Pendekar Naga dan Harimau Jilid 24
SESAAT kemudian, bandul besi besar sudah berputar kencang di ujung rantainya, sementara Ha To-ji mendekat ke arah pintu gerbang timur tanpa peduli hujan panah dan lembing, sebab panah-panah dan lembing-lembing musuh tersapu bersih oleh putaran rantainya.
Dibarengi sebuah bentakan keras, bola besi bercat hijau kuning itupun meluncur deras dan menghantam pintu gerbang desa dengan suara gemuruh. Hantaman pertama menbuat palang pintunya retak, lalu Ha To-ji memutar bola besinya sekali lagi dan menghantamkannya lagi, dan hantaman kedua benar-benar membuat pintu gerbang itu terbuka lebar-lebar.
"Bagus, Ha To-ji!" teriak Pakkiong Liong yang melihat hal itu dari dekat, lalu teriaknya kepada prajurit-prajurit yang mengikutinya, "Saudara-saudara ikuti aku masuk ke sarang pemberontak ini!"
Maka dipelopori oleh Pakkiong Liong, prajurit Hui-liong-kun itupun segera menyerbu masuk lewat pintu gerbang yang telah dibobol itu. Ha To-ji sendiri segera membuang benda "warisan" Ji Tay-hou itu, dan menghunus golok lengkung yang tergantung di pinggangnya, dan ikut menerjang maju bersama panglimanya. Selain Ha To-ji, kelihatan pula Panglima Tay-tong Kwe Sin-liong bersama perwira-perwira andalannya Hoa Wi-jong dan Leng Bun yang mengamuk tanpa ketemu lawan yang setimpal itu.
Pemimpin laskar pemberontak yang mempertahankan pintu timur itu adalah Cu Yok-tek, ketua Koay-to-bun. Dia seorang diri sudah terang tidak sanggup menahan majunya Pakkiong Liong, Ha To-ji dan perwira-perwira Tay-tong itu. Laskarnya segera menjadi kocar-kacir dan terdesak ke dalam desa.
Sementara itu, meskipun pintu gerbang utara, barat dan selatan belum berhasil digempur sehingga terbuka, namun bobolnya pintu timur itu sudah cukup untuk mempengaruhi seluruh medan pertempuran di desa-desa itu. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun segera "mengalir" "masuk ke dalam desa bagaikan air bah yang tak terbendung lagi, menguasai jalan-jalan, lorong-lorong, halaman halaman rumah dan bahkan kebun-kebun kosong.
Di segala tempat laskar pemberontak mencoba bertahan dengan gigihnya, tapi Hui-liong-kun terus mendesak maju setapak demi setapak. Cu Yok-tek berjulukan Say-bin-ko-ay-to (Si Golok Kilat Bermuka Singa) itu telah bertemu tandingan seimbang, yaitu Kwe Sin-liong yang juga mahir dengan ilmu golok Tay-hong-to-hoat (Ilmu Golok Angin Badai). Maka golok kedua seteru itu saling menyambar dengan kehebatannya masing-masing.
Permainan golok Cu Yok-tek mengutamakan kecepatan, bacokan-bacokannya begitu deras, goloknya yang lebar, tebal dan panjang serta berat itu digerakkannya dengan begitu ringan seperti orang menger-akkan sepotong kayu saja. Pantaslah kalau tokoh itu mendapat julukan "koan-to" atau si "Golok Cepat". Tapi kali ini bertemu dengan lawan yang mahir ilmu golok Tay-hong-to-hoat yang apabila dimainkan benar-benar mirip angin prahara yang menggulung lawannya dengan dahsyatnya.
Sementara itu, pintu utara digempur oleh Tong Lam-hou dan beberapa perwira lainnya. Pasukan Hui-liong-kun agak mendapat kesulitan ketika mereka tidak berhasil mendobrak pintu gerbang dengan balok kayu besar yang di sodok-sodokkan itu.
Tong Lam-hou menjadi tidak sabar. Disuruhnya prajurit-prajuritnya minggir, lalu Tong lam-hou mengerahkan tenaga dalam ke telapak tangannya, dan dihantamkannya sekuat tenaga ke pintu gerbang yang tebal dan palang yang sebesar paha itu tidak sanggup menahan kekuatan Si Harimau Selatan yang perkasa itu.
Hanya dengan sekali pukul saja maka palang pintu itupun patah, bahkan kedua patahannya sampai mencelat melukai beberapa laskar pemberontak yang bertahan di balik pintu gerbang. Daun pintunya sendiri pecah berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan kayu selebar telapak tangan.
Maka prajurit Hui-liong-kun dengan dipelopori oleh Tong Lam-hou dan Wa-nyen Hui segera menyerbu masuk lewat pintu itu. Kongsun Hui mempertahankan diri di balik pintu bersama laskarnya. Pada wajahnya sudah terbayang tekadnya untuk mempertahankan pertahanan terakhir itu habis-habisan, sampai titik darahnya yang terakhir.
Karena itulah bagaikan mendapat kekuatan dia pimpin prajurit-prajuritnya untuk menghadang musuh, sambil berteriak-teriak, "Prajurit-prajurit Kerajaan Beng yang setia dan gagah perkasa! Inilah saatnya kalian menunjukkan kesetiaan dan keberanian kalian, hayo maju bersama aku, yang takut lebih baik cepat-cepat mencopot seragamnya dan berlutut minta ampun kepada musuh!"
Kata-kata itu memang berhasil membakar anak buahnya yang sebagian terdiri dari bekas prajurit-prajurit Kerajaan Beng itu. Maka para bekas prajurt itu bagaikan terbakar hatinya dan segera merangsak maju tanpa kenal takut, sehingga pertempuran pun berlangsung dengan hebat.
Di antara laskar pembeerontak dan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bercampur-aduk untuk saling membantai itu, menyelinaplah Giok-seng Tojin gadungan bersama-sama dengan dua orang rekannya, Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang berpakaian seperti laskar biasa itu. Mereka bertiga masih merasa penasaran karena kemarin belum berhasil membunuh Tong Lam-hou, maka kali ini mereka akan mengulangi lagi usaha mereka, namun ditambah dengan akal yang agak licik.
Ketika mereka melihat Tong Lam-hou tengah mengamuk di tengah-tengah laskar pemberontak, maka Giok-seng Tojin gadungan alias Han Kiam-to segera berkata kepada kedua rekannya, "Nah, itu dia. Akan kupancing ke kebun kosong dekat rumpun bambu itu, kalian bersiap-siaplah di sana, cepat!"
Lalu Giok-seng palsu itupun segera mendesak maju untuk mendekati Tong Lam-hou sambil berteriak, "Bangsat Manchu, jangan terlalu ganas. Akulah lawanmu!"
Tong Lam-hou menoleh ke arah orang berteriak itu, dan iapun mengenali imam berjubah kuning yang kemarin bertempur dengannya. Maka Tong Lam-hou, itupun menjawab, "Bagus hidung kerbau keparat, kaupun seorang agamawan yang palsu, sebab ikut bergabung dengan para pengacau untuk mengacau negara!"
Han Kiam-to melancarkan tusukan pedang tiga kali beruntun untuk memancing kemarahan Tong Lam-hou, setelah itu diapun tiba-tiba meloncat ke atas sebuah tembok yang tinggi sambil berkata menantang, "Di sini terlalu sesak dengan manusia. Kalau kau tidak bernyali tikus, marilah kita cari tempat yang sepi untuk mengukur kepandaian kita!"
Tanpa pikir panjang lagi Tong Lam-hou juga meloncat menyusul, sehingga ditengah-tengah riuhnya pertempuran di tengah desa itu, kedua orang itu bagaikan dua ekor burung yang berkejaran di atas atap-atap rumah atau meloncati pohon-pohon tinggi. Tong Lam-hou memang berilmu tinggi, namun tipu licik orang-orang dunia persilatan belum dipahaminya, sehinggai begitu mudahnya ia terpancing oleh Giok-seng Tojin palsu itu.
Wanyen Hui ketika melihat temannya itu pergi mengejar musuh begitu saja, segera meneriakinya, "Saudara Tong, hati-hati dengan akal licik musuh!"
Namun sambil melayang di atas atap sebuah rumah, Tong Lam-hou berteriak menjawab, “Jangan kuatir, aku membutuhkan waktu yang singkat saja untuk membereskan keparat ini! Saudara Wanyen, pimpin dulu pasukan di sini!"
Lalu Tong Lam-hou itupun melesat mengejar Giok-seng Tojin. Ketika tiba di sebuah kebon kosong yang banyak pohon bambunya, dan masih sunyi karena pertempuran belum sampai ke situ, maka Giok-Seng Tojin palsu segera meluncur turun dan menyelinap masuk ke dalam rumpun bambu itu. Tong Lam-hou masih sempat melihat ujung jubah imam yang berwarna kuning itu berkibar sebelum menghilang dari pandangan.
Dengan pedang melintang di depan dada Tong Lam-hou meloncat memburu tanpa rasa cemas sedikitpun. Dalam pikirannya ia menganggap semua ahli silat di dunia ini sejujur dirinya, tidak ada yang berbuat curang. Namun ternyata kemudian Tong Lam-hou telah memasuki jebakan. Begitu ia menerjang ke sebuah rumpun bambu, maka dari dua buah rumpun yang sebelah menyebelah muncullah serangan-serangan licik.
Dari satu rumpun berhamburan pisau-pisau belati yang logamnya berwarna hitam keungu-unguan, menandakan bahwa pisau-pisau itu diolesi dengan racun yang amat ganas. Empat pisau sekaligus terlempar dari tangan Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun yang muncul menyergap dari balik rumpun itu. Sedang dari rumpun lainnya Seng Cu-bok muncul sambil melemparkan dua butir peluru apinya.
Tong Lam-hou terkejut ketika mendengar desir-desir angin yang menyergap dari belakang itu. Tanpa menoleh ia langsung menggulingkan badannya dengan gerakan penyelamatan diri Koan-long-ta-kun (Serigala Bergulingan). Pisau-pisau beracun luput semua dan peluru apipun hanya mengena serumpun bambu sehingga langsung meledak dan berkobar.
Di saat Tong lam-hou dalam keadaan kerepotan itulah maka serangan lainnya datang pula. Kali ini dari Han Kiam-to sendiri, yang tiba-tiba saja telah meluncur balik ke belakang dan pedangnya dengan keji menikam ke leher Tong Lam-hou yang tengah bergulingan. Tokoh golongan hitam yang berjuluk Sat-jio-hong-kui (Iblis Gila Bertangan Besi) ini memang tidak percuma menyandang julukannya yang seram itu.
Tong Lam-hou benar-benar dalam bahaya, meskipun tikaman itu berhasil terhindar dari lehernya, namun menggores pundaknya. Yang membuat Tong Lam-hou terkejut adalah ketika ia merasa luka pedang itu tidak menimbulkan rasa pedih seperti biasanya, melainkan malahan tidak ada rasanya sama sekali, dan sesaat kemudian mulai terasa panas dan gatal-gatal di sekjtar mulut luka. Jelas sekarang; bahwa pedang Han Kiam-to itu diolesi racun.
Menyadari hal itu, Tong Lam-hou meloncat bangkit dengan marahnya dan hendak melabrak Han Kiam-to. Tapi pada saat ia hendak menyerang, tiba-tiba kepalanya pusing dan kakinya terasa ringan, langkahnyapun terhuyung-huyung sehingga serangan pedangnya luput. Kiranya racun yang melumuri pedang Han Kiam-to itu begitu tajamnya sehingga hanya dalam beberapa kejapan mata saja sudah langsung bekerja melumpuhkan korbannya.
Pada saat Tong Lam-hou terhuyung-huyung itulah Tong King-bun dan Seng Cu-bok serempak muncul. Tong King-bun meloncat langsung; dan menghantam tengkuk Tong Lam-hou sekuat tenaga, sehingga robbhlah anak muda itu tak berberdaya lagi. Tiga orang anak buah Te-liong Hiangcu itupun menyeringai seperti iblis-ibiis yang menghadapi mayat yang menjadi santapannya. Kata Han Kiam-to dingin,
"Kita ambil batok kepalanya untuk ditunjukkan kepada Te-liong Hiangcu. Setelah itu kita tinggalkan desa neraka ini secepatnya, Cu Leng-ong sudah bukan urusan kita lagi. Ia akan menang dan menjadi Kaisar ataupun hancur menjadi debu, tidak ada sangkut-pautnya dengan kita."
"Benar. Saudara Han, kau yang memegang pedang. Cepat penggal kepalanya. Kami sudah menyiapkan ramuan pengawet kepala itu agar tidak membusuk selama dalam perjalanan ke Kui-kiong (Istana Iblis)."
Dengan sebuah gerakan mantap tanpa ragu-ragu, sedikitpun, Han Kiam-to yang menyamar sebagai Giok-seng Tojin itu mengayunkan pedangnya ke leher Tong Lam-hou yang tertelungkup pingsan itu. Detik berikutnya, yang kehilangan kepala bukannya Tong Lam-hou melainkan malah Han Kiam-to sendiri. Sesosok bayangan hitam berkelebat begitu cepatnya seperti sesosok hantu saja.
Dengan gerakan tidak terlihat telah merebut pedang Han Kiam-to sebelum pedang itu menyentuh leher Tong Lam-hou, dan dengan sekali sabet mengelundunglah kepala Han Kiam-to. Tubuh tanpa kepala itu masih melangkah dua langkah mundur dengan tangan yang bergerak-gerak sesaat, lalu roboh diam.
Tong King-bun dan Seng Cu-bok terkejut bukan kepalang. Ketika mereka mengamati orang berpakaian hitam yang merebut pedang Han Kiam-to itu ternyata adalah seorang setengah tua berambut kelabu yang mengenakan seragam hitam-hitam prajurit yang paling rendah dari Hui-liong-kun. Namun orang tua itu memiliki sepasang mata yang tajam menusuk, dan sikapnya bukan sikap seorang prajurit biasa.
Sebagai bekas orang-orang Hwe-li-ong-pang yang berkhianat kepada Ketua Hwe-liong-pang. Tubuh tanpa kepala itu masih melangkah dua langkah mundur dengan tangan yang bergerak-gerak sesaat lalu roboh diam. Dengan berpihak kepada Te-liong Hiangcu, tentu saja Tong King-bun dan Seng Cu-bok mengenal siapakah prajurit palsu itu, dan dengan bibir gemetar mereka menyebut, ‘'Thian-liong Hiangcu!"
Memang, orang itu adalah Siangkoan Hong yang dalam Hwe-liong-pang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu, seorang tokoh yang baik ilmu maupun kedudukannya sejajar dengan Te-liong Hiangcu. Bedanya, Te-liong Hiangcu menghasut sebagian anggota Hwe-liong-pang untuk berkhianat kepada Ketua yang sah, sedangkan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong ini tetap setia kepada Ketua meskipun sang Ketua yang juga kakak seperguruannya itu sudah mati berpuluh tahun yang lalu.
Betapa garangnya Tong King-bun dari Seng Cu-bok namun di hadapan orang ini, mereka tak ubahnya kelinci-kelinci lumpuh di hadapan seekor singa yang kelaparan. Tidak perlu malu-malu lagi mereka berlutut dan membentur-benturkan jidat mereka ke tanah sambil berkata, "Salam hormat untuk Hiangcu!"
Siangkoan Hong tertawa dingin, sekilas diliriknya Tong lam-hou yang tertelungkup diam dengan muka kebiru-biruan itu. Lalu Siangkoan Hong mengeluarkan sebuah botol keramik dari balik bajunya, dari botol itu dituangkan dua butir benda kehitam-hitaman yang berbau tajam. Setelah botol kecil keramik itu disimpan kembali dalam baju, maka kedua butiran hitam itu ditimang-timangnya dengan telapak tangannya, katanya,
"Pengkhianat-pengkhianat tak kenal malu, coba angkat wajah kalian dan lihat apa yang ada di tanganku ini!"
Tong King-bun dan Seng Cu-bok mengangkat wajah mereka, dan pucatlah kedua wajah itu ketika melihat kedua butiran hitam di tangan Siangkoan Hong itu. "Ra... racun penghan... cur tubuh..."
"Betul. Kalian telan seorang sebutir," kata Siangkoan Hong dingin. "Anggap saja kembang gula."
Kedua gembong golongan hitam yang menjadi pengikut Te-liong Hiangcu itu kini sadar bahwa mereka telah terperosok kesulitan besar. Adalah di luar dugaan mereka bahwa Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong tiba-tiba saja muncul di sini dengan menyamar sebagai seorang prajurit Hui-liong-kun rendahan.
Mereka cukup paham watak Thian-Liong Hiangcu yang amat keras, amat membenci pengikut-pengikut Te-liong Hiangcu dan menumpasnya tanpa ampun dimanapun bertemu. Apalagi mereka berdua tertangkap sedang hendak membunuh Tong lam-hou keturunan Tong Wi-siang.
Akhirnya Tong King-bun berdua menjadi nekad. Tidak melawan mati, melawan juga mati, maka lebih baik melawan saja. Bagaikan seekor anjing gila tiba-tiba Tong King-bun meloncat, maju sambil membabatkan pedangnya kepada Siangkoan Hong.
Boleh jadi sergapan itu memang cukup cepat dan keji, tapi dihadapan Siangkoan Hong jadi seperti permainan anak-anak saja. Tanpa berkisar dari tempatnya, Siangkoan Hong mengulur tangan seenaknya dan dengan tepat berhasil menjepit batang pedang Tong King-bun, di lain saat tangannya sudah bergerak ke mulut Tong King-bun yang masih ternganga kaget itu, dan sebutir Racun Penghancur Tubuhpun menggelinding masuk ke perutnya.
Siangkoan Hong mendorong mundur tubuh Tong King-bun sampai beberapa langkah, katanya sambil tertawa, "Nah, anak manis, kembang gula bagianmu sudah kau telan.”
Sementara itu, terdorong oleh rasa takutnya, Seng Cu-bok meloncat akan melarikan diri. Tapi dengan sekali loncat saja Siangkoan Hong telah menutup jalannya, dan dengan gerakan amat tangkas maka Racun Penghancur Tubuh yang sebutir lagi juga telah dimasukkan ke mulut Seng Cu-bok.
Kedua bekas Tongcu Hwe-liong-pang pengikut Te-liong Hiangcu itu kini berdiri termangu-mangu dengan mata yang kehilangan semangat. Racun Penghancur tubuh sudah masuk ke perut mereka, sebentar lagi akan bekerja dan tamatlah nyawa mereka. Karena itu, yang mereka lakukan kemudian hanyalah duduk bersila di tanah, sementara mata mereka memandang dengan penuh kebencian kepada Siangkoan Hong.
"Kau iblis laknat!" geram Tong King-bun menjelang ajalnya.
"Dan kalian adalah pengkhianat-pengkhianat busuk!" balas Siangkoan Hong.
Tak lama kemudian, wajah kedua orang gembong golongan hitam itu menyeringai menunjukkan rasa sakit dan juga takut yang luar biasa, lalu tubuh mereka terbanting ke tanah, menggeliat-geliat dengan kulit tubuh yang semakin menghitam. Kuiit merekapun mulai pecah dan mengeluarkan cairan hitam berbau busuk, daging meleleh, dan sekejap kemudian yang namanya Tong King-bun dan Seng Cu-bok hanyalah dua bentuk kerangka putih bersih. Tanpa daging atau kulit secuilpun yang melekat padanya, sebab seluruh tubuhnya sudah mencair jadi air hitam yang meresap ke tanah. Yang masih utuh cuma rambut dan pakaian mereka.
Racun Penghancur Tubuh yang diramu berdasar kitab warisan Bu-san-jit-kui itu telah menjalankan tugasnya dengan baik, yang dalam Hwe-liong-pang digunakan khusus untuk orang dalam yang membuat kesalahan besar. Namun belum pernah terdengar bahwa butiran racun itu digunakan terhadap bukan orang Hwe-liong-pang.
Sesaat Siangkoan Hong memandang kedua tengkorak itu sambil menarik napas, "Jangan menyesal. Itulah peraturan Hwe-liong-pang bagi setiap pengkhianat. Pemimpin kalian Te-liong Hiangcu itupun suatu saat nanti akan menerima bagiannya."
Kemudian ia berjongkok di dekat tubuh Tong Lam-hou dan dengan tangkas menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun. Lalu dipanggulnya tubuh Tong Lam-hou untuk dibawa pergi dari situ. Diterjangnya saja medan perang yang penuh dengan senjata-senjata yang berkelebatan dari segala arah itu.
Hanya dengan mengibaskan tangannya, di depannya muncullah tenaga tak berwujud yang seolah-olah membuka jalan baginya, tidak peduli prajurit Hui-liong-kun atau laskar pemberontak akan segera tersibak terguling-guling oleh kebasan tangan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong. Akhirnya orang tua itu dengan membawa Tong Lam-hou telah menghilang di lereng-lereng bukit sana.
Sementara itu, jalannya pertempuran tidak seimbang, semakin lama semakin Jelas bahwa kekalahan sudah membayangi pihak laskar pemberontak. Empat pintu gerbang sudah berhasil didobrak semuanya oleh pasukan Hui-liong-kun. Di beberapa bagian perlawanan laskar pemberontak masih gigih.
Bahkan menjurus ke perbuatan bunuh diri beramai-ramai, karena setianya mereka kepada Kerajaan Beng. Namun lebih banyak lagi laskar pemberontak yang patah semangat dan memilih untuk meletakkan senjata ketika Pakkiong Liong mengeluarkan seruan untuk menyerah. Seluruh desa hampir mutlak dikuasai pasukan kerajaan.
Di gedungnya, pangeran Cu Leng-ong terus menerus mendengarkan laporan dari medan pertempuran. Dengan hati terguncang hebat didengarnya berita gugurnya Kongsun Hui, gugurnya Li Tiang-hong, menyerahnya Cu Yok-tek kepada musuh. Dan yang terakhir, Pangeran Cu Hin-yang juga gugur setelah mempertahankan desa pertahanan terakhirnya dengan mati-matian.
Sebelum hari menjadi sore, Hui-liong-kun di bawah pimpinan Pakkiong Liong yang dibantu pasukan Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin-liong sudah mutlak menguasai seluruh desa. Laskar pemberontak yang nekad melawan dibasmi, sedangkan yang menyerah segera dilucuti senjatanya dan dikumpulkan di suatu tempat yang luas dengan tangan terikat dan diawasi sejumlah prajurit.
Pakkiong Liong sendiri, diiringi oleh perwira-perwiranya segera menuju ke gedung Pangeran Cu Leng-ong, untuk menangkap biang pemberontakan itu. Sebelumnya, pengawal-pengawal gedung itu sudah dipaksa untuk menyerah lebih dulu setelah mengalami pertempuran singkat.
Begitu Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya mulai melangkahi tangga bangunan di tengah desa yang selama ini menjadi "pusat pemerintahan Kerajaan Beng" itu, mereka terkejut ketika mendengar dari dalam gedung ada teriakan,
"He, siapa yang berani masuk ke istanaku tanpa aku panggil?!"
Pakkiong Liong tertegun sejenak dan menghentikan langkahnya, sejenak ia berpandangan dengan perwira-perwiranya, lalu katanya, "Hati-hatilah, barangkali dalam gedung itu masih ada sekelompok pengikut Pangeran Cu Leng-ong yang lebih suka berbuat nekad daripada menyerah."
Perwira-perwiranya menganggukkan kepala dan mereka melangkah lagi. Ternyata tidak ada siapa-siapa dalam gedung itu, kecuali Pangeran Cu Leng-ong yang tengah duduk sendiri di kursinya yang berukir indah itu. Ia memakai jubah warna kuning yang baru saja digambarinya sendiri dengan gambar naga, digambari dengan tinta bak sehingga berlepotan tak keruan.
Dan gambar naganyapun acak-acakan, lebih mirip gambar seekor Kadal. Jubah kuning bersulam naga adalah jubah keagungan "seorang' kaisar, dan agaknya pangeran Cu Leng-ong sudah menganggap dirinya sebagai Kaisar sehingga ia menggambari jubahnya dengan naga.
Hampir-hampir tak percaya Pakkiong Liong ketika melihat keadaan pemimpin "Sri Baginda" itu. Selain jubah kuningnya yang tak karuan itu, kepalanya memakai mahkota-mahkotaan yang terbuat dari kertas bekas bungkus makanan sementara matanya berputar-putar liar ke sana ke mari sambil menyengir-nyengir sendiri.
Hanya ada satu kesimpulan, bahwa Pangeran Cu Leng-ong telah menjadi gila karena kegagalan ambisinya. Berita-berita kekalahan dan kematian Kongsun Hui dan lain-lainnya yang selama ini setia kepadanya, apalagi Pangeran Cu Hin-yang juga gugur, telah mempercepat keruntuhan jiwa Pangeran ini. Akhirnya beginilah jadinya.
Ketika melihat Pakkiong Liong dan lain-lainnya melangkah masuk, Pangeran Cu Leng-ong cepat berteriak, "He, bagaimana kabarnya medan perang? Musuh sudah terusir bukan? Bagus! Aku segera akan bertahta sebagai Kaisar Kerajaan Beng, kalian cepat berlutut!"
Kembali Pakkiong Liong saling melirik dengan perwira-perwiranya. Adalah lebih mudah bagi mereka untuk menghadapi orang-orang bersenjata yang melawan, daripada menghadapi seorang yang miring otaknya tanpa senjata.
Sementara Pangeran telah berteriak lagi, "He, kenapa kalian belum juga berlutut kepada raja kalian?! Kalian minta dihukum penggal kepala?"
Akhirnya Pakkiong Liong merasa iba juga kepada Pangeran yang telah menjadi gila karena gagalnya semua impiannya iapun berdesis perlahan kepada perwira-perwiranya, "Yang penting dapat membawa dia ke Pak-khia. Yang otaknya waras tidak ada jeleknya mengalah sedikit kepada yang gila. ayo berlutut."
Maka pakkiong Liong berlutut disertai perwira-perwiranya, meskipun dengan menahan senyum. Sementara Pangeran Cu Leng-ong telah berteriak lagi,
"Apakah kalian lupa tata tertib kerajaan kita yang agung ini? Sehingga kalian hanya berlutut saja tanpa berbuat lain?"
"Oh, ya, maaf, Pange,..eh, Sri Baginda," kata Pakkiong Liong. "Kawan-kawan, hayo ucapkan salam panjang umur kepada Sri Baginda gil eh, yang agung ini."
Dengan setengah hati perwira-perwira itupun berteriak, "Ban-swe! "Ban-swe!"
Pangeran Cu Leng-ong nampak puas. Iapun tertwa cekikikan, namun tiba-tiba ia berteriak lagi, "He, bagaimana jalannya pertempuran? Kalian belum melaporkan kepadaku!"
Tanpa disuruh, Pakkiong Liong berdiri dari dari berlututnya, dan menjawab, "Musuh sudah diusir. Bahkan kota Pak-khia sudah kita rebut. Kami akan membawa Sri baginda ke Pak-khia, kereta kebesaran Sri Baginda sudah kami siapkan di luar. Marilah, Sri Baginda."
"Bagus! Kalian adalah panglima-panglimaku yang hebat! Kalian akan menerima kedudukan yang tinggi, kau akan menjadi gubernur San-se, kau menjadi gubernur Korea, kau menjadi gubernur Shoa-tang, kau..."
"Sudahlah, Sri Baginda. Kereta sudah menunggu."
"Baik. Tapi sebelum berangkat aku ingin melihat sebuah tarian dulu. He, siapa di antara kalian yang pintar menari?"
Pakkiong Liong dan lain-lainnya menggerutu dalam hati, namun apa boleh buat, demi kelancaran tugas membawa Pangeran Cu Leng-ong sampai ke Pak-khia maka apapun permintaan si otak miring itu harus dituruti. Pakkiong Liong segera berkata kepada Ha To-ji, "Kau menari sebentar. Teman-temanmu biar mengiringinya dengan musik mulut saja."
"Aku menari, Ciangkun?" tanya Ha To-ji tercengang.
"Ya. Cepatlah. Turuti permintaan si gila ini agar ia dapat cepat-cepat dibawa ke Pak-khia."
Terdengar Pangeran Cu Leng-ong berteriak, "He, siapa yang kau sebut si gila itu? Aku? Kurang ajar kau! Kau kupecat sebagai panglimaku!"
"Terima kasih, Sri Baginda," sahut Pakkiong Liong kalem. Lalu katanya kepada Ha To-ji, "Cepat. Sebisa-bisanya saja!"
Maka Ha To-ji pun mulai menari dengan cara ngawur, dengan iringan "musik" mulut teman-temannya sendiri. Ia masih ingat tarian para pengembala di radang rumput Mongol sana, maka Ha Toji sebisa-bisanya menirukannya. Digerakkannya tangan di pinggangnya dan kakinyapun dilempar ke kanan dan kiri bergantian, meskipun ia melakukannya sambil mencaci-maki dalam hati.
Kemudian Pangeran Cu Leng-ong turun dari singgasananya dan ikut berloncat-loncatan seperti anak kecil, tidak peduli "mahkota"nya yang terbuat dari kertas itu jatuh ke lantai dan terinjak-injak kakinya sendiri. Setelah puas menari, barulah ia berkata kepada Pakkiong Liong, "Antarkan aku ke kereta kebesaranku. Kita harus segera menuju Pak-khia!”
"Baik, Sri Baginda."
Ketika tiba di dekat sebuah gerobak kayu yang di dalamnya dilapisi jerami dan ditarik dua ekor kerbau itu, Pangeran bertanya, "Inikah keretaku? Kenapa begini buruk?"
"Nampaknya saja memang buruk, Sri Baginda, tapi sesungguhnya bahan-bahan kereta ini adalah bahan-bahan yang sangat langka. Tidak semua raja di dunia ini mengalami duduk dalam kereta seperti ini, beruntunglah Sri Baginda. Lihat ukir-ukirannya yang begitu indah dan halus,” kata Pakkiong Liong sambil meuunjuk permukaan kayu yang Kasar. "Begitu halusnya sehingga mirip permukaan kayu asli padahal semuanya itu dibuat dengan tangan."
Banyak para perwira dan prajurit di sekitar tempat itu yang menahan tertawanya melihat cara Panglima mereka membujuk Pangeran Cu Leng-ong agar mau menaiki keretanya itu. Dan akhirnya ternyata Pangeran itu mau juga.
Dengan membawa Pangeran Cu Leng-ong sebagai tawanan, dan juga ratusan orang laskar pemberontak yang menyerah, maka Pasukan Hui-liong-kun meninggalkan desa itu. Sebagian dari pasukan Tay-tong ditinggalkan di desa itu untuk membantu penduduk mengatur kembali segi-segi kehidupan yang porak-poranda selama perang beberapa hari yang singkat itu.
Pakkiong Liong juga sudah mendengar berita tentang Tong Lam-hou yang menurut laporan prajurit-prajurit dibawa oleh "seorang tua yang bisa terbang". Pakkiong Liong tidak tahu siapa orang itu dan apa maksudnya membawaa Tong Lam-hou dengan cara seperti itu, namun satu hal yang ia tahu, orang yang sanggup membawa Tong Lam-hou seperti itu tentu seseorang yang kepandaiannya amat tinggi. Karena itulah Pakkiong Liong merasa tidak ada gunanya menyuruh prajurit-prajuritnya tidak akan sanggup menandingi orang itu.
"Mungkin orang itu adalah gurunya si Sesat Tua dari Tiam-jong-san itu," kata Pakkiong Liong dalam hatinya. "Meskipun tindakannya itu terasa aneh juga. Dulu di Tiam-jong-san, dengan telingaku sendiri aku mendengar orangtua itu mengijinkan A-hou menjadi prajurit, apakah sekarang orangtua itu tiba-tiba berbalik pendirian sehingga mengambil muridnya dengan cara itu?"
Pertanyaan itu dipendamnya dalam hati dan tak ada jawaban untuk itu. Dan bahwa orangtua itu benar-benar Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan atau bukan, juga belum bisa dipastikan. Kini lebih penting mengurus pasukannya, meskipun kecemasan akan diri sahabatnya itupun terasa cukup menggelisahkan.
KETIKA Pangeran Cu Leng-ong si "Kaisar Kerajaan Beng" menaiki sebuah gerobak kerbau yang membuatnya terus-terusan mengumpat-umpat sepanjang jalan, maka Tong Lam-hou justru berada di sebuah kereta yang bagus dan empuk. Begitu ia membuka matanya, yang dilihatnya adalah bagian dalam sebuah kereta yang berlapis kain satin kuning, dan dirinya sendiri terletak di sebuah kursi panjang dalam kereta yang saat itu digunakan sebagai tempat tidur.
Di kiri kanan kereta ada jendela-jendela yang tirainya, disibakkan, seningga angin dari luar dapat berhembus masuk ke dalam kereta dan membuat suasana sejuk. Kereta itu memang benar-benar nyaman.
Selain besar, jalannya tenang pula. Antara sumbu roda kereta dengan tubuh kereta dihubungkan dengan besi-besi melengkung yang dapat meredam goncangan jalannya kereta. Kuda yang menariknya ada dua ekor dan semuanya adalah kuda-kuda gurun pilihan. Pantasnya kereta ini dimiliki oleh seorang hartawan, bukan oleh seorang Siangkoan Hong yang di penginapan di pak-khia saja masih punya hutang sewa kamar yang belum dilunasi. Tapi nyatanya yang mengendalikan kereta itu adalah Siangkoan Hong yang duduk di bagian depan.
Ketika Tong Lam-hou siuman, dirinya masih ingat peristiwa yang terakhir menimpa dirinya. Bagaimana seorang imam berjubah kuning memancingnya ke sebuah rumpun bambu yang agak jauh dari medan pertempuran, dan di sana ia dilukai dengan pedang beracun oleh imam itu sehingga kesadarannya hilang, entah mengapa sekarang dia menemukan dirinya berada dalam kereta yang mewah ini?
la hendak bangun, tapi kepalanya masih pusing. Dilihatnya bajunya di bagian pundak telah robek lebar, dan pundaknya yang kemarin luka itu telah dibalut rapi. Namun badannya masih lemah dan kepalanya masih agak pusing. Maka ia memutuskan untuk tetap berbaring saja di kursi panjang dalam kereta yang nyaman itu, sampai kekuatannya pulih. Toh menilik bahwa si pembawa kereta itu tidak mengikat kaki tangannya dan bahkan ia membalut lukanya, agaknya orang itu tidak bermaksud jahat.
Ia merasa Jalannya kereta bertambah lambat, dan di luar kereta mulai terdengar suara orang ramai di dalam pasar atau di tengah kota. Agaknya mereka masuk ke sebuah kota sehingga harus melambatkan jalannya supaya tidak menabrak orang. Sambil tetap berbaring Tong Lam-hou melihat ke luar jendela, dan benar juga dia melihat pucuk-pucuk bangunan yang tinggi-tinggi atau genteng-genteng berhias patung naga. Itulah sebuah kota yang ramai-Kereta berhenti, dan kuping Tong lam-hou mendengar sebuah pertanyaan,
"Membutuhkan penginapan yang tenang dan sejuk serta makanan yang lezat, tuan? Kami menyediakan. Juga perawatan untuk kuda-kuda dan kereta tuan yang bagus ini, dengan bayaran yang murah."
Dari arah tempat duduk pengemudi kereta, Tong Lam-hou mendengar suara yang sudah dikenalnya di Pak-khia beberapa hari yang lalu, "Baik. Sediakan kamar yang agak terpisah dari lain-lainnya, dan sepi, sebab aku membawa keponakanku yang sakit."
"Baik, tuan. Silahkan masuk. Kereta ini biar dibawa ke belakang oleh pelayan, tuan langsung beristirahat saja."
Pintu kereta terbuka, dan Tong Lam-hou melihat seraut wajah yang sudah diduganya sejak ia mendengar suara si pengemudi kereta tadi. Sapanya, "Paman Siangkoan!"
Orang itu memang Siangkoan Hong. Kali ini ia berpakaian bagus mirip seorang hartawan, bahkan kepalanya juga memakai topi yang berbentuk belahan semangka dengan hiasan batu giok hijau di keningnya. Tong Lam-hou menjadi geli melihatnya. Siangkoan Hong yang membukakan pintu dari luar kereta itupun tersenyum ketika melihat Tong Lam-hou tersenyum, tanyanya,
"kau mentertawakan aku kurang pantas dengan pakaian seperti ini?"
Sahut Tong Lam-hou cepat-cepat, "Pantas sekali, paman. Paman mirip seorang hartawan besar. Hanya janggalnya, seorang hartawan melakukan perjalanan jauh dengan mengendalikan sendiri keretanya."
"Oh, cuma kejanggalan kecil. Besok kita cari seorang sais, sehingga penampilan kita benar-benar mirip seorang hartawan dan puteranya yang sedang berpesiar. Nah, apakah kau sudah bisa turun sendiri?"
"Agaknya sudah bisa, paman," sahut Tong Lam-hou sambil mencoba mengatasi rasa peningnya dan melangkah keluar dengan berpegangan ambang pintu. Dan begitu ia tiba di luar kereta untuk melihat keadaan sekitarnya, diapun melongo kaget.
"Ada yang membuatmu kaget?" tanya Siangkoan Hong.
"Paman, melihat cara berpakaian orang-orang di sini, agaknya kita sedang ada di daerah sebelah barat. Entah Su-cuan entah Kam-siok."
Siangkoan Hong, "Memang. Kau pingsan selama dua hari dan selama itu sambil aku mengobatimu aku juga sedang membawamu kepuncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san. Kira-kira tiga atau empat hari lagi, kita akan memasuki kota Lam-tiong."
"Untuk apa menuju ke puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san?"
"Apakah kau belum tahu? Di puncak itulah dulu berdirinya markas besar Hwe-liong-pang yang didirikan oleh mendiang ayahmu. Kita kesana untuk mendirikan kembali Hwe-liong-pang yang telah runtuh karena pengkihianatan Te-liong Hiangcu itu. Kau putera Tong Wi-siang dan kau akan menjadi Ketua Hwe-liong-pang yang baru. Jelas?"
Tong Lam-hou terkejut, "Paman, urusan menjadi ketua sebuah perserikatan yang besar seperti Hwe-liong-pang, sesungguhnya aku belum berani memikirkannya. Agaknya tindakan paman sekali ini sudah terlalu jauh. Aku seorang prajurit yang masih terikat kewajiban untuk menegakkan ketertiban di negeri ini, aku tidak bisa..."
"Jadi kau merasa lebih berharga menjadi seorang perwira yang diperintah-perintah oleh orang lain daripada menjadi seorang Ketua Hwe-liong-pang yang memerintahkan ribuan anggota yang setia kepadamu?" potong Siangkoan Hong. "Dengar, nak, aku bukan seorang yang membeda-bedakan keturunan Manchu atau Han atau setan belang. Tapi aku tidak rela melihat putera kakak seperguruanku, putera Ketua Hwe-liong-pang, seumur hidup hanya akan menjadi seorang perwira yang diperintah oleh orang lain. Hidupmu tidak akan berharga sedikitpun, nak."
"Paman, kalau paman..." Tong Lam-hou sebenarnya hendak mendebat ucapan pamannya itu, tapi terpotong oleh datangnya seorang pelayan yang mengatakan bahwa ruangan untuk mereka sudah siap.
Kedatangan pelayan itu menyadarkan mereka bahwa mereka sedang berada di pinggir jalan, bukan tempat yang cocok untuk berdebat. Maka Siangkoan Hong dan Tong Lam-houpun segera melangkah mengikuti pelayan rumah penginapan itu untuk menuju kamar mereka, yang ternyata memang cukup bersih. Begitu keduanya berada dalam kamar, perdebatanpun dilanjutkan. Tong Lam-hou meneruskan perkataannya yang tertunda tadi,
"Paman, paman harus tahu apa yang mendorongku menjadi seorang prajurit,. Aku melihat orang-orang yang menamakan diri 'pembebas tanah-air’ dari sisa-sisa dinasti Beng itu bertindak sewenang-wenang kepada rakyat. Maka aku harus membantu Kerajaan Manchu untuk menertibkan keadaan, membersihkan pengacau-pengacau. Soalnya bukan sekedar diperintah atau memerintah. Dengan kedudukanku sebagai prajurit, aku menertibkan keadaan.”
"Jika kau menjadi Ketua Hwe-liong-pang, nak, kau bisa berbuat lebih banyak lagi untuk menertibkan keadaan. Hwe-liong-pang juga membela rakyat kecil, dan kami pun bermusuhan dengan sisa-sisa dinasti Beng. Bahkan ketika dinasti Beng masih jaya dulu, kami sudah berani menentangnya."
"Tetapi orang-orang Hwe-liong-pang yang kulihat sekarang, maaf, juga pengacau-pengacau tak ada bedanya dengan sisa-sisa dinasti Beng itu. Di Hun-lam aku melihat kedua golongan ini bersekutu memusuhi Pakkiong Liong. Dan menurut beberapa orang perwira Ui-ih-kun yang menjaga Penjara Kerajaan ketika tempat itu dibongkar orang, ada pula orang-orang Hwe-Iiong-pang yang ikut serta dalam pembongkaran penjara itu. Bukankah ini berarti orang-orang Hwe-liong-pang-pun juga adalah pengacau-pengacau yang memusuhi pemerintah Kerajaan? Aku harus berpihak kepada pengacau-pengacau?"
Wajah Siangkoan Hong menjadi merah padam melihat sikap Tong Lam-hou yang menuduh orang-orang Hwe-liong-pang sebagai pengacau itu. Geramnya, "Kurang ajar kau! Kau mengatakan teman-temanmu sendiri sebagai pengacau? Mereka juga membela rakyat seperti prajurit-prajurit Manchu yang kau banggakan itu. Kalau ada seorang dua orang anggota Hwe-liong-pang yang menyeleweng, apa tidak ada juga prajurit-prajurit Manchu yang menindas rakyat?! Aku tidak ingin kau menutup mata dari semua kenyataan."
Tong Lam-hou termangu-mangu mendengar ucapan pamannya itu. Kedengarannya masuk akal juga, tapi hatinya benar benar tidak tertarik sedikitpun untuk menjadi seorang Ketua Hwe-liong-pang. Di dalam Pasukan Naga Terbang ia merasa bahwa ia sudah mendapat tempatnya yang pas, kenapa harus ditinggalkan untuk mengejar sesuatu yang lain, yang belum tentu cocok dengan dirinya? Maka katanya,
"Paman Siangkoan, tidak adakah orang lain selain aku yang bisa menjadi Ketua Hwe-liong-pang? Kenapa harus aku? Aku benar-benar tidak bisa menerima..."
"Terlambat kau ucapkan itu," sahut Siangkoan Hong dingin dan tegas. "Kau tidak akan bisa menghindari pengangkatanmu lagi, selain karena kau adalah anak Hwe-liong Pangcu, juga karena aku sudah menghubungi bekas pengikut-pengikut ayahmu yang masih setia kepadanya, dan mereka semua sudah menyatakan sanggup untuk datang tanggal 15 nanti di puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san. Untuk menghadiri upacara besar berdirinya kembali Hwe-liong pang dan sekaligus penunjukkanmu sebagai Ketua!"
Alangkah terkejutnya Tong Lam-hou mendengar ucapan paman gurunya yang terakhir ini. Ia tahu bahwa pamannya tidak bermaksud jahat kepadanya, bahkan sang paman itu tidak memikirkan sedikitpun kepentingan dirinya sendiri, tapi sikapnya yang kepala batu dan mengatur diri Tong Lam-hou seenaknya tanpa pengangkatanmu lagi, selain karena kau adalah anak Hwe-liong Pangcu, juga diketahui sendiri oleh Tong-lam-hou itu, membuatnya jengkel. Tong Lam-hou menganggap si paman Siangkoan ini terlalu mencampuri urusan dirinya, bahkan urusan menentukan masa depannya sendiri.
"Paman Siangkoan!" kata Tong Lam-hou dengan nada keras. "Paman sudah terlalu jauh mencampuri urusanku, dan menganggapku sebagai boneka yang harus menuruti semua kehendak paman! Aku memutuskan tidak mau menjadi Ketua Hwe-liong-pang, habis perkara!”
Siangkoan Hong tertawa dingin sambil mendekati Tong Lam-hou, katanya, "Habis perkara buat kau, buat aku dan seluruh Hwe-liong-pang belum habis!"
Lalu tangannya tiba-tiba menotok beberapa jalan darah Tong Lam-hou, yang membuat tubuh anakmuda itu jadi lumpuh. Lalu diangkatnya tubuh Tong Lam hou dan diletakkan di pembaringan, dan diselimuti seperti menyelimuti seorang bayi yang sangat disayangi, sambil berkata, "Kau harus nampak segar dan sehat dalam upacara besar di puncak Tiau-im-hong nanti. Apa kata orang jika mereka melihat Ketua Hwe-liong-pang berwajah pucat dan kuyu karena kurang tidur?"
Sungguh mendongkol sekali rasanya Tong Lam-hou, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Paman Siangkoan-nya itu sudah bertekad bulat untuk mendudukkan dirinya di kursi Ketua Hwe-liong-pang, tidak peduli dirinya sendiri setuju atau tidak.
Begitulah, sejak saat itu Tong Lam-hou jadi mirip sebuah boneka besar di tangan Siangkoan Hong. Ia tahu bahwa Siangkoan Hong bermaksud baik, namun kebebasannya yang terkekang membuat Tong Lam-hou amat jengkel. Akhirnya Tong Lam-hou memutuskan untuk berpura-pura menuruti ucapan-ucapan Siangkoan Hong. Apabila Siangkoan Hong berbicara panjang lebar tentang Kehebatan Hwe-liong-pang di masa lalu, maka Tong Lam-hou mencoba bersikap sangat memperhatikan untuk menyenangkan hati Siang-koan Hong.
Hari demi hari mereka berjalan terus, semakin dekat ke Tiau-im-hong, dan kecurigaan Siangkoan Hong kepada Tong Lam-houpun berkurang. Dalam beberapa hari terakhir ini nampaknya sang keponakan itu sudah ''menurut", maka totokannyapun tidak seberat beberapa hari yang lalu.
Bahkan kadang-kadang Siangkoan Hong mengajak Tong Lam-hou duduk berdampingan di tempat mengemudikan kereta. Bercakap-cakap membicarakan beberapa macam hal, dan Tong Lam-hou. tahu juga bahwa Paman Siangkoan ini tidak selamanya ngawur. Dari bermacam soal yang dibicarakannya, ada seperempatnya yang tidak ngawur.
Namun Siangkoan Hong masih belum membebaskan Tong Lam-hou sepenuhnya, ia masih punya kekuatiran jangan-jangan sang keponakan yang hendak diangkat sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu nanti kabur di tengah jalan. Karena itu ada sebuah totokan yang tidak dibebaskannya. Meskipun kaki tangan Tong Lam-hou bebas semuanya, bahkan ia dapat pula mengerahkan tenaga dalam untuk bertempur, namun ada salah satu jalan darah yang tidak bisa terbuka totokan-nya, kecuali dibuka oleh Siangkoan Hong sendiri atau oleh orang sealirannya.
"Itulah ilmu menotok warisan Bu-san-jit-kui yang lihai," kata Siangkoan Hong setengah menakut-nakuti keponakannya. "Saat ini, di dunia ini yang mahir totokan itu hanya tiga orang. Aku sendiri, Thian-liong Hiangcu, Te-liong Hiangcu dan Kim-liong Hiangcu. Aku jelas tidak akan membebaskanmu sebelum kau mantap menjadi Ketua Hwe-liong-pang. Te-liong Hiangcu juga lebih suka mencekikmu daripada membebaskan totokanku itu, dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-ping sudah menghilang sejak runtuhnya Hwe-liong-pang dulu. Jangan harap kau bisa menemukannya."
Tong lam-hou menyeringai mendengar gertakan paman gurunya itu. Tapi ia masih bertanya juga, "Tapi aku merasa tangan dan kakiku bebas, tenaga dalam pun dapat kukerahkan sesuka hati, apa yang menjadi akibat dari totokan paman Siangkoan itu?"
Siangkoan Hong tertawa mendengar pertanyaan itu, "Kau ini disebut oleh pasukanmu dengan sebutan Harimau Selatan, untuk membandingkan dirimu dengan Pakkiong Liong si Naga Utara. Tapi dalam pandanganku, kau tak lebih dari seekor anak kambing gemuk yang belum tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Jika kau pernah membaca kitab warisan Bu-san-jit-kui beberapa halaman saja, kau akan tahu bahwa ilmu silat yang bermacam-macam dan maha ajaib terdapat dalam kitab itu. Totokanku kepadamu itu hanya terasa akibatnya setiap malam, yaitu setiap tengah malam kau akan tersikasa oleh rasa nyeri di tubuhmu selama setengah peminuman teh. Selama totokan itu belum dibuka, kau akan terus merasakan siksaan tiap tengah malam. Seumur hidup pula kau akan merasakannya. Totokan ajaran Bu-san-Jit-kui ini lain daripada yang lain, ia tidak akan terbuka sendirinya setelah beberapa jam, seperti totokan-totokan biasa lainnya. Itu adalah totokan paling lihai di dunia ini."
Tong Lam-hou menjawab, tetapi di dalam hatinya ia tidak percaya kepada pamannya yang dianggap membual itu. Mana ada totokan seperti itu? Dan bukankah selama beberapa malam ini ia tidak mengalami siksaan apapun? Ia hanya tahu bahwa tiap malam paman Siangkoan-nya ini menotok beberapa jalan darahnya, tapi tidak ada rasa siksaan segala. Namun Tong Lam-hou tidak berani menunjukkan rasa tidak percayanya itu, dia hanya memutar otak bagaimana caranya melepaskan diri dari genggaman pamannya ini.
Pada suatu hari, kereta itu lewat sebuah tempat yang sepi. Saat itulah tiba-tiba dari pinggir jalan bermuncullah beberpa orang yang berloncatan menghadang di tengah jalan. Jumlahnya ada kira-kira sepuluh orang, terdiri dari macam-macam manusia, ada rahib Buddha, ada imam agama To dan ada pula pengemis yang berpakaian tambal-tambalan.
Namun ada pula orang biasa. Dari sekian banyak orang, kesamaan mereka adalah bahwa mereka semuanya bersikap garang dan bermusuhan. Loncatan-loncatan mereka tadi juga menandakan tidak seorangpun di antara mereka yang berilmu rendah.
Yang menjadi pemimpin adalah seorang rahib Buddha berkepala gundul dengan alis yang putih dan panjang, tangannya memegang sepasang gelang besar yang terbuat dari emas. Gelang-gelang itu yang satu berukir naga, lainnya berukir harimau. Yang mendampinginya adalah seorang imam berwajah pucat dan berjubah abu-abu, dengan sebatang pedang tergendong di punggungnya, sementara tangan kirinya memegang hud-tim (kebut pertapa).
Siangkoan Hong menarik kuat-kuat tali kendali sehingga keretapun berhenti. Tanpa turun dari kereta, Siangkoan Hong mengangkat tangan di depan dada untuk memberi salam, dan bertanya, "Maaf, saudara-saudara, ada keperluan apa saudara-saudara menghadang jalan kami berdua?"
Si rahib bergelang emas itu yang membalas hormat, lalu bertanya dengan nada sehormat mungkin, "Saudara, menurut penyelidikan beberapa orang-orang kami, apakah saudara yang dalam beberapa hari terakhir ini menyebarkan undangan ke puncak Tiau-im-hong pada tanggal limabelas nanti untuk menghadiri pendirian kembali Hwe-liong-pang?"
Siangkoan Hong bersikap tenang tanpa terkejut mendengar pertanyaan itu. Memang orang-orang rimba persilatan sering disebut sebagai "bermata seribu dan bertelinga seribu", ada gejolak sekecil apapun dalam dunia persilatan tentu tidak lepas dari penglihatan atau pendengaran mereka dan tersebar luas dengan cepatnya. Begitu pula ulah Siangkoan Hong yang menyebarkan berita akan adanya upacara besar di puncak Tiau-im-hong itu agaknya telah menimbulkan tanggapan. Bukan saja orang-orang Hwe-liong-pang yang menanggapi, melainkan juga orang-orang di luar Hwe-liong-pang.
Tanggapan orang-orang di luar Hwe-liong-pang pun bermacam-macam, ada yang bersyukur bahwa Hwe-liong-pang yang pernah jaya itu akan bangkit Kembali, ada yang mengutuk karena masih ingat sakit hatinya terhadap Hwe-liong-pang yang belum juga terhapus oleh jalannya waktu selama berpuluh tahun, dan ada yang acuh tak acuh saja.
Dan orang-orang yang menghadang Siangkoan Hong serta Tong Lam-hou kali ini adalah golongan kedua, golongan yang melihat bangkitnya kembali Hwe-liong-pang ibarat melihat bangkitnya kembali sesosok iblis maha ganas dari liang kuburnya. Karena itu, dengan segala jalan maka kebangkitan kembali Hwe-liong-pang harus dicegah.
Sahut Siangkoan Hong, "Benar. Memang aku yang menyebarkan undangan. Tetapi seingatku, undangan hanya kuperuntukkan bagi anggota-anggota Hwe-liong-pang saja. Aku tidak berani merepotkan para pendekar dari golongan lain hanya untuk menghadiri upacara kami yang kecil dan tidak berarti. Apakah saudara-saudara ini ada kepentingan dengan hal itu?"
Sahut si rahib bergelang emas, "Tentu saja sangat berkepentingan. Di masa lalu, tandang Hwe-liong-pang tidak saja bersangkut-paut dengan para anggota Hwe-liong-pang sendiri, tapi juga menimbulkan gejolak seluruh rimba persilatan, menimbulkan pertentangan dan banjir darah di bukit Siong-san, di lembah Jian-hoa-kok, di markas Tiong-gi Piauhang di Tay-beng dan entah di mana lagi. Itulah yang membuat kami berkepentingan, demi keselamatan seluruh dunia persilatan."
Siangkoan Hong mengerutkan alisnya, sahutnya, "Ya, aku masih ingat suasana puluhan tahun yang lalu. Tetapi tay-su (bapak pendeta) tentu juga masih ingat bahwa saat itu ada dua Hwe-liong-pang. Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Ketua yang syah Tong Wi-siang, dan Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Te-liong Hiangcu yang berkhianat. Dan yang membuat kekacauan itu adalah orang-orangnya Te-liong Hiangcu. Segala kesalah-pahaman itu sudah beres, bahkan banyak kaum pendekar yang kemudian bersahabat dengan kami. Mau apa tay-su sekarang mengungkat-ungkit lagi hal yang sudah lalu itu?"
Rahib itu tertawa dingin, "Memang ada rekan-rekan kami sendiri yang berlagak sebagai orang-orang berdada lapang, yang berbalik menjadi sahabat-sahabat Hwe-liong-pang. Tapi kami tidak bisa melupakan apa yang telah menimpa beberapa teman-teman kami yang tewas oleh kekejian kalian. Terserah apakah kami akan dianggap berjiwa sempit atau tidak pemaaf atau sebutan-sebutan lain? pokoknya kami tidak bisa membiarkan Hwe-liong-pang bangkit kembali. Kami tidak ingin gelombang kerusuhan berjangkit pula di rimba persilatan, dan kami harus mencegahnya sebelum itu timbul."
Siangkoan Hong menyeringai kecewa? sahutnya, "Tay-su, tidak bisakah tay-su menerima penjelasanku tadi? Segala kekejaman itu dilakukan oleh anak buahnya Te-liong Hiangcu. Bahkan pihak kami sendiri juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencegah kekejaman-kekejaman mereka demi nama baik Hwe-liong-pang."
Yang menjawab adalah imam berjubah kelabu yang menggendong pedang itu, "Rasanya sungguh enak melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Tetapi apapun alasannya, kami tetap akan mencegah berdirinya ktembali Hwe-liong-pang. Kucing belang atau kucing hitam tetap akan menerkam tikus, walaupun bulunya berbeda."
Wajah Siangkoan Hong mulai mengeras karena sikap sabarnya ditanggapi oleh penghadang-penghadangnya itu dengan cara yang tidak menyenangkan. Dasarnya dia sendiri bukan seorang penyabar, maka sikapnyapun menjadi keras pula, "Percuma saja aku memberi penjelasan dengan susah-payah kepada kalian. Kalian belum jera juga akan pengalaman masa lalu di mana Te-liong Hiangcu mengadu domba antara kita supaya dia sendiri memungut keuntungan. Bukankah adu domba itu hanya membuahkan kerugian di pihak kita masing-masing. Berapa teman-teman kita yang tewas sia-sia di Tiau-im-hong waktu itu? Kini kalian akan mengulangi ketololan yang sama?"
Namun sikap para penghadang itu sudah membatu, kebencian mereka terhadap Hwe-liong-pang bukan saja terbentuk selama satu dua hari, tapi selama bertahun-tahun. Sepatah dua patah penjelasan Siangkoan Hong tidak akan melumerkan sikap mereka. "Sudah kami jawab tadi, kucing belang atau kucing hitam tetap akan menangkap tikus," sahut si imam sambil menghunus pedang di punggungnya. "Aku tidak peduli ada berapa macam Hwe-liong pang, pokonya Hwe-liong-pang harus ber-tanggung-jawab atas kematian dua orang saudara seperguruanku duapuluh lima tahun yang lalu."
Habis juga kesabaran Siangkoan Hong. Namun sebenarnya diapun mengeluh dalam hati, pertentangan dengan orang-orang dunia persilatan sebenarnya tidak dia kehendaki, sebab pada masa awal kebangkitannya yang kedua itu Hwe-liong-pang membutuhkan sahabat-sahabat, bukan musuh-musuh. Namun yang tidak dikehendaki itulah yang terjadi pada dirinya. Dan Siangkoan Hong dapat menebak siapakah yang berdiri sebagai dalang dari semua kesalah-pahaman itu.
Tidak lain tidak bukan tentu Te-liong Hiangcu, sebab Siangkoan Hong sudah hapal dengan cara kerja bekas saudara seperguruannya itu. Cukup dengan desas-desus sedikit, maka orang-orang yang sejak dulu membenci Hwe-liong-pang akan bangkit kembali untuk mengangkat senjata. Dan Te-liong Hiangcu tinggal enak-enak menonton kedua pihak bertarung sampai hancur sendiri.
Sambil lalu Siangkoan Hong bertanya, "Hemm, kalian ingin bertempur, baiklah. Tetapi apa yang mendorong kalian bertindak menjegal langkah kami? Sekedar kebencian sisa-sisa berpuluh tahun yang lalu?"
Sahut si rahib bergelang emas, "Aku mendengar berita, kalian akan bangkit kembali dan berusaha menguasai dunia persilatan seperti duapuluh lima tahun yang lalu. Kabar ini berasal dari orang yang bisa dipercaya, karena dia adalah Ketua dari sebuah perguruan aliran lurus."
"Siapa dia?" tanya Siangkoan Hong.
Rahib bergelang emas itu menggelengkan kepalanya, dan menjawab tegas, "Tidak akan kusebutkan, sebab pihakmu pasti akan membunuhnya untuk membungkam orang yang telah berhasil menelanjangi maksud busuk Hwe-liong-pang itu."
Jika menuruti saja kemarahannya, ingin Siangkoan Hong langsung bertempur dan menghajar si Rahib dan kawan-kawannya yang terlihat sangat tengik itu. Tapi rasa tahu Siangkoan Hong akan siapa yang menyebar desas-desus itu lebih kuat dari rasa marahnya. Katanya sambil menarik napas,
"Dasar nasib Hwe-liong-pang yang kurang baik. Dua puluh lima tahun yang lalu dimusuhi orang sejagad hanya karena ulah seorang Te-liong Hiangcu dan begundal-begundalnya yang membuat kerusuhan, sekarangpun akan mengalami nasib yang sama pula. Te-liong Hiangcu...Te-liong Hi-angcu, sungguh berbisa mulutmu itu."
Imam bersenjata pedang itu agaknya bertabiat lebih keras dari rahib bergelang emas itu. Mendengar keluhan Siangkoan Hong itu maka si rahib membentak, "Jangan mengada-ada. Kau kira kami bertindak hanya berdasarkan kabar angin saja? Dengar baik-baik, yang memberi kisikan bahwa kailan akan mengacau adalah dua orang tokoh terhormat! Mereka adalah..."
Si rahib cepat-cepat berteriak mencegah temannya itu, "loyu, jangan sebut nama mereka. Berbahaya buat mereka!"
Tapi si imam membantah, "Biar aku sebut, taysu, merekapun bukan pengecut yang hanya berani berbisik-bisik tanpa berani mempertanggung-jawabkan ucapan mereka. Kita berani terang-terangan menghadapi Hwe-liong-pang, kedua orang tokoh terhormat itu tentu berani pula.”
Lalu imam itu berkata kepada Siangkkoan Hong, "Yang memberitahu kami adalah He Keng-liang yang menjadi Ketua Ho-lian-pay, serta Yo Ciong-wan si Pedang Kilat dari Hoa-san-pay. Merekalah tokoh-tokoh terhormat, apakah mereka bisa berbohong?"
Diam-diam Siangkoan Hong; heran juga. Keduanya memang orang-orang yang mempunyai nama baik di dunia persilatan, pantang sembarangan bicara, kenapa sekarang mereka menyebarkan desas-desus macam itu? Atau barangkali si imam berjubah abu-abu itu sendiri yang bicara tidak benar?
Andaikata saja Siangkoan Hong tahu bahwa He Keng-liang Ketua Ho-lian-pay itu adalah samaran dari Te-liong Hiangcu sendiri, maka keheranannya tentu akan terhapus. Tapi saat itu Siangkoan Hong belum tahu bahwa saudara seperguruan yang dibencinya itu memiliki seribu satu wajah dalam dunia persilatan.
Sementara itu, dengan satu isyarat si imam berjubah kelabu si rahib bergelang emas telah menyiapkan senjata masing-masing, begitu pula delapan orang lainnyapun telah menghunus senjata mereka yang bermacam-macam dan meloncat berpencaran dalam sikap mengepung.
Siangkoan Hong menarik napas, "Jadi tidak ada jalan lain kecuali bertempur mengulangi kebodohan kita duapuluh lima tahun yang lalu?"
"Masih ada satu jalan," sahut si imam berjubah kelabu.
"Jalan apa?"
"Tarik kembali semua undangan tentang upacara besar di Tiau-im-hong itu, biarkan Hwe-liong-pang tetap terkubur debu sejarah dan biarkan dunia persilatan tetap tenang dan damai seperti sekarang ini. Dengan demikiai kita tidak perlu berkelahi dan bisa hidup berdampingan secara damai."
Siangkoan Hong mengertak gigi. "Imam keras kepala, kau berasal dari perguruan mana?" tanya Siangkoan Hong.
Di hadapan sekian banyak rekan-rekannya dari perguruan-perguruan lain, si imam rupanya malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, maka mendengar jawaban Siangkoan Hong itupun dia berkata tegas, "Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay, akan bertanggung jawab semua yang telah diperbuatnya....!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, bola besi bercat hijau kuning itupun meluncur deras dan menghantam pintu gerbang desa dengan suara gemuruh. Hantaman pertama menbuat palang pintunya retak, lalu Ha To-ji memutar bola besinya sekali lagi dan menghantamkannya lagi, dan hantaman kedua benar-benar membuat pintu gerbang itu terbuka lebar-lebar.
"Bagus, Ha To-ji!" teriak Pakkiong Liong yang melihat hal itu dari dekat, lalu teriaknya kepada prajurit-prajurit yang mengikutinya, "Saudara-saudara ikuti aku masuk ke sarang pemberontak ini!"
Maka dipelopori oleh Pakkiong Liong, prajurit Hui-liong-kun itupun segera menyerbu masuk lewat pintu gerbang yang telah dibobol itu. Ha To-ji sendiri segera membuang benda "warisan" Ji Tay-hou itu, dan menghunus golok lengkung yang tergantung di pinggangnya, dan ikut menerjang maju bersama panglimanya. Selain Ha To-ji, kelihatan pula Panglima Tay-tong Kwe Sin-liong bersama perwira-perwira andalannya Hoa Wi-jong dan Leng Bun yang mengamuk tanpa ketemu lawan yang setimpal itu.
Pemimpin laskar pemberontak yang mempertahankan pintu timur itu adalah Cu Yok-tek, ketua Koay-to-bun. Dia seorang diri sudah terang tidak sanggup menahan majunya Pakkiong Liong, Ha To-ji dan perwira-perwira Tay-tong itu. Laskarnya segera menjadi kocar-kacir dan terdesak ke dalam desa.
Sementara itu, meskipun pintu gerbang utara, barat dan selatan belum berhasil digempur sehingga terbuka, namun bobolnya pintu timur itu sudah cukup untuk mempengaruhi seluruh medan pertempuran di desa-desa itu. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun segera "mengalir" "masuk ke dalam desa bagaikan air bah yang tak terbendung lagi, menguasai jalan-jalan, lorong-lorong, halaman halaman rumah dan bahkan kebun-kebun kosong.
Di segala tempat laskar pemberontak mencoba bertahan dengan gigihnya, tapi Hui-liong-kun terus mendesak maju setapak demi setapak. Cu Yok-tek berjulukan Say-bin-ko-ay-to (Si Golok Kilat Bermuka Singa) itu telah bertemu tandingan seimbang, yaitu Kwe Sin-liong yang juga mahir dengan ilmu golok Tay-hong-to-hoat (Ilmu Golok Angin Badai). Maka golok kedua seteru itu saling menyambar dengan kehebatannya masing-masing.
Permainan golok Cu Yok-tek mengutamakan kecepatan, bacokan-bacokannya begitu deras, goloknya yang lebar, tebal dan panjang serta berat itu digerakkannya dengan begitu ringan seperti orang menger-akkan sepotong kayu saja. Pantaslah kalau tokoh itu mendapat julukan "koan-to" atau si "Golok Cepat". Tapi kali ini bertemu dengan lawan yang mahir ilmu golok Tay-hong-to-hoat yang apabila dimainkan benar-benar mirip angin prahara yang menggulung lawannya dengan dahsyatnya.
Sementara itu, pintu utara digempur oleh Tong Lam-hou dan beberapa perwira lainnya. Pasukan Hui-liong-kun agak mendapat kesulitan ketika mereka tidak berhasil mendobrak pintu gerbang dengan balok kayu besar yang di sodok-sodokkan itu.
Tong Lam-hou menjadi tidak sabar. Disuruhnya prajurit-prajuritnya minggir, lalu Tong lam-hou mengerahkan tenaga dalam ke telapak tangannya, dan dihantamkannya sekuat tenaga ke pintu gerbang yang tebal dan palang yang sebesar paha itu tidak sanggup menahan kekuatan Si Harimau Selatan yang perkasa itu.
Hanya dengan sekali pukul saja maka palang pintu itupun patah, bahkan kedua patahannya sampai mencelat melukai beberapa laskar pemberontak yang bertahan di balik pintu gerbang. Daun pintunya sendiri pecah berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan kayu selebar telapak tangan.
Maka prajurit Hui-liong-kun dengan dipelopori oleh Tong Lam-hou dan Wa-nyen Hui segera menyerbu masuk lewat pintu itu. Kongsun Hui mempertahankan diri di balik pintu bersama laskarnya. Pada wajahnya sudah terbayang tekadnya untuk mempertahankan pertahanan terakhir itu habis-habisan, sampai titik darahnya yang terakhir.
Karena itulah bagaikan mendapat kekuatan dia pimpin prajurit-prajuritnya untuk menghadang musuh, sambil berteriak-teriak, "Prajurit-prajurit Kerajaan Beng yang setia dan gagah perkasa! Inilah saatnya kalian menunjukkan kesetiaan dan keberanian kalian, hayo maju bersama aku, yang takut lebih baik cepat-cepat mencopot seragamnya dan berlutut minta ampun kepada musuh!"
Kata-kata itu memang berhasil membakar anak buahnya yang sebagian terdiri dari bekas prajurit-prajurit Kerajaan Beng itu. Maka para bekas prajurt itu bagaikan terbakar hatinya dan segera merangsak maju tanpa kenal takut, sehingga pertempuran pun berlangsung dengan hebat.
Di antara laskar pembeerontak dan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bercampur-aduk untuk saling membantai itu, menyelinaplah Giok-seng Tojin gadungan bersama-sama dengan dua orang rekannya, Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang berpakaian seperti laskar biasa itu. Mereka bertiga masih merasa penasaran karena kemarin belum berhasil membunuh Tong Lam-hou, maka kali ini mereka akan mengulangi lagi usaha mereka, namun ditambah dengan akal yang agak licik.
Ketika mereka melihat Tong Lam-hou tengah mengamuk di tengah-tengah laskar pemberontak, maka Giok-seng Tojin gadungan alias Han Kiam-to segera berkata kepada kedua rekannya, "Nah, itu dia. Akan kupancing ke kebun kosong dekat rumpun bambu itu, kalian bersiap-siaplah di sana, cepat!"
Lalu Giok-seng palsu itupun segera mendesak maju untuk mendekati Tong Lam-hou sambil berteriak, "Bangsat Manchu, jangan terlalu ganas. Akulah lawanmu!"
Tong Lam-hou menoleh ke arah orang berteriak itu, dan iapun mengenali imam berjubah kuning yang kemarin bertempur dengannya. Maka Tong Lam-hou, itupun menjawab, "Bagus hidung kerbau keparat, kaupun seorang agamawan yang palsu, sebab ikut bergabung dengan para pengacau untuk mengacau negara!"
Han Kiam-to melancarkan tusukan pedang tiga kali beruntun untuk memancing kemarahan Tong Lam-hou, setelah itu diapun tiba-tiba meloncat ke atas sebuah tembok yang tinggi sambil berkata menantang, "Di sini terlalu sesak dengan manusia. Kalau kau tidak bernyali tikus, marilah kita cari tempat yang sepi untuk mengukur kepandaian kita!"
Tanpa pikir panjang lagi Tong Lam-hou juga meloncat menyusul, sehingga ditengah-tengah riuhnya pertempuran di tengah desa itu, kedua orang itu bagaikan dua ekor burung yang berkejaran di atas atap-atap rumah atau meloncati pohon-pohon tinggi. Tong Lam-hou memang berilmu tinggi, namun tipu licik orang-orang dunia persilatan belum dipahaminya, sehinggai begitu mudahnya ia terpancing oleh Giok-seng Tojin palsu itu.
Wanyen Hui ketika melihat temannya itu pergi mengejar musuh begitu saja, segera meneriakinya, "Saudara Tong, hati-hati dengan akal licik musuh!"
Namun sambil melayang di atas atap sebuah rumah, Tong Lam-hou berteriak menjawab, “Jangan kuatir, aku membutuhkan waktu yang singkat saja untuk membereskan keparat ini! Saudara Wanyen, pimpin dulu pasukan di sini!"
Lalu Tong Lam-hou itupun melesat mengejar Giok-seng Tojin. Ketika tiba di sebuah kebon kosong yang banyak pohon bambunya, dan masih sunyi karena pertempuran belum sampai ke situ, maka Giok-Seng Tojin palsu segera meluncur turun dan menyelinap masuk ke dalam rumpun bambu itu. Tong Lam-hou masih sempat melihat ujung jubah imam yang berwarna kuning itu berkibar sebelum menghilang dari pandangan.
Dengan pedang melintang di depan dada Tong Lam-hou meloncat memburu tanpa rasa cemas sedikitpun. Dalam pikirannya ia menganggap semua ahli silat di dunia ini sejujur dirinya, tidak ada yang berbuat curang. Namun ternyata kemudian Tong Lam-hou telah memasuki jebakan. Begitu ia menerjang ke sebuah rumpun bambu, maka dari dua buah rumpun yang sebelah menyebelah muncullah serangan-serangan licik.
Dari satu rumpun berhamburan pisau-pisau belati yang logamnya berwarna hitam keungu-unguan, menandakan bahwa pisau-pisau itu diolesi dengan racun yang amat ganas. Empat pisau sekaligus terlempar dari tangan Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun yang muncul menyergap dari balik rumpun itu. Sedang dari rumpun lainnya Seng Cu-bok muncul sambil melemparkan dua butir peluru apinya.
Tong Lam-hou terkejut ketika mendengar desir-desir angin yang menyergap dari belakang itu. Tanpa menoleh ia langsung menggulingkan badannya dengan gerakan penyelamatan diri Koan-long-ta-kun (Serigala Bergulingan). Pisau-pisau beracun luput semua dan peluru apipun hanya mengena serumpun bambu sehingga langsung meledak dan berkobar.
Di saat Tong lam-hou dalam keadaan kerepotan itulah maka serangan lainnya datang pula. Kali ini dari Han Kiam-to sendiri, yang tiba-tiba saja telah meluncur balik ke belakang dan pedangnya dengan keji menikam ke leher Tong Lam-hou yang tengah bergulingan. Tokoh golongan hitam yang berjuluk Sat-jio-hong-kui (Iblis Gila Bertangan Besi) ini memang tidak percuma menyandang julukannya yang seram itu.
Tong Lam-hou benar-benar dalam bahaya, meskipun tikaman itu berhasil terhindar dari lehernya, namun menggores pundaknya. Yang membuat Tong Lam-hou terkejut adalah ketika ia merasa luka pedang itu tidak menimbulkan rasa pedih seperti biasanya, melainkan malahan tidak ada rasanya sama sekali, dan sesaat kemudian mulai terasa panas dan gatal-gatal di sekjtar mulut luka. Jelas sekarang; bahwa pedang Han Kiam-to itu diolesi racun.
Menyadari hal itu, Tong Lam-hou meloncat bangkit dengan marahnya dan hendak melabrak Han Kiam-to. Tapi pada saat ia hendak menyerang, tiba-tiba kepalanya pusing dan kakinya terasa ringan, langkahnyapun terhuyung-huyung sehingga serangan pedangnya luput. Kiranya racun yang melumuri pedang Han Kiam-to itu begitu tajamnya sehingga hanya dalam beberapa kejapan mata saja sudah langsung bekerja melumpuhkan korbannya.
Pada saat Tong Lam-hou terhuyung-huyung itulah Tong King-bun dan Seng Cu-bok serempak muncul. Tong King-bun meloncat langsung; dan menghantam tengkuk Tong Lam-hou sekuat tenaga, sehingga robbhlah anak muda itu tak berberdaya lagi. Tiga orang anak buah Te-liong Hiangcu itupun menyeringai seperti iblis-ibiis yang menghadapi mayat yang menjadi santapannya. Kata Han Kiam-to dingin,
"Kita ambil batok kepalanya untuk ditunjukkan kepada Te-liong Hiangcu. Setelah itu kita tinggalkan desa neraka ini secepatnya, Cu Leng-ong sudah bukan urusan kita lagi. Ia akan menang dan menjadi Kaisar ataupun hancur menjadi debu, tidak ada sangkut-pautnya dengan kita."
"Benar. Saudara Han, kau yang memegang pedang. Cepat penggal kepalanya. Kami sudah menyiapkan ramuan pengawet kepala itu agar tidak membusuk selama dalam perjalanan ke Kui-kiong (Istana Iblis)."
Dengan sebuah gerakan mantap tanpa ragu-ragu, sedikitpun, Han Kiam-to yang menyamar sebagai Giok-seng Tojin itu mengayunkan pedangnya ke leher Tong Lam-hou yang tertelungkup pingsan itu. Detik berikutnya, yang kehilangan kepala bukannya Tong Lam-hou melainkan malah Han Kiam-to sendiri. Sesosok bayangan hitam berkelebat begitu cepatnya seperti sesosok hantu saja.
Dengan gerakan tidak terlihat telah merebut pedang Han Kiam-to sebelum pedang itu menyentuh leher Tong Lam-hou, dan dengan sekali sabet mengelundunglah kepala Han Kiam-to. Tubuh tanpa kepala itu masih melangkah dua langkah mundur dengan tangan yang bergerak-gerak sesaat, lalu roboh diam.
Tong King-bun dan Seng Cu-bok terkejut bukan kepalang. Ketika mereka mengamati orang berpakaian hitam yang merebut pedang Han Kiam-to itu ternyata adalah seorang setengah tua berambut kelabu yang mengenakan seragam hitam-hitam prajurit yang paling rendah dari Hui-liong-kun. Namun orang tua itu memiliki sepasang mata yang tajam menusuk, dan sikapnya bukan sikap seorang prajurit biasa.
Sebagai bekas orang-orang Hwe-li-ong-pang yang berkhianat kepada Ketua Hwe-liong-pang. Tubuh tanpa kepala itu masih melangkah dua langkah mundur dengan tangan yang bergerak-gerak sesaat lalu roboh diam. Dengan berpihak kepada Te-liong Hiangcu, tentu saja Tong King-bun dan Seng Cu-bok mengenal siapakah prajurit palsu itu, dan dengan bibir gemetar mereka menyebut, ‘'Thian-liong Hiangcu!"
Memang, orang itu adalah Siangkoan Hong yang dalam Hwe-liong-pang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu, seorang tokoh yang baik ilmu maupun kedudukannya sejajar dengan Te-liong Hiangcu. Bedanya, Te-liong Hiangcu menghasut sebagian anggota Hwe-liong-pang untuk berkhianat kepada Ketua yang sah, sedangkan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong ini tetap setia kepada Ketua meskipun sang Ketua yang juga kakak seperguruannya itu sudah mati berpuluh tahun yang lalu.
Betapa garangnya Tong King-bun dari Seng Cu-bok namun di hadapan orang ini, mereka tak ubahnya kelinci-kelinci lumpuh di hadapan seekor singa yang kelaparan. Tidak perlu malu-malu lagi mereka berlutut dan membentur-benturkan jidat mereka ke tanah sambil berkata, "Salam hormat untuk Hiangcu!"
Siangkoan Hong tertawa dingin, sekilas diliriknya Tong lam-hou yang tertelungkup diam dengan muka kebiru-biruan itu. Lalu Siangkoan Hong mengeluarkan sebuah botol keramik dari balik bajunya, dari botol itu dituangkan dua butir benda kehitam-hitaman yang berbau tajam. Setelah botol kecil keramik itu disimpan kembali dalam baju, maka kedua butiran hitam itu ditimang-timangnya dengan telapak tangannya, katanya,
"Pengkhianat-pengkhianat tak kenal malu, coba angkat wajah kalian dan lihat apa yang ada di tanganku ini!"
Tong King-bun dan Seng Cu-bok mengangkat wajah mereka, dan pucatlah kedua wajah itu ketika melihat kedua butiran hitam di tangan Siangkoan Hong itu. "Ra... racun penghan... cur tubuh..."
"Betul. Kalian telan seorang sebutir," kata Siangkoan Hong dingin. "Anggap saja kembang gula."
Kedua gembong golongan hitam yang menjadi pengikut Te-liong Hiangcu itu kini sadar bahwa mereka telah terperosok kesulitan besar. Adalah di luar dugaan mereka bahwa Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong tiba-tiba saja muncul di sini dengan menyamar sebagai seorang prajurit Hui-liong-kun rendahan.
Mereka cukup paham watak Thian-Liong Hiangcu yang amat keras, amat membenci pengikut-pengikut Te-liong Hiangcu dan menumpasnya tanpa ampun dimanapun bertemu. Apalagi mereka berdua tertangkap sedang hendak membunuh Tong lam-hou keturunan Tong Wi-siang.
Akhirnya Tong King-bun berdua menjadi nekad. Tidak melawan mati, melawan juga mati, maka lebih baik melawan saja. Bagaikan seekor anjing gila tiba-tiba Tong King-bun meloncat, maju sambil membabatkan pedangnya kepada Siangkoan Hong.
Boleh jadi sergapan itu memang cukup cepat dan keji, tapi dihadapan Siangkoan Hong jadi seperti permainan anak-anak saja. Tanpa berkisar dari tempatnya, Siangkoan Hong mengulur tangan seenaknya dan dengan tepat berhasil menjepit batang pedang Tong King-bun, di lain saat tangannya sudah bergerak ke mulut Tong King-bun yang masih ternganga kaget itu, dan sebutir Racun Penghancur Tubuhpun menggelinding masuk ke perutnya.
Siangkoan Hong mendorong mundur tubuh Tong King-bun sampai beberapa langkah, katanya sambil tertawa, "Nah, anak manis, kembang gula bagianmu sudah kau telan.”
Sementara itu, terdorong oleh rasa takutnya, Seng Cu-bok meloncat akan melarikan diri. Tapi dengan sekali loncat saja Siangkoan Hong telah menutup jalannya, dan dengan gerakan amat tangkas maka Racun Penghancur Tubuh yang sebutir lagi juga telah dimasukkan ke mulut Seng Cu-bok.
Kedua bekas Tongcu Hwe-liong-pang pengikut Te-liong Hiangcu itu kini berdiri termangu-mangu dengan mata yang kehilangan semangat. Racun Penghancur tubuh sudah masuk ke perut mereka, sebentar lagi akan bekerja dan tamatlah nyawa mereka. Karena itu, yang mereka lakukan kemudian hanyalah duduk bersila di tanah, sementara mata mereka memandang dengan penuh kebencian kepada Siangkoan Hong.
"Kau iblis laknat!" geram Tong King-bun menjelang ajalnya.
"Dan kalian adalah pengkhianat-pengkhianat busuk!" balas Siangkoan Hong.
Tak lama kemudian, wajah kedua orang gembong golongan hitam itu menyeringai menunjukkan rasa sakit dan juga takut yang luar biasa, lalu tubuh mereka terbanting ke tanah, menggeliat-geliat dengan kulit tubuh yang semakin menghitam. Kuiit merekapun mulai pecah dan mengeluarkan cairan hitam berbau busuk, daging meleleh, dan sekejap kemudian yang namanya Tong King-bun dan Seng Cu-bok hanyalah dua bentuk kerangka putih bersih. Tanpa daging atau kulit secuilpun yang melekat padanya, sebab seluruh tubuhnya sudah mencair jadi air hitam yang meresap ke tanah. Yang masih utuh cuma rambut dan pakaian mereka.
Racun Penghancur Tubuh yang diramu berdasar kitab warisan Bu-san-jit-kui itu telah menjalankan tugasnya dengan baik, yang dalam Hwe-liong-pang digunakan khusus untuk orang dalam yang membuat kesalahan besar. Namun belum pernah terdengar bahwa butiran racun itu digunakan terhadap bukan orang Hwe-liong-pang.
Sesaat Siangkoan Hong memandang kedua tengkorak itu sambil menarik napas, "Jangan menyesal. Itulah peraturan Hwe-liong-pang bagi setiap pengkhianat. Pemimpin kalian Te-liong Hiangcu itupun suatu saat nanti akan menerima bagiannya."
Kemudian ia berjongkok di dekat tubuh Tong Lam-hou dan dengan tangkas menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun. Lalu dipanggulnya tubuh Tong Lam-hou untuk dibawa pergi dari situ. Diterjangnya saja medan perang yang penuh dengan senjata-senjata yang berkelebatan dari segala arah itu.
Hanya dengan mengibaskan tangannya, di depannya muncullah tenaga tak berwujud yang seolah-olah membuka jalan baginya, tidak peduli prajurit Hui-liong-kun atau laskar pemberontak akan segera tersibak terguling-guling oleh kebasan tangan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong. Akhirnya orang tua itu dengan membawa Tong Lam-hou telah menghilang di lereng-lereng bukit sana.
Sementara itu, jalannya pertempuran tidak seimbang, semakin lama semakin Jelas bahwa kekalahan sudah membayangi pihak laskar pemberontak. Empat pintu gerbang sudah berhasil didobrak semuanya oleh pasukan Hui-liong-kun. Di beberapa bagian perlawanan laskar pemberontak masih gigih.
Bahkan menjurus ke perbuatan bunuh diri beramai-ramai, karena setianya mereka kepada Kerajaan Beng. Namun lebih banyak lagi laskar pemberontak yang patah semangat dan memilih untuk meletakkan senjata ketika Pakkiong Liong mengeluarkan seruan untuk menyerah. Seluruh desa hampir mutlak dikuasai pasukan kerajaan.
Di gedungnya, pangeran Cu Leng-ong terus menerus mendengarkan laporan dari medan pertempuran. Dengan hati terguncang hebat didengarnya berita gugurnya Kongsun Hui, gugurnya Li Tiang-hong, menyerahnya Cu Yok-tek kepada musuh. Dan yang terakhir, Pangeran Cu Hin-yang juga gugur setelah mempertahankan desa pertahanan terakhirnya dengan mati-matian.
Sebelum hari menjadi sore, Hui-liong-kun di bawah pimpinan Pakkiong Liong yang dibantu pasukan Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin-liong sudah mutlak menguasai seluruh desa. Laskar pemberontak yang nekad melawan dibasmi, sedangkan yang menyerah segera dilucuti senjatanya dan dikumpulkan di suatu tempat yang luas dengan tangan terikat dan diawasi sejumlah prajurit.
Pakkiong Liong sendiri, diiringi oleh perwira-perwiranya segera menuju ke gedung Pangeran Cu Leng-ong, untuk menangkap biang pemberontakan itu. Sebelumnya, pengawal-pengawal gedung itu sudah dipaksa untuk menyerah lebih dulu setelah mengalami pertempuran singkat.
Begitu Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya mulai melangkahi tangga bangunan di tengah desa yang selama ini menjadi "pusat pemerintahan Kerajaan Beng" itu, mereka terkejut ketika mendengar dari dalam gedung ada teriakan,
"He, siapa yang berani masuk ke istanaku tanpa aku panggil?!"
Pakkiong Liong tertegun sejenak dan menghentikan langkahnya, sejenak ia berpandangan dengan perwira-perwiranya, lalu katanya, "Hati-hatilah, barangkali dalam gedung itu masih ada sekelompok pengikut Pangeran Cu Leng-ong yang lebih suka berbuat nekad daripada menyerah."
Perwira-perwiranya menganggukkan kepala dan mereka melangkah lagi. Ternyata tidak ada siapa-siapa dalam gedung itu, kecuali Pangeran Cu Leng-ong yang tengah duduk sendiri di kursinya yang berukir indah itu. Ia memakai jubah warna kuning yang baru saja digambarinya sendiri dengan gambar naga, digambari dengan tinta bak sehingga berlepotan tak keruan.
Dan gambar naganyapun acak-acakan, lebih mirip gambar seekor Kadal. Jubah kuning bersulam naga adalah jubah keagungan "seorang' kaisar, dan agaknya pangeran Cu Leng-ong sudah menganggap dirinya sebagai Kaisar sehingga ia menggambari jubahnya dengan naga.
Hampir-hampir tak percaya Pakkiong Liong ketika melihat keadaan pemimpin "Sri Baginda" itu. Selain jubah kuningnya yang tak karuan itu, kepalanya memakai mahkota-mahkotaan yang terbuat dari kertas bekas bungkus makanan sementara matanya berputar-putar liar ke sana ke mari sambil menyengir-nyengir sendiri.
Hanya ada satu kesimpulan, bahwa Pangeran Cu Leng-ong telah menjadi gila karena kegagalan ambisinya. Berita-berita kekalahan dan kematian Kongsun Hui dan lain-lainnya yang selama ini setia kepadanya, apalagi Pangeran Cu Hin-yang juga gugur, telah mempercepat keruntuhan jiwa Pangeran ini. Akhirnya beginilah jadinya.
Ketika melihat Pakkiong Liong dan lain-lainnya melangkah masuk, Pangeran Cu Leng-ong cepat berteriak, "He, bagaimana kabarnya medan perang? Musuh sudah terusir bukan? Bagus! Aku segera akan bertahta sebagai Kaisar Kerajaan Beng, kalian cepat berlutut!"
Kembali Pakkiong Liong saling melirik dengan perwira-perwiranya. Adalah lebih mudah bagi mereka untuk menghadapi orang-orang bersenjata yang melawan, daripada menghadapi seorang yang miring otaknya tanpa senjata.
Sementara Pangeran telah berteriak lagi, "He, kenapa kalian belum juga berlutut kepada raja kalian?! Kalian minta dihukum penggal kepala?"
Akhirnya Pakkiong Liong merasa iba juga kepada Pangeran yang telah menjadi gila karena gagalnya semua impiannya iapun berdesis perlahan kepada perwira-perwiranya, "Yang penting dapat membawa dia ke Pak-khia. Yang otaknya waras tidak ada jeleknya mengalah sedikit kepada yang gila. ayo berlutut."
Maka pakkiong Liong berlutut disertai perwira-perwiranya, meskipun dengan menahan senyum. Sementara Pangeran Cu Leng-ong telah berteriak lagi,
"Apakah kalian lupa tata tertib kerajaan kita yang agung ini? Sehingga kalian hanya berlutut saja tanpa berbuat lain?"
"Oh, ya, maaf, Pange,..eh, Sri Baginda," kata Pakkiong Liong. "Kawan-kawan, hayo ucapkan salam panjang umur kepada Sri Baginda gil eh, yang agung ini."
Dengan setengah hati perwira-perwira itupun berteriak, "Ban-swe! "Ban-swe!"
Pangeran Cu Leng-ong nampak puas. Iapun tertwa cekikikan, namun tiba-tiba ia berteriak lagi, "He, bagaimana jalannya pertempuran? Kalian belum melaporkan kepadaku!"
Tanpa disuruh, Pakkiong Liong berdiri dari dari berlututnya, dan menjawab, "Musuh sudah diusir. Bahkan kota Pak-khia sudah kita rebut. Kami akan membawa Sri baginda ke Pak-khia, kereta kebesaran Sri Baginda sudah kami siapkan di luar. Marilah, Sri Baginda."
"Bagus! Kalian adalah panglima-panglimaku yang hebat! Kalian akan menerima kedudukan yang tinggi, kau akan menjadi gubernur San-se, kau menjadi gubernur Korea, kau menjadi gubernur Shoa-tang, kau..."
"Sudahlah, Sri Baginda. Kereta sudah menunggu."
"Baik. Tapi sebelum berangkat aku ingin melihat sebuah tarian dulu. He, siapa di antara kalian yang pintar menari?"
Pakkiong Liong dan lain-lainnya menggerutu dalam hati, namun apa boleh buat, demi kelancaran tugas membawa Pangeran Cu Leng-ong sampai ke Pak-khia maka apapun permintaan si otak miring itu harus dituruti. Pakkiong Liong segera berkata kepada Ha To-ji, "Kau menari sebentar. Teman-temanmu biar mengiringinya dengan musik mulut saja."
"Aku menari, Ciangkun?" tanya Ha To-ji tercengang.
"Ya. Cepatlah. Turuti permintaan si gila ini agar ia dapat cepat-cepat dibawa ke Pak-khia."
Terdengar Pangeran Cu Leng-ong berteriak, "He, siapa yang kau sebut si gila itu? Aku? Kurang ajar kau! Kau kupecat sebagai panglimaku!"
"Terima kasih, Sri Baginda," sahut Pakkiong Liong kalem. Lalu katanya kepada Ha To-ji, "Cepat. Sebisa-bisanya saja!"
Maka Ha To-ji pun mulai menari dengan cara ngawur, dengan iringan "musik" mulut teman-temannya sendiri. Ia masih ingat tarian para pengembala di radang rumput Mongol sana, maka Ha Toji sebisa-bisanya menirukannya. Digerakkannya tangan di pinggangnya dan kakinyapun dilempar ke kanan dan kiri bergantian, meskipun ia melakukannya sambil mencaci-maki dalam hati.
Kemudian Pangeran Cu Leng-ong turun dari singgasananya dan ikut berloncat-loncatan seperti anak kecil, tidak peduli "mahkota"nya yang terbuat dari kertas itu jatuh ke lantai dan terinjak-injak kakinya sendiri. Setelah puas menari, barulah ia berkata kepada Pakkiong Liong, "Antarkan aku ke kereta kebesaranku. Kita harus segera menuju Pak-khia!”
"Baik, Sri Baginda."
Ketika tiba di dekat sebuah gerobak kayu yang di dalamnya dilapisi jerami dan ditarik dua ekor kerbau itu, Pangeran bertanya, "Inikah keretaku? Kenapa begini buruk?"
"Nampaknya saja memang buruk, Sri Baginda, tapi sesungguhnya bahan-bahan kereta ini adalah bahan-bahan yang sangat langka. Tidak semua raja di dunia ini mengalami duduk dalam kereta seperti ini, beruntunglah Sri Baginda. Lihat ukir-ukirannya yang begitu indah dan halus,” kata Pakkiong Liong sambil meuunjuk permukaan kayu yang Kasar. "Begitu halusnya sehingga mirip permukaan kayu asli padahal semuanya itu dibuat dengan tangan."
Banyak para perwira dan prajurit di sekitar tempat itu yang menahan tertawanya melihat cara Panglima mereka membujuk Pangeran Cu Leng-ong agar mau menaiki keretanya itu. Dan akhirnya ternyata Pangeran itu mau juga.
Dengan membawa Pangeran Cu Leng-ong sebagai tawanan, dan juga ratusan orang laskar pemberontak yang menyerah, maka Pasukan Hui-liong-kun meninggalkan desa itu. Sebagian dari pasukan Tay-tong ditinggalkan di desa itu untuk membantu penduduk mengatur kembali segi-segi kehidupan yang porak-poranda selama perang beberapa hari yang singkat itu.
Pakkiong Liong juga sudah mendengar berita tentang Tong Lam-hou yang menurut laporan prajurit-prajurit dibawa oleh "seorang tua yang bisa terbang". Pakkiong Liong tidak tahu siapa orang itu dan apa maksudnya membawaa Tong Lam-hou dengan cara seperti itu, namun satu hal yang ia tahu, orang yang sanggup membawa Tong Lam-hou seperti itu tentu seseorang yang kepandaiannya amat tinggi. Karena itulah Pakkiong Liong merasa tidak ada gunanya menyuruh prajurit-prajuritnya tidak akan sanggup menandingi orang itu.
"Mungkin orang itu adalah gurunya si Sesat Tua dari Tiam-jong-san itu," kata Pakkiong Liong dalam hatinya. "Meskipun tindakannya itu terasa aneh juga. Dulu di Tiam-jong-san, dengan telingaku sendiri aku mendengar orangtua itu mengijinkan A-hou menjadi prajurit, apakah sekarang orangtua itu tiba-tiba berbalik pendirian sehingga mengambil muridnya dengan cara itu?"
Pertanyaan itu dipendamnya dalam hati dan tak ada jawaban untuk itu. Dan bahwa orangtua itu benar-benar Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan atau bukan, juga belum bisa dipastikan. Kini lebih penting mengurus pasukannya, meskipun kecemasan akan diri sahabatnya itupun terasa cukup menggelisahkan.
* * * * * * *
KETIKA Pangeran Cu Leng-ong si "Kaisar Kerajaan Beng" menaiki sebuah gerobak kerbau yang membuatnya terus-terusan mengumpat-umpat sepanjang jalan, maka Tong Lam-hou justru berada di sebuah kereta yang bagus dan empuk. Begitu ia membuka matanya, yang dilihatnya adalah bagian dalam sebuah kereta yang berlapis kain satin kuning, dan dirinya sendiri terletak di sebuah kursi panjang dalam kereta yang saat itu digunakan sebagai tempat tidur.
Di kiri kanan kereta ada jendela-jendela yang tirainya, disibakkan, seningga angin dari luar dapat berhembus masuk ke dalam kereta dan membuat suasana sejuk. Kereta itu memang benar-benar nyaman.
Selain besar, jalannya tenang pula. Antara sumbu roda kereta dengan tubuh kereta dihubungkan dengan besi-besi melengkung yang dapat meredam goncangan jalannya kereta. Kuda yang menariknya ada dua ekor dan semuanya adalah kuda-kuda gurun pilihan. Pantasnya kereta ini dimiliki oleh seorang hartawan, bukan oleh seorang Siangkoan Hong yang di penginapan di pak-khia saja masih punya hutang sewa kamar yang belum dilunasi. Tapi nyatanya yang mengendalikan kereta itu adalah Siangkoan Hong yang duduk di bagian depan.
Ketika Tong Lam-hou siuman, dirinya masih ingat peristiwa yang terakhir menimpa dirinya. Bagaimana seorang imam berjubah kuning memancingnya ke sebuah rumpun bambu yang agak jauh dari medan pertempuran, dan di sana ia dilukai dengan pedang beracun oleh imam itu sehingga kesadarannya hilang, entah mengapa sekarang dia menemukan dirinya berada dalam kereta yang mewah ini?
la hendak bangun, tapi kepalanya masih pusing. Dilihatnya bajunya di bagian pundak telah robek lebar, dan pundaknya yang kemarin luka itu telah dibalut rapi. Namun badannya masih lemah dan kepalanya masih agak pusing. Maka ia memutuskan untuk tetap berbaring saja di kursi panjang dalam kereta yang nyaman itu, sampai kekuatannya pulih. Toh menilik bahwa si pembawa kereta itu tidak mengikat kaki tangannya dan bahkan ia membalut lukanya, agaknya orang itu tidak bermaksud jahat.
Ia merasa Jalannya kereta bertambah lambat, dan di luar kereta mulai terdengar suara orang ramai di dalam pasar atau di tengah kota. Agaknya mereka masuk ke sebuah kota sehingga harus melambatkan jalannya supaya tidak menabrak orang. Sambil tetap berbaring Tong Lam-hou melihat ke luar jendela, dan benar juga dia melihat pucuk-pucuk bangunan yang tinggi-tinggi atau genteng-genteng berhias patung naga. Itulah sebuah kota yang ramai-Kereta berhenti, dan kuping Tong lam-hou mendengar sebuah pertanyaan,
"Membutuhkan penginapan yang tenang dan sejuk serta makanan yang lezat, tuan? Kami menyediakan. Juga perawatan untuk kuda-kuda dan kereta tuan yang bagus ini, dengan bayaran yang murah."
Dari arah tempat duduk pengemudi kereta, Tong Lam-hou mendengar suara yang sudah dikenalnya di Pak-khia beberapa hari yang lalu, "Baik. Sediakan kamar yang agak terpisah dari lain-lainnya, dan sepi, sebab aku membawa keponakanku yang sakit."
"Baik, tuan. Silahkan masuk. Kereta ini biar dibawa ke belakang oleh pelayan, tuan langsung beristirahat saja."
Pintu kereta terbuka, dan Tong Lam-hou melihat seraut wajah yang sudah diduganya sejak ia mendengar suara si pengemudi kereta tadi. Sapanya, "Paman Siangkoan!"
Orang itu memang Siangkoan Hong. Kali ini ia berpakaian bagus mirip seorang hartawan, bahkan kepalanya juga memakai topi yang berbentuk belahan semangka dengan hiasan batu giok hijau di keningnya. Tong Lam-hou menjadi geli melihatnya. Siangkoan Hong yang membukakan pintu dari luar kereta itupun tersenyum ketika melihat Tong Lam-hou tersenyum, tanyanya,
"kau mentertawakan aku kurang pantas dengan pakaian seperti ini?"
Sahut Tong Lam-hou cepat-cepat, "Pantas sekali, paman. Paman mirip seorang hartawan besar. Hanya janggalnya, seorang hartawan melakukan perjalanan jauh dengan mengendalikan sendiri keretanya."
"Oh, cuma kejanggalan kecil. Besok kita cari seorang sais, sehingga penampilan kita benar-benar mirip seorang hartawan dan puteranya yang sedang berpesiar. Nah, apakah kau sudah bisa turun sendiri?"
"Agaknya sudah bisa, paman," sahut Tong Lam-hou sambil mencoba mengatasi rasa peningnya dan melangkah keluar dengan berpegangan ambang pintu. Dan begitu ia tiba di luar kereta untuk melihat keadaan sekitarnya, diapun melongo kaget.
"Ada yang membuatmu kaget?" tanya Siangkoan Hong.
"Paman, melihat cara berpakaian orang-orang di sini, agaknya kita sedang ada di daerah sebelah barat. Entah Su-cuan entah Kam-siok."
Siangkoan Hong, "Memang. Kau pingsan selama dua hari dan selama itu sambil aku mengobatimu aku juga sedang membawamu kepuncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san. Kira-kira tiga atau empat hari lagi, kita akan memasuki kota Lam-tiong."
"Untuk apa menuju ke puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san?"
"Apakah kau belum tahu? Di puncak itulah dulu berdirinya markas besar Hwe-liong-pang yang didirikan oleh mendiang ayahmu. Kita kesana untuk mendirikan kembali Hwe-liong-pang yang telah runtuh karena pengkihianatan Te-liong Hiangcu itu. Kau putera Tong Wi-siang dan kau akan menjadi Ketua Hwe-liong-pang yang baru. Jelas?"
Tong Lam-hou terkejut, "Paman, urusan menjadi ketua sebuah perserikatan yang besar seperti Hwe-liong-pang, sesungguhnya aku belum berani memikirkannya. Agaknya tindakan paman sekali ini sudah terlalu jauh. Aku seorang prajurit yang masih terikat kewajiban untuk menegakkan ketertiban di negeri ini, aku tidak bisa..."
"Jadi kau merasa lebih berharga menjadi seorang perwira yang diperintah-perintah oleh orang lain daripada menjadi seorang Ketua Hwe-liong-pang yang memerintahkan ribuan anggota yang setia kepadamu?" potong Siangkoan Hong. "Dengar, nak, aku bukan seorang yang membeda-bedakan keturunan Manchu atau Han atau setan belang. Tapi aku tidak rela melihat putera kakak seperguruanku, putera Ketua Hwe-liong-pang, seumur hidup hanya akan menjadi seorang perwira yang diperintah oleh orang lain. Hidupmu tidak akan berharga sedikitpun, nak."
"Paman, kalau paman..." Tong Lam-hou sebenarnya hendak mendebat ucapan pamannya itu, tapi terpotong oleh datangnya seorang pelayan yang mengatakan bahwa ruangan untuk mereka sudah siap.
Kedatangan pelayan itu menyadarkan mereka bahwa mereka sedang berada di pinggir jalan, bukan tempat yang cocok untuk berdebat. Maka Siangkoan Hong dan Tong Lam-houpun segera melangkah mengikuti pelayan rumah penginapan itu untuk menuju kamar mereka, yang ternyata memang cukup bersih. Begitu keduanya berada dalam kamar, perdebatanpun dilanjutkan. Tong Lam-hou meneruskan perkataannya yang tertunda tadi,
"Paman, paman harus tahu apa yang mendorongku menjadi seorang prajurit,. Aku melihat orang-orang yang menamakan diri 'pembebas tanah-air’ dari sisa-sisa dinasti Beng itu bertindak sewenang-wenang kepada rakyat. Maka aku harus membantu Kerajaan Manchu untuk menertibkan keadaan, membersihkan pengacau-pengacau. Soalnya bukan sekedar diperintah atau memerintah. Dengan kedudukanku sebagai prajurit, aku menertibkan keadaan.”
"Jika kau menjadi Ketua Hwe-liong-pang, nak, kau bisa berbuat lebih banyak lagi untuk menertibkan keadaan. Hwe-liong-pang juga membela rakyat kecil, dan kami pun bermusuhan dengan sisa-sisa dinasti Beng. Bahkan ketika dinasti Beng masih jaya dulu, kami sudah berani menentangnya."
"Tetapi orang-orang Hwe-liong-pang yang kulihat sekarang, maaf, juga pengacau-pengacau tak ada bedanya dengan sisa-sisa dinasti Beng itu. Di Hun-lam aku melihat kedua golongan ini bersekutu memusuhi Pakkiong Liong. Dan menurut beberapa orang perwira Ui-ih-kun yang menjaga Penjara Kerajaan ketika tempat itu dibongkar orang, ada pula orang-orang Hwe-Iiong-pang yang ikut serta dalam pembongkaran penjara itu. Bukankah ini berarti orang-orang Hwe-liong-pang-pun juga adalah pengacau-pengacau yang memusuhi pemerintah Kerajaan? Aku harus berpihak kepada pengacau-pengacau?"
Wajah Siangkoan Hong menjadi merah padam melihat sikap Tong Lam-hou yang menuduh orang-orang Hwe-liong-pang sebagai pengacau itu. Geramnya, "Kurang ajar kau! Kau mengatakan teman-temanmu sendiri sebagai pengacau? Mereka juga membela rakyat seperti prajurit-prajurit Manchu yang kau banggakan itu. Kalau ada seorang dua orang anggota Hwe-liong-pang yang menyeleweng, apa tidak ada juga prajurit-prajurit Manchu yang menindas rakyat?! Aku tidak ingin kau menutup mata dari semua kenyataan."
Tong Lam-hou termangu-mangu mendengar ucapan pamannya itu. Kedengarannya masuk akal juga, tapi hatinya benar benar tidak tertarik sedikitpun untuk menjadi seorang Ketua Hwe-liong-pang. Di dalam Pasukan Naga Terbang ia merasa bahwa ia sudah mendapat tempatnya yang pas, kenapa harus ditinggalkan untuk mengejar sesuatu yang lain, yang belum tentu cocok dengan dirinya? Maka katanya,
"Paman Siangkoan, tidak adakah orang lain selain aku yang bisa menjadi Ketua Hwe-liong-pang? Kenapa harus aku? Aku benar-benar tidak bisa menerima..."
"Terlambat kau ucapkan itu," sahut Siangkoan Hong dingin dan tegas. "Kau tidak akan bisa menghindari pengangkatanmu lagi, selain karena kau adalah anak Hwe-liong Pangcu, juga karena aku sudah menghubungi bekas pengikut-pengikut ayahmu yang masih setia kepadanya, dan mereka semua sudah menyatakan sanggup untuk datang tanggal 15 nanti di puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san. Untuk menghadiri upacara besar berdirinya kembali Hwe-liong pang dan sekaligus penunjukkanmu sebagai Ketua!"
Alangkah terkejutnya Tong Lam-hou mendengar ucapan paman gurunya yang terakhir ini. Ia tahu bahwa pamannya tidak bermaksud jahat kepadanya, bahkan sang paman itu tidak memikirkan sedikitpun kepentingan dirinya sendiri, tapi sikapnya yang kepala batu dan mengatur diri Tong Lam-hou seenaknya tanpa pengangkatanmu lagi, selain karena kau adalah anak Hwe-liong Pangcu, juga diketahui sendiri oleh Tong-lam-hou itu, membuatnya jengkel. Tong Lam-hou menganggap si paman Siangkoan ini terlalu mencampuri urusan dirinya, bahkan urusan menentukan masa depannya sendiri.
"Paman Siangkoan!" kata Tong Lam-hou dengan nada keras. "Paman sudah terlalu jauh mencampuri urusanku, dan menganggapku sebagai boneka yang harus menuruti semua kehendak paman! Aku memutuskan tidak mau menjadi Ketua Hwe-liong-pang, habis perkara!”
Siangkoan Hong tertawa dingin sambil mendekati Tong Lam-hou, katanya, "Habis perkara buat kau, buat aku dan seluruh Hwe-liong-pang belum habis!"
Lalu tangannya tiba-tiba menotok beberapa jalan darah Tong Lam-hou, yang membuat tubuh anakmuda itu jadi lumpuh. Lalu diangkatnya tubuh Tong Lam hou dan diletakkan di pembaringan, dan diselimuti seperti menyelimuti seorang bayi yang sangat disayangi, sambil berkata, "Kau harus nampak segar dan sehat dalam upacara besar di puncak Tiau-im-hong nanti. Apa kata orang jika mereka melihat Ketua Hwe-liong-pang berwajah pucat dan kuyu karena kurang tidur?"
Sungguh mendongkol sekali rasanya Tong Lam-hou, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Paman Siangkoan-nya itu sudah bertekad bulat untuk mendudukkan dirinya di kursi Ketua Hwe-liong-pang, tidak peduli dirinya sendiri setuju atau tidak.
Begitulah, sejak saat itu Tong Lam-hou jadi mirip sebuah boneka besar di tangan Siangkoan Hong. Ia tahu bahwa Siangkoan Hong bermaksud baik, namun kebebasannya yang terkekang membuat Tong Lam-hou amat jengkel. Akhirnya Tong Lam-hou memutuskan untuk berpura-pura menuruti ucapan-ucapan Siangkoan Hong. Apabila Siangkoan Hong berbicara panjang lebar tentang Kehebatan Hwe-liong-pang di masa lalu, maka Tong Lam-hou mencoba bersikap sangat memperhatikan untuk menyenangkan hati Siang-koan Hong.
Hari demi hari mereka berjalan terus, semakin dekat ke Tiau-im-hong, dan kecurigaan Siangkoan Hong kepada Tong Lam-houpun berkurang. Dalam beberapa hari terakhir ini nampaknya sang keponakan itu sudah ''menurut", maka totokannyapun tidak seberat beberapa hari yang lalu.
Bahkan kadang-kadang Siangkoan Hong mengajak Tong Lam-hou duduk berdampingan di tempat mengemudikan kereta. Bercakap-cakap membicarakan beberapa macam hal, dan Tong Lam-hou. tahu juga bahwa Paman Siangkoan ini tidak selamanya ngawur. Dari bermacam soal yang dibicarakannya, ada seperempatnya yang tidak ngawur.
Namun Siangkoan Hong masih belum membebaskan Tong Lam-hou sepenuhnya, ia masih punya kekuatiran jangan-jangan sang keponakan yang hendak diangkat sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu nanti kabur di tengah jalan. Karena itu ada sebuah totokan yang tidak dibebaskannya. Meskipun kaki tangan Tong Lam-hou bebas semuanya, bahkan ia dapat pula mengerahkan tenaga dalam untuk bertempur, namun ada salah satu jalan darah yang tidak bisa terbuka totokan-nya, kecuali dibuka oleh Siangkoan Hong sendiri atau oleh orang sealirannya.
"Itulah ilmu menotok warisan Bu-san-jit-kui yang lihai," kata Siangkoan Hong setengah menakut-nakuti keponakannya. "Saat ini, di dunia ini yang mahir totokan itu hanya tiga orang. Aku sendiri, Thian-liong Hiangcu, Te-liong Hiangcu dan Kim-liong Hiangcu. Aku jelas tidak akan membebaskanmu sebelum kau mantap menjadi Ketua Hwe-liong-pang. Te-liong Hiangcu juga lebih suka mencekikmu daripada membebaskan totokanku itu, dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-ping sudah menghilang sejak runtuhnya Hwe-liong-pang dulu. Jangan harap kau bisa menemukannya."
Tong lam-hou menyeringai mendengar gertakan paman gurunya itu. Tapi ia masih bertanya juga, "Tapi aku merasa tangan dan kakiku bebas, tenaga dalam pun dapat kukerahkan sesuka hati, apa yang menjadi akibat dari totokan paman Siangkoan itu?"
Siangkoan Hong tertawa mendengar pertanyaan itu, "Kau ini disebut oleh pasukanmu dengan sebutan Harimau Selatan, untuk membandingkan dirimu dengan Pakkiong Liong si Naga Utara. Tapi dalam pandanganku, kau tak lebih dari seekor anak kambing gemuk yang belum tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Jika kau pernah membaca kitab warisan Bu-san-jit-kui beberapa halaman saja, kau akan tahu bahwa ilmu silat yang bermacam-macam dan maha ajaib terdapat dalam kitab itu. Totokanku kepadamu itu hanya terasa akibatnya setiap malam, yaitu setiap tengah malam kau akan tersikasa oleh rasa nyeri di tubuhmu selama setengah peminuman teh. Selama totokan itu belum dibuka, kau akan terus merasakan siksaan tiap tengah malam. Seumur hidup pula kau akan merasakannya. Totokan ajaran Bu-san-Jit-kui ini lain daripada yang lain, ia tidak akan terbuka sendirinya setelah beberapa jam, seperti totokan-totokan biasa lainnya. Itu adalah totokan paling lihai di dunia ini."
Tong Lam-hou menjawab, tetapi di dalam hatinya ia tidak percaya kepada pamannya yang dianggap membual itu. Mana ada totokan seperti itu? Dan bukankah selama beberapa malam ini ia tidak mengalami siksaan apapun? Ia hanya tahu bahwa tiap malam paman Siangkoan-nya ini menotok beberapa jalan darahnya, tapi tidak ada rasa siksaan segala. Namun Tong Lam-hou tidak berani menunjukkan rasa tidak percayanya itu, dia hanya memutar otak bagaimana caranya melepaskan diri dari genggaman pamannya ini.
Pada suatu hari, kereta itu lewat sebuah tempat yang sepi. Saat itulah tiba-tiba dari pinggir jalan bermuncullah beberpa orang yang berloncatan menghadang di tengah jalan. Jumlahnya ada kira-kira sepuluh orang, terdiri dari macam-macam manusia, ada rahib Buddha, ada imam agama To dan ada pula pengemis yang berpakaian tambal-tambalan.
Namun ada pula orang biasa. Dari sekian banyak orang, kesamaan mereka adalah bahwa mereka semuanya bersikap garang dan bermusuhan. Loncatan-loncatan mereka tadi juga menandakan tidak seorangpun di antara mereka yang berilmu rendah.
Yang menjadi pemimpin adalah seorang rahib Buddha berkepala gundul dengan alis yang putih dan panjang, tangannya memegang sepasang gelang besar yang terbuat dari emas. Gelang-gelang itu yang satu berukir naga, lainnya berukir harimau. Yang mendampinginya adalah seorang imam berwajah pucat dan berjubah abu-abu, dengan sebatang pedang tergendong di punggungnya, sementara tangan kirinya memegang hud-tim (kebut pertapa).
Siangkoan Hong menarik kuat-kuat tali kendali sehingga keretapun berhenti. Tanpa turun dari kereta, Siangkoan Hong mengangkat tangan di depan dada untuk memberi salam, dan bertanya, "Maaf, saudara-saudara, ada keperluan apa saudara-saudara menghadang jalan kami berdua?"
Si rahib bergelang emas itu yang membalas hormat, lalu bertanya dengan nada sehormat mungkin, "Saudara, menurut penyelidikan beberapa orang-orang kami, apakah saudara yang dalam beberapa hari terakhir ini menyebarkan undangan ke puncak Tiau-im-hong pada tanggal limabelas nanti untuk menghadiri pendirian kembali Hwe-liong-pang?"
Siangkoan Hong bersikap tenang tanpa terkejut mendengar pertanyaan itu. Memang orang-orang rimba persilatan sering disebut sebagai "bermata seribu dan bertelinga seribu", ada gejolak sekecil apapun dalam dunia persilatan tentu tidak lepas dari penglihatan atau pendengaran mereka dan tersebar luas dengan cepatnya. Begitu pula ulah Siangkoan Hong yang menyebarkan berita akan adanya upacara besar di puncak Tiau-im-hong itu agaknya telah menimbulkan tanggapan. Bukan saja orang-orang Hwe-liong-pang yang menanggapi, melainkan juga orang-orang di luar Hwe-liong-pang.
Tanggapan orang-orang di luar Hwe-liong-pang pun bermacam-macam, ada yang bersyukur bahwa Hwe-liong-pang yang pernah jaya itu akan bangkit Kembali, ada yang mengutuk karena masih ingat sakit hatinya terhadap Hwe-liong-pang yang belum juga terhapus oleh jalannya waktu selama berpuluh tahun, dan ada yang acuh tak acuh saja.
Dan orang-orang yang menghadang Siangkoan Hong serta Tong Lam-hou kali ini adalah golongan kedua, golongan yang melihat bangkitnya kembali Hwe-liong-pang ibarat melihat bangkitnya kembali sesosok iblis maha ganas dari liang kuburnya. Karena itu, dengan segala jalan maka kebangkitan kembali Hwe-liong-pang harus dicegah.
Sahut Siangkoan Hong, "Benar. Memang aku yang menyebarkan undangan. Tetapi seingatku, undangan hanya kuperuntukkan bagi anggota-anggota Hwe-liong-pang saja. Aku tidak berani merepotkan para pendekar dari golongan lain hanya untuk menghadiri upacara kami yang kecil dan tidak berarti. Apakah saudara-saudara ini ada kepentingan dengan hal itu?"
Sahut si rahib bergelang emas, "Tentu saja sangat berkepentingan. Di masa lalu, tandang Hwe-liong-pang tidak saja bersangkut-paut dengan para anggota Hwe-liong-pang sendiri, tapi juga menimbulkan gejolak seluruh rimba persilatan, menimbulkan pertentangan dan banjir darah di bukit Siong-san, di lembah Jian-hoa-kok, di markas Tiong-gi Piauhang di Tay-beng dan entah di mana lagi. Itulah yang membuat kami berkepentingan, demi keselamatan seluruh dunia persilatan."
Siangkoan Hong mengerutkan alisnya, sahutnya, "Ya, aku masih ingat suasana puluhan tahun yang lalu. Tetapi tay-su (bapak pendeta) tentu juga masih ingat bahwa saat itu ada dua Hwe-liong-pang. Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Ketua yang syah Tong Wi-siang, dan Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Te-liong Hiangcu yang berkhianat. Dan yang membuat kekacauan itu adalah orang-orangnya Te-liong Hiangcu. Segala kesalah-pahaman itu sudah beres, bahkan banyak kaum pendekar yang kemudian bersahabat dengan kami. Mau apa tay-su sekarang mengungkat-ungkit lagi hal yang sudah lalu itu?"
Rahib itu tertawa dingin, "Memang ada rekan-rekan kami sendiri yang berlagak sebagai orang-orang berdada lapang, yang berbalik menjadi sahabat-sahabat Hwe-liong-pang. Tapi kami tidak bisa melupakan apa yang telah menimpa beberapa teman-teman kami yang tewas oleh kekejian kalian. Terserah apakah kami akan dianggap berjiwa sempit atau tidak pemaaf atau sebutan-sebutan lain? pokoknya kami tidak bisa membiarkan Hwe-liong-pang bangkit kembali. Kami tidak ingin gelombang kerusuhan berjangkit pula di rimba persilatan, dan kami harus mencegahnya sebelum itu timbul."
Siangkoan Hong menyeringai kecewa? sahutnya, "Tay-su, tidak bisakah tay-su menerima penjelasanku tadi? Segala kekejaman itu dilakukan oleh anak buahnya Te-liong Hiangcu. Bahkan pihak kami sendiri juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencegah kekejaman-kekejaman mereka demi nama baik Hwe-liong-pang."
Yang menjawab adalah imam berjubah kelabu yang menggendong pedang itu, "Rasanya sungguh enak melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Tetapi apapun alasannya, kami tetap akan mencegah berdirinya ktembali Hwe-liong-pang. Kucing belang atau kucing hitam tetap akan menerkam tikus, walaupun bulunya berbeda."
Wajah Siangkoan Hong mulai mengeras karena sikap sabarnya ditanggapi oleh penghadang-penghadangnya itu dengan cara yang tidak menyenangkan. Dasarnya dia sendiri bukan seorang penyabar, maka sikapnyapun menjadi keras pula, "Percuma saja aku memberi penjelasan dengan susah-payah kepada kalian. Kalian belum jera juga akan pengalaman masa lalu di mana Te-liong Hiangcu mengadu domba antara kita supaya dia sendiri memungut keuntungan. Bukankah adu domba itu hanya membuahkan kerugian di pihak kita masing-masing. Berapa teman-teman kita yang tewas sia-sia di Tiau-im-hong waktu itu? Kini kalian akan mengulangi ketololan yang sama?"
Namun sikap para penghadang itu sudah membatu, kebencian mereka terhadap Hwe-liong-pang bukan saja terbentuk selama satu dua hari, tapi selama bertahun-tahun. Sepatah dua patah penjelasan Siangkoan Hong tidak akan melumerkan sikap mereka. "Sudah kami jawab tadi, kucing belang atau kucing hitam tetap akan menangkap tikus," sahut si imam sambil menghunus pedang di punggungnya. "Aku tidak peduli ada berapa macam Hwe-liong pang, pokonya Hwe-liong-pang harus ber-tanggung-jawab atas kematian dua orang saudara seperguruanku duapuluh lima tahun yang lalu."
Habis juga kesabaran Siangkoan Hong. Namun sebenarnya diapun mengeluh dalam hati, pertentangan dengan orang-orang dunia persilatan sebenarnya tidak dia kehendaki, sebab pada masa awal kebangkitannya yang kedua itu Hwe-liong-pang membutuhkan sahabat-sahabat, bukan musuh-musuh. Namun yang tidak dikehendaki itulah yang terjadi pada dirinya. Dan Siangkoan Hong dapat menebak siapakah yang berdiri sebagai dalang dari semua kesalah-pahaman itu.
Tidak lain tidak bukan tentu Te-liong Hiangcu, sebab Siangkoan Hong sudah hapal dengan cara kerja bekas saudara seperguruannya itu. Cukup dengan desas-desus sedikit, maka orang-orang yang sejak dulu membenci Hwe-liong-pang akan bangkit kembali untuk mengangkat senjata. Dan Te-liong Hiangcu tinggal enak-enak menonton kedua pihak bertarung sampai hancur sendiri.
Sambil lalu Siangkoan Hong bertanya, "Hemm, kalian ingin bertempur, baiklah. Tetapi apa yang mendorong kalian bertindak menjegal langkah kami? Sekedar kebencian sisa-sisa berpuluh tahun yang lalu?"
Sahut si rahib bergelang emas, "Aku mendengar berita, kalian akan bangkit kembali dan berusaha menguasai dunia persilatan seperti duapuluh lima tahun yang lalu. Kabar ini berasal dari orang yang bisa dipercaya, karena dia adalah Ketua dari sebuah perguruan aliran lurus."
"Siapa dia?" tanya Siangkoan Hong.
Rahib bergelang emas itu menggelengkan kepalanya, dan menjawab tegas, "Tidak akan kusebutkan, sebab pihakmu pasti akan membunuhnya untuk membungkam orang yang telah berhasil menelanjangi maksud busuk Hwe-liong-pang itu."
Jika menuruti saja kemarahannya, ingin Siangkoan Hong langsung bertempur dan menghajar si Rahib dan kawan-kawannya yang terlihat sangat tengik itu. Tapi rasa tahu Siangkoan Hong akan siapa yang menyebar desas-desus itu lebih kuat dari rasa marahnya. Katanya sambil menarik napas,
"Dasar nasib Hwe-liong-pang yang kurang baik. Dua puluh lima tahun yang lalu dimusuhi orang sejagad hanya karena ulah seorang Te-liong Hiangcu dan begundal-begundalnya yang membuat kerusuhan, sekarangpun akan mengalami nasib yang sama pula. Te-liong Hiangcu...Te-liong Hi-angcu, sungguh berbisa mulutmu itu."
Imam bersenjata pedang itu agaknya bertabiat lebih keras dari rahib bergelang emas itu. Mendengar keluhan Siangkoan Hong itu maka si rahib membentak, "Jangan mengada-ada. Kau kira kami bertindak hanya berdasarkan kabar angin saja? Dengar baik-baik, yang memberi kisikan bahwa kailan akan mengacau adalah dua orang tokoh terhormat! Mereka adalah..."
Si rahib cepat-cepat berteriak mencegah temannya itu, "loyu, jangan sebut nama mereka. Berbahaya buat mereka!"
Tapi si imam membantah, "Biar aku sebut, taysu, merekapun bukan pengecut yang hanya berani berbisik-bisik tanpa berani mempertanggung-jawabkan ucapan mereka. Kita berani terang-terangan menghadapi Hwe-liong-pang, kedua orang tokoh terhormat itu tentu berani pula.”
Lalu imam itu berkata kepada Siangkkoan Hong, "Yang memberitahu kami adalah He Keng-liang yang menjadi Ketua Ho-lian-pay, serta Yo Ciong-wan si Pedang Kilat dari Hoa-san-pay. Merekalah tokoh-tokoh terhormat, apakah mereka bisa berbohong?"
Diam-diam Siangkoan Hong; heran juga. Keduanya memang orang-orang yang mempunyai nama baik di dunia persilatan, pantang sembarangan bicara, kenapa sekarang mereka menyebarkan desas-desus macam itu? Atau barangkali si imam berjubah abu-abu itu sendiri yang bicara tidak benar?
Andaikata saja Siangkoan Hong tahu bahwa He Keng-liang Ketua Ho-lian-pay itu adalah samaran dari Te-liong Hiangcu sendiri, maka keheranannya tentu akan terhapus. Tapi saat itu Siangkoan Hong belum tahu bahwa saudara seperguruan yang dibencinya itu memiliki seribu satu wajah dalam dunia persilatan.
Sementara itu, dengan satu isyarat si imam berjubah kelabu si rahib bergelang emas telah menyiapkan senjata masing-masing, begitu pula delapan orang lainnyapun telah menghunus senjata mereka yang bermacam-macam dan meloncat berpencaran dalam sikap mengepung.
Siangkoan Hong menarik napas, "Jadi tidak ada jalan lain kecuali bertempur mengulangi kebodohan kita duapuluh lima tahun yang lalu?"
"Masih ada satu jalan," sahut si imam berjubah kelabu.
"Jalan apa?"
"Tarik kembali semua undangan tentang upacara besar di Tiau-im-hong itu, biarkan Hwe-liong-pang tetap terkubur debu sejarah dan biarkan dunia persilatan tetap tenang dan damai seperti sekarang ini. Dengan demikiai kita tidak perlu berkelahi dan bisa hidup berdampingan secara damai."
Siangkoan Hong mengertak gigi. "Imam keras kepala, kau berasal dari perguruan mana?" tanya Siangkoan Hong.
Di hadapan sekian banyak rekan-rekannya dari perguruan-perguruan lain, si imam rupanya malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, maka mendengar jawaban Siangkoan Hong itupun dia berkata tegas, "Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay, akan bertanggung jawab semua yang telah diperbuatnya....!"
Selanjutnya;