Kemelut Tahta Naga I Jilid 12
Karya Stevanus S P
Pak Kiong Liong merasa tersudut. Biarpun ia yakin betul kejahatan Yong Ceng, apa gunanya kalau tidak dapat mengajukan bukti dan saksi? Sedang Pun-khong Hwe-shio berkata lagi, kali ini kepada Tong Lam Hou,
"Pang-cu, segenap anggota Siau-lim-pai mengharap Pang-cu dapat menimbang dengan adil mana yang benar dan mana yang salah. Jangan menimbang berat sebelah hanya karena mendengar dari orang yang masih ada hubungan kekeluargaan."
Sahut si pemimpin Hwe-liong-pang, "Toa-suhu, tolong jawab, orang yang tega menyuruh anak buahnya untuk menculik tiga orang bocah tak berdosa, masih dapat dihitung orang baik atau tidak?"
Sepasang alis putih Pun-khong Hwe shio berkerut, "Siapa yang berbuat demikian, Pang-cu?"
"Dialah Yong Ceng yang baru saja dipuji-puji setinggi langit oleh Toa suhu bertiga. Saat ini kami justru sedang mengejar penculik-penculik itu ke Pak-khia."
Pun-khong Hwe shio kontan bungkam, sehingga Pun-seng Hwe-shio yang tinggi besar dan berwajah hitam itulah yang menjawab, "Pang-cu, tak dapat disangkal bahwa di antara sekelompok domba barangkali terselip satu dua ekor serigala berbulu domba. Kalau perbuatan anak buahnya itu diketahui oleh Yong Ceng sendiri, anak buahnya itu pasti akan dihukum berat, mengingat watak Yong Ceng yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan."
Bicara bolak-balik, pendeta-pendeta itu tetap bersikeras membela "keluhuran budi" Kaisar Yong Ceng, membuat Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong mengeluh dalam hati karena kemungkinan akan menemui rintangan berat dari pihak Siau-Iim-pai. Tetapi Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong tidak mungkin membenci pendeta-pendeta itu, bahkan kasihan karena mereka dikelabuhi selama ini oleh Yong Ceng. Pendeta-pendeta itu bukan orang bodoh, tetapi Yong Ceng lah yang terlalu pintar bersandiwara selama!
"Toa-suhu, agaknya kita tidak sependapat," sahut Tong Lam Hou, "Tapi kita adalah teman-teman lama, tak mungkin kita wujudkan ketidak-sepakatan kita dalam baku-hantam seperti anak kecil berebut layangan. Biarlah sang waktu saja yang akan membuktikan baik atau jahatnya Yong Ceng. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa kami tunda, yaiitu keselamatan cucu-cucu kami yang dicuIik orang-orang Yong Ceng."
"Jadi Pang-cu bertiga tetap akan melanjutkan perjalanan ke Pak-khia?"
"Benar, Toa suhu. Selain mengejar pencuIik, aku juga ingin melihat sendiri segala perkembangan di Pak-khia, tidak hanya mendengarkan dari orang lain."
Pun-khong Hwe-shio menarik napas untuk menekan kejengkelannya. "Jadi Pang-cu juga belum mempercayai ucapan-ku tadi? Masih perlu membukrikan sendiri ke Pak-khia?"
"Mana berani aku tidak mempercayai Toa-suhu sebagai tokoh terhormat dunia persilatan? Tetapi aku khawatir bahwa keyakinan Toa-suhu itupun keyakinan semu, hasil akal licik Yong Ceng untuk memperalat Siau-lim-pai. Lagi pula memang aku harus tetap ke Pak-khia demi cucu-cucuku."
"Kami juga percaya bahwa Pang-cu akan menilai keadaan di Pak-khia dengan adil, namun kami khawatir pertimbangan adil Pangcu akan menjadi berat sebelah karena dipengaruhi bisikan seseorang yang Pang-cu anggap sebagai sahabat baik."
Lagi-lagi Pun-khong Hwe-shio melirik ke arah Pak Kiong Liong. Pembicaraan sekarang bukan lagi saling membujuk, melainkan sudah mulai saling menuduh.
"Lalu bagaimana nasib cucu-cucuku? Akankah mereka dibiarkan saja dalam cengkeraman algojo-algojo bengis itu?"
"Soal itu bisa Pang-cu percayakan kepada kami. Pulanglah Pang-cu di Tiau im-hong untuk hidup tenteram, nanti kami antarkan cucu-cucumu itu dalam keadaan selamat ke tempatmu."
Tong Lam Hou percaya pihak Siau-lim-pai akan menepati kesanggupannya, kalau dia setuju, maka ia akan ongkang ongkang saja di Tiau-im-hong dan tahu-tahu cucu-cucunya akan kembaIi dengan selamat. Tidak usah susah-susah menempuh bahaya ke Pak-khia. Namun dengan demikian dia akan membiarkan pihak luar mengatur seenaknya gerak-geriknya,
"Terima kasih atas tawaran Toa-suhu. Tapi aku tidak berani merepotkan Toa-suhu, aku akan tetap ke Pak-khia."
Pun-khong Hwe shio mulai gelisah. la khawatir Tong Lam Hou akan "tersesat" mengambil sikap dalam kemelut politik itu, maka ia bertekad biar bagai manapun harus mencegah Tong Lam Hou pergi ke Pak-khia. "Jadi Pang-cu bersikeras melanjutkan perjalanan?"
"Benar, Toa-suhu."
"Aku benar-benar minta maaf, Pang CU, kalau kunyatakan bahwa pihak Siau-lim-pai keberatan Pang-cu pergi ke Pak-khia. Tentang keselamatan cucu-cucu Pang-cu, percayakan kepada kami saja."
"Toa-suhu, kalau pihakmu bersikeras mengatur tindakan-tindakan kami, tidakkah itu berlebihan? Memangnya kami kaum Hwe-liong- pang hanya sekumpulan kerbau yang dicucuk hidungnya dan menurut dituntun kesana kemari?"
Rupanya Tong Lam Hou, Pak Kiong Liong dan Tong Thai Pa mulai panas hatinya melihat sikap pendeta-pendeta Siau-lim-pai itu. Masa hendak menyelamat kan cucu sendiri saja harus diatur oleh mereka?
Sebaliknya pendeta-pendeta Siau-lim-pai juga mulai jengkel menghadapi "kebandelan" Ketua Hwe-liong-pang. Mereka curiga bahwa alasan "mengejar peculik cucu-cucu" itu hanyalah selubung dari maksud yang sebenarnya, yaitu mengusik Yong Ceng. Maka para pendeta itupun bertekad bahwa Hwe-liong-pang harus "diselamatkan dari pengaruh hasutan jahat Pak Kiong Liong".
Nada suara Pun-khong Hwe-shio tidak lagi sesabar semula, "Kami tidak berani menganggap Hwe-liong-pang serendah itu. Tapi demi rakyat yang sudah bosan pertentangan di pusat pemerintahan, aku mohon Pang-cu mempertimbangkan lagi sikap Pang-cu!"
"Sikapku sudah kupertimbangkan berulang kali dan aku sudah mantap menjalaninya. Tak mungkin kurubah lagi, Toa-suhu."
Pun-khong Hwe-shio cuma menarik napas, sedangkan Pun-seng Hwe-shio telah berapi-api mukanya karena marah. Apalagi ketika mendengar Pak Kiong Liong berkata, "Justru pihak Siau-lim-pai yang aku mohon dengan hormat agar mempertimbangkan kembali dukungan kalian yang membabi-buta terhadap Yong Ceng. Selidiki dulu penguasa macam apa yang hendak kalian dukung itu."
Pun-seng Hwe-shio yang lebih pemarah itu telah menjawab keras mendahului Pun-khong Hwe-shio, "Kami tidak mendukung membabi- buta! Kami yakin Yong Ceng akan menjadi raja yang baik, dan demi rakyat, kami akan menentang siapapun yang mengusik kekuasaannya yang sudah mapan! Tong Pang- cu, kutanya sekali lagi, Pang-cu bersedia mem- batalkan perjalanan ke Pak khia atau tidak."
“Maaf, Toa-suhu, biar aku lihat sendiri keadaan Pak-khia."
"Benar-benar sesat pikiran!" Pun-seng Hwe-shio menggebrak meja di sampingnya sehingga hancur berantakan. "Tidak ada jalan lain, terpaksa kami pendeta-pendeta lemah ini harus berjuang menghalangi Pang-cu dan Goan-swe berdua."
"Bertiga!" Hong Thai Pa yang diam sejak tadi kini berkata meralat ucapan Pun-seng Hwe-shio itu. "Yong Ceng menyuruh orang-orang untuk menculik cucuku juga, maka dia punya utang yang harus aku tagih!"
Suasana menjadi tegang. Kedua pihak berpegang teguh kepada keyakinan masing-masing yang anehnya sama-sama "demi kepentingan rakyat", sementara yang namanya "rakyat" itu tidak terwakili atau diminta pendapatnya dalam pembicaraan itu. Seolah rakyat hanyalah biji-biji catur yang harus menurut digerakkan kesana kemari oleh pemain-pemain yang bertanding.
Yang satu berpendapat bahwa Yong Ceng harus ditumbangkan dan digantikan Pangeran In Te, yang lain berpendapat Yong Ceng harus dipertahankan supaya dapat menjalankan pemerintahan "dengan baik". Seolah rakyat tidak berhak membicarakan nasib mereka sendiri. Nasib mereka dipercayakan kepada orang-orang pintar yang pandai bersilat lidah dan ngotot dengan pendiriannya sendiri-sendiri.
Pun-khong Hwe-shio berkata penuh sesal, "Sungguh kusesalkan bahwa kami harus bertarung dengan seorang sahabat lama yang kami hormati. Tapi rasanya tidak ada jalan lain." Tong Lam Hou sendiri juga menyesali pertarungan tak terhmdarkan, tetapl ia ingin agar pertarungan tidak menimbulkan sakit-hati di kemud.an hari maka diapun mengusulkan,
“Akupun menyesal, Toa-suhu. Tetapi bagaimana kalau kita tidak mengorbankan persaha-batan kita? Kita pi-bu (adu silat) saja secara adil dengan taruhan? Tiga lawan tiga. Kalau kami menang, Toa-suhu, jangan merintangi kami ke Pak-khia untuk menimbang keadaan dengan adil. Kalau kami kalah, aku berjanji akan balik ke Tiau- im-hong, sedang tentang cu-cucuku yang diculik terpaksa aka minta tolong pihak Siau-lim-pai untuk menemukannya."
Adanya nada sungkan dan hormat dalam ucapan Tong Lam Hou membuat Pun-khong Hwe-shio tak bisa menolak usul itu. Diapun akhirnya menyetujui. Untuk menentukan pasangan-pasangan yang akan maju dalam tiap babak, adakan undian dengan angka-angka. Hasilnya babak pertama Pak Kiong Liong akan berhadapan dengan Pun-khong Hwe-shio, babak kedua Hong Thai Pa akan melawan si raksasa bermuka hitam Pun-seng Hweshio.
Dan babak ketiga Tong Lam Hou bertanding dengan si rahib kurus kering Pun-hoat Hweshio. Berdasar perhitungan di atas kertas menurut kepandaian masing-masing, kedua belah pihak punya peluang yang sama besarnya untuk menang, sedikitnya menang dua dari tiga babak. Namun semuanya masih ha rus dibuktikan di arena.
Mereka lalu berjalan menuju halaman belakang wihara Gong-sim-si, tempat yang luas dan teduh karena dinaungi banyak pohon. Para hwe-shio penghuni Gong-sim-si segera berbondong-bondong datang untuk menonton, seperti anak-anak hendak menonton adu jangkrik saja. Tetapi kali ini “jangkrik-jangkrik" nya adalah raksasa-raksasa dunia persiIatan.
"Silahkan. Goan-swe," kata Pun-khong Hwe-shio yang langsung melangkah ke tengah arena setelah mencopot jubah panjangnya. la akan melawan Pak Kiong Liong di babak pertama. Setelah berhadapan dengan lawannya Pun-khong Hweshio tertawa kecut sambil berkata, "Rasanya ganjil juga. Nasib berjuta-juta rakyat hanya tergantung ketrampilan kita bermain silat..."
Pak Kiong Liong juga tersenyum kecut. Namun ia tidak menjawab, hanya bersiap-siap sebab sadar menghadapi lawan berat, adik seperguruan Pun-bu Hw shio yang terkenal itu. Agak lama kedua jago tua itu hanya berjalan berputaran sambil saling menatap dengan tajam. Lama-lama kelihatan langkah mereka mulai berat, hingga bekas tapak kaki mereka "tercetak" di permukaan tanah yang keras. itu pertanda bahwa kekuatan masing-masing pihak masih berhati-hati. Agak berbeda dengan perkelahian antar pemabuk di warung arak yang biasanya lansung saling jotos dengan sengitnya.
Udara tergetar oleh hentakan Pun-Khong Hwe-Shio, jubahnya tiba-tiba melembung seperti layar menampung angin. Kakinya membentuk kuda-kuda Co-cian-ma (Sikap Menunggang Kuda), serempak sepasang telapak tangannya menghantam dengan Tiat-san-sik (Pukulan Mendorong Gunung). Tenaga tak berwujud menyeberangi jarak beberapa langkah antara dirinya dan lawannya, dan berusaha menggempur roboh kuda-kuda Pak Kiong Liong.
Pak Kiong Liong memutar sepasang telapak tangannya dengan jurus Lo-cia-lo-hai (Dewa Lo- cia Mengacau Laut), menimbulkan pusaran angin kuat yang berhasil menyingkirkan pukulan tak berwujud Pun-khong Hwe-shio. Setelah itu, Pak Kiong Liong melangkah maju untuk memperpendek jarak. Cengkeraman kanannya mengancam pinggang si pendeta tua, berbarengan dengan kaki kirinya terangkat menendang pula.
Rupanya si jenderal buronan ini menghendaki pertarungan jarak dekat yang mengandalkan ketrampilan jurus, daripada pertarungan jarak jauh yang menguras tenaga dalam. Pak Kiong Liong menyadari keunggulan tenaga dalam kaum Siau-lim-pai. Sedangkan dalam pertempuran jarak dekat, ia percaya bahwa Thian-liong-kun-hoat (Pukulan Naga Langit) dan Liong-Jiau-kang (Pukulan Kuku Naga) miliknya akan mampu menandingi jurus Siau-lim pai yang manapun juga.
Pun-Khong Hwe-Shio melangkah mundur dengan kuda-kuda rendah dan tubuh miring, sehingga cengkraman ke pinggangnya dapat dihindari. Lalu sepasang tinjunya menggencet kea rah pergelangan kaki Pak Kiong Liong yang menendang, seperti sepasang martil yang dibenturkan untuk meremukan sebuah sasaran, begitulah pergelangan kaki Pak Kiong Liong terancam remuk.
Pak Kiong Liong segera mengembangkan jurus-jurus Naga Langitnya yang lincah dalam serangan-serangan lompatan itu. Kakinya yang menendang ditarik, tubuhnya tiba-tiba melambung melewati kepala si pendeta, kedua tangan nya hendak mencengkram sepasang pundak lawan dari arah belakang. Itulah jurus In-Li-siang-liong (sepasang Naga dalam awan).
Menghadapi kelincahan Thian-liong kun- hoat, Pun-Khong Hwe Shio menggunakan Cap-pek-lo-han-kun (Pukulan Delapanbelas Arhat) yang tangguh, tidak banyak bergerak namun kokoh bagaikan batu karang. Tangannya berubah-ubah antara mengepal, menebas, mendorong, diselingi ujung jarinya yang bagaikan pisau menyambar, bahkan sikut dan ujung lengan jubah juga dapat diajak bekerja sama dengan baiknya. Ternyata Cap-pek-lo-han-kun si pendeta tua juga dilengkapi dengan Tiat-siu sin-kang (llmu Lengan Baju Besi). Ujung lengan bajunya ternyata bisa dibuat sekeras besi untuk menyabet urat-urat penting di tubuh lawan.
Keduanya bergerak semakin lama semakin cepat dengan ilmu. andaIannya masing-masing. Ada berpuIuh-puluh bayangan tubuh Pak Kiong Liong di arena itu. kadang-kadang menerkam seperti macan atau meluncur seperti ular, tetapi yang paling banyak ialah melompat seperti naga di atas mega. Namun Pak Ki-ong Liong belum menggunakan ilmu Hwe-Iiong sin-kang, sebab ilmu itu hanya berguna menghadapi musuh yang tenaga dalamnya kalah tinggi, bukan musuh dengan tenagada lam setangguh Pun-khong Hwe-shio.
Menghadapi kegarangan Pak Kiong Liong, Pun-khong Hwe-shio memainkan jurus-jurus dengan tenang dan kokoh. Tubuhnya tidak berkelebatan seperti lawannya, lebih banyak diam, sekali-sekali bergeser selangkah dua langkah. Sepasang tanganyalah yang bergerak amat cepat sehingga seolah menjadi ribuan pasang tangan yang bertahan dan menggempur dengan dahsyatnya. Lengan jubahnya yang berwarna kuning berkibaran kencang, sehingga mirip gumpalan awan kuning yang menyelimuti tubuhnya.
Melihat pertarungan hebat itu, Tong Lam Hou diam-diam memperhitungkan kalau kedua pihak sama-sama tidak membuat kecerobohan, keduanya bisa berakhir sama kuat, alias nilai setengah untuk masing-masing pihak. Setelah itu sulit ditebak bagaimana hasil pertarungan babak kedua Hong Thai Pa melawan Pun-seng Hwe-shio. Kalau Pun-seng Hwe shio berkepandaian setingkat atau bahkan lebih tinggi dari Pun-khong Hwe shio, maka Hong Thai Pa kemungkinan besar akan kalah. la menjadi gelisah sendiri.
Hong Thai Pa yang duduk di sebelah Tong Lam Hou agaknya memahami kegelisahan sahabat karibnya, maka ia lalu membisikkinya. "Lou-tong, kita harapkan Goan-swe setidak-tidaknya bermain seri. Setelah itu aku akan bertahan habis-habisan melawan si pendeta bermuka pantat kuali itu agar bisa seri juga. aku tahu diri, tidak berani mengharap kemenangan dari seorang tokoh tua Siau lim-pai, bisa seri saja sudah bagus. Nah, tugas merebut kemenangan adalah tugasmu ketika melawan si kurus itu."
Tong Lam Hou mengangguk-angguk paham. la lega bahwa sahabatnya yang gendut itu tahu diri namun tidak menjadi kecil hati, boleh diharapkan siasatnya akan berhasil.
Sementara itu, pertarungan di tengah arena telah meningkat semakin hebat, seperti dua buah prahara yang berbenturan di satu titik. Pohon-pohon yang mengelilingi arena telah terguncang ranting-rantingnya daun-daunnya rontok beterbangan bercampur debu yang terangkat ke atas, membuat arena itu seolah ditutupi tirai tebal.
Thian-Iiong-kun-hoat dan Liong-jiau-kang yang garang itu ternyata tidak mampu menembus Cap-Iek-lo-han kun dan Tiat-siu-san-kang yang kokoh kuat. Sebaliknya Pun-khong Hwe-shio juga tak sanggup merobohkan Pak Kiong Li ong yang bergerak terlalu lincah. Kalau pertarungan mengandalkan siapa yang lebih kuat bertahan lama, agaknya sehari semalam pun belum tentu berhasil diketahui siapa pemenangnya.
Saat itulah kedua tokoh yang bertarung secara bersamaan telah mengerahkan semangat dan kekuatan mereka untuk merampungkan pertarungan. Pak Kiong Liong menerjang dengan Siang liong jip-hai (Sepasang Naga Masuk Laut) berbarengan dengan Pun-khong Hwe-shio yang menghantam dengan Kun-tun-jut-kai-(Terciptanya Alam Semesta). Kedua pihak sama-sama menyerang untuk berusaha merebut kemenangan secara paksa.
Debu yang berhamburan membuat apa yang terjadi di tengah arena tak tampak jelas. Hanya kedengaran suara gemuruh dahsyat, suara Pak Kiong Liong mau pun Pun-khong Hwe-shio sama-sama membentak mantap. "Kena!" Suara gemuruh dan deru angin mereda, debu yang berhamburan mengendap kembali, sehingga nampaklah di tengah arena itu Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio sama-sama tergeletak di tanah, baju di bagian dada mereka sama-sama dikotori darah yang tersembur dari mulut mereka, keduanya sama-sama terluka.
Tong Lam Hou dan Hong Thai Pa cepat-cepat mendekati tubuh Pak Kiong Liong dengan cemas. Saat yang bersamaan Pun-seng Hwe- shio dan Pun-hoat Hwt shio juga telah mendekati tubuh kakak seperguruannya untuk memeriksanya. Kedua belah pihak segera merasa lega melihat Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio sama-sama tidak berat lukanya. Bahkan keduanya kemudian mampu berdiri kembali, meskipun dengan sedikit dibantu teman masing-masing.
"Pukulan Toa-suhu sungguh dahsyat,” Pak Kiong Liong memberi horrnat sambil merendah.
Pun-khong Hwe-shio membalas hormat, "Goan-swe juga hebat. Untunglah pukulan Goan-swe tadi tidak menggunakan Hwe-Iiong-sin-kang yang dapat membuat tubuhku hangus menjadi arang."
“Akulah yang merasa beruntung bahwa Toa-suhu tidak menggunakan Thai-lik kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Raksasa), sehingga tubuhku tidak rontok berkeping-keping."
Biarpun kedua pihak sama-sama memuji lawan, tapi nilai pertempuran tetap harus ditetapkan. Kedua pihak sepakat bahwa bertarunqan berakhir sama kuat, karena sama-sama terpukul oleh lawan.
Begitu duduk di tempatnya kembali, Pun-khong Hwe-shio tetap menunjukkan tekad kerasnya untuk merampungkan persoalan itu sampai tuntas. dengan suara lemah diselingi batuk-batuk kecil, ia berkata, "Babak kedua boleh segera d imulai."
Pun-seng Hwe-shio yang bertubuh raksasa dan bermuka hitam itupun menyahut, "Baik, suheng," Lalu ia melangkah ke tengah arena dan berseru garang. "Hong Sian-seng, sudah siapkah kau?"
Hong Thai Pa juga maju ke tengah arena, biarpun mukanya tersenyum-senyum, namun sebenarnya hatinya agak tegang juga. Nama Pun-seng Hwe-shio memang belum pernah terdengar di dunia persilatan, namun mengingat dia adalah adik seperguruan Pun-khong Hwe-shio yang sanggup melukai Pak Kiong Liong. Agaknya si pendeta raksasa bermuka hitam ini pun bukan lawan enteng. Untuk itu Hong Thai Pa memutuskan akan berusaha mencari angka seri saja, ia hanya akan berusaha merebut kemenangan apabila benar- benar ada peluang emas.
Ternyata Pun-seng Hwe-shio tidak seramah kakak seperguruannya. Setelah lawannya ada di arena, ia tidak banyak bicara Iagi. la hanya mengangguk hormat satu kali, setelah itu langsung menjotos ulu hati Hong Thai Pa dengan gerak Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Mencuri Hati). Gerakannya menimbulkan suara gemeretak di lengan dan pundaknya, menanda kan hwe- shio muka hitam ini seorang ahli gwa-kang (tenaga luar), dan kebetulan lawannya juga seorang ahli gwa-kang pula.
Hong Thai Pa mengelak ke samping sambiI balas menyerang dua arah sekaligus. Ujung jari tangan kanan menusuk ke jalan darah Koh-cing- hiat di pun-dak, telapak tangan kirinya menebas ke siku tangan Pun-seng Hwe-shio. Namun Pun-seng Hwe-shio tidak mau kedudukan menyerangnya ditukar dengan kedudukan bertahan.
Sambil menggeram ia merendahkan kuda-kuda dan menurunkan pundaknya, jotosannya berubah men-jadi menyikut lambung. Ketika Hong Tha Thai Pa mengibaskan serangannya, Pun-seng Hwe-shio tanpa peduli apapun juga telah mendesak maju dan menjotos lagi dengan tangan kiri.
Hong Thai Pa mendongkol melihat cara berkelahi mirip kerbau kesurupan itu. Namun harus diakui bahwa cara itu berbahaya, apalagi karena dasarnya Pun-seng Hwe-shio juga bertenaga besar. Hong Thai Pa mengelak, lawan menendang, Hong Thai Pa mengelak lagi. Tendangan Pun-seng Hwe-shio luput dan mengenai sebuah pagoda batu hiasan halaman itu, hancurlah pagoda kecil itu menjadi kerikil campur pasir.
Cepat-cepat Hong Thai Pa memanfaatkan peluang itu untuk menerkam dari samping, dengan dua tangan sekaligus memukul ke arah tengkuk dan pinggang lawannya. Namun dengan tangkas Pun-seng Hwe-shio menggeser kaki ke samping sambil memutar tubuh menghadapi lawan. Dua tangannya menangkis dengan Ya-ma-hun cong (Kuda Liar Memecah Bulu Suri) untuk menangkis ke atas dan bawah, la membalas dengan serudukan kepala gundulnya ke dada Hong Thai Pa. Lagi-lagi Hong Thai Pa dipaksa melompat mundur karena serangan ini.
"Benar-benar seperti kerbau gila" kakek gendut itu memaki dalam hati. Karena ingin tahu nama dari jurus-jurus aneh si pendeta muka hitam. dia menyempatkan diri bertanya, Toa-suhu jurus dari ilmu silat aliran manakah ini?"
"Hong-gu-kun-hoat (llmu Pukulan Kerbau Gila)," sahut Pun-seng hwe-shio singkat. "Hong Sian-seng, hati-hatilah!"
Keruan Hong Thai Pa tercengang campur geli mendengarnya. Baru saja ia memaki dalam hati tentang kerbau gila, ternyata iImu lawannya memang diberi nama pukulan "Kerbau Gila". Itu memang jurus-jurus ciptaan Pun-seng Hwe-shio sendiri. la sudah mempelajari banyak jurus Siau-lim-pai, lalu semua itu diperas dan diringkasnya menjadi Hong-gu-kun-hoat. Kalau orang lain, susah payah mencarikan nama yang bagus untuk ilmu ciptaannya, maka Pun-seng Hwe-shio justru tidak peduli soal nama, disebutnya saja Hong-gu-kun hoat.
Gerakannya yang nampak acak-acakan sebenarnya berbahaya, dilandasi kekuatan dan kecepatan, serta perhitungan bahwa musuh harus menye;amatkan diri lebih dulu kalau tidak ingin luka parah. Hong-gu-kun-hoat benar-benar contoh paling murni dari prinsip yang mengatakan "pertahanan yang terbaik adalah menyerang". Musuh bertahan, dia menyerang. Musuh menyerang, dia ya tetap menyerang.
Maka menggerutulah Hong Thai Pa dalam hatinya, karena belum menemukan cara yang baik untuk menundukkan gaya bertempur Pun-seng Hwe-shio itu. Kalau sama-sama kena, pasti dirinya lebih rugi, sebab pukulan dari seorang "Manusia Kerbau" macam Pun-seng Hwe-shio pasti akan berakibat parah. Akhirnya Hong Thai Pa mencoba untuk memancing terus serangan lawannya dengan harapan tenaga lawan akan cepat terkuras habis.
Dalam perhitungan Hong Thai Pa, cara bertempur gila-gilaan macam Pun-seng Hwe-shio akan banyak menghabiskan tenaga dan cepat ambruk kelelahan. Setelah itu, barulah Hong Thai Pa berencana akan merebut kemenangan.
Namun lagi-lagi Hong Thai Pa menggerutu. Pun-seng Hwe-shio memang bertenaga kerbau, tapi tidak berotak kerbau. Kalau Hong Thai Pa mengajaknya berputar-putar dengan mengandalkan keunggulan ilmu meringankan tubuhnya, Pun-sengHwe-shio tidak mau mengejar dengan bernafsu, melainkan berdiri menunggu dengan santai sambil mengelus-elus gundulnya.
Kalau Hong Thai Pa berhenti menunggu dalam jarak belasan langkah, Pun-seng Hwe-shio tidak berlari-lari menyeruduk dengan kalap, melainkan berjalan mendekati dengan gaya lenggang-kangkung, setelah dekat barulah mengamuk kembali dengan jurus anehnya. Dengan demikian, rencana Hong Thai Pa untuk menguras tenaga lawannya agaknya juga tidak gampang dilaksanakan.
Demikianlah, kalau pertempuran babak pertama tadi dahsyat menegangkan, maka babak kedua ini bagi para penonton boleh dianggapa “selingan” yang jenaka. Namun sama sekali tidak lucu bagi Hong Thai Pa, sebab ia tahu pukulan atau tendangan Pun-sen Hwe-shio pasti dapat meluluhlantakkan tulang-tulang korbannya.
Beberapa saat Hong Thai Pa masih berputar-putar dan mencoba memancing kemarahan musuhnya. Sekali-sekali menubruk menyerang, lalu melompat menjauh agar tak terkejar lawannya yang kurang lincah itu.
Tiba-tiba Hong Thai Pa melompat dan menubruk dari atas dengan jurus Ma tong-tui-kun (Memukul Dari Atas Kuda), telapak tangannya membacok urat Yanq-pek-hiat di tengah-tengah batok kepala musuh, tempat lemah yang berbahaya, yang oleh lawan haruslah ditangkis atau dihindari Pun-seng Hwe-shio menggeram, kedua kakinya merendah sejajar dan tubuhnya mendoyong ke belakang seperti hendak melakukan gerak Tiat-pan-kio (Jembatan Papan Besi).
Namun ternyata ia cuma melakukan “setengah Tiat-pan-kio, berbareng dengan kedua tinjunya yang menghantam ke atas dengan gerak Siang-Liong-jut-hai (sepasang naga keluar laut). Hong thai Pa bertuhuh gemuk bundar, tapi mahir ilmu meringankan tubuh. Agaknya ia sudah memperhitungkan bahwa bagaimanapun juga lawan akan menyelamatkan urat Yang-pek-hiatnya lebih dulu.
Maka begitu serangan Pun-seng Hwe-shio "Keluar" dan tak mungkin tarik kembali, ia tiba-tiba menjatuhkan diri dengan gerakan Koan-long-kun (Serigala Bergulingan). Itulah perubahan gerak yang tak terduga oleh Pun-seng Hwe-shio. Dari gerak Ma-tong-tui-kun yang melayang diatas menjadi Koan long-ta-kun yang bergulingan di tanah, sehingga tubuh gendut itu tiba-tiba anjlok ke tanah dan menyerang dari bawah.
Sebuah jejakan keras kaki Hong Thai Pa mengenai betis Pun seng Hwe-shio, sehingga si pendeta raksasa bermuka hitam itupun tumbang ke bumi, karena tubuhnya yang tengah doyong kebelakang itu dalam keseimbangan yang kurang sempurna.
Sementara, Hong Thai Pa sudah melompat bangun, menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor oleh debu, lalu sambil memberi hormat sambil berkata, "Terimkasih Toa-suhu bersedia mengalah.”
Karena Pun-seng Hwe-shio roboh. jelaslah babak itu dimenangkan oleh Hong Thai Pa. Sesuatu yang di luar dugaan. sebab Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong sendiri hanya memperhitungkan rekan mereka paling-paling hanya akan mencapai kedudukan seri.
Senentara, tiga pendeta tua Siau-lim-pai sama-sama berwajah muram, bayangkan kekalahan sudah di ambang pintu. Bukan sedih karena kalah, melainkan karena merasa gagal "menyelamatkan Hwe-liong-pang" dari "pengaruh jahat para penberontak Padahal Hwe-liong-pang adalah kelompok persilatan yang berpengaruh di kawasan barat.
Masih ada babak ketiga antara Pun-hoat Hwe-shio melawan Tong lam-Hou, namun hamper pasti Pun-Hoat Hwe-shio akan kalah. Namun Pun-Hoat Hwe-Shio si pendeta kurus kering itu sendiri ternyata tidak menunjukkan sikap gentar. Ia berbisik kepada Pun-khong Hwe-shio, “Suheng, nyawaku tak berharga dibanding nasib jutaan rakyat kekaisaran ini. Karenanya, izinkan aku berkorban kali ini.”
Pun-Khong Hwe-Shio terperanjat, ia kenal benar watak adik seperguruannya yang pendiam tapi sangat keras hati ini. Namun belum sempat ia menjawab. Pun-Hoat Hwe-Shio telah melangkah ke tengah arena tanpa ragu- ragu sedikitpun, dan berkata, “Marilah, Tong Pang-cu!”
Sambil meninggalkan tempat duduknya, Tong Lam Hou berkata, “Toa-suhu, apakan perlu perbedaan pendapat antara kita diwujudkan dalam sikap seperti anak-anak kecil macam ini? Kusayangkan hubungan baik selama ini antara Hwe-Liong-Pang dan Siau-Lim-Pai.”
“Ini bukan pertentangan antara Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang, melainkan antara wakil rakyat yang mendambakan ketenangan melawan orang yang ingin mengacaukan ketenangan itu” Sahut Pun-hoat Hwe-shio tegas. “Pertikaian kita boleh dibereskan, asal Pang-cu berjanji takkan ikut campur urusan di Pak-khia!”
Pun-Hoat Hwe-Shio sebenarnya punya rencana sendiri. Dia sadar dirinya takkan menang melawan ketua Hwe-liong-pang itu. Tetapi ia hendak melakukan sesuatu pengorbanan yang diharapkan dapat mengubah sikap ketua Hwe-liong-pang. Katanya, “Pang-cu, nampaknya kau bersikeras dengan sikapmu. Tetapi aku punya sebuah permohonan….”
“Kalau permintaanmu cukup pantas, Toa-suhu. Aku dengan senang hati akan mengabulkannya.”
“Pang-cu, hanya kumohon agar Hwe-lion-pang menarik diri dari persoalan ini. Yang sudah beres jangan diaduk-aduk kembali, biarkan Yong Ceng memerintah dengan tenang.”
“Wah, Toa-suhu, urusan ini harus kupertimbangkan masak-masak lebih dulu. Harus kulihat dan kupertimbangkan dulu semua kenyataan yang kulihat di Pak-Khia nanti.”
“Pang-cu, apakah permintaan terakhir dari seorang sahabatpun engkau tak sudi mengabulkannya?” Pun-hoat Hwe Shio tiba-tiba berlutut menyembah Tong lam Hou.
Tong Lam Hou masuk arena untuk bertanding, namun menghadapi sikap Pun hoat Hwe-shio itu dia malah kebingungan, tak tahu harus bersikap bagaimana. Ia juga kaget mendengar kata-kata “Permintaan terakhir” itu. Sahutnya, “Toa-suhu, menerima atau menolak permintaanmu terakhir itu adalah urusan besar yang tidak bias diputuskan sembarangan saja. Ijinkanlah aku mendapatkan bahan-bahan pertimbangan lebih dulu….”
“Aku mohon, Pang-cu.” Pun-hoat Hwe-Shio ngotot mendesak. “Berjanjilah….berjanjilah…..” Habis berkata demikian, pendeta itu tiba-tiba mengayun telapak tangannya untuk menghantam jalan darah kematian di ubun-ubunnya sendiri.
Tong lam Hou, Pak Kiong Liong, Hong Thai Pa dan dua pendeta Siau-lim- pai lainnya berseru kaget dan melompat untuk mencegah, tapi terlambat. Tubuh Pun-hoat Hwe-shio sudah terkulai tak bernyawa lagi.
Babak ketiga itu Tong Lam Hou tidak memainkan sejurus silatpun, sedang Pun-hoat Hwe-shio hanya memainkan sejurus silat yang digunakan atas dirinya sendiri. Babak ketiga menimbulkan korban yang paling mahal harganya, satu jiwa telah melayang.
Tong Lam Hou berdiri termangu-mangu, tak menduga Pun-hoat Hwe-shio menempuh cara senekad itu untuk menekankan permohonannya. Sedang Pun-khong Hwe-shio telah memeluk mayat saudara seperguruan mereka sambil menggumamka doa lirih.
Sesaat kemudian Pun-khong Hwe-shio mengangkat wajahnya yang muram miemandang Tong Lam Hou, “Pang-cu, bagaimana dengan permohonan terakhir saudaraku ini?"
Dengan wajah yang sama murungnya. Tong Lam Hou menyahut, "Aku menyesal Pun-hoat Hwe-shio mengambiI jalan ini. Permohonannya benar-benar akan aku pertimbangkan, tapi aku tidak bisa menjawabnya sekarang....."
Biarpun ia menyesalkan kematian Pun-hoau Hwe-shio, namun Tong Lam Hou tidak mau mengorbankan kemerdekaan Hwe-liong-pang dalam mengambil sikap, tetap tidak mau membiarkan pihak luar mengatur sikap dan tindakan Hwe-liong-pang.
Pun-khong Hwe-shio menarik napas. ia sadar Ketua Hwe-liong-pang itu tidak mungkin dipaksa menjawab menurut seleranya sendiri. Sedangkan Pun-seng Hwe-shio yang lebih berangasan, telah berdiri mengepalkan tinju sambil berteriak beringas, "Jadi nyawa saudaraku masih belum cukup untuk mengubah pendirian mu yang sesat itu? Baiklah, kau boleh cabut nyawaku sekalian saja!"
Lalu ia siap menerjang Tong Lam Hou, namun dicegah oleh Pun-khong Hwe-shio, "Tenang, Sute, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menerima pendirian kita. Anggap saja nasib Pun-hoat Sute kurang beruntung, sehingga pengorbannya tak mendapat nilai sedikitpun dari Hwe-liong Pang-cu.”
Tong Lam Hou bertiga lalu merasa tidak ada gunanya berada terus di tempat itu. Mereka mohon pamit dan dijawab dengan dingin oleh Pun-khong Hwe-shio. Sepanjang perjalanan menuju ke penginapan, mereka bertiga bungkam, bagaimanapun juga kematian Pun-hoat Hwe-shio tidak gampang mereka lupakan. Dan entah bagaimana kelak hubungan Hwe-liong-pang dan Siau-iim-pai yang berselisih pendapat?
Dua pihak sama-sama merasa sedang membela rakyat, sama-sama merasa benar sendiri dan menyalahkan pihak lain, sama-sama yakin sehingga kalau perlu berusaha memaksakan pendiriannya agar diterima pihak lain. Karena itulah perang adalah hiasan yang tak pernah ketinggalan dalam sejarah umat manusia, disegala tempat dan disegala jaman.
Keesokan harinya, biarpun suasana dengan pihak Siau-lim-pai masih agak kurang enak, namun Tong Lam Hou bertiga datang juga ke wihara Gong Sim-si untuk menghadiri perabuan jenazah Pun Hoat Hwe Shio. Setelah itu barulah mereka meningglkan kota Seng Toh terus ke Pak-khia.
Sementara itu, rombongan lain yang menuju ke Pak-Khia sudah menempuh jarak lebih jauh dari ketiga kakek yang berjalan santai itu. Merekalah Tong Gin Yan, Pak Kiong Eng, Hu Se Hiong, Ji Han Lim dan Kiong Wan Peng. Sebuah perjalanan yang tergesa-gesa sebab dalam rombongan itu terdapat keselamatan anaknya. Mereka sudah keluar dari propinsi Se-cuan dan menyebrangi Sungai Tiang Kang. Sehingga tiba dibelahan utara dari wilayah kekaisaran.
Pada suatu hari, ketika lima orang itu tengah berkuda menyusuri sebuah jalan pegunungan yang sunyi, dari arah depan muncul serombongan penunggang kuda lainnya yang berpapasan arah. Pemimpin rombongan itu adalah dua lelaki bertubuh tegap dan bermata tajam. Mestinya hal biasa, tetapi yangistimewa adalah cara berpakaian para penunggang kuda itu.
Saat itu ialah jaman Kaisar Yong Ceng, penguasa ketiga dari dinasti Manchu setelah Sun Ti dan Khong Hi, jaman dimana kaum lelaki menguncir panjang rambutnya. Model pakaiannya pun khas jaman itu. Tetapi rombongan berkuda yang berpapasan itu berpakaian seperti orang jaman dinasti Beng yang sudah tenggelam seratus tahun lebih. Rambut mereka tidak dikuncir, melainkan digelung, sehingga mirip rombongan pemain sandiwara keliling.
Sikap mereka ketika berpapasan dengan rombongoan Hwe-liong-pang, juga menunjukkan sikap penuh kebencian. Salah seorang dari mereka bahkan meludah jijik, seolah mereka berpapasan dengan serombongan orang berpenyakit menular. Namun kedua belah pihak berpapasan begitu saja tanpa timbul peristiwa lebih lanjut.
“Orang-orang aneh," komentar Ui-bin Peng-hoi Hu Se Hing ketika sudah berpapasan agak jauh.
"Kita harus waspada, Hiang-cu," Tong Gin Yan memperingatkan. "Sikap mereka kelihatan amat membenci kita, barangkali mereka mengenal siapa kita, dan punya alasan untuk bersikap demikian terhadap kita,"
Hui-po-sin Ji Han Lim ikut menimbrung bicara, "Pakaian mereka mengingatkan aku kepada suatu golongan."
He Se Hiong, Pak Kiong Eng dan Kiong Wan Peng berbarengan menebak, “Jit-goat-pang (Serikat Rembulan Matahari)?"
"Kalian menebak tepat," sahut Ji Han Lim. "Kalau begitu selanjutnya memang kita pantas berhati-hati kata Tong Gin Yan. "Jit-goat pang yang mencita-citakan bangunnya kembali dinasti Beng itu punya sejarah yang tidak bersahabat dengan Hwe-liong-pang kita. Aku pernah mendengar cerita ayah."
Jit-goat-pang adalah gerakan bawah tanah dari orang-orang yang setia kepada dinasti Beng yang sudah roboh, dan mereka bercita-cita membangunnya kembali. Anggota inti mereka kebanyakan adalah keturunan pembesar-pembesar atau panglima-panglima Kerajaan Beng "almarhum" dan sejumlah pengikut fanatik lainnya. Nama "jit" (matahari) dan "goat" (rembulan) kalau digabung memang membentuk huruf "beng” (cahaya), yang menjadi nama dinasti ketika dulu ditegakkan oleh Kaisar Hong Bu yang nama asalnya Cu Goan Ciang.
Menilik sejarah Jit-goat-pang dan Hwe-liong-pang dapat dimaklumi kalau kedua kelompok itu bermusuhan. Hwe-liong pang pernah membantu Joan-ong Li Cu Sing memberontak dan menumbangkan dinasi Beng, di Jaman Kaisar Sun Ti dari dinasti Manchu, kembali Jit-goat-pang mengobarkan perlawanan, dan yang menumpas antara lain Pak Kiong liong dan Tong lam Hou, ayah dari Pak Kiong Eng dan Tong Gin yan jadi dendam kedua kelompok itu adalah “warisan” orangtua masing-masing.
Kewaspadaan seluruh rombongan semakin meninggkat, ketika mereka berpapasan beberapa kali lagi dengan rombongan orang-orang berpakaian kuno itu. “Aku khawatir, mereka sedang merencanakan sesuatu atas diri kita,” kata Tong Gin Yan, “Mereka pasti tahu siapa kita, dan barangkali siap menyembelih kita.”
“Kalau mereka turun tangan, akulah yang akan menyembelih meraka.” Kata Ji han lim sambil menimang-nimang kapaknya.
Ketika matahari terbenam, rombongan Hwe- Liong-pang mendapat tumpangan menginap di sebuah desa kecil terpencil yanghanya terdiri dari beberapa rumah saja, Seorang petani yang rumahnya berukuran paling besar di desa itu, bahkan menawarkan agar rombongan itu menginap di rumahnya.
Namun karena rumah petani, maka disekitar rumah bertumpuk-tumpuklah ikatan ikatan kayu besar, jerami-jerami yang menurut tuan rumahnya untuk member makan lembu, dan perabotan rumah rusak yang semuanya terdiri darikayu. Semua nya ditumpuk begitu saja disekitar rumah.
Melihat keadaan rumah itu, Hu Se HIong mengerutkan aliasnya memikirkan sesuatu. Tetapi ia tidak mengatakan apapun juga. Tuan rumah kelewat ramah untuk dicurigai. Tuan rumahnya sendiri yang menyuruh menyuguhkan makan malam dan mengajak mengobrol cukup lama. Ketika Hu Se hiong menanyakan dimana keluarganya, si tuan rumah menjawab bahwa isteri dan anak-anaknya sedang berkunjung ke rumah mertuanya di desa lain.
Menjelang tengah malam, si tuan rumah berpamitan keluar dengan alasan hendak menengok ladangnya yang sering diganggu babi hutan. Sebelumnya, diucapkannya selamat malam dan selamat “tidur nyenyak" kepada tamu-tamunya. Ketika di halaman rumahnya yang sepi dan gelap, si tuan rumah menyeringai sendiri sambil berkata perlahan, "Maksudku tadi bukan selamat tidur nyenyak, tapi selamat tidur abadi...."
Dalam rombongan Hwe-liong-pang, umur Hu Se Hiong paling tua dan paling teliti dalam segala hal. Sejak semula ia selalu memikirkan keadaan rumah itu. Bagian luarnya diuruk dengan benda benda yang mudah terbakar seperti kayu dan jerami, dinding rumah adalah kayu tebal yang tak gampang dijebol, kerangka atap juga kayu bulat yang sulit dipatahkan. lalu, kenapa si tuan rumah keluar malam malam meninggalkan tamu-tamunya?
Namun Hu Se Hiong tidak mau menyatakannya kepada teman-teman seperjalanannya, khawatir membuat mereka tidak bisa tidur. la hanya bertekad untuk berjaga sendirian, demi keselamatan teman teman seperjalannya. Maka, meskipun ia membaringkan tubuh di pembaringan dari tanah liat, yang kolongnya biasa diberi perapian kalau musim dingin, ia tetap membuka mata dan memasang kuping sebaik-baiknya, sedikitpun tidak berani membiarkan rasa kantuk menyerangnya.
Ketika tangannya terkulai ketepi pembaringan dan merontokkan sekeping tanah liat, tiba-tiba hidungnya mencium bau yang aneh. la bangkit dan mengendus-enduskan hidungnya seperti anjing, dan terkesiap ketika mengenali bau itu adalah bau bubuk peledak. Untuk lebih menguatkan dugaannya, ia merontokkan lagi pembaringan tanah liat itu beberapa bagian, dan ternyata di bagian dalamnya ada bubuk bahan peledak yang cukup untuk mengubah seekor kerbau hidup menjadi abon dalam satu detik. la memeriksa ruangannya, dan ternyata dalam lantai, dinding dan perabotan-perabotan bambu di situ sudah berisi bubuk maut semua!
Lalu ia memeriksa pintu keluar yang ternyata dipalang kuat-kuat dari luar, sementara di sudut rumah terdengar suara mendesis yang makin lama makin dekat. Hu Se Hiong paham artinya, itulah sumbu yang disulut. Maka iapun berteriak sekuatnya, "Semuanya keluar dari rumah! Secepatnya!!"
Tentu saja teriakannya mengejutkan keempat orang teman seperjalanannya yang tengah tidur nyenyak setelah kelelahan sehari dalam perjalanan. Tapi mereka tahu, kalau Hu Se Hiong sampai berteriak seperti itu, tentu ada alasan kuatnya. Semuanya segera berlompatan bangun.
. Menghadapi pintu yang terkunci dan terpalang rapat dari luar, Ji Han Lim bertubi-tubi mengayunkan sepasang kampaknya, disusul tendangan Kiong Wan Peng yang berjulukan Thian-lui-tui (Tendangan Geledek) itu menjejak, sehingga terbukalah pintu itu. Tidak mampu menahan tendangan kedua Tong-su Hwe liong-pang itu.
“Keluar sejauh jauhnya!" teriak Hu Se Hiong pula.
Orang-orang Hwe-liong-pang itu berlarian sekuatnya menjauhi rumah, tak tentu arahnya, berpencaran, pokoknya sejauh-jauhnya. Ada yang menyusup ke kebun sayur-sayuran, atau kearah lainnya.
Terdengar ledakan hebat yang meng guncangkan bumi. Rumah gubuk yang baru saja menjadi tempat istirahat yang nyaman itu, berubah menjadi kepingan-kepingan kayu menyala yang berhamburan sampai puluhan tombak tinggi dan jauhnya. Malam gelap seakan berubah menjadi siang mendadak, apalagi karena ada gumpalan-gumpalan api yang jatuh ke atap lumbung padi atau ke tumpukan jerami, sehingga langsung menyala dan menambah penerangan.
Karena orang-orang Hwe-liong-pang menyusup ke kebun sayur-sayuran yang pohonnya lebih tinggi dari manusia, maka untuk sesaat mereka tidak dapat melihat teman satu sama lain. Sementara itu, Pak Kiong Eng yang terpisah sendirian di tengah kebun sayur, mendengar suaminya memanggil-manggil dari suatu arah yang agak jauh, “A-eng! A-eng!”
“Aku disini, Yang-ko” sahut Pak Kiong Eng. Namun suaminya tak kunjung mendekat setelah mendengar suaranya bahkan kemudian suara panggilannya tak terdengar lagi. Digantikan surah membentak-bentak seperti sedang bertempur dengan seseorang.
Dari arah lain kedengaran suara Ji Ham Lim yang marah pula. “Bangsat! Cara kalian sungguh keji! Sekarang hadapilah kami dengan cara laki-laki!” Disusul suara gemerincing senjata berbenturan dan bentak-bentakkan. Bercampur gemeretaknya pohon-pohonan yang roboh kena terjangan orang berkelahi.
Pak Kiong Eng buru-buru menyusup kearah suara pertempuran, untuk membantu teman-temannya yang agaknya telah bertemu musuh. Begitu tergesa-gesanya melangkah. Sampai ia menubruk tubuh seseorang yang berdiri dikegelapan. Sosok tubuh yang tinggi mirip suaminya itu langsung dipeluknya sambil berseru lega “yan-Ko!”
Orang yang dipeluk itu menyeringai, merasakan kelembuatan dan kehangatan tubuh seorang nyonya muda berusia sepertiga abad yang tetap langsing dan cantik. Darahnya mengalir cepat. Dan tanpa sungkan-sungkan lagi ia balas memeluk sambil tertawa terkekeh.
Kekeh tawa itu mengejukan Pak Kiong Eng, sebab itu bukan suara suaminya. Ia hendak melepaskan diri dari pelukan. Namun jalan darah dipundak danpinggangnya mendadak terasa kesemuatan dan lemaslah tubuhnya. Jelas ia tertotok, bahkan ingin berteriakpun tidak keluar suaranya. Orang itu lalu meletakkan Pak Kiong Eng terlentang di tempat yang terlindung oleh bayangan pepohonan, sambil terkekeh-kekeh ia berkata,
“Tadi kau memanggil putera Hwe-liong-pang, tentunya kau adalah isterinya yang bernama Pak Kiong Eng dan berjuluk Pak Liong Siam-li (Bidadari Naga Putih). Betul bukan? He-he-he, tidak percuma orang memasyhurkan kecantikanmu nyatanya kau masih begini cantik dan membuat jantungku hampir copot. Jangan lagi mengharap pertolongan suami dan teman-temanmu, mereka sedang bertempur melawan teman-temanku. Dan kita juga akan bertempur di sini, tetapi dengan cara yang lebih romantis. He-he-he..."
Ketakutan dan kemarahan membuat dada Pak Kiong Eng serasa hampir meledak, namun apa dayanya? Sebenarnya dia seorang perempuan berilmu tinggi, tetapi kelengahannyalah yang membuatnya jatuh ke tangan hidung belang ini. Terasa tangan lelaki kurang ajar itu mulai menggerayangi tubuhnya, dengan napas yang mendengus-dengus berat, lalu satu demi satu kancing baju Pak Kiong Eng direnggutnya.
"Malam yang beruntung buatku," kekeh lelaki itu disela engahan napas-nya karena memuncaknya nafsu. "Malam ini aku akan bermain pengantin-pengantinan dengan Pek Liong Sian-li....."
Tapi acara yang direncanakannya itu terganggu, karena dari sela-sela pepohonan sesosok tubuh melompat keluar sambil membentak, "Giok-bin-hoa-ti-ap (Kupu Kembang Berwajah Kumala), kau belum juga jera dengan perbuatan-perbuatan bejatmu?"
Orang yang baru muncul itu langsung melancarkan sebuah jotosan ke kepala si hidung belang yang tengah berjongkok di samping tubuh Pek Kiong Eng itu. Si hidung belang terpaksa harus melompat menghindar kalau tidak ingin pelipisnya retak oleh jotosan dahsyat itu.
Si Kupu Kembang Berwajah Kumala itu bernama asli Cu Sek Kui, pemimpin nomor dua dalam Ji-goat-pang. Oleh pengikut-pengikutnya ia dipanggil Pangeran, karena bermarga Cu dan dipercayai sebagai keturunan Kaisar Cong Ceng, penguasa terakhir dinasti Beng. Kegemarannya terhadap perempuan menjadi ciri khasnya yang mudah dikenali.
"Bangsat, kau rupanya bosan hidup!" ia membentak marah kepada penyerangnya. Penyerangnya adalah Tong-cu Hwe-liong-pang dari Pek-ki-tong (kelompok bendera putih), Kiong Wan Peng, la punya dua orang guru, yang pertama adalah Oh Yun Kim si orang Korea yang berjulukan Bu-eng-tui (Tendangan Tanpa Bayangan), yang kedua Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati), sehingga Kiong Wan Peng merupakan seorang yang berbahaya baik tangannya maupun kakinya.
Agaknya Cu Sek Kui tak berani meremehkan lawannya. Dari pinggangnya ia meloloskan senjatanya yang berupa cambuk. Ketika sebuah kayu menyala melayang di udara, tempat itu menjadi terang sekejap, dan Pak Kiong Eng dapat melihat bagaimana lelaki yang hampir memperkosanya itu. Berusia sekitar empatpuluh tahun, tegap, tampan, berpakaian rapi model jaman dinasti Beng, begitu pula model rambutnya mengikuti model dinasti Beng,. Dan agaknya ia memang pesolek, sebab nampak pipi dan bibirnya diolesi pupur dan gincu tipis.
Sementara itu Kiong Wan Peng marah sekali karena Giok-ben-hoa-tiap Cu Sek Kui nyaris berhasil menodai menantu Ketua Hwe-liong-pang, yang dianggapnya berarti juga menodai seluruh Hwe-liong-pang. la lalu menerjang dengan garangnya, kaki kanan membuat gerak tipu, lalu tangan kirilah yang menjotos bagai halilintar ke perut lawan. Cu Sek Kui tak dapat mengembangkan permainan cambuknya karena jaraknya begitu dekat. Terpaksa ia mengangkat lututnya untuk membendung tendangan musuh dan tangan kirinya dengan jari-jari lurus balas menohok ke ulu hati Kiong Wan Peng.
Saat itulah Kiong Wan Peng menunjukkan kehebatan Tae-kyunnya. Orang lain kalau menendang dan tubuhnya sudah doyong ke depan, tentu geraknya tak bisa diubah lagi, tapi Kiong Wan Peng bisa. Kakinya yang menendang tiba-tiba berhenti di tengah jalan, lalu berubah arah menendang tinggi ke pelipis lawan dengan sebuah tendangan melingkar samping.
Cu Sek Kui dengan kaget melompat mundur, sambil mencari ruang gerak bagi cambuk panjangnya. Namun Kiong Wan Peng terus merangsak, sambiI berputar tubuh ia lakukan tendangan balik belakang keperut lawan, disusul jotosan lagi yang agaknya bisa membuat tengkorak kepala lawan retak sekaligus.
Dengan bergulingan, Cu Sek Kui bisa menghindar, namun keringat dinginnya keluar ketika mendengar suara gemerasak pepohonan sayur-sayuran yang terlanda angin pukulan Kiong Wan Peng. Alangkah dahsyatnya tenaga pukulan Tong cu Hwe-liong-pang itu. Cepat Cu Sel Kui mengayun cambuknya untuk menyapu sepasang kaki lawannya.
Keduanyapun bertempur di tengah kebun sayuran yang ditanam berjalur-jalur itu, membuat tempat itu berantakan dan makin lama makin rata seperti sebuah lapangan saja. Pak Kiong Eng yang tadinya menggeletak karena tertotok, kini tiba-tiba melompat bangun karena pengaruh totokan Cu Sek Kui tadi sudah sirna. Sebagai puteri tunggal seorang panglima sakti macam Pak Kiong Liong, ia memiliki dasar tenaga dalam yang cukup kuat.
Begitu ia pulih kembali, ia ingat kekurang ajaran Cu Sek Kui tadi dan kemarahannya pun meluap. Namun lebih dulu dibenahinya kancing bajunya yang tadi sempat digerayangi tangan nakal Cu Sek Kui, lalu berseru Kepada Kiong Wan Peng, "Saudara Kiong, minggirlah! orang yang sudah menghina aku tadi harus dibalas dengan tanganku sendiri!"
Melihat bangkitnya Pak Kiong Eng yang kepandaiannya lebih tinggi dari Kiong Wan Peng, Cu Sek Kui menjadi keder. Dalam pandangannya sekarang, Pak Kiong Eng bukan lagi seorang bidadari yang menggairahkan, tetapi seperti sesosok hantu wanita yang menakutkan dan siap menerkam nyawanya.
"Minggir, saudara Kiong! Tanganku sendiri yang akan mewakiIi kaum wanita yang sudah menjadi korban manusia bejat ini!" Pak Kiong Eng mengulangi teriakannya. Bagaimanapun marahnya, ia tidak mau melakukan pengeroyokan, karena tidak mau menodai nama besar ayahnya, mertuanya, suaminya dan seluruh Hwe-liong-pang.
Kiong Wan Peng cepat melompat keluar dari arena, tetapi masih sempat mengejek Cu Sek Kui. "Nah, ratapilah nasibmu, kupu-kupu yang malang. Sebentar lagi kau hanyalah seekor kupu-kupu hangus oleh Hwe-liong Sin-kang!"
Cu Sek Kui memang sudah amat cemas akan nasibnya sendiri. Dalam takutnya, ia melecutkan cambuknya tiga kali di udara, sebagai isyarat untuk mohon bantuan dari teman-temannya. Isyarat itu langsung memperolah jawaban. Rumpun sayuran yang belum roboh tersibak oleh sesosok tubuh gempal pendek yang tangannya menjinjing sebatang toya tong-ge-pang (toya gigi serigala).
Orang ini berpakaian seperti seorang panglima jaman Kerajaan Beng, lengkap dengan topi besi, sisik logam pelindung pundak dan lengan atas, dan logam bundar pelindung ulu hati. Tetapi pakaiannya agak acak-acakan sehingga kelihatan janggal.
Melihat munculnya si "setengah Panglima" ini, Kiong Wan Peng langsung hendak menempurnya agar Pak Kiong Eng tidak sampai dikeroyok dua. Tetapi Pak Kiong Eng sendiri telah berkata, "Saudara Kiong, kau bantu saja teman-teman kita. Kedua cecunguk ini rasanya masih bisa aku atasi sendiri, mereka cukup jinak..."
Alangkah marahnya Cu Sek Kui dan si "panglima" mendengar ucapan yang memandang rendah itu, padahal mereka berdua adalah pentolan-pentolan Jit-goat-pang yang disegani. Cu Sek Kui segera berkata kepada si panglima, "Siang Goan-swe (Jenderal Siang), perempuan ini adalah manusia Tong Lam Hou si begundal Manchu. Kita tangkap dia agar mertuanya menangis meraung-raung."
Panglima gadungan itu bernama Siang Hwe Jing, tidak segan-segan mengaku sebagai keturunan Siang Gi Jun, tokoh sejarah yang pernah membantu Cu Goan-ciang ketika mendirikan Kerajaan Beng ratusan tahun berselang. Supaya orang lebih percaya, Siang Hwe Jing mengarang sebuah silsilah keluarga- dengan nama-nama palsu, nama Siang Gi Jun tentu saja dicantumkan di puncak silsilah itu. Orang yang berani menunjukkan ketidak percayaannya kepada silsilah itu, biasanya langsung dikepruk kepalanya dengan toya Long-ge-pang i-tu.
Saking setianya kepada Cu Sek Kui ia menyambut ajakannya bukan dengan kata-kata, namun langsung dengan tindakan. Toyanya segera menderu membelah udara, menyapu datar ke pinggang Pak Kiong Eng dengan gerakan Heng-sau-jiang-kun (Menyapu Seribu Perajurit). Toya berat yang terbuat dari besi seluruh-nya itupun digerakkan dengan ringan se perti menggerakkan sepotong bambu saja.
Hampir saja Cu Sek Kui memaki "panglima"nya sendiri karena kekasarannya yang dapat merontokkan si kembang cantik dari Hwe-liong-pang itu. Tapi kekhawatirannya tidak perlu, sebab Pak Kiong Eng berhasil menghindar ke atas, dan bahkan balas menghantam ke ubun-ubun lawan dengan pukulan Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san menimpa Kepala). Cu Sek Kui yang masih berharap untuk bisa menangkap hidup-hidup Pak Kiong Eng, kemudian terjun pula ke arena.
Maka bertempurlah Pak Kiong Eng melawan kedua pentolan tangguh dari Jit-goat-pang itu. Yang satu bertenaga besar dengan toya Long-ge-pang yang amat berbahaya, yang lainnya lincah dengan permainan cambuknya, bahkan tak segan-segan bertindak licik. Tetapi lawan mereka lincah "beterbangan" kian kemari, dengan pakaian serba putihnya yang meIambai-lambai sehingga memang mirip seorang bidadari.
Pak Kiong Eng bukan cuma menghindar dan menangkis, namun juga membalas menyerang dengan memainkan ilmu pukulan Thian-liong-kun-hoat. Bahkan ketika ia mulai mengerahkan Hwe-liong sin-kang pula, maka dari tiap pori-pori kulitnya menyembur udara panas, sepasang telapak tangannyapun nampak bercahaya kemerah-merahan di kegelapan malam, seperti logam terbakar.
Sesaat lamanya Kiong Wan Peng masih melihat jalannya pertempuran, untuk mengetahui apakah keadaan Pak Ki-ong Eng berbahaya atau tidak. la merasa lega bercampur kagum melihat Pak Kiong Eng bertempur dengan sangat perkasa, dan mulai mendesak kedua lawannya. Cu Sek Kui dan Siang Hwe Jing semakin kelabakan menghadapi aliran udara panas yang terus membelit tubuh mereka, membuat napas mereka sesak dan keringat mengucur dengan deras.
Karena tidak lagi mengkhawatirkan keadaan Pak Kiong Eng, maka Kiong Wan Peng segera pergi ke bagian pertempuran lainnya, ingin melihat kalau-kalau ada temannya yang membutuhkan bantuannya. Ternyata orang-orang Jit-goat-pang yang bermaksud memusnahkan orang-orang Hwe-liong-pang, bukan saja memasang peledak dalam rumah, namun juga mengerahkan cukup banyak orang. Jumlahnya ada limabelas orang, semuanya adalah anggota-anggota andalan di bidang ilmu silat.
Tong Gin Yan bertempur sengit melawan dua orang lawan, dengan sebuah pedang rampasan di tangannya, sebab pedangnya sendiri ketinggalan dalam rumah kayu yang meledak itu. Di dekatnya, nampak dua mayat anggota Jit-goat pang yang menjadi korban kemarahannya. Sementara kedua lawannyapun agaknya mulai terdesak....
"Pang-cu, segenap anggota Siau-lim-pai mengharap Pang-cu dapat menimbang dengan adil mana yang benar dan mana yang salah. Jangan menimbang berat sebelah hanya karena mendengar dari orang yang masih ada hubungan kekeluargaan."
Sahut si pemimpin Hwe-liong-pang, "Toa-suhu, tolong jawab, orang yang tega menyuruh anak buahnya untuk menculik tiga orang bocah tak berdosa, masih dapat dihitung orang baik atau tidak?"
Sepasang alis putih Pun-khong Hwe shio berkerut, "Siapa yang berbuat demikian, Pang-cu?"
"Dialah Yong Ceng yang baru saja dipuji-puji setinggi langit oleh Toa suhu bertiga. Saat ini kami justru sedang mengejar penculik-penculik itu ke Pak-khia."
Pun-khong Hwe shio kontan bungkam, sehingga Pun-seng Hwe-shio yang tinggi besar dan berwajah hitam itulah yang menjawab, "Pang-cu, tak dapat disangkal bahwa di antara sekelompok domba barangkali terselip satu dua ekor serigala berbulu domba. Kalau perbuatan anak buahnya itu diketahui oleh Yong Ceng sendiri, anak buahnya itu pasti akan dihukum berat, mengingat watak Yong Ceng yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan."
Bicara bolak-balik, pendeta-pendeta itu tetap bersikeras membela "keluhuran budi" Kaisar Yong Ceng, membuat Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong mengeluh dalam hati karena kemungkinan akan menemui rintangan berat dari pihak Siau-Iim-pai. Tetapi Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong tidak mungkin membenci pendeta-pendeta itu, bahkan kasihan karena mereka dikelabuhi selama ini oleh Yong Ceng. Pendeta-pendeta itu bukan orang bodoh, tetapi Yong Ceng lah yang terlalu pintar bersandiwara selama!
"Toa-suhu, agaknya kita tidak sependapat," sahut Tong Lam Hou, "Tapi kita adalah teman-teman lama, tak mungkin kita wujudkan ketidak-sepakatan kita dalam baku-hantam seperti anak kecil berebut layangan. Biarlah sang waktu saja yang akan membuktikan baik atau jahatnya Yong Ceng. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa kami tunda, yaiitu keselamatan cucu-cucu kami yang dicuIik orang-orang Yong Ceng."
"Jadi Pang-cu bertiga tetap akan melanjutkan perjalanan ke Pak-khia?"
"Benar, Toa suhu. Selain mengejar pencuIik, aku juga ingin melihat sendiri segala perkembangan di Pak-khia, tidak hanya mendengarkan dari orang lain."
Pun-khong Hwe-shio menarik napas untuk menekan kejengkelannya. "Jadi Pang-cu juga belum mempercayai ucapan-ku tadi? Masih perlu membukrikan sendiri ke Pak-khia?"
"Mana berani aku tidak mempercayai Toa-suhu sebagai tokoh terhormat dunia persilatan? Tetapi aku khawatir bahwa keyakinan Toa-suhu itupun keyakinan semu, hasil akal licik Yong Ceng untuk memperalat Siau-lim-pai. Lagi pula memang aku harus tetap ke Pak-khia demi cucu-cucuku."
"Kami juga percaya bahwa Pang-cu akan menilai keadaan di Pak-khia dengan adil, namun kami khawatir pertimbangan adil Pangcu akan menjadi berat sebelah karena dipengaruhi bisikan seseorang yang Pang-cu anggap sebagai sahabat baik."
Lagi-lagi Pun-khong Hwe-shio melirik ke arah Pak Kiong Liong. Pembicaraan sekarang bukan lagi saling membujuk, melainkan sudah mulai saling menuduh.
"Lalu bagaimana nasib cucu-cucuku? Akankah mereka dibiarkan saja dalam cengkeraman algojo-algojo bengis itu?"
"Soal itu bisa Pang-cu percayakan kepada kami. Pulanglah Pang-cu di Tiau im-hong untuk hidup tenteram, nanti kami antarkan cucu-cucumu itu dalam keadaan selamat ke tempatmu."
Tong Lam Hou percaya pihak Siau-lim-pai akan menepati kesanggupannya, kalau dia setuju, maka ia akan ongkang ongkang saja di Tiau-im-hong dan tahu-tahu cucu-cucunya akan kembaIi dengan selamat. Tidak usah susah-susah menempuh bahaya ke Pak-khia. Namun dengan demikian dia akan membiarkan pihak luar mengatur seenaknya gerak-geriknya,
"Terima kasih atas tawaran Toa-suhu. Tapi aku tidak berani merepotkan Toa-suhu, aku akan tetap ke Pak-khia."
Pun-khong Hwe shio mulai gelisah. la khawatir Tong Lam Hou akan "tersesat" mengambil sikap dalam kemelut politik itu, maka ia bertekad biar bagai manapun harus mencegah Tong Lam Hou pergi ke Pak-khia. "Jadi Pang-cu bersikeras melanjutkan perjalanan?"
"Benar, Toa-suhu."
"Aku benar-benar minta maaf, Pang CU, kalau kunyatakan bahwa pihak Siau-lim-pai keberatan Pang-cu pergi ke Pak-khia. Tentang keselamatan cucu-cucu Pang-cu, percayakan kepada kami saja."
"Toa-suhu, kalau pihakmu bersikeras mengatur tindakan-tindakan kami, tidakkah itu berlebihan? Memangnya kami kaum Hwe-liong- pang hanya sekumpulan kerbau yang dicucuk hidungnya dan menurut dituntun kesana kemari?"
Rupanya Tong Lam Hou, Pak Kiong Liong dan Tong Thai Pa mulai panas hatinya melihat sikap pendeta-pendeta Siau-lim-pai itu. Masa hendak menyelamat kan cucu sendiri saja harus diatur oleh mereka?
Sebaliknya pendeta-pendeta Siau-lim-pai juga mulai jengkel menghadapi "kebandelan" Ketua Hwe-liong-pang. Mereka curiga bahwa alasan "mengejar peculik cucu-cucu" itu hanyalah selubung dari maksud yang sebenarnya, yaitu mengusik Yong Ceng. Maka para pendeta itupun bertekad bahwa Hwe-liong-pang harus "diselamatkan dari pengaruh hasutan jahat Pak Kiong Liong".
Nada suara Pun-khong Hwe-shio tidak lagi sesabar semula, "Kami tidak berani menganggap Hwe-liong-pang serendah itu. Tapi demi rakyat yang sudah bosan pertentangan di pusat pemerintahan, aku mohon Pang-cu mempertimbangkan lagi sikap Pang-cu!"
"Sikapku sudah kupertimbangkan berulang kali dan aku sudah mantap menjalaninya. Tak mungkin kurubah lagi, Toa-suhu."
Pun-khong Hwe-shio cuma menarik napas, sedangkan Pun-seng Hwe-shio telah berapi-api mukanya karena marah. Apalagi ketika mendengar Pak Kiong Liong berkata, "Justru pihak Siau-lim-pai yang aku mohon dengan hormat agar mempertimbangkan kembali dukungan kalian yang membabi-buta terhadap Yong Ceng. Selidiki dulu penguasa macam apa yang hendak kalian dukung itu."
Pun-seng Hwe-shio yang lebih pemarah itu telah menjawab keras mendahului Pun-khong Hwe-shio, "Kami tidak mendukung membabi- buta! Kami yakin Yong Ceng akan menjadi raja yang baik, dan demi rakyat, kami akan menentang siapapun yang mengusik kekuasaannya yang sudah mapan! Tong Pang- cu, kutanya sekali lagi, Pang-cu bersedia mem- batalkan perjalanan ke Pak khia atau tidak."
“Maaf, Toa-suhu, biar aku lihat sendiri keadaan Pak-khia."
"Benar-benar sesat pikiran!" Pun-seng Hwe-shio menggebrak meja di sampingnya sehingga hancur berantakan. "Tidak ada jalan lain, terpaksa kami pendeta-pendeta lemah ini harus berjuang menghalangi Pang-cu dan Goan-swe berdua."
"Bertiga!" Hong Thai Pa yang diam sejak tadi kini berkata meralat ucapan Pun-seng Hwe-shio itu. "Yong Ceng menyuruh orang-orang untuk menculik cucuku juga, maka dia punya utang yang harus aku tagih!"
Suasana menjadi tegang. Kedua pihak berpegang teguh kepada keyakinan masing-masing yang anehnya sama-sama "demi kepentingan rakyat", sementara yang namanya "rakyat" itu tidak terwakili atau diminta pendapatnya dalam pembicaraan itu. Seolah rakyat hanyalah biji-biji catur yang harus menurut digerakkan kesana kemari oleh pemain-pemain yang bertanding.
Yang satu berpendapat bahwa Yong Ceng harus ditumbangkan dan digantikan Pangeran In Te, yang lain berpendapat Yong Ceng harus dipertahankan supaya dapat menjalankan pemerintahan "dengan baik". Seolah rakyat tidak berhak membicarakan nasib mereka sendiri. Nasib mereka dipercayakan kepada orang-orang pintar yang pandai bersilat lidah dan ngotot dengan pendiriannya sendiri-sendiri.
Pun-khong Hwe-shio berkata penuh sesal, "Sungguh kusesalkan bahwa kami harus bertarung dengan seorang sahabat lama yang kami hormati. Tapi rasanya tidak ada jalan lain." Tong Lam Hou sendiri juga menyesali pertarungan tak terhmdarkan, tetapl ia ingin agar pertarungan tidak menimbulkan sakit-hati di kemud.an hari maka diapun mengusulkan,
“Akupun menyesal, Toa-suhu. Tetapi bagaimana kalau kita tidak mengorbankan persaha-batan kita? Kita pi-bu (adu silat) saja secara adil dengan taruhan? Tiga lawan tiga. Kalau kami menang, Toa-suhu, jangan merintangi kami ke Pak-khia untuk menimbang keadaan dengan adil. Kalau kami kalah, aku berjanji akan balik ke Tiau- im-hong, sedang tentang cu-cucuku yang diculik terpaksa aka minta tolong pihak Siau-lim-pai untuk menemukannya."
Adanya nada sungkan dan hormat dalam ucapan Tong Lam Hou membuat Pun-khong Hwe-shio tak bisa menolak usul itu. Diapun akhirnya menyetujui. Untuk menentukan pasangan-pasangan yang akan maju dalam tiap babak, adakan undian dengan angka-angka. Hasilnya babak pertama Pak Kiong Liong akan berhadapan dengan Pun-khong Hwe-shio, babak kedua Hong Thai Pa akan melawan si raksasa bermuka hitam Pun-seng Hweshio.
Dan babak ketiga Tong Lam Hou bertanding dengan si rahib kurus kering Pun-hoat Hweshio. Berdasar perhitungan di atas kertas menurut kepandaian masing-masing, kedua belah pihak punya peluang yang sama besarnya untuk menang, sedikitnya menang dua dari tiga babak. Namun semuanya masih ha rus dibuktikan di arena.
Mereka lalu berjalan menuju halaman belakang wihara Gong-sim-si, tempat yang luas dan teduh karena dinaungi banyak pohon. Para hwe-shio penghuni Gong-sim-si segera berbondong-bondong datang untuk menonton, seperti anak-anak hendak menonton adu jangkrik saja. Tetapi kali ini “jangkrik-jangkrik" nya adalah raksasa-raksasa dunia persiIatan.
"Silahkan. Goan-swe," kata Pun-khong Hwe-shio yang langsung melangkah ke tengah arena setelah mencopot jubah panjangnya. la akan melawan Pak Kiong Liong di babak pertama. Setelah berhadapan dengan lawannya Pun-khong Hweshio tertawa kecut sambil berkata, "Rasanya ganjil juga. Nasib berjuta-juta rakyat hanya tergantung ketrampilan kita bermain silat..."
Pak Kiong Liong juga tersenyum kecut. Namun ia tidak menjawab, hanya bersiap-siap sebab sadar menghadapi lawan berat, adik seperguruan Pun-bu Hw shio yang terkenal itu. Agak lama kedua jago tua itu hanya berjalan berputaran sambil saling menatap dengan tajam. Lama-lama kelihatan langkah mereka mulai berat, hingga bekas tapak kaki mereka "tercetak" di permukaan tanah yang keras. itu pertanda bahwa kekuatan masing-masing pihak masih berhati-hati. Agak berbeda dengan perkelahian antar pemabuk di warung arak yang biasanya lansung saling jotos dengan sengitnya.
Udara tergetar oleh hentakan Pun-Khong Hwe-Shio, jubahnya tiba-tiba melembung seperti layar menampung angin. Kakinya membentuk kuda-kuda Co-cian-ma (Sikap Menunggang Kuda), serempak sepasang telapak tangannya menghantam dengan Tiat-san-sik (Pukulan Mendorong Gunung). Tenaga tak berwujud menyeberangi jarak beberapa langkah antara dirinya dan lawannya, dan berusaha menggempur roboh kuda-kuda Pak Kiong Liong.
Pak Kiong Liong memutar sepasang telapak tangannya dengan jurus Lo-cia-lo-hai (Dewa Lo- cia Mengacau Laut), menimbulkan pusaran angin kuat yang berhasil menyingkirkan pukulan tak berwujud Pun-khong Hwe-shio. Setelah itu, Pak Kiong Liong melangkah maju untuk memperpendek jarak. Cengkeraman kanannya mengancam pinggang si pendeta tua, berbarengan dengan kaki kirinya terangkat menendang pula.
Rupanya si jenderal buronan ini menghendaki pertarungan jarak dekat yang mengandalkan ketrampilan jurus, daripada pertarungan jarak jauh yang menguras tenaga dalam. Pak Kiong Liong menyadari keunggulan tenaga dalam kaum Siau-lim-pai. Sedangkan dalam pertempuran jarak dekat, ia percaya bahwa Thian-liong-kun-hoat (Pukulan Naga Langit) dan Liong-Jiau-kang (Pukulan Kuku Naga) miliknya akan mampu menandingi jurus Siau-lim pai yang manapun juga.
Pun-Khong Hwe-Shio melangkah mundur dengan kuda-kuda rendah dan tubuh miring, sehingga cengkraman ke pinggangnya dapat dihindari. Lalu sepasang tinjunya menggencet kea rah pergelangan kaki Pak Kiong Liong yang menendang, seperti sepasang martil yang dibenturkan untuk meremukan sebuah sasaran, begitulah pergelangan kaki Pak Kiong Liong terancam remuk.
Pak Kiong Liong segera mengembangkan jurus-jurus Naga Langitnya yang lincah dalam serangan-serangan lompatan itu. Kakinya yang menendang ditarik, tubuhnya tiba-tiba melambung melewati kepala si pendeta, kedua tangan nya hendak mencengkram sepasang pundak lawan dari arah belakang. Itulah jurus In-Li-siang-liong (sepasang Naga dalam awan).
Menghadapi kelincahan Thian-liong kun- hoat, Pun-Khong Hwe Shio menggunakan Cap-pek-lo-han-kun (Pukulan Delapanbelas Arhat) yang tangguh, tidak banyak bergerak namun kokoh bagaikan batu karang. Tangannya berubah-ubah antara mengepal, menebas, mendorong, diselingi ujung jarinya yang bagaikan pisau menyambar, bahkan sikut dan ujung lengan jubah juga dapat diajak bekerja sama dengan baiknya. Ternyata Cap-pek-lo-han-kun si pendeta tua juga dilengkapi dengan Tiat-siu sin-kang (llmu Lengan Baju Besi). Ujung lengan bajunya ternyata bisa dibuat sekeras besi untuk menyabet urat-urat penting di tubuh lawan.
Keduanya bergerak semakin lama semakin cepat dengan ilmu. andaIannya masing-masing. Ada berpuIuh-puluh bayangan tubuh Pak Kiong Liong di arena itu. kadang-kadang menerkam seperti macan atau meluncur seperti ular, tetapi yang paling banyak ialah melompat seperti naga di atas mega. Namun Pak Ki-ong Liong belum menggunakan ilmu Hwe-Iiong sin-kang, sebab ilmu itu hanya berguna menghadapi musuh yang tenaga dalamnya kalah tinggi, bukan musuh dengan tenagada lam setangguh Pun-khong Hwe-shio.
Menghadapi kegarangan Pak Kiong Liong, Pun-khong Hwe-shio memainkan jurus-jurus dengan tenang dan kokoh. Tubuhnya tidak berkelebatan seperti lawannya, lebih banyak diam, sekali-sekali bergeser selangkah dua langkah. Sepasang tanganyalah yang bergerak amat cepat sehingga seolah menjadi ribuan pasang tangan yang bertahan dan menggempur dengan dahsyatnya. Lengan jubahnya yang berwarna kuning berkibaran kencang, sehingga mirip gumpalan awan kuning yang menyelimuti tubuhnya.
Melihat pertarungan hebat itu, Tong Lam Hou diam-diam memperhitungkan kalau kedua pihak sama-sama tidak membuat kecerobohan, keduanya bisa berakhir sama kuat, alias nilai setengah untuk masing-masing pihak. Setelah itu sulit ditebak bagaimana hasil pertarungan babak kedua Hong Thai Pa melawan Pun-seng Hwe-shio. Kalau Pun-seng Hwe shio berkepandaian setingkat atau bahkan lebih tinggi dari Pun-khong Hwe shio, maka Hong Thai Pa kemungkinan besar akan kalah. la menjadi gelisah sendiri.
Hong Thai Pa yang duduk di sebelah Tong Lam Hou agaknya memahami kegelisahan sahabat karibnya, maka ia lalu membisikkinya. "Lou-tong, kita harapkan Goan-swe setidak-tidaknya bermain seri. Setelah itu aku akan bertahan habis-habisan melawan si pendeta bermuka pantat kuali itu agar bisa seri juga. aku tahu diri, tidak berani mengharap kemenangan dari seorang tokoh tua Siau lim-pai, bisa seri saja sudah bagus. Nah, tugas merebut kemenangan adalah tugasmu ketika melawan si kurus itu."
Tong Lam Hou mengangguk-angguk paham. la lega bahwa sahabatnya yang gendut itu tahu diri namun tidak menjadi kecil hati, boleh diharapkan siasatnya akan berhasil.
Sementara itu, pertarungan di tengah arena telah meningkat semakin hebat, seperti dua buah prahara yang berbenturan di satu titik. Pohon-pohon yang mengelilingi arena telah terguncang ranting-rantingnya daun-daunnya rontok beterbangan bercampur debu yang terangkat ke atas, membuat arena itu seolah ditutupi tirai tebal.
Thian-Iiong-kun-hoat dan Liong-jiau-kang yang garang itu ternyata tidak mampu menembus Cap-Iek-lo-han kun dan Tiat-siu-san-kang yang kokoh kuat. Sebaliknya Pun-khong Hwe-shio juga tak sanggup merobohkan Pak Kiong Li ong yang bergerak terlalu lincah. Kalau pertarungan mengandalkan siapa yang lebih kuat bertahan lama, agaknya sehari semalam pun belum tentu berhasil diketahui siapa pemenangnya.
Saat itulah kedua tokoh yang bertarung secara bersamaan telah mengerahkan semangat dan kekuatan mereka untuk merampungkan pertarungan. Pak Kiong Liong menerjang dengan Siang liong jip-hai (Sepasang Naga Masuk Laut) berbarengan dengan Pun-khong Hwe-shio yang menghantam dengan Kun-tun-jut-kai-(Terciptanya Alam Semesta). Kedua pihak sama-sama menyerang untuk berusaha merebut kemenangan secara paksa.
Debu yang berhamburan membuat apa yang terjadi di tengah arena tak tampak jelas. Hanya kedengaran suara gemuruh dahsyat, suara Pak Kiong Liong mau pun Pun-khong Hwe-shio sama-sama membentak mantap. "Kena!" Suara gemuruh dan deru angin mereda, debu yang berhamburan mengendap kembali, sehingga nampaklah di tengah arena itu Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio sama-sama tergeletak di tanah, baju di bagian dada mereka sama-sama dikotori darah yang tersembur dari mulut mereka, keduanya sama-sama terluka.
Tong Lam Hou dan Hong Thai Pa cepat-cepat mendekati tubuh Pak Kiong Liong dengan cemas. Saat yang bersamaan Pun-seng Hwe- shio dan Pun-hoat Hwt shio juga telah mendekati tubuh kakak seperguruannya untuk memeriksanya. Kedua belah pihak segera merasa lega melihat Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio sama-sama tidak berat lukanya. Bahkan keduanya kemudian mampu berdiri kembali, meskipun dengan sedikit dibantu teman masing-masing.
"Pukulan Toa-suhu sungguh dahsyat,” Pak Kiong Liong memberi horrnat sambil merendah.
Pun-khong Hwe-shio membalas hormat, "Goan-swe juga hebat. Untunglah pukulan Goan-swe tadi tidak menggunakan Hwe-Iiong-sin-kang yang dapat membuat tubuhku hangus menjadi arang."
“Akulah yang merasa beruntung bahwa Toa-suhu tidak menggunakan Thai-lik kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Raksasa), sehingga tubuhku tidak rontok berkeping-keping."
Biarpun kedua pihak sama-sama memuji lawan, tapi nilai pertempuran tetap harus ditetapkan. Kedua pihak sepakat bahwa bertarunqan berakhir sama kuat, karena sama-sama terpukul oleh lawan.
Begitu duduk di tempatnya kembali, Pun-khong Hwe-shio tetap menunjukkan tekad kerasnya untuk merampungkan persoalan itu sampai tuntas. dengan suara lemah diselingi batuk-batuk kecil, ia berkata, "Babak kedua boleh segera d imulai."
Pun-seng Hwe-shio yang bertubuh raksasa dan bermuka hitam itupun menyahut, "Baik, suheng," Lalu ia melangkah ke tengah arena dan berseru garang. "Hong Sian-seng, sudah siapkah kau?"
Hong Thai Pa juga maju ke tengah arena, biarpun mukanya tersenyum-senyum, namun sebenarnya hatinya agak tegang juga. Nama Pun-seng Hwe-shio memang belum pernah terdengar di dunia persilatan, namun mengingat dia adalah adik seperguruan Pun-khong Hwe-shio yang sanggup melukai Pak Kiong Liong. Agaknya si pendeta raksasa bermuka hitam ini pun bukan lawan enteng. Untuk itu Hong Thai Pa memutuskan akan berusaha mencari angka seri saja, ia hanya akan berusaha merebut kemenangan apabila benar- benar ada peluang emas.
Ternyata Pun-seng Hwe-shio tidak seramah kakak seperguruannya. Setelah lawannya ada di arena, ia tidak banyak bicara Iagi. la hanya mengangguk hormat satu kali, setelah itu langsung menjotos ulu hati Hong Thai Pa dengan gerak Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Mencuri Hati). Gerakannya menimbulkan suara gemeretak di lengan dan pundaknya, menanda kan hwe- shio muka hitam ini seorang ahli gwa-kang (tenaga luar), dan kebetulan lawannya juga seorang ahli gwa-kang pula.
Hong Thai Pa mengelak ke samping sambiI balas menyerang dua arah sekaligus. Ujung jari tangan kanan menusuk ke jalan darah Koh-cing- hiat di pun-dak, telapak tangan kirinya menebas ke siku tangan Pun-seng Hwe-shio. Namun Pun-seng Hwe-shio tidak mau kedudukan menyerangnya ditukar dengan kedudukan bertahan.
Sambil menggeram ia merendahkan kuda-kuda dan menurunkan pundaknya, jotosannya berubah men-jadi menyikut lambung. Ketika Hong Tha Thai Pa mengibaskan serangannya, Pun-seng Hwe-shio tanpa peduli apapun juga telah mendesak maju dan menjotos lagi dengan tangan kiri.
Hong Thai Pa mendongkol melihat cara berkelahi mirip kerbau kesurupan itu. Namun harus diakui bahwa cara itu berbahaya, apalagi karena dasarnya Pun-seng Hwe-shio juga bertenaga besar. Hong Thai Pa mengelak, lawan menendang, Hong Thai Pa mengelak lagi. Tendangan Pun-seng Hwe-shio luput dan mengenai sebuah pagoda batu hiasan halaman itu, hancurlah pagoda kecil itu menjadi kerikil campur pasir.
Cepat-cepat Hong Thai Pa memanfaatkan peluang itu untuk menerkam dari samping, dengan dua tangan sekaligus memukul ke arah tengkuk dan pinggang lawannya. Namun dengan tangkas Pun-seng Hwe-shio menggeser kaki ke samping sambil memutar tubuh menghadapi lawan. Dua tangannya menangkis dengan Ya-ma-hun cong (Kuda Liar Memecah Bulu Suri) untuk menangkis ke atas dan bawah, la membalas dengan serudukan kepala gundulnya ke dada Hong Thai Pa. Lagi-lagi Hong Thai Pa dipaksa melompat mundur karena serangan ini.
"Benar-benar seperti kerbau gila" kakek gendut itu memaki dalam hati. Karena ingin tahu nama dari jurus-jurus aneh si pendeta muka hitam. dia menyempatkan diri bertanya, Toa-suhu jurus dari ilmu silat aliran manakah ini?"
"Hong-gu-kun-hoat (llmu Pukulan Kerbau Gila)," sahut Pun-seng hwe-shio singkat. "Hong Sian-seng, hati-hatilah!"
Keruan Hong Thai Pa tercengang campur geli mendengarnya. Baru saja ia memaki dalam hati tentang kerbau gila, ternyata iImu lawannya memang diberi nama pukulan "Kerbau Gila". Itu memang jurus-jurus ciptaan Pun-seng Hwe-shio sendiri. la sudah mempelajari banyak jurus Siau-lim-pai, lalu semua itu diperas dan diringkasnya menjadi Hong-gu-kun-hoat. Kalau orang lain, susah payah mencarikan nama yang bagus untuk ilmu ciptaannya, maka Pun-seng Hwe-shio justru tidak peduli soal nama, disebutnya saja Hong-gu-kun hoat.
Gerakannya yang nampak acak-acakan sebenarnya berbahaya, dilandasi kekuatan dan kecepatan, serta perhitungan bahwa musuh harus menye;amatkan diri lebih dulu kalau tidak ingin luka parah. Hong-gu-kun-hoat benar-benar contoh paling murni dari prinsip yang mengatakan "pertahanan yang terbaik adalah menyerang". Musuh bertahan, dia menyerang. Musuh menyerang, dia ya tetap menyerang.
Maka menggerutulah Hong Thai Pa dalam hatinya, karena belum menemukan cara yang baik untuk menundukkan gaya bertempur Pun-seng Hwe-shio itu. Kalau sama-sama kena, pasti dirinya lebih rugi, sebab pukulan dari seorang "Manusia Kerbau" macam Pun-seng Hwe-shio pasti akan berakibat parah. Akhirnya Hong Thai Pa mencoba untuk memancing terus serangan lawannya dengan harapan tenaga lawan akan cepat terkuras habis.
Dalam perhitungan Hong Thai Pa, cara bertempur gila-gilaan macam Pun-seng Hwe-shio akan banyak menghabiskan tenaga dan cepat ambruk kelelahan. Setelah itu, barulah Hong Thai Pa berencana akan merebut kemenangan.
Namun lagi-lagi Hong Thai Pa menggerutu. Pun-seng Hwe-shio memang bertenaga kerbau, tapi tidak berotak kerbau. Kalau Hong Thai Pa mengajaknya berputar-putar dengan mengandalkan keunggulan ilmu meringankan tubuhnya, Pun-sengHwe-shio tidak mau mengejar dengan bernafsu, melainkan berdiri menunggu dengan santai sambil mengelus-elus gundulnya.
Kalau Hong Thai Pa berhenti menunggu dalam jarak belasan langkah, Pun-seng Hwe-shio tidak berlari-lari menyeruduk dengan kalap, melainkan berjalan mendekati dengan gaya lenggang-kangkung, setelah dekat barulah mengamuk kembali dengan jurus anehnya. Dengan demikian, rencana Hong Thai Pa untuk menguras tenaga lawannya agaknya juga tidak gampang dilaksanakan.
Demikianlah, kalau pertempuran babak pertama tadi dahsyat menegangkan, maka babak kedua ini bagi para penonton boleh dianggapa “selingan” yang jenaka. Namun sama sekali tidak lucu bagi Hong Thai Pa, sebab ia tahu pukulan atau tendangan Pun-sen Hwe-shio pasti dapat meluluhlantakkan tulang-tulang korbannya.
Beberapa saat Hong Thai Pa masih berputar-putar dan mencoba memancing kemarahan musuhnya. Sekali-sekali menubruk menyerang, lalu melompat menjauh agar tak terkejar lawannya yang kurang lincah itu.
Tiba-tiba Hong Thai Pa melompat dan menubruk dari atas dengan jurus Ma tong-tui-kun (Memukul Dari Atas Kuda), telapak tangannya membacok urat Yanq-pek-hiat di tengah-tengah batok kepala musuh, tempat lemah yang berbahaya, yang oleh lawan haruslah ditangkis atau dihindari Pun-seng Hwe-shio menggeram, kedua kakinya merendah sejajar dan tubuhnya mendoyong ke belakang seperti hendak melakukan gerak Tiat-pan-kio (Jembatan Papan Besi).
Namun ternyata ia cuma melakukan “setengah Tiat-pan-kio, berbareng dengan kedua tinjunya yang menghantam ke atas dengan gerak Siang-Liong-jut-hai (sepasang naga keluar laut). Hong thai Pa bertuhuh gemuk bundar, tapi mahir ilmu meringankan tubuh. Agaknya ia sudah memperhitungkan bahwa bagaimanapun juga lawan akan menyelamatkan urat Yang-pek-hiatnya lebih dulu.
Maka begitu serangan Pun-seng Hwe-shio "Keluar" dan tak mungkin tarik kembali, ia tiba-tiba menjatuhkan diri dengan gerakan Koan-long-kun (Serigala Bergulingan). Itulah perubahan gerak yang tak terduga oleh Pun-seng Hwe-shio. Dari gerak Ma-tong-tui-kun yang melayang diatas menjadi Koan long-ta-kun yang bergulingan di tanah, sehingga tubuh gendut itu tiba-tiba anjlok ke tanah dan menyerang dari bawah.
Sebuah jejakan keras kaki Hong Thai Pa mengenai betis Pun seng Hwe-shio, sehingga si pendeta raksasa bermuka hitam itupun tumbang ke bumi, karena tubuhnya yang tengah doyong kebelakang itu dalam keseimbangan yang kurang sempurna.
Sementara, Hong Thai Pa sudah melompat bangun, menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor oleh debu, lalu sambil memberi hormat sambil berkata, "Terimkasih Toa-suhu bersedia mengalah.”
Karena Pun-seng Hwe-shio roboh. jelaslah babak itu dimenangkan oleh Hong Thai Pa. Sesuatu yang di luar dugaan. sebab Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong sendiri hanya memperhitungkan rekan mereka paling-paling hanya akan mencapai kedudukan seri.
Senentara, tiga pendeta tua Siau-lim-pai sama-sama berwajah muram, bayangkan kekalahan sudah di ambang pintu. Bukan sedih karena kalah, melainkan karena merasa gagal "menyelamatkan Hwe-liong-pang" dari "pengaruh jahat para penberontak Padahal Hwe-liong-pang adalah kelompok persilatan yang berpengaruh di kawasan barat.
Masih ada babak ketiga antara Pun-hoat Hwe-shio melawan Tong lam-Hou, namun hamper pasti Pun-Hoat Hwe-shio akan kalah. Namun Pun-Hoat Hwe-Shio si pendeta kurus kering itu sendiri ternyata tidak menunjukkan sikap gentar. Ia berbisik kepada Pun-khong Hwe-shio, “Suheng, nyawaku tak berharga dibanding nasib jutaan rakyat kekaisaran ini. Karenanya, izinkan aku berkorban kali ini.”
Pun-Khong Hwe-Shio terperanjat, ia kenal benar watak adik seperguruannya yang pendiam tapi sangat keras hati ini. Namun belum sempat ia menjawab. Pun-Hoat Hwe-Shio telah melangkah ke tengah arena tanpa ragu- ragu sedikitpun, dan berkata, “Marilah, Tong Pang-cu!”
Sambil meninggalkan tempat duduknya, Tong Lam Hou berkata, “Toa-suhu, apakan perlu perbedaan pendapat antara kita diwujudkan dalam sikap seperti anak-anak kecil macam ini? Kusayangkan hubungan baik selama ini antara Hwe-Liong-Pang dan Siau-Lim-Pai.”
“Ini bukan pertentangan antara Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang, melainkan antara wakil rakyat yang mendambakan ketenangan melawan orang yang ingin mengacaukan ketenangan itu” Sahut Pun-hoat Hwe-shio tegas. “Pertikaian kita boleh dibereskan, asal Pang-cu berjanji takkan ikut campur urusan di Pak-khia!”
Pun-Hoat Hwe-Shio sebenarnya punya rencana sendiri. Dia sadar dirinya takkan menang melawan ketua Hwe-liong-pang itu. Tetapi ia hendak melakukan sesuatu pengorbanan yang diharapkan dapat mengubah sikap ketua Hwe-liong-pang. Katanya, “Pang-cu, nampaknya kau bersikeras dengan sikapmu. Tetapi aku punya sebuah permohonan….”
“Kalau permintaanmu cukup pantas, Toa-suhu. Aku dengan senang hati akan mengabulkannya.”
“Pang-cu, hanya kumohon agar Hwe-lion-pang menarik diri dari persoalan ini. Yang sudah beres jangan diaduk-aduk kembali, biarkan Yong Ceng memerintah dengan tenang.”
“Wah, Toa-suhu, urusan ini harus kupertimbangkan masak-masak lebih dulu. Harus kulihat dan kupertimbangkan dulu semua kenyataan yang kulihat di Pak-Khia nanti.”
“Pang-cu, apakah permintaan terakhir dari seorang sahabatpun engkau tak sudi mengabulkannya?” Pun-hoat Hwe Shio tiba-tiba berlutut menyembah Tong lam Hou.
Tong Lam Hou masuk arena untuk bertanding, namun menghadapi sikap Pun hoat Hwe-shio itu dia malah kebingungan, tak tahu harus bersikap bagaimana. Ia juga kaget mendengar kata-kata “Permintaan terakhir” itu. Sahutnya, “Toa-suhu, menerima atau menolak permintaanmu terakhir itu adalah urusan besar yang tidak bias diputuskan sembarangan saja. Ijinkanlah aku mendapatkan bahan-bahan pertimbangan lebih dulu….”
“Aku mohon, Pang-cu.” Pun-hoat Hwe-Shio ngotot mendesak. “Berjanjilah….berjanjilah…..” Habis berkata demikian, pendeta itu tiba-tiba mengayun telapak tangannya untuk menghantam jalan darah kematian di ubun-ubunnya sendiri.
Tong lam Hou, Pak Kiong Liong, Hong Thai Pa dan dua pendeta Siau-lim- pai lainnya berseru kaget dan melompat untuk mencegah, tapi terlambat. Tubuh Pun-hoat Hwe-shio sudah terkulai tak bernyawa lagi.
Babak ketiga itu Tong Lam Hou tidak memainkan sejurus silatpun, sedang Pun-hoat Hwe-shio hanya memainkan sejurus silat yang digunakan atas dirinya sendiri. Babak ketiga menimbulkan korban yang paling mahal harganya, satu jiwa telah melayang.
Tong Lam Hou berdiri termangu-mangu, tak menduga Pun-hoat Hwe-shio menempuh cara senekad itu untuk menekankan permohonannya. Sedang Pun-khong Hwe-shio telah memeluk mayat saudara seperguruan mereka sambil menggumamka doa lirih.
Sesaat kemudian Pun-khong Hwe-shio mengangkat wajahnya yang muram miemandang Tong Lam Hou, “Pang-cu, bagaimana dengan permohonan terakhir saudaraku ini?"
Dengan wajah yang sama murungnya. Tong Lam Hou menyahut, "Aku menyesal Pun-hoat Hwe-shio mengambiI jalan ini. Permohonannya benar-benar akan aku pertimbangkan, tapi aku tidak bisa menjawabnya sekarang....."
Biarpun ia menyesalkan kematian Pun-hoau Hwe-shio, namun Tong Lam Hou tidak mau mengorbankan kemerdekaan Hwe-liong-pang dalam mengambil sikap, tetap tidak mau membiarkan pihak luar mengatur sikap dan tindakan Hwe-liong-pang.
Pun-khong Hwe-shio menarik napas. ia sadar Ketua Hwe-liong-pang itu tidak mungkin dipaksa menjawab menurut seleranya sendiri. Sedangkan Pun-seng Hwe-shio yang lebih berangasan, telah berdiri mengepalkan tinju sambil berteriak beringas, "Jadi nyawa saudaraku masih belum cukup untuk mengubah pendirian mu yang sesat itu? Baiklah, kau boleh cabut nyawaku sekalian saja!"
Lalu ia siap menerjang Tong Lam Hou, namun dicegah oleh Pun-khong Hwe-shio, "Tenang, Sute, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menerima pendirian kita. Anggap saja nasib Pun-hoat Sute kurang beruntung, sehingga pengorbannya tak mendapat nilai sedikitpun dari Hwe-liong Pang-cu.”
Tong Lam Hou bertiga lalu merasa tidak ada gunanya berada terus di tempat itu. Mereka mohon pamit dan dijawab dengan dingin oleh Pun-khong Hwe-shio. Sepanjang perjalanan menuju ke penginapan, mereka bertiga bungkam, bagaimanapun juga kematian Pun-hoat Hwe-shio tidak gampang mereka lupakan. Dan entah bagaimana kelak hubungan Hwe-liong-pang dan Siau-iim-pai yang berselisih pendapat?
Dua pihak sama-sama merasa sedang membela rakyat, sama-sama merasa benar sendiri dan menyalahkan pihak lain, sama-sama yakin sehingga kalau perlu berusaha memaksakan pendiriannya agar diterima pihak lain. Karena itulah perang adalah hiasan yang tak pernah ketinggalan dalam sejarah umat manusia, disegala tempat dan disegala jaman.
Keesokan harinya, biarpun suasana dengan pihak Siau-lim-pai masih agak kurang enak, namun Tong Lam Hou bertiga datang juga ke wihara Gong Sim-si untuk menghadiri perabuan jenazah Pun Hoat Hwe Shio. Setelah itu barulah mereka meningglkan kota Seng Toh terus ke Pak-khia.
Sementara itu, rombongan lain yang menuju ke Pak-Khia sudah menempuh jarak lebih jauh dari ketiga kakek yang berjalan santai itu. Merekalah Tong Gin Yan, Pak Kiong Eng, Hu Se Hiong, Ji Han Lim dan Kiong Wan Peng. Sebuah perjalanan yang tergesa-gesa sebab dalam rombongan itu terdapat keselamatan anaknya. Mereka sudah keluar dari propinsi Se-cuan dan menyebrangi Sungai Tiang Kang. Sehingga tiba dibelahan utara dari wilayah kekaisaran.
Pada suatu hari, ketika lima orang itu tengah berkuda menyusuri sebuah jalan pegunungan yang sunyi, dari arah depan muncul serombongan penunggang kuda lainnya yang berpapasan arah. Pemimpin rombongan itu adalah dua lelaki bertubuh tegap dan bermata tajam. Mestinya hal biasa, tetapi yangistimewa adalah cara berpakaian para penunggang kuda itu.
Saat itu ialah jaman Kaisar Yong Ceng, penguasa ketiga dari dinasti Manchu setelah Sun Ti dan Khong Hi, jaman dimana kaum lelaki menguncir panjang rambutnya. Model pakaiannya pun khas jaman itu. Tetapi rombongan berkuda yang berpapasan itu berpakaian seperti orang jaman dinasti Beng yang sudah tenggelam seratus tahun lebih. Rambut mereka tidak dikuncir, melainkan digelung, sehingga mirip rombongan pemain sandiwara keliling.
Sikap mereka ketika berpapasan dengan rombongoan Hwe-liong-pang, juga menunjukkan sikap penuh kebencian. Salah seorang dari mereka bahkan meludah jijik, seolah mereka berpapasan dengan serombongan orang berpenyakit menular. Namun kedua belah pihak berpapasan begitu saja tanpa timbul peristiwa lebih lanjut.
“Orang-orang aneh," komentar Ui-bin Peng-hoi Hu Se Hing ketika sudah berpapasan agak jauh.
"Kita harus waspada, Hiang-cu," Tong Gin Yan memperingatkan. "Sikap mereka kelihatan amat membenci kita, barangkali mereka mengenal siapa kita, dan punya alasan untuk bersikap demikian terhadap kita,"
Hui-po-sin Ji Han Lim ikut menimbrung bicara, "Pakaian mereka mengingatkan aku kepada suatu golongan."
He Se Hiong, Pak Kiong Eng dan Kiong Wan Peng berbarengan menebak, “Jit-goat-pang (Serikat Rembulan Matahari)?"
"Kalian menebak tepat," sahut Ji Han Lim. "Kalau begitu selanjutnya memang kita pantas berhati-hati kata Tong Gin Yan. "Jit-goat pang yang mencita-citakan bangunnya kembali dinasti Beng itu punya sejarah yang tidak bersahabat dengan Hwe-liong-pang kita. Aku pernah mendengar cerita ayah."
Jit-goat-pang adalah gerakan bawah tanah dari orang-orang yang setia kepada dinasti Beng yang sudah roboh, dan mereka bercita-cita membangunnya kembali. Anggota inti mereka kebanyakan adalah keturunan pembesar-pembesar atau panglima-panglima Kerajaan Beng "almarhum" dan sejumlah pengikut fanatik lainnya. Nama "jit" (matahari) dan "goat" (rembulan) kalau digabung memang membentuk huruf "beng” (cahaya), yang menjadi nama dinasti ketika dulu ditegakkan oleh Kaisar Hong Bu yang nama asalnya Cu Goan Ciang.
Menilik sejarah Jit-goat-pang dan Hwe-liong-pang dapat dimaklumi kalau kedua kelompok itu bermusuhan. Hwe-liong pang pernah membantu Joan-ong Li Cu Sing memberontak dan menumbangkan dinasi Beng, di Jaman Kaisar Sun Ti dari dinasti Manchu, kembali Jit-goat-pang mengobarkan perlawanan, dan yang menumpas antara lain Pak Kiong liong dan Tong lam Hou, ayah dari Pak Kiong Eng dan Tong Gin yan jadi dendam kedua kelompok itu adalah “warisan” orangtua masing-masing.
Kewaspadaan seluruh rombongan semakin meninggkat, ketika mereka berpapasan beberapa kali lagi dengan rombongan orang-orang berpakaian kuno itu. “Aku khawatir, mereka sedang merencanakan sesuatu atas diri kita,” kata Tong Gin Yan, “Mereka pasti tahu siapa kita, dan barangkali siap menyembelih kita.”
“Kalau mereka turun tangan, akulah yang akan menyembelih meraka.” Kata Ji han lim sambil menimang-nimang kapaknya.
Ketika matahari terbenam, rombongan Hwe- Liong-pang mendapat tumpangan menginap di sebuah desa kecil terpencil yanghanya terdiri dari beberapa rumah saja, Seorang petani yang rumahnya berukuran paling besar di desa itu, bahkan menawarkan agar rombongan itu menginap di rumahnya.
Namun karena rumah petani, maka disekitar rumah bertumpuk-tumpuklah ikatan ikatan kayu besar, jerami-jerami yang menurut tuan rumahnya untuk member makan lembu, dan perabotan rumah rusak yang semuanya terdiri darikayu. Semua nya ditumpuk begitu saja disekitar rumah.
Melihat keadaan rumah itu, Hu Se HIong mengerutkan aliasnya memikirkan sesuatu. Tetapi ia tidak mengatakan apapun juga. Tuan rumah kelewat ramah untuk dicurigai. Tuan rumahnya sendiri yang menyuruh menyuguhkan makan malam dan mengajak mengobrol cukup lama. Ketika Hu Se hiong menanyakan dimana keluarganya, si tuan rumah menjawab bahwa isteri dan anak-anaknya sedang berkunjung ke rumah mertuanya di desa lain.
Menjelang tengah malam, si tuan rumah berpamitan keluar dengan alasan hendak menengok ladangnya yang sering diganggu babi hutan. Sebelumnya, diucapkannya selamat malam dan selamat “tidur nyenyak" kepada tamu-tamunya. Ketika di halaman rumahnya yang sepi dan gelap, si tuan rumah menyeringai sendiri sambil berkata perlahan, "Maksudku tadi bukan selamat tidur nyenyak, tapi selamat tidur abadi...."
Dalam rombongan Hwe-liong-pang, umur Hu Se Hiong paling tua dan paling teliti dalam segala hal. Sejak semula ia selalu memikirkan keadaan rumah itu. Bagian luarnya diuruk dengan benda benda yang mudah terbakar seperti kayu dan jerami, dinding rumah adalah kayu tebal yang tak gampang dijebol, kerangka atap juga kayu bulat yang sulit dipatahkan. lalu, kenapa si tuan rumah keluar malam malam meninggalkan tamu-tamunya?
Namun Hu Se Hiong tidak mau menyatakannya kepada teman-teman seperjalanannya, khawatir membuat mereka tidak bisa tidur. la hanya bertekad untuk berjaga sendirian, demi keselamatan teman teman seperjalannya. Maka, meskipun ia membaringkan tubuh di pembaringan dari tanah liat, yang kolongnya biasa diberi perapian kalau musim dingin, ia tetap membuka mata dan memasang kuping sebaik-baiknya, sedikitpun tidak berani membiarkan rasa kantuk menyerangnya.
Ketika tangannya terkulai ketepi pembaringan dan merontokkan sekeping tanah liat, tiba-tiba hidungnya mencium bau yang aneh. la bangkit dan mengendus-enduskan hidungnya seperti anjing, dan terkesiap ketika mengenali bau itu adalah bau bubuk peledak. Untuk lebih menguatkan dugaannya, ia merontokkan lagi pembaringan tanah liat itu beberapa bagian, dan ternyata di bagian dalamnya ada bubuk bahan peledak yang cukup untuk mengubah seekor kerbau hidup menjadi abon dalam satu detik. la memeriksa ruangannya, dan ternyata dalam lantai, dinding dan perabotan-perabotan bambu di situ sudah berisi bubuk maut semua!
Lalu ia memeriksa pintu keluar yang ternyata dipalang kuat-kuat dari luar, sementara di sudut rumah terdengar suara mendesis yang makin lama makin dekat. Hu Se Hiong paham artinya, itulah sumbu yang disulut. Maka iapun berteriak sekuatnya, "Semuanya keluar dari rumah! Secepatnya!!"
Tentu saja teriakannya mengejutkan keempat orang teman seperjalanannya yang tengah tidur nyenyak setelah kelelahan sehari dalam perjalanan. Tapi mereka tahu, kalau Hu Se Hiong sampai berteriak seperti itu, tentu ada alasan kuatnya. Semuanya segera berlompatan bangun.
. Menghadapi pintu yang terkunci dan terpalang rapat dari luar, Ji Han Lim bertubi-tubi mengayunkan sepasang kampaknya, disusul tendangan Kiong Wan Peng yang berjulukan Thian-lui-tui (Tendangan Geledek) itu menjejak, sehingga terbukalah pintu itu. Tidak mampu menahan tendangan kedua Tong-su Hwe liong-pang itu.
“Keluar sejauh jauhnya!" teriak Hu Se Hiong pula.
Orang-orang Hwe-liong-pang itu berlarian sekuatnya menjauhi rumah, tak tentu arahnya, berpencaran, pokoknya sejauh-jauhnya. Ada yang menyusup ke kebun sayur-sayuran, atau kearah lainnya.
Terdengar ledakan hebat yang meng guncangkan bumi. Rumah gubuk yang baru saja menjadi tempat istirahat yang nyaman itu, berubah menjadi kepingan-kepingan kayu menyala yang berhamburan sampai puluhan tombak tinggi dan jauhnya. Malam gelap seakan berubah menjadi siang mendadak, apalagi karena ada gumpalan-gumpalan api yang jatuh ke atap lumbung padi atau ke tumpukan jerami, sehingga langsung menyala dan menambah penerangan.
Karena orang-orang Hwe-liong-pang menyusup ke kebun sayur-sayuran yang pohonnya lebih tinggi dari manusia, maka untuk sesaat mereka tidak dapat melihat teman satu sama lain. Sementara itu, Pak Kiong Eng yang terpisah sendirian di tengah kebun sayur, mendengar suaminya memanggil-manggil dari suatu arah yang agak jauh, “A-eng! A-eng!”
“Aku disini, Yang-ko” sahut Pak Kiong Eng. Namun suaminya tak kunjung mendekat setelah mendengar suaranya bahkan kemudian suara panggilannya tak terdengar lagi. Digantikan surah membentak-bentak seperti sedang bertempur dengan seseorang.
Dari arah lain kedengaran suara Ji Ham Lim yang marah pula. “Bangsat! Cara kalian sungguh keji! Sekarang hadapilah kami dengan cara laki-laki!” Disusul suara gemerincing senjata berbenturan dan bentak-bentakkan. Bercampur gemeretaknya pohon-pohonan yang roboh kena terjangan orang berkelahi.
Pak Kiong Eng buru-buru menyusup kearah suara pertempuran, untuk membantu teman-temannya yang agaknya telah bertemu musuh. Begitu tergesa-gesanya melangkah. Sampai ia menubruk tubuh seseorang yang berdiri dikegelapan. Sosok tubuh yang tinggi mirip suaminya itu langsung dipeluknya sambil berseru lega “yan-Ko!”
Orang yang dipeluk itu menyeringai, merasakan kelembuatan dan kehangatan tubuh seorang nyonya muda berusia sepertiga abad yang tetap langsing dan cantik. Darahnya mengalir cepat. Dan tanpa sungkan-sungkan lagi ia balas memeluk sambil tertawa terkekeh.
Kekeh tawa itu mengejukan Pak Kiong Eng, sebab itu bukan suara suaminya. Ia hendak melepaskan diri dari pelukan. Namun jalan darah dipundak danpinggangnya mendadak terasa kesemuatan dan lemaslah tubuhnya. Jelas ia tertotok, bahkan ingin berteriakpun tidak keluar suaranya. Orang itu lalu meletakkan Pak Kiong Eng terlentang di tempat yang terlindung oleh bayangan pepohonan, sambil terkekeh-kekeh ia berkata,
“Tadi kau memanggil putera Hwe-liong-pang, tentunya kau adalah isterinya yang bernama Pak Kiong Eng dan berjuluk Pak Liong Siam-li (Bidadari Naga Putih). Betul bukan? He-he-he, tidak percuma orang memasyhurkan kecantikanmu nyatanya kau masih begini cantik dan membuat jantungku hampir copot. Jangan lagi mengharap pertolongan suami dan teman-temanmu, mereka sedang bertempur melawan teman-temanku. Dan kita juga akan bertempur di sini, tetapi dengan cara yang lebih romantis. He-he-he..."
Ketakutan dan kemarahan membuat dada Pak Kiong Eng serasa hampir meledak, namun apa dayanya? Sebenarnya dia seorang perempuan berilmu tinggi, tetapi kelengahannyalah yang membuatnya jatuh ke tangan hidung belang ini. Terasa tangan lelaki kurang ajar itu mulai menggerayangi tubuhnya, dengan napas yang mendengus-dengus berat, lalu satu demi satu kancing baju Pak Kiong Eng direnggutnya.
"Malam yang beruntung buatku," kekeh lelaki itu disela engahan napas-nya karena memuncaknya nafsu. "Malam ini aku akan bermain pengantin-pengantinan dengan Pek Liong Sian-li....."
Tapi acara yang direncanakannya itu terganggu, karena dari sela-sela pepohonan sesosok tubuh melompat keluar sambil membentak, "Giok-bin-hoa-ti-ap (Kupu Kembang Berwajah Kumala), kau belum juga jera dengan perbuatan-perbuatan bejatmu?"
Orang yang baru muncul itu langsung melancarkan sebuah jotosan ke kepala si hidung belang yang tengah berjongkok di samping tubuh Pek Kiong Eng itu. Si hidung belang terpaksa harus melompat menghindar kalau tidak ingin pelipisnya retak oleh jotosan dahsyat itu.
Si Kupu Kembang Berwajah Kumala itu bernama asli Cu Sek Kui, pemimpin nomor dua dalam Ji-goat-pang. Oleh pengikut-pengikutnya ia dipanggil Pangeran, karena bermarga Cu dan dipercayai sebagai keturunan Kaisar Cong Ceng, penguasa terakhir dinasti Beng. Kegemarannya terhadap perempuan menjadi ciri khasnya yang mudah dikenali.
"Bangsat, kau rupanya bosan hidup!" ia membentak marah kepada penyerangnya. Penyerangnya adalah Tong-cu Hwe-liong-pang dari Pek-ki-tong (kelompok bendera putih), Kiong Wan Peng, la punya dua orang guru, yang pertama adalah Oh Yun Kim si orang Korea yang berjulukan Bu-eng-tui (Tendangan Tanpa Bayangan), yang kedua Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati), sehingga Kiong Wan Peng merupakan seorang yang berbahaya baik tangannya maupun kakinya.
Agaknya Cu Sek Kui tak berani meremehkan lawannya. Dari pinggangnya ia meloloskan senjatanya yang berupa cambuk. Ketika sebuah kayu menyala melayang di udara, tempat itu menjadi terang sekejap, dan Pak Kiong Eng dapat melihat bagaimana lelaki yang hampir memperkosanya itu. Berusia sekitar empatpuluh tahun, tegap, tampan, berpakaian rapi model jaman dinasti Beng, begitu pula model rambutnya mengikuti model dinasti Beng,. Dan agaknya ia memang pesolek, sebab nampak pipi dan bibirnya diolesi pupur dan gincu tipis.
Sementara itu Kiong Wan Peng marah sekali karena Giok-ben-hoa-tiap Cu Sek Kui nyaris berhasil menodai menantu Ketua Hwe-liong-pang, yang dianggapnya berarti juga menodai seluruh Hwe-liong-pang. la lalu menerjang dengan garangnya, kaki kanan membuat gerak tipu, lalu tangan kirilah yang menjotos bagai halilintar ke perut lawan. Cu Sek Kui tak dapat mengembangkan permainan cambuknya karena jaraknya begitu dekat. Terpaksa ia mengangkat lututnya untuk membendung tendangan musuh dan tangan kirinya dengan jari-jari lurus balas menohok ke ulu hati Kiong Wan Peng.
Saat itulah Kiong Wan Peng menunjukkan kehebatan Tae-kyunnya. Orang lain kalau menendang dan tubuhnya sudah doyong ke depan, tentu geraknya tak bisa diubah lagi, tapi Kiong Wan Peng bisa. Kakinya yang menendang tiba-tiba berhenti di tengah jalan, lalu berubah arah menendang tinggi ke pelipis lawan dengan sebuah tendangan melingkar samping.
Cu Sek Kui dengan kaget melompat mundur, sambil mencari ruang gerak bagi cambuk panjangnya. Namun Kiong Wan Peng terus merangsak, sambiI berputar tubuh ia lakukan tendangan balik belakang keperut lawan, disusul jotosan lagi yang agaknya bisa membuat tengkorak kepala lawan retak sekaligus.
Dengan bergulingan, Cu Sek Kui bisa menghindar, namun keringat dinginnya keluar ketika mendengar suara gemerasak pepohonan sayur-sayuran yang terlanda angin pukulan Kiong Wan Peng. Alangkah dahsyatnya tenaga pukulan Tong cu Hwe-liong-pang itu. Cepat Cu Sel Kui mengayun cambuknya untuk menyapu sepasang kaki lawannya.
Keduanyapun bertempur di tengah kebun sayuran yang ditanam berjalur-jalur itu, membuat tempat itu berantakan dan makin lama makin rata seperti sebuah lapangan saja. Pak Kiong Eng yang tadinya menggeletak karena tertotok, kini tiba-tiba melompat bangun karena pengaruh totokan Cu Sek Kui tadi sudah sirna. Sebagai puteri tunggal seorang panglima sakti macam Pak Kiong Liong, ia memiliki dasar tenaga dalam yang cukup kuat.
Begitu ia pulih kembali, ia ingat kekurang ajaran Cu Sek Kui tadi dan kemarahannya pun meluap. Namun lebih dulu dibenahinya kancing bajunya yang tadi sempat digerayangi tangan nakal Cu Sek Kui, lalu berseru Kepada Kiong Wan Peng, "Saudara Kiong, minggirlah! orang yang sudah menghina aku tadi harus dibalas dengan tanganku sendiri!"
Melihat bangkitnya Pak Kiong Eng yang kepandaiannya lebih tinggi dari Kiong Wan Peng, Cu Sek Kui menjadi keder. Dalam pandangannya sekarang, Pak Kiong Eng bukan lagi seorang bidadari yang menggairahkan, tetapi seperti sesosok hantu wanita yang menakutkan dan siap menerkam nyawanya.
"Minggir, saudara Kiong! Tanganku sendiri yang akan mewakiIi kaum wanita yang sudah menjadi korban manusia bejat ini!" Pak Kiong Eng mengulangi teriakannya. Bagaimanapun marahnya, ia tidak mau melakukan pengeroyokan, karena tidak mau menodai nama besar ayahnya, mertuanya, suaminya dan seluruh Hwe-liong-pang.
Kiong Wan Peng cepat melompat keluar dari arena, tetapi masih sempat mengejek Cu Sek Kui. "Nah, ratapilah nasibmu, kupu-kupu yang malang. Sebentar lagi kau hanyalah seekor kupu-kupu hangus oleh Hwe-liong Sin-kang!"
Cu Sek Kui memang sudah amat cemas akan nasibnya sendiri. Dalam takutnya, ia melecutkan cambuknya tiga kali di udara, sebagai isyarat untuk mohon bantuan dari teman-temannya. Isyarat itu langsung memperolah jawaban. Rumpun sayuran yang belum roboh tersibak oleh sesosok tubuh gempal pendek yang tangannya menjinjing sebatang toya tong-ge-pang (toya gigi serigala).
Orang ini berpakaian seperti seorang panglima jaman Kerajaan Beng, lengkap dengan topi besi, sisik logam pelindung pundak dan lengan atas, dan logam bundar pelindung ulu hati. Tetapi pakaiannya agak acak-acakan sehingga kelihatan janggal.
Melihat munculnya si "setengah Panglima" ini, Kiong Wan Peng langsung hendak menempurnya agar Pak Kiong Eng tidak sampai dikeroyok dua. Tetapi Pak Kiong Eng sendiri telah berkata, "Saudara Kiong, kau bantu saja teman-teman kita. Kedua cecunguk ini rasanya masih bisa aku atasi sendiri, mereka cukup jinak..."
Alangkah marahnya Cu Sek Kui dan si "panglima" mendengar ucapan yang memandang rendah itu, padahal mereka berdua adalah pentolan-pentolan Jit-goat-pang yang disegani. Cu Sek Kui segera berkata kepada si panglima, "Siang Goan-swe (Jenderal Siang), perempuan ini adalah manusia Tong Lam Hou si begundal Manchu. Kita tangkap dia agar mertuanya menangis meraung-raung."
Panglima gadungan itu bernama Siang Hwe Jing, tidak segan-segan mengaku sebagai keturunan Siang Gi Jun, tokoh sejarah yang pernah membantu Cu Goan-ciang ketika mendirikan Kerajaan Beng ratusan tahun berselang. Supaya orang lebih percaya, Siang Hwe Jing mengarang sebuah silsilah keluarga- dengan nama-nama palsu, nama Siang Gi Jun tentu saja dicantumkan di puncak silsilah itu. Orang yang berani menunjukkan ketidak percayaannya kepada silsilah itu, biasanya langsung dikepruk kepalanya dengan toya Long-ge-pang i-tu.
Saking setianya kepada Cu Sek Kui ia menyambut ajakannya bukan dengan kata-kata, namun langsung dengan tindakan. Toyanya segera menderu membelah udara, menyapu datar ke pinggang Pak Kiong Eng dengan gerakan Heng-sau-jiang-kun (Menyapu Seribu Perajurit). Toya berat yang terbuat dari besi seluruh-nya itupun digerakkan dengan ringan se perti menggerakkan sepotong bambu saja.
Hampir saja Cu Sek Kui memaki "panglima"nya sendiri karena kekasarannya yang dapat merontokkan si kembang cantik dari Hwe-liong-pang itu. Tapi kekhawatirannya tidak perlu, sebab Pak Kiong Eng berhasil menghindar ke atas, dan bahkan balas menghantam ke ubun-ubun lawan dengan pukulan Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san menimpa Kepala). Cu Sek Kui yang masih berharap untuk bisa menangkap hidup-hidup Pak Kiong Eng, kemudian terjun pula ke arena.
Maka bertempurlah Pak Kiong Eng melawan kedua pentolan tangguh dari Jit-goat-pang itu. Yang satu bertenaga besar dengan toya Long-ge-pang yang amat berbahaya, yang lainnya lincah dengan permainan cambuknya, bahkan tak segan-segan bertindak licik. Tetapi lawan mereka lincah "beterbangan" kian kemari, dengan pakaian serba putihnya yang meIambai-lambai sehingga memang mirip seorang bidadari.
Pak Kiong Eng bukan cuma menghindar dan menangkis, namun juga membalas menyerang dengan memainkan ilmu pukulan Thian-liong-kun-hoat. Bahkan ketika ia mulai mengerahkan Hwe-liong sin-kang pula, maka dari tiap pori-pori kulitnya menyembur udara panas, sepasang telapak tangannyapun nampak bercahaya kemerah-merahan di kegelapan malam, seperti logam terbakar.
Sesaat lamanya Kiong Wan Peng masih melihat jalannya pertempuran, untuk mengetahui apakah keadaan Pak Ki-ong Eng berbahaya atau tidak. la merasa lega bercampur kagum melihat Pak Kiong Eng bertempur dengan sangat perkasa, dan mulai mendesak kedua lawannya. Cu Sek Kui dan Siang Hwe Jing semakin kelabakan menghadapi aliran udara panas yang terus membelit tubuh mereka, membuat napas mereka sesak dan keringat mengucur dengan deras.
Karena tidak lagi mengkhawatirkan keadaan Pak Kiong Eng, maka Kiong Wan Peng segera pergi ke bagian pertempuran lainnya, ingin melihat kalau-kalau ada temannya yang membutuhkan bantuannya. Ternyata orang-orang Jit-goat-pang yang bermaksud memusnahkan orang-orang Hwe-liong-pang, bukan saja memasang peledak dalam rumah, namun juga mengerahkan cukup banyak orang. Jumlahnya ada limabelas orang, semuanya adalah anggota-anggota andalan di bidang ilmu silat.
Tong Gin Yan bertempur sengit melawan dua orang lawan, dengan sebuah pedang rampasan di tangannya, sebab pedangnya sendiri ketinggalan dalam rumah kayu yang meledak itu. Di dekatnya, nampak dua mayat anggota Jit-goat pang yang menjadi korban kemarahannya. Sementara kedua lawannyapun agaknya mulai terdesak....
Selanjutnya,