kantong bajunya. Tak lama tubuh laki-laki itu mulai bergerak kembali. Dan terdengarlah keluhan, lalu bangkit duduk. Merasa keadaan tubuhnya telah kembali normal, dan lihat gadis pendekar itu menatap dengan senyum di hadapannya, tahulah dia kalau dirinya baru saja ditolong. Luka di bahunya sudah tak terasa nyeri lagi.
"Ah, anda telah mengobati lukaku? eh,.. te.. terima kasih, nona Pendekar!" Ucapnya dengan suara tergagap. Akan tetapi Roro menyahuti.
"Hihi... panggillah namaku saja, aku Roro Centil! Racun ular Sendok itu amat jahat! Terlambat sedikit lagi, anda tak mungkin tertolong...!" Tutur Roro Centil.
Melengak pemuda ini. Segera dia manggut-manggut seraya kembali ucapkan terima kasih. "Budi pertolongan anda amat besar, nona... Roro...! Semoga Tuhan membalas kebaikan hati anda!" Ujarnya lirih dan suaranya terdengar bersemangat.
"Ah, sudahlah! Siapakah nama anda, sobat muda...?" Tanya Roro.
"Oh, ya aku Jaka Keling! adik seperguruan dari ketua Markas Benteng Macan Gunung ini!" Menyahuti Jaka Keling, seraya bangkit berdiri menuruti Roro Centil.
Gadis Pendekar Pantai Selatan ini manggut-manggut. "Baiklah, nanti kau bisa ceritakan padaku! Mari kita tolong dulu kawan-kawanmu!" Ujar Roro seraya beranjak melompat. Sementara matanya sudah memandang ke sekitar. Puluhan mayat bergelimpangan. Suara mengerang dari yang terluka terdengar disana sini. Tapi lebih banyak yang tewas ketimbang yang luka.
"Aih, aku datang terlambat! Gara-gara mengurusi orang usil di rumah makan tadi itu, hingga begini besar korban yang berjatuhan!" Gerutu Roro perlahan. Segera dengan sisa-sisa para anak buah yang masih hidup dan dibantu Jaka Keling, Roro Centil lakukan pertolongan dan merawat yang terluka. Keadaan di markas itu begitu trenyuh, sampai-sampai Roro hampir jatuhkan air mata.
* * * * * * *
Gantar Sewu kepal-kepalkan tinjunya dengan wajah memerah padam. Disudut matanya tampak mengalirkan air mata. Penguburan para jenazah sudah selesai sejak kemarin. Dan biaya-biaya pengeluaran untuk keluarga korban sudah dibagikan. Dan sejak hari itu papan nama yang terpancang di pintu markas, sudah dicopot.
Jaka Keling duduk disudut ruangan dengan wajah tertunduk. Pemuda ini terlalu lelah mengurus penguburan mayat-mayat rekannya dan mengantarkan pada masing-masing keluarganya. Dia telah bekerja keras selama dua hari belakangan ini. Ditambah harus memikirkan nasib Pipit Lurik yang menurut apa yang didengarnya dari si Tiga Siluman Bukit Hantu, sang gadis telah ditawan mereka.
"Sungguh menyesal aku tak menemui pertempuran di markas kita! sehingga yang ku tahu adalah segalanya sudah selesai! Berarti selesai jugalah usia Benteng Macan Gunung!" Ujar Gantar Sewu dengan suara terdengar sedih.
"Kasihan nasib kakang Jaran Perkoso! Beliau memang pernah mengatakan padaku akan mengundurkan diri dari kepemimpinan di Markas Benteng Macan Gunung ini, untuk menyepi ke puncak Muria! Tak dinyana belum lagi terkabul rencana yang sudah lama ditimbang-timbangnya itu, beliau sudah keburu dipanggil oleh Yang Kuasa...!" Lanjut Gantar Sewu dengan suara terdengar bergetar menahan kesedihan.
Jaka Keling angkat kepalanya menatap sang kakak kandungnya. "Kakang Gantar Sewu! Kini apakah rencanamu selanjutnya?" Tanya Jaka Keling setelah suasana lama menjadi hening.
"Yah, aku serahkan pada pilihan mu bagaimana baiknya. Kukira sebaiknya kita berpisah! Silahkan kau ambil jalan mu sendiri! Dan aku juga mengambil langkah sendiri! Kau sudah cukup dewasa, Jaka Keling! Bahkan lebih dari dewasa! Aku tak dapat menghalangi niatmu menentukan jalan hidupmu, disamping kita harus mencari dimana adanya Pipit Lurik, dan membalaskan dendam kakak seperguruan kita yang telah menanam jasa besar pada kita...!"
Hening sejenak. Jaka Keling termenung tanpa berkata apa-apa. Dan Gantar Sewu kembali teruskan bicaranya.
"Kau jangan khawatir, mengenai harta peninggalan kakang Jaran Perkoso, akan segera kita bagi dua! Tanah dan gedung markas ini akan kutawarkan pada seorang hartawan tua kenalan kita, yang sering memesan kereta untuk mengangkut dan mengawal barang! Satu dua hari ini mungkin aku akan berangkat ke Gemolong, sekalian pindah dengan anak istriku! Terserah pada keinginanmu, apakah akan turut bersamaku atau mencari kehidupan sendiri...!" Gantar Sewu lanjutkan ucapannya seraya tatap wajah adiknya dalam-dalam. Seperti ingin mengetahui apa isi hati yang terkandung di dalam dada sang adik.
Akhirnya Jaka Keling bicara juga, setelah merenung lama. "Ya, kalau kakang sudah mengatakan untuk kita mengambil jalan hidup sendiri-sendiri aku tak dapat menolak! Mengenai urusan gedung markas ini aku tak mau mencampuri! Cukup bagiku sedikit bekal untuk perjalanan mencari Pipit Lurik! Dan seekor kuda yang kuperlukan. Mengenai urusan balas dendam, hal itu adalah urusan belakangan. Yang penting adalah menemukan dahulu dimana adanya Pipit Lurik!" Ujar Jaka Keling dengan suara datar.
Tampak Gantar Sewu kerutkan keningnya, seperti terheran mendengar jawaban Jaka Keling. Setelah menghela napas Gantar Sewu perlihatkan senyumnya, seraya berkata; "Hm, baiklah! kalau cuma itu keinginanmu! Aku memuji akan tekadmu untuk mencari Pipit Lurik! Benar! Itu memang tanggung jawab kita! Kepergianku ke Gemolong adalah cuma mengantarkan anak-istriku, sekalian pindah dari wilayah Ungaran ini! Tapi bukan berarti aku tak mengacuhkan anak gadis saudara seperguruan kita? Akupun akan berusaha mencari, dan tentu saja membalaskan dendam pati ini! Kukira walaupun mereka telah terluka oleh pendekar wanita itu, mereka berdua masih bisa membahayakan. Bukan mustahil mereka akan mengacau lagi kemari! itulah sebabnya aku akan menjual tanah dan gedung ini...!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut dihadapan kakaknya. Namun tak lama dia sudah keluar gedung untuk menuju ke baraknya. Jaka Keling memang selalu tidur dibarak. Gantar Sewu cuma menatap punggung sang adik. Yang sudah melangkah lebar keluar gedung.
"Kau akan berangkat sekarang, Jaka...!" Tanya Gantar Sewu.
Laki-laki ini mengangguk. Dia sudah siapkan seekor kuda dari kandang di belakang baraknya. Kuda yang memang miliknya. Pemberian dari Jaran Perkoso yang telah dibelikan kakak seperguruannya itu dengan harga mahal. Barusan kepergiannya ke barak adalah untuk berkemas. Gantar Sewu menatapnya dengan pandangan sedih.
"Baiklah, adikku...! Semoga Tuhan selalu melindungimu...!"
Gantar Sewu masuk kembali ke dalam ruangan kamar. Tak lama sudah keluar dengan membawa sebuah buntelan kecil yang perdengarkan suara gemerincing. Agaknya Gantar Sewu sudah mempersiapkannya sejak tadi.
"Terimalah ini untuk bekal dalam perjalananmu semoga kau dapat menghemat sisa uang ini...!" Ujar Gantar Sewu seraya berikan buntalan itu pada Jaka keling.
"Baik, kakang! Titipkan salamku pada kakang mbok, dan anakmu...!"
"Tentu, Jaka...! Kalau kau temui kesulitan, carilah aku di Gemolong! Berhasil atau tidak pencarian ku menyelidiki dimana adanya Pipit Lurik, aku memang akan menetap disana...! Nah, selamat berjuang! Aku yakin pendekar Wanita itu bisa dijadikan Dewi Penolong dalam upaya menumpas kedua iblis dari Tiga siluman bukit Hantu!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut, talu selipkan sekantung uang itu ke balik pakaian. Lalu beranjak mendekati kudanya. melompat ke atas punggung si hitam. Dan... tanpa menoleh lagi segera keprak kudanya yang membedal cepat meninggalkan halaman markas dengan perdengarkan suara ringkikkannya.
Gantar Sewu menatap kepergian sang adik dengan tersenyum. Dan terdengar suara helaan nafasnya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah aneh. Senyumnya mendadak sirna. Dia sudah balikkan tubuhnya untuk beranjak cepat kembali ke kamar. Kamar itu adalah kamar Jaran Perkoso.
"Hm, aku harus cari dimana kakang Jaran Perkoso menyembunyikan peta sisa harta warisan guru! Aku yakin guru telah berikan seluruh hartanya pada kakang Jaran Perkoso!" Desis suara Gantar Sewu.
Dan segera dia bekerja membongkar kembali, dan mengaduk-aduk seluruh isi lemari. Juga mencari di tempat-tempat lainnya. Sebuah pajangan berbentuk kepala rusa, tempat menggantung pakaian dicopotnya. Lalu diperiksa, kalau-kalau Jaran Perkoso menyembunyikan peta di situ. Entah mengapa hatinya semakin yakin kalau kakak seperguruannya menyimpan peta harta sang guru.
Dan hatinya seperti tersentak. Jantungnya berdebar keras. Dia telah temukan secarik kertas kulit tipis yang digulung kecil, pada sebuah lubang dibalik pajangan kepala menjangan. Segera dengan cepat dibukanya. Tampak wajahnya berubah berseri menyeringai.
"Hahaha... bagus, akhirnya kutemukan juga! Hampir aku mencurigai si Jaka Keling!" Gumam Gantar Sewu. Seraya teliti peta itu. Dugaannya tepat kalau Jaran Perkoso ada menyimpan peta harta pusaka gurunya.
Urusan ini lebih penting, ketimbang mencari Pipit Lurik dan membalaskan dendam pati kakang Jaran Perkoso! Namun aku harus ke Limbangan dulu menyelesaikan urusanku! Pikir Gantar Sewu dengan menampakkan senyum puas..."
Baiklah, kita tinggalkan dulu Gantar Sewu dengan segala rencananya. Mari kita ikuti kemana gerangan langkah sang adik bernama Jaka keling itu.
* * * * * * *
Kuda hitam itu mencongklang lari dengan pesat. Penunggangnya adalah seorang laki-laki gagah berkulit hitam. Pakaiannya sederhana, berwarna abuabu dengan ikat kepala sehelai kain berwarna jingga. Dialah Jaka Keling yang telah tinggalkan markas Benteng Macan Gunung. Entah kemana tujuannya. Tapi yang jelas dia tengah menuju ke arah barat, dari kota Ungaran.
Laki-laki ini tak membawa sebatang pedang, yang biasa diselipkan di belakang punggungnya. Menjelang Matahari menggelincir, dia sudah tiba di satu kota lagi, setelah menyeberangi dua buah sungai. Yaitu sebuah kota bernama Singorojo. Sepasang matanya mulai mencari dimana adanya tempat penginapan. Beberapa bulan berselang dia memang pernah singgah di kota ini.
Segera saja dia mudah temukan tempat di tengah kota agak menyudut di sebelah selatan jalanan. Setelah tambatkan kudanya, segera Jaka Keling beranjak masuk. Seorang pelayan mempersilahkannya dengan menjura hormat. Segera Jaka keling mencari kursi di dalam ruangan bagian bawah restoran Itu. Dia berniat mengisi perut dulu. Beberapa pasang mata tampak memperhatikannya. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara memanggil namanya.
"Sobat Jaka Keling, silahkan duduk disini...!"
Terkejut Jaka keling ketika melihat yang memanggilnya adalah justru orang yang tengah dicarinya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Wanita Roro Centil. Tergopoh gopoh Jaka Keling menghampiri. Setelah menjura, lalu menyeret kursi untuk segera duduk.
"Hihi... aku tak menyangka kau akan datang begitu cepat, sobat Jaka..." Berkata Roro seraya menatap dengan tersenyum. Sementara seorang pelayan telah menghampiri mejanya. Segera Jaka Keling memesan makanan.
"Aku menyangka takkan menjumpai anda disini, nona Roro! Bukankah anda mengatakan kalau anda sementara ini berada di desa Patean? Niatku memang akan kesana, tapi keburu senja! Justru maksudku mau menginap disini, untuk teruskan lagi perjalananku esok untuk mencari anda di desa Patean!" Ujar Jaka Keling dengan suara perlahan. Roro manggut-manggut dan tersenyum.
"Patean adalah desa tempat kelahiranku...! Namun keadaan desa itu kini sudah tak seperti dulu lagi ketika aku kecil! Bahkan sudah banyak orang-orang yang pindah! Karena wilayah sekitar Kota Raja sudah mulai sepi, sejak Kerajaan Medang atau Mataram dipindahkan ke Jawa Timur!" Ujar Roro datar.
Jaka Keling manggut-manggut. Diapun sudah mengetahui akan kepindahan Kerajaan Medang yang telah berganti dengan nama Mataram itu. Bahkan keretanya sering dipakai untuk mengangkut barang-barang yang dalam kepindahannya dilakukan dengan berangsur-angsur.
Tentu saja dari para pembesar tidak keseluruhannya pindah ke daerah baru itu. Namun walau demikian dari pergantian wilayah Kerajaan, membuat susunan Pemerintahan berubah pula. Bahkan sudah dua kali di wilayah lama terjadi penggantian Raja baru.
Selesai bersantap, Roro mengajak keluar. Niatnya adalah mendengarkan penuturan Jaka Keling, karena untuk pembicaraan demikian kurang leluasa dilakukan di tempat terbuka, yang banyak telinga mendengarkannya. Bahkan sudah sejak tadi lima orang yang duduk melingkar mengelilingi satu meja paling besar, sering lirikan mata memandang ke arah mereka.
"Apakah aku perlu memesan tempat dulu?" Tanya Jaka Keling lirih.
"Tak usahlah. kukira lebih baik kita cari penginapan lain." Berkata Roro dengan suara yang terdengar agak keras.
Membuat beberapa orang segera menoleh. Tanpa perdulikan mata para pengunjung restoran di rumah Penginapan itu, Roro panggil pelayan. Tergesa-gesa seorang pelayan menghampiri. Namun sebelum Roro rogoh sakunya untuk membayar, Jaka Keling sudah berikan beberapa keping uang perak yang dikeluarkan terlebih dulu.
"Ambillah sisanya untukmu!" Ujar Jaka Keling seraya tersenyum pada sang pelayan. Manggut-manggut laki-laki pelayan itu sambil ucapkan terima kasih, lalu beranjak pergi.
* * * * * * *
TUJUH
Pemandangan di sekitar kota Singorojo cukup indah, jalan-jalan terlihat bersih berpagar bambu memagari deretan rumah penduduk desa disudut kota Singorojo. Pertanda para penduduk adalah orangorang yang mengerti akan kebersihan dan kerapian, serta keindahan desanya. Semakin ke ujung, ternyata semakin sepi dari rumah penduduk. Ternyata di bagian sebelah bawah adalah daerah perkebunan, yang terlihat indah dari tempat ketinggian berpadang rumput itu. Beberapa pohon berdaun rindang tumbuh disana.
Jaka Keling tuntun kudanya disamping Roro Centil Tampaknya mereka sambil melangkah, telah banyak bercakap-cakap. Dan bahkan Jaka Keling telah tuturkan kejadian di markas. Roro tampak manggutmanggut mengerti. Tak lama pembicaraan mereka sudah dilanjutkan sambil duduk di bawah pohon rindang, dengan mata menatap ke bagian bawah tempat ketinggian yang berpemandangan indah itu.
Tampaknya Roro sering menjadi perhatian Jaka Keling dalam setiap gadis pendekar itu berbicara. Karena wajah cantik dan menawan hati dari Roro Centil mau tak mau mendebarkan jantungnya. Akan tetapi Jaka keling bukanlah seorang pemuda yang kurang ajar. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya yang selama ini ditutupnya buat setiap wanita.
Bahkan sampai seusia tiga puluhan tahun, Jaka Keling tak pernah sedikitpun berhasrat untuk mengenal wanita. Namun tak disangka kalau hari ini dia bisa bercakapcakap dengan wanita... Bahkan seorang gadis cantik ayu memikat hati, juga seorang pendekar wanita, yang berkepandaian tinggi. Sungguh suatu keberuntungan pada nasib Jaka Keling bisa berkenalan dengan dara perkasa itu.
"Aku akan membantumu mencari dimana adanya keponakan angkatmu bernama Sri Kemuning alias Pipit Lurik itu...!" Ujar Roro.
"Sayang kedua manusia iblis itu berhasil menyelamatkan diri! akan tetapi andai mereka tewas pun justru menjadi semakin sulit mengetahui dimana adanya gadis itu karena dia toh berada dalam tawanan si tiga Siluman Bukit Hantu?" Ujar Roro Centil. Jaka Keling cuma manggut-manggut membenarkan.
"Ah, sebenarnya aku merasa malu, karena membuat anda menjadi repot, nona Roro!" Ujar Jaka Keling.
Roro kerutkan sedikit keningnya seraya berkata. "Aii... mengapa berkata begitu? Aku si Roro Centil mana bisa berdiam diri melihat segala macam kejahatan? Justru aku kini sedang mencari seorang penjahat terselubung yang telah mengacaukan keadaan di beberapa wilayah...!"
"Oh!? Apakah kejahatan yang telah dilakukannya?" Tanya Jaka Keling.
"Hihihi... kejahatan yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki! Apa lagi kalau bukan pemerkosaan terhadap wanita, termasuk penculikan. Dan tentu saja ada efek lainnya, yaitu pembunuhan...!" Tandas Roro dengan suara terdengar seperti kesal.
Lengan gadis pendekar ini menjumput sebuah batu kecil, dan jentikan keras dengan jarinya ke arah depan, seraya perdengarkan dengusan di hidung. Tak disangka gerakan yang dilakukan Roro seperti melepas rasa kesalnya itu berakibat lain. Karena di luar dugaan Roro telah perlihatkan kepandaiannya menyambit yang tampak aneh. Batu kecil yang melayang ke depan itu mendadak memutar arah, dan meluncur ke balik semak pepohonan lebat.
Terdengar suara orang berteriak mengaduh dari balik belukar itu, yang disusul dengan teriakan suara memaki. "Aduh!?" Setan alas! Siapa yang menyambit ku?" Dan berapa sosok tubuh sudah berlompatan keluar dari semak lebat itu.
"He! Giran...! Sudah pasti laki-laki hitam itu! Mungkin dia mengetahui kita mengintip mereka disini!" Desis suara seseorang. Karena tempat itu lengang suara desisan itu terdengar cukup jelas.
Ternyata kelima orang yang tadi duduk dalam restoran penginapan, ditambah dua orang kawannya lagi. Rupanya mereka mengincar pada Roro, yang memang tak menampakkan seperti orang persilatan. Pakaiannya biasa saja berwarna putih dari kain blacu murahan. Senjata Rantai Genitnya dibungkus dalam kain blacu yang tersangkut di pinggang, tertutup pakaian luarnya.
Namun wajah cantiknya, dan sikapnya yang terlihat memang seperti gadis genit, telah membuat mereka menguntitnya. Apa lagi kedatangan Jaka Keling, ternyata membuat mereka mendongkol. Karena menghalang niatannya yang sudah direncanakan. Adapun Jaka Keling walaupun tanpa menyandang Pedang, salah seorang dari kawan mereka telah mengenal kalau dia adalah salah seorang dari Tiga Macan gunung Muria.
"Heh, kalau memang benar dia, kita sudah kepalang basah ketahuan! Mengapa tak kita ringkus saja laki-laki itu! Sengaja dia mau bikin gara-gara! Aku ada berita yang datang cepat, bahwa Markas Benteng Macan Gunung telah ditutup! Semua karyawannya dibubarkan! Tampaknya ada terjadi perpecahan dengan Ketiga Macan Gunung Muria itu!" Berbisik seseorang, di belakang mereka.
Yang bicara adalah salah seorang dari dua kawannya yang di tengah jalan ikut nimbrung menguntit. Keduanya itu ternyata adalah dua orang pendatang dari wilayah kota Ungaran, yang mempunyai sahabat di sekitar kota Singorojo. Mendapat gosokan dari kedua laki-laki itu, si korban yang tangannya telah melembung benjol kena sambitan batu, jadi beringas.
"Bagus! Biar aku hadapi dia! Sekalian ingin tahu kehebatan yang bagaimanakah yang dimiliki si Macan Gunung Muria itu?". Desis si laki-laki itu dengan geram. Kelima orang itu adalah anggota dari komplotan terselubung, sebagai pelacak mencari korban yang telah ditugaskan oleh ketuanya.
Setelah berunding, tampak kelima orang itu sepakat untuk keluar menampakkan diri. Sementara kedua orang kawan yang nimbrung itu tampaknya tenang-tenang saja. Tak lama segeralah berlompatan kelima tubuh orang itu keluar dari balik semak belukar. Dan sekejap sudah mengurung di belakang Roro dan Jaka keling.
"Eh, Macan Gunung Muria! Tak usah kau menyamar jadi pelancong! Kami sudah tahu kau adalah si Jaka Keling! Kau kira di wilayah sini bisa jual lagak seenaknya?! Hm, kami si Lima Naga Raksasa Dewa bukanlah kaum perampok! Tapi perbuatanmu mencelakai orang adalah tak bisa dibenarkan!" Berkata laki-laki yang tangannya bengkak itu dengan suara menggeledek.
Adapun ke empat kawannya diam-diam berusaha menahan senyum, karena si kawan mereka yang satu ini telah berani membuat gelaran yang amat keterlaluan angkernya, padahal mereka tak mempunyai gelaran sama sekali. Tak lebih dari anak-anak buah dari Ketua komplotannya.
Mendengar bentakan itu Jaka Keling segera palingkan tubuh. dan bangkit berdiri menatap pada kelima orang di hadapannya, yang berdiri membuat setengah lingkaran pada jarak dua tombak dari tempat mereka duduk. Adapun Roro Centil yang sudah mengetahui kemunculannya seolah tiada menggubris sama sekali.
"Ah, anda mungkin salah menduga orang! Aku bukan salah seorang dari Macan Gunung Muria! Dan namaku bukanlah Jaka Keling! Anda mengatakan aku telah jual lagak! Tapi aku merasa tak mengganggu anda?! Harap kalian menyingkirlah, jangan mengganggu pembicaraan kami!" Ujar Jaka Keling dengan tersenyum.
"Setan usil! Kau sudah sambit lenganku sampai bengkak begini, mengapa kau bilang tak mengganggu? Heh, tak usah kau berdusta, kami telah tahu keretakan di markas mu! Tiga Macan Gunung Muria sudah tak punya kewibawaan apa-apa!" Berkata laki-laki bertubuh sama hitamnya dengan Jaka Keling. Berwajah brewok dengan sepasang matanya yang memerah.
Roro Centil sudah melompat bangun berdiri seraya putarkan tubuh. "Hihihi... kami sedari tadi sedang mengobrol disini, masakan bisa mencelakai orang!? Jangan-jangan lengan mu dipatuk ular! Siapa suruh mengintip orang dengan bersembunyi disemak-semak lebat?" Ujar Roro seraya menatap pada lengan orang yang merah membengkak.
Merah seketika wajah kelima orang itu! Sedangkan si laki-laki hitam bertampang brewok itu tampak sedikit terkejut, karena bualannya dengan memperkenalkan "julukan" mata yang seram, tak membawa hasil untuk menggertak orang. Karena dari kelima orang itu tak ada yang bisa bicara lagi, tiba-tiba kedua orang tadi sudah berkelebat ke tempat mereka. Kedua orang itu dengan cepat menjura ke hadapan Roro, seraya berkata.
"Maaf, nona... apakah anda yang bernama nona Roro...?" Tanya salah seorang. Keduanya adalah lakilaki berusia sekitar tiga puluhan tahun.
Roro menatap mereka dengan penuh selidik, tapi tak urung segera mengangguk. "Benar! Ada keperluan apakah kalian menanyakan namaku?" Sementara Roro sudah berpikir kalau dua laki-laki ini cuma cari-cari alasan saja. Mengenai namanya diketahui orang itu, tentu mudah diterka. Karena sewaktu masuk ke restoran di Penginapan itu, Jaka Keling telah menyebut namanya. Keduanya adalah diketahui Roro berada tak berapa jauh dari dekat mejanya; yang seolah tak turut memperhatikan.
"Hamba berdua adalah utusan dari Adipati Banyu Biru! Ada surat rahasia dari beliau untuk anda, untuk segera datang ke tempat yang telah diperuntukkan pertemuan! Silahkan anda membacanya!" Ujar laki-laki itu seraya berikan segulung kertas pada Roro.
Dengan agak heran Roro terpaksa menyambuti. Ketika membaca isi surat yang singkat itu, segera wajahnya tampilkan senyuman. "Baik! Aku akan segera datang kesana dalam satu dua hari ini...!" Ujar Roro Kedua laki-laki itu segera menjura, lalu salah seorang menggamit lengan kawannya untuk segera putar tubuh beranjak meninggalkan mereka dengan berkelebat pergi.
Akan tetapi dikejauhan, salah seorang dad mereka telah berteriak. "Kalau anda tak tahu jalan, silahkan hubungi kami di salah satu penginapan di desa Boja...!"
Roro tak menyahut, namun meneliti isi surat dalam tulisan di kertas itu. Lalu selipkan dalam saku pakaiannya. "Mari kita berangkat, sobat Jaka...!" Berkata Roro seraya palingkan wajah menatap Jaka Keling. laki-laki ini mengangguk, lalu sambar tali di leher kuda, seraya sempat melirik pada kelima orang itu yang cuma terpaku dengan mata melotot padanya.
“Tahan...! Kalian tidak bisa pergi begitu saja!" Berkata si kulit hitam brewok.
Roro Centil menoleh, seraya pasang wajah lucu. "Eh, mengapa? Kau katakan bahwa kalian bukan perampok! Lalu apa maksudmu menahan kami?" Tanya Roro.
"Aku tak tahu menahu dengan surat rahasia dari Adipati Banyu Biru! Tapi kalau anda dengan sukarela mau menemui ketua kami, tanpa laki-laki itu, aku si Kromo Yudho dan ke empat kawanku ini tak akan bertindak kekerasan!"
Roro jadi naikkan alisnya dengan tertawa geli. Tadi sesumbar mengatakan gelar yang hebat sebagai Lima Naga Raksasa Dewa. Kini menggertak lagi untuk menghadap ketuanya. Namun disamping geli, diam-diam Roro berfikir lebih jauh. Siapa tahu penyelidikannya tentang seorang penjahat yang tengah di incarnya Itu bisa di ketahui di tempat sarang kelima orang ini, yang tak diketahui siapa ketuanya. Setelah tatap sejenak pada Jaka Keling, segera Roro berkata.
"Hm, baik! aku tak menolak! Tapi dengan syarat! Kalau bisa jatuhkan sobat kawanku bernama Jaka Tingting ini tanpa pakai senjata, aku segera akan menghadap Ketua kalian!" Ujar Roro.
Melengak kelima orang itu dengan saling pandang. Namun tak lama segera kelimanya tertawa saling susul. "Baik, aku bersedia!" Sahut laki-laki bernama Kromo Yudho itu.
"Apakah kami maju satu persatu, ataukah sekalian...?" Tiba-tiba salah seorang menyelak bicara.
"Majulah kalian semuanya...!" Berkata Jaka Keling dengan tersenyum jumawa.
Tentu saja hal tersebut membuat muka mereka jadi merah. Apalagi mengetahui kalau laki-laki itu bukanlah salah satu dari Tiga macan Gunung Muria. Roro memang pandai mengubah nama orang, yang ternyata telah dipercaya pula.
"Hm, baik! Sebenarnya kami amat main mengeroyok, tapi tak jadi apa! Karena ini adalah permintaannya sendiri!" Ujar Kromo Yudho. Dan serentak mereka sudah menanggalkan masing-masing senjatanya. Lalu bergerak melompat mengurung Jaka Keling.
Jaka Keling telah siap berdiri dengan waspada. Dan Kromo Yudho segera memberi isyarat memulai. Maka dengan serempak kelima orang itu telah menerjang ke arah Jaka Keling dengan masing-masing jotoskan kepalannya. Pemuda itu tiba-tiba rundukkan tubuhnya hingga hampir menyentuh tanah. Dan di iringi hentakan keras, sepasang lengannya bergerak saling susul menghantam ke arah lima penyerangnya. Terdengarlah suara...
Bak! Buk! Bak! Buk!
Dan sekejapan saja dengan diiringi teriakan-teriakan keras, kelima tubuh itu roboh berjungkalan untuk tidak mampu berdiri lagi. Karena masing-masing perutnya telah terkena hantaman tinju Jaka Keling. Sehingga kelimanya meringis-ringis memegangi perutnya yang merasa mulas. Roro bertepuk tangan melihat akhir dari pertarungan yang cuma berlangsung dalam beberapa kejap itu.
"Hebat! hebat... ! Kalian sudah kalah... ! Segeralah kalian merat dari sini!" berkata Roro seraya tatap kelima orang itu. Sambil menahan rasa sakit pada perutnya, segera mereka kembali mengambil senjata masing-masing.
Akan tetapi di luar dugaan mereka telah berkelebatan mengurung Roro. Rupanya isyarat dari Kromo Yudho yang menjadi pimpinan dari keempat kawannya itu amat dipatuhi. "Heh, walau bagaimanapun kau harus ikut menghadap ketua kami! Atau senjata-senjata kami akan berbicara."
Kromo Yudho mengharap dengan menangkap Roro maka si pemuda tak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi ketika Kromo Yudho gerakkan goloknya untuk ditempelkan ke leher Roro, laki-laki ini menjerit parau. Tahu-tahu goloknya telah mental entah kemana. Dan dia sendiri dalam keadaan tertotok dengan berdiri kaku, dengan posisi menyerang. Terkejutlah kelima kawannya. Belum lagi mereka berbuat sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara mengikik tertawa. Dan tubuh Roro lenyap dari pandangannya. Kejap berikutnya, giliran tubuh-tubuh merekalah yang tertotok dengan berdiri kaku bagal arca.
"Hihihi... sebaiknya kalian jadi patung saja disimpan!" Ujar Roro, yang sudah berdiri tegak di hadapan kelima orang itu.
"Nah, untuk membuat patung jadi awet, harus dioleskan bahan pengeras ini supaya kalian tahan lama!" Ujar Roro, seraya keluarkan sebuah tabung bambu yang telah dibuka sumbatnya. Pucat piaslah seketika wajah kelima orang itu. Menghadapi "gertakan" Roro itu mereka seketika berteriak-teriak mohon ampun. Bahkan diantaranya sudah ada yang menangis tersedu sedu.
"Baik! aku akan ampuni nyawa kalian! Tapi sebutkan siapa ketua kalian. Dan apa maksudnya aku kalian suruh menghadap Ketuamu!" Bentak Roro dengan suara berubah bengis.
Keempat orang itu saling lirik dengan kawannya. Rupanya Kromo Yudho lah yang segera buka mulut. Keringat dingin sudah bercucuran dari sekujur tubuh.
* * * * * * *
Setitik api yang kecil, bisa membuat kebakaran besar... Demikian juga dengan komplotan terselubung yang mendiami wilayah Singorojo. Dengan adanya pengakuan Kromo Yudho pada Roro Centil. Akhirnya diketahui siapa adanya dalang dari komplotan terselubung itu. Ternyata Roro Centil bertindak kejam. Seperti diketahui watak wanita pendekar ini memang aneh, dan sudah diterka. Terkadang genit, lucu dan menarik hati. Namun terkadang kejam tak kenal ampun.
Empat dari kelima orang itu telah diputuskan urat suaranya, hingga mereka tak dapat bicara lagi. Mengenai cara ini jarang orang yang dapat melakukan dari Kaum Rimba Hijau. Karena seperti diketahui Roro Centil banyak mempunyai guru, yang diantaranya adalah Resi Jayeng Rana asal Tibet. Tokoh ahli obat-obatan yang mengenal betul akan keadaan urat-urat tubuh manusia.
Akan tetapi cara kejam ini adalah Roro sendiri yang mendapatkan, setelah mengetahui dan mempelajari. Cuma datangnya niat, dan cara yang dilakukan, adalah bagaimana munculnya waktu itu saja. Seperti diketahui, Roro Centil pernah terluka di kepala yang dialami ketika berusia tujuh tahun. Yaitu terkena terjangan kaki-kaki kuda.
Dan dalam gemblengan gurunya si Wanita Aneh Pantai Selatan alias si Manusia Banci, banyak lagi hal-hal yang membuat Roro menjadi seorang gadis yang berwatak mirip gurunya. Terkadang membuat orang jadi kebingungan akan sikapnya. Tapi terkadang juga apa yang dilakukannya membuat orang jadi kagum.
Roro tinggalkan tempat itu dengan membawa serta Kromo Yudho. Cuma laki-laki yang seorang inilah yang selamat dari diputuskannya urat suara oleh Roro. Surat dari Adipati itu diberikan pada Jaka Keling. Jaka Keling diperintahkannya menunggu di tempat yang dimaksud dalam isi surat itu. Dengan janji, Roro akan segera menyusul pada hari yang ditetapkan.
Sementara Roro sendiri segera membawa Kromo Yudho, yang dicengkeram punggungnya bagaikan mencengkeram seekor kucing. Dan dibawa berkelebat cepat sekali. Jaka Keling cuma terpana, melihat kepergian wanita Pendekar itu. Namun tak ayal dia segera berangkat pergi dengan mencongklang kudanya.
* * * * * * *
DELAPAN
Terkejut Tumenggung Yoga Bumi, ketika tahu-tahu seorang gadis telah datang menghadap, dengan menenteng sesosok tubuh laki-laki berkulit hitam berwajah brewok ke hadapannya. Dan menjatuhkan sosok tubuh laki-laki itu di lantai.
"Andakah tumenggung Yoga Bumi yang menjaga keamanan di wilayah Singorojo ini...?" Tanya Roro Centil.
Terkejut Tumenggung ini karena baru pertama kali didatangi seorang gadis cantik yang sikapnya tanpa sopan santun. Bahkan "nyelonong" saja masuk ke Pesanggrahan tanpa membawa perantara dari pengawal yang memberitahukan kalau mau menghadap. Baru selesai Roro bicara, empat orang prajurit sudah berlarian ke dalam dengan wajah pucat pias. Karena sewaktu ditegur, Roro sudah melesat masuk dengan cepat sekali.
Sang Tumenggung menatap keempat prajurit, lalu menatap pula pada Roro. Dan kemudian terakhir menatap pada laki-laki yang tertunduk menyembunyikan mukanya berjongkok diatas lantai. Otaknya yang encer ternyata sudah dapat menduga kalau yang datang bukanlah orang sembarangan.
Apalagi dengan membawa seorang laki-laki yang tampak gemetaran tubuhnya. Sudah dapat dipastikan adalah seorang penjahat yang tertangkap. Atau juga seorang pesakitan yang baru dibawa ke luar dari tahanan. Segera dia berikan isyarat pada keempat prajurit supaya menyingkir kembali.
"Benar! aku Tumenggung Yoga Bumi adanya! Siapakah anda, nona... ? Dan siapa pulakah orang ini...?" Tanya sang Tumenggung dengan sikap sabar.
"Namaku Roro Centil! Mengenai orang ini, dia adalah salah seorang anak buah dari komplotan terselubung yang selama ini mengganggu ketertiban rakyat! Ketuanya bernama Kala Butho! Perlu diketahui, bahwa komplotannya adalah disamping menculik gadis-gadis cantik untuk dijual dan diumpankan pada para bangsawan hidung belang, juga kepada orang asing dan para pembesar Kerajaan! Bahkan juga melakukan pula serangkaian pembunuhan dan perampokan secara terselubung! Kala Butho baru salah satu anak buah dari gembong besar penyalur wanita-wanita cantik yang mempunyai cabang di wilayah Singorojo ini! Gembongnya telah aku selidiki...! Silahkan anda memeriksanya! Dan tentunya setelah berhasil mengorek keterangan, hendaknya segera menggulung secepatnya komplotan itu disarangnya! Aku cuma bisa membantu anda dengan membawa salah seorang anak buahnya ini!" Ucap Roro dengan suara terdengar nyaring merdu.
Selesai berkata, tiba-tiba lengannya telah bergerak menjambak rambut Kromo Yudho. Tentu saja laki-laki ini berteriak kesakitan dan memohon ampun berulang kali.
"Bicaralah kau yang sebenarnya pada Tumenggung! Dan tunjukkan dimana tempat komplotan itu! Kalau kau berdusta, aku yang akan menghukum mu dengan cara yang paliiing kejam! Mengerti...!" Bentak Roro, seraya lepaskan jambakannya. Kromo Yudho manggut-manggut dengan nyawa terasa seperti sudah di ujung ubun-ubun.
"Nah, aku pergi, tumenggung! Tapi kalau ternyata kau sendiri melindungi komplotan itu, aku akan gantung leher mu di alun-alun...!" Bentak Roro dengan suara sedingin es.
Terkesiap Tumenggung Yoga Bumi. Seperti kepalanya kena palu godam, mendengar ancaman Roro. "Edan! masakan aku mau melindungi penjahat?" sentaknya dalam hati. Akan tetapi baru dia mau buka suara, si gadis aneh itu sudah berkelebat lenyap dengan tinggalkan suara tertawa mengikik yang membuat bulu roma bangun berdiri.
Sejenak tumenggung Yoga Bumi jadi terpaku tak bergeming. "Aneh...!" Siapakah gerangan wanita muda itu...? Namanya Roro... Cen.. til?" Gumam sang Tumenggung seraya mengelus-elus jenggotnya yang cuma sejumput.
"Roro Centil...! Hm, ya.. ya.. aku seperti pernah mendengar nama itu...!? Tiba-tiba wajahnya menyentak kaget seraya mendesis. "Tidak salah...! Dia pasti si Pendekar Wanita Pantai Selatan! Ooooh, pantas! pantas...! Orang Rimba Hijau kelakuannya memang aneh-aneh...!"
* * * * * * *
Dengan bujuk rayu Pitra Sena yang bersikap manis pada Pipit Lurik, akhirnya jatuh juga sang gadis dalam pelukan si pemuda anak laki-laki Bangsawan Tua Raden Mas Anjasmoro untuk yang kedua kalinya. Gadis cantik puteri Jaran Perkoso itu cuma bisa mandah saja ketika lengan-lengan nakal si pemuda mulai menelusup membelai sekujur tubuhnya.
Udara senja yang dingin di sekitar tempat berpemandangan indah itu menyibak tubuh-tubuhnya yang bergelinjangan di rerumputan menghijau, pada salah satu bukit yang terhalang matahari.
Entah kali ini sang gadis telah berikan kehangatan tubuhnya untuk yang ke berapa kali. Karena cumbuan Pitra Sena benar-benar meluluhkan hati dan jantungnya. Harapannya untuk berguru pada nenek sakti di puncak Ratawu, telah gagal. Karena mau tak mau dia harus membalas budi Keluarga Bangsawan itu yang telah menyelamatkannya dan tangan si Tiga Siluman Bukit Hantu.
Pitra Sena dan ayahnya ternyata manusia-manusia yang pandai berpura-pura. Raden Mas Anjasmoro telah berjanji akan segera menikahkan mereka. Pipit Lurik yang dalam keadaan kalut dan merasa telah ternoda oleh si pendek Seto Bungkrik, tentu saja tak berdaya menolak untuk dinikahi oleh Pitra Sena, bahkan dia merasa bersyukur bahwa masih bisa menuruti keinginan sang ayah, walau keadaannya sekarang sudah lain.
Karena berita kematian ayahnya telah terdengar juga. Bahkan markas Benteng Macan Gunung yang telah bubar pun sampai ke telinganya. Dan tak diketahui lagi nasib kedua pamannya, Gantar Sewu dan Jaka Keling. berada. Bahkan tak diketahui mati dan hidupnya. Yang diketahuinya adalah si Tiga Siluman Bukit Hantu telah melabrak ke sana.
Ada niat Pipit Lurik untuk mencari mereka, mencari tahu kabar beritanya. Akan tetapi Pitra Sena, tak mengizinkannya. Kabar berita itupun diberitahukan oleh Pitra Sena. Bahwa seorang sahabat ayahnya yang telah memberitahukan kejadian tersebut. Dan dari Pitra Sena juga Pipit Lurik mengetahui kalau tanah dan gedung Markas Benteng Macan Gunung telah dibeli oleh calon Mertuanya itu.
Gadis yang tengah shok itu cuma bisa menuruti keinginan sang calon suaminya, yang hampir setiap saat mencumbuinya. Demikian pula halnya dengan hari itu. Pitra Sena telah mengajaknya ke tempat yang berpemandangan indah itu. Pipit Lurik tenggelam dalam madunya cinta berahi, yang seolah-olah melupakan semua kemelut dihatinya.
Direngkuhnya bibir lakilaki tempat menggantungkan nasibnya itu. Dipeluknya kuat-kuat tubuh tegap yang menggelutinya. Dan tenggelamlah Pipit Lurik dalam belaian lembut, serta bisikan-bisikan yang memabukkan. Kembali sehelai demi sehelai pakaiannya berlepasan.
Dengus nafas Pitra Sena bagaikan kerbau liar yang membuat nafas dara cantik itu tertahan-tahan. Terjangan demi terjangan sang kerbau liar itu membuat hatinya semakin menggebu. Mendesah-desah nafasnya seperti saling pacu. Dan tenggelamlah sang dara dalam gelimang noda yang penuh dengan kenikmatan.
Ketika itu Matahari semakin menggelincir... Seorang pemuda menyeruak masuk ke balik semak, meninggalkan kudanya yang ditambatkan di bawah pepohonan. Suara-suara aneh yang telah mengganggu telinganya membuatnya dengan berindap-indap mendekati ke tempat asal suara itu. Ternyata dia tak lain dari Jaka Keling.
Tak jauh di belakang laki-laki itu sesosok tubuh ramping berambut terurai panjang, berkelebat menyusul. Ternyata Roro Centil adanya. Berlainan dengan tempat yang dituju Jaka Keling, Roro Centil mengambil arah ke sebelah barat di seberang sungai itu. Disini dia menjumpai tempat yang rapi seperti telah ada yang merawat. Ketika tengah mengamati sekitarnya, dua sosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak rimbun.
"Hm, kalian adanya?" Tegur Roro dengan suara dingin.
"Silahkan ikuti kami! Segera akan kami tunjukkan dimana tempat Adipati Banyu Biru menunggu nona...!" Ujar salah seorang seraya balikkan tubuh untuk mendahului berjalan. Roro segera mengikuti tanpa banyak tanya.
Tak berapa lama telah memasuki hutan bambu yang berderet rapi bagai pagar. Pada salah satu bagian tengah pagar bambu terdapat satu pintu yang membuat bagai sengaja dibuat untuk jalan menembus hutan bambu. Kedua laki-laki yang telah memberi surat dari Adipati Banyu Biru itu melompat cepat melalui pintu membulat dari ruas-ruas batang bambu. Dan tak kelihatan bayangannya lagi. Tanpa pikir panjang Roro segera melompat mengikut... Akan tetapi tiba-tiba....
Rtrtttttt...!
Terkejut Roro Centil, karena tahu-tahu tubuhnya telah terkena jeratan dalam sebuah jala. Hingga sekejap tubuhnya telah terbungkus masuk dalam talitali jala sutera itu. Bersamaan dengan terjeratnya Roro, segera berlompatan belasan sosok tubuh yang segera mengurung di beberapa penjuru.
"Hahaha... haha... Akhirnya berhasil juga aku menawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil!" Sesosok tubuh gemuk segera perdengarkan suara tertawa dan kata-katanya.
Roro Centil dapat melihat siapa orangnya dari balik tali jala sutera. "Eh, monyet bunting! Aku sudah tahu, kaulah gembong penculikan wanita, dan ketua dari komplotan terselubung yang merampok harta Pusaka Kerajaan Mataram! Aku punya tugas untuk menangkapmu dari Kanjeng Gusti Raja secara rahasia! Kedokmu telah terbuka! Dan kau pula rupanya Adipati Banyu Biru! Hihihi... jangan kau bergirang dulu monyet bunting! Orang-orangmu justru telah menjadi musuhmu, kecuali dua laki-laki yang menjebakku itu...!" Teriak Roro.
Terkejut laki-laki Bangsawan tua itu, yang ternyata tak lain dari Raden Mas Anjasmoro. Segera dia tatap pada para anak buahnya yang memang khusus ditempatkan di sekitar markas tersembunyi itu.
"Para pengawal! Lepaskan tali jala ini....!" Berkata Roro dengan suara berpengaruh. Suara yang telah dilontarkan dengan tenaga dalam yang amat tinggi. Dan suara yang telah menggetarkan jantung setiap orang. Tampak beberapa orang telah melompat ke dekatnya. Dan serentak sudah memutuskan tali jala sutera. Dan sekejap Roro Centil sudah lompat berdiri.
"Gila...!? Edan...! Mengapa bisa jadi demikian?" Sentak hati Adipati Banyu Biru.
Namun belum lagi habis rasa aneh dan terkejutnya sudah terdengar perintah Roro Centil yang membentak keras memberi perintah. "Tangkap hidup atau mati manusia keparat ini...!"
Dan bagaikan di komandokan seorang Senapati, belasan orang-orang Raden Mas Anjasmoro alias Adipati Banyu Biru itu, sudah berlompatan menerjang dengan senjata telanjang. Adapun kedua orang yang telah memberi surat pada Roro itu tampak seperti orang yang kebingungan. Wajahnya pucat pias bagai mayat.
Roro Centil tiba-tiba telah melompat menerjang untuk mengirimkan pukulan mautnya. Dalam keadaan panik demikian, mana mampu keduanya mengelakkan serangan Roro yang dilakukan dengan cepat sekali.
Praakk...! Praakkkk...!
Terdengar suara teriakan pendek parau, disusul dengan robohnya kedua tubuh itu, yang setelah menggeliat sejenak lalu segera lepaskan nyawanya. Ternyata kepalanya telah rengat akibat hantaman kedua telapak tangan Roro.
Sementara itu Raden Mas Anjasmoro dengan membentak gusar segera gerakkan lengannya menghantam para penyerang dari anak-anak buahnya sendiri, pekik dan jeritan maut segera terdengar saling susul. Beberapa sosok tubuh terlempar dengan kepala hancur, dan tulang belulang remuk.
"Hantam teruuuus...!" Teriak Roro memberi semangat pada mereka yang tengah menerjang si laki-laki Bangsawan tua itu. Sementara Roro sudah berkelebat lenyap dari tempat itu. Ternyata Roro terus menyusup masuk ke dalam tempat rahasia itu.
Segera ditemuinya sebuah lobang goa. Roro sudah mau melompat ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba segera batalkan niatnya. Dijumputnya beberapa buah batu hampir sebesar kepalan, lalu dilontarkannya ke dalam. Roro sembunyi di sisi goa. Selang tak lama tiba-tiba terdengar suara bentakan keras dari dalam goa, disusul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kunyuk kurang ajar manakah yang telah iseng sambitkan batu?" Akan tetapi begitu keduanya muncul, Roro Centil bergerak cepat sekali untuk gerakkan tangannya menotok kedua tubuh itu.
Terkesiap keduanya, namun sudah terlambat. Seketika kedua tubuh itu roboh terguling dengan keadaan tubuh kaku tanpa dapat bergerak. Sungguh sukar di duga karena ternyata kedua orang itu adalah si pendek Sato Bungkrik dan si jangkung Wong Duwur. Melihat siapa yang telah menotoknya betapa terperanjatnya kedua manusia itu.
Namun sebelum keduanya sempat buka suara, Roro Centil telah gerakkan lagi lengannya menotok urat suara mereka, gagulah sudah kedua Siluman Bukit Hantu itu. Tak menunggu untuk berlama-lama lagi, tahu-tahu Roro Centil sudah sambar kedua jubah ditengkuk orang, dan apa yang dilakukan gadis Pendekar yang berwatak aneh itu? Ternyata Roro telah menyeretnya pergi dari situ.
Memang janggal kalau seorang gadis yang kelihatan lemah tak bertenaga mampu menyeret dua tubuh manusia. Yang satu panjang bagai galah, dan satu lagi pendek kekar. Namun kenyataannya memanglah demikian.
Mereka cuma bisa mengeluh dengan berdesis, merasa perih dari bekas lukanya yang kembali berdarah terkena batu-batu kerikil tajam yang membentur luka dan tubuhnya. Namun dalam keadaan demikian mereka memang tak dapat berbuat apa apa, selain hati yang kebat-kebit. Karena maut sudah terbayang di depan mata.
SEMBILAN
"Hihihi... tak usah kalian gelisah, kambing-kambing bandot! Aku cuma berbaik hati untuk mengubur kalian di dasar jurang...!" Berkata Roro Centil. Seraya mempercepat larinya.
Tentu saja membuat kedua manusia ini jadi ketakutan setengah mati. Namun apa mau dikata? Berteriakpun mereka sudah tak sanggup. Kecuali cuma bisa mendesis dengan meringis menyeringai. Karena seketika saja terdengar suara berkelotakan dan bergedebukan, ketika batu dan tanah berpentalan mengenai kepala dan tubuh mereka.
Bahkan ketika melewati belukar, duri-duri tajam itu telah menggores sekujur wajah dan merobek kulit, yang bukan alang kepalang pedihnya. Apalagi bila mengenai bekas luka kutung di tangan maupun di kaki mereka, yang telah dihancurkan Roro. Dan baru diobati beberapa hari.
Mendekati arah tepi bukit, tiba-tiba telinga Roro mendengar suara bentakan dan teriakan dari orang yang bertarung. Ternyata ada pula suara wanita. Tercekat hati Roro. Segera diseretnya kedua tubuh tawanannya itu untuk dibawa menyeruak masuk melewati semak belukar. Terdengar suara ranting-ranting yang patah akibat diterjang oleh kedua tubuh manusia yang diseretnya. Tak lama sudah kelihatan siapa adanya yang bertarung seru disamping bukit.
Ternyata tak lain dari Jaka Keling dengan Pitra Sena. Saat itu Jaka Keling tengah menghadapi lawannya dengan tangan kosong. Begitu juga Pitra Sena yang tak mempergunakan senjata. Sementara seorang gadis tengah menatap ke arah pertarungan dengan sepasang mata basah bersimbah air mata.
"Siapakah gadis itu? Apakah Pipit Lurik...?" Gumam Roro dalam hati. Sekejap Roro sudah melompat ke tempat pertarungan. Tampak sepasang mata Roro menatap pada Pitra Sena. Aneh! Tatapan mata Roro Centil seperti baru melihat orang. Tahu-tahu kedua tawanannya sudah dilepaskan menggabruk ke tanah.
Tampak sepasang mata Roro Centil tiba-tiba dipejamkan. Tubuhnya berdiri tak bergeming. Asap tipis bagai kabut tiba-tiba keluar dari mulut Roro yang agak renggang. Bahkan kabut putih itu juga keluar dari hidung, telinga dan mata. Tiba-tiba sekejap, Roro sudah kembali buka matanya. Terdengar suara gadis pendekar ini berkata perlahan. Akan tetapi sesungguhnya dia tengah mengirim suara jarak jauh.
"Jaka...! Menyingkirlah!" Suara itu menyusup ke dalam cuping telinga Jaka Keling.
Tentu saja dia segera palingkan kepalanya. Dan melihat adanya Roro Centil. Tak ayal segera dia lompat menjauh. Pada saat itu, Roro sudah berkelebat ke hadapan Pitra Sena.
Whusss....!
Segelombang asap kabut meluncur dari lengan Roro menerjang ke arah Pitra Sena, disertai bentakan halus yang menyusup masuk ke telinga Pitra Sena. "Mukamu tidak wajar, sobat...! Kembalilah ke bentuk asalmu...!"
Ketika asap kabut yang bergelombang itu menerpa tubuh Pitra Sena, ternyata telah di iringi pula oleh satu hantaman telak ke arah dada lawan. Buk...! Pitra Sena mengeluh, tubuhnya terlempar. Dan jatuh bergulingan tepat kehadapan Pipit Lurik. Ternyata gadis ini tengah menggenggam sebuah rencong di tangannya.
Niat untuk bunuh diri hampir dilaksanakan, karena tak kuasa menanggung malu. Betapa perbuatannya telah diketahui oleh Jaka Keling, sang paman angkat. bukan kepalang terkejutnya Pipit Lurik ketika tubuh sang calon suaminya yang jatuh ke hadapannya adalah bukan Pitra Sena.
Siapakah gerangan adanya Pitra Sena itu? Ternyata tak lain dari Gantar Sewu, adik seperguruan Jaran Perkoso. Tentu saja membuat Pipit Lurik dan Jaka Keling terkejut. Asap kabut yang dilontarkan Roro Centil telah dibarengi bentakan berkekuatan tenaga batin yang amat tinggi, membuat sirna "ilmu sihir" yang dipergunakan Gantar Sewu. Saat itu satu suara telah menelusup masuk ke telinga Pipit Lurik. Suara itu amat berpengaruh akan tetapi bukanlah suara dari Roro Centil.
"Bunuhlah dia, anakku...! Bunuh mampus manusia licik tak tahu membalas budi itu...!"
Tersentak Pipit Lurik. "Ayah?" Desisnya lirih. "Benarkah itu suara ayah...?" Sentak hatinya. Akan tetapi kedua lengannya mendadak bagaikan digerakkan satu tenaga gaib, segera menghunjamkan rencong milik "Pitra Sena" itu tepat menembus ke jantung laki-laki itu.
Terperangah "Pitra Sena" alias Gantar Sewu. Sepasang matanya membeliak. Dan wajahnya tampak menyeringai kesakitan. Sementara Pipit Lurik sudah melompat berdiri seraya melepaskan rencongnya yang telah terhunjam di dada laki-laki itu.
"Kau... kau...? Ka... Kakang Gantar Sewu ?"
Teriak Jaka Keling. Saat itu tanpa ada seorangpun yang mengetahui sesosok tubuh bagaikan siluman telah muncul di belakang Roro. Sosok tubuh itu tak lain dari Raden Mas Anjasmoro yang telah menyusul Roro Centil. Sepasang lengannya tampak diangkat sebatas dada. Dan tiba-tiba laki-laki bangsawan tua itu telah lancarkan serangan dahsyat pada punggung Roro Centil, pada jarak dua tombak.
Buukkk...!
Terdengarlah suara jerit mengerikan disertai terlemparnya tubuh manusia dengan darah berpuncratan ke setiap penjuru. Dan... Brukkk...! Tubuh yang terlempar itu baru berhenti berguling ketika menghantam batang pohon. Dan sosok tubuh itu telah diam tanpa berkutik lagi. Langsung tewas seketika.
Apakah yang terjadi? Kiranya bukan Roro Centil yang terkena sasaran serangan dahsyat itu. Melainkan si laki-laki bangsawan tua itu sendiri yang terlempar dengan tulang-tulang tubuh remuk. Karena begitu Raden Mas Anjasmoro mengangkat kedua lengannya, telah berkelebat dua sosok tubuh menghantamnya terlebih dulu. Sekejap di tempat itu telah berdiri dua orang tua renta. Ternyata adalah Resi Paksi Sakti Jalatunda dan Bikhu Sokalima. Keduanya telah gerakkan masing-masing lengannya menghantam ke arah Raden Mas Anjasmoro.
Terperangah semua orang, termasuk Roro Centil. Karena jelas kalau tak segera muncul kedua tokoh sakti Rimba Persilatan itu, sukar dipastikan nasib Roro Centil yang dalam keadaan amat kritis.
"Guruuu...!?" Teriak Jaka Keling seraya lompat kehadapan kedua orang kosen itu. Dan segera bersujud di depan sang Resi. Bersamaan dengan itu, berkelebat sesosok tubuh ke tempat itu. Ternyata tak lain dari Jaran Perkoso, yang masih berdiri dengan segar bugar. Cuma keadaan tubuhnya penuh dengan balutan. Terbelalak sepasang mata Pipit Lurik. Dan... melompatlah gadis ini memburunya.
"Ayaaaah !?" Jaran Perkoso menoleh. Dan terjadilah pertemuan yang mengharukan. Kedua ayah dan anak itu berpelukan dengan masing-masing bersimbah air mata.
"Hik hik hik... apakah murid durhaka mu itu belum mampus, sobat Jalatunda?" Tiba-tiba terdengar suara Bikhu Sokalima. Nenek sakti puncak gunung Ratawu itu sudah berkelebat ke arah dimana Gantar Sewu masih terkapar dengan nafas empas-empis tinggal satu-satu.
Akan tetapi memang laki-laki itu belum menghembuskan nafasnya. Segera mereka semua beranjak menghampiri Jaran Perkoso tatap wajah saudara seperguruannya itu dengan bengis.
"Tak kusangka diam-diam hatimu berbulu, Gantar Sewu! Kau kira kejahatanmu tak akan mendapat balasan setimpal?" Bentak Jaran Perkoso dengan suara dingin.
Gantar Sewu tampak tersenyum pedih. Dari kedua pelupuk matanya telah keluarkan air bening yang mengalir turun ke pipi. "Maaf... kan adikmu ini, kakang... ! Me.. memang akulah.. yang te.. telah membunuh.. is.. istrimu, kakang mbok Sri.. Les.. ta.. ri....." Ucap Gantar Sewu dengan suara terputus-putus.
Tentu saja membuat Pipit Lurik jadi terperangah dengan mata terbelalak. Juga Jaka Keling, yang tak menyangka sama sekali. Sedangkan kedua kakek sakti dan nenek kosen itu cuma tersenyum hambar mendengar pengakuan Gantar Sewu. Namun tubuh si kakek sakti Puncak Muria itu tampak bergetar menahan kemendongkolan hatinya.
Betapa muridnya yang telah di didiknya susah payah, ternyata manusia tak berguna. Selanjutnya setelah berkata beberapa patah kata lagi, Gantar Sewu pun tewas. Keadaan di tempat itu jadi hening. Saat itulah tiba-tiba sesosok tubuh berbaju kuning melompat ke tempat itu. Semua orang dengan cepat palingkan kepala.
"Pitra Sena...!" Teriak Pipit Lurik dengan mulut ternganga dan sepasang mata membeliak. Ternyata yang muncul memang benar-benar Pitra Sena. Pemuda ini tak menjawab, akan tetapi melompat menghampiri tubuh Raden Mas Anjasmoro. Dan..... terlihatlah dia duduk bersimpuh di hadapan sang ayah. Terdengar suara kata-katanya bergetar lirih.
"Ayah, agaknya kematianmu memang harus dengan cara begini...! Aku memang anak bengal, ayah...! Tapi aku bukan manusia jahat! Aku bahkan terlibat dalam kejahatan karena perbuatanmu... Oh!, Betapa terkutuknya aku...!" Selanjutnya sudah terdengar suara isak tersebut yang keluar dari bibir pemuda itu.
Perlahan Resi Paksi Sakti Jalatunda alias si Pendekar Lengan tunggal, beranjak menghampiri. Lalu cekal pundak orang dengan perlahan. "Sudahlah, anak muda...! Walau dia ayahmu, akan tetapi pada dasarnya adalah musuhmu! Cuma pertalian darah yang tak dapat dilepaskan! Jasa dan pengorbanan mu amat besar pada bangsa dan Kerajaan atas kesadaran mu membongkar kejahatannya! Kau telah turut membantu melenyapkan gembong dari penculikan para gadis cantik juga gembong dari beberapa perampokan harta pusaka Kerajaan yang telah berlangsung lama sejak dua tahun yang lalu. Dia juga musuh kaum pendekar golongan kanan, yang selama ini dalam kejaran kaum pendekar penegak keadilan, juga buronan dari pihak Kerajaan Mataram! Jarang sekali orang sepertimu berada di dunia ini! Tapi ternyata apapun bisa terjadi!" Ujar sang Resi dengan suara lirih dan tegas. Semua orang yang mendengarkan jadi tercenung. Dan sama-sama menundukkan wajah.
Angin senja berdesir halus menyibak dedaunan. Matahari semakin menggelincir kepermukaan gunung. Saat itu Pitra Sena telah melangkah perlahan ke arah di mana Jaran Perkoso dan Pipit Lurik yang tengah menatap padanya. Tiba-tiba Pitra Sena tunduk berlutut dihadapan laki-laki tua yang masih bertampang gagah itu. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, kecuali isak tertahan yang telah dipersembahkan pada sang Ketua dari markas Benteng Macan Gunung.
Laki-laki gagah ini tiba-tiba gerakkan lengannya mengangkat bahu Pitra Sena. "Bangunlah, calon menantuku....! Aku terima pinanganmu pada anakku Pipit Lurik!" Ujar Jaran Perkoso. Dan wajahnya segera berpaling pada anak perempuannya. "Terimalah dia sebagai calon suamimu, anakku.... Bukankah kalian telah saling mengenal?" Tanya Jaran Perkoso dengan tersenyum haru.
"Aku.... aku menyintainya, ayah..." Berkata perlahan Pipit Lurik dengan hati polos.
Dan Jaran Perkoso menatap lagi pada Pitra Sena lekat-lekat, seraya ucapnya. "Kau bersedia menikahi anakku yang sudah begini keadaannya...?"
Pitra Sena mengangguk. Seraya tatap wajah Jaran Perkoso, lalu beralih pada Pipit Lurik. "Aku akan menikahinya dengan setulus hatiku, Ramanda. Dengan jalan ini aku tinggalkan segala tindak kejahatan kelakuan ku. Aku tak dapat memungkiri untuk tidak mencintainya, Ramanda! Walau apapun yang telah terjadi...!"
Suara kata-kata Pitra Sena terdengar jelas dan pasti. Gelimang hidupnya dari para wanita dan gadis-gadis cantik sekapan ayahnya telah membuatnya semakin sadar dan semakin dewasa. Bahwa dia telah tersesat dalam pendidikan yang salah. Tak di duga cinta justru bersemi pada gadis bernama Pipit Lurik, yang justru akan dijadikan wanita "barang" pesanan oleh ayahnya.
Namun kasih sayang dan cinta ternyata telah semakin berakar pada Pipit Lurik. Bercampur rasa kasihan dan kasih sayang pada gadis itu. Satu kejadian yang tak diduga adalah munculnya Gantar Sewu yang memang menjadi sahabat sang ayah. Gantar Sewu telah pergunakan ilmunya untuk mengelabui Pipit Lurik, saat Pitra Sena berangkat menemui nenek sakti Bikhu Sokalima di puncak Ratawu.
Ternyata di sana dijumpai Jaran Perkoso dan Resi Paksi Sakti Jalatunda. Kiranya sang Resilah yang telah menolong Jaran Perkoso. Pitra Sena telah beberkan segala kejahatan ayahnya pada kedua orang sakti itu, termasuk Jaran Perkoso yang turut mendengarkan penuturannya. Demikianlah, hingga berakhir dengan kejadian seperti tersebut di atas.
Kedua sejoli yang telah bersatu hati itu tampak berangkulan dengan terharu. Semua hadir di situ Cuma bisa tersenyum penuh keharuan, juga memuji atas sikap Pitra Sena. Hal tersebut ternyata memang sudah diketahui oleh Roro Centil dan Jaka Keling, hingga merekapun cuma bisa menarik napas lega.
Tiba-tiba saat dalam keheningan itu, Pipit Lurik lepaskan rangkulannya, dan berpaling mencari dua tubuh yang dibawa Roro Centil tadi. Sekejap dia sudah melompat kesana. karena baru tersadar sang dara ini, setelah sekilas dapat melihat kalau kedua orang itu adalah dua dari si Tiga Siluman Bukit Hantu. Semua orang pun sudah berkelebatan kesana.
Akan tetapi ternyata kedua manusia itu telah tewas. Keadaan tubuhnya tampak mengerikan, karena penuh luka dari goresan duri. Kepala-kepala mereka rengat terhantam batu, dan luka-luka lainnya akibat diseret Roro semau-maunya.
Jaka Keling terpaku menatap Roro. Sungguh tak menyangka kalau akhirnya sang gadis Pendekar Wanita Pantai Selatan itu jugalah yang menumpas sisa dua iblis itu. Saat mereka termangu-mangu menatap mayat si pendek dan si jangkung itulah Roro Centil berkelebat lenyap dari tempat itu, tanpa ada yang mengetahui. Ketika mereka tersadar dan balikkan tubuh, ternyata Roro Centil sudah tak berada di tempat itu.
"Aiiih...? Sungguh aku orang kaum tua merasa mengiri padanya! Rasanya aku kepingin menjadi muda lagi seperti si Roro Centil itu!" Berkata Bikhu Sokalima.
Ki Jalatunda tiba-tiba perdengarkan tertawa mengekeh seraya menyahuti; "Wah, wah, wah...! Kalau kau manusia turunan ular, tentu bisa! Hehehe.. heh... heheheh... Kulitmu yang keriput tinggal mengulitinya aja, jadilah kau si nenek genit yang manja dan centil!"
"Hihihik... hihik... sudahlah, kakek peyot! Mari kita kembali ke puncak gunung masing-masing...!" Ujar sang nenek.
Dan berkelebatanlah kedua tubuh tokoh kaum tua Rimba Persilatan itu melenyapkan diri. Tak berapa lama senjapun semakin memuram. Mentari dibalik gunung itu masih sembulkan cahaya merahnya. Sementara burung-burung kecil mulai riuh berebut tempat untuk tidur.
Pipit Lurik saling bertatapan dengan Pitra Sena. Jari-jari lengan mereka menjalin menjadi satu. Ternyata kebahagiaan tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang bersih saja. Cinta mengalahkan segalanya. Dan kekotoran memang tak luput dari sifat insan di dunia ini, walaupun cuma setitik.
Namun setidak-tidaknya dengan niat orang yang berusaha mencuci kekotoran itu, niscaya mereka sudah menuju kesatu jalan yang bersih Walau kodrat dan takdir adalah Tuhan Yang Maha Menentukan.
Episode selanjutnya,