Kemelut Tahta Naga I Jilid 19
Karya Stevanus S P
Kim Seng Pa mengangguk-angguk dan menyeringai puas. Tindakan Ji Han Lim anak-buah barunya itu, benar-benar "dapat dipertanggung jawabkan" dan perlu dilaporkan Kaisar agar naik pangkat.
Sementara itu, Ji Han Lim telah berlutut di hadapannya sambil berkata, "Cong-koan, biarpun adikku tersesat mengikuti gerombolan pembangkang, namun mengingat pertalian darahnya denganku, aku mohon ijin Cong-koan untuk merawat tubuhnya dengan layak."
Kim Seng Pa puas sekali karena Ji Han Lim dianggapnya lulus "ujian kesetiaan kepada Kaisar. Tidak perlu ditambah lagi "mata ujian" hari itu, nanti malah otaknya bisa miring dan tidak dapat digunakan lagi. Karena itulah Kim Seng Pa mengijinkan.
"Cong-koan, kalau boleh aku juga mohon diri lebih dulu untuk membawa tubuh saudaraku...."
"Baik, jangan lupa, kesetiaanmu itu akan segera diketahui oleh Kaisar. selamat, saudara Ji."
"Terima kasih, Cong-koan," sahut Ji Han Lim gemetar. Lalu ia keluar dari situ dengan membawa tubuh adiknya yang hancur, sebagian besar oleh tangannya sendiri.
Setelah Ji Han Lim pergi, Kim Seng Pa sendiri memimpin penyiksaan atas diri Kiong Wan Peng dan Siang Koan Long. Tetapi karena kedua Tong-cu itu tetap tidak mau menjawab, sehingga Kim Seng Pa amat jengkel. Akhirnya ia menemukan akal. Disuruhnya orang-orangnya untuk memasang pengumuman di jalan-jalan ramai, bahwa beberapa hari lagi dua Tong-cu Hwe-liong-pang akan dihukum penggal kepala. la berharap pengumuman itu akan memancing orang-orang Hwe-liong-pang untuk menolong kedua Tong-cu, dan mereka akan masuk jaring.
Malam berikutnya, di atas bukit kecil di luar kota Pak-khia nampak ada api berkobar-kobar. Ji Han Lim tengah memperabukan jenazah adiknya. Kalau di depan Kim Seng Pa dan pengawal-pengawal jubah ungu lainnya ia bersikap garang dan bengis, maka setelah sendirian saja, tumpahlah luapan perasaannya yang sejati. la menangis, memukul-mukul dadanya sendiri dan berbicara sendirian entah apa saja yang diucapkan. Rupanya ia berusaha berbicara kepada arwah adiknya.
Semalam suntuk ia menatap kobaran api yang memusnahkan jazad adiknya. Menjelang fajar, potongan-potongan kayu yang besar-besar itupun sudah jadi abu, apinya padam, dan Ji Han Bok berujud abu yang keputih-putihan dan bergumpal-gumpal di tengah-tengah abu kayu.
Pikiran Ji Han Lim jadi agak tenang, setelah semalam ia puas meratap. Dengan khidmat dikumpuIkannya abu jenazah adiknya untuk dimasukkan sebuah guci kecil yang lalu ditutup dengan kain kuning, lalu digendongnya di punggung.
Sesaat kemudian, di bawah siraman cahaya fajar yang lembut bersahabat, diiringi nyanyian satwa yang riang gembira, Ji Han Lim menuruni bukit itu. Tapi keindahan suasana sekitarnya belum mampu menghapus kemurungan wajah- nya. la ingat, dulu ketika adiknya masih kecil, adiknya sering digendongnya, namun kini yang digendongnya ha-nya segumpal abu dalam guci.
Tiba-tiba suasana sunyi di jalan setapak di pinggir hutan itu dipecahkan suara derap kaki kuda yang dipacu tergesa-gesa. Cepat Ji Han Lim melompat ke pinggir jalan, untuk melihat siapa gerangan penunggang kuda di pagi itu?
Itulah tiga lelaki berkuda, semuanya membawa senjata. Itu sebenarnya pemandangan biasa, tetapi Ji Han Lim merasa pernah melihat si lelaki yang bertubuh pendek gempal dan membawa toya Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala). Namun Ji Han Lim tidak ingat lagi, kapan dan di mana ia pernah melihat orang itu.
Sebaliknya, lelaki itu begitu tergesa-gesa sehingga tidak sempat melirik Ji Han Lim yang dikiranya orang lewat biasa. Maklum, Ji Han Lim saat itu berpakaian "normal", artinya tidak memakai seragam pengawalnya, juga tidak memakai pakaiannya semasa masih menjadi Tong-cu Hwe-liong-pang dulu, baju pendek kulit binatang yang menonjolkan otot dada dan lengannya yang kekar. Kini Ji Han Lim memakai jubah biasa, seperti beribu-ribu orang di Pak-khia juga berpakaian demikian.
Mereka bertiga menyusuri pinggir hutan, namun ketika mendengar suara suitan dari tengah hutan, merekapun membelokkan kuda masuk ke lorong hutan. Sesaat Ji Han Lim melupakan dukanya, diganti rasa tertarik melihat tingkah orang-orang itu dari kejauhan. Sebagai seorang yang biasa berkelana di dunia persilatan, ia gampang tertarik kalau melihat urusan-urusan yang di-rasanya aneh.
Setelah ketiga orang tadi berbelok menghilang ke dalam hutan, Ji Han Lim mendekati mulut lorong itu dan melihat secarik bendera kecil diikatkan di mulut lorong. Bendera kuning berbentuk segitiga, ditengahnya terlukis bulatan merah yang melambangkan matahari dan bulan sabit putih di sampingnya.
Ji Han Lim terkesiap. Itulah Jit goat-ki (Bendera Rembulan Matahari) dari jaman Kerajaan Beng dulu. Huruf "Beng" (Cahaya) adalah gabungan dari huruf-huruf "jit" (Matahari) dan "goat" (Rembulan). Setelah Kerajaan Beng runtuh dan dinasti Manchu berkuasa, bendera itu menjadi lambang sebuah gerakan bawah tanah yang menyebut dirinya Jit-goat-pang (Serikat Rembulan Matahari), yang bercita-cita menumbangkan Manchu dan mendirikan kembali Kerajaan Beng.
Ciri-ciri khas anggota-anggota Jit-goat-pang ialah pakaian mereka yang tetap model kuno, model kerajaan Beng, dan mereka tidak mau mengun- cir rambutnya menurut peraturan pemerintah Manchu. Namun mereka bertindak cerdik juga. Di tempat-tempat umum, mereka memasang kuncir palsu atau memakai topi berkuncir palsu. Kalau mereka bertemu sesama kawan di tempat rahasia, barulah mereka tampil dengan ciri-ciri mereka dalam hal pakaian dan rambut.
Kini melihat orang-orang Jit-goat pang berani muncul di tempat yang terhitung tidak jauh dari Pak-khia, perhatian Ji Han Lim langsung tertarik. la ingin tahu, apa saja yang mereka lakukan dengan berkumpul di tempat itu? Dan lagi-lagi terdengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. Cepat-cepat Ji Han Lim melompat ke atas sebuah pohon dan bersembunyi di antara daun-daunnya. Tapi ia masih bisa mengintai dari sela-sela daun.
Dari arah selatan muncul empat penunggang kuda, dari barat juga muncul empat penunggang kuda. Kedua rombongan itu berpapasan di mulut lorong hutan. Di hadapan satu sama lain, mereka merobek-robek pakaian mereka sebelah luar yang berpotongan Manchu, sehingga nampak pakaian sebelah dalam mereka yang bermodel Kerajaan Beng. Lalu kuncir-kuncir palsu mereka dilepas pula, sehingga nampak potongan model kuno rambut mereka. Rupanya, agar selama perjalanan mereka tidak dicurigai pemerintah Manchu, mereka menutupi ciri-ciri mereka yang asli.
Yang agak mendebarkan Ji Han Lim ialah ketika melihat salah seorang dari mereka cukup dikenalnya. Dulu, ketika Ji Han Lim dan teman-teman seperjalanan nyaris hancur berkeping-keping di sebuah gubuk yang ternyata dipasangi bahan peledak. Orang itu bahkan pernah bertempur dengan Ji Han Lim. Dialah Lo Siang yang berjulukan Ang-jiau-hong-mo (Hantu Gila Bertangan Merah), ahli tingkat tinggi dalam Ang-se ciang (Pukulan Pasir Merah).
Rombongan dari selatan dipimpin seorang lelaki yang jangkung kurus sehingga mirip tiang jemuran. Ketika ia duduk di atas kuda, tubuhnya bergoyang goyang seakan hendak roboh, dan sepasang kakinya begitu panjang sehingga hampir menyentuh tanah. Pakaiannya bersulam dan mewah sekali. Tampang orang ini lucu sekali, cocok untuk ikut rombongan badut penghibur, namun wajah Ji Han Lim justru tegang karena ia juga kenal tokoh ini. Namanya Ku Tian Lok, julukannya Tiau-si-kui (Setan Gantungan), di lingkungan Jit-goat-pang dia berkedudukan sebagai Lam-ong (Raja Selatan).
Kiranya Jit-goat-pang masih mempertahankan sebutan-sebutan pemerintahan jaman Beng duIu, itulah sebabnya Ku Tian Lok bergelar Lam-ong, sementara pemimpin Jit-goat-pang sendiri tidak dipanggil Pang cu, tetapi Kaisar. Biarpun Ku Tian Lok lebih mirip raja badut, namun Ji Han Lim sadar, orang itu beberapa kali lipat lebih berbahaya daripada Lo Siang.
Kedua rombongan itu bergabung, kemudian sama-sama menghilang ke dalam hutan. Ketika keadaan sudah sepi kemba-li, Ji Han Lim melompat turun dari pohon dan dengan hati-hati sekali menyusup pula ke dalam hutan. la tidak mengikuti lorong hutan, sebab yakin bahwa lorong itu tentu dijaga. Benar juga, tampak beberapa penjaga. Maka Ji Han Lim lebih suka merunduk-runduk bersembunyi di antara pepohonan yang lebat.
Akhirnya ia melihat, di tengah hutan ada sebuah tempat lapang yang digunakan sebagai tempat pertemuan. Di situlah orang-orang Jit-goat-pang berkumpul, bersila dengan khidmat mengitari sebuah "singgasana" yang masih kosong dan sehelai bendera Jit-goat-pang berukuran raksasa. Rupanya pertemuan belum dimulai, mereka masih menunggu datangnya “Kaisar" mereka.
Di tempat persembunyiannya, Ji Han Lim harus amat berhati-hati, berna as pun tidak berani keras-keras. la tidak tahu entah berapa banyak orang berilmu tinggi di antara mereka, dan kalau kehadirannya sampai diketahui, dia pasti akan menyusul adiknya. Jit-goat-pang adalah sebuah organisasi amat tertutup yang tak segan-segan bertindak kejam kepada orang-orang yang mengintai kelakukan rahasia mereka.
Tidak lama kemudian, muncul lagi serombongan orang berkuda. Dan kali ini salah seorang pendatang berteriak nyaring. "Hong-siang akan tiba!"
Orang-orang itu serempak mengatur diri dalam dua jajaran dan berlutut. Diam-diam Ji Han Lim geli juga melihat tingkah orang-orang itu. Yah, hitung-hitung nonton pertunjukan lawak gratis, namun kalau sampai ketahuan maka nyawanya akan dicabut sebagai "harga tanda masuk".
Dari mulut lorong muncul lagi sepasukan orang berpakaian seragam istana jaman dinasti Beng, yang lalu berbaris dua jaiur dengan sikap tegap sam bi1 menggenggam senjata masing-masing. Ji Han Lim mengira "Kaisar" nya akan segera muncul, eh, ternyata belum juga. Kali ini muncul orang-orang berpakaian pelayan istana yang menggelarkan permadani dari mulut lorong sampai ke "singgasana". Muncul lagi sekelompok gadis berdandan dayang-dayang istana yang menyebarkan bunga-bunga dan memasang dupa wangi segala.
"Benar-benar tata-cara bau tengik..." Ji Han Lim menggerutu dalam hati. Namun akhirnya muncul juga sebuah tandu, dan muncullah sang "Kaisar" Jit goat-pang dari dalam tandu, disambut seruan orang-orang yang berlutut itu, "Ban-swe! Ban-swe!"
"Kaisar" itu seorang lelaki berusia sekitar limapuluh tahun, rambutnya sudah kelabu, berpakaian lengkap jubah kuning bersulam naga dan lagaknya memang seperti Kaisar tulen. Yang mengejutkan Ji Han Lim ialah betapa tajamnya mata orang ini, menandakan entah berapa tinggi ilmu yang tersimpan dalam dirinya.
Dulu di jaman menjelang berakhirnya masa pemerintahan Kaisar Sun Ti, Jit-goat-pang pernah memberontak di bawah pimpinan Cu Leng Ong, seorang putera selir Kaisar Cong Ceng dari dinasti Beng. Pangeran Cu Leng Ong itulah ayah dari "Kaisar" Jit-goat-pang yang bernama Cu Teng Hong ini. Jadi ia adalah cucu Kaisar Cong Ceng, biarpun neneknya cuma seorang selir.
Setelah duduk di "singgasana". Cu Teng Hong berkata kepada pengikut-pengikutnya, "Bangkitlah...”
Seruan serempak lagi, "Terima kasih, Tuanku!" lalu orang-orang itu berdiri dengan tertib dan sikap hormat. Benar-benar mirip dalam istana.
Kemudian mereka berunding, dan tergetarlah jantung Ji Han Lim setelah mendengar apa yang mereka rencanakan. Ternyata mereka hendak mengadakan gerakan besar-besaran di Pak-khia, tepat pada hari ulang-tahun Kaisar Yong Ceng beberapa hari lagi. Gebrakan yang tidak tanggung-tanggung, bermaksud merebut Pak-khia, dan membunuh Kaisar Yong Ceng, untuk itu Jit-goat-pang bekerja sama dengan kaum Pek-lian-pai (Golongan Teratai Putih), meskipun mereka gagal mengajak kaum Thian-te-hwe (Serikat Langit Bumi) untuk bergabung dalam gerakan itu.
Mendengar rencana itu, Ji Han Lim bimbang sendiri. Perlu dilaporkan Kim Seng Pa atau tidak? Kalau dilaporkan, alangkah besarnya jasa Ji Han Lim, sebab laporannya pasti akan sangat lengkap. la sudah mendengar cara bagaimana yang akan digunakan gabungan antara Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai, kapan waktunya, tempat-tempat yang akan dijadikan sasaran, pusat-pusat kekuatan mereka di dalam dan luar kota Pak-khia bagaimana cara mereka saling berhubungan untuk menyampaikan atau menerima perintah. Lengkap sekali.
Kalau Ji Han Lim mau bicara kepada Kim Seng Pa, maka dalam sekali gebrak saja rencana Jit-goat-pang yang tersusun rapi itu akan lumpuh sebelum bertindak. Tetapi Ji Han Lim tidak dapat segera memutuskan dalam hatinya. Bahkan lebih kuat kecenderungannya untuk tidak usah lapor saja, alias tutup mulut.
Setelah orang-orang Jit-goat-pang itu selesai menetapkan rencana, mereka sempat membuat upacara sumpah setia, semuanya bersumpah akan bertaruh nyawa demi suksesnya rencana itu. Serempak mereka meneriakkan semboyan mereka yang terkenal, "Seng-wi-beng-jin, Si-wi-beng-kui!” Hidup sebagai rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng!
Kemudian Cu Teng Hong meninggalkan tempat itu dengan diiringi penghormatan berlutut dari seluruh pengikutnya. Lalu pengikut-pengikutnya pun meninggalkan tempat itu. Yang paling akhir pergi adalah Ji Han Lim, meskipun tetap harus sambil celingukan waspada.
Hari itu bukan hari giliran tugas Ji Han Lim, maka setelah masuk dalam kota Pak-khia, ia sempat mampir ke kuil Thian-te-bio untuk menitipkan guci jenazah adiknya. Kemudian sambil lalu ia memutar lewat kelenteng Thai-hud-si, tempat dulu menjadi persembunyian orang-orang Hwe-liong-pang kalau sedang beroperasi di Pak-khia. Dulunya, pangkalan operasinya adalah rumah Kui Hok, seorang anggota Hwe-liong-pang pula. Namun setelah rumah itu diketahui pihak jagoan istana, lalu dipindahkan ke Thai-hud-si.
Ketika Ji Han Lim masuk kuil itu, ternyata sudah kosong. Tak seorangpun kelihatan batang hidungnya. Rupanya, sejak matinya Khai-sim Hwe-shio di taman Cun-hoa, pendeta-pendeta kuil itu sudah bubar takut ditangkap tentara pemerintah. Saat itu, pihak Hwe-liong-pang entah punya pangkalan operasi dimana lagi.
Sesaat Ji Han Lim berdiri termenung, sampai seseorang masuk dari pintu kuil. Ji Han lim membalikkan badan, dan melihat bahwa si pendatang itu adalah Kui Hok yang membawa Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis). Ketika Ji Han Lim masih dianggap anggota Hwe-liong-pang, kedudukan Kui Hok adalah dibawah Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) yang dulu dipimpin Ji Han Lim.
Namun kini Kui Hok berdiri di depan Ji Han Lim tanpa rasa hormat sedikitpun. Matanya bahkan menatap bekas pemimpin kelompoknya itu dengan penuh kemarahan dan kebencian. “Pengkhianat!” geram Kui Hok. “Sejak dari jalan besar tadi kuikuti kau diam-diam sampai kemari, sekarang tibalah saat kematianmu!”
“Tunggu, saudara Kui, harus kujelaskan…..” Ji Han Lim tak sempat menyelesaikan kata-katanya, sebab ia harus buru-buru menghindar gebukan toya Kui Hok. “Dengarkan dulu, saudara Kui...” Ji Han Lim tak sempat menyelesaikan kata-katanya, sebab ia harus buru-buru menghindar gebukan toya Kui Hok.
“Tidak. Aku tidak mau mendengarkan seorang pengkhianat yang tega menjebak adik kandungnya dan teman-teman seperjuangannya sendiri, hanya untuk mencari muka kepada si keparat Yong Ceng!” terika Kui Hok sambil terus menyerang dengan gencar.
Karena hanya menghindar terus, tidak membalas, lama-kelamaan Ji Han Lim repot juga. Bagaimanapun Kui Hok adalah kepala cabang Hwe-liong-pang di Pak-khia yang ilmunya cukup hebat. Tapi Ji Han Lim juga tidak membiarkan kepalanya dijadikan bubur oleh toya besi Kui Hok. Suatu ketika Kui Hok menyerang dengan Thai-san-ap-ting (Gunung Thai-san menimpa kepala) Yang menghantam dari atas ke bawah. Ji Han Lim cepat menghindar, lalu jari-jari Ji Han Lim meluncur menotok rusuknya, sehingga Kui Hok langsung roboh.
Tetapi Kui Hok tidak mau menunjukkan sikap takluk, ia masih berteriak, "Pengkhianat, kau bunuhlah aku sekalian! Seperti kau sudah membunuh adikmu sendiri yang berwatak satria itu! Ayo bunuh aku!"
Tanpa peduli caci-maki Kui Hok, Ji Han Lim mengangkat tubuh Kui Hok ke belakang kuil Thai-hud-si, sehingga teriakannya takkan terdengar dari jalan besar dan bisa menimbulkan kesulitan. Didudukkannya tubuh Kui Hok yang tertotok disebuah kursi.
"Kui Hok, sebelum kau lanjutkan caci-makimu, kau mau mendengarkan omonganku lebih dulu?" tanyanya.
Memang mulut Kui Hok kelelahan juga, maka diapun bungkam, namun sepasang matanya masih menyemburkan kemarahannya. Ji Han Lim menarik sebuah kursi untuk didudukinya sendiri di hadapan Kui Hok. Lalu iapun menceritakan rencananya untuk menakluk kepada Kim Seng Pa. Sebuah rencana yang penuh pengorbanan, bukan saja korban nyawa, teman-teman dan bahkan saudara kandungnya sendiri, tapi juga nama baiknya sendiri, sebab Ji Han Lim mau tidak mau mendapat cap sebagai pengkhianat. Ketika ingat adiknya yang sudah menjadi abu, tak tertahan lagi Ji Han Lim bicara sambil terguguk-guguk.
Melihat kesungguhan Ji Han Lim, Kui Hok mulai terpengaruh. Mula-mula ia tercengang, lalu bimbang antara percaya dan tidak percaya, namun akhirnya mulai percaya juga. Sinar kebencian dan kemarahan memudar dari sepasang matanya, digantikan sinar mata penuh hormat dan haru. Itu sebuah kisah pengor- banan yang tidak tanggung-tanggung. Akhirnya Kui Hok ikut mencucurkan air mata pula.
'Tong-cu...." suaranya menjadi serak. "Terimalah hormatku yang tinggi...."
Ji Han Lim akhirnya bisa juga tersenyum lega, setelah ia menjelaskan segalanya kepada Kui Hok. Dan ia sudah siap menyongsong maut sebagai puncak rencananya. Rencana yang bukan hanya berdasar kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya, melainkan demi jutaan rakyat kekaisaran yang tertindas di bawah pemerintahan yang lalim. Rasanya pengorbanannya selama ini jadi tidak terlalu mahal lagi. Toh taruhannya adalah kebahagiaan seluruh rakyat.
Ji Han Lim membebaskan totokan Kui Hok, lalu berkata, "Terima kasih, saudara Kui, kau sudi mendengarkan dan mempercayai aku."
"Tong-cu, pengorbananmu sesungguhnya terlalu hebat, tidak bisa dilakukan sembarangan orang. Tetapi...."
”Kenapa?"
"Buat apa Tong-cu berkorban seperitu itu? Asal kita gigih berjuang, toh lama-lama Yong Ceng akan tumbang juga dari tahtanya yang berlumuran darah itu.”
Ji Han Lim menjawab sambil menarik napas, "Saudara Kui, sampai kapan batasnya 'lama-lama' itu? Selama itu, berapa korban nyawa yang akan jatuh di pihak penentang atau pendukung Yong Ceng? Semuanya hanya bersumber dari Yong Ceng yang bernafsu untuk terus bertahta dengan cara-cara liciknya, mengubah Surat Wasiat ayahandanya, menyandera Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai, membunuhi menteri-menteri tua yang setia, dan seribu kejahatan lainnya. Kelakuan Yong Ceng menyuburkan perlawanan dalam negeri, dan berarti melemahkan kekaisaran, padahal kekaisaran kita senantiasa terancam oleh Rusia dari barat dan Jepang dari timur, yang akan mendapat peluang untuk menyerang kita kalau negeri ini lemah. Karena itu, Yong Ceng harus mati! Setelah itu aku tidak peduli apakah yang akan naik tahta itu Pangeran In Te atau Pangeran Hong Lik, pokoknya negeri ini harus mendapat raja yang lebih baik, yang lebih dapat memperkuat negara dan memperhatikan rakyat. Kalau tidak, kita akan dijajah orang- orang bule seperti beberapa negeri di selatan!"
Kui Hok terbakar oleh semangat yang ditunjukkan Ji Han Lim itu, kata-nya, "Tong-cu, kini aku sadar bahwa kau bukan pengkhianat, tapi seorang patriot yang sedang melakukan pengorbanan tertinggi. Tidak sedikit orang berani mengorbankan nyawanya, tapi bukan nama baiknya. Berkorban nyawa, tapi mengharap imbalan bahwa namanya akan mengharum dan dikenang terus. Tapi Tong-cu siap mengorbankan apapun tanpa sisa, nyawa dan nama baik...."
"Jangan memujiku setinggi itu. Aku bercerita terus-terang kepadamu, berarti aku masih sayang akan nama baikku juga."
"Tong-cu, kalau kau butuh bantuanku, akupun siap mengorbankan apa saja."
"Terima kasih, tapi aku sendiri pun merasa cukup lancar dalam rencana ku. Si anjing tua Kim Seng Pa itu semakin percaya kepadaku. Aku hanya mohon, demi jutaan rakyat yang harus dibebaskan dari penindasan, agar siapapun jangan diberitahu rencanaku ini, supaya tidak bocor dan membahayakan jiwaku."
Mata Kui Hok kembali basah berkaca-kaca, "Aku sanggupi, Tong-cu. Ada pesan lain?"
"Satu lagi. Kalau aku mati, bakarlah mayatku menjadi abu dan satukan dengan abu jenazah adikku yang kutitipkan di kelenteng Thian-te-bio, lalu bawalah ke Tiau-im-hong."
"Aku berharap Tong-cu tetap hidup, setelah berhasil dengan tugas berat itu."
"Tentu saja akupun berharap demikian," Ji Han Lim tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Kui Hok. "Kita berpisah, ingat-ingat pesanku tadi..."
"Baik, Tong-cu."
Ji Han Lim sudah melangkah beberapa tindak, namun tiba-tiba ia menghentikan langkah dan berbalik lagi, "Eh, masih ada satu hal lagi, saudara Kui."
"Apa, Tong-cu?"
"Laporkan kepada Tong Pang-cu bahwa empat hari lagi adalah hari ulang tahun Yong Ceng, dan para pemberontak Jit-goat-pang serta Pek-lian-pai akan bergerak merebut seluruh Pak-khia dengan kekuatan besar-besaran. Mereka juga bertujuan membunuh Yong Ceng, tapi hanya untuk digantikan raja lalim lainnya, yaitu Cu Teng Hong si "Kaisar" Jit-goat-pang. Saat terjadinya huru-hara itulah kesempatan baik untuk menolong Siang Koan Tong-cu dan Kiong Tongcu di penjara istana. Tanpa memanfaatkan saat itu, sulit membebaskan mereka."
"Baik. Matinya Yong Ceng akan merupakan anugerah besar buat rakyat yang tertindas."
"Apakah kekuatan Hwe-liong-pang juga sudah terkumpul di kota ini?"
Sekilas timbul kecurigaan Kui Hok. Jangan-jangan Ji Han Lim hanya hendak memancing keterangan tentang orang-orang Hwe-liong-pang, lalu diserbu dan ditumpas? Namun melihat sorot mata Ji Han Lim yang tulus dan pedih, Kui Hok merasa terlalu kejam kalau masih mencurgainya. Sahutnya, "Benar, kemarin malam semua kekuatan sudah berkumpul.” Bagaimanapun juga, masih ada sisa kecurigaannya, sehingga Kui Hok tadi menyebutkan tempat berkumpulnya.
"Siapa saja?"
"Pang-cu bersama muridnya, Pangeran In Tong, Goan-swe Pak Kiong Liong dan lima Tong-cu dan lima Hutong-cu serta belasan teman-teman kita."
"Cukup untuk menggempur penjara. Tapi ingat, manfaatkan kesempatan dengan tepat."
Tiba-tiba Ji Han Lim merasa keterangan Kui Hok agak aneh. Hwe-liong-pang hanya punya delapan Tong-cu, salah satu adalah ia sendiri. Liong Su Koan sudah gugur di Taman Cun-hoa, Siang Koan Long dan Kiong Wan Peng terkurung di penjara. Mestinya tinggal empat, kenapa Kui Hok bilang lima? Tiba-tiba Ji Han Lim jadi sedih sendiri. la mengira dirinya sudah dicap pengkhianat dan tentunya Tong Lam Hou sudah mengangkat seorang Ang-ki Tong-cu (Kepala Kelompok Bendera Merah) yang baru.
Tanpa sadar ia bergumam sendiri, "Ya, memang pantas kalau kedudukanku sebagai Ang-ki Tong-cu digantikan orang lain. Siapapun pasti berpikiran begitu."
Sahut Kui Hok, "Sampai saat ini belum diangkat pengganti Tong-cu atau Liong Tong-cu yang gugur itu..."
"Kalau begitu, tentunya yang datang itu empat orang Tong-cu, bukan lima seperti katamu tadi, saudara Kui."
Kui Hok tersenyum, "Sekarang ada kelompok kesembilan dalam Hwe-liong-pang, yang disebut Hui-liong-tong (Kelompok Naga Terbang), bekas perajurit-perajurit Hui-Iiong-kun yang diburu-buru Yong Ceng dan bergabung dengan kita. Tong-cunya adalah Tok Koh Lui dan Hutong-cunya Au Yang Kok Cu."
"Wah, kiranya ada peristiwa gembira itu."
"Tong-cu, bagaimana kalau rencana mu yang berbahaya itu dijelaskan kepada Pang-cu? Selain untuk mencuci nama baikmu, juga andaikata gagal bisa diusahakan menyelamatkan Tong-cu keluar dari tengah-tengah serigala-serigala itu."
"Boleh, tapi ingat, hanya kepada Pang-cu seorang. Makin banyak orang yang tahu, semakin mudah bocor..."
"Ya, Tong-cu. Selamat berjuang."
"Terima kasih."
Keduanya pun berpisah dengan membawa perasaan masing-masing. Kui Hok terharu dan bangga, Ji Han Lim bertambah semangat.
Ibukota Kerajaan bersiap-siap nyambut perayaan ulang tahun Kaisar pinggir jalan besar dihias, gerbang-gerbang dan pagoda-pagoda bertaburan lampion, ratusan panggung hiburan sudah disiapkan di seluruh pelosok kota. Kedutaan-kedutaan Rusia, Jepang, Portugis, Inggris, Belanda, Siam, Birma dan lain-lainnya sudah siap dengan hadiah ulang tahun yang bersaing satu sama lain.
Acara sudah disiapkan rapi. Di kuil Kerajaan akan diadakan sembahyang yang dipimpin para pendeta Ang-ih-kau, memohonkan agar Sang Putera Langit mendapat usia panjang karena sudah termasyhur akan "kebijaksanaan"nya. Semua kuil besar kecil di seluruh Pak-khia harus mengadakan upacara serupa, yang menolak, pendeta-pendetanya akan dihukum mati.
Lalu lintas kota Pak-khia menjadi berkali lipat lebih padat karena banyak orang luar Pak-khia membanjiri ibukota itu. Penjagaan diperketat, baik oleh perajurit berseragam maupun para mata-mata yang membaur di antara orang banyak. Yong Ceng ingin perayaan ulang tahunnya berjalan aman dan lancar, tidak ada gangguan keamanan apapun.
Perayaan itu juga menjadi rejeki nomplok buat banyak orang. Penjual hiburan di pinggir- pinggir jalan, penjual makanan atau mainan kanak-kanak, para pengemis, pelacur, tukang copet. Di antara arus manusia yang membanjiri Pak-khia beberapa hari sebelum perayaan itu, sebenarnya banyak orang-orang yang berkuncir palsu. Ribuan jumlahnya, sulit dibedakan dengan orang lain. Tapi nanti akan tiba saatnya kuncir-kuncir palsu mereka dilepas, dan senjata-senjata dihunus.
Dengan demikian, disamping menjadi arena kegembiraan, kota Pak-khia juga menjadi arena "kucing-kucingan" antara pendukung dan penentang Yong Ceng yang sama-sama menyamar di antara rakyat. Di balik segala pesta dan kemeriahan, tersembunyi ketegangan dan nafsu membunuh yang ditahan-tahan untuk menunggu kesempatan.
Hari ulang tahun Sang Putera Langit tiba. Di mana-mana orang berpesta kembang api, makan-makan, menonton hiburan. Di mana- mana juga kelompok-kelompok perajurit berjaga-jaga dengan senjata terhunus, mengawasi orang-orang yang berlalulalang. Kegembiraan dan ketegangan bisa juga berdampingan.
Di depan kelenteng Thian-te-bio yang tidak jauh dari istana, serombongan sandiwara topeng memainkan lakon "Sun Pin dan Bang Koan" dengan lihainya. Pemain-pemainnya mantap, penabuh musik pengiringnya juga mantap, sehingga penonton larut dalam alur cerita. Para penonton ikut terharu melihat nasib "Sun Pin" yang dihukum potong kaki karena fitnah saudara senerguruan dan sahabat karibnya sendiri.
Dan penonton ikut bersorak gembira ketika sampai adegan akhir, dimana Bang Koan yang tengah memimpin tentara Kerajaan Gui untuk menyerbu Kerajaan Che, telah terperangkap oleh pasukan Sun Pin, lalu Bang Koan mati dengan tubuh penuh anak panah. Tepuk tangan bahkan masih bergemuruh, ketika layar ditutup perlahan-lahan.
Saat itu dari istana terdengar genta besar dibunyikan, disusul genta-genta di sembilan menara kota. Itulah puncak acara. Tandanya Kaisar Yung Ceng sudah selesai bersembahyang, dan akan menerima ucapan ulang tahun dari semua pejabat-pejabat bawahannya maupun para duta asing.
Saat itulah layar panggung yang baru saja melakonkan "Sun Pin dan Bang Koan" itu terbuka kembali. Seorang lelaki pendek berpakaian Panglima jaman Kerajaan Beng muncul di panggung dengan membawa toya Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala). Penonton yang hampir bubar, tiba-tiba bersorak gembira dan kembali merubung ke depan panggung. Mereka menyangka rombongan sandiwara yang mengaku "datang dari masa silam" itu akan melakonkan cerita baru.
Ketika penonton sudah berkumpul, orang diatas panggung itu ternyata bukan main sandiwara, malah berpidato dengan berapi-api, "Rakyat Kerajaan beng yang menderita, sudah hampir Satu abad tanah air kita dijajah anjing-anjing berkuncir dari Liao-tong. Kini tiba saatnya kita bangkit untuk mengangkat senjata di bawah pimpinan..."
Sampai di sini, paniklah penonton dan bubar ke segala arah. Rakyat yang tidak tahu-menahu soal politik itu tidak mau tersangkut urusan yang berbahaya. Mereka tahu, "lakon" kali ini adalah "lakon" berbahaya. Pelaku-pelakunya bukan lagi menggunakan senjata mainan, melainkan senjata-senjata asli yang bisa memotong leher.
Tetapi dari antara penonton yang tengah bubar itu, ada juga beberapa orang bertubuh tegap-tegap yang justru mendesak ke arah panggung, sambil berseru-seru, "Kepung tempat ini! Mereka pemberontak!"
Merekalah orang-orang pemerintah kerajaan. Salah seorang dari mereka segera melepaskan jubahnya sehingga nampak pakaiannya yang ringkas, dan pedang tergantung di pinggangnya. Dengan pedang dihunus, ia melompat lincah keatas panggung sambil membentak si "Panglima Kerajaan Beng", "Pemberontak, menyerahlah. Sejak tiga hari yang lalu kami sudah mencium kehadiran kalian di Pak-khia untuk mengacau!"
"Panglima Kerajaan Beng" itu bukan lain adalah Siang Hwe Jing, tokoh Jit-goat-pang yang sering mengaku keturunan Siang Gi Jun, salah satu pendiri Kerajaan Beng, la segera memutar toya Long-ge-pangnya untuk menyambut lawannya. Begitu hebat tenaganya, sehingga gerak senjatanya mampu membuat tirai panggung berkibar-kibar. Tapi lawannya juga gesit sekali memainkan pedangnya.
Sementara itu, sepasukan tentara kerajaan telah datang mengepung tempat itu. Namun dari belakang panggung dan kolong panggung muncul kira-kira tujuh puluh orang bersenjata yang dengan beraninya menyongsong para perajurit. Banyak di antara mereka yang masih mengenakan pakaian sandiwara, atau mukanya masih coreng-moreng, tetapi mereka menjadi lawan tangguh bagi para perajurit juga wanita wanita dalam rombongan sandiwara itu ternyata mahir bersilat pula.
Diantara penonton sendiri juga banyak orang Jit-goat-pang maupun orang-orang Yong Ceng yang menyamar. Kini semuanya langsung mencabut senjata dan baku-hantam dengan sengitnya. Teriakan-teriakan "Biat-ceng Hong- beng" (Runtuhkan Manchu, bangunkan Beng) Bercampur aduk dengan teriakan "tangkap pemberontak". Gemerincing senjata menjadi "musik" jenis lain yang berkumandang di tempat itu.
Seandainya para penonton tidak buru-buru kabur, tentu mereka akan menyaksikan "lakon" yang lebih seru dari "Sun Pin dan Bang Koan" tadi. Dalam sandiwaranya, berkelahinya cuma pura-pura, sekarang bersungguh-sungguh. Darah yang muncrat juga benar-benar darah, bukan tinta merah, dan yang mati pun takkan bangun kembali.
Melihat orang-orang Jit-goat-pang semakin banyak bermunculan, si perwira tentara kerajaan berteriak, "Panggil bantuan dari tangsi ke tujuh yang paling dekat!"
Perajurit yang disuruh segera lari menjalankan perintah, menenggelamkan diri di antara hiruk-pikuk lautan manusia yang ketakutan. Tetapi, perajurit itu takkan pernah sampai ke tangsi tujuh, sebab tubuhnya roboh terkapar ketika seseorang menusuk perutnya dengan sebilah pisau, yang sesaat yang lalu masih digunakan untuk mengiris-iris semangka. Si penjual semangka itu juga orang Jit-goat-pang.
Keributan macam itu terjadi di seluruh kota. Bunyi genta dari istana yang dimaksudkan untuk memberi "selamat ulang tahun" kepada Kaisar Yong Ceng, ternyata oleh pihak Jit-goat-pang sekaligus dijadikan tanda untuk serangan serempak!
Di sebuah panggung wayang potehi (wayang golek Cina), si dalang mendadak melemparkan beberapa butir Tok-bu kim-ciam-cu-bo-hwe-tan (Peluru Api yang menyemburkan kabut dan jarum beracun) kearah sekelompok perajurit di dekatnya. Beberapa perajurit dan rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa tewas, kemudian para perajurit yang masih hidup langsung bertempur sengit dengan si dalang potehi serta segenap rombongannya. Di sekitar mereka, rakyat menjerit-jerit dan saling tabrak dengan bingungnya..
Di bagian kota yang lain, sekelompok rombongan liong dan barongsai yang tengah dikagumi penonton penontonnya, begitu mendengar genta istana berbunyi, mendadak menghunus senjata-senjata tersembunyi mereka dan mengamuk ke arah para perajurit. Begitulah, arena kegembiraan berubah menjadi kekacauan. Pesta rakyat berubah menjadi pesta darah dari golongan golongan yang saling membenci dan bernafsu untuk saling memusnahkan. Wanita-wanita dan anak-anak adalah mahluk-mahluk lemah yang malang dalam kekacauan itu, tapi siapa mau peduli kepada mereka?
Bahkan kedua pihak semakin menunjukkan kebengisan mereka. Orang Jit-goat-pang sadar, tentara kerajaan masih bingung karena mereka berbaur dengan rakyat biasa, maka orang-orang Jit-goat-pang pun menjadikan orang banyak sebagai perisai mereka. Sering mereka sengaja mendorong seseorang ke ujung senjata para perajurit, supaya mereka sendiri dapat menyerang dari lain arah.
Mereka sudah diajari oleh pemimpin-pemimpin mereka, bahwa demi tegaknya kembali Kerajaan Beng, cara apapun boleh digunakan. Rakyat juga boleh dikorbankan, toh perjuangan Jit-goat-pang juga "demi rakyat" dan rasanya cukup pantas kalau rakyat juga berkorban "sedikit" dengan nyawa mereka.
Pihak tentara kerajaan memang bingung menghadapi musuh yang bermunculan di mana- mana. Seorang penjual mainan anak-anak yang tiba-tiba memegang tombak untuk mengamuk, seorang penjual obat yang tiba-tiba melemparkan sebungkus kelabang berbisa ke leher perajurit, dan sebagainya.
Seorang perajurit muda berwajah kekanak-kanakan merasa kasihan melihat seorang kakek bungkuk melangkah sempoyongan di tengah hiruk-pikuknya manusia yang panik. la menuntun si kakek untuk dicarikan tempat aman, tetapi si kakek tiba-tiba mengeluarkan pisau untuk menikam mati perajurit muda itu. Seharusnya perajurit itu sendiri yang patut dikasihani, kurang dapat membedakan kapan waktunya menjadi manusia dan kapan waktunya menjadi binatang.
Seorang perwira tentara paham betul bagaimana caranya menjadi serigala, ia berteriak mengeluarkan perintah, "Jangan ragu-ragu! Siapa yang mencurigakan, langsung babat, tidak usah memilih-milih lagi! Lebih baik keliru membunuh daripada kita yang dibantai!"
Sebagian perajurit jadi ikut ngawur dalam mengarahkan senjata. Bukan saja orang Jit-goat-pang yang mereka serang, tetapi juga orang yang "kelihatannya" Jit-goat-pang, entah benar entah tidak. Sebagian perajurit masih ragu-ragu, apalagi kalau menghadapi orang bertampang lemah tak berdaya. Namun kalau ingat bahwa beberapa kawan mereka telah menjadi korban dari "tampang-tampang tak berdaya" itu, mereka pun mengusir kebimbangan hati.
Ribuan kali terulang dalam sejarah, rakyat tergencet jadi korban antara kekuatan-kekuatan yang bermusuhan. Tetapi orang-orang yang haus kemenangan belum juga jera atau bosan mengulangi lakon yang sama setiap saat. Toh rakyat tidak akan habis, pikir mereka. Jit-goat-pang mengerahkan kekuatan yang besar kali itu, ditambah orany orang Pek-lian-pai. Puluhan ribu pengikut fanatik yang sudah dicekoki falsafah "mati demi Kerajaan Beng" telah di kerahkan dan disusupkan ke Pak-khia.
Kebanyakan tentara kerajaan yang bertempur di jalanan adalah pasukan Kiu-bun Te-tok yang tidak banyak jumlahnya, mereka juga bukan pasukan gempur melainkan sekedar pasukan keamanan kota. Maka repotlah mereka menghadapi keberingasan orang-orang Jit-goat-pang, meskipun tangsi-tangsi sudah dikosongkan karena isinya di kerahkan keluar semua. Mereka tetap tak mampu membendung orang-orang Jit-goat-pang yang perlahan tapi pasti bergerak mendekati istana, dari segala arah, seperti semut semut yang mencium adanya kembang gula.
Akhirnya Kiu-bun Te-tok Hap Lun dengan menunggang kuda dan diiringi sejumlah pengawalnya, telah menuju ke istana untuk melaporkan timbulnya kerusuhan itu. Suasana pesta gembira masih terasa di istana. Kaisar Yong Ceng duduk di singgasana, berdekatan dengan Ibu suri Tek Huai dan Pangercn In Te yang memaksakan diri untuk tetap "berseri-seri". Di sebelah lain, Pangeran Hong Lik duduk dengan jemu mengikuti acara- acara yang serba tersusun rapi, padahal sebenarnya ia ingin melihat suasana meriah di luar istana.
Keluarga istana dan tamu-tamu mereka sedang menikmati tarian-tarian indah yang dibawakan sekelompok gadis cantik, sambil menikmati hidangan lezat yang terus-menerus mengalir dari dapur istana. Di dekat Kaisar, sedikit di belakangnya, duduklah Kim Seng Pa dan Biau Beng Lama yang senantiasa siap menjalankan perintah-perintah panting dari Kaisar. Juga siap berebutan mencari muka, jangan sampai kalah saingan satu sama lain.
Tepat ketika "pek-jiat-yang-ko" (daging kambing masak) beriring-iringan keluar dari dapur istana dengan baunya yang merangsang selera, masuklah Panglima Kiu-bun Te-tok dengan muka kecut yang melenyapkan selera.
"Ampuni hamba, Tuanku, hamba telah lancang menghadap Tuanku tanpa dipanggil..." Hap Lun bersembah sujud.
Yong Ceng sedikit mengerutkan alisnya, ia memang merasa agak terganggu. Namun ia tahu. Hap Lun tentu punya suatu laporan yang demikian penting sehingga menghadapnya. Dengan lan Si jan tangannya, ia menyuruh Hap Lun medekat ke arahnya. "Ada apa, Hap Te-tok?"
"Kaum Jit-goat-pang telah mengerahkan ribuan pengikut, begitu juga kaum pek-lian-pai mereka mengacau di seluruh kota....”
Yong Ceng menjawab acuh tak acuh, apa gunanya kau menjadi Kiu-bun Te-k, kalau segerombolan bandit kecil saja tidak bisa kau atasi?"
Wajah Hap Lun bagaikan panas terbakar, namun ia melanjutkan laporannya, "Tuanku, kekuatan yang dikerahkan Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai meliputi laksaan orang jago silat. Terus terang saja, hamba sudah mengerahkan seluruh pasukan hamba untuk menahan mereka, namun hamba tidak yakin akan berhasil. Tidak lama lagi, mungkin pengacau-pengacau itu akan menyerbu masuk ke istana ini."
Cawan porselin di tangan Yong Ceng gemeretak hancur karena diremasnya. Benar-benar "hadiah ulang tahun" yang menjengkelkan. Di satu pihak, laporan Hap Lun tidak bisa diabaikan. Di lain pihak, pesta yang dihadiri duta-duta asing itu tidak boleh kacau, sebab akan memalukan namanya. Para pengacau haruslah ditahan sejauh mungkin dari istana.
Tiba-tiba Yong Ceng melirik curiga kepada Pangeran In Te yang duduk di sebelahnya. Mungkinkah gerakan Jit-go-at-pang dan Pek-lian-pai itu hanyalah pengikut-pengikut In Te yang menyamar? Seingat Yong Ceng, Jit-goat-pang pernah dihancurkan puluhan tahun yang lalu, seandainya masih ada juga sulit di percaya punya anggota sebanyak itu. Sedang orang-orang yang masih setia kepada In Te entah berapa banyaknya, Yong Ceng sendiri tidak tahu pasti. Itulah sebabnya Yong Ceng tidak berani memperlakukan In Te seperti memperlakukan In Gi dan In Tong, khawatir kalau pengikut-pengikut In Te memberingas.
Merasa dirinya dicurigai, ln Te buru-buru berlutut dan berkata, "Kakanda, pengacau-pengacau itu adalah musuh bersama kita. Kalau Kakanda berkenan, hamba bersedia membantu menumpas mereka di bawah pimpinan Hap Te-tok!" Sengaja ia menekankan kata-kata '"Membantu" dan " dibawah pimpinan Hap Te-tok". Kalau dia bilang "memimpin sendiri" tentu kakandanya akan bertambah curiga, mengira ia hendak menyalahgunakan pasukannya.
Sudah merendah seperti itu pun ternyata Yong Ceng belum mempercayainya, "Adinda, jangan merendahkan dirimu untuk menghadapi pencoleng-pencoleng kecil itu. Kau tetap bersamaku di sini, biar Hap Lun menyelesaikannya."
Pangeran In Te menarik napas, bangkit dari berlututnya untuk duduk kembali di kursinya. la masgul sekali. Hanya untuk menghilangkan kecurigaan, ia harus berlutut dan mengucapkan kata-kata merendah di hadapan kakak yang amat dibencinya diam-diam itu. Padahal dulu, dialah yang kedudukannya terkuat di antara para pangeran yang berebutan tahta. Di samping berkedudukan sebagai Panglima Tertinggi, ia juga menjadi putera kesayangan Kaisar Khong Hi, bahkan di hadapan Sidang Istana, ayahandanya sering mengucapkan "lampu hijau" buatnya tentang pengganti ayahandanya.
Kini dia menyesal bahwa dulu telah menyingkirkan Pak Kiong Liong dari sampingnya, karena termakan adu domba Liong Ke Toh dan malah dipercayakan pasukannya kepada si otak keledai Liok Hai Hong, yang dengan gampang akhirnya dilucuti dan dan dibubarkan oleh Ni Keng Giau. Kini In Te sadar bahwa dirinya ibarat seekor burung dalam sangkar emas berlian belaka, kapan ia akan "disembelih" tinggal tunggu waktunya kalau Yong Ceng sudah merasa mampu menghadapi gejolak.
Sementara itu, Hap Lun hampir tidak sabar menunggu jawaban Kaisar. Namun akhirnya Yong Ceng memerintahkan Panglima Han-lim-kun yang juga she Hap. Hap Bok Thian, "Hap Ciang-kun, bawa pasukanmu untuk membantu Hap Te-tok. Jangan ijinkan para pengacau mendekati tempat ini."
Hap Bok Thian sebenarnya lebih suka dalam ruangan itu, menikmati makanan lezat sambll menonton gemulainya gadis-gadis penari. Namun ia tidak dapat menolak perintah. la berlutut memberi hormat, lalu keluar bersama Hap Lun.
Ternyata memang demikianlah siasat Jit-goat-pang, memancing agar sebagian pasukan dalam istana keluar sarang, sehingga kekuatan yang mempertahankan istana sendiri semakin susut. Lalu "kaisar" Cu Teng Hong sendiri bersama para "jenderal" dan "gubernur"nya yang rata-rata berilmu tinggi, menerjang ke istana. Di samping Cu Teng Hong, nampaklah Tiau-si-kui (Setan Gantungan) Ku Thian Lok, Ang-jiau-hong-mo (Hantu Gila Bertangan Merah) Lo Siang, dan banyak jago-jago setaraf dengan Lo Siang atau sedikit di bawahnya, dan lebih banyak lagi pengikut yang nekad.
Kekuatan yang dikerahkan memang hebat, seluruh anggota Jit-goat-pang dikerahkan tanpa sisa. Kalau menang ya syukur, kalau kalah ya hancur selama-lamanya. Seperti seorang penjudi yang mempertaruhkan seluruh modalnya hanya untuk satu kali lemparan dadu. Maka di luar ruangan pesta Yong Ceng, tiba-tiba terdengar suara ribut saling membentak, senjata tajam gemerincing, dan bedil-bedil yang meletus. Keruan suasana pesta itu jadi terganggu, para tamu terhormat saling bertukar pandangan dengan wajah tegang.
Yang paling tegang adalah wajah Yong Ceng sendiri. Kini ia mulai percaya bahwa Hap Lun tadi tidak melebih-lebihkan laporan sekedar menutupi ketidak-mampuannya sendiri. "Be Cong-koan (komandan Be), coba lihat keluar!" perintah Yong Ceng kepada Be Kun Liong, komandan Gi-cian Si-wi (Pengawal Kaisar).
"Baik, Tuanku," sahut Be Kun Liong sambil bangkit, dan setengah berlari menenteng tombak Hong-thian-keknya menuju keluar.
Yong Ceng berkata kepada tamu-tamunya agar tetap meneruskan pesta dengan gembira, karena katanya "tidak ada apa-apa".
Para tamu memaksakan diri untuk tetap kelihatan gembira, namun malah janggal nampaknya. Mana ada orang gembira yang memegangi cawan minumannya dengan tangan gemetar sehingga bajunya ketetesan arak? Mana bisa gembira, kalau suara keributan bukannya semakin reda dan jauh, namun malah semakin hebat dan dekat?
Sesaat kemudian, Be Kun Liong sudah masuk kembali, dengan wajah agak gugup dan pakaian agak kusut. Semua telinga segera dipasang baik-baik untuk mendengarkan apa yang bakal dilaporkan. "Hamba mohon ampun, Tuanku. Kekuatan para perusuh benar-benar di luar dugaan. Ratusan dari mereka berhasil menembus pertahanan Hap Te-tok dan Hap Ciang-kun, dan mereka menyerbu kemari. Kini mereka sedang ditahan oleh rekan-rekan dari Lwe-teng Wi-su (Pengawal Istana), namun tampaknya....."
Be Kun Liong ragu-ragu melanjutkan, namun semua hadirin di ruangan itu sudah merasakan firasat jelek. Ketegangan meledak menjadi kepanikan, biarpun para hadirin masih berusaha menahan diri untuk tidak berlari-lari atau berteriak-teriak di hadapan Kaisar. Namun wajah-wajah pucat yang basah keringat dingin tampak di seluruh ruangan pesta.
Yong Ceng mengertakkan gigi dengan marahnya. Pesta megah yang dirancangnya sejak berbulan-bulan yang lalu, ternyata berubah menjadi pesta kalang-kabut yang menampar mukanya. Tidak ada gunanya pesta diteruskan. Para tamu hanya akan pura-pura gembira, tetapi tidak gembira benar-benar, hal itu malah lebih memalukan.
"Be Cong-koan!"
"Hamba Tuanku!"
"Kawal semua keluarga istana dan para tamu, terutama duta besar-duta besar asing ke bangsal Yang-wan-kiong dan lindungi dengan pasukanmu, Seujung rambut saja mereka ada yang terluka, kepalamu akan aku ambill"
"Hamba Tuanku!"
Perintah Kaisar itu merupakan "lampu hijau" bahwa para tamu boleh meninggalkan ruangan yang terancam itu. Berbondong-bondonglah mereka meninggalkan ruangan, setelah memberi hormat secara tergesa-gesa kepada Yong Ceng, mengikuti jalan yang ditunjukkan Be Kun Li ong.
"Biau Beng Lama!" Yong Ceng memanggil pula.
"Hamba Tuanku!"
"Kau dan semua anak-buahmu serta kelompok Hiat-ti-cu, lindungi istana bagian dalam. Bunuh tanpa ampun semua musuh yang berani coba-coba menerobos ke sana!"
"Hamba laksanakan, Tuanku."
“Ni Keng Giau!"
"Hamba di sini, Tuanku!”
"Makan waktu berapa lama pasukan Tiat-ki-kun yang berpangkalan di luar-kota itu bisa dikerahkan ke dalam kota?"
"Hamba jamin tidak akan melebihi seratus hitungan, Tuanku. Hamba bisa menberi isyarat dari sini dan mereka akan bergerak masuk lewat sembilan pintu kota!”
"Tapi sembilan pintu kota barangkalii sudah dikuasai kaum pemberontak dan dipalang dari sebelah dalam...”
“Seandainya demikian hamba mohon ijin agar pasukan hamba diperkenankan mendobrak pintu-pintu gerbang dengan Kekerasan..."
"Aku ijinkan. Lakukan cepat." “Baik, Tuanku.”
Bergegas Ni Keng Giau menuju taman terbuka di samping ruangan pesta itu. Dengan tangannya sendiri ia menyulut dan melepaskan tiga buah asap ke udara. Merah, biru, lalu Merah lagi. Itulah isyarat bagi pasukannya di luar kota. Jumlah pasukannya terlalu besar untuk ditampung tangsi-tangsi dalam kota, sehingga mereka tersebar di tangsi-tangsi luar kota. Kini dalam ruangan itu tinggal Yong Ceng, Pangeran In Te, Kim Seng Pa dan sejumlah pengawal berseragam ungu yang sudah nengpjnus senjata semuanya menunggu perintah dengan tegang.
“Adinda, kenapa kau tidak ikut ke Yang-wan-kiong?” Tanya Yong Ceng kepada In Te.
“Kakanda, hamba seorang perajurit, dan selayaknya hamba ikut bertempur disini.”
“Ini bukan perang-perangan. Adinda.”
Keruan Pangeran In Te tersinggung mendengarnya, sahutnya. “Perang di Jing-hai dulu juga bukan perang-perangan, kakanda. Tapi hamba berhasil menaklukan pemberontanan disana. Hamba seorang perajurit, kakanda, bukan seorang bangsawan cengeng yang harus senantiasa dilindungi..."
Kim Seng Pa cepat-cepat berlutut, "Menurut pendapat hamba, sebaiknya Tuanku berdua tinggalkan tempat ini saja. Para pengacau di luar itu, serahkan saja kepada hamba dan anak buah hamba."
"Tidak," sahut Yong Ceng dengan hati panas. "Adinda In Te seorang perajurit, akupun bekas seorang pesilat pengembara yang punya nama di dunia persilatan. Akan kutunjukkan kepada bandit-bandit Jit-goat-pang itu siapa diriku!"
Keruan Kim Seng Pa jadi cemas. Memang benar kaisar adalah ahli Lo-nan kun (tinju arhat) dan Hok-mo-thung-hoat (Ilmu Toya Penakluk Iblis) yang masih dilatihnya tiap sore, namun musuh terlalu kuat. Buktinya mereka sanggup menerobos pertahanan yang berlapis-lapis sampai ke ruangan itu, dan agaknya musuh juga dipersenjatai bedil-bedil. Tapi kehendak Yong Ceng agaknya tak bisa diubah lagi. Seorang thai-kam telah datang membawakan toya Yong Ceng.
Waktu itu, dari arah pintu serombongan perajurit Lwe-teng Wi-su yang berseragam biru laut kelihatan terdesak oleh sekelompok orang Jit-goat-pang yang berseragam perajurit-perajurit jaman kuno, jaman Kerajaan Beng. Para perajuritnya Yong Ceng sudah bertahan gigih, namun musuh terlalu kuat untuk dibendung.
Pihak musuh dipimpin seorang lelak berusia setengah abad, berilmu tinggi, dan memakai jubah kekaisaran model dinasti Beng. Pedangnya yang bergagang emas sudah merah berlumuran darah, setiap gerakan pedangnya tentu merobohkan satu atau dua pengawal istana sekaligus. Tangan kanannya dengan pedang, tangan kiri dengan jari-jari setengah tertekuk, sejenis ilmu Hou-jiau-kang (Ilmu Cakar Harimau) juga minta banyak korban. Dialah Cu Teng Hong, "Kaisar"nya kaum Jit-goat-pang.
Di kiri kanan Cu Teng Hong ada dua kakek yang lebih hebat lagi, ilmunya mirip Cu Teng Hong namun dalam tingkatan yang lebih hebat lagi. Merekalah guru dan paman guru Cu Teng Hong Yang bertubuh kurus dan gerak-geriknya ringan adalah Hok Leng Kui yang berjulukan Tu-hun-siu (kakek memanjat mega), yang bertubuh bulat adalah Hai Kong To yang berjulukan Sat-sin-siu (Kakek Malaikat Bengis).
Rupanya Cu Teng Hong sudah mendengar kalau di istana Yong Ceng ada jagoan-jagoan tua macam Kim Seng Pa dan Biau Beng Lama, maka iapun mengajak dua kakek itu untuk memperkuat barisannya. Selain mereka, jago-jago Jit-goat-pang lainnya juga mengamuk dengan ganas, diikuti pengikut-pengikut mereka yang terus berteriak- teriak "hancurkan Mancu, bangunkan Beng" tak lelah-lelahnya.
Bukan cuma cenjata tajam, tapi bedil-bedil dipihak pengawal istana mulai ikut "bernyanyi" juga. Bertumbanganlah orang-orang Jit-goat-pang di bagian depan karena tertembus peluru, namun yang belakang terus mendesak maju, melompati teman-teman mereka yang bergelimpangan, sambil berteriak-teriak fanatik. Pengawal istana yang bersenjata bedil tidak sempat lagi mengisi bedil mereka, sehingga bedil-bedil itu dijadikan alat beladiri sebagai tongkat biasa.
Halaman istana yang indah jadi hancur terinjak-injak kaki, kolam-kolam teratai diapungi beberapa mayat, mayat pengawal istana maupun kaum penyerbu yang sama-sama gigih dan nekad. Tapi pergulatan masih jauh dari selesai. Pihak Jit-goat-pang amat bersemangat, sebab mereka yakin akan menang. Bukankah teman-teman mereka di segenap pelosok kota sudah berhasil merepotkan tentara pemerintah? Bukankah mereka sudah berhasil menerobos masuk istana Yong Ceng yang terkawal ketat? Karena itulah semangat mereka berkobar-kobar.
Ketika orang-orang Jit-goat-pang mulai membanjiri masuk ke ruangan pesta itu, para pengawal jubah ungu dengan perintah Kim Seng Pa segera bergerak serempak untuk melindungi Kaisar. Su-ma Hek-long dengan payung hitamnya yang dahsyat itu segera menghadang kehadapan Sat-sin-siu Hai Kong To yang bersenjata pedang. Keduanya langsung terlibat dalam pertarungan mati-matian. Sementara itu, sebelum bertemu dengan lawan yang setimpal, Tu-hun-siu Hong Leng Kui merupakan penyebar maut yang berbahaya sekali. Dua orang pengawal jubah ungu menerjangnya, dan dalam waktu singkat keduanya sudah terkapar dengan perut robek.
Kim Seng Pa sendiri segera turun tangan. Bagaikan seekor elang menyambar dari angkasa, ia menubruk Hek Leng Kui dari atas, telapak tangannya menghantam turun ke ubun-ubun Hok Leng Kui dengan jurus Hong-coan-pek-lek (Angin Berputar, Petir menyambar).
Hok Leng Kui yang tengah berpesta nyawa, terkejut merasa ada tekanan angin dahsyat dari atas kepalanya. Itulah sebuah serangan yang kalau tidak dilawan dengan sungguh-sungguh akan membuatnya tergencet remuk. Sekuat tenaga ia kerahkan tenaganya ke tangan kiri, lalu menyongsong pukulan Kim Seng Pa secara keras lawan keras.
Dua kekuatan berbenturan. Kim Seng Pa merasakan lengannya tergetar, namun sanggup melayang turun dan mendarat di lantai dengan mulusnya. Sebaliknya Hok Leng Kui terhuyung mundur beberapa langkah dengan wajah pucat dan darah bergolak dalam tubuhnya. Ketika Cu Teng Hong sempat melihat keadaan gurunya yang dibanggakan itu, ia terkejut dan berseru, "Suhu, kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa, teruskan perlawanan!" sahut Hok Leng Kui dengan keras kepala. Kepada Kim Seng Pa ia membentak, "Hebat juga kau. Siapa namamu, supaya pedangku tidak mencabut nyawa orang tek terkenal?"
"Namaku Kim Seng Pa!”
Terpukullah jantung Hong Leng Kui mendengar nama itu. Nama Pak Kiong Li-ong sudah cukup menakutkan, namun sekarang ia malah menghadapi orang yang konon sudah mengalahkan Pak Kiong Liong. Melihat lawannya termangu-mangu, Kim Seng Pa berkata dengan sombongnya. "Ketakutan mendengar namaku? Menyesal telah menemui orang yang mengalahkan Naga Utara?"
Malu oleh ejekan itu, Hok Leng Kui mengeraskan kepala dan mengusir semua ketakutannya. Tubuhnya tiba-tiba meluncur maju sambil melancarkan tusukan Tan-hong-tiau-yang (Burung Hong Sendirian Menyongsong Matahari) ke leher Kim Seng Pa. Sambil menyerang, ia rupanya masih juga ingin menjaga pamor sebagai seorang ternama. Bentaknya, "Cabut senjatamu, supaya kita seimbang!" Mulutnya berkata demikian, tapi pedangnya menikam bertubi-tubi, tidak memberi kesempatan.
Kim Seng Pa cuma tertawa menghina lagak lawannya itu. “Tidak usah berlagak tokoh terkenal, sebab kau masih tak ada harga di mataku. Aku akan melayanimu dengan tangan kosong, dan pedangmu takkan berguna terhadapku!"
Lalu kedua telapak tangannya bergerak seperti orang hendak bertepuk tangan, batang pedang Hok Leng Kui hendak dijepitnya. Berbarengan dengan itu, kakinya menendang ke lambung lawannya. Hok Leng Kui memiringkan batang pedangnya, sehingga tangan-tangan Kim Seng Pa seolah-olah disodorkan sendiri ke tajamnya pedang. Namun Kim Seng Pa dengan tangkas ikut memiringkan sepasang telapak tangannya untuk tetap menjepit pedang, sementara luncuran tendangannya tak berhenti....
Sementara itu, Ji Han Lim telah berlutut di hadapannya sambil berkata, "Cong-koan, biarpun adikku tersesat mengikuti gerombolan pembangkang, namun mengingat pertalian darahnya denganku, aku mohon ijin Cong-koan untuk merawat tubuhnya dengan layak."
Kim Seng Pa puas sekali karena Ji Han Lim dianggapnya lulus "ujian kesetiaan kepada Kaisar. Tidak perlu ditambah lagi "mata ujian" hari itu, nanti malah otaknya bisa miring dan tidak dapat digunakan lagi. Karena itulah Kim Seng Pa mengijinkan.
"Cong-koan, kalau boleh aku juga mohon diri lebih dulu untuk membawa tubuh saudaraku...."
"Baik, jangan lupa, kesetiaanmu itu akan segera diketahui oleh Kaisar. selamat, saudara Ji."
"Terima kasih, Cong-koan," sahut Ji Han Lim gemetar. Lalu ia keluar dari situ dengan membawa tubuh adiknya yang hancur, sebagian besar oleh tangannya sendiri.
Setelah Ji Han Lim pergi, Kim Seng Pa sendiri memimpin penyiksaan atas diri Kiong Wan Peng dan Siang Koan Long. Tetapi karena kedua Tong-cu itu tetap tidak mau menjawab, sehingga Kim Seng Pa amat jengkel. Akhirnya ia menemukan akal. Disuruhnya orang-orangnya untuk memasang pengumuman di jalan-jalan ramai, bahwa beberapa hari lagi dua Tong-cu Hwe-liong-pang akan dihukum penggal kepala. la berharap pengumuman itu akan memancing orang-orang Hwe-liong-pang untuk menolong kedua Tong-cu, dan mereka akan masuk jaring.
Malam berikutnya, di atas bukit kecil di luar kota Pak-khia nampak ada api berkobar-kobar. Ji Han Lim tengah memperabukan jenazah adiknya. Kalau di depan Kim Seng Pa dan pengawal-pengawal jubah ungu lainnya ia bersikap garang dan bengis, maka setelah sendirian saja, tumpahlah luapan perasaannya yang sejati. la menangis, memukul-mukul dadanya sendiri dan berbicara sendirian entah apa saja yang diucapkan. Rupanya ia berusaha berbicara kepada arwah adiknya.
Semalam suntuk ia menatap kobaran api yang memusnahkan jazad adiknya. Menjelang fajar, potongan-potongan kayu yang besar-besar itupun sudah jadi abu, apinya padam, dan Ji Han Bok berujud abu yang keputih-putihan dan bergumpal-gumpal di tengah-tengah abu kayu.
Pikiran Ji Han Lim jadi agak tenang, setelah semalam ia puas meratap. Dengan khidmat dikumpuIkannya abu jenazah adiknya untuk dimasukkan sebuah guci kecil yang lalu ditutup dengan kain kuning, lalu digendongnya di punggung.
Sesaat kemudian, di bawah siraman cahaya fajar yang lembut bersahabat, diiringi nyanyian satwa yang riang gembira, Ji Han Lim menuruni bukit itu. Tapi keindahan suasana sekitarnya belum mampu menghapus kemurungan wajah- nya. la ingat, dulu ketika adiknya masih kecil, adiknya sering digendongnya, namun kini yang digendongnya ha-nya segumpal abu dalam guci.
Tiba-tiba suasana sunyi di jalan setapak di pinggir hutan itu dipecahkan suara derap kaki kuda yang dipacu tergesa-gesa. Cepat Ji Han Lim melompat ke pinggir jalan, untuk melihat siapa gerangan penunggang kuda di pagi itu?
Itulah tiga lelaki berkuda, semuanya membawa senjata. Itu sebenarnya pemandangan biasa, tetapi Ji Han Lim merasa pernah melihat si lelaki yang bertubuh pendek gempal dan membawa toya Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala). Namun Ji Han Lim tidak ingat lagi, kapan dan di mana ia pernah melihat orang itu.
Sebaliknya, lelaki itu begitu tergesa-gesa sehingga tidak sempat melirik Ji Han Lim yang dikiranya orang lewat biasa. Maklum, Ji Han Lim saat itu berpakaian "normal", artinya tidak memakai seragam pengawalnya, juga tidak memakai pakaiannya semasa masih menjadi Tong-cu Hwe-liong-pang dulu, baju pendek kulit binatang yang menonjolkan otot dada dan lengannya yang kekar. Kini Ji Han Lim memakai jubah biasa, seperti beribu-ribu orang di Pak-khia juga berpakaian demikian.
Mereka bertiga menyusuri pinggir hutan, namun ketika mendengar suara suitan dari tengah hutan, merekapun membelokkan kuda masuk ke lorong hutan. Sesaat Ji Han Lim melupakan dukanya, diganti rasa tertarik melihat tingkah orang-orang itu dari kejauhan. Sebagai seorang yang biasa berkelana di dunia persilatan, ia gampang tertarik kalau melihat urusan-urusan yang di-rasanya aneh.
Setelah ketiga orang tadi berbelok menghilang ke dalam hutan, Ji Han Lim mendekati mulut lorong itu dan melihat secarik bendera kecil diikatkan di mulut lorong. Bendera kuning berbentuk segitiga, ditengahnya terlukis bulatan merah yang melambangkan matahari dan bulan sabit putih di sampingnya.
Ji Han Lim terkesiap. Itulah Jit goat-ki (Bendera Rembulan Matahari) dari jaman Kerajaan Beng dulu. Huruf "Beng" (Cahaya) adalah gabungan dari huruf-huruf "jit" (Matahari) dan "goat" (Rembulan). Setelah Kerajaan Beng runtuh dan dinasti Manchu berkuasa, bendera itu menjadi lambang sebuah gerakan bawah tanah yang menyebut dirinya Jit-goat-pang (Serikat Rembulan Matahari), yang bercita-cita menumbangkan Manchu dan mendirikan kembali Kerajaan Beng.
Ciri-ciri khas anggota-anggota Jit-goat-pang ialah pakaian mereka yang tetap model kuno, model kerajaan Beng, dan mereka tidak mau mengun- cir rambutnya menurut peraturan pemerintah Manchu. Namun mereka bertindak cerdik juga. Di tempat-tempat umum, mereka memasang kuncir palsu atau memakai topi berkuncir palsu. Kalau mereka bertemu sesama kawan di tempat rahasia, barulah mereka tampil dengan ciri-ciri mereka dalam hal pakaian dan rambut.
Kini melihat orang-orang Jit-goat pang berani muncul di tempat yang terhitung tidak jauh dari Pak-khia, perhatian Ji Han Lim langsung tertarik. la ingin tahu, apa saja yang mereka lakukan dengan berkumpul di tempat itu? Dan lagi-lagi terdengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. Cepat-cepat Ji Han Lim melompat ke atas sebuah pohon dan bersembunyi di antara daun-daunnya. Tapi ia masih bisa mengintai dari sela-sela daun.
Dari arah selatan muncul empat penunggang kuda, dari barat juga muncul empat penunggang kuda. Kedua rombongan itu berpapasan di mulut lorong hutan. Di hadapan satu sama lain, mereka merobek-robek pakaian mereka sebelah luar yang berpotongan Manchu, sehingga nampak pakaian sebelah dalam mereka yang bermodel Kerajaan Beng. Lalu kuncir-kuncir palsu mereka dilepas pula, sehingga nampak potongan model kuno rambut mereka. Rupanya, agar selama perjalanan mereka tidak dicurigai pemerintah Manchu, mereka menutupi ciri-ciri mereka yang asli.
Yang agak mendebarkan Ji Han Lim ialah ketika melihat salah seorang dari mereka cukup dikenalnya. Dulu, ketika Ji Han Lim dan teman-teman seperjalanan nyaris hancur berkeping-keping di sebuah gubuk yang ternyata dipasangi bahan peledak. Orang itu bahkan pernah bertempur dengan Ji Han Lim. Dialah Lo Siang yang berjulukan Ang-jiau-hong-mo (Hantu Gila Bertangan Merah), ahli tingkat tinggi dalam Ang-se ciang (Pukulan Pasir Merah).
Rombongan dari selatan dipimpin seorang lelaki yang jangkung kurus sehingga mirip tiang jemuran. Ketika ia duduk di atas kuda, tubuhnya bergoyang goyang seakan hendak roboh, dan sepasang kakinya begitu panjang sehingga hampir menyentuh tanah. Pakaiannya bersulam dan mewah sekali. Tampang orang ini lucu sekali, cocok untuk ikut rombongan badut penghibur, namun wajah Ji Han Lim justru tegang karena ia juga kenal tokoh ini. Namanya Ku Tian Lok, julukannya Tiau-si-kui (Setan Gantungan), di lingkungan Jit-goat-pang dia berkedudukan sebagai Lam-ong (Raja Selatan).
Kiranya Jit-goat-pang masih mempertahankan sebutan-sebutan pemerintahan jaman Beng duIu, itulah sebabnya Ku Tian Lok bergelar Lam-ong, sementara pemimpin Jit-goat-pang sendiri tidak dipanggil Pang cu, tetapi Kaisar. Biarpun Ku Tian Lok lebih mirip raja badut, namun Ji Han Lim sadar, orang itu beberapa kali lipat lebih berbahaya daripada Lo Siang.
Kedua rombongan itu bergabung, kemudian sama-sama menghilang ke dalam hutan. Ketika keadaan sudah sepi kemba-li, Ji Han Lim melompat turun dari pohon dan dengan hati-hati sekali menyusup pula ke dalam hutan. la tidak mengikuti lorong hutan, sebab yakin bahwa lorong itu tentu dijaga. Benar juga, tampak beberapa penjaga. Maka Ji Han Lim lebih suka merunduk-runduk bersembunyi di antara pepohonan yang lebat.
Akhirnya ia melihat, di tengah hutan ada sebuah tempat lapang yang digunakan sebagai tempat pertemuan. Di situlah orang-orang Jit-goat-pang berkumpul, bersila dengan khidmat mengitari sebuah "singgasana" yang masih kosong dan sehelai bendera Jit-goat-pang berukuran raksasa. Rupanya pertemuan belum dimulai, mereka masih menunggu datangnya “Kaisar" mereka.
Di tempat persembunyiannya, Ji Han Lim harus amat berhati-hati, berna as pun tidak berani keras-keras. la tidak tahu entah berapa banyak orang berilmu tinggi di antara mereka, dan kalau kehadirannya sampai diketahui, dia pasti akan menyusul adiknya. Jit-goat-pang adalah sebuah organisasi amat tertutup yang tak segan-segan bertindak kejam kepada orang-orang yang mengintai kelakukan rahasia mereka.
Tidak lama kemudian, muncul lagi serombongan orang berkuda. Dan kali ini salah seorang pendatang berteriak nyaring. "Hong-siang akan tiba!"
Orang-orang itu serempak mengatur diri dalam dua jajaran dan berlutut. Diam-diam Ji Han Lim geli juga melihat tingkah orang-orang itu. Yah, hitung-hitung nonton pertunjukan lawak gratis, namun kalau sampai ketahuan maka nyawanya akan dicabut sebagai "harga tanda masuk".
Dari mulut lorong muncul lagi sepasukan orang berpakaian seragam istana jaman dinasti Beng, yang lalu berbaris dua jaiur dengan sikap tegap sam bi1 menggenggam senjata masing-masing. Ji Han Lim mengira "Kaisar" nya akan segera muncul, eh, ternyata belum juga. Kali ini muncul orang-orang berpakaian pelayan istana yang menggelarkan permadani dari mulut lorong sampai ke "singgasana". Muncul lagi sekelompok gadis berdandan dayang-dayang istana yang menyebarkan bunga-bunga dan memasang dupa wangi segala.
"Benar-benar tata-cara bau tengik..." Ji Han Lim menggerutu dalam hati. Namun akhirnya muncul juga sebuah tandu, dan muncullah sang "Kaisar" Jit goat-pang dari dalam tandu, disambut seruan orang-orang yang berlutut itu, "Ban-swe! Ban-swe!"
"Kaisar" itu seorang lelaki berusia sekitar limapuluh tahun, rambutnya sudah kelabu, berpakaian lengkap jubah kuning bersulam naga dan lagaknya memang seperti Kaisar tulen. Yang mengejutkan Ji Han Lim ialah betapa tajamnya mata orang ini, menandakan entah berapa tinggi ilmu yang tersimpan dalam dirinya.
Dulu di jaman menjelang berakhirnya masa pemerintahan Kaisar Sun Ti, Jit-goat-pang pernah memberontak di bawah pimpinan Cu Leng Ong, seorang putera selir Kaisar Cong Ceng dari dinasti Beng. Pangeran Cu Leng Ong itulah ayah dari "Kaisar" Jit-goat-pang yang bernama Cu Teng Hong ini. Jadi ia adalah cucu Kaisar Cong Ceng, biarpun neneknya cuma seorang selir.
Setelah duduk di "singgasana". Cu Teng Hong berkata kepada pengikut-pengikutnya, "Bangkitlah...”
Seruan serempak lagi, "Terima kasih, Tuanku!" lalu orang-orang itu berdiri dengan tertib dan sikap hormat. Benar-benar mirip dalam istana.
Kemudian mereka berunding, dan tergetarlah jantung Ji Han Lim setelah mendengar apa yang mereka rencanakan. Ternyata mereka hendak mengadakan gerakan besar-besaran di Pak-khia, tepat pada hari ulang-tahun Kaisar Yong Ceng beberapa hari lagi. Gebrakan yang tidak tanggung-tanggung, bermaksud merebut Pak-khia, dan membunuh Kaisar Yong Ceng, untuk itu Jit-goat-pang bekerja sama dengan kaum Pek-lian-pai (Golongan Teratai Putih), meskipun mereka gagal mengajak kaum Thian-te-hwe (Serikat Langit Bumi) untuk bergabung dalam gerakan itu.
Mendengar rencana itu, Ji Han Lim bimbang sendiri. Perlu dilaporkan Kim Seng Pa atau tidak? Kalau dilaporkan, alangkah besarnya jasa Ji Han Lim, sebab laporannya pasti akan sangat lengkap. la sudah mendengar cara bagaimana yang akan digunakan gabungan antara Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai, kapan waktunya, tempat-tempat yang akan dijadikan sasaran, pusat-pusat kekuatan mereka di dalam dan luar kota Pak-khia bagaimana cara mereka saling berhubungan untuk menyampaikan atau menerima perintah. Lengkap sekali.
Kalau Ji Han Lim mau bicara kepada Kim Seng Pa, maka dalam sekali gebrak saja rencana Jit-goat-pang yang tersusun rapi itu akan lumpuh sebelum bertindak. Tetapi Ji Han Lim tidak dapat segera memutuskan dalam hatinya. Bahkan lebih kuat kecenderungannya untuk tidak usah lapor saja, alias tutup mulut.
Setelah orang-orang Jit-goat-pang itu selesai menetapkan rencana, mereka sempat membuat upacara sumpah setia, semuanya bersumpah akan bertaruh nyawa demi suksesnya rencana itu. Serempak mereka meneriakkan semboyan mereka yang terkenal, "Seng-wi-beng-jin, Si-wi-beng-kui!” Hidup sebagai rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng!
Kemudian Cu Teng Hong meninggalkan tempat itu dengan diiringi penghormatan berlutut dari seluruh pengikutnya. Lalu pengikut-pengikutnya pun meninggalkan tempat itu. Yang paling akhir pergi adalah Ji Han Lim, meskipun tetap harus sambil celingukan waspada.
Hari itu bukan hari giliran tugas Ji Han Lim, maka setelah masuk dalam kota Pak-khia, ia sempat mampir ke kuil Thian-te-bio untuk menitipkan guci jenazah adiknya. Kemudian sambil lalu ia memutar lewat kelenteng Thai-hud-si, tempat dulu menjadi persembunyian orang-orang Hwe-liong-pang kalau sedang beroperasi di Pak-khia. Dulunya, pangkalan operasinya adalah rumah Kui Hok, seorang anggota Hwe-liong-pang pula. Namun setelah rumah itu diketahui pihak jagoan istana, lalu dipindahkan ke Thai-hud-si.
Ketika Ji Han Lim masuk kuil itu, ternyata sudah kosong. Tak seorangpun kelihatan batang hidungnya. Rupanya, sejak matinya Khai-sim Hwe-shio di taman Cun-hoa, pendeta-pendeta kuil itu sudah bubar takut ditangkap tentara pemerintah. Saat itu, pihak Hwe-liong-pang entah punya pangkalan operasi dimana lagi.
Sesaat Ji Han Lim berdiri termenung, sampai seseorang masuk dari pintu kuil. Ji Han lim membalikkan badan, dan melihat bahwa si pendatang itu adalah Kui Hok yang membawa Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis). Ketika Ji Han Lim masih dianggap anggota Hwe-liong-pang, kedudukan Kui Hok adalah dibawah Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) yang dulu dipimpin Ji Han Lim.
Namun kini Kui Hok berdiri di depan Ji Han Lim tanpa rasa hormat sedikitpun. Matanya bahkan menatap bekas pemimpin kelompoknya itu dengan penuh kemarahan dan kebencian. “Pengkhianat!” geram Kui Hok. “Sejak dari jalan besar tadi kuikuti kau diam-diam sampai kemari, sekarang tibalah saat kematianmu!”
“Tunggu, saudara Kui, harus kujelaskan…..” Ji Han Lim tak sempat menyelesaikan kata-katanya, sebab ia harus buru-buru menghindar gebukan toya Kui Hok. “Dengarkan dulu, saudara Kui...” Ji Han Lim tak sempat menyelesaikan kata-katanya, sebab ia harus buru-buru menghindar gebukan toya Kui Hok.
“Tidak. Aku tidak mau mendengarkan seorang pengkhianat yang tega menjebak adik kandungnya dan teman-teman seperjuangannya sendiri, hanya untuk mencari muka kepada si keparat Yong Ceng!” terika Kui Hok sambil terus menyerang dengan gencar.
Karena hanya menghindar terus, tidak membalas, lama-kelamaan Ji Han Lim repot juga. Bagaimanapun Kui Hok adalah kepala cabang Hwe-liong-pang di Pak-khia yang ilmunya cukup hebat. Tapi Ji Han Lim juga tidak membiarkan kepalanya dijadikan bubur oleh toya besi Kui Hok. Suatu ketika Kui Hok menyerang dengan Thai-san-ap-ting (Gunung Thai-san menimpa kepala) Yang menghantam dari atas ke bawah. Ji Han Lim cepat menghindar, lalu jari-jari Ji Han Lim meluncur menotok rusuknya, sehingga Kui Hok langsung roboh.
Tetapi Kui Hok tidak mau menunjukkan sikap takluk, ia masih berteriak, "Pengkhianat, kau bunuhlah aku sekalian! Seperti kau sudah membunuh adikmu sendiri yang berwatak satria itu! Ayo bunuh aku!"
Tanpa peduli caci-maki Kui Hok, Ji Han Lim mengangkat tubuh Kui Hok ke belakang kuil Thai-hud-si, sehingga teriakannya takkan terdengar dari jalan besar dan bisa menimbulkan kesulitan. Didudukkannya tubuh Kui Hok yang tertotok disebuah kursi.
"Kui Hok, sebelum kau lanjutkan caci-makimu, kau mau mendengarkan omonganku lebih dulu?" tanyanya.
Memang mulut Kui Hok kelelahan juga, maka diapun bungkam, namun sepasang matanya masih menyemburkan kemarahannya. Ji Han Lim menarik sebuah kursi untuk didudukinya sendiri di hadapan Kui Hok. Lalu iapun menceritakan rencananya untuk menakluk kepada Kim Seng Pa. Sebuah rencana yang penuh pengorbanan, bukan saja korban nyawa, teman-teman dan bahkan saudara kandungnya sendiri, tapi juga nama baiknya sendiri, sebab Ji Han Lim mau tidak mau mendapat cap sebagai pengkhianat. Ketika ingat adiknya yang sudah menjadi abu, tak tertahan lagi Ji Han Lim bicara sambil terguguk-guguk.
Melihat kesungguhan Ji Han Lim, Kui Hok mulai terpengaruh. Mula-mula ia tercengang, lalu bimbang antara percaya dan tidak percaya, namun akhirnya mulai percaya juga. Sinar kebencian dan kemarahan memudar dari sepasang matanya, digantikan sinar mata penuh hormat dan haru. Itu sebuah kisah pengor- banan yang tidak tanggung-tanggung. Akhirnya Kui Hok ikut mencucurkan air mata pula.
'Tong-cu...." suaranya menjadi serak. "Terimalah hormatku yang tinggi...."
Ji Han Lim akhirnya bisa juga tersenyum lega, setelah ia menjelaskan segalanya kepada Kui Hok. Dan ia sudah siap menyongsong maut sebagai puncak rencananya. Rencana yang bukan hanya berdasar kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya, melainkan demi jutaan rakyat kekaisaran yang tertindas di bawah pemerintahan yang lalim. Rasanya pengorbanannya selama ini jadi tidak terlalu mahal lagi. Toh taruhannya adalah kebahagiaan seluruh rakyat.
Ji Han Lim membebaskan totokan Kui Hok, lalu berkata, "Terima kasih, saudara Kui, kau sudi mendengarkan dan mempercayai aku."
"Tong-cu, pengorbananmu sesungguhnya terlalu hebat, tidak bisa dilakukan sembarangan orang. Tetapi...."
”Kenapa?"
"Buat apa Tong-cu berkorban seperitu itu? Asal kita gigih berjuang, toh lama-lama Yong Ceng akan tumbang juga dari tahtanya yang berlumuran darah itu.”
Ji Han Lim menjawab sambil menarik napas, "Saudara Kui, sampai kapan batasnya 'lama-lama' itu? Selama itu, berapa korban nyawa yang akan jatuh di pihak penentang atau pendukung Yong Ceng? Semuanya hanya bersumber dari Yong Ceng yang bernafsu untuk terus bertahta dengan cara-cara liciknya, mengubah Surat Wasiat ayahandanya, menyandera Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai, membunuhi menteri-menteri tua yang setia, dan seribu kejahatan lainnya. Kelakuan Yong Ceng menyuburkan perlawanan dalam negeri, dan berarti melemahkan kekaisaran, padahal kekaisaran kita senantiasa terancam oleh Rusia dari barat dan Jepang dari timur, yang akan mendapat peluang untuk menyerang kita kalau negeri ini lemah. Karena itu, Yong Ceng harus mati! Setelah itu aku tidak peduli apakah yang akan naik tahta itu Pangeran In Te atau Pangeran Hong Lik, pokoknya negeri ini harus mendapat raja yang lebih baik, yang lebih dapat memperkuat negara dan memperhatikan rakyat. Kalau tidak, kita akan dijajah orang- orang bule seperti beberapa negeri di selatan!"
Kui Hok terbakar oleh semangat yang ditunjukkan Ji Han Lim itu, kata-nya, "Tong-cu, kini aku sadar bahwa kau bukan pengkhianat, tapi seorang patriot yang sedang melakukan pengorbanan tertinggi. Tidak sedikit orang berani mengorbankan nyawanya, tapi bukan nama baiknya. Berkorban nyawa, tapi mengharap imbalan bahwa namanya akan mengharum dan dikenang terus. Tapi Tong-cu siap mengorbankan apapun tanpa sisa, nyawa dan nama baik...."
"Jangan memujiku setinggi itu. Aku bercerita terus-terang kepadamu, berarti aku masih sayang akan nama baikku juga."
"Tong-cu, kalau kau butuh bantuanku, akupun siap mengorbankan apa saja."
"Terima kasih, tapi aku sendiri pun merasa cukup lancar dalam rencana ku. Si anjing tua Kim Seng Pa itu semakin percaya kepadaku. Aku hanya mohon, demi jutaan rakyat yang harus dibebaskan dari penindasan, agar siapapun jangan diberitahu rencanaku ini, supaya tidak bocor dan membahayakan jiwaku."
Mata Kui Hok kembali basah berkaca-kaca, "Aku sanggupi, Tong-cu. Ada pesan lain?"
"Satu lagi. Kalau aku mati, bakarlah mayatku menjadi abu dan satukan dengan abu jenazah adikku yang kutitipkan di kelenteng Thian-te-bio, lalu bawalah ke Tiau-im-hong."
"Aku berharap Tong-cu tetap hidup, setelah berhasil dengan tugas berat itu."
"Tentu saja akupun berharap demikian," Ji Han Lim tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Kui Hok. "Kita berpisah, ingat-ingat pesanku tadi..."
"Baik, Tong-cu."
Ji Han Lim sudah melangkah beberapa tindak, namun tiba-tiba ia menghentikan langkah dan berbalik lagi, "Eh, masih ada satu hal lagi, saudara Kui."
"Apa, Tong-cu?"
"Laporkan kepada Tong Pang-cu bahwa empat hari lagi adalah hari ulang tahun Yong Ceng, dan para pemberontak Jit-goat-pang serta Pek-lian-pai akan bergerak merebut seluruh Pak-khia dengan kekuatan besar-besaran. Mereka juga bertujuan membunuh Yong Ceng, tapi hanya untuk digantikan raja lalim lainnya, yaitu Cu Teng Hong si "Kaisar" Jit-goat-pang. Saat terjadinya huru-hara itulah kesempatan baik untuk menolong Siang Koan Tong-cu dan Kiong Tongcu di penjara istana. Tanpa memanfaatkan saat itu, sulit membebaskan mereka."
"Baik. Matinya Yong Ceng akan merupakan anugerah besar buat rakyat yang tertindas."
"Apakah kekuatan Hwe-liong-pang juga sudah terkumpul di kota ini?"
Sekilas timbul kecurigaan Kui Hok. Jangan-jangan Ji Han Lim hanya hendak memancing keterangan tentang orang-orang Hwe-liong-pang, lalu diserbu dan ditumpas? Namun melihat sorot mata Ji Han Lim yang tulus dan pedih, Kui Hok merasa terlalu kejam kalau masih mencurgainya. Sahutnya, "Benar, kemarin malam semua kekuatan sudah berkumpul.” Bagaimanapun juga, masih ada sisa kecurigaannya, sehingga Kui Hok tadi menyebutkan tempat berkumpulnya.
"Siapa saja?"
"Pang-cu bersama muridnya, Pangeran In Tong, Goan-swe Pak Kiong Liong dan lima Tong-cu dan lima Hutong-cu serta belasan teman-teman kita."
"Cukup untuk menggempur penjara. Tapi ingat, manfaatkan kesempatan dengan tepat."
Tiba-tiba Ji Han Lim merasa keterangan Kui Hok agak aneh. Hwe-liong-pang hanya punya delapan Tong-cu, salah satu adalah ia sendiri. Liong Su Koan sudah gugur di Taman Cun-hoa, Siang Koan Long dan Kiong Wan Peng terkurung di penjara. Mestinya tinggal empat, kenapa Kui Hok bilang lima? Tiba-tiba Ji Han Lim jadi sedih sendiri. la mengira dirinya sudah dicap pengkhianat dan tentunya Tong Lam Hou sudah mengangkat seorang Ang-ki Tong-cu (Kepala Kelompok Bendera Merah) yang baru.
Tanpa sadar ia bergumam sendiri, "Ya, memang pantas kalau kedudukanku sebagai Ang-ki Tong-cu digantikan orang lain. Siapapun pasti berpikiran begitu."
Sahut Kui Hok, "Sampai saat ini belum diangkat pengganti Tong-cu atau Liong Tong-cu yang gugur itu..."
"Kalau begitu, tentunya yang datang itu empat orang Tong-cu, bukan lima seperti katamu tadi, saudara Kui."
Kui Hok tersenyum, "Sekarang ada kelompok kesembilan dalam Hwe-liong-pang, yang disebut Hui-liong-tong (Kelompok Naga Terbang), bekas perajurit-perajurit Hui-Iiong-kun yang diburu-buru Yong Ceng dan bergabung dengan kita. Tong-cunya adalah Tok Koh Lui dan Hutong-cunya Au Yang Kok Cu."
"Wah, kiranya ada peristiwa gembira itu."
"Tong-cu, bagaimana kalau rencana mu yang berbahaya itu dijelaskan kepada Pang-cu? Selain untuk mencuci nama baikmu, juga andaikata gagal bisa diusahakan menyelamatkan Tong-cu keluar dari tengah-tengah serigala-serigala itu."
"Boleh, tapi ingat, hanya kepada Pang-cu seorang. Makin banyak orang yang tahu, semakin mudah bocor..."
"Ya, Tong-cu. Selamat berjuang."
"Terima kasih."
Keduanya pun berpisah dengan membawa perasaan masing-masing. Kui Hok terharu dan bangga, Ji Han Lim bertambah semangat.
* * * *
Ibukota Kerajaan bersiap-siap nyambut perayaan ulang tahun Kaisar pinggir jalan besar dihias, gerbang-gerbang dan pagoda-pagoda bertaburan lampion, ratusan panggung hiburan sudah disiapkan di seluruh pelosok kota. Kedutaan-kedutaan Rusia, Jepang, Portugis, Inggris, Belanda, Siam, Birma dan lain-lainnya sudah siap dengan hadiah ulang tahun yang bersaing satu sama lain.
Acara sudah disiapkan rapi. Di kuil Kerajaan akan diadakan sembahyang yang dipimpin para pendeta Ang-ih-kau, memohonkan agar Sang Putera Langit mendapat usia panjang karena sudah termasyhur akan "kebijaksanaan"nya. Semua kuil besar kecil di seluruh Pak-khia harus mengadakan upacara serupa, yang menolak, pendeta-pendetanya akan dihukum mati.
Lalu lintas kota Pak-khia menjadi berkali lipat lebih padat karena banyak orang luar Pak-khia membanjiri ibukota itu. Penjagaan diperketat, baik oleh perajurit berseragam maupun para mata-mata yang membaur di antara orang banyak. Yong Ceng ingin perayaan ulang tahunnya berjalan aman dan lancar, tidak ada gangguan keamanan apapun.
Dengan demikian, disamping menjadi arena kegembiraan, kota Pak-khia juga menjadi arena "kucing-kucingan" antara pendukung dan penentang Yong Ceng yang sama-sama menyamar di antara rakyat. Di balik segala pesta dan kemeriahan, tersembunyi ketegangan dan nafsu membunuh yang ditahan-tahan untuk menunggu kesempatan.
Hari ulang tahun Sang Putera Langit tiba. Di mana-mana orang berpesta kembang api, makan-makan, menonton hiburan. Di mana- mana juga kelompok-kelompok perajurit berjaga-jaga dengan senjata terhunus, mengawasi orang-orang yang berlalulalang. Kegembiraan dan ketegangan bisa juga berdampingan.
Di depan kelenteng Thian-te-bio yang tidak jauh dari istana, serombongan sandiwara topeng memainkan lakon "Sun Pin dan Bang Koan" dengan lihainya. Pemain-pemainnya mantap, penabuh musik pengiringnya juga mantap, sehingga penonton larut dalam alur cerita. Para penonton ikut terharu melihat nasib "Sun Pin" yang dihukum potong kaki karena fitnah saudara senerguruan dan sahabat karibnya sendiri.
Dan penonton ikut bersorak gembira ketika sampai adegan akhir, dimana Bang Koan yang tengah memimpin tentara Kerajaan Gui untuk menyerbu Kerajaan Che, telah terperangkap oleh pasukan Sun Pin, lalu Bang Koan mati dengan tubuh penuh anak panah. Tepuk tangan bahkan masih bergemuruh, ketika layar ditutup perlahan-lahan.
Saat itu dari istana terdengar genta besar dibunyikan, disusul genta-genta di sembilan menara kota. Itulah puncak acara. Tandanya Kaisar Yung Ceng sudah selesai bersembahyang, dan akan menerima ucapan ulang tahun dari semua pejabat-pejabat bawahannya maupun para duta asing.
Saat itulah layar panggung yang baru saja melakonkan "Sun Pin dan Bang Koan" itu terbuka kembali. Seorang lelaki pendek berpakaian Panglima jaman Kerajaan Beng muncul di panggung dengan membawa toya Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala). Penonton yang hampir bubar, tiba-tiba bersorak gembira dan kembali merubung ke depan panggung. Mereka menyangka rombongan sandiwara yang mengaku "datang dari masa silam" itu akan melakonkan cerita baru.
Ketika penonton sudah berkumpul, orang diatas panggung itu ternyata bukan main sandiwara, malah berpidato dengan berapi-api, "Rakyat Kerajaan beng yang menderita, sudah hampir Satu abad tanah air kita dijajah anjing-anjing berkuncir dari Liao-tong. Kini tiba saatnya kita bangkit untuk mengangkat senjata di bawah pimpinan..."
Sampai di sini, paniklah penonton dan bubar ke segala arah. Rakyat yang tidak tahu-menahu soal politik itu tidak mau tersangkut urusan yang berbahaya. Mereka tahu, "lakon" kali ini adalah "lakon" berbahaya. Pelaku-pelakunya bukan lagi menggunakan senjata mainan, melainkan senjata-senjata asli yang bisa memotong leher.
Tetapi dari antara penonton yang tengah bubar itu, ada juga beberapa orang bertubuh tegap-tegap yang justru mendesak ke arah panggung, sambil berseru-seru, "Kepung tempat ini! Mereka pemberontak!"
Merekalah orang-orang pemerintah kerajaan. Salah seorang dari mereka segera melepaskan jubahnya sehingga nampak pakaiannya yang ringkas, dan pedang tergantung di pinggangnya. Dengan pedang dihunus, ia melompat lincah keatas panggung sambil membentak si "Panglima Kerajaan Beng", "Pemberontak, menyerahlah. Sejak tiga hari yang lalu kami sudah mencium kehadiran kalian di Pak-khia untuk mengacau!"
"Panglima Kerajaan Beng" itu bukan lain adalah Siang Hwe Jing, tokoh Jit-goat-pang yang sering mengaku keturunan Siang Gi Jun, salah satu pendiri Kerajaan Beng, la segera memutar toya Long-ge-pangnya untuk menyambut lawannya. Begitu hebat tenaganya, sehingga gerak senjatanya mampu membuat tirai panggung berkibar-kibar. Tapi lawannya juga gesit sekali memainkan pedangnya.
Sementara itu, sepasukan tentara kerajaan telah datang mengepung tempat itu. Namun dari belakang panggung dan kolong panggung muncul kira-kira tujuh puluh orang bersenjata yang dengan beraninya menyongsong para perajurit. Banyak di antara mereka yang masih mengenakan pakaian sandiwara, atau mukanya masih coreng-moreng, tetapi mereka menjadi lawan tangguh bagi para perajurit juga wanita wanita dalam rombongan sandiwara itu ternyata mahir bersilat pula.
Diantara penonton sendiri juga banyak orang Jit-goat-pang maupun orang-orang Yong Ceng yang menyamar. Kini semuanya langsung mencabut senjata dan baku-hantam dengan sengitnya. Teriakan-teriakan "Biat-ceng Hong- beng" (Runtuhkan Manchu, bangunkan Beng) Bercampur aduk dengan teriakan "tangkap pemberontak". Gemerincing senjata menjadi "musik" jenis lain yang berkumandang di tempat itu.
Seandainya para penonton tidak buru-buru kabur, tentu mereka akan menyaksikan "lakon" yang lebih seru dari "Sun Pin dan Bang Koan" tadi. Dalam sandiwaranya, berkelahinya cuma pura-pura, sekarang bersungguh-sungguh. Darah yang muncrat juga benar-benar darah, bukan tinta merah, dan yang mati pun takkan bangun kembali.
Perajurit yang disuruh segera lari menjalankan perintah, menenggelamkan diri di antara hiruk-pikuk lautan manusia yang ketakutan. Tetapi, perajurit itu takkan pernah sampai ke tangsi tujuh, sebab tubuhnya roboh terkapar ketika seseorang menusuk perutnya dengan sebilah pisau, yang sesaat yang lalu masih digunakan untuk mengiris-iris semangka. Si penjual semangka itu juga orang Jit-goat-pang.
Keributan macam itu terjadi di seluruh kota. Bunyi genta dari istana yang dimaksudkan untuk memberi "selamat ulang tahun" kepada Kaisar Yong Ceng, ternyata oleh pihak Jit-goat-pang sekaligus dijadikan tanda untuk serangan serempak!
Di sebuah panggung wayang potehi (wayang golek Cina), si dalang mendadak melemparkan beberapa butir Tok-bu kim-ciam-cu-bo-hwe-tan (Peluru Api yang menyemburkan kabut dan jarum beracun) kearah sekelompok perajurit di dekatnya. Beberapa perajurit dan rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa tewas, kemudian para perajurit yang masih hidup langsung bertempur sengit dengan si dalang potehi serta segenap rombongannya. Di sekitar mereka, rakyat menjerit-jerit dan saling tabrak dengan bingungnya..
Di bagian kota yang lain, sekelompok rombongan liong dan barongsai yang tengah dikagumi penonton penontonnya, begitu mendengar genta istana berbunyi, mendadak menghunus senjata-senjata tersembunyi mereka dan mengamuk ke arah para perajurit. Begitulah, arena kegembiraan berubah menjadi kekacauan. Pesta rakyat berubah menjadi pesta darah dari golongan golongan yang saling membenci dan bernafsu untuk saling memusnahkan. Wanita-wanita dan anak-anak adalah mahluk-mahluk lemah yang malang dalam kekacauan itu, tapi siapa mau peduli kepada mereka?
Bahkan kedua pihak semakin menunjukkan kebengisan mereka. Orang Jit-goat-pang sadar, tentara kerajaan masih bingung karena mereka berbaur dengan rakyat biasa, maka orang-orang Jit-goat-pang pun menjadikan orang banyak sebagai perisai mereka. Sering mereka sengaja mendorong seseorang ke ujung senjata para perajurit, supaya mereka sendiri dapat menyerang dari lain arah.
Mereka sudah diajari oleh pemimpin-pemimpin mereka, bahwa demi tegaknya kembali Kerajaan Beng, cara apapun boleh digunakan. Rakyat juga boleh dikorbankan, toh perjuangan Jit-goat-pang juga "demi rakyat" dan rasanya cukup pantas kalau rakyat juga berkorban "sedikit" dengan nyawa mereka.
Pihak tentara kerajaan memang bingung menghadapi musuh yang bermunculan di mana- mana. Seorang penjual mainan anak-anak yang tiba-tiba memegang tombak untuk mengamuk, seorang penjual obat yang tiba-tiba melemparkan sebungkus kelabang berbisa ke leher perajurit, dan sebagainya.
Seorang perajurit muda berwajah kekanak-kanakan merasa kasihan melihat seorang kakek bungkuk melangkah sempoyongan di tengah hiruk-pikuknya manusia yang panik. la menuntun si kakek untuk dicarikan tempat aman, tetapi si kakek tiba-tiba mengeluarkan pisau untuk menikam mati perajurit muda itu. Seharusnya perajurit itu sendiri yang patut dikasihani, kurang dapat membedakan kapan waktunya menjadi manusia dan kapan waktunya menjadi binatang.
Seorang perwira tentara paham betul bagaimana caranya menjadi serigala, ia berteriak mengeluarkan perintah, "Jangan ragu-ragu! Siapa yang mencurigakan, langsung babat, tidak usah memilih-milih lagi! Lebih baik keliru membunuh daripada kita yang dibantai!"
Sebagian perajurit jadi ikut ngawur dalam mengarahkan senjata. Bukan saja orang Jit-goat-pang yang mereka serang, tetapi juga orang yang "kelihatannya" Jit-goat-pang, entah benar entah tidak. Sebagian perajurit masih ragu-ragu, apalagi kalau menghadapi orang bertampang lemah tak berdaya. Namun kalau ingat bahwa beberapa kawan mereka telah menjadi korban dari "tampang-tampang tak berdaya" itu, mereka pun mengusir kebimbangan hati.
Ribuan kali terulang dalam sejarah, rakyat tergencet jadi korban antara kekuatan-kekuatan yang bermusuhan. Tetapi orang-orang yang haus kemenangan belum juga jera atau bosan mengulangi lakon yang sama setiap saat. Toh rakyat tidak akan habis, pikir mereka. Jit-goat-pang mengerahkan kekuatan yang besar kali itu, ditambah orany orang Pek-lian-pai. Puluhan ribu pengikut fanatik yang sudah dicekoki falsafah "mati demi Kerajaan Beng" telah di kerahkan dan disusupkan ke Pak-khia.
Kebanyakan tentara kerajaan yang bertempur di jalanan adalah pasukan Kiu-bun Te-tok yang tidak banyak jumlahnya, mereka juga bukan pasukan gempur melainkan sekedar pasukan keamanan kota. Maka repotlah mereka menghadapi keberingasan orang-orang Jit-goat-pang, meskipun tangsi-tangsi sudah dikosongkan karena isinya di kerahkan keluar semua. Mereka tetap tak mampu membendung orang-orang Jit-goat-pang yang perlahan tapi pasti bergerak mendekati istana, dari segala arah, seperti semut semut yang mencium adanya kembang gula.
Akhirnya Kiu-bun Te-tok Hap Lun dengan menunggang kuda dan diiringi sejumlah pengawalnya, telah menuju ke istana untuk melaporkan timbulnya kerusuhan itu. Suasana pesta gembira masih terasa di istana. Kaisar Yong Ceng duduk di singgasana, berdekatan dengan Ibu suri Tek Huai dan Pangercn In Te yang memaksakan diri untuk tetap "berseri-seri". Di sebelah lain, Pangeran Hong Lik duduk dengan jemu mengikuti acara- acara yang serba tersusun rapi, padahal sebenarnya ia ingin melihat suasana meriah di luar istana.
Keluarga istana dan tamu-tamu mereka sedang menikmati tarian-tarian indah yang dibawakan sekelompok gadis cantik, sambil menikmati hidangan lezat yang terus-menerus mengalir dari dapur istana. Di dekat Kaisar, sedikit di belakangnya, duduklah Kim Seng Pa dan Biau Beng Lama yang senantiasa siap menjalankan perintah-perintah panting dari Kaisar. Juga siap berebutan mencari muka, jangan sampai kalah saingan satu sama lain.
"Ampuni hamba, Tuanku, hamba telah lancang menghadap Tuanku tanpa dipanggil..." Hap Lun bersembah sujud.
Yong Ceng sedikit mengerutkan alisnya, ia memang merasa agak terganggu. Namun ia tahu. Hap Lun tentu punya suatu laporan yang demikian penting sehingga menghadapnya. Dengan lan Si jan tangannya, ia menyuruh Hap Lun medekat ke arahnya. "Ada apa, Hap Te-tok?"
"Kaum Jit-goat-pang telah mengerahkan ribuan pengikut, begitu juga kaum pek-lian-pai mereka mengacau di seluruh kota....”
Yong Ceng menjawab acuh tak acuh, apa gunanya kau menjadi Kiu-bun Te-k, kalau segerombolan bandit kecil saja tidak bisa kau atasi?"
Wajah Hap Lun bagaikan panas terbakar, namun ia melanjutkan laporannya, "Tuanku, kekuatan yang dikerahkan Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai meliputi laksaan orang jago silat. Terus terang saja, hamba sudah mengerahkan seluruh pasukan hamba untuk menahan mereka, namun hamba tidak yakin akan berhasil. Tidak lama lagi, mungkin pengacau-pengacau itu akan menyerbu masuk ke istana ini."
Cawan porselin di tangan Yong Ceng gemeretak hancur karena diremasnya. Benar-benar "hadiah ulang tahun" yang menjengkelkan. Di satu pihak, laporan Hap Lun tidak bisa diabaikan. Di lain pihak, pesta yang dihadiri duta-duta asing itu tidak boleh kacau, sebab akan memalukan namanya. Para pengacau haruslah ditahan sejauh mungkin dari istana.
Tiba-tiba Yong Ceng melirik curiga kepada Pangeran In Te yang duduk di sebelahnya. Mungkinkah gerakan Jit-go-at-pang dan Pek-lian-pai itu hanyalah pengikut-pengikut In Te yang menyamar? Seingat Yong Ceng, Jit-goat-pang pernah dihancurkan puluhan tahun yang lalu, seandainya masih ada juga sulit di percaya punya anggota sebanyak itu. Sedang orang-orang yang masih setia kepada In Te entah berapa banyaknya, Yong Ceng sendiri tidak tahu pasti. Itulah sebabnya Yong Ceng tidak berani memperlakukan In Te seperti memperlakukan In Gi dan In Tong, khawatir kalau pengikut-pengikut In Te memberingas.
Merasa dirinya dicurigai, ln Te buru-buru berlutut dan berkata, "Kakanda, pengacau-pengacau itu adalah musuh bersama kita. Kalau Kakanda berkenan, hamba bersedia membantu menumpas mereka di bawah pimpinan Hap Te-tok!" Sengaja ia menekankan kata-kata '"Membantu" dan " dibawah pimpinan Hap Te-tok". Kalau dia bilang "memimpin sendiri" tentu kakandanya akan bertambah curiga, mengira ia hendak menyalahgunakan pasukannya.
Sudah merendah seperti itu pun ternyata Yong Ceng belum mempercayainya, "Adinda, jangan merendahkan dirimu untuk menghadapi pencoleng-pencoleng kecil itu. Kau tetap bersamaku di sini, biar Hap Lun menyelesaikannya."
Pangeran In Te menarik napas, bangkit dari berlututnya untuk duduk kembali di kursinya. la masgul sekali. Hanya untuk menghilangkan kecurigaan, ia harus berlutut dan mengucapkan kata-kata merendah di hadapan kakak yang amat dibencinya diam-diam itu. Padahal dulu, dialah yang kedudukannya terkuat di antara para pangeran yang berebutan tahta. Di samping berkedudukan sebagai Panglima Tertinggi, ia juga menjadi putera kesayangan Kaisar Khong Hi, bahkan di hadapan Sidang Istana, ayahandanya sering mengucapkan "lampu hijau" buatnya tentang pengganti ayahandanya.
Kini dia menyesal bahwa dulu telah menyingkirkan Pak Kiong Liong dari sampingnya, karena termakan adu domba Liong Ke Toh dan malah dipercayakan pasukannya kepada si otak keledai Liok Hai Hong, yang dengan gampang akhirnya dilucuti dan dan dibubarkan oleh Ni Keng Giau. Kini In Te sadar bahwa dirinya ibarat seekor burung dalam sangkar emas berlian belaka, kapan ia akan "disembelih" tinggal tunggu waktunya kalau Yong Ceng sudah merasa mampu menghadapi gejolak.
Sementara itu, Hap Lun hampir tidak sabar menunggu jawaban Kaisar. Namun akhirnya Yong Ceng memerintahkan Panglima Han-lim-kun yang juga she Hap. Hap Bok Thian, "Hap Ciang-kun, bawa pasukanmu untuk membantu Hap Te-tok. Jangan ijinkan para pengacau mendekati tempat ini."
Hap Bok Thian sebenarnya lebih suka dalam ruangan itu, menikmati makanan lezat sambll menonton gemulainya gadis-gadis penari. Namun ia tidak dapat menolak perintah. la berlutut memberi hormat, lalu keluar bersama Hap Lun.
Ternyata memang demikianlah siasat Jit-goat-pang, memancing agar sebagian pasukan dalam istana keluar sarang, sehingga kekuatan yang mempertahankan istana sendiri semakin susut. Lalu "kaisar" Cu Teng Hong sendiri bersama para "jenderal" dan "gubernur"nya yang rata-rata berilmu tinggi, menerjang ke istana. Di samping Cu Teng Hong, nampaklah Tiau-si-kui (Setan Gantungan) Ku Thian Lok, Ang-jiau-hong-mo (Hantu Gila Bertangan Merah) Lo Siang, dan banyak jago-jago setaraf dengan Lo Siang atau sedikit di bawahnya, dan lebih banyak lagi pengikut yang nekad.
Yang paling tegang adalah wajah Yong Ceng sendiri. Kini ia mulai percaya bahwa Hap Lun tadi tidak melebih-lebihkan laporan sekedar menutupi ketidak-mampuannya sendiri. "Be Cong-koan (komandan Be), coba lihat keluar!" perintah Yong Ceng kepada Be Kun Liong, komandan Gi-cian Si-wi (Pengawal Kaisar).
"Baik, Tuanku," sahut Be Kun Liong sambil bangkit, dan setengah berlari menenteng tombak Hong-thian-keknya menuju keluar.
Yong Ceng berkata kepada tamu-tamunya agar tetap meneruskan pesta dengan gembira, karena katanya "tidak ada apa-apa".
Para tamu memaksakan diri untuk tetap kelihatan gembira, namun malah janggal nampaknya. Mana ada orang gembira yang memegangi cawan minumannya dengan tangan gemetar sehingga bajunya ketetesan arak? Mana bisa gembira, kalau suara keributan bukannya semakin reda dan jauh, namun malah semakin hebat dan dekat?
Sesaat kemudian, Be Kun Liong sudah masuk kembali, dengan wajah agak gugup dan pakaian agak kusut. Semua telinga segera dipasang baik-baik untuk mendengarkan apa yang bakal dilaporkan. "Hamba mohon ampun, Tuanku. Kekuatan para perusuh benar-benar di luar dugaan. Ratusan dari mereka berhasil menembus pertahanan Hap Te-tok dan Hap Ciang-kun, dan mereka menyerbu kemari. Kini mereka sedang ditahan oleh rekan-rekan dari Lwe-teng Wi-su (Pengawal Istana), namun tampaknya....."
Be Kun Liong ragu-ragu melanjutkan, namun semua hadirin di ruangan itu sudah merasakan firasat jelek. Ketegangan meledak menjadi kepanikan, biarpun para hadirin masih berusaha menahan diri untuk tidak berlari-lari atau berteriak-teriak di hadapan Kaisar. Namun wajah-wajah pucat yang basah keringat dingin tampak di seluruh ruangan pesta.
Yong Ceng mengertakkan gigi dengan marahnya. Pesta megah yang dirancangnya sejak berbulan-bulan yang lalu, ternyata berubah menjadi pesta kalang-kabut yang menampar mukanya. Tidak ada gunanya pesta diteruskan. Para tamu hanya akan pura-pura gembira, tetapi tidak gembira benar-benar, hal itu malah lebih memalukan.
"Be Cong-koan!"
"Hamba Tuanku!"
"Kawal semua keluarga istana dan para tamu, terutama duta besar-duta besar asing ke bangsal Yang-wan-kiong dan lindungi dengan pasukanmu, Seujung rambut saja mereka ada yang terluka, kepalamu akan aku ambill"
"Hamba Tuanku!"
Perintah Kaisar itu merupakan "lampu hijau" bahwa para tamu boleh meninggalkan ruangan yang terancam itu. Berbondong-bondonglah mereka meninggalkan ruangan, setelah memberi hormat secara tergesa-gesa kepada Yong Ceng, mengikuti jalan yang ditunjukkan Be Kun Li ong.
"Biau Beng Lama!" Yong Ceng memanggil pula.
"Hamba Tuanku!"
"Hamba laksanakan, Tuanku."
“Ni Keng Giau!"
"Hamba di sini, Tuanku!”
"Makan waktu berapa lama pasukan Tiat-ki-kun yang berpangkalan di luar-kota itu bisa dikerahkan ke dalam kota?"
"Hamba jamin tidak akan melebihi seratus hitungan, Tuanku. Hamba bisa menberi isyarat dari sini dan mereka akan bergerak masuk lewat sembilan pintu kota!”
"Tapi sembilan pintu kota barangkalii sudah dikuasai kaum pemberontak dan dipalang dari sebelah dalam...”
“Seandainya demikian hamba mohon ijin agar pasukan hamba diperkenankan mendobrak pintu-pintu gerbang dengan Kekerasan..."
"Aku ijinkan. Lakukan cepat." “Baik, Tuanku.”
Bergegas Ni Keng Giau menuju taman terbuka di samping ruangan pesta itu. Dengan tangannya sendiri ia menyulut dan melepaskan tiga buah asap ke udara. Merah, biru, lalu Merah lagi. Itulah isyarat bagi pasukannya di luar kota. Jumlah pasukannya terlalu besar untuk ditampung tangsi-tangsi dalam kota, sehingga mereka tersebar di tangsi-tangsi luar kota. Kini dalam ruangan itu tinggal Yong Ceng, Pangeran In Te, Kim Seng Pa dan sejumlah pengawal berseragam ungu yang sudah nengpjnus senjata semuanya menunggu perintah dengan tegang.
“Adinda, kenapa kau tidak ikut ke Yang-wan-kiong?” Tanya Yong Ceng kepada In Te.
“Kakanda, hamba seorang perajurit, dan selayaknya hamba ikut bertempur disini.”
“Ini bukan perang-perangan. Adinda.”
Keruan Pangeran In Te tersinggung mendengarnya, sahutnya. “Perang di Jing-hai dulu juga bukan perang-perangan, kakanda. Tapi hamba berhasil menaklukan pemberontanan disana. Hamba seorang perajurit, kakanda, bukan seorang bangsawan cengeng yang harus senantiasa dilindungi..."
Kim Seng Pa cepat-cepat berlutut, "Menurut pendapat hamba, sebaiknya Tuanku berdua tinggalkan tempat ini saja. Para pengacau di luar itu, serahkan saja kepada hamba dan anak buah hamba."
Keruan Kim Seng Pa jadi cemas. Memang benar kaisar adalah ahli Lo-nan kun (tinju arhat) dan Hok-mo-thung-hoat (Ilmu Toya Penakluk Iblis) yang masih dilatihnya tiap sore, namun musuh terlalu kuat. Buktinya mereka sanggup menerobos pertahanan yang berlapis-lapis sampai ke ruangan itu, dan agaknya musuh juga dipersenjatai bedil-bedil. Tapi kehendak Yong Ceng agaknya tak bisa diubah lagi. Seorang thai-kam telah datang membawakan toya Yong Ceng.
Waktu itu, dari arah pintu serombongan perajurit Lwe-teng Wi-su yang berseragam biru laut kelihatan terdesak oleh sekelompok orang Jit-goat-pang yang berseragam perajurit-perajurit jaman kuno, jaman Kerajaan Beng. Para perajuritnya Yong Ceng sudah bertahan gigih, namun musuh terlalu kuat untuk dibendung.
Pihak musuh dipimpin seorang lelak berusia setengah abad, berilmu tinggi, dan memakai jubah kekaisaran model dinasti Beng. Pedangnya yang bergagang emas sudah merah berlumuran darah, setiap gerakan pedangnya tentu merobohkan satu atau dua pengawal istana sekaligus. Tangan kanannya dengan pedang, tangan kiri dengan jari-jari setengah tertekuk, sejenis ilmu Hou-jiau-kang (Ilmu Cakar Harimau) juga minta banyak korban. Dialah Cu Teng Hong, "Kaisar"nya kaum Jit-goat-pang.
Di kiri kanan Cu Teng Hong ada dua kakek yang lebih hebat lagi, ilmunya mirip Cu Teng Hong namun dalam tingkatan yang lebih hebat lagi. Merekalah guru dan paman guru Cu Teng Hong Yang bertubuh kurus dan gerak-geriknya ringan adalah Hok Leng Kui yang berjulukan Tu-hun-siu (kakek memanjat mega), yang bertubuh bulat adalah Hai Kong To yang berjulukan Sat-sin-siu (Kakek Malaikat Bengis).
Rupanya Cu Teng Hong sudah mendengar kalau di istana Yong Ceng ada jagoan-jagoan tua macam Kim Seng Pa dan Biau Beng Lama, maka iapun mengajak dua kakek itu untuk memperkuat barisannya. Selain mereka, jago-jago Jit-goat-pang lainnya juga mengamuk dengan ganas, diikuti pengikut-pengikut mereka yang terus berteriak- teriak "hancurkan Mancu, bangunkan Beng" tak lelah-lelahnya.
Bukan cuma cenjata tajam, tapi bedil-bedil dipihak pengawal istana mulai ikut "bernyanyi" juga. Bertumbanganlah orang-orang Jit-goat-pang di bagian depan karena tertembus peluru, namun yang belakang terus mendesak maju, melompati teman-teman mereka yang bergelimpangan, sambil berteriak-teriak fanatik. Pengawal istana yang bersenjata bedil tidak sempat lagi mengisi bedil mereka, sehingga bedil-bedil itu dijadikan alat beladiri sebagai tongkat biasa.
Halaman istana yang indah jadi hancur terinjak-injak kaki, kolam-kolam teratai diapungi beberapa mayat, mayat pengawal istana maupun kaum penyerbu yang sama-sama gigih dan nekad. Tapi pergulatan masih jauh dari selesai. Pihak Jit-goat-pang amat bersemangat, sebab mereka yakin akan menang. Bukankah teman-teman mereka di segenap pelosok kota sudah berhasil merepotkan tentara pemerintah? Bukankah mereka sudah berhasil menerobos masuk istana Yong Ceng yang terkawal ketat? Karena itulah semangat mereka berkobar-kobar.
Ketika orang-orang Jit-goat-pang mulai membanjiri masuk ke ruangan pesta itu, para pengawal jubah ungu dengan perintah Kim Seng Pa segera bergerak serempak untuk melindungi Kaisar. Su-ma Hek-long dengan payung hitamnya yang dahsyat itu segera menghadang kehadapan Sat-sin-siu Hai Kong To yang bersenjata pedang. Keduanya langsung terlibat dalam pertarungan mati-matian. Sementara itu, sebelum bertemu dengan lawan yang setimpal, Tu-hun-siu Hong Leng Kui merupakan penyebar maut yang berbahaya sekali. Dua orang pengawal jubah ungu menerjangnya, dan dalam waktu singkat keduanya sudah terkapar dengan perut robek.
Kim Seng Pa sendiri segera turun tangan. Bagaikan seekor elang menyambar dari angkasa, ia menubruk Hek Leng Kui dari atas, telapak tangannya menghantam turun ke ubun-ubun Hok Leng Kui dengan jurus Hong-coan-pek-lek (Angin Berputar, Petir menyambar).
Hok Leng Kui yang tengah berpesta nyawa, terkejut merasa ada tekanan angin dahsyat dari atas kepalanya. Itulah sebuah serangan yang kalau tidak dilawan dengan sungguh-sungguh akan membuatnya tergencet remuk. Sekuat tenaga ia kerahkan tenaganya ke tangan kiri, lalu menyongsong pukulan Kim Seng Pa secara keras lawan keras.
Dua kekuatan berbenturan. Kim Seng Pa merasakan lengannya tergetar, namun sanggup melayang turun dan mendarat di lantai dengan mulusnya. Sebaliknya Hok Leng Kui terhuyung mundur beberapa langkah dengan wajah pucat dan darah bergolak dalam tubuhnya. Ketika Cu Teng Hong sempat melihat keadaan gurunya yang dibanggakan itu, ia terkejut dan berseru, "Suhu, kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa, teruskan perlawanan!" sahut Hok Leng Kui dengan keras kepala. Kepada Kim Seng Pa ia membentak, "Hebat juga kau. Siapa namamu, supaya pedangku tidak mencabut nyawa orang tek terkenal?"
"Namaku Kim Seng Pa!”
Terpukullah jantung Hong Leng Kui mendengar nama itu. Nama Pak Kiong Li-ong sudah cukup menakutkan, namun sekarang ia malah menghadapi orang yang konon sudah mengalahkan Pak Kiong Liong. Melihat lawannya termangu-mangu, Kim Seng Pa berkata dengan sombongnya. "Ketakutan mendengar namaku? Menyesal telah menemui orang yang mengalahkan Naga Utara?"
Kim Seng Pa cuma tertawa menghina lagak lawannya itu. “Tidak usah berlagak tokoh terkenal, sebab kau masih tak ada harga di mataku. Aku akan melayanimu dengan tangan kosong, dan pedangmu takkan berguna terhadapku!"
Lalu kedua telapak tangannya bergerak seperti orang hendak bertepuk tangan, batang pedang Hok Leng Kui hendak dijepitnya. Berbarengan dengan itu, kakinya menendang ke lambung lawannya. Hok Leng Kui memiringkan batang pedangnya, sehingga tangan-tangan Kim Seng Pa seolah-olah disodorkan sendiri ke tajamnya pedang. Namun Kim Seng Pa dengan tangkas ikut memiringkan sepasang telapak tangannya untuk tetap menjepit pedang, sementara luncuran tendangannya tak berhenti....
Selanjutnya,