Pendekar Naga dan Harimau Jilid 12
PENGEMIS itu mengangkat wajahnya, dan ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya, maka pengemis itupun tertawa menyeringai. Dan pada saat itu wajahnya yang memelas itu berubah menjadi wajah seekor serigala kelaparan. Tanyanya, "Berhasil?"
"Tentu saja berhasil."
"Tapi tadi dari sini kulihat dia memegang bajumu dan menggoncang-goncangkan bajumu. Ada apa?"
"Ia hanya agak panik sebentar ketika aku menceritakan sebab musabab kematian Boan Seng-hu dan Pi Yau-im. Namun menjadi tenang kembali. Betapapun lehernya sudah kita kalungi jerat, bisa apa lagi dia?"
Si pengemis dan si pemberi sedekah sama-sama tertawa terkekeh-kekeh. Lalu Hehou Im melangkah pergi, dari jauh si pengemis itupun berubah menjadi memelaskan hati, ia mengacungkan tempurungnya kepada setiap orang yang lewat dengan rintihan yang menyayat hati, "Sedekah, tuan...kasihan orang miskin... sehari belum makan..."
Dia adalah rekan sekomplotan Hehou Im. Namanya Tong King-bun dan julukannya adalah Say-ya-jat (si Hantu Malam). Biasanya ia tidak mengemis uang receh, melainkan "mengemis" seluruh harta benda pemilik rumah, dan jika pemilik rumah keberatan maka ia malah mengambil pula beberapa batok kepala.
Demikianlah sebuah komplotan yang rapi dan sangat keji telah membayangi Pakkiong Liong dan pasukannya. Musuh bukan hanya dari depan, tapi juga dari belakang. Musuh dari depan menyerang dengan berteriak dan dengan muka beringas, namun musuh dari belakang menikam jantung sambil tersenyum dengan manisnya.
SETELAH Pakkiong Liong merasa bahwa pasukannya cukup beristirahat di kota Kun-beng, maka pada pagi yang cerah itupun pasukannya sudah siap meninggalkan kota dengan membawa tawanan. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang ikut Pakkiong Liong ketika dulu meninggalkan Pak-khia ada lebih dari duaratus orang, namun setelah sebagian gugur karena bertempur dengan pengikut-pengikut Pangeran Cu Hin-yang dan sebagian lagi telah diperintahkan untuk mendahului kembali ke Pak-khia.
Maka yang ada di kota Kun-beng. itu tinggal kira-kira seratus orang. Namun seratus orang itu akan merupakan rombongan yang cukup tangguh, sebab di dalamnya terdapat Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou, seperti juga perwira-perwira lain yang tangguh : Ha To-ji, Le Tong-bun, Han Yong-kim, Tokko Seng, Ko Lung-to dan Ang Bun-long, meskipun yang disebut terakhir ini mempunyai maksud tersembunyi dalam perjalanan kali ini.
Mereka semua telah berbaris di atas punggung kudanya masing-masing, dengan seragam mereka yang serba hitam, lain dengan pasukan-pasukan lainnya, kelihatan begitu angker dan penuh perbawa. Bendera-bendeha telah dikibarkan. Kali ini Pakkiong Liong memang bermaksud membawa tawanan-tawanannya ke Ibukota Kerajaan dengan berbaris secara terang-terangan seperti itu, untuk memperlihatkan kemegahan Pasukan Naga Terbang.
Kedua tawanan itu sudah dimasukkan dalam kereta kerangkeng yang masing-masing ditarik dua ekor kuda, dengan demikian perjalanannya agak cepat. Panglima Kota Kun-beng Song Jin-ho juga sudah siap di lapangan itu untuk mengucapkan selamat jalan. Agaknya ia tidak mau kalah mentereng dari Pasukan Naga Terbang, sehingga sebagian besar dari pasukannya telah digelar di lapangan itu dengan seragamnya yang berwarna merah dan biru, masing-masing berbaris menurut regunya masing-masing di bawah benderanya sendiri-sendiri.
Ujung tombak dan pedang yang mencuat ke angkasa bagaikan daun ilalang rapatnya. Dinasti Manchu memang sedang kuat-kuatnya saat itu, jumlah tentaranya amat banyak dan terlatih baik, sehingga negeri-negeri tetangga seperti Aannam, Campa, Kamboja, Siam dan Birma-pun sering mengirimkan duta-duta persahabatan dengan tetangga raksasa mereka di sebelah Utara itu. Orang-orang bule yang berdatangan dari barat ke benua timur inipun tidak berani sembarangan terhadap pemerintah Manchu.
Pakkiong Liong berkuda paling depan didamping oleh Song Jin-ho, lalu perwira-perwira dari kedua belah pihak berkuda di belakang mereka. Demikianlah barisan itu mulai bergerak. Sampai di luar kota, Song Jin-ho berhenti mengantarkan, dan ia saling memberi hormat dengan Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya. Lalu mereka masuk kembali ke kota Kun-beng, sementara Pakkiong Liong dengan pasukannya dan kedua tawanan pentingnya itupun melanjutkan perjalanan mereka.
Ketika barisan itu menyusuri jalan-jalan sempit di pegunungan daerah Hun-lam, maka dari atas kelihatan seperti semut-semut yang berbaris, karena pakaian seragam prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang serba hitam itu. Tong Lam-hou tidak mengenakan seragam seperti itu karena ia memang belum diterima sebagai prajurit, bahkan ujian pendadaran pun belum dilakukannya. Namun ia merasa tidak ada batas antara dirinya dengan seluruh anggauta pasukan itu, dari Pakkiong Liong sampai kepada prajurit yang paling rendah yang mengurus perbekalan.
Kegembiraannya bahwa ia akan melakukan perjalanan yang amat jauh ke utara, menjelajahi daearah-daerah yang belum pernah dilihatnya, telah membuat Tong Lam hou sangat gembira. Kadang-kadang ia lupa bahwa perjalanan itu bukan perjalanan tamasya melainkan perjalanan yang penuh dengan intaian maut di sepanjang jalan.
Sementara itu, jauh di belakang rombongan itu ada dua orang berkuda yang terus mengikuti rombongan itu sejak keluar dari kota Kun-beng. Dua orang laki-laki berkuda itu sama-sama memakai pakaian ringkas seperti musafir yang di perjalanan. Bahkan mereka juga membawa senjata yang mereka gantungkan di pelana kuda mereka. Jika rombongan berhenti, mereka berhenti juga, kalau rombongan meneruskan perjalanan maka merekapun mengikuti dari kejauhan, namun tetap menjaga jarak agar tidak dicurigai oleh pasukan itu.
Kedua orang itu bukan lain adalah San-sin-kun Hehou Im dan Say-ya-jat Tong King-bun. Yang satu berjulukan Si Setan Ganas, lainnya adalah Si Hantu Malam, keduanya ‘memang cocok menjadi teman seperjalanan.’
"Orang-orang kita yang di sebelah depan harus segera diberitahu agar mereka mempersiapkan diri," kata Tong King-bun yang kemarin menyamar sebagai pengemis di kota Kun-beng.
''Tidak usah terburu-buru," kata Hehou Im yang tidak lupa membawa pipa cangklong kesayangannya. "Jarak dari Kun-beng ke Tiong-keng hampir seribu mil lebih. Dan bukankah menurut rencana kita, maka gebrakan yang sungguh-sungguh baru akan dilakukan di kota Tiong-keng, bahkan di tengah sungai ketika pasukan itu menyeberang."
"Kenapa harus menunggu di Tiong-keng dan harus di tengah sungai pula?"
"Tak dapatkah kau sedikit menggunakan otakmu? Semua ini sudah diatur oleh Pakkiong Ciangkun sendiri. Ada dua alasan kenapa pencegatan dilakukan di tempat itu. Pertama, perwira-perwira dan bahkan Panglima di kota Tiong-keng sudah berada di genggaman tangan Pakkiong Ciangkun. Ia tidak akan membantu Pakkiong Liong, atau setidak-tidaknya ia akan bersikap tidak memihak dan berpura-pura tidak tahu saja.
"Kedua, jika terjadi pertempuran di tengah sungai daya tempur Pasukan Hui-liong-kun itu paj-ing tidak akan susut separuhnya. Mereka bukan pasukan air. Mereka boleh ampuh dalam pertempuran di darat, namun di -dalam air, mereka akan kita kalahkan dan kita tenggelamkan ke casar sungai Yang-ce-kiang. Jadi memudahkan orang-orang kita."
"Apakah orang-orang yang akan kita pakai itu cukup mahir bertarung di sungai?"
"Tidak perlu diragukan lagi. Mereka adalah bajak-bajak sungai di bawah pimpinan dua orang teman lama kita, Tio Hong-bwe dan Song Hian. Bertahun-tahun mereka hidup sebagai bajak di sungai itu, keahlian laskar mereka dalam perkelahian air tidak diragukan lagi"
Say-ya-jat Tong King-bun hampir melonjak ketika mendengar kedua nama itu. Teriaknya, "He, jadi kedua bangsat itu belum mampus dalam pertempuran besar Tiau-im-hong dulu?"
"Belum. Mereka dapat lolos dari Tiau-im-hong dan kemudian menjadi bajak di sungai Yang-ce-kiang untuk melanjutkan hidupnya. Akulah yang memperkenalkan mereka kepada Pakkiong Ciangkun sehingga mereka bersedia bekerja sama dengan Pakkiong Ciangkun dengan beberapa syarat."
"Syarat apa?"
"Jika kelak Pakkiong Ciangkun sudah menjadi seroang yang besar kekuasaannya di Kotaraja Kerajaan, maka kedua bajak sungai itu akan di angkat sebagai perwira-perwira pengawas perairan di wilayah mereka sendiri."
"Gila! Manusia-manusia kasar itu akan menjadi perwira-perwira kerajaan? Entah bagaimana nanti tampang mereka setelah beralih pekerjaan dari bajak menjadi perwira kerajaan?" kata Tong King-bun sambil membelalakkan matanya setengan tak percaya. Namun kemudian ia tertawa dan berkata, "Tetapi persetan dengan perjanjian antara Pakkiong An dengan kedua bajak itu. Agaknya akan menyenangkan juga jika aku bisa bertemu dengan teman-teman lama kita itu."
Baik Hehou Im maupun Tong King-bun menyebut kedua bajak sungai itu sebagai teman lama, sebab sebenarnyalah memang demikian. Keempat orang itu sama-sama bekas orang Hwe-liog-pang, namun orang Hwe-liong-pang yang berpihak kepada Te-liong Hiang-cu yang berkhianat kepada Ketuanya sendiri. Dengan demikian mereka merupakan musuh-musuh dari orang-orang Hwe-liong-pang seperti Ma Hiong, Lu Siong dan Oh Yun-kim yang setia kepada Ketua.
Dan yang disebut "pertempuran di Tiau-im-hong" itu adalah pertempuran antara Hwe-liong-pang melawan para pendekar yang salah paham terhadap Hwe-liong-pang, namun kemudian salah paham dapat diatasi dan Hwe-liong-pang malahan bergabung dengan para pendekar untuk bersama-sama melawan Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya yang bersekutu dengan Tentara Kerajaan Beng. Pertempuran itu benar-benar telah memecah-belah Hwe-liong-pang.
Sebagian memihak ketua yang syah, sebagian memihak Te-liong Hiang-cu yang berkhianat, sehingga akhirnya orang-orang Hwe-liong-pang tercerai-berai. Yang masih setia kepada cita-cita luhur Hwe-liong-pang untuk membela rakyat kecil dari tindasan; pemerintah Kerajaan Beng, telah menggabungkan diri dengan laskar pemberontak Li Cu-seng untuk menumbangkan Kerajaan Beng.
Sedangkan yang kehilangan pegangan, telah berubah menjadi penjahat-penjahat seperti Tio Hong-bwe dan Song Hian, atau bahkan menjadi tentara Manchu seperti Hehou Im. Itulah sebabnya Tong king-bun tadi menyebut gembira akan bertemu "teman lama", sebab baik Tong King-bun maupun si bajak sungai Tio Hong-bwe dan Song Hian adalah sama-sama bekas pengikutnya Te-liong Hiang-cu yang berkhianat kepada Hwe-liong-pang itu.
Hehou Im juga tertawa. ''Ya, dan aku juga masih ingin bertemu dengan beberapa teman lama kita yang lainnya, seperti Liong Pek-ji, Seng Cu-bok dan lainnya. Sayang aku akan mendapat kesulitan untuk menemukan di mana alamat mereka, bahkan mati hidup merekapun aku tidak tahu. Jika mereka dapat diketemukan dan bergabung dengan kita kembali, kita akan menjadi kuat kembali, dan cita-cita Pakkiong An untuk menguasai Kerajaan agaknya akan dapat kita dukung sehingga kelak kita menjadi orang-orang terhormat, bukan orang-orang yang berkeliaran seperti kau ini.”
Tong King-bun menyeringai, "Ya... ya... orang-orang terhormat yang memiliki gedung besar, harta berlimpah, dan semua orang memberi hormat kepada kita. Tio Hong-bwe dan Song Hian itu akan menjadi Panglima-panglima di wilayah perairan, kau sendiri mungkin kelak menjadi seorang Panglima Besar di Pak-khia, lalu aku menjadi apa?"
"Kau sendiri ingin jadi apa?"
"Aku tidak ingin menjadi Panglima. Aku ingin jadi Hou-po-siang-si (Menteri Keuangan) saja."
"Uh, Kerajaan bisa bangkrut kalau punya Menteri Keuangan macam kau."
Keduanya pun tertawa-tawa, dan percakapan merekapun tidak terbatas, sebab keduanya adalah anggauta komplotan yang sama dan tidak perlu saling merahasiakan keadaan masing-masing. Tiba-tba Tong King-bun bertanya, "Eh, tetapi penghadangannya di tengah sungai di dekat kota Tiong-keng itu apakah tidak berbahaya?"
"Berbahaya apa? Rencana sudah rapi."
"Kau lupa? Bukankah di bagian sungai itu sering dilewati kapal-kapal armada Peng-se-ong Bu San-kui?"
"Tidak. Peng-se-ong Bun San-kui tidak akan berani melewati kota Tiong-keng ke-timur. Daerah wewenangnya hanyalah dari Tiong-keng ke barat, tahu benar akan hal itu."
"Kalau begitu, rencana benar-benar rapi. Kedua tawanan itu pasti akan segera berada di tangan kita."
Demikianlah, pakkiong Liong sama sekali belum menyadari bahwa pasukannya telah dibayangi oleh sebuah kekuasan tersembunyi yang rapi, siap menikam punggungnya dari belakang. Bahkan tidak diketahuinya bahwa salah satu perwiranya sudah menjadi salah satu mata rantai dari jaringan kekuasaan tersembunyi itu.
Selama dalam perjalanan, Ang Bun-long menunjukkan sikap yang baik, sehingga tidak menimbulkan masalah apa-apa. Niat Pakkiong Liong untuk memberi hukuman atau menegur perwiranya itu pun ditunda sementara waktu, ia tidak ingin perwiranya itu menjadi patah semangat, padahal tenaganya masih sangat dibutuhkan dalam perjalanan yang panjang itu.
Namun Pakkiong Liong tidak tahu bahwa sebenarnya hati Ang Bun-long sebenarnya betul-betul sudah dirasuki racun kedengkian dan kebencian terhadap "si anak desa yang tidak tahu diri" Tong Lam-hou itu. Ia benar-benar tidak rela melihat hubungan Tong Lam-hou yang demikian akrabnya dengan Pakkiong Liong. Semua orang memanggil Pakkiong Liong dengan sebutan "Ciang-kun" sambil menghormat, tetapi Tong Lam-hou memanggilnya hanya sebagai "A-liong" dan yang lebih menjengkelkan Ang Bun-long adalah ketika melihat bahwa Pakkiong Liong agaknya tidak keberatan dengan sebutan yang "tidak beradab" tersebut.
Akhirnya kebencian Ang Bun-long juga tertuju kepada Pakkiong Liong meskipun ia tidak berani menunjukkannya secara terang-terangan. Lalu iapun membenci semua rekan-rekan perwiranya yang bersikap akrab pula kepada Tong Lam-hou, membenci semua prajurit-prajurit yang sering bersenda gurau dengan Tong Lam-hou. Ia membenci seluruh Pasukan Naga Terbang! Dulu bangga sebagai angauta pasukan itu sekarang benci.
"Pasukan yang liar," kutuk Ang Bun-long dalam hatinya. "Dalam pasukan liar ini garis-garis antara bawahan dan atasan tidak tegas. Seorang perwira berhak menyuruh prajurit bawahannya dengan membentak atau menendangnya, tetapi dalam pasukan ini semuanya kacau, perwira dan prajurit bercakap-cakap tanpa batas seakan-akan teman sederajat saja. Gila!"
Lalu diliriknya Pakkiong Liong yang berkuda paling depan, dan tampaknya tengah bercakap-cakap dengan Ha To-ji itu. Geram Ang Bun-long dalam hatinya, "Dan Pakkiong Liong itupun seorang perwira gila, tidak bisa menghargai derajat dirinya sendiri. Kenapa ia memanggil bawahannya dengan sebutan 'saudara' atau 'temanku'? Huh, merendahkan diri sendiri saja. Bukankah sebenarnya ia berhak untuk berteriak memanggil begitu saja sambil bertolak pinggang sehingga nampak lebih gagah tapi ia tidak menggunakan haknya, dasar tolol!"
Itulah kebencian dan ketidak-ikhlasan. Semakin merasuk dalam jiwa semakin menyiksa jiwanya sendiri. Jika orang lain sudah tidur pulas di malam hari, maka Ang Bun-long belum dapat memejamkan matanya karena hatinya yang panas. Membayangkan tingkah laku Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan rekan rekan perwiranya sehari-hari itu kelihatannya hanya menjengkelkan melulu malahan kadang-kadang ia merasa dirinya tengah diejek atau "dirasani" padahal tak ada seorangpun yang berbuat demikian. Semuanya hanya perasaannya sendiri, tapi ternyata cukup menggelisahkannya.
Lalu Ang Bun-long berangan-angan tentang dirinya sendiri, "Tadinya aku agak menyesal bergabung dengan komplotan Pakkiong An, namun sekarang tidak lagi. Jika kelak Pakkiong An berhasil mendudukkan jabatan penting di istana, maka aku akan mohon agar ia mempengaruhi Sri Baginda untuk menyingkirkan Pakkiong Liong dari jeratan Panglima Hui-liong-kun yang sembarang. Akulah yang harus menjadi Panglima Hui-liong-kun kelak, dengan dukungan Pakkiong An. Lalu aku akan merombak semua peraturan cengeng dalam pasukan ini. Batas antara bawahan dan atasan harus dipertegas. Setiap perintah dari atasan kepada bawahan harus dilakukan dengan membentak sambil melotot, agar suasananya mencengkam terasa di seluruh pasukan dan tidak ada prajurit yang berani melanggar perintah. Tidak seperti sekarang ini, suasananya terlalu santai. Lama kelamaan para bawahan akan menjadi kurang-ajar."
Dalam angan-angannya itu agaknya Ang Bun-long melupakan bahwa justru dengan suasana akrab antara atasan dan bawahan itulah maka Pakkiong Liong berhasil menimbulkan kekompakan pasukannya. Setiap anggauta pasukan akan menjalankan tugas dengan sepenuh hati, bukan sekedar karena takut dibentak atasannya. Dan meskipun bubungan mereka akrab, namun tapi belum pernah ada perintah-perintah atasan yang diabaikan, sebab setiap bawahan justru menganggap tugasnya sebagai kehormatan, bukan sebagai beban.
Pakkiong Liong tidak menganggap bawahannya sebagai alat belaka, melainkan sebagai sesama manusia. Perbedaan antara atas an dan bawahan hanyalah perbedaan dalam jenis tugasnya, bukan perbedaan derajat kemanusiaan mereka. Dasar pemikiran inilah yang tidak dipahami oleh Ang bun-long sehingga ia merasa jengkel karena pangkatnya tidak naik-naik.
Padahal dengan pangkat yang tinggi ia akan semakin "berhak" untuk membentak-bentak dan bersikap segarang-garangnya. Tapi impiannya untuk menjadi Panglima Hui-liong-kun itu sudah cukup menenteramkan hatinya sendiri, dan mengantarkannya memasuki tidurnya yang pulas.
Setelah menempuh perjalanan beberapa hari yang penuh ketegangan, maka tibalah Pakkiong Liong dan pasukannya di sebuah desa nelayan yang tidak jauh letaknya dari tepian Yang-ce-ki-ang, sungai yang amat panjang itu, sehingga sering juga disebut sebagai Sungai Panjang (Tiang-kang).
"Kita beristirahat di desa ini untuk semalam, dan besok kita menyeberang ke Utara," kata Pakkiong Liong, "Han Yong-kim memimpin sepuluh orang untuk mendirikan pesanggrahan di luar desa, jangan mengganggu rumah-rumah maupun tanaman penduduk!"
"Siap, Panglima!" kata Han Yong-kim yang segera mulai bekerja dengan alat-alat yang mereka bawa.
"Le Tong-bun dan sepuluh prajurit pergi ke tepian untuk mencari kapal-kapal yang besok bisa menyeberangkan kita ke tepian utara, pembayaran sewa kapal akan berjalan semestinya dan jangan merugikan pengusaha kapal itu satu sen pun. Kau dapat mengira-ngira sendirinya berapa besarnya jumlah kapal yang kita perlukan untuk mengangkut seluruh pasukan kita bersama dengan kuda-kuda kita dan semua peralatan."
"Siap, Ciangkun!" Le Tong-bun juga menjawab dengan tegas dan segera pergi menjalankan tugasnya.
"Ha To-ji, atur penjagaan disekitar kita, tawanan di tengah."
"Siap, Ciangkun!"
Begitulah prajurit-prajurit itu-pun menjalankan tugasnya masing-masing. Kedatangan serombongan prajurit yang berjumlah hampir seratus orang itu memang cukup menggemparkan desa kecil itu, banyak orang segera bersembunyi ketakutan dalam rumah. Namun oleh sikap baik prajurit-prajurit bawahan Pak-kiong Liong itu, akhirnya orang-orang desa perlahan-lahan hilang takutnya. Bahkan beberapa orang penduduk telah membantu para prajurit dengan mendirikan pesanggrahan di luar desa, sebuah pesanggrahan darurat yang akan digunakan hanya satu malam.
"Sisa-sisa pengaruh dinasti Beng masih nampak di sini," desis Tong Lam-hou.
Pakkiong Liong agak terkejut dan bertanya, "Sisa-sisa pengaruh yang bagaimana?"
"Takut terhadap prajurit," sahut Tong Lam-hou. "Bukankah menurut ceritanya prajurit-prajurit di jaman Kerajaan Beng dulu lebih ditakuti oleh penduduk daripada gerombolan perampok? Terhadap gerombolan perampok, penduduk seluruh desa masih bisa melawan bersama-sama, tetapi terhadap prajurit-prajurit Beng, melawan sama saja dengan bunuh diri. Itulah sebabnya prajurit-prajurit Beng membunuh dan merampas. sesukanya saja."
"Ya. Pengaruh buruk itu harus dihilangkan. Pemerintahan Manchu haruslah pemerintahan yang berakar di hati rakyat, bukan pemerintahan yang ditegakkan oleh tajamnya pedang atau runcingnya ujung tombak. Dengan demikian pemerintahan ini akan kekal."
Pakkiong Liong menganggukkan kepalanya. Sementara Tong Lam-hou tiba-tiba teringat akan desa Jit-siong-tin yang musnah jadi debu oleh ulah orang-orang yang mengaku anggauta "Pejuang pembebasan tanah-air" seperti Hong Lotoa dan teman-temannya itu. Gigi Tong Lam-hou gemeretak mengingat akan Hong Lotoa, sayang sekali bahwa orang itu belum berhasil ditangkapnya.
Tetapi memang sulit untuk menangkapnya apabila Hong Lotoa memang sengaja menyembunyikan dirinya, seperti mencari sebutir kancing baju di hutan, sementara Tong Lam-hou merasa bahwa dirinya ditunggu oleh tugas lain yang lebih penting. Tugas kemanusiaan pula, yaitu ikut menegakkan ketertiban negeri ini sebagai seorang prajurit. Tong Lam-hou berharap, jika ketertiban sudah merata, peristiwa di Jit-siong-tin itu tidak akan terulang di manapun dan kapanpun juga.
"Jangan hanya karena aku memburu seorang Hong Lotoa, maka orang-orang semacam Hong Lotoa sempat merajalela di tempat-tempat lain."
Sementara itu pesanggrahan darurat telah jadi. Tawanan segera dimasukkan ke dalam salah satu kemah yang sekelilingnya dijaga kuat. Kemah-kemah lain bertebaran memenuhi sebuah tanah kosong yang telah dibersihkan, penjagaan di atur dan para juru masakpun mulai menyalakan api untuk ransum para prajurit. Pakkiong Liong menempati kemah tersendiri, berdampingan dengan kemah tawanan yang berisi Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong, sedangkan Tong Lam-hou mendapatkan kemah bersama dengan Ko Lung-to. Keduanya telah menjadi teman akrab seperti antara Pakkiong Liong dengan Tong Lam-hou.
Sebelum tengah malam, Le Tong-bun dan prajurit-prajuritnya telah datang ke pesanggrahan dan melaporkan kepada Pakkiong Liong, "Besok kita akan menyeberang dengan dua buah kapal besar. Aku sudah melihatnya sendiri kapalnya dan kuperkirakan cukup untuk seluruh pasukan kita beserta kuda-kuda dan kedua kereta tawanan itu."
"Bagus, kau telah bekerja dengan baik, saudara Le. Bawa seluruh anak buahmu untuk beristirahat."
Sementara itu masih ada seorang perwira yang gelisah, dialah Ang Bun-long, sudah berhari-hari perjalanan dilakukan dan ternyata dia belum juga dihubungi oleh Hehou Im atau anggauta komplotan yang lainnya. Ia sudah tidak sabar ingin melihat Pakkiong Liong menderita malu dan kecewa karena kehilangan tawanan-tawanannya, atau melihat seluruh pasukan Hui-liong-kun itu kehilangan kebanggaan mereka.
Namun tiba-tiba Ang Bun-long menyadari, "Kalau aku berada di tengah-tengah pasukanku terus, bagaimana mungkin Hehou Im bisa menghubungi aku? Dia atau orang-orangnya tentu tidak akan berani mendekati pasukan ini. Jadi akulah yang harus keluar dari pesanggrahan ini."
Karena alasan itulah maka pada malam harinya Ang Bun-long keluar dari kemahnya dan berjalan-jalan keliling pesanggrahan. Di lihatnya sebagian besar prajurit sudah tertidur karena kelelahan setelah melakukan perjalanan sehari, tetapi sebagian kecil masih bertugas jaga, hilir-mudik dengan tombak dipanggul atau pedang terhunus. Beberapa kali Ang Bun-long membalas penghormatan yang diberikan oleh prajurit-prajurit yang berpapasan dengannya hanya dengan anggukan kecil yang angkuh.
Bahkan kadang-kadang Ang Bun-long memarahi beberapa prajurit yang bertugas, dengan kesalahan yang dicari-cari. Kalau bukan "seragamnya kurang rapi" ya tentunya "sikapnya kurang mencerminkan tata tertib keprajuritan". Maka di belakang punggung Ang Bun-long para prajurit itupun menggerutu satu sama lain, "Perwira itu galaknya bukan main. Belum jadi Panglima lagaknya sudah melebihi Pakkiong Ciangkun sendiri."
"Untung dia bukan Panglima. Kalau dia Panglima, aku lebih suka pindah ke pasukan lain saja."
Sementara itu, dengan berpura-pura mengeliling pesanggrahan untuk memeriksa prajurit-prajurit yang berjaga, meskipun sebenarnya ia tidak ditugaskan untuk itu, maka Ang Bun-long akhirnya berhasil menyelinap keluar dari pesanggrahan dan menyusup ke dalam sebuah kebun gelap milik penduduk desa. Dengan tangkasnya ia menyusup pepohonan dan kemudian lenyap di gelapnya malam.
Tanpa diketahui oleh Ang Bun-long sendiri, ternyata ada sesosok bayangan yang mengikuti gerak-geriknya. Bayangan yang gerakannya jauh lebih lincah dari Ang Bun-long sendiri, sebab yang berhembus begitu saja menerjang pepohonan tanpa suara gemeresak sedikitpun. Bayangan yang mengikuti Ang Bun-long itu adalah Tong Lam-hou. Kebetulan ia sedang keluar kemahnya untuk buang air kecil malam itu, dan saat itulah tiba-tiba ia melihat Ang Bun-long menyusup keluar pesanggrahan dengan merunduk-runduk.
Tadinya Tong Lam-hou mengira bahwa Ang Bun-long juga hanya akan membuang air kecil seperti dirinya, namun kemudian timbullah kecurigaannnya ketika melihat gerakannya yang celingukan seolah-olah takut dilihat orang. Maka Tong Lam-hou memutuskan untuk mengikutinya dari jarak agak jauh. Betapa tangkasnya Ang Bun-long namun ia tetap jauh di bawah Tong Lam-hou yang ilmunya setingkat dengan Pak-kiong Liong sendiri itu.
Dan betapapun gelapnya malam, namun mata Tong Lam-hou adalah mata orang pegunungan yang sudah terbiasa dengan kegelapan yang bahkan jauh lebih gelap dari sekarang ini. Maka dengan tetap dapat diikutinya Ang Bun-long dari jarak puluhan langkah.
Ketika sudah agak jauh di luar pesanggrahan, tiba-tiba ada dua sosok bayangan meluncur dari belakang Ang-Bun-long dan langsung menghadap di depan perwira itu. Ang Bun-long terkesiap dan segera memasang kuda-kuda untuk bertempur, namun setelah ia dapat mengenali salah satu dari bayangan-bayangan yang menghadangnya itu, maka Ang Bun-long-pun membatalkan kembali sikap bertempurnya itu.
"Kau!" ia menyapa salah seorang bayangan itu.
"Ya, Kami sulit menghubungimu jika kau tidak keluar dari pasukanmu seperti malam ini," geram salah seorang bayangan itu dengan suara yang dingin membuat bulu kuduk berdiri. "Hampir saja kami mengira bahwa kau sengaja bersembunyi dalam pasukanmu supaya tidak dapat kami temui, sehingga kau berkesempatan untuk berkhianat kepada kami dengan cara menceritakan apapun yang kau ketahui kepada Pakkiong Liong."
Sementara itu, Tong Lam-hou telah mendekam di balik sebuah tanggul sawah yang terletak beberapa langkah dari ketiga orang yang cercakap-cakap itu. Ditajamkannya kupingnya dan dicobanya untuk menangkap percakapan mereka sebanyak-banyaknya.
"Tidak, aku tidak akan berkhianat kepada komplotan kalian. Bukan karena aku takut kepada kalian tapi karena aku memang harus memiliki kesempatan untuk merombak Pasukan Hui-liong-kun yang aku anggap sudah kehilangan tata-tertibnya sebagai prajurit, melainkan sekarang lebih mirip sekumpulan buaya darat yang liar saja. Untuk ini memerlukan dukungan Pakkiong An untuk mengangkatku ke kedudukan Panglima Hui-liong-kun. Itulah alasanku bergabung dengan kalian, bukan karena takut dibunuh seperti Boan Seng-hu atau Pi Yau im."
Kedua bayangan yang menghadang Ang Bun-long itu adalah Hehou Im dan Tong King-bun. Tong King-bun sudah hampir saja mendamprat kesombongan Ang Bun-long Itu, namun Hehou Im cepat-cepat mencegahnya dengan menggamit tangannya sambil membisiki telinganya itu, "Biarkan saja. Orang ini sebenarnya sangat takut kepada kita namun menutupinmya dengan memperlihatkan sikap sombong. Biarkan saja, yang penting ia berguna buat kita."
"He, kenapa kalian berbisik-bisik?"' bentak Ang Bun-long.
Hehou Im yang menjawab, "Sudahilah sikap garangmu yang dibaut-buat itu. Itu tidak berguna. Kita bicara saja langsung ke pokok persolannya."
Sebenarnya muka Ang Bun-long menjadi merah padam mukanya mendengar sindiran yang tepat mengenai isi hatinya itu. Untunglah gelapnya malam telah menyelubungi bumi sehingga perubahan wajah Ang Bun-long itu tak terlihat oleh orang lain. Namun perwira itupun akhirnya menyadari bahwa tidak ada gunanya bersikap dibuat-buat seperti itu, maka iapun duduk di pematang sawah kering yang tidak ditanami itu. Katanya, "Baik. Langsung ke pokok persoalan."
Hehou Im dan Tong King-bun juga segera duduk. Suara Hehou Im begitu dingin dan sama sekali berbeda dengan ketika "merayu" Ang Bun-long di kota Kun-beng dulu. "Besok, di tengah sungai kami akan turun tangan. Sekali pukul harus berhasil merebut tawanan. Tetapi harus diketahui beberapa hal."
"Hal-hal apa saja?"
"Berapa kapal yang akan kalian gunakan dalam penyeberangan besok?"
"Dua kapal besar, mungkin kapal layar. Le Tong-bun sudah mendapatnya."
"Bagus. Jumlah prajurit dan kekuatannya?"
"Kira-kira sembilan puluh lima orang prajurit yang cukup terlatih. Perwira-perwira yang setingkat dengan aku enam orang termasuk aku sendiri. Ditambah Pakkiong Liong yang kekuatannya dapat kalian perkirakan sendiri."
"Orang yang bernama Tong Lam-hou itu bagaimana?" tanya Hehou Im.
Sahut Ang Bun-long dengan nada sangat mengejek, "Anak gunung itu? Tidak perlu dihiraukan. Beberapa orang rekan-rekanku telah terpesona oleh cerita khayal yang diceritakan oleh Pakkiong Liong sendiri, katanya anak desa itu berilmu tinggi luar biasa. Namun aku tidak percaya. Pakkiong Liong sendiri tidak pernah mengijinkan anak desa itu untuk menunjukkan kepandaiannya, sebab begitu menunjukkan kepandaiannya maka akan terbongkarlah kedoknya bahwa ia cuma seorang anak desa yang tidak becus apa-apa. Barangkali mahir juga sejurus dua jurus kuntau kampungan, kalian boleh anggap saja dia sebagai prajurit biasa."
Di tempat persembunyiannya, kuping Tong Lam-hou menjadi panas mendengar kata-kata Ang Bun-long itu. Namun kemudian ditahankannya hatinya, dan sambil tertawa dalam hatinya, "Bagus. Besok pagi kalian akan menikmati sejurus dua jurus pukulan kuntau kampungan dari si anak desa ini."
Sementara itu, perkataan Ang Bun-long itu ternyata dipercaya benar-benar oleh Hehou Im dan Tong King-bun. Lalu Hehou Im bertanya lagi, "Kau tadi bilang ada dua kapal yang akan digunakan oleh mereka untuk menyeberangkan pasukan dan tawanan. Nah, kapal yang mana yang akan ditumpangi oleh tawanan? Supaya kami bisa memusatkan serangan kepada kapal itu."
"Itulah yang aku belum tahu. Seandainya besok pagi aku sempat, aku akan memberitahukan kepada kalian, namun entah sempat atau tidak? Kau punya jalan keluar untuk kesulitan ini?"
Sesaat Hehou Im saling bertukar pandangan dengan Tong King-bun. Mereka nampak berpikir keras sesaat lamanya, lalu kata Hehou Im sambil menepuk pahanya, "Aku menemukan. Besok kau harus berdiri di geladak kapal dan usahakan agar terlihat oleh kami. Jika kau menguap dan menutup mulutmu dengan tangan kanan, itu berarti tawanan berada di kapal yang kau tumpangi. Jika kau menguap dan menutup mulut dengan tangan kiri, berarti tawanan berada di kapal yang satunya lagi. Mudah bukan? Menguap dan menutupkan tangan ke mulut bukanlah pekerjaan yang mencurigakan."
Ang Bun-long merasa akal itu cukup bagus, maka ia segera menyatakan persetujuannya. Namun muncul masalah lain. "Kalau kedua tawanan itu dipisahkan di kedua kapal? Sebab tawanan itu ada dua orang?"
"Kau menguap sambil merentangkan kedua tanganmu seolah-olah sedang menggeliat setelah bangun tidur."
"Mau tidak mau Ang Bun-long tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, "Pantas si panglima tua itu memilih kau sebagai orang terdekatnya. Kiranya otakmu memang penuh dengan akal bulus."
Hehou Im tertawa juga. "Ah, ini hanya soal kecil, sedangkan mengenai masalah-masalah yang lebih penting saja aku seringkali diajak berunding oleh Ciangkun. Tapi kuucapkan terima kasih juga untuk pujianmu itu."
"Apakah aku boleh pergi sekaang? Aku sduah terlalu lama meninggalkan perkemahan, jika tidak segera kembali bisa dicurigai oleh Pakkiong Liong atau rekan-rekanku sendiri."
"Baik. Kembalilah. Jangan lupa apa yang telah kita bicarakan."
"Tidak akan lupa."
Sementaraitu, di tempat persembunyiannya, Tong Lam-hou timbul niatnya untuk meringkus ketiga orang itu. Ia sudah melihat sampai di mana kepandaian Ang Bun-long ketika berada di panggung di Kun-beng dulu, dan kedua bayangan itupun nampaknya hanya unggul sedikit dibandingkan Ang Bun-long. Tong Lam-hou sudah memperhitungkan bahwa biarpun ketiga orang itu mengeroyoknya, ia akan tetap lebih unggul, apalagi jika ia menyerang dengan mendadak. Tapi kemudian Tong Lam-hou membatalkan niatnya itu dengan banyak pertimbangan,
"Jika hanya tiga orang itu, aku sanggup menangkap mereka. Tetapi bagaimana jika di sekitar ini masih ada teman-teman mereka yang kepandaiannya lebih tinggi atau paling tidak setingkat dengan mereka? Aku tentu akan kewalahan kalau harus menghadapi empat atau lima orang seperti mereka, dan kemunculanku ini malahan akan seperti 'memukul rumput mengejutkan ular' saja. Ah, baiklah aku laporkan semuanya kepada A-liong. Ang Bun-long adalah anak buah A-liong, aku tidak punya wewenang apa-apa untuk bertindak terhadapnya."
Maka Tong Lam-hou membiarkan kasak-kusuk ketiga orang itu bubar dengan sendirinya, yang penting ia sudah berhasil mendengar isi pembicaraan mereka. Hanya saja Tong Lam-hou belum dapat menebak pihak manakah yang akan melakukan penghadangan di sungai itu? Sisa-sisa Kerajaan Beng ataukah orang-orang Hwe-liong-pang? Atau pihak lain lagi?
"Mudah-mudahan bukan orang-orang Hwe-liong-pang, sebenarnya aku masih merasa sungkan juga kalau harus bertempur melawan orang-orang yang dulu setia kepada ayahku," pikir Tong Lam-hou di dalam hatinya. "Tadi Ang Bun-long menyebut tentang seorang Panglima tua mungkin seorang bekas panglima di jaman Kerajaan Beng dulu yang sampai sekarang masih mengadakan perlawanan."
Sementara itu, ketiga orang yang berunding di tengah sawah itupun sudah bubar. Ang Bun-liong kelihatan berjalan kembali menuju ke arah lain. Setelah merasa aman, Tong Lam-hou juga segera kembali ke perkemahan dengan gerakan secepat kilat. Ketika ia kembali ke perkemahan, maka perkemahan itu sudah sepi meskipun malam belum larut benar, bahkan tengah malampun belum dilewati. Dengan ilmu meringankan tubuhnya maka ia berusaha mencapai Pakkiong Liong tanpa mau dilihat oleh prajurit-prajurit jaga, supaya tidak meninggalkan macam-macam kesan.
Tiba di depan kemah Pakkiong Liong, Tong Lam-hou segera berbisik lirih menggunakan tenaga dalamnya dengan harapan suaranya menyusup ke telinga Pakkiong Liong, "A-liong, ada urusan penting!"
Sebagai seorang berilmu tinggi, Pakkiong Liong-pun terbangun dari tidurnya oleh suara yang lirih seperti suara nyamuk namun tajam menembus telinganya itu. Ia juga dapat mengenali suara sahabatnya itu. Ia tahu jika bukan urusan yang penting benar-benar, tidak nanti sahabatnya itu membangunkannya malam-malam seperti itu.
Wajah Tong Lam-hou agak tenang mendengar itu, ia pun lalu mengusap keringatnya, sementara Pakkiong Liong dengan heran melihat beberapa helai rumput kering mengotori pakaian temannya itu. Juga tanah berlumpur.
"Katakan, A-hou. Dengan suara perlahan."
"Besok, pada saat kita menyeberang sungai Yang-ce-kiang, akan ada pihak tertentu yang berusaha merebut tawanan-tawanan dari pihak kita. Namun aku tidak tahu pihak manakah itu."
Maka Tong Lam-hou pun segera menceritakan semua yang dilihatnya dan didengarkannya, dan Pakkiong Liong mendengarkannya dengan tegang, dengan wajah yang berkerut-kerut. Setelah selesai mendengarkan penuturan Tong Lam-hou, Pakkiong Liong mengepalkan tangannya dengan geram,
"Sungguh gila si Ang Bun-long itu. Tidak kuduga ia akan tersesat sejauh itu dengan menjual keterangan kepada pihak pemberontak...."
"Kau yakin bahwa kedua orang yang ditemui oleh Ang Bun-long itu adalah pihak pemberontak?"
"Kalau bukan sisa-sisa dinasti Beng, siapa yang sudi bersusah-payah untuk membebaskan Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong? Lagi pula, ketiga orang yang berkasak-kusuk itu menyebut-nyebut tentang 'panglima tua' dan ‘ciangkun' segala. Nah, pihak mana lagi kalau bukan sisa-sisa si Cong-oeng?"
Sesaat memang Pakkiong Liong amat marah, apalagi ketika mendengar bahwa salah seorang perwiranya ada yang telah berani berhubungan dengan pihak pemberontak. Namun sebagai Panglima yang tanggung-jawabnya menyangkut seluruh pasukannya, ia tidak bisa bertindak gegabah dalam menghadapi masalah itu. Setelah dipikir sementara waktu.
Maka ia tidak akan menangkap Ang Bun-long dulu, hanya akan diawasi gerak-geriknya dan kalau perlu dijadikan umpan-balik ke pihak musuh. Sebagai seorang panglima yang cerdik dan berpengalaman, ia sudah punya rencana tersendiri untuk menghadapi keadaan gawat di depan hidungnya itu.
"A-hou, jika kau nanti bertemu dengan Ang Bun-long, bersikaplah seolah-olah kau tidak tahu apa-apa. Dan aku ada permohonan kepadamu."
"Perintahkan saja, Ciangkun!"
"Hus, kau belum menjadi prajurit dan tidak usah memanggilku dengan sebutan itu. Ini permintaan dari sahabat kepada sahabat."
"Nah, katakan saja," kata Tong Lam-hou sambil tertawa.
"Besok kau bangun pagi-pagi benar, mendahului seluruh pasukan ini untuk melihat-lihat di jalan yang akan kita lalui. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan tolong beritahukan kepadaku."
"Baik. Ini pekerjaan ringan."
"Biarpun ringan, malam ini kau harus beristirahat sebaik-baiknya."
"Apakah Ang Bun-long tidak perlu kau awasi?"
"Tidak usah, malam ini biarkan dia berbuat sesukanya. Bukankah mereka tidak mungkin lagi mengubah rencana mereka, dan rencana itu juga yang sudah kita ketahui?"
"Ya, betul juga. Nah, aku akan tidur dulu." "Keluarlah dari kemah ini dengan sikap biasa, seolah-olah kita baru saja bermain catur seperti biasanya."
"Aku mengerti...!" Malam itu Tong Lam-hou merasa puas. Ia merasa keberadaannya di tengah-tengah pasukan itu ada artinya juga, bukan sekedar menghabiskan ransum seperti yang pernah disindirkan oleh Ang Bun-long kepadanya. Dan tugasnya esok pagi, mendahului seluruh pasukan untuk "melihat-lihat jalan" akan diterimanya dengan penuh semangat. Berbakti untuk Negara dan Kaisar tidak perlu harus menunggu datangnya pakaian seragam lebih dulu, demikian pikirnya.
Keesokan harinya, ketika ayam berkokok, Tong Lam-hou sudah bangun lebih dulu. Dibenahi dirinya, diselipkannya sebatang pisau belati di pinggangnya dan ditutupinya dengan bajunya. Ko Lung-to yang tidur sekemah dengan Tong Lam-hou itu menjadi heran ketka melihat Tong Lam-hou sudah bersap-siap seolah-olah hendak berangkat. Sambil membalikkan tubuhnya, Ko Lung-hou berkata dengan nada mengantuk, "Masih terlalu pagi, kau hendak ke mana?"
"Tidak ke mana-mana, hanya sekedar bersiap-siap lebih awal saja."
Ku Long-to tidak peduli lagi, lebih nyaman baginya untuk meneruskan tidurnya sebelum terompet dibunyikan nanti. Dengan langkah ringan agar tidak menggangu kenyenyakan tidur rekan sekemahnya, Tong Lam-hou meninggalkan kemahnya. Ia ragu-ragu apakah hendak menemui Pakkiong Liong lebih dulu atau tidak, namun, akhirnya diputuskannya untuk langsung pergi meninggalkan perkemahan itu tanpa menemui Pakkiong Liong lagi. Toh Pakkiong Liong sudah tahu kemana perginya Ia.
Dengan gerakan yang cepat tanpa diketahui oleh para penjaga, Tong Lam-hou meninggalkan perkemahan itu dan menuju ke arah utara. Pagi masih begitu dingin dan gelap, namun di langit timur sudah nampak garis-garis semburat merah yang menandakan bahwa fajar akan tiba tidak lama lagi.
Orang-orang desa biasanya bangun pagi-pagi, maka ketika Tong Lam-hou mulai melangkah menuju ke arah tepi sungai, jalanan sudah menjadi ramai. Orang-orang desa hilir mudik ada yang membawa pikulan, membawa alat-alat pertanian atau membawa jala untuk menangkap ikan.
Jika dari perkemahan prajurit Hui liong-kun hendak menuju ke dermaga penyeberangan, jaraknya ada kira-kira tujuh atau delapan li, dan sepanjang jalan itu ada beberapa desa yang penduduknya sebagian besar bermata-pencaharian sebagai nelayan, namun ada juga sebagian kecil yang bertani atau berladang. Selama menyusuri jalan menuju ke dermaga itu, Tong Lam-hou mencoba memperhatikan apakah kira-kira ada yang mencurigakan atau tidak. Dan akhirnya ia menemukannya.
Ketika ia hampir sampai ke tepi sungai, tiba-tiba dilihatnya ada sekelompok orang yang tengah berjalan di depannya, juga ke arah tepi sungai. Jika tadi yang dilihat Tong Lam-hou hanyalah para petani atau nelayan yang bertampang dan bersikap sederhana, maka kali ini dijumpainya sekelompok orang dengan pakaian dan tingkah laku yang lain. Sekelompok orang itu semuanya berpakaian ringkas dan menyandang senjata secara terang-terangan, wajah mereka juga nampak garang. Jelaslah bahwa mereka bukan petani atau nelayan.
Sesaat Tong Lam-hou menduga-duga, mungkinkah mereka termasuk orang-orang yang akan merebut tawanan atau tidak? Ketika Tong Lam-hou menengadah ke langit, dilihatnya masih agak gelap, ia lalu memperhitungkan bahwa waktunya masih cukup untuk berbuat sesuatu. Ternyata begitu bersemangatnya Tong Lam-hou sehingga ia tidak bermaksud untuk hanya "melihat-lihat jalan di depan" melainkan juga sekaligus harus membersihkannya dari segala rintangan.
Bukannya mencari muka kepada Pakkiong Liong, melainkan kebenciannya kepada sisa-sisa dinasti Beng begitu merasuk jiwanya sejak peristiwa pembantaian di Jit-siong-tin itu, sehingga bahkan andaiakata dicegah oleh Pakkiong Liong-pun ia tetap akan menghajar sisa-sisa dinasti Beng itu.
Maka diam-diam Tong Lam-hou mengikuti kelompok orang-orang bersenjata itu. Semakin dekat ke tepian, semakin banyak orang-orang semacam itu, sehingga Tong Lam-hou menyimpulkan bahwa sekian banyak orang bersenjata berkumpul di tempat itu tentu bukan suatu kebetulan saja. Apalagi matanya yang tajam sempat melihat bagaimana antara orang-orang bersenjata itu saling bertukar isyarat setiap kali mereka saling berpapasan.
Akhirnya Tong Lam-hou sampai pada sebuah kesimpulan yang hampir pasti bahwa kelompok kelompok orang-orang bersenjata itu adalah bagian dari kekuatan yang akan mencoba merampas tawanan di tengah sungai nanti.
"Masih ada waktu, aku harus bertindak. Kalau tidak dapat membersihkan mereka, paling tidak juga harus bisa mengurang sebagian dari kekuatan mereka, atau menangkap pemimpin-pemimpinnya sekalian supaya gerakan mereka menjadi kacau," pikirnya.
Maka ketika dilihatnya ada lima orang bersenjata yang berbelok dari jalan besar dan menyusuri sebuah jalan kecil di sepanjang tepian sungai, Tong Lam-hou juga berbelok mengikutinya. Tanpa membuang waktu ia segera melompat melewati kepala kelima orang itu dan menghadang di depannya. Bentaknya, "Apakah kalian adalah gerombolan liar yang hendak menghadang kapal pembawa tawanan?!"
Kelima orang itu nampak terkejut, namun karena tergesa-gesa maka merekapun tidak ingin banyak bicara lagi. Hampir serempak mereka meloncat bertebaran mengepung Tong Lam-hou, dengan senjata-senjata terhunus.
"Orang ini dapat mengganggu pekerjaan kita, cincang tanpa ampuni!” kata salah seorang dari mereka yang bersenjata sebuah golok. Agaknya ia merupakan pemimpin dari kelompok kecil itu.
Jika kelima orang itu terburu-buru, maka Tong Lam-hou sendiri juga terburu-buru ingin secepatnya mengurangi jumlah orang-orang itu, maka nasib kelima orang itu agaknya benar-benar sial. Baru saja mereka berloncatan dengan senjata terayun maka Tong Lam-hou juga telah bergerak jauh lebih cepat dari mereka. Seorang yang menyerang dari depan segera roboh pingsan dengan gigi rontok, seorang lagi yang menyerang dari samping juga terpental pingsan karena perutnya terhantam tumit Teng Lam-hou.
Tentu saja orang-orang itu terkejut bukan main. Dalam satu gebrakan saja teman-teman mereka sudah berkurang dua orang. Orang yang bersenjata golok besar itu segera berteriak, "Lawan berbahaya! Lari!"
Namun gerak mulutnya masih kalah cepat dengan gerak kaki dan tangan Tong Lam-hou. Pada saat ia mengucapkan anjurannya untuk lari itu maka dua orang lagi sudah roboh terkapar, sehingga yang harus lari itu agaknya adalah dirinya sendiri. Cepat ia membalik badan dan mengayun kaki secepat-cepatnya meninggalkan keempat temannya yang bergeletakan itu.
Namun baru saja beberapa langkah tiba-tiba dirasakannya tengkuknya lelah dicengekram oleh sebuah tangan maha kuat yang membuat seluruh kekuatannya lenyap sama sekali. Tubuhnya terangkat dan terbanting mentah-mentah, meskipun tidak pingsan namun matanya berkunang-kunang dan punggungnya yang membentur tanah itu terasa sangat sakit.
Di keremangan pagi, dilihatnya orang yang menangkapnya dan membantunya itu cuma seorang anak muda yang berpakaian sederhana, tampangnya juga tidak luar biasa, kecuali sepasang matanya yang mencorong tajam seperti seekor harimau yang sedang marah itu. Sambil berdiri bertolak-pinggang, Tong Lam-hou berkata kepada tangkapannya itu,
"Jawab semua pertanyaanku dengan betul, sebab jika aku kehabisan kesabaran kau akan menjadi setan penasaran hanya dengan sentuhan jari-jariku. Nah, di mana pemimpin-pemimpin kalian?"
Timbul niat orang itu untuk menipu Tong Lam-hou saja, namun perasaan Tong Lam-hou yang tajam itu agaknya dapat menangkap isi hati orang itu, sehingga Tong Lam-hou tertawa dingin, "Kau boleh menipuku. Namun jika aku tertipu, maka aku dengan cepat akan kembali ke tempat ini untuk menggorok leher kalian. Kau percaya tidak bahwa aku bisa berbuat demikian?"
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan ketakutan. Ia sudah melihat sendiri bagaimana lihainya orang ini, maka ia tidak akan bermain-main dengan nyawanya sendiri. Sahutnya cepat, "Pemimpin kami berada kira-kira lima li di arah hulu sungai ini."
"Siapa pemimpin kalian? Apakah sisa-sisa dinasti Beng?"
"Bukan. Pemimpin kami ada dua orang, yaitu Tio Hong-bwe yang berjulukkan Hek-liong (si Naga Hitam) dan Song Hian yang berjulukan Tiat-pwe-si-ang (si Gajah Berpunggung Besi)," sahut orang itu sambil melirik ke wajah Tong Lam-hou, mengharap wajah anak muda itu menjadi ketakutan setelah mendengar nama kedua bajak sungai Yang-ce-kiang yang ditakuti itu.
Tapi wajah anakmuda itu tenang-tenang saja, malahan sambil menggosok-gosok tinjunya ia berkata, "Hemm, jika nanti bertemu denganku, maka si Naga Hitam akan berubah menjadi si Cacing Sungai, dan si Gajah Berpunggung Besi akan berubah jadi si Punggung Kura-kura. Nah, kalian berlima tidur-tiduran dulu di tempat ini, selama aku membereskan pemimpin-pemimpinmu itu."
Lalu jari-jari tangan Tong Lam-hou-bergerak secepat kilat untuk menotok pingsan orang itu. Totokan ajaran Ang Hoan yang tidak bisa dibuka oleh siapapun kecuali oleh penotoknya sendiri atau yang sealiran dengannya. Lalu tubuh orang itu dilemparkannya ke dalam rumpun gelagah air yang tumbuh lebat di tepian sungai itu. Keempat orang lainnyapun mengalami nasib yang sama. Tong Lam-hou tertawa dan berkata,
"Nanti setelah sore hari, totokanku itu akan punah dengan sendirinya, nah, saat itu kalian boleh bangun dari tempat tidur kalian yang sejuk dan empuk itu."
Kemudian dilempar-lemparkannya senjata kelima orang itu ke tengah sungai, lalu dengan tergesa-gesa Tong Lam-hou meninggalkan tempat itu, menuju ke arah hulu sungai untuk mencoba meringkus si pemimpin-pemimpin bajak sungai Yang-ce-kiang yang sebenarnya bekerja hanya karena di upah oleh seorang Panglima di Ibukota Kerajaan yang iri akan keberhasilan Pakkiong Liong itu.
Di sepanjang jalan, Tong Lam-hou tidak laginmenggubris orang-orang bersenjata yang terkelompok-kelompok itu, sebab ia berpendapat asal bisa meringkus pemimpin mereka, maka anak-buahnyapun akan berantakan. Ia menyusuri sungai itu semakin ke hulu semakin sepi. Namun di satu tempat justru nampak ada banyak orang berkumpul, jumlahnya hampir seratus orang. Tong Lam-hou cepat-cepat bersembunyi dan merayap ke atas sebuah gundukan tanah yang tinggi supaya lebih mudah memperhatikan kelompok orang orang itu.
Tempat berkumpulnya orang-orang itu ternyata adalah sebuah tepian sungai yang agak berkelok sehingga tidak mudah terlihat dari kejauhan, selain itu ada pula tumbuh-tumbuhan gelagah air yang tingginya hampir setinggi manusia dewasa, sehingga semakin menyembunyikan letak tempat itu. Di situ juga tersedia puluhan buah perahu-perahu kecil berbadan sempit berujung runcing, bentuk perahu yang dapat meluncur di air dengan cepat.
Sebagian dari dari orang-orang itu nampak berpakaian ringkas dan bertelanjang dada, mereka membawa pahat dan palu, jelaslah bahwa mereka adalah ahli-ahli menyelam yang nantinya harus berusaha untuk melubangi kapal Pakkiong Liong dan pasukannya.
Melihat persiapan dan jumlah orang orang itu, diam-diam Tong Lam-hou membatin, "Hebat! Ini benar-benar tidak dapat diabaikan. Jumlah orang-orang yang di sini jika ditambah dengan orang orang yang berpencaran dalam kelompok-kelompok kecil tadi, jumlahnya akan melebihi prajurit-prajurit Hui-liong-kun. Jika pertempuran dilakukan di darat, jumlah musuh yang lebih banyakpun tidak ditakuti oleh Hui-liong-kun, tapi kalau harus bertempur di sungai, jelaslah mereka adalah kalah dari bajak-bajak sungai ini."
Berpikir sampai sekian, mendidihlah darah Tong Lam-hou. Banyak di antara prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu sudah menjadi sahabatnya. Kini apakah ia akan berpeluk tangan saja melihat sahabat-sahabatnya dibantai oleh bajak-bajak Yang-ce-kiang ini dan ditenggelamkan ke dasar sungai? Tong Lam hou segera menggulung lengan bajunya dan mengencangkan ikat pinggangnya, siap untuk turun tangan.
"Akan aku obrak-abrik mereka!" kata Tong Lam-hou dalam hati. Dilihatnya di antara kerumunan bajak-bajak sungai yang sedang bersiap siap untuk turun ke sungai itu, ada empat orang yang mengelompok agak terpisah dari bajak-bajak lainnya. Keempat orang itu berbicara dengan muka yang berseri-seri seakan-akan kemenangan sudah pasti di tangan mereka.
Keempat-empatnya bertubuh kokoh dan bermata tajam, nampaknya berilmu tinggi, namun Tong Lam-hou tidak tahu yang manakah yang menjadi pemimpin gerombolan bajak ini. Akhirnya Tong Lam-hou tidak peduli. "Aku tidak boleh menebak-nebak terus dan membuang waktu. Yang penting sergap saja dulu," pikirnya. Maka tubuh Tong Lam-hou pun meluncur dari atas gundukan tanah tinggi itu seperti seekor rajawali yang menyambar dari angkasa, lansung menyerang ke arah empat orang itu.
Keempat orang itu memang bukan lain adalah pentolan-pentolan dari gerakan pencegatan untuk merebut tawanan dari tangan Pakkiong Liong itu. Mereka adalah Hehou Im, perwira dari pasukan Ui-ih-kun di ibukota yang dipimpin oleh Pakkiong An yang merupakan paman dari Pakkiong Liong sendiri. Tapi kali itu Hehou Im tidak mengenakan seragam perwiranya, ia hanya berpakaian ringkas seperti ahli silat yang akan bertempur. Sedang yang lain-lainnya adalah Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (si Hantu Malam).
Dan dua sejoli pimpinan gerombolan bajak di sungai Yang-ce-kiang, yaitu Hek-liong Tio Hong-bwe dan Tiat-pwe-siang Song Hian. Keempat-empatnya memang merupakan bekas teman-teman baik sejak puluhan tahun yang lalu, maka kini merekapun bergembira karena berkumpul bersama, apalagi karena mereka sudah dijanjikan akan mendapat hadiah besar dari Pakkiong An apabila pekerjaan mereka kali ini berhasil.
Baru saja keempat orang itu asyik membicarakan "pembagian harta" yang bakal mereka terima, tahu-tahu sesosok bayangan telah meluncur datang. Mereka terkejut, namun sebagai orang-orang yang berilmu tinggi mereka sempat menyelamatkan diri dengan celanya masing-masing. Ada yang bergulingan, ada yang meloncat, ada pula yang menjatuhkan diri ke tanah.
Penyerang yang bukan lain dari Tong Lam-hou itu terkesiap ketika melihat keempat orang itu ternyata dapat menghindar semuanya. Sadarlah dia bahwa ia telah salah perhitungan, meringkus keempat orang itu ternyata tidak semudah yang diduganya, berbeda dengan orang-orang yang dihajarnya dekat dermaga tadi....
"Tentu saja berhasil."
"Tapi tadi dari sini kulihat dia memegang bajumu dan menggoncang-goncangkan bajumu. Ada apa?"
"Ia hanya agak panik sebentar ketika aku menceritakan sebab musabab kematian Boan Seng-hu dan Pi Yau-im. Namun menjadi tenang kembali. Betapapun lehernya sudah kita kalungi jerat, bisa apa lagi dia?"
Si pengemis dan si pemberi sedekah sama-sama tertawa terkekeh-kekeh. Lalu Hehou Im melangkah pergi, dari jauh si pengemis itupun berubah menjadi memelaskan hati, ia mengacungkan tempurungnya kepada setiap orang yang lewat dengan rintihan yang menyayat hati, "Sedekah, tuan...kasihan orang miskin... sehari belum makan..."
Dia adalah rekan sekomplotan Hehou Im. Namanya Tong King-bun dan julukannya adalah Say-ya-jat (si Hantu Malam). Biasanya ia tidak mengemis uang receh, melainkan "mengemis" seluruh harta benda pemilik rumah, dan jika pemilik rumah keberatan maka ia malah mengambil pula beberapa batok kepala.
Demikianlah sebuah komplotan yang rapi dan sangat keji telah membayangi Pakkiong Liong dan pasukannya. Musuh bukan hanya dari depan, tapi juga dari belakang. Musuh dari depan menyerang dengan berteriak dan dengan muka beringas, namun musuh dari belakang menikam jantung sambil tersenyum dengan manisnya.
* * * * * * *
SETELAH Pakkiong Liong merasa bahwa pasukannya cukup beristirahat di kota Kun-beng, maka pada pagi yang cerah itupun pasukannya sudah siap meninggalkan kota dengan membawa tawanan. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang ikut Pakkiong Liong ketika dulu meninggalkan Pak-khia ada lebih dari duaratus orang, namun setelah sebagian gugur karena bertempur dengan pengikut-pengikut Pangeran Cu Hin-yang dan sebagian lagi telah diperintahkan untuk mendahului kembali ke Pak-khia.
Maka yang ada di kota Kun-beng. itu tinggal kira-kira seratus orang. Namun seratus orang itu akan merupakan rombongan yang cukup tangguh, sebab di dalamnya terdapat Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou, seperti juga perwira-perwira lain yang tangguh : Ha To-ji, Le Tong-bun, Han Yong-kim, Tokko Seng, Ko Lung-to dan Ang Bun-long, meskipun yang disebut terakhir ini mempunyai maksud tersembunyi dalam perjalanan kali ini.
Mereka semua telah berbaris di atas punggung kudanya masing-masing, dengan seragam mereka yang serba hitam, lain dengan pasukan-pasukan lainnya, kelihatan begitu angker dan penuh perbawa. Bendera-bendeha telah dikibarkan. Kali ini Pakkiong Liong memang bermaksud membawa tawanan-tawanannya ke Ibukota Kerajaan dengan berbaris secara terang-terangan seperti itu, untuk memperlihatkan kemegahan Pasukan Naga Terbang.
Kedua tawanan itu sudah dimasukkan dalam kereta kerangkeng yang masing-masing ditarik dua ekor kuda, dengan demikian perjalanannya agak cepat. Panglima Kota Kun-beng Song Jin-ho juga sudah siap di lapangan itu untuk mengucapkan selamat jalan. Agaknya ia tidak mau kalah mentereng dari Pasukan Naga Terbang, sehingga sebagian besar dari pasukannya telah digelar di lapangan itu dengan seragamnya yang berwarna merah dan biru, masing-masing berbaris menurut regunya masing-masing di bawah benderanya sendiri-sendiri.
Ujung tombak dan pedang yang mencuat ke angkasa bagaikan daun ilalang rapatnya. Dinasti Manchu memang sedang kuat-kuatnya saat itu, jumlah tentaranya amat banyak dan terlatih baik, sehingga negeri-negeri tetangga seperti Aannam, Campa, Kamboja, Siam dan Birma-pun sering mengirimkan duta-duta persahabatan dengan tetangga raksasa mereka di sebelah Utara itu. Orang-orang bule yang berdatangan dari barat ke benua timur inipun tidak berani sembarangan terhadap pemerintah Manchu.
Pakkiong Liong berkuda paling depan didamping oleh Song Jin-ho, lalu perwira-perwira dari kedua belah pihak berkuda di belakang mereka. Demikianlah barisan itu mulai bergerak. Sampai di luar kota, Song Jin-ho berhenti mengantarkan, dan ia saling memberi hormat dengan Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya. Lalu mereka masuk kembali ke kota Kun-beng, sementara Pakkiong Liong dengan pasukannya dan kedua tawanan pentingnya itupun melanjutkan perjalanan mereka.
Ketika barisan itu menyusuri jalan-jalan sempit di pegunungan daerah Hun-lam, maka dari atas kelihatan seperti semut-semut yang berbaris, karena pakaian seragam prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang serba hitam itu. Tong Lam-hou tidak mengenakan seragam seperti itu karena ia memang belum diterima sebagai prajurit, bahkan ujian pendadaran pun belum dilakukannya. Namun ia merasa tidak ada batas antara dirinya dengan seluruh anggauta pasukan itu, dari Pakkiong Liong sampai kepada prajurit yang paling rendah yang mengurus perbekalan.
Kegembiraannya bahwa ia akan melakukan perjalanan yang amat jauh ke utara, menjelajahi daearah-daerah yang belum pernah dilihatnya, telah membuat Tong Lam hou sangat gembira. Kadang-kadang ia lupa bahwa perjalanan itu bukan perjalanan tamasya melainkan perjalanan yang penuh dengan intaian maut di sepanjang jalan.
Sementara itu, jauh di belakang rombongan itu ada dua orang berkuda yang terus mengikuti rombongan itu sejak keluar dari kota Kun-beng. Dua orang laki-laki berkuda itu sama-sama memakai pakaian ringkas seperti musafir yang di perjalanan. Bahkan mereka juga membawa senjata yang mereka gantungkan di pelana kuda mereka. Jika rombongan berhenti, mereka berhenti juga, kalau rombongan meneruskan perjalanan maka merekapun mengikuti dari kejauhan, namun tetap menjaga jarak agar tidak dicurigai oleh pasukan itu.
Kedua orang itu bukan lain adalah San-sin-kun Hehou Im dan Say-ya-jat Tong King-bun. Yang satu berjulukan Si Setan Ganas, lainnya adalah Si Hantu Malam, keduanya ‘memang cocok menjadi teman seperjalanan.’
"Orang-orang kita yang di sebelah depan harus segera diberitahu agar mereka mempersiapkan diri," kata Tong King-bun yang kemarin menyamar sebagai pengemis di kota Kun-beng.
''Tidak usah terburu-buru," kata Hehou Im yang tidak lupa membawa pipa cangklong kesayangannya. "Jarak dari Kun-beng ke Tiong-keng hampir seribu mil lebih. Dan bukankah menurut rencana kita, maka gebrakan yang sungguh-sungguh baru akan dilakukan di kota Tiong-keng, bahkan di tengah sungai ketika pasukan itu menyeberang."
"Kenapa harus menunggu di Tiong-keng dan harus di tengah sungai pula?"
"Tak dapatkah kau sedikit menggunakan otakmu? Semua ini sudah diatur oleh Pakkiong Ciangkun sendiri. Ada dua alasan kenapa pencegatan dilakukan di tempat itu. Pertama, perwira-perwira dan bahkan Panglima di kota Tiong-keng sudah berada di genggaman tangan Pakkiong Ciangkun. Ia tidak akan membantu Pakkiong Liong, atau setidak-tidaknya ia akan bersikap tidak memihak dan berpura-pura tidak tahu saja.
"Kedua, jika terjadi pertempuran di tengah sungai daya tempur Pasukan Hui-liong-kun itu paj-ing tidak akan susut separuhnya. Mereka bukan pasukan air. Mereka boleh ampuh dalam pertempuran di darat, namun di -dalam air, mereka akan kita kalahkan dan kita tenggelamkan ke casar sungai Yang-ce-kiang. Jadi memudahkan orang-orang kita."
"Apakah orang-orang yang akan kita pakai itu cukup mahir bertarung di sungai?"
"Tidak perlu diragukan lagi. Mereka adalah bajak-bajak sungai di bawah pimpinan dua orang teman lama kita, Tio Hong-bwe dan Song Hian. Bertahun-tahun mereka hidup sebagai bajak di sungai itu, keahlian laskar mereka dalam perkelahian air tidak diragukan lagi"
Say-ya-jat Tong King-bun hampir melonjak ketika mendengar kedua nama itu. Teriaknya, "He, jadi kedua bangsat itu belum mampus dalam pertempuran besar Tiau-im-hong dulu?"
"Belum. Mereka dapat lolos dari Tiau-im-hong dan kemudian menjadi bajak di sungai Yang-ce-kiang untuk melanjutkan hidupnya. Akulah yang memperkenalkan mereka kepada Pakkiong Ciangkun sehingga mereka bersedia bekerja sama dengan Pakkiong Ciangkun dengan beberapa syarat."
"Syarat apa?"
"Jika kelak Pakkiong Ciangkun sudah menjadi seroang yang besar kekuasaannya di Kotaraja Kerajaan, maka kedua bajak sungai itu akan di angkat sebagai perwira-perwira pengawas perairan di wilayah mereka sendiri."
"Gila! Manusia-manusia kasar itu akan menjadi perwira-perwira kerajaan? Entah bagaimana nanti tampang mereka setelah beralih pekerjaan dari bajak menjadi perwira kerajaan?" kata Tong King-bun sambil membelalakkan matanya setengan tak percaya. Namun kemudian ia tertawa dan berkata, "Tetapi persetan dengan perjanjian antara Pakkiong An dengan kedua bajak itu. Agaknya akan menyenangkan juga jika aku bisa bertemu dengan teman-teman lama kita itu."
Baik Hehou Im maupun Tong King-bun menyebut kedua bajak sungai itu sebagai teman lama, sebab sebenarnyalah memang demikian. Keempat orang itu sama-sama bekas orang Hwe-liog-pang, namun orang Hwe-liong-pang yang berpihak kepada Te-liong Hiang-cu yang berkhianat kepada Ketuanya sendiri. Dengan demikian mereka merupakan musuh-musuh dari orang-orang Hwe-liong-pang seperti Ma Hiong, Lu Siong dan Oh Yun-kim yang setia kepada Ketua.
Dan yang disebut "pertempuran di Tiau-im-hong" itu adalah pertempuran antara Hwe-liong-pang melawan para pendekar yang salah paham terhadap Hwe-liong-pang, namun kemudian salah paham dapat diatasi dan Hwe-liong-pang malahan bergabung dengan para pendekar untuk bersama-sama melawan Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya yang bersekutu dengan Tentara Kerajaan Beng. Pertempuran itu benar-benar telah memecah-belah Hwe-liong-pang.
Sebagian memihak ketua yang syah, sebagian memihak Te-liong Hiang-cu yang berkhianat, sehingga akhirnya orang-orang Hwe-liong-pang tercerai-berai. Yang masih setia kepada cita-cita luhur Hwe-liong-pang untuk membela rakyat kecil dari tindasan; pemerintah Kerajaan Beng, telah menggabungkan diri dengan laskar pemberontak Li Cu-seng untuk menumbangkan Kerajaan Beng.
Sedangkan yang kehilangan pegangan, telah berubah menjadi penjahat-penjahat seperti Tio Hong-bwe dan Song Hian, atau bahkan menjadi tentara Manchu seperti Hehou Im. Itulah sebabnya Tong king-bun tadi menyebut gembira akan bertemu "teman lama", sebab baik Tong King-bun maupun si bajak sungai Tio Hong-bwe dan Song Hian adalah sama-sama bekas pengikutnya Te-liong Hiang-cu yang berkhianat kepada Hwe-liong-pang itu.
Hehou Im juga tertawa. ''Ya, dan aku juga masih ingin bertemu dengan beberapa teman lama kita yang lainnya, seperti Liong Pek-ji, Seng Cu-bok dan lainnya. Sayang aku akan mendapat kesulitan untuk menemukan di mana alamat mereka, bahkan mati hidup merekapun aku tidak tahu. Jika mereka dapat diketemukan dan bergabung dengan kita kembali, kita akan menjadi kuat kembali, dan cita-cita Pakkiong An untuk menguasai Kerajaan agaknya akan dapat kita dukung sehingga kelak kita menjadi orang-orang terhormat, bukan orang-orang yang berkeliaran seperti kau ini.”
Tong King-bun menyeringai, "Ya... ya... orang-orang terhormat yang memiliki gedung besar, harta berlimpah, dan semua orang memberi hormat kepada kita. Tio Hong-bwe dan Song Hian itu akan menjadi Panglima-panglima di wilayah perairan, kau sendiri mungkin kelak menjadi seorang Panglima Besar di Pak-khia, lalu aku menjadi apa?"
"Kau sendiri ingin jadi apa?"
"Aku tidak ingin menjadi Panglima. Aku ingin jadi Hou-po-siang-si (Menteri Keuangan) saja."
"Uh, Kerajaan bisa bangkrut kalau punya Menteri Keuangan macam kau."
Keduanya pun tertawa-tawa, dan percakapan merekapun tidak terbatas, sebab keduanya adalah anggauta komplotan yang sama dan tidak perlu saling merahasiakan keadaan masing-masing. Tiba-tba Tong King-bun bertanya, "Eh, tetapi penghadangannya di tengah sungai di dekat kota Tiong-keng itu apakah tidak berbahaya?"
"Berbahaya apa? Rencana sudah rapi."
"Kau lupa? Bukankah di bagian sungai itu sering dilewati kapal-kapal armada Peng-se-ong Bu San-kui?"
"Tidak. Peng-se-ong Bun San-kui tidak akan berani melewati kota Tiong-keng ke-timur. Daerah wewenangnya hanyalah dari Tiong-keng ke barat, tahu benar akan hal itu."
"Kalau begitu, rencana benar-benar rapi. Kedua tawanan itu pasti akan segera berada di tangan kita."
Demikianlah, pakkiong Liong sama sekali belum menyadari bahwa pasukannya telah dibayangi oleh sebuah kekuasan tersembunyi yang rapi, siap menikam punggungnya dari belakang. Bahkan tidak diketahuinya bahwa salah satu perwiranya sudah menjadi salah satu mata rantai dari jaringan kekuasaan tersembunyi itu.
Selama dalam perjalanan, Ang Bun-long menunjukkan sikap yang baik, sehingga tidak menimbulkan masalah apa-apa. Niat Pakkiong Liong untuk memberi hukuman atau menegur perwiranya itu pun ditunda sementara waktu, ia tidak ingin perwiranya itu menjadi patah semangat, padahal tenaganya masih sangat dibutuhkan dalam perjalanan yang panjang itu.
Namun Pakkiong Liong tidak tahu bahwa sebenarnya hati Ang Bun-long sebenarnya betul-betul sudah dirasuki racun kedengkian dan kebencian terhadap "si anak desa yang tidak tahu diri" Tong Lam-hou itu. Ia benar-benar tidak rela melihat hubungan Tong Lam-hou yang demikian akrabnya dengan Pakkiong Liong. Semua orang memanggil Pakkiong Liong dengan sebutan "Ciang-kun" sambil menghormat, tetapi Tong Lam-hou memanggilnya hanya sebagai "A-liong" dan yang lebih menjengkelkan Ang Bun-long adalah ketika melihat bahwa Pakkiong Liong agaknya tidak keberatan dengan sebutan yang "tidak beradab" tersebut.
Akhirnya kebencian Ang Bun-long juga tertuju kepada Pakkiong Liong meskipun ia tidak berani menunjukkannya secara terang-terangan. Lalu iapun membenci semua rekan-rekan perwiranya yang bersikap akrab pula kepada Tong Lam-hou, membenci semua prajurit-prajurit yang sering bersenda gurau dengan Tong Lam-hou. Ia membenci seluruh Pasukan Naga Terbang! Dulu bangga sebagai angauta pasukan itu sekarang benci.
"Pasukan yang liar," kutuk Ang Bun-long dalam hatinya. "Dalam pasukan liar ini garis-garis antara bawahan dan atasan tidak tegas. Seorang perwira berhak menyuruh prajurit bawahannya dengan membentak atau menendangnya, tetapi dalam pasukan ini semuanya kacau, perwira dan prajurit bercakap-cakap tanpa batas seakan-akan teman sederajat saja. Gila!"
Lalu diliriknya Pakkiong Liong yang berkuda paling depan, dan tampaknya tengah bercakap-cakap dengan Ha To-ji itu. Geram Ang Bun-long dalam hatinya, "Dan Pakkiong Liong itupun seorang perwira gila, tidak bisa menghargai derajat dirinya sendiri. Kenapa ia memanggil bawahannya dengan sebutan 'saudara' atau 'temanku'? Huh, merendahkan diri sendiri saja. Bukankah sebenarnya ia berhak untuk berteriak memanggil begitu saja sambil bertolak pinggang sehingga nampak lebih gagah tapi ia tidak menggunakan haknya, dasar tolol!"
Itulah kebencian dan ketidak-ikhlasan. Semakin merasuk dalam jiwa semakin menyiksa jiwanya sendiri. Jika orang lain sudah tidur pulas di malam hari, maka Ang Bun-long belum dapat memejamkan matanya karena hatinya yang panas. Membayangkan tingkah laku Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan rekan rekan perwiranya sehari-hari itu kelihatannya hanya menjengkelkan melulu malahan kadang-kadang ia merasa dirinya tengah diejek atau "dirasani" padahal tak ada seorangpun yang berbuat demikian. Semuanya hanya perasaannya sendiri, tapi ternyata cukup menggelisahkannya.
Lalu Ang Bun-long berangan-angan tentang dirinya sendiri, "Tadinya aku agak menyesal bergabung dengan komplotan Pakkiong An, namun sekarang tidak lagi. Jika kelak Pakkiong An berhasil mendudukkan jabatan penting di istana, maka aku akan mohon agar ia mempengaruhi Sri Baginda untuk menyingkirkan Pakkiong Liong dari jeratan Panglima Hui-liong-kun yang sembarang. Akulah yang harus menjadi Panglima Hui-liong-kun kelak, dengan dukungan Pakkiong An. Lalu aku akan merombak semua peraturan cengeng dalam pasukan ini. Batas antara bawahan dan atasan harus dipertegas. Setiap perintah dari atasan kepada bawahan harus dilakukan dengan membentak sambil melotot, agar suasananya mencengkam terasa di seluruh pasukan dan tidak ada prajurit yang berani melanggar perintah. Tidak seperti sekarang ini, suasananya terlalu santai. Lama kelamaan para bawahan akan menjadi kurang-ajar."
Dalam angan-angannya itu agaknya Ang Bun-long melupakan bahwa justru dengan suasana akrab antara atasan dan bawahan itulah maka Pakkiong Liong berhasil menimbulkan kekompakan pasukannya. Setiap anggauta pasukan akan menjalankan tugas dengan sepenuh hati, bukan sekedar karena takut dibentak atasannya. Dan meskipun bubungan mereka akrab, namun tapi belum pernah ada perintah-perintah atasan yang diabaikan, sebab setiap bawahan justru menganggap tugasnya sebagai kehormatan, bukan sebagai beban.
Pakkiong Liong tidak menganggap bawahannya sebagai alat belaka, melainkan sebagai sesama manusia. Perbedaan antara atas an dan bawahan hanyalah perbedaan dalam jenis tugasnya, bukan perbedaan derajat kemanusiaan mereka. Dasar pemikiran inilah yang tidak dipahami oleh Ang bun-long sehingga ia merasa jengkel karena pangkatnya tidak naik-naik.
Padahal dengan pangkat yang tinggi ia akan semakin "berhak" untuk membentak-bentak dan bersikap segarang-garangnya. Tapi impiannya untuk menjadi Panglima Hui-liong-kun itu sudah cukup menenteramkan hatinya sendiri, dan mengantarkannya memasuki tidurnya yang pulas.
Setelah menempuh perjalanan beberapa hari yang penuh ketegangan, maka tibalah Pakkiong Liong dan pasukannya di sebuah desa nelayan yang tidak jauh letaknya dari tepian Yang-ce-ki-ang, sungai yang amat panjang itu, sehingga sering juga disebut sebagai Sungai Panjang (Tiang-kang).
"Kita beristirahat di desa ini untuk semalam, dan besok kita menyeberang ke Utara," kata Pakkiong Liong, "Han Yong-kim memimpin sepuluh orang untuk mendirikan pesanggrahan di luar desa, jangan mengganggu rumah-rumah maupun tanaman penduduk!"
"Siap, Panglima!" kata Han Yong-kim yang segera mulai bekerja dengan alat-alat yang mereka bawa.
"Le Tong-bun dan sepuluh prajurit pergi ke tepian untuk mencari kapal-kapal yang besok bisa menyeberangkan kita ke tepian utara, pembayaran sewa kapal akan berjalan semestinya dan jangan merugikan pengusaha kapal itu satu sen pun. Kau dapat mengira-ngira sendirinya berapa besarnya jumlah kapal yang kita perlukan untuk mengangkut seluruh pasukan kita bersama dengan kuda-kuda kita dan semua peralatan."
"Siap, Ciangkun!" Le Tong-bun juga menjawab dengan tegas dan segera pergi menjalankan tugasnya.
"Ha To-ji, atur penjagaan disekitar kita, tawanan di tengah."
"Siap, Ciangkun!"
Begitulah prajurit-prajurit itu-pun menjalankan tugasnya masing-masing. Kedatangan serombongan prajurit yang berjumlah hampir seratus orang itu memang cukup menggemparkan desa kecil itu, banyak orang segera bersembunyi ketakutan dalam rumah. Namun oleh sikap baik prajurit-prajurit bawahan Pak-kiong Liong itu, akhirnya orang-orang desa perlahan-lahan hilang takutnya. Bahkan beberapa orang penduduk telah membantu para prajurit dengan mendirikan pesanggrahan di luar desa, sebuah pesanggrahan darurat yang akan digunakan hanya satu malam.
"Sisa-sisa pengaruh dinasti Beng masih nampak di sini," desis Tong Lam-hou.
Pakkiong Liong agak terkejut dan bertanya, "Sisa-sisa pengaruh yang bagaimana?"
"Takut terhadap prajurit," sahut Tong Lam-hou. "Bukankah menurut ceritanya prajurit-prajurit di jaman Kerajaan Beng dulu lebih ditakuti oleh penduduk daripada gerombolan perampok? Terhadap gerombolan perampok, penduduk seluruh desa masih bisa melawan bersama-sama, tetapi terhadap prajurit-prajurit Beng, melawan sama saja dengan bunuh diri. Itulah sebabnya prajurit-prajurit Beng membunuh dan merampas. sesukanya saja."
"Ya. Pengaruh buruk itu harus dihilangkan. Pemerintahan Manchu haruslah pemerintahan yang berakar di hati rakyat, bukan pemerintahan yang ditegakkan oleh tajamnya pedang atau runcingnya ujung tombak. Dengan demikian pemerintahan ini akan kekal."
Pakkiong Liong menganggukkan kepalanya. Sementara Tong Lam-hou tiba-tiba teringat akan desa Jit-siong-tin yang musnah jadi debu oleh ulah orang-orang yang mengaku anggauta "Pejuang pembebasan tanah-air" seperti Hong Lotoa dan teman-temannya itu. Gigi Tong Lam-hou gemeretak mengingat akan Hong Lotoa, sayang sekali bahwa orang itu belum berhasil ditangkapnya.
Tetapi memang sulit untuk menangkapnya apabila Hong Lotoa memang sengaja menyembunyikan dirinya, seperti mencari sebutir kancing baju di hutan, sementara Tong Lam-hou merasa bahwa dirinya ditunggu oleh tugas lain yang lebih penting. Tugas kemanusiaan pula, yaitu ikut menegakkan ketertiban negeri ini sebagai seorang prajurit. Tong Lam-hou berharap, jika ketertiban sudah merata, peristiwa di Jit-siong-tin itu tidak akan terulang di manapun dan kapanpun juga.
"Jangan hanya karena aku memburu seorang Hong Lotoa, maka orang-orang semacam Hong Lotoa sempat merajalela di tempat-tempat lain."
Sementara itu pesanggrahan darurat telah jadi. Tawanan segera dimasukkan ke dalam salah satu kemah yang sekelilingnya dijaga kuat. Kemah-kemah lain bertebaran memenuhi sebuah tanah kosong yang telah dibersihkan, penjagaan di atur dan para juru masakpun mulai menyalakan api untuk ransum para prajurit. Pakkiong Liong menempati kemah tersendiri, berdampingan dengan kemah tawanan yang berisi Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong, sedangkan Tong Lam-hou mendapatkan kemah bersama dengan Ko Lung-to. Keduanya telah menjadi teman akrab seperti antara Pakkiong Liong dengan Tong Lam-hou.
Sebelum tengah malam, Le Tong-bun dan prajurit-prajuritnya telah datang ke pesanggrahan dan melaporkan kepada Pakkiong Liong, "Besok kita akan menyeberang dengan dua buah kapal besar. Aku sudah melihatnya sendiri kapalnya dan kuperkirakan cukup untuk seluruh pasukan kita beserta kuda-kuda dan kedua kereta tawanan itu."
"Bagus, kau telah bekerja dengan baik, saudara Le. Bawa seluruh anak buahmu untuk beristirahat."
Sementara itu masih ada seorang perwira yang gelisah, dialah Ang Bun-long, sudah berhari-hari perjalanan dilakukan dan ternyata dia belum juga dihubungi oleh Hehou Im atau anggauta komplotan yang lainnya. Ia sudah tidak sabar ingin melihat Pakkiong Liong menderita malu dan kecewa karena kehilangan tawanan-tawanannya, atau melihat seluruh pasukan Hui-liong-kun itu kehilangan kebanggaan mereka.
Namun tiba-tiba Ang Bun-long menyadari, "Kalau aku berada di tengah-tengah pasukanku terus, bagaimana mungkin Hehou Im bisa menghubungi aku? Dia atau orang-orangnya tentu tidak akan berani mendekati pasukan ini. Jadi akulah yang harus keluar dari pesanggrahan ini."
Karena alasan itulah maka pada malam harinya Ang Bun-long keluar dari kemahnya dan berjalan-jalan keliling pesanggrahan. Di lihatnya sebagian besar prajurit sudah tertidur karena kelelahan setelah melakukan perjalanan sehari, tetapi sebagian kecil masih bertugas jaga, hilir-mudik dengan tombak dipanggul atau pedang terhunus. Beberapa kali Ang Bun-long membalas penghormatan yang diberikan oleh prajurit-prajurit yang berpapasan dengannya hanya dengan anggukan kecil yang angkuh.
Bahkan kadang-kadang Ang Bun-long memarahi beberapa prajurit yang bertugas, dengan kesalahan yang dicari-cari. Kalau bukan "seragamnya kurang rapi" ya tentunya "sikapnya kurang mencerminkan tata tertib keprajuritan". Maka di belakang punggung Ang Bun-long para prajurit itupun menggerutu satu sama lain, "Perwira itu galaknya bukan main. Belum jadi Panglima lagaknya sudah melebihi Pakkiong Ciangkun sendiri."
"Untung dia bukan Panglima. Kalau dia Panglima, aku lebih suka pindah ke pasukan lain saja."
Sementara itu, dengan berpura-pura mengeliling pesanggrahan untuk memeriksa prajurit-prajurit yang berjaga, meskipun sebenarnya ia tidak ditugaskan untuk itu, maka Ang Bun-long akhirnya berhasil menyelinap keluar dari pesanggrahan dan menyusup ke dalam sebuah kebun gelap milik penduduk desa. Dengan tangkasnya ia menyusup pepohonan dan kemudian lenyap di gelapnya malam.
Tanpa diketahui oleh Ang Bun-long sendiri, ternyata ada sesosok bayangan yang mengikuti gerak-geriknya. Bayangan yang gerakannya jauh lebih lincah dari Ang Bun-long sendiri, sebab yang berhembus begitu saja menerjang pepohonan tanpa suara gemeresak sedikitpun. Bayangan yang mengikuti Ang Bun-long itu adalah Tong Lam-hou. Kebetulan ia sedang keluar kemahnya untuk buang air kecil malam itu, dan saat itulah tiba-tiba ia melihat Ang Bun-long menyusup keluar pesanggrahan dengan merunduk-runduk.
Tadinya Tong Lam-hou mengira bahwa Ang Bun-long juga hanya akan membuang air kecil seperti dirinya, namun kemudian timbullah kecurigaannnya ketika melihat gerakannya yang celingukan seolah-olah takut dilihat orang. Maka Tong Lam-hou memutuskan untuk mengikutinya dari jarak agak jauh. Betapa tangkasnya Ang Bun-long namun ia tetap jauh di bawah Tong Lam-hou yang ilmunya setingkat dengan Pak-kiong Liong sendiri itu.
Dan betapapun gelapnya malam, namun mata Tong Lam-hou adalah mata orang pegunungan yang sudah terbiasa dengan kegelapan yang bahkan jauh lebih gelap dari sekarang ini. Maka dengan tetap dapat diikutinya Ang Bun-long dari jarak puluhan langkah.
Ketika sudah agak jauh di luar pesanggrahan, tiba-tiba ada dua sosok bayangan meluncur dari belakang Ang-Bun-long dan langsung menghadap di depan perwira itu. Ang Bun-long terkesiap dan segera memasang kuda-kuda untuk bertempur, namun setelah ia dapat mengenali salah satu dari bayangan-bayangan yang menghadangnya itu, maka Ang Bun-long-pun membatalkan kembali sikap bertempurnya itu.
"Kau!" ia menyapa salah seorang bayangan itu.
"Ya, Kami sulit menghubungimu jika kau tidak keluar dari pasukanmu seperti malam ini," geram salah seorang bayangan itu dengan suara yang dingin membuat bulu kuduk berdiri. "Hampir saja kami mengira bahwa kau sengaja bersembunyi dalam pasukanmu supaya tidak dapat kami temui, sehingga kau berkesempatan untuk berkhianat kepada kami dengan cara menceritakan apapun yang kau ketahui kepada Pakkiong Liong."
Sementara itu, Tong Lam-hou telah mendekam di balik sebuah tanggul sawah yang terletak beberapa langkah dari ketiga orang yang cercakap-cakap itu. Ditajamkannya kupingnya dan dicobanya untuk menangkap percakapan mereka sebanyak-banyaknya.
"Tidak, aku tidak akan berkhianat kepada komplotan kalian. Bukan karena aku takut kepada kalian tapi karena aku memang harus memiliki kesempatan untuk merombak Pasukan Hui-liong-kun yang aku anggap sudah kehilangan tata-tertibnya sebagai prajurit, melainkan sekarang lebih mirip sekumpulan buaya darat yang liar saja. Untuk ini memerlukan dukungan Pakkiong An untuk mengangkatku ke kedudukan Panglima Hui-liong-kun. Itulah alasanku bergabung dengan kalian, bukan karena takut dibunuh seperti Boan Seng-hu atau Pi Yau im."
Kedua bayangan yang menghadang Ang Bun-long itu adalah Hehou Im dan Tong King-bun. Tong King-bun sudah hampir saja mendamprat kesombongan Ang Bun-long Itu, namun Hehou Im cepat-cepat mencegahnya dengan menggamit tangannya sambil membisiki telinganya itu, "Biarkan saja. Orang ini sebenarnya sangat takut kepada kita namun menutupinmya dengan memperlihatkan sikap sombong. Biarkan saja, yang penting ia berguna buat kita."
"He, kenapa kalian berbisik-bisik?"' bentak Ang Bun-long.
Hehou Im yang menjawab, "Sudahilah sikap garangmu yang dibaut-buat itu. Itu tidak berguna. Kita bicara saja langsung ke pokok persolannya."
Sebenarnya muka Ang Bun-long menjadi merah padam mukanya mendengar sindiran yang tepat mengenai isi hatinya itu. Untunglah gelapnya malam telah menyelubungi bumi sehingga perubahan wajah Ang Bun-long itu tak terlihat oleh orang lain. Namun perwira itupun akhirnya menyadari bahwa tidak ada gunanya bersikap dibuat-buat seperti itu, maka iapun duduk di pematang sawah kering yang tidak ditanami itu. Katanya, "Baik. Langsung ke pokok persoalan."
Hehou Im dan Tong King-bun juga segera duduk. Suara Hehou Im begitu dingin dan sama sekali berbeda dengan ketika "merayu" Ang Bun-long di kota Kun-beng dulu. "Besok, di tengah sungai kami akan turun tangan. Sekali pukul harus berhasil merebut tawanan. Tetapi harus diketahui beberapa hal."
"Hal-hal apa saja?"
"Berapa kapal yang akan kalian gunakan dalam penyeberangan besok?"
"Dua kapal besar, mungkin kapal layar. Le Tong-bun sudah mendapatnya."
"Bagus. Jumlah prajurit dan kekuatannya?"
"Kira-kira sembilan puluh lima orang prajurit yang cukup terlatih. Perwira-perwira yang setingkat dengan aku enam orang termasuk aku sendiri. Ditambah Pakkiong Liong yang kekuatannya dapat kalian perkirakan sendiri."
"Orang yang bernama Tong Lam-hou itu bagaimana?" tanya Hehou Im.
Sahut Ang Bun-long dengan nada sangat mengejek, "Anak gunung itu? Tidak perlu dihiraukan. Beberapa orang rekan-rekanku telah terpesona oleh cerita khayal yang diceritakan oleh Pakkiong Liong sendiri, katanya anak desa itu berilmu tinggi luar biasa. Namun aku tidak percaya. Pakkiong Liong sendiri tidak pernah mengijinkan anak desa itu untuk menunjukkan kepandaiannya, sebab begitu menunjukkan kepandaiannya maka akan terbongkarlah kedoknya bahwa ia cuma seorang anak desa yang tidak becus apa-apa. Barangkali mahir juga sejurus dua jurus kuntau kampungan, kalian boleh anggap saja dia sebagai prajurit biasa."
Di tempat persembunyiannya, kuping Tong Lam-hou menjadi panas mendengar kata-kata Ang Bun-long itu. Namun kemudian ditahankannya hatinya, dan sambil tertawa dalam hatinya, "Bagus. Besok pagi kalian akan menikmati sejurus dua jurus pukulan kuntau kampungan dari si anak desa ini."
Sementara itu, perkataan Ang Bun-long itu ternyata dipercaya benar-benar oleh Hehou Im dan Tong King-bun. Lalu Hehou Im bertanya lagi, "Kau tadi bilang ada dua kapal yang akan digunakan oleh mereka untuk menyeberangkan pasukan dan tawanan. Nah, kapal yang mana yang akan ditumpangi oleh tawanan? Supaya kami bisa memusatkan serangan kepada kapal itu."
"Itulah yang aku belum tahu. Seandainya besok pagi aku sempat, aku akan memberitahukan kepada kalian, namun entah sempat atau tidak? Kau punya jalan keluar untuk kesulitan ini?"
Sesaat Hehou Im saling bertukar pandangan dengan Tong King-bun. Mereka nampak berpikir keras sesaat lamanya, lalu kata Hehou Im sambil menepuk pahanya, "Aku menemukan. Besok kau harus berdiri di geladak kapal dan usahakan agar terlihat oleh kami. Jika kau menguap dan menutup mulutmu dengan tangan kanan, itu berarti tawanan berada di kapal yang kau tumpangi. Jika kau menguap dan menutup mulut dengan tangan kiri, berarti tawanan berada di kapal yang satunya lagi. Mudah bukan? Menguap dan menutupkan tangan ke mulut bukanlah pekerjaan yang mencurigakan."
Ang Bun-long merasa akal itu cukup bagus, maka ia segera menyatakan persetujuannya. Namun muncul masalah lain. "Kalau kedua tawanan itu dipisahkan di kedua kapal? Sebab tawanan itu ada dua orang?"
"Kau menguap sambil merentangkan kedua tanganmu seolah-olah sedang menggeliat setelah bangun tidur."
"Mau tidak mau Ang Bun-long tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, "Pantas si panglima tua itu memilih kau sebagai orang terdekatnya. Kiranya otakmu memang penuh dengan akal bulus."
Hehou Im tertawa juga. "Ah, ini hanya soal kecil, sedangkan mengenai masalah-masalah yang lebih penting saja aku seringkali diajak berunding oleh Ciangkun. Tapi kuucapkan terima kasih juga untuk pujianmu itu."
"Apakah aku boleh pergi sekaang? Aku sduah terlalu lama meninggalkan perkemahan, jika tidak segera kembali bisa dicurigai oleh Pakkiong Liong atau rekan-rekanku sendiri."
"Baik. Kembalilah. Jangan lupa apa yang telah kita bicarakan."
"Tidak akan lupa."
Sementaraitu, di tempat persembunyiannya, Tong Lam-hou timbul niatnya untuk meringkus ketiga orang itu. Ia sudah melihat sampai di mana kepandaian Ang Bun-long ketika berada di panggung di Kun-beng dulu, dan kedua bayangan itupun nampaknya hanya unggul sedikit dibandingkan Ang Bun-long. Tong Lam-hou sudah memperhitungkan bahwa biarpun ketiga orang itu mengeroyoknya, ia akan tetap lebih unggul, apalagi jika ia menyerang dengan mendadak. Tapi kemudian Tong Lam-hou membatalkan niatnya itu dengan banyak pertimbangan,
"Jika hanya tiga orang itu, aku sanggup menangkap mereka. Tetapi bagaimana jika di sekitar ini masih ada teman-teman mereka yang kepandaiannya lebih tinggi atau paling tidak setingkat dengan mereka? Aku tentu akan kewalahan kalau harus menghadapi empat atau lima orang seperti mereka, dan kemunculanku ini malahan akan seperti 'memukul rumput mengejutkan ular' saja. Ah, baiklah aku laporkan semuanya kepada A-liong. Ang Bun-long adalah anak buah A-liong, aku tidak punya wewenang apa-apa untuk bertindak terhadapnya."
Maka Tong Lam-hou membiarkan kasak-kusuk ketiga orang itu bubar dengan sendirinya, yang penting ia sudah berhasil mendengar isi pembicaraan mereka. Hanya saja Tong Lam-hou belum dapat menebak pihak manakah yang akan melakukan penghadangan di sungai itu? Sisa-sisa Kerajaan Beng ataukah orang-orang Hwe-liong-pang? Atau pihak lain lagi?
"Mudah-mudahan bukan orang-orang Hwe-liong-pang, sebenarnya aku masih merasa sungkan juga kalau harus bertempur melawan orang-orang yang dulu setia kepada ayahku," pikir Tong Lam-hou di dalam hatinya. "Tadi Ang Bun-long menyebut tentang seorang Panglima tua mungkin seorang bekas panglima di jaman Kerajaan Beng dulu yang sampai sekarang masih mengadakan perlawanan."
Sementara itu, ketiga orang yang berunding di tengah sawah itupun sudah bubar. Ang Bun-liong kelihatan berjalan kembali menuju ke arah lain. Setelah merasa aman, Tong Lam-hou juga segera kembali ke perkemahan dengan gerakan secepat kilat. Ketika ia kembali ke perkemahan, maka perkemahan itu sudah sepi meskipun malam belum larut benar, bahkan tengah malampun belum dilewati. Dengan ilmu meringankan tubuhnya maka ia berusaha mencapai Pakkiong Liong tanpa mau dilihat oleh prajurit-prajurit jaga, supaya tidak meninggalkan macam-macam kesan.
Tiba di depan kemah Pakkiong Liong, Tong Lam-hou segera berbisik lirih menggunakan tenaga dalamnya dengan harapan suaranya menyusup ke telinga Pakkiong Liong, "A-liong, ada urusan penting!"
Sebagai seorang berilmu tinggi, Pakkiong Liong-pun terbangun dari tidurnya oleh suara yang lirih seperti suara nyamuk namun tajam menembus telinganya itu. Ia juga dapat mengenali suara sahabatnya itu. Ia tahu jika bukan urusan yang penting benar-benar, tidak nanti sahabatnya itu membangunkannya malam-malam seperti itu.
Wajah Tong Lam-hou agak tenang mendengar itu, ia pun lalu mengusap keringatnya, sementara Pakkiong Liong dengan heran melihat beberapa helai rumput kering mengotori pakaian temannya itu. Juga tanah berlumpur.
"Katakan, A-hou. Dengan suara perlahan."
"Besok, pada saat kita menyeberang sungai Yang-ce-kiang, akan ada pihak tertentu yang berusaha merebut tawanan-tawanan dari pihak kita. Namun aku tidak tahu pihak manakah itu."
Maka Tong Lam-hou pun segera menceritakan semua yang dilihatnya dan didengarkannya, dan Pakkiong Liong mendengarkannya dengan tegang, dengan wajah yang berkerut-kerut. Setelah selesai mendengarkan penuturan Tong Lam-hou, Pakkiong Liong mengepalkan tangannya dengan geram,
"Sungguh gila si Ang Bun-long itu. Tidak kuduga ia akan tersesat sejauh itu dengan menjual keterangan kepada pihak pemberontak...."
"Kau yakin bahwa kedua orang yang ditemui oleh Ang Bun-long itu adalah pihak pemberontak?"
"Kalau bukan sisa-sisa dinasti Beng, siapa yang sudi bersusah-payah untuk membebaskan Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong? Lagi pula, ketiga orang yang berkasak-kusuk itu menyebut-nyebut tentang 'panglima tua' dan ‘ciangkun' segala. Nah, pihak mana lagi kalau bukan sisa-sisa si Cong-oeng?"
Sesaat memang Pakkiong Liong amat marah, apalagi ketika mendengar bahwa salah seorang perwiranya ada yang telah berani berhubungan dengan pihak pemberontak. Namun sebagai Panglima yang tanggung-jawabnya menyangkut seluruh pasukannya, ia tidak bisa bertindak gegabah dalam menghadapi masalah itu. Setelah dipikir sementara waktu.
Maka ia tidak akan menangkap Ang Bun-long dulu, hanya akan diawasi gerak-geriknya dan kalau perlu dijadikan umpan-balik ke pihak musuh. Sebagai seorang panglima yang cerdik dan berpengalaman, ia sudah punya rencana tersendiri untuk menghadapi keadaan gawat di depan hidungnya itu.
"A-hou, jika kau nanti bertemu dengan Ang Bun-long, bersikaplah seolah-olah kau tidak tahu apa-apa. Dan aku ada permohonan kepadamu."
"Perintahkan saja, Ciangkun!"
"Hus, kau belum menjadi prajurit dan tidak usah memanggilku dengan sebutan itu. Ini permintaan dari sahabat kepada sahabat."
"Nah, katakan saja," kata Tong Lam-hou sambil tertawa.
"Besok kau bangun pagi-pagi benar, mendahului seluruh pasukan ini untuk melihat-lihat di jalan yang akan kita lalui. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan tolong beritahukan kepadaku."
"Baik. Ini pekerjaan ringan."
"Biarpun ringan, malam ini kau harus beristirahat sebaik-baiknya."
"Apakah Ang Bun-long tidak perlu kau awasi?"
"Tidak usah, malam ini biarkan dia berbuat sesukanya. Bukankah mereka tidak mungkin lagi mengubah rencana mereka, dan rencana itu juga yang sudah kita ketahui?"
"Ya, betul juga. Nah, aku akan tidur dulu." "Keluarlah dari kemah ini dengan sikap biasa, seolah-olah kita baru saja bermain catur seperti biasanya."
"Aku mengerti...!" Malam itu Tong Lam-hou merasa puas. Ia merasa keberadaannya di tengah-tengah pasukan itu ada artinya juga, bukan sekedar menghabiskan ransum seperti yang pernah disindirkan oleh Ang Bun-long kepadanya. Dan tugasnya esok pagi, mendahului seluruh pasukan untuk "melihat-lihat jalan" akan diterimanya dengan penuh semangat. Berbakti untuk Negara dan Kaisar tidak perlu harus menunggu datangnya pakaian seragam lebih dulu, demikian pikirnya.
Keesokan harinya, ketika ayam berkokok, Tong Lam-hou sudah bangun lebih dulu. Dibenahi dirinya, diselipkannya sebatang pisau belati di pinggangnya dan ditutupinya dengan bajunya. Ko Lung-to yang tidur sekemah dengan Tong Lam-hou itu menjadi heran ketka melihat Tong Lam-hou sudah bersap-siap seolah-olah hendak berangkat. Sambil membalikkan tubuhnya, Ko Lung-hou berkata dengan nada mengantuk, "Masih terlalu pagi, kau hendak ke mana?"
"Tidak ke mana-mana, hanya sekedar bersiap-siap lebih awal saja."
Ku Long-to tidak peduli lagi, lebih nyaman baginya untuk meneruskan tidurnya sebelum terompet dibunyikan nanti. Dengan langkah ringan agar tidak menggangu kenyenyakan tidur rekan sekemahnya, Tong Lam-hou meninggalkan kemahnya. Ia ragu-ragu apakah hendak menemui Pakkiong Liong lebih dulu atau tidak, namun, akhirnya diputuskannya untuk langsung pergi meninggalkan perkemahan itu tanpa menemui Pakkiong Liong lagi. Toh Pakkiong Liong sudah tahu kemana perginya Ia.
Dengan gerakan yang cepat tanpa diketahui oleh para penjaga, Tong Lam-hou meninggalkan perkemahan itu dan menuju ke arah utara. Pagi masih begitu dingin dan gelap, namun di langit timur sudah nampak garis-garis semburat merah yang menandakan bahwa fajar akan tiba tidak lama lagi.
Orang-orang desa biasanya bangun pagi-pagi, maka ketika Tong Lam-hou mulai melangkah menuju ke arah tepi sungai, jalanan sudah menjadi ramai. Orang-orang desa hilir mudik ada yang membawa pikulan, membawa alat-alat pertanian atau membawa jala untuk menangkap ikan.
Jika dari perkemahan prajurit Hui liong-kun hendak menuju ke dermaga penyeberangan, jaraknya ada kira-kira tujuh atau delapan li, dan sepanjang jalan itu ada beberapa desa yang penduduknya sebagian besar bermata-pencaharian sebagai nelayan, namun ada juga sebagian kecil yang bertani atau berladang. Selama menyusuri jalan menuju ke dermaga itu, Tong Lam-hou mencoba memperhatikan apakah kira-kira ada yang mencurigakan atau tidak. Dan akhirnya ia menemukannya.
Ketika ia hampir sampai ke tepi sungai, tiba-tiba dilihatnya ada sekelompok orang yang tengah berjalan di depannya, juga ke arah tepi sungai. Jika tadi yang dilihat Tong Lam-hou hanyalah para petani atau nelayan yang bertampang dan bersikap sederhana, maka kali ini dijumpainya sekelompok orang dengan pakaian dan tingkah laku yang lain. Sekelompok orang itu semuanya berpakaian ringkas dan menyandang senjata secara terang-terangan, wajah mereka juga nampak garang. Jelaslah bahwa mereka bukan petani atau nelayan.
Sesaat Tong Lam-hou menduga-duga, mungkinkah mereka termasuk orang-orang yang akan merebut tawanan atau tidak? Ketika Tong Lam-hou menengadah ke langit, dilihatnya masih agak gelap, ia lalu memperhitungkan bahwa waktunya masih cukup untuk berbuat sesuatu. Ternyata begitu bersemangatnya Tong Lam-hou sehingga ia tidak bermaksud untuk hanya "melihat-lihat jalan di depan" melainkan juga sekaligus harus membersihkannya dari segala rintangan.
Bukannya mencari muka kepada Pakkiong Liong, melainkan kebenciannya kepada sisa-sisa dinasti Beng begitu merasuk jiwanya sejak peristiwa pembantaian di Jit-siong-tin itu, sehingga bahkan andaiakata dicegah oleh Pakkiong Liong-pun ia tetap akan menghajar sisa-sisa dinasti Beng itu.
Maka diam-diam Tong Lam-hou mengikuti kelompok orang-orang bersenjata itu. Semakin dekat ke tepian, semakin banyak orang-orang semacam itu, sehingga Tong Lam-hou menyimpulkan bahwa sekian banyak orang bersenjata berkumpul di tempat itu tentu bukan suatu kebetulan saja. Apalagi matanya yang tajam sempat melihat bagaimana antara orang-orang bersenjata itu saling bertukar isyarat setiap kali mereka saling berpapasan.
Akhirnya Tong Lam-hou sampai pada sebuah kesimpulan yang hampir pasti bahwa kelompok kelompok orang-orang bersenjata itu adalah bagian dari kekuatan yang akan mencoba merampas tawanan di tengah sungai nanti.
"Masih ada waktu, aku harus bertindak. Kalau tidak dapat membersihkan mereka, paling tidak juga harus bisa mengurang sebagian dari kekuatan mereka, atau menangkap pemimpin-pemimpinnya sekalian supaya gerakan mereka menjadi kacau," pikirnya.
Maka ketika dilihatnya ada lima orang bersenjata yang berbelok dari jalan besar dan menyusuri sebuah jalan kecil di sepanjang tepian sungai, Tong Lam-hou juga berbelok mengikutinya. Tanpa membuang waktu ia segera melompat melewati kepala kelima orang itu dan menghadang di depannya. Bentaknya, "Apakah kalian adalah gerombolan liar yang hendak menghadang kapal pembawa tawanan?!"
Kelima orang itu nampak terkejut, namun karena tergesa-gesa maka merekapun tidak ingin banyak bicara lagi. Hampir serempak mereka meloncat bertebaran mengepung Tong Lam-hou, dengan senjata-senjata terhunus.
"Orang ini dapat mengganggu pekerjaan kita, cincang tanpa ampuni!” kata salah seorang dari mereka yang bersenjata sebuah golok. Agaknya ia merupakan pemimpin dari kelompok kecil itu.
Jika kelima orang itu terburu-buru, maka Tong Lam-hou sendiri juga terburu-buru ingin secepatnya mengurangi jumlah orang-orang itu, maka nasib kelima orang itu agaknya benar-benar sial. Baru saja mereka berloncatan dengan senjata terayun maka Tong Lam-hou juga telah bergerak jauh lebih cepat dari mereka. Seorang yang menyerang dari depan segera roboh pingsan dengan gigi rontok, seorang lagi yang menyerang dari samping juga terpental pingsan karena perutnya terhantam tumit Teng Lam-hou.
Tentu saja orang-orang itu terkejut bukan main. Dalam satu gebrakan saja teman-teman mereka sudah berkurang dua orang. Orang yang bersenjata golok besar itu segera berteriak, "Lawan berbahaya! Lari!"
Namun gerak mulutnya masih kalah cepat dengan gerak kaki dan tangan Tong Lam-hou. Pada saat ia mengucapkan anjurannya untuk lari itu maka dua orang lagi sudah roboh terkapar, sehingga yang harus lari itu agaknya adalah dirinya sendiri. Cepat ia membalik badan dan mengayun kaki secepat-cepatnya meninggalkan keempat temannya yang bergeletakan itu.
Namun baru saja beberapa langkah tiba-tiba dirasakannya tengkuknya lelah dicengekram oleh sebuah tangan maha kuat yang membuat seluruh kekuatannya lenyap sama sekali. Tubuhnya terangkat dan terbanting mentah-mentah, meskipun tidak pingsan namun matanya berkunang-kunang dan punggungnya yang membentur tanah itu terasa sangat sakit.
Di keremangan pagi, dilihatnya orang yang menangkapnya dan membantunya itu cuma seorang anak muda yang berpakaian sederhana, tampangnya juga tidak luar biasa, kecuali sepasang matanya yang mencorong tajam seperti seekor harimau yang sedang marah itu. Sambil berdiri bertolak-pinggang, Tong Lam-hou berkata kepada tangkapannya itu,
"Jawab semua pertanyaanku dengan betul, sebab jika aku kehabisan kesabaran kau akan menjadi setan penasaran hanya dengan sentuhan jari-jariku. Nah, di mana pemimpin-pemimpin kalian?"
Timbul niat orang itu untuk menipu Tong Lam-hou saja, namun perasaan Tong Lam-hou yang tajam itu agaknya dapat menangkap isi hati orang itu, sehingga Tong Lam-hou tertawa dingin, "Kau boleh menipuku. Namun jika aku tertipu, maka aku dengan cepat akan kembali ke tempat ini untuk menggorok leher kalian. Kau percaya tidak bahwa aku bisa berbuat demikian?"
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan ketakutan. Ia sudah melihat sendiri bagaimana lihainya orang ini, maka ia tidak akan bermain-main dengan nyawanya sendiri. Sahutnya cepat, "Pemimpin kami berada kira-kira lima li di arah hulu sungai ini."
"Siapa pemimpin kalian? Apakah sisa-sisa dinasti Beng?"
"Bukan. Pemimpin kami ada dua orang, yaitu Tio Hong-bwe yang berjulukkan Hek-liong (si Naga Hitam) dan Song Hian yang berjulukan Tiat-pwe-si-ang (si Gajah Berpunggung Besi)," sahut orang itu sambil melirik ke wajah Tong Lam-hou, mengharap wajah anak muda itu menjadi ketakutan setelah mendengar nama kedua bajak sungai Yang-ce-kiang yang ditakuti itu.
Tapi wajah anakmuda itu tenang-tenang saja, malahan sambil menggosok-gosok tinjunya ia berkata, "Hemm, jika nanti bertemu denganku, maka si Naga Hitam akan berubah menjadi si Cacing Sungai, dan si Gajah Berpunggung Besi akan berubah jadi si Punggung Kura-kura. Nah, kalian berlima tidur-tiduran dulu di tempat ini, selama aku membereskan pemimpin-pemimpinmu itu."
Lalu jari-jari tangan Tong Lam-hou-bergerak secepat kilat untuk menotok pingsan orang itu. Totokan ajaran Ang Hoan yang tidak bisa dibuka oleh siapapun kecuali oleh penotoknya sendiri atau yang sealiran dengannya. Lalu tubuh orang itu dilemparkannya ke dalam rumpun gelagah air yang tumbuh lebat di tepian sungai itu. Keempat orang lainnyapun mengalami nasib yang sama. Tong Lam-hou tertawa dan berkata,
"Nanti setelah sore hari, totokanku itu akan punah dengan sendirinya, nah, saat itu kalian boleh bangun dari tempat tidur kalian yang sejuk dan empuk itu."
Kemudian dilempar-lemparkannya senjata kelima orang itu ke tengah sungai, lalu dengan tergesa-gesa Tong Lam-hou meninggalkan tempat itu, menuju ke arah hulu sungai untuk mencoba meringkus si pemimpin-pemimpin bajak sungai Yang-ce-kiang yang sebenarnya bekerja hanya karena di upah oleh seorang Panglima di Ibukota Kerajaan yang iri akan keberhasilan Pakkiong Liong itu.
Di sepanjang jalan, Tong Lam-hou tidak laginmenggubris orang-orang bersenjata yang terkelompok-kelompok itu, sebab ia berpendapat asal bisa meringkus pemimpin mereka, maka anak-buahnyapun akan berantakan. Ia menyusuri sungai itu semakin ke hulu semakin sepi. Namun di satu tempat justru nampak ada banyak orang berkumpul, jumlahnya hampir seratus orang. Tong Lam-hou cepat-cepat bersembunyi dan merayap ke atas sebuah gundukan tanah yang tinggi supaya lebih mudah memperhatikan kelompok orang orang itu.
Tempat berkumpulnya orang-orang itu ternyata adalah sebuah tepian sungai yang agak berkelok sehingga tidak mudah terlihat dari kejauhan, selain itu ada pula tumbuh-tumbuhan gelagah air yang tingginya hampir setinggi manusia dewasa, sehingga semakin menyembunyikan letak tempat itu. Di situ juga tersedia puluhan buah perahu-perahu kecil berbadan sempit berujung runcing, bentuk perahu yang dapat meluncur di air dengan cepat.
Sebagian dari dari orang-orang itu nampak berpakaian ringkas dan bertelanjang dada, mereka membawa pahat dan palu, jelaslah bahwa mereka adalah ahli-ahli menyelam yang nantinya harus berusaha untuk melubangi kapal Pakkiong Liong dan pasukannya.
Melihat persiapan dan jumlah orang orang itu, diam-diam Tong Lam-hou membatin, "Hebat! Ini benar-benar tidak dapat diabaikan. Jumlah orang-orang yang di sini jika ditambah dengan orang orang yang berpencaran dalam kelompok-kelompok kecil tadi, jumlahnya akan melebihi prajurit-prajurit Hui-liong-kun. Jika pertempuran dilakukan di darat, jumlah musuh yang lebih banyakpun tidak ditakuti oleh Hui-liong-kun, tapi kalau harus bertempur di sungai, jelaslah mereka adalah kalah dari bajak-bajak sungai ini."
Berpikir sampai sekian, mendidihlah darah Tong Lam-hou. Banyak di antara prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu sudah menjadi sahabatnya. Kini apakah ia akan berpeluk tangan saja melihat sahabat-sahabatnya dibantai oleh bajak-bajak Yang-ce-kiang ini dan ditenggelamkan ke dasar sungai? Tong Lam hou segera menggulung lengan bajunya dan mengencangkan ikat pinggangnya, siap untuk turun tangan.
"Akan aku obrak-abrik mereka!" kata Tong Lam-hou dalam hati. Dilihatnya di antara kerumunan bajak-bajak sungai yang sedang bersiap siap untuk turun ke sungai itu, ada empat orang yang mengelompok agak terpisah dari bajak-bajak lainnya. Keempat orang itu berbicara dengan muka yang berseri-seri seakan-akan kemenangan sudah pasti di tangan mereka.
Keempat-empatnya bertubuh kokoh dan bermata tajam, nampaknya berilmu tinggi, namun Tong Lam-hou tidak tahu yang manakah yang menjadi pemimpin gerombolan bajak ini. Akhirnya Tong Lam-hou tidak peduli. "Aku tidak boleh menebak-nebak terus dan membuang waktu. Yang penting sergap saja dulu," pikirnya. Maka tubuh Tong Lam-hou pun meluncur dari atas gundukan tanah tinggi itu seperti seekor rajawali yang menyambar dari angkasa, lansung menyerang ke arah empat orang itu.
Keempat orang itu memang bukan lain adalah pentolan-pentolan dari gerakan pencegatan untuk merebut tawanan dari tangan Pakkiong Liong itu. Mereka adalah Hehou Im, perwira dari pasukan Ui-ih-kun di ibukota yang dipimpin oleh Pakkiong An yang merupakan paman dari Pakkiong Liong sendiri. Tapi kali itu Hehou Im tidak mengenakan seragam perwiranya, ia hanya berpakaian ringkas seperti ahli silat yang akan bertempur. Sedang yang lain-lainnya adalah Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (si Hantu Malam).
Dan dua sejoli pimpinan gerombolan bajak di sungai Yang-ce-kiang, yaitu Hek-liong Tio Hong-bwe dan Tiat-pwe-siang Song Hian. Keempat-empatnya memang merupakan bekas teman-teman baik sejak puluhan tahun yang lalu, maka kini merekapun bergembira karena berkumpul bersama, apalagi karena mereka sudah dijanjikan akan mendapat hadiah besar dari Pakkiong An apabila pekerjaan mereka kali ini berhasil.
Baru saja keempat orang itu asyik membicarakan "pembagian harta" yang bakal mereka terima, tahu-tahu sesosok bayangan telah meluncur datang. Mereka terkejut, namun sebagai orang-orang yang berilmu tinggi mereka sempat menyelamatkan diri dengan celanya masing-masing. Ada yang bergulingan, ada yang meloncat, ada pula yang menjatuhkan diri ke tanah.
Penyerang yang bukan lain dari Tong Lam-hou itu terkesiap ketika melihat keempat orang itu ternyata dapat menghindar semuanya. Sadarlah dia bahwa ia telah salah perhitungan, meringkus keempat orang itu ternyata tidak semudah yang diduganya, berbeda dengan orang-orang yang dihajarnya dekat dermaga tadi....
Selanjutnya;