Pendekar Naga dan Harimau Jilid 10
YANG dapat mengimbangi prajurit-prajurit Manchu yang garang-garang itu malahan adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang hidupnya tertempa oleh alam itu. Dalam perang itulah orang-orang Hwe-liong-pang menunjukkan ketangkasan mereka. Kadang-kadang jika mereka diburu oleh seorang prajurit Manchu yang berkuda pula.
Maka orang-orang Hwe-liong-pang sengaja melewati sebuah pohon yang bercabang rendah, kemudian dengan tangkas tangannya menyambar dahan pohon itu untuk berayun di dahan, membiarkan lawan lewat di bawahnya dan kemudian menerkam lawannya dari atas pohon dengan senjata pendek seperti pisau belati atau badik.
Prajurit-prajurit Manchu mengumpat melihat cara berkelahi orang-orang hwe-liong-pang itu. Namun prajurit-prajurit itu sendiri bukanlah orang-orang yang mudah gentar oleh kehebatan lawan, mereka adalah hasil gemblengan Pakkiong Liong sendiri. Cara berkelahi yang bagaimanapun juga sudah mereka pelajari, dan keberanian merekapun sudah teruji di medan-medan yang jauh lebih berat dari sekarang ini.
Jika bertempur di atas kuda, mereka sanggup, maka bergulat dengan menggunakan pisau belatipun mereka sanggup. Orang-orang Hwe-liong-pang yang menyergap lawan-lawannya dari atas pohon, ternyata tidak semudah itu menghunjamkan belati mereka ke tubuh prajurit-prajurit itu. Bahkan banyak yang terlibat dalam pergumulan sengit di rerumputan, pergumulan dengan memegang pisau belati di tangan masing-masing.
Pertempuran semakin seru. Korban sudah mulai berjatuhan di kedua pihak. Terutama di pihak prajurit-prajurit pengikut Li Tiang-hong yang kurang latihan keras itu. Sedangkan antara prajurit-prajurit Manchu dengan orang-orang Hwe-liong-pang boleh di kata telah menemui lawan yang sama-tangguhnya. Di antara prajurit-prajurit Manchu itu, para perwiranya merupakan malaikat-malaikat maut yang malang-melintang dengan ganasnya.
Ha To-ji sebagai seorang Mongol yang sering diibaratkan "dua pertiga hidupnya dilalui di atas kuda", telah menunjukkan ketangkasannya yang luar biasa. Bila ia memacu kudanya dan menyambar seorang musuhnya sambil mengayunkan senjatanya, maka musuhnya itu pasti segera terjungkal roboh dengan luka yang mematikan.
Begitu pula perwira-perwira lainnya seperti Le Tong-bun dan Han Yong-kim yang meskipun tidak semahir Ha To-ji dalam permainan berkuda, namun merekapun merupakan orang-orang yang sangat berbahaya. Sabetan-sabetan pedang samurai Han Yong-kim hampir tidak pernah luput mengenai sasarannya, Begitu juga pedang Le Tong-bun-sudah berlumuran darah musuh.
Tentu saja Ma Hiong dan lain-lainnyapun tidak membiarkan anak buah mereka diobrak-abrik semuanya oleh musuh. Merekapun segera berloncatan ke atas kudanya masing-masing dan segera terjun ke arena yang ganas itu. Dengan terjunnya mereka ke pertempuran, maka perwira-perwira Manchu yang mengganas itupun segera mendapatkan tandingannya masing-masing. Dan pertempuranpun bertambah ramai.
Sementara itu, pertempuran antara Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di satu pihak melawan pihak lain yang terdiri dari Tong Wi-hong, Tong Wi-lian, Bu-san Hweshio dan Te-sian Tojin, juga telah melewati puncaknya. Nampaknya kedua pihak akan sama-sama kehabisan tenaga, dan entah pihak mana yang bakal keluar sebagai pemenang. Kini menang kalah tergantung dari pertempuran anak buah mereka masing-masing.
Dan ternyata, meskipun orang-orang Hwe-liong-pang cukup tangkas untuk mengimbangi prajurit-prajurit musuh, namun jumlah mereka yang hanya belasan orang itu mana mampu menghadapi jumlah prajurit Manchu yang hampir limapuluh orang itu? Sedangkan prajurit-prajurit anak buah Li Tiang-hong tidak banyak membantu.
Rupanya prajurit-prajuritnya Li Tiang-hong itu telah susut nyalinya ketika melihat kegarangan prajurit-prajurit musuh. Dan merekapun lebih banyak berputar-putar saja dengan kuda-kuda mereka, tidak berani menyongsong musuh secara berhadapan. Dengan demikian tugas orang-orang Hwe-liong-pang menjadi sangat berat. "Prajurit-prajurit cengeng anak buah Li Tiang-hong itu ternyata tidak mampu berbuat apa-apa," Ma Hiong berkata di dalam hatinya dengan geram. "Percuma saja aku mengorbankan anak buahku sampai habis di tempat ini. Nyawa anak buahku lebih mahal dari sekedar nyawa Cu Hin-yang dan nyawa Li Tiang hong."
Karena pikiran semacam itu, maka Ma Hiong segera bersuit nyaring, memerintahkan anak buahnya untuk mundur teratur. Isyarat sang pemimpin itu segera disambut dengan baik oleh anak buahnya, dan orang-orang Hwe-liong-pang itu dengan tangkasnya memutar kuda-kuda mereka dan bergerak mundur secara teratur. Dengan sendirinya prajurit-prajurit Li Tiang-hong juga ikut mundur karena mereka tidak mungkin menghadapi prajurit-prajurit Manchu tanpa didampingi oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
Kongsun Hui dengan muka merah padam mendekatkan kudanya ke arah Ma Hiong dan berteriak dengan sengit, "Ma Hiong, kau tahu akibat dari perbuatanmu itu?"
"Kenapa kau marah-marah?" tanya Ma Hiong.
"Jika kita mundur, berarti kita tidak dapat menyelamatkan Pangeran dan Li Ciangkun yang tertawan musuh!" teriak Kongsun Hui berang.
"Cobalah melihat kenyataan dengan kepala dingin, saudara Kongsun," kata Ma Hiong. "Jika kita teruskan, anak buahku akan tertumpas habis karena musuh lebih kuat. Apakah hanya untuk menyelamatkan nyawa dua orang seperti Pangeran dan Li Ciangkun itu kita harus mengorbankan puluhan nyawa anak buah kita? Apakah dua nyawa lebih berharga dari puluhan nyawa?"
"Bangsat! Kau tak kenal budi! Pangeran dan Li Tiang-hong sudah menyelamatkan laskarmu ketika laskarmu hampir mampus digencet pasukan Bu San-kui beberapa hari yang lalu!" bantah Kong-sun Hui. "Kau bisa melupakan itu?"
Wajah Ma Hiong-pun merah padam, "Dan nyawa Pangeranmu dan termasuk kau sendiri juga pernah aku selamatkan ketika di kuil rusak itu, ketika kalian hampir terbakar hangus oleh tangan Pakkiong Liong itu! Kalau tidak kutolong saat itu, kau kira Pangeranmu itu sampai sekarang masih hidup?!"
Begitulah, di tengah-tengah gerakan mundur itu malah terjadi pertengkaran sengit antara Ma Hiong dan Kongsun Hui.
Lu Siong yang rasa permusuhannya terhadap orang-orang dinasti Beng lebih tebal, telah ikut memaki Kongsun Hui pula, "Dan kau buka matamu lebar-lebar, orang she Kongsun! Lihat pertempuran yang baru saja terjadi ini. Apa yang bisa dilakukan oleh prajurit-prajurit begundal-begundal keluarga Cu itu? Cuma berputar-putar ketakutan! Siapa yang benar-benar memberi perlawanan tangguh kepada musuh, itulah orang-orang kami! Orang-orang Hwe-liong pang yang perkasa! Hanya karena kalah jumlah maka kami harus mundur. Atau kau ingin kami mengurbankan seluruh anak buah kami hanya untuk membela Pangeran busukmu itu? Kau kira Pangeranmu itu begitu berharga sehingga kami orang-orang.Hwe-liong-pang harus mengorbankan nyawa untuknya?! Huh!"
Muka Kongsun Hui menjadi merah dan pucat berganti-ganti. Namun dalam hati ia harus mengakui hahwa caci-maki Lu Siong itu memang ada benarnya. Ia melihat dengan mata kepala sendiri betapa memalukannya prajurit-prajurit Li Tiang-hong kalau dihadapkan dengan musuh tangguh yang sebenarnya, dan betapa beraninya orang-orang Hwe-liong-pang itu menghadapi prajurit-prajurit Manchu dengan dada tengadah.
Sementara itu, Oh Yun-kim juga ikut "ambil bagian" dalam pendampratan itu, "Prajurit-prajurit Beng memang goblok! Hadapkan saja kepada rakyat kecil yang lemah seperti rakyat Jit-siong-tin itu, mereka akan berpesta-pora dengan nyawa manusia. Tetapi setelah berhadapan dengan tentara Manchu, merekapun seperti tikus yang melihat kucing!"
Ting Bun yang juga ikut dalam rombongan itu, segera mencoba menengahi pertengkaran itu, "Sudahlah saudara Ma, saudara Kongsun dan lain-lainnya, musuh masih di depan hidung kita apakah kita akan saling cakar-cakaran sendiri di hadapan musuh? Bukankah mereka akan mentertawakan kita? Yang penting sekarang kita harus melindungi Tong Tayhiap dan lain-lainnya agar merekapun sempat mundur bersama kita!"
"Apakah dengan demikian Pangeran Li Ciangkun akan kita biarkan saja menjadi tawanan musuh?" tanya, Kongsun Hui dengan sedih.
"Tentu saja tidak. Tetapi kali ini agaknya keadaan tidak memungkinkan, sehingga kita harus mencari akal lain di kesempatan lain pula!" sahut Ting Bun yang sebenarnya dalam hati juga tidak begitu sepenuh hati untuk berusaha. membebaskan Pangeran itu.
Sementara itu, setelah tahu bahwa Ma Hiong dan pasukannya bergerak mundur, maka Tong Wi-hong dan teman-temannyapun harus mencari kesempatan untuk mundur pula, supaya mereka tidak tertangkap oleh musuh.
Tong Lam-hou yang agaknya dapat membaca pikiran musuh-musuhnya itu, segera berbisik kepada Pakkiong Liong, "A-liong, bagaimana kalau aku mintakan ampun untuk pamanku dan bibiku ini?"
"Baik, sebenarnya akupun hormat kepada mereka," sahut Pakkiong Liong. Lalu iapun meloncat keluar dari arena perkelahian, diikuti oleh Tong Lam-hou sambil menarik pula ilmu Hwe-liong-sin-kang dan Han-im-ciang mereka.
Pakkiong Liong segera memberi hormat kepada lawan-lawannya, sambil berkata, "Mengingat kalian adalah pendekar-pendekar berbudi luhur yang suka membela rakyat kecil, dan belum pernah berbuat dosa kepada pemerintah Manchu, maka biarlah pertempuran kita ini kita akhiri di sini saja. Anggap saja sebagai pertandingan perkenalan kita!"
Tong Wi-hong dan lain-lainnyapun segera meloncat mundur. Sesaat Tong Wi hong berdiri termangu-mangu di hadapan kedua lawannya yang masih muda itu, lalu disarungkannya pedangnya dan ia pun membalas hormat Pakkiong Liong. Katanya, "Baik. Selamat tinggal."
Merekapun segera berlompatan ke kudanya masing-masing. Sebelum memacu kudanya, Tong-wi-hong sempat berkata kepada Pakkiong Liong, "Pakkiong Ciang-kun, kalau kau berkenan, aku akan berbicara sebentar dengan keponaknku, Lam hou ini."
Pakkiong Liong ragu-ragu sejenak, ada juga rasa curiga jangan-jangan Tong Wi-hong akan mempengaruhi Tong Lam-hou sedemikian rupa sehingga berbalik menjadi penentang pemerintah Manchu. Namun demikian besar penghargaan dan kepercayaan Pakkiong Liong kepada sahabatnya itu, sehingga ia akan tetap memandang Tong Lam-hou sebagai sesosok pribadi yang utuh dalam masalah apapun, sebuah pribadi yang tidak dipengaruhi olen siapapun. Karena itulah Pakkiong Liong kemudian menyahut,
"A-hou bukan anak buahku, Tong Tayhiap. Ia seorang pribadi yang merdeka. Jika paman dan keponakan bersepakat untuk berbicara, berbicaralah sepuas hati, orang lain tak berhak mencampuri."
Tong Wi-hong tersenyum, "Aku kagum akan kelapangan dada Pakkiong Ciangkun. Nah, A-hou, dapatkah aku berbicara sebentar saja denganmu?"
Sahut 'Tong Lam-hou, "Jika hendak bicara tentang urusan keluarga, aku menurut kepada pamam dan bibi. Tetapi jika mengenai sikap dan jalan hidupku yang hendak aku pilih, aku tidak ingin siapapun mempengaruhiku dan berusaha untuk membelokkan pendirianku. Paman dan bibi sudah tahu pendirianku bukan?"
Sambil menarik napas dalam-dalam, dengan rasa kecewa yang sangat menggores hati, Tong Wi-hong berkata, "Hatimu sekeras hati ayahmu, nak, namun alangkah baiknya jika kekerasan hatimu itu kau gunakan di jalan yang benar."
Tong Lam-hou juga menarik napas dengan kecewa, "Paman dan bibi kecewa sekali barangkali, tetapi akupun sangat kecewa kalau orang masih saja menetapkan benar salahnya suatu masalah hanya dari sudut pandangannya sendiri saja. Aku hanya mohon agar paman dan bibi memahami pendirianku. Aku membela pemerintah Manchu bukan karena mengingini kedudukan dan kemuliaan, tapi hanya agar perang secepatnya berakhir meskipun tenagaku sendiri tidak berarti. Ya, berakhirnya perang, itulah keinginanku.
"Rakyat negeri ini sudah berpuluh tahun menderita akibat peperangan, sejak Li Cu-seng memberontak sampai sekarang entah telah berapa puluh tahun, dan selama itu pula rakyat hidup dalam kegelisahan dan bahkan kadang-kadang menjadi korban tanpa tahu salahnya. Apakah paman dan bibi ingin melihat keadaan kisruh macam ini berkepanjangan entah sampai kapan? Hanya karena segelintir orang yang merasa dirinya keturunan Kaisar Cong-ceng berusaha merebut kembali singgasananya tanpa peduli penderitaan rakyatnya?
"Haruskah pertentangan ini berlarut-larut hanya karena kita menarik perbedaan paham antara Han dan Manchu, sehingga memberi peluang kepada penjahat penjahat berkedok pejuang untuk bertindak sewenang-wenang seperti di Jit-siong-tin? Tidak, paman. Perang harus segera berakhir, dan aku tidak peduli siapa yang duduk di singgasana saat ini. Pokoknya rakyat sudah jemu perang dan sudah mendambakan perdamaian dan kesejahteraan."
Kembali Tong Wi-hong menarik napas dalam-dalam, ia sadar betapa kuatnya pendirian Tong Lam-hou itu sehingga agaknya sulit untuk diubah lagi. Akhirnya Tong Wi-hong berkata, "Baiklah, kau dengan pendirianmu dan aku dengan pendirianku. Sebagai pribadi, aku ingin menyayangimu karena kau adalah anak dari kakakku Tong Wi-siang, darah dagingku sendiri. Tetapi sayang, aku tidak berdiri sendiri, aku bukan hanya pribadi Tong Wi-hong namun juga anggauta masyarakat yang punya ikatan-ikatan atas anggautanya. Jika kelak kita bertemu pula, belum tentu aku bisa bersikap sebagai seorang paman terhadapmu, meskipun aku menginginkannya. Kau paham maksudku?"
Wajah Tong Lam-hou juga menjadi sedih, "Paham, paham. Bukankah paman maksudkan suatu ketika kita berdiri berhadapan dengan senjata terhunus, seperti yang baru saja terjadi? Tetapi apa boleh buat, paman. Aku tidak menyukainya tetapi yang tidak kusukai itulah yang harus terjadi antara kita. Aku hanya berpihak kepada hati-nuraniku, berpihak kepada rakyat yang sudah berpuluh tahun mendambakan perperdamaian."
Pakkiong Liong, Ha To-ji. Han Yong-kim dan lain-lainnya mendengarkan pembicaraan antara paman dan keponakan itu dengan hati yang tegang pula. Namun agaknya paman dan keponakan itu harus bersimpang jalan, masing-masing punya pendirian yang sama teguhnya. Di tubuh masing-masing juga mengalir darah keluarga Tong keluarga pendekar yang berwatak keras dan berjiwa teguh.
Sekali lagi Pendekar dari Tay-beng, Tong Wi-hong mengangkat tangannya di depan dada untuk memberi hormat kepada Pakkiong Liong, sambil berkata, "Agaknya pendirian kami tidak dapat dipertemukan lagi, Pakkiong Ciangkun. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku mohon diri, dan aku harus berterus terang bahwa secara pribadi aku kagum kepadamu, Pakkiong Ciangkun. Tapi aku tetap seorang Han yang menderita melihat negerinya dikuasai bangsa asing."
Pakkiong Liong juga menjura membalas hormat Tong Wi-hong dan pendekar pendekar lainnya itu. Sahutnya, "Aku ikut berprihatin bahwa paman dan keponakan harus berpisah jalan karena berbeda pendirian. Tetapi sesungguhnya Tong Lam-hou benar, bahwa perang harus segera diakhiri, dan sebenarnya Tong Tay-hiap punya pengaruh yang cukup besar untuk membantu mengakhiri perang ini."
Tong Wi-hong tertawa kecut. "Aku juga ingin perang segera berakhir. Tapi berakhirnya perang menurut pandangan Pakkiong Ciangkun tentu saja jauh berlainan dengan pandangan kami bangsa Han."
"Yah... agaknya untuk sementara pandangan hidup kita memang akan berbenturan," kata Pakkiong Liong menyesal. "Tetapi barangkali suatu saat nanti, salah satu dari kita akan diterangi oleh kebijaksanaan sehingga kita menemukan persamaan-persamaan yang bermanfaat bagi negeri ini."
"Sekarang belum?" tanya Tong Wi-hong.
"Belum. Sebab pihakku maupun pihakmu masih merasa benar sendiri, sehingga kita masih terlalu sering merasa perlu untuk mencabut pedang-pedang kita."
Betapapun kecutnya, namun semua yang berada di tempat itu telah tersenyum juga. Alangkah kejamnya perang. Orang-orang yang seharusnya dapat saling mengagumi dan menghormati sebagai sahabat-sahabat sejati, telah dipisah-pisahkan menjadi pihak-pihak yang saling bermusuhan. Aku di sini, dan kau di sana, sahabat. Dan entah kapan jurang di antara kita dapat tertutup? Tak seorangpun tahu, sebab yang berperang bukan cuma beberapa gelintir orang tetapi beribu-ribu orang. Dan ada orang-orang yang tetap berkepentingan agar perang terus berlangsung, sebab dengan perang mereka bisa jadi "pahlawan", tanpa perang mana ada "pahlawan"?
Ketika Tong Wi-hong dan ketiga rekannya mulai bergerak pergi, maka prajurit-prajurit Manchu yang mengurung tempat itupun segera menyibak memberi jalan. Saat ini mereka saling menghormati, tapi bukankah di lain kesempatan mereka akan saling bantai di medan tempur?
Tong Lam-hou memandang penunggang-penunggang kuda itu sampai lenyap dari pandangan. Ia terkejut ketika Pakkiong Liong menepuk pundaknya, dan kata-kata sahabatnya menyusup langsung ke hatinya, "Pilihan ini berat bagimu bukan? Inilah hidup. Kadang-kadang harus memilih dari beberapa pilihan yang sama-sama tidak disuka dan perasaanpun menjadi pahit, namun dengan demikian hidup ini akan punya arti. Bukan seperti pertapa yang melarikan diri kegunung-gunung, mencari ketenteraman diri sendiri namun tidak peduli akan sesamanya yang menjerit memohon pembelaan."
"Ya, ya aku paham. Aku harus tetap teguh pada pendirianku."
"Mari kuperkenalkan kepada teman-temanku, dan juga akan menjadi teman-temanmu."
Maka Pakkiong Liong-pun memperkenalkan Tong lam-hou kepada Ha To-ji dan perwira-perwira lainnya. Selain Ha To-ji, keempat perwira lainnya adalah Han Yong-kim si pedang samurai dari Korea, Le Tong-bun, dan dua orang perwira berkebangsaan Manchu lainnya yang bernama Ko Lang-to dan Tokko Seng. Tokko Seng adalah adik dari Tokko Yan yang tewas di kuil terpencil ketika menggerebek Pangeran Cu Hin yang dan pengikut-pengikutnya.
"Kami gembira menemukan kembali Ciangkun (Panglima) dalam keadaan selamat," kata Ha To-ji dengan gembira.
"Dan kalian belum kembali ke Ibukota?"
"Belum, Ciangkun, sebagian memang sudah kembali ke Pak-khia untuk memberi laporan ke Peng-po-ceng-tong (Kementerian Perang) agar mereka tidak cemas menunggu kedatangan kita. Sedangkan aku dan beberapa kawan tetap berada di kota Kun-beng, selain untuk melanjutkan tugas menangkap bangsawan Beng dan pengikut-pengikutnya itu, juga mencoba melacak jejak Ciangkun yang tiba-tiba saja seperti hilang ditelan bumi."
Pakkiong Liong tertawa. Ditepuknya pundak perwira-perwiranya itu satu persatu, "Kalian memang sahabat-sahabtku yang baik. Aku memang hampir mati dikeroyok kawanan serigala, untung A-hou ini muncul menyelamatkan aku dan kamipun menjadi sahabat."
Ha To-ji si orang Mongol itu memegang tangan Tong Lam-hou erat-erat, katanya dengan hangat, "Selamat datang di lingkungan kami, Tong Lam-hou. Kita akan menjadi rekan seperjuangan dalam menegakkan kebesaran Negara dan Kaisar."
"Mudah-mudahan aku nanti menjadi prajurit yang baik," kata Tong lam-hou sambil tertawa dan mengguncang pula tangan Ha To-ji.
"Dan sekarang bagaimana rencana kita selanjutnya, Ciangkun?" tanya Ha To-ji. "Kita lanjutkan pencarian kita kepada Cu Hin-yang dan pengikut-pengikutnya yang memimpikan kembalinya dinasti Beng itu?"
"Tidak perlu. Mereka ada di dalam gerobak itu," kata Pakkiong Liong sambil menunjuk ke pedati. "Kita bawa mereka ke Kun-beng lebih dulu, sambil kita mengumpulkan teman-teman kita yang masih terpencar-pencar, lalu kita berangkat ke Pak-khia dengan iring-iringan yang kuat, sebab kedua tawanan itu merupakan orang-orang penting dalam kelompok mereka sehingga anak buah merekapun pasti akan berusaha untuk membebaskan mereka di tengah jalan."
Maka rombongan itupun berangkat ke kota Kun-beng, ibukota Propinsi Hun lam. Beberapa prajurit yang gugur dalam pertempuran tadi, dibawa mayatnya ke Kun-beng untuk diperabukan di sana sementara Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong telah dipindahkan ke atas punggung-punggung kuda, meskipun tetap dalam kawalan yang ketat.
SEHARI kemudian, mereka memasuki pintu gerbang kota Kun-beng pada siang hari. Tong Lam-hou yang seumur hidupnya belum pernah melihat desa yang lebih besar dari Jit-siong-tin, kini melongo ketika melihat kota Kun-beng. Setelah beberapa hari yang dilihatnya hanya desa-desa kecil yang berselang-seling dengan padang-padang ilalang yang luas atau hutan-hutan yang tidak lebat, maka kini dilihatnya pemandangan yang lain sama sekali. Dari kejauhan sudah dilihatnya benteng kota yang menjulang tinggi, yang oleh Tong Lam-hou hanya pernah dilihat di gambar-gambar di rumah kepala desa di Jit-siong-tin.
Kun-beng memang sebuah kota besar di wilayah Hun-lam. Jaman kuno, wilayah Hun-lam itu merupakan sebuah kerajaan tersendiri yang terpisah dari dinasti-dinasti yang silih berganti menguasai daratan besar. Kerajaan kecil di Hun-lam itu turun temurun diperintah oleh keluarga yang mahir ilmu silat sehingga Ibukotanya bukan saja menjadi pusat pemerintahan tetapi menjadi pusat perkunjungan ilmu silat pula. Ketika bangsa Mongol dinasti Kim dan sekaligus mencaplok Kerajaan Lam-song (Song selatan), maka negeri kecil di Hun-lam itupun tersapu oleh tentara Mongol pula.
Setelah Cu Goan-cian mengusir bangsa Mongol dan mendirikan dinasti Beng, Hun-lam tidak lagi merdeka sebagai sebuah negara melainkan cukup hanya sebagai sebuah propinsi dari Kerajaan Beng. Ketika bangsa Manchu mulai berkuasa, wilayah Hun-lam inipun masuk dalam wilayah Kerajaan. Keturunan raja-raja Hun-lam yang dulu memerintah, sekarang entah dl mana. Karena bekas sebagai Kota Kerajaan inilah maka kota Kun-beng cukup megah.
Di dalam kota jalan-jalannya lebar dan berlapis ubin persegi, setiap beberapa ratus langkah tentu ada sebuah gapura kuno yang atapnya bertingkat tingkat. Sejauh mata memandang, yang kelihatan hanyalah atap-atap rumah yang berkilauan, bersusun-susun, pagoda-pagoda yang tinggi mencakar langit. Sementara jalan-jalan besar dan lorong lorong kecilnya silang-menyilang seperti sarang laba-laba rumitnya.
Melihat semuanya itu, Tong Lam-hou menarik napas, dan gumamnya dalam hati, "Dulu kuanggap Jit-siong-tin sebagai sebuah kota, padahal, kalau dibandingkan dengan Kun-beng ini, ibaratnya Jit-siong-tin cuma setumpukan tong-tong kayu belaka. Kalau Kun-beng saja sudah begini megah, lalu bagaimana dengan kota-kota besar lainnya seperti Lam-khia dan Pak-khia?"
Namun Tong Lam-hou juga merasakan bahwa Kun-beng ada kekurangannya dibandingkan dengan Jit-siong-tin. Di Jit-siong-tin, semua penduduknya saling mengenal dengan baik, bahkan dengan penduduk-penduduk di desa lain-pun saling mengenal, dan jika bertemu di tengah jalan akan saling menyapa atau bercakap-cakap dengan hangatnya.
Namun keakaraban antar manusia itu telah hilang di kota yang besar ini. Di jalan-jalan, semua orang sibuk melangkah sendiri-sendiri dengan urusannya sendiri-sendiri pula, persetan dengan orang lain. Tidak ada saling menyapa atau saling menanyakan keadaan, semuanya begitu terburu-buru seperti diburu setan.
Di kota Kun-beng itu memang berpangkalan pasukan Manchu yang cukup kuat dan berjumlah besar, dipimpin seorang Panglima yang berenama Song Jin-ho, seorang bangsa Han. Karena itu, penduduk tidak heran jika melirat prajurit-prajurit Manchu hilir-mudik di dalam kota untuk menjaga keamanan, baik dengan menunggang kuda maupun berjalan kaki saja.
Namun rombongan Pakkiong Liong memang cukup menarik perhatian. Selain jumlahnya yang besar, juga karena rombongan itu membawa pula mayat dan orang-orang terluka, dan ada pula dua orang yang berkuda dengan tangan terikat, yaitu Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong. Selain itu, seragam anak buah Pakkiong Liong itu memang berbeda dengan seragam pasukan penjaga kota Kun-beng.
Pasukan Kun-beng berseragam merah dan biru, kepalanya memakai tudung bambu berhias benang merah, sedangkan prajurit-prajurit Pasukan Naga Terbang berseragan hitam dari topi sampai sepatu, memberikan kesan yang angker.
Tong Lam-hou yang berkuda bersama sama dengan prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu timbul juga rasa bangganya ketika merasa banwa rombongannya menjadi perhatian orang banyak. Rasa-rasanya seperti serombongan pahlawan yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan. Bahkan prajurit-prajurit yang berseragam merah dan biru itupun menghormat setiap kali berpapasan dengan Pakkiong Liong.
"Tak kuduga kedudukan A-liong setinggi ini," batin Tong Lam-hou di dalam hatinya. "Namun penampilannya sehari-hari hanya mirip prajurit rendahan saja, dan ia selalu memanggil bawahan-bawahannya dengan sebutan 'sahabat', alangkah bedanya dengan Hong Lo-toa yang baru menjadi penjaga kampung saja lagaknya sudah seperti seorang Panglima Besar!"
Selama prajurit-prajurit Pasukan Hui-liong-kun bertugas di wilayah Hun-lam itu, mereka menempati sebuah gedung besar di tengah-tengah kota Kun-beng di pinggir sebuah alun-alur luas yang setiap pagi digunakan untuk latihan para prajurit atau untuk upacara-upacara keprajuritan lainnya. Gedung itu berdampingan letaknya dengan gedung Panglima Kota Kun-beng yang lebih besar dan lebih indah. Ke gedung tempat tinggal sementara prajurit-prajurit Hui-liong-kun itulah Pakkiong Liong dan rombongannya menuju.
Entah siapa yang melaporkan, ternyata Panglima Kota Kun-beng Song Jin-ho sudah siap menyambut kedatangan Pakkiong Liong di depan pintu gerbang gedung penampungan prajurit-prajurit Hui-liong-kun. Song Jin-ho adalah seorang pria bertubuh tegap dengan perut agak gendut, berumur kira-kira empatpuluh tahun, pandangan matanya tajam dan bentuk rahangnya menandakan kekerasan hatinya.
Saat menyambut Pakkiong Liong itu ia memakai pakaian Panglimanya, lengkap dengan topi berhias bulu burung meraknya yang umum dipakai oleh para pejabat tinggi dinasti Manchu di jaman itu. Dengan jubah panjang berwarna merah tua yang bawahnya bergaris-garis biru dan putih.
Cepat Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya meloncat turun dari kudanya karena Song Jin-ho dan pengawal-pengawalnya tidak berkuda pula. Song Jin-ho maju menyambut dan memberi hormat dengan muka ramah,
"Selamat datang, Pakkiong Ciangkun. Kuucapkan selamat juga kepadamu karena kau sudah menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh Peng-po-siang-si kepadamu. Inikah pentolan pembangkang yang dulu Ciangkun sebutkan sebagai bekas Pangeran dinasti Beng itu?" Sambil berkata demikian Song Jin-ho menatap lekat-lekat ke arah Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong yang tetap duduk di atas kuda dengan tangan terikat.
"Benar, Song Congpeng (Congpeng adalah Panglima Pengawal Kota)," sahutan Pakkiong Liong sambil tersenyum. "Beberapa perwiraku telah gugur dalam usaha memburu buronan itu sejak dari kota Lok-yang sampai kemari, namun karena rejeki Kaisar junjungan kita masih cukup besar, akhirnya mereka tertangkap juga. Dan yang satu lagi itu adalah Li Tiang-hong yang hanya dengan segelintir orangnya bermimpi untuk menegakkan kembali dinasti Beng."
"Untuk beberapa hari sebelum kami berangkat kembali ke Pak-khia dengan tawanan-tawanan itu, untuk sementara kami akan merepotkan Song Congpeng untuk menjaga tawanan-tawanan itu."
"Jangan berkata begitu, Pakkiong Ciangkun, biarpun tugas kita berbeda-beda namun kita sama-sama mengabdi kepada Negara dan Kaisar. Kepercayaan yang Ciangkun berikan kepadaku tawanan tawanan itu kuterima dengan senang hati."
"Kuserahkan mereka selama beberapa hari ini kepada Song Congpeng."
"Baik," sahut Song Jin-ho, lalu ia memanggil salah seorang perwiranya, "Toan Hian!"
Perwira yang bernama Hian itu melangkah maju sambil hormat kepada Song Jin-ho. "Hamba menantikan perintah Congpeng!" katanya.
"Bawa kedua tawanan jaga baik-baik," kata Song Jin-ho singkat.
"Baik!" sahut Toan Hian, dan dengan dibantu beberapa orang prajurit maka merekapun menggusur Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong ke tempat kurungan mereka. Sebelum pergi, Pakkiong Liong masih sempat menambahkan kepada Toan Hian, "Sahabat Toan, penjagaan atas kedua orang itu harap kau selenggarakan dengan lebih ketat dari tahanan-tahanan biasa. Mereka punya beberapa orang teman yang cukup nekad untuk berusaha membebaskan mereka."
"Pesan Ciangkun aku perhatikan," sahut Toan Hian sambil membungkuk hormat.
Setelah Toan Hian pergi dengan membawa kedua tawanan itu, maka Song Jin-ho lalu berkata, "Nanti malam, aku bermaksud untuk mengadakan perjamuan sederhana untuk merayakan keberhasilan Ciangkun ini. Harap Ciangkun tidak keberatan."
Pakkiong Liong menunjuk ke arah beberapa mayat prajurit Hui-liong-kun yang diletakkan telungkup di atas punggung kuda itu, sambil berkata dengan nada sedih, "Maksud baik Song Congpeng patut kusyukuri. Namun beberapa saudaraku dari Hui-liong-kun telah gugur dalam mengemban tugas negara. Nanti malam aku bermaksud mengadakan sembahyang untuk arwah mereka. Baik yang mayatnya berhasil kami bawa pulang, maupun yang mayatnya terpaksa kami tinggalkan di tengah-tengah padang rumput sana karena keadaan tidak memungkinkan kami untuk membawanya."
Song Jin-ho nampak agak tersipu karena maksud baiknya agaknya kurang berkenan di hati Pakkiong Liong. Maka iapun berbalik mengikuti arah angin, "Oh, maaf, aku lupa bahwa Hui-liong-kun sedang bergabung karena gugurnya beberapa anggauta kalian. Yang kupikirkan cuma makan minum saja. Maaf, maaf. Kalau begitu, upacara sembahyang nanti malam Ciangkun serahkan kepada kami saja untuk menyelenggarakannya. Silahkan Ciangkun beristirahat sehari ini."
"Terima kasih, Congpeng, setelah besok pagi kita memperabukan jenazah anggauta-anggauta pasukan kami yang gugur, maka kebaikan hati Congpeng tentang jamuan makan itu agaknya tidak akan dapat kami tolak."
Song Jin-ho merasa hatinya agak lega mendengar ucapan Pakkiong Liong itu, diam-diam ia berterima kasih kepada Pakkiong Liong yang tidak ingin membuatnya kehilangan muka.
Sementara itu, diam-diam Tong Lam hou mendengarkan percakapan antara kedua Panglima itu dengan kepala pusing. Ia mendengar mereka bicara berbelit-belit, maksud hati yang sebenarnya bisa disampaikan dengan sepatah dua patah kata, telah diputar-putarnya menjadi sepuluh kalimat. Pikir Tong Lam-hou, "Barangkali begini cara berbicara orang-orang kota, terlebih-lebih para pejabat tingginya. Harus berputar-putar sebelum menyampaikan sesuatu maksud, berbeda dengar orang-orang di Jit-siong-tin yang mana bicara langsung, tegas dan terus-terang.”
Dan Tong Lam-hou mulai mengenal satu segi lain dari kehidupan. Bahasa yang berbelit-belit antar Panglima itu dimaksudkan agar satu sama lain tidak membuat lawan bicaranya kehilangan muka, sebab jika seorang Panglima sampai kehilangan muka di hadapan anak buahnya maka akibatnya akan gawat. Jika seorang tukang obat di pinggir jalan merasa tersinggung oleh orang lain, paling-paling mereka akan baku hantam sehingga muka bonyok.
Tapi jika seorang Panglima tersinggung kepada Panglima lainnya, yang akan terlibat adalah ratusan atau ribuan prajurit bawahan mereka masing-masing, dan akibatnya bukan sekedar bonyok atau bibir bengkak, melainkan kepala-kepala yang copot dari lehernya atau usus yang terburai keluar dari perut. Apalagi jika yang tersinggung itu seorang raja atau kaisar, bisa jadi dua negara berperang.
Sementara itu. Song jin-ho segera mempersilahkan Pakkiong Liong dan lain lainnya untuk beristirahat di gedung yang dipakainya itu. Ia sendiri kembali ke gedungnya sendiri. Gedung yang hendak dipakai Pakkiong Liong itu ternyata amat besar, aulanya saja bisa memuat ratusan orang. Sementara di bagian belakangnya masih terdapat puluhan ruangan tidur yang agaknya memang khusus disediakan buat pejabat-pejabat tinggi yang mengunjungi kota Kun-beng.
Pakkiong Liong dan prajurit-prajurit Hui-liong-kun menempati ruangan-ruangan itu, ada ruangan besar khusus untuk Pakkiong Liong sebagai Panglima, namun Pakkiong Liong tidak memakainya dan ia lebih senang di ruangan belakang bersama prajurit-prajuritnya. Tong Lam-hou Juga mendapat sebuah ruangan tersendiri.
Hari itu adalah hari istirahat bagi Pakkiong Liong yang sekian lama mengembara di padang ilalang maha luas untuk memburu buruan yang ditugaskan oleh pemerintah kepadanya. Jantungnya masih berdebar keras jika ia ingat bagaimana beberapa kali nyawanya hampir lepas dari tubuhnya. Ketika di kuil terpencil itu, ketika moncong-moncong serigala sudah hampir menghabiskan dagingnya, dan yang terakhir ketika ia dan Tong Lam-hou hampir-hampir tidak dapat lolos dari kepungan Tong Wi-hong dan pendekar-pendekar lainnya.
Namun Pakkiong Liong merasa bersyukur bahwa beberapa malapetaka yang dialaminya itu berubah menjadi pengalaman-pengalaman indah yang mengesankan. Dalam petualangannya itulah ditemukannya seorang sahabat sejati seperti Tong Lam-hou, dan ia ingat sebuah gubuk kecil di lereng Tiam-jong-san di mana di tempat itu ia menemukan kehangatan seorang ibu. Pakkiong Liong menarik napas dalam-dalam kalau mengingat semuanya itu.
Kini, ia akan pulang ke Ibukota Kerajaan dengan pasukannya yang megah, membawa kemenangan berupa dua orang tawanan penting yang akan diserahkannya kepada Peng-po-ceng-tong. Kemenangan yang entah untuk ke berapa puluh kalinya, dan untuk ke sekian puluh kalinya pula namanya akan menjadi buah bibir kekaguman di Pak-khia. Pak-kiong Liong, si Naga Utara yang setiap kali keluar dari sarangnya tentu akan kembali lengan membawa kemenangan.
"Kebetulan tahun ini di pak-khia akan diadakan ujian penerimaan prajurit-prajurit baru, A-hou bisa mengikutinya," kata Pakkiong Liong dalam hatinya. "Apabila ia sudah berhasil diterima menjadi prajurit, ibunya harus segera dijemput ke Pak-khia agar ibu dan anak tidak terpisah...”
Dan jika melihat sahabatnya dan ibunya itu berbahagia, Pakkiong Liong merasakan kebahagiaan pula. Pada saat yang sama, Tong Lam-hou dalam ruangannya juga sedang teringat kepada ibunya. Di sini, ia berada dalam sebuah ruangan yang bagus, dengan tempat tidur yang indah dan empuk, sementara ibunya masih di gubuk itu.
Berbaring di tempat tidur yang terbuat dari tanah liat beralas jerami dan tikar butut. Ingatan akan ibunya itu telah membuat semangat Tong Lam-hou berkobar, "Aku harus berhasil di Ibukota Kerajaan, aku harus membuat nama yang gemilang sehingga ibu akan bangga kepadaku. Dan kelak ibu aku boyong di rumahku yang megah di Pak-khia, seperti rumah ini."
Hari itu seluruh anggauta Hui-liong-kun benar-benar beristirahat lahir dan batin. Mereka harus mengumpulkan tenaga dan semangat mereka agar segar kembali untuk melakukan sebuah tugas berat lainnya. Yaitu mengawal kedua tawanan itu dengan selamat sampai ke kota Pak-khia, padahal perjalanan dari Kun-beng yang jauh di selatan sampai ke Pak-khia di utara itu entah berapa ribu li yang harus ditempuh. Mungkin membutuhkan waktu satu bulan lebih.
Tetapi ada yang lebih.gawat dari jarak yang ribuan li itu, yaitu ancaman orang-orang bekas dinasti Beng yang tentu tidak tinggal diam, dan di sepanjang jalan mereka tentu akan berusaha untuk membebaskan kembali kedua pemimpin mereka itu. Perjalanan yang jauh itu tentu sebuah perjalanan yang mendebarkan, penuh dengan intaian maut.
Malam harinya di aula gedung itu diadakan sembahyang besar untuk arwah prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang gugur dalam tugas di wilayah Hun-lam itu. Meja sesajian yang besar tergelar hampir memenuhi ruangan, sementara belasan orang rahib membacakan doa dengan nada yang menyentuh hati. Ruangan yang luas itu bagaikan menjadi suram oleh asap hio dan dupa yang dibakar terus menerus.
Seluruh prajurit Hui-liong-kun yang ikut dalam gerakan ke selatan ini semuanya hadir dengan pakaian seragam mereka yang serba hitam. Hanya kali ini mereka semuanya menambahkan secarik kain putih yang diikatkan pada topi mereka. Jumlah mereka hampir seratus orang, sebagian gugur dan sebagian sudah mendahului kembali ke Ibukota Kerajaan.
Tong Lam-hou juga hadir dalam upacara. itu, namun ia masih belum mengenakan seragam prajurit Manchu sebab ia memang belum menjadi prajurit. Rambutnya sekarang sudah dikuncir seperti Pakkiong Liong dan orang-orang Manchu, yang dikenakannya adalah jubah panjang berwarna biru tua yang cukup bersih. Dalam penampilannya malam itu, Pakkiong Liong menjadi kagum kepada sahabatnya yang kelihatan lebih tampan dan berwibawa, tidak lagi seperti anak gunung yang ketolol-tololan.
Beberapa pejabat tinggi di Kun-beng juga ikut bersembahyang dan membakar dupa di hadapan peti jenazah. Namun mereka tidak berkabung sungguh-sungguh, hanya untuk mengambil hati Pakkiong Liong saja. Maklumlah Pakkiong Liong adalah seorang Panglima di Ibukota yang punya pengaruh kuat, bahkan kabarnya masih punya hubungan darah dengan Kaisar Sun-ti sendiri. Jika Pakkiong Liong bicara kebaikan-kebaikan mereka di hadapan Kaisar, itu akan menjadi berkah bagi mereka, alamat akan cepat naik pangkat.
Tapi kalau sampai Pakkiong Liong membicarakan keburukan mereka, maka siap-siap sajalah untuk dicopot dari jabatan mereka. Itulah sebabnya sikap mereka manis luar biasa kepada Pakkiong Liong. Undangan untuk jamuan makan mengalir dari sana-sini, namun semuanya ditolak dengan halus oleh Pakkiong Liong, kecuali jamuan yang diselenggarakan oleh Song Jin-ho sendiri yang memang sudah disanggupi oleh Pakkiong Liong.
Setelah upacara sembahyang untuk arwah prajurit-prajurit yang gugur selesai, maka ruangan besar itupun menjadi sepi kembali. Tamu-tamu pulang ke rumahnya masing-masing, sedangkan prajurit-prajurit Hui-liong-kun masuk ke ruangan belakang. Namun ada juga yang tidak langsung tidur, hanya mengganti pakaian mereka dengan pakaian biasa, lalu merekapun menyelundup keluar untuk mencari warung arak atau rumah pelesiran. Nikmatilah hidup ini, siapa tahu besok lehermu sudah digorok oleh pengikut-pengikut dinasti Beng itu.
Beberapa orang rahib masih tetap di ruangan itu, sebab mereka akan membaca doa semalam suntuk. Karena kegelisahan memikirkan ibunya, Tong Lam-hou juga tidak dapat segera tidur. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati udara malam di luaran, maka iapun melangkah keluar dari gedung besar itu dengan lewat pintu samping.
Seperti kota-kota besar lainnya, maka Kun-beng boleh dikata tidak tidur semalam suntuk. Bahkan ada warung-warung arak yang bukanya malam hari sampai pagi, khusus melayani kaum pemogoran. Mau main perempuan atau main judi, semuanya sudah tersedia.
Sambil berjalan lambat-lambat disepanjang jalan, Tong Lam-hou menarik napas panjang-panjang. Apa yang di Jit-siong-tin dianggap perbuatan memalukan seperti berjudi, di sini dianggap hal biasa saja. Hal biasa pula kalau ada orang berkelahi di rumah judi, atau karena berebut perempuan atau mabuk arak.
Akhirnya Tong Lam-hou menjadi jemu dan kembali ke gedung besar itu untuk tidur. Ketika melewati kamar Ha To-ji yang terbuka lebar, dilihatnya orang Mongol itu dengan bertelanjang dada tengah berlatih ilmu silatnya sehingga mandi keringat.
Tong Lam-hou tersenyum dalam hatinya. "Rajin benar orang Mongol ini. Malam hampir pagi seperti ini ia masih menyempatkan dirinya berlatih silat. Pantas A-liong menyebutnya sebagai seorang perwira yang memiliki masa depan yang cerah karena keuletannya."
Akhirnya Tong Lam-hou tertidur juga. Pagi harinya, Tong Lam-hou harus mengikuti upacara pembakaran jenazah para prajurit yang gugur. Song Jin-ho yang tengah berusaha untuk mengambil hati Pakkiong Liong itu telah menyelenggarakan sebuah upacara perabuan jenazah yang megah dan khidmat, sampai upacara selesai di mana abu jenazah dari prajurit-prajurit itu dimasukkan ke dalam guci-guci kecil yang kelak akan diserahkan kepada keluarga masing-masing prajurit di Pak-khia.
Tong Lam-hou membatin, "Alangkah sedihnya keluarga prajurit-prajurit itu. Ketika berangkat mereka masih segar-bugar, dan pulangnya hanya berujud segumpal abu dalam guci kecil. Tetapi yang lebih sedih lagi tentu keluarga yang hanya menerima pemberitahuan saja, hanya menerima namanya saja, sebab mayatnya tertinggal di medan laga sana."
Selesai upacara yang khidmat itu, Pakkiong Liong mengucapkan terima kasih kepada Song Jin-ho, "Song Congpeng telah berbuat sangat banyak bagi pasukan kami. Aku atas nama seluruh pasukan mengucapkan terima kasih kepada Congpeng. Sri Baginda tentu akan senang sekali mendengar sikap Congpeng ini."
"Terima kasih, Pakkiong Ciangkun Yang kulakukan hanya sekedar kewajiban kepada sesama prajurit yang gugur, penghormatan dari kami kepada para pahlawan yang telah berkorban jiwa untuk tegaknya pemerintah kita ini."
Kedua Panglima itu masih bercakap-cakap sejenak sebelum mereka kembali ke gedungnya masing-masing. Sejak masuk ke kota Kun-beng, Tong Lam-hou merasa bahwa agak sulit untuk terus bersama-sama dengan A-liong seperti ketika masih berada di Tiam-jong-san dulu. Di Kun-beng ini, Pakkiong Liong adalah seorang Panglima yang dihormati, selalu sibuk dengan ini itu, sehingga Tong Lam-hou lebih sering dibiarkannya seorang diri atau hanya berteman perwira-perwira bawahannya seperti Ha To-ji atau lainnya.
Namun Tong Lam-hou berusaha untuk dapat mengerti semuanya itu, ia tahu bahwa bukan karena Pakkiong Liong menjauhinya, namun karena kesibukannya yang tak habis-habisnya itulah yang agak menjauhkannya daripadanya. Menilik keadaan tawanan di penjara, mempersiapkan keberangkatan pasukannya ke Pak-khia, berunding dengan Song Jin-ho tentang sisa-sisa dinasti Beng yang masih berkeliaran di padang ilalang sana, dan lain-lain.
Dan Tong Lam-hou tidak ingin menjadi anak yang cengeng dan manja, seperti anak kecil yang terus-menerus berpegangan pada baju ibunya ketikaa berada di tengah pasar malam, dan menangis kalau ia kehilangan pegangannya. Tidak. Tong Lam-hou menyadari dirinya adalah pribadi yang mandiri, sehingga iapun akhirnya berusaha menghadapi segalanya dengan hati yang mantap.
"Aku turun gunung untuk membantu meringankan tugas-tugas A-liong sebagai prajurit yang menertibkan negeri ini,” kata Tong Lam-hou dalam hatinya sendiri. "Bukan malah memberatkannya, seolah-olah aku adalah tamu yang manja di tempat ini, yang selalu harus diperhatikan oleh tuan rumahnya. Atau seperti seorang momongan yang rewel."
Karena itulah maka Tong Lam-hou tidak ingin mengganggu kesibukan Pakkiong Liong, dan iapun mencari kesibukan sendiri pula. Kadang-kadang ia berlatih silat sehari penuh di halaman gedung itu, atau ia berjalan-jalan bersama-sama dengan Ha To-ji atau Han Yong-kim yang semakin akrab dengannya. Untung di sekitar kota Kun-beng itu ada banyak tempat-tempat indah yang bisa dilihat untuk menghibur hati.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika Pakkiong Liong sedang menghadiri undangan Song Jin-ho untuk menyaksikan latihan pasukan bawahan Song Jin ho di sebuah lapangan yang luas, maka Tong Lam-hou dan perwira-perwira bawahan Pakkiong Liong juga ikut melihat jalannya latihan. Pada kesempatan itulah baru Pakkiong Liong memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Tong Lam-hou yang menunggang kuda di sebelahnya, "Ke mana saja kau selama ini?"
"Ke mana saja, cukup banyak tempat indah yang bisa didatangi di sekitar kota ini," sahut Tong Lam-hou.
"Sendirian?"
"Tidak. Kadang-kadang bersama Ha To-ji dan kadang-kadang bersama Han Yong-kim. Kadang-kadang kami bertiga."
Pakkiong Liong tersenyum. "Kau merasa cocok dengan orang Mongol dan orang Korea itu?"
"Mereka orang-orang baik, kenapa harus tidak cocok dengan mereka?"
"Bagus. Kita semua harus bersatu hati, barulah bisa untuk berbuat sesuatu yang berarti bagi negeri ini. Apakah kau tidak mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan mungkin?"
Mulut Tong Lam-hou sudah bergerak hendak mengucapkan sesuatu, namun kemudian digelengaknnya kepalanya sambil menjawab, "Ah, tidak. Semuanya baik dan semuanya menyenangkan."
"Nah, kau mulai belajar berbohong kepadaku?"
Tong Lam-hou terkejut, namun kemudian ia tertawa, "Bagaimana kau tahu aku menyembunyikan sesuatu? Aku tidak berbohong, aku hanya menyembunyikan sesuatu yang dapat merusak suasana."
"A-hou, kita ini bersahabat bukan? Jujurlah kepadaku. Apa yang tidak menyenangkanmu?"
"Ah, tidak ada. Barangkali hanya perasaanku saja."
"Nah, coba ceritakan perasaanmu itu, biar aku sebagai, temanmu ikut menilai benar atau tidak."
Akhirnya Tong Lam-hou harus menjawab juga, namun sebelum menjawab ia menyapukan pandangannya ke sekitarnya, kepada orang-orang yang sedang menonton latihan prajurit itu. Setelah merasa aman, baru dijawabnya, "A-liong, perwira bawahanmu yang berhidung melengkung dan bermata seperti alap-alap itu agaknya tidak senang kepadaku."
"Berhidung melengkung dan bermata alap-alap? Maksudmu Ang Bun-long? Apakah ia pernah berbuat sesuatu yang tidak baik kepadamu atau bagaimana?"
"Sudah kukatakan hanya perasaanku saja, barangkali akulah yang salah karena terlalu berprasangka. Namun pandangan matanya terhadap diriku membuatku merasa gatal tangan ingin memukul matanya."
"Ang Bun-long memang pantas mendapat peringatan keras dariku."
"Jangan A-liong. Nanti dikiranya aku yang mengadu kepadamu dan ia akan menganggapku sebagai tukang mengadu."
"Bukan kau saja yang mengatakan itu, A-hou, tetapi sebelum kau mengatakannya kepadaku maka beberapa perwira juga telah mengatakan kepadaku. Tingkah lakunya yang sering melewati batas dapat mengakibatkan perpecahan di pasukanku yang selalu kuusahakan persatuannya itu."
"Terserah kepadamu, A-liong. Namun sebenarnya ia belum berbuat apa-apa atasku kecuali memandangnya dengan matanya yang seperti alap-alap itu, seolah-olah aku hendak ditelannya."
"Baik, serahkan kepadaku saja, nanti aku yang mengatasinya. Sekarang coba kau perhatikan latihan-latihan itu. Apakah gurumu pernah mengajar tentang ilmu perang, maksudku ilmu mengatur barisan seperti itu?"
Tong Lam-hou segera mengalihkan pandangannya ke tengah alun-alun itu. Dilihatnya ada dua pasukan yang berjumlah besar, masing-masing berjumlah kira-kira duaribu orang. Kedua pasukan saling menyerang dengan macam-macam siasat, kadang-kadang, membentuk lengkungan untuk menahan musuh, lalu menjepit menebar dan menyempit dan sebagainya, sementara pasukan lawannya mencoba mengimbangi dengan macam-macam gerakan itu.
Di atas sebuah panggung kecil, dua orang perwira berdiri sambil menggerak-gerakkan bendera kecil di tangan mereka. Gerakan pasukan mengikuti isyarat yang diberikan oleh bendera-bendera itu, seolah kedua perwira itu sedang bermain catur dan prajurit-prajurit merekalah bidak-bidak catur yang digerakkan dengan isyarat bendera.
Untuk sesaat Tong Lam-hou jadi melupakan si perwira berhidung bengkok dan bermata seperti alap-alap itu, karena perhatiannya tertarik ke tengah lapangan dimana sedar.g terlangsung suatu "pertempuran" yang seru. Kata Tong Lam-hou, "Ya, guruku memang hanya mengajarkan ilmu silat kepadaku, tetapi ilmu mengatur barisan semacam ini aku memang tidak tahu sama sekali. Barangkali Guru sendiri juga tidak tahu."
Maka tanpa diminta Pakkiong Liong segera menerangkan kepada Tong Lam-hou tentang semua pasukan di tengah lapangan itu, dan apa tujuannya. Dan Tong Lam-hou mendengarkannya dengan penuh minat. Sekarang ia tahu bahwa pasukan besar prajurit yang terjun ke medan perang bukan asal saja berani memutar senjatanya untuk menerjang musuh, namun juga harus dibekali pengetahuan semacam itu agar barisan tidak menjadi kacau dan prajuritnya bertempur sendiri-sendiri.
"Tetapi, dalam latihan mereka dapat bergerak begitu teratur, apakah dalam peperangan mereka juga bisa bergerak demikian? Bukankah dalam peperangan itu musuh tidak dapat diatur begini atau begitu menurut kemauan kita?" tanya Tong Lam-hou kemudian.
"Tentu saja tidak. Ada banyak hal yang mempengaruhi keseimbangan pertempuran, antara lain: ketangkasan berpikir dari panglima masing-masing pasukan, jumlah pasukannya, bobot dari tiap anggauta pasukan, tinggi rendahnya medan pertempuran, apakah berbukit-bukit atau di lembah atau di tempat yang sempit, semuanya memerlukan perhitungan sendiri. Namun bukan berarti latihan-latihan seperti ini tidak berguna. A-hou, coba kutanya, ketika mula-mula kau belajar silat, apakah yang harus kau lakukan pertama kali?"
"Meningkatkan kekuatan, kecepatan dan kelenturan tubuh. Ketiga hal itulah yang apat diringkas dalam satu kata: ketangkasan."
"Bagus, lalu?"
"Mempelajari gerakan-gerakan dasar seperti kuda-kuda dan pukulan-pukulan atau tendangan-tendangan yang sederhana, sehingga matang.‘‘
"Terus?"
"Melakukan tui-jiu (berelatih berpasangan dengan gerakan-gerakan yang sudah ditetapkan urutannya terlebih dulu), agar gerakan-gerakan dasar itu dapat digunakan, diketahui penerapannya."
"Nah, itulah. Dalam perkelahian yang sesungguhnya, kita tidak mungkin memakai gerakan-gerakan dari tui-jiu secara utuh, sebab tak mungkin lawan kita tebak urutan gerakannya. Semuanya harus serba cepat dan seketika. Tapi bukan berarti tui-jiu tidak berguna, sebab semakin matang latihan kita, akan semakin terarah gerakan kita. Misalnya sebuah jurus terdiri dari memukul, menendang lalu mengelak, mungkin, dalam perkelahian sesungguhnya kita hanya sempat memukul sekali dan kemudian harus buru-buru mengelak, sebab serangan lawan datang lebih cepat sebelum kita sempat melakukan tendangan."
Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Pakkiong Liong melanjutkan, "Nah, pada dasarnya latihan ilmu silat dan latihan menggerakkan pasukan itu pada dasarnya tidak berbeda urut-urutannya atau pentahapannya. Pertama-tama para prajurit harus memiliki kesegaran jasmani yang baik dan semangat yang tinggi, agar memudahkan bagi seluruh pasukan untuk bergerak cepat menguasai medan. Lalu para prajurit diberi pelajaran menyerang dan bertahan dalam satu barisan, tidak terpecah-pecah, dan bentuk-bentuk serangan lainnya. Kemudian prajurit-prajaurit dibagi dalam dua pasukan yang masing-masing ada seorang pemimpinnya, dan melakukan latihan semacam ini, meskipun keadaannya tidak sama dengan di medan perang yang sesungguhnya."
"Apakah ilmu silat tidak berguna di medan perang antara dua pasukan besar?"
"Tentu saja tetap berguna, bukankah gerakan para prajurit ketika mengayunkan tombak atau pedang mereka itu-pun termasuk ilmu silat? Dan bukankah ilmu silatnya rendah? Jadi ilmu silat tetap berguna, tetapi bukan satu-satunya segi untuk menentukan kemenangan. Seorang Panglima yang bagaimanapun tingginya Ilmu silatnya dan ia dapat membunuh puluhan musuh, tetapi pasukannya sendiri kocar-kacir, ia dapat disebut sebagai Panglima yang kalah."
“Aku mengerti...!"
Sementara itu, sikap yang sangat akrab antara Pakkiong Liong dengan Tong Lam-hou itu memang telah menumbuhkan ketidak senangan pada diri seorang perwira Hui-liong-kun yang berhidung bengkok dan bermata seperti alap-alap, bernama Ang Bun-long. Ia merasa iri. Sudah lama ia mendambakan kenaikan pangkat, tidak peduli dengan cara menyikut kiri-kanan, menjelek-jelekkan teman-temannya sendiri, namun cita-citanya itu tak kunjung terkabul.
Ia telah berusaha untuk mendekati Pakkiong Liong, tak terduga sikapnya yang menjilat itu malah membuat Pakkiong Liong semakin jauh dari padanya. Dan kini melihat Tong Lam-hou sebagai orang baru langsung mendapat tempat begitu dekatnya di hati Pakkiong Liong, maka Ang Bun-lon diamuk rasa dengki luar biasa. Sebenarnya Ang Bun-long memiliki ilmu cukup tinggi, terutama dalam ilmu tombaknya andaikata Pakkiong Liong tidak benci melihat wataknya itu mungkin ia akan cepat naik ke jenjang yang tinggi.
Namun sifat-sifat buruknya itulah yang justru mencegah Pakkiong Liong untuk memberi kedudukan penting kepada perwiranya yang satu itu. Bisa hancur pasukannya kalau kedudukan pentingnya dipegang orang semacam Ang Bun-long. Pakkiong Liong lebih suka orang-orang yang agak kasar namun jujur seperti Ha To-ji atau Han Yong-kim...
Maka orang-orang Hwe-liong-pang sengaja melewati sebuah pohon yang bercabang rendah, kemudian dengan tangkas tangannya menyambar dahan pohon itu untuk berayun di dahan, membiarkan lawan lewat di bawahnya dan kemudian menerkam lawannya dari atas pohon dengan senjata pendek seperti pisau belati atau badik.
Prajurit-prajurit Manchu mengumpat melihat cara berkelahi orang-orang hwe-liong-pang itu. Namun prajurit-prajurit itu sendiri bukanlah orang-orang yang mudah gentar oleh kehebatan lawan, mereka adalah hasil gemblengan Pakkiong Liong sendiri. Cara berkelahi yang bagaimanapun juga sudah mereka pelajari, dan keberanian merekapun sudah teruji di medan-medan yang jauh lebih berat dari sekarang ini.
Jika bertempur di atas kuda, mereka sanggup, maka bergulat dengan menggunakan pisau belatipun mereka sanggup. Orang-orang Hwe-liong-pang yang menyergap lawan-lawannya dari atas pohon, ternyata tidak semudah itu menghunjamkan belati mereka ke tubuh prajurit-prajurit itu. Bahkan banyak yang terlibat dalam pergumulan sengit di rerumputan, pergumulan dengan memegang pisau belati di tangan masing-masing.
Pertempuran semakin seru. Korban sudah mulai berjatuhan di kedua pihak. Terutama di pihak prajurit-prajurit pengikut Li Tiang-hong yang kurang latihan keras itu. Sedangkan antara prajurit-prajurit Manchu dengan orang-orang Hwe-liong-pang boleh di kata telah menemui lawan yang sama-tangguhnya. Di antara prajurit-prajurit Manchu itu, para perwiranya merupakan malaikat-malaikat maut yang malang-melintang dengan ganasnya.
Ha To-ji sebagai seorang Mongol yang sering diibaratkan "dua pertiga hidupnya dilalui di atas kuda", telah menunjukkan ketangkasannya yang luar biasa. Bila ia memacu kudanya dan menyambar seorang musuhnya sambil mengayunkan senjatanya, maka musuhnya itu pasti segera terjungkal roboh dengan luka yang mematikan.
Begitu pula perwira-perwira lainnya seperti Le Tong-bun dan Han Yong-kim yang meskipun tidak semahir Ha To-ji dalam permainan berkuda, namun merekapun merupakan orang-orang yang sangat berbahaya. Sabetan-sabetan pedang samurai Han Yong-kim hampir tidak pernah luput mengenai sasarannya, Begitu juga pedang Le Tong-bun-sudah berlumuran darah musuh.
Tentu saja Ma Hiong dan lain-lainnyapun tidak membiarkan anak buah mereka diobrak-abrik semuanya oleh musuh. Merekapun segera berloncatan ke atas kudanya masing-masing dan segera terjun ke arena yang ganas itu. Dengan terjunnya mereka ke pertempuran, maka perwira-perwira Manchu yang mengganas itupun segera mendapatkan tandingannya masing-masing. Dan pertempuranpun bertambah ramai.
Sementara itu, pertempuran antara Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di satu pihak melawan pihak lain yang terdiri dari Tong Wi-hong, Tong Wi-lian, Bu-san Hweshio dan Te-sian Tojin, juga telah melewati puncaknya. Nampaknya kedua pihak akan sama-sama kehabisan tenaga, dan entah pihak mana yang bakal keluar sebagai pemenang. Kini menang kalah tergantung dari pertempuran anak buah mereka masing-masing.
Dan ternyata, meskipun orang-orang Hwe-liong-pang cukup tangkas untuk mengimbangi prajurit-prajurit musuh, namun jumlah mereka yang hanya belasan orang itu mana mampu menghadapi jumlah prajurit Manchu yang hampir limapuluh orang itu? Sedangkan prajurit-prajurit anak buah Li Tiang-hong tidak banyak membantu.
Rupanya prajurit-prajuritnya Li Tiang-hong itu telah susut nyalinya ketika melihat kegarangan prajurit-prajurit musuh. Dan merekapun lebih banyak berputar-putar saja dengan kuda-kuda mereka, tidak berani menyongsong musuh secara berhadapan. Dengan demikian tugas orang-orang Hwe-liong-pang menjadi sangat berat. "Prajurit-prajurit cengeng anak buah Li Tiang-hong itu ternyata tidak mampu berbuat apa-apa," Ma Hiong berkata di dalam hatinya dengan geram. "Percuma saja aku mengorbankan anak buahku sampai habis di tempat ini. Nyawa anak buahku lebih mahal dari sekedar nyawa Cu Hin-yang dan nyawa Li Tiang hong."
Karena pikiran semacam itu, maka Ma Hiong segera bersuit nyaring, memerintahkan anak buahnya untuk mundur teratur. Isyarat sang pemimpin itu segera disambut dengan baik oleh anak buahnya, dan orang-orang Hwe-liong-pang itu dengan tangkasnya memutar kuda-kuda mereka dan bergerak mundur secara teratur. Dengan sendirinya prajurit-prajurit Li Tiang-hong juga ikut mundur karena mereka tidak mungkin menghadapi prajurit-prajurit Manchu tanpa didampingi oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
Kongsun Hui dengan muka merah padam mendekatkan kudanya ke arah Ma Hiong dan berteriak dengan sengit, "Ma Hiong, kau tahu akibat dari perbuatanmu itu?"
"Kenapa kau marah-marah?" tanya Ma Hiong.
"Jika kita mundur, berarti kita tidak dapat menyelamatkan Pangeran dan Li Ciangkun yang tertawan musuh!" teriak Kongsun Hui berang.
"Cobalah melihat kenyataan dengan kepala dingin, saudara Kongsun," kata Ma Hiong. "Jika kita teruskan, anak buahku akan tertumpas habis karena musuh lebih kuat. Apakah hanya untuk menyelamatkan nyawa dua orang seperti Pangeran dan Li Ciangkun itu kita harus mengorbankan puluhan nyawa anak buah kita? Apakah dua nyawa lebih berharga dari puluhan nyawa?"
"Bangsat! Kau tak kenal budi! Pangeran dan Li Tiang-hong sudah menyelamatkan laskarmu ketika laskarmu hampir mampus digencet pasukan Bu San-kui beberapa hari yang lalu!" bantah Kong-sun Hui. "Kau bisa melupakan itu?"
Wajah Ma Hiong-pun merah padam, "Dan nyawa Pangeranmu dan termasuk kau sendiri juga pernah aku selamatkan ketika di kuil rusak itu, ketika kalian hampir terbakar hangus oleh tangan Pakkiong Liong itu! Kalau tidak kutolong saat itu, kau kira Pangeranmu itu sampai sekarang masih hidup?!"
Begitulah, di tengah-tengah gerakan mundur itu malah terjadi pertengkaran sengit antara Ma Hiong dan Kongsun Hui.
Lu Siong yang rasa permusuhannya terhadap orang-orang dinasti Beng lebih tebal, telah ikut memaki Kongsun Hui pula, "Dan kau buka matamu lebar-lebar, orang she Kongsun! Lihat pertempuran yang baru saja terjadi ini. Apa yang bisa dilakukan oleh prajurit-prajurit begundal-begundal keluarga Cu itu? Cuma berputar-putar ketakutan! Siapa yang benar-benar memberi perlawanan tangguh kepada musuh, itulah orang-orang kami! Orang-orang Hwe-liong pang yang perkasa! Hanya karena kalah jumlah maka kami harus mundur. Atau kau ingin kami mengurbankan seluruh anak buah kami hanya untuk membela Pangeran busukmu itu? Kau kira Pangeranmu itu begitu berharga sehingga kami orang-orang.Hwe-liong-pang harus mengorbankan nyawa untuknya?! Huh!"
Muka Kongsun Hui menjadi merah dan pucat berganti-ganti. Namun dalam hati ia harus mengakui hahwa caci-maki Lu Siong itu memang ada benarnya. Ia melihat dengan mata kepala sendiri betapa memalukannya prajurit-prajurit Li Tiang-hong kalau dihadapkan dengan musuh tangguh yang sebenarnya, dan betapa beraninya orang-orang Hwe-liong-pang itu menghadapi prajurit-prajurit Manchu dengan dada tengadah.
Sementara itu, Oh Yun-kim juga ikut "ambil bagian" dalam pendampratan itu, "Prajurit-prajurit Beng memang goblok! Hadapkan saja kepada rakyat kecil yang lemah seperti rakyat Jit-siong-tin itu, mereka akan berpesta-pora dengan nyawa manusia. Tetapi setelah berhadapan dengan tentara Manchu, merekapun seperti tikus yang melihat kucing!"
Ting Bun yang juga ikut dalam rombongan itu, segera mencoba menengahi pertengkaran itu, "Sudahlah saudara Ma, saudara Kongsun dan lain-lainnya, musuh masih di depan hidung kita apakah kita akan saling cakar-cakaran sendiri di hadapan musuh? Bukankah mereka akan mentertawakan kita? Yang penting sekarang kita harus melindungi Tong Tayhiap dan lain-lainnya agar merekapun sempat mundur bersama kita!"
"Apakah dengan demikian Pangeran Li Ciangkun akan kita biarkan saja menjadi tawanan musuh?" tanya, Kongsun Hui dengan sedih.
"Tentu saja tidak. Tetapi kali ini agaknya keadaan tidak memungkinkan, sehingga kita harus mencari akal lain di kesempatan lain pula!" sahut Ting Bun yang sebenarnya dalam hati juga tidak begitu sepenuh hati untuk berusaha. membebaskan Pangeran itu.
Sementara itu, setelah tahu bahwa Ma Hiong dan pasukannya bergerak mundur, maka Tong Wi-hong dan teman-temannyapun harus mencari kesempatan untuk mundur pula, supaya mereka tidak tertangkap oleh musuh.
Tong Lam-hou yang agaknya dapat membaca pikiran musuh-musuhnya itu, segera berbisik kepada Pakkiong Liong, "A-liong, bagaimana kalau aku mintakan ampun untuk pamanku dan bibiku ini?"
"Baik, sebenarnya akupun hormat kepada mereka," sahut Pakkiong Liong. Lalu iapun meloncat keluar dari arena perkelahian, diikuti oleh Tong Lam-hou sambil menarik pula ilmu Hwe-liong-sin-kang dan Han-im-ciang mereka.
Pakkiong Liong segera memberi hormat kepada lawan-lawannya, sambil berkata, "Mengingat kalian adalah pendekar-pendekar berbudi luhur yang suka membela rakyat kecil, dan belum pernah berbuat dosa kepada pemerintah Manchu, maka biarlah pertempuran kita ini kita akhiri di sini saja. Anggap saja sebagai pertandingan perkenalan kita!"
Tong Wi-hong dan lain-lainnyapun segera meloncat mundur. Sesaat Tong Wi hong berdiri termangu-mangu di hadapan kedua lawannya yang masih muda itu, lalu disarungkannya pedangnya dan ia pun membalas hormat Pakkiong Liong. Katanya, "Baik. Selamat tinggal."
Merekapun segera berlompatan ke kudanya masing-masing. Sebelum memacu kudanya, Tong-wi-hong sempat berkata kepada Pakkiong Liong, "Pakkiong Ciang-kun, kalau kau berkenan, aku akan berbicara sebentar dengan keponaknku, Lam hou ini."
Pakkiong Liong ragu-ragu sejenak, ada juga rasa curiga jangan-jangan Tong Wi-hong akan mempengaruhi Tong Lam-hou sedemikian rupa sehingga berbalik menjadi penentang pemerintah Manchu. Namun demikian besar penghargaan dan kepercayaan Pakkiong Liong kepada sahabatnya itu, sehingga ia akan tetap memandang Tong Lam-hou sebagai sesosok pribadi yang utuh dalam masalah apapun, sebuah pribadi yang tidak dipengaruhi olen siapapun. Karena itulah Pakkiong Liong kemudian menyahut,
"A-hou bukan anak buahku, Tong Tayhiap. Ia seorang pribadi yang merdeka. Jika paman dan keponakan bersepakat untuk berbicara, berbicaralah sepuas hati, orang lain tak berhak mencampuri."
Tong Wi-hong tersenyum, "Aku kagum akan kelapangan dada Pakkiong Ciangkun. Nah, A-hou, dapatkah aku berbicara sebentar saja denganmu?"
Sahut 'Tong Lam-hou, "Jika hendak bicara tentang urusan keluarga, aku menurut kepada pamam dan bibi. Tetapi jika mengenai sikap dan jalan hidupku yang hendak aku pilih, aku tidak ingin siapapun mempengaruhiku dan berusaha untuk membelokkan pendirianku. Paman dan bibi sudah tahu pendirianku bukan?"
Sambil menarik napas dalam-dalam, dengan rasa kecewa yang sangat menggores hati, Tong Wi-hong berkata, "Hatimu sekeras hati ayahmu, nak, namun alangkah baiknya jika kekerasan hatimu itu kau gunakan di jalan yang benar."
Tong Lam-hou juga menarik napas dengan kecewa, "Paman dan bibi kecewa sekali barangkali, tetapi akupun sangat kecewa kalau orang masih saja menetapkan benar salahnya suatu masalah hanya dari sudut pandangannya sendiri saja. Aku hanya mohon agar paman dan bibi memahami pendirianku. Aku membela pemerintah Manchu bukan karena mengingini kedudukan dan kemuliaan, tapi hanya agar perang secepatnya berakhir meskipun tenagaku sendiri tidak berarti. Ya, berakhirnya perang, itulah keinginanku.
"Rakyat negeri ini sudah berpuluh tahun menderita akibat peperangan, sejak Li Cu-seng memberontak sampai sekarang entah telah berapa puluh tahun, dan selama itu pula rakyat hidup dalam kegelisahan dan bahkan kadang-kadang menjadi korban tanpa tahu salahnya. Apakah paman dan bibi ingin melihat keadaan kisruh macam ini berkepanjangan entah sampai kapan? Hanya karena segelintir orang yang merasa dirinya keturunan Kaisar Cong-ceng berusaha merebut kembali singgasananya tanpa peduli penderitaan rakyatnya?
"Haruskah pertentangan ini berlarut-larut hanya karena kita menarik perbedaan paham antara Han dan Manchu, sehingga memberi peluang kepada penjahat penjahat berkedok pejuang untuk bertindak sewenang-wenang seperti di Jit-siong-tin? Tidak, paman. Perang harus segera berakhir, dan aku tidak peduli siapa yang duduk di singgasana saat ini. Pokoknya rakyat sudah jemu perang dan sudah mendambakan perdamaian dan kesejahteraan."
Kembali Tong Wi-hong menarik napas dalam-dalam, ia sadar betapa kuatnya pendirian Tong Lam-hou itu sehingga agaknya sulit untuk diubah lagi. Akhirnya Tong Wi-hong berkata, "Baiklah, kau dengan pendirianmu dan aku dengan pendirianku. Sebagai pribadi, aku ingin menyayangimu karena kau adalah anak dari kakakku Tong Wi-siang, darah dagingku sendiri. Tetapi sayang, aku tidak berdiri sendiri, aku bukan hanya pribadi Tong Wi-hong namun juga anggauta masyarakat yang punya ikatan-ikatan atas anggautanya. Jika kelak kita bertemu pula, belum tentu aku bisa bersikap sebagai seorang paman terhadapmu, meskipun aku menginginkannya. Kau paham maksudku?"
Wajah Tong Lam-hou juga menjadi sedih, "Paham, paham. Bukankah paman maksudkan suatu ketika kita berdiri berhadapan dengan senjata terhunus, seperti yang baru saja terjadi? Tetapi apa boleh buat, paman. Aku tidak menyukainya tetapi yang tidak kusukai itulah yang harus terjadi antara kita. Aku hanya berpihak kepada hati-nuraniku, berpihak kepada rakyat yang sudah berpuluh tahun mendambakan perperdamaian."
Pakkiong Liong, Ha To-ji. Han Yong-kim dan lain-lainnya mendengarkan pembicaraan antara paman dan keponakan itu dengan hati yang tegang pula. Namun agaknya paman dan keponakan itu harus bersimpang jalan, masing-masing punya pendirian yang sama teguhnya. Di tubuh masing-masing juga mengalir darah keluarga Tong keluarga pendekar yang berwatak keras dan berjiwa teguh.
Sekali lagi Pendekar dari Tay-beng, Tong Wi-hong mengangkat tangannya di depan dada untuk memberi hormat kepada Pakkiong Liong, sambil berkata, "Agaknya pendirian kami tidak dapat dipertemukan lagi, Pakkiong Ciangkun. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku mohon diri, dan aku harus berterus terang bahwa secara pribadi aku kagum kepadamu, Pakkiong Ciangkun. Tapi aku tetap seorang Han yang menderita melihat negerinya dikuasai bangsa asing."
Pakkiong Liong juga menjura membalas hormat Tong Wi-hong dan pendekar pendekar lainnya itu. Sahutnya, "Aku ikut berprihatin bahwa paman dan keponakan harus berpisah jalan karena berbeda pendirian. Tetapi sesungguhnya Tong Lam-hou benar, bahwa perang harus segera diakhiri, dan sebenarnya Tong Tay-hiap punya pengaruh yang cukup besar untuk membantu mengakhiri perang ini."
Tong Wi-hong tertawa kecut. "Aku juga ingin perang segera berakhir. Tapi berakhirnya perang menurut pandangan Pakkiong Ciangkun tentu saja jauh berlainan dengan pandangan kami bangsa Han."
"Yah... agaknya untuk sementara pandangan hidup kita memang akan berbenturan," kata Pakkiong Liong menyesal. "Tetapi barangkali suatu saat nanti, salah satu dari kita akan diterangi oleh kebijaksanaan sehingga kita menemukan persamaan-persamaan yang bermanfaat bagi negeri ini."
"Sekarang belum?" tanya Tong Wi-hong.
"Belum. Sebab pihakku maupun pihakmu masih merasa benar sendiri, sehingga kita masih terlalu sering merasa perlu untuk mencabut pedang-pedang kita."
Betapapun kecutnya, namun semua yang berada di tempat itu telah tersenyum juga. Alangkah kejamnya perang. Orang-orang yang seharusnya dapat saling mengagumi dan menghormati sebagai sahabat-sahabat sejati, telah dipisah-pisahkan menjadi pihak-pihak yang saling bermusuhan. Aku di sini, dan kau di sana, sahabat. Dan entah kapan jurang di antara kita dapat tertutup? Tak seorangpun tahu, sebab yang berperang bukan cuma beberapa gelintir orang tetapi beribu-ribu orang. Dan ada orang-orang yang tetap berkepentingan agar perang terus berlangsung, sebab dengan perang mereka bisa jadi "pahlawan", tanpa perang mana ada "pahlawan"?
Ketika Tong Wi-hong dan ketiga rekannya mulai bergerak pergi, maka prajurit-prajurit Manchu yang mengurung tempat itupun segera menyibak memberi jalan. Saat ini mereka saling menghormati, tapi bukankah di lain kesempatan mereka akan saling bantai di medan tempur?
Tong Lam-hou memandang penunggang-penunggang kuda itu sampai lenyap dari pandangan. Ia terkejut ketika Pakkiong Liong menepuk pundaknya, dan kata-kata sahabatnya menyusup langsung ke hatinya, "Pilihan ini berat bagimu bukan? Inilah hidup. Kadang-kadang harus memilih dari beberapa pilihan yang sama-sama tidak disuka dan perasaanpun menjadi pahit, namun dengan demikian hidup ini akan punya arti. Bukan seperti pertapa yang melarikan diri kegunung-gunung, mencari ketenteraman diri sendiri namun tidak peduli akan sesamanya yang menjerit memohon pembelaan."
"Ya, ya aku paham. Aku harus tetap teguh pada pendirianku."
"Mari kuperkenalkan kepada teman-temanku, dan juga akan menjadi teman-temanmu."
Maka Pakkiong Liong-pun memperkenalkan Tong lam-hou kepada Ha To-ji dan perwira-perwira lainnya. Selain Ha To-ji, keempat perwira lainnya adalah Han Yong-kim si pedang samurai dari Korea, Le Tong-bun, dan dua orang perwira berkebangsaan Manchu lainnya yang bernama Ko Lang-to dan Tokko Seng. Tokko Seng adalah adik dari Tokko Yan yang tewas di kuil terpencil ketika menggerebek Pangeran Cu Hin yang dan pengikut-pengikutnya.
"Kami gembira menemukan kembali Ciangkun (Panglima) dalam keadaan selamat," kata Ha To-ji dengan gembira.
"Dan kalian belum kembali ke Ibukota?"
"Belum, Ciangkun, sebagian memang sudah kembali ke Pak-khia untuk memberi laporan ke Peng-po-ceng-tong (Kementerian Perang) agar mereka tidak cemas menunggu kedatangan kita. Sedangkan aku dan beberapa kawan tetap berada di kota Kun-beng, selain untuk melanjutkan tugas menangkap bangsawan Beng dan pengikut-pengikutnya itu, juga mencoba melacak jejak Ciangkun yang tiba-tiba saja seperti hilang ditelan bumi."
Pakkiong Liong tertawa. Ditepuknya pundak perwira-perwiranya itu satu persatu, "Kalian memang sahabat-sahabtku yang baik. Aku memang hampir mati dikeroyok kawanan serigala, untung A-hou ini muncul menyelamatkan aku dan kamipun menjadi sahabat."
Ha To-ji si orang Mongol itu memegang tangan Tong Lam-hou erat-erat, katanya dengan hangat, "Selamat datang di lingkungan kami, Tong Lam-hou. Kita akan menjadi rekan seperjuangan dalam menegakkan kebesaran Negara dan Kaisar."
"Mudah-mudahan aku nanti menjadi prajurit yang baik," kata Tong lam-hou sambil tertawa dan mengguncang pula tangan Ha To-ji.
"Dan sekarang bagaimana rencana kita selanjutnya, Ciangkun?" tanya Ha To-ji. "Kita lanjutkan pencarian kita kepada Cu Hin-yang dan pengikut-pengikutnya yang memimpikan kembalinya dinasti Beng itu?"
"Tidak perlu. Mereka ada di dalam gerobak itu," kata Pakkiong Liong sambil menunjuk ke pedati. "Kita bawa mereka ke Kun-beng lebih dulu, sambil kita mengumpulkan teman-teman kita yang masih terpencar-pencar, lalu kita berangkat ke Pak-khia dengan iring-iringan yang kuat, sebab kedua tawanan itu merupakan orang-orang penting dalam kelompok mereka sehingga anak buah merekapun pasti akan berusaha untuk membebaskan mereka di tengah jalan."
Maka rombongan itupun berangkat ke kota Kun-beng, ibukota Propinsi Hun lam. Beberapa prajurit yang gugur dalam pertempuran tadi, dibawa mayatnya ke Kun-beng untuk diperabukan di sana sementara Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong telah dipindahkan ke atas punggung-punggung kuda, meskipun tetap dalam kawalan yang ketat.
* * * * * * *
SEHARI kemudian, mereka memasuki pintu gerbang kota Kun-beng pada siang hari. Tong Lam-hou yang seumur hidupnya belum pernah melihat desa yang lebih besar dari Jit-siong-tin, kini melongo ketika melihat kota Kun-beng. Setelah beberapa hari yang dilihatnya hanya desa-desa kecil yang berselang-seling dengan padang-padang ilalang yang luas atau hutan-hutan yang tidak lebat, maka kini dilihatnya pemandangan yang lain sama sekali. Dari kejauhan sudah dilihatnya benteng kota yang menjulang tinggi, yang oleh Tong Lam-hou hanya pernah dilihat di gambar-gambar di rumah kepala desa di Jit-siong-tin.
Kun-beng memang sebuah kota besar di wilayah Hun-lam. Jaman kuno, wilayah Hun-lam itu merupakan sebuah kerajaan tersendiri yang terpisah dari dinasti-dinasti yang silih berganti menguasai daratan besar. Kerajaan kecil di Hun-lam itu turun temurun diperintah oleh keluarga yang mahir ilmu silat sehingga Ibukotanya bukan saja menjadi pusat pemerintahan tetapi menjadi pusat perkunjungan ilmu silat pula. Ketika bangsa Mongol dinasti Kim dan sekaligus mencaplok Kerajaan Lam-song (Song selatan), maka negeri kecil di Hun-lam itupun tersapu oleh tentara Mongol pula.
Setelah Cu Goan-cian mengusir bangsa Mongol dan mendirikan dinasti Beng, Hun-lam tidak lagi merdeka sebagai sebuah negara melainkan cukup hanya sebagai sebuah propinsi dari Kerajaan Beng. Ketika bangsa Manchu mulai berkuasa, wilayah Hun-lam inipun masuk dalam wilayah Kerajaan. Keturunan raja-raja Hun-lam yang dulu memerintah, sekarang entah dl mana. Karena bekas sebagai Kota Kerajaan inilah maka kota Kun-beng cukup megah.
Di dalam kota jalan-jalannya lebar dan berlapis ubin persegi, setiap beberapa ratus langkah tentu ada sebuah gapura kuno yang atapnya bertingkat tingkat. Sejauh mata memandang, yang kelihatan hanyalah atap-atap rumah yang berkilauan, bersusun-susun, pagoda-pagoda yang tinggi mencakar langit. Sementara jalan-jalan besar dan lorong lorong kecilnya silang-menyilang seperti sarang laba-laba rumitnya.
Melihat semuanya itu, Tong Lam-hou menarik napas, dan gumamnya dalam hati, "Dulu kuanggap Jit-siong-tin sebagai sebuah kota, padahal, kalau dibandingkan dengan Kun-beng ini, ibaratnya Jit-siong-tin cuma setumpukan tong-tong kayu belaka. Kalau Kun-beng saja sudah begini megah, lalu bagaimana dengan kota-kota besar lainnya seperti Lam-khia dan Pak-khia?"
Namun Tong Lam-hou juga merasakan bahwa Kun-beng ada kekurangannya dibandingkan dengan Jit-siong-tin. Di Jit-siong-tin, semua penduduknya saling mengenal dengan baik, bahkan dengan penduduk-penduduk di desa lain-pun saling mengenal, dan jika bertemu di tengah jalan akan saling menyapa atau bercakap-cakap dengan hangatnya.
Namun keakaraban antar manusia itu telah hilang di kota yang besar ini. Di jalan-jalan, semua orang sibuk melangkah sendiri-sendiri dengan urusannya sendiri-sendiri pula, persetan dengan orang lain. Tidak ada saling menyapa atau saling menanyakan keadaan, semuanya begitu terburu-buru seperti diburu setan.
Di kota Kun-beng itu memang berpangkalan pasukan Manchu yang cukup kuat dan berjumlah besar, dipimpin seorang Panglima yang berenama Song Jin-ho, seorang bangsa Han. Karena itu, penduduk tidak heran jika melirat prajurit-prajurit Manchu hilir-mudik di dalam kota untuk menjaga keamanan, baik dengan menunggang kuda maupun berjalan kaki saja.
Namun rombongan Pakkiong Liong memang cukup menarik perhatian. Selain jumlahnya yang besar, juga karena rombongan itu membawa pula mayat dan orang-orang terluka, dan ada pula dua orang yang berkuda dengan tangan terikat, yaitu Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong. Selain itu, seragam anak buah Pakkiong Liong itu memang berbeda dengan seragam pasukan penjaga kota Kun-beng.
Pasukan Kun-beng berseragam merah dan biru, kepalanya memakai tudung bambu berhias benang merah, sedangkan prajurit-prajurit Pasukan Naga Terbang berseragan hitam dari topi sampai sepatu, memberikan kesan yang angker.
Tong Lam-hou yang berkuda bersama sama dengan prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu timbul juga rasa bangganya ketika merasa banwa rombongannya menjadi perhatian orang banyak. Rasa-rasanya seperti serombongan pahlawan yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan. Bahkan prajurit-prajurit yang berseragam merah dan biru itupun menghormat setiap kali berpapasan dengan Pakkiong Liong.
"Tak kuduga kedudukan A-liong setinggi ini," batin Tong Lam-hou di dalam hatinya. "Namun penampilannya sehari-hari hanya mirip prajurit rendahan saja, dan ia selalu memanggil bawahan-bawahannya dengan sebutan 'sahabat', alangkah bedanya dengan Hong Lo-toa yang baru menjadi penjaga kampung saja lagaknya sudah seperti seorang Panglima Besar!"
Selama prajurit-prajurit Pasukan Hui-liong-kun bertugas di wilayah Hun-lam itu, mereka menempati sebuah gedung besar di tengah-tengah kota Kun-beng di pinggir sebuah alun-alur luas yang setiap pagi digunakan untuk latihan para prajurit atau untuk upacara-upacara keprajuritan lainnya. Gedung itu berdampingan letaknya dengan gedung Panglima Kota Kun-beng yang lebih besar dan lebih indah. Ke gedung tempat tinggal sementara prajurit-prajurit Hui-liong-kun itulah Pakkiong Liong dan rombongannya menuju.
Entah siapa yang melaporkan, ternyata Panglima Kota Kun-beng Song Jin-ho sudah siap menyambut kedatangan Pakkiong Liong di depan pintu gerbang gedung penampungan prajurit-prajurit Hui-liong-kun. Song Jin-ho adalah seorang pria bertubuh tegap dengan perut agak gendut, berumur kira-kira empatpuluh tahun, pandangan matanya tajam dan bentuk rahangnya menandakan kekerasan hatinya.
Saat menyambut Pakkiong Liong itu ia memakai pakaian Panglimanya, lengkap dengan topi berhias bulu burung meraknya yang umum dipakai oleh para pejabat tinggi dinasti Manchu di jaman itu. Dengan jubah panjang berwarna merah tua yang bawahnya bergaris-garis biru dan putih.
Cepat Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya meloncat turun dari kudanya karena Song Jin-ho dan pengawal-pengawalnya tidak berkuda pula. Song Jin-ho maju menyambut dan memberi hormat dengan muka ramah,
"Selamat datang, Pakkiong Ciangkun. Kuucapkan selamat juga kepadamu karena kau sudah menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh Peng-po-siang-si kepadamu. Inikah pentolan pembangkang yang dulu Ciangkun sebutkan sebagai bekas Pangeran dinasti Beng itu?" Sambil berkata demikian Song Jin-ho menatap lekat-lekat ke arah Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong yang tetap duduk di atas kuda dengan tangan terikat.
"Benar, Song Congpeng (Congpeng adalah Panglima Pengawal Kota)," sahutan Pakkiong Liong sambil tersenyum. "Beberapa perwiraku telah gugur dalam usaha memburu buronan itu sejak dari kota Lok-yang sampai kemari, namun karena rejeki Kaisar junjungan kita masih cukup besar, akhirnya mereka tertangkap juga. Dan yang satu lagi itu adalah Li Tiang-hong yang hanya dengan segelintir orangnya bermimpi untuk menegakkan kembali dinasti Beng."
"Untuk beberapa hari sebelum kami berangkat kembali ke Pak-khia dengan tawanan-tawanan itu, untuk sementara kami akan merepotkan Song Congpeng untuk menjaga tawanan-tawanan itu."
"Jangan berkata begitu, Pakkiong Ciangkun, biarpun tugas kita berbeda-beda namun kita sama-sama mengabdi kepada Negara dan Kaisar. Kepercayaan yang Ciangkun berikan kepadaku tawanan tawanan itu kuterima dengan senang hati."
"Kuserahkan mereka selama beberapa hari ini kepada Song Congpeng."
"Baik," sahut Song Jin-ho, lalu ia memanggil salah seorang perwiranya, "Toan Hian!"
Perwira yang bernama Hian itu melangkah maju sambil hormat kepada Song Jin-ho. "Hamba menantikan perintah Congpeng!" katanya.
"Bawa kedua tawanan jaga baik-baik," kata Song Jin-ho singkat.
"Baik!" sahut Toan Hian, dan dengan dibantu beberapa orang prajurit maka merekapun menggusur Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong ke tempat kurungan mereka. Sebelum pergi, Pakkiong Liong masih sempat menambahkan kepada Toan Hian, "Sahabat Toan, penjagaan atas kedua orang itu harap kau selenggarakan dengan lebih ketat dari tahanan-tahanan biasa. Mereka punya beberapa orang teman yang cukup nekad untuk berusaha membebaskan mereka."
"Pesan Ciangkun aku perhatikan," sahut Toan Hian sambil membungkuk hormat.
Setelah Toan Hian pergi dengan membawa kedua tawanan itu, maka Song Jin-ho lalu berkata, "Nanti malam, aku bermaksud untuk mengadakan perjamuan sederhana untuk merayakan keberhasilan Ciangkun ini. Harap Ciangkun tidak keberatan."
Pakkiong Liong menunjuk ke arah beberapa mayat prajurit Hui-liong-kun yang diletakkan telungkup di atas punggung kuda itu, sambil berkata dengan nada sedih, "Maksud baik Song Congpeng patut kusyukuri. Namun beberapa saudaraku dari Hui-liong-kun telah gugur dalam mengemban tugas negara. Nanti malam aku bermaksud mengadakan sembahyang untuk arwah mereka. Baik yang mayatnya berhasil kami bawa pulang, maupun yang mayatnya terpaksa kami tinggalkan di tengah-tengah padang rumput sana karena keadaan tidak memungkinkan kami untuk membawanya."
Song Jin-ho nampak agak tersipu karena maksud baiknya agaknya kurang berkenan di hati Pakkiong Liong. Maka iapun berbalik mengikuti arah angin, "Oh, maaf, aku lupa bahwa Hui-liong-kun sedang bergabung karena gugurnya beberapa anggauta kalian. Yang kupikirkan cuma makan minum saja. Maaf, maaf. Kalau begitu, upacara sembahyang nanti malam Ciangkun serahkan kepada kami saja untuk menyelenggarakannya. Silahkan Ciangkun beristirahat sehari ini."
"Terima kasih, Congpeng, setelah besok pagi kita memperabukan jenazah anggauta-anggauta pasukan kami yang gugur, maka kebaikan hati Congpeng tentang jamuan makan itu agaknya tidak akan dapat kami tolak."
Song Jin-ho merasa hatinya agak lega mendengar ucapan Pakkiong Liong itu, diam-diam ia berterima kasih kepada Pakkiong Liong yang tidak ingin membuatnya kehilangan muka.
Sementara itu, diam-diam Tong Lam hou mendengarkan percakapan antara kedua Panglima itu dengan kepala pusing. Ia mendengar mereka bicara berbelit-belit, maksud hati yang sebenarnya bisa disampaikan dengan sepatah dua patah kata, telah diputar-putarnya menjadi sepuluh kalimat. Pikir Tong Lam-hou, "Barangkali begini cara berbicara orang-orang kota, terlebih-lebih para pejabat tingginya. Harus berputar-putar sebelum menyampaikan sesuatu maksud, berbeda dengar orang-orang di Jit-siong-tin yang mana bicara langsung, tegas dan terus-terang.”
Dan Tong Lam-hou mulai mengenal satu segi lain dari kehidupan. Bahasa yang berbelit-belit antar Panglima itu dimaksudkan agar satu sama lain tidak membuat lawan bicaranya kehilangan muka, sebab jika seorang Panglima sampai kehilangan muka di hadapan anak buahnya maka akibatnya akan gawat. Jika seorang tukang obat di pinggir jalan merasa tersinggung oleh orang lain, paling-paling mereka akan baku hantam sehingga muka bonyok.
Tapi jika seorang Panglima tersinggung kepada Panglima lainnya, yang akan terlibat adalah ratusan atau ribuan prajurit bawahan mereka masing-masing, dan akibatnya bukan sekedar bonyok atau bibir bengkak, melainkan kepala-kepala yang copot dari lehernya atau usus yang terburai keluar dari perut. Apalagi jika yang tersinggung itu seorang raja atau kaisar, bisa jadi dua negara berperang.
Sementara itu. Song jin-ho segera mempersilahkan Pakkiong Liong dan lain lainnya untuk beristirahat di gedung yang dipakainya itu. Ia sendiri kembali ke gedungnya sendiri. Gedung yang hendak dipakai Pakkiong Liong itu ternyata amat besar, aulanya saja bisa memuat ratusan orang. Sementara di bagian belakangnya masih terdapat puluhan ruangan tidur yang agaknya memang khusus disediakan buat pejabat-pejabat tinggi yang mengunjungi kota Kun-beng.
Pakkiong Liong dan prajurit-prajurit Hui-liong-kun menempati ruangan-ruangan itu, ada ruangan besar khusus untuk Pakkiong Liong sebagai Panglima, namun Pakkiong Liong tidak memakainya dan ia lebih senang di ruangan belakang bersama prajurit-prajuritnya. Tong Lam-hou Juga mendapat sebuah ruangan tersendiri.
Hari itu adalah hari istirahat bagi Pakkiong Liong yang sekian lama mengembara di padang ilalang maha luas untuk memburu buruan yang ditugaskan oleh pemerintah kepadanya. Jantungnya masih berdebar keras jika ia ingat bagaimana beberapa kali nyawanya hampir lepas dari tubuhnya. Ketika di kuil terpencil itu, ketika moncong-moncong serigala sudah hampir menghabiskan dagingnya, dan yang terakhir ketika ia dan Tong Lam-hou hampir-hampir tidak dapat lolos dari kepungan Tong Wi-hong dan pendekar-pendekar lainnya.
Namun Pakkiong Liong merasa bersyukur bahwa beberapa malapetaka yang dialaminya itu berubah menjadi pengalaman-pengalaman indah yang mengesankan. Dalam petualangannya itulah ditemukannya seorang sahabat sejati seperti Tong Lam-hou, dan ia ingat sebuah gubuk kecil di lereng Tiam-jong-san di mana di tempat itu ia menemukan kehangatan seorang ibu. Pakkiong Liong menarik napas dalam-dalam kalau mengingat semuanya itu.
Kini, ia akan pulang ke Ibukota Kerajaan dengan pasukannya yang megah, membawa kemenangan berupa dua orang tawanan penting yang akan diserahkannya kepada Peng-po-ceng-tong. Kemenangan yang entah untuk ke berapa puluh kalinya, dan untuk ke sekian puluh kalinya pula namanya akan menjadi buah bibir kekaguman di Pak-khia. Pak-kiong Liong, si Naga Utara yang setiap kali keluar dari sarangnya tentu akan kembali lengan membawa kemenangan.
"Kebetulan tahun ini di pak-khia akan diadakan ujian penerimaan prajurit-prajurit baru, A-hou bisa mengikutinya," kata Pakkiong Liong dalam hatinya. "Apabila ia sudah berhasil diterima menjadi prajurit, ibunya harus segera dijemput ke Pak-khia agar ibu dan anak tidak terpisah...”
Dan jika melihat sahabatnya dan ibunya itu berbahagia, Pakkiong Liong merasakan kebahagiaan pula. Pada saat yang sama, Tong Lam-hou dalam ruangannya juga sedang teringat kepada ibunya. Di sini, ia berada dalam sebuah ruangan yang bagus, dengan tempat tidur yang indah dan empuk, sementara ibunya masih di gubuk itu.
Berbaring di tempat tidur yang terbuat dari tanah liat beralas jerami dan tikar butut. Ingatan akan ibunya itu telah membuat semangat Tong Lam-hou berkobar, "Aku harus berhasil di Ibukota Kerajaan, aku harus membuat nama yang gemilang sehingga ibu akan bangga kepadaku. Dan kelak ibu aku boyong di rumahku yang megah di Pak-khia, seperti rumah ini."
Hari itu seluruh anggauta Hui-liong-kun benar-benar beristirahat lahir dan batin. Mereka harus mengumpulkan tenaga dan semangat mereka agar segar kembali untuk melakukan sebuah tugas berat lainnya. Yaitu mengawal kedua tawanan itu dengan selamat sampai ke kota Pak-khia, padahal perjalanan dari Kun-beng yang jauh di selatan sampai ke Pak-khia di utara itu entah berapa ribu li yang harus ditempuh. Mungkin membutuhkan waktu satu bulan lebih.
Tetapi ada yang lebih.gawat dari jarak yang ribuan li itu, yaitu ancaman orang-orang bekas dinasti Beng yang tentu tidak tinggal diam, dan di sepanjang jalan mereka tentu akan berusaha untuk membebaskan kembali kedua pemimpin mereka itu. Perjalanan yang jauh itu tentu sebuah perjalanan yang mendebarkan, penuh dengan intaian maut.
Malam harinya di aula gedung itu diadakan sembahyang besar untuk arwah prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang gugur dalam tugas di wilayah Hun-lam itu. Meja sesajian yang besar tergelar hampir memenuhi ruangan, sementara belasan orang rahib membacakan doa dengan nada yang menyentuh hati. Ruangan yang luas itu bagaikan menjadi suram oleh asap hio dan dupa yang dibakar terus menerus.
Seluruh prajurit Hui-liong-kun yang ikut dalam gerakan ke selatan ini semuanya hadir dengan pakaian seragam mereka yang serba hitam. Hanya kali ini mereka semuanya menambahkan secarik kain putih yang diikatkan pada topi mereka. Jumlah mereka hampir seratus orang, sebagian gugur dan sebagian sudah mendahului kembali ke Ibukota Kerajaan.
Tong Lam-hou juga hadir dalam upacara. itu, namun ia masih belum mengenakan seragam prajurit Manchu sebab ia memang belum menjadi prajurit. Rambutnya sekarang sudah dikuncir seperti Pakkiong Liong dan orang-orang Manchu, yang dikenakannya adalah jubah panjang berwarna biru tua yang cukup bersih. Dalam penampilannya malam itu, Pakkiong Liong menjadi kagum kepada sahabatnya yang kelihatan lebih tampan dan berwibawa, tidak lagi seperti anak gunung yang ketolol-tololan.
Beberapa pejabat tinggi di Kun-beng juga ikut bersembahyang dan membakar dupa di hadapan peti jenazah. Namun mereka tidak berkabung sungguh-sungguh, hanya untuk mengambil hati Pakkiong Liong saja. Maklumlah Pakkiong Liong adalah seorang Panglima di Ibukota yang punya pengaruh kuat, bahkan kabarnya masih punya hubungan darah dengan Kaisar Sun-ti sendiri. Jika Pakkiong Liong bicara kebaikan-kebaikan mereka di hadapan Kaisar, itu akan menjadi berkah bagi mereka, alamat akan cepat naik pangkat.
Tapi kalau sampai Pakkiong Liong membicarakan keburukan mereka, maka siap-siap sajalah untuk dicopot dari jabatan mereka. Itulah sebabnya sikap mereka manis luar biasa kepada Pakkiong Liong. Undangan untuk jamuan makan mengalir dari sana-sini, namun semuanya ditolak dengan halus oleh Pakkiong Liong, kecuali jamuan yang diselenggarakan oleh Song Jin-ho sendiri yang memang sudah disanggupi oleh Pakkiong Liong.
Setelah upacara sembahyang untuk arwah prajurit-prajurit yang gugur selesai, maka ruangan besar itupun menjadi sepi kembali. Tamu-tamu pulang ke rumahnya masing-masing, sedangkan prajurit-prajurit Hui-liong-kun masuk ke ruangan belakang. Namun ada juga yang tidak langsung tidur, hanya mengganti pakaian mereka dengan pakaian biasa, lalu merekapun menyelundup keluar untuk mencari warung arak atau rumah pelesiran. Nikmatilah hidup ini, siapa tahu besok lehermu sudah digorok oleh pengikut-pengikut dinasti Beng itu.
Beberapa orang rahib masih tetap di ruangan itu, sebab mereka akan membaca doa semalam suntuk. Karena kegelisahan memikirkan ibunya, Tong Lam-hou juga tidak dapat segera tidur. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati udara malam di luaran, maka iapun melangkah keluar dari gedung besar itu dengan lewat pintu samping.
Seperti kota-kota besar lainnya, maka Kun-beng boleh dikata tidak tidur semalam suntuk. Bahkan ada warung-warung arak yang bukanya malam hari sampai pagi, khusus melayani kaum pemogoran. Mau main perempuan atau main judi, semuanya sudah tersedia.
Sambil berjalan lambat-lambat disepanjang jalan, Tong Lam-hou menarik napas panjang-panjang. Apa yang di Jit-siong-tin dianggap perbuatan memalukan seperti berjudi, di sini dianggap hal biasa saja. Hal biasa pula kalau ada orang berkelahi di rumah judi, atau karena berebut perempuan atau mabuk arak.
Akhirnya Tong Lam-hou menjadi jemu dan kembali ke gedung besar itu untuk tidur. Ketika melewati kamar Ha To-ji yang terbuka lebar, dilihatnya orang Mongol itu dengan bertelanjang dada tengah berlatih ilmu silatnya sehingga mandi keringat.
Tong Lam-hou tersenyum dalam hatinya. "Rajin benar orang Mongol ini. Malam hampir pagi seperti ini ia masih menyempatkan dirinya berlatih silat. Pantas A-liong menyebutnya sebagai seorang perwira yang memiliki masa depan yang cerah karena keuletannya."
Akhirnya Tong Lam-hou tertidur juga. Pagi harinya, Tong Lam-hou harus mengikuti upacara pembakaran jenazah para prajurit yang gugur. Song Jin-ho yang tengah berusaha untuk mengambil hati Pakkiong Liong itu telah menyelenggarakan sebuah upacara perabuan jenazah yang megah dan khidmat, sampai upacara selesai di mana abu jenazah dari prajurit-prajurit itu dimasukkan ke dalam guci-guci kecil yang kelak akan diserahkan kepada keluarga masing-masing prajurit di Pak-khia.
Tong Lam-hou membatin, "Alangkah sedihnya keluarga prajurit-prajurit itu. Ketika berangkat mereka masih segar-bugar, dan pulangnya hanya berujud segumpal abu dalam guci kecil. Tetapi yang lebih sedih lagi tentu keluarga yang hanya menerima pemberitahuan saja, hanya menerima namanya saja, sebab mayatnya tertinggal di medan laga sana."
Selesai upacara yang khidmat itu, Pakkiong Liong mengucapkan terima kasih kepada Song Jin-ho, "Song Congpeng telah berbuat sangat banyak bagi pasukan kami. Aku atas nama seluruh pasukan mengucapkan terima kasih kepada Congpeng. Sri Baginda tentu akan senang sekali mendengar sikap Congpeng ini."
"Terima kasih, Pakkiong Ciangkun Yang kulakukan hanya sekedar kewajiban kepada sesama prajurit yang gugur, penghormatan dari kami kepada para pahlawan yang telah berkorban jiwa untuk tegaknya pemerintah kita ini."
Kedua Panglima itu masih bercakap-cakap sejenak sebelum mereka kembali ke gedungnya masing-masing. Sejak masuk ke kota Kun-beng, Tong Lam-hou merasa bahwa agak sulit untuk terus bersama-sama dengan A-liong seperti ketika masih berada di Tiam-jong-san dulu. Di Kun-beng ini, Pakkiong Liong adalah seorang Panglima yang dihormati, selalu sibuk dengan ini itu, sehingga Tong Lam-hou lebih sering dibiarkannya seorang diri atau hanya berteman perwira-perwira bawahannya seperti Ha To-ji atau lainnya.
Namun Tong Lam-hou berusaha untuk dapat mengerti semuanya itu, ia tahu bahwa bukan karena Pakkiong Liong menjauhinya, namun karena kesibukannya yang tak habis-habisnya itulah yang agak menjauhkannya daripadanya. Menilik keadaan tawanan di penjara, mempersiapkan keberangkatan pasukannya ke Pak-khia, berunding dengan Song Jin-ho tentang sisa-sisa dinasti Beng yang masih berkeliaran di padang ilalang sana, dan lain-lain.
Dan Tong Lam-hou tidak ingin menjadi anak yang cengeng dan manja, seperti anak kecil yang terus-menerus berpegangan pada baju ibunya ketikaa berada di tengah pasar malam, dan menangis kalau ia kehilangan pegangannya. Tidak. Tong Lam-hou menyadari dirinya adalah pribadi yang mandiri, sehingga iapun akhirnya berusaha menghadapi segalanya dengan hati yang mantap.
"Aku turun gunung untuk membantu meringankan tugas-tugas A-liong sebagai prajurit yang menertibkan negeri ini,” kata Tong Lam-hou dalam hatinya sendiri. "Bukan malah memberatkannya, seolah-olah aku adalah tamu yang manja di tempat ini, yang selalu harus diperhatikan oleh tuan rumahnya. Atau seperti seorang momongan yang rewel."
Karena itulah maka Tong Lam-hou tidak ingin mengganggu kesibukan Pakkiong Liong, dan iapun mencari kesibukan sendiri pula. Kadang-kadang ia berlatih silat sehari penuh di halaman gedung itu, atau ia berjalan-jalan bersama-sama dengan Ha To-ji atau Han Yong-kim yang semakin akrab dengannya. Untung di sekitar kota Kun-beng itu ada banyak tempat-tempat indah yang bisa dilihat untuk menghibur hati.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika Pakkiong Liong sedang menghadiri undangan Song Jin-ho untuk menyaksikan latihan pasukan bawahan Song Jin ho di sebuah lapangan yang luas, maka Tong Lam-hou dan perwira-perwira bawahan Pakkiong Liong juga ikut melihat jalannya latihan. Pada kesempatan itulah baru Pakkiong Liong memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Tong Lam-hou yang menunggang kuda di sebelahnya, "Ke mana saja kau selama ini?"
"Ke mana saja, cukup banyak tempat indah yang bisa didatangi di sekitar kota ini," sahut Tong Lam-hou.
"Sendirian?"
"Tidak. Kadang-kadang bersama Ha To-ji dan kadang-kadang bersama Han Yong-kim. Kadang-kadang kami bertiga."
Pakkiong Liong tersenyum. "Kau merasa cocok dengan orang Mongol dan orang Korea itu?"
"Mereka orang-orang baik, kenapa harus tidak cocok dengan mereka?"
"Bagus. Kita semua harus bersatu hati, barulah bisa untuk berbuat sesuatu yang berarti bagi negeri ini. Apakah kau tidak mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan mungkin?"
Mulut Tong Lam-hou sudah bergerak hendak mengucapkan sesuatu, namun kemudian digelengaknnya kepalanya sambil menjawab, "Ah, tidak. Semuanya baik dan semuanya menyenangkan."
"Nah, kau mulai belajar berbohong kepadaku?"
Tong Lam-hou terkejut, namun kemudian ia tertawa, "Bagaimana kau tahu aku menyembunyikan sesuatu? Aku tidak berbohong, aku hanya menyembunyikan sesuatu yang dapat merusak suasana."
"A-hou, kita ini bersahabat bukan? Jujurlah kepadaku. Apa yang tidak menyenangkanmu?"
"Ah, tidak ada. Barangkali hanya perasaanku saja."
"Nah, coba ceritakan perasaanmu itu, biar aku sebagai, temanmu ikut menilai benar atau tidak."
Akhirnya Tong Lam-hou harus menjawab juga, namun sebelum menjawab ia menyapukan pandangannya ke sekitarnya, kepada orang-orang yang sedang menonton latihan prajurit itu. Setelah merasa aman, baru dijawabnya, "A-liong, perwira bawahanmu yang berhidung melengkung dan bermata seperti alap-alap itu agaknya tidak senang kepadaku."
"Berhidung melengkung dan bermata alap-alap? Maksudmu Ang Bun-long? Apakah ia pernah berbuat sesuatu yang tidak baik kepadamu atau bagaimana?"
"Sudah kukatakan hanya perasaanku saja, barangkali akulah yang salah karena terlalu berprasangka. Namun pandangan matanya terhadap diriku membuatku merasa gatal tangan ingin memukul matanya."
"Ang Bun-long memang pantas mendapat peringatan keras dariku."
"Jangan A-liong. Nanti dikiranya aku yang mengadu kepadamu dan ia akan menganggapku sebagai tukang mengadu."
"Bukan kau saja yang mengatakan itu, A-hou, tetapi sebelum kau mengatakannya kepadaku maka beberapa perwira juga telah mengatakan kepadaku. Tingkah lakunya yang sering melewati batas dapat mengakibatkan perpecahan di pasukanku yang selalu kuusahakan persatuannya itu."
"Terserah kepadamu, A-liong. Namun sebenarnya ia belum berbuat apa-apa atasku kecuali memandangnya dengan matanya yang seperti alap-alap itu, seolah-olah aku hendak ditelannya."
"Baik, serahkan kepadaku saja, nanti aku yang mengatasinya. Sekarang coba kau perhatikan latihan-latihan itu. Apakah gurumu pernah mengajar tentang ilmu perang, maksudku ilmu mengatur barisan seperti itu?"
Tong Lam-hou segera mengalihkan pandangannya ke tengah alun-alun itu. Dilihatnya ada dua pasukan yang berjumlah besar, masing-masing berjumlah kira-kira duaribu orang. Kedua pasukan saling menyerang dengan macam-macam siasat, kadang-kadang, membentuk lengkungan untuk menahan musuh, lalu menjepit menebar dan menyempit dan sebagainya, sementara pasukan lawannya mencoba mengimbangi dengan macam-macam gerakan itu.
Di atas sebuah panggung kecil, dua orang perwira berdiri sambil menggerak-gerakkan bendera kecil di tangan mereka. Gerakan pasukan mengikuti isyarat yang diberikan oleh bendera-bendera itu, seolah kedua perwira itu sedang bermain catur dan prajurit-prajurit merekalah bidak-bidak catur yang digerakkan dengan isyarat bendera.
Untuk sesaat Tong Lam-hou jadi melupakan si perwira berhidung bengkok dan bermata seperti alap-alap itu, karena perhatiannya tertarik ke tengah lapangan dimana sedar.g terlangsung suatu "pertempuran" yang seru. Kata Tong Lam-hou, "Ya, guruku memang hanya mengajarkan ilmu silat kepadaku, tetapi ilmu mengatur barisan semacam ini aku memang tidak tahu sama sekali. Barangkali Guru sendiri juga tidak tahu."
Maka tanpa diminta Pakkiong Liong segera menerangkan kepada Tong Lam-hou tentang semua pasukan di tengah lapangan itu, dan apa tujuannya. Dan Tong Lam-hou mendengarkannya dengan penuh minat. Sekarang ia tahu bahwa pasukan besar prajurit yang terjun ke medan perang bukan asal saja berani memutar senjatanya untuk menerjang musuh, namun juga harus dibekali pengetahuan semacam itu agar barisan tidak menjadi kacau dan prajuritnya bertempur sendiri-sendiri.
"Tetapi, dalam latihan mereka dapat bergerak begitu teratur, apakah dalam peperangan mereka juga bisa bergerak demikian? Bukankah dalam peperangan itu musuh tidak dapat diatur begini atau begitu menurut kemauan kita?" tanya Tong Lam-hou kemudian.
"Tentu saja tidak. Ada banyak hal yang mempengaruhi keseimbangan pertempuran, antara lain: ketangkasan berpikir dari panglima masing-masing pasukan, jumlah pasukannya, bobot dari tiap anggauta pasukan, tinggi rendahnya medan pertempuran, apakah berbukit-bukit atau di lembah atau di tempat yang sempit, semuanya memerlukan perhitungan sendiri. Namun bukan berarti latihan-latihan seperti ini tidak berguna. A-hou, coba kutanya, ketika mula-mula kau belajar silat, apakah yang harus kau lakukan pertama kali?"
"Meningkatkan kekuatan, kecepatan dan kelenturan tubuh. Ketiga hal itulah yang apat diringkas dalam satu kata: ketangkasan."
"Bagus, lalu?"
"Mempelajari gerakan-gerakan dasar seperti kuda-kuda dan pukulan-pukulan atau tendangan-tendangan yang sederhana, sehingga matang.‘‘
"Terus?"
"Melakukan tui-jiu (berelatih berpasangan dengan gerakan-gerakan yang sudah ditetapkan urutannya terlebih dulu), agar gerakan-gerakan dasar itu dapat digunakan, diketahui penerapannya."
"Nah, itulah. Dalam perkelahian yang sesungguhnya, kita tidak mungkin memakai gerakan-gerakan dari tui-jiu secara utuh, sebab tak mungkin lawan kita tebak urutan gerakannya. Semuanya harus serba cepat dan seketika. Tapi bukan berarti tui-jiu tidak berguna, sebab semakin matang latihan kita, akan semakin terarah gerakan kita. Misalnya sebuah jurus terdiri dari memukul, menendang lalu mengelak, mungkin, dalam perkelahian sesungguhnya kita hanya sempat memukul sekali dan kemudian harus buru-buru mengelak, sebab serangan lawan datang lebih cepat sebelum kita sempat melakukan tendangan."
Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Pakkiong Liong melanjutkan, "Nah, pada dasarnya latihan ilmu silat dan latihan menggerakkan pasukan itu pada dasarnya tidak berbeda urut-urutannya atau pentahapannya. Pertama-tama para prajurit harus memiliki kesegaran jasmani yang baik dan semangat yang tinggi, agar memudahkan bagi seluruh pasukan untuk bergerak cepat menguasai medan. Lalu para prajurit diberi pelajaran menyerang dan bertahan dalam satu barisan, tidak terpecah-pecah, dan bentuk-bentuk serangan lainnya. Kemudian prajurit-prajaurit dibagi dalam dua pasukan yang masing-masing ada seorang pemimpinnya, dan melakukan latihan semacam ini, meskipun keadaannya tidak sama dengan di medan perang yang sesungguhnya."
"Apakah ilmu silat tidak berguna di medan perang antara dua pasukan besar?"
"Tentu saja tetap berguna, bukankah gerakan para prajurit ketika mengayunkan tombak atau pedang mereka itu-pun termasuk ilmu silat? Dan bukankah ilmu silatnya rendah? Jadi ilmu silat tetap berguna, tetapi bukan satu-satunya segi untuk menentukan kemenangan. Seorang Panglima yang bagaimanapun tingginya Ilmu silatnya dan ia dapat membunuh puluhan musuh, tetapi pasukannya sendiri kocar-kacir, ia dapat disebut sebagai Panglima yang kalah."
“Aku mengerti...!"
Sementara itu, sikap yang sangat akrab antara Pakkiong Liong dengan Tong Lam-hou itu memang telah menumbuhkan ketidak senangan pada diri seorang perwira Hui-liong-kun yang berhidung bengkok dan bermata seperti alap-alap, bernama Ang Bun-long. Ia merasa iri. Sudah lama ia mendambakan kenaikan pangkat, tidak peduli dengan cara menyikut kiri-kanan, menjelek-jelekkan teman-temannya sendiri, namun cita-citanya itu tak kunjung terkabul.
Ia telah berusaha untuk mendekati Pakkiong Liong, tak terduga sikapnya yang menjilat itu malah membuat Pakkiong Liong semakin jauh dari padanya. Dan kini melihat Tong Lam-hou sebagai orang baru langsung mendapat tempat begitu dekatnya di hati Pakkiong Liong, maka Ang Bun-lon diamuk rasa dengki luar biasa. Sebenarnya Ang Bun-long memiliki ilmu cukup tinggi, terutama dalam ilmu tombaknya andaikata Pakkiong Liong tidak benci melihat wataknya itu mungkin ia akan cepat naik ke jenjang yang tinggi.
Namun sifat-sifat buruknya itulah yang justru mencegah Pakkiong Liong untuk memberi kedudukan penting kepada perwiranya yang satu itu. Bisa hancur pasukannya kalau kedudukan pentingnya dipegang orang semacam Ang Bun-long. Pakkiong Liong lebih suka orang-orang yang agak kasar namun jujur seperti Ha To-ji atau Han Yong-kim...
Selanjutnya;