Pendekar Naga dan Harimau Jilid 32
Begitulah Sebun Him berusaha menutupi rasa takut dan ngerinya dengan kemarahan, tapi kurang berhasil sebab jauh di dasar hatinya ia masih merasa ngeri juga. Seolah ia tidak menghadapi manusia biasa melainkan arwah-arwah dari orang-orang yang "dipatungkan" di ruangan itu. Ia masih saja meloncat-loncat sambil mengayun-ayunkan pedangnya dalam kegelapan, bahkan tidak peduli pedangnya mengenai sesuatu yang tentunya patung-patung dari manusia itu.
Dari kegelapan terdenar suara menggeram marah, "Bangsat cilik, kau merusakakan patung-patungku dan kau harus menggantinya dengan menjadi patung di sini...!"
Lalu sebuah tangan yang dingin mirip tangan setan tahu-tahu telah mencengkeram tengkuk Sebun Him dan membuatnya lemas. Percuma saja anakmuda Hoa-san-pay yang berkekuatan besar itu meronta, sebab tenaganya lenyap semua entah ke amana dan lapun tak sadarkan diri lagi.
Dalam kegelapan itu terdengar suara seseorang, "Seorang anak muda yang, bertubuh bagus, tinggi dan tegap. Aku belum punya patung yang seperti ini. Tentu bagus kalau dipajang dekat patung gadis yang beberapa bulan yang lalu kuambil dari kota Kay-hong itu. Gadisnya cantik dan ramping, lelakinya kelihatan perkasa dan tampan pula. Berapa lama kira-kira kau bisa menyiapkan ramuannya?"
Tetap dalam kegelapan terdengar suara lain, "Beberapa jenis obat telah habis sehingga harus dicari lebih dulu. Tapi tempatnya tidak jauh dari sini, hanya kira-kira membutuhkan sepuluh hari untuk melengkapi semua jenis ramuan dan satu hari untuk meramunya dengan takaran-takaran yang tepat."
"Jadi kira-kira sebelas hari?"
"Benar, Hiangcu."
"Sebenarnya aku telah tidak sabar ingin memiliki patung pemuda yang tegap ini, tapi baiklah kuberi waktu sebelas hari untuk mengerjakan itu. Ingat, kerjakan yang bagus. Jangan seperti beberapa patung terdahulu yang baru beberapa bulan saja ramuannya sudah kehilangan daya dan mulai membusuk, sehingga terpaksa harus dicari gantinya."
"Baik, Hiangcu, akan hamba kerjakan sebaik-baiknya."
"Bawalah pemuda ini dan suruhlah Leng Tongcu untuk mengurungnya di ruangan khusus bawah tanah itu, Jangan sampai lari," kata suara yang pertama. "Dan tanggung jawab pengawalan anak muda ini ada di pundak orang she Long itu, kalau gagal maka dialah yang akan menjadi patung di ruangan ini."
"Baik, Hiangcu. Bagaimana dengan pengacau she Siangkoan di luar itu?''
"Liong Pek-Ji, Tio Hong-bwe, dan lain-lainnya akar bisa menyelesaikannya, Jadi aku tidak perlu repot-repot turun tangan sendiri. Toh Siangkoan Hong bukan siluman yang berkepala tiga dan bertangan enam. Kau jangan banyak tanya, kerjakan saja bagianmu sendiri."
"Baik, Hiangcu.”
Langkah-langkah kaki kedua orang itupun menjauhi dan akhirnya lenyap. Derap langkah aneh yang mengganggu Sebun Him tadi itupun lenyap dengan sendirinya, sebab itu adalah hasil pembuatan Te-liong Hiangcu yang dengan kekuatan sihirnya sanggup membuat gangguan-gangguan semu untuk mengganggu panca indera orang lain, apalagi jika orang yang diganggu itu memiliki kekuatan batin yang kurang tinggi atau sedang dalam keadaan yang panik. Dan kedua hal itu ada semuanya dalam diri Sebun Him.
Ketika anakmuda Hoa-san-pay itu membuka kembali matanya, maka didapatinya dirinya sudah berada dalam sebuah ruangan batu yang pengab berudara busuk. Tapi begitu mencium udara busuk itu Sebun Him malahan merasa lega sebab udara busuk itu bukan bau mayat seperti di "ruangan seni patung" Te-liong Hiangcu yang menakutkan itu. Udara busuk hanya karena udara yang lama tak berganti dan tak terkena sinar matahari.
Penerangannya dengan obor di bagian luar pintu besi itu juga cukup, sehingga Sebun Him dapat melihat sesosok tengkorak tergeletak dalam sikap bersandar dipojok ruangan. Namun setelah kejadian menakutkan di ruangan patung itu, maka si tengkorak itu tidak terasa menyeramkan lagi.
Sebun Him merasa seluruh anggota tubuhnya bebas, tidak diikat dan juga tidak ditotok, hanya pedangnya yang diambil daripadanya. Agaknya pihak musuh memperhitungkan bahwa Sebun Him tidak mungkin lolos keluar dari ruangan batu yang berterali besi itu. Sebun Him memeriksa tempat itu dan menemukan bahwa tempat itu benar-benar tempat terkutuk. Sempit, pengab, "kasur"nya hanyalah setumpuk jerami yang digelar di lantai batu yang keras, dingin dan kasar.
Dipojokan ada setuah lubang kecil yang agaknya dimaksudkan untuk membuang hajat bagi para tahanan, namun tidak disediakan air untuk membersihkan pantat, jadi jerami itu mempunyaia dua manfaat untuk membersihkan pantat setelah berhajat besar, setelah itu jika penghuninya masih mau ya untuk alas tidur! Sebun Him menggerutu namun terus memeriksa.
Di bagian bawah pintu yang terbuat dari besi tebal itu ada lubang kecil yang agaknya untuk memasukkan makanan bagi para tahanan, dari atas pintu ada celah-celah kecil yang cukup untuk memasukkan cahaya yang kemerah-merahan. Cahaya obor. Dan dari luar terdengar pula langkah kaki hilir mudik serta orang yang bergurau atau bercakap-cakap, agaknya menjaga ruangan itu. Bagi Sebun Him, jelas ruangan ini tidak menyenangkan, tapi lebih baik daripada ruangan patung-patung itu.
Anakmuda itu belum tahu bahwa umurnya tinggal sepuluh hari lagi. Kalau ramuan untuk mengawetkan patung itu sudah terkumpul, maka dirinyapun akan dijadikan salah satu dari patung-patung itu. Akan ditempatkan berdampingan dengan gadis paling cantik dari kota Kay-hong, tapi tentunya tidak membanggakan sebab betapapun cantik dan tampannya mereka, mereka tidak lebih dari sepasang mayat belaka.
Sambil duduk terpekur di tumpukan jerami yang digelar itu, Sebun Him duduk terpekur memikirkan nasibnya yang sial. Usaha membalas dendam ayahnya belum berhasil, mengangkat nama juga belum, tahu-tahu sudah terjebak dalam tempat yang amat menjemukan ini. Bagaimana nasibnya nanti? Akan dijadikan patung penghias ruangan terkutuk itu ataukah akan menjadi seperti tengkorak di pojok ruangan itu?
Suara langkah kaki mendekati pintu, dan dari lubang di bawah pintu itu disorongkan semangkuk nasi tanpa lauk dan secawan air yang barangkali saja air bekas cuci kaki. Lalu langkah-langkah itu menjauh lagi. Diam-diam Sebun Him heran karena pihak Kui-kiong tidak membiarkannya mati kelaparan atau membunuhnya sekalian ketika ia tengah tidak berdaya tadi. Dengan pengiriman makan-mlnum itu membuktikan Kui-kiong masih menghendakinya hidup, entah untuk keperluan apa Sebun Him tidak bisa menebak.
Tetapi Sebun Him berpendapat bahwa sehari masih hidup akan berarti sehari pula nasih ada kesempatan untuk lolos dan membalas dendam, meskipun sekarang belum diketemukan caranya. Maka ia tidak ingin mati kelaparan atau kehabisan tenaga nasi semangkuk yang berbau apek dan tanpa lauk itu segera dilahap-nya habis, dan dengan memejamkan matanya ia menenggak habis air yang tidak begitu bersih itu. Setelah itu la memutar otak untuk memikirkan langkah apa yang harus diambil.
Ketika perutnya sakit, maka iapun memanfaatkan lubang kecil di lantai itu dan juga jerami alas tidurnya, pada saat ia menjemput jerami itulah tiba tiba ujung-ujung jarinya tak sengaja telah meraba sesuatu yang aneh pada lantai di bawah jerami itu. Cepat-cepat ia memakai celananya kembali menggunakan tangannya untuk meraba lantai, ternyata ada guratan-guratan di lantai batu itu yang membentuk huruf-huruf.
Perhatian Sebun Him semakin tertarik, ia ingin membaca huruf-huruf itu namun cahaya obor dari luar terlalu lemah masuk ke ruangan itu. Satu-satunya jalan adalah "membaca" dengan ujung-ujung jarinya, dan untungnya guratan-guratan itu cukup jelas dan belum aus, sehingga dapat terbaca.
Lebih dulu Sebun Him menyingkirkan semua jerami untuk meraba-raba dan menemukan awal dari tulisan itu. Awal tulisan itu ada beberapa huruf yang tersendiri dalam satu deretan, Kun-goan-sin-kang (Tenaga Sakti Alam Raya) oleh Tiat-sim Tojin dari Khong-tong-pay."
Selama ada di Hoa-san-pay, Sebun Him pernah mendengar bahwa sepuluh tahun yang lalu di dunia persilatan di memang pernah ada seorang tokoh bertabiat aneh dari Khong-tong-pay yang nenciptakan ilmu yang diberinya nama Kun-goan-sin-kang. Sayang tokoh itu kemudian menghilang begitu saja, dan kini Sebun Him menemukan jawabnya.
Entah kenapa tokoh yang terkenal bertangan keras kepada kaum hitam sehingga mendapat julukan Tiat-sim Tojin (Imam Berhati Besi) itu Celah terjebak di Kui-kiong ini dan akhirnya tinggal sesosok kerangka yang tak terurus. Tak terasa Sebun Him telah menghadap ke arah kerangka itu dan memberi hormat kepadanya.
Lalu Sebun Him membaca huruf-huruf di lantai itu dengan rabaan jari-jarinya, mencoba memahami maknanya dan kemudian melakukan petunjuk-petunjuknya dengan mengukirkan pelajaran Kun-goan-kang di lantai batu itu, jelas bahwa Tiat-sim Tojin tidak ingin ciptaannya itu menghilang dari dunia dengan begitu saja, meskipun dengan menuliskannya di lantai penjara Kui-kiong itu ada kemungkinan ilmu itu malahan akan terjatuh ke tangan orang-orang Kui-kiong. Tapi untunglah bahwa yang menemukannya adalah Sebun Him.
Kini Sebun him duduk bersila dengan telapak kaki kiri menekan paha kanan dan telapak kaki kanan menekan paha kiri. Matanya meredup dan akhirnya hanya menatap ke ujung hidung, panca inderanya yang lain tertutup dari segala rangsang dari luar dan napasnya-pun mulai mengalir dengan teratur menuruti ajaran Kun-goan-sin-kang. Setiap kali pada puncak semedinya ia merasakan ada sebuah bola api bergerak dalam tubuhnya, di ujung tulang belakangnya, dan kepalanyapun terasa pusing.
Setiap kali merasa demikian ia menghentikan semedinya dan beristirahat sebentar, namun begitu pusingnya hilang diapun mulai lagi sampai akhirnya terasa bahwa bola api itu dapat dikendalikannya dengan baik-baik dan terasa merambat ke atas sepanjang tulang belakangnya. Tahap pertama selesai, lalu tahap kedua dimulai.
Begitulah, selama "ahli patungnya Te-liong Hiangcu menyiapkan ramuan ramuannya, maka si "bahan baku patung"nya sendiri malah sedang asyik dengan Kun-goan-sinkang di ruangan batu tertutup itu. Tahap demi tahap dilaluinya dengan penuh semangat sehingga lupa waktu.
SEBELAS hari berlalu, ramuan sudah siap untuk "mematungkan" Sebun Him, maka si ahli patung yang tampangnya memang mirip tampang seniman-seniman biasa itu, menuju ke ruangan batu itu dengan didiringi beberapa pengawal Kui-kiong yang berwajah garang. Kunci dimasukkan ke lubang pintu dan diputar, pintu besi dibuka ke samping dengan suara gemuruh dan berkeriutan, dan nampaklah Sebun Him dengan tubuh yang kurus dan agak pucat tengah duduk meluruskan kakinya sambil bersandar dinding dengan beralaskan tumpukan jerami.
Si ahli patung itu masuk seperti seorang seniman yang sedang mengamat-amati mutu bahan yang akan ditanganinya, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata kepada penjaga-penjaga itu, "Kalian kurang teliti merawatnya sehingga ia menjadi kurus begini, padahal Hiangcu menghendaki tubuh yang tegap dan segar supaya jadinyapun bagus. Kalian beri makan apa dia selama beberapa hari ini?"
Para pengawal Kui-kiong itu kelihatan gugup ketika sadar bahwa perbuatan mereka selama ini bisa tidak berkenan di hati Hiangcu mereka, maka mereka mencoba mengingkari kesalahan mereka, "Kami merawatnya dengan baik, sehari sekali tentu kami kirimkan ayam panggang atau makanan enak lainnya, kenapa bisa begini?"
Seperti sebuah paduan suara, pengewal-pengawal lainnya yang juga takut dihukum oleh Te-liong Hiangcu itu serentak bersahut-sahutan mendukung ucapan teman mereka itu. "Ya, barangkali anak muda ini terlalu bersedih memikirkan nasibnya sehingga tubuhnya menjadi kurus!"
"Kami merawatnya dengan baik, sehari sekali tentu kami kirimkan ayam panggang atau makanan enak lainnya, kenapa bisa begini?"
"Benar juga, padahal kami sudah memberikan makanan-makanan yang baik kepadanya agar ia tetap sehat dan tegap!"
Yang sesunguhnya terjadi adalah bahwa beberapa ekor ayam panggang itu sekarang sudah bersemayam di dalam perut para pengawal itu sendiri, begitu pula makanan-makanan enak lainnya, sedang Sebun Him selama ini hanya makan sisa-sisa dari mereka.
Si ahli patung nampak kecewa sekali melihat mutu "bahan baku"nya. Katanya, "Kuberi waktu tiga hari lagi kalian harus bisa membuatnya segar dan tegap kembali, kalau tidak, kulaporkan kepada Hiangcu dan kalian akan dilempar ke tengah telaga untuk menjadi makanan ikan-ikan kecil itu!"
Wajah para pengawal itu menjadi pucat, alangkah mengerikannya hukuman itu, lebih mengerikan dari dipenggal kepalanya atau dijadikan patung. Kepala merekapun terangguk-angguk dan mulutnya berebut mengiakan perintah itu.
Namun saat itulah Sebun Him yang sudah berdiri sambil berkata dingin, "Tidak perlu susah-susah tiga hari lagi."
Seorang ahli patung dan enam orang pengawal Kui-kiong itu terkejut mendengarnya, para pengawal segera meloncat berpencaran dengan senjata-senjata terhunus. Namun Sebun Him yang sudah menderita berhari-hari dan apalagi sebelumnya juga sudah mendendam atas tewasnya ayahnya itu, menjadi terlalu beringas seperti seekor anjing yang sudah dirantai berhari-hari. Dengan mengerahkan ilmu Kun-goan-sin-kangnya ia menghantam ke salah seorang pengawal terdekat dengan gerak Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san).
Akibatnya sungguh hebat, gerakan Sebun Him akibat-akibat latihan Kun-goan-sin-kang itu membuatnya lebih cepat dan lebih kuat beberapa kali lipat dari beberapa hari yang lalu. Terdengar angin menderu disusul suara tengkorak kepala yang gemeretak retak, pengawal itupun tanpa dapat menangkis atau mengelak langsung terjungkal dengan tengkorak kepala yang retak di dalam, bahkan mengeluh sedikitpun tidak sempat.
Bukan hanya musuh-musuhnya yang kaget, tapi Sebun Him sendiri terkejut melihat hasil serangannya itu. Sebelum ini ia mengandalkan hanya tenaga luarnya dengan cara latihannya mengayunkan ciok-co (kunci batu) yang berat sampai ribuan kali, namun kali ini ia merasa bahwa inilah yang disebut tenaga dalam (lwe-kang) itu. Seketika itu makarlah hati Sebun Him. Jika sebelum ini ia kecewa kepada dirinya sendiri akibat kekalahannya melawan orang-orang Kui-kiong yang menjebaknya di kedai terpencil dan mengakibatkan tewasnya ayahnya itut juga kekalahan dari Bu-gong Hweshio, maka kini Sebun Him merasa tidak kalah dari siapapun.
Dengan pandangan mata garang dan bangga ia menatap lawan-lawannya dan bertanya, "Pernah mendengar Naga Utara dan Harimau Selatan?"
Para pengawal Kui-kiong itu menganggukkan kepala tanpa mengerti maksud pertanyaan itu, karena merekapun pernah mendengar kedua nama yang cemerlang seperti bintang-bintang di langit. Dan kini mereka mendengar Sebun Him menyatakan gelarnya sendiri secara resmi,
"...dan ingat baik-baik untuk arwah-arwah kalian kelak, hari ini kalian tidak mati di tangan kedua anak muda yang perkasa tetapi menjadi budak Manchu itu, melainkan di tangan Beruang Barat Sebun Him!"
Orang-orang Kui-kiong sudah biasa bertindak ganas di segala tempat, maka kalau hanya kehilangan seorang teman dan mendengar sebutan Beruang Barat, mereka tidak gentar, dengan berteriak keras-keras merekapun segera menyerbu dengan senjata-senjata mereka. Jika Sebun Him masih Sebun Him sepuluh hari yang lalu, maka kerubutan lima orang pengawal Kui-kiong yang tangkas-tangkas dengan ilmu silat perseorangan mereka yang tidak rendah itu, tentu Sebun Him akan kewalahan menghadapinya meskipun dengan pedang di tangan.
Namun kini, hanya dengan tangan kosong saja Sebun Him sanggup menghadapi mereka tanpa terdesak, bahkan ketika si ahli patung itu ikut terjun ke gelanggang dengan bersenjata sehelai rantai besi berujung roda bergerigi, Sebun Him terdesak dan malahan berbalik mendesak mereka. Dengan Kun-goan-sin-kang yang disalurkan ke seluruh tubuh, maka kekuatan serangannya maupun keringanan tubuhnya terasa berlipat ganda. Ketajaman telinganyapun luar biasa sehingga serangan yang dari belakangpun dapat dihadapinya dengan mudah cukup dengan mendengar desiran senjatanya.
Tak lama kemudian, seorang pengawal Kui-kiong roboh muntah darah karena dadanya tertinju oleh Sebun Him secara telak, disusul seorang lagi terjungkal mampus dengan tulang rusuk berpatahan karena ketika ia menyerang dari samping maka Sebun Him berhasil menghindarinya dan membalasnya dengan sebuah babatan telapak tangan ke samping.
Salah seorang pengawal segera berteriak minta bantuan teman-temannya yang ada di ujung lorong batu sana. Tapi sementara ia berteriak itu, sudah seorang lagi menjadi korban, tengkuknya patah karena dihantam dari atas dengan pinggir telapak tangan Sebun Him. Lalu satu lagi patah punggungnya karena tendangan samping Sebun Him yang telak mengenalnya.
Ketika dari arah mulut lorong itu terdengar derap kaki belasan orang yang menyerbu ke tempat itu, maka Sebun Him dengan sepasang tinju dan sepasang kakinya yang mirip palu godam baja karena Kun-goan-sin-kangnya itupun sudah membereskan semua musuh-musuh tahap pertamanya, termasuk si ahli patung itu. Tanpa ampun, tanpa sisa sedikitpun.
Dipungutnya sebatang pedang dari antara pengawal-pengawal Kui-kiong yang dibunuhnya itu dan dipegangnya dengan tangan kiri sesuai dengan kebiasaannya sebagai seorang kidal, dan disongsong-nya lawan-lawan baru yang datang itu. Dengan pedang di tangannya, semangat tempur Sebun Him berkobar hebat, dan la bertekad meskipun harus mati tapi tidak sudi tertawan kembali, dan sebelun mati la harus membuat kerusakan separah-parahnya di Kui-kiong ini.
Mata Sebun Him pun menyala beringas ketika melihat musuhnya yang paling depan ternyata adalah Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou, si Ular Berekor Sembilan yang dulu menyamar sebagai pemilik kedai di tempat terpencil, dan orang itu punya andil pula dalam membunuh ayahnya. Teriak Sebun Him, "Tukang kedai gadungan, hari ini harus kucincang tubuhmu untuk menenangkan ayahku di alam baka!"
Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou ternyata juga masih ingat kepada Sebun Him, dan balas berteriak, "Kiranya tikus kecil dari Hoa-san-pay yang dulu lolos dan tidak sekalipun mampus bersama bapakmu. Kebetulan, hari ini akan kutuntaskan kerjaku yang dulu, meskipun Hiangcu akan agak menyesal karena Kehilangan calon patung yang bagus!"
Mengira Sebun Him masih berkepandaian seperti dulu, Leng Hok-hou segera meloncat maju dengan gerakan Than-te-kay-tay (Langit Bumi Terbuka Lebar), kesembilan Juntai cambuknya diayunkan dan masing-masing Juntai bagaikan hidup sendiri-sendiri menyambar ke arah yang berbeda-beda.
Namun Leng Hok-hou terkejut ketika melihat Sebun Him hanya dengan satu putaran pedang yang kencang dan bertenaga telah berhasil menghalau semua serangannya, dan dengan sebuah serangan balasan Hun-in-ki-goat (Memisah Awan Mengambil Rembulan) maka pedang Sebun Him hampir saja membuat kepala Leng Hok-hou putus, untung orang itu masih sempat menggulingkan badannya.
Leng Hok-hou sadar bahwa selama sepuluh hari berada dalam kurungan itu lawan mudanya itu secara tak diketahui telah mengalami peningkatan ilmu yang pesat sehingga kepandaiannya berkali lipat dari semua. Karena itu terpaksa Leng Hok-hou tanpa malu-malu lagi berteriak kepada anak buahnya, "semuanya ikut maju!"
Leng Hok-hou sendiri bukan cuma memerintahkan tetapi juga memainkan pecutnya dengan dahsayat bagaikan prahara mengamuk. Tidak percuma kedudukannya sebagai salah Seorang Jago andalan Kui-klong, sebab permainan cambuknya ternyata amat mahir, bahkan ledakan-ledakan cambuknya saja terdengar memekakkan telinga. Apalagi ia dibantu oleh anakbuahnya yang segera melingkari Se-bun Hlm dari segala arah dengan senjatanya masing-masing.
Dengan hati yang menyala terbakar kemarahan, Sebun Him mengamuk dengan pedangnya, sehingga terjadilah pertempuran sengit di lorong batu itu. Untung lorong itu tidak begitu lebar sehingga Sebun Him tidak harus menghadapi musuh dari empat arah melainkan dari dua arah saja.
Sementara di ruangan batu bawah tanah itu terjadi keributan karena lolosnya Sebun Him, maka di bagian atas Kui-kiong sendiripun secara bersamaan terjadi keributan. Terdengar suitan nyaring dari beberapa arah dan orang orangpun berlari-larian seperti di pasar kebakaran dengan senjata-senjata terhunus. Beberapa pentolan Kui-kiong juga nampak berteriak-teriak mengatur anak buahnya.
Liong Pek-Ji yang berjubah hitam dan bertopi lancip hitam serta bertaring itu nampak mengatur, “Yo Ciong-wan, Ki Peng-sian dan Sin-bok Hwesio ke utara untuk menghadapi Siangkoan Hong. Tio Hong-bwe, Song Hian dan Ang-mo-coa-ong keselatan untuk menghadapi Lim Hong-pin."
Di jaman Hwe-liong-pang dulu, sebenarnya kedudukan Ang-mo-coa-ong Tang giau-po lebih tinggi dari Liong Pek-ji dan Liong Pek-ji sendiri dengan hormat memanggilnya dengan "Tang Sucia," namun setelah berpuluh tahun lewat dan Te-liong Hiangcu serta sisa-sisa anak buahnya mendirikan komplotan yang menamakan diri Kui-kiong ini, keadaan jadi terbalik.
Liong Pek-ji yang giat berlatih itu berhasil menyamakan ilmunya dengan Tang Kiau-po, bahkan Liong Pek-Ji menjadi "orang dekat"nya Te-liong Hiangcu, sehingga kini ia berani memanggil Ang-mo-coa-ong dengan namanya begitu saja, berani memerintah dan bahkan membentak-bentak.
Begitu pula kali ini, bahkan Yo Ciong-wan yang rambutnya sudah putih semua dan jauh lebih tua daripadanya itupun dibentak-bentaknya tanpa tata-krama sedikitpun itulah lingkungan Kui-kiong, yang dinomor satukan adalah kekuatan dan kedudukan.
Yang datang mengacau Kui-kiong itu ternyata lagi-lagi Siangkoan Hong, seperti beberapa hari yang lalu, bahkan kali ini ia bersama-sama dengan Lim Hong-pin yang merupakan adik seperguruan paling bungsu dari Hwe-liong-Pengcu almarhum, namun tingkat ilmunya tidak kalah dengan kakak-kakak seperguruan seperti Te-liong Hiangcu atau Siangkoan Hong, maka tidak heran kalau kemunculan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin di Kui-kiong itu telah menimbulkan kegemparan dan kerusakan yang jauh lebih hebat dari mengamuknya Sebun Him.
Apalagi sebangsa Liong Pek-Ji, sedangkan Te-liong Hiangcu sendiri merasa cemas akan kedatangan adik-adik seperguruannya yang memusuhinya itu, sebab sebutan "suheng" dan "sute" antara mereka bukan menunjukkan tinggi rendahnya ilmu antara mereka, melainkan karena perbedaan usia. Sedang soal tingkat ilmu mereka bertiga sama saja, sama-sama belajar di bawah bimbingan Toa-suheng mereka, Tong Wi-siang.
Sementara itu di ruangan bawah, Sebun Him telah mengamuk seperti seekor binatang luka. Pedangnya sudah merah oleh darah lawan-lawannya, tapi dia masih saja beringas dan belum puas membantai orang-orang Kui-kiong yang dianggap bertanggung jawab atas kema-tian ayahnya. Belasan tubuh pengawal Kui-kiong yang tidak bernyawa telah bergelimpangan dilantai, dan Sebun Him masih saja ingin menambah jumlahnya.
Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dengan gigih memimpin anakbuahnya untuk membendung anakmuda itu, tapi tidak berhasil sepenuhnya. Korban-korban terus berjatuhan. Bahkan Leng Hok-hou sendiri mulai luka-luka. Tak tahan lagi akan amukan lawananya, Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri sambil mencari bantuan, tidak peduli lagi nasib anak buahnya.
"Terus bertahan di sini, aku hanya meminta bantuan!" teriak Leng Hok-hou kepada anak buahnya. Lalu ia mencoba mencapai pintu.
Tentu saja anak buahnya tidak berani membantah, namun mereka mengumpat-umpat dalam hati mereka sebab merasa diumpamakan ke ujung pedang Sebun Him. Tapi perintah tidak boleh dibantah sebab setiap anggota Kui-kiong yang membantah perintah akan disediakan hukuman amat berat yang jauh lebih mengerikan dari sekedar hukuman mati. Dan Kui-kiong amat mahir dalam seribu satu cara penyiksaan.
Yang tidak membiarkan Leng Hok-hou kabur adalah Sebun Him sebab Leng Hok-hou yang dulu ikut menjebak ayahnya dengan menyamar sebagai pemilik warung di tengah jalan itu ia memburu ke arah Leng Hok-hou, dan siapapun yang merintangi langsung dibabat tanpa ampun.
"Bangsat licik! Jangan kabur!" teriak Sebun Him. Dengan mengerahkan ilmu Kun-goan-sin-kangnya maka gerakannyapun menjadi amat pesat sehingga dalam sekejap saja ia sudah tiba di belakang tubuh Leng Hok-hou.
Alangkah takutnya Leng Hok-hou yang merupakan bekas tokoh golongan hitam yang bergelar Kiu-bwe-coa itu, belum pernah seumur hidupnya ia setakut ini, dan biasanya malah dialah yang menakuti orang lain. Dikerahkannya segenap kekuatannya untuk kabur lebih cepat, tapi semangatnya serasa kabur melayang ketika tiba-tiba terasa tangan Sebun Him yang kuat mencengkeram tengkuknya.
"Ampun...ampun..." Leng Hok-hou meratap tanpa malu-malu lagi, tidak peduli ditonton sekian banyak anak buahnya, segala kegarangannya sudah sirna tanpa bekas.
Dengan perasaan muak Sebun Him mengangkat pedangnya untuk menebas leher penjahat yang kejam tetapi pengecut itu, namun tiba-tiba sebuah pikiran berkelebat di benaknya dan ia membatalkan gerakan pedangnya. Tanyanya, "Baik, aku tidak akan membunuhmu, tapi kau harus katakan kepadaku di mana gadis yang kalian culik dari kota Tiang-an beberapa hari yang lalu itu?!"
Dengan suara gemetar Leng Hok-hou menyahut, "aku tidak tahu gadis mana yang kau maksud, tapi Im Lotoa dan Im Loji memang menyimpan beberapa gadis yang suatu waktu kelak akan diminum darahnya oleh Toa-suheng mereka, si kelelawar siluman she Liong itu. Di sebuah ruangan di pojok timur bangunan ini yang depan pintunya dihiasi patung singa sepasang..."
"Apakah gadis-gadis itu sudah di-minum darahnya?"
"Beberapa orang sudah dan beberapa orang lagi masih menunggu giliran, kemarin aku melihat anak buah Liong Pek-ji membuang mayat tiga orang gadis ke telaga..."
Sebun Him mendengar keterangan itu dengan bulu kuduk bergidik, inilah sarang iblis yang sebenar-benarnya. Di dalamnya berkumpullah jenis-jenis orang yang senang minum darah senang membunuh, senang membuat patung dari manusia-manusia hidup yang diawetkan, dan entah kegemaran-kegemaran lainnya yang serba biadab. Selain itu Sebun Him juga amat mencemaskan gadis bermata bintang kejora yang dijumpainya di Tiang-an itu, mungkinkah gadis itu termasuk dalam mayat-mayat yang sudah dibuang ke telaga untuk santapan ikan-ikan buas pemakan daging penghuni telaga itu?
"Baik, terima kasih, tapi aku terpaksa tidak bisa membiarkanmu hidup terus sebab itu sama saja dengan melepaskan sesosok iblis ke tengah-tengah masyarakat yang mendambakan ketenteraman ," kata Sebun Him dingin.
"Kau...sudah berjanji...."
"Lebih baik aku menjilat ludahku sendiri daripada membiarkan orang-orang tak berdaya menjadi korban kebiadabanmu di Kemudian hari!"
Sekali pedang Sebun Him berkelebat maka lepaslah kepala Leng Hok-hou. Anak buahnya menyaksikan hal itu dengan perasaan gentar tanpa bisa berbuat apa-apa. Ingin rasanya Sebun Him membasmi keroco-keroco itu sekalian, tetapi timbul juga kasihannya melihat wajah-wajah yang ketakutan dan putus-asa karena merasa tidak ada harapan hidup lagi itu. Maka Sebun Him hanya menudingkan pedangnya sambil berkata,
"Aku mengampuni kalian, tapi jika selanjutnya kalian masih berbuat kejahatan, maka nasib kalian akan seperti pemimpin kalian ini. Aku, Sebun Him yang berjuluk Beruang Barat dari Hoa-san-pay, maupun pendekar-pendekar lainnya pasti tidak akan mengampuni kalian lagi, ingat itu. Selama ini kalian mengandalkan Kui-kiong dan Te-liong Hiangcu untuk keganasan kalian, tapi kini Kui-klong sudah hampir runtuh, Te-liong Hiangcu yang kalian dewa-dewakan itupun sudah kedatangan lawan-lawan tangguh yang tidak dapat diatasinya, ia menjelang keruntuhannya dan kalian tidak lagi bias bersandar kepadanya."
"Terima kasih, Sebun Tayhiap," sahut orang-orang yang lolos dari maut itu.
"Kalian pergilah dan siarkan seluas-luasnya bahwa Se-him (Beruang Barat) yang telah menghancaurkan Kui-kiong. Cepat!"
Meskipun orang-orang itu menganggap Sebun Him terlalu besar mulut, toh mereka merasa beruntung juga bisa lolos dari kematian. Sementara itu, Sebun Him telah keluar dari ruangan bahwa tanah itu, dan Kebetulan saat itu adalah malam hari. Obor-obor dipasang di segenap sudut bangunan Kui-kiong yang luas itu. Anak-buah Kui-kiong kelihatan berjaga-jaga dengan sikap tegang di segala tempat, sementara di kejauhan entah di mana terdengar suara bentakan-bentakan orang yang bertempur.
Agaknya Kui-kiong yang dulu rahasia itu kini sudah bukan rahasia lagi, banyak orang yang sudah tahu sarangnya dan Kui-kiongpun mulai mengalami gangguan-gangguan terus menerus beberapa hari ini dari Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bekas tokoh tiga dan empat di jaman Hwe-liong-pang itu.
Dengan berjalan mengendap-endap dari satu sudut ke sudut lainnya, Sebun Him menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Leng Hok-hou tadi. Beberapa kali tangan Sebun Him gatal ingin menghantam orang-orang Kui-kiong yang ditemuinya, tapi ia harus menahan diri sebab kini tujuan utamanya adalah menolong gadis dari kota Tiang-an itu, kalau itu masih ada.
Tidak sulit menemukan ruangan seperti yang ciri-cirinya diceritakan oleh Leng Hok-hou tadi. Ruangan itu pintunya dijaga, namun dengan meloncati tembok samping, Sebun Him dapat masuk ke dalamnya. Bagian dalam ruangan itu tak terjaga, mirip dengan sebuah kerangkeng besar di kebun binatang yang bersekat-sekat. Dalam tiap-tiap sekatan itu nampak seorang gadis yang rata-rata berwajah pucat dan murung sebab tidak tahu nasib apa yang bakal menimpa mereka diculik dan berada di tempat itu.
Ada yang berpakaian seperti gadis-gadis kota, ada yang seperti gadis desa. Ada pula sekatan-sekatan yang sudah kosong tak ada isinya, dan Sebun Him berani bertaruh potong telinga bahwa penghuni-penghuni sekatan yang kosong itu tentu tulang-tulangnya sudah bersih dan tergeletak di dasar telaga yang mengelilingi Kui-kiong, dagingnya dalam perut ikan-ikan buas itu, dan darahnya dalam perut Liong Pek-ji si kelelawar iblis peminum darah itu.
Sebun Him agak lega ketika melihat di salah satu sekatan itu nampak gadis yang dilihatnya di kota Tiang-an itu, yang oleh orangtuanya dipanggil "A-giok" namun Sebun Him sendiri tidak tahu siapa nama lengkapnya. Meskipun gadis itupun nampak kurus dan ketakutan, tapi yang penting dia masih hidup.
"Nona A-giok?" kata Sebun Him sambil mendekati.
Gadis itu yang memang Ting Hun-giok adanya, mengangkat wajahnya dan matanya membelalak heran. Untuk sesaat Sebun Him terpesona oleh keindahan sepasang mata itu, lupa bahwa dirinya masih berada di tengah-tengah musuh. Namun akhirnya Sebun Him-dapat menguasai goncangan hatinya, dan iapun berkata,
"Aku Sebun Him dari Hoa-san-pay, kenal dengan ayah nona Ting Tayhiap (Pendekar she Ting) dari An-yang-shia. Aku harus menyelamatkan nona keluar dari sini!"
Secercah harapan muncul di mata gadis itu, tanyanya, "Sebun... Sebun Toako, bagaimana caranya keluar dari kerangkeng ini sedangkan kuncinya ada pada mereka?"
Rasanya sukma Sebun Him terbang ke awang-awang ketika mendengar panggilan "Sebun Toako" itu, semangatnya berkobar dan ia pun menjawab gagah, "Jangan kuatir, nona A-giok, terali ini tidak berarti apa-apa buat Si Beruang Barat!"
Lalu diletakkannya pedangnya dan dikerahkannya tenaga Kun-goan-sinkang kekedua belah tangannya dipegangnya dua buah terali yang berdampingan dan direnggangkannya sekuat tenaga. Kun-goan-sin-kang memang Ilmu kekuatan yang hebat, sehingga terali-terali itu pun bagaikan menggeliat dan perlahan-lahan merenggang, meskipun terbuat dari besi-besi hampir sebesar pergelangan tangan.
Untuk itu Sebun Him juga harus mengerahkan tenaga sehingga mukanya merah dan otot-otot di jidatnya bertonjolan keluar. Meskipun Ting Hun-giok agak geli juga melihat tingkah Sebun Him, tapi ia kagum juga akan tenaga raksasa pemuda itu dan diam-diam membandingkannya dengan kakak seperguruan dari ibunya, Bu-gong Hweshio, yang juga bertenaga hebat itu.
Tak lama kedua terali itu telah melengkung berlawanan sehingga sela-selanya cukup untuk dilewati tubuh Ting Hun-giok yang tanpa disuruh lagi telah meloncat keluar. Dengan gembira gadis itu langsung hendak melangkah pergi, tetapi ketika terlihat olehnya akan gadis-gadis lain yang disekat-sekat dalam kerangkeng-kerangkeng itu lenyaplah seri kegembiraan dari wajah gadis itu.
Memang benar bahwa dirinya sendiri telah bebas, tapi bagaimana dengan gadis-gadis yang betapapun juga selama beberapa, hari ini telah menjadi teman-teman senaslb-nya itu? Mereka akan tetap terkurung di situ, menunggu sesuatu yang belum mereka ketahui, sementara satu persatu dari mereka akan diambil setiap beberapa hari sekali dan tidak pernah kembali lagi. Mereka hanya dapat menunggu dalam kecemasan keputus-asaan.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Ting Hun-giok kepada Sebun Him sambil menunjuk kepada gadis-gadis itu. Gadis-gadis yang menatap mereka berdua dengan penuh harapan tetapi sekaligus juga kecemasan bahwa harapan mereka tak akan menjadi kenyataan.
Sebun Him mengerutkan alisnya dan menjawab, "Bukannya aku tidak memperhatikan nasib mereka, tetapi mungkinkah aku membawa mereka semua keluar dari sini? Padahal kemungkinan kita akan membawa mereka semua keluar dari sini? Padahal kemungkinan kita akan bertemu dengan musuh dan bertempur, sedangkan diri kita sendiri saja belum tentu berhasil kita urus, apalagi mengurus perempuan sebanyak ini yang sama sekail tidak mahir bersilat?"
Ting Hun-giok kebingungan. Ucapan Sebun Him benar juga, tapi hati kecilnya rasa-rasanya tidak rela juga kalau hanya dirinya sendiri yang selamat sementara teman-teman senasibnya itu tetap berada di kerangkengan yang mirip kerangkeng binatang itu. Berganti-ganti matanya menatap Sebun Him dan gadis-gadis di kerangkengan itu.
Sementara Sebun Him berkata, "Menyelamatkan diri sendiri lebih penting, ayo cepat, nona A-giok.”
Sementara itu, seorang gadis di kerangkengan itu telah berkata dengan nada memohon, "Tayhiap, bebaskanlah aku, andaikata aku tewas dalam pelarianku aku tidak akan menyalahkan kalian berdua. Dan aku bisa pula bersilat serba sedikit sebab pernah belajar tiga tahun pada seorang guru silat di desaku."
Gadis-gadis lainnyapun berkata, "Akupun lebih baik mencoba melarikan diri daripada menunggu datangnya bencana di tempat ini."
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Namun teriakan-teriakan gadis-gadis itu terbungkam ketika Sebun Him membentak, "Siapa sudi peduli kepada kalian, perempuan-perempuan jelek! Tugasku hanya menolong nona A-giok!"
Yang terkejut mendengar ucapan Sebun Him itu adalah Ting Hun-giok. Tadinya la merasa kagum dan berterima kasih kepada anak muda Hoa-san-pay itu namun sikap Sebun Him kemudian membuatnya tidak senang. Sikap yang kasar kepada kaum wanita yang tengah membutuhkan pertolongan, dan juga mementingkan diri sendiri.
"Ayo nona A-giok! Nanti penjaga keburu datang kalau mereka mendengar teriakan perempuan-perempuan ini!" kata Sebun Him tergesa-gesa. "Nasib mereka bukan tanggung jawab kita, toh bukan aku yang mengirim mereka sampai masuk ke kerangkeng ini."
Namun Ting Hun-giok dengan wajah yang menampilkan kekecewaan ternyata tidak beranjak seujung rambutpun dari tempat berdirinya. Sahutnya, "Sebun Siauhiap (pendekar muda Sebun) yang maha perkasa, andaikata kau tidak mampu menolong mereka, tidak perlu kau keluarkan kata-kata yang menyakitkan hati mereka, sebab mereka sudah cukup menderita selama berada di sini!"
"Ya, ya, aku tidak akan menyakiti lagi hati mereka, ayo cepat pergi! Aku tidak mengajak mereka hanya karena alasan mereka akan membahayakan diri kita? bukan karena mengabaikan mereka" kata Sebun Him tak sabar.
Diluar dugaan tiba-tiba Ting Hun-giok malah masuk kembali ke dalam kerangkengnya, dan berkata dingin kepada Sebun Him, “Kalau begitu akupun hanya akan mengganggu gerak-gerikmu, Sebun Siauhiap yang maha perkasa. Larilah kau sendiri, jangan hiraukan aku. Maka aku tanggung nasib baik atau buruk bersama kawan-kawanku ini. Selamatkan dirimu sendiri, bukankah dirimu itu yang lebih penting dari segala-galanya?"
Sebun Him membanting-banting kakinya karena jengkel melihat sikap Ting Hun-giok itu. Katanya, "Nona A-giok, tahukah kau bahwa aku mengikuti jejakmu sejak dari kota Tiang-an sampai ke sini, dan sekarang kau tidak menghiraukan susah-payahku itu? Kau memberati nasib mereka tapi tidak memikirkan nyawamu sendiri?”
"Terima kasih atas susah-payahmu, akupun tidak minta itu kepadamu. Tapi aku berhak mempertahankan pendirianku sendiri bahwa aku tetap ingin menanggung nasib baik atau buruk bersama mereka.” sahut Ting Hun-giok tegas.
Sementara itu, salah seorang gadis yang tadi minta dibebaskan itupun agaknya melihat sikap Ting Hun-giok itu. Katanya, "Teman-temanku, hari ini kita lihat di depan mata kita seorang pria yang kalah kejantanannya dengan seorang wanita seperti Ting Kohnio ini. Biasanya kaum pria membanggakan diri bisa berbuat lebih berani dan lebih hebat dari kaum hawa yang dianggap lemah, tapi kini terbukti sebaliknya. Ting Kohnio, kau pergilah bersama pendekar hebat itu dan tidak usah pikirkan kami lagi..."
"Tidak. Aku sudah memutuskan."
Merghadapai perempuan-perempuan ini Sebun Him benar-benar kebingungan, dan sikapnya itu malah membuat Ting Hun-giok semakin muak. Ketika Sebun Him tengah kebingunan hendak berbuat bagaimana, tiba-tiba apa yang dikuatirkanpun terjadi. Suara percakapan mereka yang semakin lama semakin keras itupun telah terdengar oleh para penjaga.
Terlihat beberapa buah bayangan meluncur dari atas dinding, dan di tempat itu telah berdiri lima orang pengawal Kui-kiong, dipimpin seorang lelaki yang berpakaian hitam dan berwajah agak tampan, dan memegang pedang dengan tangan kiri tanda dia kidal. itulah Pul In-bun, si penjahat pemetik bunga yang beberapa waktu yang lalu mengganas di kota Tiang-an.
Melihat Sebun Him, Pui In-bun tertawa dan berkata, "Aku senang bertemu denganmu lagi sahabat, setelah pertemuan kita yang pertama di Tiang-an di atas genteng penginapan Pek-niau-el-am itu. Kabarnya kau dikurung di gua batu itu, kenapa kau sekarang berkeliaran di sini?"
Sebun Him ingat bahwa orang itulah yang pernah menuduhnya sebagai penjahat pemetik bunga sehingga Sabun Hlm harus bertarung melawan Bu-gong Hweshio dulu, maka kemarahannyapun terungkat. Kejengkelannya dalam menghadapi Ting Hun-giok dan gadis-gadis lainnya kini hendak disalurkannya kepada orang-orang Kui-kiong itu.
Tanpa menjawab sepatah katapun ia segera meloncat menyongsong mereka, pedangnya bergerak dua jurus beruntun Hoan-thian-hok-te (Membalik Langit dan Bumi) serta Liong-teng-toh-cu (Merebut Mutiara di Kepala Naga) yang cepat bagaikan angin puyuh, maka dua orang pengawal Kui-kiong roboh seketika. Yang seorang tersabet perutnya dan lainnya lagi tertusuk lehernya.
Pui In-bun terkejut ketika melihat Sebun Him sekarang ternyata jauh berbeda tingkatan ilmunya ketika berada di Tiang-an dulu. Sadar dirinya dalam keadaan bahaya belum bertempur Pui In-bun sudah bersuit keras minta bantuan. Kemudian Pui In-bun sendiri mendahului menyergap Sebun Him dengan gerakan Ngo-eng-bok-tho (Elang Lapar Menyambar Kelinci)! Ia kidal juga seperti Sebun Him, sehingga terjadilah pertarungan antara dua orang yang kidal.
Namun, meskipun sudah bertempur dibantu tiga orang anak buahnya yang rata-rata cukup tangguh juga. Pui In-bun dan teman-temannya tetap saja jatuh di bawah tekanan berat Sebun Him yang kini telah memiliki Kun-goan-sin-kang itu. Sambaran pedang pemuda Hoa-san-pay itu menjadi begitu berat seolah sebongkah batu besar yang digelundungkan dari puncak gunung, sehingga Pui In-bun dan pengawal-pengawalnya tidak berani adu tenaga.
Ting Hun-giok melihat jalannya pertempuran itu dengan kebimbangan dalam hati, haruskah la membantu Sebun Him yang dikeroyok itu atau tidak? Meskipun ucapan-ucapan Sebun Him yang kelihatannya mementingkan diri sendiri tadi tidak disukainya, namun betapapun juga anak muda itu sudah berusaha menolongnya keluar dari situ dengan mempertaruhkan nyawa.
Akhirnya Ting Hun-giok mengambil keputusan, dan ia meloncat keluar kembali dari kerangkeng itu serta memungut sebatang pedang dari pengawal Kui-kiong yang sudah mati itu. Meskipun senjata andalan Ting Hun-giok adalah golok seperti ayahnya, namun la bisa juga memainkan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat gaya Siau-lim-pay, ajaran Ibunya.
"Sebun Siauhiap, biar aku bantu kau!" kata Ting Hun-giok.
Sahut Sebun Him sambil tetap bertempur, "Tidak perlu, aku si Beruang Barat akan sanggup menghancurkan mereka! " Di dalam hatinya, Sebun Him merasa kurang senang sebab Ting Hun-giok yang, tadinya sudah memanggilnya dengan sebutan akrab "Toako" kini telah mengubahnya dengan "Siauhiap" yang lebih mentereng namun terlalu resmi dan tidak akrab. Semua kekesalan hatinya itu ditumpahkan kepada lawan-lawannya.
Ketika seorang pengawal Kui-kiong yang menggunakan Jurus Tay-san-ap-teng (Gunung Tay-san Roboh Ke Kepala), dengan goloknya untuk membelah kepala Sebun Him dari atas ke bawah, maka Sebun Him melintangkan pedangnya ke atas sambil mengangkat kakinya untuk menendang dada orang itu. Orang itu terpental beberapa langkah ke belakang dan terdengar gemeretak tulang dadanya yang berpatahan. Iapun terbanting ke tanah dan tak bergerak lagi.
Saat itulah suitan Pui In-bun tadi agaknya telah mendatangkan hasil, terlihat sesosok bayangan hitam meloncat masuk dengan gerakan yang sangat ringan. Dialah Tiat-ci-hok. (Kelelawar Bersayap Besi) Im Yao yang datang bersama adiknya, Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Nyawa) Im Kok. Mereka berdua adalah pasangan di kalangan hitam yang sering disebut sebagai Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam)."
Ketika Im Yao tiba di tempat itu, melihat Ting Hun-giok sudah berada di luar kerangkengan dan berdiri dengan pedang terhunus, serta melihat terali kerangkeng yang sudah bengkok, Im Yao dapat menebak apa yang telah terjadi. Sesaat pentolan Kui-kiong yang tak pernah ragu-ragu dalam bertindak itupun kini menjadi bimbang tak tahu harus berbuat apa. Terhadap perempuan lain la tidak peduli, namun Ting Hun-giok baginya adalah terlalu istimewa.
Satu-satunya orang di dunia yang memperlakukannya sebagai sesama manusia yang sederajat, bukan sebagai penjahat yang direndahkan dan dikutuk, satu-satunya orang yang telah menerbitkan setitik cahaya terang dalam jiwanya yang selalu dalam kegeiapan. Haruskah kini la menangkap kembali gadis itu untuk dikurung kembali menunggu gilirannya untuk diminum darahnya sampai kering dan kemudian dilemparkan ke telaga?
"Im Lotoa, bantu aku cepat!" teriak Pui In-bun yang keadaannya semakin gawat di bawah tekanan Sebun Him itu.
Tui-hun-hok Im Kok sudah menghunus pedangnya dan hendak terjun ke arena untuk membantu Pui-In-bun, namun la heran ketika kakaknya mencegahnya dengan memalangkah tangannya. "Lotoa, kita harus segera membantu si hidung belang itu, kalau tidak ia akan mampus di ujung senjata lawannya."
Sahut Tiat-ci-hok Im Yao, "Loji, seumur hidup kita mengabdi kepada Kui-kiong, pernahkah kita berbuat bebas menurut suara hati kita sendiri?"
Im Kok terkejut mendengar pertanyaan kakaknya, justru dalam saat seperti itu, namun ia mencobanya untuk memikirkannya. Rasanya yang disebut "kebebasan menurut suara hati" itu memang belum pernah mereka rasakan, mereka hanya kenyang dengan perintah-perintah Te-liong Hiangcu untuk berbuat begini atau begitu, disertai ancaman-ancaman hukuman yang mengerikan apabila tugas itu gagal.
Kadang-kadang "kebebasan" itu datang juga apabila mereka merayakan keberhasilan suatu pekerjaan, dengan pesta-pora dengan makan minum yang berlimpah dan perempuan-perempuan culikan yang dijadikan pelampiasan nafsu mereka. Tapi itu adalah kebebasan hewani dan juga kebebasan semu, sebab itu semuanya hanyalah "upah" kalau mereka berhasil menjalankan tugas berat. Kadang-kadang hati kecil Im Kok tergetar juga mendengar jerit tangis orang-orang yang menjadi korbannya atau korban teman-temannya itu.
Namun la tidak boleh menunjukkan "kecengengan"nya terhadap Jerit tangis memilukan itu. Ia harus menutupinya dengan tertawa terbahak-bahak dan kalau perlu berbuat lebih ganas lagi supaya dilihat teman-temannya bahwa ia "gagah-beranl". Menekan hati sendiri, itukah kebebasan"?
Akhirnya Im Kok hanya menggeleng lemah sambil menjwab, "Entahlah, Lotoa, aku hanya tahu bahwa sejak kecil kita kekurangan sandang dan pangan, sejak ayah mencekik mati ibu kita, dan kemudian setahun kemudian ayah sendiripun menggantung dirinya di pohon di belakang rumah. Waktu itu kita kedinginan dan kelaparan, kita hanya ingin pakaian yang hangat tidak perlu bagus dan makanan yang dapat mengenyangkan perut kita seperti anak-anak lain sehingga kita menjadi pengemis cilik, toh kita lebih sering mendapatkan caci-maki dan gebugan atau gonggongan anjing di depan pintu daripada secarik pakaian atau sepotong makanan. Lalu Toa-suheng menemukan kita, mengajari ilmu silat kepada kita, menghangatkan badan dan mengenyangkan perut kita, sampai kita bergabung dengan Kui-kiong. Apalagi?"
Sahut kakaknya, "Ya, kita mendapatkan apa yang kita impikan ketika kita kecil, pakaian dan makanan berlimpah, bahkan kekuasaan karena Kui-kiong kita ditakuti di mana-mana. Tapi kita kehilangan kegembiraan sejati kita sebagai manusia, karena kita harus menindas suara hati kita sendiri. Sekarang aku akan melepaskan belenggu itu, aku akan berbuat dengan kehendakku sendiri."
Adiknya terkejut, ia bahkan tidak peduli ketika mendengar jeritan kematian dari seorang anak buah Kui-kiong yang terbabat pedang Sebun Him. Tanyanya, "Lotoa, apa yang akan kau perbuat?"
"Aku harus membantu gadis itu untuk lolos. Suara hatiku menyuruhku berbuat demikian."
"Gadis itu dikehendaki oleh Toasuheng. Apakah kita akan berkhianat kepada Toa-suheng yang telah mengangkat kita dari kemelaratan? Memberi kita pakaian dan makanan ketika kita masih menjadi pengemis-pengemis yang tidur di depan pintu rumah orang berselimut salju?"
"Hutang budi kita kepada Toa-suheng sudah kita bayar dengan mengabdi kepadanya selama bertahun-tahun dengan menekan kehendak kita sendiri, dan terlalu mahal kalau harus kita bayar dengan seluruh hidup kita...."
"Lotoa, apakah kau jatuh cinta kepada gadis itu?"
Kalau hal itu ditanyakan beberapa saat yang lalu, barangkali Im Yao akan menjawab dengan berteriak keras-keras-bahwa ia tidak jatuh cinta, jatuh cinta adalah hal yang sangat memalukan dan menjadi bahan tertawaan orang-orang Kui-kiong. Tapi selama beberapa hari ini, sejak pertemuan dan percakapan dengan Ting Hun-giok, Im Yao mulai merenungkan keberadaannya di dunia ini, dirasakannya percuma kalau hidupnya hanya selalu di bawah tekanan dan perintah orang lain tanpa memberi arti kepada diri sendiri dan sesama yang butuh pertolongan.
Maka terkejutlah Im Kok., ketika la melihat ketika melihat kakaknya mengangguk dengan mantap dan jawabannya sama mantapnya, "Ya. Untuk dia, biarlah aku sedia menanggung hukuman yang paling berat dari Hiangcu, bahkan sebutan-sebutan pengkhianat atau lain-lainnya, dan mungkin tubuhku akan dicemplungkan ke telaga itu. Rasanya bahagia sekali bisa berbuat sesuatu baginya."
Lalu Im Yao menatap adiknya lekat-lekat, menanti adiknya itu akan tertawa terpingkal-pingkal mentertawakannya dan mengejeknya sebagai orang cengeng, atau adiknya itu akan dengan beringasnya mencabut pedangnya dan berusaha membunuhnya karena dianggap sebagai pengkhianat Kui-kiong?
Tapi sikap adiknya yang dinanti-nanti itu tidak kunjung tampak, bahkan sang adik yang kelakuannya selama ini tidak kalah jahatnya dengan kakaknya, tiba-tiba berkata dengan suara agak parau karena terharu, "Selamat kakakku, kuucapkan selamat kepadamu. Kau temukan kebahagiaanmu sama saja akupun ikut berbahagia. Kau sanggup menahan segala derita untuk gadis itu akupun sanggup menahan derita apapun untukmu, Lotoa..."
Percakapan agak terganggu sebentar karena ada sebutir kepala yang menggelinding dekat kaki mereka, kepala yang putus tersambar pedang Sebun Him yang tengah mengamuk itu. Tapi Im Kok melanjutkan dengan suaranya yang mewakili perasaannya yang bergejolak,
"...sejak orangtua kita tiada, kaulah satu-satunya sanakku di dunia sebelum Toa-suheng. Aku ingat, ketika aku kedinginan di musim salju maka kau lepas bajumu sendiri yang hanya selembar itu dan dikerudungkan ke badanku, ketika aku lapar kau berikan rotimu yang hanya sepotong untukku sedangkan kau sendiri merasakelh perutmu kosong sepanjang malam..."
Tangan dari kakak-beradik yang sama jahatnya itu tiba-tiba saling menggenggam dengan eratnya, tangan-tangan yang dengan darah dingin sering mengayuhkan pedang untuk menumpahkan darah orang lain itu, kini menjadi hangat karena mereka sudah pulih menjadi manusia biasa yang berdarah hangat dan bukan lagi hantu-hantu yang dingin.
"Terima kasih, adikku....”
"Sejak kecil kita bersama-sama dan akan selalu bersama-sama, dalam kegembiraan atau kepedihan. Kau kakakku dan bagiku lebih dari segala-galanya, dari Toasuehng sendiri maupun Te-liong Hiangcu."
Keakraban kakak beradik yang bertahun-tahun tak lagi mereka rasakan, kini telah mereka dapatkan kembali. Terdengar Pul In bun berteriak, "lm Lotoa dan Im Loji, kalian ini sedang berlatih main sandiwara atau bagaimana?! Lekas bantu aku!"
Bersamaan dengan terkatupnya mulut Pui In-bun, pedang Sebun Him tepat mengenal lambungnya dan mengakhiri hidupnya. Tapi sebelum mati, Pui In-bun sempat berteriak, "Kelelawar-kelelawar busuk..."
Orang-orang Kui-kiong itu habis sudah. Tinggal Im Yao dan Im Kok yang berdiri berdampingan, namun sikap mereka tidak mirip sikap orang yang hendak bertempur, meskipun tangan-tangan mereka menggenggam pedang.
Wajah Ting Hun-giok menjadi cerah ketika melihat bagaimana kakak-beradik itu ternyata tidak membantu Pui In-bun tadi, itulah perubahan sikap yang amat tajam. Maka Ting Hun-gi-ok pun menganggukkan kepala sambil tersenyum hangat, "Terima kasih, Im Toako."
Im Yao menjadi agak canggung, sampai adiknya yang menyentuhnya dan berkata, "Gadis itu berterima kasih kepadamu, Lotoa, dan kau harus menjawabnya..."
"Ba...baik...lah, kalian harus cepat pergi dari sini sebelum penjaga-penjaga lainnya berdatangan..."
Sebun Him menjadi panas hatinya melihat Ting Hun-giok ternyata malahan mengucapkan terima kasih kepada orang Kui-kiong yang wajahnya seperti hantu itu; sedangkan dirinya sendiri yang sudah berkelahi mati-matian agaknya malah didiamkan saja. Ketika Ting Hun-giok melangkah, mendekati Im Yao, Sebun Him meloncat menghalanginya dan berkata keras, "Nona A-giok, jangan berdekatan dengan iblis kotor itu!"
Ting Hun-giok menjawab, "Aku berhak mengatur diriku sendiri, tidak usah Sebun Siauhiap ikut campur dalam segala urusanku!"
Darah Sebun Him semakin mendidih mendengar jawaban itu, "Nona, jangan lupa bahwa akulah yang bisa menolongmu, mati hidup nona tergantung kepadaku!"
Sikap Sebun Him itu semakin lama terasa semakin menjemukan bagi Ting Hun-giok, sedikit-sedikit mengingatkan orang akan jasa dirinya sendiri, menganggap dirinya pahlawan yang kehadirannya harus disyukuri oleh orang lain. Karena itu, Ting Hun-giok bertanya, "Sebun Siauhiap, kau ingin menolong aku, baik. Tapi kau bisa membawa serta gadis-gadis lain itu atau tidak?"
"lni...ini benar-benar sulit...."
"Aku senasib dengan mereka, dan tidak akan keluar dari sini kecuali bersama dengan mereka!"
Syarat yang diajukan itu memang membuat Sebun him kebingungan, dalam hatinya la jengkel juga akan sikap keras kepala dari gadis itu, yang dianggapnya sudah ditolong tidak berterima kasih tapi malahan membuatnya kebingungan. Apalagi ketika Ting Hun-giok masuk kembali ke dalam kerangkeng dan berkata “Silahkan selamatkan dirimu sendiri. Sebun Siauhiap, itu tentu lebih mudah daripada kau membawa-bawa aku.”
Saat semuanya kebingungan itulah tiba-tiba terdengar suara Im Yao, tetap Bernada dingin seperti biasanya namun jelas bermaksud baik, "Aku bisa menolongmu dan semua perempuan-perempuan ini, nona Ting..."
"Aku tidak berbicara kepadamu!" bentak Sebun Him panas.
Sahut Im Yao, "Dan akupun tidak bicara kepadamu, aku bicara kepada Ting Kohnio."
Hampir saja Sebun Him melabrak si Kelelawar Bersayap besi itu, kalau tidak terdengar suara Tin Hun-giok, "Apa akalmu, Im Toako?"
Tanpa melirik sedikitpun kepada Sebun Him, Im Yao berkata. "Aku memegang kunci untuk semua kerankeng-kerangkeng itu, dan aku tahu sebuah jalan keluar bawah tanah tanpa melalui pintu gerbang yang dijaga ketat..."
Sebun Him tertawa "Heran, kau ini hanya membual untuk menarik perhatian...."
Namun ucapan Sebun Him kemudian terbungkam ketika melihat Im Yao mengeluarkan serenceng kunci dan pintu-pintu kerangkengan itu dibebaskan semuanya. Lalu kata Im Yao, "Ikuti aku. Saat ini delapan dari sepuluh kekuatan Kui-kiong sedang dikerahkan keluar tembok untuk menghadapi dua penyerang yang bernama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, entah kapan pertempuran selesai, dan kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya..."
Dari kegelapan terdenar suara menggeram marah, "Bangsat cilik, kau merusakakan patung-patungku dan kau harus menggantinya dengan menjadi patung di sini...!"
Lalu sebuah tangan yang dingin mirip tangan setan tahu-tahu telah mencengkeram tengkuk Sebun Him dan membuatnya lemas. Percuma saja anakmuda Hoa-san-pay yang berkekuatan besar itu meronta, sebab tenaganya lenyap semua entah ke amana dan lapun tak sadarkan diri lagi.
Dalam kegelapan itu terdengar suara seseorang, "Seorang anak muda yang, bertubuh bagus, tinggi dan tegap. Aku belum punya patung yang seperti ini. Tentu bagus kalau dipajang dekat patung gadis yang beberapa bulan yang lalu kuambil dari kota Kay-hong itu. Gadisnya cantik dan ramping, lelakinya kelihatan perkasa dan tampan pula. Berapa lama kira-kira kau bisa menyiapkan ramuannya?"
Tetap dalam kegelapan terdengar suara lain, "Beberapa jenis obat telah habis sehingga harus dicari lebih dulu. Tapi tempatnya tidak jauh dari sini, hanya kira-kira membutuhkan sepuluh hari untuk melengkapi semua jenis ramuan dan satu hari untuk meramunya dengan takaran-takaran yang tepat."
"Jadi kira-kira sebelas hari?"
"Benar, Hiangcu."
"Sebenarnya aku telah tidak sabar ingin memiliki patung pemuda yang tegap ini, tapi baiklah kuberi waktu sebelas hari untuk mengerjakan itu. Ingat, kerjakan yang bagus. Jangan seperti beberapa patung terdahulu yang baru beberapa bulan saja ramuannya sudah kehilangan daya dan mulai membusuk, sehingga terpaksa harus dicari gantinya."
"Baik, Hiangcu, akan hamba kerjakan sebaik-baiknya."
"Bawalah pemuda ini dan suruhlah Leng Tongcu untuk mengurungnya di ruangan khusus bawah tanah itu, Jangan sampai lari," kata suara yang pertama. "Dan tanggung jawab pengawalan anak muda ini ada di pundak orang she Long itu, kalau gagal maka dialah yang akan menjadi patung di ruangan ini."
"Baik, Hiangcu. Bagaimana dengan pengacau she Siangkoan di luar itu?''
"Liong Pek-Ji, Tio Hong-bwe, dan lain-lainnya akar bisa menyelesaikannya, Jadi aku tidak perlu repot-repot turun tangan sendiri. Toh Siangkoan Hong bukan siluman yang berkepala tiga dan bertangan enam. Kau jangan banyak tanya, kerjakan saja bagianmu sendiri."
"Baik, Hiangcu.”
Langkah-langkah kaki kedua orang itupun menjauhi dan akhirnya lenyap. Derap langkah aneh yang mengganggu Sebun Him tadi itupun lenyap dengan sendirinya, sebab itu adalah hasil pembuatan Te-liong Hiangcu yang dengan kekuatan sihirnya sanggup membuat gangguan-gangguan semu untuk mengganggu panca indera orang lain, apalagi jika orang yang diganggu itu memiliki kekuatan batin yang kurang tinggi atau sedang dalam keadaan yang panik. Dan kedua hal itu ada semuanya dalam diri Sebun Him.
Ketika anakmuda Hoa-san-pay itu membuka kembali matanya, maka didapatinya dirinya sudah berada dalam sebuah ruangan batu yang pengab berudara busuk. Tapi begitu mencium udara busuk itu Sebun Him malahan merasa lega sebab udara busuk itu bukan bau mayat seperti di "ruangan seni patung" Te-liong Hiangcu yang menakutkan itu. Udara busuk hanya karena udara yang lama tak berganti dan tak terkena sinar matahari.
Penerangannya dengan obor di bagian luar pintu besi itu juga cukup, sehingga Sebun Him dapat melihat sesosok tengkorak tergeletak dalam sikap bersandar dipojok ruangan. Namun setelah kejadian menakutkan di ruangan patung itu, maka si tengkorak itu tidak terasa menyeramkan lagi.
Sebun Him merasa seluruh anggota tubuhnya bebas, tidak diikat dan juga tidak ditotok, hanya pedangnya yang diambil daripadanya. Agaknya pihak musuh memperhitungkan bahwa Sebun Him tidak mungkin lolos keluar dari ruangan batu yang berterali besi itu. Sebun Him memeriksa tempat itu dan menemukan bahwa tempat itu benar-benar tempat terkutuk. Sempit, pengab, "kasur"nya hanyalah setumpuk jerami yang digelar di lantai batu yang keras, dingin dan kasar.
Dipojokan ada setuah lubang kecil yang agaknya dimaksudkan untuk membuang hajat bagi para tahanan, namun tidak disediakan air untuk membersihkan pantat, jadi jerami itu mempunyaia dua manfaat untuk membersihkan pantat setelah berhajat besar, setelah itu jika penghuninya masih mau ya untuk alas tidur! Sebun Him menggerutu namun terus memeriksa.
Di bagian bawah pintu yang terbuat dari besi tebal itu ada lubang kecil yang agaknya untuk memasukkan makanan bagi para tahanan, dari atas pintu ada celah-celah kecil yang cukup untuk memasukkan cahaya yang kemerah-merahan. Cahaya obor. Dan dari luar terdengar pula langkah kaki hilir mudik serta orang yang bergurau atau bercakap-cakap, agaknya menjaga ruangan itu. Bagi Sebun Him, jelas ruangan ini tidak menyenangkan, tapi lebih baik daripada ruangan patung-patung itu.
Anakmuda itu belum tahu bahwa umurnya tinggal sepuluh hari lagi. Kalau ramuan untuk mengawetkan patung itu sudah terkumpul, maka dirinyapun akan dijadikan salah satu dari patung-patung itu. Akan ditempatkan berdampingan dengan gadis paling cantik dari kota Kay-hong, tapi tentunya tidak membanggakan sebab betapapun cantik dan tampannya mereka, mereka tidak lebih dari sepasang mayat belaka.
Sambil duduk terpekur di tumpukan jerami yang digelar itu, Sebun Him duduk terpekur memikirkan nasibnya yang sial. Usaha membalas dendam ayahnya belum berhasil, mengangkat nama juga belum, tahu-tahu sudah terjebak dalam tempat yang amat menjemukan ini. Bagaimana nasibnya nanti? Akan dijadikan patung penghias ruangan terkutuk itu ataukah akan menjadi seperti tengkorak di pojok ruangan itu?
Suara langkah kaki mendekati pintu, dan dari lubang di bawah pintu itu disorongkan semangkuk nasi tanpa lauk dan secawan air yang barangkali saja air bekas cuci kaki. Lalu langkah-langkah itu menjauh lagi. Diam-diam Sebun Him heran karena pihak Kui-kiong tidak membiarkannya mati kelaparan atau membunuhnya sekalian ketika ia tengah tidak berdaya tadi. Dengan pengiriman makan-mlnum itu membuktikan Kui-kiong masih menghendakinya hidup, entah untuk keperluan apa Sebun Him tidak bisa menebak.
Tetapi Sebun Him berpendapat bahwa sehari masih hidup akan berarti sehari pula nasih ada kesempatan untuk lolos dan membalas dendam, meskipun sekarang belum diketemukan caranya. Maka ia tidak ingin mati kelaparan atau kehabisan tenaga nasi semangkuk yang berbau apek dan tanpa lauk itu segera dilahap-nya habis, dan dengan memejamkan matanya ia menenggak habis air yang tidak begitu bersih itu. Setelah itu la memutar otak untuk memikirkan langkah apa yang harus diambil.
Ketika perutnya sakit, maka iapun memanfaatkan lubang kecil di lantai itu dan juga jerami alas tidurnya, pada saat ia menjemput jerami itulah tiba tiba ujung-ujung jarinya tak sengaja telah meraba sesuatu yang aneh pada lantai di bawah jerami itu. Cepat-cepat ia memakai celananya kembali menggunakan tangannya untuk meraba lantai, ternyata ada guratan-guratan di lantai batu itu yang membentuk huruf-huruf.
Perhatian Sebun Him semakin tertarik, ia ingin membaca huruf-huruf itu namun cahaya obor dari luar terlalu lemah masuk ke ruangan itu. Satu-satunya jalan adalah "membaca" dengan ujung-ujung jarinya, dan untungnya guratan-guratan itu cukup jelas dan belum aus, sehingga dapat terbaca.
Lebih dulu Sebun Him menyingkirkan semua jerami untuk meraba-raba dan menemukan awal dari tulisan itu. Awal tulisan itu ada beberapa huruf yang tersendiri dalam satu deretan, Kun-goan-sin-kang (Tenaga Sakti Alam Raya) oleh Tiat-sim Tojin dari Khong-tong-pay."
Selama ada di Hoa-san-pay, Sebun Him pernah mendengar bahwa sepuluh tahun yang lalu di dunia persilatan di memang pernah ada seorang tokoh bertabiat aneh dari Khong-tong-pay yang nenciptakan ilmu yang diberinya nama Kun-goan-sin-kang. Sayang tokoh itu kemudian menghilang begitu saja, dan kini Sebun Him menemukan jawabnya.
Entah kenapa tokoh yang terkenal bertangan keras kepada kaum hitam sehingga mendapat julukan Tiat-sim Tojin (Imam Berhati Besi) itu Celah terjebak di Kui-kiong ini dan akhirnya tinggal sesosok kerangka yang tak terurus. Tak terasa Sebun Him telah menghadap ke arah kerangka itu dan memberi hormat kepadanya.
Lalu Sebun Him membaca huruf-huruf di lantai itu dengan rabaan jari-jarinya, mencoba memahami maknanya dan kemudian melakukan petunjuk-petunjuknya dengan mengukirkan pelajaran Kun-goan-kang di lantai batu itu, jelas bahwa Tiat-sim Tojin tidak ingin ciptaannya itu menghilang dari dunia dengan begitu saja, meskipun dengan menuliskannya di lantai penjara Kui-kiong itu ada kemungkinan ilmu itu malahan akan terjatuh ke tangan orang-orang Kui-kiong. Tapi untunglah bahwa yang menemukannya adalah Sebun Him.
Kini Sebun him duduk bersila dengan telapak kaki kiri menekan paha kanan dan telapak kaki kanan menekan paha kiri. Matanya meredup dan akhirnya hanya menatap ke ujung hidung, panca inderanya yang lain tertutup dari segala rangsang dari luar dan napasnya-pun mulai mengalir dengan teratur menuruti ajaran Kun-goan-sin-kang. Setiap kali pada puncak semedinya ia merasakan ada sebuah bola api bergerak dalam tubuhnya, di ujung tulang belakangnya, dan kepalanyapun terasa pusing.
Setiap kali merasa demikian ia menghentikan semedinya dan beristirahat sebentar, namun begitu pusingnya hilang diapun mulai lagi sampai akhirnya terasa bahwa bola api itu dapat dikendalikannya dengan baik-baik dan terasa merambat ke atas sepanjang tulang belakangnya. Tahap pertama selesai, lalu tahap kedua dimulai.
Begitulah, selama "ahli patungnya Te-liong Hiangcu menyiapkan ramuan ramuannya, maka si "bahan baku patung"nya sendiri malah sedang asyik dengan Kun-goan-sinkang di ruangan batu tertutup itu. Tahap demi tahap dilaluinya dengan penuh semangat sehingga lupa waktu.
* * * * * * *
SEBELAS hari berlalu, ramuan sudah siap untuk "mematungkan" Sebun Him, maka si ahli patung yang tampangnya memang mirip tampang seniman-seniman biasa itu, menuju ke ruangan batu itu dengan didiringi beberapa pengawal Kui-kiong yang berwajah garang. Kunci dimasukkan ke lubang pintu dan diputar, pintu besi dibuka ke samping dengan suara gemuruh dan berkeriutan, dan nampaklah Sebun Him dengan tubuh yang kurus dan agak pucat tengah duduk meluruskan kakinya sambil bersandar dinding dengan beralaskan tumpukan jerami.
Si ahli patung itu masuk seperti seorang seniman yang sedang mengamat-amati mutu bahan yang akan ditanganinya, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata kepada penjaga-penjaga itu, "Kalian kurang teliti merawatnya sehingga ia menjadi kurus begini, padahal Hiangcu menghendaki tubuh yang tegap dan segar supaya jadinyapun bagus. Kalian beri makan apa dia selama beberapa hari ini?"
Para pengawal Kui-kiong itu kelihatan gugup ketika sadar bahwa perbuatan mereka selama ini bisa tidak berkenan di hati Hiangcu mereka, maka mereka mencoba mengingkari kesalahan mereka, "Kami merawatnya dengan baik, sehari sekali tentu kami kirimkan ayam panggang atau makanan enak lainnya, kenapa bisa begini?"
Seperti sebuah paduan suara, pengewal-pengawal lainnya yang juga takut dihukum oleh Te-liong Hiangcu itu serentak bersahut-sahutan mendukung ucapan teman mereka itu. "Ya, barangkali anak muda ini terlalu bersedih memikirkan nasibnya sehingga tubuhnya menjadi kurus!"
"Kami merawatnya dengan baik, sehari sekali tentu kami kirimkan ayam panggang atau makanan enak lainnya, kenapa bisa begini?"
"Benar juga, padahal kami sudah memberikan makanan-makanan yang baik kepadanya agar ia tetap sehat dan tegap!"
Yang sesunguhnya terjadi adalah bahwa beberapa ekor ayam panggang itu sekarang sudah bersemayam di dalam perut para pengawal itu sendiri, begitu pula makanan-makanan enak lainnya, sedang Sebun Him selama ini hanya makan sisa-sisa dari mereka.
Si ahli patung nampak kecewa sekali melihat mutu "bahan baku"nya. Katanya, "Kuberi waktu tiga hari lagi kalian harus bisa membuatnya segar dan tegap kembali, kalau tidak, kulaporkan kepada Hiangcu dan kalian akan dilempar ke tengah telaga untuk menjadi makanan ikan-ikan kecil itu!"
Wajah para pengawal itu menjadi pucat, alangkah mengerikannya hukuman itu, lebih mengerikan dari dipenggal kepalanya atau dijadikan patung. Kepala merekapun terangguk-angguk dan mulutnya berebut mengiakan perintah itu.
Namun saat itulah Sebun Him yang sudah berdiri sambil berkata dingin, "Tidak perlu susah-susah tiga hari lagi."
Seorang ahli patung dan enam orang pengawal Kui-kiong itu terkejut mendengarnya, para pengawal segera meloncat berpencaran dengan senjata-senjata terhunus. Namun Sebun Him yang sudah menderita berhari-hari dan apalagi sebelumnya juga sudah mendendam atas tewasnya ayahnya itu, menjadi terlalu beringas seperti seekor anjing yang sudah dirantai berhari-hari. Dengan mengerahkan ilmu Kun-goan-sin-kangnya ia menghantam ke salah seorang pengawal terdekat dengan gerak Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san).
Akibatnya sungguh hebat, gerakan Sebun Him akibat-akibat latihan Kun-goan-sin-kang itu membuatnya lebih cepat dan lebih kuat beberapa kali lipat dari beberapa hari yang lalu. Terdengar angin menderu disusul suara tengkorak kepala yang gemeretak retak, pengawal itupun tanpa dapat menangkis atau mengelak langsung terjungkal dengan tengkorak kepala yang retak di dalam, bahkan mengeluh sedikitpun tidak sempat.
Bukan hanya musuh-musuhnya yang kaget, tapi Sebun Him sendiri terkejut melihat hasil serangannya itu. Sebelum ini ia mengandalkan hanya tenaga luarnya dengan cara latihannya mengayunkan ciok-co (kunci batu) yang berat sampai ribuan kali, namun kali ini ia merasa bahwa inilah yang disebut tenaga dalam (lwe-kang) itu. Seketika itu makarlah hati Sebun Him. Jika sebelum ini ia kecewa kepada dirinya sendiri akibat kekalahannya melawan orang-orang Kui-kiong yang menjebaknya di kedai terpencil dan mengakibatkan tewasnya ayahnya itut juga kekalahan dari Bu-gong Hweshio, maka kini Sebun Him merasa tidak kalah dari siapapun.
Dengan pandangan mata garang dan bangga ia menatap lawan-lawannya dan bertanya, "Pernah mendengar Naga Utara dan Harimau Selatan?"
Para pengawal Kui-kiong itu menganggukkan kepala tanpa mengerti maksud pertanyaan itu, karena merekapun pernah mendengar kedua nama yang cemerlang seperti bintang-bintang di langit. Dan kini mereka mendengar Sebun Him menyatakan gelarnya sendiri secara resmi,
"...dan ingat baik-baik untuk arwah-arwah kalian kelak, hari ini kalian tidak mati di tangan kedua anak muda yang perkasa tetapi menjadi budak Manchu itu, melainkan di tangan Beruang Barat Sebun Him!"
Orang-orang Kui-kiong sudah biasa bertindak ganas di segala tempat, maka kalau hanya kehilangan seorang teman dan mendengar sebutan Beruang Barat, mereka tidak gentar, dengan berteriak keras-keras merekapun segera menyerbu dengan senjata-senjata mereka. Jika Sebun Him masih Sebun Him sepuluh hari yang lalu, maka kerubutan lima orang pengawal Kui-kiong yang tangkas-tangkas dengan ilmu silat perseorangan mereka yang tidak rendah itu, tentu Sebun Him akan kewalahan menghadapinya meskipun dengan pedang di tangan.
Namun kini, hanya dengan tangan kosong saja Sebun Him sanggup menghadapi mereka tanpa terdesak, bahkan ketika si ahli patung itu ikut terjun ke gelanggang dengan bersenjata sehelai rantai besi berujung roda bergerigi, Sebun Him terdesak dan malahan berbalik mendesak mereka. Dengan Kun-goan-sin-kang yang disalurkan ke seluruh tubuh, maka kekuatan serangannya maupun keringanan tubuhnya terasa berlipat ganda. Ketajaman telinganyapun luar biasa sehingga serangan yang dari belakangpun dapat dihadapinya dengan mudah cukup dengan mendengar desiran senjatanya.
Tak lama kemudian, seorang pengawal Kui-kiong roboh muntah darah karena dadanya tertinju oleh Sebun Him secara telak, disusul seorang lagi terjungkal mampus dengan tulang rusuk berpatahan karena ketika ia menyerang dari samping maka Sebun Him berhasil menghindarinya dan membalasnya dengan sebuah babatan telapak tangan ke samping.
Salah seorang pengawal segera berteriak minta bantuan teman-temannya yang ada di ujung lorong batu sana. Tapi sementara ia berteriak itu, sudah seorang lagi menjadi korban, tengkuknya patah karena dihantam dari atas dengan pinggir telapak tangan Sebun Him. Lalu satu lagi patah punggungnya karena tendangan samping Sebun Him yang telak mengenalnya.
Ketika dari arah mulut lorong itu terdengar derap kaki belasan orang yang menyerbu ke tempat itu, maka Sebun Him dengan sepasang tinju dan sepasang kakinya yang mirip palu godam baja karena Kun-goan-sin-kangnya itupun sudah membereskan semua musuh-musuh tahap pertamanya, termasuk si ahli patung itu. Tanpa ampun, tanpa sisa sedikitpun.
Dipungutnya sebatang pedang dari antara pengawal-pengawal Kui-kiong yang dibunuhnya itu dan dipegangnya dengan tangan kiri sesuai dengan kebiasaannya sebagai seorang kidal, dan disongsong-nya lawan-lawan baru yang datang itu. Dengan pedang di tangannya, semangat tempur Sebun Him berkobar hebat, dan la bertekad meskipun harus mati tapi tidak sudi tertawan kembali, dan sebelun mati la harus membuat kerusakan separah-parahnya di Kui-kiong ini.
Mata Sebun Him pun menyala beringas ketika melihat musuhnya yang paling depan ternyata adalah Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou, si Ular Berekor Sembilan yang dulu menyamar sebagai pemilik kedai di tempat terpencil, dan orang itu punya andil pula dalam membunuh ayahnya. Teriak Sebun Him, "Tukang kedai gadungan, hari ini harus kucincang tubuhmu untuk menenangkan ayahku di alam baka!"
Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou ternyata juga masih ingat kepada Sebun Him, dan balas berteriak, "Kiranya tikus kecil dari Hoa-san-pay yang dulu lolos dan tidak sekalipun mampus bersama bapakmu. Kebetulan, hari ini akan kutuntaskan kerjaku yang dulu, meskipun Hiangcu akan agak menyesal karena Kehilangan calon patung yang bagus!"
Mengira Sebun Him masih berkepandaian seperti dulu, Leng Hok-hou segera meloncat maju dengan gerakan Than-te-kay-tay (Langit Bumi Terbuka Lebar), kesembilan Juntai cambuknya diayunkan dan masing-masing Juntai bagaikan hidup sendiri-sendiri menyambar ke arah yang berbeda-beda.
Namun Leng Hok-hou terkejut ketika melihat Sebun Him hanya dengan satu putaran pedang yang kencang dan bertenaga telah berhasil menghalau semua serangannya, dan dengan sebuah serangan balasan Hun-in-ki-goat (Memisah Awan Mengambil Rembulan) maka pedang Sebun Him hampir saja membuat kepala Leng Hok-hou putus, untung orang itu masih sempat menggulingkan badannya.
Leng Hok-hou sadar bahwa selama sepuluh hari berada dalam kurungan itu lawan mudanya itu secara tak diketahui telah mengalami peningkatan ilmu yang pesat sehingga kepandaiannya berkali lipat dari semua. Karena itu terpaksa Leng Hok-hou tanpa malu-malu lagi berteriak kepada anak buahnya, "semuanya ikut maju!"
Leng Hok-hou sendiri bukan cuma memerintahkan tetapi juga memainkan pecutnya dengan dahsayat bagaikan prahara mengamuk. Tidak percuma kedudukannya sebagai salah Seorang Jago andalan Kui-klong, sebab permainan cambuknya ternyata amat mahir, bahkan ledakan-ledakan cambuknya saja terdengar memekakkan telinga. Apalagi ia dibantu oleh anakbuahnya yang segera melingkari Se-bun Hlm dari segala arah dengan senjatanya masing-masing.
Dengan hati yang menyala terbakar kemarahan, Sebun Him mengamuk dengan pedangnya, sehingga terjadilah pertempuran sengit di lorong batu itu. Untung lorong itu tidak begitu lebar sehingga Sebun Him tidak harus menghadapi musuh dari empat arah melainkan dari dua arah saja.
Sementara di ruangan batu bawah tanah itu terjadi keributan karena lolosnya Sebun Him, maka di bagian atas Kui-kiong sendiripun secara bersamaan terjadi keributan. Terdengar suitan nyaring dari beberapa arah dan orang orangpun berlari-larian seperti di pasar kebakaran dengan senjata-senjata terhunus. Beberapa pentolan Kui-kiong juga nampak berteriak-teriak mengatur anak buahnya.
Liong Pek-Ji yang berjubah hitam dan bertopi lancip hitam serta bertaring itu nampak mengatur, “Yo Ciong-wan, Ki Peng-sian dan Sin-bok Hwesio ke utara untuk menghadapi Siangkoan Hong. Tio Hong-bwe, Song Hian dan Ang-mo-coa-ong keselatan untuk menghadapi Lim Hong-pin."
Di jaman Hwe-liong-pang dulu, sebenarnya kedudukan Ang-mo-coa-ong Tang giau-po lebih tinggi dari Liong Pek-ji dan Liong Pek-ji sendiri dengan hormat memanggilnya dengan "Tang Sucia," namun setelah berpuluh tahun lewat dan Te-liong Hiangcu serta sisa-sisa anak buahnya mendirikan komplotan yang menamakan diri Kui-kiong ini, keadaan jadi terbalik.
Liong Pek-ji yang giat berlatih itu berhasil menyamakan ilmunya dengan Tang Kiau-po, bahkan Liong Pek-Ji menjadi "orang dekat"nya Te-liong Hiangcu, sehingga kini ia berani memanggil Ang-mo-coa-ong dengan namanya begitu saja, berani memerintah dan bahkan membentak-bentak.
Begitu pula kali ini, bahkan Yo Ciong-wan yang rambutnya sudah putih semua dan jauh lebih tua daripadanya itupun dibentak-bentaknya tanpa tata-krama sedikitpun itulah lingkungan Kui-kiong, yang dinomor satukan adalah kekuatan dan kedudukan.
Yang datang mengacau Kui-kiong itu ternyata lagi-lagi Siangkoan Hong, seperti beberapa hari yang lalu, bahkan kali ini ia bersama-sama dengan Lim Hong-pin yang merupakan adik seperguruan paling bungsu dari Hwe-liong-Pengcu almarhum, namun tingkat ilmunya tidak kalah dengan kakak-kakak seperguruan seperti Te-liong Hiangcu atau Siangkoan Hong, maka tidak heran kalau kemunculan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin di Kui-kiong itu telah menimbulkan kegemparan dan kerusakan yang jauh lebih hebat dari mengamuknya Sebun Him.
Apalagi sebangsa Liong Pek-Ji, sedangkan Te-liong Hiangcu sendiri merasa cemas akan kedatangan adik-adik seperguruannya yang memusuhinya itu, sebab sebutan "suheng" dan "sute" antara mereka bukan menunjukkan tinggi rendahnya ilmu antara mereka, melainkan karena perbedaan usia. Sedang soal tingkat ilmu mereka bertiga sama saja, sama-sama belajar di bawah bimbingan Toa-suheng mereka, Tong Wi-siang.
Sementara itu di ruangan bawah, Sebun Him telah mengamuk seperti seekor binatang luka. Pedangnya sudah merah oleh darah lawan-lawannya, tapi dia masih saja beringas dan belum puas membantai orang-orang Kui-kiong yang dianggap bertanggung jawab atas kema-tian ayahnya. Belasan tubuh pengawal Kui-kiong yang tidak bernyawa telah bergelimpangan dilantai, dan Sebun Him masih saja ingin menambah jumlahnya.
Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dengan gigih memimpin anakbuahnya untuk membendung anakmuda itu, tapi tidak berhasil sepenuhnya. Korban-korban terus berjatuhan. Bahkan Leng Hok-hou sendiri mulai luka-luka. Tak tahan lagi akan amukan lawananya, Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri sambil mencari bantuan, tidak peduli lagi nasib anak buahnya.
"Terus bertahan di sini, aku hanya meminta bantuan!" teriak Leng Hok-hou kepada anak buahnya. Lalu ia mencoba mencapai pintu.
Tentu saja anak buahnya tidak berani membantah, namun mereka mengumpat-umpat dalam hati mereka sebab merasa diumpamakan ke ujung pedang Sebun Him. Tapi perintah tidak boleh dibantah sebab setiap anggota Kui-kiong yang membantah perintah akan disediakan hukuman amat berat yang jauh lebih mengerikan dari sekedar hukuman mati. Dan Kui-kiong amat mahir dalam seribu satu cara penyiksaan.
Yang tidak membiarkan Leng Hok-hou kabur adalah Sebun Him sebab Leng Hok-hou yang dulu ikut menjebak ayahnya dengan menyamar sebagai pemilik warung di tengah jalan itu ia memburu ke arah Leng Hok-hou, dan siapapun yang merintangi langsung dibabat tanpa ampun.
"Bangsat licik! Jangan kabur!" teriak Sebun Him. Dengan mengerahkan ilmu Kun-goan-sin-kangnya maka gerakannyapun menjadi amat pesat sehingga dalam sekejap saja ia sudah tiba di belakang tubuh Leng Hok-hou.
Alangkah takutnya Leng Hok-hou yang merupakan bekas tokoh golongan hitam yang bergelar Kiu-bwe-coa itu, belum pernah seumur hidupnya ia setakut ini, dan biasanya malah dialah yang menakuti orang lain. Dikerahkannya segenap kekuatannya untuk kabur lebih cepat, tapi semangatnya serasa kabur melayang ketika tiba-tiba terasa tangan Sebun Him yang kuat mencengkeram tengkuknya.
"Ampun...ampun..." Leng Hok-hou meratap tanpa malu-malu lagi, tidak peduli ditonton sekian banyak anak buahnya, segala kegarangannya sudah sirna tanpa bekas.
Dengan perasaan muak Sebun Him mengangkat pedangnya untuk menebas leher penjahat yang kejam tetapi pengecut itu, namun tiba-tiba sebuah pikiran berkelebat di benaknya dan ia membatalkan gerakan pedangnya. Tanyanya, "Baik, aku tidak akan membunuhmu, tapi kau harus katakan kepadaku di mana gadis yang kalian culik dari kota Tiang-an beberapa hari yang lalu itu?!"
Dengan suara gemetar Leng Hok-hou menyahut, "aku tidak tahu gadis mana yang kau maksud, tapi Im Lotoa dan Im Loji memang menyimpan beberapa gadis yang suatu waktu kelak akan diminum darahnya oleh Toa-suheng mereka, si kelelawar siluman she Liong itu. Di sebuah ruangan di pojok timur bangunan ini yang depan pintunya dihiasi patung singa sepasang..."
"Apakah gadis-gadis itu sudah di-minum darahnya?"
"Beberapa orang sudah dan beberapa orang lagi masih menunggu giliran, kemarin aku melihat anak buah Liong Pek-ji membuang mayat tiga orang gadis ke telaga..."
Sebun Him mendengar keterangan itu dengan bulu kuduk bergidik, inilah sarang iblis yang sebenar-benarnya. Di dalamnya berkumpullah jenis-jenis orang yang senang minum darah senang membunuh, senang membuat patung dari manusia-manusia hidup yang diawetkan, dan entah kegemaran-kegemaran lainnya yang serba biadab. Selain itu Sebun Him juga amat mencemaskan gadis bermata bintang kejora yang dijumpainya di Tiang-an itu, mungkinkah gadis itu termasuk dalam mayat-mayat yang sudah dibuang ke telaga untuk santapan ikan-ikan buas pemakan daging penghuni telaga itu?
"Baik, terima kasih, tapi aku terpaksa tidak bisa membiarkanmu hidup terus sebab itu sama saja dengan melepaskan sesosok iblis ke tengah-tengah masyarakat yang mendambakan ketenteraman ," kata Sebun Him dingin.
"Kau...sudah berjanji...."
"Lebih baik aku menjilat ludahku sendiri daripada membiarkan orang-orang tak berdaya menjadi korban kebiadabanmu di Kemudian hari!"
Sekali pedang Sebun Him berkelebat maka lepaslah kepala Leng Hok-hou. Anak buahnya menyaksikan hal itu dengan perasaan gentar tanpa bisa berbuat apa-apa. Ingin rasanya Sebun Him membasmi keroco-keroco itu sekalian, tetapi timbul juga kasihannya melihat wajah-wajah yang ketakutan dan putus-asa karena merasa tidak ada harapan hidup lagi itu. Maka Sebun Him hanya menudingkan pedangnya sambil berkata,
"Aku mengampuni kalian, tapi jika selanjutnya kalian masih berbuat kejahatan, maka nasib kalian akan seperti pemimpin kalian ini. Aku, Sebun Him yang berjuluk Beruang Barat dari Hoa-san-pay, maupun pendekar-pendekar lainnya pasti tidak akan mengampuni kalian lagi, ingat itu. Selama ini kalian mengandalkan Kui-kiong dan Te-liong Hiangcu untuk keganasan kalian, tapi kini Kui-klong sudah hampir runtuh, Te-liong Hiangcu yang kalian dewa-dewakan itupun sudah kedatangan lawan-lawan tangguh yang tidak dapat diatasinya, ia menjelang keruntuhannya dan kalian tidak lagi bias bersandar kepadanya."
"Terima kasih, Sebun Tayhiap," sahut orang-orang yang lolos dari maut itu.
"Kalian pergilah dan siarkan seluas-luasnya bahwa Se-him (Beruang Barat) yang telah menghancaurkan Kui-kiong. Cepat!"
Meskipun orang-orang itu menganggap Sebun Him terlalu besar mulut, toh mereka merasa beruntung juga bisa lolos dari kematian. Sementara itu, Sebun Him telah keluar dari ruangan bahwa tanah itu, dan Kebetulan saat itu adalah malam hari. Obor-obor dipasang di segenap sudut bangunan Kui-kiong yang luas itu. Anak-buah Kui-kiong kelihatan berjaga-jaga dengan sikap tegang di segala tempat, sementara di kejauhan entah di mana terdengar suara bentakan-bentakan orang yang bertempur.
Agaknya Kui-kiong yang dulu rahasia itu kini sudah bukan rahasia lagi, banyak orang yang sudah tahu sarangnya dan Kui-kiongpun mulai mengalami gangguan-gangguan terus menerus beberapa hari ini dari Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bekas tokoh tiga dan empat di jaman Hwe-liong-pang itu.
Dengan berjalan mengendap-endap dari satu sudut ke sudut lainnya, Sebun Him menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Leng Hok-hou tadi. Beberapa kali tangan Sebun Him gatal ingin menghantam orang-orang Kui-kiong yang ditemuinya, tapi ia harus menahan diri sebab kini tujuan utamanya adalah menolong gadis dari kota Tiang-an itu, kalau itu masih ada.
Tidak sulit menemukan ruangan seperti yang ciri-cirinya diceritakan oleh Leng Hok-hou tadi. Ruangan itu pintunya dijaga, namun dengan meloncati tembok samping, Sebun Him dapat masuk ke dalamnya. Bagian dalam ruangan itu tak terjaga, mirip dengan sebuah kerangkeng besar di kebun binatang yang bersekat-sekat. Dalam tiap-tiap sekatan itu nampak seorang gadis yang rata-rata berwajah pucat dan murung sebab tidak tahu nasib apa yang bakal menimpa mereka diculik dan berada di tempat itu.
Ada yang berpakaian seperti gadis-gadis kota, ada yang seperti gadis desa. Ada pula sekatan-sekatan yang sudah kosong tak ada isinya, dan Sebun Him berani bertaruh potong telinga bahwa penghuni-penghuni sekatan yang kosong itu tentu tulang-tulangnya sudah bersih dan tergeletak di dasar telaga yang mengelilingi Kui-kiong, dagingnya dalam perut ikan-ikan buas itu, dan darahnya dalam perut Liong Pek-ji si kelelawar iblis peminum darah itu.
Sebun Him agak lega ketika melihat di salah satu sekatan itu nampak gadis yang dilihatnya di kota Tiang-an itu, yang oleh orangtuanya dipanggil "A-giok" namun Sebun Him sendiri tidak tahu siapa nama lengkapnya. Meskipun gadis itupun nampak kurus dan ketakutan, tapi yang penting dia masih hidup.
"Nona A-giok?" kata Sebun Him sambil mendekati.
Gadis itu yang memang Ting Hun-giok adanya, mengangkat wajahnya dan matanya membelalak heran. Untuk sesaat Sebun Him terpesona oleh keindahan sepasang mata itu, lupa bahwa dirinya masih berada di tengah-tengah musuh. Namun akhirnya Sebun Him-dapat menguasai goncangan hatinya, dan iapun berkata,
"Aku Sebun Him dari Hoa-san-pay, kenal dengan ayah nona Ting Tayhiap (Pendekar she Ting) dari An-yang-shia. Aku harus menyelamatkan nona keluar dari sini!"
Secercah harapan muncul di mata gadis itu, tanyanya, "Sebun... Sebun Toako, bagaimana caranya keluar dari kerangkeng ini sedangkan kuncinya ada pada mereka?"
Rasanya sukma Sebun Him terbang ke awang-awang ketika mendengar panggilan "Sebun Toako" itu, semangatnya berkobar dan ia pun menjawab gagah, "Jangan kuatir, nona A-giok, terali ini tidak berarti apa-apa buat Si Beruang Barat!"
Lalu diletakkannya pedangnya dan dikerahkannya tenaga Kun-goan-sinkang kekedua belah tangannya dipegangnya dua buah terali yang berdampingan dan direnggangkannya sekuat tenaga. Kun-goan-sin-kang memang Ilmu kekuatan yang hebat, sehingga terali-terali itu pun bagaikan menggeliat dan perlahan-lahan merenggang, meskipun terbuat dari besi-besi hampir sebesar pergelangan tangan.
Untuk itu Sebun Him juga harus mengerahkan tenaga sehingga mukanya merah dan otot-otot di jidatnya bertonjolan keluar. Meskipun Ting Hun-giok agak geli juga melihat tingkah Sebun Him, tapi ia kagum juga akan tenaga raksasa pemuda itu dan diam-diam membandingkannya dengan kakak seperguruan dari ibunya, Bu-gong Hweshio, yang juga bertenaga hebat itu.
Tak lama kedua terali itu telah melengkung berlawanan sehingga sela-selanya cukup untuk dilewati tubuh Ting Hun-giok yang tanpa disuruh lagi telah meloncat keluar. Dengan gembira gadis itu langsung hendak melangkah pergi, tetapi ketika terlihat olehnya akan gadis-gadis lain yang disekat-sekat dalam kerangkeng-kerangkeng itu lenyaplah seri kegembiraan dari wajah gadis itu.
Memang benar bahwa dirinya sendiri telah bebas, tapi bagaimana dengan gadis-gadis yang betapapun juga selama beberapa, hari ini telah menjadi teman-teman senaslb-nya itu? Mereka akan tetap terkurung di situ, menunggu sesuatu yang belum mereka ketahui, sementara satu persatu dari mereka akan diambil setiap beberapa hari sekali dan tidak pernah kembali lagi. Mereka hanya dapat menunggu dalam kecemasan keputus-asaan.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Ting Hun-giok kepada Sebun Him sambil menunjuk kepada gadis-gadis itu. Gadis-gadis yang menatap mereka berdua dengan penuh harapan tetapi sekaligus juga kecemasan bahwa harapan mereka tak akan menjadi kenyataan.
Sebun Him mengerutkan alisnya dan menjawab, "Bukannya aku tidak memperhatikan nasib mereka, tetapi mungkinkah aku membawa mereka semua keluar dari sini? Padahal kemungkinan kita akan membawa mereka semua keluar dari sini? Padahal kemungkinan kita akan bertemu dengan musuh dan bertempur, sedangkan diri kita sendiri saja belum tentu berhasil kita urus, apalagi mengurus perempuan sebanyak ini yang sama sekail tidak mahir bersilat?"
Ting Hun-giok kebingungan. Ucapan Sebun Him benar juga, tapi hati kecilnya rasa-rasanya tidak rela juga kalau hanya dirinya sendiri yang selamat sementara teman-teman senasibnya itu tetap berada di kerangkengan yang mirip kerangkeng binatang itu. Berganti-ganti matanya menatap Sebun Him dan gadis-gadis di kerangkengan itu.
Sementara Sebun Him berkata, "Menyelamatkan diri sendiri lebih penting, ayo cepat, nona A-giok.”
Sementara itu, seorang gadis di kerangkengan itu telah berkata dengan nada memohon, "Tayhiap, bebaskanlah aku, andaikata aku tewas dalam pelarianku aku tidak akan menyalahkan kalian berdua. Dan aku bisa pula bersilat serba sedikit sebab pernah belajar tiga tahun pada seorang guru silat di desaku."
Gadis-gadis lainnyapun berkata, "Akupun lebih baik mencoba melarikan diri daripada menunggu datangnya bencana di tempat ini."
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Namun teriakan-teriakan gadis-gadis itu terbungkam ketika Sebun Him membentak, "Siapa sudi peduli kepada kalian, perempuan-perempuan jelek! Tugasku hanya menolong nona A-giok!"
Yang terkejut mendengar ucapan Sebun Him itu adalah Ting Hun-giok. Tadinya la merasa kagum dan berterima kasih kepada anak muda Hoa-san-pay itu namun sikap Sebun Him kemudian membuatnya tidak senang. Sikap yang kasar kepada kaum wanita yang tengah membutuhkan pertolongan, dan juga mementingkan diri sendiri.
"Ayo nona A-giok! Nanti penjaga keburu datang kalau mereka mendengar teriakan perempuan-perempuan ini!" kata Sebun Him tergesa-gesa. "Nasib mereka bukan tanggung jawab kita, toh bukan aku yang mengirim mereka sampai masuk ke kerangkeng ini."
Namun Ting Hun-giok dengan wajah yang menampilkan kekecewaan ternyata tidak beranjak seujung rambutpun dari tempat berdirinya. Sahutnya, "Sebun Siauhiap (pendekar muda Sebun) yang maha perkasa, andaikata kau tidak mampu menolong mereka, tidak perlu kau keluarkan kata-kata yang menyakitkan hati mereka, sebab mereka sudah cukup menderita selama berada di sini!"
"Ya, ya, aku tidak akan menyakiti lagi hati mereka, ayo cepat pergi! Aku tidak mengajak mereka hanya karena alasan mereka akan membahayakan diri kita? bukan karena mengabaikan mereka" kata Sebun Him tak sabar.
Diluar dugaan tiba-tiba Ting Hun-giok malah masuk kembali ke dalam kerangkengnya, dan berkata dingin kepada Sebun Him, “Kalau begitu akupun hanya akan mengganggu gerak-gerikmu, Sebun Siauhiap yang maha perkasa. Larilah kau sendiri, jangan hiraukan aku. Maka aku tanggung nasib baik atau buruk bersama kawan-kawanku ini. Selamatkan dirimu sendiri, bukankah dirimu itu yang lebih penting dari segala-galanya?"
Sebun Him membanting-banting kakinya karena jengkel melihat sikap Ting Hun-giok itu. Katanya, "Nona A-giok, tahukah kau bahwa aku mengikuti jejakmu sejak dari kota Tiang-an sampai ke sini, dan sekarang kau tidak menghiraukan susah-payahku itu? Kau memberati nasib mereka tapi tidak memikirkan nyawamu sendiri?”
"Terima kasih atas susah-payahmu, akupun tidak minta itu kepadamu. Tapi aku berhak mempertahankan pendirianku sendiri bahwa aku tetap ingin menanggung nasib baik atau buruk bersama mereka.” sahut Ting Hun-giok tegas.
Sementara itu, salah seorang gadis yang tadi minta dibebaskan itupun agaknya melihat sikap Ting Hun-giok itu. Katanya, "Teman-temanku, hari ini kita lihat di depan mata kita seorang pria yang kalah kejantanannya dengan seorang wanita seperti Ting Kohnio ini. Biasanya kaum pria membanggakan diri bisa berbuat lebih berani dan lebih hebat dari kaum hawa yang dianggap lemah, tapi kini terbukti sebaliknya. Ting Kohnio, kau pergilah bersama pendekar hebat itu dan tidak usah pikirkan kami lagi..."
"Tidak. Aku sudah memutuskan."
Merghadapai perempuan-perempuan ini Sebun Him benar-benar kebingungan, dan sikapnya itu malah membuat Ting Hun-giok semakin muak. Ketika Sebun Him tengah kebingunan hendak berbuat bagaimana, tiba-tiba apa yang dikuatirkanpun terjadi. Suara percakapan mereka yang semakin lama semakin keras itupun telah terdengar oleh para penjaga.
Terlihat beberapa buah bayangan meluncur dari atas dinding, dan di tempat itu telah berdiri lima orang pengawal Kui-kiong, dipimpin seorang lelaki yang berpakaian hitam dan berwajah agak tampan, dan memegang pedang dengan tangan kiri tanda dia kidal. itulah Pul In-bun, si penjahat pemetik bunga yang beberapa waktu yang lalu mengganas di kota Tiang-an.
Melihat Sebun Him, Pui In-bun tertawa dan berkata, "Aku senang bertemu denganmu lagi sahabat, setelah pertemuan kita yang pertama di Tiang-an di atas genteng penginapan Pek-niau-el-am itu. Kabarnya kau dikurung di gua batu itu, kenapa kau sekarang berkeliaran di sini?"
Sebun Him ingat bahwa orang itulah yang pernah menuduhnya sebagai penjahat pemetik bunga sehingga Sabun Hlm harus bertarung melawan Bu-gong Hweshio dulu, maka kemarahannyapun terungkat. Kejengkelannya dalam menghadapi Ting Hun-giok dan gadis-gadis lainnya kini hendak disalurkannya kepada orang-orang Kui-kiong itu.
Tanpa menjawab sepatah katapun ia segera meloncat menyongsong mereka, pedangnya bergerak dua jurus beruntun Hoan-thian-hok-te (Membalik Langit dan Bumi) serta Liong-teng-toh-cu (Merebut Mutiara di Kepala Naga) yang cepat bagaikan angin puyuh, maka dua orang pengawal Kui-kiong roboh seketika. Yang seorang tersabet perutnya dan lainnya lagi tertusuk lehernya.
Pui In-bun terkejut ketika melihat Sebun Him sekarang ternyata jauh berbeda tingkatan ilmunya ketika berada di Tiang-an dulu. Sadar dirinya dalam keadaan bahaya belum bertempur Pui In-bun sudah bersuit keras minta bantuan. Kemudian Pui In-bun sendiri mendahului menyergap Sebun Him dengan gerakan Ngo-eng-bok-tho (Elang Lapar Menyambar Kelinci)! Ia kidal juga seperti Sebun Him, sehingga terjadilah pertarungan antara dua orang yang kidal.
Namun, meskipun sudah bertempur dibantu tiga orang anak buahnya yang rata-rata cukup tangguh juga. Pui In-bun dan teman-temannya tetap saja jatuh di bawah tekanan berat Sebun Him yang kini telah memiliki Kun-goan-sin-kang itu. Sambaran pedang pemuda Hoa-san-pay itu menjadi begitu berat seolah sebongkah batu besar yang digelundungkan dari puncak gunung, sehingga Pui In-bun dan pengawal-pengawalnya tidak berani adu tenaga.
Ting Hun-giok melihat jalannya pertempuran itu dengan kebimbangan dalam hati, haruskah la membantu Sebun Him yang dikeroyok itu atau tidak? Meskipun ucapan-ucapan Sebun Him yang kelihatannya mementingkan diri sendiri tadi tidak disukainya, namun betapapun juga anak muda itu sudah berusaha menolongnya keluar dari situ dengan mempertaruhkan nyawa.
Akhirnya Ting Hun-giok mengambil keputusan, dan ia meloncat keluar kembali dari kerangkeng itu serta memungut sebatang pedang dari pengawal Kui-kiong yang sudah mati itu. Meskipun senjata andalan Ting Hun-giok adalah golok seperti ayahnya, namun la bisa juga memainkan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat gaya Siau-lim-pay, ajaran Ibunya.
"Sebun Siauhiap, biar aku bantu kau!" kata Ting Hun-giok.
Sahut Sebun Him sambil tetap bertempur, "Tidak perlu, aku si Beruang Barat akan sanggup menghancurkan mereka! " Di dalam hatinya, Sebun Him merasa kurang senang sebab Ting Hun-giok yang, tadinya sudah memanggilnya dengan sebutan akrab "Toako" kini telah mengubahnya dengan "Siauhiap" yang lebih mentereng namun terlalu resmi dan tidak akrab. Semua kekesalan hatinya itu ditumpahkan kepada lawan-lawannya.
Ketika seorang pengawal Kui-kiong yang menggunakan Jurus Tay-san-ap-teng (Gunung Tay-san Roboh Ke Kepala), dengan goloknya untuk membelah kepala Sebun Him dari atas ke bawah, maka Sebun Him melintangkan pedangnya ke atas sambil mengangkat kakinya untuk menendang dada orang itu. Orang itu terpental beberapa langkah ke belakang dan terdengar gemeretak tulang dadanya yang berpatahan. Iapun terbanting ke tanah dan tak bergerak lagi.
Saat itulah suitan Pui In-bun tadi agaknya telah mendatangkan hasil, terlihat sesosok bayangan hitam meloncat masuk dengan gerakan yang sangat ringan. Dialah Tiat-ci-hok. (Kelelawar Bersayap Besi) Im Yao yang datang bersama adiknya, Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Nyawa) Im Kok. Mereka berdua adalah pasangan di kalangan hitam yang sering disebut sebagai Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam)."
Ketika Im Yao tiba di tempat itu, melihat Ting Hun-giok sudah berada di luar kerangkengan dan berdiri dengan pedang terhunus, serta melihat terali kerangkeng yang sudah bengkok, Im Yao dapat menebak apa yang telah terjadi. Sesaat pentolan Kui-kiong yang tak pernah ragu-ragu dalam bertindak itupun kini menjadi bimbang tak tahu harus berbuat apa. Terhadap perempuan lain la tidak peduli, namun Ting Hun-giok baginya adalah terlalu istimewa.
Satu-satunya orang di dunia yang memperlakukannya sebagai sesama manusia yang sederajat, bukan sebagai penjahat yang direndahkan dan dikutuk, satu-satunya orang yang telah menerbitkan setitik cahaya terang dalam jiwanya yang selalu dalam kegeiapan. Haruskah kini la menangkap kembali gadis itu untuk dikurung kembali menunggu gilirannya untuk diminum darahnya sampai kering dan kemudian dilemparkan ke telaga?
"Im Lotoa, bantu aku cepat!" teriak Pui In-bun yang keadaannya semakin gawat di bawah tekanan Sebun Him itu.
Tui-hun-hok Im Kok sudah menghunus pedangnya dan hendak terjun ke arena untuk membantu Pui-In-bun, namun la heran ketika kakaknya mencegahnya dengan memalangkah tangannya. "Lotoa, kita harus segera membantu si hidung belang itu, kalau tidak ia akan mampus di ujung senjata lawannya."
Sahut Tiat-ci-hok Im Yao, "Loji, seumur hidup kita mengabdi kepada Kui-kiong, pernahkah kita berbuat bebas menurut suara hati kita sendiri?"
Im Kok terkejut mendengar pertanyaan kakaknya, justru dalam saat seperti itu, namun ia mencobanya untuk memikirkannya. Rasanya yang disebut "kebebasan menurut suara hati" itu memang belum pernah mereka rasakan, mereka hanya kenyang dengan perintah-perintah Te-liong Hiangcu untuk berbuat begini atau begitu, disertai ancaman-ancaman hukuman yang mengerikan apabila tugas itu gagal.
Kadang-kadang "kebebasan" itu datang juga apabila mereka merayakan keberhasilan suatu pekerjaan, dengan pesta-pora dengan makan minum yang berlimpah dan perempuan-perempuan culikan yang dijadikan pelampiasan nafsu mereka. Tapi itu adalah kebebasan hewani dan juga kebebasan semu, sebab itu semuanya hanyalah "upah" kalau mereka berhasil menjalankan tugas berat. Kadang-kadang hati kecil Im Kok tergetar juga mendengar jerit tangis orang-orang yang menjadi korbannya atau korban teman-temannya itu.
Namun la tidak boleh menunjukkan "kecengengan"nya terhadap Jerit tangis memilukan itu. Ia harus menutupinya dengan tertawa terbahak-bahak dan kalau perlu berbuat lebih ganas lagi supaya dilihat teman-temannya bahwa ia "gagah-beranl". Menekan hati sendiri, itukah kebebasan"?
Akhirnya Im Kok hanya menggeleng lemah sambil menjwab, "Entahlah, Lotoa, aku hanya tahu bahwa sejak kecil kita kekurangan sandang dan pangan, sejak ayah mencekik mati ibu kita, dan kemudian setahun kemudian ayah sendiripun menggantung dirinya di pohon di belakang rumah. Waktu itu kita kedinginan dan kelaparan, kita hanya ingin pakaian yang hangat tidak perlu bagus dan makanan yang dapat mengenyangkan perut kita seperti anak-anak lain sehingga kita menjadi pengemis cilik, toh kita lebih sering mendapatkan caci-maki dan gebugan atau gonggongan anjing di depan pintu daripada secarik pakaian atau sepotong makanan. Lalu Toa-suheng menemukan kita, mengajari ilmu silat kepada kita, menghangatkan badan dan mengenyangkan perut kita, sampai kita bergabung dengan Kui-kiong. Apalagi?"
Sahut kakaknya, "Ya, kita mendapatkan apa yang kita impikan ketika kita kecil, pakaian dan makanan berlimpah, bahkan kekuasaan karena Kui-kiong kita ditakuti di mana-mana. Tapi kita kehilangan kegembiraan sejati kita sebagai manusia, karena kita harus menindas suara hati kita sendiri. Sekarang aku akan melepaskan belenggu itu, aku akan berbuat dengan kehendakku sendiri."
Adiknya terkejut, ia bahkan tidak peduli ketika mendengar jeritan kematian dari seorang anak buah Kui-kiong yang terbabat pedang Sebun Him. Tanyanya, "Lotoa, apa yang akan kau perbuat?"
"Aku harus membantu gadis itu untuk lolos. Suara hatiku menyuruhku berbuat demikian."
"Gadis itu dikehendaki oleh Toasuheng. Apakah kita akan berkhianat kepada Toa-suheng yang telah mengangkat kita dari kemelaratan? Memberi kita pakaian dan makanan ketika kita masih menjadi pengemis-pengemis yang tidur di depan pintu rumah orang berselimut salju?"
"Hutang budi kita kepada Toa-suheng sudah kita bayar dengan mengabdi kepadanya selama bertahun-tahun dengan menekan kehendak kita sendiri, dan terlalu mahal kalau harus kita bayar dengan seluruh hidup kita...."
"Lotoa, apakah kau jatuh cinta kepada gadis itu?"
Kalau hal itu ditanyakan beberapa saat yang lalu, barangkali Im Yao akan menjawab dengan berteriak keras-keras-bahwa ia tidak jatuh cinta, jatuh cinta adalah hal yang sangat memalukan dan menjadi bahan tertawaan orang-orang Kui-kiong. Tapi selama beberapa hari ini, sejak pertemuan dan percakapan dengan Ting Hun-giok, Im Yao mulai merenungkan keberadaannya di dunia ini, dirasakannya percuma kalau hidupnya hanya selalu di bawah tekanan dan perintah orang lain tanpa memberi arti kepada diri sendiri dan sesama yang butuh pertolongan.
Maka terkejutlah Im Kok., ketika la melihat ketika melihat kakaknya mengangguk dengan mantap dan jawabannya sama mantapnya, "Ya. Untuk dia, biarlah aku sedia menanggung hukuman yang paling berat dari Hiangcu, bahkan sebutan-sebutan pengkhianat atau lain-lainnya, dan mungkin tubuhku akan dicemplungkan ke telaga itu. Rasanya bahagia sekali bisa berbuat sesuatu baginya."
Lalu Im Yao menatap adiknya lekat-lekat, menanti adiknya itu akan tertawa terpingkal-pingkal mentertawakannya dan mengejeknya sebagai orang cengeng, atau adiknya itu akan dengan beringasnya mencabut pedangnya dan berusaha membunuhnya karena dianggap sebagai pengkhianat Kui-kiong?
Tapi sikap adiknya yang dinanti-nanti itu tidak kunjung tampak, bahkan sang adik yang kelakuannya selama ini tidak kalah jahatnya dengan kakaknya, tiba-tiba berkata dengan suara agak parau karena terharu, "Selamat kakakku, kuucapkan selamat kepadamu. Kau temukan kebahagiaanmu sama saja akupun ikut berbahagia. Kau sanggup menahan segala derita untuk gadis itu akupun sanggup menahan derita apapun untukmu, Lotoa..."
Percakapan agak terganggu sebentar karena ada sebutir kepala yang menggelinding dekat kaki mereka, kepala yang putus tersambar pedang Sebun Him yang tengah mengamuk itu. Tapi Im Kok melanjutkan dengan suaranya yang mewakili perasaannya yang bergejolak,
"...sejak orangtua kita tiada, kaulah satu-satunya sanakku di dunia sebelum Toa-suheng. Aku ingat, ketika aku kedinginan di musim salju maka kau lepas bajumu sendiri yang hanya selembar itu dan dikerudungkan ke badanku, ketika aku lapar kau berikan rotimu yang hanya sepotong untukku sedangkan kau sendiri merasakelh perutmu kosong sepanjang malam..."
Tangan dari kakak-beradik yang sama jahatnya itu tiba-tiba saling menggenggam dengan eratnya, tangan-tangan yang dengan darah dingin sering mengayuhkan pedang untuk menumpahkan darah orang lain itu, kini menjadi hangat karena mereka sudah pulih menjadi manusia biasa yang berdarah hangat dan bukan lagi hantu-hantu yang dingin.
"Terima kasih, adikku....”
"Sejak kecil kita bersama-sama dan akan selalu bersama-sama, dalam kegembiraan atau kepedihan. Kau kakakku dan bagiku lebih dari segala-galanya, dari Toasuehng sendiri maupun Te-liong Hiangcu."
Keakraban kakak beradik yang bertahun-tahun tak lagi mereka rasakan, kini telah mereka dapatkan kembali. Terdengar Pul In bun berteriak, "lm Lotoa dan Im Loji, kalian ini sedang berlatih main sandiwara atau bagaimana?! Lekas bantu aku!"
Bersamaan dengan terkatupnya mulut Pui In-bun, pedang Sebun Him tepat mengenal lambungnya dan mengakhiri hidupnya. Tapi sebelum mati, Pui In-bun sempat berteriak, "Kelelawar-kelelawar busuk..."
Orang-orang Kui-kiong itu habis sudah. Tinggal Im Yao dan Im Kok yang berdiri berdampingan, namun sikap mereka tidak mirip sikap orang yang hendak bertempur, meskipun tangan-tangan mereka menggenggam pedang.
Wajah Ting Hun-giok menjadi cerah ketika melihat bagaimana kakak-beradik itu ternyata tidak membantu Pui In-bun tadi, itulah perubahan sikap yang amat tajam. Maka Ting Hun-gi-ok pun menganggukkan kepala sambil tersenyum hangat, "Terima kasih, Im Toako."
Im Yao menjadi agak canggung, sampai adiknya yang menyentuhnya dan berkata, "Gadis itu berterima kasih kepadamu, Lotoa, dan kau harus menjawabnya..."
"Ba...baik...lah, kalian harus cepat pergi dari sini sebelum penjaga-penjaga lainnya berdatangan..."
Sebun Him menjadi panas hatinya melihat Ting Hun-giok ternyata malahan mengucapkan terima kasih kepada orang Kui-kiong yang wajahnya seperti hantu itu; sedangkan dirinya sendiri yang sudah berkelahi mati-matian agaknya malah didiamkan saja. Ketika Ting Hun-giok melangkah, mendekati Im Yao, Sebun Him meloncat menghalanginya dan berkata keras, "Nona A-giok, jangan berdekatan dengan iblis kotor itu!"
Ting Hun-giok menjawab, "Aku berhak mengatur diriku sendiri, tidak usah Sebun Siauhiap ikut campur dalam segala urusanku!"
Darah Sebun Him semakin mendidih mendengar jawaban itu, "Nona, jangan lupa bahwa akulah yang bisa menolongmu, mati hidup nona tergantung kepadaku!"
Sikap Sebun Him itu semakin lama terasa semakin menjemukan bagi Ting Hun-giok, sedikit-sedikit mengingatkan orang akan jasa dirinya sendiri, menganggap dirinya pahlawan yang kehadirannya harus disyukuri oleh orang lain. Karena itu, Ting Hun-giok bertanya, "Sebun Siauhiap, kau ingin menolong aku, baik. Tapi kau bisa membawa serta gadis-gadis lain itu atau tidak?"
"lni...ini benar-benar sulit...."
"Aku senasib dengan mereka, dan tidak akan keluar dari sini kecuali bersama dengan mereka!"
Syarat yang diajukan itu memang membuat Sebun him kebingungan, dalam hatinya la jengkel juga akan sikap keras kepala dari gadis itu, yang dianggapnya sudah ditolong tidak berterima kasih tapi malahan membuatnya kebingungan. Apalagi ketika Ting Hun-giok masuk kembali ke dalam kerangkeng dan berkata “Silahkan selamatkan dirimu sendiri. Sebun Siauhiap, itu tentu lebih mudah daripada kau membawa-bawa aku.”
Saat semuanya kebingungan itulah tiba-tiba terdengar suara Im Yao, tetap Bernada dingin seperti biasanya namun jelas bermaksud baik, "Aku bisa menolongmu dan semua perempuan-perempuan ini, nona Ting..."
"Aku tidak berbicara kepadamu!" bentak Sebun Him panas.
Sahut Im Yao, "Dan akupun tidak bicara kepadamu, aku bicara kepada Ting Kohnio."
Hampir saja Sebun Him melabrak si Kelelawar Bersayap besi itu, kalau tidak terdengar suara Tin Hun-giok, "Apa akalmu, Im Toako?"
Tanpa melirik sedikitpun kepada Sebun Him, Im Yao berkata. "Aku memegang kunci untuk semua kerankeng-kerangkeng itu, dan aku tahu sebuah jalan keluar bawah tanah tanpa melalui pintu gerbang yang dijaga ketat..."
Sebun Him tertawa "Heran, kau ini hanya membual untuk menarik perhatian...."
Namun ucapan Sebun Him kemudian terbungkam ketika melihat Im Yao mengeluarkan serenceng kunci dan pintu-pintu kerangkengan itu dibebaskan semuanya. Lalu kata Im Yao, "Ikuti aku. Saat ini delapan dari sepuluh kekuatan Kui-kiong sedang dikerahkan keluar tembok untuk menghadapi dua penyerang yang bernama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, entah kapan pertempuran selesai, dan kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya..."
Selanjutnya;