Pendekar Naga dan Harimau Jilid 37

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Pendekar Naga dan Harimau Jilid 37 Karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 37

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
”Paman terlalu berprasangka. Itu tidak baik bagi persatuan kita."

"Paduka, khusus untuk perwira yang bernama Tong Lam-hou itu, hamba punya bukti-bukti yang memberatkan dia."

Waktu itu, selera berburu dari Kaisar Khong-hi agaknya sudah lenyap karena mau tidak mau omongan Pakkiong An itu banyak yang masuk ke hatinya. Lagi pula ia merasa binatang buruan yang diperolehnya sudah cukup banyak untuk hari itu, maka diperintahkannya seluruh rombongannya untuk kembali ke pesanggrahan yang didirikan di tepi hutan itu.

Pesanggrahan yang sederhana namun mendapatkan pengawalan amat kuat dari berpuluh-puluh orang jagoan Gi-caan-si-wi yang semuanya menyamar sebagai pemburu. Di dalam kemah itu-pun Kaisar melanjutkan pembicaraannya dengan Pakkiong An dengan berdua saja. Ia tidak ingin ada orang ketiga mendengarkan percakapan tentang masalah yang sangat peka itu, masalah kecurigaan antara suku han bisa membuat negeri yang luas itu berantakan kehilangan ikatan dalam sehari saja.

"Bukti-bukti yang memberatkan Tong Lam-hou?" tanya Kaisar itu mulai tertarik kepada ucapan Pakkiong An yang terakhir itu. Kaisar bukan seorang yang bodoh dan berpendirian lemah, tapi ia masih terlalu muda, dan darahnya yang mudah panas itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Pakkiong An dalam menyingkirkan saingan-saingannya, termasuk keponakannya sendiri, bahkan langkah terakhir Pakkiong An kelak adalah menyingkirkan sendiri Kaisar itu.

"Benar, paduka, sejak kedatanqan Tong Lam-hou dari daerah Hun-lam sana, hamba sudah merasa curiga karena sikapnya yang agak berlebih-lebihan dalam menunjukkan kesetiaannya kepada pemerintah kita. Paduka jangan lupa bahwa Hun-lam adalah sebuah wilayah di mana sisa-sisa dinasti Beng masih punya pengaruh kuat, di sana masih ada Li Teng-kok yang belum berhasil kita tangkap dan masih saja bergerilya dengan anakbuahnya, meskipun di kota Kun-beng kita telah menempatkan Song Jin-ho dengan pasukannya yang kuat. Tetapi pasukan Song Jin-ho hanya menguasai kota-kota saja, sedang daerah-daerah luar kota pengaruh pemberontak masih terasa lebih kuat. Nah, Tong Lam hou ini datang dari daerah pedesaan itu, bukan mustahil dia adalah pengikut dinasti Beng yang menyusup ke tubuh ketentaraan kita dengan tugas tertentu.’’

"Yang kau katakan bukti-bukti itu hanya begitu saja, paman?"

"Tidak, paduka. Berdasarkan kecurigaan hamba itu, lalu hama secara diam-diam memasang beberapa mata-mata untuk mengamati gerak-geriknya terus menerus. Dan dari laporan para mata-mata hamba itu tersusunlah laporan yang mengejutkan."

Meskipun Kaisar Khong-hi berusaha menyaring semua laporan dan tidak mempercayainya begitu saja, namun melihat cara Pakkiong An bercerita itu maka hatinya semakin lama semakin teitarik juga, meskipun tidak diutarakan rnngan kata-kata.

Sementara Pakkiong An melihat itu sambil sekali-kali melirik untuk melihat bagaimana wajah Kaisar. "Paduka, hasil panelitianku menyebutkan bahwa Tong lam-hou adalah putera Tong Wi-siang, pemimpin Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api) yang berdiri jaman Kerajaan Beng dulu, dan bukan rahasia lagi bahwa Tong Wi-siang dengan Hwe-liong-pangnya yang kuat itu adalah seorang yang berambisi menduduki singgasana kekaisaran yang besar ini. Dulu ia memberontak melawan dinasti Beng dengan membonceng Li Cu-seng. Sekarang, hati orang siapa tahu?"

Untuk memancing, agar Pakkiong An mengucapkan lebih banyak keterangan, maka Kaisar yang muda tapi cerdik itu masih menunjukkan sikap pura-pura tidak percaya, "Paman jangan mengada-ada. Menurut laporan, dalam pertempuran menumpas Pangeran Cu Leng-ong, Tong Lam-hou justru sangat gigih membela panji-panji kerajaan kita sampai nyaris tak menghiraukan nyawanya sendiri. Tidak patut orang seperti itu malahan kita curigai."

"Paduka benar, tapi kegigihan Tong Lam-hou itu lebih tepat kalau disebabkan oleh kebenciannya kepada Cu Leng-ong karena ia adalah keturunan dinasti Beng. Ini hanya sekedar dendam lama antara dinasti Beng dan Hwe-liong-pang, tapi kita akan membuat kelengahan kalau mengira bahwa ia benar-benar setia kepada kita, setelah pertempuran melawan Cu Leng-ong itu, seluruh pasukan kita ditarik pulang ke Pak-khia dan ternyata Tong Lam-hou menghilang, artinya ia tidak ikut pu lang. Mata-mataku agak sulit menemukan jejaknya, namun tak lama kemudian mereka berhasil menemukan kembali jejak perwira baru itu. Dia ternyata sedang menuju ke Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san di wilayah Se-cuan untuk diangkat menjadi Ketua Hwe-liong-pang menggantikan ayahnya Tong wi-siang yang ambisius itu."

Betapapun tenangnya wajah Kaisar, namun berubah juga oleh laporan yang cukup mengejutkan itu. Tanyanya, "Paman, laporan itu cukup dapat dipercaya?"

"Hamba bekerja sama dengan Tok-ku Congkoan dari Pasukan Sandi, paduka. Paduka tentu tahu sendiri bagaimana baiknya mata-mata Tok-ku Cong-koan itu."

Kaisar menenggak anggur dari kantong kulit yang tergeletak di dekat tempat duduknya yang berlapis bulu tebal binatang itu, sementara Pakkibng An berkata lagi, "Paduka, selama dinasti Beng maka Hwe-liong-pang melawan dinasti Beng, kemudian sekarang yang ada dinasti Jing kita, buat apa mereka mengumpulkan kekuatan kalau bukan untuk menggulingkan kita. Dan harus paduka ingat bahwa orang-orang Hwe-liong-pang itu sepeninggal Tong Wi-siang lalu menjadi pengikut Li Cu-seng, dan Li Cu-seng punya dendam darah dengan pihak kita karena kitalah yang mengusirnya dari Pak-khia."

Tak terasa Kaisar Khong-hi mengangguk-anggukkan kepalanya, laporan Pakkiong An itu cukup masuk akalnya dan cocok dengan laporan dari mata-matanya sendiri, hanya saja, Pakkaiong An agaknya lebih berhasil menyusun laporan-laporan itu menjadi dugaan yang masuk akal. Perebutan kekuasaan di mana mana dan di jaman apa saja memang sama saja, teman bisa jadi musuh dan musuh jadi teman, untuk mencapai kemenangan bagi golongannya sendiri maka cari kotor apapun bisa digunakan.

"Paduka tentu bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepada pemerintah kita ini, kalau seorang putera gembong Hwe-liong-pang seperti Tong Lam-hou berhasil menyusup ke tubuh kita dan kemudian menduduki jabatan penting? Jika disuruh menyerang sisa-sisa dinasti Beng, barangkali Tong Lam-hou masih mau sebab mereka itu musuhnya juga, tapi icoba kalau disuruh menyerang Hwe-liong-pang yang adalah pengikut-pengikut ayahnya..."

"Menurut paman, Tong Lam-hou harus diuji kesetiaannya dengan caraa itu?" tanya Kaisar.

"Benar, paduka, tapi ujian kesetiaan itupun hanya salah satu dari ujian ujian yang akan kita lakukan terhadapnya terus-menerus, sampai kita yakin bahwa kesetiaannya kepada kita benar-benar tulus. Kata pepatah, sedia payung sebelum hujan."

"Nampaknya paman sangat memperhatikan Tong Lam-hou seorang?"

Jantung Pakkiong An berdebar lebih kencang karena kuatir niatnya yang sebenarnya tertebak oleh Kaisar muda yang cerdik itu, namun dengan suara yang tetap terkendali ia menjawab, "Demi kelanggengan dinasti Jing kita, hamba memang harus mengawasi orang-orang yang mencurigakan. Seandainya Tong Lam-hou itu bukan seorang anak Hwe-liong Pangcu Tong wi-siang, aku tidak akan mengawasinya seketat ini andaikata ia suku Han saja. Tapi bukankah pengawasan hamba atas gerak-geriknya itu ternyata membuahkan hasil juga?"

Demikianlah, meskipun Kaisar Khong-hi bukan seorang yang bodoh, namun ucapan-ucapan Pakkiong An itu mengena juga di hatinya sebab dirasakan cukup masuk akal. Apalagi suasana kerajaan pada waktu itu memang belum sepenuhnya terkuasai, sisa-sisa pengaruh dinasti Beng maupun pengikut-pengikut Li Cu-seng masih juga terasa meskipun tidak sekuat beberapa tahun yang lalu.

Dan terhadap mereka, Kaisar Khong-hi tidak bisa bersikap lunak seperti ayahandanya yang kini menjadi pendeta pertapa itu, melainkan ia menggunakan tangan besinya demi tegaknya pemerintahannya. Ia tidak akan membiarkan bibit bahaya yang sekecil apapun bersemi dalam kerajaannya yang luas itu. Ia sudah membaca banyak riwayat raja-raja yang lampau dan ia tahu bahwa ia harus lebih lembut dari mereka, sekaligus juga lebih keras dari mereka.

Hari itu juga Kaisar memerintahkan membongkar pesanggrahan perburuannya dan masuk kembali ke Kotaraja Pak-khia, meskipun kepulangan itu lebih cepat beberapa hari dari yang direncanakan. Namun para pengawalnya tidak membantah lagi karena mereka tahu bahwa Kaisar mendadak menemukan sebuah masalah penting yang hendak dipikirkan dalam istananya yang tenang.

Sepanjang jalan pulang rombongan itu tidak menarik perhatian, sebab orang hanya mengira itu adalah rombongan pemburu yang baru pulang berburu, dan paling-paling orang hanya kagum melihat hasil buruan yang begitu banyak terutama ular besar itu.

Beberapa hari kemudian, seorang thai-kam (orang kebiri) yang diutus Kaisar sendiri, mendatangi rumah Pakkiong Liong dengan menunggangi tandu yang bagus dan dikawal seregu prajurit istana yang memanggul tombak. Thai-kam yang terkenal dengan panggilan Ho Kong-kong itu dikenal sebagai pelayan dekatnya Kaisar dan kepergiannya selalu membawa pesan-pesan penting dari Kaisar pribadi.

Karena itu ketika Ho Kongkong tiba di rumah Pakkiong Liong, maka dengan tergopoh-gopoh Pakkiong Liong keluar menyambutnya di luar pintu. Mengabaikan utusan Kasiar sama saja dengan mengabaikan Kaisar sendiri dan kesalahan itu sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman mati. Di depan pintu, Pakkiong Liong menyoja sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, sambil bertanya, "Apakah Ho Kongkong membawa Firman Kaisar?"

Ho Kongkong yang berambut putih dan beralis putih namun bermuka kelimis seperti umumnya orang kebiri itu, tersenyum. Sikapnyapun hormat sebab diapun tahu bahwa Pakkiong Liong adalah seorang perwira terkenal dari Pasukan Naga Terbang yang dikenal sebagai pasukan berani mati itu, selain Panglima muda itu masih ada hubungan kerabat dengan keluarga istana.

Sahutnya, "Tidak, Pakkiong Ciang-kun, aku tidak membawa Firman Kaisar."

Dengan demikian Pakkiong Liong tidak perlu berlutut menyambutnya. Kata Ho Kong-kong lebih lanjut, "Aku hanya menyampaikan pesan-pesan Hong siang bahwa beliau ingin berbincang-bincang dengan Ciangkun sekarang juga di Istana Tiau-yang-kiong."

Perintah itu agak aneh kedengarannya, sebab Istana Tiau-yang-kiong yang disebutkan itu biasanya digunakan hanya pada pagi hari untuk memperoleh cahaya matahari yang segar, sedang saat itu sudah sore hari. Namun sudah tentu Pakkiong Liong tidak bisa menolak perintah Kaisar itu. Sahutnya, "Baiklah, agaknya cukup penting sehingga Hong-siang memanggilku sekarang juga. Tetapi sudah tentu aku harus membersihkan diri lebih dulu dan berganti dengan pakaian yang pantas agar tidak dianggap kurang hormat."

"Silahkan, Ciangkun."

"Silahkan kongkong duduk menikmati secangkir teh selama aku mempersiapkan diri."

Tak lama kemudian Pakkiong Liong-pun sudah keluar kembali, dengan pakaian kebesarannya sebagai Panglima namun bukan pakaian perang. Jubah biru laut dari kain satin dengan su-laman-sulaman indah di bagian bawahnya, dan ikat pinggang berkepala batu kumala membelit pinggangnya yang ramping. Kepalanya memakai topi beludru hitam yang di bagian atasnya dihiasi seperti tombak kecil terbuat dari emas, dikelilingi benang-benang merah dan sehelai bulu burung merak rebah ke belakang menghias topinya. Sebuah pedang bergagang perak yang merupakan anugerah Kaisar terdahulu, kaisar Sun-ti tergantung di pinggang kirinya dekat belahan samping jubahnya.

"Kita bisa berangkat sekarang, Kongkong ?”

“Silahkan naik ke tandu, Ciangkun!”

"Kalau boleh aku ingin membawa kudaku saja, Kongkong."

Maka dengan menaiki kudanya yang tegar, Pakkiong Liong berkuda berdampingan dengan tandu Ho Kongkong yang dipanggul oleh dua orang kacung bertubuh kekar itu. Sebelum menutup tirai tandunya, Ho Kongkong berkata kepada Pakkiong Liong, "Sudilah Ciang-kun menunjukkan jalannya ke rumah Cong peng Tong lam-hou, sebab aku juga diperintahkan untuk menjemput Tong Cong-peng ke istana pula."

Pakkiong Liong tercengang mendengarnya, tanyanya, "Jadi Tong Lam-hou juga dipanggil Hong-siang?"

"Benar, Ciangkun, kata Hong-siang beliau ingin bertemu dengan seseorang perwira Hui-liong-kun yang sudah menunjukkan keperkasaannya dan kesetiaannya di medan perang ketika menumpas pemberontakan Cu Leng-ong. Hong-siang ingin bertemu muka secara pribadi."

Pakkiong Liong mengangguk-anggukkan kepalanya, "Selain aku dan Tong Lam-hou, siapa lagi yang diundang oleh Hong-siang sore ini?"

"Setahuku hanya Ciangkun berdua dengan Tong Congpeng."

Debar jantung Pakkiong Liong mengencang, ia merasa persoalannya tidak sesederhana itu, pasti bukan sekedar Kaisar Khong-hi ingin bertatap muka dengan panglima-panglimanya yang berjasa di medan perang, tapi pasti ada suatu persoalan yang akan dibicarakan. Tapi ia tidak tahu persoalan apa yang akan dibicarakan itu. Maka Pakkiong Liong hanya bisa menjawab, "Baiklah, Kongkong, ijinkan aku berkuda di depan untuk menunjukkan jalan."

"Silahkan, Ciangkun."

Rombongan itupun bergerak, beberapa prajurit di pinggir jalan yang kebetulan berpapasan dengan mereka, membungkuk memberi hormat karena mereka cukup mengenal Pakkiong Liong sebagai panglima terkenal. Rumah Tong Lam-hou terletak di kota bagian selatan, dekat letaknya dengan perkampungan bangsa asing yang berambut keriting, berjenggot keriting pula dengan hidung melengkung seperti paruh burung, dan kaum laki-lakinya memakai topi bundar berwarna putih.

Merekalah orang-orang Yao-ci (Yahudi) yang sudah beberapa keturunan tinggal di Pak-khia sejak jaman Kubilai Khan dulu. Mereka umumnya mahir berdagang batu-batu permata, meskipun sering disindir sebagai bangsa tak bernegara. Mereka memiliki rumah ibadat sendiri yang pintunya dilukis dengan gambar bintang segi enam, dan mereka pantang kawin dengan orang Han atau orang Manchu yang mereka anggap sebagai penyembah berhala, namun dalam hubungan dagang mereka sangat luwes sehingga mereka menjadi orang-orang kaya yang hidup mengelompok dalam bagian kota tertentu.

Banyak rumah mereka jauh di tepi laut barat sana. Juga tidak sedikit mereka yang berpakaian sehari-hari sebagai orang Han atau Manchu, meskipun tidak meninggalkan adat mereka, dan mereka hanya memakai pakaian khas mereka jika sedang menjalankan ibadat agama mereka.

Rumah Tong Lam-hou yang sedang-sedang saja tetapi rapi dan bersih karena selalu dirawat baik oleh sepasang suami-isteri tua yang oleh Tong Lam-hou dipanggil "paman dan bibi Ciu" itu, terletak dekat perkampungan Yahudi itu. Bahkan selisih dua pintu dari rumah Tong Lam-hou ada tetangga Yahudinya yang fasih berbahasa Han dan mengaku negeri ini sebagai "pengganti negerinya yang hilang".

Tong Lam-hou tidak menduga akan datangnya undangan Kaisar itu, sehingga dengan tergopoh-gopoh diapun menyiapkan diri. Namun dia belum punya jubah panjang sebagus kepunyaan Pakkiong Liong sehingga kebingungan memilih pakaian yang pantas untuk menghadap Kaisar. Pakaian keprajuritannya yang lupa dicuci dan masih berbau keringat itu? Atau jubah kain katun kasar yang sering dipakainya untuk berjalan-jalan dalam kota apabila tidak sedang bertugas? Ah, kedua-duanya tidak pantas.

Dalam bingungnya, Pakkiong Liong telah masuk ke dalam kamarnya sambil membawa bungkusan yang diletakkannya di meja. Kata Pakkiong Liong sambil tertawa, "Aku tahu bajumu bau semua, maka kubawakan ini dari rumah."

Ketika Tong Lam-hou membuka bungkusan itu, ternyata sebuah jubah panjang satin biru yang mirip dengan yang dipakai Pakkiong Liong saat itu, lengkap dengan topinya. Karena sedang ditunggu Ho Kongkong di ruangan depan, maka tanpa sungkan-sungkan ia segera memakai pakaian milik Pakkiong Liong yang ternyata pas dengan tubuhnya itu. Sambil berkata, "Cocok, tapi baunya tidak lebih wangi dari pakaianku."

Keduanya tertawa, namun kemudian keluar untuk menemui Ho Kongkong dan menyatakan mereka sudah siap. Tong Lam hou juga menggantungkan pedang di pinggangnya sebagai kelengkapan seorang perwira tinggi, meskipun ia tahu jika memasuki Istana nanti maka senjata-senjata itu harus dilepas.

Ketika mereka memasuki Istana, beberapa prajurit lwe-teng-wi-su yang berseragam biru laut yang indah memberi hormat kepada mereka. Mereka membiarkan saja Ho Kongkong lewat bersama kedua perwira Hui-liong-kun itu, karena Ho Kongkong selalu mengatakan bahwa Kaisar sendiri yang mengundang Panglima dan perwira tinggi Hui-liong-kun yang dikenal sebagai Pak-liong Lam hou (Naga Utara dan Harimau Selatan) itu.

Masuk semakin dalam ke dalam Istana yang besar dan indah, dengan taman-tamannya yang bagaikan indraloka itu, maka penjagaan lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal istana) itupun semakin ketat.Mereka semuanya adalah jago-jago berdarah Manchu asli, dan hampir di segala sudut nampak mereka berjaga berdua-dua, atau meronda mengelilingi taman-taman istana dengan berdua dua pula. Beberapa orang dari mereka menyapa dengan hormat kepada Pakkiong Liong yang sudah mereka kenal.

Ketika mereka melewati sebuah gerbang besr yang di atasnya bertuliskan "Tiau-yang-kiong" atau "Istana menghadap matahari" maka penjagaan diambil alih oleh prajurit-prajurit Gi-ci-an-si-wi (Prajurit Pengawal Kaisar) yang seragamnya kuning emas bertopi merah. Merekalah prajurit-prajurit yang lebih tangguh dari Lwe-teng-wi-su.

Demikian Tong Lam-hou melihat sendiri betapa penjagaan dalam Istana itu berlapis-lapis sejak dari pintu gerbang depan sampai ke dalam. Cukup dengan Lwe-kang-teng-wisu dan Gi-cian-si-wi saja sudah sulit ditembus oleh orang yang bagaimanapun tinggi ilmunya sebab mereka secara perorangan adalah jago-jago tangguh. Belum lagi di bagian luar masih ada Kim-ih-wi (Pasukan Baja Emas).

Di pintu gerbang Tiau-yang-kiong itu, sudah menunggu seorang perwira Gi-cian-si-wi bertubuh langsing tegap dengan alis yang tebal. Melihat kedatangan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou, dengan sangat sopan ia memberi hormat sambil berkata, "Hong-siang sudah menunggu di ruangan yang menghadap kolam teratai. Hok Kongkong, tugasmu sampai di sini saja."

Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou membalas penghormatan perwira Gi-cian-si-wi itu, sahut Pakkiong Liong yang agaknya sudah kenal baik dengan perwira itu, "Aku dan Tong Congpeng akan merepotkan Wanyen Congkoan untuk mengantarkan menghadap Hong-siang."

Perwira itu memang bernama Wanyen Liu, salah satu dari beberapa jago istana yang terpercaya. Julukannya adalah Tiang-pek-hui-hou (Si Macan Terbang dari Tiang-pek-san). Agaknya Wanyen Liu sendiri tahu dengan siapa ia berhadapan, sehingga sikapnyapun amat hormat, "Aku merasa mendapat kehormatan untuk mengantarkan Pak-liong, Lam-hou yang terkenal itu. Tapi maafkan, bahwa menurut peraturan maka pedang Pakkiong Ciangkun dan Tong Congpeng harus ditinggalkan di sini."

Tanpa membantah lagi Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou melepaskan pedang mereka beserta wrangkanya untuk ditinggal di sebuah gardu yang dijaga delapan orang prajurit Gi-cian-si-wi. Di gardu itu tidak nampak adanya senjata lain yang dititipkan, sehingga Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou dapat menduga bahwa sore itu yang menghadap Kaisar hanya mereka berdua. Lalu merekapun melangkah mengikuti Wa-nyen Liu.

Pakkiong Liong sudah terlalu sering keluar masuk Istana sehingga ia tidak terlalu kagum lagi melihat keindahan bagian dalam istana itu. Berbeda dengan Tong Lam-hou, anak pegunungan Tiam-jong-san yang baru kali ini menginjakkan kaki di bagjan dalam tembok istana dewa-dewa di atas langit sana, semuanya serba indah. Namun Tong Lam-hou mencoba bersikap sewajar mungkin meskipun dalam hatinya ia merasa kagum bukan kepalang.

Ketika ia melihat pengawal-pengawal berseragam kuning emas yang indah itu hilir mudik. Tong Lam-hou tersenyum dalam hatinya, "Entah mereka itu ada yang memakai baju pinjaman temannya seperti aku atau tidak?"

Tong Lam-hou menunduk mengamati jubah biru pinjamannya, dan ia merasa bahwa ia cukup gagah sebagai seorang perwira tinggi memakai jubah pinjaman itu. Katanya dalam hati, "Dikemudian hari agaknya aku harus mempunyai sendiri sepotong atau dua potong jubah seperti ini untuk peranti menghadap ke istana. Tidak enak juga kalau setiap kali harus meminjam kepunyaan A-liong."

Sementara mereka berjalan, sampailah mereka di pinggir sebuah kolam yang luas dan jernih dengan permukaan yang dipenuhi bunga-bunga teratai yang mekar dan semerbak. Di seberang kolam itu ada sebuah bangunan indah menghadap ke timur yang dikelilingi rumpun-rumpun bunga aneka warna pula. Untuk mencapai bangunan itu, ada sebuah jembatan kecil yang indah melintasi kolam itu.

Di ujung jembatan ada empat prajurit Gi-cian-si-wi, dan empat lagi di ujung sana. Sedang di bangunan itu sendiri nampak hilir mudiknya para pengawal dan orang-orang yang melayani kaisar. Keempat prajurit itu membungkuk hormat ketika Wanyen Liu membawa kedua tamu kaisar itu melewati jembatan itu.

Sesampai di ujung jembatan, Wanyen Liu berhenti melangkah dan berkata, "Pakkiong Ciangkun dan Tong Cong-peng, sampai di sini aku mengantarkan kalian. Sri Baginda menunggu di dalam."

"Terima kasih, Wanyen Congkoan. Tapi apakah Congkoan tidak sebaiknya masuk menghadap Hong-siang untuk melaporkan kedatangan kami?"

Wanyen Liu tersenyum. "Sudah ada petugasnya sendiri. Aku dan anak buahku tidak boleh melangkahi pintu itu dan hanya bertugas menjaga di luarnya saja, kecuali kalau Hongsiang memanggil."

Pakkiong Liong tahu bahwa peraturan dalam Istana itu memang tidak boleh dilangkahi seujung rambutpun, kecuali kalau sudah bosan punya kepala maka ia tidak mendesak Wanyen Liu lagi. Dan memang dari pintu itu muncul seorang yang berpakaian thai-kam, memberi hormat kepada Pakkiong Liong berdua dan berkata, "Hong-siang mempersilahkan tuan-tuan masuk."

Sebelum melangkahi pintu, lebih dulu Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou merapikan pakaian dan topi mereka, kemudian barulah melangkah masuk mengikuti thai-kam itu. Bagian dalam ruangan itu ditata dengan gaya yang santai namun rajin dan menimbulkan rasa segar. Biasanya Kaisar berada di sini pada pagi hari apabila tidak sedang ada Sidang Kerajaan, untuk "menangkap" cahaya matahari pagi yang menyehatkan tubuh mereka.

Begitu masuk, terlihat seorang duduk di atas kursi yang seluruhnya terbuat dari hambu. Seorang anak muda yang bertubuh ramping dan tampan, memakai jubah sutera kuning bersulamkan naga, dan meskipun kepalanya yang dikuncir panjang itu tidak memakai topi kerajaannya, namun Pakkiong Liong dan Tong Lama-hou tahu bahwa dialah kaisar Khong-hi sendiri.

Serentak mereka berdua berlutut sambil menyerukan penghormatan, "Ban-swe! Ban-swe!"

Kaisar nampak tersenyum dan berkata, "Bangkitlah."

Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou bangkit dan berdiri tegap dengan kedua tangan lurus di samping tubuh dan kepala tertunduk, sambil menjawab, "Terima kasih, paduka."

Kaisar memberi isyarat pada thai-kam yang melayaninya itu, dan tahi-kam itupun membawa dua buah kursi dari bambu pula yang diletakkan di ruangan itu, kemudian ia memberi hormat dan berlalu dari ruangan itu. Kata Kaisar Khong-hi, "Duduklah. Ini bukan Sidang Kerajaan dan kita dapat bersikap sedikit santai tanpa terlalu terikat segala peraturan tetek bengek yang menjemukan."

Setelah mengucapkan terima kasih lagi, maka Pakkiong Liong dan Tong Lam hou menduduki kursi yang disediakan buat mereka. Biarpun Kaisar sendiri sudah menyuruh mereka untuk bersikap santai, tapi tentu mereka tidak bisa bersikap sesantai Kaisar sendiri yang seenaknya bersandar di kursi sambil menumpangkan satu kakinya ke kakinya yang lain. Bagaimanapun juga Pakkiong Liong dan sang maharaja itu masih terhitung sepupu jauhnya.

"Aku senang berhadapan dengan kalian berdua, sehingga aku dapat mendengar dari mulut kalian sendiri tentang jalannya pertempuran di sebelah barat kota Tay-tong itu, bagaimana kalian menghancurkan desa-desa pertahanan Cu Leng-ong dan pengikut-pengikutnya yang berjumlah jauh lebih banyak dari pasukan kalian waktu itu," kata Kaisar.

Mau tidak mau Pakkiong Liong merasa canggung juga, jangan-jangan ceritanya itu kedengaran mirip bualan, dikuping Kaisar? Namun karena perintah Kaisar sendiri, maka Pakkiong Liong-pun sebisa-bisanya mencoba menceritakan kembali jalannya pertempuran itu secara urut, namun dengan nada yang datar saja tanpa kebanggaan, apalagi kesombongan. Kemenangan itu tidak disebutnya jasanya sendiri tetapi jasa seluruh pasukan, dari Panglima sampai prajurit-prajurit yang paling rendah.

Kaisar mendengarkannya dengan penuh minat dan kadang-kadang mengangguk anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Aku dapat membayangkan bagaimana prajurit-prajuritku dengan tekad pengabdian yang tinggi melakukan tugasnya tanpa kenal takut untuk menegakkan kejayaan negeri ini. Tentu pertempuran itu hebat sekali, sayang aku tidak dapat menyaksikannya sendiri. Sebenarnya aku bosan juga terus-menerus terkurung dalam kurungan besar yang disebut istana ini, sesekali ingin juga aku berada di peperangan untuk ikut memberantas pengacau-pengacau negara, tetapi aku tidak dapat berbuat demikian sebab orang-orang tentu mencegahku. Paling banter aku hanya dapat berburu di sekitar Pak-khia untuk memanah rusa yang sakit-sakitan atau memburu kelinci yang sudah pincang, itupun jika aku berhasil maka mereka bertepuk tangan sambil memuji-muji aku seolah-olah kelinci pincang itu cuma bisa ditangkap oleh seorang pahlawan besar..."

Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menahan senyumnya ketika mendengar gerutuan Kaisar yang masih muda itu. Pakkiong Liong tahu bahwa gerutu itu bukan cuma basa-basi untuk mengisi pembicaraan, namun benar-benar wujud dari kekesalan Kaisar yang masih muda itu. Semasa kecil, Pakkiong Liong pernah menjadi teman bermain Kaisar yang waktu itu masih dipanggil Pangeran Hian-hua, dan pangeran itu memang seorang anak yang memiliki gejolak darah yang berlebih sehingga orang macam itu tentu tidak betah dikurung terus-menerus dalam istananya, tanpa menghayati sendiri tantangan hidup.

Sahut Pakjjiong Liong, "Tugas seorang raja dan seorang prajurit itu sama, paduka, yaitu mensejahterakan negeri. Tetapi caranya yang berbeda. Seperti sebuah kereta yang harus ada saisnya supaya menuju ke arah yang benar, sebuah negara pun ada pengendalinya dan di tangan padukalah kendali negara itu kini terpegang. Tantangannya justru lebih berat dari prajurit-prajurit di medan perang yang sekedar menjalankan perintah."

Ucapan Pakkiong Liong itu dapat juga sedikit menghibur hati Kaisar Khong-hi itu, dan mengingatkan bukankah di tangannya sekarang tergenggam nasib jutaan orang manusia pengisi negerinya? Membuat mereka sejahtera dan bahagia, itulah tantangan seorang pemimpin. Perlahan-lahan wajah Kaisar yang bersungut-sungut itu nampak tenang kembali.

Kata Kaisar kemudian, "Kita kembali ke cerita tentang peperangan itu. Tadi Pakkiong Liong menceritakan bahwa penyerangan desa terdepan itu berhasil dalam satu malam saja dari desa itu jatuh ke tangan kita. Hebat. Siapa yang memimpin penyergapan malam itu?"

"Perwira hamba Ha To-ji, dibantu Tong Lam-hou, Hu Lan-to dan Na Hong dengan seribu lima ratus prajurit."

"Menarik sekali. Coba sekarang Tong Lam-hou yang menceritakan jalannya penyergapan itu. Ceritakan sampai yang sekecil-kecilnya."

"Baik, paduka," sahut Tong Lam-hou. Lalu iapun menceritakan pengalamannya saat itu, mulai dari menyusuri tepi hutan untuk menghindari, pengamatan lawan, merangkak sejarak ratusan tombak di balik daun-daun ilalang agar tak terlihat musuh dari atas tembok desa, dan sergapan tiba-tiba yang berhasil mengusir Li Tiang-hong dan seluruh pasukannya dari desa terdepan itu. Sergapan yang membawa korban tidak berarti di pihak laskar pemberontak, namun memerosotkan semangat tempur mereka sampai beberapa bagian.

Cara Tong Lam-hou bercerita meniru Pakkiong Liong, tidak menonjolkan diri sendiri, semua kemenangan disebutnya sebagai "hasil usaha bersama seluruh pasukan" atau "rezeki Kerajaan yang agung" dan sebagainya. Namun ceritanya tidak datar saja sebab ia tahu kaisar tidak suka cerita macam itu.

Kaisar mendengarkannya dengan penuh perhatian, sambil sekali-sekali meneguk minumannya yang terletak di meja bambu di sebelah kursinya itu. Namun sebenarnya kaisar yang cerdik itu hanya dengan mendengar gaya bicara Tong Lam-hou ingin mengetahui bagaimana kepribadian perwira Hui-liong-kun itu. Dan mendengar bagaimana Tong lam-hou tidak menonjolkan dirinya sendiri dalam cerita tentang penumpasan pemberontakan Pangeran Cu Leng-ong itu.

Maka Kaisar diam-diam tersenyum dalam hati. Ia sendiri sudah mendengar dari jaringan mata-mata pribadinya bahwa dalam pertempuran itu peranan Tong Lam hou sangat menonjol, dan sergapan tiba-tiba itu juga atas usul Tong Lam-hou.

Kata Kaisar di dalam hatinya, "Pakkiong An menilai agak meleset atas pribadi perwira ini. Perwira ini bukan seorang yang suka menumpuk tanda jasa di pundaknya sendiri, melainkan lebih suka mengutamakan kebersamaan dalam pasukannya. Namun aku setuju dengan Pakkiong An bahwa dia sebagai anak dari Hwe-liong Pangcu haruslah diuji kesetiaannya."

Setelah selesai mendengar Tong Lam hou berkisah, Kaisar lalu bertanya, "Aku juga mendengar, kau bertempur sangat bersemangat dan bahkan agaknya kau sangat membenci sisa-sisa dinasti Beng itu. Apa alasan sikapmu itu?"

Mendengar pertanyaan Kaisar kepada Tong lam-hou itu diam-diam hati Pakkiong Liong berdesir, sebab nalurinya merasakan bahwa kelanjutan dari pertanyaan itu tentu penuh dengan jebakan. Ia menguatirkan diri Tong Lam-hou yang jago bermain silat di peperangan, namun terlalu lugu menghadapi orang-orang pemerintahan yang selalu bicara berliku-liku itu.

Sekali salah menjawab, berarti akan mendapat kesulitan yang tidak dapat diduga. Tapi di hadapan Kaisar itu sudah tentu Pakkiong Liong tidak bisa mendikte Tong Lam-hou bagaimana menjawab sebaiknya, maka ia hanya bisa menantikan jawaban Tong Lam-hou dengan jantung berdebar lima kali lebih deras dari biasa.

Sahut Tong Lam-hou, "Paduka, di wilayah Hun-lan sana hamba hidup sebagai rakyat yang sederhana di sebuah gubuk di lereng gunung bersama dengan ibu hamba. Di kaki gunung ada sebuah desa kecil bernama Jit-siong-tin yang orangnya baik-baik, tidak pernah menyalahi sesama, saling menolong, tapi desa itu diperas habis-habisan oleh sekelompok orang yang menamakan diri 'Laskar Pembebasan Tanah Air' namun dengan kelakuan yang mirip serigala-serigala kelaparan. Suatu saat, hanya karena ekor sebuah pertengkaran kecil, maka seluruh desa ditumpas habis tanpa ampun, bahkan wanita dan anak-anak kecilpun tidak terkecuali. Sejak itulah hamba sangat membenci mereka. Hal yang sama hamba lihat pula di medan perang di sebelah barat kota Tay-tong, di mana desa-desa yang diduduki laskar pemberontak juga mengalami hal yang sama.”

Kaisar Khong-hi mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Ya, mereka memang pengacau-pengacau yang tidak segan-segan menggunakan rakyat sebagai perisai mereka. Kini pengikut-pengikut dinasti Beng itu boleh dikatakan sudah tertumpas habis, kalaupun ada sisa-sisanya maka kekuatan itu sudah tidak berarti sama sekali, satu regu prajurit kecilpun akan bisa menumpas mereka. Tetapi pengacau negara itu terdiri dari beberapa golongan, bukan dinasti Beng saja. Dan yang tertumpas barulah sisa-sisa dinasti Beng itu saja."

Kaisar bangkit dari kursinya lalu berjalan mondar-mandir di ruangan itu dengan kedua tangan di belakang tubuhnya. Lalu katanya, "Masih ada satu golongan pengacau yang masih berkeliaran dengan bebas dan bahkan kudengar belakangan ini mengadakan pameran kekuatan di Tiau-im-hong, katanya hendak mengangkat Ketua baru segala macam. Mereka itu semakin lama semakin kurang ajar, jika dibiarkan saja mereka akan tumbuh semakin kuat seperti bisul yang semakin besar, dan akhirnya mematikan kita."

Kali ini pungung Tong Lam-hou benar-benar dibasahi keringat dingin, apalagi karena Kaisar sudah menyebut-nyebut pula tentang "pengangkatan Ketua baru Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong" yang menyangkut dirinya. Dialah yang oleh Siangkoan Hong dicalonkan menjadi Ketua baru itu. Bagaimana sikap Kaisar kalau mengetahui hal itu?

Dan saat yang mendebarkan itupun tiba ketika Kaisar mengajukan pertanyaan, "Tong Lam-hou, mudah-mudahan pendengaranku atau pendengaran dari orang-orangku yang salah. Tapi aku pernah mendengar bahwa orang yang dicalonkan sebagai Ketua oleh pengacau-pengacau Hwe-liong-pang itu adalah kau. Apakah desas-desus itu benar?"

Kini keringat dingin bukan saja mengembun di punggung tapi juga di wajah Tong Lam-hou, bahkan Pakkiong Liong ketularan pula. Sesaat Tong Lam-hou menenangKan hatinya, dan menjawab dengan hati-hati, "Benar, paduka."

Kasiar yang sedang menghadap keluar jendela dan menikmati keindahan bunga teratai yang memenuhi kolam itu, membalikkan badannya dengan cepat ketika mendengar jawaban Tong Lam-hou itu. Keningnya berkerut sedikit dan ia bertanya, "Benar? Kalau begitu kau ini seorang anggota Hwe-liong-pang yang menyusup masuk ke tubuh keprajuritan kami dengan memendam suatu tujuan?"

"Bukan, paduka. Hamba bukan orang Hwe-liong-pang."

Kaisar menempatkan kembali tubuhnya di kursi bambunya sambil berkata, "Kau harus memberi penjelasan."

"Paduka, ketika pertempuran di Tay-tong itu hampir berakhir, hamba dipaksa dibawa pergi oleh seorang adik seperguruan dari mendiang ayah hamba yang bernama Siangkoan Hong, dan tanpa minta persetujuan hamba lagi, maka Siangkoan Susiok itu langsung saja menyiarkan kabar bahwa hambalah calon Ketua Hwe-liong-pang yang baru. Namun hamba yang masih merasa terikat dengan tugas-tugas hamba sebagai prajurit, berhasil melepaskan diri dari kekangan Siangkoan Hong dan kembali ke Pak-khia."

"Benarkah ucapanmu itu?"

"Kalau hamba bohong, tentunya mata-mata yang paduka sebarkan tentu tidak akan berbohong kepada paduka. Apakah paduka mendengar berita tentang bagaimana akhirnya dari upacara pengangkatan Ketua baru yang direncanakan di Tiau-im-hong itu?"

"Ya, aku dengar upacara itu gagal karena calon ketuanya sendiri malah menghilang di tengah jalan. Kau memang tidak bohong. Ada beberapa pertanyaan lagi."

"Silahkan, paduka. Hamba akan menjawab sebenar-benarnya."

"Dari beberapa sumber berita, kudengar kau adalah putera Ketua Hwe-liong-pang yang lama, Tong Wi-siang. Apakah itu benar?"

"Benar, paduka."

Kaisar Khong-hi menatap Tong Lam-hou dengan tajamnya, agak di luar dugaan bahwa Tong Lam-hou menjawab selangsung itu. Sesaat ruangan itu menjadi hening, hanya di bagian luar terdengar hilir-mudiknya langkah-langkah para pengawal yang melindungi keselamatan Kaisar.

Sementara itu Kaisar Khong-hi sendiri menjadi ragu-ragu bagaimana harus bersikap kepada Tong Lam-hou. Di satu pihak perwira muda itu sudah menunjukkan pengabdiannya yang tinggi kepada Kerajaan, di lain pihak dia adalah keturunan dari gembong Hwe-liong pang dan saat itu Hwe-liong-pang adalah golongan penentang Kerajaan Man-chu yang tidak kalah tangguhnya dibandingkan sisa-sisa dinasti Beng itu. Sekilas Kaisar yang muda itu teringat akan ucapan si panglima tua Pakkiong An,

"Untuk menguji kesetiaan Tong Lam-hou, hadapkan dia dengan Hwe-liong-pang.”

Hanya terdengar helaan napas-napas berat diruaganan itu, dari tiga orang lelaki yang masih muda, dan ketiganyapun memiliki kekerasan hati yang sama pula. Sampai terdengar suara Kaisar Khong-hi memecah kesunyian, "Tong Lam-hou, kalau kutugaskan menghadapi Hwe-liong-pang dan menumpas habis mereka, apakah kau sanggup?"

Hati Tong Lam-hou berguncang keras, sesaat ia kebingungan harus menjawab bagaimana. Di Hun-lam, ia pernah berhadapan dengan sebagian dari orang Hwe-liong-pang, dan saat itu ia mendapat kesan bahwa mereka adalah orang-orang yang memegang teguh kejantanan dan harga diri, pembela orang-orang kecil yang gigih. Begitu pula di dusun terpencil di mana seorang yang mengaku sebagai siluman kelelawar mengganggu penduduk dengan minta seorang gadis untuk dihisap darahnya setiap waktu tertentu.

Saat itu-pun ia bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang bersikap ksatria dan menimbulkan kesan baik di hatinya. Kenapa harus ditumpas? Lebih dari itu, ia tahu bahwa Hwe-liong-pang dibangun dengan susah payah oleh mendiang ayahnya, akankah sekarang ia sebagai puteranya yang meruntuhkan jerih payah ayahnya itu?

"Jawab pertanyaanku, Tong Lam-hou!”

"Hamba siap menumpas golongan mana saja yang akan mengacau negara."

"Kau kira Hwe-liong-pang bukan pengacau negara, begitu? Mereka ikut membobol penjara kerajaan tempo hari, mereka juga menyusun kekuatan yang kalau tidak ditujukan kepada kita lalu kepada siapa lagi?"

"Ampuni hamba, Hong-siang, bolehkah hamba mengemukakan pendapat hamba tentang Hwe-liong-pang?"

"Katakan."

"Menurut pendapat hamba, selama ini kesalah-pahaman antara pihak kita dengan pihak Hwe-liong-pang harus diperbaiki. Kita ingin membuat negeri ini makmur sejahtera untuk seluruh rakyat, sedang tujuan Hwe-liong-pang juga demikian. Mereka dan kita sebenarnya bisa sejalan, kenapa harus bermusuhan dan akhirnya yang untung hanya pihak ketiga yang ingin memancing di air keruh? Paduka, menurut hamba Hwe-liong-pang sebaiknya dijinakkan dan dijadikan kawan kita daripada kita jadikan musuh, itu akan lebih besar manfaatnya."

Diam-diam Pakkiong Liong kuatir bahwa ucapan Tong Lam-hou itu akan membuat Kaisar merasa tidak senang. Ketika ia mencoba melirik wajah Kaisar ternyata air muka Kaisar itu biasa-biasa saja, tidak menunjukkan rasa senang dan juga tidak menunjukkan kemarahan. Kaisar yang masih muda itu benar-benar telah menunjukkan kematangannya sebagai seorang negarawan tulen.

"Jadi kau menolak perintahku?" tanya Kaisar Khong-hi.

Tong Lam-hou cepat bangkit dari kursi bambunya dan berlutut dengan sebelah kaki ditekuk, sahutnya, "Hamba tidak berani paduka. Ucapan hamba yang tadi hanya sebuah usul agar kita menghindari peperangan sejauh-jauh kita bisa. Dalam perang, siapapun yang menang maka rakyat juga yang akan menerima akibatnya."

"Ya, aku juga memikirkan rakyatku. Tapi kalau Hwe-liong-pang dibiarkan berkembang terus, mereka akan semakin kuat dan untuk menindas mereka tentu diperlukan sebuah perang besar. Sedang jika mereka kita tumpas sekarang, hanya akan terjadi perang kecil yang sedikit mengejutkan rakyat saja."

"Apakah paduka sudah menemukan bukti-bukti pengacauan mereka?"

"Mereka pengikut Li Cu-seng, dan mereka tentu mendendam kepada kita karena kita mengalahkan Li Cu-seng."

Kepala Tong Lam-hou tertunduk dalam-dalam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sementara Kaisar tiba-tiba bertanya kepada Pakkiong Liong, "Kakanda, bagaimana pendapatmu?"

Pakkiaong Liong tergagap sejenak, namun kemudian menyahut, "Hamba mohon agar paduka mempertimbangkan lagi keputusan untuk membuka permusuhan dengan Hwe-liong-pang, ini bukan karena kita takut kepada mereka, tapi pemerintah kita memang masih harus merangkul teman sebanyak mungkin. Hamba sendiri sudah beberapa kali bertempur dengan mereka dan hamba mengambil kesimpulan bahwa mereka hanya menjadi beringas apabila melihat rakyat kecil yang terinjak. Mereka tidak menyenangi kita, itu kita akui, tapi hanya sekedar tidak menyenangi dan belum sampai ada niat untuk berontak, di beberapa wilayah bahkan mereka bahu-membahu dengan prajurit-prajurit kita untuk menumpas penjahat yang mengusik rakyat jelata."

Wajah Kaisar nampak ragu-ragu mendengar permohonan Pakkiong Liong itu. Dari Pakkiong An ia mendengar sendiri betapa Hwe-liong-pang telah "menyusun kekuatan dengan melatih balatentara yang kuat untuk memberontak" dan sekarang dari keponakan Pakkiong An sendiri ia mendengar hal yang sebaliknya. Apakah Pakkiong An yang terlalu bercuriga, atau Pakkiong Liong yang terlalu lengah sehingga menganggap Hwe-liong-pang bukan ancaman?

Akhirnya Kaisar Khong-hi mengambil suatu jalan tengah yang dirasanya paling baik, "Terima kasih, kakanda, aku akan mempertimbangkan. Memang selama ini aku mendengar laporan yang simpang-siur tentang Hwe-liong-pang, apakah mereka berbahaya atau tidak. Tapi aku perintahkan pasukan Hui-liong-kun untuk bersiap-siap, dalam beberapa hari ini aku akan menjatuhkan keputusan apakah Hwe-liong-pang harus digasak atau tidak, aku akan menyebar orang-orangku sendiri untuk melihat-lihat keadaan. Keputusan bisa kuberitakan langsung dalam Sidang Istana, bisa juga melalui Peng-po-siangsi (Menteri Peperangan)."

"Hamba siap melaksanakan semua titah Hong-siang," kata Pakkiong Liong. Sementara di dalam hatinya Pakkiong Liong berharap mudah-mudahan dalam beberapa hari ini Kaisar Khong-hi yang cerdik namun masih kurang pengalaman ini tidak mendapat gosokan dari beberapa menteri atau panglima yang gila perang, atau mereka yang berpandangan membeda-bedakan derajat sesama rakyat berdasarkan keturunan, misalnya keturunan Manchu derajatnya lebih tinggi dari keturunan Mongol atau Han dan sebagainya.

Menggolong-golongkan penduduk dengan cara itu sama saja dengan meletakkan segumpal bara di bawah tumpukan sekam, seolah-olah tidak kelihatan namun nanti pada saatnya menyala menghanguskan tanpa bisa dipadamakan lagi. Dan Pakkiong Liong merasa cemas bahwa para Menteri atau Panglima tua "tukang gosok" itu berkeliaran di sekitar Kaisar dengan lidah beracun mereka. Dengan dalih "ikut memikirkan kelangsungan negara" mereka kadang-kadang bisa mempengaruhi jalan pikiran Kaisar sehingga Kaisar mengambil keputusan-keputusan yang keras.

Pakkiong Liong juga merasa kurang senang bahwa hari-hari belakangan ini pamannya, Pakkiong An, kelihatan semakin dekat dengan Kaisar. Bukan karena dengki atau iri, namun Pakkiong Liong tahu orang macam apa pamannya itu, seorang yang sangat haus kekuasaan demi kepentingan pribadinya, dan dengan pengambilan keputusan-keputusan penting.

Pakkiong Liong hanya berdoa mudah-mudahan Kaisar dapat menyaring sendiri yang baik maupun yang buruk. Kaisar sendiri mempunyai kepribadian yang kuat, namun seperti anak-anak muda umumnya, ia berdarah panas dan kurang pertimbangan, dan inilah yang sering dimanfaatkan oleh orang-orang sejenis Pakkiong An.

Setelah memberi hormat kepada Kaisar, maka Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou diijinkan meninggalkan tempat itu untuk kembali. Ruangan pertemuan dengan Kaisar itu seolah-olah menjadi terlalu pengab dan menggelisahkan bagi Tong Lam-hou, sehingga begitu ia melangkah keluar maka udara di luar yang sudah mulai gelap karena sore itu, terasa amat menyejukkan. Baju di bagian punggungnya sudah lengket dengan kulitnya karena punggungnya basah keringat akibat kegelisahannya.

Di luar sudah menunggu si perwira Wanyen Liu yang akan, mengantarkan mereka kembali keluar. Sambil berjalan, mereka tidak banyak bercakap-cakap, bahkan juga ketika mereka sudah sampai di luar Istana dan duduk di atas punggung kudanya masing-masing. Tong Lam-hou tengah sibuk bergulat dengan pikirannya sendiri sampai suatu ketika ia tidak dapat menahan diri dan tercetuslah dari mulutnya,

"A-liong, andaikata beberapa hari kemudian Kaisar memerintahkan kita untuk menumpas Hwe-liong-pang, bagaimana?"

Pakkiong Liong menararik napas dalam-dalam, baru kali ini ia melihat sahabatnya dalam kebimbangan semacam itu, dan iapun tahu sebabnya. Pertanyaan itu sungguh bukan suatu pertanyaan seorang prajurit yang baik, sebab bagaimana seorang prajurit berani mempertanyakan perintah rajanya? Namun Pakakiong Liong tahu bahwa Tong Lam-hou benar-benar sedang berdiri di sebuah simpang jalan yang sulit. Diam-diam ia merasa kasihan dan menjawab dengan bijaksana,

"Bukan kau saja yang merasa sulit dengan pilihan ini, akupun merasa sulit pula. Bukan karena aku punya hubungan baik dengan orang-orang Hwe-liong-pang seperti kau, tapi karena tindakan sewenang-wenang dari pemerintah dengan menghantam perkumpulan perkumpulan yang belum terbukti memberontak, hanya akan menimbulkan kemarahan rakyat, kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng adalah contoh yang masih bisa ingat bagaimana ia tergilas oleh kemarahan rakyat. Tetapi, A-hou, andaikata perintah itu jatuh juga, kita bisa bagaimana lagi? Seorang prajurit boleh saja mengajukan pertimbangan ini atau itu, tetapi hanya sebelum perintah dijatuhkan."

Tong Lam-hou menundukkan kepalanya, apalagi karena dalam kalimat terakhir itu Pakkiona Liong sengaja memberi tekanan pada kata-kata "sebelum". Tong Lam-hou cukup paham hal itu. Ketika tiba di simpang jalan yang menuju ke rumahnya, merekapun berpisah. Meskipun perasaannya agak murung, namun Tong Lam-hou sempat juga bergurau, "Besok bajumu yang bagus ini akan kukembalikan, setelah dicuci oleh bibi Ciu. Apakah aku terlihat seperti memakai baju pinjaman?"

Pakkiong Liong tersenyum dan menjawab gurauan itu, "Sangat kelihatan."

Keduanyapun berpisahan. Tong Lam-hou berkuda perlahan-lahan menyusuri jalanan kota Pak-khia yang tetap ramai meskipun malam hari itu. Dan di tengah keramaian itu Tong Lam-hou nampak murung sekali, beberapa kelompok prajurit yang memberi hormat kepadanya disambutnya dengan tawar saja. Namun Tong Lam-hou tidak bisa bersikap tawar ketika seseorang memanggilnya dari tepi jalan,

"Hou-ji (anak Hou)" Suatu panggilan kekeluargaan yang bagi telinga Tong Lam-hou masih terasa janggal.

Ia menoleh, dan dilihatnya seorang lelaki pertengahan umur yang bertubuh tegap menandakan selalu berlatih ilmu silat, memakai jubah panjang warna putih dan celana putih pula. Kepalanya yang dikuncir itu tidak memakaia topi dan kuncirnya hanya dilibatkan saja di lehernya. Tong Lam-hou tercengang karena orang yang memanggilnya itu adalah Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, pemimpin dari Tiong-gi Piauhang (perusahaan Pengawalan Budi-pekerti) yang berpusat di kota Tay-beng,dan merupakan perusahaan pengawalan terbesar di daratan bagian utara sungai besar itu.

Tapi lebih dari itu, Tong Lam-hou tahu bahwa paman kandungnya ketika seseorang memanggilnya dari tepi jalan, itu adalah seorang penentang Kerajaan Man-chu yang gigih luar biasa, sehingga berdiri berseberangan dengan dirinya. Kini Tong Lam-hou terheran-heran menemui pamannya ternyata berada di Pak-khia, hendak apa lagi dia? Membujuk lagi agar dirinya meninggalkan seragam prajuritnya dan bergabung dengan para pembangkang yang menyebut diri pecinta tanah-air?

Meskipun antara pihaknya dan pihak sang paman itu bermusuhan, tapi secara pribadi orang itu adalah paman kandungnya, adik kandung dari ayahnya sehingga diapun harus menghormatinya. Maka Tong Lam-hou meloncat turun dari kudanya dan memberi hormat lebih dulu sambil menyapa, "Selamat datang di Pak khia, paman."

Tong Wi-hong menyambut salam itu dengan tawar saja, namun secara basa-basi ia bertanya juga, "Dari mana kau dengan pakaian sebagus itu?"

"Aku baru saja menghadap Yang Mulia Kaisar."

Kening Tong Wi-hong berkerut dengar keponakannya itu menyebut "Yang Mulia" dengan nada amat hormat kepada Kaisar Manchu yang dianggapnya menjajah tanah-airnya itu. Namun untuk tidak merusak suasana, Tong Wi-hong berkata dengan suara yang dibuat sehangat mungkin, "Aku sudah beberapa hari ini berada di Pak-khia dan berusaha mencarimu, namun baru malam ini kebetulan bertemu denganmu di tengah jalan ini."

"Paman tidak bertanya kepada prajurit? Hampir semua dari mereka mengetahui letak rumahku."

"Bertanya kepada kuku garuda itu? Aku akan ditangkapnya sebab aku dimata mereka sudah dianggap pengacau."

"Tapi kenyataannya paman bukan pengacau, begitu?" tanya Tong Lam-hou tajam.

Tong Wi-hong memang punya tujuan tertentu, tidak peduli sikap keponakannya itu, dia berkata, "Kalau kau bersedia, aku ingin berbicara banyak denganmu. Di mana kita bisa berbicara dengan tenang? Tentunya tidak di tengah jalan semacam ini."

Sebenarnya Tong Lama-hou agak segan meladeni pamannya ini, bukannya karena tidak hormat kepada orang tua, tetapi karena ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh pamannya ini. Sang paman pasti akan membujuknya untuk berubah pendirian. Tetapi tiba-tiba timbul sebuah pikrian dalam benak Tong Lam-hou. Ia tahu pamannya ini meskipun bukan orang Hwe-liong-pang tetapi bersahabat baik dengan orang-orang Hwe-liong-pang.

Lewat pamannya ini barangkali ia bisa titip pesan kepada orang-orang Hwe-liong-pang agar mereka membatasi gerak-gerik mereka jangan sampai menimbulkan kesan melawan pemerintah kerajaan, sebab bukankah tadi Kasiar Khong-hi sudah mengatakan akan menyebar mata-mata untuk mengamati gerak-gerik Hwe-liong-pang dan dalam beberapa hari ini akan mengambil keputusan? Karena itu Tong Lam-hcu meloncat turun dari kudanya dan berkata, "Kalau paman suka, kita bisa berbicara di rumahku yang tidak jauh lagi dari sini."

"Baik," sahut Tong Wi-hong. "Marilah ke rumahmu. Kau tinggal bersama siapa?"

"Sendirian saja. Jika siang ada sepasang suami-isteri tua yang membantu merawat rumah dan memasakkan makanan buatku. Paman sudah makan?"

Sikap Tongi Lam-hou yang ternyata agak di luar dugaan itu menyenangkan hati pamannya juga. Jauh-jauh Tong Wi-hong menuju ke Pak-khia untuk menemui keponakannya ini dan menyadarkannya, dan melihat sikap Tong Lam-hou yang ramah itu maka sang paman berharap usahanya tidak akan menemui kesulitan.

Ketika mereka tiba di rumah Tong Lam-hou, maka suami-isteri tua she Ciu itu sudah lama pulang, namun keadaan rumah sudah bersih dan rapi. Lampu-lampu di segala sudut rumah sudah dinyalakan, bahkan di meja ruangan tengah sudah terhidang nasi dan lauk-pauknya yang sudah agak dingin dan tertutup dengan tudung bambu.

Paman dan keponakan itu sempat juga makan bersama meskipun dalam suasana yang canggung. Pada kesempatan itu Tong Lam-hou teringat bagaimana ia hampir mati keracunan ketika Te-liong Hiangcu menaruh binatang-binatang berbisa dalam makannya. Tapi andaikata tidak keracunanpun dirinya akan tetap dibinasakan oleh Te-liong Hiangcu dengan tangannya seandainya saat itu Siangkoan Hong tidak muncul.

Selesai makan, keduanyapun mulai bercakap-cakap. Pada kalimat-kalimat pertama saja sudah kelihatan silang pendapat antara paman dan keponakan itu, hanya saja masing-masing berusaha menahan diri agar suasananya tidak menjadi panas pada permulaan pembicaraan, sebab kalau baru mulai sudah panas, maka yang terjadi bukannya pembicaraan baik-baik melainkan sekedar saling membentak, barangkali malah masing-masing pihak akan menggunakan pedangnya.

Apa yang sudah diduga oleh Tong Lam-hou ternyata tepat. Pamannya itu dengan kata-kata yang sabar bernada rendah, berusaha membujuk Tong Lam-hou agar menanggalkan seragam perwira Man-chunya yang disebut oleh pamannya "membantu bangsa asing untuk menindas bangsa sendiri".

"Setelah aku menanggalkan seragam perwiraku dan kemudian bergabung dengan orang-orang yang paman katakan sebagai pejuang-pejuang itu, lalu bagaimana?" tanya Tong Lam-hou.

"Kita akan berjuang mengusir orang orang Manchu."

"Mereka sangat kuat, berperang untuk mengusir mereka akan makan waktu belasan tahun lamanya dan bahkan lebih."

"Biarpun sepuluh tahun atau ratusan tahun, kami tidak akan berhenti berperang sampai musuh terusir pergi."

Sahut Tong Lama-hou, "Kalau begitu kalian sebenarnya tidak merasa kasihan sedikitpun kepada rakyat yang sudah berpuluh-puluh tahun mengalami perang dan kehidupan merekapun sudah cukup hancur oleh peperangan itu. Paman dan orang-orang yang sependirian dengan paman boleh saja beralasan bahwa semua itu dilakukan demi rakyat, tapi pernahkah rakyat itu sendiri ditanyai kehendaknya? Kalau mereka ditanyai, aku yakin sebagian besar dari mereka lebih menghendaki perdamaian dan suasana tenteram, siapapun yang memerintah."

Sang paman termangu mendengar jawaban keponakannya itu, terasa juga kebenarannya. Namun ia masih membantah, "Tapi pemerintahan sekarang ini dikuasai orang Manchu..."

Tong Lam-hou menukas cepat, "Kalau orang Manchu bagaimana? Paman, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri dalam perjalanan pulangku dari Tay-tong, bahwa Kaisar Khong-hi yang bertahta sekarang ini berhasil meningkatkan kesejahteraan dan keamanan negeri, itulah yang didambakan oleh rakyat sejak dulu namun tak pernah didapatkannya sejak raja-raja jaman dinasti Beng yang bobrok itu sekalipun. Bangsa Manchu dan bangsa Han apa bedanya, tadinya mereka dan kita hanya terpisah selapis tembok di San-hai-koan sana dan tembok itupun buatan manusia. Kenapa kita lebih senang melihat dan membesar-besarkan perbedaan-perbedaan di antara kita. daripada mengecilkankannya dan kemudian bekerja sama untuk memanfaatkan bersama pula?"

Tong Wi-hong terbungkam tak bisa menjawab, ia agak heran bahwa pendiriannya yang sudah dianutnya bertahun-tahun itu tiba-tiba saja terancam roboh hanya dengan beberapa patah kalimat. Namun orang berhati sekeras Tong Wi-hong sudah tentu tidak menyerah begitu saja, setelah berpikir ia pun menyahut,

"Hou-ji, yang kau ucapkan itu ada betulnya juga, tetapi kalau kita mendukung pemerintahan Manchu, sama saja kita mendukung sikap seorang perampas yang merampas hak milik korbannya. Bukankah bangsa Manchu merebut negeri kita ini dengan kekerasan...?"

Selanjutnya;
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.