Pendekar Naga dan Harimau Jilid 03
PRAJURIT-PRAJURIT Hui-liong-kun itu penasaran dalam hati, "Masakah kami yang merupakan prajurit prajurit terbaik Kerajaan Manchu ini harus kalah oleh gerombolan liar ini?"
Sebaliknya orang-orang Hwe-liong-pang juga menggerutu, "Kami yang selama ini cukup disegani oleh prajurit-prajurit Bu San-kui, haruskah malam ini dikalahkan oleh bangsat-bangsat berkuncir ini?"
Lalu senjata-senjatapun berbenturan makin keras, sumpah serapah dan caci-maki terdengar semakin nyaring, bercampur aduk dengan teriakan dari mereka yang terkena senjata. Suasana makin panas. Tidak peduli pihak yang menamakan diri 'pembebas tanah air' atau 'pengemban titah Kaisar demi ketertiban' Jika sudah dirasuki kemarahan, maka pengendalian diripun semakin kabur dan sifat-sifat merekapun semakin mendekati sifat binatang buas yang tak berakal budi.
Jika ketangkasan kedua belah pihak seimbang, maka segi jumlah ikut menentukan. Dalam hal jumlah ini, orang-orang Hwe-liong-pang datang dengan jumlah yang lebih banyak, sehingga anak buah Pakkiong Liong sedikit demi sedikit mulai terdesak. Namun untuk itu orang-orang Hwe-liong-pang juga harus memeras keringat dan bahkan mencucurkan darah.
Beberapa orang Hwe-liong-pang telah menerobos masuk ke dalam kuil dengan maksud membantu pemimpin-pemimpin mereka, tapi beberapa prajurit juga menyusul masuk, sehingga perkelahian antara anak buah itu-pun sebagian telah berpindah ke dalam kuil.
Sementara itu Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya mulai merasakan betapa beratnya melawan gabungan kekuatan antara orang-orang dinasti Beng dengan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Siau-lio-cla Ma Hiong bersama dua orang kepercayaannya Itu ternyata cukup tangguh untuk mempengaruhi keseimbangan pertempuran.
Pakkiong Liong tidak dapat lagi bertempur segarang ketika datangnya tadi, sebab luka luar dan luka dalamnya terus-menerus mengganggunya. Han Yong-kim dengan pedang samurainya kini ditekan mundur terus oleh Ma Hiong yang mahir dengan sepasang rodanya itu. Ha To-ji yang tadi dapat membanggakan kekerasan kulitnya terhadap ruyung-ruyung Kongsun Hui, kini harus hati-hati sebab lawannya bukan bersenjata tumpul melainkan tajam, yaitu pengawal Ma Hiong yang bersenjata golok koan-to itu.
Tokko Yan menghadapi dua lawan sekaligus, yaitu pengikut Pangeran yang bersenjata tombak panjang, dan pengikut Ma Hiong yang bersenjata toya baja ce-bi-kun. Jika satu lawan satu, kedua orang itu bukan tandingan Tokko Yan, tapi jika maju berbareng maka Tokko Yan yang terdesak. Pedang lengkungnya yang dibanggakan itu diputar serapat perisai untuk menjaga agar kulit dagingnya tidak robek oleh ujung tombak, dan tulang-tulangnya tidak retak oleh toya baja yang menyambar-nyambar dengan ganas itu.
Le Tong-bun si murid Hong-sa-pay yang berjulukan Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi) karena lincahnya itu, bertempur seimbang melawan Kong-sun Hui yang kokoh kuat seperti batu karang. Inilah pertandingan antara kelincahan melawan kekuatan. Kong sun Hui memang kalah lincah dan tidak banyak bergerak, namun jika menyerang, ia seperti gajah gila.
Kini Pakkiong Liong memperhitungkan bahwa pihaknya tidak punya Kesempatan lagi untuk memenangkan pertempuran, namun masih ada kesempatan untuk meloloskan diri sebelum hancur di situ. Memang di luar perhitungannya bahwa orang-orang Hwe-liong-apng yang dulunya musuh Kerajaan Beng itu sekarang malahan membantu orang-orang bekas Kerajaan Beng.
Akhirnya Pakkiong Liong memutuskan untuk menggunakan lagi ilmu Hwe-liong-sin-kangnya, meskipun ia sadar bahwa penggunaan ilmu itu akan memperberat luka dalamnya. Tapi Pakkiong Liong tidak melihat cara lain. Orang-orangnya harus diselamatkan dari kehancuran mutlak. Ia yakin, asal anak buahnya sudah berada diatas kuda, sulitlah bagi para pemberontak untuk mengejar mereka.
Sebab anak buahnya menunggangi kuda-kuda gurun yang tegar-tegar, lebih baik dari kuda-kuda yang ditunggangi para pemberontak itu. Bahkan Pakkiong Liong berharap bias kabur sambil membawa Pangeran Cu Hin yang merupakan buruan penting yang sangat dibutuhkan oleh Peng-po-ceng-tong (Kementrian Perang) di ibukota Kerajaan itu.
Setelah berpikir demikian, maka Pakkiong Liong tiba-tiba membentak keras dan dari tubuh maupun tangannyapun terpancar hawa udara yang panas luar biasa. Untuk member kejutan kepada lawan, Pakkiong Lon langsung saja menerapkan ilmunya itu pada tingkat tertinggi, yaitu tingkat ke delapan, tanpa melaiui tingkat-tingkat sebelumnya.
Maka Pangeran Cu Hin-yang tiba-tiba merasa dirinya kejeblos ke neraka. Dengan tergesa-gesa ia meloncat mundur agar tubuhnya tidak hangus oleh ilmu Panglima Manchu yang dahsyat itu. Pakkiong Liong mendesak maju, pedang dan telapak kanannya berkelebatan membingungkan musuh. Ia tidak mau kehilangan kesempatan sedetikpun.
Suatu saat sang Pangeran benar-benar terkurung dan mati langkah, maka Pakkiong Liong mengulurkan jari-jari tangannya bagaikan cengkeraman seekor naga ke arah pundak pangeran. Yang diincarnya adalah jalan darah koh-cing‐hiat di pundak yang dapat melumpuhkan lawan tanpa membunuhnya. Ada dua keuntungan jika Pangeran dapat ditangkap hidup-hidup.
Pertama dapat dijadikan sandera untuk menghentikan perrlawanan orang-orang dinasti Beng, meskipun kegunaan sandera itu belum tentu ampuh kepada orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Itu. Ke dua, dari mulut Pangeran bisa diperas keterangan sebanyak-banyaknya tentang sebuah gerakan bawah tanah penentang Manchu yang menamakan diri Jit-goat-pang (Perkumpulan Matahari dan Rembulan) yang bermaksud menegakkan kembali dinasti Beng.
Pangeran adalah orang kedua alias wakil pemimpin dari gerakan itu, dan orang pertamanya adalah juga seorang bangsawan Kerajaan Beng bernama Pangeran Cu Leng-ong yang dengan Pangeran Cu Hin-yang adalah kakak beradik seayah lain ibu. Sama-sama anak Kaisar ceng yang dilahirkan dari selir-selirnya.
Kini Pangeran Cu Hin yang ibarat ikan dalam keranjang, udara panas yang mengurungnya telah membuatnya sesak dan tubuhnya setengah lumpuh. Saat itulah hampir bersamaan waktunya kedua tangan Pakkiong Liong bergerak. Pedang di tangan kiri memukul pedang Pangeran begitu kerasnya sehingga jatuh ke tanah, sementara tangan kanannya menekan pundak Pangeran tepat pada jalan darah pelumpuhnya.
Tapi pada saat Pakkiong Liong hampir berhasil, tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Rupanya ia begitu bersemangat mengerahkan tenaga sehingga luka dalamnya terasa menyakitinya lagi. Namun dengan mengertak gigi Pakkiong-Liong meneruskan gerakannya.
Sementara itu, pengikut Pangeran yang bersenjata tombak panjang dan tengah melawan Tokko yan itu, melihat keadaan yang sangat mengancam junjungannya itu. Tertangkapnya Pangeran berarti rahasa-rahasia gerakan bawah tanah Jit-goat-pang akan terancam bocor, maka pengikut Pangeran itu menjadi nekad demi mencegah tertangkapnya Pangeran itu oleh musuh. Tanpa mempedulikan lawannya sendiri, ia telah melemparkan tombaknya sekuat tenaga ke arah tubuh Pakkiong Liong bagian belakang.
Pakkiong Liong yang hampir berhasil meringkus korbannya itu, terkejut ketika mendengar desiran angin deras mengancam punggungnya. Cepat ia memiringkan tubuh sambil menamparkan telapak tangannya ke tangkai tombak, namun tamparannya begitu tergesa-gesa sehingga meskipun ujung tombak berhasil disingkirkan, tapi pangkal tangkainya yang terbuat dari kayu rendaman arak itu sempat mengenai dahi Pakkiong Liong dan membuat panglima itu berkunang-kunang matanya.
Waktu yang hanya sejenak pada saat Pakkiong Liong nanar itupun telah dimanfaatkan oleh Pangeran untuk meloncat mundur sejauh-jauhnya menjauhi musuh yang sangat menakutkan itu. Sementara itu, pengikut Pangeran yang telah melemparkan tombaknya itu juga telah membayar mahal untuk tindakannya tadi. Ketika ia melemparkan tombaknya, seluruh perhatiannya tertuju kepada keselamatan junjungannya, sedang keselamatan dirinya sendiri dilupakannya.
Padahal di dekatnya masih ada seorang musuh yang buas, Tokko Yan. Ketika orang itu melemparkan tombaknya, maka Tokko Yan telah meemanfaatkan kesempatan itu untuk menyergap musuhnya bagaikan serigala kelaparan, pedangnya terayun mendatar setinggi pinggang dan tanpa ampun lagi pengikut Pangeran itupun robot dengan lambung yang robek.
Namun robohnya pengikut Pargeran itu segera disusul dengan robohnva Tokko Yan sendiri. Hampir bersamaan dengan pedang Tokko Yan mengenai lambung korbannya, maka tengkuk Tokko Yan sendiri terhantam secara telak oleh toya baja ce-bi-kun dari pengawal Ma Hiong dan langsung mematahkan tulang leher perwira Manchu itu. Demikianlah dalam waktu yang hampir bersamaan sudah dua nyawa lagi melayang karena pertentangan yang tak habis-habisnya itu.
Pakklong Liong melihat semuanya itu dengan darah yang mendidih, seorang perwira terbaiknya telah gugur di depan hidungnya. Dan luka dalamnya terus saja terasa menggigit-gigit bagian dalam dadanya. Namun Pakkiong Liong sadar bahwa detik-detik mati hidup itu tidak boleh dibuang percuma, tiba-tiba saja ia telah meloncat bagaikan petir menerkam Kongsun Hui. Ternyata Pakkiong Liong mengganti sasarannya sebab Pangeran kini kelihatan 'lebih waspada.'
Kini tujuan Pakkiong Liong adalah mengacau seluruh arena agar perwira-perwiranya mendapat kesempatan untuk menyelamatkan diri, sedang tentang keselamatan dirinya sendiri Pakkiong Liong kadang-kadang malah tidak ingat. Ia bukan jenis panglima yang tega mengorbankan anak buahnya demi keselamatannya sendiri, melainkan justru sering membahayakan diri sendiri demi keselamatan anak buahnya. Itu membuatnya sangat dihormati anak buahnya, sehingga setiap prajurit yang dipimpinnya akan bertempur dengan penuh semangat dan kebanggaan.
Begitu dekat dengan Kongsun Hui, langsung dihantamkannya tangan kanannya yang bagaikan menyemburkan api itu. memaksa Kongsun Hui melompat sejauh jauhnya, lalu Pakkiong Liong berkat kepada Le Tong-bun, "Bawa semua kawan-kawanmu dan anak buahmu untuk pergi dari sini secepatnya. Aku melindung kailan dari belakangi"
Le Tong-bun terkejut, sahutnya dengan perasaan yang bergolak, "Ciang kun, ini membahayakan dirimu..."
"Jangan membantah perintah Panglima!" bentak Pakkiong Liong. "Cepat!"
Le Tong-bun tidak berani membantah lagi. la tahu betapa keras watak Panglimanya sehingga Jika sudah punya niat tak akan mundur lagi. Lebih dulu teman-temannya harus dibebaskan dari libatan lawannya masing-masing. Lebih dulu ia membantu Ha To-Ji mendesak pengikut Ma Hiong yang bersenjata golok koan-to itu sambil berseru, "Saudara Ha, perintah Ciangkun kita harus segera mundur!"
Ha To-Ji menggeram, "Sebentar lagi. Kupatahkan dulu tulang si cecunguk Hwe-liong-pang ini sebagai pengganti nyawa Tokko Yan."
"Perintah ciangkun sekarang juga!'
Demikianlah cara perwira-perwira Pakklong Liong dalam gerakan mundurnya. Arena seolah-olah jadi kacau sebab perwira-perwira itu tiba-tiba berlarian kesana kemari berganti-ganti lawan seperti orang kebingungan, namun lawanpun menjadi ikut kacau. Dan dalam keributan itulah Pakkiong Liong seolah "beterbangan" kian kemari untuk menyebarkan pukulan hawa panasnya yang sangat ditakuti lawan itu.
Memang, di antara orang-orang dari segala pihak di tempat itu, Pakklong Liong yang ilmunya paling tinggi. Terjangan hawa panas pukulannya itu tak seorangpun berani menahannya, kecuali menghindarinya. Dengan demikian semua musuh-musuhnya seolah terpusat perhatiannya kepada Pakklong Liong saja, dan dengan demikian perwira-perwiranya dan prajurit-prajuritnyapun mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat itu.
Kini Pangeran Cu Hin-yang, Kong-sun Hui, Ma Hiong serta dua orang pengawalnya itupun memusatkan perlawanan mereka kepada Pakkiong Liong yang mengamuk hebat bagaikan harimau terluka itu. Kadang-kadang gerakannya bagaikan naga sakti bermain-main di atas mega, sementara hawa panasnya bagaikan semburan api dari mulut sang naga.
Sementara itu Ma Hiong dan empat orang lainnya telah mengepung Pakkiong Liong dengan rapatnya. Senjatar-senjata mereka berhamburan bagaikan hujan lebat mengarah seluruh tubut Pakkiong Liong. Betapa kagumnya Ma Hiong dan lain lainnya melihat keperkasaan Pakkiong Liong dan sekaligus juga sikap jantannya yang menyelamatkan anak buannya lebih dulu dari dirinya sendiri itu, namun Ma Hiong dan lain-lainnya sudah bertekad untuk membunuh Pakkiong Liong malam itu Juga.
Pakkiong Liong adalah hantu yang paling menakutkan dari kaum pembebasan tanah air, pasukan yang dipimpinnyapun merupakan pasukan maut yang menggilas hancur musuhnya di manapun juga. Maka jika Pak-kiong Liong dapat dibunuh dan beritanya disebar luaskan, akan meningkatkan semangat para pejuang pembebas tanah air, dan sebaliknya melunturkan semangat pasukan Manchu.
Tapi membunuh Pakklong Liong tidaklah gampang, meskipun lima lawan satu dan yang satu itupun sudah luka. Tubuh Pakklong Liong yang bergerak kian kemari dalam kepungan lawan itu ibarat segumpal bara raksasa yang amat panas, dan musuh harus sabar menunggu sampai "bara" itu padam sendirinya.
Pakkiong Liong juga tidak menunggu dirinya kehabisan tenaga dalam, suatu saat ketika ia telah memukul mundur musuh-musuhnya, ia mendapat kesempatatan untuk meloncat ke atas tembok halaman kuil. Lawan-lawannya tidak sempat mencegahnya karena gerakan Pak-kiong Liong begitu cepat.
"Jangan harap bisa lolos!" teriak Pakkiong Liong kepada Pangeran "Suatu ketika aku pasti akan menghancurkan gerakan Jit-goat-pang mu itu!"
Sementara Ma Hiong tidak membiarkan Pakkiong Liong lagi begitu saja di depan hidungnya. Sekuat tenaga ia melemparkan sepasang gelangnya kearah kepala dan punggung Pakkiong Liong sebelum menghilang di balik tembok. Sepasang senjata itu meluncur deras bagaikan bintang beralih berkejaran di angkasa, sementara deru anginnya menandakan betapa hebatnya tenaga Ma Hiong.
Pakkiong Liong merasa ada serangan dari belakang, namun rasa nyeri di dadanya tiba-tiba terasa lagi sehingga gerakannya menjadi agak lambat. Dia hanya sempat, membungkuk untuk menghindari yang satu lagi, yang menghantam punggung Pakkiong Liong sehingga Pakkiong Liong memuntahkan segumpal darah. Meskipun demikian, dengan mengeraskan hatinya Pakkiong Liong berhasil meloncat turun ke luar tembok meskipun dengan agak terhuyung-huyung.
Dengan langkah limbung ia masih sempat menghampiri kudanya yang tertambat di sebuah pohon di samping kuil, dan kemudian meloncat ke punggung kudanya. Dua orang anggota Hwe-liong-pang yang ada di luar kuil telah mencoba merintanginya, tapi dengan sekali kibasan tangan saja maka kedua orang itu terjungkal dengan gigi rontok. Seekor naga tetap berbahaya meskipun ia terluka.
Dalam pada itu, orang-orang yang di dalam kuil telah berhamburan keluar, ada yang meloncati tembok, dan yang ilmu meringankan tubuhnya agak jelek lebih suka lewat pintu saja. Mereka segera berloncatan ke punggung kudanya masing-masing untuk mencoba mengejar Pakkiong Liong. Tapi terryata kuda-kuda mereka tak sanggup mengejar kuda Pakkiong Liong yang berasa dari gurun itu.
Pakkiong Liong dalam keadaan setengah sadar memacu kudanya. Sebenarnya ia ingin mengerahkan kudanya ke kota Kunbeng, Ibukota wilayah Hunlam, di mana di sana terdapat sebuah pangkalan pasukan pemerintah yang cukup kuat. Tapi tubuh Pakkiong Liong telah begitu lemah sehingga tak dapat lagi mengendalikan kudanya yang lari bagaikan dikejar setan itu.
Kota Kun-beng ada di timur, namun kuda itu malah lari ke selatan, makin jauh menyusup ke padang ilalang yang maha luas dan gelap gulita itu. Bulan tidak nampak sepotong kecilpun, sementara bintang-bintang yang jumlahnya hanya sedikit itu tidak dapat memberikan cahayanya yang berarti.
Ketika kuda dan penungangnya itu mendekati sebuah hutan, tiba-tiba kuda Pakkiohg Liong menjadi gelisah. Mula-mula hanya mendengus-dengus sambil menggerak-gerakkan kepalanya, lama-lama meringkik sambil melonjak-lonjak dengan hebatnya. Pakkiong Liong menjadi gugup, Jika sampai ia terbanting dan kemudian terinjak kaki kuda, mampuslah ia. Sekuat tenaga ia menjepitkan kakinya ke perut kuda dan menepuk-nepuk leher binatang itu untuk mencoba menenangkannya.
Tapi rupanya memang ada sesuatu yang sedang ditakuti oleh binatang itu, sehingga ia bukan semakin tenang tapi malahan semakin keras melonjak-lonjak, sampai akhirnya Pakkiong Liong yang sudah lemah itu benar-benar melorot dari punggung kudanya. Lalu kuda itu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tuannya.
Pakkiong Liong menggerutu karena nasibnya yang sial itu. Sudah tugasnya gagal, kini mengalami hal yang tidak enak lagi. Di tengah padang liar tanpa penghuni, terluka, tanpa bekal makanan dan tanpa kuda. Ini sama saja dengan mati secara perlahan-lahan. Ia mencoba bersuit keras untuk memanggil kudanya, tapi sia-sia, malahan dadanya bertambah sakit dan lagi-lagi segumpal darah hitam terlontar dari mulutnya.
Sesaat kemudian muncullah jawaban akan tingkah laku kudanya yang aneh tadi. Terdengar ilalang disekitarnya gemeresak, lalu ada suara menggeram yang ribut dan menguik-uik, nampak titik-titik kecil berwarna merah mendekatinya dari segala arah. Segerombolan serigala liar yang tak terhitung jumlahnya! Kelompok binatang yang bahkan lebih ditakuti dari seekor harimau yang paling besar sekalipun.
Melihat itu, Pakkiong Liong mengeluh dalam hatinya. Musuh-musuhnya kali ini jauh lebih sulit diladeni dari musuh-musuhnya yang di kuil rusak tadi. Serigala-serigala ini tidak mengerti ilmu silat, namun mereka akan menerjang, menggigit, mencakar dan berbuat apa saja untuk membunuh lawan mereka. Apalagi jumlah mereka banyak sekali.
"Celakalah aku sekarang," piker Pakkiong Liong dengan perasaan sedih. "Aku seorang Panglima terkenal, di medan perangpun musuh-musuhku menggigil mendengar namaku. Haruskah kini dagingku menjadi santapan hewan-hewan bangsat di tempat terpencil ini?"
Pakkiong Liong mengambil pisau belati dari balik bajunya. Sementara itu daun ilalang telah tersibak dan muncullah moncong-moncong yang runcing, mata-mata yang merah liar, taring-taring yang putih tajam dan lidah yang terjulur meneteskan air liur. Semuanya siap merobek-robek tubuh Panglima Manchu yang digiring oleh nasib buruknya sehingga sampai ke tempat itu.
Seekor serigala mencoba menerkam lehernya, tapi hewan itu segera terjungkal oleh sabetan belati di tangan Pakkiong Liong. Namun serigala-serigala lainnyapun segera berebutan menerkam dari segala arah, mati-matian Pakkiong Liong menggerak-gerakkan pisau belatinya, beberapa ekor terbunuh, tapi jumlah hewan-hewan itu begitu banyak dan tanpa kenal takut terus menyerang, sehingga Pakkiong Liong kelelahan juga. Napasnya mulai sesak, matanya berkunang-kunang dan isi dadanya rasanya bagaikan ditusuk ratusarn jarum tajam.
Pakkiong Liong hampir saja pingsan ketika seekor serigala besar berhasil menggigit mulut luka bekas bacokan golok Tio Tong-hai. Pakkiong Liong masih mencoba menggerakkan pisaunya, tapi tenaganya hampir habis dan pisaunya tidak berhasil menembus tubuh serigala itu, hanya melukainya yang malah membuat hewan itu makin buas.
Sementara beberapa ekor telah menubruk pula dan menggigit lengan, paha, leher dan sebagainya. Andaikata tenaga Pakkiong Liong masih utuh, cukup dengan menerapkan Ilmu Hwe-liong-sin-kangnya maka seriga-serigala itu tentu akan menyingkir sendiri karena hawa panasnya. Tapi itu tidak mungkin dilakukannya sekarang.
Pada saat Pakkiong Liong sudah hampir kehabisan daya perlawanannya, tiba-tiba sebutir batu sebesar telur telah meluncur dari belakang kerumunan serigala itu, dan batu itu tepat menghantam salah seekor serigala yang menggigit Pakkiong Liong. Serigala itu terjungkal dengan tempurung kepala yang pecah.
Ternyata kemudian lemparan batu-batu itu semakin gencar seperti hujan, dan setiap batu tidak ada yang meleset untuk meremukkan tempurung kepala serigala-serigala itu, tapi tak sedikit-pun mengenai Pakkiong Liong. Keruan serigala-serigala itu menjadi kalang kabut. Dan ketika si pelempar itu agaknya kehabisan batu-batu, maka iapun berganti "senjata", yaitu ranting-ranting kayu kering. Ternyata ranting-ranting yang rapuh itu seolah berubah menjadi lembing-lembing berujung besi yang sanggup menembus tubuh serigala-serigala yang berkulit liat itu.
"Iblis-iblis kecil, kapan kalian akan berhenti mengganggu manusia, terdengar teriakan seseorang dari dalam hutan. Mendengar suaranya saja Pakkiong Liong tahu bahwa yang berteriak itu tentu seorang muda yang umurnya mungkin sebaya dengan dirinya.
Tapi yang mengagumkan Pakkiong Liong adalah akibat dari lemparan-lemparan batu maupun kayu dari orang yang bersuara itu. Tepi hutan masih jauh namun lemparan orang itu mengandung kekuatan, kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Setiap butir batu telah meremukkan kepala seekor serigala, setiap batang kayu menembus perut seekor serigala, tak ada batu maupun kayu yang mengenai tubuh Pakkiong Liong padahal Pakkiong Liong ada ditengah kerumunan hewan liar itu.
Diam-diam Pakkiong Liong menaksir bahwa ilmu sang penolong itu tentu setingkat dengan dirinya sendiri apabila la tidak terluka. Sedang di antara perwiranya tidak ada yang selihai itu, bahkan sulit dicari bandingannya di kalangan para panglima sekalipun.
Pakkiong Liong menikmati "pertunjukan" yang masih berlangsung di depan hidungnya itu sambil berpikir, "Di kalangan persilatan, tokoh selihai ini jumlahnya tidak melebihi sebelah jari tangan". Dan ketika kawanan serigala bubar ketakutan dan "tokoh lihai" ini muncul dari tepi hutan, maka tercenganglah Pakkiong Liong melihat tampang si tokoh lihai yang telah menolongnya ini.
Ia hanya seorang anak muda sebaya Pakkiong Liong yang bahkan bertampang orang gunung asli. Kulitnya agak coklat seperti umumnya kulit orang daerah Hun-lam di mana matahari bersinar lebih panas, wajahnya cukup tampan dengan berewok lembut di sekitar rahangnya. Matanya bersinar lunak, hangat, tanpa kecurigaan, tanpa permusuhan dan bahkan siap menjalin persahabatan dengan siapapun juga. Tampangnya mirip orang suku Hui di bagian barat daratan Cina.
Pakaiannyapun sederhana. Baju pendek dan celana sependek lutut yang terbuat dari bahan katun abu-abu yang murahan, bagian dadanya agak tersingkap sehingga nampaklah dadanya yang berotot tegap. Pinggangnya yang ramping diikat dengan tali rami untuk menyelipkan sebatang kampak pendek pemotong kayu. Kakinya beralaska sandal kulit buatan sendiri yang diberi tali dan diikatkan silang menyilang sampai ke betisnya.
Pakkiong Liong memperhatikan penolongnya yang tengah melangkah mendekatinya sambil menimbang-nimbang dalam hati, "Sungguh tak terduga orang bertampang seperti ini ternyata memilik ilmu yang begitu tinggi. Jika orang semacam inipun menjadi anggota yang menamakan diri "pembebas tanah air" itu, aku benar-benar akan mendapat lawan berat. Tapi mudah-mudahan bukan anggota gerombolan itu". Karena menyadari kelemahan tubuhnya, maka Pakkiong Liong hanya duduk di tanah, memasrahkan nasibnya sepenuhnya ke tangan orang gunung yang belum diketahui kawan atau lawan itu.
Namun ternyata sikap anak gunung itu baik. Ia berjongkok di dekat tubuh Pakkiong Liong sambil bertanya, "Kau terluka parah agaknya. Mari kubawa ke gubukku untuk diobati lebih baik..."
Dengan wajah sangsi Pakkiong Liong menatap wajah orang itu, katanya, “Saudara, sebelum menolong aku, kau harus lebih dulu tahu siapa yang kau tolong ini. Meskipun pakaianku robek-robek tapi kau tentu masih mengenal bahwa ini adalah seragam tentara Manchu. Jika aku tinggal di tempatmu, apakah kau tidak akan mendapat kesulitan karena aku seorang Manchu?"
"Apa bedanya Manchu dan bukan Manchu?"
Pakkiong Liong merasa betapa lugunya ucapan orang gunung itu. Katanya lagi, "Saudara benar-benar seorang yang berjiwa lapang selapang samudera. Tapi orang-orang yang menamakan diri Pembebas Tanah Air itu tidak akan berjiwa selapang saudara. Jika mereka tahu aku ada di tempatmu, mereka akan menyulitkan kau dan keluargamu."
Tapi orang gunung itu menjawab dengan mantap, "Saling menolong sesama manusia adalah perintah Tuhan, seoran Kaisar pun tidak dapat mengubah perintah agung itu. Apakah karena kita berbeda keturunan lalu dilarang untuk saling menolong? Dan aku harus berpihak kepada serigala-serigala tadi itu?"
Perasaan Pakkiong Liong terguncang mendengar jawaban macam itu. "Pendirianmu sangat kokoh, saudara. Aku berterima-kasih akan kau obati, tetapi aku akan sangat menyesali diriku jika kau mendapat kesulitan...."
"Sungguh aneh manusia ini, kenapa justru mendapat kesulitan jika berbuat baik kepada sesamanya?" potong orang gunung itu. "Kau jangan pedulikan hal-hal lain lagi. Aku akan berbuat sesuatu menurut suara hatiku, dan tidak takut kesulitan apapun."
"Bukan main," Pakkiong Liong merasa kagum di dalam hatinya. "Orang ini cukup berharga untuk menjadi seorang sahabatku. Tegas, jujur, lapang dada dan berilmu tinggi."
Sahabat dalam pengertian Pakkion Liong bukan sekedar kenalan untuk saling menguntungkan satu sama lain dan kemudian saling mencampakkan setelah tidak ada keuntungan lagi. Bukan seperti itu. "Sahabat' macam ini Pakkiong Liong sudah punya cukup banyak di Ibukota Kerajaan dan bahkan sudah muak. Yang dibutuhkan adalah sahabat sejati yang bisa diajak membagi kedukaan dan kegembiraan, saling mengasihi dan saling membela, itulah yang belum dipunyai oleh Pakkiong Liong. Namun malam ini tiba-tiba Pakkiong Liong menemukannya. Di tengah-tengah padang sunyi, dikelilingi bangkai-bangkai serigala yang berbau anyir, dalam keadaan luka-luka parah.
Maka tersenyumlah Pakkiong Liong, "Kalau begitu, sahabat, kau boleh berbuat sesuka hati atas diriku."
Anak muda gunung itupun tersenyum pula, lalu jari-jarinya dengan cekat menotok beberapa jalan darah penting untuk menghentikan mengalirnya darah. Lalu dari sebuah kantong kecil pinggangnya ia mengeluarkan beberapa butiran obat yang berwarna coklat seperti tanah, diremasnya dengan tangan sehingga hancur dan ditaburkannya ke mulut luka-luka Pakkiong Liong. Sesekali Pakkiong Liong meringis kesakitan karena obat itu menimbulkan rasa panas dan pedih, tapi makin lama makin sejuk dan tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya.
Pakkiong Liong masih setengah sadar ketika merasa tubuhnya diangkat oleh orang itu, dan mendengar orang itu berkata, "Obat luka buatan guruku ini memang mengandung obat tidur yang dapat meredakan rasa sakit. Tetapi kau membutuhkan pengobatan yang lebih cermat lagi. Kau akan kugednong ke gubukku di lereng Gunung Tiam-Jong-san sana.”
"Terserah kepadamu, sahabat," sahut Pakkiong Liong sambil menguap lebar-lebar. "Siapa namamu, sahabat?"
"Aku she Tong, bernama Lam-hou."
"Lam-hou? Nama yang bagus. Kau tahu artinya?"
"Kata ibuku yang memberikan nama ini, kelak aku harus menjadi seorang pendekar terkenal seperti mendiang ayahku, maka ketika aku lahir di wilayah selatan ini, aku diberinya nama Lam-hou. Artinya Harimau dari Selatan."
Tiba-tiba Pakkiong Liong tertawa, katanya, "Harimau dari Selatan? Bagus sekali. Aku sendiri sering disebut sebagai Naga dari Utara. Inikah yang disebut Jodoh?"
Sebenarnya Pakkiong Liong masih ingin bercakap-cakap lagi, namun pelupuk matanya terasa semakin berat, ia tak dapat lagi mempertahankan kesadarannya dan akhirnya ia tertidur sama sekali dalam gendongan Tong Lam-hou. Seperti seorang bayi di gendongan.
Sementara itu Tong Lam-hou telah melangkah semakin lama semakin cepat sampai sepasang kaki itu seolah-olah tidak menyentuh tanah lagi melainkan meluncur pesat. Kemudian ketika mendaki lereng-lereng Gunung Tiam-jong-san yang licin sehabis tersiram hujan itu, Tong Lam-hou meloncat-loncat dengan enaknya seolah ada di tanah lapang saja dan tidak membawa beban sedikitpun. Akhirnya tibalah ia di depan gubuknya.
Sinar api memancar keluar dari sela-sela pintu, dan Tong Lam-hou berteriak, "Ibu, aku datang!"
IAU-LO-CIA MA HIONG dan pengikut-pengikutnya maupun Pangeran Cu Hin-yang dan pengikutnya yang tinggal Kongsun Hui seorang itu, dengan marahnya berpacu di atas punggung kudanya masing-masing untuk mencoba mengejar Pakkiong Liong. Namun gagal. Ma Hiong merasa penasaran bahwa seorang musuh yang sudah terluka bias lolos begitu saja dari depan hidungnya. Saat itu hujan sudah lama reda, malam sudah mendekati dini hari, dan kokok ayam liar bersahut-sahutan di padang ilalang sunyi itu.
"Mudah-mudahan bangsat Manchu itu diterkam macan atau serigala," geram Ma Hiong sambil mengepalkan tinjunya. "Tetapi aku harus mengakui bahwa dia seorang yang hebat juga."
Pangeran Cu Hin-yang dan Kongsui Hui yang berkuda di dekat Ma Hiong itu tidak menjawab sepatah katapun. Mereka masih sakit hati akan kematian tiga orang teman mereka di tangan Pakkiong Liong dan orang-orangnya.
Tengah Ma Hiong dan lain-lainnya itu berputar-putar di padang ilalang tanpa hasil, karena malam terlalu gelap untuk melacak jejak kaki kuda di tanah, maka tiba-tiba di sebelah barat terdengar suara letusan, dan udara menjadi terang benderang untuk sejenak. Sebuah kembang api berwarna kucing telah terlihat di langit sebelah jarat. Cukup jauh, namun dapat disaksikan oleh Ma Hiong dan lain-lainnya.
Wajah Ma Hiong dan orang-orang-nyapun segera berubah hebat ketika nelihat kembang api di kejauhan itu. Itu adalah isyarat yang digunakan oleh sesama orang Hwe-liong-pang bahwa ada sesuatu yang gawat telah terjadi pada diri mereka. Kembang api itu berasal dari arah di mana letak markas Ma Hiong, tentu saja ia terkejut.
Untuk sesaat Ma Hiong harus menyingkirkan niatnya untuk menangkap Pakkiong Liong, markasnya harus diselamatkan lebih dulu, maka iapun segera memutar kudanya sambil berteriak kepada anak buahnya, "Kita kembali ke markas. Entah iblis dari mana yang berani menyerbu markas kita ini?"
Ketika Pangeran Cu Hin-yang dan Kongsun Hui ikut pula memutar kuda mereka searah dengan Ha Hiong dan pengikut-pengikutnya, maka Ma Hiong membentak, "He, mau ke mana kalian?"
Sahut Pangeran, "Kalian sudah menolong kami, sekarang jika kalia mengalami kesulitan kamipun akan membantu kalian."
"Hemm, kapan kami menolong kalian?" tanya Ma Hiong dengan alis berkerut dan nada pertanyaannyapun ketus.
Pangeran menjadi heran melihat sikap itu, namun dijawabnya juga, "Bukankah dalam kuil tadi kalian menolong kami dari ancaman orang-orang Manchu itu?"
Ma Hiong tertawa dingin, "Kami tidak menolong orang-orang dinasti Beng sebab buat apa kami menolong orang-orang yang dulu adalah penindas-penindas rakyat kecil? Kami hanya memusuhi bangsa Manchu, tapi tidak berarti menolong orang-orang dinasti Beng. Kalian mampuspun kami tidak peduli."
Kongsun Hui seketika naik darah melihat sikap Ma Hiong yang sama sekali tidak menghormati Pangeran Cu hin-yang sebagai keturunan dinasti beng itu. Kudanya telah digerakkan ke depan dan ruyung bajanya pun siap digunakan untuk mengemplang kepala Ma Hiong. Bentaknya, "Orang she Ma, jaga mlutmu."
Tapi Pangeran buru-buru memajukan kudanya pula untuk melintang tepat di depan kuda Kongsun Hui, sambil menyabarkan bekas panglima yang berangsan itu, "Saudara Kongsun, tahan dirimu sedikit. Biar aku saja yang berbicara kepada saudara Ma ini."
Lalu kepada Ma Hiong, Pangeran lerkata, "Saudara Ma, kuharap kau bersikap bijaksana dan tepat dalam urusan yang menyangkut keselamatan tanah air kita ini. Masa lalu kita memang bertentangan, tapi perlukah diungkit-ungkit sekarang pada waktu kita menghadapi musuh bersama di depan hidung. Kau benci segala sesuatu yang berbau Kerajaan Beng, baik, anggap saja aku bukan orang dinasti Beng tetapi seorang rakyat Bangsa Han yang ingin menyumbangkan tenaga untuk ikut mengusir bangsa Manchu. Setuju?"
Betapapun keras dan bencinya bekas orang-orang Hwe-liong-pang kepada bekas orang-orang dinasti Beng, namun tergerak juga hatinya melihat Pangeran Cu Hin-yang tidak segan-segan merendahkan diri seperti itu. Akhirnya kepala Ma Hiong terangguk juga, "Baiklah, orang she Cu, kau memang bukan anak buahku sehingga aku pun tidak berhak mengaturmu. Kau mau ikut kami, terserah kepadamu sendiri."
"Aku akan ikut. Bangsa Machu adalah musuh kita bersama."
Sementara itu, Kongsun Hui yang berwatak kepala-batu itu diam-diam tidak puas ketika melihat sikap Pangeran yang terlalu merendahkan diri terhadap Ma Hiong itu. Pikirnya dengan jengkel, Mestinya Pangeran tidak perlu bersikap terlalu merendah kepada pemimpin gerombolan liar ini, membuat ia semakin besar kepala saja.
Pangeran adalah seorang bangsawan yang harus menjaga martabatnya di hadapan orang tak tahu adat ini, apalagi dulunya bekas pendukung Li Cu-seng. Biarpun semua pejuang penentang Manchu harus dirangkul, tapi tidak dengan mengorbankan harga diri seperti ini. Namun biarpun dihatinya tetap menggerutu, Kongsun Hui tetap ikut juga ketika rombongan itu mulai bergerak ke arah barat.
Udara dinihari yang habis tersiram hujan itu terasa dingin menggigit tulang, namun dalam dada orang-orang berkuda itu justru terasa membara oleh kobaran semangat tempur yang menyala. Apapun sudah siap mereka korbankan demi tanah-air tercinta.
Belum lama mereka berkuda, mendadak dari arah depan kelihatan bayangan seorang berkuda yang menyongsong mereka sambil berteriak, "Apakah yang di depan itu rombongan Tong-cu?"
Dalam Hwe-liong-pang dulu memang Ma Hiong berpangkat tong-cu (Pemimpin Kelompok) sehingga sampai sekarangpun anak buahnya masih memanggil dengan sebutan lama. Ma Hiong dan rombongannya segera memperlambat derap kaki kuda mereka. Setelah dekat maka kelihatan bahwa penunggang kuda dari depan itu berpakaian warna coklat, pakaian seragam gerombolan Ma Hiong, dan dengan terengah-engah diapun melapor,
"Kwa Jin-yang menjumpai Tong-cu!"
"Laporkan, saudara Kwa!"
"Tadi malam, tidak lama setelah Tong-cu meninggalkan markas untuk memeriksa keadaan, tentara Manchu bawahan Bu San-kui mendadak menyerang markas kita di hutan Pek-niau-lim. Karena laskar kita tidak siap menghadapinya, kita segera terdesak meninggalkan markas, dan kita sedang berusaha mundur ke bukit Hek-ku-san untuk bertahan di sana..."
Kongsun Hui tertarik perhatiannya setelah mendengar bahwa yang menyerbu Hwe-liong-pang itu adalah tentaranya Bu San-kui, bekas saudara-angkatnya yang kemudian berpihak kepada Kerajaan Manchu itu. Gara-gara Bu San-kui menyerahkan kota San-hai-koan kepada bangsa Manchu inilah maka balatentara Manchu sampai bisa menguasai seluruh daratan Cina. Sudah lama Kong-sun-Hui ingin bertemu dengan bekas saudara angkatnya itu di medan perang untuk membuat perhitungan bagi negerinya, maka kini mendengar laporan itu, ia langsung bertanya kepada orang Hwe-liong-pang yang melaporkan itu,
"Sahabat, apakah Bu San-kui sendiri yang memimpin pasukannya itu?"
Orang Hwe-liong-pang itu sesaat menjadi heran melihat ada seorang tak dikenal berjalan bersama dengan pemimpinnya, namun karena kelihatannya orang itu bukan musuh, maka dijawab juga, "Tidak, pasukan itu kecil, mana mau Bu San-kui memimpinnya sendiri. Penyerangan itu dipimpin seorang panglima bawahannya yang bernama Yang Kang."
Mendengar nama itu, tak urung gemeretaklah gigi Kongsun Hui karena geramnya. Orang itupun dikenal oleh Kongsun Hui ketika masih bertugas di San-hai-koan dulu. Dulu ia dengan gigih berjuang membendung serangan bangsa Manchu, sekarang malahan membantu bangsa Manchu untuk menindas pejuang pejuang tanah air sendiri.
Sementara Ma Hiong bertanya kepada anak buahnya itu, "Bagaimana keadaan laskar kita? Siapa yang memimpin?"
"Untuk sementara akan dapat bertahan. Tapi tekanan terlalu berat karena Jumlah musuh yang hampir lipat empat. Yang memegang pimpinan laskar kita adalah hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok) Cho Bun-liong!"
"Kenapa terlalu berat.?"
“Hu-tong-cu berusaha menarik laskar ke Hek-ku-san, namun pasukan musuh menyerang dengan bentuk menjepit dari tiga arah, jika terlambat pasukan kita akan terkurung di hutan Pek-niau-lim tanpa harapan untuk keluar Iagi!" "Kalau begitu kita harus terjun ke arena dengan segera!" teriak Ma Hiong dengan dada yang terasa panas bergolak.
Orang-orang Hwe-liong-pang lain-nyapun telah mencabut senjata-senjata mereka dari mengangkat tinggi-tinggi ke udara sambil meneriakkan semboyan-semboyan perjuangan yang membakar semangat. Mereka tergerak rasa setia kawan ketika mendengar teman-teman mereka terancam bahaya, maka merekapun sudah gatal tangan ingin segera terjun ke medan laga.
Namun pangeran Cu Hin-yang tiba-tiba berteriak, "Tunggu! Jangan gegabah!"
Ma Hiong menoleh ke arah Pangeran dengan kening berkerut, "Tunggu apa lagi? Menunggu sampai laskar kami hancur lebur dan tak tersisa seorang-pun?"
"Bukan maksudku. Tapi jika kalian yang sedikit ini terjun ke arena, kalian sedikitpun tidak akan dapat mempengaruhi jalannya pertempuran. Kalian hanya akan tertelan oleh musuh yang Jauh lebih banyak, seperti telur membentur batu..."
"Kami tidak peduli Lebih baik hancur bersama seluruh saudara-saudara kami daripada kami hanya berpangku tangan mencari selamat sendiri!"
"Itu tidak bijaksana. Coba dengar dulu kata-kataku, tuan Ma, biar aku menyuruh Kongsun untuk menghubungi Li Tiang-hong dan anak buahnya agar mereka ikut bergerak membantu mengusir musuh."
Ma Hiong menjadi bimbang mendengar usul Pangeran itu, dalam hatinya timbullah pertentangan antara harga dirinya dan juga harga diri kelompoknya, bertentangan dengan kenyataan yang dihadapinya. Antara dirinya dengan Li Tiang-hong tidak pernah rukun, meskipun kedua pihak sama-sama musuh bangsa Manchu. Li Tiang-hong dan pasukannya adalah pengikut-pengikut setia Kerajaan Bang, sedang Ma Hiong dulunya adalah pendukung perjuangan Li Cu-seng ketika menumbangkan pemerintahan Beng.
Keduanya memiliki desa-desa pengaruh mereka sendiri-sendiri, sebagai sumber perbekalan mereka. Meskipun kedua kelompok belum pernah bentrok senjata, tapi saling bermusuhan dan saling menjelekkan. Kini jika Ma Hiong menerima uluran tangan Li Tiang-hong, ke mana lagi mukanya hendak disembunyikan? Tapi tanpa dibantu Li Tiang-hong maka nyawa anak buahnya yang sekian ratus orang itupun akan tergulung habis oleh musuh. Akhirnya, Ma Hiong memutuskan bahwa nyawa ratusan anak buahnya lebih penting dari pada ketakutan sekedar kehilangan muka.
Jawab Ma Hiong kepada Pangeran, "Baiklah, saudara Cu, agaknya untuk melawan tentara Manchu yang jauh lebih kuat itu setiap kelompok harus menyingkirkan perbedaaan pendapatnya dan bersatu padu."
Wajah Pangeran menjadi cerah. Ini adalah suatu isyarat yang menggembirakan ke arah persatuan semua kelompr pejuang yang tadinya berjuang sendiri-sendiri itu. "Keputusan yang bijaksana, keputusan seorang pemimpin yang lebih memikirkan keselamatan nyawa-nyawa anak buahnya daripada sekedar harga dirinya," kata Pangeran. "Ini tidak berarti saudara Ma kehilangan muka di depan, Li Tlang-hong, sebab jika kelak Li Tiang-hong menemui kesulitan maka saudara Ma akan membantunya bukan? Jadi tidak ada masalah siapa berhutang budi kepada siapa, tetapi kerja sama yang sederajat."
Lalu Pangeran melepaskan sebuah cincin dijarinya, diberikan kepada Kongsun Hui dan berkata, "Saudara Kongsun, bawa cincin lambang pribadiku ini kepada Li Ciangkun (Panglima Li), katakan bahwa aku memohon kepadanya agar ia sudi menggerakkan pasukannya ke hutan Pek-niau-lim untuk mengusir pasukan musuh yang mengacau di sana."
Sahut Kongsun Hui, "Pangeran, hamba belum tahu di mana markas Li ciangkun dan pasukannya."
Pangeran menoleh kepada Ma Hiong ambil berkata, "Saudara Ma, bolehkah salah seorang anak buahmu yang sudah tahu tempat Li Ciangkun itu kupinjam untuk mengantarkan saudara Kongsun ini?"
"Baik. Lo Beng, kau antar tuan Kongsun ini ke tempat Li Tiang-hong. Kau kenal jalannya bukan?"
"Sebaiknya membawa bendera putih agar tidak menimbulkan salah paham degan orang-orangnya Li Ciangkun," usul Kongsun Hui.
Namun Ma Hiong telah berkata dengan tegas, "Tidak. Orang Hwe-liong-pang dilarang keras untuk membawa bendera putih di manapun juga dan dalam keadaan bagaimanapun juga."
Agaknya Ma Hiong kuatir kalau bendera putih itu oleh Li Tiang-hong dianggap sebagai tanda menyerah dari Hwe-liong-pang. Pangeran menarik napas, sementara Kongsun Hui menggerutu dalam hati. Kata pangeran kemudian, "Baiklah, tidak usah dengan bendera putih segala, Li Tiang-hong tentu akan memaklumi. Lekas berangkat sebelum terlambat."
Demikianlah Kongsun Hui dengan diantarkan oleh salah seorang anak buah Hwe-liong-pang memisah dari rombongan untuk pergi minta bantuan ke markas Li Tiang-hong. Sebelum pergi, Kongsun Hui masih sempat berpesan kepada junjungannya, "Pangeran, berhati-hatilah. bagaimanapun juga mereka..."
Sahut Pangeran, "Jangan kuatirkan diriku. Orang Hwe-liong-pang sejak dulu terkenal sebagai orang-orang yang teguh memegang Janji. Aku aman di tengah-tengah mereka!"
Kongsun Hui menarik napas dalam-dalam, namun ia berjanji dalam hati apabila Pangeran sampai terluka seujung rambutpun oleh orang Hwe-liong-pang, maka Jit-goat-pang akan menjadi musuh Hwe-liong-pang untuk selama-lamanya. Lalu didampingi oleh anak buah Ma Hiong yang bernama Lo Beng itu, Kongsun Hui berangkat ke tempat Li Tiang hong.
"Orangmu itu masih mencurigai kami," desis Ma Hiong.
"Hanya pengaruh masa lalu, tak perlu digubris," jawab Pangeran sambil tersenyum. "Ayo kita berangkat sekarang."
Ma Hiong dan anak buahnyapun segera berderap menginggalkan tempat itu. Suara hentakan-hentakan kaki kuda yang gemuruh itu bagaikan bunyi genderang perang yang ditabuh mengantarkan pahlawan ke medan perang. Sementara warna langit telah semakin muda, menandakan tak lama lagi fajar akan tiba.
Tidak lama kemudian, di kejauhan, sudah terdengar sorak-sorai orang berperang. Beratus-ratus orang bersenjata tengah saling membunuh dengan bersemangat, tak ubahnya sekawanan hewan buas tak berakal budi. Bendera-bendera dari kedua belah pihak berkibar-kibar megah, memberi tanda pihak-pihak mana sajakah yang tengah beradu kekuatan di padang ilalang itu.
Pasukan Manchu mengibarkan bendera Ngo-jiat-kim-liong-ki (Panji Naga Berkuku Lima), didampingi sehelai bendera yang lebih kecil berwarna merah dengan bulatan kuning ditengah-tengahnya, menandakan bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukannya Peng-se-ong Bu San-kui, Rajamuda di wilayah Se-cuan.
Sedangkan laskar Hwe-Liong-pang juga mengibarkan bendera-bendera yang disebut Hwe-liong-ki (Bendera Naga Api), bendera berwarna dasar hitam dengan lukisan naga berwarna merah yang menyemburkan api-Belasan tahun yang lalu, bendera itulah yang paling ditakuti oleh kaum rimba persilatan, bahkan juga oleh penguasa-penguasa dinasti Beng kala itu. Lalu masi ada bendera kecil berwarna coklat dengan huruf “Ma” di tengah-tengahnya, menandakan bahwa kedudukan Ma Hiong dalam Hwe-long-pang adalah pemimping Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat), salah satu dari delapan kelompok dalam Hwe-liong-pang.
Bendera Manchu dengan bendera Hwe-liong-pang hampir sama, sama-sama berwarna dasar hitam dan berlukiskan Naga. Namun naga di bendera Manchu sersisik emas, sedang naga di bendera Hwe-liong-pang berwarna merah menyala. Bendera Manchu berbentuk segitiga besar, bendera Hwe-liong-pang berbentuk segiempat. Naga memang binatang pujaan rakyat di Cina, sehingga banyak orang yang menggunakan sebagai lambang.
Perang tengah berlangsung dengan hebatnya. Garis pertempuran membentang panjang, dan disepanjang garis itu ribuan manusia bertarung dengar buasnya. Anak buah Ma Hiong dapat dikenali dari seragam mereka yang berwarna coklat, dan dengan gigihnya mereka bertahan dari musuh yang Jauh lebih banyak. Namun tak dapat dihindari bahwa setiap kali laskar Hwe-liong-pang harus terdesak surut dan membuat garis pertahanan baru di belakang garis yang ditinggalkan.
Tentara Manchu yang unggul dari segi Jumlah, menggempur bagaikan gelombang samudera. Mereka bertempur bukan hanya dengan senjata-senjata seperti pedang dan tombak, tapi juga senjata jarak jauh yang dilontarkan dari barisan seperti panah, lembing dan bahkan batu-batu sebesar kepala orang yang dilontarkan dengan pelenting dari bambu.
Pihak laskar Hwe-liong-pang Bertahan di bawah pimpinan wakil Ma Hiong yang bernama Cho Bun-liong. Ia adalah seorang lelaki berusia empat-puluh tahun, bertubuh tegap besar. Berpakaian coklat seperti orang Hwe-liong-pang lainnya, namun dilapisi dengan rompi kulit harimau tutul. Senjatanya ialah sehelai perisai besi di tangan kiri dan trisula pendek di tangan kanan. Dengan kemahiran memainkan senjatanya itulah biasanya Cho Bun-liong menjadi seorang tokoh yang sulit ketemu tandingannya di daerah Hun-lam itu.
Tapi kali ini Cho Bun-liong telah bertemu dengan seorang lawan yangg setimpal. Panglima bawahan Bu San Kui yang bernama Yang Kang itu juga seorang yang berperawakan tinggi tegap dengan senjatanya sebatang golok kon-to yang berat. Dengan tenaganya yang luar biasa Itu Yang Kang sanggup memutar senjatanya yang berat itu begitu kencangnya seolah hanya seringan bambu kering saja.
Begitulah kedua "raksasa" itu bertarung dengar, sengitnya, saling menggempur dan mendesak, benturan-benturan senjata-senjata mereka yang sama-sama terbuat dari baja pilihan itu selalu menimbulkan dentang yang memekakkan telinga. Baik tentara Manchu maupun laskar Hwe-liong-pang tidak ada yang berani mencampuri perang tanding kedua orang itu, salah-salah kepala bisa copot.
Tapi meskipun secara pribadi Cho Bun-liong tidak kalah dari Yang Kang, mau tidak mau ia harus selalu bergerak mundur, sebab mengikuti gerakar. laskarnya yang terus terdesak oleh tentara Manchu. Jika tidak ikut mundur, Cho Bun-liong akan terpisah dari laskarnya dan saat itu ia akan terkurung di dalam pasukan musuh.
Sementara itu, Ma Hiong dan rombongannya telah mendekati medan perang, dan mereka melihat bahwa laskar Hwe-liong-pang terus menerus terdesak surut. Bendera Hwe-liong-pang yang berkibar-kibar Itu kini kelihatannya seperti lambaian tangan seeorang yang hampir tenggelam di tengah laut.
Sementara pasukan Manchu mulai menebar ke samping kiri dan kanan, membentuk semacam jepit raksasa yang akan menjepit lascar Hwe-liong-pang dari seagala arah. Jika nantinya ujung-ujung pasukan Manchu itu bertaut dan membentuk sebuat gelang besar, maka takkan ada kesempatan lolos lagi bagi orang-orang Hwe-Liong-pang. Mereka akan tertumpas, meskipun di pihak pasukan Manchu tentu jatuh korban cukup banyak pula.
Dengan darah yang mendidih Ma Hiong melihat bagaimana laskarnya semakin terjepit. Maka teriaknya. “Ini tidak boleh terjadi. Kita segara terjun ke arena! Mati hidup kita tanggung bersama saudara-saudara kita.”
“Aku punya sedikit pertimbangan saudara Ma...!” Kata Pangeran.
“Pertimbangan apa, saudara Cu?”
"Jika kita berjumlah sedikit ini nekad masuk ke dalam jaring pasukan musuh, sama dengan kupu-kupu menubruk api. Kita semua mati, laskarmu pun tidak bakal tertolong. Sedang kita sebetulnya memiliki suatu kesempatan untuk mempengaruhi medan bagi keuntungan kita."
"Kesempatan bagaimana?"
"Tentara Manchu berjalan kaki semuanya, sedang kita biarpun sedikit tetapi berkuda. Berarti kita bisa bergerak lebih cepat dari mereka. Kita akan menyerang musuh tapi justru dari bagian luar lingkaran kepungan mereka alias dari belakang, namun sasaran kita harus berpindah-pindah. Diharapkan gangguan pada bagian belakang pasukan musuh akan membantu mengurangi tekanan kepada laskarmu."
"Bagaimana jika musuh memanah kuda kita?"
"Jika kita diam tak bergerak, kita dipanah. Tapi Jika kita bergerak cepat, kemungkinan terkena panah akan sulit sekali."
Dalam hal ilmu silat memang Ma Hiong lebih unggul dari Pangeran, namun urusan siasat perang semacam itu Pangeranlah yang lebih tinggi ilmunya dari Ma Hiong. Maka dengan tulus Ma Hiong mengacungkan jempolnya kepada Pangeran sambil memuji, "Siasat yang hebat. Saudara, hari ini aku banyak belajar daripadamul"
"Pujian itu jangan ditujukan kepadaku, sebab akupun cuma menyetirnya dari kitab-kitab kuno ilmu perang. Siasat yang sangat mendasar itu hanya dirumuskan dalam satu kalimat, yang lebih kecil harus lebih lincah bergerak. Sederhana bukan?"
"Baik, kita jalankan sekarang." Ma Hiong segera mengganti senjata jit-goat-siang-lunnya yang dirasakan terlalu pendek untuk hertempuran berkuda, diganti dengan sebatang golok tan-to. "Kalian sudah siap?" tanya Ma Hiong kepada anak buahnya.
"Kami siap!" sambut anak buahnya serempak.
Namun Ma Hiong masih merasa perlu perpesan sekali lagi, "Ingat. Kita akan berganti-ganti sasaran dan tidak terpancang kepada satu titik saja. Jika kita hendak berpindah tempat dan masih ada di antara kita yang masih terikat lawannya, temannya yang lain harus membantu membebaskannya agar gerakan kita tidak terhambat. Kita akan bertempur mati-matian, tetapi bukan bunuh diri beramai-ramai, Jelas?"
Ketika anak buahnya menyataka paham, Ma Hiong segera memutar goloknya dan berteriak, "Serang sekarang!"
Maka berderaplah kuda-kuda tegar itu dengan lelaki-lelaki garang di atas punggungnya masing-masing, menyerbu ke barisan belakang tentara Manchu. Ma Hiong dan Pangeran Cu Hin-yang menempatkan diri paling depan sebagai ujung tombak dari serangan kejutan itu. Sementara itu kedua orang kepercayaan Ma Hiong telah membagi diri.
Oh Kim Cian yang bersenjata toya baja ce-bi-kun itu akan tetap mendampingi Ma Hiong, sementara yap Kim-heng yang bersenjata golok koan-to itu akan mendamping Pangerang, Meskipun orang-orang dinasti Beng pernah menjadi musuh mereka, tapi kali ini mereka menganggap Pangerang sebagai tamu dan sahabat Hwe-liong-pang yang keselamatannya pantas diperhatikan.
Serangan Ma Hiong dan kawar-kawannya itu memang terlalu mengejutkan tentara Manchu yang tak menduga akan diserang dari belakang itu. Prajurit-prajurit yang ada di bagian belakang menoleh ketika mendengar derap kak-kuda, dan alangkah terkejutnya mereka sejumlah orang berkuda menerjang mereka.
Beberapa prajurti segera melemparkan lembing dan anak panah mereka, namun arahnya ngawur sehingga lembing-lembing dan panah-panah itu cuma berjatuhan di rerumputan, dan sama sekali tidak mengurangi laju sejumlah kecil orang-orang berkuda yang menerjang dengan beraninya itu.
Ma Hiong yang paling dulu tiba di barisan musuh, segera berteriak garang sambil memutar goloknya seperti baling-baling di atas kudanya, kemudian Pangeran Cu Hin-yang juga berbuat serupa. Maka kacau-balaulah pasukan di bagian itu. Tak ada prajurit musuh yang cukup siap untuk menghadapi amukan kuda-kuda dan penunggang-penunggangnya yang bagaikan kesurupan setan itu. Perwira-perwira musuh yang berkepandaian cukup tinggi agaknya telah dikerahkan semua ke bagian depan, sehingga yang di bagian belakang tinggal prajurit-prajurit biasa saja.
Namun sebagai tentara yang terlatih, pasukan Manchu itupun segera mengatur diri. Beberapa perwira rendahan mencoba mengatur teman-temannya dengan berteriak-teriak, "Tetap tenang! Musuh hanya sedikit! Kait kaki-kaki kuda mereka dengan senjata bertangkai panjang, lainnya lepaskan lembing dan anak panah! Terus kepung mereka!" Ia tidak sempat melanjutkan kalimatnya sebab lehernya tersambar oleh pedang Pangeran Cu Hin-yang yang bertempur dengan gagahnya di atas punggung kuda....
Sebaliknya orang-orang Hwe-liong-pang juga menggerutu, "Kami yang selama ini cukup disegani oleh prajurit-prajurit Bu San-kui, haruskah malam ini dikalahkan oleh bangsat-bangsat berkuncir ini?"
Lalu senjata-senjatapun berbenturan makin keras, sumpah serapah dan caci-maki terdengar semakin nyaring, bercampur aduk dengan teriakan dari mereka yang terkena senjata. Suasana makin panas. Tidak peduli pihak yang menamakan diri 'pembebas tanah air' atau 'pengemban titah Kaisar demi ketertiban' Jika sudah dirasuki kemarahan, maka pengendalian diripun semakin kabur dan sifat-sifat merekapun semakin mendekati sifat binatang buas yang tak berakal budi.
Jika ketangkasan kedua belah pihak seimbang, maka segi jumlah ikut menentukan. Dalam hal jumlah ini, orang-orang Hwe-liong-pang datang dengan jumlah yang lebih banyak, sehingga anak buah Pakkiong Liong sedikit demi sedikit mulai terdesak. Namun untuk itu orang-orang Hwe-liong-pang juga harus memeras keringat dan bahkan mencucurkan darah.
Beberapa orang Hwe-liong-pang telah menerobos masuk ke dalam kuil dengan maksud membantu pemimpin-pemimpin mereka, tapi beberapa prajurit juga menyusul masuk, sehingga perkelahian antara anak buah itu-pun sebagian telah berpindah ke dalam kuil.
Sementara itu Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya mulai merasakan betapa beratnya melawan gabungan kekuatan antara orang-orang dinasti Beng dengan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Siau-lio-cla Ma Hiong bersama dua orang kepercayaannya Itu ternyata cukup tangguh untuk mempengaruhi keseimbangan pertempuran.
Pakkiong Liong tidak dapat lagi bertempur segarang ketika datangnya tadi, sebab luka luar dan luka dalamnya terus-menerus mengganggunya. Han Yong-kim dengan pedang samurainya kini ditekan mundur terus oleh Ma Hiong yang mahir dengan sepasang rodanya itu. Ha To-ji yang tadi dapat membanggakan kekerasan kulitnya terhadap ruyung-ruyung Kongsun Hui, kini harus hati-hati sebab lawannya bukan bersenjata tumpul melainkan tajam, yaitu pengawal Ma Hiong yang bersenjata golok koan-to itu.
Tokko Yan menghadapi dua lawan sekaligus, yaitu pengikut Pangeran yang bersenjata tombak panjang, dan pengikut Ma Hiong yang bersenjata toya baja ce-bi-kun. Jika satu lawan satu, kedua orang itu bukan tandingan Tokko Yan, tapi jika maju berbareng maka Tokko Yan yang terdesak. Pedang lengkungnya yang dibanggakan itu diputar serapat perisai untuk menjaga agar kulit dagingnya tidak robek oleh ujung tombak, dan tulang-tulangnya tidak retak oleh toya baja yang menyambar-nyambar dengan ganas itu.
Le Tong-bun si murid Hong-sa-pay yang berjulukan Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi) karena lincahnya itu, bertempur seimbang melawan Kong-sun Hui yang kokoh kuat seperti batu karang. Inilah pertandingan antara kelincahan melawan kekuatan. Kong sun Hui memang kalah lincah dan tidak banyak bergerak, namun jika menyerang, ia seperti gajah gila.
Kini Pakkiong Liong memperhitungkan bahwa pihaknya tidak punya Kesempatan lagi untuk memenangkan pertempuran, namun masih ada kesempatan untuk meloloskan diri sebelum hancur di situ. Memang di luar perhitungannya bahwa orang-orang Hwe-liong-apng yang dulunya musuh Kerajaan Beng itu sekarang malahan membantu orang-orang bekas Kerajaan Beng.
Akhirnya Pakkiong Liong memutuskan untuk menggunakan lagi ilmu Hwe-liong-sin-kangnya, meskipun ia sadar bahwa penggunaan ilmu itu akan memperberat luka dalamnya. Tapi Pakkiong Liong tidak melihat cara lain. Orang-orangnya harus diselamatkan dari kehancuran mutlak. Ia yakin, asal anak buahnya sudah berada diatas kuda, sulitlah bagi para pemberontak untuk mengejar mereka.
Sebab anak buahnya menunggangi kuda-kuda gurun yang tegar-tegar, lebih baik dari kuda-kuda yang ditunggangi para pemberontak itu. Bahkan Pakkiong Liong berharap bias kabur sambil membawa Pangeran Cu Hin yang merupakan buruan penting yang sangat dibutuhkan oleh Peng-po-ceng-tong (Kementrian Perang) di ibukota Kerajaan itu.
Setelah berpikir demikian, maka Pakkiong Liong tiba-tiba membentak keras dan dari tubuh maupun tangannyapun terpancar hawa udara yang panas luar biasa. Untuk member kejutan kepada lawan, Pakkiong Lon langsung saja menerapkan ilmunya itu pada tingkat tertinggi, yaitu tingkat ke delapan, tanpa melaiui tingkat-tingkat sebelumnya.
Maka Pangeran Cu Hin-yang tiba-tiba merasa dirinya kejeblos ke neraka. Dengan tergesa-gesa ia meloncat mundur agar tubuhnya tidak hangus oleh ilmu Panglima Manchu yang dahsyat itu. Pakkiong Liong mendesak maju, pedang dan telapak kanannya berkelebatan membingungkan musuh. Ia tidak mau kehilangan kesempatan sedetikpun.
Suatu saat sang Pangeran benar-benar terkurung dan mati langkah, maka Pakkiong Liong mengulurkan jari-jari tangannya bagaikan cengkeraman seekor naga ke arah pundak pangeran. Yang diincarnya adalah jalan darah koh-cing‐hiat di pundak yang dapat melumpuhkan lawan tanpa membunuhnya. Ada dua keuntungan jika Pangeran dapat ditangkap hidup-hidup.
Pertama dapat dijadikan sandera untuk menghentikan perrlawanan orang-orang dinasti Beng, meskipun kegunaan sandera itu belum tentu ampuh kepada orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Itu. Ke dua, dari mulut Pangeran bisa diperas keterangan sebanyak-banyaknya tentang sebuah gerakan bawah tanah penentang Manchu yang menamakan diri Jit-goat-pang (Perkumpulan Matahari dan Rembulan) yang bermaksud menegakkan kembali dinasti Beng.
Pangeran adalah orang kedua alias wakil pemimpin dari gerakan itu, dan orang pertamanya adalah juga seorang bangsawan Kerajaan Beng bernama Pangeran Cu Leng-ong yang dengan Pangeran Cu Hin-yang adalah kakak beradik seayah lain ibu. Sama-sama anak Kaisar ceng yang dilahirkan dari selir-selirnya.
Kini Pangeran Cu Hin yang ibarat ikan dalam keranjang, udara panas yang mengurungnya telah membuatnya sesak dan tubuhnya setengah lumpuh. Saat itulah hampir bersamaan waktunya kedua tangan Pakkiong Liong bergerak. Pedang di tangan kiri memukul pedang Pangeran begitu kerasnya sehingga jatuh ke tanah, sementara tangan kanannya menekan pundak Pangeran tepat pada jalan darah pelumpuhnya.
Tapi pada saat Pakkiong Liong hampir berhasil, tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Rupanya ia begitu bersemangat mengerahkan tenaga sehingga luka dalamnya terasa menyakitinya lagi. Namun dengan mengertak gigi Pakkiong-Liong meneruskan gerakannya.
Sementara itu, pengikut Pangeran yang bersenjata tombak panjang dan tengah melawan Tokko yan itu, melihat keadaan yang sangat mengancam junjungannya itu. Tertangkapnya Pangeran berarti rahasa-rahasia gerakan bawah tanah Jit-goat-pang akan terancam bocor, maka pengikut Pangeran itu menjadi nekad demi mencegah tertangkapnya Pangeran itu oleh musuh. Tanpa mempedulikan lawannya sendiri, ia telah melemparkan tombaknya sekuat tenaga ke arah tubuh Pakkiong Liong bagian belakang.
Pakkiong Liong yang hampir berhasil meringkus korbannya itu, terkejut ketika mendengar desiran angin deras mengancam punggungnya. Cepat ia memiringkan tubuh sambil menamparkan telapak tangannya ke tangkai tombak, namun tamparannya begitu tergesa-gesa sehingga meskipun ujung tombak berhasil disingkirkan, tapi pangkal tangkainya yang terbuat dari kayu rendaman arak itu sempat mengenai dahi Pakkiong Liong dan membuat panglima itu berkunang-kunang matanya.
Waktu yang hanya sejenak pada saat Pakkiong Liong nanar itupun telah dimanfaatkan oleh Pangeran untuk meloncat mundur sejauh-jauhnya menjauhi musuh yang sangat menakutkan itu. Sementara itu, pengikut Pangeran yang telah melemparkan tombaknya itu juga telah membayar mahal untuk tindakannya tadi. Ketika ia melemparkan tombaknya, seluruh perhatiannya tertuju kepada keselamatan junjungannya, sedang keselamatan dirinya sendiri dilupakannya.
Padahal di dekatnya masih ada seorang musuh yang buas, Tokko Yan. Ketika orang itu melemparkan tombaknya, maka Tokko Yan telah meemanfaatkan kesempatan itu untuk menyergap musuhnya bagaikan serigala kelaparan, pedangnya terayun mendatar setinggi pinggang dan tanpa ampun lagi pengikut Pangeran itupun robot dengan lambung yang robek.
Namun robohnya pengikut Pargeran itu segera disusul dengan robohnva Tokko Yan sendiri. Hampir bersamaan dengan pedang Tokko Yan mengenai lambung korbannya, maka tengkuk Tokko Yan sendiri terhantam secara telak oleh toya baja ce-bi-kun dari pengawal Ma Hiong dan langsung mematahkan tulang leher perwira Manchu itu. Demikianlah dalam waktu yang hampir bersamaan sudah dua nyawa lagi melayang karena pertentangan yang tak habis-habisnya itu.
Pakklong Liong melihat semuanya itu dengan darah yang mendidih, seorang perwira terbaiknya telah gugur di depan hidungnya. Dan luka dalamnya terus saja terasa menggigit-gigit bagian dalam dadanya. Namun Pakkiong Liong sadar bahwa detik-detik mati hidup itu tidak boleh dibuang percuma, tiba-tiba saja ia telah meloncat bagaikan petir menerkam Kongsun Hui. Ternyata Pakkiong Liong mengganti sasarannya sebab Pangeran kini kelihatan 'lebih waspada.'
Kini tujuan Pakkiong Liong adalah mengacau seluruh arena agar perwira-perwiranya mendapat kesempatan untuk menyelamatkan diri, sedang tentang keselamatan dirinya sendiri Pakkiong Liong kadang-kadang malah tidak ingat. Ia bukan jenis panglima yang tega mengorbankan anak buahnya demi keselamatannya sendiri, melainkan justru sering membahayakan diri sendiri demi keselamatan anak buahnya. Itu membuatnya sangat dihormati anak buahnya, sehingga setiap prajurit yang dipimpinnya akan bertempur dengan penuh semangat dan kebanggaan.
Begitu dekat dengan Kongsun Hui, langsung dihantamkannya tangan kanannya yang bagaikan menyemburkan api itu. memaksa Kongsun Hui melompat sejauh jauhnya, lalu Pakkiong Liong berkat kepada Le Tong-bun, "Bawa semua kawan-kawanmu dan anak buahmu untuk pergi dari sini secepatnya. Aku melindung kailan dari belakangi"
Le Tong-bun terkejut, sahutnya dengan perasaan yang bergolak, "Ciang kun, ini membahayakan dirimu..."
"Jangan membantah perintah Panglima!" bentak Pakkiong Liong. "Cepat!"
Le Tong-bun tidak berani membantah lagi. la tahu betapa keras watak Panglimanya sehingga Jika sudah punya niat tak akan mundur lagi. Lebih dulu teman-temannya harus dibebaskan dari libatan lawannya masing-masing. Lebih dulu ia membantu Ha To-Ji mendesak pengikut Ma Hiong yang bersenjata golok koan-to itu sambil berseru, "Saudara Ha, perintah Ciangkun kita harus segera mundur!"
Ha To-Ji menggeram, "Sebentar lagi. Kupatahkan dulu tulang si cecunguk Hwe-liong-pang ini sebagai pengganti nyawa Tokko Yan."
"Perintah ciangkun sekarang juga!'
Demikianlah cara perwira-perwira Pakklong Liong dalam gerakan mundurnya. Arena seolah-olah jadi kacau sebab perwira-perwira itu tiba-tiba berlarian kesana kemari berganti-ganti lawan seperti orang kebingungan, namun lawanpun menjadi ikut kacau. Dan dalam keributan itulah Pakkiong Liong seolah "beterbangan" kian kemari untuk menyebarkan pukulan hawa panasnya yang sangat ditakuti lawan itu.
Memang, di antara orang-orang dari segala pihak di tempat itu, Pakklong Liong yang ilmunya paling tinggi. Terjangan hawa panas pukulannya itu tak seorangpun berani menahannya, kecuali menghindarinya. Dengan demikian semua musuh-musuhnya seolah terpusat perhatiannya kepada Pakklong Liong saja, dan dengan demikian perwira-perwiranya dan prajurit-prajuritnyapun mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat itu.
Kini Pangeran Cu Hin-yang, Kong-sun Hui, Ma Hiong serta dua orang pengawalnya itupun memusatkan perlawanan mereka kepada Pakkiong Liong yang mengamuk hebat bagaikan harimau terluka itu. Kadang-kadang gerakannya bagaikan naga sakti bermain-main di atas mega, sementara hawa panasnya bagaikan semburan api dari mulut sang naga.
Sementara itu Ma Hiong dan empat orang lainnya telah mengepung Pakkiong Liong dengan rapatnya. Senjatar-senjata mereka berhamburan bagaikan hujan lebat mengarah seluruh tubut Pakkiong Liong. Betapa kagumnya Ma Hiong dan lain lainnya melihat keperkasaan Pakkiong Liong dan sekaligus juga sikap jantannya yang menyelamatkan anak buannya lebih dulu dari dirinya sendiri itu, namun Ma Hiong dan lain-lainnya sudah bertekad untuk membunuh Pakkiong Liong malam itu Juga.
Pakkiong Liong adalah hantu yang paling menakutkan dari kaum pembebasan tanah air, pasukan yang dipimpinnyapun merupakan pasukan maut yang menggilas hancur musuhnya di manapun juga. Maka jika Pak-kiong Liong dapat dibunuh dan beritanya disebar luaskan, akan meningkatkan semangat para pejuang pembebas tanah air, dan sebaliknya melunturkan semangat pasukan Manchu.
Tapi membunuh Pakklong Liong tidaklah gampang, meskipun lima lawan satu dan yang satu itupun sudah luka. Tubuh Pakklong Liong yang bergerak kian kemari dalam kepungan lawan itu ibarat segumpal bara raksasa yang amat panas, dan musuh harus sabar menunggu sampai "bara" itu padam sendirinya.
Pakkiong Liong juga tidak menunggu dirinya kehabisan tenaga dalam, suatu saat ketika ia telah memukul mundur musuh-musuhnya, ia mendapat kesempatatan untuk meloncat ke atas tembok halaman kuil. Lawan-lawannya tidak sempat mencegahnya karena gerakan Pak-kiong Liong begitu cepat.
"Jangan harap bisa lolos!" teriak Pakkiong Liong kepada Pangeran "Suatu ketika aku pasti akan menghancurkan gerakan Jit-goat-pang mu itu!"
Sementara Ma Hiong tidak membiarkan Pakkiong Liong lagi begitu saja di depan hidungnya. Sekuat tenaga ia melemparkan sepasang gelangnya kearah kepala dan punggung Pakkiong Liong sebelum menghilang di balik tembok. Sepasang senjata itu meluncur deras bagaikan bintang beralih berkejaran di angkasa, sementara deru anginnya menandakan betapa hebatnya tenaga Ma Hiong.
Pakkiong Liong merasa ada serangan dari belakang, namun rasa nyeri di dadanya tiba-tiba terasa lagi sehingga gerakannya menjadi agak lambat. Dia hanya sempat, membungkuk untuk menghindari yang satu lagi, yang menghantam punggung Pakkiong Liong sehingga Pakkiong Liong memuntahkan segumpal darah. Meskipun demikian, dengan mengeraskan hatinya Pakkiong Liong berhasil meloncat turun ke luar tembok meskipun dengan agak terhuyung-huyung.
Dengan langkah limbung ia masih sempat menghampiri kudanya yang tertambat di sebuah pohon di samping kuil, dan kemudian meloncat ke punggung kudanya. Dua orang anggota Hwe-liong-pang yang ada di luar kuil telah mencoba merintanginya, tapi dengan sekali kibasan tangan saja maka kedua orang itu terjungkal dengan gigi rontok. Seekor naga tetap berbahaya meskipun ia terluka.
Dalam pada itu, orang-orang yang di dalam kuil telah berhamburan keluar, ada yang meloncati tembok, dan yang ilmu meringankan tubuhnya agak jelek lebih suka lewat pintu saja. Mereka segera berloncatan ke punggung kudanya masing-masing untuk mencoba mengejar Pakkiong Liong. Tapi terryata kuda-kuda mereka tak sanggup mengejar kuda Pakkiong Liong yang berasa dari gurun itu.
Pakkiong Liong dalam keadaan setengah sadar memacu kudanya. Sebenarnya ia ingin mengerahkan kudanya ke kota Kunbeng, Ibukota wilayah Hunlam, di mana di sana terdapat sebuah pangkalan pasukan pemerintah yang cukup kuat. Tapi tubuh Pakkiong Liong telah begitu lemah sehingga tak dapat lagi mengendalikan kudanya yang lari bagaikan dikejar setan itu.
Kota Kun-beng ada di timur, namun kuda itu malah lari ke selatan, makin jauh menyusup ke padang ilalang yang maha luas dan gelap gulita itu. Bulan tidak nampak sepotong kecilpun, sementara bintang-bintang yang jumlahnya hanya sedikit itu tidak dapat memberikan cahayanya yang berarti.
Ketika kuda dan penungangnya itu mendekati sebuah hutan, tiba-tiba kuda Pakkiohg Liong menjadi gelisah. Mula-mula hanya mendengus-dengus sambil menggerak-gerakkan kepalanya, lama-lama meringkik sambil melonjak-lonjak dengan hebatnya. Pakkiong Liong menjadi gugup, Jika sampai ia terbanting dan kemudian terinjak kaki kuda, mampuslah ia. Sekuat tenaga ia menjepitkan kakinya ke perut kuda dan menepuk-nepuk leher binatang itu untuk mencoba menenangkannya.
Tapi rupanya memang ada sesuatu yang sedang ditakuti oleh binatang itu, sehingga ia bukan semakin tenang tapi malahan semakin keras melonjak-lonjak, sampai akhirnya Pakkiong Liong yang sudah lemah itu benar-benar melorot dari punggung kudanya. Lalu kuda itu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tuannya.
Pakkiong Liong menggerutu karena nasibnya yang sial itu. Sudah tugasnya gagal, kini mengalami hal yang tidak enak lagi. Di tengah padang liar tanpa penghuni, terluka, tanpa bekal makanan dan tanpa kuda. Ini sama saja dengan mati secara perlahan-lahan. Ia mencoba bersuit keras untuk memanggil kudanya, tapi sia-sia, malahan dadanya bertambah sakit dan lagi-lagi segumpal darah hitam terlontar dari mulutnya.
Sesaat kemudian muncullah jawaban akan tingkah laku kudanya yang aneh tadi. Terdengar ilalang disekitarnya gemeresak, lalu ada suara menggeram yang ribut dan menguik-uik, nampak titik-titik kecil berwarna merah mendekatinya dari segala arah. Segerombolan serigala liar yang tak terhitung jumlahnya! Kelompok binatang yang bahkan lebih ditakuti dari seekor harimau yang paling besar sekalipun.
Melihat itu, Pakkiong Liong mengeluh dalam hatinya. Musuh-musuhnya kali ini jauh lebih sulit diladeni dari musuh-musuhnya yang di kuil rusak tadi. Serigala-serigala ini tidak mengerti ilmu silat, namun mereka akan menerjang, menggigit, mencakar dan berbuat apa saja untuk membunuh lawan mereka. Apalagi jumlah mereka banyak sekali.
"Celakalah aku sekarang," piker Pakkiong Liong dengan perasaan sedih. "Aku seorang Panglima terkenal, di medan perangpun musuh-musuhku menggigil mendengar namaku. Haruskah kini dagingku menjadi santapan hewan-hewan bangsat di tempat terpencil ini?"
Pakkiong Liong mengambil pisau belati dari balik bajunya. Sementara itu daun ilalang telah tersibak dan muncullah moncong-moncong yang runcing, mata-mata yang merah liar, taring-taring yang putih tajam dan lidah yang terjulur meneteskan air liur. Semuanya siap merobek-robek tubuh Panglima Manchu yang digiring oleh nasib buruknya sehingga sampai ke tempat itu.
Seekor serigala mencoba menerkam lehernya, tapi hewan itu segera terjungkal oleh sabetan belati di tangan Pakkiong Liong. Namun serigala-serigala lainnyapun segera berebutan menerkam dari segala arah, mati-matian Pakkiong Liong menggerak-gerakkan pisau belatinya, beberapa ekor terbunuh, tapi jumlah hewan-hewan itu begitu banyak dan tanpa kenal takut terus menyerang, sehingga Pakkiong Liong kelelahan juga. Napasnya mulai sesak, matanya berkunang-kunang dan isi dadanya rasanya bagaikan ditusuk ratusarn jarum tajam.
Pakkiong Liong hampir saja pingsan ketika seekor serigala besar berhasil menggigit mulut luka bekas bacokan golok Tio Tong-hai. Pakkiong Liong masih mencoba menggerakkan pisaunya, tapi tenaganya hampir habis dan pisaunya tidak berhasil menembus tubuh serigala itu, hanya melukainya yang malah membuat hewan itu makin buas.
Sementara beberapa ekor telah menubruk pula dan menggigit lengan, paha, leher dan sebagainya. Andaikata tenaga Pakkiong Liong masih utuh, cukup dengan menerapkan Ilmu Hwe-liong-sin-kangnya maka seriga-serigala itu tentu akan menyingkir sendiri karena hawa panasnya. Tapi itu tidak mungkin dilakukannya sekarang.
Pada saat Pakkiong Liong sudah hampir kehabisan daya perlawanannya, tiba-tiba sebutir batu sebesar telur telah meluncur dari belakang kerumunan serigala itu, dan batu itu tepat menghantam salah seekor serigala yang menggigit Pakkiong Liong. Serigala itu terjungkal dengan tempurung kepala yang pecah.
Ternyata kemudian lemparan batu-batu itu semakin gencar seperti hujan, dan setiap batu tidak ada yang meleset untuk meremukkan tempurung kepala serigala-serigala itu, tapi tak sedikit-pun mengenai Pakkiong Liong. Keruan serigala-serigala itu menjadi kalang kabut. Dan ketika si pelempar itu agaknya kehabisan batu-batu, maka iapun berganti "senjata", yaitu ranting-ranting kayu kering. Ternyata ranting-ranting yang rapuh itu seolah berubah menjadi lembing-lembing berujung besi yang sanggup menembus tubuh serigala-serigala yang berkulit liat itu.
"Iblis-iblis kecil, kapan kalian akan berhenti mengganggu manusia, terdengar teriakan seseorang dari dalam hutan. Mendengar suaranya saja Pakkiong Liong tahu bahwa yang berteriak itu tentu seorang muda yang umurnya mungkin sebaya dengan dirinya.
Tapi yang mengagumkan Pakkiong Liong adalah akibat dari lemparan-lemparan batu maupun kayu dari orang yang bersuara itu. Tepi hutan masih jauh namun lemparan orang itu mengandung kekuatan, kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Setiap butir batu telah meremukkan kepala seekor serigala, setiap batang kayu menembus perut seekor serigala, tak ada batu maupun kayu yang mengenai tubuh Pakkiong Liong padahal Pakkiong Liong ada ditengah kerumunan hewan liar itu.
Diam-diam Pakkiong Liong menaksir bahwa ilmu sang penolong itu tentu setingkat dengan dirinya sendiri apabila la tidak terluka. Sedang di antara perwiranya tidak ada yang selihai itu, bahkan sulit dicari bandingannya di kalangan para panglima sekalipun.
Pakkiong Liong menikmati "pertunjukan" yang masih berlangsung di depan hidungnya itu sambil berpikir, "Di kalangan persilatan, tokoh selihai ini jumlahnya tidak melebihi sebelah jari tangan". Dan ketika kawanan serigala bubar ketakutan dan "tokoh lihai" ini muncul dari tepi hutan, maka tercenganglah Pakkiong Liong melihat tampang si tokoh lihai yang telah menolongnya ini.
Ia hanya seorang anak muda sebaya Pakkiong Liong yang bahkan bertampang orang gunung asli. Kulitnya agak coklat seperti umumnya kulit orang daerah Hun-lam di mana matahari bersinar lebih panas, wajahnya cukup tampan dengan berewok lembut di sekitar rahangnya. Matanya bersinar lunak, hangat, tanpa kecurigaan, tanpa permusuhan dan bahkan siap menjalin persahabatan dengan siapapun juga. Tampangnya mirip orang suku Hui di bagian barat daratan Cina.
Pakaiannyapun sederhana. Baju pendek dan celana sependek lutut yang terbuat dari bahan katun abu-abu yang murahan, bagian dadanya agak tersingkap sehingga nampaklah dadanya yang berotot tegap. Pinggangnya yang ramping diikat dengan tali rami untuk menyelipkan sebatang kampak pendek pemotong kayu. Kakinya beralaska sandal kulit buatan sendiri yang diberi tali dan diikatkan silang menyilang sampai ke betisnya.
Pakkiong Liong memperhatikan penolongnya yang tengah melangkah mendekatinya sambil menimbang-nimbang dalam hati, "Sungguh tak terduga orang bertampang seperti ini ternyata memilik ilmu yang begitu tinggi. Jika orang semacam inipun menjadi anggota yang menamakan diri "pembebas tanah air" itu, aku benar-benar akan mendapat lawan berat. Tapi mudah-mudahan bukan anggota gerombolan itu". Karena menyadari kelemahan tubuhnya, maka Pakkiong Liong hanya duduk di tanah, memasrahkan nasibnya sepenuhnya ke tangan orang gunung yang belum diketahui kawan atau lawan itu.
Namun ternyata sikap anak gunung itu baik. Ia berjongkok di dekat tubuh Pakkiong Liong sambil bertanya, "Kau terluka parah agaknya. Mari kubawa ke gubukku untuk diobati lebih baik..."
Dengan wajah sangsi Pakkiong Liong menatap wajah orang itu, katanya, “Saudara, sebelum menolong aku, kau harus lebih dulu tahu siapa yang kau tolong ini. Meskipun pakaianku robek-robek tapi kau tentu masih mengenal bahwa ini adalah seragam tentara Manchu. Jika aku tinggal di tempatmu, apakah kau tidak akan mendapat kesulitan karena aku seorang Manchu?"
"Apa bedanya Manchu dan bukan Manchu?"
Pakkiong Liong merasa betapa lugunya ucapan orang gunung itu. Katanya lagi, "Saudara benar-benar seorang yang berjiwa lapang selapang samudera. Tapi orang-orang yang menamakan diri Pembebas Tanah Air itu tidak akan berjiwa selapang saudara. Jika mereka tahu aku ada di tempatmu, mereka akan menyulitkan kau dan keluargamu."
Tapi orang gunung itu menjawab dengan mantap, "Saling menolong sesama manusia adalah perintah Tuhan, seoran Kaisar pun tidak dapat mengubah perintah agung itu. Apakah karena kita berbeda keturunan lalu dilarang untuk saling menolong? Dan aku harus berpihak kepada serigala-serigala tadi itu?"
Perasaan Pakkiong Liong terguncang mendengar jawaban macam itu. "Pendirianmu sangat kokoh, saudara. Aku berterima-kasih akan kau obati, tetapi aku akan sangat menyesali diriku jika kau mendapat kesulitan...."
"Sungguh aneh manusia ini, kenapa justru mendapat kesulitan jika berbuat baik kepada sesamanya?" potong orang gunung itu. "Kau jangan pedulikan hal-hal lain lagi. Aku akan berbuat sesuatu menurut suara hatiku, dan tidak takut kesulitan apapun."
"Bukan main," Pakkiong Liong merasa kagum di dalam hatinya. "Orang ini cukup berharga untuk menjadi seorang sahabatku. Tegas, jujur, lapang dada dan berilmu tinggi."
Sahabat dalam pengertian Pakkion Liong bukan sekedar kenalan untuk saling menguntungkan satu sama lain dan kemudian saling mencampakkan setelah tidak ada keuntungan lagi. Bukan seperti itu. "Sahabat' macam ini Pakkiong Liong sudah punya cukup banyak di Ibukota Kerajaan dan bahkan sudah muak. Yang dibutuhkan adalah sahabat sejati yang bisa diajak membagi kedukaan dan kegembiraan, saling mengasihi dan saling membela, itulah yang belum dipunyai oleh Pakkiong Liong. Namun malam ini tiba-tiba Pakkiong Liong menemukannya. Di tengah-tengah padang sunyi, dikelilingi bangkai-bangkai serigala yang berbau anyir, dalam keadaan luka-luka parah.
Maka tersenyumlah Pakkiong Liong, "Kalau begitu, sahabat, kau boleh berbuat sesuka hati atas diriku."
Anak muda gunung itupun tersenyum pula, lalu jari-jarinya dengan cekat menotok beberapa jalan darah penting untuk menghentikan mengalirnya darah. Lalu dari sebuah kantong kecil pinggangnya ia mengeluarkan beberapa butiran obat yang berwarna coklat seperti tanah, diremasnya dengan tangan sehingga hancur dan ditaburkannya ke mulut luka-luka Pakkiong Liong. Sesekali Pakkiong Liong meringis kesakitan karena obat itu menimbulkan rasa panas dan pedih, tapi makin lama makin sejuk dan tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya.
Pakkiong Liong masih setengah sadar ketika merasa tubuhnya diangkat oleh orang itu, dan mendengar orang itu berkata, "Obat luka buatan guruku ini memang mengandung obat tidur yang dapat meredakan rasa sakit. Tetapi kau membutuhkan pengobatan yang lebih cermat lagi. Kau akan kugednong ke gubukku di lereng Gunung Tiam-Jong-san sana.”
"Terserah kepadamu, sahabat," sahut Pakkiong Liong sambil menguap lebar-lebar. "Siapa namamu, sahabat?"
"Aku she Tong, bernama Lam-hou."
"Lam-hou? Nama yang bagus. Kau tahu artinya?"
"Kata ibuku yang memberikan nama ini, kelak aku harus menjadi seorang pendekar terkenal seperti mendiang ayahku, maka ketika aku lahir di wilayah selatan ini, aku diberinya nama Lam-hou. Artinya Harimau dari Selatan."
Tiba-tiba Pakkiong Liong tertawa, katanya, "Harimau dari Selatan? Bagus sekali. Aku sendiri sering disebut sebagai Naga dari Utara. Inikah yang disebut Jodoh?"
Sebenarnya Pakkiong Liong masih ingin bercakap-cakap lagi, namun pelupuk matanya terasa semakin berat, ia tak dapat lagi mempertahankan kesadarannya dan akhirnya ia tertidur sama sekali dalam gendongan Tong Lam-hou. Seperti seorang bayi di gendongan.
Sementara itu Tong Lam-hou telah melangkah semakin lama semakin cepat sampai sepasang kaki itu seolah-olah tidak menyentuh tanah lagi melainkan meluncur pesat. Kemudian ketika mendaki lereng-lereng Gunung Tiam-jong-san yang licin sehabis tersiram hujan itu, Tong Lam-hou meloncat-loncat dengan enaknya seolah ada di tanah lapang saja dan tidak membawa beban sedikitpun. Akhirnya tibalah ia di depan gubuknya.
Sinar api memancar keluar dari sela-sela pintu, dan Tong Lam-hou berteriak, "Ibu, aku datang!"
* * * * * * *
IAU-LO-CIA MA HIONG dan pengikut-pengikutnya maupun Pangeran Cu Hin-yang dan pengikutnya yang tinggal Kongsun Hui seorang itu, dengan marahnya berpacu di atas punggung kudanya masing-masing untuk mencoba mengejar Pakkiong Liong. Namun gagal. Ma Hiong merasa penasaran bahwa seorang musuh yang sudah terluka bias lolos begitu saja dari depan hidungnya. Saat itu hujan sudah lama reda, malam sudah mendekati dini hari, dan kokok ayam liar bersahut-sahutan di padang ilalang sunyi itu.
"Mudah-mudahan bangsat Manchu itu diterkam macan atau serigala," geram Ma Hiong sambil mengepalkan tinjunya. "Tetapi aku harus mengakui bahwa dia seorang yang hebat juga."
Pangeran Cu Hin-yang dan Kongsui Hui yang berkuda di dekat Ma Hiong itu tidak menjawab sepatah katapun. Mereka masih sakit hati akan kematian tiga orang teman mereka di tangan Pakkiong Liong dan orang-orangnya.
Tengah Ma Hiong dan lain-lainnya itu berputar-putar di padang ilalang tanpa hasil, karena malam terlalu gelap untuk melacak jejak kaki kuda di tanah, maka tiba-tiba di sebelah barat terdengar suara letusan, dan udara menjadi terang benderang untuk sejenak. Sebuah kembang api berwarna kucing telah terlihat di langit sebelah jarat. Cukup jauh, namun dapat disaksikan oleh Ma Hiong dan lain-lainnya.
Wajah Ma Hiong dan orang-orang-nyapun segera berubah hebat ketika nelihat kembang api di kejauhan itu. Itu adalah isyarat yang digunakan oleh sesama orang Hwe-liong-pang bahwa ada sesuatu yang gawat telah terjadi pada diri mereka. Kembang api itu berasal dari arah di mana letak markas Ma Hiong, tentu saja ia terkejut.
Untuk sesaat Ma Hiong harus menyingkirkan niatnya untuk menangkap Pakkiong Liong, markasnya harus diselamatkan lebih dulu, maka iapun segera memutar kudanya sambil berteriak kepada anak buahnya, "Kita kembali ke markas. Entah iblis dari mana yang berani menyerbu markas kita ini?"
Ketika Pangeran Cu Hin-yang dan Kongsun Hui ikut pula memutar kuda mereka searah dengan Ha Hiong dan pengikut-pengikutnya, maka Ma Hiong membentak, "He, mau ke mana kalian?"
Sahut Pangeran, "Kalian sudah menolong kami, sekarang jika kalia mengalami kesulitan kamipun akan membantu kalian."
"Hemm, kapan kami menolong kalian?" tanya Ma Hiong dengan alis berkerut dan nada pertanyaannyapun ketus.
Pangeran menjadi heran melihat sikap itu, namun dijawabnya juga, "Bukankah dalam kuil tadi kalian menolong kami dari ancaman orang-orang Manchu itu?"
Ma Hiong tertawa dingin, "Kami tidak menolong orang-orang dinasti Beng sebab buat apa kami menolong orang-orang yang dulu adalah penindas-penindas rakyat kecil? Kami hanya memusuhi bangsa Manchu, tapi tidak berarti menolong orang-orang dinasti Beng. Kalian mampuspun kami tidak peduli."
Kongsun Hui seketika naik darah melihat sikap Ma Hiong yang sama sekali tidak menghormati Pangeran Cu hin-yang sebagai keturunan dinasti beng itu. Kudanya telah digerakkan ke depan dan ruyung bajanya pun siap digunakan untuk mengemplang kepala Ma Hiong. Bentaknya, "Orang she Ma, jaga mlutmu."
Tapi Pangeran buru-buru memajukan kudanya pula untuk melintang tepat di depan kuda Kongsun Hui, sambil menyabarkan bekas panglima yang berangsan itu, "Saudara Kongsun, tahan dirimu sedikit. Biar aku saja yang berbicara kepada saudara Ma ini."
Lalu kepada Ma Hiong, Pangeran lerkata, "Saudara Ma, kuharap kau bersikap bijaksana dan tepat dalam urusan yang menyangkut keselamatan tanah air kita ini. Masa lalu kita memang bertentangan, tapi perlukah diungkit-ungkit sekarang pada waktu kita menghadapi musuh bersama di depan hidung. Kau benci segala sesuatu yang berbau Kerajaan Beng, baik, anggap saja aku bukan orang dinasti Beng tetapi seorang rakyat Bangsa Han yang ingin menyumbangkan tenaga untuk ikut mengusir bangsa Manchu. Setuju?"
Betapapun keras dan bencinya bekas orang-orang Hwe-liong-pang kepada bekas orang-orang dinasti Beng, namun tergerak juga hatinya melihat Pangeran Cu Hin-yang tidak segan-segan merendahkan diri seperti itu. Akhirnya kepala Ma Hiong terangguk juga, "Baiklah, orang she Cu, kau memang bukan anak buahku sehingga aku pun tidak berhak mengaturmu. Kau mau ikut kami, terserah kepadamu sendiri."
"Aku akan ikut. Bangsa Machu adalah musuh kita bersama."
Sementara itu, Kongsun Hui yang berwatak kepala-batu itu diam-diam tidak puas ketika melihat sikap Pangeran yang terlalu merendahkan diri terhadap Ma Hiong itu. Pikirnya dengan jengkel, Mestinya Pangeran tidak perlu bersikap terlalu merendah kepada pemimpin gerombolan liar ini, membuat ia semakin besar kepala saja.
Pangeran adalah seorang bangsawan yang harus menjaga martabatnya di hadapan orang tak tahu adat ini, apalagi dulunya bekas pendukung Li Cu-seng. Biarpun semua pejuang penentang Manchu harus dirangkul, tapi tidak dengan mengorbankan harga diri seperti ini. Namun biarpun dihatinya tetap menggerutu, Kongsun Hui tetap ikut juga ketika rombongan itu mulai bergerak ke arah barat.
Udara dinihari yang habis tersiram hujan itu terasa dingin menggigit tulang, namun dalam dada orang-orang berkuda itu justru terasa membara oleh kobaran semangat tempur yang menyala. Apapun sudah siap mereka korbankan demi tanah-air tercinta.
Belum lama mereka berkuda, mendadak dari arah depan kelihatan bayangan seorang berkuda yang menyongsong mereka sambil berteriak, "Apakah yang di depan itu rombongan Tong-cu?"
Dalam Hwe-liong-pang dulu memang Ma Hiong berpangkat tong-cu (Pemimpin Kelompok) sehingga sampai sekarangpun anak buahnya masih memanggil dengan sebutan lama. Ma Hiong dan rombongannya segera memperlambat derap kaki kuda mereka. Setelah dekat maka kelihatan bahwa penunggang kuda dari depan itu berpakaian warna coklat, pakaian seragam gerombolan Ma Hiong, dan dengan terengah-engah diapun melapor,
"Kwa Jin-yang menjumpai Tong-cu!"
"Laporkan, saudara Kwa!"
"Tadi malam, tidak lama setelah Tong-cu meninggalkan markas untuk memeriksa keadaan, tentara Manchu bawahan Bu San-kui mendadak menyerang markas kita di hutan Pek-niau-lim. Karena laskar kita tidak siap menghadapinya, kita segera terdesak meninggalkan markas, dan kita sedang berusaha mundur ke bukit Hek-ku-san untuk bertahan di sana..."
Kongsun Hui tertarik perhatiannya setelah mendengar bahwa yang menyerbu Hwe-liong-pang itu adalah tentaranya Bu San-kui, bekas saudara-angkatnya yang kemudian berpihak kepada Kerajaan Manchu itu. Gara-gara Bu San-kui menyerahkan kota San-hai-koan kepada bangsa Manchu inilah maka balatentara Manchu sampai bisa menguasai seluruh daratan Cina. Sudah lama Kong-sun-Hui ingin bertemu dengan bekas saudara angkatnya itu di medan perang untuk membuat perhitungan bagi negerinya, maka kini mendengar laporan itu, ia langsung bertanya kepada orang Hwe-liong-pang yang melaporkan itu,
"Sahabat, apakah Bu San-kui sendiri yang memimpin pasukannya itu?"
Orang Hwe-liong-pang itu sesaat menjadi heran melihat ada seorang tak dikenal berjalan bersama dengan pemimpinnya, namun karena kelihatannya orang itu bukan musuh, maka dijawab juga, "Tidak, pasukan itu kecil, mana mau Bu San-kui memimpinnya sendiri. Penyerangan itu dipimpin seorang panglima bawahannya yang bernama Yang Kang."
Mendengar nama itu, tak urung gemeretaklah gigi Kongsun Hui karena geramnya. Orang itupun dikenal oleh Kongsun Hui ketika masih bertugas di San-hai-koan dulu. Dulu ia dengan gigih berjuang membendung serangan bangsa Manchu, sekarang malahan membantu bangsa Manchu untuk menindas pejuang pejuang tanah air sendiri.
Sementara Ma Hiong bertanya kepada anak buahnya itu, "Bagaimana keadaan laskar kita? Siapa yang memimpin?"
"Untuk sementara akan dapat bertahan. Tapi tekanan terlalu berat karena Jumlah musuh yang hampir lipat empat. Yang memegang pimpinan laskar kita adalah hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok) Cho Bun-liong!"
"Kenapa terlalu berat.?"
“Hu-tong-cu berusaha menarik laskar ke Hek-ku-san, namun pasukan musuh menyerang dengan bentuk menjepit dari tiga arah, jika terlambat pasukan kita akan terkurung di hutan Pek-niau-lim tanpa harapan untuk keluar Iagi!" "Kalau begitu kita harus terjun ke arena dengan segera!" teriak Ma Hiong dengan dada yang terasa panas bergolak.
Orang-orang Hwe-liong-pang lain-nyapun telah mencabut senjata-senjata mereka dari mengangkat tinggi-tinggi ke udara sambil meneriakkan semboyan-semboyan perjuangan yang membakar semangat. Mereka tergerak rasa setia kawan ketika mendengar teman-teman mereka terancam bahaya, maka merekapun sudah gatal tangan ingin segera terjun ke medan laga.
Namun pangeran Cu Hin-yang tiba-tiba berteriak, "Tunggu! Jangan gegabah!"
Ma Hiong menoleh ke arah Pangeran dengan kening berkerut, "Tunggu apa lagi? Menunggu sampai laskar kami hancur lebur dan tak tersisa seorang-pun?"
"Bukan maksudku. Tapi jika kalian yang sedikit ini terjun ke arena, kalian sedikitpun tidak akan dapat mempengaruhi jalannya pertempuran. Kalian hanya akan tertelan oleh musuh yang Jauh lebih banyak, seperti telur membentur batu..."
"Kami tidak peduli Lebih baik hancur bersama seluruh saudara-saudara kami daripada kami hanya berpangku tangan mencari selamat sendiri!"
"Itu tidak bijaksana. Coba dengar dulu kata-kataku, tuan Ma, biar aku menyuruh Kongsun untuk menghubungi Li Tiang-hong dan anak buahnya agar mereka ikut bergerak membantu mengusir musuh."
Ma Hiong menjadi bimbang mendengar usul Pangeran itu, dalam hatinya timbullah pertentangan antara harga dirinya dan juga harga diri kelompoknya, bertentangan dengan kenyataan yang dihadapinya. Antara dirinya dengan Li Tiang-hong tidak pernah rukun, meskipun kedua pihak sama-sama musuh bangsa Manchu. Li Tiang-hong dan pasukannya adalah pengikut-pengikut setia Kerajaan Bang, sedang Ma Hiong dulunya adalah pendukung perjuangan Li Cu-seng ketika menumbangkan pemerintahan Beng.
Keduanya memiliki desa-desa pengaruh mereka sendiri-sendiri, sebagai sumber perbekalan mereka. Meskipun kedua kelompok belum pernah bentrok senjata, tapi saling bermusuhan dan saling menjelekkan. Kini jika Ma Hiong menerima uluran tangan Li Tiang-hong, ke mana lagi mukanya hendak disembunyikan? Tapi tanpa dibantu Li Tiang-hong maka nyawa anak buahnya yang sekian ratus orang itupun akan tergulung habis oleh musuh. Akhirnya, Ma Hiong memutuskan bahwa nyawa ratusan anak buahnya lebih penting dari pada ketakutan sekedar kehilangan muka.
Jawab Ma Hiong kepada Pangeran, "Baiklah, saudara Cu, agaknya untuk melawan tentara Manchu yang jauh lebih kuat itu setiap kelompok harus menyingkirkan perbedaaan pendapatnya dan bersatu padu."
Wajah Pangeran menjadi cerah. Ini adalah suatu isyarat yang menggembirakan ke arah persatuan semua kelompr pejuang yang tadinya berjuang sendiri-sendiri itu. "Keputusan yang bijaksana, keputusan seorang pemimpin yang lebih memikirkan keselamatan nyawa-nyawa anak buahnya daripada sekedar harga dirinya," kata Pangeran. "Ini tidak berarti saudara Ma kehilangan muka di depan, Li Tlang-hong, sebab jika kelak Li Tiang-hong menemui kesulitan maka saudara Ma akan membantunya bukan? Jadi tidak ada masalah siapa berhutang budi kepada siapa, tetapi kerja sama yang sederajat."
Lalu Pangeran melepaskan sebuah cincin dijarinya, diberikan kepada Kongsun Hui dan berkata, "Saudara Kongsun, bawa cincin lambang pribadiku ini kepada Li Ciangkun (Panglima Li), katakan bahwa aku memohon kepadanya agar ia sudi menggerakkan pasukannya ke hutan Pek-niau-lim untuk mengusir pasukan musuh yang mengacau di sana."
Sahut Kongsun Hui, "Pangeran, hamba belum tahu di mana markas Li ciangkun dan pasukannya."
Pangeran menoleh kepada Ma Hiong ambil berkata, "Saudara Ma, bolehkah salah seorang anak buahmu yang sudah tahu tempat Li Ciangkun itu kupinjam untuk mengantarkan saudara Kongsun ini?"
"Baik. Lo Beng, kau antar tuan Kongsun ini ke tempat Li Tiang-hong. Kau kenal jalannya bukan?"
"Sebaiknya membawa bendera putih agar tidak menimbulkan salah paham degan orang-orangnya Li Ciangkun," usul Kongsun Hui.
Namun Ma Hiong telah berkata dengan tegas, "Tidak. Orang Hwe-liong-pang dilarang keras untuk membawa bendera putih di manapun juga dan dalam keadaan bagaimanapun juga."
Agaknya Ma Hiong kuatir kalau bendera putih itu oleh Li Tiang-hong dianggap sebagai tanda menyerah dari Hwe-liong-pang. Pangeran menarik napas, sementara Kongsun Hui menggerutu dalam hati. Kata pangeran kemudian, "Baiklah, tidak usah dengan bendera putih segala, Li Tiang-hong tentu akan memaklumi. Lekas berangkat sebelum terlambat."
Demikianlah Kongsun Hui dengan diantarkan oleh salah seorang anak buah Hwe-liong-pang memisah dari rombongan untuk pergi minta bantuan ke markas Li Tiang-hong. Sebelum pergi, Kongsun Hui masih sempat berpesan kepada junjungannya, "Pangeran, berhati-hatilah. bagaimanapun juga mereka..."
Sahut Pangeran, "Jangan kuatirkan diriku. Orang Hwe-liong-pang sejak dulu terkenal sebagai orang-orang yang teguh memegang Janji. Aku aman di tengah-tengah mereka!"
Kongsun Hui menarik napas dalam-dalam, namun ia berjanji dalam hati apabila Pangeran sampai terluka seujung rambutpun oleh orang Hwe-liong-pang, maka Jit-goat-pang akan menjadi musuh Hwe-liong-pang untuk selama-lamanya. Lalu didampingi oleh anak buah Ma Hiong yang bernama Lo Beng itu, Kongsun Hui berangkat ke tempat Li Tiang hong.
"Orangmu itu masih mencurigai kami," desis Ma Hiong.
"Hanya pengaruh masa lalu, tak perlu digubris," jawab Pangeran sambil tersenyum. "Ayo kita berangkat sekarang."
Ma Hiong dan anak buahnyapun segera berderap menginggalkan tempat itu. Suara hentakan-hentakan kaki kuda yang gemuruh itu bagaikan bunyi genderang perang yang ditabuh mengantarkan pahlawan ke medan perang. Sementara warna langit telah semakin muda, menandakan tak lama lagi fajar akan tiba.
Tidak lama kemudian, di kejauhan, sudah terdengar sorak-sorai orang berperang. Beratus-ratus orang bersenjata tengah saling membunuh dengan bersemangat, tak ubahnya sekawanan hewan buas tak berakal budi. Bendera-bendera dari kedua belah pihak berkibar-kibar megah, memberi tanda pihak-pihak mana sajakah yang tengah beradu kekuatan di padang ilalang itu.
Pasukan Manchu mengibarkan bendera Ngo-jiat-kim-liong-ki (Panji Naga Berkuku Lima), didampingi sehelai bendera yang lebih kecil berwarna merah dengan bulatan kuning ditengah-tengahnya, menandakan bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukannya Peng-se-ong Bu San-kui, Rajamuda di wilayah Se-cuan.
Sedangkan laskar Hwe-Liong-pang juga mengibarkan bendera-bendera yang disebut Hwe-liong-ki (Bendera Naga Api), bendera berwarna dasar hitam dengan lukisan naga berwarna merah yang menyemburkan api-Belasan tahun yang lalu, bendera itulah yang paling ditakuti oleh kaum rimba persilatan, bahkan juga oleh penguasa-penguasa dinasti Beng kala itu. Lalu masi ada bendera kecil berwarna coklat dengan huruf “Ma” di tengah-tengahnya, menandakan bahwa kedudukan Ma Hiong dalam Hwe-long-pang adalah pemimping Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat), salah satu dari delapan kelompok dalam Hwe-liong-pang.
Bendera Manchu dengan bendera Hwe-liong-pang hampir sama, sama-sama berwarna dasar hitam dan berlukiskan Naga. Namun naga di bendera Manchu sersisik emas, sedang naga di bendera Hwe-liong-pang berwarna merah menyala. Bendera Manchu berbentuk segitiga besar, bendera Hwe-liong-pang berbentuk segiempat. Naga memang binatang pujaan rakyat di Cina, sehingga banyak orang yang menggunakan sebagai lambang.
Perang tengah berlangsung dengan hebatnya. Garis pertempuran membentang panjang, dan disepanjang garis itu ribuan manusia bertarung dengar buasnya. Anak buah Ma Hiong dapat dikenali dari seragam mereka yang berwarna coklat, dan dengan gigihnya mereka bertahan dari musuh yang Jauh lebih banyak. Namun tak dapat dihindari bahwa setiap kali laskar Hwe-liong-pang harus terdesak surut dan membuat garis pertahanan baru di belakang garis yang ditinggalkan.
Tentara Manchu yang unggul dari segi Jumlah, menggempur bagaikan gelombang samudera. Mereka bertempur bukan hanya dengan senjata-senjata seperti pedang dan tombak, tapi juga senjata jarak jauh yang dilontarkan dari barisan seperti panah, lembing dan bahkan batu-batu sebesar kepala orang yang dilontarkan dengan pelenting dari bambu.
Pihak laskar Hwe-liong-pang Bertahan di bawah pimpinan wakil Ma Hiong yang bernama Cho Bun-liong. Ia adalah seorang lelaki berusia empat-puluh tahun, bertubuh tegap besar. Berpakaian coklat seperti orang Hwe-liong-pang lainnya, namun dilapisi dengan rompi kulit harimau tutul. Senjatanya ialah sehelai perisai besi di tangan kiri dan trisula pendek di tangan kanan. Dengan kemahiran memainkan senjatanya itulah biasanya Cho Bun-liong menjadi seorang tokoh yang sulit ketemu tandingannya di daerah Hun-lam itu.
Tapi kali ini Cho Bun-liong telah bertemu dengan seorang lawan yangg setimpal. Panglima bawahan Bu San Kui yang bernama Yang Kang itu juga seorang yang berperawakan tinggi tegap dengan senjatanya sebatang golok kon-to yang berat. Dengan tenaganya yang luar biasa Itu Yang Kang sanggup memutar senjatanya yang berat itu begitu kencangnya seolah hanya seringan bambu kering saja.
Begitulah kedua "raksasa" itu bertarung dengar, sengitnya, saling menggempur dan mendesak, benturan-benturan senjata-senjata mereka yang sama-sama terbuat dari baja pilihan itu selalu menimbulkan dentang yang memekakkan telinga. Baik tentara Manchu maupun laskar Hwe-liong-pang tidak ada yang berani mencampuri perang tanding kedua orang itu, salah-salah kepala bisa copot.
Tapi meskipun secara pribadi Cho Bun-liong tidak kalah dari Yang Kang, mau tidak mau ia harus selalu bergerak mundur, sebab mengikuti gerakar. laskarnya yang terus terdesak oleh tentara Manchu. Jika tidak ikut mundur, Cho Bun-liong akan terpisah dari laskarnya dan saat itu ia akan terkurung di dalam pasukan musuh.
Sementara itu, Ma Hiong dan rombongannya telah mendekati medan perang, dan mereka melihat bahwa laskar Hwe-liong-pang terus menerus terdesak surut. Bendera Hwe-liong-pang yang berkibar-kibar Itu kini kelihatannya seperti lambaian tangan seeorang yang hampir tenggelam di tengah laut.
Sementara pasukan Manchu mulai menebar ke samping kiri dan kanan, membentuk semacam jepit raksasa yang akan menjepit lascar Hwe-liong-pang dari seagala arah. Jika nantinya ujung-ujung pasukan Manchu itu bertaut dan membentuk sebuat gelang besar, maka takkan ada kesempatan lolos lagi bagi orang-orang Hwe-Liong-pang. Mereka akan tertumpas, meskipun di pihak pasukan Manchu tentu jatuh korban cukup banyak pula.
Dengan darah yang mendidih Ma Hiong melihat bagaimana laskarnya semakin terjepit. Maka teriaknya. “Ini tidak boleh terjadi. Kita segara terjun ke arena! Mati hidup kita tanggung bersama saudara-saudara kita.”
“Aku punya sedikit pertimbangan saudara Ma...!” Kata Pangeran.
“Pertimbangan apa, saudara Cu?”
"Jika kita berjumlah sedikit ini nekad masuk ke dalam jaring pasukan musuh, sama dengan kupu-kupu menubruk api. Kita semua mati, laskarmu pun tidak bakal tertolong. Sedang kita sebetulnya memiliki suatu kesempatan untuk mempengaruhi medan bagi keuntungan kita."
"Kesempatan bagaimana?"
"Tentara Manchu berjalan kaki semuanya, sedang kita biarpun sedikit tetapi berkuda. Berarti kita bisa bergerak lebih cepat dari mereka. Kita akan menyerang musuh tapi justru dari bagian luar lingkaran kepungan mereka alias dari belakang, namun sasaran kita harus berpindah-pindah. Diharapkan gangguan pada bagian belakang pasukan musuh akan membantu mengurangi tekanan kepada laskarmu."
"Bagaimana jika musuh memanah kuda kita?"
"Jika kita diam tak bergerak, kita dipanah. Tapi Jika kita bergerak cepat, kemungkinan terkena panah akan sulit sekali."
Dalam hal ilmu silat memang Ma Hiong lebih unggul dari Pangeran, namun urusan siasat perang semacam itu Pangeranlah yang lebih tinggi ilmunya dari Ma Hiong. Maka dengan tulus Ma Hiong mengacungkan jempolnya kepada Pangeran sambil memuji, "Siasat yang hebat. Saudara, hari ini aku banyak belajar daripadamul"
"Pujian itu jangan ditujukan kepadaku, sebab akupun cuma menyetirnya dari kitab-kitab kuno ilmu perang. Siasat yang sangat mendasar itu hanya dirumuskan dalam satu kalimat, yang lebih kecil harus lebih lincah bergerak. Sederhana bukan?"
"Baik, kita jalankan sekarang." Ma Hiong segera mengganti senjata jit-goat-siang-lunnya yang dirasakan terlalu pendek untuk hertempuran berkuda, diganti dengan sebatang golok tan-to. "Kalian sudah siap?" tanya Ma Hiong kepada anak buahnya.
"Kami siap!" sambut anak buahnya serempak.
Namun Ma Hiong masih merasa perlu perpesan sekali lagi, "Ingat. Kita akan berganti-ganti sasaran dan tidak terpancang kepada satu titik saja. Jika kita hendak berpindah tempat dan masih ada di antara kita yang masih terikat lawannya, temannya yang lain harus membantu membebaskannya agar gerakan kita tidak terhambat. Kita akan bertempur mati-matian, tetapi bukan bunuh diri beramai-ramai, Jelas?"
Ketika anak buahnya menyataka paham, Ma Hiong segera memutar goloknya dan berteriak, "Serang sekarang!"
Maka berderaplah kuda-kuda tegar itu dengan lelaki-lelaki garang di atas punggungnya masing-masing, menyerbu ke barisan belakang tentara Manchu. Ma Hiong dan Pangeran Cu Hin-yang menempatkan diri paling depan sebagai ujung tombak dari serangan kejutan itu. Sementara itu kedua orang kepercayaan Ma Hiong telah membagi diri.
Oh Kim Cian yang bersenjata toya baja ce-bi-kun itu akan tetap mendampingi Ma Hiong, sementara yap Kim-heng yang bersenjata golok koan-to itu akan mendamping Pangerang, Meskipun orang-orang dinasti Beng pernah menjadi musuh mereka, tapi kali ini mereka menganggap Pangerang sebagai tamu dan sahabat Hwe-liong-pang yang keselamatannya pantas diperhatikan.
Serangan Ma Hiong dan kawar-kawannya itu memang terlalu mengejutkan tentara Manchu yang tak menduga akan diserang dari belakang itu. Prajurit-prajurit yang ada di bagian belakang menoleh ketika mendengar derap kak-kuda, dan alangkah terkejutnya mereka sejumlah orang berkuda menerjang mereka.
Beberapa prajurti segera melemparkan lembing dan anak panah mereka, namun arahnya ngawur sehingga lembing-lembing dan panah-panah itu cuma berjatuhan di rerumputan, dan sama sekali tidak mengurangi laju sejumlah kecil orang-orang berkuda yang menerjang dengan beraninya itu.
Ma Hiong yang paling dulu tiba di barisan musuh, segera berteriak garang sambil memutar goloknya seperti baling-baling di atas kudanya, kemudian Pangeran Cu Hin-yang juga berbuat serupa. Maka kacau-balaulah pasukan di bagian itu. Tak ada prajurit musuh yang cukup siap untuk menghadapi amukan kuda-kuda dan penunggang-penunggangnya yang bagaikan kesurupan setan itu. Perwira-perwira musuh yang berkepandaian cukup tinggi agaknya telah dikerahkan semua ke bagian depan, sehingga yang di bagian belakang tinggal prajurit-prajurit biasa saja.
Namun sebagai tentara yang terlatih, pasukan Manchu itupun segera mengatur diri. Beberapa perwira rendahan mencoba mengatur teman-temannya dengan berteriak-teriak, "Tetap tenang! Musuh hanya sedikit! Kait kaki-kaki kuda mereka dengan senjata bertangkai panjang, lainnya lepaskan lembing dan anak panah! Terus kepung mereka!" Ia tidak sempat melanjutkan kalimatnya sebab lehernya tersambar oleh pedang Pangeran Cu Hin-yang yang bertempur dengan gagahnya di atas punggung kuda....
Selanjutnya;