Roro Centil - Tragedi Pulau Berhala
Karya : Mario GembalaSATU
RAKIT yang terbuat dari batang-batang kayu itu terapung-apung di tengah laut. Didayung oleh seorang laki-laki berpakaian compang-camping. Lakilaki ini masih muda. Berusia sekitar 30 tahun. Kabut masih agak tebal melingkupi sekitar perairan.
Sementara samar-samar di belakang rakit tampak sebuah pulau. Tampaknya, laki-laki ini seperti ingin cepat-cepat menjauhi pulau itu. Jelas terlihat kecemasan pada wajahnya ketika kabut mulai menipis, dan cahaya fajar mulai membersit dari arah cakrawala.
Laki-laki ini mempercepat mengayuh rakitnya dengan mengerahkan hampir semua kekuatan tenaganya. Berbeda dengan mengayuh perahu yang dengan mudah bisa membelah gelombang. Akan tetapi mengayuh rakit amatlah sulit untuk meluncur maju. Apalagi semakin ke tengah, ombak semakin besar.
Namun semangat laki-laki itu untuk melarikan diri dari pulau itu semakin menggebu. Jangankan ombak semacam saat itu. Bahkan gelombang setinggi gunung pun akan diterjangnya untuk segera lolos dari neraka Pulau Berhala.
Apa yang dikhawatirkan laki-laki Itu memang menjadi kenyataan. Karena jauh di belakangnya di antara gelombang, tampak timbul tenggelam beberapa buah kepala-kepala manusia. Semakin lama semakin mendekati rakit yang bergerak lambat. Kepala-kepala yang botak tanpa rambut itu sebentarsebentar lenyap dan sebentar kemudian timbul untuk mengejar rakit.
Pertanda si pengejar-pengejar itu adalah manusia-manusia yang ahli bermain di air. Jarak antara para pengejar dan rakit itu cuma tinggal sepertiga lemparan tombak lagi. Sementara si pengayuh rakit masih tidak mengetahui dirinya terancam bahaya maut.
Empat kepala botak ini tampak saling memberi isyarat. Sesaat kemudian tampak di tangan masingmasing telah tergenggam sebuah belati. Dengan satu isyarat pada hitungan ketiga dari jari tangan salah seorang yang diacungkan. Maka melesatlah empat buah belati Itu menuju sasarannya.
Trang! Trang! Trang!
Sukar diduga kalau di saat bahaya maut siap menjemput nyawa laki-laki itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan kuning. Disusul dengan terdengarnya jeritan-jeritan parau menyayat hati. Apakah yang terjadi? Keempat bilah belati itu masing-masing telah menancap di empat kepala gundul yang berada di atas permukaan air itu.
Tampak keempatnya berkelojotan di dalam air dengan kepala timbul tenggelam. Darah pun menyatu dengan air yang menyibak, membuat air laut yang bergelombang Itu menjadi kemerahan. Tak lama keempat kepala gundul itupun tenggelam untuk tidak timbul lagi. Bukan buatan terkejutnya laki-laki Itu. Mata-nya membelalak melihat sesosok tubuh telah berdiri di atas rakitnya.
Dia menyaksikan sendiri ketika melihat empat buah kepala manusia digenangi darah, sesaat sebelum keempat kepala itu tenggelam. Segera tahulah dia apa yang telah terjadi. "No...nona..! Sssi..siapakah anda..?" bertanya laki-laki itu dengan tergagap. Betapa tidak terkejut dia karena di hadapannya berdiri seorang gadis cantik berambut terurai mengenakan pakaian dari kulit macan tutul.
Sementara di tangannya tergerai seutas rantai berbandulan yang mirip dengan bentuk payudara. Siapakah adanya dia ini, tentunya sudah dapat diterka kalau dia adalah Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Hihihi..." Roro cuma tertawa renyah tanpa menyahuti. Akan tetapi laki-laki Itu mendadak terkejut dan hampir saja dia jatuh terguling kalau tak cepatcepat berpegang pada batang kayu rakit. Karena mendadak rakit seperti terbang meloncat dari atas air.
Selanjutnya rakit itu telah membelah gelombang dengan meluncur pesat bagai anak panah melesat dari busurnya. Laki-laki itu ternganga, dan hampirhampir tak percaya karena wanita muda dan cantik itu cuma gunakan lengannya sesekali mengayuh, namun rakit telah meluncur pesat bagaikan terbang.
"Hebat! Luar biasa..! apakah aku berhadapan dengan seorang Dewi Laut ataukah seorang manusia?" berdesis laki-laki Itu dengan menatap kagum pada Roro. Yang ditatap unjukkan senyuman manis membuat jantung laki-laki Ini berdebar.
"No..nona..." Laki-laki Ini kembali ngangakan mulutnya untuk bertanya. Akan tetapi belum habis pertanyaannya, rakit seperti terhempas keras membuat dia terlonjak kaget. Bukan main terkejutnya dia karena rakit telah berada di atas daratan.
"Nah! kau telah selamat. Pergilah ke mana kau akan menuju. Akan tetapi aku perlu keteranganmu mengenai pulau itu, dan siapa gerangan pengejarpengejar dan pembokongmu yang berkepala botak itu?" berkata Roro seraya melompat ke atas pasir.
"Terimakasih atas pertolongan anda, nona..." lakilaki itu menjura. “Namaku Bergola. Hampir setahun aku disekap di pulau neraka itu. Pulau itu dinamakan Pulau Berhala oleh sang Pemimpin atau Ketua yang menamakan dirinya Paderi Mata Seribu. Orang-orang berkepala botak yang mengejar ku adalah anak-anak buah si paderi gila itu..." sahut Bergola.
"Paderi Mata Seribu? gumam Roro terkejut. "Apa yang telah dilakukannya di pulau itu?" tanya Roro dengan menatap tajam wajah Bergola.
Laki-laki ini menghela napas sejenak. Pandangan matanya dialihkan ke tengah lautan. Akan tetapi belum lagi Bergola memberikan keterangan, tiba-tiba cuaca berubah gelap. Angin keras bersiutan. Roro tersentak kaget. Terlebih lagi adalah laki-laki bernama Bergola itu. Seketika wajahnya berubah pucat pias. Itulah pertanda pelariannya telah diketahui oleh si Paderi Mata Seribu. Saat itu di udara tiba-tiba terlihat dua titik cahaya merah meluncur pesat dari arah laut.
"Benda apakah itu?" desis Roro. Sementara dia telah waspada untuk menghadapi apa yang bakal terjadi. Roro segera gunakan kekuatan mata batin untuk melihat sinar merah itu. "Ah, sepasang mata yang merah menyala?" Sentak Roro terkejut. "Apakah ini ilmu yang digunakan si Paderi Mata Seribu??" pikir Roro.
Belum lagi Roro melakukan tindakan, mendadak terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan gendang telinga. Suara itu berkumandang keras menembus anak telinga. Getaran suara itu mempengaruhi syarap Roro. Namun cepat Roro gunakan kekuatan batinnya untuk segera menutup pendengarannya. Sementara sepasang lengannya siap melakukan hantaman pada cahaya merah Itu. Detik itu pula tiba-tiba Roro tersadar bahwa di samping dia ada seorang lagi, yaitu laki-laki bernama Bergola.
"Cepat tutup telingamu!" Teriak Roro. Akan tetapi terlambat. Bergola telah perdengarkan suara jeritan menyayat hati. Tubuhnya terjungkal ke tanah. Berkelojotan tubuh laki-laki itu seperti terkena stroom. Tak lama Bergola sudah tak berkutik lagi. Diam untuk selama-lamanya.
"Keparat!" memaki Roro. Sepasang lengannya bergerak menghantam cahaya merah itu.
Blarrr...!
Dua larik sinar perak dan pelangi meluncur menghantam cahaya itu. Sesaat setelah terjadi ledakan, cuaca mendadak berubah terang kembali. Suara tertawa itu lenyap. Roro Centil kerutkan alis seraya putar tubuh untuk mengawasi sekitarnya. Tapi tak ada tanda-tanda adanya sepasang cahaya merah itu.
Tersentak Roro seketika itu juga untuk segera memburu ke arah Bergola. Akan tetapi dia cuma menjumpai tubuh yang sudah tak bernyawa lagi. Laki-laki buronan itu telah tewas dengan keadaan mengerikan. Dari sekujur liang di tubuhnya mengalirkan darah kental berwarna hitam.
"Setan Alas!" memaki Roro. "Heeeiii! Paderi Iblis Mata Seribu! keluarlah kau! Unjukkan dirimu, pengecut!" berteriak-teriak Roro menantang. Dia yakin kalau yang telah mengeluarkan ilmu tertawa mengandung maut itu adalah si Paderi Mata Seribu!
Tak ada sahutan. Juga tak ada tanda-tanda lain. Semua kembali tenang. Ombak mengalun pelahan memecah di pantai. Mata Roro membersitkan cahaya kemarahan. Tiba-tiba dia telah perdengarkan suara lengkingan panjang. Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke arah laut lepas. Diiringi suara teriakan yang berkumandang.
"Paderi Mata Seribu! Tunggulah kedatangan ku!" Selanjutnya yang terlihat adalah pemandangan yang menakjubkan. Tubuh gadis pendekar perkasa Itu berkelebatan dan berlari-lari di atas air.
Ke manakah tujuan Roro Centil? Ya! Ke mana lagi kalau bukan ke Pulau Berhala! Sementara kita menengok dulu keadaan di Pulau Berhala. Pulau Berhala adalah gugusan dari Pulau Karimata. Terletak di antara dua buah pulau besar di sebelah Utara laut Jawa.
Di tengah pulau itu telah dibangun sebuah istana dikelilingi pagar tembok. Istana yang tampak megah akan sudah terlihat dari kejauhan. Megah, juga penuh keangkeran. Karena seluruh tembok istana bercat hitam. Tampaknya nama Pulau Berhala bukanlah nama yang tak mempunyai arti. Karena di sekeliling pulau terlihat ratusan area dari batu. Arca-arca alias berhala itu berbentuk paderi berkepala botak. Arca-arca itu belumlah selesai seluruhnya, karena tampak di sana-sini puluhan orang tengah bekerja keras memahat batu untuk pembuatan berhala tersebut.
Siapakah adanya laki-laki yang melarikan diri bernama Bergola Itu? Dialah salah seorang pekerja pemahat batu dan pembuat area yang menjalani kerja paksa di bawah kekuasaan si Paderi Mata Seribu!
Saat itu tiba-tiba di antara kelengangan yang sesekali terdengar suara-suara dentingan pahat pemecah batu, tiba-tiba terdengar suara seperti gong dipalu. Itulah tanda isyarat adanya bahaya. Belasan paderi berjubah merah bermunculan. Sementara pekerja segera hentikan pekerjaannya. Mereka berkumpul. Lalu digiring untuk masuk ke barak-barak yang berada di sebelah kiri Istana.
Paderi-Paderi berjubah merah itu kemudian menebar ke sekitar pulau. Tak lama puluhan paderi berjubah kuning kembali bermunculan. Juga menebar ke sekitar tembok Istana. Dan terakhir adalah puluhan paderi berjubah hitam yang berkelebatan menebar.
Sukar untuk bisa diikuti gerakan tiga gelombang paderi yang berjubah dengan warna berlainan itu. Karena sekejapan saja mereka telah lenyap di antara berhala-berhala yang bertebaran di sekeliling istana. Kita beralih pada Roro Centil yang sedang menuju ke arah Pulau Berhala. Pendekar Wanita yang kini mulai dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu telah berniat menyatroni Pulau Berhala.
Roro memang telah mendengar tentang adanya lenyapnya orang-orang desa di wilayah Utara yang hilang secara misterius. Kedatangannya ke wilayah Utara Itu adalah untuk menyelidiki berkenaan dengan peristiwa itu. Roro berpendapat keanehan itu tak bisa tidak adalah karena adanya penculikan.
Motif apakah kiranya dengan penculikan-penculikan yang membuat keresahan penduduk wilayah pantai Utara Pulau Jawa itu dia belum bisa mengetahui. Untuk itulah Roro bertekad menyelidiki. Ketika dia tengah berkeliaran di sekitar pantai Utara dengan mempergunakan ilmunya yaitu berjalan dan berkelebatan di atas air, Roro melihat sebuah rakit terapung-apung berpenumpang seorang laki-laki berpakaian compangcamping.
Orang itu adalah Bergola, yang kemudian ditolongnya. Sayang Bergola tewas ketika munculnya dua cahaya merah yang disusui dengan cuaca yang berubah gelap dengan mendadak. Kemudian terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan anak telinga, yang kemudian akibat dari suara tertawa aneh itu mengakibatkan tewasnya Bergola.
Demikianlah! Melalui sedikit keterangan dari Bergola, Roro mengambil keputusan untuk melabrak si Paderi Mata Seribu yang menjadi pemimpin para paderi di Pulau Berhala. Keyakinannya begitu pasti kalau otak dari penculikan orang-orang desa itu adalah si Paderi Mata Seribu! Dua titik cahaya merah tiba-tiba melesat ke luar dari dalam pintu istana Hitam diiringi oleh suara tertawa berkakakan yang menyeramkan.
"Hoahaha... hahah... hahaha… bersiap-siaplah kalian untuk menyambut kedatangan tetamu "istimewa". Dialah si Macan Tutul Betina Pantai Selatan! Roro Centil! Bila kita berhasil menawannya, maka kita akan segera mengadakan pesta besar. Pesta kemenangan! Karena dialah orang yang bakal membuat kehancuran partai kita!"
Suara tertawa itu disusui oleh kata-kata yang berkumandang ke seantero pulau. Dan begitu selesai kata-kata itu, tiba-tiba cahaya merah itupun lenyap. Suasanapun kembali hening. Pulau itu seperti lengang tiada berpenghuni seorang pun.
Dalam keadaan hening yang mencekam itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dari arah lautan. Suara tertawa seorang wanita yang semakin mendekat ke arah Pulau Berhala. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara angin bersiutan. Ombak menyemburat seperti diterjang angin puting beliung.
Terdengar suara teriakan terkejut bernada suara wanita. Namun selang sesaat lenyap. namun apa yang terlihat kemudian? Sesosok tubuh terlempar ke udara. Siapa lagi kalau bukan tubuh Roro Centil. Apakah gerangan yang terjadi dengan sang Pendekar Pantai Selatan itu?
Kiranya ketika Roro hampir mendekati Pulau Berhala, tiba-tiba dari arah depan bersiut angin keras menerpa tubuhnya. Gelombang besar pun menghantam tubuhnya. Gadis Ini terpekik kaget. Tak ampun tubuhnya terlempar ke udara terbawa hempasan gelombang yang dahsyat. Dalam keadaan yang serba aneh dan mendadak itu, Roro sesaat seperti kehilangan kekuatannya. Karena untuk pertama kalinya inilah dia menghadapi hal semacam ini.
Namun sebagai seorang Pendekar yang sudah banyak makan asam-garam dalam menghadapi berbagai bencana, Roro masih sempat mengkonsentrasikan daya pikirnya untuk segera imbangi lemparan tubuhnya dengan melayang di udara mengikuti daya kekuatan hempasan gelombang tersebut. Tak hanya itu, Roro segera menghimpun tenaga dalam di sekujur tubuh.
Akan tetapi pada saat itu lapat-lapat telinganya mendengar suara bentakan. "Bocah tolol! Belum saatnya kau menyatroni Pulau Berhala!"
Di lain kejap, Roro rasakan hempasan keras kembali menerpa tubuhnya. Kail ini Roro benar-benar lenyap seluruh daya kekuatan panca inderanya. Pandangannya mendadak menjadi gelap. Dan dia cuma merasakan tubuhnya seperti melayang dengan amat pesat. Namun selanjutnya dia sudah tidak tahu apa-apa lagi.
Sebuah perahu sampan didayung seorang pemuda berwajah tampan meluncur membelah selat. Gemericik bunyi air yang tersibak. Dia seorang laki-laki yang berusia kira-kira 25 tahun lebih. Berkulit putih. Berpakaian warna abu-abu. Menyandang pedang di punggungnya. Siapakah laik-laki muda yang tampan ini? Dialah Sambu Ruci. Seorang tokoh muda dari golongan putih yang digelari si Pendekar Selat Karimata. Akan tetapi juga mendapat julukan si Bujang Nan Elok.
Sepasang mata pemuda ini memandang ke sekitar selat. Tampaknya arah yang ditujunya telah semakin dekat, karena tak lepas-lepas dia memandang ke arah sebuah bukit yang tegak menjulang di sebelah Barat. Bukit itu seperti membangkitkan kenangannya pada beberapa tahun yang silam. Di atas bukit Itulah dia dipelihara oleh seorang tua perempuan yang berilmu tinggi.
Orang tua kosen itu bernama Mamak Metangat. Sejak dia berusia sebelas tahun hingga sampai dua puluh tahun, menggemblengnya dengan bermacam ilmu kedigjayaan. Hingga kemudian dia turun gunung dengan bekal itu dan menjadi seorang pendekar bergelar si Pendekar Selat Karimata. Semakin dekat ke arah bukit di sisi selat, semakin resahlah tampaknya pemuda itu. Sementara bibirnya mulai perdengarkan suara menggumam.
"Ah, Mak Metangat. Masih hidupkah beliau setelah sekian tahun aku tak pernah menjenguknya?"
Dikayuhnya perahu kecil itu untuk mempercepat perjalanan yang ditujunya. Kini bukit itu makin dekat. Makin jelas. Tak lama berselang setelah kira-kira lewat sepenanak nasi, pemuda tampan itu mengayuh perahunya ke tepi. Ujung perahu segera menyentuh tanah. Pemuda ini merapatkan badan perahu, lalu berdiri, dan melompat ke darat. Tak lama kemudian pemuda itu telah bergegas untuk segera mendaki bukit. Sementara perasaannya merasa tak enak. Hatinya was-was.
"Apakah gerangan yang terjadi?" gumamnya. Gerakan-gerakan pemuda itu gesit sekali hingga dalam waktu yang tak berapa lama dia telah tiba di ujung tangga undakan batu. Pada puncak bukit itu segera terlihat sebuah pondok kayu beratap rumbia.
Akan tetapi mata Sambu Ruci terpana melihat keadaan pondok yang sudah roboh. Ketika melihat keadaan sekeliling tempat Itu tampak porak poranda seperti baru dilanda angin ribut. Jantung Sambu Ruci berdetak keras. Tak menunggu lama dia telah melompat mendekati pondok. Bibirnya menggetar meneriakkan nama gurunya.
"Mak Guru Metangat..! Di manakah kau..?"
Beberapa kali dia memanggil. Namun tak ada sahutan. Cuma suaranya saja yang berpantulan lagi terdengar di telinganya. Tersentak kaget pemuda ini melihat sesosok tubuh tertelungkup di batang pohon yang roboh. Membelalaklah mata Sambu Ruci mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu.
"Guru..!?" teriaknya seraya memburu. Akan tetapi dia cuma bisa tertegun menatap dengan mata mendelong ketika melihat sosok tubuh itu sudah menjadi kerangka yang membusuk. Kakinya tersurut mundur.
"Guru...." Desisnya terperangah. Jelas sekali mayat itu adalah mayat nenek tua kosen yang menjadi gurunya. Akan tetapi dia cuma bisa menjumpai dalam keadaan telah menjadi bangkai!
Yakinlah dia bahwa di tempat itu telah terjadi pertarungan hebat, yang mengakibatkan tewasnya Mak Metangat. Akan tetapi siapakah orang yang telah menewaskan gurunya Itu? Ada perselisihan apakah hingga terjadi pertarungan di atas bukit tempat kediaman Mak Metangat?
Sambu Ruci termangu-mangu menatap jenazah sang guru. Tak terasa air matanya menggenang di pelupuk mata. Bau menyengat hidung membuat Sambu Ruci tersadar dari terpakunya. Segera dia mendekati jenazah itu untuk mengangkatnya.
Akan tetapi lagi-lagi mata Sambu Ruci membelalak. Dilihatnya pada batang kayu terdapat guratan dalam berbentuk tulisan. Cepat Sambu Ruci membacanya. Tulisan yang agaknya ditulis oleh nenek tua kosen ini di saat akhir hidupnya bertuliskan: Paderi Mata Seribu.
"Paderi Mata Seribu?" sentak Sambu Ruci terkejut. "Apakah si pembunuh guru adalah si Paderi Mata Seribu?" desis Sambu Ruci terperangah.
Lama dia terpaku memandangi tulisan yang tak karuan bentuknya, tapi masih dapat terbaca. Jelas Itu sebuah tulisan yang mempunyai maksud. Dan Sambu Ruci yakin kalau si pembunuh yang menewaskan gurunya adalah si Paderi Mata Seribu. Dia berpendapat sebelum nyawa sang guru direnggut maut, masih sempat menuliskannya pada batang pohon dengan guratan kuku. Masih tampak adanya tanda-tanda bekas darah.
Sepasang lengan pemuda ini mengepal keras. Dadanya bergerak naik-turun, pertanda dia sangat gusar. Giginya gemeretuk beradu. Dari mulut pemuda ini terdengar suara menggeram. "Hhh... Paderi Mata Seribu! Tunggulah pembalasan dendam patiku! Aku yakin kaulah yang telah membunuh guru!"
Dua tetes air mata bening pun mengalir turun membasahi pipi si Bujang Nan Elok. Wajah pemuda ini menunduk menahan gejolak kemarahan, kesedihan bercampur penyesalan. Dia seperti mengutuk pada dirinya sendiri karena tak mengetahui terjadinya pertarungan itu.
Lama ... lama ... dia terunduk dengan menahan perasaan, mengumbar kesedihan. Ketika lapat-lapat telinganya mendengar suara orang di belakangnya. "Sudahlah! Kematian memang sudah menjadi bagian dari setiap manusia yang hidup. Mengapa harus terlalu bersedih? Bukankah semua manusia pada suatu saat pun akan menemui kematian? Bukankah setiap saat manusia diancam maut? Kuburkanlah jenazah gurumu. Tak baik membiarkannya berlamalama.
Masih untung di sekitar wilayah ini tak ada binatang buas. Jenazah itu masih utuh dalam keadaan sebagaimana wajarnya. Sambu Ruci menoleh. Terlihatlah seorang laki-laki tua berpakaian serba putih. Bahkan alis kumis dan jenggotnyapun memutih. Di lengan kakek tua Itu tercekal sebuah tasbih. Wajahnya nampak berwibawa.
"Siapakah kau orang tua?" bertanya Sambu Ruci tertegun, sesaat setelah dia balikkan tubuh menatap orang.
Kakek jubah putih mengelus jenggotnya. Bibirnya sunggingkan senyuman. "Namaku Ki Balung Putih, anak muda. Secara kebetulan aku melewati tempat ini dan melihatmu mendaki bukit. Aku segera mengikutimu, karena mungkin kau bisa membantuku" menyahut si kakek.
Sambu Ruci kerutkan keningnya. Diam-diam hatinya membatin. "Hm, kakek ini tanpa setahuku telah berada di belakangku. Gerakannya tak menimbulkan suara. Tentunya seorang tua yang berkepandaian tinggi. Pertolongan apakah yang diinginkannya? Sejurus antaranya Sambu Ruci termangu, Lalu ujarnya.
"Namaku Sambu Ruci" berkata pemuda ini memperkenalkan diri. "Apakah anda tersesat jalan?" sambungnya menduga.
Laki-laki itu gelengkan kepala. 'Tidak! bukan hal Itu yang kuinginkan kau membantuku. Tapi hal lain!" ujar si kakek. "Sudahlah, nanti akan kuceritakan. Mari kubantu dulu kau mengubur jenazah gurumu!" sergah si kakek.
Sambu Ruci mengangguk. "Terima kasih atas bantuanmu, kakek!" berkata Sambu Ruci. Cepat dia pondong mayat Mamak Metangat untuk dibaringkan di tanah.
Sementara si kakek jubah putih Itu gulung lengan jubahnya, dan rentangkan tangan. Bles...! Sepasang lengan itu membenam sebatas siku di tanah. Cepat sekali bekerjanya si kakek jubah putih itu. Dalam beberapa saat saja dia telah menggali lubang yang cukup dalam.
Sambu Ruci terpaku melihat kehebatan sepasang lengan si kakek yang seolah sepasang besi lempengan saja yang digunakan untuk menggali tanah. Dalam waktu singkat lubang yang cukup dalam telah selesai dibuat.
"Hayo, cepat kau pendam jenazah gurumu, sobat muda Sambu Ruci!"
Suara perintah si kakek membuat Sambu Ruci tersadar dari keterpakuannya menatap kerja si kakek yang membuat dia kagum. "Oh, ya... baik, kek! Ah, terima kasih! aku telah menyusahkan anda Ki Balung Putih!" sahut Sambu Ruci.
Tak ayal dia segera pondong tubuh jenazah untuk diterima oleh sepasang lengan Ki Balung Putih yang merentang. Kakek ini masih berada di dalam lubang yang baru selesai dibuatnya. Tak lama jenazah Mamak Metangat telah dibaringkan. Ki Balung Putih segera melompat ke luar lubang.
Selanjutnya si kakek segera menimbun lubang kuburan Itu dengan tanah. Sambu Ruci membantu dengan cekatan. Hingga tak berapa lama lubang pun sudah selesai ditimbun. Sambu Ruci menancapkan sebongkah batu runcing di atas gundukan tanah itu. Lalu bersihkan tangannya disertai helaan napas lega. Akan tetapi terkejut Sambu Ruci melihat si kakek jubah putih itu tak ada lagi di tempat itu.
"Hai? ke mana orang tua itu?" sentaknya terkejut. "Gila! gerakannya sungguh luar biasa! Datang dan perginya bagaikan siluman saja!" berkata Sambu Ruci dalam hati. Selagi dia termangu itu terdengar suara di kejauhan, di lereng bukit.
"Hoooiii! anak muda Sambu Ruci! Segera turunlah! aku baru saja selesai mencuci tangan!"
"Haiiih! kakek yang aneh dan hebat!" sentak Sambu Ruci.
Tak ayal dia telah melompat dari tempat itu, setelah menjura di hadapan kuburan jenazah gurunya. Saat berikutnya Sambu Ruci sudah bergegas turun dari atas bukit dengan melompat-lompat. Dilihatnya si kakek bernama Ki Balung Putih tengah duduk ongkang-ongkang kaki di atas batu ketinggian di sisi sungai. Wajah dan tangannya basah. Rupanya dia memang baru saja selesai mencuci muka dan membersihkan tangannya yang kotor.
"Aku telah membantumu menggali kubur mengebumikan jenazah gurumu. Kini giliran kau yang membantu aku!" berkata si kakek.
"Ah katakan saja apa yang perlu kubantu. Aku selalu bersedia dan siapkan tenaga untuk menolongmu kakek!" sahut Sambu Ruci, seraya mendekati sisi sungai. Lalu membasuh tangannya yang kotor sekaligus mencuci muka yang penuh berkeringat dan debu.
"Haha... hehe... bagus! Marilah kau ikut aku!" berkata si kakek sambil tertawa terkekeh. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Sambu Ruci. Lengannya bergerak menyambar lengan pemuda itu. Dan belum lagi Sambu Ruci tersadar, dia sudah rasa tubuhnya melayang ke tengah air.
"Aaaah..!?" tersentak kaget Sambu Ruci. Hatinya membatin. "Gila! apa-apaan ini? Apakah kakek ini orang yang tidak waras?" pemuda ini gelagapan karena sekejap lagi tubuhnya akan tercebur di air.
Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh permukaan air, tiba-tiba tubuhnya kembali terangkat, dan melambung lagi. Ternyata si kakek jubah putih itu cuma menotol permukaan air dengan ujung kaki, dan selanjutnya telah melompat lagi. Tentu saja Sambu Ruci yang lengannya dicekal kuat oleh si kakek kembali terbawa melayang.
Hal tersebut terjadi berulang kali. Sambu Ruci terkejutnya sampai-sampai mulutnya ternganga dan tak bisa bicara apa-apa. Sementara itu kecepatan gerakan si kakek yang melompat-lompat di atas air begitu cepatnya, hingga dia cuma rasakan angin keras menerpa tubuh dan wajahnya. Dalam beberapa saat saja tahu-tahu kakinya telah menjejak daratan.
Kakek itu segera lepaskan cekalannya. Sambu Ruci agak terhuyung. Hampir saja ia jatuh. Kepalanya terasa pusing. Namun segera dia pejamkan mata untuk segera menenangkan hati yang benar-benar kaget bercampur takjub. Baru pertama kalinya dia dibawa melompat-lompat di atas air.
"Kakek..! ah, kau... kau hebat sekali!" tak terasa dia memuji dengan menatap kagum pada si kakek.
"Hahaha... Itu cuma ilmu meringankan tubuh yang mudah untuk dilatih. Kau sendiri pun akan mampu kelak kalau kau mau mempelajari!" berkata si kakek.
"Oh, ajarkanlah aku ilmu itu, kek..!" teriak Sambu Ruci. Dan tanpa terduga oleh si kakek Ki Balung Putih, tahu-tahu Sambu Ruci telah jatuhkan dirinya berlutut di hadapannya seraya mengucap. "Guru...! Hari ini aku bersumpah akan menjadi muridmu, dan mengangkatmu sebagai guru!"
"Weeelii! lho! Iho? Baru bertemu sudah mau mengangkat ku sebagai guru! Aiiii! bocah muda! Kau bangunlah!" teriak kaget Ki Balung Putih, Namun dia cuma bisa garuk-garuk kepala melihat anak muda itu tetap berlutut tak mau berdiri.
"Aku tak akan bangun kalau kau orang tua belum menyatakan bersedia mengangkat ku sebagai muridmu!" ujar Sambu Ruci. Sementara diam-diam dalam berlutut itu Sambu Ruci tersenyum, walaupun sebenarnya hatinya kebat-kebit. Dia memang telah dengan nekat melakukan hal seperti ini. Karena dia tahu kalau saat ini adalah saat yang amat tepat.
Musuh besarnya si Paderi Mata Seribu dapat diduga adalah seorang tokoh yang ilmunya luar biasa tingginya. Terbukti telah menewaskan gurunya. Kalau dia tak mengangkat guru pada kakek aneh ini, bagaimana mungkin dia bisa membalas dendam? Sedangkan ilmunya yang masih rendah ini bila digunakan untuk membalas dendam samalah dengan tiada artinya.
"Wah, wah! Kau memang bocah yang keterlaluan! Baik! Baiklah! kau kuterima menjadi murid-ku! Hayo kau bangunlah, anak muda!" Akhirnya setelah berkali-kali menggaruk kepala si kakek jubah putih segera mengabulkan permintaan Sambu Ruci.
Tentu saja bukan kepalang girangnya hati pemuda ini. Seraya melompat dengan berjingkrak girang dia telah memeluk Ki Balung Putih. "Oh, terimakasih, guru! Terimakasih, guru ..!"
Barulah Sambu Ruci kemudian melepaskan pelukannya, dengan tersipu dia menatap pada kakek itu. "Maafkan aku, guru..! Tentunya kau amat maklum dengan keadaanku saat ini..!" berkata Sambu Ruci.
Ki Balung Putih manggut-manggut. "Ya, ya! Aku mengerti. Untuk mencari si Paderi Mata Seribu guna menuntut balas kematian gurumu itu memang kau harus memerlukan bekal ilmu-ilmu kedigjayaan!" potong Ki Balung Putih. Dia memang telah melihat goresan di batang pohon yang dibaca pemuda itu yang ditulis oleh Mamak Metangat sebelum mati. Hingga dia dapat menerka apa yang tersirat di hati pemuda itu.
"Ah, sukurlah, kau telah mengetahuinya, guru!" berseri girang wajah Sambu Ruci.
"Sudahlah! ayo, kau ikutilah aku!" berkata kakek itu seraya berkelebat melompati masuk hutan.
"Baik, guru... ke lubang semut pun aku akan mengikutimu!" teriak Sambu Ruci seraya melompat mengejar. Tak lama kedua sosok tubuh itu pun lenyap ditelan rimbunnya hutan.
Gadis ini duduk di atas batu tak bergeming menatap ke hadapannya dengan mata mendelong. Di belakangnya sebuah pondok bambu beratap rumbia. Satu-satu pondok yang terpencil di tengah hutan itu. Keadaan di tempat itu sunyi mencekam. Sesekali terdengar suara burung-burung hutan menyanyikan lagi.
Tapi dia seperti tak peduli dengan semua itu, Yang membuat aneh adalah dari pelupuk mata si gadis mengalir air bening dan sepasang mata yang bulat itu berkaca-kaca. Ketika itulah terdengar suara memanggil namanya.
"Cinderani…!"
Gadis ini menoleh dan agak terkejut. Karena segera melihat siapa yang telah berada di belakangnya. Cepat-cepat dia bangkit untuk segera berlutut, seraya mengucap dengan suara gemetar.
"Kakek... Segeralah berikan keputusan hukuman ku! Kalau kau perintahkan aku untuk membunuh diri sekalipun akan kulaksanakan saat ini juga!" Ki Balung Putih menatap tajam pada muridnya. Lalu mendengus dan berkata ketus penuh wibawa.
"Cinderani! Kesalahan yang kau perbuat tak dapat ditebus dengan membunuh diri! Apakah kau kira perbuatan bunuh diri itu dapat memupus dosamu? Heh! Bahkan justru akan memperberat dosamu. Dan kau akan mati dengan keadaan terkutuk!"
Cinderani tak menjawab, kecuali terisak-isak. Sejuta kesedihan dan penyesalan seperti menyesakkan dadanya. Namun sebisa-bisa dia menggigit bibir untuk menahannya.
"Bahkan dosamu akan bertambah berlipat ganda karena telah membunuh pula benih yang telah berada dalam rahim mu! Tidak! Aku takkan menyuruhmu membunuh diri. Akan tetapi telah ku bawakan seorang pemuda yang akan mengawinimu agar tak membuat malu!" lanjutkan berkata si kakek.
Tentu saja kata-kata itu membuat si gadis menengadah menatap wajah sang kakek. Lalu sepasang mata itu dialihkan ke sekeliling tempat itu, mencari-cari pemuda yang dikatakan sang guru. Ki Balung Putih tersenyum. Tiba-tiba lengannya bergerak untuk masukkan dua jari ke dalam mulutnya. Dan terdengarlah suara suitan nyaring.
Sambu Ruci yang sedang menatap dari tempat persembunyiannya pada kedua orang itu dengan tak mengerti, mendengar suara suitan si kakek segera melompat ke luar. Sementara hatinya jadi berdebaran. Dia telah mendengar sendiri secara lapat-lapat pembicaraan Ki Balung Putih dan gadis itu. Hatinya membatin.
"Wah, celaka! Apakah yang akan dimintai pertolongan si kakek adalah untuk hal ini? Celaka dua belas! Aku telah terlanjur bersedia menolongnya, bahkan aku telah mengangkat guru padanya. Kalau aku disuruh menikah dengan gadis itu bagaimana aku harus menolak?" Walau demikian Sambu Ruci tak dapat tidak memuji akan kecantikan si gadis bernama Cinderani itu.
"Muridku! perkenalkanlah! Ini cucuku yang juga muridku bernama Cinderani..." berkata Ki Balung Putih pada Sambu Ruci.
Gadis itu tersipu dengan mata berkejap-kejap, lalu menunduk. Tak sepatahpun kata ke luar dari mulutnya. Sementara hatinya serasa tak menentu. Apakah dia bergirang hati ataukah bersedih. Pemuda itu memang tampan dan gagah. Akan tetapi apakah mungkin pemuda itu mau menikahinya, sedang dia dalam keadaan hamil? Kalau dibandingkan dengan Somara mungkin Somara kalah jauh perihal ketampanannya. Akan tetapi dia telah terlanjur mencintainya berpikir Cinderani.
"Mulai saat ini kau tak perlu mengingat-ingat Somara! Bocah edan itu mana mungkin berani tunjukkan diri di hadapanku? Bahkan aku telah tak mengakuinya sebagai muridku lagi!" ujar Ki Balung Putih dengan suara ketus, seperti telah mengetahui apa yang tersirat di hati Cinderani.
"Guru ..!? Apakah pertolonganmu itu untuk…” Sela Sambu Ruci dengan wajah memerah.
Akan tetapi telah dipotong oleh Ki Balung Putih. "Sambu Ruci! kau telah menjadi muridku. Dan kau telah mengatakan bahwa kau bersedia menolongku. Setelah kau menikahi gadis muridku Ini, kau harus cari si Somara itu untuk membunuhnya. Dan kau tak dapat menolak keputusanku. Ingat! kau adalah muridku yang harus menuruti apa yang diinginkan gurunya!"
"Ba... baik..! Guru! akan tetapi kalau cuma untuk menutupi malumu, kukira tidaklah akan membuat pernikahan bahagia. Menurutku cinta tak dapat dipaksakan!" dengan tergagap Sambu terpaksa menyahuti.
"Hm, kata-katamu mungkin benar! Akan tetapi betapa aku amat membenci pada si Somara itu. Enam tahun aku mendidiknya agar menjadi seorang murid yang berjiwa pendekar. Setelah turun gunung ternyata membuat namaku jadi tercemar. Dia telah melakukan perbuatan kotor di mana-mana. Dan yang sungguh membuatku menyesal mengangkat murid pada si jahanam itu adalah, justru dia telah pula melakukan perbuatan kotor pula pada adik seperguruannya sendiri! Sungguh amat memalukan! Kalau saja tidak memandang benih yang telah tumbuh di rahim muridku ini, tentu siang-siang aku telah membunuhnya!" berkata Ki Balung Putih dengan menunjuk pada Cinderani.
Sepasang matanya berbinar-binar karena kemarahannya. "Hm, katakan Cinderani! Apakah kamu masih tetap mencintai si Somara murid durhaka itu?" Tiba-tiba Ki Balung Putih membentak muridnya.
Tergetar tubuh si gadis. Akan tetapi dia tak menjawab apa-apa, kecuali kembali terisak-isak. Sambu Ruci jadi terpaku dengan tenggorokan serasa tersumbat. Mau tak mau hatinya menjadi trenyuh dan kasihan pada si gadis.
"Kalau kau tak mau menjawab, biarlah aku saja yang membunuh diri!" teriak Ki Balung Putih. Tiba-tiba dia gerakkan lengannya menghantam kepalanya sendiri.
"Guruuuu!" teriak Cinderani tersentak kaget.
Sambu Ruci jadi terperangah kaget. Sungguh dia tak menduga Kalau si kakek itu akan mengemplangkan lengannya sendiri ke batok kepalanya. Untuk menggagalkan niat itu sangatlah sukar karena kata-kata dan gerakan lengan si kakek begitu cepat. Akan tetapi ternyata gerakan lengan si kakek tertahan cuma seinci di kulit batok kepala. Telapak tangan si kakek miring ke sisi kepala. Dan....
Bhaarrrr! Krrrraaaak!'
Batang pohon di belakang si kakek hancur. Dan dengan suara bergrotakan batang pohon itu rebah ke tanah. Tampak telapak tangan Ki Balung Putih kepulkan asap putih tipis yang timbulkan hawa panas.
Membelalak mata Sambu Ruci. Kakek itu ternyata bukan berkata main-main. Kalau pukulan itu tak dibelokkan ke sisi tentu batok kepala si kakek sudah hancur.
"Guru...! Baiklah, guru! Aku berjanji takkan mengingat Somara lagi. Maafkan aku, guru..." teriak histeris Cinderani seraya memburu dan memeluk kaki orang tua itu dengan terisak-isak.
Ki Balung Putih berdiri kaku tak bergeming. "Bersediakah kau menikah dengan anak muda ini?" berkata Ki Balung Putih datar.
"Aku... aku bersedia, guru. Aku takkan menolak apa yang telah menjadi kemauanmu..!" sahut si gadis tegas, seraya melepaskan pelukan dan mengusap air matanya. Kemudian bangkit berdiri. Ditatapnya wajah sang kakek yang telah merawatnya sejak dia berusia sepuluh tahun.
"Guru, kini aku harus tanyakan pada pemuda itu, apakah dia bersedia menikahi ku?" berkata Cinderani.
Akan tetapi Ki Balung Putih justru tertawa berkakakan hingga terkekeh-kekeh. "Hehehe... heheh... Pemuda ini takkan menolak. Kau tak perlu khawatir!" ujarnya.
"Nah! kau telah dengar semuanya, Sambu Ruci. Apakah yang akan kau katakan?" bertanya Ki Balung Putih dengan menatap tajam pada Sambu Ruci.
Sambu Ruci menatap pada Ki Balung Putih dan Cinderani berganti-ganti. Lalu menghela napas. "Yah, apa yang bisa kutolong, tentu akan kulakukan. Asalkan semua itu demi kebaikan kalian!" berkata Sambu Ruci.
"Haha... heheh... bagus! bagus! Sudah kuduga, kau tentu takkan menolak. Nah, kalian berkenalanlah lebih dekat. Dua hari lagi kau segera menikah!" Selesai berkata dengan girang, si kakek berkelebat melompat masuk ke dalam pondok. Akan tetapi kembali merandek. "Sambu Ruci! Muridku yang baik! Aku akan wariskan ilmu silatku yang belum pernah kuturunkan pada semua muridku padamu. Akan tetapi nanti, setelah kalian resmi menikah!" Selesai mengucap kakek Ini lenyap di balik pintu pondok yang kemudian menutup rapat.
Sambu Ruci tersenyum menggumam. "Aiiih, kakek yang aneh!" Kedua pasang mata itu pun saling beradu dan tampak mereka sama-sama tersenyum. Namun kemudian Cinderani tertunduk dan tersipu.
Dua hari kemudian, tampak seorang pemuda gagah tengah berlatih dengan tekun menerima petunjuk Ki Balung Putih mempelajari ilmu-ilmu kedigjayaan. Dialah Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok. Sementara si gadis bernama Cinderani duduk di atas tangga pondok memperhatikan dari kejauhan.
Pernikahan Sambu Ruci dengannya telah resmi. Semuanya berjalan tanpa ada halangan apa-apa. Akan tetapi Cinderani di malam pernikahan itu tak merasa disentuh sedikitpun oleh Sambu Ruci suaminya.
"Pernikahan aneh!" gumamnya. Masih terbayang ketika mereka sama-sama membisu dalam bilik satu kamar. Sementara Cinderani gelisah, namun Sambu Ruci malahan tidur pulas dengan mendengkur.
"Sambu Ruci juga aneh. Apakah dia cuma bermaksud menolongku saja untuk menghapus malu guru?" desisnya pelahan. Sementara matanya menatap pada laki-laki muda itu yang masih tekun berlatih. Sebentar-sebentar terdengar suara teriakannya menggema di sekitar hutan lengang Itu.
Gerakan-gerakan Sambu Ruci dalam mempelajari setiap jurus baru yang diperolehnya tak pernah mengalami kesukaran. Karena di samping Itu dia seorang yang berotak cerdas juga telah memiliki dasar-dasar ilmu silat. Bahkan memang tak dapat dikatakan rendah ilmu yang dimilikinya.
"Bagus! tiga jurus barusan adalah jurus-jurus yang kunamakan Tiga Kera Sakti Berebut Makanan!" berkata Ki Balung Putih. "Masih ada waktu untukmu melatih ilmu-ilmu itu dengan lebih sempurna. Kukira cukup satu bulan kau menerima dan mempelajari kesembilan jurus Ilmu ciptaanku! Bulan depan barulah kau mulai mempelajari ilmu berjalan dan berlari di atas air!"
"Ah, terimakasih atas semua itu, guru!" sahut Sambu Ruci seraya menghapus keringat di dahi.
"Hm, setelah satu bulan lagi, kau harus meninggalkan tempat ini. Tugasmu yang utama adalah mencari di mana adanya si Somara murid durhaka itu untuk kau kirim nyawanya ke Akhirat. Selesai dengan tugasmu kau boleh pergi ke mana kau suka. Atau mungkin kau akan mencari si Paderi Mata Seribu?" bertanya Ki Balung Putih.
"Benar, guru! Tiada lain itulah yang kunantikan!" sahut Sambu Ruci. "Tapi apakah aku harus turun gunung berdua dengan Cinderani?" tanyanya dengan menatap pada Ki Balung Putih.
"Tentu saja, Dia telah menjadi istrimu yang syah! Kau harus menjaganya dan menyayanginya dengan sepenuh hati!" bentak Ki Balung Putih dengan mata mendelik.
"Oh, ya... ya! akan kuingat selalu pesan itu guru..!" berkata Sambu Ruci dengan tergagap.
"Bagus! Nah, kau teruskanlah latihanmu!" ujar Ki Balung Putih dengan tersenyum. Lalu balikkan tubuh dan melangkah ke arah pondok.
Sambu Ruci mengangguk. Sejenak melirik pada Cinderani yang masih duduk di tangga pondok, yang kemudian beranjak masuk ketika kakek itu mendatangi. Namun Sambu Ruci tak memperhatikan lagi. Karena segera dia mulai menghapal jurus-jurus Tiga Kera Sakti Berebut Makanan. Jurus-jurus baru yang dipelajarinya itu memang hebat luar biasa.
Semangat Sambu Ruci untuk cepat memiliki jurus tersebut demikian menggebu. Semua itu demi tujuannya yang satu. Yaitu mencari si Paderi Mata Seribu untuk kelak membalas dendam kematian gurunya Mamak Metangat.
Kita tinggalkan dulu keadaan ketiga orang di hutan sunyi itu. Kita beralih pada nasib Roro Centil yang dibawa terbang angin puting-beliung dengan cepat. Sampai-sampai Roro tak sadarkan diri, tak Ingat apa-apa lagi pada dirinya.
Entah beberapa saat lamanya Roro tak mengetahui. Ketika lapat-lapat kembali dia mendengar suara untuk kedua kalinya. "Bukalah matamu, bocah Centil!"
Roro seperti tersentak kaget dan sekejap membuka matanya. Suara itu adalah suara yang amat dikenalnya. Yaitu suara gurunya, si Manusia Aneh Pantai Selatan atau si Manusia Band. Ketika memandang ke sekeliling dia seperti bermimpi karena melihat dirinya berada di sebuah tempat yang amat asing baginya.
"Ah!? Di manakah aku? Tempat apakah ini?" bergumam Roro dengan menatap takjub pada sekelilingnya.
Sekitar tempat itu terhampar pasir putih berkilauan laksana perak. Tumbuh-tumbuhan di tempat itu seperti dalam khayalan saja. Aneh! baru pertama kail dia melihatnya. Terdiri dari pohonpohon tanpa daun. Akan tetapi penuh dengan cabang yang berjuluran seperti ular. Cendawan warna-warni berserakan di tanah berpasir putih itu. Sementara dia termangu, kembali terdengar suara itu lagi.
"Bocah Centil!" Kau tak usah terkejut. Kau berada di negeri Siluman. Inilah tempat kakek gurumu Begawan Bhama Kosala!"
Tersentak Roro Centil. Dan serta merta dia berteriak girang. "Guru...! Di manakah kau? Mengapa kau tak menampakkan dirimu?" Mata Roro jelalatan memandang ke arah datangnya suara.
"Hihihi... aku telah berada di alam halus. Pertemuan Ini adalah pertemuan yang terakhir. Karena sudah masanya aku meninggalkan dunia fana!" menyahut suara gaib itu.
Roro tertegun. Mendadak sepasang mata gadis ini berkaca-kaca. "Guru ..! benarkah kau sudah mati?" tanya Roro tersendat.
"ACentiBocah Centil! Bukankah si Joko Sangit telah menceritakan padamu tentang apa yang terjadi? Bahkan tombak pusaka Ratu Syima milik si Dewa Tengkorak kekasihku itupun telah dipulangkan ke istana Kerajaan Mataram, sudah tak berada di Pantai Selatan lagi!" sahut suara gaib itu.
"Akan tetapi guru sering muncul dan sering membisikkan ke telingaku untuk memberi petunjuk. Bahkan menolongku hingga kail terakhir ini!" tukas Roro penasaran.
Suara gaib itu terdengar tertawa. "Hihihi... memang. Tapi kali ini adalah kali yang terakhir sekali. Karena setelah ini habislah masa hidupku di alam halus. Di tempat ini kau akan dibimbing oleh guruku. Beliau termasuk kakek gurumu. Segeralah kau temui dia untuk kau menerima petunjuk dari beliau!" berkata suara gaib itu.
"Aku akan menurut apa petunjukmu, guru! Akan tetapi berilah aku kesempatan melihat wajahmu. Untuk yang terakhir, guru..." berkata Roro dengan terisak.
"Aiiihh! Bocah tolol! Kau masih saja cengeng! Selama ini aku selalu mengikuti sepak terjang mu. Ternyata kau seorang yang berbakti pada gurumu. Kau telah membalaskan dendam membunuh musuh-musuh gurumu, yaitu istri-istri si Dewa Tengkorak. Baiklah! Untuk yang terakhir kali ini akan kabulkan permintaan mu. Cuma satu hal yang harus kau penuhi dari permintaanku." ujar suara gaib si Manusia Banci.
"Apakah itu, guru?" tanya Roro mendesak.
"Sudahkah kau mendengar pesanku melalui Joko Sangit?"
"Selain mengatakan tentang kematianmu, dia tak mengatakan apa-apa lagi. Tapi dia ada berkata bahwa belum waktunya dia menyampaikan satu pesan darimu, guru. Aku sendiri tak pernah menanyakannya!" sahut Roro.
"Yah! Aku tahu apa yang menjadikan halangan Joko Sangit, murid Ki Jagur Wedha si Pendekar Gentayangan itu. Dia akan tetap berusaha mengungguli kesaktianmu. Dan tak akan mengatakannya sebelum dia berhasil!"
Roro ternganga. Lalu manggut-manggut. "Guru ..! Apakah sebenarnya yang kau pesankan itu? katakanlah, guru!" sela Roro dengan perasaan tak menentu.
"Baiklah! Pesanku itu akan ku utarakan padamu! Yang kuinginkan adalah cuma satu hal. Yaitu kau menikahlah dengan Joko Sangit!" berkata suara gaib si Manusia Banci.
Roro laksana mendengar guntur di slang hari. Suara itu terngiang-ngiang di telinganya. Bergetarlah suara Roro. "Guru...! Aku tak berdaya. Hal itu terserah dia sendiri. Karena sebagai seorang perempuan, aku cuma menunggu pernyataan darinya. Sayang aku baru mengetahui sekarang. Kalau saja aku mendengarnya sejak dulu, mana mungkin aku mengabaikan perintah guru? Aku ... aku tak dapat berdusta, guru. Akupun mencintainya. Tapi semua itu tak mungkin bila dia belum mampu mengungguli Ilmu kedigjayaan yang kumiliki! Tampaknya dia patah hati dan tak pernah mau berjumpa denganku!" berkata Roro dengan suara datar agar trenyuh.
"Hihihi... semuanya dapat kau atur! Bukankah kau seorang muridku yang tolol, tapi cerdik?" Nah, pergunakanlah ilmu mata batinmu. Aku akan memperlihatkan diri untuk saat terakhir ini...!" berkata suara gaib itu.
Roro Centil tak ayal segera turutkan perintah, untuk gunakan ilmu pandangan mata batin. Namun tetap dia tak melihat apa-apa.
"Segera kau akan melihat wajah gurumu, bocah Centil!" berkata suara gaib si Manusia Banci. Dan tiba-tiba di hadapan Roro terlihat segumpal asap putih yang semakin lama semakin tebal. Lalu membentuk sesosok tubuh. Semakin lama semakin sempurna. Hingga kejap berikutnya di hadapan Roro terlihat sesosok tubuh wanita cantik berpakaian sutera putih. Itulah sosok tubuh si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si Manusia Banci.
"Guru...!" teriak Roro girang. "Ah, kau amat cantik sekali, guru...!" terperangah Roro melihatnya.
Arwah si Manusia Banci tersenyum menatap Roro dengan mata bercahaya. Akan tetapi cuma sekejap. Ya! teramat cepat sekali. Roro belum puas menatap, sosok tubuh jelmaan itu telah lenyap sirna.
"Guruuuu...!" teriakan Roro membarengi lenyapnya sosok tubuh sang guru yang telah mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaan yang membuat dia bergelar dengan gelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Suara teriakannya terdengar lagi berpantulan. Dan Roro tertegun bagai arca. Menatap ke hadapannya dengan terlongong. Alam serasa hening seperti dalam mimpi. Dua titik air mata dara ini meleleh ke pipi. Terdengar suara Roro pelahan bercampur isak. "Selamat jalan guru..! Semoga arwahmu mendapat ketenangan di alam Baka..!"
Di saat Roro tengah termangu-mangu itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Roro tersentak kaget seraya menghapus air matanya. Membelalak mata Roro melihat batang-batang pohon tanpa daun itu tiba-tiba berjuluran bagaikan ular ke arahnya. Tentu saja Roro segera sadar bahaya apa yang mengancam pada dirinya. Dengan perdengarkan teriakan keras dia melompat menghindar. Secara reflek lengannya bergerak menghantam.
Bhlarrr! Bhlarrr...!
Dua hantaman itu membuat batang-batang pohon yang berjuluran bagai ular itu hancur bertebaran. Akan tetapi sejenak Roro ternganga karena melihat dirinya telah terkurung oleh ratusan potongan batang pohon yang bergerak menghambur bagaikan lintah-lintah raksasa ke arahnya.
"Edan! Gila! Makhluk apakah ini?" sentak Roro terperanjat.
Di samping ngeri juga merasa aneh, Roro bertindak cepat untuk menghalau "lintah-lintah raksasa itu dengan hantaman pukulan-pukulan-nya. Berlompatanlah Roro di antara serpihan-serpihan hidup yang menakutkan itu. Gerakan Roro yang cekatan itu memang membuat "lintah-lintah raksasa" itu hancur bertebaran jadi bubuk. Dan dia berhasil menjauhi dengan berlompat sejauh dua puluh tombak.
Akan tetapi sejenak Roro terpana melihat seekor makhluk raksasa mirip ulat bulu menghadang di depan. Makhluk yang beruasruas itu mendesis. Dari mulutnya yang bertaring tajam menyembur uap putih. Uap itu menimbulkan hawa yang membuat kepalanya menjadi pening. Namun Roro tak segera berdiam diri. Dengan keberanian luar biasa dia menerjang makhluk itu.
Pukulan dengan jurus-jurus Sinar Perak Pelangi berkilatan menghantam. Akan tetapi luar biasa. Makhluk itu amat kebal. Bahkan secara cepat Roro sudah terdesak. Kali ini Roro terpaksa harus menghindari diri dari serangan uap-uap beracun yang membuat kepalanya semakin pening. Roro terhuyung mundur dengan melompat lompat.
Namun Lagi-lagi uap yang menyembur dari mulut makhluk itu kembali menerjangnya. Roro kehilangan konsentrasi. Dia mulai kena cengkeraman kaki-kaki sang ulat raksasa. Tubuhnya telah berada di depan moncong makhluk itu. Dalam saat demikianlah Roro gunakan ilmu dari si Manusia Gurun Pasir.
Jurus Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis segera digunakan. Sepasang lengan Roro bergerak menghantam.
Blarrr...! Dentuman keras terdengar. Akan tetapi berbareng dengan Itu, tubuh Roro pun terlempar ke udara. Roro telah kehilangan kesadarannya karena telah menghisap uap beracun yang membuat dia tak sadarkan diri. Namun detik tadi dia telah mampu gunakan jurus si Manusia Gurun Pasir yang ampuh.
Makhluk raksasa mengerikan itu mendadak lenyap. Dan sebuah cahaya kuning tiba-tiba membersit ke arah tubuh Roro. Kejadian aneh segera berlangsung. Tubuh Roro lenyap terbungkus dalam kemilau cahaya kuning itu. Sementara cahaya itu sendiri meluncur ke arah puncak bukit di pulau aneh itu. Lalu lenyap.
Ketika Roro sadarkan diri lagi, dia terkejut melihat dirinya telah berada disatu ruangan berlantai marmar. Dinding ruangan Ku putih berkilat-kilat. Sebuah ruangan yang amat luas. Yang membuat Roro lebih terpana adalah di hadapannya tampak sebuah arca seorang kakek. Area batu yang sudah berlumut. Dalam keadaan tertegun kebingungan itulah Roro mendengar suara gaib dari arah arca.
"Cucuku....! Jangan terkejut. Kau telah berada di tempatku. Akulah kakek gurumu yang bergelar Bagawan Bhama Kosala! Heheheh... selamat datang cucuku yang cantik!"
Terperangah Roro karena jelas dia mendengar suara Ku dari arah arca. Akan tetapi apakah patung manusia itu yang bicara? pikir Roro. Namun mendengar nama Bagawan Bhama Kosala, Roro cepat-cepat bangkit dan jatuhkan dirinya berlutut di hadapan patung.
"Kakek guru, terimalah sembah sungkem ku. Aku Roro Centil telah membuat huru-hara di tempat kediamanmu!" berkata Roro. Dia tak peduli apakah arca itu yang bicara atau bukan. Tapi yakin kalau suara gaib itu datangnya dari arah arca.
Suatu keanehan tiba-tiba terjadi. Arca batu yang mirip seorang kakek tua yang sudah berlumut itu mendadak lenyap. Dan asap putih tipis membumbung. Mata Roro terbelalak melihat dibekas arca telah menjelma sesosok tubuh yang amat mirip dengan patung kakek tua itu.
"Ah? Apakah ini kakek guru Bagawan Bhama Kosala?" berdesis Roro.
"Hehehe... bocah cucuku. Apakah kau bersedia menjadi muridku?" bertanya kakek jubah putih yang mirip dengan sosok arca itu. Sepasang mata dari seseorang tua yang berusia lanjut sekali. Berjenggot kelabu. Berhidung mancung. Sepasang matanya bersinar.
"Atas perintah guruku aku memang dibawa ke tempat ini adalah untuk itu, kakek! Tentu saja aku amat berterima kasih kalau kau mau mengangkat ku sebagai murid!" ucap Roro dengan menunduk hormat. Sementara hatinya berdebar-debar. Semua kejadian ini amat misterius dan dia seperti berada di alam gaib yang amat menakjubkan.
Bagawan Bhama Kosala tertawa mengekeh. Suaranya membuat bulu roma Roro meremang. "Sebenarnya ilmu kedigjayaan mu sudah tinggi. Akan tetapi sudah menjadi kodrat bahwa di atas langit masih ada langit lagi. Aku akan berikan tiga macam Ilmu padamu. Ya, tiga macam ilmu kedigjayaan yang mungkin bisa membuat kau lebih perkasa, cucuku. ilmu ini adalah ilmu yang cuma berada di negeri siluman. Yang bisa dipergunakan untuk bekalmu menghadapi musuh-musuhmu yang juga berilmu siluman. Setelah itu kau boleh kembali ke dunia manusia! Akan tetapi ingatlah. Jangan kau pergunakan ilmu ini untuk perbuatan yang tidak baik!" tutur Bagawan Bhama Kosala.
"Murid akan selalu ingat akan wejangan mu, kakek guru!" sahut Roro dengan girang.
"Aku percaya akan pribadimu!" tersenyum sang Begawan. "Nah, hari ini juga kau mulailah mempelajari!"
"Terimakasih, kakek guru! ujar Roro dengan mengangguk girang.
Si kakek menunjuk ke arah sebuah batu putih bagai pualam di sudut ruangan. "Nah! kau bertapalah di atas batu itu selama empat puluh hari empat puluh malam. Bila kau sanggup melewati ujian ini maka kau berhak menerima ketiga macam ilmu dariku." berkata Bagawan Bhama Kosala.
Roro menatap ke arah tempat itu lalu mengangguk. "Kalau persyaratan untuk menerima ketiga macam ilmu itu adalah demikian, tentu aku akan mencobanya, kakek guru!" tandas Roro.
"Sukurlah! Semoga kau lulus dalam ujian itu!" Bagawan Bhama Kosala manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. Akan tetapi sekejap kemudian tubuhnya lenyap sirna.
Roro ternganga. Walaupun dia mempergunakan mata batin namun tetap tak mampu melihat ke mana lenyapnya tubuh kakek bagawan itu. Namun tak lama kemudian Roro sudah melompat ke sudut ruangan. Kemudian segera mulai mengatur kaki untuk duduk bersila. Segeralah dia memulai tapanya.
Pulau Berhala mulai menunjukkan kekuasaannya. Kecemasan mengembara ke setiap daerah. Karena sang ketua para paderi itu mulai haus pada wanita-wanita cantik. Pulau Berhala memang amat sukar untuk didatangi golongan lain yang berniat menyelidiki pulau itu. Karena penjagaan yang ketat. Di samping ratusan paderi dari Istana Hitam siap mencabut nyawa!
Belasan manusia berkepala gundul tampak bersembulan di permukaan air menyeberangi pulau. Tak sebuahpun perahu nelayan berani mendekati pulau itu. Dalam beberapa saat saja mereka telah mendarat di pantai pasir. Mereka saling memberi isyarat. Lalu segera menyebar.
Gerakan mereka cepat sekali karena dalam beberapa kejap saja sosok-sosok tubuh itu langsung lenyap. Pantaipun kembali sunyi mencekam. Akan tetapi ternyata sepasang mata telah memperhatikan pendaratan itu dengan mata bersinar. Itulah sepasang mata dari sesosok tubuh. Sosok tubuh seorang laki-laki yang juga berkepala botak.
Laki-laki yang berpakaian jubah hijau dan sudah agak butut itu memang mirip dengan Paderi-Paderi itu. Akan tetapi jelaslah kalau paderi ini bukan segolongan dengan para paderi Pulau Berhala.
"Keparat! Mereka mulai mencari korban lagi! Aku harus segera melaporkan!" berbisik mulut paderi ini. Sepasang matanya menyorotkan kegemasan menatap para paderi Pulau Berhala yang berkelebatan lenyap. Dia bangkit berdiri. Menyibak semak. Dan! berkelebat ke arah yang berlawanan dengan paderi itu.
Kita beralih kesatu tempat tersembunyi tak jauh dari pantai. Beberapa buah kemah tampak berada di sekitar itu. Dan tampak para penjaga yang rata-rata berpakaian serupa dengan paderi itu. Ketika paderi berjubah hijau itu muncul, dua orang segera melompat untuk menyambut kedatangannya.
"Bagaimana? Apakah mereka mulai bergerak hari ini?" tanya salah seorang.
"Benar! Belasan paderi keparat Pulau Berhala itu sudah menyebar di wilayah ini. Agaknya mereka mulai mengadakan penculikan lagi!" menyahut dia.
"Segera laporkan pada guru!" berkata kawannya yang menjaga.
Paderi muda yang rupanya menjadi mata-mata untuk mengintai di sekitar pantai itu mengangguk. Segera dia bergegas menghampiri sebuah kemah yang paling besar. Pintu kemah agak terbuka. Dia segera melongok ke dalam. Akan tetapi melongo mulut paderi ini karena tak menjumpai gurunya di situ. Beberapa orang segera ke luar dari dalam kemah.
"Guru tidak ada! Apakah kalian mengetahui kemana perginya beliau?" bertanya paderi muda ini.
"Kami juga tak mengetahui! Ah, tentu kau membawa berita pengintaian dari pantai!" bertanya kawannya.
"Ya! Belasan orang paderi Pulau Berhala mendarat. Tentu akan memulai lagi penculikan terhadap wanita-wanita. Hal ini harus diketahui guru! Kita tak dapat membiarkan mereka membuat kejahatan lagi!"
Semua murid-murid yang berada di tempat itu cuma saling pandang karena tak mengetahui ke mana perginya sang guru. Sementara itu belasan orang paderi itu telah menebar ke pelosok, memasuki desa. Terdengar suara jeritan perempuan dari kejauhan. Akan tetapi cuma sekejap. Suara itu lenyap. Dua orang penduduk saling pandang.
"He? Seperti suara orang menjerit. Coba kau periksa. Jangan-jangan ada kejadian penculikan lagi!"
"Ya! mari kita periksa!" sahut kawannya. Kedua laki-laki itu menghunus golok dan bergegas untuk berlari menghampiri sebuah pondok. Itulah pondok yang menjadi arah sumber suara jeritan tadi.
Tiga sosok tubuh tampak berloncatan dari dalam pondok itu menerjang pintu. Benar dugaan kedua laki-laki penduduk itu. Karena mereka melihat salah seorang memondong tubuh wanita.
"Keparat! bangsat tengik! Lepaskan gadis itu! Kiranya kalianlah penculik-penculik yang selama ini merajalela!" membentak salah satu dari kedua lelaki desa itu. Segera dia tahu gadis itu adalah Mariamah, yang menjadi giliran korban penculikan.
Dua laki-laki ini melompat menghadang ketiga paderi itu. Akan tetapi salah seorang gerakkan tangannya. Dua benda berkilat menyambar ke arah tenggorokan kedua laki-laki itu. Dan kejap berikutnya, terdengar suara teriakan parau. Tubuh dua lelaki desa itu terjungkal roboh. Dua benda belati kecil itu telah membenam di tenggorokan mereka masingmasing. Berkelojotan tubuh pemuda desa itu. Namun sejenak terkapar lepaskan nyawa.
Sementara itu di Pulau Berhala..... Istana Hitam yang angker misterius itu seperti lengang tak berpenghuni. Namun sesungguhnya di dalam satu ruangan besar di dalam istana tengah menjalankan upacara. Upacara yang dihadiri oleh ratusan paderi berkumpul berbaris dengan rapi. Di depan mereka pada sebuah altar tempat paderi-paderi berpakaian serba hitam dengan cadar penutup muka, berdiri seperti menanti kedatangan ketua mereka.
Sementara sebuah pedupaan yang besar kepulkan asap berbau harum. Dua orang algojo memegang kapak besar siap menjalankan tugas. Upacara apakah ini? inilah upacara keagamaan mereka yang mereka anut. Tentu saja upacara yang sesat karena paderi-paderi itu bukanlah paderi yang menjalankan sebagaimana lazimnya paderi.
Dalam sebuah ruangan di belakang tembok ruang depan Istana tampak seorang laki-laki bertubuh tegap. Berusia sekitar lima puluh tahun. Berkepala separoh botak. Akan tetapi pada bagian belakang tampak sedikit rambut yang di kepang menjuntai ke belakang punggung. Pada bagian dada orang Ini tampak bertato seekor kelelawar berkepala ular.
Inilah sang ketua mereka yang mempunyai gelar si Paderi Mata Seribu. Paderi tua bertubuh tegap Ini bermuka kasar dengan kulit muka hitam. Kumis dan jenggotnya berwarna kelabu. Sepasang matanya biru. Dia dalam keadaan berdiri separuh telanjang di ruangan itu yang menjadi tempat peristirahatannya.
Di hadapannya adalah tujuh orang gadis yang dalam keadaan terikat di tujuh dipan kayu dengan keadaan tanpa busana. Ketujuhnya dalam keadaan pucat ketakutan. Mereka tahu apa yang bakal terjadi pada mereka. Karena sang ketua ini telah mulai melepaskan jubah bagian bawah. Sepasang kaki manusia ini yang bertelapak besar mulai menghampiri dipan bagian ujung. Gadis itu meronta di atas dipan dengan ketakutan. Sepasang matanya membelalak menatap si Paderi Mata Seribu yang menyeringai menatap sang gadis dengan mala membinar.
"Hahahhehe... heheh... giliran pertama adalah kau, gadis manis!"
"Tidak! Tidak... lepaskan aku... jangaaan!" teriakan si gadis memecah keheningan dalam ruangan kamar. Akan tetapi mana dia mampu menghindar dari nasib yang bakal menimpanya?
Dengan derai tawa iblis dan dengus yang menyembur-nyembur lengannya menerkam mangsanya. Menggeliat gadis itu tak berdaya. Sementara gadis-gadis korban lainnya cuma bisa palingkan muka dengan air mata berderai. Bahkan salah satu gadis itu telah menangis terisak-isak. Gadis dipan pertama itu tak dapat menghindari lagi. Namun dia keburu pingsan sebelum dia mengetahui kelanjutannya.
"Keparat!" ternyata paderi Mata Seribu justru gusar. Lengannya bergerak mencengkeram leher; wanita itu... Kraaak! Tak ampun lagi gadis itu berkelojotan dan tewas seketika dengan tulang leher remuk. Dengan segera dia bangkit menghampiri dipan kedua. Selesai dengan hajatnya giliran pada dipan ketiga. Demikianlah seterusnya hingga pada dipan ketujuh. Manusia ini memang punya tenaga hebat luar biasa.
Sementara itu di luar para paderi anak buahnya menanti dengan sabar. Ketika tak lama berselang pintu ruangan di belakang altar terbuka. Dua orang algojo segera masuk. Tak lama keluar lagi dengan menyeret sesosok tubuh wanita yang berlumuran darah. Tubuh itu adalah tubuh wanita yang tewas di dipan pertama dalam ruangan kamar tadi.
Setelah dipertontonkan pada para paderi dua algojo menyeretnya ke dalam satu ruangan. Pada ruangan ini terdapat sebuah ruangan dalam tanah. Ternyata di ruangan bawah tanah itu penuh dengan ratusan ular. Mayat wanita itu dilemparkan ke dalam ruang tersebut. Segera saja ratusan ular itu memburunya.
Ruangan itu ditutup lagi. Dua algojo kembali masuk ke dalam ruang di belakang altar. Kini menyeret sesosok tubuh wanita lagi. Pemandangan yang tragis segera dipertontonkan. Kepala gadis itu dipenggal putus. Kepalanya dilemparkan ke arah ratusan paderi yang menonton upacara itu. Segera saja terjadi kegaduhan. Mereka berebut untuk merebut kepala Itu untuk menghirup darahnya.
Demikianlah berturut-turut kepala gadis korban lainnya dipenggal untuk kemudian dilemparkan. Dan menjadi rebutan para paderi. Perebutan itu ternyata terus berlangsung. Keadaan yang tadinya tenang telah berubah panas. Karena akibat perebutan itu nyawa-nyawa para paderi yang berhasil merebut kepala takkan terhindar dari maut.
Tempat itu bagaikan tempat pertarungan saja layaknya. Mereka saling baku hantam sesama kawan demi memperebutkan kepala. Tujuan utama adalah menghirup darah kepala gadis Itu. itulah yang mereka namakan upacara "suci".
Karena yang berhasil menghirup darah itu akan bertambah kesaktiannya berlipat ganda. Namun tentu saja mereka harus dapat selamat dari maut. Karena kawan-kawan mereka takkan membiarkannya menghirup darah "suci" itu.
Sementara kejadian itu berlangsung, sang ketua alias si Paderi Mata Seribu menyaksikan dengan tersenyum. Puluhan mayat bergelimpangan di ruang Istana hitam. Manusia-manusia terdiri dari paderipaderi itu bagaikan iblis-iblis yang haus darah. Jerit dan teriakan terdengar di sana-sini.
Tak lama keadaanpun usai. Tanda berhenti mirip sirine terdengar. Mereka pun bubar meninggalkan ruangan. Tentu saja dalam keadaan bersimbah darah. Yang luka-luka tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Yang segar bugar berlarian terlebih dulu ke luar berdesakan. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
"Perbuatan terkutuk! Iblis Paderi Mata Seribu! Kau memang bukan manusia!" bentakan itu diiringi dengan berkelebatnya sesosok bayangan tubuh. Dan di lantai altar telah berdiri tegak sesosok tubuh bulat. Ternyata seorang paderi berjubah putih. Bertubuh pendek, gemuk hingga tampaknya bundar seperti sebuah bola besar.
Wuukkkk! Blarrrr....!
Si paderi bulat ini langsung hantamkan telapak tangannya ke arah si paderi Mata Seribu. Terdengar ledakan keras. Dan seketika tembok di belakang altar istana Hitam itu ambrol! Akan tetapi si paderi Mata Seribu telah melesat menghindari pukulan maut itu. Terdengar suara tertawa mengekeh.
"Heheheh... hahaha... kiranya kau si DEWA Angin Puyuh! Bagus! kau berani menyatroni Pulau Berhala tentu sudah siap menghadapi maut!"
Orangnya tak kelihatan ke mana berkelebatnya. Tetapi paderi bulat ini berteriak kaget ketika sebuah hantaman menyerang ke dada. Untuk menghindari hantaman keras bertenaga hebat Itu dia bersalto ke udara. Lengannya terangkat untuk menghantam ke depan memapaki serangan.
Blarrr...!
Akibat benturan kedua pukulan yang mengandung tenaga dalam hebat itu tubuh si paderi bulat yang tak lain dari si Dewa Angin Puyuh terlempar ke luar dari dalam pintu Istana Hitam. Namun lagi-lagi dia gunakan salto untuk mengimbangi jatuh tubuhnya hingga dia dapat jejakkan kaki di tanah.
Setetes darah tampak mengalir dari sudut bibirnya. Pukulan Itu telah membuat dia terluka dalam. Belasan paderi Pulau Berhala segera mengurung. Dan sekaligus menerjang dengan senjata siap merencah tubuh bulat paderi tua ini. Kakek botak ini menggeram gusar. Sepasang tangannya merentang dengan mendadak.
Wuutttt...!
Terdengarlah teriakan silih berganti. Tubuh-tubuh paderi Pulau Berhala berhamburan berpelantingan ke delapan penjuru. Karena mendadak angin puyuh yang dahsyat telah menerjang mereka. Itulah jurus sakti si Dewa Angin Puyuh yang bernama Jurus Pusaran Angin Puyuh. (Jurus ini pernah diwariskan oleh kakek ini pada Roro Centil).
Belasan paderi Itu tanpa berkelojotan lagi tewas seketika, karena kemarahannya si paderi bulat Ini keluarkan tenaga lebih dari separuh kekuatan tenaga dalam.
"Jurus yang hebat!" terdengar bentakan. Dan berkelebatlah sesosok tubuh berjubah warna-warni. Sosok tubuh seorang paderi yang berkepala botak, namun di belakang kepala mempunyai rambut dikepang. inilah si Paderi Mata Seribu. Ketua dari istana Hitam di Pulau Berhala. Paderi ini tak terlihat ada pengaruh akibat benturan pukulan tadi menandakan betapa tingginya ilmu orang ini.
"Dewa Angin Puyuh! Ada apakah kau menyatroni pulauku dan ikut campur urusanku?" bentak Paderi Mata Seribu.
"Manusia edan! Kau telah mencemarkan nama baik para paderi dengan perbuatanmu yang terkutuk Itu. Rupanya kaulah biang keladi penculikan-penculikan selama ini!" bentak pula si kakek bulat.
"Hahaha... memang! Semua itu tak salah dugaanmu! Bukankah kau lihat sendiri, orang-orang yang kuculik itu telah menjadi anak buahku yang amat patuh pada perintahku. Bahkan menuruti ajaran-ajaran yang ku anut!"
Mendelik mata si paderi Dewa Angin Puyuh "Bedebah! Aku telah ketelepasan tangan membunuh!" pikirnya dengan tersentak.
Kencarupa! Lupakah kau akan ajaran guru kita? Kau telah menempuh jalan sesat Jalan yang kau buat seenak perutmu sendiri! Perbuatanmu melampaui batas kemanusiaan Kau akan mengundang banyak musuh karena perbuatanmu sendiri!" berkata paderi bulat ini yang memanggil si Paderi Mata Seribu dengan nama aslinya.
Ternyata dari pembicaraan si paderi bulat itu, mereka adalah dua orang saudara seperguruan. Peringatan itu ternyata membuat si paderi Mata Seribu justru tertawa terbahak-bahak lebih keras.
"Hahahaa... haha... Semua itu sudah kuperhitungkan! Aku memang telah siap untuk menghadapi. Bukankah dengan demikian akan membuat aku mudah menghancurkan mereka? Dan namaku di dunia persilatan akan menjulang tinggi. Partai serta anutan ku semakin menyebar ke seluruh pelosok. Aku akan jadi orang yang paling berkuasa kelak, sesuai dengan cita-citaku!" sumbar si paderi Pulau Berhala dengan suara lantang.
"Manusia takabur! Cita-cita gilamu takkan pernah berhasil. Karena kau saat ini harus mampus di tanganku!" bentak paderi Dewa Angin Puyuh dengan mata melotot gusar. Dadanya bergemuruh mendengar apa yang menjadi cita-cita si saudara seperguruan itu.
Dewa Angin Puyuh telah keluarkan senjata Kipas Bututnya. Sementara sepasang matanya menatap tak berkedip pada manusia di hadapan dia. Urat-urat tubuhnya tampak menggembung pertanda dia telah menyalurkan segenap kekuatan tenaga dalam untuk melabrak si Paderi Mata Seribu.
"Hahaha... aku amat menyayangkan kau ka-kak Kumbara! Walau bagaimana kau adalah bekas kakak seperguruanku. Berpuluh tahun tak berjumpa aku masih merasa kau saudara sendiri. Oleh sebab itulah aku urungkan niatku untuk membunuhmu. Tinggallah kau di pulau ini membantuku!" berkata paderi Mata Seribu menyebut nama asli si paderi Dewa Angin Puyuh dengan sebutan nama Kumbara.
"Edan! Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada menjadi manusia sesat sepertimu!" bentak Kumbara dengan suara menggelegar karena kemarahannya.
Menerjanglah kakek bulat ini dengan serangan senjatanya. Angin puyuh bergulung-gulung menggebu menghantam si Paderi Mata Seribu. akan tetapi dengan tertawa berkakakan KENCARUPA berkelebat lenyap. Angin Itu terus lewat bergulung menerjang para paderi yang masih berkerumun di belakang Istana. Namun mendadak angin itu lenyap ketika seberkas cahaya merah menghalangi.
"Menyingkirlah kalian semua!" terdengar bentakan. Dan tiga sosok tubuh melompat di hadapan mereka sesaat setelah lenyapnya cahaya merah barusan. Tiga paderi jubah merah segera telah berdiri di hadapan Kumbara.
"Hehehhaha... babi bulat! hadapilah kami. Ketua kami enggan turun tangan untuk membunuhmu!" berkata salah seorang sambil tertawa mengejek. Dan ketiga sosok tubuh paderi jubah merah itu berkelebatan berpencar mengurung si paderi bulat Dewa Angin Puyuh dari tiga penjuru.
"Hmmm, apakah kalian yang menamakan diri si Tiga Naga Merah?" bentak Kumbara. Diam-diam dia terkejut juga karena ketiga manusia yang berasal dari Tibet ini bisa berada di wilayah Pulau Jawa bahkan menjadi pengikut si Paderi Mata Seribu!
"Benar!" sahut si kurus muka pucat berkumis ceriwis di hadapannya. "Kami telah bergabung dengan sobat kami Kencarupa demi tujuan yang besar dan mulia!"
"Bah!? tujuan mulia? Dengan cara-cara sesat yang di luar perikemanusiaan itu kalian katakan tujuan mulia? Hahaha... hahaha..."
Dewa Angin Puyuh tertawa berkakakan hingga tubuhnya terguncang-guncang dan air matanya mengalir ke luar. Tertawanya si Dewa Angin Puyuh bukanlah tertawa girang melainkan tertawa yang mengandung kepedihan dan kemarahan yang amat luar biasa mendengar kata-kata si paderi kurus Tiga Naga Merah.
Ternyata tertawa si Dewa Angin Puyuh juga mengandung ilmu tenaga dalam dan serangan yang amat dahsyat. Ketiga paderi jubah merah itu mendadak wajahnya berubah pucat. Masing-masing rasakan dadanya menjadi sesak. Telinga mereka seperti dimasuki ribuan semut. Akan tetapi dengan berbareng mereka keluarkan bentakan. Masing-masing satukan lengannya.
Tubuh mereka bergetaran. Dan tampak uap merah mengepul dari ubun-ubun kepala. Uap itu membentuk asap yang bergulung-gulung berwarna merah. Yang sekejap kemudian berubah menjadi tiga ekor ular naga. Inilah ilmu Setan Naga Merah yang dikeluarkan dengan terpadu.
Ketiga naga ciptaan itu serentak menerjang si Dewa Angin Puyuh. Sambaran dahsyat dari Tiga Naga Merah ciptaan itu membuat si paderi bulat keluarkan keringat dingin dan hentikan tertawanya.
Wuss! Wusss! Whusss...!
Kipas bututnya digunakan untuk menerjang. Sementara tubuhnya mendadak memutar seperti gasing. Tiga naga ciptaan terdorong mundur kena hembusan angin kipas yang dahsyat. Akan tetapi serentak mereka menerjang lagi dari berbagai jurusan. Terjadilah pertarungan seru yang amat luar biasa dan menakutkan.
Naga-naga ciptaan itu keluarkan suara dahsyat yang menggetarkan jantung. Paderi bulat seperti sebuah boneka lucu yang jadi permainan tiga ekor ular naga. Dalam saat itu si tiga Paderi Jubah Merah cuma diam tak bergeming dengan membaca manteramantera. Sepasang lengannya mengatup di depan dada. Dewa Angin Puyuh agaknya mulai kewalahan menghadapi ketiga naga. Kipasnya yang menerjang selalu dapat dipukul oleh hempasan ekor-ekor Naga.
Namun dengan semangat besar dan kemarahan semakin menjadi, namun dengan perhitungan yang cukup masak dia segera robah jurus-jurus serangannya. Kali ini dia bertarung sambil menjauh. Ketiga naga ciptaan terus mengejar. Sementara itu pada paderi Pulau Berhala mulai menyebar ke setiap tempat. Mereka mengurung arena pertarungan, atau siap menjaga jangan sampai si paderi bulat itu melarikan diri.
"Setan alas! kalau begini terus menerus aku akan kehabisan tenaga! Paderi-paderi anak buah si Kencarupa telah mengetahui maksudku! Oh, celakalah aku. Daripada tertawan lebih baik mati!" desis si Dewa Angin Puyuh.
Dia melompat menjauh mendekati patung-patung yang bertebaran di pulau itu, akan tetapi sungguh dia tak mengira kalau patung-patung itu mendadak keluarkan asap yang menyemprot ke arah mukanya. "Asap beracun!?" teriak si kakek bulat tertahan dengan terperanjat.
Akan tetapi terlambat. Mendadak dia rasakan kepalanya berat. Matanya berkunang-kunang. Dia cuma mendengar suara tertawa berkakakan si Paderi Mata Seribu. Akan tetapi selanjutnya dia sudah tidak Ingat apa-apa lagi, karena dia segera terkulai roboh tak sadarkan diri. Ternyata pada berhala-berhala itu telah dipasangi alat-alat rahasia.
Kalau di Pulau Berhala tengah terjadi peristiwaperistiwa tadi, adalah di pantai di sekitar pulau terjadi juga pertarungan seru antara para paderi Pulau Berhala yang berhasil membawa lari wanita yang diculik mereka dengan para paderi pesisir pulau.
Mereka adalah para paderi yang telah kehilangan gurunya, yang tak diketahui ke mana perginya. Keberanian luar biasa dari para paderi itu tak membuat mereka patah semangat untuk menggagalkan penculikan para gadis, walau tanpa beradanya guru mereka.
Mereka menjaga di pesisir pantai di tempat persembunyian dengan senjata-senjata terhunus. Ketika belasan paderi Pulau Berhala kembali dari menculik untuk menyeberangi ke Pulau Berhala, serentak mereka berlompatan ke luar untuk menerjang paderi-paderi palsu itu.
Pertarungan yang menimbulkan pertumpahan darah tak dapat dihindarkan lagi. Si paderi muda yang menjadi pemimpin penyerbuan itu mengamuk dengan senjata tongkatnya. Lawannya seorang paderi bertubuh kasar dan kekar. Tiga serangan berantai dari serangan tongkat menyambar ke leher lawan, dengan tiga sodokan yang mematikan mengarah nyawa lawan.
Pemuda ini tampak gusar karena enam kawannya tewas terbunuh, sedangkan di pihak paderi Pulau Berhala cuma satu yang terluka. Diakui ilmu kepandaian paderi Pulau Berhala memang hebat dan berada dua tingkat di atas kepandaian kawan-kawannya.
Trang! Tang! Tang!
Terdengar suara dentingan tiga kali lawannya menangkis seraya mengegos dengan senjata tipis seperti dua buah piring tipis terbuat dari baja.
"Bocah bau kencur! Kau belajarlah sepuluh tahun lagi untuk melawanku!" teriak si paderi Pulau Berhala. Seraya menangkis, sebuah piring baja tipis itu dilepas ke arah bawah pusar. Suaranya berdesing.
Terkejut paderi muda melihat senjata itu. Beberapa inci lagi maka putuslah pinggangnya terkena piring tipis yang berputar bagai gasing itu mengancam nyawanya. Dengan berteriak tertahan dia membanting dirinya ke tanah. Tongkatnya dipakai untuk menangkis. Trak! Tongkat pemuda paderi putus terbabat. Dalam keadaan terperangah itulah seorang paderi Pulau Berhala lancarkan serangan membacok ke punggung. Detik maut itu tak bisa dielakkan lagi.
Namun pada saat itu terdengar bentakan hebat disertai satu kilatan mencercah di udara. Paderi pembokong itu menjerit pendek. Darah segar memuncrat. Dan dua potong tubuh yang terbelah menjadi dua menggabruk di tanah. Membelalak mata si paderi muda melihat kejadian Itu. Dilihatnya tubuh si paderi benar-benar telah terbelah menjadi dua bagian.
Dan di tempat itu telah tegak berdiri seorang lakilaki muda memegang pedang yang berlumuran darah berpakaian serba putih. Siapa lagi Kalau bukan si Bujang Nan Elok alias Pendekar Selat Karimata, Sambu Ruci.
"Paderi-paderi Pulau Berhala keparat! Hari Ini kau tak dapat berbuat sewenang-wenang lagi!" membentak Sambu Ruci. Tubuhnya berkelebat. Dan selanjutnya terdengarlah teriakan-teriakan ngeri saling susul. Dalam waktu sekejapan saja tiga belas paderi itu roboh tanpa dapat berkelojotan lagi. Karena tubuh-tubuh mereka telah terpotong menjadi dua bagian.
Membelalak mata para paderi penyerang itu yang merasa mendapat pertolongan mendadak di saat mereka hampir putus asa, ketiga melihat si Dewa penolong yang masih berusia muda. Seorang lakilaki gagah dan berwajah tampan. Serta-merta mereka berlompatan menghampiri dan menjura hormat.
"Terimakasih atas bantuanmu, sobat. Sudikah anda memperkenalkan diri?" bertanya seorang paderi yang berusia cukup tua.
"Namaku Sambu Ruci! Aku datang kemari karena petunjuk seorang paderi tua bernama Wiku Duta Prayoga. Dia dalam keadaan sekarat ketika kujumpai. Sebelum tewas dia mengatakan siapa manusia yang telah mengeroyoknya. Yaitu paderi-paderi dari Pulau Berhala. Lalu menceritakan tentang adanya paderi-paderi anak buahnya yang berada di pesisir pantai ini. Yang telah disiapkan untuk menggagalkan penculikan para wanita dan menumpas mereka. Apakah kalian adalah murid-murid Ki Duta Prayoga?"
Membelalak seketika mata para paderi itu mendengar penuturan Sambu Ruci. "Benar! Beliau guru kami! Ah...!? beliau... te... tewas?!" teriak kaget si paderi muda.
"Benar! Aku datang terlambat. Agaknya Ki Duta Prayoga menyerbu sendiri paderi-paderi Pulau Berhala yang melakukan penculikan. Atas petunjuk itu aku cepat mengejar kemari. Sayang aku agak terlambat. Sehingga kawan-kawanmu banyak yang menjadi korban!" berkata Sambu Ruci agak menyesal.
"Wah bagaimana anda telah berjasa menyelamatkan nyawa kami. Kami amat berhutang budi pada anda sobat pendekar Sambu Ruci ..." menyahut si paderi tua bernama Lomambha itu dengan menatap girang bercampur sedih. Sudikah anda mengantarkan kami ke tempat jenazah guru kami, agar kami dapat menguburkannya?" ujar Lomambha dengan mata berkaca-kaca.
"Tentu saja. Marilah ikut aku!" sahut Sambu Ruci tanpa menolak.
Kemunculan Sambu Ruci di pesisir pantai tenggara telah membuat para paderi murid-murid Wiku Duta Prayoga menjadi kagum. Dalam beberapa hari mereka berkabung setelah kematian guru mereka. Ternyata Sambu Ruci memang telah menyelesaikan pelajaran ilmu silatnya dari gurunya yang baru yaitu Ki Balung Putih.
Tentu saja Sambu Ruci pergi bersama istrinya Cinderani yang terpaksa dinikahi karena telah berjanji dengan si kakek Ki Balung Putih untuk menolong kakek itu. Cinderani ditinggalkan di desa terdekat tapi cukup jauh dari pantai. Karena Sambu Ruci tak mau mengajak dia. Walaupun sebenarnya Cinderani bersikeras ikut.
Oleh sebab itu setelah selesai urusannya membantu para paderi murid Ki Duta Prayoga dia minta diri. Sementara itu paderi-paderi itu pun segera bubar untuk kembali ke markas. Karena atas pertimbangan Sambu Ruci mereka tak akan kuat menghadapi paderi-paderi Pulau Berhala. Walaupun sebenarnya mereka bersedia korbankan nyawa untuk menyerang ke Pulau Berhala. Sambu Ruci berlari-lari cepat menuju ke desa di mana dia meninggalkan Cinderani.
Sementara itu kita beralih pada Roro Centil yang berada di alam gaib. Yaitu di alam negeri Siluman. Dara pendekar Pantai Selatan itu tengah duduk di atas batu besar. Sementara di hadapannya tampak seberkas cahaya biru membentuk sesosok tubuh manusia. Dialah Bagawan Bhama Kosala, kakek guru Roro. Yaitu guru si Manusia Banci Pantai Selatan.
"Kau telah mewarisi tiga macam ilmu kedigjayaan dariku, bocah cucuku!” berkata Bagawan Bhama Kosala. "Aku yakin kau akan mempergunakan untuk kebenaran. Akan tetapi kau baru boleh mempergunakan Kalau bertemu lawan Jahat yang amat tangguh! Hanya itulah pesanku!" ujar sang Bagawan.
"Terima kasih, kakek guru. Wejanganmu akan selalu kuingat dalam lubuk hati. Apakah aku sudah diizinkan dan boleh ke luar dari alam mu ini kakek guru?" sahut Roro diiringi pertanyaan. Rasanya dia sudah tak sabar untuk segera kembali ke alam manusia.
"Satu syarat lagi untukmu cucuku, sebelum kau berangkat pulang!"
"Apakah itu, kakek guru?" tanya Roro kebat-kebit.
"Tinggalkan sepasang senjatamu itu di sini!" sahut sang Bagawan.
"He? Mengapa? Apakah aku harus gunakan tangan kosong tanpa senjata lagi? Padahal senjata itu adalah warisan guruku!" tanya Roro terheran.
Cahaya biru itu menjawab dengan tertawa. "Jangan khawatir, aku hanya meminjamnya saja. Nanti bila kau telah ke luar dari alam siluman ini, segera aku kembalikan!" berkata Bagawan Bhama Kosala.
"Hihihi.... Kalau begitu aku menurut saja!" sahut Roro seraya loloskan senjata Rantai genitnya. Lalu diletakkan di atas batu.
"Nah! pejamkan matamu. Jangan kau buka sebelum ada suara kicau burung di telingamu!" berkata sang Bagawan.
Tak menunggu diperintah dua kail, Roro segera turuti perintah itu. Diam-diam dia amat bergirang hati. Karena serasa dia sudah tak betah berdiam di tempat yang asing dan aneh itu. Roro merasa tubuhnya melayang menembus ke awan. Padahal dia tetap berada di atas batu itu. Ketika dia mendengar suara kicau burung, serentak dia buka kelopak matanya.
Terkejutlah Roro Centil ketika melihat dia telah berada di alam yang sewajarnya yaitu alam manusia. Tempat itu adalah di sisi hutan rimba di mana telinganya bisa mendengar suara kicau burungburung dari dalam hutan. Akan tetapi anehnya dia masih tetap duduk di atas batu besar. Cuma saja batu itu telah berubah warna.
Kalau tadinya dia duduk di atas batu putih bagai pualam, kini Roro duduk di atas batu gunung yang berlumut. Yang amat membuat lebih aneh lagi adalah, sepasang senjata Rantai genitnya itu tak berada di atas batu. Dia jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Namun segera melompat turun untuk menghirup napas lega.
"Oh, senang sekali aku telah berada di alam manusia lagi!" berkata Roro sendiri. "Eh, katanya kakek guru akan mengembalikan sepasang senjataku, kapankah akan dikembalikannya?" gumam Roro yang merasa tak betah tanpa membawa senjata. Walaupun jarang dipergunakan namun Roro merasa telah senyawa dengan senjata Rantai genit itu. Dalam keadaan itu lapat-lapat terdengarlah suara gaib Bagawan Bhama Kosala.
"Roro Centil, cucuku! Pergunakanlah mata batinmu. Kau periksa lagi ke atas batu yang kau duduki. Aku telah mengembalikan sepasang senjatamu. Akan tetapi dengan bentuk lain yang lebih sempurna, dan lebih hebat. Sesuai dengan keinginan gurumu..!"
Tentu saja Roro terkejut. Segera dia gunakan mata batinnya untuk melihat dan memeriksa di atas batu tadi. Benar saja! segera terlihat sepasang senjata Rantai Genit dengan bentuk lain. Benda itu mempunyai rantai lebih halus. Pada bagian ujung gagangnya bertatahkan mutiara. Sedangkan bandulannya tetap merupakan sepasang payudara. Akan tetapi bentuknya lebih kecil. Ketika Roro mau menjamah, mendadak sepasang senjata itu lenyap.
"Bocah muridku! Kau telah memiliki aji memindahkan benda tanpa menyentuh. Mengapa tak kau gunakan ajian milikmu itu? Benda itu adalah benda alam gaib. Dia cuma dapat kau simpan di alam gaib pula. Dan bila kau akan mempergunakannya cukuplah dengan membaca mantera, benda senjatamu itu akan sudah berada di tanganmu!" suara gaib itu tiba-tiba kembali terdengar.
Roro terkejut, juga kesima. "Ah, sungguh menakjubkan!" seru Roro pelahan tanpa disadari. Petunjuk itu dipatuhi. Dan Roro segera gunakan cara membaca mantera untuk memindahkan benda itu. Ternyata benda itu berubah menjadi sinar kuning emas yang melesat dan membelit ke pinggangnya.
Dalam pandang mata gaib, Roro melihat senjata Rantai Genit yang lebih indah dan mungil membelit dengan seksama di pinggangnya. Akan tetapi ketika Roro lepaskan pandangan mata gaibnya, Roro tak menampak apa-apa. Bahkan ketika Roro menjamah untuk menyentuh benda itu, Roro merasa tak menyentuh apa-apa.
Sadarlah Roro kalau sepasang senjata Rantai Genit yang baru ini adalah sebentuk senjata gaib. Dia cuma bisa gunakan kalau memang dalam keperluan mendadak. Saking girangnya Roro sampai berjingkrakan dan berteriak-teriak girang. "Oh, terima kasih, kakek guru! Terima kasih, kakek guru yang baik!" teriak Roro berulang-ulang.
CINDERANI duduk di luar pondok dengan hati gelisah. Sebentar-sebentar dia berdiri dan beranjak bangun. Matanya liar menatap ke ujung jalan desa. Sementara yang empunya pondok itu cuma memperhatikan dari tadi pada gadis yang hamil muda itu. Namun tak lama dia segera ke luar dari dalam.
"Sabarlah, den ayu... Mungkin tak lama lagi suamimu akan segera tiba. Kalau sudah waktunya datang toh akan datang juga...!" ujarnya sambil tersenyum.
"Ah, mbok! Aku khawatir ada terjadi sesuatu. Hatiku tak enak...!" sahut Cinderani menyahut. "Berdoalah, semoga suamimu pulang dengan selamat. Wilayah ini memang kurang aman. Sebaiknya kau masuk. Di dalam kau bisa berbaring dengan tak usah cemas. Tak baik bagi kandungan mu." berkata halus wanita tua itu.
"Tidak, mbok. Biarlah aku di sini saja!" sahut Cinderani menolak.
Matanya masih saja menatap ke ujung jalan desa. Serasa dia tak sabar menanti kedatangan Sambu Ruci. Dan entah mengapa hatinya kini jadi luluh, dan dia mulai merasakan Kalau dia amat mencintai suaminya. Betapa sulit mencari orang seperti Sambu Ruci yang rela menikahinya demi menutup malu gurunya yang sudah dianggap ayah sendiri.
Cinderani memang yatim piatu ketika dibawa oleh Ki Balung Putih. Dan lebih dari sepuluh tahun dia bersama si kakek itu. Tiba-tiba matanya membinar melihat sesosok tubuh muncul di ujung jalan desa. Hatinya melonjak girang. "Akhirnya datang juga!" berkata dia dalam hati.
Namun dia jadi terheran, karena yang datang; bukanlah Sambu Ruci. Perawakannya dari jauh memang agak mirip. Dia serasa mengenai laki-laki itu yang kian dekat menghampiri pondok. Mendadak darahnya tersirap. Laki-laki itu tak lain dari Somara!
"Aha! Selamat berjumpa Cinderani! Apakah kau sudah melupakan aku?" bertanya Somara. Entah bagaimana Cinderani tak tahu, mengapa Somara bisa menjumpainya dan muncul di sini?
"Kau... kau mau apa datang kemari? Dari mana kau tahu aku berada di sini? sahut Cinderani gelagapan.
"Hehehaha... Sejak kepergian kalian dari tempat guru, aku sudah mengetahui. Dan siapa adanya laki-laki yang menjadi pendamping mu aku pun sudah mengetahui. Aku ke mari mau membawamu, Cinderani!" berkata Somara.
"Tidak! Aku telah bersuami. Kau tak berhak membawaku!" sahut Cinderani terkejut.
Sementara si mbok melihat kedatangan Somara, buru-buru angkat kaki masuk ke dalam pondok. Wajahnya berubah pucat. Dia merasa tak dapat berbuat apa-apa. Dia merasa bakal terjadi keributan. Entah siapa orang laki-laki ini? pikirnya diam benak.
"Siapa bilang? Aku yang lebih berhak! Anak dalam perutmu yang kau kandung itu adalah anakku!" berkata ketus Somara. Dia nampak gusar.
"Kau... kau... memang ayah anak dalam perutku ini, tapi... tapi..." pucat wajah Cinderani. Mulutnya mendadak serasa terkunci tak bisa bicara. Sementara air matanya telah mulai menitik.
"Sudahlah! tak ada tapi tapi. Sekarang segera kau ikut aku!" berkata Somara dengan suara berubah lembut. "Demi cintaku padamu dan demi anak kita!" ujarnya lirih.
Menggetar tubuh dara cantik ini. Apakah yang harus dia lakukan? Dia benar-benar tak tahu apa yang harus diperbuat! Namun terluncur juga katakata dari bibirnya dengan suara menggeletar. "Somara! pergilah! tinggalkan aku. Kalau suamiku pulang, kau akan dibunuh! Karena itulah perintah guru!"
Mendengar kata-kata Cinderani Somara tertawa terbahak. "Hahaha... Somara bukan anak kecil kemarin yang dapat diperbuat semaunya! Bukan aku takut menghadapi. Tapi saat ini aku perlukan kau, Cinderani! Maka mau tak mau terpaksa aku harus memaksamu!" berkata laki-laki ini.
Mendadak wajahnya berubah menjadi keras dan kaku. Sepasang matanya menatap mata Cinderani tak berkedip. Tatapan mata yang menimbulkan hawa dingin mencekam. Cinderani tersurut mundur. Wajah itu menyeringai. Cinderani merasa tubuhnya keluarkan keringat dingin. Tatapan mata Somara, begitu menakutkan. Seperti menembus ke dalam jantung! Dalam keadaan terkesima itulah, lengan Somara berkelebat cepat.
Tahu-tahu sudah menotok tubuh Cinderani. Gadis ini merdengarkan keluhan dan terkulai roboh. Namun dengan gerakan cepat, Somara segera merengkuhnya dalam pondongan. Sekejap kemudian dengan gerakan sebat telah berkelebat lenyap dari muka pondok itu. Mbok tua penghuni pondok melototkan mata dengan mulut ternganga. Mulutnya serasa terkunci walaupun dia sudah keluarkan suara untuk berteriak. Namun yang ke luar adalah suara... ah,uh,ah,uh...!
Apakah yang dilihat si mbok tua itu? Dalam pandangannya dia melihat sosok tubuh Somara berujud sesosok tubuh menyeramkan mirip seekor lutung besar yang menyeringai menampakkan taringtaringnya, merangkul dan memondong tubuh gadis itu kemudian melarikannya dengan berkelebat cepat sekali. Seketika pandangannya menjadi berkunang-kunang. Rasa takut yang luar biasa menggerayangi benaknya. Jantungnya serasa copot. Detik itu juga dia roboh pingsan tak ingat apa-apa lagi.
Somara membawa tubuh Cinderani dalam pondongan dengan gerakan cepat. Gerakan larinya seperti hembusan angin! Yang dituju adalah arah ke pantai. Akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadang, disertai bentakan keras.
"Somara! Murid durhaka! Berhentilah kau!"
Melihat sosok bayangan tubuh manusia berkelebat menghadang, Somara cepat berhenti dengan mendadak. Dan di hadapannya segera terlihat siapa manusianya. Ternyata tiada lain dari KI Balung Putih.
"Hm, menyingkirlah kau kakek tua bangka! Kau sudah tak ada urusan lagi denganku!" bentak Somara dengan wajah kaku.
"Heh? Menyingkir?" bentak orang tua ini. "Justru kaulah yang harus segera kusingkirkan ke Akhirat. Manusia murtad sepertimu sudah selayaknya mati! Lepaskan dia! Kau tak berhak apa-apa atasnya. Dia telah menikah dengan seorang laki-laki yang juga telah menjadi muridku!"
Akan tetapi Somara malah mendengus. "Tua bangka! Siapa bilang demikian? Apakah matamu buta kalau calon bayi yang berada dalam perut Cinderani adalah anakku?"
"Persetan!" maki Balung Putih. Kau menzinahinya tanpa menikah! Apakah patut dikatakan syah? Anak itu memang anakmu! Tapi kau tak berhak membawanya pergi karena dia telah menikah dengan orang lain. Dan satu hal lagi adalah aku telah bersumpah untuk membunuhmu!" teriak Ki Balung Putih geram.
Betapa dia amat membenci laki-laki bekas muridnya itu yang telah diketahui perbuatan bejatnya di luaran, serta telah mencemarkan nama baiknya.
"Baiklah Kalau begitu! Kau kira semudah itu kau dapat melakukannya?" berkata jumawa Somara. Dilemparkannya tubuh Cinderani ke tanah tanpa belas kasihan lagi.
Gadis yang sudah tak sadarkan diri itu mengeluh siuman. Akan tetapi kembali pingsan. Kini dia berdiri tegak menatapkan matanya dengan sorot tajam pada kakek tua di hadapannya. Bibirnya tampak komat-kamit. Uap hitampun mengepul di sekujur tubuhnya. Matanya berubah merah. Dan kakek itu menyurut mundur ketika tiba-tiba dia melihat perubahan bentuk tubuh Somara.
Karena sekejap kemudian tubuh laki-laki itu telah berubah ujud menjadi gorila yang menyeramkan. Dalam keadaan terperangah Itu tahu-tahu Somara telah menyerangnya dengan hantaman kilat ke arah dada Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua ini. Sejak melihat kejadian barusan dia sudah merasa kena pengaruh sorotan mata yang menimbulkan hawa aneh. Hingga menggetarkan jantung. Dia seperti kena tenung!
Memanglah demikian, karena Somara telah gunakan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi lawan dengan sorot mata yang membersitkan sinar; mencengkeram. Dan menyerang di saat yang baik itu. Buk! Terdengar benturan keras. Ki Balung Putih terlempar bergulingan. Dia tak mampu mengelak. Namun sempat membentengi dadanya dengan tenaga dalam. Akan tetapi di luar dugaan, tenaga pukulan Somara amat luar biasa. Kakek Itu rasakan dadanya mau pecah. Dan tubuhnya terlempar bergulingan.
Namun sebagai jago tua kawakan, dia masih berjumpalitan untuk segera bangkit berdiri lagi. Terperanjat kakek ini ketika melihat jubahnya pada bagian dada telah hangus. Dan sebuah tanda telapak tangan berwarna hitam. Sadarlah dia kalau pukulan itu mengandung racun.
"Hahaha... kakek tua bangka! segeralah kau berangkat ke Akhirat!" Diiringi geraman dahsyat, makhluk menyeramkan itu telah menerjang Ki Balung Putih.
Tersentak kakek tua ini. Tapi dia segera telah dapat mengkonsentrasikan panca indranya, walau telah terluka akibat pukulan beracun. Terjangan yang mengandung maut itu dapat dihindari. Segera terjadilah pertarungan maut. Suara geraman dan bentakan terdengar membauri sekitar tempat itu. Pada saat itulah sesosok tubuh berkelebat muncul di tempat itu.
Ternyata Sambu Ruci. Membelalak mata laki-laki ini melihat Ki Balung Putih sedang bertarung maut dengan seekor makhluk menyeramkan. Akan tetapi segera dia berteriak tertahan melihat sosok tubuh wanita yang tergolek di dekat semak belukar. "Cinderani!?" desisnya terkejut. Dan serta-merta dia telah memburunya. Gadis cantik yang tengah mengandung Itu segera diperiksa.
Akan tetapi pucat wajahnya seketika karena Cinderani sudah diam membeku. Nyawa gadis itu telah melayang bersamaan dengan pingsannya ketika dibantingkan ke tanah oleh Somara. Tampak dari sudut bibir gadis itu yang agak terbuka mengalirkan darah kental berwarna hitam.
"Pasti pembunuhnya makhluk itu!" geram Sambu Ruci. Mendadak dia telah bangkit berdiri. Dan, sekali sentak pedang pusakanya telah berada dalam genggaman tangannya. "Iblis keparat! kau harus tebus kematian istriku dengan darahmu!" teriak Sambu Ruci. Tubuhnya berkelebat melompat. Dan serta-merta dia telah lancarkan serangan ganas bertubi-tubi dengan jurus Pedang Aksara.
"Bagus! Sukurlah kau datang membantuku!" teriak Ki Balung Putih yang mulai merasa tenaganya telah mengendur. Di samping usia tuanya, juga dia telah terluka dalam akibat pukulan beracun Somara yang ganas.
Menghadapi serbuan dua lawan, tampaknya makhluk itu agak kewalahan. Namun Somara memang bukanlah orang yang berilmu kepalang tanggung. Lagi-lagi dia membaca mantera. Mendadak sepasang matanya menyorotkan cahaya merah membara. Sepasang mata yang menyilaukan itu menghambat serangan kedua guru dan murid itu.
Akan tetapi cepat Ki Balung Putih berbisik untuk mengatur siasat. Sambu Ruci mengangguk. Segera mereka berputar-putar mengelilingi makhluk itu dengan sekali-sekali melancarkan serangan. Ki Balung Putih telah memperingati agar jangan menatap pada matanya. Hal demikian berlangsung telah lebih dari empat puluh jurus. Di saat yang baik tiba-tiba Sambu Ruci berteriak keras. Tujuh kilatan pedang berkelebat.
Dan terdengarlah suara menggeram yang dahsyat, ketika kilatan-kilatan pedang mengandung maut itu mengenai sasarannya. Tubuh si makhluk itu terbelah menjadi beberapa potong. Serpihan-serpihan tubuhnya berhamburan disertai bermuncratannya darah segar. Dan usus serta isi perut yang terburai. Keduanya menatap dengan tertegun. Keampuhan jurus Pedang Aksara yang telah dipermatang melalui petunjuk Ki Balung Putih, lagi-lagi membuktikan keampuhannya!
Baru saja kedua orang itu menghela napas lega. Sebersit cahaya melesat ke udara dari tubuh makhluk itu yang berangsur-angsur berubah menjadi tubuh Somara lagi. Terperangah keduanya melihat kejadian aneh itu. Karena cahaya merah itu adalah sepasang mata manusia! Itulah sepasang mata mayat Somara! Saat mereka terperangah itulah terdengar suara tertawa berkakakan.
"Hahahaha. hehehehahaha... kalian takkan dapat membunuhku! Ragaku boleh hancur dan musnah. Tapi ketahuilah! Aku dapat masuk ke raga manusia lain tanpa kesukaran."
"Siapa kau sebenarnya manusia Iblis?" teriak Sambu Ruci seraya tersentak dan menyurut mundur.
"Akulah si pemilik Pulau Berhala. Alias si Paderi Mata Seribu...!" Selesai berkata, sepasang cahaya merah dari sepasang mata Somara segera meluncur ke udara. Meluruk cepat ke arah laut. Menyeberangi perairan di wilayah tenggara itu untuk segera lenyap. Ke mana lagi tujuannya kalau bukan ke Pulau Berhala!
Roro Centil baru saja jejakkan kakinya di pantai wilayah tenggara. Bersitan cahaya merah itu lewat di atas kepalanya! Segera tahulah Roro siapa adanya cahaya itu, karena Roro pernah berjumpa dengan si Paderi Mata Seribu. Dara perkasa kita perlihatkan senyuman di bibirnya yang ranum.
"Hm, Paderi Mata Seribu! Kini saatnya kau harus lenyap dari muka bumi!" mendesis Pendekar wanita Pantai Selatan atau yang kini dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu. Mendadak tubuh wanita pendekar ini telah merubah bentuk menjadi seekor macan tutul yang luar biasa besarnya.
Dengan perdengarkan suara menggeram, makhluk itu melompat ke udara membersit bagaikan angin, mengejar cahaya merah yang menukik lenyap di Pulau Berhala. Saat itu di Pulau Berhala telah terjadi kegaduhan. Kakek bulat alias Paderi gemuk yang bergelar si Dewa Angin Puyuh yang tertawan, ternyata dapat meloloskan diri. Pintu penjara masih terkunci. Tapi orangnya lenyap.
Pada lantai batu itu terlihat lubang besar. Ternyata si Dewa Angin Puyuh baru saja sembulkan kepalanya dari sebuah lubang di belakang Istana Hitam. Baru saja dia membersihkan tubuhnya yang kotor penuh berlepotan tanah. Mendadak terdengar suara bentakan keras.
"He! Babi bulat! Kau takkan dapat meloloskan diri!"
Betapa terkejutnya dia melihat si Tiga Naga Merah telah berada di depannya. Menggeram kakek bulat int. Serta merta dia langsung menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat. Terjadilah pertarungan hebat. Tapi kali ini Tiga Naga Merah tak diberi kesempatan lagi untuk gunakan ilmu sihirnya.
Jeritan maut terdengar ketika dua dari si Tiga Naga Merah melurukkan serangan ganas, tubuh paderi bulat menggelinding bagai bola. Serangan itu lewat bahkan saat sekejap itu dia sudah berada di belakang tubuh kedua lawannya. Tiba-tiba terangkatlah sepasang lengan kakek bundar ini. Angin pukulan Selaksa Petir dilontarkan.
Zeoooosss! Prakkkk...!
Hancurlah batok kepala si dua manusia jahat itu. Tubuh mereka menghantam tembok istana hingga ambrol! Tanpa bisa pentang suara lagi, kedua manusia itu tewas seketika. Kepalanya hancur jadi bubur!
Melihat demikian, sisa seorang lagi dari si Tiga Naga Merah jadi pucat pias. Tak ayal dia segera balikkan tubuh untuk kabur melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring merdu. Dan di tempat itu berkelebat muncul sesosok tubuh. Siapa lagi Kalau bukan si Macan Tutul Betina Pantai Selatan Roro Centil!
"Hihihi.... hebat! hebat sekali kau paman bulat! manusia ini serahkan padaku!" berkata Roro. Mendadak Roro rentangkan tangannya. Dari ujung lengannya tiba-tiba membersit cahaya kuning emas ke arah paderi Tibet itu.
Bukan main terkejutnya paderi ini karena tahutahu seutas rantai telah membelit lehernya. Itulah senjata Rantai Genit Roro Centil, yang telah dipergunakan untuk pertama kalinya. Tanpa bisa berbuat apa-apa lagi manusia itu menjerit parau. Jeratan rantai itu membuat dia tak bisa bernapas, hingga lidahnya menjulur ke luar. Lengannya meronta-ronta untuk melepaskan diri. Tapi tak berdaya. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Sesaat antaranya manusia asal Tibet itu pun tewas dengan lidah terjulur, dan mata mendelik ke luar mengerikan.
"Hoooii! Kau Roro Centil!? ah! Sungguh girang sekali kau muncul di sini, keponakanku! Hayo mari kita tumpas si Paderi Edan Mata Seribu itu! Ketahuilah dia adalah bekas adik seperguruanku yang murtad dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat!" teriak si paderi bulat dengan berjingkrak kegirangan melihat kemunculan Roro.
"Hahaha... kalian cuma mengantar kematian mendatangi Pulau Berhala! Selamat datang pendekar wanita yang hebat!" tiba-tiba terdengar suara si Paderi Mata Seribu membuat suasana seketika berubah tegang!
Segera Roro telah melihat sesosok tubuh berjubah hitam. Sosok tubuh kurus berkepala botak yang mempunyai sedikit rambut berkepang di belakang kepala. Memang dialah si Paderi Mata Seribu alias Kencarupa.
"Iblis jahanam! Hari Ini kau bertobatlah sebelum kau mampus!" teriak Dewa Angin Puyuh dengan geram. Kemarahannya telah membludak bagaikan air bah. Dia melompat menerjang dengan pukulan Selaksa Petir.
Akan tetapi sekali laki-laki kurus itu gerakkan tongkat hitamnya yang berkepala berbentuk ular itu. Mendadak pukulan dahsyat si Dewa Angin Puyuh lenyap bagai disedot masuk ke dalam tongkat.
"Hehehe... hahaha... kakang Kumbara! Tak guna ilmu kehebatan yang kau miliki. Dewa pun takkan sanggup menghadapiku!" berkata jumawa si Paderi Mata Seribu.
"Manusia sombong! Tidakkah kau mengetahui bahwa kesombonganlah yang akan membawa kejatuhan bagi dirimu sendiri!" berkata Roro dengan ketus. Lengannya terangkat. Meluncurlah dua sinar kuning emas ke arah laki-laki Itu. Satu sinar mengarah ke tongkat, sedangkan satu lagi meluncur ke arah leher. Itulah senjata gaib Rantai Genit Roro Centil.
Tersentak Kencarupa melihat sepasang rantai berkilauan kuning emas siap membelit tongkat dan lehernya. Serangan ke arah leher dapat dia egoskan. Tapi serangan ke arah tongkat tak dapat dielakkan lagi. Tongkat pusakanya secepat itu telah terbelit oleh senjata gaib Roro Centil. Ketika itu paderi ini berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya terhuyung karena satu tarikan kuat telah membuat tongkatnya terlepas seketika. Belum lagi hilang terkejutnya, sudah terdengar suara...
Krrraaaak! Tongkat pusaka yang mengandung kekuatan hebat itu telah hancur diremukkan Roro. Lagi-lagi dia harus melompat menghindar, ketika rantai gaib meluncur lagi untuk membelit lehernya.
"Gila! Senjata apakah ini!?" desisnya terperanjat, bibirnya segera membaca mantra-mantra. Akan tetapi Roro pun segera membaca mantera-mantera ajiannya.
Terjadilah pertarungan kekuatan batin. Tubuh Kencarupa berubah hitam mengerikan. Sepasang matanya merah menyala bagai bara api. Sementara Roro sendiri telah berganti ujud yang membuat paderi bulat jadi ternganga.
Roro Centil tidak menampak sebagai manusia lagi, akan tetapi lebih mirip bagaikan arca. Ya... memang terlihat Roro berubah menjadi sebongkah arca batu yang sudah berlumut! Sementara Rantai Genit telah lenyap di saat terjadi pertarungan adu kekuatan batin ini.
Roro merapal ajian Tujuh Aksara Suci. Tubuhnya memang telah berubah menjadi area batu dalam penglihatan mata biasa. Akan tetapi itulah saatnya Roro gunakan ilmu barunya yang didapat dari kakek guru Roro, yaitu Bagawan Bhama Kosala.
Hal itu membuat Kencarupa kena dikelabui. Karena dia menyangka Roro telah terkena ilmu tenungnya. Akan tetapi terperangah dia ketika mendadak membersit cahaya putih kemilau dari sepasang area. Dia tersentak untuk menghindar. Namun terlambat...
Blarrr....!
Terdengar suara dentuman dahsyat. Seketika tubuh si Paderi Mata Seribu hancur jadi arang yang bertebaran. Ilmu Tujuh Aksara Suci bukanlah ilmu hitam. Akan tetapi ilmu yang murni, yang tak mau dikotori. Cahaya putih berkilauan itu adalah cahaya yang menolak datangnya serangan. Hingga tak ampun serangan tenaga batin Kencarupa telah berbalik menghantam pada dirinya sendiri...!
Sesaat setelah kejadian itu terdengar suara bergemuruh. Apakah yang terjadi? Istana Hitam di saat hancurnya tubuh Paderi Mata Seribu ternyata runtuh! Suara berderak ditembok yang rengat dan roboh terdengar di sana-sini. Hingga dalam keadaan beberapa saat saja Istana Hitam itu ambruk rusak binasa.
Bahkan berhala-berhala yang banyak bertebaran di sekitar pulau itu pun turut hancur. Ternganga si paderi bulat Dewa Angin Puyuh melihat kejadian itu. Dilihatnya puluhan paderi menghindari dari bencana mengerikan itu. Sementara dia sendiri telah melompat menjauh kalau tubuhnya tak mau teruruk reruntuhan!
Ketika keadaan sudah pulih dan suasana berubah lengang. Matanya jelalatan ke sekitarnya mencari Roro. Akan tetapi tak dilihatnya lagi gadis pendekar itu. "Aiiiih! Ke mana keponakanku itu?" gumamnya dengan garuk-garuk kepala.
Lapat-lapat telinganya mendengar suara tertawa yang lebih mirip dengan suara lengkingan bernada tangisan. Suara itu semakin menjauh, dan akhirnya lenyap. Tertegun Dewa Angin Puyuh mendengarnya, itulah suara Roro Centil.
"Ah, ah... dasar pendekar wanita aneh! Ilmunya sungguh luar biasa hebatnya. Sayang... Dia begitu cepat muncul dan begitu cepat menghilang! Dasar pendekar wanita yang aneh!" gerutu si kakek bulat. Namun tak lama dia segera berkelebat ke arah pantai. Menuju kearah perahunya yang disembunyikan di sebelah batu karang.
Sementara samar-samar di belakang rakit tampak sebuah pulau. Tampaknya, laki-laki ini seperti ingin cepat-cepat menjauhi pulau itu. Jelas terlihat kecemasan pada wajahnya ketika kabut mulai menipis, dan cahaya fajar mulai membersit dari arah cakrawala.
Laki-laki ini mempercepat mengayuh rakitnya dengan mengerahkan hampir semua kekuatan tenaganya. Berbeda dengan mengayuh perahu yang dengan mudah bisa membelah gelombang. Akan tetapi mengayuh rakit amatlah sulit untuk meluncur maju. Apalagi semakin ke tengah, ombak semakin besar.
Namun semangat laki-laki itu untuk melarikan diri dari pulau itu semakin menggebu. Jangankan ombak semacam saat itu. Bahkan gelombang setinggi gunung pun akan diterjangnya untuk segera lolos dari neraka Pulau Berhala.
Apa yang dikhawatirkan laki-laki Itu memang menjadi kenyataan. Karena jauh di belakangnya di antara gelombang, tampak timbul tenggelam beberapa buah kepala-kepala manusia. Semakin lama semakin mendekati rakit yang bergerak lambat. Kepala-kepala yang botak tanpa rambut itu sebentarsebentar lenyap dan sebentar kemudian timbul untuk mengejar rakit.
Pertanda si pengejar-pengejar itu adalah manusia-manusia yang ahli bermain di air. Jarak antara para pengejar dan rakit itu cuma tinggal sepertiga lemparan tombak lagi. Sementara si pengayuh rakit masih tidak mengetahui dirinya terancam bahaya maut.
Empat kepala botak ini tampak saling memberi isyarat. Sesaat kemudian tampak di tangan masingmasing telah tergenggam sebuah belati. Dengan satu isyarat pada hitungan ketiga dari jari tangan salah seorang yang diacungkan. Maka melesatlah empat buah belati Itu menuju sasarannya.
Trang! Trang! Trang!
Sukar diduga kalau di saat bahaya maut siap menjemput nyawa laki-laki itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan kuning. Disusul dengan terdengarnya jeritan-jeritan parau menyayat hati. Apakah yang terjadi? Keempat bilah belati itu masing-masing telah menancap di empat kepala gundul yang berada di atas permukaan air itu.
Tampak keempatnya berkelojotan di dalam air dengan kepala timbul tenggelam. Darah pun menyatu dengan air yang menyibak, membuat air laut yang bergelombang Itu menjadi kemerahan. Tak lama keempat kepala gundul itupun tenggelam untuk tidak timbul lagi. Bukan buatan terkejutnya laki-laki Itu. Mata-nya membelalak melihat sesosok tubuh telah berdiri di atas rakitnya.
Dia menyaksikan sendiri ketika melihat empat buah kepala manusia digenangi darah, sesaat sebelum keempat kepala itu tenggelam. Segera tahulah dia apa yang telah terjadi. "No...nona..! Sssi..siapakah anda..?" bertanya laki-laki itu dengan tergagap. Betapa tidak terkejut dia karena di hadapannya berdiri seorang gadis cantik berambut terurai mengenakan pakaian dari kulit macan tutul.
Sementara di tangannya tergerai seutas rantai berbandulan yang mirip dengan bentuk payudara. Siapakah adanya dia ini, tentunya sudah dapat diterka kalau dia adalah Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Hihihi..." Roro cuma tertawa renyah tanpa menyahuti. Akan tetapi laki-laki Itu mendadak terkejut dan hampir saja dia jatuh terguling kalau tak cepatcepat berpegang pada batang kayu rakit. Karena mendadak rakit seperti terbang meloncat dari atas air.
Selanjutnya rakit itu telah membelah gelombang dengan meluncur pesat bagai anak panah melesat dari busurnya. Laki-laki itu ternganga, dan hampirhampir tak percaya karena wanita muda dan cantik itu cuma gunakan lengannya sesekali mengayuh, namun rakit telah meluncur pesat bagaikan terbang.
"Hebat! Luar biasa..! apakah aku berhadapan dengan seorang Dewi Laut ataukah seorang manusia?" berdesis laki-laki Itu dengan menatap kagum pada Roro. Yang ditatap unjukkan senyuman manis membuat jantung laki-laki Ini berdebar.
"No..nona..." Laki-laki Ini kembali ngangakan mulutnya untuk bertanya. Akan tetapi belum habis pertanyaannya, rakit seperti terhempas keras membuat dia terlonjak kaget. Bukan main terkejutnya dia karena rakit telah berada di atas daratan.
"Nah! kau telah selamat. Pergilah ke mana kau akan menuju. Akan tetapi aku perlu keteranganmu mengenai pulau itu, dan siapa gerangan pengejarpengejar dan pembokongmu yang berkepala botak itu?" berkata Roro seraya melompat ke atas pasir.
"Terimakasih atas pertolongan anda, nona..." lakilaki itu menjura. “Namaku Bergola. Hampir setahun aku disekap di pulau neraka itu. Pulau itu dinamakan Pulau Berhala oleh sang Pemimpin atau Ketua yang menamakan dirinya Paderi Mata Seribu. Orang-orang berkepala botak yang mengejar ku adalah anak-anak buah si paderi gila itu..." sahut Bergola.
"Paderi Mata Seribu? gumam Roro terkejut. "Apa yang telah dilakukannya di pulau itu?" tanya Roro dengan menatap tajam wajah Bergola.
Laki-laki ini menghela napas sejenak. Pandangan matanya dialihkan ke tengah lautan. Akan tetapi belum lagi Bergola memberikan keterangan, tiba-tiba cuaca berubah gelap. Angin keras bersiutan. Roro tersentak kaget. Terlebih lagi adalah laki-laki bernama Bergola itu. Seketika wajahnya berubah pucat pias. Itulah pertanda pelariannya telah diketahui oleh si Paderi Mata Seribu. Saat itu di udara tiba-tiba terlihat dua titik cahaya merah meluncur pesat dari arah laut.
"Benda apakah itu?" desis Roro. Sementara dia telah waspada untuk menghadapi apa yang bakal terjadi. Roro segera gunakan kekuatan mata batin untuk melihat sinar merah itu. "Ah, sepasang mata yang merah menyala?" Sentak Roro terkejut. "Apakah ini ilmu yang digunakan si Paderi Mata Seribu??" pikir Roro.
Belum lagi Roro melakukan tindakan, mendadak terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan gendang telinga. Suara itu berkumandang keras menembus anak telinga. Getaran suara itu mempengaruhi syarap Roro. Namun cepat Roro gunakan kekuatan batinnya untuk segera menutup pendengarannya. Sementara sepasang lengannya siap melakukan hantaman pada cahaya merah Itu. Detik itu pula tiba-tiba Roro tersadar bahwa di samping dia ada seorang lagi, yaitu laki-laki bernama Bergola.
"Cepat tutup telingamu!" Teriak Roro. Akan tetapi terlambat. Bergola telah perdengarkan suara jeritan menyayat hati. Tubuhnya terjungkal ke tanah. Berkelojotan tubuh laki-laki itu seperti terkena stroom. Tak lama Bergola sudah tak berkutik lagi. Diam untuk selama-lamanya.
"Keparat!" memaki Roro. Sepasang lengannya bergerak menghantam cahaya merah itu.
Blarrr...!
Dua larik sinar perak dan pelangi meluncur menghantam cahaya itu. Sesaat setelah terjadi ledakan, cuaca mendadak berubah terang kembali. Suara tertawa itu lenyap. Roro Centil kerutkan alis seraya putar tubuh untuk mengawasi sekitarnya. Tapi tak ada tanda-tanda adanya sepasang cahaya merah itu.
Tersentak Roro seketika itu juga untuk segera memburu ke arah Bergola. Akan tetapi dia cuma menjumpai tubuh yang sudah tak bernyawa lagi. Laki-laki buronan itu telah tewas dengan keadaan mengerikan. Dari sekujur liang di tubuhnya mengalirkan darah kental berwarna hitam.
"Setan Alas!" memaki Roro. "Heeeiii! Paderi Iblis Mata Seribu! keluarlah kau! Unjukkan dirimu, pengecut!" berteriak-teriak Roro menantang. Dia yakin kalau yang telah mengeluarkan ilmu tertawa mengandung maut itu adalah si Paderi Mata Seribu!
DUA
Tak ada sahutan. Juga tak ada tanda-tanda lain. Semua kembali tenang. Ombak mengalun pelahan memecah di pantai. Mata Roro membersitkan cahaya kemarahan. Tiba-tiba dia telah perdengarkan suara lengkingan panjang. Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke arah laut lepas. Diiringi suara teriakan yang berkumandang.
"Paderi Mata Seribu! Tunggulah kedatangan ku!" Selanjutnya yang terlihat adalah pemandangan yang menakjubkan. Tubuh gadis pendekar perkasa Itu berkelebatan dan berlari-lari di atas air.
Ke manakah tujuan Roro Centil? Ya! Ke mana lagi kalau bukan ke Pulau Berhala! Sementara kita menengok dulu keadaan di Pulau Berhala. Pulau Berhala adalah gugusan dari Pulau Karimata. Terletak di antara dua buah pulau besar di sebelah Utara laut Jawa.
Di tengah pulau itu telah dibangun sebuah istana dikelilingi pagar tembok. Istana yang tampak megah akan sudah terlihat dari kejauhan. Megah, juga penuh keangkeran. Karena seluruh tembok istana bercat hitam. Tampaknya nama Pulau Berhala bukanlah nama yang tak mempunyai arti. Karena di sekeliling pulau terlihat ratusan area dari batu. Arca-arca alias berhala itu berbentuk paderi berkepala botak. Arca-arca itu belumlah selesai seluruhnya, karena tampak di sana-sini puluhan orang tengah bekerja keras memahat batu untuk pembuatan berhala tersebut.
Siapakah adanya laki-laki yang melarikan diri bernama Bergola Itu? Dialah salah seorang pekerja pemahat batu dan pembuat area yang menjalani kerja paksa di bawah kekuasaan si Paderi Mata Seribu!
Saat itu tiba-tiba di antara kelengangan yang sesekali terdengar suara-suara dentingan pahat pemecah batu, tiba-tiba terdengar suara seperti gong dipalu. Itulah tanda isyarat adanya bahaya. Belasan paderi berjubah merah bermunculan. Sementara pekerja segera hentikan pekerjaannya. Mereka berkumpul. Lalu digiring untuk masuk ke barak-barak yang berada di sebelah kiri Istana.
Paderi-Paderi berjubah merah itu kemudian menebar ke sekitar pulau. Tak lama puluhan paderi berjubah kuning kembali bermunculan. Juga menebar ke sekitar tembok Istana. Dan terakhir adalah puluhan paderi berjubah hitam yang berkelebatan menebar.
Sukar untuk bisa diikuti gerakan tiga gelombang paderi yang berjubah dengan warna berlainan itu. Karena sekejapan saja mereka telah lenyap di antara berhala-berhala yang bertebaran di sekeliling istana. Kita beralih pada Roro Centil yang sedang menuju ke arah Pulau Berhala. Pendekar Wanita yang kini mulai dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu telah berniat menyatroni Pulau Berhala.
Roro memang telah mendengar tentang adanya lenyapnya orang-orang desa di wilayah Utara yang hilang secara misterius. Kedatangannya ke wilayah Utara Itu adalah untuk menyelidiki berkenaan dengan peristiwa itu. Roro berpendapat keanehan itu tak bisa tidak adalah karena adanya penculikan.
Motif apakah kiranya dengan penculikan-penculikan yang membuat keresahan penduduk wilayah pantai Utara Pulau Jawa itu dia belum bisa mengetahui. Untuk itulah Roro bertekad menyelidiki. Ketika dia tengah berkeliaran di sekitar pantai Utara dengan mempergunakan ilmunya yaitu berjalan dan berkelebatan di atas air, Roro melihat sebuah rakit terapung-apung berpenumpang seorang laki-laki berpakaian compangcamping.
Orang itu adalah Bergola, yang kemudian ditolongnya. Sayang Bergola tewas ketika munculnya dua cahaya merah yang disusui dengan cuaca yang berubah gelap dengan mendadak. Kemudian terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan anak telinga, yang kemudian akibat dari suara tertawa aneh itu mengakibatkan tewasnya Bergola.
Demikianlah! Melalui sedikit keterangan dari Bergola, Roro mengambil keputusan untuk melabrak si Paderi Mata Seribu yang menjadi pemimpin para paderi di Pulau Berhala. Keyakinannya begitu pasti kalau otak dari penculikan orang-orang desa itu adalah si Paderi Mata Seribu! Dua titik cahaya merah tiba-tiba melesat ke luar dari dalam pintu istana Hitam diiringi oleh suara tertawa berkakakan yang menyeramkan.
"Hoahaha... hahah... hahaha… bersiap-siaplah kalian untuk menyambut kedatangan tetamu "istimewa". Dialah si Macan Tutul Betina Pantai Selatan! Roro Centil! Bila kita berhasil menawannya, maka kita akan segera mengadakan pesta besar. Pesta kemenangan! Karena dialah orang yang bakal membuat kehancuran partai kita!"
Suara tertawa itu disusui oleh kata-kata yang berkumandang ke seantero pulau. Dan begitu selesai kata-kata itu, tiba-tiba cahaya merah itupun lenyap. Suasanapun kembali hening. Pulau itu seperti lengang tiada berpenghuni seorang pun.
Dalam keadaan hening yang mencekam itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dari arah lautan. Suara tertawa seorang wanita yang semakin mendekat ke arah Pulau Berhala. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara angin bersiutan. Ombak menyemburat seperti diterjang angin puting beliung.
Terdengar suara teriakan terkejut bernada suara wanita. Namun selang sesaat lenyap. namun apa yang terlihat kemudian? Sesosok tubuh terlempar ke udara. Siapa lagi kalau bukan tubuh Roro Centil. Apakah gerangan yang terjadi dengan sang Pendekar Pantai Selatan itu?
Kiranya ketika Roro hampir mendekati Pulau Berhala, tiba-tiba dari arah depan bersiut angin keras menerpa tubuhnya. Gelombang besar pun menghantam tubuhnya. Gadis Ini terpekik kaget. Tak ampun tubuhnya terlempar ke udara terbawa hempasan gelombang yang dahsyat. Dalam keadaan yang serba aneh dan mendadak itu, Roro sesaat seperti kehilangan kekuatannya. Karena untuk pertama kalinya inilah dia menghadapi hal semacam ini.
Namun sebagai seorang Pendekar yang sudah banyak makan asam-garam dalam menghadapi berbagai bencana, Roro masih sempat mengkonsentrasikan daya pikirnya untuk segera imbangi lemparan tubuhnya dengan melayang di udara mengikuti daya kekuatan hempasan gelombang tersebut. Tak hanya itu, Roro segera menghimpun tenaga dalam di sekujur tubuh.
Akan tetapi pada saat itu lapat-lapat telinganya mendengar suara bentakan. "Bocah tolol! Belum saatnya kau menyatroni Pulau Berhala!"
Di lain kejap, Roro rasakan hempasan keras kembali menerpa tubuhnya. Kail ini Roro benar-benar lenyap seluruh daya kekuatan panca inderanya. Pandangannya mendadak menjadi gelap. Dan dia cuma merasakan tubuhnya seperti melayang dengan amat pesat. Namun selanjutnya dia sudah tidak tahu apa-apa lagi.
* * * * * * *
TIGA
Sebuah perahu sampan didayung seorang pemuda berwajah tampan meluncur membelah selat. Gemericik bunyi air yang tersibak. Dia seorang laki-laki yang berusia kira-kira 25 tahun lebih. Berkulit putih. Berpakaian warna abu-abu. Menyandang pedang di punggungnya. Siapakah laik-laki muda yang tampan ini? Dialah Sambu Ruci. Seorang tokoh muda dari golongan putih yang digelari si Pendekar Selat Karimata. Akan tetapi juga mendapat julukan si Bujang Nan Elok.
Sepasang mata pemuda ini memandang ke sekitar selat. Tampaknya arah yang ditujunya telah semakin dekat, karena tak lepas-lepas dia memandang ke arah sebuah bukit yang tegak menjulang di sebelah Barat. Bukit itu seperti membangkitkan kenangannya pada beberapa tahun yang silam. Di atas bukit Itulah dia dipelihara oleh seorang tua perempuan yang berilmu tinggi.
Orang tua kosen itu bernama Mamak Metangat. Sejak dia berusia sebelas tahun hingga sampai dua puluh tahun, menggemblengnya dengan bermacam ilmu kedigjayaan. Hingga kemudian dia turun gunung dengan bekal itu dan menjadi seorang pendekar bergelar si Pendekar Selat Karimata. Semakin dekat ke arah bukit di sisi selat, semakin resahlah tampaknya pemuda itu. Sementara bibirnya mulai perdengarkan suara menggumam.
"Ah, Mak Metangat. Masih hidupkah beliau setelah sekian tahun aku tak pernah menjenguknya?"
Dikayuhnya perahu kecil itu untuk mempercepat perjalanan yang ditujunya. Kini bukit itu makin dekat. Makin jelas. Tak lama berselang setelah kira-kira lewat sepenanak nasi, pemuda tampan itu mengayuh perahunya ke tepi. Ujung perahu segera menyentuh tanah. Pemuda ini merapatkan badan perahu, lalu berdiri, dan melompat ke darat. Tak lama kemudian pemuda itu telah bergegas untuk segera mendaki bukit. Sementara perasaannya merasa tak enak. Hatinya was-was.
"Apakah gerangan yang terjadi?" gumamnya. Gerakan-gerakan pemuda itu gesit sekali hingga dalam waktu yang tak berapa lama dia telah tiba di ujung tangga undakan batu. Pada puncak bukit itu segera terlihat sebuah pondok kayu beratap rumbia.
Akan tetapi mata Sambu Ruci terpana melihat keadaan pondok yang sudah roboh. Ketika melihat keadaan sekeliling tempat Itu tampak porak poranda seperti baru dilanda angin ribut. Jantung Sambu Ruci berdetak keras. Tak menunggu lama dia telah melompat mendekati pondok. Bibirnya menggetar meneriakkan nama gurunya.
"Mak Guru Metangat..! Di manakah kau..?"
Beberapa kali dia memanggil. Namun tak ada sahutan. Cuma suaranya saja yang berpantulan lagi terdengar di telinganya. Tersentak kaget pemuda ini melihat sesosok tubuh tertelungkup di batang pohon yang roboh. Membelalaklah mata Sambu Ruci mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu.
"Guru..!?" teriaknya seraya memburu. Akan tetapi dia cuma bisa tertegun menatap dengan mata mendelong ketika melihat sosok tubuh itu sudah menjadi kerangka yang membusuk. Kakinya tersurut mundur.
"Guru...." Desisnya terperangah. Jelas sekali mayat itu adalah mayat nenek tua kosen yang menjadi gurunya. Akan tetapi dia cuma bisa menjumpai dalam keadaan telah menjadi bangkai!
Yakinlah dia bahwa di tempat itu telah terjadi pertarungan hebat, yang mengakibatkan tewasnya Mak Metangat. Akan tetapi siapakah orang yang telah menewaskan gurunya Itu? Ada perselisihan apakah hingga terjadi pertarungan di atas bukit tempat kediaman Mak Metangat?
Sambu Ruci termangu-mangu menatap jenazah sang guru. Tak terasa air matanya menggenang di pelupuk mata. Bau menyengat hidung membuat Sambu Ruci tersadar dari terpakunya. Segera dia mendekati jenazah itu untuk mengangkatnya.
Akan tetapi lagi-lagi mata Sambu Ruci membelalak. Dilihatnya pada batang kayu terdapat guratan dalam berbentuk tulisan. Cepat Sambu Ruci membacanya. Tulisan yang agaknya ditulis oleh nenek tua kosen ini di saat akhir hidupnya bertuliskan: Paderi Mata Seribu.
"Paderi Mata Seribu?" sentak Sambu Ruci terkejut. "Apakah si pembunuh guru adalah si Paderi Mata Seribu?" desis Sambu Ruci terperangah.
Lama dia terpaku memandangi tulisan yang tak karuan bentuknya, tapi masih dapat terbaca. Jelas Itu sebuah tulisan yang mempunyai maksud. Dan Sambu Ruci yakin kalau si pembunuh yang menewaskan gurunya adalah si Paderi Mata Seribu. Dia berpendapat sebelum nyawa sang guru direnggut maut, masih sempat menuliskannya pada batang pohon dengan guratan kuku. Masih tampak adanya tanda-tanda bekas darah.
Sepasang lengan pemuda ini mengepal keras. Dadanya bergerak naik-turun, pertanda dia sangat gusar. Giginya gemeretuk beradu. Dari mulut pemuda ini terdengar suara menggeram. "Hhh... Paderi Mata Seribu! Tunggulah pembalasan dendam patiku! Aku yakin kaulah yang telah membunuh guru!"
Dua tetes air mata bening pun mengalir turun membasahi pipi si Bujang Nan Elok. Wajah pemuda ini menunduk menahan gejolak kemarahan, kesedihan bercampur penyesalan. Dia seperti mengutuk pada dirinya sendiri karena tak mengetahui terjadinya pertarungan itu.
Lama ... lama ... dia terunduk dengan menahan perasaan, mengumbar kesedihan. Ketika lapat-lapat telinganya mendengar suara orang di belakangnya. "Sudahlah! Kematian memang sudah menjadi bagian dari setiap manusia yang hidup. Mengapa harus terlalu bersedih? Bukankah semua manusia pada suatu saat pun akan menemui kematian? Bukankah setiap saat manusia diancam maut? Kuburkanlah jenazah gurumu. Tak baik membiarkannya berlamalama.
Masih untung di sekitar wilayah ini tak ada binatang buas. Jenazah itu masih utuh dalam keadaan sebagaimana wajarnya. Sambu Ruci menoleh. Terlihatlah seorang laki-laki tua berpakaian serba putih. Bahkan alis kumis dan jenggotnyapun memutih. Di lengan kakek tua Itu tercekal sebuah tasbih. Wajahnya nampak berwibawa.
"Siapakah kau orang tua?" bertanya Sambu Ruci tertegun, sesaat setelah dia balikkan tubuh menatap orang.
Kakek jubah putih mengelus jenggotnya. Bibirnya sunggingkan senyuman. "Namaku Ki Balung Putih, anak muda. Secara kebetulan aku melewati tempat ini dan melihatmu mendaki bukit. Aku segera mengikutimu, karena mungkin kau bisa membantuku" menyahut si kakek.
Sambu Ruci kerutkan keningnya. Diam-diam hatinya membatin. "Hm, kakek ini tanpa setahuku telah berada di belakangku. Gerakannya tak menimbulkan suara. Tentunya seorang tua yang berkepandaian tinggi. Pertolongan apakah yang diinginkannya? Sejurus antaranya Sambu Ruci termangu, Lalu ujarnya.
"Namaku Sambu Ruci" berkata pemuda ini memperkenalkan diri. "Apakah anda tersesat jalan?" sambungnya menduga.
Laki-laki itu gelengkan kepala. 'Tidak! bukan hal Itu yang kuinginkan kau membantuku. Tapi hal lain!" ujar si kakek. "Sudahlah, nanti akan kuceritakan. Mari kubantu dulu kau mengubur jenazah gurumu!" sergah si kakek.
Sambu Ruci mengangguk. "Terima kasih atas bantuanmu, kakek!" berkata Sambu Ruci. Cepat dia pondong mayat Mamak Metangat untuk dibaringkan di tanah.
Sementara si kakek jubah putih Itu gulung lengan jubahnya, dan rentangkan tangan. Bles...! Sepasang lengan itu membenam sebatas siku di tanah. Cepat sekali bekerjanya si kakek jubah putih itu. Dalam beberapa saat saja dia telah menggali lubang yang cukup dalam.
Sambu Ruci terpaku melihat kehebatan sepasang lengan si kakek yang seolah sepasang besi lempengan saja yang digunakan untuk menggali tanah. Dalam waktu singkat lubang yang cukup dalam telah selesai dibuat.
"Hayo, cepat kau pendam jenazah gurumu, sobat muda Sambu Ruci!"
Suara perintah si kakek membuat Sambu Ruci tersadar dari keterpakuannya menatap kerja si kakek yang membuat dia kagum. "Oh, ya... baik, kek! Ah, terima kasih! aku telah menyusahkan anda Ki Balung Putih!" sahut Sambu Ruci.
Tak ayal dia segera pondong tubuh jenazah untuk diterima oleh sepasang lengan Ki Balung Putih yang merentang. Kakek ini masih berada di dalam lubang yang baru selesai dibuatnya. Tak lama jenazah Mamak Metangat telah dibaringkan. Ki Balung Putih segera melompat ke luar lubang.
EMPAT
Selanjutnya si kakek segera menimbun lubang kuburan Itu dengan tanah. Sambu Ruci membantu dengan cekatan. Hingga tak berapa lama lubang pun sudah selesai ditimbun. Sambu Ruci menancapkan sebongkah batu runcing di atas gundukan tanah itu. Lalu bersihkan tangannya disertai helaan napas lega. Akan tetapi terkejut Sambu Ruci melihat si kakek jubah putih itu tak ada lagi di tempat itu.
"Hai? ke mana orang tua itu?" sentaknya terkejut. "Gila! gerakannya sungguh luar biasa! Datang dan perginya bagaikan siluman saja!" berkata Sambu Ruci dalam hati. Selagi dia termangu itu terdengar suara di kejauhan, di lereng bukit.
"Hoooiii! anak muda Sambu Ruci! Segera turunlah! aku baru saja selesai mencuci tangan!"
"Haiiih! kakek yang aneh dan hebat!" sentak Sambu Ruci.
Tak ayal dia telah melompat dari tempat itu, setelah menjura di hadapan kuburan jenazah gurunya. Saat berikutnya Sambu Ruci sudah bergegas turun dari atas bukit dengan melompat-lompat. Dilihatnya si kakek bernama Ki Balung Putih tengah duduk ongkang-ongkang kaki di atas batu ketinggian di sisi sungai. Wajah dan tangannya basah. Rupanya dia memang baru saja selesai mencuci muka dan membersihkan tangannya yang kotor.
"Aku telah membantumu menggali kubur mengebumikan jenazah gurumu. Kini giliran kau yang membantu aku!" berkata si kakek.
"Ah katakan saja apa yang perlu kubantu. Aku selalu bersedia dan siapkan tenaga untuk menolongmu kakek!" sahut Sambu Ruci, seraya mendekati sisi sungai. Lalu membasuh tangannya yang kotor sekaligus mencuci muka yang penuh berkeringat dan debu.
"Haha... hehe... bagus! Marilah kau ikut aku!" berkata si kakek sambil tertawa terkekeh. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Sambu Ruci. Lengannya bergerak menyambar lengan pemuda itu. Dan belum lagi Sambu Ruci tersadar, dia sudah rasa tubuhnya melayang ke tengah air.
"Aaaah..!?" tersentak kaget Sambu Ruci. Hatinya membatin. "Gila! apa-apaan ini? Apakah kakek ini orang yang tidak waras?" pemuda ini gelagapan karena sekejap lagi tubuhnya akan tercebur di air.
Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh permukaan air, tiba-tiba tubuhnya kembali terangkat, dan melambung lagi. Ternyata si kakek jubah putih itu cuma menotol permukaan air dengan ujung kaki, dan selanjutnya telah melompat lagi. Tentu saja Sambu Ruci yang lengannya dicekal kuat oleh si kakek kembali terbawa melayang.
Hal tersebut terjadi berulang kali. Sambu Ruci terkejutnya sampai-sampai mulutnya ternganga dan tak bisa bicara apa-apa. Sementara itu kecepatan gerakan si kakek yang melompat-lompat di atas air begitu cepatnya, hingga dia cuma rasakan angin keras menerpa tubuh dan wajahnya. Dalam beberapa saat saja tahu-tahu kakinya telah menjejak daratan.
Kakek itu segera lepaskan cekalannya. Sambu Ruci agak terhuyung. Hampir saja ia jatuh. Kepalanya terasa pusing. Namun segera dia pejamkan mata untuk segera menenangkan hati yang benar-benar kaget bercampur takjub. Baru pertama kalinya dia dibawa melompat-lompat di atas air.
"Kakek..! ah, kau... kau hebat sekali!" tak terasa dia memuji dengan menatap kagum pada si kakek.
"Hahaha... Itu cuma ilmu meringankan tubuh yang mudah untuk dilatih. Kau sendiri pun akan mampu kelak kalau kau mau mempelajari!" berkata si kakek.
"Oh, ajarkanlah aku ilmu itu, kek..!" teriak Sambu Ruci. Dan tanpa terduga oleh si kakek Ki Balung Putih, tahu-tahu Sambu Ruci telah jatuhkan dirinya berlutut di hadapannya seraya mengucap. "Guru...! Hari ini aku bersumpah akan menjadi muridmu, dan mengangkatmu sebagai guru!"
"Weeelii! lho! Iho? Baru bertemu sudah mau mengangkat ku sebagai guru! Aiiii! bocah muda! Kau bangunlah!" teriak kaget Ki Balung Putih, Namun dia cuma bisa garuk-garuk kepala melihat anak muda itu tetap berlutut tak mau berdiri.
"Aku tak akan bangun kalau kau orang tua belum menyatakan bersedia mengangkat ku sebagai muridmu!" ujar Sambu Ruci. Sementara diam-diam dalam berlutut itu Sambu Ruci tersenyum, walaupun sebenarnya hatinya kebat-kebit. Dia memang telah dengan nekat melakukan hal seperti ini. Karena dia tahu kalau saat ini adalah saat yang amat tepat.
Musuh besarnya si Paderi Mata Seribu dapat diduga adalah seorang tokoh yang ilmunya luar biasa tingginya. Terbukti telah menewaskan gurunya. Kalau dia tak mengangkat guru pada kakek aneh ini, bagaimana mungkin dia bisa membalas dendam? Sedangkan ilmunya yang masih rendah ini bila digunakan untuk membalas dendam samalah dengan tiada artinya.
"Wah, wah! Kau memang bocah yang keterlaluan! Baik! Baiklah! kau kuterima menjadi murid-ku! Hayo kau bangunlah, anak muda!" Akhirnya setelah berkali-kali menggaruk kepala si kakek jubah putih segera mengabulkan permintaan Sambu Ruci.
Tentu saja bukan kepalang girangnya hati pemuda ini. Seraya melompat dengan berjingkrak girang dia telah memeluk Ki Balung Putih. "Oh, terimakasih, guru! Terimakasih, guru ..!"
Barulah Sambu Ruci kemudian melepaskan pelukannya, dengan tersipu dia menatap pada kakek itu. "Maafkan aku, guru..! Tentunya kau amat maklum dengan keadaanku saat ini..!" berkata Sambu Ruci.
Ki Balung Putih manggut-manggut. "Ya, ya! Aku mengerti. Untuk mencari si Paderi Mata Seribu guna menuntut balas kematian gurumu itu memang kau harus memerlukan bekal ilmu-ilmu kedigjayaan!" potong Ki Balung Putih. Dia memang telah melihat goresan di batang pohon yang dibaca pemuda itu yang ditulis oleh Mamak Metangat sebelum mati. Hingga dia dapat menerka apa yang tersirat di hati pemuda itu.
"Ah, sukurlah, kau telah mengetahuinya, guru!" berseri girang wajah Sambu Ruci.
"Sudahlah! ayo, kau ikutilah aku!" berkata kakek itu seraya berkelebat melompati masuk hutan.
"Baik, guru... ke lubang semut pun aku akan mengikutimu!" teriak Sambu Ruci seraya melompat mengejar. Tak lama kedua sosok tubuh itu pun lenyap ditelan rimbunnya hutan.
* * * * * * *
Gadis ini duduk di atas batu tak bergeming menatap ke hadapannya dengan mata mendelong. Di belakangnya sebuah pondok bambu beratap rumbia. Satu-satu pondok yang terpencil di tengah hutan itu. Keadaan di tempat itu sunyi mencekam. Sesekali terdengar suara burung-burung hutan menyanyikan lagi.
Tapi dia seperti tak peduli dengan semua itu, Yang membuat aneh adalah dari pelupuk mata si gadis mengalir air bening dan sepasang mata yang bulat itu berkaca-kaca. Ketika itulah terdengar suara memanggil namanya.
"Cinderani…!"
Gadis ini menoleh dan agak terkejut. Karena segera melihat siapa yang telah berada di belakangnya. Cepat-cepat dia bangkit untuk segera berlutut, seraya mengucap dengan suara gemetar.
"Kakek... Segeralah berikan keputusan hukuman ku! Kalau kau perintahkan aku untuk membunuh diri sekalipun akan kulaksanakan saat ini juga!" Ki Balung Putih menatap tajam pada muridnya. Lalu mendengus dan berkata ketus penuh wibawa.
"Cinderani! Kesalahan yang kau perbuat tak dapat ditebus dengan membunuh diri! Apakah kau kira perbuatan bunuh diri itu dapat memupus dosamu? Heh! Bahkan justru akan memperberat dosamu. Dan kau akan mati dengan keadaan terkutuk!"
Cinderani tak menjawab, kecuali terisak-isak. Sejuta kesedihan dan penyesalan seperti menyesakkan dadanya. Namun sebisa-bisa dia menggigit bibir untuk menahannya.
"Bahkan dosamu akan bertambah berlipat ganda karena telah membunuh pula benih yang telah berada dalam rahim mu! Tidak! Aku takkan menyuruhmu membunuh diri. Akan tetapi telah ku bawakan seorang pemuda yang akan mengawinimu agar tak membuat malu!" lanjutkan berkata si kakek.
Tentu saja kata-kata itu membuat si gadis menengadah menatap wajah sang kakek. Lalu sepasang mata itu dialihkan ke sekeliling tempat itu, mencari-cari pemuda yang dikatakan sang guru. Ki Balung Putih tersenyum. Tiba-tiba lengannya bergerak untuk masukkan dua jari ke dalam mulutnya. Dan terdengarlah suara suitan nyaring.
LIMA
Sambu Ruci yang sedang menatap dari tempat persembunyiannya pada kedua orang itu dengan tak mengerti, mendengar suara suitan si kakek segera melompat ke luar. Sementara hatinya jadi berdebaran. Dia telah mendengar sendiri secara lapat-lapat pembicaraan Ki Balung Putih dan gadis itu. Hatinya membatin.
"Wah, celaka! Apakah yang akan dimintai pertolongan si kakek adalah untuk hal ini? Celaka dua belas! Aku telah terlanjur bersedia menolongnya, bahkan aku telah mengangkat guru padanya. Kalau aku disuruh menikah dengan gadis itu bagaimana aku harus menolak?" Walau demikian Sambu Ruci tak dapat tidak memuji akan kecantikan si gadis bernama Cinderani itu.
"Muridku! perkenalkanlah! Ini cucuku yang juga muridku bernama Cinderani..." berkata Ki Balung Putih pada Sambu Ruci.
Gadis itu tersipu dengan mata berkejap-kejap, lalu menunduk. Tak sepatahpun kata ke luar dari mulutnya. Sementara hatinya serasa tak menentu. Apakah dia bergirang hati ataukah bersedih. Pemuda itu memang tampan dan gagah. Akan tetapi apakah mungkin pemuda itu mau menikahinya, sedang dia dalam keadaan hamil? Kalau dibandingkan dengan Somara mungkin Somara kalah jauh perihal ketampanannya. Akan tetapi dia telah terlanjur mencintainya berpikir Cinderani.
"Mulai saat ini kau tak perlu mengingat-ingat Somara! Bocah edan itu mana mungkin berani tunjukkan diri di hadapanku? Bahkan aku telah tak mengakuinya sebagai muridku lagi!" ujar Ki Balung Putih dengan suara ketus, seperti telah mengetahui apa yang tersirat di hati Cinderani.
"Guru ..!? Apakah pertolonganmu itu untuk…” Sela Sambu Ruci dengan wajah memerah.
Akan tetapi telah dipotong oleh Ki Balung Putih. "Sambu Ruci! kau telah menjadi muridku. Dan kau telah mengatakan bahwa kau bersedia menolongku. Setelah kau menikahi gadis muridku Ini, kau harus cari si Somara itu untuk membunuhnya. Dan kau tak dapat menolak keputusanku. Ingat! kau adalah muridku yang harus menuruti apa yang diinginkan gurunya!"
"Ba... baik..! Guru! akan tetapi kalau cuma untuk menutupi malumu, kukira tidaklah akan membuat pernikahan bahagia. Menurutku cinta tak dapat dipaksakan!" dengan tergagap Sambu terpaksa menyahuti.
"Hm, kata-katamu mungkin benar! Akan tetapi betapa aku amat membenci pada si Somara itu. Enam tahun aku mendidiknya agar menjadi seorang murid yang berjiwa pendekar. Setelah turun gunung ternyata membuat namaku jadi tercemar. Dia telah melakukan perbuatan kotor di mana-mana. Dan yang sungguh membuatku menyesal mengangkat murid pada si jahanam itu adalah, justru dia telah pula melakukan perbuatan kotor pula pada adik seperguruannya sendiri! Sungguh amat memalukan! Kalau saja tidak memandang benih yang telah tumbuh di rahim muridku ini, tentu siang-siang aku telah membunuhnya!" berkata Ki Balung Putih dengan menunjuk pada Cinderani.
Sepasang matanya berbinar-binar karena kemarahannya. "Hm, katakan Cinderani! Apakah kamu masih tetap mencintai si Somara murid durhaka itu?" Tiba-tiba Ki Balung Putih membentak muridnya.
Tergetar tubuh si gadis. Akan tetapi dia tak menjawab apa-apa, kecuali kembali terisak-isak. Sambu Ruci jadi terpaku dengan tenggorokan serasa tersumbat. Mau tak mau hatinya menjadi trenyuh dan kasihan pada si gadis.
"Kalau kau tak mau menjawab, biarlah aku saja yang membunuh diri!" teriak Ki Balung Putih. Tiba-tiba dia gerakkan lengannya menghantam kepalanya sendiri.
"Guruuuu!" teriak Cinderani tersentak kaget.
Sambu Ruci jadi terperangah kaget. Sungguh dia tak menduga Kalau si kakek itu akan mengemplangkan lengannya sendiri ke batok kepalanya. Untuk menggagalkan niat itu sangatlah sukar karena kata-kata dan gerakan lengan si kakek begitu cepat. Akan tetapi ternyata gerakan lengan si kakek tertahan cuma seinci di kulit batok kepala. Telapak tangan si kakek miring ke sisi kepala. Dan....
Bhaarrrr! Krrrraaaak!'
Batang pohon di belakang si kakek hancur. Dan dengan suara bergrotakan batang pohon itu rebah ke tanah. Tampak telapak tangan Ki Balung Putih kepulkan asap putih tipis yang timbulkan hawa panas.
Membelalak mata Sambu Ruci. Kakek itu ternyata bukan berkata main-main. Kalau pukulan itu tak dibelokkan ke sisi tentu batok kepala si kakek sudah hancur.
"Guru...! Baiklah, guru! Aku berjanji takkan mengingat Somara lagi. Maafkan aku, guru..." teriak histeris Cinderani seraya memburu dan memeluk kaki orang tua itu dengan terisak-isak.
Ki Balung Putih berdiri kaku tak bergeming. "Bersediakah kau menikah dengan anak muda ini?" berkata Ki Balung Putih datar.
"Aku... aku bersedia, guru. Aku takkan menolak apa yang telah menjadi kemauanmu..!" sahut si gadis tegas, seraya melepaskan pelukan dan mengusap air matanya. Kemudian bangkit berdiri. Ditatapnya wajah sang kakek yang telah merawatnya sejak dia berusia sepuluh tahun.
"Guru, kini aku harus tanyakan pada pemuda itu, apakah dia bersedia menikahi ku?" berkata Cinderani.
Akan tetapi Ki Balung Putih justru tertawa berkakakan hingga terkekeh-kekeh. "Hehehe... heheh... Pemuda ini takkan menolak. Kau tak perlu khawatir!" ujarnya.
"Nah! kau telah dengar semuanya, Sambu Ruci. Apakah yang akan kau katakan?" bertanya Ki Balung Putih dengan menatap tajam pada Sambu Ruci.
Sambu Ruci menatap pada Ki Balung Putih dan Cinderani berganti-ganti. Lalu menghela napas. "Yah, apa yang bisa kutolong, tentu akan kulakukan. Asalkan semua itu demi kebaikan kalian!" berkata Sambu Ruci.
"Haha... heheh... bagus! bagus! Sudah kuduga, kau tentu takkan menolak. Nah, kalian berkenalanlah lebih dekat. Dua hari lagi kau segera menikah!" Selesai berkata dengan girang, si kakek berkelebat melompat masuk ke dalam pondok. Akan tetapi kembali merandek. "Sambu Ruci! Muridku yang baik! Aku akan wariskan ilmu silatku yang belum pernah kuturunkan pada semua muridku padamu. Akan tetapi nanti, setelah kalian resmi menikah!" Selesai mengucap kakek Ini lenyap di balik pintu pondok yang kemudian menutup rapat.
Sambu Ruci tersenyum menggumam. "Aiiih, kakek yang aneh!" Kedua pasang mata itu pun saling beradu dan tampak mereka sama-sama tersenyum. Namun kemudian Cinderani tertunduk dan tersipu.
* * * * * * *
Dua hari kemudian, tampak seorang pemuda gagah tengah berlatih dengan tekun menerima petunjuk Ki Balung Putih mempelajari ilmu-ilmu kedigjayaan. Dialah Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok. Sementara si gadis bernama Cinderani duduk di atas tangga pondok memperhatikan dari kejauhan.
Pernikahan Sambu Ruci dengannya telah resmi. Semuanya berjalan tanpa ada halangan apa-apa. Akan tetapi Cinderani di malam pernikahan itu tak merasa disentuh sedikitpun oleh Sambu Ruci suaminya.
"Pernikahan aneh!" gumamnya. Masih terbayang ketika mereka sama-sama membisu dalam bilik satu kamar. Sementara Cinderani gelisah, namun Sambu Ruci malahan tidur pulas dengan mendengkur.
"Sambu Ruci juga aneh. Apakah dia cuma bermaksud menolongku saja untuk menghapus malu guru?" desisnya pelahan. Sementara matanya menatap pada laki-laki muda itu yang masih tekun berlatih. Sebentar-sebentar terdengar suara teriakannya menggema di sekitar hutan lengang Itu.
Gerakan-gerakan Sambu Ruci dalam mempelajari setiap jurus baru yang diperolehnya tak pernah mengalami kesukaran. Karena di samping Itu dia seorang yang berotak cerdas juga telah memiliki dasar-dasar ilmu silat. Bahkan memang tak dapat dikatakan rendah ilmu yang dimilikinya.
"Bagus! tiga jurus barusan adalah jurus-jurus yang kunamakan Tiga Kera Sakti Berebut Makanan!" berkata Ki Balung Putih. "Masih ada waktu untukmu melatih ilmu-ilmu itu dengan lebih sempurna. Kukira cukup satu bulan kau menerima dan mempelajari kesembilan jurus Ilmu ciptaanku! Bulan depan barulah kau mulai mempelajari ilmu berjalan dan berlari di atas air!"
"Ah, terimakasih atas semua itu, guru!" sahut Sambu Ruci seraya menghapus keringat di dahi.
"Hm, setelah satu bulan lagi, kau harus meninggalkan tempat ini. Tugasmu yang utama adalah mencari di mana adanya si Somara murid durhaka itu untuk kau kirim nyawanya ke Akhirat. Selesai dengan tugasmu kau boleh pergi ke mana kau suka. Atau mungkin kau akan mencari si Paderi Mata Seribu?" bertanya Ki Balung Putih.
"Benar, guru! Tiada lain itulah yang kunantikan!" sahut Sambu Ruci. "Tapi apakah aku harus turun gunung berdua dengan Cinderani?" tanyanya dengan menatap pada Ki Balung Putih.
"Tentu saja, Dia telah menjadi istrimu yang syah! Kau harus menjaganya dan menyayanginya dengan sepenuh hati!" bentak Ki Balung Putih dengan mata mendelik.
"Oh, ya... ya! akan kuingat selalu pesan itu guru..!" berkata Sambu Ruci dengan tergagap.
"Bagus! Nah, kau teruskanlah latihanmu!" ujar Ki Balung Putih dengan tersenyum. Lalu balikkan tubuh dan melangkah ke arah pondok.
Sambu Ruci mengangguk. Sejenak melirik pada Cinderani yang masih duduk di tangga pondok, yang kemudian beranjak masuk ketika kakek itu mendatangi. Namun Sambu Ruci tak memperhatikan lagi. Karena segera dia mulai menghapal jurus-jurus Tiga Kera Sakti Berebut Makanan. Jurus-jurus baru yang dipelajarinya itu memang hebat luar biasa.
Semangat Sambu Ruci untuk cepat memiliki jurus tersebut demikian menggebu. Semua itu demi tujuannya yang satu. Yaitu mencari si Paderi Mata Seribu untuk kelak membalas dendam kematian gurunya Mamak Metangat.
* * * * * * *
ENAM
Kita tinggalkan dulu keadaan ketiga orang di hutan sunyi itu. Kita beralih pada nasib Roro Centil yang dibawa terbang angin puting-beliung dengan cepat. Sampai-sampai Roro tak sadarkan diri, tak Ingat apa-apa lagi pada dirinya.
Entah beberapa saat lamanya Roro tak mengetahui. Ketika lapat-lapat kembali dia mendengar suara untuk kedua kalinya. "Bukalah matamu, bocah Centil!"
Roro seperti tersentak kaget dan sekejap membuka matanya. Suara itu adalah suara yang amat dikenalnya. Yaitu suara gurunya, si Manusia Aneh Pantai Selatan atau si Manusia Band. Ketika memandang ke sekeliling dia seperti bermimpi karena melihat dirinya berada di sebuah tempat yang amat asing baginya.
"Ah!? Di manakah aku? Tempat apakah ini?" bergumam Roro dengan menatap takjub pada sekelilingnya.
Sekitar tempat itu terhampar pasir putih berkilauan laksana perak. Tumbuh-tumbuhan di tempat itu seperti dalam khayalan saja. Aneh! baru pertama kail dia melihatnya. Terdiri dari pohonpohon tanpa daun. Akan tetapi penuh dengan cabang yang berjuluran seperti ular. Cendawan warna-warni berserakan di tanah berpasir putih itu. Sementara dia termangu, kembali terdengar suara itu lagi.
"Bocah Centil!" Kau tak usah terkejut. Kau berada di negeri Siluman. Inilah tempat kakek gurumu Begawan Bhama Kosala!"
Tersentak Roro Centil. Dan serta merta dia berteriak girang. "Guru...! Di manakah kau? Mengapa kau tak menampakkan dirimu?" Mata Roro jelalatan memandang ke arah datangnya suara.
"Hihihi... aku telah berada di alam halus. Pertemuan Ini adalah pertemuan yang terakhir. Karena sudah masanya aku meninggalkan dunia fana!" menyahut suara gaib itu.
Roro tertegun. Mendadak sepasang mata gadis ini berkaca-kaca. "Guru ..! benarkah kau sudah mati?" tanya Roro tersendat.
"ACentiBocah Centil! Bukankah si Joko Sangit telah menceritakan padamu tentang apa yang terjadi? Bahkan tombak pusaka Ratu Syima milik si Dewa Tengkorak kekasihku itupun telah dipulangkan ke istana Kerajaan Mataram, sudah tak berada di Pantai Selatan lagi!" sahut suara gaib itu.
"Akan tetapi guru sering muncul dan sering membisikkan ke telingaku untuk memberi petunjuk. Bahkan menolongku hingga kail terakhir ini!" tukas Roro penasaran.
Suara gaib itu terdengar tertawa. "Hihihi... memang. Tapi kali ini adalah kali yang terakhir sekali. Karena setelah ini habislah masa hidupku di alam halus. Di tempat ini kau akan dibimbing oleh guruku. Beliau termasuk kakek gurumu. Segeralah kau temui dia untuk kau menerima petunjuk dari beliau!" berkata suara gaib itu.
"Aku akan menurut apa petunjukmu, guru! Akan tetapi berilah aku kesempatan melihat wajahmu. Untuk yang terakhir, guru..." berkata Roro dengan terisak.
"Aiiihh! Bocah tolol! Kau masih saja cengeng! Selama ini aku selalu mengikuti sepak terjang mu. Ternyata kau seorang yang berbakti pada gurumu. Kau telah membalaskan dendam membunuh musuh-musuh gurumu, yaitu istri-istri si Dewa Tengkorak. Baiklah! Untuk yang terakhir kali ini akan kabulkan permintaan mu. Cuma satu hal yang harus kau penuhi dari permintaanku." ujar suara gaib si Manusia Banci.
"Apakah itu, guru?" tanya Roro mendesak.
"Sudahkah kau mendengar pesanku melalui Joko Sangit?"
"Selain mengatakan tentang kematianmu, dia tak mengatakan apa-apa lagi. Tapi dia ada berkata bahwa belum waktunya dia menyampaikan satu pesan darimu, guru. Aku sendiri tak pernah menanyakannya!" sahut Roro.
"Yah! Aku tahu apa yang menjadikan halangan Joko Sangit, murid Ki Jagur Wedha si Pendekar Gentayangan itu. Dia akan tetap berusaha mengungguli kesaktianmu. Dan tak akan mengatakannya sebelum dia berhasil!"
Roro ternganga. Lalu manggut-manggut. "Guru ..! Apakah sebenarnya yang kau pesankan itu? katakanlah, guru!" sela Roro dengan perasaan tak menentu.
"Baiklah! Pesanku itu akan ku utarakan padamu! Yang kuinginkan adalah cuma satu hal. Yaitu kau menikahlah dengan Joko Sangit!" berkata suara gaib si Manusia Banci.
Roro laksana mendengar guntur di slang hari. Suara itu terngiang-ngiang di telinganya. Bergetarlah suara Roro. "Guru...! Aku tak berdaya. Hal itu terserah dia sendiri. Karena sebagai seorang perempuan, aku cuma menunggu pernyataan darinya. Sayang aku baru mengetahui sekarang. Kalau saja aku mendengarnya sejak dulu, mana mungkin aku mengabaikan perintah guru? Aku ... aku tak dapat berdusta, guru. Akupun mencintainya. Tapi semua itu tak mungkin bila dia belum mampu mengungguli Ilmu kedigjayaan yang kumiliki! Tampaknya dia patah hati dan tak pernah mau berjumpa denganku!" berkata Roro dengan suara datar agar trenyuh.
"Hihihi... semuanya dapat kau atur! Bukankah kau seorang muridku yang tolol, tapi cerdik?" Nah, pergunakanlah ilmu mata batinmu. Aku akan memperlihatkan diri untuk saat terakhir ini...!" berkata suara gaib itu.
Roro Centil tak ayal segera turutkan perintah, untuk gunakan ilmu pandangan mata batin. Namun tetap dia tak melihat apa-apa.
"Segera kau akan melihat wajah gurumu, bocah Centil!" berkata suara gaib si Manusia Banci. Dan tiba-tiba di hadapan Roro terlihat segumpal asap putih yang semakin lama semakin tebal. Lalu membentuk sesosok tubuh. Semakin lama semakin sempurna. Hingga kejap berikutnya di hadapan Roro terlihat sesosok tubuh wanita cantik berpakaian sutera putih. Itulah sosok tubuh si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si Manusia Banci.
"Guru...!" teriak Roro girang. "Ah, kau amat cantik sekali, guru...!" terperangah Roro melihatnya.
Arwah si Manusia Banci tersenyum menatap Roro dengan mata bercahaya. Akan tetapi cuma sekejap. Ya! teramat cepat sekali. Roro belum puas menatap, sosok tubuh jelmaan itu telah lenyap sirna.
"Guruuuu...!" teriakan Roro membarengi lenyapnya sosok tubuh sang guru yang telah mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaan yang membuat dia bergelar dengan gelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Suara teriakannya terdengar lagi berpantulan. Dan Roro tertegun bagai arca. Menatap ke hadapannya dengan terlongong. Alam serasa hening seperti dalam mimpi. Dua titik air mata dara ini meleleh ke pipi. Terdengar suara Roro pelahan bercampur isak. "Selamat jalan guru..! Semoga arwahmu mendapat ketenangan di alam Baka..!"
Di saat Roro tengah termangu-mangu itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Roro tersentak kaget seraya menghapus air matanya. Membelalak mata Roro melihat batang-batang pohon tanpa daun itu tiba-tiba berjuluran bagaikan ular ke arahnya. Tentu saja Roro segera sadar bahaya apa yang mengancam pada dirinya. Dengan perdengarkan teriakan keras dia melompat menghindar. Secara reflek lengannya bergerak menghantam.
Bhlarrr! Bhlarrr...!
Dua hantaman itu membuat batang-batang pohon yang berjuluran bagai ular itu hancur bertebaran. Akan tetapi sejenak Roro ternganga karena melihat dirinya telah terkurung oleh ratusan potongan batang pohon yang bergerak menghambur bagaikan lintah-lintah raksasa ke arahnya.
"Edan! Gila! Makhluk apakah ini?" sentak Roro terperanjat.
Di samping ngeri juga merasa aneh, Roro bertindak cepat untuk menghalau "lintah-lintah raksasa itu dengan hantaman pukulan-pukulan-nya. Berlompatanlah Roro di antara serpihan-serpihan hidup yang menakutkan itu. Gerakan Roro yang cekatan itu memang membuat "lintah-lintah raksasa" itu hancur bertebaran jadi bubuk. Dan dia berhasil menjauhi dengan berlompat sejauh dua puluh tombak.
Akan tetapi sejenak Roro terpana melihat seekor makhluk raksasa mirip ulat bulu menghadang di depan. Makhluk yang beruasruas itu mendesis. Dari mulutnya yang bertaring tajam menyembur uap putih. Uap itu menimbulkan hawa yang membuat kepalanya menjadi pening. Namun Roro tak segera berdiam diri. Dengan keberanian luar biasa dia menerjang makhluk itu.
Pukulan dengan jurus-jurus Sinar Perak Pelangi berkilatan menghantam. Akan tetapi luar biasa. Makhluk itu amat kebal. Bahkan secara cepat Roro sudah terdesak. Kali ini Roro terpaksa harus menghindari diri dari serangan uap-uap beracun yang membuat kepalanya semakin pening. Roro terhuyung mundur dengan melompat lompat.
Namun Lagi-lagi uap yang menyembur dari mulut makhluk itu kembali menerjangnya. Roro kehilangan konsentrasi. Dia mulai kena cengkeraman kaki-kaki sang ulat raksasa. Tubuhnya telah berada di depan moncong makhluk itu. Dalam saat demikianlah Roro gunakan ilmu dari si Manusia Gurun Pasir.
TUJUH
Jurus Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis segera digunakan. Sepasang lengan Roro bergerak menghantam.
Blarrr...! Dentuman keras terdengar. Akan tetapi berbareng dengan Itu, tubuh Roro pun terlempar ke udara. Roro telah kehilangan kesadarannya karena telah menghisap uap beracun yang membuat dia tak sadarkan diri. Namun detik tadi dia telah mampu gunakan jurus si Manusia Gurun Pasir yang ampuh.
Makhluk raksasa mengerikan itu mendadak lenyap. Dan sebuah cahaya kuning tiba-tiba membersit ke arah tubuh Roro. Kejadian aneh segera berlangsung. Tubuh Roro lenyap terbungkus dalam kemilau cahaya kuning itu. Sementara cahaya itu sendiri meluncur ke arah puncak bukit di pulau aneh itu. Lalu lenyap.
Ketika Roro sadarkan diri lagi, dia terkejut melihat dirinya telah berada disatu ruangan berlantai marmar. Dinding ruangan Ku putih berkilat-kilat. Sebuah ruangan yang amat luas. Yang membuat Roro lebih terpana adalah di hadapannya tampak sebuah arca seorang kakek. Area batu yang sudah berlumut. Dalam keadaan tertegun kebingungan itulah Roro mendengar suara gaib dari arah arca.
"Cucuku....! Jangan terkejut. Kau telah berada di tempatku. Akulah kakek gurumu yang bergelar Bagawan Bhama Kosala! Heheheh... selamat datang cucuku yang cantik!"
Terperangah Roro karena jelas dia mendengar suara Ku dari arah arca. Akan tetapi apakah patung manusia itu yang bicara? pikir Roro. Namun mendengar nama Bagawan Bhama Kosala, Roro cepat-cepat bangkit dan jatuhkan dirinya berlutut di hadapan patung.
"Kakek guru, terimalah sembah sungkem ku. Aku Roro Centil telah membuat huru-hara di tempat kediamanmu!" berkata Roro. Dia tak peduli apakah arca itu yang bicara atau bukan. Tapi yakin kalau suara gaib itu datangnya dari arah arca.
Suatu keanehan tiba-tiba terjadi. Arca batu yang mirip seorang kakek tua yang sudah berlumut itu mendadak lenyap. Dan asap putih tipis membumbung. Mata Roro terbelalak melihat dibekas arca telah menjelma sesosok tubuh yang amat mirip dengan patung kakek tua itu.
"Ah? Apakah ini kakek guru Bagawan Bhama Kosala?" berdesis Roro.
"Hehehe... bocah cucuku. Apakah kau bersedia menjadi muridku?" bertanya kakek jubah putih yang mirip dengan sosok arca itu. Sepasang mata dari seseorang tua yang berusia lanjut sekali. Berjenggot kelabu. Berhidung mancung. Sepasang matanya bersinar.
"Atas perintah guruku aku memang dibawa ke tempat ini adalah untuk itu, kakek! Tentu saja aku amat berterima kasih kalau kau mau mengangkat ku sebagai murid!" ucap Roro dengan menunduk hormat. Sementara hatinya berdebar-debar. Semua kejadian ini amat misterius dan dia seperti berada di alam gaib yang amat menakjubkan.
Bagawan Bhama Kosala tertawa mengekeh. Suaranya membuat bulu roma Roro meremang. "Sebenarnya ilmu kedigjayaan mu sudah tinggi. Akan tetapi sudah menjadi kodrat bahwa di atas langit masih ada langit lagi. Aku akan berikan tiga macam Ilmu padamu. Ya, tiga macam ilmu kedigjayaan yang mungkin bisa membuat kau lebih perkasa, cucuku. ilmu ini adalah ilmu yang cuma berada di negeri siluman. Yang bisa dipergunakan untuk bekalmu menghadapi musuh-musuhmu yang juga berilmu siluman. Setelah itu kau boleh kembali ke dunia manusia! Akan tetapi ingatlah. Jangan kau pergunakan ilmu ini untuk perbuatan yang tidak baik!" tutur Bagawan Bhama Kosala.
"Murid akan selalu ingat akan wejangan mu, kakek guru!" sahut Roro dengan girang.
"Aku percaya akan pribadimu!" tersenyum sang Begawan. "Nah, hari ini juga kau mulailah mempelajari!"
"Terimakasih, kakek guru! ujar Roro dengan mengangguk girang.
Si kakek menunjuk ke arah sebuah batu putih bagai pualam di sudut ruangan. "Nah! kau bertapalah di atas batu itu selama empat puluh hari empat puluh malam. Bila kau sanggup melewati ujian ini maka kau berhak menerima ketiga macam ilmu dariku." berkata Bagawan Bhama Kosala.
Roro menatap ke arah tempat itu lalu mengangguk. "Kalau persyaratan untuk menerima ketiga macam ilmu itu adalah demikian, tentu aku akan mencobanya, kakek guru!" tandas Roro.
"Sukurlah! Semoga kau lulus dalam ujian itu!" Bagawan Bhama Kosala manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. Akan tetapi sekejap kemudian tubuhnya lenyap sirna.
Roro ternganga. Walaupun dia mempergunakan mata batin namun tetap tak mampu melihat ke mana lenyapnya tubuh kakek bagawan itu. Namun tak lama kemudian Roro sudah melompat ke sudut ruangan. Kemudian segera mulai mengatur kaki untuk duduk bersila. Segeralah dia memulai tapanya.
* * * * * * *
Pulau Berhala mulai menunjukkan kekuasaannya. Kecemasan mengembara ke setiap daerah. Karena sang ketua para paderi itu mulai haus pada wanita-wanita cantik. Pulau Berhala memang amat sukar untuk didatangi golongan lain yang berniat menyelidiki pulau itu. Karena penjagaan yang ketat. Di samping ratusan paderi dari Istana Hitam siap mencabut nyawa!
Belasan manusia berkepala gundul tampak bersembulan di permukaan air menyeberangi pulau. Tak sebuahpun perahu nelayan berani mendekati pulau itu. Dalam beberapa saat saja mereka telah mendarat di pantai pasir. Mereka saling memberi isyarat. Lalu segera menyebar.
Gerakan mereka cepat sekali karena dalam beberapa kejap saja sosok-sosok tubuh itu langsung lenyap. Pantaipun kembali sunyi mencekam. Akan tetapi ternyata sepasang mata telah memperhatikan pendaratan itu dengan mata bersinar. Itulah sepasang mata dari sesosok tubuh. Sosok tubuh seorang laki-laki yang juga berkepala botak.
Laki-laki yang berpakaian jubah hijau dan sudah agak butut itu memang mirip dengan Paderi-Paderi itu. Akan tetapi jelaslah kalau paderi ini bukan segolongan dengan para paderi Pulau Berhala.
"Keparat! Mereka mulai mencari korban lagi! Aku harus segera melaporkan!" berbisik mulut paderi ini. Sepasang matanya menyorotkan kegemasan menatap para paderi Pulau Berhala yang berkelebatan lenyap. Dia bangkit berdiri. Menyibak semak. Dan! berkelebat ke arah yang berlawanan dengan paderi itu.
Kita beralih kesatu tempat tersembunyi tak jauh dari pantai. Beberapa buah kemah tampak berada di sekitar itu. Dan tampak para penjaga yang rata-rata berpakaian serupa dengan paderi itu. Ketika paderi berjubah hijau itu muncul, dua orang segera melompat untuk menyambut kedatangannya.
"Bagaimana? Apakah mereka mulai bergerak hari ini?" tanya salah seorang.
"Benar! Belasan paderi keparat Pulau Berhala itu sudah menyebar di wilayah ini. Agaknya mereka mulai mengadakan penculikan lagi!" menyahut dia.
"Segera laporkan pada guru!" berkata kawannya yang menjaga.
Paderi muda yang rupanya menjadi mata-mata untuk mengintai di sekitar pantai itu mengangguk. Segera dia bergegas menghampiri sebuah kemah yang paling besar. Pintu kemah agak terbuka. Dia segera melongok ke dalam. Akan tetapi melongo mulut paderi ini karena tak menjumpai gurunya di situ. Beberapa orang segera ke luar dari dalam kemah.
"Guru tidak ada! Apakah kalian mengetahui kemana perginya beliau?" bertanya paderi muda ini.
"Kami juga tak mengetahui! Ah, tentu kau membawa berita pengintaian dari pantai!" bertanya kawannya.
"Ya! Belasan orang paderi Pulau Berhala mendarat. Tentu akan memulai lagi penculikan terhadap wanita-wanita. Hal ini harus diketahui guru! Kita tak dapat membiarkan mereka membuat kejahatan lagi!"
Semua murid-murid yang berada di tempat itu cuma saling pandang karena tak mengetahui ke mana perginya sang guru. Sementara itu belasan orang paderi itu telah menebar ke pelosok, memasuki desa. Terdengar suara jeritan perempuan dari kejauhan. Akan tetapi cuma sekejap. Suara itu lenyap. Dua orang penduduk saling pandang.
"He? Seperti suara orang menjerit. Coba kau periksa. Jangan-jangan ada kejadian penculikan lagi!"
"Ya! mari kita periksa!" sahut kawannya. Kedua laki-laki itu menghunus golok dan bergegas untuk berlari menghampiri sebuah pondok. Itulah pondok yang menjadi arah sumber suara jeritan tadi.
Tiga sosok tubuh tampak berloncatan dari dalam pondok itu menerjang pintu. Benar dugaan kedua laki-laki penduduk itu. Karena mereka melihat salah seorang memondong tubuh wanita.
"Keparat! bangsat tengik! Lepaskan gadis itu! Kiranya kalianlah penculik-penculik yang selama ini merajalela!" membentak salah satu dari kedua lelaki desa itu. Segera dia tahu gadis itu adalah Mariamah, yang menjadi giliran korban penculikan.
Dua laki-laki ini melompat menghadang ketiga paderi itu. Akan tetapi salah seorang gerakkan tangannya. Dua benda berkilat menyambar ke arah tenggorokan kedua laki-laki itu. Dan kejap berikutnya, terdengar suara teriakan parau. Tubuh dua lelaki desa itu terjungkal roboh. Dua benda belati kecil itu telah membenam di tenggorokan mereka masingmasing. Berkelojotan tubuh pemuda desa itu. Namun sejenak terkapar lepaskan nyawa.
* * * * * * *
DELAPAN
Sementara itu di Pulau Berhala..... Istana Hitam yang angker misterius itu seperti lengang tak berpenghuni. Namun sesungguhnya di dalam satu ruangan besar di dalam istana tengah menjalankan upacara. Upacara yang dihadiri oleh ratusan paderi berkumpul berbaris dengan rapi. Di depan mereka pada sebuah altar tempat paderi-paderi berpakaian serba hitam dengan cadar penutup muka, berdiri seperti menanti kedatangan ketua mereka.
Sementara sebuah pedupaan yang besar kepulkan asap berbau harum. Dua orang algojo memegang kapak besar siap menjalankan tugas. Upacara apakah ini? inilah upacara keagamaan mereka yang mereka anut. Tentu saja upacara yang sesat karena paderi-paderi itu bukanlah paderi yang menjalankan sebagaimana lazimnya paderi.
Dalam sebuah ruangan di belakang tembok ruang depan Istana tampak seorang laki-laki bertubuh tegap. Berusia sekitar lima puluh tahun. Berkepala separoh botak. Akan tetapi pada bagian belakang tampak sedikit rambut yang di kepang menjuntai ke belakang punggung. Pada bagian dada orang Ini tampak bertato seekor kelelawar berkepala ular.
Inilah sang ketua mereka yang mempunyai gelar si Paderi Mata Seribu. Paderi tua bertubuh tegap Ini bermuka kasar dengan kulit muka hitam. Kumis dan jenggotnya berwarna kelabu. Sepasang matanya biru. Dia dalam keadaan berdiri separuh telanjang di ruangan itu yang menjadi tempat peristirahatannya.
Di hadapannya adalah tujuh orang gadis yang dalam keadaan terikat di tujuh dipan kayu dengan keadaan tanpa busana. Ketujuhnya dalam keadaan pucat ketakutan. Mereka tahu apa yang bakal terjadi pada mereka. Karena sang ketua ini telah mulai melepaskan jubah bagian bawah. Sepasang kaki manusia ini yang bertelapak besar mulai menghampiri dipan bagian ujung. Gadis itu meronta di atas dipan dengan ketakutan. Sepasang matanya membelalak menatap si Paderi Mata Seribu yang menyeringai menatap sang gadis dengan mala membinar.
"Hahahhehe... heheh... giliran pertama adalah kau, gadis manis!"
"Tidak! Tidak... lepaskan aku... jangaaan!" teriakan si gadis memecah keheningan dalam ruangan kamar. Akan tetapi mana dia mampu menghindar dari nasib yang bakal menimpanya?
Dengan derai tawa iblis dan dengus yang menyembur-nyembur lengannya menerkam mangsanya. Menggeliat gadis itu tak berdaya. Sementara gadis-gadis korban lainnya cuma bisa palingkan muka dengan air mata berderai. Bahkan salah satu gadis itu telah menangis terisak-isak. Gadis dipan pertama itu tak dapat menghindari lagi. Namun dia keburu pingsan sebelum dia mengetahui kelanjutannya.
"Keparat!" ternyata paderi Mata Seribu justru gusar. Lengannya bergerak mencengkeram leher; wanita itu... Kraaak! Tak ampun lagi gadis itu berkelojotan dan tewas seketika dengan tulang leher remuk. Dengan segera dia bangkit menghampiri dipan kedua. Selesai dengan hajatnya giliran pada dipan ketiga. Demikianlah seterusnya hingga pada dipan ketujuh. Manusia ini memang punya tenaga hebat luar biasa.
Sementara itu di luar para paderi anak buahnya menanti dengan sabar. Ketika tak lama berselang pintu ruangan di belakang altar terbuka. Dua orang algojo segera masuk. Tak lama keluar lagi dengan menyeret sesosok tubuh wanita yang berlumuran darah. Tubuh itu adalah tubuh wanita yang tewas di dipan pertama dalam ruangan kamar tadi.
Setelah dipertontonkan pada para paderi dua algojo menyeretnya ke dalam satu ruangan. Pada ruangan ini terdapat sebuah ruangan dalam tanah. Ternyata di ruangan bawah tanah itu penuh dengan ratusan ular. Mayat wanita itu dilemparkan ke dalam ruang tersebut. Segera saja ratusan ular itu memburunya.
Ruangan itu ditutup lagi. Dua algojo kembali masuk ke dalam ruang di belakang altar. Kini menyeret sesosok tubuh wanita lagi. Pemandangan yang tragis segera dipertontonkan. Kepala gadis itu dipenggal putus. Kepalanya dilemparkan ke arah ratusan paderi yang menonton upacara itu. Segera saja terjadi kegaduhan. Mereka berebut untuk merebut kepala Itu untuk menghirup darahnya.
Demikianlah berturut-turut kepala gadis korban lainnya dipenggal untuk kemudian dilemparkan. Dan menjadi rebutan para paderi. Perebutan itu ternyata terus berlangsung. Keadaan yang tadinya tenang telah berubah panas. Karena akibat perebutan itu nyawa-nyawa para paderi yang berhasil merebut kepala takkan terhindar dari maut.
Tempat itu bagaikan tempat pertarungan saja layaknya. Mereka saling baku hantam sesama kawan demi memperebutkan kepala. Tujuan utama adalah menghirup darah kepala gadis Itu. itulah yang mereka namakan upacara "suci".
Karena yang berhasil menghirup darah itu akan bertambah kesaktiannya berlipat ganda. Namun tentu saja mereka harus dapat selamat dari maut. Karena kawan-kawan mereka takkan membiarkannya menghirup darah "suci" itu.
Sementara kejadian itu berlangsung, sang ketua alias si Paderi Mata Seribu menyaksikan dengan tersenyum. Puluhan mayat bergelimpangan di ruang Istana hitam. Manusia-manusia terdiri dari paderipaderi itu bagaikan iblis-iblis yang haus darah. Jerit dan teriakan terdengar di sana-sini.
Tak lama keadaanpun usai. Tanda berhenti mirip sirine terdengar. Mereka pun bubar meninggalkan ruangan. Tentu saja dalam keadaan bersimbah darah. Yang luka-luka tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Yang segar bugar berlarian terlebih dulu ke luar berdesakan. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
"Perbuatan terkutuk! Iblis Paderi Mata Seribu! Kau memang bukan manusia!" bentakan itu diiringi dengan berkelebatnya sesosok bayangan tubuh. Dan di lantai altar telah berdiri tegak sesosok tubuh bulat. Ternyata seorang paderi berjubah putih. Bertubuh pendek, gemuk hingga tampaknya bundar seperti sebuah bola besar.
Wuukkkk! Blarrrr....!
Si paderi bulat ini langsung hantamkan telapak tangannya ke arah si paderi Mata Seribu. Terdengar ledakan keras. Dan seketika tembok di belakang altar istana Hitam itu ambrol! Akan tetapi si paderi Mata Seribu telah melesat menghindari pukulan maut itu. Terdengar suara tertawa mengekeh.
"Heheheh... hahaha... kiranya kau si DEWA Angin Puyuh! Bagus! kau berani menyatroni Pulau Berhala tentu sudah siap menghadapi maut!"
Orangnya tak kelihatan ke mana berkelebatnya. Tetapi paderi bulat ini berteriak kaget ketika sebuah hantaman menyerang ke dada. Untuk menghindari hantaman keras bertenaga hebat Itu dia bersalto ke udara. Lengannya terangkat untuk menghantam ke depan memapaki serangan.
Blarrr...!
Akibat benturan kedua pukulan yang mengandung tenaga dalam hebat itu tubuh si paderi bulat yang tak lain dari si Dewa Angin Puyuh terlempar ke luar dari dalam pintu Istana Hitam. Namun lagi-lagi dia gunakan salto untuk mengimbangi jatuh tubuhnya hingga dia dapat jejakkan kaki di tanah.
Setetes darah tampak mengalir dari sudut bibirnya. Pukulan Itu telah membuat dia terluka dalam. Belasan paderi Pulau Berhala segera mengurung. Dan sekaligus menerjang dengan senjata siap merencah tubuh bulat paderi tua ini. Kakek botak ini menggeram gusar. Sepasang tangannya merentang dengan mendadak.
Wuutttt...!
Terdengarlah teriakan silih berganti. Tubuh-tubuh paderi Pulau Berhala berhamburan berpelantingan ke delapan penjuru. Karena mendadak angin puyuh yang dahsyat telah menerjang mereka. Itulah jurus sakti si Dewa Angin Puyuh yang bernama Jurus Pusaran Angin Puyuh. (Jurus ini pernah diwariskan oleh kakek ini pada Roro Centil).
Belasan paderi Itu tanpa berkelojotan lagi tewas seketika, karena kemarahannya si paderi bulat Ini keluarkan tenaga lebih dari separuh kekuatan tenaga dalam.
"Jurus yang hebat!" terdengar bentakan. Dan berkelebatlah sesosok tubuh berjubah warna-warni. Sosok tubuh seorang paderi yang berkepala botak, namun di belakang kepala mempunyai rambut dikepang. inilah si Paderi Mata Seribu. Ketua dari istana Hitam di Pulau Berhala. Paderi ini tak terlihat ada pengaruh akibat benturan pukulan tadi menandakan betapa tingginya ilmu orang ini.
"Dewa Angin Puyuh! Ada apakah kau menyatroni pulauku dan ikut campur urusanku?" bentak Paderi Mata Seribu.
"Manusia edan! Kau telah mencemarkan nama baik para paderi dengan perbuatanmu yang terkutuk Itu. Rupanya kaulah biang keladi penculikan-penculikan selama ini!" bentak pula si kakek bulat.
"Hahaha... memang! Semua itu tak salah dugaanmu! Bukankah kau lihat sendiri, orang-orang yang kuculik itu telah menjadi anak buahku yang amat patuh pada perintahku. Bahkan menuruti ajaran-ajaran yang ku anut!"
Mendelik mata si paderi Dewa Angin Puyuh "Bedebah! Aku telah ketelepasan tangan membunuh!" pikirnya dengan tersentak.
SEMBILAN
Kencarupa! Lupakah kau akan ajaran guru kita? Kau telah menempuh jalan sesat Jalan yang kau buat seenak perutmu sendiri! Perbuatanmu melampaui batas kemanusiaan Kau akan mengundang banyak musuh karena perbuatanmu sendiri!" berkata paderi bulat ini yang memanggil si Paderi Mata Seribu dengan nama aslinya.
Ternyata dari pembicaraan si paderi bulat itu, mereka adalah dua orang saudara seperguruan. Peringatan itu ternyata membuat si paderi Mata Seribu justru tertawa terbahak-bahak lebih keras.
"Hahahaa... haha... Semua itu sudah kuperhitungkan! Aku memang telah siap untuk menghadapi. Bukankah dengan demikian akan membuat aku mudah menghancurkan mereka? Dan namaku di dunia persilatan akan menjulang tinggi. Partai serta anutan ku semakin menyebar ke seluruh pelosok. Aku akan jadi orang yang paling berkuasa kelak, sesuai dengan cita-citaku!" sumbar si paderi Pulau Berhala dengan suara lantang.
"Manusia takabur! Cita-cita gilamu takkan pernah berhasil. Karena kau saat ini harus mampus di tanganku!" bentak paderi Dewa Angin Puyuh dengan mata melotot gusar. Dadanya bergemuruh mendengar apa yang menjadi cita-cita si saudara seperguruan itu.
Dewa Angin Puyuh telah keluarkan senjata Kipas Bututnya. Sementara sepasang matanya menatap tak berkedip pada manusia di hadapan dia. Urat-urat tubuhnya tampak menggembung pertanda dia telah menyalurkan segenap kekuatan tenaga dalam untuk melabrak si Paderi Mata Seribu.
"Hahaha... aku amat menyayangkan kau ka-kak Kumbara! Walau bagaimana kau adalah bekas kakak seperguruanku. Berpuluh tahun tak berjumpa aku masih merasa kau saudara sendiri. Oleh sebab itulah aku urungkan niatku untuk membunuhmu. Tinggallah kau di pulau ini membantuku!" berkata paderi Mata Seribu menyebut nama asli si paderi Dewa Angin Puyuh dengan sebutan nama Kumbara.
"Edan! Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada menjadi manusia sesat sepertimu!" bentak Kumbara dengan suara menggelegar karena kemarahannya.
Menerjanglah kakek bulat ini dengan serangan senjatanya. Angin puyuh bergulung-gulung menggebu menghantam si Paderi Mata Seribu. akan tetapi dengan tertawa berkakakan KENCARUPA berkelebat lenyap. Angin Itu terus lewat bergulung menerjang para paderi yang masih berkerumun di belakang Istana. Namun mendadak angin itu lenyap ketika seberkas cahaya merah menghalangi.
"Menyingkirlah kalian semua!" terdengar bentakan. Dan tiga sosok tubuh melompat di hadapan mereka sesaat setelah lenyapnya cahaya merah barusan. Tiga paderi jubah merah segera telah berdiri di hadapan Kumbara.
"Hehehhaha... babi bulat! hadapilah kami. Ketua kami enggan turun tangan untuk membunuhmu!" berkata salah seorang sambil tertawa mengejek. Dan ketiga sosok tubuh paderi jubah merah itu berkelebatan berpencar mengurung si paderi bulat Dewa Angin Puyuh dari tiga penjuru.
"Hmmm, apakah kalian yang menamakan diri si Tiga Naga Merah?" bentak Kumbara. Diam-diam dia terkejut juga karena ketiga manusia yang berasal dari Tibet ini bisa berada di wilayah Pulau Jawa bahkan menjadi pengikut si Paderi Mata Seribu!
"Benar!" sahut si kurus muka pucat berkumis ceriwis di hadapannya. "Kami telah bergabung dengan sobat kami Kencarupa demi tujuan yang besar dan mulia!"
"Bah!? tujuan mulia? Dengan cara-cara sesat yang di luar perikemanusiaan itu kalian katakan tujuan mulia? Hahaha... hahaha..."
Dewa Angin Puyuh tertawa berkakakan hingga tubuhnya terguncang-guncang dan air matanya mengalir ke luar. Tertawanya si Dewa Angin Puyuh bukanlah tertawa girang melainkan tertawa yang mengandung kepedihan dan kemarahan yang amat luar biasa mendengar kata-kata si paderi kurus Tiga Naga Merah.
Ternyata tertawa si Dewa Angin Puyuh juga mengandung ilmu tenaga dalam dan serangan yang amat dahsyat. Ketiga paderi jubah merah itu mendadak wajahnya berubah pucat. Masing-masing rasakan dadanya menjadi sesak. Telinga mereka seperti dimasuki ribuan semut. Akan tetapi dengan berbareng mereka keluarkan bentakan. Masing-masing satukan lengannya.
Tubuh mereka bergetaran. Dan tampak uap merah mengepul dari ubun-ubun kepala. Uap itu membentuk asap yang bergulung-gulung berwarna merah. Yang sekejap kemudian berubah menjadi tiga ekor ular naga. Inilah ilmu Setan Naga Merah yang dikeluarkan dengan terpadu.
Ketiga naga ciptaan itu serentak menerjang si Dewa Angin Puyuh. Sambaran dahsyat dari Tiga Naga Merah ciptaan itu membuat si paderi bulat keluarkan keringat dingin dan hentikan tertawanya.
Wuss! Wusss! Whusss...!
Kipas bututnya digunakan untuk menerjang. Sementara tubuhnya mendadak memutar seperti gasing. Tiga naga ciptaan terdorong mundur kena hembusan angin kipas yang dahsyat. Akan tetapi serentak mereka menerjang lagi dari berbagai jurusan. Terjadilah pertarungan seru yang amat luar biasa dan menakutkan.
Naga-naga ciptaan itu keluarkan suara dahsyat yang menggetarkan jantung. Paderi bulat seperti sebuah boneka lucu yang jadi permainan tiga ekor ular naga. Dalam saat itu si tiga Paderi Jubah Merah cuma diam tak bergeming dengan membaca manteramantera. Sepasang lengannya mengatup di depan dada. Dewa Angin Puyuh agaknya mulai kewalahan menghadapi ketiga naga. Kipasnya yang menerjang selalu dapat dipukul oleh hempasan ekor-ekor Naga.
Namun dengan semangat besar dan kemarahan semakin menjadi, namun dengan perhitungan yang cukup masak dia segera robah jurus-jurus serangannya. Kali ini dia bertarung sambil menjauh. Ketiga naga ciptaan terus mengejar. Sementara itu pada paderi Pulau Berhala mulai menyebar ke setiap tempat. Mereka mengurung arena pertarungan, atau siap menjaga jangan sampai si paderi bulat itu melarikan diri.
"Setan alas! kalau begini terus menerus aku akan kehabisan tenaga! Paderi-paderi anak buah si Kencarupa telah mengetahui maksudku! Oh, celakalah aku. Daripada tertawan lebih baik mati!" desis si Dewa Angin Puyuh.
Dia melompat menjauh mendekati patung-patung yang bertebaran di pulau itu, akan tetapi sungguh dia tak mengira kalau patung-patung itu mendadak keluarkan asap yang menyemprot ke arah mukanya. "Asap beracun!?" teriak si kakek bulat tertahan dengan terperanjat.
Akan tetapi terlambat. Mendadak dia rasakan kepalanya berat. Matanya berkunang-kunang. Dia cuma mendengar suara tertawa berkakakan si Paderi Mata Seribu. Akan tetapi selanjutnya dia sudah tidak Ingat apa-apa lagi, karena dia segera terkulai roboh tak sadarkan diri. Ternyata pada berhala-berhala itu telah dipasangi alat-alat rahasia.
Kalau di Pulau Berhala tengah terjadi peristiwaperistiwa tadi, adalah di pantai di sekitar pulau terjadi juga pertarungan seru antara para paderi Pulau Berhala yang berhasil membawa lari wanita yang diculik mereka dengan para paderi pesisir pulau.
Mereka adalah para paderi yang telah kehilangan gurunya, yang tak diketahui ke mana perginya. Keberanian luar biasa dari para paderi itu tak membuat mereka patah semangat untuk menggagalkan penculikan para gadis, walau tanpa beradanya guru mereka.
Mereka menjaga di pesisir pantai di tempat persembunyian dengan senjata-senjata terhunus. Ketika belasan paderi Pulau Berhala kembali dari menculik untuk menyeberangi ke Pulau Berhala, serentak mereka berlompatan ke luar untuk menerjang paderi-paderi palsu itu.
SEPULUH
Pertarungan yang menimbulkan pertumpahan darah tak dapat dihindarkan lagi. Si paderi muda yang menjadi pemimpin penyerbuan itu mengamuk dengan senjata tongkatnya. Lawannya seorang paderi bertubuh kasar dan kekar. Tiga serangan berantai dari serangan tongkat menyambar ke leher lawan, dengan tiga sodokan yang mematikan mengarah nyawa lawan.
Pemuda ini tampak gusar karena enam kawannya tewas terbunuh, sedangkan di pihak paderi Pulau Berhala cuma satu yang terluka. Diakui ilmu kepandaian paderi Pulau Berhala memang hebat dan berada dua tingkat di atas kepandaian kawan-kawannya.
Trang! Tang! Tang!
Terdengar suara dentingan tiga kali lawannya menangkis seraya mengegos dengan senjata tipis seperti dua buah piring tipis terbuat dari baja.
"Bocah bau kencur! Kau belajarlah sepuluh tahun lagi untuk melawanku!" teriak si paderi Pulau Berhala. Seraya menangkis, sebuah piring baja tipis itu dilepas ke arah bawah pusar. Suaranya berdesing.
Terkejut paderi muda melihat senjata itu. Beberapa inci lagi maka putuslah pinggangnya terkena piring tipis yang berputar bagai gasing itu mengancam nyawanya. Dengan berteriak tertahan dia membanting dirinya ke tanah. Tongkatnya dipakai untuk menangkis. Trak! Tongkat pemuda paderi putus terbabat. Dalam keadaan terperangah itulah seorang paderi Pulau Berhala lancarkan serangan membacok ke punggung. Detik maut itu tak bisa dielakkan lagi.
Namun pada saat itu terdengar bentakan hebat disertai satu kilatan mencercah di udara. Paderi pembokong itu menjerit pendek. Darah segar memuncrat. Dan dua potong tubuh yang terbelah menjadi dua menggabruk di tanah. Membelalak mata si paderi muda melihat kejadian Itu. Dilihatnya tubuh si paderi benar-benar telah terbelah menjadi dua bagian.
Dan di tempat itu telah tegak berdiri seorang lakilaki muda memegang pedang yang berlumuran darah berpakaian serba putih. Siapa lagi Kalau bukan si Bujang Nan Elok alias Pendekar Selat Karimata, Sambu Ruci.
"Paderi-paderi Pulau Berhala keparat! Hari Ini kau tak dapat berbuat sewenang-wenang lagi!" membentak Sambu Ruci. Tubuhnya berkelebat. Dan selanjutnya terdengarlah teriakan-teriakan ngeri saling susul. Dalam waktu sekejapan saja tiga belas paderi itu roboh tanpa dapat berkelojotan lagi. Karena tubuh-tubuh mereka telah terpotong menjadi dua bagian.
Membelalak mata para paderi penyerang itu yang merasa mendapat pertolongan mendadak di saat mereka hampir putus asa, ketiga melihat si Dewa penolong yang masih berusia muda. Seorang lakilaki gagah dan berwajah tampan. Serta-merta mereka berlompatan menghampiri dan menjura hormat.
"Terimakasih atas bantuanmu, sobat. Sudikah anda memperkenalkan diri?" bertanya seorang paderi yang berusia cukup tua.
"Namaku Sambu Ruci! Aku datang kemari karena petunjuk seorang paderi tua bernama Wiku Duta Prayoga. Dia dalam keadaan sekarat ketika kujumpai. Sebelum tewas dia mengatakan siapa manusia yang telah mengeroyoknya. Yaitu paderi-paderi dari Pulau Berhala. Lalu menceritakan tentang adanya paderi-paderi anak buahnya yang berada di pesisir pantai ini. Yang telah disiapkan untuk menggagalkan penculikan para wanita dan menumpas mereka. Apakah kalian adalah murid-murid Ki Duta Prayoga?"
Membelalak seketika mata para paderi itu mendengar penuturan Sambu Ruci. "Benar! Beliau guru kami! Ah...!? beliau... te... tewas?!" teriak kaget si paderi muda.
"Benar! Aku datang terlambat. Agaknya Ki Duta Prayoga menyerbu sendiri paderi-paderi Pulau Berhala yang melakukan penculikan. Atas petunjuk itu aku cepat mengejar kemari. Sayang aku agak terlambat. Sehingga kawan-kawanmu banyak yang menjadi korban!" berkata Sambu Ruci agak menyesal.
"Wah bagaimana anda telah berjasa menyelamatkan nyawa kami. Kami amat berhutang budi pada anda sobat pendekar Sambu Ruci ..." menyahut si paderi tua bernama Lomambha itu dengan menatap girang bercampur sedih. Sudikah anda mengantarkan kami ke tempat jenazah guru kami, agar kami dapat menguburkannya?" ujar Lomambha dengan mata berkaca-kaca.
"Tentu saja. Marilah ikut aku!" sahut Sambu Ruci tanpa menolak.
Kemunculan Sambu Ruci di pesisir pantai tenggara telah membuat para paderi murid-murid Wiku Duta Prayoga menjadi kagum. Dalam beberapa hari mereka berkabung setelah kematian guru mereka. Ternyata Sambu Ruci memang telah menyelesaikan pelajaran ilmu silatnya dari gurunya yang baru yaitu Ki Balung Putih.
Tentu saja Sambu Ruci pergi bersama istrinya Cinderani yang terpaksa dinikahi karena telah berjanji dengan si kakek Ki Balung Putih untuk menolong kakek itu. Cinderani ditinggalkan di desa terdekat tapi cukup jauh dari pantai. Karena Sambu Ruci tak mau mengajak dia. Walaupun sebenarnya Cinderani bersikeras ikut.
Oleh sebab itu setelah selesai urusannya membantu para paderi murid Ki Duta Prayoga dia minta diri. Sementara itu paderi-paderi itu pun segera bubar untuk kembali ke markas. Karena atas pertimbangan Sambu Ruci mereka tak akan kuat menghadapi paderi-paderi Pulau Berhala. Walaupun sebenarnya mereka bersedia korbankan nyawa untuk menyerang ke Pulau Berhala. Sambu Ruci berlari-lari cepat menuju ke desa di mana dia meninggalkan Cinderani.
Sementara itu kita beralih pada Roro Centil yang berada di alam gaib. Yaitu di alam negeri Siluman. Dara pendekar Pantai Selatan itu tengah duduk di atas batu besar. Sementara di hadapannya tampak seberkas cahaya biru membentuk sesosok tubuh manusia. Dialah Bagawan Bhama Kosala, kakek guru Roro. Yaitu guru si Manusia Banci Pantai Selatan.
"Kau telah mewarisi tiga macam ilmu kedigjayaan dariku, bocah cucuku!” berkata Bagawan Bhama Kosala. "Aku yakin kau akan mempergunakan untuk kebenaran. Akan tetapi kau baru boleh mempergunakan Kalau bertemu lawan Jahat yang amat tangguh! Hanya itulah pesanku!" ujar sang Bagawan.
"Terima kasih, kakek guru. Wejanganmu akan selalu kuingat dalam lubuk hati. Apakah aku sudah diizinkan dan boleh ke luar dari alam mu ini kakek guru?" sahut Roro diiringi pertanyaan. Rasanya dia sudah tak sabar untuk segera kembali ke alam manusia.
"Satu syarat lagi untukmu cucuku, sebelum kau berangkat pulang!"
"Apakah itu, kakek guru?" tanya Roro kebat-kebit.
"Tinggalkan sepasang senjatamu itu di sini!" sahut sang Bagawan.
"He? Mengapa? Apakah aku harus gunakan tangan kosong tanpa senjata lagi? Padahal senjata itu adalah warisan guruku!" tanya Roro terheran.
Cahaya biru itu menjawab dengan tertawa. "Jangan khawatir, aku hanya meminjamnya saja. Nanti bila kau telah ke luar dari alam siluman ini, segera aku kembalikan!" berkata Bagawan Bhama Kosala.
"Hihihi.... Kalau begitu aku menurut saja!" sahut Roro seraya loloskan senjata Rantai genitnya. Lalu diletakkan di atas batu.
"Nah! pejamkan matamu. Jangan kau buka sebelum ada suara kicau burung di telingamu!" berkata sang Bagawan.
Tak menunggu diperintah dua kail, Roro segera turuti perintah itu. Diam-diam dia amat bergirang hati. Karena serasa dia sudah tak betah berdiam di tempat yang asing dan aneh itu. Roro merasa tubuhnya melayang menembus ke awan. Padahal dia tetap berada di atas batu itu. Ketika dia mendengar suara kicau burung, serentak dia buka kelopak matanya.
Terkejutlah Roro Centil ketika melihat dia telah berada di alam yang sewajarnya yaitu alam manusia. Tempat itu adalah di sisi hutan rimba di mana telinganya bisa mendengar suara kicau burungburung dari dalam hutan. Akan tetapi anehnya dia masih tetap duduk di atas batu besar. Cuma saja batu itu telah berubah warna.
Kalau tadinya dia duduk di atas batu putih bagai pualam, kini Roro duduk di atas batu gunung yang berlumut. Yang amat membuat lebih aneh lagi adalah, sepasang senjata Rantai genitnya itu tak berada di atas batu. Dia jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Namun segera melompat turun untuk menghirup napas lega.
"Oh, senang sekali aku telah berada di alam manusia lagi!" berkata Roro sendiri. "Eh, katanya kakek guru akan mengembalikan sepasang senjataku, kapankah akan dikembalikannya?" gumam Roro yang merasa tak betah tanpa membawa senjata. Walaupun jarang dipergunakan namun Roro merasa telah senyawa dengan senjata Rantai genit itu. Dalam keadaan itu lapat-lapat terdengarlah suara gaib Bagawan Bhama Kosala.
"Roro Centil, cucuku! Pergunakanlah mata batinmu. Kau periksa lagi ke atas batu yang kau duduki. Aku telah mengembalikan sepasang senjatamu. Akan tetapi dengan bentuk lain yang lebih sempurna, dan lebih hebat. Sesuai dengan keinginan gurumu..!"
Tentu saja Roro terkejut. Segera dia gunakan mata batinnya untuk melihat dan memeriksa di atas batu tadi. Benar saja! segera terlihat sepasang senjata Rantai Genit dengan bentuk lain. Benda itu mempunyai rantai lebih halus. Pada bagian ujung gagangnya bertatahkan mutiara. Sedangkan bandulannya tetap merupakan sepasang payudara. Akan tetapi bentuknya lebih kecil. Ketika Roro mau menjamah, mendadak sepasang senjata itu lenyap.
"Bocah muridku! Kau telah memiliki aji memindahkan benda tanpa menyentuh. Mengapa tak kau gunakan ajian milikmu itu? Benda itu adalah benda alam gaib. Dia cuma dapat kau simpan di alam gaib pula. Dan bila kau akan mempergunakannya cukuplah dengan membaca mantera, benda senjatamu itu akan sudah berada di tanganmu!" suara gaib itu tiba-tiba kembali terdengar.
Roro terkejut, juga kesima. "Ah, sungguh menakjubkan!" seru Roro pelahan tanpa disadari. Petunjuk itu dipatuhi. Dan Roro segera gunakan cara membaca mantera untuk memindahkan benda itu. Ternyata benda itu berubah menjadi sinar kuning emas yang melesat dan membelit ke pinggangnya.
Dalam pandang mata gaib, Roro melihat senjata Rantai Genit yang lebih indah dan mungil membelit dengan seksama di pinggangnya. Akan tetapi ketika Roro lepaskan pandangan mata gaibnya, Roro tak menampak apa-apa. Bahkan ketika Roro menjamah untuk menyentuh benda itu, Roro merasa tak menyentuh apa-apa.
Sadarlah Roro kalau sepasang senjata Rantai Genit yang baru ini adalah sebentuk senjata gaib. Dia cuma bisa gunakan kalau memang dalam keperluan mendadak. Saking girangnya Roro sampai berjingkrakan dan berteriak-teriak girang. "Oh, terima kasih, kakek guru! Terima kasih, kakek guru yang baik!" teriak Roro berulang-ulang.
SEBELAS
CINDERANI duduk di luar pondok dengan hati gelisah. Sebentar-sebentar dia berdiri dan beranjak bangun. Matanya liar menatap ke ujung jalan desa. Sementara yang empunya pondok itu cuma memperhatikan dari tadi pada gadis yang hamil muda itu. Namun tak lama dia segera ke luar dari dalam.
"Sabarlah, den ayu... Mungkin tak lama lagi suamimu akan segera tiba. Kalau sudah waktunya datang toh akan datang juga...!" ujarnya sambil tersenyum.
"Ah, mbok! Aku khawatir ada terjadi sesuatu. Hatiku tak enak...!" sahut Cinderani menyahut. "Berdoalah, semoga suamimu pulang dengan selamat. Wilayah ini memang kurang aman. Sebaiknya kau masuk. Di dalam kau bisa berbaring dengan tak usah cemas. Tak baik bagi kandungan mu." berkata halus wanita tua itu.
"Tidak, mbok. Biarlah aku di sini saja!" sahut Cinderani menolak.
Matanya masih saja menatap ke ujung jalan desa. Serasa dia tak sabar menanti kedatangan Sambu Ruci. Dan entah mengapa hatinya kini jadi luluh, dan dia mulai merasakan Kalau dia amat mencintai suaminya. Betapa sulit mencari orang seperti Sambu Ruci yang rela menikahinya demi menutup malu gurunya yang sudah dianggap ayah sendiri.
Cinderani memang yatim piatu ketika dibawa oleh Ki Balung Putih. Dan lebih dari sepuluh tahun dia bersama si kakek itu. Tiba-tiba matanya membinar melihat sesosok tubuh muncul di ujung jalan desa. Hatinya melonjak girang. "Akhirnya datang juga!" berkata dia dalam hati.
Namun dia jadi terheran, karena yang datang; bukanlah Sambu Ruci. Perawakannya dari jauh memang agak mirip. Dia serasa mengenai laki-laki itu yang kian dekat menghampiri pondok. Mendadak darahnya tersirap. Laki-laki itu tak lain dari Somara!
"Aha! Selamat berjumpa Cinderani! Apakah kau sudah melupakan aku?" bertanya Somara. Entah bagaimana Cinderani tak tahu, mengapa Somara bisa menjumpainya dan muncul di sini?
"Kau... kau mau apa datang kemari? Dari mana kau tahu aku berada di sini? sahut Cinderani gelagapan.
"Hehehaha... Sejak kepergian kalian dari tempat guru, aku sudah mengetahui. Dan siapa adanya laki-laki yang menjadi pendamping mu aku pun sudah mengetahui. Aku ke mari mau membawamu, Cinderani!" berkata Somara.
"Tidak! Aku telah bersuami. Kau tak berhak membawaku!" sahut Cinderani terkejut.
Sementara si mbok melihat kedatangan Somara, buru-buru angkat kaki masuk ke dalam pondok. Wajahnya berubah pucat. Dia merasa tak dapat berbuat apa-apa. Dia merasa bakal terjadi keributan. Entah siapa orang laki-laki ini? pikirnya diam benak.
"Siapa bilang? Aku yang lebih berhak! Anak dalam perutmu yang kau kandung itu adalah anakku!" berkata ketus Somara. Dia nampak gusar.
"Kau... kau... memang ayah anak dalam perutku ini, tapi... tapi..." pucat wajah Cinderani. Mulutnya mendadak serasa terkunci tak bisa bicara. Sementara air matanya telah mulai menitik.
"Sudahlah! tak ada tapi tapi. Sekarang segera kau ikut aku!" berkata Somara dengan suara berubah lembut. "Demi cintaku padamu dan demi anak kita!" ujarnya lirih.
Menggetar tubuh dara cantik ini. Apakah yang harus dia lakukan? Dia benar-benar tak tahu apa yang harus diperbuat! Namun terluncur juga katakata dari bibirnya dengan suara menggeletar. "Somara! pergilah! tinggalkan aku. Kalau suamiku pulang, kau akan dibunuh! Karena itulah perintah guru!"
Mendengar kata-kata Cinderani Somara tertawa terbahak. "Hahaha... Somara bukan anak kecil kemarin yang dapat diperbuat semaunya! Bukan aku takut menghadapi. Tapi saat ini aku perlukan kau, Cinderani! Maka mau tak mau terpaksa aku harus memaksamu!" berkata laki-laki ini.
Mendadak wajahnya berubah menjadi keras dan kaku. Sepasang matanya menatap mata Cinderani tak berkedip. Tatapan mata yang menimbulkan hawa dingin mencekam. Cinderani tersurut mundur. Wajah itu menyeringai. Cinderani merasa tubuhnya keluarkan keringat dingin. Tatapan mata Somara, begitu menakutkan. Seperti menembus ke dalam jantung! Dalam keadaan terkesima itulah, lengan Somara berkelebat cepat.
Tahu-tahu sudah menotok tubuh Cinderani. Gadis ini merdengarkan keluhan dan terkulai roboh. Namun dengan gerakan cepat, Somara segera merengkuhnya dalam pondongan. Sekejap kemudian dengan gerakan sebat telah berkelebat lenyap dari muka pondok itu. Mbok tua penghuni pondok melototkan mata dengan mulut ternganga. Mulutnya serasa terkunci walaupun dia sudah keluarkan suara untuk berteriak. Namun yang ke luar adalah suara... ah,uh,ah,uh...!
Apakah yang dilihat si mbok tua itu? Dalam pandangannya dia melihat sosok tubuh Somara berujud sesosok tubuh menyeramkan mirip seekor lutung besar yang menyeringai menampakkan taringtaringnya, merangkul dan memondong tubuh gadis itu kemudian melarikannya dengan berkelebat cepat sekali. Seketika pandangannya menjadi berkunang-kunang. Rasa takut yang luar biasa menggerayangi benaknya. Jantungnya serasa copot. Detik itu juga dia roboh pingsan tak ingat apa-apa lagi.
DUA BELAS
Somara membawa tubuh Cinderani dalam pondongan dengan gerakan cepat. Gerakan larinya seperti hembusan angin! Yang dituju adalah arah ke pantai. Akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadang, disertai bentakan keras.
"Somara! Murid durhaka! Berhentilah kau!"
Melihat sosok bayangan tubuh manusia berkelebat menghadang, Somara cepat berhenti dengan mendadak. Dan di hadapannya segera terlihat siapa manusianya. Ternyata tiada lain dari KI Balung Putih.
"Hm, menyingkirlah kau kakek tua bangka! Kau sudah tak ada urusan lagi denganku!" bentak Somara dengan wajah kaku.
"Heh? Menyingkir?" bentak orang tua ini. "Justru kaulah yang harus segera kusingkirkan ke Akhirat. Manusia murtad sepertimu sudah selayaknya mati! Lepaskan dia! Kau tak berhak apa-apa atasnya. Dia telah menikah dengan seorang laki-laki yang juga telah menjadi muridku!"
Akan tetapi Somara malah mendengus. "Tua bangka! Siapa bilang demikian? Apakah matamu buta kalau calon bayi yang berada dalam perut Cinderani adalah anakku?"
"Persetan!" maki Balung Putih. Kau menzinahinya tanpa menikah! Apakah patut dikatakan syah? Anak itu memang anakmu! Tapi kau tak berhak membawanya pergi karena dia telah menikah dengan orang lain. Dan satu hal lagi adalah aku telah bersumpah untuk membunuhmu!" teriak Ki Balung Putih geram.
Betapa dia amat membenci laki-laki bekas muridnya itu yang telah diketahui perbuatan bejatnya di luaran, serta telah mencemarkan nama baiknya.
"Baiklah Kalau begitu! Kau kira semudah itu kau dapat melakukannya?" berkata jumawa Somara. Dilemparkannya tubuh Cinderani ke tanah tanpa belas kasihan lagi.
Gadis yang sudah tak sadarkan diri itu mengeluh siuman. Akan tetapi kembali pingsan. Kini dia berdiri tegak menatapkan matanya dengan sorot tajam pada kakek tua di hadapannya. Bibirnya tampak komat-kamit. Uap hitampun mengepul di sekujur tubuhnya. Matanya berubah merah. Dan kakek itu menyurut mundur ketika tiba-tiba dia melihat perubahan bentuk tubuh Somara.
Karena sekejap kemudian tubuh laki-laki itu telah berubah ujud menjadi gorila yang menyeramkan. Dalam keadaan terperangah Itu tahu-tahu Somara telah menyerangnya dengan hantaman kilat ke arah dada Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua ini. Sejak melihat kejadian barusan dia sudah merasa kena pengaruh sorotan mata yang menimbulkan hawa aneh. Hingga menggetarkan jantung. Dia seperti kena tenung!
Memanglah demikian, karena Somara telah gunakan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi lawan dengan sorot mata yang membersitkan sinar; mencengkeram. Dan menyerang di saat yang baik itu. Buk! Terdengar benturan keras. Ki Balung Putih terlempar bergulingan. Dia tak mampu mengelak. Namun sempat membentengi dadanya dengan tenaga dalam. Akan tetapi di luar dugaan, tenaga pukulan Somara amat luar biasa. Kakek Itu rasakan dadanya mau pecah. Dan tubuhnya terlempar bergulingan.
Namun sebagai jago tua kawakan, dia masih berjumpalitan untuk segera bangkit berdiri lagi. Terperanjat kakek ini ketika melihat jubahnya pada bagian dada telah hangus. Dan sebuah tanda telapak tangan berwarna hitam. Sadarlah dia kalau pukulan itu mengandung racun.
"Hahaha... kakek tua bangka! segeralah kau berangkat ke Akhirat!" Diiringi geraman dahsyat, makhluk menyeramkan itu telah menerjang Ki Balung Putih.
Tersentak kakek tua ini. Tapi dia segera telah dapat mengkonsentrasikan panca indranya, walau telah terluka akibat pukulan beracun. Terjangan yang mengandung maut itu dapat dihindari. Segera terjadilah pertarungan maut. Suara geraman dan bentakan terdengar membauri sekitar tempat itu. Pada saat itulah sesosok tubuh berkelebat muncul di tempat itu.
Ternyata Sambu Ruci. Membelalak mata laki-laki ini melihat Ki Balung Putih sedang bertarung maut dengan seekor makhluk menyeramkan. Akan tetapi segera dia berteriak tertahan melihat sosok tubuh wanita yang tergolek di dekat semak belukar. "Cinderani!?" desisnya terkejut. Dan serta-merta dia telah memburunya. Gadis cantik yang tengah mengandung Itu segera diperiksa.
Akan tetapi pucat wajahnya seketika karena Cinderani sudah diam membeku. Nyawa gadis itu telah melayang bersamaan dengan pingsannya ketika dibantingkan ke tanah oleh Somara. Tampak dari sudut bibir gadis itu yang agak terbuka mengalirkan darah kental berwarna hitam.
"Pasti pembunuhnya makhluk itu!" geram Sambu Ruci. Mendadak dia telah bangkit berdiri. Dan, sekali sentak pedang pusakanya telah berada dalam genggaman tangannya. "Iblis keparat! kau harus tebus kematian istriku dengan darahmu!" teriak Sambu Ruci. Tubuhnya berkelebat melompat. Dan serta-merta dia telah lancarkan serangan ganas bertubi-tubi dengan jurus Pedang Aksara.
"Bagus! Sukurlah kau datang membantuku!" teriak Ki Balung Putih yang mulai merasa tenaganya telah mengendur. Di samping usia tuanya, juga dia telah terluka dalam akibat pukulan beracun Somara yang ganas.
Menghadapi serbuan dua lawan, tampaknya makhluk itu agak kewalahan. Namun Somara memang bukanlah orang yang berilmu kepalang tanggung. Lagi-lagi dia membaca mantera. Mendadak sepasang matanya menyorotkan cahaya merah membara. Sepasang mata yang menyilaukan itu menghambat serangan kedua guru dan murid itu.
Akan tetapi cepat Ki Balung Putih berbisik untuk mengatur siasat. Sambu Ruci mengangguk. Segera mereka berputar-putar mengelilingi makhluk itu dengan sekali-sekali melancarkan serangan. Ki Balung Putih telah memperingati agar jangan menatap pada matanya. Hal demikian berlangsung telah lebih dari empat puluh jurus. Di saat yang baik tiba-tiba Sambu Ruci berteriak keras. Tujuh kilatan pedang berkelebat.
Dan terdengarlah suara menggeram yang dahsyat, ketika kilatan-kilatan pedang mengandung maut itu mengenai sasarannya. Tubuh si makhluk itu terbelah menjadi beberapa potong. Serpihan-serpihan tubuhnya berhamburan disertai bermuncratannya darah segar. Dan usus serta isi perut yang terburai. Keduanya menatap dengan tertegun. Keampuhan jurus Pedang Aksara yang telah dipermatang melalui petunjuk Ki Balung Putih, lagi-lagi membuktikan keampuhannya!
Baru saja kedua orang itu menghela napas lega. Sebersit cahaya melesat ke udara dari tubuh makhluk itu yang berangsur-angsur berubah menjadi tubuh Somara lagi. Terperangah keduanya melihat kejadian aneh itu. Karena cahaya merah itu adalah sepasang mata manusia! Itulah sepasang mata mayat Somara! Saat mereka terperangah itulah terdengar suara tertawa berkakakan.
"Hahahaha. hehehehahaha... kalian takkan dapat membunuhku! Ragaku boleh hancur dan musnah. Tapi ketahuilah! Aku dapat masuk ke raga manusia lain tanpa kesukaran."
"Siapa kau sebenarnya manusia Iblis?" teriak Sambu Ruci seraya tersentak dan menyurut mundur.
"Akulah si pemilik Pulau Berhala. Alias si Paderi Mata Seribu...!" Selesai berkata, sepasang cahaya merah dari sepasang mata Somara segera meluncur ke udara. Meluruk cepat ke arah laut. Menyeberangi perairan di wilayah tenggara itu untuk segera lenyap. Ke mana lagi tujuannya kalau bukan ke Pulau Berhala!
* * * * * * *
Roro Centil baru saja jejakkan kakinya di pantai wilayah tenggara. Bersitan cahaya merah itu lewat di atas kepalanya! Segera tahulah Roro siapa adanya cahaya itu, karena Roro pernah berjumpa dengan si Paderi Mata Seribu. Dara perkasa kita perlihatkan senyuman di bibirnya yang ranum.
"Hm, Paderi Mata Seribu! Kini saatnya kau harus lenyap dari muka bumi!" mendesis Pendekar wanita Pantai Selatan atau yang kini dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu. Mendadak tubuh wanita pendekar ini telah merubah bentuk menjadi seekor macan tutul yang luar biasa besarnya.
Dengan perdengarkan suara menggeram, makhluk itu melompat ke udara membersit bagaikan angin, mengejar cahaya merah yang menukik lenyap di Pulau Berhala. Saat itu di Pulau Berhala telah terjadi kegaduhan. Kakek bulat alias Paderi gemuk yang bergelar si Dewa Angin Puyuh yang tertawan, ternyata dapat meloloskan diri. Pintu penjara masih terkunci. Tapi orangnya lenyap.
Pada lantai batu itu terlihat lubang besar. Ternyata si Dewa Angin Puyuh baru saja sembulkan kepalanya dari sebuah lubang di belakang Istana Hitam. Baru saja dia membersihkan tubuhnya yang kotor penuh berlepotan tanah. Mendadak terdengar suara bentakan keras.
"He! Babi bulat! Kau takkan dapat meloloskan diri!"
Betapa terkejutnya dia melihat si Tiga Naga Merah telah berada di depannya. Menggeram kakek bulat int. Serta merta dia langsung menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat. Terjadilah pertarungan hebat. Tapi kali ini Tiga Naga Merah tak diberi kesempatan lagi untuk gunakan ilmu sihirnya.
Jeritan maut terdengar ketika dua dari si Tiga Naga Merah melurukkan serangan ganas, tubuh paderi bulat menggelinding bagai bola. Serangan itu lewat bahkan saat sekejap itu dia sudah berada di belakang tubuh kedua lawannya. Tiba-tiba terangkatlah sepasang lengan kakek bundar ini. Angin pukulan Selaksa Petir dilontarkan.
Zeoooosss! Prakkkk...!
Hancurlah batok kepala si dua manusia jahat itu. Tubuh mereka menghantam tembok istana hingga ambrol! Tanpa bisa pentang suara lagi, kedua manusia itu tewas seketika. Kepalanya hancur jadi bubur!
Melihat demikian, sisa seorang lagi dari si Tiga Naga Merah jadi pucat pias. Tak ayal dia segera balikkan tubuh untuk kabur melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring merdu. Dan di tempat itu berkelebat muncul sesosok tubuh. Siapa lagi Kalau bukan si Macan Tutul Betina Pantai Selatan Roro Centil!
"Hihihi.... hebat! hebat sekali kau paman bulat! manusia ini serahkan padaku!" berkata Roro. Mendadak Roro rentangkan tangannya. Dari ujung lengannya tiba-tiba membersit cahaya kuning emas ke arah paderi Tibet itu.
Bukan main terkejutnya paderi ini karena tahutahu seutas rantai telah membelit lehernya. Itulah senjata Rantai Genit Roro Centil, yang telah dipergunakan untuk pertama kalinya. Tanpa bisa berbuat apa-apa lagi manusia itu menjerit parau. Jeratan rantai itu membuat dia tak bisa bernapas, hingga lidahnya menjulur ke luar. Lengannya meronta-ronta untuk melepaskan diri. Tapi tak berdaya. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Sesaat antaranya manusia asal Tibet itu pun tewas dengan lidah terjulur, dan mata mendelik ke luar mengerikan.
"Hoooii! Kau Roro Centil!? ah! Sungguh girang sekali kau muncul di sini, keponakanku! Hayo mari kita tumpas si Paderi Edan Mata Seribu itu! Ketahuilah dia adalah bekas adik seperguruanku yang murtad dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat!" teriak si paderi bulat dengan berjingkrak kegirangan melihat kemunculan Roro.
"Hahaha... kalian cuma mengantar kematian mendatangi Pulau Berhala! Selamat datang pendekar wanita yang hebat!" tiba-tiba terdengar suara si Paderi Mata Seribu membuat suasana seketika berubah tegang!
Segera Roro telah melihat sesosok tubuh berjubah hitam. Sosok tubuh kurus berkepala botak yang mempunyai sedikit rambut berkepang di belakang kepala. Memang dialah si Paderi Mata Seribu alias Kencarupa.
"Iblis jahanam! Hari Ini kau bertobatlah sebelum kau mampus!" teriak Dewa Angin Puyuh dengan geram. Kemarahannya telah membludak bagaikan air bah. Dia melompat menerjang dengan pukulan Selaksa Petir.
Akan tetapi sekali laki-laki kurus itu gerakkan tongkat hitamnya yang berkepala berbentuk ular itu. Mendadak pukulan dahsyat si Dewa Angin Puyuh lenyap bagai disedot masuk ke dalam tongkat.
"Hehehe... hahaha... kakang Kumbara! Tak guna ilmu kehebatan yang kau miliki. Dewa pun takkan sanggup menghadapiku!" berkata jumawa si Paderi Mata Seribu.
"Manusia sombong! Tidakkah kau mengetahui bahwa kesombonganlah yang akan membawa kejatuhan bagi dirimu sendiri!" berkata Roro dengan ketus. Lengannya terangkat. Meluncurlah dua sinar kuning emas ke arah laki-laki Itu. Satu sinar mengarah ke tongkat, sedangkan satu lagi meluncur ke arah leher. Itulah senjata gaib Rantai Genit Roro Centil.
Tersentak Kencarupa melihat sepasang rantai berkilauan kuning emas siap membelit tongkat dan lehernya. Serangan ke arah leher dapat dia egoskan. Tapi serangan ke arah tongkat tak dapat dielakkan lagi. Tongkat pusakanya secepat itu telah terbelit oleh senjata gaib Roro Centil. Ketika itu paderi ini berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya terhuyung karena satu tarikan kuat telah membuat tongkatnya terlepas seketika. Belum lagi hilang terkejutnya, sudah terdengar suara...
Krrraaaak! Tongkat pusaka yang mengandung kekuatan hebat itu telah hancur diremukkan Roro. Lagi-lagi dia harus melompat menghindar, ketika rantai gaib meluncur lagi untuk membelit lehernya.
"Gila! Senjata apakah ini!?" desisnya terperanjat, bibirnya segera membaca mantra-mantra. Akan tetapi Roro pun segera membaca mantera-mantera ajiannya.
Terjadilah pertarungan kekuatan batin. Tubuh Kencarupa berubah hitam mengerikan. Sepasang matanya merah menyala bagai bara api. Sementara Roro sendiri telah berganti ujud yang membuat paderi bulat jadi ternganga.
Roro Centil tidak menampak sebagai manusia lagi, akan tetapi lebih mirip bagaikan arca. Ya... memang terlihat Roro berubah menjadi sebongkah arca batu yang sudah berlumut! Sementara Rantai Genit telah lenyap di saat terjadi pertarungan adu kekuatan batin ini.
Roro merapal ajian Tujuh Aksara Suci. Tubuhnya memang telah berubah menjadi area batu dalam penglihatan mata biasa. Akan tetapi itulah saatnya Roro gunakan ilmu barunya yang didapat dari kakek guru Roro, yaitu Bagawan Bhama Kosala.
Hal itu membuat Kencarupa kena dikelabui. Karena dia menyangka Roro telah terkena ilmu tenungnya. Akan tetapi terperangah dia ketika mendadak membersit cahaya putih kemilau dari sepasang area. Dia tersentak untuk menghindar. Namun terlambat...
Blarrr....!
Terdengar suara dentuman dahsyat. Seketika tubuh si Paderi Mata Seribu hancur jadi arang yang bertebaran. Ilmu Tujuh Aksara Suci bukanlah ilmu hitam. Akan tetapi ilmu yang murni, yang tak mau dikotori. Cahaya putih berkilauan itu adalah cahaya yang menolak datangnya serangan. Hingga tak ampun serangan tenaga batin Kencarupa telah berbalik menghantam pada dirinya sendiri...!
Sesaat setelah kejadian itu terdengar suara bergemuruh. Apakah yang terjadi? Istana Hitam di saat hancurnya tubuh Paderi Mata Seribu ternyata runtuh! Suara berderak ditembok yang rengat dan roboh terdengar di sana-sini. Hingga dalam keadaan beberapa saat saja Istana Hitam itu ambruk rusak binasa.
Bahkan berhala-berhala yang banyak bertebaran di sekitar pulau itu pun turut hancur. Ternganga si paderi bulat Dewa Angin Puyuh melihat kejadian itu. Dilihatnya puluhan paderi menghindari dari bencana mengerikan itu. Sementara dia sendiri telah melompat menjauh kalau tubuhnya tak mau teruruk reruntuhan!
Ketika keadaan sudah pulih dan suasana berubah lengang. Matanya jelalatan ke sekitarnya mencari Roro. Akan tetapi tak dilihatnya lagi gadis pendekar itu. "Aiiiih! Ke mana keponakanku itu?" gumamnya dengan garuk-garuk kepala.
Lapat-lapat telinganya mendengar suara tertawa yang lebih mirip dengan suara lengkingan bernada tangisan. Suara itu semakin menjauh, dan akhirnya lenyap. Tertegun Dewa Angin Puyuh mendengarnya, itulah suara Roro Centil.
"Ah, ah... dasar pendekar wanita aneh! Ilmunya sungguh luar biasa hebatnya. Sayang... Dia begitu cepat muncul dan begitu cepat menghilang! Dasar pendekar wanita yang aneh!" gerutu si kakek bulat. Namun tak lama dia segera berkelebat ke arah pantai. Menuju kearah perahunya yang disembunyikan di sebelah batu karang.
Episode selanjutnya,