Pendekar Naga dan Harimau Jilid 27
NAMUN Sebun Siang menggelengkan kepalanya dan menyahut, "Tadinya banyak juga di antara kami yang menduga demikian, tapi mengingat watak Giok-seng Suheng yang amat patuh kepada sesuatu yang sudah digariskan, maka mustahil ia berbuat demikian tanpa sepengetahuan Ciangbunjin. Kalau Giok Seng Suheng sudah berjanji untuk pulang ke gunung dalam waktu lima hari, maka biarpun kedua kakinya dipotong maka diapun akan merangkak dan kembali lima hari. Sute, kau sendiri tentu paham akan watak kakak seperguruan kita yang satu ini. Maka timbul dugaan lain, bahwh Giok-seng Suheng bersama kedua muridnya mungkin telah terjebak oleh suatu kekuatan asing yang lebih kuat dari mereka bertiga, dan kemudian ternyata dugaan yang kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran."
"Kekuatan darimana?"
"Tidak tahu, bahkan sekarangpun keadaan masih gelap bagi kami. Regu-regu penyelidik yang disebarkan oleh Ciangbunjin semuanya pulang dengan tangan kosong. Jangan lagi keterangan yang berarti, sedang jejak Giok-seng Suheng bertigapun lenyap seperti mereka ditelan bumi saja. Pada saat kami hampir putus-asa, tiba-tiba dua orang murid-murid muda menemukan Kiongwan Hok sedang berkeliaran di kaki gunung, namun Kiongwan Hok sudah seperti orang gila ketika dlketemukan oleh kami. Ia menangis dan menjerit semaunya, mengucapkan kata-kata yang menggidikkan bulu tubuh seperti 'gudang mayat' atau 'penyimpanan kepala' atau 'kulit wajah dibeset' dan sebagainya. Ia sama sekali tidak lagi bisa diajak bicara untuk ditanyai di mana gurunya dan saudara seperguruannya, setiap kali ditanya ia malah menjerit-jerit ketakutan atau menangis meraung-raung. Kami panggilkan beberapa tabib dan pa para tabib itu rata-rata berkesimpulan bahwa jiwa Kiongwan Hok telah terguncang hebat, mungkin karena la menyaksikan kematian gurunya maupun saudara-saudara seperguruannya dengan cara yang amat mengerikan dl hadapan matanya. Dan para tabib menyarankan bahwa Kiongwan Hok harus diperlakukan sebaik-baiknya agar kegoncangan jiwanya cepat terobati."
"Bagaimana perkembangan kesehatannya?"
"Berangsur-angsur ada kemajuan, ia mulai agak tenang meskipun masih tetap dikurung dalam satu tempat dengan penjagaan yang ketat. Tapi Ciangbunjin masih melarang siapapun untuk menanyai tentang kejadian atas diri gurunya dan saudara-seperguruannya, sebab dikuatirkan pertanyaan itu malah akan membuat jiwanya tergoncang kembali. Kami mengira persoalan akan segera menjadi terang, tetapi... ah, kembali kejadian-kejadian aneh muncul."
"Apa?"
"Tiba-tiba penyakit Kiongwan Hok menghebat kembali, sebab di tempatnya dikurung, pada suatu malam muncullah tubuh yang mirip Giok-seng Suheng, tubuh itu tubuh terpisah dengan kepalanya dan kepalanya dibawa dengan tangannya. Beberapa anggota Hoa-san-pay yang melihat tempat itu juga menyatakan bahwa mereka memang melihat sesosok tubuh tanpa kepala melayang masuk ke ruang penyekapan Kiongwan Hok. Kemudian Kiongwan Hok berteriak-teriak ketakutan, dan jiwanya yang hampir tenang kembali itu kembali tergoncang hebat. Bersamaan dengan itu, muncul pula orang-orang Ho-lian-pay dengan masalah mereka yang memusingkan kepala. Katanya mereka ingin minta seorang murid Hoa-san-pay bernama Kiongwan Hok untuk dihukum oleh mereka, sebab Kiongwan Hok telah melukai beberapa anggota Ho-lian-pay mereka. Coba pikir, Sute, persoalannya bertambah ruwet bukan?"
Namun Auyang Seng tidak kelihatan bingung sedikitpun. Katanya, "Secara garis besar, aku menduga bahwa Giok-seng Suheng dan kedua muridnya agaknya telah bentrok dengan sebuah komplotan yang tidak ingin diketahui oleh orang luar, lalu dibunuh. Kebetulan Kiongwan Hok lolos, tapi diapun harus dilenyapkan oleh komplotan itu, maka komplotan itu tidak henti-hentinya memburu untuk mendapatkan Kiongwan Hok. Atau paling tidak membuat Kiongwan Hok tetap gila, caranya ialah dengan menakut-nakuti dia, sebab hanya dengan tetap gila sajalah maka dia tidak akan dapat ditanyai tentang apa yang sudah diketahuinya tentang komplotan itu."
"Sute, bagaimana kau bisa membuat kesimpulan begitu cepat?"
Auyang Seng menarik napas, "Dalam bulan-bulan terakhir ini di dunia persilatan banyak kejadian aneh yang sulit diusut asal-usulnya. Banyak tokoh persilatan yang menghilang, dikira sudah mati ternyata masih hidup, meskipun kemunculannya yang kedua kali kadang-kadang dengan membawa perangai yang berbeda dengan sebelum ia menghilang. Ada beberapa orang yang tiba-tiba saja terbunuh oleh orang tak dikenal, entah karena persolan apa. Dan tentang diri Giok-seng Suheng, aku mendengar berita yang agak janggal."
"Tentang Giok-seng Tojin?"
"Benar, tentang kakak seperguruan kita yang Suheng katakan telah menghilang tanpa jejak bersama seorang muridnya itu. Belum lama ini, di daerah sebelah barat kota Tay-tong telah terjadi pemberontakan melawan pemerintah Manchu yang digerakkan oleh Jit-goat-pang (Serikat Rembulan dan Matahari) di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong. Kabarnya Giok-seng Suheng muncul di arena pertempuran itu dan berpihak kepada Pangeran Cu Leng-ong....."
"Ini membuat teka-teki ini semakin ruwet. Kalau Giok-seng Suheng ternyata selama ini belum mati, seharusnya memberi kabar ke gunung agar tidak membuat para sesepuh dan saudara seperguruan jadi gelisah seperti ini. Tapi Giok-seng malahan muncul di medan pertempuran di kota Tay-tong?"
"Ya. Anehnya, kemunculannya itu bersama-sama dengan dua orang tak dikenal yang memiliki ilmu tinggi, entah dari pihak mana. Kemudian Giok-seng Suheng dengan dua teman anehnya itu gugur, bukan di garis depan melainkan malahan digaris belakang di desa pertahanan terakhir Pangeran Cu Leng-ong. Kedua teman aneh Suheng itu mati dalam keadaan habis dagingnya, dan yang dapat menjadi ciri pengenal mereka kemudian hanyalah pakaian mereka dan senjata-senjata mereka. Mati dengan daging cair seperti itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa berpuluh tahun yang lalu ketika aku masih muda, yaitu di jaman Hwe-liong-pang masih malang melintang di dunia persilatan dahulu. Jika mereka menghukum anak buah mereka yang bersalah, maka mereka suruh anak buahnya itu untuk menelan sebutir ramuan Racun Penghancur Tubuh yang berakibat seluruh otot dan daging di tubuh akan mencair lenyap, kecuali tulang-tulangnya. Mungkinkah kedua orang yang mati bersama-sama dengan Giok-seng Suheng itu adalah orang-orang Hwe-liong-pang?"
Sesaat kedua saudara seperguruan itu duduk diam dengan kening berkerut. Persoalannya memang masih kabur, namun bagi Auyang Seng yang berwatak keras namun teliti itu, semakin keras dan semakin sulit persoalannya akan justru semakin merangsanya untuk memecahkannya. Apalagi persoalan yang satu ini menyangkut perguruannya sendiri, dan secara naluriah la juga merasakan bahwa kejadian-kejadian aneh di Hoa-san itu hanyalah salah satu rangkaian dari kejadian-kejadian aneh yang belakangan ini sering muncul di kalangan rimba persilatan.
Sesaat kemudian terdengar Auyang Seng menarik napas, lalu katanya, "Jika kita hendak menyelidiki, maka lebih dulu kita bisa mulai dari Ho-lian-pay terutama He Keng-liang sendiri. Aku merasa sikap mereka agak di luar dugaan. Ho-lian-pay cuma sebuah perguruan kecil yang tidak terkenal, dan tidak ada tokoh-tokohnya yang menonjol, maka terasa aneh kalau mereka tiba-tiba saja berani mengusik Hoa-san-pay kita yang betapapun adalah salah satu tiang-utama dunia persilatan. Tentu ada yang menggerakkan mereka dari belakang. Dengan kata yang lebih tegas, ada pihak tertentu yang ingin merebut Kiongwan Hok dari tangan kita tapi dengan cara meminjam tangan orang-orang Ho-lian-pay."
"Lagi-lagi Kiongwan Hok...."
"Ya, karena keponakan-murid kita itu sekarang sudah menjadi orang penting. Barangkali dialah satu-satunya kunci untuk membongkar sebuah komplotan rahasia dunia persilatan, maka pihak komplotan itu harus berusaha keras untuk melenyapkan dia sebelum dia menjadi sembuh dan bisa ditanyai."
Sebun Siang mengangguk-anggukan kepalanya. Tanyanya tiba-tiba, "Eh, Su-te, apakah kau percaya akan adanya hantu?"
Auyang Seng tertawa, "Hantu memang ada dan beberapa orang pernah mengalaminya benar-benar, tetapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dengan tergesa-gesa untuk memecahkan segala persoalan. Melihat hal aneh sedikit saja lalu dikatakan bahwa itu perbuatan hantu, itu sikap keliru...."
"Tapi...tapi roh Giok-seng Suheng yang muncul tanpa kepala itu..."
Kembali Auyang Seng tertawa, "Giok-seng Suheng adalah seorang yang rajin berdoa dan banyak berbuat kebajikan kepada sesama manusia seumur hidupnya, masakah setelah mati dia mengganggu orang-orang Hoa-san-pay sendiri dalam wujud hantu tanpa kepala? Aku tidak percaya. Aku lebih percaya kalau hantu tanpa kepala yang menemui Kiong-wan Hok itu hanyalah hantu palsu yang bertujuan membuat jiwa Kiongwan Hok sulit disembuhkan dari penyakitnya."
Sebun Siang masih nampak ragu-ragu mendengar semua keterangan itu, sehingga Auyang Seng yang lebih banyak pengalamannya karena lebih sering berkelana itupun menjelaskannya lebih lanjut, "Sebun Suheng, orang menyamar sebagai hantu bukan hal sulit. Banyak orang-orang hek-to (Jalan hitam) yang berbuat demikian. Ada yang menyamar sebagal siluman kelelawar, ada yang menyamar sebagai setan Bu-siang, atau bentuk-bentuk lainnya. Mereka berbuat demikian hanyalah karena kurang percaya kepada kemampuan diri sendiri, sehingga mereka merasa perlu untuk lebih lanjut menakuti lawan dengan penampilan yang seram-seramnya. Tetapi bagi para penganut ilmu silat sejati, yang paling menakutkan bukannya ujud-ujud aneh ataupun topeng-topeng seram, melainkan suatu ilmu yang sudah dilatih sampai mahir."
Setelah kedua kakak beradik seperguruan itu berbincang-bincang sepuasnya, maka Auyang Seng segera memohon pamit untuk beristirahat di tempatnya sendiri yang sudah disediakan oleh beberapa murid. Tempat tinggal Auyang Seng dalam perumahan Hoa-san-pay yang luas itu terletak di bagian belakang, tidak jauh dari tempat Kiongwan Hok dikurung dalam suatu ruangan yang dijaga ketat oleh murid-murid Hoa-san-pay.
Menempati ruangannya Itu, diam-diam Auyang Seng merasa kebetulan sebab la pun ingin mengawasi Kiongwan Hok secara diam diam, dan kalau perlu menangkap "hantu tanpa kepala" yang sering mengganggu Kiongwan Hok yang sakit jiwa itu, untuk dilucuti kedoknya.
Tetapi selama Auyang Seng beberapa hari di situ, "hantu" itu tidak muncul, dan Auyang Seng mengisi waktunya dengan membimbing beberapa murid-murid Hoa-san-pay yang masih muda usia untuk memeperkenalkan beberapa latihan baru yang dapat mempercepat peningkatan ilmu mereka, terutama ilmu pedang.
Yang paling rajin mengikuti petunjuk petunjuknya adalah Sebun Him, dan mau tidak mau Auyang Seng kagum juga melihat bagaimana putera Suhengnya itu dengan daya tangkap dan keuletan yang melebihi murid-murid lainnya, telah mendapat keamajuan pesat dalam ilmu pedangnya. Diam-diam Auyang Seng merasa puas karena untuk beberapa tahun mendatang Hoa-san-pay bakal memunculkan lagi seorang jagoan yang diharap lebih cemerlang dari dirinya sendiri.
Beberapa malam kemudian, ketika itu seluruh perumahan Hoa-san-pay sudah tenggelam dalam kesunyian, banyak ruangan-ruangan yang lampunya sudah dipadamkan untuk menghemat minyak. Yang masih berjaga-jaga hanyalah murid-murid yang mendapat giliran tugas untuk menjaga tempat-tempat penting, seperti aula tempat penerimaan murid baru, tempat penyimpanan kitab-kitab.
Dan belakangan ini tempat penting itu bertambah satu lagi, yaitu ruangan tempat Kiongwan Hok dikurung. Pihak Hoa-san-pay menyadari bahwa jika Kiongwan Hok kelak dapat sembuh dan dapat diajak bicara, maka dia akan menjadi "kunci" dari rahasia hilangnya Giok-seng Tojin dan seorang muridnya yang lain.
Auyang Seng tengah terkantuk-kantuk di pembaringannya ketika tiba-tiba kupingnya menangkap suara teriakan dan tangisan yang keras dari ruangan tempat didekapnya Kiongwan Hok yang memang tidak jauh dari tempatnya Itu. Suara tangisan sedih dan raungan ketakutan itu mengalun di malam yang sunyi, menimbulkan suasana yang seram.
”Jangan...jangan ajak aku pergi ke tempatmu, Suhu...! Kematianmu mengenaskan sekali, Suhu....!"
Lenyaplah rasa kantuk Auyang Seng mendengar itu. Cepat ia meloncat dari pembaringannya dan dengan cekatan dipakainya sepatunya dan jubah luarnya. lalu disambarnya pedangnya yang tidak pernah terletak jauh daripada dirinya itu. Sekejap saja ia sudah mendorong pintu dan melayang seperti seekor burung walet ke arah ruang penyekapan Kiongwan Hok. Melihat gerak-geriknya yang serba tangkas tetapi terarah itu, memang tidak mengecewakan kalau Auyang Seng merupakan seorang pendekar yang disegani bukan saja di Hoa-san-pay sendiri tetapi juga di dunia luar dengan julukan Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak).
Ketika Auyang Seng tiba di luar, terlihat dari segala arah sudah bermunculan orang-orang bersenjata pedang yang menuju ke arah yang sama. Namun ada juga yang ketika mendengar teriakan-teriakan Kiongwan Hok itu justru meringkaskan badannya semakin kecil di bawah selimutnya. Mereka memilih meneruskan tidur mereka yang nyaman daripada berkeliaran diluaran dan bertemu dengan hantu tanpa kepala.
Tapi lebih banyak lagi yang berloncatan keluar dengan pedang di tangan. Biarpun hantu dari neraka yang bakal mereka hadapi, namun mereka tidak akan rela jika Hoa-san-pay diejek sebagai sarang kelinci-kelinci penakut. Mereka harus menunjukkan bahwa Hoa-san-pay adalah sarang macan.
Ketika Auyang Seng tiba di tempat penyekapan Kiongwan Hok, teriakan-teriakan masih terdengar, dan murid-murid yang berjaga-jaga di tempat itu sudah menghunus pedang semuanya. Tapi muka mereka kelihatan pucat dan ragu-ragu, tangan mereka yang memegang pedangpun kelihatan agak gemetar.
"Apa yang terjadi?" tanya Auyang Seng kepada salah seorang murid.
Murid itu bibirnya bergerak-gerak tapi tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya kepalanya yang kemudian tergeleng-geleng.
"Sudah kalian periksa ke dalam?" tanya Auyang Seng lagi.
Lagi-lagi murid itu menggelengkan ke dalam. Auyang Seng menggertakkan gigi dan berkata tegas, "Jangan takut hantu. Sebagian ikuti aku ke dalam untuk memeriksa! Sebagian berjaga di sini!”
"Benar! Tidak usah takut hantu!" sahut murid-murid yang mulai pulih keberaniannya ketika melihat kedatangan paman guru mereka yang berilmu tinggi itu. "Biar kami berjaga di sini, kalian ikut susiok ke dalam!"
"Benar! Penjagaan di sini harus kuat. Aku berjaga di sini."
"Akaupun akan siap siaga di sini untuk menangkap hantunya!"
Demikianlah, ternyata semua murid lebih suka berada di luar saja, mereka saling mendorong teman-teman mereka untuk masuk ke dalam, tapi mereka sendiri lebih suka "berjaga di luar saja."
Auyang Seng habis sabar. Tanpa menunggu murid-murid itu, ia segera menerjang ke dalam ruangan penyekapan itu. Dan apa yang dilihatnya telah membuat jantung Auyang Seng hampir copot. Ruangan dalam yang untuk menyekap murid Hoa-san-pay yang sakit jiwa itu adalah sebuah ruangan yang terbuat dari kayu tebal itu telah terdobrak, sehingga dari luar bisa langsung melihat ke dalam.
Di dalam ruangan, Kiongwan Hok dengan wajah pucat ketakutan dan mata yang berkeliaran karena kegilaannya, merapatkan punggungnya ke tembok. Di hadapannya, seseorang berpakaian jubah imam warna kuning berdiri sambil menjulurkan tangan ke arah Kiongwan Hok seolah-olah hendak mencekik. Dan meskipun imam itu berkepala, namun kepalanya dipegang dengan tangan satunya lagi, sementara lehernya buntung dan meneteskan cairan merah yang mirip darah. Dan wajah di kepala itu memang benar wajah Giok-seng Tojin.
Sesaat Auyang Seng tergetar perasaannya, sejak ia lahir dari perut ibunya sampai sekarang usianya mencapai hampir empatpuluh lima tahun, ia memang sering mendengar dongeng tentang hantu tapi tidak pernah mempercayainya. Apalagi setelah la mendapat banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tetapi kali ini perasaananya memang terguncang keras. Benarkah bahwa arwah kakak seperguruannya, Giok-seng Tojin berkeliaran sebagai hantu penasaran.
Untunglah nyali Auyang Seng tidak mudah menjadi ciut hanya karena melihat pemandangan di depan matanya itu. Akal sehatnya yang sudah terlalu lama menguasai dirinya dalam mengambil segala tindakan, segera mendesak keluar segala pikiran-pikiran tidak masuk akal tentang hantu. Dilihatnya pintu itu terbuka karena dirusak, padahal bukankah kabarnya hantu itu berbadan halus sehingga dapat masuk ke ruangan manapun tanpa harus merusak pintu?
Juga dilihatnya sepasang kaki "Giok-seng Tojin" itu menapak tanah, bukannya melayang seperti cerita-cerita hantu yang pernah didengarnya. Karena itu kemarahan Auyang Seng segera berkobar menggantikan rasa kagetnya tadi. Marah karena orang ini telah berani mengacau di Hoa-san-pay, berusaha membunuh seorang murid Hoa-san-pay dan berani menyamar sebagai Giok-seng Tojin yang semasa hidupnya dihormati oleh Auyang Seng itu.
Geram Auyang Seng, "Bangsat bernyali besar, lebih baik serahkan dirimu secara baik-baik daripada aku harus turun tangan meringkusmu!"
Hantu Giok-seng Tojin yang tangannya hampir mencapai leher Kiongwan Hok itu menoleh, tepatnya memutar tubuhnya menghadap Auyang Seng, lalu dengan langkah perlahan-lahan dengan gaya seseram mungkin ia berjalan mendekati Auyang Seng dengan tangan terjulur seperti hendak mencekik, tangan satunya masih menjinjing batok kepala yang berlumuran darah itu.
Dari rongga perut "hantu" itu terdengar suara menggeram seram, "Siapa kau? Apakah kau ingin aku mencekikmu sekalian dan menyeretmu ke neraka?"
Auyang Seng tertawa dingin, "Hentikan permainan hantu-hantuanmu itu, sobat, tidak akan berguna kau menakut-nakuti aku. Dan jika kau benar-benar hantu, coba tunjukkan kepadaku. Terjang tembok itu sebab badan hantu kabarnya bisa menembus apapun tanpa. merusakkannya."
Langkah "hantu" itu nampak tertegun, agaknya ia mulai sadar bahwa orang yang dihadapinya itu berbeda dengan murid-murid Hoa-san-pay yang menggigil ketakutan melihat penampilannya tadi. Namun kali ini si "hantu" menghadapi seseorang yang tidak bisa digertak dengan gaya hantu-hantuannya. Sadar bahwa tugasnya untuk membunuh Kiongwan Hok, atau paling tidak membuatnya terus gila, telah digagalkan oleh munculnya Auyang Seng.
Maka orang yang menyamar sebagai hantu itu menjadi nekad. Kepala "Giok-seng Tojin" yang dibawanya dengan tangan kiri itu tiba-tiba dibantingkan ke tanah, dan ternyata "kepala" itu adalah semacam senjata peledak yang langsung meledak dan menyemburkan api dan asap yang memenuhi seluruh ruangan.
Auyang Seng terkejut, namun segera sadar bahwa bom asap itu tentu hanya bertujuan untuk mengejutkan dirinya dan orang itu akan mencari kesempatan untuk kabur. Maka Auyang Seng di tengah tengah asap yang memenuhi ruangan itu segera meloncat ke pintu, jalan satu-satbnya bagi orang itu apabila hendak keluar.
Tapi Orang itupun cukup cerdik, tanpa melihat ia sudah dapat menduga bahwa Auyang Seng tentu akan menjaga pintu lebih dulu, maka orang itu segera menggunakan kekuatan pukulannya untuk menjebol tembok dan dari situlah ia menerobos keluar.
Murid-murid Hoa-san-pay yang berjaga-jaga di luar menjadi terkejut ketika mendengar ledakan dari dalam ruang penyekapan disusul dengan berkobarnya api. Mereka hendak menyerbu masuk, tapi ragu-ragu, bagaimana kalau bertemu dengan "hantu tanpa kepala" itu?
Baru saja mereka memikir hantu tanpa kepala, maka si "hantu" benar-benar muncul di hadapan mereka dengan cara menjebol tembok. Dua orang murid segera jatuh pingsan saking takutnya begitu melihat hantu tanpa kepala itu, lain-lainnya tidak pingsan melainkan gemetar ketakutan tanpa dapat berbuat apa-apa, bahkan ada yang celananya menjadi basah karena terkencing-kencing.
Saat itulah Auyang Seng menyusul memburu keluar dengan pedang terhunus dan berteriak kepada murid-muridnya, "Kantong-kantong nasi yang tak berguna, bernyali tikus! Cepat padamkan api di dalam dan selamatkan Kiongwan Hok!"
Sementara "hantu tanpa kepala" itu telah meloncati dinding halaman itu dengan gerakan yang lincah, namun Auyang Seng lebih lincah lagi. Bagaikan seekor burung rajawali yang menyambar di udara, tubuhnyapun meloncat menyusul "hantu" itu sambil membentak,
"Sobat, berhenti dan menyerahlah! Atau kulobangi punggungmu dengan pedangku ini?!"
Namun hantu itu agaknya cukup bandel dan ternyata la memiliki ilmu silat yang bisa di andalkan juga. Tubuhnya tiba-tiba berputar di udara dan tahu-tahu sepasang tangannya telah memegang sepasang pedang pendek. Ketika Auyang Seng memperhatikan, diam-diam ia tertawa mengejek sebab sepasang tangan "hantu itu" tidak tumbuh dari pundaknya melainkan tumbuh dari rusuk, sekepala dibawah pundak.
Dengan demikian Auyang Seng tahu bahwa orang yang menyamar sebagai hantu Itu adalah seorang yang bertubuh pendek, lalu kedua pundaknya diganjal tinggi sehingga kepalanya "tenggelam", dan jika diberi jubah panjang sebagai pakaiannya akan nampaklah sekilas seolah ia hantu tanpa kepala.
"Buka jubahmu dan pengganjal pundakmu sobat...!” kata Auyang Seng ketika keduanya sudah berdiri berhadapan di atas tanah. "Kita akan bertempur dan gerak-gerikmu tentu terganggu oleh pengganjal pundakmu yang begitu tinggi itu, sementara matamu pun tertutup oleh jubahmu sendiri."
Sadar dirinya sudah tidak dapat mengelabuhi Gin-hoa-kiam Auyang Seng yang terkenal itu, maka "si hantu" itu-pun merobek-robek jubahnya dan membuang pengganjal pundaknya yang terbuat dari kain berisi kapas yang dijahit dan dibentuk secara khusus untuk main hantu-hantuan itu. Dan muncullah wajah aslinya. Ia seorang seusia setengah abad yang bertubuh kecil pendek, dan berwajah mirip tikus, baik matanya yang kecil bulat maupun kumisnya dan hidungnya.
Ternyata Auyang Seng cukup kenal wajah itu, dan ia terkejut karenanya. Serunya kaget, "Jian-kiam-hui-ci (Tikus Terbang Seribu Pedang)”
Kakek kecil pendek itu tertawa terkekeh-kekeh, sahutnya, "Gin-hoa-kiam Auyang Seng memang bukan nama kosong belaka. Hari ini biarlah aku jajal kehebatanmu!"
Sementara itu Auyang Seng merasa bahwa persoalan yang terjadi hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiongwan Hok itu ternyata semakin lama bukannya semakin sederhana tapi malahan semakin ruwet. Kenapa si tikus terbang dari perguruan Jing-sia-pay ini ikut terlibat pula? Terhadap Ho-lian-pay boleh saja memandang ringan, tetapi terhadap Jing-sia-pay akan lain lagi soalnya. Jing-sia-pay adalah perguruan yang terkenal kuat pula dan banyak memiliki jago-jago lihai, sehingga hubungan dengan perguruan itu harus dijaga kelestariannya.
Maka sebelum mulai bertempur. Auyang Seng berkata, "Kiranya saudara Ki dari Jing-sia-pay. Selama ini hubungan antara kedua perguruan kita sangat baik, antara Ketua kedua belah pihak juga terjalin persahabatan akrab berpuluh tahun lamanya, kini apa sebabnya saudara Ki mendadak bersikap begitu buruk kepada Hoa-san-pay kami. Menakut-nakuti seorang murid Hoa-san-pay yang sedang kami usahakan kesembuhannya dari goncangan Jiwanya?"
Sahut Ki Peng-sian dingin, ketus dan singkat, "Tidak bisa kuterangkan. Aku harus membunuhmu karena kau telah membongkar rahasiaku!"
"Saudara Ki, kita masih bisa bicara dengan baik dan..."
Ternyata Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian tidak menunggu sampai Auyang Seng selesai berbicara, tubuhnya yang kecil itu tiba-tiba saja benar-benar terbang menerkam ke arah Auyang Seng dengan gerakan Liu-soat-hong-san (Awan Mengalir Menyelimuti Bukit). Pedangnya yang hanya sepasang itu tiba-tiba terlihat seolah-olah menjadi beribu-ribu, seperti segumpal awan pembawa maut yang mengurung seluruh bagian tubuh Auyang Seng dari pinggang ke atas. Agaknya inilah yang membuat Ki Peng-sian mendapat julukannya sebagai Jian-kiam-hui-ci.
Yang terkejut adalah Auyang Seng, tidak diduganya Ki Peng-sian akan segarang itu, baru diajak berbicara beberapa kalimat saja sudah langsung mengajak bertempur. Selain itu juga tingkat ilmu yang ditunjukkan sungguh mengejutkan, jauh lebih tinggi dari ilmu Ki Peng-sian yang diketahui oleh Auyang Seng beberapa tahun yang lalu.
Beberapa tahun yang lalu Auyang Seng dapat mengalahkan Ki Peng-sian kurang dari waktu limapuluh jurus, dalam suatu pertandingan persahabatan antara Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay, namun melihat ilmu Ki Peng-sian sekarang, maka Auyang Seng bahkan menjadi ragu-ragu apakah la bisa mengalahkan si kerdil ini atau tidak?
Gebrakan pertama sebelum Auyang Seng sempat menggerakkan pedangnya dengan baik, maka jago Hoa-san-pay itu sudah lebih dulu dipaksa mundur tiga tindak. Setelah itu barulah la mendapat ruang untuk mengembangkan pedangnya dengan jurus serangan Tan-hong-tiau-yang (Burung Hong Menghadap Sang Surya).
Keduanya segera bertempur sengit tanpa banyak bicara lagi. Ki Peng-sian menerjang seperti angin ribut, tubuhnya yang kecil itu tak terlihat lagi karena "terbungkus" oleh cahaya pedang sepasangnya yang melingkupinya, dan “gumpalan pedang" yang diciptakannya itu beterbangan kian kemari bersamaan dengan tubuhnya yang berloncatan pula. Sesungguhnya, tanpa perlu main hantu-hantuan, cukup dengan ilmu pedang dan ilmu meringankan tubuhnya itu si Tikus Terbang Seribu Pedang ini sudah cukup menakutkan.
Dalam waktu duapuluh jurus Auyang Seng telah dipaksa mengeluarkan seluruh kepandaiannya tanpa sisa sedikitpun. Dan kalau seorang Gin-hoa-kiam bertempur dengan sekuat tenaga, maka nampaklah "bunga-bunga perak" yang terbentuk dari getaran-getaran ujung pedangnya itu memenuhi udara. Auyang Seng tidak menyerang dengan bergulung seperti angin ribut, kadang-kadang bergeser atau meloncat sedikit.
Namun setiap "bunga perak"nya selalu mengincar dengan tenang di tempatnya sambil memainkan pedang, kadang-kadang bergeser dengan tepat ke titik kelemahan musuhnya sehingga memaksa sang musuh untuk membatalkan serangannya dan harus berganti dengan serangan lain.
Begitulah dua gaya dalam ilmu pedang telah bertemu di arena itu. Ki Peng-sian yang cepat, ganas dan berusaha menggulung lawan dalam pusaran pedang-pedang pendeknya tanpa ampun. Lawannya adalah Auyang Seng yang tenang, dingin, rapat dan kokoh, ibarat sepotong batu karang yang tak tergetar sedikitpun meskipun gelombang samudera menerpa tak henti-hentinya.
Bagi pandangan orang biasa, nampaknya Auyang Seng bakal kalah dalam pertarungan itu, sebab ia nampak selalu bertahan dan kadang-kadang ia terdesak oleh serangan lawan yang bergulung-gulung itu. Namun setelah limapuluh jurus lewat, makin nampak bahwa Ki Peng-sian lah yang sebenarnya sudah di ambang pintu kekalahan. Serangan-serangannya yang dahsyat itu telah menguras banyak tenaganya.
Sementara Auyang Seng yang dengan cerdik menyimpan tenaganya dengan bertahan serapat-rapatnya selama puluhan jurus itu, masih menyimpan tenaga yang lebih segar dari lawannya. Sang gelombang bagaikan mulai kelelahan menghantam sang batu karang yang tak bergeming sedikitpun, bahkan setiap gelombang yang datang malah dipukul balik sehingga pecah berserakan.
Auyang Seng memahami keadaan itu dan tahu bahwa kini sudah tiba gilirannya untuk menghantam balik. Gerakan pedangnya dipercepat, bukan hanya bertahan tapi juga balas menyerang. Sebagai pendekar terkenal ia bukan cuma mahir adu otot tapi juga mempunyai otak yang cemerlang, dan siasatnya kali inipun ternyata berhasil dengan baik. Ki Peng-sian lah yang sekarang terdesak dan terkurung oleh pedang peraknya.
Percuma saja Ki Peng-sian menunjukkan kelincahan tubuhnya, sebab ujung pedang Auyang Seng yang mengejar bagaikan seekor ular bersisik perak tak pernah terpisah dari sejengkal dari kulit tubuhnya. Ia benar-benar telah terkurung. Namun di saat terjepit, tiba-tiba terdengar Ki Peng-sian menggumamkan beberapa kata-kata dengan nada yang asing, dan bayangan tubuhnya segera kabur karena seolah-olah telah muncul beberapa Ki Peng-sian yang bergerak bersama-sama.
Dengan pengalamannya yang luas, Auyang Seng segera sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan ilmu yang tidak berasal dari golongan lurus, melainkan dari golongan sesat, ilmu sihir. Tetapi Auyang Seng yang rajin berlatih semedi dan memiliki ketajaman mata batin itu segera dapat membedakan mana Ki Peng-sian yang asli dan mana yang hanya bayangan semua saja.
Dan ujung pedangnya terus memburu ke arah Ki Peng-sian yang asli, tidak peduli bagaimanapun membingungkannya tingkah polah bayangan-bayangan semunya. Namun dalam hati Auyang Seng timbul juga sepercik keheranan, Jing-sia-pay adalah perguruan yang termasuk dalam golongan putih, tetapi kenapa seorang tokohnya seperti Ki Peng-sian ini memiliki ilmu yang dikutuk kaum pendekar itu?
Sementara itu Ki Peng-sian sendiri sedang dalam kebingungan, ilmu sihirnya itu ternyata tidak dapat menolongnya membebaskan dari kejaran ujung pedang Auyang Seng. Di saat gugupnya itulah tiba-tiba pedang Auyang Seng berhasil menyentuh jalan darah Kin-ceng-hiat di tubuhnya, hanya menotok tapi tidak melukai, inilah keahlian seorang pemain pedang yang hampir mencapai tahap kesempurnaan. Seketika itu Ki Peng-sian merasakan pundaknya lemas dan sepasang pedangnyapun jatuh ke tanah.
Tepat pada saat Ki Peng-sian sudah jatuh ke tangan Auyang Seng dalam keadaan hidup-hidup seperti itu, maka beberapa murid Hoa-san-pay yang mulai timbul keberaniannya, telah berlari-larian datang ke tempat itu. Kepada murid-murid itu Auyang Seng berkata,
"Lihat, yang kalian takuti sebagai hantu itu ternyata adalah manusia biasa seperti kalian juga. Lain kali jangan mudah percaya hal-hal yang tidak masuk akal. Sekarang lekas ikat erat-erat tamu kita yang suka bergurau dengan hantu-hantuan ini, nanti akan kita hadapkan kepada sidang para sesepuh untuk dikorek keterangannya."
Beberapa murid segera mengerjakan perintah itu, sementara salah seorang telah melapor, "Susiok, di tempat penyimpanan buku juga telah terjadi perkelahian sengit antara beberapa sesepuh dengan beberapa pengacau.”
"Siapa saja yang berkelahi di sana?"
"Tiga orang sesepuh Kiau, Lim dan Yo, sementara Hui-im Sucou menjaga ruang penyimpanan buku tanpa berani meninggalkan selangkahpun. Sebun Susiok dan Beng Susiok juga ikut bertempur di sana..."
Auyang Seng terkejut mendengar laporan itu di antara Hoa-san-su-lo (Empat sesepuh Hoa-san) sudah turun ke gelanggang, padahal setiap Hoa-san-su-lo itu memiliki kepandaian yang amat tinggi sebab mereka berada diatas angkatan Auyang Seng dan teman-temannya, merekalah paman-paman guru dan uwa-uwa guru dari angkatannya Auyang Seng. Kalau sampai mereka turun ke gelanggang tiga orang sekaligus maka berarti penyerang itu memang luar biasa kepandaiannya. Mungkinkah mereka berasal dari pihak yang sama dengan si kerdil Ji-an-kiam-hui-ci Ki Peng-sian?
Auyang Seng tidak mau hanya menebak-nebak saja, dengan menentang pedangnya ia segera menuju ke arah ruangan penyimpanan buku. Di tempat itulah kata murid tadi tengah terjadinya sebuah pertarungan sengit dengan para pengacau. Ruangan penyimpanan buku adalah bangunan berbentuk pagoda lima tingkat yang indah bentuknya dan terletak di tengah-tengah kolam teratai yang luas, dari tepi kolam untuk menuju ke pagoda hanya ada sebuah jembatan sempit dari batu berukir indah yang menghubungkannya. Sedang orang tidak mungkin meloncati lebar kolam untuk mencapai pagoda, bagaimanapun tinggi ilmu meringankan tubuhnya.
Ketika Auyang Seng tiba di situ, di tepi kolam sudah berdiri banyak murid-murid Hoa-san-pay dengan pedang-pedang terhunus, namun mereka sama sekali tidak dapat ikut campur dalam pertempuran yang tengah berlangsung, sebab pertempuran-pertempuran itu berlangsung di tempat-tempat yang tidak sewajarnya. Dua orang saudara seperguruan Auyang Seng, yaitu Sebun Siang dan Beng Ko-yan dengan bersenjata pedang, tengah mengeroyok seorang musuh yang bertubuh kurus, berjubah merah dan berambut merah pula.
Di bawah cahaya obor-obor yang diangkat tinggi-tinggi oleh murid-murid Hoa-san-pay, nampaklah bahwa orang itu memainkan sebatang tongkat panjang terbuat dari besi yang bentuknya dibuat seperti seekor ular, lengkap dengan ukiran sisik-sisiknya. Orang itu memainkan tongkat panjangnya dengan gaya permainan yang keji, cepat, tak kenal ampun.
Auyang Seng sudah berpengalaman di dunia persilatan sejak ia masih muda, sejak masa di mana Hwe-liong-pang masih malang-melintang di dunia persilatan baik dengan tokoh-tokohnya yang baik seperti dewa maupun jahat seperti iblis. Karena itu, begitu melihat tokoh dengan ciri khas yang menyolok itu, dia segera berdesis kaget. "Ang-Mo-Coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dari Hwe-liong-pang. Ternyata bangsat tua ini masih hidup setelah menghilang sekian lama, bahkan ilmu silatnya bertambah hebat!"
Mereka bertiga bertempur di bawah cahaya obor, namun di tengah-tengah jembatan sempit yang menghubungkan tepi kolam teratai dengan pintu pagoda. Jembatan itu amat sempit, kalau dua orang berjalan di atasnya maka paling banyak hanya dapat berjajar dua orang. Dengan cara bertempur yang hebat dari ketiga orang itu, bersambar-sambaran seperti tiga ekor elang yang berlaga di angkasa, kadang-kadang berloncatan atau menyusuri pagar jembatan yang besarnya hanya selengan orang itu, maka jelaslah pertempuran itu bukan pertempuran yang bisa diikuti oleh sem-barangan orang. Harus orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang dapat ikut bertempur.
Dan Auyang Seng melihat, walaupun Sebun Siang dan Beng Ko-yan telah bertempur dengan gigih dengan mengeroyok pula, tapi tidak ada tanda-tanda mereka akan menguasai kemenangan. Lawan mereka terlampau kuat. Auyang Seng menarik napas panjang dan membatin, "Malam ini Hoa-san-pay benar-benar kebanjiran musuh-musuh tangguh..."
Ada yang jauh lebih hebat dari tokoh golongan hitam berambut merah Ang-mo-coa-ong itu. Dia adalah seorang berpakaian serba hitam dengan mantel lebar yang hitam pula, dengan sebuah topeng perunggu yang kehijau-hijauan melekat di wajahnya, topeng yang berbentuk tengkorak yang menyeringai menyeramkan.
Orang ini menghadapi tiga orang dari Hoa-san-su-lo, yaitu Ciang-bunjin Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han yang merupakan orang nomor satu di Hoa-san-pay yang berjenggot dan berambut keperak-perakan, serta dua sesepuh lainnya, Lim Sin dan Yo Ciong-wan yang juga nampak sudah berambut putih. Tapi pertarungan satu lawan tiga itu jauh lebih dahsyat dari pertarungan di tengah jembatan kecil. Keempatnya bagaikan tak berbobot, berkelahi di atas atap pagoda yang miring, licin dan bertingkat-tingkat itu.
Ketiga sesepuh itu seperti dewa-dewa yang turun dari langit, dengan rambut yang putih keperak-perakan dan jubah yang setiap kali melambai apabila mereka bergerak dengan keringanan tubuh yang menakjubkan. Namun lawan dari para "dewa" itu agaknya sesosok iblis yang dengan tangguhnya sanggup menghadapi ketiga batang pedang itu hanya dengan sepasang tangan kosongnya, tanpa nampak terdesak sedikitpun.
Kadang-kadang mereka berkejaran mengitari emperan atap pagoda, atau berloncatan dari satu tingkat ke tingkat lainnya bolak-balik dengan gerakan sebebas seperti berada di lantai yang datar saja. Lalu saling menukar serangan dahsyat apabila mendapat kesempatan. Jarang sekali murid-murid Hoa-san-pay melihat para sesepuh mereka bersilat dengan sepenuh hati, sebab tugas melatih lebih banyak dipercayakan kepada angkatan yang lebih muda, yaitu angkatannya Sebun Siang atau Auyang Seng.
Tapi malam ini murid-murid Hoa-san-pay berkesempatan melihat bagaimana para sesepuh yang rambutnya sudah putih itu dapat gerak dengan tangkas luar biasa, dengan kecepatan yang kadang-kadang membuat tubuh mereka bagaikan tak terlihat jelas dan hanya mirip segumpal bayangan yang kabur, sementara pedang-pedang mereka gemerlapan bagaikan petir bersambung di udara. Terutama adalah Ciangbunjin Hoa-san-pay sendiri, Kiau bun-han yang digelari sebagai Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang di Delapan Penjuru) itu. Bayangan pedangnya benar-benar memenuhi seluruh arena, seolah tak seekor nyamukpun bisa lolos dari jaringan pedangnya.
Tapi malam itu murid-murid Hoa-san pay juga dipaksa melihat suatu kenyataan bahwa ketiga orang sesepuh yang dibangga-banggakan itu ternyata belum mampu mengatasi seorang lawan yang tidak bersenjata. Untunglah bahwa secara bisik-bisik murid Hoa-san-pay sudah mendengar bahwa orang bertopeng perunggu itu adalah Te-liong Hiangcu, gembong iblis dari Hwe-liong-pang yang malang-melintang jarang tandingannya dalam rimba persilatan.
Dan para murid Hoa-san-pay pun maklum bahwa melawan iblis besar itu para sesepuh mereka memang harus bekerja keras sekali. Di rimba persilatan barangkali hanya beberapa gelintir manusia yang sanggup berhadapan satu lawan satu dengan Te-liong Hiangcu, dan sayang sekali bahwa para sesepuh itu belum terhitung ke dalam yang beberapa gelintir itu, biarpun ilmu mereka cukup disegani pula.
Sementara itu Auyang Seng merasa bahwa diapun harus ikut terjun ke gelanggang untuk ikut mempercepat selesainya perkelahian itu. Ia memutuskan bahwa sesepuh tidak usah dibantu, sebab keadaan tidak berbahaya buat mereka. Dengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pengalaman yang bertumpuk-tumpuk dalam diri para sesepuh itu, tidak mudah bagi Te-liong Hiangcu untuk mengalahkan mereka bertiga, betapapun menakutkannya iblis bertopeng perunggu itu. Maka Auyang Seng merasa lebih baik ia menggabungkan tenaganya dengan Beng Ko-yan dan Sebun Him untuk meringkus Tang Kiau-po lebih dulu.
Sambil bersuit nyaring seperti seekor elang yang menerkam mangsanya Auyang-seng segera terjun ke gelanggang, tubuhnya melayang dan langsung menikam dengan gerakan Ngo-eng-bok-tho (Elang Lapar Menerkam Kelinci) dengan ujung pedang tertuju ke tenggorokan lawan. Ia tidak merasa malu mengeroyok Ang-mo-coa-ong, sebab Ang-mo-coa-ong bagi Auyang Seng dan saudara-saudaranya masih sebagai murid remaja di Hoa-san-pay, maka Ang-mo-coa-ong sudah memiliki nama besar sebagai tokoh tua golongan hitam dari gunung Thay-san, sehingga derajatnyapun berbeda dengan ketiga pendekar Hoa-san-pay itu.
Apalagi kini Ang-mo-coa-ong telah melakukan tindakan yang melanggar kedaulatan Hoa-san-pay dengan cara menerobos masuk sampai ke dalam pusat perguruan itu, sehingga pertempuran-itu adalah pertempuran mempertahankan kehormatan Hoa-san-pay. Namun demikian, Auyang Seng sebagai pendekar terkenal masih enggan juga untuk dituduh melakukan sergapan secara licik, karena itulah sambil menyerang ia mendahului bersuit keras sebagai peringatan kepada lawan akan kedatangannya.
Dengan datangnya Auyang Seng ke tengah gelanggang segera terasa bahwa pekerjaan Ang-Mo-coa-ong Tang Kiau-po menjadi lebih berat. Auyang Seng memang seperguruan dengan Sebun Siang dan Beng Ko-yan, namun tingkatan ilmunya justru jauh di atas kedua saudara seperguruannya itu, berkat ketekunannya dalam menciptakan cara-cara baru untuk berlatih. Dalam usia yang belum mencapai setengah abad Auyang Seng sudah mencapai kematangan ilmu pedang hampir setingkat dengan paman-paman gurunya yang menjadi para sesepuh itu. Maka terjunnya ia ke gelanggang seketika membuat Ang-mo-coa-ong terdesak hebat.
"Bagus! Inilah Hoa-san-pay yang hebat itu?" teriak Ang-mo-coa-ong untuk menyindir, "Tokoh-tokohnya yang bernama harum ternyata hanya pandai main keroyok seperti buaya-buaya di daerah-daerah lampu merah!"
Ucapan itu memang cukup menyakitkan hati, namun Auyang Seng membalas dengan tajam pula, "Tang Lo-eng-hiong yang terhormat, apakah kau sendiri juga menjaga martabatmu sebagai seorang tokoh angkatan tua, bahkan seorang tokoh angaktan tua sejak jaman aku masih remaja dulu? Malam-malam menyelundup ke sini dan berkelakuan seperti maling ayam?"
Tang Kiau-po menggeram tidak menyahut, dengan tangan kanannya ia putar tongkatnya yang berbentuk ular itu untuk menjaga serangan Sebun Siang dan Beng Ko-yan, lalu tangan kirinya dengan telapakan terbuka angsung menghantam kepada Auyang Seng dengan gerakan Se-ceng-pay-hud (Se-ceng Menyembah Buddha).
Auyang Seng terkejut ketika melihat pukulan lawan yang ditujukan kepada dirinya itu membawa sambaran angin yang dahsyat sekali, dan telapak tangan Ang-mo-coa-ong itu nampak merah membara. Itulah Ang-se-tok-Jiu (Tangan Beracun Pasir Merah), ilmu andalan Ang-mo-coa-ong sejak puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun yang lalu, dengan ilmunya itu dia berhasil mendudukkan dirinya dalam deretan "sepuluh tokoh sakti sejagad" meskipun hanya pada nomor buncit, yaitu nomor sepuluh.
Maka sekarang setelah ilmunya itu disempurnakan secara tekun dengan latihan-latihan keras, tentu saja kedahsyatannya luar biasa. Auyang Seng merasa dadanya sesak dan matanya berkunang-kunang, padahal pukulan lawan belum mengenainya dan baru tekanan anginnya saja. Tidak berani menyambut serangan itu, cepat Auyang Seng meloncat mundur dengan gerak Yan-cu-coan-in (Walet Menerabas Mega).
Telapak tangan Ang-mo-coa-ong menghantam pagar batu jembatan kecil itu, dan salah satu bagian dari pagar yang indah dan menjadi kesayangan orang-orang Hoa-san-pay itupun muncrat hancur sebagai pasir yang lembut. Demikian hebatnya pukulan tokoh tua dari gunung Thay-san itu.
Tapi Auyang Seng tidak gentar, meskipun ia harus lebih berhati-hati lagi. Selagi lawan sempat mengerahkan kembali tenaga Ang-se-tok-jiunya yang hebat itu, maka pedang perak Auyang Seng tiba-tiba telah berkeredep memenuhi angkasa. Tiba-tiba, saja yang nampak bukan cuma sebatang pedang melainkan berpuluh-puluh pedang yang "mengerumuni Ang-mo-coa-ong dari segala penjuru, membentuk puluhan "kembang perak" yang menghambur mengincar tigapuluh enam buah urat nadi kematian di tubuh Ang-mo-coa-ong.
Murid-murid Hoa-san-pay yang berdiri berderet-deret di tepi kolam teratai dengan membawa obor-obor yang diangkat tinggi-tinggi itu ketika melihat gerakan Auyang Seng itu tanpa diperintah telah berteriak kagum serempak. Mereka seolah melihat sebuah "tarian pedang" yang sangat indah, namun mereka juga tahu bahwa paman guru mereka itu bukan sedang menari melainkan sedang memainkan sebuah jurus maut.
Dari arah lain Beng Ko-yan dan Se-bun Siang juga menggempur Ang-mo-coa-ong seperti angin ribut. Bagaimanapun tangguhnya Ang-mo-coa-ong namun ia tidak dapat menyelamatkan diri sepenuhnya dari serangan-serangan itu. Pedang Sebun Siang berhasil dipukul ke samping dengan tongkatnya sehingga hampir lepas dari tangan pemiliknya, pedang Beng Ko-yan pun dapat dielakkan dengan beberapa langkah kecil, tapi pedang Auyang Seng yang mencurah seperti hujan itu hanya dapat dielakkan sebagian.
Ujung jubahnya tetap saja terbabat putus, rambutnya yang merah itupun terpapas sebagian kecil, bahkan kulit dadanya tergores melintang sehingga berdarah. Hal itu bukan saja menimbulkan rasa pedih di hatinya tapi juga marah sekali. Berpuluh tahun Ang-mo-coa-ong malang-melintang, kini di Hoa-san-pay ia telah mengalami hal yang begitu nemalukan dihadapan begitu banyak orang, apalagi ketika mendengar murid-murid Hoa-san-pay itu bersorak-sorai.
Dengan geram Ang-mo-coa-ong mengerahkan Ang-se-tok-jiu ke tangan kirinya dan kembali menghantam Auyang Seng dengan sekuat tenaga. Tapi Auyang Seng biasa berkelahi bukan hanya dengan tenaga juga dengan otaknya, dia tahu bahwa Ang-se-tok-jiu memang hebat namun gerakannya tidak cepat. Dari segi usia juga telah mempengaruhi jalannya pertempuran, Ang-mo-coa-ong yang hampir tigapuluh tahun lebih tua dari Auyang Seng itupun dari kesegaran tubuhnya tentu tidak dapat menandingi Auyang Seng yang masih di bawah empat-puluh lima tahun itu.
Kembali pukulan Ang-se-tok-jiunya hanya menghancurkan pagar jembatan, sementara Auyang Seng masih sanggup menghindari seperti seekor burung camar menjauhi hantaman gelombang lautan, dan seperti seekor burung pula ia menyambar lawan dengan ujung-ujung pedangnya.
Begitulah terjadi berulangkali, sampai Ang-mo-coa-ong mulai kelihatan kelelahan. Diam-diam Ang-mo-coa-ong mengutuk dalam hati, nasibnya memang kurang beruntung. Auyang Seng seorang diri sebenarnya masih bisa diatasinya, namun karena dia dibantu Sebun Siang dan Beng Ko-yan yang betapapun juga tidak bisa dipandang ringan, maka kewalahan Ang-mo-coa-ong. Ia juga mengumpat empat orang yang ditugaskan untuk mencekik Kiongwan Hok itu kenapa belum juga memperdengarkan isyarat? Apakah orang itu sudah gagal atau bahkan mampus dikekoyok orang-orang Hoa-san-pay?
Keheranan yang sama juga muncul di hati Te-liong Hlangcu yang tengah bertempur dengan tiga orang Hoa-san-pay itu. Isyarat yang ditunggunya belum juga terdengar, sementara ia sendiri tidak dapat mengingkari bahwa diapun akan kehabisan tenaga juga jika terus-menerus melawan ketiga pendekar tua itu.
Kegelisahan Ang-mo-coa-ong terasa juga oleh Auyang Seng, maka dicobanya untuk secara untung-untungan memecahkan semangat tempur lawannya. Kata Auyang Seng nyaring, “Kau gelisah, Tang Lo-eng-hiong? Kalau kau menunggu rekanmu yang menyamar sebagai hantu tanpa kepala dan ternyata dia adalah Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian, maka Lo-eng-hiong menunggu sia-sia. Orang itu sudah tertawan dan kedoknya sebagai hantu gadungan sudah terlucuti..."
Ucapan Auyang Seng itu memang mengejutkan Te-liong Hiangcu maupun Ang-mo-coa-ong isyarat dari Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian itulah yang sedang mereka tunggu dan kini mereka mendengar bahwa Ki Peng-sian sudah tertangkap dan bahkan sudah dilucuti kedoknya, tentu saja tidak berguna meneruskan pertempuran di tempat itu. rencana sudah berantakan dan tidak perlu dilanjutkan lagi.
"Mundur!" teriak Te-liong Hiangcu kepada Ang-mo-coa-ong.
Tapi untuk mundurpun tidak mudah, sebab Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han, tokoh nomor satu di Hoa-san-pay itupun telah memberi perintah, "Kepung rapat semua jalan keluar!"
Murid-murid Hoa-san-pay yang bertebaran di pinggir kolam teratai itu serempak mencabut pedang masing-masing, dan membentuk barisan-barisan kecil yang tiap barisannya terdiri dari enam orang. Itulah barisan Liok-hap-tin, biarpun kepandaian murid-murid itu tidak berarti dibandingkan dengan Ang-mo-coa-ong, apalagi Te-liong Hiangcu, tapi dengan berkelompok enam-enam seperti itu mereka akan menjadi kekuatan yang cukup berarti kalau hanya sekedar untuk menahan jalan lari dari kedua tokoh golongan hitam itu.
Namun tanpa disadari oleh orang-orang Hoa-san-pay, bahwa dalam tubuh perguruan mereka sendiri ada seorang musuh dalam selimut, justru seorang yang berkedudukan terhormat sebagai seorang sesepuh perguruan. Nampak Yo Ciong-wan menusuk ke dada Te-liong Hiangcu dengan sebuah gerakan yang amat ceroboh, sehingga Te-liong Hiangcu dengan mudah dapat mengelakkannya. Saat itulah Yo Ciong-wan berbisik "Sanderalah aku, Hiangcu."
Te-liong Hiangcu paham betul maksud bisikan Yo Ciong-wan itu. Dengan tangkas ia mencengkeram lengan Yo Ciong-wan yang memegang pedang itu dan langsung memutarnya ke atas, dan tahu-tahu Yo Ciong-wan sudah kena ditelikung dengan leher yang ditempeli pedang miliknya sendiri yang berhasil dirampas Te-liong Hiangcu.
Kejadian itu menang mengejutkan orang-orang Hoa-san-pay, dari para sesepuh sampai murid-murid paling rendah tingkatannya. Kiau Bun-han dan Lim Sin sebagai dua sesepuh, merasa heran bahwa Yo Ciong-wan sampai bisa melakukan kecerobohan seperti itu, namun hati mereka yang bersih sama sekali belum menduga bahwa sebenarnya Yong Ciong-wan telah sengaja berbuat demikian untuk memberi kesempatan agar Te-liong Hiangcu Ang-mo-coa-ong dapat keluar.
Sambil tertawa menggelegar, Te-liang Hiangcu menekankan pedang ke leher Yo Ciong-wan sambil berteriak, "Jika ada di antara kalian yang berani merintangi jalan mundur kami, maka lebih dulu kepala sesepuh kalian ini akan menggelinding ke tanah!"
Ancaman itu tentu saja sangat manjur. Tanpa mendapat rintangan apa-apa, Te-liong Hiang-cu meloncat dari pucuk pagoda itu dengan tetap membawa Ciong-wan, diikuti oleh Sambil tertawa menggelegar, Te-liang Hiangcu menekankan pedang ke leher Yo Ciong-wan sambil berteriak, "Jika ada di antara kalian yang berani merintangi jalan mundur kami, maka…
Ang-mo-coa-ong yang juga bebas dari lawan-lawannya, meskipun pakaiannya sudah robek-robek kena pedang Auyang Seng. Dengan tetap menempelkan pedang di leher Yo Ciong-wan, Te-liong Hiang-cu berkata lagi, "Sekarang, bebaskan pula temanku yang menyamar sebagal hantu tadi!"
Demi keselamatan Yo Ciong-wan maka tidak bisa tidak memang perintah Te-liong Hiangcu itu harus terkabul semuanya. Tak lama kemudian muncullah beberapa murid Hoa-san-pay menggiring Ji-an-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay yang bertubuh kerdil itu dalam keadaan terikat. Namun kemudian di hadapan Te-liong Hiangcu semua ikatannya dibebaskan, dan tubuhnya yahg kecil itu bagaikan terbang meloncat bergabung dengan Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong.
Sementara itu, Yo Ciong-wan sendiri pura-pura berteriak penasaran, "Ciang-kun Suheng! Jangan hiraukan keselamatanku, tangkap saja mereka!" Sandiwara yang diimainkannya berhasil dengan baik, Kiau Bun-han dan orang orang Hoa-san-pay lainnya setelah mendengar ucapan itu tentu saja menjadi terharu akan "kegagah-beranian" Yo Ciong-wan, sehingga malahan semakin tidak sampai hati untuk meneruskan pertempuran dengan mengabaikan nyawa sesepuh itu.
Dengan demikian, tanpa daya orang-orang Hoa-san-pay yang sekian banyak itu melihat Te-liong Hiangcu, Ang-mo-coa-ong dan Jian-kiam-hui-ci Ki Pang-sian berlalu didepan hidung mereka dengan berlenggang-kangkung, sambil membawa Yo Ciong-wan sebagai "sandera".
Kiau Bun-han dan Lim-sin menatap kepergian mereka dengan hati penuh gejolak, Auyang Seng menarik napas dalam-dalam berulangkali karena menyesal bahwa komplotan rahasia yang hampir terbongkar itu tertutup rapat kembali, sementara Sebun Siang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan gemasnya.
Sementara itu, Yo Ciong-wan yang "tertawan" itu dibawa oleh Te-liong Hi-angcu sampai ke pinggang gunung yang sepi. Disitu barulah dilepaskan dan kata Te-liong Hiangcu, "Bagus sekali sandiwaramu tadi. Kalau tidak, untuk lepas dari pagoda itu tentunya kami harus memeras keringat lebih dahulu. Nah, kembalilah."
Yo Ciong-wan mengangguk hormat kepada Te-liong Hiangcu dan menyahut, "Semuanya hanya demi berhasilnya Kui-kiong kita menguasai dunia persilatan, dan mendukung Hiangcu untuk menjadi Bu-lim Bengcu (Ketua Rimba Persilatan)."
Te-liong Hiangcu tertawa pendek. "Bagus kalau menyadari itu, seluruh anggota Kui-kiong kita memang harus bekerja sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita bersama kita. Belakangan ini makin banyak penghalang-penghalang yang bermunculan belum lagi si gila Siangkoan Hong berhasil kita bereskan, tahu-tahu sudah muncul pula seorang hweshio kurus yang menggagalkan pekerjaan kita di beberapa tempat, dan menurut dugaan, hwesio kurus itu adalah Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin. Huh!"
"Jadi dia muncul kembali?"
"Benar. Mulai sekarang, semua langkah-langkah kita harus terpadu agar tidak mudah dicerai-beraikan musuh. Aku sudah kehilangan Sat-jiu-hong-kui Han Kiam-to, Say-ya-jat Tong King-bun dan Hwe-tan Seng Cu-bok yang tewas di medan pertempuran di Tay-tong, dan aku tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Yo Ciong-wan, bulan depan ada pertemuan lengkap seluruh orang-orang kita di Kui-kiong, kau harus hadir.”
"Baik, Hiangcu. Dan perlu juga kulaporkan satu hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan Hlangcu.”
"Katakan.”
"Sejak Auyang Seng pulang ke gunung, maka pikiran orang-orang Hoa-san agaknya mulai terbuka dalam memandang keanehan-keanehan dunia persilatan belakangan ini. Meskipun belum diputuskan secara pasti, tapi agaknya Kiau Suheng sudah punya rencana untuk mengirimkan orang-orang terpercayanya untuk mulai menyelidiki asal-mula hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiong-wan Hok. Pihak kita harus bersiap menghadapi langkah-langkah ini."
Te-liong Hiangcu mengangguk-anggukkan kepalanya yang tertutup topeng perunggu itu. Ia menggeram dengan suara yang bergulung-gulung dalam perutnya, "Lolosnya Kiongwan Hok yang sudah tahu banyak tentang sarang kita, memang sebuah kesalahan besar yang patut kita sesali, dan lebih patut kita sesali bahwa sampai sekarang ternyata kita belum berhasil membungkam si gila itu. Untunglah dia masih gila sehingga tidak dapat banyak berbicara tentang apa yang diketahuinya tentang Kui-kiong kita."
Yo Ciong-wan menundukkan kepalanya, "Aku minta maaf bahwa aku belum berhasil membereskan si gila itu, Hiangcu, sehingga sampai membuat repot Hiangcu sendiri.Namun penjagaan terhadap si gila itu benar-benar ketat. Aku masih belum menemukan cara bagaimana membunuhnya tanpa jejak "menemukan Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian yang baru saja mengalami sendiri bagaimana ketatnya penjagaan atas diri Kiongwan Hok itu, juga mengangguk-anggukkan kepalanya yang kecil itu untuk mendukung ucapan Yo Ciong-wan itu.
"Sudahlah," kata Te-liong Hiangcu sambil mengibaskan tangannya. "Untuk sementara kita tinggalkan dulu urusan si gila itu, ia tidak berbahaya selama masih gila. Kita akan pusatkan perhatian kita kepada hal-hal yang lebih penting. Ingat pertemuan bulan depan, hubungi semua orang-orang kita."
"Baik,Hiangcu," sahut Ang-mo-coa-ong, Ki Peng-sian dan Yo Ciong-wan serempak.
"Yo Ciong-wan, kembali ke gunung.”
"Baik." Kata sesepuh Hoa-san-pay yang ternyata berkomplot secara diam-diam dengan Te-liong Hiangcu. Te-liong Hiangcu sendiri segera pergi pula dari tempat itu.
Hoa-san-pay menjadi sunyi kembali, dan keesokan harinya kegiatanpun berlangsung lagi seperti hari-hari biasanya. Murid-murid yang berlatih di lereng-lereng gunung dengan kaki dibebani gelang besi atau kantong pasir, tetap nampak seperti biasanya, atau yang berlatih ilmu pedang di halaman atau ruang-ruang latihan.
Namun di balik suasana yang biasa itu, terasa ada sesuatu yang mencengkam perasaan, kini orang-orang Hoa-san-pay mulai menyadari bahwa persoalan hilangnya Giok-seng Tojin dan murid-muridnya ataupun gilanya Kiongwan Hok bukan persoalan sederhana.
Kalau hanya persoalan sederhana, tidak akan Te-liong Hlangcu dan Ang-mo-coa-ong yang termasuk tokoh-tokoh tingkat tinggi golongan hitam itu sampai terpancing keluar untuk urusan itu. Masih ditambah lagi dengan Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay yang bersahabat baik dengan Hoa-san-pay itu....
"Kekuatan darimana?"
"Tidak tahu, bahkan sekarangpun keadaan masih gelap bagi kami. Regu-regu penyelidik yang disebarkan oleh Ciangbunjin semuanya pulang dengan tangan kosong. Jangan lagi keterangan yang berarti, sedang jejak Giok-seng Suheng bertigapun lenyap seperti mereka ditelan bumi saja. Pada saat kami hampir putus-asa, tiba-tiba dua orang murid-murid muda menemukan Kiongwan Hok sedang berkeliaran di kaki gunung, namun Kiongwan Hok sudah seperti orang gila ketika dlketemukan oleh kami. Ia menangis dan menjerit semaunya, mengucapkan kata-kata yang menggidikkan bulu tubuh seperti 'gudang mayat' atau 'penyimpanan kepala' atau 'kulit wajah dibeset' dan sebagainya. Ia sama sekali tidak lagi bisa diajak bicara untuk ditanyai di mana gurunya dan saudara seperguruannya, setiap kali ditanya ia malah menjerit-jerit ketakutan atau menangis meraung-raung. Kami panggilkan beberapa tabib dan pa para tabib itu rata-rata berkesimpulan bahwa jiwa Kiongwan Hok telah terguncang hebat, mungkin karena la menyaksikan kematian gurunya maupun saudara-saudara seperguruannya dengan cara yang amat mengerikan dl hadapan matanya. Dan para tabib menyarankan bahwa Kiongwan Hok harus diperlakukan sebaik-baiknya agar kegoncangan jiwanya cepat terobati."
"Bagaimana perkembangan kesehatannya?"
"Berangsur-angsur ada kemajuan, ia mulai agak tenang meskipun masih tetap dikurung dalam satu tempat dengan penjagaan yang ketat. Tapi Ciangbunjin masih melarang siapapun untuk menanyai tentang kejadian atas diri gurunya dan saudara-seperguruannya, sebab dikuatirkan pertanyaan itu malah akan membuat jiwanya tergoncang kembali. Kami mengira persoalan akan segera menjadi terang, tetapi... ah, kembali kejadian-kejadian aneh muncul."
"Apa?"
"Tiba-tiba penyakit Kiongwan Hok menghebat kembali, sebab di tempatnya dikurung, pada suatu malam muncullah tubuh yang mirip Giok-seng Suheng, tubuh itu tubuh terpisah dengan kepalanya dan kepalanya dibawa dengan tangannya. Beberapa anggota Hoa-san-pay yang melihat tempat itu juga menyatakan bahwa mereka memang melihat sesosok tubuh tanpa kepala melayang masuk ke ruang penyekapan Kiongwan Hok. Kemudian Kiongwan Hok berteriak-teriak ketakutan, dan jiwanya yang hampir tenang kembali itu kembali tergoncang hebat. Bersamaan dengan itu, muncul pula orang-orang Ho-lian-pay dengan masalah mereka yang memusingkan kepala. Katanya mereka ingin minta seorang murid Hoa-san-pay bernama Kiongwan Hok untuk dihukum oleh mereka, sebab Kiongwan Hok telah melukai beberapa anggota Ho-lian-pay mereka. Coba pikir, Sute, persoalannya bertambah ruwet bukan?"
Namun Auyang Seng tidak kelihatan bingung sedikitpun. Katanya, "Secara garis besar, aku menduga bahwa Giok-seng Suheng dan kedua muridnya agaknya telah bentrok dengan sebuah komplotan yang tidak ingin diketahui oleh orang luar, lalu dibunuh. Kebetulan Kiongwan Hok lolos, tapi diapun harus dilenyapkan oleh komplotan itu, maka komplotan itu tidak henti-hentinya memburu untuk mendapatkan Kiongwan Hok. Atau paling tidak membuat Kiongwan Hok tetap gila, caranya ialah dengan menakut-nakuti dia, sebab hanya dengan tetap gila sajalah maka dia tidak akan dapat ditanyai tentang apa yang sudah diketahuinya tentang komplotan itu."
"Sute, bagaimana kau bisa membuat kesimpulan begitu cepat?"
Auyang Seng menarik napas, "Dalam bulan-bulan terakhir ini di dunia persilatan banyak kejadian aneh yang sulit diusut asal-usulnya. Banyak tokoh persilatan yang menghilang, dikira sudah mati ternyata masih hidup, meskipun kemunculannya yang kedua kali kadang-kadang dengan membawa perangai yang berbeda dengan sebelum ia menghilang. Ada beberapa orang yang tiba-tiba saja terbunuh oleh orang tak dikenal, entah karena persolan apa. Dan tentang diri Giok-seng Suheng, aku mendengar berita yang agak janggal."
"Tentang Giok-seng Tojin?"
"Benar, tentang kakak seperguruan kita yang Suheng katakan telah menghilang tanpa jejak bersama seorang muridnya itu. Belum lama ini, di daerah sebelah barat kota Tay-tong telah terjadi pemberontakan melawan pemerintah Manchu yang digerakkan oleh Jit-goat-pang (Serikat Rembulan dan Matahari) di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong. Kabarnya Giok-seng Suheng muncul di arena pertempuran itu dan berpihak kepada Pangeran Cu Leng-ong....."
"Ini membuat teka-teki ini semakin ruwet. Kalau Giok-seng Suheng ternyata selama ini belum mati, seharusnya memberi kabar ke gunung agar tidak membuat para sesepuh dan saudara seperguruan jadi gelisah seperti ini. Tapi Giok-seng malahan muncul di medan pertempuran di kota Tay-tong?"
"Ya. Anehnya, kemunculannya itu bersama-sama dengan dua orang tak dikenal yang memiliki ilmu tinggi, entah dari pihak mana. Kemudian Giok-seng Suheng dengan dua teman anehnya itu gugur, bukan di garis depan melainkan malahan digaris belakang di desa pertahanan terakhir Pangeran Cu Leng-ong. Kedua teman aneh Suheng itu mati dalam keadaan habis dagingnya, dan yang dapat menjadi ciri pengenal mereka kemudian hanyalah pakaian mereka dan senjata-senjata mereka. Mati dengan daging cair seperti itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa berpuluh tahun yang lalu ketika aku masih muda, yaitu di jaman Hwe-liong-pang masih malang melintang di dunia persilatan dahulu. Jika mereka menghukum anak buah mereka yang bersalah, maka mereka suruh anak buahnya itu untuk menelan sebutir ramuan Racun Penghancur Tubuh yang berakibat seluruh otot dan daging di tubuh akan mencair lenyap, kecuali tulang-tulangnya. Mungkinkah kedua orang yang mati bersama-sama dengan Giok-seng Suheng itu adalah orang-orang Hwe-liong-pang?"
Sesaat kedua saudara seperguruan itu duduk diam dengan kening berkerut. Persoalannya memang masih kabur, namun bagi Auyang Seng yang berwatak keras namun teliti itu, semakin keras dan semakin sulit persoalannya akan justru semakin merangsanya untuk memecahkannya. Apalagi persoalan yang satu ini menyangkut perguruannya sendiri, dan secara naluriah la juga merasakan bahwa kejadian-kejadian aneh di Hoa-san itu hanyalah salah satu rangkaian dari kejadian-kejadian aneh yang belakangan ini sering muncul di kalangan rimba persilatan.
Sesaat kemudian terdengar Auyang Seng menarik napas, lalu katanya, "Jika kita hendak menyelidiki, maka lebih dulu kita bisa mulai dari Ho-lian-pay terutama He Keng-liang sendiri. Aku merasa sikap mereka agak di luar dugaan. Ho-lian-pay cuma sebuah perguruan kecil yang tidak terkenal, dan tidak ada tokoh-tokohnya yang menonjol, maka terasa aneh kalau mereka tiba-tiba saja berani mengusik Hoa-san-pay kita yang betapapun adalah salah satu tiang-utama dunia persilatan. Tentu ada yang menggerakkan mereka dari belakang. Dengan kata yang lebih tegas, ada pihak tertentu yang ingin merebut Kiongwan Hok dari tangan kita tapi dengan cara meminjam tangan orang-orang Ho-lian-pay."
"Lagi-lagi Kiongwan Hok...."
"Ya, karena keponakan-murid kita itu sekarang sudah menjadi orang penting. Barangkali dialah satu-satunya kunci untuk membongkar sebuah komplotan rahasia dunia persilatan, maka pihak komplotan itu harus berusaha keras untuk melenyapkan dia sebelum dia menjadi sembuh dan bisa ditanyai."
Sebun Siang mengangguk-anggukan kepalanya. Tanyanya tiba-tiba, "Eh, Su-te, apakah kau percaya akan adanya hantu?"
Auyang Seng tertawa, "Hantu memang ada dan beberapa orang pernah mengalaminya benar-benar, tetapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dengan tergesa-gesa untuk memecahkan segala persoalan. Melihat hal aneh sedikit saja lalu dikatakan bahwa itu perbuatan hantu, itu sikap keliru...."
"Tapi...tapi roh Giok-seng Suheng yang muncul tanpa kepala itu..."
Kembali Auyang Seng tertawa, "Giok-seng Suheng adalah seorang yang rajin berdoa dan banyak berbuat kebajikan kepada sesama manusia seumur hidupnya, masakah setelah mati dia mengganggu orang-orang Hoa-san-pay sendiri dalam wujud hantu tanpa kepala? Aku tidak percaya. Aku lebih percaya kalau hantu tanpa kepala yang menemui Kiong-wan Hok itu hanyalah hantu palsu yang bertujuan membuat jiwa Kiongwan Hok sulit disembuhkan dari penyakitnya."
Sebun Siang masih nampak ragu-ragu mendengar semua keterangan itu, sehingga Auyang Seng yang lebih banyak pengalamannya karena lebih sering berkelana itupun menjelaskannya lebih lanjut, "Sebun Suheng, orang menyamar sebagai hantu bukan hal sulit. Banyak orang-orang hek-to (Jalan hitam) yang berbuat demikian. Ada yang menyamar sebagal siluman kelelawar, ada yang menyamar sebagai setan Bu-siang, atau bentuk-bentuk lainnya. Mereka berbuat demikian hanyalah karena kurang percaya kepada kemampuan diri sendiri, sehingga mereka merasa perlu untuk lebih lanjut menakuti lawan dengan penampilan yang seram-seramnya. Tetapi bagi para penganut ilmu silat sejati, yang paling menakutkan bukannya ujud-ujud aneh ataupun topeng-topeng seram, melainkan suatu ilmu yang sudah dilatih sampai mahir."
Setelah kedua kakak beradik seperguruan itu berbincang-bincang sepuasnya, maka Auyang Seng segera memohon pamit untuk beristirahat di tempatnya sendiri yang sudah disediakan oleh beberapa murid. Tempat tinggal Auyang Seng dalam perumahan Hoa-san-pay yang luas itu terletak di bagian belakang, tidak jauh dari tempat Kiongwan Hok dikurung dalam suatu ruangan yang dijaga ketat oleh murid-murid Hoa-san-pay.
Menempati ruangannya Itu, diam-diam Auyang Seng merasa kebetulan sebab la pun ingin mengawasi Kiongwan Hok secara diam diam, dan kalau perlu menangkap "hantu tanpa kepala" yang sering mengganggu Kiongwan Hok yang sakit jiwa itu, untuk dilucuti kedoknya.
Tetapi selama Auyang Seng beberapa hari di situ, "hantu" itu tidak muncul, dan Auyang Seng mengisi waktunya dengan membimbing beberapa murid-murid Hoa-san-pay yang masih muda usia untuk memeperkenalkan beberapa latihan baru yang dapat mempercepat peningkatan ilmu mereka, terutama ilmu pedang.
Yang paling rajin mengikuti petunjuk petunjuknya adalah Sebun Him, dan mau tidak mau Auyang Seng kagum juga melihat bagaimana putera Suhengnya itu dengan daya tangkap dan keuletan yang melebihi murid-murid lainnya, telah mendapat keamajuan pesat dalam ilmu pedangnya. Diam-diam Auyang Seng merasa puas karena untuk beberapa tahun mendatang Hoa-san-pay bakal memunculkan lagi seorang jagoan yang diharap lebih cemerlang dari dirinya sendiri.
Beberapa malam kemudian, ketika itu seluruh perumahan Hoa-san-pay sudah tenggelam dalam kesunyian, banyak ruangan-ruangan yang lampunya sudah dipadamkan untuk menghemat minyak. Yang masih berjaga-jaga hanyalah murid-murid yang mendapat giliran tugas untuk menjaga tempat-tempat penting, seperti aula tempat penerimaan murid baru, tempat penyimpanan kitab-kitab.
Dan belakangan ini tempat penting itu bertambah satu lagi, yaitu ruangan tempat Kiongwan Hok dikurung. Pihak Hoa-san-pay menyadari bahwa jika Kiongwan Hok kelak dapat sembuh dan dapat diajak bicara, maka dia akan menjadi "kunci" dari rahasia hilangnya Giok-seng Tojin dan seorang muridnya yang lain.
Auyang Seng tengah terkantuk-kantuk di pembaringannya ketika tiba-tiba kupingnya menangkap suara teriakan dan tangisan yang keras dari ruangan tempat didekapnya Kiongwan Hok yang memang tidak jauh dari tempatnya Itu. Suara tangisan sedih dan raungan ketakutan itu mengalun di malam yang sunyi, menimbulkan suasana yang seram.
”Jangan...jangan ajak aku pergi ke tempatmu, Suhu...! Kematianmu mengenaskan sekali, Suhu....!"
Lenyaplah rasa kantuk Auyang Seng mendengar itu. Cepat ia meloncat dari pembaringannya dan dengan cekatan dipakainya sepatunya dan jubah luarnya. lalu disambarnya pedangnya yang tidak pernah terletak jauh daripada dirinya itu. Sekejap saja ia sudah mendorong pintu dan melayang seperti seekor burung walet ke arah ruang penyekapan Kiongwan Hok. Melihat gerak-geriknya yang serba tangkas tetapi terarah itu, memang tidak mengecewakan kalau Auyang Seng merupakan seorang pendekar yang disegani bukan saja di Hoa-san-pay sendiri tetapi juga di dunia luar dengan julukan Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak).
Ketika Auyang Seng tiba di luar, terlihat dari segala arah sudah bermunculan orang-orang bersenjata pedang yang menuju ke arah yang sama. Namun ada juga yang ketika mendengar teriakan-teriakan Kiongwan Hok itu justru meringkaskan badannya semakin kecil di bawah selimutnya. Mereka memilih meneruskan tidur mereka yang nyaman daripada berkeliaran diluaran dan bertemu dengan hantu tanpa kepala.
Tapi lebih banyak lagi yang berloncatan keluar dengan pedang di tangan. Biarpun hantu dari neraka yang bakal mereka hadapi, namun mereka tidak akan rela jika Hoa-san-pay diejek sebagai sarang kelinci-kelinci penakut. Mereka harus menunjukkan bahwa Hoa-san-pay adalah sarang macan.
Ketika Auyang Seng tiba di tempat penyekapan Kiongwan Hok, teriakan-teriakan masih terdengar, dan murid-murid yang berjaga-jaga di tempat itu sudah menghunus pedang semuanya. Tapi muka mereka kelihatan pucat dan ragu-ragu, tangan mereka yang memegang pedangpun kelihatan agak gemetar.
"Apa yang terjadi?" tanya Auyang Seng kepada salah seorang murid.
Murid itu bibirnya bergerak-gerak tapi tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya kepalanya yang kemudian tergeleng-geleng.
"Sudah kalian periksa ke dalam?" tanya Auyang Seng lagi.
Lagi-lagi murid itu menggelengkan ke dalam. Auyang Seng menggertakkan gigi dan berkata tegas, "Jangan takut hantu. Sebagian ikuti aku ke dalam untuk memeriksa! Sebagian berjaga di sini!”
"Benar! Tidak usah takut hantu!" sahut murid-murid yang mulai pulih keberaniannya ketika melihat kedatangan paman guru mereka yang berilmu tinggi itu. "Biar kami berjaga di sini, kalian ikut susiok ke dalam!"
"Benar! Penjagaan di sini harus kuat. Aku berjaga di sini."
"Akaupun akan siap siaga di sini untuk menangkap hantunya!"
Demikianlah, ternyata semua murid lebih suka berada di luar saja, mereka saling mendorong teman-teman mereka untuk masuk ke dalam, tapi mereka sendiri lebih suka "berjaga di luar saja."
Auyang Seng habis sabar. Tanpa menunggu murid-murid itu, ia segera menerjang ke dalam ruangan penyekapan itu. Dan apa yang dilihatnya telah membuat jantung Auyang Seng hampir copot. Ruangan dalam yang untuk menyekap murid Hoa-san-pay yang sakit jiwa itu adalah sebuah ruangan yang terbuat dari kayu tebal itu telah terdobrak, sehingga dari luar bisa langsung melihat ke dalam.
Di dalam ruangan, Kiongwan Hok dengan wajah pucat ketakutan dan mata yang berkeliaran karena kegilaannya, merapatkan punggungnya ke tembok. Di hadapannya, seseorang berpakaian jubah imam warna kuning berdiri sambil menjulurkan tangan ke arah Kiongwan Hok seolah-olah hendak mencekik. Dan meskipun imam itu berkepala, namun kepalanya dipegang dengan tangan satunya lagi, sementara lehernya buntung dan meneteskan cairan merah yang mirip darah. Dan wajah di kepala itu memang benar wajah Giok-seng Tojin.
Sesaat Auyang Seng tergetar perasaannya, sejak ia lahir dari perut ibunya sampai sekarang usianya mencapai hampir empatpuluh lima tahun, ia memang sering mendengar dongeng tentang hantu tapi tidak pernah mempercayainya. Apalagi setelah la mendapat banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tetapi kali ini perasaananya memang terguncang keras. Benarkah bahwa arwah kakak seperguruannya, Giok-seng Tojin berkeliaran sebagai hantu penasaran.
Untunglah nyali Auyang Seng tidak mudah menjadi ciut hanya karena melihat pemandangan di depan matanya itu. Akal sehatnya yang sudah terlalu lama menguasai dirinya dalam mengambil segala tindakan, segera mendesak keluar segala pikiran-pikiran tidak masuk akal tentang hantu. Dilihatnya pintu itu terbuka karena dirusak, padahal bukankah kabarnya hantu itu berbadan halus sehingga dapat masuk ke ruangan manapun tanpa harus merusak pintu?
Juga dilihatnya sepasang kaki "Giok-seng Tojin" itu menapak tanah, bukannya melayang seperti cerita-cerita hantu yang pernah didengarnya. Karena itu kemarahan Auyang Seng segera berkobar menggantikan rasa kagetnya tadi. Marah karena orang ini telah berani mengacau di Hoa-san-pay, berusaha membunuh seorang murid Hoa-san-pay dan berani menyamar sebagai Giok-seng Tojin yang semasa hidupnya dihormati oleh Auyang Seng itu.
Geram Auyang Seng, "Bangsat bernyali besar, lebih baik serahkan dirimu secara baik-baik daripada aku harus turun tangan meringkusmu!"
Hantu Giok-seng Tojin yang tangannya hampir mencapai leher Kiongwan Hok itu menoleh, tepatnya memutar tubuhnya menghadap Auyang Seng, lalu dengan langkah perlahan-lahan dengan gaya seseram mungkin ia berjalan mendekati Auyang Seng dengan tangan terjulur seperti hendak mencekik, tangan satunya masih menjinjing batok kepala yang berlumuran darah itu.
Dari rongga perut "hantu" itu terdengar suara menggeram seram, "Siapa kau? Apakah kau ingin aku mencekikmu sekalian dan menyeretmu ke neraka?"
Auyang Seng tertawa dingin, "Hentikan permainan hantu-hantuanmu itu, sobat, tidak akan berguna kau menakut-nakuti aku. Dan jika kau benar-benar hantu, coba tunjukkan kepadaku. Terjang tembok itu sebab badan hantu kabarnya bisa menembus apapun tanpa. merusakkannya."
Langkah "hantu" itu nampak tertegun, agaknya ia mulai sadar bahwa orang yang dihadapinya itu berbeda dengan murid-murid Hoa-san-pay yang menggigil ketakutan melihat penampilannya tadi. Namun kali ini si "hantu" menghadapi seseorang yang tidak bisa digertak dengan gaya hantu-hantuannya. Sadar bahwa tugasnya untuk membunuh Kiongwan Hok, atau paling tidak membuatnya terus gila, telah digagalkan oleh munculnya Auyang Seng.
Maka orang yang menyamar sebagai hantu itu menjadi nekad. Kepala "Giok-seng Tojin" yang dibawanya dengan tangan kiri itu tiba-tiba dibantingkan ke tanah, dan ternyata "kepala" itu adalah semacam senjata peledak yang langsung meledak dan menyemburkan api dan asap yang memenuhi seluruh ruangan.
Auyang Seng terkejut, namun segera sadar bahwa bom asap itu tentu hanya bertujuan untuk mengejutkan dirinya dan orang itu akan mencari kesempatan untuk kabur. Maka Auyang Seng di tengah tengah asap yang memenuhi ruangan itu segera meloncat ke pintu, jalan satu-satbnya bagi orang itu apabila hendak keluar.
Tapi Orang itupun cukup cerdik, tanpa melihat ia sudah dapat menduga bahwa Auyang Seng tentu akan menjaga pintu lebih dulu, maka orang itu segera menggunakan kekuatan pukulannya untuk menjebol tembok dan dari situlah ia menerobos keluar.
Murid-murid Hoa-san-pay yang berjaga-jaga di luar menjadi terkejut ketika mendengar ledakan dari dalam ruang penyekapan disusul dengan berkobarnya api. Mereka hendak menyerbu masuk, tapi ragu-ragu, bagaimana kalau bertemu dengan "hantu tanpa kepala" itu?
Baru saja mereka memikir hantu tanpa kepala, maka si "hantu" benar-benar muncul di hadapan mereka dengan cara menjebol tembok. Dua orang murid segera jatuh pingsan saking takutnya begitu melihat hantu tanpa kepala itu, lain-lainnya tidak pingsan melainkan gemetar ketakutan tanpa dapat berbuat apa-apa, bahkan ada yang celananya menjadi basah karena terkencing-kencing.
Saat itulah Auyang Seng menyusul memburu keluar dengan pedang terhunus dan berteriak kepada murid-muridnya, "Kantong-kantong nasi yang tak berguna, bernyali tikus! Cepat padamkan api di dalam dan selamatkan Kiongwan Hok!"
Sementara "hantu tanpa kepala" itu telah meloncati dinding halaman itu dengan gerakan yang lincah, namun Auyang Seng lebih lincah lagi. Bagaikan seekor burung rajawali yang menyambar di udara, tubuhnyapun meloncat menyusul "hantu" itu sambil membentak,
"Sobat, berhenti dan menyerahlah! Atau kulobangi punggungmu dengan pedangku ini?!"
Namun hantu itu agaknya cukup bandel dan ternyata la memiliki ilmu silat yang bisa di andalkan juga. Tubuhnya tiba-tiba berputar di udara dan tahu-tahu sepasang tangannya telah memegang sepasang pedang pendek. Ketika Auyang Seng memperhatikan, diam-diam ia tertawa mengejek sebab sepasang tangan "hantu itu" tidak tumbuh dari pundaknya melainkan tumbuh dari rusuk, sekepala dibawah pundak.
Dengan demikian Auyang Seng tahu bahwa orang yang menyamar sebagai hantu Itu adalah seorang yang bertubuh pendek, lalu kedua pundaknya diganjal tinggi sehingga kepalanya "tenggelam", dan jika diberi jubah panjang sebagai pakaiannya akan nampaklah sekilas seolah ia hantu tanpa kepala.
"Buka jubahmu dan pengganjal pundakmu sobat...!” kata Auyang Seng ketika keduanya sudah berdiri berhadapan di atas tanah. "Kita akan bertempur dan gerak-gerikmu tentu terganggu oleh pengganjal pundakmu yang begitu tinggi itu, sementara matamu pun tertutup oleh jubahmu sendiri."
Sadar dirinya sudah tidak dapat mengelabuhi Gin-hoa-kiam Auyang Seng yang terkenal itu, maka "si hantu" itu-pun merobek-robek jubahnya dan membuang pengganjal pundaknya yang terbuat dari kain berisi kapas yang dijahit dan dibentuk secara khusus untuk main hantu-hantuan itu. Dan muncullah wajah aslinya. Ia seorang seusia setengah abad yang bertubuh kecil pendek, dan berwajah mirip tikus, baik matanya yang kecil bulat maupun kumisnya dan hidungnya.
Ternyata Auyang Seng cukup kenal wajah itu, dan ia terkejut karenanya. Serunya kaget, "Jian-kiam-hui-ci (Tikus Terbang Seribu Pedang)”
Kakek kecil pendek itu tertawa terkekeh-kekeh, sahutnya, "Gin-hoa-kiam Auyang Seng memang bukan nama kosong belaka. Hari ini biarlah aku jajal kehebatanmu!"
Sementara itu Auyang Seng merasa bahwa persoalan yang terjadi hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiongwan Hok itu ternyata semakin lama bukannya semakin sederhana tapi malahan semakin ruwet. Kenapa si tikus terbang dari perguruan Jing-sia-pay ini ikut terlibat pula? Terhadap Ho-lian-pay boleh saja memandang ringan, tetapi terhadap Jing-sia-pay akan lain lagi soalnya. Jing-sia-pay adalah perguruan yang terkenal kuat pula dan banyak memiliki jago-jago lihai, sehingga hubungan dengan perguruan itu harus dijaga kelestariannya.
Maka sebelum mulai bertempur. Auyang Seng berkata, "Kiranya saudara Ki dari Jing-sia-pay. Selama ini hubungan antara kedua perguruan kita sangat baik, antara Ketua kedua belah pihak juga terjalin persahabatan akrab berpuluh tahun lamanya, kini apa sebabnya saudara Ki mendadak bersikap begitu buruk kepada Hoa-san-pay kami. Menakut-nakuti seorang murid Hoa-san-pay yang sedang kami usahakan kesembuhannya dari goncangan Jiwanya?"
Sahut Ki Peng-sian dingin, ketus dan singkat, "Tidak bisa kuterangkan. Aku harus membunuhmu karena kau telah membongkar rahasiaku!"
"Saudara Ki, kita masih bisa bicara dengan baik dan..."
Ternyata Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian tidak menunggu sampai Auyang Seng selesai berbicara, tubuhnya yang kecil itu tiba-tiba saja benar-benar terbang menerkam ke arah Auyang Seng dengan gerakan Liu-soat-hong-san (Awan Mengalir Menyelimuti Bukit). Pedangnya yang hanya sepasang itu tiba-tiba terlihat seolah-olah menjadi beribu-ribu, seperti segumpal awan pembawa maut yang mengurung seluruh bagian tubuh Auyang Seng dari pinggang ke atas. Agaknya inilah yang membuat Ki Peng-sian mendapat julukannya sebagai Jian-kiam-hui-ci.
Yang terkejut adalah Auyang Seng, tidak diduganya Ki Peng-sian akan segarang itu, baru diajak berbicara beberapa kalimat saja sudah langsung mengajak bertempur. Selain itu juga tingkat ilmu yang ditunjukkan sungguh mengejutkan, jauh lebih tinggi dari ilmu Ki Peng-sian yang diketahui oleh Auyang Seng beberapa tahun yang lalu.
Beberapa tahun yang lalu Auyang Seng dapat mengalahkan Ki Peng-sian kurang dari waktu limapuluh jurus, dalam suatu pertandingan persahabatan antara Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay, namun melihat ilmu Ki Peng-sian sekarang, maka Auyang Seng bahkan menjadi ragu-ragu apakah la bisa mengalahkan si kerdil ini atau tidak?
Gebrakan pertama sebelum Auyang Seng sempat menggerakkan pedangnya dengan baik, maka jago Hoa-san-pay itu sudah lebih dulu dipaksa mundur tiga tindak. Setelah itu barulah la mendapat ruang untuk mengembangkan pedangnya dengan jurus serangan Tan-hong-tiau-yang (Burung Hong Menghadap Sang Surya).
Keduanya segera bertempur sengit tanpa banyak bicara lagi. Ki Peng-sian menerjang seperti angin ribut, tubuhnya yang kecil itu tak terlihat lagi karena "terbungkus" oleh cahaya pedang sepasangnya yang melingkupinya, dan “gumpalan pedang" yang diciptakannya itu beterbangan kian kemari bersamaan dengan tubuhnya yang berloncatan pula. Sesungguhnya, tanpa perlu main hantu-hantuan, cukup dengan ilmu pedang dan ilmu meringankan tubuhnya itu si Tikus Terbang Seribu Pedang ini sudah cukup menakutkan.
Dalam waktu duapuluh jurus Auyang Seng telah dipaksa mengeluarkan seluruh kepandaiannya tanpa sisa sedikitpun. Dan kalau seorang Gin-hoa-kiam bertempur dengan sekuat tenaga, maka nampaklah "bunga-bunga perak" yang terbentuk dari getaran-getaran ujung pedangnya itu memenuhi udara. Auyang Seng tidak menyerang dengan bergulung seperti angin ribut, kadang-kadang bergeser atau meloncat sedikit.
Namun setiap "bunga perak"nya selalu mengincar dengan tenang di tempatnya sambil memainkan pedang, kadang-kadang bergeser dengan tepat ke titik kelemahan musuhnya sehingga memaksa sang musuh untuk membatalkan serangannya dan harus berganti dengan serangan lain.
Begitulah dua gaya dalam ilmu pedang telah bertemu di arena itu. Ki Peng-sian yang cepat, ganas dan berusaha menggulung lawan dalam pusaran pedang-pedang pendeknya tanpa ampun. Lawannya adalah Auyang Seng yang tenang, dingin, rapat dan kokoh, ibarat sepotong batu karang yang tak tergetar sedikitpun meskipun gelombang samudera menerpa tak henti-hentinya.
Bagi pandangan orang biasa, nampaknya Auyang Seng bakal kalah dalam pertarungan itu, sebab ia nampak selalu bertahan dan kadang-kadang ia terdesak oleh serangan lawan yang bergulung-gulung itu. Namun setelah limapuluh jurus lewat, makin nampak bahwa Ki Peng-sian lah yang sebenarnya sudah di ambang pintu kekalahan. Serangan-serangannya yang dahsyat itu telah menguras banyak tenaganya.
Sementara Auyang Seng yang dengan cerdik menyimpan tenaganya dengan bertahan serapat-rapatnya selama puluhan jurus itu, masih menyimpan tenaga yang lebih segar dari lawannya. Sang gelombang bagaikan mulai kelelahan menghantam sang batu karang yang tak bergeming sedikitpun, bahkan setiap gelombang yang datang malah dipukul balik sehingga pecah berserakan.
Auyang Seng memahami keadaan itu dan tahu bahwa kini sudah tiba gilirannya untuk menghantam balik. Gerakan pedangnya dipercepat, bukan hanya bertahan tapi juga balas menyerang. Sebagai pendekar terkenal ia bukan cuma mahir adu otot tapi juga mempunyai otak yang cemerlang, dan siasatnya kali inipun ternyata berhasil dengan baik. Ki Peng-sian lah yang sekarang terdesak dan terkurung oleh pedang peraknya.
Percuma saja Ki Peng-sian menunjukkan kelincahan tubuhnya, sebab ujung pedang Auyang Seng yang mengejar bagaikan seekor ular bersisik perak tak pernah terpisah dari sejengkal dari kulit tubuhnya. Ia benar-benar telah terkurung. Namun di saat terjepit, tiba-tiba terdengar Ki Peng-sian menggumamkan beberapa kata-kata dengan nada yang asing, dan bayangan tubuhnya segera kabur karena seolah-olah telah muncul beberapa Ki Peng-sian yang bergerak bersama-sama.
Dengan pengalamannya yang luas, Auyang Seng segera sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan ilmu yang tidak berasal dari golongan lurus, melainkan dari golongan sesat, ilmu sihir. Tetapi Auyang Seng yang rajin berlatih semedi dan memiliki ketajaman mata batin itu segera dapat membedakan mana Ki Peng-sian yang asli dan mana yang hanya bayangan semua saja.
Dan ujung pedangnya terus memburu ke arah Ki Peng-sian yang asli, tidak peduli bagaimanapun membingungkannya tingkah polah bayangan-bayangan semunya. Namun dalam hati Auyang Seng timbul juga sepercik keheranan, Jing-sia-pay adalah perguruan yang termasuk dalam golongan putih, tetapi kenapa seorang tokohnya seperti Ki Peng-sian ini memiliki ilmu yang dikutuk kaum pendekar itu?
Sementara itu Ki Peng-sian sendiri sedang dalam kebingungan, ilmu sihirnya itu ternyata tidak dapat menolongnya membebaskan dari kejaran ujung pedang Auyang Seng. Di saat gugupnya itulah tiba-tiba pedang Auyang Seng berhasil menyentuh jalan darah Kin-ceng-hiat di tubuhnya, hanya menotok tapi tidak melukai, inilah keahlian seorang pemain pedang yang hampir mencapai tahap kesempurnaan. Seketika itu Ki Peng-sian merasakan pundaknya lemas dan sepasang pedangnyapun jatuh ke tanah.
Tepat pada saat Ki Peng-sian sudah jatuh ke tangan Auyang Seng dalam keadaan hidup-hidup seperti itu, maka beberapa murid Hoa-san-pay yang mulai timbul keberaniannya, telah berlari-larian datang ke tempat itu. Kepada murid-murid itu Auyang Seng berkata,
"Lihat, yang kalian takuti sebagai hantu itu ternyata adalah manusia biasa seperti kalian juga. Lain kali jangan mudah percaya hal-hal yang tidak masuk akal. Sekarang lekas ikat erat-erat tamu kita yang suka bergurau dengan hantu-hantuan ini, nanti akan kita hadapkan kepada sidang para sesepuh untuk dikorek keterangannya."
Beberapa murid segera mengerjakan perintah itu, sementara salah seorang telah melapor, "Susiok, di tempat penyimpanan buku juga telah terjadi perkelahian sengit antara beberapa sesepuh dengan beberapa pengacau.”
"Siapa saja yang berkelahi di sana?"
"Tiga orang sesepuh Kiau, Lim dan Yo, sementara Hui-im Sucou menjaga ruang penyimpanan buku tanpa berani meninggalkan selangkahpun. Sebun Susiok dan Beng Susiok juga ikut bertempur di sana..."
Auyang Seng terkejut mendengar laporan itu di antara Hoa-san-su-lo (Empat sesepuh Hoa-san) sudah turun ke gelanggang, padahal setiap Hoa-san-su-lo itu memiliki kepandaian yang amat tinggi sebab mereka berada diatas angkatan Auyang Seng dan teman-temannya, merekalah paman-paman guru dan uwa-uwa guru dari angkatannya Auyang Seng. Kalau sampai mereka turun ke gelanggang tiga orang sekaligus maka berarti penyerang itu memang luar biasa kepandaiannya. Mungkinkah mereka berasal dari pihak yang sama dengan si kerdil Ji-an-kiam-hui-ci Ki Peng-sian?
Auyang Seng tidak mau hanya menebak-nebak saja, dengan menentang pedangnya ia segera menuju ke arah ruangan penyimpanan buku. Di tempat itulah kata murid tadi tengah terjadinya sebuah pertarungan sengit dengan para pengacau. Ruangan penyimpanan buku adalah bangunan berbentuk pagoda lima tingkat yang indah bentuknya dan terletak di tengah-tengah kolam teratai yang luas, dari tepi kolam untuk menuju ke pagoda hanya ada sebuah jembatan sempit dari batu berukir indah yang menghubungkannya. Sedang orang tidak mungkin meloncati lebar kolam untuk mencapai pagoda, bagaimanapun tinggi ilmu meringankan tubuhnya.
Ketika Auyang Seng tiba di situ, di tepi kolam sudah berdiri banyak murid-murid Hoa-san-pay dengan pedang-pedang terhunus, namun mereka sama sekali tidak dapat ikut campur dalam pertempuran yang tengah berlangsung, sebab pertempuran-pertempuran itu berlangsung di tempat-tempat yang tidak sewajarnya. Dua orang saudara seperguruan Auyang Seng, yaitu Sebun Siang dan Beng Ko-yan dengan bersenjata pedang, tengah mengeroyok seorang musuh yang bertubuh kurus, berjubah merah dan berambut merah pula.
Di bawah cahaya obor-obor yang diangkat tinggi-tinggi oleh murid-murid Hoa-san-pay, nampaklah bahwa orang itu memainkan sebatang tongkat panjang terbuat dari besi yang bentuknya dibuat seperti seekor ular, lengkap dengan ukiran sisik-sisiknya. Orang itu memainkan tongkat panjangnya dengan gaya permainan yang keji, cepat, tak kenal ampun.
Auyang Seng sudah berpengalaman di dunia persilatan sejak ia masih muda, sejak masa di mana Hwe-liong-pang masih malang-melintang di dunia persilatan baik dengan tokoh-tokohnya yang baik seperti dewa maupun jahat seperti iblis. Karena itu, begitu melihat tokoh dengan ciri khas yang menyolok itu, dia segera berdesis kaget. "Ang-Mo-Coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dari Hwe-liong-pang. Ternyata bangsat tua ini masih hidup setelah menghilang sekian lama, bahkan ilmu silatnya bertambah hebat!"
Mereka bertiga bertempur di bawah cahaya obor, namun di tengah-tengah jembatan sempit yang menghubungkan tepi kolam teratai dengan pintu pagoda. Jembatan itu amat sempit, kalau dua orang berjalan di atasnya maka paling banyak hanya dapat berjajar dua orang. Dengan cara bertempur yang hebat dari ketiga orang itu, bersambar-sambaran seperti tiga ekor elang yang berlaga di angkasa, kadang-kadang berloncatan atau menyusuri pagar jembatan yang besarnya hanya selengan orang itu, maka jelaslah pertempuran itu bukan pertempuran yang bisa diikuti oleh sem-barangan orang. Harus orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang dapat ikut bertempur.
Dan Auyang Seng melihat, walaupun Sebun Siang dan Beng Ko-yan telah bertempur dengan gigih dengan mengeroyok pula, tapi tidak ada tanda-tanda mereka akan menguasai kemenangan. Lawan mereka terlampau kuat. Auyang Seng menarik napas panjang dan membatin, "Malam ini Hoa-san-pay benar-benar kebanjiran musuh-musuh tangguh..."
Ada yang jauh lebih hebat dari tokoh golongan hitam berambut merah Ang-mo-coa-ong itu. Dia adalah seorang berpakaian serba hitam dengan mantel lebar yang hitam pula, dengan sebuah topeng perunggu yang kehijau-hijauan melekat di wajahnya, topeng yang berbentuk tengkorak yang menyeringai menyeramkan.
Orang ini menghadapi tiga orang dari Hoa-san-su-lo, yaitu Ciang-bunjin Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han yang merupakan orang nomor satu di Hoa-san-pay yang berjenggot dan berambut keperak-perakan, serta dua sesepuh lainnya, Lim Sin dan Yo Ciong-wan yang juga nampak sudah berambut putih. Tapi pertarungan satu lawan tiga itu jauh lebih dahsyat dari pertarungan di tengah jembatan kecil. Keempatnya bagaikan tak berbobot, berkelahi di atas atap pagoda yang miring, licin dan bertingkat-tingkat itu.
Ketiga sesepuh itu seperti dewa-dewa yang turun dari langit, dengan rambut yang putih keperak-perakan dan jubah yang setiap kali melambai apabila mereka bergerak dengan keringanan tubuh yang menakjubkan. Namun lawan dari para "dewa" itu agaknya sesosok iblis yang dengan tangguhnya sanggup menghadapi ketiga batang pedang itu hanya dengan sepasang tangan kosongnya, tanpa nampak terdesak sedikitpun.
Kadang-kadang mereka berkejaran mengitari emperan atap pagoda, atau berloncatan dari satu tingkat ke tingkat lainnya bolak-balik dengan gerakan sebebas seperti berada di lantai yang datar saja. Lalu saling menukar serangan dahsyat apabila mendapat kesempatan. Jarang sekali murid-murid Hoa-san-pay melihat para sesepuh mereka bersilat dengan sepenuh hati, sebab tugas melatih lebih banyak dipercayakan kepada angkatan yang lebih muda, yaitu angkatannya Sebun Siang atau Auyang Seng.
Tapi malam ini murid-murid Hoa-san-pay berkesempatan melihat bagaimana para sesepuh yang rambutnya sudah putih itu dapat gerak dengan tangkas luar biasa, dengan kecepatan yang kadang-kadang membuat tubuh mereka bagaikan tak terlihat jelas dan hanya mirip segumpal bayangan yang kabur, sementara pedang-pedang mereka gemerlapan bagaikan petir bersambung di udara. Terutama adalah Ciangbunjin Hoa-san-pay sendiri, Kiau bun-han yang digelari sebagai Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang di Delapan Penjuru) itu. Bayangan pedangnya benar-benar memenuhi seluruh arena, seolah tak seekor nyamukpun bisa lolos dari jaringan pedangnya.
Tapi malam itu murid-murid Hoa-san pay juga dipaksa melihat suatu kenyataan bahwa ketiga orang sesepuh yang dibangga-banggakan itu ternyata belum mampu mengatasi seorang lawan yang tidak bersenjata. Untunglah bahwa secara bisik-bisik murid Hoa-san-pay sudah mendengar bahwa orang bertopeng perunggu itu adalah Te-liong Hiangcu, gembong iblis dari Hwe-liong-pang yang malang-melintang jarang tandingannya dalam rimba persilatan.
Dan para murid Hoa-san-pay pun maklum bahwa melawan iblis besar itu para sesepuh mereka memang harus bekerja keras sekali. Di rimba persilatan barangkali hanya beberapa gelintir manusia yang sanggup berhadapan satu lawan satu dengan Te-liong Hiangcu, dan sayang sekali bahwa para sesepuh itu belum terhitung ke dalam yang beberapa gelintir itu, biarpun ilmu mereka cukup disegani pula.
Sementara itu Auyang Seng merasa bahwa diapun harus ikut terjun ke gelanggang untuk ikut mempercepat selesainya perkelahian itu. Ia memutuskan bahwa sesepuh tidak usah dibantu, sebab keadaan tidak berbahaya buat mereka. Dengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pengalaman yang bertumpuk-tumpuk dalam diri para sesepuh itu, tidak mudah bagi Te-liong Hiangcu untuk mengalahkan mereka bertiga, betapapun menakutkannya iblis bertopeng perunggu itu. Maka Auyang Seng merasa lebih baik ia menggabungkan tenaganya dengan Beng Ko-yan dan Sebun Him untuk meringkus Tang Kiau-po lebih dulu.
Sambil bersuit nyaring seperti seekor elang yang menerkam mangsanya Auyang-seng segera terjun ke gelanggang, tubuhnya melayang dan langsung menikam dengan gerakan Ngo-eng-bok-tho (Elang Lapar Menerkam Kelinci) dengan ujung pedang tertuju ke tenggorokan lawan. Ia tidak merasa malu mengeroyok Ang-mo-coa-ong, sebab Ang-mo-coa-ong bagi Auyang Seng dan saudara-saudaranya masih sebagai murid remaja di Hoa-san-pay, maka Ang-mo-coa-ong sudah memiliki nama besar sebagai tokoh tua golongan hitam dari gunung Thay-san, sehingga derajatnyapun berbeda dengan ketiga pendekar Hoa-san-pay itu.
Apalagi kini Ang-mo-coa-ong telah melakukan tindakan yang melanggar kedaulatan Hoa-san-pay dengan cara menerobos masuk sampai ke dalam pusat perguruan itu, sehingga pertempuran-itu adalah pertempuran mempertahankan kehormatan Hoa-san-pay. Namun demikian, Auyang Seng sebagai pendekar terkenal masih enggan juga untuk dituduh melakukan sergapan secara licik, karena itulah sambil menyerang ia mendahului bersuit keras sebagai peringatan kepada lawan akan kedatangannya.
Dengan datangnya Auyang Seng ke tengah gelanggang segera terasa bahwa pekerjaan Ang-Mo-coa-ong Tang Kiau-po menjadi lebih berat. Auyang Seng memang seperguruan dengan Sebun Siang dan Beng Ko-yan, namun tingkatan ilmunya justru jauh di atas kedua saudara seperguruannya itu, berkat ketekunannya dalam menciptakan cara-cara baru untuk berlatih. Dalam usia yang belum mencapai setengah abad Auyang Seng sudah mencapai kematangan ilmu pedang hampir setingkat dengan paman-paman gurunya yang menjadi para sesepuh itu. Maka terjunnya ia ke gelanggang seketika membuat Ang-mo-coa-ong terdesak hebat.
"Bagus! Inilah Hoa-san-pay yang hebat itu?" teriak Ang-mo-coa-ong untuk menyindir, "Tokoh-tokohnya yang bernama harum ternyata hanya pandai main keroyok seperti buaya-buaya di daerah-daerah lampu merah!"
Ucapan itu memang cukup menyakitkan hati, namun Auyang Seng membalas dengan tajam pula, "Tang Lo-eng-hiong yang terhormat, apakah kau sendiri juga menjaga martabatmu sebagai seorang tokoh angkatan tua, bahkan seorang tokoh angaktan tua sejak jaman aku masih remaja dulu? Malam-malam menyelundup ke sini dan berkelakuan seperti maling ayam?"
Tang Kiau-po menggeram tidak menyahut, dengan tangan kanannya ia putar tongkatnya yang berbentuk ular itu untuk menjaga serangan Sebun Siang dan Beng Ko-yan, lalu tangan kirinya dengan telapakan terbuka angsung menghantam kepada Auyang Seng dengan gerakan Se-ceng-pay-hud (Se-ceng Menyembah Buddha).
Auyang Seng terkejut ketika melihat pukulan lawan yang ditujukan kepada dirinya itu membawa sambaran angin yang dahsyat sekali, dan telapak tangan Ang-mo-coa-ong itu nampak merah membara. Itulah Ang-se-tok-Jiu (Tangan Beracun Pasir Merah), ilmu andalan Ang-mo-coa-ong sejak puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun yang lalu, dengan ilmunya itu dia berhasil mendudukkan dirinya dalam deretan "sepuluh tokoh sakti sejagad" meskipun hanya pada nomor buncit, yaitu nomor sepuluh.
Maka sekarang setelah ilmunya itu disempurnakan secara tekun dengan latihan-latihan keras, tentu saja kedahsyatannya luar biasa. Auyang Seng merasa dadanya sesak dan matanya berkunang-kunang, padahal pukulan lawan belum mengenainya dan baru tekanan anginnya saja. Tidak berani menyambut serangan itu, cepat Auyang Seng meloncat mundur dengan gerak Yan-cu-coan-in (Walet Menerabas Mega).
Telapak tangan Ang-mo-coa-ong menghantam pagar batu jembatan kecil itu, dan salah satu bagian dari pagar yang indah dan menjadi kesayangan orang-orang Hoa-san-pay itupun muncrat hancur sebagai pasir yang lembut. Demikian hebatnya pukulan tokoh tua dari gunung Thay-san itu.
Tapi Auyang Seng tidak gentar, meskipun ia harus lebih berhati-hati lagi. Selagi lawan sempat mengerahkan kembali tenaga Ang-se-tok-jiunya yang hebat itu, maka pedang perak Auyang Seng tiba-tiba telah berkeredep memenuhi angkasa. Tiba-tiba, saja yang nampak bukan cuma sebatang pedang melainkan berpuluh-puluh pedang yang "mengerumuni Ang-mo-coa-ong dari segala penjuru, membentuk puluhan "kembang perak" yang menghambur mengincar tigapuluh enam buah urat nadi kematian di tubuh Ang-mo-coa-ong.
Murid-murid Hoa-san-pay yang berdiri berderet-deret di tepi kolam teratai dengan membawa obor-obor yang diangkat tinggi-tinggi itu ketika melihat gerakan Auyang Seng itu tanpa diperintah telah berteriak kagum serempak. Mereka seolah melihat sebuah "tarian pedang" yang sangat indah, namun mereka juga tahu bahwa paman guru mereka itu bukan sedang menari melainkan sedang memainkan sebuah jurus maut.
Dari arah lain Beng Ko-yan dan Se-bun Siang juga menggempur Ang-mo-coa-ong seperti angin ribut. Bagaimanapun tangguhnya Ang-mo-coa-ong namun ia tidak dapat menyelamatkan diri sepenuhnya dari serangan-serangan itu. Pedang Sebun Siang berhasil dipukul ke samping dengan tongkatnya sehingga hampir lepas dari tangan pemiliknya, pedang Beng Ko-yan pun dapat dielakkan dengan beberapa langkah kecil, tapi pedang Auyang Seng yang mencurah seperti hujan itu hanya dapat dielakkan sebagian.
Ujung jubahnya tetap saja terbabat putus, rambutnya yang merah itupun terpapas sebagian kecil, bahkan kulit dadanya tergores melintang sehingga berdarah. Hal itu bukan saja menimbulkan rasa pedih di hatinya tapi juga marah sekali. Berpuluh tahun Ang-mo-coa-ong malang-melintang, kini di Hoa-san-pay ia telah mengalami hal yang begitu nemalukan dihadapan begitu banyak orang, apalagi ketika mendengar murid-murid Hoa-san-pay itu bersorak-sorai.
Dengan geram Ang-mo-coa-ong mengerahkan Ang-se-tok-jiu ke tangan kirinya dan kembali menghantam Auyang Seng dengan sekuat tenaga. Tapi Auyang Seng biasa berkelahi bukan hanya dengan tenaga juga dengan otaknya, dia tahu bahwa Ang-se-tok-jiu memang hebat namun gerakannya tidak cepat. Dari segi usia juga telah mempengaruhi jalannya pertempuran, Ang-mo-coa-ong yang hampir tigapuluh tahun lebih tua dari Auyang Seng itupun dari kesegaran tubuhnya tentu tidak dapat menandingi Auyang Seng yang masih di bawah empat-puluh lima tahun itu.
Kembali pukulan Ang-se-tok-jiunya hanya menghancurkan pagar jembatan, sementara Auyang Seng masih sanggup menghindari seperti seekor burung camar menjauhi hantaman gelombang lautan, dan seperti seekor burung pula ia menyambar lawan dengan ujung-ujung pedangnya.
Begitulah terjadi berulangkali, sampai Ang-mo-coa-ong mulai kelihatan kelelahan. Diam-diam Ang-mo-coa-ong mengutuk dalam hati, nasibnya memang kurang beruntung. Auyang Seng seorang diri sebenarnya masih bisa diatasinya, namun karena dia dibantu Sebun Siang dan Beng Ko-yan yang betapapun juga tidak bisa dipandang ringan, maka kewalahan Ang-mo-coa-ong. Ia juga mengumpat empat orang yang ditugaskan untuk mencekik Kiongwan Hok itu kenapa belum juga memperdengarkan isyarat? Apakah orang itu sudah gagal atau bahkan mampus dikekoyok orang-orang Hoa-san-pay?
Keheranan yang sama juga muncul di hati Te-liong Hlangcu yang tengah bertempur dengan tiga orang Hoa-san-pay itu. Isyarat yang ditunggunya belum juga terdengar, sementara ia sendiri tidak dapat mengingkari bahwa diapun akan kehabisan tenaga juga jika terus-menerus melawan ketiga pendekar tua itu.
Kegelisahan Ang-mo-coa-ong terasa juga oleh Auyang Seng, maka dicobanya untuk secara untung-untungan memecahkan semangat tempur lawannya. Kata Auyang Seng nyaring, “Kau gelisah, Tang Lo-eng-hiong? Kalau kau menunggu rekanmu yang menyamar sebagai hantu tanpa kepala dan ternyata dia adalah Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian, maka Lo-eng-hiong menunggu sia-sia. Orang itu sudah tertawan dan kedoknya sebagai hantu gadungan sudah terlucuti..."
Ucapan Auyang Seng itu memang mengejutkan Te-liong Hiangcu maupun Ang-mo-coa-ong isyarat dari Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian itulah yang sedang mereka tunggu dan kini mereka mendengar bahwa Ki Peng-sian sudah tertangkap dan bahkan sudah dilucuti kedoknya, tentu saja tidak berguna meneruskan pertempuran di tempat itu. rencana sudah berantakan dan tidak perlu dilanjutkan lagi.
"Mundur!" teriak Te-liong Hiangcu kepada Ang-mo-coa-ong.
Tapi untuk mundurpun tidak mudah, sebab Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han, tokoh nomor satu di Hoa-san-pay itupun telah memberi perintah, "Kepung rapat semua jalan keluar!"
Murid-murid Hoa-san-pay yang bertebaran di pinggir kolam teratai itu serempak mencabut pedang masing-masing, dan membentuk barisan-barisan kecil yang tiap barisannya terdiri dari enam orang. Itulah barisan Liok-hap-tin, biarpun kepandaian murid-murid itu tidak berarti dibandingkan dengan Ang-mo-coa-ong, apalagi Te-liong Hiangcu, tapi dengan berkelompok enam-enam seperti itu mereka akan menjadi kekuatan yang cukup berarti kalau hanya sekedar untuk menahan jalan lari dari kedua tokoh golongan hitam itu.
Namun tanpa disadari oleh orang-orang Hoa-san-pay, bahwa dalam tubuh perguruan mereka sendiri ada seorang musuh dalam selimut, justru seorang yang berkedudukan terhormat sebagai seorang sesepuh perguruan. Nampak Yo Ciong-wan menusuk ke dada Te-liong Hiangcu dengan sebuah gerakan yang amat ceroboh, sehingga Te-liong Hiangcu dengan mudah dapat mengelakkannya. Saat itulah Yo Ciong-wan berbisik "Sanderalah aku, Hiangcu."
Te-liong Hiangcu paham betul maksud bisikan Yo Ciong-wan itu. Dengan tangkas ia mencengkeram lengan Yo Ciong-wan yang memegang pedang itu dan langsung memutarnya ke atas, dan tahu-tahu Yo Ciong-wan sudah kena ditelikung dengan leher yang ditempeli pedang miliknya sendiri yang berhasil dirampas Te-liong Hiangcu.
Kejadian itu menang mengejutkan orang-orang Hoa-san-pay, dari para sesepuh sampai murid-murid paling rendah tingkatannya. Kiau Bun-han dan Lim Sin sebagai dua sesepuh, merasa heran bahwa Yo Ciong-wan sampai bisa melakukan kecerobohan seperti itu, namun hati mereka yang bersih sama sekali belum menduga bahwa sebenarnya Yong Ciong-wan telah sengaja berbuat demikian untuk memberi kesempatan agar Te-liong Hiangcu Ang-mo-coa-ong dapat keluar.
Sambil tertawa menggelegar, Te-liang Hiangcu menekankan pedang ke leher Yo Ciong-wan sambil berteriak, "Jika ada di antara kalian yang berani merintangi jalan mundur kami, maka lebih dulu kepala sesepuh kalian ini akan menggelinding ke tanah!"
Ancaman itu tentu saja sangat manjur. Tanpa mendapat rintangan apa-apa, Te-liong Hiang-cu meloncat dari pucuk pagoda itu dengan tetap membawa Ciong-wan, diikuti oleh Sambil tertawa menggelegar, Te-liang Hiangcu menekankan pedang ke leher Yo Ciong-wan sambil berteriak, "Jika ada di antara kalian yang berani merintangi jalan mundur kami, maka…
Ang-mo-coa-ong yang juga bebas dari lawan-lawannya, meskipun pakaiannya sudah robek-robek kena pedang Auyang Seng. Dengan tetap menempelkan pedang di leher Yo Ciong-wan, Te-liong Hiang-cu berkata lagi, "Sekarang, bebaskan pula temanku yang menyamar sebagal hantu tadi!"
Demi keselamatan Yo Ciong-wan maka tidak bisa tidak memang perintah Te-liong Hiangcu itu harus terkabul semuanya. Tak lama kemudian muncullah beberapa murid Hoa-san-pay menggiring Ji-an-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay yang bertubuh kerdil itu dalam keadaan terikat. Namun kemudian di hadapan Te-liong Hiangcu semua ikatannya dibebaskan, dan tubuhnya yahg kecil itu bagaikan terbang meloncat bergabung dengan Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong.
Sementara itu, Yo Ciong-wan sendiri pura-pura berteriak penasaran, "Ciang-kun Suheng! Jangan hiraukan keselamatanku, tangkap saja mereka!" Sandiwara yang diimainkannya berhasil dengan baik, Kiau Bun-han dan orang orang Hoa-san-pay lainnya setelah mendengar ucapan itu tentu saja menjadi terharu akan "kegagah-beranian" Yo Ciong-wan, sehingga malahan semakin tidak sampai hati untuk meneruskan pertempuran dengan mengabaikan nyawa sesepuh itu.
Dengan demikian, tanpa daya orang-orang Hoa-san-pay yang sekian banyak itu melihat Te-liong Hiangcu, Ang-mo-coa-ong dan Jian-kiam-hui-ci Ki Pang-sian berlalu didepan hidung mereka dengan berlenggang-kangkung, sambil membawa Yo Ciong-wan sebagai "sandera".
Kiau Bun-han dan Lim-sin menatap kepergian mereka dengan hati penuh gejolak, Auyang Seng menarik napas dalam-dalam berulangkali karena menyesal bahwa komplotan rahasia yang hampir terbongkar itu tertutup rapat kembali, sementara Sebun Siang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan gemasnya.
Sementara itu, Yo Ciong-wan yang "tertawan" itu dibawa oleh Te-liong Hi-angcu sampai ke pinggang gunung yang sepi. Disitu barulah dilepaskan dan kata Te-liong Hiangcu, "Bagus sekali sandiwaramu tadi. Kalau tidak, untuk lepas dari pagoda itu tentunya kami harus memeras keringat lebih dahulu. Nah, kembalilah."
Yo Ciong-wan mengangguk hormat kepada Te-liong Hiangcu dan menyahut, "Semuanya hanya demi berhasilnya Kui-kiong kita menguasai dunia persilatan, dan mendukung Hiangcu untuk menjadi Bu-lim Bengcu (Ketua Rimba Persilatan)."
Te-liong Hiangcu tertawa pendek. "Bagus kalau menyadari itu, seluruh anggota Kui-kiong kita memang harus bekerja sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita bersama kita. Belakangan ini makin banyak penghalang-penghalang yang bermunculan belum lagi si gila Siangkoan Hong berhasil kita bereskan, tahu-tahu sudah muncul pula seorang hweshio kurus yang menggagalkan pekerjaan kita di beberapa tempat, dan menurut dugaan, hwesio kurus itu adalah Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin. Huh!"
"Jadi dia muncul kembali?"
"Benar. Mulai sekarang, semua langkah-langkah kita harus terpadu agar tidak mudah dicerai-beraikan musuh. Aku sudah kehilangan Sat-jiu-hong-kui Han Kiam-to, Say-ya-jat Tong King-bun dan Hwe-tan Seng Cu-bok yang tewas di medan pertempuran di Tay-tong, dan aku tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Yo Ciong-wan, bulan depan ada pertemuan lengkap seluruh orang-orang kita di Kui-kiong, kau harus hadir.”
"Baik, Hiangcu. Dan perlu juga kulaporkan satu hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan Hlangcu.”
"Katakan.”
"Sejak Auyang Seng pulang ke gunung, maka pikiran orang-orang Hoa-san agaknya mulai terbuka dalam memandang keanehan-keanehan dunia persilatan belakangan ini. Meskipun belum diputuskan secara pasti, tapi agaknya Kiau Suheng sudah punya rencana untuk mengirimkan orang-orang terpercayanya untuk mulai menyelidiki asal-mula hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiong-wan Hok. Pihak kita harus bersiap menghadapi langkah-langkah ini."
Te-liong Hiangcu mengangguk-anggukkan kepalanya yang tertutup topeng perunggu itu. Ia menggeram dengan suara yang bergulung-gulung dalam perutnya, "Lolosnya Kiongwan Hok yang sudah tahu banyak tentang sarang kita, memang sebuah kesalahan besar yang patut kita sesali, dan lebih patut kita sesali bahwa sampai sekarang ternyata kita belum berhasil membungkam si gila itu. Untunglah dia masih gila sehingga tidak dapat banyak berbicara tentang apa yang diketahuinya tentang Kui-kiong kita."
Yo Ciong-wan menundukkan kepalanya, "Aku minta maaf bahwa aku belum berhasil membereskan si gila itu, Hiangcu, sehingga sampai membuat repot Hiangcu sendiri.Namun penjagaan terhadap si gila itu benar-benar ketat. Aku masih belum menemukan cara bagaimana membunuhnya tanpa jejak "menemukan Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian yang baru saja mengalami sendiri bagaimana ketatnya penjagaan atas diri Kiongwan Hok itu, juga mengangguk-anggukkan kepalanya yang kecil itu untuk mendukung ucapan Yo Ciong-wan itu.
"Sudahlah," kata Te-liong Hiangcu sambil mengibaskan tangannya. "Untuk sementara kita tinggalkan dulu urusan si gila itu, ia tidak berbahaya selama masih gila. Kita akan pusatkan perhatian kita kepada hal-hal yang lebih penting. Ingat pertemuan bulan depan, hubungi semua orang-orang kita."
"Baik,Hiangcu," sahut Ang-mo-coa-ong, Ki Peng-sian dan Yo Ciong-wan serempak.
"Yo Ciong-wan, kembali ke gunung.”
"Baik." Kata sesepuh Hoa-san-pay yang ternyata berkomplot secara diam-diam dengan Te-liong Hiangcu. Te-liong Hiangcu sendiri segera pergi pula dari tempat itu.
Hoa-san-pay menjadi sunyi kembali, dan keesokan harinya kegiatanpun berlangsung lagi seperti hari-hari biasanya. Murid-murid yang berlatih di lereng-lereng gunung dengan kaki dibebani gelang besi atau kantong pasir, tetap nampak seperti biasanya, atau yang berlatih ilmu pedang di halaman atau ruang-ruang latihan.
Namun di balik suasana yang biasa itu, terasa ada sesuatu yang mencengkam perasaan, kini orang-orang Hoa-san-pay mulai menyadari bahwa persoalan hilangnya Giok-seng Tojin dan murid-muridnya ataupun gilanya Kiongwan Hok bukan persoalan sederhana.
Kalau hanya persoalan sederhana, tidak akan Te-liong Hlangcu dan Ang-mo-coa-ong yang termasuk tokoh-tokoh tingkat tinggi golongan hitam itu sampai terpancing keluar untuk urusan itu. Masih ditambah lagi dengan Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay yang bersahabat baik dengan Hoa-san-pay itu....
Selanjutnya;