Kemelut Tahta Naga I Jilid 17
Karya Stevanus S P
In Tong kemudian menoleh ke arah Pak Kiong Eng dengan pandangan bangga. "Kunyuk- kunyuk itu pantas mampus karena kekurangajaran mereka. A-eng, kau tidak kurang suatu apa?"
Meskipun dengan hati kurang senang melihat kekejaman In Tong, tapi Pak Kiong Eng menjawab juga, "Terima kasih atas pertolongan Pangeran. Hamba tak kurang suatu apapun....”
Sementara itu, jago-jago istana yang hampir merebut kemenangan, kini telah berbalik menjadi pihak yang didesak, gara-gara munculnya Tok Koh Lui dengan anak-buahnya yang trampil dan berjumlah banyak. Dan titik pertarungan paling hebat tetaplah antara Tong Lam Hou melawan Biau Beng Lama dan Pak Kiong Liong melawan Kim Seng Pa. Empat jago tua yang seolah asyik dengan "permainan" mereka sendiri, tanpa peduli sekitarnya.
Yang terlihat dari luar arena o-rang-orang sakti i tu hanyalah debu dan rontokan ilalang yang bergulung-gulung naik, deru angin yang saiing melibat dengan dahsyat, dan kadang- kadang terdengar bentakan menggelegar. Nampaknya masih seimbang saja, tapi bagi keempat orang yang bertempur, sudah merasa bahwa keseimbangan mulai miring.
Biau Beng Lama yang dipuja-puja oleh kaum Ang-ih-kau itu haruslah mengakui bahwa ketua Hje-liong-pang unggul selapis ilmunya. Hawa panas yang dipancarkan oleh pukulan-pukulan Biau Beng Lama, sedikit demi sedikit mulai tertekan oleh hawa dingin menggigilkan dari pihak Tong Lam Hou. Tiap kali terjadi benturan tangan, Biau Beng Lama merasa pori-pori kulitnya seperti disusupi jarum-jarum es yang lembut. Tiap kali pula si pendeta berhasil membebaskan diri dari pengaruh itu, namun hal itu memperlambat gerakan berikutnya.
Sedang serangan lawannya semakin tajam, rasa dingin yang dirasakannya juga semakin menjalar keatas. Pertama hanya lengannya yang terasa dingin, lalu pundaknya mulai kaku, dan isi dadanya mulai terpengaruh juga. Namun Lama itu dengan keras kepala nekad bertahan, sampai kepala gundulnya mengepulkan uap tipis.
"Jangan memaksakan diri," kata Tong Lam Hou di tengah-tengah gencarnya tukar-menukar serangan. "Kau bisa jatuh sakit dan akan memerosotkan tingkat tenaga dalammu....."
"Tutup mulutmu!" bentak Biau Beng Lama sengit. Selama ini ia bersikap congkak di lingkungan istana, sehingga timbul persaingan dengan kelompok-kelompok istana lainnya. Kini kekalahan sudah membayang di depan mata, tak terbayangkan betapa ejekan yang akan diterimanya dari saingan-saingannya kelak. Bagi orang secongkak dia, ejekan lebih menyakitkan dari tikaman pedang.
Karena itulah pikirannya menjadi kacau, dan ia semakin jatuh di bawah kendali lawannya. Hawa dingin yang menghimpitnya membuat otot-otot semakin kaku dan gerakannya semakin lambat. Maka menyusuplah telapak tangan Tong Lam Hou menerobos pertahanannya dan menghantam pundaknya. Pukulan yang tidak mematikan, tetapi membuat Biau Beng Lama menggigil keras seperti orang demam dan mukanya amat pucat.
Tong Lam Hou tahu bahwa kaum Hiat ti-cu yang kejam adalah hasiI didikan kaum Ang-ih-kau, sehingga kesannya kepada golongan ini buruk sekali, maka cara bertindaknya pada Biau Beng Lama juga tidak kenal ampun. Melihat lawannya terhuyung sambll menggigil, Tong Lam Hou terus mengejar dengan sebuah pukulan. Kali ini Biau Beng Lama bukan cuma terhuyung-huyung, tapi terpental dan terhempas di tanah.
Hoat Kheng Lama yang bersenjata golok lengkung, Kim Leng Lama yang bersenjata lonceng emas serta Hwe-lun Lama yang bersenjata gelang-gelang tembaga, serempak melompat maju untuk melindungi guru mereka. Bukan saja dari serangan Tong Lam Hou lebih lanjut, tapi juga dari injakan kaki-kaki kuda lawan maupun kawan yang masih hilir mudik di arena itu.
Kalau Tong Lam Hou berhasil mengalahkan lawannya, sebaliknya Pak Kiong Liong justru mulai terdesak oleh Kim Seng Pa. Kiranya, dalam dua tahun terakhir itu Pak Kiong Liong terlalu sibuk mengurusi sengketa istana, sehingga latihan silatnya agak terbengkalai. Sebaliknya Kim Seng Pa berhasil meningkatkan ilmunya sampai melebihi Pak Kiong Liong.
Seandainya Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong bertukar lawan, mungkin kejadiannya takkan seperti itu. Biau Beng Lama pasti takkan bisa mengalahkan Pak Kiong Liong, begitu juga Kim Seng Pa mustahil mengalahkan Ketua Hwe liong-pang. Tapi itu hanya andaikata. Kenyataannya demikian dan akibat-akibatnya tak dapat dihapus.
Pak Kiong Liong sudah mengerahkan Hwe-liong-sin-kang sampai batas kemampuannya. Rumput-rumput ilalang menjadi layu, binatang-binatang yang bersembunyi dalam tanah telah mati karena hawa panas yang menyusup ke liang mereka. Liong-jiau-kang dan ThIan-liong-kun-hoat sudah dikuras keluar, sehingga Pak Kiong Liong laksana seekor naga murka yang mengamuk di langit.
Tapi itu semua masih belum mampu mengalahkan Kim Seng Pa. Kakek bermata merah itu hanya berkeringat, tapi tenaga dalamnya yang tinggi berhasil melindungi badannya agar tidak hangus kena Hwe-liong-sin-kang. Bahkan Liok-hap-ciang-hoat yang dimainkannya itu semakin gencar, seolah-olah ia punya berpuluh-puluh pasang tangan yang setiap geraknya mengguncang udara.
Setapak demi setapak Pak Kiong Liong terdesak, sulit lolos dari “ribuan" telapak tangan Kim Seng Pa yang me ngepung dari segala arah. Dalam gusarnya, Pak Kiong Liong tiba-tiba mengeluarkan jurus Ban-liong keng-thian (Selaksa Naga Menggetar Angkasa), jurus hebat yang mengajak lawan untuk gugur bersama. la melompat tinggi, aliran udara panas bergulung dan berbelit-belit hebat sekali, seolah benar-benar ada selaksa naga keluar dari sarangnya dan serempak menyemburkan api.
Tetapi Kim Seng Pa siap menyambut dengan jurus terhebatnya yang disebut Kun-tun-jut-kai (Terciptanya Alam Semesta). la berdiri kokoh bagaikan gunung batu, sampai sepasang kakinya amblas sedalam betis. Matanya bukan terpentang memperhatikan gerak lawannya, malahan terpejam rapat, uap putih mengepul dari ubun-ubunnya, dan sepasang telapak tangannya bergerak amat lambat. Namun muncullah sebentuk kekuatan tak berwujud yang menyelubungi tubuhnya, dan "selaksa naga" yang dilepaskan Pak Kiong Liong itu tersapu minggir semuanya.
Kim Seng Pa tertawa terbahak-bahak. Hatinya mengembang besar, sebab di hadapan ratusan pasang mata di gelanggang itu, ia yakin namanya akan terangkat sebab berhasil mengalahkan Si Naga Utara yang terkenal. Kini Kim Seng Pa akan mentuntaskan pertarungannya. Kuda-kudanya dibongkar dengan langkah Su-siang-po, tangannya yang tadi bergerak lambat, kini bergerak secepat kilat dalam jurus Ban-lui-tian-siam (Selaksa Petir Menyambar), bagian kedua dari rangkaian Kun-tun-jut-kai tadi.
Begitulah, "selaksa naga"nya Pak Kiong Liong disong ong dengan "selaksa petir" nya Kim Seng Pa. Dua jurus yang sama hebatnya, tapi penentu kalah menang adalah tingkat tenaga dalam masing-masing, dan faktor ini dipegang oleh Kim Seng Pa.
Udara bagaikan meledak hebat oleh bertubrukannya dua arus kekuatan dahsyat itu. Kim Seng Pa tersentak mundur dan sempoyongan hampir sepuluh langkah, wajahnya pucat dan kedua tangannya terkulai, namun ia tetap tegak. Sedangkan Pak Kiong Liong seperti sebuah layang-layang yang putus talinya, tubuhnya terhempas dan menyemburkan segumpal darah dari mulutnya. Luka dalamnya tidaklah ringan.
Seluruh gelanggang seakan membeku sejenak menyaksikan akhir dari pertarungan yang menggidikkan bulu roma itu, Seandainya yang bertempur itu bukan orang-orang yang berilmu tinggi tentu tubuh mereka sudah tercerai-berai kena hantaman luar biasa itu. Biarpun persendian tulang dan isi dadanya terasa nyeri, namun Kim Seng Pa merasa seluruh tubuhnya dialiri rasa hangat karena kebanggaan yang meluap-luap.
la telah mengalahkan Pak Ki-ong Liong di hadapan puluhan saksi itu bukan impian lagi, melainkan kenyataan! Sepasang kakinya berdiri renggang kokoh, sikap seorang pemenang, dan diapun berkata, "Menyerahlah, para pemberontak. Kalian tidak berarti lagi, sebab Pak Kiong Liong yang kalian banggakan itu sudah runtuh di tanganku!”
Saat itu, karena tercengkam oleh suasana, pertempuran sudah berhenti. Kedua pihak sudah memisahkan diri dan berdiri dibarisannya masing-masing, namun masih saling melotot penuh kebencian. Kalau perlu, bisa dimulai lagi. Sama dengan cinta, kebencian juga tidak mengenal batas.
Tubuh Pak Kiong Liong yang terkapar sudah dikerumuni oleh Pak Kiong Eng, Tong Gin Yan, kedua cucunya dan lainnya, sedangkan Tok Koh Liu dan anak buahnya berbaris melindunginya. Di pihak lawan, yang dikerumuni ialah Biau Beng Lama yang tidak pingsan tetapi tak henti-hentinya menggigil kedinginan. Sementara Tong Lam Hou berjalan selangkah demi selangkah kehadapan Kim Seng Pa. Apakah si pemenang akan berhadapan dengan pemenang lainnya?
Tong Lam Hou menatap tajam Kim Seng Pa, dan berkata, "Jangan bermulut besar. Kau pikir sisa kekuatan di pihakmu itu mampu memaksa kami untuk menyerah?"
Jantung Kim Seng Pa bergetar. la tahu, dirinya dan Tong Lam Hou sama-sama kelelahan sehabis masing-masing mengalahkan Pak Kiong Liong dan Biau Beng Lama, namun agaknya "simpanan" tenaga Tong Lam Hou lebih banyak. Kalau bertarung, dirinyalah yang bakal pecundang di tangan Ketua Hwe-liong- pang itu. Kim Seng Pa mendengus, "Hem, baiklah. Anggap saja kalian lebih beruntung karena munculnya perajurit-perajurit murtad Hui-liong-kun itu. Kami lepaskan kalian kali ini, tapi hati-hati lah lain waktu."
Maka mundurlah Kim Seng Pa dan orang-orangnya, sambil membawa yang tewas dan luka. Beberapa pucuk bedil yang mereka bawa juga harus ditinggalkan, karena berhasil dirampas lawan. Tong Lam Hou dan orang-orang di pihaknya juga tidak mengejar, sebab kalau mereka memaksakan sebuah pertempuran habis-habisan, maka korban di kedua pihak akan banyak sekali. Sebenarnya hati Tong Lam Hou pedih juga, sebab Ji Han Lim terbawa oleh musuh sebagai tawanan. Tapi tidak selayaknya kalau hanya ingin membebaskan satu Ji Han Lim harus menukar dengan berpuluh-puluh nyawa lainnya.
Hancurnya Kim Seng Pa dan rombongannya hanya akan merupakan kerugian kecil bagi Yong Ceng, namun hancurnya rombongan Hwe-liong-pang akan menjadi keuntungan besar bagi Yong Ceng. Dengan perhitungan macam itu, terpaksa Tong Lam Hou membiarkan Kim Seng Pa mundur dengan membawa Ji Han Lim.
Sementara itu, Tok Koh Liu telah mengundang semua orang untuk beristirahat di markasnya. Tubuh Pak Kiong Li-ong dan Hu Se Hiong diangkut dengan hati-hati, bersama tubuh-tubuh anak buah Tok Koh Liu lainnya yang tewas atau terluka. Markas Tok Koh Liu berada di sebuah lembah yang dikelilingi bukit-bukit batu dan hutan lebat sebagai benteng alamiah.
Hanya ada satu jalan masuk ke dalam lembah, itupun dilengkapi dengan alat-alat pertahanan, dijaga, bahkan ada sebuah menara pengintaian yang mencuat dari pucuk-pucuk pepohonan. Tok Koh Liu mengatur tempat itu dengan naluri perajuritnya.
Bagian dalam lembah cukup luas, kalau hanya didiami duaratus keluarga perajurit, bahkan masih ada tanah yang ditanami bahan-bahan makanan sebagai persediaan makan. Ada juga lapangan untuk latihan para perajurit setiap hari.
Kedatangan kembali Tok Koh Lui dan pasukannya, serta tamu-tamunya, di sambut dengan berbagai perasaan oleh penghuni lembah. Perasaan lega dari keluarga perajurit yang pulang masih hidup, ratap tangis dari keluarga yang gugur, dan harap-harap cemas dari keluarga yang perajuritnya tidak gugur namun luka-luka.
Namun rata-rata penghuni lembah sudah siap mental untuk menghadapi kesedihan macam itu. Mereka telah rela menolak kenaikan pangkat dan hidup mewah yang disodorkan oleh Yong Ceng, meninggalkan Pak-khia yang indah gemerlapan dan hidup prihatin di lembah sunyi itu tidak lain karena tidak sudi mengingkari pendirian mereka. Sebab mereka berpendapat bahwa mendukung Yong Ceng sama saja dengan mendukung kelaliman.
Lembah terpencil itu segera sibuk dengan pemakaman mereka yang gugur, pengobatan yang luka, dan pembangunan barak-barak baru untuk tamu-tamu mereka. Pohon-pohon ditebang, digergaji, disusun, dan dengan cepat berdirilah barak barak baru. Sederhana, tapi kokoh, seperti barak-barak yang sudah ada sebelumnya.
Tentang diri Ji Han Lim yang tertawan musuh, Tok Koh Lui dengan sukarela menyediakan dua orang anak buahnya yang mahir dalam tugas rahasia, untuk menyusul ke Pak-khia dan mengamati bagaimana nasib Ji Han Lim. Tong Lam Hou mengucapkan terima kasih, sekaligus juga berpesan agar kedua mata-mata itu jangan sampai membahayakan nyawa mereka sendiri. Tugas mereka hanya mengamati, kemudian melaporkan.
Kedua petugas itupun menyanggupi untuk memperhatikan pesan-pesan Ketua Hwe-liong-pang itu, lalu berangkat meninggalkan lembah. Tetapi bukan berarti nasib Ji Han Lim diabaikan sama sekali. Tong Lam Hou punya rencana untuk membebaskannya, tetapi dengan kekuatan orang Hwe-liong-pang sendiri, tidak meminjam kekuatan dari luar. Disuruhnya Kiong Wan Peng pulang ke Tiau-Im-hong untuk menyampalkan surat kepada Ko-seng Hweshio.
la akan memanggil enam Tong-cu lainnya dan delapan Hu-tongcu, serta dua orang berilmu silat terbaik dari tiap-tiap kelompok, agar datang ke lembah itu. Dengan demikian, Tiau-im-hong benar-benar akan "kosong" sebab semua jago tangguh Hwe-liong-pang harus keluar, kecuali Ko-seng Hwe-shio yang ditinggalkan sebagai "penjaga gawang".
Dengan demikian Tong Lam Hou menyadari bahwa tindakannya itu sudah berarti menantang kekuasaan Yong Ceng secara terang- terangan. Tapi melihat bagalmana buruknya kelakuan anak buah Yong Ceng, maka Tong Lam Hou merasa bahwa Hwe-liong-pang tidak mungkin berpeluk tangan saja. Kadang-kadang ia heran Juga bagaimana seorang pendekar muda yang lembut dan sopan semacam Si Liong Cu, tiba-tlba bisa berubah menjadi seorang Kaisar Yong Ceng yang lalim? Perkembangan jiwa namun ia memulai sebuah teka-teki yang rumit.
Keputusan Tong Lam Hou itu disambut gembira oleh Pak Kiong Liong dan Tok Koh Lui. Bahkan Tok Koh Lui menyatakan, la dan seluruh anak buahnya bersedia bergabung dengan Hwe-liong-pang. Maka setelah melalui pembicaraan yang masak, Tok Koh Lui. dan anak buahnya menjadi kelompok kesembilan dalam Hwe liong-pang, dan diberi nama Hui-liong-tong (Kelompok Naga Terbang). Tok Koh Lui menjadi Tong-cu (kepala kelompok) yang langsung di bawah perintah Tong Lam Hou.
Dalam lembah itu lalu diadakan perjamuan sederhana untuk menyambut penggabungan Tok Koh Lui itu. Dalam suasana itulah In Tong merasa semakIn iri kepada In Te, adiknya. Sudah setahun lebih In Te dilucuti dari kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi, namun masih begitu banyak orang yang mendukung dan memperjuangkan haknya, bahkan termasuk beberapa orang ilmu tinggi.
Sedang In Tong merasa dirinya hiduppun berkat belas kasihan orang lain, dirinya sekedar hadir dilembah tanpa peranan apa-apa, biarpun orang-orang dengan hormat masih memanggilnya "Pangeran". la harus mempertegas kehadiran dirinya agar bukan sekedar penambah hitungan saja, tapi bagaimana caranya?
Akhirnya cara itu diketemukan juga. Suatu siang, ketika Tong Lam Hou di baraknya tengah asyik bermain catur dengan Pak Kiong Liong yang badannya berangsur-angsur mulai kuat, masuklah Pangeran In Tong dengan sikap sopan. Kehadiran In Tong membuat kedua orang tua itu hanya menoleh sebentar, namun mereka terkejut ketika In Tong tiba-tiba berlutut di hadapan Tong Lam Hou sambil berkata, "Pang-cu, aku ada sebuah permohonan kepada Pang-cu...."
Buru-buru Tong Lam Hou bangkit dari kursinya untuk membangunkan In Tong, "Bangunlah, Pangeran, mana boleh Pangeran berlutut kepada hamba."
Namun In Tong bertahan tidak mau bangkit, katanya, "Pang-cu, selama ini aku merasa hidupku tak berguna, hanya berambisi mengejar tahta saja. Namun setelah melihat keperkasaan dan kesetiakawanan Hwe-liong-pang, aku merasa kosong hidupku kalau tidak punya sahabat-sahabat sejati."
Itu memang kata-kata pembukaan yang tepat dan dapat menggerakkan hati Tong Lam Hou. "Apakah permohonan Pangeran?" tanyanya.
"Aku ingin masuk ke dalam Hwe-li-ong-pang dan menjadi murid Pang-cu."
Tong Lam Hou tak bisa segera menjawab. Di kalangan persilatan, upacara penerimaan murid sama agungnya dengan kelahiran, pernikahan atau kematian. Penerimaan murid berarti lahirnya sebuah aliran persilatan baru. Selama ini Hwe-liong-pang hanyalah sebuah serikat dari orang-orang sepaham, namun bukan aliran silat, sebab tiap anggotanya punya sumber silat sendiri-sendri. Kalau In Tong diterima sebagai murid, berarti Tong Lam Hou membuka sebuah perguruan baru, dan akan ada hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu di kemudian hari.
"Pangeran, biarlah hamba memikirkannya masak-masak iebih dulu," akhirnya Tong Lam Hou menjawab, "Penerimaan murid bukanlah urusan kecil."
In Tong agak kecewa, tapi ia nekad bersujud seperti murid terhadap gurunya, "Kalau Pang- cu tidak bisa menerima aku, aku akan hidup tanpa arti lagi. Aku hidup di udara bebas, namun hidup sekedar hidup saja, tidak punya arti apa-apa...."
"Jangan berkata begitu, Pangeran. Memangnya hidup baruiah berarti setelah menjadi anggota Hwe-liong-pang? Pangeran memiliki ilmu yang tinggi, dan dengan ilmu itu Pangeran dapat menyumbangkan banyak hal yang berarti bagi kesejahteraan sesama manusia yang membutuhkan pertolongan.
"Namun kalau aku sendirian, ilmuku ibarat segenggam bubuk meriam yang tanpa arti. Jika aku menjadi anggota Hwe-Iiong-pang dan murid Pang-cu bubuk meriam itu ibaratnya diisikan dalam meriam dan dapat diarahkan ke Sasaran yang tepat dengan kekuatan yang dahsyat, tidak terbuang percuma.”
"Apakah yang Pangeran maksudkan dengan sasaran yang tepat itu?”
"Menumbangkan kelaliman dan menegakkan keadilan!" sahut In Tong keras dan bersemangat.
Seekor kucing kecil yang sedang mengendus-endus sisa makanan di kolong meja, terlonjak kaget dan kabur ketakutan lewat jendela. Sementara itu, Pak Kiong Liong yang mendengarkan dari samping diam-diam tetap kurang mempercayai In Tong, sebab ia kenaI bagaimana karakter pangeran itu. la khawatir In Tong akan memperalat Hwe-liong-pang, seperti dulu In Ceng memperalat Siau-lim-pai. Mungkinkah sekarang In Tong akan mengulangi siasat yang pernah dilakukan oleh kakak keempatnya dulu?
"Menumbangkan kelaliman dan menegakkan keadilan yang bagaimana, Pangeran?"
Jawaban memang sudah disiapkan dan mengalir lancar dari mulut In Tong. “Munggusur turun Kakanda In Ceng dari tahta yang bukan menjadi haknya, dan mendukung Adinda In Te sepenuhnya. Semuanya itu bukan demi Adinda In Te pribadi, melainkan demi kesejahteraan rakyat!"
"Baik, permohonan Pangeran akan hamba pertimbangkan. Tapi hamba belum dapat menjawab sekarang juga."
In Tong tak bisa memaksa lagi. Namun ia gembira, ketika ia bersujud sekali lagi, Tong Lam Hou tidak lagi membangunkannya. Itu boleh dianggap sebagai "lampu hijau" buatnya. Dengan sopan sekali, ia lalu mengundurkan diri.
Setelah pangeran itu pergi, Tong Lam Hou bertanya kepada Pak Kiong Li-ong, "Bagaimana dengan permintaannya tadi, A-liong? Bukankah kau adalah pamannya yang paham bagaimana pribadinya?”
Sahut Pak Kiong Liong terang-terangan, "Dalam persaingan antar pangeran semasa hidup Sribaginda Khong Si, dulu, In Tong termasuk salah seorang amat berambisi, meskipun kemudian tesingkir karena kalah kekuatan. Aku khawatir ambisinya sekarang belum padam, dan ia hanya ingin memperalat Hwe-li-ong-pang."
"Aku hargai pertimbanganmu. Namun mungkinkah setelah dua tahun "merenungi nasib" di penjara bawah tanah, ia belum mengalami perbaikan kepribadi an sedikitpun? Rasanya, meskipun sekarang ia masih punya sedikit sifat-sifat buruk, tapi kalau menjadi muridku kelak, barangkali bisa dibimbing kejalan yang benar, dan akan menjadi seorang pendekar yang menguntungkan umat manusia."
Pak Kiong Liong menarik napas mendengar pendapat Tong Lam Hou. Sahabatnya itu bukan orang tolol, tapi hampir seluruh hidupnya hanya bergaul dengan orang-orang jujur dan sederhana, sehingga ia selalu menilai orang dari segi baiknya saja. Berbeda dengan Pak Kion Liong yang sejak kecil hidup didekat degan pusat kekuasaan, dimana semua akal licik dlhalalkan untuk mencapai tujuan, meskipun Pak Kiong Liong sendiri membenci kelicikan. Akal-akal licik orang-orang dipanggung kekuasaan itu barangkali takkan pernah terbayangkan oleh orang berhati lurus Tong Lam Hou.
Tetapi Pak Kiong Liong tidak bisa mengubah pendirian Tong Lam Hou. Ketika kemudian Tong Lam Hou memutuskan untuk mengabulkan permintaan Pangeran In Tong, Pak Kiong Liong cuma memperingatkan agar berhati-hati. Dan Tong Lam Hou sendiri berterima kasih atas peringatan i tu.
"Aku masih punya harapan untuk merubah wataknya ke arah kebaikan," kata Tong Lam Hou penuh keyakinan. Lalu ditutup dengan sebuah kalimat yang sudah berjuta-juta kali diucapkan di hadapan orang lain, "Manusia itu pada dasarnya baik, bukan?"
Terpaksa Pak Kiong Liong cuma mnnggut-manggut tetapi dalam hatinya ia berjanji akan ikut mengawasi tingkah laku In Tong. Secara kekeluargaan Tong Lam Hou dan In Tong seimbang, Tong Lam Hou adalah besan dan sekaligus sahabat karib sejak muda, sedang In Tong adalah keponakan jauh Pak Kiong Liong.
Namun segala keputusan Pak Kiong Liong tidak pernah mempertimbangkan jauh-dekatnya hubungan keluarga, melainkan berdasar garis tegas antara keadilan atau ketidak-adilan. Sikap itu dipegangnya kuat-kuat sampai ia rela meninggalkan kedudukan empuknya sebagai Panglima Hui-liong-kun dan berubah menjadi buronan yang senantiasa terancam nyawanya.
Keesokan harinya, upacara penerimaan murid benar-benar dilangsungkan. Di hadapan gurunya dan puluhan saksi, In Tong bersumpah akan mentaati semua peraturan Hwe-liong-pang. Apa susahnya bersumpah? Dan sejak itu, In Tong menjadi adik seperguruan Tong Gin yan, biarpun usianya beberapa tahun lebih tua.
Hari-hari berikutnya, kegiatan dilembah terpencil itu berjalan seperti biasa. Pak Kiong Liong dan Hu Se Hiong sudah berangsur-angsur sembuh. Si anak kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long dalam waktu singkat menjadi pusat kekaguman penghuni. lembah. Mereka sering ikut latihan perang-perangan berkuda, dan sering dengan beraninya mereka menunjukkan gerak-gerak berbahaya di atas kuda yang tengah berderap kencang. Sebagai upah keberanian kelewat batas itu, mereka sering mendapat jeweran telinga atau sabetan rotan di pantat, oleh ibu mereka, Pak Kiong Eng.
Melihat keahlian pertempuran berkuda anggota-anggota barunya itu, Tong Lam Hou timbul gagasan untuk menjadikan mereka semacam "pasukan gerak cepatnya Hwe-liong-pang. Jumlah mereka juga akan diperbesar, agar seimbang dengan jumlah delapan kelompok yang sudah ada lebih dulu. Anggota-anggota kelompok lain yang mahir pertempuran berkuda akan ditarik masuk Hui-liong-tong (Kelompok Naga Terbang) dan ditingkatkan kemahirannya. la tidak pilih kaslh terhadap semua anak-buahnya, namun harus diakui bahwa tiap kelompok memiliki kemahiran sendiri-sendiri.
Misalnya anggota anggota kelompok Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) pimpinan Ji Han Lim adalah orang-orang yang mahir dalam senjata-senjata lempar seperti hiu-piau, hui-to, panah, lembing dan bahkan kampak-kampak kecil seperti kepunyaan Ji Han Lim sendiri. Anggota-anggota Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) pimpinan Kiong Wan Peng rata-rata jagoan dalam perkelahian tangan kosong.
Anggota-anggota Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) pimpinan Lu Kan San yang berjuluk Hui-lo-sat (Malaikat Raksasa Terbang) memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, sebab Lu Kan San selalu melatih anggota kelompoknya dengan berlari-lari naik turun lereng gunung, melempar-lemparkan batu-batu besar dan sebagainya, sehingga jadilah mereka orang-orang bertubuh baja. Mereka sanggup bertempur sehari suntuk tanpa kelelahan. Kelompok lain ada yang ahli pertempuran di air, ahli menyusup dan sebagainya, dan kini bertambah dengan Hui-liong-tong yang ahli bertempur berkuda.
Dengan rencana-rencananya itu, disadari atau tidak, Tong Lam Hou sudah bersiap-siap untuk perang! "Ramalan" pendeta-pendeta tua Siau-lim-si yang pernah mencoba mencegah perjalannya di kota Seng-toh dulu, ternyata benar. Tong Lam Hou meninggalkan Tiau-im-hong mula-mula hanya untuk urusan pribadi, menolong cucu-cucunya yang diculik. Namun setelah melihat kelaliman Kaisar Yong Ceng, urusan pribadipun berkembang menjadi perlawanan Hwe-liong-pang terhadap Yong Ceng.
Selama menunggu datangnya jago-jago Hwe-liong-pang yang tengah dipanggil lewat Kiong Wan Peng, Tong Lam Hou mengisi waktunya dengan memberi latihan tambahan kepada anak buah Tok Koh Lui. Mereka tidak dibiarkan hanya latihan pertempuran berkuda, namun juga latihan pertarungan silat perorangan.
Maka kalau setiap pagi anak buah Tok Koh Lui yang ratusan orang itu berramai-ramai memukuli atau menendangi kantong-kantong pasir, atau berlatih jurus-jurus silat, atau berlari-lari dengan kaki dibebani kantong pasir, bukan lagi pemandangan aneh. Tong Lam Hou atau Pak Kiong Liong sendiri yang mengawasi latihan mereka.
Di sela-sela kesibukan itu, Tong Lam Hou mulai menurunkan ilmunya kepada In Tong. In Tong sendiri sudah punya ilmu yang tinggi, dan bertambah tinggi setelah menerima ilmu-ilmu Ketua Hwe-Iiong-pang itu. Di samping mengajari silat, Tong Lam Hou juga memperhatikan bagaimana perkembangan kepribadian In Tong.
Tong Lam Hou tidak mau menurunkan ilmu yang tinggi kepada seorang berwatak buruk, itu sama saja dengan memberikan sebatang golok tajam kepada seorang gila di tengah pasar, atau mencetak "Yong Ceng baru". Namun karena melihat bahwa In Tong dapat membawa diri sebagai murid yang "taat" dan "berbakti", Tong Lam Hou semakin percaya kepadanya.
Beberapa hari kemudian, serombongan orang memasuki lembah itu, dan di antara mereka hanyalah Kiong Wan Peng yang sudah dikenal oleh orang-orang di lembah itu. Namun mudah diterka bahwa lain-lainnya adalah jago-jago Hwe-liong-pang yang dipanggil oleh sang Ketua. Para jagoan itu, satu persatu segera di perkenalkan oleh Tong Lam Hou kepada Tok Koh Lui sebagai rekan baru mereka.
Ui-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Kuning) adalah seorang lelaki berusia empatpuluh tahun yang berpakaian seperti sastrawan, bertampang lemah lembut dan tiga jalur jenggot menghiasi wajahnya. Namanya Siang Koan Long dan julukannya Sai-kim-ciam-su-seng (Sastrawan Penyebar Jarum Emas), karena keahliannya dalam menyambitkan jarum-jarum emas.
Jing-ki Tong-cu (Pemimpin KeIompok Bendera Hijau) adalah seorang lelaki berkulit coklat kemerah-merahan bajunya kasar dan pendek, celananya juga hanya sampai ke lutut, bersepatu jerami menggendong caping bambu, pinggangnya terikat tali rami, tangannya menjjnjing sebatang tongkat baja. Dialah Liong Su Koan yang bergelar Bu-sia Hi-jin (Nelayan dari Selat Bu-sia).
Lam-ki Tong (Pemimpin Kelompok bendera Biru) adalah seorang yang bertubuh gemuk bundar, berkepala gundul, wajahnya selalu berseri-seri. Meskipun ia memakai jubah pendeta, namun ia patut dicurigai sebagai pendeta gadungan, sebab di punggungnya ia menggendong sebuah buli-buli arak besar, dan senjatanya ialah sehelai cambuk yang melilit perutnya. Namanya Hui-hai Hwe-shio, berjuluk Cui-sin (Malaikat Pemabuk). Semakin mabuk, semakin lihai permainan cambuknya, sehingga buli-buli arak itu boleh dianggap "perlengkapan perang"nya yang kedua.
Jai-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera coklat) berpakaian ringkas serba hitam, wajahnya selalu murung seperti orang yang terlalu banyak berhutang, sebatang pedang melintang di punggungnya. Namanya Suma Hong, gelarnya Hui-hek-miao (Kucing Hitam terbang).
Hek-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) adalah seorang lelaki ramah tamah yang berpakaian rapi. Tetapi ia cukup disegani, sebab dialah Oh Kian Keng yang berjulukan Song-bun-siau (Seruling Perkabungan). Setiap kali terdengar bunyi seruling besinya yang menyayat hati, itulah tanda bahwa musuhnya akan segera berkabung.
Ci-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Ungu) ialah Lu Kan San yang bergelar Hui-lo-sat (Malaikat Raksasa Terbang), tampangnya benar-benar mirip malaikat yang dipatungkan di kuil-kuil pemujaan. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya merah tua, matanya lebar, jubah panjangnya juga merah tua dan tangannya membawa tombak panjang. Meskipun tubuhnya nampak berat sekali, tetapi menilik nama julukannya yang memakai huruf "hui" (terbang), orang itu agaknya lihai dalam ilmu meringankan tubuh.
Begitulah, enam orang ini kalau ditambah Kiong Wan Peng dan Ji Han lim menjadi delapan Tong-cu yang menjadi “sapu kawat"nya Hwe-liong-pang. Masih di tambah dengan delapan Hutong-cu (wakil kepala kelompok) serta enambelas jagoan dari semua kelompok, menjadi sebuah pasukan kecil yang amat tangguh. Namun kelak ketangguhan mereka masih harus diuji di Pak-khia, sebab di sekitar Kaisar Yong Ceng juga bertebaran jago-jago tangguh yang tak terhitung banyaknya. Kaisar Yong Ceng sendiri adalah seorang pesilat ulung, murid Siau-lim-pai yang mahir Hok-mo-thung hoat (llmu Toya Penakluk Iblis) dan Lo han-kun-hoat (Pukulan Arhat) yang lihai.
Mereka semua menyambut gembira bergabungnya Tok Koh Lui serta Pangeran In Tong dalam Hwe-liong-pang. Dengan demikian, saat itu Hwe-liong-pang tidak hanya punya delapan kelompok, tapi sembilan. Semuanya bersatu hati menentang kelaliman Yong Ceng, tak peduli apapun akibatnya. Beberapa hari kemudian, dua anak buah Tok Koh Lui yang ditugaskan menyelidiki ke Pak-khia itu sudah kembali. Mereka kelihatan lelah dan tegang Tetapi mereka langsung menghadap Ketua Hwe-liong-pang di baraknya, dengan diantarkan Tok Koh Lui.
"Salam kepada Pang-cu," kedua orang itu memberi hormat.
"Silahkan duduk," sahut Tong Lam Hou. Namun sebelum mendengarkan laporan mereka, Tong Lam Hou lebih dulu menyuruh memanggil para Tong-cu dan Hu-tong-cu Hwe-liong-pang, juga Pak Kiong Liong. Maka beberapa saat kemudian, ruangan itu menjadi berjubel-jubel dengan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang siap mendengarkan laporan kedua penyelidik itu tentang nasib Ji Han Lim.
"Saudara-saudara, laporkanlah sekarang," perintah Ketua Hwe-liong-pang kepada kedua penyelidik itu.
Penyelidik yang usianya lebih tua-lah yang berkata, "Pang-cu, maaf kalau berita yang kami sampaikan ini agaknya akan kurang menyenangkan..."
Semua orang dalam ruangan itu terkejut, namun tak seorangpun membuka mulut. Semuanya dengan tegang menanti ke lanjutan laporan itu.
"Apakah saudara Ji Han-Lim di.... di... dibunuh?" tanya Tong Lam Hou dengan suara gemetar.
"Tidak, Pang-cu..."
"Apakah hanya dicacatkan badannya? Atau dipenjara?"
"Juga tidak, Pang-cu. Ji Tong-cu telah.... telah menyerah kepada si lalim Yong Ceng dan kini ia adalah salah satu dari pengawal-pengawal berseragam jubah pendek satin ungu...."
Itulah berita yang menggemparkan. Kalau seorang tokoh Hwe-liong-pang gugur karena menentang kejahatan, itu sudah sering terjadi. Namun seorang tokoh Hwe-liong-pang bertekuk lutut kepada seorang penguasa yang jahat, itu baru terjadi sekali ini. Suara-suara tidak percaya dan gumam macam-macam segera berkumandang campur aduk dalam ruangan kecil itu, sampai Tong Lam Hou mengangkat tangannya, menyuruh semuanya tetap tenang.
“Apakah hasil penyelidikan kalian ini benar-benar sudah tidak keliru lagi?” Tong Lan Hou menekankan suaranya, kepada kedua penyelldik itu.
“Kami sudah yakin, kami menyelidikinya dengan amat cermat."
Seorang lelaki berusia kira-kira tigapuluh tiga tahun yang tampangnya mirip Ji Han Lim, bahkan juqa membawa sepasang kampak bergagang pendek di pinggangnya, tiba-tiba berdirl dari duduknya dan berkata keras, "Kalau benar Lim-ko (kakak Lim) sudah tunduk kepada Yong Ceng, berarti dia telah menodai, Hwe-liong-pang. Biarpun dia kakak kandungku sendir, aku bersumpah akan menghukum dengan kedua tanganku sendiri!”
Leleki itu, Ji Han Bok, adalah adik kandung dan sekaligus wakil Tong-cu dari kakaknya sendiri, la menguatkan kata-kata emosionalnya dengan wajah merah padam, namun dibarengi air mata yang mengalir.
"Tenang, saudara Ji” Tong lam Hou menenangkan. "Kita dengarkan dulu laporan selengkapnya. Mungkin ada alasan kuat yang mendorong kakak kandungmu bertindak demikian.”
Susah-puyah Ji Han Bok menahan emosinya, lalu duduk kembali dikursi-nya. Namun wajahnya tetap merah padam, air matanya tetap bercucuran dan berkali-kali ia mengepal tinjunya. Kedua penyelidik Itu kemudian diberi kesempatan untuk memerinci laporan mereka. Ternyata, selama sepuluh hari di Pak-khia, Ji Han Lim tidak disiksa, malahan diberi makanan-makanan enak dan perempuan-perempuan cantik, juga dibujuk oleh Kim Seng Pa, sehingga takluklah ia. Bahkan langsung masuk dalam barisan pengawal pribadi Yong Ceng.
'‘Menurut yang kami dengar demikian” si penyelidik menutup laporannya. "Ji Tong-cu itu merasa kecewa, sebab ia sudah bersusah-payah berjuang untuk Hwe-liong-pang, namun ketika dia tertawan oleh Kim Seng Pa, tidak ada orang Hwe-liong-pang yang memperhatikan nasibnya lagi. Katanya ia merasa diacuhkan."
Terdengar suara berderak ketika Ji Han Bok mematahkan pegangan kursi dengan pukulan tangannya. Baginya, lebih baik mendengar kakaknya terbunuh, itu akan menyedihkannya tetapi tidak mengurangi rasa hormatnya. Tetapi mendengar kakaknya tunduk kepada Yong Ceng, hatinya amat terpukul.
Yang tidak kalah terpukulnya ialah Tong Lam Hou, wajahnya nampak sedih sekali, dan ia bicara sambil menghela napas, "Ini salahku, kenapa ketika itu aku tidak berusaha mati-matian merebutnya dari tangan Kim Seng Pa?"
Sementara itu Ji Han Bok berkata, "Aku akan ke Pak-khia untuk menemuinya, menanyainya, dan kalau benar ia takluk kepada musuh, akan kuputuskan hubungan persaudaraan kami!"
"Kita semua akan ke Pak-khia, sambung Tong Lam Hou. "Kalau dia penasaran kepadaku, atau kecewa, aku rela dibacok olehnya. Namun kalau dia benar benar berkhianat kepada garis perjuangan kita, kita akan menghukumnya!"
Maka semua orangpun berkemas ke Pak-khia. Namun Hu Se Hiong yang baru saja sembuh dari luka-luka, disuruh pulang ke Tiau-im-hong, bersama dengan Tong Gin Yan, Pak Kiong Eng dan dua anak kembarnya. In Tong sebenarnya enggan ikut ke Pak-khia, takut tertangkap kembali oleh orang orang Yong Ceng. Namun karena ia diajak, apa boleh buat, diapun harus ikut.
Di bangsal yang menjadi tempat tinggal Kim Seng Pa, masih termasuk lingkungan istana, Kim Seng Pa sedang mengadakan sebuah perjamuan untuk merayakan “sadarnya" Ji Han Lim yang berbalik dari pihak "pemberontak" Hwe-liong-pang ke pihak Yong Ceng. Arena perjamuan berlangsung mewah, namun tidak sepeserpun keluar dari kantong Kim Seng Pa sendiri. la tinggal menghubungi bendahara istana dan seqalanya tersedia Yong Ceng memang amat memanjakan pengawal-pengawal pribadinya itu.
Ji Han Lim sendiri nampak gembira ria di tengah-tengah pesta itu. Pakaian kulitnya yang kasar sudah tidak dipakai, melainkan memakali jubah satin ungu yang mewah, kepalanya memakai topi caping berhias benang-benang merah dan bulu burung. Berturut-turut dia menerima cawan arak sebagai ucapan “selamat bertobat" dari rekan-rekan barunya.
Tidak lupa Ji Han Lim mengangkat secawan arak untuk menyanjung Kim Seng Pa, “Cong-koan, terimalah hormatku. Aku merasa amat berhutang budi kepadamu, sebab Cong-koan sudah menyadarkan sikapku yang keliru dengan penuh kesabaran. Sehingga aku akhirnya sadar, tidak ada gunanya mengikuti si pemberontak Tong Lam Hou itu, sebab mati-matian aku berjuang baginya dan keluarganya, tapi ia mengabaikan nasibku ketika tertawan oleh Kim Cong-koan. Kini aku sadar, bahwa Kim Cong-koan yang benarnya lebih berbelas kasihan kepadaku!"
Semua pengawal jubah ungu di ruangan itu ikut mengangkat cawan araknya pula. Kim Seng Pa sudah segar kembali setelah pertarungannya dengan Pak Ki-ong Liong. Ia pun mengangkat cawan araknya sambil berkata, "Selamat, saudara Ji. Sejak semula memang aku tahu bahwa saudara bukan seorang bebal yang mengikuti Tong Lam Hou secara membabi-buta. Apa untungnya mengikuti komplotan liar tanpa masa depan itu? Tapi kalau saudara mengabdi kepada Kaisar, saudara akan memiliki masa depan yang cerah, bukan mustahil kelak saudara Ji menjadi seorang jenderal atau gubernur."
Waktu itu Kim Seng Pa memang sedang gembira hatinya. Bukan saja karena kelompoknya ketambahan seorang jago setangguh Ji Han Lim, namun juga karena namanya sedang menjadi buah bibir seluruh Pak-khia karena keberhasilannya mengalahkan Pak Kiong Liong dalam duel satu lawan satu. Kaisar Yong Ceng sendiri juga semakin menunjukkan kepercayaannya kepada Kim Seng Pa.
Setelah arak ditenggak, Kim Seng Pa berkata lagi, ''Saudara Ji, selanjutnya saudara harus berhasil menyadarkan teman-temanmu yang masih sesat mengikuti Hwe-liong-pang, agar mereka jangan mau lagi tunduk kepada Tong Lam Hou. Secara pribadi, aku kagum kepada Tong Lam Hou, sayang bahwa dia gampang terpengaruh oleh Pak Kiong Liong."
Ucapannya disambung oleh Toh Jiat Hong, "Ucapan Cong-koan tidak salah. Pak Kiong Liong membujuk Tong Lam Hou karena dirinya sendiri sudah kehilangan sandaran sejak Pangeran In Te tak berdaya lagi. la hanya ingin menyeret teman sebanyak-banyaknya nenuju jurang kehancurannya. Untunglah saudara Ji masih punya akal sehat untuk menilai keadaan. Aku juga yakin, masih banyak lagi orang-orang Hwe-liong-pang yang sebenarnya tidak mau ikut-ikutan tersesat, namun hanya karena tidak berani menolak perintah Tong Lam Hou."
Maka perjamuanpun dilanjutkan dengan menonton tari-tarian, melihat tukang sulap beraksi, sementara nampan-nampan berisi makanan lezat masih terus mengaIir. Namun tiba-tiba dari luar bangsal terjadi keributan. Sepasukan perajurit berseragam tempur, tanpa diundang, tiba-tiba berbaris masuk bangsal itu dan langsung menebar, mengambil sikap mengurung semua pengawal Jubah ungu yang tengah berpesta. Perajurit-perajurit itu memakai tanda-tanda pasukan Tiat-ki-kun, pasukan yang biasanya berada di medan tempur, entah kenapa tiba-tiba muncul di bagian dalam istana itu?
Keruan Kim Seng Pa dan pengawal-pengawal jubah ungu lainnya terlongong keheran-heranan. "Ada apa ini?" tanya Kim Seng Pa.
Dari pintu masuk, melangkahlah seorang Cong-peng berseragam Tiat-ki-kun, dan langsung membentak dengan sikap garang, "Atas perintah Jenderal Ni Keng Giau, pesta harus dibubarkan! Tidak pantas kalian berpesta-pora seperti ini, sementara keadaan negara belum aman, dan masih banyak perajurit kerajaan yang dengan penuh keprihatinan berjuang di pelosok-peIosok negeri!"
Kim Seng Pa kenal perwira itu, namanya Lu Kong Hwe, bawahan Ni Keng Gi-au. Keruan Kim seng Pa marah mendengar ancaman itu, matanya yang merah itu jadi bertambah merah. Katanya sambil menggebrak meja, "Kurang ajar betul si bocah ingusan Ni Keng Giau itu! Apa dia pikir kekuasaannya begitu besar, sehingga dapat seenaknya saja menyuruh tentaranya masuk istana ini? Apa dia juga tidak tahu bahwa kami berada di bawah perintah Kaisar langsung, bukan di bawah perintahnya?"
Namun sikap Lu Kong Hwe tetap dingin, "Saat ini Goan-swe Ni Keng Giau sedang menghadap Hong-siang sendiri dan berbicara langsung. Tapi pesta di tempat ini harus dihentikan, atau peluru-peluru kami yang akan bicara!"
Dan dengan sebuah isyarat tangan, para perajurit Tiat-ki-kun memecah diri menjadi dua lapis lingkaran. Lingkaran depan berjongkok, lingkaran belakang berdiri, dan semuanya sudah menodongkan bedil sundut mereka ke arah kaum jubah ungu. Sementara para gadis penari sudah menggigil ketakutan, beberapa di antaranya malah sudah pingsan.
Maksud Kim Seng Pa mengadakan pesta adalah untuk menunjukkan kebesaran dirinya. Tak terduga muncul peristiwa macam itu. Kalau pesta sampai dibubarkan karena perintah Ni Keng Giau, bukankah ia akan ditertawai orang karena dikira takut kepada Ni Keng Giau? Padahal selama ini ia selalu menepuk dada sebagai "tangan kanan” kaisar.
Tapi omong-omong soal "tangan kanan". Biau Beng Lama juga merasa tangan kanan Kaisar, Ni Keng Giau juga, Liong Ke Toh juga. Sehingga Kaisar punya begitu banyak "tangan kanan" dan tak satupun "tangan kiri".
Biarpun Kim Seng Pa marah, tapi ia sadar bahwa moncong bedil sebanyak itu tak bisa diabaikannya. Sekali pelatuk ditarik, betapapun tinggi ilmunya, ia dan seluruh anak-buahnya takkan terhindar dari hujan peluru. Tubuhnya gemetar menahan amarah. Selama ini menang Ni Keng Giau sering menyindir kelompoknya sebagai "kelompok pesta”, namun tak disangka kalau Ni Keng Giau berani bertindak sejauh itu.
Dengan wajah merah padam, Kim Seng Pa menggeram. "Persetan dengan Ni Keng Giau! la sudah membawa pasukannya untuk masuk istana dengan cara yang tidak sopan, ia bisa dihukum mati dengan tuduhan memberontak!"
Kalau orang lain yang dituduh memberontak, pasti-dengkuI mereka sudah gemetar atau jantungnya copot. Namun perwira bawahan Ni Keng Giau itu tenang tenang saja. "Hendak memberontak atau tidak, kelak kekuatan senjatalah yang akan menentukan. Sekarang, Cong-koan dan semua saudara-saudara di sini kami persilahkan menghadap Hong-siang. Di depan Hong-siang, nanti kalian boleh bebas bicara, entah mengadu entah merengek manja..."
Sehabis bicara, Lu Kong Hwe mengebaskan sebelah tangannya. Duapuluh perajurit yang sudah ditentukan, lalu mengangkat bedil dan menembak ke atas. Ruangan itu bergetar karena letusan duapuluh pucuk bedil sekaligus, asap tebal berbau mesiu memenuhi ruangan. Sebuah papan besar bertulisan huruf emas yang tergantung di atas bangsal, ambruk ke tanah dalam keadaan berlubang-lubang. Inilah gertakan Lu Kong Hwe. Kali Ini yang ditembaknya hanya papan, tapi kalau Kim Seng Pa masih membangkang, bukan mustahil peluru-peluru itu akan diarahkan kepada Kim Seng Pa dan orang-orangnya.
Tindakan Lu Kong Hwe itu memang terhitung nekad, ia bisa dianggap menghina Kaisar dan dihukum mati. Tapi si pelaku nampaknya tenang-tenang saja, malah kelihatan agak bangga. “Silahkan berjalan," kata Lu Kong Hwe kemudian.
“Aku bukan tawanan, aku bisa berjalan sendiri menghadap Hong-siang!” Kim Seng Pa masih mempertahkan keangkuhannya. “Dan tidak harus sekarang, tergantung kapan Hong-siang memanggil aku, atau kapan aku sendiri ingin menghadapnya!"
Lu Kong Hwe menyeringai dingin, “Hemm, mana berani aku anggap Kim Cong-koan sebagai tawanan? Aku toh mempersilahkan kalian dengan hormat?" Meskipun ia bicara "dengan hormat" tapi dengan tangan kanannya sudah diangkat perlahan-lahan, siap memberi perintah kepada barisan penembaknya untuk menarik pelatuk bedil.
Akhirnya Kim Seng Pa memang mati kutu, tak mungkin bersikap angkuh atau galak lagi. Dengan menahan amarah, ia melangkah ke pintu, dan satu persatu anak-buahnya melangkah di belakangnya, termasuk Jin Han Lim. Diam-diam Ji Han Lim heran. Dilihat dari luar, kekuasaan Yong Ceng nampak demikian kokoh tak tergoyahkan. Namun ternyata kekuatan-kekuatan pendukungnya cakar-cakaran begitu sengit sampai terjadi peristiwa seperti itu. Tapi ia tetap bungkam saja dan ikut melangkah dibelakang Kim Seng Pa, untuk melihat apa yang bakal terjadi di hadapan Hong siang (Kaisar) nanti.
Di luar bangsal, ternyata juga sudah penuh perajurit-perajurit Tiat-ki-kun yang berseragam tempur dan bersenjata lengkap. Para pengawal istana kelihatan juga, namun mereka kelihatan tak berdaya dan "tenggelam" di tengah-tengah perajurit-perajurit Tiat-ki-kun, seolah-olah telah terjadi kudeta di istana itu.
Mau tidak mau, kecut juga hati Kim Seng Pa. Batinnya, "Si bangsat cilik Ni Keng Giau itu agaknya terlalu bangga dengan kekuasaan yang dimilikinya, sehingga berani berbuat seperti ini. Ini terlalu kurang ajar, namun untuk menundukkannyapun sulit."
Sejak menjadi Panglima Tertinggi, Ni Keng Giau telah menetapkan tata tertib kemiliteran yang amat kilat, tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati kepada anak-buahnya yang melakukan kesalahan sekecil apapun. Karena itulah pasukannya menjadi kekuatan yang amat menakutkan, ibaratnya dengan gerakan ujung jari saja Ni Keng Giau sanggup menyuruh mereka menjalankan segala perintahnya.
Akhirnya Kim Seng Pa dan anak-buahnyapun tiba di Yang-wan-kiong, bangsal kediaman Kaisar. Begitu masuk, nampak Kaisar duduk di atas kursi beralas kulit macan, namun tidak sedang memakai jubah kebesarannya. Di samping kursi, Ni Keng Giau berdiri dengan sikap hormat, namun di sekeliling ruangan juga penuh perajurit Tiat-ki-kun bersenjata bedil. Jadi Kaisarpun seperti ikan dalam jaring. Lu Kong Hwe, Kim Seng Pa dan lain lainnyapun serempak berlutut kepada Kaisar Yong Ceng.
"Bangkitlah kalian," kata Yong Ceng.
"Terima kasih, Tuanku," sahut mereka sambil bangkit.
Setelah berada di hadapan Yong Ceng, Kim Seng Pa jadi kebingungan sendiri, hendak mulai bicara dari soal apa? Pesta di bangsalnya itu sudah direstui Kaisar sendiri, bahkan Kim Seng Pa diberi keleluasaan untuk mengeluarkan biaya dari kas istana, karena Yong Ceng begitu gembira ketika mendengar Kim Seng Pa dapat mengalahkan Pak Kiong Liong.
Di saat Kim Seng Pa ragu ragu, Ni Keng Giau telah mendahului berkata, "Tuanku, inilah orangnya yang hamba laporkan telah menghambur-hamburkan uang negara hanya untuk pesta-pora tak berguna."
Dengan amat terpaksa, Yong Ceng pura-pura bertanya kepada Kim Seng Pa, "Apakah benar begitu, Kim Cong-koan?"
Hati Kim Seng Pa bergolak marah, itu artinya Yong Ceng membebankan semua kewajiban untuk menjawab ke atas pundaknya, Terpaksa pula Kim Seng Pa berkata, "Tuanku, perjamuan yang hamba selenggarakan adalah untuk menyegarkan semangat anak-buah hamba yang belum lama ini menyabung nyawa demi kejayaan Tuanku. Tidak ada penghamburan uang negara. Perjamuan sederhana kali inipun untuk menyambut seorang Tong-cu Hwe-liong-pang yang sudah insyaf dari jalannya yang sesat untuk bergabung dengan kita. Tidakkah ini pantas dirayakan dengan sebuah perjamuan sederhana?"
Kaisar mengangguk-angguk, lalu berkata kepada Ni Keng Giau, "Sute (adik seperguruan), kupikir apa yang dikatakan Kim Cong-koan itu tidak keliru. Kedatangan tenaga baru yang mengabdi buatku memang harus disambut meriah, agar teman-teman mereka yang masih sesat dapat melihat bagaimana kita memperlakukan siapapun yang mau insyaf dengan baik."
Ternyata Ni Keng Giau berani membantah, "Hamba tidak sependapat, Tuanku. Menyambut teman baru boleh saja, tapi apakah mesti dengan pemborosan? Sedang kita masih butuh banyak biaya untuk meningkatkan kesejahteraan perajurit perajurit kita. Perajurit kita yang menjaga perbatasan Jing-hai, Hun-lam dan di tepi Sungai Amur sudah compang- camping pakaiannya, persediaan obat bedil mereka juga menipis, namun bantuan terhadap mereka belum juga dikirim. Kapan mereka akan mendapatkan itu? Sementara di bangsal Kim Cong-koan, uang dan makanan dihambur-hamburkan seperti membuang pasir saja."
Yong Ceng tak menduga kalau jenderal kepercayaannya sekaligus adik seperguruannya itu membantah seberani itu, sesaat darahnya menghangat. Namun Ni Keng Giau ibarat sebatang pohon yang dipupuk dan disirami sendiri oleh Yong Ceng sehingga menjadi pohon besar dan kokoh, tidak bisa "ditebang" dengan satu pukulan saja. Maka jawaban Yong Ceng bernada hati-hati,
"Aku sesalkan terlambatnya kiriman perbekalan kepada pasukan-pasukan kita di perbatasan. Aku akan segera memberi teguran keras kepada Peng-po Siang-si (Menteri Perang)".
"Dan bagaimana dengan pesta-pora memuakkan di istana ini?" desak Ni Keng Giau semakin berani.
Dalam keadaan biasa, mana sudi Yong Ceng didesak-desak macam itu, namun saat itu ia sadar harus memberi muka kepada Ni Keng Giau sebelum jenderalnya itu mata gelap. Sahutnya sambil tertawa, "Kim Cong-koan, aku tidak menyalahkanmu, namun lain kali sederhanakanlah sedikit pesta-pestamu."
Kim Seng Pa menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan kedongkolannya. Kaisar sendiri yang merestui pesta itu, dan sekarang Kaisar pula yang cuci tangan dan malah ikut menegurnya. Biar pun ia tahu Kaisar berbuat demikian karena sedang "kalah angin" dari Ni Keng Giau, toh ia penasaran juga. Katanya,
"Baiklah, Tuanku. Maafkan hamba yang terlalu gembira setelah berhasil mengalahkan Pak Kiong Liong. Biarpun dia tidak tewas, setidak-tidaknya akan memukul semangat pengikut-pengikutnya yang tadinya memujanya bagaikan dewa tak terkalahkan. Sekali lagi hamba mohon maaf, Tuanku." Dengan berkata demikian, Kim Seng Pa secara halus ingin menonjolkan jasanya, agar jangan terlalu dipandang enteng.
Tetapi sebelum Kaisar menjawab, Ni Keng Giau sudah mendahului, "Alangkah hebat jasamu, Kim Cong-koan. Namun dulu ketika aku berhasil melucuti lima ratus ribu pasukan Pangeran In Te, membungkam enam ratus pucuk meriamnya yang mengepung rapat kota Pak-khia, aku tidak mengadakan pesta seperti kau. Padahal seharusnya aku berpesta seratus kali lebih meriah dari pestamu. Tahukah Cong-koan kenapa aku tidak berpesta? Sebab aku sudah terbiasa mereguk kemenangan, dan tidak gampang mabuk kemenangan."
Wajah Kim Seng Pa kontan merah padam. Tapi sebelum ia membantah, Kaisar Yong Ceng telah berkata keras, "Jangan bertengkar lagi! Kalian adalah sesama pembantuku, sudah sepantasnya kalau saling mengingatkan, namun tidak perlu ribut-ribut seperti ini! Ni Keng Giau, pengaduanmu sudah kudengar dan aku akan mempertimbangkan semuanya!"
Betapa besar nyali Ni Keng Giau dan betapa bangga akan kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi, namun wibawa Kaisar masih juga mampu menundukkannya. Mendengar suara Kaisar mulai keras, ia tidak ingin mendebat lagi. Cepat ia berlutut sambil berkata, "Terima kasih atas perhatianmu Tuanku. Hamba berterima kasih atas nama perajurit-perajurit perbatasan yang tiap malam menggigil kedinginan, kelaparan dan menghadapi ancaman yang...."
"Tadi aku sudah mendengar, tidak usah kau ulangi...!" Yong Ceng mengibaskan tangannya. "... dan sudah kubilang akan kupertimbangkan baik-baik."
"Maafkan hamba, Tuanku."
Melihat Ni Keng Giau masih bisa ditundukkannya, lega juga hati Yong Ceng. Namun dalam hatinya sudah timbul kesan bahwa Ni Keng Giau merupakan "bahaya dalam tubuh" yang tidak boleh dibiarkan makin membesar. Tapi entah kapan bisa "dikecilkan" kembali.
"Ni Keng Giau, sekarang bagaimana dengan pertanggung-jawabanmu perihal kerusakan bangsal Bwe-hoa-kiong akibat ulah anak-buahmu? Kau pikir istana ini hanyalah sebuah bangunan bobrok yang dapat diterobos keluar masuk semaumu saja?"
"Hamba pasti akan menegur perwira yang bertindak tidak sopan i tu , Tuanku."
Jawaban yang sungguh tidak memuaskan Yong Ceng, sebab Ni Keng Giau hanya akan menegur bawahannya, padahal seharusnya dipotong-potong tubuhnya karena kekurang ajarannya. Namun ia masih belum berani terlalu mendesak Ni Keng Giau. "Baiklah, didiklah orang-orangmu baik-baik agar tidak menjadi liar," suara Yong Ceng melunak, meskipun kemarahan menggumpal di ulu hatinya.
Sudah ia jengkel, malah Ni Keng Giau menambah kejengkelannya dengan kaata-kata berikut, "Terima kasih, Tuanku. Harap dimaklumi kalau anak buah hamba bertlndak kasar, sebab memang ada pihak yang bandel dan perlu diperlakukan sedikit kasar. Selain anak buah hamba yang harus ditertibkan, kelompok lain juga harus ditertibkan. Jangan sampai yang satu tertib, sedang yang lain manja dan berlagak seolah-olah mereka yang berkuasa, dan....“
"Cukup!" suara Yong Ceng menggelegar di ruangan itu. Kemudian kepada perajurit-perajurit Tiat-ki-kun yang maslh berdiri tegang di sekitar ruangan itu, Yong Ceng membentak, "Mau apa kalian berdiri di situ?! Keluar!!"
Namun perajurit-perajurit yang di perintah itu tetap berdiri tegap di tempat, tak bergeser sedikitpun juga. Keruan Yong Ceng semakin marah, "He, kalian tidak mendengar perintahku!" Keluar! Keluar!"
Yong Ceng seolah berbicara kepada patung-patung saja. Para perajurit Ti-at-ki-kun tetap berdiri tegap, pandangan mata lurus ke depan, muka dingin, senjata digenggam erat. Hal itu membuat Yong Ceng bergidik sendiri. Suasana dalam ruangan itu segera sesak oleh ketegangan, para pengawal Kaisar sudah siap bertarung habis-habisan kalau para perajurit Tlat-ki-kun masih juga membandel.
Ni Keng Giau puas melihai hasil didikannya selama ini atas perajurit-perajuritnya. Senyumnya seolah mengatakan, "Lihat perajurit-perajuritku yang berdisiplin baja!" Tetapi ia masih tidak ingin pertumpahan darah, maka diapun berkata dengan tenang tanpa berteriak, "Kalian keluarlah...."
Ruangan itu seketika gemuruh dengan jawaban ratusan perajurit Tiat-ki-kun itu, "Siap, Goan-swe!" Lalu dengan tertib mereka melangkah keluar. Tidak lambat, juga tidak terburu-buru, seolah mereka digerakkan hanya oleh satu otak.
Melihat betapa hebat disiplin pasukan Tiat-ki-kun, keringat dingin mengalir di tengkuk Yong Ceng. Baru saat itu ia sadar, nyawanya seolah baru saja lepas dari genggaman tangan Ni Keng Giau. Coba tadi Ni Keng Giau suruh mereka menembak, apa yang terjadi?
Sedangkan Ni Keng Giau telah berlutut dan berkata, "Hamba mohon diri, Tuanku.”
Lalu dengan membusungkan dada, Ni Keng Giau berjalan keluar. Tetapi sebelum sampai di pintu, Yong Ceng telah berseru, "Ni Keng Giau!"
Ni Keng Giau membalikkan tubuh dan bertanya, "Apakah masih ada perintah Tuanku untuk hamba?"
Suara Yong Ceng dingin sekali, ''Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengucapkan selamat untuk kehebatan pasukanmu."
Jiwa Ni Keng Giau yang tengah berkobar-kobar penuh rasa bangga itu tiba tiba seperti tersiram air es, kata-kata Yong Ceng itu membuatnya takut sendiri. Tadinya, ia menyerbu istana karena terdorong rasa kesalnya melihat kelakuan kelompok-kelompok istana, tapi setelah menyadari apa yang dilakukannya, ia jadi takut sendiri. Itulah tindakan yang pasti tidak disenangi Yong Ceng, sebab telah membuatnya kehilangan muka di hadapan banyak orang.
la bergidik mengingat bagaimana Yong Ceng menyingkirkan orang-orang yang tidak disenanginya, karena dulu Ni Keng Giau adalah algojo pelaksananya. Kini ia menyesal sendiri, tetapi dibulatkannya tekad dalam hatinya, "Aku sudah terlanjur melangkah dan tak bisa surut lagi. Aku harus memperkuat genggangamku atas Tiat-ki-kun agar Hong-siang tidak berani menyingkirkan aku. Tapi mudah-mudahan Hong-siang cepat melupakan kejadian hari ini."
Seharusnya Ni Keng Giau yang sudah hapal watak Yong Ceng menyadari, tak mungkin Yong Ceng melupakannya begitu saja. Namun manusia toh ada kalanya perlu menipu diri sendiri untuk menenteramkan hati....
Meskipun dengan hati kurang senang melihat kekejaman In Tong, tapi Pak Kiong Eng menjawab juga, "Terima kasih atas pertolongan Pangeran. Hamba tak kurang suatu apapun....”
Sementara itu, jago-jago istana yang hampir merebut kemenangan, kini telah berbalik menjadi pihak yang didesak, gara-gara munculnya Tok Koh Lui dengan anak-buahnya yang trampil dan berjumlah banyak. Dan titik pertarungan paling hebat tetaplah antara Tong Lam Hou melawan Biau Beng Lama dan Pak Kiong Liong melawan Kim Seng Pa. Empat jago tua yang seolah asyik dengan "permainan" mereka sendiri, tanpa peduli sekitarnya.
Yang terlihat dari luar arena o-rang-orang sakti i tu hanyalah debu dan rontokan ilalang yang bergulung-gulung naik, deru angin yang saiing melibat dengan dahsyat, dan kadang- kadang terdengar bentakan menggelegar. Nampaknya masih seimbang saja, tapi bagi keempat orang yang bertempur, sudah merasa bahwa keseimbangan mulai miring.
Biau Beng Lama yang dipuja-puja oleh kaum Ang-ih-kau itu haruslah mengakui bahwa ketua Hje-liong-pang unggul selapis ilmunya. Hawa panas yang dipancarkan oleh pukulan-pukulan Biau Beng Lama, sedikit demi sedikit mulai tertekan oleh hawa dingin menggigilkan dari pihak Tong Lam Hou. Tiap kali terjadi benturan tangan, Biau Beng Lama merasa pori-pori kulitnya seperti disusupi jarum-jarum es yang lembut. Tiap kali pula si pendeta berhasil membebaskan diri dari pengaruh itu, namun hal itu memperlambat gerakan berikutnya.
Sedang serangan lawannya semakin tajam, rasa dingin yang dirasakannya juga semakin menjalar keatas. Pertama hanya lengannya yang terasa dingin, lalu pundaknya mulai kaku, dan isi dadanya mulai terpengaruh juga. Namun Lama itu dengan keras kepala nekad bertahan, sampai kepala gundulnya mengepulkan uap tipis.
"Jangan memaksakan diri," kata Tong Lam Hou di tengah-tengah gencarnya tukar-menukar serangan. "Kau bisa jatuh sakit dan akan memerosotkan tingkat tenaga dalammu....."
"Tutup mulutmu!" bentak Biau Beng Lama sengit. Selama ini ia bersikap congkak di lingkungan istana, sehingga timbul persaingan dengan kelompok-kelompok istana lainnya. Kini kekalahan sudah membayang di depan mata, tak terbayangkan betapa ejekan yang akan diterimanya dari saingan-saingannya kelak. Bagi orang secongkak dia, ejekan lebih menyakitkan dari tikaman pedang.
Karena itulah pikirannya menjadi kacau, dan ia semakin jatuh di bawah kendali lawannya. Hawa dingin yang menghimpitnya membuat otot-otot semakin kaku dan gerakannya semakin lambat. Maka menyusuplah telapak tangan Tong Lam Hou menerobos pertahanannya dan menghantam pundaknya. Pukulan yang tidak mematikan, tetapi membuat Biau Beng Lama menggigil keras seperti orang demam dan mukanya amat pucat.
Tong Lam Hou tahu bahwa kaum Hiat ti-cu yang kejam adalah hasiI didikan kaum Ang-ih-kau, sehingga kesannya kepada golongan ini buruk sekali, maka cara bertindaknya pada Biau Beng Lama juga tidak kenal ampun. Melihat lawannya terhuyung sambll menggigil, Tong Lam Hou terus mengejar dengan sebuah pukulan. Kali ini Biau Beng Lama bukan cuma terhuyung-huyung, tapi terpental dan terhempas di tanah.
Hoat Kheng Lama yang bersenjata golok lengkung, Kim Leng Lama yang bersenjata lonceng emas serta Hwe-lun Lama yang bersenjata gelang-gelang tembaga, serempak melompat maju untuk melindungi guru mereka. Bukan saja dari serangan Tong Lam Hou lebih lanjut, tapi juga dari injakan kaki-kaki kuda lawan maupun kawan yang masih hilir mudik di arena itu.
Kalau Tong Lam Hou berhasil mengalahkan lawannya, sebaliknya Pak Kiong Liong justru mulai terdesak oleh Kim Seng Pa. Kiranya, dalam dua tahun terakhir itu Pak Kiong Liong terlalu sibuk mengurusi sengketa istana, sehingga latihan silatnya agak terbengkalai. Sebaliknya Kim Seng Pa berhasil meningkatkan ilmunya sampai melebihi Pak Kiong Liong.
Seandainya Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong bertukar lawan, mungkin kejadiannya takkan seperti itu. Biau Beng Lama pasti takkan bisa mengalahkan Pak Kiong Liong, begitu juga Kim Seng Pa mustahil mengalahkan Ketua Hwe liong-pang. Tapi itu hanya andaikata. Kenyataannya demikian dan akibat-akibatnya tak dapat dihapus.
Pak Kiong Liong sudah mengerahkan Hwe-liong-sin-kang sampai batas kemampuannya. Rumput-rumput ilalang menjadi layu, binatang-binatang yang bersembunyi dalam tanah telah mati karena hawa panas yang menyusup ke liang mereka. Liong-jiau-kang dan ThIan-liong-kun-hoat sudah dikuras keluar, sehingga Pak Kiong Liong laksana seekor naga murka yang mengamuk di langit.
Tapi itu semua masih belum mampu mengalahkan Kim Seng Pa. Kakek bermata merah itu hanya berkeringat, tapi tenaga dalamnya yang tinggi berhasil melindungi badannya agar tidak hangus kena Hwe-liong-sin-kang. Bahkan Liok-hap-ciang-hoat yang dimainkannya itu semakin gencar, seolah-olah ia punya berpuluh-puluh pasang tangan yang setiap geraknya mengguncang udara.
Setapak demi setapak Pak Kiong Liong terdesak, sulit lolos dari “ribuan" telapak tangan Kim Seng Pa yang me ngepung dari segala arah. Dalam gusarnya, Pak Kiong Liong tiba-tiba mengeluarkan jurus Ban-liong keng-thian (Selaksa Naga Menggetar Angkasa), jurus hebat yang mengajak lawan untuk gugur bersama. la melompat tinggi, aliran udara panas bergulung dan berbelit-belit hebat sekali, seolah benar-benar ada selaksa naga keluar dari sarangnya dan serempak menyemburkan api.
Tetapi Kim Seng Pa siap menyambut dengan jurus terhebatnya yang disebut Kun-tun-jut-kai (Terciptanya Alam Semesta). la berdiri kokoh bagaikan gunung batu, sampai sepasang kakinya amblas sedalam betis. Matanya bukan terpentang memperhatikan gerak lawannya, malahan terpejam rapat, uap putih mengepul dari ubun-ubunnya, dan sepasang telapak tangannya bergerak amat lambat. Namun muncullah sebentuk kekuatan tak berwujud yang menyelubungi tubuhnya, dan "selaksa naga" yang dilepaskan Pak Kiong Liong itu tersapu minggir semuanya.
Kim Seng Pa tertawa terbahak-bahak. Hatinya mengembang besar, sebab di hadapan ratusan pasang mata di gelanggang itu, ia yakin namanya akan terangkat sebab berhasil mengalahkan Si Naga Utara yang terkenal. Kini Kim Seng Pa akan mentuntaskan pertarungannya. Kuda-kudanya dibongkar dengan langkah Su-siang-po, tangannya yang tadi bergerak lambat, kini bergerak secepat kilat dalam jurus Ban-lui-tian-siam (Selaksa Petir Menyambar), bagian kedua dari rangkaian Kun-tun-jut-kai tadi.
Begitulah, "selaksa naga"nya Pak Kiong Liong disong ong dengan "selaksa petir" nya Kim Seng Pa. Dua jurus yang sama hebatnya, tapi penentu kalah menang adalah tingkat tenaga dalam masing-masing, dan faktor ini dipegang oleh Kim Seng Pa.
Udara bagaikan meledak hebat oleh bertubrukannya dua arus kekuatan dahsyat itu. Kim Seng Pa tersentak mundur dan sempoyongan hampir sepuluh langkah, wajahnya pucat dan kedua tangannya terkulai, namun ia tetap tegak. Sedangkan Pak Kiong Liong seperti sebuah layang-layang yang putus talinya, tubuhnya terhempas dan menyemburkan segumpal darah dari mulutnya. Luka dalamnya tidaklah ringan.
Seluruh gelanggang seakan membeku sejenak menyaksikan akhir dari pertarungan yang menggidikkan bulu roma itu, Seandainya yang bertempur itu bukan orang-orang yang berilmu tinggi tentu tubuh mereka sudah tercerai-berai kena hantaman luar biasa itu. Biarpun persendian tulang dan isi dadanya terasa nyeri, namun Kim Seng Pa merasa seluruh tubuhnya dialiri rasa hangat karena kebanggaan yang meluap-luap.
la telah mengalahkan Pak Ki-ong Liong di hadapan puluhan saksi itu bukan impian lagi, melainkan kenyataan! Sepasang kakinya berdiri renggang kokoh, sikap seorang pemenang, dan diapun berkata, "Menyerahlah, para pemberontak. Kalian tidak berarti lagi, sebab Pak Kiong Liong yang kalian banggakan itu sudah runtuh di tanganku!”
Saat itu, karena tercengkam oleh suasana, pertempuran sudah berhenti. Kedua pihak sudah memisahkan diri dan berdiri dibarisannya masing-masing, namun masih saling melotot penuh kebencian. Kalau perlu, bisa dimulai lagi. Sama dengan cinta, kebencian juga tidak mengenal batas.
Tubuh Pak Kiong Liong yang terkapar sudah dikerumuni oleh Pak Kiong Eng, Tong Gin Yan, kedua cucunya dan lainnya, sedangkan Tok Koh Liu dan anak buahnya berbaris melindunginya. Di pihak lawan, yang dikerumuni ialah Biau Beng Lama yang tidak pingsan tetapi tak henti-hentinya menggigil kedinginan. Sementara Tong Lam Hou berjalan selangkah demi selangkah kehadapan Kim Seng Pa. Apakah si pemenang akan berhadapan dengan pemenang lainnya?
Tong Lam Hou menatap tajam Kim Seng Pa, dan berkata, "Jangan bermulut besar. Kau pikir sisa kekuatan di pihakmu itu mampu memaksa kami untuk menyerah?"
Jantung Kim Seng Pa bergetar. la tahu, dirinya dan Tong Lam Hou sama-sama kelelahan sehabis masing-masing mengalahkan Pak Kiong Liong dan Biau Beng Lama, namun agaknya "simpanan" tenaga Tong Lam Hou lebih banyak. Kalau bertarung, dirinyalah yang bakal pecundang di tangan Ketua Hwe-liong- pang itu. Kim Seng Pa mendengus, "Hem, baiklah. Anggap saja kalian lebih beruntung karena munculnya perajurit-perajurit murtad Hui-liong-kun itu. Kami lepaskan kalian kali ini, tapi hati-hati lah lain waktu."
Maka mundurlah Kim Seng Pa dan orang-orangnya, sambil membawa yang tewas dan luka. Beberapa pucuk bedil yang mereka bawa juga harus ditinggalkan, karena berhasil dirampas lawan. Tong Lam Hou dan orang-orang di pihaknya juga tidak mengejar, sebab kalau mereka memaksakan sebuah pertempuran habis-habisan, maka korban di kedua pihak akan banyak sekali. Sebenarnya hati Tong Lam Hou pedih juga, sebab Ji Han Lim terbawa oleh musuh sebagai tawanan. Tapi tidak selayaknya kalau hanya ingin membebaskan satu Ji Han Lim harus menukar dengan berpuluh-puluh nyawa lainnya.
Hancurnya Kim Seng Pa dan rombongannya hanya akan merupakan kerugian kecil bagi Yong Ceng, namun hancurnya rombongan Hwe-liong-pang akan menjadi keuntungan besar bagi Yong Ceng. Dengan perhitungan macam itu, terpaksa Tong Lam Hou membiarkan Kim Seng Pa mundur dengan membawa Ji Han Lim.
Sementara itu, Tok Koh Liu telah mengundang semua orang untuk beristirahat di markasnya. Tubuh Pak Kiong Li-ong dan Hu Se Hiong diangkut dengan hati-hati, bersama tubuh-tubuh anak buah Tok Koh Liu lainnya yang tewas atau terluka. Markas Tok Koh Liu berada di sebuah lembah yang dikelilingi bukit-bukit batu dan hutan lebat sebagai benteng alamiah.
Hanya ada satu jalan masuk ke dalam lembah, itupun dilengkapi dengan alat-alat pertahanan, dijaga, bahkan ada sebuah menara pengintaian yang mencuat dari pucuk-pucuk pepohonan. Tok Koh Liu mengatur tempat itu dengan naluri perajuritnya.
Bagian dalam lembah cukup luas, kalau hanya didiami duaratus keluarga perajurit, bahkan masih ada tanah yang ditanami bahan-bahan makanan sebagai persediaan makan. Ada juga lapangan untuk latihan para perajurit setiap hari.
Kedatangan kembali Tok Koh Lui dan pasukannya, serta tamu-tamunya, di sambut dengan berbagai perasaan oleh penghuni lembah. Perasaan lega dari keluarga perajurit yang pulang masih hidup, ratap tangis dari keluarga yang gugur, dan harap-harap cemas dari keluarga yang perajuritnya tidak gugur namun luka-luka.
Namun rata-rata penghuni lembah sudah siap mental untuk menghadapi kesedihan macam itu. Mereka telah rela menolak kenaikan pangkat dan hidup mewah yang disodorkan oleh Yong Ceng, meninggalkan Pak-khia yang indah gemerlapan dan hidup prihatin di lembah sunyi itu tidak lain karena tidak sudi mengingkari pendirian mereka. Sebab mereka berpendapat bahwa mendukung Yong Ceng sama saja dengan mendukung kelaliman.
Lembah terpencil itu segera sibuk dengan pemakaman mereka yang gugur, pengobatan yang luka, dan pembangunan barak-barak baru untuk tamu-tamu mereka. Pohon-pohon ditebang, digergaji, disusun, dan dengan cepat berdirilah barak barak baru. Sederhana, tapi kokoh, seperti barak-barak yang sudah ada sebelumnya.
Tentang diri Ji Han Lim yang tertawan musuh, Tok Koh Lui dengan sukarela menyediakan dua orang anak buahnya yang mahir dalam tugas rahasia, untuk menyusul ke Pak-khia dan mengamati bagaimana nasib Ji Han Lim. Tong Lam Hou mengucapkan terima kasih, sekaligus juga berpesan agar kedua mata-mata itu jangan sampai membahayakan nyawa mereka sendiri. Tugas mereka hanya mengamati, kemudian melaporkan.
Kedua petugas itupun menyanggupi untuk memperhatikan pesan-pesan Ketua Hwe-liong-pang itu, lalu berangkat meninggalkan lembah. Tetapi bukan berarti nasib Ji Han Lim diabaikan sama sekali. Tong Lam Hou punya rencana untuk membebaskannya, tetapi dengan kekuatan orang Hwe-liong-pang sendiri, tidak meminjam kekuatan dari luar. Disuruhnya Kiong Wan Peng pulang ke Tiau-Im-hong untuk menyampalkan surat kepada Ko-seng Hweshio.
la akan memanggil enam Tong-cu lainnya dan delapan Hu-tongcu, serta dua orang berilmu silat terbaik dari tiap-tiap kelompok, agar datang ke lembah itu. Dengan demikian, Tiau-im-hong benar-benar akan "kosong" sebab semua jago tangguh Hwe-liong-pang harus keluar, kecuali Ko-seng Hwe-shio yang ditinggalkan sebagai "penjaga gawang".
Dengan demikian Tong Lam Hou menyadari bahwa tindakannya itu sudah berarti menantang kekuasaan Yong Ceng secara terang- terangan. Tapi melihat bagalmana buruknya kelakuan anak buah Yong Ceng, maka Tong Lam Hou merasa bahwa Hwe-liong-pang tidak mungkin berpeluk tangan saja. Kadang-kadang ia heran Juga bagaimana seorang pendekar muda yang lembut dan sopan semacam Si Liong Cu, tiba-tlba bisa berubah menjadi seorang Kaisar Yong Ceng yang lalim? Perkembangan jiwa namun ia memulai sebuah teka-teki yang rumit.
Keputusan Tong Lam Hou itu disambut gembira oleh Pak Kiong Liong dan Tok Koh Lui. Bahkan Tok Koh Lui menyatakan, la dan seluruh anak buahnya bersedia bergabung dengan Hwe-liong-pang. Maka setelah melalui pembicaraan yang masak, Tok Koh Lui. dan anak buahnya menjadi kelompok kesembilan dalam Hwe liong-pang, dan diberi nama Hui-liong-tong (Kelompok Naga Terbang). Tok Koh Lui menjadi Tong-cu (kepala kelompok) yang langsung di bawah perintah Tong Lam Hou.
Dalam lembah itu lalu diadakan perjamuan sederhana untuk menyambut penggabungan Tok Koh Lui itu. Dalam suasana itulah In Tong merasa semakIn iri kepada In Te, adiknya. Sudah setahun lebih In Te dilucuti dari kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi, namun masih begitu banyak orang yang mendukung dan memperjuangkan haknya, bahkan termasuk beberapa orang ilmu tinggi.
Sedang In Tong merasa dirinya hiduppun berkat belas kasihan orang lain, dirinya sekedar hadir dilembah tanpa peranan apa-apa, biarpun orang-orang dengan hormat masih memanggilnya "Pangeran". la harus mempertegas kehadiran dirinya agar bukan sekedar penambah hitungan saja, tapi bagaimana caranya?
Akhirnya cara itu diketemukan juga. Suatu siang, ketika Tong Lam Hou di baraknya tengah asyik bermain catur dengan Pak Kiong Liong yang badannya berangsur-angsur mulai kuat, masuklah Pangeran In Tong dengan sikap sopan. Kehadiran In Tong membuat kedua orang tua itu hanya menoleh sebentar, namun mereka terkejut ketika In Tong tiba-tiba berlutut di hadapan Tong Lam Hou sambil berkata, "Pang-cu, aku ada sebuah permohonan kepada Pang-cu...."
Buru-buru Tong Lam Hou bangkit dari kursinya untuk membangunkan In Tong, "Bangunlah, Pangeran, mana boleh Pangeran berlutut kepada hamba."
Namun In Tong bertahan tidak mau bangkit, katanya, "Pang-cu, selama ini aku merasa hidupku tak berguna, hanya berambisi mengejar tahta saja. Namun setelah melihat keperkasaan dan kesetiakawanan Hwe-liong-pang, aku merasa kosong hidupku kalau tidak punya sahabat-sahabat sejati."
Itu memang kata-kata pembukaan yang tepat dan dapat menggerakkan hati Tong Lam Hou. "Apakah permohonan Pangeran?" tanyanya.
"Aku ingin masuk ke dalam Hwe-li-ong-pang dan menjadi murid Pang-cu."
Tong Lam Hou tak bisa segera menjawab. Di kalangan persilatan, upacara penerimaan murid sama agungnya dengan kelahiran, pernikahan atau kematian. Penerimaan murid berarti lahirnya sebuah aliran persilatan baru. Selama ini Hwe-liong-pang hanyalah sebuah serikat dari orang-orang sepaham, namun bukan aliran silat, sebab tiap anggotanya punya sumber silat sendiri-sendri. Kalau In Tong diterima sebagai murid, berarti Tong Lam Hou membuka sebuah perguruan baru, dan akan ada hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu di kemudian hari.
"Pangeran, biarlah hamba memikirkannya masak-masak iebih dulu," akhirnya Tong Lam Hou menjawab, "Penerimaan murid bukanlah urusan kecil."
In Tong agak kecewa, tapi ia nekad bersujud seperti murid terhadap gurunya, "Kalau Pang- cu tidak bisa menerima aku, aku akan hidup tanpa arti lagi. Aku hidup di udara bebas, namun hidup sekedar hidup saja, tidak punya arti apa-apa...."
"Jangan berkata begitu, Pangeran. Memangnya hidup baruiah berarti setelah menjadi anggota Hwe-liong-pang? Pangeran memiliki ilmu yang tinggi, dan dengan ilmu itu Pangeran dapat menyumbangkan banyak hal yang berarti bagi kesejahteraan sesama manusia yang membutuhkan pertolongan.
"Namun kalau aku sendirian, ilmuku ibarat segenggam bubuk meriam yang tanpa arti. Jika aku menjadi anggota Hwe-Iiong-pang dan murid Pang-cu bubuk meriam itu ibaratnya diisikan dalam meriam dan dapat diarahkan ke Sasaran yang tepat dengan kekuatan yang dahsyat, tidak terbuang percuma.”
"Apakah yang Pangeran maksudkan dengan sasaran yang tepat itu?”
"Menumbangkan kelaliman dan menegakkan keadilan!" sahut In Tong keras dan bersemangat.
Seekor kucing kecil yang sedang mengendus-endus sisa makanan di kolong meja, terlonjak kaget dan kabur ketakutan lewat jendela. Sementara itu, Pak Kiong Liong yang mendengarkan dari samping diam-diam tetap kurang mempercayai In Tong, sebab ia kenaI bagaimana karakter pangeran itu. la khawatir In Tong akan memperalat Hwe-liong-pang, seperti dulu In Ceng memperalat Siau-lim-pai. Mungkinkah sekarang In Tong akan mengulangi siasat yang pernah dilakukan oleh kakak keempatnya dulu?
"Menumbangkan kelaliman dan menegakkan keadilan yang bagaimana, Pangeran?"
Jawaban memang sudah disiapkan dan mengalir lancar dari mulut In Tong. “Munggusur turun Kakanda In Ceng dari tahta yang bukan menjadi haknya, dan mendukung Adinda In Te sepenuhnya. Semuanya itu bukan demi Adinda In Te pribadi, melainkan demi kesejahteraan rakyat!"
"Baik, permohonan Pangeran akan hamba pertimbangkan. Tapi hamba belum dapat menjawab sekarang juga."
In Tong tak bisa memaksa lagi. Namun ia gembira, ketika ia bersujud sekali lagi, Tong Lam Hou tidak lagi membangunkannya. Itu boleh dianggap sebagai "lampu hijau" buatnya. Dengan sopan sekali, ia lalu mengundurkan diri.
Setelah pangeran itu pergi, Tong Lam Hou bertanya kepada Pak Kiong Li-ong, "Bagaimana dengan permintaannya tadi, A-liong? Bukankah kau adalah pamannya yang paham bagaimana pribadinya?”
Sahut Pak Kiong Liong terang-terangan, "Dalam persaingan antar pangeran semasa hidup Sribaginda Khong Si, dulu, In Tong termasuk salah seorang amat berambisi, meskipun kemudian tesingkir karena kalah kekuatan. Aku khawatir ambisinya sekarang belum padam, dan ia hanya ingin memperalat Hwe-li-ong-pang."
"Aku hargai pertimbanganmu. Namun mungkinkah setelah dua tahun "merenungi nasib" di penjara bawah tanah, ia belum mengalami perbaikan kepribadi an sedikitpun? Rasanya, meskipun sekarang ia masih punya sedikit sifat-sifat buruk, tapi kalau menjadi muridku kelak, barangkali bisa dibimbing kejalan yang benar, dan akan menjadi seorang pendekar yang menguntungkan umat manusia."
Pak Kiong Liong menarik napas mendengar pendapat Tong Lam Hou. Sahabatnya itu bukan orang tolol, tapi hampir seluruh hidupnya hanya bergaul dengan orang-orang jujur dan sederhana, sehingga ia selalu menilai orang dari segi baiknya saja. Berbeda dengan Pak Kion Liong yang sejak kecil hidup didekat degan pusat kekuasaan, dimana semua akal licik dlhalalkan untuk mencapai tujuan, meskipun Pak Kiong Liong sendiri membenci kelicikan. Akal-akal licik orang-orang dipanggung kekuasaan itu barangkali takkan pernah terbayangkan oleh orang berhati lurus Tong Lam Hou.
Tetapi Pak Kiong Liong tidak bisa mengubah pendirian Tong Lam Hou. Ketika kemudian Tong Lam Hou memutuskan untuk mengabulkan permintaan Pangeran In Tong, Pak Kiong Liong cuma memperingatkan agar berhati-hati. Dan Tong Lam Hou sendiri berterima kasih atas peringatan i tu.
"Aku masih punya harapan untuk merubah wataknya ke arah kebaikan," kata Tong Lam Hou penuh keyakinan. Lalu ditutup dengan sebuah kalimat yang sudah berjuta-juta kali diucapkan di hadapan orang lain, "Manusia itu pada dasarnya baik, bukan?"
Terpaksa Pak Kiong Liong cuma mnnggut-manggut tetapi dalam hatinya ia berjanji akan ikut mengawasi tingkah laku In Tong. Secara kekeluargaan Tong Lam Hou dan In Tong seimbang, Tong Lam Hou adalah besan dan sekaligus sahabat karib sejak muda, sedang In Tong adalah keponakan jauh Pak Kiong Liong.
Namun segala keputusan Pak Kiong Liong tidak pernah mempertimbangkan jauh-dekatnya hubungan keluarga, melainkan berdasar garis tegas antara keadilan atau ketidak-adilan. Sikap itu dipegangnya kuat-kuat sampai ia rela meninggalkan kedudukan empuknya sebagai Panglima Hui-liong-kun dan berubah menjadi buronan yang senantiasa terancam nyawanya.
Keesokan harinya, upacara penerimaan murid benar-benar dilangsungkan. Di hadapan gurunya dan puluhan saksi, In Tong bersumpah akan mentaati semua peraturan Hwe-liong-pang. Apa susahnya bersumpah? Dan sejak itu, In Tong menjadi adik seperguruan Tong Gin yan, biarpun usianya beberapa tahun lebih tua.
Hari-hari berikutnya, kegiatan dilembah terpencil itu berjalan seperti biasa. Pak Kiong Liong dan Hu Se Hiong sudah berangsur-angsur sembuh. Si anak kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long dalam waktu singkat menjadi pusat kekaguman penghuni. lembah. Mereka sering ikut latihan perang-perangan berkuda, dan sering dengan beraninya mereka menunjukkan gerak-gerak berbahaya di atas kuda yang tengah berderap kencang. Sebagai upah keberanian kelewat batas itu, mereka sering mendapat jeweran telinga atau sabetan rotan di pantat, oleh ibu mereka, Pak Kiong Eng.
Melihat keahlian pertempuran berkuda anggota-anggota barunya itu, Tong Lam Hou timbul gagasan untuk menjadikan mereka semacam "pasukan gerak cepatnya Hwe-liong-pang. Jumlah mereka juga akan diperbesar, agar seimbang dengan jumlah delapan kelompok yang sudah ada lebih dulu. Anggota-anggota kelompok lain yang mahir pertempuran berkuda akan ditarik masuk Hui-liong-tong (Kelompok Naga Terbang) dan ditingkatkan kemahirannya. la tidak pilih kaslh terhadap semua anak-buahnya, namun harus diakui bahwa tiap kelompok memiliki kemahiran sendiri-sendiri.
Misalnya anggota anggota kelompok Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) pimpinan Ji Han Lim adalah orang-orang yang mahir dalam senjata-senjata lempar seperti hiu-piau, hui-to, panah, lembing dan bahkan kampak-kampak kecil seperti kepunyaan Ji Han Lim sendiri. Anggota-anggota Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) pimpinan Kiong Wan Peng rata-rata jagoan dalam perkelahian tangan kosong.
Anggota-anggota Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) pimpinan Lu Kan San yang berjuluk Hui-lo-sat (Malaikat Raksasa Terbang) memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, sebab Lu Kan San selalu melatih anggota kelompoknya dengan berlari-lari naik turun lereng gunung, melempar-lemparkan batu-batu besar dan sebagainya, sehingga jadilah mereka orang-orang bertubuh baja. Mereka sanggup bertempur sehari suntuk tanpa kelelahan. Kelompok lain ada yang ahli pertempuran di air, ahli menyusup dan sebagainya, dan kini bertambah dengan Hui-liong-tong yang ahli bertempur berkuda.
Dengan rencana-rencananya itu, disadari atau tidak, Tong Lam Hou sudah bersiap-siap untuk perang! "Ramalan" pendeta-pendeta tua Siau-lim-si yang pernah mencoba mencegah perjalannya di kota Seng-toh dulu, ternyata benar. Tong Lam Hou meninggalkan Tiau-im-hong mula-mula hanya untuk urusan pribadi, menolong cucu-cucunya yang diculik. Namun setelah melihat kelaliman Kaisar Yong Ceng, urusan pribadipun berkembang menjadi perlawanan Hwe-liong-pang terhadap Yong Ceng.
Selama menunggu datangnya jago-jago Hwe-liong-pang yang tengah dipanggil lewat Kiong Wan Peng, Tong Lam Hou mengisi waktunya dengan memberi latihan tambahan kepada anak buah Tok Koh Lui. Mereka tidak dibiarkan hanya latihan pertempuran berkuda, namun juga latihan pertarungan silat perorangan.
Maka kalau setiap pagi anak buah Tok Koh Lui yang ratusan orang itu berramai-ramai memukuli atau menendangi kantong-kantong pasir, atau berlatih jurus-jurus silat, atau berlari-lari dengan kaki dibebani kantong pasir, bukan lagi pemandangan aneh. Tong Lam Hou atau Pak Kiong Liong sendiri yang mengawasi latihan mereka.
Di sela-sela kesibukan itu, Tong Lam Hou mulai menurunkan ilmunya kepada In Tong. In Tong sendiri sudah punya ilmu yang tinggi, dan bertambah tinggi setelah menerima ilmu-ilmu Ketua Hwe-Iiong-pang itu. Di samping mengajari silat, Tong Lam Hou juga memperhatikan bagaimana perkembangan kepribadian In Tong.
Tong Lam Hou tidak mau menurunkan ilmu yang tinggi kepada seorang berwatak buruk, itu sama saja dengan memberikan sebatang golok tajam kepada seorang gila di tengah pasar, atau mencetak "Yong Ceng baru". Namun karena melihat bahwa In Tong dapat membawa diri sebagai murid yang "taat" dan "berbakti", Tong Lam Hou semakin percaya kepadanya.
Beberapa hari kemudian, serombongan orang memasuki lembah itu, dan di antara mereka hanyalah Kiong Wan Peng yang sudah dikenal oleh orang-orang di lembah itu. Namun mudah diterka bahwa lain-lainnya adalah jago-jago Hwe-liong-pang yang dipanggil oleh sang Ketua. Para jagoan itu, satu persatu segera di perkenalkan oleh Tong Lam Hou kepada Tok Koh Lui sebagai rekan baru mereka.
Ui-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Kuning) adalah seorang lelaki berusia empatpuluh tahun yang berpakaian seperti sastrawan, bertampang lemah lembut dan tiga jalur jenggot menghiasi wajahnya. Namanya Siang Koan Long dan julukannya Sai-kim-ciam-su-seng (Sastrawan Penyebar Jarum Emas), karena keahliannya dalam menyambitkan jarum-jarum emas.
Jing-ki Tong-cu (Pemimpin KeIompok Bendera Hijau) adalah seorang lelaki berkulit coklat kemerah-merahan bajunya kasar dan pendek, celananya juga hanya sampai ke lutut, bersepatu jerami menggendong caping bambu, pinggangnya terikat tali rami, tangannya menjjnjing sebatang tongkat baja. Dialah Liong Su Koan yang bergelar Bu-sia Hi-jin (Nelayan dari Selat Bu-sia).
Lam-ki Tong (Pemimpin Kelompok bendera Biru) adalah seorang yang bertubuh gemuk bundar, berkepala gundul, wajahnya selalu berseri-seri. Meskipun ia memakai jubah pendeta, namun ia patut dicurigai sebagai pendeta gadungan, sebab di punggungnya ia menggendong sebuah buli-buli arak besar, dan senjatanya ialah sehelai cambuk yang melilit perutnya. Namanya Hui-hai Hwe-shio, berjuluk Cui-sin (Malaikat Pemabuk). Semakin mabuk, semakin lihai permainan cambuknya, sehingga buli-buli arak itu boleh dianggap "perlengkapan perang"nya yang kedua.
Jai-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera coklat) berpakaian ringkas serba hitam, wajahnya selalu murung seperti orang yang terlalu banyak berhutang, sebatang pedang melintang di punggungnya. Namanya Suma Hong, gelarnya Hui-hek-miao (Kucing Hitam terbang).
Hek-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) adalah seorang lelaki ramah tamah yang berpakaian rapi. Tetapi ia cukup disegani, sebab dialah Oh Kian Keng yang berjulukan Song-bun-siau (Seruling Perkabungan). Setiap kali terdengar bunyi seruling besinya yang menyayat hati, itulah tanda bahwa musuhnya akan segera berkabung.
Ci-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Ungu) ialah Lu Kan San yang bergelar Hui-lo-sat (Malaikat Raksasa Terbang), tampangnya benar-benar mirip malaikat yang dipatungkan di kuil-kuil pemujaan. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya merah tua, matanya lebar, jubah panjangnya juga merah tua dan tangannya membawa tombak panjang. Meskipun tubuhnya nampak berat sekali, tetapi menilik nama julukannya yang memakai huruf "hui" (terbang), orang itu agaknya lihai dalam ilmu meringankan tubuh.
Begitulah, enam orang ini kalau ditambah Kiong Wan Peng dan Ji Han lim menjadi delapan Tong-cu yang menjadi “sapu kawat"nya Hwe-liong-pang. Masih di tambah dengan delapan Hutong-cu (wakil kepala kelompok) serta enambelas jagoan dari semua kelompok, menjadi sebuah pasukan kecil yang amat tangguh. Namun kelak ketangguhan mereka masih harus diuji di Pak-khia, sebab di sekitar Kaisar Yong Ceng juga bertebaran jago-jago tangguh yang tak terhitung banyaknya. Kaisar Yong Ceng sendiri adalah seorang pesilat ulung, murid Siau-lim-pai yang mahir Hok-mo-thung hoat (llmu Toya Penakluk Iblis) dan Lo han-kun-hoat (Pukulan Arhat) yang lihai.
Mereka semua menyambut gembira bergabungnya Tok Koh Lui serta Pangeran In Tong dalam Hwe-liong-pang. Dengan demikian, saat itu Hwe-liong-pang tidak hanya punya delapan kelompok, tapi sembilan. Semuanya bersatu hati menentang kelaliman Yong Ceng, tak peduli apapun akibatnya. Beberapa hari kemudian, dua anak buah Tok Koh Lui yang ditugaskan menyelidiki ke Pak-khia itu sudah kembali. Mereka kelihatan lelah dan tegang Tetapi mereka langsung menghadap Ketua Hwe-liong-pang di baraknya, dengan diantarkan Tok Koh Lui.
"Salam kepada Pang-cu," kedua orang itu memberi hormat.
"Silahkan duduk," sahut Tong Lam Hou. Namun sebelum mendengarkan laporan mereka, Tong Lam Hou lebih dulu menyuruh memanggil para Tong-cu dan Hu-tong-cu Hwe-liong-pang, juga Pak Kiong Liong. Maka beberapa saat kemudian, ruangan itu menjadi berjubel-jubel dengan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang siap mendengarkan laporan kedua penyelidik itu tentang nasib Ji Han Lim.
"Saudara-saudara, laporkanlah sekarang," perintah Ketua Hwe-liong-pang kepada kedua penyelidik itu.
Penyelidik yang usianya lebih tua-lah yang berkata, "Pang-cu, maaf kalau berita yang kami sampaikan ini agaknya akan kurang menyenangkan..."
Semua orang dalam ruangan itu terkejut, namun tak seorangpun membuka mulut. Semuanya dengan tegang menanti ke lanjutan laporan itu.
"Apakah saudara Ji Han-Lim di.... di... dibunuh?" tanya Tong Lam Hou dengan suara gemetar.
"Tidak, Pang-cu..."
"Apakah hanya dicacatkan badannya? Atau dipenjara?"
"Juga tidak, Pang-cu. Ji Tong-cu telah.... telah menyerah kepada si lalim Yong Ceng dan kini ia adalah salah satu dari pengawal-pengawal berseragam jubah pendek satin ungu...."
Itulah berita yang menggemparkan. Kalau seorang tokoh Hwe-liong-pang gugur karena menentang kejahatan, itu sudah sering terjadi. Namun seorang tokoh Hwe-liong-pang bertekuk lutut kepada seorang penguasa yang jahat, itu baru terjadi sekali ini. Suara-suara tidak percaya dan gumam macam-macam segera berkumandang campur aduk dalam ruangan kecil itu, sampai Tong Lam Hou mengangkat tangannya, menyuruh semuanya tetap tenang.
“Apakah hasil penyelidikan kalian ini benar-benar sudah tidak keliru lagi?” Tong Lan Hou menekankan suaranya, kepada kedua penyelldik itu.
“Kami sudah yakin, kami menyelidikinya dengan amat cermat."
Seorang lelaki berusia kira-kira tigapuluh tiga tahun yang tampangnya mirip Ji Han Lim, bahkan juqa membawa sepasang kampak bergagang pendek di pinggangnya, tiba-tiba berdirl dari duduknya dan berkata keras, "Kalau benar Lim-ko (kakak Lim) sudah tunduk kepada Yong Ceng, berarti dia telah menodai, Hwe-liong-pang. Biarpun dia kakak kandungku sendir, aku bersumpah akan menghukum dengan kedua tanganku sendiri!”
Leleki itu, Ji Han Bok, adalah adik kandung dan sekaligus wakil Tong-cu dari kakaknya sendiri, la menguatkan kata-kata emosionalnya dengan wajah merah padam, namun dibarengi air mata yang mengalir.
"Tenang, saudara Ji” Tong lam Hou menenangkan. "Kita dengarkan dulu laporan selengkapnya. Mungkin ada alasan kuat yang mendorong kakak kandungmu bertindak demikian.”
Susah-puyah Ji Han Bok menahan emosinya, lalu duduk kembali dikursi-nya. Namun wajahnya tetap merah padam, air matanya tetap bercucuran dan berkali-kali ia mengepal tinjunya. Kedua penyelidik Itu kemudian diberi kesempatan untuk memerinci laporan mereka. Ternyata, selama sepuluh hari di Pak-khia, Ji Han Lim tidak disiksa, malahan diberi makanan-makanan enak dan perempuan-perempuan cantik, juga dibujuk oleh Kim Seng Pa, sehingga takluklah ia. Bahkan langsung masuk dalam barisan pengawal pribadi Yong Ceng.
'‘Menurut yang kami dengar demikian” si penyelidik menutup laporannya. "Ji Tong-cu itu merasa kecewa, sebab ia sudah bersusah-payah berjuang untuk Hwe-liong-pang, namun ketika dia tertawan oleh Kim Seng Pa, tidak ada orang Hwe-liong-pang yang memperhatikan nasibnya lagi. Katanya ia merasa diacuhkan."
Terdengar suara berderak ketika Ji Han Bok mematahkan pegangan kursi dengan pukulan tangannya. Baginya, lebih baik mendengar kakaknya terbunuh, itu akan menyedihkannya tetapi tidak mengurangi rasa hormatnya. Tetapi mendengar kakaknya tunduk kepada Yong Ceng, hatinya amat terpukul.
Yang tidak kalah terpukulnya ialah Tong Lam Hou, wajahnya nampak sedih sekali, dan ia bicara sambil menghela napas, "Ini salahku, kenapa ketika itu aku tidak berusaha mati-matian merebutnya dari tangan Kim Seng Pa?"
Sementara itu Ji Han Bok berkata, "Aku akan ke Pak-khia untuk menemuinya, menanyainya, dan kalau benar ia takluk kepada musuh, akan kuputuskan hubungan persaudaraan kami!"
"Kita semua akan ke Pak-khia, sambung Tong Lam Hou. "Kalau dia penasaran kepadaku, atau kecewa, aku rela dibacok olehnya. Namun kalau dia benar benar berkhianat kepada garis perjuangan kita, kita akan menghukumnya!"
Maka semua orangpun berkemas ke Pak-khia. Namun Hu Se Hiong yang baru saja sembuh dari luka-luka, disuruh pulang ke Tiau-im-hong, bersama dengan Tong Gin Yan, Pak Kiong Eng dan dua anak kembarnya. In Tong sebenarnya enggan ikut ke Pak-khia, takut tertangkap kembali oleh orang orang Yong Ceng. Namun karena ia diajak, apa boleh buat, diapun harus ikut.
Di bangsal yang menjadi tempat tinggal Kim Seng Pa, masih termasuk lingkungan istana, Kim Seng Pa sedang mengadakan sebuah perjamuan untuk merayakan “sadarnya" Ji Han Lim yang berbalik dari pihak "pemberontak" Hwe-liong-pang ke pihak Yong Ceng. Arena perjamuan berlangsung mewah, namun tidak sepeserpun keluar dari kantong Kim Seng Pa sendiri. la tinggal menghubungi bendahara istana dan seqalanya tersedia Yong Ceng memang amat memanjakan pengawal-pengawal pribadinya itu.
Ji Han Lim sendiri nampak gembira ria di tengah-tengah pesta itu. Pakaian kulitnya yang kasar sudah tidak dipakai, melainkan memakali jubah satin ungu yang mewah, kepalanya memakai topi caping berhias benang-benang merah dan bulu burung. Berturut-turut dia menerima cawan arak sebagai ucapan “selamat bertobat" dari rekan-rekan barunya.
Tidak lupa Ji Han Lim mengangkat secawan arak untuk menyanjung Kim Seng Pa, “Cong-koan, terimalah hormatku. Aku merasa amat berhutang budi kepadamu, sebab Cong-koan sudah menyadarkan sikapku yang keliru dengan penuh kesabaran. Sehingga aku akhirnya sadar, tidak ada gunanya mengikuti si pemberontak Tong Lam Hou itu, sebab mati-matian aku berjuang baginya dan keluarganya, tapi ia mengabaikan nasibku ketika tertawan oleh Kim Cong-koan. Kini aku sadar, bahwa Kim Cong-koan yang benarnya lebih berbelas kasihan kepadaku!"
Semua pengawal jubah ungu di ruangan itu ikut mengangkat cawan araknya pula. Kim Seng Pa sudah segar kembali setelah pertarungannya dengan Pak Ki-ong Liong. Ia pun mengangkat cawan araknya sambil berkata, "Selamat, saudara Ji. Sejak semula memang aku tahu bahwa saudara bukan seorang bebal yang mengikuti Tong Lam Hou secara membabi-buta. Apa untungnya mengikuti komplotan liar tanpa masa depan itu? Tapi kalau saudara mengabdi kepada Kaisar, saudara akan memiliki masa depan yang cerah, bukan mustahil kelak saudara Ji menjadi seorang jenderal atau gubernur."
Waktu itu Kim Seng Pa memang sedang gembira hatinya. Bukan saja karena kelompoknya ketambahan seorang jago setangguh Ji Han Lim, namun juga karena namanya sedang menjadi buah bibir seluruh Pak-khia karena keberhasilannya mengalahkan Pak Kiong Liong dalam duel satu lawan satu. Kaisar Yong Ceng sendiri juga semakin menunjukkan kepercayaannya kepada Kim Seng Pa.
Setelah arak ditenggak, Kim Seng Pa berkata lagi, ''Saudara Ji, selanjutnya saudara harus berhasil menyadarkan teman-temanmu yang masih sesat mengikuti Hwe-liong-pang, agar mereka jangan mau lagi tunduk kepada Tong Lam Hou. Secara pribadi, aku kagum kepada Tong Lam Hou, sayang bahwa dia gampang terpengaruh oleh Pak Kiong Liong."
Ucapannya disambung oleh Toh Jiat Hong, "Ucapan Cong-koan tidak salah. Pak Kiong Liong membujuk Tong Lam Hou karena dirinya sendiri sudah kehilangan sandaran sejak Pangeran In Te tak berdaya lagi. la hanya ingin menyeret teman sebanyak-banyaknya nenuju jurang kehancurannya. Untunglah saudara Ji masih punya akal sehat untuk menilai keadaan. Aku juga yakin, masih banyak lagi orang-orang Hwe-liong-pang yang sebenarnya tidak mau ikut-ikutan tersesat, namun hanya karena tidak berani menolak perintah Tong Lam Hou."
Maka perjamuanpun dilanjutkan dengan menonton tari-tarian, melihat tukang sulap beraksi, sementara nampan-nampan berisi makanan lezat masih terus mengaIir. Namun tiba-tiba dari luar bangsal terjadi keributan. Sepasukan perajurit berseragam tempur, tanpa diundang, tiba-tiba berbaris masuk bangsal itu dan langsung menebar, mengambil sikap mengurung semua pengawal Jubah ungu yang tengah berpesta. Perajurit-perajurit itu memakai tanda-tanda pasukan Tiat-ki-kun, pasukan yang biasanya berada di medan tempur, entah kenapa tiba-tiba muncul di bagian dalam istana itu?
Keruan Kim Seng Pa dan pengawal-pengawal jubah ungu lainnya terlongong keheran-heranan. "Ada apa ini?" tanya Kim Seng Pa.
Dari pintu masuk, melangkahlah seorang Cong-peng berseragam Tiat-ki-kun, dan langsung membentak dengan sikap garang, "Atas perintah Jenderal Ni Keng Giau, pesta harus dibubarkan! Tidak pantas kalian berpesta-pora seperti ini, sementara keadaan negara belum aman, dan masih banyak perajurit kerajaan yang dengan penuh keprihatinan berjuang di pelosok-peIosok negeri!"
Kim Seng Pa kenal perwira itu, namanya Lu Kong Hwe, bawahan Ni Keng Gi-au. Keruan Kim seng Pa marah mendengar ancaman itu, matanya yang merah itu jadi bertambah merah. Katanya sambil menggebrak meja, "Kurang ajar betul si bocah ingusan Ni Keng Giau itu! Apa dia pikir kekuasaannya begitu besar, sehingga dapat seenaknya saja menyuruh tentaranya masuk istana ini? Apa dia juga tidak tahu bahwa kami berada di bawah perintah Kaisar langsung, bukan di bawah perintahnya?"
Namun sikap Lu Kong Hwe tetap dingin, "Saat ini Goan-swe Ni Keng Giau sedang menghadap Hong-siang sendiri dan berbicara langsung. Tapi pesta di tempat ini harus dihentikan, atau peluru-peluru kami yang akan bicara!"
Dan dengan sebuah isyarat tangan, para perajurit Tiat-ki-kun memecah diri menjadi dua lapis lingkaran. Lingkaran depan berjongkok, lingkaran belakang berdiri, dan semuanya sudah menodongkan bedil sundut mereka ke arah kaum jubah ungu. Sementara para gadis penari sudah menggigil ketakutan, beberapa di antaranya malah sudah pingsan.
Maksud Kim Seng Pa mengadakan pesta adalah untuk menunjukkan kebesaran dirinya. Tak terduga muncul peristiwa macam itu. Kalau pesta sampai dibubarkan karena perintah Ni Keng Giau, bukankah ia akan ditertawai orang karena dikira takut kepada Ni Keng Giau? Padahal selama ini ia selalu menepuk dada sebagai "tangan kanan” kaisar.
Tapi omong-omong soal "tangan kanan". Biau Beng Lama juga merasa tangan kanan Kaisar, Ni Keng Giau juga, Liong Ke Toh juga. Sehingga Kaisar punya begitu banyak "tangan kanan" dan tak satupun "tangan kiri".
Biarpun Kim Seng Pa marah, tapi ia sadar bahwa moncong bedil sebanyak itu tak bisa diabaikannya. Sekali pelatuk ditarik, betapapun tinggi ilmunya, ia dan seluruh anak-buahnya takkan terhindar dari hujan peluru. Tubuhnya gemetar menahan amarah. Selama ini menang Ni Keng Giau sering menyindir kelompoknya sebagai "kelompok pesta”, namun tak disangka kalau Ni Keng Giau berani bertindak sejauh itu.
Dengan wajah merah padam, Kim Seng Pa menggeram. "Persetan dengan Ni Keng Giau! la sudah membawa pasukannya untuk masuk istana dengan cara yang tidak sopan, ia bisa dihukum mati dengan tuduhan memberontak!"
Kalau orang lain yang dituduh memberontak, pasti-dengkuI mereka sudah gemetar atau jantungnya copot. Namun perwira bawahan Ni Keng Giau itu tenang tenang saja. "Hendak memberontak atau tidak, kelak kekuatan senjatalah yang akan menentukan. Sekarang, Cong-koan dan semua saudara-saudara di sini kami persilahkan menghadap Hong-siang. Di depan Hong-siang, nanti kalian boleh bebas bicara, entah mengadu entah merengek manja..."
Sehabis bicara, Lu Kong Hwe mengebaskan sebelah tangannya. Duapuluh perajurit yang sudah ditentukan, lalu mengangkat bedil dan menembak ke atas. Ruangan itu bergetar karena letusan duapuluh pucuk bedil sekaligus, asap tebal berbau mesiu memenuhi ruangan. Sebuah papan besar bertulisan huruf emas yang tergantung di atas bangsal, ambruk ke tanah dalam keadaan berlubang-lubang. Inilah gertakan Lu Kong Hwe. Kali Ini yang ditembaknya hanya papan, tapi kalau Kim Seng Pa masih membangkang, bukan mustahil peluru-peluru itu akan diarahkan kepada Kim Seng Pa dan orang-orangnya.
Tindakan Lu Kong Hwe itu memang terhitung nekad, ia bisa dianggap menghina Kaisar dan dihukum mati. Tapi si pelaku nampaknya tenang-tenang saja, malah kelihatan agak bangga. “Silahkan berjalan," kata Lu Kong Hwe kemudian.
“Aku bukan tawanan, aku bisa berjalan sendiri menghadap Hong-siang!” Kim Seng Pa masih mempertahkan keangkuhannya. “Dan tidak harus sekarang, tergantung kapan Hong-siang memanggil aku, atau kapan aku sendiri ingin menghadapnya!"
Lu Kong Hwe menyeringai dingin, “Hemm, mana berani aku anggap Kim Cong-koan sebagai tawanan? Aku toh mempersilahkan kalian dengan hormat?" Meskipun ia bicara "dengan hormat" tapi dengan tangan kanannya sudah diangkat perlahan-lahan, siap memberi perintah kepada barisan penembaknya untuk menarik pelatuk bedil.
Akhirnya Kim Seng Pa memang mati kutu, tak mungkin bersikap angkuh atau galak lagi. Dengan menahan amarah, ia melangkah ke pintu, dan satu persatu anak-buahnya melangkah di belakangnya, termasuk Jin Han Lim. Diam-diam Ji Han Lim heran. Dilihat dari luar, kekuasaan Yong Ceng nampak demikian kokoh tak tergoyahkan. Namun ternyata kekuatan-kekuatan pendukungnya cakar-cakaran begitu sengit sampai terjadi peristiwa seperti itu. Tapi ia tetap bungkam saja dan ikut melangkah dibelakang Kim Seng Pa, untuk melihat apa yang bakal terjadi di hadapan Hong siang (Kaisar) nanti.
Di luar bangsal, ternyata juga sudah penuh perajurit-perajurit Tiat-ki-kun yang berseragam tempur dan bersenjata lengkap. Para pengawal istana kelihatan juga, namun mereka kelihatan tak berdaya dan "tenggelam" di tengah-tengah perajurit-perajurit Tiat-ki-kun, seolah-olah telah terjadi kudeta di istana itu.
Mau tidak mau, kecut juga hati Kim Seng Pa. Batinnya, "Si bangsat cilik Ni Keng Giau itu agaknya terlalu bangga dengan kekuasaan yang dimilikinya, sehingga berani berbuat seperti ini. Ini terlalu kurang ajar, namun untuk menundukkannyapun sulit."
Sejak menjadi Panglima Tertinggi, Ni Keng Giau telah menetapkan tata tertib kemiliteran yang amat kilat, tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati kepada anak-buahnya yang melakukan kesalahan sekecil apapun. Karena itulah pasukannya menjadi kekuatan yang amat menakutkan, ibaratnya dengan gerakan ujung jari saja Ni Keng Giau sanggup menyuruh mereka menjalankan segala perintahnya.
Akhirnya Kim Seng Pa dan anak-buahnyapun tiba di Yang-wan-kiong, bangsal kediaman Kaisar. Begitu masuk, nampak Kaisar duduk di atas kursi beralas kulit macan, namun tidak sedang memakai jubah kebesarannya. Di samping kursi, Ni Keng Giau berdiri dengan sikap hormat, namun di sekeliling ruangan juga penuh perajurit Tiat-ki-kun bersenjata bedil. Jadi Kaisarpun seperti ikan dalam jaring. Lu Kong Hwe, Kim Seng Pa dan lain lainnyapun serempak berlutut kepada Kaisar Yong Ceng.
"Bangkitlah kalian," kata Yong Ceng.
"Terima kasih, Tuanku," sahut mereka sambil bangkit.
Setelah berada di hadapan Yong Ceng, Kim Seng Pa jadi kebingungan sendiri, hendak mulai bicara dari soal apa? Pesta di bangsalnya itu sudah direstui Kaisar sendiri, bahkan Kim Seng Pa diberi keleluasaan untuk mengeluarkan biaya dari kas istana, karena Yong Ceng begitu gembira ketika mendengar Kim Seng Pa dapat mengalahkan Pak Kiong Liong.
Di saat Kim Seng Pa ragu ragu, Ni Keng Giau telah mendahului berkata, "Tuanku, inilah orangnya yang hamba laporkan telah menghambur-hamburkan uang negara hanya untuk pesta-pora tak berguna."
Dengan amat terpaksa, Yong Ceng pura-pura bertanya kepada Kim Seng Pa, "Apakah benar begitu, Kim Cong-koan?"
Hati Kim Seng Pa bergolak marah, itu artinya Yong Ceng membebankan semua kewajiban untuk menjawab ke atas pundaknya, Terpaksa pula Kim Seng Pa berkata, "Tuanku, perjamuan yang hamba selenggarakan adalah untuk menyegarkan semangat anak-buah hamba yang belum lama ini menyabung nyawa demi kejayaan Tuanku. Tidak ada penghamburan uang negara. Perjamuan sederhana kali inipun untuk menyambut seorang Tong-cu Hwe-liong-pang yang sudah insyaf dari jalannya yang sesat untuk bergabung dengan kita. Tidakkah ini pantas dirayakan dengan sebuah perjamuan sederhana?"
Kaisar mengangguk-angguk, lalu berkata kepada Ni Keng Giau, "Sute (adik seperguruan), kupikir apa yang dikatakan Kim Cong-koan itu tidak keliru. Kedatangan tenaga baru yang mengabdi buatku memang harus disambut meriah, agar teman-teman mereka yang masih sesat dapat melihat bagaimana kita memperlakukan siapapun yang mau insyaf dengan baik."
Ternyata Ni Keng Giau berani membantah, "Hamba tidak sependapat, Tuanku. Menyambut teman baru boleh saja, tapi apakah mesti dengan pemborosan? Sedang kita masih butuh banyak biaya untuk meningkatkan kesejahteraan perajurit perajurit kita. Perajurit kita yang menjaga perbatasan Jing-hai, Hun-lam dan di tepi Sungai Amur sudah compang- camping pakaiannya, persediaan obat bedil mereka juga menipis, namun bantuan terhadap mereka belum juga dikirim. Kapan mereka akan mendapatkan itu? Sementara di bangsal Kim Cong-koan, uang dan makanan dihambur-hamburkan seperti membuang pasir saja."
Yong Ceng tak menduga kalau jenderal kepercayaannya sekaligus adik seperguruannya itu membantah seberani itu, sesaat darahnya menghangat. Namun Ni Keng Giau ibarat sebatang pohon yang dipupuk dan disirami sendiri oleh Yong Ceng sehingga menjadi pohon besar dan kokoh, tidak bisa "ditebang" dengan satu pukulan saja. Maka jawaban Yong Ceng bernada hati-hati,
"Aku sesalkan terlambatnya kiriman perbekalan kepada pasukan-pasukan kita di perbatasan. Aku akan segera memberi teguran keras kepada Peng-po Siang-si (Menteri Perang)".
"Dan bagaimana dengan pesta-pora memuakkan di istana ini?" desak Ni Keng Giau semakin berani.
Dalam keadaan biasa, mana sudi Yong Ceng didesak-desak macam itu, namun saat itu ia sadar harus memberi muka kepada Ni Keng Giau sebelum jenderalnya itu mata gelap. Sahutnya sambil tertawa, "Kim Cong-koan, aku tidak menyalahkanmu, namun lain kali sederhanakanlah sedikit pesta-pestamu."
Kim Seng Pa menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan kedongkolannya. Kaisar sendiri yang merestui pesta itu, dan sekarang Kaisar pula yang cuci tangan dan malah ikut menegurnya. Biar pun ia tahu Kaisar berbuat demikian karena sedang "kalah angin" dari Ni Keng Giau, toh ia penasaran juga. Katanya,
"Baiklah, Tuanku. Maafkan hamba yang terlalu gembira setelah berhasil mengalahkan Pak Kiong Liong. Biarpun dia tidak tewas, setidak-tidaknya akan memukul semangat pengikut-pengikutnya yang tadinya memujanya bagaikan dewa tak terkalahkan. Sekali lagi hamba mohon maaf, Tuanku." Dengan berkata demikian, Kim Seng Pa secara halus ingin menonjolkan jasanya, agar jangan terlalu dipandang enteng.
Tetapi sebelum Kaisar menjawab, Ni Keng Giau sudah mendahului, "Alangkah hebat jasamu, Kim Cong-koan. Namun dulu ketika aku berhasil melucuti lima ratus ribu pasukan Pangeran In Te, membungkam enam ratus pucuk meriamnya yang mengepung rapat kota Pak-khia, aku tidak mengadakan pesta seperti kau. Padahal seharusnya aku berpesta seratus kali lebih meriah dari pestamu. Tahukah Cong-koan kenapa aku tidak berpesta? Sebab aku sudah terbiasa mereguk kemenangan, dan tidak gampang mabuk kemenangan."
Wajah Kim Seng Pa kontan merah padam. Tapi sebelum ia membantah, Kaisar Yong Ceng telah berkata keras, "Jangan bertengkar lagi! Kalian adalah sesama pembantuku, sudah sepantasnya kalau saling mengingatkan, namun tidak perlu ribut-ribut seperti ini! Ni Keng Giau, pengaduanmu sudah kudengar dan aku akan mempertimbangkan semuanya!"
Betapa besar nyali Ni Keng Giau dan betapa bangga akan kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi, namun wibawa Kaisar masih juga mampu menundukkannya. Mendengar suara Kaisar mulai keras, ia tidak ingin mendebat lagi. Cepat ia berlutut sambil berkata, "Terima kasih atas perhatianmu Tuanku. Hamba berterima kasih atas nama perajurit-perajurit perbatasan yang tiap malam menggigil kedinginan, kelaparan dan menghadapi ancaman yang...."
"Tadi aku sudah mendengar, tidak usah kau ulangi...!" Yong Ceng mengibaskan tangannya. "... dan sudah kubilang akan kupertimbangkan baik-baik."
"Maafkan hamba, Tuanku."
Melihat Ni Keng Giau masih bisa ditundukkannya, lega juga hati Yong Ceng. Namun dalam hatinya sudah timbul kesan bahwa Ni Keng Giau merupakan "bahaya dalam tubuh" yang tidak boleh dibiarkan makin membesar. Tapi entah kapan bisa "dikecilkan" kembali.
"Ni Keng Giau, sekarang bagaimana dengan pertanggung-jawabanmu perihal kerusakan bangsal Bwe-hoa-kiong akibat ulah anak-buahmu? Kau pikir istana ini hanyalah sebuah bangunan bobrok yang dapat diterobos keluar masuk semaumu saja?"
"Hamba pasti akan menegur perwira yang bertindak tidak sopan i tu , Tuanku."
Jawaban yang sungguh tidak memuaskan Yong Ceng, sebab Ni Keng Giau hanya akan menegur bawahannya, padahal seharusnya dipotong-potong tubuhnya karena kekurang ajarannya. Namun ia masih belum berani terlalu mendesak Ni Keng Giau. "Baiklah, didiklah orang-orangmu baik-baik agar tidak menjadi liar," suara Yong Ceng melunak, meskipun kemarahan menggumpal di ulu hatinya.
Sudah ia jengkel, malah Ni Keng Giau menambah kejengkelannya dengan kaata-kata berikut, "Terima kasih, Tuanku. Harap dimaklumi kalau anak buah hamba bertlndak kasar, sebab memang ada pihak yang bandel dan perlu diperlakukan sedikit kasar. Selain anak buah hamba yang harus ditertibkan, kelompok lain juga harus ditertibkan. Jangan sampai yang satu tertib, sedang yang lain manja dan berlagak seolah-olah mereka yang berkuasa, dan....“
"Cukup!" suara Yong Ceng menggelegar di ruangan itu. Kemudian kepada perajurit-perajurit Tiat-ki-kun yang maslh berdiri tegang di sekitar ruangan itu, Yong Ceng membentak, "Mau apa kalian berdiri di situ?! Keluar!!"
Namun perajurit-perajurit yang di perintah itu tetap berdiri tegap di tempat, tak bergeser sedikitpun juga. Keruan Yong Ceng semakin marah, "He, kalian tidak mendengar perintahku!" Keluar! Keluar!"
Yong Ceng seolah berbicara kepada patung-patung saja. Para perajurit Ti-at-ki-kun tetap berdiri tegap, pandangan mata lurus ke depan, muka dingin, senjata digenggam erat. Hal itu membuat Yong Ceng bergidik sendiri. Suasana dalam ruangan itu segera sesak oleh ketegangan, para pengawal Kaisar sudah siap bertarung habis-habisan kalau para perajurit Tlat-ki-kun masih juga membandel.
Ni Keng Giau puas melihai hasil didikannya selama ini atas perajurit-perajuritnya. Senyumnya seolah mengatakan, "Lihat perajurit-perajuritku yang berdisiplin baja!" Tetapi ia masih tidak ingin pertumpahan darah, maka diapun berkata dengan tenang tanpa berteriak, "Kalian keluarlah...."
Ruangan itu seketika gemuruh dengan jawaban ratusan perajurit Tiat-ki-kun itu, "Siap, Goan-swe!" Lalu dengan tertib mereka melangkah keluar. Tidak lambat, juga tidak terburu-buru, seolah mereka digerakkan hanya oleh satu otak.
Melihat betapa hebat disiplin pasukan Tiat-ki-kun, keringat dingin mengalir di tengkuk Yong Ceng. Baru saat itu ia sadar, nyawanya seolah baru saja lepas dari genggaman tangan Ni Keng Giau. Coba tadi Ni Keng Giau suruh mereka menembak, apa yang terjadi?
Sedangkan Ni Keng Giau telah berlutut dan berkata, "Hamba mohon diri, Tuanku.”
Lalu dengan membusungkan dada, Ni Keng Giau berjalan keluar. Tetapi sebelum sampai di pintu, Yong Ceng telah berseru, "Ni Keng Giau!"
Ni Keng Giau membalikkan tubuh dan bertanya, "Apakah masih ada perintah Tuanku untuk hamba?"
Suara Yong Ceng dingin sekali, ''Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengucapkan selamat untuk kehebatan pasukanmu."
Jiwa Ni Keng Giau yang tengah berkobar-kobar penuh rasa bangga itu tiba tiba seperti tersiram air es, kata-kata Yong Ceng itu membuatnya takut sendiri. Tadinya, ia menyerbu istana karena terdorong rasa kesalnya melihat kelakuan kelompok-kelompok istana, tapi setelah menyadari apa yang dilakukannya, ia jadi takut sendiri. Itulah tindakan yang pasti tidak disenangi Yong Ceng, sebab telah membuatnya kehilangan muka di hadapan banyak orang.
la bergidik mengingat bagaimana Yong Ceng menyingkirkan orang-orang yang tidak disenanginya, karena dulu Ni Keng Giau adalah algojo pelaksananya. Kini ia menyesal sendiri, tetapi dibulatkannya tekad dalam hatinya, "Aku sudah terlanjur melangkah dan tak bisa surut lagi. Aku harus memperkuat genggangamku atas Tiat-ki-kun agar Hong-siang tidak berani menyingkirkan aku. Tapi mudah-mudahan Hong-siang cepat melupakan kejadian hari ini."
Seharusnya Ni Keng Giau yang sudah hapal watak Yong Ceng menyadari, tak mungkin Yong Ceng melupakannya begitu saja. Namun manusia toh ada kalanya perlu menipu diri sendiri untuk menenteramkan hati....
Selanjutnya,