Pendekar Naga dan Harimau Jilid 09
Tong Lam-hou menganggukkan kepalanya, sementara Pakkiong Liong melangkah pergi. Sambil menunggu datangnya Pakkiong Liong kembali, Tong Lam-hou memandangi kedua tawanan yang terikat, itu dengan mata yang menyala penuh kemarahan. Andaikata tidak dipesan oleh Pakkiong Liong untuk membiarkan tawanan itu tetap hidup, ingin rasanya Tong Lam-hou mencekik kedua orang itu.
Ia membayangkan bagaimana orang-orang Jit-siong-tin yang baik hati itu menjerit-jerit minta ampun, tapi tak dipedulikan oleh prajurit-prajurit Beng itu, dan dengan ganasnya prajurit-prajurit itu berpesta pora dengan nyawa sesamanya.
Pangeran dan Li Tiang-hong bergidik karena ditatap secara seperti itu oleh Tong Lam-hou menjadi bergidik karenanya, seperti dua orang terdakwa yang menyimpan seribu kesalahan di depan seorang hakim. Selama ini mereka menganggap bahwa orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu hanyalah orang-orang upahan yang berjuang demi gaji dan kedudukan saja, namun kini dijumpainya orang jenis lain lagi.
Orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu karena dendamnya kepada dinasti Beng. Orang seperti ini tanpa dibayar sesenpun pasti sanggup menarungkan nyawanya demi pemerintah. Memangnya yang berpendirian kuat itu hanya pihak mereka sendiri, dan pihak musuh tidak ada yang berpendirian kuat pula?
Tidak lama kemudian Pakkiong Liong sudah datang kembali ke pinggir hutan itu dengan membawa sebuah gerobak yang ditarik seekor kerbau jantan Pakaian Pakkiong Liong juga sudah ganti dengan pakaian sederhana seperti orang desa umumnya. Sambil tertawa Pakkiong Liong melemparkan segulung pakaian orang desa lainnya kepada Tong Lam-hou, katanya, "Nih, kau pakai ini!"
Kedua tawanan itupun dinaikkan ke dalam gerobak, lalu bagian atas tubuh mereka ditutupi dengan jerami. Tentu saja Li Tiang-hong dan Pangeran sangat mendongkol karena diperlakukan seperti itu, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan kemudian Tong Lam-hou dengan enaknya berbaring di atas tubuh mereka, sementara Pakkiong Liong yang bertindak sebagai saisnya.
Perjalananpun menjadi lebih lancar, meskipun berulang kali mereka bertemu dengan prajurit-prajurit Beng yang sibuk melacak jejak pimpinan mereka yang diculik. Prajurit-prajurit itu tidak curiga kepada gerobak ditarik seekor kerbau yang dinaiki oleh dua orang anak desa, dan muatannya hanya jerami itu. Li Tiang-hong dan Pangeran tadinya bermaksud untuk mogok makan saja agar mati sekalian, namun Tong Lam-hou selalu memaksakan untuk memasukkan makanan ke mulut mereka sehingga gagallah niat mereka untuk membunuh diri dengan mogok makan itu.
Suatu ketika Li Tiang-hong dan Pangeran berkeras tidak mau membwa mulut mereka dengan mengatupkan gigi mereka kuat-kuat, sehingga Tong Lam-hou terpaksa mengancamnya, "Kalian tidak mau makan? Baik. Kuhitung sampai tiga, jika kalian belum mau membuka mulut, maka aku telanjangi kalian untuk dipertontonkan kepada penduduk desa. Biar mereka melihat bagaimana agungnya calon Kaisar dan calon Panglima Tertinggi dari Kerajaan Beng Yang Agung itu!"
Ancaman itu ternyata manjur sekali, dan kedua tawanan itu mau menelan makanannya. Sedang Pakkiong Liong hanya geleng-geleng kepala saja melihat cara temannya itu memperlakukan tawanan-tawanannya. Tapi ia tidak dapat mencegahnya, meskipun kadang-kadang dicobanya juga untuk memperlunak sikap Tong Lam-hou yang sangat keras itu.
Jarak ke kota Kun-beng sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar seratus li (satu li tepatnya empatratus empatpuluh dua meter), namun karena kerbau penarik pedati itu berjalan dengan seenaknya, maka setelah menginap semalam di perjalanan mereka belum juga mencapai separuh dari perjalanan mereka. Mereka masih saja berada di jalan-jalan yang panjang yang menghubungkan desa-desa yang jaraknya berjauhan satu sama lain, di antarai oleh padang-padang ilalang yang kadang kadang nampak tak bertepi. Atau hutan-hutan kecil tempat orang mencari kayu bakar atau binatang buruan.
Siang itu, ketika mereka tengah berada di tengah-tengah sebuah padang ilalang sementara pedati mereka merambat dengan pelannya bagaikan siput, tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar derap kaki kuda yang gemuruh, dengan debu yang mengepul tinggi. Kelihatannya rombongan penunggang kuda yang datang dari barat itu berjumlah lebih dari duapuluh lima orang.
Cepat Pakkiong Liong menepikan pedatinya agar rombongan dari belakangnya itu bisa lewat. Namun ternyata rombongan itu tidak ingin mendahului pedati itu, melainkan ingin menghentikannya. Bahkan dari antara orang-orang berkuda itu telah terdengar teriakan, "He, pedati yang di depan itu! Berhentilah kalian!"
Sudah terang jalannya kerbau penarik pedati itu tidak dapat menandingi kuda-kuda yang tegar itu, sehingga sekejap kemudian pedati itu tersusul. Lalu salah seorang penunggang kuda itu tertawa dingin, "Selamat bertemu kembali, Pakkiong Ciangkun (Panglima Pakkiong) yang perkasa!”
Ketika Pakkiong Liong melihat orang yang menyapanya, itu, maka iapun mengeluh dalam hatinya. Orang itu adalah pentolan Hwe-liong-pang Ma Hiong, yang berjuluk Siau-lo-cia (si Dewa Locia Kecil). Sedang yang lain-lainnya adalah orang-orang berkuda yang dilihatnya di Jit-siong-tin beberapa hari yang lalu seperti Tong Wi-hong beserta adik dan iparnya, dua orang bekas tokoh Hwe-liong-pang lainnya seperti Jian-kin-sin-kun Lu Siong yang bermuka hitam serta Bu-ing-tui Oh Yun-kim si orang Korea itu, dan si pendeta Buddha Bu-sian Hweshio dan si imam Bu-tong-pay Te-sian Tojin.
Tetapi yang membuat Pakkiong Liong heran adalah ketika melihat Kongsun Hui ada pula di antara mereka. Bukankah kabarnya orang-orang bekas dinasti Beng itu bermusuhan dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang dulunya adalah pengikut-pengikut Coan-ong Li Cu-seng itu?
Pakkiong Liong memang pernah melihat kerjasama kedua pihak itu ketika melawan pihaknya di kuil kecil San-sin-bio dulu, namun kerjasama yang tidak erat dan bahkan kedua belah pihak masih sempat saling mencaci-maki. Kini mungkinkah mereka telah bekerjasama lagi?
Melihat kekuatan musuhnya, Pak-klong Liong segera sadar bahwa kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatannya sendiri, karena ia hanya berdua saja dengan Tong Lam-hou. Tokoh-tokoh semacam Tong Wi-hong yang ilmu pedangnya hampir sempurna, Tong Wi-lian yang mahir bertangan kosong, suaminya Ting Bun yang ilmu goloknya juga hebat, serta tiga orang bekas Kongsun Hui, bukanlah musuh-musuh ringan. Jika mereka maju serentak, habislah dirinya.
Sementara orang-orang berkuda itu telah melingkar mengepung dirinya. Di bagian dalam lingkaran kepungan itu bersiaplah tokoh-tokoh berilmu tingginya, sedang di bagian luar dari kepungan itu adalah prajurit-prajurit Li Tiang-hong yang bercampur-aduk dengan anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang berpakaian serba hitam itu. Kepungan begitu rapat sehingga Pakkiong. Liong berbisik kepada sahabatnya, "Seekor lalatpun sulit lepas dari kepungan ini."
Tong Lam-hou yang baru saja turun gunung dan masih getol-getolnya berkelahi itu segera menjawab, "Tapi yang mereka kepung itu bukan lalat, melainkan seekor naga dan seekor macan dari selatan."
Pakkiong Liong menarik napas mendengar jawaban itu. "Jangan pandang enteng mereka," katanya memperingatkan. Sementara itu Kongsun Hui telah membentak, "Pakkiong Liong, cepat bebaskan Pangeran dan Li Ciangkun, supaya kamipun mengampuni kalian berdua."
Mata Pakkiong Liong berkilat-kilat, sahutnya tenang, "Kau tahu siapakah aku dan tentu tahu pula bagaimana aku akan menjawab."
"Bagus! Kau benar-benar berani, tapi hari ini kalian berdua akan menemui kematian kalian!" dengus Kongsun Hui sambil menarik keluar sepasang ruyung bajanya.
Pakkiong Liong tertawa dingin, sesaat diedarkannya pandangannya ke sekelilingnya, ke arah musuh-musuh yang sudah memegang senjatanya masing-masing. Katanya, "Kudenar ksyatria-ksyatria Hwe-liong-pang adalah para pendekar sejati yang memperjuangkann nasib pihak yang lemah. Tetapi kenapa hari ini kalian bersekutu dengan orang yang kejam, yang menumpas sebuah desa tanpa dosa tanpa kesalahan!"
Sahut Ma Hiong tegas, "Kami sudah tahu apa yang terjadi di desa Jit-siong-tin, dan akan ada perhitungan tersendiri untuk itu. Namun dalam menghadapi penjajah negeri kami, kami harus melupakan permusuhan kami dulu."
Semua pihak sudah siap bertempur, hanya ada seorang yang masih ragu-ragu, yaitu Tong Lam-hou. Andaikata yang dihadapinya itu orang-orang bekas dinasti Beng, ia tidak akan ragu-ragu untuk membabat mereka, namun menghadapi orang-orang Hwe-liong-pang maka Tong Lam-hou menjadi bimbang. Mereka dulu adalah bekas anak buah ayahnya, terkenal sebagai pembela-pembela rakyat kecil yang gigih dan tanpa pamrih, haruskah sekarang ia membabat orang-orang seperti itu?
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Tong Lam-hou memutuskan akan bertempur di pihak Pakkiong Liong, namun lebih dulu ia akan mencoba mempengaruhi orang-orang Hwe-liong-pang. Karena itu, ketika kedua pihak sudah bergerak untuk saling baku hantam, Tong Lam-hou tiba-tiba berteriak, "Tahan! Siapa di antara kalian bekas anak buah Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang!"
Seruan itu memang mengejutkan Ma Hiong, Lu Siong dan Oh Yun-kim yang merupakan bekas anakbuah Tong Wi-siang itu, dan sampai sekarangpun mereka masih tetap setia kepada cita-cita Ketua mereka. Dengan heran mereka memandang Tong Lam-hou yang telah menyebut hama Ketua Hwe-liong-pang itu.
"Siapa kau?" tanya Lu Siong kepada Tong Lam-hou.
Cepat Tong Lam-hou melepaskan kalung kumala hijau yang selalu tergantung di lehernya itu, dan diangkatnya tinggi-tinggi sambil berseru, "Aku Tong Lam-hou, anak Tong Wi-siang! Setiap anggauta Hwe-liong-pang yang masih setia kepada cita-cita Hwe-liong-pang untuk membela rakyat kecil, harap minggir dan jangan bersekutu dengan pembunuh-pembunuh kejam yang berkedok pembela tanah-air itu!"
Pengakuan Tong Lam-hou itu menggemparkan sebagian dari para pengepung itu. Bukan saja bekas orang-orang Hwe-liong-pang yang terkejut, tetapi si pendekar dari Tay-beng, Gin-yan-cu Tong Wi-hong, juga menampakkan rasa kagetnya. Begitu pula adiknya yang bernama Tong Wi-lian serta suaminya yang bernama Ting Bun. Sesaat ketiga orang itu menatap wajah Tong Lam-hou lekat-lekat, dan hampir bersamaan mereka bergumam,
"Kalung itu benar-benar milik A-siang. Dan wajah anak muda inipun agak mirip dengan A-siang, mungkinkah ia benar-benar anak A-siang yang selama ini kami cari-cari tetapi tak pernah bertemu?"
Tong Wi-hong yang berpakaian serba putih itu segera memajukan kudanya dan bertanya, "Anak muda, benarkah kau anak Tong Wi-siang?"
"Ya, aku benar-benar anaknya, meskipun aku tidak pernah melihat wajah ayah karena beliau gugur ketika aku masih dalam perut ibuku. Buat apa aku mengaku-aku orang lain sebagai bapakku?"
Wajah pendekar dari Tay-beng itu tiba-tiba saja menampakkan rasa haru. Katanya agak tersendat, "Kalau begitu, nak, kau adalah keponakanku. Aku adalah adik dari ayahmu, dan orang itu..." katanya sambil menunjuk kepada Tong Wi-lian, "...adalah bibimu, sebab ia juga adik dari ayahmu."
Perasaan Tong Lam-hou sangat terguncang ketika menghadapi kenyataan itu. Tadinya ia menyangka bahwa satu-satunya keluarganya di dunia ini adalah ibunya, namun kini ditemuinya lagi seorang paman dan seorang bibi. Haruskah ia bergembira, atau bersedih sebab paman dan bibinya itu ternyata berdiri di pihak yang berlawanan? Sesaat Tong Lam-hou hanya membeku di atas pedatinya, tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya.
Sementara itu, yang mendengarkan percakapan itu dengan perasaan agak cemas adalah Pakkiong Liong. Jika sampai Tong Lam-hou terpengaruh oleh lawan, maka Pakkiong Liong benar-benar akan berdiri seorang diri menghadapi sekian banyak lawan. Bukan cemas karena takut mati, namun cemas karena tugasnya akan gagal dan pengacau-pengacau negara seperti Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang masih akan bebas berkeliaran. Cemas karena ia merasa belum puas mengabdi kepada negerinya.
Tapi kemudian Pakkiong Liong menjadi pasrah, apapun yang terjadi, ia siap mati demi tugasnya, ia adalah prajurit dan tetap akan menjadi prajurit sejati sampai akhir hayatnya. Ia juga tidak ingin mempengaruhi keputusan yang diambil oleh Tong Lam-hou nantinya. Ia sangat mencintai dan menghormati sahabatnya itu, dan akan membiarkan sahabatnya itu menentukan pilihannya sendiri, meskipun pilihan sang sahabat barangkali bisa merubah persahabatan di antara mereka menjadi permusuhan.
"A-hou seorang lelaki sejati," pikir Pakkiong Liong dengan mantap. "Sebagai kawan atau sebagai lawan, aku akan tetap menghormatinya. Hormat yang tulus antara sesama orang jantan."
Suasana jadi tegang, seolah mereka berubah jadi patung-patung batu yang membeku. Tong Lam-hou nampak ragu-ragu, ketika ia menoleh ke wajah Pakkiong Liong, dilihatnya wajah sahabatnya itu begitu tenang tanpa kecemasan sedikitpun. Bahkan Pakkiong Liong membalas tatapan matanya, dan tersenyum, dan berkata, "Jangan minta pendapatku. Tentukan sendiri pendapatmu secara jantan."
Bukan saja Tong Lam-hou, tetapi bahkan pihak musuhpun timbul rasa hormatnya kepada sikap ksyatria Pakkiong Liong. Namun betapapun kagumnya mereka, Pakkiong Liong tetap seorang musuh yang harus dilenyapkan. Tong Lam-hou mengangkat kedua tangannya di depan dada memberi hormat kepada Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, katanya,
"Sebagai keponakan aku memberi hormat kepada paman dan bibi, terimalah salamku. Dengan sangat, hormat aku menganjurkan kepada paman dan bibi agar tidak berteman dengan sisa-sisa dinasti Beng itu."
Setitik rasa kecewa nampak muncul diwajah Tong Wi-hong dan adik perempuannya. Dulu kakak mereka, Tong Wi-siang pernah menggoncangkan dunia persilatan dengan Hwe-liong-pangnya, dan akankah sekarang puteranya juga mengguncangkan dunia dengan berpihak kepada bangsa Manchu? Kata Tong Wi hong dengan nada amat sabar,
"Lam-hou, kau jangan salah memilih. Sejelek-jeleknya dinasti Beng, mereka masih bangsa Han. Dan sebaik-baiknya bangsa Manchu, mereka adalah orang asing yang mengangkangi negeri kita."
Kembali keragu-raguan bergelut di dada Tong Lam-hou. Terbayanglah bagaimana ia sering merindukan mempunyai keluarga yang lain kecuali ibunya, meskipun ibunyapun seorang yang cukup baik. Orang lain punya ayah, punya ibu, paman, bibi, saudara sepupu dan sebagainya, kenapa ia tidak boleh menginginkannya? Dan impiannya itu agaknya tidak sia-sia, ia ternyata masih punya seorang paman dan seorang bibi, dan barangkali juga beberapa saudara sepupu, anak-anak dari pamannya dan bibinya itu. Saudara-suadaru sepupu yang sepantaran usianya dengan sendiri, tidaklah itu menggembirakan?
Tapi bayangan lainnya melintas di benaknya. Bukankah orang-orang Jit-siong-tin juga cukup ramah kepadanya? Bertahun-tahun hidup bertetangga dengan mereka, saling memberi dan menerima, kadang-kadang bertengkar namun besoknya sudah bergurau kembali. Kebaikan dan kehangatan apa yang kurang dari mereka? Tapi kenapa mereka dibantai, dibakar, disiksa sampai habis? Kenapa?
Tiba-tiba darah Tong Lam-hou mendidih, ketika ia mengangkat kembali wajahnya, maka kebimbangan sudah tak terlihat lagi. Sinar matanya tajam penuh kepercayaan diri, geramnya, "Aku sudah menemukan pilihan, paman."
Semuanya menunggu dengan tegang apa yang akan diucapkan oleh Tong Lam-hou. Terutama Tong Wi-hong, Tong Wi-lian dan suaminya, bekas orang-orang Hwe-liong-pang dan juga Pakkiong Liong sendiri.
"Paman dan bibi yang aku hormati bagaimanapun eratnya persahabatanku dengan Pakkiong Liong, namun persahabatan kami hanyalah persahabatan antar pribadi, jauh kalau penting dibandingkan urusan yang menyangkut seluruh negeri," kata Tong Lam-hou dengan mantap. "Karena itu, aku tidak akan berpihak kepada Pakkiong Liong secara pribadi. Tidak. Aku berpihak kepada ketertiban negeri ini, dan aku akan melawan setiap perusuh yang manapun juga termasuk yang berkedok sebagai pembela rakyat tetapi membantai rakyat!"
Seperti setetes embun yang menetes di hati Pakklong Liong, jawaban Tong Lam-hou itu sangat melegakan Pakkiong Liong. Bukan karena takut mati, namun karena dianggapnya pemerintah kerajaan akan mendapat tambahan kekuatan. Sesaat kedua sahabat itu saling bertukar pandangan dengan hangat, lalu Tong Lam-hou berkata kepada paman dan bibinya,
"Cita-cita yang sama untuk menegakkan ketertiban di negeri ini, dan membangun negeri ini menjadi negeri yang besar seperti di jaman Jengish Khan dulu, itulah tali ikatan yang mempersatukan aku dan Pakkiong Liong!"
"Jadi kau memilih menjadi anjing penjajah untuk memusuhi rakyat sendiri?" teriak Kongsun Hui dengan berang.
"Siapa yang memusuhi rakyat?" balas Tong Lam-hou. "Bangsat, kau boleh meneriakkan sejuta semboyan muluk-muluk di hadapanku, tetapi aku sudah melihat sendiri akibat dari keganasan kalian! Terkutuklah kalau aku bersekutu dengan bandit-bandit keluaran dinasti Beng dan dan begundal-begundalnya macam kau."
Sementara itu Pakkiong Liong telah meloncat turun dari pedati, dan menggerak-gerakkan tangannya untuk menghangatkan otot-ototnya, lalu katanya kepada Tong Lam-hou, "Nah, A-hou, kalau Naga utara dan Macan Selatan sudah bersatu hati, agaknya pertempuran sudah bisa dimulai nih!"
Tong Lam-hou yang sudah mendapat ketetapan hati itupun segera melompat turun-dari kudanya, dan menyahut, "Benar, A-liong, aku sebenarnya sudah ingin mulai sejak tadi. Tetapi kali ini jangan mencegah aku untuk menghajar begundal-begundal si Kaisar Tiau-si-kui itu!"
Pakkiong Liong tertawa, "Tidak, aku tidak akan mencegahmu lagi. Berbuatlah sesukamu!"
Li Tiang-hong dan Pangeran yang terikat didalam pedati, serta Kong-sun Hui yang di luar pedati itupun marah bukan kepalang mendengar ucapan Tong Lam-hou tadi. Kaisar Cong-ceng sangat mereka hormati, namun Tong Lam-hou telah mengejeknya dengan sebutan "tiau-si-kui" alias "setan penggangtungan", sebab Kaisar Cong-ceng memang mati menggantung diri di bukit Bwe-san, ketika istananya tidak dapat dipertahankan lagi dari serbuan laskar Li Cu-seng.
"Budak Manchu, tutup mulutmu yang kotor itu!" bentaknya sambil menggerakkan ruyung bajanya bersilang ke pelipis Tong Lam-hou.
Tong Lam-hou cepat menggunakan gerakan-gerakan Hong-hong-liam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) untuk mengelakkan serangan itu, telapak tangannya balas menebas ke rusuk lawan. Sambil berbuat demikian ia masih sempat berteriak, "Paman dan bibi, menyingkirlah dari arena. Jangan membela pembunuh-pembunuh ini! Saudara-saudara Hwe-liong-pang juga aku harap menyingkir saja!"
Tong Wi-hong menarik napas dalam-dalam. Melihat gerakan anak Tong Wi-siang ketika melawan Kongsun Hui itu saja sudah cukup baginya untuk menyimpulkan bahwa keponakannya itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi, mungkin lebih tinggi dari dirinya sendiri. Ia bangga, tapi juga sedih. Namun Tong Wi-hong tidak mundur begitu saja, segera dicabutnya pedangnya, lalu tubuhnya bagaikan seekor burung walet saja telah menyerbu ke arah Pakkiong Liong.
Tidak percuma julukannya sebagai Gin-yan-cu (si Walet Perak), sebab gerakannya benar-benar teramat cepat seperti seekor burung walet menukik dari(udara, dan ujung pedangnya terpecah menjadi puluhan bintik-bintik perak yang seperti hujan gerimis mencurah ke tubuh Pakkiong Liong. Itulah jurus Jit-seng-kan-goat (Tujuh Bintang Mengejar Rembulan) dari ilmu pedang aliran Soat-san-pay yang terkenal kehebatannya.
"Bangsat Manchu, kaulah yang telah meracuni pikiran keponakanku sehingga ia membela pihakmu secara mati-matian!" bentak Tong Wi-hong.
Pakkiong Liong cepat melompat bergeliatan beberapa kali di udara, dan seluruh serangan Tong Wi-hpng itu-pun lenyap tanpa menemui sasarannya. Sahut Pakkiong Liong, "Tong Lam-hou sudah berumur duapuluh dua tahun, cukup dewasa untuk menentukan sikapnya sendiri dan sudah melihat sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Bukan aku yang mempengaruhinya.”
Sambil berkata demikian, Pakkiong Liong mengambil sebatang pedang dari bawah tumpukan jerami di pedatinya. Sebenarnya Pakkiong Liong tidak membawa senjata, namun ketika ia menangkap Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang, maka pedang kedua tawanan itu telah ikut terbawa, dan disembunyikan di bawah tumpukan jerami di pedatinya. Kebetulan pedang yang diambilnya adalah pedang milik Li Tiang-hong yang ukurannya agak besar dan bobotnya mantap, cocok untuk Pakkiong Liong yang juga bertenaga besar itu.
Maka bertarunglah kedua orang itu dengan sengitnya. Ilmu pedang Soat san-pay yang mengutamakan kelincahan gerak serta kerumitan perubahan-perubahan jurus yang sulit diduga berhadapan dengan ilmu pedang Thian-liong-pay dari Tibet yang mengutamakan kemantapan gerak dan kekokohan kuda-kuda dan pinggang itu. Kelincahan melawan kemantapan. Tubuh Gin-yan-cu Tong Wi-hong bagaikan tanpa bobot saja telah berloncatan kian-kemari dengan cepatnya, sementara pedang di tangannya mencurah bagaikan hujan dengan tusukan tusukan yang beraneka-ragam.
Pedang dan tangan pemegangnya seolah telah menjadi sejiwa, memainkan Soat-san-ki-am-hoat dengan mahirnya. Ilmu pedang itu jarang melakukan sabetan-sabetan melebar, tapi lebih banyak melakukan tikaman, irisan kecil atau menggores dengan ujung pedang. Itulah ciri pedang Soat-san-pay. Lincah, tidak terlalu bertenaga, namun sulit dijaga karena geraknya yang aneh-aneh.
Namun murid kesayangan Hoat-seng Lama dari Tibet itu tidak menjadi kebingungan melihat ulah musuhnya. Kuda-kudanya yang kokoh bagaikan batu karang, ia jarang sekali meloncat, lebih banyak bergeser sambil melangkah pendek-pendek, dan pedangnya berputar di sekeliling tubuhnya bagaikah angin pusaran yang siap menelan dan melumatkan musuhnya. Kadang-kadang Pakkiong Liong meloncat menerkam juga, seperti seekor naga yang bermain di angkasa, seolah-olah menyemburkan api dan kemulian sambil menyabet bagaikan seekor naga yang tengah murka.
Dengan demikian perkelahian itu berjalan amat seru. Tong Wi-hong sadar bahwa tenaganya sendiri tidak sebesar lawannya, karena itu dalam setiap benturan pedang ia tidak pernah mengotot agar pedangnya tidak tergetar, namun justru pedangnya seolah-olah terpantul dan kemudian melakukan serangan dengan gerakan lain. Tetapi lawan bukan hanya bertahan dengan rapat, tapi juga menyerang begitu dahsyat.
Setelah berlangsung beberapa jurus, kelihatan bahwa Pakkiong Liong sedikit lebih unggul dari lawannya. Tapi keunggulan itu tidak bertahan lama, sebab Ting Bun, suami dari adik Tong Wi-hong, segera terjun ke arena dengan goloknya, sambil berseru, "A-hong, kita ringkus bersama bangsat Manchu ini!"
Ilmu golok yang dilatih oleh Ting Bun adalah Ngo-hou-toan-bun-to-hoat yang mengutamakan banyak gerakan-gerakan memotong langkah lawan, dan kemudian membenturnya secara keras. Dengan tenaga besarnya itu maka Ting Bun tidak ragu-ragu andaikata harus berbenturan tenaga dengan Pakkiong Liong, meskipun ia heran juga karena menemui seorang anak muda sehebat Pakkiong Liong yang sanggup menandingi kekuatan Gwa-kang (Tenaga Luar) miliknya.
Dan kerepotan Pakkiong Liong bertambah lagi setelah isteri Ting Bun, yaitu Tong Wi-lian terjun pula ke arena. Meskipun perempuan setengah baya itu tidak memegang senjata apapun, namun ujung jari-jarinya merupakan senjata yang berbahaya, sebab Pakkiong Liong pernah juga mendengar ketenaran nama itu. Perempuan itu menyerang dengan dua macam ilmu silat dari Siau-lim-pay, yaitu Pek-ho-kun (SilatBangau Putih) dan Coa-kun (Silat Ular).
Jika Pakkiong Liong menghantam bagaikan naga mengamuk, maka perempuan. itu dengan lincahnya menyingkir jauh, namun kemudian melejit maju untuk balas menyerang dengan tusukan jari-jari tangannya yang terlatih kuat itu. Dengan demikian kini Pakakiong Liong harus menghadapi perlawanan yang amat berat dari tiga orang musuh tangguh itu. Mereka bertiga dari keluarga pendekar ternama.
Di sebelah lain, Tong Lam-hou juga menghadapi pekerjaan yang tidak kalah beratnya. Ia juga menghadapi tiga orang yang berilmu tinggi, masing-masing adalah Kongsun Hui yang mahir dengan sepasang ruyung baja, Bu-sian Hweshio dari Siau-lim-pay dengan tongkat panjangnya yang memainkan serangan bergelombang seperti ombak samudera menghantam pantai, dan si imam Bu-tong-pay, Te-sian Tojin yang ilmu pedangnya juga hebat itu. Ketiganya dapat bekerja-sama dengan baiknya sehingga Tong Lam-hou makin lama makin terjepit.
Suatu ketika Tong Lam-hou mendapat kesempatan untuk mendekati pedatinya, dan mengambil pedang yang tadinya dimiliki oleh Pangeran Cu-Hin-yang. Dengan pedang di tangan itulah mereka bertiga mendapat perlawan gigih dari Tong Lam-hou. Dalam perkelahian itu, Tong Lam-hou melihat bahwa Kongsun Hui adalah titik yang terlemah dari kerjasama tiga orang itu, dalam arti dialah yang ilmunya paling rendah, maka Tong Lam-hou memusatkan sebagian besar tekanannya kepada bekas Panglima Beng itu.
Dengan harapan jika Kongsun Hui rontok maka si pendeta Siau-lim dan si imam Bu-tong akan lebih mudah untuk diladeni, Tapi kedua orang beribadat itupun agaknya tidak membiarkan Kongsun Hui menjadi sasaran tunggal yang ditekan terus-terusan oleh lawan. Merekapun berusaha memecah perhatian Tong Lam-hou dengan menyerangnya lari arah yang berbeda.
Yang belum teriibat dalam perkelahian adalah bekas tiga orang Tong-cu (Kepala Kelompok) dalam Hwe-liong-pang. Sesaat mereka menjadi kebingungan memilih lawan. Ingin melawan Pakkiong Liong, mereka melihat tenaga Tong Wi-hong bertiga bersama adik perempuan dan iparnya sudah cukup untuk menekan si Naga Utara itu ke dalam kesulitan.
Jika mereka melawan Tong Lam-hou, mereka merasa segan juga, sebab mereka kini sudah tahu bahwa Tong Lam-hou adalah anak Ketua Hwe-liong-pang dulu. Ketiga bekas Tong-cu yang tetap menghormati Ketua mereka meskipun, sudah meninggal itu, bagaimana sanggup bertempur melawan darah daging dari Ketua mereka sendiri?
"Apakah kita bertiga hanya akan menjadi penganggur-penganggur dan penonton-penonton saja?" tanya Oh Yun-kim kepada kedua rekannya.
Lu Sioang tidak sanggup menjawab dan melanjutkan saja pertar vaan itu keoaca Ma Hiong, "Menurut pendapatmu bagaimana, saudara Ma?"
Ma Hiong lalu menjawab, "Kalian berdua coba bantu Tong Taihiap bertiga, agar si naga liar itu cepat dijinakkan. Aku biarlah melihat ke dalam pedati untuk mencoba menolong Li Tiang-hong dan Cu Hin-yang."
"Saudara Ma, kau sudah berteman dengan begundal-begundal Cong-ceng itu?" tanya Jian-sin-kun Lu Siong dengan mata melotot.
Sahut Ma Hiong, "Jangan salah paham, saudara berdua. Pertolonganku kepada meraka hanya sekedar membayar lunas pertolongan yang pernah mereka berikan kepadaku. Tentang cita-cita, aku tetap Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsumku, seperti kalian juga."
"Mereka pernah menolongmu?"
"Ya, si pangeran kelaparan itu pernah membantuku ketika laskarku diserang oleh pasukan Bu San-kui dari Jing-toh. Dan Li Tiang-hong juga pernah memukul mundur tentara Manchu pada saat tentara Manchu hampir saja memusnahkan laskarku."
"Baiklah kalau sekedar membalas budi. Tapi hati-hatilah, saudara Ma, jangan sampai siasat mereka untuk mengikatmu denan budi kebaikan itu nanti melunturkan semangat dan cita-cita Hwe-liong-pang kita," kata Oh Yun-kim.
"Jangan kuatir, saudara Oh. Andaikata tidak ada kejadian pembantaian di Jit-siong-tin itupun aku tetap tidak sudi bergabung dengan mereka. Kali ini bekerja-sama hanya karena ada anjing-anjing Manchu berkeliaran di sini."
Maka Lu Siong dan Oh Yun-kim segera memasuki gelanggang untuk ikut mengeroyok Pakkiong Llong sehingga kini Pakkiong Liong harus menghadapi lima orang lawan. Dan kedua orang yang baru masuk ke gelanggang itupun bukan tokoh-tokoh yang dapat dianggap ringan, sebab dulunya mereka adalah Tong-cu dalam Hwe-liong-pang, suatu kedudukan yang cukup tinggi sehingga orang yang menjabatnya tentu memiliki ilmu yang rata-rata cukup tinggi.
Lu Siong sesuai dengan julukannya sebagai Tinju Sakti Seribu Kati memang memiliki kekuatan pukulan yang dahsyat bukan main, sehingga menimbulkan deru angin kencang. Gerak-geaknva sederhana saja, namun karena didukung kekuatan yang dahsyat dan kecepatan yang bagaikan kilat, maka lawan tidak akan berani memandang ringan kepadanya. Pak kiong Liong cukup mengetahui hal itu, sekali tinju Lu Siong mengenai tubuhnya maka kulitnya akan memar dan tulangnya akan retak, dan saat itu akan menjadi awal kebinasaannya.
Di samping Lu Siong, masih ada si Tendangan Tanpa Bayangan Oh Yun-kim yang setingkat kepandaiannya dengan Lu Siong. Kalau Lu Siong mengandalkan sepasang kepalanya yang kuat dan keras, maka Oh Yun-kim mengandalkan sepasang kakinya yang lincah luar biasa. Tendangan yang aneh-aneh dilakukannya seolah-olah tanpa kesulitan sedikitpun, seolah tulang-tulang dan persendian kakinya selemas sutera saja. Tetapi tendangan itu sendiri tidak selembut sutera melainkan seberat palu waja yang digerakkan dengan deras. Akibatnya tidak akan kalah hebatnya dengan pukulan Lu Siong.
Menghadapi lima orang lawan sekaligus dengan kepandaiannya masing-masing yang luar biasa itu, bagaimanapun gagahnya Pakkiong Liong, tetap kewalahan juga. Kini dengan pedangnya ia lebih banyak bertahan daripada menyerang. Meskipun demikian, ia belum berniat untuk menggunakan ilmu pukulan hawa panasnya yang disebut Hwe-liong Sin-kang itu. Pukulan itu akan digunakannya jika sudah benar-benar terjepit, dan diharapkan akan menimbulkan kejutan pada lawan-lawannya.
Sebaliknya kelima orang lawan Pakkiong Liong itu pun kagum melihat bagaimana lihainya Panglima Pasukan Naga Terbang yang terkenal itu. Kelima pengeroyok itu masing-masing adakah jago-jago tangguh di lingkungan-nya masing-masing, namun kini mereka sampai mengeroyok berlima belum juga berhasil membinasakan Pakkiong Liong, meskipun Pakkiong Liong sendiri juga sudah terdesak hebat, nampaknya, untuk membinasakan Pakkiong Liong masih diperlukan perkelahian puluhan jurus lagi.
Sementara itu, Ma Hiong telah meloncat kearah pedati dan kemudian membongkar jerami yang memenuhi pedati itu. Namun tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya,
"Saudara anggauta Hwe-liong-pang, ini bukan urusanmu!" Ternyata Tong Lam-hou telah meloncat meninggalkan ketiga orang lawannya dan kemudian memperingatkan Ma Hiong itu.
Ma Hiong yang merasa sungkan bertempur dengan Tong Lam-hou itu segera meloncat menyingkir, sambil berkata, "Anak muda, jika kau benar-benar putera Hwe-liong Pang-cu, kau tentu tidak akan sudi menjadi budak Manchu. Ayahmu adalah seorang yang bercita-cita tinggi dan luhur, kau sebagai putera nya harus mewarisi semangatnya itu!"
"Aku mewarisinya. Aku bercita-cita-menjadikan negeri ini besar dan sejahtera dan jika kau benar-benar bekas anggauta Hwe-liong-pang yang setia, kau tentu tidak akan menolong bangsat-bangsat begundal Cong-ceng ini, sebab kau tentu tahu sendiri bagaimana keadaan pemerintahan di jaman Cong-ceng dulu!" balas Tong Lam-hou dengan tajam. "Dan bukankah dulu yang dilawan oleh Hwe-liong-pang itu adalah pemerintahan Cong-ceng? Kenapa sekarang kau malah membantu mereka?"
"Aku tidak membantu mereka. Secara kebetulan aku dan mereka hanya sama sama mentang penjajahan bangsa Manchu atas negeri ini."
"Aku berpendapat bahwa Manchu tidak menjajah tetapi mempersatukan yang terpecah-belah supaya menjadi satu yang kuat. Tapi minggirlah, aku tidak ada waktu untuk berdebat denganmu!"
Ma Hiong menarik napas dalam-dalam. Apa boleh buat. Dengan berat hati ia berkata, "Anak muda, kau sungguh berbeda jauh dengan ayahmu. Ayahmu adalah pemimpinku dulu, dan aku sangat menghormati dan menghargai cita-cita besarnya. Tetapi aku agaknya tidak dapat bersikap sama terhadap kau."
Tong Lam-hou juga menarik napas. Sahutnya, "aku juga menyesal bahwa kita berdiri berseberangan. Tetapi aku punya cita-cita sendiri dan kalian tidak memahaminya. Tapi apa boleh buat. Dipahami oleh orang lain atau tidak, aku akan berjalan terus dengan cita-citaku."
Dengan berat hati pula Ma Hiong telah melepaskan sepasang senjata andalannya dari pinggangnya. Sepasang roda yang disebut Jit-goat-sing-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan). Jika senjata itu dinamakan "Jit-goat" yang merupakan lambang Kerajaan Beng, bukan berarti Ma Hiong mendukung Kerajaan Beng, melainkan karena senjata jenis itu memang begitulah namanya. Bahkan jauh sebelum berdirinya dinasti Beng yang didirikan oleh Beng-thay-cou Cu Goan-ciang ratusan tahun yang lalu, senjata semacam kepunyaan Ma Hiong itu memang disebut Jit-goat-siang-lun.
Kemudian secara kebetulan saja Cu Goan-ciang menamakan dinasti yang didirikannya dengan nama dinasti Beng. "Beng" yang berarti "cahaya" adalah aksara yang terdiri dari gabungan dua akasara "jit" (matahari) dan "goat" (rembulan) yang diletakkan berdampingan. Itulah sebabnya lambang "matahari" dan rembulan" menjadi lambang Kerajaan Beng. Namun bagi Ma Hiong, nama senjatanya itu tidak ada hubungannya sedikitpun dengan sikap dan pendiriannya.
Maka Tong Lam-hou dan Ma Hiong segera terlibat dalam saling gempur yang sengit. Meskipun mula-mula mereka saling merasa segan-segan, tetapi setelah serangan berbahaya saling dilontarkan dan hati juga semakin panas, maka rasa sungkanpun perlahan-lahan menghilang. Masing-masing menyadari bahwa mereka harus mempertahankan pendirian mereka masing-masing dengan tidak tanggung-tanggung, kalau perlu dengan taruhan nyawa.
Sementara itu ketiga lawan Tong Lam-hou yang tadi, yaitu Bu-sian Hwe-shio, Te-sian Tojin dan Kongsun Hui juga tidak tinggal diam dan membiarkan Ma Hiong bertempur seorang diri. Maka Tong Lam-houpun segera menghadapi empat orang musuh tangguh dengan kemahirannya sendiri-sendiri.
Ma Hiong dengan sepasang roda Jit-goat-siang-lunnya adalah seorang ahli berkelahi jarak pendek, langkah-langkahnya gesit dan selalu mencoba mengunci pedang Tong Lam-hou dengan merapatkan tubuhnya. Namun Tong Lam-hou terlalu lincah, dengan loncatan-loncatan pendek ia selalu menjaga jarak dengan Ma Hiong agar tidak terlalu pendek sehingga pedangnya bisa dijepit oleh sepasang roda musuh.
Sebaliknya terhadap Bu-sian Hwe-shio yang memainkan Lo-han-tung-hoat (Toya Sang Malaikat) dengan mahirnya itu, Tong Lam-hou justru tidak ingin terlalu jauh dari lawannya yang bersenjata toya panjang itu. Toya panjang Bu-sian Hweshio bagaikan seekor naga yang mengaduk lautan, namun Tong Lam-hou selincah seekor camar yang bermain-main di atas gelombang. Bagaimanapun ganasnya gelombang laut, sang camar tidak akan pernah dapat ditenggelamkannya.
Tapi masih ada bahaya-bahaya lainnya untuk Tong Lam-hou. Pedang Tesian Tojin yang mematuk dan melilit seperti, seekor ular berkulit perak itu juga tidak dapat diabaikan begitu saja, betapapun juga Te-sian Tojin adalah murid yang menonjol dari Bu-tong pay, sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu pedangnya. Selain itu masih ada Kongsun Hui, yang meskipun orang terlemah dari antara empat orang itu, namun sepasang ruyung bajanya tetap berbahaya dan dapat meremukkan lawan.
Makin lama terasa makin berat juga bagi Tong Lam-hou untuk menghadapi empat orang lawan yang tangguh itu. Jika mereka maju satu demi satu, atau bahkan dua demi dua, mereka tetap bukan lawan bagi murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu. Namun karena mereka maju berempat sekaligus, terasa alangkah beratnya bagi Tong Lam hou, apalagi keempat orang lawannya itu rata-rata memiliki pengalaman tempur yang jauh lebih banyak dari Tong Lam-hou yang baru saja turun gunung itu.
Kalau Tong Lam-hou yang hanya menghadapi empat orang saja sudah terasa berat bukan main, apalagi Pakkiong Liong yang menghadapi lima orang lawan. Dan di antara lawan-lawannya itu terdapat Gin-yan-cu Tong Wi-hong, si pemimpin Tiong-gi-piau-hang di Taybeng yang terkenal ilmu pedangnya, serta si pendekar wanita Tong Wi-lian dari An-yang-shia yang terkenal, dengan patukan jari-jarinya yang tidak kalah dengan sepucuk pedang tajam itu.
Sebagai seorang yang sudah kenyang pengalaman di berbagai macam medan kekerasan, Pakkiong Liong segera merasa bahwa cara bertempur sendiri-sendiri yang dilakukan olehnya dan oleh Tong Lam-hou itu kurang cocok dengan keadaan. Karena itu tiba-tiba Pakkiong Liong melakukan serangan beruntun sambil menyalurkan ilmu Hwe-liong-sin-kangnya ke telapak tangan kiri.
Hembusan hawa panas yang luar biasa dan mendadak itu memang mengejutkan lawan-lawannya, terutama bagi lawan-lawan yang kurang mendalami tenaga dalam seperti kedua bekas Tong-cu Hwe-liong-pang serta Ting Bun yang mengutamakan gwa-kang (tenaga luar) itu. Mereka segera berloncatan mundur, sedangkan Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian yang tenaga dalamnya cukup matang saja juga agak terhambat gerakannya oleh hawa panas itu.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Pakkiong Liong untuk meloncat bagaikan seekor elang menyambar di udara, masuk ke arena pertempuran Tong Lam-hou dan empat lawannya. Dengan putaran pedangnya yang menimbulkan angin menderu dahsyat itu ia memaksa keempat lawan Tong Lam-hou berpencaran melebar, lalu teriaknya, "A-hou, kita beradu punggung!"
Tong Lam-hou memahami maksud Pakkiong Liong itu. Dengan cara beradu punggung, maka seseorang tidak usah lagi menguatirkan serangan dari belakang, cukup memperhatikan lawan yang dari depan atau samping saja. Tak lama kemudian keduanya sudah saling membelakangi dalam menghadapi lawan-lawan yang menyerang mereka dari segala arah itu. Tong Wi-hong beserta adik dan iparnya, serta Lu Siong dan Oh Yun-kim juga sudah bergabung dengan bekas-bekas lawan Tong Lam-hou untuk mengepung musuh dan sebuah lingkaran yang lebar, dengan dua orang musuh muda tangguh di tengah-tengahnya.
Dengan demikian, kini beban, yang ditanggung olei Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou lebih merata. Dengan gigihnya mereka memutar pedang mereka bukan saja untuk bertahan, tetapi juga untuk menyerang, kegagahan kedua anak muda itu benar-benar seperti pasangan Naga dan Harimau yang perkasa.
Lawan-lawannya yang berjumlah sembilan orang itu diam-diam kagum juga kepada mereka. Nama besar Pakkiong Liong sebagai Naga Utara yang belum pernah bertemu tandingannya itu ternyata tidak bernama kosong belaka, dan sekarang belum lagi sang Naga Utara berhasil ditumpas, telah muncul si Harimau Selatan yang tidak kalah tangguhnya.
Namun kemudian orang tidak terlalu heran akan ketangguhan Tong Lam-hou setelah mengetahui bahwa dia adalah anak Tong Wi-siang, ketua Hwe-liong-pang yang puluhan tahun yang lalu telah membuat dunia persilatan menggigil ketakutan. Bahkan kemudian Hwe-liong-pang di jaman itu ikut menentukan kemenangan laskar Li Cu-seng atas Tentara Kerajaan Beng. Kini mereka melihat seolah Tong Wi-siang menjelma kembali ke dunia, dan untuk kedua kalinya dunia persilatan bakal digoncangkan lagi.
Sementara itu, ketika Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou merasa tekanan mereka semakin berat, maka Tong Lam-hou berseru kepada sahabatnya itu, "A-liong kita buat mereka panas dingin, setuju?"
"Setuju!" sahut Pakkiong Liong. "Mulai sekarang!"
Yang terkejut bukan main ketika mendengar perkataan kedua sahabat itu adalah Kongsun Hui. Ia tahu benar apa yang dimaksudkan dengan "panas dingih? Itu. Ia sudah "mencicipi" kedua-duanya. Di kuil terpencil itu ia sudah melihat sendiri bagaimana hebatnya ilmu Hwe-liong-sin-kang milik Pakkiong Liong, sehingga Tio Tong-hai yang tangguh itupun tewas bagaikan segumpal daging hangus saja. Dan di barak Li Tiang-hong beberapa hari yang lalu, ia hampir mati kedinginan oleh pukulan Tong Lam-hou yang maha dingin itu. Untunglah saat itu Tong Lam-hou tidak berniat pembunuhnya, dan hanya ingin menculik Pangeran saja, sehingga Kongsun Hui tidak membeku, darahnya karenanya.
Kini setelah mendengar bahwa Pakkiong Liong hendak menggunakan ilmu "panas dingin" mereka, maka Kongsun Hui memperingati kawana-kawannya, "Hati-hati! Kedua bangsat Manchu ini hendak menggunakan ilmu hawa panas dan dingin mereka!"
Baru saja seruan itu selesai diteriakkan, maka udara panas dan dingin itu telah tersembur keluar dengan dahysatnya. Separuh dari lingkaran pengepungan itu mendadak udaranya menjadi begitu panas seperti dalam tanur pembakaran, sementara separuh dari lingkaran itu udara menjadi dingin seperti dalam sumur es di kutub. Sebagian lawan megap-megap karena uadara yang mereka hisap seakan hendak menghanguskan isi dada mereka, sebagian lainnya mendadak merasa darahnya hampir berhenti mengalir karena dingin membeku.
Beberapa orang yang tingkatan tenaga dalamnya belum memadai untuk melawan ilmu Hwe-liong-sin-kang dan Han-im-ciang itu segera meloncat mundur dengan terpaksa. Mereka adalah suami Tong Wi-lian, ketiga orang bekas Tong-cu Hwe-liong-pang dan Kongsun Hui. Dengan demikian lingkaran pengepungan itu seolah-olah terbagi menjadi dua, yaitu bagian dalam dan bagian luar.
Bagian dalam terdiri dari Tong Wi-hong, Tong Wi-lian, Bu-sian Hwe-shio dan Te-siang tojin yang tenaga dalamnya cukup kuat untuk menahan udara panas dan dingin itu, dan di bagian luar adalah lima orang lainnya yang kehilangan sebagian besar peranan mereka dalam pertempuran yang berlangsung itu.
Orang-orang yang bertempur di bagian dalam itupun harus mengerahkan segenap ilmu mereka untuk bertahan agar tidak mampus kepanasan atau kedinginan. Sambil memainkan jurus-jurus mereka, maka wajah merekapun terlihat sebentar merah padam dan di lain saat pucat membiru, keringat membasahi wajah mereka, sementara dari ubun-ubun merekapun terlihat mengepul uap tipis yang menandakan mereka telah bertempur dengan taraf ilmu mereka yang tertinggi.
Udara panas dingin itu bagaikan berputar karena gerakan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang berpusaran itu, dan jangan dikira udara panas dan dingin itu jika digabung menjadi udara yang hangat-hangat sejuk dan nyaman, melainkan tetap berdiri sendiri-sendiri tanpa bercampur. Yang panas tetap panas dan yang dingin tetap dingin. Keadaan seperti itu lama kelamaan bisa membuat tubuh menjadi sakit berat karena udara yang berganti-ganti dengan tajamnya itu.
"Luar biasa! Luar biasa!" tak terasa Tong Wi-hong menggumam dalam hatinya, "Anak-anak yang luar biasa! Mengingatkan aku akan empat serangkai anak muda dari An-yang-shia."
Orang-orang yang bertempur dibagian dalam itupun harus mengerahkan segenap ilmu mereka untuk bertahan agar tidak mampus kepanasan atau kedinginan yang menjadi pentolan-pentolan Hwe-liong-pang itu. Kelima orang yang berdiri di lingkaran luar itupun kemudian tidak ingin menjadi penonton saja. Meskipun tidak ikut serta sepenuhnya dalam pertempuran, tapi mereka mencoba untuk mempengaruhi jalannya pertempuran sebisa-bisa mereka.
Kadang-kadang Ting Bun meloncat masuk ke arena dan melakukan sebuah jurus serangan dengan goloknya untuk mengganggu lawan, namun kemudian buru-buru meloncat keluar kembali ketika pukulan Hwe-liong-sin-kang atau Han-im-ciang menyambarnya. Cara yang dilakukan oleh Ting Bun itu kemudian ditiru pula oleh Ma Hiong, Yun-kim, Lu Siong dan Kongsun Hui.
Sementara itu, biarpun musuh telah terbagi menjadi lingkaran luar dan lingkaran dalam, namun tidak berarti pekerjaan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menjadi ringan. Pengerahan ilmu mereka itu betapapun juga telah menguras tenaga mereka lebih cepat, sementara keempat orang lawan di lingkaran dalam itupun ternyata mampu bertahan dari ilmu mereka meskipun dengan susah-payah pula.
Dengan demikian pertempuran itu telah memasuki tahap mati hidup bagi kedua belah pihak. Tahap di mana pengerahan ilmu-ilmu tertinggi dari masing-masing pihak sudah merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dan siapa yang gagal bertahan sampai jurus terakhir maka ia akan binasa di arena.
Gerakan Bu-sian Hweshio dari Siau lim-pay nampak semakin berat. Toya panjangnya yang tadinya menderu-deru dengan lincah bagaikan naga di samudera bebas itu, kini gerakannya semakin lambat seakan-akan di ujung toya panjang itu dibanduli beban tak terlihat yang semakin lama semakin berat. Dengan wajah yang merah padam dan uap tipis mengepul dari kepala gundulnya, ia nampak seram sekali.
Setiap langkahnya yang menggeser tanah tentu meninggalkan jejak-jejak kakinya yang amblas di tanah yang keras itu, amblas hampir-lima jari dalamnya. Dan jika ia melangkah, maka kakinya seakan-akan menciptakan parit-parit kecil di arena itu. Dan ketika pertempuran semakin meningkat seru, maka Bu-sian Hwesio pun mengeluarkan ilmu andalan Siau-lim-pay yang terkenal, yaitu Tay-lik-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Besar) dengan tangannya, setelah toyanya dilempar ke luar arena.
Maka arena pertempuran yang sudah cukup bising itu bagaikah bertambah dengan sebuah badai prahara yang berasal dari sepasang telapak tangan sang pendeta yang mengeluarkan angin pukulan yang bergulung-gulung kuat itu. Bagi kedua lawannya, tak ada jalan lain kecuali bertahan dengan gigihnya. Apalagi ketika kemudian Tong Wi-lian juga mengeluarkan segenap kemampuannya dalam ilmu silat Pek-ho-kun dan Coa-kun.
Sehingga lengannya seakan berubah menjadi banyak sekali yang bergerak serempak dalam mematuk, mencengkeram, membabat, menotok, menyodok dan menyiku dan sebagainya, sementara sepasang kaki pendekar wanita itupun, mulai memainkan Wan-yo-tui (Tendangan Bebek) yang merupakan tendangan berantai khusus untuk menghantam bagian bawah musuh, meskipun kadang-kadang tendangan itu juga menyambar ke kepala atau-rahang.
Oh Yun-kim si orang Korea yang ahli dalam Ilmu silat tendangan itu, diam-diam kagum juga melihat kelincahan sepasang kaki dari pendekar wanita itu. Pikirnya, "Untuk tendangan-tendangan tinggi ke arah ulu hati atau kepala, agaknya akulah jagoannya. Namun, dalam tendangan berantai rendah ke lutut atau persendian-persendian bawah lainnya, agaknya aku masih harus belajar dari Tong Lihiap."
Namun kemudian Oh Yun-kim terbelalak ketika melihat lawan mereka. Tong Lam-hou tiba-tiba juga mengeluarkan tendangan-tendangan mautnya. Tendangan maut yang bukan saja lincah dalam mengincar sasaran-sasaran bagian bawah, tetapi juga sasaran-sasaran tinggi seperti ulu hati dan kepala. Tong Lam-hou seakan-akan menunjukkan bahwa ia memiliki kemahiran. Tong Wi-lian dan Oh Yun-kim yang digabung menjadi satu. Ilmu tendangan ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu disebutnya sebagai Pek-pian-lian-hoan-tui (Tendangan Berantai Dengan Seribu Pergantiann).
Sepasang kaki Tong Lam-hou kemudian berubah jadi seperti baling-baling yang tertiup taufan, berputar tinggi dan rendah seirama dengan gerak tubuhnya, sementara tangan kirinya tetap berbahaya dengan pukulan hawa dinginnya dan tangan kanannya tetap merupakan bahaya lain lagi dengan ilmu pedangnya yang cepat dan ganas. Ilmu pedang itu adalah ciri khas Tiam-jong-pay, tidak terlalu bagus untuk dilihat, karena memang yang diutamakannya bukanlah keindahan, namun memiliki kecepatan dan ketepatan yang tinggi, telak menuju ke sasarannya.
Pertempuran itu jadi makin riuh, ilmu-ilmu andalan tak ada yang ketinggalan dikeluarkan semuanya. Tong Wi-hong kemudian juga menggunakan tangan kirinya yang sejak tadi menganggur, untuk memainkan ilmu pukulan Hui-soat-sin-ciang dari Soat-san-pay. Ilmu silat Salju Melayang. Bayangan telapak tangannya berlapis-lapis melayang denan ringan seolah tak bertenaga. Namun siapapun tahu bahwa tepukan telapak tangan itu akan sanggup meng-hancur-leburkan setumpuk batu bata. Memang begitulah ciri ilmu dari perguruan Soat-san-pay, nampaknya saja kurang mantap, namun mengandung tenaga tersembunyi yang dapat membinasakan musuh.
Dengan demikian bercampur aduklah ilmu-ilmu tingkat tinggi di arena itu. Ilmu pedang Thian-liong-kiam hoat serta ilmu pukulan Hwe-liong-sin-kang dari Thian-liong-si di Tibet yang jauh, Ilmu pedang Tiam-jong-kiam-haot, pukulan maha dingin Han-im-ciang serta tendangan Pek-pian-lian-hoan-tui yang, membingungkan, Tay-lik-kim-kong-ciang dari Siau-lim-pay yang bagaikan angin prahara, patukan-patukan jari-jari tangan dari Pek-ho-kun dan Coa-kun, tendangan Wan-yo-tui, ilmu pedang Soat-san-kiam-hoat dan Bu-tong-kiam-hoat, pukulan Hui-soat-sin-ciang yang berterbangan mencari mangsa, membuat arena itu benar-benar adu nyawa yang dahsyat.
Para prajurit pengikut Li Tiang-hong dan laskar Hwe-liong-pang yang berilmu rendah itu hanya melihat dengan terlongong-longong bagaimana mungkin manusia yang terdiri dari darah daging, sama dengan mereka sendiri, dapat berbuat demikian hebatnya?
Namun adu pamor ilmu di arena yang keras itu sekaligus juga merupakan pengurasan tenaga habis-habisan di kedua belah pihak. Sabetan-sabetan pedang dan pukulan-pukulan mereka tidak lagi sederas semula, loncatan-loncatan mereka tidak lagi selincah dan setinggi tadi, sementara keringat sudah membasahi pakaian mereka yang tengah bertempur itu.
Jika kedua belah pihak kehabisan tenaga, maka yang celaka adalah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou. Mereka hanya berdua saja dan tidak memiliki tenaga cadangan lagi. Jika musuh kehabisan tenaga, masih ada Ting Bun, Oh Yun-kim dan lain-iainnya yang meskipun ilmunya tidak terlalu tinggi namun dapat membahayakan juga, apalagi masih ada pengikut-pengikut yang bertebaran di luar arena itu. Biarpun mereka hanya tenaga-tenaga kasar, namun dengan jumlah yang banyak akan merupakan bahaya besar pula.
Namun rejeki dari Thian agaknya masih melimpahi Kerajaan Manchu yang tengah berjaya itu, sehingga dinasti baru itu belum ditakdirkan untuk kehilangan seorang Panglimanya yang paling diandalkan di segala medan. Di saat kedua belah pihak sudah mulai kelelahan, maka dari arah timur tiba-tiba kelihatan debu mengepul tinggi disertai derap kaki kuda yang bagaikan menghentak-hentak bumi.
Muncul sepasukan kecil orang-orang berkuda, semuanya berseragam hitam dengan bagian dadanya tersulam gambar naga sedang menginjak mega, bagian lengan baju mereka bergaris-garis putih melintang, kepala mereka memakai topi bulu berhias benang-benang merah. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun, Pasukan Naga Terbang, anak buah Pakkiong Liong. Jumlah yang datang itu hampir lima-puluh orang banyaknya, suatu jumlah yang dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di arena itu.
Melihat kedatangan musuh, maka tanpa diperintah lagi prajurit-prajurit pengikut Li Tiang-hong maupun orang-orang Hwe-liong-pang segera menghunus pedang-pedang mereka dan memutar kuda-kuda mereka ke arah musuh. Dan langsung membentuk sebuah garis pertahanan yang lurus.
Yang paling depan dari Tentara Manchu itu adalah si jagoan dari gurun pasir Mongol, yaitu Ha To-ji yang berjuluk Tay-mo-him (si Beruang Gurun) yang kali ini tidak bertangan kosong melainkan membawa sebatang golok melengkung berbentuk bulan sabit. Golok khas orang-orang Mongol.
Selain itu, nampak pula Han Yong-kira si jago pedang dari Korea, Le Tong bun dari Heng-san-pay yang berjulukan Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi) dan beberapa perwira tangguh lainnya. Begitu melihat Pakkiong Liong tengah terkepung oleh lawan, maka Ha To-ji segera berteriak kepada pasukannya, "Serbu!"
Diiringi dengan sorak gemuruh prajurit-prajurit Manchu itu, berderaplah limapuluh ekor kuda itu menghantam pertahanan lawan. Pihak pengikut Li Tian-hong dan orang-orang Hwe-liong-pang meskipun kalah jumlah, namun tidak mau terdorong mundur begitu saja. Merekapun segera memacu kuda-kuda mereka maju menyongsong musuh sambil memutar-mutar senjata mereka dan bersorak-sorai pula.
Maka berbenturanlah kedua pasukan itu di tengah-tengah jalan yang sepi itu. Karena jalan itu terlalu sempit untuk sebuah perkelahian menunggang kuda yang memerlukan tempat ke padang-padang ilalang di kiri kanan jalan. Dengan demikian pertempuran berkudapun segera berkobar di tempat itu. Kuda-kuda tegar dengan penunggang penunggangnya yang tangkas berlari-larian silang menyilang di arena yang luas, dengan senjata yang berputaran berusaha untuk menjatuhkan lawan dari kudanya dan kalau bisa langsung mencabut nyawanya.
Derap dan ringkik kuda, bercampur dengan sorak-sorai kedua pihak, dentang senjata dan pekik kesakitan, debu yang mengepul tinggi dan tubuh yang terbanting jatuh dari kudanya karena terhunjam oleh senjata lawan, membuat padang ilalang itu sangat panas dengan api kebencian.
Pada benturan pertama, segera terasalah bahwa pengikut-pengikut Li Tiang-hong kurang dapat mengimbangi ketangkasan lawan-lawan mereka dengan permainan senjata di atas punggung kuda. Maklumlah bahwa lawan-lawan mereka kali ini adalah prajurit-prajurit dari kesatuan Hui-liong-kun, kesatuan yang paling diandalkan oleh pemerintah Manchu dalam tupas-tugas berat...
Ia membayangkan bagaimana orang-orang Jit-siong-tin yang baik hati itu menjerit-jerit minta ampun, tapi tak dipedulikan oleh prajurit-prajurit Beng itu, dan dengan ganasnya prajurit-prajurit itu berpesta pora dengan nyawa sesamanya.
Pangeran dan Li Tiang-hong bergidik karena ditatap secara seperti itu oleh Tong Lam-hou menjadi bergidik karenanya, seperti dua orang terdakwa yang menyimpan seribu kesalahan di depan seorang hakim. Selama ini mereka menganggap bahwa orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu hanyalah orang-orang upahan yang berjuang demi gaji dan kedudukan saja, namun kini dijumpainya orang jenis lain lagi.
Orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu karena dendamnya kepada dinasti Beng. Orang seperti ini tanpa dibayar sesenpun pasti sanggup menarungkan nyawanya demi pemerintah. Memangnya yang berpendirian kuat itu hanya pihak mereka sendiri, dan pihak musuh tidak ada yang berpendirian kuat pula?
Tidak lama kemudian Pakkiong Liong sudah datang kembali ke pinggir hutan itu dengan membawa sebuah gerobak yang ditarik seekor kerbau jantan Pakaian Pakkiong Liong juga sudah ganti dengan pakaian sederhana seperti orang desa umumnya. Sambil tertawa Pakkiong Liong melemparkan segulung pakaian orang desa lainnya kepada Tong Lam-hou, katanya, "Nih, kau pakai ini!"
Kedua tawanan itupun dinaikkan ke dalam gerobak, lalu bagian atas tubuh mereka ditutupi dengan jerami. Tentu saja Li Tiang-hong dan Pangeran sangat mendongkol karena diperlakukan seperti itu, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan kemudian Tong Lam-hou dengan enaknya berbaring di atas tubuh mereka, sementara Pakkiong Liong yang bertindak sebagai saisnya.
Perjalananpun menjadi lebih lancar, meskipun berulang kali mereka bertemu dengan prajurit-prajurit Beng yang sibuk melacak jejak pimpinan mereka yang diculik. Prajurit-prajurit itu tidak curiga kepada gerobak ditarik seekor kerbau yang dinaiki oleh dua orang anak desa, dan muatannya hanya jerami itu. Li Tiang-hong dan Pangeran tadinya bermaksud untuk mogok makan saja agar mati sekalian, namun Tong Lam-hou selalu memaksakan untuk memasukkan makanan ke mulut mereka sehingga gagallah niat mereka untuk membunuh diri dengan mogok makan itu.
Suatu ketika Li Tiang-hong dan Pangeran berkeras tidak mau membwa mulut mereka dengan mengatupkan gigi mereka kuat-kuat, sehingga Tong Lam-hou terpaksa mengancamnya, "Kalian tidak mau makan? Baik. Kuhitung sampai tiga, jika kalian belum mau membuka mulut, maka aku telanjangi kalian untuk dipertontonkan kepada penduduk desa. Biar mereka melihat bagaimana agungnya calon Kaisar dan calon Panglima Tertinggi dari Kerajaan Beng Yang Agung itu!"
Ancaman itu ternyata manjur sekali, dan kedua tawanan itu mau menelan makanannya. Sedang Pakkiong Liong hanya geleng-geleng kepala saja melihat cara temannya itu memperlakukan tawanan-tawanannya. Tapi ia tidak dapat mencegahnya, meskipun kadang-kadang dicobanya juga untuk memperlunak sikap Tong Lam-hou yang sangat keras itu.
Jarak ke kota Kun-beng sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar seratus li (satu li tepatnya empatratus empatpuluh dua meter), namun karena kerbau penarik pedati itu berjalan dengan seenaknya, maka setelah menginap semalam di perjalanan mereka belum juga mencapai separuh dari perjalanan mereka. Mereka masih saja berada di jalan-jalan yang panjang yang menghubungkan desa-desa yang jaraknya berjauhan satu sama lain, di antarai oleh padang-padang ilalang yang kadang kadang nampak tak bertepi. Atau hutan-hutan kecil tempat orang mencari kayu bakar atau binatang buruan.
Siang itu, ketika mereka tengah berada di tengah-tengah sebuah padang ilalang sementara pedati mereka merambat dengan pelannya bagaikan siput, tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar derap kaki kuda yang gemuruh, dengan debu yang mengepul tinggi. Kelihatannya rombongan penunggang kuda yang datang dari barat itu berjumlah lebih dari duapuluh lima orang.
Cepat Pakkiong Liong menepikan pedatinya agar rombongan dari belakangnya itu bisa lewat. Namun ternyata rombongan itu tidak ingin mendahului pedati itu, melainkan ingin menghentikannya. Bahkan dari antara orang-orang berkuda itu telah terdengar teriakan, "He, pedati yang di depan itu! Berhentilah kalian!"
Sudah terang jalannya kerbau penarik pedati itu tidak dapat menandingi kuda-kuda yang tegar itu, sehingga sekejap kemudian pedati itu tersusul. Lalu salah seorang penunggang kuda itu tertawa dingin, "Selamat bertemu kembali, Pakkiong Ciangkun (Panglima Pakkiong) yang perkasa!”
Ketika Pakkiong Liong melihat orang yang menyapanya, itu, maka iapun mengeluh dalam hatinya. Orang itu adalah pentolan Hwe-liong-pang Ma Hiong, yang berjuluk Siau-lo-cia (si Dewa Locia Kecil). Sedang yang lain-lainnya adalah orang-orang berkuda yang dilihatnya di Jit-siong-tin beberapa hari yang lalu seperti Tong Wi-hong beserta adik dan iparnya, dua orang bekas tokoh Hwe-liong-pang lainnya seperti Jian-kin-sin-kun Lu Siong yang bermuka hitam serta Bu-ing-tui Oh Yun-kim si orang Korea itu, dan si pendeta Buddha Bu-sian Hweshio dan si imam Bu-tong-pay Te-sian Tojin.
Tetapi yang membuat Pakkiong Liong heran adalah ketika melihat Kongsun Hui ada pula di antara mereka. Bukankah kabarnya orang-orang bekas dinasti Beng itu bermusuhan dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang dulunya adalah pengikut-pengikut Coan-ong Li Cu-seng itu?
Pakkiong Liong memang pernah melihat kerjasama kedua pihak itu ketika melawan pihaknya di kuil kecil San-sin-bio dulu, namun kerjasama yang tidak erat dan bahkan kedua belah pihak masih sempat saling mencaci-maki. Kini mungkinkah mereka telah bekerjasama lagi?
Melihat kekuatan musuhnya, Pak-klong Liong segera sadar bahwa kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatannya sendiri, karena ia hanya berdua saja dengan Tong Lam-hou. Tokoh-tokoh semacam Tong Wi-hong yang ilmu pedangnya hampir sempurna, Tong Wi-lian yang mahir bertangan kosong, suaminya Ting Bun yang ilmu goloknya juga hebat, serta tiga orang bekas Kongsun Hui, bukanlah musuh-musuh ringan. Jika mereka maju serentak, habislah dirinya.
Sementara orang-orang berkuda itu telah melingkar mengepung dirinya. Di bagian dalam lingkaran kepungan itu bersiaplah tokoh-tokoh berilmu tingginya, sedang di bagian luar dari kepungan itu adalah prajurit-prajurit Li Tiang-hong yang bercampur-aduk dengan anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang berpakaian serba hitam itu. Kepungan begitu rapat sehingga Pakkiong. Liong berbisik kepada sahabatnya, "Seekor lalatpun sulit lepas dari kepungan ini."
Tong Lam-hou yang baru saja turun gunung dan masih getol-getolnya berkelahi itu segera menjawab, "Tapi yang mereka kepung itu bukan lalat, melainkan seekor naga dan seekor macan dari selatan."
Pakkiong Liong menarik napas mendengar jawaban itu. "Jangan pandang enteng mereka," katanya memperingatkan. Sementara itu Kongsun Hui telah membentak, "Pakkiong Liong, cepat bebaskan Pangeran dan Li Ciangkun, supaya kamipun mengampuni kalian berdua."
Mata Pakkiong Liong berkilat-kilat, sahutnya tenang, "Kau tahu siapakah aku dan tentu tahu pula bagaimana aku akan menjawab."
"Bagus! Kau benar-benar berani, tapi hari ini kalian berdua akan menemui kematian kalian!" dengus Kongsun Hui sambil menarik keluar sepasang ruyung bajanya.
Pakkiong Liong tertawa dingin, sesaat diedarkannya pandangannya ke sekelilingnya, ke arah musuh-musuh yang sudah memegang senjatanya masing-masing. Katanya, "Kudenar ksyatria-ksyatria Hwe-liong-pang adalah para pendekar sejati yang memperjuangkann nasib pihak yang lemah. Tetapi kenapa hari ini kalian bersekutu dengan orang yang kejam, yang menumpas sebuah desa tanpa dosa tanpa kesalahan!"
Sahut Ma Hiong tegas, "Kami sudah tahu apa yang terjadi di desa Jit-siong-tin, dan akan ada perhitungan tersendiri untuk itu. Namun dalam menghadapi penjajah negeri kami, kami harus melupakan permusuhan kami dulu."
Semua pihak sudah siap bertempur, hanya ada seorang yang masih ragu-ragu, yaitu Tong Lam-hou. Andaikata yang dihadapinya itu orang-orang bekas dinasti Beng, ia tidak akan ragu-ragu untuk membabat mereka, namun menghadapi orang-orang Hwe-liong-pang maka Tong Lam-hou menjadi bimbang. Mereka dulu adalah bekas anak buah ayahnya, terkenal sebagai pembela-pembela rakyat kecil yang gigih dan tanpa pamrih, haruskah sekarang ia membabat orang-orang seperti itu?
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Tong Lam-hou memutuskan akan bertempur di pihak Pakkiong Liong, namun lebih dulu ia akan mencoba mempengaruhi orang-orang Hwe-liong-pang. Karena itu, ketika kedua pihak sudah bergerak untuk saling baku hantam, Tong Lam-hou tiba-tiba berteriak, "Tahan! Siapa di antara kalian bekas anak buah Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang!"
Seruan itu memang mengejutkan Ma Hiong, Lu Siong dan Oh Yun-kim yang merupakan bekas anakbuah Tong Wi-siang itu, dan sampai sekarangpun mereka masih tetap setia kepada cita-cita Ketua mereka. Dengan heran mereka memandang Tong Lam-hou yang telah menyebut hama Ketua Hwe-liong-pang itu.
"Siapa kau?" tanya Lu Siong kepada Tong Lam-hou.
Cepat Tong Lam-hou melepaskan kalung kumala hijau yang selalu tergantung di lehernya itu, dan diangkatnya tinggi-tinggi sambil berseru, "Aku Tong Lam-hou, anak Tong Wi-siang! Setiap anggauta Hwe-liong-pang yang masih setia kepada cita-cita Hwe-liong-pang untuk membela rakyat kecil, harap minggir dan jangan bersekutu dengan pembunuh-pembunuh kejam yang berkedok pembela tanah-air itu!"
Pengakuan Tong Lam-hou itu menggemparkan sebagian dari para pengepung itu. Bukan saja bekas orang-orang Hwe-liong-pang yang terkejut, tetapi si pendekar dari Tay-beng, Gin-yan-cu Tong Wi-hong, juga menampakkan rasa kagetnya. Begitu pula adiknya yang bernama Tong Wi-lian serta suaminya yang bernama Ting Bun. Sesaat ketiga orang itu menatap wajah Tong Lam-hou lekat-lekat, dan hampir bersamaan mereka bergumam,
"Kalung itu benar-benar milik A-siang. Dan wajah anak muda inipun agak mirip dengan A-siang, mungkinkah ia benar-benar anak A-siang yang selama ini kami cari-cari tetapi tak pernah bertemu?"
Tong Wi-hong yang berpakaian serba putih itu segera memajukan kudanya dan bertanya, "Anak muda, benarkah kau anak Tong Wi-siang?"
"Ya, aku benar-benar anaknya, meskipun aku tidak pernah melihat wajah ayah karena beliau gugur ketika aku masih dalam perut ibuku. Buat apa aku mengaku-aku orang lain sebagai bapakku?"
Wajah pendekar dari Tay-beng itu tiba-tiba saja menampakkan rasa haru. Katanya agak tersendat, "Kalau begitu, nak, kau adalah keponakanku. Aku adalah adik dari ayahmu, dan orang itu..." katanya sambil menunjuk kepada Tong Wi-lian, "...adalah bibimu, sebab ia juga adik dari ayahmu."
Perasaan Tong Lam-hou sangat terguncang ketika menghadapi kenyataan itu. Tadinya ia menyangka bahwa satu-satunya keluarganya di dunia ini adalah ibunya, namun kini ditemuinya lagi seorang paman dan seorang bibi. Haruskah ia bergembira, atau bersedih sebab paman dan bibinya itu ternyata berdiri di pihak yang berlawanan? Sesaat Tong Lam-hou hanya membeku di atas pedatinya, tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya.
Sementara itu, yang mendengarkan percakapan itu dengan perasaan agak cemas adalah Pakkiong Liong. Jika sampai Tong Lam-hou terpengaruh oleh lawan, maka Pakkiong Liong benar-benar akan berdiri seorang diri menghadapi sekian banyak lawan. Bukan cemas karena takut mati, namun cemas karena tugasnya akan gagal dan pengacau-pengacau negara seperti Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang masih akan bebas berkeliaran. Cemas karena ia merasa belum puas mengabdi kepada negerinya.
Tapi kemudian Pakkiong Liong menjadi pasrah, apapun yang terjadi, ia siap mati demi tugasnya, ia adalah prajurit dan tetap akan menjadi prajurit sejati sampai akhir hayatnya. Ia juga tidak ingin mempengaruhi keputusan yang diambil oleh Tong Lam-hou nantinya. Ia sangat mencintai dan menghormati sahabatnya itu, dan akan membiarkan sahabatnya itu menentukan pilihannya sendiri, meskipun pilihan sang sahabat barangkali bisa merubah persahabatan di antara mereka menjadi permusuhan.
"A-hou seorang lelaki sejati," pikir Pakkiong Liong dengan mantap. "Sebagai kawan atau sebagai lawan, aku akan tetap menghormatinya. Hormat yang tulus antara sesama orang jantan."
Suasana jadi tegang, seolah mereka berubah jadi patung-patung batu yang membeku. Tong Lam-hou nampak ragu-ragu, ketika ia menoleh ke wajah Pakkiong Liong, dilihatnya wajah sahabatnya itu begitu tenang tanpa kecemasan sedikitpun. Bahkan Pakkiong Liong membalas tatapan matanya, dan tersenyum, dan berkata, "Jangan minta pendapatku. Tentukan sendiri pendapatmu secara jantan."
Bukan saja Tong Lam-hou, tetapi bahkan pihak musuhpun timbul rasa hormatnya kepada sikap ksyatria Pakkiong Liong. Namun betapapun kagumnya mereka, Pakkiong Liong tetap seorang musuh yang harus dilenyapkan. Tong Lam-hou mengangkat kedua tangannya di depan dada memberi hormat kepada Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, katanya,
"Sebagai keponakan aku memberi hormat kepada paman dan bibi, terimalah salamku. Dengan sangat, hormat aku menganjurkan kepada paman dan bibi agar tidak berteman dengan sisa-sisa dinasti Beng itu."
Setitik rasa kecewa nampak muncul diwajah Tong Wi-hong dan adik perempuannya. Dulu kakak mereka, Tong Wi-siang pernah menggoncangkan dunia persilatan dengan Hwe-liong-pangnya, dan akankah sekarang puteranya juga mengguncangkan dunia dengan berpihak kepada bangsa Manchu? Kata Tong Wi hong dengan nada amat sabar,
"Lam-hou, kau jangan salah memilih. Sejelek-jeleknya dinasti Beng, mereka masih bangsa Han. Dan sebaik-baiknya bangsa Manchu, mereka adalah orang asing yang mengangkangi negeri kita."
Kembali keragu-raguan bergelut di dada Tong Lam-hou. Terbayanglah bagaimana ia sering merindukan mempunyai keluarga yang lain kecuali ibunya, meskipun ibunyapun seorang yang cukup baik. Orang lain punya ayah, punya ibu, paman, bibi, saudara sepupu dan sebagainya, kenapa ia tidak boleh menginginkannya? Dan impiannya itu agaknya tidak sia-sia, ia ternyata masih punya seorang paman dan seorang bibi, dan barangkali juga beberapa saudara sepupu, anak-anak dari pamannya dan bibinya itu. Saudara-suadaru sepupu yang sepantaran usianya dengan sendiri, tidaklah itu menggembirakan?
Tapi bayangan lainnya melintas di benaknya. Bukankah orang-orang Jit-siong-tin juga cukup ramah kepadanya? Bertahun-tahun hidup bertetangga dengan mereka, saling memberi dan menerima, kadang-kadang bertengkar namun besoknya sudah bergurau kembali. Kebaikan dan kehangatan apa yang kurang dari mereka? Tapi kenapa mereka dibantai, dibakar, disiksa sampai habis? Kenapa?
Tiba-tiba darah Tong Lam-hou mendidih, ketika ia mengangkat kembali wajahnya, maka kebimbangan sudah tak terlihat lagi. Sinar matanya tajam penuh kepercayaan diri, geramnya, "Aku sudah menemukan pilihan, paman."
Semuanya menunggu dengan tegang apa yang akan diucapkan oleh Tong Lam-hou. Terutama Tong Wi-hong, Tong Wi-lian dan suaminya, bekas orang-orang Hwe-liong-pang dan juga Pakkiong Liong sendiri.
"Paman dan bibi yang aku hormati bagaimanapun eratnya persahabatanku dengan Pakkiong Liong, namun persahabatan kami hanyalah persahabatan antar pribadi, jauh kalau penting dibandingkan urusan yang menyangkut seluruh negeri," kata Tong Lam-hou dengan mantap. "Karena itu, aku tidak akan berpihak kepada Pakkiong Liong secara pribadi. Tidak. Aku berpihak kepada ketertiban negeri ini, dan aku akan melawan setiap perusuh yang manapun juga termasuk yang berkedok sebagai pembela rakyat tetapi membantai rakyat!"
Seperti setetes embun yang menetes di hati Pakklong Liong, jawaban Tong Lam-hou itu sangat melegakan Pakkiong Liong. Bukan karena takut mati, namun karena dianggapnya pemerintah kerajaan akan mendapat tambahan kekuatan. Sesaat kedua sahabat itu saling bertukar pandangan dengan hangat, lalu Tong Lam-hou berkata kepada paman dan bibinya,
"Cita-cita yang sama untuk menegakkan ketertiban di negeri ini, dan membangun negeri ini menjadi negeri yang besar seperti di jaman Jengish Khan dulu, itulah tali ikatan yang mempersatukan aku dan Pakkiong Liong!"
"Jadi kau memilih menjadi anjing penjajah untuk memusuhi rakyat sendiri?" teriak Kongsun Hui dengan berang.
"Siapa yang memusuhi rakyat?" balas Tong Lam-hou. "Bangsat, kau boleh meneriakkan sejuta semboyan muluk-muluk di hadapanku, tetapi aku sudah melihat sendiri akibat dari keganasan kalian! Terkutuklah kalau aku bersekutu dengan bandit-bandit keluaran dinasti Beng dan dan begundal-begundalnya macam kau."
Sementara itu Pakkiong Liong telah meloncat turun dari pedati, dan menggerak-gerakkan tangannya untuk menghangatkan otot-ototnya, lalu katanya kepada Tong Lam-hou, "Nah, A-hou, kalau Naga utara dan Macan Selatan sudah bersatu hati, agaknya pertempuran sudah bisa dimulai nih!"
Tong Lam-hou yang sudah mendapat ketetapan hati itupun segera melompat turun-dari kudanya, dan menyahut, "Benar, A-liong, aku sebenarnya sudah ingin mulai sejak tadi. Tetapi kali ini jangan mencegah aku untuk menghajar begundal-begundal si Kaisar Tiau-si-kui itu!"
Pakkiong Liong tertawa, "Tidak, aku tidak akan mencegahmu lagi. Berbuatlah sesukamu!"
Li Tiang-hong dan Pangeran yang terikat didalam pedati, serta Kong-sun Hui yang di luar pedati itupun marah bukan kepalang mendengar ucapan Tong Lam-hou tadi. Kaisar Cong-ceng sangat mereka hormati, namun Tong Lam-hou telah mengejeknya dengan sebutan "tiau-si-kui" alias "setan penggangtungan", sebab Kaisar Cong-ceng memang mati menggantung diri di bukit Bwe-san, ketika istananya tidak dapat dipertahankan lagi dari serbuan laskar Li Cu-seng.
"Budak Manchu, tutup mulutmu yang kotor itu!" bentaknya sambil menggerakkan ruyung bajanya bersilang ke pelipis Tong Lam-hou.
Tong Lam-hou cepat menggunakan gerakan-gerakan Hong-hong-liam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) untuk mengelakkan serangan itu, telapak tangannya balas menebas ke rusuk lawan. Sambil berbuat demikian ia masih sempat berteriak, "Paman dan bibi, menyingkirlah dari arena. Jangan membela pembunuh-pembunuh ini! Saudara-saudara Hwe-liong-pang juga aku harap menyingkir saja!"
Tong Wi-hong menarik napas dalam-dalam. Melihat gerakan anak Tong Wi-siang ketika melawan Kongsun Hui itu saja sudah cukup baginya untuk menyimpulkan bahwa keponakannya itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi, mungkin lebih tinggi dari dirinya sendiri. Ia bangga, tapi juga sedih. Namun Tong Wi-hong tidak mundur begitu saja, segera dicabutnya pedangnya, lalu tubuhnya bagaikan seekor burung walet saja telah menyerbu ke arah Pakkiong Liong.
Tidak percuma julukannya sebagai Gin-yan-cu (si Walet Perak), sebab gerakannya benar-benar teramat cepat seperti seekor burung walet menukik dari(udara, dan ujung pedangnya terpecah menjadi puluhan bintik-bintik perak yang seperti hujan gerimis mencurah ke tubuh Pakkiong Liong. Itulah jurus Jit-seng-kan-goat (Tujuh Bintang Mengejar Rembulan) dari ilmu pedang aliran Soat-san-pay yang terkenal kehebatannya.
"Bangsat Manchu, kaulah yang telah meracuni pikiran keponakanku sehingga ia membela pihakmu secara mati-matian!" bentak Tong Wi-hong.
Pakkiong Liong cepat melompat bergeliatan beberapa kali di udara, dan seluruh serangan Tong Wi-hpng itu-pun lenyap tanpa menemui sasarannya. Sahut Pakkiong Liong, "Tong Lam-hou sudah berumur duapuluh dua tahun, cukup dewasa untuk menentukan sikapnya sendiri dan sudah melihat sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Bukan aku yang mempengaruhinya.”
Sambil berkata demikian, Pakkiong Liong mengambil sebatang pedang dari bawah tumpukan jerami di pedatinya. Sebenarnya Pakkiong Liong tidak membawa senjata, namun ketika ia menangkap Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang, maka pedang kedua tawanan itu telah ikut terbawa, dan disembunyikan di bawah tumpukan jerami di pedatinya. Kebetulan pedang yang diambilnya adalah pedang milik Li Tiang-hong yang ukurannya agak besar dan bobotnya mantap, cocok untuk Pakkiong Liong yang juga bertenaga besar itu.
Maka bertarunglah kedua orang itu dengan sengitnya. Ilmu pedang Soat san-pay yang mengutamakan kelincahan gerak serta kerumitan perubahan-perubahan jurus yang sulit diduga berhadapan dengan ilmu pedang Thian-liong-pay dari Tibet yang mengutamakan kemantapan gerak dan kekokohan kuda-kuda dan pinggang itu. Kelincahan melawan kemantapan. Tubuh Gin-yan-cu Tong Wi-hong bagaikan tanpa bobot saja telah berloncatan kian-kemari dengan cepatnya, sementara pedang di tangannya mencurah bagaikan hujan dengan tusukan tusukan yang beraneka-ragam.
Pedang dan tangan pemegangnya seolah telah menjadi sejiwa, memainkan Soat-san-ki-am-hoat dengan mahirnya. Ilmu pedang itu jarang melakukan sabetan-sabetan melebar, tapi lebih banyak melakukan tikaman, irisan kecil atau menggores dengan ujung pedang. Itulah ciri pedang Soat-san-pay. Lincah, tidak terlalu bertenaga, namun sulit dijaga karena geraknya yang aneh-aneh.
Namun murid kesayangan Hoat-seng Lama dari Tibet itu tidak menjadi kebingungan melihat ulah musuhnya. Kuda-kudanya yang kokoh bagaikan batu karang, ia jarang sekali meloncat, lebih banyak bergeser sambil melangkah pendek-pendek, dan pedangnya berputar di sekeliling tubuhnya bagaikah angin pusaran yang siap menelan dan melumatkan musuhnya. Kadang-kadang Pakkiong Liong meloncat menerkam juga, seperti seekor naga yang bermain di angkasa, seolah-olah menyemburkan api dan kemulian sambil menyabet bagaikan seekor naga yang tengah murka.
Dengan demikian perkelahian itu berjalan amat seru. Tong Wi-hong sadar bahwa tenaganya sendiri tidak sebesar lawannya, karena itu dalam setiap benturan pedang ia tidak pernah mengotot agar pedangnya tidak tergetar, namun justru pedangnya seolah-olah terpantul dan kemudian melakukan serangan dengan gerakan lain. Tetapi lawan bukan hanya bertahan dengan rapat, tapi juga menyerang begitu dahsyat.
Setelah berlangsung beberapa jurus, kelihatan bahwa Pakkiong Liong sedikit lebih unggul dari lawannya. Tapi keunggulan itu tidak bertahan lama, sebab Ting Bun, suami dari adik Tong Wi-hong, segera terjun ke arena dengan goloknya, sambil berseru, "A-hong, kita ringkus bersama bangsat Manchu ini!"
Ilmu golok yang dilatih oleh Ting Bun adalah Ngo-hou-toan-bun-to-hoat yang mengutamakan banyak gerakan-gerakan memotong langkah lawan, dan kemudian membenturnya secara keras. Dengan tenaga besarnya itu maka Ting Bun tidak ragu-ragu andaikata harus berbenturan tenaga dengan Pakkiong Liong, meskipun ia heran juga karena menemui seorang anak muda sehebat Pakkiong Liong yang sanggup menandingi kekuatan Gwa-kang (Tenaga Luar) miliknya.
Dan kerepotan Pakkiong Liong bertambah lagi setelah isteri Ting Bun, yaitu Tong Wi-lian terjun pula ke arena. Meskipun perempuan setengah baya itu tidak memegang senjata apapun, namun ujung jari-jarinya merupakan senjata yang berbahaya, sebab Pakkiong Liong pernah juga mendengar ketenaran nama itu. Perempuan itu menyerang dengan dua macam ilmu silat dari Siau-lim-pay, yaitu Pek-ho-kun (SilatBangau Putih) dan Coa-kun (Silat Ular).
Jika Pakkiong Liong menghantam bagaikan naga mengamuk, maka perempuan. itu dengan lincahnya menyingkir jauh, namun kemudian melejit maju untuk balas menyerang dengan tusukan jari-jari tangannya yang terlatih kuat itu. Dengan demikian kini Pakakiong Liong harus menghadapi perlawanan yang amat berat dari tiga orang musuh tangguh itu. Mereka bertiga dari keluarga pendekar ternama.
Di sebelah lain, Tong Lam-hou juga menghadapi pekerjaan yang tidak kalah beratnya. Ia juga menghadapi tiga orang yang berilmu tinggi, masing-masing adalah Kongsun Hui yang mahir dengan sepasang ruyung baja, Bu-sian Hweshio dari Siau-lim-pay dengan tongkat panjangnya yang memainkan serangan bergelombang seperti ombak samudera menghantam pantai, dan si imam Bu-tong-pay, Te-sian Tojin yang ilmu pedangnya juga hebat itu. Ketiganya dapat bekerja-sama dengan baiknya sehingga Tong Lam-hou makin lama makin terjepit.
Suatu ketika Tong Lam-hou mendapat kesempatan untuk mendekati pedatinya, dan mengambil pedang yang tadinya dimiliki oleh Pangeran Cu-Hin-yang. Dengan pedang di tangan itulah mereka bertiga mendapat perlawan gigih dari Tong Lam-hou. Dalam perkelahian itu, Tong Lam-hou melihat bahwa Kongsun Hui adalah titik yang terlemah dari kerjasama tiga orang itu, dalam arti dialah yang ilmunya paling rendah, maka Tong Lam-hou memusatkan sebagian besar tekanannya kepada bekas Panglima Beng itu.
Dengan harapan jika Kongsun Hui rontok maka si pendeta Siau-lim dan si imam Bu-tong akan lebih mudah untuk diladeni, Tapi kedua orang beribadat itupun agaknya tidak membiarkan Kongsun Hui menjadi sasaran tunggal yang ditekan terus-terusan oleh lawan. Merekapun berusaha memecah perhatian Tong Lam-hou dengan menyerangnya lari arah yang berbeda.
Yang belum teriibat dalam perkelahian adalah bekas tiga orang Tong-cu (Kepala Kelompok) dalam Hwe-liong-pang. Sesaat mereka menjadi kebingungan memilih lawan. Ingin melawan Pakkiong Liong, mereka melihat tenaga Tong Wi-hong bertiga bersama adik perempuan dan iparnya sudah cukup untuk menekan si Naga Utara itu ke dalam kesulitan.
Jika mereka melawan Tong Lam-hou, mereka merasa segan juga, sebab mereka kini sudah tahu bahwa Tong Lam-hou adalah anak Ketua Hwe-liong-pang dulu. Ketiga bekas Tong-cu yang tetap menghormati Ketua mereka meskipun, sudah meninggal itu, bagaimana sanggup bertempur melawan darah daging dari Ketua mereka sendiri?
"Apakah kita bertiga hanya akan menjadi penganggur-penganggur dan penonton-penonton saja?" tanya Oh Yun-kim kepada kedua rekannya.
Lu Sioang tidak sanggup menjawab dan melanjutkan saja pertar vaan itu keoaca Ma Hiong, "Menurut pendapatmu bagaimana, saudara Ma?"
Ma Hiong lalu menjawab, "Kalian berdua coba bantu Tong Taihiap bertiga, agar si naga liar itu cepat dijinakkan. Aku biarlah melihat ke dalam pedati untuk mencoba menolong Li Tiang-hong dan Cu Hin-yang."
"Saudara Ma, kau sudah berteman dengan begundal-begundal Cong-ceng itu?" tanya Jian-sin-kun Lu Siong dengan mata melotot.
Sahut Ma Hiong, "Jangan salah paham, saudara berdua. Pertolonganku kepada meraka hanya sekedar membayar lunas pertolongan yang pernah mereka berikan kepadaku. Tentang cita-cita, aku tetap Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsumku, seperti kalian juga."
"Mereka pernah menolongmu?"
"Ya, si pangeran kelaparan itu pernah membantuku ketika laskarku diserang oleh pasukan Bu San-kui dari Jing-toh. Dan Li Tiang-hong juga pernah memukul mundur tentara Manchu pada saat tentara Manchu hampir saja memusnahkan laskarku."
"Baiklah kalau sekedar membalas budi. Tapi hati-hatilah, saudara Ma, jangan sampai siasat mereka untuk mengikatmu denan budi kebaikan itu nanti melunturkan semangat dan cita-cita Hwe-liong-pang kita," kata Oh Yun-kim.
"Jangan kuatir, saudara Oh. Andaikata tidak ada kejadian pembantaian di Jit-siong-tin itupun aku tetap tidak sudi bergabung dengan mereka. Kali ini bekerja-sama hanya karena ada anjing-anjing Manchu berkeliaran di sini."
Maka Lu Siong dan Oh Yun-kim segera memasuki gelanggang untuk ikut mengeroyok Pakkiong Llong sehingga kini Pakkiong Liong harus menghadapi lima orang lawan. Dan kedua orang yang baru masuk ke gelanggang itupun bukan tokoh-tokoh yang dapat dianggap ringan, sebab dulunya mereka adalah Tong-cu dalam Hwe-liong-pang, suatu kedudukan yang cukup tinggi sehingga orang yang menjabatnya tentu memiliki ilmu yang rata-rata cukup tinggi.
Lu Siong sesuai dengan julukannya sebagai Tinju Sakti Seribu Kati memang memiliki kekuatan pukulan yang dahsyat bukan main, sehingga menimbulkan deru angin kencang. Gerak-geaknva sederhana saja, namun karena didukung kekuatan yang dahsyat dan kecepatan yang bagaikan kilat, maka lawan tidak akan berani memandang ringan kepadanya. Pak kiong Liong cukup mengetahui hal itu, sekali tinju Lu Siong mengenai tubuhnya maka kulitnya akan memar dan tulangnya akan retak, dan saat itu akan menjadi awal kebinasaannya.
Di samping Lu Siong, masih ada si Tendangan Tanpa Bayangan Oh Yun-kim yang setingkat kepandaiannya dengan Lu Siong. Kalau Lu Siong mengandalkan sepasang kepalanya yang kuat dan keras, maka Oh Yun-kim mengandalkan sepasang kakinya yang lincah luar biasa. Tendangan yang aneh-aneh dilakukannya seolah-olah tanpa kesulitan sedikitpun, seolah tulang-tulang dan persendian kakinya selemas sutera saja. Tetapi tendangan itu sendiri tidak selembut sutera melainkan seberat palu waja yang digerakkan dengan deras. Akibatnya tidak akan kalah hebatnya dengan pukulan Lu Siong.
Menghadapi lima orang lawan sekaligus dengan kepandaiannya masing-masing yang luar biasa itu, bagaimanapun gagahnya Pakkiong Liong, tetap kewalahan juga. Kini dengan pedangnya ia lebih banyak bertahan daripada menyerang. Meskipun demikian, ia belum berniat untuk menggunakan ilmu pukulan hawa panasnya yang disebut Hwe-liong Sin-kang itu. Pukulan itu akan digunakannya jika sudah benar-benar terjepit, dan diharapkan akan menimbulkan kejutan pada lawan-lawannya.
Sebaliknya kelima orang lawan Pakkiong Liong itu pun kagum melihat bagaimana lihainya Panglima Pasukan Naga Terbang yang terkenal itu. Kelima pengeroyok itu masing-masing adakah jago-jago tangguh di lingkungan-nya masing-masing, namun kini mereka sampai mengeroyok berlima belum juga berhasil membinasakan Pakkiong Liong, meskipun Pakkiong Liong sendiri juga sudah terdesak hebat, nampaknya, untuk membinasakan Pakkiong Liong masih diperlukan perkelahian puluhan jurus lagi.
Sementara itu, Ma Hiong telah meloncat kearah pedati dan kemudian membongkar jerami yang memenuhi pedati itu. Namun tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya,
"Saudara anggauta Hwe-liong-pang, ini bukan urusanmu!" Ternyata Tong Lam-hou telah meloncat meninggalkan ketiga orang lawannya dan kemudian memperingatkan Ma Hiong itu.
Ma Hiong yang merasa sungkan bertempur dengan Tong Lam-hou itu segera meloncat menyingkir, sambil berkata, "Anak muda, jika kau benar-benar putera Hwe-liong Pang-cu, kau tentu tidak akan sudi menjadi budak Manchu. Ayahmu adalah seorang yang bercita-cita tinggi dan luhur, kau sebagai putera nya harus mewarisi semangatnya itu!"
"Aku mewarisinya. Aku bercita-cita-menjadikan negeri ini besar dan sejahtera dan jika kau benar-benar bekas anggauta Hwe-liong-pang yang setia, kau tentu tidak akan menolong bangsat-bangsat begundal Cong-ceng ini, sebab kau tentu tahu sendiri bagaimana keadaan pemerintahan di jaman Cong-ceng dulu!" balas Tong Lam-hou dengan tajam. "Dan bukankah dulu yang dilawan oleh Hwe-liong-pang itu adalah pemerintahan Cong-ceng? Kenapa sekarang kau malah membantu mereka?"
"Aku tidak membantu mereka. Secara kebetulan aku dan mereka hanya sama sama mentang penjajahan bangsa Manchu atas negeri ini."
"Aku berpendapat bahwa Manchu tidak menjajah tetapi mempersatukan yang terpecah-belah supaya menjadi satu yang kuat. Tapi minggirlah, aku tidak ada waktu untuk berdebat denganmu!"
Ma Hiong menarik napas dalam-dalam. Apa boleh buat. Dengan berat hati ia berkata, "Anak muda, kau sungguh berbeda jauh dengan ayahmu. Ayahmu adalah pemimpinku dulu, dan aku sangat menghormati dan menghargai cita-cita besarnya. Tetapi aku agaknya tidak dapat bersikap sama terhadap kau."
Tong Lam-hou juga menarik napas. Sahutnya, "aku juga menyesal bahwa kita berdiri berseberangan. Tetapi aku punya cita-cita sendiri dan kalian tidak memahaminya. Tapi apa boleh buat. Dipahami oleh orang lain atau tidak, aku akan berjalan terus dengan cita-citaku."
Dengan berat hati pula Ma Hiong telah melepaskan sepasang senjata andalannya dari pinggangnya. Sepasang roda yang disebut Jit-goat-sing-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan). Jika senjata itu dinamakan "Jit-goat" yang merupakan lambang Kerajaan Beng, bukan berarti Ma Hiong mendukung Kerajaan Beng, melainkan karena senjata jenis itu memang begitulah namanya. Bahkan jauh sebelum berdirinya dinasti Beng yang didirikan oleh Beng-thay-cou Cu Goan-ciang ratusan tahun yang lalu, senjata semacam kepunyaan Ma Hiong itu memang disebut Jit-goat-siang-lun.
Kemudian secara kebetulan saja Cu Goan-ciang menamakan dinasti yang didirikannya dengan nama dinasti Beng. "Beng" yang berarti "cahaya" adalah aksara yang terdiri dari gabungan dua akasara "jit" (matahari) dan "goat" (rembulan) yang diletakkan berdampingan. Itulah sebabnya lambang "matahari" dan rembulan" menjadi lambang Kerajaan Beng. Namun bagi Ma Hiong, nama senjatanya itu tidak ada hubungannya sedikitpun dengan sikap dan pendiriannya.
Maka Tong Lam-hou dan Ma Hiong segera terlibat dalam saling gempur yang sengit. Meskipun mula-mula mereka saling merasa segan-segan, tetapi setelah serangan berbahaya saling dilontarkan dan hati juga semakin panas, maka rasa sungkanpun perlahan-lahan menghilang. Masing-masing menyadari bahwa mereka harus mempertahankan pendirian mereka masing-masing dengan tidak tanggung-tanggung, kalau perlu dengan taruhan nyawa.
Sementara itu ketiga lawan Tong Lam-hou yang tadi, yaitu Bu-sian Hwe-shio, Te-sian Tojin dan Kongsun Hui juga tidak tinggal diam dan membiarkan Ma Hiong bertempur seorang diri. Maka Tong Lam-houpun segera menghadapi empat orang musuh tangguh dengan kemahirannya sendiri-sendiri.
Ma Hiong dengan sepasang roda Jit-goat-siang-lunnya adalah seorang ahli berkelahi jarak pendek, langkah-langkahnya gesit dan selalu mencoba mengunci pedang Tong Lam-hou dengan merapatkan tubuhnya. Namun Tong Lam-hou terlalu lincah, dengan loncatan-loncatan pendek ia selalu menjaga jarak dengan Ma Hiong agar tidak terlalu pendek sehingga pedangnya bisa dijepit oleh sepasang roda musuh.
Sebaliknya terhadap Bu-sian Hwe-shio yang memainkan Lo-han-tung-hoat (Toya Sang Malaikat) dengan mahirnya itu, Tong Lam-hou justru tidak ingin terlalu jauh dari lawannya yang bersenjata toya panjang itu. Toya panjang Bu-sian Hweshio bagaikan seekor naga yang mengaduk lautan, namun Tong Lam-hou selincah seekor camar yang bermain-main di atas gelombang. Bagaimanapun ganasnya gelombang laut, sang camar tidak akan pernah dapat ditenggelamkannya.
Tapi masih ada bahaya-bahaya lainnya untuk Tong Lam-hou. Pedang Tesian Tojin yang mematuk dan melilit seperti, seekor ular berkulit perak itu juga tidak dapat diabaikan begitu saja, betapapun juga Te-sian Tojin adalah murid yang menonjol dari Bu-tong pay, sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu pedangnya. Selain itu masih ada Kongsun Hui, yang meskipun orang terlemah dari antara empat orang itu, namun sepasang ruyung bajanya tetap berbahaya dan dapat meremukkan lawan.
Makin lama terasa makin berat juga bagi Tong Lam-hou untuk menghadapi empat orang lawan yang tangguh itu. Jika mereka maju satu demi satu, atau bahkan dua demi dua, mereka tetap bukan lawan bagi murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu. Namun karena mereka maju berempat sekaligus, terasa alangkah beratnya bagi Tong Lam hou, apalagi keempat orang lawannya itu rata-rata memiliki pengalaman tempur yang jauh lebih banyak dari Tong Lam-hou yang baru saja turun gunung itu.
Kalau Tong Lam-hou yang hanya menghadapi empat orang saja sudah terasa berat bukan main, apalagi Pakkiong Liong yang menghadapi lima orang lawan. Dan di antara lawan-lawannya itu terdapat Gin-yan-cu Tong Wi-hong, si pemimpin Tiong-gi-piau-hang di Taybeng yang terkenal ilmu pedangnya, serta si pendekar wanita Tong Wi-lian dari An-yang-shia yang terkenal, dengan patukan jari-jarinya yang tidak kalah dengan sepucuk pedang tajam itu.
Sebagai seorang yang sudah kenyang pengalaman di berbagai macam medan kekerasan, Pakkiong Liong segera merasa bahwa cara bertempur sendiri-sendiri yang dilakukan olehnya dan oleh Tong Lam-hou itu kurang cocok dengan keadaan. Karena itu tiba-tiba Pakkiong Liong melakukan serangan beruntun sambil menyalurkan ilmu Hwe-liong-sin-kangnya ke telapak tangan kiri.
Hembusan hawa panas yang luar biasa dan mendadak itu memang mengejutkan lawan-lawannya, terutama bagi lawan-lawan yang kurang mendalami tenaga dalam seperti kedua bekas Tong-cu Hwe-liong-pang serta Ting Bun yang mengutamakan gwa-kang (tenaga luar) itu. Mereka segera berloncatan mundur, sedangkan Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian yang tenaga dalamnya cukup matang saja juga agak terhambat gerakannya oleh hawa panas itu.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Pakkiong Liong untuk meloncat bagaikan seekor elang menyambar di udara, masuk ke arena pertempuran Tong Lam-hou dan empat lawannya. Dengan putaran pedangnya yang menimbulkan angin menderu dahsyat itu ia memaksa keempat lawan Tong Lam-hou berpencaran melebar, lalu teriaknya, "A-hou, kita beradu punggung!"
Tong Lam-hou memahami maksud Pakkiong Liong itu. Dengan cara beradu punggung, maka seseorang tidak usah lagi menguatirkan serangan dari belakang, cukup memperhatikan lawan yang dari depan atau samping saja. Tak lama kemudian keduanya sudah saling membelakangi dalam menghadapi lawan-lawan yang menyerang mereka dari segala arah itu. Tong Wi-hong beserta adik dan iparnya, serta Lu Siong dan Oh Yun-kim juga sudah bergabung dengan bekas-bekas lawan Tong Lam-hou untuk mengepung musuh dan sebuah lingkaran yang lebar, dengan dua orang musuh muda tangguh di tengah-tengahnya.
Dengan demikian, kini beban, yang ditanggung olei Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou lebih merata. Dengan gigihnya mereka memutar pedang mereka bukan saja untuk bertahan, tetapi juga untuk menyerang, kegagahan kedua anak muda itu benar-benar seperti pasangan Naga dan Harimau yang perkasa.
Lawan-lawannya yang berjumlah sembilan orang itu diam-diam kagum juga kepada mereka. Nama besar Pakkiong Liong sebagai Naga Utara yang belum pernah bertemu tandingannya itu ternyata tidak bernama kosong belaka, dan sekarang belum lagi sang Naga Utara berhasil ditumpas, telah muncul si Harimau Selatan yang tidak kalah tangguhnya.
Namun kemudian orang tidak terlalu heran akan ketangguhan Tong Lam-hou setelah mengetahui bahwa dia adalah anak Tong Wi-siang, ketua Hwe-liong-pang yang puluhan tahun yang lalu telah membuat dunia persilatan menggigil ketakutan. Bahkan kemudian Hwe-liong-pang di jaman itu ikut menentukan kemenangan laskar Li Cu-seng atas Tentara Kerajaan Beng. Kini mereka melihat seolah Tong Wi-siang menjelma kembali ke dunia, dan untuk kedua kalinya dunia persilatan bakal digoncangkan lagi.
Sementara itu, ketika Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou merasa tekanan mereka semakin berat, maka Tong Lam-hou berseru kepada sahabatnya itu, "A-liong kita buat mereka panas dingin, setuju?"
"Setuju!" sahut Pakkiong Liong. "Mulai sekarang!"
Yang terkejut bukan main ketika mendengar perkataan kedua sahabat itu adalah Kongsun Hui. Ia tahu benar apa yang dimaksudkan dengan "panas dingih? Itu. Ia sudah "mencicipi" kedua-duanya. Di kuil terpencil itu ia sudah melihat sendiri bagaimana hebatnya ilmu Hwe-liong-sin-kang milik Pakkiong Liong, sehingga Tio Tong-hai yang tangguh itupun tewas bagaikan segumpal daging hangus saja. Dan di barak Li Tiang-hong beberapa hari yang lalu, ia hampir mati kedinginan oleh pukulan Tong Lam-hou yang maha dingin itu. Untunglah saat itu Tong Lam-hou tidak berniat pembunuhnya, dan hanya ingin menculik Pangeran saja, sehingga Kongsun Hui tidak membeku, darahnya karenanya.
Kini setelah mendengar bahwa Pakkiong Liong hendak menggunakan ilmu "panas dingin" mereka, maka Kongsun Hui memperingati kawana-kawannya, "Hati-hati! Kedua bangsat Manchu ini hendak menggunakan ilmu hawa panas dan dingin mereka!"
Baru saja seruan itu selesai diteriakkan, maka udara panas dan dingin itu telah tersembur keluar dengan dahysatnya. Separuh dari lingkaran pengepungan itu mendadak udaranya menjadi begitu panas seperti dalam tanur pembakaran, sementara separuh dari lingkaran itu udara menjadi dingin seperti dalam sumur es di kutub. Sebagian lawan megap-megap karena uadara yang mereka hisap seakan hendak menghanguskan isi dada mereka, sebagian lainnya mendadak merasa darahnya hampir berhenti mengalir karena dingin membeku.
Beberapa orang yang tingkatan tenaga dalamnya belum memadai untuk melawan ilmu Hwe-liong-sin-kang dan Han-im-ciang itu segera meloncat mundur dengan terpaksa. Mereka adalah suami Tong Wi-lian, ketiga orang bekas Tong-cu Hwe-liong-pang dan Kongsun Hui. Dengan demikian lingkaran pengepungan itu seolah-olah terbagi menjadi dua, yaitu bagian dalam dan bagian luar.
Bagian dalam terdiri dari Tong Wi-hong, Tong Wi-lian, Bu-sian Hwe-shio dan Te-siang tojin yang tenaga dalamnya cukup kuat untuk menahan udara panas dan dingin itu, dan di bagian luar adalah lima orang lainnya yang kehilangan sebagian besar peranan mereka dalam pertempuran yang berlangsung itu.
Orang-orang yang bertempur di bagian dalam itupun harus mengerahkan segenap ilmu mereka untuk bertahan agar tidak mampus kepanasan atau kedinginan. Sambil memainkan jurus-jurus mereka, maka wajah merekapun terlihat sebentar merah padam dan di lain saat pucat membiru, keringat membasahi wajah mereka, sementara dari ubun-ubun merekapun terlihat mengepul uap tipis yang menandakan mereka telah bertempur dengan taraf ilmu mereka yang tertinggi.
Udara panas dingin itu bagaikan berputar karena gerakan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang berpusaran itu, dan jangan dikira udara panas dan dingin itu jika digabung menjadi udara yang hangat-hangat sejuk dan nyaman, melainkan tetap berdiri sendiri-sendiri tanpa bercampur. Yang panas tetap panas dan yang dingin tetap dingin. Keadaan seperti itu lama kelamaan bisa membuat tubuh menjadi sakit berat karena udara yang berganti-ganti dengan tajamnya itu.
"Luar biasa! Luar biasa!" tak terasa Tong Wi-hong menggumam dalam hatinya, "Anak-anak yang luar biasa! Mengingatkan aku akan empat serangkai anak muda dari An-yang-shia."
Orang-orang yang bertempur dibagian dalam itupun harus mengerahkan segenap ilmu mereka untuk bertahan agar tidak mampus kepanasan atau kedinginan yang menjadi pentolan-pentolan Hwe-liong-pang itu. Kelima orang yang berdiri di lingkaran luar itupun kemudian tidak ingin menjadi penonton saja. Meskipun tidak ikut serta sepenuhnya dalam pertempuran, tapi mereka mencoba untuk mempengaruhi jalannya pertempuran sebisa-bisa mereka.
Kadang-kadang Ting Bun meloncat masuk ke arena dan melakukan sebuah jurus serangan dengan goloknya untuk mengganggu lawan, namun kemudian buru-buru meloncat keluar kembali ketika pukulan Hwe-liong-sin-kang atau Han-im-ciang menyambarnya. Cara yang dilakukan oleh Ting Bun itu kemudian ditiru pula oleh Ma Hiong, Yun-kim, Lu Siong dan Kongsun Hui.
Sementara itu, biarpun musuh telah terbagi menjadi lingkaran luar dan lingkaran dalam, namun tidak berarti pekerjaan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menjadi ringan. Pengerahan ilmu mereka itu betapapun juga telah menguras tenaga mereka lebih cepat, sementara keempat orang lawan di lingkaran dalam itupun ternyata mampu bertahan dari ilmu mereka meskipun dengan susah-payah pula.
Dengan demikian pertempuran itu telah memasuki tahap mati hidup bagi kedua belah pihak. Tahap di mana pengerahan ilmu-ilmu tertinggi dari masing-masing pihak sudah merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dan siapa yang gagal bertahan sampai jurus terakhir maka ia akan binasa di arena.
Gerakan Bu-sian Hweshio dari Siau lim-pay nampak semakin berat. Toya panjangnya yang tadinya menderu-deru dengan lincah bagaikan naga di samudera bebas itu, kini gerakannya semakin lambat seakan-akan di ujung toya panjang itu dibanduli beban tak terlihat yang semakin lama semakin berat. Dengan wajah yang merah padam dan uap tipis mengepul dari kepala gundulnya, ia nampak seram sekali.
Setiap langkahnya yang menggeser tanah tentu meninggalkan jejak-jejak kakinya yang amblas di tanah yang keras itu, amblas hampir-lima jari dalamnya. Dan jika ia melangkah, maka kakinya seakan-akan menciptakan parit-parit kecil di arena itu. Dan ketika pertempuran semakin meningkat seru, maka Bu-sian Hwesio pun mengeluarkan ilmu andalan Siau-lim-pay yang terkenal, yaitu Tay-lik-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Besar) dengan tangannya, setelah toyanya dilempar ke luar arena.
Maka arena pertempuran yang sudah cukup bising itu bagaikah bertambah dengan sebuah badai prahara yang berasal dari sepasang telapak tangan sang pendeta yang mengeluarkan angin pukulan yang bergulung-gulung kuat itu. Bagi kedua lawannya, tak ada jalan lain kecuali bertahan dengan gigihnya. Apalagi ketika kemudian Tong Wi-lian juga mengeluarkan segenap kemampuannya dalam ilmu silat Pek-ho-kun dan Coa-kun.
Sehingga lengannya seakan berubah menjadi banyak sekali yang bergerak serempak dalam mematuk, mencengkeram, membabat, menotok, menyodok dan menyiku dan sebagainya, sementara sepasang kaki pendekar wanita itupun, mulai memainkan Wan-yo-tui (Tendangan Bebek) yang merupakan tendangan berantai khusus untuk menghantam bagian bawah musuh, meskipun kadang-kadang tendangan itu juga menyambar ke kepala atau-rahang.
Oh Yun-kim si orang Korea yang ahli dalam Ilmu silat tendangan itu, diam-diam kagum juga melihat kelincahan sepasang kaki dari pendekar wanita itu. Pikirnya, "Untuk tendangan-tendangan tinggi ke arah ulu hati atau kepala, agaknya akulah jagoannya. Namun, dalam tendangan berantai rendah ke lutut atau persendian-persendian bawah lainnya, agaknya aku masih harus belajar dari Tong Lihiap."
Namun kemudian Oh Yun-kim terbelalak ketika melihat lawan mereka. Tong Lam-hou tiba-tiba juga mengeluarkan tendangan-tendangan mautnya. Tendangan maut yang bukan saja lincah dalam mengincar sasaran-sasaran bagian bawah, tetapi juga sasaran-sasaran tinggi seperti ulu hati dan kepala. Tong Lam-hou seakan-akan menunjukkan bahwa ia memiliki kemahiran. Tong Wi-lian dan Oh Yun-kim yang digabung menjadi satu. Ilmu tendangan ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu disebutnya sebagai Pek-pian-lian-hoan-tui (Tendangan Berantai Dengan Seribu Pergantiann).
Sepasang kaki Tong Lam-hou kemudian berubah jadi seperti baling-baling yang tertiup taufan, berputar tinggi dan rendah seirama dengan gerak tubuhnya, sementara tangan kirinya tetap berbahaya dengan pukulan hawa dinginnya dan tangan kanannya tetap merupakan bahaya lain lagi dengan ilmu pedangnya yang cepat dan ganas. Ilmu pedang itu adalah ciri khas Tiam-jong-pay, tidak terlalu bagus untuk dilihat, karena memang yang diutamakannya bukanlah keindahan, namun memiliki kecepatan dan ketepatan yang tinggi, telak menuju ke sasarannya.
Pertempuran itu jadi makin riuh, ilmu-ilmu andalan tak ada yang ketinggalan dikeluarkan semuanya. Tong Wi-hong kemudian juga menggunakan tangan kirinya yang sejak tadi menganggur, untuk memainkan ilmu pukulan Hui-soat-sin-ciang dari Soat-san-pay. Ilmu silat Salju Melayang. Bayangan telapak tangannya berlapis-lapis melayang denan ringan seolah tak bertenaga. Namun siapapun tahu bahwa tepukan telapak tangan itu akan sanggup meng-hancur-leburkan setumpuk batu bata. Memang begitulah ciri ilmu dari perguruan Soat-san-pay, nampaknya saja kurang mantap, namun mengandung tenaga tersembunyi yang dapat membinasakan musuh.
Dengan demikian bercampur aduklah ilmu-ilmu tingkat tinggi di arena itu. Ilmu pedang Thian-liong-kiam hoat serta ilmu pukulan Hwe-liong-sin-kang dari Thian-liong-si di Tibet yang jauh, Ilmu pedang Tiam-jong-kiam-haot, pukulan maha dingin Han-im-ciang serta tendangan Pek-pian-lian-hoan-tui yang, membingungkan, Tay-lik-kim-kong-ciang dari Siau-lim-pay yang bagaikan angin prahara, patukan-patukan jari-jari tangan dari Pek-ho-kun dan Coa-kun, tendangan Wan-yo-tui, ilmu pedang Soat-san-kiam-hoat dan Bu-tong-kiam-hoat, pukulan Hui-soat-sin-ciang yang berterbangan mencari mangsa, membuat arena itu benar-benar adu nyawa yang dahsyat.
Para prajurit pengikut Li Tiang-hong dan laskar Hwe-liong-pang yang berilmu rendah itu hanya melihat dengan terlongong-longong bagaimana mungkin manusia yang terdiri dari darah daging, sama dengan mereka sendiri, dapat berbuat demikian hebatnya?
Namun adu pamor ilmu di arena yang keras itu sekaligus juga merupakan pengurasan tenaga habis-habisan di kedua belah pihak. Sabetan-sabetan pedang dan pukulan-pukulan mereka tidak lagi sederas semula, loncatan-loncatan mereka tidak lagi selincah dan setinggi tadi, sementara keringat sudah membasahi pakaian mereka yang tengah bertempur itu.
Jika kedua belah pihak kehabisan tenaga, maka yang celaka adalah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou. Mereka hanya berdua saja dan tidak memiliki tenaga cadangan lagi. Jika musuh kehabisan tenaga, masih ada Ting Bun, Oh Yun-kim dan lain-iainnya yang meskipun ilmunya tidak terlalu tinggi namun dapat membahayakan juga, apalagi masih ada pengikut-pengikut yang bertebaran di luar arena itu. Biarpun mereka hanya tenaga-tenaga kasar, namun dengan jumlah yang banyak akan merupakan bahaya besar pula.
Namun rejeki dari Thian agaknya masih melimpahi Kerajaan Manchu yang tengah berjaya itu, sehingga dinasti baru itu belum ditakdirkan untuk kehilangan seorang Panglimanya yang paling diandalkan di segala medan. Di saat kedua belah pihak sudah mulai kelelahan, maka dari arah timur tiba-tiba kelihatan debu mengepul tinggi disertai derap kaki kuda yang bagaikan menghentak-hentak bumi.
Muncul sepasukan kecil orang-orang berkuda, semuanya berseragam hitam dengan bagian dadanya tersulam gambar naga sedang menginjak mega, bagian lengan baju mereka bergaris-garis putih melintang, kepala mereka memakai topi bulu berhias benang-benang merah. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun, Pasukan Naga Terbang, anak buah Pakkiong Liong. Jumlah yang datang itu hampir lima-puluh orang banyaknya, suatu jumlah yang dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di arena itu.
Melihat kedatangan musuh, maka tanpa diperintah lagi prajurit-prajurit pengikut Li Tiang-hong maupun orang-orang Hwe-liong-pang segera menghunus pedang-pedang mereka dan memutar kuda-kuda mereka ke arah musuh. Dan langsung membentuk sebuah garis pertahanan yang lurus.
Yang paling depan dari Tentara Manchu itu adalah si jagoan dari gurun pasir Mongol, yaitu Ha To-ji yang berjuluk Tay-mo-him (si Beruang Gurun) yang kali ini tidak bertangan kosong melainkan membawa sebatang golok melengkung berbentuk bulan sabit. Golok khas orang-orang Mongol.
Selain itu, nampak pula Han Yong-kira si jago pedang dari Korea, Le Tong bun dari Heng-san-pay yang berjulukan Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi) dan beberapa perwira tangguh lainnya. Begitu melihat Pakkiong Liong tengah terkepung oleh lawan, maka Ha To-ji segera berteriak kepada pasukannya, "Serbu!"
Diiringi dengan sorak gemuruh prajurit-prajurit Manchu itu, berderaplah limapuluh ekor kuda itu menghantam pertahanan lawan. Pihak pengikut Li Tian-hong dan orang-orang Hwe-liong-pang meskipun kalah jumlah, namun tidak mau terdorong mundur begitu saja. Merekapun segera memacu kuda-kuda mereka maju menyongsong musuh sambil memutar-mutar senjata mereka dan bersorak-sorai pula.
Maka berbenturanlah kedua pasukan itu di tengah-tengah jalan yang sepi itu. Karena jalan itu terlalu sempit untuk sebuah perkelahian menunggang kuda yang memerlukan tempat ke padang-padang ilalang di kiri kanan jalan. Dengan demikian pertempuran berkudapun segera berkobar di tempat itu. Kuda-kuda tegar dengan penunggang penunggangnya yang tangkas berlari-larian silang menyilang di arena yang luas, dengan senjata yang berputaran berusaha untuk menjatuhkan lawan dari kudanya dan kalau bisa langsung mencabut nyawanya.
Derap dan ringkik kuda, bercampur dengan sorak-sorai kedua pihak, dentang senjata dan pekik kesakitan, debu yang mengepul tinggi dan tubuh yang terbanting jatuh dari kudanya karena terhunjam oleh senjata lawan, membuat padang ilalang itu sangat panas dengan api kebencian.
Pada benturan pertama, segera terasalah bahwa pengikut-pengikut Li Tiang-hong kurang dapat mengimbangi ketangkasan lawan-lawan mereka dengan permainan senjata di atas punggung kuda. Maklumlah bahwa lawan-lawan mereka kali ini adalah prajurit-prajurit dari kesatuan Hui-liong-kun, kesatuan yang paling diandalkan oleh pemerintah Manchu dalam tupas-tugas berat...
Selanjutnya;