Pendekar Naga dan Harimau Jilid 39
BANTAHAN Tong Lam-hou itu seketika membuat bungkam si tukang pukul bawahan Pakkiong Hok itu. Namun agaknya dia terlalu setia kepada majikan mudanya, sehingga tanpa pikir panjang lagi ia mencabut goloknya dan dibabatnya ke kepala Tong Lam-hou.
Namun Tam Liong telah menghunus pedangnya dan menangkis golok itu, sambil membentak, "Jangan lancang. Kesalahan Tong Congpeng belum ditentukan oleh mahkamah, dan itu berarti tidak boleh setiap orang menghakiminya sendiri-sendiri!"
Jagoannya Pakkiong Hok itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi sebab tidak mungkin ia melawan Kiu-bun Tetok Tam Liong yang tengah memegang wewenang dari Peng-po Siang-si itu. Dengan tatapan penuh kebencian kepada Tong Lam-hou diapun mengajak teman temannya pergi sambil membawa tandu yang kini cuma berisi mayat Pakkiong Hok yang tetap dalam sikap duduk.
Sementara itu Tam Liong dengan prajurit-prajuritnya pun mengawal Tong Lam-hou menuju ke gedung Peng-po Ceng-tong (Kementerian Perang). Sebagai seorang perwira kerajaan yang dituduh melanggar hukum, Tong Lam-hou tidak ditempatkan bersama penjahat-penjahat lainnya di Penjara Kerajaan yang dulu pernah diserang oleh penentang-penentang kerajaan itu, melainkan ia akan dibawa ke gedung Peng-po Ceng-tong.
Di bagian belakang gedung itu ada ruangan tahanan khusus untuk para perwira atau orang berpangkat lainnya selain tempatnya lebih "nyaman" juga penjagaannya berkali lipat kuatnya dari penjara biasa, kesitulah Tong Lam-hou dibawa untuk "menginap" sebelum diselenggarakannya mahkamah untuk mengadilinya, meskipun pengadilan itu sendiri sudah diketahui hasilnya sebab jalannya pengadilan sampai keputusan nya bakal banyak dipengaruhi oleh Pakkiong An yanq bermain di belakang layar itu.
Sementara itu, dari tempat yang gelap tersembunyi, dua orang pengemis mengawasi digiringnya Tong Lam-hou itu dengan penuh perhatian. Salah seorang dari mereka mencibir sambil berkata, "Rasakan sekarang, orang yang sok setia kepada Kerajaan, sok mentaati hukum. Sungguh kalau dalam beberapa hari lagi batok kepala anak tolol itu tidak dipajang di ujung tombak dipersimpangan jalan."
Pengemis yang satunya menarik napas. Katanya, "Bagaimanapun sesatnya pikiran anakmuda itu, namun dia memiliki watak ksyatria yang patut dihargai juga, seperti umumnya laki-laki keluarga Tong lainnya. Bagaimanapun juga kita tidak bisa tinggal diam untuk kejadian ini."
“Habis kita harus berbuat bagaimana? Segala-galanya berjalan di luar rencana yang telah kita susun baik-baik antara Sun Tianglo (sesepuh she Sun) dengan Tong Tayhiap dulu. Anak muda yang bernama Tong Lam-hou itu dengan sukarela telah menyerahkan kaki dan tangannya untuk dirantai, sekedar untuk dianggap sebagai prajurit yang setia. Namun kelak dia akan menangis menyesal kalau menghadapi tiang gantungan atau golok algojo."
"Aku kira tidak, aku lihat anakmuda itu seorang yang teguh dalam sikap maupun keputusan yang telah diambilnya. Pakkiong Liong beruntung mendapatkan orang semacam dia, entah dengan guna-guna apa dia berhasil memikat anak muda itu untuk masuk ke dalam pasukannya."
“Sudah, tidak ada perlunya berbantah tentang orang itu. Sekarang apa yang akan kita perbuat?"
“Perwira muda tadi adalah keponakan dari Tong Tayhiap. Bagaimana kalau kita tanyakan dulu bagaimana pertimbangan Tong Tayhiap?"
"Dia masih luka. Tapi bagaimanapun juga memang paling baik kalau kita laporkan kepada Sun Tianglo lebih dulu."
"Marilah."
Kedua pengemis itupun kemudian meninggalkan tempat persembunyian mereka. Keduanya berjalan berkelak-kelok di lorong-lorong kecil, tidak jarang lorong yang di kiri kanannya ada parit yang berbau busuk dan merekapun harus berjalan dengan hati-hati supaya tidak menginjak tumpukan kotoran manusia yang berceceran di sana-sini.
"Uh, kenapa Sun Tianglo memilih markas di tempat seperti ini?" gerutu salah seorang pengemis sambil menutup hidungnya.
"Justru tempat inilah yang paling aman dari incaran kaum kuku-garuda Manchu itu," sahut temannya sambil tertawa. "Melihat lorong yang bau dan tahi manusia yang berceceran di lorong sempit ini saja sudah membuat mereka mundur teratur. Inilah 'benteng' kita yang maha ampuh."
Temannya tertawa, meskipun tetap melangkah dengan hati-hati. Sedang temannya yang berbicara tadi tiba-tiba memaki dengan suara perlahan karena kakinya telah "menginjak ranjau."
Temannya tertawa, namun tertawa-nyapun tertahan pula dan berganti dengan makian pula, "Gila, ranjau-ranjau ini benar-benar tidak pandang bulu."
Ketika mereka tiba di sebuah gubuk reyot yang di depannya ada kertas ditempelkan, salah satu dari pengemis itupun mengetuk pintu dengan irama tertentu. Dari dalam terdengar pertanyaan, "Siapa?"
Kedua pengemis di luar itu menyahut, "sam-te Tecu murid kantong tiga Tan Yu-yang dan Sam-te Tecu Han Kok-leng dari tugas pengintaian."
Pintu dibuka dan yang membukakan-nyapun seorang pengemis pula. Melihat itu, kedua pengemis yang baru datang itu memberi hormat, "Salam kepada Sun Tianglo!"
Pengemis bertubuh gemuk yang membukakan pintu itu memang Sun Ciok-peng, salah seorang tokoh Serikat Pengemis untuk wilayah Ho-pak yang berpusat di Pak-khia. Katanya, "Masuk, dan copot sepatu kalian yang bau itu. Kalian tentu melangkah dengan kurang hati-hati di lorong itu."
Kedua pengemis itu menyeringai. "Apa yang akan kalian laporkan?"
Kedua pengemis itupun melaporkan apa yang terjadi dengan Tong Lam-hou, bagaimana perwira muda itu menyerah begitu saja kepada penangkap-penangkapnya, karena kesetiaannya kepada Negara dan Kaisar. Padahal jika ingin melepaskan diri, dengan kepandaiannya yang tinggi dan tanpa tandingan di seluruh Pak-khia itu, Tong Lam-hou bisa melakukannya. Di seluruh Pak-khia, yang bisa menandinginya cuma Pakkiong Liong atau Panglima dari Gi-cian-si-wi (Pasukan Pengawal Kaisar) atau Panglima Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana), karena Panglima dari kedua pasukan itupun terkenal ketinggian ilmunya.
Sun Ciok-peng menarik napas mendengar laporan kedua orang anak-buahnya itu, "Kemungkinan seperti ini tidak kami perhitungkan sebelumnya. Kami hanya memperhitungkan dia kemungkinan lain, yaitu apabila Tong Lam-hou menurut bujukan pamannya untuk meninggalkan penghambaannya kepada pemerintah Manchu, atau jika Tong Lam-hou menolak semua nasehat pamannya. Ternyata yang terjadi seperti ini.”
"Kita harus bagaimana?"
"Bagaimanapun juga dia adalah keponakan Tong Tayhiap, kita harus berbicara dengannya lebih dulu jika hendak mengambil tindakan-tindakan yang bersangkut-paut dengan keponakannya itu."
Apakah Tong Tayhiap sudah bisa diajak bicara karena luka-lukanya?"
Sun Ciok-peng menganggukkan kepalanya yang besar dengan pipi-pipi yang gemuk seperti bayi sehat itu. Sahutnya, "Tong Tayhiap adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, daya tahan tubuhnyapun luar biasa. Setelah diobati oleh Pek Tianglo (sesepuh Pek), dia sudah bisa bercakap-cakap meskipun sambil berbaring dan harus banyak beristirahat. Kalian masuklah bersama aku untuk melaporkan kejadian tadi, kebetulan saat ini Tong Tayhiap tidak sedang tidur."
Kedua pengemis itupun mengikuti Sun Ciok-peng masuk ke bagian dalam dari rumah reyot itu. Meskipun luarnya adalah gang yang berbau busuk dan ruangan depannyapun tidak lebih dengan tempat tinggal kaum gelandangan pada umumnya, tapi bagian dalamnya ternyata lebar dan bersih, malahan ada pula tanaman bunga-bungaan di halaman tengah yang membuat bagian dalam itu lebih segar. Bau busuk di luar tidak dapat menembus sampai ke dalam.
Ada beberapa ruangan yang semuanya ditinggali oleh pengemis melainkan pentolan-pentolan Kay-pang yang berpengaruh di dunia persilatan. Di salah satu ruangan itulah Tong Wi-hong terbaring dengan luka yang sudah dibubuhi obat dan terbalut rapi. Di sebelahnya ada seorang pengemis tua bertubuh kurus kering yang tengah bercakap-cakap dengan Tong Wi-hong. Bahkan pendekar dari Tay-beng itu sudah dapat duduk bersila dan nampak tertawa-tawa, meskipun beberapa saat yang lalu orang masih mencemaskan keadaannya.
Namun setelah mendengar laporan dari kedua pengemis yang dibawa masuk oleh Sun Ciok-peng itu, lenyaplah seri tawa Tong Wi-hong, berganti dengan sikap murung. Selama beberapa hari ia telah berdebat dan berunding dengan keponakannya itu, dan dalam beberapa hari itu ia sudah memahami betul bagaimana teguhnya kepribadian keponakannya itu.
Dengan membiarkan dirinya ditangkap, maka Tong Lam-hou seakan sudah menetapi dua kewajibannya sekaligus, yaitu menyelamatkan pamannya, sekaligus juga menunjukkan kesetiaannya kepada Negara dan Kaisar. Sedang nyawanya sendiripun malah tidak digubris.
"Anak itu begitu setia kepada penjajah, sehingga rela membiarkan dirinya ditangkap daripada melawan secara jantan," kata si pengemis kurus Pek Siau-thian yang berpangkat kantong tujuh dan meiupaKan ahli pengobatan di kalangan Kay-pang itu.
"Apakah masih berguna kita memikirkan untuk menolongnya?"
Sahut Tong Wi-hong, "Ketika aku berangkat ke Pak-khia ini untuk menemuinya, akupun masih berpikir seperti itu. Setiap orang Han yang menghamba kepada Kerajaan Manchu adalah orang yang tidak setia kepada tanah-airnya sendiri, pengkhianat, penjilat, pengecut dan sehagainya. Namun setelah aku berbicara dengan anak itu selama beberapa malam, aku sudah berubah pandangan, meskipun tidak berarti aku berbalik kiblat mendukung Manchu."
Orang-orang Kay-pang yang selama ini gigih dalam gerakan bawah tanah untuk membuat pemerintahan Manchu tidak pernah tenteram itu, terkejut mendengar ucapan Tong Wi-hong itu. Apakah pendekar besar itu sudah menjadi lemah hati karena berhadapan dengan keponakannya sendiri? Dengan pandangan mata penasaran mereka menatap sang pendekar untuk mohon penjelasan.
Maka Tong Wi-hongpun menjelaskan apa saja yang dihasilkan selama beberapa malam berdebat dan bertukar pikiran dengan Tong Lam-hou itu. Dijelaskan pula bahwa pemerintahan yang goncang secara berketerusan hanya akan menyengsarakan orang banyak yang tidak bersalah. Sikap keras terhadap pemerintah Manchu hanyalah akan memancing tindakan keras dari tentara kerajaan.
Sedangkan apabila tidak ada perlawanan sudah terbukti bahwa Kaisar Khong-hi ternyata memberi perhatian untuk rakyat, bukan hanya bersenang-senang saja. Sejarah mencatat bahwa ratusan, bahkan ribuan tahun daratan Cina dilanda peperangan, dinasti-dinasti bangkit dan runtuh, semuanya hanya berlandaskan dua hal balas-dendam antar suku dan nafsu perluasan kekuasaan.
Penjelasan yang panjang lebar itu tentu saja tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja oleh orang-orang Kay-pang yang sejak lama mempunyai pendirian sendiri dalam menghadapi pemerintahan Manchu itu. Namun tak dapat disangkal bahwa yang dikatakan oleh Tong Wi-hong itu benar semuanya, hanya saja selama ini mereka tidak dapat melihatnya karena mata hati mereka tertutup oleh kabut kebencian dan kemarahan.
Kalau dipikir dengan kepala dingin, toh orang manehu itu sebetulnya bukan "orang lain" bagi orang Han. Buat orang Han yang tinggal di wilayah Ho-pak, bukankah tempat tinggal orang Manchu itu lebih dekat dibandingkan dengan tempat tinggal "sesama orang Han " tetapi yang berada di Hun-lam atau Kui-ciu sana? Dulu ketika dinasti Tong meluaskan perbatasannya ke timur sampai ke Korea, bukankah nenek Moyang orang Mancu itu juga dimasukkan ke dalam golongan rakyat Kerajaan Tong?
Beratus-ratus tahun sudah mereka hidup berdampingan hanya terpisah oleh Tembok Besar yang tebalnya cuma belasan langkah, akankah perbedaan yang sangat tipis itu dikobar-kobarkan menjadi besar dengan menimbulkan pertumpahan darah di seluruh negeri, hanya untuk sesuatu yang dinamakan "harga diri orang Han" yang sebenarnya yang terlalu dibuat-buat, sebab sebenarnya orang Manchu itupun hampir tak ada bedanya dengan orang Han.
Kalau dipikir lebih lanjut, orang Han memang mau menangnya sendiri, terdorong oleh rasa unggul diri yang berlebihan. Rasa unggul diri yang jelas berbeda dengan rasa cinta tanah air. Orang Han menyebut negeri mereka sebagai "Tiongkok" artinya "negeri di tengah dunia," dan berarti bangsa yang di luar perbatasan mereka itu termasuk bangsa-bangsa pinggiran yang dianggap bodoh, berkebudayaan rendah, bangsa taklukan yang diharuskan mengirimkan upeti taklukan kepada Kaisar "Sang Putera Langit” yang duduk di "Tahta Naga" dan sebagainya.
Rasa unggul diri pula yang membuat negeri Cina terus menerus bermusuhan dengan Jepang sejak ratusan tahun, karena orang Jepang dengan tidak kalah sombongnya menyebut diri mereka sebagai "anak matahari". Masing-masing saling memaki dengan sebutan bangsa liar yang hatus dibudayakan, sebab menganggap kebudayaan diri sendirilah yang tertinggi.
Langit dan matahari sendiri adalah dua kenyataan alam yang rukun dan tak terpisahkah, tapi entah kenapa "anak-anak" mereka di bumi saling cakar-cakaran dan bahkan berpuluh puluh kali terlihat peperangan sampai mereka menjadi musuh bebuyutan. Manusia-manusia yang merasa berbudaya tinggi itu kadang-kadang kelakuannya mirip-mirip dengan anak-anak kecil yang berebutan kembang gula.
Sun Ciok-peng dan lain-lainnya menundukkan kepala mendengar penjelasan Tong wi-hong yang lain daripada yang lain itu. Dulu sikap mereka adalah sikap yang diwarnai kebencian dan kemarahan kepada bangsa Manchu, sehingga mereka pernah mencanangkan kalau perlu "perang sepanjang jaman" melawan bangsa Manchu. Perang sepanjang jaman? Apa mereka pikir mereka itu berhak merampas ribuan nyawa yang bakal diumpamakan di peperangan?
Serasa hati nurani mereka terketuk, dan meskipun penjelasan Tong Wi-hong itu tidak langsung diterima sepenuhnya, tapi untuk menolakpun rasanya sudah sulit. Semua begitu terasa kebenarannya, begitu masuk akal, kesan bahwa Tong Wi-hong telah menjadi lemah hati terhadap keponakannya, kini terhapus.
"Sekarang bagaimana tindakan kita?" tanya Sun Ciok-peng kemudian. “Maksud-ku tentang diri Tong Lam-hou itu?"
Pek Siau-thian yang tadi memaki Tong Lam-hou sebagai "budak Manchu yang ingin disebut setia kepada Negara dan Kaisar" itu, kini sikapnya agak berubah setelah mendengar penjelasan Tong Wi-hong tadi. Sikap memandang rendah Kepada Tong Lam-hou agak berkurang, sebab ia tahu Tong Lam-hou adalah seorang yang berpendirian teguh, bukan sekedar seorang yang mengejar kedudukan dan kekayaan sebagai seorang perwira tinggi Manchu.
Tanya Pek Siau-thian, "Apakah kita perlu mengambil tindakan-tindakan seperlunya untuk menyelamatkan Tong Lam-hou dari hukuman berat yang pasti akan diterimanya? Mcckipun anakmuda itu agaknya tetap setia kepada si Khong-hi itu?"
Merubah pendirian seseorang memang tidak gampang, begitu pula meskipun Pek Siau-thian agak terpengaruh oleh penjelasan Tong Wi-hong tadi, namun masih belum timbul hormatnya kepada Kaisar Manchu sehingga ia masih menyebutnya dengan sebutan mendingan dari kemarin yang menyebutnya "si bangsat Khong-hi."
Tong Wi-hong menyahut, "Urusan Tong Lam-hou adalah urusan keluarga Tong kami, dan barangkali juga saudara-saudara lainnya seperti Kay-pang aku rasa tidak usah terlalu memikirkan urusan ini. Nyawa Tong Lam-hou pribadi tidak lebih berharga dari nyawa seorang anggota Kay-pang yang paling rendah sekalipun. Jadi, jangan berbuat apapun yang membahayakan kalian sendiri..."
Tapi Sun Ciok-peng menyahut, "Tong Tayhiap, ketika Kay-pang mengalami kesulitan menghadapi orang-orang Pak-tian-kiu dulu, kau tanpa menghiraukan nyawamu sendiri telah membantu kami sehingga kami selamat dari kehancuran. Sekarang beri kesempatan Kay-pang untuk membalas budi kepadamu. Seluruh anggota di cabang Kay-pang ini siap dikerahkan untuk membantu Tayhiap, tidak peduli itu urusan pribadi Tayhiap dengan Tong Lam-hou."
"Terima kasih, Sun Tianglo, tapi aku akan merasa brdosa sekali kalau hanya untuk menyelamatkan satu nyawa Tong Lam-hou saja harus mengorbankan nyawa banyak anggota Kay-pang. Lagi-pula sikap itu akan mempersulit kalian untuk tetap bercokol di Pak-khia ini dikemudian hari. Aku malahan menganjurkan agar Kay-pang mengurangi sikap bermusuhan dengan pemerintah Manchu agar tidak memancing si Khong-hi itu bersikap lebih garang lagi. Maka atas tawaran bantuan kalian, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih tapi tidak bisa menerimanya."
"Lalu bagaimana tentang Tong Lam-hou?"
"Aku sedarg memikirkan sebuah cara untuk menolongnya, sebab aku adalah pamannya, tapi kalu bisa tanpa pengorbanan nyawa siapapun."
"Tayhiap sudah menemukan caranya?"
"Sudah, aku hanya ingin minta bantuan saudara-saudara Kay-pang dalam penyebaran berita secepat-cepatnya," kata Tong Wi-hong. "Dengan burung-burung merpati kalian yang lihai..."
"Dengan senang hati, Tayhiap," kata Sun Cio-peng dan Pek Siau-thi hampir berbarengan. "Berita yang bagaimana dan kepada siapa?"
Sesaat Tong Wi-hong seperti memikir sesuatu, kemudian katanya, "Tujukan ke Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san, Se-cuan. Kira-kira makan waktu berapa lama?"
"Merpati-merpati kami adalah burung pilihan semuanya yang didatangkan atau dibibit dari Kepulauan hami yang di laut selatan sana. Jarak sejauh itu hanya akan makan waktu sehari semalam."
"Baik. Beritanya begini: untuk sahabatku Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, Tong Lam-hou terancam hukuman berat karena menolak perintah Kaisar untuk menyerang Hwe-liong-pang, tertanda Tong Wi-hong."
Sun Ciok-peng mencatat baik-baik isi berita itu, meskipun ia agak heran juga akan isi berita tentang "menolak perintah Kaisar untuk menyerang Hwe-liong-pang itu, sebab bukankah yang terjadi bukannya seperti itu? Bukankah karena menyelamatkan pamannya dengan membunuh Hwe-niau dan melukai Pakkiong Hok, meskipun Pakkiong Hok itupun kemudian mati juga?
Tong Wi-hong mengerti keheranan pengemis berwajah bulat itu, katanya sambil tertawa, "Sengaja masalahnya agak aku besar-besarkan sedikit supaya merekapun datang dengan tergesa-gesa kemari. Bukankah jarak Tiau-im-hong dan Pak-khia cukup jauh? Kalau mereka berjalan berlenggang-kangkung maka mereka tidak akan keburu menolong Tong Lam-hou."
Sun Ciok-peng dan lain-lainnyapun tertawa mendengar ucapan itu, kata Pek-Siau-thian, "Tong Tayhiap pintar membuat orang kebingungan. Aku tak dapat membayangkan betapa bingungnya Siangkoan Hiangcu dan Lim Hiangcu kalau membaca berita itu, dan barangkali memang mereka akan tergesa-gesa menuju Pak-khia karena kuatir terlambat!"
"Itu olahraga yang baik buat mereka yang terlalu lama hidup santai," sahut Tong Wi-hong yang lagi-lagi disambut senyuman semua orang.
Katanya lagi, "Nah, surat kedua ditujukan ke gunung Tiam-jong-san di Hun-lam. Isi beritanya, Ang Lo-eng-hi-ong yang terhormat, murid tuan perkasa, Tong Lam-hou, terancam hukuman mati karena membela nama baik tuan di hadapan pejabat-pejabat istana, tertanda Tong Wi-hong."
Kembali orang-orang itu tersenyum dan Tong Wi-hong pun tanpa diminta telah menjelaskannya, "Dari penuturan guruku di Soat-san-pay sana, aku tahu bahwa watak guru Tong Lam-hou yang bernama Ang Huan yang berjulukan Tiam-jong-lo-sia (si sesat tua dari Tiam-jong-san) itu sangat aneh. Satu-satunya jalan untuk memancing dia keluar dari sarangnya adalah menyentuh dua kelemahan dalam wataknya, yaitu rasa sayangnya yang luar biasa kepada murid tunggalnya, kedua, ia orang yang paling tidak betah mendengar tantangan yang menggatalkan telinga."
"Surat ketigga untuk siapa?”
"Tidak perlu ketiga, sebab Tiam-jong-lo-sia Ang Huan, Siang-koan Hong serta Lim Hong-pin bertiga adalah kekuatan yang sudah cukup untuk membawa Tong Lam-hou kabur, tidak peduli andaikata ia dikurung di Istana sekalipun. Dengan turun tangannya ketiga tokoh maha sakti itu, diharap korban di pihak tentara Manchu pun dapat ditekan sekecil-kecilnya, sebab merekapun manusia yang punya keluarga yang selalu mengharap agar mereka pulang ke rumah dengan selamat."
"Merpati pembawa surat, baik yang ke Tiau-im-hong maupun yang ke Tiam-jong-san, tidak dapat langsung ke gunung itu. Merpati-merpati itu akan lebih dulu diarahkan ke kota yang paling dekat dengan tujuan, yang disitu ada ranting Kay-pangnya, setelah itu baru salah seorang anggota kami akan menyampaikannya ke sasaran-sasaran yang ditentukan. Barangkali saja kedatangan ketiga tokoh maha sakti itu akan terlambat.
Tona Wi-hong menarik napas, "Kalau kedatangan mereKa terlambat, ya memang nasib keponakanku itulah yang sangat buruk, artinya dia akan mati dihukum picis dengan cap sebagai pengkhianat yang menodai namanya. Kalau sudah demikian, kita bisa berbuat api lagi?"
Kata Sun Ciok-peng, "Sebenarnya kita tidak terlalu cepat putus-asa atau bersikap pasrah seperti itu, Tong Tayhiap. Sekali lagi aku katakan bahwa semua anggota Kay-pang di cabang Pak khia siap untuk ambil bagian untuk menyerbu penjara dari membebaskan Tong Lam-hou, apabila Tayhiap setuju kita akan membikin kejutan lagi seperti beberapa bulan yang lalu ketika membongkar penjara dan membebaskan para pahlawan."
Tapi Tong Wi-hong juga tetap teguh pada sikapnya, "Aku berterima kasih sekali, Sun Tianglo, tapi aku keberatan pengerahan begitu banyak tenaga untuk membebaskannya. Korban pasti akan banyak jatuh di kedua belah pihak, padahal persoalannya hanya berpusat pada diri seorang Tong Lam-hou, keponakan dari Tong Wi-hong pribadi. Kalau kita menyerbu Penjara Kerajaan seperti beberapa bulan yang lalu, itu memang pantas, sebab yang kita bebaskan dengan taruhan nyawa itu adalah pahlawan pembela rakyat yang dipenjarakan secara sewenang-wenang. Tong Lam hou tidak bisa disamakan dengan mereka. la malah seorang yang tetap setia kepada Kaisar Khong-hi meskipun tangannya sudah dilingkari borgol."
Diam-diam para tokoh Kay-pang itu menaruh hormat kepada Tong Wi-hong ketika mendengar pendirian yang begitu tegas. Pendirian yang mampu memisahkan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi dengan tegas, sedanq orang lain justru menggunakan pengaruhnya demi kepentingan pribadi meskipun diberi selubung seolah-olah yang diperbuatnya itu "demi kepentingan umum."
Kata Tong wi-hong, "Kalau memang begitu buruk nasib keponakanku, biar sajalah. Aku sudah berusaha, tetapi aku tidak ingin orang lain menjadi korban lagi."
Maka diputuskanlah begitu, dan Sun Ciok-peng segera menyuruh dua orang anakbuahnya Itu untuk melaksanakannya. Menjelang fajar menyingsing, dua ekor burung merpati melesat ke udara secara berturut-turut. Di kaki mereka terikat erat bumbung kecil yang berisi kertas amat tipis berisi pesan-pesan Tong Wi-hong. Yang seekor menuju barat laut, ke arah Tiau-im-hong, dan seekor lagi menuju selatan.
Pada saat yang sama, Tong Lam-hou juga sudah menempati "rumah" barunya di bagian belakang gedung Peng-po Ceng-tong. Sebuah ruangan yang hampir sama rapinya dengan ruangan tidur di rumahnya sendiri, namun tentu saja tidak menyenangkan sebab pintu ruangan itu berujud terali besi yang terkunci dan terbelit rantai besar. Sebenarnya bisa saja Tong Lam-hou menggunakan kekuatannya untuk menerobos keluar, tapi hal itu tidak dilakukannya sebab dianggapnya perbuatan itu mengingkari kesetiannya kepada Negara dan Kaisar. Ia rela dihukum picis sekalipun, asal tidak menodai wibawa Kerajaan.
Prajurit-prajurit yang menjaga di bagian luar ruangan berterali itupun tetap bersikap hormat kepadanya dan selalu memanggilnya "Tong Congpeng" pada waktu mengantarkan makanan atau membukakan pintu untuk keperluan lainnya. Tapi Tong Lam-hou tahu bahwa sikap hormat itu akan hilang jika ia mencoba untuk melarikan diri.
Namun Tong Lam-hou sendiripun memang tidak punya niat setitikpun untuk melarikan diri, meskipun kadang-kadang ada perasaan rindu yang menggigit hatinya kalau ia ingat ibunya yang berada jauh di Tiam-jong-san sana, hidup dalam sebuah gubuk kecil di lereng gunung, bekerja keras setiap hari. Akankah ibunya itu patah semangat kalau kelak mendengar berita kematianpya??
Tong Lam-hou duduk di pembaringannya sambil menarik napas. Inilah kemungkinan yang harus dipikul sebagai seorang prajurit yang tunduk kepada hukum Kerajaan. Menyabung nyawa di medan perang masih jauh lebih ringan dibandingkan memerangi perasaan kerinduannya sendiri, terhadap orang yang dekat di hatinya.
Ketika ia baru saja selesai menikmati sarapan paginya yang diantarkan oleh seorang prajurit, tiba-tiba di depan terali besis itu muncul seorang yang membuat wajahnya tegang. Pakkiong Liong. Panglima Pasukan Naga Terbang itu tidak memakai pakaian ketentaraannya, namun hanya memakai jubah biasa yang sederhana, dan wajahnyapun nampak agak tegang meskipun ia berusaha menutup-nutupinya.
Setelah menyuruh prajurit penjaga untuk membukakan pintu terali itu, Pak kiong Liong segera melangkah masuk ke ruangan penyekapan Tong Lam-hou. Kata-kata yang pertama terluncur dari mulutnya adalah,
"Ketika pagi ini aku mendengar tentang peristiwa semalam, aku benar-benar hampir tidak percaya bahwa kau telah melakukan itu."
Tong Lam-hou menatap sahabat dan sekaligus panglimanya itu dengan tatapan mata yang redup, "Aku sendiri-pun hampir tidak percaya, seolah semuanya berlangsung begitu saja dan aku tidak berperanan di dalamnya, tapi kenyataannya justru akulah peranan utama dari pengkhiaantan ini..."
Tong Lam-hou menundukkan kepala sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang nampak agak gemetar itu. Lalu melanjautkan dengan suara gemetar pula, "A-liong, secara pribadi aku minta maaf karena aku sudah membunuh adik sepupumu karena aku tak dapat mengendalikan kemarahanku lagi. Sebagai prajurit, aku juga minta maaf karena aku telah menodai keagungan nama pasukan kita yang tetap aku cintai sampai saat ini."
Sahut pakkiong Liong, "Aku mendengar jalannya cerita yang simpang siur dari beberapa pihak, sekarang aku ingin mendengarnya dari penuturanmu sendiri."
Tong lam-hou merasa agak heran juga ketika melihat Pakkiong Liong ternyata dingin-dingin saja dalam menerima kabar kematian adik sepupunya, la tahu hubungan kedua saudara sepupu itu memang agak tawar, tapi masakah Pakkiong Liong tidak menunjukkan kesedihan sedikitpun? Lalu Tong Lam-hou menceritakannya secara lengkap, mulai ia menerima pamannya menginap dirumahnya.
Dan selama beberapa hari berdebat dan bertukar pikiran, sampai Tam Liong sebagai Kiu-bun Te-tok menjemput di rumahnya dan memborgol tangannya. Tak ada bagian sekecil apapun dari urut-urutan ceritanya itu yang disembunyikan, bahkan juga pada saat ia mengerahkan hawa dingin Han-im ciang untuk membinasakan Pakkiong Hok tanpa menyentuhnya.
"Kata-kata Pakkiong Hok waktu itu begitu tajamnya sehingga aku tak sanggup lagi mendengarnya," begitu Tong Lam-hou mengakhiri penuturannya.
Sesaat pakkiong Liong terdiam, ia percaya apa yang dikatakan oleh temannya itu tentu tidak bohong, sebal dia sendiri sangat paham bagaimana watak adik sepupunya yang sejak kecil sudah dimanjakan oleh ayahnya itu, Pakkiong Hok gemar mengucapkan kata-kata yang melukai hati orang lain, dan Pakkiong Liong pernah memperingatkan saudara misannya itu bahwa suatu saat wataknya itu akan menjerumuskan ke dalam kesulitan. Ternyata benar, sekarang Pakkiong Hok telah "disembuhkan untuk selama-lamanya" dari tabiatnya itu oleh Tong Lam-hou.
Dan Tong Lam-hou hampir-hampir tidak percaya ketika mendengar Pakkiong Liong berkata, "Kau tentu akan dihukum, tapi aku akan menggunakan pengaruhku sebisa-bisanya supaya hukuman atas dirimu itu seringan mungkin..."
“Itu tidak perlu, A-liong. Hukum harus ditegakkan meskipun aku harus jadi korban, aku hanya punya dua permohonan kepadamu sebelum aku dipenggal oleh algojo."
"Aku akan memenuhi permintaanmi kalau aku mampu melakukannya."
"Yang pertama, aku minta agat kau bawa abu tubuhku ke Tiam-jong-san untuk diserahkan kepada ibuku,” kata Tong Lam-hou, dengan pasti. Diam-diam ia merasakan bahwa nasibnya agak mirip dengan nasib ayahnya yang dulu Ketua Hwe-liong-pang, yang juga mati muda karena mempertahankan pendiriannya. Dan ibunya akan kehilangan untuk kedua kalinya.
Kalau Tong Lam-hou mengucapkai pesan itu dengan tenang, sebaliknya hati Pakkiong Liong sangat terguncan mendengarnya. Diingatnya seorang perempuan setengah baya yang berpakaian buruk di lereng Tiam-jong-san itu, seorang perempuan yang oleh Pakkiong Liong nyaris senilai dengan ibunya sendiri, dan perempuan itupun pernah memperlakukan Pakkiong Liong sepert anaknya sendiri, Dialah salah seorang yang dekat di hati Panglima itu, jauh lebih dekat dibandingkan Pakkiong An dan Pakkiong Hok yang masih punya hubungan darah dengannya itu.
Sesaat Pakkiong Liong berdiri gemetar dari berusaha mengendalikan perasaannya yang bergolak. Dan setelah tenang kembali diapun bertanya, “Yang kedua?"
Sesaat Tong Lam-hou agak tersipu, namun dijawabnya juga dengan agak terbata, "Kau... jagalah dia baik-baik, jangan sampai mengambil tindakan nekad karena peristiwa yang menimpa diriku ini."
Pakkiong Liong sudah maklum siapa yang dimaksud dengan "dia" itu, bukan lain adalah adik sepupunya sendiri dari pihak ibu, To Li-hua, yang bulan-bulan belakangan ini hubungannya dengan Tong Lam-hou memang semakin erat dan bahkan Pakkiong Liong tahu bahwa kedua orang itu saling mencintai.
Tentu saja permintaan yang kedua ltu-pun disanggupi oleh Pakkiong Liong, “A-hou, ibumu adalah ibuku, aku bahkan ingin memperlakukan beliau benar-benar sebagai seorang ibu dan bukan untuk cuma mengantar abu jenazahmu kelak. Sedangkan Li-hua itu adikku, tentu saja aku harus menjaganya baik-baik."
Empat telapak tangan yang kekar, empat tangan yang ditakuti lawan-lawan di medan laga, kini saling genggam dengan eratnya, mewakili penyaluran perasaan dan pengertian dari pemiliknya masing-masing. Tanpa terucapkanpun mata Tong Lam-hou sudah memancarkan rasa terima kasih yang tak terhingga.
Kata Pakkiong Liong kemudian, "Secara pribadi, aku menghormati pamanmu Tong Wi-hong sebagai seorang pendekar besar berwatak satria. Tapi terus terang saja aku kurang menyetujui tindakanmu yang melepaskannya pergi, sebab itu berarti masih berkeliarannya seorang musuh tangguh dari pemerintahan kita. Maafkan ucapanku ini."
"Tidak, aku yakin mulai sekarang pamanku itu tidak akan menjadi musuh lagi. Beberapa malam kami berdebat dan bertukar pikiran, dan kelihatannya pamanku itu mulai bisa menerima kenyataan hadirnya pemerintah Manchu di Tiong-goan ini, meskipun tidak dengan serta-merta mendukungnya. Aku memperhitungkan bahwa jika dia dilepaskan, dia bisa menyebarkan pendapatnya atau sikapnya yang lebih lunak itu kepada pemberontak-pemberontak lainnya, sehingga perlawanan kepada Kerajaanpun akan menurun. Sebaliknya jika ia ditangkap dan dihukum mati, berita kematiannya seperti minyak yang disiramkan kepada api, akan membuat penentang-penentang Kerajaan lainnya malahan bertambah beringas dan keadaan tenteram yang didamba-dambakan orang banyakpun akan semakin jauh dari kenyataan. Aku bicara demikian bukan karena ia pamanku."
Diam-diam Pakkiong Liong menganggap alasan itu masuk akal juga. Memadamkan pemberontakan bukan hanya dengan pedang saja, tetapi bisa dengan kebijaksanaan dan sikap bersahabat, bahkan perlawanan yang berhasil dipadamkan dengan cara yang kedua itu akan lebih langsung dibandingkan ditindas dengan senjata.
Sahut Pakkiong Liong, "Pertimbanganmu itu kelak harus kau kemukakan dalam mahkamah supaya dapat meringankan hukumanmu. Seorang tertuduh yang paling jahat sekalipun berhak membela diri di depan mahkamah."
"Tentu saja," kata Tong Lam-hou. "Namun agaknya pamanmu Pakkiong An akan lebih menguasai jalannya persidangan dengan pengaruhnya, dengan dendam sakit hatinya kepadaku. Aku punya naluri bahwa mahkamah tidak akan berlangsung dengan adil."
"Selama beberapa hari sebelum mahkamah dilangsungkan, aku akan mencoba menggunakan pengaruhku sejauh mungkin untuk menyeimbangkan jalannya mahkamah kelak. Meskipun pengaruhku tidak sebesar pengaruh pamanku, tapi setidaknya aku kenal baik dengan beberapa Panglima dan Menteri yang dengan jujur ingin menegakkan hukum yang seadil-adilnya di Kerajaan ini. Bahkan kalau perlu aku bisa menghadap Sri Baginda sendiri."
"Terima kasih atas usahamu itu, tapi aku minta jangan sampai kau mengorbankan dirimu sendiri. Berusahalah sejauh kau sendiri tidak terkena akibatnya. Andaikata kau gagalpun aku tidak menyalahkanmu."
"Ya, aku ingat baik-baik pesanmu itu. Hukuman picis dengan kepala ditancapkan di dekat pintu gerbang dan harus diludahi oleh setiap orang yang lewat, adalah hukuman yang keterlaluan dan tidak seimbang dengan kesalahanmu. Hukuman memang harus dijatuhkan kepadamu, itu aku setuju, tapi harus setimpal dengan kesalahannya."
Kemudian Pakkiong Liong pun meninggalkan tempat penahanan temannya itu. Apa yang diucapkannya di depan Tong lam-hou itu benar-benar dilakukan olehnya. Berhari-hari ia dengan giat menghubungi semua pihak yang bisa dihubungi untuk mencarikan keringanan bagi hukuman Tong Lam-hou. Beberapa Panglima sependapat dengannya dan bersama-sama menghadap Sri Baginda.
Padahal menghadap Kaisar tanpa diundang di luar waktu persidangan adalah perbuatan yang sangat berbahaya, sebab jika Kaisar kebetulan sedang tidak senang hatinya maka dengan sepatah kata saja ia dapat menyuruh menghukum mati kepada orang yang menghadapnya tanpa diundang itu.
Untunglah ketika Pakkiong Liong bersama dengan empat orang Panglima dari beberapa pasukan yang berbeda-beda melakukan penghadapan, Kaisar sedang riang hatinya, sehingga mereka diperbolehkan menghadap tanpa dihukum. Namun permohonan keringan hukuman bagi Tong Lam-hou ditolak oleh Kaisar, bagaimanapun Pakkiong Liong dan beberapa rekannya mengajukan alasan.
Kini Pakkiong Liong menyadari betapa hebatnya pengaruh pamannya dipusat pemerintahan itu sehingga Kaisar Khong-hi sendiri suka mendengar gosokan lidah berbisanya. Apalagi karena Pakkiong An lebih berhasil mengajukan "bukti-bukti yang meyakinkan" tentang betapa berbahayanya Tong Lam-hou apabila dibiarkan terus hidup dalam pasukan kerajaan, katanya suatu ketika pasti akan menikam dari belakang.
Maka harus dihukum seberat-beratnya untuk memberi peringatan kepada perwira-perwira lainnya yang ada maksud untuk berkhianat, terutama perwira-perwira yang bukan berdarah Man-chu. Dan Kaisar sendiri agaknya sudah menyetujuinya.
Beberapa hari kemudian, dengan wajah yang lesu dan murung Pakkiong Liong mengunjungi lagi Tong Lam-hou di tempat tahanannya. Wajahnya yang tidak bersemangat itu saja sudah menunjukkan semacam "pemberitahuan" untuk Tong Lam-hou bahwa usaha sahabatnya untuk meringankan hukumannya itu telah menemui jalan buntu.
"Aku tidak mengira pengaruh pamanku di Ibukota ini ternyata demikian besarnya," kata Pakkiong Liong dengan lesu, "seolah-olah kemanapun aku melangkah maka jidatku terbentur oleh dinding batu yang menyakitkan."
"Kau sudah berusaha dan untuk itu aku sangat berterima kasih."
"Masalahnya bukan yang akan dihukum itu sahabatku atau bukan, melainkan apakah keadilan benar-benar ditegakkan atau tidak? Hukuman sewenang-wenang macam ini hanya karena dendam pribadi kematian anaknya, jika menjadi kebiasaan akan seperti rayap yang menggerogoti tiang-tiang bangunan dari dalam, kelihatannya gedungnya masih kokoh tapi tahu-tahu ambruk berkeping-keping!"
Pakkiong Liong mengucapkan kata-katanya itu dengan nada berapi-api penuh kemarahan dan tangan terkepal, wajah yang memerah karena geram. Ia benar-benar menguatirkan nasib Kerajaan Manchu apabila orang-orang semacam pamannya sendiri itu merajalela dari satu telinga ke telinga lainnya dengan bisikan-bisikan beracunnya. Itu mengingatkannya kepada seorang dorna besar di jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng dulu, Co Hua-sun yang dengan mulut berbisanya membuat Kerajaan Beng runtuh jadi debu.
Pakkiong Liong tidak rela kalau kini Co Hua-sun "menitis" dalam diri Pakkiong An. Meskipun pamannya tidak pernah berbicara secara terbuka dengannya, namun Pakkiong Liong tahu pasti apa yang ada di dalam hati pamannya itu, sayangnya perkiraan yang tanpa bukti-bukti itu hanya akan memperkeruh keadaan dan sang paman malah bisa balik menuduh keponakannya itu memfitnahnya.
Dalam kehilngan keseimbangan jiwanya tiba-tiba pakkiong Liong berkata, "A-hou, kau harus melarikan diri, biar aku membantumu!"
Tong Lum-hou terkejut bukan kepalang. Ia kenal betul bagaimana tabiat sahabat dan Panglimanya itu, bagaimana tebal kesetiaannya kepada Negara, Kaisar dan hukum-hukumnya, kalau bukan karena hatinya yang begitu tergoncang, mustahil rasanya Pakkiong Liong mengucapkan itu.
"A-liong, kau mengingau atau bagaimana?" kata Tong Lam-hou dengan alis berkerut. "Karena hukum itu adalah bikinan manusia, maka tentu saja mengandung banyak kekurangan, tapi kalau hanya karena ketidak-puasan kita lalu kita membiasakan diri untuk menghindari hukum atau melawan hukum, maka hukum akan kehilangan kewibawaannya dan masyarakat ini berubah menjadi hutan rimba yang penuh binatang buas, di mana si kuat menerkam si lemah dengan semaunya saja. Bagaimanapun borok di tubuh hukum, ia adalah jalan keluar buat menghindari keadaan seperti hutan rimba itu. Aku lebih suka membiarkan tubuhku dan namaku hancur menjadi lumpur busuk, daripada menghindari jangkauan hukum, bagaimanapun tidak adilnya keputusan itu."
“Ya, hukum harus ditegakkan, tapi yang bersih, bukan hukum yang keluar dari mulut Pakkiong An Yang busuk itu. Jika hukum yang bersih itu ditegakkan juga dan masih terjadi ke keliruan, hendaknya kekeliruan itu bukan sesuatu yang disengaja. Tapi lihat, dalam perkaramu ini? Semuanya sudah diatur harus begini harus begitu sebelum mahkamah sendiri diselenggarakan. Inilah pembantaian yang berkedok hukum! Ini tidak adil dan harus dilawan!"
"Adil tidak adil, semua peraturan harus jalan terus. Kalau setiap orang atau setiap pihak dibiarkan saja menilai jalannya hukum dari sudut kepentingannya sendiri-sendiri, maka yang dirugikan tentu merasakan kurang adil dan yang diuntungkan sebaliknya merasakan betapa adilnya. Itu sifat dasar manusia. Tapi itu harus dikikis habis. Semua orang harus tunduk kepada hukum tak peduli memuaskannya atau tidak, dengan begitu baru terdapat masyarakat yang tertib."
Begitu kedua sahabat itu berdebat dengan suara yang semakin lama semakin keras, mengemukakannya alasannya masing-masing dan keduanya ternyata tetap kokoh dengan pendiriannya.
Kata Tong Lam-hou, "Pakkiong An membuat hukum jadi alat kekuasaannya, itu harus dicegah namun tanpa mengacaukan negara. Biar aku menjadi korban ketidakadilan kali ini, tetapi hendaknya kematianku kelak dapat membuka mata banyak orang bahwa masih ada yang perlu diperbaiki di negeri ini. Tangkap tikusnya tanpa merusakkan rumahnya, tangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya."
Semua ucapan Tong Lam-hou itu bisa diterima oleh akal dan otak Pakkiong Liong, tapi perasaannya terlalu sulit menerimanya. Kini dalam hati Panglima itu seakan terjadi bentrokan antara akal dan perasaannya. Sementara Tong Lam-hou terdengar berkata terus,
"Aku tahu kau punya Pasukan Hui-liong-kun yang sanggup kau suruh untuk terjun ke lautan api atau gunung golok sekalipun, Panglima-panglima yang sependapat denganmu juga akan mengerahkan pasukannya masing-masing, tetapi Pakkiong An sendiri bukannya tidak mempunyai pengikut. Jika kau letupkan perasaanmu dengan menggerakkan pasukanmu, maka Pak-khia akan banjir darah karena prajurit kerajaan saling bantai dengan prajurit kerajaan sendiri. Dan itulah awal kehancuran kita, dan mungkin awal kebangkitan kekuatan baru yang belum diketahui baik buruknya, buas atau jinak, dan bukankah ini berarti mempertaruhkan nyawa berjuta-juta rakyat hanya karena kemarahan hati? Jika itu benar-benar terjadi, kelak kau pasti akan menyesalinya seumur hidupmu apabila akal beningmu telah kembali lagi."
"Tapi apakah pamanku Pakkiong An itu harus dibiarkan merajalela dengan tingkah laku busuknya? Menghindari hukum membuat negara runtuh, tapi memfitnah kesana kemari bukankah membuat negara runtuh pula?"
"Tentu saja kau punya tugas memperbaiki keadaan ini. Jika rumah kita bocor, maka kita harus memperbaikinya meskipun kita harus berkorban menjadi basah oleh air hujan, bukan merobohkan rumah itu sama sekali sehingga seisi rumah kehilangan tempat berteduh."
Akhirnya dengan susah payah berhasil juga Tong Lam-hou meredakan gelora kemarahan Pakkiong Liong. Sungguh suatu kejadian yang agak janggal, di mana Tong Lam-hou yang bersuku Han dan calon korban kesewenang-wenangan malahan memberi nasehat kepada Pakkiong Liong yanq berdarah Manchu untuk tidak bertindak sembarangan yang membahayakan negara. Di sini terlihat jiwa yang besar dari kedua orang itu.
Tong Lam-hou menunjukkan bahwa ia rela hancur tubuh dan nama baiknya demi tegaknya hukum, sedangkan Pakkiong Liong yang berkedudukan tinggi, berdarah dari suku yang sedang berkuasa dan bahkan masih termasuk kerabat Istana, telah mempertaruhkan segala kedudukannya untuk membela seroang sahabat yang datang dari gunung.
Padahal jika Pakkiong Liong bersikap cuci-tangan dalam peristiwa Tong Lam-hou itu dia akan aman kedudukannya, tapi kesetia khwanannya yang tinggi terhadap Tong Lam-hou itu telah membuat Pakkiong Liong kini berhadapan dengan pamannya sendiri, Pakkiong An, yang sangat berpengaruh dan berhubungan dekat dengan Kaisar itu.
Ketika Pakkiong Liong keluar dari ruangan itu dan mengingalkan Peng-po Ceng-tong, hatinya masih merasa penasaran. Tapi udara sore kota Pak-khia yang dingin itu membantu pula mendinginkan kepalanya. Sambil berkuda perlahan-lahan menysuri jalan-jalan dikota pak-khia menuju ke rumahnya, ia memutar otak bagaimana memecahkan madalah itu. Seperti pesan Tong Lam-hou, sendiri menegakkan keadilan tapi tanpa menimbulkan kerusakan negara.
Tiba-tiba dari pinggir jalan terdengar ada seorang menyapanya, "Selamat sore, Pakkiong Ciangkun."
Pakkiong Liong yang berkuda sambil melamun itu terkejut, dan menoleh. Dilihatnya di pinggir jalan itu ada seorang lelaki berusia kira-kira tiga-puluh lima tahun, berjubah panjang, berwajah bersih dan sinar matanya membayangkan kecerdikannya. ia sedang menggandeng seorang anak perempuan kecil berusia delapan atau sembilan tahun. Agaknya sedang mengajak anaknya untuk berjalan-jalan di sore hari, dan di tangan anaknya itu terpegang sebatang kembang gula.
Cepat Pakkiong Liong meloncat dari kudanya, dan sambil tertawa ramah ia menjawab, "Eh, selamat sore, saudara Lim. Maafkan aku tidak melihatmu tadi."
Orang bertampang cerdik itu bernama Lim Cong-peng, salah seorang perwira bawahan Pakkiong Liong juga namun dari kelompok rahasia yang sering di olok-olok sebagai "kelompok tanpa seragam" namun pihak musuh menyeganinya dengan menyebut "kelompok hantu". Sebuah dari pasukan Hui-liong-kun yang dibentuk oleh Pakkiong Liong untuk tugas-tugas rahasia, seperti menyusup ke daerah musuh, mengacau, mencari keterangan kekuatan musuh, menyamar dengan seribu wajah, mengorek keterangan dengan cara halus, menculik tokoh penting dan sebagainya.
Pokoknya lebih mengandalkan kerja otak daripada kerja otot, namun berarti orang orang dari kelompok ini bukan orang-orang gemblengan, bahkan gemblengan untuk mereka ditangani sendiri oleh Pakkiong Liong karena tugas mereka yang lebih berat dari prajurit-prajurit biasa. Kelompok ini besar jasanya dalam meraih kemenangan di setiap medan perang.
Dalam pertempuran menaklukkan Pangeran Cu Leng-ong dan Jit-goat-pangnya dulu, sebelum Pakkiong Liong menggempur dengan pasukan peng-gempurnya, maka "pasukan hantu"nya inilah yang dikirim lebih dulu ke wilayah musuh untuk menyamar sebagai laskar musuh dan mencari keterangan sebanyak-banyaknyaa.
Demikian rahasianya kelompok ini, sehingga berada langsung di bawah kendali Pakkiong Liong pribadi, dan yang mengetahuinya hanyalah beberapa perwira dekat Pakkiong Liong. Sedang perwira-perwira rendahan atau prajurit-prajurit Hui-liong-kun biasa, tidak ada yang tahu bahwa mereka memiliki rekan-rekan semacam ini.
Melihat Lim Tong-eng, tiba-tiba di dalam benak Pakkiong Liong bagaikan menyala sebuah sinar terang. Agaknya selama beberapa hari ini otaknya begitu keruh karena dibuat bingung oleh kemarahan dan kekecewaan melihat suasana pemerintahan yang tercemar oleh racun yang tersebar dari mulut pamannya, sehingga ia sampai melupakan kegunaan dari "pasukan hantunya" ini.
Kalau ia tidak bisa menembus jalan terang-terangan, kenapa tidak dijalankan saja siasat menembus jalan terang-terangan, kenapa tidak dijalankan saja siasat hantu-hantuan dengan memanfaatkan Lim Tong-eng dan kelompoknya ini?
Pokoknya tujuannya baik, menyelamatkan negara dari keruntuhan, maka cara apapun terpaksa harus dilakukan. Buat Pakkiong Liong, penasaran rasanya kalau Tong Lam-hou yang begitu tebal kesetiaan dan ketaatannya kepada Kerajaan dan Kaisar, malahan akan memenangkan permainan dan mendapat julukan "penyelamat negara"?
"Ciangkun dari tadi berkuda sambil melamun agaknya," demikian kata Lim Tong-eng yang berpandangan tajam. "Apakah karena masalah perkara yang menyangkut saudara Tong yang hari-hari ini terdengar ramai desas-desusnya?"
Terhadap perwira dalam tugas rahasianya ini, Pakkiong Liong tidak ingin menyembunyikan apapun, maka diapun menganggukkan kepalanya dan menyahut, "Ya, negara ini diancam keruntuhan dari dalam karena peristiwa itu."
Alis Lim Tong-eng berkerut terkejut, “Maksud Ciangkun, saudara Tong benar-benar telah terbukti punya niat jahat untuk meruntuhkan negara? Ah, sukar dipercaya! Dia bukan seseorang yang dapat menyelubungi isi hatinya rapat-rapat, dan rasanya aku dengan mudah dapat menjenguk isi dadanya dan apa ada yang dapat disembunyikan. Aku belum pernah melihat ketidak-setiaan dalam dirinya!"
Tapi Pakkiong Liong tertawa, "Bukan, malah sebaliknya. Tong Lam-hou yang begitu setia, terancam hancur tubuh dan nama baiknya oleh sebuah komplotan busuk yang telah mencengkeramkan kuku-kuku beracunnya di tubuh penerintahan."
"Jadi, bagaimana?"
"Tapi jalan ini bukan tempat bicara yang baik. Silahkan saudara Lim melanjutkan berjalan-jalan dengan puterimu yang manis ini, nikmatilah sore yang cerah ini. Tapi besok pagi, datang ke rumahku bersama dengan Bok Teng-san."
"Bok Teng-san perwira perbekalan?"
"Ya. Selamat sore, saudara Lim." Pakkiong Liong meloncat kembali ke atas kudanya dan melambaikan tangan pada Lim Tong-eng, juga kepada anak perempuan kecil dari Lim Teng-ong yang membalas lambaiannya pula.
Lim Tong-eng tahu bahwa akan ada tugas lagi di pundaknya, sesuai dengan keahliannya dan keahlian kelompoknya. Kali ini tugasnya bukan di medan perang di garis depan, tapi agaknya di garis belakang yaitu di Pak-khia sendiri. Menyusup-nyusup dan mengendap endap di antara tonggak-tonggak kekuasaan yang saling bersaingan di sekitar Istana. Sebuah "perang dingin" antara raksasa-raksasa pemerintahan yang tidak kalah berbahayanya dengan pertempuran terang-terangan di garis depan melawan para pemberontak.
Bahkan perang dingin ini lebih berbahaya, sebab Lim Tong-eng tahu pasti bahwa yang memiliki jaringan rahasia itu bukan saja Pakkiong Liong, tetapi juga saingan-saingan Pakkiong Liong pun pasti memilikinya pula. Kalah menang tidak ditentukan dengan keberanian dan kekuatan saja, tapi juga dengan kecerdikan menggunakan seribu satu tipu muslihat, sebuah perang yang benar-benar aneh, perang di bawah permukaan sering terjadi apabila pucuk-pucuk pimpinan mulai saling sikut sesamanya.
Di dalam perang itu apabila ada yang gugur dari kedua belah pihak, mayatnya tidak akan diusung dalam arak-arakan seperti mengarak pahlawan, namun malahan sebaliknya. Prajurit-prajurit terselubung dari kedua pihak bisa saja tiba-tiba hilang diculik, atau lenyap begitu saja, atau bahkan mati dengan alasan-alasan yang tidak berbau kepahlawanan sedikitpun misalnya berkelahi dengan pemabuk, atau tewas di rumah pelacuran gara-gara berebut perempuan dan sebagainya.
Tak ada orang awam yang tahu bahwa kejadian kejadian itu adalah suatu hal yang sudah diatur, sebagai akibat dari persaingan antar kelompok kekuasaan di Ibukota, saling menjegal dan saling menjatuhkan dengan cara yang sekotor apapun terhadap orang-orang yang tidak menguntungkan mereka.
Namun Lim Tong-eng dan kelompoknya memang digembleng untuk itu, semakin besar tantangannya akan semakin bergairahlah dia untuk menaklukkannya. Tapi ia heran bahwa besok ia harus datang ke rumah Panglimanya dengan Bok Teng-san, seorang perwira Hui-liong-kun juga namun perwira yang mengurus perbekalan dan keuangan pasukan itu, bukan perwira medan perang. Apa maksud Pakkiong Ciangkun itu?
Sore itu Lim Tong-eng masih sempat mengajak anaknya membeli beberapa macam makanan, menonton tukang sulap yang bermain di ujung jalan, lalu pulang ke rumahnya. Keesokan harinya ia benar-benar datang ke rumah Pakkiong Liong, dan ketika ia datang maka dilihatnya Bok Teng-san yang bertubuh kurus itu sudah duduk di ruangan tamu sambil menghirup teh.
"Selamat pagi, saudara Bok."
"Selamat pagi, saudara Lim. Apakah Ciangkun belum keluar?"
Dari pintu tengah terdengar suara. “Aku sudah datang," dan Pakkiong Liong pun muncul dari pintu ruangan tengah, mengenakan pakaian yang amat santai. Meskipun Panglima itu sengaja bersikap santai dan menunjukkan sikap yang tidak tegang untuk memberikan keringanan perasaan kepada kedua perwiranya itu, namun kedua perwira yang cukup tanggap itu tidak luput menangkap ketegangan dalam sinar mata Pakkiong Liong.
Merekapun kemudian mulai menetapkan tugas-tugas bagi Lim Tong-eng dengan "pasukan hantu"nya maupun untuk Bok Teng-san si perwira perbekalan dan keuangan. Lim Tong-eng bertugas agar dengan segala cara segala tipu muslihat membongkar bukti-bukti ketidak-benaran tuduhan Pakkiong An kepada Tong Lam-hou yang terlalu dilebih-lebihkan itu, namun tidak boleh sampai menimbulkan goncangan ketenangan di Pak-khia, misalnya dengan bentrok dengan saluran-saluran kekuasaan lainnya.
Andaikata terjadi bentrokan juga karena terpaksa, maka goncangannya harus "direndam" sampai sekecil dan sekabur mungkin. Sekecil-kecilnya dan sekabur-kaburnya. Juga bukti-bukti bahwa Pakkiong An berniat merebut singgasana, sebab Pakkiong Liong tahu pasti niat pamannya itu namun hanya tidak memiliki bukti-bukti atau saksi-saksi untuk diajukan ke Sidang Istana. Untuk tugas itu, Pakkiong Liong tidak perlu menjelaskan sampai hal sekecil-kecilnya kepada Lim Tong-eng, sebab perwiranya itu tentu sudah cukup paham apa yang harus dilakukannya.
Untuk tugas itu, Lim Tong-eng mendapat waktu tak terbatas. Kalau bisa diselesaikan sebelum pengadilan atas diri Tong Lam-hou dijalankan, tapi kalau tidak bisa, dan bukti-bukti kejahatan Pakkiong An itu ditemukan justru setelah Tong Lam-hou dihukum picis, maka Pakkiong Liong berharap apabila tidak bisa menyelamatkan raga Tong Lam-hou yang paling tidak membersihkan nama baik sahabatnya itu. Dan yang penting adalah menggulung komplotan Pakkiong An sebagai musuh dalam selimut yang membahayakan kelanggengan dinasti Manchu.
"Usahakan jangan meninggalkan jejak sekecil apapun bahwa kau bertugas untuk Hui-liong-kun kami," kata Pakkiong Liong kepada Lim Tong-eng untuk mengakhiri perintahnya.
Lim Tong-eng paham sepaham-pahamnya tentang makna dari kalimat "jangan tinggalkan jejak sekecil apapun" itu. Itu artinya, apabila ia tertangkap atau terbunuh, maka Pakkiong Liong tidak ingin Hui-liong-kun terciprat akibatnya setitikpun, bahkan mungkin Pakkiong Liong akan ikut-ikutan mengutuk dirinya.
Bukan karena Panglima itu menjadi pengecut dan mencuci tangan, tapi karena Pakkiong Liong tidak menghendaki guncangan ketenangan di pusat Pemerintahan itu, dan tidak ada jalan lain dengan mengorbankan anak buahnya dari "pasukan hantu" itu, pasukan terselubung yang memang sudah bertekad bulat mengorbankan diri demi tegaknya negerinya.
Dan untuk pengorbanan itu tidak tersedia tanda jasa atau pujian apapun, malanan mungkin kutuk dan caci-maki dari segala pihak. Namun memang begitulah jalannya percaturan kekuasaan di pusat-pusat pemerintahan di manapun dan kapan saja. Yang tercermin di permukaan belum tentu sama dengan yang tercermin di bawah permukaan. Dan Lim Tong-eng sudah ikhlas dengan tugas itu.
"Tugas amat berat, saudara Lim? Bukan hanya nyawa tapi mungkin kau akan kehilangan pula kehormatan dan nama baik?"
Lim Tong-eng mengangguk mantap, "Aku sanggup, Ciangkun, dan aku bertekad untuk mendukung tujuan Ciangkun yang ingin membersihkan Kerajaan dari orang-orang semacam Pakkiong An. Aku akan berusaha memenangkan pertarungan di bawah permukaan ini."
Dari mata Pakkiong Liong terpancar rasa hormat setinggi-tingginya kepada Lim Tong-eng, katanya, "Kau sesungguhnya lebih hebat dari aku, saudara Lim. Aku mempertaruhkan nyawaku di medan laga namun menerima imbalan berupa kedudukan yang mapan dan penghormatan atas setiap kemenanganku. Tapi untukmu tidak tersedia bintang jasa atau medali penghargaan apapaun, hanya rasa hormat yang setinggi-tingginya dari aku pribadi..."
Namun Tam Liong telah menghunus pedangnya dan menangkis golok itu, sambil membentak, "Jangan lancang. Kesalahan Tong Congpeng belum ditentukan oleh mahkamah, dan itu berarti tidak boleh setiap orang menghakiminya sendiri-sendiri!"
Jagoannya Pakkiong Hok itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi sebab tidak mungkin ia melawan Kiu-bun Tetok Tam Liong yang tengah memegang wewenang dari Peng-po Siang-si itu. Dengan tatapan penuh kebencian kepada Tong Lam-hou diapun mengajak teman temannya pergi sambil membawa tandu yang kini cuma berisi mayat Pakkiong Hok yang tetap dalam sikap duduk.
Sementara itu Tam Liong dengan prajurit-prajuritnya pun mengawal Tong Lam-hou menuju ke gedung Peng-po Ceng-tong (Kementerian Perang). Sebagai seorang perwira kerajaan yang dituduh melanggar hukum, Tong Lam-hou tidak ditempatkan bersama penjahat-penjahat lainnya di Penjara Kerajaan yang dulu pernah diserang oleh penentang-penentang kerajaan itu, melainkan ia akan dibawa ke gedung Peng-po Ceng-tong.
Di bagian belakang gedung itu ada ruangan tahanan khusus untuk para perwira atau orang berpangkat lainnya selain tempatnya lebih "nyaman" juga penjagaannya berkali lipat kuatnya dari penjara biasa, kesitulah Tong Lam-hou dibawa untuk "menginap" sebelum diselenggarakannya mahkamah untuk mengadilinya, meskipun pengadilan itu sendiri sudah diketahui hasilnya sebab jalannya pengadilan sampai keputusan nya bakal banyak dipengaruhi oleh Pakkiong An yanq bermain di belakang layar itu.
Sementara itu, dari tempat yang gelap tersembunyi, dua orang pengemis mengawasi digiringnya Tong Lam-hou itu dengan penuh perhatian. Salah seorang dari mereka mencibir sambil berkata, "Rasakan sekarang, orang yang sok setia kepada Kerajaan, sok mentaati hukum. Sungguh kalau dalam beberapa hari lagi batok kepala anak tolol itu tidak dipajang di ujung tombak dipersimpangan jalan."
Pengemis yang satunya menarik napas. Katanya, "Bagaimanapun sesatnya pikiran anakmuda itu, namun dia memiliki watak ksyatria yang patut dihargai juga, seperti umumnya laki-laki keluarga Tong lainnya. Bagaimanapun juga kita tidak bisa tinggal diam untuk kejadian ini."
“Habis kita harus berbuat bagaimana? Segala-galanya berjalan di luar rencana yang telah kita susun baik-baik antara Sun Tianglo (sesepuh she Sun) dengan Tong Tayhiap dulu. Anak muda yang bernama Tong Lam-hou itu dengan sukarela telah menyerahkan kaki dan tangannya untuk dirantai, sekedar untuk dianggap sebagai prajurit yang setia. Namun kelak dia akan menangis menyesal kalau menghadapi tiang gantungan atau golok algojo."
"Aku kira tidak, aku lihat anakmuda itu seorang yang teguh dalam sikap maupun keputusan yang telah diambilnya. Pakkiong Liong beruntung mendapatkan orang semacam dia, entah dengan guna-guna apa dia berhasil memikat anak muda itu untuk masuk ke dalam pasukannya."
“Sudah, tidak ada perlunya berbantah tentang orang itu. Sekarang apa yang akan kita perbuat?"
“Perwira muda tadi adalah keponakan dari Tong Tayhiap. Bagaimana kalau kita tanyakan dulu bagaimana pertimbangan Tong Tayhiap?"
"Dia masih luka. Tapi bagaimanapun juga memang paling baik kalau kita laporkan kepada Sun Tianglo lebih dulu."
"Marilah."
Kedua pengemis itupun kemudian meninggalkan tempat persembunyian mereka. Keduanya berjalan berkelak-kelok di lorong-lorong kecil, tidak jarang lorong yang di kiri kanannya ada parit yang berbau busuk dan merekapun harus berjalan dengan hati-hati supaya tidak menginjak tumpukan kotoran manusia yang berceceran di sana-sini.
"Uh, kenapa Sun Tianglo memilih markas di tempat seperti ini?" gerutu salah seorang pengemis sambil menutup hidungnya.
"Justru tempat inilah yang paling aman dari incaran kaum kuku-garuda Manchu itu," sahut temannya sambil tertawa. "Melihat lorong yang bau dan tahi manusia yang berceceran di lorong sempit ini saja sudah membuat mereka mundur teratur. Inilah 'benteng' kita yang maha ampuh."
Temannya tertawa, meskipun tetap melangkah dengan hati-hati. Sedang temannya yang berbicara tadi tiba-tiba memaki dengan suara perlahan karena kakinya telah "menginjak ranjau."
Temannya tertawa, namun tertawa-nyapun tertahan pula dan berganti dengan makian pula, "Gila, ranjau-ranjau ini benar-benar tidak pandang bulu."
Ketika mereka tiba di sebuah gubuk reyot yang di depannya ada kertas ditempelkan, salah satu dari pengemis itupun mengetuk pintu dengan irama tertentu. Dari dalam terdengar pertanyaan, "Siapa?"
Kedua pengemis di luar itu menyahut, "sam-te Tecu murid kantong tiga Tan Yu-yang dan Sam-te Tecu Han Kok-leng dari tugas pengintaian."
Pintu dibuka dan yang membukakan-nyapun seorang pengemis pula. Melihat itu, kedua pengemis yang baru datang itu memberi hormat, "Salam kepada Sun Tianglo!"
Pengemis bertubuh gemuk yang membukakan pintu itu memang Sun Ciok-peng, salah seorang tokoh Serikat Pengemis untuk wilayah Ho-pak yang berpusat di Pak-khia. Katanya, "Masuk, dan copot sepatu kalian yang bau itu. Kalian tentu melangkah dengan kurang hati-hati di lorong itu."
Kedua pengemis itu menyeringai. "Apa yang akan kalian laporkan?"
Kedua pengemis itupun melaporkan apa yang terjadi dengan Tong Lam-hou, bagaimana perwira muda itu menyerah begitu saja kepada penangkap-penangkapnya, karena kesetiaannya kepada Negara dan Kaisar. Padahal jika ingin melepaskan diri, dengan kepandaiannya yang tinggi dan tanpa tandingan di seluruh Pak-khia itu, Tong Lam-hou bisa melakukannya. Di seluruh Pak-khia, yang bisa menandinginya cuma Pakkiong Liong atau Panglima dari Gi-cian-si-wi (Pasukan Pengawal Kaisar) atau Panglima Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana), karena Panglima dari kedua pasukan itupun terkenal ketinggian ilmunya.
Sun Ciok-peng menarik napas mendengar laporan kedua orang anak-buahnya itu, "Kemungkinan seperti ini tidak kami perhitungkan sebelumnya. Kami hanya memperhitungkan dia kemungkinan lain, yaitu apabila Tong Lam-hou menurut bujukan pamannya untuk meninggalkan penghambaannya kepada pemerintah Manchu, atau jika Tong Lam-hou menolak semua nasehat pamannya. Ternyata yang terjadi seperti ini.”
"Kita harus bagaimana?"
"Bagaimanapun juga dia adalah keponakan Tong Tayhiap, kita harus berbicara dengannya lebih dulu jika hendak mengambil tindakan-tindakan yang bersangkut-paut dengan keponakannya itu."
Apakah Tong Tayhiap sudah bisa diajak bicara karena luka-lukanya?"
Sun Ciok-peng menganggukkan kepalanya yang besar dengan pipi-pipi yang gemuk seperti bayi sehat itu. Sahutnya, "Tong Tayhiap adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, daya tahan tubuhnyapun luar biasa. Setelah diobati oleh Pek Tianglo (sesepuh Pek), dia sudah bisa bercakap-cakap meskipun sambil berbaring dan harus banyak beristirahat. Kalian masuklah bersama aku untuk melaporkan kejadian tadi, kebetulan saat ini Tong Tayhiap tidak sedang tidur."
Kedua pengemis itupun mengikuti Sun Ciok-peng masuk ke bagian dalam dari rumah reyot itu. Meskipun luarnya adalah gang yang berbau busuk dan ruangan depannyapun tidak lebih dengan tempat tinggal kaum gelandangan pada umumnya, tapi bagian dalamnya ternyata lebar dan bersih, malahan ada pula tanaman bunga-bungaan di halaman tengah yang membuat bagian dalam itu lebih segar. Bau busuk di luar tidak dapat menembus sampai ke dalam.
Ada beberapa ruangan yang semuanya ditinggali oleh pengemis melainkan pentolan-pentolan Kay-pang yang berpengaruh di dunia persilatan. Di salah satu ruangan itulah Tong Wi-hong terbaring dengan luka yang sudah dibubuhi obat dan terbalut rapi. Di sebelahnya ada seorang pengemis tua bertubuh kurus kering yang tengah bercakap-cakap dengan Tong Wi-hong. Bahkan pendekar dari Tay-beng itu sudah dapat duduk bersila dan nampak tertawa-tawa, meskipun beberapa saat yang lalu orang masih mencemaskan keadaannya.
Namun setelah mendengar laporan dari kedua pengemis yang dibawa masuk oleh Sun Ciok-peng itu, lenyaplah seri tawa Tong Wi-hong, berganti dengan sikap murung. Selama beberapa hari ia telah berdebat dan berunding dengan keponakannya itu, dan dalam beberapa hari itu ia sudah memahami betul bagaimana teguhnya kepribadian keponakannya itu.
Dengan membiarkan dirinya ditangkap, maka Tong Lam-hou seakan sudah menetapi dua kewajibannya sekaligus, yaitu menyelamatkan pamannya, sekaligus juga menunjukkan kesetiaannya kepada Negara dan Kaisar. Sedang nyawanya sendiripun malah tidak digubris.
"Anak itu begitu setia kepada penjajah, sehingga rela membiarkan dirinya ditangkap daripada melawan secara jantan," kata si pengemis kurus Pek Siau-thian yang berpangkat kantong tujuh dan meiupaKan ahli pengobatan di kalangan Kay-pang itu.
"Apakah masih berguna kita memikirkan untuk menolongnya?"
Sahut Tong Wi-hong, "Ketika aku berangkat ke Pak-khia ini untuk menemuinya, akupun masih berpikir seperti itu. Setiap orang Han yang menghamba kepada Kerajaan Manchu adalah orang yang tidak setia kepada tanah-airnya sendiri, pengkhianat, penjilat, pengecut dan sehagainya. Namun setelah aku berbicara dengan anak itu selama beberapa malam, aku sudah berubah pandangan, meskipun tidak berarti aku berbalik kiblat mendukung Manchu."
Orang-orang Kay-pang yang selama ini gigih dalam gerakan bawah tanah untuk membuat pemerintahan Manchu tidak pernah tenteram itu, terkejut mendengar ucapan Tong Wi-hong itu. Apakah pendekar besar itu sudah menjadi lemah hati karena berhadapan dengan keponakannya sendiri? Dengan pandangan mata penasaran mereka menatap sang pendekar untuk mohon penjelasan.
Maka Tong Wi-hongpun menjelaskan apa saja yang dihasilkan selama beberapa malam berdebat dan bertukar pikiran dengan Tong Lam-hou itu. Dijelaskan pula bahwa pemerintahan yang goncang secara berketerusan hanya akan menyengsarakan orang banyak yang tidak bersalah. Sikap keras terhadap pemerintah Manchu hanyalah akan memancing tindakan keras dari tentara kerajaan.
Sedangkan apabila tidak ada perlawanan sudah terbukti bahwa Kaisar Khong-hi ternyata memberi perhatian untuk rakyat, bukan hanya bersenang-senang saja. Sejarah mencatat bahwa ratusan, bahkan ribuan tahun daratan Cina dilanda peperangan, dinasti-dinasti bangkit dan runtuh, semuanya hanya berlandaskan dua hal balas-dendam antar suku dan nafsu perluasan kekuasaan.
Penjelasan yang panjang lebar itu tentu saja tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja oleh orang-orang Kay-pang yang sejak lama mempunyai pendirian sendiri dalam menghadapi pemerintahan Manchu itu. Namun tak dapat disangkal bahwa yang dikatakan oleh Tong Wi-hong itu benar semuanya, hanya saja selama ini mereka tidak dapat melihatnya karena mata hati mereka tertutup oleh kabut kebencian dan kemarahan.
Kalau dipikir dengan kepala dingin, toh orang manehu itu sebetulnya bukan "orang lain" bagi orang Han. Buat orang Han yang tinggal di wilayah Ho-pak, bukankah tempat tinggal orang Manchu itu lebih dekat dibandingkan dengan tempat tinggal "sesama orang Han " tetapi yang berada di Hun-lam atau Kui-ciu sana? Dulu ketika dinasti Tong meluaskan perbatasannya ke timur sampai ke Korea, bukankah nenek Moyang orang Mancu itu juga dimasukkan ke dalam golongan rakyat Kerajaan Tong?
Beratus-ratus tahun sudah mereka hidup berdampingan hanya terpisah oleh Tembok Besar yang tebalnya cuma belasan langkah, akankah perbedaan yang sangat tipis itu dikobar-kobarkan menjadi besar dengan menimbulkan pertumpahan darah di seluruh negeri, hanya untuk sesuatu yang dinamakan "harga diri orang Han" yang sebenarnya yang terlalu dibuat-buat, sebab sebenarnya orang Manchu itupun hampir tak ada bedanya dengan orang Han.
Kalau dipikir lebih lanjut, orang Han memang mau menangnya sendiri, terdorong oleh rasa unggul diri yang berlebihan. Rasa unggul diri yang jelas berbeda dengan rasa cinta tanah air. Orang Han menyebut negeri mereka sebagai "Tiongkok" artinya "negeri di tengah dunia," dan berarti bangsa yang di luar perbatasan mereka itu termasuk bangsa-bangsa pinggiran yang dianggap bodoh, berkebudayaan rendah, bangsa taklukan yang diharuskan mengirimkan upeti taklukan kepada Kaisar "Sang Putera Langit” yang duduk di "Tahta Naga" dan sebagainya.
Rasa unggul diri pula yang membuat negeri Cina terus menerus bermusuhan dengan Jepang sejak ratusan tahun, karena orang Jepang dengan tidak kalah sombongnya menyebut diri mereka sebagai "anak matahari". Masing-masing saling memaki dengan sebutan bangsa liar yang hatus dibudayakan, sebab menganggap kebudayaan diri sendirilah yang tertinggi.
Langit dan matahari sendiri adalah dua kenyataan alam yang rukun dan tak terpisahkah, tapi entah kenapa "anak-anak" mereka di bumi saling cakar-cakaran dan bahkan berpuluh puluh kali terlihat peperangan sampai mereka menjadi musuh bebuyutan. Manusia-manusia yang merasa berbudaya tinggi itu kadang-kadang kelakuannya mirip-mirip dengan anak-anak kecil yang berebutan kembang gula.
Sun Ciok-peng dan lain-lainnya menundukkan kepala mendengar penjelasan Tong wi-hong yang lain daripada yang lain itu. Dulu sikap mereka adalah sikap yang diwarnai kebencian dan kemarahan kepada bangsa Manchu, sehingga mereka pernah mencanangkan kalau perlu "perang sepanjang jaman" melawan bangsa Manchu. Perang sepanjang jaman? Apa mereka pikir mereka itu berhak merampas ribuan nyawa yang bakal diumpamakan di peperangan?
Serasa hati nurani mereka terketuk, dan meskipun penjelasan Tong Wi-hong itu tidak langsung diterima sepenuhnya, tapi untuk menolakpun rasanya sudah sulit. Semua begitu terasa kebenarannya, begitu masuk akal, kesan bahwa Tong Wi-hong telah menjadi lemah hati terhadap keponakannya, kini terhapus.
"Sekarang bagaimana tindakan kita?" tanya Sun Ciok-peng kemudian. “Maksud-ku tentang diri Tong Lam-hou itu?"
Pek Siau-thian yang tadi memaki Tong Lam-hou sebagai "budak Manchu yang ingin disebut setia kepada Negara dan Kaisar" itu, kini sikapnya agak berubah setelah mendengar penjelasan Tong Wi-hong tadi. Sikap memandang rendah Kepada Tong Lam-hou agak berkurang, sebab ia tahu Tong Lam-hou adalah seorang yang berpendirian teguh, bukan sekedar seorang yang mengejar kedudukan dan kekayaan sebagai seorang perwira tinggi Manchu.
Tanya Pek Siau-thian, "Apakah kita perlu mengambil tindakan-tindakan seperlunya untuk menyelamatkan Tong Lam-hou dari hukuman berat yang pasti akan diterimanya? Mcckipun anakmuda itu agaknya tetap setia kepada si Khong-hi itu?"
Merubah pendirian seseorang memang tidak gampang, begitu pula meskipun Pek Siau-thian agak terpengaruh oleh penjelasan Tong Wi-hong tadi, namun masih belum timbul hormatnya kepada Kaisar Manchu sehingga ia masih menyebutnya dengan sebutan mendingan dari kemarin yang menyebutnya "si bangsat Khong-hi."
Tong Wi-hong menyahut, "Urusan Tong Lam-hou adalah urusan keluarga Tong kami, dan barangkali juga saudara-saudara lainnya seperti Kay-pang aku rasa tidak usah terlalu memikirkan urusan ini. Nyawa Tong Lam-hou pribadi tidak lebih berharga dari nyawa seorang anggota Kay-pang yang paling rendah sekalipun. Jadi, jangan berbuat apapun yang membahayakan kalian sendiri..."
Tapi Sun Ciok-peng menyahut, "Tong Tayhiap, ketika Kay-pang mengalami kesulitan menghadapi orang-orang Pak-tian-kiu dulu, kau tanpa menghiraukan nyawamu sendiri telah membantu kami sehingga kami selamat dari kehancuran. Sekarang beri kesempatan Kay-pang untuk membalas budi kepadamu. Seluruh anggota di cabang Kay-pang ini siap dikerahkan untuk membantu Tayhiap, tidak peduli itu urusan pribadi Tayhiap dengan Tong Lam-hou."
"Terima kasih, Sun Tianglo, tapi aku akan merasa brdosa sekali kalau hanya untuk menyelamatkan satu nyawa Tong Lam-hou saja harus mengorbankan nyawa banyak anggota Kay-pang. Lagi-pula sikap itu akan mempersulit kalian untuk tetap bercokol di Pak-khia ini dikemudian hari. Aku malahan menganjurkan agar Kay-pang mengurangi sikap bermusuhan dengan pemerintah Manchu agar tidak memancing si Khong-hi itu bersikap lebih garang lagi. Maka atas tawaran bantuan kalian, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih tapi tidak bisa menerimanya."
"Lalu bagaimana tentang Tong Lam-hou?"
"Aku sedarg memikirkan sebuah cara untuk menolongnya, sebab aku adalah pamannya, tapi kalu bisa tanpa pengorbanan nyawa siapapun."
"Tayhiap sudah menemukan caranya?"
"Sudah, aku hanya ingin minta bantuan saudara-saudara Kay-pang dalam penyebaran berita secepat-cepatnya," kata Tong Wi-hong. "Dengan burung-burung merpati kalian yang lihai..."
"Dengan senang hati, Tayhiap," kata Sun Cio-peng dan Pek Siau-thi hampir berbarengan. "Berita yang bagaimana dan kepada siapa?"
Sesaat Tong Wi-hong seperti memikir sesuatu, kemudian katanya, "Tujukan ke Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san, Se-cuan. Kira-kira makan waktu berapa lama?"
"Merpati-merpati kami adalah burung pilihan semuanya yang didatangkan atau dibibit dari Kepulauan hami yang di laut selatan sana. Jarak sejauh itu hanya akan makan waktu sehari semalam."
"Baik. Beritanya begini: untuk sahabatku Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, Tong Lam-hou terancam hukuman berat karena menolak perintah Kaisar untuk menyerang Hwe-liong-pang, tertanda Tong Wi-hong."
Sun Ciok-peng mencatat baik-baik isi berita itu, meskipun ia agak heran juga akan isi berita tentang "menolak perintah Kaisar untuk menyerang Hwe-liong-pang itu, sebab bukankah yang terjadi bukannya seperti itu? Bukankah karena menyelamatkan pamannya dengan membunuh Hwe-niau dan melukai Pakkiong Hok, meskipun Pakkiong Hok itupun kemudian mati juga?
Tong Wi-hong mengerti keheranan pengemis berwajah bulat itu, katanya sambil tertawa, "Sengaja masalahnya agak aku besar-besarkan sedikit supaya merekapun datang dengan tergesa-gesa kemari. Bukankah jarak Tiau-im-hong dan Pak-khia cukup jauh? Kalau mereka berjalan berlenggang-kangkung maka mereka tidak akan keburu menolong Tong Lam-hou."
Sun Ciok-peng dan lain-lainnyapun tertawa mendengar ucapan itu, kata Pek-Siau-thian, "Tong Tayhiap pintar membuat orang kebingungan. Aku tak dapat membayangkan betapa bingungnya Siangkoan Hiangcu dan Lim Hiangcu kalau membaca berita itu, dan barangkali memang mereka akan tergesa-gesa menuju Pak-khia karena kuatir terlambat!"
"Itu olahraga yang baik buat mereka yang terlalu lama hidup santai," sahut Tong Wi-hong yang lagi-lagi disambut senyuman semua orang.
Katanya lagi, "Nah, surat kedua ditujukan ke gunung Tiam-jong-san di Hun-lam. Isi beritanya, Ang Lo-eng-hi-ong yang terhormat, murid tuan perkasa, Tong Lam-hou, terancam hukuman mati karena membela nama baik tuan di hadapan pejabat-pejabat istana, tertanda Tong Wi-hong."
Kembali orang-orang itu tersenyum dan Tong Wi-hong pun tanpa diminta telah menjelaskannya, "Dari penuturan guruku di Soat-san-pay sana, aku tahu bahwa watak guru Tong Lam-hou yang bernama Ang Huan yang berjulukan Tiam-jong-lo-sia (si sesat tua dari Tiam-jong-san) itu sangat aneh. Satu-satunya jalan untuk memancing dia keluar dari sarangnya adalah menyentuh dua kelemahan dalam wataknya, yaitu rasa sayangnya yang luar biasa kepada murid tunggalnya, kedua, ia orang yang paling tidak betah mendengar tantangan yang menggatalkan telinga."
"Surat ketigga untuk siapa?”
"Tidak perlu ketiga, sebab Tiam-jong-lo-sia Ang Huan, Siang-koan Hong serta Lim Hong-pin bertiga adalah kekuatan yang sudah cukup untuk membawa Tong Lam-hou kabur, tidak peduli andaikata ia dikurung di Istana sekalipun. Dengan turun tangannya ketiga tokoh maha sakti itu, diharap korban di pihak tentara Manchu pun dapat ditekan sekecil-kecilnya, sebab merekapun manusia yang punya keluarga yang selalu mengharap agar mereka pulang ke rumah dengan selamat."
"Merpati pembawa surat, baik yang ke Tiau-im-hong maupun yang ke Tiam-jong-san, tidak dapat langsung ke gunung itu. Merpati-merpati itu akan lebih dulu diarahkan ke kota yang paling dekat dengan tujuan, yang disitu ada ranting Kay-pangnya, setelah itu baru salah seorang anggota kami akan menyampaikannya ke sasaran-sasaran yang ditentukan. Barangkali saja kedatangan ketiga tokoh maha sakti itu akan terlambat.
Tona Wi-hong menarik napas, "Kalau kedatangan mereKa terlambat, ya memang nasib keponakanku itulah yang sangat buruk, artinya dia akan mati dihukum picis dengan cap sebagai pengkhianat yang menodai namanya. Kalau sudah demikian, kita bisa berbuat api lagi?"
Kata Sun Ciok-peng, "Sebenarnya kita tidak terlalu cepat putus-asa atau bersikap pasrah seperti itu, Tong Tayhiap. Sekali lagi aku katakan bahwa semua anggota Kay-pang di cabang Pak khia siap untuk ambil bagian untuk menyerbu penjara dari membebaskan Tong Lam-hou, apabila Tayhiap setuju kita akan membikin kejutan lagi seperti beberapa bulan yang lalu ketika membongkar penjara dan membebaskan para pahlawan."
Tapi Tong Wi-hong juga tetap teguh pada sikapnya, "Aku berterima kasih sekali, Sun Tianglo, tapi aku keberatan pengerahan begitu banyak tenaga untuk membebaskannya. Korban pasti akan banyak jatuh di kedua belah pihak, padahal persoalannya hanya berpusat pada diri seorang Tong Lam-hou, keponakan dari Tong Wi-hong pribadi. Kalau kita menyerbu Penjara Kerajaan seperti beberapa bulan yang lalu, itu memang pantas, sebab yang kita bebaskan dengan taruhan nyawa itu adalah pahlawan pembela rakyat yang dipenjarakan secara sewenang-wenang. Tong Lam hou tidak bisa disamakan dengan mereka. la malah seorang yang tetap setia kepada Kaisar Khong-hi meskipun tangannya sudah dilingkari borgol."
Diam-diam para tokoh Kay-pang itu menaruh hormat kepada Tong Wi-hong ketika mendengar pendirian yang begitu tegas. Pendirian yang mampu memisahkan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi dengan tegas, sedanq orang lain justru menggunakan pengaruhnya demi kepentingan pribadi meskipun diberi selubung seolah-olah yang diperbuatnya itu "demi kepentingan umum."
Kata Tong wi-hong, "Kalau memang begitu buruk nasib keponakanku, biar sajalah. Aku sudah berusaha, tetapi aku tidak ingin orang lain menjadi korban lagi."
Maka diputuskanlah begitu, dan Sun Ciok-peng segera menyuruh dua orang anakbuahnya Itu untuk melaksanakannya. Menjelang fajar menyingsing, dua ekor burung merpati melesat ke udara secara berturut-turut. Di kaki mereka terikat erat bumbung kecil yang berisi kertas amat tipis berisi pesan-pesan Tong Wi-hong. Yang seekor menuju barat laut, ke arah Tiau-im-hong, dan seekor lagi menuju selatan.
Pada saat yang sama, Tong Lam-hou juga sudah menempati "rumah" barunya di bagian belakang gedung Peng-po Ceng-tong. Sebuah ruangan yang hampir sama rapinya dengan ruangan tidur di rumahnya sendiri, namun tentu saja tidak menyenangkan sebab pintu ruangan itu berujud terali besi yang terkunci dan terbelit rantai besar. Sebenarnya bisa saja Tong Lam-hou menggunakan kekuatannya untuk menerobos keluar, tapi hal itu tidak dilakukannya sebab dianggapnya perbuatan itu mengingkari kesetiannya kepada Negara dan Kaisar. Ia rela dihukum picis sekalipun, asal tidak menodai wibawa Kerajaan.
Prajurit-prajurit yang menjaga di bagian luar ruangan berterali itupun tetap bersikap hormat kepadanya dan selalu memanggilnya "Tong Congpeng" pada waktu mengantarkan makanan atau membukakan pintu untuk keperluan lainnya. Tapi Tong Lam-hou tahu bahwa sikap hormat itu akan hilang jika ia mencoba untuk melarikan diri.
Namun Tong Lam-hou sendiripun memang tidak punya niat setitikpun untuk melarikan diri, meskipun kadang-kadang ada perasaan rindu yang menggigit hatinya kalau ia ingat ibunya yang berada jauh di Tiam-jong-san sana, hidup dalam sebuah gubuk kecil di lereng gunung, bekerja keras setiap hari. Akankah ibunya itu patah semangat kalau kelak mendengar berita kematianpya??
Tong Lam-hou duduk di pembaringannya sambil menarik napas. Inilah kemungkinan yang harus dipikul sebagai seorang prajurit yang tunduk kepada hukum Kerajaan. Menyabung nyawa di medan perang masih jauh lebih ringan dibandingkan memerangi perasaan kerinduannya sendiri, terhadap orang yang dekat di hatinya.
Ketika ia baru saja selesai menikmati sarapan paginya yang diantarkan oleh seorang prajurit, tiba-tiba di depan terali besis itu muncul seorang yang membuat wajahnya tegang. Pakkiong Liong. Panglima Pasukan Naga Terbang itu tidak memakai pakaian ketentaraannya, namun hanya memakai jubah biasa yang sederhana, dan wajahnyapun nampak agak tegang meskipun ia berusaha menutup-nutupinya.
Setelah menyuruh prajurit penjaga untuk membukakan pintu terali itu, Pak kiong Liong segera melangkah masuk ke ruangan penyekapan Tong Lam-hou. Kata-kata yang pertama terluncur dari mulutnya adalah,
"Ketika pagi ini aku mendengar tentang peristiwa semalam, aku benar-benar hampir tidak percaya bahwa kau telah melakukan itu."
Tong Lam-hou menatap sahabat dan sekaligus panglimanya itu dengan tatapan mata yang redup, "Aku sendiri-pun hampir tidak percaya, seolah semuanya berlangsung begitu saja dan aku tidak berperanan di dalamnya, tapi kenyataannya justru akulah peranan utama dari pengkhiaantan ini..."
Tong Lam-hou menundukkan kepala sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang nampak agak gemetar itu. Lalu melanjautkan dengan suara gemetar pula, "A-liong, secara pribadi aku minta maaf karena aku sudah membunuh adik sepupumu karena aku tak dapat mengendalikan kemarahanku lagi. Sebagai prajurit, aku juga minta maaf karena aku telah menodai keagungan nama pasukan kita yang tetap aku cintai sampai saat ini."
Sahut pakkiong Liong, "Aku mendengar jalannya cerita yang simpang siur dari beberapa pihak, sekarang aku ingin mendengarnya dari penuturanmu sendiri."
Tong lam-hou merasa agak heran juga ketika melihat Pakkiong Liong ternyata dingin-dingin saja dalam menerima kabar kematian adik sepupunya, la tahu hubungan kedua saudara sepupu itu memang agak tawar, tapi masakah Pakkiong Liong tidak menunjukkan kesedihan sedikitpun? Lalu Tong Lam-hou menceritakannya secara lengkap, mulai ia menerima pamannya menginap dirumahnya.
Dan selama beberapa hari berdebat dan bertukar pikiran, sampai Tam Liong sebagai Kiu-bun Te-tok menjemput di rumahnya dan memborgol tangannya. Tak ada bagian sekecil apapun dari urut-urutan ceritanya itu yang disembunyikan, bahkan juga pada saat ia mengerahkan hawa dingin Han-im ciang untuk membinasakan Pakkiong Hok tanpa menyentuhnya.
"Kata-kata Pakkiong Hok waktu itu begitu tajamnya sehingga aku tak sanggup lagi mendengarnya," begitu Tong Lam-hou mengakhiri penuturannya.
Sesaat pakkiong Liong terdiam, ia percaya apa yang dikatakan oleh temannya itu tentu tidak bohong, sebal dia sendiri sangat paham bagaimana watak adik sepupunya yang sejak kecil sudah dimanjakan oleh ayahnya itu, Pakkiong Hok gemar mengucapkan kata-kata yang melukai hati orang lain, dan Pakkiong Liong pernah memperingatkan saudara misannya itu bahwa suatu saat wataknya itu akan menjerumuskan ke dalam kesulitan. Ternyata benar, sekarang Pakkiong Hok telah "disembuhkan untuk selama-lamanya" dari tabiatnya itu oleh Tong Lam-hou.
Dan Tong Lam-hou hampir-hampir tidak percaya ketika mendengar Pakkiong Liong berkata, "Kau tentu akan dihukum, tapi aku akan menggunakan pengaruhku sebisa-bisanya supaya hukuman atas dirimu itu seringan mungkin..."
“Itu tidak perlu, A-liong. Hukum harus ditegakkan meskipun aku harus jadi korban, aku hanya punya dua permohonan kepadamu sebelum aku dipenggal oleh algojo."
"Aku akan memenuhi permintaanmi kalau aku mampu melakukannya."
"Yang pertama, aku minta agat kau bawa abu tubuhku ke Tiam-jong-san untuk diserahkan kepada ibuku,” kata Tong Lam-hou, dengan pasti. Diam-diam ia merasakan bahwa nasibnya agak mirip dengan nasib ayahnya yang dulu Ketua Hwe-liong-pang, yang juga mati muda karena mempertahankan pendiriannya. Dan ibunya akan kehilangan untuk kedua kalinya.
Kalau Tong Lam-hou mengucapkai pesan itu dengan tenang, sebaliknya hati Pakkiong Liong sangat terguncan mendengarnya. Diingatnya seorang perempuan setengah baya yang berpakaian buruk di lereng Tiam-jong-san itu, seorang perempuan yang oleh Pakkiong Liong nyaris senilai dengan ibunya sendiri, dan perempuan itupun pernah memperlakukan Pakkiong Liong sepert anaknya sendiri, Dialah salah seorang yang dekat di hati Panglima itu, jauh lebih dekat dibandingkan Pakkiong An dan Pakkiong Hok yang masih punya hubungan darah dengannya itu.
Sesaat Pakkiong Liong berdiri gemetar dari berusaha mengendalikan perasaannya yang bergolak. Dan setelah tenang kembali diapun bertanya, “Yang kedua?"
Sesaat Tong Lam-hou agak tersipu, namun dijawabnya juga dengan agak terbata, "Kau... jagalah dia baik-baik, jangan sampai mengambil tindakan nekad karena peristiwa yang menimpa diriku ini."
Pakkiong Liong sudah maklum siapa yang dimaksud dengan "dia" itu, bukan lain adalah adik sepupunya sendiri dari pihak ibu, To Li-hua, yang bulan-bulan belakangan ini hubungannya dengan Tong Lam-hou memang semakin erat dan bahkan Pakkiong Liong tahu bahwa kedua orang itu saling mencintai.
Tentu saja permintaan yang kedua ltu-pun disanggupi oleh Pakkiong Liong, “A-hou, ibumu adalah ibuku, aku bahkan ingin memperlakukan beliau benar-benar sebagai seorang ibu dan bukan untuk cuma mengantar abu jenazahmu kelak. Sedangkan Li-hua itu adikku, tentu saja aku harus menjaganya baik-baik."
Empat telapak tangan yang kekar, empat tangan yang ditakuti lawan-lawan di medan laga, kini saling genggam dengan eratnya, mewakili penyaluran perasaan dan pengertian dari pemiliknya masing-masing. Tanpa terucapkanpun mata Tong Lam-hou sudah memancarkan rasa terima kasih yang tak terhingga.
Kata Pakkiong Liong kemudian, "Secara pribadi, aku menghormati pamanmu Tong Wi-hong sebagai seorang pendekar besar berwatak satria. Tapi terus terang saja aku kurang menyetujui tindakanmu yang melepaskannya pergi, sebab itu berarti masih berkeliarannya seorang musuh tangguh dari pemerintahan kita. Maafkan ucapanku ini."
"Tidak, aku yakin mulai sekarang pamanku itu tidak akan menjadi musuh lagi. Beberapa malam kami berdebat dan bertukar pikiran, dan kelihatannya pamanku itu mulai bisa menerima kenyataan hadirnya pemerintah Manchu di Tiong-goan ini, meskipun tidak dengan serta-merta mendukungnya. Aku memperhitungkan bahwa jika dia dilepaskan, dia bisa menyebarkan pendapatnya atau sikapnya yang lebih lunak itu kepada pemberontak-pemberontak lainnya, sehingga perlawanan kepada Kerajaanpun akan menurun. Sebaliknya jika ia ditangkap dan dihukum mati, berita kematiannya seperti minyak yang disiramkan kepada api, akan membuat penentang-penentang Kerajaan lainnya malahan bertambah beringas dan keadaan tenteram yang didamba-dambakan orang banyakpun akan semakin jauh dari kenyataan. Aku bicara demikian bukan karena ia pamanku."
Diam-diam Pakkiong Liong menganggap alasan itu masuk akal juga. Memadamkan pemberontakan bukan hanya dengan pedang saja, tetapi bisa dengan kebijaksanaan dan sikap bersahabat, bahkan perlawanan yang berhasil dipadamkan dengan cara yang kedua itu akan lebih langsung dibandingkan ditindas dengan senjata.
Sahut Pakkiong Liong, "Pertimbanganmu itu kelak harus kau kemukakan dalam mahkamah supaya dapat meringankan hukumanmu. Seorang tertuduh yang paling jahat sekalipun berhak membela diri di depan mahkamah."
"Tentu saja," kata Tong Lam-hou. "Namun agaknya pamanmu Pakkiong An akan lebih menguasai jalannya persidangan dengan pengaruhnya, dengan dendam sakit hatinya kepadaku. Aku punya naluri bahwa mahkamah tidak akan berlangsung dengan adil."
"Selama beberapa hari sebelum mahkamah dilangsungkan, aku akan mencoba menggunakan pengaruhku sejauh mungkin untuk menyeimbangkan jalannya mahkamah kelak. Meskipun pengaruhku tidak sebesar pengaruh pamanku, tapi setidaknya aku kenal baik dengan beberapa Panglima dan Menteri yang dengan jujur ingin menegakkan hukum yang seadil-adilnya di Kerajaan ini. Bahkan kalau perlu aku bisa menghadap Sri Baginda sendiri."
"Terima kasih atas usahamu itu, tapi aku minta jangan sampai kau mengorbankan dirimu sendiri. Berusahalah sejauh kau sendiri tidak terkena akibatnya. Andaikata kau gagalpun aku tidak menyalahkanmu."
"Ya, aku ingat baik-baik pesanmu itu. Hukuman picis dengan kepala ditancapkan di dekat pintu gerbang dan harus diludahi oleh setiap orang yang lewat, adalah hukuman yang keterlaluan dan tidak seimbang dengan kesalahanmu. Hukuman memang harus dijatuhkan kepadamu, itu aku setuju, tapi harus setimpal dengan kesalahannya."
Kemudian Pakkiong Liong pun meninggalkan tempat penahanan temannya itu. Apa yang diucapkannya di depan Tong lam-hou itu benar-benar dilakukan olehnya. Berhari-hari ia dengan giat menghubungi semua pihak yang bisa dihubungi untuk mencarikan keringanan bagi hukuman Tong Lam-hou. Beberapa Panglima sependapat dengannya dan bersama-sama menghadap Sri Baginda.
Padahal menghadap Kaisar tanpa diundang di luar waktu persidangan adalah perbuatan yang sangat berbahaya, sebab jika Kaisar kebetulan sedang tidak senang hatinya maka dengan sepatah kata saja ia dapat menyuruh menghukum mati kepada orang yang menghadapnya tanpa diundang itu.
Untunglah ketika Pakkiong Liong bersama dengan empat orang Panglima dari beberapa pasukan yang berbeda-beda melakukan penghadapan, Kaisar sedang riang hatinya, sehingga mereka diperbolehkan menghadap tanpa dihukum. Namun permohonan keringan hukuman bagi Tong Lam-hou ditolak oleh Kaisar, bagaimanapun Pakkiong Liong dan beberapa rekannya mengajukan alasan.
Kini Pakkiong Liong menyadari betapa hebatnya pengaruh pamannya dipusat pemerintahan itu sehingga Kaisar Khong-hi sendiri suka mendengar gosokan lidah berbisanya. Apalagi karena Pakkiong An lebih berhasil mengajukan "bukti-bukti yang meyakinkan" tentang betapa berbahayanya Tong Lam-hou apabila dibiarkan terus hidup dalam pasukan kerajaan, katanya suatu ketika pasti akan menikam dari belakang.
Maka harus dihukum seberat-beratnya untuk memberi peringatan kepada perwira-perwira lainnya yang ada maksud untuk berkhianat, terutama perwira-perwira yang bukan berdarah Man-chu. Dan Kaisar sendiri agaknya sudah menyetujuinya.
Beberapa hari kemudian, dengan wajah yang lesu dan murung Pakkiong Liong mengunjungi lagi Tong Lam-hou di tempat tahanannya. Wajahnya yang tidak bersemangat itu saja sudah menunjukkan semacam "pemberitahuan" untuk Tong Lam-hou bahwa usaha sahabatnya untuk meringankan hukumannya itu telah menemui jalan buntu.
"Aku tidak mengira pengaruh pamanku di Ibukota ini ternyata demikian besarnya," kata Pakkiong Liong dengan lesu, "seolah-olah kemanapun aku melangkah maka jidatku terbentur oleh dinding batu yang menyakitkan."
"Kau sudah berusaha dan untuk itu aku sangat berterima kasih."
"Masalahnya bukan yang akan dihukum itu sahabatku atau bukan, melainkan apakah keadilan benar-benar ditegakkan atau tidak? Hukuman sewenang-wenang macam ini hanya karena dendam pribadi kematian anaknya, jika menjadi kebiasaan akan seperti rayap yang menggerogoti tiang-tiang bangunan dari dalam, kelihatannya gedungnya masih kokoh tapi tahu-tahu ambruk berkeping-keping!"
Pakkiong Liong mengucapkan kata-katanya itu dengan nada berapi-api penuh kemarahan dan tangan terkepal, wajah yang memerah karena geram. Ia benar-benar menguatirkan nasib Kerajaan Manchu apabila orang-orang semacam pamannya sendiri itu merajalela dari satu telinga ke telinga lainnya dengan bisikan-bisikan beracunnya. Itu mengingatkannya kepada seorang dorna besar di jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng dulu, Co Hua-sun yang dengan mulut berbisanya membuat Kerajaan Beng runtuh jadi debu.
Pakkiong Liong tidak rela kalau kini Co Hua-sun "menitis" dalam diri Pakkiong An. Meskipun pamannya tidak pernah berbicara secara terbuka dengannya, namun Pakkiong Liong tahu pasti apa yang ada di dalam hati pamannya itu, sayangnya perkiraan yang tanpa bukti-bukti itu hanya akan memperkeruh keadaan dan sang paman malah bisa balik menuduh keponakannya itu memfitnahnya.
Dalam kehilngan keseimbangan jiwanya tiba-tiba pakkiong Liong berkata, "A-hou, kau harus melarikan diri, biar aku membantumu!"
Tong Lum-hou terkejut bukan kepalang. Ia kenal betul bagaimana tabiat sahabat dan Panglimanya itu, bagaimana tebal kesetiaannya kepada Negara, Kaisar dan hukum-hukumnya, kalau bukan karena hatinya yang begitu tergoncang, mustahil rasanya Pakkiong Liong mengucapkan itu.
"A-liong, kau mengingau atau bagaimana?" kata Tong Lam-hou dengan alis berkerut. "Karena hukum itu adalah bikinan manusia, maka tentu saja mengandung banyak kekurangan, tapi kalau hanya karena ketidak-puasan kita lalu kita membiasakan diri untuk menghindari hukum atau melawan hukum, maka hukum akan kehilangan kewibawaannya dan masyarakat ini berubah menjadi hutan rimba yang penuh binatang buas, di mana si kuat menerkam si lemah dengan semaunya saja. Bagaimanapun borok di tubuh hukum, ia adalah jalan keluar buat menghindari keadaan seperti hutan rimba itu. Aku lebih suka membiarkan tubuhku dan namaku hancur menjadi lumpur busuk, daripada menghindari jangkauan hukum, bagaimanapun tidak adilnya keputusan itu."
“Ya, hukum harus ditegakkan, tapi yang bersih, bukan hukum yang keluar dari mulut Pakkiong An Yang busuk itu. Jika hukum yang bersih itu ditegakkan juga dan masih terjadi ke keliruan, hendaknya kekeliruan itu bukan sesuatu yang disengaja. Tapi lihat, dalam perkaramu ini? Semuanya sudah diatur harus begini harus begitu sebelum mahkamah sendiri diselenggarakan. Inilah pembantaian yang berkedok hukum! Ini tidak adil dan harus dilawan!"
"Adil tidak adil, semua peraturan harus jalan terus. Kalau setiap orang atau setiap pihak dibiarkan saja menilai jalannya hukum dari sudut kepentingannya sendiri-sendiri, maka yang dirugikan tentu merasakan kurang adil dan yang diuntungkan sebaliknya merasakan betapa adilnya. Itu sifat dasar manusia. Tapi itu harus dikikis habis. Semua orang harus tunduk kepada hukum tak peduli memuaskannya atau tidak, dengan begitu baru terdapat masyarakat yang tertib."
Begitu kedua sahabat itu berdebat dengan suara yang semakin lama semakin keras, mengemukakannya alasannya masing-masing dan keduanya ternyata tetap kokoh dengan pendiriannya.
Kata Tong Lam-hou, "Pakkiong An membuat hukum jadi alat kekuasaannya, itu harus dicegah namun tanpa mengacaukan negara. Biar aku menjadi korban ketidakadilan kali ini, tetapi hendaknya kematianku kelak dapat membuka mata banyak orang bahwa masih ada yang perlu diperbaiki di negeri ini. Tangkap tikusnya tanpa merusakkan rumahnya, tangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya."
Semua ucapan Tong Lam-hou itu bisa diterima oleh akal dan otak Pakkiong Liong, tapi perasaannya terlalu sulit menerimanya. Kini dalam hati Panglima itu seakan terjadi bentrokan antara akal dan perasaannya. Sementara Tong Lam-hou terdengar berkata terus,
"Aku tahu kau punya Pasukan Hui-liong-kun yang sanggup kau suruh untuk terjun ke lautan api atau gunung golok sekalipun, Panglima-panglima yang sependapat denganmu juga akan mengerahkan pasukannya masing-masing, tetapi Pakkiong An sendiri bukannya tidak mempunyai pengikut. Jika kau letupkan perasaanmu dengan menggerakkan pasukanmu, maka Pak-khia akan banjir darah karena prajurit kerajaan saling bantai dengan prajurit kerajaan sendiri. Dan itulah awal kehancuran kita, dan mungkin awal kebangkitan kekuatan baru yang belum diketahui baik buruknya, buas atau jinak, dan bukankah ini berarti mempertaruhkan nyawa berjuta-juta rakyat hanya karena kemarahan hati? Jika itu benar-benar terjadi, kelak kau pasti akan menyesalinya seumur hidupmu apabila akal beningmu telah kembali lagi."
"Tapi apakah pamanku Pakkiong An itu harus dibiarkan merajalela dengan tingkah laku busuknya? Menghindari hukum membuat negara runtuh, tapi memfitnah kesana kemari bukankah membuat negara runtuh pula?"
"Tentu saja kau punya tugas memperbaiki keadaan ini. Jika rumah kita bocor, maka kita harus memperbaikinya meskipun kita harus berkorban menjadi basah oleh air hujan, bukan merobohkan rumah itu sama sekali sehingga seisi rumah kehilangan tempat berteduh."
Akhirnya dengan susah payah berhasil juga Tong Lam-hou meredakan gelora kemarahan Pakkiong Liong. Sungguh suatu kejadian yang agak janggal, di mana Tong Lam-hou yang bersuku Han dan calon korban kesewenang-wenangan malahan memberi nasehat kepada Pakkiong Liong yanq berdarah Manchu untuk tidak bertindak sembarangan yang membahayakan negara. Di sini terlihat jiwa yang besar dari kedua orang itu.
Tong Lam-hou menunjukkan bahwa ia rela hancur tubuh dan nama baiknya demi tegaknya hukum, sedangkan Pakkiong Liong yang berkedudukan tinggi, berdarah dari suku yang sedang berkuasa dan bahkan masih termasuk kerabat Istana, telah mempertaruhkan segala kedudukannya untuk membela seroang sahabat yang datang dari gunung.
Padahal jika Pakkiong Liong bersikap cuci-tangan dalam peristiwa Tong Lam-hou itu dia akan aman kedudukannya, tapi kesetia khwanannya yang tinggi terhadap Tong Lam-hou itu telah membuat Pakkiong Liong kini berhadapan dengan pamannya sendiri, Pakkiong An, yang sangat berpengaruh dan berhubungan dekat dengan Kaisar itu.
Ketika Pakkiong Liong keluar dari ruangan itu dan mengingalkan Peng-po Ceng-tong, hatinya masih merasa penasaran. Tapi udara sore kota Pak-khia yang dingin itu membantu pula mendinginkan kepalanya. Sambil berkuda perlahan-lahan menysuri jalan-jalan dikota pak-khia menuju ke rumahnya, ia memutar otak bagaimana memecahkan madalah itu. Seperti pesan Tong Lam-hou, sendiri menegakkan keadilan tapi tanpa menimbulkan kerusakan negara.
Tiba-tiba dari pinggir jalan terdengar ada seorang menyapanya, "Selamat sore, Pakkiong Ciangkun."
Pakkiong Liong yang berkuda sambil melamun itu terkejut, dan menoleh. Dilihatnya di pinggir jalan itu ada seorang lelaki berusia kira-kira tiga-puluh lima tahun, berjubah panjang, berwajah bersih dan sinar matanya membayangkan kecerdikannya. ia sedang menggandeng seorang anak perempuan kecil berusia delapan atau sembilan tahun. Agaknya sedang mengajak anaknya untuk berjalan-jalan di sore hari, dan di tangan anaknya itu terpegang sebatang kembang gula.
Cepat Pakkiong Liong meloncat dari kudanya, dan sambil tertawa ramah ia menjawab, "Eh, selamat sore, saudara Lim. Maafkan aku tidak melihatmu tadi."
Orang bertampang cerdik itu bernama Lim Cong-peng, salah seorang perwira bawahan Pakkiong Liong juga namun dari kelompok rahasia yang sering di olok-olok sebagai "kelompok tanpa seragam" namun pihak musuh menyeganinya dengan menyebut "kelompok hantu". Sebuah dari pasukan Hui-liong-kun yang dibentuk oleh Pakkiong Liong untuk tugas-tugas rahasia, seperti menyusup ke daerah musuh, mengacau, mencari keterangan kekuatan musuh, menyamar dengan seribu wajah, mengorek keterangan dengan cara halus, menculik tokoh penting dan sebagainya.
Pokoknya lebih mengandalkan kerja otak daripada kerja otot, namun berarti orang orang dari kelompok ini bukan orang-orang gemblengan, bahkan gemblengan untuk mereka ditangani sendiri oleh Pakkiong Liong karena tugas mereka yang lebih berat dari prajurit-prajurit biasa. Kelompok ini besar jasanya dalam meraih kemenangan di setiap medan perang.
Dalam pertempuran menaklukkan Pangeran Cu Leng-ong dan Jit-goat-pangnya dulu, sebelum Pakkiong Liong menggempur dengan pasukan peng-gempurnya, maka "pasukan hantu"nya inilah yang dikirim lebih dulu ke wilayah musuh untuk menyamar sebagai laskar musuh dan mencari keterangan sebanyak-banyaknyaa.
Demikian rahasianya kelompok ini, sehingga berada langsung di bawah kendali Pakkiong Liong pribadi, dan yang mengetahuinya hanyalah beberapa perwira dekat Pakkiong Liong. Sedang perwira-perwira rendahan atau prajurit-prajurit Hui-liong-kun biasa, tidak ada yang tahu bahwa mereka memiliki rekan-rekan semacam ini.
Melihat Lim Tong-eng, tiba-tiba di dalam benak Pakkiong Liong bagaikan menyala sebuah sinar terang. Agaknya selama beberapa hari ini otaknya begitu keruh karena dibuat bingung oleh kemarahan dan kekecewaan melihat suasana pemerintahan yang tercemar oleh racun yang tersebar dari mulut pamannya, sehingga ia sampai melupakan kegunaan dari "pasukan hantunya" ini.
Kalau ia tidak bisa menembus jalan terang-terangan, kenapa tidak dijalankan saja siasat menembus jalan terang-terangan, kenapa tidak dijalankan saja siasat hantu-hantuan dengan memanfaatkan Lim Tong-eng dan kelompoknya ini?
Pokoknya tujuannya baik, menyelamatkan negara dari keruntuhan, maka cara apapun terpaksa harus dilakukan. Buat Pakkiong Liong, penasaran rasanya kalau Tong Lam-hou yang begitu tebal kesetiaan dan ketaatannya kepada Kerajaan dan Kaisar, malahan akan memenangkan permainan dan mendapat julukan "penyelamat negara"?
"Ciangkun dari tadi berkuda sambil melamun agaknya," demikian kata Lim Tong-eng yang berpandangan tajam. "Apakah karena masalah perkara yang menyangkut saudara Tong yang hari-hari ini terdengar ramai desas-desusnya?"
Terhadap perwira dalam tugas rahasianya ini, Pakkiong Liong tidak ingin menyembunyikan apapun, maka diapun menganggukkan kepalanya dan menyahut, "Ya, negara ini diancam keruntuhan dari dalam karena peristiwa itu."
Alis Lim Tong-eng berkerut terkejut, “Maksud Ciangkun, saudara Tong benar-benar telah terbukti punya niat jahat untuk meruntuhkan negara? Ah, sukar dipercaya! Dia bukan seseorang yang dapat menyelubungi isi hatinya rapat-rapat, dan rasanya aku dengan mudah dapat menjenguk isi dadanya dan apa ada yang dapat disembunyikan. Aku belum pernah melihat ketidak-setiaan dalam dirinya!"
Tapi Pakkiong Liong tertawa, "Bukan, malah sebaliknya. Tong Lam-hou yang begitu setia, terancam hancur tubuh dan nama baiknya oleh sebuah komplotan busuk yang telah mencengkeramkan kuku-kuku beracunnya di tubuh penerintahan."
"Jadi, bagaimana?"
"Tapi jalan ini bukan tempat bicara yang baik. Silahkan saudara Lim melanjutkan berjalan-jalan dengan puterimu yang manis ini, nikmatilah sore yang cerah ini. Tapi besok pagi, datang ke rumahku bersama dengan Bok Teng-san."
"Bok Teng-san perwira perbekalan?"
"Ya. Selamat sore, saudara Lim." Pakkiong Liong meloncat kembali ke atas kudanya dan melambaikan tangan pada Lim Tong-eng, juga kepada anak perempuan kecil dari Lim Teng-ong yang membalas lambaiannya pula.
Lim Tong-eng tahu bahwa akan ada tugas lagi di pundaknya, sesuai dengan keahliannya dan keahlian kelompoknya. Kali ini tugasnya bukan di medan perang di garis depan, tapi agaknya di garis belakang yaitu di Pak-khia sendiri. Menyusup-nyusup dan mengendap endap di antara tonggak-tonggak kekuasaan yang saling bersaingan di sekitar Istana. Sebuah "perang dingin" antara raksasa-raksasa pemerintahan yang tidak kalah berbahayanya dengan pertempuran terang-terangan di garis depan melawan para pemberontak.
Bahkan perang dingin ini lebih berbahaya, sebab Lim Tong-eng tahu pasti bahwa yang memiliki jaringan rahasia itu bukan saja Pakkiong Liong, tetapi juga saingan-saingan Pakkiong Liong pun pasti memilikinya pula. Kalah menang tidak ditentukan dengan keberanian dan kekuatan saja, tapi juga dengan kecerdikan menggunakan seribu satu tipu muslihat, sebuah perang yang benar-benar aneh, perang di bawah permukaan sering terjadi apabila pucuk-pucuk pimpinan mulai saling sikut sesamanya.
Di dalam perang itu apabila ada yang gugur dari kedua belah pihak, mayatnya tidak akan diusung dalam arak-arakan seperti mengarak pahlawan, namun malahan sebaliknya. Prajurit-prajurit terselubung dari kedua pihak bisa saja tiba-tiba hilang diculik, atau lenyap begitu saja, atau bahkan mati dengan alasan-alasan yang tidak berbau kepahlawanan sedikitpun misalnya berkelahi dengan pemabuk, atau tewas di rumah pelacuran gara-gara berebut perempuan dan sebagainya.
Tak ada orang awam yang tahu bahwa kejadian kejadian itu adalah suatu hal yang sudah diatur, sebagai akibat dari persaingan antar kelompok kekuasaan di Ibukota, saling menjegal dan saling menjatuhkan dengan cara yang sekotor apapun terhadap orang-orang yang tidak menguntungkan mereka.
Namun Lim Tong-eng dan kelompoknya memang digembleng untuk itu, semakin besar tantangannya akan semakin bergairahlah dia untuk menaklukkannya. Tapi ia heran bahwa besok ia harus datang ke rumah Panglimanya dengan Bok Teng-san, seorang perwira Hui-liong-kun juga namun perwira yang mengurus perbekalan dan keuangan pasukan itu, bukan perwira medan perang. Apa maksud Pakkiong Ciangkun itu?
Sore itu Lim Tong-eng masih sempat mengajak anaknya membeli beberapa macam makanan, menonton tukang sulap yang bermain di ujung jalan, lalu pulang ke rumahnya. Keesokan harinya ia benar-benar datang ke rumah Pakkiong Liong, dan ketika ia datang maka dilihatnya Bok Teng-san yang bertubuh kurus itu sudah duduk di ruangan tamu sambil menghirup teh.
"Selamat pagi, saudara Bok."
"Selamat pagi, saudara Lim. Apakah Ciangkun belum keluar?"
Dari pintu tengah terdengar suara. “Aku sudah datang," dan Pakkiong Liong pun muncul dari pintu ruangan tengah, mengenakan pakaian yang amat santai. Meskipun Panglima itu sengaja bersikap santai dan menunjukkan sikap yang tidak tegang untuk memberikan keringanan perasaan kepada kedua perwiranya itu, namun kedua perwira yang cukup tanggap itu tidak luput menangkap ketegangan dalam sinar mata Pakkiong Liong.
Merekapun kemudian mulai menetapkan tugas-tugas bagi Lim Tong-eng dengan "pasukan hantu"nya maupun untuk Bok Teng-san si perwira perbekalan dan keuangan. Lim Tong-eng bertugas agar dengan segala cara segala tipu muslihat membongkar bukti-bukti ketidak-benaran tuduhan Pakkiong An kepada Tong Lam-hou yang terlalu dilebih-lebihkan itu, namun tidak boleh sampai menimbulkan goncangan ketenangan di Pak-khia, misalnya dengan bentrok dengan saluran-saluran kekuasaan lainnya.
Andaikata terjadi bentrokan juga karena terpaksa, maka goncangannya harus "direndam" sampai sekecil dan sekabur mungkin. Sekecil-kecilnya dan sekabur-kaburnya. Juga bukti-bukti bahwa Pakkiong An berniat merebut singgasana, sebab Pakkiong Liong tahu pasti niat pamannya itu namun hanya tidak memiliki bukti-bukti atau saksi-saksi untuk diajukan ke Sidang Istana. Untuk tugas itu, Pakkiong Liong tidak perlu menjelaskan sampai hal sekecil-kecilnya kepada Lim Tong-eng, sebab perwiranya itu tentu sudah cukup paham apa yang harus dilakukannya.
Untuk tugas itu, Lim Tong-eng mendapat waktu tak terbatas. Kalau bisa diselesaikan sebelum pengadilan atas diri Tong Lam-hou dijalankan, tapi kalau tidak bisa, dan bukti-bukti kejahatan Pakkiong An itu ditemukan justru setelah Tong Lam-hou dihukum picis, maka Pakkiong Liong berharap apabila tidak bisa menyelamatkan raga Tong Lam-hou yang paling tidak membersihkan nama baik sahabatnya itu. Dan yang penting adalah menggulung komplotan Pakkiong An sebagai musuh dalam selimut yang membahayakan kelanggengan dinasti Manchu.
"Usahakan jangan meninggalkan jejak sekecil apapun bahwa kau bertugas untuk Hui-liong-kun kami," kata Pakkiong Liong kepada Lim Tong-eng untuk mengakhiri perintahnya.
Lim Tong-eng paham sepaham-pahamnya tentang makna dari kalimat "jangan tinggalkan jejak sekecil apapun" itu. Itu artinya, apabila ia tertangkap atau terbunuh, maka Pakkiong Liong tidak ingin Hui-liong-kun terciprat akibatnya setitikpun, bahkan mungkin Pakkiong Liong akan ikut-ikutan mengutuk dirinya.
Bukan karena Panglima itu menjadi pengecut dan mencuci tangan, tapi karena Pakkiong Liong tidak menghendaki guncangan ketenangan di pusat Pemerintahan itu, dan tidak ada jalan lain dengan mengorbankan anak buahnya dari "pasukan hantu" itu, pasukan terselubung yang memang sudah bertekad bulat mengorbankan diri demi tegaknya negerinya.
Dan untuk pengorbanan itu tidak tersedia tanda jasa atau pujian apapun, malanan mungkin kutuk dan caci-maki dari segala pihak. Namun memang begitulah jalannya percaturan kekuasaan di pusat-pusat pemerintahan di manapun dan kapan saja. Yang tercermin di permukaan belum tentu sama dengan yang tercermin di bawah permukaan. Dan Lim Tong-eng sudah ikhlas dengan tugas itu.
"Tugas amat berat, saudara Lim? Bukan hanya nyawa tapi mungkin kau akan kehilangan pula kehormatan dan nama baik?"
Lim Tong-eng mengangguk mantap, "Aku sanggup, Ciangkun, dan aku bertekad untuk mendukung tujuan Ciangkun yang ingin membersihkan Kerajaan dari orang-orang semacam Pakkiong An. Aku akan berusaha memenangkan pertarungan di bawah permukaan ini."
Dari mata Pakkiong Liong terpancar rasa hormat setinggi-tingginya kepada Lim Tong-eng, katanya, "Kau sesungguhnya lebih hebat dari aku, saudara Lim. Aku mempertaruhkan nyawaku di medan laga namun menerima imbalan berupa kedudukan yang mapan dan penghormatan atas setiap kemenanganku. Tapi untukmu tidak tersedia bintang jasa atau medali penghargaan apapaun, hanya rasa hormat yang setinggi-tingginya dari aku pribadi..."
Selanjutnya;