Kemelut Tahta Naga I Jilid 02
Karya Stevanus S P
“OTAK MU sudah miring agaknya!” kata In Ceng Keras sambil mendorong pundak Ni Keng Giau. “Surat Wasiat itu tersimpan diruangan yang dijaga ketat oleh prajurit-prajurit Han-Lim-Kun yang hanya tunduk kepada peintah Ayahanda Kaisar! Usulmu itu adalah usul gila! Tidak masuk akal!”
“Waktu sudah mendesak, Pangeran, apa kita mesti menunggu Pangeran In Te dan pasukannya datang dan menyumbat semua peluang kita? Terpaksa kita harus berani menyerempet bahaya untuk memenangkan pertarungan ini….”
Sejak mendengar dua kabar kurang menguntungkan berturut-turut, yaitu kabar kembalinya adiknya dari Jing-Hai yang disusul kabar bahwa Pak Kiong Liong berkunjung ke gedung kediaman Bok Eng Siang, Pangeran In Ceng memang kebingungan dan merasa terdesak. Maka “usul gila” Ni Keng-Giau itu ibarat sepotong papan yang ditemukan oleh seorang yang hampir mati tenggelam di lautan. Ahirnya diapun menganggukkan kepalanya. Itulah jalan yang singkat. Menang atau hancur sama sekali.
Tanyanya. “kau punya perincian bagaimana pelaksanaanya?”
Sahut Ni Keng Giau, “Akan ada banyak orang yang bersedia melakukannya untuk kita.”
Wajah Pangeran In Ceng masih kelihatan ragu-ragu. Ia senang bahwa banyak jagoan-jagoan silat yang berpihak kepadanya. Tapi diapun sadar bahwa kebanyakan mereka tidak mengabdi dengan tulus kepadanya, melainkan hanya memperjuangkan diri sendiri di hari depan, kalau ia berhasil naik tahta. Kalo orang-orang macam itu diserahi tugas seperti rencana Ni Keng Giau, dan kemudian tertangkap oleh pasukan Han-Lim-Kun, maka dengan sedikit siksaan atau tekanan saja, orang-orang itu akan mengaku siapa yang menyuruhnya.
Kalau Kaisar sampai mendengarnya dan marah, habislah peluangnya. Gelar kebangsawanannya akan dicabut dan ia akan mengalami nasib malang seperti kakak tertuanya, Pangeran In Si. Membayangkan hal itu, punggung Pangeran In Ceng itu dialiri keringat dingin. Itulah perjudian dengan taruhan yang kelewat mahal.
“Bagaimana, Pangeran?” Ni Keng Giau mendesak.
Bukannya langsung menjawab, Pangeran In Ceng malah balik bertanya, “Sute, menurutmu, orang yang bagaimana yang cocok untuk tugas berbahaya ini?”
Sekarang Ni Keng Giau sudah berani tersenyum, karena yakin Pangeran junjungannya itu akan menerima usulnya. Sahutnya perlahan, agar jelas didengar Pangeran In Ceng, “Jelas bukan orang-orang bayaran yang dengan gampang melepaskan kesetiaan apabila terancam bahaya. Orang untuk tugas ini cukup mempunyai dua syarat. Pertama, ilmu meringankan tubuhnya cukup lihai, sehingga dapat masuk keluar ruang penyimpanan Surat Wasiat itu dengan kemungkinan tertangkap kecil sekali. Kedua, seandainya ia tertangkap juga, dia haruslah orang yang sanggup menutup mulutnya biarpun menghadapi siksaan bagaimanapun beratnya, atau bahkan diancam akan dibunuh…”
“Persyaratan yang berat. Di antara orang-orang kita dalam istanaku ini, siapa kira-kira yang memenuhi kedua macam syarat itu?” Tanya Pangeran In Ceng harap-harap lesu.
“Tidak ada,” jawab Ni Keng Giau kalem.
Pangeran In Ceng hamper terlonjak di atas kursinya, dan hampur pula berteriak, “Kalau tidak ada, apa gunanya usulmu tadi? Atau kita akan menugaskan sesosok arwah gentayangan yang bias menghilang?”
Jawab Ni Keng Giau masih setenang semua. “Di antara jago-jago kita di istana ini memang tidak ada seorang pun yang memiliki dua syarat itu sekaligus. Ki Yong sangat setia kepada Pangeran, namun ilmu meringankan tubuhnya cukup untuk membobol kandang ayam di desanya sana. Tong Hong Lui lihai ilmu meringankan tubuhnya, namun dia seekor ular berkepala dua yang mudah berganti haluan apabila keadaan tidak menguntungkan. Kedua-duanya tidak cocok untuk tugas ini…”
“Dua orang yang baru saja kau bawa dari Tay-tong itu, bagaimana?”
“Dua saudara Ho? Kepandaian mereka juga kurang mencukupi tugas berat ini….”
“Kalau begitu, usulmu tadi hanya usul di atas kertas saja dan tidak bias dilaksanakan?” Pangeran In Ceng hampir-hampir kehabisan kesabarannya.
Tapi Ni Keng Giau malah tersenyum. “Pangeran, apakah Pangeran lupa ketika dulu mengembara ke selatan, Pangeran mendapatkan sahabat-sahabat yang bisa dipercaya? Baik ketangguhan ilmunya maupun kelurusan hati mereka?”
Otak Pangeran In Ceng yang keruh oleh kegelisahan itu tiba-tiba terasa jernih kembali dan iapun mulai tersenyum sendiri. Di masa muda, ia pernah minggat dari istana, berguru di wihara Siau-lim-si di Siong-san, kemudian mengembara dengan nama samara Su Liong Cu. Dalam pengembaraannya, ia mendapatkan beberapa sahabat, bahkan salah seorang sahabatnya adalah Kang-lam Tai-hiap (pendekar Agung Kang-lam) Kam Hong Ti yang amat terkenal.
Ketika kedoknya sebagai Pangeran Manchu terbongkar, hampur saja ia kehilangan sahabat-sahabatnya yang bangsa Han itu. Saat itulah ia melontarkan sebuah janji manis, apabila kelak berhasil naik tahta , ia akan menghapus undang-undang yang merendahkan martabat bangsa Han agar sederajat dan berdampingan dengan bangsa Manchu. Beberapa pendekar Han terpikat oleh janji itu dan berjanji akan mendukung In Ceng merebut tahta.
Para pendekar bangsa Han itu agaknya berpendapat, dapipada ngotot memperjuangkan bangunnya kembali Dinasti Beng, suatu cita-cita yang entah berapa abad lagi baru terwujud karena semakin kokohnya kekuasaan Manchu jaman itu, lebih baik mendukung In Ceng yang diharapkan akan mengangkat martabat bangsa Han tanpa melalui pemberontakan.
Beberapa pendekar kuatir, kalo orang Han dan Manchu bertikai tak henti-hentinya, negeri besar itu akan menjadi lemah dan dicaplok bangsa asing kulit putih, seperti nasib beberapa negeri diselatan. Karena itulah mereka sepakat, perlawanan kepada pemerintah Manchu harus dihentikan, asalkan bangsa Han mendapatkan kehormatannya lagi.
Apalagi kalau dipikir bahwa kaisar Khong Hi yang bertahta itu tidak sepenunhnya tepat kalau disebut “raja berdarah Manchu”; sebab ibundanya adalah perempuan berdarah Han. Dengan begitu terasa cukup adil kalau tahta di duduki orang yang ”setengah Manchu setengah Han”.
Dalam beberapa tahun belakangan itu, pangeran In Ceng telah menghentikan pengembaraanya, kembali ke ibukota untuk mempersiapkan diri merebut tahta. Ketika usul Ni Keng Giau itu, barulah Pangeran In Ceng ingat sahabat-sahabatnya itu, dan merasa itulah saatnya yang tepat untuk menagih janji mereka dulu.
Pangeran In Ceng kenal wakt mereka. Teguh pada janji dan cita-cita, sedangkan ilmu silat merekapun tinggi, jauh bedanya dengan jago-jago bayaran yang saat itu mengelilinginya. Jadi merekalah orang-orang yang tepat untuk mengambil surat wasiat tulisan ayahandanya itu.
“Hampir saja aku melupakan mereka, sute” kata Pangeran In Ceng sambil menepuk pahanya sendiri. Namun sedetik kemudian, wajahnya menjadi murung kembali. “Tapi… cukupkah waktu untuk mencari dan mengundang mereka dari Kang Lam, sementara Angkatan Perang Adinda In Te sudah hampir sampai di Ambang pintu kota Pak-Khia?”
“Pangeran, ada sesuatau kabar gembira yang belum Pangeran ketahui. Sejak kemelut perebutan tahta ini menghangat, sahabat-sahabat Pangeran itu sudah banyak yang meninggalkan Kang-Lam dan sekarang mereka berkumpul di Gunung Siong-San di Ho-lam. Untuk mengundang mereka, tidak perlu Pangeran sampai melintasi Sungai Yang-Cu-Kiang. Dengan menunggangi seekor kuda yang baik, Pangeran dapat…..”
“Tunggu! Dalam keadaan tak menentu seperti ini, aku tak boleh meninggalkan Pak-Khia biarpun hanya selangkah atau sedetik. Aku harus tetap di sini untuk mengikuti perkembangan yang berubah-ubah dengan cepat….”
“Kalau begitu, Pangeran, biarlah hamba yang pergi ke sana dengan beberapa pengawal. Cukup kalau Pangeran menyertakan sepucuk surat pribadi Pangeran kepada hamba, semuanya akan hamba bereskan...“
“Baik. Tunggulah sebentar.” Pangeran In Ceng masuk sebentar dan beberapa saat kemudian keluar kembali dengan membawa sepucuk surat bersampul rapat, dan sebatang pedang pendek bersalut emas. Katanya, “Sahabat-sahabatku di selatan bukan saja akan mengenali tulisanku dalam surat ini, tapi juga pedang pendek yang disebut Liong-Hong Po-Kiam (Pedang pusaka Naga dan hong) itu, disamping toya hitamku yang dulu kubawa berkelana di selatan. Tapi toya hitam itu biarlah tetap disampingku, untuk berjaga-jaga kalau keadaan memburuk."
Sambil menerima kedua benda itu dengan sikap hormat, Ni Keng-Giau merasa bangga sekali mendapat kepercayaan begitu besar dari “calon kaisar” ini. Rasanya ia sudah bukan lagi Jendral yang menjadi tangan kanan seorang Pangeran saja, melaikan sudah menjadi seorang Panglima Tertinggi di kekaisaran itu, yang tengah menerima tugas dari Kaisarnya.
“Hamba akan berangkat mala mini juga dengan menunggangi Jian-Li-Ma (Kuda Seribu Li ), Pangeran, “kata Ni Keng-Giau. “Hamba mohon pamit, harap Pangeran menjaga diri baik-baik….”
“Kaupun harus berhati-hati di jalan, Sute. Gagal atau berhasilnya perjuangan kita, tergantung dari hasil perjalananmu ini.” Kata Pangeran In Ceng sambil menepuk-nepuk pundak adik seperguruannya. “Tolong sampaikan salam hormatku kepada suhu Pun-bu Hwesio, semua paman-paman guru dan saudara-saudara seperguruan lainnya di Siau Lim-si…”
“Baik, Pangeran.”
Pada saat yang hampir bersamaan, di gedung kediaman Bok Eng Siang juga terjadi sebuah kesibukan. Seandainya Pangeran In Ceng atau Ni Keng-giau tahu bahwa saingan berat mereka, Pangeran In Te, tengah berada di gedung itu, barangkali gedung itu sudah dikepung rapat oleh pasukan-pasukan di ibukota yang beberapa bagian sudah berada di bawah pengaruh Pangeran In Ceng. Namun Pangeran In Ceng agaknya masih mengira bahwa adindanya itu masih berada di tengah-tengah angkatan perangnya yang sedang dalam perjalanan pulang dari Jing-hai sana.
Di ruangan belakang gedung kediaman Bok Eng-Siang itu, Pangeran In Te tengan didandani untuk menyamar sebagai salah seorang prajurit pengawal Pak-Kion Liong, wajahnyapun disamarkan dengan kerut merut palsu dan kumis palsu pula. Untuk mendapatkan pakaiannya, seorang pengawal Pak Kiong-Liong yang berperawakan tubuh mirip Pangeran In Te disuruh mencopot pakaiannya, dan pengawal itu sendiri dipinjami baju penduduk biasa oleh Bok Eng Siang untuk pulang ke rumahnya.
Maka ketika rombongan Pak Kiong Liong itu meninggalkan gedung itu, mata-mata Pangeran In Ceng yang berpapasan di Jalan tidak ada yang tahu bahwa salah seorang dari pengawal Pak Kiong Liong itu sudah bertukar orangnya. Bentrokan senjata atara para pengikut Pangeran-pangeran yang bersaing memang belum secara terbuka, namun situasi kota Pak-Khia sudah menghangat seperti dipanggang diatas bara. Hanya saja, ketegangan itu hanya terasakan oleh mereka yang terlibat dalam kemelut, sedangkan bagi rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, rasanya situasi tetap adem-ayem saja.
Subuh, sebelum mentari muncul menunaikan tugasnya, lonceng Keng-yang-ciong di sebelah kanan istana Kerajaan serta tambur Liong- hong-kou di sebelah kiri istana, sudah berbunyi, menandakan sidang istana akan dimulai dengan dipimpin Kaisar sendiri. Dalam kesehatannya yang semakin menurun, Kaisar Khong Hi masih saja sering memaksakan diri untuk memimpin sidang.
Sementara lonceng dan tambur berbunyi, para Pangeran dan Bangsawan, Menerti, Panglima-panglima Perang dan beberapa Gubernur atau Raja Muda, cepat-cepat merapikan diri dan berdiri dalam dua barisan menghadap kea rah kursi emas berukir Naga berkuku lima yang masih kosong itu. Semuanya memakai jubah dan topi menunjukkan kedudukan dan pangkat masing-masing.
Di antara orang-orang itu, Nampak Pak Kiong Liong berdiri di deretan agak depan. Ia memakai jubah ungu tua yang bagian bawahnya bersulam garis-garis putih dan hitam, dirangkap lagi dengan jubah panjang sepanjang lutut berwarna merah darah yang punggung dan dadanya bersulam.
Kepalanya yang sudah berambut putih semua itu memakai topi hitam beludru berhias benang-benang merah serta hoa-leng, bulu burung yang dipasang rebah dibelakang. Dalam usianya yang enam puluh lima tahun lebih, Pak Kiong Liong masih berpundak tegap, perutnya tetap datar dan tidak menggelembung ke depan, sepasang matanya tajam berpengaruh.
Sebagai anggota keluarga istana, sebenarnya Pak Kiong Liong syah memiliki kehormatan untuk memakai jubah kuning bersulam burung Hong, burung Hong adalah lambing hanya setingkat di bawah lambing Naga, namun Pak Kiong Liong agaknya lebih suka seragam kebesarannya sebagai Panglima, bukan sebagai anggota keluarga istana.
Sementara menunggu hadirnya Kaisar, orang-orang penting di kekaisaran itu masih sempat bercakap-cakap satu sama lain dengan suara perlahan. Beberapa putera Kaisar Khong Hi sempat menyapa Pak Kiong Liong dengan sebutan “paman”, tetapi dengan derajat keakraban yang berbeda-beda satu sama lain.
Pangeran In Ceng yang juga hadir, bukan saja menyapa dengan sepatah kata, melainkan juga berjalan mendekatinya dan bercakap-cakap, “Selamat pagi Paman, rasanya sudah lama aku tidak bercakap-cakap dengan Paman.”
Pak Kiong Liong tersenyum sehingga kumis putihnya bergerak-gerak. “Selamat pagi, Pangeran. Hamba dapat memaklumi, tentu di hari-hari belakangan ini Pangeran sangat sibuk.”
Ada sindiran halus terkandung dalam kalimat itu, tetapi Pangeran In Ceng menanggapinya sambil tersenyum-senyum saja, “Kita semua mendadak jadi sibuk di hari-hari ini, Paman, bukankah Paman sendiri juga amat sibuk? Dalam beberapa bulan, aku dengar Paman menggembleng pasukan Paman di Bukit Patat-nia. Untuk apa, Paman?”
Nada pertanyaan itu tidak menuduh, seperti orang bertanya biasa saja, namun Pak Kiong Liong sadar bahwa ia tidak boleh tergelincir sejengkalpun dalam menjawab. Ia sadar sedang berada di Sidang Kerajaan, bukan di warung arak atau pasar kuda. Kalau di warung arak orang bisa mengumbar mulut seenaknya, resikonya paling-paling kepalanya benjol dipukul pengunjung lainnya, maka salah bicara di Sidang Kerajaan bisa berakibat gawat. Bisa menyangkut nasib jutaan rakyat, sebab Sidang Kerajaan adalah tempat kebijaksanaan-kebijaksanaan besar ditetapkan.
Sahut Pak Kiong Liong, “Prajurit-prajurit Kekaisaran tentu saja harus selalu siap, Pangeran. Kalau prajurit-prajurit kita lengah, tentu musuh-musuhmu akan segera menerkam kita, baik musuh dari dalam maupun dari luar…”
“Keadaan Negara cukup tenang, Paman, kekuatan kita juga disegani sampai ke seberang lautan. Siapa berani memusuhi kita?”
“Beberapa tahun yang lalu Pangeran pernah berkelana di wilayah selatan, apakah Pangeran tidak mendengar bahwa sisa-sisa Dinasti Beng belum kehilangan kekuatan sama sekali? Mereka adalah musuh-musuh dalam negeri yang tetap berbahaya. Sedang musuh dari luar ialah orang-orang kulit putih yang semakin ramai berkeliaran di Laut Timur dengan kapal-kapal meriam mereka. Meskipun mereka berkedok berdagang, siapa berani bilang mereka bukan ancamanan? Pemberontakan di Sin-Kian dan Jing-hai itupun membuktikan bahwa kita tetap harus waspada.”
“Pemberontakan di Sin-kiang dan Jing-hai telah ditumpas oleh Adinda In Te dan kekuatan mereka tak seberapa lagi. Sisa-sisa Dinasti Beng memang masih mengacau di beberapa tempat. Tapi kekuatan merekapun terlalu kecil untuk menumbangkan Kekaisaran kita. Dan orang-orang kulit putih itu? Mereka memang garang di lautan, namun begitu berani menginjak daratan, mereka akan kita gulung dan kita lempar kembali ke laut.”
“Tapi ancaman yang bagaimanapun kecilnya tidak boleh kita abaikan. Pangeran. Seekor gajah bisa mati gara-gara seekor semut yang masuk ke kupingnya. Karena itu, prajurat-prajuritku harus selalu latihan untuk menjaga kesegaran jasmani dan semangat mereka, agar setiap saat dapat digerakan untuk membendung bahaya yang mengancam kekaisaran.”
“Hemm, pandai bener Paman berdalih, Tapi apakah Paman tidak punya tujuan lain yang tersembunyi?” Pangeran In Ceng tiba-tiba menyerang secara langsung. Ternyata Pak Kion Liong tenang-tenang saja menjawab tuduhan itu, “Tidak ada tujuan lain, Pangeran.”
Sedangkan Pangeran In Ceng semakin jengkel oleh ketenangan Pamannya itu, “Paman hanya pura-pura saja, sebenernya Paman ingin ikut menentukan calon Kaisar pengganti Ayahanda, bukankah begitu? Untuk itu Paman melatih pasukan Paman, seolah-olah ada ancaman buat Kekaisaran, padahal ancaman itu terhadap ambisi Paman sendiri….”
Pembicaraan yang semakin keras dan hangat itu menarik perhatian pejabat-pejabat tinggi kekaisaran yang tengah menunggu hadiranya Kaisar itu. Pembicaraan-pembicaraan di antara mereka sendiri segera dihentikan, dan hampir seluruh perhatian di tujukan kearah Pangeran In Ceng dan Pak Kiong Liong. Namun tak seorang pun berani ikut campur.
“Mana berani hamba ikut menentukan calon pengganti Kaisar?” kata Pak Kiong LIong. “Calon itu sudah ditentukan oleh Hong Siang dalam Surat Wasiatnya. Siapa berani melanggar pesan dalam Surat Wasiat itu, berarti dia seorang pengkhianat, bahkan hamba serta pasukan hamba siap mempertahankan amanat Hong Siang itu dengan taruhan nyawa!”
Pak Kion Liong mengucapkannya tanpa berteriak atau mengacungkan tinju ke langit, namun nada suaranya mengandung sikap tegas yang tak bisa ditawar tawar lagi. Pangeran In Ceng yang baru kemarin malam kasak-kusuk dengan Ni Keng Giau untuk mencoba membongkar Surat Wasiat Kaisar, seketika tergetar hatinya, merasa dirinya seperti tertuduh yang telanjang di depan meja hijau. Tatapan tajam Pak Kion Liong itu tak berani ditentangnya.
Seandarainya tidak sedang berhadapan dengan Pak Kiong Lion, Pangeran In Ceng tentu sudah mengayunkan tinjunya untuk meremukkan hidung orang dihadapannya. Tapi sadar bahwa ilmunya kalah jauh dibandingkan ilmu Pamannya itu, maka terpaksa kemendongkolannya ditelannya sendiri mentah-mentah.
Yang gembira melihat keteguhan sikap Pak Kiong Liong itu adalah salah seorang pengawal Pak Kiong Liong di luar aula persidangan itu karena pengawal itu bukan lain adalah samaran Pangeran In Te. Biarpun ia ada di luar aula, tapi karena aula itu bagian depannya tidak berdinding, hanya ada pilar-pilar merah besar, maka percakapan Pak Kiong Liong dan Pangeran In Ceng itu dapat didengarnya.
Sikap Pak Kiong Liong yang teguh akan “membela amanat Kaisar” itu berarti dukungan bagi Pangeran In Te, sebab meskipun Surat Wasiat itu belum dibuka, bukan rahasia ladi dikalangan pemerintahan, bahwa Pangeran In Te adalah putera yang paling disayangai Kaisar Khong Hi dan hampir pasti namanyalah yang tertulis dalam Suarat Wasiat itu.
Sementara itu, Pangeran In Ceng gagal menyudutkan Pak Kiong Liong, malahan dirinya sendiri yang tersudut. Ia kini dalam keadaan serba salah. Kalau mundur begitu saja, pamornya dihadapan begitu banyak pejabat tinggi akan merosot, dukungan terhadap dirinyapun mungkin akan berkurang. Tetapi kalau nekad membentur Pak Kiong Liong, kekalahan yang dikhawatirkannya itu bahkan akan datang lebih cepat lagi. Sesaat ia kebingungan.
Untunglah, seorang berpakaian bangsawan yang setua Pak Kion Liong, segera menengahi pembicaraan itu, “Pangeran, tidak lama lagi persidangan akan dimulai, Hong Siang akan segera tiba kalau kesehatannya mengijinkan. Hamba mohong Pangeran dan Saudara Pak Kiong LIong kembali ketempata masing-masing.”
Bangsawan tua itu adalah Liong Ke Toh, ipar Kaisar Khong Hi sendiri, sehingga kdudukannya membuat ia cukup pantas untuk memperingatkan Pangeran In Ceng agar tertib dalam persidangan. Teguran seorang paman terhadap keponakannya. Namun dengan cara itu, Liong Ke Toh juga berhasil memberikan jalan mundur bagi Pangeran In Ceng tanpa membuat sang pangeran kehilangan muka.
Pangaeran In Ceng merasa lega, namun sebelum meningglkan Pak Kiong Liong, ia sempat berkata, “Paman Liong Ke Toh, menurut Paman Pak Kiong Long ini, kekaisaran kita sedang menghadapi ancaman dari mana-mana. Bagaimana kalau kelak diusulkan kepada Hu-Hong (ayahanda Kaisar) agar Paman Pak Kiong dan pasukannya dikirim untuk melawan musuh-musuh itu?”
Hati Pak Kiong Liong berdenyut keras mendengar dirinya akan disingkirkan dengan cara ditugaskan ke tempat yang jauh dari ibukota. Sehingga tidak dapat lagi mempengaruhi persaingan antar pangeran. Hal itu bukan tidak mungkin kalau Liong Ke Toh mau membujuk kaisar dengan lidahnya yang lihai itu. Kalau kaisar sendiri sudah mengeluarkan perintah, tentu saja Pak Kiong Liong tidak mungkin lagi membantahnya.
Liong Ke Toh sesaat menatap Pak Kiong Liong samba menunjukkan senyuman liciknya seolah sedang memamerkan kekuasaanya sambil bertanya tanpa kata, tidak percayakah kau bahwa aku dapat membuangmu sejauh-jauhnya dari ibukota?
Sebaliknya Pak Kiong Liong dengan muka jijik memandang kearah lain, tidak sudi memandang kearah wajah Liong Ke Toh. Ia tahu manusia macam apa ipar Kaisar itu. Licik, penjilat, penyebar fitnah, berambisi mendapat kekuasaan sebesar-besarnya dengan segala cara.
Baru saja Liong Ke Toh hendak mengucapkan beberapa kata gertakan atau sindirian kepada Pak Kiong Liong, tiba-tiba lonceng Keng-Yang-ciong dan tambur Liong- Hong-kou di samping istana kembali berbunyi, dari belakang tirai singgasana muncul seorang thai-kam (pelayan kebiri) yang berseru, “Hong Siang telah tiba!”
Semua orang di aula persidangan itu cepat- cepat berdiri di tempatnya masing-masing dan merapikan pakaian mereka. Tirai kuning di samping singgasana tersibak oleh dua orang thai-kam, disusul munculnya dua prajurit pengawal Kaisar, setelah itu barulah Kaisar Khong Hi sendiri muncul menuju singgasana. Kaisar ke dua dari Dinasti Manchu itu berjalan tidak terlalu tegap, karena usianya yang tua dan kesehatannya yang menurun, namun ia berjalan sendiri tanpa dituntun oleh pelayan-pelayannya.
Orang-orang di aula persidangan serempak berlutut dan serempak menyerukan pujian mereka, “Ban-swe! Ban-swe!”
Suara Kaisar Khong Hi yang tidak keras itu masih terdengar jelas di aula yang sunyi senyap itu, “Bangun kalian…”
Setelah seruan “terima kasih, Tuanku” dikumandangkan secara serempak pula, orang- orang di aula itupun bangkit dari berlututnya. Dari singgasananya, Kaisar Khong Hi menyapukan pandangannya untuk meneliti wajah-wajah yang hadir dalam persidangan itu, kepalanya terangguk-angguk kecil ketika melihat putera-puteranya hadir pula. Dari tatapan matanya hinggap agak lama pada diri Pangeran In Ceng, putranya yang ke-empat, yang beberapa tahun yang silam pernah minggat dari istana karena merasa tidak disujau Ayahandanya sendiri.
“Kau, In Ceng?” Tanya Kaisar.
Cepat-cepat Pangeran In Ceng berlutut lagi dan menjawab, “Hamba Ayahanda.”
"Sudah hampir satu bulan kau tidak hadir dalam persidangan-persidangan, juga tidak pernah menghadap aku di Yang-wan-kiong, kemana saja kau selama ini?”
“Hamba mencoba melihat-lihat situasi di luar ibukota, untuk mengetahui bagaimana keadaan Kekaisaran ini.”
“Kenapa tidak kau laporkan kepadaku tentang kegiatanmu itu?”
“Hamba mendengar dari Tabib istana tentang keadaan Ayahanda yang kurang sehat, maka hamba tidak melaporkannya karena kuatir menambah beban pikiran Ayahanda. Apa yang bisa hamba kerjakan tanpa menambah beban Ayahanda, biarlah hamba kerjakan sendiri, sambil mengharapkan Ayahanda cepat sehat kembali.”
“Wah, benar-benar anak manis,” pikir Pak Kiong Liong dalam hatinya.
Kaisar Khong Hi mengurut-urut janggutnya sambil mengangguk-ngangguk pula, sementara Pangeran In Ceng pun membatin. “Ayahanda pura-pura saja mempercayai aku, tapi aku yakin dia pasti tidak pernah percaya sedikitpun. Namun tidak apa-apa, akupun toh cuma pembual…”
Saat itulah di ruang persidangan yang sunyi itu terdengar suara tertawa mengejek yang tertahan. Itu mengejutkan semua orang, siapa yang berani bersikap kurang sopan di depan Kaisar? Waktu semua orang menoleh ke arah asal suara itu, ternyata adalah putera tertua Kaisar Khong Hi, Pangeran In Si yang dulu punya gelar kebangsawanan Tit-hun-ong.
Namun saat itu gelarnya sudah dicabut, sekaligus juga kehilangan haknya untuk mewarisi tahta. Karena itulah Pangeran In Si punya rasa dengki terhadap pangeran-pangeran lainnya, adik-adiknya sendiri, sebisa-bisanya ingin menjegal dan mengacau semua rencana mereka. Mendengar ejekan, lupa kalau saat itu tengah berada di Sidang Kerajaan.
Ketika berpuluh-puluh pasang mata tertuju kearahnya, seolah-olah menegurnya, terutama sorot mata Kaisar sendiri, Pangeran In Si menjadi agak gugup. Cepat-cepat ia berlutut dan berkapa, “Harap Ayahanda mengampuni ketidak sopanan hamba dalam sidang ini…”
Kaisar Khong Hi menarik napas untuk menekan kejengkelannya. Harusnya putera tertuanya itu paling berhak menggantikannya, tapi ia tahu bahwa Pangeran In Si adalah seorang yang berwatak lemah, terlalu senang memikirkan diri sendiri, kemampuannya tidak seimbang dengan ambisinya yang besar sehingga kekaisaran terancam runtuh kalau dikendalikan orang macam itu.
Dan akibat kelambatan Kaisar dalam menyiapkan penggantinya itulah maka putera-puteranya terjerumus dalam persaingan sengit yang membahayakan persatuan kekaisaran. Persaingan yang belum tentu reda dengan dibukanya Surat Wasiatnya kelak…
Kaisar menatap Pangeran In Si dengan pandangan sedih, katanya, “Bangunlah, aku maafkan kau. Tapi lain kali berilah contoh yang betul kepada adik-adikmu. Dan menilik sikapmu tadi, tentunya ada sesuatu yang ingin kau katakan?”
“Terima kasih, Ayahanda. Hamba memang ingin mengatakan sesuatu,” sahut Pangeran In Si. Setelah bangkit dari berlututnya, ia berdiri dengan kepala tunduk dan dua tangan lurus di samping tubuh.
“Katakanlah.”
Sekilas Pangeran In Si melirik Pangeran In Ceng dengan pandangan penuh kebencian, lalu berkata, “Ayahanda, meskipun Adinda In Ceng tidak pernah menengok Ayahanda, namun agaknya dia berusaha menjaga Ayahanda sebaik-baiknya. Buktinya, Adinda In Ceng menempatkan banyak jago-jago silatnya untuk memenuhi istana. Kemarin, ketika hamba hendak menjenguk kesehatan Ayahanda, hamba dihadang di pintu gerbang Yang-wan-kiong oleh orang-orang Adinda In Ceng, dan hamba dipaksa pulang kembali sebelum berhasil menjenguk Ayahanda…”
Sebelum Kaisar menjawab, tiba-tiba Pangeran In Gi, putra ke delapan yang bertubuh tinggi besar dan bersuara kasar itupun telah maju berlutut dan suaranya memenuhi aula persidangan itu. “Ayahanda, hamba mohon ampun karena lancang bicara tanpa perkenan Ayahanda. Tetapi hamba harus melapor juga, apa yang dikatakan Kakanda In Si itu benar adanya. Hamba juga pernah mengalami perlakuan kasar dari orang-orang Kakanda In Ceng ketika hendak menengok Ayahanda. Istana ini seolah-olah sudah menjadi milik Kakanda In Ceng pribadi!”
“Hamba juga mengalami perlakuan serupa, Ayahanda,” Kata Pangeran In Tong putera Kaisar ke Sembilan, sambil berlutut pula.
Disusul putera ke sepuluh Pangeran In Go. “Ayahanda, seharusnya Kakanda In Ceng menertibkan orang-orangnya untuk sedikit tahu adat. Ini adalah istana Kerajaan, kalau anak buah Kakanda In Ceng berkelakuan seperti orang-orang Han yang biadab itu dibawa masuk ke istana semuanya, rusaklah tata-tertib istana ini dan akan menodai kehormatan Keluarga Aishin Gioro kita yang agung!”
Dalam mengumpukan pendukung-pendukungnya, Pangeran In Ceng memang tidak peduli darimana asalnya, pokoknya asal sanggup bergabung dengannya. Sebelum orang-orang itu diberi seragam mentereng untuk ditempatkan di istana dengan bantuan Liong Ke Toh, orang-orang itu memang beberapa hari dilatih tata karma dalam istana.
Namun “Kursus kilat” itu sulit mengubah watak orang-orang yang sebagian besar dari golongan hitam itu, meskipun mereka telah diberi baju seragam yang rapi. Dalam urusan ilmu silat, memang orang-orang Pangeran In Ceng itu rata-rata tergolong jagoan, sehingga para pengawal istanapun kalau tidak terpaksa enggan berhantam dengan mereka.
Sementara itu, para menteri, panglima dan gubernur yang sebenarnya sudah siap dengan laporan masing-masing, kini terpaksa harus bersabar dulu. Mereka geleng-geleng kepala melihat sidang Kerajaan mendadak berubah menjadi “sidang keluarga” dimana seorang ayah dihadapkan kepada pertengkaran anak-anaknya.
Pangeran In Ceng tegang wajahnya mendengar tuduhan saudara-saudaranya itu. Setelah keadaan agak reda, barulah ia berbicara lagi, “Ayahanda, sebenarnya hamba bermaksud baik, ingin memberi kesempatan Ayahanda beristirahat dengan tenang tanpa diganggu siapapun. Tetapi agaknya saudara-saudaraku sendiripun salah paham. Kalau Ayahanda merasa kesalahan hamba ini patut dihukum, hamba tunduk keputusan Ayahanda...!"
Kaisar tua itu agak bingung menghadapi itu. Apalagi ketika Pangeran In Gi dengan berangasan telah berkata lagi, “Ayahanda, sebaiknya orang-orang Kakanda In Ceng yang liar seperti orang hutan itu disingkirkan semua dar istana!"
Usui itu mendapat dukungan dari Pangeran-pangeran lainnya. Tentu saja masing-masing ingin agar kekuatan Pangeran In Ceng di bagian dalam istana bisa dikurangi, supaya bisa digantikan pendukung-pendukung mereka masing-masing. Tapi pangeran-pangeran itupun sadar, kalau Pangeran In Ceng berhasil disingkirkan, mereka masih harus bergulat satu sama lain untuk mendapatkan hanya satu “pemenang". Atau barangkali takkan ada “pemenang“nya satupun, alias hancur bersama.
Kaisar kemudian bertanya kepada In Ceng, “Anakku, bagimu, mana yang lebih berat? Saudara-saudaramu atau orang-orangmu yang asal-usulnya tak keruan itu Aku sendiri tidak senang dikeliling istana ini bertebaran orang-orang kasar seperti orang-orangmu itu.”
Memang, sejak orang-orang In Ceng masuk istana, kebersihan istana, jadi agak terganggu. Kalau mereka ingin kencing, cukup mencari rumpun pohon dan kencinglah mereka di situ. Bahkan kolam ikan emas juga pernah dikecingi sehingga ikannya mabuk semua. Meskipun Kaisar telah berusaha bertindak sebagai seorang ayah yang adil namun ucapan terakhirnya tadi menunjukkan ketidaksenangannya terhadap putera keempatnya yang sejak kecil memang paIing bengal itu.
Untuk merebut simpati para menteri, panglima dan gubernur yang tengah hadir di aula persidangan itu terpaksa Pangeran In Ceng harus bersandiwara sebagai seorang anak yang “menurut” dan “berbakti”. Kalau Ayahnda dan saudara-saudara kurang berkenan, baiklah secepat mungkin hamba akan menarik anak buah hamba itu.” Tapi dalam hatinya la mengutuk. "Semakin jelaslah bahwa aku memang di anak tirikan oleh Ayahanda. Melihat gelagatnya, mustahil namaku yang tercantum dalam Surat Wasiat itu. Kalau begitu, aku takkan sungkan-sungkan lagi, dalam beberapa hari aku harus mengambil langkah-Iangkah kilat. Setelah aku bertahta kelak, tahu rasalah penentang penentangku itu."
Demikianlah tekad Pangeran In Ceng dalamhatinya.Biarpunsaudarsaudara sedar ah-sedaging,kalau menghalangi tu juannya, akan dibabatnya tanpa belas kasihan lagi. Namun rencana itu tersimpan rapat dalam hatinya, tak seorangpun tahu, kecuali di saat pelaksanaan rencananya kelak.
Ucapan kesanggupan untuk membubarkan "pengawaI-pengawal liar”nya itu membuat para penuduh tak berkutik lagi. Pangeran In Si meskipun sangat benci dan dengki, namun tak tahu harus mengucapkan apa lagi. Apalagi ketika In Ceng dengan wajah memelas berlutut di depan Kakanda tertuanya itu untuk mohon maaf. Pangeran In Si tak bisa bilang apa lagi, kecuali wajahnya yang menjadi masam.
Kaisar Khong Hi melihat itu semua dengan perasaan pedih. Setelahnya nanti, akankah kekaisaran yang sudah dibinanya berpuluh tahun Itu hancur berantakan karena pertengkaran putera-puteranya? Tapi masih ada setitik harapan di hati Kaisar tua itu. Pangeran In Te, puteranya yang paling diharapkan itu, mudah-mudahan kelak setelah bertahta dapat mengatasi ulah saudara-saudaranya sendiri. la gemblra mendengar kabar putera ke empatbelas itu sedang dalam perjalanan pulang ke ibu kota, setelah memadamkan pemberontakan di Jing-hai.
Tuduh-menuduh antar pangerann sudah mereda, namun kebencian hati masing-masing justru kian membara. Para menteri dan pejabat-pejabat tinggi lainnya segera bersiap-siap menyodorkan laporan mereka, namun agaknya mereka harus bersabar lagi, sebab Pangeran In Ceng kembali merebut kesempatan bicara,
"Ayahanda, kehadiran hamba ini sebenarnya juga membawa sebuah laporan penting untuk dihaturkan kepada Ayahanda..”
Betapapun tidak senangnya Kaisar Khong Hi kepada puteranya yang satu ini, namun ia tidak dapat menunjukkan ketidaksenangannya terang-terangan dihadapan sidang. Terpaksa ia membolehkan Pangeran In Ceng bicara.
"Ayahanda, hamba mendengar bahwa Adinda In Te dengan gemilang telah berhasiI menumpas perlawanan di Sin-kiang dan Jing-hai...”
Semua yang mendengarnya tercengang mendengar Pangeran itu malah memuji-muji saingan besarnya, sedangkan yang di sebut "laporan penting" itu tak lain adalah berita yang sudah diketahui semua orang. Namun sementara itu Pangeran In Ceng telah melanjutkan kata-katanya, "Tetapi kemudian ada tanda-tanda Adinda In Te akan memaksakan mempercepat pewarisan tahta kepada dirinya. la kini membawa pasukan besarnya ke Pak-khia, dengan maksud menguasai secara kekerasan...”
"Bohong! Fitnah!" dari luar aula persidangan tiba-tiba terdengar teriakan marah. Seseorang yang berpakaian seragam prajurit Hui-Liong-kun, anak-anak buah Pak Kiong Liong, menerjang masuk aula tanpa peduli cegahan prajurit pengawal istana. Dengan sigap, beberapa anggota Lwe teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana) menghunus pedang atau tombak mereka untuk merintangi orang itu. Dua prajurit dijotosnya terpental, lalu orang itu merenggut kumis dan jenggot palsunya, mengusap wajahnya sehingga rontoklah lapisan lilin kuning yang tadinya menyamarkan wajah aslinya.
Bentaknya kepada para prajurit perintangnya, "Kalian berani merintangi aku?"
Prajurit-prajurit istana kaget ketika mengenali wajah orang yang dihadangnya. Serentak mereka berlutut sambil memberi salam, "Hormat kepada Cap-si Pwe-lek (Pangeran ke empat belas)!"
Kemunculan Pangeran In Te secara mendadak itu kontan mengagetkan seisi aula, kecuali Pak Kiong Liong yang memang menyelundupkan Pangeran In Te ke istana sebagai salah seorang pengawalnya. Namun Pak Kiong Liong sendiri merasa kurang senang akan pemunculan Pangeran In Te yang agak gegabah itu. Mau tidak mau dirinya akan terlibat juga.
Sesaat Kaisar Khong Hi tercengang, namun kemudian menjadi amat gembira melihat putera tersayangnya itu diluar dugaan muncul dihadapannya. Gejolak perasaan seorang ayah tak dapat disembunyikan lagi, ia sampai bangkit dari singgasananya dan berkata terbata-bata, ‘'Anakku.... anakku....”
Pangeran In Te telah berlutut di bawah tangga singgasana dengan air mata membasahi wajahnya, katanya dengan suara parau, "Hamba sudah mendengar tentang kesehatan Ayahanda yang memprihatinkan, itulah sebabnya hamba mendahului pasukan untuk buru-buru menengok Ayahanda. Namun dalam beberapa hari ini hamba tak berhasil menembus penjagaan orang-orang Kakanda In Ceng yang disebar di seluruh ibukota ini. Ucapan Kakanda In Ceng tadi juga hanya fitnah, hamba tidak berani memikirkan tahta selama Ayahanda dikarunia umur panjang oleh Langit!"
Demikianlah, hanya dengan beberapa kalimat saja Pangeran In Te mencoba menumpahkan semua pikiran dan perasaannya yang menumpuk selama ini, sehinga suaranyapun tergagap-gagap tak keruan. Namun justru menimbulkan simpati orang-orang yang mendengarnya, karena pangeran ini dikenal ketulusan hatinya dibandingkan pangeran-pangeran lainnya.
Sementara itu, Pangeran In Ceng mencium gelagat tidak menguntungkan, namun ia masih belum tahu hendak mengambil tindakan yang bagaimana? Detik itulah tiba-tiba Liong Ke Toh yang ber diri di belakangnya telah menggamit pinggangnya dan berbisik,
’’Pangeran, kalau sampai Hong Siang mengumumkan pengangkatan Pangeran In Te secara Iisan sekarang ini, biarpun kita berhasil mengubah Surat Wasiat pun percuma saja. Hal itu mungkin saja dilakukan oleh Hong Siang kalau beliau sudah jemu mennyaksikan pertikaian putera-puteranya Karena itu, Pangeran, jangan ragu-ragu bertindak sekarang, jangan sampai Pa- ngeran In Te berbicara langsung dengan Hong Siang. Pangeran In Te sedang terpisah dengan pasukannya, itu berarti seperti ikan dalam jaring."
Pak Kiong Liong tak sempat melihat bisik-bisik antara kedua orang itu, sebab perhatiannya sedang tercurah- ke pembicaraan Kaisar dan Pangeran In Te yang bakal berlangsung. Begitu pula semua orang di aula persidangan itu. Sedangkan Pangeran In Ceng menelan bulat-bulat anjuran Pamannya itu. Apa-lagi ketika dengan matanya sendiri ia melihat Kaisar dengan sikap terharu tengah melangkah menuruni tangga singgasana untuk memeluk Pangeran In Te, maka Pangeran In Ceng merasa saatnya harus bert indak berani.
Karena itulah di tengah suasana mengharukan itu, Pangeran ke empat itu tiba-tiba melompat sambi membentak, "Adinda In Te. setelah niatmu untuk memberontak diketahui orang, sekarang kau masih berani kembali ke istana dan bersandiwara di hadapan Ayahanda dengan airmata buayamu? Mana pengawal? Tangkap pemberontak ini!"
Tindakan In Ceng itu menggemparkan persidangan. Kaisar sampai menghentikan langkahya di tangga singgasana karena kagetnya. Suaranya gemetar, “In Ceng, apa-apaan ucapanmu ini? Adikmu bukan pemberontak!"
Sekali melangkah, In Ceng hanya punya dua pilihan: menang atau hancur. Kali ini pun dia tidak sudi mundur selangkahpun, apalagi karena jagoan-jagoan pengikut sudah siap di luar sejak tadi, meskipun belum diperintahkannya menyerbu masuk. Sahut In Ceng kepada Kaisar, ”Harap Ayahanda tidak tertipu oleh pemberontak yang berpura-pura menjadi anak berbakti ini. Hamba persilakan Ayahanda mundur dulu untuk beristirahat di Yang-wan-kiong, agar kesehatan Ayahanda cepat pulih!"
Dan tidak lagi menunggu persetujuan Ayahandanya sendiri, In Ceng berkata kepada Liong Ke Toh, "Paman, antarkanlah Ayahanda masuk ke Yang-wan-kiong dan perhatikan kesehatannya.”
Liong Ke Toh cepat naik ke tangga singgasana, menyongsong Kaisar dan tanpa tata-krama lagi langsung memegang lengan Kaisar, sambil berkata, "Tuan-ku, mari hamba antarkan ke Yang-wan-kiong untuk menenangkan diri. Putera Tuanku Pangeran In Ceng akan dapat mengurus urusan di sini dengan baik...."
Kaisar Khong Hi mengibaskan tangan Liong Ke Toh sambil berkata gemetar, "Aku tidak percaya In Te memberontak! Itu hanyalah tuduhan palsu!"
Namun tangan Liong Ke Toh yang dikibaskan itu kembali memegang erat-erat tangan Kaisar, sehingga Kaisar membentak dengan marah, "Liong Ke Toh! Kau bosan hidup sehingga berani berbuat seperti ini kepadaku?!"
Meskipun Kaisar sudah lanjut usia dan tubuhnya semakin lemah, namun wibawanya sebagai Kaisar tetap berhasil menguncupkan keberanian Liong Ke Toh adik iparnya sendiri. Tetapi Liong Ke Toh melihat dibawah tangga singgasana itu In Ceng sudah bertarung dengan sengit dengan In Te yang tak mau diringkus mentah mentah Liong Ke Toh pun menjadi nekad. Sudah terlanjur bertindak, melangkah mundurpun pasti takkan diampuni, yang lebih baik maju terus apapun resikonya. Pegangannya pada lengan Kaisar malah semakin kuat, untuk ditarik ke ruangan dalam, sambil berkata, "Marilah, Tuanku, beristira- hatilah saja di Yang-wan-kiong….”
"Kau... kau berani?" bentak Kaisar lagi. Tiba-tiba ia menyeringai kesakitan sambil menekan dadanya sendiri dengan telapak tangannya. Rupanya karena terguncang melihat apa yang berlangsung di aula yang kacau itu, maka kesehatannya yang memang rapuh itupun mengguncangnya kembali. Setengah diseret oleh Liong Ke Toh, dia dibawa ke dalam, sementara para pelayan thai-kam kebingungan dan ketakutan, tak tahu harus berbuat apa.
Para hadirin dalam persidangan itu pun tidak segera mengambil sikap, khawatlr kalau mengambil sikap keliru akan membahayakan diri mereka jika Kaisar baru sudah bertahta kelak. Bebera gubernur malah bersorak dalam hati, mengharap pertikaian itu agar melumpuhkan pemerintah pusat, dan mereka akan mendapat peluang untuk melepaskan propinsi masing-masing dari perintah pusat. Eh, siapa tahu akan menjadi cikal bakal sebuah dinasti baru?
Yang je|as tak bisa tinggal diam adalah Pak Kiong Liong. Darahnya mendidih melihat Kaisar diperlakukan kasar oleh Liong Ke Toh. Kaisar secara pribadi adalah saudara sepupunya, tetapi juga lambang kewibawaan kekaisaran, dan lambang itu sedang dicoba dihinakan oleh Liong Ke-Toh demi menuruti ambisi In Ceng. Seperti seekor burung rajawali yang terbang mengembangkan sayapnya-sayapnya, Pak-Kiong Liong melonpat tinggi melalui kepala belasan menteri, panglima dan gubernur, langsung ke a rah Liong Ke-Toh.
Cengkeramannya dari awang-awang terjulur ke batok kepala Liong Ke Toh sambil membentak, "Pengkhianat! Inikah balas budimu kepada kebaikan Hong-siang selama ini?i"
Melihat kegarangan Pak Kiong Liong kuncuplah nyali Liong Ke Toh yang tak bisa bermain silat itu. la mengerutkan kepalanya sambil berseru, "Goan-swe! Jangan salah paham...."
Seruan itu tidak digubris oleh Pak Kiong Liong yang sudah lama menahan rasa muak melihat malang-melintangnya komplotan kotor Liong Ke-Toh di istana. Pak Kiong Liong tidak mau kehilangan detik berharga dimama dia mempunyai alasan yang kuat untuk memusnahkan biang keladi komplotan itu. Setelah itu, gampanglah besok ia minta maaf secara terbuka kepada Permaisuri Tek Huai, kakak perempuan Liong Ke Toh.
Namun saat tangan Pak Kiong Liong nyaris meremuk kepala korbannya, seorang berseragam perwira menengah Lwe-teng Wi-su (Pasukan Pengawal Istana) telah melompat melindungi Liong Ke Toh, dengan beraninya menyongsong pukulan Pak Kiong Liong dengan tangannya pula. Orang Itu sebenarnya adalah seorang jagoan dari luar istana yang diselundupkan oleh In Ceng ke dalam pasukan pengawal istana untuk memperkuat Jaring-jaring komplotannya.
Kini dia dengan berani menyongsong Pak Kiong Liong, biarpun sudah mendengar kemasyhuran silat Panglima tua itu, namun in berambisi untuk mengalahkannya agar mendirikan pahala besar bagi Pangeran In Ceng. Tapi malanglah nasib orang yang tak tahu mengukur kekuatannya sendiri. Dalam kemarahannya, Pak Kiong Liong telah memukul dengan llmu kebanggaanya yang disebut Hwe-Liong Sln-kang (Keku atan Sakti Naga Api).
Begitu pukulannya berbenturan dengan jagoan gila pahala itu, si Jagoan terpental tanpa sempat menjerit lagi. Tubuhnya terhempas ke lantai dengan tulang-tulang luluh lantak, separuh kulit badannya yang baglan kanan hangus menjadi arang, termasuk pakaiannya. Nyawanya jelas melayang.
Aula persidangan seketika menjadi kalang-kabut. Menteri-menteri bidang sipil seperti Huo-poSiang-si (Menterl Keuangan), Kong-po Siang-si (Menterl Pekerjaan Umum), Heng-po Siang-si (Menteri Keadilan), Le-po Slang-si (Menteri Kebudayaan) yang umumnya sudah tua-tua dan tak bisa bermain silat itu kebanyakan hanya menggigil ketakutan sambil berdiri merapat ke tembok atau mengamankan diri di belakang pilar-pilar besar penyangga atap istana.
Sedang para Panglima memang mempunyai kemampuan silat yang cukup, namun tidak berani sembarangan memihak para pangeran yang berbaku hantam itu. Keputusan untuk memihak berarti menyangkut masa depan kekaisaran, karena itu mereka amat berhatl-bati menentukan langkah.
Pak Klong Liong kembali memburu Liong Ke Toh, lagi seorang jagoan In Ceng yang berambut putlh menghadangnya orang ini bangsa Manchu yang bernama Kim Seng Pa dari Jiat-ho, ibukota Kera jaan Manchu Lama sebelum menguasai daratan tengah. la seorang ahli main golok dan pukulan Liok-hap Sin-ciang (Pu ku)an Sakti Enam Lapisan).
Tiba di hadapan Pak Kiong Liong, Kim Seng- Pa langsung gerakkan golokny- dengan jurus Hui-in-ki-lo (Mega Terbang Naik Turun). Kekuatan, kecepatan dan kemahiran main goloknya sekaligus diperagakan olehnya. Bayangan goloknya gemerlapan menebar ke seluruh tubuh Pak Kiong Liong, selain membawa getar tenaga yang agak mengejutkan Pak Kiong Liong.
Pak Kiong Liong tak menduga di pi-hak Pangeran In Ceng ada yang setangguh itu. Namun demi ingin segera menolong Kaisar dari cengkerarnan Liong Ke Toh, Pak Kiong Liong tidak tanggung tanggung mengerahkan Ilmu Hwe-liong; Sin-kang yang menghanguskan kulit Itu. Sabetan beruntun golok musuh berhasil dihindari dengan langkah-langkah pendeknya, lalu secepat kilat menyerobot maju dengan gerak tipu In-Liong-sam-hian (Naga Muncul Mega Tiga Kali). Seketika itu Kim Seng Pa terlanda badai angin panas yang hebat sekali.
Tapi jagoan tua dari Jiat-ho ini memang istimewa tangguh. Gempuran Pak-Kiong Liong cuma mampu memaksanya mundur dua iangkah, tak peduli Pak Kiong Liong sudah sampai ke puncak ilmunya. Kemudian, begitu gelombang kekuatan panas mengendor, dia kembali menubruk maju dengan bersemangat.
Sementara itu, pertarungan antara Pangeran In Ceng dan Pangeran In Te juga berlangsung seru. In Ceng adalah murid Siau-lim-pai yang mahir Lo-han-kun hoat. Sepasang tangannya menghantam dan menyabet dengan tangguh bagaikan potongan-potongan besi, sepasang kakinya melangkah dan menendang dengan lincah pula, semuanya adalah pukulan-pukulan yang mampu meremukkan batu.
Pangeran ini memang seorang yang bertenaga raksasa. Di kota Se-shia dalam pengembaraannya dulu, ia pernah memindahkan letak sebuah singa batu raksasa di depan gedung Hek-hou Piau-tiam, dengan mengangkatnya seorang diri. Dan dalam tahun-tahun terakhir itu ia terus meningkatkan iImu silatnya dengan tekun.
Sedangkan Pangeran In Te adalah jagoan mengatur siasat di medan perang, tetapi kemampuan silatnya secara pribadi tertinggal agak jauh dari Kakanda-nya, sehingga diapun mulai terdesak hebat. Tangannya serasa hampir patah setiap kali berbenturan dengan tangan kakandanya yang sekeras besi, sedang untuk menghindari benturannya pun tidak gampang. Suatu ketika, tendangan Pangeran In Ceng berhasil mengenai perutnya, sehingga isi perutnya serasa jung kir balik. Tapi tubuhnyapun cukup tergembleng kuat, sehingga tidak roboh begitu saja. Dicabutnya pedangnya untuk memperhebat perIawanannya.
Namun In Ceng dengan tangan kosong nya tidak gentar sedikitpun. "Menyerah sajalah, Adinda, mengingat kau masih termasuk keluarga istana, hukuman pemberontakanmu itu bisa diringankan..." "Pendusta!" sahut In Te marah. ‘‘Kakanda sendirilah yang memberontak dengan berkomplot dengan Paman Liong Ke Toh untuk mengekang kegiatan Ayahanda dii stana..."
In Ceng sudah tak peduli tuduhan macam apapun yang ditimpakan kepada dirinya. Kata-kata adiknya itu tak digubrisnya, malah tiba-tiba ia meneriakkan perintah agar pengawal-pengawaI pribadinya yang berada di luar aula persidangan itu masuk semuanya.
Maka dari luar aula itu berlompatanlah orang-orang berseragam jubah ungu kain satin, pengawal-pengawal pribadi In Ceng yang tangan masing-masing sudah bersenjata terhunus. Prajurit-prajurit Lwe-teng Wi-su tak kuasa menghalangi tandang jagoan-jagoan kasar itu, malah beberapa pengawal istana dirobohkan. Di dalam aula, mereka sudah berusaha ikut menangkap Pak Kiong Liong serta Pangeran In Te.
Saat itu sebenarnya Pak Kiong Liong sudah berhasil mendesak Kim Seng Pa, keruntuhan jagoan she Kim itu tinggal beberapa saat lagi, namun seorang bermuka berewokan dan bersenjata seutas rantai baja segera memasuki arena dan langsung membantu Kim Seng Pa. Si berewokan ini bernama To Jiat Hong, ayahnya orang Manchu dan ibunya; orang Sian-bi, julukannya Hong-hek-sit (Malaikat Hitam Gila), ketangguhannyo hanya selapis di bawah Kim Seng Pa.
Ketangguhannya terbukti ketika ia sudah melompat masuk arena, la tidak tersengat roboh oleh hawa panas Hwe-liong Sin-kangnya Pak Kiong Liong yang bukan main-main itu, melainkan hanya nampak kaget dan melompat mundur. Kemudian dengan senjata rantainya yang panjang itu, ia dapat mengulur jarak anta ra dirinya dengan Pak Kiong Liong agar tak terlalu terganggu oleh hawa panas. Rantainya menderu hebat dan berusaha melibat pinggang Pak Kionq Liong untuk ditarik roboh.
Di antara jagoan-jagoan Pangeran In Ceng, tak ada satupun yang bisa disejajarkan dengan Pak Kiong Liong. Kim Seng Pa yang ilmunya paling tinggi itupun masih bisa didesak oleh Pak-Kiong Liong. Namun setelah Kim Seng Pa dan To Jiah Hong bergabung, mau tak mau Pak Kiong Liong merasakan tekanan berat juga.
Ketika Pak Kiong Liong melirik Pangeran In Te, dilihatnya pewaris tahta yang syah itu sudah hampir kehabisan daya perlawanan. Sebentar lagi tentu akan tertangkap oleh Pangeran In Ceng dan orang-orangnya, lalu nasibnyapun akan susah diramalkan di dalam genggam an Kakandanya yang haus kekuasaan itu.
Akhirnya Pak Kiong Liong memutus-kan bahwa keselamatan Pangeran In Te harus diutamakan dari Kaisar Khong Hi. Mungkin untuk beberapa lama, Kaisar akan di bawah kendali komplotan In Ceng namun nyawanya tidak terlalu terancam sebab Pak Kiong Liong beranggapan bahwa betapapun durhakanya In Ceng, rasa-nya tidak mungkin berani membunuh Ayahandanya sendiri (di kemudian hari, ternyata Pak Kiong Liong menyesali sendiri anggapannya yang keliru ini).
Sebelum ini, Pak Kiong Liong berusaha menunjukkan sikap netral dalam persidangan antar pangeran, tapi hari itu terpaksa ia terang-terangan “buka kartu" memihak Pangeran In Te. Memang In Te belum tentu berhasil menjadi Kaisar yang sesempurna Ayahandanya, tetapi dialah pilihan terbaik di antara putera-putera Kaisar Khong Hi. Kalau tahta dibiarkan jatuh ke tangan In Ceng, Pak Kiong Liong sudah membayangkan bahwa kekaisaran akan mengalami kemelut hebat di bawah pemerintahannya.
Sambil membentak keras untuk meng- himpun semangatnya, Pak-Kiong Liong se kaigus melancarkan tiga pukulan berturut-turut. Hoan-in-hok-te (Mega Terbalik Menutup Bumi), Boat-in-kian-jit (Meny ingkap Mega Memandang Matahari dan Liang-siang-kai-san (Sepasang Gajah Mendobrak Gunung).
Dua pukulan pertama menghasilkan gulungan tenaga panas beberapa langkah di sekitar arena, membuat kedua lawannya melompat menjauhkan diri. Kemudian ketika Liang-siang-kai-san dilontarkan, kedua tangannya terpentang dan terkatup, dua arus udara membara kembali memaksa kedua jagoan In Ceng itu mengulur jarak. Mereka harus mengakui hebatnya Panglima tua yang sudah ubanan semuanya itu.
Pak Kiong Liong menggunakan kesempatan itu untuk melompat keluar arena, seperti seekor burung garuda ia menyambar ke arah Pangeran In Te yang keadaannya kian berbahaya. Putera ke empat belas Kaisar Khong Hi itu memang sudah ibarat telur di ujung tanduk. Pundaknya sudah berdarah kena pedang salah seorang pengikut In Ceng, bajunya robek, langkahnya sempoyongan seperti orang mabuk.
Namun tidak percuma ia menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kekaisaran, ia memang bernyali singa dan bersemangat naga, sehingga dengan gigihnya dia terus memutar pedang untuk melawan. Saat itulah Pak Kiong Liong datang menyambar dari atas, pukulan hawa panasnya terus dihamburkan kepada lawan-lawan Pangeran In Te, kecuali Pangeran In Ceng yang tidak.
"Maafkan hamba, Pangeran," kata Pak Kiong Liong kepada In Ceng yang hanya didorongnya mundur tanpa menggunakan Hwe-Iiong Sin-kang. Itupun sudah cukup membuat In Ceng terhuyung-huyung nyarls roboh.
Dengan geranm In Ceng membentak, "Paman, kaupun coba-coba melindungi seorang pemberontak?!“
Sahut Pak Klong Liong, “Siapapun yang ingin berontak, hambalah rintangan pertama yang harus dilaluinya. Namun suatu pemberontakan harus dibukiikan leblh dulu adanya, bukan mengumbar tuduhan untuk menyingkirkan saudara sendiri….”
Berada ditengah jagoan-jagoan yang berjumlah banyak, In Ceng tldak lagl gentar kepada Pamannya ini. Tanpa kata-kata, hanya dengan isyarat matanya. ia menyuruh orang-orangnya untuk turun tangan segera. Namun geraken orang-orang itu masih kalah cepat dari gerakan Pak Kiog Long, yang tiba-tiba menyambar pinggang In Te untuk dibawa kabur.
Gerakannya secepat angin puyuh, sehingga In Te sendiri tak menduga akan diperlakukan demikian. Seorang Jagoan berjubah ungu yang mencoba menghadangnya, telah ditumbuk dengan pundaknya sehingga ter penial pingsan. Seorang lagi menusukkan tombak, tapi kemudian tulang-tulang dadanya sendirilah yang remuk terhajar tendangan Pak Kiong Liong.
"Kejar!" teriak In Ceng. "Sekali melangkah, jangan tanggung-tanggung."
Namun gerakan Pak Kiong Liong sangat cepat, meskipun dibebani tubuh Pangeran In Te. Beberapa butir kepala musuh malah dijadikannya batu-batu loncatan untuk mencapai luar aula. Di luar aula ada tiga pengawal Pak Kiong Liong. Melihat Panglima mereka diuber-uber, ketiga pengawal itu menghunus senjata dan menghadang orang-orang In Ceng yang jauh lebih banyak.
"Selamatkan diri kalian!" seru Pak Kiong Liong kepada liga pengawalnya itu. la tahu ketiga pengawal itupun prajurit-prajurit yang tangguh, tapi terlaIu berat kaIau harus meIawan orang orang Pangeran In Ceng. Tapi pengawal-pengawal itu menjawab, "Goan-swe selamatkan Putera Mahkota, kami bertiga akan bertahan di sini!"
"Tapi lawan-lawan kalian sangat kuat..." kata Pak Kiong Liong, namun pengawal-pengawal menjawab lagi dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun. "Agar tahta tidak jatuh ke tangan pangeran yang lalim, kami siap berkorban nyawa di tempat ini . Ciangkun, pergilah!”
Rasa bangga campur terharu Pak-Kiong Liong mendengar tekad pengawaI-pengawal itu. la tahu past i mereka bertiga akan mati, namun tidak ada waktu lagi untuk membujuk-bujuk mereka sebab jagoan-jagoan In Ceng sudah terdengar derapnya yang kencang. Yang kemudian dilakukan Pak Kiong Liong kepada ketiga pengawal itu ialah berlutut sambil berkata, "Terimalah hormat terakhirku, prajurit-prajurit jantan."
Setelah itu, dengan mengempit tubuh Pangeran In Te, pergilah Pak Kiong Liong. Sedangkan ketiga pengawalnya dengan berani mati menghalangi jagoan-jagoan In Ceng itu. Perlawanan ketiga orang pengawal itu tentu saja tak bisa menghentikan jagoan- jagoan macam Kim Seng Pa, To Jiat Hong atau lain-lainnya.
Mereka bertiga tergilas habis, bahkan tubuh mereka menjadi pelampiasan kemarahan dan dibacoki senjata sampai nyaris berujud daging cincang. Namun pengorbanan mereka tidak sia-sia, sebab para pengejar haus darah dan haus pahala itu jadi terhambat sejenak untuk mengejar Pak-Kiong Liong dan In Te....
“Waktu sudah mendesak, Pangeran, apa kita mesti menunggu Pangeran In Te dan pasukannya datang dan menyumbat semua peluang kita? Terpaksa kita harus berani menyerempet bahaya untuk memenangkan pertarungan ini….”
Sejak mendengar dua kabar kurang menguntungkan berturut-turut, yaitu kabar kembalinya adiknya dari Jing-Hai yang disusul kabar bahwa Pak Kiong Liong berkunjung ke gedung kediaman Bok Eng Siang, Pangeran In Ceng memang kebingungan dan merasa terdesak. Maka “usul gila” Ni Keng-Giau itu ibarat sepotong papan yang ditemukan oleh seorang yang hampir mati tenggelam di lautan. Ahirnya diapun menganggukkan kepalanya. Itulah jalan yang singkat. Menang atau hancur sama sekali.
Tanyanya. “kau punya perincian bagaimana pelaksanaanya?”
Sahut Ni Keng Giau, “Akan ada banyak orang yang bersedia melakukannya untuk kita.”
Wajah Pangeran In Ceng masih kelihatan ragu-ragu. Ia senang bahwa banyak jagoan-jagoan silat yang berpihak kepadanya. Tapi diapun sadar bahwa kebanyakan mereka tidak mengabdi dengan tulus kepadanya, melainkan hanya memperjuangkan diri sendiri di hari depan, kalau ia berhasil naik tahta. Kalo orang-orang macam itu diserahi tugas seperti rencana Ni Keng Giau, dan kemudian tertangkap oleh pasukan Han-Lim-Kun, maka dengan sedikit siksaan atau tekanan saja, orang-orang itu akan mengaku siapa yang menyuruhnya.
Kalau Kaisar sampai mendengarnya dan marah, habislah peluangnya. Gelar kebangsawanannya akan dicabut dan ia akan mengalami nasib malang seperti kakak tertuanya, Pangeran In Si. Membayangkan hal itu, punggung Pangeran In Ceng itu dialiri keringat dingin. Itulah perjudian dengan taruhan yang kelewat mahal.
“Bagaimana, Pangeran?” Ni Keng Giau mendesak.
Bukannya langsung menjawab, Pangeran In Ceng malah balik bertanya, “Sute, menurutmu, orang yang bagaimana yang cocok untuk tugas berbahaya ini?”
Sekarang Ni Keng Giau sudah berani tersenyum, karena yakin Pangeran junjungannya itu akan menerima usulnya. Sahutnya perlahan, agar jelas didengar Pangeran In Ceng, “Jelas bukan orang-orang bayaran yang dengan gampang melepaskan kesetiaan apabila terancam bahaya. Orang untuk tugas ini cukup mempunyai dua syarat. Pertama, ilmu meringankan tubuhnya cukup lihai, sehingga dapat masuk keluar ruang penyimpanan Surat Wasiat itu dengan kemungkinan tertangkap kecil sekali. Kedua, seandainya ia tertangkap juga, dia haruslah orang yang sanggup menutup mulutnya biarpun menghadapi siksaan bagaimanapun beratnya, atau bahkan diancam akan dibunuh…”
“Persyaratan yang berat. Di antara orang-orang kita dalam istanaku ini, siapa kira-kira yang memenuhi kedua macam syarat itu?” Tanya Pangeran In Ceng harap-harap lesu.
“Tidak ada,” jawab Ni Keng Giau kalem.
Pangeran In Ceng hamper terlonjak di atas kursinya, dan hampur pula berteriak, “Kalau tidak ada, apa gunanya usulmu tadi? Atau kita akan menugaskan sesosok arwah gentayangan yang bias menghilang?”
Jawab Ni Keng Giau masih setenang semua. “Di antara jago-jago kita di istana ini memang tidak ada seorang pun yang memiliki dua syarat itu sekaligus. Ki Yong sangat setia kepada Pangeran, namun ilmu meringankan tubuhnya cukup untuk membobol kandang ayam di desanya sana. Tong Hong Lui lihai ilmu meringankan tubuhnya, namun dia seekor ular berkepala dua yang mudah berganti haluan apabila keadaan tidak menguntungkan. Kedua-duanya tidak cocok untuk tugas ini…”
“Dua orang yang baru saja kau bawa dari Tay-tong itu, bagaimana?”
“Dua saudara Ho? Kepandaian mereka juga kurang mencukupi tugas berat ini….”
“Kalau begitu, usulmu tadi hanya usul di atas kertas saja dan tidak bias dilaksanakan?” Pangeran In Ceng hampir-hampir kehabisan kesabarannya.
Tapi Ni Keng Giau malah tersenyum. “Pangeran, apakah Pangeran lupa ketika dulu mengembara ke selatan, Pangeran mendapatkan sahabat-sahabat yang bisa dipercaya? Baik ketangguhan ilmunya maupun kelurusan hati mereka?”
Otak Pangeran In Ceng yang keruh oleh kegelisahan itu tiba-tiba terasa jernih kembali dan iapun mulai tersenyum sendiri. Di masa muda, ia pernah minggat dari istana, berguru di wihara Siau-lim-si di Siong-san, kemudian mengembara dengan nama samara Su Liong Cu. Dalam pengembaraannya, ia mendapatkan beberapa sahabat, bahkan salah seorang sahabatnya adalah Kang-lam Tai-hiap (pendekar Agung Kang-lam) Kam Hong Ti yang amat terkenal.
Ketika kedoknya sebagai Pangeran Manchu terbongkar, hampur saja ia kehilangan sahabat-sahabatnya yang bangsa Han itu. Saat itulah ia melontarkan sebuah janji manis, apabila kelak berhasil naik tahta , ia akan menghapus undang-undang yang merendahkan martabat bangsa Han agar sederajat dan berdampingan dengan bangsa Manchu. Beberapa pendekar Han terpikat oleh janji itu dan berjanji akan mendukung In Ceng merebut tahta.
Para pendekar bangsa Han itu agaknya berpendapat, dapipada ngotot memperjuangkan bangunnya kembali Dinasti Beng, suatu cita-cita yang entah berapa abad lagi baru terwujud karena semakin kokohnya kekuasaan Manchu jaman itu, lebih baik mendukung In Ceng yang diharapkan akan mengangkat martabat bangsa Han tanpa melalui pemberontakan.
Beberapa pendekar kuatir, kalo orang Han dan Manchu bertikai tak henti-hentinya, negeri besar itu akan menjadi lemah dan dicaplok bangsa asing kulit putih, seperti nasib beberapa negeri diselatan. Karena itulah mereka sepakat, perlawanan kepada pemerintah Manchu harus dihentikan, asalkan bangsa Han mendapatkan kehormatannya lagi.
Apalagi kalau dipikir bahwa kaisar Khong Hi yang bertahta itu tidak sepenunhnya tepat kalau disebut “raja berdarah Manchu”; sebab ibundanya adalah perempuan berdarah Han. Dengan begitu terasa cukup adil kalau tahta di duduki orang yang ”setengah Manchu setengah Han”.
Dalam beberapa tahun belakangan itu, pangeran In Ceng telah menghentikan pengembaraanya, kembali ke ibukota untuk mempersiapkan diri merebut tahta. Ketika usul Ni Keng Giau itu, barulah Pangeran In Ceng ingat sahabat-sahabatnya itu, dan merasa itulah saatnya yang tepat untuk menagih janji mereka dulu.
Pangeran In Ceng kenal wakt mereka. Teguh pada janji dan cita-cita, sedangkan ilmu silat merekapun tinggi, jauh bedanya dengan jago-jago bayaran yang saat itu mengelilinginya. Jadi merekalah orang-orang yang tepat untuk mengambil surat wasiat tulisan ayahandanya itu.
“Hampir saja aku melupakan mereka, sute” kata Pangeran In Ceng sambil menepuk pahanya sendiri. Namun sedetik kemudian, wajahnya menjadi murung kembali. “Tapi… cukupkah waktu untuk mencari dan mengundang mereka dari Kang Lam, sementara Angkatan Perang Adinda In Te sudah hampir sampai di Ambang pintu kota Pak-Khia?”
“Pangeran, ada sesuatau kabar gembira yang belum Pangeran ketahui. Sejak kemelut perebutan tahta ini menghangat, sahabat-sahabat Pangeran itu sudah banyak yang meninggalkan Kang-Lam dan sekarang mereka berkumpul di Gunung Siong-San di Ho-lam. Untuk mengundang mereka, tidak perlu Pangeran sampai melintasi Sungai Yang-Cu-Kiang. Dengan menunggangi seekor kuda yang baik, Pangeran dapat…..”
“Tunggu! Dalam keadaan tak menentu seperti ini, aku tak boleh meninggalkan Pak-Khia biarpun hanya selangkah atau sedetik. Aku harus tetap di sini untuk mengikuti perkembangan yang berubah-ubah dengan cepat….”
“Kalau begitu, Pangeran, biarlah hamba yang pergi ke sana dengan beberapa pengawal. Cukup kalau Pangeran menyertakan sepucuk surat pribadi Pangeran kepada hamba, semuanya akan hamba bereskan...“
“Baik. Tunggulah sebentar.” Pangeran In Ceng masuk sebentar dan beberapa saat kemudian keluar kembali dengan membawa sepucuk surat bersampul rapat, dan sebatang pedang pendek bersalut emas. Katanya, “Sahabat-sahabatku di selatan bukan saja akan mengenali tulisanku dalam surat ini, tapi juga pedang pendek yang disebut Liong-Hong Po-Kiam (Pedang pusaka Naga dan hong) itu, disamping toya hitamku yang dulu kubawa berkelana di selatan. Tapi toya hitam itu biarlah tetap disampingku, untuk berjaga-jaga kalau keadaan memburuk."
Sambil menerima kedua benda itu dengan sikap hormat, Ni Keng-Giau merasa bangga sekali mendapat kepercayaan begitu besar dari “calon kaisar” ini. Rasanya ia sudah bukan lagi Jendral yang menjadi tangan kanan seorang Pangeran saja, melaikan sudah menjadi seorang Panglima Tertinggi di kekaisaran itu, yang tengah menerima tugas dari Kaisarnya.
“Hamba akan berangkat mala mini juga dengan menunggangi Jian-Li-Ma (Kuda Seribu Li ), Pangeran, “kata Ni Keng-Giau. “Hamba mohon pamit, harap Pangeran menjaga diri baik-baik….”
“Kaupun harus berhati-hati di jalan, Sute. Gagal atau berhasilnya perjuangan kita, tergantung dari hasil perjalananmu ini.” Kata Pangeran In Ceng sambil menepuk-nepuk pundak adik seperguruannya. “Tolong sampaikan salam hormatku kepada suhu Pun-bu Hwesio, semua paman-paman guru dan saudara-saudara seperguruan lainnya di Siau Lim-si…”
“Baik, Pangeran.”
Pada saat yang hampir bersamaan, di gedung kediaman Bok Eng Siang juga terjadi sebuah kesibukan. Seandainya Pangeran In Ceng atau Ni Keng-giau tahu bahwa saingan berat mereka, Pangeran In Te, tengah berada di gedung itu, barangkali gedung itu sudah dikepung rapat oleh pasukan-pasukan di ibukota yang beberapa bagian sudah berada di bawah pengaruh Pangeran In Ceng. Namun Pangeran In Ceng agaknya masih mengira bahwa adindanya itu masih berada di tengah-tengah angkatan perangnya yang sedang dalam perjalanan pulang dari Jing-hai sana.
Di ruangan belakang gedung kediaman Bok Eng-Siang itu, Pangeran In Te tengan didandani untuk menyamar sebagai salah seorang prajurit pengawal Pak-Kion Liong, wajahnyapun disamarkan dengan kerut merut palsu dan kumis palsu pula. Untuk mendapatkan pakaiannya, seorang pengawal Pak Kiong-Liong yang berperawakan tubuh mirip Pangeran In Te disuruh mencopot pakaiannya, dan pengawal itu sendiri dipinjami baju penduduk biasa oleh Bok Eng Siang untuk pulang ke rumahnya.
Maka ketika rombongan Pak Kiong Liong itu meninggalkan gedung itu, mata-mata Pangeran In Ceng yang berpapasan di Jalan tidak ada yang tahu bahwa salah seorang dari pengawal Pak Kiong Liong itu sudah bertukar orangnya. Bentrokan senjata atara para pengikut Pangeran-pangeran yang bersaing memang belum secara terbuka, namun situasi kota Pak-Khia sudah menghangat seperti dipanggang diatas bara. Hanya saja, ketegangan itu hanya terasakan oleh mereka yang terlibat dalam kemelut, sedangkan bagi rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, rasanya situasi tetap adem-ayem saja.
Subuh, sebelum mentari muncul menunaikan tugasnya, lonceng Keng-yang-ciong di sebelah kanan istana Kerajaan serta tambur Liong- hong-kou di sebelah kiri istana, sudah berbunyi, menandakan sidang istana akan dimulai dengan dipimpin Kaisar sendiri. Dalam kesehatannya yang semakin menurun, Kaisar Khong Hi masih saja sering memaksakan diri untuk memimpin sidang.
Sementara lonceng dan tambur berbunyi, para Pangeran dan Bangsawan, Menerti, Panglima-panglima Perang dan beberapa Gubernur atau Raja Muda, cepat-cepat merapikan diri dan berdiri dalam dua barisan menghadap kea rah kursi emas berukir Naga berkuku lima yang masih kosong itu. Semuanya memakai jubah dan topi menunjukkan kedudukan dan pangkat masing-masing.
Di antara orang-orang itu, Nampak Pak Kiong Liong berdiri di deretan agak depan. Ia memakai jubah ungu tua yang bagian bawahnya bersulam garis-garis putih dan hitam, dirangkap lagi dengan jubah panjang sepanjang lutut berwarna merah darah yang punggung dan dadanya bersulam.
Kepalanya yang sudah berambut putih semua itu memakai topi hitam beludru berhias benang-benang merah serta hoa-leng, bulu burung yang dipasang rebah dibelakang. Dalam usianya yang enam puluh lima tahun lebih, Pak Kiong Liong masih berpundak tegap, perutnya tetap datar dan tidak menggelembung ke depan, sepasang matanya tajam berpengaruh.
Sebagai anggota keluarga istana, sebenarnya Pak Kiong Liong syah memiliki kehormatan untuk memakai jubah kuning bersulam burung Hong, burung Hong adalah lambing hanya setingkat di bawah lambing Naga, namun Pak Kiong Liong agaknya lebih suka seragam kebesarannya sebagai Panglima, bukan sebagai anggota keluarga istana.
Sementara menunggu hadirnya Kaisar, orang-orang penting di kekaisaran itu masih sempat bercakap-cakap satu sama lain dengan suara perlahan. Beberapa putera Kaisar Khong Hi sempat menyapa Pak Kiong Liong dengan sebutan “paman”, tetapi dengan derajat keakraban yang berbeda-beda satu sama lain.
Pangeran In Ceng yang juga hadir, bukan saja menyapa dengan sepatah kata, melainkan juga berjalan mendekatinya dan bercakap-cakap, “Selamat pagi Paman, rasanya sudah lama aku tidak bercakap-cakap dengan Paman.”
Pak Kiong Liong tersenyum sehingga kumis putihnya bergerak-gerak. “Selamat pagi, Pangeran. Hamba dapat memaklumi, tentu di hari-hari belakangan ini Pangeran sangat sibuk.”
Ada sindiran halus terkandung dalam kalimat itu, tetapi Pangeran In Ceng menanggapinya sambil tersenyum-senyum saja, “Kita semua mendadak jadi sibuk di hari-hari ini, Paman, bukankah Paman sendiri juga amat sibuk? Dalam beberapa bulan, aku dengar Paman menggembleng pasukan Paman di Bukit Patat-nia. Untuk apa, Paman?”
Nada pertanyaan itu tidak menuduh, seperti orang bertanya biasa saja, namun Pak Kiong Liong sadar bahwa ia tidak boleh tergelincir sejengkalpun dalam menjawab. Ia sadar sedang berada di Sidang Kerajaan, bukan di warung arak atau pasar kuda. Kalau di warung arak orang bisa mengumbar mulut seenaknya, resikonya paling-paling kepalanya benjol dipukul pengunjung lainnya, maka salah bicara di Sidang Kerajaan bisa berakibat gawat. Bisa menyangkut nasib jutaan rakyat, sebab Sidang Kerajaan adalah tempat kebijaksanaan-kebijaksanaan besar ditetapkan.
Sahut Pak Kiong Liong, “Prajurit-prajurit Kekaisaran tentu saja harus selalu siap, Pangeran. Kalau prajurit-prajurit kita lengah, tentu musuh-musuhmu akan segera menerkam kita, baik musuh dari dalam maupun dari luar…”
“Keadaan Negara cukup tenang, Paman, kekuatan kita juga disegani sampai ke seberang lautan. Siapa berani memusuhi kita?”
“Beberapa tahun yang lalu Pangeran pernah berkelana di wilayah selatan, apakah Pangeran tidak mendengar bahwa sisa-sisa Dinasti Beng belum kehilangan kekuatan sama sekali? Mereka adalah musuh-musuh dalam negeri yang tetap berbahaya. Sedang musuh dari luar ialah orang-orang kulit putih yang semakin ramai berkeliaran di Laut Timur dengan kapal-kapal meriam mereka. Meskipun mereka berkedok berdagang, siapa berani bilang mereka bukan ancamanan? Pemberontakan di Sin-Kian dan Jing-hai itupun membuktikan bahwa kita tetap harus waspada.”
“Pemberontakan di Sin-kiang dan Jing-hai telah ditumpas oleh Adinda In Te dan kekuatan mereka tak seberapa lagi. Sisa-sisa Dinasti Beng memang masih mengacau di beberapa tempat. Tapi kekuatan merekapun terlalu kecil untuk menumbangkan Kekaisaran kita. Dan orang-orang kulit putih itu? Mereka memang garang di lautan, namun begitu berani menginjak daratan, mereka akan kita gulung dan kita lempar kembali ke laut.”
“Tapi ancaman yang bagaimanapun kecilnya tidak boleh kita abaikan. Pangeran. Seekor gajah bisa mati gara-gara seekor semut yang masuk ke kupingnya. Karena itu, prajurat-prajuritku harus selalu latihan untuk menjaga kesegaran jasmani dan semangat mereka, agar setiap saat dapat digerakan untuk membendung bahaya yang mengancam kekaisaran.”
“Hemm, pandai bener Paman berdalih, Tapi apakah Paman tidak punya tujuan lain yang tersembunyi?” Pangeran In Ceng tiba-tiba menyerang secara langsung. Ternyata Pak Kion Liong tenang-tenang saja menjawab tuduhan itu, “Tidak ada tujuan lain, Pangeran.”
Sedangkan Pangeran In Ceng semakin jengkel oleh ketenangan Pamannya itu, “Paman hanya pura-pura saja, sebenernya Paman ingin ikut menentukan calon Kaisar pengganti Ayahanda, bukankah begitu? Untuk itu Paman melatih pasukan Paman, seolah-olah ada ancaman buat Kekaisaran, padahal ancaman itu terhadap ambisi Paman sendiri….”
Pembicaraan yang semakin keras dan hangat itu menarik perhatian pejabat-pejabat tinggi kekaisaran yang tengah menunggu hadiranya Kaisar itu. Pembicaraan-pembicaraan di antara mereka sendiri segera dihentikan, dan hampir seluruh perhatian di tujukan kearah Pangeran In Ceng dan Pak Kiong Liong. Namun tak seorang pun berani ikut campur.
“Mana berani hamba ikut menentukan calon pengganti Kaisar?” kata Pak Kiong LIong. “Calon itu sudah ditentukan oleh Hong Siang dalam Surat Wasiatnya. Siapa berani melanggar pesan dalam Surat Wasiat itu, berarti dia seorang pengkhianat, bahkan hamba serta pasukan hamba siap mempertahankan amanat Hong Siang itu dengan taruhan nyawa!”
Pak Kion Liong mengucapkannya tanpa berteriak atau mengacungkan tinju ke langit, namun nada suaranya mengandung sikap tegas yang tak bisa ditawar tawar lagi. Pangeran In Ceng yang baru kemarin malam kasak-kusuk dengan Ni Keng Giau untuk mencoba membongkar Surat Wasiat Kaisar, seketika tergetar hatinya, merasa dirinya seperti tertuduh yang telanjang di depan meja hijau. Tatapan tajam Pak Kion Liong itu tak berani ditentangnya.
Seandarainya tidak sedang berhadapan dengan Pak Kiong Lion, Pangeran In Ceng tentu sudah mengayunkan tinjunya untuk meremukkan hidung orang dihadapannya. Tapi sadar bahwa ilmunya kalah jauh dibandingkan ilmu Pamannya itu, maka terpaksa kemendongkolannya ditelannya sendiri mentah-mentah.
Yang gembira melihat keteguhan sikap Pak Kiong Liong itu adalah salah seorang pengawal Pak Kiong Liong di luar aula persidangan itu karena pengawal itu bukan lain adalah samaran Pangeran In Te. Biarpun ia ada di luar aula, tapi karena aula itu bagian depannya tidak berdinding, hanya ada pilar-pilar merah besar, maka percakapan Pak Kiong Liong dan Pangeran In Ceng itu dapat didengarnya.
Sikap Pak Kiong Liong yang teguh akan “membela amanat Kaisar” itu berarti dukungan bagi Pangeran In Te, sebab meskipun Surat Wasiat itu belum dibuka, bukan rahasia ladi dikalangan pemerintahan, bahwa Pangeran In Te adalah putera yang paling disayangai Kaisar Khong Hi dan hampir pasti namanyalah yang tertulis dalam Suarat Wasiat itu.
Sementara itu, Pangeran In Ceng gagal menyudutkan Pak Kiong Liong, malahan dirinya sendiri yang tersudut. Ia kini dalam keadaan serba salah. Kalau mundur begitu saja, pamornya dihadapan begitu banyak pejabat tinggi akan merosot, dukungan terhadap dirinyapun mungkin akan berkurang. Tetapi kalau nekad membentur Pak Kiong Liong, kekalahan yang dikhawatirkannya itu bahkan akan datang lebih cepat lagi. Sesaat ia kebingungan.
Untunglah, seorang berpakaian bangsawan yang setua Pak Kion Liong, segera menengahi pembicaraan itu, “Pangeran, tidak lama lagi persidangan akan dimulai, Hong Siang akan segera tiba kalau kesehatannya mengijinkan. Hamba mohong Pangeran dan Saudara Pak Kiong LIong kembali ketempata masing-masing.”
Bangsawan tua itu adalah Liong Ke Toh, ipar Kaisar Khong Hi sendiri, sehingga kdudukannya membuat ia cukup pantas untuk memperingatkan Pangeran In Ceng agar tertib dalam persidangan. Teguran seorang paman terhadap keponakannya. Namun dengan cara itu, Liong Ke Toh juga berhasil memberikan jalan mundur bagi Pangeran In Ceng tanpa membuat sang pangeran kehilangan muka.
Pangaeran In Ceng merasa lega, namun sebelum meningglkan Pak Kiong Liong, ia sempat berkata, “Paman Liong Ke Toh, menurut Paman Pak Kiong Long ini, kekaisaran kita sedang menghadapi ancaman dari mana-mana. Bagaimana kalau kelak diusulkan kepada Hu-Hong (ayahanda Kaisar) agar Paman Pak Kiong dan pasukannya dikirim untuk melawan musuh-musuh itu?”
Hati Pak Kiong Liong berdenyut keras mendengar dirinya akan disingkirkan dengan cara ditugaskan ke tempat yang jauh dari ibukota. Sehingga tidak dapat lagi mempengaruhi persaingan antar pangeran. Hal itu bukan tidak mungkin kalau Liong Ke Toh mau membujuk kaisar dengan lidahnya yang lihai itu. Kalau kaisar sendiri sudah mengeluarkan perintah, tentu saja Pak Kiong Liong tidak mungkin lagi membantahnya.
Liong Ke Toh sesaat menatap Pak Kiong Liong samba menunjukkan senyuman liciknya seolah sedang memamerkan kekuasaanya sambil bertanya tanpa kata, tidak percayakah kau bahwa aku dapat membuangmu sejauh-jauhnya dari ibukota?
Sebaliknya Pak Kiong Liong dengan muka jijik memandang kearah lain, tidak sudi memandang kearah wajah Liong Ke Toh. Ia tahu manusia macam apa ipar Kaisar itu. Licik, penjilat, penyebar fitnah, berambisi mendapat kekuasaan sebesar-besarnya dengan segala cara.
Baru saja Liong Ke Toh hendak mengucapkan beberapa kata gertakan atau sindirian kepada Pak Kiong Liong, tiba-tiba lonceng Keng-Yang-ciong dan tambur Liong- Hong-kou di samping istana kembali berbunyi, dari belakang tirai singgasana muncul seorang thai-kam (pelayan kebiri) yang berseru, “Hong Siang telah tiba!”
Semua orang di aula persidangan itu cepat- cepat berdiri di tempatnya masing-masing dan merapikan pakaian mereka. Tirai kuning di samping singgasana tersibak oleh dua orang thai-kam, disusul munculnya dua prajurit pengawal Kaisar, setelah itu barulah Kaisar Khong Hi sendiri muncul menuju singgasana. Kaisar ke dua dari Dinasti Manchu itu berjalan tidak terlalu tegap, karena usianya yang tua dan kesehatannya yang menurun, namun ia berjalan sendiri tanpa dituntun oleh pelayan-pelayannya.
Orang-orang di aula persidangan serempak berlutut dan serempak menyerukan pujian mereka, “Ban-swe! Ban-swe!”
Suara Kaisar Khong Hi yang tidak keras itu masih terdengar jelas di aula yang sunyi senyap itu, “Bangun kalian…”
Setelah seruan “terima kasih, Tuanku” dikumandangkan secara serempak pula, orang- orang di aula itupun bangkit dari berlututnya. Dari singgasananya, Kaisar Khong Hi menyapukan pandangannya untuk meneliti wajah-wajah yang hadir dalam persidangan itu, kepalanya terangguk-angguk kecil ketika melihat putera-puteranya hadir pula. Dari tatapan matanya hinggap agak lama pada diri Pangeran In Ceng, putranya yang ke-empat, yang beberapa tahun yang silam pernah minggat dari istana karena merasa tidak disujau Ayahandanya sendiri.
“Kau, In Ceng?” Tanya Kaisar.
Cepat-cepat Pangeran In Ceng berlutut lagi dan menjawab, “Hamba Ayahanda.”
"Sudah hampir satu bulan kau tidak hadir dalam persidangan-persidangan, juga tidak pernah menghadap aku di Yang-wan-kiong, kemana saja kau selama ini?”
“Hamba mencoba melihat-lihat situasi di luar ibukota, untuk mengetahui bagaimana keadaan Kekaisaran ini.”
“Kenapa tidak kau laporkan kepadaku tentang kegiatanmu itu?”
“Hamba mendengar dari Tabib istana tentang keadaan Ayahanda yang kurang sehat, maka hamba tidak melaporkannya karena kuatir menambah beban pikiran Ayahanda. Apa yang bisa hamba kerjakan tanpa menambah beban Ayahanda, biarlah hamba kerjakan sendiri, sambil mengharapkan Ayahanda cepat sehat kembali.”
“Wah, benar-benar anak manis,” pikir Pak Kiong Liong dalam hatinya.
Kaisar Khong Hi mengurut-urut janggutnya sambil mengangguk-ngangguk pula, sementara Pangeran In Ceng pun membatin. “Ayahanda pura-pura saja mempercayai aku, tapi aku yakin dia pasti tidak pernah percaya sedikitpun. Namun tidak apa-apa, akupun toh cuma pembual…”
Saat itulah di ruang persidangan yang sunyi itu terdengar suara tertawa mengejek yang tertahan. Itu mengejutkan semua orang, siapa yang berani bersikap kurang sopan di depan Kaisar? Waktu semua orang menoleh ke arah asal suara itu, ternyata adalah putera tertua Kaisar Khong Hi, Pangeran In Si yang dulu punya gelar kebangsawanan Tit-hun-ong.
Namun saat itu gelarnya sudah dicabut, sekaligus juga kehilangan haknya untuk mewarisi tahta. Karena itulah Pangeran In Si punya rasa dengki terhadap pangeran-pangeran lainnya, adik-adiknya sendiri, sebisa-bisanya ingin menjegal dan mengacau semua rencana mereka. Mendengar ejekan, lupa kalau saat itu tengah berada di Sidang Kerajaan.
Ketika berpuluh-puluh pasang mata tertuju kearahnya, seolah-olah menegurnya, terutama sorot mata Kaisar sendiri, Pangeran In Si menjadi agak gugup. Cepat-cepat ia berlutut dan berkapa, “Harap Ayahanda mengampuni ketidak sopanan hamba dalam sidang ini…”
Kaisar Khong Hi menarik napas untuk menekan kejengkelannya. Harusnya putera tertuanya itu paling berhak menggantikannya, tapi ia tahu bahwa Pangeran In Si adalah seorang yang berwatak lemah, terlalu senang memikirkan diri sendiri, kemampuannya tidak seimbang dengan ambisinya yang besar sehingga kekaisaran terancam runtuh kalau dikendalikan orang macam itu.
Dan akibat kelambatan Kaisar dalam menyiapkan penggantinya itulah maka putera-puteranya terjerumus dalam persaingan sengit yang membahayakan persatuan kekaisaran. Persaingan yang belum tentu reda dengan dibukanya Surat Wasiatnya kelak…
Kaisar menatap Pangeran In Si dengan pandangan sedih, katanya, “Bangunlah, aku maafkan kau. Tapi lain kali berilah contoh yang betul kepada adik-adikmu. Dan menilik sikapmu tadi, tentunya ada sesuatu yang ingin kau katakan?”
“Terima kasih, Ayahanda. Hamba memang ingin mengatakan sesuatu,” sahut Pangeran In Si. Setelah bangkit dari berlututnya, ia berdiri dengan kepala tunduk dan dua tangan lurus di samping tubuh.
“Katakanlah.”
Sekilas Pangeran In Si melirik Pangeran In Ceng dengan pandangan penuh kebencian, lalu berkata, “Ayahanda, meskipun Adinda In Ceng tidak pernah menengok Ayahanda, namun agaknya dia berusaha menjaga Ayahanda sebaik-baiknya. Buktinya, Adinda In Ceng menempatkan banyak jago-jago silatnya untuk memenuhi istana. Kemarin, ketika hamba hendak menjenguk kesehatan Ayahanda, hamba dihadang di pintu gerbang Yang-wan-kiong oleh orang-orang Adinda In Ceng, dan hamba dipaksa pulang kembali sebelum berhasil menjenguk Ayahanda…”
Sebelum Kaisar menjawab, tiba-tiba Pangeran In Gi, putra ke delapan yang bertubuh tinggi besar dan bersuara kasar itupun telah maju berlutut dan suaranya memenuhi aula persidangan itu. “Ayahanda, hamba mohon ampun karena lancang bicara tanpa perkenan Ayahanda. Tetapi hamba harus melapor juga, apa yang dikatakan Kakanda In Si itu benar adanya. Hamba juga pernah mengalami perlakuan kasar dari orang-orang Kakanda In Ceng ketika hendak menengok Ayahanda. Istana ini seolah-olah sudah menjadi milik Kakanda In Ceng pribadi!”
“Hamba juga mengalami perlakuan serupa, Ayahanda,” Kata Pangeran In Tong putera Kaisar ke Sembilan, sambil berlutut pula.
Disusul putera ke sepuluh Pangeran In Go. “Ayahanda, seharusnya Kakanda In Ceng menertibkan orang-orangnya untuk sedikit tahu adat. Ini adalah istana Kerajaan, kalau anak buah Kakanda In Ceng berkelakuan seperti orang-orang Han yang biadab itu dibawa masuk ke istana semuanya, rusaklah tata-tertib istana ini dan akan menodai kehormatan Keluarga Aishin Gioro kita yang agung!”
Dalam mengumpukan pendukung-pendukungnya, Pangeran In Ceng memang tidak peduli darimana asalnya, pokoknya asal sanggup bergabung dengannya. Sebelum orang-orang itu diberi seragam mentereng untuk ditempatkan di istana dengan bantuan Liong Ke Toh, orang-orang itu memang beberapa hari dilatih tata karma dalam istana.
Namun “Kursus kilat” itu sulit mengubah watak orang-orang yang sebagian besar dari golongan hitam itu, meskipun mereka telah diberi baju seragam yang rapi. Dalam urusan ilmu silat, memang orang-orang Pangeran In Ceng itu rata-rata tergolong jagoan, sehingga para pengawal istanapun kalau tidak terpaksa enggan berhantam dengan mereka.
Sementara itu, para menteri, panglima dan gubernur yang sebenarnya sudah siap dengan laporan masing-masing, kini terpaksa harus bersabar dulu. Mereka geleng-geleng kepala melihat sidang Kerajaan mendadak berubah menjadi “sidang keluarga” dimana seorang ayah dihadapkan kepada pertengkaran anak-anaknya.
Pangeran In Ceng tegang wajahnya mendengar tuduhan saudara-saudaranya itu. Setelah keadaan agak reda, barulah ia berbicara lagi, “Ayahanda, sebenarnya hamba bermaksud baik, ingin memberi kesempatan Ayahanda beristirahat dengan tenang tanpa diganggu siapapun. Tetapi agaknya saudara-saudaraku sendiripun salah paham. Kalau Ayahanda merasa kesalahan hamba ini patut dihukum, hamba tunduk keputusan Ayahanda...!"
Kaisar tua itu agak bingung menghadapi itu. Apalagi ketika Pangeran In Gi dengan berangasan telah berkata lagi, “Ayahanda, sebaiknya orang-orang Kakanda In Ceng yang liar seperti orang hutan itu disingkirkan semua dar istana!"
Usui itu mendapat dukungan dari Pangeran-pangeran lainnya. Tentu saja masing-masing ingin agar kekuatan Pangeran In Ceng di bagian dalam istana bisa dikurangi, supaya bisa digantikan pendukung-pendukung mereka masing-masing. Tapi pangeran-pangeran itupun sadar, kalau Pangeran In Ceng berhasil disingkirkan, mereka masih harus bergulat satu sama lain untuk mendapatkan hanya satu “pemenang". Atau barangkali takkan ada “pemenang“nya satupun, alias hancur bersama.
Kaisar kemudian bertanya kepada In Ceng, “Anakku, bagimu, mana yang lebih berat? Saudara-saudaramu atau orang-orangmu yang asal-usulnya tak keruan itu Aku sendiri tidak senang dikeliling istana ini bertebaran orang-orang kasar seperti orang-orangmu itu.”
Memang, sejak orang-orang In Ceng masuk istana, kebersihan istana, jadi agak terganggu. Kalau mereka ingin kencing, cukup mencari rumpun pohon dan kencinglah mereka di situ. Bahkan kolam ikan emas juga pernah dikecingi sehingga ikannya mabuk semua. Meskipun Kaisar telah berusaha bertindak sebagai seorang ayah yang adil namun ucapan terakhirnya tadi menunjukkan ketidaksenangannya terhadap putera keempatnya yang sejak kecil memang paIing bengal itu.
Untuk merebut simpati para menteri, panglima dan gubernur yang tengah hadir di aula persidangan itu terpaksa Pangeran In Ceng harus bersandiwara sebagai seorang anak yang “menurut” dan “berbakti”. Kalau Ayahnda dan saudara-saudara kurang berkenan, baiklah secepat mungkin hamba akan menarik anak buah hamba itu.” Tapi dalam hatinya la mengutuk. "Semakin jelaslah bahwa aku memang di anak tirikan oleh Ayahanda. Melihat gelagatnya, mustahil namaku yang tercantum dalam Surat Wasiat itu. Kalau begitu, aku takkan sungkan-sungkan lagi, dalam beberapa hari aku harus mengambil langkah-Iangkah kilat. Setelah aku bertahta kelak, tahu rasalah penentang penentangku itu."
Demikianlah tekad Pangeran In Ceng dalamhatinya.Biarpunsaudarsaudara sedar ah-sedaging,kalau menghalangi tu juannya, akan dibabatnya tanpa belas kasihan lagi. Namun rencana itu tersimpan rapat dalam hatinya, tak seorangpun tahu, kecuali di saat pelaksanaan rencananya kelak.
Ucapan kesanggupan untuk membubarkan "pengawaI-pengawal liar”nya itu membuat para penuduh tak berkutik lagi. Pangeran In Si meskipun sangat benci dan dengki, namun tak tahu harus mengucapkan apa lagi. Apalagi ketika In Ceng dengan wajah memelas berlutut di depan Kakanda tertuanya itu untuk mohon maaf. Pangeran In Si tak bisa bilang apa lagi, kecuali wajahnya yang menjadi masam.
Kaisar Khong Hi melihat itu semua dengan perasaan pedih. Setelahnya nanti, akankah kekaisaran yang sudah dibinanya berpuluh tahun Itu hancur berantakan karena pertengkaran putera-puteranya? Tapi masih ada setitik harapan di hati Kaisar tua itu. Pangeran In Te, puteranya yang paling diharapkan itu, mudah-mudahan kelak setelah bertahta dapat mengatasi ulah saudara-saudaranya sendiri. la gemblra mendengar kabar putera ke empatbelas itu sedang dalam perjalanan pulang ke ibu kota, setelah memadamkan pemberontakan di Jing-hai.
Tuduh-menuduh antar pangerann sudah mereda, namun kebencian hati masing-masing justru kian membara. Para menteri dan pejabat-pejabat tinggi lainnya segera bersiap-siap menyodorkan laporan mereka, namun agaknya mereka harus bersabar lagi, sebab Pangeran In Ceng kembali merebut kesempatan bicara,
"Ayahanda, kehadiran hamba ini sebenarnya juga membawa sebuah laporan penting untuk dihaturkan kepada Ayahanda..”
Betapapun tidak senangnya Kaisar Khong Hi kepada puteranya yang satu ini, namun ia tidak dapat menunjukkan ketidaksenangannya terang-terangan dihadapan sidang. Terpaksa ia membolehkan Pangeran In Ceng bicara.
"Ayahanda, hamba mendengar bahwa Adinda In Te dengan gemilang telah berhasiI menumpas perlawanan di Sin-kiang dan Jing-hai...”
Semua yang mendengarnya tercengang mendengar Pangeran itu malah memuji-muji saingan besarnya, sedangkan yang di sebut "laporan penting" itu tak lain adalah berita yang sudah diketahui semua orang. Namun sementara itu Pangeran In Ceng telah melanjutkan kata-katanya, "Tetapi kemudian ada tanda-tanda Adinda In Te akan memaksakan mempercepat pewarisan tahta kepada dirinya. la kini membawa pasukan besarnya ke Pak-khia, dengan maksud menguasai secara kekerasan...”
"Bohong! Fitnah!" dari luar aula persidangan tiba-tiba terdengar teriakan marah. Seseorang yang berpakaian seragam prajurit Hui-Liong-kun, anak-anak buah Pak Kiong Liong, menerjang masuk aula tanpa peduli cegahan prajurit pengawal istana. Dengan sigap, beberapa anggota Lwe teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana) menghunus pedang atau tombak mereka untuk merintangi orang itu. Dua prajurit dijotosnya terpental, lalu orang itu merenggut kumis dan jenggot palsunya, mengusap wajahnya sehingga rontoklah lapisan lilin kuning yang tadinya menyamarkan wajah aslinya.
Bentaknya kepada para prajurit perintangnya, "Kalian berani merintangi aku?"
Prajurit-prajurit istana kaget ketika mengenali wajah orang yang dihadangnya. Serentak mereka berlutut sambil memberi salam, "Hormat kepada Cap-si Pwe-lek (Pangeran ke empat belas)!"
Kemunculan Pangeran In Te secara mendadak itu kontan mengagetkan seisi aula, kecuali Pak Kiong Liong yang memang menyelundupkan Pangeran In Te ke istana sebagai salah seorang pengawalnya. Namun Pak Kiong Liong sendiri merasa kurang senang akan pemunculan Pangeran In Te yang agak gegabah itu. Mau tidak mau dirinya akan terlibat juga.
Sesaat Kaisar Khong Hi tercengang, namun kemudian menjadi amat gembira melihat putera tersayangnya itu diluar dugaan muncul dihadapannya. Gejolak perasaan seorang ayah tak dapat disembunyikan lagi, ia sampai bangkit dari singgasananya dan berkata terbata-bata, ‘'Anakku.... anakku....”
Pangeran In Te telah berlutut di bawah tangga singgasana dengan air mata membasahi wajahnya, katanya dengan suara parau, "Hamba sudah mendengar tentang kesehatan Ayahanda yang memprihatinkan, itulah sebabnya hamba mendahului pasukan untuk buru-buru menengok Ayahanda. Namun dalam beberapa hari ini hamba tak berhasil menembus penjagaan orang-orang Kakanda In Ceng yang disebar di seluruh ibukota ini. Ucapan Kakanda In Ceng tadi juga hanya fitnah, hamba tidak berani memikirkan tahta selama Ayahanda dikarunia umur panjang oleh Langit!"
Demikianlah, hanya dengan beberapa kalimat saja Pangeran In Te mencoba menumpahkan semua pikiran dan perasaannya yang menumpuk selama ini, sehinga suaranyapun tergagap-gagap tak keruan. Namun justru menimbulkan simpati orang-orang yang mendengarnya, karena pangeran ini dikenal ketulusan hatinya dibandingkan pangeran-pangeran lainnya.
Sementara itu, Pangeran In Ceng mencium gelagat tidak menguntungkan, namun ia masih belum tahu hendak mengambil tindakan yang bagaimana? Detik itulah tiba-tiba Liong Ke Toh yang ber diri di belakangnya telah menggamit pinggangnya dan berbisik,
’’Pangeran, kalau sampai Hong Siang mengumumkan pengangkatan Pangeran In Te secara Iisan sekarang ini, biarpun kita berhasil mengubah Surat Wasiat pun percuma saja. Hal itu mungkin saja dilakukan oleh Hong Siang kalau beliau sudah jemu mennyaksikan pertikaian putera-puteranya Karena itu, Pangeran, jangan ragu-ragu bertindak sekarang, jangan sampai Pa- ngeran In Te berbicara langsung dengan Hong Siang. Pangeran In Te sedang terpisah dengan pasukannya, itu berarti seperti ikan dalam jaring."
Pak Kiong Liong tak sempat melihat bisik-bisik antara kedua orang itu, sebab perhatiannya sedang tercurah- ke pembicaraan Kaisar dan Pangeran In Te yang bakal berlangsung. Begitu pula semua orang di aula persidangan itu. Sedangkan Pangeran In Ceng menelan bulat-bulat anjuran Pamannya itu. Apa-lagi ketika dengan matanya sendiri ia melihat Kaisar dengan sikap terharu tengah melangkah menuruni tangga singgasana untuk memeluk Pangeran In Te, maka Pangeran In Ceng merasa saatnya harus bert indak berani.
Karena itulah di tengah suasana mengharukan itu, Pangeran ke empat itu tiba-tiba melompat sambi membentak, "Adinda In Te. setelah niatmu untuk memberontak diketahui orang, sekarang kau masih berani kembali ke istana dan bersandiwara di hadapan Ayahanda dengan airmata buayamu? Mana pengawal? Tangkap pemberontak ini!"
Tindakan In Ceng itu menggemparkan persidangan. Kaisar sampai menghentikan langkahya di tangga singgasana karena kagetnya. Suaranya gemetar, “In Ceng, apa-apaan ucapanmu ini? Adikmu bukan pemberontak!"
Sekali melangkah, In Ceng hanya punya dua pilihan: menang atau hancur. Kali ini pun dia tidak sudi mundur selangkahpun, apalagi karena jagoan-jagoan pengikut sudah siap di luar sejak tadi, meskipun belum diperintahkannya menyerbu masuk. Sahut In Ceng kepada Kaisar, ”Harap Ayahanda tidak tertipu oleh pemberontak yang berpura-pura menjadi anak berbakti ini. Hamba persilakan Ayahanda mundur dulu untuk beristirahat di Yang-wan-kiong, agar kesehatan Ayahanda cepat pulih!"
Dan tidak lagi menunggu persetujuan Ayahandanya sendiri, In Ceng berkata kepada Liong Ke Toh, "Paman, antarkanlah Ayahanda masuk ke Yang-wan-kiong dan perhatikan kesehatannya.”
Liong Ke Toh cepat naik ke tangga singgasana, menyongsong Kaisar dan tanpa tata-krama lagi langsung memegang lengan Kaisar, sambil berkata, "Tuan-ku, mari hamba antarkan ke Yang-wan-kiong untuk menenangkan diri. Putera Tuanku Pangeran In Ceng akan dapat mengurus urusan di sini dengan baik...."
Kaisar Khong Hi mengibaskan tangan Liong Ke Toh sambil berkata gemetar, "Aku tidak percaya In Te memberontak! Itu hanyalah tuduhan palsu!"
Namun tangan Liong Ke Toh yang dikibaskan itu kembali memegang erat-erat tangan Kaisar, sehingga Kaisar membentak dengan marah, "Liong Ke Toh! Kau bosan hidup sehingga berani berbuat seperti ini kepadaku?!"
Meskipun Kaisar sudah lanjut usia dan tubuhnya semakin lemah, namun wibawanya sebagai Kaisar tetap berhasil menguncupkan keberanian Liong Ke Toh adik iparnya sendiri. Tetapi Liong Ke Toh melihat dibawah tangga singgasana itu In Ceng sudah bertarung dengan sengit dengan In Te yang tak mau diringkus mentah mentah Liong Ke Toh pun menjadi nekad. Sudah terlanjur bertindak, melangkah mundurpun pasti takkan diampuni, yang lebih baik maju terus apapun resikonya. Pegangannya pada lengan Kaisar malah semakin kuat, untuk ditarik ke ruangan dalam, sambil berkata, "Marilah, Tuanku, beristira- hatilah saja di Yang-wan-kiong….”
"Kau... kau berani?" bentak Kaisar lagi. Tiba-tiba ia menyeringai kesakitan sambil menekan dadanya sendiri dengan telapak tangannya. Rupanya karena terguncang melihat apa yang berlangsung di aula yang kacau itu, maka kesehatannya yang memang rapuh itupun mengguncangnya kembali. Setengah diseret oleh Liong Ke Toh, dia dibawa ke dalam, sementara para pelayan thai-kam kebingungan dan ketakutan, tak tahu harus berbuat apa.
Para hadirin dalam persidangan itu pun tidak segera mengambil sikap, khawatlr kalau mengambil sikap keliru akan membahayakan diri mereka jika Kaisar baru sudah bertahta kelak. Bebera gubernur malah bersorak dalam hati, mengharap pertikaian itu agar melumpuhkan pemerintah pusat, dan mereka akan mendapat peluang untuk melepaskan propinsi masing-masing dari perintah pusat. Eh, siapa tahu akan menjadi cikal bakal sebuah dinasti baru?
Yang je|as tak bisa tinggal diam adalah Pak Kiong Liong. Darahnya mendidih melihat Kaisar diperlakukan kasar oleh Liong Ke Toh. Kaisar secara pribadi adalah saudara sepupunya, tetapi juga lambang kewibawaan kekaisaran, dan lambang itu sedang dicoba dihinakan oleh Liong Ke-Toh demi menuruti ambisi In Ceng. Seperti seekor burung rajawali yang terbang mengembangkan sayapnya-sayapnya, Pak-Kiong Liong melonpat tinggi melalui kepala belasan menteri, panglima dan gubernur, langsung ke a rah Liong Ke-Toh.
Cengkeramannya dari awang-awang terjulur ke batok kepala Liong Ke Toh sambil membentak, "Pengkhianat! Inikah balas budimu kepada kebaikan Hong-siang selama ini?i"
Melihat kegarangan Pak Kiong Liong kuncuplah nyali Liong Ke Toh yang tak bisa bermain silat itu. la mengerutkan kepalanya sambil berseru, "Goan-swe! Jangan salah paham...."
Seruan itu tidak digubris oleh Pak Kiong Liong yang sudah lama menahan rasa muak melihat malang-melintangnya komplotan kotor Liong Ke-Toh di istana. Pak Kiong Liong tidak mau kehilangan detik berharga dimama dia mempunyai alasan yang kuat untuk memusnahkan biang keladi komplotan itu. Setelah itu, gampanglah besok ia minta maaf secara terbuka kepada Permaisuri Tek Huai, kakak perempuan Liong Ke Toh.
Namun saat tangan Pak Kiong Liong nyaris meremuk kepala korbannya, seorang berseragam perwira menengah Lwe-teng Wi-su (Pasukan Pengawal Istana) telah melompat melindungi Liong Ke Toh, dengan beraninya menyongsong pukulan Pak Kiong Liong dengan tangannya pula. Orang Itu sebenarnya adalah seorang jagoan dari luar istana yang diselundupkan oleh In Ceng ke dalam pasukan pengawal istana untuk memperkuat Jaring-jaring komplotannya.
Kini dia dengan berani menyongsong Pak Kiong Liong, biarpun sudah mendengar kemasyhuran silat Panglima tua itu, namun in berambisi untuk mengalahkannya agar mendirikan pahala besar bagi Pangeran In Ceng. Tapi malanglah nasib orang yang tak tahu mengukur kekuatannya sendiri. Dalam kemarahannya, Pak Kiong Liong telah memukul dengan llmu kebanggaanya yang disebut Hwe-Liong Sln-kang (Keku atan Sakti Naga Api).
Begitu pukulannya berbenturan dengan jagoan gila pahala itu, si Jagoan terpental tanpa sempat menjerit lagi. Tubuhnya terhempas ke lantai dengan tulang-tulang luluh lantak, separuh kulit badannya yang baglan kanan hangus menjadi arang, termasuk pakaiannya. Nyawanya jelas melayang.
Aula persidangan seketika menjadi kalang-kabut. Menteri-menteri bidang sipil seperti Huo-poSiang-si (Menterl Keuangan), Kong-po Siang-si (Menterl Pekerjaan Umum), Heng-po Siang-si (Menteri Keadilan), Le-po Slang-si (Menteri Kebudayaan) yang umumnya sudah tua-tua dan tak bisa bermain silat itu kebanyakan hanya menggigil ketakutan sambil berdiri merapat ke tembok atau mengamankan diri di belakang pilar-pilar besar penyangga atap istana.
Sedang para Panglima memang mempunyai kemampuan silat yang cukup, namun tidak berani sembarangan memihak para pangeran yang berbaku hantam itu. Keputusan untuk memihak berarti menyangkut masa depan kekaisaran, karena itu mereka amat berhatl-bati menentukan langkah.
Pak Klong Liong kembali memburu Liong Ke Toh, lagi seorang jagoan In Ceng yang berambut putlh menghadangnya orang ini bangsa Manchu yang bernama Kim Seng Pa dari Jiat-ho, ibukota Kera jaan Manchu Lama sebelum menguasai daratan tengah. la seorang ahli main golok dan pukulan Liok-hap Sin-ciang (Pu ku)an Sakti Enam Lapisan).
Tiba di hadapan Pak Kiong Liong, Kim Seng- Pa langsung gerakkan golokny- dengan jurus Hui-in-ki-lo (Mega Terbang Naik Turun). Kekuatan, kecepatan dan kemahiran main goloknya sekaligus diperagakan olehnya. Bayangan goloknya gemerlapan menebar ke seluruh tubuh Pak Kiong Liong, selain membawa getar tenaga yang agak mengejutkan Pak Kiong Liong.
Pak Kiong Liong tak menduga di pi-hak Pangeran In Ceng ada yang setangguh itu. Namun demi ingin segera menolong Kaisar dari cengkerarnan Liong Ke Toh, Pak Kiong Liong tidak tanggung tanggung mengerahkan Ilmu Hwe-liong; Sin-kang yang menghanguskan kulit Itu. Sabetan beruntun golok musuh berhasil dihindari dengan langkah-langkah pendeknya, lalu secepat kilat menyerobot maju dengan gerak tipu In-Liong-sam-hian (Naga Muncul Mega Tiga Kali). Seketika itu Kim Seng Pa terlanda badai angin panas yang hebat sekali.
Tapi jagoan tua dari Jiat-ho ini memang istimewa tangguh. Gempuran Pak-Kiong Liong cuma mampu memaksanya mundur dua iangkah, tak peduli Pak Kiong Liong sudah sampai ke puncak ilmunya. Kemudian, begitu gelombang kekuatan panas mengendor, dia kembali menubruk maju dengan bersemangat.
Sementara itu, pertarungan antara Pangeran In Ceng dan Pangeran In Te juga berlangsung seru. In Ceng adalah murid Siau-lim-pai yang mahir Lo-han-kun hoat. Sepasang tangannya menghantam dan menyabet dengan tangguh bagaikan potongan-potongan besi, sepasang kakinya melangkah dan menendang dengan lincah pula, semuanya adalah pukulan-pukulan yang mampu meremukkan batu.
Pangeran ini memang seorang yang bertenaga raksasa. Di kota Se-shia dalam pengembaraannya dulu, ia pernah memindahkan letak sebuah singa batu raksasa di depan gedung Hek-hou Piau-tiam, dengan mengangkatnya seorang diri. Dan dalam tahun-tahun terakhir itu ia terus meningkatkan iImu silatnya dengan tekun.
Sedangkan Pangeran In Te adalah jagoan mengatur siasat di medan perang, tetapi kemampuan silatnya secara pribadi tertinggal agak jauh dari Kakanda-nya, sehingga diapun mulai terdesak hebat. Tangannya serasa hampir patah setiap kali berbenturan dengan tangan kakandanya yang sekeras besi, sedang untuk menghindari benturannya pun tidak gampang. Suatu ketika, tendangan Pangeran In Ceng berhasil mengenai perutnya, sehingga isi perutnya serasa jung kir balik. Tapi tubuhnyapun cukup tergembleng kuat, sehingga tidak roboh begitu saja. Dicabutnya pedangnya untuk memperhebat perIawanannya.
Namun In Ceng dengan tangan kosong nya tidak gentar sedikitpun. "Menyerah sajalah, Adinda, mengingat kau masih termasuk keluarga istana, hukuman pemberontakanmu itu bisa diringankan..." "Pendusta!" sahut In Te marah. ‘‘Kakanda sendirilah yang memberontak dengan berkomplot dengan Paman Liong Ke Toh untuk mengekang kegiatan Ayahanda dii stana..."
In Ceng sudah tak peduli tuduhan macam apapun yang ditimpakan kepada dirinya. Kata-kata adiknya itu tak digubrisnya, malah tiba-tiba ia meneriakkan perintah agar pengawal-pengawaI pribadinya yang berada di luar aula persidangan itu masuk semuanya.
Maka dari luar aula itu berlompatanlah orang-orang berseragam jubah ungu kain satin, pengawal-pengawal pribadi In Ceng yang tangan masing-masing sudah bersenjata terhunus. Prajurit-prajurit Lwe-teng Wi-su tak kuasa menghalangi tandang jagoan-jagoan kasar itu, malah beberapa pengawal istana dirobohkan. Di dalam aula, mereka sudah berusaha ikut menangkap Pak Kiong Liong serta Pangeran In Te.
Saat itu sebenarnya Pak Kiong Liong sudah berhasil mendesak Kim Seng Pa, keruntuhan jagoan she Kim itu tinggal beberapa saat lagi, namun seorang bermuka berewokan dan bersenjata seutas rantai baja segera memasuki arena dan langsung membantu Kim Seng Pa. Si berewokan ini bernama To Jiat Hong, ayahnya orang Manchu dan ibunya; orang Sian-bi, julukannya Hong-hek-sit (Malaikat Hitam Gila), ketangguhannyo hanya selapis di bawah Kim Seng Pa.
Ketangguhannya terbukti ketika ia sudah melompat masuk arena, la tidak tersengat roboh oleh hawa panas Hwe-liong Sin-kangnya Pak Kiong Liong yang bukan main-main itu, melainkan hanya nampak kaget dan melompat mundur. Kemudian dengan senjata rantainya yang panjang itu, ia dapat mengulur jarak anta ra dirinya dengan Pak Kiong Liong agar tak terlalu terganggu oleh hawa panas. Rantainya menderu hebat dan berusaha melibat pinggang Pak Kionq Liong untuk ditarik roboh.
Di antara jagoan-jagoan Pangeran In Ceng, tak ada satupun yang bisa disejajarkan dengan Pak Kiong Liong. Kim Seng Pa yang ilmunya paling tinggi itupun masih bisa didesak oleh Pak-Kiong Liong. Namun setelah Kim Seng Pa dan To Jiah Hong bergabung, mau tak mau Pak Kiong Liong merasakan tekanan berat juga.
Ketika Pak Kiong Liong melirik Pangeran In Te, dilihatnya pewaris tahta yang syah itu sudah hampir kehabisan daya perlawanan. Sebentar lagi tentu akan tertangkap oleh Pangeran In Ceng dan orang-orangnya, lalu nasibnyapun akan susah diramalkan di dalam genggam an Kakandanya yang haus kekuasaan itu.
Akhirnya Pak Kiong Liong memutus-kan bahwa keselamatan Pangeran In Te harus diutamakan dari Kaisar Khong Hi. Mungkin untuk beberapa lama, Kaisar akan di bawah kendali komplotan In Ceng namun nyawanya tidak terlalu terancam sebab Pak Kiong Liong beranggapan bahwa betapapun durhakanya In Ceng, rasa-nya tidak mungkin berani membunuh Ayahandanya sendiri (di kemudian hari, ternyata Pak Kiong Liong menyesali sendiri anggapannya yang keliru ini).
Sebelum ini, Pak Kiong Liong berusaha menunjukkan sikap netral dalam persidangan antar pangeran, tapi hari itu terpaksa ia terang-terangan “buka kartu" memihak Pangeran In Te. Memang In Te belum tentu berhasil menjadi Kaisar yang sesempurna Ayahandanya, tetapi dialah pilihan terbaik di antara putera-putera Kaisar Khong Hi. Kalau tahta dibiarkan jatuh ke tangan In Ceng, Pak Kiong Liong sudah membayangkan bahwa kekaisaran akan mengalami kemelut hebat di bawah pemerintahannya.
Sambil membentak keras untuk meng- himpun semangatnya, Pak-Kiong Liong se kaigus melancarkan tiga pukulan berturut-turut. Hoan-in-hok-te (Mega Terbalik Menutup Bumi), Boat-in-kian-jit (Meny ingkap Mega Memandang Matahari dan Liang-siang-kai-san (Sepasang Gajah Mendobrak Gunung).
Dua pukulan pertama menghasilkan gulungan tenaga panas beberapa langkah di sekitar arena, membuat kedua lawannya melompat menjauhkan diri. Kemudian ketika Liang-siang-kai-san dilontarkan, kedua tangannya terpentang dan terkatup, dua arus udara membara kembali memaksa kedua jagoan In Ceng itu mengulur jarak. Mereka harus mengakui hebatnya Panglima tua yang sudah ubanan semuanya itu.
Pak Kiong Liong menggunakan kesempatan itu untuk melompat keluar arena, seperti seekor burung garuda ia menyambar ke arah Pangeran In Te yang keadaannya kian berbahaya. Putera ke empat belas Kaisar Khong Hi itu memang sudah ibarat telur di ujung tanduk. Pundaknya sudah berdarah kena pedang salah seorang pengikut In Ceng, bajunya robek, langkahnya sempoyongan seperti orang mabuk.
Namun tidak percuma ia menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kekaisaran, ia memang bernyali singa dan bersemangat naga, sehingga dengan gigihnya dia terus memutar pedang untuk melawan. Saat itulah Pak Kiong Liong datang menyambar dari atas, pukulan hawa panasnya terus dihamburkan kepada lawan-lawan Pangeran In Te, kecuali Pangeran In Ceng yang tidak.
"Maafkan hamba, Pangeran," kata Pak Kiong Liong kepada In Ceng yang hanya didorongnya mundur tanpa menggunakan Hwe-Iiong Sin-kang. Itupun sudah cukup membuat In Ceng terhuyung-huyung nyarls roboh.
Dengan geranm In Ceng membentak, "Paman, kaupun coba-coba melindungi seorang pemberontak?!“
Sahut Pak Klong Liong, “Siapapun yang ingin berontak, hambalah rintangan pertama yang harus dilaluinya. Namun suatu pemberontakan harus dibukiikan leblh dulu adanya, bukan mengumbar tuduhan untuk menyingkirkan saudara sendiri….”
Berada ditengah jagoan-jagoan yang berjumlah banyak, In Ceng tldak lagl gentar kepada Pamannya ini. Tanpa kata-kata, hanya dengan isyarat matanya. ia menyuruh orang-orangnya untuk turun tangan segera. Namun geraken orang-orang itu masih kalah cepat dari gerakan Pak Kiog Long, yang tiba-tiba menyambar pinggang In Te untuk dibawa kabur.
Gerakannya secepat angin puyuh, sehingga In Te sendiri tak menduga akan diperlakukan demikian. Seorang Jagoan berjubah ungu yang mencoba menghadangnya, telah ditumbuk dengan pundaknya sehingga ter penial pingsan. Seorang lagi menusukkan tombak, tapi kemudian tulang-tulang dadanya sendirilah yang remuk terhajar tendangan Pak Kiong Liong.
"Kejar!" teriak In Ceng. "Sekali melangkah, jangan tanggung-tanggung."
Namun gerakan Pak Kiong Liong sangat cepat, meskipun dibebani tubuh Pangeran In Te. Beberapa butir kepala musuh malah dijadikannya batu-batu loncatan untuk mencapai luar aula. Di luar aula ada tiga pengawal Pak Kiong Liong. Melihat Panglima mereka diuber-uber, ketiga pengawal itu menghunus senjata dan menghadang orang-orang In Ceng yang jauh lebih banyak.
"Selamatkan diri kalian!" seru Pak Kiong Liong kepada liga pengawalnya itu. la tahu ketiga pengawal itupun prajurit-prajurit yang tangguh, tapi terlaIu berat kaIau harus meIawan orang orang Pangeran In Ceng. Tapi pengawal-pengawal itu menjawab, "Goan-swe selamatkan Putera Mahkota, kami bertiga akan bertahan di sini!"
"Tapi lawan-lawan kalian sangat kuat..." kata Pak Kiong Liong, namun pengawal-pengawal menjawab lagi dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun. "Agar tahta tidak jatuh ke tangan pangeran yang lalim, kami siap berkorban nyawa di tempat ini . Ciangkun, pergilah!”
Rasa bangga campur terharu Pak-Kiong Liong mendengar tekad pengawaI-pengawal itu. la tahu past i mereka bertiga akan mati, namun tidak ada waktu lagi untuk membujuk-bujuk mereka sebab jagoan-jagoan In Ceng sudah terdengar derapnya yang kencang. Yang kemudian dilakukan Pak Kiong Liong kepada ketiga pengawal itu ialah berlutut sambil berkata, "Terimalah hormat terakhirku, prajurit-prajurit jantan."
Setelah itu, dengan mengempit tubuh Pangeran In Te, pergilah Pak Kiong Liong. Sedangkan ketiga pengawalnya dengan berani mati menghalangi jagoan-jagoan In Ceng itu. Perlawanan ketiga orang pengawal itu tentu saja tak bisa menghentikan jagoan- jagoan macam Kim Seng Pa, To Jiat Hong atau lain-lainnya.
Mereka bertiga tergilas habis, bahkan tubuh mereka menjadi pelampiasan kemarahan dan dibacoki senjata sampai nyaris berujud daging cincang. Namun pengorbanan mereka tidak sia-sia, sebab para pengejar haus darah dan haus pahala itu jadi terhambat sejenak untuk mengejar Pak-Kiong Liong dan In Te....
Selanjutnya;