Pendekar Naga dan Harimau Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Pendekar Naga dan Harimau Jilid 01 Karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
AWAN mendung yang kelabu dan sarat dengan air hujan Itu tergantung rendah di atas sebuah padang luas di wilayah Hun-lam. Wilayah itu adalah wilayah yang paling selatan dari Kemaharajaan Manchu yang luas itu, dan wilayah itu berbatasan dengan kerajaan-kerajaan kecil Annam dan Birma.

Angin bertiup kencang dl padang ilalang itu, membawa hawa panas yang lembab, menandakan bahwa tidak lama lagi hujan akan turun. Dalam cuaca yang sama sekali tidak nyaman itu, ada tigapuluh orang lelaki penunggang kuda yang semuanya bertubuh tegap dan berseragam prajurit prajurit Kerajaan Manchu.

Jaman itu memang jaman berkuasanya wangsa Manchu (Jing), wangsa yang menggantikan wangsa Beng (Ming) yantg runtuh tahun 1644 Masehi itu. Di antara masa berkuasanya wangsa Beng dengan wangsa Manchu, sempat diselingi dengan sebuah pemerintahan yang sangat pendek yaitu pemerintahannya Li Cu-seng si pemberontak yang menumbangkan wangsa Beng.

Namun kemudian dalam waktu kurang dari dua bulan pemerintahan Li Cu seng juga roboh karena diserang bala tentara Manchu. Dengan demikian dinastinya Li Cu-seng merupakan dinasti yang paling pendek umurnya dalam sejarah Cina.

Prajurit-prajurit Manchu yang tengah berpacu ditengah padang terpencil itu semuanya memakai seragam ringkas warna hitam, dengan lengan baju yang bergaris-garis melintang berwarna putih, dan pada dada mereka tersulamlah gambar seekor naga yang perkasa sedang terbang di langit. Kepala mereka yang dikuncir itu tertutup dengan topi bulu binatang berwarna hitam, dihiasi dengan benang-benang merah.

Penampilan mereka nampak perkasa dan tangguh. Merekalah prajurit-prajurit dari sebuah pasukan yang ternama, pasukan yang bernama Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang). Sebuah pasukan penggempur yang sangat garang, pasukan penggempur Kerajaan Manchu yang paling ditakuti lawan. Pasukan itu jarang sekali keluar dari Ibukota Kerajaan di Pak-khia, namun jika mereka keluar dari Pak-khia maka mereka tentu sedang memikul tugas penting.

Prajurit-prajurit itu memacu kuda-kuda mereka ke arah matahari tenggelam. Hari sudah sore dan terancam pula oleh hujan lebat, namun prajurit-prajurit itu bergerak terus pantang mundur. Baik jasmani maupun semangat mereka tidak menunjukkan adanya kelelahan, mereka memang prajurit-prajurit gemblengan. Demi kehormatan negara dan pasukan mereka, mereka siap menerjang bahaya yang bagaimanapun besarnya. Dan kali ini tugas mereka ialah memburu sekelompok yang berbahaya bagi Kerajaan Manchu.

Di antara prajurit-prajurit itu, ternyata ada seorang prajurit yang seragamnya agak berbeda, agaknya ia bukan berasal dari kesatuan yang sama dengan ke dua puluh sembilan orang rekannya. Tampangnyapun ternyata juga lain sendiri. Ia berkulit agak gelap dan rahangnya lebar, itulah tampang khas orang-orang suku Biao (Meo), sebuah suku yang hidup terpencil di daerah perbatasan antara negeri Cina dengan Birma.

Orang-orang lelaki dari suku Biao biasanya merupakan ahli-ahli dalam hal melacak Jejak, itulah sebabnya prajurit suku Biao ini dibawa untuk menjadi penunjuk jalan. Apalagi padang ilalang itu memang termasuk daerah tempat berkeliarannya orang-orang Biao.

Prajurit suku Biao yang berkuda paling depan itu matanya terus-menerus memperhatikan tanah. Suatu saat ia tiba-tiba mengangkat tangannya dan memberikan Isyarat agar seluruh rombongan berhenti. Lalu ia sendiri melompat turun dari kudanya, dan berjongkok di tanah sambil memeriksa rerumputan di sekitar tempat itu dengan cermatnya.

Pemimpin dari rombongan prajurit-prajurit itu adalah seorang yang masih muda, berusia kira-kira duapuluh lima tahun, bertubuh ramping tegap, berkulit putih dan bermata coklat, tampang seorang berdarah Manchu asli. Alisnya yang tebal itu menaungi sepasang mata yang bersinar tajam, memancarkan keberanian dan kekerasan hati yang luar biasa. Sejenak ia memperhatikan prajurit suku Biao yang tengah mengamat-amati rerumputan itu, lalu tanyanya,

"Bagaimana? Kita tidak kehilangan jejak mereka bukan?"

Sahut prajurit suku Biao itu, "Kita belum kehilangan jejak para pembangkang itu. Di sini agaknya mereka membelok ke selatan dan tidak melanjutkan ke arah barat. Agaknya mereka sadar, kalau sampai terus ke barat dan melintasi perbatasan Se-cuan atau Kui-ciu akan sama saja dengan segerombolan ikan yang masuk ke dalam jaring. Sebab daerah itu adalah kekuasaan Peng-se orang yang dijaga kuat."

Kepala suku Biao melompat turun dari kudanya dan berjongkok memeriksa rerumputan di sekitar tempat itu dengan cermatnya. Panglima Manchu yang masih muda itu tidak sabar mendengarkan ocehan penunjuk jalannya itu, la mengibaskan tangannya sebagai Isyarat agar prajurit suku Biao itu diam, lalu katanya, "Mereka adalah buruan yang membahayakan Kerajaan, karena itu biarpun mereka kabur ke istananya Giam-lo-ong (Raja Akherat), kita tetap akan mengejar dan meringkus mereka. Demi Negara dan Kaisar!"

Tapi prajurit suku Biao itu nampaknya menjadi ragu-ragu untuk ikut terus dalam rombongan itu. Katanya, "Ciangkun (Panglima), aku... aku minta ijin untuk menunjukkan jalan sampai di sini saja, dan kembali ke pasukanku di Kun-beng..."

"He, kenapa dengan dirimu?"

Prajurit suku Biao itu kebingungan sejenak, tapi akhirnya ia memutuskan untuk berkata terus terang, "Clangkun, sebelum Ciangkun memutuskan, untuk mengejar ke arah itu, harap Ciangkun membuat pertimbangan lagi yang lebih masak."

"Pertimbangan apa lagi? Apakah di selatan sana ada hutan-golok atau lautan pedang?"

"Panglima, kekuatan yang kita bawa saat ini terlalu kecil untuk menerjang ke wilayah selatan sana. Di sana keadaannya sangat rawan, karena di kawasan itu bercokollah tiga buah gerombolan yang kuat dan berbahaya."

Panglima Manchu itu agaknya mulai tertarik oleh penjelasan prajurit suku Biao itu. Tanyanya, "Gerombolan apa saja?"

"Ketiga buah gerombolan itu agaknya berdiri sendiri-sendiri, bahkan kabarnya tidak rukun antara satu dengan lainnya. Tapi dalam ketidak-rukunan mereka itu ada juga kesamaanya, yaitu... yaitu... maaf, Ciangkun, mereka sama-sama membenci orang Manchu seperti Ciangkun ini."

Panglima Manchu itu mendengus dingin. "Hemm, daerah ini masuk kekuasaan Peng-se-ong Bu Sam-kui, apakah Peng-se-ong mendiamkan saja daerahnya ni menjadi sarang pengacau?"

Prajurit suku Biao itu menyahut, "Bukannya Peng-se-ong membiarkan mereka, tetapi beliau memang belum berani gegabah bertindak dengan menggerakkan tentara. Gerombolan-gerombolan itu sangat lincah, begitu digempur mereka menghilang dan kemudian tiba-tiba muncul di daerah lain untuk mengacau lebih hebat. Selain itu, Peng-se-ong mpertimbangkan bahwa daerah itu dekat dengan perbatasan negeri tetangga Birma yang hubungannya cukup baik dengan negara kita. Kalau kita menggerakan tentara di dekat perbatasan, kuatir memperburuk hubungan antara kedua negara."

Panglima Manchu itu mengerutkan alisnya, "Hemm, banyak alasan. Tetapi kau belum menceritakan gerombolan apa saja yang bersembunyi di kawasan selatan itu?"

"Baik, Ciangkun, akan aku jelaskan. Gerombolan yang paling banyak anggautanya dan juga paling teratur susunannya adalah gerombolan yang dipimpin Tiang-hong, seorang bekas Panglima Kerajaan Beng yang fanatik. Anggauta gerombolannya sebagian besar juga bekas prajurit-prajurit Kerajaan Beng, ditambah dengan orang-orang yang belakangan menggabungkan diri dengan mereka. Jumlah anak buahnya kira-kira seribu orang, mendapat latihan keprajuritan yang teratur. Mereka juga menguasai beberapa desa terpencil yang dijadikan sumber perbekalan pangan mereka."

Panglima Manchu itu tertawa mengejek mendengar cerita itu, "Mereka mimpi di siang hari bolong. Kerajaan Manchu sudah menguasai seluruh daratan ini dan mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat, mana mungkin Li Tiang hong berhasil melawan kami, apalagi untuk mendirikan kembali wangsa Beng yang dibenci rakyat itu? Bukankah di jaman Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng itu rakyat kecil malah sengsara hidupnya? Mana mungkin rakyat mau menerima ketidak becusan dalam mensejahterakan rakyat?"

Semua prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala menyetujui pendapat Panglima Manchu itu. Kemudian Panglima Manchu itu bertanya lagi kepada prajurit suku Biao itu, "Dan gerombolan-gerombolan lainnya?"

Prajurit suku Biao itu melanjutkan keterangannya, "Di jaman Kerajaan Beng dulu ada sebuah perkumpulan yang bernama Hwe-liong-pang (Perkumpulan Naga Api) yang bersarang di puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san di wilayah Se-cuan. Perkumpulan itu dibagi dalam delapan kelompok yang diberi nama menurut warna benderanya masing-masing, yaitu putih, kuning, hijau, biru, merah, coklat, hitam dan ungu. Nah, kelompok yang bersarang di selatan sana adalah salah satu kelompok dalam Hwe-liong-pang yang dulu disebut Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat). Dalam masa pemberontakan Li Cu-seng terhadap dinasti Beng dulu, banyak orang-orang Hwe-liong-pang yang mendukung pemberontakan Li Cu-seng, sehingga kelompok Jai-ki-tong ini sekarang kurang rukun dengan kelompoknya Li Tiang-hong yang setia kepada Kerajaan Beng itu."

"Bagaimana kekuatan mereka?"

"Pemimpin Jai-ki-tong bernama Ma Hiong dan berjulukan Siau-lo-cia (Dewa Lo-cia Cilik), ilmunya cukup tangguh. Anak buahnya diperkirakan hanya tiga ratus orang namun sulit digempur karena sangat lincah. Mereka mahir dalam hal menyergap, menyelundup, menyusup, meracun, merusak, membunuh secara gelap dan sebagainya. Mahir bertempur dengan memanfaatkan keadaan alam untuk menjebak lawan. Saat ini Peng-se-ong sedang menyelidiki gerak-gerik mereka sebelum melancarkan sebuah serangan mematikan buat mereka."

"Huh, dari dulu Bu San-kui selalu akan menggempur dan akan menggempur, tapi kenyataannya sampai sekarang dia belum bertindak dan para pengacau masih berkeliaran di daerah tanggung-jawabnya, Percuma saja Sri Baginda menghadiahinya dengan wilayah yang seluas dan sesubur ini, ternyata ia tidak becus untuk mengurus dan mengamankannya."

Sebenarnya orang Biao itu adalah prajurit bawahan Peng-se-ong Bu-San-kui yang diperbantukan pada rombongan kecil itu sebagai penunjuk jalan, la menjadi kurang senang juga mendengar Panglima Manchu itu terus menerus mencerca Peng-se-ong, namun sebagai prajurit rendahan tentu saja ia tidak berhak membantah sepatah katapun. Ia tahu bahwa Panglima Manchu itu adalah seorang yang cukup berpengaruh di Pak-khia di kalangan pucuk pemerintahan. Peng-se-ong Bu San-kui sendiri tidak berani bersikap kurang-ajar kepada Panglima yang masih muda ini.

Sementara itu, Panglima itu agaknya masih saja menggerutu, entah ditujukan kepada siapa, "Bu San-kui memang berjasa kepada Kerajaan Man-chu. Ketika balatentara kita menggempur ke selatan, Bu San-kui inilah yang menyerahkan kota San-hai-koan sehingga kita dapat menyerbu tanpa rintangan. Tetapi pengangkatannya sebagai Peng-se ong adalah hadiah yang terlalu besar bagi jasanya yang hanya kecil saja itu, apalagi diberi kekuasaan atas wilayah Se-cuan yang paling subur di negeri ini. Ia bukan seorang yang dapat dipercaya sepenuhnya, pendiriannya mudah goyah dan kesetiaannya mudah berganti kiblat. Sejak semula aku sudah memberi pertimbangan kepada Sri Baginda agar jangan menyerahkan wilayah Se-cuan kepadanya, tapi agaknya Sri Baginda lebih mengindahkan pertimbang orang lain dan terang menghiraukan aku."

Setelah merasa agak lega karena menumpahkan uneg-unegnya, Panglima itu bertanya kepada prajurit suku Biao itu, "Jika antara kelompok Li Tiang-hong dengan kelompok Jai-ki-tong pecahan Hwe-liong-pang itu tidak rukun, bukankah itu sangat menguntungkan kita?"

Orang Blao itu menarik napas. "Ya. Seharusnya begitu. Tapi anehnya biarpun mereka bermusuhan, tapi jika salah satu diserang oleh pasukan kita, yang lainnya membantu. Hubungan mereka dingin tapi saling membantu, mereka punya wilayah sendiri-sendiri dan saling segan untuk melanggar daerah orang lain."

"Kelompok orang-orang gila. Kalau begitu, suruh Bu San-kui untuk nenggempur saja kedua-duanya. Ataukah Bu San-kui masih merasa tidak tega karena Li Tiang-hong adalah sesama bekas Panglima Kerajaan Beng?"

"Bukan begitu, Ciangkun, aku kira kesetiaan Peng-se-ong kepada Kerajaan Manchu tidak usah disangsikan lagi, meskipun dia adalah bekas Panglima Kerajaan Beng. Tapi untuk menggempur kedua gerombolan pengacau itu memang dibutuhkan rencana yang matang, tidak asal menyerang saja. Aku kira Peng-se-ong sudah memikirkannya."

"Sudah, kau dari tadi membela Peng-se-ong saja. Sekarang bagaimana dengan kelompok yang ke tiga?"

Sahut si prajurit suku Biao, "Kelompok ini adalah suku-ku sendiri, suku Biao, yang telah mendiami wilayah ini turun-temurun sejak jaman kuno. Mereka tidak akan menyerang jika tidak diganggu. Sejak dulu, di daratan Cina berganti pemerintahan entah berapa ratus kali, tapi suku Biao tidak tunduk kepada pemerintahan yang manapun juga. Mulai jaman Kerajaan Tong, lalu Song dan Lam-song, pemerintahan Mongol, lalu Beng dan Manchu sekarang ini. Berpuluh Kaisar naik dan turun dari singgasana, suku Biao tidak peduli. Mereka hanya menganggap kepala suku mereka sendiri sebagai pemimpin. Namun banyak juga laki-laki suku Biao yang masuk menjadi tentara di negeri Cina atau Birma, atau negeri lain seperti Nepal."

"Bagaimana kekuatan perang mereka?"

"Prajurit suku Biao itu agaknya mendapat kesempatan untuk membanggakan sukunya sendiri. Maka jawabnya dengan dada membusung, "Orang-orang suku Biao yang laki-laki, dari remaja sampai kakek-kakek yang hampir masuk liang kubur, semuanya dapat bertempur dengan cukup baik, tidak kalah dari para prajurit. Mereka yang tua-tua umumnya juga ahli dalam menembakkan sumpit beracun, ahli menenung dan menyihir sehingga musuh mati dengan penyakit aneh. Tempat tinggal mereka terpencar di beberapa buah desa, tapi dengan sebuah isyarat yang dibunyikan dari desa induk, dalam sekejap semua laki-laki akan berkumpul dengan senjata siap di tangan."

Panglima Manchu itu ternyata mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji, "Kesigapan yang mengagumkan. Tadi kau bilang bahwa mereka tidak tunduk kepada Kaisar dinasti apapun, apakah itu juga berarti mereka tidak tunduk kepada Sri Baginda Sun-ti yang sekarang bertahta?"

"Soal ini... aku... aku kurang paham, Ciangkun."

"Kenapa tidak paham? Bukankah kau orang suku Biao pula?"

"Ciangkun, sejak aku masuk tentara di bawah Peng-se-ong Bu San-kui, aku belum pernah pulang kampung sehingga tidak tahu bagaimana sikap sukuku terhadap Sri Baginda Sun-ti."

Panglima Manchu itu tidak mendesak lebih lanjut, wajahnya berubah agak lunak, dan sambil menepuk-nepuk pundak prajurit itu ia berkata, "Satu waktu kelak kau harus pulang kampung, dan kau harus bisa menerangkan pada orang-orang sesukumu bahwa bahwa bangsa Manchu tidak menjajah tetapi mempersatukan ratusan suku-suku di daratan besar ini agar bersatu menjadi negara yang kuat. Membentang dari Tibet sampai Korea. Hanya orang-orang berpandangan piciklah yang merasa dijajah, misalnya saja para pengikut fanatik dinasti Beng itu. Padahal ketika dinasti Beng masih berkuasa rakyat malahan menderita gara-gara Cong-ceng tidak becus mengendalikan negara. Kalau mereka tidak becus, kenapa kami tidak boleh mengambil-alih untuk memperbaikinya?"

Prajurit suku Biao itu memang kurang berminat akan seluk-beluk urusan pemerintahan, tahunya la cuma memutar golok menjalankan perintah atasan, maka penjelasan Panglima Manchu itu ditanggapinya hanya dengan mengangguk-angguk, entah mengerti betul-betul entah tidak.

Sementara Panglima Manchu itu telah berkata pula, "Kita sudah-tahu keadaan medan yang kita hadapi, tapi kita akan menerjangnya demi keberhasilan tugas kita. Malam hampir tiba, namun gelapnya malam justru akan mempermudah sergapan kita agar tidak diketahui lebih dulu oleh musuh."

Maka rombongan itupun bergerak kembali. Seperti yang diucapkan oleh Panglima mereka tadi, tidak peduli ke istana Raja Akheratpun mereka aka memburu musuh-musuh mereka, demi negara dan Kaisar. Itulah semangat prajurit-prajurit Hui-liong-kun.

Sedangkan prajurit suku Biao itu sebenarnya agak ketar-ketir juga berjalan serombongan dengan prajurit-prajurit yang tidak menghiraukan nyawa sendiri itu namun ia menyembunyikan jauh-jauh rasa cemasnya agar tidak diketahui oleh rekan-rekan seperjalanannya. Agaknya prajurit suku Biao itu masih juga punya harga diri, dan ingin menjaga nama baik kesatuannya agar tidak ternoda.

Sementara itu matahari pun telah tenggelam di ufuk barat. Mendung semakin tebal dan semakin rendah, akhirinya titik-titik airpun berjatuhan satu demi satu, semakin lama semakin deras sampai akhirnya air hujan begitu rapatnya sehingga mirip sebuah tirai putih. Sepuluh langkah di depan sudah tidak kelihatan apa-apa lagi.

Tetapi sekelompok prajurit yang bertubuh baja dan bersemangat baja itu terus bergerak maju di bawah pimpinan langsung Panglimanya sendiri. Bahkan air hujan yang dingin itu malah terasa menyegarkan kembali tubuh mereka yang sudah kelelahan karena sehari suntuk melakukan pengejaran itu.

Prajurit suku Biao yang tetap bertindak sebagai pemandu jalan itu agaknya betul-betul seorang yang mahir dalam bidangnya. Biarpun hari telah menjadi gelap dan air hujanpun telah mengaburkan jejak kaki-kaki kuda buruan mereka, namun berdasarkan pengamatannya yang cermat atas rumput-rumput yang patah, dia tetap dapat menuntun rombongannya ke arah yang tepat. Dengan keahlian dan pengalamannya, ia dapat membedakan antara rumput yang rebah karena terinjak kaki kuda dengan yang disebabkan hembusan angin.

Dalam pada itu, jauh di depan prajurit-prajurit yang gigih itu, ada sebuah kelenteng kosong yang dulunya disebut (Kelenteng Malaikat Gunung) yang terletak di kaki sebuh bukit kecil. Dulu, ketika di sekitar tempat itu masih ada pemukiman penduduk, kelenteng itu cukup ramai dan terawat, tapi setelah penduduk mengungsi karena daerah itu menjadi rawan akibat peperangan, maka kelenteng itupun tak terawat lagi. Malahan kata penduduk yang tinggal agak jauh dari tempat itu, kelenteng itu sekarang dihuni hantu-hantu yang suka mengganggu manusia.

Malam itu, di bawah hantaman hujan lebat yang bagaikan melecut bumi dengan pongahnya, dari dalam kelenteng yang sudah lama tak terjamah manusia itu tiba-tiba kelihatan ada cahaya api. Cahaya api itu bukan hantu penunggu kelenteng, melainkan api unggun yang dibuat oleh sekelompok kecil manusia yang agaknya telah memanfaatkannya bangunan kosong itu untuk berteduh.

Ada lima orang lelaki yang duduk di sekitar api unggun itu. Semuanya berpakaian kotor, berwajah keras karena tempaan keadaan, dan mata mereka selalu memancarkan kecurigaan kepada keadaan-keadaan di sekitar mereka. Rahang dari janggut mereka kelihatan sudah berhari-hari tidak tersentuh pisau cukur, dan untuk melengkapi tampang-tampang dekil mereka, di sekitar tempat mereka duduk itu bergeletakanlah senjata-senjata mereka yang setiap saat siap untuk melawan musuh.

Salah seorang dari lelaki-lelaki di kelenteng itu menggeliat sambil menggerutu, "Mudah-mudahan malam ini tidak ada gangguan sehingga kita dapat tidur nyenyak. Semalampun cukup untuk memulihkan tenaga kita. Bangsat-bangsat Manchu itu benar-beriar gila, mereka sudah mengejar kita dua hari dua malam tanpa berhenti. Mereka dapat berganti orang, tapi kita? Huh, pinggangku mau patah rasanya."

"Ya. Dan terpaksa kita telah menjadi perampok di jalan demi mendapatkan kuda-kuda yang segar untuk menggantikan kuda-kuda kita yang kelelahan."

Yang menggerutu tadi adalah seorang yang berkepala gundul licin, bertubuh gemuk pendek dan berotot gempal Ia memaki jubah kuning seperti umumnya pendeta Buddha, tapi jubahnya itu sudah kotor tak keruan dan robek sana-sini, bahkan ada noda darah kering yang berwarna kecoklat-coklatan Di pinggangnya terselip sebatang golok tanpa sarung yang juga bernoda darah kering. Sambil menggerutu ia mengunyah sepotong roti yang sudah berjamur, namun makanan basi itu dinikmatinya seolah sedang menikmati makanan yang paling enak di dunia ini.

Dengan mulut masih mengunyah, ia tidak berhenti menggerutu, "Bangsat-bangsat berkuncir itu memang edan semua. Entah dari siapa mereka tahu akan rencana perjalanan kita ini, sehingga mereka dapat menyergap kita di tempat-tempat yang tak terduga. Mungkin ada pengkhianat yang sengaja memberitahu bangsat-bangsat itu."

Si pendeta gemuk itu agaknya masih akan menggerutu lagi, tetapi seorang temannya yang bermuka berewokan telah meremas pundaknya sambil berbisik, "Ssst, jangan ribut terus dengan suaramu yang seperti gembreng pecah itu. Biarkan Pangeran tidur dengan nyenyak, beliau juga sangat lelah."

Pendeta gemuk itu menahan suaranya dan ia hanya menjawabnya dengan anggukan satu kali. Sekilas ia melirik kearah orang yang disebut Pangeran itu, yang duduknya agak jauh dari keempat orang lainnya. Pendeta gemuk itupun menarik napas sambil berkata perlahan, "Kasihan Pangeran. Seharusnya ia berada di istana, tidak di tempat yang sunyi, dingin dan kotor seperti ini."

Tapi temannya yang berewokan itu pun menyahut, "Pangeran adalah seorang pejuang pula seperti kita. Penderitaan ini akan membuatnya semakin tangguh dan bukanya semakin cengeng."

Yang disebut Pangeran itu ialah seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh lima tahun. Sebenarnya pada dasarnya ia berwajah cukup tampan, tetapi dengan pakaian yang dekil dan berbau serta wajah tak bercukur selama berhari-hari, maka penampilan saat itu tidak mirip seorang Pangeran sedikitpun. Ia lebih mirip seorang gelandangan di pojok-pojok jalan.

Ia duduk dengan punggung bersandar dinding kuil yang berlumut tidak peduli pakaiannya menjadi kotor atau tidak. Matanya terpejam seolah ia tiduran, namun sebenarnya la tidak tidur, hatinya tengah bergejolak mengenang masa lalu dirinya, masa lalu masa kejayaan keluarganya, masa lalu negerinya. Bayangan-bayangan masa lalu tergambar jelas di pelupuk matanya, seakan sengaja dipertunjukkan kembali kepadanya, seperti sebuah cermin yang memantulkan baik buruknya diri sendiri.

Pada masa yang hanya tinggal kenangan itu, Kerajaan Beng masih berdiri dengan wilayahnya yang membentang luas, sebuah kemaharajaan raksasa yang pengaruhnya terasa sampai ke negeri-negeri seberang lautan. Namun kemegahan yang hanya nampak luarnya itu tidak seimbang dengan keadaan dalam pemerintahan yang sangat bobrok. Masa pemerintahan Kaisar Cong-ceng adalah suatu masa yang sangat buruk dalam sejarah.

Keadaan negeri kacau-balau, rakyat menderita dan kebingungan tanpa pelindung, sebab para pejabat yang bertugas mengabdi rakyat telah lupa akan tugasnya dan sibuk baku hantam satu sama lain untuk berebut kedudukan dan kekayaan. Para menteri, raja muda atau panglima yang benar-benar mengabdi kepada negara dan rakyat, malahan tersingkir dari tubuh pemerintahan, tidak sedikit yang dihukum mati dengan tuduhan yang direka-reka oleh kaum dorna.

Pemerintahan diduduki orang-orang yang pandai menjilat, dan membuat laporan palsu, sambil menyikut kiri kanan dan menyebar fitnah. Biang keladi semua kebobrokan itu adalah seorang menteri berhati iblis bernama Co Hua-sun, seorang kebiri yang sangat dipercaya oleh Kaisar Cong-ceng, dan akhirnya kekuasaannya malah melebihi kekuasaan Kaisar sendiri. Ketidak-puasan di dalam negeri makin meluas. Lalu meletuslah pemberontakan rakyat di bawah pimpinan seorang petani bernama Li Cu-seng.

Pemberontakan tidak dapat dipadamkan dan bahkan makin luas dan mendapat banyak dukungan, sehingga terbentuklah suatu laskar rakyat yang berjumlah amat besar. Perlawanan meletus dimana-mana. Tahun ke tujuh belas dari masa bertahtanya Kaisar Cong-ceng, bulan ketiga tanggal Sembilan belas, Ibukota Kerajaan jatuh ke tangan pemberontak.

Pertempuran berlangsung sengit di jalan-jalan, di lorong-lorong, halaman-halaman rumah sampai ke halaman Istana, mayat bergelimpangan di seluruh penjuru kota. Beberapa Panglima serta bangsawan yang setia kepada Kerajaan Beng telah bertahan dengan gigihnya di Istana, sampai titik darah terakhir. Boleh dikata Li Cu-seng merebut jengkal demi jengkal tanah Istana dengan taruhan nyawa laskarnya.

Namun di samping Panglima-panglima dan para bangsawan yang bertahan secara ksyatria itu, lebih banyak lagi yang menjadi pengecut dengan melarikan diri sambil membawa keluarga dan harta benda mereka, tak sedikitpun tersisa kesetiaan mereka. Kaisar Cong-ceng sendiri telah merasa bahwa singgasananya tidak terselamatkan lagi, lalu menggantung dirinya di bukit Bwe-san. Li Cu-seng memenangkan perang dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Kaisar dari sebuah dinasti baru.

Sementara itu, di sebuah kota kecil bernama San-hai-koan ada seorang Panglima Kerajaan Beng yang belum ditaklukkan oleh Li Cu-seng Panglima di San-hai-koan itu bernama Bu San-kui. Meskipun yang dikuasainya hanya sebuah kota kecil, tapi San-hai-koan penting sebebab kota itu merupakan "Pintu timur" dari Tembok Besar yang tak dapat ditembus musuh-musuh dari luar perbatasan itu.

Keruntuhan Kerajaan Beng membuat Bu San-kui terjepit, dari dalam negeri ia terancam oleh Li Cu-seng si penguasa baru, dari luar la terancam oleh Kerajaan Manchu yang senantiasa mengincar untuk merebut San-hai-koan sebagai kunci untuk merebut daratan Cina, Li Cu-seng menekan Bu San-kui dengan jalan menghentikan semua perbekalan menuju San-hai-koan, sebaliknya bangsa Manchu dengan cerdik menggunakan kesempatan itu untuk mengajak Bu San-kui ke pihaknya.

Dan Bu San-kui. akhirnya benar-benar terpikat oleh pihak Manchu. Pintu San-hai-koan dibuka, balatentara Manchu dipersilahkan masuk, maka menyerbulah mereka bagaikan air bah, menggoncangkan kedudukan Li Cu-seng yang baru bertahta satu setengah bulan itu. Pasukan Li Cu-seng yang kalah terlatih dan masih kelelahan setelah mengalahkan tentara Kerajaan Beng itu, tidak sanggup menahan laju pihak Manchu yang berjumlah besar, bersenjata lengkap dan terlatih baik itu.

Orang-orang lelaki bangsa Manchu adalah orang-orang yang sejak kecil telah ditempa oleh kerasnya alam berupa padang-padang salju yang dingin, naluri untuk bertempur dan menang sudah tertanam sejak kecil. Maka pada tanggal dua belas bulan empat tahun itu juga, balatentara Manchu telah berbaris di ambang pintu Kotaraja Pak-khia. Dan akhir bulan itu juga Li Cu-seng dipaksa angkat kaki dari Pak-khia dalam keadaan kocar-kacir, lalu kabar beritanya menghilang begitu saja.

Dengan demikian dalam waktu kurang dari dua bulan telah terjadi dua kali perpindahan kekuasaan, dan Ibukota kerajaan mengalami dua kali pertempuran dahsyat. Kerajaan Beng diruntuhkan oleh Li Cu-seng, kemudian Li Cu-seng dikalahkan Kerajaan Manchu sebagai pemenang terakhir. Bu San-kui yang oleh Kerajaan Manchu dianggap sangat berjasa karena seolah membukakan pintu bagi masuknya tentara Manchu ke bagian dalam Tembok Besar, lalu mendapat anugerah sebagai Rajamuda di wilayah Se-cuan dan bergelar Peng-se-ong. Istananya di kota Jing-toh, Ibukota wilayah Se-cuan.

Setelah membayang-bayangkan kejadian-kejadian masa lalu, maka Pangeran yang ada di kelenteng kosong itu pun tiba-tiba mengepalkan tinjunya dan menghantam lantai sambil menggeram dengan gemasnya, "Bu-san-kui... Bu-San-kui... tak terpikir olehku bahwa kau akan berbuat demikian tololnya, menyerahkan negerimu sendiri kepada bangsa Manchu. Seburuk-buruknya Li Cu-seng ia masih sesama bangsa Han..."

Keempat orang pengikut Pangeran itu terkejut ketika melihat junjungan mereka tiba-tiba menggeram sambil memukul lantai. Si pendeta gemuk itu agaknya dapat menebak apa yarg sedang dilakukan oleh junjungannya itu. Sebisa-bisanya ia menghibur,

"Pangeran Jangan disesali lagi masa lalu yang tak mungkin kembali lagi. Kita sekarang harus senatap ke masa depat oengan tabah, yang kita pikirkan adalar langkah-langkah selanjutnya. Suatu saat, entah lambat entah cepat, kita akan mengusir bangsa Manchu dari tanah air kita dan mendirikan kembali dinasti Beng kita yang jaya."

Pangeran itu tersenyum pahit kepada pendeta gemuk itu. Katanya sambil menarik napas, "Seharusnya mendiang ayahhanda Kaisar merasa beruntung karena memiliki Panglima-panglima setia seperti kalian ini. Andaikata orang-orang berjiwa bersih seperti kalian yang duduk sebagai pengendali pemerintahan saat itu, tentu negeri ini tidak begini jadinya. Sayang sekali, pada waktu ayahanda masih berkuasa, oraang-orang setia seperti kalian malahan tersingkir dari Istana dan tidak dipedulikan sama sekali dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Bahkan kalian ditugaskan ke tempat-tempat yang jauh dari Ibukota supaya tidak dapat merintangi sepak-terjang para dorna yang mengelilingi ayahanda Kaisar pada waktu itu. Ah, dasar nasib negeri ini memang buruk...”

"Sudahlah, Siau-ong-ya (Pangeran) jangan membiarkan pikiran berangan-agan yang bukan-bukan, hanya akan menggelisahkan hati dan merusak kesehatan saja. Kami tidak merasa sakit hati kepada mendiang Sri Baginda, sebab sudah menjadi kewajiban seorang prajurit untuk taat kepada rajanya. Apalagi kami juga tahu bahwa sebenarnya Sri Baginda tidak jahat, yang jahat adalah dorna-dorna yang mengelilingi dan mempengaruhi Sri Baginda itu, terutama si Co Hua-sun keparat itu. Mudah-mudahan saat ini ia sedang dibakar di api neraka yang paling bawah..."

Namun agaknya Pangeran yang sedang bergejolak itu tidak dapat dicegah untuk berbicara terus, "Jangan cegah aku untuk menumpahkan isi hatiku kepada kalian yang dulu berada didekat ayahanda Kaisar, tentu negara tidak bobrok dan rakyat tidak menderita. Pemberontakan Li Cu-seng takkan ada, dan bangsa Manchu takkan mendapat peluang untuk melintasi Tembok Besar melalui San-hai-koan. Tetapi semuanya terlambat untuk disadari...."

Pangeran menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutup wajahnya dan bahkan meremas-remas rambutnya sendiri. Suaranya semakin lambat dan bahkan bercampur dengan isak-tangisnya, "Terlambat...terlambat... kini orang Manchu sudah mengangkangi negeri kita dengan kuatnya. Semoga arwah ayahanda Kaisar dapat melihat siapa hamba-hambanya yang benar-benar setia dan siapa yang hanya pandai berbicara saja untuk memfitnah kiri kanan. Kalian yang dulu tersingkir, kini malahan rela menanggung lapar dan haus, mempertaruhkan nyawa menempuh bahaya maut untuk berjuang kembali merebut tanah air. Orang-orang yang dulu hanya pandai bicara muluk-muluk di hadapan ayahanda Kaisar, sekarang ada di mana? Mereka hidup mewah tanpa rasa risi sedikitpun di bawah telapak kaki orang Manchu..."

Begitulah, kalimat demi kalimat meluncur dari bibir Pangeran Itu, makin lama makin tinggi nadanya, menyalurkan gejolak jiwanya yang selamu ini terpendam tanpa sempat dilontarkan keluar.

“...dan yang paling gila adalah Bu San-kui itu. Dimana otaknya ketika ia memutuskan untuk menyerahkan kota San-hai-koan kepada orang Manchu?"

Sementara itu, salah seorang dari pengikut Pangeran itu menundukkan kepalanya dengan hati yang pedih, setiap kail mendengar nama Bu San-kui di caci-maki. Bu San-kui adalah saudara angkatnya. Dulu ia dan Bu San-kui pernah bekerja-sama di San-Hai-koan, bahu membahu menanggulangi bahaya Manchu, suka dan duka dirasakan bersama. Keduanya saling mengagumi kegagahan masing-masing dan akhirnya memutuskan menjalankan upacara angkat saudara.

Ketika cahaya bulan tengah membulat sempurna diatas kota San-hai-koan, maka kedua orang itupun naik ke atas benteng kota, disaksikan oleh bulan purnama mereka bersumpah sebagai saudara angkat. Bersumpah pula untuk sama-sama mengabdi kepada Kerajaan Beng sampai titik darah yang penghabisan. Suatu ketika kedua saudara angkat itu harus berpisah. Saudara angkat Bu San-kui yang bernama Kongsun Hui itu harus ditarik ke tempat lain bersama pasukannya untuk membendung laskar pemberontak yang mulai mengancam Ibukota Kerajaan.

Tapi Kongsun Hui dan pasukannya gagal membendung laskar pemberontak yang jauh lebih kuat, panglima-panglima Kerajaan Beng yang lainpun tidak berhasil. Bahkan ada Panglima yang menyebrang ke pihak Li Cu-seng. Maka Kongsun Hui dan pasukannya yang tinggal sedikit lalu memutuskan melawan melawan Li Cu-seng dengan cara bergerilya, sementara perang semakin berkecamuk, keadaan makin kacau, dan hubungan Kongsun Hui dengan saudara angkatnya yang di Sang-hal-koan pun terputus sama sekali kabar beritanya.

Sampai suatu saat Kongsun Hui dengan setengah tak percaya mendengar berita bahwa Kotaraja telah jatuh ke tangan Li Cu-seng, dan tak lama kemudian ada berita yang lebih mengejutkan lagi bahwa Bu San-kui telah menyerah kepada bangsa Manchu, bahkan membawa balatentara Manchu untuk masuk ke daratan Cina. Memang berhasil mengusir Li Cu-seng, tapi apa gunanya kalau kemudian hanya digantikan oleh kekuasaan asing?

Mengenang semuanya itu, Kongsun Hui mengertakken giginya dan mengepalkan tinjunya dengan geram. Ia mengutuk di dalam hatinya, "Bu San-kui, aku telah bertindak tolol dengan mengangkat saudara denganmu. Aku bersumpah akan menuntut pengkhianatanmu atas sumpah suci kita yang kita ikrarkan di atas benteng kota San-hai-koan itu. Meskipun kau beralasan membalaskan dendam dinasti Beng terhadap Li Cu-seng, tetapi tidak dengan cara membawa bangsa asing untuk menjajah negeri sendiri. Aku lebih rela jika negeri ini diperintah oleh Li Cu-seng daripada oleh orang Manchu."

Demikianlah suasana dalam kelenteng kosong yang menjadi tempat perteduhan orang-orang sisa-sisa dinasti Beng itu. Meskipun orang-orang itu lebih banyak diamnya daripada bicaranya, namun sebenarnya gejolak jiwa mereka adalah melebihi gejolak samudera yang dihembus taufan. Berjuta kalimat tidak akan cukup untuk mewakili gejolak perasaan mereka itu, tetapi kini senjata adalah "bahasa" satu-satunya untuk berhubungan dengan orang Manchu.

Memang begitulah umat manusia. Jika mulut sudah kehilangan peranan untuk usaha perdamaian, senjatalah yang berperan. Namun perjuangan, akan panjang bekali, sebab orang-orang Manchu juga bersenjata dan tidak akan menyerahkan leher mereka begitu saja untuk digorok. Mereka juga memperjuangkan kebenaran menurut sudut pandangan mereka sendiri, dengan pendirian yang sama teguhnya dengan pendirian lawan-lawan mereka. itulah sebabnya perangpun berkepanjangan.

Malam semakin larut dan udara dingin rasanya bagaikan mencekam tulang. Beberapa orang di antara mereka mulai membaringkan diri di lantai yang dingin dan keras, dan mereka mencoba untuk tidur sekejap agar tenaga mereka bisa dipulihkan untuk menghadapi tantangan-tantangan selanjutnya Si pendeta gemuk itu masih saja duduk sambil mengunyah rotinya yang sudah mengeras itu, sementara di luar kuil hujan masih turun dengan derasnya diselingi suara petir yang bersambung di udara.

Di luar kuil yang suasananya gelap dan berkabut itu, tiba-tiba terlihat ada puluhan sosok bayangan hitam yang berjalan merunduk-runduk mendekati kuil dengan senjata-senjata terhunus. Salah seorang dari bayangan-bayangan hitam itu memberi isyarat dengan gerakan-gerakan tangannya, lalu bayangan-bayangan hitam itupun memencar mengepung kuil itu.

Bayangan hitam yang memberi isyarat itu lalu berkata dengan suara yang agak keras untuk mengalahkan suara air hujan yang gemerasak, "Para prajurit berjaga di luar. Keempat perwira ikut aku untuk menyerbu ke dalam, tapi hati-hatilah, di antara buruan-buruan itu ada beberapa orang yang berilmu tinggi pula."

"Baik, Ciangkun," Jawab keempat orang perwira itu.

Sementara itu, di dalam kuil, si Pendeta gemuk yang nampaknya hanya asyik dengan rotinya itu ternyata juga tidak lengah. Kupingnya yang tajam segera menangkap suara-suara mencurigakan di luar kuil, meskipun suara-suara itu tersamar oleh suara hujan. Cepat-Cepat pendeta gemuk itu membuang sisa roti yang masih di tangannya, detik berikutnya la sudah melompat berdiri dengan sigapnya sambil menggenggam erat goloknya. Teriaknya, "Pangeran dan teman-teman, musuh datang!"

Pangeran dan pengikut-pengikutnya, baik yang sudah tidur maupun baru setengah tidur, segera berlompatan bangun sambil menyambar senjatanya masing-masing dan siap bertempur. Masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda sesuai dengan keahliannya sendiri-sendiri. Pangeran itu sendiri menghunus sebatang pedang. Kongsun Hui bersenjata sepasang Kong-pian (Rujung Baja), si berewokan memegang tombak panjang, dan seorang lagi bersenjata pedang bermata dua seperti Pangeran sendiri. Suasana tegang bukan main menunggu datangnya musuh.

Orang-orang yang mengepung kuil itu agaknya tahu bahwa buruan mereka sudah terbangun semuanya, tidak ada gunanya lagi bergerak dengan mengendap-endap seperti maling. Bahkan kemudian dari luar kuil Itu terdengarlah suara tertawa terbahak-bahak seolah mengejek kesiap-siagaan Pangeran dan pengikut-pengikutnya. Suara tertawa itu semakin lama semakin keras, sampai akhirnya begitu kerasnya sehingga membuat dada terasa sesak dan telinga berdenging hampir pecah. Beberapa pengikut Pangeran yang berilmu kurang tinggi segera merasa kaki mereka lemas dan terhuyung-huyung hampir roboh.

Si pendeta gemuk agaknya adalah orang yang ilmunya tertinggi di antara rombongan Pangeran itu, namun toh ia tetap harus mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk dapat tetap berdiri tanpa roboh. Geram si pendeta gemuk, "Hebat tenaga dalam orang ini. Jika selama beberapa hari ini kita hanya menghadapi anjing-anjing Manchu yang tak seberapa kepandaiannya, agaknya malam ini kita akan bekerja lebih keras dari hari-hari kemarin. Jauh lebih keras!"

Ucapan pendeta gemuk merupakan peringatan bagi teman-temannya bahwa musuh yang datang kali ini. oenap benar seorang musuh yang tangguh bukan kepalang. Sementara suara tertawa yang bagaikan menghentak-hentak jantung itu perlahan-lahan mereda, lalu sesosok bayangan hitam meluncur dari luar kuil. Tembok halaman kuil setinggi tiga tombak itu dilompatinya dengan ringan, seperti gerakan sesosok hantu saja, dan kemudian bayangan hitam itu dengan ringannya mendarat di hadapan Pangeran bersama pengikut-pengikutnya yang sudah siap-siaga di dalam kuil itu.

Bayangan hitam itu ternyata adalah seorang pemuda bertampang Manchu asli, berusia kira-kira dua puluh lima tahun, berwajah cukup tampan namun sorot matanya angker dan dingin. Pakaiannya hitam dan ringkas, namun pada pakaiannya yang sederhana itu kelihatan beberapa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pangkatnya cukup tinggi dalam susunan ketentaraan.

Tadi pemuda itu sudah menunjukkan kehebatan tenaga dalamnya lewat suara tertawanya yang menggoncangkan jantung itu, dan sekarang begitu kakinya menginjak lantai kuil, kembali la menunjukkan kehebatannya. Ketika la masuk tadi pakaiannya masih basah kuyup karena air hujan, namun tiba-tiba terlihatlah uap panas mengepul dari ujung topinya sampai ujung sepatunya, dalam waktu sekejap saja seluruh titik air yang menempel di tubuh dan pakaiannya telah menguap menjadi uap air yang membumbung ke atas. Dan keringlah seluruh pakaiannya tanpa bekas kehujanan sedikitpun, hanya dalam waktu beberapa kejapan mata saja.

Pangeran dan pengikut-penglkutnya dengan tegangnya melihat pameran kepandaian oleh pemuda Manchu tersebut. Si pendeta gemuk yang berpengetahuan luas dalam masalah dunia persilatan, segera dapat menebak siapakah gerangan anak muda Manchu Itu. Ia mengangguk-anggukkan kepala gundulnya sambil berkata, "Ilmu Hwe-liong-sin-kang (Ilmu Sakti Naga Api) dari kuil Thian-long-si di Tibet yang tiada duanya, anak muda, kau tentunya Panglima dari Hu-Liong-kun yang bernama Pak-Kiong long dan berjulukkan Naga dari utara itu bukan?"

Anak muda Manchu itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya kepada pendeta gemuk itu, katanya, "Pandanganmu cukup tajam. Tetapi aku pun kenal siapa dirimu meskipun kau coba-coba sembunyi di balik jubah pendeta itu. kau adalah Tio Tong-hai yang berjulukan Pek-lek-Jiu (Si Tangan Petir), jaman Kerajaan Beng dulu kau menjabat sebagai Panglima Lwe-teng-wi-su pasukan pengawal istana yang kemudian dipindahkan jauh ke kota perbatasan San-bun-koan karena menentang para dorna di Istana. Benar bukan?"

Ketika melihat pendeta gemuk itu menjawab dengan anggukan kepalanya maka anak muda Manchu yang bernama Pak-Kiong Liong itu menarik napas sambil berkata, "Pantas orang-orangku yang terdahulu telah gagal menangkap kalian, bahkan pulang dalam keadaan berantakan, kiranya si Tangan Petir ada di tengah-tengah rombongan ini..."

Lalu Pakkiong Liong menyapukan pandangannya kepada Pangeran dan pengikut-pengikutnya yang lain, ketika tatapan matanya membentur Kongsun Hui, maka Pak Kiong Liong pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah, seolah bertemu dengan seorang teman lama. Katanya dengan ringan, "Ah, ternyata di sini aku juga bertemu dengan teman lamaku, Kongsun Ciangkun yang pernah kukenal di medan perang San-hai-koan dulu. Apa kabar, Kongsun Ciangkun? Jika Kongsun Ciangkun dapat bertindak bijaksana seperti saudara angkatmu itu, maka kita tidak akan bermusuhan tapi menjadi sahabat baik..."

Ucapan Pakkiong Liong yang menyentuh luka hati Kongsun Hui itu dijawab dengan geraman sengit oleh Kongsun Hui, "Jangan sebut-sebut lagi nama Bu San-kui di hadapanku. Si pengkhianat tolol itu bukan saudara angkat ku lagi, aku sudah muak mendengar namanya."

Alis Pak kiong-Liong sedikit berkerut mendengar jawaban Kongsun Hui yang keras itu, tapi sikapnya masih saja tenang dan bahkan tersenyum-senyum. Katanya, "Terserah kepadamu. Tetapi kedatanganku kali ini masih tetap membawa uluran tangan persahabatan dari Sri Baginda kepada kalian. Sri Baginda sesungguhnya sangat mengagumi kalian sebagai orang-orang yang berani, tetapi juga menyayangkan bahwa kegigihan kalian itu berada di jalan yang keliru. Bagaimanapun kalian berjuang, hanya kekacauan yang akan kalian timbulkan, tapi tidak mungkin merobah keadaan yang sudah seperti ini. Thian sudah mentakdirkan bangsa Manchu kami untuk memimpin suku-suku lainnya, bersatu-padu dalam sebuah negara yang kuat, bersama-sama menikmati kejayaan dan kesejahteraan. Maka Sri Baginda sekali lagi menawarkan kepada kalian untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan kami. Kita akan menjadi teman seperjuangan untuk membuat negeri ini menjadi besar seperti di Jaman Jengis Khan dulu."

Pangeran Kerajaan Beng yang bernama Cu Hin-yang itu menjawab dengar sengit, "Negaramu menjajah negaraku, bagaimana mungkin kami dapat bekerja-sama dengan pihak yang telah menganiaya rakyat kami?"

Dengan tetap berkepala dingin, Pak Kiong Liong menjawab, "Pangeran, istilah 'menjajah' serta 'menganiaya' itu terlalu kasar. Lebih tepat jika disebut 'mempersatukan negeri' dan bukankah Kaisar-kaisar terdahulu juga enggan disebut sebagai penjajah? Tidak peduli Kaisar bangsa Mongol atau Han. Kaisar bangsa Han yang bernama Li Si-bin dari dinasti Tong pernah mengirim tentara untuk menaklukkan Korea dan Se-liau?

"Dan Kaisar Yung-lo dari dinasti Beng kalian bukankah pernah juga mengirim armada laut ke kepulauan selatan sana, sehingga bentrok dengan mahluk-mahluk aneh berambut kuning bermata biru yang datang dari benua barat? Bagaimanapun juga bangsa Manchu dan bangsa Han adalah serumpun, akankah kita baku hantam sendiri hanya untuk mempersoalkan siapa memerintah siapa?

"Sementara ancaman dari luar semakin terasa. Orang-orang bule bermata biru itu sekarang sudah bersekutu dengan Kaisar di Jepang, dengan alasan berdagang dan menyebarkan agama baru, tapi ancaman mereka itu sebenarnya ditujukan kepada kita. Jika kita lengah, suatu ketika orang-orang asing itu akan merapatkan kapal-kapal meriamnya ke pantai-pantai kita dan menancapkan bendera mereka di tanah kita. Bangsa Han dan bangsa Manchu harus bersatu menghadapai ancaman ini, begitu pula suku-suku serumpun lainnya seperti Mongol, Uigur, Tibet, Korea dan lainnya. Kau paham, Pangeran?”

Tapi Pangeran Cu Hin-yang tertawa sinis dan menyahut, "Tidak paham sedikitpun. Omonganmu manis tapi penuh perangkap. Jika Kaisarmu ingin bekerja-sama dengan tulus dengan kami, bawa keluar semua tentara kalian dari negeri kami dan biarkan kami membangun negeri kami sendiri. Jika Kerajaan Beng telah bangkit kembali, tidak ada salahnya bekerja sama dengan Kerajaan Manchu untuk menghadapi persekutuan Jepang dengan orang-orang bule itu. Tetapi kerja-sama kita kelak adalah kerja-sama sederajat antara dua negara yang sama-sama berdaulat, bukan yang satu memerintah yang lainnya."

"Wah, pintar bicara juga kau, Pangeran. Tapi usulmu itu tidak bisa jadi. Jika kita yang terdiri dari macam-macam suku ini ingin berdiri sendiri-sendiri, ingin punya negara sendiri-sendiri, maka akan bermunculan banyak negara kecil-kecil. Kita akan kembali ke Jaman Liat-kok (Enam Negara) sebelum dipersatukan oleh Cin-si-ong (Chin-shih-huang, dari kata "Chin" ini muncul sebutan "China" sampai sekarang ini). Kemudian satu persatu akan dipatahkan oleh musuh. Kau sadari itu tidak? Dan tentang robohnya wangsa Beng jangan menyalahkan kami yang membalaskan dendam wangsa Beng dengan mengusir Li Cu-seng dari singgasananya."

Sahut Pangeran Cu Hin-yang, "Hemm, kalian bukan membalaskan dendam kami kepada Li Cu-seng, melainkan memanfaatkan kesempatan selagi kami lelah karena perang saudara di dalam negeri. Dengan licik kalian merangkul Bu San-kui untuk membukakan pintu San-hai-koan bagi balatentara kalian. Pak-kiong Liong, Jangan coba-coba menutup-nutupi nafsu serakah dari Kaisarmu yang ingin mengangkangi dunia. Kalian sudah lama menyiapkan penyerbuan ke negeri kami. Bahkan sebelum Li Cu-seng memberontak, kalian sudah menyiapkan tentara berjumlah besar di sepanjang perbatasan kami. Untuk apa itu? Kau kira kami akan berterima kasih kepadamu karena kalian telah mengusir Li Cu-seng dari Pak-khia? Huh, kami agaknya lebih rela diperintah oleh Li Cu-seng daripada oleh orang Manchu!"

Sesabar-sabarnya Pak Kiong Liong la mulai jengkel juga melihat kekerasan hati Pangeran Cu Hin-yang itu. Kata Pak Kiong Liong dengan mata menyala, "Aku bermaksud baik dengan jalan ingin menyadarkan kalian dari mimpi kalian yang tak bakal terwujud itu. Kenyataannya, Kerajaan Beng yang kalian impikan itu sudah ambruk terkubur sejarah, Li Cu-seng yang diharapkan untuk memerintah dengan baik ternyata juga tidak becus, kenapa bukan kami yang mengambil-alih pemerintahan? Pemerintah sah atas negeri ini sekarang adalah wangsa Manchu. Habis perkara."

"Tidak peduli kau membujuk atau menggertak, kesetiaan kami kepada dinasti Beng tak akan goyah!" sahut Pangeran Cu Hin-yang dengan hati yang semakin panas.

Pak Kiong Liong tertawa keras dengan nada mengejek, "Ha-ha-ha... kalian agaknya sangat bangga dengan dinasti kalian itu, tapi adakah kalian juga berani melihat bahwa dinasti kalian itu adalah dinasti yang bobrok? Lihat saja Kaisar Cong-ceng, ayahmu itu, patutkah orang seperti itu menjadi Kaisar yang disujudi jutaan orang? Seorang yang tidak punya semangat sama sekali. Ketika laskar Li Cu-seng menyerbu Istana, selagi semua prajurit Beng bertempur mati-matian mempertahankan istana, apa yang diperbuat ayahmu? Dia lari secara pengecut dan menggantung diri di Bwe-san. Huh!

"Ada satu contoh lagi, tentang kerabatmu sendiri yang bernama Cu Yu-long. Dengan tidak tahu diri ia mencoba mendirikan kembali dinasti Beng dengan modal secuil tanah yang dikuasainya. Ketika tentara kami menggempurnya, apa yang terjadi? Cu Yu-long dan pengikut-pengikutnya lari terbirit-birit dengan konyolnya, bahkan larinya sampai ke negeri Birma. Untung Raja Birma bersikap bersahabat dengan Sri Baginda kami, sehingga Cu Yu-long diserahkannya kepada kami.

"Pangeran, keluarga seperti inikah yang mengimpikan untuk kembali ke singgasana dan menentukan nasib Jutaan orang rakyat? Kalau begitu, keluarga Cu (keluarga yang turun-temurun menguasai pemerintahan dinasti Beng) kalian ini sungguh mementingkan diri sendiri. Hanya ingin merasakan enaknya duduk di singgasana tanpa mau merasakan penderitaan rakyat yang sengsara di bawah pemerintahan kalian."

"Tutup mulutmu, anjing Manchu!" bentak Pangeran Cu Hin-yang dengan muka yang merah padam karena marahnya. Ia tidak tahan lagi mendengar Pak-kiong Hong mencerca keluarganya. Bagi Pangeran Cu Hin-yang, maka Kaisar Cong-ceng bukan cuma seorang raja tapi juga seorang ayah, seorang yang menjadi lantarannya untuk keberadaannya di dunia ini, meskipun Pangeran Cu Hin-yang hanyalah seorang yang dilahirkan dari selir Kaisar yang berasal dari rakyat Jelata.

Pangeran Cu hin-yang mengakui dalam hatinya bahwa Kaisar Cong-ceng memang bukan pemimpin yang baik, seorang raja yang berhati lemah dan mudah dipengaruhi oleh menteri-menteri jahat, namun kupingnya tidak tahan mendengar Pak Kiong Liong mencaci ayahnya setajam itu.

Sementara itu, Pak Kiong Liong-pun sudah kehilangan sikap ramahnya. Senyumnya sudah menghilang dari wajahnya dan sikapnyapun semakin keras, "Kalian memang berhak memilih, kematian atau kejayaan. Mati konyol seperti Cu Yu-long atau berkesempatan mengabdi negara seperti Bu San-kui. Pilih yang mana?"

Dengan geram Pangeran Cu Hin-yang menudingkan ujung pedangnya ke wajah Pak Kiong Liong sambil berkata, "Kami memilih mati mempertahankan tanah air daripada menjilat pantat Kaisarmu!"

Pak Kiong Liong mendengus, "Baik. Kalian memilih mati, maka akupun tidak keberatan menunjukkan jalan ke neraka kepada kalian!"

Lalu Pakkiong Liong berseru keluar kuil, "Pembicaraan gagal! Kalian boleh masuk sekarang untuk menangkap pemimpi-pemimpi ini!"

Begitu selesai kalimat Pak Kiong Liong, pintu kuil yang tebal dan kuat itu telah gemuruh karena dihantam dari luar sehingga jebol. Lalu masuklah yang pertama kali seorang bertampang bangsa Mongol namun berpakaian prajurit Manchu. Orang Manchu menguncir rambutnya dalam satu jalur, sedang orang Mongol menguncir rambutnya menjadi dua Jalur yang ujungnya diikatkan satu sama lain.

Ketika, pasukan Manchu menyerbu ke bagian selatan dari Tembok Besar, banyak orang Mongol yang membantunya, dan kini banyak orang Mongol berhasil mencapai pangkat perwira dalam ketentaraan Kerajaan Manchu. Orang mongol berpangkat perwira ini melangkah masuk bagaikan seekor beruang. Tubuhnya tegap dan besar, lengan-lengannya besar berotot, dan meskipun ia tidak membawa senjata tetapi sepasang tangannya itu nampak lebih berbahaya dari senjata jenis apapun.

Pak Kiong Liong memperkenalkan perwira bawahannya itu kepada Pangeran Cu Hin-yang dan musuh-musuhnya, "Perwiraku ini bernama Ha To-Ji, punya julukan Tay-mo-him (si Beruang Gurun). Ia akan mematahkan tubuh-tubuh kalian semudah mematahkan ranting-ranting kering."

Pangeran dan pengikut-pengikutnya tidak menjawab gertakan itu. Namun mereka sama-sama mengakui bahwa Ha To-ji ini memang bukan lawan ringan. Caranya menjebol pintu kuil yang tebal dan kuat itu saja sudah menunjukkan betapa ia memiliki kekuatan yang luar biasa.

Kemudian ternyata Ha To-ji tidak sendirian saja, berturut-turut muncullah tiga orang lainnya. Semuanya berpakaian seragam perwira Kerajaan Man-chu, sikap merekapun mantap dan penuh rasa percaya diri. Jelaslah bahwa merekapun merupakan perwira-perwira berilmu tinggi yang barangkali bobotnya tidak kalah dari Ha To-ji.

Pak Kiong Liong tersenyum ketika melihat wajah Pangeran dan pengikut-pengikutnya itu menjadi tegang. Seolah-olah sengaja menggertak musuh-musuhnya. Pak Kiong Liong memperkenalkan perwira-perwiranya itu satu persatu, "Yang paling depan itu Han Yong-kim, ahli pedang nomor satu di Korea, pernah berkelana di Jepang dan menguasai Kenjitsu (Ilmu Pedang Jepang) dengan sempurna. Lalu Tokku Yan si harimau dari Gunung Tiang-pek-san yang dengan pedang lengkungnya seorang diri la pernah mengobrak-abrik sarang penyamun di Tiang-pek-san. Ia orang manchu asli. Nah, yang terakhir ini orang Han, namun orang Han yang berpandangan luas dan tidak sempit-pikiran seperti kalian. Namanya Le Tong-bun, murid terbaik dari perguruan Heng-san-pay dan julukannya adalah Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi)."

Seperti pemain-pemain sandiwara yang diperkenalkan kepada penonton-penontonnya, maka setiap kali Pak Kiong Liong menyebut sebuah nama, si pemilik nama itu mengangguk kepada Pangeran sambil tersenyum-senyum. Sikap itu jelas menandakan bahwa perwira-perwira Pakkiong Liong itu merasa yakin akan memenangkan pertempuran, dan tidak memandang sebelah matapun kepada Pangeran Cu Hin-yang dan pengikut-pengikut-nya.

Hampir meledak rasanya dada Pangeran melihat sikap perwira-perwira Kerajaan Manchu itu, namun si pendeta gemuk yang ternyata adalah bekas seorang Panglima Kerajaan Beng itu lalu membisiki telinga Pangeran, "Jangan terpancing oleh akal busuknya, Pangeran. Pak Kiong Liong sengaja memanasi hati kita agar kita menjadi kurang cermat dalam tindakan kita."

Pangeran menganggukkan kepalanya tanda mengerti, lalu si pendeta gemuk yang bernama Tio Tong-hai itulah yang menjawab sinis, "Bukan main. Agaknya Pak Kiong Ciangkun ingin menunjukkan kepada kami bahwa pemerintahan Manchu telah berhasil mempersatukan negeri, sehingga perwira-perwiranyapun terdiri dari macam-macam suku. Tapi dalam pandanganku, mereka tidak mewakili sukunya masing-masing melainkan anjing-anjing penjilat yang gila uang dan kedudukan...!"

Selanjutnya;
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.