Kemelut Tahta Naga I Jilid 06
Karya Stevanus S P
PAK KIONG LIONG bisa maklum kenapa orang-orang ini memanggilnya Tai-jin, sebab dirinya masih memakai pakaian sebagai Jenderal Manchu, biarpun sudah robek-robek. Cepat Pak Kiong Liong berkata, "Bangunlah. Mana bisa aku menyalahkan kalian, sedangkan kalian menyelamatkan aku yang hampir membeku di salju? Aku justru amat berterima kasih kepada kalian!”
Keluarga kecil itu bangun dengan sikap lega melihat sikap Pak Kiong Liong. Ketika Pak Kiong Liong menanyakan nama mereka, si lelaki dewasa menjawab ia bernama Wan Hong, isterinya biasa dipanggil Lam Si dan bocah kecil lelaki itu bernama Wan Lui atau A-lui. Usia dan gerak-gerik bocah itu agak mengingatkan Pak Kiong Liong akan sepasang cucu kembarnya yang tinggal di Tiau-im-hong bersama kakek dalamnya, Ketua Hwe-Liong-pang Tong Lam Hou. Hanya saja Wan Lui lebih tua dua tiga tahun dari kedua cucu Pak Kiong Liong itu.
Ketika Lam Si kemudian sibuk dibelakang menyiapkan hidangan, lalu mempersilakan Pak Kiong Liong untuk bersantap, Pak Kiong Liong tidak menolak-nya. Mula-mula keluarga itu menolak di ajak makan semeja dengan Pak Kiong Liong karena merasa kurang hormat, namun karna Pak Kiong Liong terus membujuk, akhirnya keempat orang itupun mengitari meja makan dalam suasana kekeluargaan.
“Saudara Wan," kata Pak Kiong Liong kemudian. “Jauhkah rumahmu ini dari Sungai Hek-Liong?”
"Tidak terlalu jauh, kira-kira limapuluh atau enampuluh li. Biasanya hamba juga berburu sampai ke sana, Tapi sejak perang berkecamuk, aku tidak berani lagi mendekati sungai itu. Di seberang sungai sudah dikuasai pasukan asing yang bersikap ganas terhadap rakyat seperti kami ini...."
Pak Kiong Liong bisa maklum kenapa orang-orang ini memanggilnya Tai-jin, sebab dirinya masib memakai pakaian sebagai Jenderal Manchu "Apakah saudara mendengar kabar tentang pertempuran di tepi Sungai Hek-Iiong?”
"Ya, ada juga kabar itu. Tadi hamba baru saja datang ke desa terdekat, ada seorang pedagang jin-som kenalan hamba yang membawa kabar bahwa dua malam yang lalu terjadi pertempuran di pinggir Sungai Hek-liong. Sepasukan tentara kita menyerbu pertahanan musuh, tetapi kabarnya.... kabarnya...” Wan Hong ragu-ragu untuk melanjutkan omongannya.
Sebenarnya Pak Kiong Liong sudah paham bagaimana nasib pasukan yang ditinggalkannya itu, namun wajahnya tegang juga mendengar penuturan Wan Hong itu. "Bagaimana kabarnya?" Dia mendesak.
Wan Hong menjawab sambil menunduk, "Sungguh kabar buruk, Taijin. Pasukan kita tertumpas habis tanpa sisa seorangpun, kabarnya karena pasukan musuh kedatangan bala bantuan berlimpah, dan pasukan kita tidak sempat mundur ke tepi barat Sungai Hek-liong...."
Tinju Pak Kiong Liong terkepal dan giginya gemeretak menahan gelonbang hatinya yang melonjak. Katanya gemetar, "Perajurit-perajurit yang gagah berani, seiamat jalan....."
Hari itu dilewati oleh Pak Kiong Liong dalam suasana duka. Diberinya Wan Hong setahil emas dan dimintanya tolong Wan Hong pergi ke desa terdekat untuk membeli sesajian sembahyang seperti buah-buahan, lilin, dupa biting dan lain-lainnya. Setelah semuanya tersedia, di halaman gubuk Wan Hong, Pak Kiong Liong mengatur meja sembahyang menghadap timur, ke arah Sungai Hek-liong dimana ribuan perajuritnya habis dalam waktu semalam saja.
Jenderal tua itu dengan khidmat bersembahyang dan bersujud ke arah itu, tak tertahan lagi air matanya mengalir deras selama upcara itu. Wan Hong dan keluarganyapun ikut bersembahyang sebagai penghonnatan terhadap arwah perajurit-perajurit kekaisaran yang gugur membela negara.
"Terima kasih," kata Pak Kiong Liong kepada Wan Hong sekeluarga seusai upacara. "Aku memang sedih, tetapi kematian perajurit-perajurit itu bukannya tanpa arti sama sekali...."
Sahut Wan Hong, "Benar. Setidak-tidaknya pasukan musuh yang selama ini belum pernah mendapat perlawanan berarti, sekarang harus tahu bahwa kitapun memiliki perajurit-perajurit yang tangguh. Hamba pun merasa bangga...."
Pak Kiong Liong cepat menukas omongan itu "Saudara Wan, maukah kau hilangkan sebutan 'hamba' dan 'Taijin” di antara kita? Kau mungkin sebaya dengan anakku, kau boleh anggap aku sebagai pamanmu saja. Bagaimana?"
Wan Hong menyahut tergagap-gagap, "Hamba.... hamba tidak berani. Taijin adalah keturunan keluarga Pak Kiong yang termasuk kerabat istana sejak jaman Kim-thai-cong yang agung...."
“Ai, kau ini orang kolot yang suka bertele-tele, dengan silsilah lapuk," gerutu Pak Kiong liong. Lalu kepada Wan Lui dia bertanya, “A-lui, apakah kau juga akan bersikap bertele-tele seperti ayahmu?"
Mata lebar Wan Lui menatap Pak Kiong Liong dengar berani, lalu menyahut sambil menyeringai, “Aku akan memanggilmu dengan kakek saja boleh?“
Sesaat Pak Kiong Liong melupakan kesedihannya karena senang melihat sikap Wan Lui itu. Ditepuknya pundak anak itu sambil tersenyum, "Bagus, anak yang berani. Apa cita-citamu kelak?”
“Menjadi Jenderal seperti kakek, untuk menggempur musuh yang berani mengacau negeri kita!"
Pak Kiong Liong tertawa semakin lebar, ditariknya tangan Wan Lui. “Hebat, itu baru anak laki-laki. Mari kakek ajarkan sesuatu kepadamu."
“Apa, kakek?“
“llmu silat. Masa seorang calon Jenderal tidak bisa bermain silat?"
Wan Lui melonjak kegirangan, tapi tak lupa memohon ijin kedua orang tuanya, tidak dengan kata-kata tetapi cukup dengan sorot matanya, barulah Wan Lui berlari-lari mengikuti Pak Kiong Liong ke belakang rumah. Kurang dari sehari Pak Kiong Liong mengenal Wan Lui, dia sudah menyayangi anak itu seperti terhadap cucunya sendiri.
Sinar mata anak itu menyiratkan keberanian, kecerdasan dan kejujuran, bentuk tubuhnya agak besar dan tegap mendahului umurnya, agaknya karena biasa membantu kedua orang tuanya bekerja keras. Gerak-geriknya membayang tenaga hidup yang berlebihan tersimpan di tubuhnya, dan Pak Kiong Liong ingin mengajarkan bagaimana menggunakan tenaga itu.
Beberapa hari Pak Kiong Liong merasa betah tinggal di tengah keluarga pemburu yang menyenangkan itu. Sebenarnya Pak Kiong Liong sengaja tinggal di situ agak lama agar dapat mengamati suasana garis depan, sekaligus ingin meIihat bagaimana cara Ni Keng Giau hendak menghadapi pasukan Jepang yang kuat dan terampil itu. Kadang-kadang Pak Kiong Liong bersama Wan Hong mengunjungi desa terdekat untuk mencari kabar-kabar peperangan.
Banyak desa sudah kosong karena ditinggal mengungsi oleh penghuninya, tetapi desa di kaki gunung itu masih berpenghuni, dan sebuah titik lalu-lintas yang cukup ramai sehingga bermacam-macam berita dapat didengar dari orang lewat. Orang-orang yang masih bertahan tinggal di desa itu umumnya adalah orang-orang yang demikian miskin sehingga merasa tak ada gunanya lari, toh tidak ada yang cukup berharga milik mereka untuk dirampok.
Pak Kiong Liong yang sudah berpengalaman "bermain" di atas panggung kekuasaan, sadar bahwa kelambatan datangnya pasukan Ni Keng Giau itu disengaja, supaya ia dan pasukannya hancur lebih dulu dihadapan pasukan Jepang. Ni Keng Giau pun tentu bertindak demikian pasti bukan karena kehendak sendiri. Pak Kiong Liong sadar, dirinya dihadapan mata Kaisar Yong Ceng adalah duri dalam daging yang harus dilenyapkan.
Hal lain yang membuat Pak Kiong Liong betah di gubuk Wan Hong itu adalah si bocah Wan Lui. Mungkin karena terdorong kerinduan seorang kakek kepada cucu-cucunya yang jauh, rasa sayangnya dilimpahkan kepada Wan Lui. Dalam waktu yang terhitung singkat, ia mencoba “mengisi" Wan Lui dengan dasar-dasar Thian-Liong-kun-hoat (llmu Pukulan Naga Langit).
Baru dasar-dasarnya dan belum jurus-jurusnya. Baru bentuk kuda kuda, pukulan dan tendangan dasar, cara bernapas mengerahkan tenaga, cara melangkah yang sebenarnya tidak gampang. Tapi Wan Lui tidak mengecewakannya. Seandainya Pak Kiong Liong bukan seorang Jenderal yang senantiasa diburu urusan penting, ingin rasanya tinggal lebih lama di tempat tenang itu. Wan Lui telah mengikat hatinya, ia ingin menurunkan seluruh ilmunya kepada anak itu, tapi waktunya terlalu sempit.
Kemudian Pak Kiong Liong menemukan akal untuk menurunkan ilmu tanpa harus tinggal lama di tempat itu. la beli buku kosong, tinta dan pena di desa terdekat. Setiap malam, kalau keluarga Wan Hong sudah dipeluk mimpi, Pak Kiong Liong masih berjaga di ruangan depan dan ditemani pelita yang berkelap-kelip di meja kasar kayu cemara. Huruf demi huruf di goreskannya ke lembaran-iembaran buku kosong itu, kadang kadang diIengkapinya dengan gambar-gambar sederhana karena Pak Kiong Liong bukan ahli melukis, namun cukup jelas.
Di buku kosong itu yang dituliskannya bukan saja Thian-Liong-kun-hoat, tapi juga Thian-Liong-kiam-hoat dan bahkan ilmu tertingginya, Hwe-Liong-sin-kang, meskipun disertai pesan tegas bahwa Hwe-Liong-sin-kang baru boleh dipelajari setelah usia enambelas tahun, tidak boleh kurang dari itu. Juga setelah ilmu pukulan, ilmu pedang dan ilmu pernapasannya cukup kokoh terpupuk.
Lembar-lembar kosong yang tersisa ditulisinya dengan pengetahuan pelengkap seperti tata pemerintahan, cara mengatur pasukan di medan perang yang dibumbui dengan pengalaman Pak Kiong Liong sendiri, dan budi pekerti yang luhur. Pak Kiong Liong mengharap Wan Lui akan "melalap" buku itu dalam waktu tidak lebih dari 10 tahun mengingat kecerdasannya. la berharap pula sepuluh tahun mendatang akan lahir seorang tokoh tangguh yang berguna bagi kemanusiaan dan Kekaisaran.
Beberapa hari kemudian. ketika Pak Kiong Liong tengah melatih Wan Lui di belakang rumah, Wan Hong yang baru pulang dari desa untuk menukarkan kulit-kulit binatang buruan dengan uang dan beberapa barang keperluan, langsung menemui Pak Kiong Liong dan berkata dengan berkobar-kobar, "Taijin! Taijin! Sekarang mampuslah musuh-musuh ke kaisaran kita!”
"Ada apa?" tanya Pak Kiong Liong.
"Pasukan besar kita sudah tiba, dipimpin Jenceral Ni Keng Giau! Temanku yang baru pulang dari Liao-yang bercerita bahwa pasukan itu demikian besarnya sehingga seperti iringan semut keluar dari liangnya! Entah berapa ratus ribu perajurit yang dikerahkan oleh Jenderal Ni itu!”
Dalam urusan politik dalam negeri, Ni Keng Giau adalah lawan Pak Kiong Liong. Tapi menghadapi serbuan dari luar, Pak Kiong Liong mengharapkan Ni Keng Giau berhasiI mengusir Jenderal Hirasaki dari dataran Liau-tong. Namun Pak Kiong Liong ragu-ragu, apakah jumlah yang besar menjamin kemenangan? Dia yakin dalam pasukan Ni Keng Giau tentu ada penembak-penembak bedil, namun sanggupkah menghadapi perajurit-perajurit Jepang yang dalam menggunakan bedil bukan saja mengandalkan jumlah, tapi juga sudah mahir berperang gaya Eropa?
Tiba-tiba Pak Kiong Liong terdorong keinginan untuk "mengunjungi” garis dpan untuk melihat bagaimana cara Ni Keng Giau menghadapi pasukan Jepang. Tapi itu berarti perpisahan dengan keluarga Wan Hong yang selama ini sudah seperti keluarganya. Ketika ia menoleh kepada Wan Lui, maka anak itupun dengan matanya yang bulat tengah menatapnya.
Bahkan anak itu berkata, "Kakek tentu ingin pergi? Pergilah. Kami tahu suatu hari kakek pasti akan meninggalkan kami, karena kakek adalah seorang jenderal yang memikul tugas mulia demi kekaisaran..."
Pak Kiong Liong memegang kepala anak itu dan berkata, "Anak baik, kakek yakin kau tidak akan menangis. Betul tidak?"
Wan Lui menggelengkan kepalanya keras-keras. "Seorang calon jenderai gagah perkasa seperti kakek, tidak patut mencucurkan air mata...." Biarpun mulutnya bilang begitu, toh mata anak itu sudah berkaca-kaca dan mulutnya mewek-mewek.
Tak tertahan lagi Pak Kiong Liong meraih kepala anak itu dan mendekapkan erat-erat ke dadanya. Kemudian dilepaskannya sambiI berkata, "Sepeninggal kakek, berlatihlah terus, Jenderal keciIku. Kekaisaran ini menunggu darma baktimu. Oh, ya, ada hadiah untukmu."
Pak Kiong Liong masuk ke gubuk di ikuti Wan Hong dan Wan Lui. Dari bawah alas pembaringannya, Pak Kiong Liong mengambil buku hasil tulisannya selama beberapa malam ini. Diserahkannya kepada Wan Lui sambil berkata, "Pelajari' isi buku ini, A-lui. Kepergian kakek tidak berarti pelajaranmu terhenti. Kau bisa membaca, bukan?"
Wan Lui kembali mengusap matanya, lalu menerima buku itu. “Kakek, pemberian ini bukan berarti kita tak akan bertemu lagi, bukankah begitu?"
"Tentu. Bukankah kau cucuku dan sekaligus pewaris ilmuku?"
Malam itu, digubuk sederhana itu berlangsung perjamuan perpisahan yang sederhana namun hangat. Hidangan suguhan Lam Si tentu saja jauh kalah dari hidangan rumah makan-rumah makan di Pak-khia, tapi kehangatan dan keakraban itu juga takkan didapati di rumah makan terbaik sekalipun di Pak-khia. Pak Kiong Liong dengan lahap menghabiskan apa saja yang disuguhkan kepadanya, membuat Lam Si sebagai juru-masak merasa bangga juga.
Sehabis makan, mereka bercakap-cakap sampai jauh malam, dan kemudian menuju tempat tidur masing- masing. Pak Kiong Liong yang tidur di bagian depan gubuk, ketika malam larut tiba-tiba merasa tubuhnya diraba seseorang. Sambil tetap berpura-pura tidur, ia melirikkan matanya tanpa kentara. Ternyata Wan Lui si bocah dengan gerakan hati-hati menyelimutkan sehelai selimut ke tubuh Pak Kiong Liong, lalu dengan langkah berjingkat-jingkat karena mengira Pak Kiong Liong masih tidur, anak itu kembaIi ke pembaringannya sendiri di ruangan belakang.
Pak Kiong Liong tersenyum sendiri. Berpuluh-puluh tahun yang silam, dalam sebuah gubuk yang sama sederhananya di lereng gunung Tiam-jong-san di Propinsi Hun-lam, dia juga meresapi kehangatan antar manusia macam itu. Di sana ia menemukan satu “bibi" dan satu "saudara", sedang di sini ia dapatkan dua "keponakan” dan satu "cucu" yang begitu baik.
Kenapa hanya di gubuk-gubuk reyot ini baru bisa ditemukan kemanusiaan aseli? Kenapa tidak di istana-istana yang gemerlapan milik para pemimpin yang konon lebih "terdidik" dan "beradab"? Di tempat-tempat indah itu ternyata cuma ada kebusukan, kedengkian dan saling menyikut antara keluarga dan "kalau diperlukan" maka membunuh-pun menjadi halal?
Apa ini watak umum manusia? Sesama hanya dibutuhkan dalam kesulitan, tapi setelah di puncak kejayaan maka orang lainpun dianggap saingan yang mesti didepak? Apakah harta dan kedudukan menjadi "dewa" yang lebih dipentingkan dari sesama?
Fajar menyingsing dan perpisahan tak terhindari. Sebelum melangkah pergi, Pak Kiong Liong berkata kepada Wan Lui, "A-lui, kalau kelak kau bepergian dan bertemu dengan anak laki-laki kembar yang kira-kira lebih muda dua tahun daripadamu, bernama Tong San Hong dan Tong Hai Long, kau boleh anggap mereka sebagai saudara-saudaramu."
"Tong San Hong dan Tong Hai Long?"
"BetuI. Mereka adalah cucu-cucu kakek, sedang kaupun kuanggap cucuku juga, nah, bukankah kalian bertiga jadi saudara?" kata Pak Kiong Liong. "Kedua saudaramu itu, sesuai dengan namanya masing-masing, yang satu San Hong (puncak gunung) dan satunya Hai Long (gelombang samudera), ternyata sifat merekapun cocok dengan namanya. San Hong seorang anak yang tenang, diam, keras dan mirip puncak gunung betul betul. Sedang saudara kembarnya adalah seorang anak yang senantiasa usil dan gemar bergerak, seperti ombak samudera..."
"Menyenangkan sekali punya saudara-saudara semacam mereka, kakek...."
"Dan kau sendiri bernama Lui (guntur)....."
Kemudian dengan saling melambaikan tangan Kedua pihakpun berpisah. Pak Kiong Liong tidak mengenakan seragam panglimanya, melainkan berpakaian seperti orang gunung, dengan caping lebar menudungi kepala dan wajahnya. Maka ia nampak seperti seorang pengungsi tua sebatang kara, bedanya, kalau pengungsi-pengungsi lain menjauhi medan perang, "pengungsi" yang satu ini malah mendekatinya.
Kalau jalanan ramai, Pak Kiong Liong berjalan terbungkuk-bungkuk dibantu sebatang tongkat, berperan sebagai seorang kakek yang loyo. Tapi kalau jalanan sepi, ia melangkah bagaikan kilat menyaingi larinya seekor kuda. Karena itu, sehari kemudian diapun sudah tiba di Liao-yang, pemusatan pasukan Ni Keng Giau.
Begitu masuk kota, segera dirasakannya suasana perang di mana-mana, perajurit- perajurit Manchu hilir mudik memenuhi kota dengan senjata-senjata terpanggul. Penduduk sipil terlihat jarang, sebagian besar sudah mengungsi ke garis belakang di kota Jiat-ho atau Thian-cin yang bentengnya lebih kuat.
Terasa perutnya lapar, Pak Kiong Liong membelokkan langkah ke dalam sebuah warung murahan di tepi jalan, yang dalamnya penuh berdesakan dengan para perajurit yang sedang menenggak arak, asap dari bagian dapur bergulung masuk ruangan depan sehingga mata terasa pedas.
Perajurit-perajurit Masuknya Pak Kiong Liong yang berpakaian kumuh dan berjalan terbungkuk-bungkuk dibantu tongkat itu kurang menarik perhatian. Tapi setelah Pak Kiong Liong mengambil tempat duduk, si pemilik warung mendekatinya juga dan bertanya,
"Hendak makan apa, kek?"
Sengaja Pak Kiong Liong menggetarkan suaranya seperti umumnya suara orang tua yang loyo, "Minta semangkuk bubur ayam hangat dan sepoci teh hangat pula....."
Pesanan si “kakek pengungsi" yang nampaknya sangat memelas itupun segera diambilkan. Kemudian pemilik warung itu sendiri agaknya sedekit lega untuk bercakap-cakap singkat dengan Pak Kiong Liong. "Kau darimana, kek?”
Sambil perlahan-lahan mengunyah bubur ayamnya, Pak Kiong Liong menyahut, “Dari sebuah desa kira-kira tiga-puluh li dari sini. Aku mengungsi Ke kota ini karena iebih aman."
“Wah, itu bukan jarak yang dekat untuk orang seusia kakek. Kakek sendirian?"
"Berangkatnya bersama beberapa orang sekampung, tetapi mereka hendak terus ke Jiat-ho, karena aku tidak kuat berjalan sejauh itu, akupun memutuskan untuk berlindung di kota ini saja. Toh rasanya tempat ini cukup aman biar pun berdekatan dengan medan perang, karena di sini ada pasukan besar yang baru datang dari Pak-khia. Benarkah?"
"Benar. Besok pagi, pasukan kita akan mulai menggempur musuh yang berderet-deret di tebing timur Sungai Hek-liong.”
"Mudah-mudahan pasukan kita menang, sehingga para pengungsi bisa kembali ke sawah ladang mereka kembali dan bekerja seperti biasanya."
“Ya,mudah-mudahan, kek, biarpun kabarnya pasukan musuhpun amat kuat..." si pemilik warung itu hampir saja mengoceh panjang lebar, namun tiba-tiba berkata, "Eh, sebentar ya, kek? Ada tamu yang harus kulayani.."
Beberapa perwira berjalan masuk ke warung itu. Perajurit-perajurit rendahan yang lebih dulu sudah ada di dalam warung segera bangkit memberi hormat dan menyapa dengan beberapa patah kata basa-basi. Pertempuran belum benar-benar berlangsung, namun lagak para perwira itu sudah seperti pahlawan-pahlawan besar yang berhak mendapat pelayanan sebaik-baiknya. Sebelah kaki dinaikkan ke atas bangku, lalu berteriak-teriak minta makanan dan minuman. Lalu mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa sesama mereka sehingga seluruh warung hanya kedengaran suara mereka.
Pak Kiong Liong menundukkan kepala dalam-dalam sehingga wajahnya yang cukup terkenal di Pak-khia itu tak gampang diperhatikan, sementara kedua kupingnya justru dibuka lebar-lebar untuk menangkap percakapan perwira-perwira itu. "Kesombongan Hui-Liong-kun sekarang sudah runtuh!" kata seorang perwira berjenggot pendek kaku seperti ijuk. "Di Pak-khia lagak mereka seolah tidak ada tandingannya, tetapi di medan perang ini, huh, ternyata mereka seperti nenek-nenek pikun yang tak berguna sedikitpun!"
"Benar.Dulu di Pak-khia mereka berkelakuan seperti orang-orang gila, berkeliling-keliling kota menunggang kuda dan menembakkan bedil-bedil keatas, melambai-lambaikan pedang dan tombak. Seandainya saat itu tidak ada perintah Jenderal Ni untuk tidak bertindak, ingin rasanya aku menghajar mereka."
"Sekarang mereka kena batunya, ditumpas oleh orang-orang Jepang dan menjadi makanan ikan di dasar Sungai Hek-liong. Sedang Panglima yang mereka bangga-banggakan, Pak Kiong Liong, kabarnya lari terbirit-birit dari medan perang seperti anjing kena gebuk. Ha-ha-ha...!"
Demikianlah mereka bercakap, tertawa, memaki-maki dan menyumpal mulut dengan makanan. Andaikata hal itu terjadi dulu ketika Pak Kiong Liong masih muda dan berdarah panas, perwira-perwira bawahan Ni Keng Giau itu tentu sudah dihajarnya semua. Tapi dalam usia mendekati tujuhpuluh tahun, Pak Kiong Liong tidak gampang marah. la memanggil pemilik warung mendekat untuk menanyakan harga makanan dan minuman pesanannya, lalu membayarnya.
Namun ketika ia mengeluarkan kantong uangnya, si perwira berkumis kaku kebetulan melihatnya, bahkan langsung dapat menaksir bahwa isi kantong itu cukup bernilai. Timbul pikiran jahatnya untuk merampas milik "kakek pengungsi" itu, tetapi ia ingin turun-tangan sendiri saja tanpa mengajak teman temannya, supaya dapat dimiliki semuanya tanpa harus membagi-bagi dengan teman-temannya.
Begitu melihat Pak Kiong Liong meninggalkan warung, perwira itupun meninggalkan warung setelah memberi suatu alasan kepada teman-temannya. Ditinggalkannya uang untuk membayar makan minumnya sendiri, lalu ia bergegas menyusul Pak Kiong Liong.
Ketika melihat buruannya melanggkah tertatih-tatih masuk sebuah lorong yang sepi, si perwira brewok bersorak dalam hati. Sambil menggcsok-gosok tinjunya ia berpikir, "Bagus, aku akan mendapat tambahan isi untuk kantong uangku. Lalu kakek itu harus ku mampuskan agar tidak melaporkannya kepada atasanku..."
Demi mendapat uang beberapa tail, ia takkan segan-segan menyelesaikan nyawa seorang yang seharusnya patut disegani. Ini tidak mengherankan, sebab perwira itu bukan lain adalah Ho Thian Ek yang berjulukan Tiat-jio-hui-hou (Macan Terbang Bertombak Besi), si bekas penjahat yang dulu hampir digantung di kota Tay-tong dan kemudian diselamatkan oleh Ni Keng Giau.
Kini, biarpun ia berpakaian perajurit, mentalnya tetap mental bandit yang suka merugikan orang lain. Dalam memperkuat barisan menghadapi Pangeran In Te, Kaisar Yong Ceng tak segan-segan menambah tenaga darimanapun asalnya. Para pendekar sejati boleh, bandit juga tidak jadi soal, Ksatria dan bajingan bercampur aduk dalam satu barisan.
Setelah cukup jauh dari jalanan ramai, Ho Thian Ek mempercepat langkahnya untuk menghadang si "kakek pengungsi" dan membentak, "Orang tua, cepat serahkan kantong uangmu. Kau takkan membutuhkan uang di lubang kubur!"
Pak Kiong Liong mempertahankan peranannya sebagai seorang tua yang lemah. Dengan tubuh menggigil ia berkata, "Tuan perwira, bukankah tugas tuan justru melindungi orang-orang lemah seperti aku ini? Bukan malah merampas dan....."
"Tutup mulutmu! Cepat serahkan uangmu, atau aku harus mematah-matahkan tulang karatanmu?" Ho Thian Ek melangkah maju sambil menggoyang-goyangkan tinjunya di depan hidung Pak Kiong Liong.
Pak Kiong Liong mundur-mundur ketakutan sambil berkata, "Jangan.... jangan. Kalau tuan merampas uangku, aku akan melapor kepada Jenderal Ni!"
Memang Ho Thian Ek paling takut kalau dilaporkan Ni Keng Giau yang menerapkan tata tertib amat keras itu. Kalau benar laporan kelakukannya sampai ke kuping Ni Keng Giau, rasanya batok kepalanya susah dipertahankan lagi. Karena itu semakin teballah niatnya untuk membunuh si "kakek pengung si” itu sekalian.
"Kau takkan dapat melapor kepada Jenderal Ni, kakek malang, tapi laporkan saja kepada Giam-lo-ong (Raja Akherat)."
Lalu tinjunya meluncur dengan segenap tenaga ke dada si "kakek pengungsi" dengan keyakinan sekali pukul saja korbannya akan terkapar mampus dengan tulang-tulang berantakan. Detik itulah si "kakek pengungsi" menegakkan tubuhnya, ternyata tubuhnya tegap kekar dan bukannya bongkok lagi. Dengan gerakan amat santai, tinju Ho Thian Ek telah masuk ke telapak tangannya dan terjepit di antara jari-jari tangannya. Tenaga yang dikerahkan Ho Thian Ek sia-sia belaka, membuat si bekas bandit itu kabur semangatnya.
Dengan tangan yang sebelah lagi, Pak Kiong Liong melepas capingnya dan berkata dingin, "Anjing penggigit rakyat, coba lihat siapa aku!"
"Pak Kiong Goan-swe!" Ho Thian Ek tergagap-gagap ketakutan. “Aku tidak tahu kalau..,. kalau.... yang kuikuti adalah.... Goan-swe. Ampun.... ampun."
Pak Kiong Liong benar-benar gemas terhadap tingkah Ho Thian Ek yang sewenang-wenang terhadap rakyat yang tengah ditimpa kemalangan. Tenaganya dikerahkan ke jari-jarinya sampai timbul suara gemeretak berbarengan dengan lolongan kesakitan Ho Thian Ek yang tulang pergelangan tangannya teremas hancur. Si perwira bekas bandit itu mukanya memucat dan dahinya basah kuyup dengan keringat dingin karena menahan sakit.
"Ampun.... ampun.... Goan-swe..."
Belakangan itu memang Pak Kiong Liong berubah menjadi orang yang gampang marah karena peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya berturut-turut, sejak In Ceng naik tahta sampai tertumpasnya pasukannya di tepi Sungai Hek-liong. Rintihan Ho Thian Ek tak digubrisnya. Pergelangan tangannya yang lain serta dua pundaknyapun diremas hancur.
Sehingga selanjutnya Ho Thian tidak bisa bersilat lagi, paling-paling melakukannya sebagai gerak badan ringan tanpa tenaga. Berarti kedudukannyapun yang empuk sebagai bawahan Ni Keng Giau ikut lenyap pula, mana mungkin seorang yang tak mampu bertempur lagi dipertahankan kedudukannya sebagai perwira?
Mengingat masa depannya yang hancur, Ho Thian Ek bukan saja takut dan sakit, tapi juga sedih. Airmatanya sampai bercucuran ketika ia berkata, "Goan-swe, kejam benar kau terhadapku. Pernah bersalah apa aku terhadapmu?"
Sahut Pak Kiong Liong dingin, "Dan pernah bersalah apa kepadamu orang-orang lemah yang kau rampas hartanya, bahkan riyawatnya? Aku cukup murah hati tidak mencabut nyawamu, hanya menghabiskan modalmu untuk bertindak sewenany-wenang!"
Lalu Pak Kiong Liong melangkah meninggalkan Ho Thian Ek yang merintih-rintih dan akhirnya pingsan karena tak tahan lagi rasa sakit di tulang-tulangnya yang remuk. Ketika ia diketemukan oleh teman-temannya dan digotong ke markas, diapun kemudian bercerita sambil menangis, katanya telah bertemu dengan Pak Kiong Liong yang langsung menyiksanya, padahal ia "tidak tahu apa salahnya".
Mendengar laporan bahwa Pak Kiong Liong muncul di dalam kota, Ni Keng Giau segera mengerahkan pasukannya untuk menggeledah seluruh kota. Dengan alasan bahwa Pak Kiong Liong adalah "pemimpin yang tidak bertanggung jawab" karena "meninggalkan pasukannya di medan perang" maka Ni Keng Giau memerintahkan regu-regu pencari agar begitu bertemu langsung dibereskan saja. Regu-regu pencari dilengkapi bedil-bedil pula, sebab semuanya maklum betapa lihai ilmu silat Jenderal tua itu.
Sehari suntuk pencarian digiatkan dan hanya menghasiIkan kekecewaan bela ka, sehingga Ni Kenq Giau menganggap Pak Kiong Liong mungkin sudah lari keIuar kota, maka pencarianpun dihentikan. Kini Ni Keng Giau lebih memusatkan pikirannya untuk menghadapi pertempuran yang bakal berlangsung menghadapi tentara Jepang.
Sebenarnya Pak Kiong Liong masih dalam kota Liao-yang, hanya beristirahat di sebuah puncak pagoda bertingkat delapan. Tentu saja anak buah Ni Keng Giau tak memperhitungkan tempat itu. Bahkan seandainya mereka mengetahuinya juga, barangkali tak bisa berbuat apa-apa, sebab sulit mencapai tempat itu.
Andaikata dibedil atau dipanah dari bawah, maka pinggiran atap pagoda yang melengkung ke atas itu akan menjadi perlindungan yang baik bagi Pak Kiong Liong. Bisa juga dengan cara membakar pagoda supaya Pak Kiong Liong turun, tapi pagoda itu dibangun oleh mendiang Kaisar Sun Ti, kakek dari Kaisar Yong Ceng yang bertahta, sehingga siapapun takkan berani membakarnya.
Ketika pencarian dihentikan, Pak Kiong Liong merasa lega bercampur sedih. Inikah yang diterimanya sebagai balas jasa pengabdiannya terhadap kekaisaran selama berpuluh-puluh tahun? Pengabdiannya memang tanpa mengharap balas jasa, tetapi perlakukan Kaisar Yong Ceng terhadapnya sungguh keterlaluan. Kaisar itu takkan tidur nyenyak sebelum ia mampus, Ni Keng Giau juga takkan berani bertindak demikian kalau tidak diperintah oleh Yong Ceng.
"In Ceng bocah keparat," kutuk Pak Kiong Liong dalam hati. "Aku yakin kaulah pembunuh ayahandamu sendiri. Kalau terhadap ayahnya saja berani bertindak sekeji itu, apalagi hanya terhadap aku yang hanya paman jauhnya ini, atau terhadap Pangeran In Te sebagai saudaranya...."
Dengan ilmunya yang lihai, tidak sulit bagi Pak Kiong Liong kalau malam itu ia datangi markas Ni Keng Giau dan mengambil nyawa Jenderal muda itu, sehingga Kaisar Yong Ceng akan kehilangan salah satu penopang kekuasaannya. Tapi Pak Kiong Liong masih memikirkan, kepentingan negerinya. Kalau Ni Keng Giau mati, pasukan besar itu kocar-kacir tanpa pimpinan, dengan gampang akan digasak habis oleh pasukannya Jendral Hirasaki.
Keesokan harinya, dari puncak pagoda Pak Kiong Liong melihat sebuah pasukan yang ditaksirnya berjumlah kira-kira tiga laksa, berbaris meninggalkan kota Liao-Yang. Dibawah kibaran bendera kekaisaran yang bergambar naga, pasukan ini berderap gagah ke medan perang. Tampak pula regu yang memanggul bedil, serta belasan meriam yang ditarik sepasang kuda.
Pemimpin pasukan adalah Lu Kong Hwe, seorang berpangkat Cong-Peng (Brigadir Jendral) yang sudah dikenal Pak Kion Lion di Pak-Khia. Konon dialah pembantu Ni Keng Giau yang terbaik. Dan kali ini ia diutus memimpin serangan pertama untuk menjajagi kekuatan musuh.
Melihat Lu Kong Hwe berkuda di depan pasukan dengan sikap pongah sambil mengempit tombaknya, Pak Kion Liong diam-diam berpikir, “Anak ingusan ini agaknya terlalu meremehkan musuh. Tapi biarlah kalah atau menang dia akan mendapat pengalaman berharga. Demi bendera Ngo-Jiau-Kim-Liong-ki (Bendera Naga Bersisik Emas Berkuku Lima, bendera kekaisaran Manchu) yang dikawalnya, aku harapkan dia menang….”
Sementara itu, Ni Keng giau dan sebagian besar pasukan tetap berada di Liao-Yang sambil mengadakan latihan-latihan untukmenjaga kesegaran tubuh dan semangat para prajurit. Pak Kion Liong sendiri dengan amat hati-hati berekliaran di kota untuk mendengar-denger berita, sambil berusaha jangan sampai kepergok orang-orang Ni Keng Giau. Mengenang keadaanya sendiri, Pak Kion Liong menyeringai kecut sendirian. “Tindak-tandukku sekarang tak ubahnya seorang bandit dengan dosa tak berampun, takut bertemu siapa saja.”
Dua hari kemudian, Lu Kong Hwe dan pasukanya kembali. Berangkatnya gagah perkasa, pulangnya lesu. Perginya semua prajurit melangkah tegap memanggul senjata, kembalinya tidak semua prajurit bisa berjalan dengan betul. Ada yang dinaikkan usungan, dipapah teman-temannya, atau berjalan sempoyongan. Singkatnya, pasukan itu nampaknya pulang sebai pecundang.
Pasukan babak-belur itu masuk kota setelah hari gelap, mungkin disengaja, supaya rakyat Liao-yang maupun sesama perajurit, agar keadaan yang mengenaskan itu tidak tampak terlalu jelas. Setelah seluruh pasukan diistirahatkan di pinggir-pinggir jalan, Lu Kong Hwe sendiri menghadpp Ni Keng Giau di gedung markas untuk melaporkan dan terima dampratan.
Pak Kiong Liong tiba-tiba timbul ke inginannya untuk mencuri dengar bagaimana Lu Kong Hwe melaporkan hasil pertempurannya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang amat tinggi, hanya sedikit kesulitan yang dijumpai Pak Kiong Liong untuk mencapai genteng markas Ni Keng Giau, tepat di atas ruang komando, lalu dengan hati-hati digeser nya selembar genteng untuk mengintai ke dalam.
Yang berada di ruangan di bawah itu biarpun rata-rata adalah jagoan-jagoan siasat perang, namun dalam kepandaian silat hanyalah biasa- biasa saja. Maka merekapun tidak sadar kalau Pak Kiong Liong ada di atas kepala mereka dan menguping semua pembicaraan.
Ni Keng Giau duduk di belakang meja besar yang di atasnya penuh bendera bendera kecil komando, rencana-rencana perintah, cap kekuasaan, pedang emas anugerah Kaisar Yong Ceng, serta selembar peta medan pertempuran yang tergelar hampir memenuhi seluruh meja. Wajahnya nampak gusar sekali. Tiba-tiba ia memukul meja dan berkata dengan keras,
"Bagaimana kau bisa berbuat setolol itu? Padahal kau mengaku sudah memahami semua isi Kitab Militer Sun-cu bukan?"
Di atas genteng Pak Kiong Liong tersenyum geli. Apa dipikirnya memahami Kitab Sun-cu adalah jaminan pasti menang? Kitab itupun sudah berabad-abad diterjemahkan ke dalam bahasa jepang dan dipahami pula oleh Jenderal-Jenderal Jepang.
Lu Kong Hwe berlutut di depan meja besar, tanpa berangi mengankat kepalanya, namun menjawab, "Aku memang gegabah, Goan-swe. Dengan menghitung jumlah tenda di pihak musuh, aku menaksir kekuatan mereka jauh lebih keciI dairi pasukanku. Lalu aku pecah pasukanku menjadi tiga untuk menggempur dari tiga jurusan, tetapi.... tetapi mereka bertempur dengan licik. Mereka menembakkan meriam ke arah lapisan es di permukaan Sungai Hek-liong shingga retak dan banyak perajuritku hanyut dalam arus Sungai Hek-liong...."
Di atas genteng, timbul rasa simpati Pak Kiong Liong. Lu Kong Hwe ternyata mengalami nasib sama dengan nasibnya. Tetapi Ni Keng Giau tidak mau mendengar penjelasan itu. Teriaknya, “Pengawal! Penggal kepalanya!"
Orang-orang yang sudah terbiasa di bawah perintah Ni Keng Giau, tidak kaget mendengar keputusan itu. Hukuman mati memang di-“obral murah” oleh Ni Keng Giau demi memenuhi ambisinya akan sebuah pasukan kuat yang berdisipiin tinggi. Tetapi Pak Kiong Liong yang menyaksikan semuanya itu diam-diam tidak setuju.
Pak Kiong dengan cara pendekatan kekeluargaan terhadap pasukannya, toh berhasil membentuk pasukan yang setangguh Hui-Liong-kun, karena kehangatannya justru lebih mengikat jiwa perajurit-perajuritnya daripada sederetan peraturan yang angker dan kaku. Dua orang penjaga segera masuk dan menyeret Lu Kong Hwe keluar. Wajah perwira muda itu memucat, namun ia tidak berteriak minta ampun, sebab tahu pasti bahwa permohonannya takkan digubris.
Saat itulah Pak Kiong Liong menginjak patah kerangka atap dan meiuncur ke dalam ruangan sambil berseru, "Tahan!”
Kemunculan Pak Kiong Liong dengan cara yanq luar biasa itu mengejutkan perwira- perwira di ruangan itu. Karena Pak Kion Liong secara resmi diumumkan sebagai “buronan negara", maka kemunculannya disambut dengan gemerincing senjata-senjata yang dihunus dari sarungnya.
Tapi di tengah-tengah suasana permusuhan itu Pak Kiong Liong tenang-tenang saja. la malah mengangguk hormat kepada Ni Keng Giau sambil berkata. "Selamat malam, Jenderal Agung Ni, aku datang dengan maksud baik...."
"Hem, setelah mencacatkan seumur bidup salah seorang perwira bawahanku, kau masih mengaku punya itikad baik?" dengus Ni Keng Giau.
"Ni Toa Goan-swe, kudengar kau adalah seorang pemimpin yang menerapkan disiplin militer dengan keras. Betul?"
Ni Keng Giau tersenyum congkak dan menyahut, "Bagus kalau kau sudah tahu. Biarpun kau adalah saudara sepupu mendiang Baginda Khong Hi , tapi dalam pasukan ini kau adaiah bawahanku tidak luput dari penerapan disiplin, sebab akulah yang diangkat sebagai Panglima Tertinggi. Aku akan menghukummu, sebab kudengar laporan kau meninggalkan medan perang dengan cara pengecut, itu contoh buruk untuk perajurit-perajurit lainnya!”
Alangkah panasnya hati Pak Kiong Liong menyaksikan lagak Ni Keng Giau itu , namun ia menahan kemarahannya. la datang bukan untuk bertengkar, melainkan untuk memberi sebuah pendapat yang akan berguna bagi pasukan kekaisaran dalam menghadapi kaum penyerbu.
Sahut Pak Kiong Liong, "Toa Goan-swe, perwiramu yang kucacatkan itu adalah seorang yang mengandalkan seragamnya untuk menindas rakyat. la hendak merampas uang dan nyawaku, karena aku dikiranya seorang kakek pengungsi yang tak berdaya. Kau percayai omonganku atau tidak, terserah kepadamu. Tapi kedatanganku bukan hendak bicara tentang perwiramu itu, melainkan tentang kalah menangnya tentara kita dalam perang ini....”
“Hemm, k0au pikir sekarang ini apa kedudukan dan pangkatmu sehingga masih berani mengurus seal ketentaraan kita.”
“Ni Goan-swe, andaikata aku sudah dipecat dan dilucuti semua pangkatku, sebagai rakyat dari kekaisaran agung ini aku tetap merasa berkepentingan dengan kalah menangnya negeriku. Bolehkah aku rnengeluarkan pendapatku?"
Jawaban Pak Kiong Liong itu menimbulkan rasa hormat dalam hati sebagian perwira-perwira bawahan Ni Keng Giau. Itu jawaban seorang yang setia dalam pengabdiannya kepada negara. Tidak perduli sebagai Jenderal atau sebagai rakyat biasa, kesetiaannya rak berubah, bahkan sekalipun dimusuhi oleh Kaisar yang berkuasa.
"Baik, aku meluangkan waktu untuk mendengarkanmu,” kata Ni Keng Giau kemudian. Lalu ia duduk di kursi kebesarannya dengan sikap agungnya, sedangkan Pak Kiong Liong dibiarkan tetap berdiri meski pun banyak kursi masih kosong.
"Goan-swe," Pak Kiong Liong mulai dengan usulnya. "Pasukan musuh itu mempunyai cara bertempur baru yang hebat. Dengan bedil mereka yang cuma ratusan pucuk, bisa memukul mundur pasukan kita yang mempunyai bedil lebih banyak.”
Lalu perajurit tua itupun menceritakan pengalamannya, disertai hasil pikirannya sendiri dalam menghadapi cara bertempur musuh. Biarpun wajah Ni Keng Giau tetap acuh mendengar uraian Pak Kiong Liong, namun dalam hatinya ia kagum mendengarnya.
Kehancuran Pak Kiong Liong bukan karena ketololannya, tapi karena dikhianati oleh Ki Peng Lam, perwira bawahannya sendiri yang telah termakan bujukan Ni Keng Giau untuk berbuat demikian. Tidak seorangpun di ruangan itu yang meragukan kepandaian Pak Kiong Li ong dalam bersiasat di medan perang.
Ketulusan yang bersedia menyumbangkan pikiran untuk Ni Keng Giau itu juga membuat banyak perwira berpendapat dalam hati bahwa Pak Kiong Liong bukan seorang yang pantas diuber-uber seperti maling jemuran saja. Kalau orang lain, barangkali akan dibiarkan-nya Ni Keng Giau “kena batu"nya menghadapi pasukan Jepang yang amat terlatih dalam perang gaya Eropa itu, bahkan dikombinasikan dengan cara kuno Jepang sendiri.
Sebaliknya dalam hati Ni Keng Giau malah timbul pikiran jahat. Kelihaian Pak Kiong Liong dikaguminya, tapi juga menimbulkan rasa cemasnya, sebab Pak Kiong Liong sampai saat itu tetap setia mendukung Pangeran In Te. Karena itu, Ni Keng Giau bermaksud melenyapkan Pak Kiong Liong saat itu juga, mumpung sedang sendirian dan tidak bersenjata, sedang ia sendiri akan mengerah-kan seluruh pengawalnya. Tidak peduli berapapun pengawalnya yang bakal mampus, asal Pak Kiong Liong juga mampus, ia akan mendapat pujian dari Kaisar Yong Ceng.
Maka begitu Pak Kiong selesai dengan uraiannya, Ni Keng Giau berkata, “Bagus juga siasatmu. Mengingat jasamu kali ini dalam menyumbangkan pikiran, kelak di hadapan Kaisar aku akan memohonkan keringanan hukumanmu. Sekarang nenyerahlah....."
Pak Kiong Liong tidak kaget sedikitpun mendengar ucapan itu, yang kaget malah perwira-perwira bawahan Ni Keng Giau sendiri. Tadinya perwira-perwira itu mengira Ni Keng Giau akan mengijinkan Pak Kiong Liong bergabung kembali ke dalam pasukan, dan berarti menambah kuatnya pasukan itu, ternyata tidak.
Pak Kiong Liong sendiri sadar, sekali mengulurkan tangan untuk diborgol, sama saja menyerahkan nyawanya juga. Dihadapan Kaisar Yong Ceng, tak peduli "dosa"nya terbukti atau tidak, ia akan tetap dibinasakan. Karena itu, ia menjawab sambil tertawa, "Terima kasih atas kesediaan Goan-swe memohonkan keringanan hukuman. Tetapi aku punya kaki sendiri, biarlah berjalan sendiri ke Pak-khia."
Dengan mata menyala Ni Keng Giau mengangkat pedang emas di mejanya sambil menggertak, "Pak Kiong Liong, “Lihatlah apa yang di tanganku ini?!"
'Tentu saja aku kenal Liong-ho Po kiam.” "Dan apa artinya bagiku?"
"Artinya, kau diberi kekuasaan tertinggi untuk memimpin tentara."
"Kau sudah tahu, tapi belum juga berlutut di hadapan lambang kekuasaanku ini?"
Tapi Pak Kiong Liong malah tertawa dingin sambil memutar tubuh membelakangi pedang kekuasaan itu. Katanya, "Aku akan tunduk kepada Kaisar yang mendapat kekuasaannya dengan cara syah dan bersih. Si bocah In Ceng itu belum dapat membuktikan dirinya bersih, maka aku tidak tunduk kepadanya!"
Sungguh hebat perubahan wajah Ni Keng Giau mendengar Pak Kiong Liong menyebut Kaisar Yong Ceng hanya dengan sebuatan "si bocah In Ceng", la juga kaget, apakah Pak Kiong Liong tahu tentang kecurangan mengubah isi Surat Wasiat Kaisar Khong Hi yang amat rahasia itu? Kalau benar, cukup dengan lidahnya saja dia bisa membuat tahta mengalami "gempa bumi".
"Kau sudah memberontak terang-terangan!" teriak Ni Keng Giau kemudian Lalu diperi ntahkannya perwira-perwira dan pengawaI- pengawalnya, "Tangkap hidup atau mati pemberontak ini!"
Betapapun segan para perwira terhadap Pak Kiong Liong mereka menjalan-kan perintah itu. Beberapa perwira ada juga yang memang sengaja hendak cari muka di depan Ni Keng Giau, orang-orang macam inilah yang menyerang Pak Kiong Liong dengan bersungguh-sungguh.
Namun Pak Kiong Liong telah melompat ke atas secepat kilat, dan lolos lewat lubang atap yang dibuatnya dengan injakan kakinya tadi. Gerakannya begitu cepat sehingga orang-orang yang hendak menangkapnya hanyalah menubruk angin. Di atas genteng Pak Kiong Liong masih sempat mengumandangkan suaranya,
"Ni Keng Giau, jangan kau kira tidak ada yang mencurigai komplotan busuk yang sekarang mengangkangi tahta. Hati-hatilah, akan tiba saatnya yang berhak bertahta mengambil haknya dan menjungkir-balikkan yang sekarang bertahta.."
Di bawah genteng, sepasukan kecil anak buah Ni Keng Giau mulai menembak dan memanah. tapi peluru dan panah hanya merobek-robek tempat kosong, sebab Pak Kiong Liong seperti seekor burung besar saja sudah meninggalkan tempat itu.
Malam itu juga, dengan hati yang getir Pak Kiong Liong meninggalkan kota Liao-yang. Bagaimanapun juga, ia tetap manusia biasa, bukan seorang dewa maha suci yang bebas dari kemarahan dan kekecewaan. Pada saat kakek- kakek lain yang seusianya sudah mulai me- nyongsong hari tua yang tenteram, diri nya justru sedang diburu-buru nyawanya seperti penjahat tak berampun.
la ingat sahabatnya, puterinya, menantunya dan dua cucunya yang hidup tenteram di pegunungan Tiau-im-hong. la merasa iri dan ingin bergabung dengan mereka. Tetapi kesetiaannya kepada kekaisaran masih menjadi panggilan jiwanya, ia masih ada tugas untuk menyelamatkan tahta dari orang yang tidak berhak. Ketenteraman hari tua agak nya belum ditakdirkan menjadi bagiannya.
Di luar kota liao-yang yang dataran dan pepohonannya terselimuti salju itu Pak Kiong Liong berjalan perlahan-lahan, angin malam yang tajam mengiris sama sekali tak dirasakan oleh tubuhnya yang perkasa.
"Andaikata di dunia ini tidak lahir seorang bajingan cilik semacam In Ceng, agaknya saat ini aku sudah menjadi seorang kakek yang hidup tenteram bersama anak cucu," ia melamun. "Bukan di Pak-khia, tetapi di pegunungan Tiau im-hong yang udaranya bersih dan peman dangannya permai...."
Tengah ia melangkah satu-satu, mendadak matanya yang tajam melihat jauh di depannya ada beberapa titik yang bergerak-gerak, dan setelah diamati lebih tajam lagi nampaklah bahwa merekalah manusia-manusia yang tengah berjalan tergesa-sesa.
Orang berjalan malam-malam di daerah peperangan, cukup menimbulkan kecurigaan Pak Kiong Liong. Orang itu tentu berkepentingan dalam perang itu, dari pihak manapun. Dan karena Pak Kiong Liong pun berkepentingan, maka tertariklah perhatiannya. Dengan mengerahkan iImu meringankan tubuh sehingga telapak kakinya tidak membekas di salju, juga tanpa menimbulkan suara, Pak Kiong Liong mem-percepat langkah memburu orang-orang itu untuk membuntutinya dari jarak tertentu.
Ternyata mereka adalah serombongan orang dengan gerak-gerik tangkas, semuanya menggendong pedang panjang model Jepang dan saling berbicara bahasa Jepang pula. Hanya seorang yang tidak bersenjata pedang, melainkan tongkat panjang, yaitu seorang Jepang tua berrambut putih terurai, bertubuh kurus, namun matanya tajam seperti mata elang. Pak Kiong Liong diam-diam meni-lai bahwa orang inilah yang berilmu paling tinggi, karena itupun ia berhati-hati dalam membuntuti mereka.
Sampai fajar menyingsing mereka terus berjalan, siang hari istirahat di tempat tersembunyi dan kalau malam melanjutkan perjalanan lagi. Pak Kiong Liong terus mengikuti mereka dari jarak tertentu, dan diam-diam kagum juga melihat daya tahan orang-orang itu. Untung Pak Kiong Liong sendiri juga berilmu tinggi sehingga tak pernah ketinggalan.
"Mungklnkah mereka kaum yang di dunia persilatan Jepang disebut Ninja, pengikut-pengikut Ninjitsu (tehnik-tehnik siluman)?” Pak Kiong Liong bertanya-tanya dalam hati.
Hari ketiga rombongan itu bergabung dengan rombongan-rombongan lain yang sejenis yang datang dari berbagai arah. Setelah berkumpul, jumlah mereka mencapai hampir limaratus orang. Mereka nampak berunding sambil menuding-nuding jalan raya antara Liao-yang dan Pak-khia yang terapit dua tebing itu. Pak Kiong Liong memperkirakan mereka sedang merencanakan sebuah penghadangan di tempat yang menguntungkan itu.
Diam-diam Pak Kiong Liong membatin, "Inilah keletedoran Ni Keng Giau. Bagaimana mungkin Jepang-Jepang ini bisa menyusup ke garis belakangnya sampai berjumlah demikian besar tanpa diketahuinya? Apa kerja jaringan mata-mata Ni Keng Giau? Hanya bermalas-malasan di warung arak sambll mengganggu rakyat seperti perwira yang pernah kuhajar dulu?“
Sementara itu, ratusan orang Jepang itu sudah lenyap dari penglihatan, sebab semuanya telah bertiarap rapi di antara rumput-rumput ilalang di kedua tepi jalan. Tak lama kemudian, ketika cahaya matahari mulai hangat, dari arah kota Pak-khia muncul sebuah barisan Kerajaan Manchu yang mengawal berpuluh-puluh gerobak kuda. Sekali pandang saja Pak Kiong Liong tahu itulah perbekalan yang dikirim ke garis depan, dan itu pulalah yang diincar orang-orang Jepang itu. Dengan perhitungan kalau perbekalan diputuskan, Ni Keng Giau akan gampang dikalahkan.
Pak Kiong Liong boleh membenci Kaisar Yong Ceng dan Ni Keng Giau, namun tidak rela ratusan ribu perajurit Manchu kalah perang karena perbekalannya disabot. Maka ia memutuskan akan turun tangan membantu pasukan Manchu. Ketika tiga perempat panjang barisan pengawal perbekalan itu sudah masuk ke seIat gunung, terdengar teriakan perintah berbahasa Jepang.
Dua baris perajurit Jepang muncul di kiri kanan jalan, sambil berjongkok membidik- kan bedil-bedil mereka. Letusan maut terdengar saling susul puluhan perajurit Manchu roboh, sedang sisanya menjadi kalang-kabut karena tidak bersiap menghadapi sergapan itu.
Pemimpin pasukan perbekalan berteriak-teriak di atas kudanya yang melonjak-lonjak karena dikagetkan bunyi bedil. "Lindungi kereta perbekalan! Bersiaga menghadap dua arah!"
Bedil abad delapanbelas itu hanya dapat sekali ditembakkan, kalau hendak menembak kembali harus diisi kembali obat mesiunya dan pelurunya yang bulat seperti kelereng. Namun para penyergap itu dapat menyambung serangan demi serangan dengan cara tertentu.
Kalau baris pertama selesai menembak, mereka mundur untuk mengisi bedil, sementara baris kedua maju, menembak, mundur dan diganti baris ketiga. Baris ketiga selesai, baris pertama tadi sudah siap kembali. Begitu seterusnya, sehingga pasukan Manchu menjadi repot sekali.
Kerepotan bertambah ketika orang-orang Jepang juga melepaskan panah-panah berapi yang jatuh di kereta ransum dan langsung menyala. Kalau perbekalan terbakar habis, tidak ada gunanya biarpun mereka berhasil sampai di Liao yang. Karena itulah sebagian dari mereka di perintahkan memadamkan api, meski denqgan resiko kena peluru musuh.
Meskipun perajurit perajurit Manchu juga membalas menembak, memanah atau melemparkan lembing, tapi kedudukan mereka kalah menguntungkan karena di tempat terbuka tanpa perlindungan yang memadai, sehingga korban jatuh semakin banyak.
Pak Kiong Liong tak bisa tinggal diam. la melompat keluar dari persembunyiannya dan berlari secepat kilat ke tebing sebelah utara. Sambi berlari, ia sempat membungkuk mengambil beberapa butir batu yang dengan kekuatan tangannya diremas remuk menjadi kerikil-kerikil keciI.
Ketika merasa jaraknya cukup dekat dengan perajurit-perajurit Jepang, ia sambitkan kerikiI- kerikilnya dengan kekuatan tenaga dalamnya. Batu-batu kecil itu mendesing tak kalah hebatnya dengan peluru bedil dan melubangi pung gung beberapa perajurit Jepang.
Serangan dari belakang itu membuat orang- orang Jepang mendapat giliran untuk panik. Beberapa orang berteriak-teriak dengan bahasa leluhur mereka, sebagian pemegang bedil berbalik untuk mengarahkan moncong senjata mereka kepada Pak Kiong Liong.
Bersamaan dengan letusan bedil-bedil musun, Pak Kiong Liong mengapung mendatar seperti burung walet sehingga peluru musuh lewat di bawahnya semua. Berbarengan tangannya kembali menaburkan kerikil-kerikilnya yang menjungkal kan lagi sejumlah lawan. Batu sambitan nya bukan nanya menyusup bagian-bagian tubuh yang lunak, tetapi juga beberapa batok kepala yang keras tulangnya sehingga paniklah orang-orang Jepang itu.
Begitulah, perajurit Jepang di tebing utara jadi agak kacau. Ketika Pak Kiong Liong sudah dekat, merekapun meletakkan bedil dan busur panah mereka untuk mencabut pedanog panjang atau lembing-lembing mereka guna rnelawan Pak Kiong Liong. Pak Kiong Liong tidak bersenjata, tapi setiap gerak kaki atau tariannya tetap minta korban di pihak musuh. Bahkan ia kemudian berhasil me rebut sebatang pedang lawan dan semakin hebatlah amukannya, seperti harimau tumbuh sayapnya.
Kekacauan pasukan Jepnng di tebing utara itu membuat pasukan Manchu agak berkesempatan menyusun diri memperhebat perlawanan. Mereka kini cuma menghadapi serangan dari tebing selatan, sedang tebing utara mereka serbu untuk memaksa pertempuran jarak dekat tanpa bedil. Maka di tebing utara berkobarlah pertempuran yang sengit.
Sementara Pak Kiong Liong yang tengah mengamuk itu tiba-tiba merasa di belakang punggungnya ada deru angin dahsyat. la melompat menjauh sambil membalikkan badan untuk menghadapi penyerang yang hebat itu. Ternyata penyerangnya adalah si kakek Jepang berambut putih terurai dan bersenjata toya itu. la tangkas sekali. Begitu serangan pertama luput, toyanya berputar kencang sehingga berwujud gulungan hitam bagaikan roda raksasa yang menerjang ke arah Pak Kiong Liong kembali.
Orang itu adalah Hattori Sho, pendekar tua dari Kepulauan Ryukyu, seorang ahli perpaduan antara silat dan sihir. Toyanya yang berputar kencang itu bukan saja sanggup menggilas remuk sebongkah batu Karang, tapi juga memancarkan angin dingin yang menggidikkan tubuh. Kedua kakek itu, Pak Kiong Liong dan Hattori Sho, tiba-tiba saja merasa kan bahwa kali ini mereka ketemu lawan setimpal setelah sekian puluh tahun “kesepian" tanpa lawan berarti di puncak ilmu me reka.
Setahap demi setahap mereka meningkatkan ilmu, cahaya putih dan hitam senjata-senjata mereka bertabrakan seperti dua gelombang dahsyat yang membentuk pusaran maut, sernentara kedua kakek itu saling menyambar dengan cepatnya seperti dua rajawali jantan bertarung di angkasa. Batu kerikil, tanah dan rumput terbang berhamburan sehingga arena pertempuran kedua tokoh sakti itu seolah dilingkari tirai kabut gelap.
Untuk menandingi hawa dingin menusuk yang terpancar dari gerakan Hattori Sho, Pak Kiong Liong tidak mungkin sekedar mengandalkan jurus-jurus Thian liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Langit) melainkan harus juga menggunakan Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) yang memancarkan udara panas menyengat. Maka bergulunglah dua macam hawa yang berlawanan itu menjadi satu. Siapa yang akan menang atau kalah, sulit dinilai secara tergesa-gesa.
Sementara itu pertempuran antara perajurit-perajurit Manchu dan Jepang di kedua lereng sudah mencapai kemapanan, tapi tidak berarti keseimbangan. Sebagian perbekalan yang dikawal pasukan Manchu memang tak terselamatkan lagi, musnah termakan api yang dipanahkan perajurit-perajurit Jepang. Tetapi sisanya gagal dihancurkan sekali oleh pihak Jepang, sebab pihak Manchu berhasil menyusun perlawanan dan bahkan balik menyerbu ke kedua tebing.
Kalau dalam perang itu sebelumnya pihak Manchu salah perhitungan sehingga mengalami beberapa kekalahan di tepi Sungai bertabrakan seperti dua gelombang dahsyat yang membentuk pusaran maut. Hek-liong, maka kali inilah pihak Jepang yang keliru perhitungan. Dipimpin Hattori Sho, mereka hanya mengirim limaratus orang untuk memutus jalur perbekalan, dan berharap dengan siasat "hujan peluru tanpa henti" serta mengandalkan kelihaian Hattori Sho akan berhasil dengan tugas mereka.
Tapi kemunculan Pak Kiong Liong membuyarkan rencana yang sudah rapi itu. Di lereng utara berkobar pertempuran dengan pedang dan tombak, sejenis pertempuran dimana jumlah orang pada masing-masing pihak pegang peranan penting, sehingga terdesaklah pasukan Jepang yang kalah banyak jumlahnya.
Sementara di lereng selatan, tembak-menembak dengan bedil serta panah-memanah berlangsung seimbang. Kemudian Panglima Manchu pemimpin pasukan malah memacak anakbuahnya, sebagian merunduk melingkari bukit untuk menyergap dari samping. Namun perajurit- perajurit Jepang bertahan dengan gigih sekali , tiap kali mereka mengobarkan semangat dengan teriakan "banzai"...
Keluarga kecil itu bangun dengan sikap lega melihat sikap Pak Kiong Liong. Ketika Pak Kiong Liong menanyakan nama mereka, si lelaki dewasa menjawab ia bernama Wan Hong, isterinya biasa dipanggil Lam Si dan bocah kecil lelaki itu bernama Wan Lui atau A-lui. Usia dan gerak-gerik bocah itu agak mengingatkan Pak Kiong Liong akan sepasang cucu kembarnya yang tinggal di Tiau-im-hong bersama kakek dalamnya, Ketua Hwe-Liong-pang Tong Lam Hou. Hanya saja Wan Lui lebih tua dua tiga tahun dari kedua cucu Pak Kiong Liong itu.
Ketika Lam Si kemudian sibuk dibelakang menyiapkan hidangan, lalu mempersilakan Pak Kiong Liong untuk bersantap, Pak Kiong Liong tidak menolak-nya. Mula-mula keluarga itu menolak di ajak makan semeja dengan Pak Kiong Liong karena merasa kurang hormat, namun karna Pak Kiong Liong terus membujuk, akhirnya keempat orang itupun mengitari meja makan dalam suasana kekeluargaan.
“Saudara Wan," kata Pak Kiong Liong kemudian. “Jauhkah rumahmu ini dari Sungai Hek-Liong?”
"Tidak terlalu jauh, kira-kira limapuluh atau enampuluh li. Biasanya hamba juga berburu sampai ke sana, Tapi sejak perang berkecamuk, aku tidak berani lagi mendekati sungai itu. Di seberang sungai sudah dikuasai pasukan asing yang bersikap ganas terhadap rakyat seperti kami ini...."
Pak Kiong Liong bisa maklum kenapa orang-orang ini memanggilnya Tai-jin, sebab dirinya masib memakai pakaian sebagai Jenderal Manchu "Apakah saudara mendengar kabar tentang pertempuran di tepi Sungai Hek-Iiong?”
"Ya, ada juga kabar itu. Tadi hamba baru saja datang ke desa terdekat, ada seorang pedagang jin-som kenalan hamba yang membawa kabar bahwa dua malam yang lalu terjadi pertempuran di pinggir Sungai Hek-liong. Sepasukan tentara kita menyerbu pertahanan musuh, tetapi kabarnya.... kabarnya...” Wan Hong ragu-ragu untuk melanjutkan omongannya.
Sebenarnya Pak Kiong Liong sudah paham bagaimana nasib pasukan yang ditinggalkannya itu, namun wajahnya tegang juga mendengar penuturan Wan Hong itu. "Bagaimana kabarnya?" Dia mendesak.
Wan Hong menjawab sambil menunduk, "Sungguh kabar buruk, Taijin. Pasukan kita tertumpas habis tanpa sisa seorangpun, kabarnya karena pasukan musuh kedatangan bala bantuan berlimpah, dan pasukan kita tidak sempat mundur ke tepi barat Sungai Hek-liong...."
Tinju Pak Kiong Liong terkepal dan giginya gemeretak menahan gelonbang hatinya yang melonjak. Katanya gemetar, "Perajurit-perajurit yang gagah berani, seiamat jalan....."
Hari itu dilewati oleh Pak Kiong Liong dalam suasana duka. Diberinya Wan Hong setahil emas dan dimintanya tolong Wan Hong pergi ke desa terdekat untuk membeli sesajian sembahyang seperti buah-buahan, lilin, dupa biting dan lain-lainnya. Setelah semuanya tersedia, di halaman gubuk Wan Hong, Pak Kiong Liong mengatur meja sembahyang menghadap timur, ke arah Sungai Hek-liong dimana ribuan perajuritnya habis dalam waktu semalam saja.
Jenderal tua itu dengan khidmat bersembahyang dan bersujud ke arah itu, tak tertahan lagi air matanya mengalir deras selama upcara itu. Wan Hong dan keluarganyapun ikut bersembahyang sebagai penghonnatan terhadap arwah perajurit-perajurit kekaisaran yang gugur membela negara.
"Terima kasih," kata Pak Kiong Liong kepada Wan Hong sekeluarga seusai upacara. "Aku memang sedih, tetapi kematian perajurit-perajurit itu bukannya tanpa arti sama sekali...."
Sahut Wan Hong, "Benar. Setidak-tidaknya pasukan musuh yang selama ini belum pernah mendapat perlawanan berarti, sekarang harus tahu bahwa kitapun memiliki perajurit-perajurit yang tangguh. Hamba pun merasa bangga...."
Pak Kiong Liong cepat menukas omongan itu "Saudara Wan, maukah kau hilangkan sebutan 'hamba' dan 'Taijin” di antara kita? Kau mungkin sebaya dengan anakku, kau boleh anggap aku sebagai pamanmu saja. Bagaimana?"
Wan Hong menyahut tergagap-gagap, "Hamba.... hamba tidak berani. Taijin adalah keturunan keluarga Pak Kiong yang termasuk kerabat istana sejak jaman Kim-thai-cong yang agung...."
“Ai, kau ini orang kolot yang suka bertele-tele, dengan silsilah lapuk," gerutu Pak Kiong liong. Lalu kepada Wan Lui dia bertanya, “A-lui, apakah kau juga akan bersikap bertele-tele seperti ayahmu?"
Mata lebar Wan Lui menatap Pak Kiong Liong dengar berani, lalu menyahut sambil menyeringai, “Aku akan memanggilmu dengan kakek saja boleh?“
Sesaat Pak Kiong Liong melupakan kesedihannya karena senang melihat sikap Wan Lui itu. Ditepuknya pundak anak itu sambil tersenyum, "Bagus, anak yang berani. Apa cita-citamu kelak?”
“Menjadi Jenderal seperti kakek, untuk menggempur musuh yang berani mengacau negeri kita!"
Pak Kiong Liong tertawa semakin lebar, ditariknya tangan Wan Lui. “Hebat, itu baru anak laki-laki. Mari kakek ajarkan sesuatu kepadamu."
“Apa, kakek?“
“llmu silat. Masa seorang calon Jenderal tidak bisa bermain silat?"
Wan Lui melonjak kegirangan, tapi tak lupa memohon ijin kedua orang tuanya, tidak dengan kata-kata tetapi cukup dengan sorot matanya, barulah Wan Lui berlari-lari mengikuti Pak Kiong Liong ke belakang rumah. Kurang dari sehari Pak Kiong Liong mengenal Wan Lui, dia sudah menyayangi anak itu seperti terhadap cucunya sendiri.
Sinar mata anak itu menyiratkan keberanian, kecerdasan dan kejujuran, bentuk tubuhnya agak besar dan tegap mendahului umurnya, agaknya karena biasa membantu kedua orang tuanya bekerja keras. Gerak-geriknya membayang tenaga hidup yang berlebihan tersimpan di tubuhnya, dan Pak Kiong Liong ingin mengajarkan bagaimana menggunakan tenaga itu.
Beberapa hari Pak Kiong Liong merasa betah tinggal di tengah keluarga pemburu yang menyenangkan itu. Sebenarnya Pak Kiong Liong sengaja tinggal di situ agak lama agar dapat mengamati suasana garis depan, sekaligus ingin meIihat bagaimana cara Ni Keng Giau hendak menghadapi pasukan Jepang yang kuat dan terampil itu. Kadang-kadang Pak Kiong Liong bersama Wan Hong mengunjungi desa terdekat untuk mencari kabar-kabar peperangan.
Banyak desa sudah kosong karena ditinggal mengungsi oleh penghuninya, tetapi desa di kaki gunung itu masih berpenghuni, dan sebuah titik lalu-lintas yang cukup ramai sehingga bermacam-macam berita dapat didengar dari orang lewat. Orang-orang yang masih bertahan tinggal di desa itu umumnya adalah orang-orang yang demikian miskin sehingga merasa tak ada gunanya lari, toh tidak ada yang cukup berharga milik mereka untuk dirampok.
Pak Kiong Liong yang sudah berpengalaman "bermain" di atas panggung kekuasaan, sadar bahwa kelambatan datangnya pasukan Ni Keng Giau itu disengaja, supaya ia dan pasukannya hancur lebih dulu dihadapan pasukan Jepang. Ni Keng Giau pun tentu bertindak demikian pasti bukan karena kehendak sendiri. Pak Kiong Liong sadar, dirinya dihadapan mata Kaisar Yong Ceng adalah duri dalam daging yang harus dilenyapkan.
Hal lain yang membuat Pak Kiong Liong betah di gubuk Wan Hong itu adalah si bocah Wan Lui. Mungkin karena terdorong kerinduan seorang kakek kepada cucu-cucunya yang jauh, rasa sayangnya dilimpahkan kepada Wan Lui. Dalam waktu yang terhitung singkat, ia mencoba “mengisi" Wan Lui dengan dasar-dasar Thian-Liong-kun-hoat (llmu Pukulan Naga Langit).
Baru dasar-dasarnya dan belum jurus-jurusnya. Baru bentuk kuda kuda, pukulan dan tendangan dasar, cara bernapas mengerahkan tenaga, cara melangkah yang sebenarnya tidak gampang. Tapi Wan Lui tidak mengecewakannya. Seandainya Pak Kiong Liong bukan seorang Jenderal yang senantiasa diburu urusan penting, ingin rasanya tinggal lebih lama di tempat tenang itu. Wan Lui telah mengikat hatinya, ia ingin menurunkan seluruh ilmunya kepada anak itu, tapi waktunya terlalu sempit.
Kemudian Pak Kiong Liong menemukan akal untuk menurunkan ilmu tanpa harus tinggal lama di tempat itu. la beli buku kosong, tinta dan pena di desa terdekat. Setiap malam, kalau keluarga Wan Hong sudah dipeluk mimpi, Pak Kiong Liong masih berjaga di ruangan depan dan ditemani pelita yang berkelap-kelip di meja kasar kayu cemara. Huruf demi huruf di goreskannya ke lembaran-iembaran buku kosong itu, kadang kadang diIengkapinya dengan gambar-gambar sederhana karena Pak Kiong Liong bukan ahli melukis, namun cukup jelas.
Di buku kosong itu yang dituliskannya bukan saja Thian-Liong-kun-hoat, tapi juga Thian-Liong-kiam-hoat dan bahkan ilmu tertingginya, Hwe-Liong-sin-kang, meskipun disertai pesan tegas bahwa Hwe-Liong-sin-kang baru boleh dipelajari setelah usia enambelas tahun, tidak boleh kurang dari itu. Juga setelah ilmu pukulan, ilmu pedang dan ilmu pernapasannya cukup kokoh terpupuk.
Lembar-lembar kosong yang tersisa ditulisinya dengan pengetahuan pelengkap seperti tata pemerintahan, cara mengatur pasukan di medan perang yang dibumbui dengan pengalaman Pak Kiong Liong sendiri, dan budi pekerti yang luhur. Pak Kiong Liong mengharap Wan Lui akan "melalap" buku itu dalam waktu tidak lebih dari 10 tahun mengingat kecerdasannya. la berharap pula sepuluh tahun mendatang akan lahir seorang tokoh tangguh yang berguna bagi kemanusiaan dan Kekaisaran.
Beberapa hari kemudian. ketika Pak Kiong Liong tengah melatih Wan Lui di belakang rumah, Wan Hong yang baru pulang dari desa untuk menukarkan kulit-kulit binatang buruan dengan uang dan beberapa barang keperluan, langsung menemui Pak Kiong Liong dan berkata dengan berkobar-kobar, "Taijin! Taijin! Sekarang mampuslah musuh-musuh ke kaisaran kita!”
"Ada apa?" tanya Pak Kiong Liong.
"Pasukan besar kita sudah tiba, dipimpin Jenceral Ni Keng Giau! Temanku yang baru pulang dari Liao-yang bercerita bahwa pasukan itu demikian besarnya sehingga seperti iringan semut keluar dari liangnya! Entah berapa ratus ribu perajurit yang dikerahkan oleh Jenderal Ni itu!”
Dalam urusan politik dalam negeri, Ni Keng Giau adalah lawan Pak Kiong Liong. Tapi menghadapi serbuan dari luar, Pak Kiong Liong mengharapkan Ni Keng Giau berhasiI mengusir Jenderal Hirasaki dari dataran Liau-tong. Namun Pak Kiong Liong ragu-ragu, apakah jumlah yang besar menjamin kemenangan? Dia yakin dalam pasukan Ni Keng Giau tentu ada penembak-penembak bedil, namun sanggupkah menghadapi perajurit-perajurit Jepang yang dalam menggunakan bedil bukan saja mengandalkan jumlah, tapi juga sudah mahir berperang gaya Eropa?
Tiba-tiba Pak Kiong Liong terdorong keinginan untuk "mengunjungi” garis dpan untuk melihat bagaimana cara Ni Keng Giau menghadapi pasukan Jepang. Tapi itu berarti perpisahan dengan keluarga Wan Hong yang selama ini sudah seperti keluarganya. Ketika ia menoleh kepada Wan Lui, maka anak itupun dengan matanya yang bulat tengah menatapnya.
Bahkan anak itu berkata, "Kakek tentu ingin pergi? Pergilah. Kami tahu suatu hari kakek pasti akan meninggalkan kami, karena kakek adalah seorang jenderal yang memikul tugas mulia demi kekaisaran..."
Pak Kiong Liong memegang kepala anak itu dan berkata, "Anak baik, kakek yakin kau tidak akan menangis. Betul tidak?"
Wan Lui menggelengkan kepalanya keras-keras. "Seorang calon jenderai gagah perkasa seperti kakek, tidak patut mencucurkan air mata...." Biarpun mulutnya bilang begitu, toh mata anak itu sudah berkaca-kaca dan mulutnya mewek-mewek.
Tak tertahan lagi Pak Kiong Liong meraih kepala anak itu dan mendekapkan erat-erat ke dadanya. Kemudian dilepaskannya sambiI berkata, "Sepeninggal kakek, berlatihlah terus, Jenderal keciIku. Kekaisaran ini menunggu darma baktimu. Oh, ya, ada hadiah untukmu."
Pak Kiong Liong masuk ke gubuk di ikuti Wan Hong dan Wan Lui. Dari bawah alas pembaringannya, Pak Kiong Liong mengambil buku hasil tulisannya selama beberapa malam ini. Diserahkannya kepada Wan Lui sambil berkata, "Pelajari' isi buku ini, A-lui. Kepergian kakek tidak berarti pelajaranmu terhenti. Kau bisa membaca, bukan?"
Wan Lui kembali mengusap matanya, lalu menerima buku itu. “Kakek, pemberian ini bukan berarti kita tak akan bertemu lagi, bukankah begitu?"
"Tentu. Bukankah kau cucuku dan sekaligus pewaris ilmuku?"
Malam itu, digubuk sederhana itu berlangsung perjamuan perpisahan yang sederhana namun hangat. Hidangan suguhan Lam Si tentu saja jauh kalah dari hidangan rumah makan-rumah makan di Pak-khia, tapi kehangatan dan keakraban itu juga takkan didapati di rumah makan terbaik sekalipun di Pak-khia. Pak Kiong Liong dengan lahap menghabiskan apa saja yang disuguhkan kepadanya, membuat Lam Si sebagai juru-masak merasa bangga juga.
Sehabis makan, mereka bercakap-cakap sampai jauh malam, dan kemudian menuju tempat tidur masing- masing. Pak Kiong Liong yang tidur di bagian depan gubuk, ketika malam larut tiba-tiba merasa tubuhnya diraba seseorang. Sambil tetap berpura-pura tidur, ia melirikkan matanya tanpa kentara. Ternyata Wan Lui si bocah dengan gerakan hati-hati menyelimutkan sehelai selimut ke tubuh Pak Kiong Liong, lalu dengan langkah berjingkat-jingkat karena mengira Pak Kiong Liong masih tidur, anak itu kembaIi ke pembaringannya sendiri di ruangan belakang.
Pak Kiong Liong tersenyum sendiri. Berpuluh-puluh tahun yang silam, dalam sebuah gubuk yang sama sederhananya di lereng gunung Tiam-jong-san di Propinsi Hun-lam, dia juga meresapi kehangatan antar manusia macam itu. Di sana ia menemukan satu “bibi" dan satu "saudara", sedang di sini ia dapatkan dua "keponakan” dan satu "cucu" yang begitu baik.
Kenapa hanya di gubuk-gubuk reyot ini baru bisa ditemukan kemanusiaan aseli? Kenapa tidak di istana-istana yang gemerlapan milik para pemimpin yang konon lebih "terdidik" dan "beradab"? Di tempat-tempat indah itu ternyata cuma ada kebusukan, kedengkian dan saling menyikut antara keluarga dan "kalau diperlukan" maka membunuh-pun menjadi halal?
Apa ini watak umum manusia? Sesama hanya dibutuhkan dalam kesulitan, tapi setelah di puncak kejayaan maka orang lainpun dianggap saingan yang mesti didepak? Apakah harta dan kedudukan menjadi "dewa" yang lebih dipentingkan dari sesama?
Fajar menyingsing dan perpisahan tak terhindari. Sebelum melangkah pergi, Pak Kiong Liong berkata kepada Wan Lui, "A-lui, kalau kelak kau bepergian dan bertemu dengan anak laki-laki kembar yang kira-kira lebih muda dua tahun daripadamu, bernama Tong San Hong dan Tong Hai Long, kau boleh anggap mereka sebagai saudara-saudaramu."
"Tong San Hong dan Tong Hai Long?"
"BetuI. Mereka adalah cucu-cucu kakek, sedang kaupun kuanggap cucuku juga, nah, bukankah kalian bertiga jadi saudara?" kata Pak Kiong Liong. "Kedua saudaramu itu, sesuai dengan namanya masing-masing, yang satu San Hong (puncak gunung) dan satunya Hai Long (gelombang samudera), ternyata sifat merekapun cocok dengan namanya. San Hong seorang anak yang tenang, diam, keras dan mirip puncak gunung betul betul. Sedang saudara kembarnya adalah seorang anak yang senantiasa usil dan gemar bergerak, seperti ombak samudera..."
"Menyenangkan sekali punya saudara-saudara semacam mereka, kakek...."
"Dan kau sendiri bernama Lui (guntur)....."
Kemudian dengan saling melambaikan tangan Kedua pihakpun berpisah. Pak Kiong Liong tidak mengenakan seragam panglimanya, melainkan berpakaian seperti orang gunung, dengan caping lebar menudungi kepala dan wajahnya. Maka ia nampak seperti seorang pengungsi tua sebatang kara, bedanya, kalau pengungsi-pengungsi lain menjauhi medan perang, "pengungsi" yang satu ini malah mendekatinya.
Kalau jalanan ramai, Pak Kiong Liong berjalan terbungkuk-bungkuk dibantu sebatang tongkat, berperan sebagai seorang kakek yang loyo. Tapi kalau jalanan sepi, ia melangkah bagaikan kilat menyaingi larinya seekor kuda. Karena itu, sehari kemudian diapun sudah tiba di Liao-yang, pemusatan pasukan Ni Keng Giau.
Begitu masuk kota, segera dirasakannya suasana perang di mana-mana, perajurit- perajurit Manchu hilir mudik memenuhi kota dengan senjata-senjata terpanggul. Penduduk sipil terlihat jarang, sebagian besar sudah mengungsi ke garis belakang di kota Jiat-ho atau Thian-cin yang bentengnya lebih kuat.
Terasa perutnya lapar, Pak Kiong Liong membelokkan langkah ke dalam sebuah warung murahan di tepi jalan, yang dalamnya penuh berdesakan dengan para perajurit yang sedang menenggak arak, asap dari bagian dapur bergulung masuk ruangan depan sehingga mata terasa pedas.
Perajurit-perajurit Masuknya Pak Kiong Liong yang berpakaian kumuh dan berjalan terbungkuk-bungkuk dibantu tongkat itu kurang menarik perhatian. Tapi setelah Pak Kiong Liong mengambil tempat duduk, si pemilik warung mendekatinya juga dan bertanya,
"Hendak makan apa, kek?"
Sengaja Pak Kiong Liong menggetarkan suaranya seperti umumnya suara orang tua yang loyo, "Minta semangkuk bubur ayam hangat dan sepoci teh hangat pula....."
Pesanan si “kakek pengungsi" yang nampaknya sangat memelas itupun segera diambilkan. Kemudian pemilik warung itu sendiri agaknya sedekit lega untuk bercakap-cakap singkat dengan Pak Kiong Liong. "Kau darimana, kek?”
Sambil perlahan-lahan mengunyah bubur ayamnya, Pak Kiong Liong menyahut, “Dari sebuah desa kira-kira tiga-puluh li dari sini. Aku mengungsi Ke kota ini karena iebih aman."
“Wah, itu bukan jarak yang dekat untuk orang seusia kakek. Kakek sendirian?"
"Berangkatnya bersama beberapa orang sekampung, tetapi mereka hendak terus ke Jiat-ho, karena aku tidak kuat berjalan sejauh itu, akupun memutuskan untuk berlindung di kota ini saja. Toh rasanya tempat ini cukup aman biar pun berdekatan dengan medan perang, karena di sini ada pasukan besar yang baru datang dari Pak-khia. Benarkah?"
"Benar. Besok pagi, pasukan kita akan mulai menggempur musuh yang berderet-deret di tebing timur Sungai Hek-liong.”
"Mudah-mudahan pasukan kita menang, sehingga para pengungsi bisa kembali ke sawah ladang mereka kembali dan bekerja seperti biasanya."
“Ya,mudah-mudahan, kek, biarpun kabarnya pasukan musuhpun amat kuat..." si pemilik warung itu hampir saja mengoceh panjang lebar, namun tiba-tiba berkata, "Eh, sebentar ya, kek? Ada tamu yang harus kulayani.."
Beberapa perwira berjalan masuk ke warung itu. Perajurit-perajurit rendahan yang lebih dulu sudah ada di dalam warung segera bangkit memberi hormat dan menyapa dengan beberapa patah kata basa-basi. Pertempuran belum benar-benar berlangsung, namun lagak para perwira itu sudah seperti pahlawan-pahlawan besar yang berhak mendapat pelayanan sebaik-baiknya. Sebelah kaki dinaikkan ke atas bangku, lalu berteriak-teriak minta makanan dan minuman. Lalu mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa sesama mereka sehingga seluruh warung hanya kedengaran suara mereka.
Pak Kiong Liong menundukkan kepala dalam-dalam sehingga wajahnya yang cukup terkenal di Pak-khia itu tak gampang diperhatikan, sementara kedua kupingnya justru dibuka lebar-lebar untuk menangkap percakapan perwira-perwira itu. "Kesombongan Hui-Liong-kun sekarang sudah runtuh!" kata seorang perwira berjenggot pendek kaku seperti ijuk. "Di Pak-khia lagak mereka seolah tidak ada tandingannya, tetapi di medan perang ini, huh, ternyata mereka seperti nenek-nenek pikun yang tak berguna sedikitpun!"
"Benar.Dulu di Pak-khia mereka berkelakuan seperti orang-orang gila, berkeliling-keliling kota menunggang kuda dan menembakkan bedil-bedil keatas, melambai-lambaikan pedang dan tombak. Seandainya saat itu tidak ada perintah Jenderal Ni untuk tidak bertindak, ingin rasanya aku menghajar mereka."
"Sekarang mereka kena batunya, ditumpas oleh orang-orang Jepang dan menjadi makanan ikan di dasar Sungai Hek-liong. Sedang Panglima yang mereka bangga-banggakan, Pak Kiong Liong, kabarnya lari terbirit-birit dari medan perang seperti anjing kena gebuk. Ha-ha-ha...!"
Demikianlah mereka bercakap, tertawa, memaki-maki dan menyumpal mulut dengan makanan. Andaikata hal itu terjadi dulu ketika Pak Kiong Liong masih muda dan berdarah panas, perwira-perwira bawahan Ni Keng Giau itu tentu sudah dihajarnya semua. Tapi dalam usia mendekati tujuhpuluh tahun, Pak Kiong Liong tidak gampang marah. la memanggil pemilik warung mendekat untuk menanyakan harga makanan dan minuman pesanannya, lalu membayarnya.
Namun ketika ia mengeluarkan kantong uangnya, si perwira berkumis kaku kebetulan melihatnya, bahkan langsung dapat menaksir bahwa isi kantong itu cukup bernilai. Timbul pikiran jahatnya untuk merampas milik "kakek pengungsi" itu, tetapi ia ingin turun-tangan sendiri saja tanpa mengajak teman temannya, supaya dapat dimiliki semuanya tanpa harus membagi-bagi dengan teman-temannya.
Begitu melihat Pak Kiong Liong meninggalkan warung, perwira itupun meninggalkan warung setelah memberi suatu alasan kepada teman-temannya. Ditinggalkannya uang untuk membayar makan minumnya sendiri, lalu ia bergegas menyusul Pak Kiong Liong.
Ketika melihat buruannya melanggkah tertatih-tatih masuk sebuah lorong yang sepi, si perwira brewok bersorak dalam hati. Sambil menggcsok-gosok tinjunya ia berpikir, "Bagus, aku akan mendapat tambahan isi untuk kantong uangku. Lalu kakek itu harus ku mampuskan agar tidak melaporkannya kepada atasanku..."
Demi mendapat uang beberapa tail, ia takkan segan-segan menyelesaikan nyawa seorang yang seharusnya patut disegani. Ini tidak mengherankan, sebab perwira itu bukan lain adalah Ho Thian Ek yang berjulukan Tiat-jio-hui-hou (Macan Terbang Bertombak Besi), si bekas penjahat yang dulu hampir digantung di kota Tay-tong dan kemudian diselamatkan oleh Ni Keng Giau.
Kini, biarpun ia berpakaian perajurit, mentalnya tetap mental bandit yang suka merugikan orang lain. Dalam memperkuat barisan menghadapi Pangeran In Te, Kaisar Yong Ceng tak segan-segan menambah tenaga darimanapun asalnya. Para pendekar sejati boleh, bandit juga tidak jadi soal, Ksatria dan bajingan bercampur aduk dalam satu barisan.
Setelah cukup jauh dari jalanan ramai, Ho Thian Ek mempercepat langkahnya untuk menghadang si "kakek pengungsi" dan membentak, "Orang tua, cepat serahkan kantong uangmu. Kau takkan membutuhkan uang di lubang kubur!"
Pak Kiong Liong mempertahankan peranannya sebagai seorang tua yang lemah. Dengan tubuh menggigil ia berkata, "Tuan perwira, bukankah tugas tuan justru melindungi orang-orang lemah seperti aku ini? Bukan malah merampas dan....."
"Tutup mulutmu! Cepat serahkan uangmu, atau aku harus mematah-matahkan tulang karatanmu?" Ho Thian Ek melangkah maju sambil menggoyang-goyangkan tinjunya di depan hidung Pak Kiong Liong.
Pak Kiong Liong mundur-mundur ketakutan sambil berkata, "Jangan.... jangan. Kalau tuan merampas uangku, aku akan melapor kepada Jenderal Ni!"
Memang Ho Thian Ek paling takut kalau dilaporkan Ni Keng Giau yang menerapkan tata tertib amat keras itu. Kalau benar laporan kelakukannya sampai ke kuping Ni Keng Giau, rasanya batok kepalanya susah dipertahankan lagi. Karena itu semakin teballah niatnya untuk membunuh si "kakek pengung si” itu sekalian.
"Kau takkan dapat melapor kepada Jenderal Ni, kakek malang, tapi laporkan saja kepada Giam-lo-ong (Raja Akherat)."
Lalu tinjunya meluncur dengan segenap tenaga ke dada si "kakek pengungsi" dengan keyakinan sekali pukul saja korbannya akan terkapar mampus dengan tulang-tulang berantakan. Detik itulah si "kakek pengungsi" menegakkan tubuhnya, ternyata tubuhnya tegap kekar dan bukannya bongkok lagi. Dengan gerakan amat santai, tinju Ho Thian Ek telah masuk ke telapak tangannya dan terjepit di antara jari-jari tangannya. Tenaga yang dikerahkan Ho Thian Ek sia-sia belaka, membuat si bekas bandit itu kabur semangatnya.
Dengan tangan yang sebelah lagi, Pak Kiong Liong melepas capingnya dan berkata dingin, "Anjing penggigit rakyat, coba lihat siapa aku!"
"Pak Kiong Goan-swe!" Ho Thian Ek tergagap-gagap ketakutan. “Aku tidak tahu kalau..,. kalau.... yang kuikuti adalah.... Goan-swe. Ampun.... ampun."
Pak Kiong Liong benar-benar gemas terhadap tingkah Ho Thian Ek yang sewenang-wenang terhadap rakyat yang tengah ditimpa kemalangan. Tenaganya dikerahkan ke jari-jarinya sampai timbul suara gemeretak berbarengan dengan lolongan kesakitan Ho Thian Ek yang tulang pergelangan tangannya teremas hancur. Si perwira bekas bandit itu mukanya memucat dan dahinya basah kuyup dengan keringat dingin karena menahan sakit.
"Ampun.... ampun.... Goan-swe..."
Belakangan itu memang Pak Kiong Liong berubah menjadi orang yang gampang marah karena peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya berturut-turut, sejak In Ceng naik tahta sampai tertumpasnya pasukannya di tepi Sungai Hek-liong. Rintihan Ho Thian Ek tak digubrisnya. Pergelangan tangannya yang lain serta dua pundaknyapun diremas hancur.
Sehingga selanjutnya Ho Thian tidak bisa bersilat lagi, paling-paling melakukannya sebagai gerak badan ringan tanpa tenaga. Berarti kedudukannyapun yang empuk sebagai bawahan Ni Keng Giau ikut lenyap pula, mana mungkin seorang yang tak mampu bertempur lagi dipertahankan kedudukannya sebagai perwira?
Mengingat masa depannya yang hancur, Ho Thian Ek bukan saja takut dan sakit, tapi juga sedih. Airmatanya sampai bercucuran ketika ia berkata, "Goan-swe, kejam benar kau terhadapku. Pernah bersalah apa aku terhadapmu?"
Sahut Pak Kiong Liong dingin, "Dan pernah bersalah apa kepadamu orang-orang lemah yang kau rampas hartanya, bahkan riyawatnya? Aku cukup murah hati tidak mencabut nyawamu, hanya menghabiskan modalmu untuk bertindak sewenany-wenang!"
Lalu Pak Kiong Liong melangkah meninggalkan Ho Thian Ek yang merintih-rintih dan akhirnya pingsan karena tak tahan lagi rasa sakit di tulang-tulangnya yang remuk. Ketika ia diketemukan oleh teman-temannya dan digotong ke markas, diapun kemudian bercerita sambil menangis, katanya telah bertemu dengan Pak Kiong Liong yang langsung menyiksanya, padahal ia "tidak tahu apa salahnya".
Mendengar laporan bahwa Pak Kiong Liong muncul di dalam kota, Ni Keng Giau segera mengerahkan pasukannya untuk menggeledah seluruh kota. Dengan alasan bahwa Pak Kiong Liong adalah "pemimpin yang tidak bertanggung jawab" karena "meninggalkan pasukannya di medan perang" maka Ni Keng Giau memerintahkan regu-regu pencari agar begitu bertemu langsung dibereskan saja. Regu-regu pencari dilengkapi bedil-bedil pula, sebab semuanya maklum betapa lihai ilmu silat Jenderal tua itu.
Sehari suntuk pencarian digiatkan dan hanya menghasiIkan kekecewaan bela ka, sehingga Ni Kenq Giau menganggap Pak Kiong Liong mungkin sudah lari keIuar kota, maka pencarianpun dihentikan. Kini Ni Keng Giau lebih memusatkan pikirannya untuk menghadapi pertempuran yang bakal berlangsung menghadapi tentara Jepang.
Sebenarnya Pak Kiong Liong masih dalam kota Liao-yang, hanya beristirahat di sebuah puncak pagoda bertingkat delapan. Tentu saja anak buah Ni Keng Giau tak memperhitungkan tempat itu. Bahkan seandainya mereka mengetahuinya juga, barangkali tak bisa berbuat apa-apa, sebab sulit mencapai tempat itu.
Andaikata dibedil atau dipanah dari bawah, maka pinggiran atap pagoda yang melengkung ke atas itu akan menjadi perlindungan yang baik bagi Pak Kiong Liong. Bisa juga dengan cara membakar pagoda supaya Pak Kiong Liong turun, tapi pagoda itu dibangun oleh mendiang Kaisar Sun Ti, kakek dari Kaisar Yong Ceng yang bertahta, sehingga siapapun takkan berani membakarnya.
Ketika pencarian dihentikan, Pak Kiong Liong merasa lega bercampur sedih. Inikah yang diterimanya sebagai balas jasa pengabdiannya terhadap kekaisaran selama berpuluh-puluh tahun? Pengabdiannya memang tanpa mengharap balas jasa, tetapi perlakukan Kaisar Yong Ceng terhadapnya sungguh keterlaluan. Kaisar itu takkan tidur nyenyak sebelum ia mampus, Ni Keng Giau juga takkan berani bertindak demikian kalau tidak diperintah oleh Yong Ceng.
"In Ceng bocah keparat," kutuk Pak Kiong Liong dalam hati. "Aku yakin kaulah pembunuh ayahandamu sendiri. Kalau terhadap ayahnya saja berani bertindak sekeji itu, apalagi hanya terhadap aku yang hanya paman jauhnya ini, atau terhadap Pangeran In Te sebagai saudaranya...."
Dengan ilmunya yang lihai, tidak sulit bagi Pak Kiong Liong kalau malam itu ia datangi markas Ni Keng Giau dan mengambil nyawa Jenderal muda itu, sehingga Kaisar Yong Ceng akan kehilangan salah satu penopang kekuasaannya. Tapi Pak Kiong Liong masih memikirkan, kepentingan negerinya. Kalau Ni Keng Giau mati, pasukan besar itu kocar-kacir tanpa pimpinan, dengan gampang akan digasak habis oleh pasukannya Jendral Hirasaki.
Keesokan harinya, dari puncak pagoda Pak Kiong Liong melihat sebuah pasukan yang ditaksirnya berjumlah kira-kira tiga laksa, berbaris meninggalkan kota Liao-Yang. Dibawah kibaran bendera kekaisaran yang bergambar naga, pasukan ini berderap gagah ke medan perang. Tampak pula regu yang memanggul bedil, serta belasan meriam yang ditarik sepasang kuda.
Pemimpin pasukan adalah Lu Kong Hwe, seorang berpangkat Cong-Peng (Brigadir Jendral) yang sudah dikenal Pak Kion Lion di Pak-Khia. Konon dialah pembantu Ni Keng Giau yang terbaik. Dan kali ini ia diutus memimpin serangan pertama untuk menjajagi kekuatan musuh.
Melihat Lu Kong Hwe berkuda di depan pasukan dengan sikap pongah sambil mengempit tombaknya, Pak Kion Liong diam-diam berpikir, “Anak ingusan ini agaknya terlalu meremehkan musuh. Tapi biarlah kalah atau menang dia akan mendapat pengalaman berharga. Demi bendera Ngo-Jiau-Kim-Liong-ki (Bendera Naga Bersisik Emas Berkuku Lima, bendera kekaisaran Manchu) yang dikawalnya, aku harapkan dia menang….”
Sementara itu, Ni Keng giau dan sebagian besar pasukan tetap berada di Liao-Yang sambil mengadakan latihan-latihan untukmenjaga kesegaran tubuh dan semangat para prajurit. Pak Kion Liong sendiri dengan amat hati-hati berekliaran di kota untuk mendengar-denger berita, sambil berusaha jangan sampai kepergok orang-orang Ni Keng Giau. Mengenang keadaanya sendiri, Pak Kion Liong menyeringai kecut sendirian. “Tindak-tandukku sekarang tak ubahnya seorang bandit dengan dosa tak berampun, takut bertemu siapa saja.”
Dua hari kemudian, Lu Kong Hwe dan pasukanya kembali. Berangkatnya gagah perkasa, pulangnya lesu. Perginya semua prajurit melangkah tegap memanggul senjata, kembalinya tidak semua prajurit bisa berjalan dengan betul. Ada yang dinaikkan usungan, dipapah teman-temannya, atau berjalan sempoyongan. Singkatnya, pasukan itu nampaknya pulang sebai pecundang.
Pasukan babak-belur itu masuk kota setelah hari gelap, mungkin disengaja, supaya rakyat Liao-yang maupun sesama perajurit, agar keadaan yang mengenaskan itu tidak tampak terlalu jelas. Setelah seluruh pasukan diistirahatkan di pinggir-pinggir jalan, Lu Kong Hwe sendiri menghadpp Ni Keng Giau di gedung markas untuk melaporkan dan terima dampratan.
Pak Kiong Liong tiba-tiba timbul ke inginannya untuk mencuri dengar bagaimana Lu Kong Hwe melaporkan hasil pertempurannya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang amat tinggi, hanya sedikit kesulitan yang dijumpai Pak Kiong Liong untuk mencapai genteng markas Ni Keng Giau, tepat di atas ruang komando, lalu dengan hati-hati digeser nya selembar genteng untuk mengintai ke dalam.
Yang berada di ruangan di bawah itu biarpun rata-rata adalah jagoan-jagoan siasat perang, namun dalam kepandaian silat hanyalah biasa- biasa saja. Maka merekapun tidak sadar kalau Pak Kiong Liong ada di atas kepala mereka dan menguping semua pembicaraan.
Ni Keng Giau duduk di belakang meja besar yang di atasnya penuh bendera bendera kecil komando, rencana-rencana perintah, cap kekuasaan, pedang emas anugerah Kaisar Yong Ceng, serta selembar peta medan pertempuran yang tergelar hampir memenuhi seluruh meja. Wajahnya nampak gusar sekali. Tiba-tiba ia memukul meja dan berkata dengan keras,
"Bagaimana kau bisa berbuat setolol itu? Padahal kau mengaku sudah memahami semua isi Kitab Militer Sun-cu bukan?"
Di atas genteng Pak Kiong Liong tersenyum geli. Apa dipikirnya memahami Kitab Sun-cu adalah jaminan pasti menang? Kitab itupun sudah berabad-abad diterjemahkan ke dalam bahasa jepang dan dipahami pula oleh Jenderal-Jenderal Jepang.
Lu Kong Hwe berlutut di depan meja besar, tanpa berangi mengankat kepalanya, namun menjawab, "Aku memang gegabah, Goan-swe. Dengan menghitung jumlah tenda di pihak musuh, aku menaksir kekuatan mereka jauh lebih keciI dairi pasukanku. Lalu aku pecah pasukanku menjadi tiga untuk menggempur dari tiga jurusan, tetapi.... tetapi mereka bertempur dengan licik. Mereka menembakkan meriam ke arah lapisan es di permukaan Sungai Hek-liong shingga retak dan banyak perajuritku hanyut dalam arus Sungai Hek-liong...."
Di atas genteng, timbul rasa simpati Pak Kiong Liong. Lu Kong Hwe ternyata mengalami nasib sama dengan nasibnya. Tetapi Ni Keng Giau tidak mau mendengar penjelasan itu. Teriaknya, “Pengawal! Penggal kepalanya!"
Orang-orang yang sudah terbiasa di bawah perintah Ni Keng Giau, tidak kaget mendengar keputusan itu. Hukuman mati memang di-“obral murah” oleh Ni Keng Giau demi memenuhi ambisinya akan sebuah pasukan kuat yang berdisipiin tinggi. Tetapi Pak Kiong Liong yang menyaksikan semuanya itu diam-diam tidak setuju.
Pak Kiong dengan cara pendekatan kekeluargaan terhadap pasukannya, toh berhasil membentuk pasukan yang setangguh Hui-Liong-kun, karena kehangatannya justru lebih mengikat jiwa perajurit-perajuritnya daripada sederetan peraturan yang angker dan kaku. Dua orang penjaga segera masuk dan menyeret Lu Kong Hwe keluar. Wajah perwira muda itu memucat, namun ia tidak berteriak minta ampun, sebab tahu pasti bahwa permohonannya takkan digubris.
Saat itulah Pak Kiong Liong menginjak patah kerangka atap dan meiuncur ke dalam ruangan sambil berseru, "Tahan!”
Kemunculan Pak Kiong Liong dengan cara yanq luar biasa itu mengejutkan perwira- perwira di ruangan itu. Karena Pak Kion Liong secara resmi diumumkan sebagai “buronan negara", maka kemunculannya disambut dengan gemerincing senjata-senjata yang dihunus dari sarungnya.
Tapi di tengah-tengah suasana permusuhan itu Pak Kiong Liong tenang-tenang saja. la malah mengangguk hormat kepada Ni Keng Giau sambil berkata. "Selamat malam, Jenderal Agung Ni, aku datang dengan maksud baik...."
"Hem, setelah mencacatkan seumur bidup salah seorang perwira bawahanku, kau masih mengaku punya itikad baik?" dengus Ni Keng Giau.
"Ni Toa Goan-swe, kudengar kau adalah seorang pemimpin yang menerapkan disiplin militer dengan keras. Betul?"
Ni Keng Giau tersenyum congkak dan menyahut, "Bagus kalau kau sudah tahu. Biarpun kau adalah saudara sepupu mendiang Baginda Khong Hi , tapi dalam pasukan ini kau adaiah bawahanku tidak luput dari penerapan disiplin, sebab akulah yang diangkat sebagai Panglima Tertinggi. Aku akan menghukummu, sebab kudengar laporan kau meninggalkan medan perang dengan cara pengecut, itu contoh buruk untuk perajurit-perajurit lainnya!”
Alangkah panasnya hati Pak Kiong Liong menyaksikan lagak Ni Keng Giau itu , namun ia menahan kemarahannya. la datang bukan untuk bertengkar, melainkan untuk memberi sebuah pendapat yang akan berguna bagi pasukan kekaisaran dalam menghadapi kaum penyerbu.
Sahut Pak Kiong Liong, "Toa Goan-swe, perwiramu yang kucacatkan itu adalah seorang yang mengandalkan seragamnya untuk menindas rakyat. la hendak merampas uang dan nyawaku, karena aku dikiranya seorang kakek pengungsi yang tak berdaya. Kau percayai omonganku atau tidak, terserah kepadamu. Tapi kedatanganku bukan hendak bicara tentang perwiramu itu, melainkan tentang kalah menangnya tentara kita dalam perang ini....”
“Hemm, k0au pikir sekarang ini apa kedudukan dan pangkatmu sehingga masih berani mengurus seal ketentaraan kita.”
“Ni Goan-swe, andaikata aku sudah dipecat dan dilucuti semua pangkatku, sebagai rakyat dari kekaisaran agung ini aku tetap merasa berkepentingan dengan kalah menangnya negeriku. Bolehkah aku rnengeluarkan pendapatku?"
Jawaban Pak Kiong Liong itu menimbulkan rasa hormat dalam hati sebagian perwira-perwira bawahan Ni Keng Giau. Itu jawaban seorang yang setia dalam pengabdiannya kepada negara. Tidak perduli sebagai Jenderal atau sebagai rakyat biasa, kesetiaannya rak berubah, bahkan sekalipun dimusuhi oleh Kaisar yang berkuasa.
"Baik, aku meluangkan waktu untuk mendengarkanmu,” kata Ni Keng Giau kemudian. Lalu ia duduk di kursi kebesarannya dengan sikap agungnya, sedangkan Pak Kiong Liong dibiarkan tetap berdiri meski pun banyak kursi masih kosong.
"Goan-swe," Pak Kiong Liong mulai dengan usulnya. "Pasukan musuh itu mempunyai cara bertempur baru yang hebat. Dengan bedil mereka yang cuma ratusan pucuk, bisa memukul mundur pasukan kita yang mempunyai bedil lebih banyak.”
Lalu perajurit tua itupun menceritakan pengalamannya, disertai hasil pikirannya sendiri dalam menghadapi cara bertempur musuh. Biarpun wajah Ni Keng Giau tetap acuh mendengar uraian Pak Kiong Liong, namun dalam hatinya ia kagum mendengarnya.
Kehancuran Pak Kiong Liong bukan karena ketololannya, tapi karena dikhianati oleh Ki Peng Lam, perwira bawahannya sendiri yang telah termakan bujukan Ni Keng Giau untuk berbuat demikian. Tidak seorangpun di ruangan itu yang meragukan kepandaian Pak Kiong Li ong dalam bersiasat di medan perang.
Ketulusan yang bersedia menyumbangkan pikiran untuk Ni Keng Giau itu juga membuat banyak perwira berpendapat dalam hati bahwa Pak Kiong Liong bukan seorang yang pantas diuber-uber seperti maling jemuran saja. Kalau orang lain, barangkali akan dibiarkan-nya Ni Keng Giau “kena batu"nya menghadapi pasukan Jepang yang amat terlatih dalam perang gaya Eropa itu, bahkan dikombinasikan dengan cara kuno Jepang sendiri.
Sebaliknya dalam hati Ni Keng Giau malah timbul pikiran jahat. Kelihaian Pak Kiong Liong dikaguminya, tapi juga menimbulkan rasa cemasnya, sebab Pak Kiong Liong sampai saat itu tetap setia mendukung Pangeran In Te. Karena itu, Ni Keng Giau bermaksud melenyapkan Pak Kiong Liong saat itu juga, mumpung sedang sendirian dan tidak bersenjata, sedang ia sendiri akan mengerah-kan seluruh pengawalnya. Tidak peduli berapapun pengawalnya yang bakal mampus, asal Pak Kiong Liong juga mampus, ia akan mendapat pujian dari Kaisar Yong Ceng.
Maka begitu Pak Kiong selesai dengan uraiannya, Ni Keng Giau berkata, “Bagus juga siasatmu. Mengingat jasamu kali ini dalam menyumbangkan pikiran, kelak di hadapan Kaisar aku akan memohonkan keringanan hukumanmu. Sekarang nenyerahlah....."
Pak Kiong Liong tidak kaget sedikitpun mendengar ucapan itu, yang kaget malah perwira-perwira bawahan Ni Keng Giau sendiri. Tadinya perwira-perwira itu mengira Ni Keng Giau akan mengijinkan Pak Kiong Liong bergabung kembali ke dalam pasukan, dan berarti menambah kuatnya pasukan itu, ternyata tidak.
Pak Kiong Liong sendiri sadar, sekali mengulurkan tangan untuk diborgol, sama saja menyerahkan nyawanya juga. Dihadapan Kaisar Yong Ceng, tak peduli "dosa"nya terbukti atau tidak, ia akan tetap dibinasakan. Karena itu, ia menjawab sambil tertawa, "Terima kasih atas kesediaan Goan-swe memohonkan keringanan hukuman. Tetapi aku punya kaki sendiri, biarlah berjalan sendiri ke Pak-khia."
Dengan mata menyala Ni Keng Giau mengangkat pedang emas di mejanya sambil menggertak, "Pak Kiong Liong, “Lihatlah apa yang di tanganku ini?!"
'Tentu saja aku kenal Liong-ho Po kiam.” "Dan apa artinya bagiku?"
"Artinya, kau diberi kekuasaan tertinggi untuk memimpin tentara."
"Kau sudah tahu, tapi belum juga berlutut di hadapan lambang kekuasaanku ini?"
Tapi Pak Kiong Liong malah tertawa dingin sambil memutar tubuh membelakangi pedang kekuasaan itu. Katanya, "Aku akan tunduk kepada Kaisar yang mendapat kekuasaannya dengan cara syah dan bersih. Si bocah In Ceng itu belum dapat membuktikan dirinya bersih, maka aku tidak tunduk kepadanya!"
Sungguh hebat perubahan wajah Ni Keng Giau mendengar Pak Kiong Liong menyebut Kaisar Yong Ceng hanya dengan sebuatan "si bocah In Ceng", la juga kaget, apakah Pak Kiong Liong tahu tentang kecurangan mengubah isi Surat Wasiat Kaisar Khong Hi yang amat rahasia itu? Kalau benar, cukup dengan lidahnya saja dia bisa membuat tahta mengalami "gempa bumi".
"Kau sudah memberontak terang-terangan!" teriak Ni Keng Giau kemudian Lalu diperi ntahkannya perwira-perwira dan pengawaI- pengawalnya, "Tangkap hidup atau mati pemberontak ini!"
Betapapun segan para perwira terhadap Pak Kiong Liong mereka menjalan-kan perintah itu. Beberapa perwira ada juga yang memang sengaja hendak cari muka di depan Ni Keng Giau, orang-orang macam inilah yang menyerang Pak Kiong Liong dengan bersungguh-sungguh.
Namun Pak Kiong Liong telah melompat ke atas secepat kilat, dan lolos lewat lubang atap yang dibuatnya dengan injakan kakinya tadi. Gerakannya begitu cepat sehingga orang-orang yang hendak menangkapnya hanyalah menubruk angin. Di atas genteng Pak Kiong Liong masih sempat mengumandangkan suaranya,
"Ni Keng Giau, jangan kau kira tidak ada yang mencurigai komplotan busuk yang sekarang mengangkangi tahta. Hati-hatilah, akan tiba saatnya yang berhak bertahta mengambil haknya dan menjungkir-balikkan yang sekarang bertahta.."
Di bawah genteng, sepasukan kecil anak buah Ni Keng Giau mulai menembak dan memanah. tapi peluru dan panah hanya merobek-robek tempat kosong, sebab Pak Kiong Liong seperti seekor burung besar saja sudah meninggalkan tempat itu.
Malam itu juga, dengan hati yang getir Pak Kiong Liong meninggalkan kota Liao-yang. Bagaimanapun juga, ia tetap manusia biasa, bukan seorang dewa maha suci yang bebas dari kemarahan dan kekecewaan. Pada saat kakek- kakek lain yang seusianya sudah mulai me- nyongsong hari tua yang tenteram, diri nya justru sedang diburu-buru nyawanya seperti penjahat tak berampun.
la ingat sahabatnya, puterinya, menantunya dan dua cucunya yang hidup tenteram di pegunungan Tiau-im-hong. la merasa iri dan ingin bergabung dengan mereka. Tetapi kesetiaannya kepada kekaisaran masih menjadi panggilan jiwanya, ia masih ada tugas untuk menyelamatkan tahta dari orang yang tidak berhak. Ketenteraman hari tua agak nya belum ditakdirkan menjadi bagiannya.
Di luar kota liao-yang yang dataran dan pepohonannya terselimuti salju itu Pak Kiong Liong berjalan perlahan-lahan, angin malam yang tajam mengiris sama sekali tak dirasakan oleh tubuhnya yang perkasa.
"Andaikata di dunia ini tidak lahir seorang bajingan cilik semacam In Ceng, agaknya saat ini aku sudah menjadi seorang kakek yang hidup tenteram bersama anak cucu," ia melamun. "Bukan di Pak-khia, tetapi di pegunungan Tiau im-hong yang udaranya bersih dan peman dangannya permai...."
Tengah ia melangkah satu-satu, mendadak matanya yang tajam melihat jauh di depannya ada beberapa titik yang bergerak-gerak, dan setelah diamati lebih tajam lagi nampaklah bahwa merekalah manusia-manusia yang tengah berjalan tergesa-sesa.
Orang berjalan malam-malam di daerah peperangan, cukup menimbulkan kecurigaan Pak Kiong Liong. Orang itu tentu berkepentingan dalam perang itu, dari pihak manapun. Dan karena Pak Kiong Liong pun berkepentingan, maka tertariklah perhatiannya. Dengan mengerahkan iImu meringankan tubuh sehingga telapak kakinya tidak membekas di salju, juga tanpa menimbulkan suara, Pak Kiong Liong mem-percepat langkah memburu orang-orang itu untuk membuntutinya dari jarak tertentu.
Ternyata mereka adalah serombongan orang dengan gerak-gerik tangkas, semuanya menggendong pedang panjang model Jepang dan saling berbicara bahasa Jepang pula. Hanya seorang yang tidak bersenjata pedang, melainkan tongkat panjang, yaitu seorang Jepang tua berrambut putih terurai, bertubuh kurus, namun matanya tajam seperti mata elang. Pak Kiong Liong diam-diam meni-lai bahwa orang inilah yang berilmu paling tinggi, karena itupun ia berhati-hati dalam membuntuti mereka.
Sampai fajar menyingsing mereka terus berjalan, siang hari istirahat di tempat tersembunyi dan kalau malam melanjutkan perjalanan lagi. Pak Kiong Liong terus mengikuti mereka dari jarak tertentu, dan diam-diam kagum juga melihat daya tahan orang-orang itu. Untung Pak Kiong Liong sendiri juga berilmu tinggi sehingga tak pernah ketinggalan.
"Mungklnkah mereka kaum yang di dunia persilatan Jepang disebut Ninja, pengikut-pengikut Ninjitsu (tehnik-tehnik siluman)?” Pak Kiong Liong bertanya-tanya dalam hati.
Hari ketiga rombongan itu bergabung dengan rombongan-rombongan lain yang sejenis yang datang dari berbagai arah. Setelah berkumpul, jumlah mereka mencapai hampir limaratus orang. Mereka nampak berunding sambil menuding-nuding jalan raya antara Liao-yang dan Pak-khia yang terapit dua tebing itu. Pak Kiong Liong memperkirakan mereka sedang merencanakan sebuah penghadangan di tempat yang menguntungkan itu.
Diam-diam Pak Kiong Liong membatin, "Inilah keletedoran Ni Keng Giau. Bagaimana mungkin Jepang-Jepang ini bisa menyusup ke garis belakangnya sampai berjumlah demikian besar tanpa diketahuinya? Apa kerja jaringan mata-mata Ni Keng Giau? Hanya bermalas-malasan di warung arak sambll mengganggu rakyat seperti perwira yang pernah kuhajar dulu?“
Sementara itu, ratusan orang Jepang itu sudah lenyap dari penglihatan, sebab semuanya telah bertiarap rapi di antara rumput-rumput ilalang di kedua tepi jalan. Tak lama kemudian, ketika cahaya matahari mulai hangat, dari arah kota Pak-khia muncul sebuah barisan Kerajaan Manchu yang mengawal berpuluh-puluh gerobak kuda. Sekali pandang saja Pak Kiong Liong tahu itulah perbekalan yang dikirim ke garis depan, dan itu pulalah yang diincar orang-orang Jepang itu. Dengan perhitungan kalau perbekalan diputuskan, Ni Keng Giau akan gampang dikalahkan.
Pak Kiong Liong boleh membenci Kaisar Yong Ceng dan Ni Keng Giau, namun tidak rela ratusan ribu perajurit Manchu kalah perang karena perbekalannya disabot. Maka ia memutuskan akan turun tangan membantu pasukan Manchu. Ketika tiga perempat panjang barisan pengawal perbekalan itu sudah masuk ke seIat gunung, terdengar teriakan perintah berbahasa Jepang.
Dua baris perajurit Jepang muncul di kiri kanan jalan, sambil berjongkok membidik- kan bedil-bedil mereka. Letusan maut terdengar saling susul puluhan perajurit Manchu roboh, sedang sisanya menjadi kalang-kabut karena tidak bersiap menghadapi sergapan itu.
Pemimpin pasukan perbekalan berteriak-teriak di atas kudanya yang melonjak-lonjak karena dikagetkan bunyi bedil. "Lindungi kereta perbekalan! Bersiaga menghadap dua arah!"
Bedil abad delapanbelas itu hanya dapat sekali ditembakkan, kalau hendak menembak kembali harus diisi kembali obat mesiunya dan pelurunya yang bulat seperti kelereng. Namun para penyergap itu dapat menyambung serangan demi serangan dengan cara tertentu.
Kalau baris pertama selesai menembak, mereka mundur untuk mengisi bedil, sementara baris kedua maju, menembak, mundur dan diganti baris ketiga. Baris ketiga selesai, baris pertama tadi sudah siap kembali. Begitu seterusnya, sehingga pasukan Manchu menjadi repot sekali.
Kerepotan bertambah ketika orang-orang Jepang juga melepaskan panah-panah berapi yang jatuh di kereta ransum dan langsung menyala. Kalau perbekalan terbakar habis, tidak ada gunanya biarpun mereka berhasil sampai di Liao yang. Karena itulah sebagian dari mereka di perintahkan memadamkan api, meski denqgan resiko kena peluru musuh.
Meskipun perajurit perajurit Manchu juga membalas menembak, memanah atau melemparkan lembing, tapi kedudukan mereka kalah menguntungkan karena di tempat terbuka tanpa perlindungan yang memadai, sehingga korban jatuh semakin banyak.
Pak Kiong Liong tak bisa tinggal diam. la melompat keluar dari persembunyiannya dan berlari secepat kilat ke tebing sebelah utara. Sambi berlari, ia sempat membungkuk mengambil beberapa butir batu yang dengan kekuatan tangannya diremas remuk menjadi kerikil-kerikil keciI.
Ketika merasa jaraknya cukup dekat dengan perajurit-perajurit Jepang, ia sambitkan kerikiI- kerikilnya dengan kekuatan tenaga dalamnya. Batu-batu kecil itu mendesing tak kalah hebatnya dengan peluru bedil dan melubangi pung gung beberapa perajurit Jepang.
Serangan dari belakang itu membuat orang- orang Jepang mendapat giliran untuk panik. Beberapa orang berteriak-teriak dengan bahasa leluhur mereka, sebagian pemegang bedil berbalik untuk mengarahkan moncong senjata mereka kepada Pak Kiong Liong.
Bersamaan dengan letusan bedil-bedil musun, Pak Kiong Liong mengapung mendatar seperti burung walet sehingga peluru musuh lewat di bawahnya semua. Berbarengan tangannya kembali menaburkan kerikil-kerikilnya yang menjungkal kan lagi sejumlah lawan. Batu sambitan nya bukan nanya menyusup bagian-bagian tubuh yang lunak, tetapi juga beberapa batok kepala yang keras tulangnya sehingga paniklah orang-orang Jepang itu.
Begitulah, perajurit Jepang di tebing utara jadi agak kacau. Ketika Pak Kiong Liong sudah dekat, merekapun meletakkan bedil dan busur panah mereka untuk mencabut pedanog panjang atau lembing-lembing mereka guna rnelawan Pak Kiong Liong. Pak Kiong Liong tidak bersenjata, tapi setiap gerak kaki atau tariannya tetap minta korban di pihak musuh. Bahkan ia kemudian berhasil me rebut sebatang pedang lawan dan semakin hebatlah amukannya, seperti harimau tumbuh sayapnya.
Kekacauan pasukan Jepnng di tebing utara itu membuat pasukan Manchu agak berkesempatan menyusun diri memperhebat perlawanan. Mereka kini cuma menghadapi serangan dari tebing selatan, sedang tebing utara mereka serbu untuk memaksa pertempuran jarak dekat tanpa bedil. Maka di tebing utara berkobarlah pertempuran yang sengit.
Sementara Pak Kiong Liong yang tengah mengamuk itu tiba-tiba merasa di belakang punggungnya ada deru angin dahsyat. la melompat menjauh sambil membalikkan badan untuk menghadapi penyerang yang hebat itu. Ternyata penyerangnya adalah si kakek Jepang berambut putih terurai dan bersenjata toya itu. la tangkas sekali. Begitu serangan pertama luput, toyanya berputar kencang sehingga berwujud gulungan hitam bagaikan roda raksasa yang menerjang ke arah Pak Kiong Liong kembali.
Orang itu adalah Hattori Sho, pendekar tua dari Kepulauan Ryukyu, seorang ahli perpaduan antara silat dan sihir. Toyanya yang berputar kencang itu bukan saja sanggup menggilas remuk sebongkah batu Karang, tapi juga memancarkan angin dingin yang menggidikkan tubuh. Kedua kakek itu, Pak Kiong Liong dan Hattori Sho, tiba-tiba saja merasa kan bahwa kali ini mereka ketemu lawan setimpal setelah sekian puluh tahun “kesepian" tanpa lawan berarti di puncak ilmu me reka.
Setahap demi setahap mereka meningkatkan ilmu, cahaya putih dan hitam senjata-senjata mereka bertabrakan seperti dua gelombang dahsyat yang membentuk pusaran maut, sernentara kedua kakek itu saling menyambar dengan cepatnya seperti dua rajawali jantan bertarung di angkasa. Batu kerikil, tanah dan rumput terbang berhamburan sehingga arena pertempuran kedua tokoh sakti itu seolah dilingkari tirai kabut gelap.
Untuk menandingi hawa dingin menusuk yang terpancar dari gerakan Hattori Sho, Pak Kiong Liong tidak mungkin sekedar mengandalkan jurus-jurus Thian liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Langit) melainkan harus juga menggunakan Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) yang memancarkan udara panas menyengat. Maka bergulunglah dua macam hawa yang berlawanan itu menjadi satu. Siapa yang akan menang atau kalah, sulit dinilai secara tergesa-gesa.
Sementara itu pertempuran antara perajurit-perajurit Manchu dan Jepang di kedua lereng sudah mencapai kemapanan, tapi tidak berarti keseimbangan. Sebagian perbekalan yang dikawal pasukan Manchu memang tak terselamatkan lagi, musnah termakan api yang dipanahkan perajurit-perajurit Jepang. Tetapi sisanya gagal dihancurkan sekali oleh pihak Jepang, sebab pihak Manchu berhasil menyusun perlawanan dan bahkan balik menyerbu ke kedua tebing.
Kalau dalam perang itu sebelumnya pihak Manchu salah perhitungan sehingga mengalami beberapa kekalahan di tepi Sungai bertabrakan seperti dua gelombang dahsyat yang membentuk pusaran maut. Hek-liong, maka kali inilah pihak Jepang yang keliru perhitungan. Dipimpin Hattori Sho, mereka hanya mengirim limaratus orang untuk memutus jalur perbekalan, dan berharap dengan siasat "hujan peluru tanpa henti" serta mengandalkan kelihaian Hattori Sho akan berhasil dengan tugas mereka.
Tapi kemunculan Pak Kiong Liong membuyarkan rencana yang sudah rapi itu. Di lereng utara berkobar pertempuran dengan pedang dan tombak, sejenis pertempuran dimana jumlah orang pada masing-masing pihak pegang peranan penting, sehingga terdesaklah pasukan Jepang yang kalah banyak jumlahnya.
Sementara di lereng selatan, tembak-menembak dengan bedil serta panah-memanah berlangsung seimbang. Kemudian Panglima Manchu pemimpin pasukan malah memacak anakbuahnya, sebagian merunduk melingkari bukit untuk menyergap dari samping. Namun perajurit- perajurit Jepang bertahan dengan gigih sekali , tiap kali mereka mengobarkan semangat dengan teriakan "banzai"...
Selanjutnya,