Kemelut Tahta Naga I Jilid 04
Karya Stevanus S P
LUNTURLAH semangat si gundul melihat kehebatan Pak Kiong Liong. Menggunakan peluang selagi Pak Kiong Liong repot mengelak hamburan piaunya, si gundul meluncur turun dari genteng dan menghilang di lorong berliku-liku, tempat berjejal-jejalnya rumah orang-orang miskin. Dari posisi Tiat-pan-kio, Pak Kiong Liong langsung melesat ke depan bagaikan anak panah lepas dari busurnya, namun buruannya sudah menghilang, Terpaksa Pak-Kiong Liong kembali ke gedung kediamannya.
Malam itu juga Pak Kiong Liong membangunkan suami isteri setengah tua yang bekerja padanya, untuk membereskan empat orang mayat yang bergelimpangan di halaman belakang rumahnya itu. Sebelum mayat-mayat disingkirkan, lebih dulu Pak Kiong Liong menggeledah nya untuk mencari bukti siapa yang menyuruh orang-orang itu. Ternyata tidak diketemukan bukti apapun. Mayat-mayat lalu dibawa ke perabuan mayat yang terdekat dengan tempat itu, untuk diurus oleh pengurus rumah pembakaran mayat.
Meskipun Pak Kiong Liong punya dugaan kuat bahwa Pangeran In Ceng adalah dalang dari usaha pembunuhan itu, tapi Pak Kiong Liong tak berani menuduhnya secara terbuka tanpa disertai bukti-bukti yang meyakinkan semua orang. In Ceng dengan gampang tentu akan mengingkari, dan Pak Kiong Liong akan malu sendiri kalau tuduhannya hanya "menubruk angin”.
Akhirnya Pak Kiong Liong memutuskan untuk tutup mulut lebih dulu daripada menimbulkan ke tegangan di ibukota seperti beberapa harl yang lalu. Bahkan kepada suami isteri pembantunya itupun Pak Kiong Liong berpesan sungguh-sungguh agar tidak menceritakan peristiwa itu kepada lain orang.
Keesokan harinya, ketika Pak Kiong Liong bertemu In Ceng dalam Sidang Kerajaan, maka keduanya bercakap-cakap dengan ramah sambil tersenyum-senyum segala. seolah tidak terja di apa-apa. Meskipun sebenarnya In Ceng heran juga dalam hati, Pamannya ini kok masih berkepala?
Ketika kemudian In Ceng diam-diam menerima laporan Biau Beng Lama tentang kegagalan empat algojonya, In Ceng kecewa sekali, Namun diapun lega mendenqar bahwa tidak ada yang berhasil ditangkap hidup oleh Pak Kiong Liong, karena Biau Beng Lama telah membereskan anggota Hiat-ti-cu yang hampir saja buka rahasia kepada Pak Kiong Liong itu.
Beberapa hari In Ceng disiksa kegelisahannya. Bayangan dari pasukan-pasukan Pangeran In Te yang tengah bergerak mendekati Pak-khia semakin menghantuinya, sementara di Pak-khia sendiri ia belum memiliki peluang yang meyakinkan untuk memenangkan perebutan tahta. Pangeran itu juga tidak berani bertindak gegabah, khawatir kalau membuat Pak Kiong Liong habis kesabarannya dan bersikap keras terhadapnya, sehingga keadaan pihaknya bisa tambah runyam.
Di saat kegelisahan hampir membuat otaknya miring, datanglah Ni Keng Giau dari Siong-san, bersama beberapa pendekar sakti bekas teman-teman In Ceng ketika mengembara di selatan dulu. Pendekar-pendekar yang berkeyakinan bahwa In Ceng adalah seorang sahabat yang tulus dan luhur budinya, sehingga pantas kalau sekuat tenaga didukung naik tahta.
Apalagi In Ceng sendiri pernah mengobral janji, katanya kalau naik tahta akan menghapus peraturan yang mewajibkan orang Han menguncir rambutnya, Bangsa Han dan Manchu bersaudara, kesejahteraan rakyat ditingkatkan, pendidikan dimajukan dan setumpuk omongan indah lainnya. Kemudian dihadapan teman-temannya dari selatan itu, In Ceng memperlihatkan muka muram sambil menarik napas dengan sedihnya. Katanya,
“Sayang sekali, bahwa cita-citaku itu tidak sejalan dengan cita-cita Ayahanda Kaisar dan sebagian besar tokoh istana, yang tetap berpendapat bahwa orang Manchu tetap harus setingkat lebih tinggi dari orang golongan lain, yang cocok dengan pikiran Ayahanda Kaisar ini adalah Adinda In Te, sehingga aku yakin dialah yang namanya tertulis dalam Surat Wasiat Ayahanda, sehingga cita-citaku dan juga cita-cita saudara-saudara itu agaknya akan membentur rintangan keras. Persaudaraan sederajat antara Han dan Manchu yang kita dambakan bersama, agaknya masih terletak di awang-awang dan entah kapan menjadi kenya taan.”
Teman-teman In Ceng yang semuanya berdarah Han itupun bergolak darahnya ketika mendengar ucapan itu. Bertahun-tahun mereka memperjuangkan agar orang Han dibebaskan dari kehinaan, bahkan sebagian dari para pendekar terlibat gerakan bawah tanah yang mnenentang Pemerintah Manchu dengan senjata.
Kini mendengar ucapan In Ceng, merekapun bergoiak dadanya, Naiknya In Ceng ke rahta mereka anggap sebagai kesempatan bagi orang Han untuk memulihkan martabat tanpa melalui kerasnya perang, akankah kesempatan itu mereka biarkan berlalu karena "keserakahan In Te" seperti kata In Ceng tadi?
Sedangkan In Ceng terus menghasut para pendekar itu, "Saudara-saudara, tahukah apa yang akan terjadi kalau Adinda In Te kelak berhasil menjadi kaisar? Sudah mendengar bagaimana ia menumpas Bangsa Hui di Jing-hai? Kampung-kampung Hui dihancurkannya dengan meriam-meriam dan pasukan berkuda nya, penduduknya dibantai, tak terkecuali perempuan dan anak-anak, nah, bagaimana kalau orang macam ini sampai menjadi Kaisar? Entah bagaimana nanti nasib Bangsa-Bangsa Han, Tibet, Hui, Mongol, Biao, Pek, Ih, Korea dan lain-lainnya? Tentu mereka akan ditindas ha bis-habisan di bawah perintahnya."
Seorang pendekar dari Kang-lam yang bernama Kam Hong Ti, tak terasa telah meremas cawan araknya sehingga hancur menjadi bubuk. Geramnya, "Jadi sekarang, apa yang bisa kami perbuat untuk membantu Pangeran?"
In Ceng bersorak dalam hati, tetapi wajahnya harus pura-pura tetap muram. la tahu pendekar-pendekar dari selatan ini punya watak yang jauh lebih bisa dipercaya daripada jagoan-jagoan upahannya seperti Biau Beng Lama, Kim Seng Pa atau To Jiat Hong. Orang-orang itu mengabdi kepadanya dengan pamrih pribadi, kalau terjepit, mereka bisa berubah dari penjilat-penjilat pantat menjadi pengkhianat-pengkhianat yang menikam dari belakang.
Sedangkan para pendekar dari selatan itu hanya berpamrih demi pulihnya martabat Bangsa Han dan untuk itu mereka siap mengorbankan nyawa. Merekalah orang-orang yang bisa disuruh mencuri Surat Wasiat yang terjaga Pasukan Han-Lim-kun, pasukan yang hanya tunduk kepada perintah Kaisar itu. Orang macam Kam Hong Ti dan teman-temannya, kalau sudah bilang sanggup, akan benar-benar disanggupi sampai titik darah penghabisan. Kalau sudah bilang tutup rahasia, tidak akan ada alat siksaan macam apapun yang bisa me-maksa mereka buka mulut.
Demikianlah, dalam ruang tertutup yang hanya berisi In Ceng sendiri, Ni Keng Giau, Kam Hong Ti dan lima pendekar lainnya, In Ceng berhasil meyakinkan para pendekar bahwa pencurian dan kalau perlu pemalsuan atas Surat Wasiat itu hanyalah satu-satunya jalan untuk "martabat Bangsa Han agar sederajat dengan Bangsa Manchu”.
Dan perundingan yang disertai alis-alis berkerut, tinju-tinju terkepal dan mata-mata yang membara itu akhirnya membuahkan keputusan yang amat menggirangkan In Ceng. Lima pendekar berilmu tinggi, dipimpin Kam Hong Ti, akan masuk ke ruang penyimpanan Surat Wasiat itu nanti malam. Selain Kam Hong Ti adalah Pek Thai Koan, si dewi pedang Lu Se Nio, si jagoan ruyung Ma Sun Hian dan si jagoan meringankan tubuh Yang Pek Hong yang dijuluki Hun-tiong-ho (Bangau di Tengah Mega). Itulah sebuah regu mini yang ketangguhannya luar biasa.
Pak Kiong Liong adalah seorang jenderal tua yang kenyang pengalaman, ahli pemerintahan yang cerdik, berpuluh-puluh buku tentang kemiliteran dan pemerintahan sudah dibaca, dipahami, bahkan diberinya catatan-catatan kritik di pinggir-pinggir halamannya. Tetapi ia juga manusia biasa, seorang ayah dan seorang kakek yang rindu kepada puterinya dan cucu-cucunya. Dalam buku-buku kemiliteran dan pemerintahan yang dibacanya, tidak ada tercantum siasat membunuh kerinduan manusiawi itu.
Beberapa hari Pak Kiong Liong merasakan keadaan di Pak-khia mulai normal, tidak ada ketegangan lagi, baik In Ceng maupun pangeran-pangeran lainnya tidak nampak membuat ulah, tokoh-tokoh yang setia kepada Kaisar Khong Hi juga masih nampak berpengaruh, maka Pak-Kiong Liong tiba-tiba merasakan itulah saatnya untuk sejenak menyegarkan diri di Tiau-im-hong bersama anak-anaknya dan cucu-cucunya, menjumpai sahabat sekaligus besannya, Ketua Hwe-Liong-pang Tong Lam Hou.
Tetapi sebelum pergi, Pak Kiong Liong menitipkan banyak nasehat kepada wakilnya, Tong Siau Beng, bagaimana mengambil sikap dalam keadaan-keadaan tertentu. Selain itu, ia berpesan kalau Tong Siau Beng hendak bertindak haruslah berunding dulu dengan Bok Eng Siang, Panglima Hui-hou-kun, yang sama-sama pendukung Pangeran In Te.
Setelah memperoleh ijin Kaisar sendiri, dan hatinya mantap bahwa di Pak-khia takkan terjadi apa-apa selama ia pergi, Pak Kiong Liong pun meninggalkan Pak-khia dengan menunggang seekor kuda, tanpa pengawaI seorangpun, kecuali pedangnya yang tergantung di pelana kuda tanpa memberi kesan menyolok. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian penduduk biasa.
"Si bocah bengal In Ceng itu tak berani berbuat apa-apa dalam keseimbangan yang menguntungkan Pangeran In Te seperti ini. la akan sadar bahwa merebut tahta tidak segarnpang meraih bakpao di atas meja...." demikian pikir Pak Kiong Liong.
Apa yang tidak diketahui Pak Kiong Liong ialah isi Surat Wasiat yang sudah dirubah oleh teman-teman pangeran In Ceng, sehingga Surat Wasiat itu berubah menjadi "senjata pamungkas" ditangan In Ceng sekarang. Dan ketika mendengar kabar bahwa Pak Kiong Liong sudah setengah perjalanan menuju Tiau-im-hong, diperhitungkan tidak mampu kembali ke Pak-khia dalam waktu singkat.
Maka In Ceng pun bertindak merebut tahta. Tanpa perlu menunggu kembalinya Pangeran In Te dan pasukannya sampai ke Pak-khia kembali. Justru pengambil-alihan tahta itu dapat untuk memperkuat pihaknya, sehingga kelak dapat mengimbangi pasukan adiknya.
Karena Itulah, ketika dua bulan kemudian Pak Kiong Liong Lerqesa-gesa kembali ke Pak-khia, ia dikejulkan oleh berita bahwa Kaisar yang baru sudah naik tahta, menggantikan Kaisar Khong HI yang tanpa menimbulkan kecurigaan besar telah diumumkan wafat karena sakitnya", alasan yang agak tepat dan mudah dipercaya.
Sebab kesehatan Kaisar Khong Hi memang merosot terus dalam beberapa tahun terakhir setelah ia memerintah selama enam puluh tahun leblh. Yang membuat Pak Kiong Liong kaget ialah ketika mendengar bahwa pengganti Kaisar Khong Hi ialah Pangeran In Ceng, yang kemudian bergelar Kaisar Yong Ceng.
Bagi Pak Kiong Liong yang yakin benar bahwa pilihan dalam Surat Wasiat adalah Pangeran In Te, berita naik tahtanya In Ceng itu lebih susah dipercayai daripada kalau mendengar kabar bahwa matahari muncul dari barat.
Begitu Pak Kiong Liong tiba di Pak-khia, ia tidak langsung pulang ke gedung kediamannya, melainkan ke gedung kediaman Bok Eng Siang, Panglima Pasukan Macan Terbang. Tubuh dan pakaiannya masih berbau keringat dan berlapis debu, ketika ia melangkah lebar memasuki gedung kediaman Bok Eng Siang.
Begitu berhadapan muka dengan Bok Eng Siang, Pak Kiong Liong lupa saling memberi salam atau berbasa-basi, langsung saja berkata dengan nada tinggi, "Bagaimana ini bisa terjadi? Sulit dipercaya!"
Dengan muka yang muram Bok Eng Siang berkata, "Duduk dan nikmati secangkir teh dulu, Goan-swe, agar hatimu menjadi agak tenang. Bukan Goan-swe saja, akupun rasanya sulit mempercayai dan menerima keadaan ini, Tapi baiklah aku terangkan jalannya peristiwa."
Meskipun darahnya sedang panas, Pak Kiong Liong sudah cukup tua umurnya untuk mengamuk seperti orang-orang muda. la duduk dan langsung menghirup teh tanpa menunggu dipersilakan oleh tuan rumahnya. Hati dan otaknya benar-benar sedang kacau.
Kemudian Bok Eng Siang berkata pelan- pelan, "Goan-swe, kira-kira sebulan setelah Goan-swe tinggalkan Pak-khia menuju Tiau-im-hong, Hong-siang tiba-tiba saja diumumkan wafat karena penyakitnya..."
Cangkir teh di tangan Pak Kiong Liong gemetar, karena tangan yang memegangnyapun gemetar, beberapa tetes air teh menciprat membasahi lengan bajunya. Seumur hidupnya, belum pernah Bok Eng Siang melihat Pak Kiong Liong demi kian terguncang. Bahkan ketika menghadapi pertempuran dahsyat di pinggir Sungai Ussuri dalam menghadang pasukan pasukan Rusia yang berjumlah amat besarpun, Pak Kiong Liong masih kelihatan tenang. Namun kini Jenderal tua itu gemetar tangannya.
"Saudara Bok, siapa yang mengumumkan wafatnya Hong-siang, dan siapa yang menungui detik-detik terakhir di sampingnya?" suara Pak Kiong Liong sama gemetar dengan tangannya.
"Menurut pengumuman Tabib istana Yo Ce Kui di aula Yang-wan-kiong, di hadapan sekalian Menteri, Panglima dan Bangsawan, Hong-siang wafat karena penyakitnya tak tersembuhkan. Dan itu adalah pengumuman resmi, siapapun dilarang menafsirkan lain daripada yang di umumkan itu, dengan ancaman hukuman penggal kepala..."
Pak Kiong Liong mengangkat cawannya untuk minum tehnya seteguk, "Dan siapa orang-orang disamping Hong-siang ketika beliau wafat?"
"Ipar Hong-siang Liong Ke Toh dan Pangeran In Ceng. Suatu kejanggalan bahwa permaisuri Tek Huai sendiri malah tidak ada di samping Baginda menjelang akhir hidupnya. Permaisuri baru diberitahu sejam kemudian oleh Bangsawan Liong."
Cawan teh di tangan Pak Kiong Liong gemeretak remuk oleh cengkeraman si panglima tua, pecahannya melukai kulit telapak tangan, sehingga darah menetes ke lantai bercampur air teh. Kemudian juga air mata. Pak Kiong Liong yang seumur hidupnya lebih pelit dengan air matanya melebihi segumpal darahnya, kini menangis sehingga pipinya dan kumisnya yang putih itupun dibasahi air mata.
Perlahan-lahan ia berlutut menghadap ke arah istana, dahinya menempel lantai dengan khidmat, dan suaranya terbata-bata, "Karena keserakahan hamba menggunakan waktu untuk kepentingan pribadi, maka Tuanku telah mengalami bencana. Sebenarnya hamba patut mati dicincang karena dosa besar ini, tapi biarlah hamba menebalkan muka untuk tetap hidup dan menyelidiki pengkhianat yang mencelakai Tuanku, juga untuk mengemban amanat Tuanku atas diri Pangeran In Te. Hamba mohon badan halus Tuanku membantu hamba melaksanakan cita-cita hamba ini...."
Bok Eng Siang yang berlutut pula di belakang Pak Kiong Liong itupun agak tergetar hatinya mendengar ucapan yang mirip sumpah prasetya itu. Kata-kata itu mengandung keyakinan Pak Ki-ong Liong bahwa In Ceng naik tahta dengan cara yang tidak beres. Diam-diam Bok Eng Siang bertekad pula, apabila Pak Kiong Liong menggerakkan Hui-liong-kun maka dirinyapun akan menggerakkan Hui-hou-kun untuk menyokongnya. Tidak peduli hampir seluruh pasukan di Pak-khia sudah mengumumkan sumpah setia sejak In Ceng menjadi Kaisar Yong Ceng.
Namun Bok Eng Siang sendiri belum menyatakan sumpah setia kepada Kaisar Yong Ceng, ia masih mengulur waktu dengan alasan sumpah setia itu akan diucapkannya kelak dihadapan pelantikan resmi Kaisar Yong Ceng, setelah lewatnya masa berkabung. Sementara itu Bok Eng Siang mengharap-harap agar Pangeran In Te dan pasukan-pasukannya cepat cepat tiba di Pak-khia.
Setelah mengucapkan kata-kata yang meluapkan perasaan itu, Pak Liong Liong menjadi agak tenang. Akal sehatnya masih menuntun dirinya, bahwa menggulingkan Kaisar Yong Ceng secara kekerasan akan menimbulkan perang saudara yang sekuat tenaga harus dihindarkannya. Tapi diapun bertekad bahwa kematian Kaisar Khong Hi harus diusut sampai sejelas-jelasnya. Tak akan dibiarkannya orang-orang yang mengambil tahta dengan cara yang curang.
Setelah duduk kembali di kursinya, begitu pula Bok Eng Siang, Pak Kiong Liong bertanya, “Setelah Baginda wafat, bagaimana dengan pembacaan Surat Wasiat itu? Apakah hal itu dilewatkan saja sehingga Pangeran In Ceng dapat naik tahta?"
Bok Eng Siang menarik napas beberapa kali dan menjawab, "Inilah bagian paling gila, paling tidak masuk akal, dari rentetan peristiwa yang mengantarkan Pangeran In Ceng sampai ke tahta. Ya, Goan-swe, inilah bagian paling gila dan paling tidak bisa dinalar. Pembacaan Surat Wasiat itu...."
“Cepat jelaskan..."
"Di hadapan puluhan Menteri, Panglima, Pangeran dan bangsawan lainnya, Surat Wasiat diturunkan dari tempatnya, diperiksa segelnya, dibuka dan kemudian dibacakan. Hampir tidak bisa kupercayai kupingku ketika Liong Ke Toh membacakan: Tahta diwariskan kepada Pangeran ke empat!"
"Jadi... yang membacakan adalah Liong Ke Toh?"
"Benar!"
"Gila! Tidak mungkinkah manusia itu bermain gila?! Semua orang tahu bahwa dia sangat mendukung Pangeran In Ceng!"
Bok Eng Siang lagi-lagi menarik napas. "Begitu pula rasa tidak percaya bergalau di aula Yang-wan-kiong itu. Tetapi Liong Ke Toh mempersilakan semua orang melihat sendiri tulisan Sri baginda di atas lembaran sutera kuning bercap Kekaisaran dan bertandatangan Sribaginda sendiri, tak mungkin palsu. Saat itu akupun ikut mendesak maju untuk membacanya sendiri, dan isi surat memang tepat seperti yang diucapkan Li ong Ke Toh. Saat itu akupun hampir gila rasanya."
"Terus bagaimana?"
"Beberapa orang yang tadinya ragu-ragu, langsung saja menyatakan mendukung Kaisar baru demi memenuhi amanat Kaisar lama. Pangeran In Gi dan In Tong yang terang-terangan mengatakan tidak mempercayai keaslian Surat Wasiat itu, segera ditangkap oleh pengawal-pengawal Pangeran In Ceng. Dan sekarang entah bagaimana nasib kedua Pangeran itu....?"
Wajah Pak Kiong Liong semakin gelap. Biarpun In Gi dan In Tong tidak akrab dengannya, tapi sering juga kedua Pangeran itu datang ke rumahnya untuk berbincang-bincang dalam banyak hal, terutama In Gi yang tinggi besar dan gemar ilmu silat. Kini entah bagaimana nasibnya?
Pak Kiong Liong berkata kemudian, "Sangat mustahil kalau Surat Wasiat itu menunjuk Pangeran In Ceng. Aku masih ingat ketika pada suatu hari aku berbicara berdua saja dengan Hong-siang, tentang keenam belas orang putera Hong-siang itu. Biarpun saat itu ia belum menyatakan terang-terangan Pangeran In Te sebagai ahli warisnya, namun Hong-siang saat itu nampak puas dan memuji-muji Pangeran In Te yang masih muda namun berbakat bagus menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana. Di anugerahinya putera ke empatbelas itu sehelai jubah naga kuning dan diangkat menjadi Panglima Tertinggi Kekaisaran. Tidakkah itu pertanda bahwa Hong-siang mempersiapkannya menjadi penggantinya. Bagaimana bisa Surat Wasiat itu tiba-tiba menunjuk Pangeran In Ceng yang paling tldak disenangi oleh Hong-siang itu? Surat Wasiat itu pasti tidak beres!"
Melulu kalimat "surat Wasiat tidak beres" itu saja sudah membutuhkan nyali yang amat besar untuk mengucapkannya terang-terangan. Sesaat ruangan itu dicekam kesunyian, dua Panglima pendukung Pangeran In Te itu berpikir keras mencoba memecahkan soal aneh yang mendadak mengubah jalannya sejarah kekaisaran Manchu dari rel yang semula ditetapkan itu.
"Siapa Tabib Istana yang mengumumkan wafatnya Sribaginda?" tanya Pak Kiong Liong memecah kesenyapan.
"Yo Ce Kui!"
"Oh, yang rumahnya dekat persimpangan kuil Goat-sian-li itu?"
"Benar."
Pak Kiong Liong bangkit meninggalkan kursinya dan berkata tegas, "Sekarang juga aku harus bicara dengan Yo Ce Kui...!”
Dengan menunggangi kudanya, tak lama kemudian Pak Kiong Liong sudah tiba di depan rumah Yo Ce Kui, tabib istana yang juga sering dipanggil Yo Si she itu. Sebagai seorang tabib istana yang berpenghasilan tinggi, rumah tabib itu besar dan mentereng. Namun ketika Pak Kiong Liong tiba di situ, keadaannya sangat sunyi. Pintu depan tetap tertutup rapat, meskipun Pak Kiong Liong sudah lama mengetuknya, bahkan menggedornya. Beberapa orang yang lewat di depan rumah itu menengok dan dengan heran melihat kelakuan Pak Kiong Liong, tapi kemudian lewat terus tanpa menggubris.
Pak Kiong Liong tak sabar lagi. Dengan mengerahkan sebagian tenaganya, ia mendorong pintu secara paksa sehingga palang pintu yang cukup kuat di bagian dalam itupun berderak patah. la melangkah masuk. Di bagian halaman rumah tabib yang luas itu penuh ratusan jenis tanaman obat yang menunjukkan bahwa beberapa hari yang lalu tanaman itu masih terawat rapi, tapi saat ini rumput liar sudah panjang-panjang tumbuh di sela-selanya.
Tiba-tiba saja Pak Kiong Liong merasakan suatu perasaan kurang enak menyusupi hatinya. Pak Kiong Liong tahu, meskipun Yo Sinshe berusia hampir setengah abad, namun tetap membujang. la hanya tinggal di rumah itu ditemani seorang pembantu. Namun kali ini Pak Kiong Liong tidak melihat seorangpun. la melangkah melewati deretan tanam-tanaman obat itu menuju ke rumah yang juga tertutup pintunya.
Begitu Pak Kiong Liong mendorong pintu, bau busuk segera menerjang hidungnya. Sinshe Yo Ce Kui yang gemuk itu tergantung di belandar rumahnya dengan seutas tali menjerat lehernya, sebuah bangku tergelimpang dekat kakinya. Tubuhnya sudah dikerumuni ribuan lalat dan semut, agaknya sudah mati beberapa hari dan tak ada tetangga yang mengetahuinya.
Pada dinding rumahnya tertulis kata-kata, "Hamba berdosa besar kepada Sribaginda dan patut mampus."
Pak Kiong Liong menutup hidungnya dan menahan rasa mualnya, lalu berjalan berkeliling memeriksa rumah itu. Tetapi tak ada yang menarik perhatiannya kecuaii kenyataan bahwa Yo Sin-she menggantung diri dengan meninggalkan coretan di dinding itu. Itupun cukup menimbulkan kecurigaan Pak Kiong Liong bahwa wafatnya Kaisar Khong Hi agak tidak beres. Mungkinkah Kaisar Tua itu dihabisi oleh putera dan iparnya sendiri? Darahnya kembali bergolak kalau memikirkan kemungkinan itu.
Pak Kiong Liong segera meninggalkan rumah itu. Namun sebelum pergi ia sempat memberitahu beberapa tetangga Tabib Yo agar merawat selayaknya tubuh tabib itu. Para tetangga menjawabnya dengan ogah-ogahan, rupanya karena Yo Ce Kui tergolong seorang yang sombong di lingkungan tetangganya.
Kemudian Pak Kiong Liong menuju ke rumah Panglima Han-Lim-kun, pasukan yang mengawal ruang penyimpanan Surat Wasiat Kaisar Khong Hi itu. Di sinipun Pak Kiong Liong tidak berhasil mendapat keterangan yang memuaskan. Panglima itu dengan sangat meyakinkan berani sumpah disambar geledek bahwa dia tidak disuap pihak manapun untuk memberi kesempatan mendekati Surat Wasiat itu.
Bahkan juga menjaganya dengan ketat siang dan malam, sampai surat itu dibuka dan dibacakan setelah wafatnya Kaisar Khong Hi. Panglima Han-Lim-kun itu tahu Pak Kiong Liong menyelidiki hal itu karena penasaran Pangeran In Ceng yang naik tahta, bukan Pangeran In Te yang “dijagokan” Pak Kiong Liong dan sebagian tokoh-tokoh pemerintahan.
Ketika Pak,Kiong Liong hendak berpamitan pulang, Panglima Han-Lim-kun itu malahan menghibur Pak Kiong Liong seperti menghibur seorang anak-anak yang kehilangan layang-layang kesayangannya. “Barangkali memang Pangeran Ke empatlah yang dikehendaki Sian-ho kaisar terdahulu untuk menggantikannya. Sikap Sian-ho selama ini agaknya cuma tabir menutupi maksud yang sebenarnya, mungkin untuk mengalihkan perhatian orang. Memang....."
Dan seterusnya. dalam ucapanya begitu banyak mengandung kata "barangkali" atau "agaknya" atau "mungkin" itu jelas amat kabur dan tak bisa dipegang kepastiannya.
Pak Kiong Liong hanya menyeringai kecut mendengar penjelasan yang bertele-tele itu. Katanya, "Kalau memang amanat Sribaginda menunjuk Pangeran Keempat, aku tidak akan rewel lagi. Tapi bagimana kalau dalam urusan pergantian tahta itu ternyata ada kecurangan?”
Wajah Panglima Han-Lim-kun itu berubah hebat mendengar itu. "Maksud Goan-swe, Kaisar yang sekarang ini..." lalu buru-buru mulutnya dibungkam sendiri, tidak berani meneruskan kalimatnya, khawatir kalau ucapannya sampai ke telinga Kaisar Yong Ceng maka dia akan mengalami nasib seperti Pangeran In Gi dan In Tong.
Sedang Pak Kiong Liong tidak ragu ragu menunjukkan sikapnya, meskipun untuk itu harus menentang arus. Katanya, "Aku memang curiga terjadi kecurangan disekitar Surat Wasiat itu. Kalau sampai orang curang itu aku ketahui, tak peduli apapun yang terjadi, aku akan menegakkan Hukum Kekaisaran atas dirinya. Kau sendiri bagaimana, saudara He? Masihkah kau setia kepada Sian-hong?"
"Budi Sian-hong sebesar gunung dan sedalam samudera, bagaimana aku tidak mengingatnya?" sengaja Panglima Han-Lim-kun itu menghindari kata "setia” dan cukup diganti dengan "mengingat".
"Bagaimana sikap saudara, kalau Surat Wasiat Sian-hong yang sama-sama kita junjung tinggi itu diseIewengkan oleh sebuah komplotan kotor demi ingin mengangkangi tahta!" Pak Kiong Liong mendesak.
Panglima Han-lim-kun itu merasa terjepit. Di satu pihak, ia kagum akan sikap tegar Pak Kiong Liong yang tidak tanggung-tanggung melawan arus. Di lain pihak, meskipun ia setia kepada Kaisar Khong Hi, tapi Kaisar itu sudah meninggal dan yang berkuasa saat itu ialah Kaisar Yong Ceng, la tidak ingin mempertaruhkan kedudukannya yang didapatnya dengan susah payah itu hanya karena mendengar "ocehan" Pak Kiong Liong, si Jenderal tua yang nampaknya sedang "kebingungan" itu.
Jawaban Panglima Han-Lim-kun itu akhirnya kacau, "Aku tidak tahu apa-apa, Goan-swe, aku cuma menjalankan perintah siapapun yang berkuasa dan tidak bisa lain pilihan. Aku... aku maaf, tidak berani ikut apa yang sedang Goan-swe selidiki...."
Pak Kiong Liong muak akan sikap itu, namun bisa juga memakluminya karena memang demikian watak sebagian besar manusia. Mereka hanya tahu bahwa Kaisar Yong Ceng sedang berkuasa dan menutup mata rapat-rapat terhadap bagaimana caranya ia mendapatkan kekuasaannya. Biar junjungannya busuk, supaya aman ya tutup mata saja, kalau perlu ikut-ikutan jadi busuk sekalian agar tidak terlempar dari kedudukan empuknya.
Sambil mengulum senyum getir, Pak Kiong Liong berkuda kembali ke gedung kediamannya. Di rumah Sin-she yo ia cuma disambut mayat setengah membusuk, dan di rumah Panglima Han-Lim-kun ia malah dibikin kenyang dengan sikap "ilalang mengikuti angin" dari si Panglima. "Panglima edan," kutuk Pak Kiong Liong di dalam hatinya. "Apa aku kelihatan begitu bingung dan putus asa, sehingga dia menasehatiku seperti itu? Apa dikiranya aku mendukung Pangeran In Te demi mencari kedudukan yang lebih tinggi bagi diriku sendiri?"
Malam itu Pak Kiong Liong hanya beristirahat badannya, tapi pikirannya tidak. Besok subuh, untuk pertama kali ia akan menghadiri Sidang Kerajaan yang dipimpin Kaisar baru, entah akan bagaimana sikap Kaisar Yong Ceng kepadanya? Bagaimana pula sikap Liong Ke Toh?
Keesokan harinya, Pak Kiong Liong benar-benar hadir dalam Sidang Kerajaan. Ketika tambur Liong-hong-kou dan lonceng Keng-yang-kiong di kiri kanan istana berbunyi menandakan hadirnya Sang Kaisar, maka Pak Kiong Liong memaksakan diri untuk berlutut pula agar tidak merusak tata tertib persidangan.
Kaisar Yong Ceng muncul di singgasana dengan jubah kuning bersulam naga dan topi kuning bersulam naga pula, di samping sekalian hadirin dengan seruan "Ban-swe! Ban-swe!". Dengan sikap sangat menarik hati, Kaisar Yong Ceng menyuruh para hadirin untuk bangkit dari berlututnya.
Kemudian sidangpun berjalan seperti biasanya. Beberapa Menteri atau Pejabat Tinggi memberikan laporan atau usul-usul menurut bidang tugas masing-masing. Dan Kaisar Yong Ceng kemudian membagi-bagikan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk dengan gaya yang mempesona.
Melihat itu, terkesiaplah Pak Kiong Liong. Kalau gaya mempesona Kaisar muda itu terus-menerus ditunjukkan kepada para Menteri dan Panglima, tidak mustahil orang-orang yang tadinya mendukung Pangeran In Te bisa berbalik mendukung Kaisar Yong Ceng, dan akan makin sulit bagi In Te untuk menuntut haknya, kecuali lewat kekerasan yang akan menumpahkan banyak darah.
"Pangeran In Te harus mempercepat perjalanan pasukannya ke Pak-khia, sebelum orang terlanjur terpesona dan memihak In Ceng...." pikir Pak Kiong Liong.
Setelah bertanya-tanya dengan beberapa Panglima dan Menteri tentang beberapa urusan negara, paling akhir barulah Yong Ceng memandang ke arah Pak Kiong Liong dan berkata, "Kenapa Paman berdiri agak di belakang, tidak di depan seperti biasanya? Apakah Paman takut aku gigit?"
Memang bukan giginya yang menggigit, namun sapaan Yong Ceng itupun sudah cukup "menggigit". Pak Kiong Liong dengan sikap tenang melangkah maju dan berlutut di bawah tangga singgasana sambil berkata, "Hamba menghaturkan sembah untuk Tuanku."
"Bangkitlah, Paman. Paman adalah sesepuh kerabat istana yang seangkatan dengan mendiang Ayahanda dan Paman Liong Ke Toh, jangan terlalu sungkan kepadaku."
"Terima kasih, Tuanku."
"Bagaimana dengan perjalanan Paman ke Tiau-im-hong? Apakah puteri Paman dan cucu kembar Paman yang manis-manis itu dalam keadaan sehat-sehat semua? Bagaimana pula dengan Ketua Hwe-Liong-pang? Aku pernah berhutang budi kepada mereka semua."
"Mereka sehat-sehat semuanya, Tuanku. Mereka tentu akan bersyukur sekali kalau mengetahui perhatian Tuanku terhadap mereka."
"Tentunya Paman agak kaget mendengar bahwa aku sudah naik tahta menggantikan Ayahanda?"
"Memang agak di luar dugaan, Tuanku," kata Pak Kiong Liong terus terang, membuat para hadirin terkejut. Bukan saja khawatir akan terjadi keributan seperti tempo hari, tapi juga mencemaskan nasib si Jenderal tua yang sudah mengalami jaman tiga Kaisar itu. Sun Ti, Khong Hi dan kini Yong Ceng.
"Paman kecewa bahwa yang naik tahta adalah aku, bukan Adinda In Te?" tanya Kaisar.
“Mana berani hamba kecewa? Hamba hanya heran bahwa Surat Wasiat Sian-hongya ternyata demikian isinya. Juga heran bahwa Sian-hong-ya meninggal dunia ketika hamba sedang tidak ada di Pak-khia, padahal sebelum hamba tinggalkan Pak-khia, hamba sempat menengok dan mellhat kesehatan Sian-hong-ya semakin baik?"
Perlahan-lahan darah Kaisar Yong Ceng naik ke kepala, wajahnya mulai mmerah perlahan-lahan pula. Ucapan Pak Kiong Liong itu rnengandung nada tuduhan dan kecurigaan terhadapnya, lagipula diucapkan tanpa bisik-bisik di tengah-tengah Sidang istana.
Disaat Yong Ceng hampir saja memerintahkan sebuah tindakan keras atas diri Pak Kiong Liong, mendadak di bawah singgasana dilihatnya Liong Ke Toh mengedip-ngedipkan mata ke arahnya. Itulah isyarat agar Yong Ceng tidak terjebak oleh “Pembicaraan berperangkap" yang dikehendaki Pak Kiong Liong. Liong Ke Toh bisa menebak bahwa Pak Kiong Liong sengaja rnemanaskan hati Kaisar Yong Ceng lebih dulu, kemudian Kaisar akan dilibatkan dalam pernbicaraan yang berbahaya agar keseleo lidah dan membuka kedoknya sendiri.
Menangkap isyarat Liong Ke Toh itu, Yong Ceng dapat mengendalikan diri. Sambil menunjukkan muka sedih, dia pun berkata, “Akupun sangat terpukul dengan wafatnya Hu-hong, padahal semula aku sudah gembira melihat kesehatannya membaik. Tentang Surat Wasiat yang menunjuk diriku, akupun merasa sangat di luar dugaan. Aku paham ada banyak pihak yang kecewa oleh isi Surat Wasiat itu, namun aku lebih-lebih tidak berani mengecewakan harapan Hu-hong yang diletakkan di atas pundakku, seperti yang dituliskannya sendiri dalam Surat Wasiat itu. Aku harus mengemban amanatnya, agar arwah Hu-hong tenang di alam baka."
Pak Kiong Liong tertawa dalam hati melihat peragaan sandiwara "kucing menangisi tikus" itu. la masih ingat bagaimana bernafsunya In Ceng akan tahta dan sekarang ia pura-pura menduduki tahta seolah-olah dengan "terpaksa“ demi "memenuhi amanat Ayahanda" segala.
Sementara itu Yong Ceng juga tahu bahwa sulit membuat Pak Kiong Liog mempercayainya. Namun, meskipun seolah-olah ia bicara kepada Pak Kiong Liong, sasaran sebenarnya dari sandiwara "kucing menangisi tikus" itu ialah hadirin di ruangan itu, agar mereka semua terpikat hatinya dan berdiri dipihaknya. Kalau seluruh orang di kekaisaran berdiri di pihaknya, biarpun ada sepuluh orang macam Pak Kiong Liong yang tidak mempercayai juga tidak jadi soal.
Kata Kaisar Yong Ceng lebih lanjut, "Aku sedih mendengar banyak orang menuduh aku berbuat curang dalam mendapatkan tahta. Bahkan juga beberapa keluarga dekatku sendiri. Karena itulah terpaksa aku memberlakukan Hukum Kekaisaran atas diri Adinda In Gi dan Ad inda In Tong yang coba-coba menentang Amanat Hu-hong. Kepada Paman Pak Kiong Liong, aku mohon agar Paman berbuat sesuatu untukku..."
"Apa yang bisa Tuanku harapkan dari seorang tua yang pikun dan rewel seperti hamba ini?"
"Paman terlalu merendah. Aku tahu bahwa Paman punya pengaruh kuat atas diri Adinda In Te, karena itu aku mohon agar Paman mau membujuk adikku, agar ia bersedia membantu aku membangun kekaisaran ini. Begitu pula Paman sendiri masih aku harapkan bantuan tenaga untuk mengatur pemerintahan. Bagaimana dengan tawaranku yang tulus keluar dari dasar hati ini?"
Selama ini Pak Kiong Liong menilai Yong Ceng hanya seorang yang bisa menyelesaikan masalah dengan kekerasan dengan otot. Namun ucapannya kali ini memperIihatkan kelihaian silat lidahnya dalam usaha menyudutkan Pak Kiong Liong. Ucapan yang dilontarkan di depan begitu banyak hadirin dan bernada menawarkan perdamaian itu tentu saja mendapat kesan baik dari sekalian hadirin.
Kalau Pak Kiong Liong bersikeras menolak, tentu akan mendapat kesan buruk, dianggap serakah ingin menggucang ketenangan yang mulai mapan dan lain-lainnya. Tapi kalau Pak Kiong Liong menerima, itu sama saja dengan mengakui kekuasaan Yong Ceng adalah sah, dan orang macam Pak Kiong Liong tidak mungkin menjilat kembali ludahnya dikemudian hari. Dengan demikian, baik menjawab “ya" ataupun "tidak" sama-sama sulit bagi Pak Kiong Liong.
Sesaat ruangan sidang itu sunyi mencekam, semua hadirin menunggu bagaimana jawaban Pak Kiong Liong. Sementara Pak Kiong Liong sendiri berpikir, “Licin juga bocah ini. Agaknya selama ini aku terlalu memandang rendah kepadanya..."
Memang, kalau Yong Ceng alias In Ceng alias Su Liong-cu tidak licin, bagaimana mungkin pendekar-pendekar Kang Lam semacam Kam Hong Ti dan Pek Thai Koan juga berhasil dipikat untuk diperalat tenaganya?
Akhirnya kesunyian itupun dipecahkan oleh suara Pak Kiong Liong yang tenang, "Tuanku, Pangeran In Te pernah bicara kepada hamba bahwa diapun bercita-cita membangun dan menjayakan kekaisaran. Dia juga tak ingin bertentangan dengan siapapun, apalagi saudaranya. Hamba pikir, ajakan Tuanku akan diterimanya dengan senang hati kalau persoalannya sudah jelas...."
"Di hari-hari yang lewat, memang paling banyak kesalahpahaman antara aku dan Adinda In Te dibandingkan dengan saudara-saudaraku lainnya. Tapi itu sudah lewat, kami bersaudara, jadi buat apa lagi mengungkit-ungkit soal lama?"
"Ampunilah hamba, Tuanku. Rasanya selama dua macam persoalan yang ada sekarang ini belum diterangkan sehingga jelas benar, sulit sekali bagi Adinda Tuanku untuk menahan diri!"
Senyuman ramah di wajah Kaisar Yong Ceng perlahan-lahan lenyap, alis tebalnya mulai berkerut. "Bagaimana Paman bisa tahu pikiran dan tindakan apa yang dilakukan Adinda In Te, seolah Paman ini cacing dalam perutnya. Apakah perjalanan Paman ke Tiau-im-hong itu sebenarnya hanya kedok, sebenarnya Paman pergi menjumpai Adinda In Te untuk menanas-manasi hatinya agar melawan aku?"
Semakin marah Kaisar Yong Ceng, semakin menakutkan bagi orang lain, tetapi justru semakin menyenangkan bagi Pak Kiong Liong yang mengharap si marah itu agar "keseleo lidah" tentang peristiwa wafatnya Kaisar Khong Hi dan anehnya isi Surat Wasiat itu. Pak Kiong Liong siap mempertaruhkan nyawa dan kedudukannya demi membongkar tuntas rahasia keanehan kedua peristiwa itu.
Sahut Panglima Hui-Liong-kun itu, "Tuanku, hamba tidak berani bohong ketika berpamitan dengan Sian-hong dulu. Hamba benar-benar pergi ke Tiau-im-hong, tidak pergi ke mana-mana."
Ketenangan Pak Kiong Liong itu membuat Yong Ceng jengkel sendiri sehingga tak kuasa mengendaIikan diri lagi, ia membentak, "Tua bangka berlidah ular, aku perintahkan untuk menutup mulut!"
Ucapan kasar yang kurang pantas bagi seorang Kaisar itu mengejutkan para Menteri dan Panglima yang hadir di situ, dan membuat citra Kaisar Yong Ceng tadi akan ternoda, Liong Ke Toh semakin giat mengedip-ngedipkan matanya memberi isyarat dari bawah singgasana, tapi biarpun matanya sampai pegal, isyaratnya itu tidak dilhat oleh Kaisar. Keruan Liong Ke Toh mengeluh dalam hatinya, pikirnya,
"Kalau begini terus, Kaisar bisa terjebak oleh perangkap Pak Kiong Liong dan melucuti kedok sendiri, Menteri dan Panglima yang sudah memperlihatkan kepatuhan, bisa berbalik kiblat kembali."
Tapi akhirnya Kaisar melihat juga isyarat dari Liong Ke Toh itu dan berusaha menguasai sikapnya agar tidak kelihatan "kampungan". Selama berlangsungnya tanya jawab yang menegangkan antara Kaisar Yong Ceng dengan Pak Kiong Liong itu, puluhan orang Menteri dan Panglima hanya berdiri kaku, tak berani menimbrung bicara.
Menggerakkan ujung jari kaki atau bernapaspun tak berani keras-keras. Mereka khawatir kalau Kaisar marah kepada Pak Kiong Liong tapi tak berani menghukumnya, jangan-jangan hukuman akan ditimpakan kepada mereka, sekedar untuk pelampiasan kemarahan?
Memang terhadap Pak Kiong Liong, Kaisar Yong Ceng tidak bisa mengambil tindakan gegabah. Dengan mengerahkan pengawal-pengawal setianya, Yong Ceng yakin bisa membunuh Pak Kiong Liong di tempat itu juga, tapi bukankah itu berarti menyulut kemarahan Pangeran In Te? Yong Ceng sadar, pihaknya masih belum siap untuk menghadapi adiknya itu secara terbuka.
Karena itu, betapapun jengkelnya ia, ia tetap berusaha menyabarkan diri. Katanya kemudian, "Maafkan, aku tadi bersikap kasar terhadap Paman. Aku mohon Paman pun bisa membawa diri dalam sidang ini."
"Hebat bocah ini pikir Pak Kiong Liong. "la adalah pemain sandiwara ulung. Tetapi aku harus tetap memancingnya agar kedoknya terlucuti di depan sidang ini."
Kata Pak Kiong Liong kemudian. "Tuanku, hamba masih ingin melanjutkan permohonan hamba tentang dua persoalan yang harus dijelaskan tadi. Barangkali saja, kalau kedua soal itu menjadi terang secara memuaskan, Pangeran In Te akan bersedia tunduk kepada Tuanku..."
"Katakan," kata Kaisar Yong Ceng amat terpaksa, sebab ia sadar mulai memasuki babak pembicaraan berbahaya, yang bisa membuatnya terjungkir dari singgasana kalau keliru bicara.
"Tuanku, yang pertama hamba mohon penjelasan bagaimana wafatnya Sian-hong. Yang kedua, bagaimana mungkin dalam Surat Wasiat Sian-hong itu nama Tuankulah yang tercantum?"
"Pertanyaan pertama bisa kujawab, Hu-hong memang sudah berusia lanjut dan mengidap macam-macam penyakit, kalian semuapun tahu. Hanya saja ketika wafatnya beliau, hanya aku dan Paman Liong Ke Toh yang disampingnya, apakah hal ini patut dicurigai? Seorang putera dan seorang ipar berada di samping Hu-hong yang membutuhkan perhatian, apakah itu dosa besar? Paman kira aku seorang anak durhaka yang berani membunuh ayahku sendiri? Tentang soal nama ku yang tercantum dalam Surat Wasiat itu, agaknya Paman hanya bisa bertanya kepada arwah Hu-hong, tidak kepadaku, sebab akupun tidak tahu bagaimana bisa begitu. Atau Paman ingin mengingkari Amanat Hu-hong?"
"Hamba mohon ampun kalau kata-kata ini tidak berkenan di hati Tuanku. Supaya kewibawaan Tuanku kokoh, kekuasaan Tuanku langgeng, hamba pikir Tuan ku harus bisa menghadirkan saksi-saksi dan bukti-bukti kuat tentang kedua hal itu. Kalau tidak, hamba khawatirkan masih akan ada pihak-pihak yang meragukan kedudukan Tuanku saat ini syah atau tidak?"
Barangkali itulah peristiwa janggal di mana seorang Kaisar dituduh seperti maling ayam, oleh seorang Panglimanya sendiri. "Pak Kiong-Liong, lancang benar mulutmu!” kali lni yang membentak adalah Ni Keng Giau, pembantu terpercaya dan sekaligus adik seperguruan Kaisar Yong Ceng, yang saat itu menduduki jabatan sebagai Panglima Tiat-ki-kun. Tapi Ni Keng Giau cuma berani membentak dan tidak berani berbuat apa-apa, sebab sadar dengan siapa ia tengah berhadapan.
"Tenanglah, Sute," Kaisar menyuruh Ni Keng Giau diam, lalu berkata kepada Pak Kiong Liong. "Terserahlah kalau Paman tidak mempercayai penjelasanku tadi. Pada detik-detik terakhir hidupnya, Hu-hong berpesan secara lisan bahwa Adinda In Te memang berbakat dalam kemiliteran, tetapi ia terlalu polos untuk mengendalikan pemerintahan, karena itu Hu-hong memilih aku. Sedangkan Adinda In Te akan tetap menduduki Panglima Tertinggi Angkatan Peranq Kekaisaran, dengan demikian kami kakak beradik akan bahu-membahu membangun kekaisaran ini menjadi bertambah kuat dan jaya. Paman Liong Ke Toh kebetulan hadir pula saat itu di samping pembaringan Hu-hong dan ikut mendengar kan pesan lisan itu. Bukankah demikian, Paman?"
Pertanyaan terakhir itu ditujukan kepada Liong Ke Toh, Liong Ke Toh cepat berlutut dan berkata nyaring, “Memang benar demikian, Tuanku. Hamba mendengar Sian-hong mengatakannya sebelum wafatnya."
Sudah tentu "kesaksian" orang semacam Liong Ke Toh tidak dipercaya sedikitpun oleh Pak Kiong Liong. Tetapi Pak Kiong Liong sendiri juga tidak punya bukti atau saksi yang bisa meruntuhkan komplotan Kaisar Yong Ceng itu, semuanya masih berdasarkan dugaan atau kecurigaan sepihak saja.
Sementara itu Kaisar Yong Ceng berkata lagi, "Hanya orang durhaka yang pantas tidak mempercayai pesan terakhir Hu-hong itu. Tabib istana Yo Ce Kui juga sudah mengeluarkan pengumuman resmi tentang wafatnya Hu-hong itu. Tak ada keraguan lagi bahwa Hu-hong wafat secara wajar karena sudah lanjut usia dan penyakitnya!"
Sebenarnya Pak Kiong Liong harnpir terjepit karena "Kesaksian" Liong Ke Toh itu, namun disebut-sebutnya nama Yo Ce Kui memberi setitik peluang lagi baginya. Secara untung-untungan ia ingin memancing bagaimana reaksi Kaisar Yong Ceng atas ucapannya ini. "Tuanku, kemarin sore hamba telah bertemu dengan sin-she Yo Ce Kui di rumahnya."
Pancingan itu kena. Wajah Kaisar tiba-tiba berubah hebat dan hampir melompat dari singgasananya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Pak Kiong Liong dan menimbulkan pikiran dalam hatinya, "Kalau tidak ada apa-apa dengan wafatnya Sian-hong, kenapa bocah itu nampak kaget sekali?" Lalu Pak Kiong Liong ingat pula tulisan di dinding rumah Sin she Yo tentang "berdosa kepada Sribaginda" segala itu.
Suara Yong Ceng terdengar gugup, "Apa... apa saja... yang Paman... bi... bicarakan dengan Yo Sin-she...?"
Pak Kiong Liong tersenyum. "Hamba tidak dapat bicara dengannya, Tuanku. Sebab ketika hamba tiba, Yo Sinshe sudah mati menggantung diri di ruang tengah rumahnya..."
Sekali lagi Yong Ceng terjebak. Mendengar keterangan itu, wajah yang tadinya gugup itu mendadak menjadi tenang kembali dan lagi-lagi tidak lepas dari pengamatan Pak Kiong Liong. Liong Ke Toh yang mendengar dan menyaksikan pembicaraan itu dengan cermat, dan diam-diam mengeluh dalam hati. Betapapun cerdik Yong Ceng, pengalamannya masih kalah jauh dari Pak Kiong Liong yang pintar melontarkan kalimat-kalimat pancingan untuk menjajaki is i hat i Kaisar itu.
Para hadirin merasa lega ketika mendengar Kaisar Yong Ceng kemudian mengumumkan pembubaran sidang yang menegangkan urat syaraf itu. Semuanya berlutut mengantarkan Kaisar meninggalkan singgasananya. Tetapi begitu sidang bubar, Liong Ke Toh langsung menyusul Kaisar ke Gi-si-pong (kamar belajar).
“Katakan keperluanmu menemui aku, Paman?" tanya Kaisar. "Apakah tidak bisa aku dibiarkan istirahat sebentar, setelah Pak Kiong Liong baru saja membuat otakku hampir meledak di persidangan tadi?"
Liong Ke Toh berlutut sambil menjawab, "Ampuni hamba, Tuanku, namun yang hendak hamba katakan ini cukup penting demi kelanggengan singgasana di tangan Tuanku."
Dengan gerakan tangannya, Yong Ceng menyuruh semua pelayan meninggalkan ruangan itu, sehingga ia tinggal berdua saja dengan Liong Ke Toh, "Katakanlah, Paman."
"Tuanku, menurut pikiran hamba, semakin lama Pak Kiong Liong dibiarkan hidup, semakin berbahaya dia. Sikap bandelnya dan mulutnya yang tajam bisa mempengaruhi para Menteri Panglima yang setia kepada Tuanku."
"Menurut pengamatan Paman, dalam pembicaraanku dengan Pak Kiong Liong tadi, apakah aku membuat kesalahan ucapan atau sikap?"
"Hamba mohon ampun, Tuanku, sebenarnyalah tadi Tuanku beberapa kali hampir terperosok oleh ucapan-ucapan Pak Kiong Liong yang berperangkap."
Yong Ceng berjalan hilir-mudik dalam ruangan itu, seolah sedang mengukur luas ruangan itu dengan langkahnya. Ujung lengan jubahnya nampak bergetar, menandakan tangannya gemetar pula. Apabila rahasia muslihatnya dalam merebut tahta sampai terbongkar, habislah riwayatnya. Pejabat-pejabat yang masih setia kepada Kaisar Khong Hi tentu akan berbaris di belakang Pak Kiong Liong untuk menentang dirinya. la akan diberontak dan diturunkan dari tahta, bahkan akan diadili sebagai pengkhianat terhadap Kekaisaran dan Ayahandanya sendiri. Keringat dingin membasahi punggungnya kalau ingat hal itu.
"Aku sependapat dengan Paman bahwa Pak Kiong Liong harus segera dibungkam. Tapi bagaimana caranya? la masih berpengaruh kuat dalam pemerintahan karena jasa-jasanya yang dulu, juga harus kita perhitungkan Adinda In Te yang masih memegang kekuasaan atas pasukan besar yang sedang pulang dari Jing-hai. Kalau Paman Pak Kiong Liong kita singkirkan begitu saja, tentu akan timbul pergolakan dan ketidakpuasan yang membahayakan kedudukanku yang belum kokoh ini."
"Hamba punya sebuah pikiran, Tuanku...”
“Coba Paman katakan."
"Ke Pen-po Ceng-tong (Kementerian Perang) baru saja masuk laporan dari Panglima kita di Liao-yang, bahwa pasukan Jepang sudah mendaratkan regu-regu perintis mereka di pantai timur laut sebagai persiapan untuk merebut kembali Tiau-sian (Korea) ke tangan mereka. Nah, kita bisa melakukan siasat sekali tepuk dua lalat mati!"
Jaman Kerajaan Beng dulu, jazirah Tiau-sian pernah direbut oleh Jepang yang tengah kuat-kuatnya di bahwa pimpinan Toyotomi Hideyoshi waktu itu. Ketika Manchu bangkit menundukkan bekas wilayah Kerajaan Beng, maka Tiau-sian berhasil direbut dari Jepang, sehingga jazirah itu senantiasa menjadi sengketa antara Cina dan Jepang, silih berganti perpindah tangan.
"Bisakah Paman menjelaskan lebih baik?"
"Pertama, tugaskan Pak Kiong Liong dengan kekuatan secukupnya saja, jangan lebih kuat dari pasukan Jepang, tetapi cukup untuk melelahkan pihak Jepang. Pasukan Jepang terdiri kira-kira 100.000 samurai dan mungkin beberapa regu dengan senjata api serta meriam. Di belakang Pak Kiong Liong kirimkan Ni Keng Giau dengan pasukan yang jauh lebih kuat, namun harus datang terlambat agar pasukan Pak Kiong Liong hancur lebih dulu. Setelah itu, Ni Keng Giau tinggal menggulung sisa-sisa pasukan Jepang yang belum sempat menyusun diri lagi setelah bertempur melawan Pak Kiong Liong."
Kaisar Yong Ceng mengangguk-angguk. "Tetapi nyawa Pak Kiong Liong itu alot sekali, tidak gampang mati meskipun dalam perang-perang besar. Ingat pertempuran besar di tepi Sungai Ussuri ketika melawan tentara berkuda Kazak Rusia? Berapa banyak panglima dan prajurit kekaisaran kita berguguran, tetapi Pak Kiong Liong tidak, malahan berhasil memukul mundur musuh."
"Tuanku, Ni Keng Giau perlu dibekali pesan agar menamatkan riwayat Pak Kiong Liong setiap ada peluang. Dalam pertempuran yang kisruh, soal yang wajar kalau seseorang kena panah atau peluru nyasar entah darimana datangnya, siapa dapat menuduh kita? Lagi pula, kalau kelak jenazah Pak Kiong Liong diba wa pulang ke Pak-khia dan kita memakam kannya dengan upacara kehormatan besar besaran, tidak akan ada lagi yang mencurigai kita."
Kaisar Yong Ceng tertawa bergelak karena gembiranya. "Ha-ha-ha.... Paman benar-benar ahli siasat yang hebat!"
"Terima kasih atas pujian Tuanku."
Ni Keng Giau kemudian disuruh datang untuk diberitahu rencana itu. Dua hari kemudian, dihadapan Sidang istana, Kaisar Yong Ceng mengumumkan bahwa perang dengan Jepang telah berkobar lagi, entah yang ke berapa puluh kalinya sejak berabad-abad. Untuk itu, Ni Keng Giau dan Pak Kiong Liong ditugaskan membawa pasukan ke timur laut untuk menggusur balatentara Jepang dari wilayah Kekaisaran Manchu.
Perintah itu tak bisa ditolak oleh Pak Kiong Liong, karena itu bukan tugas dari Yong Ceng pribadi, melainkan tugas Kekaisaran. Yang agak janggal ialah bahwa Si Jenderal ingusan Ni Keng Giau diangkat sebagai pemimpin seluruh pasukan, dan Pak Kiong Liong yang lebih senior serta jauh lebih berpengalaman, hanyalah menjadi bawahan Ni Keng Giau. Tapi kalau mengingat bahwa Ni Keng Giau adalah adik seperguruan Kaisar, maka keherananpun harus disingkirkan jauh-jauh.
Tanpa buang-buang waktu, Ni Keng Giau segera menyusun pasukannya. Dengan alasan bahwa pasukan musuh perlu lebih dulu dikagetkan dan dikacaukan dengan pasukan gerak cepat, maka Pak Kiong Liong dan 2.500 tentara berkuda Hui-Liong-kun disuruh berangkat lebih dulu agar pasukan musuh lebih dulu tegang, setelah itu barulah pasukan induk Ni Keng Giau akan maju menggempur pasukan jalan kaki.
Keesokan harinya, berangkatlah Pak Kiong Liong dengan tentara berkudanya menuju timur laut. la didampingi wakilnya, Tong Siau Beng dan dua panglima bawahannya yang tangguh, masing-masing Hai Lun To yang berjulukan Thai lek-stau-him (Beruang Cilik Bertenaga Raksasa), karena meski tubuhnya pendek kecil, tapi tenaganya hebat. Satu lagi adalah Ki Peng Lam yang berjulukan Tui hong-kak (Kaki Pemburu Angin) karena kehebatan ilmu meringankan tubuhnya.
Duaribu lima ratus prajurit perkasa berbaris keluar dari pintu timur Pak-khia, dengan kibaran bendera-bendera yang megah, derap kuda-kuda yang menghentak-hentak jantung dan gemerincing senjata-senjata yang dibawa. Kelihatan megah sekali.
Kaisar Yong Ceng melihat keberangkatan pasukan itu dari atas tembok kota, dan tersenyum dingin. Dalam pandangannya, pasukan megah itu hanyalah calon-calon mayat yang sedang berbaris menuju lubang kubur masing-masing.
"Mereka akan habis digasak pasukan Hirosaki, Si Naga Laut Timur," kata Liong Ke Toh yang berdiri di samping Kaisar. "Setelah itu, ganti Hirosaki yang akan remuk digilas Ni Keng Giau..."
Dua hari kemudian, Pak Kiong Liong dan pasukannya sudah keluar dari kota San-hai-koan. Sebuah kota kecil namun amat bersejarah dalam riwayat jatuhnya daratan Cina ke tangan Dinasti Manchu. Lewat kota inilah Bu Sam-kui , hampir seratus tahun silam, takluk kepada Manchu dan "menuntun" pasukan Man chu untuk menguasai daratan tengah yang masih porak-poranda karena perang saudara antara Dinasti Beng melawan pemberontak Li Cu Seng.
Perjalanan kaki-kaki kuda mulai lambat karena salju tebaI yang menutup dataran timur laut, namun prajurit-prajurit gemblengan Pak Kiong liong itu maju terus. Kemudian pasukan itu beristirahat sehari di kota Jiat-ho, bekas ibukota Kerajaan Manchu ketika belum menyerbu masuk San-hai-koan, kemudian memindahkan ibukota ke Pak-khia, bekas ibukota Kerajaan Beng. Di kota ini tidak terdengar percakapan Bahasa Han, hampir semua penduduk berbahasa Manchu, tetapi ada juga orang-orang Han yang buka toko di kota dingin itu.
Pak Kiong Liong sendiri sebagai orang Manchu malah merasa asing dengan suasana Jiat-ho, sebab sejak kecil ia sudah berada di daratan tengah, tumbuh dewasa dalam suasana kebudayaan bangsa Han, sehingga ia sering lupa bahwa dirinya adalah orang Manchu.
Suasana perang sudah terasa di kota itu, sebab Jiat-ho tidak jauh dari Liao-yang, benteng terdepan menghadapi serbuan pasukan lemitsu Tokugawa, Shogun di Jepang yang berkuasa melebihi Kaisar Jepang sendiri. Para pengungsi memenuhi kota itu, menghindari keganasan musuh, dan terpaksa harus meninggal kan sawah ladang tercinta.
Melihat suasana ketakutan dan kecemasan itu, Pak Kiong Liong diam-dian menarik napas. Itulah perang oleh para pencetus perang, boleh saja penyerbuan itu diselubungi semboyan yang bagus-bagus, namun akibatnya sama saja. Dulu ketika pasukan Manchu menyerbu daratan tengah, tentunya juga menimbulkan kengerian bagi Bangsa Han.
Begitu pula ketika Pangeran In Te menyerbu Jing-hai, tentunya orang-orang suku Hui di sana mengutuk orang Manchu sebagai penjajah-penjajah yang ganas. Tapi di Jiat-ho, semua pengungsi adalah orang Manchu yang sambil meratap sedih mengutuk orang-orang Jepang yang menyerbu kampung-kampung mereka.
Itulah manusia. Sulit diajak merasakan penderitaan sesama kalau diri sendiri sedang unggul. Kalau diri sendiri jatuh ke dalam penderitaan pula, merekapun mengutuk orang lain yang menyengsarakan mereka, lupa kalau mereka pun pernah menyengsarakan orang lain. Mengutuk dan menyalahkan orang lain itu gampang, memeriksa kesalahan diri sendiri itulah yang sukar.
Sambil mengistirahatkan kuda dan tentaranya di Jiat-ho, memeriksa dan merawat perlengkapan perang, Pak Kiong Liong juga menyebar mata-matanya untuk mengintai kekuatan musuh, dan di mana saja musuh menempatkan pasukannya. Beberapa hari kemudian, para mata-mata sudah kembali dan melapor bahwa balatentara Jepang masih mengambil posisi bertahan di sebelah timur Sungai Hek-liong dalam bentuk perkemahan-perkemahan tersebar di tempat-tempat menguntungkan.
Sementara pasukan induk sendiri tetap menduduki kota An-tong-koan di bawah pimpinan Sang Jenderal Hirosaki sendiri. Kabarnya, kalau kapal kapal balabantuan tiba dari Jepang, mereka akan segera menyeberang Sungai Hek-Liong untuk menggernpur Liao-yang dan merebut seluruh Propinsi Liao-tong.
Pak Kiong Liong termangu-mangu mendengar itu. Selama ini kekaisaran cuma tahu meluaskan daerahnya, menaklukkan Sehe, Tibet, Turfan, Jing-hai, lalu membelok ke utara sehingga bentrok dengan Kekaisaran Rusia yang tengah mencaploki wilayah Asia Tengah. Luasnya daerah membutuhkan pasukan yang kuat pula untuk menjaganya, dan ternyata Gubernur di Liao-tong tak kuasa membendung pasukan Jepang sehingga harus minta tolong ke pusat.
Setelah berunding dengan panglima-panglima pembantunya, Pak Kiong Liong memutuskan untuk memberi kejutan dengan memotong rantai pertahanan sepanjang tepi timur Sungai Hek-liong. Memang bukan serangan menentukan yang serta-merta membuat Jepang kalah, tapi hanya sebagai "pemanasan" saja. Pak Kiong Liong mengharap ketangkasan mengendarai kuda dari prajurit-prajuritnya akan mampu mendukung "serang dan lari" yang akan dilakukan bertubi-tubi itu, sambil menunggu datangnya pasukan darat Ni Keng Giau.
Di pihak Jepang mungkin ada juga pasukan berkuda, namun pasti tidak banyak jumlahnya, sebab tentara Jepang lebih terkenal dengan "pasukan gunung"nya yang lebih merupakan kekuatan pemukul daripada pasukan berkuda. Bentuk pertempuran akan sedikit berbeda dengan ketika melawan orang-orang Kazak Rusia yang memang jagoan dalam pertempuran berkuda.
"Satu hal lagi harus diperhitungkan, Goan-swe, musuh memiliki ratusan pucuk bedil dan berpuluh-puluh pucuk meriam," si mata-mata menambahkan laporannya kepada Pak Kiong Liong....
Malam itu juga Pak Kiong Liong membangunkan suami isteri setengah tua yang bekerja padanya, untuk membereskan empat orang mayat yang bergelimpangan di halaman belakang rumahnya itu. Sebelum mayat-mayat disingkirkan, lebih dulu Pak Kiong Liong menggeledah nya untuk mencari bukti siapa yang menyuruh orang-orang itu. Ternyata tidak diketemukan bukti apapun. Mayat-mayat lalu dibawa ke perabuan mayat yang terdekat dengan tempat itu, untuk diurus oleh pengurus rumah pembakaran mayat.
Meskipun Pak Kiong Liong punya dugaan kuat bahwa Pangeran In Ceng adalah dalang dari usaha pembunuhan itu, tapi Pak Kiong Liong tak berani menuduhnya secara terbuka tanpa disertai bukti-bukti yang meyakinkan semua orang. In Ceng dengan gampang tentu akan mengingkari, dan Pak Kiong Liong akan malu sendiri kalau tuduhannya hanya "menubruk angin”.
Akhirnya Pak Kiong Liong memutuskan untuk tutup mulut lebih dulu daripada menimbulkan ke tegangan di ibukota seperti beberapa harl yang lalu. Bahkan kepada suami isteri pembantunya itupun Pak Kiong Liong berpesan sungguh-sungguh agar tidak menceritakan peristiwa itu kepada lain orang.
Keesokan harinya, ketika Pak Kiong Liong bertemu In Ceng dalam Sidang Kerajaan, maka keduanya bercakap-cakap dengan ramah sambil tersenyum-senyum segala. seolah tidak terja di apa-apa. Meskipun sebenarnya In Ceng heran juga dalam hati, Pamannya ini kok masih berkepala?
Ketika kemudian In Ceng diam-diam menerima laporan Biau Beng Lama tentang kegagalan empat algojonya, In Ceng kecewa sekali, Namun diapun lega mendenqar bahwa tidak ada yang berhasil ditangkap hidup oleh Pak Kiong Liong, karena Biau Beng Lama telah membereskan anggota Hiat-ti-cu yang hampir saja buka rahasia kepada Pak Kiong Liong itu.
Beberapa hari In Ceng disiksa kegelisahannya. Bayangan dari pasukan-pasukan Pangeran In Te yang tengah bergerak mendekati Pak-khia semakin menghantuinya, sementara di Pak-khia sendiri ia belum memiliki peluang yang meyakinkan untuk memenangkan perebutan tahta. Pangeran itu juga tidak berani bertindak gegabah, khawatir kalau membuat Pak Kiong Liong habis kesabarannya dan bersikap keras terhadapnya, sehingga keadaan pihaknya bisa tambah runyam.
Di saat kegelisahan hampir membuat otaknya miring, datanglah Ni Keng Giau dari Siong-san, bersama beberapa pendekar sakti bekas teman-teman In Ceng ketika mengembara di selatan dulu. Pendekar-pendekar yang berkeyakinan bahwa In Ceng adalah seorang sahabat yang tulus dan luhur budinya, sehingga pantas kalau sekuat tenaga didukung naik tahta.
Apalagi In Ceng sendiri pernah mengobral janji, katanya kalau naik tahta akan menghapus peraturan yang mewajibkan orang Han menguncir rambutnya, Bangsa Han dan Manchu bersaudara, kesejahteraan rakyat ditingkatkan, pendidikan dimajukan dan setumpuk omongan indah lainnya. Kemudian dihadapan teman-temannya dari selatan itu, In Ceng memperlihatkan muka muram sambil menarik napas dengan sedihnya. Katanya,
“Sayang sekali, bahwa cita-citaku itu tidak sejalan dengan cita-cita Ayahanda Kaisar dan sebagian besar tokoh istana, yang tetap berpendapat bahwa orang Manchu tetap harus setingkat lebih tinggi dari orang golongan lain, yang cocok dengan pikiran Ayahanda Kaisar ini adalah Adinda In Te, sehingga aku yakin dialah yang namanya tertulis dalam Surat Wasiat Ayahanda, sehingga cita-citaku dan juga cita-cita saudara-saudara itu agaknya akan membentur rintangan keras. Persaudaraan sederajat antara Han dan Manchu yang kita dambakan bersama, agaknya masih terletak di awang-awang dan entah kapan menjadi kenya taan.”
Teman-teman In Ceng yang semuanya berdarah Han itupun bergolak darahnya ketika mendengar ucapan itu. Bertahun-tahun mereka memperjuangkan agar orang Han dibebaskan dari kehinaan, bahkan sebagian dari para pendekar terlibat gerakan bawah tanah yang mnenentang Pemerintah Manchu dengan senjata.
Kini mendengar ucapan In Ceng, merekapun bergoiak dadanya, Naiknya In Ceng ke rahta mereka anggap sebagai kesempatan bagi orang Han untuk memulihkan martabat tanpa melalui kerasnya perang, akankah kesempatan itu mereka biarkan berlalu karena "keserakahan In Te" seperti kata In Ceng tadi?
Sedangkan In Ceng terus menghasut para pendekar itu, "Saudara-saudara, tahukah apa yang akan terjadi kalau Adinda In Te kelak berhasil menjadi kaisar? Sudah mendengar bagaimana ia menumpas Bangsa Hui di Jing-hai? Kampung-kampung Hui dihancurkannya dengan meriam-meriam dan pasukan berkuda nya, penduduknya dibantai, tak terkecuali perempuan dan anak-anak, nah, bagaimana kalau orang macam ini sampai menjadi Kaisar? Entah bagaimana nanti nasib Bangsa-Bangsa Han, Tibet, Hui, Mongol, Biao, Pek, Ih, Korea dan lain-lainnya? Tentu mereka akan ditindas ha bis-habisan di bawah perintahnya."
Seorang pendekar dari Kang-lam yang bernama Kam Hong Ti, tak terasa telah meremas cawan araknya sehingga hancur menjadi bubuk. Geramnya, "Jadi sekarang, apa yang bisa kami perbuat untuk membantu Pangeran?"
In Ceng bersorak dalam hati, tetapi wajahnya harus pura-pura tetap muram. la tahu pendekar-pendekar dari selatan ini punya watak yang jauh lebih bisa dipercaya daripada jagoan-jagoan upahannya seperti Biau Beng Lama, Kim Seng Pa atau To Jiat Hong. Orang-orang itu mengabdi kepadanya dengan pamrih pribadi, kalau terjepit, mereka bisa berubah dari penjilat-penjilat pantat menjadi pengkhianat-pengkhianat yang menikam dari belakang.
Sedangkan para pendekar dari selatan itu hanya berpamrih demi pulihnya martabat Bangsa Han dan untuk itu mereka siap mengorbankan nyawa. Merekalah orang-orang yang bisa disuruh mencuri Surat Wasiat yang terjaga Pasukan Han-Lim-kun, pasukan yang hanya tunduk kepada perintah Kaisar itu. Orang macam Kam Hong Ti dan teman-temannya, kalau sudah bilang sanggup, akan benar-benar disanggupi sampai titik darah penghabisan. Kalau sudah bilang tutup rahasia, tidak akan ada alat siksaan macam apapun yang bisa me-maksa mereka buka mulut.
Demikianlah, dalam ruang tertutup yang hanya berisi In Ceng sendiri, Ni Keng Giau, Kam Hong Ti dan lima pendekar lainnya, In Ceng berhasil meyakinkan para pendekar bahwa pencurian dan kalau perlu pemalsuan atas Surat Wasiat itu hanyalah satu-satunya jalan untuk "martabat Bangsa Han agar sederajat dengan Bangsa Manchu”.
Dan perundingan yang disertai alis-alis berkerut, tinju-tinju terkepal dan mata-mata yang membara itu akhirnya membuahkan keputusan yang amat menggirangkan In Ceng. Lima pendekar berilmu tinggi, dipimpin Kam Hong Ti, akan masuk ke ruang penyimpanan Surat Wasiat itu nanti malam. Selain Kam Hong Ti adalah Pek Thai Koan, si dewi pedang Lu Se Nio, si jagoan ruyung Ma Sun Hian dan si jagoan meringankan tubuh Yang Pek Hong yang dijuluki Hun-tiong-ho (Bangau di Tengah Mega). Itulah sebuah regu mini yang ketangguhannya luar biasa.
Pak Kiong Liong adalah seorang jenderal tua yang kenyang pengalaman, ahli pemerintahan yang cerdik, berpuluh-puluh buku tentang kemiliteran dan pemerintahan sudah dibaca, dipahami, bahkan diberinya catatan-catatan kritik di pinggir-pinggir halamannya. Tetapi ia juga manusia biasa, seorang ayah dan seorang kakek yang rindu kepada puterinya dan cucu-cucunya. Dalam buku-buku kemiliteran dan pemerintahan yang dibacanya, tidak ada tercantum siasat membunuh kerinduan manusiawi itu.
Beberapa hari Pak Kiong Liong merasakan keadaan di Pak-khia mulai normal, tidak ada ketegangan lagi, baik In Ceng maupun pangeran-pangeran lainnya tidak nampak membuat ulah, tokoh-tokoh yang setia kepada Kaisar Khong Hi juga masih nampak berpengaruh, maka Pak-Kiong Liong tiba-tiba merasakan itulah saatnya untuk sejenak menyegarkan diri di Tiau-im-hong bersama anak-anaknya dan cucu-cucunya, menjumpai sahabat sekaligus besannya, Ketua Hwe-Liong-pang Tong Lam Hou.
Tetapi sebelum pergi, Pak Kiong Liong menitipkan banyak nasehat kepada wakilnya, Tong Siau Beng, bagaimana mengambil sikap dalam keadaan-keadaan tertentu. Selain itu, ia berpesan kalau Tong Siau Beng hendak bertindak haruslah berunding dulu dengan Bok Eng Siang, Panglima Hui-hou-kun, yang sama-sama pendukung Pangeran In Te.
Setelah memperoleh ijin Kaisar sendiri, dan hatinya mantap bahwa di Pak-khia takkan terjadi apa-apa selama ia pergi, Pak Kiong Liong pun meninggalkan Pak-khia dengan menunggang seekor kuda, tanpa pengawaI seorangpun, kecuali pedangnya yang tergantung di pelana kuda tanpa memberi kesan menyolok. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian penduduk biasa.
"Si bocah bengal In Ceng itu tak berani berbuat apa-apa dalam keseimbangan yang menguntungkan Pangeran In Te seperti ini. la akan sadar bahwa merebut tahta tidak segarnpang meraih bakpao di atas meja...." demikian pikir Pak Kiong Liong.
Apa yang tidak diketahui Pak Kiong Liong ialah isi Surat Wasiat yang sudah dirubah oleh teman-teman pangeran In Ceng, sehingga Surat Wasiat itu berubah menjadi "senjata pamungkas" ditangan In Ceng sekarang. Dan ketika mendengar kabar bahwa Pak Kiong Liong sudah setengah perjalanan menuju Tiau-im-hong, diperhitungkan tidak mampu kembali ke Pak-khia dalam waktu singkat.
Maka In Ceng pun bertindak merebut tahta. Tanpa perlu menunggu kembalinya Pangeran In Te dan pasukannya sampai ke Pak-khia kembali. Justru pengambil-alihan tahta itu dapat untuk memperkuat pihaknya, sehingga kelak dapat mengimbangi pasukan adiknya.
Karena Itulah, ketika dua bulan kemudian Pak Kiong Liong Lerqesa-gesa kembali ke Pak-khia, ia dikejulkan oleh berita bahwa Kaisar yang baru sudah naik tahta, menggantikan Kaisar Khong HI yang tanpa menimbulkan kecurigaan besar telah diumumkan wafat karena sakitnya", alasan yang agak tepat dan mudah dipercaya.
Sebab kesehatan Kaisar Khong Hi memang merosot terus dalam beberapa tahun terakhir setelah ia memerintah selama enam puluh tahun leblh. Yang membuat Pak Kiong Liong kaget ialah ketika mendengar bahwa pengganti Kaisar Khong Hi ialah Pangeran In Ceng, yang kemudian bergelar Kaisar Yong Ceng.
Bagi Pak Kiong Liong yang yakin benar bahwa pilihan dalam Surat Wasiat adalah Pangeran In Te, berita naik tahtanya In Ceng itu lebih susah dipercayai daripada kalau mendengar kabar bahwa matahari muncul dari barat.
Begitu Pak Kiong Liong tiba di Pak-khia, ia tidak langsung pulang ke gedung kediamannya, melainkan ke gedung kediaman Bok Eng Siang, Panglima Pasukan Macan Terbang. Tubuh dan pakaiannya masih berbau keringat dan berlapis debu, ketika ia melangkah lebar memasuki gedung kediaman Bok Eng Siang.
Begitu berhadapan muka dengan Bok Eng Siang, Pak Kiong Liong lupa saling memberi salam atau berbasa-basi, langsung saja berkata dengan nada tinggi, "Bagaimana ini bisa terjadi? Sulit dipercaya!"
Dengan muka yang muram Bok Eng Siang berkata, "Duduk dan nikmati secangkir teh dulu, Goan-swe, agar hatimu menjadi agak tenang. Bukan Goan-swe saja, akupun rasanya sulit mempercayai dan menerima keadaan ini, Tapi baiklah aku terangkan jalannya peristiwa."
Meskipun darahnya sedang panas, Pak Kiong Liong sudah cukup tua umurnya untuk mengamuk seperti orang-orang muda. la duduk dan langsung menghirup teh tanpa menunggu dipersilakan oleh tuan rumahnya. Hati dan otaknya benar-benar sedang kacau.
Kemudian Bok Eng Siang berkata pelan- pelan, "Goan-swe, kira-kira sebulan setelah Goan-swe tinggalkan Pak-khia menuju Tiau-im-hong, Hong-siang tiba-tiba saja diumumkan wafat karena penyakitnya..."
Cangkir teh di tangan Pak Kiong Liong gemetar, karena tangan yang memegangnyapun gemetar, beberapa tetes air teh menciprat membasahi lengan bajunya. Seumur hidupnya, belum pernah Bok Eng Siang melihat Pak Kiong Liong demi kian terguncang. Bahkan ketika menghadapi pertempuran dahsyat di pinggir Sungai Ussuri dalam menghadang pasukan pasukan Rusia yang berjumlah amat besarpun, Pak Kiong Liong masih kelihatan tenang. Namun kini Jenderal tua itu gemetar tangannya.
"Saudara Bok, siapa yang mengumumkan wafatnya Hong-siang, dan siapa yang menungui detik-detik terakhir di sampingnya?" suara Pak Kiong Liong sama gemetar dengan tangannya.
"Menurut pengumuman Tabib istana Yo Ce Kui di aula Yang-wan-kiong, di hadapan sekalian Menteri, Panglima dan Bangsawan, Hong-siang wafat karena penyakitnya tak tersembuhkan. Dan itu adalah pengumuman resmi, siapapun dilarang menafsirkan lain daripada yang di umumkan itu, dengan ancaman hukuman penggal kepala..."
Pak Kiong Liong mengangkat cawannya untuk minum tehnya seteguk, "Dan siapa orang-orang disamping Hong-siang ketika beliau wafat?"
"Ipar Hong-siang Liong Ke Toh dan Pangeran In Ceng. Suatu kejanggalan bahwa permaisuri Tek Huai sendiri malah tidak ada di samping Baginda menjelang akhir hidupnya. Permaisuri baru diberitahu sejam kemudian oleh Bangsawan Liong."
Cawan teh di tangan Pak Kiong Liong gemeretak remuk oleh cengkeraman si panglima tua, pecahannya melukai kulit telapak tangan, sehingga darah menetes ke lantai bercampur air teh. Kemudian juga air mata. Pak Kiong Liong yang seumur hidupnya lebih pelit dengan air matanya melebihi segumpal darahnya, kini menangis sehingga pipinya dan kumisnya yang putih itupun dibasahi air mata.
Perlahan-lahan ia berlutut menghadap ke arah istana, dahinya menempel lantai dengan khidmat, dan suaranya terbata-bata, "Karena keserakahan hamba menggunakan waktu untuk kepentingan pribadi, maka Tuanku telah mengalami bencana. Sebenarnya hamba patut mati dicincang karena dosa besar ini, tapi biarlah hamba menebalkan muka untuk tetap hidup dan menyelidiki pengkhianat yang mencelakai Tuanku, juga untuk mengemban amanat Tuanku atas diri Pangeran In Te. Hamba mohon badan halus Tuanku membantu hamba melaksanakan cita-cita hamba ini...."
Bok Eng Siang yang berlutut pula di belakang Pak Kiong Liong itupun agak tergetar hatinya mendengar ucapan yang mirip sumpah prasetya itu. Kata-kata itu mengandung keyakinan Pak Ki-ong Liong bahwa In Ceng naik tahta dengan cara yang tidak beres. Diam-diam Bok Eng Siang bertekad pula, apabila Pak Kiong Liong menggerakkan Hui-liong-kun maka dirinyapun akan menggerakkan Hui-hou-kun untuk menyokongnya. Tidak peduli hampir seluruh pasukan di Pak-khia sudah mengumumkan sumpah setia sejak In Ceng menjadi Kaisar Yong Ceng.
Namun Bok Eng Siang sendiri belum menyatakan sumpah setia kepada Kaisar Yong Ceng, ia masih mengulur waktu dengan alasan sumpah setia itu akan diucapkannya kelak dihadapan pelantikan resmi Kaisar Yong Ceng, setelah lewatnya masa berkabung. Sementara itu Bok Eng Siang mengharap-harap agar Pangeran In Te dan pasukan-pasukannya cepat cepat tiba di Pak-khia.
Setelah mengucapkan kata-kata yang meluapkan perasaan itu, Pak Liong Liong menjadi agak tenang. Akal sehatnya masih menuntun dirinya, bahwa menggulingkan Kaisar Yong Ceng secara kekerasan akan menimbulkan perang saudara yang sekuat tenaga harus dihindarkannya. Tapi diapun bertekad bahwa kematian Kaisar Khong Hi harus diusut sampai sejelas-jelasnya. Tak akan dibiarkannya orang-orang yang mengambil tahta dengan cara yang curang.
Setelah duduk kembali di kursinya, begitu pula Bok Eng Siang, Pak Kiong Liong bertanya, “Setelah Baginda wafat, bagaimana dengan pembacaan Surat Wasiat itu? Apakah hal itu dilewatkan saja sehingga Pangeran In Ceng dapat naik tahta?"
Bok Eng Siang menarik napas beberapa kali dan menjawab, "Inilah bagian paling gila, paling tidak masuk akal, dari rentetan peristiwa yang mengantarkan Pangeran In Ceng sampai ke tahta. Ya, Goan-swe, inilah bagian paling gila dan paling tidak bisa dinalar. Pembacaan Surat Wasiat itu...."
“Cepat jelaskan..."
"Di hadapan puluhan Menteri, Panglima, Pangeran dan bangsawan lainnya, Surat Wasiat diturunkan dari tempatnya, diperiksa segelnya, dibuka dan kemudian dibacakan. Hampir tidak bisa kupercayai kupingku ketika Liong Ke Toh membacakan: Tahta diwariskan kepada Pangeran ke empat!"
"Jadi... yang membacakan adalah Liong Ke Toh?"
"Benar!"
"Gila! Tidak mungkinkah manusia itu bermain gila?! Semua orang tahu bahwa dia sangat mendukung Pangeran In Ceng!"
Bok Eng Siang lagi-lagi menarik napas. "Begitu pula rasa tidak percaya bergalau di aula Yang-wan-kiong itu. Tetapi Liong Ke Toh mempersilakan semua orang melihat sendiri tulisan Sri baginda di atas lembaran sutera kuning bercap Kekaisaran dan bertandatangan Sribaginda sendiri, tak mungkin palsu. Saat itu akupun ikut mendesak maju untuk membacanya sendiri, dan isi surat memang tepat seperti yang diucapkan Li ong Ke Toh. Saat itu akupun hampir gila rasanya."
"Terus bagaimana?"
"Beberapa orang yang tadinya ragu-ragu, langsung saja menyatakan mendukung Kaisar baru demi memenuhi amanat Kaisar lama. Pangeran In Gi dan In Tong yang terang-terangan mengatakan tidak mempercayai keaslian Surat Wasiat itu, segera ditangkap oleh pengawal-pengawal Pangeran In Ceng. Dan sekarang entah bagaimana nasib kedua Pangeran itu....?"
Wajah Pak Kiong Liong semakin gelap. Biarpun In Gi dan In Tong tidak akrab dengannya, tapi sering juga kedua Pangeran itu datang ke rumahnya untuk berbincang-bincang dalam banyak hal, terutama In Gi yang tinggi besar dan gemar ilmu silat. Kini entah bagaimana nasibnya?
Pak Kiong Liong berkata kemudian, "Sangat mustahil kalau Surat Wasiat itu menunjuk Pangeran In Ceng. Aku masih ingat ketika pada suatu hari aku berbicara berdua saja dengan Hong-siang, tentang keenam belas orang putera Hong-siang itu. Biarpun saat itu ia belum menyatakan terang-terangan Pangeran In Te sebagai ahli warisnya, namun Hong-siang saat itu nampak puas dan memuji-muji Pangeran In Te yang masih muda namun berbakat bagus menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana. Di anugerahinya putera ke empatbelas itu sehelai jubah naga kuning dan diangkat menjadi Panglima Tertinggi Kekaisaran. Tidakkah itu pertanda bahwa Hong-siang mempersiapkannya menjadi penggantinya. Bagaimana bisa Surat Wasiat itu tiba-tiba menunjuk Pangeran In Ceng yang paling tldak disenangi oleh Hong-siang itu? Surat Wasiat itu pasti tidak beres!"
Melulu kalimat "surat Wasiat tidak beres" itu saja sudah membutuhkan nyali yang amat besar untuk mengucapkannya terang-terangan. Sesaat ruangan itu dicekam kesunyian, dua Panglima pendukung Pangeran In Te itu berpikir keras mencoba memecahkan soal aneh yang mendadak mengubah jalannya sejarah kekaisaran Manchu dari rel yang semula ditetapkan itu.
"Siapa Tabib Istana yang mengumumkan wafatnya Sribaginda?" tanya Pak Kiong Liong memecah kesenyapan.
"Yo Ce Kui!"
"Oh, yang rumahnya dekat persimpangan kuil Goat-sian-li itu?"
"Benar."
Pak Kiong Liong bangkit meninggalkan kursinya dan berkata tegas, "Sekarang juga aku harus bicara dengan Yo Ce Kui...!”
Dengan menunggangi kudanya, tak lama kemudian Pak Kiong Liong sudah tiba di depan rumah Yo Ce Kui, tabib istana yang juga sering dipanggil Yo Si she itu. Sebagai seorang tabib istana yang berpenghasilan tinggi, rumah tabib itu besar dan mentereng. Namun ketika Pak Kiong Liong tiba di situ, keadaannya sangat sunyi. Pintu depan tetap tertutup rapat, meskipun Pak Kiong Liong sudah lama mengetuknya, bahkan menggedornya. Beberapa orang yang lewat di depan rumah itu menengok dan dengan heran melihat kelakuan Pak Kiong Liong, tapi kemudian lewat terus tanpa menggubris.
Pak Kiong Liong tak sabar lagi. Dengan mengerahkan sebagian tenaganya, ia mendorong pintu secara paksa sehingga palang pintu yang cukup kuat di bagian dalam itupun berderak patah. la melangkah masuk. Di bagian halaman rumah tabib yang luas itu penuh ratusan jenis tanaman obat yang menunjukkan bahwa beberapa hari yang lalu tanaman itu masih terawat rapi, tapi saat ini rumput liar sudah panjang-panjang tumbuh di sela-selanya.
Tiba-tiba saja Pak Kiong Liong merasakan suatu perasaan kurang enak menyusupi hatinya. Pak Kiong Liong tahu, meskipun Yo Sinshe berusia hampir setengah abad, namun tetap membujang. la hanya tinggal di rumah itu ditemani seorang pembantu. Namun kali ini Pak Kiong Liong tidak melihat seorangpun. la melangkah melewati deretan tanam-tanaman obat itu menuju ke rumah yang juga tertutup pintunya.
Begitu Pak Kiong Liong mendorong pintu, bau busuk segera menerjang hidungnya. Sinshe Yo Ce Kui yang gemuk itu tergantung di belandar rumahnya dengan seutas tali menjerat lehernya, sebuah bangku tergelimpang dekat kakinya. Tubuhnya sudah dikerumuni ribuan lalat dan semut, agaknya sudah mati beberapa hari dan tak ada tetangga yang mengetahuinya.
Pada dinding rumahnya tertulis kata-kata, "Hamba berdosa besar kepada Sribaginda dan patut mampus."
Pak Kiong Liong menutup hidungnya dan menahan rasa mualnya, lalu berjalan berkeliling memeriksa rumah itu. Tetapi tak ada yang menarik perhatiannya kecuaii kenyataan bahwa Yo Sin-she menggantung diri dengan meninggalkan coretan di dinding itu. Itupun cukup menimbulkan kecurigaan Pak Kiong Liong bahwa wafatnya Kaisar Khong Hi agak tidak beres. Mungkinkah Kaisar Tua itu dihabisi oleh putera dan iparnya sendiri? Darahnya kembali bergolak kalau memikirkan kemungkinan itu.
Pak Kiong Liong segera meninggalkan rumah itu. Namun sebelum pergi ia sempat memberitahu beberapa tetangga Tabib Yo agar merawat selayaknya tubuh tabib itu. Para tetangga menjawabnya dengan ogah-ogahan, rupanya karena Yo Ce Kui tergolong seorang yang sombong di lingkungan tetangganya.
Kemudian Pak Kiong Liong menuju ke rumah Panglima Han-Lim-kun, pasukan yang mengawal ruang penyimpanan Surat Wasiat Kaisar Khong Hi itu. Di sinipun Pak Kiong Liong tidak berhasil mendapat keterangan yang memuaskan. Panglima itu dengan sangat meyakinkan berani sumpah disambar geledek bahwa dia tidak disuap pihak manapun untuk memberi kesempatan mendekati Surat Wasiat itu.
Bahkan juga menjaganya dengan ketat siang dan malam, sampai surat itu dibuka dan dibacakan setelah wafatnya Kaisar Khong Hi. Panglima Han-Lim-kun itu tahu Pak Kiong Liong menyelidiki hal itu karena penasaran Pangeran In Ceng yang naik tahta, bukan Pangeran In Te yang “dijagokan” Pak Kiong Liong dan sebagian tokoh-tokoh pemerintahan.
Ketika Pak,Kiong Liong hendak berpamitan pulang, Panglima Han-Lim-kun itu malahan menghibur Pak Kiong Liong seperti menghibur seorang anak-anak yang kehilangan layang-layang kesayangannya. “Barangkali memang Pangeran Ke empatlah yang dikehendaki Sian-ho kaisar terdahulu untuk menggantikannya. Sikap Sian-ho selama ini agaknya cuma tabir menutupi maksud yang sebenarnya, mungkin untuk mengalihkan perhatian orang. Memang....."
Dan seterusnya. dalam ucapanya begitu banyak mengandung kata "barangkali" atau "agaknya" atau "mungkin" itu jelas amat kabur dan tak bisa dipegang kepastiannya.
Pak Kiong Liong hanya menyeringai kecut mendengar penjelasan yang bertele-tele itu. Katanya, "Kalau memang amanat Sribaginda menunjuk Pangeran Keempat, aku tidak akan rewel lagi. Tapi bagimana kalau dalam urusan pergantian tahta itu ternyata ada kecurangan?”
Wajah Panglima Han-Lim-kun itu berubah hebat mendengar itu. "Maksud Goan-swe, Kaisar yang sekarang ini..." lalu buru-buru mulutnya dibungkam sendiri, tidak berani meneruskan kalimatnya, khawatir kalau ucapannya sampai ke telinga Kaisar Yong Ceng maka dia akan mengalami nasib seperti Pangeran In Gi dan In Tong.
Sedang Pak Kiong Liong tidak ragu ragu menunjukkan sikapnya, meskipun untuk itu harus menentang arus. Katanya, "Aku memang curiga terjadi kecurangan disekitar Surat Wasiat itu. Kalau sampai orang curang itu aku ketahui, tak peduli apapun yang terjadi, aku akan menegakkan Hukum Kekaisaran atas dirinya. Kau sendiri bagaimana, saudara He? Masihkah kau setia kepada Sian-hong?"
"Budi Sian-hong sebesar gunung dan sedalam samudera, bagaimana aku tidak mengingatnya?" sengaja Panglima Han-Lim-kun itu menghindari kata "setia” dan cukup diganti dengan "mengingat".
"Bagaimana sikap saudara, kalau Surat Wasiat Sian-hong yang sama-sama kita junjung tinggi itu diseIewengkan oleh sebuah komplotan kotor demi ingin mengangkangi tahta!" Pak Kiong Liong mendesak.
Panglima Han-lim-kun itu merasa terjepit. Di satu pihak, ia kagum akan sikap tegar Pak Kiong Liong yang tidak tanggung-tanggung melawan arus. Di lain pihak, meskipun ia setia kepada Kaisar Khong Hi, tapi Kaisar itu sudah meninggal dan yang berkuasa saat itu ialah Kaisar Yong Ceng, la tidak ingin mempertaruhkan kedudukannya yang didapatnya dengan susah payah itu hanya karena mendengar "ocehan" Pak Kiong Liong, si Jenderal tua yang nampaknya sedang "kebingungan" itu.
Jawaban Panglima Han-Lim-kun itu akhirnya kacau, "Aku tidak tahu apa-apa, Goan-swe, aku cuma menjalankan perintah siapapun yang berkuasa dan tidak bisa lain pilihan. Aku... aku maaf, tidak berani ikut apa yang sedang Goan-swe selidiki...."
Pak Kiong Liong muak akan sikap itu, namun bisa juga memakluminya karena memang demikian watak sebagian besar manusia. Mereka hanya tahu bahwa Kaisar Yong Ceng sedang berkuasa dan menutup mata rapat-rapat terhadap bagaimana caranya ia mendapatkan kekuasaannya. Biar junjungannya busuk, supaya aman ya tutup mata saja, kalau perlu ikut-ikutan jadi busuk sekalian agar tidak terlempar dari kedudukan empuknya.
Sambil mengulum senyum getir, Pak Kiong Liong berkuda kembali ke gedung kediamannya. Di rumah Sin-she yo ia cuma disambut mayat setengah membusuk, dan di rumah Panglima Han-Lim-kun ia malah dibikin kenyang dengan sikap "ilalang mengikuti angin" dari si Panglima. "Panglima edan," kutuk Pak Kiong Liong di dalam hatinya. "Apa aku kelihatan begitu bingung dan putus asa, sehingga dia menasehatiku seperti itu? Apa dikiranya aku mendukung Pangeran In Te demi mencari kedudukan yang lebih tinggi bagi diriku sendiri?"
Malam itu Pak Kiong Liong hanya beristirahat badannya, tapi pikirannya tidak. Besok subuh, untuk pertama kali ia akan menghadiri Sidang Kerajaan yang dipimpin Kaisar baru, entah akan bagaimana sikap Kaisar Yong Ceng kepadanya? Bagaimana pula sikap Liong Ke Toh?
Keesokan harinya, Pak Kiong Liong benar-benar hadir dalam Sidang Kerajaan. Ketika tambur Liong-hong-kou dan lonceng Keng-yang-kiong di kiri kanan istana berbunyi menandakan hadirnya Sang Kaisar, maka Pak Kiong Liong memaksakan diri untuk berlutut pula agar tidak merusak tata tertib persidangan.
Kaisar Yong Ceng muncul di singgasana dengan jubah kuning bersulam naga dan topi kuning bersulam naga pula, di samping sekalian hadirin dengan seruan "Ban-swe! Ban-swe!". Dengan sikap sangat menarik hati, Kaisar Yong Ceng menyuruh para hadirin untuk bangkit dari berlututnya.
Kemudian sidangpun berjalan seperti biasanya. Beberapa Menteri atau Pejabat Tinggi memberikan laporan atau usul-usul menurut bidang tugas masing-masing. Dan Kaisar Yong Ceng kemudian membagi-bagikan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk dengan gaya yang mempesona.
Melihat itu, terkesiaplah Pak Kiong Liong. Kalau gaya mempesona Kaisar muda itu terus-menerus ditunjukkan kepada para Menteri dan Panglima, tidak mustahil orang-orang yang tadinya mendukung Pangeran In Te bisa berbalik mendukung Kaisar Yong Ceng, dan akan makin sulit bagi In Te untuk menuntut haknya, kecuali lewat kekerasan yang akan menumpahkan banyak darah.
"Pangeran In Te harus mempercepat perjalanan pasukannya ke Pak-khia, sebelum orang terlanjur terpesona dan memihak In Ceng...." pikir Pak Kiong Liong.
Setelah bertanya-tanya dengan beberapa Panglima dan Menteri tentang beberapa urusan negara, paling akhir barulah Yong Ceng memandang ke arah Pak Kiong Liong dan berkata, "Kenapa Paman berdiri agak di belakang, tidak di depan seperti biasanya? Apakah Paman takut aku gigit?"
Memang bukan giginya yang menggigit, namun sapaan Yong Ceng itupun sudah cukup "menggigit". Pak Kiong Liong dengan sikap tenang melangkah maju dan berlutut di bawah tangga singgasana sambil berkata, "Hamba menghaturkan sembah untuk Tuanku."
"Bangkitlah, Paman. Paman adalah sesepuh kerabat istana yang seangkatan dengan mendiang Ayahanda dan Paman Liong Ke Toh, jangan terlalu sungkan kepadaku."
"Terima kasih, Tuanku."
"Bagaimana dengan perjalanan Paman ke Tiau-im-hong? Apakah puteri Paman dan cucu kembar Paman yang manis-manis itu dalam keadaan sehat-sehat semua? Bagaimana pula dengan Ketua Hwe-Liong-pang? Aku pernah berhutang budi kepada mereka semua."
"Mereka sehat-sehat semuanya, Tuanku. Mereka tentu akan bersyukur sekali kalau mengetahui perhatian Tuanku terhadap mereka."
"Tentunya Paman agak kaget mendengar bahwa aku sudah naik tahta menggantikan Ayahanda?"
"Memang agak di luar dugaan, Tuanku," kata Pak Kiong Liong terus terang, membuat para hadirin terkejut. Bukan saja khawatir akan terjadi keributan seperti tempo hari, tapi juga mencemaskan nasib si Jenderal tua yang sudah mengalami jaman tiga Kaisar itu. Sun Ti, Khong Hi dan kini Yong Ceng.
"Paman kecewa bahwa yang naik tahta adalah aku, bukan Adinda In Te?" tanya Kaisar.
“Mana berani hamba kecewa? Hamba hanya heran bahwa Surat Wasiat Sian-hongya ternyata demikian isinya. Juga heran bahwa Sian-hong-ya meninggal dunia ketika hamba sedang tidak ada di Pak-khia, padahal sebelum hamba tinggalkan Pak-khia, hamba sempat menengok dan mellhat kesehatan Sian-hong-ya semakin baik?"
Perlahan-lahan darah Kaisar Yong Ceng naik ke kepala, wajahnya mulai mmerah perlahan-lahan pula. Ucapan Pak Kiong Liong itu rnengandung nada tuduhan dan kecurigaan terhadapnya, lagipula diucapkan tanpa bisik-bisik di tengah-tengah Sidang istana.
Disaat Yong Ceng hampir saja memerintahkan sebuah tindakan keras atas diri Pak Kiong Liong, mendadak di bawah singgasana dilihatnya Liong Ke Toh mengedip-ngedipkan mata ke arahnya. Itulah isyarat agar Yong Ceng tidak terjebak oleh “Pembicaraan berperangkap" yang dikehendaki Pak Kiong Liong. Liong Ke Toh bisa menebak bahwa Pak Kiong Liong sengaja rnemanaskan hati Kaisar Yong Ceng lebih dulu, kemudian Kaisar akan dilibatkan dalam pernbicaraan yang berbahaya agar keseleo lidah dan membuka kedoknya sendiri.
Menangkap isyarat Liong Ke Toh itu, Yong Ceng dapat mengendalikan diri. Sambil menunjukkan muka sedih, dia pun berkata, “Akupun sangat terpukul dengan wafatnya Hu-hong, padahal semula aku sudah gembira melihat kesehatannya membaik. Tentang Surat Wasiat yang menunjuk diriku, akupun merasa sangat di luar dugaan. Aku paham ada banyak pihak yang kecewa oleh isi Surat Wasiat itu, namun aku lebih-lebih tidak berani mengecewakan harapan Hu-hong yang diletakkan di atas pundakku, seperti yang dituliskannya sendiri dalam Surat Wasiat itu. Aku harus mengemban amanatnya, agar arwah Hu-hong tenang di alam baka."
Pak Kiong Liong tertawa dalam hati melihat peragaan sandiwara "kucing menangisi tikus" itu. la masih ingat bagaimana bernafsunya In Ceng akan tahta dan sekarang ia pura-pura menduduki tahta seolah-olah dengan "terpaksa“ demi "memenuhi amanat Ayahanda" segala.
Sementara itu Yong Ceng juga tahu bahwa sulit membuat Pak Kiong Liog mempercayainya. Namun, meskipun seolah-olah ia bicara kepada Pak Kiong Liong, sasaran sebenarnya dari sandiwara "kucing menangisi tikus" itu ialah hadirin di ruangan itu, agar mereka semua terpikat hatinya dan berdiri dipihaknya. Kalau seluruh orang di kekaisaran berdiri di pihaknya, biarpun ada sepuluh orang macam Pak Kiong Liong yang tidak mempercayai juga tidak jadi soal.
Kata Kaisar Yong Ceng lebih lanjut, "Aku sedih mendengar banyak orang menuduh aku berbuat curang dalam mendapatkan tahta. Bahkan juga beberapa keluarga dekatku sendiri. Karena itulah terpaksa aku memberlakukan Hukum Kekaisaran atas diri Adinda In Gi dan Ad inda In Tong yang coba-coba menentang Amanat Hu-hong. Kepada Paman Pak Kiong Liong, aku mohon agar Paman berbuat sesuatu untukku..."
"Apa yang bisa Tuanku harapkan dari seorang tua yang pikun dan rewel seperti hamba ini?"
"Paman terlalu merendah. Aku tahu bahwa Paman punya pengaruh kuat atas diri Adinda In Te, karena itu aku mohon agar Paman mau membujuk adikku, agar ia bersedia membantu aku membangun kekaisaran ini. Begitu pula Paman sendiri masih aku harapkan bantuan tenaga untuk mengatur pemerintahan. Bagaimana dengan tawaranku yang tulus keluar dari dasar hati ini?"
Selama ini Pak Kiong Liong menilai Yong Ceng hanya seorang yang bisa menyelesaikan masalah dengan kekerasan dengan otot. Namun ucapannya kali ini memperIihatkan kelihaian silat lidahnya dalam usaha menyudutkan Pak Kiong Liong. Ucapan yang dilontarkan di depan begitu banyak hadirin dan bernada menawarkan perdamaian itu tentu saja mendapat kesan baik dari sekalian hadirin.
Kalau Pak Kiong Liong bersikeras menolak, tentu akan mendapat kesan buruk, dianggap serakah ingin menggucang ketenangan yang mulai mapan dan lain-lainnya. Tapi kalau Pak Kiong Liong menerima, itu sama saja dengan mengakui kekuasaan Yong Ceng adalah sah, dan orang macam Pak Kiong Liong tidak mungkin menjilat kembali ludahnya dikemudian hari. Dengan demikian, baik menjawab “ya" ataupun "tidak" sama-sama sulit bagi Pak Kiong Liong.
Sesaat ruangan sidang itu sunyi mencekam, semua hadirin menunggu bagaimana jawaban Pak Kiong Liong. Sementara Pak Kiong Liong sendiri berpikir, “Licin juga bocah ini. Agaknya selama ini aku terlalu memandang rendah kepadanya..."
Memang, kalau Yong Ceng alias In Ceng alias Su Liong-cu tidak licin, bagaimana mungkin pendekar-pendekar Kang Lam semacam Kam Hong Ti dan Pek Thai Koan juga berhasil dipikat untuk diperalat tenaganya?
Akhirnya kesunyian itupun dipecahkan oleh suara Pak Kiong Liong yang tenang, "Tuanku, Pangeran In Te pernah bicara kepada hamba bahwa diapun bercita-cita membangun dan menjayakan kekaisaran. Dia juga tak ingin bertentangan dengan siapapun, apalagi saudaranya. Hamba pikir, ajakan Tuanku akan diterimanya dengan senang hati kalau persoalannya sudah jelas...."
"Di hari-hari yang lewat, memang paling banyak kesalahpahaman antara aku dan Adinda In Te dibandingkan dengan saudara-saudaraku lainnya. Tapi itu sudah lewat, kami bersaudara, jadi buat apa lagi mengungkit-ungkit soal lama?"
"Ampunilah hamba, Tuanku. Rasanya selama dua macam persoalan yang ada sekarang ini belum diterangkan sehingga jelas benar, sulit sekali bagi Adinda Tuanku untuk menahan diri!"
Senyuman ramah di wajah Kaisar Yong Ceng perlahan-lahan lenyap, alis tebalnya mulai berkerut. "Bagaimana Paman bisa tahu pikiran dan tindakan apa yang dilakukan Adinda In Te, seolah Paman ini cacing dalam perutnya. Apakah perjalanan Paman ke Tiau-im-hong itu sebenarnya hanya kedok, sebenarnya Paman pergi menjumpai Adinda In Te untuk menanas-manasi hatinya agar melawan aku?"
Semakin marah Kaisar Yong Ceng, semakin menakutkan bagi orang lain, tetapi justru semakin menyenangkan bagi Pak Kiong Liong yang mengharap si marah itu agar "keseleo lidah" tentang peristiwa wafatnya Kaisar Khong Hi dan anehnya isi Surat Wasiat itu. Pak Kiong Liong siap mempertaruhkan nyawa dan kedudukannya demi membongkar tuntas rahasia keanehan kedua peristiwa itu.
Sahut Panglima Hui-Liong-kun itu, "Tuanku, hamba tidak berani bohong ketika berpamitan dengan Sian-hong dulu. Hamba benar-benar pergi ke Tiau-im-hong, tidak pergi ke mana-mana."
Ketenangan Pak Kiong Liong itu membuat Yong Ceng jengkel sendiri sehingga tak kuasa mengendaIikan diri lagi, ia membentak, "Tua bangka berlidah ular, aku perintahkan untuk menutup mulut!"
Ucapan kasar yang kurang pantas bagi seorang Kaisar itu mengejutkan para Menteri dan Panglima yang hadir di situ, dan membuat citra Kaisar Yong Ceng tadi akan ternoda, Liong Ke Toh semakin giat mengedip-ngedipkan matanya memberi isyarat dari bawah singgasana, tapi biarpun matanya sampai pegal, isyaratnya itu tidak dilhat oleh Kaisar. Keruan Liong Ke Toh mengeluh dalam hatinya, pikirnya,
"Kalau begini terus, Kaisar bisa terjebak oleh perangkap Pak Kiong Liong dan melucuti kedok sendiri, Menteri dan Panglima yang sudah memperlihatkan kepatuhan, bisa berbalik kiblat kembali."
Tapi akhirnya Kaisar melihat juga isyarat dari Liong Ke Toh itu dan berusaha menguasai sikapnya agar tidak kelihatan "kampungan". Selama berlangsungnya tanya jawab yang menegangkan antara Kaisar Yong Ceng dengan Pak Kiong Liong itu, puluhan orang Menteri dan Panglima hanya berdiri kaku, tak berani menimbrung bicara.
Menggerakkan ujung jari kaki atau bernapaspun tak berani keras-keras. Mereka khawatir kalau Kaisar marah kepada Pak Kiong Liong tapi tak berani menghukumnya, jangan-jangan hukuman akan ditimpakan kepada mereka, sekedar untuk pelampiasan kemarahan?
Memang terhadap Pak Kiong Liong, Kaisar Yong Ceng tidak bisa mengambil tindakan gegabah. Dengan mengerahkan pengawal-pengawal setianya, Yong Ceng yakin bisa membunuh Pak Kiong Liong di tempat itu juga, tapi bukankah itu berarti menyulut kemarahan Pangeran In Te? Yong Ceng sadar, pihaknya masih belum siap untuk menghadapi adiknya itu secara terbuka.
Karena itu, betapapun jengkelnya ia, ia tetap berusaha menyabarkan diri. Katanya kemudian, "Maafkan, aku tadi bersikap kasar terhadap Paman. Aku mohon Paman pun bisa membawa diri dalam sidang ini."
"Hebat bocah ini pikir Pak Kiong Liong. "la adalah pemain sandiwara ulung. Tetapi aku harus tetap memancingnya agar kedoknya terlucuti di depan sidang ini."
Kata Pak Kiong Liong kemudian. "Tuanku, hamba masih ingin melanjutkan permohonan hamba tentang dua persoalan yang harus dijelaskan tadi. Barangkali saja, kalau kedua soal itu menjadi terang secara memuaskan, Pangeran In Te akan bersedia tunduk kepada Tuanku..."
"Katakan," kata Kaisar Yong Ceng amat terpaksa, sebab ia sadar mulai memasuki babak pembicaraan berbahaya, yang bisa membuatnya terjungkir dari singgasana kalau keliru bicara.
"Tuanku, yang pertama hamba mohon penjelasan bagaimana wafatnya Sian-hong. Yang kedua, bagaimana mungkin dalam Surat Wasiat Sian-hong itu nama Tuankulah yang tercantum?"
"Pertanyaan pertama bisa kujawab, Hu-hong memang sudah berusia lanjut dan mengidap macam-macam penyakit, kalian semuapun tahu. Hanya saja ketika wafatnya beliau, hanya aku dan Paman Liong Ke Toh yang disampingnya, apakah hal ini patut dicurigai? Seorang putera dan seorang ipar berada di samping Hu-hong yang membutuhkan perhatian, apakah itu dosa besar? Paman kira aku seorang anak durhaka yang berani membunuh ayahku sendiri? Tentang soal nama ku yang tercantum dalam Surat Wasiat itu, agaknya Paman hanya bisa bertanya kepada arwah Hu-hong, tidak kepadaku, sebab akupun tidak tahu bagaimana bisa begitu. Atau Paman ingin mengingkari Amanat Hu-hong?"
"Hamba mohon ampun kalau kata-kata ini tidak berkenan di hati Tuanku. Supaya kewibawaan Tuanku kokoh, kekuasaan Tuanku langgeng, hamba pikir Tuan ku harus bisa menghadirkan saksi-saksi dan bukti-bukti kuat tentang kedua hal itu. Kalau tidak, hamba khawatirkan masih akan ada pihak-pihak yang meragukan kedudukan Tuanku saat ini syah atau tidak?"
Barangkali itulah peristiwa janggal di mana seorang Kaisar dituduh seperti maling ayam, oleh seorang Panglimanya sendiri. "Pak Kiong-Liong, lancang benar mulutmu!” kali lni yang membentak adalah Ni Keng Giau, pembantu terpercaya dan sekaligus adik seperguruan Kaisar Yong Ceng, yang saat itu menduduki jabatan sebagai Panglima Tiat-ki-kun. Tapi Ni Keng Giau cuma berani membentak dan tidak berani berbuat apa-apa, sebab sadar dengan siapa ia tengah berhadapan.
"Tenanglah, Sute," Kaisar menyuruh Ni Keng Giau diam, lalu berkata kepada Pak Kiong Liong. "Terserahlah kalau Paman tidak mempercayai penjelasanku tadi. Pada detik-detik terakhir hidupnya, Hu-hong berpesan secara lisan bahwa Adinda In Te memang berbakat dalam kemiliteran, tetapi ia terlalu polos untuk mengendalikan pemerintahan, karena itu Hu-hong memilih aku. Sedangkan Adinda In Te akan tetap menduduki Panglima Tertinggi Angkatan Peranq Kekaisaran, dengan demikian kami kakak beradik akan bahu-membahu membangun kekaisaran ini menjadi bertambah kuat dan jaya. Paman Liong Ke Toh kebetulan hadir pula saat itu di samping pembaringan Hu-hong dan ikut mendengar kan pesan lisan itu. Bukankah demikian, Paman?"
Pertanyaan terakhir itu ditujukan kepada Liong Ke Toh, Liong Ke Toh cepat berlutut dan berkata nyaring, “Memang benar demikian, Tuanku. Hamba mendengar Sian-hong mengatakannya sebelum wafatnya."
Sudah tentu "kesaksian" orang semacam Liong Ke Toh tidak dipercaya sedikitpun oleh Pak Kiong Liong. Tetapi Pak Kiong Liong sendiri juga tidak punya bukti atau saksi yang bisa meruntuhkan komplotan Kaisar Yong Ceng itu, semuanya masih berdasarkan dugaan atau kecurigaan sepihak saja.
Sementara itu Kaisar Yong Ceng berkata lagi, "Hanya orang durhaka yang pantas tidak mempercayai pesan terakhir Hu-hong itu. Tabib istana Yo Ce Kui juga sudah mengeluarkan pengumuman resmi tentang wafatnya Hu-hong itu. Tak ada keraguan lagi bahwa Hu-hong wafat secara wajar karena sudah lanjut usia dan penyakitnya!"
Sebenarnya Pak Kiong Liong harnpir terjepit karena "Kesaksian" Liong Ke Toh itu, namun disebut-sebutnya nama Yo Ce Kui memberi setitik peluang lagi baginya. Secara untung-untungan ia ingin memancing bagaimana reaksi Kaisar Yong Ceng atas ucapannya ini. "Tuanku, kemarin sore hamba telah bertemu dengan sin-she Yo Ce Kui di rumahnya."
Pancingan itu kena. Wajah Kaisar tiba-tiba berubah hebat dan hampir melompat dari singgasananya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Pak Kiong Liong dan menimbulkan pikiran dalam hatinya, "Kalau tidak ada apa-apa dengan wafatnya Sian-hong, kenapa bocah itu nampak kaget sekali?" Lalu Pak Kiong Liong ingat pula tulisan di dinding rumah Sin she Yo tentang "berdosa kepada Sribaginda" segala itu.
Suara Yong Ceng terdengar gugup, "Apa... apa saja... yang Paman... bi... bicarakan dengan Yo Sin-she...?"
Pak Kiong Liong tersenyum. "Hamba tidak dapat bicara dengannya, Tuanku. Sebab ketika hamba tiba, Yo Sinshe sudah mati menggantung diri di ruang tengah rumahnya..."
Sekali lagi Yong Ceng terjebak. Mendengar keterangan itu, wajah yang tadinya gugup itu mendadak menjadi tenang kembali dan lagi-lagi tidak lepas dari pengamatan Pak Kiong Liong. Liong Ke Toh yang mendengar dan menyaksikan pembicaraan itu dengan cermat, dan diam-diam mengeluh dalam hati. Betapapun cerdik Yong Ceng, pengalamannya masih kalah jauh dari Pak Kiong Liong yang pintar melontarkan kalimat-kalimat pancingan untuk menjajaki is i hat i Kaisar itu.
Para hadirin merasa lega ketika mendengar Kaisar Yong Ceng kemudian mengumumkan pembubaran sidang yang menegangkan urat syaraf itu. Semuanya berlutut mengantarkan Kaisar meninggalkan singgasananya. Tetapi begitu sidang bubar, Liong Ke Toh langsung menyusul Kaisar ke Gi-si-pong (kamar belajar).
“Katakan keperluanmu menemui aku, Paman?" tanya Kaisar. "Apakah tidak bisa aku dibiarkan istirahat sebentar, setelah Pak Kiong Liong baru saja membuat otakku hampir meledak di persidangan tadi?"
Liong Ke Toh berlutut sambil menjawab, "Ampuni hamba, Tuanku, namun yang hendak hamba katakan ini cukup penting demi kelanggengan singgasana di tangan Tuanku."
Dengan gerakan tangannya, Yong Ceng menyuruh semua pelayan meninggalkan ruangan itu, sehingga ia tinggal berdua saja dengan Liong Ke Toh, "Katakanlah, Paman."
"Tuanku, menurut pikiran hamba, semakin lama Pak Kiong Liong dibiarkan hidup, semakin berbahaya dia. Sikap bandelnya dan mulutnya yang tajam bisa mempengaruhi para Menteri Panglima yang setia kepada Tuanku."
"Menurut pengamatan Paman, dalam pembicaraanku dengan Pak Kiong Liong tadi, apakah aku membuat kesalahan ucapan atau sikap?"
"Hamba mohon ampun, Tuanku, sebenarnyalah tadi Tuanku beberapa kali hampir terperosok oleh ucapan-ucapan Pak Kiong Liong yang berperangkap."
Yong Ceng berjalan hilir-mudik dalam ruangan itu, seolah sedang mengukur luas ruangan itu dengan langkahnya. Ujung lengan jubahnya nampak bergetar, menandakan tangannya gemetar pula. Apabila rahasia muslihatnya dalam merebut tahta sampai terbongkar, habislah riwayatnya. Pejabat-pejabat yang masih setia kepada Kaisar Khong Hi tentu akan berbaris di belakang Pak Kiong Liong untuk menentang dirinya. la akan diberontak dan diturunkan dari tahta, bahkan akan diadili sebagai pengkhianat terhadap Kekaisaran dan Ayahandanya sendiri. Keringat dingin membasahi punggungnya kalau ingat hal itu.
"Aku sependapat dengan Paman bahwa Pak Kiong Liong harus segera dibungkam. Tapi bagaimana caranya? la masih berpengaruh kuat dalam pemerintahan karena jasa-jasanya yang dulu, juga harus kita perhitungkan Adinda In Te yang masih memegang kekuasaan atas pasukan besar yang sedang pulang dari Jing-hai. Kalau Paman Pak Kiong Liong kita singkirkan begitu saja, tentu akan timbul pergolakan dan ketidakpuasan yang membahayakan kedudukanku yang belum kokoh ini."
"Hamba punya sebuah pikiran, Tuanku...”
“Coba Paman katakan."
"Ke Pen-po Ceng-tong (Kementerian Perang) baru saja masuk laporan dari Panglima kita di Liao-yang, bahwa pasukan Jepang sudah mendaratkan regu-regu perintis mereka di pantai timur laut sebagai persiapan untuk merebut kembali Tiau-sian (Korea) ke tangan mereka. Nah, kita bisa melakukan siasat sekali tepuk dua lalat mati!"
Jaman Kerajaan Beng dulu, jazirah Tiau-sian pernah direbut oleh Jepang yang tengah kuat-kuatnya di bahwa pimpinan Toyotomi Hideyoshi waktu itu. Ketika Manchu bangkit menundukkan bekas wilayah Kerajaan Beng, maka Tiau-sian berhasil direbut dari Jepang, sehingga jazirah itu senantiasa menjadi sengketa antara Cina dan Jepang, silih berganti perpindah tangan.
"Bisakah Paman menjelaskan lebih baik?"
"Pertama, tugaskan Pak Kiong Liong dengan kekuatan secukupnya saja, jangan lebih kuat dari pasukan Jepang, tetapi cukup untuk melelahkan pihak Jepang. Pasukan Jepang terdiri kira-kira 100.000 samurai dan mungkin beberapa regu dengan senjata api serta meriam. Di belakang Pak Kiong Liong kirimkan Ni Keng Giau dengan pasukan yang jauh lebih kuat, namun harus datang terlambat agar pasukan Pak Kiong Liong hancur lebih dulu. Setelah itu, Ni Keng Giau tinggal menggulung sisa-sisa pasukan Jepang yang belum sempat menyusun diri lagi setelah bertempur melawan Pak Kiong Liong."
Kaisar Yong Ceng mengangguk-angguk. "Tetapi nyawa Pak Kiong Liong itu alot sekali, tidak gampang mati meskipun dalam perang-perang besar. Ingat pertempuran besar di tepi Sungai Ussuri ketika melawan tentara berkuda Kazak Rusia? Berapa banyak panglima dan prajurit kekaisaran kita berguguran, tetapi Pak Kiong Liong tidak, malahan berhasil memukul mundur musuh."
"Tuanku, Ni Keng Giau perlu dibekali pesan agar menamatkan riwayat Pak Kiong Liong setiap ada peluang. Dalam pertempuran yang kisruh, soal yang wajar kalau seseorang kena panah atau peluru nyasar entah darimana datangnya, siapa dapat menuduh kita? Lagi pula, kalau kelak jenazah Pak Kiong Liong diba wa pulang ke Pak-khia dan kita memakam kannya dengan upacara kehormatan besar besaran, tidak akan ada lagi yang mencurigai kita."
Kaisar Yong Ceng tertawa bergelak karena gembiranya. "Ha-ha-ha.... Paman benar-benar ahli siasat yang hebat!"
"Terima kasih atas pujian Tuanku."
Ni Keng Giau kemudian disuruh datang untuk diberitahu rencana itu. Dua hari kemudian, dihadapan Sidang istana, Kaisar Yong Ceng mengumumkan bahwa perang dengan Jepang telah berkobar lagi, entah yang ke berapa puluh kalinya sejak berabad-abad. Untuk itu, Ni Keng Giau dan Pak Kiong Liong ditugaskan membawa pasukan ke timur laut untuk menggusur balatentara Jepang dari wilayah Kekaisaran Manchu.
Perintah itu tak bisa ditolak oleh Pak Kiong Liong, karena itu bukan tugas dari Yong Ceng pribadi, melainkan tugas Kekaisaran. Yang agak janggal ialah bahwa Si Jenderal ingusan Ni Keng Giau diangkat sebagai pemimpin seluruh pasukan, dan Pak Kiong Liong yang lebih senior serta jauh lebih berpengalaman, hanyalah menjadi bawahan Ni Keng Giau. Tapi kalau mengingat bahwa Ni Keng Giau adalah adik seperguruan Kaisar, maka keherananpun harus disingkirkan jauh-jauh.
Tanpa buang-buang waktu, Ni Keng Giau segera menyusun pasukannya. Dengan alasan bahwa pasukan musuh perlu lebih dulu dikagetkan dan dikacaukan dengan pasukan gerak cepat, maka Pak Kiong Liong dan 2.500 tentara berkuda Hui-Liong-kun disuruh berangkat lebih dulu agar pasukan musuh lebih dulu tegang, setelah itu barulah pasukan induk Ni Keng Giau akan maju menggempur pasukan jalan kaki.
Keesokan harinya, berangkatlah Pak Kiong Liong dengan tentara berkudanya menuju timur laut. la didampingi wakilnya, Tong Siau Beng dan dua panglima bawahannya yang tangguh, masing-masing Hai Lun To yang berjulukan Thai lek-stau-him (Beruang Cilik Bertenaga Raksasa), karena meski tubuhnya pendek kecil, tapi tenaganya hebat. Satu lagi adalah Ki Peng Lam yang berjulukan Tui hong-kak (Kaki Pemburu Angin) karena kehebatan ilmu meringankan tubuhnya.
Duaribu lima ratus prajurit perkasa berbaris keluar dari pintu timur Pak-khia, dengan kibaran bendera-bendera yang megah, derap kuda-kuda yang menghentak-hentak jantung dan gemerincing senjata-senjata yang dibawa. Kelihatan megah sekali.
Kaisar Yong Ceng melihat keberangkatan pasukan itu dari atas tembok kota, dan tersenyum dingin. Dalam pandangannya, pasukan megah itu hanyalah calon-calon mayat yang sedang berbaris menuju lubang kubur masing-masing.
"Mereka akan habis digasak pasukan Hirosaki, Si Naga Laut Timur," kata Liong Ke Toh yang berdiri di samping Kaisar. "Setelah itu, ganti Hirosaki yang akan remuk digilas Ni Keng Giau..."
Dua hari kemudian, Pak Kiong Liong dan pasukannya sudah keluar dari kota San-hai-koan. Sebuah kota kecil namun amat bersejarah dalam riwayat jatuhnya daratan Cina ke tangan Dinasti Manchu. Lewat kota inilah Bu Sam-kui , hampir seratus tahun silam, takluk kepada Manchu dan "menuntun" pasukan Man chu untuk menguasai daratan tengah yang masih porak-poranda karena perang saudara antara Dinasti Beng melawan pemberontak Li Cu Seng.
Perjalanan kaki-kaki kuda mulai lambat karena salju tebaI yang menutup dataran timur laut, namun prajurit-prajurit gemblengan Pak Kiong liong itu maju terus. Kemudian pasukan itu beristirahat sehari di kota Jiat-ho, bekas ibukota Kerajaan Manchu ketika belum menyerbu masuk San-hai-koan, kemudian memindahkan ibukota ke Pak-khia, bekas ibukota Kerajaan Beng. Di kota ini tidak terdengar percakapan Bahasa Han, hampir semua penduduk berbahasa Manchu, tetapi ada juga orang-orang Han yang buka toko di kota dingin itu.
Pak Kiong Liong sendiri sebagai orang Manchu malah merasa asing dengan suasana Jiat-ho, sebab sejak kecil ia sudah berada di daratan tengah, tumbuh dewasa dalam suasana kebudayaan bangsa Han, sehingga ia sering lupa bahwa dirinya adalah orang Manchu.
Suasana perang sudah terasa di kota itu, sebab Jiat-ho tidak jauh dari Liao-yang, benteng terdepan menghadapi serbuan pasukan lemitsu Tokugawa, Shogun di Jepang yang berkuasa melebihi Kaisar Jepang sendiri. Para pengungsi memenuhi kota itu, menghindari keganasan musuh, dan terpaksa harus meninggal kan sawah ladang tercinta.
Melihat suasana ketakutan dan kecemasan itu, Pak Kiong Liong diam-dian menarik napas. Itulah perang oleh para pencetus perang, boleh saja penyerbuan itu diselubungi semboyan yang bagus-bagus, namun akibatnya sama saja. Dulu ketika pasukan Manchu menyerbu daratan tengah, tentunya juga menimbulkan kengerian bagi Bangsa Han.
Begitu pula ketika Pangeran In Te menyerbu Jing-hai, tentunya orang-orang suku Hui di sana mengutuk orang Manchu sebagai penjajah-penjajah yang ganas. Tapi di Jiat-ho, semua pengungsi adalah orang Manchu yang sambil meratap sedih mengutuk orang-orang Jepang yang menyerbu kampung-kampung mereka.
Itulah manusia. Sulit diajak merasakan penderitaan sesama kalau diri sendiri sedang unggul. Kalau diri sendiri jatuh ke dalam penderitaan pula, merekapun mengutuk orang lain yang menyengsarakan mereka, lupa kalau mereka pun pernah menyengsarakan orang lain. Mengutuk dan menyalahkan orang lain itu gampang, memeriksa kesalahan diri sendiri itulah yang sukar.
Sambil mengistirahatkan kuda dan tentaranya di Jiat-ho, memeriksa dan merawat perlengkapan perang, Pak Kiong Liong juga menyebar mata-matanya untuk mengintai kekuatan musuh, dan di mana saja musuh menempatkan pasukannya. Beberapa hari kemudian, para mata-mata sudah kembali dan melapor bahwa balatentara Jepang masih mengambil posisi bertahan di sebelah timur Sungai Hek-liong dalam bentuk perkemahan-perkemahan tersebar di tempat-tempat menguntungkan.
Sementara pasukan induk sendiri tetap menduduki kota An-tong-koan di bawah pimpinan Sang Jenderal Hirosaki sendiri. Kabarnya, kalau kapal kapal balabantuan tiba dari Jepang, mereka akan segera menyeberang Sungai Hek-Liong untuk menggernpur Liao-yang dan merebut seluruh Propinsi Liao-tong.
Pak Kiong Liong termangu-mangu mendengar itu. Selama ini kekaisaran cuma tahu meluaskan daerahnya, menaklukkan Sehe, Tibet, Turfan, Jing-hai, lalu membelok ke utara sehingga bentrok dengan Kekaisaran Rusia yang tengah mencaploki wilayah Asia Tengah. Luasnya daerah membutuhkan pasukan yang kuat pula untuk menjaganya, dan ternyata Gubernur di Liao-tong tak kuasa membendung pasukan Jepang sehingga harus minta tolong ke pusat.
Setelah berunding dengan panglima-panglima pembantunya, Pak Kiong Liong memutuskan untuk memberi kejutan dengan memotong rantai pertahanan sepanjang tepi timur Sungai Hek-liong. Memang bukan serangan menentukan yang serta-merta membuat Jepang kalah, tapi hanya sebagai "pemanasan" saja. Pak Kiong Liong mengharap ketangkasan mengendarai kuda dari prajurit-prajuritnya akan mampu mendukung "serang dan lari" yang akan dilakukan bertubi-tubi itu, sambil menunggu datangnya pasukan darat Ni Keng Giau.
Di pihak Jepang mungkin ada juga pasukan berkuda, namun pasti tidak banyak jumlahnya, sebab tentara Jepang lebih terkenal dengan "pasukan gunung"nya yang lebih merupakan kekuatan pemukul daripada pasukan berkuda. Bentuk pertempuran akan sedikit berbeda dengan ketika melawan orang-orang Kazak Rusia yang memang jagoan dalam pertempuran berkuda.
"Satu hal lagi harus diperhitungkan, Goan-swe, musuh memiliki ratusan pucuk bedil dan berpuluh-puluh pucuk meriam," si mata-mata menambahkan laporannya kepada Pak Kiong Liong....
Selanjutnya,