Kemelut Tahta Naga I Jilid 21
Karya Stevanus S P
Sahut He Hou Yong amat, menyakin kan, "Percayalah kepadaku, saudara Thia. Aku atau kau yang sampai ke Tiau im-hong, sama saja."
Karena sudah amat mempercayai He Hou Yohg, dengan enaknya Thia Hou meletakkan surat itu di atas meja dan ditindih dengan alas lilin. Sambil berkata, "Kita tidur bergantian, salah satu dari kita harus tetap berjaga."
"Baiklah."
He Hou Yong lalu tidur lebih dulu, dan Thia Hou berjaga dengan duduk dekat meja, sambil memeluk senjatanya dengan waspada. Ketika di kejauhan terdengar si penjaga kota membunyikan gembreng, tanda waktu tengah malam, kuping Thia Hou tiba-tiba menangkap suara berkelotak lirih di jendela kamarnya. Lalu dilihatnya ujung sebuah golok menongol dari sela-sela jendela untuk mencoba mencongkel palang jendela.
Thia Hou tersenyum dingin dan membatin, "Tajam juga penciuman anjing-anjing Yong Ceng. Baru sehari aku berjalan, dan mereka sudah berhasil menyusulku....'"
Namun Thia Hou tetap diam, tidak membuat gerakan apapun, ia masih belum mau membangunkan "rekan seperjuangan" nya yang kelihatan tidur pulas itu. la akan berusaha menangani sendiri, nanti kalau tidak mampu barulah berteriak membangunkan He Hou Yong. Thia Hou tidak tahu bahwa "teman seperjuangan" yang amat dipercayainya itu sudah menyediakan sebilah belati di bawah selimutnya, menunggu kesempatan untuk menikam punggung Thia Hou, sebab He Hou Yong tidak berani menikam dadanya, la sadar, ilmu silat Thia Hou dua tingkat di atas dirinya.
Orang yang mencongkel jendela itu bukan lain adalah Leng Bun, si algojo Hiat-ti-cu. Dengan congkelannya yang mulus, sisa ke trampilannya sebagai bandit di Ciat-kang dulu, ia berhasil membuka jendela dan melompat masuk. Dengan golok tergenggam erat di tangan, ia berjingkat-jingkat menghampiri meja. Diliriknya sekejap Thia Hou yang nampaknya tertidur di kursi.
Tetapi ketika tangannya terulur hendak meraih surat di atas meja, Thia Hou tiba-tiba melompat bangun, langsung menghunus pedangnya yang ujungnya meluncur ke dada Leng Bun. Dengan kaget Leng Bun melompat mundur dan menangkis dengan goloknya. Tapi ujung pedang Thia Hou terus memburunya, dan tertikamlah pangkal lengan kanannya. Lengan kanannya memegang senjata, dengan terlukanya lengan itu, permainan goloknya jadi terganggu, sehingga sesaat kemudian pahanya kena pula.
"Bangsat!" Leng Bun memaki, lalu melompat keluar lewat jendela, la ingin bertempur di tempat yang lega, bukan sekedar menjadi bulan-bulanan ujung pedang di kamar sempit itu. Thia Hou melompat keluar pula. Sementara itu'Leng Bun berteriak, "He Hou Yong, lekas bantu aku!"
Thia Hou terkesiap mendengar seruan itu, kini ia sadar kekurang hati-hatiannya dengan terlalu mempercayai He Hou Yong. Sadar pula kenapa musuh begitu cepat menemukan jejaknya. Ingat akan surat Pangeran In Te yang masih terletak di atas meja kamarnya, dia bermaksud masuk kembali untuk mengamankannya. Namun Leng Bun telah mengamuk dengan goloknya, sehingga Thia Hou tak berkesempatan untuk beranjak dari tempatnya, sebab harus lebi dulu meladeni lawannya.
He Hou Yong yang tidak cepat-cepat membantu Leng Bun itu sesungguhnya punya perhitungan sendiri, la akan membiarkan Thia Hou dan Leng Bun saling membinasakan dulu, lalu ia sendirilah yang akan membawa surat Pangeran In Te itu ke Pak-khia, agar hadiahnya bisa dimakan sendiri. "Saling menggigit" macam itu, di jajaran anak buah Yong Ceng adalah hal biasa. Malah kelihatan aneh kalau terlalu jujur.
Karena berwatak sejenis, Leng Bun agaknya memahami jalan pjkiran He Hou Yong, sehingga dengan marah ia berteriak lagi, "He Hou Yong, cepat bantu aku! Atau kau tunggu sampai aku mati dan semua tanda jasa akan kau tumpuk di pundakmu semua?!"
Sedangkan Thia Hou dalam marah dan kecewanya, bertempur seperti serigala kelaparan. Pedangnya menikam dan membabat dengan tangkasnya, diimbangi langkah-langkah kakinya yang tangkas berlompatan. Biarpun sudah luka, Leng Bun bertahan dengan gigih. Yang dimainkannya adalah Pat-hong-to-hoat (Ilmu Golok De lapan Penjuru) yang mengutamakan kekuatan dan kekerasan.
Sementara itu, setelah mengantongi surat Pangeran ln Te, He Hou Yong keluar pula dengan membawa golok, la langsung menyerang ke pinggang Thia Hou sambil berkata, “Saudra Thia, mengingat bahwa kita adalah sahabat lama, kuberi kau kesempatan untuk menyerah saja. Kalau Hong-siang berkenan, kau akan bernasib mujur seperti aku, menjadi pengawal yang bergaji tinggi."
Thia Hou tertawa dingin. "Aku sesalkan mataku yang buta. Yang tadinya aku kira seorang pahlawan, ternyata hanyalah seorang budak penjilat.!" Thia Hou kalap, karena sadar tugasnya sudah gagal. Kini tekadnya hanyalah ingin mengadu nyawa sampai mati.
Gabungan tenaga Leng Bun dan He Hou Yong mestinya dapat mengatasi Thia Hou, namun yang satu sudah terluka, yang lain bertempur setengah hati, sedang lawan mereka berkelahi dengan kalap, sehingga mereka dapat segera mendapat kemenangan.
Thia Hou ternyata bertenaga besar, ayunan pedangnya menimbulkan angin berdesing. Setiap kali tangan Leng Bun maupun He Hou Yong tergetar linu kalau golok mereka berbenturan dengan pedang Thia Hou. Namun kedua orang itu berharap, Thia Hou akan cepat kehabisan tenaga karena caranya berkelahi yang mirip kerbau gila.
Benar juga. Tidak lama kemudian Thia Hou mulai terengah-engah napasnya, tubuhnya basah kuyup dengan keringat, dan gerak pedangnya tak terarah dengan cermat lagi. Sering ia sempoyongan sendiri kalau serangannya luput.
Perkelahian di halaman belakang itu sebenarnya amat ribut dan mengganggu tamu-tamu penginapan lainnya, namun tak ada yang berani keluar, apalagi ikut campur. Mereka mengira itulah perkelahian antara "para bandit" yang sedang rebutan rejeki.
Tetapi di antara tamu-tamu, ada seorang hwe-shio gemuk yang kelihatannya tidak gentar mendengar keributan itu. la seorang hwe-shio berwajah riang, tetapi agaknya bukan seorang yang taat kepada ajaran agamanya, sebab ia menggendong sebuah buli-buli arak besar dan di meja kamarnya masih ada sisa-sisa makanan dari daging. Perutnya dilibat dengan sehelai cambuk panjang.
Mendengar ribut-ribut di halaman belakang, dengan tenangnya ia malah membuka jendela dan melongok keluar. Alisnya berkerut melihat seorang lelaki bersenjata pedang mulai kehabisan tenaga menghadapi dua lawannya yang bersenjata golok. Tetapi agaknya kedua lawan itu ingin menangkap hidup-hidup, sehingga belum menjatuhkan serangan mematikan.
Sebenarnya hwe-shio itu enggan ikut campur, namun mendengar bagaimana orang orang yang bertempur itu saling memaki, ia segera tahu bahwa dua orang bersenjata golok itu adalah kaki-tangan Kaisar Yong Ceng. Darah si hwe-shio mendadak menghangat, tangannyapun menjadi gatal untuk ikut berkelahi.
Karena dia adalah Hui Hai Hwe-shio, Lam-ki Tong-cu (pemimpin regu bendera biru) dari Hwe-liong-pang yang berjulukan Cui-sin (Malaikat Pemabuk). la membenci Yong Ceng, sebab banyak teman-temannya yang gugur oleh orang-orang Yong Ceng. Liong Su Koan yang gugur di Taman Cun-hoa, Ji Han Lim yang gugur ketika hampir berhasil membunuh Yong Ceng, Siang Koan Long yang masih babak belur akibat siksaan dalam penjara, Kiong Wan Peng yang giginya hampir ompong semua karena dihajar selama dalam penjara, dan masih banyak lagi kor ban di pihak Hwe-liong-pang.
Maka Hu-hai Hwe-shio kini memutuskan untuk bertarung di pihak si lelaki bersenjata pedang siapapun dia. Diambilnya buli-buli araknya dan dipindahkannya seluruh isi buli-buli ke dalam perutnya yang seperti gentong besar itu. Sesuai dengan julukannya, makin mabuk dia akan bertempur makin dahsyat. Kemudian ia berjalan keluar kamar sambil memutar-mutar cambuknya. Mukanya sudah merah, menandakan pengaruh arak yang mulai bekerja, juga menandakan bahwa semangat tempurnya mulai menyala.
Ketika itu keadaan Thia Hou sudah payah. Ketika He Hou Yong membenturkan goloknya sekuat tenaga ke pedangnya, lepaslah pedang Thia Hou, disusul totokan tangan kirinya ke pinggang Thia Hou yang membuat Thia Hou roboh.
Saat itulah Hui Hai Hweshio masuk ke arena. "Bagus, kebetulan malam ini bisa kubinasakan dua ekor anjingnya Yong Ceng, untuk mengurangi sakit hati Liong Su Koan, Ji Han Lim dan lain lainnya."
Cambuknya bergerak dengan tipu Hun-li-yu-liong (Naga Berjalan Dalam Mega), begitu cepat dan langsung melibat golok di tangan Leng Bun. Sekali sentak, golok Leng Bun lepas dari tangannya, meluncur ke atas dan jatuh di atas genteng. Menyusul telapak tangan kiri Hui Hai Hwe-shio membabat ke rusuk Leng Bun dengan gerakan Tong-cu-pai-hud (Anak Kecil Menyembah Buddha) yang dahsyat.
Leng Bun kaget oleh ketangkasan si Hwe-shio. bundar yang dikiranya sedang kesurupan itu, cepat ia menyelamatkan diri dengan melompat sempoyongan ke belakang, karena pahanya masih sakit akibat tikaman pedang Thia Hou tadi. He Hou Yong tidak tinggal diam. Jurus Hek-hou-liau-kan (Macan Hitam Melompati Parit), ia melompat maju sambil membacok ke pinggang Hui Hai Hwe-shio.
Tak terduga, tubuh gemuk itu juga lincah dan ringan. Serangan golok He Hou Yong dihindari dengan melompat ke atas, tubuh Huai Hai Hwe-shio berpusing di udara dan menendang kepala lawannya dengan gerakan Hui-liong-pa-bwe (Naga Terbang Mengibas Ekor). Oleh sesama rekan di Hwe-liong-pang, jurus itu sering diolok-olok sebagai Poan-liong-pok-sit (Naga Gemuk Menyambar Makanan).
Namun itu bukan jurus lelucon, namun jurus gawat. He Hou Yong melompat mundur sambil berkeringat dingin. Lolos dari tendangan, tapi tidak lolos dari cambuk. Pundaknya kena sabetan cambuk sehingga kain bajunya pecah dan kulit pundaknya terasa nyeri bukan kepalang.
"Siapa kau?"
"He-he-he, akulah pendeta yang lemah lembut bergelar Hui Hai Hwe-shio. Lam-ki Tong-cu dari Hwe-liong-pang!"
Leng Bun dan He Hou Yong sama-sama terkejut mendengar nama yang cukup terkenal itu. "Jadi.... kau adalah Si Malaikat Pemabuk?!"
"Tepat sekali! Sekarang kuantarkan kalian ke neraka!" seru Hui Hai Hwe-shio sambil menyabetkan cambuknya.
Kedua algojo Hiat-ti-cu itu berlompatan mundur dengan gentar, He Hou Yong berteriak, "Lebih baik mundur saja, surat itu sudah di tanganku!"
Namun Leng Bun masih penasaran ke pada si hwe-shio yang telah membuatnya kehilangan pamor itu. Tangannya masuk ke balik jubahnya, dan ketika keluar kembali, telah memegang sebuah pistol berukir yang dulu dirampasnya dari seorang pelaut Portugis ketika di Makao. Biar senjata itu hanya bisa ditembakkan sekali saja, namun Leng Bun yakin kelihaiannya melebihi senjata rahasia jenis apapun juga.
Dengan pistol di tangan, Leng Bun jadi congkak, jarinya sudah menempe dipelatuk. Katanya mengejek, "Nah. keledai gundul, sanggupkan kau menghadapi Siau-pek-lui (si petir kecil) ini?"
Baik Hui Hai Hwe-shio maupun Leng Bun sadar, pistol itu hanya bisa menembak satu kali. Bagi Leng Bun, kesempatan satu kali itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, jangan sampai musuh bisa menghindar, sebab ia sudah melihat sendiri betapa lincahnya si hwe-shio bundar itu. Sedangkan Hiau Hai Hweshio berkonsentrasi penuh ke ujung pistol, begitu melihat kilatan api dari situ, ia akan melompat secepat-cepatnya. Kalau ia bergerak tidak tepat, ia akan menjadi korban sia-sia.
Sesaat situasi jadi tegang. Leng Bun menunggu perhatian Hui Hai Hweshio terpecah, sebab selama Hui Hai Hwe-shio berkonsentrasi setenang itu, peluang untuk kena dan tidak kena hanyalah setengah banding setengah, la ingin peluang sebaik-baiknya.
Namun di tempat itu juga ada He Hou Yong. Orang ini tiba-tiba mengeluarkan pisau belatinya dan disambitkan sekuat tenaga ke arah Hui Hai Hweshio. Pemusatan pikiran Hui Hai Hweshio terpecah, ia harus menangkis belati itu dengan cambuknya. Berbareng dengan itu, jari telunjuk Leng Bun menekan pelatuk, pistolnya meledak dan Hui Hai Hwe-shio tersentak lalu jatuh terguling.
Leng Gun tertawa berkakakan, dengan bangga ditiupnya asap dari ujung pistolnya. Katanya kepada He Hou Yong, "Hebat tidak si Petir Kecilku ini, He Hou Yong?"
Sahut He Hou Yong, "Memang hebat. Namun pistolmu mendapat kesempatan setelah pemusatan pikiran bangsat gemuk itu terpecah oleh lemparan belatiku. Jadi robohnya dia tidak sepenuhnya jasamu saja..."
"Memang, hasil kerja sama kita. Namun dalam kerja samapun ada bagian yang besar dan yang kecil jasanya, bukan sama rata saja. Tanpa pistolku, kau pikir gampang mengatasi si malaikat Pemabuk ini?"
Keduanya kemudian berjalan mendekati tubuh Hui Hai Hwe-shio yang tergeletak berlumuran darah. Tetapi di saat mereka melihat bahwa yang tertembus peluru hanyalah pundak Hui Hai Hwe-shio, bukan bagian yang mematikan, saat itulah mereka merasakan firasat jelek. Memang. Sebab "mayat" Hui Hai Hwe shio tiba-tiba membuka mulutnya dan tersemburlah hujan arak. Biarpun arak hanyalah barang cair, tetapi Hui Hai Hwe-shio sudah belasan tahun melatih "jurus" simpanannya itu, sehingga butiran-butiran araknya bagaikan logam kerasnya.
Kedua algojo Hiat-ti-cu itu sama-sama berseru kaget. Bahkan Leng Bun kemudian berteriak ngeri, karena biji mata kirinya tersemprot arak-sehingga buta seketika. Pistolnya tak berguna lagi, sebab membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengis inya lagi. He Hou Yong tidak sampai buta, namun sekujur tubuhnya kena semprotan maut itu sampai terasa pedih.
Sementara itu, Hui Hai Hwe-shio sendiri segera melompat bangun, memaksakan menyerang, biarpun lukanya sendiri sebetulnya tidak ringan. Cambuknya menyabet secepat kilat dan tahu-tahu ubun-ubun He Hou Yong telah tersabet retak, percuma saja goloknya yang masih terpagang di tangannya.
Terhadap Leng Bun yang masih merintih- rintih sambil mendekap mata kirinya, Hui Hai Hwe-shio juga tidak berminat mengampuni, la tahu bahwa orang itu adalah algojonya Yong Ceng yang tidak segan-segan membunuh siapapun hanya untuk memperoleh sepatah kata pujian dari tuannya. Cambuknya menyambar, dengan tepat membelit leher Leng Bun, dan ditambahkannya sebuah sentakan kuat sampai terdengar suara gemeretak tulang leher yang patah terkulai.
Setelah membereskan kedua lawannya, tenaga Hui Hai Hwe-shio sendiri hampir habis. Namun dengan langkah terhuyung, ia masih sempat mendekati Thia Hou untuk membebaskan totokannya, dan bertanya, "Siapa kau" Kenapa sampai berurusan dengan anjing- anjing pemburu Yong Ceng itu?"
Luka-luka Thia Hou tidak separah penolongnya, ia lalu berterima kasih kepada Hui Hai Hwe-shio. Karena ia sudah mendengar sendiri bahwa Hwe-shio itu adalah seorang Tong-cu Hwe-liong-pang, ia tidak ragu-ragu lagi menceritakan maksud perjalanannya ke Tiau-im-hong.
"Kalau begitu, kita bisa jalan bersama," kata Hui Hai Hwe-shio. Dikeluarkannya sekantong obat luka dari bajunya, diserahkan kepada Thia Hou sambil berkata, "Obati luka-lukamu..."
"Toa-suhu, kau luka lebih parah karena menolongku, seharusnya obat ini untukmu send iri...."
Dalam keadaan luka parah pun ternyata Hui Hai Hwe-shio masih sanggup cengar-cengir, biarpun diselingi ker-nyit-kernyit kesakitan di dahinya, "Justru setelah lukamu tertolong, kau harus gantian menolongku. Mencongkel peluru keparat ini dari dalam daging pundakku... aduh!”
Thia Hou cepat-cepat mengobati lukanya sendiri, lalu menuntun Hui Hai Hwe-shio masuk kamarnya. Malam itu juga, dilakukan "pembedahan" darurat atas pundak si hwe-shio gemuk untuk mengeluarkan peluru dari situ. Selama pembedahan, Hui Hai Hwe-shio mengaduh-aduh dengan keras dan tak henti-hentinya mencaci-maki Yong Ceng. Suaranya keras sekali, sehingga tamu-tamu penginapan di kamar sebelah menyebelah merasa amat terganggu, namun tidak berbuat apa-apa. Setelah pembedahan selesai, tamu-tamu tetap terganggu oleh dengkur Hui Hai Hwe-shio yang keras.
Sementara itu, Thia Hou kembali ke halaman untuk menggeledah mayat He Hou Yong, dan mengambil surat Pangeran In Te kembali. Keesokan harinya, Hui Hai Hwe-shio dan Thia Hou berangkat bersama-sama ke Tiau im-hong. Biarpun masih luka luka, mereka berangkat juga, tanpa menunggu kedatangan berikutnya dari algojo-algojo Kaisar Yong Ceng.
Sementara itu, Hoa Keng Bi telah berhasil berpacu sampai ke Pak-khia, lalu mengajak lima anggota Hiat-ti-cu lainnya untuk mengejar Thia Kong-kong atau Thia Bong Ek. Biarpun Thia Bong Ek sudah melewati kota Bun siu, akhirnya tersusul juga, karena para anggota Hiat-ti-cu mengejarnya dengan gigih dan menunggang kuda-kuda pilihan. Lagipula, jejak Thia Bong Ek gampang ditelusuri dengan bertanya kepada orang-orang di pinggir jalan, sebab tampangnya memang tampang khas kaum thai-kam. Kelimis tanpa kumis atau jenggot sehelaipun, biarpun rambut dan kumisnya sudah memutih semua.
Biarpun melawan mati-matian dan berhasil menewaskan tiga anggota Hiat-ti-cu, akhirnya Thia Bok Ek tertawan juga dan digiring kembali ke Pak-khia. Surat Pangeran In Te di dalam bungkusan bekalnya dirampas. Di istana, Komandan Hiat-ti-cu yang bernama Hap To, tersenyum lebar mendengar laporan keberhasilan anak-buahnya, biarpun Thia Bong Ek sudah sepertiga perjalanan ke Tiau-im-hong. la berharap, kelompok Hiat-ti-cu akan bertambah mendapat kepercayaan Kaisar, bersamaan dengan merosotnya kepercayaan Kaisar terhadap pengawal jubah ungu, setelah terjadinya peristiwa Ji Han Lim hampir membunuh Kaisar.
"Bagaimana dengan surat Pangeran In Te?" tanyanya kepada Hoa Keng Bi yang tengah menghadapnya.
"Juga berhasil kami rampas, Cong-koan," sahut Hoa Keng Bi sambil menyerahkan surat itu. Surat bersampul sederhana, yang di atasnya tertulis, "dihaturkan kepada yang terhormat Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam Hou."
Hap To mengangguk-angguk puas, la sudah lama tahu keinginan terpendam Kaisar Yong Ceng untuk menyingkirkan Pangeran In Te, namun belum berani karena belum menemukan alasan yang tepat . Kalau In Te disingkirkan dengan semena-mena, tentu akan timbul gejolak. Tapi dengan diketemukannya surat itu, Kaisar sudah bisa menghukum karena diketemukannya "alasan yang kuat". Tuduh saja In Te telah berkomplot dengan gerombolan anti pemerintahan, Hwe-liong-pang. Senyuman makin lebar di wajah Hap To kalau mengingat betapa besar pahala yang bakal didapatkannya.
"Bawa thai-kam tua itu kemari!" perintahnya.
Hoa Beng Ki menjalankan perintah, dan tidak lama kemudian, Thia Kong-kong sudah diseret masuk oleh sekelompok anggota Hiat-ti-cu. Thia Kong-kong tahu, demi menyelamatkan Pangeran In Te dan jaringan bawah tanahnya, dia harus cerdik. Tidak sekedar mengandalkan keberanian dan kemarahan saja. Kalau Pangeran In Te sudah aman, dia matipun tidak takut lagi. Karena itu, begitu diseret masuk, dia tidak bersikap tegar, melainkan menunjukkan sikap pengecut yang takut mati.
Tiba di hadapan Hap To, tanpa disuruh lagi Thia Kong-kong langsung berlutut dan meratap-ratap, "Ampun Cong-koan... mengingat hubungan baik kita yang dulu, sudilah Cong-koan berbelas kasihan kepadaku yang sudah tua ini."
Hap To memang tercengang sejenak. Biasanya pengikut Pangeran In Te bandel- bandel, diancam hukuman mati pun tetap keras kepala. Tapi Thia Kong kong ini rupanya "lain" sendiri. Sesaat Hap To berpikir, lalu berkata, "Berat ringannya hukumanmu, tergantung dari sikapmu di hari-hari mendatang. Kalau diadakan Sidang Kerajaan untuk mengadili Pangeran In Te kelak, kau harus memihak Hong-siang dan memberatkan, Pangeran In Te di depan sidang. Setelah itu, aku akan memohonkan ampun untukmu."
Kembali Thia Kong-kong menyembah-nyembah sampai jidatnya menyentuh lantai berulang kali, "Aku berjanji akan berbuat demikian. Aku berbuat seperti ini karena terpaksa, aku mohon perlindungan Cong-koan."
Hap To tertawa puas mendengar "Janji Kersajama” Thia Kong-kong itu, lebih puas lagi kalau membayangkan Kaisar Yong Ceng akan puas juga mendengar kesaksian Thia Kong-kong kelak. Kali ini Pangeran In Te pasti takkan lolos dari golok algojo.
Pikirnya, "Dasar orang kebiri, biar memiliki ilmu silat bagaimanapun lihainya, tetap berwatak penakut seperti perempuan, sebab hakekatnya mereka hanyalah manusia setengah lelaki setengah perempuan. Nanti setelah dia bicara di persidangan untuk memberatkan In Te, aku akan memohonkan keringanan kepada Hong-siang agar dia diberi kematian tanpa rasa sakit sedikitpun. Hem."
Sementara itu, sambil berlutut, diam-diam Thia Kong-kong melirik ke atas surat Pangeran In Te yang terletak di meja di hadapan Hap To. Sekilas ia tergoda untuk menerkam surat dan merobek-robeknya, dirinya mati pun tidak apa-apa asal Pangeran In Te selamat. Namun akhirnya ia sadar, keadaan tak memungkinkan. Jaraknya dengan meja itu dan ada belasan langkah, tak mungkin menyeberangi jarak itu dengan satu gebrakan saja. Lagipula, Hap To bukanlah seorang berilmu silat rendah, dialah komandan dari regu algojo Kaisar Yong Ceng.
Kemudian, Hap To memerintah kepada anak-buahnya, "Bawa Thia Kong-kong ke tempatnya yang lama, serambi timur Jun-hoa-kiong, lindungi dan layani baik-baik agar beliau kerasan di sana."
Sudah tentu Thia Kong-kong tahu, itulah ungkapan yang diperhalus dari "Jangan sampai kabur". Diiringi delapan orng Hiat-ti-cu, Thia Kong-kong diantar ke serambi timur Jun-hoa-kiong. Wilayah istana memang luas. Ada sebagian yang ditempati kaum Ang-ih-kau, sebagian lainnya ditempati Kim Seng Pa dan kelompok pengawal seragam ungu dan lain-lainnya.
Dengan menempatkan kelompok-kelompok pendukungnya di istana, Kaisar Yong Ceng berusaha membentengi keselamatan dirinya. Yang di luar perhitungan, kemudian masing- masing kelompok mulai saling bersaing karena merasa "menguasa." bagian istana yang menjadi “wilayah" mereka. Persaingan itu mula-mula terselubung, namun makin lama makin kasar.
Kalau dua kelompok yang berbeda seragamnya berpapasan, mereka bukan saling menyapa dengan akrab, melainkan saling melotot, menyindir atau mengepalkan tinju. Perkelahian dilingkungan istana memang belum sampai terjadi semuanya masih sungkan kepada Kaisar, namun kalau hanya adu jotos di luar istana, sudah terlalu sering. Misalnya di warung arak atau di tempat judi.
Yong Ceng tahu hal itu, dan sering memerintahkan agar pengikut-pengikutnya rukun. Tapi yang diperintah hanya berjanji untuk rukun kalau di hadapan Kaisar, dan di luar istana mereka tetap saja cakar-cakaran. Yong Ceng kesal, tapi tidak berani menghukum terlampau keras, khawatir mereka akan ber balik menjadi musuh-musuhnya. Kini Yong Ceng seolah duduk di atas singgasana yang banyak kutu-busuknya yang kelaparan, membuat dirinya gelisah. Tahta ternyata tidak seempuk yang diibayangkan dulu, sehingga dulu ia nekad merebutnya dengan menghalalkan segala cara.
Ketika para Hiat-ti-cu yang mengawal Thia Kong-kong lewat di sebuah jalan sempit yang diapit pohon-pohon bunga, dari arah depan datang pula sekelompok pengawal berjubah ungu. Kedua pihak akan berpapasan, namun kelihatannya tidak satu pihakpun bersedia minggir. Mereka lebih suka bertabrakan daripada "menyenangkan hati" yang lainnya.
Melihat di antara pengawal-pengawal jubah ungu itu terdapat Hui-kiam-eng (satria pedang terbang) Teng Jiu yang telah mengangkat sumpah dengan Pangeran In Te, tiba-tiba timbul semacam pikiran Thia Kong kong untuk berbuat sesuatu. Ketika kedua rombongan sudah berpapasan, Thia Kong kong pura-pura kakinya tersandung sehingga terhuyung menubruk Teng Jiu. Sambil pura-pura berpegangan tubuh Teng Jiu ia berbisik, "Suratnya disimpan Hap To...."
Teng Jiu menangkap tubuh Thia Kong-kong, lalu sambil membentak pura-pura marah, "Tua bangka, di mana kau taruh matamu!?" dan didorongnya tubuh Thia Kong-kong keras-keras.
Tubuh Thia Kong-kong menubruk seorang Hiat-ti-cu sampai terhuyung-huyung, terjengkang dan kepalanya menyusup di rumpun bunga penghias taman. Itu sudah cukup untuk mengobarkan orang-orang dari kedua kelompok yang sudah lama saling membenci itu.
Seorang Hiat-ti-cu bermuka berewokan segera membentak, "He, kalian mau cari gara-gara?!"
Seorang pengawal jubah ungu yang bertubuh kurus segera balas membentak dengan tidak kalah garangnya, "Siapa cari gara-gara? Temanmu yang tidak becus, terbentur seorang thai-kam tua saja sampai roboh!"
Di kalangan istana, memang Thia Kong-kong selama ini hanya dikenal sebagai seorang thai-kam tua yang lemah. Hanya kelompok Hiat-ti-cu yang sudah tahu bahwa Jhia Kong-kong bukan orang lemah, buktinya, untuk menangkapnya para Hiat-ti-cu harus kehilangan tiga orang rekan yang tewas.
Kedua kelompok itupun saling mencaci. Para Hiat-ti-cu memaki para pengawal jubah ungu tidak becus, sampai Kaisar hampir dicelakai Ji Han Lim tempo hari. Para pengawal jubah ungu membalas memaki kaum Hiat-ti-cu sebagai "penjilat para pendeta Ang-ih-kau" yang memang menjadi pelatih para Hiat-ti-cu itu.
Kedua kelompok berpisah, dengan membawa kebencian di hati masing-masing. Didalam istana mereka tidak berani berkelahi, tapi masing-masing berjanji dalam hati, begitu sampai di luar istana, mereka akan mematahkan hidung atau merontokkan gigi saingan masing-masing.
Sementara itu, Teng Jiu diam-diam berpikir bahwa pertengkaran antara kedua kelompok itu bisa dimanfaatkan untuk menyelamatkan Pangeran In Te yang terancam setelah tertangkapnya Thia Kong-kong beserta suratnya untuk Ketua Hwe-liong-pang itu. Tiba di bangsalnya sendiri, Teng Jiu segera menemui dua kakak seperguruannya, Ho Se Liang dan Au Yang Kong. Diceritakannya tentang bisikan Thia Kong-kong serta pertengkaran antara ke lompok Hiat-ti-cu dan kelompok jubah ungu.
"Apa gunanya kau ceritakan itu, Sam Su-te (adik seperguruan ketiga)?" tanya Au Yang Kong sambil memegangi kepalanya yang pusing karena memikirkan hal tertangkapnya Thia Kong-kong.
"Ji Su-heng, kita harus mendapatkan kembali surat Pangeran In Te itu untuk dimusnahkan, namun kediaman Hap To tentu dijaga ketat oleh kaum Hiat-ti-cu dan kita berlima takkan dapat menerobosnya."
Teng Jiu menyebut "kita berlima", sebab selain mereka bertiga, sudah ketambahan dua jagoan jubah ungu lainnya yang diam-diam menyatakan bersedia meninggalkan dukungan terhadap Yong Ceng dan mendukung In Te. Kedua tenaga tambahan itu juga orang-orang yang kecewa, sebab Yong Ceng selalu menunda-nunda melaksanakan janjinya untuk meng angkat martabat orang Han sejajar dengan orang Manchu.
Sementara itu, Teng Jiu berkata lebih lanjut, "Perselisihan antara Hiat-ti-cu dan kelompok jubah ungu kita harus dikobarkan supaya terjadi kerusuhan. Kalau perlu Kim Cong-koan Toh Hucong-koan harus dihasut pula supaya tambah seru. Di saat itulah bisa masuk ke kediaman Hap To untuk mengambil surat Pangeran In Te atau memusnahkannya sekalian."
Rasa pusing di kepala Au Yang Kong mendadak lenyap, terdorong pergi oleh semangat yang berkobar. "Bagus, bagus. Kita laksanakan secepatnya, karena dakwaan terhadap Pangeran In Te pasti akan segera dilancarkan. Aku dengar, bangsal Leng-goat-kiong tempat kediaman In Te sudah dikurung rapat, Pangeran tidak diperkenankan melangkah keluar biarpun hanya selangkah. Resminya, ia sudah ditahan."
Ketiganya lalu berunding untuk membagi tugas. Ho Se Liang dan Teng Jiu bertugas "membakar" kemarahan Kim Seng Pa, sedangkan Au Yang Kong dan dua teman baru itu akan menghasut sesama pengawal jubah ungu agar membuat gara-gara dengan Hiat-ti-cu.
"Tugasku tidak sulit," kata Au Yang Kong sambil tertawa. "Semudah melemparkan sepercik api ke tengah kubangan minyak. Ni Ceng-hwe baru saja rontok tiga buah gigi depannya karena berkelahi dengan beberapa Hiat-ti-cu di warung arak dekat lapangan Thian an-bun, begitu pula...."
"Sudahlah, aku percaya. Nah, cepatlah kita bekerja."
Merekapun berpisahan. Lebih dulu Au Yang Kong mencari dua sekutu barunya, seorang jagoan aliran Butong- pai yang bernama Siau Ting Peng dan berjulukan Leng-sim-kiam (Pedang Hati Dingin). Satunya adalah jagoan aliran Ko-san- pai, bernama Ciu Hong Siau dan berjulukan Tiat-cui-yan (Walet Berparuh Besi). Mereka berunding, dan kedua sekutu baru itupun setuju, dan berpencarlah mereka.
Au Yang Kong langsung melangkah ke bangsal Bwe-hoa-kiong, tempat para jagoan jubah ungu yang sedang tidak bertugas biasa berkumpul-kumpul. Minum arak diselingi percakapan jorok. Sebagian lagi dari pengawal jubah ungu, biasa berlatih di belakang bangsal untuk meningkatkan ilmu silat mereka, agar cepat pula naik pangkat.
Sebagai seorang anggota pengawal jubah-ungu pula, Au Yang Kong dapat langsung bergabung dengan mereka. Sekilas diliriknya Ni Ceng-hwe yang duduk merenung di pojokan, sedang "berkabung” karena perpisahan dengan tiga buah gigi dalam mulutnya. Diam-diam Au Yang Kong tertawa dalam hati.
Begitu duduk bersama, Au Yang Kong langsung menunjukkan muka yang lebih murung dari Ni Ceng-hwe, bahkan langsung menggebrak meja, lalu menuang kan tiga cawan besar arak berturut-turut untuk ditenggaknya habis. Sikapnya seperti seorang yang sedang sangat jengkel.
Kelakuan Au Yang Kong langsung menarik perhatian para pengawal jubah ungu. Selama ini mereka tahu bahwa Au Yang Kong adalah penganut aliran "anti arak", tidak jarang bersikap seperti seorang pendeta tua yang menasehati teman-temannya agar jangan terlalu banyak minum. Tapi kini dia malah minum tiga cawan besar, bahkan sambil menggebrak meja pula.
"Eh, Au Yang Kong, apakah kau kesurupan?" tanya seorang pengawal jubah ungu yang tinggi besar dan bermuka hitam. Namanya Utti Goan, bekas bajak laut, tenaganya sanggup diadu dengan sekor kerbau jantan.
Sebelum menjawab, Au Yang Kong tambah dua cawan lagi dan memukul meja sekali lagi. Kemudian berkata, "Kawan-kawan, apa yang kalian lakukan di sini? Makan minum dan bergurau seenaknya, sementara anjing-anjing Hiat-ti-cu itu sedang menghina dan merendahkan kita? Apakah kalian semua sudah menjadi penakut?"
Tempat yang ribut itu seketika menjadi sunyi mendengar suara Au Yang Kong. Sat Siau Kun yang bertubuh pendek kecil dan tak henti-hentinya mengisap tembakau, namun berkedudukan nomor tiga dalam kelompok pengawal jubah ungu, lalu memecah kesunyian dengan suaranya yang serak, "Bicara yang jelas, Au Yang Kong, kenapa kau mendadak seperti orang mabuk begitu?"
Au Yang Kong mulai dengan hasutannya, "Sat Sam-ko dan kawan-kawan sekalian, pikirlah dengan baik. Adilkah kalau kita sepenuhnya dipersalahkan atas menyelundupnya si bandit Ji Han Lim ke kelompok kita? Adilkah kalau kita dipersalahkan sepenuhnya karena Ji Han Lim hampir membunuh Hong-siang?"
Sesaat ruangan jadi sunyi, dan kembali hanya Sat Siau Kun yang menjawab, "Memang kita teledor, sehingga seorang pembunuh berhasil menyusup di antara kita. Akibatnya, kepercayaan Hong siang kepada kita jadi merosot. Tetapi, siapa mengira Ji Han Lim yang telah tega mencabuki teman-temannya sendiridari Hwe-Iiong-pang, bahkan membunuh adik kandungnya sendiri, tiba-tiba saja hendak membunuh Hong-siang? Siapa bisa memperhitungkan sampai kesitu? Siapapun akan terkecoh, pasti, bukan hanya kita. Siapapun tidak berhak sepenuhnya menyalahkan kita atas "kejadian itu! Siapa tahu dalam tubuh Hiat-ti-cu atau Ang-ih-kau atau Gi-cian Si-wi juga ada pembunuh yang belum terbuka kedoknya?"
"Benar! Benar! Kita tidak sudi dipersalahkan!" para jagoan jubah ungu itu riuh rendah memenuhi ruangan dengan suara mereka.
Mereka punya latar-belakang atau riwayat hidup yang berbeda-beda, ada pendekar, ada bajingan, dalam keadaan biasa tidak mungkin sekompak itu. Namun setelah sekian tahun mengalami suka-duka bersama dalam satu kelompok, ada juga rasa setia-kawan mereka, biarpun tebal tipisnya rasa setia kawan itupun tergantung pada masing-masing pribadi. Kini, mereka disatukan oleh kebencian bersama terhadap kaum Hiat-ti-cu, saingan mereka.
Au Yang Kong tertawa dalam hati. Biasanya dia dan Sat Siau Kun banyak hal tidak sependapat, sebab Sat Siau Kun adalah orang Manchu yang ingin mempertahankan keunggulan kedudukan sukunya di atas suku-suku lainnya, sedangkan Au Yang Kong adalah orang Han yang ingin memperjuangkan martabat jutaan orang Han. Tetapi kini, tanpa sadar Sat Siau Kun telah membantu memperlancar rencana Au Yang Kong.
Suara Au Yang Kong kemudian mengatasi suara hiruk-pikuk itu, "Kita tidak salah! Kita sudah membayar kesalahan kita dengan mempertaruhkan nyawa untuk membasmi orang-orang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai yang menerobos masuk istana ini!"
"Au Yang Kong benar!" Utti Goan berteriak sambil melompat ke atas meja dan berdiri di situ, sehingga ia kelihatan seperti sebuah menara yang kokoh, atau seekor gorila yang sedang marah. "Aku bukan saja sudah membunuh beberapa orang Jit-goat-pang dan Pek-li-an-pai, bahkan juga mencincang tubuh memeka untuk menunjukkan kesetiaanku kepada Hong-siang!"
"Kitalah yang paling berjasa memukul mundur orang Jit-goat-pang dan Pek lian-pai!" Su-ma Hek-long ikut memanas kan situasi. "Kita yang bertempur paling depan! Dan bangsat-bangsat Hiat-ti-cu itu hanya kebagian tugas untuk melindungi perempuan dan anak-anak, berarti tugas kita jauh lebih berharga dari mereka! Betul atau tidak, kawan-kawan?"
"Benar!" sahut para pengawal jubah ungu itu gemuruh. Lalu berhamburanlah caci-maki ke alamat Hiat-ti-cu. "Mereka itu orang-orang banci, persis dengan pendeta-pendeta Ang-ih-kau yang takut kepada arak dan perempuan!"
“Mereka hanya berani membunuh jarak jauh dengan kantong-kantong mereka!" Wan Yen Coan berteriak pula. "Sedang kita selalu menghadapi musuh dengan berhadapan, mengandalkan silat kita secara jujur!"
"Mereka mengeroyokku sehingga gigi depanku patah semua!" Ni Ceng-hwe memanaskan suasana dari pojok ruangan.
"Dan mereka itu, baru berhasil menangkap seorang thai-kam tua macam Thia Kong-kong saja sudah bangganya bukan main. Mereka merasa lebih berkuasa diistana ini daripada Hong-siang sendiri. Sungguh menggelikan.!“
Kembali ruangan itu penuh caci-maki. Bukan hanya para Hiat-ti-cu yang dikutuk! Bahkan ibu dan nenek moyang mereka juga ikut kena kutukan yang ngeri, tak pernah terbayangkan oleh para dukun ilmu hitam di manapun berada.
Dalam suasana demikian, malah Au Yang Kong cuma kebagian sedikit waktu untuk bicara. Namun ketika ada kesempatan diapun melompat ke atas meja dan berseru, "Mulai sekarang, kita tidak mau mengalah lagi! Kalau mereka bertingkah, kita patahkan hidung mereka! Kalau mereka mengadu kepada Hong-siang, lalu Hong-siang hendak menghukum kita, kita harus setia-kawan, biar Hong-siang menghukum kita seluruhnya!"
"Setuju! Setuju!"
Demikianlah Au Yang Kong berhasil membakar hati mereka. Memang gampang. Sejak para pengawal jubah ungu kecewa karena tidak lagi mendapat kepercayaan disisi Kaisar, dicampur pengaruh arak, merekapun bagaikan dinamit-dinamit yang tinggal disulut sumbunya. Dan bagaimana dengan pemimpin mereka, Kim Seng Pa?
Ketika Ho Se Liang dan Teng Jiu masuk ke tempat tinggal Kim Seng Pa un tuk menghadap, dilihatnya sang komandan tengah duduk bertopang dagu dengan wajah yang keruh. Di atas mejanya bergelimpangan cawan-cawan arak yang sudah kosong, karena sebagian isinya sudah pindah ke dalam perut, dan sebagian lagi mengalir liar di permukaan meja dan lantai.
Ho Se Liang dan Teng Jiu sejenak bertukar pandangan, agaknya usaha merekapun akan lancar. Kalau otaknya sedang bersih dari pengaruh arak, Kim Seng Pa adalah seorang yang berpikiran cermat. Tapi kalau sedang banyak minum arak, untuk membangkitkan kemarahannya segampang memasang mercon renteng pantat seekor kerbau.
“Kami menghadap Cong-koan!” Kata Ho Se Liang dan Teng Jiu sambil berlutut.
"Ada apa?" tanya Kim Seng Pa sambiI meraih poci arak yang langsung dituangkan ke mulutnya, namun arak yang keluar tinggal beberapa tetes, Kim Seng Pa langsung membanting poci itu hingga berantakan. "Kalian Ho Se Liang dan Teng Jiu?" ternyata Kim Seng Pa masih juga mengenali kedua anak buahnya itu.
"Benar, Cong-koan, kami akan melaporkan tentang....."
"Laporannya nanti saja. Salah seorang dari kalian tolong pergi ke dapur untuk mengambilkan arak buatku."
Ho Se Liang menyikut Teng Jiu untuk menjalankan perintah itu. Malah kebetulan, pikir mereka. Makin banyak arak, makin baik, makin lancar.
"Laporan apa?" tanya Kim Seng Pa sambil menggeliat.
Mulailah Ho Se Liang menyebut-nyebut tentang para Hiat-ti-cu yang "semakin menghina" karena semakin disayangi oleh Kaisar, dan kata-kata hasutan lainnya. Ho Se Liang tahu, yang paling dibanggakan oleh Kim Seng Pa adalah kemenangannya atas Pak Kiong Liong, sedang yang paling mengecewakannya ialah semakin jauhnya ia dari Kaisar sejak peristiwa Ji Han Lim hampir membunuh Kaisar. Padahal ia punya cita-cita ingin menggantikan kedudukan Ni Keng Giau sebagai Panglima Tertinggi, namun sekarang cita-citanya itu rasanya makin jauh. Ho Se Liang tahu itu, sehingga Kim Seng Pa sering memabukkan dirinya dengan arak, Kini Ho Se Liang menyebut nyebut urusan yang peka itu.
Laporan Ho Se Liang sudah cukup membuat hati Kim Seng Pa panas, apalagi kemudian muncul pula Siau Ting Peng dan Ciu Hong Siau, seperti anak-anak menghadap ayahnya untuk mengadukan teman-teman mereka yang nakal. Kedua orang itu mengaku telah “mendengar sendiri" bagaimana orang-orang Hiat-ti-cu berkata bahwa mereka akan “mengusulkan agar kelompok jubah ungu dibubarkan saja, 'karena sudah tidak bisa dipercaya"
Keruan Kim Seng Pa makin terbakar hatinya, tanpa mengetahui bahwa itu sebenarnya karangan Siau Ting Peng dan Ciu Hong Siau sendiri. la menggebrak meja dengan muka merah padam, dan menggeram, "Orang she Hap, baru mendirikan sedikit pahala bagi Hong-siang saja kau sudah mencoba menari di atas kepalaku?"
Menyusul Teng Jiu datang membawakan arak yang langsung ditenggak habis oleh Kim Seng Pa. Muncul pula Au Yang Kong dan Su-ma Hek-long yang melaporkan bahwa di taman bunga telah terjadi perkelahian antara "orang-orang kita" dengan kawanan Hiat-ti-cu yang katanya lebih dulu menghina dan meludahi.
Kim Seng Pa tak tahan lagi. la bangkit lalu melangkah keluar dengan langkah besar. Kepada Ho Se Liang sekalian, ia berkata, "Ikuti aku. Kita hajar orang-orang congkak itu. Hong-siang pasti tidak akan menghukum kita, sebab kita telah berjasa jauh lebih besar dari mereka."
Memang dihalaman istana telah terjadi perkelahian massal. Berpuluh-puluh pengawal jubah ungu baku hantam melawan berpuluh-puluh anggota Hiat-ti-cu. Entah siapa yang mulai, kurang jelas. Namun perkelahian semakin menghebat, sebab kawan-kawan dari kedua belah pihak terus berdatangan untuk langsung ikut berkelahi. Tidak perlu tanya tanya lagi siapa yang benar dan siapa yang salah, demi "setia kawan".
Mula-mula perkelahian hanya menggunakan tangan dan kaki. Namun ketika salah satu mulai menghunus senjata, yang lain ikut-ikutan menghunus senjata pula. Perkelahian juga menjalar ke bagian-bagian istana yang lain. Orang-orang Hiat ti-cu berteriak, "Anak buah Kim Seng Pa memberontak!"
Sedangkan para pengawal jubah ungu berseru, "Kaum Hiat-ti-cu hendak menyaingi kekuasaan Kaisar!"
Sudah sulit untuk ditelusuri siapa yang menjadi biang kerusuhan, kedua kelompok yang berhantam sudah sama-sama panas darahnya, dan sama-sama merasa sedang "membela Kaisar". Begitulah, huru-hara orang-orang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai belum lagi terhapus dari ingatan, kini sudah muncul huru-hara baru, malah antara pendukung-pendukung Kaisar sendiri. Suasana tambah panas ketika para pendeta Ang-ih-kau terjun membela kelompok Hiat-ti-cu.
Ketika Hap To, si komandan Hiat-ti-cu dilapori tentang keributan itu, diapun menjadi marah, dan merasa patut bertindak sebab ia merasa kini lebih dekat kepada Kaisar dibandingkan Kim Seng Pa. Sambil memimpin sejumlah anak buahnya, ia berkata, "Si tua bangka Kim Seng Pa itu rupanya iri karena kita sekarang lebih dipercayai oleh Hong siang. Ayo kita hajar.mereka!"
Berangkatlah mereka ke "garis depan" sambil membawa kantong-kantong kulit terbang yang bisa mengambil kepala itu. Ketika Hap To pergi itulah maka kediamannya hanya dijaga oleh beberapa orang Hiat-ti-cu. Saat itu pula Heng San Sam kiam serta Siau Ting Peng dan Ciu Hong Siau masuk dengan mudah, setelah merobohkan para Hiat-ti-cu, lalu masuk untuk menemukan surat Pangeran In Te. Setelah surat diketemukan, langsung dibakar di tempat itu juga dan tinggal abunya.
"Semua yang kita lakukan ini hanya untuk tujuan ini?" tanya Siau Ting Peng. "Hanya untuk membakar secarik kertas?"
Ho Se Liang menjawab, "Benar, namun berarti menyelamatkan Pangeran In Te dari dakwaan, dan berarti pula menyelamatkan peluang Bangsa Han untuk mendapatkan martabatnya tanpa kekerasan. Kalau Pangeran In Te mati, martabat Bangsa Han berarti harus diperjuangkan dengan pemberontakan berdarah model Jit-goat-pang. Itu sama-sama tidak kita kehendaki bukan?"
Ciu Hong Siau mengangguk-angguk. "Benar, pemberontakan berdarah, bagaimanapun luhur dan suci semboyannya, tetapi ujudnya tetap perang yang menghancurkan kehidupan banyak orang tak bersalah."
"Ayo kita cepat keluar, jangan sampai Hap To kembali dan melihat kita."
Sementara itu, pertempuran di taman-taman semakin sengit. Beberapa korban sudah jatuh dari kedua belah pihak, membuat teman-teman si korban semakin bernafsu untuk membalaskan kematian mereka. Kantong-kantong kulit para Hiat-ti-cu juga mulai melayang-layang di udara, dan sudah "mencaplok" beberapa butir kepala yang pemiliknya mengalami kelengahan. Namun senjata-senjata para pengawal jubah ungu juga sudah makan korban banyak.
Heng-san-sam-kiam dan Siau Ting Peng serta Ciu Hong Siau segera ikut terjun dalam kemelut, supaya tidak dicurigai. Mereka menyesal juga bahwa korban-korban jiwa berjatuhan, tapi apa boleh buat, setiap terjadi pergeseran di puncak kekuasaan tentu harus minta korban. Heng-san-sam-kiam menghibur diri sendiri, setidak-tidaknya mereka lebih "berperikemanusiaan" disbanding kaum Jit-goat-pang yang menyodorkan ribuan nyawa untuk menjadi. korban ambisi pemimpin mereka. Sedang Heng-san-sam-kiam menganggap korban kali itu "tidak seberapa" untuk tebusan sebuah cita-cita yang mahal.
Dalam politik, cara yang haram dan memang kabur sekali batasnya. Kadang-kadang suara kemanusiaan mesti dibungkam, ditimbuni sejuta alasan untuk membenarkan diri sendiri. Dalam mabuknya, Kim Seng Pa telah membunuh beberapa orang Hiat-ti-cu. Hap To marah melihat itu, dengan senjatanya, sebatang golok Koan-to, ia menerjang ke hadapan Kim Seng Pa. la tahu betapa lihainya Kim Seng Pa, namun ia harus melawannya sebab mengandalkan "jurus" terakhirnya, yaitu "mengadu kepada Kaisar".
"Kim Seng Pa, kenapa kau tidak menertibkan anak-buahmu yang mabuk itu, malah ikut-ikutan bertindak gila?" bentaknya. "Atau kau sengaja menyuruh anak-buahmu berbuat seperti ini, untuk menunjukkan kesan hebat, padahal kalian tidak becus dan sudah tidak dipercayai lagi oleh Hong-siang?"
Keruan Kim Seng Pa tersinggung, apalagi pengaruh arak belum bersih dari kepalanya. "Hanya ingin kutunjukkan kepada Hong-siang bahwa kami lebih hebat dari kalian yang congkak!"
"Oh, jadi kau iri lalu mengacau?" Hap To semakin marah pula. Goloknya sudah siap-siap dibacokkan ke arah Kim Seng Pa.
Tetapi sebelum kedua orang itu bertempur, muncullah di arena berdarah itu ratusan perajurit Lwe-teng Wi-su (Pengawal Istana) serta Gi-oian Si-wi (Pengawal Kaisar) yang membawa bedil-bedil mereka. Dalam bentuk setengah lingkaran, mereka langsung menghadap ke pertempuran dan menodongkan bedil-bedil mereka.
Be Kun Liong si komandan Gi-cian Si-wi langsung berseru menggelegar, "Berhenti! Berhenti semuanya!"
Mula-mula seruan Be Kun Liong tidak digubris, malah Hap To menjawab, "Jangan ikut campur, Be Cong-koan. Aku akan membabat habis orang-orang berhati dengki yang sudah tak berguna dan hanya mengotori istana ini!"
"Kau dengar sendiri, Be Cong-koan," Kim Seng Pa juga berkata, "Mereka terlalu congkak dan menghina kami, padahal mereka baru bisa...."
"Diam!" bentak Be Kun Liong. "Kalian kira istana ini adalah warung arak atau tempat judi dimana para pemabuk bisa berkelahi sebebas-bebasnya?"
"Kau yang tutup mulut, Be Kun Liong!" Hap To balas membentak karena merasa sedang disayangi Kaisar. "Atau kau mau ikut berkelahi sekalian?"
Disaat ketegangan memuncak itulah terdengar seruan, "Hong-siang datang!"
Bagaimanapun kalapnya orang-orang yang berkelahi itu, ketika mendengar kedatangan Kaisar, mereka tidak berani meneruskan pertempuran dan berlompatan mundur. Dari sebuah pintu lengkung pembatas taman, Kaisar muncul diapit oleh Liong Ke Toh dan Ni Keng Giau. Semua orang cepat menyarungkan senjata masing-masing, lalu berlutut sambil berseru, biarpun kurang kompak, "Ban-swe! Ban-swe!"
Mata Kaisar Yong Ceng menyala marah ketika melihat taman yang porak-poranda dan belasan mayat yang bergeletakan. Dibiarkannya mereka semua tetap berlutut, lalu berkatalah Kaisar, "Wah hebat, kalian berlatih terlalu bersemangat ya? Kalau, kalian sudah tidak menghormati aku lagi, kalian sekarang boleh bunuh aku sekalian!"
Tubuh Kim Seng Pa dan Hap To sama-sama gemetar dalam berlututnya, bukan karena merasa bersalah, melainkan takut kalau Kaisar menjatuhkan hukuman.
"Kim Seng Pa! Hap To!" tiba-tiba Kaisar memanggil kedua komandan yang anak buah masing-masing baru saja berkelahi itu.
"Hamba Tuanku!" sahut mereka serempak sambil maju.
Sementara itu, Paman Yong Ceng, Liong Ke Toh, mendekatkan mulut ke telinga Yong Ceng untuk berbisik, "Tuanku, sebaiknya jangan bersikap berat sebelah kepada mereka berdua, supaya hubungan antar mereka tidak semakin gawat dan membahayakan kekuasaan Tuanku sendiri."
Yong Ceng mengangguk kecil. Biarpun kemarahan hampir membuat dadanya meledak, namun nasehat pamannya itu masih bisa diterimanya juga. Sementara itu, tiba di hadapan Yong Ceng, Hap 'To merasa lebih berani dari Kim Seng Pa untuk bicara lebih dulu, "Tuanku, anak-buah Kim Cong-koan lebih dulu mencari gara-gara terhadap anak-buah hambah karena mereka iri hati. Kim Cong-koan tidak mencegah mereka, malah ikut bertempur dan...."
"Itu tidak benar, Tuanku, sesungguhnya...."
"Diam kalian!" bentak Yong Ceng. Tiba-tiba dua tinjunya bergerak berturut-turut, dan wajah Kim Seng Pa maupun Hap To telah di jotosnya sehingga hidung mereka berdarah. Benar-benar tidak berat sebelah seperti anjuran Liong Ke Toh.
Sudah tentu Kim Seng Pa dan Hap To sebenarnya mampu untuk mengelak atau menangkis, tapi mereka tidak berani melakukan itu. Akibatnya, mereka harus merasakan bagaimana bogem mentah Kaisar mendarat di muka mereka sampai kepala mereka pusing.
Setelah melampiaskan sebagian kemarahannya, Yong Ceng agak tenang sedikit. "Dengar baik-baik, kalian harus mampu menertibkan anak-buah kalian masing-masing. Kalau aku dengar laporan bahwa kalian bertengkar lagi, bahkan berkelahi, jangan dikira aku tidak tega untuk mengerahkan pasukan lain guna mendepak kalian semua dari istana ini. Paham?"
"Hamba paham, Tuanku," kali ini suara Hap To dan Kim Seng Pa merupakan paduan suara yang kompak.
Sebenarnya kekecewaan dan kemarahan Yong Ceng belum sepenuhnya terlampias, namun ia tidak berani berbuat lebih dari itu, khawatir kalau mereka malah mengamuk, la juga tidak berani mengandalkan Ni Keng Giau yang belakangan ini semakin "berani" kepadanya. Tiba-tiba Kaisar Yong Ceng merasa bahwa kedudukannya saat ini mirip betul dengan telur di ujung tanduk.
la menarik napas dengan perasaan berat. "Bubarkan anak buah kalian," perintahnya. "Ingat, kalau kalian masih berani bertindak di luar perintah, kutumpas tanpa ampun. Peringatan ini bukan cuma buat kalian berdua, tapi buat semuanya!"
Sambil berkata demikian, entah di sengaja entah tidak, Yong Ceng juga menoleh ke arah Ni Keng Giau, yang belum lama ini juga berani membawa pasukannya masuk ke istana tanpa perintah Kaisar. Namun yang menyahut "hamba Tuanku" hanyalah Kim Seng Pa dan Hap To. Sedangkan wajah Ni Keng Giau tenang-tenang saja, benar-benar seraut "wajah tak berdosa" sedikitpun.
Dengan mendongkol, Yong Ceng tinggalkan tempat itu. Kim Seng Pa dan Hap To kemudian pergi bersama anak-buah masing-masing, sambil mengangkut tubuh-tubuh yang mampus atau babak-belur. Beberapa anggota pengawal jubah ungu minta kepada beberapa Hiat-ti-cu agar mengembalikan batok batok kepala beberapa rekan mereka yang tadi kepalanya disambar Hiat-ti-cu, supaya dapat dipasangkan ketubuhnya masing-masing. Mereka masih saling melotot, namun tidak berani berkelahi lagi. Apalagi perajurit perajurit Lwe-teng Wi-su dan Gi-cian Si wi masih mengawasi dengan moncong-moncong bedil yang tertodong.
Hap To segera kembali ke tempatnya, namun alangkah terkejutnya ketika melihat surat Pangeran In Te telah jadi abu di atas mejanya. Biarpun agak marah, ia masih punya satu harapan, "Tidak apa-apa, masih ada Thia Kong-kong yang sudah berjanji akan, menjadi saksi yang memberatkan Pangeran In Te kelak...." pikirnya.
Namun harapan terakhirnya itupun lenyap, ketika seorang anak-buahnya melaporkan bahwa Thia Kong-kong telah membunuh diri di kamarnya, dengan cara membenturkan kepalanya sendiri kedinding. Lenyap pula harapan Hap To untuk membantu Kaisar mendakwa Pangeran In Te, suatu jasa yang sebenarnya bukan main besarnya.
"Kim Seng Pa... akan tiba saatnya aku harus mengunyah kepalamu yang ubanan...." geramnya sengit. Sekilas timbul kecurigaan bahwa semua itu terjadi sebagai "hasil karya" para pengawal jubah ungu untuk mencegah jangan sampai ia berjasa kepada Kaisar. Timbul niatnya untuk mengadukan Kim Seng Pa, tetapi kalau hanya mengadu tanpa disertai bukti-bukti, jangan-jangan oleh Yong Ceng malah dianggap cari gara-gara lebih dulu.
la juga tidak mungkin mendakwa Pangeran In Te hanya dengan bukti segenggam abu kertas, dan saksi sesosok mayat yang pecah kepalanya. Akhirnya Hap To hanya bisa memukuli meja dan menendangi kursi di tempat tinggalnya sendiri. Beberapa hari setelah keributan itu, Yong Ceng masih juga suka merenung, mengertak gigi, memukul meja, berjalan hilir-mudik dengan gelisah, dan akhirnya hanya bisa menghempaskan diri di kursi sambil menarik napas dengan putus asa.
Di mejanya, bertumpuk-tumpuk surat laporan yang belum disentuhnya sama sekali. Tentang wilayah Jing-hai yang mulai bergolak oleh pemberontakan pengikut-pengikut Thai-cin-kau dan Hwe kau. Tentang banjir yang meluap di Ou-lam dan merusak panenan. Tentang Kekaisaran Rusia yang terus menambahkan tentaranya di seberang Sungai Amur.
Memang tahun 1689, antara mendiang Kaisar Khong Hi dan Tsar Rusia telah ditanda tangani perjanjian untuk tidak saling melanggar perbatasan kedua negara, tetapi kalau salah satu pihak sudah merasa kuat untuk menggilas satu sama lain, apa artinya secarik kertas perjanjian? Tidak ada laporan-laporan di atas meja itu yang menggembirakan.
Daripada kepalanya pecah, Yong Ceng merasa lebih baik tidak usah membaca dulu laporan laporan itu. Yang memusingkan Yong Ceng ialah pertengkaran di antara pembantu- pembantunya sendiri. Di jaman ayahandanya dulu, juga ada persaingan antar kelompok, tapi tidak sampai sekasar itu, sampai berbunuh-bunuh di lingkungan istana.
Kalau Yong Ceng bertanya kepada Liong Ke Toh, kenapa sampai timbul pertengkaran? Maka Liong Ke Toh menjawab, "Persaingan untuk merebut perhatian Tuanku memang hal biasa." Kalau didesak lagi dengan pertanyaan, kenapa persaingannya sampai sekasar itu? Liong Ke Toh menjawab sambil menyeringai, "Ya, memang keterlaluan," Itu saja.
Kalau yang ditanya Ni Keng Giau, jawabnya lain lagi. Jenderal muda itu malah dengan berapi-api memberi "kuliah" bahwa Hukum Besi yang amat keras harus diterapkan tanpa pandang bulu ke pada segenap lapisan masyarakat, dari Kaisar sampai rakyat jelata. Lalu Ni Keng Giau malah pamer bagaimana pasukan Tiat-ki-kun, bawahannya, patut dibanggakan sebagai pasukan yang paling tertib di seluruh kekaisaran.
Tengah Yong Ceng termenung sendirian, seorang pelayan pribadinya telah berlutut di hadapannya dan melapor. "Ampun Tuanku, Kok-kiu-ong mohon menghadap Tuanku...."
"Suruh pergi tua bangka itu!" teriak Yong Ceng....
Karena sudah amat mempercayai He Hou Yohg, dengan enaknya Thia Hou meletakkan surat itu di atas meja dan ditindih dengan alas lilin. Sambil berkata, "Kita tidur bergantian, salah satu dari kita harus tetap berjaga."
"Baiklah."
He Hou Yong lalu tidur lebih dulu, dan Thia Hou berjaga dengan duduk dekat meja, sambil memeluk senjatanya dengan waspada. Ketika di kejauhan terdengar si penjaga kota membunyikan gembreng, tanda waktu tengah malam, kuping Thia Hou tiba-tiba menangkap suara berkelotak lirih di jendela kamarnya. Lalu dilihatnya ujung sebuah golok menongol dari sela-sela jendela untuk mencoba mencongkel palang jendela.
Thia Hou tersenyum dingin dan membatin, "Tajam juga penciuman anjing-anjing Yong Ceng. Baru sehari aku berjalan, dan mereka sudah berhasil menyusulku....'"
Namun Thia Hou tetap diam, tidak membuat gerakan apapun, ia masih belum mau membangunkan "rekan seperjuangan" nya yang kelihatan tidur pulas itu. la akan berusaha menangani sendiri, nanti kalau tidak mampu barulah berteriak membangunkan He Hou Yong. Thia Hou tidak tahu bahwa "teman seperjuangan" yang amat dipercayainya itu sudah menyediakan sebilah belati di bawah selimutnya, menunggu kesempatan untuk menikam punggung Thia Hou, sebab He Hou Yong tidak berani menikam dadanya, la sadar, ilmu silat Thia Hou dua tingkat di atas dirinya.
Orang yang mencongkel jendela itu bukan lain adalah Leng Bun, si algojo Hiat-ti-cu. Dengan congkelannya yang mulus, sisa ke trampilannya sebagai bandit di Ciat-kang dulu, ia berhasil membuka jendela dan melompat masuk. Dengan golok tergenggam erat di tangan, ia berjingkat-jingkat menghampiri meja. Diliriknya sekejap Thia Hou yang nampaknya tertidur di kursi.
Tetapi ketika tangannya terulur hendak meraih surat di atas meja, Thia Hou tiba-tiba melompat bangun, langsung menghunus pedangnya yang ujungnya meluncur ke dada Leng Bun. Dengan kaget Leng Bun melompat mundur dan menangkis dengan goloknya. Tapi ujung pedang Thia Hou terus memburunya, dan tertikamlah pangkal lengan kanannya. Lengan kanannya memegang senjata, dengan terlukanya lengan itu, permainan goloknya jadi terganggu, sehingga sesaat kemudian pahanya kena pula.
"Bangsat!" Leng Bun memaki, lalu melompat keluar lewat jendela, la ingin bertempur di tempat yang lega, bukan sekedar menjadi bulan-bulanan ujung pedang di kamar sempit itu. Thia Hou melompat keluar pula. Sementara itu'Leng Bun berteriak, "He Hou Yong, lekas bantu aku!"
Thia Hou terkesiap mendengar seruan itu, kini ia sadar kekurang hati-hatiannya dengan terlalu mempercayai He Hou Yong. Sadar pula kenapa musuh begitu cepat menemukan jejaknya. Ingat akan surat Pangeran In Te yang masih terletak di atas meja kamarnya, dia bermaksud masuk kembali untuk mengamankannya. Namun Leng Bun telah mengamuk dengan goloknya, sehingga Thia Hou tak berkesempatan untuk beranjak dari tempatnya, sebab harus lebi dulu meladeni lawannya.
He Hou Yong yang tidak cepat-cepat membantu Leng Bun itu sesungguhnya punya perhitungan sendiri, la akan membiarkan Thia Hou dan Leng Bun saling membinasakan dulu, lalu ia sendirilah yang akan membawa surat Pangeran In Te itu ke Pak-khia, agar hadiahnya bisa dimakan sendiri. "Saling menggigit" macam itu, di jajaran anak buah Yong Ceng adalah hal biasa. Malah kelihatan aneh kalau terlalu jujur.
Karena berwatak sejenis, Leng Bun agaknya memahami jalan pjkiran He Hou Yong, sehingga dengan marah ia berteriak lagi, "He Hou Yong, cepat bantu aku! Atau kau tunggu sampai aku mati dan semua tanda jasa akan kau tumpuk di pundakmu semua?!"
Sedangkan Thia Hou dalam marah dan kecewanya, bertempur seperti serigala kelaparan. Pedangnya menikam dan membabat dengan tangkasnya, diimbangi langkah-langkah kakinya yang tangkas berlompatan. Biarpun sudah luka, Leng Bun bertahan dengan gigih. Yang dimainkannya adalah Pat-hong-to-hoat (Ilmu Golok De lapan Penjuru) yang mengutamakan kekuatan dan kekerasan.
Sementara itu, setelah mengantongi surat Pangeran ln Te, He Hou Yong keluar pula dengan membawa golok, la langsung menyerang ke pinggang Thia Hou sambil berkata, “Saudra Thia, mengingat bahwa kita adalah sahabat lama, kuberi kau kesempatan untuk menyerah saja. Kalau Hong-siang berkenan, kau akan bernasib mujur seperti aku, menjadi pengawal yang bergaji tinggi."
Thia Hou tertawa dingin. "Aku sesalkan mataku yang buta. Yang tadinya aku kira seorang pahlawan, ternyata hanyalah seorang budak penjilat.!" Thia Hou kalap, karena sadar tugasnya sudah gagal. Kini tekadnya hanyalah ingin mengadu nyawa sampai mati.
Gabungan tenaga Leng Bun dan He Hou Yong mestinya dapat mengatasi Thia Hou, namun yang satu sudah terluka, yang lain bertempur setengah hati, sedang lawan mereka berkelahi dengan kalap, sehingga mereka dapat segera mendapat kemenangan.
Thia Hou ternyata bertenaga besar, ayunan pedangnya menimbulkan angin berdesing. Setiap kali tangan Leng Bun maupun He Hou Yong tergetar linu kalau golok mereka berbenturan dengan pedang Thia Hou. Namun kedua orang itu berharap, Thia Hou akan cepat kehabisan tenaga karena caranya berkelahi yang mirip kerbau gila.
Benar juga. Tidak lama kemudian Thia Hou mulai terengah-engah napasnya, tubuhnya basah kuyup dengan keringat, dan gerak pedangnya tak terarah dengan cermat lagi. Sering ia sempoyongan sendiri kalau serangannya luput.
Perkelahian di halaman belakang itu sebenarnya amat ribut dan mengganggu tamu-tamu penginapan lainnya, namun tak ada yang berani keluar, apalagi ikut campur. Mereka mengira itulah perkelahian antara "para bandit" yang sedang rebutan rejeki.
Tetapi di antara tamu-tamu, ada seorang hwe-shio gemuk yang kelihatannya tidak gentar mendengar keributan itu. la seorang hwe-shio berwajah riang, tetapi agaknya bukan seorang yang taat kepada ajaran agamanya, sebab ia menggendong sebuah buli-buli arak besar dan di meja kamarnya masih ada sisa-sisa makanan dari daging. Perutnya dilibat dengan sehelai cambuk panjang.
Mendengar ribut-ribut di halaman belakang, dengan tenangnya ia malah membuka jendela dan melongok keluar. Alisnya berkerut melihat seorang lelaki bersenjata pedang mulai kehabisan tenaga menghadapi dua lawannya yang bersenjata golok. Tetapi agaknya kedua lawan itu ingin menangkap hidup-hidup, sehingga belum menjatuhkan serangan mematikan.
Sebenarnya hwe-shio itu enggan ikut campur, namun mendengar bagaimana orang orang yang bertempur itu saling memaki, ia segera tahu bahwa dua orang bersenjata golok itu adalah kaki-tangan Kaisar Yong Ceng. Darah si hwe-shio mendadak menghangat, tangannyapun menjadi gatal untuk ikut berkelahi.
Karena dia adalah Hui Hai Hwe-shio, Lam-ki Tong-cu (pemimpin regu bendera biru) dari Hwe-liong-pang yang berjulukan Cui-sin (Malaikat Pemabuk). la membenci Yong Ceng, sebab banyak teman-temannya yang gugur oleh orang-orang Yong Ceng. Liong Su Koan yang gugur di Taman Cun-hoa, Ji Han Lim yang gugur ketika hampir berhasil membunuh Yong Ceng, Siang Koan Long yang masih babak belur akibat siksaan dalam penjara, Kiong Wan Peng yang giginya hampir ompong semua karena dihajar selama dalam penjara, dan masih banyak lagi kor ban di pihak Hwe-liong-pang.
Maka Hu-hai Hwe-shio kini memutuskan untuk bertarung di pihak si lelaki bersenjata pedang siapapun dia. Diambilnya buli-buli araknya dan dipindahkannya seluruh isi buli-buli ke dalam perutnya yang seperti gentong besar itu. Sesuai dengan julukannya, makin mabuk dia akan bertempur makin dahsyat. Kemudian ia berjalan keluar kamar sambil memutar-mutar cambuknya. Mukanya sudah merah, menandakan pengaruh arak yang mulai bekerja, juga menandakan bahwa semangat tempurnya mulai menyala.
Ketika itu keadaan Thia Hou sudah payah. Ketika He Hou Yong membenturkan goloknya sekuat tenaga ke pedangnya, lepaslah pedang Thia Hou, disusul totokan tangan kirinya ke pinggang Thia Hou yang membuat Thia Hou roboh.
Saat itulah Hui Hai Hweshio masuk ke arena. "Bagus, kebetulan malam ini bisa kubinasakan dua ekor anjingnya Yong Ceng, untuk mengurangi sakit hati Liong Su Koan, Ji Han Lim dan lain lainnya."
Cambuknya bergerak dengan tipu Hun-li-yu-liong (Naga Berjalan Dalam Mega), begitu cepat dan langsung melibat golok di tangan Leng Bun. Sekali sentak, golok Leng Bun lepas dari tangannya, meluncur ke atas dan jatuh di atas genteng. Menyusul telapak tangan kiri Hui Hai Hwe-shio membabat ke rusuk Leng Bun dengan gerakan Tong-cu-pai-hud (Anak Kecil Menyembah Buddha) yang dahsyat.
Leng Bun kaget oleh ketangkasan si Hwe-shio. bundar yang dikiranya sedang kesurupan itu, cepat ia menyelamatkan diri dengan melompat sempoyongan ke belakang, karena pahanya masih sakit akibat tikaman pedang Thia Hou tadi. He Hou Yong tidak tinggal diam. Jurus Hek-hou-liau-kan (Macan Hitam Melompati Parit), ia melompat maju sambil membacok ke pinggang Hui Hai Hwe-shio.
Tak terduga, tubuh gemuk itu juga lincah dan ringan. Serangan golok He Hou Yong dihindari dengan melompat ke atas, tubuh Huai Hai Hwe-shio berpusing di udara dan menendang kepala lawannya dengan gerakan Hui-liong-pa-bwe (Naga Terbang Mengibas Ekor). Oleh sesama rekan di Hwe-liong-pang, jurus itu sering diolok-olok sebagai Poan-liong-pok-sit (Naga Gemuk Menyambar Makanan).
Namun itu bukan jurus lelucon, namun jurus gawat. He Hou Yong melompat mundur sambil berkeringat dingin. Lolos dari tendangan, tapi tidak lolos dari cambuk. Pundaknya kena sabetan cambuk sehingga kain bajunya pecah dan kulit pundaknya terasa nyeri bukan kepalang.
"Siapa kau?"
"He-he-he, akulah pendeta yang lemah lembut bergelar Hui Hai Hwe-shio. Lam-ki Tong-cu dari Hwe-liong-pang!"
Leng Bun dan He Hou Yong sama-sama terkejut mendengar nama yang cukup terkenal itu. "Jadi.... kau adalah Si Malaikat Pemabuk?!"
"Tepat sekali! Sekarang kuantarkan kalian ke neraka!" seru Hui Hai Hwe-shio sambil menyabetkan cambuknya.
Kedua algojo Hiat-ti-cu itu berlompatan mundur dengan gentar, He Hou Yong berteriak, "Lebih baik mundur saja, surat itu sudah di tanganku!"
Namun Leng Bun masih penasaran ke pada si hwe-shio yang telah membuatnya kehilangan pamor itu. Tangannya masuk ke balik jubahnya, dan ketika keluar kembali, telah memegang sebuah pistol berukir yang dulu dirampasnya dari seorang pelaut Portugis ketika di Makao. Biar senjata itu hanya bisa ditembakkan sekali saja, namun Leng Bun yakin kelihaiannya melebihi senjata rahasia jenis apapun juga.
Dengan pistol di tangan, Leng Bun jadi congkak, jarinya sudah menempe dipelatuk. Katanya mengejek, "Nah. keledai gundul, sanggupkan kau menghadapi Siau-pek-lui (si petir kecil) ini?"
Baik Hui Hai Hwe-shio maupun Leng Bun sadar, pistol itu hanya bisa menembak satu kali. Bagi Leng Bun, kesempatan satu kali itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, jangan sampai musuh bisa menghindar, sebab ia sudah melihat sendiri betapa lincahnya si hwe-shio bundar itu. Sedangkan Hiau Hai Hweshio berkonsentrasi penuh ke ujung pistol, begitu melihat kilatan api dari situ, ia akan melompat secepat-cepatnya. Kalau ia bergerak tidak tepat, ia akan menjadi korban sia-sia.
Sesaat situasi jadi tegang. Leng Bun menunggu perhatian Hui Hai Hweshio terpecah, sebab selama Hui Hai Hwe-shio berkonsentrasi setenang itu, peluang untuk kena dan tidak kena hanyalah setengah banding setengah, la ingin peluang sebaik-baiknya.
Namun di tempat itu juga ada He Hou Yong. Orang ini tiba-tiba mengeluarkan pisau belatinya dan disambitkan sekuat tenaga ke arah Hui Hai Hweshio. Pemusatan pikiran Hui Hai Hweshio terpecah, ia harus menangkis belati itu dengan cambuknya. Berbareng dengan itu, jari telunjuk Leng Bun menekan pelatuk, pistolnya meledak dan Hui Hai Hwe-shio tersentak lalu jatuh terguling.
Leng Gun tertawa berkakakan, dengan bangga ditiupnya asap dari ujung pistolnya. Katanya kepada He Hou Yong, "Hebat tidak si Petir Kecilku ini, He Hou Yong?"
Sahut He Hou Yong, "Memang hebat. Namun pistolmu mendapat kesempatan setelah pemusatan pikiran bangsat gemuk itu terpecah oleh lemparan belatiku. Jadi robohnya dia tidak sepenuhnya jasamu saja..."
"Memang, hasil kerja sama kita. Namun dalam kerja samapun ada bagian yang besar dan yang kecil jasanya, bukan sama rata saja. Tanpa pistolku, kau pikir gampang mengatasi si malaikat Pemabuk ini?"
Keduanya kemudian berjalan mendekati tubuh Hui Hai Hwe-shio yang tergeletak berlumuran darah. Tetapi di saat mereka melihat bahwa yang tertembus peluru hanyalah pundak Hui Hai Hwe-shio, bukan bagian yang mematikan, saat itulah mereka merasakan firasat jelek. Memang. Sebab "mayat" Hui Hai Hwe shio tiba-tiba membuka mulutnya dan tersemburlah hujan arak. Biarpun arak hanyalah barang cair, tetapi Hui Hai Hwe-shio sudah belasan tahun melatih "jurus" simpanannya itu, sehingga butiran-butiran araknya bagaikan logam kerasnya.
Kedua algojo Hiat-ti-cu itu sama-sama berseru kaget. Bahkan Leng Bun kemudian berteriak ngeri, karena biji mata kirinya tersemprot arak-sehingga buta seketika. Pistolnya tak berguna lagi, sebab membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengis inya lagi. He Hou Yong tidak sampai buta, namun sekujur tubuhnya kena semprotan maut itu sampai terasa pedih.
Sementara itu, Hui Hai Hwe-shio sendiri segera melompat bangun, memaksakan menyerang, biarpun lukanya sendiri sebetulnya tidak ringan. Cambuknya menyabet secepat kilat dan tahu-tahu ubun-ubun He Hou Yong telah tersabet retak, percuma saja goloknya yang masih terpagang di tangannya.
Terhadap Leng Bun yang masih merintih- rintih sambil mendekap mata kirinya, Hui Hai Hwe-shio juga tidak berminat mengampuni, la tahu bahwa orang itu adalah algojonya Yong Ceng yang tidak segan-segan membunuh siapapun hanya untuk memperoleh sepatah kata pujian dari tuannya. Cambuknya menyambar, dengan tepat membelit leher Leng Bun, dan ditambahkannya sebuah sentakan kuat sampai terdengar suara gemeretak tulang leher yang patah terkulai.
Setelah membereskan kedua lawannya, tenaga Hui Hai Hwe-shio sendiri hampir habis. Namun dengan langkah terhuyung, ia masih sempat mendekati Thia Hou untuk membebaskan totokannya, dan bertanya, "Siapa kau" Kenapa sampai berurusan dengan anjing- anjing pemburu Yong Ceng itu?"
Luka-luka Thia Hou tidak separah penolongnya, ia lalu berterima kasih kepada Hui Hai Hwe-shio. Karena ia sudah mendengar sendiri bahwa Hwe-shio itu adalah seorang Tong-cu Hwe-liong-pang, ia tidak ragu-ragu lagi menceritakan maksud perjalanannya ke Tiau-im-hong.
"Kalau begitu, kita bisa jalan bersama," kata Hui Hai Hwe-shio. Dikeluarkannya sekantong obat luka dari bajunya, diserahkan kepada Thia Hou sambil berkata, "Obati luka-lukamu..."
"Toa-suhu, kau luka lebih parah karena menolongku, seharusnya obat ini untukmu send iri...."
Dalam keadaan luka parah pun ternyata Hui Hai Hwe-shio masih sanggup cengar-cengir, biarpun diselingi ker-nyit-kernyit kesakitan di dahinya, "Justru setelah lukamu tertolong, kau harus gantian menolongku. Mencongkel peluru keparat ini dari dalam daging pundakku... aduh!”
Thia Hou cepat-cepat mengobati lukanya sendiri, lalu menuntun Hui Hai Hwe-shio masuk kamarnya. Malam itu juga, dilakukan "pembedahan" darurat atas pundak si hwe-shio gemuk untuk mengeluarkan peluru dari situ. Selama pembedahan, Hui Hai Hwe-shio mengaduh-aduh dengan keras dan tak henti-hentinya mencaci-maki Yong Ceng. Suaranya keras sekali, sehingga tamu-tamu penginapan di kamar sebelah menyebelah merasa amat terganggu, namun tidak berbuat apa-apa. Setelah pembedahan selesai, tamu-tamu tetap terganggu oleh dengkur Hui Hai Hwe-shio yang keras.
Sementara itu, Thia Hou kembali ke halaman untuk menggeledah mayat He Hou Yong, dan mengambil surat Pangeran In Te kembali. Keesokan harinya, Hui Hai Hwe-shio dan Thia Hou berangkat bersama-sama ke Tiau im-hong. Biarpun masih luka luka, mereka berangkat juga, tanpa menunggu kedatangan berikutnya dari algojo-algojo Kaisar Yong Ceng.
Sementara itu, Hoa Keng Bi telah berhasil berpacu sampai ke Pak-khia, lalu mengajak lima anggota Hiat-ti-cu lainnya untuk mengejar Thia Kong-kong atau Thia Bong Ek. Biarpun Thia Bong Ek sudah melewati kota Bun siu, akhirnya tersusul juga, karena para anggota Hiat-ti-cu mengejarnya dengan gigih dan menunggang kuda-kuda pilihan. Lagipula, jejak Thia Bong Ek gampang ditelusuri dengan bertanya kepada orang-orang di pinggir jalan, sebab tampangnya memang tampang khas kaum thai-kam. Kelimis tanpa kumis atau jenggot sehelaipun, biarpun rambut dan kumisnya sudah memutih semua.
Biarpun melawan mati-matian dan berhasil menewaskan tiga anggota Hiat-ti-cu, akhirnya Thia Bok Ek tertawan juga dan digiring kembali ke Pak-khia. Surat Pangeran In Te di dalam bungkusan bekalnya dirampas. Di istana, Komandan Hiat-ti-cu yang bernama Hap To, tersenyum lebar mendengar laporan keberhasilan anak-buahnya, biarpun Thia Bong Ek sudah sepertiga perjalanan ke Tiau-im-hong. la berharap, kelompok Hiat-ti-cu akan bertambah mendapat kepercayaan Kaisar, bersamaan dengan merosotnya kepercayaan Kaisar terhadap pengawal jubah ungu, setelah terjadinya peristiwa Ji Han Lim hampir membunuh Kaisar.
"Bagaimana dengan surat Pangeran In Te?" tanyanya kepada Hoa Keng Bi yang tengah menghadapnya.
"Juga berhasil kami rampas, Cong-koan," sahut Hoa Keng Bi sambil menyerahkan surat itu. Surat bersampul sederhana, yang di atasnya tertulis, "dihaturkan kepada yang terhormat Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam Hou."
Hap To mengangguk-angguk puas, la sudah lama tahu keinginan terpendam Kaisar Yong Ceng untuk menyingkirkan Pangeran In Te, namun belum berani karena belum menemukan alasan yang tepat . Kalau In Te disingkirkan dengan semena-mena, tentu akan timbul gejolak. Tapi dengan diketemukannya surat itu, Kaisar sudah bisa menghukum karena diketemukannya "alasan yang kuat". Tuduh saja In Te telah berkomplot dengan gerombolan anti pemerintahan, Hwe-liong-pang. Senyuman makin lebar di wajah Hap To kalau mengingat betapa besar pahala yang bakal didapatkannya.
"Bawa thai-kam tua itu kemari!" perintahnya.
Hoa Beng Ki menjalankan perintah, dan tidak lama kemudian, Thia Kong-kong sudah diseret masuk oleh sekelompok anggota Hiat-ti-cu. Thia Kong-kong tahu, demi menyelamatkan Pangeran In Te dan jaringan bawah tanahnya, dia harus cerdik. Tidak sekedar mengandalkan keberanian dan kemarahan saja. Kalau Pangeran In Te sudah aman, dia matipun tidak takut lagi. Karena itu, begitu diseret masuk, dia tidak bersikap tegar, melainkan menunjukkan sikap pengecut yang takut mati.
Tiba di hadapan Hap To, tanpa disuruh lagi Thia Kong-kong langsung berlutut dan meratap-ratap, "Ampun Cong-koan... mengingat hubungan baik kita yang dulu, sudilah Cong-koan berbelas kasihan kepadaku yang sudah tua ini."
Hap To memang tercengang sejenak. Biasanya pengikut Pangeran In Te bandel- bandel, diancam hukuman mati pun tetap keras kepala. Tapi Thia Kong kong ini rupanya "lain" sendiri. Sesaat Hap To berpikir, lalu berkata, "Berat ringannya hukumanmu, tergantung dari sikapmu di hari-hari mendatang. Kalau diadakan Sidang Kerajaan untuk mengadili Pangeran In Te kelak, kau harus memihak Hong-siang dan memberatkan, Pangeran In Te di depan sidang. Setelah itu, aku akan memohonkan ampun untukmu."
Kembali Thia Kong-kong menyembah-nyembah sampai jidatnya menyentuh lantai berulang kali, "Aku berjanji akan berbuat demikian. Aku berbuat seperti ini karena terpaksa, aku mohon perlindungan Cong-koan."
Hap To tertawa puas mendengar "Janji Kersajama” Thia Kong-kong itu, lebih puas lagi kalau membayangkan Kaisar Yong Ceng akan puas juga mendengar kesaksian Thia Kong-kong kelak. Kali ini Pangeran In Te pasti takkan lolos dari golok algojo.
Pikirnya, "Dasar orang kebiri, biar memiliki ilmu silat bagaimanapun lihainya, tetap berwatak penakut seperti perempuan, sebab hakekatnya mereka hanyalah manusia setengah lelaki setengah perempuan. Nanti setelah dia bicara di persidangan untuk memberatkan In Te, aku akan memohonkan keringanan kepada Hong-siang agar dia diberi kematian tanpa rasa sakit sedikitpun. Hem."
Sementara itu, sambil berlutut, diam-diam Thia Kong-kong melirik ke atas surat Pangeran In Te yang terletak di meja di hadapan Hap To. Sekilas ia tergoda untuk menerkam surat dan merobek-robeknya, dirinya mati pun tidak apa-apa asal Pangeran In Te selamat. Namun akhirnya ia sadar, keadaan tak memungkinkan. Jaraknya dengan meja itu dan ada belasan langkah, tak mungkin menyeberangi jarak itu dengan satu gebrakan saja. Lagipula, Hap To bukanlah seorang berilmu silat rendah, dialah komandan dari regu algojo Kaisar Yong Ceng.
Kemudian, Hap To memerintah kepada anak-buahnya, "Bawa Thia Kong-kong ke tempatnya yang lama, serambi timur Jun-hoa-kiong, lindungi dan layani baik-baik agar beliau kerasan di sana."
Sudah tentu Thia Kong-kong tahu, itulah ungkapan yang diperhalus dari "Jangan sampai kabur". Diiringi delapan orng Hiat-ti-cu, Thia Kong-kong diantar ke serambi timur Jun-hoa-kiong. Wilayah istana memang luas. Ada sebagian yang ditempati kaum Ang-ih-kau, sebagian lainnya ditempati Kim Seng Pa dan kelompok pengawal seragam ungu dan lain-lainnya.
Dengan menempatkan kelompok-kelompok pendukungnya di istana, Kaisar Yong Ceng berusaha membentengi keselamatan dirinya. Yang di luar perhitungan, kemudian masing- masing kelompok mulai saling bersaing karena merasa "menguasa." bagian istana yang menjadi “wilayah" mereka. Persaingan itu mula-mula terselubung, namun makin lama makin kasar.
Kalau dua kelompok yang berbeda seragamnya berpapasan, mereka bukan saling menyapa dengan akrab, melainkan saling melotot, menyindir atau mengepalkan tinju. Perkelahian dilingkungan istana memang belum sampai terjadi semuanya masih sungkan kepada Kaisar, namun kalau hanya adu jotos di luar istana, sudah terlalu sering. Misalnya di warung arak atau di tempat judi.
Yong Ceng tahu hal itu, dan sering memerintahkan agar pengikut-pengikutnya rukun. Tapi yang diperintah hanya berjanji untuk rukun kalau di hadapan Kaisar, dan di luar istana mereka tetap saja cakar-cakaran. Yong Ceng kesal, tapi tidak berani menghukum terlampau keras, khawatir mereka akan ber balik menjadi musuh-musuhnya. Kini Yong Ceng seolah duduk di atas singgasana yang banyak kutu-busuknya yang kelaparan, membuat dirinya gelisah. Tahta ternyata tidak seempuk yang diibayangkan dulu, sehingga dulu ia nekad merebutnya dengan menghalalkan segala cara.
Ketika para Hiat-ti-cu yang mengawal Thia Kong-kong lewat di sebuah jalan sempit yang diapit pohon-pohon bunga, dari arah depan datang pula sekelompok pengawal berjubah ungu. Kedua pihak akan berpapasan, namun kelihatannya tidak satu pihakpun bersedia minggir. Mereka lebih suka bertabrakan daripada "menyenangkan hati" yang lainnya.
Melihat di antara pengawal-pengawal jubah ungu itu terdapat Hui-kiam-eng (satria pedang terbang) Teng Jiu yang telah mengangkat sumpah dengan Pangeran In Te, tiba-tiba timbul semacam pikiran Thia Kong kong untuk berbuat sesuatu. Ketika kedua rombongan sudah berpapasan, Thia Kong kong pura-pura kakinya tersandung sehingga terhuyung menubruk Teng Jiu. Sambil pura-pura berpegangan tubuh Teng Jiu ia berbisik, "Suratnya disimpan Hap To...."
Teng Jiu menangkap tubuh Thia Kong-kong, lalu sambil membentak pura-pura marah, "Tua bangka, di mana kau taruh matamu!?" dan didorongnya tubuh Thia Kong-kong keras-keras.
Tubuh Thia Kong-kong menubruk seorang Hiat-ti-cu sampai terhuyung-huyung, terjengkang dan kepalanya menyusup di rumpun bunga penghias taman. Itu sudah cukup untuk mengobarkan orang-orang dari kedua kelompok yang sudah lama saling membenci itu.
Seorang Hiat-ti-cu bermuka berewokan segera membentak, "He, kalian mau cari gara-gara?!"
Seorang pengawal jubah ungu yang bertubuh kurus segera balas membentak dengan tidak kalah garangnya, "Siapa cari gara-gara? Temanmu yang tidak becus, terbentur seorang thai-kam tua saja sampai roboh!"
Di kalangan istana, memang Thia Kong-kong selama ini hanya dikenal sebagai seorang thai-kam tua yang lemah. Hanya kelompok Hiat-ti-cu yang sudah tahu bahwa Jhia Kong-kong bukan orang lemah, buktinya, untuk menangkapnya para Hiat-ti-cu harus kehilangan tiga orang rekan yang tewas.
Kedua kelompok itupun saling mencaci. Para Hiat-ti-cu memaki para pengawal jubah ungu tidak becus, sampai Kaisar hampir dicelakai Ji Han Lim tempo hari. Para pengawal jubah ungu membalas memaki kaum Hiat-ti-cu sebagai "penjilat para pendeta Ang-ih-kau" yang memang menjadi pelatih para Hiat-ti-cu itu.
Kedua kelompok berpisah, dengan membawa kebencian di hati masing-masing. Didalam istana mereka tidak berani berkelahi, tapi masing-masing berjanji dalam hati, begitu sampai di luar istana, mereka akan mematahkan hidung atau merontokkan gigi saingan masing-masing.
Sementara itu, Teng Jiu diam-diam berpikir bahwa pertengkaran antara kedua kelompok itu bisa dimanfaatkan untuk menyelamatkan Pangeran In Te yang terancam setelah tertangkapnya Thia Kong-kong beserta suratnya untuk Ketua Hwe-liong-pang itu. Tiba di bangsalnya sendiri, Teng Jiu segera menemui dua kakak seperguruannya, Ho Se Liang dan Au Yang Kong. Diceritakannya tentang bisikan Thia Kong-kong serta pertengkaran antara ke lompok Hiat-ti-cu dan kelompok jubah ungu.
"Apa gunanya kau ceritakan itu, Sam Su-te (adik seperguruan ketiga)?" tanya Au Yang Kong sambil memegangi kepalanya yang pusing karena memikirkan hal tertangkapnya Thia Kong-kong.
"Ji Su-heng, kita harus mendapatkan kembali surat Pangeran In Te itu untuk dimusnahkan, namun kediaman Hap To tentu dijaga ketat oleh kaum Hiat-ti-cu dan kita berlima takkan dapat menerobosnya."
Teng Jiu menyebut "kita berlima", sebab selain mereka bertiga, sudah ketambahan dua jagoan jubah ungu lainnya yang diam-diam menyatakan bersedia meninggalkan dukungan terhadap Yong Ceng dan mendukung In Te. Kedua tenaga tambahan itu juga orang-orang yang kecewa, sebab Yong Ceng selalu menunda-nunda melaksanakan janjinya untuk meng angkat martabat orang Han sejajar dengan orang Manchu.
Sementara itu, Teng Jiu berkata lebih lanjut, "Perselisihan antara Hiat-ti-cu dan kelompok jubah ungu kita harus dikobarkan supaya terjadi kerusuhan. Kalau perlu Kim Cong-koan Toh Hucong-koan harus dihasut pula supaya tambah seru. Di saat itulah bisa masuk ke kediaman Hap To untuk mengambil surat Pangeran In Te atau memusnahkannya sekalian."
Rasa pusing di kepala Au Yang Kong mendadak lenyap, terdorong pergi oleh semangat yang berkobar. "Bagus, bagus. Kita laksanakan secepatnya, karena dakwaan terhadap Pangeran In Te pasti akan segera dilancarkan. Aku dengar, bangsal Leng-goat-kiong tempat kediaman In Te sudah dikurung rapat, Pangeran tidak diperkenankan melangkah keluar biarpun hanya selangkah. Resminya, ia sudah ditahan."
Ketiganya lalu berunding untuk membagi tugas. Ho Se Liang dan Teng Jiu bertugas "membakar" kemarahan Kim Seng Pa, sedangkan Au Yang Kong dan dua teman baru itu akan menghasut sesama pengawal jubah ungu agar membuat gara-gara dengan Hiat-ti-cu.
"Tugasku tidak sulit," kata Au Yang Kong sambil tertawa. "Semudah melemparkan sepercik api ke tengah kubangan minyak. Ni Ceng-hwe baru saja rontok tiga buah gigi depannya karena berkelahi dengan beberapa Hiat-ti-cu di warung arak dekat lapangan Thian an-bun, begitu pula...."
"Sudahlah, aku percaya. Nah, cepatlah kita bekerja."
Merekapun berpisahan. Lebih dulu Au Yang Kong mencari dua sekutu barunya, seorang jagoan aliran Butong- pai yang bernama Siau Ting Peng dan berjulukan Leng-sim-kiam (Pedang Hati Dingin). Satunya adalah jagoan aliran Ko-san- pai, bernama Ciu Hong Siau dan berjulukan Tiat-cui-yan (Walet Berparuh Besi). Mereka berunding, dan kedua sekutu baru itupun setuju, dan berpencarlah mereka.
Au Yang Kong langsung melangkah ke bangsal Bwe-hoa-kiong, tempat para jagoan jubah ungu yang sedang tidak bertugas biasa berkumpul-kumpul. Minum arak diselingi percakapan jorok. Sebagian lagi dari pengawal jubah ungu, biasa berlatih di belakang bangsal untuk meningkatkan ilmu silat mereka, agar cepat pula naik pangkat.
Sebagai seorang anggota pengawal jubah-ungu pula, Au Yang Kong dapat langsung bergabung dengan mereka. Sekilas diliriknya Ni Ceng-hwe yang duduk merenung di pojokan, sedang "berkabung” karena perpisahan dengan tiga buah gigi dalam mulutnya. Diam-diam Au Yang Kong tertawa dalam hati.
Begitu duduk bersama, Au Yang Kong langsung menunjukkan muka yang lebih murung dari Ni Ceng-hwe, bahkan langsung menggebrak meja, lalu menuang kan tiga cawan besar arak berturut-turut untuk ditenggaknya habis. Sikapnya seperti seorang yang sedang sangat jengkel.
Kelakuan Au Yang Kong langsung menarik perhatian para pengawal jubah ungu. Selama ini mereka tahu bahwa Au Yang Kong adalah penganut aliran "anti arak", tidak jarang bersikap seperti seorang pendeta tua yang menasehati teman-temannya agar jangan terlalu banyak minum. Tapi kini dia malah minum tiga cawan besar, bahkan sambil menggebrak meja pula.
"Eh, Au Yang Kong, apakah kau kesurupan?" tanya seorang pengawal jubah ungu yang tinggi besar dan bermuka hitam. Namanya Utti Goan, bekas bajak laut, tenaganya sanggup diadu dengan sekor kerbau jantan.
Sebelum menjawab, Au Yang Kong tambah dua cawan lagi dan memukul meja sekali lagi. Kemudian berkata, "Kawan-kawan, apa yang kalian lakukan di sini? Makan minum dan bergurau seenaknya, sementara anjing-anjing Hiat-ti-cu itu sedang menghina dan merendahkan kita? Apakah kalian semua sudah menjadi penakut?"
Tempat yang ribut itu seketika menjadi sunyi mendengar suara Au Yang Kong. Sat Siau Kun yang bertubuh pendek kecil dan tak henti-hentinya mengisap tembakau, namun berkedudukan nomor tiga dalam kelompok pengawal jubah ungu, lalu memecah kesunyian dengan suaranya yang serak, "Bicara yang jelas, Au Yang Kong, kenapa kau mendadak seperti orang mabuk begitu?"
Au Yang Kong mulai dengan hasutannya, "Sat Sam-ko dan kawan-kawan sekalian, pikirlah dengan baik. Adilkah kalau kita sepenuhnya dipersalahkan atas menyelundupnya si bandit Ji Han Lim ke kelompok kita? Adilkah kalau kita dipersalahkan sepenuhnya karena Ji Han Lim hampir membunuh Hong-siang?"
Sesaat ruangan jadi sunyi, dan kembali hanya Sat Siau Kun yang menjawab, "Memang kita teledor, sehingga seorang pembunuh berhasil menyusup di antara kita. Akibatnya, kepercayaan Hong siang kepada kita jadi merosot. Tetapi, siapa mengira Ji Han Lim yang telah tega mencabuki teman-temannya sendiridari Hwe-Iiong-pang, bahkan membunuh adik kandungnya sendiri, tiba-tiba saja hendak membunuh Hong-siang? Siapa bisa memperhitungkan sampai kesitu? Siapapun akan terkecoh, pasti, bukan hanya kita. Siapapun tidak berhak sepenuhnya menyalahkan kita atas "kejadian itu! Siapa tahu dalam tubuh Hiat-ti-cu atau Ang-ih-kau atau Gi-cian Si-wi juga ada pembunuh yang belum terbuka kedoknya?"
"Benar! Benar! Kita tidak sudi dipersalahkan!" para jagoan jubah ungu itu riuh rendah memenuhi ruangan dengan suara mereka.
Mereka punya latar-belakang atau riwayat hidup yang berbeda-beda, ada pendekar, ada bajingan, dalam keadaan biasa tidak mungkin sekompak itu. Namun setelah sekian tahun mengalami suka-duka bersama dalam satu kelompok, ada juga rasa setia-kawan mereka, biarpun tebal tipisnya rasa setia kawan itupun tergantung pada masing-masing pribadi. Kini, mereka disatukan oleh kebencian bersama terhadap kaum Hiat-ti-cu, saingan mereka.
Au Yang Kong tertawa dalam hati. Biasanya dia dan Sat Siau Kun banyak hal tidak sependapat, sebab Sat Siau Kun adalah orang Manchu yang ingin mempertahankan keunggulan kedudukan sukunya di atas suku-suku lainnya, sedangkan Au Yang Kong adalah orang Han yang ingin memperjuangkan martabat jutaan orang Han. Tetapi kini, tanpa sadar Sat Siau Kun telah membantu memperlancar rencana Au Yang Kong.
Suara Au Yang Kong kemudian mengatasi suara hiruk-pikuk itu, "Kita tidak salah! Kita sudah membayar kesalahan kita dengan mempertaruhkan nyawa untuk membasmi orang-orang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai yang menerobos masuk istana ini!"
"Au Yang Kong benar!" Utti Goan berteriak sambil melompat ke atas meja dan berdiri di situ, sehingga ia kelihatan seperti sebuah menara yang kokoh, atau seekor gorila yang sedang marah. "Aku bukan saja sudah membunuh beberapa orang Jit-goat-pang dan Pek-li-an-pai, bahkan juga mencincang tubuh memeka untuk menunjukkan kesetiaanku kepada Hong-siang!"
"Kitalah yang paling berjasa memukul mundur orang Jit-goat-pang dan Pek lian-pai!" Su-ma Hek-long ikut memanas kan situasi. "Kita yang bertempur paling depan! Dan bangsat-bangsat Hiat-ti-cu itu hanya kebagian tugas untuk melindungi perempuan dan anak-anak, berarti tugas kita jauh lebih berharga dari mereka! Betul atau tidak, kawan-kawan?"
"Benar!" sahut para pengawal jubah ungu itu gemuruh. Lalu berhamburanlah caci-maki ke alamat Hiat-ti-cu. "Mereka itu orang-orang banci, persis dengan pendeta-pendeta Ang-ih-kau yang takut kepada arak dan perempuan!"
“Mereka hanya berani membunuh jarak jauh dengan kantong-kantong mereka!" Wan Yen Coan berteriak pula. "Sedang kita selalu menghadapi musuh dengan berhadapan, mengandalkan silat kita secara jujur!"
"Mereka mengeroyokku sehingga gigi depanku patah semua!" Ni Ceng-hwe memanaskan suasana dari pojok ruangan.
"Dan mereka itu, baru berhasil menangkap seorang thai-kam tua macam Thia Kong-kong saja sudah bangganya bukan main. Mereka merasa lebih berkuasa diistana ini daripada Hong-siang sendiri. Sungguh menggelikan.!“
Kembali ruangan itu penuh caci-maki. Bukan hanya para Hiat-ti-cu yang dikutuk! Bahkan ibu dan nenek moyang mereka juga ikut kena kutukan yang ngeri, tak pernah terbayangkan oleh para dukun ilmu hitam di manapun berada.
Dalam suasana demikian, malah Au Yang Kong cuma kebagian sedikit waktu untuk bicara. Namun ketika ada kesempatan diapun melompat ke atas meja dan berseru, "Mulai sekarang, kita tidak mau mengalah lagi! Kalau mereka bertingkah, kita patahkan hidung mereka! Kalau mereka mengadu kepada Hong-siang, lalu Hong-siang hendak menghukum kita, kita harus setia-kawan, biar Hong-siang menghukum kita seluruhnya!"
"Setuju! Setuju!"
Demikianlah Au Yang Kong berhasil membakar hati mereka. Memang gampang. Sejak para pengawal jubah ungu kecewa karena tidak lagi mendapat kepercayaan disisi Kaisar, dicampur pengaruh arak, merekapun bagaikan dinamit-dinamit yang tinggal disulut sumbunya. Dan bagaimana dengan pemimpin mereka, Kim Seng Pa?
Ketika Ho Se Liang dan Teng Jiu masuk ke tempat tinggal Kim Seng Pa un tuk menghadap, dilihatnya sang komandan tengah duduk bertopang dagu dengan wajah yang keruh. Di atas mejanya bergelimpangan cawan-cawan arak yang sudah kosong, karena sebagian isinya sudah pindah ke dalam perut, dan sebagian lagi mengalir liar di permukaan meja dan lantai.
Ho Se Liang dan Teng Jiu sejenak bertukar pandangan, agaknya usaha merekapun akan lancar. Kalau otaknya sedang bersih dari pengaruh arak, Kim Seng Pa adalah seorang yang berpikiran cermat. Tapi kalau sedang banyak minum arak, untuk membangkitkan kemarahannya segampang memasang mercon renteng pantat seekor kerbau.
“Kami menghadap Cong-koan!” Kata Ho Se Liang dan Teng Jiu sambil berlutut.
"Ada apa?" tanya Kim Seng Pa sambiI meraih poci arak yang langsung dituangkan ke mulutnya, namun arak yang keluar tinggal beberapa tetes, Kim Seng Pa langsung membanting poci itu hingga berantakan. "Kalian Ho Se Liang dan Teng Jiu?" ternyata Kim Seng Pa masih juga mengenali kedua anak buahnya itu.
"Benar, Cong-koan, kami akan melaporkan tentang....."
"Laporannya nanti saja. Salah seorang dari kalian tolong pergi ke dapur untuk mengambilkan arak buatku."
Ho Se Liang menyikut Teng Jiu untuk menjalankan perintah itu. Malah kebetulan, pikir mereka. Makin banyak arak, makin baik, makin lancar.
"Laporan apa?" tanya Kim Seng Pa sambil menggeliat.
Mulailah Ho Se Liang menyebut-nyebut tentang para Hiat-ti-cu yang "semakin menghina" karena semakin disayangi oleh Kaisar, dan kata-kata hasutan lainnya. Ho Se Liang tahu, yang paling dibanggakan oleh Kim Seng Pa adalah kemenangannya atas Pak Kiong Liong, sedang yang paling mengecewakannya ialah semakin jauhnya ia dari Kaisar sejak peristiwa Ji Han Lim hampir membunuh Kaisar. Padahal ia punya cita-cita ingin menggantikan kedudukan Ni Keng Giau sebagai Panglima Tertinggi, namun sekarang cita-citanya itu rasanya makin jauh. Ho Se Liang tahu itu, sehingga Kim Seng Pa sering memabukkan dirinya dengan arak, Kini Ho Se Liang menyebut nyebut urusan yang peka itu.
Laporan Ho Se Liang sudah cukup membuat hati Kim Seng Pa panas, apalagi kemudian muncul pula Siau Ting Peng dan Ciu Hong Siau, seperti anak-anak menghadap ayahnya untuk mengadukan teman-teman mereka yang nakal. Kedua orang itu mengaku telah “mendengar sendiri" bagaimana orang-orang Hiat-ti-cu berkata bahwa mereka akan “mengusulkan agar kelompok jubah ungu dibubarkan saja, 'karena sudah tidak bisa dipercaya"
Keruan Kim Seng Pa makin terbakar hatinya, tanpa mengetahui bahwa itu sebenarnya karangan Siau Ting Peng dan Ciu Hong Siau sendiri. la menggebrak meja dengan muka merah padam, dan menggeram, "Orang she Hap, baru mendirikan sedikit pahala bagi Hong-siang saja kau sudah mencoba menari di atas kepalaku?"
Menyusul Teng Jiu datang membawakan arak yang langsung ditenggak habis oleh Kim Seng Pa. Muncul pula Au Yang Kong dan Su-ma Hek-long yang melaporkan bahwa di taman bunga telah terjadi perkelahian antara "orang-orang kita" dengan kawanan Hiat-ti-cu yang katanya lebih dulu menghina dan meludahi.
Kim Seng Pa tak tahan lagi. la bangkit lalu melangkah keluar dengan langkah besar. Kepada Ho Se Liang sekalian, ia berkata, "Ikuti aku. Kita hajar orang-orang congkak itu. Hong-siang pasti tidak akan menghukum kita, sebab kita telah berjasa jauh lebih besar dari mereka."
Memang dihalaman istana telah terjadi perkelahian massal. Berpuluh-puluh pengawal jubah ungu baku hantam melawan berpuluh-puluh anggota Hiat-ti-cu. Entah siapa yang mulai, kurang jelas. Namun perkelahian semakin menghebat, sebab kawan-kawan dari kedua belah pihak terus berdatangan untuk langsung ikut berkelahi. Tidak perlu tanya tanya lagi siapa yang benar dan siapa yang salah, demi "setia kawan".
Mula-mula perkelahian hanya menggunakan tangan dan kaki. Namun ketika salah satu mulai menghunus senjata, yang lain ikut-ikutan menghunus senjata pula. Perkelahian juga menjalar ke bagian-bagian istana yang lain. Orang-orang Hiat ti-cu berteriak, "Anak buah Kim Seng Pa memberontak!"
Sedangkan para pengawal jubah ungu berseru, "Kaum Hiat-ti-cu hendak menyaingi kekuasaan Kaisar!"
Sudah sulit untuk ditelusuri siapa yang menjadi biang kerusuhan, kedua kelompok yang berhantam sudah sama-sama panas darahnya, dan sama-sama merasa sedang "membela Kaisar". Begitulah, huru-hara orang-orang Jit-goat-pang dan Pek-lian-pai belum lagi terhapus dari ingatan, kini sudah muncul huru-hara baru, malah antara pendukung-pendukung Kaisar sendiri. Suasana tambah panas ketika para pendeta Ang-ih-kau terjun membela kelompok Hiat-ti-cu.
Ketika Hap To, si komandan Hiat-ti-cu dilapori tentang keributan itu, diapun menjadi marah, dan merasa patut bertindak sebab ia merasa kini lebih dekat kepada Kaisar dibandingkan Kim Seng Pa. Sambil memimpin sejumlah anak buahnya, ia berkata, "Si tua bangka Kim Seng Pa itu rupanya iri karena kita sekarang lebih dipercayai oleh Hong siang. Ayo kita hajar.mereka!"
Berangkatlah mereka ke "garis depan" sambil membawa kantong-kantong kulit terbang yang bisa mengambil kepala itu. Ketika Hap To pergi itulah maka kediamannya hanya dijaga oleh beberapa orang Hiat-ti-cu. Saat itu pula Heng San Sam kiam serta Siau Ting Peng dan Ciu Hong Siau masuk dengan mudah, setelah merobohkan para Hiat-ti-cu, lalu masuk untuk menemukan surat Pangeran In Te. Setelah surat diketemukan, langsung dibakar di tempat itu juga dan tinggal abunya.
"Semua yang kita lakukan ini hanya untuk tujuan ini?" tanya Siau Ting Peng. "Hanya untuk membakar secarik kertas?"
Ho Se Liang menjawab, "Benar, namun berarti menyelamatkan Pangeran In Te dari dakwaan, dan berarti pula menyelamatkan peluang Bangsa Han untuk mendapatkan martabatnya tanpa kekerasan. Kalau Pangeran In Te mati, martabat Bangsa Han berarti harus diperjuangkan dengan pemberontakan berdarah model Jit-goat-pang. Itu sama-sama tidak kita kehendaki bukan?"
Ciu Hong Siau mengangguk-angguk. "Benar, pemberontakan berdarah, bagaimanapun luhur dan suci semboyannya, tetapi ujudnya tetap perang yang menghancurkan kehidupan banyak orang tak bersalah."
"Ayo kita cepat keluar, jangan sampai Hap To kembali dan melihat kita."
Sementara itu, pertempuran di taman-taman semakin sengit. Beberapa korban sudah jatuh dari kedua belah pihak, membuat teman-teman si korban semakin bernafsu untuk membalaskan kematian mereka. Kantong-kantong kulit para Hiat-ti-cu juga mulai melayang-layang di udara, dan sudah "mencaplok" beberapa butir kepala yang pemiliknya mengalami kelengahan. Namun senjata-senjata para pengawal jubah ungu juga sudah makan korban banyak.
Heng-san-sam-kiam dan Siau Ting Peng serta Ciu Hong Siau segera ikut terjun dalam kemelut, supaya tidak dicurigai. Mereka menyesal juga bahwa korban-korban jiwa berjatuhan, tapi apa boleh buat, setiap terjadi pergeseran di puncak kekuasaan tentu harus minta korban. Heng-san-sam-kiam menghibur diri sendiri, setidak-tidaknya mereka lebih "berperikemanusiaan" disbanding kaum Jit-goat-pang yang menyodorkan ribuan nyawa untuk menjadi. korban ambisi pemimpin mereka. Sedang Heng-san-sam-kiam menganggap korban kali itu "tidak seberapa" untuk tebusan sebuah cita-cita yang mahal.
Dalam politik, cara yang haram dan memang kabur sekali batasnya. Kadang-kadang suara kemanusiaan mesti dibungkam, ditimbuni sejuta alasan untuk membenarkan diri sendiri. Dalam mabuknya, Kim Seng Pa telah membunuh beberapa orang Hiat-ti-cu. Hap To marah melihat itu, dengan senjatanya, sebatang golok Koan-to, ia menerjang ke hadapan Kim Seng Pa. la tahu betapa lihainya Kim Seng Pa, namun ia harus melawannya sebab mengandalkan "jurus" terakhirnya, yaitu "mengadu kepada Kaisar".
"Kim Seng Pa, kenapa kau tidak menertibkan anak-buahmu yang mabuk itu, malah ikut-ikutan bertindak gila?" bentaknya. "Atau kau sengaja menyuruh anak-buahmu berbuat seperti ini, untuk menunjukkan kesan hebat, padahal kalian tidak becus dan sudah tidak dipercayai lagi oleh Hong-siang?"
Keruan Kim Seng Pa tersinggung, apalagi pengaruh arak belum bersih dari kepalanya. "Hanya ingin kutunjukkan kepada Hong-siang bahwa kami lebih hebat dari kalian yang congkak!"
"Oh, jadi kau iri lalu mengacau?" Hap To semakin marah pula. Goloknya sudah siap-siap dibacokkan ke arah Kim Seng Pa.
Tetapi sebelum kedua orang itu bertempur, muncullah di arena berdarah itu ratusan perajurit Lwe-teng Wi-su (Pengawal Istana) serta Gi-oian Si-wi (Pengawal Kaisar) yang membawa bedil-bedil mereka. Dalam bentuk setengah lingkaran, mereka langsung menghadap ke pertempuran dan menodongkan bedil-bedil mereka.
Be Kun Liong si komandan Gi-cian Si-wi langsung berseru menggelegar, "Berhenti! Berhenti semuanya!"
Mula-mula seruan Be Kun Liong tidak digubris, malah Hap To menjawab, "Jangan ikut campur, Be Cong-koan. Aku akan membabat habis orang-orang berhati dengki yang sudah tak berguna dan hanya mengotori istana ini!"
"Kau dengar sendiri, Be Cong-koan," Kim Seng Pa juga berkata, "Mereka terlalu congkak dan menghina kami, padahal mereka baru bisa...."
"Diam!" bentak Be Kun Liong. "Kalian kira istana ini adalah warung arak atau tempat judi dimana para pemabuk bisa berkelahi sebebas-bebasnya?"
"Kau yang tutup mulut, Be Kun Liong!" Hap To balas membentak karena merasa sedang disayangi Kaisar. "Atau kau mau ikut berkelahi sekalian?"
Disaat ketegangan memuncak itulah terdengar seruan, "Hong-siang datang!"
Bagaimanapun kalapnya orang-orang yang berkelahi itu, ketika mendengar kedatangan Kaisar, mereka tidak berani meneruskan pertempuran dan berlompatan mundur. Dari sebuah pintu lengkung pembatas taman, Kaisar muncul diapit oleh Liong Ke Toh dan Ni Keng Giau. Semua orang cepat menyarungkan senjata masing-masing, lalu berlutut sambil berseru, biarpun kurang kompak, "Ban-swe! Ban-swe!"
Mata Kaisar Yong Ceng menyala marah ketika melihat taman yang porak-poranda dan belasan mayat yang bergeletakan. Dibiarkannya mereka semua tetap berlutut, lalu berkatalah Kaisar, "Wah hebat, kalian berlatih terlalu bersemangat ya? Kalau, kalian sudah tidak menghormati aku lagi, kalian sekarang boleh bunuh aku sekalian!"
Tubuh Kim Seng Pa dan Hap To sama-sama gemetar dalam berlututnya, bukan karena merasa bersalah, melainkan takut kalau Kaisar menjatuhkan hukuman.
"Kim Seng Pa! Hap To!" tiba-tiba Kaisar memanggil kedua komandan yang anak buah masing-masing baru saja berkelahi itu.
"Hamba Tuanku!" sahut mereka serempak sambil maju.
Sementara itu, Paman Yong Ceng, Liong Ke Toh, mendekatkan mulut ke telinga Yong Ceng untuk berbisik, "Tuanku, sebaiknya jangan bersikap berat sebelah kepada mereka berdua, supaya hubungan antar mereka tidak semakin gawat dan membahayakan kekuasaan Tuanku sendiri."
Yong Ceng mengangguk kecil. Biarpun kemarahan hampir membuat dadanya meledak, namun nasehat pamannya itu masih bisa diterimanya juga. Sementara itu, tiba di hadapan Yong Ceng, Hap 'To merasa lebih berani dari Kim Seng Pa untuk bicara lebih dulu, "Tuanku, anak-buah Kim Cong-koan lebih dulu mencari gara-gara terhadap anak-buah hambah karena mereka iri hati. Kim Cong-koan tidak mencegah mereka, malah ikut bertempur dan...."
"Itu tidak benar, Tuanku, sesungguhnya...."
"Diam kalian!" bentak Yong Ceng. Tiba-tiba dua tinjunya bergerak berturut-turut, dan wajah Kim Seng Pa maupun Hap To telah di jotosnya sehingga hidung mereka berdarah. Benar-benar tidak berat sebelah seperti anjuran Liong Ke Toh.
Sudah tentu Kim Seng Pa dan Hap To sebenarnya mampu untuk mengelak atau menangkis, tapi mereka tidak berani melakukan itu. Akibatnya, mereka harus merasakan bagaimana bogem mentah Kaisar mendarat di muka mereka sampai kepala mereka pusing.
Setelah melampiaskan sebagian kemarahannya, Yong Ceng agak tenang sedikit. "Dengar baik-baik, kalian harus mampu menertibkan anak-buah kalian masing-masing. Kalau aku dengar laporan bahwa kalian bertengkar lagi, bahkan berkelahi, jangan dikira aku tidak tega untuk mengerahkan pasukan lain guna mendepak kalian semua dari istana ini. Paham?"
"Hamba paham, Tuanku," kali ini suara Hap To dan Kim Seng Pa merupakan paduan suara yang kompak.
Sebenarnya kekecewaan dan kemarahan Yong Ceng belum sepenuhnya terlampias, namun ia tidak berani berbuat lebih dari itu, khawatir kalau mereka malah mengamuk, la juga tidak berani mengandalkan Ni Keng Giau yang belakangan ini semakin "berani" kepadanya. Tiba-tiba Kaisar Yong Ceng merasa bahwa kedudukannya saat ini mirip betul dengan telur di ujung tanduk.
la menarik napas dengan perasaan berat. "Bubarkan anak buah kalian," perintahnya. "Ingat, kalau kalian masih berani bertindak di luar perintah, kutumpas tanpa ampun. Peringatan ini bukan cuma buat kalian berdua, tapi buat semuanya!"
Sambil berkata demikian, entah di sengaja entah tidak, Yong Ceng juga menoleh ke arah Ni Keng Giau, yang belum lama ini juga berani membawa pasukannya masuk ke istana tanpa perintah Kaisar. Namun yang menyahut "hamba Tuanku" hanyalah Kim Seng Pa dan Hap To. Sedangkan wajah Ni Keng Giau tenang-tenang saja, benar-benar seraut "wajah tak berdosa" sedikitpun.
Dengan mendongkol, Yong Ceng tinggalkan tempat itu. Kim Seng Pa dan Hap To kemudian pergi bersama anak-buah masing-masing, sambil mengangkut tubuh-tubuh yang mampus atau babak-belur. Beberapa anggota pengawal jubah ungu minta kepada beberapa Hiat-ti-cu agar mengembalikan batok batok kepala beberapa rekan mereka yang tadi kepalanya disambar Hiat-ti-cu, supaya dapat dipasangkan ketubuhnya masing-masing. Mereka masih saling melotot, namun tidak berani berkelahi lagi. Apalagi perajurit perajurit Lwe-teng Wi-su dan Gi-cian Si wi masih mengawasi dengan moncong-moncong bedil yang tertodong.
Hap To segera kembali ke tempatnya, namun alangkah terkejutnya ketika melihat surat Pangeran In Te telah jadi abu di atas mejanya. Biarpun agak marah, ia masih punya satu harapan, "Tidak apa-apa, masih ada Thia Kong-kong yang sudah berjanji akan, menjadi saksi yang memberatkan Pangeran In Te kelak...." pikirnya.
Namun harapan terakhirnya itupun lenyap, ketika seorang anak-buahnya melaporkan bahwa Thia Kong-kong telah membunuh diri di kamarnya, dengan cara membenturkan kepalanya sendiri kedinding. Lenyap pula harapan Hap To untuk membantu Kaisar mendakwa Pangeran In Te, suatu jasa yang sebenarnya bukan main besarnya.
"Kim Seng Pa... akan tiba saatnya aku harus mengunyah kepalamu yang ubanan...." geramnya sengit. Sekilas timbul kecurigaan bahwa semua itu terjadi sebagai "hasil karya" para pengawal jubah ungu untuk mencegah jangan sampai ia berjasa kepada Kaisar. Timbul niatnya untuk mengadukan Kim Seng Pa, tetapi kalau hanya mengadu tanpa disertai bukti-bukti, jangan-jangan oleh Yong Ceng malah dianggap cari gara-gara lebih dulu.
la juga tidak mungkin mendakwa Pangeran In Te hanya dengan bukti segenggam abu kertas, dan saksi sesosok mayat yang pecah kepalanya. Akhirnya Hap To hanya bisa memukuli meja dan menendangi kursi di tempat tinggalnya sendiri. Beberapa hari setelah keributan itu, Yong Ceng masih juga suka merenung, mengertak gigi, memukul meja, berjalan hilir-mudik dengan gelisah, dan akhirnya hanya bisa menghempaskan diri di kursi sambil menarik napas dengan putus asa.
Di mejanya, bertumpuk-tumpuk surat laporan yang belum disentuhnya sama sekali. Tentang wilayah Jing-hai yang mulai bergolak oleh pemberontakan pengikut-pengikut Thai-cin-kau dan Hwe kau. Tentang banjir yang meluap di Ou-lam dan merusak panenan. Tentang Kekaisaran Rusia yang terus menambahkan tentaranya di seberang Sungai Amur.
Memang tahun 1689, antara mendiang Kaisar Khong Hi dan Tsar Rusia telah ditanda tangani perjanjian untuk tidak saling melanggar perbatasan kedua negara, tetapi kalau salah satu pihak sudah merasa kuat untuk menggilas satu sama lain, apa artinya secarik kertas perjanjian? Tidak ada laporan-laporan di atas meja itu yang menggembirakan.
Daripada kepalanya pecah, Yong Ceng merasa lebih baik tidak usah membaca dulu laporan laporan itu. Yang memusingkan Yong Ceng ialah pertengkaran di antara pembantu- pembantunya sendiri. Di jaman ayahandanya dulu, juga ada persaingan antar kelompok, tapi tidak sampai sekasar itu, sampai berbunuh-bunuh di lingkungan istana.
Kalau Yong Ceng bertanya kepada Liong Ke Toh, kenapa sampai timbul pertengkaran? Maka Liong Ke Toh menjawab, "Persaingan untuk merebut perhatian Tuanku memang hal biasa." Kalau didesak lagi dengan pertanyaan, kenapa persaingannya sampai sekasar itu? Liong Ke Toh menjawab sambil menyeringai, "Ya, memang keterlaluan," Itu saja.
Kalau yang ditanya Ni Keng Giau, jawabnya lain lagi. Jenderal muda itu malah dengan berapi-api memberi "kuliah" bahwa Hukum Besi yang amat keras harus diterapkan tanpa pandang bulu ke pada segenap lapisan masyarakat, dari Kaisar sampai rakyat jelata. Lalu Ni Keng Giau malah pamer bagaimana pasukan Tiat-ki-kun, bawahannya, patut dibanggakan sebagai pasukan yang paling tertib di seluruh kekaisaran.
Tengah Yong Ceng termenung sendirian, seorang pelayan pribadinya telah berlutut di hadapannya dan melapor. "Ampun Tuanku, Kok-kiu-ong mohon menghadap Tuanku...."
"Suruh pergi tua bangka itu!" teriak Yong Ceng....
Selanjutnya,