Perserikatan Naga Api Jilid 37

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Jilid 37 Karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Perserikatan Naga Api Jilid 37

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
DI salah satu ujung lorong, Ki Im-kok yang berpakaian serba biru itu, telah luka-luka di beberapa tempat di tubuhnya, namun masih melawan musuh dengan garangnya, bahkan masih juga berteriak-teriak memberi semangat anak buahnya. Lawannya adalah Pek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Putih) Oh Yun-kim, si orang Korea yang lebih terkenal dengan julukan Bu-ing-tui (Si Tendangan Tanpa Bayangan) itu.

Biarpun Oh Yun-kim hanya bertangan kosong meladeni Ki Im-kok yang bersenjata pedang itu, namun tampaklah bahwa ketangkasan Oh Yun-kim sangat menyulitkan jago Tiam- long-pay itu. Sepasang kaki Oh Yun-kim yang dapat menendang semaunya itu, ibarat palu-palu godam yang apabila mengenai tubuh lawan bisa meremukkan tulang dengan seketika. Apalagi, sejak memperdalam ilmu bersama rekannya, Lu Siong.

Maka kini Oh Yun-kim tidak sekedar mengandalkan kakinya, namun sepasang tinjunyapun dapat membahayakan lawan. Biarpun belum semahir Lu Siong yang mengajarinya, namun Oh Yun-kim sudah berlatih pula tenaga Tit-siang-kin (Tenaga Melempar Gajah) yang luar biasa itu. Dengan demikian terdesaklah Ki Im-kok, hanya dengan kenekadan dan sikap berani mati sajalah maka Ki Im-kok masih bisa bertahan hingga detik itu, namun kekalahannya hanya soal waktu saja.

Di ujung lorong yang lain, Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati) itu bertempur dengan garangnya tanpa menemui lawan yang cukup seimbang di pihak Tiam-jong-pay. Tanpa senjata hanya dengan sepasang kepalannya yang sekeras baja itu, Lu Siong mengamuk membuat kelompok Tiam-jong-pay semakin terjepit ke dalam lorong.

Berulang kali terlihat murid-murid Tiam-jong-pay terlempar ke tanah atau terhuyung membentur tembok dengan tulang dada yang patah atau tengkorak kepala yang retak terkena pukulan Lu Siong. Tidak ada yang sanggup menahan lebih dari sepuluh pukulannya, bahkan andaikata beberapa orang murid Tiam-jong-pay juga mengeroyoknya, mereka hanya dapat menahannya untuk sementara.

Keroyokan itu ibarat tanggul terbuat dari lumpur yang hanya dapat menahan banjir untuk sementara saja, kemudian tanggul itu bobol juga. Sedang Lu Siong yang dalam keadaan sangat marah karena pihak musuh melepaskan api membakar markasnya, maka tidak ada ampun lagi bagi lawan-lawannya.

Tinju dan kakinya melayang kian-kemari, penuh berisi tenaga penghancur yang dahsyat. Bagaikan seekor serigala di tengah-tengah kawanan biri-biri saja layaknya si Pemimpin Kelompok Bendera Ungu itu. Tapi keadaan terjepit semacam itu tidak hanya dialami kelompok penyerbu, tapi juga oleh kelompok-kelompok kecil orang-orang Hwe-Liong-pang yang terpisah dari teman-temannya.

Tapi bagi orang-orang Hwe-liong-pang masih lebih menguntungkan, sebab mereka mengenal lika-liku markas yang luas itu seperti mereka mengenal telapak tangan mereka, sendiri. Mereka tahu arah setiap lorong, dimana ada cabangnya, di mana ada jalan tembusnya dan sebagainya, sehingga sulitlah bagi pihak penyerbu untuk menyudutkan orang-orang Hwe-liong-pang di kandangnya sendiri.

Dalam hiruk-pikuk yang semakin merata ke seluruh sudut bangunan luas itu, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin sebagai orang-orang tertinggi di Hwe-liong-pang selama ketidakhadiran Tong Wi-siang itu, juga telah terbangun dari tidurnya. Ketika mereka mendengar laporan tentang apa yang terjadi, berubahlah air muka mereka.

Siangkoan Hong segera mengertak gigi dan menggeram dengan muka merah padam, "Kurang ajar! Kita mengalah selangkah, mereka malah semakin maju sepuluh langkah. Kali ini mereka membakar tempat kita, lama kelamaan mereka akan menginjak kepala kita!"

Lim Hong-pin juga terbakar hatinya, meskipun dalam keadaan sehari-hari dia sangat sabar menghadapi keadaan. Tapi sekali ini adalah peristiwa yang keterlaluan. Suatu serbuan terhadap markas suatu perguruan, apalagi disertai dengan membakar pula, sudah merupakan tantangan terang-terangan yang sulit didamaikan lagi. Perguruan atau perkumpulan manapun tidak ada yang tidak marah kalau tempatnya dibakar. Meskipun demikian Lim Hong-pin masih juga memikirkan kemungkinan untuk menangkap para penyerbu itu tanpa melukainya.

Keluarnya kedua orang pewaris ilmu Bu-san-jlt-kui itu ibarat malapetaka bagi para penyerbu. Baik Siangkoan Hong maupun Lim Hong-pin memiliki ilmu yang tinggi, dapat disejajarkan dengan sepuluh tokoh persilatan paling hebat di jaman itu. Hal inilah yang agaknya kurang diperhitungkan oleh Kiau Bun-han sebagai perencana serangan ini. Dia hanya memperhitungkan Tong Wi-siang sebagai tokoh yang sangat tangguh tapi sama sekali tidak tahu kalau kedua teman Tong Wi-siang inipun merupakan orang-orang berilmu tinggi.

Begitu mereka keluar dan turun ke medan, seketika itu juga gemparlah seluruh arena. Siangkoan Hong memutari medan sebelah selatan, dan celakalah musuh yang kebentrok dengannya. Sesuai dengan sifatnya yang pemarah itu, maka tindakannya benar-benar tak kenal ampun lagi.

Namun ketika ia bertemu dengan rombongan orang-orang Go-bi-pay yang tengah mendesak kelompok Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Bendera Hitam) Kwa Tin-siong serta wakilnya, Cu Keng-wan, maka Siangkoan Hong berhenti sejenak. Dilihatnya pihak Hwe-liong-pang terdesak karena adanya tiga orang rahib sakti yang rata-rata kepandaiannya di atas kepandaian para Tong-cu Hwe-liong-pang.

Kwa Tin-siong yang bertempur satu lawan satu dengan Thian-goan Hweshio itu, nampak sudah terkurung di bawah cahaya pedang panjang Thian-goan Hweshio, dan hanya mampu bertahan saja tanpa dapat balas menyerang. Tidak ada anak buahnya yang dapat membantunya, Meskipun Tong-cu yang berjuluk Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) itu sudah mengalami peningkatan ilmu sejak berlatih keras dulu, dengan ilmunya yang disebutnya Ya-miao-sip-pat-sik (Delapan belas Jurus Kucing Liar).

Namun itu masih belum cukup untuk menandingi keampuhan dan kekerasan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat gaya Go-bi-pay yang dimainkan oleh Thian-goan Hweshio dengan matang itu. Tenaganyapun kalah besar, sedangkan kelincahannya tak banyak berguna sebab Thian-goan Hweshio mampu menyusun pertahanan di sekitar tubuhnya dengan rapatnya.

Go-bi-pay, itu perguruan yang mendirikan markasnya di pinggir padang Pasir Go-bi, merupakan salah satu dari tiga perguruan di daratan Cina yang boleh menepuk dada sebagai "pewaris ilmu pedang ciptaan Tat-mo Cou-su”, di samping Siau-lim-pay di Siong-san dan Bu-tong-pay di Bu-tong-san. Ketiga perguruan itu sebenarnya berasal dari satu cabang, dan terpecah menjadi tiga aliran pada ratusan tahun yang lalu, jaman menjelang runtuhnya Kaisar Goan-sun-te dari dinasti Goan (Mongol) dan menjelang bangkitnya dinasti Beng oleh Cu Goan-ciang, leluhur Kaisar Cong-ceng yang sekarang ini.

Karena berasal satu sumber, maka kehebatan ketiga perguruan itupun hampir sama, ketiga perguruan juga sama-sama memiliki Tat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Tat mo) meskipun dengan gayanya masing-masing. Tentang kelihaian Thian-goan Hweshio ini, banyak orang berpendapat, andaikata saat itu diadakan kembali pertarungan antar para tokoh sakti untuk memperbaharui susunan "Sepuluh Tokoh Sakti".

Ada kemungkinan Thian-goan Hweshio akan masuk dalam urutan itu, menggeser kedudukan tokoh-tokoh yang di urutan bawah seperti Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po atau si Iblis Jing-hay Sebun Say yang telah tewas itu. Demikianlah kabar tentang kehebatan rahib Go-bi-pay yang menjadi tetunggul Go-bi-sam-sin-ceng (Tiga Rahib Sakti dari Go-bi) ini. Sayang bahwa rahib ini sering terseret oleh nafsu amarahnya yang meluap-luap, sehingga ilmunya kacau sendiri.

Tidak jauh dari medan pertempuran itu, Thian-sek Hweshio, orang kedua dari Go-bi-sam-sin-ceng itu, juga tengah bertempur dengan Hu-tong-cu Kelompok Bendera Hitam, Cu Keng-wan yang berjulukan Thiat-ciang (Telapak Tangan Besi) itu. Di sini keseimbangannya tidak ada bedanya dengan pertarungan antara Thian-goan Hweshio dan Kwa Tin-siong. Cu Keng-wan juga terdesak hebat, sebab kepandaian Thian-sek Hweshio ternyata tidak selisih jauh dari kepandaian kakak seperguruannya.

Toyanya yang diputar kencang itu telah menimbulkan deru angin yang menakutkan, Cu Keng-wan yang membanggakan sepasang tangannya yang keras seperti besi itu, tidak berani menangkis langsung setiap serangan lawan, sebab ia sadar lengannya bisa patah jika menangkis langsung serangan lawannya itu.

Di samping amukan kedua rahib sakti itu, masih ada rahib sakti yang ketiga, si bungsu dari Go-bi-sam-sin-ceng, yaitu Thian-cong Hweshio. Rahib ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa, sehingga jubah pendetanya selalu nampak agak kekecilan sehingga kelihatan lucu, namun sepasang Liong-hou-siang-hoan (Sepasang Gelang Naga dan Harimau) yang terbuat dari baja di tangannya itu sama sekali tidak lucu, namun sambarannya adalah maut seketika bagi musuhnya.

Selain tubuhnya yang tinggi besar dan sepasang senjatanya yang dahsyat, Thian-cong Hweshio juga memiliki tenaga pembawaan yang luar biasa hebatnya. Konon dengan tangan kanan dan kirinya, dia mampu mengangkat dua ekor kerbau besar sebelah- menyebeiah, dan menggerak-gerakkannya berputar-putar seakan-akan yang dipegang itu bukan kerbau tetapi marmut saja.

Menghadapi tandang rahib bertenaga raksasa ini, pihak Hwe-liong-pang harus mengepungnya beramai-ramai antara delapan sampai sepuluh orang. Namun demikian masih saja kepungan itu kadang-kadang pecah juga, kalau seorang pengepung atau lebih, terlempar keluar dari arena karena tersambar oleh sepasang gelang itu atau oleh kaki si rahib raksasa itu. Dan terpaksa datanglah orang-orang baru untuk "menambal" kepungan yang rusak itu. Kalau tidak dikepung secara demikian, Thian-cong akan malang-melintang seenaknya dan menyebarkan malapetaka bagi pihak Hwe-liong-pang.

Semuanya itu tidak luput dari perhatian Siangkoan Hong, sehingga ia memutuskan untuk melawan Thian-cong Hweshio lebih dulu agar tidak membawa korban terlalu banyak bagi pihak Hwe-liong-pang. Sesaat Siangkoan Hong mengatur pernapasannya sambil memusatkan seluruh perhatian, dan tiba-tiba tubuhnya melambung ke angkasa dan menerkam ke arah Thian-cong Hweshio, disertai bentakannya yang memekakkan telinga,

“Minggir! Serahkan keledai gundul ini kepadaku!”

Orang-orang Hwe-liong-pang yang sedang terdesak itu seketika berkobar semangatnya ketika tahu bahwa Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit) sendiri telah terjun langsung ke medan pertempuran. Terutama mereka yang mengurung Thian-cong Hweshio, segera berlompatan menjauh karena tahu bahwa Hweshio raksasa itu akan “ditangani” sendiri oleh sang Hiang-cu.

Ketika mendengar bentakan yang memekakkan telinga itu, Thian-cong Hweshio sudah tahu bahwa lawan yang datang belakangan ini bukanlah lawan sembarangan. Suaranya begitu mantap menggetarkan batin, meskipun samar-samar terasa juga bahwa yang mendukung suara itu bukan lwe-kang (tenaga dalam murni) melainkan mengandung pengaruh ilmu sesat yang dapat mengacaukan pikiran.

Tapi Thian-cong Hweshio tidak gentar, tingkatan lwekangnya sudah cukup tinggi dan dapat diandalkannya untuk menghadapi segala macam ilmu sesat. Di bawah bayangan malam kelam, tubuh Siangkoan Hong menubruk bagaikan seekor burung raksasa yang menyambar, jurus yang digunakannya pun adalah Pek-bok-kiu-siau (Rajawali Menyambar dari Angkasa), di mana sepasang telapak tangannya dengan jari-jari terkembang siap untuk mencengkeram hancur kepala gundul si rahib raksasa itu.

Thian-cong Hweshio kaget ketika merasakan segulung tenaga tak berwujud telah mendahului pukulan lawan dan membawa tekanan tenaga yang menyesakkan napas. Cepat-cepat rahib itu menarik napas dan mengerahkan lwekangnya, terus dihantamkan ke atas untuk menyambut serangan Siangkoan Hong.

Yang satu menerkam bagaikan rajawali, yang satu bertahan setangguh menara besi, ketika dua jenis tenaga itu bertemu di udara, masing-masing pihak sama terkejutnya. Tentu saja Siangkoan Hong tidak akan membiarkan jari-jari tangannya patah semua karena terhantam sepasang gelang musuh, maka cepat-cepat dirubahnya cengkeramannya menjadi hantaman telapak tangan ke arah pergelangan tangan musuh.

Sebaliknya Thian-cong Hweshio yang sangat percaya kepada kekuatannya itu, secara berani mengibaskan tangannya ke kiri kanan, dengan demikian terjadi benturan tenaga secara keras lawan keras. Siangkoan Hong tengah melayang di udara, sepasang kakinya tidak menapak tanah, tentu saja ia kalah kedudukan dan terpaksa tubuhnya terlempar ke belakang karena gempuran tenaga itu. Untung dia sempat berputar di udara dan jatuh mendarat bagaikan seekor kucing tangkasnya.

Sedangkan si raksasa Go-bi-pay itupun terdorong mundur dua langkah dengan lengan tergetar keras akibat benturan itu. Diam-diam rahib itu terkejut, selama petualangannya di dunia persilatan, belum pernah lengannya sampai tergetar seperti itu, apalagi sampai terdorong mundur. Namun pengalaman di Tiau-im-hong malam ini agaknya akan memberi pelajaran baru buatnya. Perasaan pegal itu ternyata bukan cuma dialami oleh Thian-cong Hweshio, melainkan juga oleh Siangkoan Hong. Kedua pihak sadar telah ketemu musuh tangguh.

"Bagus! Siapa kau?" geram Siangkoan Hong.

Thian-cong Hweshio menyahut, "Thian-cong Hweshio dari Go-bi-pay, kaupun hebat, meskipun agaknya namamu belum terkenal. Siapa kau?"

Suara Siangkoan Hong bagaikan bergulung-gulung dalam perutnya, "Aku Siangkoan Hong, Hulubalang Naga Langit, pendamping Ketua Hwe-liong-pang!"

“Pantas kau hebat. Tapi jangan gembira dulu, sebentar lagi kau akan menikmati sepasang gelangku ini."

Siangkoan Hong memang pemarah. Begitu mendengar tantangan musuh itu, tanpa banyak bicara lagi dia telah menubruk maju sambil berteriak keras, sepasang tangannya bergerak serempak. Tangan kiri dengan jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Memperebutkan Mutiara), jari tangan dan jari telunjuknya meluncur ke arah mata untuk mencungkil biji mata lawan. Sedang telapak tangan kanannya juga dengan jari-jari terbuka menusuk ke lambung lawan dengan gerakan Yu-liong-jip-hay (Naga Berenang Masuk ke Laut).

Tanpa berani meremehkan lawan, cepat Thian-cong Hweshio menggunakan gelang kirinya untuk “mengalungi” pergelangan tangan musuh yang kiri untuk kemudian dipuntir sehingga patah, sedangkan gelang lainnya juga menghantam ke bawah untuk berusaha mematahkan pergelangan tangan musuh. Sekali gebrakan dua gerakan, semuanya cukup mengancam keselamatan Siangkoan Hong.

Tetapi selicin belut Siangkoan Hong memutar tangan kirinya mengikuti putaran gelang lawan, kemudian mencengkeramnya dan mencoba merebutnya. Tangan kanan ditarik, ganti kaki kanannyalah yang secepat kilat menghantam lambung lawan. Thian-cong Hweshio terkejut. Ia memang bertenaga raksasa, namun dalam hal kegesitan ia justru tidak dapat menandingi Siangkoan Hong yang berbadan langsing itu. Begitu cepat Siangkoan Hong sehingga terhuyung mundur dua langkah sambil menyeringai.

Sebaliknya Siangkoan Hong sendiri terkejut karena tendangannya yang telak itu hanya mampu mendorong mundur lawannya, padahal dengan tenaga dalam ajaran Bu-san-jit-kui itu Siangkoan Hong bisa menendang patah sebatang pohon yang besarnya hampir sepelukan orang dewasa. Namun kakinya yang mengenai lawan itu rasanya seperti mengenai sebuah lempengan tembok besi baja. Itulah Hok-teh-sin-kang (Ilmu Sakti Pelindung Tubuh) dari Go-bi-pay yang sudah hampir mencapai tahap kesempurnaan.

Akibat gebrakan yang baru saja terjadi, kedua pihak jadi semakin waspada. Tidak lama kemudian keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran sengit. Siangkoan Hong menyerang lawannya bagaikan prahara yang siap menggulung dan menghancurkan apa saja yang melintang di depannya, namun kadang-kadang berubah bagaikan rajawali raksasa yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang perkasa.

Tetapi Thian-cong Hweshio juga telah bertahan dengan gigihnya bagaikan sebuah pagoda besi yang tertancap dalam-dalam sampai ke dasar bumi. Meskipun tubuh besarnya itu kurang menguntungkan untuk berlincahan kian kemari, namun sepasang tangan yang kokoh dengan gelang-gelang logam digenggamnya itu benar benar tangkas luar biasa. Gerakan sepasang tangan rahib Go-bi-pay itu ibarat baling-baling yang terhembus angin puyuh, bergerak dengan cepatnya, siap menghadapi serangan musuh dari manapun datangnya.

Betapa tangguhnya Thian-cong Hweshio, tapi yang dihadapinya kini bukanlah ilmu yang sewajarnya, melainkan ramuan antara ilmu silat biasa dengan ilmu gaib, hasil ciptaan Bu-san-jit-kui. Jika Thian-cong Hweshio untuk mencapai taraf kepandaian seperti sekarang ini harus melalui latihan keras sampai hampir dua puluh tahun lamanya, maka Siangkoan Hong berdasar petunjuk buku tinggalan Bu-san-jit-kui hanya mencapainya dalam waktu kurang dari empat tahun.

Empat tahun yang lalu Siangkoan Hong masih merupakan seorang anak muda kota kecil An-yang-shia, yang meskipun gemar berkelahi namun tidak memiliki ilmu silat sejuruspun, hanya mengandalkan nyali yang besar saja. Tapi kini sudah berbeda, ilmu yang dipelajarinya itu telah memungkinkan Siangkoan Hong berdiri dalam deretan orang-orang berilmu sakti.

Thian-cong Hweshio merasakan langsung kegaiban ilmu lawannya ini setelah pertarungan berjalan ratusan jurus lamanya. Perlahan-lahan si rahib Go-bi-pay mulai merasakan ada suatu pengaruh aneh menyusup masuk pikirannya dan mengganggu pemusatan perhatiannya, membuat gerakan-gerakannya sering ragu-ragu karena kini seolah-olah ada dua sumber perintah di dalam otaknya, yang masing-masing memberikan perintah yang berbeda-beda.

Selain itu, dilihatnya mata lawannya itu semakin lama semakin bersinar kehijau-hijauan seperti mata kucing, dan mulutnya berkemak-kemik entah membisikkan apa, yang terang telinga Thian-cong Hweshio terasa mendengung terganggu oleh mantera-mantera dengan bahasa yang asing.

“Gila, benar-benar ilmu iblis terkutuk!” geram Thian-cong Hweshio ketika menyadari akan keadaan yang perlahan- lahan tengah melibat dirinya itu.

Sedangkan Siangkoan Hong tidak mau memberi kesempatan kepada lawan untuk memperbaiki keadaannya. Begitu melihat Thian-cong Hweshio mulai terdesak, Siangkoan Hong malahan mengeluarkan ilmu warisan Bu-san-jit-kui lainnya yang lebih hebat, ilmu yang disebut Sam-kui-hoan-goat (Tiga Iblis Mengelilingi Rembulan).

Tiba-tiba saja Siangkoan Hong melepas ikat kepalanya sendiri dan membiarkan rambutnya terurai menutupi wajahnya, mantera yang dibisik-bisikkan di bibirnya pun berganti irama, dan terkejutlah Thian-cong Hweshio ketika melihat lawannya seakan terpecah menjadi tiga orang kembar, semuanya menyerang ke arahnya dengan gerakan yang berbeda-beda namun tidak diketahui mana Siangkoan Hong asli dan mana yang palsu.

“Edan! Gila!” teriak Thian-cong Hweshio agak gugup. Cepat-cepat ia melompat ke belakang jauh-jauh. Dipusatkannya seluruh kekuatan batinnya untuk menghadapi ilmu lawannya yang aneh itu, dan sesaat kemudian Thian-cong Hweshio menggeram hebat.

Geramannya ini berlandaskan ilmu kaum Hud-kau (Agama Buddha) yang disebut Say-cu-hou atau Geraman Singa, yang berlandaskan lwe-kang tingkat tinggi. Geraman itu dimaksud untuk mengusir suara-suara aneh yang selalu mendengung di pinggir telinga dan sangat mengganggu pemusatan pikiran itu. Benar juga, setelah menggeram beberapa kali, Thian-cong Hweshio merasakan gangguan batin itu agak berkurang.

Tapi tidak berarti pertempuran selesai, Siangkoan Hong masih berdiri di hadapannya dengan tiga wujud tubuhnya yang sulit dibedakan itu. Terdengar "Siangkoan Hong" yang sebelah kiri berkata, "Bagus, keledai gundul, rupanya kau punya bekal juga untuk berani mengacau ke Tiau-im-hong ini. Sekarang cobalah ilmu Bu-san-jit-kui yang lain!”

Kemudian “Siangkoan Hong” yang tengah berkata kepada dua “Siangkoan Hong” lainnya, “Mari kita bereskan keledai gundul ini secepatnya.”

Namun sebelum ketiga “Siangkoan Hong” itu menubruk serentah, tiba-tiba gelanggang pertempuran itu dikejutkan oleh suara keluhan tertahan yang menggema keras. Ketika semua orang menoleh ke arah suara itu, tampaklah bahwa Tiat-ciang Cu Keng-wan telah terhuyung-huyung dengan mulut memuntahkan darah segar, rupanya dalam suatu gerak tipu yang bagus, Thian-sek Hweshio telah berhasil menghantamkan toya perunggunya ke dada Hu-tong-cu Hek-ki-tong itu. Sekali lagi toya Thian-sek Hweshio terayun ke dada Cu Keng-wan dan terkaparlah Cu Keng-wan tak bernyawa lagi.

Korban sudah jatuh di antara pimpinan pihak yang bertempur, bukan lagi cuma di kalangan anak buah saja. Murid-murid Go-bi-pay bertambah semangat, merasa kemenangan sudah nampak di ambang pintu, sedang pihak Hwe-liong-pang semakin beringas karena bernafsu untuk membalaskan kematian salah seorang pemimpin dan pelatih mereka.

Thian-sek Hweshio yang telah kehilangan lawan itu segera berniat menerjang barisan Hwe-liong-pang untuk mengurangi musuh sebanyak-banyaknya. Namun langkahnya tertegun ketika melihat adik seperguruannya, Thian-cong, sedang terdesak hebat oleh “keroyokan tiga orang kembar”. Diam-diam Thian-sek Hweshio heran juga, tadi ia sempat melirik dan melihat kedatangan Siangkoan Hong ke gelanggang itu, hanya satu orang tetapi kenapa sekarang ada tiga orang?

Tapi sebagai orang yang berpengalaman luas, apalagi setelah merasa suasana aneh yang menyentuh nalurinya, sadarlah dia bahwa “tiga orang kembar” itu bukan orang-orang kembar asli melainkan hanya hasil ilmu Bu-san-jit-kui yang memang terkenal aneh-aneh itu.

Tanpa pikir panjang, Thian-sek Hweshio segera menerjunkan diri ke samping adik seperguruannya untuk bersama-sama menghadapi Siangkoan Hong dengan ilmu Sam-kui-boan-goat itu. Biarpun Thian-sek bertubuh pendek, namun permainan toya perunggunya benar-benar lincah dan juga membawa kekuatan besar, mau tidak mau mempengaruhi juga keseimbangan pertempuran.

Kini setelah kakak beradik seperguruan dari Go-bi-pay itu bergabung, keadaan jadi lebih baik. Meskipun mereka masih kebingungan juga melawan tiga bayangan yang berkelebatan kian kemari itu. Kadang-kadang baik Thian-sek maupun Thian-cong salah hitung, mereka mengira berhasil mengenai lawan dan mengerahkan tenaga untuk menyerangnya.

Namun yang dikenainya ternyata hanya seperti bayangan kosong tanpa wujud, sehingga rahib-rahib Go-bi-pay itu kadang-kadang hampir jatuh tertelungkup karena terseret oleh serangannya sendiri yang tidak mengenai sasaran. Sebaliknya, kadang-kadang bayangan yang disangka bayangan palsu, ternyata benar-benar Siangkoan Hong yang sesungguhnya, sehingga berhasil memukul rahib-rahib itu dan menyakitinya.

Thian-goan Hweshio yang tengah bertempur melawan Ya-hui-miao Kwa Tin-siong dan tengah unggul di atas angin itu, sempat melirik dan mengetahui kesulitan kedua adik seperguruannya itu. Thian-goan Hweshio pernah mengalami kesulitan serupa ketika bertempur melawan Tong Wi-siang di kuil tua di dekat desa Bu-sian-tin itu, karena itu ia punya pengalaman cara menghadapi keadaan semacam itu. Cepat ia berseru,

"Su-te berdua, ambil sikap bertahan saja sambil mempertajam pandangan batin, nanti akan terlihat bayangan yang asli dan yang palsu!"

Dalam keadaan terdesak, Thian-sek dan Thian-cong Hweshio menjalankan petunjuk Su-hengnya itu. Kini mereka mengurangi serangan dan hanya mengambil sikap bertahan apabila serangan datang, kemudian mereka memusatkan kekuatan batin mereka untuk memandang kepada lawan. Betul juga, mulai bisa dibedakan mana Siangkoan Hong yang asli dan mana yang hanya bayangannya saja namun berwujud seperti kembarannya itu.

Yang asli, betapapun juga terdiri dari darah dan daging yang memang ada, sehingga setiap gerakannya tentu membawa tenaga pukulan atau hawa hangat manusia hidup. Sedang bayangan yang palsu, betapapun hebat nampak cara menyerangnya, tapi gerakan itu seakan-akan tidak mengandung hawa hangat kehidupan, melayang dan hampa seperti segumpal asap saja. Agaknya tadi kedua rahib itu begitu terkejut dengan ilmu lawannya sehingga tidak dapat berpikir jernih. Kini setelah kejernihan pikiran mereka pulih, maka ilmu Sam-kui-boan-goat itu tidak lagi membingungkan mereka.

Siangkoan Hong menjadi marah bukan kepalang karena kedua lawannya itu telah menemukan cara untuk melawan ilmunya. Tapi ia tidak putus-asa. Ilmu-ilmu tinggalan Bu-san-jit-kui yang telah dikuasainya bukan cuma Sam-kui-boan-goat saja, tapi masih ada beberapa jenis lainnya. Bayangan dua orang "Siangkoan Hong" lainnya kemudian semakin kabur dan akhirnya lenyap seperti tak pernah ada, menandakan bahwa Siangkoan Hong telah menyimpan ilmu anehnya itu.

Kini Siangkoan Hong menggunakan ilmu lainnya yang disebut Hoa-hiat-hian-im-hong (Angin Dingin Pembusuk Darah). Seketika itu juga di sekitar tubuh Siangkoan Hong bagaikan berjangkit pusaran angin yang dinginnya menusuk tulang, menggulung ke arah kedua lawannya, dan di antara desiran angin dingin itu samar-samar tercium pula bau busuk menusuk hidung. Bau racun!

Jika ilmu Sam-kui-boan-goan tadi lebih mengandalkan ilmu gaib yang sedikit diramu dengan ilmu silat, maka ilmu Hoa-hiat-hian-im-hong ini lebih merupakan ilmu campuran silat dan racun. Thian-sek dan Thian-cong tidak bisa menghadapinya sekedar dengan kekuatan batin, tapi harus benar-benar mengandalken lwe-kang murni hasil latihannya bertahun-tahun.

Begitulah, kedua rahib Go-bi-pay itu terlibat dalam adu ilmu tingkat tinggi melawan tokoh nomor dua di Hwe-liong-pang itu. Ratusan tahun yang lalu Bu-san-jit-kui merajalela di dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang sesat dan ganas itu, dan kini kedua rahib Go-bi-pay itu merasakan betapa hebatnya ilmu-ilmu tinggalan iblis-iblis itu.

Dalam pada itu, Thian-goan Hweshio sudah hampir berhasil menyelesaikan lawannya, yaitu Ya-hui-miao Kwa Tin-siong yang keadaannya sudah seperti telur di ujung tanduk itu. Sepasang pisau belati Kwa Tin-siong yang biasanya dimainkan dengan lincah itu, sekarang bagaikan terkurung oleh cahaya pedang panjang Thian-goan Hweshio yang menari-nari di udara bagaikan naga sakti mengamuk itu.

Kekalahannya hanyalah soal waktu saja, kemudian ia akan terkapar tak bernyawa seperti tubuh Cu Keng-wan yang sudah membeku itu. Sedangkan Thian-goan Hweshio sangat bernafsu untuk mengalahkan lawan secepat- cepatnya, sebab ia mencemaskan nasib kedua adik seperguruannya itu, karena Thian-goan Hweshio tahu benar sampai di mana bobot ilmu orang-orang yang duduk di pucuk pimpinan Hwe-liong-pang itu.

Thian-goan Hweshio pernah mengalaminya sendiri di sebuah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin, bagaimana hanya untuk mengusir Tong Wi-siang yang dalam keadaan tidak waras saja harus membutuhkan gabungan tenaga dari ia sendiri, Kiau Bun-han serta beberapa murid Go-bi-pay dan Hoa-san-pay, itupun dengan jatuhnya korban beberapa orang murid.

Suatu saat, dengan gerak tipu yang bagus Thian-goan Hweshio telah berhasil memaksa Kwa Tin-siong untuk melompat mundur, sambil menyilangkan sepasang pisaunya di depan dada untuk menjaga tusukan pedang rahib Go-bi-pay itu. Tapi tusukan Thian-goan itu ternyata cuma gerak pura-pura, yang kemudian benar-benar menyerang adalah kaki kirinya yang terayun ke atas dan tepat mengenai paha Kwa Tin-siong, membuat Tong-cu Hek-ki-tong itu terhempas ke tanah. Tanpa kenal ampun lagi Thian-goan Hweshio segera mengayunkan pedangnya ke bawah untuk menebas putus leher Kwa Tin-siong.

Kwa Tin-siong sadar sulit menghindar, dalam detik-detik terakhir itu dia memutuskan untuk mengajak mampus bersama lawannya. Ayunan pedang lawan tidak dihindarinya, melainkan dibarenginya dengan melemparkan sepasang pisaunya sekuat tenaga, yang satu ke arah perut si rahib, yang lainnya ke arah lehernya. Thian-goan Hweshio terkejut melihat kenekadan lawannya, cepat-cepat ia menarik tubuhnya untuk mengelak. Pisau yang mengarah lehernya bisa dihindari dengan memiringkan badan sambil agak menunduk, tapi yang ke arah perut tidak bisa dihindari sepenuhnya.

Biarpun tidak menancap di perut, tapi sempat melukai pinggangnya sebelum jatuh ke tanah. Sedang pisau yang tidak mengenai sasaran itu meluncur terus dan baru berhenti setelah hinggap di dada seorang murid Go-bi-pay yang kebetulan sedang berada di belakang Thian-goan Hweshio. Langsung saja si murid Go-bi-pay terjungkal mampus.

Thian-goan Hweshio menjadi murka ketika melihat lawannya yang sudah dapat dipastikan akan mampus itu masih juga sempat “mengambil” korban salah seorang muridnya. Sekali lagi Thian-goan Hweshio mengayunkan pedang panjangnya, dan kali ini Kwa Tin-siong tidak dapat berbuat apa-apa selain memejamkan matanya dan menunggu kematian. Tak ada daya lagi untuk melawan atau menghindari datangnya maut.

Tapi agaknya belum sampai di situ umur Kwa Tin-siong. Tiba-tiba segumpal benda hitam melayang deras dan tepat membentur pedang Thian-goan Hweshio itu. Begitu kerasnya lemparan benda itu, sehingga Thian-goan merasa lengannya tergetar keras, pedangnya pun hampir melompat lepas dari genggamannya. Jelaslah pelempar itu adalah orang yang memiliki tenaga dalam tingkat tinggi. Dan ketika Thian-goan Hweshio melihat apa yang dilemparkan membentur pedangnya itu, ternyata cuma selembar genteng yang kini telah pecah berserakan di tanah.

Kemudian berkelebatlah sesosok bayangan putih, dan tahu-tahu di depan Thian-goan Hweshio telah berdiri seorang tua yang mukanya jelek seperti kera, pipinya penuh bulu, sepasang tangannya panjang sampai ke lutut, dan sebilah cundrik terselip di ikat pinggangnya. Dengan tertawa lembut orang itu menyapa lebih dulu, "Selamat bertemu kembali, rahib sakti sahabatku...."

Thian-goan Hweshio pun agaknya telah mengenal juga orang bermuka kera itu, sikapnya menjadi serba salah, haruskah bersikap garang karena orang itu kini berdiri di pihak musuh, ataukah haruskah menyambut hangat pertemuan itu, sebab orang itupun pernah menjadi sahabatnya yang biarpun tidak begitu akrab tapi berkesan juga. Akhirnya Thian-goan Hweshio memutuskan untuk lebih dulu bersikap lunak. Sambil tertawa lebar rahib itu membalas pula sapaan si muka kera itu,

“Selamat bertemu kembali, sahabatku Ling Thian-ki. Sungguh tak terduga kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang seperti ini, entah kenapa kau berkeliaran sampai ke sini pula?"

Si muka kera itu, Ling Thian-ki yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Bertangan Seribu), menarik napas dalam-dalam, "Barangkali jawabanku akan mengejutkanmu, sahabat, aku adalah anggota Hwe-liong-pang, bahkan menduduki kursi sebagai Su-cia...”

Thian-goan Hweshio mengerutkan alisnya yang tebal seperti ulat bulu itu, "Kau anggota Hwe-liong-pang? Aku hampir tak percaya, aku tahu kegagahanmu dan sikap luhurmu, kenapa menjadi anggota perkumpulan iblis ini? Kau tentunya dijebak atau ditekan oleh mereka dan dipaksa menjadi anggota, bukankah begitu? Kalau begitu, mengingat persahabatan kita yang akrab, malam ini aku akan membebaskanmu dari cengkeraman iblis-iblis ini."

Ling Thian-ki menggeleng lemah sambil tersenyum pahit, "Kau salah duga, sahabat, aku tidak ditekan siapapun masuk ke Hwe-liong-pang, melainkan dengan sukarela karena aku berpendapat bahwa Hwe-liong-pang punya cita-cita luhur menyelamatkan rakyat dari kesengsaraan di bawah tindasan Kaisar Cong-ceng, maka harus didukung....”

"Sahabat Ling, apa-apaan bicaramu ini?" potong Thian-goan Hweshio dengan wajah mulai memerah.

"Sulit dijelaskan dalam waktu singkat. Tapi bagaimana kalau kita bertindak bersama-sama untuk menghentikan pertumpahan darah ini lebih dulu? Ajaklah kawan-kawanmu mengundurkan diri, dan akupun berusaha mengendalikan teman-temanku dan membujuk Thian-liong Hiang-cu, setelah itu kita bisa bicara panjang lebar sambil bermain catur seperti dulu lagi. Yang menjadi korban biarlah menjadi korban, tapi korban jangan bertambah lagi karena kesalah-pahaman yang tidak perlu ini, sahabat."

Hati Thian-goan Hweshio yang sudah mengeras dan terlanjur membenci Hwe-liong-pang itu agaknya tidak bisa lagi menerima penjelasan apapun. Meskipun ia kecewa dan sedih jika harus berhadapan dengan sahabatnya sendiri, namun tekadnya sudah bulat bahwa Hwe-liong-pang harus tertumpas malam ini juga. Sahut rahib itu, "Aku menyayangkan bahwa agaknya kita harus berselisih jalan di sini. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu, ada alasan yang sangat kuat dan bisa dipertanggung-jawabkan dalam penyerbuan ini."

"Dengarlah dulu, sahabat, pertempuran ini ada yang mendalangi...”

Tapi ucapan Ling Thian-ki itu terputus ketika Thian-goan Hweshio mengangkat pedangnya dan memotong dengan suara keras lagi, "Maaf, sahabatku, tidak ada jalan mundur lagi bagimu. Tetap bersama dengan Hwe-liong-pang dan kau akan dihancurkan oleh seluruh pendekar kaum lurus, atau keluar dari Hwe-liong-pang sebelum terlambat.”

Ling Thian-ki tertawa kecut, "Wah, kau menyudutkan aku. Tapi cobalah memahami bahwa Hwe-liong-pang kami bukan perkumpulan jahat seperti yang kalian sangka. Kami hanya bertujuan menggulingkan Kaisar Cong-ceng, bahkan kami siap mengajak teman-teman dari berbagai perguruan untuk bergabung dengan perjuangan kami, bergandengan tangan menumpas keangkaramurkaan di negeri ini."

"Kau sudah terbius oleh omongan muluk-muluk yang dijejalkan ke otakmu oleh iblis-iblis itu rupanya. Perjuangan apa? Hanya orang gila yang berani melawan Kaisar sedangkan ia memiliki ratusan ribu prajurit yang bersenjata lengkap. Akupun agaknya akan terbius oleh omongan manis ini jika tidak melihat sendiri kegilaan orang-orang Hwe-liong-pang yang pernah merajalela di mana-mana itu. Menumpas Sin-hou-bun sampai korban jiwanya mencapai dua ratus orang lebih, membunuh pemimpin Tiong-gi Piau-hang dan entah berapa lagi korban kalian. Yang paling gila, kalian telah pula berani menyerbu ke Siong-san...."

"Itu bukan kami! Dengar, itu bukan kami!"

Thian-goan Hweshio tertawa mengejek, "Sudah, jangan membantah lagi. Ingkarilah semua perbuatan kalian sampai bibirmu sobek, tapi kenyataan yang terjadi adalah bukti-bukti yang tak dapat dibantah lagi. Ling Thian-ki, sayang sekali kita bersimpang jalan, terpaksa penyelesaian harus melalui ujung-ujung senjata kita. Aku sudah bertekad bahwa malam ini juga Hwe-liong-pang harus terhapus dari muka bumi, supaya lenyap pula sebuah penyakit masyarakat yang membahayakan."

"Itulah kelemahanmu, Thian-goan Hweshio. Ilmumu tinggi, keberanianmu cukup, dan sifatmupun baik, kau terlalu sulit diajak bicara. Kau hanya mengandalkan penyelesaian di ujung senjata, sehingga kelak kau akan menyesali kekeliruan sikapmu kali ini."

“Tidak! Aku tidak akan menyesal, aku malahan akan berbangga. Kelak akan kuceritakan kepada murid-muridku dan cucu-cucu muridku, bahwa aku adalah salah seorang yang ikut menumpas sebuah perkumpulan iblis di Tiau-im- hong, perkumpulan yang didirikan oleh pewaris-pewaris ilmu Bu-san-jit-kui, iblis-iblis sesat itu!"

Ling Thian-ki menarik napas dengan hati kecewa. Sahabatnya itu sudah tidak bisa diajak bicara lagi agaknya. Sebenarnya dia segan bertempur dengan Thian-goan Hweshio, namun sudah tentu ia tidak bisa membiarkan pendekar Go-bi-pay itu mengamuk seenaknya dan membunuh-bunuhi orang-orang Hwe-liong-Pang tanpa batas. Sambil menarik badik yang terselip di pinggangnya, Ling Thian-ki menyahut, "Apa boleh buat. Aku berharap kelak pikiranmu akan terbuka.”

Thian-goan Hweshio juga telah mengangkat pedangnya setinggi dada dan berkata, "Akupun sedih kehilangan seorang teman sebaik kau, tapi apa boleh buat, perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran kadang-kadang memang menuntut pengorbanan perasaan."

Kemudian kedua bekas sahabat itu tidak berkata-kata lagi, keduanya siap dengan senjatanya masing-masing. Masing-masing juga tahu akan kepandaian satu sama lain, sehingga tidak berani bertindak lengah. Tepat seperti dugaan Ling Thian-ki, maka Thian-goan Hweshio yang berangasan itulah ternyata yang menyerang lebih dulu. Diiringi sebuah bentakan hebat, pedang Thian-goan mulai bergerak dengan jurus Liong-leng-hong-bu (Naga Melingkar, Burung Hong Menari).

Gerak yang penuh tipuan ini membuat arah serangan yang sebenarnya jadi kabur di mata lawan, sebab ujung pedang maupun tepi pedang seolah-olah menyerang bersama, seakan menusuk namun juga seperti membacok dan mengiris, sehingga batang pedang itu bagaikan hidup dan bergerak sendiri.

"Bagus, teman, ilmu pedangmu mendapat kemajuan pesat rupanya," seru Ling Thian-ki sambil melangkah mundur.

Thian-goan Hweshio tidak peduli lagi segala ucapan lawan. Begitu lawan mundur, menyusullah gerakan berikutnya Hui-in-ki-lo (Awan Melayang Naik Turun). Bentuk pedangnya telah lenyap karena cepatnya gerakan, sehingga yang nampak kemudian hanyalah segumpal cahaya keperak-perakan yang menggulung ke arah Ling Thian-ki dengan dahsyatnya.

Tapi Ling Thian-ki bukan lawan empuk yang setingkat dengan Kwa Tin-siong. Tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu melompat tinggi ke atas, dan kemudian dengan cepatnya telah menubruk ke arah Thian-goan Hweshio. Begitu tangannya bergerak, maka sesuai dengan julukannya sebagai Jian-jiu (Lengan Seribu), tampaklah berlapis-lapis bayangan tangannya dengan badik di ujungnya, serempak mencurah ke tubuh Thian-goan Hweshio.

"Kaupun maju pesat!" bentak Thian-goan Hweshio yang kagum juga melihat serangan balasan lawan sehebat itu. Tangkas sekali rahib itu melangkah mundur dan kemudian membalas lagi.

Begitulah, dua orang bekas sahabat baik yang pernah bahu-membahu menumpas kejahatan, kini terpaksa berhadapan sebagai dua lawan dan telah terlibat dalam pertempuran luar biasa hebatnya. Thian-goan Hweshio begitu tangguh bagaikan batu karang, tidak banyak bergerak namun pertahanannya sangat rapat, tapi bila bergerak diapun menyerang bagaikan gulungan ombak samudera yang mendebur-debur memecah pantai. Bergulung-gulung tak habis-habisnya.

Sedangkan Ling Thian-ki memiliki ilmu meringankan tubuh (gin-kang) yang lebih baik dari musuhnya. Bagaikan seekor tawon yang beterbangan mengitari tubuh lawan, ia menyusup dan menyergap dengan cepatnya ke sela-sela pertahanan lawannya, dan kemudian dengan cepatnya "terbang" menjauh pula. Sedang jika serangan lawan datang melabraknya, maka kelincahan Ling Thian-ki membuat tubuhnya seakan-akan hanyalah segumpal asap belaka yang tak dapat disentuh.

Bunuh membunuh itu berlangsung terus sampai langit sebelah timur telah merekah kemerah-merahan menandakan datangnya pagi. Hampir sepertiga bagian markas Hwe-liong-pang itu telah menjadi arang karena kebakaran yang ditimbulkan oleh orang-orang Hoa-san-pay itu, dan di antara puing-puing itu bergeletakanlah mayat-mayat dari kedua pihak yang menjadi korban pertempuran yang berlangsung semalam suntuk itu.

Yang masih hidup masih saja bertarung dengan penuh dendam, kejar-mengejar di antara lorong-lorong, tumpas-menumpas tanpa kenal ampun, pokoknya hari itu di Tiau-im-hong terjadilah "peragaan" sifat-sifat buruk manusia. Setelah pertempuran berjalan sampai hampir pagi, tampaklah bahwa keletihan sudah menghinggapi kedua belah pihak, namun siapapun tidak berani lengah, sebab lengah berarti akan mampus di ujung senjata lawan.

Dalam keadaan seperti itu, nampaklah bahwa daya tahan tubuh orang-orang Hwe-liong-pang lebih baik dibandingkan murid-murid berbagai perguruan. Meskipun merekapun nampak lelah, tapi murid-murid berbagai perguruan lebih lelah lagi. Agaknya latihan-latihan digiatkan di Hwe-liong-pang setiap pagi dan sore, menampakkan hasilnya dalam pertempuran ini.

Selain itu, jumlah orang-orang Hwe-liong-pang lebih banyak, sehingga maksud para pendekar untuk menumpas Hwe-liong-pang itu nampaknya tak akan tercapai, bahkan mereka sendiri yang terancam untuk tertumpas habis di markas Hwe-liong-pang, kandang serigala-serigala yang marah karena sarangnya diganggu itu.

Di antara lima perguruan yang menyerang Tiau-im-hong itu, perguruan Tiam-jong-pay lah yang mengalami nasib paling buruk. Begitu menyerbu masuk ke sarang musuh, mereka langsung terkepung oleh dua kelompok Hwe-liong-pang, yaitu Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) di bawah pimpinan Oh Yun-kim serta Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) pimpinan Lu Siong.

Lalu, bagaikan serombongan bebek yang jinak saja, rombongan Tiam-jong-pay ini berhasil "digiring" memasuki sebuah lorong dalam markas itu, dan kemudian dijepit dari dua arah oleh Lu Siong dan Oh Yun-kim beserta kelompoknya masing-masing.

Kedua sahabat yang masing-masing berjuluk Jian-kin-sin-kun dan Bu-ing-tui ini bukanlah orang-orang penyabar dalam menghadapi musuh, sudah lama mereka jengkel kepada orang-orang berbagai perguruan yang memandang rendah Hwe-liong-pang itu, dan mereka diam-diam juga tidak setuju akan upaya perdamaian Hong-goan Hweshio yang dianggapnya mengemis belas-kasihan musuh dengan mengorbankan harga diri itu.

Apalagi malam ini, setelah pihak musuh terang-terangan menyerbu dan malahan membakar markas, maka Lu Siong dan Oh Yun-kim berpendapat tidak perlu perdamaian lagi. Sikap itulah yang melandasi tindakan mereka saat itu, sehingga tanpa ampun mereka melabrak orang-orang Tiam-jong-pay.

Sebaliknya pihak Tiam-jong-pay juga sadar bahwa mereka sudah tidak mungkin lagi keluar hidup-hidup dari tempat itu, mereka juga tidak mengharapkan pertolongan dari siapapun sebab orang-orang Kun-lun-pay, Hoa-san-pay, Go-bi-pay dan Ki-lian-pay juga sedang sibuk di arenanya masing-masing.

Karena itulah orang-orang Tiam-jong-pay yang terkurung di lorong itu bagaikan binatang-binatang buas yang tersudut, bertempur dengan nekadnya tanpa peduli lagi mati hidup diri sendiri. Dipimpin oleh pemimpin mereka, Lam-i-hui-hou Ki Im-kok, mereka memaksa pihak Hwe-liong-pang harus berhati-hati dengan ujung-ujung senjata yang menyambar-nyambar tak terkendali itu.

Tapi betapapun juga, jumlah yang sangat seimbang merupakan soal yang menentukan jalannya pertempuran pula. Pihak Tiam-jong-pay jauh lebih sedikit dibandingkan Hwe-liong-pang yang terdiri dari dua kelompok itu, selain itu juga daya tahan orang-orang Hwe-liong-pang setingkat lebih baik dari lawannya, hasil latihan-latihan berat belakangan ini.

Maka satu demi satu murid-murid Tiam-jong-pay mulai berguguran secara ksatria, setelah melawan sampai titik darah terakhir, semuanya jatuh dengan luka di tubuh lebih dari satu. Tak satupun yang mengeluh atau merengek, masing-masing sadar bahwa nama perguruan mereka dipertaruhkan dalam pertempuran itu.

Melihat sikap jantan dari lawan-lawannya itu, mau tidak mau pihak Hwe-liong-pang kagum juga dan menaruh hormat kepada lawan-lawan mereka. Oh Yun-kim yang tengah bertarung dengan Ki Im-kok itu lalu berkata, "Kalian benar-benar lelaki-lekaki sejati yang hebat, sayang sekali kalau kalian mati hanya karena kesalahpahaman yang tak berarti. Tapi kalian harus dihukum karena telah menyerbu dan membakar markas kami. Aku menawarkan kesempatan untuk menyerah kepada kalian. Barangkali akhir dari peristiwa ini akan lebih baik daripada kalian mati tertumpas di lorong ini, sedang kami juga tidak perlu membunuh orang-orang yang sebenarnya bukan musuh kami."

Ki Im-kok yang sekujur tubuhnya sudah nyeri karena terkena beberapa kali tendangan Oh Yun-kim itu, ternyata seorang yang keras kepala, dan dengan geram menjawab tawaran Oh Yun-kim itu, "Menyerah hanya perbuatan pengecut. Kami berhenti melawan jika nyawa kami sudah berpisah dari tubuh kami."

"Kau kehilangan pikiran jernihmu. Apakah kau juga akan mengorbankan anak buahmu dengan semboyan yang sok jantan itu?"

"Anak buahku tidak merasa dikorbankan. Semuanya dengan bangga dan pasrah telah siap menyelesaikan kewajiban ksatria ini, kewajiban untuk menumpas kaum iblis seperti kalian ini, meskipun harus mengorbankan nyawa sendiri."

“Kau benar-benar seorang yang takabur tetapi tolol. Kebanggaanmu itu hanya kebanggaan semu, namun bagi kami tidak lebih dari kekonyolan yang tidak lucu, sebab yang kau namakan menuaikan kewajiban ksatria itu tidak lebih tidak kurang hanya karena kalian ditipu oleh pihak yang mengadu-domba kita. Kematian kalian juga bukan kematian pahlawan, tapi kematian orang-orang tolol berotak kerbau yang dengan mudah diperalat untuk kepentingan orang lain."

"Persetan!" Ki Im-kok yang sudah kalap itu menerjang dengan pedangnya.

Tapi Oh Yun-kim dengan gesit mengelak ke samping, bersamaan dengan itu kaki tangannya terangkat secepat kilat, dan tumitnya menghunjam keras ke lambung Ki Im-kok, membuat Ki Im-kok menyeringai kesakitan dan melelehkan darah dari mulutnya. Tapi dasar keras kepala, orang she Ki itu bangkit kembali dan menerjang lagi dengan ganasnya. Oh Yun-kim yang sudah kehabisan kesabaran itu akhirnya memutuskan untuk lebih dulu menaklukkan pemimpin Tiam-jong-pay ini sebelum memaksa anak buahnya untuk menyerah.

Serangan-serangan Ki Im-kok yang sudah tidak menghiraukan lagi gerak-gerak dasar ilmu silat itu, dengan mudah dielakkan terus oleh Oh Yun-kim, sementara tendangan kilat dari si orang Korea ini juga berkali-kali berhasil menyusup ke pertahanan lawan dan mengenai pelipis, rahang, dagu, dada, rusuk, lambung, perut, dan kadang-kadang juga menghantam sambungan lutut atau betis si harimau Tiam-jong-pay itu, membuatnya berguling-guling di tanah.

Namun setiap kali bangkit kembali dan menyerang lagi dengan kalapnya. Tapi tendangan-tendangan Oh Yun-kim itu bukannya tidak ada akibatnya sama sekali, sebab tendangan yang sangat terlatih itu bagaikan palu baja yang berkali-kali mengenai secara telak, sehingga bagian dalam tubuh Ki Im-kok telah mengalami luka parah, meskipun tidak terlihat. Dalam geramnya, Oh Yun-kim kemudian meluncurkan sebuah Coan-sim-tui (Tendangan Penembus Jantung) yang keras.

Kali ini habislah perlawanan Ki Im-kok. Ia terkapar jatuh dan tidak bisa bangklt lagi, namun ia masih sempat berteriak kepada anak buahnya, "Jangan menyerah!" kemudian pedangnya digorokkan ke lehernya sendiri dan habislah riwayat jago Tiam-jong-pay itu.

Oh Yun-kim memandang tubuh lawannya itu dengan sedih, sambil bergumam sendiri, “aku tidak tahu apakah harus mengagumi keberanianmu atau memaki ketololanmu? Tapi yang terang aku yakin kau bertindak seperti ini."

Kematian Ki Im-kok itu tidak mengendorkan perlawanan murid-murid Tiam-jong-pay, malahan membuat mereka semakin nekad, perbuatan mereka memang lebih mirip bunuh diri dengan meminjam senjata lawan. Seruan-seruan yang diteriakkan oleh Lu Siong dan Oh Yun-kim agar mereka menyerah saja, ternyata tidak dihiraukan sama sekali.

Akibatnya memang parah. Sebelum fajar merekah di sebelah timur, tidak seorangpun murid Tiam-jong-pay yang masih hidup. Mayat-mayat mereka bergelimpangan di lorong itu dengan mata masih terbuka lebar dan tangan masih menggenggam erat-erat senjata mereka.

Oh Yun-kim dan Lu Siong yang telah menyelesaikan tugas di tempat itu, segera mengajak kelompoknya masing-masing untuk pergi ke bagian lain untuk membantu rekan-rekan mereka yang mungkin lebih membutuhkan pertolongan. Ketika diadakan perhitungan korban di pihak Hwe-liong-pang, ada belasan orang gugur dan belasan lagi luka-luka.

Melihat sejumlah tubuh-tubuh tak bernyawa itu, Lu Siong menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Sebenarnya korban di kedua pihak dapat dihindari."

Oh Yun-kim menyahut, “Ya, tapi perguruan atau perkumpulan manakah yang rela jika markasnya diobrak-abrik dan dibakar? Bahkan bukan hanya perguruan atau perkumpulan, tapi setiap lelaki tidak rela jika rumahnya yang menjadi tempat bernaung anak isterinya itu diganggu orang. Masalahnya bukan cuma membela setumpuk batu bata direkat semen atau sesusun genteng, tapi membela harkat sebagai pribadi maupun nama baik perkumpulan kita. Apa kata orang jika mendengar Hwe-liong-pang diobrak-abrik markasnya tanpa berbuat apa-apa? Dapatkah perjuangan yang kita gembar-gemborkan dan kita mintakan dukungannya dari rakyat itu dipercaya oleh orang banyak, jika rumah kita kita sendiripun kita tak berani membela?"

Makin banyak bicara, Oh Yun-kim semakin bergejolak perasaannya, sehingga kalimat terakhir itu kedengarannya seperti membentak-bentak. Melihat itu, Lu Siong tertawa sambil menepuk pundak sahabatnya itu, "He, kenapa kau malahan membentak-bentak dan melotot kepadaku? Bukankah khotbahmu itu seharusnya kau tujukan kepada orang-orang yang menyerang kita itu dan bukan kepadaku?”

Gurauan Lu Siong itu rupanya agak memadamkan gejolak perasaan Oh Yun kim, dan suaranya menurun lebih lunak, "Ya, mereka sebagai pendekar-pendekar yang mengaku bijaksana itu seharusnya sudah tahu hal ini tanpa perlu diberitahu oleh siapapun. Banyaknya korban di pihak mereka bukan salah kita, sebab kita diserang dan kita harus bertahan."

Biarpun Lu Siong itu bertubuh besar, berkulit hitam dan nampak gombloh, namun sebenarnya dia punya otak yang terang dan berhati lembut pula. Ucapan terakhir dari Oh Yun-kim itu membuat Lu Siong berhasil menarik kesimpulan kenapa sahabatnya itu berbicara keras dan seolah-olah kehilangan keseimbangan perasaan itu. Rupanya hati kecil Oh Yun-kim tersentuh juga ketika melihat pembunuhan tak habis-habisnya itu.

Melihat bagaimana empat puluh orang murid-murid Tiam-jong-pay yang tadinya segar bugar itu kini telah berubah menjadi empat puluh sosok mayat beku tanpa nilai apapun, nilai keberanianpun tidak, lebih tepat disebut kekonyolan, sebab mereka hanya bertempur membabi-buta berdasar keputus- asaan. Jadi seakan-akan Oh Yun-kim sedang menyusun suatu alasan untuk membenarkan perbuatannya sendiri, mempertahankan diri dari tuduhan hati kecilnya sendiri.

Lu Siong memahaminya, sebab gejolak di dadanya sendiri juga sama dengan gejolak di dada sahabatnya itu. Katanya, "Kita membunuh karena terpaksa, sahabat, apa yang kau rasakan itu aku rasakan pula, karena kita bukan manusia berhati batu yang tak tersentuh sedikitpun melihat kemalangan sesama. Percayalah, mayat-mayat ini juga memedihkan hatiku."

Oh Yun-kim mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku paham siapa kau.”

Keduanyapun beriringan meninggalkan tempat itu. Meskipun kepala masih tegak dan dada masih membusung, tapi hati sudah luruh seti ? tolongan. Namun Oh Yun-kim dan Lu Siong tidak lupa meninggalkan sekelompok kecil anak buah mereka untuk mencoba menolong siapapun yang masih bisa ditolong, tidak peduli dari pihak Tiam-jong-pay sekalipun. Betapapun kemarahan pernah menguasai dada mereka karena serangan musuh yang disertai pembakaran itu, tapi luruh juga hatinya ketika melihat tubuh-tubuh bergelimpangan, meskipun tubuh musuh.

"Bukan kemauan kita semuanya ini terjadi," desis Lu Siong.

Oh Yun-kim mengangguk-angguk mengiakan sahabatnya itu, "Ya, kita sedang tidur di rumah kita sendiri, dan mereka datang menyerbu begitu saja. Laki-laki yang punya harga diri di manapun saja, pasti mempertahankan tempat bernaungnya, seperti lebah pun mengamuk jika sarangnya dilempari batu. Tapi pembunuhan ini memang bukan tujuan kita, hanya sebagal akibat sampingan yang tak terelakkan."

"Ya. Aku dengar tadi kau sudah berteriak untuk menyerukan kepada mereka agar menyerah. Tapi mereka lebih suka memilih mati."

"Keberanian atau kekonyolankah ini?”

"Aku tidak tahu, barangkali gabungan antara keduanya."
* * * * * * *

TIDAK lama kemudian, ayam hutan-pun berkokok untuk ketiga kalinya di kejauhan. Pertempuran di markas Hwe-liong-pang belum selesai, meskipun keadaan sudah sangat berat sebelah karena pihak Hoa-san-pay dan kawan-kawannya kalah dalam Jumlah maupun dalam hal kesegaran jasmani murid-muridnya dibandingkan anggota-anggota Hwe-liong-pang yang setiap pagi dan sore berlari- lari di lereng-lereng terjal Tiau-im-hong itu.

Para pemimpin perguruan yang masih hiduppun menyadari hal itu, mereka akan konyol bila nekad bertahan di tempat itu. Tidak akan ada sebutan “Pahlawan” bagi mereka, sebab mereka membakar dan merusak mirip perampok. Diam-diam Kiau Bun-han sebagai pemimpin dan otak semua gerakan itu, merasa menyesal juga karena ketergesa-gesaannya dia telah salah memperhitungkan lawan.

Tadinya ia mengira di Hwe-liong-pang hanya ada satu orang berilmu tinggi, yaitu Tong Wi-siang, sedang lain-lainnya cuma jago-jago kelas menengah saja. Tapi kenyataannya jauh dari perhitungannya. Biarpun Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak selihai Tong Wi-siang, tapi cukup merepotkan lawan juga. Sedang para Tong-cu Hwe-liong-pang itu ternyata kepandaiannya rata-rata sama dengan ketua-ketua perguruan penyerbu, apalagi kedua Su-cia itu.

Akhirnya Kiau Bun-han memutuskan untuk mundur saja dan mencari kesempatan lain. Meskipun secara pribadi Kiau Bun-han tidak terdesak, karena sehebat-hebatnya Auyang Siau-pa masih belum melampaui tingkatan tokoh pertama Hoa-san-pay itu, namun Kiau Bun-han memikirkan juga nasib murid-muridnya yang satu demi satu berguguran di ujung senjata musuh.

Demikianlah, dengan sebuah suitan nyaring, Kiau Bun-han memberi isyarat kepada rombongannya untuk mundur. Isyarat itupun bersambung dari satu tempat ke tempat lain, dan diharapkan orang-orang Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan yang lain-lainnya dapat mendengarnya pula.

Sedang pihak Hoa-san-pay sendiri agaknya mempunyai semacam ilmu yang digunakan dalam keadaan terjepit atau untuk mundur secara darurat. Terdengarlah Kiau Bun-han berseru kepada murid-muridnya yang jumlahnya tinggal separoh itu, "Bentuk Liok-hap-kiam-tin (Barisan Pedang Enam Arah), berusaha tinggalkan tempat ini!"

Murid-murid Hoa-san-pay yang tadinya bertempur berpencaran itu tiba-tiba berloncatan meninggalkan lawannya masing-masing, kemudian bergabung dengan teman-temannya, tiap kelompok terdiri dari enam orang dan membentuk barisan segi enam. Dalam sekejap saja di tempat itu telah terbentuk empat buah kelompok dengan masing-masing enam anggota.

Barisan khas Hoa san-pay itu bukan hanya dapat digunakan di tempat yang rata dan luas, tapi juga di tempat sempit dan tidak rata seperti tempat itu. Kiau Bun-han, Yo Ciong-wan, Lim Sin dan Auyang Seng juga telah melepaskan diri dari lawannya masing-masing dan bergabung dengan masing-masing kelompok.

Pihak Hwe-liong-pang kebingungan melihat lawan yang jauh lebih sedikit itu tiba-tiba membentuk barisan segi enam yang begitu rapat dan gerakannya membingungkan itu. Tak terkecuali pemimpin-pemimpinnya seperti Hong-goan Hweshio, Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa juga tak tahu apa yang harus mereka perbuat menghadapi barisan lawan. Untunglah barisan itu memang cuma untuk bertahan, bukan untuk menyerang, sehingga orang-orang Hwe-liong-pang tidak menjadi korban karena kebingungannya itu.

Karena tidak tahu cara menghadapi barisan itu, maka Hong-goan Hweshio hanya berteriak-teriak, "Tenang! Tetap tenang! Ambil jarak! Jangan sampai lolos!"

Sebaliknya Kiau Bun-han menjadi lega melihat kepanikan di pihak Hwe-liong-pang itu, kesempatan itu tidak disia-siakannya, segera dia mulai berteriak lagi, "Kelompok pertama loncat ke dinding, lindungi kelompok berikutnya dengan senjata rahasia!"

Kelompok pertama yang dipimpin Auyang Seng segera "beterbangan" ke atas dinding, dan begitu tiba di atas dinding merekapun segera menghamburkan senjata-senjata rahasia yang bermacam-macam bentuknya. Thi-lian-ci (Biji Teratai Besi), hui-to (Pisau Terbang), Bintang Besi Pipih dan sebagainya.

Setelah orang Hwe-liong-pang keripuhan menangkis senjata-senjata itu, kelompok demi kelompok orang-orang Hoa-san-pay itu berhasil meloncati dinding dan meninggalkan tempat itu dengan selamat....

Selanjutnya;
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.