Pendekar Naga dan Harimau Jilid 15
Hehou Im cepat meloncat turun dari kudanya dan memberi hormat. "Salam kepada Hiangcu!" katanya.
Tetapi Ibun Hong masih terlongong longong di atas kudanya. Ia memang benci kepada orang yang berkali-kali menyakiti hatinya dengan ucapan-ucapan yang bernada menghina ketika berada di rumah Pakkiong An tadi, namun Ibun Hong juga gentar setelah melihat kehebatan orang itu, yang dapat muncul begitu saja seperti sesosok hantu saja.
Dengan mata yang tajam Te-liong Hiangcu menatap Ibun Hong dari balik kedok hitamnya. Suaranya dingin, "He, perwira gendut, kau telah membuatku sangat muak dengan tingkah lakumu di rumah Pakkiong An tadi. Kini aku akan mengambil batok kepalamu!"
Ibun Hong maupun Hehou Im terkejut mendengar itu. Ibun Hong telah meraba gagang goloknya, namun dia sendiri ragu-ragu apakah goloknya itu akan bermanfaat untuk menghadapi manusia yang mirip siluman itu?
Sementara itu Hehou Im terkejut sebab dengan terbunuhnya Ibun Hong akan berarti rusaknya kerjasama Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An. Pakkiong An tentu akan merasa tidak senang kalau rekan sekerjanya itu belum-belum sudah berani membunuhi perwira bawahannya dengan sewenang-wenang, dengan alasan yang remeh saja.
Padahal Hehou Im merasa bahwa keberhasilan kerjasama itu akan ikut menentukan masa depannya pula. Hehou Im pula yang menjadi penghubung untuk memperkenalkan Pakkiong An dengan Te-liong Hiang-cu, dan ikut mengatur terjadinya kerjasama itu. Karena itu, cepat cepat ia berkata kepada Te-liong Hiangcu.
"Tunggu dulu, Hiangcu, apakah alasan sekedar merasa muak itu sudah cukup untuk membunuh seseorang?"
"Lebih dari cukup. Aku bahkan kadang-kadang membunuh beberapa orang karena iseng saja," sahut Te-liong Hiangcu dingin menggidikkan. "Jadi apa salahnya kalau aku bunuh si gendut ini?"
"Harap Hiangcu menyabarkan hati. Hiangcu baru saja memulai kerjasama dengan Pakkiong Ciangkun, dan awalan dari kerjasama itu sudah bagus. Bagaimana sekarang Hiangcu hendak merusakkan kerjasama ini hanya karena alasan yang remeh saja? Ibun Hong adalah perwira kepercayaan Pakkiong Ciangkun, dan Pakkiong Ciangkun tentu akan menganggap tindakan Hiangcu ini keterlaluan."
"Aku tidak takut kepada Panglima tua yang berpenyakit bengek itu. Ia dengan pasukannya bisa saja meratakan sebuah kota atau benteng, tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa kepadaku. Ia tidak tahu siapa aku, dan tidak tahu kemana akan mencari aku, sedangkan aku dapat masuk ke rumahnya setiap saat yang aku kehendaki dan membunuh seluruh keluarganya!"
Selama percakapan antara Hehou Im dengan manusia yang mirip siluman itu berlangsung, Ibun Hong dan kedua prajurit pengawalnya hanya duduk membeku di atas punggung kuda mereka masing-masing. Tangan mereka memegang senjata, namun basah dengan keringat dingin. Mereka sadar bahwa nyawa mereka benar-benar tergantung dari hasil pembicaraan Hehou Im dengan bekas pemimpinnya di jaman Hwe-liong-pang itu.
Hehou Im masih berusaha membujuk Te-liong Hiangcu agar tidak berbuat sesuatu atas diri Ibun Hong, "Apa yang Hiangcu katakan itu benar semuanya. Memang Hiangcu dapat saja berbuat sesuatu atas diri Pakkiong Ciangkun semudah orang membalikkan telapak tangan sendiri, tapi dengan demikian bukankah Hiangcu kehilangan seorang yang sesungguhnya dapat membantu Hiangcu untuk mencapai, cita-cita Hiangcu untuk menguasai dunia persilatan? Cita-cita Hiangcu yang, maaf, pernah Hiangcu coba beberapa tahun yang lalu namun gagal?"
Orang berkeredung itu nampak merenung sebentar. Jika menuruti gejolak kemarahannya, ingin rasanya ia membunuh sepuas-puasnya, sebab sudah jadi wataknya bahwa nyawa orang lain sangat tidak dihargainya. Baginya, membunuh beberapa orang terasa ringan tanpa beban perasaan sedikitpun, seperti membunuh nyamuk atau lalat saja. Bahkan ia sering menganjurkan kepada anak buahnya,
"Keahlian membunuh, seperti juga keahlian-keahlian lainnya, harus selalu dilatih dan diasah agar makin lama makin mahir. Karena itu kalian harus selalu melatihnya setiap saat, dan bukankah di sekitar kalian ada banyak orang yang bisa dijadikan sasaran latihan kalian?"
Namun kali ini terasalah kebenaran kata-kata Hehou Im bahwa sebaiknya ia harus tetap menjaga hubungan dengan Pakkiong An Kerjasama itu menguntungkannya, sebab ia dapat menyingkirkan tokoh-tokoh dunia persilatan yang dapat menyainginya untuk menduduki jabatan Bu-lim Beng-cu (Pemimpin Umum Rimba Persilatan), sehingga ia akan dapat melangkah ke kursi Bu-lim Beng-cu dengan mulusnya.
Misalnya dalam rencana penyerangan Penjara Kerajaan oleh para pemberontak beberapa hari lagi, saat itu entah berapa banyak tokoh rimba persilatan yang bakal ikut terjaring oleh Pakkiong An, sehingga saingan-sainganpun akan berkurang banyak. Karena otaknya ternyata masih cukup jernih untuk dapat berpikir untuk tujuan jahatnya itu, akhirnya Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk menerima usul He-hou Im itu.
"Baik, aku tidak akan membunuh bangsat gendut ini. Tetapi paling tidak aku harus mencungkil sebelah matanya untuk kenang-kenangan."
Hehou Im sendiri berjuluk Sat-sin kui si Setan Ganas, menandakan wataknya yang kejam. Namun kekejaman Sat-sin-kui kalau dibandingkan dengan Te-liong Hiangcu sungguh terlalu kecil, bukan apa-apanya. Sat-sin-kui Hehou Im kejam kepada musuh-musuh yang merintangi tujuannya, namun Te-liong Hiangcu bisa menjadi kejam tanpa alasan apapun, atau hanya sekedar "iseng" atau "berlatih membunuh", sehingga Hehou Im sendiri sering merasa ngeri dengan kekejaman bekas pemimpinnya yang luar biasa itu. Hampir-hampir tidak masuk akal namun kenyataannya demikian.
Tapi bagaimanapun juga Hehou Im harus berusaha sekuat tenaga agar hubungan yang sudah terjalin antara Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An itu tidak menjadi berantakan. Bukan karena Hehou Im adalah seorang yang baik hati sehingga ingin merukunkan sesamanya, namun karena hubungan baik antara kedua tokoh itu akan menguntungkannya: Kalau sudah tidak menguntungkan lagi, buat apa repot-repot merukunkan mereka? Mau saling cakar atau saling gorok ya silahkan saja.
Kata Hehou Im, "Jangan, Hiangcu, aku mohon dengan sungguh-sungguh agar Hiangcu tidak melukai serambutpun atas diri saudara Ibun ini. Semua yang telah kita sepakati bersama Pakkiong Ciangkun akan menjadi rusak hanya karena Hiangcu tidak dapat menahan diri. Aku mohon, Hiangcu!"
Bahkan untuk memberi tekanan kepada permohonannya itu, Hehou Im berlutut pula dan membentur-benturkan jidatnya ke tanah."
Te-liong Hiangcu menghentakkan kakinya ke tanah, geramnya, "Huh, apapun yang ingin kulakukan, kau selalu mencegahnya. Tanganku sudah gatal, lalu di mana aku harus membunuh?"
Tiba-tiba Hehou Im menyeringai kejam dan melirik ke arah kedua orang prajurit pengawal Ibun Hong itu. Dua orang prajurit yang tidak tahu apa-apa dan sejak tadi hanya mendengarkan pembicaraan itu dengan setengah mengerti setengah bingung. Pikir Hehou Im, "Kedua prajurit keroco itu sudah mendengar sebagian kecil dari rahasia komplotan ini, karena itu mereka tidak boleh dibiarkan hidup. Selain itu, juga sekalian dapat dijadikan pelampiasan nafsu membunuh Hiangcu yang agaknya sulit dikendalikan ini." Karena itu, Hehou bangkit dari berlututnya, dan sambil melirik ke arah kedua prajurit itu.
Hehou Im berkata, "Jika Hiangcu ingin berolahraga sedikit, kenapa harus Ibun Hong sasarannya? Bukankah masih ada lainnya?"
Kedua prajurit itu tidak begitu mengerti ucapan Hehou Im itu, namun secara naluriah mereka segera merasa bahwa keselamatan mereka terancam. Tetapi selagi mereka masih kebingungan dan menebak-nebak, tahu-tahu Te-liong Hiangcu telah bergerak bagaikan kilat menerkam nyawa mereka. Terlihat kedua tangan Te-liong Hiangcu hanya bergerak ringan seperti menggores berputar dengan ujung-ujung jarinya ke leher kedua prajurit itu, dan tahu-tahu kepala mereka sudah copot. Kedua tubuh tanpa kepala itu masih duduk di atas punggung kuda dan tangan mereka masih menggapai-gapai sejenak, sebelum mereka roboh ke tanah.
Te-liong Hiangcu tertawa terbahak bahak, dan dengan sekali gerakan saja ia sudah menghilang bersama kedua butir kepala korbannya itu. Hehou Im dan Ibun Hong memang kejam, namun merekapun terpaksa memalingkan kepala ke arah lain selama Te-liong Hiangcu melakukan perbuatan biadabnya itu. Mereka barulah berani menoleh kembali setelah mendengar suara tubuh yang jatuh dari kuda dua kali berturut-turut. Yang mereka lihat kemudian hanyalah dua orang prajurit pengawal Ibun Hong yang sudah tidak berkepala laga.
"Benar-benar keji seperti ib..." kata-kata makian hampir saja terluncur dari mulut Ibun Hong, tapi kemudian cepat-cepat ditutupnya mulutnya. Ia sadar bahwa caci-makinya itu kalau sampai didengar oleh Te-liong Hiangcu bisa membawa malapetaka bagi dirinya. Nyawanya baru saja lolos dari lubang jarum karena dimintakan ampun oleh Hehou Im, namun kedua prajurit pengawal-nyalah yang menjadi korban.
Akhirnya Ibun Hong cuma menarik napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kepada Hehou Im ia berkata, "Aku berhutang nyawa kepadamu, saudara Hehou. Kalau kau tidak membujuk ib... eh, orang itu, entah bagaimana dengan nasibku ini."
"Sudahlah. Dia memang berwatak aneh, tapi jika kita bisa berbicara baik-baik kepadanya maka nyawa kitapun aman. Sekarang yang penting, bagaimana kita harus berbicara tentang kedua prajurit yang malang itu?"
"Keluarganya tentu akan terkejut sekali menerima tubuh mereka, entah aku harus berbicara bagaimana dengan mereka?"
"Kita perabukan saja jenazah mereka di kuil terdekat, tanpa lebih dulu memberitahu keluarga mereka. Beberapa hari kemudian, barulah kita serahkan abunya kepada keluarga mereka, katakan saja bahwa mereka telah gugur di suatu tempat tugas yang jauh dari Pak-khia. Menerima abu jenazah tentu tidak akan sekaget menerima tubuh-tubuh tanpa kepala."
Ibun Hong yang merasakan pikirannya buntu itu cuma bisa mengangguk-angguk mendengar saran Hehou Im itu. Begitulah mereka melakukan rencana mereka. Sementara di dalam hati Ibun Hong sudah timbul rasa takut luap biasa kepada manusia iblis itu, namun ia merasa heran juga bahwa Pakkiong An telah mendapat rekan kerjasama yang demikian menakutkan.
Dalam perjalanan pulang dari kuil yang mereka titipi jenazah-jenazah itu, rasa ingin tahu Ibun Hong masih belum terlampiaskan, sehingga iapun masih bertanya, "Saudara Hehou, sejak kapan Ciangkun berkenalan dengan... dengan Hiangcu?"
Demikianlah mulai saat itu Ibun Hong mencoba membiasakan diri untuk menyebut Te-liong Hiang-cu dengar sebutan yang agak lebih menghormat. Bukan karena hormat benar-benar, melainkan agar batok kepalanya bisa menempel di lehernya lebih lama sedikit.
Jawab Hehou Im terus terang, sebab Ibun Hong adalah rekan sekomplotan yang dapat dipercaya, "Aku yang menghubungkan Pakkiong Ciangkun dengan Hiangcu. Keduanya kebetulan sama-sama memiliki cita-cita yang tinggi, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Nah, bukankah dengan kerjasama itu maka tujuan masing-masing akan dapat dipercepat tercapainya?"
"Apakah saudara Hehou berkepentingan dengan terwujudnya cita-cita kedua belah pihak?"
"Tentu saja. Bukankah saudara Ibun juga demikian? Kalau kita tidak berkepentingan, kita tidak akan berada dalam komplotana ini. Jika kelak Pakkiong Ciangkun mencapai kedudukan tinggi, bahkan yang tertinggi, bukankah kita sebagai pendukung-pendukungnya akan menikmati hasilnya pula? Isikan sebagai perwira rendahan terus-menerus seperti sekarang ini?''
Kepala Ibun Hong terangguk-angguk. Tanpa dijelaskanpun ia sudah tahu maksud perkataan "kedudukan yang tertinggi" itu. Apa lagi yang tertinggi itu kalau bukan Kaisar? Para bawahannya sudah sama-sama maklum bahwa Pakkiong An sebenarnya memendam niat untuk duduk di singgasana, meskipun Panglima tua itu tidak pernah bicara secara terang-terangan.
Dan itu pula sebabnya Pakkiong An membentuk sebuah komplotan rahasia yang demikian ketat dan kerasnya, sebab tanpa sikap yang ketat dan keras maka rahasianya bisa bocor keluar. Kalau rahasia bocor keluar, itu alamat bahwa Pakkiong An beserta seluruh keluarganya bakal dihukum mati, sebab mencoba menggulingkan kedudukan Kaisar adalah dosa besar tak berampun.
"Saudara Hehou, tidak mungkinkah suatu saat Pakkiong Ciangkun dan Te-liong Hiangcu menjadi musuh karena berebut kedudukan? Seperti riwayat Cu Goan-ciang dan Thio Su-seng yang berjuang bersama-sama merebut negeri menumbangkan Kaisar Goan-sun-te, tapi setelah menang mereka bermusuhan sendiri memperebutkan tahta? Tidakkah hal ini akan terjadi pada diri Pakkiong Ciangkun dan rekan kerjasamanya itu?"
Hehou Im merenung sejenak sebelum menjawab, "tujuan mereka berdua berlain-lainan. Tujuan Pakkiong Ciangkun, kita sudah sama-sama tahu. Sedang kan tujuan Te-liong Hiangcu sekedar untuk menjadi seorang Bulim Bengcu (Ketua Rimba Persilatan). Itulah cita-citanya yang diimpikannya sejak ia masih tergabung dalam Hwe-liong-pang dulu."
"Tetapi kedudukan Bulim Bengcu itu adalah sebuah kedudukan yang kuat, bukankah dengan kedudukannya itu ia dapat memerintah ribuan orang dari kalangan dunia persilatan? Bukankah itu sama saja dengan ia memiliki ribuan prajurit yang semuanya berilmu tinggi? Tidakkah ia kelak tergerak hatinya untuk bersaing dengan Pakkiong Ciang-kun?"
Hehou Im tidak menjawab, ucapan Ibun Hong itu memang masuk akal dan mungkin sekali terjadi. Hehou Im sendiri sebenarnya juga sudah pernah memikirkannya, menilik watak Pakkiong An maupun Te-liong Hiangcu yang sama-sama kejam dan haus kekuasaan itu, mustahillah kalau kerjasama antara mereka berjalan dengan tulus. Suatu saat kelak mereka pasti akan saling mengintai dan menerkam. Kalau demikian, kemanakah aku akan berpihak? Begitu Hehou Im bertanya kepada dirinya sendiri.
Dan dijawabnya sendiri pula, hanya di dalam hati, "Aku berpihak kepada akal sehatku. Siapa yang kelihatannya akan menang, dialah tempat aku berpijak. Aku harus pandai-pandai menentukan langkah."
Sudah tentu jawaban itu tidak diutarakan kepada Ibun Hong. Bahkan ketika Ibun Hong bertanya kemana ia hendak berpihak jika terjadi pertentangan, maka Hehou Im yang licik itu hanya menjawabnya dengan samar-samar saja, "Semoga pertentangan itu tidak terjadi. Tapi kalau terjadi juga, yah... kita kan cuma perwira rendahan yang hanya mengikuti keadaan saja...."
Ibun Hong tertawa, agaknya ia dapat menangkap sesuatu makna di balik kalimat yang kabur itu. Maka iapun berkata “aku kira sikap saudara Hehou memang bijaksana. Dan masuk akal juga."
Keduanya sama-sama tertawa dan sama-sama paham apa arti tertawa mereka. Ketika Ibun Hong tiba di depan pintu rumahnya, ia berbasa-basi dengan mempersilahkan Hehou Im untuk mampir sejenak. Namun Hehou Im menolaknya, lalu keduanya saling mengucapkan selamat malam dan berpisah. Rumah Hehou Im sendiri tidak terlalu jauh dari rumah Ibun Hong itu.
Hari demi hari berlalu, sementara Pakkiong An sibuk dengan "jaringnya" yang akan digunakan untuk menangkap limapuluh ekor "kakap" sekaligus, maka hari ujian keprajuritanpun sudah dekat. Di sebuah lapangan luas di luar pintu timur Kota Pak-khia, sebuah panggung telah disiapkan. Di panggung itulah nantinya akan duduk para Panglima, para Pangeran, Menteri dan lain-lain yang akan menyaksikan jalannya penyaringan calon-calon prajuri.
Hari itu pun tiba. Sekeliling lapangan telah dihias dengan bendera-bendera berwarna-warni, panggung kehormatan telah dijaga ketat oleh pasukan yang berseragam merah hitam, itulah pasukan anak buah Kiu-bun Tetok (Panglima sembilan pintu kota, maksudnya Panglima yang bertanggung jawab terhadap keamanan di dalam kota). Namun nampak juga prajurit-prajurit dari kesatuan-kesatuan lainnya yang berada di situ untuk mengawal Panglimanya masing-masing.
Nampak pula Pakkiong Liong dalam seragam panglimanya yang indah duduk berdampingan dengan pamannya, Pakkiong An, dan di sebelah lain adalah puteri bibinya, To Li-hua. Ayah To Li-hua yang bernama To An-an adalah seorang bekas Panglima pula, dan duduk di deretan itu.
Sementara itu, di sekitar lapangan telah menjadi lautan manusia. Bukan saja anggauta keluarga dari para calon prajurit yang ikut menonton jago-jago mereka mengadu nasib, namun sebagian dari penduduk kota Pak-khiapun telah berbondong-bondong melihat pemilihan prajurit yang hanya berlangsung dua tahun sekali itu. Dua ribu lebih anggauta pasukan Kiu-bun Tetok tersebar di sudut-sudut lapangan dengan senjata terhunus.
Sementara itu, para prajurit yang jumlahnya juga mencapai duaribu an itu berkumpul di satu sisi. Mereka semuanya berpakaian ringkas sesuai dengan seleranya masing-masing. Dan didengar dari logat bicara mereka, maka agaknya merekapun berasal dari daerah yang berbeda-beda, bahkan ada yang datang dari luar Tembok Besar.
Sikap mereka juga berbeda-beda, ada yang menampilkan rasa percaya diri yang besar, ada pula yang nampak tegang dan ragu-ragu, ada pula yang menutupi kekecutan hatinya dengan mencoba bersikap aneh. Tong Lam-hou ada di antara calon calon prajurit itu. Ia duduk tenang-tenang saja di atas rerumputan, tidak dihiraukannya seorang bertubuh tinggi besar yang duduk di sebelahnya dan sejak tadi menggerutu terus.
Ketika tambur dipukul, semua orang serentak menoleh ke tengah lapangan. Seorang yang berpakaian pejabat dari Peng-po-ceng-tong memegang sehelai kertas di tangannya dan dibacakannya huruf-huruf yang tertulis di kertas dengan suara yang keras. Isinya mengutarakan bahwa ujian penyaringan prajurit itu akan berlangsung dalam tiga tahap dalam tiga hari. Yang boleh ikut tahap kedua hanyalah yang sudah lolos tahap pertama, begitu pula yang boleh mengikuti tahap ketiga hanyalah yang sudah lolos tahap kedua.
Ujian tahap pertama adalah ketahanan jasmani, ujian tahap kedua adalah ketrampilan keprajuritan seperti menunggangi kuda, memanah, melempar lembing dan sebagainya. Ujian ketiga adalah Ilmu silat, bertarung melawan para pelatih dari berbagai pasukan. Ujian ketiga ini untuk menentukan pangkat bagi para calon prajurit. Semakin tinggi ilmunya, akan semakin tinggi pangkatnya, meskipun terbatas pula, sebab tidak mungkin seseorang menduduki pangkat yang menentukan tanpa diketahui sampai dimana kesetiaannya kepada Negara dan Kaisar.
Waktu itu, di tengah-tengah lapangan itu sudah ada potongan-potongan balok kayu yang jumlahnya kira-kira seratus batang sama besar. Para calon prajurit segera diperintahkan untuk berkumpul menurut kelompok-kelompok yang sudah ditetapkan kemarin. Ada dua puluh kelompok yang tiap kelompok terdiri kira-kira seratus orang. Tong Lam-hou termasuk dalam kelompok ke sebelas.
"Kelompok pertama memasuki lapangan!" teriak seorang perwira. "Masing-masing mengambil tempat di dekat sepotong balok! Tetap dalam jajaran yang rapi."
Setelah masing-masing diperiksa namanya untuk dicocokkan dengan daftar, maka ujianpun dimulai. Tiap calon harus mengangkat balok kayu itu naik turun sebanyak lima ratus kali di bawah hitungan seorang perwira. Maka gegap-gempitalah lapangan itu ketika melihat para calon prajurit itu menggerak-gerakkan balok yang berat itu dengan kedua tangannya, menuruti irama tambur.
Orang yang kemarin membual mampu membunuh dua ekor harimau dalam semalam itu, ternyata hanya mampu mengangkat sampai hitungan ke seratus lebih, sesudah itu tangannya lemas dan hampir saja balok kayu itu menimpa kepalanya sendiri. Maka namanya segera dicoret dari daftar para calon. Dengan kepala tunduk ia keluar lapangan, untuk memperbaiki kesalahannya itu ia harus menunggu dua tahun lagi.
Demikianlah, kelompok demi kelompok maju untuk mengalami pendadaran yang berat itu. Dari setiap kelompok, tidak banyak jumlahnya yang berhasil menyelesaikan sampai hitungan kelima-ratus. Namun yang berhasil itu tentu saja melangkah keluar dari lapangan dengan perasaan bangga. Ujian macam itu dilalui oleh Tong Lam-hou dengan mudahnya, dan yang membuatnya bersemangat ialah ketika melihat seorang gadis Manchu duduk di samping Pakkiong Liong.
Gadis itu, To Li-hua yang oleh Ha To-ji dan lain-lainnya dijuluki "si cerewet", melambaikan tangannya kepada Tong Lam-hou ketika melihat Tong Lam-hou masuk ke lapangan ujian bersama dengan kelompoknya. Demikianlah ujian-ujian ketahanan jasmani yang lain-lain seperti meloncati patok kayu sebanyak seribu kali, atau bergulingan dari ujung ke ujung lapangan, telah dilalui oleh Tong Lam-hou tanpa banyak kesulitan.
Ketika matahari telah hampir tenggelam, barulah ujian tahap pertama itu dinyatakan selesai. Dari dua ribu orang calon, ternyata yang dinyatakan lolos tahap pertama hanyalah kira-kira limaratus orang dan berhak mengikuti tahap kedua. Lainnya dinyatakan gugur. Malah ada yang untuk berjalan saja sudah tidak sanggup lagi sehingga terpaksa harus digotong.
Di antara para penonton yang berdesak-desakan itu, ada seorang lelaki berusia kira-kira empatpuluh lima tahun, berwajah tampan dan berjenggot hitam rapi. Tubuhnya yang ramping itu memakai pakaian ringkas serba putih, namun dilapisi dengan selembar jubah berwarna biru pucat. Jubah panjang yang juga bertujuan menutupi sebatang pedang pendek yang tergantung di pinggang kirinya agar tidak kelihatan.
Ketika seorang perwira mengumumkan bahwa ujian tahap pertama sudah selesai dan ujian tahap kedua akan diadakan besok pagi, maka orang itupun ikut bubar meninggalkan lapangan bersama-sama dengan arus orang banyak. Banyak yang membicarakan jalannya ujian tadi, atau saling memanggil dengan orang yang kebetulan dikenalnya. Lelaki berjubah biru itu berjalan saja tanpa berbicara dengan siapapun. Ia baru terkejut setelah merasa pundaknya ditepuk dari belakang.
"Saudara Tong melamun rupanya?" kata orang yang menepuk dari belakang itu. Ternyata ia juga seorang yang berpakaian jubah panjang dan tampangnya mirip seorang pedagang yang makmur. Namun sepasang matanya yang berkilat-kilat menandakan bahwa orang itupun memiliki ilmu yang tinggi.
Kedua orang itu lalu saling berjalan berdampingan. Dengan sikap wajar mereka saling bertanya-jawab, "Kiranya saudara In juga sudah berada di kota ini. Bersama siapa saja?"
"Semua orang kelompokku yang ditentukan untuk serangan ini sudah ada di kota. Tinggal menanti hubungan dengan rekan-rekan lain."
"Bagus," kata orang she Tong itu singkat. Dialah Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, Cong-piau-thau (Pemimpin) dari perusahaan pengawalan Tiong-gi Piau-hang yang berpusat di kota Tay-beng. Meskipun ia termasuk "orang dagang" yang umumnya harus berhubungan baik dengan pihak pemerintah yang manapun, namun agaknya Tong Wi-hong berani menyerempet bahaya dengan ikut dalam gerakan pembebasan tanah air.
Kedua orang itu bercakap-cakap perlahan, namun jika ada seseorang yang sedang berjalan di dekat mereka maka percakapanpun beralih ke soal-soal lainnya yang tidak berbahaya. Siapa tahu di antara orang-orang yang begitu banyak itu ada mata-mata bangsa Manchu?
Orang satunya lagi yang she In itu adalah Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Petir) In Yong, dulunya di jaman Hwe-liong-pang berkedudukan sebagai Lam-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru). Kata In Yong, "Di sebelah lain dari lapangan tadi, aku lihat juga ada Hui-liam-cu Totiang bersama dengan beberapa rekan Khong-tong-pay agaknya sudah siap juga. Di dalam kota, aku bertemu dengan saudara Sun dari Kay-pang (Serikat Pengemis) yang mengatakan bahwa orang-orang Hoa-san-pay dan Bu-tong-pay juga sudah berdatangan semua dan sudah membuat hubungan."
"Bagus. Jaga jangan sampai gerakan kita menyolok mata sehingga tercium oleh pihak musuh. Apakah orang-orang Jit-goat-pang belum datang?"
Alis In Yong nampak berkerut tidak senang mendengar pertanyaan tentang Jit-goat-pang (Serikat Matanari dan Rembulan) yang merupakan serikatnya para bekas bangsawan dan panglima-panglima yang setia kepada Kerajaan Beng itu. Namun dijawabnya juga, "Mereka malah belum kelihatan batang hidungnya sama sekali. Mereka dulu yang berkobar-kobar menganjurkan gerakan ini, dan sekarang merekalah yang paling malas berjalan ke medan laga."
Tong Wi-hong tersenyum melihat sahabatnya menggerutu macam itu. Katanya, "Sudahlah, saudara In. Bagaimanapun buruknya mereka di masa lalu, bahkan pernah menjadi musuh Hwe-liong-pang kalian, tetapi sekarang mereka sekarang sudah menjadi kawan kita. Kita harus bersatu supaya gerakan ini tidak menjadi berantakan justru di depan hidung musuh."
"Ya? ya, aku paham, saudara Tong,” kata In Yong sambil mengangguk-angguk. "Betapapun muaknya aku kepada bangsawan-bangsawan kesiangan yang sikapnya masih sok kuasa itu, aku tetap menahan diri agar gerakan ini tidak menjadi berantakan. Tapi aku hampir tak dapat menahan diri ketika aku dengar dari saudara Ma Hiong tentang apa yang terjadi di sebuah desa bernama Jit-si-ong-tin di wilayah Hun-lam sana. Itu perbuatan binatang-binatang berujud manusia. Kalau aku tidak mengingat keutuhan gerakan ini, ingin sekali rasanya aku membuat perhitungan kepada mereka atas nama rakyat yang terbantai."
"Kitapun bekerja-sama dengan mereka karena hanya terpaksa," kata Tong Wi-hong. "Sangat terpaksa. Harap saudara In memahami hal ini. Pihak Manchu terlalu kuat untuk kita hadapi seorang diri, sehingga kita harus bergandengan tangan dengan mereka yang tangannya berlumuran darah itu."
Akhirnya In Yong hanya biea menarik napas dalam-dalam sambil menekan gejolak perasaaannya yang hampir menjebolkan dadanya. Dalam suasana kemelut seperti ini, memang tidak banyak pilihan yang tersedia. Bahkan pilihan-pilihan yang tersediapun tidak semuanya bisa dilakukan, namun justru keadaan telah memaksanya untuk melakukan pilihan yang tak disukai itu.
Ketika memasuki pintu gerbang kota, Tong Wi-hong menunjuk ke arah sebuah kedai arak yang tidak begitu besar dan nampaknya juga menyediakan beberapa macam masakan sederhana. Katanya, "Saudara In, bagaimana kalau kuajak kau minum dulu di kedai itu? Ada banyak hal yang ingin kubicarakan."
Keduanyapun masuk ke kedai itu dan memilih sebuah tempat duduk di dekat pintu. Setelah memesan dua mangkuk mi pangsit dan sepoci arak, Tong Wi-hong pun mulai berkata, "Saudara In, bagaimana kau lihat ujian keprajuritan di lapangan tadi?"
“Dengan cara seperti itu, pemerintah Manchu akan mendapatkan pemuda-pemuda yang terbaik dari negeri ini untuk memperkuat cengkaman kekuasaan mereka atas negeri ini."
"Aku sependapat, saudara In. Berbeda betul dengan jaman dinasti Beng dulu, di mana orang-orang yang bisa diterima sebagai prajurit hanyalah orang-orang yang bisa menyogok para pengujinya. Pantas saja kalau tentara dinasti Beng begitu tidak berguna, tubuh mereka rata-rata gemuk dan berlemak, sedang tubuh prajurit-prajurit Manchu itu semuanya kekar dan ramping. Inilah perbedaannya."
In Yong tidak segera menyahut, ia me.nenggak araknya secawan dan matanya menerawang jauh. Lalu sambil menarik napas ia berkata, "Ya, harus kami akui bahwa tentara Manchu memang merupakan musuh yang berat bukan main. Beberapa tahun yang lalu, aku bersama Sri Baginda Coan-ong pernah bertahan dengan gigih di sebelah timur kota ini. Namun kami toh terpukul mundur tercerai-berai."
Yang dissebut "Sri Baginda Coan-ong" oleh In Yong itu adalah Li Cu-seng. Setelah Li Cu-seng dengan laskar pemberontaknya berhasil merebut kekuasaan dari tangan Kaisar Cong-ceng yang menggantung diri, maka diapun mengangkat dirinya menjadi Kaisar. Meskipun umur pemerintahannya itu tidak lebih dari dua bulan karena keburu digulung oleh balatentara Manchu yang sangat kuat, namun dalam masa sesingkat itu Li Cu-seng pernah menjadi seorang Kaisar sehingga pengikut-pengikutnya-pun. masih memanggilnya dengan sebutan "Sri Baginda Coan-ong."
Sebenarnya bukan hal itu yang ingin dibicarakan oleh Tong Wi-hong, melainkan suatu hal lain yang menyangkut seseorang yang masih berhubungan darah dengannya. Maka ketika In Yong mulai bicara melantur ke masa pemerintahan Li Cu-seng itu, Tong Wi-hong-pun berkata, "In-heng (saudara In), apakah saudara Ma Hiong serta sauadra Oh Yun-kim dan Lu Siong yang baru kembali dari Hun-lam itu sudah bicara banyak denganmu?"
"Ya, sudah, kenapa?"
"Juga tentang anak muda yang bernama Tong Lam-hou?"
"Ya, sudah. Kata saudara Ma, anak muda yang perkasa yang bersama-sama dengan Pakkiong Liong itu adalah keturunan dari Hwe-liong Pang-cu (Ketua Hwe-liong-pang). Pun patut disayangkan bahwa anak muda sepandai itu telah terpikat oleh bangsa Manchu."
Tong Wi-hong menarik napas. "Ya, sangat patut disayangkan, aku telah mencoba memberinya nasehat, sebab bagaimanapun juga dia adalah keponakanku sendiri. Namun hatinya terlalu keras. Aku kuatir dia tersesat semakin jauh."
"Kenapa saudara Tong menguatirkan bahwa putera Hwe-liong Pang-cu itu akan tersesat semakin jauh?"
"Aku bicara dari hati ke hati, saudara In, kuanggap kau dapat membantu meringankan beban pikiranku. Tapi lebih dulu aku punya satu permohonan kepadamu."
"Kita adalah sahabat sejak berpuluh tahun, saudara Tong. Katakan saja. Apa yang bisa kubantu akan aku bantu."
Tong Wi-hong lebih dulu mengangkat cawan araknya sebagai tanda hormat yang dibalas oleh In Yong. Lalu mulailah pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu berkata, "Saudara In, sebetulnya hal ini adalah urusan keluarga kami sendiri yang tidak patut untuk merepotkan orang luar untuk ikut memikirkannya. Tentang keponakanku Tong Lam-hou itu, aku benar-benar kuatir bahwa ia akan terjeblos semakin dalam ke dalam rangkulan bangsa Manchu, entah dengan tipuan apa. Ia masih sangat lugu, jika pikirannya yang masih lugu itu dijejali dengan pikiran-pikiran yang berbahaya oleh pemerintah Manchu maka ia benar-benar akan menjadi alat yang menakutkan di tangan bangsa Manchu. Beberapa orang anak buah Li Tiang-hong pernah melihat sendiri betapa hebatnya ilmu silatnya, dan kemudian aku pun sudah membuktikannya sendiri. Selama ini seorang musuh seperti Pakkiong Liong saja sudah begitu susah untuk kita ladeni, masakah akan bertambah lagi dengan seorang Tong Lam-hou yang tidak kalah perkasanya dengan Pakkiong Liong?"
"Ya, saudara Tong benar. Apalagi kalau anak itu digabung dengan Pakkiong Liong, di dunia persilatan ini entah siapa yang bisa menandingi mereka berdua yang bersatu-padu?"
"Itulah yang ingin aku cegah. Tetapi setelah aku melihatnya di lapangan ujian penyaringan prajurit tadi, aku merasa harapanku untuk menyadarkannya masih jauh, dan bahkan semakin jauh."
"He, ia ada di sana tadi?"
Tong Wi-hong mengangguk. "Ya, ia ikut mendaftarkan diri sebagai prajurit Manchu. Selagi ia belum berseragam prajurit saja ia sudah begitu setia kepada Pakkiong Liong, apalagi setelah kelak ia mengenakan seragam prajurit Manchu. Di dunia ini, orang memang sukar melepaskan diri dari ikatan kekayaan, pangkat, kemuliaan, kekuasaan dan sebagainya, apalagi kalau ikatan itu ditambah dengan ikatan yang paling alami dan paling sulit dilepaskan. Yaitu cinta kepada lawan jenisnya."
"Cinta kepada lawan jenis?"
"Benar. Aku melihat Tong Lam-hou ikut mendaftarkan diri sebagai calon prajurit Kerajaan Manchu, itu menandakan dia memburu kekuasaan dan pangkat. Dan pulangnya dia berkuda bersama-sama seorang gadis cantik bangsa Manchu. Mereka nampak akrab dan aku kuatir keponakanku itu akan semakin terjerat kecantikan gadis Manchu itu sehingga kelak dapat melawan bangsa Han sendiri. Tong Lam-hou masih muda dan lugu pula, segala liku-liku dunia belum dikenalnya. Jika pemerintah Manchu menggunakan gadis itu untuk menguasainya, maka ia benar-benar akan sulit disadarkan kembali."
"Jadi bantuan apa yang akan saudara Tong daripadaku?"
Tong Wi-hong ragu-ragu sejenak untuk mengutarakannya, namun akhirnya terucapkan juga keinginannya itu, "Barangkali permintaanku kepada saudara In ini akan kedengaran seolah-olah mementingkan keluarga sendiri dan membelakangi kepentingan tanah-air, namun baiklah aku katakan. Sebagai paman, aku tidak sampai hati melihat keturunan satu-satunya dari kakakku itu kelak akan dikutuk namanya sebagai pengkhianat tanah-air, mungkin namanya akan dikutuk serendah nama Bu San-kui. Apalagi jika tubuhnya tertembus pedang kaum pejuang. Karena itu aku mohon kepada saudara In dan seluruh saudara-saudara Hwe-liong-pang, agar jika bertemu dengan anak itu jangan bersikap keras dulu, lebih baik lebih dulu dicoba untuk menyadarkannya."
"Suatu permintaan yang sulit dilaksanakan, saudara Tong," kata In Yong sambil menarik napas. "Menyesal sekali, hal itu akan sulit dikatakan. Bukan karena kami tidak memberi kesempatan kepada putera Hwe-liong-Pang-cu itu untuk bertobat dan memperbaiki kesalahannya, namun bagaimana jika kami bertemu di medan tempur? Dapatkah kami membujuknya dengan kata-kata lembut sedangkan peperangan tengah berlangsung dan mungkin pada saat yang sama banyak pejuang yang sedang terancam nyawanya oleh Tong Lam-hou?"
Tong Wi-hong termangu-mangu mendengar jawaban In Yong yang tegas itu. Ia menarik napas berkali-kali untuk melegakan dadanya yang terasa pepat. Akhirnya digenggamnya tangan In Yong dan katanya, "Baiklah, saudara In, aku bisa memakluminya. Tentu kau tidak bisa mengorbankan puluhan, bahkan mungkin ratusan nyawa anggauta Hwe-liong-pang hanya karena Tong-lam-hou. Permintaanku itulah yang keterlaluan. Baiklah, aku cabut kembali pemintaanku tadi."
"Saudara Tong, aku juga minta maaf bahwa aku telah membuatmu kecewa. Namun bukan berarti permintaanmu itu tidak kuperhatikan sama sekali. Jika suatu saat aku bertemu sendirian dengan Tong Lam-hou itu di sebuah tempat yang sepi, bukan di tengah-tengah medan perang, maka aku memang akan mencoba melaksanakan permintaan saudara Tong itu. Bahkan saudara-saudara dari Hwe-liong-pang lainnya juga akan kuanjurkan untuk berbuat sama, dan aku yakin saudara-saudara Hwe-liong-pang akan mudah mengerti. Jika Tong Lam-hou itu benar-benar putera Hwe-liong Pang-cu, maka saudara-saudara lainnya tentu dengan senang hati menjalankan pesan saudara Tong, karena kesetiaan saudara-saudara Hwe-liong-pang itu terhadap Pangcu masih belum luntur, meskipun Pangcu sudah tidak ada di dunia ini duapuluh tahun lebih."
"Terima kasih... terima kasih..." kata Tong Wi-hong dengan mata yang agak berkaca-kaca karena teringat akan kakaknya yang dulu menjadi Ketua Hwe-liong-pang itu, namun kemudian mati dalam usia muda sebelum cita-citanya terwujud. Untuk sesaat Tong Wi-hong tidak dapat mengucapkan kata-kata selain "terima kasih" itu karena rasa harunya yang menyesak di dada.
"Saudara In, terima kasih sekali jika kalian berusaha untuk melakukan itu. Tapi jangan sampai ada seorangpun anak buah Hwe-liong-pang, tidak peduli yang kedudukannya paling rendah sekalipun, yang sampai berkorban nyawa gara-gara permintaanku ini. Jika Tong Lam-hou mati di medan perang, apa boleh buat, dan aku pun tidak akan dapat membelanya apabila namanya dikutuk orang sebagai pengkhianat. Bahkan, jika ia tidak juga mau mendengar nasehatku, pedangku sendirilah yang akan kuhunjamkan ke dadanya, meskipun aku akan melakukan hal itu dengan sangat sedih sebab dia adalah keturunan kakakku satu-satunya."
"Aku hanya bisa berharap mudah-mudahan anak muda itu bisa mengamalkan ilmunya yang tinggi untuk membela tanah-airnya."
Kedua orang itupun kemudian makan minum sekenyangnya di warung kecil itu, lalu berpisah ke penginapannya masing-masing.
"Saudara Tong, apakah ujian tahap kedua itu juga akan kau tonton?" tanya In Yong sebelum berpisah.
"Aku ingin melihatnya. Barangkali saudara In juga?"
"Ya. Aku dapat mengukur ketrampilan prajurit-prajurit Manchu untuk dibandingkan dengan anak buahku. Jika mereka lebih unggul dari anak buahku, maka aku memang tidak akan segan-segan menirunya untuk menerapkan cara-cara latihan mereka kepada anak buahku. Dari musuh pun kadang-kadang kita bisa menarik suatu pelajaran penting yang bisa kita tiru."
"Bagus, saudara In, kau berpikiran luas."
"Selamat berpisah, saudara Tong."
"Sampai jumpa besok pagi di lapangan prajurit, saudara In."
Keduanyapun saling berpisah dan memberi hormat. Malam semakin dalam, namun akhirnya fajarpun merekah di ufuk timur dan hari baru telah terbit. Lapangan di luar kota Pak-khia yang digunakan sebagai tempat penyaringan calon-calon prajurit itupun telah menjadi ramai kembali. Berbondong-bondong orang ingin menyaksikan jalannya ujian tahap kedua itu.
Prajurit-prajurit yang akan menjaga keamanan selama berlangsungnya pendadaran nanti, juga telah menempati tempatnya masing-masing dengan senjata terhunus, tapi panggung kehormatan untuk orang-orang berjabatan tinggi masih kosong.
Ketika matahari sudah agak naik barulah tandu-tandu atau kereta-kereta berdatangan, mengangkut orang-orang yang berpakaian bagus-bagus. Para menteri dan panglima. Di pinggir lapangan telah disiapkan puluhan ekor kuda, anak panah serta busur-busurnva, lembing dan sebagainya yang akan digunakan untuk menguji para calon prajurit.
Di tengah lapangan sudah tersedia belasan orang-orangan yang terbuat dari jerami dan kain, yang digantungkan pada sepotong bambu panjang yang ditancapkan di tanah. Itulah yang akan menjadi sasaran para pemanah. Tepat pada "ulu hati" orang-orangan jerami itu ada sebuah lingkaran berwarna merah.
Ketika para calon prajurit yang akan ikut pendadaran tahap kedua itu mulai memasuki lapangan dengan berbaris dipimpin seorang perwira yang menunggang seekor kuda tegar, maka sebagian besar penontonpun bertepuk tangan. Terutama teman-teman atau kerabat dari calon-calon tahap kedua itu, yang jumlahnya sudah susut banyak dibandingkan peserta tahap pertama yang kemarin.
Dalam satu barisan yang rapi, calon-calon prajurit itu memberi hormat ke arah panggung kehormatan, lalu menyingkir ke tepi lapangan untuk menunggu nama mereka dipanggil. Ujianpun dimulai. Pertama-tama, para peserta disuruh memanah orang-orangan jerami itu dari jarak kira-kira lima puluh langkah. Lalu panah diganti dengan lembing yang harus dilontarkan. Hampir tidak ada peserta yang gagal dalam ujian ini.
Lalu ujian pun dipersulit. Orang-orangan jerami itu tidak dibiarkan diam saja melainkan digoyang-goyangkan, sehingga berayun-ayun ke kiri dan ke kanan, bahkan kadang-kadang berputar-putar tak tentu arah. Tentu saja lebih banyak yang gagal dalam ujian macam ini. Namun sebagian besar peserta masih tetap dapat lulus, sebab sebagian besar itu memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk melakukan hal-hal itu.
Bahkan ada seorang peserta yang mampu menggemuruhkan sorak-sorai penonton. Dengan lima batang lembing dan lima anak panah yang dijatahkan untuknya itu, semuanya menancap tepat di tubuh orang-orangan itu. Tak Satupun yang lolos, padahal jika seorang peserta sudah bisa menancapkan tiga lembing dan tiga anakpanah saja sudah dianggap lulus.
Tong Lam-hou sebenarnya tidak terlalu kagum dengan orang itu, dan ia juga tidak ingin terlalu pamer kepandaiannya. Namun ketika tanpa sadar ia menoleh ke panggung dan, melihat To Li-hua yang duduk di samping Pakkiong Liong itu melambai-lambaikan tangannya dengan mata yang bersinar bagaikan bintang kejora, darah Tong Lam-hou bagaikan terbakar rasanya.
Gadis Manchu itu cantik sekali memakai topi bulunya yang berwarna putih berhiaskan bulu-bulu rajawali gurun itu. Maka Tong Lam-hou bertekad untuk menunjukkan semua kebiasaannya. Seorang muda di hadapan seorang gadis ingin mendapat pujian, itu hal biasa. Begitu pula Tong Lam-hou tidak dapat lepas dari kodrat alam ini.
Namun bagi Tong Wi-hong yang menonton diantara para penonton itu, tingkah laku keponakan itu membuat darahnya panas. Bisiknya kepada In Yong yang berdiri di sebelahnya, "Lihat, anak tak berguna itu sudah demikian terjerat oleh si rase cantik Manchu itu huh...”
In Yong juga melihat hal itu dengan alis berkerut. Namun ia mencoba mendinginkan hati Tong Wi-hong yang panas, "Hal itu biasa terjadi antara seorang lelaki muda dengan seorang gadis, bukan berarti Tong Lam-hou tidak bisa diperbaiki sama sekali. Jika suatu saat kita berhasil menemuinya dan berbicara kepadanya, aku yakin semuanya belum terlambat untuk diperbaiki."
Tong Wi-hong masih juga menggeram, "Suatu saat akan kubunuh rase betina yang cantik itu, agar keponakanku bebas dari guna-gunanya."
In Yong hanya dapat menarik napas dalam-dalam. Ia dapat memahami betapa gejolak perasaan sahabatnya itu melihat seorang keponakannya telah terpikat oleh musuh. Namun In Yong masih mencoba "mengendalikan" sahabatnya itu agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya. Bukan saja berbahaya bagi dirinya sendiri, tapi juga berbahaya bagi keseluruhan rencana yang sudah tersusun rapi dan pelaksanaannya sudah di ambang pintu itu.
“Jika kau bunuh rase cantik itu, saudara Tong, maka Tong Lam-hou bukannya menjadi sadar melainkan malah akan membenci saudara Tong sampai ke tulang sumsumnya. Tidak ada harapan ia akan kembali ke pangkuan kita."
"Dadaku terasa hampir retak memikirkannya."
"Tenanglah, saudara Tong. Jalan belum buntu sama sekali."
Sementara itu di tengah-tengah lapangan, Tong Lam-hou tengah menunjukkan kemahirannya. Meskipun orang-orangan jerami yang diincarnya itu berayun-ayun dengan cepat dan dengan gerakan yang tak dapat ditebak, namun kelima batang anak-panahnya seakan-akan mempunyai mata diujungnya, dan dengan tepat hinggap pada bulatan merah di "ulu-hati" orang-orangan itu. Bahkan Tong Lam-hou melepaskan panah-panahnya secara acuh tak acuh saja, seakan-akan tidak melihat sama sekali.
Tontonan seperti itu tentu saja membuat penonton bagaikan meledak dengan sorak-sorainya. To Li-hua yang duduk di panggung bertepuk-tepuk tangan dengan sikap seperti anak kecil. Gadis-gadis Manchu umumnya memang lebih bebas gerak-geriknya dari gadis-gadis bangsa Han yang terikat dengan adat-istiadat ribuan tahun. Itulah sebabnya orang Han memaki gadis-gadis Manchu sebagai "tidak tahu malu" dan "liar", sebaliknya orang Manchu memaki perempuan-perempuan Han dengan "kolot" dan "munafik".
Pemanah yang mahir sebelum Tong Lam-hou tadi melongo melihat kepandaian memanah ternyata dapat diungguli orang, padahal ia sudah merasa dirinya sendiri cukup hebat. Namun dengan tulus ia mengacungkan jempolnya kepada Tong Lam-hou dari kejauhan. Tong Lam-hou membalasnya dengan anggukan yang ramah.
Sementara itu, seorang perwira telah menyerahkan lima batang lembing kepada Tong Lam-hou. Kembali orang-orangan jerami yang “Ulu hati" nya masih penuh dengan panah itu diayunkan sekeras-kerasnya. Dan lembing-lembing Tong Lam-hou pun beterbangan, seolah-olah susul-menyusul tanpa jarak dan kelima-limanya menancap tepat di ulu hati orang-orangan itu, sehingga lima panah dan lima lembing seolah terdesak-desakan di Lingkaran merah yang tidak lebih luas dari mangkuk itu. Malahan lembing-lembing itu bukan sekedar menancap tapi juga menembus sampai ke belakang.
Kekaguman penonton benar-benar tak terbendung lagi. Sorak-sorai membahana menggetarkan lapangan itu. Tong Lam-hou benar-benar menjadi "bintang lapangan" pada hari itu. Bahkan orang-orang yang sebenarnya membenci pemerintahan Manchu-pun tak urung mengagguk-anggukkan kepalanya dengan kagumnya.
Tong Lam-hou, seorang anak gunung yang sejak kecil hidup dalam kesunyian dan kemiskinan, tiba-tiba merasa dirinya menjadi orang besar. Di sini, di Pak-khia, Ibukota Kerajaan, ribuan orang memujanya, menganggapnya sebagai dewa yang turun dari langit. Tentu saja Tong Lam-hou tidak melewatkan kesempatan yang selama ini diimpikan saja belum pernah. Selama ini ia sudah merasa sangat gembira jika dendeng daging serigala yang dijualnya di Jit-siongg-tin habis dibeli orang, sehingga uang penjualannya bisa dibelikan baju atau barang-barang keperluan lainnya buat ibunya.
Tapi di sini, ia tidak mimpi bahwa namanya mendadak akan terkenal dalam waktu satu hari saja. Rasa bangga bagaikan menyesak di dadanya, pikirnya, "Alangkah terkejutnya ibu kelak jika ia kubawa ke kota ini, dan ternyata aku sudah menjadi seorang yang terhormat di kota ini".
Pada mata acara ujian-ujian berikutnya, Tong Lam-hou berusaha berbuat sebaik-baiknya bukan sekedar untuk lulus masuk tahap ketiga, melainkan juga untuk memancing tepuk tangan dan kekaguman orang-orang di sekeliling lapangan. Pada mata acara memanah dan melempar lembing dari punggung kuda yang berlari kencang, kembali ia telah menunjukkan keunggulan dari rekan-rekan peserta ujian lainnya.
Mata acara yang terakhir, yang paling sulitpun tiba. Acara masih tetap memanah dan melemparkan lembing ke arah orang-orangan jerami yang digerak-gerakkan dengar keras, dan si pemanah tetap berada di punggung kuda yang berlari kencang. Namun kali ini kudanya tidak berlari lurus dari depan, melainkan lebih dulu membelakangi sasaran, dan kemudian dengan satu aba-aba dari seorang perwira yang berdiri di panggung kecil, maka kuda itu harus berbelok tajam dan lembing atau anak-panahpun ditembakkan ke sasaran.
Namun sasarannya kali ini pun dipersulit. Ada tujuh buah orang-orangan jerami yang letaknya tak teratur, masing-masing diberi tanda dengan angka satu sampai tujuh, dan para calon pe-rajurit harus mengarahkan panah-panah dan lembing-lembing mereka ke sasaran yang diteriakkan oleh perwira di atas panggung kecil itu. Ternyata ujian ini benar-benar berat, sehingga diadakanlah ketentuan bahwa jika si calon dapat mengenai empat saja dari sepuluh kali kesempatannya, maka akan dianggap lulus.
Demikianlah para calon perajurit itu menunjukkan ketrampilan masing-masing dengan semangat yang tinggi. Jika ada yang bisa berhasil lima kali dari sepuluh kesempatan itu saja, orang sudah berteriak-teriak memujinya. Namun Tong Lam-hou yang tengah mabuk sanjungan itu telah membuat penonton bagaikan kesurupan setan ketika ia menyelesaikan sasaran-sasarannya dengan tepat. Boleh dikatakan baru saja bibir perwira di atas panggung itu terkatub menyebut angka salah satu orang-orangan jerami itu, maka detik itu pula panah atau lembing sudah sampai ke sasarannya.
Di panggung kehormatan, Panglima tua Pakkiong An melihat yang terjadi di lapangan itu dengan mata yang tidak berkedip. Anak muda itu telah sangat menarik perhatiannya. Kepada seorang perwiranya yang berdiri di belakangnya, Pakkiong An bertanya, "He, kau tahu siapa anak muda itu?"
Perwira yang berdiri di belakang tempat duduk Pakkiong An itu bukan lain adalah Hehou Im yang pernah menelan pengalaman pahit dari Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou ketika berada di tengah sungai Yang-ce-kiang bersama teman-temannya itu. Maka tanpa melihat catatanpun Hehou Im sudah hapal akan diri Tong Lam-hou. Sahutnya, "Dia yang bernama Tong Lam-hou, sahabat Pakkiong Liong yang datang dari Tiam-jong-san seperti yang pernah kuceritakan kepada Ciangkun dulu."
Alis Pakkiong An yang putih seperti kapuk itupun berkerut kurang senang ketika mendengar keterangan itu. Desisnya, "Celaka dua belas, kalau sampai Pasukan Hui-liong-kun bertambah dengan seorang jagoan lihay semacam ini, maka pamor keponakanku di hadapan Sri Baginda tentu akan semakin terang dan aku semakin tersudut. Ini tidak boleh terjadi."
Hehou mendekatkan mulutnya ke telinga Pakkiong An dan berbisik, "Jangan kuatir, Ciangkun. Bukankah Ciangkun sekarang memiliki seorang jagoan yang luar biasa tangguhnya?"
"Si siluman hitam yang menamaKan dirinya Te-liong Hiangcu itu? Memang dia tangguh, tapi dia bukan anak buahku yang dapat kusuruh-suruh setiap saat. Ia juga datang dan pergi semaunya saja. Jika sedang ada urusan penting yang harus segera ditangani dan dia tidak muncul, lalu bagaimana?"
Hehou Tm menarik napas. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu, di deretan kursi yang sama, Pakkiong Liong juga sedang mencemaskan Tong Lam-hou. Bukan mencemaskan raga atau tubuhnya, namun mencemaskan bahwa sanjung puji yang berlebihan kepada sahabatnya itu akan merusak kepribadiannya. Orang bisa menjadi lupa daratan jika terus-menerus dipuja.
Selama ini Pakkiong Liong bersahabat dengan Tong Lam-hou karena saling menghormati kepribadian dan pendiriannya masing-masing, meskipun banyak juga titik-titik perbedaaan antara kedua pribadi yang kuat itu, namun keduanya tetap saling menghormati. Kini, jika Tong Lam-hou menjadi kehilangan kepribadian, menjadi seorang yang mabuk kekuasaan dan sanjungan, bagaimana Pakkiong Liong bisa tetap menghormati pribadi macam itu? Ia akan menemukan seorang bawahan yang berilmu tinggi, tetapi akan kehilangan seorang sahabat yang berpribadi kuat.
Pakkiong Liong menarik napas dalam-dalam dan berharap mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi. Ia ingin Tong Lam-hou tetap Tong Lam-hou selama berada di Tiam-jong-san dulu, tidak berubah, meski pun barangkali ia akan mengenakan seragam perwira yang bagus dan bukan lagi pakaian seorang pemburu yang lusuh dan jelek. Biarlah pakaian ditukar, suasanapun tertukar, namun Tong Lam-hou tetap dalam kepribadiannya.
"Barangkali aku tetap berprasangka kepadanya", kata Pakkiong Liong dalam hati untuk membantah kecemasannya sendiri. "Sikap Tong Lam-hou itu mudah-mudahan hanya kerena kegembiraannya saja, dan suatu kelak ia akan dapat menerima keberhasilannya itu dengan sikap dewasa tanpa kehilangan keseimbangan. Bukankah aku sendiri juga pernah bergembira dan berkelakuan mirip orang sinting ketika pertama kali mendapat sanjungan karena kemenanganku?"
Ketika Pakkiong Liong menoleh ke sebelah kirinya dan pandangan matanya membentur seraut wajah berbentuk bulat telur yang berkulit putih, bermata seperti bintang, berhidug mancung kecil dengan bibir yang merekah merah dan sepasang lesung pipit di ujung-ujung bibirnya, sementara dari bawah topi bulunya tersembullah rambutnya yang hitam tebal seperti setera.
Tiba-tiba Pakkiong Liong tersenyum sendiri. Selama beberapa hari berada di Ibukota ini, Tong Lam-hou dan To Li-hua rasanya semakin erat saja, meskipun keduanya sering saling mengejek atau saling menggaggu seperti anak kecil saja, namun Pakkiong Liong tahu bahwa sepupu-perempuannya yang tidak pernah tertarik kepada anak muda yang manapun juga itu, kini agaknya sudah menemukan pilihannya. Dan sinar mata Tong Lam-hou yang selalu memandang To Li-hua dengan kekaguman seperti menatap sesosok bidadari dari langit itupun tidak lepas dari pengamatan Pakkiong Liong.
"Agaknya piau-moai mempunyai pengaruh kuat atas diri A-hou, ini bisa dimanfaatkan agar A-hou tetap dapat berdiri jalan kepribadiannya yag asli," batin Pakkiong Liong. "Tapi apakah si cerewet ini bisa diajak bicara bersungguh-sungguh? Selama ini jika bicara denganku ia selalu bergurau saja. Mudah-mudahan kalau bicara tentang Tong Lam-hou, la akan bisa lebih sungguh-sungguh, biarpun ia pasti akan mencubitku sekeras-kerasnya kalau isi hatinya kena kutebak." Hampir-hampir Pakkiong Liong tertawa sendiri, namun ditahankannya supaya tidak menimbulkan keheranan orang lain.
Sementara itu, seorang perwira dengan suara yang lantang telah menyatakan bahwa ujian itu ditutup. Lalu dibacakan nama-nama para calon yang lolos ujian tahap ke dua itu; dari limaratus calon lebih, hanya tiga ratus yang dianggap layak untuk diterima sebagai prajurit. Jika seseorang diterima pada tahap kedua ini, sesungguhnya ia sudah diterima sebagai prajurit. Ujian tahap ke tiga sudah bukan bersifat penyaringan lagi melainkan untuk sekedar menentukan kemampuan para prajurit itu untuk ditempatkan di tatarannya masing-masing.
Ada yang langsung menjadi seorang perwira, namun sebagian besar tentu harus mulai dengan menjadi seorang prajurit yang paling rendah pangkatnya. Ujian tahap ke tiga tidak akan diadakan di tempat terbuka, melainkan di gedung Peng-po-ceng-tong, di sebuah ruangan yang tertutup. Yaitu ujian ilmu silat, melawan para pelatih dari pasukan-pasukan yang ada di ibukota. Inilah ujian yang paling berat, dan kemungkinan untuk tewas dalam ujian harus siap dihadapi oleh para calon.
Setelah ujian itu selesai, orang-orangpun berbondong-bondong mengalir meninggalkan lapangan itu. Seperti air di sebuah kolam yang dibuka tanggulnya. Tong Lam-hou yag menjadi pujaan penonton pada hari itu, nampak berkuda bersama-sama dengan Pakkiong Liong lainnya yang menjadi teman baiknya. Tentu saja yang paling dekat dengan Tong Lam-hou adalah si "cerewet" To Li-hua. Dengan tatapan mata yang kagum tanpa disembunyikan, ia berkuda di samping Tong Lam-hou dari matanya selalu menatap ke anak muda di sampingnya....
Tetapi Ibun Hong masih terlongong longong di atas kudanya. Ia memang benci kepada orang yang berkali-kali menyakiti hatinya dengan ucapan-ucapan yang bernada menghina ketika berada di rumah Pakkiong An tadi, namun Ibun Hong juga gentar setelah melihat kehebatan orang itu, yang dapat muncul begitu saja seperti sesosok hantu saja.
Dengan mata yang tajam Te-liong Hiangcu menatap Ibun Hong dari balik kedok hitamnya. Suaranya dingin, "He, perwira gendut, kau telah membuatku sangat muak dengan tingkah lakumu di rumah Pakkiong An tadi. Kini aku akan mengambil batok kepalamu!"
Ibun Hong maupun Hehou Im terkejut mendengar itu. Ibun Hong telah meraba gagang goloknya, namun dia sendiri ragu-ragu apakah goloknya itu akan bermanfaat untuk menghadapi manusia yang mirip siluman itu?
Sementara itu Hehou Im terkejut sebab dengan terbunuhnya Ibun Hong akan berarti rusaknya kerjasama Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An. Pakkiong An tentu akan merasa tidak senang kalau rekan sekerjanya itu belum-belum sudah berani membunuhi perwira bawahannya dengan sewenang-wenang, dengan alasan yang remeh saja.
Padahal Hehou Im merasa bahwa keberhasilan kerjasama itu akan ikut menentukan masa depannya pula. Hehou Im pula yang menjadi penghubung untuk memperkenalkan Pakkiong An dengan Te-liong Hiang-cu, dan ikut mengatur terjadinya kerjasama itu. Karena itu, cepat cepat ia berkata kepada Te-liong Hiangcu.
"Tunggu dulu, Hiangcu, apakah alasan sekedar merasa muak itu sudah cukup untuk membunuh seseorang?"
"Lebih dari cukup. Aku bahkan kadang-kadang membunuh beberapa orang karena iseng saja," sahut Te-liong Hiangcu dingin menggidikkan. "Jadi apa salahnya kalau aku bunuh si gendut ini?"
"Harap Hiangcu menyabarkan hati. Hiangcu baru saja memulai kerjasama dengan Pakkiong Ciangkun, dan awalan dari kerjasama itu sudah bagus. Bagaimana sekarang Hiangcu hendak merusakkan kerjasama ini hanya karena alasan yang remeh saja? Ibun Hong adalah perwira kepercayaan Pakkiong Ciangkun, dan Pakkiong Ciangkun tentu akan menganggap tindakan Hiangcu ini keterlaluan."
"Aku tidak takut kepada Panglima tua yang berpenyakit bengek itu. Ia dengan pasukannya bisa saja meratakan sebuah kota atau benteng, tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa kepadaku. Ia tidak tahu siapa aku, dan tidak tahu kemana akan mencari aku, sedangkan aku dapat masuk ke rumahnya setiap saat yang aku kehendaki dan membunuh seluruh keluarganya!"
Selama percakapan antara Hehou Im dengan manusia yang mirip siluman itu berlangsung, Ibun Hong dan kedua prajurit pengawalnya hanya duduk membeku di atas punggung kuda mereka masing-masing. Tangan mereka memegang senjata, namun basah dengan keringat dingin. Mereka sadar bahwa nyawa mereka benar-benar tergantung dari hasil pembicaraan Hehou Im dengan bekas pemimpinnya di jaman Hwe-liong-pang itu.
Hehou Im masih berusaha membujuk Te-liong Hiangcu agar tidak berbuat sesuatu atas diri Ibun Hong, "Apa yang Hiangcu katakan itu benar semuanya. Memang Hiangcu dapat saja berbuat sesuatu atas diri Pakkiong Ciangkun semudah orang membalikkan telapak tangan sendiri, tapi dengan demikian bukankah Hiangcu kehilangan seorang yang sesungguhnya dapat membantu Hiangcu untuk mencapai, cita-cita Hiangcu untuk menguasai dunia persilatan? Cita-cita Hiangcu yang, maaf, pernah Hiangcu coba beberapa tahun yang lalu namun gagal?"
Orang berkeredung itu nampak merenung sebentar. Jika menuruti gejolak kemarahannya, ingin rasanya ia membunuh sepuas-puasnya, sebab sudah jadi wataknya bahwa nyawa orang lain sangat tidak dihargainya. Baginya, membunuh beberapa orang terasa ringan tanpa beban perasaan sedikitpun, seperti membunuh nyamuk atau lalat saja. Bahkan ia sering menganjurkan kepada anak buahnya,
"Keahlian membunuh, seperti juga keahlian-keahlian lainnya, harus selalu dilatih dan diasah agar makin lama makin mahir. Karena itu kalian harus selalu melatihnya setiap saat, dan bukankah di sekitar kalian ada banyak orang yang bisa dijadikan sasaran latihan kalian?"
Namun kali ini terasalah kebenaran kata-kata Hehou Im bahwa sebaiknya ia harus tetap menjaga hubungan dengan Pakkiong An Kerjasama itu menguntungkannya, sebab ia dapat menyingkirkan tokoh-tokoh dunia persilatan yang dapat menyainginya untuk menduduki jabatan Bu-lim Beng-cu (Pemimpin Umum Rimba Persilatan), sehingga ia akan dapat melangkah ke kursi Bu-lim Beng-cu dengan mulusnya.
Misalnya dalam rencana penyerangan Penjara Kerajaan oleh para pemberontak beberapa hari lagi, saat itu entah berapa banyak tokoh rimba persilatan yang bakal ikut terjaring oleh Pakkiong An, sehingga saingan-sainganpun akan berkurang banyak. Karena otaknya ternyata masih cukup jernih untuk dapat berpikir untuk tujuan jahatnya itu, akhirnya Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk menerima usul He-hou Im itu.
"Baik, aku tidak akan membunuh bangsat gendut ini. Tetapi paling tidak aku harus mencungkil sebelah matanya untuk kenang-kenangan."
Hehou Im sendiri berjuluk Sat-sin kui si Setan Ganas, menandakan wataknya yang kejam. Namun kekejaman Sat-sin-kui kalau dibandingkan dengan Te-liong Hiangcu sungguh terlalu kecil, bukan apa-apanya. Sat-sin-kui Hehou Im kejam kepada musuh-musuh yang merintangi tujuannya, namun Te-liong Hiangcu bisa menjadi kejam tanpa alasan apapun, atau hanya sekedar "iseng" atau "berlatih membunuh", sehingga Hehou Im sendiri sering merasa ngeri dengan kekejaman bekas pemimpinnya yang luar biasa itu. Hampir-hampir tidak masuk akal namun kenyataannya demikian.
Tapi bagaimanapun juga Hehou Im harus berusaha sekuat tenaga agar hubungan yang sudah terjalin antara Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An itu tidak menjadi berantakan. Bukan karena Hehou Im adalah seorang yang baik hati sehingga ingin merukunkan sesamanya, namun karena hubungan baik antara kedua tokoh itu akan menguntungkannya: Kalau sudah tidak menguntungkan lagi, buat apa repot-repot merukunkan mereka? Mau saling cakar atau saling gorok ya silahkan saja.
Kata Hehou Im, "Jangan, Hiangcu, aku mohon dengan sungguh-sungguh agar Hiangcu tidak melukai serambutpun atas diri saudara Ibun ini. Semua yang telah kita sepakati bersama Pakkiong Ciangkun akan menjadi rusak hanya karena Hiangcu tidak dapat menahan diri. Aku mohon, Hiangcu!"
Bahkan untuk memberi tekanan kepada permohonannya itu, Hehou Im berlutut pula dan membentur-benturkan jidatnya ke tanah."
Te-liong Hiangcu menghentakkan kakinya ke tanah, geramnya, "Huh, apapun yang ingin kulakukan, kau selalu mencegahnya. Tanganku sudah gatal, lalu di mana aku harus membunuh?"
Tiba-tiba Hehou Im menyeringai kejam dan melirik ke arah kedua orang prajurit pengawal Ibun Hong itu. Dua orang prajurit yang tidak tahu apa-apa dan sejak tadi hanya mendengarkan pembicaraan itu dengan setengah mengerti setengah bingung. Pikir Hehou Im, "Kedua prajurit keroco itu sudah mendengar sebagian kecil dari rahasia komplotan ini, karena itu mereka tidak boleh dibiarkan hidup. Selain itu, juga sekalian dapat dijadikan pelampiasan nafsu membunuh Hiangcu yang agaknya sulit dikendalikan ini." Karena itu, Hehou bangkit dari berlututnya, dan sambil melirik ke arah kedua prajurit itu.
Hehou Im berkata, "Jika Hiangcu ingin berolahraga sedikit, kenapa harus Ibun Hong sasarannya? Bukankah masih ada lainnya?"
Kedua prajurit itu tidak begitu mengerti ucapan Hehou Im itu, namun secara naluriah mereka segera merasa bahwa keselamatan mereka terancam. Tetapi selagi mereka masih kebingungan dan menebak-nebak, tahu-tahu Te-liong Hiangcu telah bergerak bagaikan kilat menerkam nyawa mereka. Terlihat kedua tangan Te-liong Hiangcu hanya bergerak ringan seperti menggores berputar dengan ujung-ujung jarinya ke leher kedua prajurit itu, dan tahu-tahu kepala mereka sudah copot. Kedua tubuh tanpa kepala itu masih duduk di atas punggung kuda dan tangan mereka masih menggapai-gapai sejenak, sebelum mereka roboh ke tanah.
Te-liong Hiangcu tertawa terbahak bahak, dan dengan sekali gerakan saja ia sudah menghilang bersama kedua butir kepala korbannya itu. Hehou Im dan Ibun Hong memang kejam, namun merekapun terpaksa memalingkan kepala ke arah lain selama Te-liong Hiangcu melakukan perbuatan biadabnya itu. Mereka barulah berani menoleh kembali setelah mendengar suara tubuh yang jatuh dari kuda dua kali berturut-turut. Yang mereka lihat kemudian hanyalah dua orang prajurit pengawal Ibun Hong yang sudah tidak berkepala laga.
"Benar-benar keji seperti ib..." kata-kata makian hampir saja terluncur dari mulut Ibun Hong, tapi kemudian cepat-cepat ditutupnya mulutnya. Ia sadar bahwa caci-makinya itu kalau sampai didengar oleh Te-liong Hiangcu bisa membawa malapetaka bagi dirinya. Nyawanya baru saja lolos dari lubang jarum karena dimintakan ampun oleh Hehou Im, namun kedua prajurit pengawal-nyalah yang menjadi korban.
Akhirnya Ibun Hong cuma menarik napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kepada Hehou Im ia berkata, "Aku berhutang nyawa kepadamu, saudara Hehou. Kalau kau tidak membujuk ib... eh, orang itu, entah bagaimana dengan nasibku ini."
"Sudahlah. Dia memang berwatak aneh, tapi jika kita bisa berbicara baik-baik kepadanya maka nyawa kitapun aman. Sekarang yang penting, bagaimana kita harus berbicara tentang kedua prajurit yang malang itu?"
"Keluarganya tentu akan terkejut sekali menerima tubuh mereka, entah aku harus berbicara bagaimana dengan mereka?"
"Kita perabukan saja jenazah mereka di kuil terdekat, tanpa lebih dulu memberitahu keluarga mereka. Beberapa hari kemudian, barulah kita serahkan abunya kepada keluarga mereka, katakan saja bahwa mereka telah gugur di suatu tempat tugas yang jauh dari Pak-khia. Menerima abu jenazah tentu tidak akan sekaget menerima tubuh-tubuh tanpa kepala."
Ibun Hong yang merasakan pikirannya buntu itu cuma bisa mengangguk-angguk mendengar saran Hehou Im itu. Begitulah mereka melakukan rencana mereka. Sementara di dalam hati Ibun Hong sudah timbul rasa takut luap biasa kepada manusia iblis itu, namun ia merasa heran juga bahwa Pakkiong An telah mendapat rekan kerjasama yang demikian menakutkan.
Dalam perjalanan pulang dari kuil yang mereka titipi jenazah-jenazah itu, rasa ingin tahu Ibun Hong masih belum terlampiaskan, sehingga iapun masih bertanya, "Saudara Hehou, sejak kapan Ciangkun berkenalan dengan... dengan Hiangcu?"
Demikianlah mulai saat itu Ibun Hong mencoba membiasakan diri untuk menyebut Te-liong Hiang-cu dengar sebutan yang agak lebih menghormat. Bukan karena hormat benar-benar, melainkan agar batok kepalanya bisa menempel di lehernya lebih lama sedikit.
Jawab Hehou Im terus terang, sebab Ibun Hong adalah rekan sekomplotan yang dapat dipercaya, "Aku yang menghubungkan Pakkiong Ciangkun dengan Hiangcu. Keduanya kebetulan sama-sama memiliki cita-cita yang tinggi, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Nah, bukankah dengan kerjasama itu maka tujuan masing-masing akan dapat dipercepat tercapainya?"
"Apakah saudara Hehou berkepentingan dengan terwujudnya cita-cita kedua belah pihak?"
"Tentu saja. Bukankah saudara Ibun juga demikian? Kalau kita tidak berkepentingan, kita tidak akan berada dalam komplotana ini. Jika kelak Pakkiong Ciangkun mencapai kedudukan tinggi, bahkan yang tertinggi, bukankah kita sebagai pendukung-pendukungnya akan menikmati hasilnya pula? Isikan sebagai perwira rendahan terus-menerus seperti sekarang ini?''
Kepala Ibun Hong terangguk-angguk. Tanpa dijelaskanpun ia sudah tahu maksud perkataan "kedudukan yang tertinggi" itu. Apa lagi yang tertinggi itu kalau bukan Kaisar? Para bawahannya sudah sama-sama maklum bahwa Pakkiong An sebenarnya memendam niat untuk duduk di singgasana, meskipun Panglima tua itu tidak pernah bicara secara terang-terangan.
Dan itu pula sebabnya Pakkiong An membentuk sebuah komplotan rahasia yang demikian ketat dan kerasnya, sebab tanpa sikap yang ketat dan keras maka rahasianya bisa bocor keluar. Kalau rahasia bocor keluar, itu alamat bahwa Pakkiong An beserta seluruh keluarganya bakal dihukum mati, sebab mencoba menggulingkan kedudukan Kaisar adalah dosa besar tak berampun.
"Saudara Hehou, tidak mungkinkah suatu saat Pakkiong Ciangkun dan Te-liong Hiangcu menjadi musuh karena berebut kedudukan? Seperti riwayat Cu Goan-ciang dan Thio Su-seng yang berjuang bersama-sama merebut negeri menumbangkan Kaisar Goan-sun-te, tapi setelah menang mereka bermusuhan sendiri memperebutkan tahta? Tidakkah hal ini akan terjadi pada diri Pakkiong Ciangkun dan rekan kerjasamanya itu?"
Hehou Im merenung sejenak sebelum menjawab, "tujuan mereka berdua berlain-lainan. Tujuan Pakkiong Ciangkun, kita sudah sama-sama tahu. Sedang kan tujuan Te-liong Hiangcu sekedar untuk menjadi seorang Bulim Bengcu (Ketua Rimba Persilatan). Itulah cita-citanya yang diimpikannya sejak ia masih tergabung dalam Hwe-liong-pang dulu."
"Tetapi kedudukan Bulim Bengcu itu adalah sebuah kedudukan yang kuat, bukankah dengan kedudukannya itu ia dapat memerintah ribuan orang dari kalangan dunia persilatan? Bukankah itu sama saja dengan ia memiliki ribuan prajurit yang semuanya berilmu tinggi? Tidakkah ia kelak tergerak hatinya untuk bersaing dengan Pakkiong Ciang-kun?"
Hehou Im tidak menjawab, ucapan Ibun Hong itu memang masuk akal dan mungkin sekali terjadi. Hehou Im sendiri sebenarnya juga sudah pernah memikirkannya, menilik watak Pakkiong An maupun Te-liong Hiangcu yang sama-sama kejam dan haus kekuasaan itu, mustahillah kalau kerjasama antara mereka berjalan dengan tulus. Suatu saat kelak mereka pasti akan saling mengintai dan menerkam. Kalau demikian, kemanakah aku akan berpihak? Begitu Hehou Im bertanya kepada dirinya sendiri.
Dan dijawabnya sendiri pula, hanya di dalam hati, "Aku berpihak kepada akal sehatku. Siapa yang kelihatannya akan menang, dialah tempat aku berpijak. Aku harus pandai-pandai menentukan langkah."
Sudah tentu jawaban itu tidak diutarakan kepada Ibun Hong. Bahkan ketika Ibun Hong bertanya kemana ia hendak berpihak jika terjadi pertentangan, maka Hehou Im yang licik itu hanya menjawabnya dengan samar-samar saja, "Semoga pertentangan itu tidak terjadi. Tapi kalau terjadi juga, yah... kita kan cuma perwira rendahan yang hanya mengikuti keadaan saja...."
Ibun Hong tertawa, agaknya ia dapat menangkap sesuatu makna di balik kalimat yang kabur itu. Maka iapun berkata “aku kira sikap saudara Hehou memang bijaksana. Dan masuk akal juga."
Keduanya sama-sama tertawa dan sama-sama paham apa arti tertawa mereka. Ketika Ibun Hong tiba di depan pintu rumahnya, ia berbasa-basi dengan mempersilahkan Hehou Im untuk mampir sejenak. Namun Hehou Im menolaknya, lalu keduanya saling mengucapkan selamat malam dan berpisah. Rumah Hehou Im sendiri tidak terlalu jauh dari rumah Ibun Hong itu.
Hari demi hari berlalu, sementara Pakkiong An sibuk dengan "jaringnya" yang akan digunakan untuk menangkap limapuluh ekor "kakap" sekaligus, maka hari ujian keprajuritanpun sudah dekat. Di sebuah lapangan luas di luar pintu timur Kota Pak-khia, sebuah panggung telah disiapkan. Di panggung itulah nantinya akan duduk para Panglima, para Pangeran, Menteri dan lain-lain yang akan menyaksikan jalannya penyaringan calon-calon prajuri.
Hari itu pun tiba. Sekeliling lapangan telah dihias dengan bendera-bendera berwarna-warni, panggung kehormatan telah dijaga ketat oleh pasukan yang berseragam merah hitam, itulah pasukan anak buah Kiu-bun Tetok (Panglima sembilan pintu kota, maksudnya Panglima yang bertanggung jawab terhadap keamanan di dalam kota). Namun nampak juga prajurit-prajurit dari kesatuan-kesatuan lainnya yang berada di situ untuk mengawal Panglimanya masing-masing.
Nampak pula Pakkiong Liong dalam seragam panglimanya yang indah duduk berdampingan dengan pamannya, Pakkiong An, dan di sebelah lain adalah puteri bibinya, To Li-hua. Ayah To Li-hua yang bernama To An-an adalah seorang bekas Panglima pula, dan duduk di deretan itu.
Sementara itu, di sekitar lapangan telah menjadi lautan manusia. Bukan saja anggauta keluarga dari para calon prajurit yang ikut menonton jago-jago mereka mengadu nasib, namun sebagian dari penduduk kota Pak-khiapun telah berbondong-bondong melihat pemilihan prajurit yang hanya berlangsung dua tahun sekali itu. Dua ribu lebih anggauta pasukan Kiu-bun Tetok tersebar di sudut-sudut lapangan dengan senjata terhunus.
Sementara itu, para prajurit yang jumlahnya juga mencapai duaribu an itu berkumpul di satu sisi. Mereka semuanya berpakaian ringkas sesuai dengan seleranya masing-masing. Dan didengar dari logat bicara mereka, maka agaknya merekapun berasal dari daerah yang berbeda-beda, bahkan ada yang datang dari luar Tembok Besar.
Sikap mereka juga berbeda-beda, ada yang menampilkan rasa percaya diri yang besar, ada pula yang nampak tegang dan ragu-ragu, ada pula yang menutupi kekecutan hatinya dengan mencoba bersikap aneh. Tong Lam-hou ada di antara calon calon prajurit itu. Ia duduk tenang-tenang saja di atas rerumputan, tidak dihiraukannya seorang bertubuh tinggi besar yang duduk di sebelahnya dan sejak tadi menggerutu terus.
Ketika tambur dipukul, semua orang serentak menoleh ke tengah lapangan. Seorang yang berpakaian pejabat dari Peng-po-ceng-tong memegang sehelai kertas di tangannya dan dibacakannya huruf-huruf yang tertulis di kertas dengan suara yang keras. Isinya mengutarakan bahwa ujian penyaringan prajurit itu akan berlangsung dalam tiga tahap dalam tiga hari. Yang boleh ikut tahap kedua hanyalah yang sudah lolos tahap pertama, begitu pula yang boleh mengikuti tahap ketiga hanyalah yang sudah lolos tahap kedua.
Ujian tahap pertama adalah ketahanan jasmani, ujian tahap kedua adalah ketrampilan keprajuritan seperti menunggangi kuda, memanah, melempar lembing dan sebagainya. Ujian ketiga adalah Ilmu silat, bertarung melawan para pelatih dari berbagai pasukan. Ujian ketiga ini untuk menentukan pangkat bagi para calon prajurit. Semakin tinggi ilmunya, akan semakin tinggi pangkatnya, meskipun terbatas pula, sebab tidak mungkin seseorang menduduki pangkat yang menentukan tanpa diketahui sampai dimana kesetiaannya kepada Negara dan Kaisar.
Waktu itu, di tengah-tengah lapangan itu sudah ada potongan-potongan balok kayu yang jumlahnya kira-kira seratus batang sama besar. Para calon prajurit segera diperintahkan untuk berkumpul menurut kelompok-kelompok yang sudah ditetapkan kemarin. Ada dua puluh kelompok yang tiap kelompok terdiri kira-kira seratus orang. Tong Lam-hou termasuk dalam kelompok ke sebelas.
"Kelompok pertama memasuki lapangan!" teriak seorang perwira. "Masing-masing mengambil tempat di dekat sepotong balok! Tetap dalam jajaran yang rapi."
Setelah masing-masing diperiksa namanya untuk dicocokkan dengan daftar, maka ujianpun dimulai. Tiap calon harus mengangkat balok kayu itu naik turun sebanyak lima ratus kali di bawah hitungan seorang perwira. Maka gegap-gempitalah lapangan itu ketika melihat para calon prajurit itu menggerak-gerakkan balok yang berat itu dengan kedua tangannya, menuruti irama tambur.
Orang yang kemarin membual mampu membunuh dua ekor harimau dalam semalam itu, ternyata hanya mampu mengangkat sampai hitungan ke seratus lebih, sesudah itu tangannya lemas dan hampir saja balok kayu itu menimpa kepalanya sendiri. Maka namanya segera dicoret dari daftar para calon. Dengan kepala tunduk ia keluar lapangan, untuk memperbaiki kesalahannya itu ia harus menunggu dua tahun lagi.
Demikianlah, kelompok demi kelompok maju untuk mengalami pendadaran yang berat itu. Dari setiap kelompok, tidak banyak jumlahnya yang berhasil menyelesaikan sampai hitungan kelima-ratus. Namun yang berhasil itu tentu saja melangkah keluar dari lapangan dengan perasaan bangga. Ujian macam itu dilalui oleh Tong Lam-hou dengan mudahnya, dan yang membuatnya bersemangat ialah ketika melihat seorang gadis Manchu duduk di samping Pakkiong Liong.
Gadis itu, To Li-hua yang oleh Ha To-ji dan lain-lainnya dijuluki "si cerewet", melambaikan tangannya kepada Tong Lam-hou ketika melihat Tong Lam-hou masuk ke lapangan ujian bersama dengan kelompoknya. Demikianlah ujian-ujian ketahanan jasmani yang lain-lain seperti meloncati patok kayu sebanyak seribu kali, atau bergulingan dari ujung ke ujung lapangan, telah dilalui oleh Tong Lam-hou tanpa banyak kesulitan.
Ketika matahari telah hampir tenggelam, barulah ujian tahap pertama itu dinyatakan selesai. Dari dua ribu orang calon, ternyata yang dinyatakan lolos tahap pertama hanyalah kira-kira limaratus orang dan berhak mengikuti tahap kedua. Lainnya dinyatakan gugur. Malah ada yang untuk berjalan saja sudah tidak sanggup lagi sehingga terpaksa harus digotong.
Di antara para penonton yang berdesak-desakan itu, ada seorang lelaki berusia kira-kira empatpuluh lima tahun, berwajah tampan dan berjenggot hitam rapi. Tubuhnya yang ramping itu memakai pakaian ringkas serba putih, namun dilapisi dengan selembar jubah berwarna biru pucat. Jubah panjang yang juga bertujuan menutupi sebatang pedang pendek yang tergantung di pinggang kirinya agar tidak kelihatan.
Ketika seorang perwira mengumumkan bahwa ujian tahap pertama sudah selesai dan ujian tahap kedua akan diadakan besok pagi, maka orang itupun ikut bubar meninggalkan lapangan bersama-sama dengan arus orang banyak. Banyak yang membicarakan jalannya ujian tadi, atau saling memanggil dengan orang yang kebetulan dikenalnya. Lelaki berjubah biru itu berjalan saja tanpa berbicara dengan siapapun. Ia baru terkejut setelah merasa pundaknya ditepuk dari belakang.
"Saudara Tong melamun rupanya?" kata orang yang menepuk dari belakang itu. Ternyata ia juga seorang yang berpakaian jubah panjang dan tampangnya mirip seorang pedagang yang makmur. Namun sepasang matanya yang berkilat-kilat menandakan bahwa orang itupun memiliki ilmu yang tinggi.
Kedua orang itu lalu saling berjalan berdampingan. Dengan sikap wajar mereka saling bertanya-jawab, "Kiranya saudara In juga sudah berada di kota ini. Bersama siapa saja?"
"Semua orang kelompokku yang ditentukan untuk serangan ini sudah ada di kota. Tinggal menanti hubungan dengan rekan-rekan lain."
"Bagus," kata orang she Tong itu singkat. Dialah Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, Cong-piau-thau (Pemimpin) dari perusahaan pengawalan Tiong-gi Piau-hang yang berpusat di kota Tay-beng. Meskipun ia termasuk "orang dagang" yang umumnya harus berhubungan baik dengan pihak pemerintah yang manapun, namun agaknya Tong Wi-hong berani menyerempet bahaya dengan ikut dalam gerakan pembebasan tanah air.
Kedua orang itu bercakap-cakap perlahan, namun jika ada seseorang yang sedang berjalan di dekat mereka maka percakapanpun beralih ke soal-soal lainnya yang tidak berbahaya. Siapa tahu di antara orang-orang yang begitu banyak itu ada mata-mata bangsa Manchu?
Orang satunya lagi yang she In itu adalah Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Petir) In Yong, dulunya di jaman Hwe-liong-pang berkedudukan sebagai Lam-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru). Kata In Yong, "Di sebelah lain dari lapangan tadi, aku lihat juga ada Hui-liam-cu Totiang bersama dengan beberapa rekan Khong-tong-pay agaknya sudah siap juga. Di dalam kota, aku bertemu dengan saudara Sun dari Kay-pang (Serikat Pengemis) yang mengatakan bahwa orang-orang Hoa-san-pay dan Bu-tong-pay juga sudah berdatangan semua dan sudah membuat hubungan."
"Bagus. Jaga jangan sampai gerakan kita menyolok mata sehingga tercium oleh pihak musuh. Apakah orang-orang Jit-goat-pang belum datang?"
Alis In Yong nampak berkerut tidak senang mendengar pertanyaan tentang Jit-goat-pang (Serikat Matanari dan Rembulan) yang merupakan serikatnya para bekas bangsawan dan panglima-panglima yang setia kepada Kerajaan Beng itu. Namun dijawabnya juga, "Mereka malah belum kelihatan batang hidungnya sama sekali. Mereka dulu yang berkobar-kobar menganjurkan gerakan ini, dan sekarang merekalah yang paling malas berjalan ke medan laga."
Tong Wi-hong tersenyum melihat sahabatnya menggerutu macam itu. Katanya, "Sudahlah, saudara In. Bagaimanapun buruknya mereka di masa lalu, bahkan pernah menjadi musuh Hwe-liong-pang kalian, tetapi sekarang mereka sekarang sudah menjadi kawan kita. Kita harus bersatu supaya gerakan ini tidak menjadi berantakan justru di depan hidung musuh."
"Ya? ya, aku paham, saudara Tong,” kata In Yong sambil mengangguk-angguk. "Betapapun muaknya aku kepada bangsawan-bangsawan kesiangan yang sikapnya masih sok kuasa itu, aku tetap menahan diri agar gerakan ini tidak menjadi berantakan. Tapi aku hampir tak dapat menahan diri ketika aku dengar dari saudara Ma Hiong tentang apa yang terjadi di sebuah desa bernama Jit-si-ong-tin di wilayah Hun-lam sana. Itu perbuatan binatang-binatang berujud manusia. Kalau aku tidak mengingat keutuhan gerakan ini, ingin sekali rasanya aku membuat perhitungan kepada mereka atas nama rakyat yang terbantai."
"Kitapun bekerja-sama dengan mereka karena hanya terpaksa," kata Tong Wi-hong. "Sangat terpaksa. Harap saudara In memahami hal ini. Pihak Manchu terlalu kuat untuk kita hadapi seorang diri, sehingga kita harus bergandengan tangan dengan mereka yang tangannya berlumuran darah itu."
Akhirnya In Yong hanya biea menarik napas dalam-dalam sambil menekan gejolak perasaaannya yang hampir menjebolkan dadanya. Dalam suasana kemelut seperti ini, memang tidak banyak pilihan yang tersedia. Bahkan pilihan-pilihan yang tersediapun tidak semuanya bisa dilakukan, namun justru keadaan telah memaksanya untuk melakukan pilihan yang tak disukai itu.
Ketika memasuki pintu gerbang kota, Tong Wi-hong menunjuk ke arah sebuah kedai arak yang tidak begitu besar dan nampaknya juga menyediakan beberapa macam masakan sederhana. Katanya, "Saudara In, bagaimana kalau kuajak kau minum dulu di kedai itu? Ada banyak hal yang ingin kubicarakan."
Keduanyapun masuk ke kedai itu dan memilih sebuah tempat duduk di dekat pintu. Setelah memesan dua mangkuk mi pangsit dan sepoci arak, Tong Wi-hong pun mulai berkata, "Saudara In, bagaimana kau lihat ujian keprajuritan di lapangan tadi?"
“Dengan cara seperti itu, pemerintah Manchu akan mendapatkan pemuda-pemuda yang terbaik dari negeri ini untuk memperkuat cengkaman kekuasaan mereka atas negeri ini."
"Aku sependapat, saudara In. Berbeda betul dengan jaman dinasti Beng dulu, di mana orang-orang yang bisa diterima sebagai prajurit hanyalah orang-orang yang bisa menyogok para pengujinya. Pantas saja kalau tentara dinasti Beng begitu tidak berguna, tubuh mereka rata-rata gemuk dan berlemak, sedang tubuh prajurit-prajurit Manchu itu semuanya kekar dan ramping. Inilah perbedaannya."
In Yong tidak segera menyahut, ia me.nenggak araknya secawan dan matanya menerawang jauh. Lalu sambil menarik napas ia berkata, "Ya, harus kami akui bahwa tentara Manchu memang merupakan musuh yang berat bukan main. Beberapa tahun yang lalu, aku bersama Sri Baginda Coan-ong pernah bertahan dengan gigih di sebelah timur kota ini. Namun kami toh terpukul mundur tercerai-berai."
Yang dissebut "Sri Baginda Coan-ong" oleh In Yong itu adalah Li Cu-seng. Setelah Li Cu-seng dengan laskar pemberontaknya berhasil merebut kekuasaan dari tangan Kaisar Cong-ceng yang menggantung diri, maka diapun mengangkat dirinya menjadi Kaisar. Meskipun umur pemerintahannya itu tidak lebih dari dua bulan karena keburu digulung oleh balatentara Manchu yang sangat kuat, namun dalam masa sesingkat itu Li Cu-seng pernah menjadi seorang Kaisar sehingga pengikut-pengikutnya-pun. masih memanggilnya dengan sebutan "Sri Baginda Coan-ong."
Sebenarnya bukan hal itu yang ingin dibicarakan oleh Tong Wi-hong, melainkan suatu hal lain yang menyangkut seseorang yang masih berhubungan darah dengannya. Maka ketika In Yong mulai bicara melantur ke masa pemerintahan Li Cu-seng itu, Tong Wi-hong-pun berkata, "In-heng (saudara In), apakah saudara Ma Hiong serta sauadra Oh Yun-kim dan Lu Siong yang baru kembali dari Hun-lam itu sudah bicara banyak denganmu?"
"Ya, sudah, kenapa?"
"Juga tentang anak muda yang bernama Tong Lam-hou?"
"Ya, sudah. Kata saudara Ma, anak muda yang perkasa yang bersama-sama dengan Pakkiong Liong itu adalah keturunan dari Hwe-liong Pang-cu (Ketua Hwe-liong-pang). Pun patut disayangkan bahwa anak muda sepandai itu telah terpikat oleh bangsa Manchu."
Tong Wi-hong menarik napas. "Ya, sangat patut disayangkan, aku telah mencoba memberinya nasehat, sebab bagaimanapun juga dia adalah keponakanku sendiri. Namun hatinya terlalu keras. Aku kuatir dia tersesat semakin jauh."
"Kenapa saudara Tong menguatirkan bahwa putera Hwe-liong Pang-cu itu akan tersesat semakin jauh?"
"Aku bicara dari hati ke hati, saudara In, kuanggap kau dapat membantu meringankan beban pikiranku. Tapi lebih dulu aku punya satu permohonan kepadamu."
"Kita adalah sahabat sejak berpuluh tahun, saudara Tong. Katakan saja. Apa yang bisa kubantu akan aku bantu."
Tong Wi-hong lebih dulu mengangkat cawan araknya sebagai tanda hormat yang dibalas oleh In Yong. Lalu mulailah pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu berkata, "Saudara In, sebetulnya hal ini adalah urusan keluarga kami sendiri yang tidak patut untuk merepotkan orang luar untuk ikut memikirkannya. Tentang keponakanku Tong Lam-hou itu, aku benar-benar kuatir bahwa ia akan terjeblos semakin dalam ke dalam rangkulan bangsa Manchu, entah dengan tipuan apa. Ia masih sangat lugu, jika pikirannya yang masih lugu itu dijejali dengan pikiran-pikiran yang berbahaya oleh pemerintah Manchu maka ia benar-benar akan menjadi alat yang menakutkan di tangan bangsa Manchu. Beberapa orang anak buah Li Tiang-hong pernah melihat sendiri betapa hebatnya ilmu silatnya, dan kemudian aku pun sudah membuktikannya sendiri. Selama ini seorang musuh seperti Pakkiong Liong saja sudah begitu susah untuk kita ladeni, masakah akan bertambah lagi dengan seorang Tong Lam-hou yang tidak kalah perkasanya dengan Pakkiong Liong?"
"Ya, saudara Tong benar. Apalagi kalau anak itu digabung dengan Pakkiong Liong, di dunia persilatan ini entah siapa yang bisa menandingi mereka berdua yang bersatu-padu?"
"Itulah yang ingin aku cegah. Tetapi setelah aku melihatnya di lapangan ujian penyaringan prajurit tadi, aku merasa harapanku untuk menyadarkannya masih jauh, dan bahkan semakin jauh."
"He, ia ada di sana tadi?"
Tong Wi-hong mengangguk. "Ya, ia ikut mendaftarkan diri sebagai prajurit Manchu. Selagi ia belum berseragam prajurit saja ia sudah begitu setia kepada Pakkiong Liong, apalagi setelah kelak ia mengenakan seragam prajurit Manchu. Di dunia ini, orang memang sukar melepaskan diri dari ikatan kekayaan, pangkat, kemuliaan, kekuasaan dan sebagainya, apalagi kalau ikatan itu ditambah dengan ikatan yang paling alami dan paling sulit dilepaskan. Yaitu cinta kepada lawan jenisnya."
"Cinta kepada lawan jenis?"
"Benar. Aku melihat Tong Lam-hou ikut mendaftarkan diri sebagai calon prajurit Kerajaan Manchu, itu menandakan dia memburu kekuasaan dan pangkat. Dan pulangnya dia berkuda bersama-sama seorang gadis cantik bangsa Manchu. Mereka nampak akrab dan aku kuatir keponakanku itu akan semakin terjerat kecantikan gadis Manchu itu sehingga kelak dapat melawan bangsa Han sendiri. Tong Lam-hou masih muda dan lugu pula, segala liku-liku dunia belum dikenalnya. Jika pemerintah Manchu menggunakan gadis itu untuk menguasainya, maka ia benar-benar akan sulit disadarkan kembali."
"Jadi bantuan apa yang akan saudara Tong daripadaku?"
Tong Wi-hong ragu-ragu sejenak untuk mengutarakannya, namun akhirnya terucapkan juga keinginannya itu, "Barangkali permintaanku kepada saudara In ini akan kedengaran seolah-olah mementingkan keluarga sendiri dan membelakangi kepentingan tanah-air, namun baiklah aku katakan. Sebagai paman, aku tidak sampai hati melihat keturunan satu-satunya dari kakakku itu kelak akan dikutuk namanya sebagai pengkhianat tanah-air, mungkin namanya akan dikutuk serendah nama Bu San-kui. Apalagi jika tubuhnya tertembus pedang kaum pejuang. Karena itu aku mohon kepada saudara In dan seluruh saudara-saudara Hwe-liong-pang, agar jika bertemu dengan anak itu jangan bersikap keras dulu, lebih baik lebih dulu dicoba untuk menyadarkannya."
"Suatu permintaan yang sulit dilaksanakan, saudara Tong," kata In Yong sambil menarik napas. "Menyesal sekali, hal itu akan sulit dikatakan. Bukan karena kami tidak memberi kesempatan kepada putera Hwe-liong-Pang-cu itu untuk bertobat dan memperbaiki kesalahannya, namun bagaimana jika kami bertemu di medan tempur? Dapatkah kami membujuknya dengan kata-kata lembut sedangkan peperangan tengah berlangsung dan mungkin pada saat yang sama banyak pejuang yang sedang terancam nyawanya oleh Tong Lam-hou?"
Tong Wi-hong termangu-mangu mendengar jawaban In Yong yang tegas itu. Ia menarik napas berkali-kali untuk melegakan dadanya yang terasa pepat. Akhirnya digenggamnya tangan In Yong dan katanya, "Baiklah, saudara In, aku bisa memakluminya. Tentu kau tidak bisa mengorbankan puluhan, bahkan mungkin ratusan nyawa anggauta Hwe-liong-pang hanya karena Tong-lam-hou. Permintaanku itulah yang keterlaluan. Baiklah, aku cabut kembali pemintaanku tadi."
"Saudara Tong, aku juga minta maaf bahwa aku telah membuatmu kecewa. Namun bukan berarti permintaanmu itu tidak kuperhatikan sama sekali. Jika suatu saat aku bertemu sendirian dengan Tong Lam-hou itu di sebuah tempat yang sepi, bukan di tengah-tengah medan perang, maka aku memang akan mencoba melaksanakan permintaan saudara Tong itu. Bahkan saudara-saudara dari Hwe-liong-pang lainnya juga akan kuanjurkan untuk berbuat sama, dan aku yakin saudara-saudara Hwe-liong-pang akan mudah mengerti. Jika Tong Lam-hou itu benar-benar putera Hwe-liong Pang-cu, maka saudara-saudara lainnya tentu dengan senang hati menjalankan pesan saudara Tong, karena kesetiaan saudara-saudara Hwe-liong-pang itu terhadap Pangcu masih belum luntur, meskipun Pangcu sudah tidak ada di dunia ini duapuluh tahun lebih."
"Terima kasih... terima kasih..." kata Tong Wi-hong dengan mata yang agak berkaca-kaca karena teringat akan kakaknya yang dulu menjadi Ketua Hwe-liong-pang itu, namun kemudian mati dalam usia muda sebelum cita-citanya terwujud. Untuk sesaat Tong Wi-hong tidak dapat mengucapkan kata-kata selain "terima kasih" itu karena rasa harunya yang menyesak di dada.
"Saudara In, terima kasih sekali jika kalian berusaha untuk melakukan itu. Tapi jangan sampai ada seorangpun anak buah Hwe-liong-pang, tidak peduli yang kedudukannya paling rendah sekalipun, yang sampai berkorban nyawa gara-gara permintaanku ini. Jika Tong Lam-hou mati di medan perang, apa boleh buat, dan aku pun tidak akan dapat membelanya apabila namanya dikutuk orang sebagai pengkhianat. Bahkan, jika ia tidak juga mau mendengar nasehatku, pedangku sendirilah yang akan kuhunjamkan ke dadanya, meskipun aku akan melakukan hal itu dengan sangat sedih sebab dia adalah keturunan kakakku satu-satunya."
"Aku hanya bisa berharap mudah-mudahan anak muda itu bisa mengamalkan ilmunya yang tinggi untuk membela tanah-airnya."
Kedua orang itupun kemudian makan minum sekenyangnya di warung kecil itu, lalu berpisah ke penginapannya masing-masing.
"Saudara Tong, apakah ujian tahap kedua itu juga akan kau tonton?" tanya In Yong sebelum berpisah.
"Aku ingin melihatnya. Barangkali saudara In juga?"
"Ya. Aku dapat mengukur ketrampilan prajurit-prajurit Manchu untuk dibandingkan dengan anak buahku. Jika mereka lebih unggul dari anak buahku, maka aku memang tidak akan segan-segan menirunya untuk menerapkan cara-cara latihan mereka kepada anak buahku. Dari musuh pun kadang-kadang kita bisa menarik suatu pelajaran penting yang bisa kita tiru."
"Bagus, saudara In, kau berpikiran luas."
"Selamat berpisah, saudara Tong."
"Sampai jumpa besok pagi di lapangan prajurit, saudara In."
Keduanyapun saling berpisah dan memberi hormat. Malam semakin dalam, namun akhirnya fajarpun merekah di ufuk timur dan hari baru telah terbit. Lapangan di luar kota Pak-khia yang digunakan sebagai tempat penyaringan calon-calon prajurit itupun telah menjadi ramai kembali. Berbondong-bondong orang ingin menyaksikan jalannya ujian tahap kedua itu.
Prajurit-prajurit yang akan menjaga keamanan selama berlangsungnya pendadaran nanti, juga telah menempati tempatnya masing-masing dengan senjata terhunus, tapi panggung kehormatan untuk orang-orang berjabatan tinggi masih kosong.
Ketika matahari sudah agak naik barulah tandu-tandu atau kereta-kereta berdatangan, mengangkut orang-orang yang berpakaian bagus-bagus. Para menteri dan panglima. Di pinggir lapangan telah disiapkan puluhan ekor kuda, anak panah serta busur-busurnva, lembing dan sebagainya yang akan digunakan untuk menguji para calon prajurit.
Di tengah lapangan sudah tersedia belasan orang-orangan yang terbuat dari jerami dan kain, yang digantungkan pada sepotong bambu panjang yang ditancapkan di tanah. Itulah yang akan menjadi sasaran para pemanah. Tepat pada "ulu hati" orang-orangan jerami itu ada sebuah lingkaran berwarna merah.
Ketika para calon prajurit yang akan ikut pendadaran tahap kedua itu mulai memasuki lapangan dengan berbaris dipimpin seorang perwira yang menunggang seekor kuda tegar, maka sebagian besar penontonpun bertepuk tangan. Terutama teman-teman atau kerabat dari calon-calon tahap kedua itu, yang jumlahnya sudah susut banyak dibandingkan peserta tahap pertama yang kemarin.
Dalam satu barisan yang rapi, calon-calon prajurit itu memberi hormat ke arah panggung kehormatan, lalu menyingkir ke tepi lapangan untuk menunggu nama mereka dipanggil. Ujianpun dimulai. Pertama-tama, para peserta disuruh memanah orang-orangan jerami itu dari jarak kira-kira lima puluh langkah. Lalu panah diganti dengan lembing yang harus dilontarkan. Hampir tidak ada peserta yang gagal dalam ujian ini.
Lalu ujian pun dipersulit. Orang-orangan jerami itu tidak dibiarkan diam saja melainkan digoyang-goyangkan, sehingga berayun-ayun ke kiri dan ke kanan, bahkan kadang-kadang berputar-putar tak tentu arah. Tentu saja lebih banyak yang gagal dalam ujian macam ini. Namun sebagian besar peserta masih tetap dapat lulus, sebab sebagian besar itu memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk melakukan hal-hal itu.
Bahkan ada seorang peserta yang mampu menggemuruhkan sorak-sorai penonton. Dengan lima batang lembing dan lima anak panah yang dijatahkan untuknya itu, semuanya menancap tepat di tubuh orang-orangan itu. Tak Satupun yang lolos, padahal jika seorang peserta sudah bisa menancapkan tiga lembing dan tiga anakpanah saja sudah dianggap lulus.
Tong Lam-hou sebenarnya tidak terlalu kagum dengan orang itu, dan ia juga tidak ingin terlalu pamer kepandaiannya. Namun ketika tanpa sadar ia menoleh ke panggung dan, melihat To Li-hua yang duduk di samping Pakkiong Liong itu melambai-lambaikan tangannya dengan mata yang bersinar bagaikan bintang kejora, darah Tong Lam-hou bagaikan terbakar rasanya.
Gadis Manchu itu cantik sekali memakai topi bulunya yang berwarna putih berhiaskan bulu-bulu rajawali gurun itu. Maka Tong Lam-hou bertekad untuk menunjukkan semua kebiasaannya. Seorang muda di hadapan seorang gadis ingin mendapat pujian, itu hal biasa. Begitu pula Tong Lam-hou tidak dapat lepas dari kodrat alam ini.
Namun bagi Tong Wi-hong yang menonton diantara para penonton itu, tingkah laku keponakan itu membuat darahnya panas. Bisiknya kepada In Yong yang berdiri di sebelahnya, "Lihat, anak tak berguna itu sudah demikian terjerat oleh si rase cantik Manchu itu huh...”
In Yong juga melihat hal itu dengan alis berkerut. Namun ia mencoba mendinginkan hati Tong Wi-hong yang panas, "Hal itu biasa terjadi antara seorang lelaki muda dengan seorang gadis, bukan berarti Tong Lam-hou tidak bisa diperbaiki sama sekali. Jika suatu saat kita berhasil menemuinya dan berbicara kepadanya, aku yakin semuanya belum terlambat untuk diperbaiki."
Tong Wi-hong masih juga menggeram, "Suatu saat akan kubunuh rase betina yang cantik itu, agar keponakanku bebas dari guna-gunanya."
In Yong hanya dapat menarik napas dalam-dalam. Ia dapat memahami betapa gejolak perasaan sahabatnya itu melihat seorang keponakannya telah terpikat oleh musuh. Namun In Yong masih mencoba "mengendalikan" sahabatnya itu agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya. Bukan saja berbahaya bagi dirinya sendiri, tapi juga berbahaya bagi keseluruhan rencana yang sudah tersusun rapi dan pelaksanaannya sudah di ambang pintu itu.
“Jika kau bunuh rase cantik itu, saudara Tong, maka Tong Lam-hou bukannya menjadi sadar melainkan malah akan membenci saudara Tong sampai ke tulang sumsumnya. Tidak ada harapan ia akan kembali ke pangkuan kita."
"Dadaku terasa hampir retak memikirkannya."
"Tenanglah, saudara Tong. Jalan belum buntu sama sekali."
Sementara itu di tengah-tengah lapangan, Tong Lam-hou tengah menunjukkan kemahirannya. Meskipun orang-orangan jerami yang diincarnya itu berayun-ayun dengan cepat dan dengan gerakan yang tak dapat ditebak, namun kelima batang anak-panahnya seakan-akan mempunyai mata diujungnya, dan dengan tepat hinggap pada bulatan merah di "ulu-hati" orang-orangan itu. Bahkan Tong Lam-hou melepaskan panah-panahnya secara acuh tak acuh saja, seakan-akan tidak melihat sama sekali.
Tontonan seperti itu tentu saja membuat penonton bagaikan meledak dengan sorak-sorainya. To Li-hua yang duduk di panggung bertepuk-tepuk tangan dengan sikap seperti anak kecil. Gadis-gadis Manchu umumnya memang lebih bebas gerak-geriknya dari gadis-gadis bangsa Han yang terikat dengan adat-istiadat ribuan tahun. Itulah sebabnya orang Han memaki gadis-gadis Manchu sebagai "tidak tahu malu" dan "liar", sebaliknya orang Manchu memaki perempuan-perempuan Han dengan "kolot" dan "munafik".
Pemanah yang mahir sebelum Tong Lam-hou tadi melongo melihat kepandaian memanah ternyata dapat diungguli orang, padahal ia sudah merasa dirinya sendiri cukup hebat. Namun dengan tulus ia mengacungkan jempolnya kepada Tong Lam-hou dari kejauhan. Tong Lam-hou membalasnya dengan anggukan yang ramah.
Sementara itu, seorang perwira telah menyerahkan lima batang lembing kepada Tong Lam-hou. Kembali orang-orangan jerami yang “Ulu hati" nya masih penuh dengan panah itu diayunkan sekeras-kerasnya. Dan lembing-lembing Tong Lam-hou pun beterbangan, seolah-olah susul-menyusul tanpa jarak dan kelima-limanya menancap tepat di ulu hati orang-orangan itu, sehingga lima panah dan lima lembing seolah terdesak-desakan di Lingkaran merah yang tidak lebih luas dari mangkuk itu. Malahan lembing-lembing itu bukan sekedar menancap tapi juga menembus sampai ke belakang.
Kekaguman penonton benar-benar tak terbendung lagi. Sorak-sorai membahana menggetarkan lapangan itu. Tong Lam-hou benar-benar menjadi "bintang lapangan" pada hari itu. Bahkan orang-orang yang sebenarnya membenci pemerintahan Manchu-pun tak urung mengagguk-anggukkan kepalanya dengan kagumnya.
Tong Lam-hou, seorang anak gunung yang sejak kecil hidup dalam kesunyian dan kemiskinan, tiba-tiba merasa dirinya menjadi orang besar. Di sini, di Pak-khia, Ibukota Kerajaan, ribuan orang memujanya, menganggapnya sebagai dewa yang turun dari langit. Tentu saja Tong Lam-hou tidak melewatkan kesempatan yang selama ini diimpikan saja belum pernah. Selama ini ia sudah merasa sangat gembira jika dendeng daging serigala yang dijualnya di Jit-siongg-tin habis dibeli orang, sehingga uang penjualannya bisa dibelikan baju atau barang-barang keperluan lainnya buat ibunya.
Tapi di sini, ia tidak mimpi bahwa namanya mendadak akan terkenal dalam waktu satu hari saja. Rasa bangga bagaikan menyesak di dadanya, pikirnya, "Alangkah terkejutnya ibu kelak jika ia kubawa ke kota ini, dan ternyata aku sudah menjadi seorang yang terhormat di kota ini".
Pada mata acara ujian-ujian berikutnya, Tong Lam-hou berusaha berbuat sebaik-baiknya bukan sekedar untuk lulus masuk tahap ketiga, melainkan juga untuk memancing tepuk tangan dan kekaguman orang-orang di sekeliling lapangan. Pada mata acara memanah dan melempar lembing dari punggung kuda yang berlari kencang, kembali ia telah menunjukkan keunggulan dari rekan-rekan peserta ujian lainnya.
Mata acara yang terakhir, yang paling sulitpun tiba. Acara masih tetap memanah dan melemparkan lembing ke arah orang-orangan jerami yang digerak-gerakkan dengar keras, dan si pemanah tetap berada di punggung kuda yang berlari kencang. Namun kali ini kudanya tidak berlari lurus dari depan, melainkan lebih dulu membelakangi sasaran, dan kemudian dengan satu aba-aba dari seorang perwira yang berdiri di panggung kecil, maka kuda itu harus berbelok tajam dan lembing atau anak-panahpun ditembakkan ke sasaran.
Namun sasarannya kali ini pun dipersulit. Ada tujuh buah orang-orangan jerami yang letaknya tak teratur, masing-masing diberi tanda dengan angka satu sampai tujuh, dan para calon pe-rajurit harus mengarahkan panah-panah dan lembing-lembing mereka ke sasaran yang diteriakkan oleh perwira di atas panggung kecil itu. Ternyata ujian ini benar-benar berat, sehingga diadakanlah ketentuan bahwa jika si calon dapat mengenai empat saja dari sepuluh kali kesempatannya, maka akan dianggap lulus.
Demikianlah para calon perajurit itu menunjukkan ketrampilan masing-masing dengan semangat yang tinggi. Jika ada yang bisa berhasil lima kali dari sepuluh kesempatan itu saja, orang sudah berteriak-teriak memujinya. Namun Tong Lam-hou yang tengah mabuk sanjungan itu telah membuat penonton bagaikan kesurupan setan ketika ia menyelesaikan sasaran-sasarannya dengan tepat. Boleh dikatakan baru saja bibir perwira di atas panggung itu terkatub menyebut angka salah satu orang-orangan jerami itu, maka detik itu pula panah atau lembing sudah sampai ke sasarannya.
Di panggung kehormatan, Panglima tua Pakkiong An melihat yang terjadi di lapangan itu dengan mata yang tidak berkedip. Anak muda itu telah sangat menarik perhatiannya. Kepada seorang perwiranya yang berdiri di belakangnya, Pakkiong An bertanya, "He, kau tahu siapa anak muda itu?"
Perwira yang berdiri di belakang tempat duduk Pakkiong An itu bukan lain adalah Hehou Im yang pernah menelan pengalaman pahit dari Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou ketika berada di tengah sungai Yang-ce-kiang bersama teman-temannya itu. Maka tanpa melihat catatanpun Hehou Im sudah hapal akan diri Tong Lam-hou. Sahutnya, "Dia yang bernama Tong Lam-hou, sahabat Pakkiong Liong yang datang dari Tiam-jong-san seperti yang pernah kuceritakan kepada Ciangkun dulu."
Alis Pakkiong An yang putih seperti kapuk itupun berkerut kurang senang ketika mendengar keterangan itu. Desisnya, "Celaka dua belas, kalau sampai Pasukan Hui-liong-kun bertambah dengan seorang jagoan lihay semacam ini, maka pamor keponakanku di hadapan Sri Baginda tentu akan semakin terang dan aku semakin tersudut. Ini tidak boleh terjadi."
Hehou mendekatkan mulutnya ke telinga Pakkiong An dan berbisik, "Jangan kuatir, Ciangkun. Bukankah Ciangkun sekarang memiliki seorang jagoan yang luar biasa tangguhnya?"
"Si siluman hitam yang menamaKan dirinya Te-liong Hiangcu itu? Memang dia tangguh, tapi dia bukan anak buahku yang dapat kusuruh-suruh setiap saat. Ia juga datang dan pergi semaunya saja. Jika sedang ada urusan penting yang harus segera ditangani dan dia tidak muncul, lalu bagaimana?"
Hehou Tm menarik napas. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu, di deretan kursi yang sama, Pakkiong Liong juga sedang mencemaskan Tong Lam-hou. Bukan mencemaskan raga atau tubuhnya, namun mencemaskan bahwa sanjung puji yang berlebihan kepada sahabatnya itu akan merusak kepribadiannya. Orang bisa menjadi lupa daratan jika terus-menerus dipuja.
Selama ini Pakkiong Liong bersahabat dengan Tong Lam-hou karena saling menghormati kepribadian dan pendiriannya masing-masing, meskipun banyak juga titik-titik perbedaaan antara kedua pribadi yang kuat itu, namun keduanya tetap saling menghormati. Kini, jika Tong Lam-hou menjadi kehilangan kepribadian, menjadi seorang yang mabuk kekuasaan dan sanjungan, bagaimana Pakkiong Liong bisa tetap menghormati pribadi macam itu? Ia akan menemukan seorang bawahan yang berilmu tinggi, tetapi akan kehilangan seorang sahabat yang berpribadi kuat.
Pakkiong Liong menarik napas dalam-dalam dan berharap mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi. Ia ingin Tong Lam-hou tetap Tong Lam-hou selama berada di Tiam-jong-san dulu, tidak berubah, meski pun barangkali ia akan mengenakan seragam perwira yang bagus dan bukan lagi pakaian seorang pemburu yang lusuh dan jelek. Biarlah pakaian ditukar, suasanapun tertukar, namun Tong Lam-hou tetap dalam kepribadiannya.
"Barangkali aku tetap berprasangka kepadanya", kata Pakkiong Liong dalam hati untuk membantah kecemasannya sendiri. "Sikap Tong Lam-hou itu mudah-mudahan hanya kerena kegembiraannya saja, dan suatu kelak ia akan dapat menerima keberhasilannya itu dengan sikap dewasa tanpa kehilangan keseimbangan. Bukankah aku sendiri juga pernah bergembira dan berkelakuan mirip orang sinting ketika pertama kali mendapat sanjungan karena kemenanganku?"
Ketika Pakkiong Liong menoleh ke sebelah kirinya dan pandangan matanya membentur seraut wajah berbentuk bulat telur yang berkulit putih, bermata seperti bintang, berhidug mancung kecil dengan bibir yang merekah merah dan sepasang lesung pipit di ujung-ujung bibirnya, sementara dari bawah topi bulunya tersembullah rambutnya yang hitam tebal seperti setera.
Tiba-tiba Pakkiong Liong tersenyum sendiri. Selama beberapa hari berada di Ibukota ini, Tong Lam-hou dan To Li-hua rasanya semakin erat saja, meskipun keduanya sering saling mengejek atau saling menggaggu seperti anak kecil saja, namun Pakkiong Liong tahu bahwa sepupu-perempuannya yang tidak pernah tertarik kepada anak muda yang manapun juga itu, kini agaknya sudah menemukan pilihannya. Dan sinar mata Tong Lam-hou yang selalu memandang To Li-hua dengan kekaguman seperti menatap sesosok bidadari dari langit itupun tidak lepas dari pengamatan Pakkiong Liong.
"Agaknya piau-moai mempunyai pengaruh kuat atas diri A-hou, ini bisa dimanfaatkan agar A-hou tetap dapat berdiri jalan kepribadiannya yag asli," batin Pakkiong Liong. "Tapi apakah si cerewet ini bisa diajak bicara bersungguh-sungguh? Selama ini jika bicara denganku ia selalu bergurau saja. Mudah-mudahan kalau bicara tentang Tong Lam-hou, la akan bisa lebih sungguh-sungguh, biarpun ia pasti akan mencubitku sekeras-kerasnya kalau isi hatinya kena kutebak." Hampir-hampir Pakkiong Liong tertawa sendiri, namun ditahankannya supaya tidak menimbulkan keheranan orang lain.
Sementara itu, seorang perwira dengan suara yang lantang telah menyatakan bahwa ujian itu ditutup. Lalu dibacakan nama-nama para calon yang lolos ujian tahap ke dua itu; dari limaratus calon lebih, hanya tiga ratus yang dianggap layak untuk diterima sebagai prajurit. Jika seseorang diterima pada tahap kedua ini, sesungguhnya ia sudah diterima sebagai prajurit. Ujian tahap ke tiga sudah bukan bersifat penyaringan lagi melainkan untuk sekedar menentukan kemampuan para prajurit itu untuk ditempatkan di tatarannya masing-masing.
Ada yang langsung menjadi seorang perwira, namun sebagian besar tentu harus mulai dengan menjadi seorang prajurit yang paling rendah pangkatnya. Ujian tahap ke tiga tidak akan diadakan di tempat terbuka, melainkan di gedung Peng-po-ceng-tong, di sebuah ruangan yang tertutup. Yaitu ujian ilmu silat, melawan para pelatih dari pasukan-pasukan yang ada di ibukota. Inilah ujian yang paling berat, dan kemungkinan untuk tewas dalam ujian harus siap dihadapi oleh para calon.
Setelah ujian itu selesai, orang-orangpun berbondong-bondong mengalir meninggalkan lapangan itu. Seperti air di sebuah kolam yang dibuka tanggulnya. Tong Lam-hou yag menjadi pujaan penonton pada hari itu, nampak berkuda bersama-sama dengan Pakkiong Liong lainnya yang menjadi teman baiknya. Tentu saja yang paling dekat dengan Tong Lam-hou adalah si "cerewet" To Li-hua. Dengan tatapan mata yang kagum tanpa disembunyikan, ia berkuda di samping Tong Lam-hou dari matanya selalu menatap ke anak muda di sampingnya....
Selanjutnya;