Pendekar Naga dan Harimau Jilid 25
"BAGUS benar-benar jantan," kata Siangkoan Hong "Hui-beng Totiang, kalau ada orang yang minta agar Kun-lun-pay kalian dibubarkan saja, apakah kalian juga akan menurutinya begitu saja?"
"Jangan samakan Hwe-liong-pang dengan Kun-lun-pay. Kun-lun-pay tidak pernah menjadi pengacau dunia persilatan, sebaliknya Hwe-liong-pang selalu menimbulkan gejolak berdarah."
"Memang Kun-lun-pay selalu bersih sebab kalian hanya tinggal di gunung Kun-lun-san yang sepi jauh di barat sana, tidak mau tahu akan apa yang diderita sesama manusia. Kalian hidup seperti dewa-dewa dikayangan. Sedang Hwe-liong-pang kami setia kawan bersama rakyat kecil. Bersama-sama memeras keringat dan menumpahkan darah ketika merobohkan tirani dinasti Beng, dan sampai sekarangpun kami masih berjuang di mana-mana membela rakyat yang tertindas, sementara kalian sendiri berbuat apa? Dan kalian masih merasa diri kalian lebih bersih, lebih suci, lebih berharga dari Hwe-liong-pang?"
Ucapan tajam menusuk itu membuat imam dari Kun Lun-pay serta teman-temannya bungkam. Namun kemudian terdengar pengemis yang bertubuh tegap itu berkata, "Totiang, tidak perlu bersilat lidah lagi dengan iblis-iblis ini. Mereka tidak mau menerima usul kita untuk membubarkan pertemuan Tiau-im-hong, maka kita gasak saja."
Siangkoan Hong telah menyerahkan kendali kereta ke tangan Tong Lam-hou sambil berkata, "Pegang ini sebentar, biar aku singkirkan dulu orang-orang yang tidak pernah berbuat apa-apa bagi sesama manusia namun selalu merasa diri mereka paling benar ini."
Lalu Siangkoan Hong meloncat turun sambil berkata, "Kalian rasakan kelihaian salah seorang Hwe-liong-pang!"
Imam dari Kun-lun-pay, Hui-beng Tojin, tidak menunggu Siangkoan Hong menyerang lebih dulu. Dengan sebuah loncatan maka pedangnya gemerlapan menikam dengan gerakan pek-coa-cut-tong (Ular Putih Keluar Dari Goa), dan ketika Siangkoan Hong menundukkan kepala untuk menghindar maka Hui-beng Tojin mendesak dengan gerak Hoan menyerang ke wajah lawan. Lagi-lagi Siangkoan Hong dapat mengelak dengan langkah yang sederhana saja.
Baik imam dari Kun-lun-pay maupun lain-lainnya terkejut ketika melihat ketangkasan Siangkoan Hong. Mereka mulai menebak-nebak siapakah lawan mereka ini dan apakah kedudukannya dalam Hwe-liong-pang? Hui-beng Tojin yang termasuk tokoh dalam Kun-lun-pay itu ternyata serangannya dapat digagalkan dua kali berturut-turut.
Sebaliknya Hui-beng Tojin merasa kehilangan muka dengan serangannya yang gagal itu. Bentaknya, "Kau tentu seorang yang berkedudukan tinggi dalam Hwe-liong-pang, sebut nama dan kedudukanmu!"
Siangkoan Hong dapat menebak isi hati imam itu dan timbullah niatnya untuk mempermainkannya. Jika ia menyebut dirinya yang sesungguhnya dan kedudukannya dalam Hwe-liong-pang tentu imam itu tidak akan begitu malu. Tapi kalau ia mengaku sebagai anggota rendahan Hwe-liong-pang, tentu imam itu akan kehilangan muka sebab seorang anggota rendahan Hwe-liong-pang saja tidak dapat ia kalahkan. Maka sahutnya, "Ingin tahu namaku? Akulah Koan Hong yang berjulukan, eh, Jian-jiau-miao (Si Kucing Berkuku Seribu), anakbuah Lam-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru) In Yong!"
Tong Lam-hou di atas kereta diam-diam tertawa mendengar jawaban paman gurunya itu. Ia paham maksud sang paman guru yang ingin memberi kesan bahwa yang sedang dihadapi oleh para penghadang itu hanyalah anggota rendahan Hwe-liong-pang. Namun sang paman cukup cerdik juga, ia tidak mengaku kedudukannya terlalu rendah, sebab kalau demikian malahan tidak dipercaya. Maka dikarangnya pula sebuah julukan, karena biasanya orang-orang yang memakai julukan itu bukanlah keroco-keroco biasa.
Dan siasat itu cukup mengena, wajah Hui-beng Tojin nampak kecewa setelah mengetahui bahwa orang yang sanggup mengelakkan dua serangannya dengan mudah tadi ternyata bukan tokoh puncak Hwe-liong-pang. Hanya seorang anggota biasa yang kedudukannya malah dibawah Lam-ki-tong-cu In Yong.
Siangkoan Hong tertawa melihat Hui-beng Tojin menghentikan serangannya dan berdiri termangu-mangu. Katanya sambil tertawa, "He, imam bau, kenapa kau melamun? Gentar mendengar julukanku? Ha-ha-ha-ha, apalagi setelah nanti kau rasakan sendiri kelihaian silatku yang disebut Ciu-miao-pat-sik (Delapan Gerakan Kucing Mabuk)...."
Kalimat ejekan Siangkoan Hong itu tidak terselesaikan sebab Hui-beng Tojin telah menyerang kembali dengan sengit, kali ini bahkan dengan dua senjatanya yaitu pedang di tangan kanan dan hud-tim di tangan kiri. Gerak gabungan pedang dan kebut-pertapa itu adalah salah satu jurus andalan Kun-lun-kiam-hoat yang disebut Hui-tou-bong goat-hong-tian-ci (Memutar Kepala Menengok Rembulan, Burung Hong Membuka Sayap).
Bayangan pedang yang keperak-perakan bertebaran mendatar dan menegak seolah ada puluhan pedang yang bergerak serentak, sementara kebut pertapaanpun tiba-tiba menegak bulu-bulunya seperti ratusan jarum-jarum runcing yang siap menusuk puluhan jalan darah penting di tubuh lawan.
Kali ini Siangkoan Hong tidak berani memandang remeh, tapi serangan imam itu masih belum cukup untuk membahayakan dirinya. Sambil menarik sebelah kakinya ia berkelit, dan ketika tangannya terulur maka lengan Hui-beng Tojin tahu-tahu sudah kena tercengkeram erat. Dan dengan sekali sentakan maka tubuh imam itupun jungkir balik di tanah, jurus hebatnya tadi kabur entah ke mana.
Siangkoan Hong mengejek, "Jurusku tadi adalah Sun-jiu-cian-oh (Mengulur Tangan Menuntun kambing), cocok untukmu bukan?"
Para penghadang yang terdiri dari orang-orang Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kay pang dan Jing-sia-pay itu kini sadar bahwa mereka menghadapi lawan berat. Maka tidak membiarkan lagi Hui-beng Tojin untuk maju seorang diri. Rahib bergeleng emas itu bernama Liong-hou Hwe-shio dari Go-bi-pay, segera gelang emasnya yang sebesar lengan anak kecil itu dipegang di kedua tangannya. Gelang berukir naga di tangan kanan dan gelang berukir harimau di tangan kiri, lalu bagaikan seekor elang raksasa ia telah meloncat dan menubruk Siangkoan Hong dari udara. Sepasang gelangnya menggencet pelipis Siangkoan Hong dari dua arah.
Maka pertempuran itupun berkobar hebat di tempat sepi di lereng gunung itu, Hui-beng Tojin yang telah bangkit kembali itupun segera ikut menyerang Siangkoan Hong dengan sengitnya, rasa-rasanya ia ingin mencincang tubuh lawan sampai berpotong-potong untuk membalas penghinaannya tadi. Tapi ternyata gabungan Liong-hou untuk membalas penghinaannya tadi. Tapi ternyata gabungan Liong hou Hweshio dan Hui-beng Tojin itu masih belum sanggup mendesak mundur Siangkoan Hong yang hanya bertangan kosong itu.
Bahkan ketika Siangkoan Hong memutar sepasang lengan bajunya dengan gerakan Lui-hong-tian-siam (Guntur Meledak, Kilat Menyambar), maka muncul suatu pusaran angin kencang yang membawa tenaga luar biasa, sehingga dua tokoh dari Go-bi-pay dan Kun-lun-pay itu serempak terdorong mundur terhuyung-huyung. Pedang Hui-beng Tojin hampir saja lepas dari tangannya ketika pergelangan tangannya kena sabetan ujung baju Siangkoan Hong.
"Ha-ha-ha! Dengan kepandaian kalian yang seburuk ini kalian ternyata bersikap tidak tahu diri hendak mencegah bangkitnya Hwe-liong-pang?" seru Siangkoan Hong sambil terbahak-bahak.
Liong-hou Hweshio cepat kerahkan tenaga ke sepasang kakinya agar ia tidak terdorong mundur lagi. Mulutnyapun berteriak kepada teman-temannya, "Maju serentak. Untuk menumpas kawanan iblis berilmu hitam ini tidak perlu terikat peraturan satu lawan satu segala!"
Maka orang-orang itupun segera berhamburan menyerbu. Ternyata ke sepuluh orang itu rata-rata memiliki kepandaian setingkat dengan Liong-hou Hweshio maupun Hui-beng Tojin, kalau ada lebih kurangnyapun tidak seberapa. Maka repotlah Siangkoan Hong. Tiga atau empat orang setingkat mereka, ia masih sanggup menghadapinya, namun kalau sepuluh berbareng, dirinya bakal menghadapi kesulitan hebat.
Dengan tangkas Siangkoan Hong melepaskan jubahnya lalu digulung menjadi semacam tongkat raksasa, dan ketika tenaga dalamnya tersalur ke dalam gulungan jubah itu, maka jubah itu tidak kalah kerasnya dengan tongkat baja sekalipun. Dengan senjatanya itulah dia melawan pengeroyok-pengeroyoknya.
Ia masih belum ingin menggunakan ilmu-ilmu mirip sihir dari ajaran Bu-san-jit-kui, sebab ia ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya bahwa Hwe-liong-pang juga memiliki ilmu silat sejati, bukan hanya ilmu sihir atau ilmu sesat yang digembar-gemborkan sebagai ilmu terkutuk oleh orang-orang yang tidak senang itu.
Di atas kereta, Tong Lam-hou menyaksikan jalannya pertempuran sengit satu lawan sepuluh itu. Jika dia ingin lepas dari cengkeraman paman Siangkoan-nya, inilah saatnya yang baik. Paman Siangkoan yang tengah terkepung sepuluh orang musuh itupun tentu tidak akan dapat mengejarnya, tapi ia akhirnya membuang jauh-jauh pikirannya untuk kabur pada saat Siangkoan Hong terancam bahaya. Betapapun dia sering jengkel kepada sang paman yang keras kepala itu itu, tapi ia tidak tega meninggalkan pamannya sendirian dalam bahaya.
Akhirnya malah Tong Lam-hou juga meloncat turun dari kereta dan menghunus pedangnya dan mendekati gelanggang pertempuran sambil berteriak, "Tidak tahu malu! Mengaku sebagai pendekar-pendekar dari golongan lurus tetapi main keroyokan seperti bajingan-bajingan di warung arak saja! Hayo hadapilah aku Hou Tong Lam-hou dari Hwe-liong-pang, berjulukan.. berjulukan apa ya? Ya...ya... akulah si Ngo-hou-cu (Si Macan Lapar) yang terkenal. Hayo, siapa lawanku."
Agaknya Tong Lam-hou meniru akal Siangkoan Hong dan mengarang pula sebuah julukan yang sekenanya saja. Waktu ke sepuluh pendekar dengan gencar telah menekan Siangkoan Hong sampai keripuhan. Ketika Tong Lam-hou masuk ke gelanggang maka Liong-hou Hweshio segera memerintahkan lima orang untuk menghadapinya.
Lima orang berloncatan keluar meninggalkan Siangkoan Hong dan menyerang Tong Lam-hou. Maka sekarang pertempuran di lereng gunung itu terbagi dua. Siangkoan Hong dan Tong Lam-hou masing-masing menghadapi keroyokan lima orang lawan yang tak bisa dipandang ringan.
Bagi Siangkoan Hong, berkurangnya lima orang musuh membuat dia semakin ringan, meskipun tetap terasa berat tetapi tidak berbahaya seperti tadi. Sebaliknya bagi Tong lam-hou melawan lima orang itu terasa berat bukan main. Satu demi satu mereka bukan lawan berarti buatnya, namun karena lima orang maju sekaligus dan kelima-limanya memiliki tingkatan ilmu yang cukup baik, maka terdesaklah Tong Lam Hou.
Lawannya yang paling berbahaya adalah seorang tua setengah umur yang bertubuh pendek kecil dan tubuhnya terbungkus jubah hijau tua. Orang tua itu berloncatan dengan amat lincah seperti seekor tupai saja, dan senjatanya yang berujud sepasang pedang pendek itupun menyambar-nyambar bagaikan sayap sepasang rajawali yang perkasa. Keempat o-rang lainnyapun tidak dapat dipandang ringan, sebab merekalah orang-orang terbaik dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Jing-sia-pay.
Di saat Tong Lam-hou sudah megap-megap selagi Siangkoan Hong tidak dapat menolongnya itulah maka tiba-tiba dari kaki gunung terdengar derap kaki beberapa ekor kuda yang mendekati ke arah gelanggang pertempuran. Meskipun jalan di lereng gunung itu adalah jalan sepi yang jarang dilalui orang, namun kadang kadang ada juga yang lewat di tempat itu.
Penunggang kuda yang muncul dari kaki gunung itu ternyata adalah empat orang, terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan. Nampaknya seperti sebuah keluarga dengan dua orang anak. Satu laki-laki setengah umur yang berpakaian serba putih dan punggungnya menggendong pedang itu bukan lain adalah tokoh terkenal dunia persilatan yang berjulukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, pemimpin perusahaan pengawalan terbesar di Kang-pak, Tiong-gi Piau Piauhang yang berpusat di kota Tay-beng.
Perempuan yang setengah baya namun masih kelihatan cantik dan ramping di sebelah adalah isterinya, Cian Ping, yang mahir dengan permainan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Macan) yang nampak terselip di pelana kudanya. Sedang dua orang anak muda berwajah tampan di belakang mereka itu adalah putera-putera mereka. Yang tua-bernama Tong Hoa-tiong, adiknya bernama Cian Hoa-ceng. Ada alasan kenapa Tong Wi-hong memberikan she (nama marga) yang berbeda kepada putera bungsunya itu.
Dulu, Tong Wi-hong mewarisi perusahaan pengawalan Tiong-gi Piauhang itu dari mertuanya, yaitu ayah Cian Ping. Ayah Cian Ping bukan saja memberi warisan kekayaan yang begitu besar tetapi bahkan pernah menyelamatkan nyawa Tong Wi-hong. Ketika kemudian mertuanya itu tewas hanya dengan meninggalkan Cian Ping, seorang anak perempuan, maka Tong Wi-hong bermaksud membalas budi dengan memberi she Cian kepada seorang anak laki-lakinya. Maksudnya jelas agar she Cian tidak putus keturunannya.
Dari empat orang itu, hanyalah si baju putih Tong Wi-hong yang pernah dikenal oleh Tong Lam-hou, bahkan ia juga tahu bahwa pendekar berbaju putih itu adalah pamannya. Benar-benar paman kandung itu tidak membuat hati Tong Lam hou lega. Satu paman guru yang keras kepala seperti Siangkoan Hong sudah membuatnya pusing, dan kini masih ditambah dengan satu paman lagi yang sudah jelas-jelas berbeda pendirian dalam menghadapi pemerintah Manchu?
Pertempuran di lereng gunung itu memang menarik perhatian Tong Wi-hong dan rombongan anak isterinya itu. Apalagi karena Tong Wi-hong mengenal beberapa orang yang bertempur itu. Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay, Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay, Jian-kiam-hui-ci (Si Tius Terbang Seribu Pedang) Ki. Peng-sian dari Jing-sia-pay dan lain-lainnya lagi.
Dan ketika Tong Wi-hong memperhatikan lawan-lawan mereka, maka hatinyapun berdesir hebat, salah seorang dari kedua orang itu dikenalnya di Hun-lam dulu sebagai Tong Lam-hou, anak kakak kandungnya yang dianggapnya "tersesat" karena memihak kepada Kerajaan Manchu. Tapi siapakah lelaki satunya lagi yang hanya bersenjata gulungan jubah saja mampu membendung Liong-hou Hweshio berlima? Apakah lelaki selihai itu juga seorang kaki tangan bangsa Manchu?
"Aku harus ikut campur dalam persoalan itu," kata Tong Wi-hong tiba-tiba sambil menyentakkan kudanya untuk mendekati arena pertempuran itu. Ia tidak akan membiarkan salah satu pihak terluka, di satu pihak adalah sahabat-sahabatnya dari berbagai perguruan, di lain pihak adalah Tong Lam-hou yang tetap dianggapnya sebagai keponakan meskipun pendiriannya bertolak-belakang.
"Liong-hou Taysu, apa yang terjadi di sini?" teriak Tong Wi-hong.
Rahib bersenjata sepasang gelang emas itu menyahut gembira, "Nah, kebetulan Tong Tayhiap (pendekar she Tong) datang! Tayhiap, bantulah kami lebih dulu untuk menumpas iblis tua dan iblis cilik dari Hwe-liong-pang ini!"
Iblis tua dan iblis cilik dari Hwe-liong-pang? demikian Tong Wi-hong kebingungan. Bukankah duapuluh lima tahun yang lalu setelah berakhirnya pertempuran di Tiau-im-hong maka antara Hwe-liong-pang dan beberapa perguruan dunia persilatan sudah menjalin perjanjian damai, karena mereka sadar bahwa mereka cuma diadu-domba oleh Te-liong Hiangcu? Kenapa sekarang timbul permusuhan lagi?
Dan Liong-hou Hweshio ini adalah seorang tokoh terhormat dari Go-bi-pay. Begitu pula banyak di antara para pengeroyok itu merupakan tokoh-tokoh terkemuka dalam alirannya, adakah sikap mereka yang memusuhi Hwe-liong-pang itu juga mencerminkan sikap perguruan mereka? Apakah banjir darah puluhan tahun yang lalu akan terulang lagi?
Karena itulah Tong Wi-hong merasa semakin berkepentingan dengan perkelahian itu. Banyak Tongcu Hwe-liong-pang yang menjadi sahabat baiknya, tapi banyak pula orang-orang Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Jing sia-pay yang kenal baik dengannya, dan ia tidak mau melihat antara sahabat baik itu saling bantai. Maka iapun meloncat turun dari kudanya sambil berteriak, "Hentikan! Kedua pihak yang bertempur tolong menahan diri!"
Siangkoan Hong yang berasal dari kampung-halaman yang sama dengan Tong Wi-hong, yaitu An-yang-shia, diam-diam juga merasa lega melihat kedatangan Tong Wi-hong. Di masa kecil, Tong Wi-hong maupun Siangkoan Hong memiliki nama panggilan yang sama, yaitu "A-hong" dan di jaman pergolakan Hwe-liong-pang dulupun mereka masih saling memanggil dengan nama kecil mereka. Karena itu Siangkoan Hong-pun putar gulungan jubahnya untuk mendesak kelima orang lawannya, sambil berteriak ke arah Tong Wi-hong,
"A-hong, kau masih kenal kepadaku?"
Sejak tadi memang Tong Wi-hong merasa sudah pernah mengenal lelaki seusianya yang kelihatan sangat perkasa dengan gulungan jubahnya itu. Kini setelah mengenal suara orang itu, maka iapun menyahut, "Jadi... jadi kau adalah... Siangkoan Hong?"
"Benar! Kita sama-sama anak An-yang-shia bukan?"
Tanpa peduli musuh-musuhnya yang masih berdiri melongo, kedua "A-hong" itu saling berpegangan tangan dan saling mengguncangkan tangan dengan akrabnya; sambil tertawa sepuas-puasnya. "Kau awet muda, A-hong!" kata Siangkoan Hong. "Rambutmu belum beruban sedikitpun, padahal umur kita sama!"
Sahut Tong Wi-hong, "Tidak sama! Aku bahkan lebih tua dua tahun dari padamu. Apakah kesehatanmu baik? Apa saja yang selama ini menjadi pikiranmu yang membebanimu sehingga kau secepat ini beruban?"
Siangkoan Hong menarik napas. "Yang selalu terpikirkan olehku? Tidak lain tidak bukan adalah tegaknya kembali Hwe-liong-pang yang perkasa dan bersih," sahut Siangkoan Hong sambil melirik ke arah Liong-hou Hweshio dan teman-temannya yang sudah menghentikan pertempuran. "Tapi ada orang-orang yang masih saja mendendam dan menyebarkan kabar bohong katanya Hwe-liong-pang kembali hendak menyebarkan kekacauan. Lalu cecunguk-cecunguk ini hendak merintangi kami..."
Dalam pada itu, Liong-hou Hweshio dan rombongannya jadi melongo ketika melihat Tong Wi-hong yang tadinya diharapkan bantuannya itu ternyata sekarang malah akrab dengan Siangkoan Hong. Sedang dua orang "Koan Hong" dan "Hou Tong-lam" saja belum bisa mereka selesaikan, kini jika ditambah dengan Tong-Wi-hong berpihak kepada mereka, bukankah malah pihaknya sendiri yang akan mengalami malapetaka?
Sementara itu Tong Wi-hong telah memberi hormat kepada Liong-hou Hweshio dan rombongannya yang rata-rata adalah orang-orang terkenal dari berbagai perguruan itu, dan merekapun mau tidak mau membalas penghormatan pendekar yang terkenal itu. Namun muka mereka menjadi masam dan tidak enak dilihat.
"Ada kesalah-pahaman yang melibatkan tuan-tuan berkelahi?" tanya Tong Wi-hong tetap ramah, tanpa peduli sikap masan dari Liong-hou Hweshio dan orang-orangnya. "Jika ada persoalan yang bisa didamaikan, kenapa harus mengangkat senjata untuk menyelesaikan masalah? Seolah-olah kita ini binatang buas yang tidak berakal-budi saja, sedikit-sedikit saling menghantam."
Hui-beng Tojin mengeluarkan dengusan dingin dari hidungnya, katanya, "Ingin berdamai? Mudah saja, suruh orang-orang Hwe-liong-pang membatalkan perserikatan mereka yang akan dibangun kembali itu."
"Totiang, kenapa kalian agaknya masih membenci Hwe-liong-pang saja sejak dulu? Bukankah kita sudah sama-sama tahu bahwa biang kerusuhan puluhan tahun yang lalu itu adalah Te-liong Hi-angcu yang keluar dari Hwe-liong-pang? Sedang yang akan mengadakan pendirian kembali ini justru orang-orang yang bermusuhan dengan biang pengacau itu, dengan demikian akan membawa manfaat dalam rimba persilatan," kata Tong Wi-hong dengan sabar.
"Huh, membawa manfaat apa? Yang terang adalah menimbulkan kerusuhan," si orang tua pendek kecil yang bernama Ki Peng-sian dan berjuluk Jian-kiam-hui-ci itupun menyela. "Darah memang lebih kental dari air. Tong Tay-hiap, bagaimanapun juga orang menganggapmu sebagai seorang yang berpikiran adil, tetapi kau tentu tidak akan dapat bertindak adil jika bicara tentang Hwe-liong-pang, sebab Ketua Hwe-liong-pang Tong Wi-siang adalah kakak-kandungmu. Tentu saja kau selalu berbicara kebaikannya. Tapi kami justru tidak percaya lagi kepada segala jenis Hwe-liong-pang, tidak peduli mereka bermusuhan satu sama lain.”
Siangkoan Hong sudah mengepal tangan hendak melabrak kembali musuh-musuhnya, tapi cepat-cepat tangannya ditarik oleh Tong Wi-hong, dan Tong Wi-hong lah yang bicara dengan suara tetap sabar, "Saudara Ki, andaikata aku seorang tolol yang tidak bisa menimbang baik buruknya Hwe-liong-pang, apakah kau pikir Ketua Siau-lim-pay, Ketua Bu-tong-pay, Ketua Hoa-san-pay, bahkan juga Ketua Jing-sia-pay mu sendiri itu juga orang-orang tolol? Dengan tulus mereka mengakui kehadiran Hwe-liong-pang sebagai sahabat, dan aku dengar mereka sedang dalam perjalanan menuju Tiau-im-hong untuk menghadiri upacara besar itu. Merekalah orang-orang yang tidak mudah dihasut. Apa kata saudara Ki tentang ini?"
Orang tua pendek kecil berjubah hijau yang mukanya memang mirip tikus sesuai dengan julukannya itu, kelihatan terdesak oleh debatan Tong Wi-hong itu. Namun dengan keras kepala ia tetap ngotot dengan pendiriannyanya sendiri, "Itulah yang aku sesalkan. Tokoh-tokoh berpandangan luas seperti Ketua Siau-lim pay, Bu-tong-pay dan lain-lainnya seharusnya menjaga derajat kehormatan mereka, tidak perlu menghadiri upacara yang diselenggarakan golongan penjahat tapi entah mengapa mereka menghadirnya juga. Agaknya orang-orang Hwe-liong-pang menggunakan sihir untuk mempengaruhi mereka, dan bahkan Ketuaku sendiri juga kena disihir oleh mereka. Bukankah Hwe-liong-pang adalah gudangnya ilmu-ilmu sihir dan ilmu sesat lainnya?"
Siangkoan Hong membentak, "Hati kalianlah yang telah terkena sihir penuh kebencian dari orang-orang yang tidak suka kepada kami."
Pembicaraan kedua belah pihak memang tidak menemukan titik temu, tapi kedua belah pihak juga masih merasa sungkan untuk bertempur satu sama lain, sehingga akhirnya merekapun berpisahan dengan membawa kemendongkolannya sendiri-sendiri.
"Sungguh susah bicara dengan orang-orang yang keras kepala," kata Tong Wi-hong, "Eh, A-hong, kabarnya kau berhasil membawa Tong Lam-hou untuk dibawa ke Tiau-im-nong dan hendak diangkat menjadi Ketua Hwe-liong-pang? Di manakah dia?"
"Ha-ha, kupingmu tajam juga", sahut Siangkoan Hong. "Kau pernah bertemu dengan keponakanmu itu atau belum? Ia gagah seperti ayahnya, dan... he, dimana bocah ini? Tadi dia berdiri di sana! Lam-hou Lam-hou!"
Percuma saja Siangkoan Hong dan Tong Wi-hong berteriak-teriak memanggil-manggil dan berlari-iari di lereng gunung itu, sebab Tong Lam-hou sudah menghilang sejak tadi. Ketika orang-orang itu sedang berdebat sengit dan semua perhatian tercurah kepadanya, maka Tong Lam-hou diam-diam bergeser sampai ke pinggir sebuah jurang yang tidak terlalu dalam, lalu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya diapun meloncat ke bawah dengan selamat.
Legalah dia karena bebas cengkeraman paman gurunya yang sebenarnya bermaksud baik namun ternyata sikap kepala batunya sangat menjengkelkan itu. Apa lagi ditambah lagi dengan paman kandungnya Tong Wi-hong yang juga berbeda pendirian dengannya itu. Apa yang bisa diperbuat oleh seorang muda kalau harus menghadapi dua orang paman berwatak keras itu, satu-satunya jalan adalah kabur sejauh mungkin.
"Ah, setan kecil itu benar-benar susah diurus", SiangKoan Hong membanting kakinya dengan jengkel setelah berputar di gunung itu tanpa menemukan Tong Lam-hou. "Tapi biar dia tahu rasa akibat kelancangannya itu. Tiap tengah malam dia akan tersiksa selama sesulutan hio, sebab totokanku akan bekerja. Dan jika tidak tahan dia akan mencari aku dengan sendirinya."
"Berbahayakah totokanmu itu?" Tanya Tong Wi-hong dengan cemas. "Bisa mematikan dia?"
"Tidak. Hanya menyiksa setiap tengah malam, sebagai sedikit hajaran buat anak bengal itu. Kau jangan kuatir.”
"Kalau cuma sedikit hajaran, akupun tidak cemas. Tadinya aku sudah senang mendengar dia akan menjadi Ketua Hwe-liong-pang, sebab itu lebih baik daripada dia mengenakan seragam prajurit Manchu. Aku pernah merasa cemas ketika melihat dia bersahabat akrab sekali dengan Pakkiong Liong si Panglima Manchu itu. Tapi, ah, agaknya anak itu masih belum bisa melupakan kedudukannya yang penuh kemuliaan di Pak-khia sana", kata Tong Wi-nong sambil menarik napas.
Buat Siangkoan Hong, apakah Tong Lam-hou akan berpihak kepada bangsa Han atau bangsa Manchu, bukan urusannya, yang menjadikannya bingung adalah bahwa pertemuan di Tiau-im-hong itu akan berantakan tanpa hadirnya Tong Lam-hou. Bagaimana bisa upacara mendirikan kembali Hwe-Liong-pang itu berlangsung kalau calon ketuanya sendiri tidak muncul?
Sementara kedua paman "A-hong" itu kebingungan, Tong Lam-hou sudah jauh dari situ, berjalan kaki sambil bersiul-siul gembira. Ia merasa betapa bebas hidup tanpa kekangan, meskipun kekangan itu adalah kekangan paman-gurunya yang sebenarnya bermaksud baik. Ingin mendudukknnya sebagai Ketua sebuah serikat yang cukup besar dan dihormati banyak orang, namun apa gunanya kedudukan yang bagaimanapun tingginya kalau hati tidak berkenan? Sampai detik itu Tong Lam-hou masih merasa bahwa tempat yang tepat buatnya adalah sebagai seorang prajurit.
Sore hari, ia tiba di sebuah desa kecil yang hanya terdiri dari belasan rumah kayu, dikitari sawah ladang yang subur. Namun suasana desa Itu cukup aneh. Para petani atau peladang yang tengah berjalan pulang dari sawah-ladangnya sama-sama menatap Tong Lam-hou dengan pandangan penuh kecurigaan. Setengah takut tapi juga setengah benci.
Tong Lam-hou menjadi heran karenanya, diamat-amati pakaiannya sendiri dan diraba-rabanya wajahnya sendiri, adakah yang aneh pada dirinya? Ternyata semuanya beres. Pakaiannya yang sederhana itu beres, tubuhnyapun beres, jadi kenapa orang-orang desa kecil itu memandangnya dengan kecurigaan? Mungkin karena desa itu jarang dikunjungi orang asing? Tapi tidak jauh dari desa itu ada jalan besar.
Ketika Tong Lam-hou mengetuk beberapa pintu untuk mohon menginap semalam, maka ia mendapat jawaban yang sama nadanya. Tidak bisa menerima. Semuanya diucapkan dengan nada sesopan mungkin, namun sinar mata para pemilik rumah itu tidak dapat menyembunyikkan rasa takut, benci dan curiga mereka.
Apa boleh buat, akhirnya Tong Lam-hou memutuskan untuk tidur di atas sebuah pohon besar yang tidak iauh letaknya dari desa itu. Tidur di atas pohon semalam suntuk seperti itu sudah biasa dilakukan olehnya sejak dia masih menjadi seorang pemburu serigala di Tiam-jong-san dulu. Untuk mengintai datangnya gerombolan serigala, kadang-kadang ia memang harus berbuat demikian.
Ketika malam tiba, darn Tong Lam-hou mulai merasa mengantuk, tiba-tiba dari arah desa terdengar ada suatu kesibukan. Tadinya Tong Lam-hou tidak ambil pusing dengan suara-suara dari desa itu, namun ketika sayup-sayup ia mendengar pula ada perempuan yang menangis, maka diapun mulai agak tertarik. Lalu dilihatnya ada obor bergerak-gerak keluar meninggalkan desa, dan suara tangisan itupun mengikuti rombongan orang yang membawa obor itu.
"Apa yang terjadi di desa ini ? Tadi sore orang-orangnya bersikap aneh kepadaku, dan kini di malam buta mereka keluar entah menuju ke mana?"
Terdorong rasa ingin tahunya, maka Tong Lam-hou segera meloncat turun dari pohon tempat berteduhnya, dan dengan gerakan lincah ia segera berlari ke arah obor yang bergerak-gerak itu. Tapi sebelum ia berhasil mendekati mereka, maka kupingnya yang tajam menangkap desir-desir kaki yang halus beberapa langkah di sebelah kirinya, tertutup oleh pohon-pohonan di kebun penduduk itu. Suara langkah-langkah yang bukan hanya oleh satu atau dua orang, tetapi mungkin ada 4 atau 5 orang.
"Ternyata ada pihak lain yang ingin melihat apa yang sedang dilakukan penduduk desa ini, seperti aku juga ingin melihatnya", demikian desis Tong Lam-hou di dalam hatinya. Ia pun melangkah lebih hati-hati, bahkan ia kemudian merobek sebagian dari ujung bajunya sendiri untuk dijadikan kedok menutupi mukanya. Ini untuk menjaga kemungkinan barangkali ia akan bertemu dengan orang-orang yang sudah dikenalnya dan mengakibatkan kesulitan bagi dirinya.
Ketika mereka melalui pepohonan yang lebih rendah seperti pohon-pohon semongko atau pohon kacang, maka mata Lam-hou yang tajam itu berhasil melihat orang-orang yang juga sedang mengikuti rombongan orang desa itu. Mereka terdiri dari 5 orang yang semuanya berpakaian warna gelap dan rata-rata punya gerak-gerik yang lincah, dan jelas pula bahwa mereka membawa senjata pula.
Sebaliknya mereka tidak melihat Tong Lam-hou karena perhatian mereka telah terpusat pada gerak-gerik orang desa itu. Mereka bercakap-cakap dengan berbisik-bisik, dan Tong Lam-hou beberapa langkah di belakang mereka mencoba mempertajam pendengarannya untuk menangkap percakapan kelima orang itu.
"Arahnya tidak salah lagi", desis salah seorang dari mereka. "Ke arah kuburan kuno itu."
"Ya, Tongcu", sahut lainnya. "Dan menilik bekas-bekas yang ditinggalkan pada mayat-mayat gadis yang dikorbankan pada upacara-upacara yang lalu, tak salah lagi tentu Liong Pek-ji yang bersembunyi dalam kuburan kuno itu. Semua gagis-gadis itu mati kehabisan darah, dengan dua buah lubang kecil bekas gigitan di lehernya."
Mendengar percakapan itu, biarpun secara samar-samar Tong Lam-hou dapat menebak dari golongan manakah kelima orang itu. Sebutan "Tongcu" (kepala kelompok) pada jaman itu hanya digunakan oleh orang-orang Hwe-liong-pang saja.
"Bahkan diantara mereka terdapat seorang Tongcu", batin Tong Lam-hou. "Dan seorang Tongcu dalam Hwe-liong-pang memiliki ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh, seperti Siau-lo-cia Ma Hiong, Jian-kin-sin-kun Lu Siong atau Bu-ing-tui Oh Yun-kim yang pernah aku saksikan sendiri kelihaiannya di padang rumput Hun-lam dulu. Tapi entahlah Tongcu yang inipun salah seorang dari ketiga orang yang telah kukenal itu, ataukah lainnya?"
Sementara menebak-nebak, orang-orang di depan Tong Lam-hou itu terus merayap maju sambil bercakap-cakap. Suara si Tongcu kedengaran lagi, "Apabila benar bahwa Sip-hiat-mo-hok (si kelelawar hantu penghisap darah) Liong Pek-ji merajalela di sini dan menyusahkan rakyat kecil, maka kita wajib turun tangan untuk menghentikan keganasannya. Sekaligus kita bisa menghukumnya, karena diapun dulu menjadi pengikut Te-liong Hiangcu untuk berkhianat kepada ketua kita."
"Tapi menilik banyaknya korban di antara gadis-gadis desa, agaknya ilmu si kelelawar busuk itu sudah hampir mencapai tingkat sempurna", desis salah seorang lainnya. "Kita memang wajib berhati-hati."
"Aku tidak gentar", sahut si Tongcu. "Dulu ketika dia menjadi pengikut Te-liong Hiangcu dan aku tetap setia kepada Hwe-liong Pangcu, kami pernah saling bergebrak dan dia tidak bisa mengalahkan aku. Sekarang meskipun barangkali ilmu Siu-bok-tiang-seng-kang (Ilmu Memanjangkan Umur dengan tidur dalam peti mati) serta Mo-hok-sin-hoat (Ilmu Sakti Kelelawar Hantu) miliknya sudah sempurna, tapi akupun siap menghadapinya dengan Ya-miao-sip-pat-sik (18 jurus kucing liar) yang kulatih dengan giat, selama ini."
Sambil mendengarkan percakapan orang-orang itu, tiba-tiba ingatan Tong Lam-hou tergugah. Selama ia melakukan perjalanan beberapa hari bersama Siang-koan Hong, suka atau tidak suka Tong Lam-hou pernah mendengar keterangan Siangkoan Hong tentang siapa-siapa saja delapan orang Tongcu (kepala kelompok) dalam Hwe-liong-pang, lengkap dengan julukan-julukan mereka dan ilmu andalan mereka.
Dan kalau menilik ucapan si Tongcu yang sedang dikuntitnya itu tentang Ya-miao-sip-pat-sik, maka Tong Lam-hou menduga keras tentunya si Tong-cu yang sedang ia kuntit Itu adalah Hek-ki-tongcu (pemimpin kelompok bendera hitam) yang bernama Kwa Teng-siong dan berjulukan Ya-hui-miao (si kucing terbang malam). Terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya dan dengan permainan sepasang pisau belatinya.
Tapi nama Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-Ji juga mengingatkan Tong Lam-hou akan sebuah cerita paman Singkoan yang lain. Dulu, ketika Te-liong Hiangcu berkhianat kepada ketua Hwe-liong-pang, diapun punya banyak pengikut, dan untuk menandingi delapan orang Tongcu yang setia kepada Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang, maka Te-liong Hiangcu itupun mengangkat pula delapan orang Tongcu dari antara pengikut-pengikutnya sendiri sebagai tandingcin.
Banyak Tongcu pengikut Te-liong Hingcu itu yang sudah tewas, dan dua diantaranya yang tewas itu baru terjadi beberapa hari yang lalu di desa pertahanan Pangeran Cu Leng-ong, yaitu Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang oleh Siangkoan Hong di "loloh" Racun Penghancur Tubuh itu. Namun masih ada empat orang Tongcu pengikut Te-liong Hiangcu yang berkeliaran sampai saat itu, di antaranya adalah Sip-hiat-mo-bok Liong Pek-ji yang menganut ilmu hitam Siu-bok-tiang-seng-kang dan gemar meminum darah para perawan itu.
Dengan demikian, dalam suatu kesempatan yang tidak diduga, Tong Lam-hou bakal menyaksikan pertarungan antara seorang Tongcu Hwe-liong-pang yang setia kepada mendiang ayahnya, melawan Tongcu Hwe-liong-pang lainnya yang menjadi pengikut Te-liong Hingcu. Entah siapa yang bakal keluar sebagai pemenang?
Dalam hati, tentu saja Tong Lam-hou mengharap pihak Ya-hui-miao Kwa Teng-siong yang akan menang, sebab merekalah yang setia kepada ayahnya. Tapi Tong Lam-hou belum memutuskan apakah ia akan turun tangan atau tidak.
Semantara itu rombongan orang desa itu sudah tiba di sebuah kuburan kuno yang agak jauh letaknya dari, desa, terletak di pinggir di setuah hutan rindang yang sekelilingnya penuh dengan semak-semak dan rumput, ilalang setinggi perut. Orang-orang desa itupun menancapkan obor-obor mereka di tanah. Dan ternyata mereka membawa seorang gadis yang nampak lemas dengan pakaian serba putih, sedang perempuan yang terus-terusan menangis itu agaknya adalah ibu dari si gadis yang kali ini tiba gilirannya untuk diisap darahnya.
"Puteriku... puteriku... sungguh malang nasibmu", ratap perempuan setengah baya itu. "Setahun yang lalu aku kehilangan ayahmu dan sekarang aku harus kehilanganmu!"
Beberapa penduduk desa merasa iba dan mencoba menenangkan ibu gadis itu, "Sudahlah, toanio, relakan gadismu demi keselamatan seluruh desa. Banyak orang desa kita yang sudah kehilangan anak perempuan, dan agaknya kita memang tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa menyerah kepada nasib saja. Itu lebih baik daripada seluruh desa ditimpa kutukan Manusia Kelelawar itu."
Ucapan itu sama sekali tidak mengurangi kesedihan ibu dari gadis yang akan dikorbankan itu, namun terasa juga kebenarannya. Selain pasrah kepada nasib, memangnya orang-orang desa itu bisa apa lagi? Melawan sama dengan bunuh diri. Membangkang dengan cara tidak menyediakan seorang gadis perawan setiap beberapa hari tertentu untuk dihisap darahnya oleh si Manusia Kelelawar, juga sama saja dengan bunuh diri, sebab akan menimbulkan kemarahan Manusia Kelelawar dan anak buahnya.
Beberapa saat yang lalu, orang desa mengusahakan cara lain, yaitu dengan mengirimkan dua orang lelaki desa yang paling kuat dan paling berani untuk menuju sebuah kota terdekat yang ada tentara kerajaannya, untuk minta perlindungan dari tentara kerajaan. Tetapi kedua orang itu tidak pernah sampai ke tujuannya, sebab keesokan harinya orang hanya menjumpai dua butir kepala mereka tergeletak di tengah jalan desa, sedang tubuhnya entah ke mana.
Dengan demikian tidak ada jalan lain bagi penduduk untuk melawan siluman kelelawar yang merajalela di desa mereka itu. Satu-satunya jalan adalah menyerah dan mengorbankan gadis demi gadis ke kuburan kuno itu, sesuai dengan permintaan si siluman, sampai suatu saat nanti desa itu bersih dari anak perawan.
Orang-orang Hwe-liong-pang yang mengintip di balik rumpun ilalang itu, dan juga Tong Lam-hou yang ikut mengintip di luar tahunya orang-orang Hwe-liong-pang itu, kini mulai mengerti duduk persoalannya. Penduduk desa kecil itu memang sedang dicengkam ketakutan dan keputus-asaan, maka pantaslah kalau sikap mereka begitu aneh kepada Tong Lam-hou tadi. Kini para pengintip itu hanya menunggu kejadian-kejadian berikutnya.
Tak lama kemudian, di tengah keheningan malam terdengar suara kibaran-kibaran baju yang membuat wajah para penduduk desa tegang. Merekapun terdiam ketakutan, bahkan yang menangis takut kehilangan anaknya itupun menahan tangisnya sekuat tenaga. Penduduk desa tahu bahwa "pasukan kelelawar" sudah datang, mendahului kedatangan pemimpin mereka.
Di kegelapan malam yang dilatar-belakangi oleh bulan sepotong yang bercahaya redup, memang nampak di angkasa tiba-tiba dipenuhi dengan "kelelawar-kelelawar" raksasa yang berloncatan dari pohon ke pohon. Dan kemudian merekapun bergelantungan dengan kepala di bawah dan kaki mengait dahan diatas, persis seperti kelelawar-kelelawar asli.
Namun ketajaman mata Tong Lam-hou dapat mengetahui bahwa merekalah manusia-manusia yang berpakaian hitam-hitam seperti kelelawar, dan mengenakan kedok yang mirip muka kelelawar pula. Jubah mereka yang hitam itu juga dijahit sedemikian rupa sehingga apabila mereka tengah meloncat dan jubah mereka berkibar maka akan mirip sayap kelelawar.
Tong Lam-hou tertawa dalam hati. Tipuan macam itu memang dapat membuat orang-orang di desa-desa lari ketakutan, namun bagi orang-orang kawakan di rimba persilatan, rasanya gertakan macam itu bersifat kekanak-kanakan. Seperti seorang anak nakal yang menakut-nakuti teman-temannya dengan topeng hantu-hantuan. Orang-orang dunia persilatan yang sesungguhnya akan lebih mempertimbangkan seorang yang ahli bermain senjata atau seseorang yang memiliki pukulan yang keras, daripada orang yang suka mengenakan topeng-topeng seram atau berlagak aneh-aneh macam itu.
Karena gatal tangan melihat lagak "kelelawar-kelelawar palsu itu, Tong Lam-hou menjumput sebutir batu, lalu diincarnya salah satu "kelelawar" terdekat yang tengah bergantungan terbalik di dahan sebuah pohon. Disentilnya batu kecil itu ke arah betis dari "kelelawar" itu. Terdengar kelelawar gadungan itu mengaduh dan tubuhnyapun jatuh ke tanah, malangnya jidatnyapun terbentur batu dan langsung benjol. Maka sang "kelelawar"pun mengaduh-aduh tidak ada bedanya dengan orang biasa yang jempok kakinya kejatuhan batu besar, dan dengan agak sempoyongan ia berusaha untuk naik kembali ke pohon.
"Kelelawar-kelelawar" lainnya maupun orang-orang desa terkejut mendengar kegaduhan itu. Belum lagi kegaduhan itu reda, tiba-tiba kembali seorang manusia kelelawar tiba-tiba menggigil kedinginan tanpa diketahui sebab-musababnya oleh rekan-rekannya. "Kelelawar" yang menggigil itu hanya merasakan sebutir batu mengenai punggungnya, namun batu itu mengandung hawa yang sangat dingin yang langsung meresap ke dalam tubuhnya, itulah gara-gara ulah Tong Lam-hou yang kali ini menyambitkan batunya dengan disaluri ilmu Han-im-ciangnya yang maha dingin itu.
Kelelawar yang bertenggernya di dekat rekannya yang menggigil kedinginan itu berkata dengan suara tertahan "He, kenapa. Kau demam?"
"Kelelawar yang kedinginan menyahut, "Ti...ti...tidak...apa-ap...apa... hanya men..da...dak.. aku ke..dinginan..." Suara giginya yang bergemerutuk jelas terdengar.
Rekannya itu menjadi mendongkol, bentaknya, "Berperanlah sebaik-baiknya agar penduduk desa ketakutan terehadap kita." baru saja habis ucapannya, terasa sebutir, batu menyentuh pinggangnya tepat pada jalan-darah Siau-yau-hiat. Maka iapun tiba-tiba saja tertawa terpingkal-pingkal tak terkendali lagi, karena memang jalan darah itulah yang membuat orang tertawa apabila kena totokan.
Baik "kelelawar" yang menggigil kedinginan maupun yang tertawa terpingkal-pingkal itupun tak dapat mempertahankan diri untuk bergelantungan lebih lama lagi di dahan. Berturut-turut merekapun jatuh ke tanah. Yang satu masih menggigil kedinginan seperti orang-orang kena malaria, yang lainnya tertawa terpingkal-pingkal sambil berguling-guilng di tanah bahkan sampai mendekap perutnya sendiri.
Dalam kemunculannya yang pertama tadi, kawanan kelelawar gadungan itu mencoba membikin ciut hati penduduk desa dengan berlagak seperti siluman-siluman asli. Berusaha menciptakan suasana yang seram, mencengkam dan menggetarkan agar penduduk selalu taat kepada perintah mereka. Namun setelah Tong Lam-hou turun tangan, bubarlah suasana mencengkam itu. Mana ada suasana seram kalau ada seorang yang tertawa begitu gelinya seolah-olah melihat pertunjukan lawak yang amat lucu?
Dengan demikian suasana seram di kuburan kuno itupun sirna. Tongcu Hwe-liong-pang, Ya-hui-miao-Kwa Teng-siong yang ikut mengintai bersama empat orang anak buahnya itupun merasakan perubahan suasana itu. Bisiknya kepada anak buahnya yang ada di sampingnya, "Ada sesuatu yang mengganggu kelelawar-kelelawar gadungan itu. Entah apa."
Sahut anak buahnya itu dengan berbisik pula, "Ya. Mungkin ada seorang yang berilmu tinggi telah turun tangan karena tidak suka melihat kesewenang-wenangan Liong Pek-ji kepada penduduk desa."
"Mudah-mudahan tebakanmu benar."
Sementara itu, Tong Lam-hou sudah tidak mengganggu lagi. Ia merasa gangguannya kali ini sudah cukup untuk meruntuhkan pamor para siluman gadungan itu di hadapan orang-orang desa. Kalau gangguannya berlebihan, Tong Lam-hou malahan kuatir si "Manusia Kelelawar" tidak akan muncul.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kegaduhan-kegaduhan yang merusak suasana itu agaknya telah mempercepat kemunculan Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji yang terungkat kemarahannya karena merasa dia yang mengganggunya.
Kegaduhan dari para "kelelawar" yang terpingkal-pingkal, menggigil kedinginan maupun mengaduh-ngaduh karena kepalanya benjol itu, tiba-tiba ditindih oleh pekikan nyaring yang menyeramkan. Dari balik gundukan kuburan kuno itu melayanglah sesosok tubuh hitam bagaikan kelelawar terbang di langit kelam, lalu mendarat ringan di depan kerumunan penduduk desa itu.
Di bawah cahaya obor, orang yang baru muncul itu benar-benar bertampang menyeramkan, dan keseramannya berbeda dengan keseraman manusia-manusia kelelawar terdahulu yang dibuat-buat. Wajahnya asli dan tidak dihias supaya seram, namun wajah asli itupun sudah sangat seram sebab pucat seperti mayat, dengan bibir yang berwarna merah dan mata yang merah pula dan disudut-sudut bibirnya muncullah sepasang taring tajam yang agaknya tumbuh karena kebiasaannya menghisap darah sesama manusia itu.
Jubahnya hitam berkibar-kibar tertiup angin malam, dan topi hitamnya yang lancip mirip topi setan Bu-siang dalam dongeng itupun menambah keseramannya. Penduduk desa sudah tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah manusia biasa dan bukan siluman, toh mereka tetap bergidik ketakutan.
Di tempat persembunyiannya, Ya-hui-miao Kwa Teng-siong segera mengenal bahwa orang itu memang Sip-hiat-moehok Liong Pek-ji adanya, salah seorang pengikut Te-liong Hiangcu yang paling diandalkan dan juga paling keji. Namun Kwa Teng-siong tetap memberi isyarat kepada anak buahnya agar tetap bersembunyi lebih dulu, menunggu keluarnya si pembuat kegaduhan lebih dulu.
Suasana gaduh yang mengacaukan suasana seram itu agaknya membuat Liong Pek-ji tidak senang. Sekaligus ia ingin memamerkan kekejamannya agar suasana seram itu dapat tetap mencengkam hati penduduk desa. Dengan suaranya yang dingin menggidikkan dan disertai pula bau busuk yang keluar dari mulutnya, Liong Pek-ji memanggil ketiga anak buahnya yang gaduh itu, ”Lo-su, Lo-liok dan Lojit, maju kemari!"
Ketiga anak buahnya itupun bergerak maju tanpa berani membantah, namun wajah mereka menampakkan ketakutan hebat. Ulah mereka yang tidak mereka kehendaki sendiri itu agaknya telah membuat pemimpin mereka marah. Lo-jit yang bertotok jalan darah yang membuatnya tertawa itupun masih tertawa-tawa tertahan-tahan, tapi matanya menunjukkan sinar ketakutan, sehingga mukanya jadi aneh. Seperti tertawa tetapi juga seperti menangis.
Setelah dekat, tiba-tiba Liong Pek-ji bergerak secepat kilat dan ketiga anak buahnya sendiri itupun roboh ke tanah, bahkan tidak sempat menjerit, hanya mengeluarkan suara mendengkur seperti babi disebelih. Di leher mereka muncul dua buah lubang yang diakibatkan oleh tikaman kedua jari Liong Pek-ji yang sekuat pisau baja itu.
Keruan orang desa jadi menggigil ketakutan melihat kekejaman itu, apalagi ketika melihat Liong Pek-ji dengan tenangnya menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah itu. Kemudian ia berseru, "Siapa lagi yang ingin mengganggu kekhidmatan upacara minum darahku, mereka akan bernasib seperti ketiga tikus tak tahu diri ini. Nah, siapa lagi?"
"Aku!" tiba-tiba dari sebuah rumpun semak terdengar jawaban yang mengejutkan semua orang. Lalu meloncatlah seseorang yang wajahnya tertutup secarik kain yang agaknya adalah robekan dari ujung bajunya sendiri. Dengan langkah yang tetap ia maju ke arah Liong Pek-ji tanpa rasa gentar sedikitpun. Dialah Tong Lam-hou yang tidak tahan melihat tingkah laku kejam dari Liong Pek-ji itu.
Liong Pek-ji yang menatap Tong Lam-hou dengan heran bercampur marah. Apakah orang ini belum kenal siapa Sip-niat-mo-hok yang namanya ditakuti kaum rimba persilatan di seluruh Ouh-lam? "Bangsat, siapa kau? Kenapa kau tidak menyayangi nyawamu sendiri dengan mencampuri urusanku?" bentak Liong Pek-ji.
Tong Lam-hou tertawa, "Dan kenapa kaupun membahayakan jiwamu sendiri dengan membentak-bentak aku?"
Kemarahan Liong Pek-ji tak tertahan lagi, orang berkedok itu sudah keterlaluan menjatuhkan pamornya, apabila dibiarkan saja maka lama kelamaan orang-orang desapun tidak akan takut lagi kepadanya. Karena itu, Liong Pek-ji segera memekik seram dan tubuhnya-pun melesat ke arah Tong Lam-hou, kedua tangannya yang satu menusuk ke mata, lainnya menusuk ke leher. Cepatnya bukan main.
Di tempat persembunyiannya, Kwa Teng-siong sendiri terkesiap melihat gerakan Liong Pek-ji yang dinilainya jauh lebih cepat dan mantap dari puluhan tahun yang lalu itu. Diam-diam ia menguatirkan keselamatan orang berkedok yang tidak dikenalnya itu. Tapi yang kemudian dilihatnya adalah sangat mengejutkan, sebab dengan gerakan miring yang sederhana maka orang berkedok itu telah berhasil menghindari serangan Liong Pek-ji itu.
"Ha-ha-ha," orang berkedok itu tertawa. "Sesungguhnya bau mulutmu yang busuk itu lebih berbahaya dari tanganmu yang tak seberapa kekuatannya!"
Alangkah marahnya Liong Pek-ji mendengar ejekan itu. Sesunguhnya ucapan Tong Lam-hou itu benar, bau mulutnya memang busuk luar biasa karena kegemarannya mengisap darah manusia dari gadis-gadis yang dikorbankan untuknya. Di tengah udara tiba-tiba tubuhnya berputar seperti gasing raksasa yang siap melindas hancur lawannya. Bentuk tubuhnya lenyap dan hanya kelihatan seperti segulung bayangan hitam yang melanda lawan, sepasang tangannya yang berkuku tajam-tajam itu pun mencakar kian kemari dengan cepat sehingga seolah-olah menjadi berpuluh-puluh tangan bergerak sekaligus.
Tong Lam-hou mengerutkan alisnya dan ia pun tidak berani bermain-main lagi. Ia pernah bertempur dengan Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang menurut kata paman Siangkoan-nya juga bekas Tongcu-tongcu pengikut Te-liong Hiangcu, namun kini Tong Lam-hou merasakan bahwa Liong Pek-ji agaknya beberapa tingkat lebih tangguh dari Tong King-bun maupun Seng Cu-bok.
Namun ketangguhan itu masih belum cukup untuk mengalahkan Tong Lam-hou si murid tunggal dan murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang sudah mewarisi seluruh ilmu gurunya itu. Dalam deretan "Sepuluh tokoh paling sakti" yang digembar-gemborkan orang sejak beberapa puluh tahun yang lalu, nama Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan menduduki urutan pertama.
Tong Lam-hou yang memang bermaksud akan menghajar Liong Pek-ji untuk membangkitkan keberanian penduduk desa, tentu saja tidak ingin dirinya diserang terus menerus tanpa membalas. Pusaran serangan lawan segera ia terjang dengan gerakan Beng-hou-tiau-kan (Harimau Galak Meloncati Parit). Tinjunya memang tidak menjadi berpuluh-puluh bayangan seperti lawannya, tetap kelihatan hanya satu, namun yang hanya satu itu mengandung kekuatan amat besar sehingga buyarlah serangan lawannya. Liong Pek-ji terpental mundur dengan wajah menampilkan rasa kecut dan tak percaya.
Tong Lam-hou tertawa sambil mengacungkan tinjunya kepada lawan, tanyanya, "Bagaimana tinjuku tadi, enak?"
"Bangsat, kau harus mampus agar semua orang tahu kehebatanku!"
Namun baru saja ucapannya berakhir, malah Tong Lam-hou yang sudah menyerang lebih dulu secara beruntun. Jurus-jurus Tok-pi-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san) yang diarahkan ke batok kepala, lalu Koay-bong-hoan-sin (Naga Siluman Memutar Tubuh), ditutup dengan Se-ceng-pay-Hud (Se-ceng Menyembah Buddha). Gerakannya saling susul dengan cepatnya, lebih cepat dari dari serangan Liong Pekji tadi, dan juga membawa deru angin kekuatan yang mengejutkan. Dalam tiga kali serangan saja si Kelelawar Siluman itu sudah didesak mundur enam langkah tanpa berkesempatan membalas serangan, bahkan berganti napaspun sulit.
Menyadari bahwa dirinya telah bertemu dengan seorang lawan tangguh, maka Liong Pek-ji meraba kepinggangnya dan mengeluarkan senjatanya berupa sepasang sarung tangan yang terbuat dari benang logam halus dan di ujung jari-jarinya ada sepuluh kuku panjang dari logam yang panjangnya sejengkal lebih. Begitu kedua sarung tangan dipakai, muncullah sepasang tangan yang kebal senjata dan berkuku tajam yang kekuatannya seperti pisau belati baja.
Kedua orang itupun segera bertempur dengan disaksikan oleh penduduk desa yang mulai menaruh harapan akan datangnya si malaikat penolong itu. Juga disaksikan oleh beberapa manusia kelelawar yang masih bergelantungan di dahan-dahan itu dengan penuh keheranan, karena mereka tidak menduga kalau ada juga seseorang yang sanggup bertempur seimbang dengan pemimpin yang mereka dewakan itu, bahkan mendesaknya.
Tong Lam-hou yang memang benci segala bentuk kejahatan, apalagi kejahatan yang menyangkut nyawa orang yang tak berdaya, memang telah berkelahi seperti angin prahara yang berhembus dari lautan. Kekuatannya membuat pertahanan Liong Pek-ji bagaikan kekuatan raksasa, dan kecepatannya membuat Liong Pek-ji seakan tidak hanya menghadapi seorang lawan tetapi beberapa lawan sekaligus. Tendangan Pek-pian-hian-hoan-tui (Tendangan Berantai Seratus Perubahan) yang dimainkannya ibarat seekor naga sakti yang menyambar-nyambarkan ekornya, meluluh-lantakkan apapun yang menghalanginya.
Begitulah kedua orang yang bertempur itu berkelebatan saling menyambar dengan sengitnya dengan jurus-jurus maut andalan mereka. Disaksikan oleh anak buah Liong Pek-ji yang kecewa melihat pemimpinnya tidak dapat segera unggul, penduduk desa yang harap-harap cemas untuk kemenangan Tong Lam-hou, dan orang-orang Hwe-liong-pang yang terpesona di tempat persembunyian mereka.
"Luar biasa," desis Kwa Teng-siong. "Siapa orang berkedok itu? Andaikata aku yang harus berkelahi melawan si kelelawar busuk itu, paling banter hanya bisa seimbang saja, namun "orang berkedok telah berhasil mengurung dan menekan Liong Pek-ji seperti itu. Di dunia persilatan, tokoh yang sanggup berbuat demikian terhadap Liong Pek ji tidak banyak jumlahnya."
Waktu itu memang Liong Pek-ji sudah terdesak benar-benar. Sepuluh kuku-kuku logamnya tak sanggup menyentuh Tong Lam-hou biarpun hanya ujung jubahnya, seolah-olah ia sedang berkelahi hanya dengan segumpal asap. Sebaliknya pukulan atau tendangan Tong Lam-hou yang menggeledek bertubi-tubi itu semakin berbahaya, jika mengenai pasti akan rontok seluruh tulang-belulang lawannya. Liong Pek-ji menjadi ngeri melihat bagaimana batu-batu besar dan pohon-pohon sebesar paha menjadi hancur atau tumbang bila tersentuh tangan atau kaki Tong lam-hou yang seperti palu godam baja itu.
Masih untung buat Liong Pek-ji, bahwa Tong Lam-hou merasa belum perlu mengeluarkan ilmu Han-im-ciangnya yang dapat membekukan darah lawannya itu. Andaikata ilmu itu sampai digunakan, agaknya kematian Liong Pek-ji akan dipercepat waktunya. Kini dalam keadaan terdesak, Liong Pek-ji merasa tidak segan-segan untuk berbuat licik. Kepada anak buahnya yang bergelantungan di dahan-dahan seperti kalong itu ia berteriak,
"Hei, kalian, bantu aku membunuh setan kecil ini!"
Orang-orang yang bergelantungan di dahan dengan kepala di bawah itupun segera mengeluarkan sepasang pisau belati masing-masing, dan bagaikan sekawanan kelelawar yang diusik sarangnya, merekapun "beterbangan" meninggalkan dahan-dahan tempat mereka bergantungan, dan menerkam ke arah Tong Lam-hou dengan pisau-pisau yang berkilat-kilat di tangan mereka.
Manusia-manusia kelelawar itu agaknya telah dilatih cara bertempur tersendiri oleh Liong Pek-ji. Dari satu dahan pohon mereka meloncat menerkam lawan, dan jika serangan luput maka mereka langsung menyambar dahan pohon yang terdekat dengan mengaitkan kaki mereka dan mempersiapkan serangan baru.
Demikian berganti-ganti mereka menubruk ke arah Tong Lam-hou dan kemudian meloncat ke pohon, sehingga lama kelamaan Tong Lam-hou jengkel juga, apalagi karena kedudukan Liong Peik-ji yang sebenarnya tadi sudah terpojok jadi dapat bernapas kembali karena bantuan anak buahnya itu, bahkan ia mencoba balik mendesak Tong Lam-hou.
Dalam keadaan seperti itu, Tong Lam-hou langsung saja menggunakan ilmu Han-im-ciangnya sambil tertawa, "Kalong-kalong busuk, malam ini kalian akan merasakan kelihaianku!"
Ketika seorang manusia kelelawar melayang dari atas sebatang pohon dan hendak menikam dari belakang, Tong Lam-hou cepat menjatuhkan diri kesamping sambil menyambar kedua kaki korbannya dengan kedua tangannya, itulah korban kedua dari Han-im-ciangnya setelah yang pertama dengan sambitan batu tadi. Begitu kedua kakinya kena tercengkeram oleh Tong Lam-hou, si manusia kelelawar itu langsung merasa kakinya seolah-olah terperosok ke dalam sebuah sumur es.
Hawa yang amat dingin menjalar dengan cepat dari kedua kakinya ke seluruh tubuhnya, membekukan seluruh aliran darahnya dan bahkan langsung menghentikan detak jantungnya. Ia terbanting dengan tubuh membiru beku dengan tatapan mata yang kosong, tanpa nyawa lagi.
Kematian salah seorang teman mereka agaknya masih belum membuat para manusia kelelawar itu menjadi jera, meskipun mereka lebih berhati-hati sekarang. Namun mereka masih saja berloncatan dengan tangkasnya dari dahan ke dahan sambil menyambar-nyambarkan pisau mereka, sementara Liong Pek-ji melawan secara berhadapan.
Tapi kini kawanan manusia kelelawar maupun Liong Pek-ji merasa ada udara maha dingin mengalir lambat di sekitar tubuh mereka, makin lama rasa dinginnya makin tajam sehingga pori-pori kulit terasa ditusuk ribuan jarum es. Darah semakin lambat mengalir dan dengan demikian mengganggu pula kelancaran gerak mereka. Lagi dua orang manusia kelelawar mati dengan tubuh beku.
Sementara Liong Pek-ji sendiri terpaksa harus meloncat mundur berkali-kali menjauhi Tong Lam-hou karena udara dingin yang terpancar dari pukulan Tong Lam-hou hampir tidak tertahankan lagi. Serangan senjata atau serangan tangan masih bisa ditangkis, tapi kalau serangan itu berwujud aliran udara, mana bisa menangkisnya?
Dengan terdesaknya Liong Pek-ji, Tong Lam-hou jadi lebih leluasa untuk "mempreteli" anak buah Liong Pek-ji yang berujud manusia-manusia kelelawar itu. Beberapa orang telah bergelimpangan di tanah. Dan kemudian Tong Lam-hou bukan sekedar menunggu sergapan mereka, namun iapun meloncat-loncat dari dahan ke dahan untuk mengejar mereka, bahkan ternyata Tong Lam-hou lebih tangkas dalam permainan di atas dahan itu.
Melihat itu, Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji menarik napas dengan hati yang terasa tawar, sadarlah ia bahwa kekalahan sudah di depan mata. Sejak tenaga dalam Siu-bok-tiang-seng-kangnya meningkat pesat, ia merasa dalam dunia sudah sulit dicari tandingannya. Tapi kini suatu kenyataan bahwa seorang yang tak dikenal saja telah membuat "pasukan kelelawar" andalannya itu berantakan tanpa arti.
Jika ia berkeras kepala tetap di situ, maka itu adalah alamat kehancurannya. Karena itu Liong Pek-ji tidak menunggu sampai anak buahnya tertumpas habis, ia segera meloncat untuk kabur sambil memekik tinggi sebagai isyarat agar "pasukan kelelawar"nya mengundurkan diri...
"Jangan samakan Hwe-liong-pang dengan Kun-lun-pay. Kun-lun-pay tidak pernah menjadi pengacau dunia persilatan, sebaliknya Hwe-liong-pang selalu menimbulkan gejolak berdarah."
"Memang Kun-lun-pay selalu bersih sebab kalian hanya tinggal di gunung Kun-lun-san yang sepi jauh di barat sana, tidak mau tahu akan apa yang diderita sesama manusia. Kalian hidup seperti dewa-dewa dikayangan. Sedang Hwe-liong-pang kami setia kawan bersama rakyat kecil. Bersama-sama memeras keringat dan menumpahkan darah ketika merobohkan tirani dinasti Beng, dan sampai sekarangpun kami masih berjuang di mana-mana membela rakyat yang tertindas, sementara kalian sendiri berbuat apa? Dan kalian masih merasa diri kalian lebih bersih, lebih suci, lebih berharga dari Hwe-liong-pang?"
Ucapan tajam menusuk itu membuat imam dari Kun Lun-pay serta teman-temannya bungkam. Namun kemudian terdengar pengemis yang bertubuh tegap itu berkata, "Totiang, tidak perlu bersilat lidah lagi dengan iblis-iblis ini. Mereka tidak mau menerima usul kita untuk membubarkan pertemuan Tiau-im-hong, maka kita gasak saja."
Siangkoan Hong telah menyerahkan kendali kereta ke tangan Tong Lam-hou sambil berkata, "Pegang ini sebentar, biar aku singkirkan dulu orang-orang yang tidak pernah berbuat apa-apa bagi sesama manusia namun selalu merasa diri mereka paling benar ini."
Lalu Siangkoan Hong meloncat turun sambil berkata, "Kalian rasakan kelihaian salah seorang Hwe-liong-pang!"
Imam dari Kun-lun-pay, Hui-beng Tojin, tidak menunggu Siangkoan Hong menyerang lebih dulu. Dengan sebuah loncatan maka pedangnya gemerlapan menikam dengan gerakan pek-coa-cut-tong (Ular Putih Keluar Dari Goa), dan ketika Siangkoan Hong menundukkan kepala untuk menghindar maka Hui-beng Tojin mendesak dengan gerak Hoan menyerang ke wajah lawan. Lagi-lagi Siangkoan Hong dapat mengelak dengan langkah yang sederhana saja.
Baik imam dari Kun-lun-pay maupun lain-lainnya terkejut ketika melihat ketangkasan Siangkoan Hong. Mereka mulai menebak-nebak siapakah lawan mereka ini dan apakah kedudukannya dalam Hwe-liong-pang? Hui-beng Tojin yang termasuk tokoh dalam Kun-lun-pay itu ternyata serangannya dapat digagalkan dua kali berturut-turut.
Sebaliknya Hui-beng Tojin merasa kehilangan muka dengan serangannya yang gagal itu. Bentaknya, "Kau tentu seorang yang berkedudukan tinggi dalam Hwe-liong-pang, sebut nama dan kedudukanmu!"
Siangkoan Hong dapat menebak isi hati imam itu dan timbullah niatnya untuk mempermainkannya. Jika ia menyebut dirinya yang sesungguhnya dan kedudukannya dalam Hwe-liong-pang tentu imam itu tidak akan begitu malu. Tapi kalau ia mengaku sebagai anggota rendahan Hwe-liong-pang, tentu imam itu akan kehilangan muka sebab seorang anggota rendahan Hwe-liong-pang saja tidak dapat ia kalahkan. Maka sahutnya, "Ingin tahu namaku? Akulah Koan Hong yang berjulukan, eh, Jian-jiau-miao (Si Kucing Berkuku Seribu), anakbuah Lam-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru) In Yong!"
Tong Lam-hou di atas kereta diam-diam tertawa mendengar jawaban paman gurunya itu. Ia paham maksud sang paman guru yang ingin memberi kesan bahwa yang sedang dihadapi oleh para penghadang itu hanyalah anggota rendahan Hwe-liong-pang. Namun sang paman cukup cerdik juga, ia tidak mengaku kedudukannya terlalu rendah, sebab kalau demikian malahan tidak dipercaya. Maka dikarangnya pula sebuah julukan, karena biasanya orang-orang yang memakai julukan itu bukanlah keroco-keroco biasa.
Dan siasat itu cukup mengena, wajah Hui-beng Tojin nampak kecewa setelah mengetahui bahwa orang yang sanggup mengelakkan dua serangannya dengan mudah tadi ternyata bukan tokoh puncak Hwe-liong-pang. Hanya seorang anggota biasa yang kedudukannya malah dibawah Lam-ki-tong-cu In Yong.
Siangkoan Hong tertawa melihat Hui-beng Tojin menghentikan serangannya dan berdiri termangu-mangu. Katanya sambil tertawa, "He, imam bau, kenapa kau melamun? Gentar mendengar julukanku? Ha-ha-ha-ha, apalagi setelah nanti kau rasakan sendiri kelihaian silatku yang disebut Ciu-miao-pat-sik (Delapan Gerakan Kucing Mabuk)...."
Kalimat ejekan Siangkoan Hong itu tidak terselesaikan sebab Hui-beng Tojin telah menyerang kembali dengan sengit, kali ini bahkan dengan dua senjatanya yaitu pedang di tangan kanan dan hud-tim di tangan kiri. Gerak gabungan pedang dan kebut-pertapa itu adalah salah satu jurus andalan Kun-lun-kiam-hoat yang disebut Hui-tou-bong goat-hong-tian-ci (Memutar Kepala Menengok Rembulan, Burung Hong Membuka Sayap).
Bayangan pedang yang keperak-perakan bertebaran mendatar dan menegak seolah ada puluhan pedang yang bergerak serentak, sementara kebut pertapaanpun tiba-tiba menegak bulu-bulunya seperti ratusan jarum-jarum runcing yang siap menusuk puluhan jalan darah penting di tubuh lawan.
Kali ini Siangkoan Hong tidak berani memandang remeh, tapi serangan imam itu masih belum cukup untuk membahayakan dirinya. Sambil menarik sebelah kakinya ia berkelit, dan ketika tangannya terulur maka lengan Hui-beng Tojin tahu-tahu sudah kena tercengkeram erat. Dan dengan sekali sentakan maka tubuh imam itupun jungkir balik di tanah, jurus hebatnya tadi kabur entah ke mana.
Siangkoan Hong mengejek, "Jurusku tadi adalah Sun-jiu-cian-oh (Mengulur Tangan Menuntun kambing), cocok untukmu bukan?"
Para penghadang yang terdiri dari orang-orang Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kay pang dan Jing-sia-pay itu kini sadar bahwa mereka menghadapi lawan berat. Maka tidak membiarkan lagi Hui-beng Tojin untuk maju seorang diri. Rahib bergeleng emas itu bernama Liong-hou Hwe-shio dari Go-bi-pay, segera gelang emasnya yang sebesar lengan anak kecil itu dipegang di kedua tangannya. Gelang berukir naga di tangan kanan dan gelang berukir harimau di tangan kiri, lalu bagaikan seekor elang raksasa ia telah meloncat dan menubruk Siangkoan Hong dari udara. Sepasang gelangnya menggencet pelipis Siangkoan Hong dari dua arah.
Maka pertempuran itupun berkobar hebat di tempat sepi di lereng gunung itu, Hui-beng Tojin yang telah bangkit kembali itupun segera ikut menyerang Siangkoan Hong dengan sengitnya, rasa-rasanya ia ingin mencincang tubuh lawan sampai berpotong-potong untuk membalas penghinaannya tadi. Tapi ternyata gabungan Liong-hou untuk membalas penghinaannya tadi. Tapi ternyata gabungan Liong hou Hweshio dan Hui-beng Tojin itu masih belum sanggup mendesak mundur Siangkoan Hong yang hanya bertangan kosong itu.
Bahkan ketika Siangkoan Hong memutar sepasang lengan bajunya dengan gerakan Lui-hong-tian-siam (Guntur Meledak, Kilat Menyambar), maka muncul suatu pusaran angin kencang yang membawa tenaga luar biasa, sehingga dua tokoh dari Go-bi-pay dan Kun-lun-pay itu serempak terdorong mundur terhuyung-huyung. Pedang Hui-beng Tojin hampir saja lepas dari tangannya ketika pergelangan tangannya kena sabetan ujung baju Siangkoan Hong.
"Ha-ha-ha! Dengan kepandaian kalian yang seburuk ini kalian ternyata bersikap tidak tahu diri hendak mencegah bangkitnya Hwe-liong-pang?" seru Siangkoan Hong sambil terbahak-bahak.
Liong-hou Hweshio cepat kerahkan tenaga ke sepasang kakinya agar ia tidak terdorong mundur lagi. Mulutnyapun berteriak kepada teman-temannya, "Maju serentak. Untuk menumpas kawanan iblis berilmu hitam ini tidak perlu terikat peraturan satu lawan satu segala!"
Maka orang-orang itupun segera berhamburan menyerbu. Ternyata ke sepuluh orang itu rata-rata memiliki kepandaian setingkat dengan Liong-hou Hweshio maupun Hui-beng Tojin, kalau ada lebih kurangnyapun tidak seberapa. Maka repotlah Siangkoan Hong. Tiga atau empat orang setingkat mereka, ia masih sanggup menghadapinya, namun kalau sepuluh berbareng, dirinya bakal menghadapi kesulitan hebat.
Dengan tangkas Siangkoan Hong melepaskan jubahnya lalu digulung menjadi semacam tongkat raksasa, dan ketika tenaga dalamnya tersalur ke dalam gulungan jubah itu, maka jubah itu tidak kalah kerasnya dengan tongkat baja sekalipun. Dengan senjatanya itulah dia melawan pengeroyok-pengeroyoknya.
Ia masih belum ingin menggunakan ilmu-ilmu mirip sihir dari ajaran Bu-san-jit-kui, sebab ia ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya bahwa Hwe-liong-pang juga memiliki ilmu silat sejati, bukan hanya ilmu sihir atau ilmu sesat yang digembar-gemborkan sebagai ilmu terkutuk oleh orang-orang yang tidak senang itu.
Di atas kereta, Tong Lam-hou menyaksikan jalannya pertempuran sengit satu lawan sepuluh itu. Jika dia ingin lepas dari cengkeraman paman Siangkoan-nya, inilah saatnya yang baik. Paman Siangkoan yang tengah terkepung sepuluh orang musuh itupun tentu tidak akan dapat mengejarnya, tapi ia akhirnya membuang jauh-jauh pikirannya untuk kabur pada saat Siangkoan Hong terancam bahaya. Betapapun dia sering jengkel kepada sang paman yang keras kepala itu itu, tapi ia tidak tega meninggalkan pamannya sendirian dalam bahaya.
Akhirnya malah Tong Lam-hou juga meloncat turun dari kereta dan menghunus pedangnya dan mendekati gelanggang pertempuran sambil berteriak, "Tidak tahu malu! Mengaku sebagai pendekar-pendekar dari golongan lurus tetapi main keroyokan seperti bajingan-bajingan di warung arak saja! Hayo hadapilah aku Hou Tong Lam-hou dari Hwe-liong-pang, berjulukan.. berjulukan apa ya? Ya...ya... akulah si Ngo-hou-cu (Si Macan Lapar) yang terkenal. Hayo, siapa lawanku."
Agaknya Tong Lam-hou meniru akal Siangkoan Hong dan mengarang pula sebuah julukan yang sekenanya saja. Waktu ke sepuluh pendekar dengan gencar telah menekan Siangkoan Hong sampai keripuhan. Ketika Tong Lam-hou masuk ke gelanggang maka Liong-hou Hweshio segera memerintahkan lima orang untuk menghadapinya.
Lima orang berloncatan keluar meninggalkan Siangkoan Hong dan menyerang Tong Lam-hou. Maka sekarang pertempuran di lereng gunung itu terbagi dua. Siangkoan Hong dan Tong Lam-hou masing-masing menghadapi keroyokan lima orang lawan yang tak bisa dipandang ringan.
Bagi Siangkoan Hong, berkurangnya lima orang musuh membuat dia semakin ringan, meskipun tetap terasa berat tetapi tidak berbahaya seperti tadi. Sebaliknya bagi Tong lam-hou melawan lima orang itu terasa berat bukan main. Satu demi satu mereka bukan lawan berarti buatnya, namun karena lima orang maju sekaligus dan kelima-limanya memiliki tingkatan ilmu yang cukup baik, maka terdesaklah Tong Lam Hou.
Lawannya yang paling berbahaya adalah seorang tua setengah umur yang bertubuh pendek kecil dan tubuhnya terbungkus jubah hijau tua. Orang tua itu berloncatan dengan amat lincah seperti seekor tupai saja, dan senjatanya yang berujud sepasang pedang pendek itupun menyambar-nyambar bagaikan sayap sepasang rajawali yang perkasa. Keempat o-rang lainnyapun tidak dapat dipandang ringan, sebab merekalah orang-orang terbaik dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Jing-sia-pay.
Di saat Tong Lam-hou sudah megap-megap selagi Siangkoan Hong tidak dapat menolongnya itulah maka tiba-tiba dari kaki gunung terdengar derap kaki beberapa ekor kuda yang mendekati ke arah gelanggang pertempuran. Meskipun jalan di lereng gunung itu adalah jalan sepi yang jarang dilalui orang, namun kadang kadang ada juga yang lewat di tempat itu.
Penunggang kuda yang muncul dari kaki gunung itu ternyata adalah empat orang, terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan. Nampaknya seperti sebuah keluarga dengan dua orang anak. Satu laki-laki setengah umur yang berpakaian serba putih dan punggungnya menggendong pedang itu bukan lain adalah tokoh terkenal dunia persilatan yang berjulukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, pemimpin perusahaan pengawalan terbesar di Kang-pak, Tiong-gi Piau Piauhang yang berpusat di kota Tay-beng.
Perempuan yang setengah baya namun masih kelihatan cantik dan ramping di sebelah adalah isterinya, Cian Ping, yang mahir dengan permainan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Macan) yang nampak terselip di pelana kudanya. Sedang dua orang anak muda berwajah tampan di belakang mereka itu adalah putera-putera mereka. Yang tua-bernama Tong Hoa-tiong, adiknya bernama Cian Hoa-ceng. Ada alasan kenapa Tong Wi-hong memberikan she (nama marga) yang berbeda kepada putera bungsunya itu.
Dulu, Tong Wi-hong mewarisi perusahaan pengawalan Tiong-gi Piauhang itu dari mertuanya, yaitu ayah Cian Ping. Ayah Cian Ping bukan saja memberi warisan kekayaan yang begitu besar tetapi bahkan pernah menyelamatkan nyawa Tong Wi-hong. Ketika kemudian mertuanya itu tewas hanya dengan meninggalkan Cian Ping, seorang anak perempuan, maka Tong Wi-hong bermaksud membalas budi dengan memberi she Cian kepada seorang anak laki-lakinya. Maksudnya jelas agar she Cian tidak putus keturunannya.
Dari empat orang itu, hanyalah si baju putih Tong Wi-hong yang pernah dikenal oleh Tong Lam-hou, bahkan ia juga tahu bahwa pendekar berbaju putih itu adalah pamannya. Benar-benar paman kandung itu tidak membuat hati Tong Lam hou lega. Satu paman guru yang keras kepala seperti Siangkoan Hong sudah membuatnya pusing, dan kini masih ditambah dengan satu paman lagi yang sudah jelas-jelas berbeda pendirian dalam menghadapi pemerintah Manchu?
Pertempuran di lereng gunung itu memang menarik perhatian Tong Wi-hong dan rombongan anak isterinya itu. Apalagi karena Tong Wi-hong mengenal beberapa orang yang bertempur itu. Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay, Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay, Jian-kiam-hui-ci (Si Tius Terbang Seribu Pedang) Ki. Peng-sian dari Jing-sia-pay dan lain-lainnya lagi.
Dan ketika Tong Wi-hong memperhatikan lawan-lawan mereka, maka hatinyapun berdesir hebat, salah seorang dari kedua orang itu dikenalnya di Hun-lam dulu sebagai Tong Lam-hou, anak kakak kandungnya yang dianggapnya "tersesat" karena memihak kepada Kerajaan Manchu. Tapi siapakah lelaki satunya lagi yang hanya bersenjata gulungan jubah saja mampu membendung Liong-hou Hweshio berlima? Apakah lelaki selihai itu juga seorang kaki tangan bangsa Manchu?
"Aku harus ikut campur dalam persoalan itu," kata Tong Wi-hong tiba-tiba sambil menyentakkan kudanya untuk mendekati arena pertempuran itu. Ia tidak akan membiarkan salah satu pihak terluka, di satu pihak adalah sahabat-sahabatnya dari berbagai perguruan, di lain pihak adalah Tong Lam-hou yang tetap dianggapnya sebagai keponakan meskipun pendiriannya bertolak-belakang.
"Liong-hou Taysu, apa yang terjadi di sini?" teriak Tong Wi-hong.
Rahib bersenjata sepasang gelang emas itu menyahut gembira, "Nah, kebetulan Tong Tayhiap (pendekar she Tong) datang! Tayhiap, bantulah kami lebih dulu untuk menumpas iblis tua dan iblis cilik dari Hwe-liong-pang ini!"
Iblis tua dan iblis cilik dari Hwe-liong-pang? demikian Tong Wi-hong kebingungan. Bukankah duapuluh lima tahun yang lalu setelah berakhirnya pertempuran di Tiau-im-hong maka antara Hwe-liong-pang dan beberapa perguruan dunia persilatan sudah menjalin perjanjian damai, karena mereka sadar bahwa mereka cuma diadu-domba oleh Te-liong Hiangcu? Kenapa sekarang timbul permusuhan lagi?
Dan Liong-hou Hweshio ini adalah seorang tokoh terhormat dari Go-bi-pay. Begitu pula banyak di antara para pengeroyok itu merupakan tokoh-tokoh terkemuka dalam alirannya, adakah sikap mereka yang memusuhi Hwe-liong-pang itu juga mencerminkan sikap perguruan mereka? Apakah banjir darah puluhan tahun yang lalu akan terulang lagi?
Karena itulah Tong Wi-hong merasa semakin berkepentingan dengan perkelahian itu. Banyak Tongcu Hwe-liong-pang yang menjadi sahabat baiknya, tapi banyak pula orang-orang Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Jing sia-pay yang kenal baik dengannya, dan ia tidak mau melihat antara sahabat baik itu saling bantai. Maka iapun meloncat turun dari kudanya sambil berteriak, "Hentikan! Kedua pihak yang bertempur tolong menahan diri!"
Siangkoan Hong yang berasal dari kampung-halaman yang sama dengan Tong Wi-hong, yaitu An-yang-shia, diam-diam juga merasa lega melihat kedatangan Tong Wi-hong. Di masa kecil, Tong Wi-hong maupun Siangkoan Hong memiliki nama panggilan yang sama, yaitu "A-hong" dan di jaman pergolakan Hwe-liong-pang dulupun mereka masih saling memanggil dengan nama kecil mereka. Karena itu Siangkoan Hong-pun putar gulungan jubahnya untuk mendesak kelima orang lawannya, sambil berteriak ke arah Tong Wi-hong,
"A-hong, kau masih kenal kepadaku?"
Sejak tadi memang Tong Wi-hong merasa sudah pernah mengenal lelaki seusianya yang kelihatan sangat perkasa dengan gulungan jubahnya itu. Kini setelah mengenal suara orang itu, maka iapun menyahut, "Jadi... jadi kau adalah... Siangkoan Hong?"
"Benar! Kita sama-sama anak An-yang-shia bukan?"
Tanpa peduli musuh-musuhnya yang masih berdiri melongo, kedua "A-hong" itu saling berpegangan tangan dan saling mengguncangkan tangan dengan akrabnya; sambil tertawa sepuas-puasnya. "Kau awet muda, A-hong!" kata Siangkoan Hong. "Rambutmu belum beruban sedikitpun, padahal umur kita sama!"
Sahut Tong Wi-hong, "Tidak sama! Aku bahkan lebih tua dua tahun dari padamu. Apakah kesehatanmu baik? Apa saja yang selama ini menjadi pikiranmu yang membebanimu sehingga kau secepat ini beruban?"
Siangkoan Hong menarik napas. "Yang selalu terpikirkan olehku? Tidak lain tidak bukan adalah tegaknya kembali Hwe-liong-pang yang perkasa dan bersih," sahut Siangkoan Hong sambil melirik ke arah Liong-hou Hweshio dan teman-temannya yang sudah menghentikan pertempuran. "Tapi ada orang-orang yang masih saja mendendam dan menyebarkan kabar bohong katanya Hwe-liong-pang kembali hendak menyebarkan kekacauan. Lalu cecunguk-cecunguk ini hendak merintangi kami..."
Dalam pada itu, Liong-hou Hweshio dan rombongannya jadi melongo ketika melihat Tong Wi-hong yang tadinya diharapkan bantuannya itu ternyata sekarang malah akrab dengan Siangkoan Hong. Sedang dua orang "Koan Hong" dan "Hou Tong-lam" saja belum bisa mereka selesaikan, kini jika ditambah dengan Tong-Wi-hong berpihak kepada mereka, bukankah malah pihaknya sendiri yang akan mengalami malapetaka?
Sementara itu Tong Wi-hong telah memberi hormat kepada Liong-hou Hweshio dan rombongannya yang rata-rata adalah orang-orang terkenal dari berbagai perguruan itu, dan merekapun mau tidak mau membalas penghormatan pendekar yang terkenal itu. Namun muka mereka menjadi masam dan tidak enak dilihat.
"Ada kesalah-pahaman yang melibatkan tuan-tuan berkelahi?" tanya Tong Wi-hong tetap ramah, tanpa peduli sikap masan dari Liong-hou Hweshio dan orang-orangnya. "Jika ada persoalan yang bisa didamaikan, kenapa harus mengangkat senjata untuk menyelesaikan masalah? Seolah-olah kita ini binatang buas yang tidak berakal-budi saja, sedikit-sedikit saling menghantam."
Hui-beng Tojin mengeluarkan dengusan dingin dari hidungnya, katanya, "Ingin berdamai? Mudah saja, suruh orang-orang Hwe-liong-pang membatalkan perserikatan mereka yang akan dibangun kembali itu."
"Totiang, kenapa kalian agaknya masih membenci Hwe-liong-pang saja sejak dulu? Bukankah kita sudah sama-sama tahu bahwa biang kerusuhan puluhan tahun yang lalu itu adalah Te-liong Hi-angcu yang keluar dari Hwe-liong-pang? Sedang yang akan mengadakan pendirian kembali ini justru orang-orang yang bermusuhan dengan biang pengacau itu, dengan demikian akan membawa manfaat dalam rimba persilatan," kata Tong Wi-hong dengan sabar.
"Huh, membawa manfaat apa? Yang terang adalah menimbulkan kerusuhan," si orang tua pendek kecil yang bernama Ki Peng-sian dan berjuluk Jian-kiam-hui-ci itupun menyela. "Darah memang lebih kental dari air. Tong Tay-hiap, bagaimanapun juga orang menganggapmu sebagai seorang yang berpikiran adil, tetapi kau tentu tidak akan dapat bertindak adil jika bicara tentang Hwe-liong-pang, sebab Ketua Hwe-liong-pang Tong Wi-siang adalah kakak-kandungmu. Tentu saja kau selalu berbicara kebaikannya. Tapi kami justru tidak percaya lagi kepada segala jenis Hwe-liong-pang, tidak peduli mereka bermusuhan satu sama lain.”
Siangkoan Hong sudah mengepal tangan hendak melabrak kembali musuh-musuhnya, tapi cepat-cepat tangannya ditarik oleh Tong Wi-hong, dan Tong Wi-hong lah yang bicara dengan suara tetap sabar, "Saudara Ki, andaikata aku seorang tolol yang tidak bisa menimbang baik buruknya Hwe-liong-pang, apakah kau pikir Ketua Siau-lim-pay, Ketua Bu-tong-pay, Ketua Hoa-san-pay, bahkan juga Ketua Jing-sia-pay mu sendiri itu juga orang-orang tolol? Dengan tulus mereka mengakui kehadiran Hwe-liong-pang sebagai sahabat, dan aku dengar mereka sedang dalam perjalanan menuju Tiau-im-hong untuk menghadiri upacara besar itu. Merekalah orang-orang yang tidak mudah dihasut. Apa kata saudara Ki tentang ini?"
Orang tua pendek kecil berjubah hijau yang mukanya memang mirip tikus sesuai dengan julukannya itu, kelihatan terdesak oleh debatan Tong Wi-hong itu. Namun dengan keras kepala ia tetap ngotot dengan pendiriannyanya sendiri, "Itulah yang aku sesalkan. Tokoh-tokoh berpandangan luas seperti Ketua Siau-lim pay, Bu-tong-pay dan lain-lainnya seharusnya menjaga derajat kehormatan mereka, tidak perlu menghadiri upacara yang diselenggarakan golongan penjahat tapi entah mengapa mereka menghadirnya juga. Agaknya orang-orang Hwe-liong-pang menggunakan sihir untuk mempengaruhi mereka, dan bahkan Ketuaku sendiri juga kena disihir oleh mereka. Bukankah Hwe-liong-pang adalah gudangnya ilmu-ilmu sihir dan ilmu sesat lainnya?"
Siangkoan Hong membentak, "Hati kalianlah yang telah terkena sihir penuh kebencian dari orang-orang yang tidak suka kepada kami."
Pembicaraan kedua belah pihak memang tidak menemukan titik temu, tapi kedua belah pihak juga masih merasa sungkan untuk bertempur satu sama lain, sehingga akhirnya merekapun berpisahan dengan membawa kemendongkolannya sendiri-sendiri.
"Sungguh susah bicara dengan orang-orang yang keras kepala," kata Tong Wi-hong, "Eh, A-hong, kabarnya kau berhasil membawa Tong Lam-hou untuk dibawa ke Tiau-im-nong dan hendak diangkat menjadi Ketua Hwe-liong-pang? Di manakah dia?"
"Ha-ha, kupingmu tajam juga", sahut Siangkoan Hong. "Kau pernah bertemu dengan keponakanmu itu atau belum? Ia gagah seperti ayahnya, dan... he, dimana bocah ini? Tadi dia berdiri di sana! Lam-hou Lam-hou!"
Percuma saja Siangkoan Hong dan Tong Wi-hong berteriak-teriak memanggil-manggil dan berlari-iari di lereng gunung itu, sebab Tong Lam-hou sudah menghilang sejak tadi. Ketika orang-orang itu sedang berdebat sengit dan semua perhatian tercurah kepadanya, maka Tong Lam-hou diam-diam bergeser sampai ke pinggir sebuah jurang yang tidak terlalu dalam, lalu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya diapun meloncat ke bawah dengan selamat.
Legalah dia karena bebas cengkeraman paman gurunya yang sebenarnya bermaksud baik namun ternyata sikap kepala batunya sangat menjengkelkan itu. Apa lagi ditambah lagi dengan paman kandungnya Tong Wi-hong yang juga berbeda pendirian dengannya itu. Apa yang bisa diperbuat oleh seorang muda kalau harus menghadapi dua orang paman berwatak keras itu, satu-satunya jalan adalah kabur sejauh mungkin.
"Ah, setan kecil itu benar-benar susah diurus", SiangKoan Hong membanting kakinya dengan jengkel setelah berputar di gunung itu tanpa menemukan Tong Lam-hou. "Tapi biar dia tahu rasa akibat kelancangannya itu. Tiap tengah malam dia akan tersiksa selama sesulutan hio, sebab totokanku akan bekerja. Dan jika tidak tahan dia akan mencari aku dengan sendirinya."
"Berbahayakah totokanmu itu?" Tanya Tong Wi-hong dengan cemas. "Bisa mematikan dia?"
"Tidak. Hanya menyiksa setiap tengah malam, sebagai sedikit hajaran buat anak bengal itu. Kau jangan kuatir.”
"Kalau cuma sedikit hajaran, akupun tidak cemas. Tadinya aku sudah senang mendengar dia akan menjadi Ketua Hwe-liong-pang, sebab itu lebih baik daripada dia mengenakan seragam prajurit Manchu. Aku pernah merasa cemas ketika melihat dia bersahabat akrab sekali dengan Pakkiong Liong si Panglima Manchu itu. Tapi, ah, agaknya anak itu masih belum bisa melupakan kedudukannya yang penuh kemuliaan di Pak-khia sana", kata Tong Wi-nong sambil menarik napas.
Buat Siangkoan Hong, apakah Tong Lam-hou akan berpihak kepada bangsa Han atau bangsa Manchu, bukan urusannya, yang menjadikannya bingung adalah bahwa pertemuan di Tiau-im-hong itu akan berantakan tanpa hadirnya Tong Lam-hou. Bagaimana bisa upacara mendirikan kembali Hwe-Liong-pang itu berlangsung kalau calon ketuanya sendiri tidak muncul?
Sementara kedua paman "A-hong" itu kebingungan, Tong Lam-hou sudah jauh dari situ, berjalan kaki sambil bersiul-siul gembira. Ia merasa betapa bebas hidup tanpa kekangan, meskipun kekangan itu adalah kekangan paman-gurunya yang sebenarnya bermaksud baik. Ingin mendudukknnya sebagai Ketua sebuah serikat yang cukup besar dan dihormati banyak orang, namun apa gunanya kedudukan yang bagaimanapun tingginya kalau hati tidak berkenan? Sampai detik itu Tong Lam-hou masih merasa bahwa tempat yang tepat buatnya adalah sebagai seorang prajurit.
Sore hari, ia tiba di sebuah desa kecil yang hanya terdiri dari belasan rumah kayu, dikitari sawah ladang yang subur. Namun suasana desa Itu cukup aneh. Para petani atau peladang yang tengah berjalan pulang dari sawah-ladangnya sama-sama menatap Tong Lam-hou dengan pandangan penuh kecurigaan. Setengah takut tapi juga setengah benci.
Tong Lam-hou menjadi heran karenanya, diamat-amati pakaiannya sendiri dan diraba-rabanya wajahnya sendiri, adakah yang aneh pada dirinya? Ternyata semuanya beres. Pakaiannya yang sederhana itu beres, tubuhnyapun beres, jadi kenapa orang-orang desa kecil itu memandangnya dengan kecurigaan? Mungkin karena desa itu jarang dikunjungi orang asing? Tapi tidak jauh dari desa itu ada jalan besar.
Ketika Tong Lam-hou mengetuk beberapa pintu untuk mohon menginap semalam, maka ia mendapat jawaban yang sama nadanya. Tidak bisa menerima. Semuanya diucapkan dengan nada sesopan mungkin, namun sinar mata para pemilik rumah itu tidak dapat menyembunyikkan rasa takut, benci dan curiga mereka.
Apa boleh buat, akhirnya Tong Lam-hou memutuskan untuk tidur di atas sebuah pohon besar yang tidak iauh letaknya dari desa itu. Tidur di atas pohon semalam suntuk seperti itu sudah biasa dilakukan olehnya sejak dia masih menjadi seorang pemburu serigala di Tiam-jong-san dulu. Untuk mengintai datangnya gerombolan serigala, kadang-kadang ia memang harus berbuat demikian.
Ketika malam tiba, darn Tong Lam-hou mulai merasa mengantuk, tiba-tiba dari arah desa terdengar ada suatu kesibukan. Tadinya Tong Lam-hou tidak ambil pusing dengan suara-suara dari desa itu, namun ketika sayup-sayup ia mendengar pula ada perempuan yang menangis, maka diapun mulai agak tertarik. Lalu dilihatnya ada obor bergerak-gerak keluar meninggalkan desa, dan suara tangisan itupun mengikuti rombongan orang yang membawa obor itu.
"Apa yang terjadi di desa ini ? Tadi sore orang-orangnya bersikap aneh kepadaku, dan kini di malam buta mereka keluar entah menuju ke mana?"
Terdorong rasa ingin tahunya, maka Tong Lam-hou segera meloncat turun dari pohon tempat berteduhnya, dan dengan gerakan lincah ia segera berlari ke arah obor yang bergerak-gerak itu. Tapi sebelum ia berhasil mendekati mereka, maka kupingnya yang tajam menangkap desir-desir kaki yang halus beberapa langkah di sebelah kirinya, tertutup oleh pohon-pohonan di kebun penduduk itu. Suara langkah-langkah yang bukan hanya oleh satu atau dua orang, tetapi mungkin ada 4 atau 5 orang.
"Ternyata ada pihak lain yang ingin melihat apa yang sedang dilakukan penduduk desa ini, seperti aku juga ingin melihatnya", demikian desis Tong Lam-hou di dalam hatinya. Ia pun melangkah lebih hati-hati, bahkan ia kemudian merobek sebagian dari ujung bajunya sendiri untuk dijadikan kedok menutupi mukanya. Ini untuk menjaga kemungkinan barangkali ia akan bertemu dengan orang-orang yang sudah dikenalnya dan mengakibatkan kesulitan bagi dirinya.
Ketika mereka melalui pepohonan yang lebih rendah seperti pohon-pohon semongko atau pohon kacang, maka mata Lam-hou yang tajam itu berhasil melihat orang-orang yang juga sedang mengikuti rombongan orang desa itu. Mereka terdiri dari 5 orang yang semuanya berpakaian warna gelap dan rata-rata punya gerak-gerik yang lincah, dan jelas pula bahwa mereka membawa senjata pula.
Sebaliknya mereka tidak melihat Tong Lam-hou karena perhatian mereka telah terpusat pada gerak-gerik orang desa itu. Mereka bercakap-cakap dengan berbisik-bisik, dan Tong Lam-hou beberapa langkah di belakang mereka mencoba mempertajam pendengarannya untuk menangkap percakapan kelima orang itu.
"Arahnya tidak salah lagi", desis salah seorang dari mereka. "Ke arah kuburan kuno itu."
"Ya, Tongcu", sahut lainnya. "Dan menilik bekas-bekas yang ditinggalkan pada mayat-mayat gadis yang dikorbankan pada upacara-upacara yang lalu, tak salah lagi tentu Liong Pek-ji yang bersembunyi dalam kuburan kuno itu. Semua gagis-gadis itu mati kehabisan darah, dengan dua buah lubang kecil bekas gigitan di lehernya."
Mendengar percakapan itu, biarpun secara samar-samar Tong Lam-hou dapat menebak dari golongan manakah kelima orang itu. Sebutan "Tongcu" (kepala kelompok) pada jaman itu hanya digunakan oleh orang-orang Hwe-liong-pang saja.
"Bahkan diantara mereka terdapat seorang Tongcu", batin Tong Lam-hou. "Dan seorang Tongcu dalam Hwe-liong-pang memiliki ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh, seperti Siau-lo-cia Ma Hiong, Jian-kin-sin-kun Lu Siong atau Bu-ing-tui Oh Yun-kim yang pernah aku saksikan sendiri kelihaiannya di padang rumput Hun-lam dulu. Tapi entahlah Tongcu yang inipun salah seorang dari ketiga orang yang telah kukenal itu, ataukah lainnya?"
Sementara menebak-nebak, orang-orang di depan Tong Lam-hou itu terus merayap maju sambil bercakap-cakap. Suara si Tongcu kedengaran lagi, "Apabila benar bahwa Sip-hiat-mo-hok (si kelelawar hantu penghisap darah) Liong Pek-ji merajalela di sini dan menyusahkan rakyat kecil, maka kita wajib turun tangan untuk menghentikan keganasannya. Sekaligus kita bisa menghukumnya, karena diapun dulu menjadi pengikut Te-liong Hiangcu untuk berkhianat kepada ketua kita."
"Tapi menilik banyaknya korban di antara gadis-gadis desa, agaknya ilmu si kelelawar busuk itu sudah hampir mencapai tingkat sempurna", desis salah seorang lainnya. "Kita memang wajib berhati-hati."
"Aku tidak gentar", sahut si Tongcu. "Dulu ketika dia menjadi pengikut Te-liong Hiangcu dan aku tetap setia kepada Hwe-liong Pangcu, kami pernah saling bergebrak dan dia tidak bisa mengalahkan aku. Sekarang meskipun barangkali ilmu Siu-bok-tiang-seng-kang (Ilmu Memanjangkan Umur dengan tidur dalam peti mati) serta Mo-hok-sin-hoat (Ilmu Sakti Kelelawar Hantu) miliknya sudah sempurna, tapi akupun siap menghadapinya dengan Ya-miao-sip-pat-sik (18 jurus kucing liar) yang kulatih dengan giat, selama ini."
Sambil mendengarkan percakapan orang-orang itu, tiba-tiba ingatan Tong Lam-hou tergugah. Selama ia melakukan perjalanan beberapa hari bersama Siang-koan Hong, suka atau tidak suka Tong Lam-hou pernah mendengar keterangan Siangkoan Hong tentang siapa-siapa saja delapan orang Tongcu (kepala kelompok) dalam Hwe-liong-pang, lengkap dengan julukan-julukan mereka dan ilmu andalan mereka.
Dan kalau menilik ucapan si Tongcu yang sedang dikuntitnya itu tentang Ya-miao-sip-pat-sik, maka Tong Lam-hou menduga keras tentunya si Tong-cu yang sedang ia kuntit Itu adalah Hek-ki-tongcu (pemimpin kelompok bendera hitam) yang bernama Kwa Teng-siong dan berjulukan Ya-hui-miao (si kucing terbang malam). Terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya dan dengan permainan sepasang pisau belatinya.
Tapi nama Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-Ji juga mengingatkan Tong Lam-hou akan sebuah cerita paman Singkoan yang lain. Dulu, ketika Te-liong Hiangcu berkhianat kepada ketua Hwe-liong-pang, diapun punya banyak pengikut, dan untuk menandingi delapan orang Tongcu yang setia kepada Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang, maka Te-liong Hiangcu itupun mengangkat pula delapan orang Tongcu dari antara pengikut-pengikutnya sendiri sebagai tandingcin.
Banyak Tongcu pengikut Te-liong Hingcu itu yang sudah tewas, dan dua diantaranya yang tewas itu baru terjadi beberapa hari yang lalu di desa pertahanan Pangeran Cu Leng-ong, yaitu Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang oleh Siangkoan Hong di "loloh" Racun Penghancur Tubuh itu. Namun masih ada empat orang Tongcu pengikut Te-liong Hiangcu yang berkeliaran sampai saat itu, di antaranya adalah Sip-hiat-mo-bok Liong Pek-ji yang menganut ilmu hitam Siu-bok-tiang-seng-kang dan gemar meminum darah para perawan itu.
Dengan demikian, dalam suatu kesempatan yang tidak diduga, Tong Lam-hou bakal menyaksikan pertarungan antara seorang Tongcu Hwe-liong-pang yang setia kepada mendiang ayahnya, melawan Tongcu Hwe-liong-pang lainnya yang menjadi pengikut Te-liong Hingcu. Entah siapa yang bakal keluar sebagai pemenang?
Dalam hati, tentu saja Tong Lam-hou mengharap pihak Ya-hui-miao Kwa Teng-siong yang akan menang, sebab merekalah yang setia kepada ayahnya. Tapi Tong Lam-hou belum memutuskan apakah ia akan turun tangan atau tidak.
Semantara itu rombongan orang desa itu sudah tiba di sebuah kuburan kuno yang agak jauh letaknya dari, desa, terletak di pinggir di setuah hutan rindang yang sekelilingnya penuh dengan semak-semak dan rumput, ilalang setinggi perut. Orang-orang desa itupun menancapkan obor-obor mereka di tanah. Dan ternyata mereka membawa seorang gadis yang nampak lemas dengan pakaian serba putih, sedang perempuan yang terus-terusan menangis itu agaknya adalah ibu dari si gadis yang kali ini tiba gilirannya untuk diisap darahnya.
"Puteriku... puteriku... sungguh malang nasibmu", ratap perempuan setengah baya itu. "Setahun yang lalu aku kehilangan ayahmu dan sekarang aku harus kehilanganmu!"
Beberapa penduduk desa merasa iba dan mencoba menenangkan ibu gadis itu, "Sudahlah, toanio, relakan gadismu demi keselamatan seluruh desa. Banyak orang desa kita yang sudah kehilangan anak perempuan, dan agaknya kita memang tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa menyerah kepada nasib saja. Itu lebih baik daripada seluruh desa ditimpa kutukan Manusia Kelelawar itu."
Ucapan itu sama sekali tidak mengurangi kesedihan ibu dari gadis yang akan dikorbankan itu, namun terasa juga kebenarannya. Selain pasrah kepada nasib, memangnya orang-orang desa itu bisa apa lagi? Melawan sama dengan bunuh diri. Membangkang dengan cara tidak menyediakan seorang gadis perawan setiap beberapa hari tertentu untuk dihisap darahnya oleh si Manusia Kelelawar, juga sama saja dengan bunuh diri, sebab akan menimbulkan kemarahan Manusia Kelelawar dan anak buahnya.
Beberapa saat yang lalu, orang desa mengusahakan cara lain, yaitu dengan mengirimkan dua orang lelaki desa yang paling kuat dan paling berani untuk menuju sebuah kota terdekat yang ada tentara kerajaannya, untuk minta perlindungan dari tentara kerajaan. Tetapi kedua orang itu tidak pernah sampai ke tujuannya, sebab keesokan harinya orang hanya menjumpai dua butir kepala mereka tergeletak di tengah jalan desa, sedang tubuhnya entah ke mana.
Dengan demikian tidak ada jalan lain bagi penduduk untuk melawan siluman kelelawar yang merajalela di desa mereka itu. Satu-satunya jalan adalah menyerah dan mengorbankan gadis demi gadis ke kuburan kuno itu, sesuai dengan permintaan si siluman, sampai suatu saat nanti desa itu bersih dari anak perawan.
Orang-orang Hwe-liong-pang yang mengintip di balik rumpun ilalang itu, dan juga Tong Lam-hou yang ikut mengintip di luar tahunya orang-orang Hwe-liong-pang itu, kini mulai mengerti duduk persoalannya. Penduduk desa kecil itu memang sedang dicengkam ketakutan dan keputus-asaan, maka pantaslah kalau sikap mereka begitu aneh kepada Tong Lam-hou tadi. Kini para pengintip itu hanya menunggu kejadian-kejadian berikutnya.
Tak lama kemudian, di tengah keheningan malam terdengar suara kibaran-kibaran baju yang membuat wajah para penduduk desa tegang. Merekapun terdiam ketakutan, bahkan yang menangis takut kehilangan anaknya itupun menahan tangisnya sekuat tenaga. Penduduk desa tahu bahwa "pasukan kelelawar" sudah datang, mendahului kedatangan pemimpin mereka.
Di kegelapan malam yang dilatar-belakangi oleh bulan sepotong yang bercahaya redup, memang nampak di angkasa tiba-tiba dipenuhi dengan "kelelawar-kelelawar" raksasa yang berloncatan dari pohon ke pohon. Dan kemudian merekapun bergelantungan dengan kepala di bawah dan kaki mengait dahan diatas, persis seperti kelelawar-kelelawar asli.
Namun ketajaman mata Tong Lam-hou dapat mengetahui bahwa merekalah manusia-manusia yang berpakaian hitam-hitam seperti kelelawar, dan mengenakan kedok yang mirip muka kelelawar pula. Jubah mereka yang hitam itu juga dijahit sedemikian rupa sehingga apabila mereka tengah meloncat dan jubah mereka berkibar maka akan mirip sayap kelelawar.
Tong Lam-hou tertawa dalam hati. Tipuan macam itu memang dapat membuat orang-orang di desa-desa lari ketakutan, namun bagi orang-orang kawakan di rimba persilatan, rasanya gertakan macam itu bersifat kekanak-kanakan. Seperti seorang anak nakal yang menakut-nakuti teman-temannya dengan topeng hantu-hantuan. Orang-orang dunia persilatan yang sesungguhnya akan lebih mempertimbangkan seorang yang ahli bermain senjata atau seseorang yang memiliki pukulan yang keras, daripada orang yang suka mengenakan topeng-topeng seram atau berlagak aneh-aneh macam itu.
Karena gatal tangan melihat lagak "kelelawar-kelelawar palsu itu, Tong Lam-hou menjumput sebutir batu, lalu diincarnya salah satu "kelelawar" terdekat yang tengah bergantungan terbalik di dahan sebuah pohon. Disentilnya batu kecil itu ke arah betis dari "kelelawar" itu. Terdengar kelelawar gadungan itu mengaduh dan tubuhnyapun jatuh ke tanah, malangnya jidatnyapun terbentur batu dan langsung benjol. Maka sang "kelelawar"pun mengaduh-aduh tidak ada bedanya dengan orang biasa yang jempok kakinya kejatuhan batu besar, dan dengan agak sempoyongan ia berusaha untuk naik kembali ke pohon.
"Kelelawar-kelelawar" lainnya maupun orang-orang desa terkejut mendengar kegaduhan itu. Belum lagi kegaduhan itu reda, tiba-tiba kembali seorang manusia kelelawar tiba-tiba menggigil kedinginan tanpa diketahui sebab-musababnya oleh rekan-rekannya. "Kelelawar" yang menggigil itu hanya merasakan sebutir batu mengenai punggungnya, namun batu itu mengandung hawa yang sangat dingin yang langsung meresap ke dalam tubuhnya, itulah gara-gara ulah Tong Lam-hou yang kali ini menyambitkan batunya dengan disaluri ilmu Han-im-ciangnya yang maha dingin itu.
Kelelawar yang bertenggernya di dekat rekannya yang menggigil kedinginan itu berkata dengan suara tertahan "He, kenapa. Kau demam?"
"Kelelawar yang kedinginan menyahut, "Ti...ti...tidak...apa-ap...apa... hanya men..da...dak.. aku ke..dinginan..." Suara giginya yang bergemerutuk jelas terdengar.
Rekannya itu menjadi mendongkol, bentaknya, "Berperanlah sebaik-baiknya agar penduduk desa ketakutan terehadap kita." baru saja habis ucapannya, terasa sebutir, batu menyentuh pinggangnya tepat pada jalan-darah Siau-yau-hiat. Maka iapun tiba-tiba saja tertawa terpingkal-pingkal tak terkendali lagi, karena memang jalan darah itulah yang membuat orang tertawa apabila kena totokan.
Baik "kelelawar" yang menggigil kedinginan maupun yang tertawa terpingkal-pingkal itupun tak dapat mempertahankan diri untuk bergelantungan lebih lama lagi di dahan. Berturut-turut merekapun jatuh ke tanah. Yang satu masih menggigil kedinginan seperti orang-orang kena malaria, yang lainnya tertawa terpingkal-pingkal sambil berguling-guilng di tanah bahkan sampai mendekap perutnya sendiri.
Dalam kemunculannya yang pertama tadi, kawanan kelelawar gadungan itu mencoba membikin ciut hati penduduk desa dengan berlagak seperti siluman-siluman asli. Berusaha menciptakan suasana yang seram, mencengkam dan menggetarkan agar penduduk selalu taat kepada perintah mereka. Namun setelah Tong Lam-hou turun tangan, bubarlah suasana mencengkam itu. Mana ada suasana seram kalau ada seorang yang tertawa begitu gelinya seolah-olah melihat pertunjukan lawak yang amat lucu?
Dengan demikian suasana seram di kuburan kuno itupun sirna. Tongcu Hwe-liong-pang, Ya-hui-miao-Kwa Teng-siong yang ikut mengintai bersama empat orang anak buahnya itupun merasakan perubahan suasana itu. Bisiknya kepada anak buahnya yang ada di sampingnya, "Ada sesuatu yang mengganggu kelelawar-kelelawar gadungan itu. Entah apa."
Sahut anak buahnya itu dengan berbisik pula, "Ya. Mungkin ada seorang yang berilmu tinggi telah turun tangan karena tidak suka melihat kesewenang-wenangan Liong Pek-ji kepada penduduk desa."
"Mudah-mudahan tebakanmu benar."
Sementara itu, Tong Lam-hou sudah tidak mengganggu lagi. Ia merasa gangguannya kali ini sudah cukup untuk meruntuhkan pamor para siluman gadungan itu di hadapan orang-orang desa. Kalau gangguannya berlebihan, Tong Lam-hou malahan kuatir si "Manusia Kelelawar" tidak akan muncul.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kegaduhan-kegaduhan yang merusak suasana itu agaknya telah mempercepat kemunculan Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji yang terungkat kemarahannya karena merasa dia yang mengganggunya.
Kegaduhan dari para "kelelawar" yang terpingkal-pingkal, menggigil kedinginan maupun mengaduh-ngaduh karena kepalanya benjol itu, tiba-tiba ditindih oleh pekikan nyaring yang menyeramkan. Dari balik gundukan kuburan kuno itu melayanglah sesosok tubuh hitam bagaikan kelelawar terbang di langit kelam, lalu mendarat ringan di depan kerumunan penduduk desa itu.
Di bawah cahaya obor, orang yang baru muncul itu benar-benar bertampang menyeramkan, dan keseramannya berbeda dengan keseraman manusia-manusia kelelawar terdahulu yang dibuat-buat. Wajahnya asli dan tidak dihias supaya seram, namun wajah asli itupun sudah sangat seram sebab pucat seperti mayat, dengan bibir yang berwarna merah dan mata yang merah pula dan disudut-sudut bibirnya muncullah sepasang taring tajam yang agaknya tumbuh karena kebiasaannya menghisap darah sesama manusia itu.
Jubahnya hitam berkibar-kibar tertiup angin malam, dan topi hitamnya yang lancip mirip topi setan Bu-siang dalam dongeng itupun menambah keseramannya. Penduduk desa sudah tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah manusia biasa dan bukan siluman, toh mereka tetap bergidik ketakutan.
Di tempat persembunyiannya, Ya-hui-miao Kwa Teng-siong segera mengenal bahwa orang itu memang Sip-hiat-moehok Liong Pek-ji adanya, salah seorang pengikut Te-liong Hiangcu yang paling diandalkan dan juga paling keji. Namun Kwa Teng-siong tetap memberi isyarat kepada anak buahnya agar tetap bersembunyi lebih dulu, menunggu keluarnya si pembuat kegaduhan lebih dulu.
Suasana gaduh yang mengacaukan suasana seram itu agaknya membuat Liong Pek-ji tidak senang. Sekaligus ia ingin memamerkan kekejamannya agar suasana seram itu dapat tetap mencengkam hati penduduk desa. Dengan suaranya yang dingin menggidikkan dan disertai pula bau busuk yang keluar dari mulutnya, Liong Pek-ji memanggil ketiga anak buahnya yang gaduh itu, ”Lo-su, Lo-liok dan Lojit, maju kemari!"
Ketiga anak buahnya itupun bergerak maju tanpa berani membantah, namun wajah mereka menampakkan ketakutan hebat. Ulah mereka yang tidak mereka kehendaki sendiri itu agaknya telah membuat pemimpin mereka marah. Lo-jit yang bertotok jalan darah yang membuatnya tertawa itupun masih tertawa-tawa tertahan-tahan, tapi matanya menunjukkan sinar ketakutan, sehingga mukanya jadi aneh. Seperti tertawa tetapi juga seperti menangis.
Setelah dekat, tiba-tiba Liong Pek-ji bergerak secepat kilat dan ketiga anak buahnya sendiri itupun roboh ke tanah, bahkan tidak sempat menjerit, hanya mengeluarkan suara mendengkur seperti babi disebelih. Di leher mereka muncul dua buah lubang yang diakibatkan oleh tikaman kedua jari Liong Pek-ji yang sekuat pisau baja itu.
Keruan orang desa jadi menggigil ketakutan melihat kekejaman itu, apalagi ketika melihat Liong Pek-ji dengan tenangnya menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah itu. Kemudian ia berseru, "Siapa lagi yang ingin mengganggu kekhidmatan upacara minum darahku, mereka akan bernasib seperti ketiga tikus tak tahu diri ini. Nah, siapa lagi?"
"Aku!" tiba-tiba dari sebuah rumpun semak terdengar jawaban yang mengejutkan semua orang. Lalu meloncatlah seseorang yang wajahnya tertutup secarik kain yang agaknya adalah robekan dari ujung bajunya sendiri. Dengan langkah yang tetap ia maju ke arah Liong Pek-ji tanpa rasa gentar sedikitpun. Dialah Tong Lam-hou yang tidak tahan melihat tingkah laku kejam dari Liong Pek-ji itu.
Liong Pek-ji yang menatap Tong Lam-hou dengan heran bercampur marah. Apakah orang ini belum kenal siapa Sip-niat-mo-hok yang namanya ditakuti kaum rimba persilatan di seluruh Ouh-lam? "Bangsat, siapa kau? Kenapa kau tidak menyayangi nyawamu sendiri dengan mencampuri urusanku?" bentak Liong Pek-ji.
Tong Lam-hou tertawa, "Dan kenapa kaupun membahayakan jiwamu sendiri dengan membentak-bentak aku?"
Kemarahan Liong Pek-ji tak tertahan lagi, orang berkedok itu sudah keterlaluan menjatuhkan pamornya, apabila dibiarkan saja maka lama kelamaan orang-orang desapun tidak akan takut lagi kepadanya. Karena itu, Liong Pek-ji segera memekik seram dan tubuhnya-pun melesat ke arah Tong Lam-hou, kedua tangannya yang satu menusuk ke mata, lainnya menusuk ke leher. Cepatnya bukan main.
Di tempat persembunyiannya, Kwa Teng-siong sendiri terkesiap melihat gerakan Liong Pek-ji yang dinilainya jauh lebih cepat dan mantap dari puluhan tahun yang lalu itu. Diam-diam ia menguatirkan keselamatan orang berkedok yang tidak dikenalnya itu. Tapi yang kemudian dilihatnya adalah sangat mengejutkan, sebab dengan gerakan miring yang sederhana maka orang berkedok itu telah berhasil menghindari serangan Liong Pek-ji itu.
"Ha-ha-ha," orang berkedok itu tertawa. "Sesungguhnya bau mulutmu yang busuk itu lebih berbahaya dari tanganmu yang tak seberapa kekuatannya!"
Alangkah marahnya Liong Pek-ji mendengar ejekan itu. Sesunguhnya ucapan Tong Lam-hou itu benar, bau mulutnya memang busuk luar biasa karena kegemarannya mengisap darah manusia dari gadis-gadis yang dikorbankan untuknya. Di tengah udara tiba-tiba tubuhnya berputar seperti gasing raksasa yang siap melindas hancur lawannya. Bentuk tubuhnya lenyap dan hanya kelihatan seperti segulung bayangan hitam yang melanda lawan, sepasang tangannya yang berkuku tajam-tajam itu pun mencakar kian kemari dengan cepat sehingga seolah-olah menjadi berpuluh-puluh tangan bergerak sekaligus.
Tong Lam-hou mengerutkan alisnya dan ia pun tidak berani bermain-main lagi. Ia pernah bertempur dengan Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang menurut kata paman Siangkoan-nya juga bekas Tongcu-tongcu pengikut Te-liong Hiangcu, namun kini Tong Lam-hou merasakan bahwa Liong Pek-ji agaknya beberapa tingkat lebih tangguh dari Tong King-bun maupun Seng Cu-bok.
Namun ketangguhan itu masih belum cukup untuk mengalahkan Tong Lam-hou si murid tunggal dan murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang sudah mewarisi seluruh ilmu gurunya itu. Dalam deretan "Sepuluh tokoh paling sakti" yang digembar-gemborkan orang sejak beberapa puluh tahun yang lalu, nama Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan menduduki urutan pertama.
Tong Lam-hou yang memang bermaksud akan menghajar Liong Pek-ji untuk membangkitkan keberanian penduduk desa, tentu saja tidak ingin dirinya diserang terus menerus tanpa membalas. Pusaran serangan lawan segera ia terjang dengan gerakan Beng-hou-tiau-kan (Harimau Galak Meloncati Parit). Tinjunya memang tidak menjadi berpuluh-puluh bayangan seperti lawannya, tetap kelihatan hanya satu, namun yang hanya satu itu mengandung kekuatan amat besar sehingga buyarlah serangan lawannya. Liong Pek-ji terpental mundur dengan wajah menampilkan rasa kecut dan tak percaya.
Tong Lam-hou tertawa sambil mengacungkan tinjunya kepada lawan, tanyanya, "Bagaimana tinjuku tadi, enak?"
"Bangsat, kau harus mampus agar semua orang tahu kehebatanku!"
Namun baru saja ucapannya berakhir, malah Tong Lam-hou yang sudah menyerang lebih dulu secara beruntun. Jurus-jurus Tok-pi-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san) yang diarahkan ke batok kepala, lalu Koay-bong-hoan-sin (Naga Siluman Memutar Tubuh), ditutup dengan Se-ceng-pay-Hud (Se-ceng Menyembah Buddha). Gerakannya saling susul dengan cepatnya, lebih cepat dari dari serangan Liong Pekji tadi, dan juga membawa deru angin kekuatan yang mengejutkan. Dalam tiga kali serangan saja si Kelelawar Siluman itu sudah didesak mundur enam langkah tanpa berkesempatan membalas serangan, bahkan berganti napaspun sulit.
Menyadari bahwa dirinya telah bertemu dengan seorang lawan tangguh, maka Liong Pek-ji meraba kepinggangnya dan mengeluarkan senjatanya berupa sepasang sarung tangan yang terbuat dari benang logam halus dan di ujung jari-jarinya ada sepuluh kuku panjang dari logam yang panjangnya sejengkal lebih. Begitu kedua sarung tangan dipakai, muncullah sepasang tangan yang kebal senjata dan berkuku tajam yang kekuatannya seperti pisau belati baja.
Kedua orang itupun segera bertempur dengan disaksikan oleh penduduk desa yang mulai menaruh harapan akan datangnya si malaikat penolong itu. Juga disaksikan oleh beberapa manusia kelelawar yang masih bergelantungan di dahan-dahan itu dengan penuh keheranan, karena mereka tidak menduga kalau ada juga seseorang yang sanggup bertempur seimbang dengan pemimpin yang mereka dewakan itu, bahkan mendesaknya.
Tong Lam-hou yang memang benci segala bentuk kejahatan, apalagi kejahatan yang menyangkut nyawa orang yang tak berdaya, memang telah berkelahi seperti angin prahara yang berhembus dari lautan. Kekuatannya membuat pertahanan Liong Pek-ji bagaikan kekuatan raksasa, dan kecepatannya membuat Liong Pek-ji seakan tidak hanya menghadapi seorang lawan tetapi beberapa lawan sekaligus. Tendangan Pek-pian-hian-hoan-tui (Tendangan Berantai Seratus Perubahan) yang dimainkannya ibarat seekor naga sakti yang menyambar-nyambarkan ekornya, meluluh-lantakkan apapun yang menghalanginya.
Begitulah kedua orang yang bertempur itu berkelebatan saling menyambar dengan sengitnya dengan jurus-jurus maut andalan mereka. Disaksikan oleh anak buah Liong Pek-ji yang kecewa melihat pemimpinnya tidak dapat segera unggul, penduduk desa yang harap-harap cemas untuk kemenangan Tong Lam-hou, dan orang-orang Hwe-liong-pang yang terpesona di tempat persembunyian mereka.
"Luar biasa," desis Kwa Teng-siong. "Siapa orang berkedok itu? Andaikata aku yang harus berkelahi melawan si kelelawar busuk itu, paling banter hanya bisa seimbang saja, namun "orang berkedok telah berhasil mengurung dan menekan Liong Pek-ji seperti itu. Di dunia persilatan, tokoh yang sanggup berbuat demikian terhadap Liong Pek ji tidak banyak jumlahnya."
Waktu itu memang Liong Pek-ji sudah terdesak benar-benar. Sepuluh kuku-kuku logamnya tak sanggup menyentuh Tong Lam-hou biarpun hanya ujung jubahnya, seolah-olah ia sedang berkelahi hanya dengan segumpal asap. Sebaliknya pukulan atau tendangan Tong Lam-hou yang menggeledek bertubi-tubi itu semakin berbahaya, jika mengenai pasti akan rontok seluruh tulang-belulang lawannya. Liong Pek-ji menjadi ngeri melihat bagaimana batu-batu besar dan pohon-pohon sebesar paha menjadi hancur atau tumbang bila tersentuh tangan atau kaki Tong lam-hou yang seperti palu godam baja itu.
Masih untung buat Liong Pek-ji, bahwa Tong Lam-hou merasa belum perlu mengeluarkan ilmu Han-im-ciangnya yang dapat membekukan darah lawannya itu. Andaikata ilmu itu sampai digunakan, agaknya kematian Liong Pek-ji akan dipercepat waktunya. Kini dalam keadaan terdesak, Liong Pek-ji merasa tidak segan-segan untuk berbuat licik. Kepada anak buahnya yang bergelantungan di dahan-dahan seperti kalong itu ia berteriak,
"Hei, kalian, bantu aku membunuh setan kecil ini!"
Orang-orang yang bergelantungan di dahan dengan kepala di bawah itupun segera mengeluarkan sepasang pisau belati masing-masing, dan bagaikan sekawanan kelelawar yang diusik sarangnya, merekapun "beterbangan" meninggalkan dahan-dahan tempat mereka bergantungan, dan menerkam ke arah Tong Lam-hou dengan pisau-pisau yang berkilat-kilat di tangan mereka.
Manusia-manusia kelelawar itu agaknya telah dilatih cara bertempur tersendiri oleh Liong Pek-ji. Dari satu dahan pohon mereka meloncat menerkam lawan, dan jika serangan luput maka mereka langsung menyambar dahan pohon yang terdekat dengan mengaitkan kaki mereka dan mempersiapkan serangan baru.
Demikian berganti-ganti mereka menubruk ke arah Tong Lam-hou dan kemudian meloncat ke pohon, sehingga lama kelamaan Tong Lam-hou jengkel juga, apalagi karena kedudukan Liong Peik-ji yang sebenarnya tadi sudah terpojok jadi dapat bernapas kembali karena bantuan anak buahnya itu, bahkan ia mencoba balik mendesak Tong Lam-hou.
Dalam keadaan seperti itu, Tong Lam-hou langsung saja menggunakan ilmu Han-im-ciangnya sambil tertawa, "Kalong-kalong busuk, malam ini kalian akan merasakan kelihaianku!"
Ketika seorang manusia kelelawar melayang dari atas sebatang pohon dan hendak menikam dari belakang, Tong Lam-hou cepat menjatuhkan diri kesamping sambil menyambar kedua kaki korbannya dengan kedua tangannya, itulah korban kedua dari Han-im-ciangnya setelah yang pertama dengan sambitan batu tadi. Begitu kedua kakinya kena tercengkeram oleh Tong Lam-hou, si manusia kelelawar itu langsung merasa kakinya seolah-olah terperosok ke dalam sebuah sumur es.
Hawa yang amat dingin menjalar dengan cepat dari kedua kakinya ke seluruh tubuhnya, membekukan seluruh aliran darahnya dan bahkan langsung menghentikan detak jantungnya. Ia terbanting dengan tubuh membiru beku dengan tatapan mata yang kosong, tanpa nyawa lagi.
Kematian salah seorang teman mereka agaknya masih belum membuat para manusia kelelawar itu menjadi jera, meskipun mereka lebih berhati-hati sekarang. Namun mereka masih saja berloncatan dengan tangkasnya dari dahan ke dahan sambil menyambar-nyambarkan pisau mereka, sementara Liong Pek-ji melawan secara berhadapan.
Tapi kini kawanan manusia kelelawar maupun Liong Pek-ji merasa ada udara maha dingin mengalir lambat di sekitar tubuh mereka, makin lama rasa dinginnya makin tajam sehingga pori-pori kulit terasa ditusuk ribuan jarum es. Darah semakin lambat mengalir dan dengan demikian mengganggu pula kelancaran gerak mereka. Lagi dua orang manusia kelelawar mati dengan tubuh beku.
Sementara Liong Pek-ji sendiri terpaksa harus meloncat mundur berkali-kali menjauhi Tong Lam-hou karena udara dingin yang terpancar dari pukulan Tong Lam-hou hampir tidak tertahankan lagi. Serangan senjata atau serangan tangan masih bisa ditangkis, tapi kalau serangan itu berwujud aliran udara, mana bisa menangkisnya?
Dengan terdesaknya Liong Pek-ji, Tong Lam-hou jadi lebih leluasa untuk "mempreteli" anak buah Liong Pek-ji yang berujud manusia-manusia kelelawar itu. Beberapa orang telah bergelimpangan di tanah. Dan kemudian Tong Lam-hou bukan sekedar menunggu sergapan mereka, namun iapun meloncat-loncat dari dahan ke dahan untuk mengejar mereka, bahkan ternyata Tong Lam-hou lebih tangkas dalam permainan di atas dahan itu.
Melihat itu, Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji menarik napas dengan hati yang terasa tawar, sadarlah ia bahwa kekalahan sudah di depan mata. Sejak tenaga dalam Siu-bok-tiang-seng-kangnya meningkat pesat, ia merasa dalam dunia sudah sulit dicari tandingannya. Tapi kini suatu kenyataan bahwa seorang yang tak dikenal saja telah membuat "pasukan kelelawar" andalannya itu berantakan tanpa arti.
Jika ia berkeras kepala tetap di situ, maka itu adalah alamat kehancurannya. Karena itu Liong Pek-ji tidak menunggu sampai anak buahnya tertumpas habis, ia segera meloncat untuk kabur sambil memekik tinggi sebagai isyarat agar "pasukan kelelawar"nya mengundurkan diri...
Selanjutnya;