Pendekar Naga dan Harimau Jilid 22
"PANGERAN.... Li Tiang-hong hendak berkata sesuatu, namun Pangerannya sudah menghilang ke ruangan dalam tanpa mempedulikannya. Li Tiang-hong hanya menarik napas dan membatin dalam hatinya,
"Meskipun kakak beradik seayah, tapi alangkah besar bedanya antara Pangeran Cu Leng-ong dan adindanya, pangeran Cu Hin-yang. Sang adik benar-benar seorang pejuang yang prihatin, jauh dari segala kenikmatan hidup, tidak segan-segan mempertaruhkan nyawa demi perjuangannya. Sementara kakaknya sudah tenggelam dalam segala kenikmatan dunia justru pada langkah pertama dari perjuangan yang masih panjang ini. Kelakuannya tidak mirip seorang pejuang yang tengah memperjuangkan cita-citanya, tapi lebih mirip seorang yang sudah berhasil menduduki tahta kekaisaran. Ya, Pangeran Cu Leng-ong sudah bersikap seperti seorang Kaisar pada saat perjuangan kami baru saja dimulai."
Setitik ketidak-puasan muncul di hati Li Tiang-hong terhadap kepemimpinan Pangeran Cu Leng-ong. Ditambah lagi dengan setitik keragu-raguan, bisakah perjuangan kami berhasil kalau dipimpin seorang pemimpin yang sangat mengutamakan dunia dan kurang setia-kawan dengan penderitaan anak-buahnya itu?
Tapi sebagai seorang prajurit yang baik dia harus menjalankan perintah atasannya, maka ia memberi hormat dengan berlutut kepada bendera besar Jit-goat-ki yang ada di ruangan itu dan kemudian memutar tubuh hendak melangkah keluar ruangan. Sebelum kakinya mencapai ambang pintu, terdengar seseorang memanggilnya,
"Li Ciangkun...!"
Waktu ia menoleh, nampaklah Pangeran Cu Hin-yang keluar dari ruangan sebelah dalam keadaan lengkap dengan pakaian perangnya, dengan pedang di pinggangnya dan sikap yang tegap tanpa kelihatan mengantuk, meskipun saat menjelang dini hari itu adalah saat enak-enaknya orang tidur. "Ada apa, Pangeran?"
Sahut pangeran Cu Hin-yang, "Aku sudah mendengar semuanya dari balik pintu. Sekarang Ciangkun akan ke mana?"
"Lebih dulu akan menjumpai Kong-sun Ciangkun di desa selatan dan Cu Yok...eh, maksudku..Pangeran Cu yok-tek di desa utara, untuk menyampaikan perubahan rencana. Hanya sedikit perubahan tapi harus mereka ketahui."
Kata Pangeran Cu Hin-yang, "Biar kita bagi-bagi tugas. Li Ciangkun ke selatan, aku ke utara."
"Jangan, pangeran. Ini pekerjaan berbahaya, sebab kita melalui jalan yang sepi yang mungkin akan dihadang oleh orang-orangnya Pakkiong Liong. Dan lagi ini adalah tugasku."
"Kali ini anggap saja aku sebagai perwira bawahan Ciangkun, dan aku membantu mempercepat pekerjaan Ciangkun daripada Ciangkun hilir mudik ke selatan dan ke utara bolak-balik. Tentang bahaya, kita memang sedang berada di medan perang, jadi bahaya memang ada di mana-mana. Di jalan-jalan yang sepi atau di tempat tidur sama saja bahayanya."
Sekali lagi Li Tiang-hong melihat nyata benar perbedaan antara kedua Pangeran kakak beradik itu. Cu Leng-ong yang lebih suka tidur mendengkur diapit dua perempuan cantik, dan menyerahkan pekerajaannya begitu saja kepada bawahannya dengan cara "borongan", pokoknya tahu beres. Dan Pangeran Cu Hin-yang yang di pagi buta yang dingin itu rela menempuh bahaya demi memperingan pekerajaan anak buahnya.
Maka rasa hormat Li Tiang-hong kepada Pangeran itu semakin tebal penghormatan dari beberapa laskar yang menjaga gedung itu siang malam. Ketika hendak berpisah, Li Tiang-hong masih berpesan, "Berhati-hatilah, pangeran. Meskipun dari desa ini ke desa kedudukan Cu Yok-tek adalah wilayah pengaruh kita, namun bukan mustahil Pakkiong Liong sudah menyusupkan orang-orangnya. bawalah pengawal secukupnya, pangeran adalah biji mata kiri dari seluruh gerakan perjuangan ini."
"Baik, akan kubawa duapuluh pengawal ."
Tiba-tiba dari samping gedung yang gelap itu terdengar suara menyahut, "Biar aku pergi bersama Pangeran." Lalu muncullah Giok-seng Tojin.
Pangeran Cu Hin-yang gembira melihat paman gurunya itu bersedia pergi bersamanya, tanpa prasangka apapun ia menjawab, "Terima kasih, susiok. Kalau susiok bersamaku, perjalananku tentu aman. Selamat berpisah, Li Ciangkun."
Maka pada dini hari itupun orang-orang berkuda keluar dari desa yang menjadi "ibukota Kerajaan Beng" itu. Li Tiang-hong serta Pangeran Cu Hin-yang, dengan pengawalnya masing-masing pergi ke arah yang berbeda-beda.
Langit yang biru gelap itupun warnanya. semakin muda, semakin cerah, bahkan di kaki langit sebelah timur sudah muncul warna merah keemas-emasan yang cemerlang. Hari yang indah. Tapi tidak indah buat kedua pasukan yang berhadap-hadapan di sebelah barat kota Tay-tong itu. Datangnya pagi sama dengan datangnya perang, dan senjata-senjata harus diasah tajam untuk membantai sesama manusia yang berbeda pendiriannya.
Di pesanggrahannya, Pakkiong Liong telah membuat persiapan-persiapan. Sejak dini hari tadi sebagian dari pasukannya telah meninggalkan pesanggrahan dan mengalir masuk ke desa yang baru diduduki itu. Sebanyak 3 ribu prajurit dibawah pimpinan Han Yong-kim dan Le Tong-bun memasuki desa itu, bergabung dengan seribu limaratus teman mereka yang sudah menduduki desa itu sebelumnya.
Dengan demikian, kini Hui-liong-kun terbagi dua, tepat separuh-separuh, separuh di pesanggrahan dan separuh lagi di desa yang telah diduduki. Pakkiong Liong sendiri tetap di pesanggrahan bersama empat perwira andalannya, Tokko Seng, Ko Lung-to, Tamtai Hok dan Wanyen Hui serta separuh pasukannya. Ia punya rencana tersendiri yang belum dikeluarkan Kepada perwira-perwiranya.
Ketika fajar menyingsing, dari dalam kota Tay-tong keluarlah seribu limaratus prajurit dari kota Tay-tong sendiri, yang dipimpin langsung oleh Kwe Sin-liong si panglima Tay-tong, setelah pimpinan dalam kota diserahkan kepada wakilnya yang bernama Lo Tam-hi-ong. Kwe Sin-liong langsung saja memimpin pasukannya untuk menuju ke pesanggrahan Hui-liong-kun.
Panglima Tay-tong itu membawa dua orang perwira kepercayaannya yang cukup ahli dalam ilmu perang maupun jago dalam ilmu silat. Tapi kedua perwira andalan itu memiliki penampilan yang berlawanan satu sama lain. Yang satu bertubuh raksasa dan berotot tegap, bermuka merah dan bermata bundar besar seperti buah jeruk. Namanya Hoa Wi-jong dan berjulukan Im-kan-pian (si ruyung dari neraka).
Kalau anak kecil melihat, tampang Hoa Wi-jong ini mungkin bisa langsung menangis dan malamnya demam. Tapi rekan Wi-jong satunya justru bertubuh pendek kerdil, mukanya mirip monyet dan matanya selalu berkedip-kedip dan tangannya mengempit sebatang toya besi yang ukurannya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Namanya Leng Bun dan berjulukan Say-it-hou (seperti It-hou). Yang dimaksud It-hou adalah seorang tokoh sejarah jaman dinasti Tong dulu, Toh It-hou, yang bertubuh kerdil dan juga seorang ahli memainkan toya.
Anak kecil yang menangis ketakutanpun jika melihat tampang Leng Bun pasti akan berubah menjadi gembira dan tertawa terpingkal-pingkal seperti melihat seekor monyet yang lucu. Namun sebenarnya Leng Bun ini lebih berbahaya di medan perang dibandingkan Hoa Wi-jong yang seperti bukit.
Pakkiong Liong menyambut kedatangan Kwe Sin-liong di depan pesanggrahannya didampingi oleh perwira-perwiranya. Begitu keduanya sudah berhadapan, Kwe Sin-liong langsung saja memegang lengan Pakkiong Liong dan mengguncang-guncargkannya dengan sikap akrab. Katanya,
"Hebat, saudara Pakkiong! Aku benar-benar sudah menyaksikan sendiri, kehebatan Hui-liong-kun. Tadi pagi-pagi buta aku hampir tidak percaya ketika mendengar bahwa kalian sudah merebut satu desa dalam waktu semalam dengan mudahnya, sebab aku memperhitungkan bahwa kalian baru akan bergerak pagi ini, tapi kalian telah membuat kejutan yang sulit dipercaya. Cu Leng-ong itu-benar-benar bernasib sial kenapa ia dilahirkan satu jaman dengan Pakkiong Liong?"
Demikianlah, karena kagum kepada Pakkiong Liong maka Kwe Sin-liong jadi berbicara menyerocos seperti perempuan ceriwis. Paikkiong Liong pun tersenyum dan menjawab, "Terima kasih atas pujianmu, Kwe Ciangkun. Semuanya hanyalah berdasar kepada satu hal pokok, yaitu bergeraklah di luar perhitungan!"
Bagi Kwe Sin-liong, teori sederhana yang diucapkan Pakkiong Liong itu memang gampang diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Memang untuk mencapai kemenangan harus bergerak di luar perhitungan musuh, Panglima yang paling bodohpun akan tahu hal itu, tapi seperti apa yang diperbuat prajurit-prajurit Hui-liong-kun semalam adalah bukan hal gampang jika prajurit-prajurit itu tidak memiliki daya tahan jasmani yang tinggi. Pasukan lain pasti masih kelelahan setelah siangnya berjalan jauh, dan malamnya tahu-tahu sudah harus bertempur.
"Prajurit-prajuritku sendiri, untuk memulihkan tenaga paling tidak butuh semalam, jika habis melakukan perjalanan sejauh itu," demikian Kwe Sin-liong membatin dalam hati.
Prajurit-prajurit dari Tay-tong segera ditempatkan di pesanggarahan yang memang sudah kosong separuh itu. Pakkiong Liong merasa lega dengan bantuan itu. Meskipun ia yakin pasukan Tay-tong itu tidak sebaik pasukannya, tapi pasti sanggup mempengaruhi medan pula, paling tidak pasti lebih baik dari pasukan Pangeran Cu Leng-ong yang campur-aduk dari berbagai golongan itu.
Sementara itu, di desa yang semalam berhasil direbut oleh Ha To-ji dan pasukannya, kini penuh dengan prajurit-prajurit Mancu berseragam hitam dan bertopi bulu hitam pula. Prajurit-prajurit yang rata-rata bertubuh tegap-tegap karena latihan keras hampir tiap hari selama bertahun-tahun itu, memberi rasa aman kepada penduduk desa itu. Sikap mereka lebih baik dari pada orang-orangnya Pangeran Cu Leng-ong.
Ha To-ji yang bertindak sebagai pimpinan tertinggi atas rekan-rekan perwira lainnya, segera mengatur penjagaan. Benteng di seputar desa yang hanya terbuat dari batu dan tanah liat, yang dibuat oleh laskar pemberontak itu, kini justru dimanfaatkan oleh Ha To-ji sebagai sarana pertahanan yang baik. Apalagi pintu gerbang desa dilengkapi pula dengan palang di bagian dalam yang amat kuat dan di balik dinding itu pula tersedia ribuan lembing dan anak panah, batu-batu yang diikat dengan tali supaya bisa dilempar jauh dan juga pelenting-pelenting bambu atau ketapel-ketapel raksasa yang bisa melemparkan batu-batu sebesar kepala kerbau, semuanya tinggalan laskar pemberontak.
"Kita patut berterima kasih kepada laskar Cu Leng-ong, peninggalan mereka terhadap kita," kata Yong-kim sambil tertawa ketika melihat alat-alat serangan jarak jauh itu.
"Ya, lembing ini seharusnya menancap ditengkukmu," Tong Lam-hou bergurau sambil menimang-nimang sebuah lembing yang amat sederhana buatannya. Hanya sebatang bambu yang tidak sampai sedepa panjangnya dan ujungnya adalah besi yang runcing. Namun lembing itu agaknya cukup seimbang dalam luncurannya dan dengan demikian akan mudah dibidikkan.
"Aku punya firasat, pagi ini laskar pemberontak akan melakukan sesuatu," kata Ha To-ji kepada rekan-rekannya. "Mungkin mereka akan merebut kembali desa ini sebagai suatu cara untuk memulihkan semangat pasukan mereka yang merosot karena kekalahan semalam. Jadi kita harus selalu siap."
Orang mongol itu sejenak berhenti lalu melanjutkan, "Dengan pasukan kita di desa ini yang jumlahnya jauh lebih kecil dari laskar pemberontak kita harus membagi tenaga sebaik-baiknya, jangan sampai kita kehabisan napas sebelum pertempuran berakhir. Saudara Han Yong-kim dan Hu Lan-to, kalian bertanggung jawab untuk pengawasan sekeliling dinding desa. Tempatkan prajurit-prajurit kita secukupnya di balik dinding-dinding desa yang meskipun kurang memadai tetapi akan kita manfaatkan sebaik-baiknya. Sebagian besar pasukan harus berisltirahat sebaik-baiknya namun tidak boleh lengah, tetap dalam kelompoknya masing-masing agar setiap saat lebih mudah dikerahkan."
Han Yong-kim dan Hu Lan-to segera menjalankan tugasnya. Dinding desa ternyata tidak panjang, sehingga ketika diatur tiap langkah ada satu prajurit, maka untuk satu lingkaran penuh dari dinding desa itu hanya membutuhkan tidak lebih, dari tujuhratus prajurit. Sisanya diharuskan teristirahat, sebab mereka akan menjadi kekuatan pemukul-balik apabila musuh sudah dipukul mundur.
"Kalau musuh tidak menyerang, kitalah yang akan menyerang. Kalau musuh menggempur dan kemudian berhasil kita pukul mundur, kita akan mengejar, bukan untuk mengalahkannya langsung tetapi sekedar membuat semangat mereka makin turun. Untuk mengalahkan mereka secara tuntas agaknya dibutuhkan beberapa hari lagi," demikian perhitungan Ha To-ji.
Ternyata perasaan Ha To-ji cukup tajam. Begitu matahari terbit, maka dari kejauhan di arah barat tiba-tiba terlihat debu mengepul tinggi, terdengar" pula sorak-sorai membahana dan ringkik kuda bercampur-aduk. Lalu terlihat bendera Jit-goat-ki yang berkibar kibar di tengah-tengah laskar mereka dikelilingi ribuan ujung senjata yang mengkilap.
Para prajurit Hui-liong-kun di dalam desa menjadi tegang, namun Ha To-ji dengan tenang, memberi perintah-perintah, "Tenangkan penduduk. Yang bertugas di balik dinding desa harap segera menempatkan diri, lainnya beristirahat tapi tetap siap, sebab jika tiba saatnya kitalah yang akan membuka pintu gerbang dan menyerbu keluar."
Sungguh aneh bahwa di saat musuh datang menggempur seperti itu malahan disuruh beristirahat, namun para prajurit-prajurit itu menurut saja. Mereka tidak tahu rencana apa yang ada dalam otak Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya, namun mereka percaya, sebab selama ini rencana Pakkiong Liong yang kedengaran aneh-aneh itu selalu berhasil dengan gemilang.
Lalu Ha To-ji bersama rekan-rekan perwiranya naik kedinding yang tingginya hampir dua kali orang biasa itu, dan dengan menggunakan teropong Ha To-ji mencoba melihat siapa saja yang memimpin pasukan musuh yang masih agak jauh itu. Dilihatnya seorang bertubuh tegap dan bermuka berkuda paling depan dari laskarnya yang berjalan Kaki, lalu seorang lelaki berwajah tampan yang berpakaian perang lengkap dengan baju tembaga dan topi besi yang berkilauan. Ha To-ji mengenal mereka sebagai bekas tawanan-tawanan yang pernah dikawalnya dari Hun-lam sampai ke Pak-khia, yaitu Li Tiang-hong dan pangeran Cu Hin-yang.
"Hah, lagi-lagi mereka!" desis Ha To-ji. Lalu diteropongnya lagi, dan masih ada lima orang yang pakaiannya dilapisi dengan kulit macan tutul, mereka berlima nampaknya garang-garang.
Di barengi sorak-sorai yang menggetarkan angkasa, laskar pemberontak yang bagaikan semut banyaknya itupun segera menyerbu ke dinding desa. Ada di antara mereka yang memanggul tangga yang panjang, sementara belasan orang mencoba menggempur pintu desa dengan balok kayu yang digotong dan kemudian disodokkan secara beramai-ramai. Orang-yang terdepan dari pasukan itu berlindung di balik perisai-perisai mereka.
Prajurit-prajurit Hui-liong-kun di atas dinding segera menyambut serbuan itu dengan lontaran panah, lembing dan bandil-bandil batu mereka. Bahkan pelanting-pelanting bambupun mulai digunakan, yang jarak lemparannya jauh sekali, jauh melebihi kekuatan lempar tangan manusia. Laskar pemberontak yang paling depan segera berjatuhan terpatuk lembing atau panah, atau terhantam batu sebesar kepada manusia yang dilontarkan dengan seutas tali itu.
Namun jumlah laskar pemberontak yang bagaikan semut keluar dari sarangnya itu tidak berkurang banyak dengan robohnya teman-teman mereka yang terkena panah, lembing atau bandil. Laskar yang di belakang terus mendesak maju dengan melangkahi tubuh teman-teman mereka yang roboh, dan tidak semua dari mereka bisa dibendung dengan senjata-senjata jarak jauh.
Bahkan pemanah-pemanah atau pelempar-pelempar lembing dari laskar pemberontakpun mulai beraksi sehingga prajurit-prajurit Hui-liong-kun tidak dapat lagi seenaknya berdiri di atas dinding batu itu, melainkan harus berlindung lebih baik sehing lemparan mereka-pun tidak selebat semula. Di beberapa bagian, laskar pemberontak dengan berlindung perisai sudah mulai mendekati dinding desa untuk memasang tangga. Setiap kali prajurit Hui-liong-kun berusaha mendorong jatuh tangga itu, namun setiap kali pula laskar pemberontak tanpa jera memasangnya kembali.
Sementara itu, Li Tiang-hong sebagai pemimpin di pihak pemberontak dalam serangan itu, terus menerus memberi semangat kepada anak buahnya. Dalam hal ilmu silat, bekas Panglima Beng itu biasa-biasa saja, tetapi dalam hal ketrampilan ketentaraan ia cukup dapat diandalkan. Ia mengambil busur dan anak panahnya, lalu memajukan kudanya sambil melepaskan panah-panahnya.
Maka beberapa orang prajurit Hui-liong-kun-pun terjungkal jatuh dari atas dinding dengan dada "terhias” anak panah. Laskar pemberontak bersorak-sorai melihat kelihaian pemimpin mereka itu, dan kemudian Pangeran Co Hin-yang juga melakukan hal yang sama, sehingga sorakan di pihak pasukan pemberontak semakin menggemuruh. Rangsakan merekapun semakin hebat.
Namun para perwira Hui-liong-kun juga tidak membiarkan anak buah mereka dibantai secara semena-mena. Terutama Tong Lam-hou yang hatinya menjadi panas ketika melihat ulah Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang itu. Kepada seorang prajurit yang ada di sampingnya, Tong Lam-hou memerintah, "Ambil anak panah sebanyak-banyaknya dari dalam desa, dan letakkan di sampingku. Akan kuhabiskan keparat-keparat pemberontak ini."
"Baik, congpeng," sahut prajurit yang diperintah itu.
Setelah panah-panah itu tersedia, maka Tong Lam-hou pun berdiri tegak di atas dinding, tidak berlindung seperti lain-lainnya. Dan dengan gencar mulai dilepaskannya panah-panahnya seolah-olah tanpa membidik sekejappun. Namun panah-panah yang dilepaskan oleh murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu bagaikan punya mata di ujungnya dan dapat memilih sasarannya sendiri, sekejap saja belasan orang laskar musuh terjungkal mampus dengan ulu hati tertembus panah.
Sebaliknya jika ada musuh yang memanahnya atau melemparnya dengan lembing, maka dengan mudah Tong Lam-hou mengelakkannya dengan loncatan kecil atau menangkisnya dengan busurnya, lalu kembali ia membalas. Melihat ketangkasan Tong Lam-hou itu, kini ganti prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bersorak-sorai, menenggelamkan sorak-sorai kaum pemberontak. Kemudian beberapa perwira juga melepaskan panah-panahnya.
Tapi Ha To-ji dan Hu Lan-to, dua orang perwira berdarah Mongol yang bertenaga raksasa itu, tidak menggunakan panah melainkan bandil, yaitu batu-batu sebesar kepala orang dewasa yang diikat dengan tali-tali sedepa panjangnya. Dengan memegang ujung tali, mereka putar bandil-bandil itu dengan kencang kemudian dilemparkan ke pasukan musuh. Dengan luncurannya yang hebat, siapa yang terkena lemparan mereka, akan roboh dengan kepala retak atau muntah darah.
Sementara itu di tengah-tenagah pasukan pemberontak, Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong terus memberi semangat agar laskarnya tidak gentar. Namun setiap kali anak panah Tong lam-hou berdesing dan menjemput selembar nyawa, maka laskar pemberontak agak terpengaruh juga. Panah Tong Lam-hou bahkan tidak tertahan oleh perisai dari kayu tebal maupun baju tembaga berbentuk sisik ikan yang dipakai oleh para perwira pemberontak.
Seorang prajurit mengangkat perisainya ketika panah Tong Lam-hou menyambarnya, namun ia menjerit kesakitan karena panah itu menembus perisainya dan bahkan juga tangannya yang memegang prisai. Tong Lam-hou melepaskan panah-panahnya dengan lambaran tenaga dalamnya.
"Gila! Bangsat itu harus segera dihentikan ulahnya!" geram Li Tiang-hong sambil mengarahkan panahnya ke arah Tong Lam-hou yang berdiri perkasa tanpa perlindungan di atas dinding desa itu. Namun semua panahnya dapat ditangkis dengan mudah oleh Tong Lam-hou.
Giok-seng Tojin yang selalu mengawal Pangeran Cu Hin-yang itu berada pula di ajang perang itu, ketika melihat ketangkasan Tong Lam-hou maka iapun bertanya, "Siapa dia?"
Sahut Pangeran Cu Hin-yang, "Susiok, itulah Tong Lam-hou yang sering disebut Harimau Selatan, begundal Pak-kiong Liong yang paling tangguh."
Giok-seng Tojin gadungan itu terkesiap. Jadi perwira muda itulah yang menurut perintah Te-liong Hingcu harus dibunuh olehnya? Memang gagah perkasa. Pantas Te-liong Hiangcu memberi perintah yang bahwa Tong Lam-hou harus dihadapi bertiga bersama dengan Say-ya-jat Tong King-bun dan Hwe-tan Seng Cu-bok, dua orang bekas Tongcu Hwe-liong-pang pengikut Te-liang Hiangcu itu. Kini ia melihatnya sendiri, dan timbul niat Giok-seng Tojin untuk mengujinya.
"Pangeran, biar aku coba melawannya dalam adu panah", kata imam gadungan itu.
"Susiok bisa memanah juga?" tanya pangeran heran.
Giok-seng Tojin hanya tertawa pendek, dengan pemusatan pikiran dan bahkan penyaluran tenaga dalamnya, la mulai merentang busurnya, dan kemudian anak panahnyapun terlompat bagaikan petir. Lurus ke dada musuh.
Tong Lam-hou sendiri terkejut ketika ada sebatang panah yang meluncur jauh lebih deras dari panah-panah lainnya. Dan ketika ditangkisnya, maka ia merasa tangannya tergetar dan busur yang digunakannya untuk menangkis itu pun retak kayunya. Tong Lam-hou segera tahu bahwa pemanahnya kali ini bukan orang sembarangan, dan ketika ia melihat dengan cermat, ia tahu pemanahnya adalah seorang imam berjubah kuning yang berkuda di dekat Pangeran Cu Hin-yang di tengah-tengah laskar pemberontak sana.
"Oh, seorang imam juga bisa main panah?" geram Tong Lam-hou, timbul niatnya untuk memberi balasan kepada imam itu. Diambilnya sebuah busur yang belum retak, lalu dipasangnya anak panahnya dan diincarnya baik-baik imam itu sambil menyalurkan tenaga dalamnya ke batang panah itu. Lalu busur itu menjepret dan panahnya meluncur jauh lebih deras dari panah Giok-seng Tojin tadi.
Giok-seng Tojin terkejut, panah yang menyambarnya itu mengeluarkan suara mendengung keras. Cepat-cepat ia menarik keluar pedang yang tergantung di pinggangnya untuk menangkis, dan ketika pedangnya berbenturan dengan panah, maka yang dirasakannya seolah bukan cuma menangkis sebatang panah yang kecil dan ringan, tetapi seakan-akan sebatang balok kayu raksasa yang dilemparkan seorang raksasa yang sedang mengamuk. Giok-seng Tojin bukan cuma tergetar tangannya, namun bahkan terpental jatuh dari kudanya.
Tong Lam-hou tertawa dingin melihat hasil bidikannya itu. Tapi ia masih penasaran, dipasangnya lagi sebatang anak panah dan diincarnya bendera Jit-goat-ki yang melambai-lambai menimbulkan kebencian itu. Panah meluncur deras dan menghantam tangkai bendera dan langsung mematahkannya. Bendera yang diagung-agungkan di jaman dinasti Beng itupun roboh ke tanah, bercampur debu dan terinjak-injak.
Tong Lam-hou masih belum puas, Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong yang dianggapnya bertanggung-jawab atas kematian orang-orang Jit-siong-tin itu-pun harus mampus. Namun ia tidak ingin membunuh langsung, ingin ditakut-takutinya mereka lebih dulu. Dua kali berturut-turut panahnya berdesing, dan topi besi yang dipakai oleh Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong itupun terpental pecah dari kepala pemiliknya masing-masing.
"Gila!" teriak Li Tiang-hong dengan gugup. "Pangeran, bangsat kecil itu mulai mengincar kita! Lekas menjauh sejauh-jauhnya dari jangkauan panahnya!"
Sementara Pangeran Cu Hin-yang bergerak mundur disertai oleh Li Tiang-hong dan Giok-seng Tojin yang wajah dan pakaiannya penuh debu itu, pengawal pengawal Pangeran yang siap mengorbankan nyawa demi keselamatan Pangeran, segera memajukan kudanya sambil menghujankan panah kepada Tong Lam-hou. Agar perwira kerajaan itu tidak sempat memanah Sang Pangeran. Akibatnya Pangeran sendiri memang selamat, namun pengawal-pengawalnya itulah yang menjadi sasaran kemarahan Tong Lam-hou. Satu persatu mereka bertumbangan ke bumi karena menjadi korban panah Tong Lam-hou.
Namun keperkasaan Tong Lam-hou di satu bagian dari pertempuran itu tidak banyak mempengaruhi bagian-bagian pertempuran lainnya. Di sekelilingi dinding desa, prajurit Hui-liong-kun tetap harus bekerja keras membendung musuh yang jumlahnya berkali lipat dari mereka, musuh yang bagaikan kerasukan setan terus saja menyerbu dengan melangkahi mayat-mayat teman-teman mereka yang gugur.
Dan di pihak prajurit-prajurit Hui-liong-kun sendiri tak terhindar jatuhnya korban karena panah atau lembing musuh. Ha To-ji terpaksa memerintahkan pasukan yang seharusnya beristirahat untuk tenaga pukul-balik itu naik ke dinding untuk menggantikan teman-teman yang gugur atau luka. Sementara para perwira sendiri bukan cuma berteriak-teriak memerintah prajuritnya, namun juga ikut memeras darah dan keringat untuk mempertahankan dinding desa.
Makin tinggi matahari, makin panas lah pertempuran untuk merebut desa itu Kedua pihak bertarung dengan gigihnya. Secara perseorangan prajurit-prajurit Hui-liong-kun lebih unggul, namun jumlah lawan yang amat banyak bagaikan semut itu cukup merepotkan juga. Sementara kedua belah pihak terus saja kehilangan teman-teman mereka, dan itu membuat hati semakin panas.
Di satu bagian dari dinding batu yang melingkari desa itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah tidak sempat memanah atau melemparkan lembing lagi. Laskar musuh sudah berhasil meloncat ke atas dinding dan sekali seorang berhasil meloncat maka akan semakin banyaklah yang melakukannya, sebab yang lain-lainnya akan lebih mudah dengan perlindungan teman-temannya yang sudah ada di atas dinding.
Bobolnya pertahanan prajurit Hui-liong-kun di tempat itu diawali dengan munculnya tiga orang yang pakaiannya dilapisi dengan selembar kulit macan tutul, dan rata-rata bermuka garang. Ketiga-tiganya bersenjata golok lebar yang diputar kencang untuk menghalau semua panah, lembing atau bandil. yang tertuju ke arah mereka, dan berhasil mendekati dinding.
Tanpa membutuhkan tangga segala, ketiganya dengan mudah meloncat ke atas dan memaksa prajurit-prajurit Hui-liong-kun di bagian dinding itu untuk mengganti busur rnereka dengan pedang atau tombak. Ternyata ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu sangat garang. Tabasan-tabasan golok mereka begitu cepat dan mantap sehingga beberapa prajurit menjadi korban.
Namun prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah diajari cara bagaimana melawan orang-orang berilmu tinggi seperti itu, yaitu dengan membentuk semacam barisan kecil melingkar yang tiap lingkarannya terdiri tujuh sampai sepuluh prajurit yang menyerang lawan-lawan berilmu tinggi itu secara berganti-ganti dan teratur, sehingga ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu-pun tidak dapat malang melintang seenaknya. Tapi mereka memang hebat, dalam keadaan terkepung maka golok-golok mereka masih saja sanggup mengambil korban.
"Kebocoran" pertahanan Hui-liong-kun di satu tempat itu ibarat sebuah pematang dari lumpur untuk membendung air. Bocor sedikit saja maka air akan semakin deras mengalir dan robeknya pematang akan semakin lebar. Begitu pula yang terjadi di situ. Amukan tiga orang berpakaian kulit macan tutul di atas dinding itu memberi kesempatan kepada laskar pemberontak untuk memasang tangga-tangga mereka ke dinding dan merekapun semakin banyak yang memanjat ke atas dinding dan bahkan meloncat ke dalam.
Tapi di bagian dalam itupun mereka disambut oleh prajurit-prajurit Hui-liong-kun, sehingga pertempuran pun berkobar di dalam desa, terutama di dekat dinding desa. Yang disebut "tangga" itu hanyalah sebuah batang kayu yang panjang dan di sepanjang batangnya diberi takik-takik, untuk injakan kaki. Dan makin banyak benda-benda semacam itu disandarkan ke dinding luar untuk "meng-alirkan'' lebih banyak lagi laskar musuh ke atas dinding dan ke bagian da-lama dinding.
Perwira Hui-liong-kun yang paling dekat letaknya dengan tempat "kebocoran" itu adalah Na Hong dan Han Yong-kim. Tentu saja mereka tidak bisa membiarkan hal itu berlarut-larut. Han Yong-kim segera meletakkan busurnya dan menghunus pedang samurainya yang tergendong melintang di punggung itu.
Kedatangan si orang Korea ke gelanggang itu tadinya kurang diperhatikan oleh ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu. Dalam Hui-liong-kun, memang sulit dibedakan antara pakaian seorang prajurit dengan seorang perwira. Perbedaannya hanyalah pada topi seorang perwira ada hiasan benang merah dan sehelai bulu burung merak yang rebah ke belakang, selain sebuah hiasan kecil berbentuk tombak di tengah-tengah ubun-ubun topi.
Karena itu barulah ketika salah seorang dari ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu merasa tergetar tangannya ketika gploknya menangkis pedang Han Yong-kim, mereka terkejut. Orang yang membenturkan goloknya tadi segera meloncat ke hadapan Han Yong-kim dan membentak. "Siapa kau?!"
"Han Yong-kim, Jian-hu-thio dari pasukan ketiga Hui-liong-kun!" sahut Han Yong-kim sambil memperkenalkan kedudukannya sekalian.
Orang berkulit macan tutul itu tertawa congkak, "Jadi kau seorang perwira? Bagus, golokku akan mendapat kehormatan besar untuk memenggal kepala seorang perwira dari sebuah pasukan yang terkenal. Bersiaplah!"
"Kau sendiri siapa?" tanya Han Yong-kim.
Dengan sikap tetap congkak orang itu memperkenalkan diri selengkap-lengkapnya pula, "Aku pemimpin ketiga dari Ngo-pa-hwe (Perkumpulan Lima Harimau Tutul), Kong Hok-bun yang bergelar Hui-pa (Si Macan Tutul Terbang). Perwira yang malang, menangislah untuk nasibmu karena bertemu denganku. Aku juga calon gubernur daerah Shoa-say jika kelak bangsa Manchu sudah terusir dan Kerajaan Beng telah berdiri kembali."
"Astaga..." Han Yonng-kim tertawa geli mendengar penjelasan terakhir itu. "Jadi Pangeran Cu Leng-ong berhasil mengumpulkan sekian banyak anakbuah hanya dengan menjual mimpi macam itu?"
"Bangsat Manchu, kusumpal mulutmu dengan golokku ini!" teriak Hui-pai Kong Hok-bun dengan marah. Dan golok-nyapun berkelebat dengan gerakan Lian-cu-sam-to (Bacokan Golok Tiga Kali Beruntun). Goloknya berkelebat cepat ke arah kepala, pinggang dan kaki.
Namun semuanya dapat dielakkan oleh Han Yong-kim. Bahkan kemudian Han Yong-kim membalas dengan sabetan pedangnya secepat Kilat yang mengejutkan Kong Hok-bun, ketika orang ketiga dari Ngo-pa-bwe meloncat mundur maka sebagian dari ikat kepalanya sudah terpapas putus. Keruan saja orang she Kong itu berkeringat dingin. Sedangkan Han Yong-kim tertawa mengejek, "Hati-hati dengan kepalamu bapak gubernur"
Maka bertempurlah kedua orang itu dengan sengitnya. Sementara itu di sebelah lain Na Hong juga sudah bertarung sengit dengan orang ke empat dari Ngo-pa-hwe pang bernama Kim Hwe-jing), senjatanya juga sebuah golok lebar seperti kakak seperguruannya yang lain. Sedang Na Hong melayaninya dengan sehelai cambuk yang terbuat dari anyaman benang baja yang meledak-ledak dengan dahsyatnya. Menghadapi lawan yang berkelahi benar-benar seekor harimau gila.
Na Hong meladeninya dengan sama beringasnya. Perwiranya Pakkiong Liong yang satu ini memang dikenal sebagai orang yang berdarah panas juga, wataknya mirip dengan Tong Lam-hou atau Hu Lan-to. Tinggal orang ke lima Ngo-pa-hwe Mo Kian-keng yang belum mendapat lawan. Namun tak lama kemudian iapun tidak bisa malang-melintang seenaknya lagi, ketika dua orang perwira berpangkat pek-hu-thio (perwira yang menguasai seratus orang prajurit, kira-kira bawahannya Jian-hu-thio atau "pemimpin seribu prajurit") telah menghadangnya dan melibatkan dalam suatu pertempuran sengit.
Dua perwira pek-hu-thio yang bersenjata sam-ciat-kun (ruyung tiga tekukan) dua pedang itu ternyata cukup tangkas bekerja-sama untuk mengimbangi kegarangan si "macan tutul" paling bungsu dari Ngo-pa-hwe itu.
Sementara itu Le Tong-bun dengan memimpin sejumlah prajurit mencoba "menambal kebocoran" pertahanan Hui-liong-kun di bagian dinding itu. Ia dan kelompoknya berusaha untuk menguasai dinding kembali, tidak peduli bahwa sebagian laskar musuh sudah berada di bagian dalam dinding. Musuh yang terlanjur di dalam biarlah diselesaikan oleh pasukan Hui-liong-kun yang di dalam pula, dan itu bukan pekerjaan berat.
Tetapi sesungguhnya bobolnya pertahanan Hui-liong-kun itu tidak hanya di satu tempat saja, tetapi juga di tempat lainnya. Si saudara tertua dari Ngo-pa-heng-te (Lima Bersaudara Macan Tutul itu, Ong Goan-to yang berjulukan Tiat-pi-pa ( Si Macan Tutul Berlengan Besi) dan orang keduanya Bu Siang-kok yang berjulukan Toat-hun-pa ( Si Macan Tutul Perenggut Nyawa) itu juga telah berhasil mebobol pertahanan Hui-liong--kun di sisi sebelah lain dari ketiga saudara mereka yang lain.
Meskipun kemudian mereka sendiri tertahan Hu Lan-to yang dibantu beberapa perwira rendahan, namuntoh laskar musuh sudah terlanjur mendapat "pintu" untuk mengalir dalam desa. Secara keseluruhan memang pasukan Hui-liong-kun harus bekerja keras. Baik yang di atas dinding maupun yang di dalam desa, sementara perwira-perwira mereka sudah dibuat sibuk oleh orang-orang berilmu tinggi di pihak laskar pemberontak.
Tong Lam-hou dengan kepandaiannya yang tinggi memang sanggup membendung musuh di satu bagian, tapi hanya di satu bagian saja, sebab tenaga seseorang yang bagaimanapun tinggi ilmunya tentu tidak sanggup untuk mempengaruhi medan yang seluas itu. Maka semangat laskar pemberontak semakin meningkat setelah melihat teman-teman mereka sebagian besar berhasil naik ke tembok dan bahkan turun ke bagian dalam tembok.
Desa yang tadi malam terlepas dari tangan mereka, ada harapan akan direbut kembali. Bukan itu saja, pasukan Hui-liong-kun yang menduduki desa itu agaknya akan tertumpas habis sampai orang-orang terakhir sebab mereka tidak punya jalan mundur, ibarat dilingkari oleh laskar pemberontak.
Tapi prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang berjumlah dua ribu lima ratus, jauh lebih sedikit dari laskar pemberontak yang menyerbu itu, juga berkelahi dengan amat gigih, tidak peduli mereka berguguran seorang demi seorang. Tidak percuma mereka disebut Pasukan berani Matinya Kerajaan Manchu, sebab dalam keadaan terjepit itupun setiap prajurit Hui-liong-kun memiliki tekad yang sama. Diri sendiri boleh mampus asal sudah berhasil membunuh beberapa orang musuh.
Dengan demikian kematian di pihak laskar pemberontak akan mencapai jumlah berlipat ganda dari duaribu limaratus orang prajurit yang berhati singa itu. Apalagi perwira-perwiranya seperti Ha To-ji atau Tong Lam-hou atau lain-lainnya. Andaikata mereka harus mati, mereka tentu akan membawa korban puluhan orang di pihak lawan, bukan sekedar dua atau tiga orang.
Si Harimau Selatan dan Si Beruang Gurun Pasir Mongolia itu benar-benar berkelahi seperti sepasang malaikat maut yang menyebar malapetaka di bumi ini. Bagian dinding desa yang mereka pertahankan adalah bagian yang paling banyak meminta korban laskar pemberontak dibandingkan bagian-bagian dinding desa lainnya.
Di pihak laskar pemberontak, ada tiga pasang mata yang tadi terus mengincar Tong lam-hou. Tiga pasang mata milik Giok-seng Tojin palsu yang nama aslinya adalah Han Kiam-to yang berjuluk Sat-jiu-hong-kui (Setan Gila Bertangan Ganas), dan dua orang Te-liong Hiangcu lainnya yang menyusup dalam laskar Pangeran Cu Leng-ong itu. Merekalah Tong King-bun dan Seng Cu-bok.
Ketiga-tiganya mendapat perintah tegas dari Te-liong Hiangcu bahwa Tong Lam-hou harus dibunuh, entah dengan cara bagaimana, karena dia adaiah putera kandung Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang yang dikuatirkan akan membalas dendam, kepada Te-liong Hiangcu itu.
"Ini kesempaan kita," kata Giok-seng Tojin gadungan alias Han Kiam-to. "Memang benar ucapan saudara Tong King-bun dulu, dia memang luar biasa. Tadi Ketika aku menangkis panahnya, aku sampai terjatuh dari kuda."
Tong King-bun dan Seng Cu-bok tertawa berbareng, dan salah seorang dari mereka menjawab, "Ya, kami juga melihatnya. Sekarang saudara Han percaya bahwa kami tidak membual bukan?"
Sebenarnya wajah Han Kiam-to menjadi kemerah-merahan karena malu, tapi karena wajah aslinya itu tertutup oleh wajah palsu Giok-seng Tojin maka warna merah mukanya tidak kelihatan. Sahutnya, "mari kita kerubut dia."
Ditengah-tengah hiruk-pikuknya pertempuran, merekapun segera mendesak maju ke arah Tong Lam-hou yang masih berdiri di atas dinding desa dan mengamuk dengan panahnya itu. Jika ada laskar pemberontak yang berhasil memanjat naik, maka Tong Lam-hou menghunus pedangnya dan merobohkan mereka, lalu disarungkannya pedangnya kembali dan panah-panahnyalah yang beterbangan kembali. Kegagahannya telah membuat musuh pecah nyalinya dan lebih suka menyingkiri dia saja.
Namun Han Kiam-to, Tong King-bun dan Seng Cu-bok tidak merasa takut. Satu persatu memang mereka kalah, tapi mereka percaya bahwa dengan maju bertiga mereka akan berhasil membereskan anak Tong Wi-siang, apalagi Seng Cu-bok memiliki senjata yang disebut hwe-tan (peluru api) yang sesuai dengan julukannya sendiri. Dengan peluru-apinya itulah nanti ia berharap bisa membuat Tong Lam-hou terbakar hangus dan ia akan memperoleh pujian dari Te-liong Hiang-cu.
Han Kiam-to dan Tong King-bun bersenjata. masing-masing sebatang pedang, sedangkan Seng Cu-bok memegang sebatang golok. Ketiga-tiganya adalah tokoh golongan hitam yang sudah memiliki nama disegani sebelum Tong Lam-hou dilahirkan ke dunia ini, dan kini ketiga tokoh yang masing-masing mempunyai julukan-julukan yang seram-seram itu tidak segan-segan hendak mengeroyok seorang anak muda yang jauh lebih muda umurnya dari mereka sendiri.
Tong Lam-hou yang sibuk membendung musuh dengan panah atau pedangnya itu, tidak menyadari bahaya yang mengancam nyawanya. Sekeliling desa itu memang penuh dengan laskar pemberontak yang berjumlah berribu-ribu dan terus bergerak seperti padi ditampi, sehingga gerakan ketiga anak buah Te-liong Hiangcu itupun tidak kentara. Dan barulah Tong Lam-hou terkejut ketika sesosok tubuh melayang secepat kilat ke arahnya sambil menikamkan pedangnya.
Tak sempat menghunus pedangnya, maka Tong Lam-hou hanya menggunakan busurnya untuk menangkis sambil meloncat ke samping. Akibatnya, busur yang hanya terbuat dari kayu itu pun terpapas patah oleh pedang musuh. Ketika Tong lam-hou memperhatikan penyerangnya itu? ternyata bukan lain adalah imam yang tadi memanahnya itu.
"Bagus, imam busuk!" teriak Tong Lam-hou. "Bukannya kau berdoa dalam kuilmu untuk kedamaian umat manusia, tapi malahan berkompolot dengan kaum pemberontak untuk mengacau negara?"
Tong Lam-hou menghunus pedangnya dan hendak menyerang imam itu. Tapi kembali ia dikejutkan sebuah serangan gelap dari samping. Seseorang kembali telah meloncat ke atas tembok dan menyerangkan pedangnya dengan dahsyat. Lalu muncul seorang lagi dengan golok ditangan kanan, namun ia melemparkan sebuah benda hitam bulat sebesar kepalan tangan ke arah Tong Lam-hou.
Tong Lam-hou mengayunkan pedangnya hendak memukul jatuh benda bulat hitam itu, namun sebelum pedangnya bersentuhan dengan benda itu, tibat-iba hidungnya mecium bau belerang yang tajam, maka terkejutlah Tong Lam-hou karena ia dapat menebak benda apa yang bulat hitam itu, dan bagaimana akibatnya jika pedangnya membenturnya. Cepat-cepat ia tarik pedangnya agar tidak membentur benda itu, dan tubuhnyapun sekuat tenaga meloncat turun dari dinding, tidak diperhitungkannya bahwa loncatannya itu justru ke arah luar dinding desa. Ia jatuh ke tengah-tengah kerumunan laskar musuh!
Sementara benda bulat hitam yang dilemparkan oleh Seng Cu-bok itu bukan lain adalah sebutir hwe-tan (peluru api) yang akan meledak jika membentur benda lain secara keras. Dan karena benda itu tidak mengenai Tong Lam-hou, maka ia jatuh ke tanah dan meledak menjadi api yang berkobar bercampur dengan bau belerang yang tajam.
Sementara itu Han Kiam-to, Tong King-bun dan Seng Cu-bok juga telah meloncat turun kembali dari dinding desa untuk mengepung Tong Lam-hou. Maka dibawah dinding desa itu terjadilah pertempuran seru satu lawan tiga. Tidak ada laskar pemberontak yang berani mencampurinya, sebab mereka melihat betapa tingginya ilmu dari orang-orang yang bertempur itu.
Tong Lam-hou yang masih muda dan berdarah panas itu herkPiahi seperti seekor harimau yang sangat buas. Begitu tangkas dan kuat, membuat musuh-musuhnya harus berhati-hati agar tubuh mereka tidak robek oleh pedang yang digerakkan dengan ilmu yang tinggi itu. Ilmu pedang ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan adalah ilmu pedang yang mengutamakan kekuatan, kecepatan, di mana ujung-ujung pedang mengincar sasaran dengan telak. Ilmu pedang itu tidak sedikit pun mempedulikan unsur keindahan atau seni, sebab ia tidak untuk dipertontonkan tapi benar-benar diciptakan untuk berkelahi.
Namun ketika lawannyapun bukan anak yang baru kemarin sore belajar memegang senjata. Ketiganya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berilmu tinggi pula dan berpengalaman, berhati keji tidak tanggung-tanggung dan bahkan dalam hal kelicikan mereka jauh berada di atas Tong Lam-hou yang lugu itu. Dengan demikian Tong Lam-hou menghadapi lawan-lawan yang sangat berbahaya, yang tidak segan-segan memakai cara sekotor apapun untuk memenangkan perkelahian itu. Tong Lam-hou juga ingat bahwa Salah seorang dari mereka punya peluru-peluru api yang setiap saat dapat membahayakannya.
Ha To-ji di atas dinding terkejut sekali ketika melihat Tong Lam-hou telah terpancing keluar dinding dan dikerubut tiga orang musuh tangguh. Orang Mongol yang berjulukan si Beruang Gurun itu segera mencabut golok lengkungnya dan siap terjun untuk membantu sahabatnya itu. Tapi Tong Lam-hou telah meneriakinya,
"Jangan turun, Ha To-ji! Kau tetap pimpin seluruh pasukan sebab rekan-rekan lainnyapun sudah sibuk dengan lawan mereka masing-masing! Ketiga cecunguk berilmu rendah ini belum bisa menyentuh seujung rambutkupun meskipun mereka mengerahkan ilmu mereka!”
Han Kiam-to yang sekian lamanya ditakuti sebagai tokoh golongan hitam yang menonjol itupun marah sekali mendengar ejekan Tong Lam-hou yang sangat memandang rendah dirinya itu. Teriaknya, "Bangsat Manchu bermulut besar! Kesombonganmu patut kau tebus dengan nyawamu!"
Tong King Bun juga membentak, "Kau akan menyesali ucapanmu itu, anak Tong Wi-siang! Menyesalinya di akehrat!"
Tong Lam-hou agak heran karena lawannya itu langsung mengenalinya sebagai anak Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong pang berpuluh tahun yang lalu. Ia merasa kedua orang yang berpakaian seperti laskar biasa itu agak aneh dan mencurigakan, apalagi setelah Tong Lam-hou mengenali kembali Tong King-bun sebagai salah seorang yang memimpin pencegatan di sungai Yang-ce-kiang beberapa waktu yang lalu, sewaktu Pakkiong Liong dan pasukan kecilnya pulang dari Hun-lam dengan membawa tawanan.
Perasaan Tong Lam-hou yang tajam segera merasakan adanya suatu jaringan-jaringan rahasia yang aneh yang tersebar di mana-mana, mengincar nyawanya, dan ia ingat pula kemunculan seorang bertopeng tengkorak di rumahnya di Pak-khia yang tiba-tiba saja ingin membunuhnya dengan alasan bahwa dia adalah anak Tong Wi-siang. Dan kini, di medan perang yang jauh di sebelah barat kota Pak-khia inipun ia menjumpai tiga orang yang mengenalinya sebagai anak Tong Wi-siang dan ingin membunuhnya.
"Siapa kalian?" bentak Tong Lam-hou sambil terus bertempur.
Tong King-bun menjawab, "Kami dulu anak buah Hwe-liong Pangcu. Semalam kami mimpi di datangi Hwe-liong Pangcu dan ia minta agar anaknya dijemput dan diantarkan kepadanya supaya ia tidak kesepian di akherat..."
Tong King-bun tidak dapat melanjutkan kata-kaanya, sebab Tong Lam-hou sejak lahir belum pernah melihat ayahnya, namun ia sangat hormat dan bangga kepada ayahnya itu, maka ketika mendengar Tong King-bun mempermainkan nama ayahnya sebagai bahan gurauan, diapun marah bukan kepalang. Untung Tong King-bun tidak sendirian, di dalam bahaya ia mendapat bantuan kedua temannya.
Saat itulah Tong Lam-hou yang sudah habis kesabarannya itu memutuskan untuk mengerahkan ilmu Hian-im-ciangnya agar musuh cepat mampus. Demikianlah, diawali sebuah bentakan, udara di sekitar tubuh Tong Lam-hou sampai sejauh lima atau enam langkah tiba-tiba menjadi sangat dingin. Jauh lebih dingin dari salju yang beku. Setiap gerak tangannya maupun pedangnyapun membawa angin dingin yang jika kena telak akan sanggup membekukan darah. Bahkan Tong Lam-hou keluarkan pula ilmu tendangan yang disebut Pek-pian-lian-hoan-tui (Tendangan Beruntun Seratus Kali Pergantian).
Ketiga lawannyapun terkejut bukan kepalang ketika merasa udara di tempat itu tiba-tiba turun suhunya dengan tajam, begitu tajamnya sehingga mereka merasa seperti dari bawah sinar matahari yang hangat mendadak dicemplungkan ke sebuah sumur es di musim salju. Rasa dingin yang menusuk kulit menggigit tulang, membuat darah mereka menjadi dingin mendadak dan tidak lancar mengalirnya, dan dengan sendirinya membuat gerakan mereka jadi lambat. Di saat gerakan mereka melambat itulah maka Tong Kim-bun mencelat keluar dari arena karena kena tendangan Tong lam-hou. Masih untung tidak mampus.
Kerjasama antara ketiga orang itu sejenak menjadi kalang-kabut, Han Kiam-to dan Seng Cu-bok segera meloncat menjauhi Tong Lam-hou dengan tubuh yang menggigil karena kedinginan. Sesaat mereka harus mengerahkan tenaga dalam mereka untuk mengalirkan udara hangat ke seluruh tubuh mereka agar darah tidak terlanjur menjadi beku. Tong King-bun yang terbanting jatuh itupun cepat-cepat melompat bangun dan meniru jejak kedua temannya itu. Tapi Tong Lam-hou tidak membiarkan ketiganya lolos lagi. Dengan sengit segera dilibatnya mereka kembali dalam pertempuran yang hebat.
Seng Cu-bok mencoba membuyarkan hawa maha dingin yang melingkupi tubuh Tong Lam-hou itu dengan melempar-lemparkan beberapa buah peluru apinya ke tubuh lawan dan ternyata Tong Lam-hou menangkisnya tanpa takut-takut dengar pengerahan Han-im-ciangnya. Maka peluru peluru api Seng Cu-bok itu tidak lagi meletus dahsyat dan menyemburkan api yang berkobar-kobar, melainkan hanya mengeluarkan suara letupan lemah.
Dan kobarannyapun hanya muncul sebentar lalu sirna tertindih oleh udara maha dingin yang diatas kekuatannya. Demikianlah tiga orang anggota kelompok Kui-kiong (Istana Iblis) pimpinan Te-liong Hiangcu itu mulai merasa bahwe tugas yang dibebankan oleh majikan mereka agaknya bakal gagal terlaksana.
Pada saat yang sama, di seluruh medan perang keadaan pasukan Hui-liong-kun benar-benar telah jatuh di bawah tekanan berat. Laskar pemberontak yang terus membanjir bagaikan air bah sudah sulit dibendung lagi. Beberapa tempat pertahanan Hui-liong-kun disekeliling dinding desa sudah berhasil dibobol musuh tanpa dapat ditutup lagi, tidak peduli para perwira dan prajurit bertahan amat gigih dengan mempertaruhkan nyawa mereka.
Dan semangat laskar pemberontak bagaikan melonjak tinggi ketika dari arah selatan muncul pula sebarisan laskar pemberontak lainnya yang tenaganya nasih segar, dipimpin oleh Kongsun Hui yang didampingi oleh Kam-koan, Ketua dari Tiat-hi-pang (Serikat Ikan Besi) itu. Pertanda mereka dapat dilihat dari kibaran bendera Jit-goat-ki yang berkibar-kibar di pucuk barisan.
Begitu masuk ke kancah pertempuran, Kongsun Hui dan pasukannya langsung mendesak maju untuk membantu mempercepat bobolnya pertahanan pasukan Hui-liong-kun di dinding desa. Pertahanan Hui-liong-kun itu sendiri sebenarnya sudah robek-robek di sana-sini, dan kini dengan datangnya bala bantuan untuk musuh, maka dapat dipastikan sebentar lagi seluruh desa akan dapat direbut.
Kam Koan si ketua Tiat-hi-pang agaknya ingin mendirikan pahala di depan Pangeran Cu Leng-ong, maka iapun memacu kudanya sampai ke dekat dinding desa, dengan sepasang tombak pendeknya sudah tergenggam erat di tangannya. Begitu tiba dekat dinding, ia berteriak,
"Anggota-anggota Tiat-hi-pang, ikuti aku! Jangan kalah berjasa dengan orang-orang Ngo-pa-hwe!"
Agaknya antara kelompok-kelompok yang bergabung dalam laskar Pangeran Cu Leng-ong itupun masih juga ada persaingan, meskipun mereka telah bertempur di bawah satu bendera. Maka mendengar teriakan sang pemimpin, orang-orang Tiat-hi-pang segera mendesak maju dengan beringas dan berusaha merebut satu bagian dari dinding yang melingkari desa.
Kam Koan sendiri memimpin orang-orangnya. Di putarnya sepasang tombak pendek (siang-kek) untuk menghalau anak anak panah dan lembing yang dilontar-iontarkan oleh prajurit-prajurit Hui-liong-kun dari atas dinding. Kemudian, seperti seekor burung saja ia meloncat naik ke atas dinding, dua orang prajurit Hui-liong-kun yang tepat berada di arah lompatannya ternyata tidak sempat meletakkan dan menghunus pedang mereka. Kedua prajurit itu menjadi korban-korban pertama dari sepasang senjata Ketua Tiat-hi-pang itu.
Prajurit-prajprit lain sempat mengambil pedang atau tombak, dan mengerubut Kam Koan yang bertarung dengan hebat itu. Dengan demikian mereka tidak sempat lagi untuk memanah atau melemparkan lembing. Kesempatan itu segera digunakan oleh orang-orang Tiat-hi-pang untuk mendekati dinding, memasang tangga, dan mulai memanjat dinding dipelopori oleh orang-orang yang bernyali besar lebih dulu, meskipun yang bernyali besar itupun harus tetap melindungi kepala mereka dengan perisai.
Satu lagi titik pertahanan Hui-li-ong-kun jebol. Dan yang kemudian mengalir masuk lewat "lubang" pertahanan yang bobol itu bukan saja orang-orang Tiat-hi-pang, tetapi juga orang-orang Ngo-pa-hwe yang sudah ada di situ lebih dulu, orang-orang Jit-goat-pangnya Cu Leng-ong sendiri, atau laskar lainnya yang berpihak kepada Pangeran Cu Leng-ong.
Setiap kelompok ingin memperebutkan jasa bagi dirinya sendiri, sehingga merekapun seakan berebutan lebih dulu siapa yang berhasil menundukkan Hui-iiong-kun. Pihak Hui-liong-kun harus mengerahkan beberapa regunya ke tempat itu untuk membendung musuh.
Kam Koan sendiri adalah seorang yang terlalu kuat untuk dilawan oleh prajurit-prajurit biasa. Setiap kali beberapa orang prajurit Hui-liong-kun dengan berani mencoba menghadang Ketua Tiat-hi-pang itu, namun setiap kali pula bebeberapa prajurit terjungkal tewas dan kepunganpun tercerai-berai. Orang-orang Tiat-hi-pang setiap kali bersorak-sorak mengejek musuh apabila melihat kegagahan ketua mereka dai am menghajar musuh.
Tapi aknirnya Kam Ko-an bertemu dengan seorang, lawan yang agak seimbang, yaitu seorang perwira Hui liong-kun berpangkat pek-hu-thio yang kepandaiannya agak lumayan, bersenjata perisai di tangan kiri dan golok lengkung di tangan kanan. Meskipun perwira ini masih saja terdesak meiawan Kam Koan, namun setidak-tidaknya ia dapat memancing Kam Koan dalam suatu perkelahian satu lawan satu dan tidak membiarkannya malang-melintang sambil menyebar.
Tiba-tiba terdengar laskar pemberontak yang berada di sisi utara dinding itu bersorak-sorai membelah langiit. Ternyata bala bantuan telah datang lagi buat mereka. Kali ini dan dipimpin oleh Ketua Koay-to-bun (Perguruan Golok Cepat) Cu Yok-tek yang mengaku berdarah bangsawan itu, dan berjulukan Say-bin-koay-to (Si Golok Cepat Berwajah Singa) yang memimpin orang-orang Koay-to-bun, didampingi oleh Ketua Kang-liong-pang (Serikat Naga Sungai).
Ji Tay-hou yang dari kejauhan sudah memutar-mutar rantai dengan bandul besinya yang sebesar semangka itu. Bahkan, entah untuk bergurau atau untuk maksud lainnya, Ji Tay-hou sengaja mengecat bandul besinya itu dengan warna lurik hijau dan kuning sehingga mirip semangka betul. Hanya saja "semangka" ini dulunya adalah semangka yang paling mematikan di sepanjang suangi Hong-ho. Tak seorangpun menyukai "semangka"nya ini.
Ketika mereka tiba di sisi desa sebelah utara, dilihatnya sepasukan laskar pemberontak sedang mendobrak pintu gerbang desa, namun belum juga berhasil. Setiap kali segerombolan laskar pemberontak berlari bersama-sama sambil menggotong sebuah balok besar untuk disodokkan ke pintu gerbang.
Namun hujan panah dan lembing yang dilontarkan prajurit-prajurit Hui-liong kun membuat sebagian dari kelompok pendobrak itu berejatuhan, dan daya luncur merekapun berkurang sehingga benturan balok kayu yang mereka bawa tidak berhasil mendobrak pintu gerbang desa yang dipalang kuat di sebelah dalamnya itu.
Melihat hal itu, Ji Tay-hou segera berteriak, "Membuang-buang waktu saja! Minggir semuanya!"
Laskar pemberontak yang sedang mendobrak pintu gerbang itupun segera minggir berhamburan sambil meletakkan balok kayu mereka. Kini Ji Tay-hou berdiri belasan langkah dari pintu gerbang desa sambil memutar-mutar rantainya yang berujung "semangka" itu, tanpa peduli panah-panah atau lebing-lembing musuh semuanya tersapu oleh putaran rantainya. Terdengar suara menderu kencang ketika bandul besi besar itu diputar, menandakan tenaga Ji Tay-hou yang luar biasa. Kecepatannyapun luar biasa sehingga bandul itu hanya berwujud lingkaran hijau-kuning.
Setelah sesaat memutar bandulnya, tiba-tiba Ji Tay-hou membentak keras sambil melangkahkan kakinya selangkah dengan kuda-kuda Yu-cian-ma, lalau bandulnyapun meluncur deras menghajar pintu gerbang itu. Terdengar suara berderak patahnya palang pintu. Dan dengan sekali hajaran lagi, palang pintupun patah dan kedua pintu gerbang itu terbuka lebar.
Dengan bandul besinya yang berantai panjang itulah biasanya Ji Tay-haou mengahantam kapal-kapal di sungai Hong-ho yang hendak dirampoknya. Kalau bukan tiang-layarnya ya lambung kapalnya sehingga kapal calon korbannya akan bocor dan mudah disusul. Kini ia meninggalkan Hong-ho dan bergabung dengan Pangeran Cu Leng-ong karena ia sudah ditawari jabatan "Panglima Armada Kerajaan Beng" apabila perjuangannya berhasil kelak.
Dengan jebolnya pintu gerbang desa, laskar pemberontakpun menyerbu ke dalam desa dengan derasnya. Hujan panah dan lembing musuh tak lagi dapat membendung mereka. Say-bin-koay-to Cu Yok-tek dan Ketua Kang-llong-pang Ji Tay-hou segera pimpin laskarnya untuk menyerbu masuk ke desa.
Ketika palang pintu gerbang berderak retak tadi, prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bertahan di balik pintu itu sudah menyangka bahwa pintu gerbang sudah tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi. Maka saat itu mereka sudah mempersiapkan diri untuk menyambut membanjirnya pasukan musuh lewat pintu gerbang yang jebol itu.
Seperti sekawanan burung gereja yang sedang beristirahat, prajurit-prajurit itu menangkring berderet-deret di atap-atap rumah atau di tembok-tembok rumah yang terletak di kiri kanan jalan yang akan diserbu musuh. Begitu laskar musuh nampak, maka hujan panah dan lembingpun meghujani pasukan musuh. Namun kejutan itupun hanya sementara, sebab musuh segera mengangkat tameng-tameng mereka, lalu pertempuranpun jarak dekatpun berkobar dengan sengitnya.
Pertempuran segera menyebar ke lorong-lorong, ke segala sudut desa. Bahkan jika ada seseorang yang lari masuk ke halaman sebuah rumah karena dikejar oleh musuhnya, maka pertempuranpun terjadi di halaman-halaman rumah, lalu masuk ke rumah-rumah, dari kamar ke kamar. Di dapur, di ruangan tamu, di kebun belakang, di kandang ternak. Di mana saja, tidak ada lagi garis yang memisahkan antara orang-orang kedua belah pihak....
"Meskipun kakak beradik seayah, tapi alangkah besar bedanya antara Pangeran Cu Leng-ong dan adindanya, pangeran Cu Hin-yang. Sang adik benar-benar seorang pejuang yang prihatin, jauh dari segala kenikmatan hidup, tidak segan-segan mempertaruhkan nyawa demi perjuangannya. Sementara kakaknya sudah tenggelam dalam segala kenikmatan dunia justru pada langkah pertama dari perjuangan yang masih panjang ini. Kelakuannya tidak mirip seorang pejuang yang tengah memperjuangkan cita-citanya, tapi lebih mirip seorang yang sudah berhasil menduduki tahta kekaisaran. Ya, Pangeran Cu Leng-ong sudah bersikap seperti seorang Kaisar pada saat perjuangan kami baru saja dimulai."
Setitik ketidak-puasan muncul di hati Li Tiang-hong terhadap kepemimpinan Pangeran Cu Leng-ong. Ditambah lagi dengan setitik keragu-raguan, bisakah perjuangan kami berhasil kalau dipimpin seorang pemimpin yang sangat mengutamakan dunia dan kurang setia-kawan dengan penderitaan anak-buahnya itu?
Tapi sebagai seorang prajurit yang baik dia harus menjalankan perintah atasannya, maka ia memberi hormat dengan berlutut kepada bendera besar Jit-goat-ki yang ada di ruangan itu dan kemudian memutar tubuh hendak melangkah keluar ruangan. Sebelum kakinya mencapai ambang pintu, terdengar seseorang memanggilnya,
"Li Ciangkun...!"
Waktu ia menoleh, nampaklah Pangeran Cu Hin-yang keluar dari ruangan sebelah dalam keadaan lengkap dengan pakaian perangnya, dengan pedang di pinggangnya dan sikap yang tegap tanpa kelihatan mengantuk, meskipun saat menjelang dini hari itu adalah saat enak-enaknya orang tidur. "Ada apa, Pangeran?"
Sahut pangeran Cu Hin-yang, "Aku sudah mendengar semuanya dari balik pintu. Sekarang Ciangkun akan ke mana?"
"Lebih dulu akan menjumpai Kong-sun Ciangkun di desa selatan dan Cu Yok...eh, maksudku..Pangeran Cu yok-tek di desa utara, untuk menyampaikan perubahan rencana. Hanya sedikit perubahan tapi harus mereka ketahui."
Kata Pangeran Cu Hin-yang, "Biar kita bagi-bagi tugas. Li Ciangkun ke selatan, aku ke utara."
"Jangan, pangeran. Ini pekerjaan berbahaya, sebab kita melalui jalan yang sepi yang mungkin akan dihadang oleh orang-orangnya Pakkiong Liong. Dan lagi ini adalah tugasku."
"Kali ini anggap saja aku sebagai perwira bawahan Ciangkun, dan aku membantu mempercepat pekerjaan Ciangkun daripada Ciangkun hilir mudik ke selatan dan ke utara bolak-balik. Tentang bahaya, kita memang sedang berada di medan perang, jadi bahaya memang ada di mana-mana. Di jalan-jalan yang sepi atau di tempat tidur sama saja bahayanya."
Sekali lagi Li Tiang-hong melihat nyata benar perbedaan antara kedua Pangeran kakak beradik itu. Cu Leng-ong yang lebih suka tidur mendengkur diapit dua perempuan cantik, dan menyerahkan pekerajaannya begitu saja kepada bawahannya dengan cara "borongan", pokoknya tahu beres. Dan Pangeran Cu Hin-yang yang di pagi buta yang dingin itu rela menempuh bahaya demi memperingan pekerajaan anak buahnya.
Maka rasa hormat Li Tiang-hong kepada Pangeran itu semakin tebal penghormatan dari beberapa laskar yang menjaga gedung itu siang malam. Ketika hendak berpisah, Li Tiang-hong masih berpesan, "Berhati-hatilah, pangeran. Meskipun dari desa ini ke desa kedudukan Cu Yok-tek adalah wilayah pengaruh kita, namun bukan mustahil Pakkiong Liong sudah menyusupkan orang-orangnya. bawalah pengawal secukupnya, pangeran adalah biji mata kiri dari seluruh gerakan perjuangan ini."
"Baik, akan kubawa duapuluh pengawal ."
Tiba-tiba dari samping gedung yang gelap itu terdengar suara menyahut, "Biar aku pergi bersama Pangeran." Lalu muncullah Giok-seng Tojin.
Pangeran Cu Hin-yang gembira melihat paman gurunya itu bersedia pergi bersamanya, tanpa prasangka apapun ia menjawab, "Terima kasih, susiok. Kalau susiok bersamaku, perjalananku tentu aman. Selamat berpisah, Li Ciangkun."
Maka pada dini hari itupun orang-orang berkuda keluar dari desa yang menjadi "ibukota Kerajaan Beng" itu. Li Tiang-hong serta Pangeran Cu Hin-yang, dengan pengawalnya masing-masing pergi ke arah yang berbeda-beda.
Langit yang biru gelap itupun warnanya. semakin muda, semakin cerah, bahkan di kaki langit sebelah timur sudah muncul warna merah keemas-emasan yang cemerlang. Hari yang indah. Tapi tidak indah buat kedua pasukan yang berhadap-hadapan di sebelah barat kota Tay-tong itu. Datangnya pagi sama dengan datangnya perang, dan senjata-senjata harus diasah tajam untuk membantai sesama manusia yang berbeda pendiriannya.
Di pesanggrahannya, Pakkiong Liong telah membuat persiapan-persiapan. Sejak dini hari tadi sebagian dari pasukannya telah meninggalkan pesanggrahan dan mengalir masuk ke desa yang baru diduduki itu. Sebanyak 3 ribu prajurit dibawah pimpinan Han Yong-kim dan Le Tong-bun memasuki desa itu, bergabung dengan seribu limaratus teman mereka yang sudah menduduki desa itu sebelumnya.
Dengan demikian, kini Hui-liong-kun terbagi dua, tepat separuh-separuh, separuh di pesanggrahan dan separuh lagi di desa yang telah diduduki. Pakkiong Liong sendiri tetap di pesanggrahan bersama empat perwira andalannya, Tokko Seng, Ko Lung-to, Tamtai Hok dan Wanyen Hui serta separuh pasukannya. Ia punya rencana tersendiri yang belum dikeluarkan Kepada perwira-perwiranya.
Ketika fajar menyingsing, dari dalam kota Tay-tong keluarlah seribu limaratus prajurit dari kota Tay-tong sendiri, yang dipimpin langsung oleh Kwe Sin-liong si panglima Tay-tong, setelah pimpinan dalam kota diserahkan kepada wakilnya yang bernama Lo Tam-hi-ong. Kwe Sin-liong langsung saja memimpin pasukannya untuk menuju ke pesanggrahan Hui-liong-kun.
Panglima Tay-tong itu membawa dua orang perwira kepercayaannya yang cukup ahli dalam ilmu perang maupun jago dalam ilmu silat. Tapi kedua perwira andalan itu memiliki penampilan yang berlawanan satu sama lain. Yang satu bertubuh raksasa dan berotot tegap, bermuka merah dan bermata bundar besar seperti buah jeruk. Namanya Hoa Wi-jong dan berjulukan Im-kan-pian (si ruyung dari neraka).
Kalau anak kecil melihat, tampang Hoa Wi-jong ini mungkin bisa langsung menangis dan malamnya demam. Tapi rekan Wi-jong satunya justru bertubuh pendek kerdil, mukanya mirip monyet dan matanya selalu berkedip-kedip dan tangannya mengempit sebatang toya besi yang ukurannya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Namanya Leng Bun dan berjulukan Say-it-hou (seperti It-hou). Yang dimaksud It-hou adalah seorang tokoh sejarah jaman dinasti Tong dulu, Toh It-hou, yang bertubuh kerdil dan juga seorang ahli memainkan toya.
Anak kecil yang menangis ketakutanpun jika melihat tampang Leng Bun pasti akan berubah menjadi gembira dan tertawa terpingkal-pingkal seperti melihat seekor monyet yang lucu. Namun sebenarnya Leng Bun ini lebih berbahaya di medan perang dibandingkan Hoa Wi-jong yang seperti bukit.
Pakkiong Liong menyambut kedatangan Kwe Sin-liong di depan pesanggrahannya didampingi oleh perwira-perwiranya. Begitu keduanya sudah berhadapan, Kwe Sin-liong langsung saja memegang lengan Pakkiong Liong dan mengguncang-guncargkannya dengan sikap akrab. Katanya,
"Hebat, saudara Pakkiong! Aku benar-benar sudah menyaksikan sendiri, kehebatan Hui-liong-kun. Tadi pagi-pagi buta aku hampir tidak percaya ketika mendengar bahwa kalian sudah merebut satu desa dalam waktu semalam dengan mudahnya, sebab aku memperhitungkan bahwa kalian baru akan bergerak pagi ini, tapi kalian telah membuat kejutan yang sulit dipercaya. Cu Leng-ong itu-benar-benar bernasib sial kenapa ia dilahirkan satu jaman dengan Pakkiong Liong?"
Demikianlah, karena kagum kepada Pakkiong Liong maka Kwe Sin-liong jadi berbicara menyerocos seperti perempuan ceriwis. Paikkiong Liong pun tersenyum dan menjawab, "Terima kasih atas pujianmu, Kwe Ciangkun. Semuanya hanyalah berdasar kepada satu hal pokok, yaitu bergeraklah di luar perhitungan!"
Bagi Kwe Sin-liong, teori sederhana yang diucapkan Pakkiong Liong itu memang gampang diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Memang untuk mencapai kemenangan harus bergerak di luar perhitungan musuh, Panglima yang paling bodohpun akan tahu hal itu, tapi seperti apa yang diperbuat prajurit-prajurit Hui-liong-kun semalam adalah bukan hal gampang jika prajurit-prajurit itu tidak memiliki daya tahan jasmani yang tinggi. Pasukan lain pasti masih kelelahan setelah siangnya berjalan jauh, dan malamnya tahu-tahu sudah harus bertempur.
"Prajurit-prajuritku sendiri, untuk memulihkan tenaga paling tidak butuh semalam, jika habis melakukan perjalanan sejauh itu," demikian Kwe Sin-liong membatin dalam hati.
Prajurit-prajurit dari Tay-tong segera ditempatkan di pesanggarahan yang memang sudah kosong separuh itu. Pakkiong Liong merasa lega dengan bantuan itu. Meskipun ia yakin pasukan Tay-tong itu tidak sebaik pasukannya, tapi pasti sanggup mempengaruhi medan pula, paling tidak pasti lebih baik dari pasukan Pangeran Cu Leng-ong yang campur-aduk dari berbagai golongan itu.
Sementara itu, di desa yang semalam berhasil direbut oleh Ha To-ji dan pasukannya, kini penuh dengan prajurit-prajurit Mancu berseragam hitam dan bertopi bulu hitam pula. Prajurit-prajurit yang rata-rata bertubuh tegap-tegap karena latihan keras hampir tiap hari selama bertahun-tahun itu, memberi rasa aman kepada penduduk desa itu. Sikap mereka lebih baik dari pada orang-orangnya Pangeran Cu Leng-ong.
Ha To-ji yang bertindak sebagai pimpinan tertinggi atas rekan-rekan perwira lainnya, segera mengatur penjagaan. Benteng di seputar desa yang hanya terbuat dari batu dan tanah liat, yang dibuat oleh laskar pemberontak itu, kini justru dimanfaatkan oleh Ha To-ji sebagai sarana pertahanan yang baik. Apalagi pintu gerbang desa dilengkapi pula dengan palang di bagian dalam yang amat kuat dan di balik dinding itu pula tersedia ribuan lembing dan anak panah, batu-batu yang diikat dengan tali supaya bisa dilempar jauh dan juga pelenting-pelenting bambu atau ketapel-ketapel raksasa yang bisa melemparkan batu-batu sebesar kepala kerbau, semuanya tinggalan laskar pemberontak.
"Kita patut berterima kasih kepada laskar Cu Leng-ong, peninggalan mereka terhadap kita," kata Yong-kim sambil tertawa ketika melihat alat-alat serangan jarak jauh itu.
"Ya, lembing ini seharusnya menancap ditengkukmu," Tong Lam-hou bergurau sambil menimang-nimang sebuah lembing yang amat sederhana buatannya. Hanya sebatang bambu yang tidak sampai sedepa panjangnya dan ujungnya adalah besi yang runcing. Namun lembing itu agaknya cukup seimbang dalam luncurannya dan dengan demikian akan mudah dibidikkan.
"Aku punya firasat, pagi ini laskar pemberontak akan melakukan sesuatu," kata Ha To-ji kepada rekan-rekannya. "Mungkin mereka akan merebut kembali desa ini sebagai suatu cara untuk memulihkan semangat pasukan mereka yang merosot karena kekalahan semalam. Jadi kita harus selalu siap."
Orang mongol itu sejenak berhenti lalu melanjutkan, "Dengan pasukan kita di desa ini yang jumlahnya jauh lebih kecil dari laskar pemberontak kita harus membagi tenaga sebaik-baiknya, jangan sampai kita kehabisan napas sebelum pertempuran berakhir. Saudara Han Yong-kim dan Hu Lan-to, kalian bertanggung jawab untuk pengawasan sekeliling dinding desa. Tempatkan prajurit-prajurit kita secukupnya di balik dinding-dinding desa yang meskipun kurang memadai tetapi akan kita manfaatkan sebaik-baiknya. Sebagian besar pasukan harus berisltirahat sebaik-baiknya namun tidak boleh lengah, tetap dalam kelompoknya masing-masing agar setiap saat lebih mudah dikerahkan."
Han Yong-kim dan Hu Lan-to segera menjalankan tugasnya. Dinding desa ternyata tidak panjang, sehingga ketika diatur tiap langkah ada satu prajurit, maka untuk satu lingkaran penuh dari dinding desa itu hanya membutuhkan tidak lebih, dari tujuhratus prajurit. Sisanya diharuskan teristirahat, sebab mereka akan menjadi kekuatan pemukul-balik apabila musuh sudah dipukul mundur.
"Kalau musuh tidak menyerang, kitalah yang akan menyerang. Kalau musuh menggempur dan kemudian berhasil kita pukul mundur, kita akan mengejar, bukan untuk mengalahkannya langsung tetapi sekedar membuat semangat mereka makin turun. Untuk mengalahkan mereka secara tuntas agaknya dibutuhkan beberapa hari lagi," demikian perhitungan Ha To-ji.
Ternyata perasaan Ha To-ji cukup tajam. Begitu matahari terbit, maka dari kejauhan di arah barat tiba-tiba terlihat debu mengepul tinggi, terdengar" pula sorak-sorai membahana dan ringkik kuda bercampur-aduk. Lalu terlihat bendera Jit-goat-ki yang berkibar kibar di tengah-tengah laskar mereka dikelilingi ribuan ujung senjata yang mengkilap.
Para prajurit Hui-liong-kun di dalam desa menjadi tegang, namun Ha To-ji dengan tenang, memberi perintah-perintah, "Tenangkan penduduk. Yang bertugas di balik dinding desa harap segera menempatkan diri, lainnya beristirahat tapi tetap siap, sebab jika tiba saatnya kitalah yang akan membuka pintu gerbang dan menyerbu keluar."
Sungguh aneh bahwa di saat musuh datang menggempur seperti itu malahan disuruh beristirahat, namun para prajurit-prajurit itu menurut saja. Mereka tidak tahu rencana apa yang ada dalam otak Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya, namun mereka percaya, sebab selama ini rencana Pakkiong Liong yang kedengaran aneh-aneh itu selalu berhasil dengan gemilang.
Lalu Ha To-ji bersama rekan-rekan perwiranya naik kedinding yang tingginya hampir dua kali orang biasa itu, dan dengan menggunakan teropong Ha To-ji mencoba melihat siapa saja yang memimpin pasukan musuh yang masih agak jauh itu. Dilihatnya seorang bertubuh tegap dan bermuka berkuda paling depan dari laskarnya yang berjalan Kaki, lalu seorang lelaki berwajah tampan yang berpakaian perang lengkap dengan baju tembaga dan topi besi yang berkilauan. Ha To-ji mengenal mereka sebagai bekas tawanan-tawanan yang pernah dikawalnya dari Hun-lam sampai ke Pak-khia, yaitu Li Tiang-hong dan pangeran Cu Hin-yang.
"Hah, lagi-lagi mereka!" desis Ha To-ji. Lalu diteropongnya lagi, dan masih ada lima orang yang pakaiannya dilapisi dengan kulit macan tutul, mereka berlima nampaknya garang-garang.
Di barengi sorak-sorai yang menggetarkan angkasa, laskar pemberontak yang bagaikan semut banyaknya itupun segera menyerbu ke dinding desa. Ada di antara mereka yang memanggul tangga yang panjang, sementara belasan orang mencoba menggempur pintu desa dengan balok kayu yang digotong dan kemudian disodokkan secara beramai-ramai. Orang-yang terdepan dari pasukan itu berlindung di balik perisai-perisai mereka.
Prajurit-prajurit Hui-liong-kun di atas dinding segera menyambut serbuan itu dengan lontaran panah, lembing dan bandil-bandil batu mereka. Bahkan pelanting-pelanting bambupun mulai digunakan, yang jarak lemparannya jauh sekali, jauh melebihi kekuatan lempar tangan manusia. Laskar pemberontak yang paling depan segera berjatuhan terpatuk lembing atau panah, atau terhantam batu sebesar kepada manusia yang dilontarkan dengan seutas tali itu.
Namun jumlah laskar pemberontak yang bagaikan semut keluar dari sarangnya itu tidak berkurang banyak dengan robohnya teman-teman mereka yang terkena panah, lembing atau bandil. Laskar yang di belakang terus mendesak maju dengan melangkahi tubuh teman-teman mereka yang roboh, dan tidak semua dari mereka bisa dibendung dengan senjata-senjata jarak jauh.
Bahkan pemanah-pemanah atau pelempar-pelempar lembing dari laskar pemberontakpun mulai beraksi sehingga prajurit-prajurit Hui-liong-kun tidak dapat lagi seenaknya berdiri di atas dinding batu itu, melainkan harus berlindung lebih baik sehing lemparan mereka-pun tidak selebat semula. Di beberapa bagian, laskar pemberontak dengan berlindung perisai sudah mulai mendekati dinding desa untuk memasang tangga. Setiap kali prajurit Hui-liong-kun berusaha mendorong jatuh tangga itu, namun setiap kali pula laskar pemberontak tanpa jera memasangnya kembali.
Sementara itu, Li Tiang-hong sebagai pemimpin di pihak pemberontak dalam serangan itu, terus menerus memberi semangat kepada anak buahnya. Dalam hal ilmu silat, bekas Panglima Beng itu biasa-biasa saja, tetapi dalam hal ketrampilan ketentaraan ia cukup dapat diandalkan. Ia mengambil busur dan anak panahnya, lalu memajukan kudanya sambil melepaskan panah-panahnya.
Maka beberapa orang prajurit Hui-liong-kun-pun terjungkal jatuh dari atas dinding dengan dada "terhias” anak panah. Laskar pemberontak bersorak-sorai melihat kelihaian pemimpin mereka itu, dan kemudian Pangeran Co Hin-yang juga melakukan hal yang sama, sehingga sorakan di pihak pasukan pemberontak semakin menggemuruh. Rangsakan merekapun semakin hebat.
Namun para perwira Hui-liong-kun juga tidak membiarkan anak buah mereka dibantai secara semena-mena. Terutama Tong Lam-hou yang hatinya menjadi panas ketika melihat ulah Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang itu. Kepada seorang prajurit yang ada di sampingnya, Tong Lam-hou memerintah, "Ambil anak panah sebanyak-banyaknya dari dalam desa, dan letakkan di sampingku. Akan kuhabiskan keparat-keparat pemberontak ini."
"Baik, congpeng," sahut prajurit yang diperintah itu.
Setelah panah-panah itu tersedia, maka Tong Lam-hou pun berdiri tegak di atas dinding, tidak berlindung seperti lain-lainnya. Dan dengan gencar mulai dilepaskannya panah-panahnya seolah-olah tanpa membidik sekejappun. Namun panah-panah yang dilepaskan oleh murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu bagaikan punya mata di ujungnya dan dapat memilih sasarannya sendiri, sekejap saja belasan orang laskar musuh terjungkal mampus dengan ulu hati tertembus panah.
Sebaliknya jika ada musuh yang memanahnya atau melemparnya dengan lembing, maka dengan mudah Tong Lam-hou mengelakkannya dengan loncatan kecil atau menangkisnya dengan busurnya, lalu kembali ia membalas. Melihat ketangkasan Tong Lam-hou itu, kini ganti prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bersorak-sorai, menenggelamkan sorak-sorai kaum pemberontak. Kemudian beberapa perwira juga melepaskan panah-panahnya.
Tapi Ha To-ji dan Hu Lan-to, dua orang perwira berdarah Mongol yang bertenaga raksasa itu, tidak menggunakan panah melainkan bandil, yaitu batu-batu sebesar kepala orang dewasa yang diikat dengan tali-tali sedepa panjangnya. Dengan memegang ujung tali, mereka putar bandil-bandil itu dengan kencang kemudian dilemparkan ke pasukan musuh. Dengan luncurannya yang hebat, siapa yang terkena lemparan mereka, akan roboh dengan kepala retak atau muntah darah.
Sementara itu di tengah-tenagah pasukan pemberontak, Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong terus memberi semangat agar laskarnya tidak gentar. Namun setiap kali anak panah Tong lam-hou berdesing dan menjemput selembar nyawa, maka laskar pemberontak agak terpengaruh juga. Panah Tong Lam-hou bahkan tidak tertahan oleh perisai dari kayu tebal maupun baju tembaga berbentuk sisik ikan yang dipakai oleh para perwira pemberontak.
Seorang prajurit mengangkat perisainya ketika panah Tong Lam-hou menyambarnya, namun ia menjerit kesakitan karena panah itu menembus perisainya dan bahkan juga tangannya yang memegang prisai. Tong Lam-hou melepaskan panah-panahnya dengan lambaran tenaga dalamnya.
"Gila! Bangsat itu harus segera dihentikan ulahnya!" geram Li Tiang-hong sambil mengarahkan panahnya ke arah Tong Lam-hou yang berdiri perkasa tanpa perlindungan di atas dinding desa itu. Namun semua panahnya dapat ditangkis dengan mudah oleh Tong Lam-hou.
Giok-seng Tojin yang selalu mengawal Pangeran Cu Hin-yang itu berada pula di ajang perang itu, ketika melihat ketangkasan Tong Lam-hou maka iapun bertanya, "Siapa dia?"
Sahut Pangeran Cu Hin-yang, "Susiok, itulah Tong Lam-hou yang sering disebut Harimau Selatan, begundal Pak-kiong Liong yang paling tangguh."
Giok-seng Tojin gadungan itu terkesiap. Jadi perwira muda itulah yang menurut perintah Te-liong Hingcu harus dibunuh olehnya? Memang gagah perkasa. Pantas Te-liong Hiangcu memberi perintah yang bahwa Tong Lam-hou harus dihadapi bertiga bersama dengan Say-ya-jat Tong King-bun dan Hwe-tan Seng Cu-bok, dua orang bekas Tongcu Hwe-liong-pang pengikut Te-liang Hiangcu itu. Kini ia melihatnya sendiri, dan timbul niat Giok-seng Tojin untuk mengujinya.
"Pangeran, biar aku coba melawannya dalam adu panah", kata imam gadungan itu.
"Susiok bisa memanah juga?" tanya pangeran heran.
Giok-seng Tojin hanya tertawa pendek, dengan pemusatan pikiran dan bahkan penyaluran tenaga dalamnya, la mulai merentang busurnya, dan kemudian anak panahnyapun terlompat bagaikan petir. Lurus ke dada musuh.
Tong Lam-hou sendiri terkejut ketika ada sebatang panah yang meluncur jauh lebih deras dari panah-panah lainnya. Dan ketika ditangkisnya, maka ia merasa tangannya tergetar dan busur yang digunakannya untuk menangkis itu pun retak kayunya. Tong Lam-hou segera tahu bahwa pemanahnya kali ini bukan orang sembarangan, dan ketika ia melihat dengan cermat, ia tahu pemanahnya adalah seorang imam berjubah kuning yang berkuda di dekat Pangeran Cu Hin-yang di tengah-tengah laskar pemberontak sana.
"Oh, seorang imam juga bisa main panah?" geram Tong Lam-hou, timbul niatnya untuk memberi balasan kepada imam itu. Diambilnya sebuah busur yang belum retak, lalu dipasangnya anak panahnya dan diincarnya baik-baik imam itu sambil menyalurkan tenaga dalamnya ke batang panah itu. Lalu busur itu menjepret dan panahnya meluncur jauh lebih deras dari panah Giok-seng Tojin tadi.
Giok-seng Tojin terkejut, panah yang menyambarnya itu mengeluarkan suara mendengung keras. Cepat-cepat ia menarik keluar pedang yang tergantung di pinggangnya untuk menangkis, dan ketika pedangnya berbenturan dengan panah, maka yang dirasakannya seolah bukan cuma menangkis sebatang panah yang kecil dan ringan, tetapi seakan-akan sebatang balok kayu raksasa yang dilemparkan seorang raksasa yang sedang mengamuk. Giok-seng Tojin bukan cuma tergetar tangannya, namun bahkan terpental jatuh dari kudanya.
Tong Lam-hou tertawa dingin melihat hasil bidikannya itu. Tapi ia masih penasaran, dipasangnya lagi sebatang anak panah dan diincarnya bendera Jit-goat-ki yang melambai-lambai menimbulkan kebencian itu. Panah meluncur deras dan menghantam tangkai bendera dan langsung mematahkannya. Bendera yang diagung-agungkan di jaman dinasti Beng itupun roboh ke tanah, bercampur debu dan terinjak-injak.
Tong Lam-hou masih belum puas, Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong yang dianggapnya bertanggung-jawab atas kematian orang-orang Jit-siong-tin itu-pun harus mampus. Namun ia tidak ingin membunuh langsung, ingin ditakut-takutinya mereka lebih dulu. Dua kali berturut-turut panahnya berdesing, dan topi besi yang dipakai oleh Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong itupun terpental pecah dari kepala pemiliknya masing-masing.
"Gila!" teriak Li Tiang-hong dengan gugup. "Pangeran, bangsat kecil itu mulai mengincar kita! Lekas menjauh sejauh-jauhnya dari jangkauan panahnya!"
Sementara Pangeran Cu Hin-yang bergerak mundur disertai oleh Li Tiang-hong dan Giok-seng Tojin yang wajah dan pakaiannya penuh debu itu, pengawal pengawal Pangeran yang siap mengorbankan nyawa demi keselamatan Pangeran, segera memajukan kudanya sambil menghujankan panah kepada Tong Lam-hou. Agar perwira kerajaan itu tidak sempat memanah Sang Pangeran. Akibatnya Pangeran sendiri memang selamat, namun pengawal-pengawalnya itulah yang menjadi sasaran kemarahan Tong Lam-hou. Satu persatu mereka bertumbangan ke bumi karena menjadi korban panah Tong Lam-hou.
Namun keperkasaan Tong Lam-hou di satu bagian dari pertempuran itu tidak banyak mempengaruhi bagian-bagian pertempuran lainnya. Di sekelilingi dinding desa, prajurit Hui-liong-kun tetap harus bekerja keras membendung musuh yang jumlahnya berkali lipat dari mereka, musuh yang bagaikan kerasukan setan terus saja menyerbu dengan melangkahi mayat-mayat teman-teman mereka yang gugur.
Dan di pihak prajurit-prajurit Hui-liong-kun sendiri tak terhindar jatuhnya korban karena panah atau lembing musuh. Ha To-ji terpaksa memerintahkan pasukan yang seharusnya beristirahat untuk tenaga pukul-balik itu naik ke dinding untuk menggantikan teman-teman yang gugur atau luka. Sementara para perwira sendiri bukan cuma berteriak-teriak memerintah prajuritnya, namun juga ikut memeras darah dan keringat untuk mempertahankan dinding desa.
Makin tinggi matahari, makin panas lah pertempuran untuk merebut desa itu Kedua pihak bertarung dengan gigihnya. Secara perseorangan prajurit-prajurit Hui-liong-kun lebih unggul, namun jumlah lawan yang amat banyak bagaikan semut itu cukup merepotkan juga. Sementara kedua belah pihak terus saja kehilangan teman-teman mereka, dan itu membuat hati semakin panas.
Di satu bagian dari dinding batu yang melingkari desa itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah tidak sempat memanah atau melemparkan lembing lagi. Laskar musuh sudah berhasil meloncat ke atas dinding dan sekali seorang berhasil meloncat maka akan semakin banyaklah yang melakukannya, sebab yang lain-lainnya akan lebih mudah dengan perlindungan teman-temannya yang sudah ada di atas dinding.
Bobolnya pertahanan prajurit Hui-liong-kun di tempat itu diawali dengan munculnya tiga orang yang pakaiannya dilapisi dengan selembar kulit macan tutul, dan rata-rata bermuka garang. Ketiga-tiganya bersenjata golok lebar yang diputar kencang untuk menghalau semua panah, lembing atau bandil. yang tertuju ke arah mereka, dan berhasil mendekati dinding.
Tanpa membutuhkan tangga segala, ketiganya dengan mudah meloncat ke atas dan memaksa prajurit-prajurit Hui-liong-kun di bagian dinding itu untuk mengganti busur rnereka dengan pedang atau tombak. Ternyata ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu sangat garang. Tabasan-tabasan golok mereka begitu cepat dan mantap sehingga beberapa prajurit menjadi korban.
Namun prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah diajari cara bagaimana melawan orang-orang berilmu tinggi seperti itu, yaitu dengan membentuk semacam barisan kecil melingkar yang tiap lingkarannya terdiri tujuh sampai sepuluh prajurit yang menyerang lawan-lawan berilmu tinggi itu secara berganti-ganti dan teratur, sehingga ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu-pun tidak dapat malang melintang seenaknya. Tapi mereka memang hebat, dalam keadaan terkepung maka golok-golok mereka masih saja sanggup mengambil korban.
"Kebocoran" pertahanan Hui-liong-kun di satu tempat itu ibarat sebuah pematang dari lumpur untuk membendung air. Bocor sedikit saja maka air akan semakin deras mengalir dan robeknya pematang akan semakin lebar. Begitu pula yang terjadi di situ. Amukan tiga orang berpakaian kulit macan tutul di atas dinding itu memberi kesempatan kepada laskar pemberontak untuk memasang tangga-tangga mereka ke dinding dan merekapun semakin banyak yang memanjat ke atas dinding dan bahkan meloncat ke dalam.
Tapi di bagian dalam itupun mereka disambut oleh prajurit-prajurit Hui-liong-kun, sehingga pertempuran pun berkobar di dalam desa, terutama di dekat dinding desa. Yang disebut "tangga" itu hanyalah sebuah batang kayu yang panjang dan di sepanjang batangnya diberi takik-takik, untuk injakan kaki. Dan makin banyak benda-benda semacam itu disandarkan ke dinding luar untuk "meng-alirkan'' lebih banyak lagi laskar musuh ke atas dinding dan ke bagian da-lama dinding.
Perwira Hui-liong-kun yang paling dekat letaknya dengan tempat "kebocoran" itu adalah Na Hong dan Han Yong-kim. Tentu saja mereka tidak bisa membiarkan hal itu berlarut-larut. Han Yong-kim segera meletakkan busurnya dan menghunus pedang samurainya yang tergendong melintang di punggung itu.
Kedatangan si orang Korea ke gelanggang itu tadinya kurang diperhatikan oleh ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu. Dalam Hui-liong-kun, memang sulit dibedakan antara pakaian seorang prajurit dengan seorang perwira. Perbedaannya hanyalah pada topi seorang perwira ada hiasan benang merah dan sehelai bulu burung merak yang rebah ke belakang, selain sebuah hiasan kecil berbentuk tombak di tengah-tengah ubun-ubun topi.
Karena itu barulah ketika salah seorang dari ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu merasa tergetar tangannya ketika gploknya menangkis pedang Han Yong-kim, mereka terkejut. Orang yang membenturkan goloknya tadi segera meloncat ke hadapan Han Yong-kim dan membentak. "Siapa kau?!"
"Han Yong-kim, Jian-hu-thio dari pasukan ketiga Hui-liong-kun!" sahut Han Yong-kim sambil memperkenalkan kedudukannya sekalian.
Orang berkulit macan tutul itu tertawa congkak, "Jadi kau seorang perwira? Bagus, golokku akan mendapat kehormatan besar untuk memenggal kepala seorang perwira dari sebuah pasukan yang terkenal. Bersiaplah!"
"Kau sendiri siapa?" tanya Han Yong-kim.
Dengan sikap tetap congkak orang itu memperkenalkan diri selengkap-lengkapnya pula, "Aku pemimpin ketiga dari Ngo-pa-hwe (Perkumpulan Lima Harimau Tutul), Kong Hok-bun yang bergelar Hui-pa (Si Macan Tutul Terbang). Perwira yang malang, menangislah untuk nasibmu karena bertemu denganku. Aku juga calon gubernur daerah Shoa-say jika kelak bangsa Manchu sudah terusir dan Kerajaan Beng telah berdiri kembali."
"Astaga..." Han Yonng-kim tertawa geli mendengar penjelasan terakhir itu. "Jadi Pangeran Cu Leng-ong berhasil mengumpulkan sekian banyak anakbuah hanya dengan menjual mimpi macam itu?"
"Bangsat Manchu, kusumpal mulutmu dengan golokku ini!" teriak Hui-pai Kong Hok-bun dengan marah. Dan golok-nyapun berkelebat dengan gerakan Lian-cu-sam-to (Bacokan Golok Tiga Kali Beruntun). Goloknya berkelebat cepat ke arah kepala, pinggang dan kaki.
Namun semuanya dapat dielakkan oleh Han Yong-kim. Bahkan kemudian Han Yong-kim membalas dengan sabetan pedangnya secepat Kilat yang mengejutkan Kong Hok-bun, ketika orang ketiga dari Ngo-pa-bwe meloncat mundur maka sebagian dari ikat kepalanya sudah terpapas putus. Keruan saja orang she Kong itu berkeringat dingin. Sedangkan Han Yong-kim tertawa mengejek, "Hati-hati dengan kepalamu bapak gubernur"
Maka bertempurlah kedua orang itu dengan sengitnya. Sementara itu di sebelah lain Na Hong juga sudah bertarung sengit dengan orang ke empat dari Ngo-pa-hwe pang bernama Kim Hwe-jing), senjatanya juga sebuah golok lebar seperti kakak seperguruannya yang lain. Sedang Na Hong melayaninya dengan sehelai cambuk yang terbuat dari anyaman benang baja yang meledak-ledak dengan dahsyatnya. Menghadapi lawan yang berkelahi benar-benar seekor harimau gila.
Na Hong meladeninya dengan sama beringasnya. Perwiranya Pakkiong Liong yang satu ini memang dikenal sebagai orang yang berdarah panas juga, wataknya mirip dengan Tong Lam-hou atau Hu Lan-to. Tinggal orang ke lima Ngo-pa-hwe Mo Kian-keng yang belum mendapat lawan. Namun tak lama kemudian iapun tidak bisa malang-melintang seenaknya lagi, ketika dua orang perwira berpangkat pek-hu-thio (perwira yang menguasai seratus orang prajurit, kira-kira bawahannya Jian-hu-thio atau "pemimpin seribu prajurit") telah menghadangnya dan melibatkan dalam suatu pertempuran sengit.
Dua perwira pek-hu-thio yang bersenjata sam-ciat-kun (ruyung tiga tekukan) dua pedang itu ternyata cukup tangkas bekerja-sama untuk mengimbangi kegarangan si "macan tutul" paling bungsu dari Ngo-pa-hwe itu.
Sementara itu Le Tong-bun dengan memimpin sejumlah prajurit mencoba "menambal kebocoran" pertahanan Hui-liong-kun di bagian dinding itu. Ia dan kelompoknya berusaha untuk menguasai dinding kembali, tidak peduli bahwa sebagian laskar musuh sudah berada di bagian dalam dinding. Musuh yang terlanjur di dalam biarlah diselesaikan oleh pasukan Hui-liong-kun yang di dalam pula, dan itu bukan pekerjaan berat.
Tetapi sesungguhnya bobolnya pertahanan Hui-liong-kun itu tidak hanya di satu tempat saja, tetapi juga di tempat lainnya. Si saudara tertua dari Ngo-pa-heng-te (Lima Bersaudara Macan Tutul itu, Ong Goan-to yang berjulukan Tiat-pi-pa ( Si Macan Tutul Berlengan Besi) dan orang keduanya Bu Siang-kok yang berjulukan Toat-hun-pa ( Si Macan Tutul Perenggut Nyawa) itu juga telah berhasil mebobol pertahanan Hui-liong--kun di sisi sebelah lain dari ketiga saudara mereka yang lain.
Meskipun kemudian mereka sendiri tertahan Hu Lan-to yang dibantu beberapa perwira rendahan, namuntoh laskar musuh sudah terlanjur mendapat "pintu" untuk mengalir dalam desa. Secara keseluruhan memang pasukan Hui-liong-kun harus bekerja keras. Baik yang di atas dinding maupun yang di dalam desa, sementara perwira-perwira mereka sudah dibuat sibuk oleh orang-orang berilmu tinggi di pihak laskar pemberontak.
Tong Lam-hou dengan kepandaiannya yang tinggi memang sanggup membendung musuh di satu bagian, tapi hanya di satu bagian saja, sebab tenaga seseorang yang bagaimanapun tinggi ilmunya tentu tidak sanggup untuk mempengaruhi medan yang seluas itu. Maka semangat laskar pemberontak semakin meningkat setelah melihat teman-teman mereka sebagian besar berhasil naik ke tembok dan bahkan turun ke bagian dalam tembok.
Desa yang tadi malam terlepas dari tangan mereka, ada harapan akan direbut kembali. Bukan itu saja, pasukan Hui-liong-kun yang menduduki desa itu agaknya akan tertumpas habis sampai orang-orang terakhir sebab mereka tidak punya jalan mundur, ibarat dilingkari oleh laskar pemberontak.
Tapi prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang berjumlah dua ribu lima ratus, jauh lebih sedikit dari laskar pemberontak yang menyerbu itu, juga berkelahi dengan amat gigih, tidak peduli mereka berguguran seorang demi seorang. Tidak percuma mereka disebut Pasukan berani Matinya Kerajaan Manchu, sebab dalam keadaan terjepit itupun setiap prajurit Hui-liong-kun memiliki tekad yang sama. Diri sendiri boleh mampus asal sudah berhasil membunuh beberapa orang musuh.
Dengan demikian kematian di pihak laskar pemberontak akan mencapai jumlah berlipat ganda dari duaribu limaratus orang prajurit yang berhati singa itu. Apalagi perwira-perwiranya seperti Ha To-ji atau Tong Lam-hou atau lain-lainnya. Andaikata mereka harus mati, mereka tentu akan membawa korban puluhan orang di pihak lawan, bukan sekedar dua atau tiga orang.
Si Harimau Selatan dan Si Beruang Gurun Pasir Mongolia itu benar-benar berkelahi seperti sepasang malaikat maut yang menyebar malapetaka di bumi ini. Bagian dinding desa yang mereka pertahankan adalah bagian yang paling banyak meminta korban laskar pemberontak dibandingkan bagian-bagian dinding desa lainnya.
Di pihak laskar pemberontak, ada tiga pasang mata yang tadi terus mengincar Tong lam-hou. Tiga pasang mata milik Giok-seng Tojin palsu yang nama aslinya adalah Han Kiam-to yang berjuluk Sat-jiu-hong-kui (Setan Gila Bertangan Ganas), dan dua orang Te-liong Hiangcu lainnya yang menyusup dalam laskar Pangeran Cu Leng-ong itu. Merekalah Tong King-bun dan Seng Cu-bok.
Ketiga-tiganya mendapat perintah tegas dari Te-liong Hiangcu bahwa Tong Lam-hou harus dibunuh, entah dengan cara bagaimana, karena dia adaiah putera kandung Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang yang dikuatirkan akan membalas dendam, kepada Te-liong Hiangcu itu.
"Ini kesempaan kita," kata Giok-seng Tojin gadungan alias Han Kiam-to. "Memang benar ucapan saudara Tong King-bun dulu, dia memang luar biasa. Tadi Ketika aku menangkis panahnya, aku sampai terjatuh dari kuda."
Tong King-bun dan Seng Cu-bok tertawa berbareng, dan salah seorang dari mereka menjawab, "Ya, kami juga melihatnya. Sekarang saudara Han percaya bahwa kami tidak membual bukan?"
Sebenarnya wajah Han Kiam-to menjadi kemerah-merahan karena malu, tapi karena wajah aslinya itu tertutup oleh wajah palsu Giok-seng Tojin maka warna merah mukanya tidak kelihatan. Sahutnya, "mari kita kerubut dia."
Ditengah-tengah hiruk-pikuknya pertempuran, merekapun segera mendesak maju ke arah Tong Lam-hou yang masih berdiri di atas dinding desa dan mengamuk dengan panahnya itu. Jika ada laskar pemberontak yang berhasil memanjat naik, maka Tong Lam-hou menghunus pedangnya dan merobohkan mereka, lalu disarungkannya pedangnya kembali dan panah-panahnyalah yang beterbangan kembali. Kegagahannya telah membuat musuh pecah nyalinya dan lebih suka menyingkiri dia saja.
Namun Han Kiam-to, Tong King-bun dan Seng Cu-bok tidak merasa takut. Satu persatu memang mereka kalah, tapi mereka percaya bahwa dengan maju bertiga mereka akan berhasil membereskan anak Tong Wi-siang, apalagi Seng Cu-bok memiliki senjata yang disebut hwe-tan (peluru api) yang sesuai dengan julukannya sendiri. Dengan peluru-apinya itulah nanti ia berharap bisa membuat Tong Lam-hou terbakar hangus dan ia akan memperoleh pujian dari Te-liong Hiang-cu.
Han Kiam-to dan Tong King-bun bersenjata. masing-masing sebatang pedang, sedangkan Seng Cu-bok memegang sebatang golok. Ketiga-tiganya adalah tokoh golongan hitam yang sudah memiliki nama disegani sebelum Tong Lam-hou dilahirkan ke dunia ini, dan kini ketiga tokoh yang masing-masing mempunyai julukan-julukan yang seram-seram itu tidak segan-segan hendak mengeroyok seorang anak muda yang jauh lebih muda umurnya dari mereka sendiri.
Tong Lam-hou yang sibuk membendung musuh dengan panah atau pedangnya itu, tidak menyadari bahaya yang mengancam nyawanya. Sekeliling desa itu memang penuh dengan laskar pemberontak yang berjumlah berribu-ribu dan terus bergerak seperti padi ditampi, sehingga gerakan ketiga anak buah Te-liong Hiangcu itupun tidak kentara. Dan barulah Tong Lam-hou terkejut ketika sesosok tubuh melayang secepat kilat ke arahnya sambil menikamkan pedangnya.
Tak sempat menghunus pedangnya, maka Tong Lam-hou hanya menggunakan busurnya untuk menangkis sambil meloncat ke samping. Akibatnya, busur yang hanya terbuat dari kayu itu pun terpapas patah oleh pedang musuh. Ketika Tong lam-hou memperhatikan penyerangnya itu? ternyata bukan lain adalah imam yang tadi memanahnya itu.
"Bagus, imam busuk!" teriak Tong Lam-hou. "Bukannya kau berdoa dalam kuilmu untuk kedamaian umat manusia, tapi malahan berkompolot dengan kaum pemberontak untuk mengacau negara?"
Tong Lam-hou menghunus pedangnya dan hendak menyerang imam itu. Tapi kembali ia dikejutkan sebuah serangan gelap dari samping. Seseorang kembali telah meloncat ke atas tembok dan menyerangkan pedangnya dengan dahsyat. Lalu muncul seorang lagi dengan golok ditangan kanan, namun ia melemparkan sebuah benda hitam bulat sebesar kepalan tangan ke arah Tong Lam-hou.
Tong Lam-hou mengayunkan pedangnya hendak memukul jatuh benda bulat hitam itu, namun sebelum pedangnya bersentuhan dengan benda itu, tibat-iba hidungnya mecium bau belerang yang tajam, maka terkejutlah Tong Lam-hou karena ia dapat menebak benda apa yang bulat hitam itu, dan bagaimana akibatnya jika pedangnya membenturnya. Cepat-cepat ia tarik pedangnya agar tidak membentur benda itu, dan tubuhnyapun sekuat tenaga meloncat turun dari dinding, tidak diperhitungkannya bahwa loncatannya itu justru ke arah luar dinding desa. Ia jatuh ke tengah-tengah kerumunan laskar musuh!
Sementara benda bulat hitam yang dilemparkan oleh Seng Cu-bok itu bukan lain adalah sebutir hwe-tan (peluru api) yang akan meledak jika membentur benda lain secara keras. Dan karena benda itu tidak mengenai Tong Lam-hou, maka ia jatuh ke tanah dan meledak menjadi api yang berkobar bercampur dengan bau belerang yang tajam.
Sementara itu Han Kiam-to, Tong King-bun dan Seng Cu-bok juga telah meloncat turun kembali dari dinding desa untuk mengepung Tong Lam-hou. Maka dibawah dinding desa itu terjadilah pertempuran seru satu lawan tiga. Tidak ada laskar pemberontak yang berani mencampurinya, sebab mereka melihat betapa tingginya ilmu dari orang-orang yang bertempur itu.
Tong Lam-hou yang masih muda dan berdarah panas itu herkPiahi seperti seekor harimau yang sangat buas. Begitu tangkas dan kuat, membuat musuh-musuhnya harus berhati-hati agar tubuh mereka tidak robek oleh pedang yang digerakkan dengan ilmu yang tinggi itu. Ilmu pedang ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan adalah ilmu pedang yang mengutamakan kekuatan, kecepatan, di mana ujung-ujung pedang mengincar sasaran dengan telak. Ilmu pedang itu tidak sedikit pun mempedulikan unsur keindahan atau seni, sebab ia tidak untuk dipertontonkan tapi benar-benar diciptakan untuk berkelahi.
Namun ketika lawannyapun bukan anak yang baru kemarin sore belajar memegang senjata. Ketiganya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berilmu tinggi pula dan berpengalaman, berhati keji tidak tanggung-tanggung dan bahkan dalam hal kelicikan mereka jauh berada di atas Tong Lam-hou yang lugu itu. Dengan demikian Tong Lam-hou menghadapi lawan-lawan yang sangat berbahaya, yang tidak segan-segan memakai cara sekotor apapun untuk memenangkan perkelahian itu. Tong Lam-hou juga ingat bahwa Salah seorang dari mereka punya peluru-peluru api yang setiap saat dapat membahayakannya.
Ha To-ji di atas dinding terkejut sekali ketika melihat Tong Lam-hou telah terpancing keluar dinding dan dikerubut tiga orang musuh tangguh. Orang Mongol yang berjulukan si Beruang Gurun itu segera mencabut golok lengkungnya dan siap terjun untuk membantu sahabatnya itu. Tapi Tong Lam-hou telah meneriakinya,
"Jangan turun, Ha To-ji! Kau tetap pimpin seluruh pasukan sebab rekan-rekan lainnyapun sudah sibuk dengan lawan mereka masing-masing! Ketiga cecunguk berilmu rendah ini belum bisa menyentuh seujung rambutkupun meskipun mereka mengerahkan ilmu mereka!”
Han Kiam-to yang sekian lamanya ditakuti sebagai tokoh golongan hitam yang menonjol itupun marah sekali mendengar ejekan Tong Lam-hou yang sangat memandang rendah dirinya itu. Teriaknya, "Bangsat Manchu bermulut besar! Kesombonganmu patut kau tebus dengan nyawamu!"
Tong King Bun juga membentak, "Kau akan menyesali ucapanmu itu, anak Tong Wi-siang! Menyesalinya di akehrat!"
Tong Lam-hou agak heran karena lawannya itu langsung mengenalinya sebagai anak Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong pang berpuluh tahun yang lalu. Ia merasa kedua orang yang berpakaian seperti laskar biasa itu agak aneh dan mencurigakan, apalagi setelah Tong Lam-hou mengenali kembali Tong King-bun sebagai salah seorang yang memimpin pencegatan di sungai Yang-ce-kiang beberapa waktu yang lalu, sewaktu Pakkiong Liong dan pasukan kecilnya pulang dari Hun-lam dengan membawa tawanan.
Perasaan Tong Lam-hou yang tajam segera merasakan adanya suatu jaringan-jaringan rahasia yang aneh yang tersebar di mana-mana, mengincar nyawanya, dan ia ingat pula kemunculan seorang bertopeng tengkorak di rumahnya di Pak-khia yang tiba-tiba saja ingin membunuhnya dengan alasan bahwa dia adalah anak Tong Wi-siang. Dan kini, di medan perang yang jauh di sebelah barat kota Pak-khia inipun ia menjumpai tiga orang yang mengenalinya sebagai anak Tong Wi-siang dan ingin membunuhnya.
"Siapa kalian?" bentak Tong Lam-hou sambil terus bertempur.
Tong King-bun menjawab, "Kami dulu anak buah Hwe-liong Pangcu. Semalam kami mimpi di datangi Hwe-liong Pangcu dan ia minta agar anaknya dijemput dan diantarkan kepadanya supaya ia tidak kesepian di akherat..."
Tong King-bun tidak dapat melanjutkan kata-kaanya, sebab Tong Lam-hou sejak lahir belum pernah melihat ayahnya, namun ia sangat hormat dan bangga kepada ayahnya itu, maka ketika mendengar Tong King-bun mempermainkan nama ayahnya sebagai bahan gurauan, diapun marah bukan kepalang. Untung Tong King-bun tidak sendirian, di dalam bahaya ia mendapat bantuan kedua temannya.
Saat itulah Tong Lam-hou yang sudah habis kesabarannya itu memutuskan untuk mengerahkan ilmu Hian-im-ciangnya agar musuh cepat mampus. Demikianlah, diawali sebuah bentakan, udara di sekitar tubuh Tong Lam-hou sampai sejauh lima atau enam langkah tiba-tiba menjadi sangat dingin. Jauh lebih dingin dari salju yang beku. Setiap gerak tangannya maupun pedangnyapun membawa angin dingin yang jika kena telak akan sanggup membekukan darah. Bahkan Tong Lam-hou keluarkan pula ilmu tendangan yang disebut Pek-pian-lian-hoan-tui (Tendangan Beruntun Seratus Kali Pergantian).
Ketiga lawannyapun terkejut bukan kepalang ketika merasa udara di tempat itu tiba-tiba turun suhunya dengan tajam, begitu tajamnya sehingga mereka merasa seperti dari bawah sinar matahari yang hangat mendadak dicemplungkan ke sebuah sumur es di musim salju. Rasa dingin yang menusuk kulit menggigit tulang, membuat darah mereka menjadi dingin mendadak dan tidak lancar mengalirnya, dan dengan sendirinya membuat gerakan mereka jadi lambat. Di saat gerakan mereka melambat itulah maka Tong Kim-bun mencelat keluar dari arena karena kena tendangan Tong lam-hou. Masih untung tidak mampus.
Kerjasama antara ketiga orang itu sejenak menjadi kalang-kabut, Han Kiam-to dan Seng Cu-bok segera meloncat menjauhi Tong Lam-hou dengan tubuh yang menggigil karena kedinginan. Sesaat mereka harus mengerahkan tenaga dalam mereka untuk mengalirkan udara hangat ke seluruh tubuh mereka agar darah tidak terlanjur menjadi beku. Tong King-bun yang terbanting jatuh itupun cepat-cepat melompat bangun dan meniru jejak kedua temannya itu. Tapi Tong Lam-hou tidak membiarkan ketiganya lolos lagi. Dengan sengit segera dilibatnya mereka kembali dalam pertempuran yang hebat.
Seng Cu-bok mencoba membuyarkan hawa maha dingin yang melingkupi tubuh Tong Lam-hou itu dengan melempar-lemparkan beberapa buah peluru apinya ke tubuh lawan dan ternyata Tong Lam-hou menangkisnya tanpa takut-takut dengar pengerahan Han-im-ciangnya. Maka peluru peluru api Seng Cu-bok itu tidak lagi meletus dahsyat dan menyemburkan api yang berkobar-kobar, melainkan hanya mengeluarkan suara letupan lemah.
Dan kobarannyapun hanya muncul sebentar lalu sirna tertindih oleh udara maha dingin yang diatas kekuatannya. Demikianlah tiga orang anggota kelompok Kui-kiong (Istana Iblis) pimpinan Te-liong Hiangcu itu mulai merasa bahwe tugas yang dibebankan oleh majikan mereka agaknya bakal gagal terlaksana.
Pada saat yang sama, di seluruh medan perang keadaan pasukan Hui-liong-kun benar-benar telah jatuh di bawah tekanan berat. Laskar pemberontak yang terus membanjir bagaikan air bah sudah sulit dibendung lagi. Beberapa tempat pertahanan Hui-liong-kun disekeliling dinding desa sudah berhasil dibobol musuh tanpa dapat ditutup lagi, tidak peduli para perwira dan prajurit bertahan amat gigih dengan mempertaruhkan nyawa mereka.
Dan semangat laskar pemberontak bagaikan melonjak tinggi ketika dari arah selatan muncul pula sebarisan laskar pemberontak lainnya yang tenaganya nasih segar, dipimpin oleh Kongsun Hui yang didampingi oleh Kam-koan, Ketua dari Tiat-hi-pang (Serikat Ikan Besi) itu. Pertanda mereka dapat dilihat dari kibaran bendera Jit-goat-ki yang berkibar-kibar di pucuk barisan.
Begitu masuk ke kancah pertempuran, Kongsun Hui dan pasukannya langsung mendesak maju untuk membantu mempercepat bobolnya pertahanan pasukan Hui-liong-kun di dinding desa. Pertahanan Hui-liong-kun itu sendiri sebenarnya sudah robek-robek di sana-sini, dan kini dengan datangnya bala bantuan untuk musuh, maka dapat dipastikan sebentar lagi seluruh desa akan dapat direbut.
Kam Koan si ketua Tiat-hi-pang agaknya ingin mendirikan pahala di depan Pangeran Cu Leng-ong, maka iapun memacu kudanya sampai ke dekat dinding desa, dengan sepasang tombak pendeknya sudah tergenggam erat di tangannya. Begitu tiba dekat dinding, ia berteriak,
"Anggota-anggota Tiat-hi-pang, ikuti aku! Jangan kalah berjasa dengan orang-orang Ngo-pa-hwe!"
Agaknya antara kelompok-kelompok yang bergabung dalam laskar Pangeran Cu Leng-ong itupun masih juga ada persaingan, meskipun mereka telah bertempur di bawah satu bendera. Maka mendengar teriakan sang pemimpin, orang-orang Tiat-hi-pang segera mendesak maju dengan beringas dan berusaha merebut satu bagian dari dinding yang melingkari desa.
Kam Koan sendiri memimpin orang-orangnya. Di putarnya sepasang tombak pendek (siang-kek) untuk menghalau anak anak panah dan lembing yang dilontar-iontarkan oleh prajurit-prajurit Hui-liong-kun dari atas dinding. Kemudian, seperti seekor burung saja ia meloncat naik ke atas dinding, dua orang prajurit Hui-liong-kun yang tepat berada di arah lompatannya ternyata tidak sempat meletakkan dan menghunus pedang mereka. Kedua prajurit itu menjadi korban-korban pertama dari sepasang senjata Ketua Tiat-hi-pang itu.
Prajurit-prajprit lain sempat mengambil pedang atau tombak, dan mengerubut Kam Koan yang bertarung dengan hebat itu. Dengan demikian mereka tidak sempat lagi untuk memanah atau melemparkan lembing. Kesempatan itu segera digunakan oleh orang-orang Tiat-hi-pang untuk mendekati dinding, memasang tangga, dan mulai memanjat dinding dipelopori oleh orang-orang yang bernyali besar lebih dulu, meskipun yang bernyali besar itupun harus tetap melindungi kepala mereka dengan perisai.
Satu lagi titik pertahanan Hui-li-ong-kun jebol. Dan yang kemudian mengalir masuk lewat "lubang" pertahanan yang bobol itu bukan saja orang-orang Tiat-hi-pang, tetapi juga orang-orang Ngo-pa-hwe yang sudah ada di situ lebih dulu, orang-orang Jit-goat-pangnya Cu Leng-ong sendiri, atau laskar lainnya yang berpihak kepada Pangeran Cu Leng-ong.
Setiap kelompok ingin memperebutkan jasa bagi dirinya sendiri, sehingga merekapun seakan berebutan lebih dulu siapa yang berhasil menundukkan Hui-iiong-kun. Pihak Hui-liong-kun harus mengerahkan beberapa regunya ke tempat itu untuk membendung musuh.
Kam Koan sendiri adalah seorang yang terlalu kuat untuk dilawan oleh prajurit-prajurit biasa. Setiap kali beberapa orang prajurit Hui-liong-kun dengan berani mencoba menghadang Ketua Tiat-hi-pang itu, namun setiap kali pula bebeberapa prajurit terjungkal tewas dan kepunganpun tercerai-berai. Orang-orang Tiat-hi-pang setiap kali bersorak-sorak mengejek musuh apabila melihat kegagahan ketua mereka dai am menghajar musuh.
Tapi aknirnya Kam Ko-an bertemu dengan seorang, lawan yang agak seimbang, yaitu seorang perwira Hui liong-kun berpangkat pek-hu-thio yang kepandaiannya agak lumayan, bersenjata perisai di tangan kiri dan golok lengkung di tangan kanan. Meskipun perwira ini masih saja terdesak meiawan Kam Koan, namun setidak-tidaknya ia dapat memancing Kam Koan dalam suatu perkelahian satu lawan satu dan tidak membiarkannya malang-melintang sambil menyebar.
Tiba-tiba terdengar laskar pemberontak yang berada di sisi utara dinding itu bersorak-sorai membelah langiit. Ternyata bala bantuan telah datang lagi buat mereka. Kali ini dan dipimpin oleh Ketua Koay-to-bun (Perguruan Golok Cepat) Cu Yok-tek yang mengaku berdarah bangsawan itu, dan berjulukan Say-bin-koay-to (Si Golok Cepat Berwajah Singa) yang memimpin orang-orang Koay-to-bun, didampingi oleh Ketua Kang-liong-pang (Serikat Naga Sungai).
Ji Tay-hou yang dari kejauhan sudah memutar-mutar rantai dengan bandul besinya yang sebesar semangka itu. Bahkan, entah untuk bergurau atau untuk maksud lainnya, Ji Tay-hou sengaja mengecat bandul besinya itu dengan warna lurik hijau dan kuning sehingga mirip semangka betul. Hanya saja "semangka" ini dulunya adalah semangka yang paling mematikan di sepanjang suangi Hong-ho. Tak seorangpun menyukai "semangka"nya ini.
Ketika mereka tiba di sisi desa sebelah utara, dilihatnya sepasukan laskar pemberontak sedang mendobrak pintu gerbang desa, namun belum juga berhasil. Setiap kali segerombolan laskar pemberontak berlari bersama-sama sambil menggotong sebuah balok besar untuk disodokkan ke pintu gerbang.
Namun hujan panah dan lembing yang dilontarkan prajurit-prajurit Hui-liong kun membuat sebagian dari kelompok pendobrak itu berejatuhan, dan daya luncur merekapun berkurang sehingga benturan balok kayu yang mereka bawa tidak berhasil mendobrak pintu gerbang desa yang dipalang kuat di sebelah dalamnya itu.
Melihat hal itu, Ji Tay-hou segera berteriak, "Membuang-buang waktu saja! Minggir semuanya!"
Laskar pemberontak yang sedang mendobrak pintu gerbang itupun segera minggir berhamburan sambil meletakkan balok kayu mereka. Kini Ji Tay-hou berdiri belasan langkah dari pintu gerbang desa sambil memutar-mutar rantainya yang berujung "semangka" itu, tanpa peduli panah-panah atau lebing-lembing musuh semuanya tersapu oleh putaran rantainya. Terdengar suara menderu kencang ketika bandul besi besar itu diputar, menandakan tenaga Ji Tay-hou yang luar biasa. Kecepatannyapun luar biasa sehingga bandul itu hanya berwujud lingkaran hijau-kuning.
Setelah sesaat memutar bandulnya, tiba-tiba Ji Tay-hou membentak keras sambil melangkahkan kakinya selangkah dengan kuda-kuda Yu-cian-ma, lalau bandulnyapun meluncur deras menghajar pintu gerbang itu. Terdengar suara berderak patahnya palang pintu. Dan dengan sekali hajaran lagi, palang pintupun patah dan kedua pintu gerbang itu terbuka lebar.
Dengan bandul besinya yang berantai panjang itulah biasanya Ji Tay-haou mengahantam kapal-kapal di sungai Hong-ho yang hendak dirampoknya. Kalau bukan tiang-layarnya ya lambung kapalnya sehingga kapal calon korbannya akan bocor dan mudah disusul. Kini ia meninggalkan Hong-ho dan bergabung dengan Pangeran Cu Leng-ong karena ia sudah ditawari jabatan "Panglima Armada Kerajaan Beng" apabila perjuangannya berhasil kelak.
Dengan jebolnya pintu gerbang desa, laskar pemberontakpun menyerbu ke dalam desa dengan derasnya. Hujan panah dan lembing musuh tak lagi dapat membendung mereka. Say-bin-koay-to Cu Yok-tek dan Ketua Kang-llong-pang Ji Tay-hou segera pimpin laskarnya untuk menyerbu masuk ke desa.
Ketika palang pintu gerbang berderak retak tadi, prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bertahan di balik pintu itu sudah menyangka bahwa pintu gerbang sudah tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi. Maka saat itu mereka sudah mempersiapkan diri untuk menyambut membanjirnya pasukan musuh lewat pintu gerbang yang jebol itu.
Seperti sekawanan burung gereja yang sedang beristirahat, prajurit-prajurit itu menangkring berderet-deret di atap-atap rumah atau di tembok-tembok rumah yang terletak di kiri kanan jalan yang akan diserbu musuh. Begitu laskar musuh nampak, maka hujan panah dan lembingpun meghujani pasukan musuh. Namun kejutan itupun hanya sementara, sebab musuh segera mengangkat tameng-tameng mereka, lalu pertempuranpun jarak dekatpun berkobar dengan sengitnya.
Pertempuran segera menyebar ke lorong-lorong, ke segala sudut desa. Bahkan jika ada seseorang yang lari masuk ke halaman sebuah rumah karena dikejar oleh musuhnya, maka pertempuranpun terjadi di halaman-halaman rumah, lalu masuk ke rumah-rumah, dari kamar ke kamar. Di dapur, di ruangan tamu, di kebun belakang, di kandang ternak. Di mana saja, tidak ada lagi garis yang memisahkan antara orang-orang kedua belah pihak....
Selanjutnya;