Kemelut Tahta Naga II Jilid 06
Karya Stevanus S P
Si perwira yang dipeluk itu meronta sekuatnya ingin lepas, tapi lengan-lengan yang memeluknya terlalu kuat, lengan milik para pegulat. Perwira itu jadi nekad, pegangannya pada tangkai senjatanya dibalik, lalu senjata itu sekuat tenaga ditikamkan keperutnya sendiri sambil berteriak histeris, "Hidup Goan-swe Ni Keng Giau!"
Dan senjatanya itu bukan cuma menembus perutnya sendiri, tapi juga masuk ke perut anggota Hiat-ti-cu yang memeluknya dari belakang. Si Hiat-ti-cu itupun berteriak marah, "Mampuskan semua pembangkang!"
Keduanya roboh berdempetan seperti sate raksasa. Pengikut setia Ni Keng Giau dan pengikut yang tidak kalah setianya dari Kaisar Yong Ceng. Ironisnya Kaisar Yong Ceng maupun Ni Keng Giau adalah saudara seperguruan, sama-sama murid Pun-bu Hwe-shio dari Siau lim-si, dan sama-sama pernah menumpas perguruan mereka sendiri.
Sementara itu, Hiat-ti-cu yang berhasil melompat keluar jendela itupun ternyata gagal melanjutkan langkahnya. Biarpun sudah sampai diluar, namun sebatang tombak yang dilemparkan sekuat tenaga oleh seorang perwira telah "menyusulnya", si Hiat-ti-cu itupun roboh dengan tombak di punggung. Tapi perwira pelempar tombak juga terbantai oleh tangan Hap To sendiri.
Pertempuran antara dua kelompok fanatik itu jadi amat berdarah. Kedua pihak sama kalapnya. Jendela dan pintu dipertahankan dan diperebutkan, seolah dua pasukan memperebutkan sebuah pos strategis. Karena sengitnya, belum ada seorangpun anggota Hiat- ti-cu yang berhasil keluar, namun korban di pihak para perwira jatuh lebih banyak.
Hap To tidak sabar lagi melihat semuanya itu. Tiba-tiba ia melompat lurus ke atas, seolah hendak membenturkan kepalanya sendiri ke langit-langit ruangan. Tapi kemudian kedua tangannya diangkat, dan sekuat tenaga menghantam langit-langit. Terdengar suara gemuruh hebat ketika langit-langit serta atapnya sekalian jebol dan berlubang besar. Lalu tubuh Hap To bagaikan seekor burung saja telah melesat keluar lewat lubang itu. Ia hendak mengejar kedua perwira yang sempat lolos tadi.
Tapi malam begitu gelap, dan di antara ratusan lorong-lorong kota Pak-khia itu, kemana bisa mencari kedua orang perwira tadi? Hap To mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, bagaikan beterbangan saja, ia melayang di atas atap-atap rumah sambil menebarkan pandangannya yang amat terganggu oleh gelapnya malam.
Akhirnya komandan regu Hiat-ti-cu itu dengan gemas harus menghentikan pengejarannya yang tanpa hasil. Kiranya selama selisih waktu yang terbuang untuk melawan pengikut-pengikut Ni Keng Giau itu telah memberi kesempatan kepada perwira yang lolos tadi untuk Iari sejauh-jauhnya atau bersembunyi serapat-rapatnya.
Kemudian Hap To menemukan cara penyelesaian yang gampang-gampang saja. Tidak peduli malam sudah larut, ia akan membangunkan Hap Lun, saudara sepupunya yang menjabat sebagai panglima Kiu-bun Te-tok (garnisun ibukota). Akan dimintanya tolong agar malam itu juga mengerahkan pasukannya untuk menutup semua jalan keluar dari Pak-khia, sekaligus mengadakan penggeledahan besar-besaran di seluruh kota, meskipun ketenangan kota akan terusik hebat. Tubuhnyapun berkelebat bagai kilat, menuju ke rumah saudara sepupunya itu.
Sementara itu, dua perwira yang lolos dari pembantaian kaum Hiat-ti-cu itu, Oh Bun Kai dan Bhe Hong Tek, telah menemukan tempat persembunyian aman tapi tidak di rumah mereka masing masing. Mereka tahu kalau rumah mereka sudah bukan lagi tempat yang aman.
"Bagaimana kita sekarang?"
"Tinggal adu cepat dengan kaki-tangannya Liong Ke Toh, tidak boleh terlambat sedikitpun. Saudara Bhe, kau tetap di Pak-khia dan cari hubungan dengan orang-orang yang bersimpati kepada Goan-swe Ni Keng Giau, galang kekuatan dengan mereka di Pak-khia ini untuk menyambut kembalinya Goan-swe dari Jing-hai. Sedang aku akan berusaha menyelundup keluar kota, menyongsong Goan-swe dalam perjalanan pulang untuk beritahu dia situasi yang membahayakan baginya di Pak-khia ini. Setuju?"
"Baik. Kau sendiri hati-hatilah, saudara Oh. Mungkin harus mempertaruhkan nyawa dalam usaha keluar dari kota, begitu pula sepanjang perjalanan."
"Kau juga hati-hati, saudara Oh. Selagi kita yang berkumpul di rumah Pui Toa-ko, rasanya setiap orang bersikap meragukan. Karena itu, hati-hatilah memilih orang yang akan kau hubungi. Jangan sampai keliru menghubungi orang yang malahan anteknya Liong Ke Toh, nanti nyawamu sendiri yang terancam."
"Saat seperti ini memang bukan saatnya membuat pertimbangan yang bertele-tele. Pokoknya bertindak cepat. Kalau berhasil, ya berhasil, kalau gagal ya gagal, dan mampus. Tapi kita puas bisa membela Goan-swe Ni Kong Giau."
Sesaat kedua lelaki itu saling genggam tangan dengan erat, saling membesarkan tekad masing-masing. Lalu mengendap-endap keluar dari persembunyian mereka dan berpencaran membawa tugas masing-masing. Anak-bini di rumah tak terpikir lagi. Tak mereka ketahui pula pertempuran di rumah Pui Cjong sudah berakhir dengan kemenangan di pihak Hiat-ti-cu. Kemenangan yang berharga mahal, sebab para Hiat-ti-cu yang hidup tinggal tiga orang. Sedang di pihak para perwira Ni Keng Giau, yang hidup tinggal nol orang.
Para Hiat-ti-cu, seperti biasanya, kemudian mulai mengganas terhadap seisi rumah Pui Ciong. Para pelayan, bahkan nenek Pui Ciong yang sudah berusia sembilanpuluh tahunpun dibasmi tanpa ampun. Setelah itu, api dilepaskan untuk membakar rumah, dan menghilangkan semua jejak. Dan tidak lama kemudian, tanpa menunggu sampai pagi, pasukan Kiu-bun Te-tok pun mulai bergerak di seluruh kota ketika Hap Lun sudah dibangunkan oleh Hap To.
Perajurit-perajurit yang dalam keadaan masih mengantuk dibangunkan dan diberi tugas malam-malam seperti itu, tentu saja jadi lebih tidak ramah dari biasanya. Penggeledahan dilakukan dengan kasar. Pintu-pintu rumah yang diketuk dan tidak segera dibuka pun lalu didobrak. Gamparan tangan dan gebukan gagang tombak diobral. Penduduk jadi banyak berkorban uang, gigi rompal, kuping jadi budeg sebelah atau jidat benjol.
Namun kedua perwira pengikut Ni Keng Giau yang lolos dari pembantaian itu tak berhasil diketemukan Ketika Hap To melaporkannya kepada Kaisar Yong Ceng, dia mendapat teguran pedas, namun untunglah tidak sampai dihukum mati. Dalam usahanya menyingkirkan Ni Keng Giau. Kaisar Yong Ceng mengharap punya kekuatan di pihaknya. Maka ia khawatir kalau sampai menghukum Hap To di saat dibutuhkan seperti itu, banyak bawahannya yang lain akan merosot semangatnya.
Namun Hap To diharuskan meningkatkan pengawasan di seluruh Pak-khia agar jangan sampai ada gejolak yang merugikan rencana Kaisar. Setiap desas-desus yang tidak menguntungkan, haruslah dicari sumbernya dan dibungkam secepatnya, dan untuk itu Hap To diberi hak untuk menggunakan "cara sekeras apapun" dengan catatan tambahan "asal tidak menyolok di permukaan".
Dan dengan usul Liong Ke Toh, rencana menjatuhkan Ni Keng Giau itu akan dipercepat pelaksanaannya. "Ini perlu, Tuanku. Terlalu berbahaya kalau Ni Keng Giau lebih dulu sampai diberi kabar oleh pengikut-pengikutnya, lalu timbul pikirannya untuk berontak, pada hal di tangannya masih tergenggam kekuasaan atas pasukan yang begitu besar."
"Jadi bagaimana, Paman?"
"Pelaksanaan rencana dipercepat. Tidak usah menunggu sampai dia kembali ke Pak-khia, tapi di tengah perjalanan pulangnya dari Jing-hai. Jadi kalau ada tanda-tanda dia curiga dan akan membangkang, kita di sini masih punya wak tu untuk bersiap. Kalau sampai dia ada di Pak-khia dengan pasukannya, wah berbahaya sekali kita."
Pasukan besar Ni Keng Giau meninggalkan Jing-hai dengan membawa kemenangan besar, meskipun harus meninggalkan ratusan ribu mayat di padang rumput itu. Mayat lawan maupun kawan. Ketika pasukan itu tiba di kota Ling-he, Ni Keng Giau memerintahkan untuk berhenti.
Namun kota Ling-he yang kecil itu tidak bisa menampung pasukan yang berjumlah begitu besar, sehingga pasukan itu harus beristirahat di luar kota. Hanya Ni Keng Giau dan perwira-perwira berpangkat Cam-ciang ke atas serta regu pengawal Ni Keng Giau, yang memasuki kota. Walikota Ling-he sudah menyediakan tempat di gedung Balaikota.
Baru satu hari pasukan itu istirahat di Ling-he, tiba-tiba datanglah utusan dari Pak-khia, yang mengaku membawa Titah Kaisar untuk Ni Keng Giau. Maka di aula Balikota Ling-he, Ni Keng Giau, Kim Seng Pa dan para perwira tinggi, menyambut pembawa Titah Kaisar itu dengan berlutut, seolah berhadapan sendiri dengan Kaisar. Utusan Kaisar itu dengan gagah berdiri, membuka gulungan satin kuning yang bercap kekaisaran, dan mengumandangkan huruf demi huruf yang tertera di atasnya.
"Titah Yang Dipertuan Sang Putera Langit! Karena jasa-jasanya yang tak terhingga bagi tegaknya negara, Yang Dipertuan Sang Putera Langit menganugerahkan gelar kebangsawanan It-teng-kong kepada Ceng-se Tai-ciang-kun Ni Keng Giau! Selain itu, juga berkenan menganugerahkan wilayah Siam-sai dan Se-cuan sebagai wilayah turun-temurun bagi anak- cucunya."
Dan masih ada kata-kata sanjungan memabukkan lainnya. Biarpun masih berlutut, rasanya hati Ni Keng Giau sudah melonjak-lonjak karena kegembiraan yang tiba-tiba membanjiri hatinya. Anugerah yang tak terduga, padahal tadinya ia sudah khawatir kalau Kaisar meragukan laporannya tentang Pangeran In Te dan menghukumnya.
"Ternyata kepercayaan Sribaginda kepadaku tidak berkurang," pikirnya dengan lega. Ia membayangkan betapa akan menjadi mangkubumi di Siam-sai dan Se cuan, memiliki wilayah sendiri, pasukan sendiri, peraturan pajak sendiri, dan paling-paling setahun sekali ia harus menghadap Kaisar di Pak-khia untuk memperbaharui sumpah setianya sambil mempersembahkan upeti. Apalagi wilayah Siam-sai dan Se-cuan dikenal subur, maka tak terhingga anugerah yang dite rimanya itu.
Yang berlutut tepat di sebelah Ni Keng Giau adalah Kim Seng Pa, yang bukan main kagetnya mendengar isi Titah Kaisar yang demikian itu. Hampir saja ia menangis meraung-raung mendengar orang yang dibencinya itu mendapat kedudukan begitu tinggi. Apakah berarti laporannya kepada Kaisar yang menjelek jelekkan Ni Keng Giau itu tidak dipercayai oleh Kaisar? Kalau Ni Keng Giau diberi gelar bangsawan dan diberi wilayah, lalu dirinya sendiri mendapat apa? Mungkinkah dalam sisa umurnya yang tidak banyak lagi itu, ia akan terus-terusan menjadi komandan Ci-ih Wi-kun saja?
Namun ia terus berlutut dengan patuh, mendengar si Utusan Kaisar yang belum selesai membacakan. Dengan penuh harap Kim Seng Pa masih menunggu kalau-kalau dirinyapun disebut untuk mendapat suatu anugerah. Ternyata sampai si Utusan Kaisar berseru.
"Demikianlah titah Yang Dipertuan Agung, Sang Putera Langit!"
Nama Kim Seng Pa tidak disebut sama sekali. Seolah Kaisar sudah lupa kalau punya seorang bawahan yang namanya Kim Seng Pa. Kekecewaan yang amat dahsyat menyerbu jiwa Kim Seng Pa. Selesai pembacaan, semua yang berlutut serempak menyerukan penghormatan terhadap Kaisar,
"Ban-swe! Ban-swe!"
”Ban-swe! Ban- swe!" suara Kim Seng Pa terdengar agak terlambat, juga bernada parau dan menyayat hati.
Sebaliknya bagi Ni Keng Giau, belum pernah seumur hidupnya mendengar suara se "merdu" itu. Ia melirik sekejap ke arah Kim Seng Pa sambil melontarkan senyuman mengejek.
Utusan Kaisar menggulung satin kuning bercap itu, dan berkata, "Ni Goan swe, terimalah....."
Ni Keng Giau bangkit dari berlutut nya, lalu dengan sikap hormat menerima gulungan itu dengan kedua tangannya. Katanya. "Kim-che Tai-jin (Tuan Utusan), kalau besok pagi atau kapan saja Tai-jin pulang ke Pak-khia, tolong sampaikan sembah sujudku dan rasa terima kasihku yang tak terhingga kepada baginda. Katakan, bahwa hambanya yang hina sedang kembali ke Pak-khia untuk mempersembahkan kejayaan ke bawah duli Sribaginda."
Kim-che Tai-jin mengangguk sambil tersenyum lebar. "Aku akan menyampaikannya, Goan-swe. Dan akupun secara pribadi mengucapkan selamat kepada Goan- swe."
“Terima kasih."
"Selain itu, Goan-swe, ada sebuah pesan pribadi dari Sribaginda yang khusus untuk Goan-swe sendiri.”
"Aku sediakan waktu untuk itu, Tai-jin, kapanpun Tai-jin menghendakinya," kata Ni Keng Giau dalam semangatnya kegembiraannya yang meluap-luap.
"Tidak usah terburu-buru, Goan-swe. Nanti juga bisa. Sekarang lihatlah, banyak orang menunggu kesempatan untuk mengucapkan selamat kepada Goan-swe. Jangan biarkan mereka menunggu terlalu lama."
Keakraban antara Ni Keng Giau dan si Kim-che Tai-jin, juga percakapan mereka, seolah semuanya sengaja diperagakan untuk menyakiti hati Kim Seng Pa. Setidak-tidaknya begitulah perasaan Kim Seng Pa sendiri, membuat jago tua itu jadi merasa agak tersia-sia. Namun suka atau tidak suka, Kim Seng Pa kemudian memasang topeng senyumnya untuk memberi selamat kepada Ni Keng Giau, diikuti perwira-perwira lainnya dan Walikota Ling-he sendiri.
Tidak sedikit yang menyusun sanjung-pujian seperti deklamasi yang menggidikkan bulu tengkuk, dengan harapan akan "ke cipratan rejeki" dari si calon mangkubumi wilayah Siarn-sia dan Se-cuan itu. Sedang Kim Seng Pa terlalu singkat mengucapkan selamatnya, lalu dengan alasan "tubuhnya masih lelah" dia mohon diri dari ruangan itu, untuk kembali ke perkemahan perajurit di luar kota Ling-he.
Walikota Ling-he buru-buru menyusul langkahnya dan berkata, "Kim Cong-koan, kenapa harus tidur di perkemahan? Cong-koan sudah kusediakan sendiri kamar di gedung ini. Biarpun amat sederhana, tapi aku ingin menjadi tuan rumah yang baik."
"Tidak. Terima kasih," sahut Kim Seng Pa singkat. Dalam suasana hati macam itu, ia lebih suka tidur bersebelahan dengan kambing daripada harus di bawah satu atap dengan Ni Keng Giau. Tiap kali melihat Ni Keng Giau tersenyum, rasanya tekanan darah Kim Seng pa naik setingkat.
Sang Walikota Ling-he pun tak berani mencegahnya lagi. Tiba diluar, begitu sengit ia melompat naik ke punggung kudanya, sampai tubuhnya hampir terperosot ke sisi lain dari tubuh kuda. Dan begitu duduk di pelana, si kuda yang malang langsung dicambuknya habis-habisan, dipacu keluar kota Ling-he.
Di seberang gedung Balaikota ada seorang pengemis berjongkok di bawah dinding. Ketika Kim Seng Pa keluar, buru-buru ia menunduk, dan setelah Kim Seng Pa jauh barulah ia berani kembali mengangkat mukanya. Desisnya seorang diri, "Kenapa Kim Seng Pa tadi nampak marah? Ada hubungan apa dia dengan urusan itu?"
Sesaat pengemis itu nampak berpikir berat, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan urusanku, lebih baik aku memusatkan pikiran untuk mencari akal, bagaimana bisa berbicara dengan Goan-swe Ni Keng Giau. Kalau tidak bisa langsung, tidak langsungpun boleh, asalkan lewat orang yang bisa kupercayai. Namun selagi hari terang benderang seperti ini, sulit kutemui Ni Goan-swe, lebih baik aku tunggu sampai hari gelap." Kemudian pengemis itu bangkit, dan dengan langkah terbungkuk-bungkuk berjalan pergi dari tempat itu.
Sore harinya, sebuah jamuan besar diselenggarakan oleh Walikota Ling-he di gedung kediaman resminya. Selain untuk menghormati Ni Keng Giau yang lagi "naik daun" juga menghormati Si Kim-che Tai-jin sebagai wakil pribadi Kaisar. Medan perjamuan penuh makanan dan minuman yang berlimpah, dengan pelayan-pelayan yang sudah di "kursus kilat". Suasana riang gembira. Tapi yang hadir dalam ruang perjamuan cuma perwira-perwira tinggi. Sedang para perajurit rendahan tetap berjaga di luar, untuk memberi kesempatan agar nyamuk-nyamuk kelaparan juga bisa berpesta.
Di luar gedung, seorang pengemis berjalan tertatih menyeberangi jalan, wajahnya hampir sepenuhnya tertutup oleh topi rumputnya yang butut, la melihat-lihat gedung itu, nampak pula pen jaga-penjaga berwajah angker menjaga di setiap langkah keliling gedung itu.
Melihat seragam penjaga-penjaga gedung itu, ternyata mereka bukan pcrajurit-perajurit Ling-he sendiri atau pun perajurit-perajuritnya Ni Keng Giau, melainkan pengawal-pengawal yang dibawa oleh Kim-che Tai-jin.
Melihat itu, si pengemis mengeluh dalam hatinya, "Goan-swe benar-benar sudah lengah. Tidak sadar kalau dia sudah dikelilingi musuh. Seperti harimau yang mengantuk dan tanpa sadar dipasangi jeruji-jeruji kerangkeng di sekitarnya. Apabila kelak kerangkeng itu sudah melingkar rapat, biarpun si harimau masih kelihatan gagah, namun sebenarnya tinggal menunggu saatnya untuk dicabuti gigi dan kukunya. Ah, aku harus mencarinya kesempatan untuk memperingatkan Goan-swe akan bahaya yang mengancam."
Karena pengemis itu tak lain dari Oh Bun Kai, salah seorang perwira pengikut fanatik Ni Keng Giau yang sempat lolos dari pembantaian Hiat-ti-cu di rumah Pui Ciong di Pak-khia, beberapa hari yang lalu.
"He, jembel! Mau apa kau longak-longok di sini?!" seorang penjaga tiba-tiba membentak. "Kalau mau sisa-sisa makanan, lewat pintu belakang sana!"
Dengan terbungkuk-bungkuk mirip pengemis tulen, Oh Bun Kai menyingkir dari pintu depan. Tapi ia pantang mundur. Gagal dari pintu depan, diapun berputar mencari pintu belakang. Di lorong belakang gedung besar itu ternyata sudah penuh dengan pengemis. Ada yang berjongkok, bersandar dinding, atau seenaknya menggeletak di tanah beralas tikar. Semuanya dengan sabar menunggu terbukanya pintu kecil di belakang gedung itu, saat pelayan gedung keluar membawa sisa-sisa makanan. Tertatih-tatih Hh Bun Kai mendekati pintu kecil itu.
Tiba-tiba pintu terbuka- Para pengemis segera berdesakan maju dan Oh Bun Kai terpaksa harus ikut sikut-sikutan pula. Namun yang muncul di pintu kecil itu bukan pelayan yang membawa sisa makanan, melainkan pengawal berseragam pengawal Kim-che Iai-jin yang tangannya menjinjing pedang. Agaknya dia ingin memeriksa keamanan di bagian belakang gedung itu.
Keruan Oh Bun Kai jadi kegirangan ketika mengenali pengawal itu sebagai Hui-kiam-eng Teng Jiu, salah satu pengawal istana yang beberapa hari terakhir sebelum malapetaka itu punya persahabatan yang meningkat baik dengannya. Lebih-lebih Oh Bun Kai ingat betapa di rumah makan Pek-goat-Iau, Teng Jiu pernah menghajar dua orang kaki tangan Liong Ke Toh", sehingga Oh Bun Kai merasa bisa minta tolong kepadanya. Sungguh kebetulan bahwa Teng Jiu terpilih ikut mengawal Utusan Kaisar.
Dengan bersemangat, Oh Bun Kai mendesak maju. Sampai lupa akan penyamarannya sebagai pengemis, ia memanggil-manggil, "Teng Sam-ko! Teng Sam-ko!"
Teng Jiu terkejut mendengar seorang jembel memanggil-manggil namanya. Mula-mula ia mengira, tentunya seorang sahabat yang menjadi anggota Kai-pang (serikat pengemis). Namun ia terkejut ketika mengenali Oh Bun Kai yang berpakaian seperti pengemis, dan ia sudah menduga apa yang akan Oh Bun Kai katakan. Dan memang tepat seperti yang di duga,
"Sam-ko.... sam-ko.... aku sangat membutuhkan bantuanmu." Oh Bun Kai terus mendesak ke depan, sehingga pengemis-pengemis lainnya mencaci- maki dengan gusar.
"Kelaparan ya kelaparan, tapi apa tidak bisa antri dengan sabar!"
"Semuanya akan kebagian, tidak perlu main sikut seperti itu!"
"Tahu aturan sedikit!"
"Panggil-panggil "Sam-ko" segala pura-pura kenal supaya mendapat bagian banyak sendiri ya?"
"Kalau siasat begitu bisa berhasil, akupun akan mengakui Ni Keng Giau sebagai adikku, agar bisa diundang pesta,"
Tetapi Oh Bun Kai yang tengah bergairah itu tidak peduli dan terus mendesak, "Teng Sam-ko! Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu!"
Teng Jiu maju menyibakan para gelandangan itu untuk menangkap tangan Oh Bun Kai, lalu diseretnya menjauhi tempat itu, ke sebuah lorong lain yang sepi. Keruan para gelandangan lain jadi iri. Sementara itu, pintu kecil itu sudah ditutup kembali oleh beberapa pengawal galak.
Sementara Teng Jiu dan Oh Bun Kai telah tiba di sebuah lorong yang gelap, sepi, dan luar biasa bau air kencing di tempat itu. Begitu gelapnya, sehingga Teng Jiu dan Oh Bun Kai yang berdiri berhadapan itu hanya saling bisa melihat lawan bicaranya berujud cuma sebagai bayangan hitam yang tidak tegas garis-garisnya.
Oh Bun Kai lah yang langsung menyerocos bicara, "Sam-ko, kau pernah billang kepadaku, bahwa kau tidak su a kepada Liong Ke Toh, si ular tua tukang memfitnah itu Nah, Sam-ko sekarang ini pemerintahan terancam akan dikuasai pengaruh Liong Ke Toh. Tidakkah Sam-ko ingin mencegah bencana ini?"
Teng Jiu bungkam, karena apa yang sudah dan akan diomongkan Oh Bun Kai itu sudah bisa ditebaknya. Diam-diam Teng Jiu merasa kurang enak dalam hatinya sendiri. Begitu tulus dan bersungguh-sungguh Oh Bun Kai memandangnya sebagai teman yang terpercaya, namun Oh Bun Kai belum tahu siapa yang sudah membocorkan ke pihak Hiat-ti-cu soal waktu dan tempat pembicaraan rahasia perwira-perwira fanatik itu.
Bukan lain adalah Teng Jiu sendiri, sehingga malam itu. terjadi pembantaian kejam oleh kawanan Hiat-ti-cu Apa boleh buat, dalam mencapai tujuan golongannya, rasa persahabatan kadang-kadang memang harus dipaksa minggir. Yang nomor satu, mencapai tujuan dengan segala cara. Oh Bun Kai yang masih mengira Teng Jiu sebagai teman segolongan itu-pun terus menyerocos,
"Sam-ko, ketahui lah bahwa beberapa hari yang lalu di rumah Pui Toa-ko di Pak-khia terjadi pembantaian kejam yang dilakukan kaki tangan Liong Ke Toh. Hanya aku dan Bhe Hong Tek yang lolos. Pembantaian itu terjadi, karena kami para perwira telah mencium adanya rencana busuk Liong Ke Toh, dan kami tidak layak di biarkan hidup. Alangkah kejinya bangsat tua she Liong itu. Sam-ko, saat ini Bhe Hong Tek masih di Pak-khia untuk menyusun kekuatan dengan teman-teman sepaham, sedangkan aku kemari untuk menemui Goan-swe, karena sekarang hanya Goan-swe yang dapat menyelamatkan negara dari keserakahan Liong Ke Toh. Untuk ini aku butuh bantuanmu, Sam-ko. Tolong sampaikan peringatanku kepada Goan-swe agar ada langkah persiapan, jangan sampai Goan-swe masuk perangkap. Tolonglah, Sam-ko, demi keselamatan negara. Tolonglah."
Teng Jiu menarik napas dalam-dalam, dan menjawab, "Setiap orang punya garis perjuangan sendiri-sendiri, Oh heng. Kau begitu setia membela Ni Keng Giau, tapi maaf, aku tidak. Terang-terangan saja, aku membenci Ni Keng Giau yang kejam, dan aku ambil bagian dalam usaha untuk menyingkirkannya...!”
Melebihi disengat kala kagetnya Oh Bun Kai ketika mendengar kata-kata itu. "Teng Jiu! Kau.... kau....."
Teng Jiu melanjutkan kata-katanya, "Akupun minta maaf, harus kuakui bahwa kedatangan rombongan Hiat-ti-cu ke tempat pertemuan rahasia kalian itu adalah karena petunjukku."
"Binatang! Ternyata selama ini mataku yang sudah buta, sehingga seorang pengkhianat busuk telah kusangka sebagai seorang sahabat yang terpercaya!" teriak Oh Bun Kai kalap. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah belati dari bajunya, lalu kalang kabut menyerang Teng Jiu. "Ternyata kau adalah kaki tangan Liong Ke Toh! Ku bunuh kau demi arwah teman-teman seperjuanganku!"
Oh Bun Kai bersenjata belati dan Teng Jiu bertangan kosong, namun hal itu cepat berakhir dengan kemenangan di pihak Teng Jiu. Karena ilmu silat Teng Jiu sebagai pengawal istana lebih tinggi dari perwira-perwira biasa yang lebih menguasai taktik-taktik kemiliteran daripada ilmu silat secara perorangan. Kedua, karena selama beberapa hari ini Oh Bun Kai menderita kelelahan dan ketegangan lahir batin, pikirannya setengah kacau, sehingga tenaganya banyak terkuras habis.
Karena itu, dalam suatu gebrakan, Teng Jiu berhasil menangkap lengan Oh Bun Kai untuk langsung ditekuk ke belakang punggungnya, sehingga tak berkutik lah Oh Bun Kai. Sambil meronta-ronta, Oh Bun Kai berkata dengan gemas campur putus asa, "Ayo, bunuh saja aku, bangsat! Biar kau mendapat hadiah dari si bangsat tua Liong Ke Toh itu!"
"Tenang, Oh-heng. Aku takkan membunuhmu, namun perlu kujelaskan satu hal kepadamu. Aku tidak bekerja untuk Liong Ke Toh, sebab pada saatnya nanti Liong Ke Toh juga harus disingkirkan. Namun dalam hal menyingkiran Ni Keng Giau, kami memang sengaja membonceng Liong Ke Toh dan membantu melancarkan rencananya. Oh-heng, kita bermain di gelanggang yang sama, dan tentunya juga sama-sama tahu betapa kotornya permainan ini, bukan?”
"Kalau kau tidak bekerja buat Liong Ke Toh, lalu buat siapa? Pangeran Hong-lik?”
"Bukan. Untuk Pangeran In Te."
Rontaan Oh Bun Kai mengendor, mulutnya bungkam dan kepalanya menunduk. Sementara Teng Jiu melanjutkan,
"Aku bukan seorang yang begitu gampang menjadi pengikut seseorang dengan membabi-buta, Bukan. Aku cuma mengharap kalau Pangeran In Te kelak bertahta, negeri ini akan ditata lebih baik, kesejahteraan rakyat ditingkatkan. Tidak seperti sekarang ini, dimana rakyat terus-menerus dicengkam ketakutan terhadap pemimpin-pemimpinnya sendiri, karena tiga serangkai penguasa itu. Yong Ceng yang lalim, Liong Ke Toh yang serakah dan Ni Keng Giau yang kejam dan gila hormat. Ketiganya harus disingkirkan menurut gilirannya masing-masing. Kalau sekarang Yong Ceng dan Liong Ke Toh mau menyingkirkan Ni Keng Giau, itu kebetulan sekali buat kami. Bukankah begitu?"
Teng Jiu berkata lagi dengan tetap memegangi lengan Oh Bun Kai, "Karena itu harap Oh-heng pahami. Sebagaimana Ni Keng Giau punya pengikut-pengikut fanatik macam kau dan kawan-kawanmu, Pangeran In Te pun punya. Sebagaimana sakitnya Ni Keng Giau kalau kelak jatuh dari kedudukannya karena kena perangkap licik, begitu pula sakitnya Pangeran In Te dulu ketika disingkirkan dengan cara kotor oleh Yong Ceng dan Ni Keng Giau. Aku tahu cara kotor itu, sebab saat itu aku masih berpihak kepada Yong Ceng 'yang ternyata mengecewakan dengan janji-janji kosongnya. Dalam urusan macam ini, tak ada soal perasaan, atau belas kasihan, atau lainnya. Yang ada hanyalah bagaimana mencapai tujuan. Tidak penasaran lagi, Oh-heng?"
Oh Bun Kai masih menunduk. Tiba-tiba badannya tergetar sedikit, lalu diam lagi. Teng Jiu terkejut, ia lepaskan cengkeramannya, dan tubuh Oh Bun Kai langsung roboh terkulai.
"Oh-heng!" Teng jiu terkejut. Cepat ia menelentangkan tubuh Oh Bun Kai, dan dilihatnya mata perwira itu masih terbuka lebar tapi sudah tidak ada cahayanya lagi. Dari sudut-sudut bibirnya mengalir sedikit darah. Kiranya karena amat marah dan kecewa lantaran gagal menyampaikan peringatan kepada Ni Keng Giau, Oh Bun Kai lalu membunuh diri dengan cara menggigit lidahnya sendiri.
Melihat kekerasan hati macam ini, Teng Jiu geleng-geleng kepala. Secara pribadi ia merasa sedikit bersalah, namun rasa bersalah itu tidak mewakili kelompoknya. Ia beranggapan, cukup wajar kalau dua benang tajam bergesekan menyilang, maka salah satu harus putus. Dulu "benang Pangeran In Te" yang putus, tapi kini pengikut-pengikut Pangeran In Te menaikkan "layang-layang baru" dan berharap kali ini agar Ni Keng Giau yang "putus".
Sebagai teman secara pribadi, Teng Jiu juga tidak tega membiarkan mayat Oh Bun Kai tergeletak begitu saja di lorong penuh bau air kencing itu. Diangkatnya mayat itu, lalu dicarinya kalau-kalau ada sebuah wihara Buddha di sekitar itu. Di tempat macam itu biasanya ada tempat untuk memperabukan jenazah, serta pendeta-pendeta yang secara sukarela bisa dimintai tolong membakar mayat para musafir yang mati di perjalanan, asalkan ada yang mengantarkan mayatnya.
Akhirnya Teng Jiu temukan juga tempat macam itu. Digedornya pintu depannya biarpun sudah malam. Ketika pendeta-pendeta membukakan pintu, Teng Jiu mengutarakan maksudnya dan pihak wihara bisa menyetujuinya. Teng Jiu pun lalu menyerahkan mayat Oh Bun Kai.
"Aku mengucapkan terima kasih atas kebaikan para Toa-suhu. Tapi bisakah kumohon agar abu jenazah temanku ini sudah bisa kuambil besok malam?"
Hwe-shio pemimpin wiha-ra itu mengangguk, "Baiklah. Kalau besok tuan datang seperti saat ini, abu jenazah teman mu sudah bisa diambil.”
Sebelum pergi Teng Jiu memasukkan uang lima tahil perak ke dalam guci derma. Begitulah, karena ia pernah ditraktir oleh Oh Bun Kai di Pek-goat-lau, maka sekarang diapun balas "mentraktir" arwah Oh Bun Kai. Uang itu antara lain untuk mengganti pihak wihara guna membeli kayu bakar, lilin, dupa dan kelengkapan sembahyang lainnya.
Ketika Teng Jiu melangkah pulang kembali ke Balaikota yang masih dalam suasana pesta, sedikit banyak sikapnya jadi murung juga. Biarpun demi menjunjung Pangeran In Te, menyingkirkan penghalang-penghalang bagi Pangeran In Tetapi tak bisa dibantah kalau dia sudah melakukan sesuatu yang buruk terhadap seorang teman macam Oh Bun Kai. "Maaf, Oh-heng. Maaf."
Namun sementara langkahnya makin dekat ke Balaikota, ingatan Teng Jiu melayang ke salah satu ucapan Oh Bun Kai sebelum matinya tadi. Di Pak-khia masih ada sisa seorang perwira fanatik pengikut Ni Keng Giau yang lolos dari pembantaian, berkeliaran menyusun kekuatan untuk "menyelamatkan Ni Keng Giau". Namanya Bhe Hong Tek, dan Teng Jiu berpendapat yang inipun perlu dipapas habis biarpun tidak usah dengan tangannya sendiri.
Ketika Teng Jiu masuk kehalaman belakang Balaikota dengan lewat pintu kecil di belakang, tahu-tahu Hap To sudah menghadangnya dengan tatapan yang memancarkan kecurigaan. "Kau pergi meninggalkan tempat ini tanpa minta ijinku, darimana saja kau?" tanyanya.
Hap To adalah komandan Hiat-ti-cu regu pembunuh itu. Kalau sedang bertugas membunuh orang, pakaiannya ringkas hitam. Tapi sekarang ia sedang memimpin pengawalan Kim-che Tai-jin, maka seragamnya pun jubah satin yang mentereng. Pengawal Kim-che Tai-jin ada seratus orang, dan mereka diambilkan dari Hiat-ti-cu limapuluh orang, dari Uih Wi-kun juga limapuluh orang.
Bukan karena pihak istana kekurangan orang, sehingga untuk menyusun pengawal Kim-Che Tai-jin saja harus comot sana comot sini, tapi hal itu memang disengaja oleh Kaisar Yong Ceng yang curiga jangan-jangan para pengawal itu akan berkhianat, berkomplot dengan orang liar, selagi bertugas jauh dari istana. Kaisar Yong Ceng selalu dihantui soal itu.
Karena itulah regu pengawal Kim-che Tai-jin ini biarpun terbungkus seragam yang sama, sesungguhnya adalah campuran dari dua golongan pengawal yang bersaingan, agar satu sama lain bisa saling mengawasi kalau ada yang berkhianat. Karena bersaingan, ka lau satu pihak bertindak mencurigakan sedikit saja, maka pihak lain dengan gembira tentu akan melaporkan kepada Kaisar, demikianlah perhitungan Kaisar Yong Ceng. Dan komandan dari regu pengawal Kim-che Ta-jin itu adalah Hap To.
Teng Jiu menenangkan hatinya menghadapi pemimpin regu algojo ini. Sahutnya, "Hap Thong-leng (komandan Hap), aku baru saja menjumpai Oh Bun Kai, salah seorang perwira pembangkang yang malam itu lolos dari rumah Pui Ciong, seperti pernah Thong-leng katakan. Ternyata perhitungan Thong-leng benar, dia rupanya menyusul sampai ke sini, dan mencari peluang untuk menyampaikan peringatan kepada Ni Keng Giau. Tentu saja aku mencegahnya."
Ini baru berita, pikir Hap To. Tanyanya dengan penuh minat, "Ha, betul begitu? Di mana dia sekarang? Kenapa tidak kau laporkan kepadaku?"
Di hadapan orang yang kejam ini, Teng Jiu juga pura-pura menjadi orang yang kejam, "Dia menyamar sebagai pengemis dan mencoba menyusup masuk lewat pintu belakang. Tapi aku memergokinya, dia lari dan aku mengejarnya. Aku tak sempat melapor kepada Thong leng, karena khawatir akan keburu kehilangan jejaknya. Aku kejar terus."
''Berhasil kau tangkap?"
"Berhasil. Lalu aku siksa dia tanpa ampun agar mengaku tentang komplotannya. Dia mengaku akhirnya. Ternyata dia sendirian saja datang ke Ling-he ini, sedang satu temannya yang malam itu juga lolos dari rumah Pui Ciong, bernama Bhe Hong Tek, ternyata tetap di Pak-khia. Katanya untuk mencari dukungan dari perwira-perwira yang sepaham."
Hap To mengangguk-angguk. "Laporanmu cocok dengan laporan-laporan yang aku terima sebelum ini. Memang malam itu hanya dua yang berhasil lolos, lainnya kutumpas habis. Dan sekarang, dimana Oh Bun Kai?"
"Karena aku gemas mendengar rencananya yang menunjukkan ketidak-setiaannya terhadap Kaisar, aku bunuh dia setelah berhasil kukorek keterangan dari mulutnya."
Hap To menepuk-nepuk pundak Teng Jiu, "Bagus. Bagus. Jasamu ini pasti akan mendapat penghargaan dari Sribaginda. Sekarang, tetaplah bertugas dengan baik di sini. Aku akan segera mengirim orang ke Pak-khia untuk melapor kepada Sribaginda atau Liong Ong-ya, agar segera diambil tindakan untuk mencegah pembela-pembela Ni Keng Giau itu.”
Teng Jiu mengangguk dengan sikap bangga, namun sambil merintih dalam hatinya, "Sekali lagi maafkan aku, Oh-heng. Komplotan teman-temanmu terpaksa harus kupatahkan demi perjuangan Pangeran In Te, agar seluruh negeri terselamatkan dari kesewenang-wenangan tiga serangkai yang lalim saat ini."
Malam itu juga, diam-diam Hap To mengirim pulang Tam Tai Liong, pulang ke Pak-khia untuk membawa surat laporannya. Tentu saja dalam surat itu ia tidak menyebut-nyebut jasa Teng Jiu, melainkan ditulisnya "karena jerih payah hamba yang berusaha mempertahankan keagungan Tuanku."
Begitulah. Yang terjadi di permukaan seolah-olah Ni Keng Giau disambut secara megah sebagai seorang pahlawan. Sedangkan, di bawah permukaan sudah siap sebuah rencana yang rapi untuk melucuti kekuasaan Ni Keng Giau lalu menyingkirkannya. Seperti sebatang pohon besar, bagian atasnya ditiup angin sepoi-sepoi yang membuat ngantuk dan nyaman, sampai tak merasa kalau akar-akarnya mulai digerogoti rayap.
Di dalam gedung Balai kota pesta terus berlangsung dengan meriah. Ni Keng Giau dengan deretan, pengawal-pengawal Kepercayaannya berdiri di belakang kursinya, nampak gembira sekali. Sibuk sekali ia membalas ucapan selamat yang membanjirinya, karena setiap tamu dalam perjamuan itu tidak cukup hanya satu kali mengucapkan selamat, melainkan sampai beberapa kail. Semuanya khawatir, kalau hanya satu kali mengucapkan selamat, jangan-jangan akan gampang dilupakan oleh si "calon raja muda” itu.
Kim-che Tai-jin diam-diam terus memperhatikan Ni Keng Giau. Ketika dilihatnya Ni Keng Giau sudah cukup mabuk, bukan mabuk arak tapi mabuk sanjungan, maka si Kim-che Tai-jin merasa sudah tiba waktunya untuk melancarkan "jurus" berikutnya. Karena ia duduk bersebelahan dengan Ni Keng Giau, ia lalu mencondongkan tubuhnya agar mulutnya dekat dengan kuping Ni Keng Giau, lalu berbisik,
"Goan-swe, bisakah aku meminta waktumu sebentar untuk bicara empat mata, guna menyampaikan pesan pribadi Sribaginda...?"
Tentu saja Ni Keng Giau dengan wajah sangat cerah mengangguk dan menjawab lirih, "Baiklah, Tai-jin, sebentar, aku harus minta diri kepada sahabat-sahabat di ruangan ini."
Lalu Ni Keng Giau berdiri sambil mengangkat tangannya dan berkata keras, "saudara- saudara."
Ruang perjamuan seketika menjadi sunyi senyap, tak ada lagi gelak tawa. suara percakapan, atau kelitak- kelitak sumpit dan mangkuk. Yang makannya sudah masuk mulut tapi belum sempat dikunyah, cepat-cepat ditelan begitu saja. Agar sang mulut nanti tidak terlambat melontarkan sanjungan dan jilatan pada saat yang dibutuhkan.
"Saudara-saudara, silahkan melanjutkan perjamuan. Yang santai saja, dan aku mohon maaf harus meninggalkan ruangan ini sebentar, Kim-che Tai-jin membawa pesan pribadi Sribaginda untuku..." ada nada bangga ketika mengucapkan itu, disertai lirikan kearah Kim Seng Pa yang sejak semula lebih banyak menunduk.
Kemudian Ni keng Giau dan Kim che Tai-jin itupun menghilang keruangan belakang. Delapan orang pengawal pribadi Ni Keng Giau yang mukanya angker-angker seperti topeng perunggu itu, juga mengikuti. Tapi ketika sampai ke sebuah ruang tertutup, kedelapan pengawal itu harus menunggu di luar saja. Sedang di dalam ruangan, Kim-che Tai-jin mulai bicara dengan nada amat bersungguh-sungguh,
“Goan-swe, sungguh keberuntungan Goan-swe membuat banyak orang menjadi iri. Selain anugerah Sribaginda yang kubacakan siang tadi, Sribaginda secara lisan berpesan lewat aku, supaya Goan-swe secepatnya tiba di Pak-khia untuk pelantikan kedudukan yang baru. Kalau ada pihak lain yang iri atau dengki, itu sudah biasa, tak perlu terlalu digubris. Tetapi Sribaginda ingin mempercepat pelantikan itu, agar terbungkamlah segera mulut-mulut usil tadi."
Ni Keng Giau mengangguk mantap, "Aku bisa memaklumi. Aku akan mempercepat perjalanan pasukanku. Rencananya akan istirahat sepuluh hari di Ling he ini. Namun karena menjunjung tinggi pesan Sribaginda, aku hanya akan meng ambil istirahat tiga hari saja."
Kim-che Tai-jin tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Kepatuhan dan kesetiaan Goan-swe seperti inilah agaknya yang membuat Sribaginda begitu kasih sayang kepada Goan-swe, sampai, tidak menghiraukan suara-suara tak sedap yang santer terdengar di Pak-khia belakangan ini. Sribaginda mengharap, kalau Goan-swe kebetulan mendengar kabar-angin dari mulut-mulut jahil itu, Goan-swe tidak usah terpengaruh. Diseluruh kekaisaran ini, siapa lagi yang lebih dikasihi oleh Sribaginda, kecuali diri Goan-swe?"
Ni Keng Giau menepuk paha sambil tertawa bergelak sampai kepalanya tertengadah, "Sungguh tidak percuma aku mengabdi dengan setia kepada baginda, hanya beliau yang tahu isi hatiku sedalam-dalamnya dan menghargai pengabdian. Akupun mencintai Sribaginda bukan saja sebagai junjungan, tapi sebagai kakak kandungku sendiri. Sejak kami berdua masih sebagai saudara seperguruan, sama-sama belajar di bawah pimbingan Pun-bu Hwe-shio."
“Oh, ya, Goan-swe, bicara soal persaudaraan, bahkan," bicara sampai di sini, si Kim-che Tai-jin mendadak menghentikan ucapannya, sikapnya seolah-olah ragu-ragu, telah mengucapkan sesuatu yang diyakini kebenarannya atau kepastiannya.
"Bahkan apa?" Ni Keng Giau yang penasaran itu lalu mendesak.
Utusan Kaisar itu pura-pura bersikap canggung, lalu menjawab sambil menyapukan telapak tangan di depan hidung, seolah-olah mengusir lalat, "Ah, cuma kabar angin yang berasal dari orang-orang dekatnya Sribaginda, Goan-swe. Sribaginda sendiri belum pernah mengucapkannya. Hanya kabar angin."
"Kabar angin tentang apa? Apakah tentang keburukan diriku?"
"Tidak, Goan-swe. Kabar angin yang ini justru kudoakan agar menjadi kenyataan. Kabarnya Sribaginda ingin mempererat hubungan pribadi dengan Goan-swe, dengan melakukan angkat-saudara. Tetapi hanya kabar angin lho."
Biarpun sudah beberapa kali dijelaskan "hanya kabar angin", tubuh N i Keng Giau sudah bergetar kegirangan. Menjadi saudara Kaisar? Luar biasa. Tak terasa Ni Keng Giau bangkit dari kursinya, lalu mondar-mandir di ruangan itu sambil meremas jari-jari tangannya sendiri sambil tersenyum-senyum sendiri pula.
Kim-che Tai-jin ikut tersenyum, seolah ikut berbahagia, padahal sebenarnya mengejek dalam hati, "Anugerahnya belum menjadi kenyataan, tapi orang ini sudah menunjukkan gejala-gejala kesintingan."
Demikianlah lembutnya si Kim-che lai-jin menuntun Ni Keng Giau masuk perangkap, dengan menggunakan dua cara sekaligus. Yang satu cara "penjelasan resmi" dan yang lain cara "kabar angin". Kalau hanya cara "penjelasan resmi" maka Ni Keng Giau malah akan curiga, mungkin akan merasa sedang dibujuk. Sebaliknya kalau hanya dengan "kabar angin" saja, Ni Keng Giau jelas takkan menaruh minat sedikitpun. Maka ya campuran antara kedua cara itulah. Dan saat itu angan-angan Ni Keng Giau sudah melambung sampai ke awan awan.
"Tapi cuma kabar angin lho, Goan-swe," kata si Kim-che Tai-jin sambil pura-pura merasa iri kepada Ni Keng Giau.
Ni Keng Giau tertawa, "Ha-ha, aku cuma seorang keturunan rakyat jelata dari kalangan bawah, mana berani mimpi untuk menjadi saudara angkat Sribaginda? Anugerah yang kuterima hari ini pun sudah cukup berlimpah, tak berani mengharap apa-apa lagi." Tapi dalam hati ia justru mengharap, alangkah bagusnya kalau "kabar angin" itu bisa menjadi kenyataan.
"Goan-swe, kecuali itu masih ada pesan pribadi Sribaginda yang lain lagi."
"Katakan, Tai-jin....." sergap Ni Keng Giau, sambil membatin, "Dasar bintangku sedang terang. Yang akan kuterima ini entah keberuntungan apa lagi?"
"Ketika dulu Goan-swe berangkat perang ke Jing-hai, apakah benar Goan-swe telah memperbesar jumlah pasukan Goan-swe dengan menyedot sebagian kekuatan dari beberapa mangkubumi wilayah, gubernur atau panglima wilayah?"
"Memang benar. Tapi aku punya alasan yang bisa kupertanggung-jawabkan. Wilayah jing-hai yang harus kuamankan itu cukup luas, sedang pasukan yang kubawa dari Pak-khia kuanggap kurang cukup untuk tugas itu. Maka dengan meminjam kewibawaan Sribaginda lewat pedang pusaka Liong-hong Po-kiam yang ada padaku, aku bangkitkan kesadaran beberapa mangkubumi, gubernur atau panglima wilayah untuk ambil bagian dalam perjuangan menjaga kejayaan negara. Aku lalu mendapat tambahan perajurit, kuda dan perlengkapan. Apakah ada yang tidak senang dengan hal ini?”
"Jangan salah paham, Goan-swe. Sribaginda tidak marah, beliau malah memuji Goan-swe sebagai panglima yang cepat mengambil tindakan menurut situasi yang mendesak, tanpa harus menunggu perintah dari atas. Seorang Panglima berotak cemerlang, begitulah kata Sribaginda."
"Kalau Sribaginda bisa memakluminya, aku sungguh- berbesar hati."
"Sribaginda memang tidak menyalahkan Goan-swe. Tapi banyak gubernur dan panglima wilayah yang menjadi gelisah, karena mereka mengira telah berbuat kesalahan terhadap Sribaginda dan hendak dicopot dari kedudukannya. Banyak yang menghadap Sribaginda di Pak-khia sambil minta-minta ampun. Kalau hal ini tidak segera diatasi, Sribaginda khawatir akan mempertajam kritik dari pada mulut jahil, terhadap kebijaksanaan Sribaginda kepada Goan-swe sekarang ini. Karena itu Sribaginda memerintahkan agar pasukan-pasukan yang diambil dari mereka itu segera dikembalikan ke asalnya masing-masing. Sribaginda juga minta Goan-swe bertindak atas namanya pribadi untuk meredakan kegelisahan mereka."
Tidak sembarangan orang bisa bertindak atas nama Kaisar pribadi, namun Ni Keng Giau justru diberi hak demikian, keruan saja kepalanya sampai hampir meletus karena bangganya. Kebanggaan yang mengendorkan kewaspadaannya, sehingga ia tidak sadar kalau sampai berbuat demikian maka ia sama saja dengan mengurangi kekuatan pasukannya sendiri. Tapi ia menjawab tanpa pikir panjang, "Urusan gampang. Akan segera kulaksanakan."
Utusan Kaisar itu tersenyum puas dan menyatakan pembicaraan itu selesai. Dua hari kemudian, rombongan Utusan Kaisar dan pengawalnya berangkat mendahului ke Pak-khia. Di antara mereka terdapat Teng Jiu yang membawa sebuah guci berisi abu jenazah Oh Bun Kai untuk diserahkan kepada keluarganya. Ni Keng Giau dan para perwira tinggi mengantar sampai keluar gerbang kota Ling-he. Juga Walikota di Ling-he ikut mengantar dan menyusahkan para pemikul tandu karena gemuknya yang Kelewat batas.
Sebelum berpisahan di luar gerbang kota Ling-he, si Kim-che Tai-jin sekali lagi berpesan ulang tentang pengembalian pasukan dari beberapa gubernuran yang selama ini "dipinjam" Ni Keng Giau untuk berperang di Jing-hai. Kim-che lai-jin menekankan sekali lagi bahwa "Tidak ada yang lebih pantas melakukannya, kecuali orang yang paling dikasihi oleh Kaisar."
"Akan kulaksanakan secepatnya! sahut Ni Keng Giau sambil membusungkan dada.
Sehari kemudian, pasukan Ni Keng Giau pun membongkar perkemahannya untuk berbaris kembali ke Pak-khia, dalam kemegahan sang pemenang perang. Walikota Ling-he kembali mengantarkan dengan penuh hormat sampai keluar gerbang kota. Setelah itu barulah kembali ke kantornya dan mulai menghitung berapa saja biaya yang sudah dikeluarkan untuk penyambutan besar-besaran itu. Agak tekor. Tapi bukan dia kalau sampai tak mampu mengatasi ketekoran itu dengan cara paling singkat, menyunat dana untuk keperluan lain.
Sesuai dengan pesan Kim-che Tai-jin, dalam perjalanan pulang itu Ni Keng Giau mengembalikan pasukan-pasukan gubernuran ke asalnya masing-masing. Apa yang tidak diketahui Ni Keng Giau, para gubernur dan panglima wilayah itu sudah mendapat pesan rahasia dari istana pula. Begitu Ni Keng Giau mengembalikan pasukan, maka para gubernur itu harus segera mengirimkan lagi pasukan yang terbaik dan mampu bergerak cepat, untuk menuju sebelah timur kota Pak- khia. Di sana mereka harus "menunggu perintah lebih lanjut”.
Keberangkatan pasukan-pasukan gerak cepat itu ke Pak-khia, tidak diketahui Ni Keng Giau, sebab mereka mengambil jalan yang tidak dilewati Ni Keng Giau. Dengan demikian, pasukan-pasukan itu harus siap menghadapi pasukan lain yang tadinya di Jing-hai menjadi teman.
Ketika tiba diluar kota Pak-khia, pasukan Ni Keng Giau tinggal sekitar 100.000 orang. Kira-kira seimbang dengan pasukan dalam dan sekitar Pak-khia, yang setiap waktu bisa digerakkan oleh Kaisar Yong Ceng. Namun Kaisar tidak mau buru-buru turun tangan terhadap Ni Keng Giau, ia tidak mau hanya punya peluang setengah banding setengah untuk keberhasilan rencananya. Setidak-tidaknya harus tujuhpuluh banding tigapuluh, barulah bisa dicoba.
Sambutan di Pak-khia begitu meriah, sehingga Ni Keng Giau semakin dinina-bobokan. Namun bagi para keluarga perajurit yang kehilangan, mana ada kegembiraan? Mana ada suasana kemenangan? Yang ada cuma air mata kesedihan. Bahkan jasad dari orang yang mereka cintai itupun tak bisa mereka lihat, karena terkubur jauh di Jing-hai sana.
Beberapa hari kemudian, pelantikan dan penganugerahan gelar kepada Ni Keng Giau berlangsung di istana. Kaisar Yong Geng juga mengumumkan bahwa Ni Keng Giau dibebaskan dari kewajiban berlutut apabila menghadap secara pribadi, cukup menghormat biasa.
Hari-hari berikutnya, Ni Keng Giau kebanjiran ucapan selamat dari kalangan atas di Pak-khia. Undangan untuk perjamuan makan pun sampai bertumpuk-tumpuk di mejanya. Dan ia menghadiri pesta-pesta dari gedung bangsawan yang satu ke gedung bangsawan yang lain, namanya melangit dan menjadi bahan pembicaraan yang tak habis-habisnya.
Mendengar nama Ni Keng Giau dipuja-puja di mana-mana, mendidih juga Kaisar Yong Ceng. Rasanya di Pak-khia itu sudah banyak orang lupa kalau masih ada yang lebih tinggi dari Ni Keng Giau. Namun dengan bujukan susah-payah dari Liong Ke Toh, berhasillah Yong Ceng menahan diri.
“Tahan sebentar lagi, Tuanku, takkan lama lagi kita melihat cecongornya yang penuh kecongkakan. Tak lama lagi. Kebanggaan yang diterimanya dalam beberapa hari ini sebenarnya malah menguntungkan kita, sebab membuatnya terlena.”
"Paman, yakinkah Paman bahwa sampai detik ini Ni Keng Giau benar-benar belum mencium rencana kita?"
"Percayalah kepada hamba, Tuanku. Hamba tidak bekerja dengan ceroboh, tidak hanya mengamati tingkah-lakunya dari kejauhan, tapi juga memasang banyak orang kepercayaan hamba di sekitar Ni Keng Giau. Seandainya dia berhasil mencium rencana kita, dan barangkali juga menyiapkan rencana tandingan, pasti orang-orang hamba akan mengetahuinya dan melaporkannya kepada hamba. Pasti. Tapi sampai saat ini belum ada laporan macam itu. Jadi Ni Keng Giau benar-benar terlena oleh umpan-umpan yang kita sodorkan ke bawah hidungnya. Rencana kita aman, Tuanku."
"Bagaimana dengan perwira-perwira fanatik yang setia kepadanya? Tidakkah mereka berhasil memberi peringatan kepadanya?"
"Memang ada beberapa perwira keras kepala yang agaknya berhasil mencium rencana kita, dan coba menyusun kekuatan di kota ini. Tapi ada Hap To yang sudah menumpasnya. Ada satu orang berhasil lolos dan menyusul Ni Keng Giau ke Ling-he, namun berkat kesigapan Hap To, orang bernama Oh Bun Kai itu sudah berhasil dibinasakan sebelum sempat menemui Ni Keng Giau. Satu lagi bernama Bhe Hong Tek, berkeliaran di Pak-khia ini sambil mencari kesempatan, tetapi kemarin malam Hap To sudah berhasil memperotoli kepalanya dengan kantong Hiat-ti-cu."
Kaisar Yong Ceng mengangguk-angguk. Dalam hal membikin celaka orang, Pamannya ini bisa digolongkan "seniman", kerjannya amat rapi dan halus. "Baiklah, Parnan. Jalankan terus rencana kita. Dan aku mengharap laporan Paman setiap saat."
"Hamba Tuanku.."
Sementara itu, di Pak-khia semakin santer desas-desus bahwa Ni Keng Giau akan menjadi saudara angkat Kaisar Yong Ceng sendiri. Lalu desas-desus itu meningkat semakin "berani" lagi, katanya Kaisar Yong Ceng takkan kokoh kedudukannya kalau tidak ditunjang oleh Ni Keng Giau.
Desas-desus pertama memang sengaja disebar Yong Ceng untuk melengahkan Ni Keng Giau. Tapi desas-desus ke dua yang "lebih berani" itu entah dari-mana sumbernya, dan membuat Kaisar Yong Ceng merah kupingnya. Ia merasa bahwa ada pihak tertentu yang meragukan kekuasaannya, seolah-olah ia tak mampu berbuat apa-apa dan Ni Keng Giau-lah yang berbuat semuanya baginya.
Maka, tanpa menunggu sampai Kaisar marah dan ngawur tindakannya, Liong Ke Toh buru-buru menyodorkan usul untuk melaksanakan langkah berikutnya. Pada suatu hari, di hadapan Sidang Kerajaan yang lengkap, Kaisar Yong Ceng dengan sikap yang amat ramah, memerintahkan agar Ni Keng Giau segera menempati istananya di Seng-toh, ibukota propinsi Se-cuan. Menjabat sebagai raja muda bergelar It-teng-kong yang berkuasa atas dua propinsi, Se-cuan dan Siam-sai.
Bagi orang-orang politik yang peka dan dapat merasakan isyarat-isyarat halus, mulai merasa bahwa nasib Ni Keng Giau di masa mendatang belum tentu sebaik kelihatannya sekarang, Seng-toh. Kota itu memang terletak di pusat propinsi yang dijuluki "gudang beras" karena suburnya, namun bagi yang percaya "tahyul politik", Seng-toh seolah juga lambang keruntuhan dan pembuangan. Orang jadi ingat sejarah lama tentang Bu Sam-kui, seorang rajamuda di jaman Kaisar Sun Ti dan Khong Hi, kakak dan ayah Kaisar Yong Ceng.
Bu Sam-kui adalah seorang Panglima Kerajaan Beng yang bertugas menjaga perbatasan San-hai-koan, namun kemudian malah berbalik ke pihak Manchu dan mempermudah pihak Manchu menyerbu Tiong-goan. Karena jasanya, Kaisar Sun Ti mengangkatnya sebagai Peng-se-ong yang berkedudukan di Seng-toh. Di saat orang mengira itulah awal kejayaannya, justru kenyataannya adalah awal keruntuhannya.
Ada persamaan antara Bu Sam-kui dan Ni Keng Giau. Keduanya sama-sama orang Han yang berhasil mencapai kedudukan tinggi dalam pemerintahan Manchu. Orang Han macam itu, dalam pandangan sementara orang, biasanya hanya dipakai tenaganya untuk mengamankan negara, sedang setelah tenaganya terpakai lalu disingkirkan jauh dari istana. Para "penebak nasib" mulai bertanya-tanya dalam hati, adakah kota Seng-toh akan mengulangi kisah yang sama?
Betapapun cerdik Kaisar Yong Ceng dan Liong Ke Toh menyembunyikan rencananya, tapi orang-orang politik berhidung tajam itu dapat merasakan tanda-tanda buruk pada masa depan Ni Keng Giau. Tetapi Ni Keng Giau sendiri malah tidak merasakan apa-apa, jiwanya penuh dengan kebanggaan yang meluap-luap. Sedang orang-orang yang mencium gelagat buruk itu enggan memberitahu Ni Keng Giau, malahan bersyukur dalam hati mudah-mudahan Ni Keng Giau cepat jatuh, lalu.... aku yang naik!
Sementara itu, dalam hatinya Ni Keng Giau masih agak kecewa juga karena Kaisar tidak juga menyinggung-nyinggung soal "angkat saudara" itu, padahal desas-desus sudah begitu santer, bahkan ada yang sudah terlanjur mengucapkan selamat.
Pihak istana segera menyelenggarakan jamuan untuk mengucapkan selamat jalan dan selamat bertugas, yang tentu saja jauh lebih hebat dari pesta-pesta para bangsawan sebelumnya. Kaisar Yong Ceng sendiri mengajak N i Keng Giau mengeringkan tiga cawan arak.
Keesokan harinya, berangkatlah Ni Keng Giau dari Pak-khia, dengan menunggangi keretanya yang bersepuh keemasan dan ditarik enam ekor kuda Persia. Pengawalnya berjumlah 500 orang, dengan seragam baru yang luar biasa mewah, Jubah satin kuning emas, sabuk berkepala batu giok hijau, topi biru berhias bulu merak, pedang-pedang yang sarungnya ukiran gading, sepatu kulit ular, bahkan sanggurdi-sanggurdi pun terbuat dari perak.
Gemerlapannya seragam pengawal Ni Keng Giau itu. menjadi kelompok Gi cian-si-wi (Pengawal Kaisar) jadi suram seragamnya, kalah jauh kalau dibandingkan. Di bagian depan barisan Ni Keng Giau berkibarlah umbul-umbul bertuliskan "It-teng-kong". Kemudian masih ada pengiring yang bukan pengawal, tetapi kawan bujang yang berseragam pula, berjumlah puluhan, dan merekalah yang akan menyiapan segala keperluan Ni Keng Giau seperti makan, ganti pakaian dan sebagainya.
Ketika Ni Keng Giau siap mengibarkan pula mengibarkan bendera lambing Kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi, Kaisar Yong Ceng tiba-tiba memerintahkan agar bendera itu tidak usah dikibarkan, dengan dalih "karena negara sudah aman”, dan disuruhnya menyimpan kembali bendera itu di Peng-po Ceng-tong. Ni Keng Giau pun menurutinya tanpa curiga.
Kaisar Yong Ceng dan pejabat-pejabat tinggi lainnya, lalu mengantar keberangkatan Ni Keng Giau dengan menaiki kereta masing-masing, sampai diluar pintu gerbang barat kota Pak-khia. Kemudian antara yang diantar dengan para pengantarpun berpisahan setelah saling mengucapkan selamat. Ni Keng Giau bergerak dalam rombongannya yang megah. Menurut rencananya, sebelum menuju ke Seng-toh, rombongan itu akan lewat kota Tan-liu untuk menjemput Ayah ibu Ni Keng Giau dan sanak- keluarga lainnya, untuk sekalian diboyong ke Seng-toh.
Sambil menatap rombongan Ni Keng Giau yang makin jauh. Liong Ke Toh tersenyum lebar dan berkata kepada Kaisar Yong Ceng di sebelahnya, "Sekarang, Tuanku, seandainya Ni Keng Giau mengetuhui rencana kita, ia tidak lagi bisa berbuat apa-apa untuk kekeliruannya. la berhasil kita potong dari pasukanya."
"Tapi sungguh luar biasa mentereng dandanan pengawal-pengawalnya, paman," gerutu Kaisar Yong Ceng. "Sampai dandanan pengawal-pengawalku jadi mirip jembel kalau dibandingkan mereka."
"Biarkan saja, Tuanku. Dalam adat orang Han, mayat yang akan dikuburkan pun juga didandani sebagus-bagusnya," sahut Liong Ke Toh sambil terkekeh-kekeh.
"Bagaimana menurut Paman, setelah ini kita bereskan dia secepatnya, atau harus tunggu apa lagi?" kata Kaisar setelah duduk kembali dalam keretanya. bersama Liong Ke Toh.
Liong Ke Toh menyahut. "Ni Keng Giau pernah melakukan suatu tindakan yang amat melukai kehormatan Tuanku. Dia pernah membawa pasukannya masuk istana, dan pasukan itu tidak mau tunduk kepada perintah Tuanku, hanya tunduk kepadanya. Kekurang-ajaran seperti ini terlalu enak kalau hanya dibayar dengan kematian yang cepat."
"Paman punya rencana?"
"Hukuman secara badan akan kurang menyiksanya. Menurut hamba, buat orang congkak macam dia, hukum paling tepat adalah meruntuhkan kebanggaannya dan menghinanya habis-habisan. Hukuman batin itu pasti lebih menyiksa daripada dipukuli dengan cambuk berpaku...."
Dan senjatanya itu bukan cuma menembus perutnya sendiri, tapi juga masuk ke perut anggota Hiat-ti-cu yang memeluknya dari belakang. Si Hiat-ti-cu itupun berteriak marah, "Mampuskan semua pembangkang!"
Keduanya roboh berdempetan seperti sate raksasa. Pengikut setia Ni Keng Giau dan pengikut yang tidak kalah setianya dari Kaisar Yong Ceng. Ironisnya Kaisar Yong Ceng maupun Ni Keng Giau adalah saudara seperguruan, sama-sama murid Pun-bu Hwe-shio dari Siau lim-si, dan sama-sama pernah menumpas perguruan mereka sendiri.
Sementara itu, Hiat-ti-cu yang berhasil melompat keluar jendela itupun ternyata gagal melanjutkan langkahnya. Biarpun sudah sampai diluar, namun sebatang tombak yang dilemparkan sekuat tenaga oleh seorang perwira telah "menyusulnya", si Hiat-ti-cu itupun roboh dengan tombak di punggung. Tapi perwira pelempar tombak juga terbantai oleh tangan Hap To sendiri.
Pertempuran antara dua kelompok fanatik itu jadi amat berdarah. Kedua pihak sama kalapnya. Jendela dan pintu dipertahankan dan diperebutkan, seolah dua pasukan memperebutkan sebuah pos strategis. Karena sengitnya, belum ada seorangpun anggota Hiat- ti-cu yang berhasil keluar, namun korban di pihak para perwira jatuh lebih banyak.
Hap To tidak sabar lagi melihat semuanya itu. Tiba-tiba ia melompat lurus ke atas, seolah hendak membenturkan kepalanya sendiri ke langit-langit ruangan. Tapi kemudian kedua tangannya diangkat, dan sekuat tenaga menghantam langit-langit. Terdengar suara gemuruh hebat ketika langit-langit serta atapnya sekalian jebol dan berlubang besar. Lalu tubuh Hap To bagaikan seekor burung saja telah melesat keluar lewat lubang itu. Ia hendak mengejar kedua perwira yang sempat lolos tadi.
Tapi malam begitu gelap, dan di antara ratusan lorong-lorong kota Pak-khia itu, kemana bisa mencari kedua orang perwira tadi? Hap To mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, bagaikan beterbangan saja, ia melayang di atas atap-atap rumah sambil menebarkan pandangannya yang amat terganggu oleh gelapnya malam.
Akhirnya komandan regu Hiat-ti-cu itu dengan gemas harus menghentikan pengejarannya yang tanpa hasil. Kiranya selama selisih waktu yang terbuang untuk melawan pengikut-pengikut Ni Keng Giau itu telah memberi kesempatan kepada perwira yang lolos tadi untuk Iari sejauh-jauhnya atau bersembunyi serapat-rapatnya.
Kemudian Hap To menemukan cara penyelesaian yang gampang-gampang saja. Tidak peduli malam sudah larut, ia akan membangunkan Hap Lun, saudara sepupunya yang menjabat sebagai panglima Kiu-bun Te-tok (garnisun ibukota). Akan dimintanya tolong agar malam itu juga mengerahkan pasukannya untuk menutup semua jalan keluar dari Pak-khia, sekaligus mengadakan penggeledahan besar-besaran di seluruh kota, meskipun ketenangan kota akan terusik hebat. Tubuhnyapun berkelebat bagai kilat, menuju ke rumah saudara sepupunya itu.
Sementara itu, dua perwira yang lolos dari pembantaian kaum Hiat-ti-cu itu, Oh Bun Kai dan Bhe Hong Tek, telah menemukan tempat persembunyian aman tapi tidak di rumah mereka masing masing. Mereka tahu kalau rumah mereka sudah bukan lagi tempat yang aman.
"Bagaimana kita sekarang?"
"Tinggal adu cepat dengan kaki-tangannya Liong Ke Toh, tidak boleh terlambat sedikitpun. Saudara Bhe, kau tetap di Pak-khia dan cari hubungan dengan orang-orang yang bersimpati kepada Goan-swe Ni Keng Giau, galang kekuatan dengan mereka di Pak-khia ini untuk menyambut kembalinya Goan-swe dari Jing-hai. Sedang aku akan berusaha menyelundup keluar kota, menyongsong Goan-swe dalam perjalanan pulang untuk beritahu dia situasi yang membahayakan baginya di Pak-khia ini. Setuju?"
"Baik. Kau sendiri hati-hatilah, saudara Oh. Mungkin harus mempertaruhkan nyawa dalam usaha keluar dari kota, begitu pula sepanjang perjalanan."
"Kau juga hati-hati, saudara Oh. Selagi kita yang berkumpul di rumah Pui Toa-ko, rasanya setiap orang bersikap meragukan. Karena itu, hati-hatilah memilih orang yang akan kau hubungi. Jangan sampai keliru menghubungi orang yang malahan anteknya Liong Ke Toh, nanti nyawamu sendiri yang terancam."
"Saat seperti ini memang bukan saatnya membuat pertimbangan yang bertele-tele. Pokoknya bertindak cepat. Kalau berhasil, ya berhasil, kalau gagal ya gagal, dan mampus. Tapi kita puas bisa membela Goan-swe Ni Kong Giau."
Sesaat kedua lelaki itu saling genggam tangan dengan erat, saling membesarkan tekad masing-masing. Lalu mengendap-endap keluar dari persembunyian mereka dan berpencaran membawa tugas masing-masing. Anak-bini di rumah tak terpikir lagi. Tak mereka ketahui pula pertempuran di rumah Pui Cjong sudah berakhir dengan kemenangan di pihak Hiat-ti-cu. Kemenangan yang berharga mahal, sebab para Hiat-ti-cu yang hidup tinggal tiga orang. Sedang di pihak para perwira Ni Keng Giau, yang hidup tinggal nol orang.
Para Hiat-ti-cu, seperti biasanya, kemudian mulai mengganas terhadap seisi rumah Pui Ciong. Para pelayan, bahkan nenek Pui Ciong yang sudah berusia sembilanpuluh tahunpun dibasmi tanpa ampun. Setelah itu, api dilepaskan untuk membakar rumah, dan menghilangkan semua jejak. Dan tidak lama kemudian, tanpa menunggu sampai pagi, pasukan Kiu-bun Te-tok pun mulai bergerak di seluruh kota ketika Hap Lun sudah dibangunkan oleh Hap To.
Perajurit-perajurit yang dalam keadaan masih mengantuk dibangunkan dan diberi tugas malam-malam seperti itu, tentu saja jadi lebih tidak ramah dari biasanya. Penggeledahan dilakukan dengan kasar. Pintu-pintu rumah yang diketuk dan tidak segera dibuka pun lalu didobrak. Gamparan tangan dan gebukan gagang tombak diobral. Penduduk jadi banyak berkorban uang, gigi rompal, kuping jadi budeg sebelah atau jidat benjol.
Namun kedua perwira pengikut Ni Keng Giau yang lolos dari pembantaian itu tak berhasil diketemukan Ketika Hap To melaporkannya kepada Kaisar Yong Ceng, dia mendapat teguran pedas, namun untunglah tidak sampai dihukum mati. Dalam usahanya menyingkirkan Ni Keng Giau. Kaisar Yong Ceng mengharap punya kekuatan di pihaknya. Maka ia khawatir kalau sampai menghukum Hap To di saat dibutuhkan seperti itu, banyak bawahannya yang lain akan merosot semangatnya.
Namun Hap To diharuskan meningkatkan pengawasan di seluruh Pak-khia agar jangan sampai ada gejolak yang merugikan rencana Kaisar. Setiap desas-desus yang tidak menguntungkan, haruslah dicari sumbernya dan dibungkam secepatnya, dan untuk itu Hap To diberi hak untuk menggunakan "cara sekeras apapun" dengan catatan tambahan "asal tidak menyolok di permukaan".
Dan dengan usul Liong Ke Toh, rencana menjatuhkan Ni Keng Giau itu akan dipercepat pelaksanaannya. "Ini perlu, Tuanku. Terlalu berbahaya kalau Ni Keng Giau lebih dulu sampai diberi kabar oleh pengikut-pengikutnya, lalu timbul pikirannya untuk berontak, pada hal di tangannya masih tergenggam kekuasaan atas pasukan yang begitu besar."
"Jadi bagaimana, Paman?"
"Pelaksanaan rencana dipercepat. Tidak usah menunggu sampai dia kembali ke Pak-khia, tapi di tengah perjalanan pulangnya dari Jing-hai. Jadi kalau ada tanda-tanda dia curiga dan akan membangkang, kita di sini masih punya wak tu untuk bersiap. Kalau sampai dia ada di Pak-khia dengan pasukannya, wah berbahaya sekali kita."
* * * *
Pasukan besar Ni Keng Giau meninggalkan Jing-hai dengan membawa kemenangan besar, meskipun harus meninggalkan ratusan ribu mayat di padang rumput itu. Mayat lawan maupun kawan. Ketika pasukan itu tiba di kota Ling-he, Ni Keng Giau memerintahkan untuk berhenti.
Namun kota Ling-he yang kecil itu tidak bisa menampung pasukan yang berjumlah begitu besar, sehingga pasukan itu harus beristirahat di luar kota. Hanya Ni Keng Giau dan perwira-perwira berpangkat Cam-ciang ke atas serta regu pengawal Ni Keng Giau, yang memasuki kota. Walikota Ling-he sudah menyediakan tempat di gedung Balaikota.
Baru satu hari pasukan itu istirahat di Ling-he, tiba-tiba datanglah utusan dari Pak-khia, yang mengaku membawa Titah Kaisar untuk Ni Keng Giau. Maka di aula Balikota Ling-he, Ni Keng Giau, Kim Seng Pa dan para perwira tinggi, menyambut pembawa Titah Kaisar itu dengan berlutut, seolah berhadapan sendiri dengan Kaisar. Utusan Kaisar itu dengan gagah berdiri, membuka gulungan satin kuning yang bercap kekaisaran, dan mengumandangkan huruf demi huruf yang tertera di atasnya.
"Titah Yang Dipertuan Sang Putera Langit! Karena jasa-jasanya yang tak terhingga bagi tegaknya negara, Yang Dipertuan Sang Putera Langit menganugerahkan gelar kebangsawanan It-teng-kong kepada Ceng-se Tai-ciang-kun Ni Keng Giau! Selain itu, juga berkenan menganugerahkan wilayah Siam-sai dan Se-cuan sebagai wilayah turun-temurun bagi anak- cucunya."
Dan masih ada kata-kata sanjungan memabukkan lainnya. Biarpun masih berlutut, rasanya hati Ni Keng Giau sudah melonjak-lonjak karena kegembiraan yang tiba-tiba membanjiri hatinya. Anugerah yang tak terduga, padahal tadinya ia sudah khawatir kalau Kaisar meragukan laporannya tentang Pangeran In Te dan menghukumnya.
"Ternyata kepercayaan Sribaginda kepadaku tidak berkurang," pikirnya dengan lega. Ia membayangkan betapa akan menjadi mangkubumi di Siam-sai dan Se cuan, memiliki wilayah sendiri, pasukan sendiri, peraturan pajak sendiri, dan paling-paling setahun sekali ia harus menghadap Kaisar di Pak-khia untuk memperbaharui sumpah setianya sambil mempersembahkan upeti. Apalagi wilayah Siam-sai dan Se-cuan dikenal subur, maka tak terhingga anugerah yang dite rimanya itu.
Yang berlutut tepat di sebelah Ni Keng Giau adalah Kim Seng Pa, yang bukan main kagetnya mendengar isi Titah Kaisar yang demikian itu. Hampir saja ia menangis meraung-raung mendengar orang yang dibencinya itu mendapat kedudukan begitu tinggi. Apakah berarti laporannya kepada Kaisar yang menjelek jelekkan Ni Keng Giau itu tidak dipercayai oleh Kaisar? Kalau Ni Keng Giau diberi gelar bangsawan dan diberi wilayah, lalu dirinya sendiri mendapat apa? Mungkinkah dalam sisa umurnya yang tidak banyak lagi itu, ia akan terus-terusan menjadi komandan Ci-ih Wi-kun saja?
Namun ia terus berlutut dengan patuh, mendengar si Utusan Kaisar yang belum selesai membacakan. Dengan penuh harap Kim Seng Pa masih menunggu kalau-kalau dirinyapun disebut untuk mendapat suatu anugerah. Ternyata sampai si Utusan Kaisar berseru.
"Demikianlah titah Yang Dipertuan Agung, Sang Putera Langit!"
Nama Kim Seng Pa tidak disebut sama sekali. Seolah Kaisar sudah lupa kalau punya seorang bawahan yang namanya Kim Seng Pa. Kekecewaan yang amat dahsyat menyerbu jiwa Kim Seng Pa. Selesai pembacaan, semua yang berlutut serempak menyerukan penghormatan terhadap Kaisar,
"Ban-swe! Ban-swe!"
”Ban-swe! Ban- swe!" suara Kim Seng Pa terdengar agak terlambat, juga bernada parau dan menyayat hati.
Sebaliknya bagi Ni Keng Giau, belum pernah seumur hidupnya mendengar suara se "merdu" itu. Ia melirik sekejap ke arah Kim Seng Pa sambil melontarkan senyuman mengejek.
Utusan Kaisar menggulung satin kuning bercap itu, dan berkata, "Ni Goan swe, terimalah....."
Ni Keng Giau bangkit dari berlutut nya, lalu dengan sikap hormat menerima gulungan itu dengan kedua tangannya. Katanya. "Kim-che Tai-jin (Tuan Utusan), kalau besok pagi atau kapan saja Tai-jin pulang ke Pak-khia, tolong sampaikan sembah sujudku dan rasa terima kasihku yang tak terhingga kepada baginda. Katakan, bahwa hambanya yang hina sedang kembali ke Pak-khia untuk mempersembahkan kejayaan ke bawah duli Sribaginda."
Kim-che Tai-jin mengangguk sambil tersenyum lebar. "Aku akan menyampaikannya, Goan-swe. Dan akupun secara pribadi mengucapkan selamat kepada Goan- swe."
“Terima kasih."
"Selain itu, Goan-swe, ada sebuah pesan pribadi dari Sribaginda yang khusus untuk Goan-swe sendiri.”
"Aku sediakan waktu untuk itu, Tai-jin, kapanpun Tai-jin menghendakinya," kata Ni Keng Giau dalam semangatnya kegembiraannya yang meluap-luap.
"Tidak usah terburu-buru, Goan-swe. Nanti juga bisa. Sekarang lihatlah, banyak orang menunggu kesempatan untuk mengucapkan selamat kepada Goan-swe. Jangan biarkan mereka menunggu terlalu lama."
Keakraban antara Ni Keng Giau dan si Kim-che Tai-jin, juga percakapan mereka, seolah semuanya sengaja diperagakan untuk menyakiti hati Kim Seng Pa. Setidak-tidaknya begitulah perasaan Kim Seng Pa sendiri, membuat jago tua itu jadi merasa agak tersia-sia. Namun suka atau tidak suka, Kim Seng Pa kemudian memasang topeng senyumnya untuk memberi selamat kepada Ni Keng Giau, diikuti perwira-perwira lainnya dan Walikota Ling-he sendiri.
Tidak sedikit yang menyusun sanjung-pujian seperti deklamasi yang menggidikkan bulu tengkuk, dengan harapan akan "ke cipratan rejeki" dari si calon mangkubumi wilayah Siarn-sia dan Se-cuan itu. Sedang Kim Seng Pa terlalu singkat mengucapkan selamatnya, lalu dengan alasan "tubuhnya masih lelah" dia mohon diri dari ruangan itu, untuk kembali ke perkemahan perajurit di luar kota Ling-he.
Walikota Ling-he buru-buru menyusul langkahnya dan berkata, "Kim Cong-koan, kenapa harus tidur di perkemahan? Cong-koan sudah kusediakan sendiri kamar di gedung ini. Biarpun amat sederhana, tapi aku ingin menjadi tuan rumah yang baik."
"Tidak. Terima kasih," sahut Kim Seng Pa singkat. Dalam suasana hati macam itu, ia lebih suka tidur bersebelahan dengan kambing daripada harus di bawah satu atap dengan Ni Keng Giau. Tiap kali melihat Ni Keng Giau tersenyum, rasanya tekanan darah Kim Seng pa naik setingkat.
Sang Walikota Ling-he pun tak berani mencegahnya lagi. Tiba diluar, begitu sengit ia melompat naik ke punggung kudanya, sampai tubuhnya hampir terperosot ke sisi lain dari tubuh kuda. Dan begitu duduk di pelana, si kuda yang malang langsung dicambuknya habis-habisan, dipacu keluar kota Ling-he.
Di seberang gedung Balaikota ada seorang pengemis berjongkok di bawah dinding. Ketika Kim Seng Pa keluar, buru-buru ia menunduk, dan setelah Kim Seng Pa jauh barulah ia berani kembali mengangkat mukanya. Desisnya seorang diri, "Kenapa Kim Seng Pa tadi nampak marah? Ada hubungan apa dia dengan urusan itu?"
Sesaat pengemis itu nampak berpikir berat, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan urusanku, lebih baik aku memusatkan pikiran untuk mencari akal, bagaimana bisa berbicara dengan Goan-swe Ni Keng Giau. Kalau tidak bisa langsung, tidak langsungpun boleh, asalkan lewat orang yang bisa kupercayai. Namun selagi hari terang benderang seperti ini, sulit kutemui Ni Goan-swe, lebih baik aku tunggu sampai hari gelap." Kemudian pengemis itu bangkit, dan dengan langkah terbungkuk-bungkuk berjalan pergi dari tempat itu.
Sore harinya, sebuah jamuan besar diselenggarakan oleh Walikota Ling-he di gedung kediaman resminya. Selain untuk menghormati Ni Keng Giau yang lagi "naik daun" juga menghormati Si Kim-che Tai-jin sebagai wakil pribadi Kaisar. Medan perjamuan penuh makanan dan minuman yang berlimpah, dengan pelayan-pelayan yang sudah di "kursus kilat". Suasana riang gembira. Tapi yang hadir dalam ruang perjamuan cuma perwira-perwira tinggi. Sedang para perajurit rendahan tetap berjaga di luar, untuk memberi kesempatan agar nyamuk-nyamuk kelaparan juga bisa berpesta.
Di luar gedung, seorang pengemis berjalan tertatih menyeberangi jalan, wajahnya hampir sepenuhnya tertutup oleh topi rumputnya yang butut, la melihat-lihat gedung itu, nampak pula pen jaga-penjaga berwajah angker menjaga di setiap langkah keliling gedung itu.
Melihat seragam penjaga-penjaga gedung itu, ternyata mereka bukan pcrajurit-perajurit Ling-he sendiri atau pun perajurit-perajuritnya Ni Keng Giau, melainkan pengawal-pengawal yang dibawa oleh Kim-che Tai-jin.
Melihat itu, si pengemis mengeluh dalam hatinya, "Goan-swe benar-benar sudah lengah. Tidak sadar kalau dia sudah dikelilingi musuh. Seperti harimau yang mengantuk dan tanpa sadar dipasangi jeruji-jeruji kerangkeng di sekitarnya. Apabila kelak kerangkeng itu sudah melingkar rapat, biarpun si harimau masih kelihatan gagah, namun sebenarnya tinggal menunggu saatnya untuk dicabuti gigi dan kukunya. Ah, aku harus mencarinya kesempatan untuk memperingatkan Goan-swe akan bahaya yang mengancam."
Karena pengemis itu tak lain dari Oh Bun Kai, salah seorang perwira pengikut fanatik Ni Keng Giau yang sempat lolos dari pembantaian Hiat-ti-cu di rumah Pui Ciong di Pak-khia, beberapa hari yang lalu.
"He, jembel! Mau apa kau longak-longok di sini?!" seorang penjaga tiba-tiba membentak. "Kalau mau sisa-sisa makanan, lewat pintu belakang sana!"
Dengan terbungkuk-bungkuk mirip pengemis tulen, Oh Bun Kai menyingkir dari pintu depan. Tapi ia pantang mundur. Gagal dari pintu depan, diapun berputar mencari pintu belakang. Di lorong belakang gedung besar itu ternyata sudah penuh dengan pengemis. Ada yang berjongkok, bersandar dinding, atau seenaknya menggeletak di tanah beralas tikar. Semuanya dengan sabar menunggu terbukanya pintu kecil di belakang gedung itu, saat pelayan gedung keluar membawa sisa-sisa makanan. Tertatih-tatih Hh Bun Kai mendekati pintu kecil itu.
Tiba-tiba pintu terbuka- Para pengemis segera berdesakan maju dan Oh Bun Kai terpaksa harus ikut sikut-sikutan pula. Namun yang muncul di pintu kecil itu bukan pelayan yang membawa sisa makanan, melainkan pengawal berseragam pengawal Kim-che Iai-jin yang tangannya menjinjing pedang. Agaknya dia ingin memeriksa keamanan di bagian belakang gedung itu.
Keruan Oh Bun Kai jadi kegirangan ketika mengenali pengawal itu sebagai Hui-kiam-eng Teng Jiu, salah satu pengawal istana yang beberapa hari terakhir sebelum malapetaka itu punya persahabatan yang meningkat baik dengannya. Lebih-lebih Oh Bun Kai ingat betapa di rumah makan Pek-goat-Iau, Teng Jiu pernah menghajar dua orang kaki tangan Liong Ke Toh", sehingga Oh Bun Kai merasa bisa minta tolong kepadanya. Sungguh kebetulan bahwa Teng Jiu terpilih ikut mengawal Utusan Kaisar.
Dengan bersemangat, Oh Bun Kai mendesak maju. Sampai lupa akan penyamarannya sebagai pengemis, ia memanggil-manggil, "Teng Sam-ko! Teng Sam-ko!"
Teng Jiu terkejut mendengar seorang jembel memanggil-manggil namanya. Mula-mula ia mengira, tentunya seorang sahabat yang menjadi anggota Kai-pang (serikat pengemis). Namun ia terkejut ketika mengenali Oh Bun Kai yang berpakaian seperti pengemis, dan ia sudah menduga apa yang akan Oh Bun Kai katakan. Dan memang tepat seperti yang di duga,
"Sam-ko.... sam-ko.... aku sangat membutuhkan bantuanmu." Oh Bun Kai terus mendesak ke depan, sehingga pengemis-pengemis lainnya mencaci- maki dengan gusar.
"Kelaparan ya kelaparan, tapi apa tidak bisa antri dengan sabar!"
"Semuanya akan kebagian, tidak perlu main sikut seperti itu!"
"Tahu aturan sedikit!"
"Panggil-panggil "Sam-ko" segala pura-pura kenal supaya mendapat bagian banyak sendiri ya?"
"Kalau siasat begitu bisa berhasil, akupun akan mengakui Ni Keng Giau sebagai adikku, agar bisa diundang pesta,"
Tetapi Oh Bun Kai yang tengah bergairah itu tidak peduli dan terus mendesak, "Teng Sam-ko! Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu!"
Teng Jiu maju menyibakan para gelandangan itu untuk menangkap tangan Oh Bun Kai, lalu diseretnya menjauhi tempat itu, ke sebuah lorong lain yang sepi. Keruan para gelandangan lain jadi iri. Sementara itu, pintu kecil itu sudah ditutup kembali oleh beberapa pengawal galak.
Sementara Teng Jiu dan Oh Bun Kai telah tiba di sebuah lorong yang gelap, sepi, dan luar biasa bau air kencing di tempat itu. Begitu gelapnya, sehingga Teng Jiu dan Oh Bun Kai yang berdiri berhadapan itu hanya saling bisa melihat lawan bicaranya berujud cuma sebagai bayangan hitam yang tidak tegas garis-garisnya.
Oh Bun Kai lah yang langsung menyerocos bicara, "Sam-ko, kau pernah billang kepadaku, bahwa kau tidak su a kepada Liong Ke Toh, si ular tua tukang memfitnah itu Nah, Sam-ko sekarang ini pemerintahan terancam akan dikuasai pengaruh Liong Ke Toh. Tidakkah Sam-ko ingin mencegah bencana ini?"
Teng Jiu bungkam, karena apa yang sudah dan akan diomongkan Oh Bun Kai itu sudah bisa ditebaknya. Diam-diam Teng Jiu merasa kurang enak dalam hatinya sendiri. Begitu tulus dan bersungguh-sungguh Oh Bun Kai memandangnya sebagai teman yang terpercaya, namun Oh Bun Kai belum tahu siapa yang sudah membocorkan ke pihak Hiat-ti-cu soal waktu dan tempat pembicaraan rahasia perwira-perwira fanatik itu.
Bukan lain adalah Teng Jiu sendiri, sehingga malam itu. terjadi pembantaian kejam oleh kawanan Hiat-ti-cu Apa boleh buat, dalam mencapai tujuan golongannya, rasa persahabatan kadang-kadang memang harus dipaksa minggir. Yang nomor satu, mencapai tujuan dengan segala cara. Oh Bun Kai yang masih mengira Teng Jiu sebagai teman segolongan itu-pun terus menyerocos,
"Sam-ko, ketahui lah bahwa beberapa hari yang lalu di rumah Pui Toa-ko di Pak-khia terjadi pembantaian kejam yang dilakukan kaki tangan Liong Ke Toh. Hanya aku dan Bhe Hong Tek yang lolos. Pembantaian itu terjadi, karena kami para perwira telah mencium adanya rencana busuk Liong Ke Toh, dan kami tidak layak di biarkan hidup. Alangkah kejinya bangsat tua she Liong itu. Sam-ko, saat ini Bhe Hong Tek masih di Pak-khia untuk menyusun kekuatan dengan teman-teman sepaham, sedangkan aku kemari untuk menemui Goan-swe, karena sekarang hanya Goan-swe yang dapat menyelamatkan negara dari keserakahan Liong Ke Toh. Untuk ini aku butuh bantuanmu, Sam-ko. Tolong sampaikan peringatanku kepada Goan-swe agar ada langkah persiapan, jangan sampai Goan-swe masuk perangkap. Tolonglah, Sam-ko, demi keselamatan negara. Tolonglah."
Teng Jiu menarik napas dalam-dalam, dan menjawab, "Setiap orang punya garis perjuangan sendiri-sendiri, Oh heng. Kau begitu setia membela Ni Keng Giau, tapi maaf, aku tidak. Terang-terangan saja, aku membenci Ni Keng Giau yang kejam, dan aku ambil bagian dalam usaha untuk menyingkirkannya...!”
Melebihi disengat kala kagetnya Oh Bun Kai ketika mendengar kata-kata itu. "Teng Jiu! Kau.... kau....."
Teng Jiu melanjutkan kata-katanya, "Akupun minta maaf, harus kuakui bahwa kedatangan rombongan Hiat-ti-cu ke tempat pertemuan rahasia kalian itu adalah karena petunjukku."
"Binatang! Ternyata selama ini mataku yang sudah buta, sehingga seorang pengkhianat busuk telah kusangka sebagai seorang sahabat yang terpercaya!" teriak Oh Bun Kai kalap. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah belati dari bajunya, lalu kalang kabut menyerang Teng Jiu. "Ternyata kau adalah kaki tangan Liong Ke Toh! Ku bunuh kau demi arwah teman-teman seperjuanganku!"
Oh Bun Kai bersenjata belati dan Teng Jiu bertangan kosong, namun hal itu cepat berakhir dengan kemenangan di pihak Teng Jiu. Karena ilmu silat Teng Jiu sebagai pengawal istana lebih tinggi dari perwira-perwira biasa yang lebih menguasai taktik-taktik kemiliteran daripada ilmu silat secara perorangan. Kedua, karena selama beberapa hari ini Oh Bun Kai menderita kelelahan dan ketegangan lahir batin, pikirannya setengah kacau, sehingga tenaganya banyak terkuras habis.
Karena itu, dalam suatu gebrakan, Teng Jiu berhasil menangkap lengan Oh Bun Kai untuk langsung ditekuk ke belakang punggungnya, sehingga tak berkutik lah Oh Bun Kai. Sambil meronta-ronta, Oh Bun Kai berkata dengan gemas campur putus asa, "Ayo, bunuh saja aku, bangsat! Biar kau mendapat hadiah dari si bangsat tua Liong Ke Toh itu!"
"Tenang, Oh-heng. Aku takkan membunuhmu, namun perlu kujelaskan satu hal kepadamu. Aku tidak bekerja untuk Liong Ke Toh, sebab pada saatnya nanti Liong Ke Toh juga harus disingkirkan. Namun dalam hal menyingkiran Ni Keng Giau, kami memang sengaja membonceng Liong Ke Toh dan membantu melancarkan rencananya. Oh-heng, kita bermain di gelanggang yang sama, dan tentunya juga sama-sama tahu betapa kotornya permainan ini, bukan?”
"Kalau kau tidak bekerja buat Liong Ke Toh, lalu buat siapa? Pangeran Hong-lik?”
"Bukan. Untuk Pangeran In Te."
Rontaan Oh Bun Kai mengendor, mulutnya bungkam dan kepalanya menunduk. Sementara Teng Jiu melanjutkan,
"Aku bukan seorang yang begitu gampang menjadi pengikut seseorang dengan membabi-buta, Bukan. Aku cuma mengharap kalau Pangeran In Te kelak bertahta, negeri ini akan ditata lebih baik, kesejahteraan rakyat ditingkatkan. Tidak seperti sekarang ini, dimana rakyat terus-menerus dicengkam ketakutan terhadap pemimpin-pemimpinnya sendiri, karena tiga serangkai penguasa itu. Yong Ceng yang lalim, Liong Ke Toh yang serakah dan Ni Keng Giau yang kejam dan gila hormat. Ketiganya harus disingkirkan menurut gilirannya masing-masing. Kalau sekarang Yong Ceng dan Liong Ke Toh mau menyingkirkan Ni Keng Giau, itu kebetulan sekali buat kami. Bukankah begitu?"
Teng Jiu berkata lagi dengan tetap memegangi lengan Oh Bun Kai, "Karena itu harap Oh-heng pahami. Sebagaimana Ni Keng Giau punya pengikut-pengikut fanatik macam kau dan kawan-kawanmu, Pangeran In Te pun punya. Sebagaimana sakitnya Ni Keng Giau kalau kelak jatuh dari kedudukannya karena kena perangkap licik, begitu pula sakitnya Pangeran In Te dulu ketika disingkirkan dengan cara kotor oleh Yong Ceng dan Ni Keng Giau. Aku tahu cara kotor itu, sebab saat itu aku masih berpihak kepada Yong Ceng 'yang ternyata mengecewakan dengan janji-janji kosongnya. Dalam urusan macam ini, tak ada soal perasaan, atau belas kasihan, atau lainnya. Yang ada hanyalah bagaimana mencapai tujuan. Tidak penasaran lagi, Oh-heng?"
Oh Bun Kai masih menunduk. Tiba-tiba badannya tergetar sedikit, lalu diam lagi. Teng Jiu terkejut, ia lepaskan cengkeramannya, dan tubuh Oh Bun Kai langsung roboh terkulai.
"Oh-heng!" Teng jiu terkejut. Cepat ia menelentangkan tubuh Oh Bun Kai, dan dilihatnya mata perwira itu masih terbuka lebar tapi sudah tidak ada cahayanya lagi. Dari sudut-sudut bibirnya mengalir sedikit darah. Kiranya karena amat marah dan kecewa lantaran gagal menyampaikan peringatan kepada Ni Keng Giau, Oh Bun Kai lalu membunuh diri dengan cara menggigit lidahnya sendiri.
Melihat kekerasan hati macam ini, Teng Jiu geleng-geleng kepala. Secara pribadi ia merasa sedikit bersalah, namun rasa bersalah itu tidak mewakili kelompoknya. Ia beranggapan, cukup wajar kalau dua benang tajam bergesekan menyilang, maka salah satu harus putus. Dulu "benang Pangeran In Te" yang putus, tapi kini pengikut-pengikut Pangeran In Te menaikkan "layang-layang baru" dan berharap kali ini agar Ni Keng Giau yang "putus".
Sebagai teman secara pribadi, Teng Jiu juga tidak tega membiarkan mayat Oh Bun Kai tergeletak begitu saja di lorong penuh bau air kencing itu. Diangkatnya mayat itu, lalu dicarinya kalau-kalau ada sebuah wihara Buddha di sekitar itu. Di tempat macam itu biasanya ada tempat untuk memperabukan jenazah, serta pendeta-pendeta yang secara sukarela bisa dimintai tolong membakar mayat para musafir yang mati di perjalanan, asalkan ada yang mengantarkan mayatnya.
Akhirnya Teng Jiu temukan juga tempat macam itu. Digedornya pintu depannya biarpun sudah malam. Ketika pendeta-pendeta membukakan pintu, Teng Jiu mengutarakan maksudnya dan pihak wihara bisa menyetujuinya. Teng Jiu pun lalu menyerahkan mayat Oh Bun Kai.
"Aku mengucapkan terima kasih atas kebaikan para Toa-suhu. Tapi bisakah kumohon agar abu jenazah temanku ini sudah bisa kuambil besok malam?"
Hwe-shio pemimpin wiha-ra itu mengangguk, "Baiklah. Kalau besok tuan datang seperti saat ini, abu jenazah teman mu sudah bisa diambil.”
Sebelum pergi Teng Jiu memasukkan uang lima tahil perak ke dalam guci derma. Begitulah, karena ia pernah ditraktir oleh Oh Bun Kai di Pek-goat-lau, maka sekarang diapun balas "mentraktir" arwah Oh Bun Kai. Uang itu antara lain untuk mengganti pihak wihara guna membeli kayu bakar, lilin, dupa dan kelengkapan sembahyang lainnya.
Ketika Teng Jiu melangkah pulang kembali ke Balaikota yang masih dalam suasana pesta, sedikit banyak sikapnya jadi murung juga. Biarpun demi menjunjung Pangeran In Te, menyingkirkan penghalang-penghalang bagi Pangeran In Tetapi tak bisa dibantah kalau dia sudah melakukan sesuatu yang buruk terhadap seorang teman macam Oh Bun Kai. "Maaf, Oh-heng. Maaf."
Namun sementara langkahnya makin dekat ke Balaikota, ingatan Teng Jiu melayang ke salah satu ucapan Oh Bun Kai sebelum matinya tadi. Di Pak-khia masih ada sisa seorang perwira fanatik pengikut Ni Keng Giau yang lolos dari pembantaian, berkeliaran menyusun kekuatan untuk "menyelamatkan Ni Keng Giau". Namanya Bhe Hong Tek, dan Teng Jiu berpendapat yang inipun perlu dipapas habis biarpun tidak usah dengan tangannya sendiri.
Ketika Teng Jiu masuk kehalaman belakang Balaikota dengan lewat pintu kecil di belakang, tahu-tahu Hap To sudah menghadangnya dengan tatapan yang memancarkan kecurigaan. "Kau pergi meninggalkan tempat ini tanpa minta ijinku, darimana saja kau?" tanyanya.
Hap To adalah komandan Hiat-ti-cu regu pembunuh itu. Kalau sedang bertugas membunuh orang, pakaiannya ringkas hitam. Tapi sekarang ia sedang memimpin pengawalan Kim-che Tai-jin, maka seragamnya pun jubah satin yang mentereng. Pengawal Kim-che Tai-jin ada seratus orang, dan mereka diambilkan dari Hiat-ti-cu limapuluh orang, dari Uih Wi-kun juga limapuluh orang.
Bukan karena pihak istana kekurangan orang, sehingga untuk menyusun pengawal Kim-Che Tai-jin saja harus comot sana comot sini, tapi hal itu memang disengaja oleh Kaisar Yong Ceng yang curiga jangan-jangan para pengawal itu akan berkhianat, berkomplot dengan orang liar, selagi bertugas jauh dari istana. Kaisar Yong Ceng selalu dihantui soal itu.
Karena itulah regu pengawal Kim-che Tai-jin ini biarpun terbungkus seragam yang sama, sesungguhnya adalah campuran dari dua golongan pengawal yang bersaingan, agar satu sama lain bisa saling mengawasi kalau ada yang berkhianat. Karena bersaingan, ka lau satu pihak bertindak mencurigakan sedikit saja, maka pihak lain dengan gembira tentu akan melaporkan kepada Kaisar, demikianlah perhitungan Kaisar Yong Ceng. Dan komandan dari regu pengawal Kim-che Ta-jin itu adalah Hap To.
Teng Jiu menenangkan hatinya menghadapi pemimpin regu algojo ini. Sahutnya, "Hap Thong-leng (komandan Hap), aku baru saja menjumpai Oh Bun Kai, salah seorang perwira pembangkang yang malam itu lolos dari rumah Pui Ciong, seperti pernah Thong-leng katakan. Ternyata perhitungan Thong-leng benar, dia rupanya menyusul sampai ke sini, dan mencari peluang untuk menyampaikan peringatan kepada Ni Keng Giau. Tentu saja aku mencegahnya."
Ini baru berita, pikir Hap To. Tanyanya dengan penuh minat, "Ha, betul begitu? Di mana dia sekarang? Kenapa tidak kau laporkan kepadaku?"
Di hadapan orang yang kejam ini, Teng Jiu juga pura-pura menjadi orang yang kejam, "Dia menyamar sebagai pengemis dan mencoba menyusup masuk lewat pintu belakang. Tapi aku memergokinya, dia lari dan aku mengejarnya. Aku tak sempat melapor kepada Thong leng, karena khawatir akan keburu kehilangan jejaknya. Aku kejar terus."
''Berhasil kau tangkap?"
"Berhasil. Lalu aku siksa dia tanpa ampun agar mengaku tentang komplotannya. Dia mengaku akhirnya. Ternyata dia sendirian saja datang ke Ling-he ini, sedang satu temannya yang malam itu juga lolos dari rumah Pui Ciong, bernama Bhe Hong Tek, ternyata tetap di Pak-khia. Katanya untuk mencari dukungan dari perwira-perwira yang sepaham."
Hap To mengangguk-angguk. "Laporanmu cocok dengan laporan-laporan yang aku terima sebelum ini. Memang malam itu hanya dua yang berhasil lolos, lainnya kutumpas habis. Dan sekarang, dimana Oh Bun Kai?"
"Karena aku gemas mendengar rencananya yang menunjukkan ketidak-setiaannya terhadap Kaisar, aku bunuh dia setelah berhasil kukorek keterangan dari mulutnya."
Hap To menepuk-nepuk pundak Teng Jiu, "Bagus. Bagus. Jasamu ini pasti akan mendapat penghargaan dari Sribaginda. Sekarang, tetaplah bertugas dengan baik di sini. Aku akan segera mengirim orang ke Pak-khia untuk melapor kepada Sribaginda atau Liong Ong-ya, agar segera diambil tindakan untuk mencegah pembela-pembela Ni Keng Giau itu.”
Teng Jiu mengangguk dengan sikap bangga, namun sambil merintih dalam hatinya, "Sekali lagi maafkan aku, Oh-heng. Komplotan teman-temanmu terpaksa harus kupatahkan demi perjuangan Pangeran In Te, agar seluruh negeri terselamatkan dari kesewenang-wenangan tiga serangkai yang lalim saat ini."
Malam itu juga, diam-diam Hap To mengirim pulang Tam Tai Liong, pulang ke Pak-khia untuk membawa surat laporannya. Tentu saja dalam surat itu ia tidak menyebut-nyebut jasa Teng Jiu, melainkan ditulisnya "karena jerih payah hamba yang berusaha mempertahankan keagungan Tuanku."
Begitulah. Yang terjadi di permukaan seolah-olah Ni Keng Giau disambut secara megah sebagai seorang pahlawan. Sedangkan, di bawah permukaan sudah siap sebuah rencana yang rapi untuk melucuti kekuasaan Ni Keng Giau lalu menyingkirkannya. Seperti sebatang pohon besar, bagian atasnya ditiup angin sepoi-sepoi yang membuat ngantuk dan nyaman, sampai tak merasa kalau akar-akarnya mulai digerogoti rayap.
Di dalam gedung Balai kota pesta terus berlangsung dengan meriah. Ni Keng Giau dengan deretan, pengawal-pengawal Kepercayaannya berdiri di belakang kursinya, nampak gembira sekali. Sibuk sekali ia membalas ucapan selamat yang membanjirinya, karena setiap tamu dalam perjamuan itu tidak cukup hanya satu kali mengucapkan selamat, melainkan sampai beberapa kail. Semuanya khawatir, kalau hanya satu kali mengucapkan selamat, jangan-jangan akan gampang dilupakan oleh si "calon raja muda” itu.
Kim-che Tai-jin diam-diam terus memperhatikan Ni Keng Giau. Ketika dilihatnya Ni Keng Giau sudah cukup mabuk, bukan mabuk arak tapi mabuk sanjungan, maka si Kim-che Tai-jin merasa sudah tiba waktunya untuk melancarkan "jurus" berikutnya. Karena ia duduk bersebelahan dengan Ni Keng Giau, ia lalu mencondongkan tubuhnya agar mulutnya dekat dengan kuping Ni Keng Giau, lalu berbisik,
"Goan-swe, bisakah aku meminta waktumu sebentar untuk bicara empat mata, guna menyampaikan pesan pribadi Sribaginda...?"
Tentu saja Ni Keng Giau dengan wajah sangat cerah mengangguk dan menjawab lirih, "Baiklah, Tai-jin, sebentar, aku harus minta diri kepada sahabat-sahabat di ruangan ini."
Lalu Ni Keng Giau berdiri sambil mengangkat tangannya dan berkata keras, "saudara- saudara."
Ruang perjamuan seketika menjadi sunyi senyap, tak ada lagi gelak tawa. suara percakapan, atau kelitak- kelitak sumpit dan mangkuk. Yang makannya sudah masuk mulut tapi belum sempat dikunyah, cepat-cepat ditelan begitu saja. Agar sang mulut nanti tidak terlambat melontarkan sanjungan dan jilatan pada saat yang dibutuhkan.
"Saudara-saudara, silahkan melanjutkan perjamuan. Yang santai saja, dan aku mohon maaf harus meninggalkan ruangan ini sebentar, Kim-che Tai-jin membawa pesan pribadi Sribaginda untuku..." ada nada bangga ketika mengucapkan itu, disertai lirikan kearah Kim Seng Pa yang sejak semula lebih banyak menunduk.
Kemudian Ni keng Giau dan Kim che Tai-jin itupun menghilang keruangan belakang. Delapan orang pengawal pribadi Ni Keng Giau yang mukanya angker-angker seperti topeng perunggu itu, juga mengikuti. Tapi ketika sampai ke sebuah ruang tertutup, kedelapan pengawal itu harus menunggu di luar saja. Sedang di dalam ruangan, Kim-che Tai-jin mulai bicara dengan nada amat bersungguh-sungguh,
“Goan-swe, sungguh keberuntungan Goan-swe membuat banyak orang menjadi iri. Selain anugerah Sribaginda yang kubacakan siang tadi, Sribaginda secara lisan berpesan lewat aku, supaya Goan-swe secepatnya tiba di Pak-khia untuk pelantikan kedudukan yang baru. Kalau ada pihak lain yang iri atau dengki, itu sudah biasa, tak perlu terlalu digubris. Tetapi Sribaginda ingin mempercepat pelantikan itu, agar terbungkamlah segera mulut-mulut usil tadi."
Ni Keng Giau mengangguk mantap, "Aku bisa memaklumi. Aku akan mempercepat perjalanan pasukanku. Rencananya akan istirahat sepuluh hari di Ling he ini. Namun karena menjunjung tinggi pesan Sribaginda, aku hanya akan meng ambil istirahat tiga hari saja."
Kim-che Tai-jin tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Kepatuhan dan kesetiaan Goan-swe seperti inilah agaknya yang membuat Sribaginda begitu kasih sayang kepada Goan-swe, sampai, tidak menghiraukan suara-suara tak sedap yang santer terdengar di Pak-khia belakangan ini. Sribaginda mengharap, kalau Goan-swe kebetulan mendengar kabar-angin dari mulut-mulut jahil itu, Goan-swe tidak usah terpengaruh. Diseluruh kekaisaran ini, siapa lagi yang lebih dikasihi oleh Sribaginda, kecuali diri Goan-swe?"
Ni Keng Giau menepuk paha sambil tertawa bergelak sampai kepalanya tertengadah, "Sungguh tidak percuma aku mengabdi dengan setia kepada baginda, hanya beliau yang tahu isi hatiku sedalam-dalamnya dan menghargai pengabdian. Akupun mencintai Sribaginda bukan saja sebagai junjungan, tapi sebagai kakak kandungku sendiri. Sejak kami berdua masih sebagai saudara seperguruan, sama-sama belajar di bawah pimbingan Pun-bu Hwe-shio."
“Oh, ya, Goan-swe, bicara soal persaudaraan, bahkan," bicara sampai di sini, si Kim-che Tai-jin mendadak menghentikan ucapannya, sikapnya seolah-olah ragu-ragu, telah mengucapkan sesuatu yang diyakini kebenarannya atau kepastiannya.
"Bahkan apa?" Ni Keng Giau yang penasaran itu lalu mendesak.
Utusan Kaisar itu pura-pura bersikap canggung, lalu menjawab sambil menyapukan telapak tangan di depan hidung, seolah-olah mengusir lalat, "Ah, cuma kabar angin yang berasal dari orang-orang dekatnya Sribaginda, Goan-swe. Sribaginda sendiri belum pernah mengucapkannya. Hanya kabar angin."
"Kabar angin tentang apa? Apakah tentang keburukan diriku?"
"Tidak, Goan-swe. Kabar angin yang ini justru kudoakan agar menjadi kenyataan. Kabarnya Sribaginda ingin mempererat hubungan pribadi dengan Goan-swe, dengan melakukan angkat-saudara. Tetapi hanya kabar angin lho."
Biarpun sudah beberapa kali dijelaskan "hanya kabar angin", tubuh N i Keng Giau sudah bergetar kegirangan. Menjadi saudara Kaisar? Luar biasa. Tak terasa Ni Keng Giau bangkit dari kursinya, lalu mondar-mandir di ruangan itu sambil meremas jari-jari tangannya sendiri sambil tersenyum-senyum sendiri pula.
Kim-che Tai-jin ikut tersenyum, seolah ikut berbahagia, padahal sebenarnya mengejek dalam hati, "Anugerahnya belum menjadi kenyataan, tapi orang ini sudah menunjukkan gejala-gejala kesintingan."
Demikianlah lembutnya si Kim-che lai-jin menuntun Ni Keng Giau masuk perangkap, dengan menggunakan dua cara sekaligus. Yang satu cara "penjelasan resmi" dan yang lain cara "kabar angin". Kalau hanya cara "penjelasan resmi" maka Ni Keng Giau malah akan curiga, mungkin akan merasa sedang dibujuk. Sebaliknya kalau hanya dengan "kabar angin" saja, Ni Keng Giau jelas takkan menaruh minat sedikitpun. Maka ya campuran antara kedua cara itulah. Dan saat itu angan-angan Ni Keng Giau sudah melambung sampai ke awan awan.
"Tapi cuma kabar angin lho, Goan-swe," kata si Kim-che Tai-jin sambil pura-pura merasa iri kepada Ni Keng Giau.
Ni Keng Giau tertawa, "Ha-ha, aku cuma seorang keturunan rakyat jelata dari kalangan bawah, mana berani mimpi untuk menjadi saudara angkat Sribaginda? Anugerah yang kuterima hari ini pun sudah cukup berlimpah, tak berani mengharap apa-apa lagi." Tapi dalam hati ia justru mengharap, alangkah bagusnya kalau "kabar angin" itu bisa menjadi kenyataan.
"Goan-swe, kecuali itu masih ada pesan pribadi Sribaginda yang lain lagi."
"Katakan, Tai-jin....." sergap Ni Keng Giau, sambil membatin, "Dasar bintangku sedang terang. Yang akan kuterima ini entah keberuntungan apa lagi?"
"Ketika dulu Goan-swe berangkat perang ke Jing-hai, apakah benar Goan-swe telah memperbesar jumlah pasukan Goan-swe dengan menyedot sebagian kekuatan dari beberapa mangkubumi wilayah, gubernur atau panglima wilayah?"
"Memang benar. Tapi aku punya alasan yang bisa kupertanggung-jawabkan. Wilayah jing-hai yang harus kuamankan itu cukup luas, sedang pasukan yang kubawa dari Pak-khia kuanggap kurang cukup untuk tugas itu. Maka dengan meminjam kewibawaan Sribaginda lewat pedang pusaka Liong-hong Po-kiam yang ada padaku, aku bangkitkan kesadaran beberapa mangkubumi, gubernur atau panglima wilayah untuk ambil bagian dalam perjuangan menjaga kejayaan negara. Aku lalu mendapat tambahan perajurit, kuda dan perlengkapan. Apakah ada yang tidak senang dengan hal ini?”
"Jangan salah paham, Goan-swe. Sribaginda tidak marah, beliau malah memuji Goan-swe sebagai panglima yang cepat mengambil tindakan menurut situasi yang mendesak, tanpa harus menunggu perintah dari atas. Seorang Panglima berotak cemerlang, begitulah kata Sribaginda."
"Kalau Sribaginda bisa memakluminya, aku sungguh- berbesar hati."
"Sribaginda memang tidak menyalahkan Goan-swe. Tapi banyak gubernur dan panglima wilayah yang menjadi gelisah, karena mereka mengira telah berbuat kesalahan terhadap Sribaginda dan hendak dicopot dari kedudukannya. Banyak yang menghadap Sribaginda di Pak-khia sambil minta-minta ampun. Kalau hal ini tidak segera diatasi, Sribaginda khawatir akan mempertajam kritik dari pada mulut jahil, terhadap kebijaksanaan Sribaginda kepada Goan-swe sekarang ini. Karena itu Sribaginda memerintahkan agar pasukan-pasukan yang diambil dari mereka itu segera dikembalikan ke asalnya masing-masing. Sribaginda juga minta Goan-swe bertindak atas namanya pribadi untuk meredakan kegelisahan mereka."
Tidak sembarangan orang bisa bertindak atas nama Kaisar pribadi, namun Ni Keng Giau justru diberi hak demikian, keruan saja kepalanya sampai hampir meletus karena bangganya. Kebanggaan yang mengendorkan kewaspadaannya, sehingga ia tidak sadar kalau sampai berbuat demikian maka ia sama saja dengan mengurangi kekuatan pasukannya sendiri. Tapi ia menjawab tanpa pikir panjang, "Urusan gampang. Akan segera kulaksanakan."
Utusan Kaisar itu tersenyum puas dan menyatakan pembicaraan itu selesai. Dua hari kemudian, rombongan Utusan Kaisar dan pengawalnya berangkat mendahului ke Pak-khia. Di antara mereka terdapat Teng Jiu yang membawa sebuah guci berisi abu jenazah Oh Bun Kai untuk diserahkan kepada keluarganya. Ni Keng Giau dan para perwira tinggi mengantar sampai keluar gerbang kota Ling-he. Juga Walikota di Ling-he ikut mengantar dan menyusahkan para pemikul tandu karena gemuknya yang Kelewat batas.
Sebelum berpisahan di luar gerbang kota Ling-he, si Kim-che Tai-jin sekali lagi berpesan ulang tentang pengembalian pasukan dari beberapa gubernuran yang selama ini "dipinjam" Ni Keng Giau untuk berperang di Jing-hai. Kim-che lai-jin menekankan sekali lagi bahwa "Tidak ada yang lebih pantas melakukannya, kecuali orang yang paling dikasihi oleh Kaisar."
"Akan kulaksanakan secepatnya! sahut Ni Keng Giau sambil membusungkan dada.
Sehari kemudian, pasukan Ni Keng Giau pun membongkar perkemahannya untuk berbaris kembali ke Pak-khia, dalam kemegahan sang pemenang perang. Walikota Ling-he kembali mengantarkan dengan penuh hormat sampai keluar gerbang kota. Setelah itu barulah kembali ke kantornya dan mulai menghitung berapa saja biaya yang sudah dikeluarkan untuk penyambutan besar-besaran itu. Agak tekor. Tapi bukan dia kalau sampai tak mampu mengatasi ketekoran itu dengan cara paling singkat, menyunat dana untuk keperluan lain.
Sesuai dengan pesan Kim-che Tai-jin, dalam perjalanan pulang itu Ni Keng Giau mengembalikan pasukan-pasukan gubernuran ke asalnya masing-masing. Apa yang tidak diketahui Ni Keng Giau, para gubernur dan panglima wilayah itu sudah mendapat pesan rahasia dari istana pula. Begitu Ni Keng Giau mengembalikan pasukan, maka para gubernur itu harus segera mengirimkan lagi pasukan yang terbaik dan mampu bergerak cepat, untuk menuju sebelah timur kota Pak- khia. Di sana mereka harus "menunggu perintah lebih lanjut”.
Keberangkatan pasukan-pasukan gerak cepat itu ke Pak-khia, tidak diketahui Ni Keng Giau, sebab mereka mengambil jalan yang tidak dilewati Ni Keng Giau. Dengan demikian, pasukan-pasukan itu harus siap menghadapi pasukan lain yang tadinya di Jing-hai menjadi teman.
Ketika tiba diluar kota Pak-khia, pasukan Ni Keng Giau tinggal sekitar 100.000 orang. Kira-kira seimbang dengan pasukan dalam dan sekitar Pak-khia, yang setiap waktu bisa digerakkan oleh Kaisar Yong Ceng. Namun Kaisar tidak mau buru-buru turun tangan terhadap Ni Keng Giau, ia tidak mau hanya punya peluang setengah banding setengah untuk keberhasilan rencananya. Setidak-tidaknya harus tujuhpuluh banding tigapuluh, barulah bisa dicoba.
Sambutan di Pak-khia begitu meriah, sehingga Ni Keng Giau semakin dinina-bobokan. Namun bagi para keluarga perajurit yang kehilangan, mana ada kegembiraan? Mana ada suasana kemenangan? Yang ada cuma air mata kesedihan. Bahkan jasad dari orang yang mereka cintai itupun tak bisa mereka lihat, karena terkubur jauh di Jing-hai sana.
Beberapa hari kemudian, pelantikan dan penganugerahan gelar kepada Ni Keng Giau berlangsung di istana. Kaisar Yong Geng juga mengumumkan bahwa Ni Keng Giau dibebaskan dari kewajiban berlutut apabila menghadap secara pribadi, cukup menghormat biasa.
Hari-hari berikutnya, Ni Keng Giau kebanjiran ucapan selamat dari kalangan atas di Pak-khia. Undangan untuk perjamuan makan pun sampai bertumpuk-tumpuk di mejanya. Dan ia menghadiri pesta-pesta dari gedung bangsawan yang satu ke gedung bangsawan yang lain, namanya melangit dan menjadi bahan pembicaraan yang tak habis-habisnya.
Mendengar nama Ni Keng Giau dipuja-puja di mana-mana, mendidih juga Kaisar Yong Ceng. Rasanya di Pak-khia itu sudah banyak orang lupa kalau masih ada yang lebih tinggi dari Ni Keng Giau. Namun dengan bujukan susah-payah dari Liong Ke Toh, berhasillah Yong Ceng menahan diri.
“Tahan sebentar lagi, Tuanku, takkan lama lagi kita melihat cecongornya yang penuh kecongkakan. Tak lama lagi. Kebanggaan yang diterimanya dalam beberapa hari ini sebenarnya malah menguntungkan kita, sebab membuatnya terlena.”
"Paman, yakinkah Paman bahwa sampai detik ini Ni Keng Giau benar-benar belum mencium rencana kita?"
"Percayalah kepada hamba, Tuanku. Hamba tidak bekerja dengan ceroboh, tidak hanya mengamati tingkah-lakunya dari kejauhan, tapi juga memasang banyak orang kepercayaan hamba di sekitar Ni Keng Giau. Seandainya dia berhasil mencium rencana kita, dan barangkali juga menyiapkan rencana tandingan, pasti orang-orang hamba akan mengetahuinya dan melaporkannya kepada hamba. Pasti. Tapi sampai saat ini belum ada laporan macam itu. Jadi Ni Keng Giau benar-benar terlena oleh umpan-umpan yang kita sodorkan ke bawah hidungnya. Rencana kita aman, Tuanku."
"Bagaimana dengan perwira-perwira fanatik yang setia kepadanya? Tidakkah mereka berhasil memberi peringatan kepadanya?"
"Memang ada beberapa perwira keras kepala yang agaknya berhasil mencium rencana kita, dan coba menyusun kekuatan di kota ini. Tapi ada Hap To yang sudah menumpasnya. Ada satu orang berhasil lolos dan menyusul Ni Keng Giau ke Ling-he, namun berkat kesigapan Hap To, orang bernama Oh Bun Kai itu sudah berhasil dibinasakan sebelum sempat menemui Ni Keng Giau. Satu lagi bernama Bhe Hong Tek, berkeliaran di Pak-khia ini sambil mencari kesempatan, tetapi kemarin malam Hap To sudah berhasil memperotoli kepalanya dengan kantong Hiat-ti-cu."
Kaisar Yong Ceng mengangguk-angguk. Dalam hal membikin celaka orang, Pamannya ini bisa digolongkan "seniman", kerjannya amat rapi dan halus. "Baiklah, Parnan. Jalankan terus rencana kita. Dan aku mengharap laporan Paman setiap saat."
"Hamba Tuanku.."
Sementara itu, di Pak-khia semakin santer desas-desus bahwa Ni Keng Giau akan menjadi saudara angkat Kaisar Yong Ceng sendiri. Lalu desas-desus itu meningkat semakin "berani" lagi, katanya Kaisar Yong Ceng takkan kokoh kedudukannya kalau tidak ditunjang oleh Ni Keng Giau.
Desas-desus pertama memang sengaja disebar Yong Ceng untuk melengahkan Ni Keng Giau. Tapi desas-desus ke dua yang "lebih berani" itu entah dari-mana sumbernya, dan membuat Kaisar Yong Ceng merah kupingnya. Ia merasa bahwa ada pihak tertentu yang meragukan kekuasaannya, seolah-olah ia tak mampu berbuat apa-apa dan Ni Keng Giau-lah yang berbuat semuanya baginya.
Maka, tanpa menunggu sampai Kaisar marah dan ngawur tindakannya, Liong Ke Toh buru-buru menyodorkan usul untuk melaksanakan langkah berikutnya. Pada suatu hari, di hadapan Sidang Kerajaan yang lengkap, Kaisar Yong Ceng dengan sikap yang amat ramah, memerintahkan agar Ni Keng Giau segera menempati istananya di Seng-toh, ibukota propinsi Se-cuan. Menjabat sebagai raja muda bergelar It-teng-kong yang berkuasa atas dua propinsi, Se-cuan dan Siam-sai.
Bagi orang-orang politik yang peka dan dapat merasakan isyarat-isyarat halus, mulai merasa bahwa nasib Ni Keng Giau di masa mendatang belum tentu sebaik kelihatannya sekarang, Seng-toh. Kota itu memang terletak di pusat propinsi yang dijuluki "gudang beras" karena suburnya, namun bagi yang percaya "tahyul politik", Seng-toh seolah juga lambang keruntuhan dan pembuangan. Orang jadi ingat sejarah lama tentang Bu Sam-kui, seorang rajamuda di jaman Kaisar Sun Ti dan Khong Hi, kakak dan ayah Kaisar Yong Ceng.
Bu Sam-kui adalah seorang Panglima Kerajaan Beng yang bertugas menjaga perbatasan San-hai-koan, namun kemudian malah berbalik ke pihak Manchu dan mempermudah pihak Manchu menyerbu Tiong-goan. Karena jasanya, Kaisar Sun Ti mengangkatnya sebagai Peng-se-ong yang berkedudukan di Seng-toh. Di saat orang mengira itulah awal kejayaannya, justru kenyataannya adalah awal keruntuhannya.
Ada persamaan antara Bu Sam-kui dan Ni Keng Giau. Keduanya sama-sama orang Han yang berhasil mencapai kedudukan tinggi dalam pemerintahan Manchu. Orang Han macam itu, dalam pandangan sementara orang, biasanya hanya dipakai tenaganya untuk mengamankan negara, sedang setelah tenaganya terpakai lalu disingkirkan jauh dari istana. Para "penebak nasib" mulai bertanya-tanya dalam hati, adakah kota Seng-toh akan mengulangi kisah yang sama?
Betapapun cerdik Kaisar Yong Ceng dan Liong Ke Toh menyembunyikan rencananya, tapi orang-orang politik berhidung tajam itu dapat merasakan tanda-tanda buruk pada masa depan Ni Keng Giau. Tetapi Ni Keng Giau sendiri malah tidak merasakan apa-apa, jiwanya penuh dengan kebanggaan yang meluap-luap. Sedang orang-orang yang mencium gelagat buruk itu enggan memberitahu Ni Keng Giau, malahan bersyukur dalam hati mudah-mudahan Ni Keng Giau cepat jatuh, lalu.... aku yang naik!
Sementara itu, dalam hatinya Ni Keng Giau masih agak kecewa juga karena Kaisar tidak juga menyinggung-nyinggung soal "angkat saudara" itu, padahal desas-desus sudah begitu santer, bahkan ada yang sudah terlanjur mengucapkan selamat.
Pihak istana segera menyelenggarakan jamuan untuk mengucapkan selamat jalan dan selamat bertugas, yang tentu saja jauh lebih hebat dari pesta-pesta para bangsawan sebelumnya. Kaisar Yong Ceng sendiri mengajak N i Keng Giau mengeringkan tiga cawan arak.
Keesokan harinya, berangkatlah Ni Keng Giau dari Pak-khia, dengan menunggangi keretanya yang bersepuh keemasan dan ditarik enam ekor kuda Persia. Pengawalnya berjumlah 500 orang, dengan seragam baru yang luar biasa mewah, Jubah satin kuning emas, sabuk berkepala batu giok hijau, topi biru berhias bulu merak, pedang-pedang yang sarungnya ukiran gading, sepatu kulit ular, bahkan sanggurdi-sanggurdi pun terbuat dari perak.
Gemerlapannya seragam pengawal Ni Keng Giau itu. menjadi kelompok Gi cian-si-wi (Pengawal Kaisar) jadi suram seragamnya, kalah jauh kalau dibandingkan. Di bagian depan barisan Ni Keng Giau berkibarlah umbul-umbul bertuliskan "It-teng-kong". Kemudian masih ada pengiring yang bukan pengawal, tetapi kawan bujang yang berseragam pula, berjumlah puluhan, dan merekalah yang akan menyiapan segala keperluan Ni Keng Giau seperti makan, ganti pakaian dan sebagainya.
Ketika Ni Keng Giau siap mengibarkan pula mengibarkan bendera lambing Kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi, Kaisar Yong Ceng tiba-tiba memerintahkan agar bendera itu tidak usah dikibarkan, dengan dalih "karena negara sudah aman”, dan disuruhnya menyimpan kembali bendera itu di Peng-po Ceng-tong. Ni Keng Giau pun menurutinya tanpa curiga.
Kaisar Yong Ceng dan pejabat-pejabat tinggi lainnya, lalu mengantar keberangkatan Ni Keng Giau dengan menaiki kereta masing-masing, sampai diluar pintu gerbang barat kota Pak-khia. Kemudian antara yang diantar dengan para pengantarpun berpisahan setelah saling mengucapkan selamat. Ni Keng Giau bergerak dalam rombongannya yang megah. Menurut rencananya, sebelum menuju ke Seng-toh, rombongan itu akan lewat kota Tan-liu untuk menjemput Ayah ibu Ni Keng Giau dan sanak- keluarga lainnya, untuk sekalian diboyong ke Seng-toh.
Sambil menatap rombongan Ni Keng Giau yang makin jauh. Liong Ke Toh tersenyum lebar dan berkata kepada Kaisar Yong Ceng di sebelahnya, "Sekarang, Tuanku, seandainya Ni Keng Giau mengetuhui rencana kita, ia tidak lagi bisa berbuat apa-apa untuk kekeliruannya. la berhasil kita potong dari pasukanya."
"Tapi sungguh luar biasa mentereng dandanan pengawal-pengawalnya, paman," gerutu Kaisar Yong Ceng. "Sampai dandanan pengawal-pengawalku jadi mirip jembel kalau dibandingkan mereka."
"Biarkan saja, Tuanku. Dalam adat orang Han, mayat yang akan dikuburkan pun juga didandani sebagus-bagusnya," sahut Liong Ke Toh sambil terkekeh-kekeh.
"Bagaimana menurut Paman, setelah ini kita bereskan dia secepatnya, atau harus tunggu apa lagi?" kata Kaisar setelah duduk kembali dalam keretanya. bersama Liong Ke Toh.
Liong Ke Toh menyahut. "Ni Keng Giau pernah melakukan suatu tindakan yang amat melukai kehormatan Tuanku. Dia pernah membawa pasukannya masuk istana, dan pasukan itu tidak mau tunduk kepada perintah Tuanku, hanya tunduk kepadanya. Kekurang-ajaran seperti ini terlalu enak kalau hanya dibayar dengan kematian yang cepat."
"Paman punya rencana?"
"Hukuman secara badan akan kurang menyiksanya. Menurut hamba, buat orang congkak macam dia, hukum paling tepat adalah meruntuhkan kebanggaannya dan menghinanya habis-habisan. Hukuman batin itu pasti lebih menyiksa daripada dipukuli dengan cambuk berpaku...."
Selanjutnya,