Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Karya Mario Gembala
SATU
Puncak gunung Galunggung kepulkan asap tipis. Keadaan di sekitar tempat itu sunyi senyap. Cuma yang terdengar suara lumpur lahar yang bergolak mendidih. Tak seorangpun manusia yang berani melongok ke puncak gunung itu, karena hawa yang teramat panasnya.

Akan tetapi justru satu keanehan di sisi lumpur yang bergolak menindih itu, pada satu relung goa tampak duduk dengan mata meram dan kaki bersila seorang nenek tua renta yang berambut putih beriapan. Hawa dari lahar itu seperti tak dirasakannya.

Empat puluh hari empat puluh malam sudah nenek tua renta itu bersemadi. Kalau pantatnya tak menempel di atas batu tentu manusia itu pasti disangka setan kalau kebetulan ada orang yang melonggokkan kepala melihatnya.

Dekat ujung kakinya banyak terdapat guratan yang menggores batu. Itulah goresan hitungan dimana setiap selesai satu malam bertapa, si nenek selalu menggurat satu kali dengan jarinya demikian seterusnya. Dan dari banyaknya guratan itu yang kalau dihitung sudah berjumlah 40 guratan berarti sudah empat puluh hari lamanya dia bersemadi di lereng dasar kawah itu.

Hari itu adalah hari keempat puluh dia bertapa. Saat mana tampak si nenek tua renta itu mulai membuka sepasang kelopak matanya. Ternyata dia seorang nenek bermata juling. Bibirnya tampak sunggingkan satu senyum puas. Dan dia boleh bernapas lega, karena dari bisikan gaib yang diperoleh melalui semedinya satu harapan besar yang menggembirakan telah membuat dia tertawa terkekeh-kekeh seraya ucapnya lirih.

"Hihihik... hihihihik... terima kasih! Terima kasih atas petunjukmu Eyang Pukulun..! tentu saja syarat-syarat itu akan hamba penuhi! Bocah perempuan yang sudah kuresmikan menjadi muridku itu harus dapat menandingi kehebatan si Roro Centil! Dan dia harus mampu membunuhnya! hihihik... hihihik..."

Selesai berkata si nenek tua renta bermata juling itu bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap ke atas tepian lereng kawah, dipuncak paling atas. Dengan perdengarkan suara tertawa dingin, perempuan tua yang sakti ini gerakkan anggota tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Terdengar suara berkrotokan tulang-tulangnya. Duduk bersemadi selama empat puluh hari empat puluh malam membuat urat-uratnya kaku.

Bahkan kulitnya sudah hitam seperti gosong akibat hawa yang teramat panas. Pakaiannyapun robek berserpihan karena lapuk dimakan hawa panas. Sekali lengannya bergerak, sebongkah batu besar dua kali kepalan tangan sudah tercekal di tangannya. Lalu matanya menatap lagi ke atas puncak gunung dari dalam ruang rongga di lereng batu dalam mulut kawah.

Wuuttt...! Batu di lengannya dilemparkan ke atas. Dan tubuhnya secepat kilat melesat menyusul batu yang barusan dilemparkan. Ketika kakinya tepat di atas batu, sebelah kaki si nenek mata juling jejakkan kakinya pada batu tua itu, dan... ringan sekali tubuh si nenek kembali meluncur untuk seterusnya hinggapkan kaki di bibir mulut kawah.

Sementara batu yang dipakai sebagai "tangga" untuk melompat itu meluncur deras ke bawah, dan lenyap ditelan bergolaknya lumpur kawah gunung Galunggung. Setelah perdengarkan suara tertawanya yang terkekeh-kekeh, si nenek mata juling berkelebat dari puncak gunung itu dan lenyap di kesamaran kabut...

Dua hari kemudian sejak terjadinya peristiwa di gunung Galunggung, di sebuah desa terdekat telah terjadi kegaduhan. Teriakan-teriakan ketakutan terdengar dari sebuah rumah. Apakah yang terjadi?

Seorang wanita tua lari pontang panting keluar dari rumahnya dengan wajah pucat. Hari belum begitu malam, namun hawa aneh yang membangunkan bulu roma telah menyebar di sekitar desa Banyu sari. Wanita yang lari pontang panting keluar dari rumahnya itu, karena tahu-tahu melihat di dalam kamarnya muncul makhluk-makhluk kerdil yang berwajah menyeramkan, dengan mulut menyeringai dan sepasang mata yang besar-besar.

Pada kepalanya terdapat dua buah tanduk. Makhluk-makhluk itu ternyata menghampiri anak gadisnya yang tidur sendiri dalam kamarnya. Ketika mendengar suatu jeritan sang anak gadis tengah meronta-ronta dalam cengkeraman tangan mahlukmahluk kerdil yang menyeramkan. Tentu saja membuat dia terperangah dengan wajah pucat. Dan serta merta melompat keluar rumah dengan menjerit-jerit ketakutan...

"Toloooong! tolooong!" teriaknya dengan menggetar panik. Tentu saja membuat penduduk segera keluar untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Dua orang laki-laki bergegas melompat menghampiri.

"Ada apa, bi...? ada apa...? Mengapa kau berteriak-teriak malam-malam begini?" tanya salah seorang. Sementara laki-laki itu telah mencekal golok yang sejak keluar dari rumah sudah dihunusnya.

"Anaku... a... anaku... Kitri! tolong anaku..." teriak wanita tua itu dengan menangis terisak dan wajah pucat pasi.

"Kenapa anakmu? kenapa? apa yang terjadi...?" tanya seorang lagi. Sementara beberapa orang penduduk laki-laki dan perempuan sudah berdatangan dengan berlari-lari menghampiri.

Akan tetapi belum apa-apa wanita tua itu telah terkulai pingsan tak sadarkan diri. Si laki-laki bergolok seketika sudah melompat ke arah rumah.

"Pasti ada terjadi apa-apa dengan anak gadis itu! ayo, bantu aku melihat!" teriak laki-laki itu sesaat ketika berhenti untuk berpaling pada para tetangganya yang sudah berkerumun.

Dua orang lagi singsingkan kain sarungnya lalu bergegas melompat menyusul kawannya. Sebuah kayu yang tergeletak di tanah disambar oleh salah seorang. Sedang kawannya yang satu lagi telah mencabut keluar goloknya yang terselip di pinggang.

"Dimana anak gadis itu? Tak ada...!" teriak salah seorang yang tadi duluan masuk.

"Periksa kamar, tolol!" teriak kawannya.

Braakk! Pintu kamar ditendang roboh. Ketiganya menyerbu ke dalam. Akan tetapi beberapa bayangan hitam telah melompat dan menerkam. Seketika terdengarlah suara jeritan tiga orang itu yang seketika berkelojotan dengan mata membelalak dan terperangah kaget, karena tahu-tahu leher mereka telah terkena terkoyak oleh gigitan taring makhluk-makhluk kerdil yang mencengkeramnya.

Tak ampun ketiga orang itu berkelojotan meregang nyawa dengan lidah terjulur sekarat. Suasana kembali hening setelah ketiga orang penduduk itu roboh terkulai dengan tak berkutik lagi. Akan tetapi di luar telah terjadi kegaduhan ketika dari jendela berlompatan makhluk-makhluk kerdil itu yang jelas terlihat memondong tubuh seorang perempuan.

"Itu..! it..uuuu! kejar.! kejaaaar...!" teriak beberapa orang dengan suara santar dan mata membelalak.

Akan tetapi bukannya pada mengejar, bahkan mereka menyurut mundur. Karena segera meremang bulu tengkuk mereka melihat sekelebatan bentuk tubuh dan wajah yang menyeramkan dari makhluk-makhluk kerdil itu yang menggondol lari gadis itu.

"Ssssetan...! hah!? itu, mah... ssetan! hiiiiiii..." teriak salah seorang dengan suara gemetar dan wajah pucat pias.

Sekejapan saja makhluk-makhluk kerdil itu lenyap dikeremangan malam. Barulah mereka teringat akan nasib tiga orang kawan yang memasuki rumah. Bergegas beberapa orang menyerbu untuk melihat.

Bukan main terkejutnya para penduduk ketika mengetahui ketiga kawan mereka telah terbujur jadi mayat. Keadaannya mengerikan karena pada leher masing-masing ada luka lebar menganga seperti bekas gigitan taring. Gemparlah seketika penduduk desa Banyu sari ketika mengetahui ketiga penduduk yang telah tewas itu kenyataannya telah tersedot habis darahnya.

Diculiknya gadis bernama Kitri anak seorang janda yang cuma hidup berdua dengan anak gadisnya itu menambah mengkalutkan suasana. Kepala Desa segera memerintahkan semua penduduk untuk berjaga-jaga khawatir kejadian berikutnya terulang lagi.

Esoknya menjelang tengah hari, mayat ketiga penduduk itu segera dikebumikan dengan hati hancur serta perasaan sedih. Kejadian itu adalah kejadian untuk yang pertama kalinya melanda desa Banyu sari di lereng gunung Galunggung... Sementara itu di satu tempat tersembunyi yang sukar dikunjungi manusia biasa, di satu lereng bukit terjal pada sebuah lubang goa...

"Hihihi... hihihik... bagus! bagus! kalian bekerja dengan baik, akan tetapi aku membutuhkan enam orang gadis lagi untuk keperluan ku!" Di mulut goa itu berdiri sesosok tubuh wanita tua yang berambut putih beriapan. Dialah si nenek tua renta bermata juling yang tengah bicara dengan tujuh makhluk kerdil yang berwajah menyeramkan.

"Tiga hari lagi bulan Purnama. Kalian harus sudah selesai mengumpulkan tujuh orang gadis!" sambungnya dengan suara serak bagai burung gagak.

Ketiga makhluk itu manggut-manggut dengan tertawa menyeringai, lalu segera satu persatu berkelebatan keluar dari dalam goa. Gerakannya cepat sekali karena mereka seperti melayang saja di atas udara melintas jurang terjal di bawah bukit. Tertawa terkekeh si nenek mata juling, memandang ketujuh makhluk piaraan yang amat patuh untuk menjalankan tugas.

Tak lama nenek mata juling segera beranjak masuk ke dalam goa. Sebongkah batu bergerak menggeser dari dalam yang segera menutupi lubang itu. Ternyata si nenek itulah yang menggeserkan batu penutup liang goa itu...

DUA

Dari ruangan bagian dalam goa itu terdengar suara isak tangis seseorang. Bergegas si nenek mata juling menghampiri, seraya perdengarkan suara tertawanya mengekeh.

"Hihihik... hihihik... sudahlah muridku, jangan kau turutkan kesedihan mu! Tiga hari lagi kau boleh bergirang hati mempunyai sepasang lengan baru. Tidak saja akan membuat anggota tubuhmu kembali sempurna, akan tetapi juga kau akan memiliki sepasang lengan yang sakti!" ujar si nenek tua renta itu menghibur.

Tampak seorang wanita berwajah cantik, namun berambut kusut dan wajah pucat lesu duduk menyandar ditembok goa dengan berurai air mata. Akan tetapi jelas terlihat sepasang lengannya putus. Dialah wanita yang bernama Giri Mayang. (seperti dikisahkan dalam judul: Langkah-langkah Manusia Beracun, Giri mayang yang bertarung melawan Gembul Sona si Belut Putih dan Sambu Ruci alias si Pendekar Selat Karimata kena dilukai senjata kedua Pendekar itu.)

Saat itu Giri Mayang telah menyerupakan dirinya menjadi seekor ular besar berkepala tujuh. Pedang Sambu Ruci berhasil menabas leher salah satu kepala ular. Demikian pula keris pusaka Gembul Sona si kakek rambut coklat itu dapat leher salah satu dari tujuh kepala ular kejadian itu. Ternyata tepat yang ditabas adalah sepasang lengan dari wanita sakti bernama Giri Mayang itu, yang mempunyai dendam sedalam lautan terhadap Roro Centil.

"Tiga hari lagi, guru...? Dan benarkah apa yang kau katakan itu...?" bertanya Giri Mayang dengan wajah sekonyong-konyong membersitkan cahaya cerah. Semangat hidupnya telah timbul lagi.

"Hihihik... hihik... mengapa aku harus berdusta? Tenangkan hatimu. Tiga hari lagi menjelang purnama si tujuh makhluk kerdil piaraan ku sudah mengumpulkan tujuh orang gadis. Mereka semua adalah sebagai syarat untuk mendapatkan sepasang lenganmu yang kudengar dari suara gaib hasil dari semediku selama empat puluh hari empat puluh malam di kawah gunung Galunggung. Dan... kau boleh bersuka cita dengan sepasang lengan barumu kelak, karena kau akan mempunyai sepasang Tangan Iblis yang dapat kau pergunakan untuk membalas dendam, hihihik... hihihik… hihik..."

"Oh, terima kasih! terima kasih, guru! Atas jerih payahmu itu entah dengan apa aku harus membalasnya!" berkata Giri Mayang dengan sinar mata membinar karena girangnya.

Tertawa mengekeh si nenek mata juling, seraya ujarnya. "Hm, bagiku asalkan kau bisa melenyapkan si Roro Centil aku sudah puas! Karena bukan saja murid manusia Banci itu telah membunuh murid ku si kupu-kupu emas akan tetapi juga membunuh mati anakku Porak Supih. Dengan kau berhasil kelak melenyapkannya berarti kau telah pula membalaskan dendam ku dan membalaskan pula kematian paman gurumu serta murid gurumu itu." berkata si nenek tua renta dengan suara dingin. "Dengan bekal Tangan Iblis itu aku yakin kau dapat membunuh mati si Roro Centil itu, murid ku!" ucapnya dengan tandas.

Giri Mayang tak dapat berkata-kata selain mengangguk-angguk dengan pancaran mata bersinar. Betapa dia sudah tak sabar untuk menantikan saat pembalasan itu...

* * * * * * *

Kita tinggalkan dulu dua manusia Kaum Rimba Hijau golongan hitam itu yang mempunyai dendam amat luar biasa pada sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Marilah kita beralih kesatu tempat.

Lelaki muda bertubuh tegap itu duduk termangu di atas batu. Di belakangnya adalah air terjun yang meluncur dari atas tebing batu di belakangnya. Sepasang matanya menatap ke depan. Akan tetapi tiada yang ditatapnya karena sebenarnya dia tengah menatap jauh ke masa silam...

Laki-laki itu berwajah bersih. Dari bekas cukuran pada jenggot dan kumisnya menandakan dia adalah bekas seorang laki-laki brewok yang berambut gondrong. Bila di pandang dari keadaan tubuhnya, ternyata diapun seorang yang cacad jasmani, karena sebelah lengan kirinya putus hampir sebatas pangkal lengan.

Dialah Joko Sangit! Laki-laki gagah yang pada peristiwa beberapa bulan yang lalu terpaksa membuntungi lengannya sendiri, karena demi membuktikan cinta dan janjinya pada Roro Centil.

Akan tetapi Joko Sangit telah terkecoh, karena tanpa disadari Joko Sangit telah salah mata menganggap Giri Mayang sebagai Roro centil, karena Giri Mayang telah mempergunakan ajian malih rupa, bahkan memakai pakaian serta senjata yang mirip seperti yang sering dikenakan Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.

Giri Mayang yang mengetahui dalam mabuknya si laki-laki bernama Joko Sangit itu bahwa dia memendam Cinta pada Roro Centil telah sengaja mempermainkannya. Hingga dalam keadaan menderita, Joko Sangit tergelincir masuk ke dalam jurang. Dan tak sempat lagi mengetahui siapa sebenarnya wanita dihadapannya.

Apakah yang terjadi dengan murid si Pendekar Gentayangan Ki Jagur Wedha itu hingga masih bisa hidup dan berada di satu tempat tersembunyi di bawah air terjun? Sebentar akan kita simak kisahnya.

Saat Joko Sangit tengah merenung akan kisah silamnya yang sebentar-sebentar diseling dengan helaan napas, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang membuat laki-laki ini terkejut dan tersadar dari lamunannya.

"Hehehehe... orang muda terlalu banyak melamun akan tidak baik! Hal itu boleh dilakukan cuma sekali waktu. Akan tetapi terus-terusan melamuni nasib, bukan saja membuat lenyapnya semangat hidup juga akan menyia-nyiakan waktu!"

Suara tertawa yang kemudian disambung dengan kata-kata itu membuat Joko Sangit tersenyum, karena dia segera telah melihat datangnya seorang kakek jangkung bermata sipit berkulit putih. Rambutnya digelung kecil di atas kepala. Terbungkus dengan kain sutera warna putih.

"Ah, kakek Matsui, anda membuat aku jadi terkejut..! ujar Joko Sangit seraya menjura. Lalu tukasnya selanjutnya. "Benar sekali apa yang anda katakan itu kakek Matsui! aku terlalu tenggelam dengan kemelut kisah ku di masa silam yang penuh dengan kebrutalan...!"

Mengekeh tertawa si kakek jangkung berjubah putih ini dengan mengelus-elus jenggotnya, "Heheheheh... kebrutalan masa muda memang seperti tidak bisa terlepas dari gaya hidup manusia, akan tetapi tentu punya batas-batas dan ukuran tertentu!" tukas si kakek Matsui, tokoh persilatan dari Negeri Sakura ini. Entah bagaimana kakek kosen ini mulai "ngelayap" keluar dari negerinya.

"Wah...! kalau aku sudah lebih dari batas ukuran, kek...! Makanya tak habis-habis kurenungi. Aku merasa jalan hidupku banyak salah. Aku banyak berbuat dosa di luar kesadaranku, atau bahkan dalam sadarku...!" berkata Joko Sangit.

Kakek Matsui kerutkan keningnya menatap pada laki-laki itu yang pada beberapa bulan yang lalu dicolongnya secara kebetulan. "Apakah di samping minum arak ada banyak kejahatan lain yang kau lakukan?" tanya Kakek Matsui.

Joko Sangit tertawa hambar sambil manggut-manggut. "Banyak nian, kek! Terutama pada soal perempuan...! Ya! Arak dan perempuan itu seperti sudah mendarah daging di benakku! Aku berusaha menghilangkannya tapi tak punya kemampuan untuk menghindari..." keluh Joko Sangit.

"Heheheh... apakah kira-kira kau telah temukan cara baik untuk buang sifat itu?" tanya kakek Matsui.

"Justru itulah aku tengah merenungkannya...!" sahut Joko Sangit dengan menghela napas.

"Dan... kau sudah punya kepastian? Dalam perenungan mu selama berhari-hari ini?" tanya lagi kakek Matsui dengan tersenyum.

"Baru separuhnya...!"

"Maksudmu?" tanya orang tua itu tak mengerti.

"Aku baru bisa menghilangkan keinginanku dengan perempuan saja!" sahut Joko Sangit.

Membelalak mata kakek Matsui, lalu dikejapkejapkan. Dan tiba-tiba saja tertawa terkekeh-kekeh sampai terbatuk-batuk. "Hehehe... heh heh heh... uhuk uhuk... berhari-hari merenungi diri ternyata hasilnya tak lebih cuma pesong belaka! hehehe... hehheh..."

"Apa itu pesong, kek...?" tanya Joko Sangit heran. Ditatapnya kakek jangkung kurus berjubah putih itu dengan hati agak mendongkol, juga tak mengerti.

"Hehehe... pesong artinya pepesan kosong! Kalanya kau merenung mengingat segala dosa taik kucing! Nyatanya kau tak mampu menghilangkan keinginanmu untuk mabok arak! Wahahaha... he... hehe... Kalau cuma menghilangkan keinginan pada perempuan sih bukannya hasil merenung, tapi sudah saja kau bilang bahwa kau patah hati! Dan patah hati itu sifatnya sementara...! Kalau untuk selamanya kau tak punya keinginan pada perempuan, apa lagi masih punya keinginan mabuk arak, Wah... wah! Itu sih sama dengan bohong! Kecuali kau "dikebiri" aku baru yakin." berkata kakek Matsui dengan blak-blakan mengungkapkan pendapatnya.

Ternyata apa yang dikatakan si kakek Matsui sedikitpun tak disalahkan Joko Sangit. Hatinya membatin. "Si kakek orang asing yang menolongku ini seperti bisa mengetahui sifat manusia! Aku sendiri tidak bisa memastikan apakah akan selamanya aku menjauhi perempuan? Yang jelas semenjak aku dibuat sakit hati oleh perbuatan Roro Centil hingga sampai aku kehilangan sebelah lenganku aku... aku mulai membenci perempuan!"

Akan tetapi sedikit banyak Joko Sangit masih penasaran yang membuat dia ajukan pertanyaan, dan balas "memukul" orang. "Penjelasan anda ada benarnya juga kakek Matsui. Akan tetapi anda mengatakan keyakinan anda kalau manusia dikebiri barulah lenyap keinginannya pada perempuan, apakah anda pernah mengalami hal seperti aku dan jangan-jangan anda termasuk orang yang dikebiri..." ujar Joko Sangit seraya melompat berdiri.

Berubah seketika wajah si kakek jangkung dari Negeri Sakura itu. Alisnya yang putih dan gompyok hampir menutupi matanya itu terjungkat naik. Tiba-tiba sebelah lengannya menghantam tanah. Buk! dan tubuhnya telah mencelat setinggi sepuluh tombak. Di udara tubuh si kakek Matsui itu berputar dua kali. Selanjutnya dia berdiri tegak menengadah menatap langit. Jubahnya berkibaran tertiup angin pegunungan...

Terkejut Joko Sangit dia tak menyangka kalau kata-kata itu ternyata tepat mengenahi hati sanubari si kakek penolongnya. Namun diam-diam dia memuji kehebatan ilmu meringankan tubuh kakek dari Negeri Sakura itu.

"Ucapanmu tidak salah, anak muda...! Aku memang manusia kebiri! Sejak usia delapan belas tahun kejadian itu telah menimpa ku! Akan tetapi dugaanmu salah kalau kau katakan aku mengalami hal yang sama sepertimu!" terdengar suara si kakek Matsui berkata. Suaranya pelahan, akan tetapi mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat, yang mampu menandingi suara mengguruhnya air terjun. Ternyata si kakek Matsui telah palingkan kepalanya untuk menatap padanya dari tempat ketinggian itu.

"Anak muda...!" ujarnya. "Selama hidupku aku tak pernah mengenal atau mencicipi arak yang dapat membuat manusia menjadi mabuk! Di negeriku cuma ada sake...! Itu minuman tradisi disana! Dan... ketahuilah! Puluhan tahun sudah aku berusaha melupakan dendam pada manusia yang telah membuat aku cacad! Agaknya manusia yang kucari itu sudah tinggal jerangkongnya saja alias tak ada di dunia lagi! Namun aku masih penasaran untuk tetap mencarinya untuk membalaskan dendam ku! karena manusia itulah aku gagal dalam hidup ini...! Aku tak seperti manusia layak lainnya yang dapat punya istri, berkeluarga dan mengeyam hidup bahagia...!"

Tertegun Joko Sangit seketika. Suara si kakek Matsui seperti tergetar menahan perasaan yang menggebu di dadanya. Tampak terlihat tubuh orang tua itu tergoyang-goyang. Namun segera menggeloso dengan menekuk lutut. Sepasang matanya menatap pada Matahari, lalu menundukkan kepala dengan sepasang lengan mengepal menjadi satu.

"Kakek Matsui, maafkanlah kata-kataku yang telah menyinggung perasaan anda...!" teriak Joko Sangit.

Pendekar tua dari Negeri Sakura itu angkat wajahnya menatap Joko Sangit. Dan terdengar suara helaan nafasnya. "Sudahlah, anak muda...! kehidupan memang penuh dengan kemelut. Tak seorangpun manusia yang terlepas darinya...!" Selesai berkata, kakek itu bangkit berdiri.

"Kakek Matsui! mau kemanakah anda...?" teriak Joko Sangit, seraya gerakkan tubuhnya melompat. Akan tetapi cuma mampu tiba di bawah kakek itu yang berada sepuluh kaki diatasnya. Tampaknya seperti khawatir sekali si penolongnya itu meninggalkan tempat itu.

Tersenyum orang tua ini memandang laki-laki muda itu. Ada terbersit perasaan kasihan padanya. Memang sejak dia menolongnya secara kebetulan, si Pendekar tua. Negeri Matahari Terbit itu agak menaruh simpati pada Joko Sangit.

Kejadiannya adalah sebagai berikut. Ketika itu Matsui memang berada didasar jurang dalam yang berkabut itu, Sejak selama beberapa bulan dia "gentayangan" meninggalkan Negerinya untuk mencari seseorang diwilayah Pulau Jawa. Orang yang dicarinya tak lain adalah Roro Centil. Entah apa maksudnya kakek Matsui itu mencari sang dara Perkasa Pantai Selatan itu belum lagi diketahui.

Roro Centil memang pernah berkunjung ke negeri Sakura itu untuk memenuhi tantangan seorang tokoh hitam di kepulauan Jepang yang telah mendengar kehebatan serta nama besar Pendekar Wanita itu. Roro berhasil menjatuhkan lawannya. Dan sempat pula berkenalan dengan kakek tua bernama Matsui itu, serta mengalami pertarungan dengan para Ninja. (Baca Roro Centil dalam kisah Pedang Asmara Gila).

TIGA

Saat itu sesosok tubuh melayang deras ke dasar jurang yang dalam dimana pada sisi-sisinya adalah tebing-tebing batu terjal. Naluri si kakek Matsui yang peka membuat dia menengadah untuk melihat ke atas tebing. Tersentak kakek itu melihat diantara kesamaran kabut sesosok tubuh manusia meluncur ke bawah dengan derasnya. Saat itu Joko Sangit sudah tak tahu akan bahaya apa yang mengancam dirinya.

Ketika tahu-tahu sepasang lengan telah menyambar tubuhnya. Dan selamatlah dia dari bahaya maut! Kakek penolongnya itu segera diketahui bernama Matsui. Seorang laki-laki tua dari bangsa asing dari sebuah kepulauan yang jauh, yaitu di Negeri Matahari Terbit. atau yang dinamakan juga Negeri Sakura.

Selama beberapa pekan Joko Sangit dirawat oleh kakek itu hingga lukanya sembuh dan mengering. Selama itu pula kakek Matsui telah berdiam didasar lembah di bawah air terjun itu. Joko Sangit merasa sangat berhutang budi atas pertolongan orang tua asing itu. Tentu saja membuat dia begitu khawatir kalau si penolongnya meninggalkan dia di dalam keadaan tersinggung karena katakata yang telah diucapkannya.

"Anak muda..." ujar Matsui dengan suara lirih. "Jangan takut! aku tak merasa tersinggung dengan ucapan mu. Akan tetapi aku memang mau pergi. Dan... hari ini adalah saat yang baik buat aku meneruskan perjalanan...!"

"Ah!? akan kemanakah kakek...? tanya Joko Sangit tersentak. Pirasatnya sudah menduga kalau kakek asing yang baik budi itu akan pergi.

"Entahlah...! aku sendiri tak mengetahui kemana aku akan pergi! Untuk itu aku tak bisa menceritakannya padamu!" "Apakah kakek Matsui akan mencari dimana adanya musuh besar anda?"

"Tadinya demikian...! Tapi setelah berpikir orangnyapun entah masih hidup entah sudah mati! Tujuan sebenarnya adalah aku ingin bertemu dengan seorang tokoh Rimba Hijau dari tanah Jawa ini. Dia bernama Roro Centil dan berjulukan si Pendekar Wanita Pantai Selatan!" tegaskan Matsui dengan menghela napas.

Tersentak Joko Sangit. Seketika dia tundukkan wajah dan tampak wajahnya berubah murung. Dadanya berombak-ombak. Namun selang sesaat Joko Sangit dapat menenangkan perasaannya. "Ada hubungan apakah anda dengannya... ?" tanya Joko Sangit.

"Kau mengenalnya...?" Kakek Matsui justru balik bertanya.

"Yah, begitulah...! Akan tetapi dia memang amat sukar dijumpai!"

Terpaksa Joko Sangit menyahuti, walau sebenarnya hatinya lebih dari mendongkol pada Roro Centil, karena si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu telah mempermainkan cintanya. Bahkan gara-gara gadis Pendekar itu dia harus kehilangan sebelah lengannya. Demikian apa yang terpikir dihati Joko Sangit, tanpa mengetahui kalau perbuatan yang dilakukan terhadapnya adalah bukan oleh Roro Centil. Melainkan oleh Giri Mayang.

"Ya, ya, ya...! Aku mengerti, Gadis itu memang berwatak aneh. Muncul dan perginya seperti hantu. Kalau tak secara kebetulan mana mungkin bisa berjumpa dengan dia...?" tukas Matsui dengan manggut-manggut.

"Baiklah...!" sambungnya kemudian setelah merenung beberapa saat. "Kalau kau sudi menolongku tentu aku akan berterima kasih sekali!"

"Apakah itu, kek? Kakek telah menyelamatkan nyawaku kalau aku bisa membalas budimu! Apa pun yang kau tugaskan untuk membantumu aku bersedia membantumu!" sahut Joko Sangit dengan cepat.

"Heheheheh... heheheh... bagus... bagus! Telah ku tinggalkan di dalam goa "sesuatu" yang aku ingin memberikannya pada gadis Pendekar itu! Nah! tolong kau berikanlah benda dalam kotak perak itu padanya...! Hanya itu yang ku ingin kau menolongku... serta sampaikan salamku padanya... !" berkata kakek Matsui. Dan setelah tertawa terkekeh-kekeh tubuh jago tua dari Negeri Matahari Terbit itupun berkelebat dari atas tebing batu. Lalu lenyap tak kelihatan lagi.

Samar-samar masih terdengar suara tertawa mengekehnya dan kata-kata. "Selamat tinggal anak muda! Sampai jumpa lagi, kalau masih ada usia buatku...!"

Terpaku Joko Sangit ditempatnya. Tanpa sempat dia ucapkan kata-kata perpisahan pada sang kakek penolongnya. Namun yang lebih membuatnya terpaku adalah pesan si kakek Matsui. "Benda apakah yang berada dalam peti perak, yang harus kusampaikan pada si Roro Centil itu?" sentak hati Joko Sengit.

Dan begitu tergerak rasa ingin tahunya, tubuh laki-laki murid si Pendekar Gentayangan Ki Jagur Wedha telah melompat turun dari tempat ketinggian itu. Untuk selanjutnya berlari-lari menuju arah goa tempat tinggalnya selama ini.

Kebesaran bukan terletak pada kekuatan yang dimiliki, melainkan bagaimana menggunakan kekuatan itu dengan benar!

Itulah tulisan dari kata-kata yang tertera pada kulit kitab usang yang terdapat di dalam peti perak. Ternyata rasa ingin tahu Joko Sangit telah membuat dia penasaran untuk membuka kotak perak dalam buntalan kain yang sedianya harus diberikan pada Roro Centil.

Berdebar hati Joko Sangit. Kata-kata dalam tulisan itu mempunyai arti yang amat besar. "Ini pasti sebuah kitab tentang Ilmu kadigjayaan...!" sentak hati laki-laki itu. Dengan lengan sedikit tergetar kembali Joko Sangit menyibak lemparan berikutnya. Dan tertera disana sebuah tulisan yang berkalimat pendek. "Ninja".

Tercenung Joko Sangit. "Apa artinya kata-kata ini...?" gumamnya lirih. Selanjutnya dia telah membuka lembaran-lembaran berikutnya, yang ternyata berisikan ilmu-ilmu kedigjayaan. Akan tetapi jelas mempunyai bentuk ilmu silat asing serta ilmu bela diri yang menerangkan tentang rumusan-rumusan inti dari jurus-jurus Ninja, seperti yang tertera pada lembar pertama.

Jelaslah sudah kalau kakek Matsui mencari Roro Centil adalah karena ingin memberikan kitab tentang Ninja yang berasal dari Negeri Matahari Terbit itu. Entah hubungan apakah kakek Matsui mencari Roro Centil, hingga kakek Matsui mencari sejauh itu hanya untuk menyerahkan kitab itu pada Roro? pikir dibenak Joko Sangit.

"Apakah aku harus menyampaikannya pada Roro Centil... ?" desis laki-laki itu. Sejenak dia termangu-mangu seraya menutupkan kembali kitab itu. Lalu dimasukkan lagi dalam kotak perak. Tulisan itu jelas masih baru. Agaknya kakek Matsui telah sengaja menyadurnya dengan tulisan yang mudah dipahami diwilayah Pulau Jawa! Benak Joko Sangit memikir.

Lama... dan lama... Joko sangit merenung. Sementara dadanya semakin berombak-ombak, pertanda dia telah menimbang-nimbang keputusannya dengan hati gemuruh. Sakit hati pada Roro Centil akibat perlakuanya hingga dia harus kehilangan sebelah lengannya membuat wajahnya sebentar merah sebentar pucat menegang.

Tiba-tiba laki-laki itu gerakan sebelah lengannya menghantam batu besar didekatnya. Brrass...! batu besar itu hancur berkepingan. Lalu jari-jari lengannya mengepal keras hingga terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulangnya. Ternyata Joko Sangit telah mengambil kepastian.

"Heh! tidak! Aku takkan memberikannya! Persetan dengan amanat si kakek Matsui. Lebih baik aku yang mempelajari kitab tentang Ninja dari Negeri Asing ini!" desisnya dengan suara menggetar.

Ternyata Joko Sangit sudah terkena racunnya asmara akibat salah paham yang menyangka Roro Centil telah mempermainkan cintanya. Namun laki-laki itu terhenyak ketika teringat dia cuma memiliki sebelah lengan.

"Hm, mengapa dengan lengan yang cuma sebelah ini menjadi penghalang?" desisnya dengan wajah membersitkan sinar cerah. "Hahaha... aku bisa melakukan apa yang bisa kulakukan! Dengan menggabungnya dengan apa yang sudah dimiliki, mustahil kelak aku tak bisa menguasai ilmu asing bernama Ninja ini!"

Joko Sangit kepalkan jari-jari tangannya dengan tertawa sendiri tergelak-gelak, Selanjutnya dia sudah bergerak melompat untuk menutup pintu goa. Dan... entah apa yang dilakukan murid si Pendekar Gentayangan Ki Jagur Wedha itu di dalam. Yang jelas Joko Sangit telah siap mempelajari ilmu Ninja dari Negeri Sakura itu dengan tekad yang sudah bulat.

Lereng tebing itu kembali sunyi mencekam seolah tak ada penghuninya. Suara gemuruhnya air terjun dan kepak sayap-sayap kelelawar serta sesekali bunyi suaranya yang mengiyak seperti menambah lengangnya suasana ditempat itu yang mulai merambah senja....

Namun yang pasti dan kelak, entah setahun entah dua tahun bakal muncul di Rimba Persilatan seorang tokoh yang memiliki ilmu silat tinggi, berlengan tunggal. Dialah Joko Sangit! Joko Sangit! yang pernah mendapat julukan si Berandal Pemabukan!

* * * * * * *

EMPAT

Suara tetabuhan yang terdengar dari tengah desa Patuha di malam terang bulan itu memang membuat orang penasaran untuk melihatnya. Satu dua dan kelompok demi kelompok bukan saja anakanak muda akan tetapi orang-orang tuapun tak ketinggalan berdatangan untuk melihat tontonan yang jarang terdapat itu. Dari jauh-jauh mereka sengaja berdatangan.

Tentu saja bukan cuma untuk menonton. Bagi para pemuda desa di wilayah itu adalah satu kesempatan untuk menggaet pasangan. Karena dalam setiap keramaian sudah pasti kembang-kembang desapun bermunculan dengan dandanan yang berbeda dari biasanya. Boleh dikata malam tontonan itu adalah kesempatan yang sukar dicari bagi para gadis atau janda. Siapa tahu ada jodoh berkenalan dengan pemuda-pemuda dari desa lain.

Berita tentang menikahnya anak juragan Raden Mas Mangku dengan seorang anak pejabat Kerajaan telah menjadi buah bibir masyarakat desa Patuha dan sekitarannya, yang bakal mengadakan hiburan Topeng Banjet. Yaitu sejenis kesenian yang menampilkan penari-penari serta pesinden yang cantik-cantik dan bahenol. Dan malam itu adalah malam yang telah tiba pada waktunya.

Penonton telah berjejal dihalaman rumah Juragan Raden Mas Mangku. Tepat di sebelah kiri rumah besar yang agak berhadapan dengan rumah Juragan itu telah berdiri sebuah panggung. Pada bagian depannya telah penuh sesak dengan para tamu undangan, yang duduk pada sederetan kursi-kursi dan meja dengan berbagai hidangan tersedia diatasnya.

Para pesinden belum lagi muncul, akan tetapi penonton telah berjejal memadati sekitar panggung. Para penjaga keamanan sibuk mengatur jejalan penonton agar berdiri ditempat yang tak mengganggu para tamu undangan. Sementara di ruangan dalam penuh pula dengan kesibukan. Dari yang memberi selamat pada mempelai yang telah duduk bersanding, juga kesibukan-kesibukan lain. Sedangkan para penabuh gamelan tiada hentinya menyajikan irama-irama yang bertalu-talu, diseling suara rebab dan seruling.

Menjelang tiga perempat malam, penonton mulai tak sabar karena para penari dan pesinden belum juga dimunculkan. Namun akhirnya yang dinantinantikan pun tiba juga. Lima orang pesinden merangkap penari telah naik ke atas panggung. Penonton menahan napas. Benar saja. Mereka adalah para penari yang cantik-cantik, dengan dandanannya yang luar biasa. Maklum karena yang mengundangnya adalah orang ternama.

Sedangkan pihak mempelai laki-laki adalah anak seorang Pembesar Kerajaan dari Kota Raja. Bahkan yang ditampilkan malam itu adalah pesinden-pesinden pilihan yang kesemuanya adalah gadisgadis jelita. Setelah masing-masing memperkenalkan nama, satu-persatu segera duduk dibagian depan panggung. Penonton saling berdesakan untuk melihat lebih jelas. Sementara penjaga keamanan mulai sibuk mengatur penonton.

Selang tak lama seorang laki-laki setengah usia maju ke depan seraya memberi penghormatan pada penonton dan para tamu undangan. Lalu dengan suara lantang memberitahukan bahwa salah seorang pesinden segera akan mengumandangkan sebuah lagu, yang akan diiringi oleh tarian pula oleh salah satu dari lima pesinden itu. Penonton menyambutnya dengan tepuk tangan riuh serta suara suat-suit yang ramai disana-sini.

Ketika gamelan mulai berbunyi maka seketika suasana gaduh itu segera terhenti. Dan berkumandanglah alunan suara merdu seorang pesinden berpakaian warna merah muda. Sementara salah seorang dari deretan kelima pesinden itu segera bangkit berdiri untuk menyajikan tariannya.

Tepuk tangan kembali riuh serta suara suitan disana-sini. Dan ketika gadis semampai berpinggang ramping dengan gemulai segera mulai menari mengikuti irama gamelan, seketika satu keasyikan dari lagu dan penarinya telah membuat penonton mendengarkan dan memandang kagum, terpesona...

Demikianlah. Lagu demi lagu berkumandang. Dan penari silih berganti menyajikan tarian gemulai yang mempesona. Semakin lama jadi semakin hangat dan semarak. Karena dari para tamu undangan mulai "turun" untuk ikut menari bersama dan secara bergantian.

Penonton bertepuk tangan riuh, serta diam-diam bagi yang masih "doyan", mulai mengiri melihat lakilaki yang menari bersama "bidadari-bidadari" itu. Apalagi dari para tamu undangan banyak yang mulai kurang ajar untuk meraba pinggang sang "Ratu Banjet".

Marilah kita menengok diantara kerumunan penonton. Seorang laki-laki berpakaian warna hitam sejak tadi mengepal-ngepalkan tangannya menatap dengan mata membinar melihat adegan tarian gemulai yang ikut bersama menari adalah seorang pemuda sekitar usia dua puluhan tahun. Dia adalah anak seorang Tumenggung Kerajaan dari Kota Raja. Pemuda itu tampaknya mulai semakin berani meraba kesetiap bagian penting ditubuh si penari.

Sudah lazim menjadi tradisi didaerah itu kalau setiap laki-laki yang akan turut menari bersama dengan "Ratu-ratu Banjet" itu akan memberikan sejumlah uang lebih dulu sebagai imbalannya. Namun walau demikian bukan berarti si penari laki-laki akan bebas berbuat semuanya, melainkan pada batas-batas tertentu saja.

Akan tetapi pemuda anak Tumenggung itu telah berbuat agak keterlaluan. Hal mana membuat penonton terperangah. Bahkan dalam irama yang syahdu laki-laki muda itu telah memeluk erat-erat pinggang si penari dan menghujaninya dengan ciuman-ciuman. Bahkan goyangan pinggul mereka telah benar-benar rapat tanpa renggang sedikitpun.

Penonton seperti terkesima, sementara si penari Banjet mulai meronta untuk menghindari ciuman yang bertubi-tubi itu. Pada saat itulah selirik kilatan cahaya berkelebat. Dan detik itu juga si laki-laki anak Tumenggung itu menjerit ngeri. Dan roboh terjungkal berkelojotan. Sesaat antaranya setelah menggeliat beberapa kali tubuh pemuda itupun terkulai tak berkutik lagi.

Sejenak terpaku semua menatap ketempat kejadian. Akan tetapi selang beberapa saat segera terdengar teriakan-teriakan kaget. Dan gemparlah penonton, juga para penabuh gamelan, yang seketika menghentikan tabuhannya. Sedangkan penari dan pesinden saling memekik ketakutan. Beberapa orang melompat ke atas panggung untuk memeriksa. Ternyata kedapatan si pemuda itu telah tewas dengan sebuah belati tertancap pada belakang lehernya.

"Kurang ajar! Siapa yang telah melakukan pembunuhan ini! Siapa yang telah melakukan...!" berteriak-teriak seorang lakilaki berpakaian perwira Kerajaan yang tak lain dari salah seorang para tamu undangan. Sedangkan sang Tumenggung ayah dari anak muda itu kebetulan tak dapat menghadiri pesta di tempat itu yang diwakilkan oleh anaknya.

Penonton yang tadinya berkerumun berjejalan seketika menjadi buyar dan hiruk-pikuk. Ada yang langsung pulang. Ada pula yang tetap berada di Sana karena ingin tahu lanjut kejadian itu. Sementara diantara simpang siurnya penonton itu, si laki-laki berbaju hitam tadi diam-diam menyelinap pergi. Tak seorangpun yang mengetahui kalau pelakunya adalah si laki-laki berbaju hitam itu. Dan untuk mengenali siapa pembunuhnya adalah seperti mencari jarum yang tercebur ke dalam laut, karena sekejap saja si laki-laki berbaju hitam telah lenyap tak ketahuan lagi kemana perginya...

Saat terjadi kegaduhan itulah tujuh sosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali ke arah panggung. Dan tahu-tahu tiga orang sinden terpekik menjerit ketakutan ketika tiga sosok makhluk kerdil telah mencengkeram pinggang. Dan sebelum bisa berbuat apa-apa tubuh-tubuh mereka telah dibawa melesat ke atas wuwungan rumah. Suara jeritan mereka seketika lenyap ketika makhluk itu lenyap pula di belakang wuwungan rumah Juragan Raden Mas Mangku.

Para penabuh gamelan menjadi gempar. Dua sinden lagi telah melompat ke bawah panggung dengan berteriak ketakutan. Ternyata mereka sempat melihat kemunculan makhluk yang menyeramkan itu. Si perwira kerajaan dan para tamu undangan jadi melengak. Mereka cuma membelalak terkesima melihat kejadian itu.

Sementara diruang dalam terjadi pula kegaduhan ketika dua makhluk kerdil tahu-tahu tersembul dikamar pengantin. Salah satu mencengkeram pengantin wanita, sedang satu lagi menjebolkan daun jendela. Cepat sekali pengantin wanita itu sudah dipondong si makhluk kerdil itu dan dibawa melompat keluar dari jendela...

Pengantin laki-laki terkejut bukan kepalang. Dia baru saja meninggalkan istrinya untuk melihat kejadian, setelah mengantarkan sang istri ke kamarnya yang jadi ketakutan dengan peristiwa pembunuhan itu. Beberapa orang wanita berteriak-teriak memberitahukan kejadian. Dan melompatlah si pengantin laki-laki itu dengan wajah pucat untuk mengejar si penculik pengantin wanita istrinya.

Namun cepat sekali makhluk itu lenyap, dan tak diketahui kemana larinya. Suara gaduh dari para penonton serta teriakan disana-sini sukar untuk mengetahui suara jeritan si pengantin wanita. Sementara Juragan Raden Mas Mangku cuma terbelalak dengan tubuh gemeteran.

"Celaka...! Anakku... a... anakku... di... diculik sss... ssset..." Bruk...! dia sudah jatuh terlentang tak sadarkan diri.

Seketika suasana bertambah semrawut, dan suasana pesta di kediaman sang Juragan itu kini bukan lagi pesta, melainkan jerit dan ratap serta teriakan ketakutan disana-sini. Beberapa orang ternyata telah mengejar kemana makhluk-makhluk itu melarikan para gadis penari tadi dengan senjata-senjata telanjang. Ternyata empat orang penjaga keamanan yang ditugaskan mengatur keamanan ditempat pesta itu. Mereka adalah para pengawal dari Kota Raja yang berkepandaian tinggi.

"Itu dia...!" teriak salah seorang dari mereka yang berkelebat mengejar makhluk-makhluk kerdil itu.

"Kejaaaar...!" teriak kawannya.

Dan berlarianlah keempatnya dengan keberanian yang boleh dibanggakan. Karena dari sekian banyak orang apalagi untuk mengejar, melihat tampang-tampang makhluk kerdil yang menyeramkan dengan kepala bertanduk dan mata sebesar-besar telur ayam itu akan membuat mereka ketakutan setengah mati. Namun keempat pengawal dari Kota Raja ini ternyata tak takut pada segala macam hantu.

Suasana terang bulan itu ternyata telah membawa korban dan kejadian yang cukup membangunkan bulu tengkuk. Karena tiba-tiba keempat pengawal itu menjerit parau ketika tahu-tahu entah dari mana datangnya beberapa sosok bayangan hitam telah mencengkeram tubuhnya. Selanjutnya mereka telah berkelojotan dan bergulingan dengan jerit dan pekik menyayat hati. Senjata-senjata mereka telah berlepasan tak tahu kemana terpentalnya.

Empat sosok makhluk kerdil, hitam legam dan bertanduk itu telah menggigit leher-leher mereka menghisap darahnya. Selang tak lama empat tubuh itu sudah terkulai tak bergerak lagi. Dan berloncatanlah makhlukmakhluk kerdil itu untuk menyambar kembali korbankorbannya yang telah pingsan dan ditinggalkan sesaat tadi, untuk selanjutnya berkelebatan ke arah timur dan lenyap tak kelihatan lagi....

* * * * * * *

LIMA

Berita-berita kejadian yang menggemparkan penduduk desa Patuha serta lenyapnya mempelai wanita yang akan diperistrikan oleh anak seorang Pembesar Kerajaan dari Kota Raja yang diculik oleh makhluk-makhluk kerdil segera tersebar di beberapa tempat. Rombongan mempelai laki-laki kembali ke Kota Raja dengan sedih. Dan kejadian itu segera menggemparkan Kota Raja, karena ternyata dua hari kemudian dua orang gadis kembali lenyap dari sebuah desa lain yang beritanya segera tersiar dengan cepat.

Suasana kota dan desa diwilayah itu menjadi hangat dengan adanya berita kemunculan makhlukmakhluk kerdil yang menculik gadis-gadis serta menghisap darah dari beberapa orang yang mencoba mengejarnya. Seperti juga pada pagi itu tengah dibicarakan beberapa laki-laki yang sedang duduk digardu penjagaan disudut desa.

Udara pagi itu memang terasa agak dingin menyungsum tulang. Mereka boleh menghela napas lega karena semalam suntuk berjaga-jaga digardu penjagaan disudut desa itu tak menjumpai kejadian apa-apa.

"Aku benar-benar penasaran ingin melihat bagaimana tampangnya makhluk kerdil itu. Kalau saja malam tadi mereka nongol, golokku si Loglog Getih ini pasti akan memenggal batang lehernya!" berkata wake Kanta. Kata-katanya memang kedengarannya seperti menyombong. Dapat dimaklumi karena diwaktu mudanya wak Kanta adalah bekas "jawara" ulung yang pernah malang-melintang di beberapa wilayah.

"Wah, wak Kanta! Kalau yang ini jangan dibuat main-main. Makhluk-makhluk kerdil itu bukan sebangsa manusia, tapi.... siluman!" tukas Madi seorang pemuda belasan tahun sambil mencibirkan bibir.

"Heheheh... baru segala siluman, setan pun takut kalau melihat golokku yang keramat ini. Kalian tahu? Sembilan puluh sembilan perampok dimasa mudaku sudah kena hirup darahnya oleh si Loglog Getih!" ujar wak Kanta seraya menepuk-nepuk gagang goloknya. "Aku pernah menaklukkan beberapa macam siluman dari siluman Harimau sampai siluman kadal, buaya, ular, monyet dan lain sebagainya. Kesemuanya takut melihat golok si Loglog Getihku ini...!"

"Wah! Hebat...! wak Kanta pernah ketemu siluman Harimau?" tanya Jaya dengan pura-pura terkejut. Dia memang sudah hampir bosan mendengar bual masa muda orang tua itu. Padahal ketika beberapa bulan yang lalu terjadi perampokan didesa itu laki-laki bernama Kanta ini sembunyi di dalam sumur, ketakutan. Alasannya waktu itu dia terperosok ke dalam sumur.

"Dimana ketemunya, wak...?" tanya Jaya. "Hm, sebentar...! Aku agak lupa!" sahut wak Kanta seolah tengah mengingat-ingat kisah masa lalu dimasa mudanya. "Ya, ya...! Aku ingat sekarang! Waktu aku berusia dua puluh tahun mengejar-ngejar enam orang perampok. Sebelas orang telah tewas oleh amukan golokku si Loglog Getih. Melihat sebelas kawannya mampus, enam orang itu kabur ketakutan! He hehe... mana kubiarkan mereka meloloskan diri?"

"Jadi wak Kanta mengejarnya?" tanya Jaya, pura-pura serius.

"Benar!"

"Semuanya mati, wak...?" tanya Madi dengan wajah pura-pura tegang.

"Hus! tunggu dulu, kalau orang lagi bercerita jangan banyak tanya-tanya. Dengarkan saja!" sahut wak Kanta dengan agak kesal karena ceritanya dipotong oleh pertanyaan-pertanyaan.

"Ya, ya, teruskan wak! si Madi memang tidak sabaran kalau mendengarkan cerita seru, sih!" menimbrung bicara Gimin yang sedari cuma "nguping" saja.

"Sudah, sudah, semua jadi ikut ngomong! Mau mendengarkan atau tidak? Kalau tidak aku mau pulang, ngantuk nih! aku mau tidur!" sambar wak Kanta.

"Mauuu!"

"Mauuuu...!" teriak mereka dengan serempak. Wak kanta terdiam sejenak, lalu mulai teruskan ceritanya.

"Eh, sampai dimana tadi...?' tanya wak Kanta. "Sampai wak mengejar enam orang perampok yang melarikan diri!" Sahut Jaya dengan garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya, ya... betul! Nah! waktu aku mengejar mereka yang lari pontang-panting, aku tak teruskan mengejar karena mendengar suara harimau mengaum!" ujar wak Kanta dengan berdiri dari duduknya. "Aku cari dari mana suara itu. Ketika aku menengok ke belakang, ternyata ssse... seekor ha... hari... harimau...!?" tiba-tiba suara wak Kanta berubah jadi tergetar, dan wajahnya sekonyong-konyong berubah pucat bagai mayat.

Darah wak Kanta serasa terhenti mengalir ketika dia berpaling ke sebelah kanannya tepat disamping gardu ronda, tahu-tahu entah sejak kapan seekor harimau Tutul telah berdiri di situ memperlihatkan taringnya menyeringai. Seketika dengkulnya menjadi lemas dan tubuhnya menggeletar. Dan saat berikutnya wak Kanta sudah jatuh berdebuk tak sadarkan diri bahwa takutnya. Terheran empat kawannya, tapi begitu mereka menoleh seketika terperangah mereka dengan mata membelalak dan mulut ternganga.

"Ha...harimau...!" Tersentak mereka hampir serentak. Dan... tak menunggu komando lagi, seketika mereka "ngacir" pontang-panting melarikan diri dengan berteriak-teriak ketakutan.

"Harimau...! Celaka!? toloooong...! tolooong..!" Dan... saat itu terdengar suara tertawa mengikik geli terpingkal-pingkal yang dibarengi dengan suara menggeramnya harimau Tutul itu. Semakin ketakutan mereka berlari jatuh bangun bagai dikejar setan.

Sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak. Ya, sosok tubuh semampai dari seorang dara jelita yang tak lain dari si Pendekar Wanita Roro Centil. Dengan geli Roro beranjak menghampiri si Tutul dan mengelus-elus kepalanya." Aiiiih, mengapa kau menakuti-nakuti orang, tutul? hihihi... kasihan orang tua ini, dia sampai pingsan melihatmu!" berkata Roro. Si Tutul mendengus-dengus menjilati lengan gadis Pendekar majikannya itu dan menggelendot manja di kaki Roro Centil.

"Hm, Tutul...! Mari kita cari dimana adanya ketujuh makhluk kerdil penghisap darah itu, tampaknya desa ini salah satu dari korban penculikan gadis-gadis yang dilakukan makhluk-makhluk keparat itu. Sudah jelas manusia yang kita cari tak berada jauh dari wilayah ini...!" berkata Roro Centil dengan suara lirih. Wajahnya kelihatan gemas, karena Roro memang telah mengetahui kalau makhluk-makhluk kerdil itu adalah ketujuh siluman peliharaan si nenek mala juling, yang pada beberapa bulan yang lalu nyaris mencelakainya.

Sang harimau Tutul menggeram pelahan, lalu tubuhnya melenyap jadi gumpalan asap. Roro tersenyum. Sesaat menoleh pada wak Kanta. Sepasang mata Roro tampak berkejap-kejap. Lalu beranjak menghampiri. Entah apa yang dilakukannya ketika berjongkok didepan tubuh laki-laki tua itu. Dan, selanjutnya Roro Centil sudah kelebatkan tubuhnya keluar dari desa itu menuju ke arah timur.

Sementara para penduduk desa itu telah bermunculan dengan senjata-senjata ditangan. Akan tetapi mereka tak menjumpai adanya harimau yang nyasar masuk kampung, kecuali mendapatkan tubuh wak Kanta yang masih pingsan didepan gardu. Madi menguncang-nguncangkan tubuh wak Kanta agar tersadar dari pingsannya.

"Dimana kalian lihat harimau itu...?" tanya salah seorang dari mereka yang datang. Ternyata diantara penduduk ada tiga orang laki-laki yang berperawakan kekar, menandakan mereka bukan orang sembarangan.

"Di... disini, Den...!" menyahut Jaya sambil acungkan telunjuknya. Salah satu dari ketiga pendatang itu memberi tanda. Dan ketegangan berkelebat menyebar ke tiga arah untuk melacak sang Harimau yang dikhawatirkan masih gentayangan di sekitar tempat itu.

"Wak! wak Kanta! bangun, wak... harimaunya sudah pergi...!" teriak Madi. Laki-laki tua itu membelalakkan matanya, dan terkejut melihat dia dikerumuni banyak orang.

"Ssssu... sudah pergi?" tanya wak Kanta dengan suara menggetar.

“Tenang, wak...! Untung kau tak diterkamnya!" berkata Jaya.

Sepasang mata jago tua ini berkejab-kejab. Lalu tiba-tiba melompat bangun. "Ah,... apa kubilang!" ujarnya. "Kalau tak ada golokku si Loglog Getih, sudah pasti aku celaka! Karena golokku ini paling ditakuti oleh..."

"Hah...?" tersentak kaget wak Kanta ketika mencabut goloknya dari serangkanya ternyata cuma tinggal gagangnya saja.

"Hahaha... hahaha... kemana goloknya, wak?"

Tentu saja wak Kanta jadi bahan tertawaan seketika itu juga, karena sikapnya yang lucu. Gerakan mencabut goloknya sudah pasang aksi dengan kaki melangkah ke depan. Lututnya menekuk sedikit. Dan dengan sikapnya yang gagah itu, wak Kanta mencabut golok pusakanya. Akan tetapi ternyata cuma tinggal gagangnya saja. Merah padam dan pucat lesu silih berganti pada wajah wak Kanta. Dengkulnya kembali menggeletar, karena hatinya sudah membatin.

"Hah!? Kemana mata golokku si Loglog Getih? Jangan-jangan yang muncul tadi benar-benar siluman Harimau...?" Dengan lemas laki-laki tua itu mendeprok di tanah.

"Tunggu, wak! Jangan pingsan dulu...!" teriak Madi.

"Siapa yang mau pingsan...?!" membentak wak Kanta dengan mata melotot. "Aku tengah mengingat-ingat bagaimana aku bisa membawa golok cuma gagangnya saja! Ternyata aku lupa memandikan si Loglog Getih malam Jum'at kemarin. Memang biasanya kalau tak diurus dan lupa dirawat, si Loglog Getih suka ngadat tak mau menampakkan diri..." lanjutnya dengan masih berusaha membual. Padahal hatinya kebat-kebit berdebaran. Karena disamping kagetnya luar biasa, juga malunya bukan main. Untuk menceritakan sesungguhnya dia sudah terlanjur menyombong, Dan hal itu bisa merusak nama besarnya.

"Ooooooo...!" hampir berbareng semua manggut-manggut. Wak Kanta tak memberi komentar lagi. Dengan dengkul lemas yang sengaja di kuat-kuatkan dia "ngeloyor" pergi.

"Mau kemana, wak...?" tanya Jaya.

"Huuu, aku ngantuk, monyong! mau tidur! kalau ada apa-apa jangan bangunkan aku dulu...! Kalian orang-orang muda bisa wakilkan aku, tapi tak usah khawatir, harimau itu sudah pulang! Percayalah, makhluk itu tak berani mengganggu...!" ujarnya dengan jumawa.

"Beres, wak! Jangan lupa besok malam kita meronda lagi!" teriak Jaya dengan tersenyum. Tapi wak Kanta sudah bergegas melangkah menuju ke arah rumahnya tanpa menoleh lagi...

* * * * * * *

ENAM

Roro Centil ternyata telah tiba di desa Patuha. Dari hasil pelacakannya dengan bertanya pada penduduk ternyata secara kebetulan di desa Patuha memang baru dua hari yang lalu telah terjadi musibah perbuatan keji ketujuh makhluk kerdil penghisap darah, yang telah menculik tiga orang pesinden dan menculik mempelai wanita anak Juragan Raden Mas Mangku. Serta dua orang gadis yang berasal dari desa lain, yaitu desa dimana tadi pagi baru saja Roro melewatinya dan mencopotkan mata golok milik wak Kanta.

Roro ucapkan terima kasih pada dua orang tua suami istri yang barusan ditanyai. Akan tetapi baru saja kakinya beranjak untuk melangkah, bumi tiba-tiba serasa bergoncang keras. Atap genting me-rosot jatuh dari beberapa wuwungan rumah penduduk. Keadaan seketika menjadi gaduh. Para penduduk masing-masing keluar dari rumahnya dengan berteriak-teriak.

"Gempaaa! Gempaaa...!" Begitu juga kedua suami istri itu. Seketika wajah mereka berubah pucat. Serentak saling berangkulan dengan cemas.

"Gempa apakah...?" sentak Roro terkejut. Keadaan ditengah desa itu menjadi kalut dengan teriakan-teriakan serta tangis dan jerit anak-anak. Sekonyong-konyong udara menjadi gelap. Petir sambung menyambung di angkasa. Gempa itu semakin keras, serasa bumi mau terbalik. Beberapa orang yang berlarian tampak jatuh terjengkang.

Roro Centilpun terkejut bukan main. Namun sedikitpun tubuhnya tak bergeming, berdiri tetap ditempatnya. Sepasang kakinya menempel kuat di tanah. Dengan ilmunya yang tinggi, terutama dari ajian Sari Rapet, seolah kaki si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu melengket di tanah yang di pijaknya. Sementara diam-diam Roro pejamkan matanya bersemadi. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang luar biasa yang tidak sewajarnya.

Selang sesaat suasana seperti itupun kembali seperti sediakala. Udara kembali cerah. Dan goncangan-goncangan itu mereda. Namun cahaya merah tampak membersit dari puncak gunung Galunggung. Membuat para penduduk ternganga keheranan. Kejadian semacam itu belum pernah terjadi di sekitar wilayah itu.

Puncak gunung Galunggung memang sering mengepulkan asap, pertanda gunung itu masih tetap bekerja. Dan goncangan-goncangan gempa itu memang dikhawatirkan dari gunung itu akan meletus. Namun kejadian barusan bukanlah pertanda akan terjadi letusan.

Roro tersentak kaget dan hentikan semedinya. Jantungnya berdetak keras ketika melihat bersitan cahaya merah itu. "Pasti ada sesuatu terjadi di atas puncak gunung itu...!" berkata Roro dalam hati. "Satu pertanda buruk...!" desisnya lirih. Dan sesaat Roro Centil sudah berkelebat lenyap dari tempat itu Sementara cahaya merah itupun pelahan-lahan mulai sirna...

* * * * * * *

Kita beralih pada sebuah goa tersembunyi di lereng tebing batu. Di dalam ruang goa itu duduk bersila seorang wanita yang berambut beriapan. Siapa lagi kalau bukan Giri Mayang. Sepasang lengannya tampak jelas yang putus hampir sebatas siku. Kedua luka itu sudah mengering dan sudah tak memerlukan pembalut lagi.

Giri Mayang duduk bersila dengan pejamkan mata. Batinnya menyatu untuk menerima sesuatu yang gaib. Sesuatu yang amat didambakannya. Sejak bulan Purnama malam tadi dia duduk tak bergeming. Dia tahu bahwa sang guru tengah berusaha dengan segala daya untuk memulihkan kesaktiannya.

Dan dia tahu pada malam Purnama itu ketujuh gadis telah dibawa ke puncak gunung Galunggung untuk dijadikan syarat atas permintaan sang guru demi dirinya. Juga dia tahu tak berapa lama lagi dia akan memiliki satu kekuatan hebat yang akan membangkitkan kembali semangat hidupnya. Membersitkan kembali dendam kesumat yang nyaris sirna karena keputusasaan.

Itulah sebabnya dia tetap khusuk dan bersabar dalam semadi, untuk menanti dan menanti kelanjutannya dengan penuh harap. Dan harapan itu memang bakal menjadi kenyataan. Karena selang beberapa saat dari tatapan mata dalam alam gaib, dia melihat secercah cahaya merah membersit dan meluncur keluar dari dalam kawah puncak gunung Galunggung. Secercah sinar yang berwarna biru. Selanjutnya Giri Mayang tak melihat apa-apa lagi, kecuali gelap pekat.

Samar-samar telinganya mendengar suara gurunya yang mengekeh tertawa seperti kegirangan. Hehehehe... heheh... muridku! bersiap-siaplah kau untuk menerima Sepasang Tangan Iblis...! Sebentar lagi apa yang kau harapkan itu akan terkabul! Hehehe... heheheheh..."

Dan tanpa terlihat oleh mata batin Giri Mayang, cahaya warna biru yang keluar dari dalam kawah di puncak gunung Galunggung itu telah meluncur cepat memasuki goa tempatnya bersemadi. Ketika tiba dihadapan Giri Mayang, cahaya itu memecah menjadi dua buah. Kemudian kedua buah cahaya itu meluncur ke arah sepasang lengan buntung wanita itu.

Plassh...! Cahaya biru itu lenyap seketika. Dan... apakah yang terjadi? Ternyata dalam sekejap mata kedua lengan buntung Giri Mayang telah bersambung oleh sepasang lengan yang bentuknya menyeramkan. Yaitu sepasang lengan yang hitam legam, berbulu kasar dengan ruas-ruas jarinya lebih mirip dengan tulang tengkorak lengan yang bertonjolan.

Pada ujung kesepuluh jarinya tampak kuku-kuku yang runcing mengerikan. Itulah Sepasang Lengan Iblis! Pelahan-lahan Giri Mayang membuka kelopak matanya, ketika merasakan dua buah benda menyambung pada kedua lengannya yang putus.

"Ah...?!" tersentak wanita itu ketika melihat pada lengannya yang buntung telah menempel sepasang lengan yang bentuk dan rupanya amat menyeramkan. "Inikah Sepasang Tangan Iblis?" sentak hatinya. "Ah, begitu mengerikan...!" desisnya dengan mata membelalak menatap sepasang tangannya. Saat itu sebuah bayangan berkelebat memasuki goa itu. Dan terdengar suara tertawa mengekeh.

"Heheheheh... heheh... bagus! Sukurlah, murid ku! Ternyata usaha jerih payahku tak sia-sia...! Kau tak usah takut dengan tanganmu sendiri. Walau rupanya menakutkan. tapi dengan sepasang tanganmu itu kelak kau akan berhasil merengkuh segala cita-citamu! Dan... heheheh... si Roro Centil akan cuma tinggal namanya saja dikolong jagat ini! Berterima kasihlah kau dengan para Iblis yang telah mengaruniai mu sepasang tangan sakti itu!"

Giri Mayang tersenyum dan manggut-manggut. "Tentu...! Tentu, guru! lebih dulu aku menghaturkan terima kasih padamu, yang telah bersusah payah mencarikan sepasang lengan ini untukku!" berkata Giri Mayang seraya membungkuk dan jatuhkan diri berlutut di hadapan wanita tua renta bermata juling itu.

"Hehehe... cukup! cukup! tak perlu banyak basa-basi! Segera kau keluar dari goa ini! Pergilah ke kawah gunung Galunggung untuk kau sampaikan terima kasih mu! dan... mulai hari ini kau tak kuperkenankan kembali ke goa tanpa kepala si Roro Centil! Selama kau berpetualang mencarinya, silahkan kau berhubungan denganku melalui batin. Aku akan menetap di goa ini... menjadi tempat tinggalku sementara. Karena aku juga akan sekalian memperdalam ilmu-ilmuku! Ketujuh makhluk kerdil piaraan ku itu segera akan kuserahkan padamu untuk membantumu dalam kesulitan!" ujar si nenek mata juling.

"Ah, terima kasih, guru...!" ujar Giri mayang dengan wajah girang. "Akan tetapi, guru...!" Bagaimana aku bisa menghubungi mu melalui batin, sedangkan selama ini aku tak mengetahui namamu!" tambahnya dengan menatap dalam-dalam wajah sang guru.

"Heheheh... Betul! Betul, muridku. Aku si nenek tua renta ini bernama Lembutung. Dan kau boleh sebut aku Nini Lembutung! Hehehe... apakah ayahmu, Tun Parera tak pernah memberitahu dimasa hidupnya tentang aku?"

"Ti... tidak, guru!" sahut Giri Mayang.

Seketika wajahnya berubah merah padam wanita ini, dan tubuhnya tampak tergetar hebat ketika teringat akan kematian sang ayah di tangan Roro Centil. Perubahan itu diketahui oleh si nenek mata juling yang bernama sebenarnya adalah Lembutung. Tokoh sakti golongan hitam dari kepulauan Andalas ini maklum bahwa sang murid amat mendendam sekali pada musuh besarnya yang juga telah menewaskan sang murid wanitanya pada beberapa tahun yang silam, yaitu si Kupu-kupu Emas. Dan terakhir adalah kematian Porak Supih yang tewas pula oleh Roro Centil. (Baca: kisah. Langkah-langkah Manusia Beracun).

"Hm, sabarlah, muridku! Kelakpun akan tiba masanya kau balaskan sakit hatimu! Dendam itu memang teramat dalam sedalam lautan! Namun dengan Sepasang Tangan Iblis yang telah kau miliki, segalanya akan menjadi beres. Para iblis akan turut membantumu melenyapkan nyawa perempuan keparat itu. Karena aku telah mengundangnya untuk datang ke kawah gunung Galunggung melalui semadi ku! Heheheh... bersabarlah, muridku!" hibur Lembutung dengan mengekeh tertawa yang menyerupai tangisan, dan membuat bangunnya bulu roma.

"Nah! segeralah kau berangkat! Ketujuh makhluk kerdil piaraan ku telah siap di luar goa untuk ikut menyertaimu!" berkata si nenek mata juling dengan suara yang dingin mencekam perasaan.

"Baik, guru! Aku akan segera berangkat!" menyahut Giri Mayang seraya melompat berdiri. Dan setelah sekali lagi menjura dengan menekuk lutut dihadapan gurunya, Giri Mayang bergerak melompat keluar dari dalam goa itu. Dengan gerakan yang amat luar biasa tubuhnya melayang ringan laksana kapas melompat dari batu ke batu. Sekejap antaranya telah berada di atas tebing curam itu.

Kemudian setelah menatap sejenak ke bawah dimana selama ini dia mendekam, tubuh wanita itu telah melesat lagi, dan lenyap dibalik bongkah-bongkah batu besar yang banyak bertebaran di atas tebing. Sementara tujuh bayangan hitam berkelebat mengikuti. Nenek mata juling alias Nini Lembutung tertawa mengekeh, seraya menutup mulut goa dengan menggeser batu dari dalam.

Selanjutnya tempat yang tersembunyi dan susah diketahui manusia itupun kembali lengang seolah ditempat itu tiada berpenghuni. Burung-burung walet beterbangan membuat sarang diantara celah batu-batu berlubang yang banyak terdapat di sisi tebing...

* * * * * * *

TUJUH

Di bawah lereng gunung Galunggung, Roro Centil menengadah memandang ke atas puncak gunung yang tinggi menjulang. Asap tipis masih tampak mengepul ke atas, menyatu dengan kesamaran kabut pada bagian puncaknya. Terdengar suara menggeram di belakangnya, dan harimau Tutul sahabatnya telah menampakkan diri.

Si Tutul tampaknya agak gelisah. Berkali-kali menatap ke atas menengadahkan kepalanya, lalu berputar-putar mengelilingi Roro beberapa kali dengan mendengus-dengus. Sesekali memperdengarkan suara geramannya lirih. Ternyata diam-diam Roro Centil mengawasi kelakuan aneh sahabatnya itu.

"Ada apakah, Tutul...? tampaknya kau lain dari biasanya! aku mau naik ke atas untuk melihat ada apakah di atas puncak gunung ini...?" berkata Roro seraya berjongkok dan mengelus-elus leher dan kepala Makhluk itu. Akan tetapi justru makhluk itu melenguh seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya lalu menggeram beberapa kali. "Apa maksudmu Tutul...?" desis Roro lirih. "Apakah kau tak menginginkan aku naik ke atas?"

Harimau Tutul gerakkan kepalanya mengangguk-angguk. Hm, baiklah, rupanya kau mau membawaku ke lain tempat!" ujar Roro seraya melompat naik ke punggung si Tutul.

Binatang itu tampak mulai hilang kegelisahannya. Dan setelah menggeram pelahan beberapa kali, tubuhnyapun meluncur ke arah selatan. Membersit bagaikan angin. Roro Centil memeluk leher si Tutul erat-erat. Sekejap saja bayangan tubuh makhluk itu telah lenyap dibalik bukit...

Sementara itu dipuncak Galunggung... Giri Mayang duduk bersila ditepi lubang kepundan. Segenap batinnya dipersatukan untuk mengadakan persekutuan dengan para Iblis yang menghuni di dalam kawah. Yang pada malam purnama kemarin baru saja menerima korban tujuh orang gadis. Telah dipersembahkan dengan jalan mencemplungkan ketujuh gadis itu ke dalam kawah. Tak terlihat oleh mata biasa ketujuh makhluk kerdil penghisap darah, duduk pula mengelilingi di belakang wanita itu.

Sementara tak jauh dari gunung itu di satu puncak bukit, berdiri sesosok tubuh menatap cemas ke arah puncak Galunggung. Dialah seorang wanita tua dengan rambut putih yang tergelung di atas kepala. Berpakaian jubah serba putih. Segera dapat dikenali yang tak lain dari si nenek Muri Asih. Nenek sakti misterius ini tampaknya sudah maklum akan adanya bencana besar yang bakal terjadi. Cahaya merah yang membubung dari puncak Galunggung telah membuat kecemasan tokoh wanita sakti ini.

“Celaka...! pertanda buruk dari puncak Galunggung! Tampaknya bakal banyak bencana yang akan terjadi. Entah siapa yang telah mengotori kesucian puncak Galunggung itu..?" berdesis suara wanita tua ini.

"Hmm...! Akan kulihat! Apakah tusuk kondeku mampu melintasi lubang kepundannya?" gumam wanita tua itu lirih. Sebelah lengannya tiba-tiba bergerak mencabut tusuk konde emas yang terselip digelung rambutnya. Dengan kedua jarinya nenek Muri Asih menjepit tusuk konde itu. Telapak tangannya yang memegang tusuk konde itu tegak menghadap ke bawah dagu di atas dada bertumpu dengan sebelah telapak tangannya yang terbuka. Sepasang mata wanita tua itu bergerak mengatup, dan bibirnya berkomat-kamit membaca mantera.

Selang beberapa saat wanita tua itu kembali membuka matanya. Sepasang mata itu kini menatap ke arah puncak gunung Galunggung. Lengan kirinya kembali bergerak turun. Sementara lengan kanannya masih tetap berada di atas dada menjepit tusuk konde emas itu dengan kedua jarinya. Dan selanjutnya lengan kanannya segera terangkat ke atas. Kemudian bergerak mengayun. Membersitlah tusuk konde emas itu melesat ke udara bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

Tusuk konde emas itu sudah tak menyerupai tusuk konde lagi, melainkan berubah menjadi secercah sinar kuning yang berkilauan meluncur pesat menuju ke puncak gunung Galunggung. Tak sampai sepeminuman teh, cahaya kuning kemilau itu telah tiba tepat di atas lubang kepundan puncak gunung Galunggung. Agaknya cahaya itu akan mampu melewati lubang kepundan itu dengan aman. Akan tetapi tiba-tiba dari atas puncak gunung itu membersit dua larik cahaya berwarna biru.

Kedua cahaya biru itu mengejar cahaya kuning berkilauan itu. Tampak wajah si nenek Muri Asih berubah menegang. Kedua lengannya terangkat seperti berusaha menarik kembali cahaya kuning yang telah dilepaskan. Akan tetapi terasa tenaganya mengendur.

Cahaya kuning dari tusuk kondenya tiba-tiba lenyap. Ternyata telah berhasil kena disergap dua cahaya berwarna biru itu. Dan kedua cahaya biru yang telah menyatu itu kini meluncur kembali ke bawah, lalu lenyap. Terengah-engah si nenek Muri Asih dengan wajah berubah pucat. Tampaknya dia seperti telah kehilangan sepertiga dari tenaga gaibnya yang lenyap terbetot arus kekuatan dari dua larik cahaya biru itu.

Tubuh nenek Muri Asih tampak jatuh mendeprok ke tanah. Namun cepat-cepat dia, duduk bersila. Sepasang matanya terpejam. Bibirnya tampak komatkamit membaca mantera. Dengan duduk bersila bersemadi itu si nenek Muri Asih tengah menghimpun kembali kekuatannya. Sesaat antaranya wajah si nenek itu telah kembali cerah. Lalu membuka matanya, dan melompat berdiri.

"Luar biasa...! Aku gagal menarik kembali tusuk konde emasku! Entah apakah dua larik cahaya biru itu?" desisnya tersentak. Namun wanita sakti ini segera manggut-manggut. Jelaslah sudah bahwa ada sesuatu di atas puncak gunung Galunggung. Pembuktian yang dicobanya melalui pertunjukan barusan yang mengalami kegagalan merupakan bukti yang amat kuat. Berarti kekuatan gaibnya dapat dipatahkan dengan mudah oleh sesuatu di atas puncak gunung itu.

"Segera akan kuketahui..!" gumamnya lirih. Dan melesatlah tubuh si nenek Muri Asih dari atas bukit itu. Sekelebatan saja tubuhnya telah lenyap dari atas bukit itu.

Kemana gerangan perginya nenek Muri, Asih? Ternyata telah berkelebat menuju ke sisi sungai. Matanya jelalatan menatap ke arah buah-buah kelapa yang pohonnya banyak tumbuh di sisi sungai itu. Wanita tua ini menjumput sebutir batu kecil. Lalu jentikkan jarinya ke atas. Tes! Sebutir batu kerikil itu tepat mengenai gagang sebuah kelapa yang segera meluncur jatuh ke tanah.

Nenek Muri Asih cepat menyambarnya. Selanjutnya dengan gerakan cepat seolah sepasang tangannya laksana pisau telah menguliti buah kelapa itu lalu memapas dan melubanginya. Dibuatnya lubang yang cukup lebar, hampir separuh dari bulatan kelapa itu.

Apa yang diperbuatnya kemudian? Nenek Muri Asih duduk bersila dihadapan buah kelapa yang sudah terbuka dengan masih tergenang airnya. Lalu pejamkan sepasang matanya untuk bersemadi, dengan bibir komat-kamit membaca mantera. Selang sepeminuman teh tampak wanita tua itu kembali membuka matanya. Menatap tajam-tajam ke dalam air kelapa.

Sementara bibirnya tak hentinya bergerak-gerak mengucapkan mantera-mantera. Selanjutnya apa yang terjadi kemudian? Tampak wajah si nenek Muri Asih berubah tegang. Alisnya menjungkat naik. Mulutnya ternganga separuh terbuka. Dalam air kelapa itu kini jelas membayang cahaya biru yang mulai terlihat nyata bentuknya. Yaitu sepasang tangan sebatas siku yang bentuknya amat menyeramkan. Melekat pada kedua lengan manusia yang tak dapat terlihat wajahnya.

"Ah...! ? Itulah Sepasang Tangan Iblis...!" tersentak kaget nenek Muri Asih dengan suara berdesis. Lalu melompat berdiri.

Prakkk...! Buah kelapa itu telah dihantamnya hingga hancur dengan hantaman angin pukulan telapak tangannya. "Celaka! berbahaya sekali! Entah siapa si pemilik Tangan Iblis itu! Pantas tusuk konde Emasku tak bisa pulang kembali!"

Tak lama nenek Muri Asih tampak berlalu dari tepi sungai dengan bibirnya kembali perdengarkan suara berdesis. "Celaka! Celaka...! Apakah akan tiba masanya kekalahan besar buat golongan kaum putih?" Dan berkelebatlah wanita tua itu meninggalkan tempat itu...

Sementara itu di atas puncak gunung Galunggung... Giri Mayang tampak tengah memperhatikan dengan seksama sebuah benda kuning berkilauan yang tak lain dari tusuk konde emas yang telah tercekal di tangannya. Dari hasil semedinya memusatkan kekuatan batin untuk bersekutu dengan para iblis di kawah gunung itu, Giri Mayang telah mengerti bagaimana caranya mempergunakan sepasang lengan Iblisnya.

Ketika itulah membersit cahaya kuning menyilaukan yang menyeberangi puncak gunung, melintas di atas kepundan. Tak ayal Giri Mayang gerakkan sepasang Lengan Iblisnya untuk menyambar cahaya itu. Ketika sepasang tangan itu kembali menempel di lengannya menyatu kembali pada tubuhnya, ternyata telah mencekal sebuah tusuk konde emas yang segera diamatinya.

"Hm, agaknya telah ada orang sakti yang mau mencoba-coba mengusik ketenangan ku di puncak Galunggung ini...!" desis Giri Mayang. Mengikik tertawa wanita iblis ini, seraya selipkan benda itu ke balik pakaiannya lalu melompat berdiri. "Hm, tujuh setan kerdil! Kalian selidikilah di sekitar tempat ini!" berkata Giri Mayang pada ketujuh makhluk piaraan gurunya si Nenek Lembutung.

Ketujuh makhluk kerdil itu membungkuk hormat, lalu berkelebatan untuk menyebar menjalankan perintah mencari kalau-kalau bisa dijumpai manusia sakti yang telah melepaskan tusuk konde emas itu. Sementara Giri Mayang merapal ajiannya untuk segera melenyapkan diri, hingga tubuhnya tak nampak lagi oleh mata manusia biasa...

* * * * * * *

DELAPAN

Kemanakah gerangan si Tutul membawa majikannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang duduk di atas punggungnya dengan memeluk erat lehernya itu? Roro Centil tak berani membuka matanya karena bersitan angin yang terlalu keras menerpa tubuhnya. Seperti juga dalam perjalanan yang biasa dilakukan menjelajah dunia dalam petualangannya.

Roro Centil selalu mengingat kebesaran Tuhan yang telah memberikan karunianya. Dengan memiliki sahabat si Tutul yang luar biasa itu Roro Centil telah berpetualang ketempat-tempat yang jauh. keperbagai pulau di kawasan Nusantara pada masa itu.

Dua malam telah terlewati. Dalam perjalanan itu telah beberapa kali si Tutul beristirahat memberi kesempatan pada Roro untuk menangsal perut. Bahkan sempat singgah di satu desa. Namun tak bisa berlama-lama karena si Tutul selalu memberi isyarat dengan menggigit-gigit dan menarik ujung bajunya agar meneruskan perjalanan.

Kembali Roro Centil mengarungi lautan yang amat luas. Burungburung camar menyingkir ketika angin keras tahu-tahu membersit melewati wilayah perairannya. Seorang nelayan tua melengak kaget ketika perahunya menjadi oleng karena hempasan angin lewat telah menerpa layarnya.

Akan tetapi dia memang tak dapat melihat apa-apa. Kecepatan luncuran si Tutul laksana hembusan angin. Nelayan tua itu cuma membelalak kaget seraya menyambar dayung untuk menguasai olengnya perahu dengan bibir komat-kamit entah do'a apa yang dibacanya...

Selang kira-kira waktu setengah hari, si Tutul menghentikan luncuran. Ternyata telah tiba di satu daratan berpasir. Bukit-bukit batu tampak bertebaran disana-sini. "Ah, diwilayah manakah ini...?" sentak Roro seraya melompat dari atas punggung si Tutul. Termangu-mangu Roro Centil memperhatikan tempat sekitarnya, yang melulu padang pasir serta bukit-bukit batu.

Sementara si Tutul tiba-tiba merubah dirinya menjadi seekor harimau kecil sebesar kucing. Dengan menggeram dan "mengeong" lirih sang Tutul kecil itu menarik-narik ujung terompah Roro.

"Aiiih, apa maksudmu, Tutul...?" tanya Roro heran. Si Tutul kecil kembali menggeram dan mengeong lirih, seraya kemudian melompat ke arah sebuah batu besar di sisi tebing batu. Terpaksa Roro Centil melompat menyusul. Sikap seperti itu adalah menandakan si Tutul mengajaknya untuk kesatu tempat. "Mengapa harus merobah menjadi anak harimau...?" berkata Roro dalam hati.

Di atas batu besar itu si Tutul kecil mondar-mandir menunggu kedatangan Roro. Baru saja Roro injakkan kakinya ke atas batu. Si Tutul melompat kembali ke bawah. Lalu apa yang di lakukannya? Ternyata si Tutul kecil mengorek-ngorek pasir di bawah batu itu seraya mengeram dan mengeong tak hentinya.

Melengak Roro Centil, tak tahu dia apa maksudnya. Akhirnya Roro Centil cuma jadi penonton saja, dengan berjongkok di atas batu itu memperhatikan tingkah laku si Tutul kecil yang terus menggali pasir hingga berlubang. Tak memakan waktu lama lubangpun semakin dalam. Dan si Tutul kecil seperti lenyap ditelan pasir sekian lama ditunggu tak munculkan dirinya.

"Ah, apakah yang telah terjadi dengannya?" desis Roro dengan hati berdebar. "Ada apakah di bawah batu besar ini?" berkata Roro dalam hati. Baru saja dia mau melompat turun, si Tutul kecil telah tongolkan kepalanya. Ternyata pada moncongnya telah menggigit sebuah tulang lengan manusia. Tersentak Roro dengan mata membelalak. "Aiiiih?" teriaknya tertahan karena terkejut dan herannya.

Baru saja meletakkan tulang lengan itu di atas lubang, si Tutul sudah masuk lagi ke dalam lubang itu. Tak lama keluar lagi dengan membawa tulang-tulang lainnya. Dari tulang lengan, tulang leher, tulang kaki sampai tulang pinggul dan rusuk kesemuanya diseret keluar oleh makhluk itu. Roro Centil cuma bisa terpaku sambil garuk-garuk kepala dan leletkan lidahnya tanpa mengetahui apa maksud ulah si Tutul kecil itu.

Namun dia sudah dapat menerka kalau di bawah batu besar itu ada terdapat kuburan manusia yang tulang-tulangnya sedang digeret keluar oleh sang harimau Tutul kecil. Namun kemisteriusan tingkah laku sahabatnya itu membuat benaknya tak habis memikir. Hingga terpaksa Roro cuma berdiam diri menunggu habisnya tulang-belulang manusia yang dibawa keluar lubang oleh si Tutul.

Sementara Matahari memanggang tubuh Roro dengan panasnya yang menyengat kulit. Namun Roro Centil tetap tak beranjak dari tempatnya untuk mengetahui kelanjutan dari apa yang diperbuat sahabatnya itu.

* * * * * * *

Kita tinggalkan dulu Roro Centil yang tengah bergelut dengan berbagai pertanyaan dibenaknya itu. Mari kita beralih kesekitar wilayah gunung Galunggung. Giri Mayang ternyata tengah mengumbar kesaktian sepasang Tangan Iblisnya. Dua larik cahaya berwarna biru tampak membersit di udara mengelilingi beberapa buah desa.

Tampak satu kepanikan luar biasa dari penduduk kedua desa itu. Dengan bersiyuranya dua larik cahaya biru itu yang memutari desa membuat penduduk jadi ketakutan. Sementara hawa dingin yang mencekam dan membangunkan bulu roma menyelimuti sekitar kedua desa itu.

Tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan menyayat hati ketika dua larik cahaya biru itu meluncur turun. Berjatuhan tubuh-tubuh tanpa kepala dalam sekejapan saja seperti dipoteskan saja layaknya oleh lenganlengan mengerikan yang tak terlihat oleh mata biasa. Pekik ketakutan dan jerit kematian membaur dalam kengerian yang amat luar biasa.

Darah memercik disana sini membasahi tanah halaman juga pada bilikbilik kamar. Lebih dari tiga puluh manusia dari masing-masing desa mengalami kematian dengan amat mengerikan. Bukan saja laki-laki, tapi perempuan dan bahkan anak-anak yang tak berdosa menjadi korban ke "gila"an sepasang tangan iblis.

Sementara dengan tertawa mengikik Giri Mayang duduk dengan kaki menjuntai di atas wuwungan rumah yang berada ditempat agak tinggi menyaksikan bekerjanya sepasang Tangan Iblisnya menyebar maut.

Selang beberapa saat, tampak wanita iblis itu mengangkat sepasang lengan buntungnya seraya berkata dengan berdesis. "Cukup!" Dan... Plash! kedua lengan Iblisnya segera kembali melekat ke tempatnya semula, menelusup masuk ke dalam lengan baju wanita itu.

"Hihihihi... hihihi... Mari, setan-setan kerdil! Kita tinggalkan tempat ini!" Dan selesai berkata tubuh Giri Mayang segera melesat lenyap dari atas wuwungan rumah itu dengan diikuti tujuh bayangan hitam dari ketujuh makhluk kerdil yang setia mengikuti tanpa memperlihatkan diri. Lagi-lagi Giri Mayang sengaja menyebar maut untuk memancing kemunculan para pendekar.

Dan lagi-lagi rakyat yang tak berdosa menjadi korban! Pekik dan jerit serta ratap tangis dari sisa-sisa penduduk yang keluarganya menjadi korban keganasan si Tangan Iblis segera membaur didua desa. Sementara Giri Mayang meninggalkan tempat pembantaian itu dengan perdengarkan suara tertawa mengikik yang membuat bulu tengkuk meremang.

Saat itu tiga bayangan tubuh berkelebat menyusul ke arah berkelebatnya tubuh Giri Mayang. Gerakan melompat dari ilmu meringankan tubuh ketiga orang yang mengejarnya itu cukup hebat, pertanda mereka bukan orang-orang biasa, tapi orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi yang boleh diandalkan.

Sementara dari jurusan lain dua bayangan juga berkelebat menyusul. Dialah seorang laki-laki berbaju putih yang mempunyai gerakan berlari cepat bagaikan larinya seekor kijang. Di belakangnya mengikuti seorang wanita berbaju merah, kembang-kembang. Membawa sebuah topi tudung lebar di lengannya.

Selarik cahaya putih yang berkredepan memanjang laksana sehelai selendang perak tiba-tiba meluncur menghalangi langkah lari kedua orang ini. Terpaksa si laki-laki berbaju putih menahan langkahnya dengan terkejut, yang diikuti si wanita muda berbaju merah. Sementara itu tiga laki-laki yang tengah mengejar Giri Mayang telah mendengar suara halus yang dikirim dari jarak jauh.

"Tiga orang gagah, tahanlah langkah kalian! Jangan mengumbar nafsu dan menambah korban!"

Suara halus itu terdengar amat berpengaruh, membuat ketiga laki-laki itu segera menahan langkah. Sementara si laki-laki baju putih dan gadis berbaju merah kembang-kembang jadi tersentak kaget ketika melihat seorang wanita tua berdiri kira-kira 10 tombak dihadapannya. Cahaya selendang perak itu terpaksa membersit dari telapak tangannya. Sesaat kemudian tampak wanita tua itu gerakkan lengannya seperti menarik kembali cahaya selendang warna perak itu yang seketika lenyap.

"Siapakah perempuan tua itu?" bertanya gadis yang berada di belakang laki-laki baju putih.

Pemuda berwajah tampan itu menoleh. "Ah!? Kau mengapa ikut-ikutan mengejar, nona?" tanya si pemuda yang tak lain dari Sambu Ruci si Pendekar Selat Karimata alias si Bujang Nan Elok.

"Hm, aku toh punya kaki!" sahut gadis itu dengan merengut.

"Haiiih! semangat kalian memang hebat, anak-anak muda! Akan tetapi tahanlah emosi kalian. Musuh kalian itu adalah musuh kita semua golongan kaum pendekar, namun dengan kita bertindak tanpa perhitungan cuma akan sia-sia!" terdengar suara halus si wanita tua itu yang entah sejak kapan telah berada dihadapan mereka. Sementara itu tiga sosok tubuh laki-laki tadi telah berkelebatan melompat ketempat itu.

"Nenek tua, siapakah kau? Mengapa menghalangi niat kami menumpas keangkaraan yang amat keterlaluan itu?" berkata salah seorang dari ketiganya. Ternyata mereka itu adalah tiga laki-laki gagah yang memang berada didesa itu. Yaitu ketiga laki-laki yang pernah mencari lenyapnya seekor macam Tutul didesa Kranji. Sudah beberapa malam mereka menginap didesa tersebut untuk berjaga-jaga dari kemungkinan adanya tujuh makhluk kerdil yang muncul didesa itu.

Wanita tua itu putarkan tubuhnya untuk menatap ketiga Pendekar ini. "Aku si tua renta ini bernama Muri Asih. Sayangilah nyawa kalian sobat-sobat muda. Bukan aku mau mencegah kalian dengan membiarkan perempuan iblis itu berlalu, tapi kukira mati konyol adalah satu hal yang paling sial!" menyahut wanita tua itu yang tak lain dari nenek Muri Asih. "Perempuan iblis itu terlalu berbahaya sobatsobat muda! Selain memiliki Sepasang Tangan Iblis dia juga membawa serta tujuh makhluk kerdil penghisap darah!" lanjutkan kata-katanya nenek Muri Asih.

Melengak seketika ketiga pendekar itu. "Tujuh makhluk kerdil penghisap darah, dan sepasang Tangan Iblis...!?" Hampir berbareng mereka tersentak kaget.

"Benar! aku telah menyelidikinya, perempuan iblis itu bernama Giri Mayang!" tegaskan nenek Muri Asih.

"Ah...!? tersentak kaget Sambu Ruci.

SEMBILAN

SAMBU RUCI sebenarnya tak tahu menahu dengan pembantaian penduduk desa itu. Dari arah sungai dia mendengar suara jerit dan pekik menyayat hati di mulut desa yang telah dilihatnya dari kejauhan. Disamping terkejut melihat dua larik cahaya berwarna biru bersyiuran di angkasa, yang menukik dan membumbung sebentar kelihatan sebentar lenyap.

Adapun gadis berbaju kembang-kembang itu dia tak mengenalnya, tapi Sambu Ruci mengetahui kalau gadis itu adalah gadis yang meniup seruling di sisi sungai ketika Sambu Ruci melintasi sungai berbatu menyeberangi dengan dua kali lompatan. Sekilas pemuda ini telah meliriknya, dan mengetahui kalau si peniup seruling itu seorang gadis.

Gadis itu hentikan tiupan serulingnya, dan membuka topi tudung dikepalanya. Sejenak Sambu Ruci menatap, dan dua pasang mata segera beradu pandang. Akan tetapi gadis itu telah perdengarkan suara dihidung lalu cepat-cepat membuang muka dan mengenakan lagi topi tudungnya, untuk teruskan lagi meniup seruling.

Melengak Sambu Ruci. Sekilas dia memang dapat melihat satu wajah yang cantik. Akan tetapi kecewa pemuda ini karena gadis itu bukanlah orang yang dicarinya. Yaitu Roro Centil. Telah dua bulan lebih dia gentayangan mencari kemana lenyapnya si Pendekar Wanita Pantai Selatan sahabatnya itu.

Ada terbesit dihatinya untuk mengetahui siapa gadis peniup seruling yang telah membuang muka setelah bertatap mata dengannya itu. Akan tetapi tibatiba dua larik cahaya berwarna biru telah bersiutan di angkasa. Membuat Sambu Ruci tersentak kaget.

"Cahaya apakah itu?" sentaknya berdesis dan memandang dengan terperangah memperhatikan cahaya biru yang berkelebatan itu. Dilihatnya cahaya itu sebentar muncul dan sebentar lenyap berputar-putar ke beberapa tempat. Otomatis si gadis bertudung itupun hentikan tiupan serulingnya untuk segera membuka lagi topi tudungnya dan menengadah memperhatikan cahaya biru yang berkelebatan di angkasa.

Saat itulah dari tengah desa yang tak berapa jauh dari sungai itu terdengar suara teriakan-teriakan ketakutan dan jeritan menyayat hati. Terkejut Sambu Ruci. Serta merta tak ayal lagi dia sudah berkelebat melompat untuk memburunya kesana. Sementara diam-diam si gadis peniup seruling itupun ikut pula melompat untuk berlari cepat menyusul di belakang pemuda itu.

Tiga mayat dengan tiga buah kepala yang sudah lepas dari tubuhnya dijumpai Sambu Ruci ditengah jalan yang menuju ke desa. Terkejut Sambu Ruci ketika menjumpai lagi beberapa mayat dalam keadaan yang sama. Dan, tersentak jantung pemuda ini ketika melihat sesosok tubuh tengah mengikik tertawa duduk menjuntaikan kaki di atas wuwungan rumah. Belum lagi dia tahu jelas wajahnya, wanita itu telah berkelebat melesat dari atas wuwungan rumah itu.

"Pasti perbuatan dia!" desis Sambu Ruci dengan geram. Tak ayal Sambu Ruci segera berkelebat mengejarnya, yang diikuti pula oleh si gadis peniup seruling di belakangnya...

Kini mendengar penjelasan si nenek Muri Asih yang jelas adalah tokoh Rimba Hijau yang berilmu tinggi lagi-lagi dia tersentak kaget karena wanita itu tak lain dari Giri Mayang. Sambu Ruci memang pernah beberapa kali berjumpa bahkan pernah bertarung dengan wanita iblis itu dan dia pula yang berhasil menabas putus sebelah lengan Giri Mayang. Sedangkan sebelah lagi tangan wanita iblis itu diputuskan oleh keris seorang pendekar tua yaitu Gembul Sona alias si Belut Putih, seperti yang telah diceritakan dalam kisah: Langkah-langkah Manusia Beracun.

"Anda mengenal wanita iblis itu?" tanya nenek Muri Asih.

"Benar! dialah musuh besar sahabatku Roro Centil! Aku pernah bertarung dengannya beberapa kali, bahkan dia pernah pula menawan gadis Pendekar sahabatku itu. Belakangan manusia iblis itu bergabung dengan si Manusia Beracun. Dalam pertarungan terakhir kami berhasil menabas putus kedua lengannya...!" tutur Sambu Ruci.

Lalu ceritakan kejadiannya hingga waktu itu dalam keadaan terluka disaat mau dihabisi nyawanya telah disambar oleh sesosok tubuh dan dibawa melesat melarikan diri. Entah siapa penolong wanita iblis itu Sambu Ruci tak mengetahuinya. Dan dalam sekelebatan itu dia mendengar suara Roro Centil yang mengejar kemana berkelebatnya si penolong Giri Mayang.

Sejak itu Sambu Ruci tak pernah mendengar lagi kabar berita wanita iblis itu, bahkan sampai saat ini tak pernah dijumpainya si Pendekar Wanita Pantai Selatan sahabatnya itu...

Nenek Muri Asih manggut-manggut, lalu palingkan kepala menatap pada tiga laki-laki Pendekar yang masih berdiri mendengarkan kisah penuturan Sambu Ruci. "Dan kalian ini siapakah..?" tanya nenek Muri Asih.

"Kami yang rendah adalah tiga bersaudara. Kaum persilatan menggelari kami si Tiga Musafir Hati Besi...!" sahut salah seorang seraya menjura, yang segera diikuti oleh kedua laki-laki lainnya.

"Hehehe... pantas! hati kalian sekeras besi. Tak mengenal takut akan bahaya. Akan tetapi untuk kali ini harap anda bersabar dan menahan diri. Keresahan memang tengah melanda bukan saja kaum Pendekar Rimba Persilatan golongan Putih, akan tetapi juga pihak Kerajaan dan rakyat sekitar wilayah ini. Bahkan menjadi ancaman besar bagi umat manusia umumnya! Apakah kalian semua tak mengetahui? Kalau saat ini puluhan mayat berkaparan di dua desa akibat keganasan Sepasang Tangan Iblis si Giri Mayang itu...!" Tegaskan Nenek Muri Asih.

"Kami tak melihat apa-apa, apakah Tangan Iblis yang anda maksudkan adalah dua larik cahaya berwarna biru itu?" tanya salah seorang dari Tiga Musafir Hati Besi.

"Benar! Aku telah mengikuti cahaya biru itu yang membantai desa disebelah sana hingga kemudian meluncur ke desa ini. Ternyata wanita Iblis itulah yang telah melepaskan Sepasang Tangan Iblisnya! Sejak kejadian aneh pada beberapa hari ketika puncak Galunggung membersitkan cahaya merah itulah saat si Perempuan Iblis itu memiliki Sepasang Lengan Iblis!" sahut Muri Asih seraya berikan penjelasannya dengan menatap silih berganti pada semua orang yang mengelilingi.

Tak satupun yang membuka suara kecuali sama menatap pada nenek Muri Asih yang tengah memberikan penjelasannya mengenai wanita bernama Giri Mayang itu. Dan lanjutkan penuturannya wanita tua itu.

"Disamping mempunyai sepasang lengan yang mengerikan itu turut pula bersamanya ketujuh makhluk kerdil penghisap darah seperti yang telah kukatakan tadi! Oleh sebab itu akan sia-sialah kalian bila menempur perempuan Iblis itu pada saat ini. Nah, kukira banyak jalan bagi anda Pendekar-pendekar muda jika ingin turut membantu menegakkan keadilan dan kebenaran dibumi ini. Langkah yang harus kalian ambil saat ini adalah sebaiknya membantu penduduk mengebumikan mayat-mayat...! Apakah pendapatku dapat kalian terima?"

"Ah... dengan segala senang hati kami bersedia untuk itu, nenek Muri Asih...!" Tergesa-gesa mereka saling menyahut dan menjura dengan membungkukkan tubuh.

Wanita tua itu tersenyum. "Nah, lakukanlah! Pertolongan kalian sangat diharapkan. Wanita Iblis itu akan ku usahakan untuk memancingnya ketempat yang tak dikunjungi manusia. Sementara kita Kaum Pendekar mencari jalan untuk menumpasnya...! Aku telah hubungi beberapa tokoh Kaum Rimba Hijau golongan putih untuk segera kami berembuk...! Karena Giri Mayang bukanlah musuh perseorangan, akan tetapi musuh seluruh umat manusia...! Kemerajalelaannya akan banyak menimbulkan musibah yang amat mengkhawatirkan. Dan sudah menjadi tugas kaum Pendekar untuk melenyapkan kebathilan yang mau menguasai bumi ini!"

Tiga Musafir Hati Besi manggut-manggut. Salah seorang agaknya masih penasaran kalau belum bertanya. "Nenek Muri Asih! kami belum mengenal siapa gelaran anda. Apakah anda dapat memberitahukannya untuk kami ingat?"

"Hehehehe... hehehe..." mengekeh tertawa si wanita tua itu. Tiba-tiba sebelah lengannya bergerak terangkat ke atas. Dan. Selarik cahaya perak membersit ke udara bagaikan sehelai selendang yang berkredepan. Dan ketika sebelah lagi lengan si nenek Muri Asih terangkat pula ke atas, selarik cahaya pelangi membersit ke udara. Bagian ujungnya membelit batang pohon kelapa bagian atas, dan...

Kraakkk...! Batang pohon kelapa itu patah kena hantaman sinar perak. Selanjutnya sinar pelangi lenyap. Sedang sinar perak menghantam beberapa kali hingga batang pohon kelapa itu putus menjadi beberapa belas potong. Sedangkan puncak pohon kelapa itu jatuh meluncur ke bawah.

Namun tiba-tiba cahaya pelangi kembali membersit menyambar dan membelit pucuk pohon kelapa itu. Ketika si nenek Muri Asih gerakkan lengannya, pucuk pohon kelapa itu melayang jauh entah kemana seperti dilemparkan oleh sehelai selendang warna-warni.

Tentu saja satu pertunjukan yang mengagumkan itu membuat semua mata jadi memandang si nenek Muri Asih dengan terperangah.

"Hebat...! oh, hebat sekali...!" tak terasa suara pujian terdengar dari mulut-mulut pendekar muda itu. Bahkan si gadis bertudung yang sejak tadi tak ikut bicara telah berseru.

"Ah, sungguh amat mengagumkan! Sinar perak dan pelangi yang menakjubkan...!"

"Hehehe... hampir benar! Julukanku pada puluhan tahun yang silam adalah si Pendekar Selendang Perak Pelangi!" Dan selesai berkata, si nenek Muri Asih tertawa terkekeh-kekeh. Namun sekejap kemudian tubuhnya melesat ke udara dan lenyap dari pandangan mata.

Terpaku lima sosok tubuh itu dengan memandang ke arah lenyapnya di Pendekar Sinar Perak Pelangi. Gerakannya begitu cepat sekali hingga tak sempat mata mereka mengikuti. Selang sesaat si Tiga Musafir batu segera berkata, dengan menatap pada Sambu Ruci dan wanita peniup seruling yang masih terpana dengan mencekal erat topi tudung dan serulingnya.

"Mari sobat...! kita bantu menguburkan mayat-mayat...!"

"Ya! Ajaklah gadis kawanmu itu turut serta membantu...!" berkata pula salah seorang dari mereka.

Sambu Ruci menoleh pada gadis baju merah berkembang itu dengan tersenyum. "Nona bersedia membantu kami...?"

"Hm, tanpa kau perintahkan pun aku tak nantinya berpeluk tangan!" Menyahut sang gadis dengan wajah cemberut. Lalu berkelebat lebih dulu ke arah desa.

"Ah, gadis yang ketus...!" tertawa Sambu Ruci seraya melompat menyusul. Ketiga Musafir Hati Besi cuma saling pandang dengan tersenyum. Namun tak lama segera berkelebatan menyusul.

* * * * * * *

SEPULUH

RORO CENTIL benar-benar tak mengerti dengan maksud si Tutul, setelah mengangkut seluruh tulang-belulang lalu menggeram memperlihatkan taringnya pada Roro. Lalu menggigit sebuah tulang lengan manusia itu dan membawanya melompat ke arah bukit batu. Terpaksa Roro Centil mengikutinya.

"Mau dibawa kemana tulang itu..?" berkata Roro dalam hati. Ternyata si Tutul meletakkan tulang itu di atas batu pada pertengahan bukit yang di panjatnya. Di sana dia menggeram-geram dengan memutari kesana-kemari seperti mencari sesuatu. Lalu melompat ke arah sisi samping batu yang agak menonjol. Disana dia mengorek-ngorek dengan kukunya seperti mau menggali lubang lagi. Kali ini Roro telah dapat menerka maksudnya. Segera dia melompat kesana, lalu meneliti sekitar sisi bukit itu.

"Apa maksudmu Tutul? Hm, apakah kau mau sembunyikan tulang-belulang itu di sini..!?" berkata Roro lirih.

Si Tutul menggeram kecil. Tangan Roro yang meraba-raba segera temukan satu celah didekatnya. "He? batu ini bergerak...!?" sentak Roro terkejut. "Apakah ini sebuah pintu goa...?" berpikir Roro dalam benaknya. Dengan kekuatan tenaga dalam segera Roro salurkan untuk menepuk beberapa kali dengan pelahan. Dan... brasssh...! batu itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Segera terlihat sebuah rongga di sisi tebing itu.

"Aiiih, benar dugaanku!" teriak Roro dengan girang. Sementara si Tutul telah menggigit kembali tulang lengan manusia itu untuk dibawa melompat ke dalam. Dan selesai meletakkan tulang lengan itu, segera melompat lagi keluar. Cepat sekali bekerjanya si Tutul mengangkuti tulang belulang itu dan membawanya sekerat demi sekerat. Sementara Roro Centil perhatikan seluruh ruangan itu. Dalam ruangan yang agak samar-samar terangnya itu Roro melihat setiap sudut goa dipenuhi sarang laba-laba. Sebuah peti berdebu tergeletak di atas batu. Cepat Roro menghampirinya.

Rasa ingin tahu memang selalu ada pada setiap diri manusia. Begitu juga dengan Roro Centil. Setelah membersihkan debu di atas peti, segera berusaha membukanya. Teramat mudah untuk membuka peti itu seperti tak diduganya. Begitu peti terbuka segera terlihat sebuah kitab usang yang sudah lapuk dimakan usia.

Saat Roro Centil membalik-balik lembaran kitab itu yang mempergunakan tulisan lama. Roro Centil melihat si Tutul telah selesai dengan pekerjaannya mengangkut tulang. Dengan menggeram kecil si Tutul melompat mendekati. Lalu menjilati lengannya. Tapi tak lama segera lenyapkan diri.

Roro Centil jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Jelas dengan si Tutul melenyapkan diri berarti sudah selesai tugasnya menuntun Roro ketempat itu. Kini tinggallah Roro yang harus memecahkan apa yang berada dihadapannya.

"Apakah tengkorak manusia itu si pemilik kitab ini...?" sentak Roro dalam hati. "Lalu apa maksudnya si Tutul membawa kerangkanya ketempat ini?"

Dasar Roro Centil yang selalu ingin memperbuat apa yang terbersit dihatinya. Diletakkan kembali kitab itu yang belum sempat ditelitinya. Lalu beranjak mendekati tulang-belulang manusia itu. Dan... lengannya mulai bergerak kesana-kemari mengatur tulang-tulang hingga membentuk kembali sebuah kerangka dengan posisi sebuah tengkorak manusia yang sedang duduk menyandar didinding goa. Terasa hawa seram melingkupi sekitar ruangan goa itu.

Tiba-tiba baru saja dia bangkit berdiri, telah terdengar suara aneh. Rahang mulut tengkorak itu hidup dan bergerak-gerak. Tersentak kaget Roro Centil, hampir saja dia melompat keluar goa.

"Hehehe... jangan takut cucuku...! Aku memang sudah lama mati, tapi dengan kekuatan ilmu yang kumiliki aku masih bisa menyimpan suara untuk bisa didengar oleh orang yang menemukan goa ini...!"

Terperanjat Roro Centil, tak terasa kakinya melangkah mundur dua tindak. "Ssi... siapakah anda...?" bertanya Roro.

"Hehehe... sudah pasti kau akan bertanya tentang aku! Akulah yang pernah dijuluki si Manusia Padang Pasir...! Kematianku dalam usia 100 tahun lebih. Kitab yang berada pada kotak di atas batu itu kuwariskan pada siapa yang telah menemukannya! Pelajarilah cucuku! Pada kitab itu ada pelajaran ilmu silat dari yang pernah kumiliki. Sebagian adalah ilmu silat sebanyak tiga belas jurus. Sedangkan sebagian lagi adalah tujuh jurus kalimat Mantra Suci! Ilmu penolak setan dan iblis..!

"Hanya orang yang berotak cerdaslah yang dapat menguasainya! Dan tentu saja orang yang berjodoh memiliki seekor Harimau Tutul, yang dapat berjodoh menjadi pewaris ilmuku...! Karena Harimau Tutul itu adalah rohku! Jangan heran bila kelak terjadi satu keanehan pada dirimu...! Bila selesai kau mempelajari ilmu warisanku, kau bakarlah kerangka tubuhku ini berikut kitab itu!"

Selesai berkata, tulang tengkorak kerangka manusia yang disusun Roro Centil tiba-tiba berjatuhan ke tanah dengan suara berkerotakan. Roro Centil terpaku tak bergeming ditempatnya. Seolah apa yang dilihatnya itu seperti dalam khayal atau mimpi. Tapi kenyataan telah terpampang dihadapan matanya. Telinganya jelas mendengar apa yang diucapkan si kerangka Manusia Padang Pasir.

Tiba-tiba Roro Centil jatuhkan dirinya berlutut dihadapan kerangka itu. Bibirnya tergetar mengucapkan kata-kata. "Guru...! Aku Roro Centil segera akan mentaati pesan itu...!"

Selesai Roro Centil berkata tiba-tiba dari langit-langit bagian atas goa memantulkan cahaya terang benderang. Di luar angin membersit kencang menerbangkan butiran-butiran pasir. Roro bangkit berdiri untuk mencari penutup lubang goa. Akan tetapi tiba-tiba dinding batu di sisinya bergerak menggeser sendiri. Dan... Brak! Goa itu telah tertutup rapat.

Terheran-heran Roro Centil akan keanehan itu. Ditatapnya cahaya terang yang membersit dari langit-langit ruangan goa itu. Ternyata sebuah batu pualam sebesar tengkorak kepala manusia yang menempel dibatu langit-langit goa itu, memancarkan sinarnya yang amat terang benderang.

"Aiiih, benar-benar aneh dan amat mengagumkan...!" desis Roro pelahan. "Selama hidupku baru aku mendengar ada satu ilmu kesaktian yang dapat menyimpan suara. Sedangkan orangnya sudah mati entah berapa puluh tahun yang silam..!" berkata Roro dalam hati.

Demikianlah! Apa yang dialami Roro Centil adalah sudah menjadikan jodoh bagi dirinya. Dan tak ayal si Pendekar Wanita Pantai Selatan segera mulai mempelajari isi kitab usang itu dengan membalik-balik lembarannya. Untunglah, walaupun agak sulit dibaca, Roro Centil dapat juga memahami huruf-huruf kuno yang tertera di kitab usang itu.

Segala daya dan kecerdasan Roro Centil untuk memahami dan mempelajari isi kitab itu dikerahkan demi terwarisnya ilmu si Manusia Padang Pasir kepadanya... Lembar-demi lembar mulai di hayati dan dipraktekkan dengan kesungguhan hati dan keyakinan yang mantap, bahwa tak ada sesuatu yang sukar di dunia ini kalau diusahakan dengan kekerasan hati, kemauan, tekad dan niat yang bulat...!

Dan sejarah Persilatan memang akan membuktikan bahwa tak lama lagi Roro Centil akan kembali muncul di Rimba Persilatan dengan segala kesaktian yang dimilikinya...

SEBELAS

Ternyata dalam waktu sembilan hari Roro Centil berhasil menguasai ketiga belas jurus ilmu Manusia Padang Pasir. Dan dalam waktu empat hari Roro berhasil pula menguasai ketujuh jurus ilmu Mantera Suci. Tepat 13 hari Roro Centil telah dapat menamatkan isi kitab itu dan menguasai penuh isinya.

Ternyata tekad Roro untuk menyelesaikan pelajarannya agar tepat tiga belas hari, dengan tekad yang bulat dan kemauan yang keras membaja membawa hasil yang memuaskan. Roro memang mau merobah pandangan manusia yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu menganggap angka 13 adalah angka sial!

Namun Roro beranggapan hari yang ke 13 itu adalah hari yang penuh kemujuran. Hari itu mutlak sudah Roro Centil menjadi pewaris tunggal ilmu si Manusia Padang Pasir. Dan pada hari itu juga setelah selesai membakar tulang kerangka gurunya si Manusia Padang Pasir juga kitab peninggalannya, Roro Centil menutup pintu goa yang telah menjadi tempatnya menempa ilmu-ilmu warisan si Manusia Padang Pasir. Di depan pintu goa Roro Centil kembali menekuk lutut dengan tundukkan kepala dan berkata dengan suara lirih.

"Guru...! Hari ini aku telah selesai menjalankan amanatmu. Hari ini aku muridmu, Roro Centil telah berhasil menamatkan pelajaran dalam kitab warisan mu. Dan hari ini pula aku segera akan meninggalkan tempat peristirahatan mu! Hari ini pula aku akan mengemban tugas kewajiban yang lebih berat untuk menegakkan panji-panji keadilan dimuka bumi...!

"Aku berjanji untuk mengamalkan segenap ilmu dari apa yang telah kau wariskan padaku! Melenyapkan kebatilan, memusnahkan keangkaramurkaan yang mengotori bumi persada demi tegaknya kebenaran. Demi tegaknya keadilan di atas jagat raya ini... Dan demi ketenteraman umat manusia!" Selesai berkata Roro Centil menjura beberapa kali memberikan penghormatan terakhir sebelum meninggalkan tempat itu.

Sementara angin mulai membersit agak keras memperdengarkan suara bersiutan Roro angkat wajahnya untuk segera melompat bangkit berdiri. Lalu putarkan tubuh untuk segera melangkah beberapa tindak. Sejenak Roro terhenti karena merasa tiupan angin semakin santar menerpa tubuh. Di kejauhan dilihatnya seperti ada kabut menghalang.

"Ada apakah...?" sentak Roro terkejut dengan suara berdesis. Ternyata angin semakin keras membersitnya. Pasir mulai beterbangan.

Dan apakah yang dilihat Roro selanjutnya...? Terbelalak mata si Pendekar wanita Pantai Selatan itu melihat di kejauhan timbunan pasir yang membukit bergulung-gulung meluncur bergelombang bagaikan ombak raksasa bergerak cepat mendatangi.

Begitu kagetnya Roro hingga sampai melangkah kembali mundur beberapa tindak. Namun nalurinya mengatakan adanya bahaya besar bila dia tak cepat menyingkir. Memikir demikian, Roro Centil segera enjot tubuhnya untuk melompat pergi menjauhi secepatnya tempat itu.

Dari kejauhan dia cuma bisa menyaksikan gelombang pasir yang menggunung bagaikan menyerbu ke arah tebing batu itu dengan suara bergemuruh luar biasa. Suara bersitan angin yang membadai terdengar bersiutan membuat Roro harus menutupi matanya agar tak kemasukan debu.

Gelombang demi gelombang pasir raksasa itu berhempasan. Dan dalam sekejapan saja bukit batu dimana terdapat goa tempat disimpannya abu si Manusia Gurun Pasir, telah lenyap tertimbun pasir yang menggunung. Selang beberapa saat badai pun kembali mereda. Roro Centil memandang dengan terperangah karena tak melihat lagi adanya bukit batu tempat dia menempa ilmu selama ini, kecuali timbunan pasir yang menggunung.

Lama dipandangnya apa yang terpampang didepan matanya dengan tertegun itu. Namun tak lama kemudian terdengar suara helaan napas gadis Pendekar. Segala sesuatu yang terjadi itu seperti punya makna. Seolah si Manusia Gurun Pasir telah merasa telah puas dengan apa yang menjadi harapannya. Dan mengubur diri untuk menyatu kembali dengan pasir seperti sesuai dengan julukannya...

"Selamat tinggal, guru...!" ucap Roro dengan suara tergetar. Dan berkelebatlah tubuh si dara Perkasa meninggalkan tempat itu....

Roro Centil injakkan kakinya ditepi pantai. Angin laut yang meniup santar membuat rambutnya menyibak berkibaran. "Tutul...! kita harus cepat kembali! Tugas berat telah menantiku diseberang lautan sana! Cahaya merah itu membuat hatiku gundah akan adanya musibah yang melanda wilayah gunung Galunggung. Tampakkanlah dirimu, sahabatku!" berkata Roro dengan suara lirih.

Akan tetapi setelah ditunggunya sekian lama si Tutul tak menampakkan diri. "Ah, kemanakah dia?" menyentak hati Roro. "Tutul...! dimanakah kau..?" ulangnya memanggil seraya memutar tubuh dan menatap ke sekelilingnya.

Namun tak dijumpai apa-apa. Semuanya tetap seperti tadi, tak berubah. Sunyi, lengang dan tak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri. Tercenung seketika Roro Centil, dan termangu-mangu memikirkan kemisteriusan makhluk itu. Sejak beberapa tahun makhluk itu selalu setia mengikutinya, mengapa kini tahu-tahu menghilang sirna tak munculkan diri? berpikir Roro dalam hati.

Setelah lama ditunggu-tunggu tetap si Tutul tak menampakkan diri yakinlah dia kalau sahabatnya itu telah pergi meninggalkannya. Barulah Roro teringat akan kejadian di gurun pasir. "Hm, apakah dia telah ikut pula terkubur gelombang pasir...?" berdesis Roro. Roro tak menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri.

Seketika tersentaklah Roro ketika teringat akan kata-kata suara gaib di Manusia Padang Pasir yang mengatakan agar dia tak terkejut akan menjumpai keanehan yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ini salah satu dari keanehan yang dimaksud? pikir Roro. Dalam memecahkan teka-teki lenyapnya si harimau Tutul sahabatnya itu Roro benar-benar dibuatnya tak mengerti. Juga dengan maksud kata-kata gaib si Manusia Padang Pasir. Kembali teringat satu katakata gaib dari sang gurunya itu.

"Hanya orang yang berotak cerdaslah yang dapat menguasai ilmuku. Dan orang yang memiliki seekor harimau tutul yang dapat berjodoh menjadi pewaris ilmuku! Karena Harimau Tutul itu Rohku...!"

Tersentak Roro Centil seketika, karena dari kata-kata itu segera dapat diambil kesimpulan. "Mm, kalau aku telah menguasai ilmu-ilmu si Manusia Gurun Pasir berarti akupun menguasai pula ilmu-ilmu si Tutul!" berkata Roro dalam hati. "Jadi... jadi... ah, begitu mengerikan....!" desis Roro dengan tersentak kaget. Makin mengingat si Tutul ternyata makin besar dorongan imajinasi untuk menirukan apa yang dilakukan si Tutul.

Itulah yang membuat Roro terperangah kaget. Menghadapi dorongan tenaga batin yang menyeruak dari dalam tubuhnya sendiri Roro seperti kehabisan akal untuk menghindarinya. Semakin dia resah, semakin daya kekuatan itu menelusup merangsang poripori dan pembuluh-pembuluh darahnya. Dan di luar sadar dia telah melakukan apa yang dilakukan si Tutul. Roro Centil menahan napas, lalu goyang-goyangkan tubuhnya. Apakah yang terjadi kemudian..?

Tubuh Roro Centil lenyap jadi gumpalan asap. dan di atas pasir pantai itu telah berdiri seekor Harimau Tutul yang hampir sebesar kerbau memperlihatkan giginya menyeringai menyeramkan. Itulah Harimau Tutul penjelmaan dari Roro Centil. Apapun yang terjadi pada diri Roro ternyata memang sudah diucapkan oleh kata-kata gaib si Manusia Padang Pasir.

Membelalak sepasang mata gadis Pendekar itu melihat perubahan bentuk pada tubuhnya. "Aku... aku telah menjadi Harimau...! Aku kini menjadi si Tutul! Oh...! inikah satu keanehan yang bakal terjadi seperti yang dikatakan suara gaib itu ?" keluh Roro. Ditatapnya ke empat kakinya yang berkuku runcing. Ditatapnya apa yang kini telah menjadi bagian dari tubuhnya. Terhenyak gadis Pendekar itu.

Dengan mendekam sang harimau Tutul alias Roro Centil itu termenung hingga beberapa lama. "Apakah ujud asli ku akan lenyap seterusnya? Dan tetap menjadi makhluk yang jelas bukan manusia ini...?" berkata Roro dalam hati. Akan tetapi selang sesaat Roro telah melompat bangun dan perdengarkan suara menggeramnya. "Edan..! suaraku pun telah berobah!" sentak Roro dalam hati. Tentu saja membuat Roro terkejut mendengar perobahan suaranya sendiri.

Namun titik terang dari pemikirannya telah Kembali jernih. Roro yakin kalau semua itu adalah cuma "ilmu" belaka. Dia takkan selamanya menjadi Harimau. Keyakinan yang mantap itu telah membuka titik terang bagi si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Segera dia bersemadi dengan pejamkan mata. Batin menyatu untuk kembali memulihkan ujudnya. Terasa ada getaran pada kulit dan pori-pori tubuhnya.

Ketika Roro Centil hentikan semedinya lalu membuka mata, membersitlah senyum pada bibirnya. Karena sekejap Harimau Tutul itu telah kembali pada ujud asalnya lagi. "Aiiiiih, kalau tahu begini mengapa aku pusing-pusing memikirkannya..? Dasar otakku bebal!" menggumam Roro dengan tersenyum.

"Aku harus kembali secepatnya! firasatku mengatakan ada sesuatu terjadi disana yang memerlukan aku turun tangan!" berdesis Roro dengan mata menatap jauh ke cakrawala.

Matahari senja membuat cahayanya memantul gemerlapan dari ombak-ombak laut yang tengah bermain bagaikan hamparan permadani perak. Dan saat itu juga sebuah bayangan seekor Harimau Tutul meluncur pesat dari daratan itu bagaikan hembusan angin lewat. Dialah Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Si Pewaris Manusia Gurun Pasir...

* * * * * * *

DUA BELAS

Di wilayah kotaraja. Delapan belas perwira Kerajaan mati tergeletak dengan tubuh tanpa kepala. Dan delapan belas "butir" kepala manusia berserakan diantara tubuh-tubuh tanpa kepala itu. Delapan ekor kuda mati dengan tubuh hangus dan kepala hancur. Bau anyirnya darah menyebar di sekitar tempat itu. Sungguh satu pemandangan yang amat mengerikan dan mengenaskan hati.

Seekor kuda hitam meluncur pesat ke tempat kejadian. Di tangan penunggangnya tercekal sebuah tombak bermata tiga. Dialah Tumenggung Shandikala yang menerima laporan dari beberapa orang anak buahnya. Tak ayal segera "meluncur" ke tempat kejadian.

"Bedebah! Perempuan iblis edan...!" memaki laki-laki berusia empat puluh tahun ini. Kudanya telah dihentikan dan bergerak memutari mayat-mayat dan bangkai kedelapan belas anak buahnya. Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dada laki-laki ini berombak-ombak pertanda menahan kemarahan yang amat luar biasa yang ada di dada.

Satu suara tertawa mengikik membuat laki-laki ini tersentak. Jantungnya seperti melonjak karena terkejut. Walau niatnya memang mau menempur si perempuan iblis itu, namun mendengar suara tertawanya saja membuat nyali laki-laki Tumenggung ini agak menciut.

"Hihihihi..... selamat datang panglima yang gagah! Kau pasti Tumenggung Shandikala!" Satu kata-kata penyambutan yang dilontarkan si pemilik suara telah dibarengi dengan kelebatan tubuh seorang wanita berpakaian warna kuning. Berlengan baju lebar yang menutupi seluruh lengan.

"Siapa kau...!" membentak laki-laki Tumenggung itu dengan membeliakan matanya. Hatinya agak ragu untuk menduga kalau orang yang dihadapannya adalah si perempuan iblis itu.

Dia memang Giri Mayang adanya. Wanita ini dengan tersenyum genit bahkan balik bertanya. "Coba terka olehmu siapakah aku...?"

Percikan darah yang melekat dipakaian wanita itu telah membuat si Tumenggung membentak kasar. Walau sebenarnya darahnya seperti tersirap. "Kau pasti si perempuan iblis itu...!"

"Hihihihi... tepat... tepat sekali dugaanmu! Tapi aku manusia biasa bukan iblis. Tumenggung yang gagah!" Baru saja selesai ucapannya tubuh Giri Mayang mendadak lenyap. Tahu-tahu laki-laki itu merasa pinggangnya dipeluk orang dari belakang.

"Hihihihi... tubuhmu kekar, dan wajahmu gagah. Dan keberanianmu juga boleh dibanggakan. Hihihi... justru aku menyenangi laki-laki sepertimu, Tumenggung!" terdengar suara berdesis didaun telinganya.

Tentu saja membuat sang Tumenggung kaget setengah mati. Akan tetapi dia sudah terkulai kena totokan lengan wanita itu dengan perdengarkan keluhan dari mulutnya. Dan... kuda hitam itu sudah berlari cepat keluar dari tempat berbau anyir itu. Mencongklang pesat menuju hutan jati.

Melewati hutan jati itu, sang kuda ternyata telah kehilangan penunggangnya. Namun si kuda hitam itu terus mencongklang lari hingga lenyap di ujung hutan. Ternyata tepat ditengah jalan wanita itu telah melompat dari atas punggung kuda dengan menggondol si Tumenggung.

Bret! Brett! Brebrettt...!

Sekejapan saja tubuh laki-laki penegak hukum itu sudah telanjang bulat. Dan... sepasang matanya menatap dengan membeliak pada sosok tubuh putih mulus yang tanpa selembar benangpun menghalangi. Namun yang membuat laki-laki itu merasa ngeri adalah sepasang tangan wanita itu karena bentuk dan rupanya amat menyeramkan. "Hah!? ma... mau apa...kka... kkau..." tergetar suara Tumenggung Shandikala dengan mencoba untuk beringsut. Namun jalan darahnya terasa ngilu. Hingga dia cuma bisa menatap dengan terbelalak dan keringat dingin "membanjir" deras di sekujur tubuhnya yang polos.

"Hihihi... aku mau kau!" menyahut Giri Mayang. Sepasang mata wanita itu menatap tajam si Tumenggung. Bibirnya bergerak-gerak membaca mantera. "Kau pandanglah aku, apakah aku kurang cantik?" ujarnya sesaat kemudian.

"Kau... kau can.. cantik, no... nona!... ta... tapi lenganmu... lenganmu amat menakutkan!" Sahut lakilaki Tumenggung itu dengan suara menggetar.

"He? siapa bilang? sepasang tanganku halus mulus tanpa cacad! Matamu telah terbalik rupanya. Perhatikanlah sungguh-sungguh...!" berkata Giri Mayang yang| telah selesai merapal ajian Malih Rupa.

"A, bbbeb.. be... benar!? tanganmu mulus! Mulus, tanpa cacad dan.... kau... kau cantik sekali, nona..." berkata sang Tumenggung dengan memandang terperangah.

Memang aneh dalam pandangan Tumenggung Shandikala karena kini yang dilihatnya sepasang tangan perempuan itu memang halus mulus. Ternyata dia telah kena pengaruh ilmu Malih Raga. Bahkan dimatanya itu teramat cantiknya. Apa lagi dalam keadaan tanpa busana. Seluruhnya membentang dengan nyata.

"Bagus! Kini matamu sudah terang!" ujar Giri Mayang dengan meneguk air liur. Sepasang matanya seketika mulai membinar. Ujung puting payudaranya mulai terlihat kaku dan semakin kemerahan. Tiba-tiba lengannya bergerak mengibas. Dan, terlepaslah totokan pada tubuh sang Tumenggung.

Mendapatkan dirinya telah punya tenaga lagi. laki-laki ini tergesa bangkit dengan gelora yang menggelegak. Hawa rangsangan telah menutup pikiran warasnya... Giri Mayang tertawa lirih seraya "menerkam" mangsanya dengan berahi memuncak di atas segalanya. Sang Tumenggung menyambutnya dengan gairah melonjak-lonjak. Merengkuhnya dengan seluruh hasrat yang tak dapat terbendung lagi....

*** Wuusss...! Sesosok tubuh terlempar dari balik rumpun dihutan Jati. Dan Bruk! Tubuh itu jatuh tepat di belakang dua orang yang tengah berjalan di satu jalan menuju desa.

"Hah!?"

"Ooh...!?"

"Hiiiiiiii..." Menjerit dua orang itu seraya lari lintang pukang. Ternyata mereka dua orang laki-laki yang sedang melintas ditempat itu. Langkahnya tergesa-gesa. Ketika tiba-tiba terdengar suara menggabruk di belakangnya. Ketika menoleh ternyata sesosok tubuh laki-laki tanpa kepala yang dalam keadaan telanjang bulat. Tentu saja membuat mereka terperanjat, dan seketika lari ketakutan pontang panting.

Sementara itu di desa yang tengah ditujunya. "Itu Karma dan Kubil! pasti dikejar perempuan iblis itu...!" teriak salah seorang dari tiga laki-laki yang berada di mulut desa.

"Celaka...! pasti! pasti...!" berkata kawannya dengan wajah pucat.

"Cepat laporkan pada Ketua!" perintah yang berusaha berkata seraya mendorong tubuh sang kawan yang cuma menatap dengan mata melotot dan bibirnya terbuka. Tak ayal segera laki-laki itu berlari cepat untuk segera melapor.

"Apa yang telah terjadi...?" terdengar suara dari bernada depan sebuah rumah disertai berdirinya seorang laki-laki. Lalu diikuti oleh beberapa laki-laki dan seorang wanita tua.

"Celaka, Den...! perempuan iblis itu... itu... itu..."

"Ita itu ita itu!? bicara yang benar goblok!" seorang laki-laki berangasan bertubuh kekar dengan perut yang buncit telah melompat dan mencengkeram tengkuk laki-laki ini.

"Biarkan dia menenangkan diri dulu, sobat Anterja!" terdengar suara lirih. Cepat sekali gerakannya, tahu-tahu wanita tua berjubah hijau itu telah berdiri dihadapan laki-laki si pelapor. Si tubuh kekar berangasan itu lepaskan cengkeramannya.

"Katakanlah! Apakah maksudmu si perempuan iblis itu telah datang kemari...?" tanya perempuan tua itu dengan suara lembut.

"Hihihi... hihi... benar! Aku telah datang kemari dan datang kesetiap tempat untuk membunuh habis kaum Rimba Hijau golongan putih!" belum lagi si pelapor itu menyahuti telah terdengar suara tertawa yang menyahutinya. Dan, suaranya belum habis, empat sosok tubuh telah terlempar dan jatuh bergedebukan dengan kepala yang sudah lenyap dari tubuhnya.

Terkejut semua mata memandang karena tahu-tahu di hadapan mereka menjelma sesosok tubuh wanita berpakaian serba kuning berlengan baju gombrong menutupi kedua lengannya. Semua mata jadi memandang dengan terperangah. Akan tetapi sekejap saja sosok-sosok tubuh diberanda rumah itu segera berlompatan untuk mengurung wanita itu, dengan senjata-senjata terhunus.

"Giri Mayang! Perempuan iblis, kau takkan lolos kini dari tangan kami!" teriak salah seorang.

Ternyata mereka adalah para pendekar yang tengah berkumpul menyusun rencana. Dua orang anak buah dari salah seorang tokoh Pendekar yang memang berdiam di wilayah desa itu telah dikirim Untuk melihat situasi di sisi Kota Raja sejak pagi tadi. Ternyata kembalinya telah berikut dengan hilangnya nyawa kedua murid utusan itu. Sementara si nenek berjubah hijau itu telah mencabut keluar seuntai tasbih dari balik jubahnya. Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera.

"Hihihi... hihi... mantera apakah yang kau baca itu, nenek peot?" Berkata Giri Mayang dengan mengikik tertawa. Akan tetapi sepasang matanya membersit tajam mengandung hawa pembunuhan. Dan... tiba-tiba...

Wuukkk...! Secercah cahaya biru telah meluncur cepat ke arah nenek tua itu disertai menyebarnya hawa dingin mencekam. Terdengarlah jeritan parau menyayat hati. Dan... Krraak! Batang leher si nenek berjubah hijau itu sekonyong-konyong berderak patah. Darah memuncrat, dan kepalanya jatuh menggelinding diserta menggabruk jatuhnya tubuh si wanita tua bertasbih itu.

Terbelalak para Pendekar yang mengurung si wanita iblis Giri Mayang menyaksikan kejadian itu. Serta merta mereka menerjang dengan berbareng. Senjata-senjata berkelebatan menebas batang tubuh perempuan iblis itu. Akan tetapi dengan sekejap tubuh Giri Mayang telah kembali lenyap sirna tak berbekas. Selanjutnya yang terdengar adalah jerit dan teriakan ngeri disertai tumbangnya tubuh-tubuhnya para Pendekar itu dengan masing-masing kepalanya telah putus bagaikan dipereteli saja dari leher mereka.

Sekejapan saja belasan mayat telah bergelimpangan dengan amat mengerikan. Darah membanjir menganak sungai. Sungguh satu pemandangan yang amat mengerikan! Lagi-lagi Giri Mayang menambah korban-korbannya. Selang sesat terdengar kembali suara tertawa mengikik menyeramkan membangunkan bulu roma. Namun suara tertawa itu semakin menjauh, dan akhirnya lenyap dalam kelengangan yang membaur dengan hawa maut...

"Giri Mayang...! perempuan iblis! perbuatanmu sudah keterlaluan!"

Terdengar satu bentakan keras yang terdengar bagaikan memecahkan anak telinga. Wanita ini hentikan langkahnya yang baru saja memasuki perbatasan sebelah timur dari wilayah Kota Raja. Disinipun terlihat beberapa mayat berserakan dengan keadaan yang mengerikan. Yaitu mayat dari empat orang ponggawa penjaga perbatasan. Yang membentak adalah salah satu dari Tiga Musafir Hati Besi. Ketiga orang ini melompat untuk segera mengurungnya, dengan masing-masing telah mencabut senjata.

"Hm. lagi-lagi tiga Pendekar muncul mencari mati!" berkata Giri Mayang dengan suara dingin. Akan tetapi tiba-tiba membersitlah senyum pada bibirnya ketika menatap salah satu dari si ketiga Musafir Hati Besi seorang lelaki yang bertubuh kekar dengan urat-uratnya yang bertonjolan. "Hihihi... dua diantara kalian boleh mati, tapi kau kuberi hidup untuk sementara!" ujar Giri Mayang seraya menunjuk pada laki-laki gagah itu. Bahkan langsung membaca mantera dengan sepasang matanya menatap tak berkedip pada laki-laki bernama Bhadur itu.

Akan tetapi dua dari si Tiga Musafir Hati Besi telah menerjang dengan golok besar dan sepasang ruyung bermata tombak tipis yang meluncur deras menabas tubuh dan menyerang leher. Akan tetapi belum lagi senjata-senjata mereka mengenai kulit wanita itu selarik sinar biru meluncur dari sepasang lengan baju Giri Mayang.

Melihat dua larik sinar biru itu meluncur ke arah mereka Tiga Musafir Hati Besi sudah maklum dengan serentak melompat menghindari dengan letikkan tubuh ke arah samping. Sesaat sudah berada dalam posisi berdiri dengan siap siaga.

"Hmm...!" mendengus Giri Mayang. "Aku tak perlu melayaninya dengan tanganku! Hihihi... tujuh setan kerdil! kalian hisaplah darah kedua Pendekar tolol itu!" terdengar perintahnya dengan suara dingin pada tujuh makhluk kerdil yang berdiam diri menunggu perintah.

Serentak mereka menampakkan dirinya. Dan dengan wajah menyeringai menyeramkan ketujuh makhluk hitam itu berkelebatan ke arah dua dari Tiga Musafir Hati Besi. Sementara Bhadur baru saja tersadar dari pengaruh ilmu penakluk Sukma Giri Mayang. Dengan marah dia menerjang wanita itu.

Senjatanya sepasang kapak bermata lebar menebas beruntun memperdengarkan suara bersiutan. Akan tetapi melengak laki-laki itu karena mata kapaknya seperti menebas angin. Tahu-tahu... Plak! kedua kapak telah terlepas dari sepasang lengannya. Dan belum lagi dia menyadari apa yang bakal terjadi, tubuhnya telah serasa "terbang" karena telah disambar di wanita Iblis itu yang langsung telah menotoknya.

Sementara pertarungan dua dari Tiga Musafir Besi dengan ketujuh makhluk kerdil itu berlangsung dengan tegang. Sambaran-sambaran senjata mereka cuma menabas angin belaka, membuat bulu kuduk kedua lakilaki itu mulai berdiri meremang. Berguling-guling dan melompat mereka menyelamatkan diri dari cengkeraman ganas makhluk-makhluk kerdil itu.

Selang kira-kira dua kali sepeminuman teh, tampaknya tenaga kedua Pendekar itu semakin berkurang. Hal itu karena nyali mereka mulai menciut. Keputusasaan telah membayang di wajah mereka yang tak mungkin menang menghadap makhluk yang bukan manusia itu.

Tiga makhluk kerdil berhasil menangkap pergelangan tangan dan kaki dari salah seorang Pendekar itu. Bergulingan laki-laki ini dengan segala daya untuk melepaskan diri. Akan tetapi sia-sia. Saat mana salah satu makhluk kerdil itu telah meluncur untuk menerkam ke arahnya yang dalam keadaan terlentang tanpa berdaya. Di lain pihak tiga makhluk kerdil lainnya telah meluruk pula untuk merencah ganas pada Pendekar satunya yang sudah megap-megap kehabisan napas.

Dia cuma terperangah menanti datangnya maut, dengan mata membelalak. Akan tetapi di saat mau tinggal sedetik lagi, tiba-tiba secercah cahaya perak telah membersit menyambar tepat di atas kepala makhlukmakhluk kerdil itu dengan menimbulkan suara menggelegar.

Blarrr...!

Tujuh makhluk kerdil itu seketika berloncatan dengan suara gaduh karena terkejut. Hingga telah melepaskan cengkeraman pada kedua Pendekar itu. Dan... di situ telah berdiri tegak si nenek Muri Asih, alias si Pendekar Selendang Perak Pelangi. Melihat kemunculan wanita tua renta itu si tujuh makhluk kerdil jadi menyeringai gusar.

Mereka telah mengetahui karena nenek tua ini pernah membuat mereka menyasar dan sukar keluar dari hutan belantara karena dipancing mengejarnya. Hingga Giri Mayang terpaksa harus menghubungi gurunya si Nini Lembutung melalui semadi. Atas bantuan Nini Lembutung itulah mereka bisa keluar dari rimba belantara yang seperti telah terpagar oleh tembok kabut yang sukar ditembus.

"Gerrrhh...! Krakk..! Krwookk! Krowookkk...!"

Menggeram ketujuh makhluk kerdil itu dengan marah. Tiba-tiba serentak menerjang ke arah wanita tua itu. Membersitnya tubuh ketujuh makhluk kerdil itu dibarengi dengan lenyapnya tubuh mereka. Akan tetapi si Nenek Muri Asih telah waspada. Sinar Perak yang menyilaukan mata segera terlihat seperti membungkus tubuhnya. Sementara sinar Pelangi membumbung ke atas memancarkan warna-warni.

Tiba-tiba sinar pelangi itu bagaikan sebuah selendang yang panjang meluncur ke bawah membentuk lingkaran yang memutar cepat seperti menggulung. Dan saat itu sinar Perak yang membungkus tubuh si nenek Muri Asih mendadak membersit ke udara.

Apakah yang terjadi kemudian...? Tubuh ketujuh makhluk kerdil itu telah terjerat menjadi satu. Terbelit oleh selendang warna Pelangi. Terlemparlah ketujuh makhluk kerdil yang telah kembali menampakkan diri ke udara, karena dibetot oleh si wanita tua itu. Saat mana dalam keadaan mengapung di udara si Nenek Muri Asih telah lancarkan serangan dahsyat dengan semburan sinar perak ke arah ketujuh makhluk kerdil yang bergulung menjadi satu...

Blarrr...!

Terdengar ledakan hebat di udara. Asap hitam tampak membumbung di bekas ledakan itu. Kedua Pendekar yang berada di bawah memandang ke atas dengan takjub, juga hati berdebaran. Apakah nanti kelanjutannya dengan pukulan sinar perak yang tepat mengenai ketujuh makhluk kerdil itu...? Saat itu dengan ringan si nenek Muri Asih telah meluncur turun kembali, jejakkan kaki ke tanah dengan tak menimbulkan suara.

Asap hitam yang membumbung di udara itu mendadak lenyap. Akan tetapi tepat dari bekas lenyapnya asap hitam itu telah mengucur turun cairan darah, yang begitu menyentuh bumi, sekejapan saja terlihat menganak sungainya cairan darah yang berbau busuk. Terperangah kedua Pendekar itu memandang. Sementara sudah terdengar suara si nenek Muri Asih.

"Mereka telah musnah...! Dan sebagian dari kekejian manusiamanusia setan itu telah berhasil kita tumpas. Akan tetapi entah apakah aku akan sanggup menghadapi si perempuan iblis itu...?"

"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nenek Muri Asih...!" berkata kedua pendekar dari Tiga Musafir Hati Besi seraya sama-sama menjura.

Pada saat itu... "Hihihihi... hebat kau Nenek Muri! biarlah si Giri Mayang itu aku yang akan menghadapi!"

"Roro Centil...!" hampir berbareng mereka berseru, karena segeralah telah melihat munculnya sesosok tubuh wanita muda berparas rupawan. Senjata Rantai Genit yang tergantung dipinggang telah dikenali oleh kedua Pendekar itu.

"Roro...! sukurlah kau datang...!" berkata nenek Muri Asih seraya melompat menghampiri.

"Nona Pendekar Roro Centil, Kami yakin anda dapat menumpas perempuan iblis itu!" berkata salah seorang dari kedua Pendekar itu yang bernama Bonar. Sedangkan adiknya adalah Bhimo.

"Ah, kalian Bonar dan Bhimo bukan...?"

"Tidak salah! kami adalah si Tiga Musafir Hati Besi yang pernah menerima budi anda dua bulan yang lalu, namun belum sempat kami ucapkan terimakasih. Biarlah hari ini kami sempatkan untuk mengucapkannya!"

"Huss! sudahlah, tak mengucapkan pun tak apa-apa, Kemanakah Bhadur..?" bertanya Roro dengan mata jelalatan menatap pada empat mayat ponggawa Kerajaan menduga kalau-kalau Bhadur telah tewas dan ada diantaranya.

"Dia... dia dibawa pergi si Perempuan iblis itu...!" menyahut Bonar dengan wajah pucat. Barulah dia sadar akan lenyapnya sang kakak.

"Hmm...! tercenung sejenak Roro Centil. "Kau tak boleh gegabah menghadapinya, Roro...! Giri Mayang mempunyai sepasang lengan Iblis! Bukan aku meremehkan kepandaianmu, tapi kukira dengan berdua kita menempurnya mungkin kita bisa membinasakan perempuan iblis itu!" berkata Nenek Muri Asih dengan suara lembut. Tampaknya wanita tua itu agak mengkhawatirkan Roro, karena dia sendiri memaklumi betapa berbahayanya sepasang Tangan Iblis Giri Mayang.

Roro Centil tersenyum menatap wanita tua itu. "Aku hargai kekhawatiranmu itu, nenek Muri...! Akan tetapi aku telah berjanji dan bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Dia telah menantangku untuk bertarung secara kesatria, apakah aku harus berlaku pengecut...!" ujar Roro dengan mengalihkan tatapannya pada mayat-mayat yang bergelimpangan.

"Giri Mayang telah banyak membuat kejahatan, mengumbar nafsu Iblisnya demi memancing munculnya aku pada peristiwa yang lalu. Juga telah memfitnahku! Mencemarkan nama baikku...! Pernah pula dia berhasil menawanku, yang nyaris membuat nyawaku melayang. Untunglah dia tak berniat membunuhku siang-siang. Karena dia memang mau menyiksaku sepuas-puasnya. Aku berhasil melepaskan diri dan balas menyiksanya!

"Sayang waktu itu aku tak membunuhnya mampus! Dia kuampuni jiwanya! Kubiarkan dia hidup dalam menderita sebagai balasan atas penyiksaan yang dilakukan padaku yang walaupun belum sempat terjadi aku telah berhasil melepaskan diri dari tolokannya. Tak dinyana dia masih bisa hidup, dan bahkan bergabung dengan si Manusia Beracun yang telah diperalatnya. Kembali dia membawa bencana..!

"Kali ini bencana lebih besar! Dia telah mempunyai Sepasang Tangan Iblis pengganti kedua tangannya yang putus! Ayahnya adalah seorang tokoh jahat golongan hitam yang pernah melakukan pembantaian di Kuil Istana Hijau. Bernama Tun Parera. Akan tetapi dia mempergunakan nama palsu, yang aku lupa namanya. Dia tewas oleh si Tutul...!

"Dialah si Kelabang Kuning, alias Giri Mayang anak dari Tun Parera yang menyimpan dendam kesumat terhadapku. Oleh sebab itu, perkenankanlah aku membunuhnya dengan tanganku sendiri! sesuai dengan keinginannya untuk bertarung denganku secara kesatria!" Tuturkan Roro Centil mengenai siapa adanya Giri Mayang itu.

Nenek Muri Asih manggut-manggut yang telah mendengarkan penuturan Roro dengan panjang lebar. Lalu tampak orang tua itu menghela napas. Lalu ujarnya kemudian.

"Aku tak bisa menahan kalau memang demikian! Akan tetapi berhati-hatilah menghadapinya. Dia masih punya seorang guru baru yang bernama Nini Lembutung yang tak ku tahu dimana tempat sembunyinya. Dialah yang telah berusaha dengan jerih payah untuk memiliki sepasang tangan Iblis demi muridnya itu...!"

Tuturkan nenek Muri Asih yang telah menyelidiki dengan kekuatan batinnya yang tinggi, hingga berhasil mengetahui siapa adanya guru perempuan iblis itu. Bahkan Nini Lembutung pulalah yang telah melepaskan Giri Mayang dari kurungan tembok kabut ciptaannya dihutan belantara, dalam usahanya menyingkirkan wanita iblis itu ketempat yang jauh dari manusia.

Pada saat mereka bercakap-cakap itu tiba-tiba tersentak Roro Centil melihat sesosok tubuh manusia melambung dari balik hutan bambu dihadapannya. Cepat sekali Roro melesat untuk segera menangkap sebelum tubuh itu jatuh ke bumi. Ketika dibaringkan tersentak Roro dan kedua pendekar muda itu, karena itulah tubuh Bhadur yang dalam keadaan telanjang bulat. Kepalanya terkulai karena tulang lehernya patah seperti kena cengkeraman.

"Iblis keji...!" memekik Roro seraya melesat ke balik hutan dengan lompatan setinggi lima belas tombak. Roro Centil jejakkan kakinya ke tanah. Matanya menjalar ke beberapa arah untuk memperhatikan sekelilingnya. Sunyi senyap. Keheningan mencekam...

"Hihihihi... selamat berjumpa Pendekar Wanita yang hebat...!" terdengar suara di belakang Roro tanpa terlihat sosok tubuhnya.

Roro Centil cepat balikkan tubuh seraya merapal aji halimunan. Akan tetapi sengaja Roro tak membentuk tubuhnya menjadi harimau Tutul. Segera terlihat siapa dihadapannya. "Giri Mayang...! saat pertarungan telah tiba! Hari ini kau harus menyudahi perbuatan kejimu! Aku telah siap untuk mengirim nyawa iblismu ke Neraka...!" membentak Roro dengan suara nyaring.

"Hebat! kau bisa melihatku...?" puji Giri Mayang dengan tersentak kaget, tapi tetap tenang. Keyakinannya untuk bisa menghancurkan musuh besarnya amat tegar, karena dia yakin sepasang tangan iblisnya akan mampu mencopot kepala si Pendekar wanita Pantai Selatan itu.

"Hihihi... kau kira cuma kau sendiri yang punya kesaktian macam begini? Hm, kali ini silahkan kau gunakan seluruh kesaktianmu untuk menghadapi aku. Roro Centil akan melayaninya...! Dan... jangan harap kau dapat menunda lagi kematianmu, perempuan setan!"

"Baik! akan tetapi tempat pertarungan kita terlalu sempit!" ujar Giri Mayang dengan wajah merah menegang.

"Silahkan kau cari tempat yang luas. Ataukah kau mau ajak aku bertarung diliang semut...! Aku akan melayani!" berkata Roro dengan senyum sinis. Tampak ketenangan tetap membayang di wajah sang Pendekar kita.

"Baik! baik...! Silahkan ikuti aku...!" berkata Giri Mayang, seraya melesat bagaikan "terbang" keluar dari hutan bambu itu.

Roro Centil enjot tubuhnya untuk mengikuti. Dan, bagaikan dua hembusan angin lewat, dua sosok-sosok tubuh yang tak terlihat oleh mata biasa itu saling berkelebatan meluncur pesat meninggalkan tempat itu. Pertarungan memang tampaknya tak dapat di elakkan lagi. Dan satu duel yang amat menegangkan pasti akan berlangsung untuk menentukan siapakah yang masih bisa hidup mempertahankan nyawanya. Juga pada pertarungan itu akan ditentukan apakah kebathilan atau kebenaran yang akan bercokol dijagat ini. Segalanya memang belum bisa dipastikan.

Nenek Muri Asih saling tatap dengan kedua pendekar muda itu. Mereka cuma mendengar bentakan-bentakan dan tantangan yang menegangkan dari balik hutan bambu, yang kemudian suara-suara itupun lenyap. Alam kembali sunyi mencekam. Ketiga manusia itu tertegun dalam beberapa saat. Namun akhirnya nenek Muri Asih menyadarkan, dengan berkata pelahan.

"Segala sesuatunya tak dapat lepas dari takdir! Kita tak tahu apakah kemenangan ada dipihak Roro Centil, ataukah Giri Mayang. Semuanya kita serahkan pada Yang Maha Kuasa! Marilah kita kuburkan mayat saudaramu itu, sobat-sobat Pendekar muda...! Juga empat mayat pengawal itu kita ke bumikan sekalian! aku akan membantu kalian menggali lubang...!"

Tersentak kedua dari Tiga Musafir Hati Besi. Lalu cepat-cepat menjawab. "Terima kasih, nenek Muri Asih! kami sudah berhutang budi pada anda, biarlah kami yang menggali kubur untuk semua mayat yang berada disini...!" berkata Bonar.

Sejenak perempuan tua itu tercenung. Lalu terdengar menghela napas. "Baiklah, kalau begitu...! Doa'a-kan saja agar kemenangan ada pada Pendekar Wanita kita..!" ujar Nenek Muri Asih.

"Tentu...! Tentu, nenek Muri Asih!" menyahut keduanya dengan serempak.

Nenek Muri Asih gerakkan lengannya beberapa kali ke arah depan. Terdengarlah suara berdentum beberapa kali ketika sinar perak berkelebatan menghantam tanah. Debu mengepul, dan tanah menyemburat ke udara. Ketika abu tebal itu lenyap, terperangah kedua pendekar itu melihat dihadapannya telah berjajar lima buah lubang yang persis seperti baru digali. Kedua pendekar jadi saling pandang dengan keheranan.

"Beliau telah membantu kita menggalikan kuburan...!" berkata Bhimo dengan tertegun.

"Benar, adikku... ah, sungguh sakti nenek itu juga berhati mulia! Marilah kita kuburkan dulu jenazah kakak kita..." ujar Bonar.

Sang adik mengangguk, lalu segera bantu mendukung membawa jenazah. Kesedihan tampak membayang di wajah dua Pendekar muda ini. Akan tetapi mereka memang tak dapat menentang takdir seperti apa yang diucapkan nenek Muri Asih. Begitu juga dengan pertarungan kedua tokoh hitam dan putih itu kelak. Manusia, ya cuma manusia. Setinggi apapun ilmunya tetap di bawah kekuasaan Yang Maha Pencipta.

Langit tampak cerah tak berawan. Cahaya Matahari membersit terik. Sesekali terhalang sinarnya oleh daun-daun bambu yang bergoyang tertiup angin. Setelah berdo'a untuk arwah-arwah mereka yang telah tiada, kedua. Pendekar Hati Besi meninggalkan tempat itu.

Meninggalkan lima buah gundukan tanah yang masih baru. Mereka telah gugur sebagai pahlawan walaupun cuma dengan sedikit perjuangan. Tapi masih punya arti ketimbang matinya seorang berpangkat yang meninggalkan nama buruk dimata manusia...

Episode selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.