Pendekar Naga dan Harimau Jilid 06
GEMPARLAH orang-orang di pasar mendengar ucapan Tong Lam-hou yang sangat berani itu. Hong Lotoa menjadi pucat dan gemetar, namun ketiga orang, asing yang menyebut diri mereka Kun-lun-sam-jong itu tidak, tadi Tong Lam-hou sudah menyebut mereka sebagai "cecunguk" maka kini mereka harus menghajar anak muda ini agar nama Kun-lun-sam-long tidak dihina orang.
Orang yang pertama Mo Wan-seng itu segera melangkah maju disertai tatapan mata yang mengandung nafsu membunuh. Tangannya sudah melekat di gagang pedangnya. Katanya dingin, " Anak-muda, mengingat bahwa kau masih muda dan tidak berharga untuk kulawan, maka kuampuni kau asal kau berlutut dan mengucapkan penyesalanmu kepada orang banyak!"
Tong Lam-hou tertawa dingin, "Bagaimana kalau sebaliknya saja? Mengingat bahwa kau belum pernah bermusuhan denganku, kau akan kulepaskan asal kau juga mengampuni paman Sun...."
"Kurang ajar! Kau berani tawar-menawar dengan Kun-lun-sam-ong? Siapa namamu dan apa pekerjaanmu?!" bentak Mo Wan-seng marah.
"Semua orang sudah tahu namaku Tong Lam-hou," sahutnya tenang, "…dan pekerjaanku ialah menguliti serigala dan membuat dendeng serigala!"
Pakkiong Liong yang berada di antara para penonton itu hampir tak dapat menahan tertawanya mendengar jawaban itu. Ketiga orang asing itu mengaku berjulukan Tiga Serigala dari Kun-lun, dan kini Tong Lam-hou menyebut dirinya sebagai tukang menguliti serigala. Diam-diam banyak penduduk Jit-siong-tin yang mencemaskan nasib A-hou yang baik hati itu, kenapa begitu gila berani menentang Hong Lotoa dan orang-orang asing yang aneh itu?
Yang merah padam wajahnya sudah tentu Mo Wan-seng dan kedua adik seperguruannya itu. Mereka biasa ditakuti di wilayah barat sana, membunuh orang seperti membunuh tikus saja, dan orang-orang menggigil mendengar nama mereka. Kini di desa terpencil di wilayah Hun Lam ini mereka diejek terang-terangan oleh seorang bocah desa yang sama sekali tidak punya nama di dunia persilatan.
Kiongwan Peng yang kebanci-bancian dan selalu tersenyum-senyum genit itu, tiba-tiba wajahnya berubah jadi kejam. Sambil memegang sepasang pisau belatinya ia berkata kepada Mo Wan-seng, "Toa-suheng, aku ingin mengambil sepasang biji mata bocah ini, barangkali cukup menarik kalau diawetkan dan dijadikan kalung..."
Ucapan itu sungguh menggidikkan, namun Tong Lam-hou menanggapinya sambil tertawa-tawa saja, "Dan serigala macammu ini agaknya kurang lezat kalau dijadikan dendeng, lelaki bukan perempuan juga bukan..."
Belum habis ucapannya, Kiongwan Peng telah menjerit sambil menyerang secepat kilat dengan sepasang belatinya. Belati kiri menusuk ke mata, belati kanan menusuk ke pusar, dua gerakan yang sangat ganas dilakukan serempak dengan kecepatan yang tinggi. Jarang musuh yang lolos dari serangannya ini.
Namun Tong Lam-hou ringan saja melangkah ke samping sambil mendorongkan telapak tangannya ke tubuh si Serigala Banci Kiongwan Feng itu, sehingga tubuh lawannya terhuyung-huyung sampai hampir jatuh telungkup.
Kejadian itu mengejutkan ketiga jagoan dari Kun-lun itu. Sekali pandang saja mereka segera tahu bahwa kali ini mereka telah terbentur seorang lawan tanguh. Namun mereka tidak gentar. Sudah berpuluh kali mereka menjumpai musuh yang kuat dan setiap kali pula berhasil mengatasinya dan tidak jarang mencincang lawan mereka, maka kali ini mereka tetap berkeyakinan dapat mengalahkan lawan.
Kiongwan Peng yang hampir saja jatuh itu cepat-cepat menguasai keseimbangan badannya. Dan sekejap kemudian ia sudah menyerang kembali dengan jurus Ya-long-tiau-kan atau Serigala Liar Meloncati Parit, sepasang belatinya berkelebatan begitu cepatnya sehingga seolah-olah ia punya beberapa pasang tangan dengan beberapa pasang belati yang bergerak serempak, berkilauan di bawah sinar matahari. Seluruh tubuh Tong Lam-hou telah terkurung rapat.
Namun kembali Kiongwan Peng harus kecewa, sebab dengan gerakan selicin belut Tong Lam-hou telah lolos dari kepungan ujung-ujung belati itu, bahkan sekali lagi kakinya sempat menendang betis Kiongwan Peng sehingga tokoh dari kun-lun itu terbanting roboh. Kali ini benar-benar roboh mencium tanah. Sedang gerakan Tong Lam hou tadi tidak mirip gerakan silat, seperti menyepak sembarangan saja namun hasilnya memuaskan.
Sampai di sini, habislah kesabaran kedua "serigala" lainnya. Kalau dibiarkan terus-menerus agaknya Kiong-wan Peng akan terjungkal berulang-kali, dan nama besar Kun-lun-sam-long akan tersapu habis. Karena itu Mo Wan-seng telah mencabut pedangnya yang runcing dan sempit itu, sambil berseru kepada Auyang Bun, "Jisute, menghadapi kaki tangan Manchu ini kita tidak perlu sungkan-sungkan. Ayo kita maju serentak!"
Begitu mulutnya terkatup, begitu pula ujung pedangnya cergerak dengan gerakan Hui-seng-kiong-goat atau Bintang Beralih Menabrak Bulan, kearah kerongkongan Tong Lam-hou. Caranya menerkam dan menyergap benar-benar mirip cara seekor serigala, cepat, ganas dan telak. Namun tikaman itu dapat dihindari sehingga ia merubahnya menjadi sabetan Hui-sin-pek-san (Memutar Badan Menyabet Gunung), yang lagi-lagi dapat dihindari oleh Tong Lam-hou dengan gerakan yang amat sederhana.
Sementara itu si "serigala" kedua Auyang Bun juga sudah terjun ke gelanggang dengan pedangnya yang tebal dan lebar itu. Diikuti pula oleh Kiongwan Peng yang bertempur dengan sengit sekali karena ia sudah dua kali dirobohkan oleh Tong Lam-hou.
Kini penduduk Jit-siong-tin menyaksikan pertunjukkan yang hebat. Si bocah gunung A-hou yang dikenal sebagai anak yang baik hati dan sedikitpun tak bisa bersilat tiba-tiba telah mengejutkan seluruh Jit-siong-tin karena sanggup menghadapi keroyokan Kun-lun-sam-long yang bersenjata, sedang Tong Lam-hou tetap bertangan kosong, yang merasa perasaannya kacau adalah Hong Lotoa hampir tiap hari ia membentak-bentak dan menghina A-hou.
Namun kini dilihatnya A-hou ternyata memiliki ilmu silat sehebat itu. Diam-diam ia ingin agar A-hou terbunuh saja oleh ketiga orang asing itu, sebab kalau A-hou hidup ada kemungkinan akan membalas dendam kepadanya, dan Hong Lotoa insyaf sekarang bahwa sebenarnya dirinya tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan A-hou yang sering dihinanya itu.
Tapi agaknya harapan Hong Lotoa jauh dari kenyataan. Ketiga "serigala" itu memang bertempur dengan ganas luar biasa, senjata-senjata mereka berputaran dengan kecepatan luar biasa dan menimbulkan angin berkesiur, namun ujung baju Tong Lam-hou saja tak dapat mereka sentuh. Tong Lam-hou benar-benar telah mengejutkan mereka. Di satu saat Tong Lam-hou bertahan dengan kokohnya bagaikan sebungkah bukit karang yang tak tergoyahkan, di lain saat ia bergerak begitu ringan seperti asap saja, sehingga seolah-olah ketiga lawannya telah berkelahi dengan sesosok mahluk tak berwujud.
Dan apabila Kun-lun-sam-long memperhatikan ilmu apa yang dimainkan oleh Tong Lam-hou, maka penasaranlah mereka. Ternyata ilmu yang dimainkan itu adalah ilmu pukulan yang disebut Tam-cap-hoa-hong, ilmu silat pasaran yang oleh tukang-tukang obat di pinggir jalan saja bisa dimainkan, bahkan jagoan-jagoan kelas kambing yang berceceran di mana-mana rata-rata juga bisa ilmu ini.
Namun sekarang dimainkan oleh Tong Lam-hou maka bukan main bahayanya. Kuda-kudanya kokoh kuat, jika berpindah tempat berkelebat secepat kilat, sementara sepasang kepalanya dan sepasang kakinya bagaikan empat buah palu godam baja yang dapat menghancurkan tulang-tulang lawannya apabila kena.
Pakkiong Liong yang menonton di antara kerumunan penduduk desa itu, diam-diam mengangguk-anggukkan kepalanya sambil membatin, "Tong Lam-hou benar-benar sebutir mutiara yang tersembunyi dalam lumpur. Aku tidak kagum jika ia sanggup mengimbangi Kun-lun-sam-long dengan ilmu ajaran Tiam-jong-lo-sia yang aneh-aneh dan sulit dimainkan itu. Namun hanya dengan silat bakul obat Tam-cap-hoa-hong dapat mengimbangi ketiga musuhnya, benar-benar kecerdasan yang luar biasa. Tadinya, siapa percaya bahwa silat pasaran yang hanya banyak dibanggakannya itu bisa dipakai untuk benar-benar berkelahi?”
Ilmu Tam-cap-hoa-hong terdiri dari empat bagian dasar yang disebut Tam cui, Cap-kun, Hoa-kun dan Hong-bun, semuanya dimainkan oleh Tong Lam-hou dengan sempurna lambat-laun Kun-lun-Sam-long mulai terdesak. Tidak peduli mereka bertiga berkelahi dengan kebuasan mirip serigala-serigala liar.
Alangkah penasarannya tiga orang jagoan Kun-lun itu. Mereka bisa menerima kekalahan dengan rela jika lawannya seorang pendekar terkenal yang memainkan ilmu yang istimewa pula. Tapi sekarang? Lawannya cuma seorang anak dusun dan yang dimainkannya cuma "silat gerak badan" yang maha sederhana itu, tentu saja Kun-lun-sam-long merasa terhina sekali. Hari ini habis sudah nama besar mereka. Tidak ada jalan lain kecuali mengadu nyawa saking malunya.
Sementara itu, Tong Lam-hou boleh dikata belum berpengalaman sama sekali dalam perkelahian yang sebenarnya, meskipun hampir tiap hari ia melakukan latihan dengan gurunya. Maka ketika merasa mulai mendesak lawan, Tong Lam-hou menjadi lengah, ia tertawa terbahak-bahak sambil mengejek, "Ha ha-ha... tikus-tikus macam inikah yang diupah oleh Li Tiang Hong untuk menangkap Pakkiong Liong si Naga Utara?!"
Pada saat ia mengejek, gerakannya menjadi agak kendor. Saat itulah Kiongwan Peng secara licik telah menyergap dari belakang ke punggung Tong Lam-hou dengan gerakan Siang-liong-Jip-hai (Sepasang Naga Masuk Samudera). Dibarengi dengan Ma Wan-seng serta Auyang Bun yang menerjang dari depan secara berbarengan. Tong Lam-hou terkejut, sadarlah ia sudah berbuat suatu kesalahan, kini serangan lawan datang dari tiga penjuru seolah-olah tak dapat dibendung lagi.
Dalam usahanya untuk menyelamatkan diri, tanpa pikir panjang Tong Lam-hou telah menggulingkan diri ke samping secepat ia bisa. Namun masih agak terlambat juga, sebab pedang runcing Mo Wan-seng sempat menyerempet pundaknya sehingga berdarah, Juga pisau belati Kiongwan Peng menyerempet pinggangnya sehingga luka pula.
Cepat Tong Lam-hou meloncat bangun dengan gerakan Le-hi-ta-teng (Ikan Lele Meletik), ketika tangannya meraba pundak dan pinggangnya yang berdarah, maka tiba-tiba muka Tong Lam hou juga menjadi merah padam seperti warna darah yang membasahi telapak tangannya itu. Matanya berapi-api memandang ketiga lawannya. Geramnya seperti harimau luka,
"Kalian benar-benar berniat membunuhku? Bagus... bagus... kalau begitu akupun tidak akan sungkan-sungkan lagi. Kalian sudah memilih nasib kalian sendiri."
Sikap Tong Lam-hou yang tadinya tidak bersungguh-sungguh menjadi sangat angker itu telah menggoncangkan jantung ketiga "serigala" itu. Hati mereka mulai merasa agak kecut, namun mereka masih mempunyai sedikit rasa malu sehingga tidak mau terbirit-birit begitu saja.
Sesaat kemudian, Tong Lam-hou mulai menyerang ketiga lawannya. Namun kali ini ia tidak bermain-main lagi dengan Tam-cap-hoa-hong, melainkan dengan ilmu ajaran gurunya. Sepasang telapak tangannya dengan jari-jari rapat melakukan gerakan menusuk dan menabas seperti golok, sekejap saja ketiga orang Kun-lun-sam-long itu sudah terjebak dalam serangan-serangan maut yang berputar dahsyat.
Dan setelah Tong Lam-hou berkelahi dengan sungguh-sungguh karena marahnya, maka terlihatlah betapa hebat tandangnya. Bagaikan segulung angin prahara yang menggulung ketiga lawannya dan menggilasnya tanpa ampun. Dan beberapa saat kemudian, si serigala Banci Kongwan Peng yang lebih dulu megap-megap di bawah tekanan lawannya.
Ketika Tong Lam-hou menusukkan ujung jari-jarinya ke lehernya, ia menyilangkan sepasang belatinya untuk mencoba menggunting pergelangan tangan Tong Lam-hou agar putus, namun secepat kilat Tong Lam-hou menarik tangannya dan kakinya menendang lurus ke depan dengan kecepatan luar biasa. Si Serigala banci itupun terlempar keluar dari arena dengan tulang-tulang rusuk yang rontok semua, setelah memuntahkan darah iapun melayang nyawanya.
Dua kakak seperguruannya hanya melihat kematian adik seperguruan mereka itu tanpa berbuat apa-apa, sebab gerakan Tong Lam-tou demikian cepat. Mereka terlongong sejenak, sebab tidak percaya bahwa Kun-lun-sam-long yang malang melintang di kawasan barat itu kini bakalan terbantai oleh seorang anak dusun tak bernama di kawasan terpencil ini.
Ketika Tong Lam-hou melangkah mendekati sisa kedua "serigala" itu, tubuh merekapun menjadi gemetar. Tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang tak diduga oleh semua pihak. Mo Wan-seng tiba-tiba telah mendorong adik seperguruannnya sendiri, Auyang Bun, ke arah Tong Lam-hou, sedangkan, ia sendiri secepat kilat telah meloncat untuk kabur.
Auyang Bun sama sekali tidak menduga kakak seperguruannya akan tega mengorbankan dirinya untuk keselamatannya. Si Serigala Banci itupun terlempar keluar dari arena dengan tulang rusuk uang rontok semua, setelah memuntah-darah ia pun melayang nyawanya sendiri, ia terhuyung ke arah Tong Lam-hou sambil mengacungkan pedangnya, sementara mulutnya berteriak, "Toasuheng, kau..."
Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab tubuhnya yang tak bernyawa kemudian terkulai di hadapan kaki Tong Lam-hou. Rupanya Tong Lam-hou sendiri cukup terkejut ketika melihat Auyang Bun menubruk kepadanya, maka tanpa banyak pertimbangan lagi ia segera mengelak sambil menjotos ke dada Auyang Bun, tak ampun lagi "serigala" kedua itupun mampus dalam keadaan yang sama dengan Kiongwan Peng. Tulang-tulang dadanya patah semua.
Tong Lam-hou sendiri baru menyadari sesaat kemudian bahwa gerakan Auyang Bun tadi adalah karena didorong oleh Mo Wan-seng yang ingin menyelamatkan diri sendiri dengan mengorbankan adik seperguruannya sendiri. Ketika Tong Lam-hou telah sadar dan hendak mengejar Mo Wan-seng, maka orang itu telah melenyapkan diri di antara kerumunan penduduk desa dan tak terkejar lagi.
Kini yang aaa di arena itu tinggallah dua sosok mayat dari orang kedua dan ketiga dari Kun-lun-sam-long, serta Tong Lam-hou yang berdiri tegak dengan sikap garang. Ketika pandangan matanya menyambar Hong Lotoa dan teman temannya yang tidak sempat melarikan diri, tiba-tiba saja Hong Lotoa dan teman-temannya menjadi gemetar, Begitu takutnya mereka sampai lutut mereka tak mampu lagi menopang badan mereka, sehingga merekapun berlutut.
"ka... kami... minta... ampun...!" kata Hong Lotoa tergagap-gagap. Bahkan kepada si pemilik kedai she Sun yang hampir saja digantungnya itu, Hong Lotoa juga menyembah-nyembah sambil memohon, "Paman Sun, a...aku minta ampun..."
Pemilik kedai itu bukan seorang pendendam, namun karena nyawanya hampir saja melayang gara-gara kesalahan kecil saja, maka ia masih merasa mendongkol juga. Tiba-tiba tangannya terayun dan muka Hong Lotoa telah digamparnya berulang-kali. Katanya, "Gampang saja minta ampun setelah tahu dirimu tersudut. Tapi andaikata tadi tidak ada A-hou, bukankah aku sekarang sudah tergantung kaku, di pohon itu? Hanya karena kau ingin menjilat atasanmu yang kau panggil Li Ciangkun serta ketiga orang asing tadi?"
Penduduk Jit-siong-tin yang biasanya sangat tertekan oleh tingkah-laku Hong Lotoa dan teman-temannya tanpa dapat berbuat apa-apa, kini bangkit keberaniannya, merasa mendapat kesempatan untuk membalas. Salah seorang penduduk telah berteriak dari tengah kerumunan, "Gantung saja dia!"
Lalu yang lain-lainnya pun menyahut, "Benar. Selama ini sudah berapa orang desa kita yang dihukum secara sewenang-wenang oleh Hong Lotoa, entah dirangket entah digantung atau dipenggal, sekarang kita balas!"
"Jangan! Bakar saja hidup-hidup!"
"Ia juga sudah menodai anak perawan janda Ma di desa sebelah, sehingga gadis itu bunuh diri saking malunya!"
Pucatlah wajah Hong Lotoa dan teman-temannya, lenyaplah kegarangan yang selama ini mereka tunjukkan dan mereka pergunakan untuk menekan rakyat kecil. Hong Lotoa segera memeluk kaki Tong Lam-hou samoii meratap, "A-hou... eh, Tong Siau-hiap (Pendekar Muda she Tong), hanya kau yang dapat menolong aku...."
Semakin bergolak orang-orang Jit-siong-tin yang ingin menumpahkan benci mereka kepada Hong Lotoa, semakin erat Hong Lotoa memeluk kaki Tong Lam-hou sambil menangis seperti anak kecil. Kini ia merasakan sendiri betapa takutnya seseorang menghadapi kematian, biasanya ia malah tertawa gembira melihat betapa pucatnya wajah seseorang yang diputuskan hukuman mati dalam "pengadilan pembebasan tanah-air" Dan kini, tak terkendali lagi celananyapun menjadi basah karena ia telah terkencing-kencing ketakutan.
Yang kebingungan adalah Tong Lam-hou. Ia kasihan melihat Hong Lotoa, tapi ia juga maklum bahwa penduduk JIt-siong-tin sudah banyak dirugikan oleh Hong Lotoa. Bukan saja dirugikan harta benda, tetapi beberapa orang malahan sudah kehilangan sanak keluarganya yang dihukum mati. Dalam kebingungannya itu Tong Lam-hou menatap kepada Pakkiong Liong, seorang Panglima yang dianggapnya jauh lebih berpengalaman daripadanya. Tapi nampaknya Panglima yang sudah terbiasa bergelut di antara ratusan ujung senjata itu juga tidak tahu bagaimana caranya meredakan kemarahan orang banyak.
Akhirnya secara untung-untungan Tong Lam-hou berteriak, "Saudara-saudara, tahan! Tenanglah sebentar!"
Suara yang dilontarkan dengan landasan tenaga dalam itu bagaikan halilintar yang meledak di langit, seketika membuat suara orang-orang yang berteriak-teriak itu menjadi bungkam. Kini semua mata ditujukan ke arah Tong Lam-hou, si penjual dendeng yang mendadak menjadi seorang pahlawan itu.
Karena memang tidak pandai berbicara, maka Tong Lam-hou bicara sekenanya saja tidak peduli orang banyak menjadi puas atau tidak, "Saudara-saudara, memang Hong Lotoa banyak kesalahannya, tapi berilah ia kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Kelihatannya ia sudah menyesal sekali, dan alangkah kejamnya kalau kita main hakim sendiri terhadap orang yang tak berdaya."
Benar juga, banyak orang yang menggerutu tidak puas mendengar rerka-taan Tong Lam-hou yang dirasa terlalu lunak itu. "Dosanya sudah besar sekali, menganggap nyawa orang-orang sedesanya sebagai mainan belaka!" teriak seseorang.
"Ya, mana boleh ia tidak dihukum?!" teriak yang lain.
Maka kembali bersahut-sahutanlah suara orang-orang banyak itu. "Gantung dia!"
"Penggal kepalanya!"
"Tenggelamkan di sungai!!"
Tetapi kembali suara Tong Lam-hou yang keras menggelegar mengatasi keributan itu, "Tenang, saudara-saudara! Kita akan menghukum dia, tetapi tidak dengan hukuman mati!"
Banyak penduduk Jit-siong-tin yang keberatan dengan keputusan Tong Lam-hou yang dianggap terlalu ringan itu, namun semuanya tak berani menentang Tong Lam-hou. Kini bagi rakyat Jit-siong-tin, Tong Lam-hou tak ubahnya malaikat yang turun dari langit yang harus ditaati segala sabdannya. Tetapi masih ada juga yang berteriak, "Setelah dihukum, usir dia dari desa ini!"
"Betul! Kita tidak butuh manusia penjilat macam dia!"
"Perginya harus merangkak seperti anjing, sebab selama ini dia jadi anjingnya Li Tiang-hong untuk memeras kita!"
Bagi Tong Lam-hou hal itu lebih baik daripada Hong Lotoa harus digantung atau ditenggelamkan ke sungai atau entah apa lagi. Karena itu ia tidak lagi mencegah kemauan penduduk desa, yang bagaimanapun juga memerlukan sedikit pelampiasan setelah terperas selama bertahun-tahun.
"Nah, Hong Lotoa, kau sudah dengar sendiri keputusan penduduk desa?" tanya Tong Lam-hou yang kakinya masih dipeluk oleh Hong Lotoa.
Hong Lotoa mengangguk-anggukkan kepalanya, mukanya tidak sepucat tadi lagi, bagaimanapun juga sekedar hukuman badan dan diusir dari desa tidaklah seberat hukuman mati. Bahkan, tanpa diketahui oleh siapapun, timbul niat jahat dalam hati Hong Lotoa, jika ia pergi dari desa ini maka akan diajaknya pasukan Li Tiang-hong kelak untuk membumi hanguskan desa yang telah menghinanya itu. Namun niat itu dipendamnya dalam hati, dan dengan liciknya wajahnya kelihatan begitu menimbulkan jelas kasihan. Kalau aku bersembunyi dalam pasukan Li Caingkun, siapa lagi yang 'bisa menangkap aku? demikian pikirnya.
"Terima kasih Tong Taihiap," kata Hong Lotoa sambil menyembah Tong Lam-hou. "Aku tidak bisa melupakan budimu ini...."
Sahut Tong Lam-hou dingin, "Jangan gembira dulu, kau belum tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan bukan?"
Wajah Hong Lotoa memucat lagi. "Hu... hukuman... ap... apa?"
"Kau gemar menginjak sesamamu, maka kedua kakaimu harus dipatahkan. Mulutmu gemar menfitnah dan memberi keputusan hukuman secara sewenang-wenang, maka aku akan minta semua gigi depanmu, atas dan bawah," kata Tong Lam-hou. "Cukup ringan bukan?"
"Tong Taihiap!" jerit Hong Lotoa ketakutan.
"Kalau kau tidak mau hukuman ini, apa kau lebih suka kuserahkan kepada penduduk Jit-siong-tin supaya mereka sendiri yang menghukummu?" tanya Tong Lam-hou.
"Jangan! Jangan!" teriak Hong Lo-toa cepat-cepat.
Sementara penduduk Jit-siong-tin yang mendengar keputusan itu telah menyambutnya. Kata seseorang, "Terlalu ringan! Tapi boleh segera dilaksanakan!"
Maka hukuman itupun dilaksanakan. Kedua kaki Hong Lotoa dipatahkan lututnya, dan gigi depannya dihabiskan oleh Tong Lam-hou dengan sekali pukul saja. Tentu saja Hong Lotoa melolong-lolong seperti babi disembelih namun di dalam hatinya tidak timbul rasa penyesalan atas kelakuannya selama ini. Bahkan ia mendendam kepada Tong Lam-hou dan penduduk Jit-siong tin.
Hong Lotoa sama sekali tidak menyadari bahwa hukuman yang diterimanya itu terlalu ringan dibandingkan kesengsaraan yang telah ditimbulkannya atas diri penduduk Jit-siong-tin. Itulah watak manusia. Merasa diri sendiri diperlakukan kurang adil atau terlalu kejam, namun jika ia sendiri berbuat Kejam kepada orang lain dengar, mudah dilupakannya.
Dengan dipapah oleh dua orang anak buahnya, dan diikuti oleh segenap anak buahnya yang juga ikut diusir dari desa itu, maka Hong Lotoa-pun meninggalkan desa yang sudah bertahun-tahun diperasnya atas nama "Gerakan Pembebas Tanah Air" itu. Tapi hasil perasan itu sebagian besar masuk ke kantongnya sendiri dan habis di meja judi atau di rumah pelesiran. Sedangkan "Gerakan Pembebasan Tanah Air" menerima tidak sampai sepertiganya.
Maka Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong meninggalkan desa itu dengan diantar oleh seluruh penduduk desa sampai ke gerbang desa, seperti mengantar seorang pahlawan saja. Namun sebegitu jauh Pakkiong Liong belum mengaku terus-terang kepada penduduk desa bahwa dia adalah seorang Panglima Kerajaan Manchu. Namun secara samar-samar ia menjanjikan perlindungan kepada penduduk Jit-siong-tin apabila Li Tiang-hong dan pasukannya marah.
Pakkiong Liong merasa gembira bahwa satu desa sudah dibebaskan dari pengaruh kaum penentang pemerintah Manchu, sehingga kaum pemberontak itu kehilangan sebagian dari daerah sumber perbekalannya.
Sementara itu, jauh di luar desa Jit-siong-tin, Mo Wan-seng tengah melangkah dengan lesu disebuah jalan yang sepi. Hari ini benar-benar hari naas bagi Kun-lun-sam-liong, yang sekaligus kehilangan dua anggota di tangan seorang anak dusun tak ternama, bahkan melarikan diri seperti seekor anjing yang digebuk.
Sebenarnya tujuan Kun-lun-sam-long ingin menangkap Pakkiong Liong itu bukan karena rasa cinta-tanah-air dan sebangsanya, melainkan demi uang hadiah yang berjumlah banyak, yang dijanjikan oleh pihak Li Tiang-hong bagi siapa saja yang dapat menangkap hidup atau mati Panglima Manchu yang sangat terkenal itu.
Tak terduga yang didapatnya bukan hadiah, malahan nasib sial harus kehilangan dua orang saudara seperguruannya. Bahkan Auyang Bun mati karena dikorbankan bagi keselamatan dirinya sendiri, agar ia mendapat kesempatan untuk kabur. Kini rasanya arwah adik seperguruannya yang kedua itu masih melekat di tengkuknya dan menjerit menuntut perbuatannya.
"Tidak! Tidak!" tiba-tiba Mo Wan-seng berlari sekencang-kencangnya seperti seorang gila. Lalu di tempat yang sepi ia berteriak-teriak seorang diri, "Maafkan aku, jisute! Lebih baik kau saja yang berkorban daripada kita mati semua dibunuh bocah keparat itu! Aku bersumpah akan membalas dendam meskipun dengan bantuan Suhu dan temannya itu!"
Setelah berteriak-teriak seperti orang gila, perasaan Mo Wan-seng agak lega, ia harus segera menemui gurunya yang kebetulan juga sedang berada di daerah itu. Ia berharap sore ini sudah bisa menemui gurunya, dan nanti malam sudah bisa menyerbu rumah Tong Lam-hou, penduduk Jit-siong-tin tentu dapat dipaksa untuk memberi tahu di mana rumah si penjual dendeng itu.
Sementara itu, Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong berjalan pulang ke gunung dengan langkah-langkah ringan. Sambil bercakap-cakap. "Apakah tindakanmu itu nantinya tidak menjerumuskan kau dan ibumu ke dalam persoalan yang berlarut-larut? Sedang selama ini kalian sudah hidup dengan tenang?" tanya Pakkiong Liong.
Tong Lam-hou menarik napas, "Ya, memang mungkin begitu. Ketenteraman yang selama ini sudah kami nikmati akan terganggu dengan peristiwa-peristiwa yang menjadi ekor dari peristiwa tadi. Tapi apa boleh buat. Aku tidak bisa melihat paman Sun si pemilik kedai arak itu digantung sewenang-wenang hanya karena hal-hal yang tidak berarti. Jika kau hanya memikirkan ketenteraman hidupku sendiri dan membiarkan orang lain diinjak-injak, aku benar-benar seorang yang mementingkan diriku sendiri ibu-ku bahkan akan marah jika tahu aku bersikap mementingkan diri sendiri. Ayahku di akherat mungkin juga marah."
"Tapi oleh Hong Lotoa dan teman-temannnya kau akan dicap sebagai kaki tangan Manchu atau pengkhianat tanah air..."
Tong Lam-hou tertawa, "Terserah aku mau dicaci-maki sebagai apapun. Dunia sungguh terbalik kalau orang yang berusaha menolong sesamanya malah dianggap pengkhianat, sedang orang orang semacam Hong Lotoa malah dianggap pahlawan tanah air. Tapi aku tidak peduli. Tidak peduli pemerintahan bangsa Han atau Manchu, kalau rakyat sejahtera maka harus didukung, dulu ayahkupun menentang Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng. Tidak ada salahnya kalau sekarang aku sebagai anaknya juga melabrak pengikut-pengikut dinasti Beng yang belum lupa dengan kebiasaan lama untuk menindas rakyat..."
Demikianlah, kejadian di Jit-siong-tin itu telah memberikan sebuah pandangan baru dalam diri Tohg Lam-hou. Tanpa didorong-dorong oleh siapapun. Tapi ia menyadari sendiri bahwa, pengacau-pengacau semacam Hong Lotoa dan pentolan-pentolan lainnya harus dibekuk, meskipun mereka berkedok sebagai pembebas tanah air.
Dan ia sadar apa yang dikatakan oleh Pakkiong Liong itu benar, bahwa orang-orang semacam Hong Lotoa itu masih banyak terdapat di mana-mana. Ingin menegakkan kembali dinasti Beng, tidak peduli tindakannya itu meresahkan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa.
Demikianlah, sambil bercakap-cakap mereka tanpa sadar sudah di depan gubuk Tong Lam-hou. Ibu Tong Lam-hou menyambut mereka, dan alangkah terkejutnya ketika melihat pundak dan pinggang anaknya terluka. Maka tanpa tedeng aling-aling Tong Lam-hou menceritakan semua kejadian di Jit-siong-tin-kepada ibunya.
"Aku terpaksa mpmhunuh dua orang penjahat, bu," Tong Lam-hou mengakhiri ceritanya. "Mereka adalah orang orang yang sewenang-wenang, sedikit pun tidak menghargai nyawa sesama manusia."
"Bagus, nak, bagaimanapun juga ayahmu tidak akan kecewa punya putera seperti kau," kata ibu Tong Lam-hou dengan muka berseri "Bukalah bajumu, biar ibu obati lukamu."
"Hanya luka kecil saja, bu."
"Meskipun hanya luka kecil, siapa tahu senjata Kun-lun-sam-long itu dibubuhi racun, sehingga lukanya bisa berbahaya. Mari kuperiksa."
Setelah Tong Lam-hou membuka baju dan ibunya menaburkan luka-luka itu dengan obat, ibu Tong Lam-hou itu masih saja menggeremang, "Membela rakyat kecil tidak perlu takut kesulitan apapun, nak. Itulah tugas pendekar. Dulu ayahmu pun tidak gentar meskipun banyak musuhnya, begitu pula ibu tidak takut andaikata peristiwa di Jit-siong-tin itu ada ekornya. Kau sudah bertindak betul"
Tong Lam-hou menjadi besar hati mendengar kata-kata ibunya itu, sedang Pakkiong Liong diam-diam kagum juga kepada perempuan itu. Para ibu biasanya sangat memanjakan anaknya, ibaratnya tidak boleh lepas dari gendongannya dan tidak boleh mengalami kesukaran yang sekecil apapun, dan akhirnya si anak akan menjadi seorang yang manja dan cengeng. Namun ibu Tong Lam-hou nampak tenang-tenang saja ketika mendengar bahwa anaknya baru saja melakukan perkelahian mati hidup, tidak kaget dan tidak kuatir sedikitpun.
Bukan karena tidak menyayangi anaknya, namun karena sadar bahwa anaknya telah tumbuh menjadi pribadi tersendiri, bukan kepribadian yang tumbuh di bawah lindungan ketiak ibunya. Dan menilik kata-katanya, Pakkiong Liong menduga bahwa ibu Tong Lam-hou ini agaknya mengerti tentang ilmu silat juga, cuma belum dibuktikan sampai seberapa tingginya.
Hari itu dilewati tanpa kejadian apa-apa di gubuk itu. Makanan mereka masih juga sayur lobak, namun tetap saja mereka menyantapnya dengan lahap. Pembicaraan masih berkisar tentang peristiwa di Jit-siong-tin tadi, dan ketika Tong Lam-hou menyampaikan keinginannya untuk bersama-sama Pakkiong Liong menyerbu ke sarang pengacau dan membekuk pentolan-pentolannya, maka ibu Tong Lam-hou malah menyambutnya dengan bersemangat,
"Bagus. Aku mendukung rencana kalian. Sudah terlalu lama desa-desa miskin itu menjadi sapi perahan orang-orang yang mengaku pejuang itu. Kalau pentolan-pentolan mereka dapat tertangkap, rakyat akan aman."
Namun bagaimanapun juga ia tetap seorang ibu, maka dipesankannya juga kepada anaknya, "Kau bersemangat seperti mendiang ayahmu, A-hou, aku bangga kepadamu. Namun kau harus berhati-hati, begitu pula A-liong. Pentolan-pentolan pengacau itu tentu bersembunyi dalam sarang yang dijaga kuat oleh anak buah mereka."
"Baik, ibu, besok kami akan berangkat ke sarang pengacau itu. Ibu juga harus menjaga diri baik-baik di rumah."
"Jangan pikirkan ibu. Ibu sanggup menjaga diri, dan bukankah tidak jauh dari sini juga ada gurumu? Ia tentu akan membantu jika aku mengalami kesulitan," kata ibu Tong lam-hou.
Malam harinya ketika ketiga orang itu sedang bercakap-cakap di dalam gubuk, tiba-tiba dari luar gubuk terdengar suara berkesiurnya pakaian, menandakan ada seseorang yang mendekati gubuk itu dengan ilmu meringankan tubuh. Dan ternyata kemudian disusul kesiur-kesiur pakaian dua kali lagi, sehingga diperkirakan yang datang itu ada tiga orang.
Dugaan Pakkiong Liong tentang kelihaian ibu Tong Lam-hou semakin kuat ketika melihat perempuan tua itu ternyata tenang-tenang saja berkata sambil tetap memegang mangkuk buburnya, "Wah, agaknya cecunguk-cecunguk yang mengaku pejuang itu telah datang ke gubuk kita, A-hou, coba kau tengok keluar. Tapi hati-hatilah, menilik suara langkah-langkah mereka maka agaknya ada dua orang yang lihai di antara mereka, dan yang seorang berilmu rendah saja."
Ketika Tong Lam-hou melangkah keluar, maka Pakkiong Liong juga meletakkan mangkuk buburnya dan bangkit dari duduknya, sambil berkata, "Bibi, biar aku temani A-hou menjenguk keluar."
"Hati-hati A-liong, badanmu belum kuat benar."
"Baiklah, bibi."
Sementara itu dari luar gubuk telah terdengar suara bentakan yang bengis, "Bangsat kecil yang bernama Tong Lam-hou, cepat keluar sebelum kubakar gubukmu ini!"
Ketika Pakkiong Liong menoleh ke arah ibu Tong Lam-hou, maka dilihatnya perempuan setengah tua itu sama sekali tidak menggigil ketakutan. Dengan tenang ia menanggak minumannya, lalu berkata sambil tertawa, "Wah, tamu kita malam ini agaknya seorang yang kasar."
Sementara itu Tong Lam-hou telah melangkah keluar pintu, kemudian disusul oleh Pakkiong Liong. Sesuai dengan suara langkah kaki tadi, yang datang, itu itu benar-benar tiga orang. Di bawah cahaya bulan sepotong yang cukup terang, Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong dapat dapat mengenal bahwa salah seorang dari ketiga "tamu" itu adalah Mo Wan-seng.
Orang tertua dari Kun-lun-sam-long yang julukannya seram, Serigala Taring Besi, namun tadi siang terbirit-birit meninggalkan gelanggang dengan cara yang tidak kenal malu, yaitu dengan mengorbankan adik seperguruannya sendiri. Sedang yang dua orang lagi adalah, orang-orang tua berusia setengah baya. Yang seorang berjubah panjang, berjenggot putih, sepasang matanya memancarkan cahaya kemerah-merahan seperti serigala asli, dan di punggungnya ia menggendong sebatang pedang yang seorang lagi juga berusia sebaya, tubuhnya tegap berotot.
Namun berpakaian seperti seorang pendeta Buddhis lengkap dengan tasbeh dilehernya dan tongkat sian-thung di tangannya. Hanya saja matanya yang bersinar buas itu sama sekali tidak sesuai dengan penampilannya sebagai seorang pendeta yang harusnya bersikap ramah dan lembut.
Begitu melihat Tong Lam-hou telah keluar, Ma Wan-seng segera menudingnya sambil berkata kepada orang tua yang menggendong pedang itu, "Suhu, itulah orangnya yang berani membunuh jisute (adik seperguruan ke dua) dan samsute (adik seperguruan ke tiga)!"
Tong Lam-hou bertolak pinggang di depan ketiga orang itu, katanya sambil tertawa, "He-he-he... serigala bertaring besi yang tadi siang terbirit-birit kini muncul lagi dengan mengajak induknya. Seperti anak kecil yang menangis karena permainannya direbut oleh kawannya, lalu melaporkan kepada ibunya."
"Tutup mulutmu!" bentak orang tua yang menggendong pedang itu. "Kau si bocah busuk ini sudah berani membunuh dua orang muridku, berarti sama saja dengan menantang aku. Kau tahu siapa-aku?”
"Kita belum berkenalan, tentu saja aku tidak kenal kau."
Orang tua yang menggendong pedang itu menggeram. "Kau belum mengenal aku, itulah tanda kepicikan pengetahuanmu. Jika kau tahu siapa aku, kau akan menggigil ketakutan dan menyembah-nyembah mohon ampun kepadaku. Akulah yang bernama Lamkiong Siang, orang menjuluki aku secagai Hwe-san-lo-long (Serigala Tua Bermata Api)."
Mendengar itu Tong Lam-hou tak dapat menahan tertawanya. Katanya, "Lagi-lagi serigala. Tadi siang sudah kuusir tiga serigala, sekarang malah datang induknya serigala yang bermata api segala. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima serigala tua, sebab dagingnya alot untuk dibuat dendeng dan tidak laku di jual...."
Alangkah marahnya Lamkiong Siang mendengar ucapan Tong Lam-hou itu. Matanya yang kemerah-merahan seperti api itu nampak lebih menyala, namun Tong Lam-hou menatapnya tanpa takut.
"Kau marah agaknya? Tapi kau harus tahu alasannya kenapa kubunuh dua orang muridmu. Mereka bertindak sewenang-wenang hendak membunuh orang. Jika kau tidak bisa mengajar murid-muridmu sendiri, jangan marah kalau orang lain yang mengajarnya."
Lamkiong Siang tidak menjawab sepatah katapun. Dengan sikap yang menyeramkan ia melangkah maju mendekati Tong Lam-hou. Tiba-tiba ujung jarinya menusuk ke tenggorokan Tong Lam-hou, geraknya memang cepat sekali, jauh lebih cepat dari Kun-lun-sam-long yang dihadapi Tong Lam-hou tadi siang.
Tong Lam-hou terkejut melihat serangan itu, namun ia sempat menarik mundur kakinya setengah langkah sambil memiringkan tubuhnya. Lamkiong Siang agaknya terkesiap juga melihat ketangkasan lawannya yang masih rriuda itu. Namun sebagai tokoh tua berpengalaman ia tidak mudah melepaskan tekanan atas diri lawannya. Begitu tangan kanan luput, secepat kilat tangan kirinya menyusul menyambar ke depan dengan gerakan Hek-liong-pa-bwe (Naga Hitam Memutar Ekor) dengan jari jarinya yang kuat bagaikan besi itu hendak menyambar ke iga lawan.
Sekali lagi Tong Lam-hou berhasil dipaksanya mundur selangkah. Namun Tong Lam-nou juga tidak sudi didesak mundur terus-terusan. Ketika lawan menyerang lagi, tiba-tiba Tong Lam-hou memiringkan tubuhnya dan secepat kilat, menendang dengan Coan-sin-teng-kak (Memutar Badan Sambil Menendang) yang hampir saja mengenai jidat Lamkiong Siang kalau saja orang tua itu tidak buru-buru menundukkan kepalanya.
Ternyata tendangan Tong Lam hou datang beruntun begitu, cepat, sia-sia saja Lamkiong Siang berusaha menangkap betis lawannya untuk dibanting jatuh, sebab kaki Tong Lam-hou bergerak bagaikan baling-baling terhembus badai. Jika tadi Lamkiong Siang berhasil mendesak Tong Lam-hou dua langkah, maka kini Tong Lam-hou malahan dapat memaksa Lamkiong Siang surut lima langkah tanpa membalas.
Ketika Tong Lam-hou berganti napas, kesempatan itu segera digunakan oleh Lamkiong Slang untuk meloncat mundur. Hatinya masih saja bergetar mengingat bagaimana ia hampir saja dirobohkan oleh seorang anak gunung yang sama sekali belum dikenal di dunia persilatan. Sesaat Lamkiong Siang dan Tong Lam-hou saling memandang, lalu keduanyapun saling tubruk dan terlibatlah mereka dalam suatu perkelahian tangan kosong yang sengit sekali.
Lamkiong Siang masih belum mau mencabut pedangnya sebab sebagai seorang tokoh angkat an tua ia malu kalau melawan seorang anak gunung saja harus memakai senjata. Ia yakin dengan tangan kosongnya akan dapat menaklukkan Tong Lam-hou. Namun kemudian harapan Lamkiong Siang itu adalah harapan yang terlalu berlebihan. Dia yang bertempur dengan ganas dan lincahnya dengan kecepatan tangannya yang seolah menjadi berpuluh-puluh tangan karena cepatnya itu, ternyata terbentur dengan seorang anak muda yang dapat mengimbangi baik kekuatan maupun kecepatannya.
Tong Lam-hou telah berkelahi seperti seekor harimau luka, tanpa gentar sedikitpun dihadapinya lawannya yang sudah punya nama besar di dunia persilatan itu. Serangan dibalas dengan serangan, makin lama makin cepat, akhirnya bayangan tubuh kedua orang itu tidak terlihat lagi. Keduanya bagaikan menjadi segumpal bayangan yang bergulung menjadi satu dengan hebatnya, mata seorang jagoan seperti Mo Wan-seng itu-pun sulit membedakan mana yang gurunya dan mana yang lawannya.
Kadang-kadang terdengar bentakan Lamkiong Siang, atau geraman Tong Lam-hou yang seperti harimau lapar apabila kekuatan mereka berbenturan dan merekapun meloncat berpencaran. Namun sesaat kemudian merekapun sudah saling terjang kembali.
Sementara kedua orang itu sudah terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin sengitnya, maka Pakkiong Liong dan si pendeta yang datang bersama dengan Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang itu telah saling memandang, dan agaknya mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Tiba-tiba terdengar Pakkiong Liong tertawa dingin sambil berkata,
"Selamat malam, Sin-bok Hweshio, tak kuduga bahwa aku akan bertemu kembali denganmu jauh di wilayah selatan ini."
Pendeta yang disebut Sin-bok Hwe-shio itupun tahu siapa yang sedang dihadapinya itu, sehingga sikapnyapun tidak berani sembarangan, “Selamat malam, Pakkiong Ciangkun. Aku tidak memusuhi Pakkiong Ciangkun, apalagi memusuhi kerajaan, aku hanya akan membantu seorang sahabatku untuk menangkap orang yang telah membunuh dua orang muridnya. Harap Ciangkun maklum."
Pakkiong Liong paham betul akan watak orang berjubah pendeta yang berdiri di hadapannya itu. Sin-bok Hwe-shio adalah seorang pendeta murtad yang sudah diusir dari perguruan Nge-tay-pay di Gunung Ngo-tay-san, seorang jago dalam ilmu Nge-kang (Tenaga Keras) dan memiliki ilmu Tit-siang-kin (Tenaga Melemparkan Gajah) yang cukup tinggi tingkatannya. Namun orang sepandai ini ternyata tidak memiliki pendirian yang tetap dalam pergolakan di jaman itu. Ia berpihak kepada siapa saja yang dapat membayar tenaganya.
Dulu Pakkiong Liong tahu bahwa sin-bok Hweshio pernah berpihak kepada pemerintah Manchu ketika la menyumbangkan tenaganya untuk menumpas sebuah gerakan bawah tanah di San-se, dengan upah beberapa taill emas. Kini Pakkiong Liong menduga bahwa Sin-bok Hweshio agaknya sedang bekerja bagi Li Tiang-hong untuk menangkapnya, tentu saja dengan upah yang disepakati pula. Orang semacam Sin-bok Hweshio tidak pernah peduli pergolakan yang terjadi, bahkan semakin bergolak akan semakin besarlah kesempatannya untuk mencari uang dengan jalan menyewakan tenaganya.
Kini Pakkiong Liong menyahut, "Kau membantu sahabatmu, sayang bahwa akupun harus membantu sahabatku. Meskipun kita pernah bekerja-sama di San-se, tapi agaknya sekarang kira harus berhadapan. Kecuali kalau taysu (bapak pendeta) sudi meninggalkan gelanggang ini dengan sukarela, sehingga hubungan baik kita tidak terganggu."
Namun Sin-bok Hweshio menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu pura-pura menarik napas dengan menyesal. Jawabnya, "Yaaaah, sayang sekali. Tetapi Ciangkun tentu maklum bahwa aku ini seorang pendeta miskin yang mencari nafkah dari belas-kasihan orang lain, jadi terpaksa aku harus menjalankan tugas yang dibebankan Li Ciangkun kepadaku supaya mendapat sedikit uang untuk sekedar memperbaiki biaraku...."
Pakkiong Liong tertawa mendengar ucapan Sin-bok Hweshic itu, sesaat dipandanginya pendeta yang mengaku sebagai pendeta miskin itu. Jubah kuningnya yang terbuat dari kain mahal, tasbehnya yang butiran-butirannya adalah mutiara hitam yang mahal pula karena kabarnya hanya didatangkan oleh pedagang-pedagang Persia, lalu jari-jarinya yang bertaburan dengan cincin emas bermata berlian yang tidak cukup satu, melainkan hampir seluruh jari-jarinya mengenakan cincin.
Sahut Pakkiong Liong, "Ya, aku tahu taysu benar-benar pendeta miskin. Aku jadi kasihan karenanya. Tapi taysu bukan miskin harta benda melainkan miskin jiwa, tidak segan-segan menjual pendiriannya untuk uang setahil dua tahil, apalagi memakai jubah pendeta pula. Benar-benar memuakkan."
Wajah Sin-bok Hweshio memerah sejenak, dipukulkannya tangkai tongkatnya ke tanah. Namun kemudian ia justru tertawa dan nada perkataannyapun dibuat sesabar mungkin, "Sudahlah, Ciangkun, tidak perlu kau mengungkit-ungkit apa yang aku lakukan. Kita hidup dengan cara kita sendiri-sendiri. Tetapi aku masih menawarkan suatu kesempatan kepada Ciangkun, kalau Ciangkun sanggup membayar lebih tinggi dari Li Tiang-hong, nanti aku akan berpihak kepadamu untuk menyerahkan Li Tiang-hong kepadamu. Bagaimana?"
"Kalau aku tidak mau?" tanya Pakkiong Liong dengan menahan rasa muaknya.
Sin-bok. Hweshio menjawab sambil terkekeh-kekeh, "Ya terpaksa aku akan bertindak sedikit kurang ajar kepada Ciangkun. Aku akan meminjam kepala Ciangkun sebentar saja untuk ditunjukkan kepada Li Tiang-hong agar aku mendapat upah. Setelah itu nanti aku kuburkan Ciangkun baik-baik dan dengan rajin menyembahyangi kuburan Ciangkun setiap tahun sekali. Aku berjanji."
"Apakah kau mampu?” Tanya Pak-kiong Liong dingin.
"Heh-heh-he meskipun orang lain boleh gentar mendengar nama si Naga Utara, tapi aku si pendeta miskin ini tak tergetar seujung rambutpun. Sudah cukup banyak orang-orang yang memiliki nama terkenal dan julukan yang hebat-hebat telah kupetik kepalanya untuk kutukar dengan uang, dan kau tidak terkecuali, Ciangkun."
Habis perkataannya, maka Sin-bok Hweshio segera turun tangan. Dibarengi sebuah bentakan nyaring tongkat panjangnya segera menyerang dengan jurus Liong-leng-hong-bu (Naga Berputar dan Burung Hong menari), ujung tongkatnya berputar menyerampang kaki dan kemudian menyambar Ke kepala musuh. Tongkat yang terbuat dari perunggu dan sangat berat itu ternyata di dalam genggaman Sin-bok Hweshio jadi seringan sepotong rotan saja. Dapat digerakkan begitu cepat sehingga menimbulkan angin yang menderu dahsyat.
Pakkiong Liong sadar bahwa lawannya kali ini cukup berat, bahkan lebih berat dari Pek-lek-jiu Tio Tong-hai yang pernah dibunuhnya di kuil terpencil beberapa hari yang lalu. Maka sejak semula ia harus sangat berhati-hati. Namun si Naga Utara itu bukan manusia bernyali tikus, ia tidak menghindar saja tapi kedua telapak tangannyapun mencengkeram dengan In-liong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali di awan) untuk memaksakan sebuah pertarungan jarak pendek, lalu disusul dengan gerak Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Merebut Mutiara) untuk menusuk sepasang mata musuh dengan dua jarinya.
Sin-bok Hweshio terpaksa mundur sambil memutar kencang tongkat panjangnya. "Kau sombong sekali, Pakkiong Liong!" teriak Sin-bok Hweshio dari balik putaran tongkat panjangnya. "Kau hendak melawan tongkat perungguku ini hanya dengan tangan kosongmu? Mana senjatamu?"
Pakkiong Liong terus mendesak maju dengan serangan tangan dan kakinya yang bertubi-tubi. Menusuk dengan ujung jari, mencengkram, menjotos, menendang dan menyapu secara berantai, sehingga tubuhnya menjadi bayangan yang bergerak amat cepat dengan aneka ragam serangan. Tak lupa ia membalas teriakan Sin-bok Hweshio tadi, "Sebentar lagi kau akan membuktikan apakah aku hanya sekedar pandai menyombongkan diri atau tidak. Tapi hati-hatilah, jangan menyesal nanti!"
Begitulah, kedua orang itupun segera terlibat dalam pertempuran sengit. Dengan demikian di depan gubuk terpencil di lereng Gunung Tiam-jong-san itu telah terjadi dua. lingkaran pertempuran. Lamkiong Siang melawan Tong Lam-hou dan Sin-bok Hweshio melawan Pakkiong Liong. Dua orang tokoh tua golongan sesat telah kebentur dua orang anak muda yang tangguh.
Sin-bok Hweshio tidak begitu penasaran, sebab lawannya adalah Panglima Hui-liong-kun yang terkenal. Yang penasaran adalah Lamkiong Siang yang lawannya cuma seorang anak gunung yang menurut orang-orang Jit-siong-tin pekerjaannya adalah berjualan sayur di pasar.
Dalam penasarannya, akhirnya Lamkiong Siang menghunus pedangnya yang tergendong di punggungnya itu, ia tidak peduli lagi bahwa seorang tokoh angkatan tua harus menggunakan senjatanya untuk melawan seorang anak gunung yang tidak bersenjata sama sekali, yang penting ia harus bias memancing lawannya yang muda itu.
Mo Wan-seng dengan terlongong-longong menyaksikan perkelahian antara empat orang itu. Semakin melihat ia merasa semakin kecil dirinya di hadapan orang-orang yang bertempur itu, terutama Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong yang usianya jauh lebih muda dari dirinya sendiri itu, namun ilmunya telah mampu mengimbangi tokoh-tokoh seperti Gurunya dan Sin-bok Hweshio.
Ingin rasanya Mo Wan-seng terjun ke gelanggang untuk membantu gurunya, namun untunglah bahwa akal sehatnya masih berjalan dengan baik. Jika ia terjun dalam perkelahian tingkat tinggi itu, maka perbuatannya itu tidak lebih dari bunuh diri belaka. Gerakan-gerakan gurunya dan lawannya itupun tak dapat dilihatnya karena cepatnya, bagaimana ia bisa ikut membantu?
Namun tiba-tiba muncul akal licik Mo Wan-seng. Bukankah menurut kata orang-orang Jit-siong-tin yang ditanyainya tadi di rumah Tong Lam-hou juga ada ibunya? Pikir Mo Wan-seng, "Kalau berhasil kutangkap ibu si bocah edan tentu pikirannya akan bercabang dan Guru dengan mudah akan membereskannya."
Berpikir demikian, ia segera melaksanakannya. Di hunusnya pedangnya, dan sambil berjalan memutari gelanggang, la lalu meloncat masuk ke pintu gubuk yang terbuka lebar itu. Perbuatan Mo Wan-seng itu diketahui jelas oleh Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou. Pakkiong Liong menjadi agak gugup karena menguatirkan keselamatan ibu Tong Lam-hou yang dianggapnya seperti ibunya sendiri itu.
Karena perhatiannya terpecah, hampir saja kepalanya retak tersambar oleh tongkat panjang Sin-bok Hweshio, untung ia cepat-cepat menundukkan kepala sambil meloncat mundur. Namun ketika Pakklong Liong melirik Tong Lam-hou, ia menjadi heran ketika melihat sahabatnya itu tenang-tenang saja meskipun sudah melihat Mo Wan-seng masuk ke gubuk dengan pedang terhunus.
"Agaknya kekuatirankulah yang tidak beralasan," pikir Pakklong Liong. Dan hatinyapun menjadi tenang kembali untuk melayani musuhnya dengan penuh kewaspadaan.
Sementara itu dalam gubuk telah terdengar suara ribut-ribut, bercampur suara ibu Tong Lam-hou yang memaki maki, kemudian terlihatlah Mo Wan-seng meloncat keluar dengan tergesa-gesa sehingga hampir saja terjungkal karena kakinya terantuk ambang pintu. Jika masuknya tadi si Serigala Taring Besi ini masih gagah perkasa, maka keluarnya sudah tidak keruan lagi tampangnya. Matanya biru sebelah, hidung berdarah, bibir bengkak dan kakinya terpincang-pincang. Sedang wajahnya menampilkan perasaan kaget luar biasa.
Dari dalam gubuk itu menyusul keluar ibu Tong Lam-hou. Perempuan itu tangannya memegang sepotong kayu panjang berujung runcing, yang biasanya dipakai untuk melubangi tanah yang akan ditanami bibit tumbuh-tumbuhan. Dengan kayu sepanjang satu depa itulah rupanya ibu Tong Lam-hou itu telah menghajar Mo Wan-seng yang menyelonong masuk ke gubuknya.
"Maling kecil, mari rasakan tongkatku lagi!" bentak ibu Tong Lam-hou sambil memburu Mo Wan-seng dengan marahnya. Maka bertempurlah kedua orang itu, menanti, ramainya halaman gubuk itu.
Diam-diam pakkiong Liong tersenyum di dalam hatinya ketika melihat seorang yang memiliki julukan begitu garang, Tiat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), ternyata tidak berdaya apa-apa menghadapi seorang perempuan setengah tua yang cuma bersenjata sebatang kayu pencocok tanah itu. Terlihat betapa tangkasnya ibu Tong Lam-hou memainkan kayunya itu sehingga Mo Wan-seng yang bersenjata pedang itu tidak berhasil meratas putus kayu itu, bahkan dirinyalah yang selalu terancam oleh ujung kayu yang runcing itu.
Pakkiong Liong setelah yakin bahwa keselamatan ibu Tong Lam-hou tidak terancam, kini dapat memusatkan perhatiannya kepada musuhnya. Ia tidak saja berkelahi dengan tangan dan kakinya, tapi juga dengan otaknya. Meskipun ia tanu bahwa Sin-bok hwesio bertenaga besar, namun Pakkiong Liong tidak takut. Tapi ia lebih suka berkelahi dengan mengandalkan kelincahan dan kelenturan tubuhnya untuk menghadapi Sin-bok Hweshio yang kaku seperti badak itu.
Dengan silat gaya naganya Pakkiong Liong memperlihatkan gerakan aneh-aneh yang membuat Sin-bok Hweshio kebingungan. Kadang-kadang berguling di tanah, atau merendahkan badannya sampai hampir rata dengan tanah, lalu meletik bangun dan berputar di udara, meliuk dan menyambar dari atas dan di lain saat kembali menyergap dari bawah. Maka tongkat panjang Sin-bok Hweshio yang sebenarnya mampu menghancur-leburkan sebongkah batu karang itu jadi kehilangan daya gunanya.
Meskipun tongkat itu berputar-putar dengan kekuatan penghancur yang besar, namun yang dikenalnya selalu angin belaka, sedang Pakkiong Liong seperti segumpal asap saja, yang buyar setiap kali tersentuh. Sin-bok Hweshio sampai mandi keringat sehingga jubahnya lengket dengan, kulitnya, namun tak dapat mengenai lawannya yang lincah itu.
Setelah merasa berhasil mendesak lawannya setapak demi setapak, Pakkiong Liong yang sudah tidak sabar itu memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran dengan menggunakan ilmu pamungkasnya, Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) yang diandalkannya itu.
Dan si pendeta gadungan Sin-bok Hweshio itu segera merasakan akibatnya. Mula-mula ia hanya merasa agak heran ketika merasa di udara di sekitarnya terasa agak hangat, namun kemudian meningkat makin lama makin panas sampai rasanya berada dalam tanur pembakaran. Dan dilihatnya sepasang telapak tangan Pakkiong liong telah menjadi merah membara bagaikan besi dibakar, itulah ilmu Hwe-liong-sin-kang tingkat ke delapan, tingkat yang paling tinggi yang dikuasai oleh Pakakiong Liong.
Sin-bok Hweshio segera merasa napasnya menjadi sesak karena udara yang terlalu panas di sekitarnya, keringatnya seakan terperas habis dan kulitnya hangus, sehingga dengan sendirinya gerakan senjatanyapun semakin kendor. Tapi ia tidak beraya melepaskan diri dari libatan udara maha panas itu, sebab Pakkiong Liong terus mendesaknya dalam pertempuran jarak dekat, sehingga Sin-bok Hweshio benar-benar setengah mati. Untung tenaga dalamnya cukup tangguh sehingga untuk sementara masih bisa bertahan, sambil mencoba mengulur waktu untuk menunggu bantuan Lamkiong Siang setelah Lamkiong Siang menyelesaikan lawannya.
Terdengar Pakkiong Liong mengejek, "Sayang sekali, upah yang bakalan kau terima dari Li Tiang-hong itu bukan berupa uang emas atau perak, tetapi cuma kertas kuning." Kertas kuning adalah "uang" untuk orang yang mati, menurut adat Cina, dengan demikian Pakkiong Liong mengejek lawannya sudah pastl akan mati.
"Persetan! Aku belum kalah!" teriak Sin-bok Hweshio dengan marah sambil mengerahkan seluruh ilmunya untuk bertahan. Bertahan bukan saja melawan sepasang telapak tangan yang merah membara itu, tetapi juga hawa panas yang terus melibatnya tanpa kenal ampun. Dan sia-sia pula jika Sin-bok Hwesio mengharapkan bantuan Lamkiong Siang, sebab sahabatnya itupun sedang kerepotan menyelamatkan dirinya sendiri.
Meskipun ia telah memutar pedangnya sekencang angin, namun ternyata Tong Lam-hou memiliki gerakan yang lebih cepat daripadanya, sehingga serangan-serangannya tetap saja bisa mengenai tubuh Lamkiong Siang betapapun rapatnya ia bertahan. Beberapa bagian tubuh Lamkiong Siang memar rasanya terkena pukulan atau tendangan Tong Lam-hou yang keras seperti palu baja itu. Sedangkan pedangnya bergerak dengan sia-sia saja tanpa bisa mengenai tubuh lawan, sebab lawannya seperti sesosok hantu saja yang tak tersentuh badan kasar.
Seolah-olah Tong Lam-hou sudah berjanji dengan Pakkiong Liong, begitu Pakkiong Liong menggunakan ilmu Hwe-liong-sin-kangnya yang panas luar biasa itu, tiba-tiba Tong Lamhou juga ingat bahwa ia memiliki yang serupa, meskipun akibatnya berlawanan. Ilmu ajaran gurunya yang disebut Hian-in-ciang (Pukulan Maha Dingin). Maka seolah bersaing dengan Pakkiong Liong, Tong Lam-hou juga mengeluarkan ilmunya itu untuk mempercepat selesainya pertempuran....
Orang yang pertama Mo Wan-seng itu segera melangkah maju disertai tatapan mata yang mengandung nafsu membunuh. Tangannya sudah melekat di gagang pedangnya. Katanya dingin, " Anak-muda, mengingat bahwa kau masih muda dan tidak berharga untuk kulawan, maka kuampuni kau asal kau berlutut dan mengucapkan penyesalanmu kepada orang banyak!"
Tong Lam-hou tertawa dingin, "Bagaimana kalau sebaliknya saja? Mengingat bahwa kau belum pernah bermusuhan denganku, kau akan kulepaskan asal kau juga mengampuni paman Sun...."
"Kurang ajar! Kau berani tawar-menawar dengan Kun-lun-sam-ong? Siapa namamu dan apa pekerjaanmu?!" bentak Mo Wan-seng marah.
"Semua orang sudah tahu namaku Tong Lam-hou," sahutnya tenang, "…dan pekerjaanku ialah menguliti serigala dan membuat dendeng serigala!"
Pakkiong Liong yang berada di antara para penonton itu hampir tak dapat menahan tertawanya mendengar jawaban itu. Ketiga orang asing itu mengaku berjulukan Tiga Serigala dari Kun-lun, dan kini Tong Lam-hou menyebut dirinya sebagai tukang menguliti serigala. Diam-diam banyak penduduk Jit-siong-tin yang mencemaskan nasib A-hou yang baik hati itu, kenapa begitu gila berani menentang Hong Lotoa dan orang-orang asing yang aneh itu?
Yang merah padam wajahnya sudah tentu Mo Wan-seng dan kedua adik seperguruannya itu. Mereka biasa ditakuti di wilayah barat sana, membunuh orang seperti membunuh tikus saja, dan orang-orang menggigil mendengar nama mereka. Kini di desa terpencil di wilayah Hun Lam ini mereka diejek terang-terangan oleh seorang bocah desa yang sama sekali tidak punya nama di dunia persilatan.
Kiongwan Peng yang kebanci-bancian dan selalu tersenyum-senyum genit itu, tiba-tiba wajahnya berubah jadi kejam. Sambil memegang sepasang pisau belatinya ia berkata kepada Mo Wan-seng, "Toa-suheng, aku ingin mengambil sepasang biji mata bocah ini, barangkali cukup menarik kalau diawetkan dan dijadikan kalung..."
Ucapan itu sungguh menggidikkan, namun Tong Lam-hou menanggapinya sambil tertawa-tawa saja, "Dan serigala macammu ini agaknya kurang lezat kalau dijadikan dendeng, lelaki bukan perempuan juga bukan..."
Belum habis ucapannya, Kiongwan Peng telah menjerit sambil menyerang secepat kilat dengan sepasang belatinya. Belati kiri menusuk ke mata, belati kanan menusuk ke pusar, dua gerakan yang sangat ganas dilakukan serempak dengan kecepatan yang tinggi. Jarang musuh yang lolos dari serangannya ini.
Namun Tong Lam-hou ringan saja melangkah ke samping sambil mendorongkan telapak tangannya ke tubuh si Serigala Banci Kiongwan Feng itu, sehingga tubuh lawannya terhuyung-huyung sampai hampir jatuh telungkup.
Kejadian itu mengejutkan ketiga jagoan dari Kun-lun itu. Sekali pandang saja mereka segera tahu bahwa kali ini mereka telah terbentur seorang lawan tanguh. Namun mereka tidak gentar. Sudah berpuluh kali mereka menjumpai musuh yang kuat dan setiap kali pula berhasil mengatasinya dan tidak jarang mencincang lawan mereka, maka kali ini mereka tetap berkeyakinan dapat mengalahkan lawan.
Kiongwan Peng yang hampir saja jatuh itu cepat-cepat menguasai keseimbangan badannya. Dan sekejap kemudian ia sudah menyerang kembali dengan jurus Ya-long-tiau-kan atau Serigala Liar Meloncati Parit, sepasang belatinya berkelebatan begitu cepatnya sehingga seolah-olah ia punya beberapa pasang tangan dengan beberapa pasang belati yang bergerak serempak, berkilauan di bawah sinar matahari. Seluruh tubuh Tong Lam-hou telah terkurung rapat.
Namun kembali Kiongwan Peng harus kecewa, sebab dengan gerakan selicin belut Tong Lam-hou telah lolos dari kepungan ujung-ujung belati itu, bahkan sekali lagi kakinya sempat menendang betis Kiongwan Peng sehingga tokoh dari kun-lun itu terbanting roboh. Kali ini benar-benar roboh mencium tanah. Sedang gerakan Tong Lam hou tadi tidak mirip gerakan silat, seperti menyepak sembarangan saja namun hasilnya memuaskan.
Sampai di sini, habislah kesabaran kedua "serigala" lainnya. Kalau dibiarkan terus-menerus agaknya Kiong-wan Peng akan terjungkal berulang-kali, dan nama besar Kun-lun-sam-long akan tersapu habis. Karena itu Mo Wan-seng telah mencabut pedangnya yang runcing dan sempit itu, sambil berseru kepada Auyang Bun, "Jisute, menghadapi kaki tangan Manchu ini kita tidak perlu sungkan-sungkan. Ayo kita maju serentak!"
Begitu mulutnya terkatup, begitu pula ujung pedangnya cergerak dengan gerakan Hui-seng-kiong-goat atau Bintang Beralih Menabrak Bulan, kearah kerongkongan Tong Lam-hou. Caranya menerkam dan menyergap benar-benar mirip cara seekor serigala, cepat, ganas dan telak. Namun tikaman itu dapat dihindari sehingga ia merubahnya menjadi sabetan Hui-sin-pek-san (Memutar Badan Menyabet Gunung), yang lagi-lagi dapat dihindari oleh Tong Lam-hou dengan gerakan yang amat sederhana.
Sementara itu si "serigala" kedua Auyang Bun juga sudah terjun ke gelanggang dengan pedangnya yang tebal dan lebar itu. Diikuti pula oleh Kiongwan Peng yang bertempur dengan sengit sekali karena ia sudah dua kali dirobohkan oleh Tong Lam-hou.
Kini penduduk Jit-siong-tin menyaksikan pertunjukkan yang hebat. Si bocah gunung A-hou yang dikenal sebagai anak yang baik hati dan sedikitpun tak bisa bersilat tiba-tiba telah mengejutkan seluruh Jit-siong-tin karena sanggup menghadapi keroyokan Kun-lun-sam-long yang bersenjata, sedang Tong Lam-hou tetap bertangan kosong, yang merasa perasaannya kacau adalah Hong Lotoa hampir tiap hari ia membentak-bentak dan menghina A-hou.
Namun kini dilihatnya A-hou ternyata memiliki ilmu silat sehebat itu. Diam-diam ia ingin agar A-hou terbunuh saja oleh ketiga orang asing itu, sebab kalau A-hou hidup ada kemungkinan akan membalas dendam kepadanya, dan Hong Lotoa insyaf sekarang bahwa sebenarnya dirinya tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan A-hou yang sering dihinanya itu.
Tapi agaknya harapan Hong Lotoa jauh dari kenyataan. Ketiga "serigala" itu memang bertempur dengan ganas luar biasa, senjata-senjata mereka berputaran dengan kecepatan luar biasa dan menimbulkan angin berkesiur, namun ujung baju Tong Lam-hou saja tak dapat mereka sentuh. Tong Lam-hou benar-benar telah mengejutkan mereka. Di satu saat Tong Lam-hou bertahan dengan kokohnya bagaikan sebungkah bukit karang yang tak tergoyahkan, di lain saat ia bergerak begitu ringan seperti asap saja, sehingga seolah-olah ketiga lawannya telah berkelahi dengan sesosok mahluk tak berwujud.
Dan apabila Kun-lun-sam-long memperhatikan ilmu apa yang dimainkan oleh Tong Lam-hou, maka penasaranlah mereka. Ternyata ilmu yang dimainkan itu adalah ilmu pukulan yang disebut Tam-cap-hoa-hong, ilmu silat pasaran yang oleh tukang-tukang obat di pinggir jalan saja bisa dimainkan, bahkan jagoan-jagoan kelas kambing yang berceceran di mana-mana rata-rata juga bisa ilmu ini.
Namun sekarang dimainkan oleh Tong Lam-hou maka bukan main bahayanya. Kuda-kudanya kokoh kuat, jika berpindah tempat berkelebat secepat kilat, sementara sepasang kepalanya dan sepasang kakinya bagaikan empat buah palu godam baja yang dapat menghancurkan tulang-tulang lawannya apabila kena.
Pakkiong Liong yang menonton di antara kerumunan penduduk desa itu, diam-diam mengangguk-anggukkan kepalanya sambil membatin, "Tong Lam-hou benar-benar sebutir mutiara yang tersembunyi dalam lumpur. Aku tidak kagum jika ia sanggup mengimbangi Kun-lun-sam-long dengan ilmu ajaran Tiam-jong-lo-sia yang aneh-aneh dan sulit dimainkan itu. Namun hanya dengan silat bakul obat Tam-cap-hoa-hong dapat mengimbangi ketiga musuhnya, benar-benar kecerdasan yang luar biasa. Tadinya, siapa percaya bahwa silat pasaran yang hanya banyak dibanggakannya itu bisa dipakai untuk benar-benar berkelahi?”
Ilmu Tam-cap-hoa-hong terdiri dari empat bagian dasar yang disebut Tam cui, Cap-kun, Hoa-kun dan Hong-bun, semuanya dimainkan oleh Tong Lam-hou dengan sempurna lambat-laun Kun-lun-Sam-long mulai terdesak. Tidak peduli mereka bertiga berkelahi dengan kebuasan mirip serigala-serigala liar.
Alangkah penasarannya tiga orang jagoan Kun-lun itu. Mereka bisa menerima kekalahan dengan rela jika lawannya seorang pendekar terkenal yang memainkan ilmu yang istimewa pula. Tapi sekarang? Lawannya cuma seorang anak dusun dan yang dimainkannya cuma "silat gerak badan" yang maha sederhana itu, tentu saja Kun-lun-sam-long merasa terhina sekali. Hari ini habis sudah nama besar mereka. Tidak ada jalan lain kecuali mengadu nyawa saking malunya.
Sementara itu, Tong Lam-hou boleh dikata belum berpengalaman sama sekali dalam perkelahian yang sebenarnya, meskipun hampir tiap hari ia melakukan latihan dengan gurunya. Maka ketika merasa mulai mendesak lawan, Tong Lam-hou menjadi lengah, ia tertawa terbahak-bahak sambil mengejek, "Ha ha-ha... tikus-tikus macam inikah yang diupah oleh Li Tiang Hong untuk menangkap Pakkiong Liong si Naga Utara?!"
Pada saat ia mengejek, gerakannya menjadi agak kendor. Saat itulah Kiongwan Peng secara licik telah menyergap dari belakang ke punggung Tong Lam-hou dengan gerakan Siang-liong-Jip-hai (Sepasang Naga Masuk Samudera). Dibarengi dengan Ma Wan-seng serta Auyang Bun yang menerjang dari depan secara berbarengan. Tong Lam-hou terkejut, sadarlah ia sudah berbuat suatu kesalahan, kini serangan lawan datang dari tiga penjuru seolah-olah tak dapat dibendung lagi.
Dalam usahanya untuk menyelamatkan diri, tanpa pikir panjang Tong Lam-hou telah menggulingkan diri ke samping secepat ia bisa. Namun masih agak terlambat juga, sebab pedang runcing Mo Wan-seng sempat menyerempet pundaknya sehingga berdarah, Juga pisau belati Kiongwan Peng menyerempet pinggangnya sehingga luka pula.
Cepat Tong Lam-hou meloncat bangun dengan gerakan Le-hi-ta-teng (Ikan Lele Meletik), ketika tangannya meraba pundak dan pinggangnya yang berdarah, maka tiba-tiba muka Tong Lam hou juga menjadi merah padam seperti warna darah yang membasahi telapak tangannya itu. Matanya berapi-api memandang ketiga lawannya. Geramnya seperti harimau luka,
"Kalian benar-benar berniat membunuhku? Bagus... bagus... kalau begitu akupun tidak akan sungkan-sungkan lagi. Kalian sudah memilih nasib kalian sendiri."
Sikap Tong Lam-hou yang tadinya tidak bersungguh-sungguh menjadi sangat angker itu telah menggoncangkan jantung ketiga "serigala" itu. Hati mereka mulai merasa agak kecut, namun mereka masih mempunyai sedikit rasa malu sehingga tidak mau terbirit-birit begitu saja.
Sesaat kemudian, Tong Lam-hou mulai menyerang ketiga lawannya. Namun kali ini ia tidak bermain-main lagi dengan Tam-cap-hoa-hong, melainkan dengan ilmu ajaran gurunya. Sepasang telapak tangannya dengan jari-jari rapat melakukan gerakan menusuk dan menabas seperti golok, sekejap saja ketiga orang Kun-lun-sam-long itu sudah terjebak dalam serangan-serangan maut yang berputar dahsyat.
Dan setelah Tong Lam-hou berkelahi dengan sungguh-sungguh karena marahnya, maka terlihatlah betapa hebat tandangnya. Bagaikan segulung angin prahara yang menggulung ketiga lawannya dan menggilasnya tanpa ampun. Dan beberapa saat kemudian, si serigala Banci Kongwan Peng yang lebih dulu megap-megap di bawah tekanan lawannya.
Ketika Tong Lam-hou menusukkan ujung jari-jarinya ke lehernya, ia menyilangkan sepasang belatinya untuk mencoba menggunting pergelangan tangan Tong Lam-hou agar putus, namun secepat kilat Tong Lam-hou menarik tangannya dan kakinya menendang lurus ke depan dengan kecepatan luar biasa. Si Serigala banci itupun terlempar keluar dari arena dengan tulang-tulang rusuk yang rontok semua, setelah memuntahkan darah iapun melayang nyawanya.
Dua kakak seperguruannya hanya melihat kematian adik seperguruan mereka itu tanpa berbuat apa-apa, sebab gerakan Tong Lam-tou demikian cepat. Mereka terlongong sejenak, sebab tidak percaya bahwa Kun-lun-sam-long yang malang melintang di kawasan barat itu kini bakalan terbantai oleh seorang anak dusun tak bernama di kawasan terpencil ini.
Ketika Tong Lam-hou melangkah mendekati sisa kedua "serigala" itu, tubuh merekapun menjadi gemetar. Tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang tak diduga oleh semua pihak. Mo Wan-seng tiba-tiba telah mendorong adik seperguruannnya sendiri, Auyang Bun, ke arah Tong Lam-hou, sedangkan, ia sendiri secepat kilat telah meloncat untuk kabur.
Auyang Bun sama sekali tidak menduga kakak seperguruannya akan tega mengorbankan dirinya untuk keselamatannya. Si Serigala Banci itupun terlempar keluar dari arena dengan tulang rusuk uang rontok semua, setelah memuntah-darah ia pun melayang nyawanya sendiri, ia terhuyung ke arah Tong Lam-hou sambil mengacungkan pedangnya, sementara mulutnya berteriak, "Toasuheng, kau..."
Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab tubuhnya yang tak bernyawa kemudian terkulai di hadapan kaki Tong Lam-hou. Rupanya Tong Lam-hou sendiri cukup terkejut ketika melihat Auyang Bun menubruk kepadanya, maka tanpa banyak pertimbangan lagi ia segera mengelak sambil menjotos ke dada Auyang Bun, tak ampun lagi "serigala" kedua itupun mampus dalam keadaan yang sama dengan Kiongwan Peng. Tulang-tulang dadanya patah semua.
Tong Lam-hou sendiri baru menyadari sesaat kemudian bahwa gerakan Auyang Bun tadi adalah karena didorong oleh Mo Wan-seng yang ingin menyelamatkan diri sendiri dengan mengorbankan adik seperguruannya sendiri. Ketika Tong Lam-hou telah sadar dan hendak mengejar Mo Wan-seng, maka orang itu telah melenyapkan diri di antara kerumunan penduduk desa dan tak terkejar lagi.
Kini yang aaa di arena itu tinggallah dua sosok mayat dari orang kedua dan ketiga dari Kun-lun-sam-long, serta Tong Lam-hou yang berdiri tegak dengan sikap garang. Ketika pandangan matanya menyambar Hong Lotoa dan teman temannya yang tidak sempat melarikan diri, tiba-tiba saja Hong Lotoa dan teman-temannya menjadi gemetar, Begitu takutnya mereka sampai lutut mereka tak mampu lagi menopang badan mereka, sehingga merekapun berlutut.
"ka... kami... minta... ampun...!" kata Hong Lotoa tergagap-gagap. Bahkan kepada si pemilik kedai she Sun yang hampir saja digantungnya itu, Hong Lotoa juga menyembah-nyembah sambil memohon, "Paman Sun, a...aku minta ampun..."
Pemilik kedai itu bukan seorang pendendam, namun karena nyawanya hampir saja melayang gara-gara kesalahan kecil saja, maka ia masih merasa mendongkol juga. Tiba-tiba tangannya terayun dan muka Hong Lotoa telah digamparnya berulang-kali. Katanya, "Gampang saja minta ampun setelah tahu dirimu tersudut. Tapi andaikata tadi tidak ada A-hou, bukankah aku sekarang sudah tergantung kaku, di pohon itu? Hanya karena kau ingin menjilat atasanmu yang kau panggil Li Ciangkun serta ketiga orang asing tadi?"
Penduduk Jit-siong-tin yang biasanya sangat tertekan oleh tingkah-laku Hong Lotoa dan teman-temannya tanpa dapat berbuat apa-apa, kini bangkit keberaniannya, merasa mendapat kesempatan untuk membalas. Salah seorang penduduk telah berteriak dari tengah kerumunan, "Gantung saja dia!"
Lalu yang lain-lainnya pun menyahut, "Benar. Selama ini sudah berapa orang desa kita yang dihukum secara sewenang-wenang oleh Hong Lotoa, entah dirangket entah digantung atau dipenggal, sekarang kita balas!"
"Jangan! Bakar saja hidup-hidup!"
"Ia juga sudah menodai anak perawan janda Ma di desa sebelah, sehingga gadis itu bunuh diri saking malunya!"
Pucatlah wajah Hong Lotoa dan teman-temannya, lenyaplah kegarangan yang selama ini mereka tunjukkan dan mereka pergunakan untuk menekan rakyat kecil. Hong Lotoa segera memeluk kaki Tong Lam-hou samoii meratap, "A-hou... eh, Tong Siau-hiap (Pendekar Muda she Tong), hanya kau yang dapat menolong aku...."
Semakin bergolak orang-orang Jit-siong-tin yang ingin menumpahkan benci mereka kepada Hong Lotoa, semakin erat Hong Lotoa memeluk kaki Tong Lam-hou sambil menangis seperti anak kecil. Kini ia merasakan sendiri betapa takutnya seseorang menghadapi kematian, biasanya ia malah tertawa gembira melihat betapa pucatnya wajah seseorang yang diputuskan hukuman mati dalam "pengadilan pembebasan tanah-air" Dan kini, tak terkendali lagi celananyapun menjadi basah karena ia telah terkencing-kencing ketakutan.
Yang kebingungan adalah Tong Lam-hou. Ia kasihan melihat Hong Lotoa, tapi ia juga maklum bahwa penduduk JIt-siong-tin sudah banyak dirugikan oleh Hong Lotoa. Bukan saja dirugikan harta benda, tetapi beberapa orang malahan sudah kehilangan sanak keluarganya yang dihukum mati. Dalam kebingungannya itu Tong Lam-hou menatap kepada Pakkiong Liong, seorang Panglima yang dianggapnya jauh lebih berpengalaman daripadanya. Tapi nampaknya Panglima yang sudah terbiasa bergelut di antara ratusan ujung senjata itu juga tidak tahu bagaimana caranya meredakan kemarahan orang banyak.
Akhirnya secara untung-untungan Tong Lam-hou berteriak, "Saudara-saudara, tahan! Tenanglah sebentar!"
Suara yang dilontarkan dengan landasan tenaga dalam itu bagaikan halilintar yang meledak di langit, seketika membuat suara orang-orang yang berteriak-teriak itu menjadi bungkam. Kini semua mata ditujukan ke arah Tong Lam-hou, si penjual dendeng yang mendadak menjadi seorang pahlawan itu.
Karena memang tidak pandai berbicara, maka Tong Lam-hou bicara sekenanya saja tidak peduli orang banyak menjadi puas atau tidak, "Saudara-saudara, memang Hong Lotoa banyak kesalahannya, tapi berilah ia kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Kelihatannya ia sudah menyesal sekali, dan alangkah kejamnya kalau kita main hakim sendiri terhadap orang yang tak berdaya."
Benar juga, banyak orang yang menggerutu tidak puas mendengar rerka-taan Tong Lam-hou yang dirasa terlalu lunak itu. "Dosanya sudah besar sekali, menganggap nyawa orang-orang sedesanya sebagai mainan belaka!" teriak seseorang.
"Ya, mana boleh ia tidak dihukum?!" teriak yang lain.
Maka kembali bersahut-sahutanlah suara orang-orang banyak itu. "Gantung dia!"
"Penggal kepalanya!"
"Tenggelamkan di sungai!!"
Tetapi kembali suara Tong Lam-hou yang keras menggelegar mengatasi keributan itu, "Tenang, saudara-saudara! Kita akan menghukum dia, tetapi tidak dengan hukuman mati!"
Banyak penduduk Jit-siong-tin yang keberatan dengan keputusan Tong Lam-hou yang dianggap terlalu ringan itu, namun semuanya tak berani menentang Tong Lam-hou. Kini bagi rakyat Jit-siong-tin, Tong Lam-hou tak ubahnya malaikat yang turun dari langit yang harus ditaati segala sabdannya. Tetapi masih ada juga yang berteriak, "Setelah dihukum, usir dia dari desa ini!"
"Betul! Kita tidak butuh manusia penjilat macam dia!"
"Perginya harus merangkak seperti anjing, sebab selama ini dia jadi anjingnya Li Tiang-hong untuk memeras kita!"
Bagi Tong Lam-hou hal itu lebih baik daripada Hong Lotoa harus digantung atau ditenggelamkan ke sungai atau entah apa lagi. Karena itu ia tidak lagi mencegah kemauan penduduk desa, yang bagaimanapun juga memerlukan sedikit pelampiasan setelah terperas selama bertahun-tahun.
"Nah, Hong Lotoa, kau sudah dengar sendiri keputusan penduduk desa?" tanya Tong Lam-hou yang kakinya masih dipeluk oleh Hong Lotoa.
Hong Lotoa mengangguk-anggukkan kepalanya, mukanya tidak sepucat tadi lagi, bagaimanapun juga sekedar hukuman badan dan diusir dari desa tidaklah seberat hukuman mati. Bahkan, tanpa diketahui oleh siapapun, timbul niat jahat dalam hati Hong Lotoa, jika ia pergi dari desa ini maka akan diajaknya pasukan Li Tiang-hong kelak untuk membumi hanguskan desa yang telah menghinanya itu. Namun niat itu dipendamnya dalam hati, dan dengan liciknya wajahnya kelihatan begitu menimbulkan jelas kasihan. Kalau aku bersembunyi dalam pasukan Li Caingkun, siapa lagi yang 'bisa menangkap aku? demikian pikirnya.
"Terima kasih Tong Taihiap," kata Hong Lotoa sambil menyembah Tong Lam-hou. "Aku tidak bisa melupakan budimu ini...."
Sahut Tong Lam-hou dingin, "Jangan gembira dulu, kau belum tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan bukan?"
Wajah Hong Lotoa memucat lagi. "Hu... hukuman... ap... apa?"
"Kau gemar menginjak sesamamu, maka kedua kakaimu harus dipatahkan. Mulutmu gemar menfitnah dan memberi keputusan hukuman secara sewenang-wenang, maka aku akan minta semua gigi depanmu, atas dan bawah," kata Tong Lam-hou. "Cukup ringan bukan?"
"Tong Taihiap!" jerit Hong Lotoa ketakutan.
"Kalau kau tidak mau hukuman ini, apa kau lebih suka kuserahkan kepada penduduk Jit-siong-tin supaya mereka sendiri yang menghukummu?" tanya Tong Lam-hou.
"Jangan! Jangan!" teriak Hong Lo-toa cepat-cepat.
Sementara penduduk Jit-siong-tin yang mendengar keputusan itu telah menyambutnya. Kata seseorang, "Terlalu ringan! Tapi boleh segera dilaksanakan!"
Maka hukuman itupun dilaksanakan. Kedua kaki Hong Lotoa dipatahkan lututnya, dan gigi depannya dihabiskan oleh Tong Lam-hou dengan sekali pukul saja. Tentu saja Hong Lotoa melolong-lolong seperti babi disembelih namun di dalam hatinya tidak timbul rasa penyesalan atas kelakuannya selama ini. Bahkan ia mendendam kepada Tong Lam-hou dan penduduk Jit-siong tin.
Hong Lotoa sama sekali tidak menyadari bahwa hukuman yang diterimanya itu terlalu ringan dibandingkan kesengsaraan yang telah ditimbulkannya atas diri penduduk Jit-siong-tin. Itulah watak manusia. Merasa diri sendiri diperlakukan kurang adil atau terlalu kejam, namun jika ia sendiri berbuat Kejam kepada orang lain dengar, mudah dilupakannya.
Dengan dipapah oleh dua orang anak buahnya, dan diikuti oleh segenap anak buahnya yang juga ikut diusir dari desa itu, maka Hong Lotoa-pun meninggalkan desa yang sudah bertahun-tahun diperasnya atas nama "Gerakan Pembebas Tanah Air" itu. Tapi hasil perasan itu sebagian besar masuk ke kantongnya sendiri dan habis di meja judi atau di rumah pelesiran. Sedangkan "Gerakan Pembebasan Tanah Air" menerima tidak sampai sepertiganya.
Maka Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong meninggalkan desa itu dengan diantar oleh seluruh penduduk desa sampai ke gerbang desa, seperti mengantar seorang pahlawan saja. Namun sebegitu jauh Pakkiong Liong belum mengaku terus-terang kepada penduduk desa bahwa dia adalah seorang Panglima Kerajaan Manchu. Namun secara samar-samar ia menjanjikan perlindungan kepada penduduk Jit-siong-tin apabila Li Tiang-hong dan pasukannya marah.
Pakkiong Liong merasa gembira bahwa satu desa sudah dibebaskan dari pengaruh kaum penentang pemerintah Manchu, sehingga kaum pemberontak itu kehilangan sebagian dari daerah sumber perbekalannya.
Sementara itu, jauh di luar desa Jit-siong-tin, Mo Wan-seng tengah melangkah dengan lesu disebuah jalan yang sepi. Hari ini benar-benar hari naas bagi Kun-lun-sam-liong, yang sekaligus kehilangan dua anggota di tangan seorang anak dusun tak ternama, bahkan melarikan diri seperti seekor anjing yang digebuk.
Sebenarnya tujuan Kun-lun-sam-long ingin menangkap Pakkiong Liong itu bukan karena rasa cinta-tanah-air dan sebangsanya, melainkan demi uang hadiah yang berjumlah banyak, yang dijanjikan oleh pihak Li Tiang-hong bagi siapa saja yang dapat menangkap hidup atau mati Panglima Manchu yang sangat terkenal itu.
Tak terduga yang didapatnya bukan hadiah, malahan nasib sial harus kehilangan dua orang saudara seperguruannya. Bahkan Auyang Bun mati karena dikorbankan bagi keselamatan dirinya sendiri, agar ia mendapat kesempatan untuk kabur. Kini rasanya arwah adik seperguruannya yang kedua itu masih melekat di tengkuknya dan menjerit menuntut perbuatannya.
"Tidak! Tidak!" tiba-tiba Mo Wan-seng berlari sekencang-kencangnya seperti seorang gila. Lalu di tempat yang sepi ia berteriak-teriak seorang diri, "Maafkan aku, jisute! Lebih baik kau saja yang berkorban daripada kita mati semua dibunuh bocah keparat itu! Aku bersumpah akan membalas dendam meskipun dengan bantuan Suhu dan temannya itu!"
Setelah berteriak-teriak seperti orang gila, perasaan Mo Wan-seng agak lega, ia harus segera menemui gurunya yang kebetulan juga sedang berada di daerah itu. Ia berharap sore ini sudah bisa menemui gurunya, dan nanti malam sudah bisa menyerbu rumah Tong Lam-hou, penduduk Jit-siong-tin tentu dapat dipaksa untuk memberi tahu di mana rumah si penjual dendeng itu.
Sementara itu, Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong berjalan pulang ke gunung dengan langkah-langkah ringan. Sambil bercakap-cakap. "Apakah tindakanmu itu nantinya tidak menjerumuskan kau dan ibumu ke dalam persoalan yang berlarut-larut? Sedang selama ini kalian sudah hidup dengan tenang?" tanya Pakkiong Liong.
Tong Lam-hou menarik napas, "Ya, memang mungkin begitu. Ketenteraman yang selama ini sudah kami nikmati akan terganggu dengan peristiwa-peristiwa yang menjadi ekor dari peristiwa tadi. Tapi apa boleh buat. Aku tidak bisa melihat paman Sun si pemilik kedai arak itu digantung sewenang-wenang hanya karena hal-hal yang tidak berarti. Jika kau hanya memikirkan ketenteraman hidupku sendiri dan membiarkan orang lain diinjak-injak, aku benar-benar seorang yang mementingkan diriku sendiri ibu-ku bahkan akan marah jika tahu aku bersikap mementingkan diri sendiri. Ayahku di akherat mungkin juga marah."
"Tapi oleh Hong Lotoa dan teman-temannnya kau akan dicap sebagai kaki tangan Manchu atau pengkhianat tanah air..."
Tong Lam-hou tertawa, "Terserah aku mau dicaci-maki sebagai apapun. Dunia sungguh terbalik kalau orang yang berusaha menolong sesamanya malah dianggap pengkhianat, sedang orang orang semacam Hong Lotoa malah dianggap pahlawan tanah air. Tapi aku tidak peduli. Tidak peduli pemerintahan bangsa Han atau Manchu, kalau rakyat sejahtera maka harus didukung, dulu ayahkupun menentang Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng. Tidak ada salahnya kalau sekarang aku sebagai anaknya juga melabrak pengikut-pengikut dinasti Beng yang belum lupa dengan kebiasaan lama untuk menindas rakyat..."
Demikianlah, kejadian di Jit-siong-tin itu telah memberikan sebuah pandangan baru dalam diri Tohg Lam-hou. Tanpa didorong-dorong oleh siapapun. Tapi ia menyadari sendiri bahwa, pengacau-pengacau semacam Hong Lotoa dan pentolan-pentolan lainnya harus dibekuk, meskipun mereka berkedok sebagai pembebas tanah air.
Dan ia sadar apa yang dikatakan oleh Pakkiong Liong itu benar, bahwa orang-orang semacam Hong Lotoa itu masih banyak terdapat di mana-mana. Ingin menegakkan kembali dinasti Beng, tidak peduli tindakannya itu meresahkan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa.
Demikianlah, sambil bercakap-cakap mereka tanpa sadar sudah di depan gubuk Tong Lam-hou. Ibu Tong Lam-hou menyambut mereka, dan alangkah terkejutnya ketika melihat pundak dan pinggang anaknya terluka. Maka tanpa tedeng aling-aling Tong Lam-hou menceritakan semua kejadian di Jit-siong-tin-kepada ibunya.
"Aku terpaksa mpmhunuh dua orang penjahat, bu," Tong Lam-hou mengakhiri ceritanya. "Mereka adalah orang orang yang sewenang-wenang, sedikit pun tidak menghargai nyawa sesama manusia."
"Bagus, nak, bagaimanapun juga ayahmu tidak akan kecewa punya putera seperti kau," kata ibu Tong Lam-hou dengan muka berseri "Bukalah bajumu, biar ibu obati lukamu."
"Hanya luka kecil saja, bu."
"Meskipun hanya luka kecil, siapa tahu senjata Kun-lun-sam-long itu dibubuhi racun, sehingga lukanya bisa berbahaya. Mari kuperiksa."
Setelah Tong Lam-hou membuka baju dan ibunya menaburkan luka-luka itu dengan obat, ibu Tong Lam-hou itu masih saja menggeremang, "Membela rakyat kecil tidak perlu takut kesulitan apapun, nak. Itulah tugas pendekar. Dulu ayahmu pun tidak gentar meskipun banyak musuhnya, begitu pula ibu tidak takut andaikata peristiwa di Jit-siong-tin itu ada ekornya. Kau sudah bertindak betul"
Tong Lam-hou menjadi besar hati mendengar kata-kata ibunya itu, sedang Pakkiong Liong diam-diam kagum juga kepada perempuan itu. Para ibu biasanya sangat memanjakan anaknya, ibaratnya tidak boleh lepas dari gendongannya dan tidak boleh mengalami kesukaran yang sekecil apapun, dan akhirnya si anak akan menjadi seorang yang manja dan cengeng. Namun ibu Tong Lam-hou nampak tenang-tenang saja ketika mendengar bahwa anaknya baru saja melakukan perkelahian mati hidup, tidak kaget dan tidak kuatir sedikitpun.
Bukan karena tidak menyayangi anaknya, namun karena sadar bahwa anaknya telah tumbuh menjadi pribadi tersendiri, bukan kepribadian yang tumbuh di bawah lindungan ketiak ibunya. Dan menilik kata-katanya, Pakkiong Liong menduga bahwa ibu Tong Lam-hou ini agaknya mengerti tentang ilmu silat juga, cuma belum dibuktikan sampai seberapa tingginya.
Hari itu dilewati tanpa kejadian apa-apa di gubuk itu. Makanan mereka masih juga sayur lobak, namun tetap saja mereka menyantapnya dengan lahap. Pembicaraan masih berkisar tentang peristiwa di Jit-siong-tin tadi, dan ketika Tong Lam-hou menyampaikan keinginannya untuk bersama-sama Pakkiong Liong menyerbu ke sarang pengacau dan membekuk pentolan-pentolannya, maka ibu Tong Lam-hou malah menyambutnya dengan bersemangat,
"Bagus. Aku mendukung rencana kalian. Sudah terlalu lama desa-desa miskin itu menjadi sapi perahan orang-orang yang mengaku pejuang itu. Kalau pentolan-pentolan mereka dapat tertangkap, rakyat akan aman."
Namun bagaimanapun juga ia tetap seorang ibu, maka dipesankannya juga kepada anaknya, "Kau bersemangat seperti mendiang ayahmu, A-hou, aku bangga kepadamu. Namun kau harus berhati-hati, begitu pula A-liong. Pentolan-pentolan pengacau itu tentu bersembunyi dalam sarang yang dijaga kuat oleh anak buah mereka."
"Baik, ibu, besok kami akan berangkat ke sarang pengacau itu. Ibu juga harus menjaga diri baik-baik di rumah."
"Jangan pikirkan ibu. Ibu sanggup menjaga diri, dan bukankah tidak jauh dari sini juga ada gurumu? Ia tentu akan membantu jika aku mengalami kesulitan," kata ibu Tong lam-hou.
Malam harinya ketika ketiga orang itu sedang bercakap-cakap di dalam gubuk, tiba-tiba dari luar gubuk terdengar suara berkesiurnya pakaian, menandakan ada seseorang yang mendekati gubuk itu dengan ilmu meringankan tubuh. Dan ternyata kemudian disusul kesiur-kesiur pakaian dua kali lagi, sehingga diperkirakan yang datang itu ada tiga orang.
Dugaan Pakkiong Liong tentang kelihaian ibu Tong Lam-hou semakin kuat ketika melihat perempuan tua itu ternyata tenang-tenang saja berkata sambil tetap memegang mangkuk buburnya, "Wah, agaknya cecunguk-cecunguk yang mengaku pejuang itu telah datang ke gubuk kita, A-hou, coba kau tengok keluar. Tapi hati-hatilah, menilik suara langkah-langkah mereka maka agaknya ada dua orang yang lihai di antara mereka, dan yang seorang berilmu rendah saja."
Ketika Tong Lam-hou melangkah keluar, maka Pakkiong Liong juga meletakkan mangkuk buburnya dan bangkit dari duduknya, sambil berkata, "Bibi, biar aku temani A-hou menjenguk keluar."
"Hati-hati A-liong, badanmu belum kuat benar."
"Baiklah, bibi."
Sementara itu dari luar gubuk telah terdengar suara bentakan yang bengis, "Bangsat kecil yang bernama Tong Lam-hou, cepat keluar sebelum kubakar gubukmu ini!"
Ketika Pakkiong Liong menoleh ke arah ibu Tong Lam-hou, maka dilihatnya perempuan setengah tua itu sama sekali tidak menggigil ketakutan. Dengan tenang ia menanggak minumannya, lalu berkata sambil tertawa, "Wah, tamu kita malam ini agaknya seorang yang kasar."
Sementara itu Tong Lam-hou telah melangkah keluar pintu, kemudian disusul oleh Pakkiong Liong. Sesuai dengan suara langkah kaki tadi, yang datang, itu itu benar-benar tiga orang. Di bawah cahaya bulan sepotong yang cukup terang, Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong dapat dapat mengenal bahwa salah seorang dari ketiga "tamu" itu adalah Mo Wan-seng.
Orang tertua dari Kun-lun-sam-long yang julukannya seram, Serigala Taring Besi, namun tadi siang terbirit-birit meninggalkan gelanggang dengan cara yang tidak kenal malu, yaitu dengan mengorbankan adik seperguruannya sendiri. Sedang yang dua orang lagi adalah, orang-orang tua berusia setengah baya. Yang seorang berjubah panjang, berjenggot putih, sepasang matanya memancarkan cahaya kemerah-merahan seperti serigala asli, dan di punggungnya ia menggendong sebatang pedang yang seorang lagi juga berusia sebaya, tubuhnya tegap berotot.
Namun berpakaian seperti seorang pendeta Buddhis lengkap dengan tasbeh dilehernya dan tongkat sian-thung di tangannya. Hanya saja matanya yang bersinar buas itu sama sekali tidak sesuai dengan penampilannya sebagai seorang pendeta yang harusnya bersikap ramah dan lembut.
Begitu melihat Tong Lam-hou telah keluar, Ma Wan-seng segera menudingnya sambil berkata kepada orang tua yang menggendong pedang itu, "Suhu, itulah orangnya yang berani membunuh jisute (adik seperguruan ke dua) dan samsute (adik seperguruan ke tiga)!"
Tong Lam-hou bertolak pinggang di depan ketiga orang itu, katanya sambil tertawa, "He-he-he... serigala bertaring besi yang tadi siang terbirit-birit kini muncul lagi dengan mengajak induknya. Seperti anak kecil yang menangis karena permainannya direbut oleh kawannya, lalu melaporkan kepada ibunya."
"Tutup mulutmu!" bentak orang tua yang menggendong pedang itu. "Kau si bocah busuk ini sudah berani membunuh dua orang muridku, berarti sama saja dengan menantang aku. Kau tahu siapa-aku?”
"Kita belum berkenalan, tentu saja aku tidak kenal kau."
Orang tua yang menggendong pedang itu menggeram. "Kau belum mengenal aku, itulah tanda kepicikan pengetahuanmu. Jika kau tahu siapa aku, kau akan menggigil ketakutan dan menyembah-nyembah mohon ampun kepadaku. Akulah yang bernama Lamkiong Siang, orang menjuluki aku secagai Hwe-san-lo-long (Serigala Tua Bermata Api)."
Mendengar itu Tong Lam-hou tak dapat menahan tertawanya. Katanya, "Lagi-lagi serigala. Tadi siang sudah kuusir tiga serigala, sekarang malah datang induknya serigala yang bermata api segala. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima serigala tua, sebab dagingnya alot untuk dibuat dendeng dan tidak laku di jual...."
Alangkah marahnya Lamkiong Siang mendengar ucapan Tong Lam-hou itu. Matanya yang kemerah-merahan seperti api itu nampak lebih menyala, namun Tong Lam-hou menatapnya tanpa takut.
"Kau marah agaknya? Tapi kau harus tahu alasannya kenapa kubunuh dua orang muridmu. Mereka bertindak sewenang-wenang hendak membunuh orang. Jika kau tidak bisa mengajar murid-muridmu sendiri, jangan marah kalau orang lain yang mengajarnya."
Lamkiong Siang tidak menjawab sepatah katapun. Dengan sikap yang menyeramkan ia melangkah maju mendekati Tong Lam-hou. Tiba-tiba ujung jarinya menusuk ke tenggorokan Tong Lam-hou, geraknya memang cepat sekali, jauh lebih cepat dari Kun-lun-sam-long yang dihadapi Tong Lam-hou tadi siang.
Tong Lam-hou terkejut melihat serangan itu, namun ia sempat menarik mundur kakinya setengah langkah sambil memiringkan tubuhnya. Lamkiong Siang agaknya terkesiap juga melihat ketangkasan lawannya yang masih rriuda itu. Namun sebagai tokoh tua berpengalaman ia tidak mudah melepaskan tekanan atas diri lawannya. Begitu tangan kanan luput, secepat kilat tangan kirinya menyusul menyambar ke depan dengan gerakan Hek-liong-pa-bwe (Naga Hitam Memutar Ekor) dengan jari jarinya yang kuat bagaikan besi itu hendak menyambar ke iga lawan.
Sekali lagi Tong Lam-hou berhasil dipaksanya mundur selangkah. Namun Tong Lam-nou juga tidak sudi didesak mundur terus-terusan. Ketika lawan menyerang lagi, tiba-tiba Tong Lam-hou memiringkan tubuhnya dan secepat kilat, menendang dengan Coan-sin-teng-kak (Memutar Badan Sambil Menendang) yang hampir saja mengenai jidat Lamkiong Siang kalau saja orang tua itu tidak buru-buru menundukkan kepalanya.
Ternyata tendangan Tong Lam hou datang beruntun begitu, cepat, sia-sia saja Lamkiong Siang berusaha menangkap betis lawannya untuk dibanting jatuh, sebab kaki Tong Lam-hou bergerak bagaikan baling-baling terhembus badai. Jika tadi Lamkiong Siang berhasil mendesak Tong Lam-hou dua langkah, maka kini Tong Lam-hou malahan dapat memaksa Lamkiong Siang surut lima langkah tanpa membalas.
Ketika Tong Lam-hou berganti napas, kesempatan itu segera digunakan oleh Lamkiong Slang untuk meloncat mundur. Hatinya masih saja bergetar mengingat bagaimana ia hampir saja dirobohkan oleh seorang anak gunung yang sama sekali belum dikenal di dunia persilatan. Sesaat Lamkiong Siang dan Tong Lam-hou saling memandang, lalu keduanyapun saling tubruk dan terlibatlah mereka dalam suatu perkelahian tangan kosong yang sengit sekali.
Lamkiong Siang masih belum mau mencabut pedangnya sebab sebagai seorang tokoh angkat an tua ia malu kalau melawan seorang anak gunung saja harus memakai senjata. Ia yakin dengan tangan kosongnya akan dapat menaklukkan Tong Lam-hou. Namun kemudian harapan Lamkiong Siang itu adalah harapan yang terlalu berlebihan. Dia yang bertempur dengan ganas dan lincahnya dengan kecepatan tangannya yang seolah menjadi berpuluh-puluh tangan karena cepatnya itu, ternyata terbentur dengan seorang anak muda yang dapat mengimbangi baik kekuatan maupun kecepatannya.
Tong Lam-hou telah berkelahi seperti seekor harimau luka, tanpa gentar sedikitpun dihadapinya lawannya yang sudah punya nama besar di dunia persilatan itu. Serangan dibalas dengan serangan, makin lama makin cepat, akhirnya bayangan tubuh kedua orang itu tidak terlihat lagi. Keduanya bagaikan menjadi segumpal bayangan yang bergulung menjadi satu dengan hebatnya, mata seorang jagoan seperti Mo Wan-seng itu-pun sulit membedakan mana yang gurunya dan mana yang lawannya.
Kadang-kadang terdengar bentakan Lamkiong Siang, atau geraman Tong Lam-hou yang seperti harimau lapar apabila kekuatan mereka berbenturan dan merekapun meloncat berpencaran. Namun sesaat kemudian merekapun sudah saling terjang kembali.
Sementara kedua orang itu sudah terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin sengitnya, maka Pakkiong Liong dan si pendeta yang datang bersama dengan Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang itu telah saling memandang, dan agaknya mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Tiba-tiba terdengar Pakkiong Liong tertawa dingin sambil berkata,
"Selamat malam, Sin-bok Hweshio, tak kuduga bahwa aku akan bertemu kembali denganmu jauh di wilayah selatan ini."
Pendeta yang disebut Sin-bok Hwe-shio itupun tahu siapa yang sedang dihadapinya itu, sehingga sikapnyapun tidak berani sembarangan, “Selamat malam, Pakkiong Ciangkun. Aku tidak memusuhi Pakkiong Ciangkun, apalagi memusuhi kerajaan, aku hanya akan membantu seorang sahabatku untuk menangkap orang yang telah membunuh dua orang muridnya. Harap Ciangkun maklum."
Pakkiong Liong paham betul akan watak orang berjubah pendeta yang berdiri di hadapannya itu. Sin-bok Hwe-shio adalah seorang pendeta murtad yang sudah diusir dari perguruan Nge-tay-pay di Gunung Ngo-tay-san, seorang jago dalam ilmu Nge-kang (Tenaga Keras) dan memiliki ilmu Tit-siang-kin (Tenaga Melemparkan Gajah) yang cukup tinggi tingkatannya. Namun orang sepandai ini ternyata tidak memiliki pendirian yang tetap dalam pergolakan di jaman itu. Ia berpihak kepada siapa saja yang dapat membayar tenaganya.
Dulu Pakkiong Liong tahu bahwa sin-bok Hweshio pernah berpihak kepada pemerintah Manchu ketika la menyumbangkan tenaganya untuk menumpas sebuah gerakan bawah tanah di San-se, dengan upah beberapa taill emas. Kini Pakkiong Liong menduga bahwa Sin-bok Hweshio agaknya sedang bekerja bagi Li Tiang-hong untuk menangkapnya, tentu saja dengan upah yang disepakati pula. Orang semacam Sin-bok Hweshio tidak pernah peduli pergolakan yang terjadi, bahkan semakin bergolak akan semakin besarlah kesempatannya untuk mencari uang dengan jalan menyewakan tenaganya.
Kini Pakkiong Liong menyahut, "Kau membantu sahabatmu, sayang bahwa akupun harus membantu sahabatku. Meskipun kita pernah bekerja-sama di San-se, tapi agaknya sekarang kira harus berhadapan. Kecuali kalau taysu (bapak pendeta) sudi meninggalkan gelanggang ini dengan sukarela, sehingga hubungan baik kita tidak terganggu."
Namun Sin-bok Hweshio menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu pura-pura menarik napas dengan menyesal. Jawabnya, "Yaaaah, sayang sekali. Tetapi Ciangkun tentu maklum bahwa aku ini seorang pendeta miskin yang mencari nafkah dari belas-kasihan orang lain, jadi terpaksa aku harus menjalankan tugas yang dibebankan Li Ciangkun kepadaku supaya mendapat sedikit uang untuk sekedar memperbaiki biaraku...."
Pakkiong Liong tertawa mendengar ucapan Sin-bok Hweshic itu, sesaat dipandanginya pendeta yang mengaku sebagai pendeta miskin itu. Jubah kuningnya yang terbuat dari kain mahal, tasbehnya yang butiran-butirannya adalah mutiara hitam yang mahal pula karena kabarnya hanya didatangkan oleh pedagang-pedagang Persia, lalu jari-jarinya yang bertaburan dengan cincin emas bermata berlian yang tidak cukup satu, melainkan hampir seluruh jari-jarinya mengenakan cincin.
Sahut Pakkiong Liong, "Ya, aku tahu taysu benar-benar pendeta miskin. Aku jadi kasihan karenanya. Tapi taysu bukan miskin harta benda melainkan miskin jiwa, tidak segan-segan menjual pendiriannya untuk uang setahil dua tahil, apalagi memakai jubah pendeta pula. Benar-benar memuakkan."
Wajah Sin-bok Hweshio memerah sejenak, dipukulkannya tangkai tongkatnya ke tanah. Namun kemudian ia justru tertawa dan nada perkataannyapun dibuat sesabar mungkin, "Sudahlah, Ciangkun, tidak perlu kau mengungkit-ungkit apa yang aku lakukan. Kita hidup dengan cara kita sendiri-sendiri. Tetapi aku masih menawarkan suatu kesempatan kepada Ciangkun, kalau Ciangkun sanggup membayar lebih tinggi dari Li Tiang-hong, nanti aku akan berpihak kepadamu untuk menyerahkan Li Tiang-hong kepadamu. Bagaimana?"
"Kalau aku tidak mau?" tanya Pakkiong Liong dengan menahan rasa muaknya.
Sin-bok. Hweshio menjawab sambil terkekeh-kekeh, "Ya terpaksa aku akan bertindak sedikit kurang ajar kepada Ciangkun. Aku akan meminjam kepala Ciangkun sebentar saja untuk ditunjukkan kepada Li Tiang-hong agar aku mendapat upah. Setelah itu nanti aku kuburkan Ciangkun baik-baik dan dengan rajin menyembahyangi kuburan Ciangkun setiap tahun sekali. Aku berjanji."
"Apakah kau mampu?” Tanya Pak-kiong Liong dingin.
"Heh-heh-he meskipun orang lain boleh gentar mendengar nama si Naga Utara, tapi aku si pendeta miskin ini tak tergetar seujung rambutpun. Sudah cukup banyak orang-orang yang memiliki nama terkenal dan julukan yang hebat-hebat telah kupetik kepalanya untuk kutukar dengan uang, dan kau tidak terkecuali, Ciangkun."
Habis perkataannya, maka Sin-bok Hweshio segera turun tangan. Dibarengi sebuah bentakan nyaring tongkat panjangnya segera menyerang dengan jurus Liong-leng-hong-bu (Naga Berputar dan Burung Hong menari), ujung tongkatnya berputar menyerampang kaki dan kemudian menyambar Ke kepala musuh. Tongkat yang terbuat dari perunggu dan sangat berat itu ternyata di dalam genggaman Sin-bok Hweshio jadi seringan sepotong rotan saja. Dapat digerakkan begitu cepat sehingga menimbulkan angin yang menderu dahsyat.
Pakkiong Liong sadar bahwa lawannya kali ini cukup berat, bahkan lebih berat dari Pek-lek-jiu Tio Tong-hai yang pernah dibunuhnya di kuil terpencil beberapa hari yang lalu. Maka sejak semula ia harus sangat berhati-hati. Namun si Naga Utara itu bukan manusia bernyali tikus, ia tidak menghindar saja tapi kedua telapak tangannyapun mencengkeram dengan In-liong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali di awan) untuk memaksakan sebuah pertarungan jarak pendek, lalu disusul dengan gerak Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Merebut Mutiara) untuk menusuk sepasang mata musuh dengan dua jarinya.
Sin-bok Hweshio terpaksa mundur sambil memutar kencang tongkat panjangnya. "Kau sombong sekali, Pakkiong Liong!" teriak Sin-bok Hweshio dari balik putaran tongkat panjangnya. "Kau hendak melawan tongkat perungguku ini hanya dengan tangan kosongmu? Mana senjatamu?"
Pakkiong Liong terus mendesak maju dengan serangan tangan dan kakinya yang bertubi-tubi. Menusuk dengan ujung jari, mencengkram, menjotos, menendang dan menyapu secara berantai, sehingga tubuhnya menjadi bayangan yang bergerak amat cepat dengan aneka ragam serangan. Tak lupa ia membalas teriakan Sin-bok Hweshio tadi, "Sebentar lagi kau akan membuktikan apakah aku hanya sekedar pandai menyombongkan diri atau tidak. Tapi hati-hatilah, jangan menyesal nanti!"
Begitulah, kedua orang itupun segera terlibat dalam pertempuran sengit. Dengan demikian di depan gubuk terpencil di lereng Gunung Tiam-jong-san itu telah terjadi dua. lingkaran pertempuran. Lamkiong Siang melawan Tong Lam-hou dan Sin-bok Hweshio melawan Pakkiong Liong. Dua orang tokoh tua golongan sesat telah kebentur dua orang anak muda yang tangguh.
Sin-bok Hweshio tidak begitu penasaran, sebab lawannya adalah Panglima Hui-liong-kun yang terkenal. Yang penasaran adalah Lamkiong Siang yang lawannya cuma seorang anak gunung yang menurut orang-orang Jit-siong-tin pekerjaannya adalah berjualan sayur di pasar.
Dalam penasarannya, akhirnya Lamkiong Siang menghunus pedangnya yang tergendong di punggungnya itu, ia tidak peduli lagi bahwa seorang tokoh angkatan tua harus menggunakan senjatanya untuk melawan seorang anak gunung yang tidak bersenjata sama sekali, yang penting ia harus bias memancing lawannya yang muda itu.
Mo Wan-seng dengan terlongong-longong menyaksikan perkelahian antara empat orang itu. Semakin melihat ia merasa semakin kecil dirinya di hadapan orang-orang yang bertempur itu, terutama Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong yang usianya jauh lebih muda dari dirinya sendiri itu, namun ilmunya telah mampu mengimbangi tokoh-tokoh seperti Gurunya dan Sin-bok Hweshio.
Ingin rasanya Mo Wan-seng terjun ke gelanggang untuk membantu gurunya, namun untunglah bahwa akal sehatnya masih berjalan dengan baik. Jika ia terjun dalam perkelahian tingkat tinggi itu, maka perbuatannya itu tidak lebih dari bunuh diri belaka. Gerakan-gerakan gurunya dan lawannya itupun tak dapat dilihatnya karena cepatnya, bagaimana ia bisa ikut membantu?
Namun tiba-tiba muncul akal licik Mo Wan-seng. Bukankah menurut kata orang-orang Jit-siong-tin yang ditanyainya tadi di rumah Tong Lam-hou juga ada ibunya? Pikir Mo Wan-seng, "Kalau berhasil kutangkap ibu si bocah edan tentu pikirannya akan bercabang dan Guru dengan mudah akan membereskannya."
Berpikir demikian, ia segera melaksanakannya. Di hunusnya pedangnya, dan sambil berjalan memutari gelanggang, la lalu meloncat masuk ke pintu gubuk yang terbuka lebar itu. Perbuatan Mo Wan-seng itu diketahui jelas oleh Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou. Pakkiong Liong menjadi agak gugup karena menguatirkan keselamatan ibu Tong Lam-hou yang dianggapnya seperti ibunya sendiri itu.
Karena perhatiannya terpecah, hampir saja kepalanya retak tersambar oleh tongkat panjang Sin-bok Hweshio, untung ia cepat-cepat menundukkan kepala sambil meloncat mundur. Namun ketika Pakklong Liong melirik Tong Lam-hou, ia menjadi heran ketika melihat sahabatnya itu tenang-tenang saja meskipun sudah melihat Mo Wan-seng masuk ke gubuk dengan pedang terhunus.
"Agaknya kekuatirankulah yang tidak beralasan," pikir Pakklong Liong. Dan hatinyapun menjadi tenang kembali untuk melayani musuhnya dengan penuh kewaspadaan.
Sementara itu dalam gubuk telah terdengar suara ribut-ribut, bercampur suara ibu Tong Lam-hou yang memaki maki, kemudian terlihatlah Mo Wan-seng meloncat keluar dengan tergesa-gesa sehingga hampir saja terjungkal karena kakinya terantuk ambang pintu. Jika masuknya tadi si Serigala Taring Besi ini masih gagah perkasa, maka keluarnya sudah tidak keruan lagi tampangnya. Matanya biru sebelah, hidung berdarah, bibir bengkak dan kakinya terpincang-pincang. Sedang wajahnya menampilkan perasaan kaget luar biasa.
Dari dalam gubuk itu menyusul keluar ibu Tong Lam-hou. Perempuan itu tangannya memegang sepotong kayu panjang berujung runcing, yang biasanya dipakai untuk melubangi tanah yang akan ditanami bibit tumbuh-tumbuhan. Dengan kayu sepanjang satu depa itulah rupanya ibu Tong Lam-hou itu telah menghajar Mo Wan-seng yang menyelonong masuk ke gubuknya.
"Maling kecil, mari rasakan tongkatku lagi!" bentak ibu Tong Lam-hou sambil memburu Mo Wan-seng dengan marahnya. Maka bertempurlah kedua orang itu, menanti, ramainya halaman gubuk itu.
Diam-diam pakkiong Liong tersenyum di dalam hatinya ketika melihat seorang yang memiliki julukan begitu garang, Tiat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), ternyata tidak berdaya apa-apa menghadapi seorang perempuan setengah tua yang cuma bersenjata sebatang kayu pencocok tanah itu. Terlihat betapa tangkasnya ibu Tong Lam-hou memainkan kayunya itu sehingga Mo Wan-seng yang bersenjata pedang itu tidak berhasil meratas putus kayu itu, bahkan dirinyalah yang selalu terancam oleh ujung kayu yang runcing itu.
Pakkiong Liong setelah yakin bahwa keselamatan ibu Tong Lam-hou tidak terancam, kini dapat memusatkan perhatiannya kepada musuhnya. Ia tidak saja berkelahi dengan tangan dan kakinya, tapi juga dengan otaknya. Meskipun ia tanu bahwa Sin-bok hwesio bertenaga besar, namun Pakkiong Liong tidak takut. Tapi ia lebih suka berkelahi dengan mengandalkan kelincahan dan kelenturan tubuhnya untuk menghadapi Sin-bok Hweshio yang kaku seperti badak itu.
Dengan silat gaya naganya Pakkiong Liong memperlihatkan gerakan aneh-aneh yang membuat Sin-bok Hweshio kebingungan. Kadang-kadang berguling di tanah, atau merendahkan badannya sampai hampir rata dengan tanah, lalu meletik bangun dan berputar di udara, meliuk dan menyambar dari atas dan di lain saat kembali menyergap dari bawah. Maka tongkat panjang Sin-bok Hweshio yang sebenarnya mampu menghancur-leburkan sebongkah batu karang itu jadi kehilangan daya gunanya.
Meskipun tongkat itu berputar-putar dengan kekuatan penghancur yang besar, namun yang dikenalnya selalu angin belaka, sedang Pakkiong Liong seperti segumpal asap saja, yang buyar setiap kali tersentuh. Sin-bok Hweshio sampai mandi keringat sehingga jubahnya lengket dengan, kulitnya, namun tak dapat mengenai lawannya yang lincah itu.
Setelah merasa berhasil mendesak lawannya setapak demi setapak, Pakkiong Liong yang sudah tidak sabar itu memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran dengan menggunakan ilmu pamungkasnya, Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) yang diandalkannya itu.
Dan si pendeta gadungan Sin-bok Hweshio itu segera merasakan akibatnya. Mula-mula ia hanya merasa agak heran ketika merasa di udara di sekitarnya terasa agak hangat, namun kemudian meningkat makin lama makin panas sampai rasanya berada dalam tanur pembakaran. Dan dilihatnya sepasang telapak tangan Pakkiong liong telah menjadi merah membara bagaikan besi dibakar, itulah ilmu Hwe-liong-sin-kang tingkat ke delapan, tingkat yang paling tinggi yang dikuasai oleh Pakakiong Liong.
Sin-bok Hweshio segera merasa napasnya menjadi sesak karena udara yang terlalu panas di sekitarnya, keringatnya seakan terperas habis dan kulitnya hangus, sehingga dengan sendirinya gerakan senjatanyapun semakin kendor. Tapi ia tidak beraya melepaskan diri dari libatan udara maha panas itu, sebab Pakkiong Liong terus mendesaknya dalam pertempuran jarak dekat, sehingga Sin-bok Hweshio benar-benar setengah mati. Untung tenaga dalamnya cukup tangguh sehingga untuk sementara masih bisa bertahan, sambil mencoba mengulur waktu untuk menunggu bantuan Lamkiong Siang setelah Lamkiong Siang menyelesaikan lawannya.
Terdengar Pakkiong Liong mengejek, "Sayang sekali, upah yang bakalan kau terima dari Li Tiang-hong itu bukan berupa uang emas atau perak, tetapi cuma kertas kuning." Kertas kuning adalah "uang" untuk orang yang mati, menurut adat Cina, dengan demikian Pakkiong Liong mengejek lawannya sudah pastl akan mati.
"Persetan! Aku belum kalah!" teriak Sin-bok Hweshio dengan marah sambil mengerahkan seluruh ilmunya untuk bertahan. Bertahan bukan saja melawan sepasang telapak tangan yang merah membara itu, tetapi juga hawa panas yang terus melibatnya tanpa kenal ampun. Dan sia-sia pula jika Sin-bok Hwesio mengharapkan bantuan Lamkiong Siang, sebab sahabatnya itupun sedang kerepotan menyelamatkan dirinya sendiri.
Meskipun ia telah memutar pedangnya sekencang angin, namun ternyata Tong Lam-hou memiliki gerakan yang lebih cepat daripadanya, sehingga serangan-serangannya tetap saja bisa mengenai tubuh Lamkiong Siang betapapun rapatnya ia bertahan. Beberapa bagian tubuh Lamkiong Siang memar rasanya terkena pukulan atau tendangan Tong Lam-hou yang keras seperti palu baja itu. Sedangkan pedangnya bergerak dengan sia-sia saja tanpa bisa mengenai tubuh lawan, sebab lawannya seperti sesosok hantu saja yang tak tersentuh badan kasar.
Seolah-olah Tong Lam-hou sudah berjanji dengan Pakkiong Liong, begitu Pakkiong Liong menggunakan ilmu Hwe-liong-sin-kangnya yang panas luar biasa itu, tiba-tiba Tong Lamhou juga ingat bahwa ia memiliki yang serupa, meskipun akibatnya berlawanan. Ilmu ajaran gurunya yang disebut Hian-in-ciang (Pukulan Maha Dingin). Maka seolah bersaing dengan Pakkiong Liong, Tong Lam-hou juga mengeluarkan ilmunya itu untuk mempercepat selesainya pertempuran....
Selanjutnya;