Kemelut Tahta Naga I Jilid 03
Karya Stevanus S P
PANGERAN In Ceng sadar, kalau sampai adik ke empatbelas yang dibawa Pak Kiong Liong itu kembali berada di tengah pasukan perangnya, kedudukannya sendiri jadi berbahaya sekali. Karena itu, diperintahkannya salah seorang anak buahnya,
"Bawa perintahku untuk menutup Sembilan Gerbang Kotaraja. Dalam satu hari satu malam, siapapun dilarang keluar masuk dengan ancaman hukuman potong kepala!"
Anak buahnya yang disuruh itu agak paham tentang aturan jalur-jalur perintah di ibukota, sehingga ia menjadi ragu-ragu. Katanya, "Pangeran, sembilan pintu gerbang itu ada di bawah wewenang Kiu-bun Te-tok (Panglima Sembilan Pintu, Garnisun Ibukota)."
Pangeran In Ceng yang sedang marah itu tidak mau mendengar bantahan apa pun. "Kau berani membantah aku? Kim Seng Pa, seret dia dan penggal kepalanya!"
Anak buah itu kaget sekali sampai mukanya pucat, ia tidak menduga kata-katanya yang sepele itu mengakibatkan kematiannya. Dia berlutut dan meratap-ratap mohon ampun, tetapi Kim Seng Pa tidak peduli dan menyeretnya pergi ke tempat lain, dan tidak lama kemudian sudah kembali dengan menjinjing batok kepala anak buah yang malang itu.
Setelah menyuruh orang lain agar menghubungi Kiu-bun Te-tok agar memerintahkan penutupan semua pintu kota, agar kedua "buruan" itu tidak sempat kabur keluar kota, maka Pangeran In Ceng masuk kembali ke aula persidangan dengan langkah tegap, seolah-olah ia sudah mengenakan Jubah Naga Kuning dan Mahkota Naga.
Para pejabat yang hadir di ruangan itu tadi, meskipun masih ke bingungan, tapi belum pergi sebelum ada perintah untuk bubar. Di bawah cengkeraman pengaruh Pangeran In Ceng yang tidak segan-segan bertindak keras, kesalahan sekecil apapun bisa menyebabkan lepasnya batok kepala dari badan.
Pangeran In Ceng mencoba memoles wajahnya dengan senyum ramah supaya kelihatan tidak menakutkan, namun banyak menteri-menteri tua yang justru bergi- dik melihat senyuman di wajah tampan itu. Apalagi Pangeran In Ceng diiringi segerombolan jagoan-jagoannya yang berwajah seram-seram dan berseragam jubah ungu itu.
In Ceng memang belum berani duduk di Singgasana Naga yang ditinggal kan Ayahandanya tadi namun berdirinya hanya selangkah dari singgasana idaman para pangeran itu. Menghadap ke arah orang-orang di aula persidangan, ia berkata,
"Karena kesehatan Ayahanda agak terganggu oleh munculnya si pemberontak tadi, maka persidangan diundurkan sampai waktu yang akan ditetapkan kemudian. Aku mengambil alih tanggung jawab atas keselamatan Ayahanda dan seisi istana. Siapapun yang berani mencoba mengganggu istirahat penyembuhan Ayahanda, akulah lawannya. Sekarang kalian boleh bubar."
Apa boleh buat. Pangeran In Si, In Gi, In Tong, In Go dan lain-lainnya boleh saja mengutuk dalam hati, namun mereka sadar bahwa In Ceng sedang menang kedudukan dan tak mungkin ditentang. Para menteri boleh saja ragu-ragu ketulusan In Ceng, namun beranikah mereka membangkang? Beberapa orang Panglima bahkan sudah menunjukkan sikap berpihak kepada In Ceng, sementara beberapa lainnya masih pasang jurus "melihat-lihat arah angin lebih dulu. Toh belum ada kepastian bahwa Pangeran In Te sudah kalah.
Sementara itu, Pak Kiong Liong dan Pangeran In Te begitu tiba di luar gerbang Istana, langsung masing-masing melompat ke atas dua ekor kuda tegar. Entah kuda. kepunyaan siapa, tak sempat lagi bertanya- tanya. Lalu keduanya berrpacu sekencang- kencangnya menjauhi Istana, menimbulkan keheranan perajurit-perajurit penjaga pintu gerbang yang belum tahu apa yang terjadi di aula per-s i dangan tadi.
"Kenapa dengan Pak Kiong Goanswe?" seorang perajurit bertanya kepada temannya.
"Entahlah. Kenapa ia meninggalkan Sidang Kerajaan amat terburu-buru seperti itu?"
"Yang satunya tadi siapa?"
"Melihat seragamnya, seperti pengawalnya. Tapi wajahnya mirip-mirip..."
"Mirip siapa?"
"Pangeran In Te."
"Ngaco. Pangeran In Te kan masih di tengah pasukannya yang sedang dalam perjalanan pulang dari Jing-hai sana?"
Pak Kiong Liong dan In Te sendiri terus berpacu. Tanpa melambatkan kudanya, In Te bertanya, "Kita akan ke mana, Paman?"
Sahut Pak Kiong Liong, "Hamba antarkan Pangeran sampai ke luar kota, tempat yang aman."
"Lebih baik Paman pun pergi bersamaku. Kalau Paman tetap di Pak-khia, Kakanda In Ceng pasti takkan henti-hentinya merepoti Paman."
"Jangan khawatirkan hamba, Pangeran. Hamba yakin Pangeran keempat masih segan kepada hamba sebagai pamannya. Kecuali itu, hamba masih punya banyak teman setia di Pak-khia, dan juga tidak boleh meninggalkan Hui-Liong-kun tanpa pimpinan."
Pangeran In Te tidak menjawab, namun ia tahu pamannya tidak membual. Dengan ribuan prajurit berani mati yang berada di belakang Pak-Kiong Liong, rasanya Pangeran In Ceng harus berpikir berulang kali sebelum berbuat gegabah terhadap Pak-Kiong Liong. Apalagi masih ada Bok Eng Siang, Panglima Hui-hou- kun (Pasukan Macan Terbang) yang tidak kalah tangguhnya dari pasukan Hui-Iiong-kun bawahan Pak Kiong Liong. Bedanya, kaiau Hui-liong-kun adalah pasukan berkuda, maka Hui-hou-kun adalah pasukan jaIan kaki.
Sejak dari pintu gerbang istana sampai ke pintu kota barat, Pak Kiong Liong dan In Te tidak mendapat rintangan dari siapapun. Beberapa kelompok perajurit yang berpapasan malah memberi hormat kepada Panglima tua itu, yang tak sempat menggubrisnya. Setelah berada sepuluh li di luar kota Pak- khia, barulah mereka mengendorkan lari kuda mereka yang mulutnya sudah berbusa karena dipacu sekian lama.
In Te kemudian berkata, "Hari ini, meskipun nyawaku hampir melayang, tetapi aku gembira karena Paman sudah menunjukkan sikap tegas Paman dalam sidang Kerajaan tadi. Paman juga sudah memperpanjang hidupku."
Pak-Kiong Liong menarik napas, kini orang- orang Pak-khia pasti sudah tahu semua bahwa dirinya berpihak kepada Pangeran In Te, dengan demikian sudah terlibat langsung dalam-arena perebutan tahta. Namun dukungannya kepada In Te itu bukan karena mengharap mendapat kedudukan yang lebih tinggi di kemudian hari, melainkan sekedar bertanggung jawab agar tahta kekaisaran diduduki oleh pilihan yang terbaik. Pak Kiong Liong yang sebenarnya mendambakan hari tua yang tenang itu, merasa bahwa ketenteraman impiannya ituagaknya belum akan diperolehnya dalam waktu dekat ini.
"Pangeran, hamba punya sebuah permintaan."
"Apa, Paman?"
"Hamba mohon jawaban lebih dulu, jika Pangeran sudah ada di tengah-tengah pasukan kembali, tindakan apa yang akan Pangeran lakukan?"
Sahut In Te, "Kakanda In Ceng sudah tidak menghiraukan persaudaraan lagi, karena itu buat apa aku masih akan bersikap sungkan terhadapnya?"
Wajah Pak-Kiong Liong menjadi tegang mendengar jawaban itu. "Maksud Pangeran, Angkatan Perang akan digerakkan untuk membereskan urusan ini?"
"Kakanda In Ceng yang memaksa aku berbuat demikian. Istana dan seisinya harus diselamatkan dari cengkeraman komplotan busuk Kakanda In Ceng dan Paman Liong Ke Toh yang serakah itu. Dan bukankah tadi Paman melihat sendiri bagaimana Ayahanda diperlakukan amat kasar oleh Paman Liong?"
Pangeran ke empat belas itu nampak mengepal-ngepaIkan tinju karena membayangkan bagaimana Ayahandanya diperlakukan tadi. Suaranya bernada semakin marah, "Karena itu, Kakanda In Ceng dan Paman Liong Ke Koh harus menerima ganjarannya. Tidak ada jalan lain kecuali menggerakkan pasukanku!"
"Itu berarti perang saudara?"
"Terpaksa. Tapi.... eh, Paman belum menyebutkan permintaan Paman."
Tiba-tiba Pak Kiong Liong melompat turun dari kudanya lalu berlutut menyembah In Te, sehingga bangsawan muda itu tercengang. Cepat diapun melompat turun dan berusaha membangunkan Pak Kiong Liong, namun gagal.
"Bangkitlah, Paman. Apakah permintaan Paman itu sehingga Paman harus bersikap seperti ini?"
Sambil tetap berlutut, Pak Kiong Liong memohon, "Pangeran, hamba mohon biarpun pasukan ditarik ke ibukota, tapi sebisa-bisanya hindarilah perang saudara. Barangkali, kedatangan angkatan perang itu akan membuat komplotan yang kini menguasai istana minggir sendiri, sehingga Pangeran mendapatkan hak Pangeran tanpa melewati pertumpahan darah. Hamba mohon dengan sangat."
Darah muda Pangeran In Te masih mendidih panas karena peristiwa di aula persidapgan tadi, sehingga permin-taan Pak Kiong Liong itu terasa sangat berat. Betapa ingin dia masuk ibukota dengan megah bersama pasukannya untuk menunjukkan kekuasaannya, dan menggempur penentang-penentangnya sehingga bertekuk lutut semuanya. Namun permohonan Pak Kiong Liong, pamannya yang dihormatinya itu, tidak bisa ditolaknya begitu saja, sehingga ia kebingung an harus menjawab apa.
"Pangeran, hamba mohon agar Pangeran mengingat betapa jerih-payah kita mendirikan kekiasaran agung ini, laksaan perajurit-perajurit terbaik kita sudah melayang di medan laga untuk mempersatukan daratan tengah. Jangan sampai perang saudara antara Pangeran dan Pangeran In Ceng membuat kekaisaran ini runtuh dalam sekejap."
Terjadi pertentangan dalam diri In Te, antara gelegak darah mudanya melawan akal sehatnya. Kemarahannya menun-tut pembalasan karena dirinya telah di perlakukan seperti maling jemuran di aula persidangan tadi, namun akal sehatnya dapat mencerna kata-kata Pak Kiong Liong itu. Namun tidak gampang mengambil pilihan.
"Paman, tidak ada alasan untuk khawatir akan terjadinya perang saudara sehingga kekaisaran runtuh segala. Berapa banyak jumlah pendukung Kakanda In Ceng? Hanya beberapa gelintir manusia liar, bisakah dibandingkan dengan pasukan besarku yang baru saja membuktikan keunggulannya di Jing-hai? Dalam satu hari, selesailah semuanya dan akulah sang pemenang."
"Pangeran jangan keliru menghitung kekuatan Pangeran In Ceng. Beberapa pa sukan di ibukota sudah di bawah pengaruh Ni Keng Giau, padahal dia sekaligus adik seperguruan dan tangan kanan Pangeran In Ceng. Keliru kalau menganggap pendukung Pangeran In Ceng cuma orang-orang berjubah ungu di aula tadi.
"Tapi mereka tetap tidak berarti dibandingkan pasukanku yang terdiri dari enam ratus ribu prajurit berpengalanan. Kalaupun terjadi perang, tidak akan lama pasukanku akan berhasil menyapu habis mereka."
"Maafkan kalau hamba terlalu banyak mulut, Pangeran. Perlu Pangeran ketahui bahwa pendukung Pangeran In Ceng tidak hanya berpusat di Pak-khia, tetapi juga di daerah-daerah. Di wilayah selatan, Pangeran In Ceng menggalang hubungan akrab dengan ribuan pendekar silat dan puluhan kelompok silat yang akan merupakan kekuatan bawah tanah yang sulit dipatahkan, sebab mereka bercampuk aduk dengan rakyat biasa dan sulit dikenali."
Sikap In Te yang membanggakan kekuatan pasukannya itu pupus ketika mendengar keterangan Pak Kiong Liong yang dipercayainya. Pertimbangan yang sangat masuk akal dari seorang Jenderal tua yang sudah berpengaIaman berpuluh tahun. Mungkin saja Pangeran In Te berhasiI menggempur Pak-khia secara kekerasan dan menguasai tahta, tapi kalau pendukung-pendukung In Ceng bergerak serempak di daerah-daerah, sulitlah mematahkan mereka.
Seperti gerombolan semut, kalau berkumpul di satu sarang akan gampang dibasmi, tapi bagaimana kalau semut- semut itu bubar berpencaran dan bersembunyi di segenap sudut rumah? Yang terjadi akan seperti yang di khawatirkan Pak-kiong Liong, bukan “perang besar sekali pukul beres" namun "perang-perang kecil yang berlarut-la-rut", entah kapan selesainya.
"Jadi, bagaimana baiknya, Paman?"
"Angkatan Perang yang baru datang dari Jing-hai itu digunakan untuk menggertak saja, jangan langsung menyerbu. Nanti hamba dan panglima-panglima lain yang setia kepada Pangeran akan berusaha menekan dan membujuk para penentang, agar mereka mundur tanpa kehilangan martabat. Artinya, kalau Pangeran naik tahta, biarkan mereka dalam kedudukan masing-masing."
"Aku kenal tabiat Kakanda In Ceng sejak sama-sama masih kecil. Dia tidak gampang digertak atau ditakut-takuti dengan ujung senjata. Dia selalu mem-perjuangkan apa yang diinginnya secara habis-habisan."
"Hamba juga kenal wataknya, namun hamba mohon usul hamba tadi dilaksana-kan dulu. Kalau dia tetap tidak mau minggir, barulah kita gempur dengan kekerasan, saat itu hamba siap bertempur di pihak Pangeran. Tapi ucapan ini hendaknya jangan diartikan sebagai dorongan untuk mengobarkan perang saudara. Lebih dulu harus diselesaikan secara kekeluargaan.”
Mendengar dukungan Pak Kiong Liong kepadanya yang tanpa tedeng aling-aling itu, melonjaklah kegembiraan Pangeran In Te. Itulah yang diharapkannya sejak dulu. Pak Kiong Liong adalah seorang tokoh tua yang berpengaruh dipemerintahan maupun kemiliteran, juga seorang kerabat istana yang dihormati,sikapnya tentu akan mempengaruhi beberapa pihak pula. Beberapa panglima yang masih ragu-ragu di simpang jalan, barangkali akan bisa ditarik ke dalam pihaknya, bahkan yang sudah memihak Pangeran In Ceng pun bisa jadi akan berganti kiblat.
"Aku lega mendengar ketegasan sikap Paman. Terima kasih. Nah, aku kira cukup sampai sini Paman mengantarku, jagalah diri Paman baik-baik, juga titip keselamatan Ibunda dan kerabat istana lainnya."
"Hamba junjung tinggi kepercayaan Pangeran. Tapi apakah Pangeran akan berjalan sendiri sampai ke pasukan Pangeran? Dan bagaimana luka di pundak Pangeran itu?"
"Di desa depan itu ada sepasukan pengawalku yang sengaja aku tinggalkan, tidak aku ajak menyelundup masuk Pak khia. Paman jangan khawatir. Sedang luka di pundakku ini hanyalah luka kecil yang tak berarti. Di Jing-hai aku pernah mendapat luka yang lebih berat namun masih bisa memimpin pertempuran sampai selesai."
Karena tidak mencemaskan lagi perjalanan In Te, maka Pak Kiong Liong balik seorang diri ke dalam ibukota. Hari sudah menjelang malam ketika ia mendekati tembok kota, dan sembilan pintu gerbang sudah djtutup. Ketika Pak Kiong Liong menengadah ke atas benteng, ia lihat di atas benteng banyak perajurit hilir-mudik dengan membawa senjata.
Diam-diam Pak Kiong Liong menarik napas. Hari-hari biasanya, penjagaan tak sekeras itu, mengerasnya penjagaan itu pasti ulah In Ceng. Dalam keadaan biasa, Pak Kiong Liong akan dapat melewati prajurit-prajurit itu tanpa rintangan, tapi dalam situasi saat itu ia tidak dapat menentukan siapa kawan siapa lawan, seragam yang sama pun belum menjamin bahwa dia adalah teman sendiri.
Dengan iimunya yang tinggi, Pak Kiong Liong kemudian merambati tembok kota dengan ilmu Pia-hou-yu-jio (Cecak Merambat), lalu seringan sehelai bulu dihembus angin, tubuhnya melesat ke dalam kota Pak-khia tanpa terlihat seorang penjagapun.
Kota Pak-khia jauh lebih menegangkan dari hari-hari biasa. Biasanya, sampai malam hari pun penduduk masih banyak berjalan-jalan di jalan besar, namun saat itu sore baru saja lewat dan sudah tidak ada lagi penduduk yang berada di luar pintu rumahnya. Bisa dimaklumi ketakutan penduduk itu, sebab jalanan penuh kelompok-kelompok perajurit bersenjata, masing-masing kelompok berbeda-beda seragamnya, sesuai dengan pasukan induk masing-masing.
Dari sebuah persembunyian, Pak-Kiong Liong mengamati situasi itu dengan heran. Perajurit-perajurit yang berkeliaran di jalanan itu bukan cuma dari kelompok-kelompok yang memihak In Ceng, tetapi juga kelompok-kelompok saingannya. Nampak pula perajurit- perajurit bawahan Pak Kiong Liong sendiri, Hui-Iiong-kun, dengan seragam termpurnya yang serba hitam dan topi bulu hitam pula, dengan sikap garang menungang kuda dan berkelompok-kelompok di jalanan.
Pak-Kiong Liong heran melihat itu. "Siapa berani menyuruh mereka keluar dari barak tanpa perintahku? Apakah sudah terjadi pengambilalihan kedudukanku sebagai Pangl ima Hui -Liong-kun?"
Sepercik kecemasan berkembang di hati Panglima tua itu, apa yang dicemaskan itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Kaisar Khong Hi yang dalam keadaan lemah itu, bisa saja ditekan oleh In Ceng dan Liong Ke Toh untuk mempereteli pengaruh Pak Kiong Liong, misal nya dengan menggeser dari kedudukan semula sebgai Panglima Hui-Liong-kun. Bagaimanapun setianya perajurit-perajurit Hui-Liong-kun, kalau di depan hidung mereka disodori perintah Kaisar resmi, tentu mereka tak kuasa membangkang apapun yang diperintahkan.
Karena ingin tahu peristiwa sebenarnya, Pak Kiong Liong memutuskan untuk bertanya kepada perajurit-perajurit Hui-liong-kun yang akan ditemuinya paling awal nanti. Seandainya perajurit-perajurit itu sudah dibekali perintah untuk menangkapnya, ya apa boleh buat. Namun mudah-mudahan itu hanyalah prasangka. Ketika sekelompok perajurit berkuda Hui- Liong-kun lewat sebuah jalan, Pak Kiong Liong melompat keIuar dari persembunyiannya dan mendarat di hadapan perajurit-perajurit itu.
Perajurit-perajurit itu menghentikan kuda mereka dengan kaget dan hampir saja menghunus senjata-senjata mereka. Tapi begitu mengenal siapa yang mengha dang mereka, merekapun berlompatan turun dari kuda untuk berlutut menghormat. Komandan kelompok mereka dengan nada kegirangan berkata tergagap-gagap, "Jadi... jadi... Goan-swe masih selamat?”
Pak Kiong Liong tertawa dan menjawab, "Bangunlah kalian. Siapa mengatakan aku celaka? Aku hanya dari luar kota untuk mengantarkan seseorang."
Komandan regu itu bernama Su Toh Jiang, berpangkat Pa-cong dan berkedudukan Pek-hu-thio (Pemimpin regu 100 perajurit) dalam Hui-liong-kun. la seorang lelaki tegap yang mata kirinya ditutup kain hitam karena cacad, pernah kena panah di dalam suatu pertempuran. Dialah yang berbicara mewakili teman-temannya.
"Tadi pagi kabarnya ada keributan dalam Sidang Kerajaan, lalu berkembang desas-desus bahwa Goan-swe ingin membunuh Hong-siang (Kaisar) untuk merebut kekuasaan. Ketika Goan-swe tidak menampakkan diri sehari penuh, meskipun sudah dicari ke mana-mana di dalam kota Pak-khia ini, maka keadaanpun jadi tidak menentu, terutama bagi pasukan kita yang seperti anak-anak ayam kehilangan induknya."
"Fitnah yang keji," Pak Kiong Liong mengepalkan tinjunya. "Dan bagaimana sikap kalian sendiri terhadap kabar angin itu?"
Su Toh Jiang menyahut tegas. "Tidak seorangpun anggota pasukan kita mempercayai kabar yang berasal dari mulut usil itu. Kami sudah kenal bagaimana pengabdian tulus Goan-swe kepada kekaisaran, bagaimana kepercayaan kami terhadap Goan-swe bisa luntur hanya mendengar kabar yang tak keruan asalnya?"
"Terima kasih. Tetapi kenapa kalian berkeliaran di luar tangsi dengan seragam dan periengkapan tempur seperti ini?"
"Goan-swe, maafkan kami yang bertindak kurang terkendali seperti ini. Tetapi ini karena pasukan Hui-liong-kun kita mendapat penghinaan yang amat menyakitkan hati. Bukan saja nama Goan swe telah difitnah sebagai pengkhianat, tapi tadi pagi tangsi kita juga mendapat kiriman....."
"Kiriman apa?"
"Tubuh tiga orang rekan kami yang sudah tercincang hancur. Katanya, mereka bertiga tadi pagi telah berani mengacau Sidang Kerajaan dan perajurit-perajurit istana telah menghukum mereka. Coba pikir, seorang penjahat yang bagaimanapun besar kesalahannya tidak akan dicincang seperti itu, paling-paling dipotong lehernya. Tapi tiga rekan kami itu telah dirajang seperti daging babi saja, bagaimana kami sanggup menahan kemarahan kami?"
Wajah Pak-Kiong Liong membayangkan kesedihan dan kemarahan bercampur aduk. Ketiga mayat tercincang itu pastilah tiga orang pengawalnya yang tadi pagi dengan gagah berani mengorbankan diri menghadang kejaran orang-orang Pangeran In Ceng, untuk memberi kesempatan Pak Kiong Liong bisa menyelamatkan Pangeran In Te, putera Mahkota yang syah karena namanya tertulis dalam Surat Wasiat Kaisar yang belum dibuka. Namun tiga pengawal gagah berani itu malah dicap sebagai pengacau oleh pihak lawan.
Setelah mendapat "paket istimewa" itu, seluruh perajurit Hui-Liong-kun bergolak marah. Mereka merasa difitnah, ditantang, diragukan kesetiaan mereka terhadap Kekaisaran. Mereka lalu menukar seragam harian mereka dengan seragam tempur, dan hampir saja menyerbu tangsi-tangsi dari pasukan-pasukan yang memihak In Ceng, siap bertempur sampai orang penghabisan untuk mencuci bersih kehormatan pasukan mereka.
Untunglah wakil Pak Kiong Liong yang bernama Tong Siau Beng berhasil mengendalikan pasukan, meskipun dengan susah payah. Mereka dilarang menyerbu tangsi pasukan lain, tapi diberi "penyaluran" untuk diperbolehkan "unjuk kekuatan" di ibukota. Itulah sebabnya mereka ber keliling-keliling kota Pak-khia dengan sikap garang siap bertarung.
Pak Kiong Liong menggeleng-geleng-kan kepala. la merasa tindakan Tong Siau Beng itu terlalu gegabah, membiarkan perajurit-perajurit itu berkeliaran dengan memendam kemarahan di hati. Siapa berani menjamin tidak, akan terjadi bentrokan antara sesama perajurit yang berbeda kelompok, yang kemungkinan akan meluas menjadi bentrokan antar pasukan? Kalau itu terjadi, maka kota Pak-khia akan banjir darah, bukan oleh serbuan musuh dari luar, melainkan karena bentrokan antar perajurit sendiri. Pemerintah akan lumpuh, dan bukan mustahil itulah titik awal runtuhnya kekaisaran.
"Aku harus menjewer kuping Tong Siau Beng nanti," kata Pak Kiong Lion dalam hati. Untunglah, kelompok-kelompok yang memihak Pangeran In Ceng agaknya belum siap untuk membendung gelombang kemarahan perajurit-perajurit Hui-liong-kun yang terkenal keperkasaannya di medan laga itu. Kalau mereka berpapasan dengan perajurit-perajurit Hui-liong-kun mereka diam saja biarpun dipelototi atau diejek-ejek oleh perajurit-perajurit Hui-Liong-kun.
Dengan demikian, belum ada yang jatuh korban karena bentrokan antar pasukan. Tapi situasi dalam kota Pak-khia begitu tegangnya karena hampir semua perajurit keluar tangsi sehingga penduduk menjadi ketakutan dan mengurung diri dalam rumah. Ibukota Pak-khia saat itu seperti gudang bahan peledak, sepercik api menyala karena kesengajaan atau ketidak-sengajaan, meledaklah semuanya dan ibu kota akan menjadi puing raksasa yang mengerikan.
"Sekarang di mana Tong Siau Beng?" tanya Pak Kiong Llong.
"Seharian ini Tong-ciangkun terus berada di tangsi, tidak meninggalkan ruang komando selangkahpun juga, meski pun diberi kabar bahwa mertuanya jatuh sakit. la terus menerima Iaporan-Iaporan dan mengirimkan pesan-pesan lewat kurir-kurir.
Tadi Pak Kiong Liong sempat jengke1 kepada Tong Siau Beng karena tindakannya yang dinilai ceroboh, namun ia puas juga mendengar bahwa wakilnya itu tetap memikul tanggung jawab me- ngendalikan gerak-gerik pasukannya di ruang komando tangsi Hui-Liong-kun, ti dak peduli dikabari mertuanya jatuh sakit.
Kemudian Pak Kiong Liong meminjam kuda salah seorang perajuritnya, dan bersama rombongan perajurit itu menuju ke tangsi. Sepanjang jalan, kelompok-kelompck perajurit Hui-Liong-kun bergabung sambil bersorak- sorak melihat Panglima mereka masih hidup, sehingg.i barisan itu makin lama makin besar.
Sedang perajurit-perajurit dari pasukan lain buru-buru menyingkir dari jalan, karena khawatir kalau perajurit-perajurit Hui-liong-kun itu mengamuk. Derap ratusan ekor kuda tunggangan itu menggetarkan jalan-jalan kota Pak-khia, membuat penduduk bertambah cemas karena tidak tahu apa yang terjadi.
Tiba di tangsi Hui-Liong-kun, Pak Kiong Liong langsung menuju ke ruang komando. Dilihatnya wakilnya dalam pakaian seragam tempur duduk kelelahan, dengan wajah berlapis keringat dan debu, agaknya sejak pagi hingga malam itu belum sempat mandi. Tampangnya kelihatan lebih tua beberapa tahun karena tekanan kelelahan jiwa dan ketegangannya.
Namun ia tidak sendirian, ditemani Bok Eng Siang, Panglima Hui-hou-kun yang berseragam tempur pula, hanya nampak lebih segar dan tenang. Kedua orang itu melompat dari duduknya ketika melihat munculnya Pak Kiong Liong kemudian sama-sama memberi hormat dengan menekuk lutut,
"Bangunlah, kau tentu lelah dan tegang seharian ini, saudara Tong," kata Pak Kiong Liong sambil membangunkan Tong Siau Beng dari berlututnya. "Kau sendiri jangan banyak adat, saudara Bok."
Sahut Tong Siau Beng. "Untung Goanswe segera datang. Aku nyaris kehabisan akal dan tak sanggup lagi mengendalikan pasukan kita yang semakin beringas, karena semakin santernya desas-desus tentang tewasnya dan pengkhianatan Goan-swe terhadap Kaisar."
Pak-kiong Liong tersenyum. "Kau lihat sendiri, ternyata aku masih hidup, dan nanti akan juga kujelaskan bahwa aku bukan pengkhianat seperti yang dituduhkan mulut usil itu. Sekarang, komando aku ambil alih."
"Silakan, Goan-swe," sahut Tong Siau Beng sambil minggir untuk memberi jalan Pak Kiong Liong ke arah kursi berlapis kulit macan tutul yang tadi di dudukinya. Setelah duduk dikursi, keluarlah perintah Pak Kiong Liong, "Tarik semua perajurit kita ketangsi kembali. Dan semua perwira berpangkat Jian-hu-thio (pemimpin 1000 perajurit) harus segera menghadap di ruangan ini!"
"Baik, Goan-swe!" sahut Tong Siau Beng sambil berlutut sekali lagi, kemudian melangkah meninggalkan ruangan dngan tegap dan bersemangat, lupa kepada mertuanya yang sakit. Sesaat kemudian, kurir-kurir berkuda bertebaran dari tangsi itu untuk memanggil seluruh pasukan Hui-Liong-kun yang sedang "unjuk kekuatan" di seluruh pelosok kota.
Setelah seluruh pasukan kembali ke tangsi dan semua perwira berpangkat Jian-hu-thio menghadap Pak Kiong Liong, maka Pak Kiong Liong memberi penjelasan-penjelasan agar kemarahan pasukan reda, seragam tempurpun diperintahkan untuk segera dicopot dan diganti dengan seragam harian. Namun dalam penje lasan itu, Pak Kiong Liong juga tidak-menceritakan sejelas-jelasnya tentang keributan di istana tadi, sebab hal itu agak memalukan bagi keluarga istana. Semakin sedikit yang mengetahuinya, semakin baik.
Keesokan harinya, ketegangan yang mencengkam ibukota kekiasaran telah jauh lebih kendor. Prajurit-perajurit yang berkeliaran di jalan jauh lebih sedikit. Perajurit- perajurit Hui-liong kun masih kelihatan beberapa kelompok, namun tidak lagi segarang hari sebelum nya, dimana mereka mengacung-acungkan pedang atau tombak, atau menembakkan bedil di udara, sambil berderap di punggung kuda masing-masing.
Kabar munculnya Pak-Kiong Liong kembali di tengah-tengah pasukannya segera menyebar luas, tapi Pangeran In Ceng tidak dapat berbuat apa-apa karena khawatir menimbulkan kemarahan perajurit-perajurit Hui-Liong-kun seperti kemarin. Tuduhan "pengkhianat" ke alamat Pak-Kiong Liong juga baru desas-desus, yang makin lama makin lemah karena banyak orang tidak percaya.
Beberapa hari kemudian, ketika Sidang Istana berlangsung lagi, Pak-Kiong Liong pun tetap hadir dengan sikap sopan, dan tidak ada yang berkeinginan menangkapnya. Sementara itu, di tempat tersembunyi, sekelompok manusia tak kenal telah berlatih di bawah pimpinan seorang pendeta Tibet berjubah merah, Biau-eng Lama.
Orang-orang itu berlatih menggunakan senjata yang disebut Hiat-ti-cu (Setetes Darah), berbentuk semacam topi kulit besar, bagian dalamnya ada kerangka besi yang tipis dan ringan, dilengkapi pisau yang bergerak dengan pegas yang bisa menjepit leher korbannya apabila topi itu mengerudung ke kepala sang korban. Seutas rantai panjang yang juga tipis dan ringan berfungsi sebagai pengendali senjata yang kejam itu.
Pangeran In Ceng sering meninjau tempat latihan di luar kota itu, dan melihat bagaimana regu algojo itu sudah mahir mencopot kepala orang-orangan dari kayu atau jerami dari jarak belasan langkah. Entah bagaimana kalau sasarannya orang hidup?
Pada suatu hari, kembali Pengeran In Ceng muncul di tempat latihan dengan dikawal dua pengawal terpercaya-nya, Kim Seng Pa dan To Jiat Hong. Mereka memakai pakaian rakyat biasa dan memakai tudung bambu lebar untuk menudungi muka mereka. Yang agak lain dari biasanya, kali ini In Ceng membawa pula beberapa orang lelaki yang tangan-nya terikat dan wajah mereka menimbul-kan rasa iba.
Biau Beng Lama dan anggota "regu pemetik kepala"nya segera berlutut menghormat In Ceng. "Aku ingin tahu sampai di mana kemajuan kalian berlatih," kata In Ceng.
Sahut Biau Beng Lama bernada bangga, "Pangeran, anak buah hamba sudah dapat membunuh lawan yang berlari cepat, asal masih dalam jarak tigapuluh langkah. Bahkan andaikata musuh berlari berbelok-belok, atau berlari di antara benda-benda lain, Hiat-ti-cu dapat mencapai kepalanya."
Pangeran In Ceng tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Bagus, aku ingin meIihat buktinya dalam sebuah uji coba!"
"Hamba siap, Pangeran," sahut Biau Beng Lama. Lalu kepada anak buahnya ia memerintahkan, "Pangeran berkenan menyaksikan ketrampilan kalian, Siapkan boneka-boneka Jerami.”
Kata-kata itu terpotong oleh ucapan In Ceng, "Tidak, bukan boneka-boneka jerami, melainkan aku ingin melihat latihan dengan sasaran manusia-manusia hidup!”
Biau Beng Lama dan para "pemetik kepala" terkejut mendengarnya. Biau Beng Lama sendiri seorang kejam, tidak segan-segan membunuh, namun ia membunuh orang-orang yang dianggap "musuh" yang merintangi cita-cita junjungannya, bukan sembarangan membunuh orang hanya sekedar "uji coba" senjata. Tetapi ia tidak berani membantah perintah In Ceng yang nampak tetap santai sambil tersenyum-senyum itu.
Yang menggigil ketakutan ialah empat lelaki terikat yang dibawa pengawal-pengawal In Ceng itu, kini mereka tahu untuk apa mereka ditangkap dan diseret ke tempat itu. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang atau pencari-pencari kayu yang hidup di sekitar tempat itu. Nasib sial menimpa ketika mereka bertemu dengan In Ceng dan kedua pengawalnya, mereka ditangkap, karena In Ceng tertarik melihat ketangkasan mereka yang dianggap cocok dijadikan kelinci percobaan bagi Hiat-ti-cu.
Dari kantongnya, In Ceng mengeluarkan empat potong emas cukup besar, ditunjukkan ke empat calon korban itu sambiI berkata, "Kalau kalian berhasil lepas dari tangan orang-orangku, kalian mendapat hadiah sepotong emas ini. Nah, ternyata aku cukup adil bukan?"
Keempat orang itu serempak berlutut dan meratap-ratap mohon ampun, namun In Ceng membentak mereka, "Diam! Kalian sebagai laki-laki tidakkah malu menangis-nangis seperti itu? Pertahankan hidup kalian sekuat tenaga, itulah satu-satunya jalan! Anggap saja kalian sedang berburu dan bertemu seekor harimau besar, kalau ka|ah kalian mati, kalau menang kalian dapat kulit harimau!"
Nada suara itu adalah perintah yang tak bisa ditawar lagi. Para algojo Hiat-ti-cu itupun termangu-mangu. Heskipun mereka disebut pembunuh, namun sungguh tak terduga kalau hari itu hendak disuruh membunuh orang-orang yang tak ada persoalan sedikitpun dengan tugas mereka. Apalagi kalau membayangkan keluarga para korban itu tentu menunggu di rumah, namun yang mereka tunggu hanya kembali arwahnya saja.
Keragu-raguan di wajah algojo-algojonya itu membuat In Ceng marah pula. "Kalian takut membunuh? Takut melihat darah? Lalu buat apa kalian dilatih dengan menghabiskan begitu banyak tenaga dan beaya?"
Algojo-algojo itu serempak berlutut, meskipun suara mereka kurang mantap dan kurang bersama-sama, namun mereka menyahut,"Hamba siap menjalankan perintah !" In Ceng menyeringai gembira. "Bagus. Da lam tiga hitungan, semuanya harus bergerak, baik yang memburu maupun yang diburu. Calon korban yang tidak mau lari, tetap akan dibunuh di tempat ini, tidak peduli melawan atau tidak melawan. Semuanya paham?"
"Paham,Pangeran!" yang menyahut hanyalah algojo-algojo Hiat-ti-cu, sedang keempat calon korban itu tak mampu menyahut karena mulut terasa kaku dan tenggerokan tercekik ketakutan.
In Ceng berkata lagi kepada algojo-algojonya, "Namun karena sasaran kalian hanya empat orang, maka cukup empat orang saja dari kalian yang turun. Nah, kau, kau, kau dan kau!"
Empat orang yang terpilih itu maju ke depan sambil menjinjing senjata masing-masing, menyingkirkan sikap ragu-ragu mereka, sebab mereka tahu Pangeran junjungan mereka tidak suka akan sikap ragu-ragu.
In Ceng mulai menghitung. "Satu... dua... tiga!"
Tiga orang korban uji coba serentak bangkit dan berlari sekencang-kencangnya, betapapun takutnya mereka, lebih baik sekuatnya mencoba mempertahankan diri daripada mati konyol. Tapi salah seorang dari mereka agaknya begitu ketakutan sehingga tak mampu bangkit dari berlututnya, sementara air kencing campur tinja sudah memenuhi celananya.
Sedangkan para algojo sudah memutar- mutar kantong kulit mereka di ujung rantai pengendaIinya, dan sedetik kemudian kantong- kantong kulit itu bagaikan layang-layang yang dimainkan anak-anak, telah beterbangan ke sasaran masing-masing. Mengeluarkan bunyi ge-merincing mengerikan, seolah-olah suara musik dari alam kubur.
Ketiga orang korban itu berlari kencang karena terpacu rasa takut, namun Hiat-ti-cu melayang lebih cepat dari langkah mereka. Berturut-turut kantong-kantong maut itu menungkrup kepala dua orang korbannya, yang detik berikutnya telah menggelepar tanpa kepala lagi.
Seorang pemburu agaknya lebih menggunakan akalnya. la tidak mau berlari di tempat terbuka seperti kedua rekannya, melainkan lari berkelok-kelok dan menyusup-nyusup pepohonan. Algojo bawahan In Ceng terus mengejar sambil mengendalikan Hiat-ti-cu dengan mahirnya.
Algojo yang satu ini agaknya seorang yang kejam. la tidak langsung membunuh korbannya, melainkan lebih dulu mempermainkan agar korbannya ketakutan. Hiat-ti-cu tidak langsung diturunkan ke kepala korbannya, melainkan hanya melayang-layang sejengkal di atas kepalanya sambil berbunyi gemerincing, mengikuti korbannya kemanapun larinya.
Si calon korban tak bisa menahan ketegangannya lagi. Tiba-tiba ia berhenti berliari dan berteriak-teriak, campuran antara tertawa dan menangis, otaknya sudah kacau karena melihat nasib kedua (rekannya yang akan disusul olehnya sendiri. Saat itulah Hiat-ticu turun dari menunaikan tugasnya dengan mulus. In Ceng mengangguk-angguk puas.
Sementara itu, si calon korban yang tak mampu berlari karena takut itupun tetap mendapat kematiannya. Algojo Hiat-Ti-cu yang bertugas membunuhnya, dengan enak mendekatinya, memegang-megang kepalanya, lalu dengan lembut topi kulit maut itu ditungkrupkan ke kepalanya. Sekali rantai di puncak topi disentak, pisaupun keluar menjepit leher korbannya dan bereslah sudah. Keempat algojo Hiat-ti-cu segera berlutut di depan In Ceng dengan tangan masing-masing menjinjing kantong kuiit berantai yang masih berisi kepala-kepala korban mereka.
"Bagus, aku puas” kata In Ceng. "Dari segi ketrampilan maupun keteguhan hati, kalian berempat tidak mengecewakan untuk menjadi pembantu-pembantuku. Kalian berempat aku pilih untuk memperoleh pahala pertama. Malam ini kalian harus membunuh seseorang."
"Silakan Pangeran perintahkan. Siapa yang harus kami bunuh?" sahut salah seorang algojo Hiat-ti-cu dengan garang, mewakili teman-temannya. Dialah yang tadi mempermainkan korbannya sampai mati dalam ketakutan.
"Yang malam nanti harus kalian ambil kepalanya ialah...” In Ceng berhenti sebentar. Pak Kiong Liong..."
Jantung keempat algojo Hiat-ti-cu itu serasa berhenti berdetak ketika mendengar nama itu, wajah mereka memucat dan sikap garangpun luntur. Sedang rekan-rekan mereka yang tidak terpilih itupun tiba-tiba bersyukur dalam hati. Membunuh Pak Kiong Liong? Rasanya lebih baik disuruh menghadapi segerombolan serigala daripada harus menghadapi Pak Kiong Liong. Tidakkah mereka berempat akan seperti serangga-serangga yang menjelang nyala api?
Pangeran In Ceng tertawa dingin melihat sikap ragu-ragu keempat orang itu. "Takut? Bagaimana kalau perintah tadi kuubah saja, kantong kulit Hiat-ti-cu itu kalian tungkrupkan ke kapala kalian sendiri saja? Sebab aku tak suka punya anak buah pengecut."
Keempat algojo itu terkejut, buru-buru berlutut sampai jidat mereka menyentuh rumput. Sahut mereka, "Hamba siap!"
"Hamba juga siap!" sahut lainny.a saling susul. Daripada disuruh bunuh diri, lebih baik coba-coba adu nasi di hadapan Pak Kiong Liong nanti malam. Toh mereka berempat dan menggunakan senjata jarak jauh.
"Kalian berempat boleh beristirahat untuk mempersiapkan diri," perintah In Ceng.
Keempat orang itupun mengundurkan diri. Kemudian In Ceng membisikkan Biau Beng Lama di pinggir arena latihan, tanpa terdengar oleh siapapun. "Toa-suhu, nanti malam Toa-suhu sebaiknya juga mengikuti keempat orang itu dari belakang. Toa-suhu tentu tahu apa yang harus dilakukan kalau mereka berempat gagal Kepala gundul Biau Beng Lama terangguk-angguk, tetapi ia sebenarnya merasa ngeri juga denqan tugas itu.
Hanya saja In Ceng sudah berjamji kepadanya, kalau berhasil naik tahta kelak, Biau Beng Lama diangkat menjadi Kok- su (Guru Negara) dan Ang-ih-kau (Agama Ju bah Merah) diresmikan sebagai Agama Ke kaisaran. Kedudukan setinggi dan sekuat itu dalam sebuah kekaisaran sekuat Kekaisaran Manchu, memang pantas diper juangkan dengan sedikit menyerempet bahaya.
Malam harinya, ketika ibukota Pak-khia sudah tenggelam dalam kesunyian, maka empat orang algojo Hiat-ti-cu yang mendapat tugas berat itupun ber-gentayangan di sekitar gedung kediaman Pak Kiong Liong.
Gedung kediaman itu terlalu sederhana buat seorang yang masih termasuk keluarga istana, bahkan rumah itu juga tidak dikawal perajurit seorangpun. Hanya ada sepasang suami isteri tua dan anak lelaki mereka yang sering membantu-bantu Pak Kiong Liong mengurus rumah itu. Itulah sebabnya keempat algojo Hiat-ti-cu itu dengan gampang sudah berada di halaman belakang gedung besar itu.
Biarpun keadaan gedung sudah sunyi senyap dan gelap sebagian besar tapi keempat pembunuh suruhan itu merasa berdebar-debar juga. Rumah yang mereka satroni itu adalah kediaman dari seorang yang merupakan salah satu dari tokoh berilmu paling tinggi di dunia persilatan. Dua orang lainnya adalah Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou yang bermukim jauh di puncak Tiau-im-hong di Se-cuan, besan dari Pak Kiong Liong sendiri.
Seorang lagi adalah pendeta tua di Gunung Siong-san, propinsi Ho-lam, Pun-bu Hwe-shio. Tapi keempat pembunuh itu harus memaksakan diri untuk berani menjalan-kan tugas Pangeran In Ceng itu. Mereka sendiri toh bukan keroco-keroco sembarangan, melainkan bekas tokoh-tokoh terkenal di rimba persilatan.
Di halaman belakang, Pak-Kiong Liong masih duduk didalam perpustakaan pribadinya, membaca sebuah kitab dengan diterangi seba tang lilin yang bersinar kelap-kelip. la duduk di dekat jendela yang tertutup, sehingga bayangan tubuhnya tercetak dikertas putih pelapis jendela.
Melihat bayangan di jendela itu, para algojo Hiat-ti-cu saling bertukar pandang dan saling mengangguk. Cukup dengan melihat bayangan di kertas jendela, mereka bisa mengarahkan senjata maut mereka, sebab pernah juga latihan macam itu mereka lakukan. Dan mereka tiba-tiba merasa bahwa tugas mereka toh tidak terlalu berat seperti yang mereka bayangkan semula.
Kantong-kantong kulit pemetik kepala segera diturunkan dari gendongan masing-masing, rantai pengendali segera diurai dari pinggang dan salah satu ujung rantai dipasang di pucuk topi dengan semacam cincin yang cukup erat. Pembantaian siap dilaksanakan.
Ketika itu perhatian Pak Kiong Liong sepenuhnya sedang terpusat pada huruf-huruf dalam buku yang dibacanya, sejilid buku tentang hikayat lama Dinasti Song. Demikianlah yang dilakukannya jika ia sedang diamuk rindu kepada puterinya dan cucu-cucunya yang jauh berada di Tiau-im-hong sana. Sering ia berada di kamar bukunya sampai jauh malam. Begitu asyiknya dia membaca, sampai suara-suara di halaman belakang itu lolos dari kupingnya yang biasanya tajam.
Ketika ia sampai ke halaman yang mengisahkan 108 Pendekar Liang-san menahan tentara Bangsa Kim di kota Tay-beng, maka ia tersenyum kecut dan merasa cerita itu terlalu dilebih-lebihkan. Maklum kalau Pak-Kiong Liong bersikap demikian, sebab Bangsa Kim adalah leluhur Bangsa Manchu, sehingga Dinasti Manchu sering juga disebut Hau-kim atau Kim Akhir. Pikirnya saat itu,
"Hem, sejarah toh mencatat bahwa betapapun gagahnya pendekar-pendekar itu, wilayah Kerajaan Song toh semakin menciut. Bahkan ketika tentara Mongol menyerbu, Kerajaan Song dan Liao tertumpas, hanya Kerajaan Kim saja yang sanggup tetap berdiri meskipun berabad-abad harus menjadi kerajaan kecil dan lemah di Timur Laut. Namun hari ini, toh orang Mongol harus tunduk juga ke pada kami.
Tiap orang bangga sejarah sukunya, sendiri-sendiri, hal ini bukan "penyakit" Pak Kiong Liong saja, tapi juga semua orang. Hanya saja, kalau kebanggaaa itu diwujudkan dengan berusaha menghapuskan kebanggaan orang lain, nah, itu barulah penyaklt serius yang mengobarkan perang-perang besar didunia.
Detik itulah mendadak sebuah benda berbentuk topi kulit besar mendobrak jendela kertas berkerangka kayu, dan bagaikan kilat terus hendak menungkrup ke kepala Pak kiong Liong. Panglima tua itu terkejut, tapi sebagai jago silat berilmu tinggi, ia sempat menjatuhkan diri dari kursinya untuk berguling di lantai sehingga loloslah ia dari maut.
Hia-ti-cu itu membentur sebuah rak buku, kemudian melayang-layang di dalam kamar untuk menemukan mangsanya. Dari lantai, Pak Kiong Liong melihat pada mulut kantong yang menghadap kebawah Itu ada sederetan pisau kecil, mirip rahang Ikan hiu, yang kalau di- kendalikan oleh pemiliknya maka pisau-plsau itu blsa menjepir dan berputar ke tengah untuk memotong leber siapapun yang tertungkrup kantong kulit itu.
Pak Kiong Liong tercengang heran melihat senjata ajaib yang belun pernah dilihat atau didengarnya itu. Kini dilihatnya benda-benda itu berputar-putar diatas kamar, dikendalikan seutas rantai tipis dari luar jendela, seperti layang-Iayang saja. Kantong kulit yang tipis menggelembung itulah agak-nya yang memungkinkan benda itu dapat melayang lama tanpa jatuh ke tanah. Di luar jendela, algojo suruhan In Ceng itu kebingungan mengarahkan senjatanya, sebab bayangan Pak-kiong Liong menghilang dari jendela.
Sementara itu, timbul keinginan Pak Kiong Liong untuk melihat bagaimana cara kerja senjata itu. Tadi ia diincar kepalanya, maka ia tahu benda itu memang dirancang khusus menyerang kepala. Sambi1 tetap berbaring di lantai, tanpa suara ia menggunakan kekuat annya untuk mematahkan sebuah kaki meja, lalu mencopot jubah luarnya untul digulungkan di ujung kaki meja sehingga menjadi gulungan sebesar kepala. Kemudian kepala palsu itu diacungkan ke atas, dekat jendela.
Hiat-ti-cu yang masih melayang-layang itu tiba-tiba turun menungkup gulungan kain itu, lalu pisau-pisaunya berputar dan menjepit, dan putuslah kaki meja sebesar lengan orang dewasa itu dengan gampangnya. Kantong kulit melayang keluar kembali, sedang di tangan Pak Kiong Liong tinggal sepotong kayu bekas kaki meja yang panjangnya tak lebih sejengkal, ujungnya terpotong rapi seolah-olah ditebas dengan pedang pusaka kelas satu.
"Aku berhasil!" terdengar teriakan kegirangan di luar jendela. "Ha-ha-ha... siapa kira malam ini si Naga Utara (julukan Pak Kiong Liong) itu mampus di tanganku?"
"Ha-ha-ha... percuma kita berdebar-debar sejak siang tadi, kiranya segampang ini membunuh Pak Kiong Liong!" suara lainnya menyambung.
Lalu terdengar suara orang-orang yang memuji diri sendiri, disuarakan tanpa berbisik- bisik lagi, sebab mereka yakin bahwa Pak Kiong Liong sudah terbunuh. Namun ketika si algojo yang kegirangan tadi membuka kantong kulitnya untuk melihat "kepala Pak Kiong Liong" yang ditemukannya cuma sepotong kayu berbungkus sehelai jubah luar.
"Kita.... kita tertipu!" katanya gugup.
"Benar, kalian tertipu," Pak Kiong Liong berkata dengan tenang sambil melangkah keluar dari kamar bukunya. Tangannya masih memegang kayu potongan kaki meja tadi. Sambil melemparkan potongan kayu itu ke tanah, Pak Kiong Liong berkata lagi, "Kalian harus mengganti rugi meja belajarku yang terbuat dari kayu merah mutu nomor satu dari Lam-yang. Tapi hebat juga senjata kalian tadi, apa namanya?"
Berhadapan dengan Pak Kiong Liong yang masih hidup, tak terluka seujung rambutpun, membuat keempat algojo rontok nyalinya. Tapi keadaan sudah terlanjur, pulang dengan tangan kosong kehadapan In Ceng sama saja dengan menyerahkan nyawa juga. Salah seorang dari algojo Hiat-ticu itu segera bertindak sebagai pemimpin, memberi komando kepada teman-temannya, "Berpencar empat arah! Jangan biarkan dia mendekati kita dalam jarak kurang dari tigapuluh langkah!"
Empat algojo terlatih itu segera berlompatan tangkas, detik berikutnya, empat kantong maut itu sudah gemerincing beterbangan di udara. Menghadapi Pak Kiong Liong yang terkenal itu, mereka tidak langsung menyerang kepala, melainkan keempat Hiat-ti-cu itu lebih dulu diputar-putarkan di udara untuk membingungkan Pak Kiong Liong. Begitu teori yang pernah diajarkan Biau Beng Lama kalau menghadapi lawan tangguh.
Tapi Pak-kiong Liong pun tidak ingin jadi sasaran diam. Bagaikan seekor naga terbang, ia melompat menerkam seorang lawan yang paling dekat. Ketika tubuhnya tengah melambung di udara, sebuah Hiat-ti-cu secepat kilat menyambar kepalanya. Dengan telapak tangannya, Pak Kiong Liong menggunakan Pek-gong-ciang (Telapak Tangan Udara Kosong) untuk memukul senjata maut itu. Angin pukulannya membuat senjata itu tergoncang oleng seperti layang layang putus benang pengimbangnya.
Sementara tubuhnya sudah meluncur ke dekat lawan pertamanya tadi, ujung telunjuk dan jari tengahnya pun menotok ke urat Ki-keng-hiat lawan. la tidak ingin membunuh, hanya ingin menangkap mereka hidup-hidup untuk ditanyai dan mendapat kepastian siapa yang menyuruh mereka. Kepastian, bukan hanya dugaan, sebab kalau hanya dugaan saja ia sudah punya.
Orang yang diserang jarak dekat itu tidak dapat lagi memakai Hiat-ti-cu nya. Rantai Hiat-ti-cu dilepas, sehingga senjata itu jatuh ke tanah. Kemudian sambil berguling menghindari Pak Kiong Liong, ia cabut sepasang belati dari pinggangnya untuk dilontarkan ke dada Pak Kiong Liong dengan lemparan cepat dan mantap, menandakan diapun bukan jagoan kelas kambing.
Namun dengan enak Pak Kiong Liong mengangkat tangannya, dan belati belati itu sudah terjepit di antara jari-jari tangannya. Orang itu kemudian melenting bangun dengan tangkas sambil menyingkap bajunya, maka tampaklah di ikat pinggangnya itu terselip belasan buah pisau belati keciI berderet-deret, sejenis dengan yang telah dilontarkan tadi. Agaknya ia seorang ahli lempar pisau.
Sedangkan Pak Kiong Liong Iangsung mengenali orang itu. "Kong Sun Hong dari Siam-si?"'
Sebagai jawabannya, dua pisau meluncur ke leher dan dada Pak Kiong Liong sekaligus. Namun lagi-lagi Pak Kiong Liong berhasil menangkap pisau-pisau itu dengan jari-jarinya. Tak terlihat bagaimana caranya. Ketika itulah sebuah Hiat-ti-cu gemerincing menyambar kepala Pak Kiong Liong dari belakang, sehingga ia harus melompat menyamping sambil menunduk.
Kemudian terjadilah sesuatu yang mengerikan. Hiat-ti-cu yang luput menyambar kepala Pak Kiong Liong itu meluncur terus, sulit untuk ditarik secara mendadak, ke arah si pelempar belati yang hanya tiga langkah di depan Pak Kiong Liong. Si pelempar pisau hanya berdiri kaget dengan mata terbelalak ngeri, dan cuma sepatah kata terlontar dari mulutnya, "Tarik!"
Si penyerang dari belakang tak mengira serangannya akan mengancam teman sendiri. la berusaha menarik rantai Hiat-ti-cunya sampai lengannya tertekuk ke belakang, namun tindakannya itu tidak menolong. Supaya dapat tertarik seketika, rantai harus menegang lebih dulu, padahal saat itu sedang dalam keadaan melengkung karena ia menyerangkan senjatanya secara mendatar.
Maka tahu-tahu kepala rekannya sudah masuk dalam kantong kulitnya, ketika tangannya berhasil, maka kepala temannya pun, ikut terbawa. Tubuh tanpa kepala itu masih sempat melangkah sempoyongan kian kemari sambil menggapai-gapaikan tangannya, sebelum roboh tak berkutik lagi.
Meski Pak Kiong Liong pernah bergulat di pertempuran-pertempuran besar dimana kebuasan terhadap sesama manusia dianggap "syah demi cita-cita luhur", namun ngeri juga melihat kejamnya senjata aneh itu. Kemudian timbul kemarahannya karena sadar bahwa kepala nyalah yang sebenarnya diincar oleh Hi at-ti-cu itu.
"Keji sekali! Orang-orang macam kalian lebih baik cepat-cepat jadi penghuni neraka, daripada berkeliaran di bumi dan menyebarkan malapetaka kepada semua!" geramnya marah.
Sambil membalikkan tubuh, empat pisau yang terjepit di jari-jarinya meluncur dan amblas semua di dada si algojo Hiat-ti-cu yang yang baru saja keliru membunuh teman sendiri itu. Dan sekarang ia diberi jalan untuk menemui sang kawan dan meminta maaf atas kekeliruannya.
Masih ada dua orang algojo Hiat-ti-cu lagi. Namun mereka cuma berdiri dengan lutut gemetar, si kantong pemetik kepala tidak mereka layangkan di udara, tapi cuma dipegangi saja. Biasanya mereka mentertawakan calon korban mereka yang ketakutan dan mereka permainkan dengan senjata mereka, seperti korban-korban mereka di arena latihan siang tadi.
Kini mereka mengalami sendiri betapa mengerikan maut itu. Pak-Kiong Liong menatap tajam kedua orang itu, katanya dingin, "Kenapa diam? Hayo, lemparkan kantong-kantong rongsokan itu ke kepalaku, supaya kalian mendapat hadiah besar dari orang yang menyuruh kalian. Begitukah?"
Salah satu dari algojo Hiat-ti-cu itu tiba-tiba berteriak kalap dan melemparkan senjatanya ke kepala Pak Kiong Liong. Dari pada kembali dan sudah pasti mati di tangan In Ceng, karena ia tak mungkin lari kemanapun selama sanak keluarganya masih di sandera, lebih baik melawan Pak Kiong Liong habis-habisan.
Hiat-ti-cu itu menderu menyambar kepala Pak Kiong Liong dan Pak Kiong Liong menyongsongnya ke atas dengan lompatan Ui- ho-ciong-thian (Bangau Ku-ning Menembus Lang it), seolah hendak bunuh diri dengan memasukkan kepalanya sendiri ke kantong maut itu. Dengan gerakan kilat Pak- Kiong Li ong menangkap rantai dekat ujung kantong dengan tangan kirlnya, sedang tangan kanannya mencengkeram dan meremas kantong maut itu dari samping.
Maka berpatahanlah kerangka baja di bagian dalam kantong, pisau-pisau yang bagaikan gigi ikan hiu itupun rontok berpatahan, tak sanggup menahan cengkeraman penuh kemarahan itu. Senjata kebanggaan kaum Ang-in-kau itu benar-benar berubah menjadi rongsokan tak berharga.
Dengan tangan kiri, Pak-Kiong Liong menyentakkan rantai pengendali Hiat-ti-cu itu sehingga pemegangnya diujung lain tertarik maju. Namun orang itu dengan nekad menyabetkan ujung lain rantainya ke muka Pak Kiong Liong sambil berseru kepada temannya, “Lekas serang!"
Pak Kiong Liong memiringkan kepala dengan dibarengi menarik rantai itu lebih kuat lagi. Si algojo Hiat-ti-cu tidak sanggup menandingi kekuatan Si Jenderal tua yang dahsyat itu. Kakinya sampai terangkat dari tanah dan tubuhnya terhempas ke dinding halaman belakang itu, kepalanya keras membentur tembok sehingga retak dan mampus seketika.
Tinggal seorang algojo Hiat-ti-cu yang sudah kehilangan semangat perlawanan sama sekali. Ketika Pak-kiong Li ong mendekatinya dengan mata menyala, sepasang lutut orang itupun mendadak lemas dan berlututlah ia sambil mera-tap tanpa malu malu lagi. "Ampunkan aku. Pak Kiong Goan-swe... aku hanya... hanya disuruh.... oleh.... oleh.... ah!"
Orang itu belum sempat menyebut siapa yang menyuruhnya, tiba-tiba sudah menjerit dan roboh tertelungkup. Sebatang pisau melayang dari kegelapan malam dan menembus punggungnya. Rupanya pihak musuh tidak segan membunuh orangnya sendiri untuk menutup rahasia komplotan mereka.
Cepat Pak-Kiong Liong melompat ke dinding halaman belakang untuk melihat siapa pelempar pisau itu. Sekilas ia masih melihat seorang bertubuh tegap dan berpakaian serba hitam tengah berlompatan lincah di atap rumah di seberang lorong. Tanpa pikir panjang, Pak Kiong Liong melesat memburu orang itu.
Begitulah keduanya berkejaran di atas deretan atap rumah penduduk Pak-khia yang tinggi-rendahnya tidak sama itu. Begitu cepatnya gerakannya, sehingga seperti dua ekor burung saja. Kadang-kadang mereka melakukan lompatan-lompatan panjang, lompatan tinggi melengkung di udara, putaran tubuh yang akrobatis atau belokan-belokan mendadak yang mustahil dilakukan orang orang berilmu rendah.
Pak Kiong Liong memiringkan kepala dengan dibarengi menarik rantai itu lebih kuat lagi. Si Algojo Hiat-ti-Cu tidak sanggup menandingi kekuatan si Jendral tua. Gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang itu memang hebat, tetapi gin-kang Pak Kiong Liong ternyata masih unggul dua tiga tingkat. Itulah sebabnya jarak antara yang dikejar dan pengejar semakin pendek, sesaat lagi pasti akan tersusul.
Setelah semakin dekat dengan buruannya itu, dibawah bulan sepotong yang remang-remang, Pak-Kiong Liong dapat melihat bahwa orang itu bertubuh tegap, berpakaian ya-heng-ih (Pakaian malam yang serba hitam), separuh wajahnya tertutup kedok kain hitam, namun kepalanya tidak tertutup sehingga nampak kepalanya yang gundul kelimis. Pak-Kiong Liong menghimpun semangatnya, kemudian melesat ke depan dengan gerakan Kau-yan-coan-lim (Burung Walet Menembus Rimba) sehingga jarak dengan buruannya berhasil diperpendek separuhnya lebih. Cengkeramannya sudah siap mencengkeram tengkuk si gundul itu.
Si gundul sadar akan bahaya, ia tidak mau tertangkap. Diambilnya sesuatu dari pinggangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuh sambil menyebarkan sejumlah besar piau (senjata rahasia) berbentuk bintang berujung empat. Dalam ajaran silat, serangan itu dikenal dengan Thian-Li-san-hoa (Bidadari Menyebar Bunga) yang mengarah seluruh tubuh lawan. Serangan begitu hebat, dilancarkan demikian mendadak dari jarak amat dekat, tentunya Pak Kiong Liong akan terancam terluka.
Tapi Pak Kiong Liong sudah siap sejak melihat si gundul meraba pinggangnya tadi. Cepat Pak Kiong Liong menghentikan langkah dan menekuk bagian atas tubuhnya ke belakang dalam gerak penyelamatan Tiat-pan-kio (Jembatan Besi). Hanya bertumpu satu kakinya yang kokoh seakan berakar di atas atap rumah yang diinjaknya, sementara kaki lainnya diluruskan ke depan untuk keseimbangan, tubuhnya lurus ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh atap tempatnya berdiri.
Begitulah Jenderal tua itu menunjukkan kehebatannya. Dari berlari keras ke depan, dalam waktu kurang dari sedetik ia bisa berhenti dan membuat gerakan Tiat-pan-kio yang sempurna. Namun hampir saja ia terlambat menghindar hamburan senjata rahasia si gundul, beberapa pisau melayang deras dalam jarak kurang dari sejengkal di atas tubuhnya. Tapi tidak satupun yang mengenainya, semua piau jatuh berkelotakan di atas genteng....
"Bawa perintahku untuk menutup Sembilan Gerbang Kotaraja. Dalam satu hari satu malam, siapapun dilarang keluar masuk dengan ancaman hukuman potong kepala!"
Anak buahnya yang disuruh itu agak paham tentang aturan jalur-jalur perintah di ibukota, sehingga ia menjadi ragu-ragu. Katanya, "Pangeran, sembilan pintu gerbang itu ada di bawah wewenang Kiu-bun Te-tok (Panglima Sembilan Pintu, Garnisun Ibukota)."
Pangeran In Ceng yang sedang marah itu tidak mau mendengar bantahan apa pun. "Kau berani membantah aku? Kim Seng Pa, seret dia dan penggal kepalanya!"
Anak buah itu kaget sekali sampai mukanya pucat, ia tidak menduga kata-katanya yang sepele itu mengakibatkan kematiannya. Dia berlutut dan meratap-ratap mohon ampun, tetapi Kim Seng Pa tidak peduli dan menyeretnya pergi ke tempat lain, dan tidak lama kemudian sudah kembali dengan menjinjing batok kepala anak buah yang malang itu.
Setelah menyuruh orang lain agar menghubungi Kiu-bun Te-tok agar memerintahkan penutupan semua pintu kota, agar kedua "buruan" itu tidak sempat kabur keluar kota, maka Pangeran In Ceng masuk kembali ke aula persidangan dengan langkah tegap, seolah-olah ia sudah mengenakan Jubah Naga Kuning dan Mahkota Naga.
Para pejabat yang hadir di ruangan itu tadi, meskipun masih ke bingungan, tapi belum pergi sebelum ada perintah untuk bubar. Di bawah cengkeraman pengaruh Pangeran In Ceng yang tidak segan-segan bertindak keras, kesalahan sekecil apapun bisa menyebabkan lepasnya batok kepala dari badan.
Pangeran In Ceng mencoba memoles wajahnya dengan senyum ramah supaya kelihatan tidak menakutkan, namun banyak menteri-menteri tua yang justru bergi- dik melihat senyuman di wajah tampan itu. Apalagi Pangeran In Ceng diiringi segerombolan jagoan-jagoannya yang berwajah seram-seram dan berseragam jubah ungu itu.
In Ceng memang belum berani duduk di Singgasana Naga yang ditinggal kan Ayahandanya tadi namun berdirinya hanya selangkah dari singgasana idaman para pangeran itu. Menghadap ke arah orang-orang di aula persidangan, ia berkata,
"Karena kesehatan Ayahanda agak terganggu oleh munculnya si pemberontak tadi, maka persidangan diundurkan sampai waktu yang akan ditetapkan kemudian. Aku mengambil alih tanggung jawab atas keselamatan Ayahanda dan seisi istana. Siapapun yang berani mencoba mengganggu istirahat penyembuhan Ayahanda, akulah lawannya. Sekarang kalian boleh bubar."
Apa boleh buat. Pangeran In Si, In Gi, In Tong, In Go dan lain-lainnya boleh saja mengutuk dalam hati, namun mereka sadar bahwa In Ceng sedang menang kedudukan dan tak mungkin ditentang. Para menteri boleh saja ragu-ragu ketulusan In Ceng, namun beranikah mereka membangkang? Beberapa orang Panglima bahkan sudah menunjukkan sikap berpihak kepada In Ceng, sementara beberapa lainnya masih pasang jurus "melihat-lihat arah angin lebih dulu. Toh belum ada kepastian bahwa Pangeran In Te sudah kalah.
Sementara itu, Pak Kiong Liong dan Pangeran In Te begitu tiba di luar gerbang Istana, langsung masing-masing melompat ke atas dua ekor kuda tegar. Entah kuda. kepunyaan siapa, tak sempat lagi bertanya- tanya. Lalu keduanya berrpacu sekencang- kencangnya menjauhi Istana, menimbulkan keheranan perajurit-perajurit penjaga pintu gerbang yang belum tahu apa yang terjadi di aula per-s i dangan tadi.
"Kenapa dengan Pak Kiong Goanswe?" seorang perajurit bertanya kepada temannya.
"Entahlah. Kenapa ia meninggalkan Sidang Kerajaan amat terburu-buru seperti itu?"
"Yang satunya tadi siapa?"
"Melihat seragamnya, seperti pengawalnya. Tapi wajahnya mirip-mirip..."
"Mirip siapa?"
"Pangeran In Te."
"Ngaco. Pangeran In Te kan masih di tengah pasukannya yang sedang dalam perjalanan pulang dari Jing-hai sana?"
Pak Kiong Liong dan In Te sendiri terus berpacu. Tanpa melambatkan kudanya, In Te bertanya, "Kita akan ke mana, Paman?"
Sahut Pak Kiong Liong, "Hamba antarkan Pangeran sampai ke luar kota, tempat yang aman."
"Lebih baik Paman pun pergi bersamaku. Kalau Paman tetap di Pak-khia, Kakanda In Ceng pasti takkan henti-hentinya merepoti Paman."
"Jangan khawatirkan hamba, Pangeran. Hamba yakin Pangeran keempat masih segan kepada hamba sebagai pamannya. Kecuali itu, hamba masih punya banyak teman setia di Pak-khia, dan juga tidak boleh meninggalkan Hui-Liong-kun tanpa pimpinan."
Pangeran In Te tidak menjawab, namun ia tahu pamannya tidak membual. Dengan ribuan prajurit berani mati yang berada di belakang Pak-Kiong Liong, rasanya Pangeran In Ceng harus berpikir berulang kali sebelum berbuat gegabah terhadap Pak-Kiong Liong. Apalagi masih ada Bok Eng Siang, Panglima Hui-hou- kun (Pasukan Macan Terbang) yang tidak kalah tangguhnya dari pasukan Hui-Iiong-kun bawahan Pak Kiong Liong. Bedanya, kaiau Hui-liong-kun adalah pasukan berkuda, maka Hui-hou-kun adalah pasukan jaIan kaki.
Sejak dari pintu gerbang istana sampai ke pintu kota barat, Pak Kiong Liong dan In Te tidak mendapat rintangan dari siapapun. Beberapa kelompok perajurit yang berpapasan malah memberi hormat kepada Panglima tua itu, yang tak sempat menggubrisnya. Setelah berada sepuluh li di luar kota Pak- khia, barulah mereka mengendorkan lari kuda mereka yang mulutnya sudah berbusa karena dipacu sekian lama.
In Te kemudian berkata, "Hari ini, meskipun nyawaku hampir melayang, tetapi aku gembira karena Paman sudah menunjukkan sikap tegas Paman dalam sidang Kerajaan tadi. Paman juga sudah memperpanjang hidupku."
Pak-Kiong Liong menarik napas, kini orang- orang Pak-khia pasti sudah tahu semua bahwa dirinya berpihak kepada Pangeran In Te, dengan demikian sudah terlibat langsung dalam-arena perebutan tahta. Namun dukungannya kepada In Te itu bukan karena mengharap mendapat kedudukan yang lebih tinggi di kemudian hari, melainkan sekedar bertanggung jawab agar tahta kekaisaran diduduki oleh pilihan yang terbaik. Pak Kiong Liong yang sebenarnya mendambakan hari tua yang tenang itu, merasa bahwa ketenteraman impiannya ituagaknya belum akan diperolehnya dalam waktu dekat ini.
"Pangeran, hamba punya sebuah permintaan."
"Apa, Paman?"
"Hamba mohon jawaban lebih dulu, jika Pangeran sudah ada di tengah-tengah pasukan kembali, tindakan apa yang akan Pangeran lakukan?"
Sahut In Te, "Kakanda In Ceng sudah tidak menghiraukan persaudaraan lagi, karena itu buat apa aku masih akan bersikap sungkan terhadapnya?"
Wajah Pak-Kiong Liong menjadi tegang mendengar jawaban itu. "Maksud Pangeran, Angkatan Perang akan digerakkan untuk membereskan urusan ini?"
"Kakanda In Ceng yang memaksa aku berbuat demikian. Istana dan seisinya harus diselamatkan dari cengkeraman komplotan busuk Kakanda In Ceng dan Paman Liong Ke Toh yang serakah itu. Dan bukankah tadi Paman melihat sendiri bagaimana Ayahanda diperlakukan amat kasar oleh Paman Liong?"
Pangeran ke empat belas itu nampak mengepal-ngepaIkan tinju karena membayangkan bagaimana Ayahandanya diperlakukan tadi. Suaranya bernada semakin marah, "Karena itu, Kakanda In Ceng dan Paman Liong Ke Koh harus menerima ganjarannya. Tidak ada jalan lain kecuali menggerakkan pasukanku!"
"Itu berarti perang saudara?"
"Terpaksa. Tapi.... eh, Paman belum menyebutkan permintaan Paman."
Tiba-tiba Pak Kiong Liong melompat turun dari kudanya lalu berlutut menyembah In Te, sehingga bangsawan muda itu tercengang. Cepat diapun melompat turun dan berusaha membangunkan Pak Kiong Liong, namun gagal.
"Bangkitlah, Paman. Apakah permintaan Paman itu sehingga Paman harus bersikap seperti ini?"
Sambil tetap berlutut, Pak Kiong Liong memohon, "Pangeran, hamba mohon biarpun pasukan ditarik ke ibukota, tapi sebisa-bisanya hindarilah perang saudara. Barangkali, kedatangan angkatan perang itu akan membuat komplotan yang kini menguasai istana minggir sendiri, sehingga Pangeran mendapatkan hak Pangeran tanpa melewati pertumpahan darah. Hamba mohon dengan sangat."
Darah muda Pangeran In Te masih mendidih panas karena peristiwa di aula persidapgan tadi, sehingga permin-taan Pak Kiong Liong itu terasa sangat berat. Betapa ingin dia masuk ibukota dengan megah bersama pasukannya untuk menunjukkan kekuasaannya, dan menggempur penentang-penentangnya sehingga bertekuk lutut semuanya. Namun permohonan Pak Kiong Liong, pamannya yang dihormatinya itu, tidak bisa ditolaknya begitu saja, sehingga ia kebingung an harus menjawab apa.
"Pangeran, hamba mohon agar Pangeran mengingat betapa jerih-payah kita mendirikan kekiasaran agung ini, laksaan perajurit-perajurit terbaik kita sudah melayang di medan laga untuk mempersatukan daratan tengah. Jangan sampai perang saudara antara Pangeran dan Pangeran In Ceng membuat kekaisaran ini runtuh dalam sekejap."
Terjadi pertentangan dalam diri In Te, antara gelegak darah mudanya melawan akal sehatnya. Kemarahannya menun-tut pembalasan karena dirinya telah di perlakukan seperti maling jemuran di aula persidangan tadi, namun akal sehatnya dapat mencerna kata-kata Pak Kiong Liong itu. Namun tidak gampang mengambil pilihan.
"Paman, tidak ada alasan untuk khawatir akan terjadinya perang saudara sehingga kekaisaran runtuh segala. Berapa banyak jumlah pendukung Kakanda In Ceng? Hanya beberapa gelintir manusia liar, bisakah dibandingkan dengan pasukan besarku yang baru saja membuktikan keunggulannya di Jing-hai? Dalam satu hari, selesailah semuanya dan akulah sang pemenang."
"Pangeran jangan keliru menghitung kekuatan Pangeran In Ceng. Beberapa pa sukan di ibukota sudah di bawah pengaruh Ni Keng Giau, padahal dia sekaligus adik seperguruan dan tangan kanan Pangeran In Ceng. Keliru kalau menganggap pendukung Pangeran In Ceng cuma orang-orang berjubah ungu di aula tadi.
"Tapi mereka tetap tidak berarti dibandingkan pasukanku yang terdiri dari enam ratus ribu prajurit berpengalanan. Kalaupun terjadi perang, tidak akan lama pasukanku akan berhasil menyapu habis mereka."
"Maafkan kalau hamba terlalu banyak mulut, Pangeran. Perlu Pangeran ketahui bahwa pendukung Pangeran In Ceng tidak hanya berpusat di Pak-khia, tetapi juga di daerah-daerah. Di wilayah selatan, Pangeran In Ceng menggalang hubungan akrab dengan ribuan pendekar silat dan puluhan kelompok silat yang akan merupakan kekuatan bawah tanah yang sulit dipatahkan, sebab mereka bercampuk aduk dengan rakyat biasa dan sulit dikenali."
Sikap In Te yang membanggakan kekuatan pasukannya itu pupus ketika mendengar keterangan Pak Kiong Liong yang dipercayainya. Pertimbangan yang sangat masuk akal dari seorang Jenderal tua yang sudah berpengaIaman berpuluh tahun. Mungkin saja Pangeran In Te berhasiI menggempur Pak-khia secara kekerasan dan menguasai tahta, tapi kalau pendukung-pendukung In Ceng bergerak serempak di daerah-daerah, sulitlah mematahkan mereka.
Seperti gerombolan semut, kalau berkumpul di satu sarang akan gampang dibasmi, tapi bagaimana kalau semut- semut itu bubar berpencaran dan bersembunyi di segenap sudut rumah? Yang terjadi akan seperti yang di khawatirkan Pak-kiong Liong, bukan “perang besar sekali pukul beres" namun "perang-perang kecil yang berlarut-la-rut", entah kapan selesainya.
"Jadi, bagaimana baiknya, Paman?"
"Angkatan Perang yang baru datang dari Jing-hai itu digunakan untuk menggertak saja, jangan langsung menyerbu. Nanti hamba dan panglima-panglima lain yang setia kepada Pangeran akan berusaha menekan dan membujuk para penentang, agar mereka mundur tanpa kehilangan martabat. Artinya, kalau Pangeran naik tahta, biarkan mereka dalam kedudukan masing-masing."
"Aku kenal tabiat Kakanda In Ceng sejak sama-sama masih kecil. Dia tidak gampang digertak atau ditakut-takuti dengan ujung senjata. Dia selalu mem-perjuangkan apa yang diinginnya secara habis-habisan."
"Hamba juga kenal wataknya, namun hamba mohon usul hamba tadi dilaksana-kan dulu. Kalau dia tetap tidak mau minggir, barulah kita gempur dengan kekerasan, saat itu hamba siap bertempur di pihak Pangeran. Tapi ucapan ini hendaknya jangan diartikan sebagai dorongan untuk mengobarkan perang saudara. Lebih dulu harus diselesaikan secara kekeluargaan.”
Mendengar dukungan Pak Kiong Liong kepadanya yang tanpa tedeng aling-aling itu, melonjaklah kegembiraan Pangeran In Te. Itulah yang diharapkannya sejak dulu. Pak Kiong Liong adalah seorang tokoh tua yang berpengaruh dipemerintahan maupun kemiliteran, juga seorang kerabat istana yang dihormati,sikapnya tentu akan mempengaruhi beberapa pihak pula. Beberapa panglima yang masih ragu-ragu di simpang jalan, barangkali akan bisa ditarik ke dalam pihaknya, bahkan yang sudah memihak Pangeran In Ceng pun bisa jadi akan berganti kiblat.
"Aku lega mendengar ketegasan sikap Paman. Terima kasih. Nah, aku kira cukup sampai sini Paman mengantarku, jagalah diri Paman baik-baik, juga titip keselamatan Ibunda dan kerabat istana lainnya."
"Hamba junjung tinggi kepercayaan Pangeran. Tapi apakah Pangeran akan berjalan sendiri sampai ke pasukan Pangeran? Dan bagaimana luka di pundak Pangeran itu?"
"Di desa depan itu ada sepasukan pengawalku yang sengaja aku tinggalkan, tidak aku ajak menyelundup masuk Pak khia. Paman jangan khawatir. Sedang luka di pundakku ini hanyalah luka kecil yang tak berarti. Di Jing-hai aku pernah mendapat luka yang lebih berat namun masih bisa memimpin pertempuran sampai selesai."
Karena tidak mencemaskan lagi perjalanan In Te, maka Pak Kiong Liong balik seorang diri ke dalam ibukota. Hari sudah menjelang malam ketika ia mendekati tembok kota, dan sembilan pintu gerbang sudah djtutup. Ketika Pak Kiong Liong menengadah ke atas benteng, ia lihat di atas benteng banyak perajurit hilir-mudik dengan membawa senjata.
Diam-diam Pak Kiong Liong menarik napas. Hari-hari biasanya, penjagaan tak sekeras itu, mengerasnya penjagaan itu pasti ulah In Ceng. Dalam keadaan biasa, Pak Kiong Liong akan dapat melewati prajurit-prajurit itu tanpa rintangan, tapi dalam situasi saat itu ia tidak dapat menentukan siapa kawan siapa lawan, seragam yang sama pun belum menjamin bahwa dia adalah teman sendiri.
Dengan iimunya yang tinggi, Pak Kiong Liong kemudian merambati tembok kota dengan ilmu Pia-hou-yu-jio (Cecak Merambat), lalu seringan sehelai bulu dihembus angin, tubuhnya melesat ke dalam kota Pak-khia tanpa terlihat seorang penjagapun.
Kota Pak-khia jauh lebih menegangkan dari hari-hari biasa. Biasanya, sampai malam hari pun penduduk masih banyak berjalan-jalan di jalan besar, namun saat itu sore baru saja lewat dan sudah tidak ada lagi penduduk yang berada di luar pintu rumahnya. Bisa dimaklumi ketakutan penduduk itu, sebab jalanan penuh kelompok-kelompok perajurit bersenjata, masing-masing kelompok berbeda-beda seragamnya, sesuai dengan pasukan induk masing-masing.
Dari sebuah persembunyian, Pak-Kiong Liong mengamati situasi itu dengan heran. Perajurit-perajurit yang berkeliaran di jalanan itu bukan cuma dari kelompok-kelompok yang memihak In Ceng, tetapi juga kelompok-kelompok saingannya. Nampak pula perajurit- perajurit bawahan Pak Kiong Liong sendiri, Hui-Iiong-kun, dengan seragam termpurnya yang serba hitam dan topi bulu hitam pula, dengan sikap garang menungang kuda dan berkelompok-kelompok di jalanan.
Pak-Kiong Liong heran melihat itu. "Siapa berani menyuruh mereka keluar dari barak tanpa perintahku? Apakah sudah terjadi pengambilalihan kedudukanku sebagai Pangl ima Hui -Liong-kun?"
Sepercik kecemasan berkembang di hati Panglima tua itu, apa yang dicemaskan itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Kaisar Khong Hi yang dalam keadaan lemah itu, bisa saja ditekan oleh In Ceng dan Liong Ke Toh untuk mempereteli pengaruh Pak Kiong Liong, misal nya dengan menggeser dari kedudukan semula sebgai Panglima Hui-Liong-kun. Bagaimanapun setianya perajurit-perajurit Hui-Liong-kun, kalau di depan hidung mereka disodori perintah Kaisar resmi, tentu mereka tak kuasa membangkang apapun yang diperintahkan.
Karena ingin tahu peristiwa sebenarnya, Pak Kiong Liong memutuskan untuk bertanya kepada perajurit-perajurit Hui-liong-kun yang akan ditemuinya paling awal nanti. Seandainya perajurit-perajurit itu sudah dibekali perintah untuk menangkapnya, ya apa boleh buat. Namun mudah-mudahan itu hanyalah prasangka. Ketika sekelompok perajurit berkuda Hui- Liong-kun lewat sebuah jalan, Pak Kiong Liong melompat keIuar dari persembunyiannya dan mendarat di hadapan perajurit-perajurit itu.
Perajurit-perajurit itu menghentikan kuda mereka dengan kaget dan hampir saja menghunus senjata-senjata mereka. Tapi begitu mengenal siapa yang mengha dang mereka, merekapun berlompatan turun dari kuda untuk berlutut menghormat. Komandan kelompok mereka dengan nada kegirangan berkata tergagap-gagap, "Jadi... jadi... Goan-swe masih selamat?”
Pak Kiong Liong tertawa dan menjawab, "Bangunlah kalian. Siapa mengatakan aku celaka? Aku hanya dari luar kota untuk mengantarkan seseorang."
Komandan regu itu bernama Su Toh Jiang, berpangkat Pa-cong dan berkedudukan Pek-hu-thio (Pemimpin regu 100 perajurit) dalam Hui-liong-kun. la seorang lelaki tegap yang mata kirinya ditutup kain hitam karena cacad, pernah kena panah di dalam suatu pertempuran. Dialah yang berbicara mewakili teman-temannya.
"Tadi pagi kabarnya ada keributan dalam Sidang Kerajaan, lalu berkembang desas-desus bahwa Goan-swe ingin membunuh Hong-siang (Kaisar) untuk merebut kekuasaan. Ketika Goan-swe tidak menampakkan diri sehari penuh, meskipun sudah dicari ke mana-mana di dalam kota Pak-khia ini, maka keadaanpun jadi tidak menentu, terutama bagi pasukan kita yang seperti anak-anak ayam kehilangan induknya."
"Fitnah yang keji," Pak Kiong Liong mengepalkan tinjunya. "Dan bagaimana sikap kalian sendiri terhadap kabar angin itu?"
Su Toh Jiang menyahut tegas. "Tidak seorangpun anggota pasukan kita mempercayai kabar yang berasal dari mulut usil itu. Kami sudah kenal bagaimana pengabdian tulus Goan-swe kepada kekaisaran, bagaimana kepercayaan kami terhadap Goan-swe bisa luntur hanya mendengar kabar yang tak keruan asalnya?"
"Terima kasih. Tetapi kenapa kalian berkeliaran di luar tangsi dengan seragam dan periengkapan tempur seperti ini?"
"Goan-swe, maafkan kami yang bertindak kurang terkendali seperti ini. Tetapi ini karena pasukan Hui-liong-kun kita mendapat penghinaan yang amat menyakitkan hati. Bukan saja nama Goan swe telah difitnah sebagai pengkhianat, tapi tadi pagi tangsi kita juga mendapat kiriman....."
"Kiriman apa?"
"Tubuh tiga orang rekan kami yang sudah tercincang hancur. Katanya, mereka bertiga tadi pagi telah berani mengacau Sidang Kerajaan dan perajurit-perajurit istana telah menghukum mereka. Coba pikir, seorang penjahat yang bagaimanapun besar kesalahannya tidak akan dicincang seperti itu, paling-paling dipotong lehernya. Tapi tiga rekan kami itu telah dirajang seperti daging babi saja, bagaimana kami sanggup menahan kemarahan kami?"
Wajah Pak-Kiong Liong membayangkan kesedihan dan kemarahan bercampur aduk. Ketiga mayat tercincang itu pastilah tiga orang pengawalnya yang tadi pagi dengan gagah berani mengorbankan diri menghadang kejaran orang-orang Pangeran In Ceng, untuk memberi kesempatan Pak Kiong Liong bisa menyelamatkan Pangeran In Te, putera Mahkota yang syah karena namanya tertulis dalam Surat Wasiat Kaisar yang belum dibuka. Namun tiga pengawal gagah berani itu malah dicap sebagai pengacau oleh pihak lawan.
Setelah mendapat "paket istimewa" itu, seluruh perajurit Hui-Liong-kun bergolak marah. Mereka merasa difitnah, ditantang, diragukan kesetiaan mereka terhadap Kekaisaran. Mereka lalu menukar seragam harian mereka dengan seragam tempur, dan hampir saja menyerbu tangsi-tangsi dari pasukan-pasukan yang memihak In Ceng, siap bertempur sampai orang penghabisan untuk mencuci bersih kehormatan pasukan mereka.
Untunglah wakil Pak Kiong Liong yang bernama Tong Siau Beng berhasil mengendalikan pasukan, meskipun dengan susah payah. Mereka dilarang menyerbu tangsi pasukan lain, tapi diberi "penyaluran" untuk diperbolehkan "unjuk kekuatan" di ibukota. Itulah sebabnya mereka ber keliling-keliling kota Pak-khia dengan sikap garang siap bertarung.
Pak Kiong Liong menggeleng-geleng-kan kepala. la merasa tindakan Tong Siau Beng itu terlalu gegabah, membiarkan perajurit-perajurit itu berkeliaran dengan memendam kemarahan di hati. Siapa berani menjamin tidak, akan terjadi bentrokan antara sesama perajurit yang berbeda kelompok, yang kemungkinan akan meluas menjadi bentrokan antar pasukan? Kalau itu terjadi, maka kota Pak-khia akan banjir darah, bukan oleh serbuan musuh dari luar, melainkan karena bentrokan antar perajurit sendiri. Pemerintah akan lumpuh, dan bukan mustahil itulah titik awal runtuhnya kekaisaran.
"Aku harus menjewer kuping Tong Siau Beng nanti," kata Pak Kiong Lion dalam hati. Untunglah, kelompok-kelompok yang memihak Pangeran In Ceng agaknya belum siap untuk membendung gelombang kemarahan perajurit-perajurit Hui-liong-kun yang terkenal keperkasaannya di medan laga itu. Kalau mereka berpapasan dengan perajurit-perajurit Hui-liong-kun mereka diam saja biarpun dipelototi atau diejek-ejek oleh perajurit-perajurit Hui-Liong-kun.
Dengan demikian, belum ada yang jatuh korban karena bentrokan antar pasukan. Tapi situasi dalam kota Pak-khia begitu tegangnya karena hampir semua perajurit keluar tangsi sehingga penduduk menjadi ketakutan dan mengurung diri dalam rumah. Ibukota Pak-khia saat itu seperti gudang bahan peledak, sepercik api menyala karena kesengajaan atau ketidak-sengajaan, meledaklah semuanya dan ibu kota akan menjadi puing raksasa yang mengerikan.
"Sekarang di mana Tong Siau Beng?" tanya Pak Kiong Llong.
"Seharian ini Tong-ciangkun terus berada di tangsi, tidak meninggalkan ruang komando selangkahpun juga, meski pun diberi kabar bahwa mertuanya jatuh sakit. la terus menerima Iaporan-Iaporan dan mengirimkan pesan-pesan lewat kurir-kurir.
Tadi Pak Kiong Liong sempat jengke1 kepada Tong Siau Beng karena tindakannya yang dinilai ceroboh, namun ia puas juga mendengar bahwa wakilnya itu tetap memikul tanggung jawab me- ngendalikan gerak-gerik pasukannya di ruang komando tangsi Hui-Liong-kun, ti dak peduli dikabari mertuanya jatuh sakit.
Kemudian Pak Kiong Liong meminjam kuda salah seorang perajuritnya, dan bersama rombongan perajurit itu menuju ke tangsi. Sepanjang jalan, kelompok-kelompck perajurit Hui-Liong-kun bergabung sambil bersorak- sorak melihat Panglima mereka masih hidup, sehingg.i barisan itu makin lama makin besar.
Sedang perajurit-perajurit dari pasukan lain buru-buru menyingkir dari jalan, karena khawatir kalau perajurit-perajurit Hui-liong-kun itu mengamuk. Derap ratusan ekor kuda tunggangan itu menggetarkan jalan-jalan kota Pak-khia, membuat penduduk bertambah cemas karena tidak tahu apa yang terjadi.
Tiba di tangsi Hui-Liong-kun, Pak Kiong Liong langsung menuju ke ruang komando. Dilihatnya wakilnya dalam pakaian seragam tempur duduk kelelahan, dengan wajah berlapis keringat dan debu, agaknya sejak pagi hingga malam itu belum sempat mandi. Tampangnya kelihatan lebih tua beberapa tahun karena tekanan kelelahan jiwa dan ketegangannya.
Namun ia tidak sendirian, ditemani Bok Eng Siang, Panglima Hui-hou-kun yang berseragam tempur pula, hanya nampak lebih segar dan tenang. Kedua orang itu melompat dari duduknya ketika melihat munculnya Pak Kiong Liong kemudian sama-sama memberi hormat dengan menekuk lutut,
"Bangunlah, kau tentu lelah dan tegang seharian ini, saudara Tong," kata Pak Kiong Liong sambil membangunkan Tong Siau Beng dari berlututnya. "Kau sendiri jangan banyak adat, saudara Bok."
Sahut Tong Siau Beng. "Untung Goanswe segera datang. Aku nyaris kehabisan akal dan tak sanggup lagi mengendalikan pasukan kita yang semakin beringas, karena semakin santernya desas-desus tentang tewasnya dan pengkhianatan Goan-swe terhadap Kaisar."
Pak-kiong Liong tersenyum. "Kau lihat sendiri, ternyata aku masih hidup, dan nanti akan juga kujelaskan bahwa aku bukan pengkhianat seperti yang dituduhkan mulut usil itu. Sekarang, komando aku ambil alih."
"Silakan, Goan-swe," sahut Tong Siau Beng sambil minggir untuk memberi jalan Pak Kiong Liong ke arah kursi berlapis kulit macan tutul yang tadi di dudukinya. Setelah duduk dikursi, keluarlah perintah Pak Kiong Liong, "Tarik semua perajurit kita ketangsi kembali. Dan semua perwira berpangkat Jian-hu-thio (pemimpin 1000 perajurit) harus segera menghadap di ruangan ini!"
"Baik, Goan-swe!" sahut Tong Siau Beng sambil berlutut sekali lagi, kemudian melangkah meninggalkan ruangan dngan tegap dan bersemangat, lupa kepada mertuanya yang sakit. Sesaat kemudian, kurir-kurir berkuda bertebaran dari tangsi itu untuk memanggil seluruh pasukan Hui-Liong-kun yang sedang "unjuk kekuatan" di seluruh pelosok kota.
Setelah seluruh pasukan kembali ke tangsi dan semua perwira berpangkat Jian-hu-thio menghadap Pak Kiong Liong, maka Pak Kiong Liong memberi penjelasan-penjelasan agar kemarahan pasukan reda, seragam tempurpun diperintahkan untuk segera dicopot dan diganti dengan seragam harian. Namun dalam penje lasan itu, Pak Kiong Liong juga tidak-menceritakan sejelas-jelasnya tentang keributan di istana tadi, sebab hal itu agak memalukan bagi keluarga istana. Semakin sedikit yang mengetahuinya, semakin baik.
Keesokan harinya, ketegangan yang mencengkam ibukota kekiasaran telah jauh lebih kendor. Prajurit-perajurit yang berkeliaran di jalan jauh lebih sedikit. Perajurit- perajurit Hui-liong kun masih kelihatan beberapa kelompok, namun tidak lagi segarang hari sebelum nya, dimana mereka mengacung-acungkan pedang atau tombak, atau menembakkan bedil di udara, sambil berderap di punggung kuda masing-masing.
Kabar munculnya Pak-Kiong Liong kembali di tengah-tengah pasukannya segera menyebar luas, tapi Pangeran In Ceng tidak dapat berbuat apa-apa karena khawatir menimbulkan kemarahan perajurit-perajurit Hui-Liong-kun seperti kemarin. Tuduhan "pengkhianat" ke alamat Pak-Kiong Liong juga baru desas-desus, yang makin lama makin lemah karena banyak orang tidak percaya.
Beberapa hari kemudian, ketika Sidang Istana berlangsung lagi, Pak-Kiong Liong pun tetap hadir dengan sikap sopan, dan tidak ada yang berkeinginan menangkapnya. Sementara itu, di tempat tersembunyi, sekelompok manusia tak kenal telah berlatih di bawah pimpinan seorang pendeta Tibet berjubah merah, Biau-eng Lama.
Orang-orang itu berlatih menggunakan senjata yang disebut Hiat-ti-cu (Setetes Darah), berbentuk semacam topi kulit besar, bagian dalamnya ada kerangka besi yang tipis dan ringan, dilengkapi pisau yang bergerak dengan pegas yang bisa menjepit leher korbannya apabila topi itu mengerudung ke kepala sang korban. Seutas rantai panjang yang juga tipis dan ringan berfungsi sebagai pengendali senjata yang kejam itu.
Pangeran In Ceng sering meninjau tempat latihan di luar kota itu, dan melihat bagaimana regu algojo itu sudah mahir mencopot kepala orang-orangan dari kayu atau jerami dari jarak belasan langkah. Entah bagaimana kalau sasarannya orang hidup?
Pada suatu hari, kembali Pengeran In Ceng muncul di tempat latihan dengan dikawal dua pengawal terpercaya-nya, Kim Seng Pa dan To Jiat Hong. Mereka memakai pakaian rakyat biasa dan memakai tudung bambu lebar untuk menudungi muka mereka. Yang agak lain dari biasanya, kali ini In Ceng membawa pula beberapa orang lelaki yang tangan-nya terikat dan wajah mereka menimbul-kan rasa iba.
Biau Beng Lama dan anggota "regu pemetik kepala"nya segera berlutut menghormat In Ceng. "Aku ingin tahu sampai di mana kemajuan kalian berlatih," kata In Ceng.
Sahut Biau Beng Lama bernada bangga, "Pangeran, anak buah hamba sudah dapat membunuh lawan yang berlari cepat, asal masih dalam jarak tigapuluh langkah. Bahkan andaikata musuh berlari berbelok-belok, atau berlari di antara benda-benda lain, Hiat-ti-cu dapat mencapai kepalanya."
Pangeran In Ceng tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Bagus, aku ingin meIihat buktinya dalam sebuah uji coba!"
"Hamba siap, Pangeran," sahut Biau Beng Lama. Lalu kepada anak buahnya ia memerintahkan, "Pangeran berkenan menyaksikan ketrampilan kalian, Siapkan boneka-boneka Jerami.”
Kata-kata itu terpotong oleh ucapan In Ceng, "Tidak, bukan boneka-boneka jerami, melainkan aku ingin melihat latihan dengan sasaran manusia-manusia hidup!”
Biau Beng Lama dan para "pemetik kepala" terkejut mendengarnya. Biau Beng Lama sendiri seorang kejam, tidak segan-segan membunuh, namun ia membunuh orang-orang yang dianggap "musuh" yang merintangi cita-cita junjungannya, bukan sembarangan membunuh orang hanya sekedar "uji coba" senjata. Tetapi ia tidak berani membantah perintah In Ceng yang nampak tetap santai sambil tersenyum-senyum itu.
Yang menggigil ketakutan ialah empat lelaki terikat yang dibawa pengawal-pengawal In Ceng itu, kini mereka tahu untuk apa mereka ditangkap dan diseret ke tempat itu. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang atau pencari-pencari kayu yang hidup di sekitar tempat itu. Nasib sial menimpa ketika mereka bertemu dengan In Ceng dan kedua pengawalnya, mereka ditangkap, karena In Ceng tertarik melihat ketangkasan mereka yang dianggap cocok dijadikan kelinci percobaan bagi Hiat-ti-cu.
Dari kantongnya, In Ceng mengeluarkan empat potong emas cukup besar, ditunjukkan ke empat calon korban itu sambiI berkata, "Kalau kalian berhasil lepas dari tangan orang-orangku, kalian mendapat hadiah sepotong emas ini. Nah, ternyata aku cukup adil bukan?"
Keempat orang itu serempak berlutut dan meratap-ratap mohon ampun, namun In Ceng membentak mereka, "Diam! Kalian sebagai laki-laki tidakkah malu menangis-nangis seperti itu? Pertahankan hidup kalian sekuat tenaga, itulah satu-satunya jalan! Anggap saja kalian sedang berburu dan bertemu seekor harimau besar, kalau ka|ah kalian mati, kalau menang kalian dapat kulit harimau!"
Nada suara itu adalah perintah yang tak bisa ditawar lagi. Para algojo Hiat-ti-cu itupun termangu-mangu. Heskipun mereka disebut pembunuh, namun sungguh tak terduga kalau hari itu hendak disuruh membunuh orang-orang yang tak ada persoalan sedikitpun dengan tugas mereka. Apalagi kalau membayangkan keluarga para korban itu tentu menunggu di rumah, namun yang mereka tunggu hanya kembali arwahnya saja.
Keragu-raguan di wajah algojo-algojonya itu membuat In Ceng marah pula. "Kalian takut membunuh? Takut melihat darah? Lalu buat apa kalian dilatih dengan menghabiskan begitu banyak tenaga dan beaya?"
Algojo-algojo itu serempak berlutut, meskipun suara mereka kurang mantap dan kurang bersama-sama, namun mereka menyahut,"Hamba siap menjalankan perintah !" In Ceng menyeringai gembira. "Bagus. Da lam tiga hitungan, semuanya harus bergerak, baik yang memburu maupun yang diburu. Calon korban yang tidak mau lari, tetap akan dibunuh di tempat ini, tidak peduli melawan atau tidak melawan. Semuanya paham?"
"Paham,Pangeran!" yang menyahut hanyalah algojo-algojo Hiat-ti-cu, sedang keempat calon korban itu tak mampu menyahut karena mulut terasa kaku dan tenggerokan tercekik ketakutan.
In Ceng berkata lagi kepada algojo-algojonya, "Namun karena sasaran kalian hanya empat orang, maka cukup empat orang saja dari kalian yang turun. Nah, kau, kau, kau dan kau!"
Empat orang yang terpilih itu maju ke depan sambil menjinjing senjata masing-masing, menyingkirkan sikap ragu-ragu mereka, sebab mereka tahu Pangeran junjungan mereka tidak suka akan sikap ragu-ragu.
In Ceng mulai menghitung. "Satu... dua... tiga!"
Tiga orang korban uji coba serentak bangkit dan berlari sekencang-kencangnya, betapapun takutnya mereka, lebih baik sekuatnya mencoba mempertahankan diri daripada mati konyol. Tapi salah seorang dari mereka agaknya begitu ketakutan sehingga tak mampu bangkit dari berlututnya, sementara air kencing campur tinja sudah memenuhi celananya.
Sedangkan para algojo sudah memutar- mutar kantong kulit mereka di ujung rantai pengendaIinya, dan sedetik kemudian kantong- kantong kulit itu bagaikan layang-layang yang dimainkan anak-anak, telah beterbangan ke sasaran masing-masing. Mengeluarkan bunyi ge-merincing mengerikan, seolah-olah suara musik dari alam kubur.
Ketiga orang korban itu berlari kencang karena terpacu rasa takut, namun Hiat-ti-cu melayang lebih cepat dari langkah mereka. Berturut-turut kantong-kantong maut itu menungkrup kepala dua orang korbannya, yang detik berikutnya telah menggelepar tanpa kepala lagi.
Seorang pemburu agaknya lebih menggunakan akalnya. la tidak mau berlari di tempat terbuka seperti kedua rekannya, melainkan lari berkelok-kelok dan menyusup-nyusup pepohonan. Algojo bawahan In Ceng terus mengejar sambil mengendalikan Hiat-ti-cu dengan mahirnya.
Algojo yang satu ini agaknya seorang yang kejam. la tidak langsung membunuh korbannya, melainkan lebih dulu mempermainkan agar korbannya ketakutan. Hiat-ti-cu tidak langsung diturunkan ke kepala korbannya, melainkan hanya melayang-layang sejengkal di atas kepalanya sambil berbunyi gemerincing, mengikuti korbannya kemanapun larinya.
Si calon korban tak bisa menahan ketegangannya lagi. Tiba-tiba ia berhenti berliari dan berteriak-teriak, campuran antara tertawa dan menangis, otaknya sudah kacau karena melihat nasib kedua (rekannya yang akan disusul olehnya sendiri. Saat itulah Hiat-ticu turun dari menunaikan tugasnya dengan mulus. In Ceng mengangguk-angguk puas.
Sementara itu, si calon korban yang tak mampu berlari karena takut itupun tetap mendapat kematiannya. Algojo Hiat-Ti-cu yang bertugas membunuhnya, dengan enak mendekatinya, memegang-megang kepalanya, lalu dengan lembut topi kulit maut itu ditungkrupkan ke kepalanya. Sekali rantai di puncak topi disentak, pisaupun keluar menjepit leher korbannya dan bereslah sudah. Keempat algojo Hiat-ti-cu segera berlutut di depan In Ceng dengan tangan masing-masing menjinjing kantong kuiit berantai yang masih berisi kepala-kepala korban mereka.
"Bagus, aku puas” kata In Ceng. "Dari segi ketrampilan maupun keteguhan hati, kalian berempat tidak mengecewakan untuk menjadi pembantu-pembantuku. Kalian berempat aku pilih untuk memperoleh pahala pertama. Malam ini kalian harus membunuh seseorang."
"Silakan Pangeran perintahkan. Siapa yang harus kami bunuh?" sahut salah seorang algojo Hiat-ti-cu dengan garang, mewakili teman-temannya. Dialah yang tadi mempermainkan korbannya sampai mati dalam ketakutan.
"Yang malam nanti harus kalian ambil kepalanya ialah...” In Ceng berhenti sebentar. Pak Kiong Liong..."
Jantung keempat algojo Hiat-ti-cu itu serasa berhenti berdetak ketika mendengar nama itu, wajah mereka memucat dan sikap garangpun luntur. Sedang rekan-rekan mereka yang tidak terpilih itupun tiba-tiba bersyukur dalam hati. Membunuh Pak Kiong Liong? Rasanya lebih baik disuruh menghadapi segerombolan serigala daripada harus menghadapi Pak Kiong Liong. Tidakkah mereka berempat akan seperti serangga-serangga yang menjelang nyala api?
Pangeran In Ceng tertawa dingin melihat sikap ragu-ragu keempat orang itu. "Takut? Bagaimana kalau perintah tadi kuubah saja, kantong kulit Hiat-ti-cu itu kalian tungkrupkan ke kapala kalian sendiri saja? Sebab aku tak suka punya anak buah pengecut."
Keempat algojo itu terkejut, buru-buru berlutut sampai jidat mereka menyentuh rumput. Sahut mereka, "Hamba siap!"
"Hamba juga siap!" sahut lainny.a saling susul. Daripada disuruh bunuh diri, lebih baik coba-coba adu nasi di hadapan Pak Kiong Liong nanti malam. Toh mereka berempat dan menggunakan senjata jarak jauh.
"Kalian berempat boleh beristirahat untuk mempersiapkan diri," perintah In Ceng.
Keempat orang itupun mengundurkan diri. Kemudian In Ceng membisikkan Biau Beng Lama di pinggir arena latihan, tanpa terdengar oleh siapapun. "Toa-suhu, nanti malam Toa-suhu sebaiknya juga mengikuti keempat orang itu dari belakang. Toa-suhu tentu tahu apa yang harus dilakukan kalau mereka berempat gagal Kepala gundul Biau Beng Lama terangguk-angguk, tetapi ia sebenarnya merasa ngeri juga denqan tugas itu.
Hanya saja In Ceng sudah berjamji kepadanya, kalau berhasil naik tahta kelak, Biau Beng Lama diangkat menjadi Kok- su (Guru Negara) dan Ang-ih-kau (Agama Ju bah Merah) diresmikan sebagai Agama Ke kaisaran. Kedudukan setinggi dan sekuat itu dalam sebuah kekaisaran sekuat Kekaisaran Manchu, memang pantas diper juangkan dengan sedikit menyerempet bahaya.
Malam harinya, ketika ibukota Pak-khia sudah tenggelam dalam kesunyian, maka empat orang algojo Hiat-ti-cu yang mendapat tugas berat itupun ber-gentayangan di sekitar gedung kediaman Pak Kiong Liong.
Gedung kediaman itu terlalu sederhana buat seorang yang masih termasuk keluarga istana, bahkan rumah itu juga tidak dikawal perajurit seorangpun. Hanya ada sepasang suami isteri tua dan anak lelaki mereka yang sering membantu-bantu Pak Kiong Liong mengurus rumah itu. Itulah sebabnya keempat algojo Hiat-ti-cu itu dengan gampang sudah berada di halaman belakang gedung besar itu.
Biarpun keadaan gedung sudah sunyi senyap dan gelap sebagian besar tapi keempat pembunuh suruhan itu merasa berdebar-debar juga. Rumah yang mereka satroni itu adalah kediaman dari seorang yang merupakan salah satu dari tokoh berilmu paling tinggi di dunia persilatan. Dua orang lainnya adalah Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou yang bermukim jauh di puncak Tiau-im-hong di Se-cuan, besan dari Pak Kiong Liong sendiri.
Seorang lagi adalah pendeta tua di Gunung Siong-san, propinsi Ho-lam, Pun-bu Hwe-shio. Tapi keempat pembunuh itu harus memaksakan diri untuk berani menjalan-kan tugas Pangeran In Ceng itu. Mereka sendiri toh bukan keroco-keroco sembarangan, melainkan bekas tokoh-tokoh terkenal di rimba persilatan.
Di halaman belakang, Pak-Kiong Liong masih duduk didalam perpustakaan pribadinya, membaca sebuah kitab dengan diterangi seba tang lilin yang bersinar kelap-kelip. la duduk di dekat jendela yang tertutup, sehingga bayangan tubuhnya tercetak dikertas putih pelapis jendela.
Melihat bayangan di jendela itu, para algojo Hiat-ti-cu saling bertukar pandang dan saling mengangguk. Cukup dengan melihat bayangan di kertas jendela, mereka bisa mengarahkan senjata maut mereka, sebab pernah juga latihan macam itu mereka lakukan. Dan mereka tiba-tiba merasa bahwa tugas mereka toh tidak terlalu berat seperti yang mereka bayangkan semula.
Kantong-kantong kulit pemetik kepala segera diturunkan dari gendongan masing-masing, rantai pengendali segera diurai dari pinggang dan salah satu ujung rantai dipasang di pucuk topi dengan semacam cincin yang cukup erat. Pembantaian siap dilaksanakan.
Ketika itu perhatian Pak Kiong Liong sepenuhnya sedang terpusat pada huruf-huruf dalam buku yang dibacanya, sejilid buku tentang hikayat lama Dinasti Song. Demikianlah yang dilakukannya jika ia sedang diamuk rindu kepada puterinya dan cucu-cucunya yang jauh berada di Tiau-im-hong sana. Sering ia berada di kamar bukunya sampai jauh malam. Begitu asyiknya dia membaca, sampai suara-suara di halaman belakang itu lolos dari kupingnya yang biasanya tajam.
Ketika ia sampai ke halaman yang mengisahkan 108 Pendekar Liang-san menahan tentara Bangsa Kim di kota Tay-beng, maka ia tersenyum kecut dan merasa cerita itu terlalu dilebih-lebihkan. Maklum kalau Pak-Kiong Liong bersikap demikian, sebab Bangsa Kim adalah leluhur Bangsa Manchu, sehingga Dinasti Manchu sering juga disebut Hau-kim atau Kim Akhir. Pikirnya saat itu,
"Hem, sejarah toh mencatat bahwa betapapun gagahnya pendekar-pendekar itu, wilayah Kerajaan Song toh semakin menciut. Bahkan ketika tentara Mongol menyerbu, Kerajaan Song dan Liao tertumpas, hanya Kerajaan Kim saja yang sanggup tetap berdiri meskipun berabad-abad harus menjadi kerajaan kecil dan lemah di Timur Laut. Namun hari ini, toh orang Mongol harus tunduk juga ke pada kami.
Tiap orang bangga sejarah sukunya, sendiri-sendiri, hal ini bukan "penyakit" Pak Kiong Liong saja, tapi juga semua orang. Hanya saja, kalau kebanggaaa itu diwujudkan dengan berusaha menghapuskan kebanggaan orang lain, nah, itu barulah penyaklt serius yang mengobarkan perang-perang besar didunia.
Detik itulah mendadak sebuah benda berbentuk topi kulit besar mendobrak jendela kertas berkerangka kayu, dan bagaikan kilat terus hendak menungkrup ke kepala Pak kiong Liong. Panglima tua itu terkejut, tapi sebagai jago silat berilmu tinggi, ia sempat menjatuhkan diri dari kursinya untuk berguling di lantai sehingga loloslah ia dari maut.
Hia-ti-cu itu membentur sebuah rak buku, kemudian melayang-layang di dalam kamar untuk menemukan mangsanya. Dari lantai, Pak Kiong Liong melihat pada mulut kantong yang menghadap kebawah Itu ada sederetan pisau kecil, mirip rahang Ikan hiu, yang kalau di- kendalikan oleh pemiliknya maka pisau-plsau itu blsa menjepir dan berputar ke tengah untuk memotong leber siapapun yang tertungkrup kantong kulit itu.
Pak Kiong Liong tercengang heran melihat senjata ajaib yang belun pernah dilihat atau didengarnya itu. Kini dilihatnya benda-benda itu berputar-putar diatas kamar, dikendalikan seutas rantai tipis dari luar jendela, seperti layang-Iayang saja. Kantong kulit yang tipis menggelembung itulah agak-nya yang memungkinkan benda itu dapat melayang lama tanpa jatuh ke tanah. Di luar jendela, algojo suruhan In Ceng itu kebingungan mengarahkan senjatanya, sebab bayangan Pak-kiong Liong menghilang dari jendela.
Sementara itu, timbul keinginan Pak Kiong Liong untuk melihat bagaimana cara kerja senjata itu. Tadi ia diincar kepalanya, maka ia tahu benda itu memang dirancang khusus menyerang kepala. Sambi1 tetap berbaring di lantai, tanpa suara ia menggunakan kekuat annya untuk mematahkan sebuah kaki meja, lalu mencopot jubah luarnya untul digulungkan di ujung kaki meja sehingga menjadi gulungan sebesar kepala. Kemudian kepala palsu itu diacungkan ke atas, dekat jendela.
Hiat-ti-cu yang masih melayang-layang itu tiba-tiba turun menungkup gulungan kain itu, lalu pisau-pisaunya berputar dan menjepit, dan putuslah kaki meja sebesar lengan orang dewasa itu dengan gampangnya. Kantong kulit melayang keluar kembali, sedang di tangan Pak Kiong Liong tinggal sepotong kayu bekas kaki meja yang panjangnya tak lebih sejengkal, ujungnya terpotong rapi seolah-olah ditebas dengan pedang pusaka kelas satu.
"Aku berhasil!" terdengar teriakan kegirangan di luar jendela. "Ha-ha-ha... siapa kira malam ini si Naga Utara (julukan Pak Kiong Liong) itu mampus di tanganku?"
"Ha-ha-ha... percuma kita berdebar-debar sejak siang tadi, kiranya segampang ini membunuh Pak Kiong Liong!" suara lainnya menyambung.
Lalu terdengar suara orang-orang yang memuji diri sendiri, disuarakan tanpa berbisik- bisik lagi, sebab mereka yakin bahwa Pak Kiong Liong sudah terbunuh. Namun ketika si algojo yang kegirangan tadi membuka kantong kulitnya untuk melihat "kepala Pak Kiong Liong" yang ditemukannya cuma sepotong kayu berbungkus sehelai jubah luar.
"Kita.... kita tertipu!" katanya gugup.
"Benar, kalian tertipu," Pak Kiong Liong berkata dengan tenang sambil melangkah keluar dari kamar bukunya. Tangannya masih memegang kayu potongan kaki meja tadi. Sambil melemparkan potongan kayu itu ke tanah, Pak Kiong Liong berkata lagi, "Kalian harus mengganti rugi meja belajarku yang terbuat dari kayu merah mutu nomor satu dari Lam-yang. Tapi hebat juga senjata kalian tadi, apa namanya?"
Berhadapan dengan Pak Kiong Liong yang masih hidup, tak terluka seujung rambutpun, membuat keempat algojo rontok nyalinya. Tapi keadaan sudah terlanjur, pulang dengan tangan kosong kehadapan In Ceng sama saja dengan menyerahkan nyawa juga. Salah seorang dari algojo Hiat-ticu itu segera bertindak sebagai pemimpin, memberi komando kepada teman-temannya, "Berpencar empat arah! Jangan biarkan dia mendekati kita dalam jarak kurang dari tigapuluh langkah!"
Empat algojo terlatih itu segera berlompatan tangkas, detik berikutnya, empat kantong maut itu sudah gemerincing beterbangan di udara. Menghadapi Pak Kiong Liong yang terkenal itu, mereka tidak langsung menyerang kepala, melainkan keempat Hiat-ti-cu itu lebih dulu diputar-putarkan di udara untuk membingungkan Pak Kiong Liong. Begitu teori yang pernah diajarkan Biau Beng Lama kalau menghadapi lawan tangguh.
Tapi Pak-kiong Liong pun tidak ingin jadi sasaran diam. Bagaikan seekor naga terbang, ia melompat menerkam seorang lawan yang paling dekat. Ketika tubuhnya tengah melambung di udara, sebuah Hiat-ti-cu secepat kilat menyambar kepalanya. Dengan telapak tangannya, Pak Kiong Liong menggunakan Pek-gong-ciang (Telapak Tangan Udara Kosong) untuk memukul senjata maut itu. Angin pukulannya membuat senjata itu tergoncang oleng seperti layang layang putus benang pengimbangnya.
Sementara tubuhnya sudah meluncur ke dekat lawan pertamanya tadi, ujung telunjuk dan jari tengahnya pun menotok ke urat Ki-keng-hiat lawan. la tidak ingin membunuh, hanya ingin menangkap mereka hidup-hidup untuk ditanyai dan mendapat kepastian siapa yang menyuruh mereka. Kepastian, bukan hanya dugaan, sebab kalau hanya dugaan saja ia sudah punya.
Orang yang diserang jarak dekat itu tidak dapat lagi memakai Hiat-ti-cu nya. Rantai Hiat-ti-cu dilepas, sehingga senjata itu jatuh ke tanah. Kemudian sambil berguling menghindari Pak Kiong Liong, ia cabut sepasang belati dari pinggangnya untuk dilontarkan ke dada Pak Kiong Liong dengan lemparan cepat dan mantap, menandakan diapun bukan jagoan kelas kambing.
Namun dengan enak Pak Kiong Liong mengangkat tangannya, dan belati belati itu sudah terjepit di antara jari-jari tangannya. Orang itu kemudian melenting bangun dengan tangkas sambil menyingkap bajunya, maka tampaklah di ikat pinggangnya itu terselip belasan buah pisau belati keciI berderet-deret, sejenis dengan yang telah dilontarkan tadi. Agaknya ia seorang ahli lempar pisau.
Sedangkan Pak Kiong Liong Iangsung mengenali orang itu. "Kong Sun Hong dari Siam-si?"'
Sebagai jawabannya, dua pisau meluncur ke leher dan dada Pak Kiong Liong sekaligus. Namun lagi-lagi Pak Kiong Liong berhasil menangkap pisau-pisau itu dengan jari-jarinya. Tak terlihat bagaimana caranya. Ketika itulah sebuah Hiat-ti-cu gemerincing menyambar kepala Pak Kiong Liong dari belakang, sehingga ia harus melompat menyamping sambil menunduk.
Kemudian terjadilah sesuatu yang mengerikan. Hiat-ti-cu yang luput menyambar kepala Pak Kiong Liong itu meluncur terus, sulit untuk ditarik secara mendadak, ke arah si pelempar belati yang hanya tiga langkah di depan Pak Kiong Liong. Si pelempar pisau hanya berdiri kaget dengan mata terbelalak ngeri, dan cuma sepatah kata terlontar dari mulutnya, "Tarik!"
Si penyerang dari belakang tak mengira serangannya akan mengancam teman sendiri. la berusaha menarik rantai Hiat-ti-cunya sampai lengannya tertekuk ke belakang, namun tindakannya itu tidak menolong. Supaya dapat tertarik seketika, rantai harus menegang lebih dulu, padahal saat itu sedang dalam keadaan melengkung karena ia menyerangkan senjatanya secara mendatar.
Maka tahu-tahu kepala rekannya sudah masuk dalam kantong kulitnya, ketika tangannya berhasil, maka kepala temannya pun, ikut terbawa. Tubuh tanpa kepala itu masih sempat melangkah sempoyongan kian kemari sambil menggapai-gapaikan tangannya, sebelum roboh tak berkutik lagi.
Meski Pak Kiong Liong pernah bergulat di pertempuran-pertempuran besar dimana kebuasan terhadap sesama manusia dianggap "syah demi cita-cita luhur", namun ngeri juga melihat kejamnya senjata aneh itu. Kemudian timbul kemarahannya karena sadar bahwa kepala nyalah yang sebenarnya diincar oleh Hi at-ti-cu itu.
"Keji sekali! Orang-orang macam kalian lebih baik cepat-cepat jadi penghuni neraka, daripada berkeliaran di bumi dan menyebarkan malapetaka kepada semua!" geramnya marah.
Sambil membalikkan tubuh, empat pisau yang terjepit di jari-jarinya meluncur dan amblas semua di dada si algojo Hiat-ti-cu yang yang baru saja keliru membunuh teman sendiri itu. Dan sekarang ia diberi jalan untuk menemui sang kawan dan meminta maaf atas kekeliruannya.
Masih ada dua orang algojo Hiat-ti-cu lagi. Namun mereka cuma berdiri dengan lutut gemetar, si kantong pemetik kepala tidak mereka layangkan di udara, tapi cuma dipegangi saja. Biasanya mereka mentertawakan calon korban mereka yang ketakutan dan mereka permainkan dengan senjata mereka, seperti korban-korban mereka di arena latihan siang tadi.
Kini mereka mengalami sendiri betapa mengerikan maut itu. Pak-Kiong Liong menatap tajam kedua orang itu, katanya dingin, "Kenapa diam? Hayo, lemparkan kantong-kantong rongsokan itu ke kepalaku, supaya kalian mendapat hadiah besar dari orang yang menyuruh kalian. Begitukah?"
Salah satu dari algojo Hiat-ti-cu itu tiba-tiba berteriak kalap dan melemparkan senjatanya ke kepala Pak Kiong Liong. Dari pada kembali dan sudah pasti mati di tangan In Ceng, karena ia tak mungkin lari kemanapun selama sanak keluarganya masih di sandera, lebih baik melawan Pak Kiong Liong habis-habisan.
Hiat-ti-cu itu menderu menyambar kepala Pak Kiong Liong dan Pak Kiong Liong menyongsongnya ke atas dengan lompatan Ui- ho-ciong-thian (Bangau Ku-ning Menembus Lang it), seolah hendak bunuh diri dengan memasukkan kepalanya sendiri ke kantong maut itu. Dengan gerakan kilat Pak- Kiong Li ong menangkap rantai dekat ujung kantong dengan tangan kirlnya, sedang tangan kanannya mencengkeram dan meremas kantong maut itu dari samping.
Maka berpatahanlah kerangka baja di bagian dalam kantong, pisau-pisau yang bagaikan gigi ikan hiu itupun rontok berpatahan, tak sanggup menahan cengkeraman penuh kemarahan itu. Senjata kebanggaan kaum Ang-in-kau itu benar-benar berubah menjadi rongsokan tak berharga.
Dengan tangan kiri, Pak-Kiong Liong menyentakkan rantai pengendali Hiat-ti-cu itu sehingga pemegangnya diujung lain tertarik maju. Namun orang itu dengan nekad menyabetkan ujung lain rantainya ke muka Pak Kiong Liong sambil berseru kepada temannya, “Lekas serang!"
Pak Kiong Liong memiringkan kepala dengan dibarengi menarik rantai itu lebih kuat lagi. Si algojo Hiat-ti-cu tidak sanggup menandingi kekuatan Si Jenderal tua yang dahsyat itu. Kakinya sampai terangkat dari tanah dan tubuhnya terhempas ke dinding halaman belakang itu, kepalanya keras membentur tembok sehingga retak dan mampus seketika.
Tinggal seorang algojo Hiat-ti-cu yang sudah kehilangan semangat perlawanan sama sekali. Ketika Pak-kiong Li ong mendekatinya dengan mata menyala, sepasang lutut orang itupun mendadak lemas dan berlututlah ia sambil mera-tap tanpa malu malu lagi. "Ampunkan aku. Pak Kiong Goan-swe... aku hanya... hanya disuruh.... oleh.... oleh.... ah!"
Orang itu belum sempat menyebut siapa yang menyuruhnya, tiba-tiba sudah menjerit dan roboh tertelungkup. Sebatang pisau melayang dari kegelapan malam dan menembus punggungnya. Rupanya pihak musuh tidak segan membunuh orangnya sendiri untuk menutup rahasia komplotan mereka.
Cepat Pak-Kiong Liong melompat ke dinding halaman belakang untuk melihat siapa pelempar pisau itu. Sekilas ia masih melihat seorang bertubuh tegap dan berpakaian serba hitam tengah berlompatan lincah di atap rumah di seberang lorong. Tanpa pikir panjang, Pak Kiong Liong melesat memburu orang itu.
Begitulah keduanya berkejaran di atas deretan atap rumah penduduk Pak-khia yang tinggi-rendahnya tidak sama itu. Begitu cepatnya gerakannya, sehingga seperti dua ekor burung saja. Kadang-kadang mereka melakukan lompatan-lompatan panjang, lompatan tinggi melengkung di udara, putaran tubuh yang akrobatis atau belokan-belokan mendadak yang mustahil dilakukan orang orang berilmu rendah.
Pak Kiong Liong memiringkan kepala dengan dibarengi menarik rantai itu lebih kuat lagi. Si Algojo Hiat-ti-Cu tidak sanggup menandingi kekuatan si Jendral tua. Gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang itu memang hebat, tetapi gin-kang Pak Kiong Liong ternyata masih unggul dua tiga tingkat. Itulah sebabnya jarak antara yang dikejar dan pengejar semakin pendek, sesaat lagi pasti akan tersusul.
Setelah semakin dekat dengan buruannya itu, dibawah bulan sepotong yang remang-remang, Pak-Kiong Liong dapat melihat bahwa orang itu bertubuh tegap, berpakaian ya-heng-ih (Pakaian malam yang serba hitam), separuh wajahnya tertutup kedok kain hitam, namun kepalanya tidak tertutup sehingga nampak kepalanya yang gundul kelimis. Pak-Kiong Liong menghimpun semangatnya, kemudian melesat ke depan dengan gerakan Kau-yan-coan-lim (Burung Walet Menembus Rimba) sehingga jarak dengan buruannya berhasil diperpendek separuhnya lebih. Cengkeramannya sudah siap mencengkeram tengkuk si gundul itu.
Si gundul sadar akan bahaya, ia tidak mau tertangkap. Diambilnya sesuatu dari pinggangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuh sambil menyebarkan sejumlah besar piau (senjata rahasia) berbentuk bintang berujung empat. Dalam ajaran silat, serangan itu dikenal dengan Thian-Li-san-hoa (Bidadari Menyebar Bunga) yang mengarah seluruh tubuh lawan. Serangan begitu hebat, dilancarkan demikian mendadak dari jarak amat dekat, tentunya Pak Kiong Liong akan terancam terluka.
Tapi Pak Kiong Liong sudah siap sejak melihat si gundul meraba pinggangnya tadi. Cepat Pak Kiong Liong menghentikan langkah dan menekuk bagian atas tubuhnya ke belakang dalam gerak penyelamatan Tiat-pan-kio (Jembatan Besi). Hanya bertumpu satu kakinya yang kokoh seakan berakar di atas atap rumah yang diinjaknya, sementara kaki lainnya diluruskan ke depan untuk keseimbangan, tubuhnya lurus ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh atap tempatnya berdiri.
Begitulah Jenderal tua itu menunjukkan kehebatannya. Dari berlari keras ke depan, dalam waktu kurang dari sedetik ia bisa berhenti dan membuat gerakan Tiat-pan-kio yang sempurna. Namun hampir saja ia terlambat menghindar hamburan senjata rahasia si gundul, beberapa pisau melayang deras dalam jarak kurang dari sejengkal di atas tubuhnya. Tapi tidak satupun yang mengenainya, semua piau jatuh berkelotakan di atas genteng....
Selanjutnya,