Pendekar Naga dan Harimau Jilid 13
"WAH, gawat! Kalau sempat mempersiapkan diri mereka akulah yang akan diringkus, bukannya aku yang menangkap mereka!"
Menyadari gawatnya keadaan, Tong Lam-hou bertindak tidak tanggung-tanggung. Sebelum kakinya menginjak tanah maka ia telah memutar tubuhnya di udara dengan gerakan seperti gasing dan dengan mengerahkan ilmu pukulan maha dinginnya yang disebut Han-im-ciang, ia memukul ke empat penjuru.
Saat itu memang dengan gerakan yang tangkas Hehou Im dan rekan-rekannya sudah meloncat bangun, sambil menghunus senjata masing-masing. Hehou Im bersenjata sebatang tiat-koan (tongkat yang melengkung tajam), Tong King-bun menghunus sebatang pedang Tio Hong-bwe bepsenjata sebatang tombak pendek berkait dan Song Hian bersenjata sebuah gada besi bersegi delapan, sesuai dengan pembawaannya yang bertenaga kasar.
Mereka terkejut ketika melihat bahwa yang menyerang mereka itu ternyata cuma seorang anak-buda yang pantas untuk menjadi anak angkat mereka, dan bertangan kosong pula. Hehou Im yang pernah melihat Tong Lam-hou di kota Kun-beng, segera mengenal Tong Lam-hou, dan berteriak, "Kau saudara angkat Pakkiong Liong itu?"
Tong King-bun meloncat maju sambil tertawa, "Wah, rupanya aku bertemu dengan sanak keluarga seketurunan (maksudnya sama-sama she Tong). Tapi biarpun sanak keluarga kalau mengganggu pekerjaanku, ia harus ditumpas!"
Dan ia mulai menyerang dengan pedangnya, tetapi buru-buru meloncat mundur dengan terkejut. Mukanya mendadak pucat dan bibirnya agak membiru tubuhnya menggigigil kedinginan. Tentu saja rekan-rekannya terkejut melihat hal itu. Tio Hong-bwe segera bertanya,
"He, kau kenapa? Mendadak kena malaria?"
Tong King-bun menjawab, "Hati-hati, bangsat kecil ini punya ilmu siluman..."
Namun Song Hian telah memutar gada besinya sambil berteriak, "Ilmu siluman apa? Aku tidak percaya! Biarlah aku si Gajah Berpunggung Besi ini akan menghancurkan batok kepalanya!"
Selesai dengan kata-katanya, gada besinyapun dengan derasnya menyambar kepala Tong Lam-hou. Tong Lam-hou yang tidak berniat untuk mengobral ilmu pukulan dinginnya itu, segera menundukkan kepalanya. Secepat kilat kedua tangannya mencengkeram tangan Song Hian yang tengah terjulur dan di-bareng dengan mengait kakinya. Tak ampun lagi Song Hian terbanting rubuh, hampir saja gada besinya menghantanm jidatnya sendiri.
Maka ditempat itu terjadilah perkelahian empat lawan satu. Empat orang tokoh-tokoh yang terkenal di dunia hitam dan masing-masing memegang senjata andalannnya masing-masing, berhadapan dengan seorang anak muda ingusan yang baru saja turuhn gunung, yang senjatanya cuma sebilah belati yang diambilnya dari balik bajunya.
Namun anak muda ingusan itu ternyata bukan seekor domba gemuk yang begitu mudahnya untuk diterkam dan dirobek-robek oleh keempat manusia buas itu, melainkan ibarat seekor harimau muda yang darahnya tengah menghangat oleh gairah tempur yang menyala, ingin menguji sampai di mana ilmu yang dimilikinya. Dan ia juga adalah putera Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang yang jaman dulu pernah menggemparkan kolong langit, dan sejak kecil dididik oleh Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang tidak kalah menggemparkannya.
Karena itulah Hehou Im dan ketiga orang temannya menjadi penasaran betul karena mereka tidak dapat segera mengalahkan seorang yang masih begitu muda meskipun sudah main keroyok. Kalau hal itu sampai tersiar di kalangan persilatan, entah di mana lagi muka mereka akan disembunyikan? Mereka yang masing-masing berjulukan Sat-sin-kui, Say-ya-jat, Hek-liong dan Tiat-pwersang, julukan yang seram-seram kedengarannya, agaknya harus mengganti julukan-julukan mereka.
Yang merasa paling penasaran adalah Hehou im dan Tong King-bun. Mereka merasa bahwa mereka telah ditipu oleh Ang-Bun-long. Bukankah tadi malam perwira Hui-liong-kun itu ketika ditemui telah mengatakan bahwa Tong Lam-hou hanyalah anak gunung yang kepandaiannya hanya seperti seorang prajurit biasa? Bahkan Ang Bun Long mengatakan bahwa anak muda itu hanya "bisa sejurus dua jurus kuntau kampung" namun yang ternyata, adalah jauh berbeda.
Si anak gunung itu menyambar-nyambar dengan garang bagaikan seekor harimau luka, pisau belati di tangan kanannya itu bergerak-gerak sedemikian cepatnya sehingga memenuhi udara dengan bayangan pisaunya yang putih kemilau. Keempat senjata lawannya menembus pertahanan rapat Tong Lam-hou.
"Ang Bun-long gila," geram He-hou Im didalam hati. "Kepandaian seperti ini dikatakan tidak berarti? Tiga orang seperti Ang Bun-long akan digilas tanpa ampun oleh sahabat Pakkiong Liong ini!"
Tong King-bun juga bertempur sambil menggerutu dalam hati, "Pasti Ang Bun-long ingin berkhianat kepada komplotan kami, sehingga ia sengaja memberikan keterangan yang salah kepada kami agar kami mengalami kesalahan perhitungan dan akhirnya kalah. Barangkali dia pula yang memberitahukan kepada bangsat kecil ini tempat persembunyian kami di sini. Agaknya Ang Bun-long ingin lepas dari kami dan ia berusaha membunuh kami dengan meminjam tangan bangsat kecil ini. Namun ia akan salah hitung. Kami berempatlah yang akan mencincang bangsat kecil ini, dan kelak Ang Bun-longpun harus dicincang karena keterangan palsunya yang menyesatkan itu."
Demikianlah, tanpa berjanji, He-hou Im dan Tong King-bun sama-sama menimpakan kesalahan kepada Ang Bun-long yang telah mereka anggap memberi keterangan yang menyesatkan tentang Tong Lam-hou.
Sementara itu, Tong Lam-hou sendiri mengeluh dalam hatinya setelah ia terkepung oleh keempat orang itu. Meskipun ia tidak terdesak, namun untuk lolos dari kepungan mereka juga bukan hal gampang, apalagi di luar kepungan masih ada berpuluh-puluh orang bajak sungai yang siap dengan senjatanya masing-masing.
Keempat lawannya itu dapat menyerang dan bertahan secara teratur dan memaksa Tong Lam-hou harus selalu waspasa ke empat penjuru4 suatu pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun. Tong Lam-hou tidak kecil hati sebab ia masih memiliki sebuah senjata andalan yang belum dikeluarkan, yaitu pukulan maha dingin Hian-im-ciang.
Di saat seperti itulah maka Tong Lam-hou mendapatkan sebuah pengalaman baru, "Lain kali, aku tidak boleh gegabah lagi. Tadinya aku mengira dengan mudah dapat menggasak mereka dan membuat mereka pontang-panting, tak terduga pentolan-pentolan ini agaknya memang cukup pantas punya nama besar di kalangan hitam. Kemenanganku atas Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala dari Kun-lun) di Jit-siong-tin, dan kemudian kemenangan-kemenangan lainnya telah membuat aku besar kepala dan takabur, aku pikir semua orang dapat aku kalahkan. Anggapan ini bisa menjerumuskan aku ke dalam kesulitan di kemudian hari."
Begitulah, di tengah-tengah sambaran senjata-senjata musuhnya itu Tong Lam-hou menemukan kesadaran bahwa merasa dirinya paling sakti adalah perbuatan yang keliru. Kun-lun-sam-long atau bahkan guru mereka, tidak dapat dijadikan ukuran untuk mengukur berapa banyak orang-orang berilmu tinggi dunia. Seperti kata pepatah: setingi-tingginya suatu gunung, masih ada yang lebih tinggi, dan gunung yang tertinggipun masih terletak di bawah langit. Kini ia benar-benar meresapi arti pepatah itu.
Sementara Tong Lam-hou telah terjebak ke dalam kesulitan itu, maka pasukan Hui-liong-kun yang dipimpin oleh Pakkiong Liong-pun telah berbaris menuju ke dermaga penyeberangan. Sepasukan kecil dikirimkan lebih dulu untuk mempersiapkan kapal-kapal yang akan dipakai. Pasukan itu dipimpin Le Tong-bun.
Ketidak-hadiran Tong Lam-hou untuk sesaat memang menimbulkan banyak pertanyaan bagi beberapa orang, tapi karena mereka melihat Pakkiong Liong bersikap tenang-tenang saja, maka semuanya menduga tentu ketidak-hadiran Tong Lam-hou itu karena diberi tugas tertentu oleh Sang Panglima. Yang agak gelisah adalah Ang Bun-long. Ia kuatir jangan-jangan ketidak-hadiran Tong Lam-hou itu akan merusak rencananya yang sudah disusun rapi olehnya bersama dengan Hehou Im dan Tong King-bun tadi malam?
Tapi keadaan sudah begitu mendesak, andaikata dugaannya benarpun ia sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Satu-satunya jalan ialah menghibur hatinya sendri, "Ah, rencana yang kami susun tidak akan gagal. Pembicaraan kami bertiga tadi malam tidak didengar oleh orang yang keempat, semuanya akan berjalan dengan aman."
Dengan sebuah aba-aba dari Pakkiong Liong, barisan yang sudah siap itupun mulai bergerak. Kuda-kuda yang tegar dengan penunggang-penunggangnya yang perkasa, gemerir.cingnya senjata yang berkilat-kilat tertimpa matahari pagi dan bendera yang berkibar-kibar, semuanya memberi kesan megah, membuat semangat seluruh anggauta pasukan bangkit. Kereta-kereta kerangkeng yang berisi Pangeran Cu Hin-yang dan Li Ti-ang-hong diletakkan di tengah-tengah barisan, agar tidak mudah direbut musuh dari manapun.
Pakkiong-Liong duduk di atas punggung kudanya yang berdiri di pinggir jalan, sambil mengawasi barisannya itu dengan pandangan mata bangga. Kadang-kadang ia melambaikan tangannya kepada satu dua orang prajurit yang kebetulan berpaling kepadanya. Ketika ia melihat Ang Bun-long berkuda pula dalam barisan itu, iapun melambai sambil tersenyum ramah, "Saudara Ang, kemarilah."
Ang Bun-long menjadi berdebar-debar, namun Pakkiong Liong sudah memanggilnya dan mau tidak mau iapun keluar dari barisan dan menjajarkan kudanya dengan kuda Pakkiong Liong. Sambil memberi hormat ia bertanya, "Ada apakah Ciangkun memanggil aku?"
Dengan muka ramah sekali Pakkiong Liong menunjuk kepada barisannya dan bertanya, "Bagaimana menurut saudara Ang tentang pasukan kita ini?"
"Pasukan ini berjumlah kecil, namun setiap orangnya bertubuh baja dan bersemangat baja pula," sahut Ang Bun-long mencoba menyenangkan hati Pakkiong Liong.
"Inilah sebuah pasukan yang kecil tapi kuat."
"Bagaimana jika ada kelompok lain yang mencoba merampas tawanan dari tangan kita ini?"
Darah Ang Bun-long hampir-hampir berhenti mengalir mendengar pertanyaan itu. Namun ia memaksa mukanya untuk tertawa dengan sikap sewajar mungkin, lalu jawabnya, "Siapa yang menghadang kita akan hancur. Akan kita hancurkan sampai orang-orang terakhir."
Pakkiong Liong tertawa dan menepuk-nepuk pundak Ang Bun-long dengan akrabnya, sambil berkata, "Benar, saudara Ang. Kita akan hancurkan mereka sampai orang terakhir."
Keduanyapun tertawa bersama-sama, yang satu benar-benar tertawa dan yang lainnya berusaha bersikap wajar namun sebenarnya jantungnya berdenyut dengan cepatnya.
"Saduara Ang, kau mendampingi aku terus dalam penyeberangan ini," kata Pakkiong Liong tiba-tiba. "Aku membutuhkan seorang pendamping untuk bertukar pikiran."
Tidak bisa lain, Ang Bun-long hanya menjawab, "Aku siap menjalankan semua perintah Ciangkun."
"Nah, mari kita menyusul barisan ini," Pakkiong Liong yang berkuda berdampingan dengan Ang Bun-long dengan sikap yang sangat akrab itu menimbulkan keheranan para prajurit. Itu belum pernah terjadi. Perwira-perwira yang akrab dengan Pakkiong Liong biasanya Ha To-ji atau Han Yong-kim. Belakangan ini ditambah dengan Tong Lam-hou, tetapi ia belum menjadi prajurit.
Ang Bun-long agaknya menjadi agak bangga juga mendapat kesempatan semacam itu, sikapnya diatur supaya kelihatan seagung mungkin, namun malah jadi salah tingkah. Ha To-ji yang melihat kecanggungan Ang Bun-long itu diampdiam tersenyum dan berbisik kepada Ko Lung-to yang berkuda disebelahnya, "Agaknya tadi malam Ang Bun-long mimpi kejatuhan rembulan."
Ko Lung-to juga tersenyum, "Tetapi agaknya pencernaannya kurang baik."
"He,apa hubungannya dengan pencernaan?" "Rembulannya itu ditelannya dan membuatnya sakit perut, lihatlah duduknya yang gelisah itu."
Ha To-ji dan Ko Lung-to tertawa berbareng. setibanya di dermaga, Le Tong-bun. telah menyambutnya dan melaporkan bahwa semuanya beres. Kedua kapal sudah diperiksa seteliti-telitinya dan tidak ada hal yang membahayakan."
"Bagus, kau bekerja baik sekali, saudara Le. Kita segera naik perahu sebelum hari menjadi terlalu siang, sebab menyeberang sungai ini pun akan makan cukup waktu. Kita tidak bisa memotong sungai yang lebar dan deras ini dengan tegak lurus begitu saja, sebab itu akan membuat kapal kita terbalik, tapi kita harus memotong sungai dengan mengikuti arus sambil menyudut, sehingga jarak yang ditempuh bisa lebih panjang tiga atau empat kali dari lebar yang sesunguhnya harus ditempuh."
Ang Bun-long bertepuk dan berkata, "Ciangkun benar-benar hebat. Segala pengetahuan dikuasainya oleh Ciangkun, aku benar-benar kagum!"
Inilah hal yang sejak dulu paling tidak disukai oleh Pakkiong Liong pada diri Ang Bun-long. Sikap menjilat dan menyanjung, tidak pernah menyatakan pendapatnya sendiri. Dan orang semacam itulah yang sebenarnya paling mungkin untuk menjadi seorang pengkhianat, bukan seorang yang keras dan kasar, dan Ang Bun-long sudah melakukannya.
"Kedua tawanan itu masukkan ke kamar yang terkunci rapat di kapal yang itu," perintah Pakkiong Liong sambil menunjuk sebuah kapal yang agak lebih kecil. "Di kawal oleh Le Tong-bun dan Tokko Seng dengan regunya masing-masing!"
"Siap, Ciangkun!" sahut Le Tong-bun dan Tokko Seng serempak. Maka kedua kereta kerangkeng itu pun dimasukkan ke dalam kapal itu, dan diikuti oleh Le Tong-bun serta Tokko Seng beserta regunya masing-masing.
"Aku bersama sisa empat regu lainnya akan berada di kapal yang satunya lagi," kata Pakkiong Liong. "Kau tetap bersamaku, saudara Ang."
Melihat sikap Pakkiong Liong yang begtu ramah, kegelisahan Ang Bun-long semakin sirna. Maka dijawabnya dengan tegas, "Baik, Ciangkun."
Tapi sambil melangkah di samping Pakkiong Liong, diam-diam Ang Bun-long sudah merancang perbuatan khianatnya, "Jadi aku harus menguap sambil menutup mulutku dengan tangan kiri."
Namun begitu ia melangkah masuk ke dalam kapal, alangkah terkejutnya Ang Bun-long ketika Pakkiong Liong berkata sambiil tertawa, "Kau tidak usah berdiri di geladak, saudara Ang. Nanti angin yang sejuk akan membuatmu menguap lalu kau menutup mulutmu dengan tangan kiri."
Mendengar itu, sukma Ang Bun-long bagaikan terbang meninggalkan raganya. Jantungnya seolah berhenti berdetak dan kaki tangannya menjadi dingin. Sadarlah ia bahwa kedoknya telah terlucuti, dan kini di hadapan Pakkiong Liong ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia menyesal kenapa tadi malam ia tidak kabur saja? Sekarang, dirasanya kapal itu mulai bergerak memotong arus sungai Yang-ce-kiang.
Pakkiong Liong segera berkata pada beberapa prajurit yang berdiri di geladak, "Tangkap dia, ikat erat-erat dan taruh di ruang bawah. Dua orang harus selalu menjaganya."
Para prajurit menjadi terheran-heran kenapa mendadak Sang Panglima memerintahkan untuk menangkap seorang perwira yang baru saja diajak berkuda bersama-sama dan bercakap-cakap dengan akrabnya itu? Namun mereka cuma prajurit dan perintah itu harus dijalankan. Ang Bun-long tidak melawan sedikitpun ketika kaki dan tangannya diborgol dan ia digiring ke ruangan bawah kapal. Mukanya yang pucat itu selalu tertunduk dan tidak berani menatap pandangan Pakkiong Liong yang menyala.
"Itulah upah seorang pengkhianat, yang menjual pasukannya sendiri demi hadiah dari pihak lain," kata Pakkiong Liong kepada orang-orangnya yang masih terlongong-longong melihat penangkapan terhadap diri Ang Bun-long itu.
"Nanti saja aku akan menerangkan kepada kalian. Tetapi aku perintahkan kalian bersiap-siap, terutama dengan senjata-senjata jarak jauh, sebab ditengah-tengah sungai ini kita akan bermain-main sedikit."
Perintah untuk siap itupun segera menjalar ke telinga segenap prajurit. Bahkan juga prajurit-prajurit di kapal yang satunya lagi. Lalu kedua kapal besar itu bergerak semkain ke tengah sungai, sambil mengikuti arus. Sungai-sungai di daratan Cina umumnya sangat lebar, Sungai Yang-ce-kiang ini pun begitu lebarnya, sehingga jika orang berdiri di tepinya dan memandang ke tepi seberang maka yang tampak hanyalah seleret garis hitam yang tipis.
Untuk menyeberanginyapun harus memotong arus secara bersudut miring, bukan memotong begitu saja, sehingga jaraknya lebih jauh lagi. Jadi yang namanya menyeberang itu bisa memakan waktu setengah hari lebih. Dengan airnya yang keruh kecoklat-coklatan itu, sungai ini bisa menjadi berkah bagi rakyat di kedua tepinya karena menyuburkan tanah, namun juga tidak jarang menjadi malapetaka maha dahsyat yang menghancurkan ribuan rumah.
Pada saat kedua kapal itu sudah ada ditengah sungai, perkelahian antara Tong Lam-hou dengan keempat lawannya masih saja berlangsung sengit. Di saat itulah, tiba-tiba dari arah hilir terdengar sebatang anak panah yang berbunyi nyaring meluncur ke udara. Itulah isyarat dari anak buah Tio Hong-bwe yang ditugaskan didermaga, memberitahukan bahwa rombongan Pakkiong Liong sudah mulai menyeberang.
Keempat orang itu menjadi gugup ketika mendengar isyarat itu. Terutama Hehou Im yang menjadi otak dari penyerangan itu. Teriaknya, "Teman-teman, cepat kita kerahkan tenaga untuk membereskan monyet kecil ini! Kita harus dapat mengejar Pakkiong Liong sebelum mereka sampai ke seberang!"
Namun sang "monyet kecil" juga tidak pasrah untuk dibereskan begitu saja. Bahkan semangatnya berkobar lebih hebat ketika mendengar Pakkiong Liong sudah mulai menyeberang. Pikir Tong Lam-hou, "Asal aku bisa menahan mereka cukup lama di tempat ini, tentu seluruh pasukan akan sempat menyeberang tanpa gangguan. Aku sendiri tidak ada halangannya untuk menyeberang kemudian menyusul mereka."
Bahkan Tong Lam-hou mulai menyebarkan pukulan dinginnya. Udara pagi yang hangat di tempat itu tiba-tiba berubah jadi dingin luar biasa seolah membekukan kulit. Keempat gembong penjahat itu mulai merasa betapa kesiur angin yang terlontar dari tangan atau kaki Tong Lam-hou itu terasa amat dingin memedihkan kulit. Bahkan lama-lama aliran darah merekapun terasa semakin beku dan semakin lambat jalanya dengan demikian gerakannyapun tak terkendali lagi.
"Bangsat ini punya ilmu siluman!”
“Tadi aku sudah merasakannya!" teriak Tong King-bun.
Yang paling kebingungan adalah Hehou Im. Pakkiong Liong harus segera dikejar, tetapi Tong Lam-hou di sini belum dapat diatasi. Dalam gugupnya ia mengambil suatu keputusan untung-untungan, "Song Hian! Kau berangkat dulu dengan seluruh anak buahmu untuk mengejar mereka, jangan sampai mereka sampai ke seberang lebih dulu Tio Hong-bwe dan Tong King-bun tetap bersama-sama aku di sini untuk membereskan monyet kecil ini lebih dulu!"
Perintah itu kedengarannya masuk akal. Namun Song Hian menjadi ragu-ragu untuk menjalankannya. Dia boleh saja garang di perairan Yang-ce-kiang, namun kalau harus disuruh menghadapi si Naga Utara yang namanya sudah amat terkenal itu, hatinya keder juga. Tadinya ia berani, sebab rencananya Pak-kiong Liong akan dihadapi berempat dengan ketiga kawan-kawannya itu, sedang perwira-perwira bawahan Pakkiong Liong akan dihadapi oleh beberapa anak-buahnya yang ilmunya dianggap pantas untuk diketengahkan.
Tapi rencana itu sekarang berantakan. Kalau Song Hian disuruh maju sendiri menghadapi Pakkiong Liong maka ia memilih untuk mengundurkan diri saja. Buat apa hadiah besar dari Pakkiong An kalau nyawanya sendiri bakal amblas di dasar sungai?
Melihat keragu-raguan Song Hian itu, Hehou Im menjadi jengkel. Teriaknya, "He, cepat! Kau tunggu apa lagi?!"
Song Hian yang menyeringai dari jawabnya tanpa malu-malu, "Janji kita...kita akan menghadapi Pakkiong Liong berempat. Sekarang kalau aku harus sendirian lalu bagaimana?"
"Pengecut! Ingat, kau sudah dibayar!" teriak Hehou Im.
"Bayarannya akan kukembalikan saja. Aku ingin panjang umur!"
Sementara tanya jawab antara He-hou Im dengan Song Hian itu berlangsung, kepungan telah menjadi kendor. Dan Tio Hong-bwe telah terjungkal masuk ke sungai dengan tubuh menggigil kedinginan, sehingga air sungai justru terasa hangat di kulitnya.
Dan Tong Lam-hou dengan geli mendengarkan percakapan itu. Katanya sambil tertawa, "Benar sekali ucapannya. Lebih baik agak miskin tetapi panjang umur dan hidup bahagia, daripada mendapat hadiah besar namun menjadi setan penasaran!"
Sementara itu Tong King-bun telah menerjang dengan pedangnya, namun Tong Lam-hou berhasil menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Dan ketika ia melancarkan pukulan balasan, buru-buru Tong King-bun menggulingkan tubuhnya karena ia takut akan sambaran maha dingin yang tak mungkin dihadapi dengan pedang itu. Dengan demikian kepungan itupun menjadi berantakan.
Cepat Tong Lam-hou melompat keluar dari kepungan, menginjak sebuah perahu yang kosong di te-pian. Sambil berteriak dari kejauhan ia mengancam, "Jika kalian ingin menghadang pasukan Pakkiong Liong dan merebut tawanan dari tangannya, kalian harus melipat-gandakan kekuatan kalian! Jika hanya seperti ini, kalian cuma bunuh diri. Aku saja kalian tidak dapat menangkapnya, apalagi Pakkiong Liong!"
Kemudian Tong Lam-hou menyambar sebuah dayung dan mendayung perahunya untuk mencoba menyusul kapal-kapal Pakkiong Liong. Dengan kekuatannya yang hebat, maka perahu Tong Lam-hou itupun meluncur dengan pesatnya sejalan dengan arus sungai. Sekejap saja kawanan bajak sungai itu sudah jauh tertinggal di tepian.
Namun Hehou Im dan tenaga-tenaga sewaannya itu masih belum menyerah. Katanya, "Ayo kejar mereka!"
Didahului oleh Hehou Im, maka yang lain-lainnyapun segera mengikutinya dengan berlompatan ke atas perahu-perahu yang masih kosong untuk segera didayung menyusul Tong Lam-hou. Song Hian yang tadinya ragu-ragu itupun sekarang juga ikut mengejar. Pikirnya, "Lebih enak kelihatan ikut bekerja sedikit daripada upah yang sudah diterima sebagian itu ditarik lagi oleh Hehou Im."
Maka di tengah sungai yang lebar itupun terjadi kejar-mengejar yang seru. Tong Lam-hou dengan sebuah perahu, dikejar oleh kawanan bajak Yang-ce-ki-ang dengan berpuluh-puluh buah perahu. Bahkan kemudian para bajak mulai melepaskan anak-anak panah mereka untuk menghujani Tong Lam-hou. Terpaksa Tong Lam-hou memutar dayungnya tidak untuk mendayung melainkan untuk melindungi dirinya dari hujan anak panah itu.
Karena berhenti mendayung, maka akhirnya perahu Tong Lam-hou-pun tersusul oleh perahu-perahu para bajak Tio Hong-bwe yang tubuhnya masih basah kuyup karena tadi dipukul terjungkal masuk sungai itu, paling bersemangat dalam mengejar, sebab ia ingin membalas dendam kepada Tong Lam-hou. Robohnya dirinya tadi telah membuat ia agak kehilangan muka di depan anak-buahnya, dan sekarang ia ingin memulihkan pamornya dengan membuat Tong Lam-hou terjungkal ke sungai pula. Namun tidak dengan adu kepandaian Silat, melainkan dengan siasat tempur para bajak sungai.
Kata Tio Hong-bwe kepada Hehou Im, "He, setan kurus, kau boleh ajak Tong King-bun dan Song Hian serta seluruh laskar untuk mengejar Pakkiong Liong sebelum terlambat. Cukup tinggalkan lima belas orang dan beberapa tukang selam kepadaku, nanti aku tenggelamkan beingsat cilik ini ke dasar Yang-ce-kiang."
"Kau sanggup?"
"Sanggup. Di darat tadi ia boleh malang-melintang seenaknya, tetapi ia telah berbuat bodoh dengan menantang kami bertempur di atas air, sebab pertempuran di air justru adalah keahlian kami. Kau lihat saja...”
Lalu Tio Hong-bwe memimpin kira-kira lima belas orang anak buahnya yang terbagi dalam tujuh perahu, untuk mengepung perahu Tong Lam-hou. Semua bajak-bajak yang mengepung Tong Lam-hou itu bersenjata kaitan panjang, yang tangkainya tiga depa lebih, dan ujung gaetan itu juga tajam seperti pisau. Gaetan itu biasanya digunakan oleh para bajak untuk mencoba mengait dan menghentikan kapal-kapal yang akan dijadikan sasaran perompakan mereka, namun kini digunakan untuk mengait tubuh, kaki maupun tangan Tong Lam hou. Jika kena dapat merobek kulit.
Maka sibuklah Tong Lam-hou di atas perahunya itu menghadapi kaitan-kaitan yang menyambar-nyambar dari sekekelilingnya itu. Bukan sekedar menyambar secara ngawur, melainkan benar benar di arahkan ke sasaran-sasaran tertentu, bahkan ada yang mencoba mengait tepi perahu yang ditumpangi oleh Tong Lam-hou untuk mencoba men-jungkir-balikkan perahu itu. Dayung yang dipegang Tong Lam-hou bukanlah senjata yang memadai, sebab panjangnya cuma sedepa lebih, hanya dapat untuk menangkis namun tidak bisa untuk membalas menyerang.
Tio Hong-bwe yang memimpin anak-buahnya itupun ikut menggerak-gerakkan sebatang kaitan, sambil berteriak-teriak memberi perintah kepada anak buahnya. Bahkan kemudian ia memberi isyarat agar para tukang menyelam itu mulai bekerja dari bawah air.
Sementara itu, diam-diam Tong Lam hou mengeluh dalam hatinya. Sekali lagi ia menyesali kegabahannya sendiri. Jika ia tetap di tepian seperti tadi, tentu ia dapat melakukan perlawanan lebih baik, bahkan bagaimanapun tipisnya masih ada kemungkinan untuk menang.
Tapi di atas perahu yang sempit dengan air di sekelilingnya seperti ini, maka daya tempurnya seolah menyusut lebih dari separoh. Ia tidak dapat berlompatan dengan bebas sebab bisa kecebur sungai, ia juga tidak dapat menyerang dengan dayungnya yang terlalu pendek, atau pukulan maha dinginnya yang daya serangnya hanya mencapai lima atau enam langkah di sekitar tubuhnya.
Dengan demikian bajak-bajak itu berada di luar jangkauan serangannya. Jika ia memukul dengan Hian-im-ciang, maka bajak-bajak itu hanya merakasakan angin dingin yang menyentuh kulit, namun segera hilang oleh angin pagi yang hangat. Kini terpaksa Tong Lam-hou bertahan saja sambil mencari akal untuk lepas dari kepungan itu.
Hehou Im ketika melihat betapa cara yang digunakan Tio Hong-bwe dan anak buahnya itu, tersenyum puas dan berkata, "Bagus. Nah, aku pergi dulu untuk mengejar Pakkiong Liong dan menceburkannya pula ke sungai seperti teman baiknya ini.”
"Pergilahl" teriak Tio Hong-bwe.
Maka Hehou Im, Tong King-bun dan Song Hian memimpin sebagian besar dari bajak-bajak sungai itu untuk mengejar kapal-kapal Pakkiong Liong. Perahu-perahu mereka berbadan sempit dan runcing, selain didayung sekuat tenaga juga mengikuti arus sungai, sehingga melaju dengan amat pesat sekali. Sementara itu dari rumpun-rumpun gelagah air di sepanjang tepian, bermunculan pula perahu-perahu serupa dalam Jumlah yang amat banyak.
Jumlah bajak yang ikut mengejar Pakkiong Liong itu mencapai jumlah hampir duaratus lima puluh orang, tentu saja jumlah yang banyak itu membuat keberanian mereka timbul, tidak peduli yang bakal mereka hadapi adalah Pasukan Naga Terbang yang terkenal. Song Hian agaknya tidak tega meninggalkan Tio Hong-bwe hanya dengan lima belas anak buah, maka la menyuruh lima belas orang lagi untuk membantu Tio Hong-bwe menghadapi Tong Lam-hou.
"Sudah cukup!" teriak Tio Hong-bwe sambil melambaikan tangan.
"Supaya pekerjaanmu cepat, selesai!" teriak Song Hian sambil melambaikan tangan pula.
Demikianlah laskar bajak itu terbagi dua. Sebagian kecil dipimpin Tio Hong-bwe menghadapi Tong Lam-hou, sementara sebagian besar lainnya yang berjumlah berpuluh-puluh perahu yang menyangkut beratus-ratus bajak, dipimpin oleh Hehou Im bertiga telah menyerbu kapal-kapal Pakkiong Liong.
"Inilah upahnya orang yang sok ingin jadi pahlawan," Tong Lam-hou memaki dirinya sendiri. "Bukannya aku berhasil mencegah mereka, malahan memberi kesempatan kepada penjahat-penjahat ini untuk mencegat kapal A-liong."
Namun Tong Lam-hou hanya bisa marah-marah dalam hati dan tidak berdaya sedikitpun. Ia belum menemukan akal untuk menghadapi "barisan perang" laskar bajak yang ternyata sangat manjur itu. Paha Tong Lam-hou sudah mendapat dua goresan berdarah, dan satu lagi di punggungnya. Sedang kawanan bajak yang menyerang dari kejauhan itu belum berkurang satu orangpun dan belum ada yang luka seujung rambutpun.
Sementara itu, Pakkiong Liong yang juga tengah berada di sungai itu berdiri di geladak kapalnya sambil memandang dengan waspada ke empat penjuru. Dan akhirnya yang ditunggu-tunggunya itupun nampaklah, dari arah hulu sungai, nampak puluhan perahu dengan orang-orang bersenjata di atasnya, telah meluncur datang sambil berteriak-teriak. Tiga orang yang nampaknya merupakan pempinan para penyerang itu berdiri di ujung perahu sambil mengacung-acungkan senjata mereka.
Melihat itu, Pakkiong Liong segera berteriak, "Pasukan pemanah siap!"
Perintah itu segera diisyaratkan pula ke arah perahu yang satunyai lagi yang meluncur berdampingan dengan perahu Pakkiong Liong. Ketika pihak penyerang mulai melepaskan panan-panah mereka, maka pasukan kerajaanpun segera membalasnya. Ratusan anak panah segera beterbangan saling menyambar dari kedua belah pihak, meskipun orang-orang terdepan sudah berlindung di balik perisai, namun tak terhindari bahwa beberapa anak panah dapat juga menyusupi sela-sela perisai dan melukai atau bahkan mematikan seseorang.
Pakkiong Liong dan para perwira tidak hanya berteriak-teriak mengatur anak buah mereka, namun juga ambil bagian dalam perang panah itu. Tanpa dilindungi sehelai perisaipun, Pakkiong Liong berdiri dengan gagah perkasa di atas geladak, dan melontarkan panah-panahnya. Dan jika Pakkiong Liong sendiri yang memanah, maka tak ada sebatang anak-panahpun yang terbuang, seratus kali memanah akan berarti seratus musuh terjungkal masuk sungai. Tetapi jumlah musuh sangat banyak, kalau hanya tewas belasan orang saja masih belum mematahkan semangat mereka untuk terus mendesak maju.
Hehou Im dan lain-lainnya memang berilmu tinggi, namun tidak terlalu paham akan ketramapilan-ketrampilan keprajuritan seperti memanah, sehingga mereka tidak dapat membantu anak buah mereka. Kecuali Hehou Im yang bagaimanapun juga adalah seorang perwira, dalam pasukan Ui-ih-kun, cara memegang busur dan dan panah diketahui juga olehnya, namun tingkat kepandaian memanahnya tidak lebih baik dari seorang prajurit biasa.
Tapi kemudian terjadi sesuatu yang harus diperhitungkan oleh Pasukan Hui-liong-kun, yaitu bahwa para bajak mulai melepaskan panah-panah berapi, yang diarahkan ke layar kapal ataupun rumah-rumahan di kapal. Api yang berkobar telah memaksa prajurit-prajurit Hui-liong-kun memecah perhatiannya untuk memadamkan api. Tapi panah-panah berapi dari musuh bukan cuma satu dua melainkan terus menerus, disamping panah-panah biasa yang berujung tajam. Api di bagian sini berhasil di padamkan, telah muncul kobaran api di bagian lainnya, sehingga para prajurit menjadi sibuk.
Kuda-kuda tunggangan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang dibawa di bagian bawah kapal besar itu, meringkik-ringkik dan menyepak-nyepak lantai kapal dengan paniknya, sehingga menimbulkan suara gaduh. Rupanya binatang-binatang itu menjadi tak terkendali karena ketakutan melihat nyala api, untunglah kuda-kuda itu diikat, sehingga tidak tercerai-berai dan menambah ributnya keadaan.
Yang tidak kalah bingungnya adalah dua orang juru mudi dari kedua kapal yang disewa itu. Mereka bukan prajurit, melainkan hanyalah orang-orang biasa yang mengemudikan perahu-perahu sewaan. Kini mendadak mereka dilibatkan dalam suasana perang yang mengerikan itu, keruan saja lutut mereka gemetar dan muka mereka pucat. Tangan mereka yang memegang kemudi sudah tidak tetap lagi sehingga jalannya kapal agak terganggu. Namun prajurit-prajurit Hui-liong-kun segera menenangkan mereka.
Sementara itu, di bawah hujan panah dari pasukan pemerintah, tanpa kenal takut laskar bajak itupun terus menyerbu. Sambil memanah mereka juga " berusaha untuk mendekati kedua kapal itu, dan berusaha memanjat naik. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang jauh lebih sedikit itu tidak dapat mencegah ketika beberapa buah perahu bajak berhasil merapat ke kapal, dan para bajak dengan berteriak-teriak buas mulai memanjat dengan bergelantungan pada tali.
Di buritan, beberapa bajak berhasil naik ke kapal, dan pertempuran sengit segera terjadi. Para prajurit terpaksa meletakkan busur dan panah mereka,. lalu menarik pedang-pedang mereka dan bertarung jarak dekat dengan bajak-bajak yang bias itu. Sementara jumlah bajak yang berhasil memanjat naik semakin banyak saja, meskipun banyak pula yang harus jatuh kembali ke air karena disambut dengan babatan pedang oleh prajurit-prajurit sebelum sempat menginjak geladak kapal.
Dentang senjata dan teriakan-teriakan keras dari orang yang berlaga segera terdengar di geladak kedua buah kapal. Bercampur dengan asap hitam dan derak kayu yang terbakar, ringkik kuda dari ruangan bawah, semuanya menjadikan suasana benar-benar menggetarkan hati. Kini hampir tidak ada lagi tentara kerajaan yang sempat memanah, sebab mereka harus menangggulangi para bajak yang semakin banyak naik ke kapal? seperti segerombolan semut merubung sebuah kue besar.
Pertempuran di kedua kapal itu bukan saja pertempuran dengan ilmu silat, namun juga pertempuran dengan segala cara. Seorang bajak bergelantungan di tali kapal sambil berayun-ayun kian kemari dan mengayun-ayunkan goloknya sehingga dapat membunuh beberapa prajurit. Namun petualangan bajak itupun berakhir ketika seorang prajurit Hui-liong-kun yang juga bergelantungan di tali, telah menyongsongnya di tengah udara dan menghunjamkan pedangnya ke dada bajak itu.
Di sini tidak digunakan siasat perang atau barisan perang yang bagaimanapun juga, tapi semata-mata mangandalkan ketangkasan perorangan. Siapa yang tangkas, dia punya harapan hidup lebih besar daripada yang kurang tangkas. Pedang-pedang dan senjata kedua pihak sudah berlumuran darah, namun kedua pihak masih belum puas dan ingin menambah jumlah korban senjatanya lagi.
Pasukan Hui-liong-kun bertahan dengan gigih dan dengan semangat yang tinggi. Nama besar mereka sebagai sebuah pasukan yang ditakuti, ternyata bukan dongeng kosong belaka, mereka benar-benar bertarung seperti serigala serigala kelaparan. Para bajak menjadi ngeri juga melihat semangat berani mati dari prajurit-prajurit gemblengan Pakkiong Liong itu, namun para bajak percaya bahwa dengan jumlah yang jauh lebih besar mereka akan dapat juga mengalahkan pasukan yang terkenal itu.
Yang paling menggemparkan kawanan bajak itu adalah Pakkiong Liong sendiri. Meskipun ia tidak mengeluarkan Hwe-liong-sin-kangnya, karena geladak kapal tidak terlalu luas sehingga ilmu itu bisa mempengaruhi anak buahnya sendiri, namun tanpa ilmu itu pun Pakkiong Liong nampak begitu menakutkan.
Setiap ayunan pedangnya membuat dua tau tiga orang bajak terjungkal sekaligus tanpa dapat menangkis atau mengelak. Para bajak lebih suka menghindari Panglima yang sedang marah itu, namun Pakkiong Liong pun berjalan berkeliling kapal seperti sesosok malaikat penyebar maut yang sedang menjemput korban-korbannya.
Perwira-perwira lain tidak kalah sengitnya dalam berkelahi. Ha To-ji, " Han Yong-kim yang pedang samurainya telah berubah menjadi berwarna merah oleh darah para bajak, dan Ko Lung-to yang meskipun telah luka namun masih berkelahi dengan sengitnya tanpa kenal arti menyerah. Di kapal lainnya, Le Tong-bun dan Tokko Seng juga berbuat tidak kalah hebatnya.
Hehou Im bertiga juga sudah berhasil memanjat kapal Pakkiong Liong, karena mereka menduga kapal inilah yang membawa tawanan. "Kapal ini lebih besar dan jumlah prajuritnya lebih banyak, tentu kapal inilah yang membawa tawanan," kata Hehou Im kepada kedua rekannya. "Kita terpaksa harus menebak-nebak saja, sebab Ang Bun-long yang harusnya memberi isyarat ternyata tidak muncul di geladak."
"Perwira she Ang itu benar-benar telah berkhianat," kata Tong King-bun yang pemarah itu. "Ia sudah memberitahukan tempat berkumpulnya laskar kita kepada bocah gila she Tong itu, dan kini ia tidak memberikan isyarat apapun kepada kita. Ia ingin gerakan ini gagal!"
"Itu hanya dugaanmu saja."
"Jika dugaan hanya didukung satu bukti, itu dugaan yang lemah. Tetapi jika didukung tiga bukti, itu hampir mendekati kepastian. Ingat, Ang Bun-long juga sudah menyesatkan kita tentang anakmuda yang bernama Tong Lam hou itu. Dikatakannya ilmu silatnya sangat rendah, padahal kita berempat hampir saja dibantai oleh anak ingusan itu, untunglah dia masih sangat hijau dalam pengalaman."
"Sudanlah, bukan waktunya untuk berdebat. Ayo kita naik!" kata Song Hian yang sudah tidak sabaran ingin segera bertempur di geladak.
Hehou Im segera mengeluarkan secarik kain hitam yang ditutupkan mukanya dari hidung ke bawah, kedua rekannya dengan heran melihat perbuatannya itu. "Buat apa?" tanya Tong King-bun.
"Aku adalah seorang perwira Ui-ih kun di Ibukota Kerajaan, jangan sampai ada prajurit-prajurit itu yang mengenali wajahku jika kelak bertemu di Pak-khia," sahutnya.
"Tapi anak muda yang bernama Tong Lam-hou itu sudah terlanjur melihat tampangmu tadi," kata Song Hian.
"Ya, karena tadi dia menyerang mendadak sehingga kita tidak sempat berbuat lain kecuali langsung bertempur. Tapi yang sudah terlanjur mengenalku biarlah, yang lain harus dicegah melihat wajahku."
"Senjatamu yang tidaik lazim itu juga merupakan ciri pengenalmu yang jarang dipunyai orang lain."
Sesaat Hehou Im mengamat-amati yang aneh itu, sebilah besi melengkung tajam yang disebut tiat-koan. Maka diletakkannya senjatanya itu dan diambilnya sebilah pedang, katanya, "Aku akan memakai pedang saja."
Ketiga orang itu lalu meloncat naik ke geladak kapal Pakkiong Liong, mereka tidak perlu memanjat dengan tali seperti anak buah gerombolan bajak. Begitu mereka menginjak geladak, begitu mereka melihat Pakkiong Liong sedang mengamuk membabati kawanan bajak. Maka ketiga orang itupun segera meloncat mengepung Pakkiong Liong agar tidak menjatuhkan korban lebih banyak lagi. Pertempuran satu lawan tiga segera berkobar di tengah geladak, di tengah-tengah hiruk-pikuknya pertarungan kisruh antara prajurit-prajurit melawan para bajak.
Ketika Han Yong-kim hendak meloncat membantu Pakkiong Liong, maka Pakkiong Liong telah berteriak, "Bantu saja para prajurit menyelesaikan lawan-lawan mereka, saudara Han! Ketiga orang ini masih terlalu ringan buatku!"
Alangkah marahnya Hehou Im bertiga mendengar ucapan Pakkiong Liong yang sangat meremehkan mereka itu. Sambil menggeram mereka mempergencar serangan-serangan mereka Namun kemudian benar-benar terbukti bahwa mereka bertiga memang belum cukup untuk mengimbangi Panglima yang terkenal itu. Pedang Pakkiong Liong berubah menjadi gulungan sinar keperak-perakan yang tak tertembus oleh senjata lawan-lawannya. Dan di lain saat gulungan cahaya perak itu bagaikan terpecah menjadi ratusan ujung pedang yang membuat ketiga lawannya pontang-panting menyelamatkan diri.
Sesaat Han Yong-kim masih berdiri di pinggir arena itu memperhatikan jalannya pertempuran. Ketika dilihatnya keadaan Panglimanya sama sekali tidak berbahaya, malahan yang terdesak adalah lawan-lawannya, maka Han Yong-kim segera meninggalkan tempat itu untuk membantu teman-temannya yang lain.
Baru saja ia melangkah dua langkah, dua orang bajak telah menyergapnya sambil berteriak keras dan mengayun senjata mereka keras-keras. Tapi kelebatan ilmu pedang Kenjitsu Han Yong-kim menyambut mereka, dan kedua bajak itupun berangkat menemui nenek moyang mereka. Seorang bajak lainnya mencoba menyergap Han Yong-kim dengan jalan meloncat dari atap rumah-rumahan kapal, dari arah belakang. Namun kembali pedang Han Yong-kim berkelebat dan si bajak itu tidak lain hanya menyerahkan nyawa saja.
Pakkiong Liong melirik tandang perwira bawahannya itu sambil tersenyum. Katanya kepada ketiga lawannya, "Lihatlah bawahanku itu. Ilmu pedang Kenjitsu yang dikuasainya sudah hampir sempurna sehingga sebentar lagi anak buah kalian akan terbabat habis oleh pedangnya. Selain itu ada juga perwira-perwira lain yang setingkat dengan dia di atas kapal ini. Meskipun jumlah kalian lebih banyak, kalian tidak lebih hanya bunuh diri saja."
"Kau sombong sekali!" teriak Tong King-bun marah, namun teriakan marahnya itu berubah menjadi desis kesakitan ketika pedang Pakkiong Liong berhasil menggores pundaknya.
Demikianlah, sementara di atas geladak kedua kapal itu terjadi pertempuran sengit yang berdesak-desakan, maka berjarak ratusan tombak dari tempat itu, Tong Lam-hou juga sedang dikepung di atas perahunya oleh puluhan orang bajak yang dipimpin oleh Tio Hong-bwe. Keringat sudah mengalir membasahi baju Tong Lam-hou yang dipaksa untuk bertahan terus tanpa bisa balas menyerang itu, namun masih belum juga ditemukan akal untuk lepas dari kawanan bajak itu.
Tong Lam-hou menjadi semakin gugup ketika luka-luka di tubuhnya bertambah lagi, meskipun bukan luka yang mematikan, tetapi jika terus-terusan mengalirkan darah akan menghabiskan kekuatan juga. Dan ia benar-benar akan mampus di dasar sungai itu.
Tio Hong-bwe yang merasa bahwa kemenangan sudah pasti akan diraihnya itu segera tertawa terbahak-bahak. Serunya, "Bocah tengik she Tong, sebaiknya kau menyerah saja! Aku ampuni nyawamu dan paling-paling aku hanya akan meminta kedua belah matamu!"
Tong Lam-hou menggeram, tiba-tiba terasa perahunya bergoyang semakin lama semakin keras. Goyangan itu tidak disebabkan oleh ombak sungai, melainkan oleh beberapa orang bajak yang ahli menyelam yang mencoba membalikkan perahunya dari bawah air. Tong Lam-hou menjadi semakin bingung, jika sampai perahunya terbalik dan ia tercebur ke air, maka keadaannya akan bertambah sulit. Meskipun ia juga bisa berenang, namun pertempuran dalam air akan lebih menguntungkan bajak-bajak itu. Ia benar-benar akan menjadi bulan-bulanan tanpa sempat melawan lagi.
Sementara itu goncangan makin keras, akhirnya Tong Lam-hou mengambil suatu penyelesaian yang untung-untungan. Ia berjongkok dan tangan kanannya dicelupkan ke dalam air, mengerahkan tenaga Hian-im-ciang yang maha dingin itu ke tangan kanannya, sementara tangan kirinya tetap memutar dayungnya untuk menghalau setiap kaitan yang berusaha mengait tubuhnya.
Usaha itu ternyata berhasil. Para penyelam di bawah perahu itu terkejut ketika merasakan bahwa suhu air di sekitar tubuh mereka tiba-tiba turun dengan tajamnya, lebih tajam daripada dinginnya salju di musim dingin. Dua orang sempat berenang menjauh meskipun dengan tangan dan kaki yang terasa kaku, namun yang dua orang lagi tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Segenap urat-urat darah mereka mendadak menjadi, kaku tak dapat digerakkan lagi, ketika tubuh mereka terapung ke permukaan air, maka wajah mereka sudah kebiru-biruan karena dinginnya dan tak bernyawa lagi.
Ketika Tong Lam-hou berjongkok itu, tiba-tiba ia melihat bahwa dilantai perahu itu ada seikat anak-panah yang agaknya di siapkan oleh para bajak untuk penyerangan jauh itu. Meskipun tidak ada busurnya, saat itu tiba-tiba terbukalah pikiran Tong Lam-hou. Saat untuk membalas serangan telah tiba. Bukan lagi sekedar memutar-mutar dayung untuk menghalau kaitan-kaitan lawan.
Ketika sebuah kaitan hampir menyambar kepalanya, cepat Tong Lam-hou menundukkan kepalanya sambil mengambil sebatang anak panah yang langsung dilemparkan ke arah salah seorang bajak. Panah yang dilontarkan tanpa busur itu mendesing dengan derasnya dan menancap di ulu hati seorang musuh sampai tembus, dan orang itupun masuk ke sungai.
Kawanan bajak yang tadinya merasa bahwa mereka tidak mungkin terbalas itu, kini menjadi panik melihat robohnya seroang teman mereka. Apalagi ketika panah-panah itupun kemudian meluncur berturut-turut merobohkan beberapa orang lagi. Tong Lam-hou tidak memperhatikan kaitan-kaitan musuh lagi, asal dilihatnya seorang bajak sedang menggerakkan kaitannya, segera didahuluinya dengan sambitan panahnya yang jauh lebih cepat dari gerakan kaitan panjang lawannya.
Maka kepungan itupun menjadi kacau-balau, belasan orang bajak sungai sudah jatuh, lain-lainnya menjadi ketakutan karena kuatir tersambar panah. Saat itulah yang digunakan oleh Tong Lam-hou untuk sekuat tenaga mendayung perahunya sehingga meluncur deras keluar dari kepungan. Perahu seorang bajak yang melintang di depannya ditabraknya begitu saja sehingga terbalik, dari penumpang-penumpangnya berjatuhan ke sungai.
Tio Hong-bwe terkejut melihat barisannya jadi kacau. Perintahnya, “Panah dia!"
Para bajakpun segera melepaskan panah-panah mereka. Namun kali ini Tong Lam-hou sudah bertambah pintar, panah-panah musuh tak usah dihiraukan, asal perahunya sendiri meluncur dengan cepat maka panah-panah itupun akan luput sendirinya, ternyata benar juga. Para bajak tidak dapat membidik dengan tepat ke arah Tong Lam-hou yang bergerak sangat cepat itu.
Apalagi perahu para bajakpun tergoyang-goyang oleh arus sungai sehingga semakin sulit membidik dengan baik. Maka Tong Lam-hou semakin lama semakin jauh, tak tersusul lagi oleh kawanan bajak itu. Tio Hong-bwe marah-marah dan memaki-maki anak buahnya, tetapi apa boleh buat, musuh memang sudah lolos dan mereka tidak mampu merintanginya.
Sementara itu, Tong Lam-hou terus mendayung sekuat tenaga. Ia sangat menguatirkan Pakkiong Liong dan pasukannya yang belum berpengalaman dalam pertempuran di sungai Ibu. Dengan kekuatan tenaganya yang hebat, maka perahu Tong Lam-hou meluncur sepesat anak panah yang lepas dari busurnya. Bahkan hidung perahu kecil itu sampai agak terangkat naik karena lajunya.
Di kejauahan Tong Lam-hou melihat ada asap mengepul naik, dan dua buah kapal besar yang terbakar layarnya nampak di depan sana. Di atas geladak, bertarunglah ratusan orang yang berdesak-desakan, sebentar-sebentar ada tubuh yang terlempar dari kapal dan mencebur ke sungai. Pertarungan agaknya berjalan dengan sengit dan tak kenal ampun, bahkan karena marahnya maka para prajurit telah bertindak sama liarnya dengan kawanan bajak itu.
Di sekitar kedua kapal besar itu masih ada puluhan perahu dan puluhan orang bajak yang belum sempat memanjat naik; sebab geladak kapal masih terlalu penuh dengan orang-orang yang berkelahi. Bajak-bajak yang belum sempat naik itupun tidak tinggal diam, mereka melepaskan panah-panah mereka untuk membidik prajurit-prajurit yang berdiri di tepi geladak. Namun panah mereka sudah tidak gencar lagi, sebab mereka kuatir kalau mengenai teman mereka sendiri yang juga hilir mudik di geladak.
Hati Tong Lam-hou terasa mendidih melihat hal itu. "Bajak-bajak gila-ini harus dikurangi sebanyak-banyaknya, tidak peduli mereka mampus atau tenggelam," tekad Tong Lam-hou. "Andaikata mereka terus hidup dan berkeliaran di perairan ini, mereka hanya akan menjadi momok bagi rakyat setempat, sebab terhadap pasukan pemerintah saja berani melawan, apalagi hanya kepada kaum lemah yang tak berdaya."
Dengan tekad demikian yang menyala dalam hatinya, ia tidak ragu-ragu lagi dalam segala tindakannya. Begitu perahunya dekat dengan perahu-perahu bajak-bajak yang belum sempat naik ke geladak kapal besar itu, maka kedua tangan Tong Lam-hou berganti-ganti bergerak melempar-lemparkan panah-panahnya sampai habis.
Belasan orang bajak sungai segera menjerit dan roboh terkena panah-panah tanpa busur itu. Tidak sebatang panahpun yang meleset. Ketika masih di Tiam-jong-san, serigala-serigala yang bergerak dalam kegelapan saja bisa dibidik dengan tepat oleh Tong Lam-hou, apalagi sekarang bajak-bajak yang lebih mudah dibidik dan dalam keadaan terang benderang pula.
Keadaan bajak-bajak itu jadi kacau. Beberapa perahu segera berputar arah untuk mencoba menghalangi Tong Lam-hou, namun Tong Lam-hou yang sudah kesetanan itu tak terbendung lagi. Sebelum para bajak itu sempat membentuk "barisan pengait" seperti tadi, Tong Lam-hou telah melontarkan tubuhnya ke salah satu perahu bajak yang kelihatannya membawa banyak anak panah.
Jarak antara kedua perahu yang mencapai belasan tombak itu diloncatinya begitu saja seperti seekor burung rajawali. Beberapa batang panah yang diarahkan ke tubuhnya selagi melayang di udara, telah dikibaskannya dengan tangannya dan anak-anak panah .itupun berjatuhan ke sungai.
Tubuh Tong Lam-hou meluncur deras ke arah perahu yang dikehendakinya dan dua orang bajak yang berada di perahu itu menjadi gentar ketika melihat Tong Lam-hou meluncur ke arah mereka. Tanpa pikir panjang lagi kedua bajak itu segera melompat ke sungai untuk meninggalkan perahu mereka, dan berenang menuju ke perahu kawan-kawan mereka.
Di perahu yang ditinggalkan itu memang masih tersisa belasan batang anak panah. Dan begitu kaki Tong Lam-hou menginjak lantai perahu tanpa menimbulkan goncangan sedikitpun, maka anak-anak panah itu diraupnya dan dilempar-lemparkannya, sambil berteriak, "Ayo kita buktikan panah siapa yang lebih hebat!"
Kembali belasan orang bajak menjadi korban panah-panah si pemburu serigala dari lereng Tiam-jong-san itu. Hendak mengelak atau menangkispun tidak bisa. Ada jalan yang aman, yaitu terjun ke sungai, namun hanya dua orang yang selamat dengan jalan itu.
Begitulah, di samping pertarungan sengit digeladak kedua kapal besar itu, maka antara perahu-perahu kecil di sekitar kedua kapal itupun telah terjadi pertarungan antara Tong Lam-hou melawan bajak-bajak yang belum sempat naik ke geladak.
Pakkiong Liong yang sudah berhasil mendesak ketiga orang lawannya, sempat menengok ke sungai dan hatinya melonjak gembira ketika melihat siapakah yang tengah bertempur di atas perahu kecil itu. "A-hou!" desisnya bangga melihat keperkasaan sahabatnya itu.
Sebaliknya Hehou Im dan teman-temannya merosot keberaniannya setelah melihat kemunculan Tong Lam-hou di situ. Kalau Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou bergabung, siapa yang sanggup membendung? Dan entah bagaimana dengan nasib Tio Hong-bwe yang tadi bertempur melawan Tong Lam-hou? Akhirnya Hehou Im sadar bahwa kehebatan Pasukan Hui-liong-kun di medan laga itu bukan sekedar cuma digembar-gemborkan orang, namun benar-benar suatu kenyataan.
Laskar bajak sungai Yang-ce-kiang yang jumlahnya hampir tiga kali lipat pasukan Hui-liong-kun itupun ternyata bukan jaminan dapat merebut kemenangan. Dilihatnya di sekelilingnya di mana prajurit-prajurit Hui-liong-kun tetap bertempur dengan semangat yang tinggi tapi tetap teratur, juga dengan keberanian yang menakjubkan, sedang laskar bajak sudah banyak yang berkelahi dengan setengah hati. Tadinya bajak-bajak itu berhasil dikobarkan semangatnya denan ditipu bahwa di kedua kapal itu ada harta karun milik Kerajaan yang tak ternilai harganya.
Tapi ketika mereka melihat betapa banyaknya tubuh teman-teman mereka yang bergelimpangan di geladak kapal itu, belum terhitung yang tenggelam di sungai, maka bajak-bajak itupun merosot semangat tempurnya. Jangan-jangan sebelum sempat menemukan harta karun mereka sudah lebih dulu menejadi setan tanpa kepala?
Sementara itu, Tong Lam-hou bertempur dengan bersemangat sekali. Ketika seorang bajak mencoba menjulurkan kaitan panjangnya untuk mengait tubuhnya, maka dengan sigap Tong Lam-hou telah menangkap tangkai kaitan itu dan menyentakkannya sekuat tenaga Bajak yang memegangi pangkal tangkainya itu tidak dapat melawan tenaga besar dari murid Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu, sehingga terpaksa melepaskannya agar ia tidak tertarik keluar dari perahunya.
Kini di tangan Tong Lam-hou telah ada sebatang kaitan bergagang amat panjang maka ia bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayapnya. Kaitan itu diputarnya dengan kencang seperti baling-baling yang tertiup angin, sehingga berbentuk seperti bundaran yang menggugurkan semua anak panah yang di tujukan kepadanya. Bahkan beberapa bajak yang di dalam jangkauan senjatanya itu telah dirobohkannya.
Dari atas geladak kedua kapal, banyak prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang tadinya belum pernah melihat kehebatan Tong Lam-hou, kini telah melihatnya dengan mata mereka sendiri, bukan lagi mendengar cerita dari orang lain. Diam-diam para prajurit itu menjadi kagum sekali, pantas saja kalau anak muda itu menjadi sahabat Panglima mereka, ternyata kedua sahabat itu memang memiliki kesamaan dalam banyak hal. Dalam watak maupun kepandaian yang satu berjulukan Pak-liong atau si Naga Utara, lainnya kebetulan bernama Lam-hou atau si Macan Selatan...
Menyadari gawatnya keadaan, Tong Lam-hou bertindak tidak tanggung-tanggung. Sebelum kakinya menginjak tanah maka ia telah memutar tubuhnya di udara dengan gerakan seperti gasing dan dengan mengerahkan ilmu pukulan maha dinginnya yang disebut Han-im-ciang, ia memukul ke empat penjuru.
Saat itu memang dengan gerakan yang tangkas Hehou Im dan rekan-rekannya sudah meloncat bangun, sambil menghunus senjata masing-masing. Hehou Im bersenjata sebatang tiat-koan (tongkat yang melengkung tajam), Tong King-bun menghunus sebatang pedang Tio Hong-bwe bepsenjata sebatang tombak pendek berkait dan Song Hian bersenjata sebuah gada besi bersegi delapan, sesuai dengan pembawaannya yang bertenaga kasar.
Mereka terkejut ketika melihat bahwa yang menyerang mereka itu ternyata cuma seorang anak-buda yang pantas untuk menjadi anak angkat mereka, dan bertangan kosong pula. Hehou Im yang pernah melihat Tong Lam-hou di kota Kun-beng, segera mengenal Tong Lam-hou, dan berteriak, "Kau saudara angkat Pakkiong Liong itu?"
Tong King-bun meloncat maju sambil tertawa, "Wah, rupanya aku bertemu dengan sanak keluarga seketurunan (maksudnya sama-sama she Tong). Tapi biarpun sanak keluarga kalau mengganggu pekerjaanku, ia harus ditumpas!"
Dan ia mulai menyerang dengan pedangnya, tetapi buru-buru meloncat mundur dengan terkejut. Mukanya mendadak pucat dan bibirnya agak membiru tubuhnya menggigigil kedinginan. Tentu saja rekan-rekannya terkejut melihat hal itu. Tio Hong-bwe segera bertanya,
"He, kau kenapa? Mendadak kena malaria?"
Tong King-bun menjawab, "Hati-hati, bangsat kecil ini punya ilmu siluman..."
Namun Song Hian telah memutar gada besinya sambil berteriak, "Ilmu siluman apa? Aku tidak percaya! Biarlah aku si Gajah Berpunggung Besi ini akan menghancurkan batok kepalanya!"
Selesai dengan kata-katanya, gada besinyapun dengan derasnya menyambar kepala Tong Lam-hou. Tong Lam-hou yang tidak berniat untuk mengobral ilmu pukulan dinginnya itu, segera menundukkan kepalanya. Secepat kilat kedua tangannya mencengkeram tangan Song Hian yang tengah terjulur dan di-bareng dengan mengait kakinya. Tak ampun lagi Song Hian terbanting rubuh, hampir saja gada besinya menghantanm jidatnya sendiri.
Maka ditempat itu terjadilah perkelahian empat lawan satu. Empat orang tokoh-tokoh yang terkenal di dunia hitam dan masing-masing memegang senjata andalannnya masing-masing, berhadapan dengan seorang anak muda ingusan yang baru saja turuhn gunung, yang senjatanya cuma sebilah belati yang diambilnya dari balik bajunya.
Namun anak muda ingusan itu ternyata bukan seekor domba gemuk yang begitu mudahnya untuk diterkam dan dirobek-robek oleh keempat manusia buas itu, melainkan ibarat seekor harimau muda yang darahnya tengah menghangat oleh gairah tempur yang menyala, ingin menguji sampai di mana ilmu yang dimilikinya. Dan ia juga adalah putera Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang yang jaman dulu pernah menggemparkan kolong langit, dan sejak kecil dididik oleh Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang tidak kalah menggemparkannya.
Karena itulah Hehou Im dan ketiga orang temannya menjadi penasaran betul karena mereka tidak dapat segera mengalahkan seorang yang masih begitu muda meskipun sudah main keroyok. Kalau hal itu sampai tersiar di kalangan persilatan, entah di mana lagi muka mereka akan disembunyikan? Mereka yang masing-masing berjulukan Sat-sin-kui, Say-ya-jat, Hek-liong dan Tiat-pwersang, julukan yang seram-seram kedengarannya, agaknya harus mengganti julukan-julukan mereka.
Yang merasa paling penasaran adalah Hehou im dan Tong King-bun. Mereka merasa bahwa mereka telah ditipu oleh Ang-Bun-long. Bukankah tadi malam perwira Hui-liong-kun itu ketika ditemui telah mengatakan bahwa Tong Lam-hou hanyalah anak gunung yang kepandaiannya hanya seperti seorang prajurit biasa? Bahkan Ang Bun Long mengatakan bahwa anak muda itu hanya "bisa sejurus dua jurus kuntau kampung" namun yang ternyata, adalah jauh berbeda.
Si anak gunung itu menyambar-nyambar dengan garang bagaikan seekor harimau luka, pisau belati di tangan kanannya itu bergerak-gerak sedemikian cepatnya sehingga memenuhi udara dengan bayangan pisaunya yang putih kemilau. Keempat senjata lawannya menembus pertahanan rapat Tong Lam-hou.
"Ang Bun-long gila," geram He-hou Im didalam hati. "Kepandaian seperti ini dikatakan tidak berarti? Tiga orang seperti Ang Bun-long akan digilas tanpa ampun oleh sahabat Pakkiong Liong ini!"
Tong King-bun juga bertempur sambil menggerutu dalam hati, "Pasti Ang Bun-long ingin berkhianat kepada komplotan kami, sehingga ia sengaja memberikan keterangan yang salah kepada kami agar kami mengalami kesalahan perhitungan dan akhirnya kalah. Barangkali dia pula yang memberitahukan kepada bangsat kecil ini tempat persembunyian kami di sini. Agaknya Ang Bun-long ingin lepas dari kami dan ia berusaha membunuh kami dengan meminjam tangan bangsat kecil ini. Namun ia akan salah hitung. Kami berempatlah yang akan mencincang bangsat kecil ini, dan kelak Ang Bun-longpun harus dicincang karena keterangan palsunya yang menyesatkan itu."
Demikianlah, tanpa berjanji, He-hou Im dan Tong King-bun sama-sama menimpakan kesalahan kepada Ang Bun-long yang telah mereka anggap memberi keterangan yang menyesatkan tentang Tong Lam-hou.
Sementara itu, Tong Lam-hou sendiri mengeluh dalam hatinya setelah ia terkepung oleh keempat orang itu. Meskipun ia tidak terdesak, namun untuk lolos dari kepungan mereka juga bukan hal gampang, apalagi di luar kepungan masih ada berpuluh-puluh orang bajak sungai yang siap dengan senjatanya masing-masing.
Keempat lawannya itu dapat menyerang dan bertahan secara teratur dan memaksa Tong Lam-hou harus selalu waspasa ke empat penjuru4 suatu pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun. Tong Lam-hou tidak kecil hati sebab ia masih memiliki sebuah senjata andalan yang belum dikeluarkan, yaitu pukulan maha dingin Hian-im-ciang.
Di saat seperti itulah maka Tong Lam-hou mendapatkan sebuah pengalaman baru, "Lain kali, aku tidak boleh gegabah lagi. Tadinya aku mengira dengan mudah dapat menggasak mereka dan membuat mereka pontang-panting, tak terduga pentolan-pentolan ini agaknya memang cukup pantas punya nama besar di kalangan hitam. Kemenanganku atas Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala dari Kun-lun) di Jit-siong-tin, dan kemudian kemenangan-kemenangan lainnya telah membuat aku besar kepala dan takabur, aku pikir semua orang dapat aku kalahkan. Anggapan ini bisa menjerumuskan aku ke dalam kesulitan di kemudian hari."
Begitulah, di tengah-tengah sambaran senjata-senjata musuhnya itu Tong Lam-hou menemukan kesadaran bahwa merasa dirinya paling sakti adalah perbuatan yang keliru. Kun-lun-sam-long atau bahkan guru mereka, tidak dapat dijadikan ukuran untuk mengukur berapa banyak orang-orang berilmu tinggi dunia. Seperti kata pepatah: setingi-tingginya suatu gunung, masih ada yang lebih tinggi, dan gunung yang tertinggipun masih terletak di bawah langit. Kini ia benar-benar meresapi arti pepatah itu.
Sementara Tong Lam-hou telah terjebak ke dalam kesulitan itu, maka pasukan Hui-liong-kun yang dipimpin oleh Pakkiong Liong-pun telah berbaris menuju ke dermaga penyeberangan. Sepasukan kecil dikirimkan lebih dulu untuk mempersiapkan kapal-kapal yang akan dipakai. Pasukan itu dipimpin Le Tong-bun.
Ketidak-hadiran Tong Lam-hou untuk sesaat memang menimbulkan banyak pertanyaan bagi beberapa orang, tapi karena mereka melihat Pakkiong Liong bersikap tenang-tenang saja, maka semuanya menduga tentu ketidak-hadiran Tong Lam-hou itu karena diberi tugas tertentu oleh Sang Panglima. Yang agak gelisah adalah Ang Bun-long. Ia kuatir jangan-jangan ketidak-hadiran Tong Lam-hou itu akan merusak rencananya yang sudah disusun rapi olehnya bersama dengan Hehou Im dan Tong King-bun tadi malam?
Tapi keadaan sudah begitu mendesak, andaikata dugaannya benarpun ia sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Satu-satunya jalan ialah menghibur hatinya sendri, "Ah, rencana yang kami susun tidak akan gagal. Pembicaraan kami bertiga tadi malam tidak didengar oleh orang yang keempat, semuanya akan berjalan dengan aman."
Dengan sebuah aba-aba dari Pakkiong Liong, barisan yang sudah siap itupun mulai bergerak. Kuda-kuda yang tegar dengan penunggang-penunggangnya yang perkasa, gemerir.cingnya senjata yang berkilat-kilat tertimpa matahari pagi dan bendera yang berkibar-kibar, semuanya memberi kesan megah, membuat semangat seluruh anggauta pasukan bangkit. Kereta-kereta kerangkeng yang berisi Pangeran Cu Hin-yang dan Li Ti-ang-hong diletakkan di tengah-tengah barisan, agar tidak mudah direbut musuh dari manapun.
Pakkiong-Liong duduk di atas punggung kudanya yang berdiri di pinggir jalan, sambil mengawasi barisannya itu dengan pandangan mata bangga. Kadang-kadang ia melambaikan tangannya kepada satu dua orang prajurit yang kebetulan berpaling kepadanya. Ketika ia melihat Ang Bun-long berkuda pula dalam barisan itu, iapun melambai sambil tersenyum ramah, "Saudara Ang, kemarilah."
Ang Bun-long menjadi berdebar-debar, namun Pakkiong Liong sudah memanggilnya dan mau tidak mau iapun keluar dari barisan dan menjajarkan kudanya dengan kuda Pakkiong Liong. Sambil memberi hormat ia bertanya, "Ada apakah Ciangkun memanggil aku?"
Dengan muka ramah sekali Pakkiong Liong menunjuk kepada barisannya dan bertanya, "Bagaimana menurut saudara Ang tentang pasukan kita ini?"
"Pasukan ini berjumlah kecil, namun setiap orangnya bertubuh baja dan bersemangat baja pula," sahut Ang Bun-long mencoba menyenangkan hati Pakkiong Liong.
"Inilah sebuah pasukan yang kecil tapi kuat."
"Bagaimana jika ada kelompok lain yang mencoba merampas tawanan dari tangan kita ini?"
Darah Ang Bun-long hampir-hampir berhenti mengalir mendengar pertanyaan itu. Namun ia memaksa mukanya untuk tertawa dengan sikap sewajar mungkin, lalu jawabnya, "Siapa yang menghadang kita akan hancur. Akan kita hancurkan sampai orang-orang terakhir."
Pakkiong Liong tertawa dan menepuk-nepuk pundak Ang Bun-long dengan akrabnya, sambil berkata, "Benar, saudara Ang. Kita akan hancurkan mereka sampai orang terakhir."
Keduanyapun tertawa bersama-sama, yang satu benar-benar tertawa dan yang lainnya berusaha bersikap wajar namun sebenarnya jantungnya berdenyut dengan cepatnya.
"Saduara Ang, kau mendampingi aku terus dalam penyeberangan ini," kata Pakkiong Liong tiba-tiba. "Aku membutuhkan seorang pendamping untuk bertukar pikiran."
Tidak bisa lain, Ang Bun-long hanya menjawab, "Aku siap menjalankan semua perintah Ciangkun."
"Nah, mari kita menyusul barisan ini," Pakkiong Liong yang berkuda berdampingan dengan Ang Bun-long dengan sikap yang sangat akrab itu menimbulkan keheranan para prajurit. Itu belum pernah terjadi. Perwira-perwira yang akrab dengan Pakkiong Liong biasanya Ha To-ji atau Han Yong-kim. Belakangan ini ditambah dengan Tong Lam-hou, tetapi ia belum menjadi prajurit.
Ang Bun-long agaknya menjadi agak bangga juga mendapat kesempatan semacam itu, sikapnya diatur supaya kelihatan seagung mungkin, namun malah jadi salah tingkah. Ha To-ji yang melihat kecanggungan Ang Bun-long itu diampdiam tersenyum dan berbisik kepada Ko Lung-to yang berkuda disebelahnya, "Agaknya tadi malam Ang Bun-long mimpi kejatuhan rembulan."
Ko Lung-to juga tersenyum, "Tetapi agaknya pencernaannya kurang baik."
"He,apa hubungannya dengan pencernaan?" "Rembulannya itu ditelannya dan membuatnya sakit perut, lihatlah duduknya yang gelisah itu."
Ha To-ji dan Ko Lung-to tertawa berbareng. setibanya di dermaga, Le Tong-bun. telah menyambutnya dan melaporkan bahwa semuanya beres. Kedua kapal sudah diperiksa seteliti-telitinya dan tidak ada hal yang membahayakan."
"Bagus, kau bekerja baik sekali, saudara Le. Kita segera naik perahu sebelum hari menjadi terlalu siang, sebab menyeberang sungai ini pun akan makan cukup waktu. Kita tidak bisa memotong sungai yang lebar dan deras ini dengan tegak lurus begitu saja, sebab itu akan membuat kapal kita terbalik, tapi kita harus memotong sungai dengan mengikuti arus sambil menyudut, sehingga jarak yang ditempuh bisa lebih panjang tiga atau empat kali dari lebar yang sesunguhnya harus ditempuh."
Ang Bun-long bertepuk dan berkata, "Ciangkun benar-benar hebat. Segala pengetahuan dikuasainya oleh Ciangkun, aku benar-benar kagum!"
Inilah hal yang sejak dulu paling tidak disukai oleh Pakkiong Liong pada diri Ang Bun-long. Sikap menjilat dan menyanjung, tidak pernah menyatakan pendapatnya sendiri. Dan orang semacam itulah yang sebenarnya paling mungkin untuk menjadi seorang pengkhianat, bukan seorang yang keras dan kasar, dan Ang Bun-long sudah melakukannya.
"Kedua tawanan itu masukkan ke kamar yang terkunci rapat di kapal yang itu," perintah Pakkiong Liong sambil menunjuk sebuah kapal yang agak lebih kecil. "Di kawal oleh Le Tong-bun dan Tokko Seng dengan regunya masing-masing!"
"Siap, Ciangkun!" sahut Le Tong-bun dan Tokko Seng serempak. Maka kedua kereta kerangkeng itu pun dimasukkan ke dalam kapal itu, dan diikuti oleh Le Tong-bun serta Tokko Seng beserta regunya masing-masing.
"Aku bersama sisa empat regu lainnya akan berada di kapal yang satunya lagi," kata Pakkiong Liong. "Kau tetap bersamaku, saudara Ang."
Melihat sikap Pakkiong Liong yang begtu ramah, kegelisahan Ang Bun-long semakin sirna. Maka dijawabnya dengan tegas, "Baik, Ciangkun."
Tapi sambil melangkah di samping Pakkiong Liong, diam-diam Ang Bun-long sudah merancang perbuatan khianatnya, "Jadi aku harus menguap sambil menutup mulutku dengan tangan kiri."
Namun begitu ia melangkah masuk ke dalam kapal, alangkah terkejutnya Ang Bun-long ketika Pakkiong Liong berkata sambiil tertawa, "Kau tidak usah berdiri di geladak, saudara Ang. Nanti angin yang sejuk akan membuatmu menguap lalu kau menutup mulutmu dengan tangan kiri."
Mendengar itu, sukma Ang Bun-long bagaikan terbang meninggalkan raganya. Jantungnya seolah berhenti berdetak dan kaki tangannya menjadi dingin. Sadarlah ia bahwa kedoknya telah terlucuti, dan kini di hadapan Pakkiong Liong ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia menyesal kenapa tadi malam ia tidak kabur saja? Sekarang, dirasanya kapal itu mulai bergerak memotong arus sungai Yang-ce-kiang.
Pakkiong Liong segera berkata pada beberapa prajurit yang berdiri di geladak, "Tangkap dia, ikat erat-erat dan taruh di ruang bawah. Dua orang harus selalu menjaganya."
Para prajurit menjadi terheran-heran kenapa mendadak Sang Panglima memerintahkan untuk menangkap seorang perwira yang baru saja diajak berkuda bersama-sama dan bercakap-cakap dengan akrabnya itu? Namun mereka cuma prajurit dan perintah itu harus dijalankan. Ang Bun-long tidak melawan sedikitpun ketika kaki dan tangannya diborgol dan ia digiring ke ruangan bawah kapal. Mukanya yang pucat itu selalu tertunduk dan tidak berani menatap pandangan Pakkiong Liong yang menyala.
"Itulah upah seorang pengkhianat, yang menjual pasukannya sendiri demi hadiah dari pihak lain," kata Pakkiong Liong kepada orang-orangnya yang masih terlongong-longong melihat penangkapan terhadap diri Ang Bun-long itu.
"Nanti saja aku akan menerangkan kepada kalian. Tetapi aku perintahkan kalian bersiap-siap, terutama dengan senjata-senjata jarak jauh, sebab ditengah-tengah sungai ini kita akan bermain-main sedikit."
Perintah untuk siap itupun segera menjalar ke telinga segenap prajurit. Bahkan juga prajurit-prajurit di kapal yang satunya lagi. Lalu kedua kapal besar itu bergerak semkain ke tengah sungai, sambil mengikuti arus. Sungai-sungai di daratan Cina umumnya sangat lebar, Sungai Yang-ce-kiang ini pun begitu lebarnya, sehingga jika orang berdiri di tepinya dan memandang ke tepi seberang maka yang tampak hanyalah seleret garis hitam yang tipis.
Untuk menyeberanginyapun harus memotong arus secara bersudut miring, bukan memotong begitu saja, sehingga jaraknya lebih jauh lagi. Jadi yang namanya menyeberang itu bisa memakan waktu setengah hari lebih. Dengan airnya yang keruh kecoklat-coklatan itu, sungai ini bisa menjadi berkah bagi rakyat di kedua tepinya karena menyuburkan tanah, namun juga tidak jarang menjadi malapetaka maha dahsyat yang menghancurkan ribuan rumah.
Pada saat kedua kapal itu sudah ada ditengah sungai, perkelahian antara Tong Lam-hou dengan keempat lawannya masih saja berlangsung sengit. Di saat itulah, tiba-tiba dari arah hilir terdengar sebatang anak panah yang berbunyi nyaring meluncur ke udara. Itulah isyarat dari anak buah Tio Hong-bwe yang ditugaskan didermaga, memberitahukan bahwa rombongan Pakkiong Liong sudah mulai menyeberang.
Keempat orang itu menjadi gugup ketika mendengar isyarat itu. Terutama Hehou Im yang menjadi otak dari penyerangan itu. Teriaknya, "Teman-teman, cepat kita kerahkan tenaga untuk membereskan monyet kecil ini! Kita harus dapat mengejar Pakkiong Liong sebelum mereka sampai ke seberang!"
Namun sang "monyet kecil" juga tidak pasrah untuk dibereskan begitu saja. Bahkan semangatnya berkobar lebih hebat ketika mendengar Pakkiong Liong sudah mulai menyeberang. Pikir Tong Lam-hou, "Asal aku bisa menahan mereka cukup lama di tempat ini, tentu seluruh pasukan akan sempat menyeberang tanpa gangguan. Aku sendiri tidak ada halangannya untuk menyeberang kemudian menyusul mereka."
Bahkan Tong Lam-hou mulai menyebarkan pukulan dinginnya. Udara pagi yang hangat di tempat itu tiba-tiba berubah jadi dingin luar biasa seolah membekukan kulit. Keempat gembong penjahat itu mulai merasa betapa kesiur angin yang terlontar dari tangan atau kaki Tong Lam-hou itu terasa amat dingin memedihkan kulit. Bahkan lama-lama aliran darah merekapun terasa semakin beku dan semakin lambat jalanya dengan demikian gerakannyapun tak terkendali lagi.
"Bangsat ini punya ilmu siluman!”
“Tadi aku sudah merasakannya!" teriak Tong King-bun.
Yang paling kebingungan adalah Hehou Im. Pakkiong Liong harus segera dikejar, tetapi Tong Lam-hou di sini belum dapat diatasi. Dalam gugupnya ia mengambil suatu keputusan untung-untungan, "Song Hian! Kau berangkat dulu dengan seluruh anak buahmu untuk mengejar mereka, jangan sampai mereka sampai ke seberang lebih dulu Tio Hong-bwe dan Tong King-bun tetap bersama-sama aku di sini untuk membereskan monyet kecil ini lebih dulu!"
Perintah itu kedengarannya masuk akal. Namun Song Hian menjadi ragu-ragu untuk menjalankannya. Dia boleh saja garang di perairan Yang-ce-kiang, namun kalau harus disuruh menghadapi si Naga Utara yang namanya sudah amat terkenal itu, hatinya keder juga. Tadinya ia berani, sebab rencananya Pak-kiong Liong akan dihadapi berempat dengan ketiga kawan-kawannya itu, sedang perwira-perwira bawahan Pakkiong Liong akan dihadapi oleh beberapa anak-buahnya yang ilmunya dianggap pantas untuk diketengahkan.
Tapi rencana itu sekarang berantakan. Kalau Song Hian disuruh maju sendiri menghadapi Pakkiong Liong maka ia memilih untuk mengundurkan diri saja. Buat apa hadiah besar dari Pakkiong An kalau nyawanya sendiri bakal amblas di dasar sungai?
Melihat keragu-raguan Song Hian itu, Hehou Im menjadi jengkel. Teriaknya, "He, cepat! Kau tunggu apa lagi?!"
Song Hian yang menyeringai dari jawabnya tanpa malu-malu, "Janji kita...kita akan menghadapi Pakkiong Liong berempat. Sekarang kalau aku harus sendirian lalu bagaimana?"
"Pengecut! Ingat, kau sudah dibayar!" teriak Hehou Im.
"Bayarannya akan kukembalikan saja. Aku ingin panjang umur!"
Sementara tanya jawab antara He-hou Im dengan Song Hian itu berlangsung, kepungan telah menjadi kendor. Dan Tio Hong-bwe telah terjungkal masuk ke sungai dengan tubuh menggigil kedinginan, sehingga air sungai justru terasa hangat di kulitnya.
Dan Tong Lam-hou dengan geli mendengarkan percakapan itu. Katanya sambil tertawa, "Benar sekali ucapannya. Lebih baik agak miskin tetapi panjang umur dan hidup bahagia, daripada mendapat hadiah besar namun menjadi setan penasaran!"
Sementara itu Tong King-bun telah menerjang dengan pedangnya, namun Tong Lam-hou berhasil menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Dan ketika ia melancarkan pukulan balasan, buru-buru Tong King-bun menggulingkan tubuhnya karena ia takut akan sambaran maha dingin yang tak mungkin dihadapi dengan pedang itu. Dengan demikian kepungan itupun menjadi berantakan.
Cepat Tong Lam-hou melompat keluar dari kepungan, menginjak sebuah perahu yang kosong di te-pian. Sambil berteriak dari kejauhan ia mengancam, "Jika kalian ingin menghadang pasukan Pakkiong Liong dan merebut tawanan dari tangannya, kalian harus melipat-gandakan kekuatan kalian! Jika hanya seperti ini, kalian cuma bunuh diri. Aku saja kalian tidak dapat menangkapnya, apalagi Pakkiong Liong!"
Kemudian Tong Lam-hou menyambar sebuah dayung dan mendayung perahunya untuk mencoba menyusul kapal-kapal Pakkiong Liong. Dengan kekuatannya yang hebat, maka perahu Tong Lam-hou itupun meluncur dengan pesatnya sejalan dengan arus sungai. Sekejap saja kawanan bajak sungai itu sudah jauh tertinggal di tepian.
Namun Hehou Im dan tenaga-tenaga sewaannya itu masih belum menyerah. Katanya, "Ayo kejar mereka!"
Didahului oleh Hehou Im, maka yang lain-lainnyapun segera mengikutinya dengan berlompatan ke atas perahu-perahu yang masih kosong untuk segera didayung menyusul Tong Lam-hou. Song Hian yang tadinya ragu-ragu itupun sekarang juga ikut mengejar. Pikirnya, "Lebih enak kelihatan ikut bekerja sedikit daripada upah yang sudah diterima sebagian itu ditarik lagi oleh Hehou Im."
Maka di tengah sungai yang lebar itupun terjadi kejar-mengejar yang seru. Tong Lam-hou dengan sebuah perahu, dikejar oleh kawanan bajak Yang-ce-ki-ang dengan berpuluh-puluh buah perahu. Bahkan kemudian para bajak mulai melepaskan anak-anak panah mereka untuk menghujani Tong Lam-hou. Terpaksa Tong Lam-hou memutar dayungnya tidak untuk mendayung melainkan untuk melindungi dirinya dari hujan anak panah itu.
Karena berhenti mendayung, maka akhirnya perahu Tong Lam-hou-pun tersusul oleh perahu-perahu para bajak Tio Hong-bwe yang tubuhnya masih basah kuyup karena tadi dipukul terjungkal masuk sungai itu, paling bersemangat dalam mengejar, sebab ia ingin membalas dendam kepada Tong Lam-hou. Robohnya dirinya tadi telah membuat ia agak kehilangan muka di depan anak-buahnya, dan sekarang ia ingin memulihkan pamornya dengan membuat Tong Lam-hou terjungkal ke sungai pula. Namun tidak dengan adu kepandaian Silat, melainkan dengan siasat tempur para bajak sungai.
Kata Tio Hong-bwe kepada Hehou Im, "He, setan kurus, kau boleh ajak Tong King-bun dan Song Hian serta seluruh laskar untuk mengejar Pakkiong Liong sebelum terlambat. Cukup tinggalkan lima belas orang dan beberapa tukang selam kepadaku, nanti aku tenggelamkan beingsat cilik ini ke dasar Yang-ce-kiang."
"Kau sanggup?"
"Sanggup. Di darat tadi ia boleh malang-melintang seenaknya, tetapi ia telah berbuat bodoh dengan menantang kami bertempur di atas air, sebab pertempuran di air justru adalah keahlian kami. Kau lihat saja...”
Lalu Tio Hong-bwe memimpin kira-kira lima belas orang anak buahnya yang terbagi dalam tujuh perahu, untuk mengepung perahu Tong Lam-hou. Semua bajak-bajak yang mengepung Tong Lam-hou itu bersenjata kaitan panjang, yang tangkainya tiga depa lebih, dan ujung gaetan itu juga tajam seperti pisau. Gaetan itu biasanya digunakan oleh para bajak untuk mencoba mengait dan menghentikan kapal-kapal yang akan dijadikan sasaran perompakan mereka, namun kini digunakan untuk mengait tubuh, kaki maupun tangan Tong Lam hou. Jika kena dapat merobek kulit.
Maka sibuklah Tong Lam-hou di atas perahunya itu menghadapi kaitan-kaitan yang menyambar-nyambar dari sekekelilingnya itu. Bukan sekedar menyambar secara ngawur, melainkan benar benar di arahkan ke sasaran-sasaran tertentu, bahkan ada yang mencoba mengait tepi perahu yang ditumpangi oleh Tong Lam-hou untuk mencoba men-jungkir-balikkan perahu itu. Dayung yang dipegang Tong Lam-hou bukanlah senjata yang memadai, sebab panjangnya cuma sedepa lebih, hanya dapat untuk menangkis namun tidak bisa untuk membalas menyerang.
Tio Hong-bwe yang memimpin anak-buahnya itupun ikut menggerak-gerakkan sebatang kaitan, sambil berteriak-teriak memberi perintah kepada anak buahnya. Bahkan kemudian ia memberi isyarat agar para tukang menyelam itu mulai bekerja dari bawah air.
Sementara itu, diam-diam Tong Lam hou mengeluh dalam hatinya. Sekali lagi ia menyesali kegabahannya sendiri. Jika ia tetap di tepian seperti tadi, tentu ia dapat melakukan perlawanan lebih baik, bahkan bagaimanapun tipisnya masih ada kemungkinan untuk menang.
Tapi di atas perahu yang sempit dengan air di sekelilingnya seperti ini, maka daya tempurnya seolah menyusut lebih dari separoh. Ia tidak dapat berlompatan dengan bebas sebab bisa kecebur sungai, ia juga tidak dapat menyerang dengan dayungnya yang terlalu pendek, atau pukulan maha dinginnya yang daya serangnya hanya mencapai lima atau enam langkah di sekitar tubuhnya.
Dengan demikian bajak-bajak itu berada di luar jangkauan serangannya. Jika ia memukul dengan Hian-im-ciang, maka bajak-bajak itu hanya merakasakan angin dingin yang menyentuh kulit, namun segera hilang oleh angin pagi yang hangat. Kini terpaksa Tong Lam-hou bertahan saja sambil mencari akal untuk lepas dari kepungan itu.
Hehou Im ketika melihat betapa cara yang digunakan Tio Hong-bwe dan anak buahnya itu, tersenyum puas dan berkata, "Bagus. Nah, aku pergi dulu untuk mengejar Pakkiong Liong dan menceburkannya pula ke sungai seperti teman baiknya ini.”
"Pergilahl" teriak Tio Hong-bwe.
Maka Hehou Im, Tong King-bun dan Song Hian memimpin sebagian besar dari bajak-bajak sungai itu untuk mengejar kapal-kapal Pakkiong Liong. Perahu-perahu mereka berbadan sempit dan runcing, selain didayung sekuat tenaga juga mengikuti arus sungai, sehingga melaju dengan amat pesat sekali. Sementara itu dari rumpun-rumpun gelagah air di sepanjang tepian, bermunculan pula perahu-perahu serupa dalam Jumlah yang amat banyak.
Jumlah bajak yang ikut mengejar Pakkiong Liong itu mencapai jumlah hampir duaratus lima puluh orang, tentu saja jumlah yang banyak itu membuat keberanian mereka timbul, tidak peduli yang bakal mereka hadapi adalah Pasukan Naga Terbang yang terkenal. Song Hian agaknya tidak tega meninggalkan Tio Hong-bwe hanya dengan lima belas anak buah, maka la menyuruh lima belas orang lagi untuk membantu Tio Hong-bwe menghadapi Tong Lam-hou.
"Sudah cukup!" teriak Tio Hong-bwe sambil melambaikan tangan.
"Supaya pekerjaanmu cepat, selesai!" teriak Song Hian sambil melambaikan tangan pula.
Demikianlah laskar bajak itu terbagi dua. Sebagian kecil dipimpin Tio Hong-bwe menghadapi Tong Lam-hou, sementara sebagian besar lainnya yang berjumlah berpuluh-puluh perahu yang menyangkut beratus-ratus bajak, dipimpin oleh Hehou Im bertiga telah menyerbu kapal-kapal Pakkiong Liong.
"Inilah upahnya orang yang sok ingin jadi pahlawan," Tong Lam-hou memaki dirinya sendiri. "Bukannya aku berhasil mencegah mereka, malahan memberi kesempatan kepada penjahat-penjahat ini untuk mencegat kapal A-liong."
Namun Tong Lam-hou hanya bisa marah-marah dalam hati dan tidak berdaya sedikitpun. Ia belum menemukan akal untuk menghadapi "barisan perang" laskar bajak yang ternyata sangat manjur itu. Paha Tong Lam-hou sudah mendapat dua goresan berdarah, dan satu lagi di punggungnya. Sedang kawanan bajak yang menyerang dari kejauhan itu belum berkurang satu orangpun dan belum ada yang luka seujung rambutpun.
Sementara itu, Pakkiong Liong yang juga tengah berada di sungai itu berdiri di geladak kapalnya sambil memandang dengan waspada ke empat penjuru. Dan akhirnya yang ditunggu-tunggunya itupun nampaklah, dari arah hulu sungai, nampak puluhan perahu dengan orang-orang bersenjata di atasnya, telah meluncur datang sambil berteriak-teriak. Tiga orang yang nampaknya merupakan pempinan para penyerang itu berdiri di ujung perahu sambil mengacung-acungkan senjata mereka.
Melihat itu, Pakkiong Liong segera berteriak, "Pasukan pemanah siap!"
Perintah itu segera diisyaratkan pula ke arah perahu yang satunyai lagi yang meluncur berdampingan dengan perahu Pakkiong Liong. Ketika pihak penyerang mulai melepaskan panan-panah mereka, maka pasukan kerajaanpun segera membalasnya. Ratusan anak panah segera beterbangan saling menyambar dari kedua belah pihak, meskipun orang-orang terdepan sudah berlindung di balik perisai, namun tak terhindari bahwa beberapa anak panah dapat juga menyusupi sela-sela perisai dan melukai atau bahkan mematikan seseorang.
Pakkiong Liong dan para perwira tidak hanya berteriak-teriak mengatur anak buah mereka, namun juga ambil bagian dalam perang panah itu. Tanpa dilindungi sehelai perisaipun, Pakkiong Liong berdiri dengan gagah perkasa di atas geladak, dan melontarkan panah-panahnya. Dan jika Pakkiong Liong sendiri yang memanah, maka tak ada sebatang anak-panahpun yang terbuang, seratus kali memanah akan berarti seratus musuh terjungkal masuk sungai. Tetapi jumlah musuh sangat banyak, kalau hanya tewas belasan orang saja masih belum mematahkan semangat mereka untuk terus mendesak maju.
Hehou Im dan lain-lainnya memang berilmu tinggi, namun tidak terlalu paham akan ketramapilan-ketrampilan keprajuritan seperti memanah, sehingga mereka tidak dapat membantu anak buah mereka. Kecuali Hehou Im yang bagaimanapun juga adalah seorang perwira, dalam pasukan Ui-ih-kun, cara memegang busur dan dan panah diketahui juga olehnya, namun tingkat kepandaian memanahnya tidak lebih baik dari seorang prajurit biasa.
Tapi kemudian terjadi sesuatu yang harus diperhitungkan oleh Pasukan Hui-liong-kun, yaitu bahwa para bajak mulai melepaskan panah-panah berapi, yang diarahkan ke layar kapal ataupun rumah-rumahan di kapal. Api yang berkobar telah memaksa prajurit-prajurit Hui-liong-kun memecah perhatiannya untuk memadamkan api. Tapi panah-panah berapi dari musuh bukan cuma satu dua melainkan terus menerus, disamping panah-panah biasa yang berujung tajam. Api di bagian sini berhasil di padamkan, telah muncul kobaran api di bagian lainnya, sehingga para prajurit menjadi sibuk.
Kuda-kuda tunggangan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang dibawa di bagian bawah kapal besar itu, meringkik-ringkik dan menyepak-nyepak lantai kapal dengan paniknya, sehingga menimbulkan suara gaduh. Rupanya binatang-binatang itu menjadi tak terkendali karena ketakutan melihat nyala api, untunglah kuda-kuda itu diikat, sehingga tidak tercerai-berai dan menambah ributnya keadaan.
Yang tidak kalah bingungnya adalah dua orang juru mudi dari kedua kapal yang disewa itu. Mereka bukan prajurit, melainkan hanyalah orang-orang biasa yang mengemudikan perahu-perahu sewaan. Kini mendadak mereka dilibatkan dalam suasana perang yang mengerikan itu, keruan saja lutut mereka gemetar dan muka mereka pucat. Tangan mereka yang memegang kemudi sudah tidak tetap lagi sehingga jalannya kapal agak terganggu. Namun prajurit-prajurit Hui-liong-kun segera menenangkan mereka.
Sementara itu, di bawah hujan panah dari pasukan pemerintah, tanpa kenal takut laskar bajak itupun terus menyerbu. Sambil memanah mereka juga " berusaha untuk mendekati kedua kapal itu, dan berusaha memanjat naik. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang jauh lebih sedikit itu tidak dapat mencegah ketika beberapa buah perahu bajak berhasil merapat ke kapal, dan para bajak dengan berteriak-teriak buas mulai memanjat dengan bergelantungan pada tali.
Di buritan, beberapa bajak berhasil naik ke kapal, dan pertempuran sengit segera terjadi. Para prajurit terpaksa meletakkan busur dan panah mereka,. lalu menarik pedang-pedang mereka dan bertarung jarak dekat dengan bajak-bajak yang bias itu. Sementara jumlah bajak yang berhasil memanjat naik semakin banyak saja, meskipun banyak pula yang harus jatuh kembali ke air karena disambut dengan babatan pedang oleh prajurit-prajurit sebelum sempat menginjak geladak kapal.
Dentang senjata dan teriakan-teriakan keras dari orang yang berlaga segera terdengar di geladak kedua buah kapal. Bercampur dengan asap hitam dan derak kayu yang terbakar, ringkik kuda dari ruangan bawah, semuanya menjadikan suasana benar-benar menggetarkan hati. Kini hampir tidak ada lagi tentara kerajaan yang sempat memanah, sebab mereka harus menangggulangi para bajak yang semakin banyak naik ke kapal? seperti segerombolan semut merubung sebuah kue besar.
Pertempuran di kedua kapal itu bukan saja pertempuran dengan ilmu silat, namun juga pertempuran dengan segala cara. Seorang bajak bergelantungan di tali kapal sambil berayun-ayun kian kemari dan mengayun-ayunkan goloknya sehingga dapat membunuh beberapa prajurit. Namun petualangan bajak itupun berakhir ketika seorang prajurit Hui-liong-kun yang juga bergelantungan di tali, telah menyongsongnya di tengah udara dan menghunjamkan pedangnya ke dada bajak itu.
Di sini tidak digunakan siasat perang atau barisan perang yang bagaimanapun juga, tapi semata-mata mangandalkan ketangkasan perorangan. Siapa yang tangkas, dia punya harapan hidup lebih besar daripada yang kurang tangkas. Pedang-pedang dan senjata kedua pihak sudah berlumuran darah, namun kedua pihak masih belum puas dan ingin menambah jumlah korban senjatanya lagi.
Pasukan Hui-liong-kun bertahan dengan gigih dan dengan semangat yang tinggi. Nama besar mereka sebagai sebuah pasukan yang ditakuti, ternyata bukan dongeng kosong belaka, mereka benar-benar bertarung seperti serigala serigala kelaparan. Para bajak menjadi ngeri juga melihat semangat berani mati dari prajurit-prajurit gemblengan Pakkiong Liong itu, namun para bajak percaya bahwa dengan jumlah yang jauh lebih besar mereka akan dapat juga mengalahkan pasukan yang terkenal itu.
Yang paling menggemparkan kawanan bajak itu adalah Pakkiong Liong sendiri. Meskipun ia tidak mengeluarkan Hwe-liong-sin-kangnya, karena geladak kapal tidak terlalu luas sehingga ilmu itu bisa mempengaruhi anak buahnya sendiri, namun tanpa ilmu itu pun Pakkiong Liong nampak begitu menakutkan.
Setiap ayunan pedangnya membuat dua tau tiga orang bajak terjungkal sekaligus tanpa dapat menangkis atau mengelak. Para bajak lebih suka menghindari Panglima yang sedang marah itu, namun Pakkiong Liong pun berjalan berkeliling kapal seperti sesosok malaikat penyebar maut yang sedang menjemput korban-korbannya.
Perwira-perwira lain tidak kalah sengitnya dalam berkelahi. Ha To-ji, " Han Yong-kim yang pedang samurainya telah berubah menjadi berwarna merah oleh darah para bajak, dan Ko Lung-to yang meskipun telah luka namun masih berkelahi dengan sengitnya tanpa kenal arti menyerah. Di kapal lainnya, Le Tong-bun dan Tokko Seng juga berbuat tidak kalah hebatnya.
Hehou Im bertiga juga sudah berhasil memanjat kapal Pakkiong Liong, karena mereka menduga kapal inilah yang membawa tawanan. "Kapal ini lebih besar dan jumlah prajuritnya lebih banyak, tentu kapal inilah yang membawa tawanan," kata Hehou Im kepada kedua rekannya. "Kita terpaksa harus menebak-nebak saja, sebab Ang Bun-long yang harusnya memberi isyarat ternyata tidak muncul di geladak."
"Perwira she Ang itu benar-benar telah berkhianat," kata Tong King-bun yang pemarah itu. "Ia sudah memberitahukan tempat berkumpulnya laskar kita kepada bocah gila she Tong itu, dan kini ia tidak memberikan isyarat apapun kepada kita. Ia ingin gerakan ini gagal!"
"Itu hanya dugaanmu saja."
"Jika dugaan hanya didukung satu bukti, itu dugaan yang lemah. Tetapi jika didukung tiga bukti, itu hampir mendekati kepastian. Ingat, Ang Bun-long juga sudah menyesatkan kita tentang anakmuda yang bernama Tong Lam hou itu. Dikatakannya ilmu silatnya sangat rendah, padahal kita berempat hampir saja dibantai oleh anak ingusan itu, untunglah dia masih sangat hijau dalam pengalaman."
"Sudanlah, bukan waktunya untuk berdebat. Ayo kita naik!" kata Song Hian yang sudah tidak sabaran ingin segera bertempur di geladak.
Hehou Im segera mengeluarkan secarik kain hitam yang ditutupkan mukanya dari hidung ke bawah, kedua rekannya dengan heran melihat perbuatannya itu. "Buat apa?" tanya Tong King-bun.
"Aku adalah seorang perwira Ui-ih kun di Ibukota Kerajaan, jangan sampai ada prajurit-prajurit itu yang mengenali wajahku jika kelak bertemu di Pak-khia," sahutnya.
"Tapi anak muda yang bernama Tong Lam-hou itu sudah terlanjur melihat tampangmu tadi," kata Song Hian.
"Ya, karena tadi dia menyerang mendadak sehingga kita tidak sempat berbuat lain kecuali langsung bertempur. Tapi yang sudah terlanjur mengenalku biarlah, yang lain harus dicegah melihat wajahku."
"Senjatamu yang tidaik lazim itu juga merupakan ciri pengenalmu yang jarang dipunyai orang lain."
Sesaat Hehou Im mengamat-amati yang aneh itu, sebilah besi melengkung tajam yang disebut tiat-koan. Maka diletakkannya senjatanya itu dan diambilnya sebilah pedang, katanya, "Aku akan memakai pedang saja."
Ketiga orang itu lalu meloncat naik ke geladak kapal Pakkiong Liong, mereka tidak perlu memanjat dengan tali seperti anak buah gerombolan bajak. Begitu mereka menginjak geladak, begitu mereka melihat Pakkiong Liong sedang mengamuk membabati kawanan bajak. Maka ketiga orang itupun segera meloncat mengepung Pakkiong Liong agar tidak menjatuhkan korban lebih banyak lagi. Pertempuran satu lawan tiga segera berkobar di tengah geladak, di tengah-tengah hiruk-pikuknya pertarungan kisruh antara prajurit-prajurit melawan para bajak.
Ketika Han Yong-kim hendak meloncat membantu Pakkiong Liong, maka Pakkiong Liong telah berteriak, "Bantu saja para prajurit menyelesaikan lawan-lawan mereka, saudara Han! Ketiga orang ini masih terlalu ringan buatku!"
Alangkah marahnya Hehou Im bertiga mendengar ucapan Pakkiong Liong yang sangat meremehkan mereka itu. Sambil menggeram mereka mempergencar serangan-serangan mereka Namun kemudian benar-benar terbukti bahwa mereka bertiga memang belum cukup untuk mengimbangi Panglima yang terkenal itu. Pedang Pakkiong Liong berubah menjadi gulungan sinar keperak-perakan yang tak tertembus oleh senjata lawan-lawannya. Dan di lain saat gulungan cahaya perak itu bagaikan terpecah menjadi ratusan ujung pedang yang membuat ketiga lawannya pontang-panting menyelamatkan diri.
Sesaat Han Yong-kim masih berdiri di pinggir arena itu memperhatikan jalannya pertempuran. Ketika dilihatnya keadaan Panglimanya sama sekali tidak berbahaya, malahan yang terdesak adalah lawan-lawannya, maka Han Yong-kim segera meninggalkan tempat itu untuk membantu teman-temannya yang lain.
Baru saja ia melangkah dua langkah, dua orang bajak telah menyergapnya sambil berteriak keras dan mengayun senjata mereka keras-keras. Tapi kelebatan ilmu pedang Kenjitsu Han Yong-kim menyambut mereka, dan kedua bajak itupun berangkat menemui nenek moyang mereka. Seorang bajak lainnya mencoba menyergap Han Yong-kim dengan jalan meloncat dari atap rumah-rumahan kapal, dari arah belakang. Namun kembali pedang Han Yong-kim berkelebat dan si bajak itu tidak lain hanya menyerahkan nyawa saja.
Pakkiong Liong melirik tandang perwira bawahannya itu sambil tersenyum. Katanya kepada ketiga lawannya, "Lihatlah bawahanku itu. Ilmu pedang Kenjitsu yang dikuasainya sudah hampir sempurna sehingga sebentar lagi anak buah kalian akan terbabat habis oleh pedangnya. Selain itu ada juga perwira-perwira lain yang setingkat dengan dia di atas kapal ini. Meskipun jumlah kalian lebih banyak, kalian tidak lebih hanya bunuh diri saja."
"Kau sombong sekali!" teriak Tong King-bun marah, namun teriakan marahnya itu berubah menjadi desis kesakitan ketika pedang Pakkiong Liong berhasil menggores pundaknya.
Demikianlah, sementara di atas geladak kedua kapal itu terjadi pertempuran sengit yang berdesak-desakan, maka berjarak ratusan tombak dari tempat itu, Tong Lam-hou juga sedang dikepung di atas perahunya oleh puluhan orang bajak yang dipimpin oleh Tio Hong-bwe. Keringat sudah mengalir membasahi baju Tong Lam-hou yang dipaksa untuk bertahan terus tanpa bisa balas menyerang itu, namun masih belum juga ditemukan akal untuk lepas dari kawanan bajak itu.
Tong Lam-hou menjadi semakin gugup ketika luka-luka di tubuhnya bertambah lagi, meskipun bukan luka yang mematikan, tetapi jika terus-terusan mengalirkan darah akan menghabiskan kekuatan juga. Dan ia benar-benar akan mampus di dasar sungai itu.
Tio Hong-bwe yang merasa bahwa kemenangan sudah pasti akan diraihnya itu segera tertawa terbahak-bahak. Serunya, "Bocah tengik she Tong, sebaiknya kau menyerah saja! Aku ampuni nyawamu dan paling-paling aku hanya akan meminta kedua belah matamu!"
Tong Lam-hou menggeram, tiba-tiba terasa perahunya bergoyang semakin lama semakin keras. Goyangan itu tidak disebabkan oleh ombak sungai, melainkan oleh beberapa orang bajak yang ahli menyelam yang mencoba membalikkan perahunya dari bawah air. Tong Lam-hou menjadi semakin bingung, jika sampai perahunya terbalik dan ia tercebur ke air, maka keadaannya akan bertambah sulit. Meskipun ia juga bisa berenang, namun pertempuran dalam air akan lebih menguntungkan bajak-bajak itu. Ia benar-benar akan menjadi bulan-bulanan tanpa sempat melawan lagi.
Sementara itu goncangan makin keras, akhirnya Tong Lam-hou mengambil suatu penyelesaian yang untung-untungan. Ia berjongkok dan tangan kanannya dicelupkan ke dalam air, mengerahkan tenaga Hian-im-ciang yang maha dingin itu ke tangan kanannya, sementara tangan kirinya tetap memutar dayungnya untuk menghalau setiap kaitan yang berusaha mengait tubuhnya.
Usaha itu ternyata berhasil. Para penyelam di bawah perahu itu terkejut ketika merasakan bahwa suhu air di sekitar tubuh mereka tiba-tiba turun dengan tajamnya, lebih tajam daripada dinginnya salju di musim dingin. Dua orang sempat berenang menjauh meskipun dengan tangan dan kaki yang terasa kaku, namun yang dua orang lagi tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Segenap urat-urat darah mereka mendadak menjadi, kaku tak dapat digerakkan lagi, ketika tubuh mereka terapung ke permukaan air, maka wajah mereka sudah kebiru-biruan karena dinginnya dan tak bernyawa lagi.
Ketika Tong Lam-hou berjongkok itu, tiba-tiba ia melihat bahwa dilantai perahu itu ada seikat anak-panah yang agaknya di siapkan oleh para bajak untuk penyerangan jauh itu. Meskipun tidak ada busurnya, saat itu tiba-tiba terbukalah pikiran Tong Lam-hou. Saat untuk membalas serangan telah tiba. Bukan lagi sekedar memutar-mutar dayung untuk menghalau kaitan-kaitan lawan.
Ketika sebuah kaitan hampir menyambar kepalanya, cepat Tong Lam-hou menundukkan kepalanya sambil mengambil sebatang anak panah yang langsung dilemparkan ke arah salah seorang bajak. Panah yang dilontarkan tanpa busur itu mendesing dengan derasnya dan menancap di ulu hati seorang musuh sampai tembus, dan orang itupun masuk ke sungai.
Kawanan bajak yang tadinya merasa bahwa mereka tidak mungkin terbalas itu, kini menjadi panik melihat robohnya seroang teman mereka. Apalagi ketika panah-panah itupun kemudian meluncur berturut-turut merobohkan beberapa orang lagi. Tong Lam-hou tidak memperhatikan kaitan-kaitan musuh lagi, asal dilihatnya seorang bajak sedang menggerakkan kaitannya, segera didahuluinya dengan sambitan panahnya yang jauh lebih cepat dari gerakan kaitan panjang lawannya.
Maka kepungan itupun menjadi kacau-balau, belasan orang bajak sungai sudah jatuh, lain-lainnya menjadi ketakutan karena kuatir tersambar panah. Saat itulah yang digunakan oleh Tong Lam-hou untuk sekuat tenaga mendayung perahunya sehingga meluncur deras keluar dari kepungan. Perahu seorang bajak yang melintang di depannya ditabraknya begitu saja sehingga terbalik, dari penumpang-penumpangnya berjatuhan ke sungai.
Tio Hong-bwe terkejut melihat barisannya jadi kacau. Perintahnya, “Panah dia!"
Para bajakpun segera melepaskan panah-panah mereka. Namun kali ini Tong Lam-hou sudah bertambah pintar, panah-panah musuh tak usah dihiraukan, asal perahunya sendiri meluncur dengan cepat maka panah-panah itupun akan luput sendirinya, ternyata benar juga. Para bajak tidak dapat membidik dengan tepat ke arah Tong Lam-hou yang bergerak sangat cepat itu.
Apalagi perahu para bajakpun tergoyang-goyang oleh arus sungai sehingga semakin sulit membidik dengan baik. Maka Tong Lam-hou semakin lama semakin jauh, tak tersusul lagi oleh kawanan bajak itu. Tio Hong-bwe marah-marah dan memaki-maki anak buahnya, tetapi apa boleh buat, musuh memang sudah lolos dan mereka tidak mampu merintanginya.
Sementara itu, Tong Lam-hou terus mendayung sekuat tenaga. Ia sangat menguatirkan Pakkiong Liong dan pasukannya yang belum berpengalaman dalam pertempuran di sungai Ibu. Dengan kekuatan tenaganya yang hebat, maka perahu Tong Lam-hou meluncur sepesat anak panah yang lepas dari busurnya. Bahkan hidung perahu kecil itu sampai agak terangkat naik karena lajunya.
Di kejauahan Tong Lam-hou melihat ada asap mengepul naik, dan dua buah kapal besar yang terbakar layarnya nampak di depan sana. Di atas geladak, bertarunglah ratusan orang yang berdesak-desakan, sebentar-sebentar ada tubuh yang terlempar dari kapal dan mencebur ke sungai. Pertarungan agaknya berjalan dengan sengit dan tak kenal ampun, bahkan karena marahnya maka para prajurit telah bertindak sama liarnya dengan kawanan bajak itu.
Di sekitar kedua kapal besar itu masih ada puluhan perahu dan puluhan orang bajak yang belum sempat memanjat naik; sebab geladak kapal masih terlalu penuh dengan orang-orang yang berkelahi. Bajak-bajak yang belum sempat naik itupun tidak tinggal diam, mereka melepaskan panah-panah mereka untuk membidik prajurit-prajurit yang berdiri di tepi geladak. Namun panah mereka sudah tidak gencar lagi, sebab mereka kuatir kalau mengenai teman mereka sendiri yang juga hilir mudik di geladak.
Hati Tong Lam-hou terasa mendidih melihat hal itu. "Bajak-bajak gila-ini harus dikurangi sebanyak-banyaknya, tidak peduli mereka mampus atau tenggelam," tekad Tong Lam-hou. "Andaikata mereka terus hidup dan berkeliaran di perairan ini, mereka hanya akan menjadi momok bagi rakyat setempat, sebab terhadap pasukan pemerintah saja berani melawan, apalagi hanya kepada kaum lemah yang tak berdaya."
Dengan tekad demikian yang menyala dalam hatinya, ia tidak ragu-ragu lagi dalam segala tindakannya. Begitu perahunya dekat dengan perahu-perahu bajak-bajak yang belum sempat naik ke geladak kapal besar itu, maka kedua tangan Tong Lam-hou berganti-ganti bergerak melempar-lemparkan panah-panahnya sampai habis.
Belasan orang bajak sungai segera menjerit dan roboh terkena panah-panah tanpa busur itu. Tidak sebatang panahpun yang meleset. Ketika masih di Tiam-jong-san, serigala-serigala yang bergerak dalam kegelapan saja bisa dibidik dengan tepat oleh Tong Lam-hou, apalagi sekarang bajak-bajak yang lebih mudah dibidik dan dalam keadaan terang benderang pula.
Keadaan bajak-bajak itu jadi kacau. Beberapa perahu segera berputar arah untuk mencoba menghalangi Tong Lam-hou, namun Tong Lam-hou yang sudah kesetanan itu tak terbendung lagi. Sebelum para bajak itu sempat membentuk "barisan pengait" seperti tadi, Tong Lam-hou telah melontarkan tubuhnya ke salah satu perahu bajak yang kelihatannya membawa banyak anak panah.
Jarak antara kedua perahu yang mencapai belasan tombak itu diloncatinya begitu saja seperti seekor burung rajawali. Beberapa batang panah yang diarahkan ke tubuhnya selagi melayang di udara, telah dikibaskannya dengan tangannya dan anak-anak panah .itupun berjatuhan ke sungai.
Tubuh Tong Lam-hou meluncur deras ke arah perahu yang dikehendakinya dan dua orang bajak yang berada di perahu itu menjadi gentar ketika melihat Tong Lam-hou meluncur ke arah mereka. Tanpa pikir panjang lagi kedua bajak itu segera melompat ke sungai untuk meninggalkan perahu mereka, dan berenang menuju ke perahu kawan-kawan mereka.
Di perahu yang ditinggalkan itu memang masih tersisa belasan batang anak panah. Dan begitu kaki Tong Lam-hou menginjak lantai perahu tanpa menimbulkan goncangan sedikitpun, maka anak-anak panah itu diraupnya dan dilempar-lemparkannya, sambil berteriak, "Ayo kita buktikan panah siapa yang lebih hebat!"
Kembali belasan orang bajak menjadi korban panah-panah si pemburu serigala dari lereng Tiam-jong-san itu. Hendak mengelak atau menangkispun tidak bisa. Ada jalan yang aman, yaitu terjun ke sungai, namun hanya dua orang yang selamat dengan jalan itu.
Begitulah, di samping pertarungan sengit digeladak kedua kapal besar itu, maka antara perahu-perahu kecil di sekitar kedua kapal itupun telah terjadi pertarungan antara Tong Lam-hou melawan bajak-bajak yang belum sempat naik ke geladak.
Pakkiong Liong yang sudah berhasil mendesak ketiga orang lawannya, sempat menengok ke sungai dan hatinya melonjak gembira ketika melihat siapakah yang tengah bertempur di atas perahu kecil itu. "A-hou!" desisnya bangga melihat keperkasaan sahabatnya itu.
Sebaliknya Hehou Im dan teman-temannya merosot keberaniannya setelah melihat kemunculan Tong Lam-hou di situ. Kalau Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou bergabung, siapa yang sanggup membendung? Dan entah bagaimana dengan nasib Tio Hong-bwe yang tadi bertempur melawan Tong Lam-hou? Akhirnya Hehou Im sadar bahwa kehebatan Pasukan Hui-liong-kun di medan laga itu bukan sekedar cuma digembar-gemborkan orang, namun benar-benar suatu kenyataan.
Laskar bajak sungai Yang-ce-kiang yang jumlahnya hampir tiga kali lipat pasukan Hui-liong-kun itupun ternyata bukan jaminan dapat merebut kemenangan. Dilihatnya di sekelilingnya di mana prajurit-prajurit Hui-liong-kun tetap bertempur dengan semangat yang tinggi tapi tetap teratur, juga dengan keberanian yang menakjubkan, sedang laskar bajak sudah banyak yang berkelahi dengan setengah hati. Tadinya bajak-bajak itu berhasil dikobarkan semangatnya denan ditipu bahwa di kedua kapal itu ada harta karun milik Kerajaan yang tak ternilai harganya.
Tapi ketika mereka melihat betapa banyaknya tubuh teman-teman mereka yang bergelimpangan di geladak kapal itu, belum terhitung yang tenggelam di sungai, maka bajak-bajak itupun merosot semangat tempurnya. Jangan-jangan sebelum sempat menemukan harta karun mereka sudah lebih dulu menejadi setan tanpa kepala?
Sementara itu, Tong Lam-hou bertempur dengan bersemangat sekali. Ketika seorang bajak mencoba menjulurkan kaitan panjangnya untuk mengait tubuhnya, maka dengan sigap Tong Lam-hou telah menangkap tangkai kaitan itu dan menyentakkannya sekuat tenaga Bajak yang memegangi pangkal tangkainya itu tidak dapat melawan tenaga besar dari murid Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu, sehingga terpaksa melepaskannya agar ia tidak tertarik keluar dari perahunya.
Kini di tangan Tong Lam-hou telah ada sebatang kaitan bergagang amat panjang maka ia bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayapnya. Kaitan itu diputarnya dengan kencang seperti baling-baling yang tertiup angin, sehingga berbentuk seperti bundaran yang menggugurkan semua anak panah yang di tujukan kepadanya. Bahkan beberapa bajak yang di dalam jangkauan senjatanya itu telah dirobohkannya.
Dari atas geladak kedua kapal, banyak prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang tadinya belum pernah melihat kehebatan Tong Lam-hou, kini telah melihatnya dengan mata mereka sendiri, bukan lagi mendengar cerita dari orang lain. Diam-diam para prajurit itu menjadi kagum sekali, pantas saja kalau anak muda itu menjadi sahabat Panglima mereka, ternyata kedua sahabat itu memang memiliki kesamaan dalam banyak hal. Dalam watak maupun kepandaian yang satu berjulukan Pak-liong atau si Naga Utara, lainnya kebetulan bernama Lam-hou atau si Macan Selatan...
Selanjutnya;