Kemelut Tahta Naga I Jilid 23
Karya Stevanus S P
NAMUN percaya atau tidak, ini harus di alaminya. Waktu kedua lawannya menyerang serempak, Pun-khong Hwe-shio tak sepenuhnya berhasil menyelamatkan diri dengan Hui-hun-ki-lo (Mega terbang Naik Turun). Betisnya terkait Tiat-koai sehingga berdarah, namun ia juga berhasil menendang orang itu sampai terpental mundur. Tetapi ujung tombak Lu Kan San menyusul mengenai pundaknya, meski pun yang diincar oleh musuh sebenarnya adalah leher.
"Inikah makna firasatku ketika hendak meninggalkan Siong-san dulu?" pikir Pun-khong Hwe-shio.
Sementara Lu Kan San tak kenal ampun telah menusuk pula, kali ini ia baik-baik mengincar sasarannya dengan cermat. Sambil menyerang, ia membentak pula, "Hari ini kau mampus di tangan Ci-ki Tong-cu, keledai tua!"
Tapi sesosok tubuh melayang dari atas genteng dngan kecepatan kilat, menyelamatkan Pun-khong Hwe-shio. Satu tangannya menebas ketangkai tombak sehingga patah, dan tangan lainnya mendorong Lu Kan-san sampai mencelat mundur.
"He-he... sejak kapan Hap To menjadi Ci-ki Tong-cu?" ejek bayangan, yang menolong Pun-khong Hwe-shio itu.
Lu kan San dengan terkejut membentak, "Kau sia..." Kalimatnya tertelan kembali ke dalam tenggorokan, sebab ia segera mengenali orang itu. "Kau... kau., adalah..."
Ternyata dia cuma Lu Kan San gadungan. la sebenarnya adalah Hap To, si komandan Hiat-ti-cu, yang mengemban tugas dari Yong Ceng untuk mengadu domba Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang, se suai dengan usul Liong Ke Toh. Sedang orang bersenjata Tiat-koai itu bernama Tam Tai Liong, seorang Mongol, wakil komandan Hiat-ti-cu. Dengan gabungan antara dua orang itu, apalagi cuma Pun-khong Hwe-shio, bahkan Pun-bu Hwe-shio atau Ketua Hwe-liong-pang juga tak bisa mengalahkan mereka.
Hap To gentar kepada penolong Pun khong Hwe-shio itu, sebab ia mengenal pendatang baru itu adalah Pak Kiong Liong, jenderal tua yang sudah lama menghilang dari Pak-khia. Sebaliknya Tam Tai Liong yang merupakan orang baru di Pak-khia itu belum kenal siapa Pak Kiong Liong. Berbekal sikap macam itu. Tam Tai Liong bangkit lagi, lalu menerkam dengan Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit), ujung Tiat-koainya yang tajam langsung hendak "membedah" perut Pak Kipng Liong.
"Tam Tai Liong, dialah Pak Kiong Liong!" seru Hap To memperingatkan.
Namun Tam Tai Liong malah menambah tenaganya. Pikirnya, kalau Kim Seng Pa kabarnya bisa mengalahkan Pak Kiong Liong, kenapa dia tidak bisa? Siapa tahu kalau Kaisar mendengar berita kemenangannya, kedudukannya akan ditukar dengan Hap To?
Hanya saja, kali ini ia terlalu gegabah menghitung kekuatan lawannya. Pak Kiong Liong dengan tangkas memiringkan tubuhnya, dua tangannya bergerak sekaligus, tangan kiri mencengkeram lengan, tangan kanan mencengkeram pinggul. Lalu ia memutar tubuh sambil melemparkan Tam Tai Liong lewat belakang pundaknya. Maka terlemparlah Tam Tai Liong tidak tanggung-tanggung, melayang sampai jatuh di atas genteng, lalu merosot turun dalam keadaan babak belur.
Dalam urusan banting-membanting, Tam Tai Liong sebenarnya mahir juga gulat Mongol, namun kali ini ia harus rela mencicipi gulat gaya Manchu yang di sebut Sut-kau. Sebetulnya Tam Tai Liong berilmu tidak lemah, kalau ia tidak gegabah, tentu tidak semudah itu ia di pecundangi.
Sementara itu, dari atas genteng berlompatan pula dua sosok tubuh. Merekalah Tong Lam Hou dan muridnya, Pangeran In Tong, yang siang tadi juga tiba di Yu-pin. Jadi pihak Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai yang bermaksud saling “mengunjungi” itu malahan berpapasan di Yu-pin.
Mengenali Tong Lam Hou, Pun-khong Hwe-shio cepat berseru, "Pang-cu, tolong jelaskan kepada anak buahnya bahwa…”
Sahut Tong Lam Hou, "Mereka bukan anak-buahku, Toa-suhu...."
Sambil berbicara, tubuhnya bergerak cepat sekali mengelilingi arena, merobohkan beberapa anggota Hwe-liong-pang palsu yang sebenarnya adalah anggota-anggota Hiat-ti-cu itu. Sedangkan In Tong mengamuk pula dengan ganas. Ada lawan yang dipecahkan kepalanya, dijebol dadanya atau di cabut tangannya dengan tenaganya yang besar. Keruan pihak musuh jadi gempar melihat keganasannya. Biarpun yang dibunuhi adalah musuh, namun Pun-khong Hwe-shio jadi berkesan kurang baik kepada In Tong.
Sementara Tong Lam Hou juga telah memben tak muridnya, "In Tong, kuasai dirimu...”
"Baik, suhu," sahut In Tong yang menyesal karena kelakuannya telah membuat tidak senang gurunya.
Melihat datangnya Pak Kiong Liong, Tong Lam Hou dan In Tong, pihak Hiat-ti-cu insyaf bahwa mereka kini berada di pihak berbahaya, "Kan-loh-tin" mereka juga mulai berantakan. Hap To segera bersuit nyaring sebagai isyarat untuk mengundurkan diri, la sendiri langsung melompat ke atas genteng, diikuti oleh Tam Tai Liong yang meskipun badannya terasa remuk namun memaksa untuk menyelamatkan diri. Beberapa anggota Hiat-ti-cu juga berhasil menjauhkan diri dari arena, tetapi sebagian besar dari mereka belum lepas dari lawan mereka.
Sambil berbicara, tubuhnya bergerak cepat sekali mengelilingi arena, merobohkan beberapa anggota Hwe-liong-pang palsu yang sebenarnya adalah anggota-anggota Hiat-ti-cu itu. Untuk menolong teman-teman yang masih ketinggalan, Hap To, Tam Tai-Li-ong dan beberapa anak-buah mereka lalu mengeluarkan senjata khas kelompok mereka. Kantung-kantung kulit besar yang di dalamnya ada pisau jepit yang bisa memutuskan leher, yang dikendalikan dengan rantai panjang tipis.
Maka sesaat kemudian, di atas halaman belakang wihara itu melayang-layanglah senjata-senjata maut itu, siap mencaplok batok kepala si apapun yang lengah. Hampir bersamaan, Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong berteriak memperingatkan para pendeta,
“Awas Hiat-ti-cu.!”
Para pendeta Siau-lim-pai dan Go-bi-pai memang belum pernah melihat senjata seaneh itu, belum tahu pula cara-kerjanya senjata itu. Mereka hanya merasakan bahwa senjata aneh itu rupanya amat berbahaya, sebab Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou sendiri nampaknya khawatir.
Ketika sebuah kantung Hiat-ti-cu menyambar kepala Bu-teng Hwe-shio, pendeta itu mengelak sambil menunduk. Namun kantung kulit itu seperti seekor mahluk bernyawa yang tidak jatuh berkat kantung kulit tipis yang menyelubungi bagian luarnya dan berfungsi sebagai parasut itu, dengan pengendalian jarak jauh yang mahir, kantung kulit itu terus mengejar kepala Bu-teng Hwe-shio. Sekilas nampak mulut kantung itu seperti rahang seekor ikan hiu yang penuh gigi tajam, siap mengeremus hancur kepala korbannya.
Cepat Bu-teng Hwe-shio menikamkan pedangnya ke dalam kantung kulit itu, pisau-pisau dalam kantung segera menjepit dan mematahkan pedang Bu-teng Hwe-shio. Tapi ujung pedang Bu-teng Hwe-shio juga berhasil merobek kulit tipis pelapis luar kantung itu, sehingga udaranya bocor dan kantung itu jatuh ke tanah, tak bisa dikendalikan lagi.
Namun rupanya Bu-teng Hwe-shio lengah, dari belakangnya menyambarlah kantung lainnya yang langsung menungkrup kepalanya. Tak terlihat bagaimana muka Bu-teng Hwe-shio, sebab tertutup kantung maut itu, namun kalau melihat gerakan tubuhnya, jelas pendeta itu amat kesakitan. Tapi rasa sakit itu tidak lama, sebab kantung kulit itu terbang lagi meninggalkan tubuh Bu-teng Hwe-shio tetapi membawa serta batok kepaIanya.
Korban Hiat-ti-cu jatuh pula di pihak Siau-lim-pai. Dua pendeta huruf Ci juga menjadi pendeta-pendeta tak berkepala. Cocok dengan namanya, Hiat-ti-cu (Setetes Darah), para korban tidak mengeluarkan banyak darah, hanya sedikit saja.
Jatuhnya korban-korban itu menimbulkan kemurkaan Tong Lam Hou, Pak Ki-ong Liong dan Pun-khong Hwe-shio. Sebelum korban Hiat-ti-cu bertambah, mereka bertiga melompat ke atas untuk menyambar para Hiat-ti-cu yang masih menerbangkan senjata mereka seasyik anak anak bermain layang-layang. Tiga pukulan dahsyat dari tiga tokoh tua yang marah itu segera mengambil korbannya.
Pun-khong Hwe-shio mengeluarkan Thai-lik-kim-kong-ciang (Telapak Malaikat Tenaga Raksasa), sepasang telapak tangannya menghembuskan tenaga maha kuat, sehingga lembaran-lembaran genteng tersingkap lepas dari kerangkanya seperti dilewati badai. Dua anggota Hiat-ti-cu terpental dengan isi tubuh luluh lantak, darah mengalir dari semua lubang tubuh mereka.
Sementara Pak Kiong Liong dengan Hwe-Iiong-sin-kang juga telah mengambil korban dua algojo kejam itu. Keduanya roboh dengan tubuh hangus, seperti sepotong daging yang terlambat diangkat dari penggorengan.
Ketua Hwe-Iiong-pang adalah yang paling hebat di antara tiga orang itu, dengan pukulan Hian-im-ciang. Pukulannya tidak kelihatan hebat, tidak pula menerbitkan angin menderu yang memekakkan telinga, namun seolah ada jutaan batang jarum es lembut yang disebarkan dalam lingkaran seluas beberapa tombak. Empat tombak di sekitarnya, empat pula anggota Hiat-ti-cu yang menggeliat kejang dan roboh dengan kulit membeku kebiruan. Mereka merasa pori-pori tubuh mereka diresapi hawa dingin luar biasa, membuat darah menggumpal, menyumbat, nadi dan jantungpun tak mampu berdenyut lagi.
Hap To bergidik melihatnya, la segera kerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk kabur secepat-cepatnya. Sisa anak-buahnya yang masih tertinggal tidak dihiraukannya lagi. Namun Pak Kiong Liong mengejarnya dan membentak, “Jangan buru-buru pergi, saudara Hap, kita kan kenalan lama belum sempat berbincang-bincang?”
Alangkah takutnya Hap To mendengar itu, ia tahu yang dimaksud dengan "berbincang-bincang” ialah diperas keterangannya dari mulutnya. Dua orang Hiat-ti-cu yang berlari didekatnya, tiba-tiba dicengkeramnya dengan kedua tangannya yang bagaikan cakar-cakar elang, lalu dilemparkan ke arah Pak Kiong Liong, dan ia sendiri kabur secepatnya.
Mengira dirinya diserang, karena malam gelap, Pak Kiong Liong menyambut tubuh kedua Hiat-ti-cu itu dengan sengit, sehingga mereka mencelat dengan tulang-tulang rusuk berpatahan. Namun ia kehilangan jejak Hap To yang langsung menghilang dalam lorong-lorong kecil kota Yu-pin yang ruwet seperti sarang laba-laba itu. Bahkan Tam Tai Liong dan beberapa Hiat-ti-cu yang berkepandaian agak tinggi juga berhasil lolos.
Yang kasihan adalah para Hiat-ti-cu yang ilmunya pas-pasan dan tak sempat kabur. Untunglah Tong Lam Hou dan lain lainnya bukan orang haus darah, kecuali In Tong yang biarpun kejam namun tak berani berbuat semaunya di hadapan gurunya. Para Hiat-ti-cu yang tersisa dan masih hidup itu akhirnya hanya ditotok lumpuh dan ditawan.
Pihak para pendeta berkabung karena kehilangan tiga orang, termasuk Bu-teng Hwe-shio, si tuan rumah yang mengesankan. Namun pihak Hiat-ti-cu harus meninggalkan sepuluh mayat dan empat orang tawanan.
Sambil menarik napas, Pun-khong Hwe-shio berkata, "Tak terduga ada peristiwa menyedihkan macam ini. Kiranya orang-orang ini hanyalah anggota-anggota Hwe-liong-pang gadungan. Dan berita tentang murid-murid Siau-lim-pai yang membunuh delapan puluh sembilan anggota Hwe-liong-pang itu juga..."
Tong Lam Hou cepat menukas lembut, "Jangan khawatir, Toa-suhu, sejak semula pun aku tidak percaya murid-murid Siau-lim-pai menghasilkan tindakan biadab macam itu. Kami harap Toa-suhu juga percaya bahwa kami takkan menggunakan senjata-senjata keji macam itu...." sambil menunjuk sebuah kantong kulit Hiat-ti-cu yang tergeletak di tanah.
Sikap Ketua Hwe-liong-pang itu amat melegakan Pun-khong Hwe-shio yang memang datang untuk berdamai, bukan untuk berkelahi. "Semuanya jelas sekarang," kata Pun-khong Hwe-shio. "Ada pihak yang menyamar sebagai orang Hwe-liong-pang maupun Siau-lim-pai untuk mengadu domba kita."
"Mereka menginginkan Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai cakar-cakaran..." kata Pak Kiong Liong. "Mereka lupa bahwa di dalam Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai ada orang-orang berkepala dingin yang tak gampang dihasut. Si pengadu domba itu harus gigit jari."
Sampai di sini, kedua belah pihak sepakat. Namun ketidaksepakatan dimulai ketika Pun-khong Hwe-shio berkata, "Benar, Pangeran In Te benar-benar licik sekali..."
Pak Kiong Liong terkejut mendengarnya. "Maaf, Toa-suhu, apakah arti ucapan Toa-suhu itu?"
"Adu domba ini pasti didalangi oleh Pangeran In Te, karena dia tidak suka kehilangan Hwe-liong-pang yang di harapkan sebagai alat ambisinya kelak. Pak Kiong Goan-swe, kami baru pulang dari Pak-khia untuk berbincang dengan pamanda Sri baginda, dan ketika itu keadaan istana masih berantakan karena baru saja ada bentrokan antara dua kelompok pengawal istana, mereka juga di adu- doinba oleh In Te...."
"Aku kira Toa-suhu keliru. Mana mungkin Pangeran In Te mendalangi adu-domba ini? Orang yang menyamar sebagai Lu Ku San tadi sebenarnya adalah Hap To, komandan Hiat-ti-cu, regu algojo bengis yang hanya menjalankan perintah Yong Ceng."
Pun-khong Hwe-shio termangu-mangu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Jadi Pak Kiong Goan-swe malah menuduh Sribaginda yang mendalanginya? Ini tidak mungkin juga. Ketahuilah, perjalananku ini juga atas permintaan Sribaginda untuk merundingkan perdamaian dengan Hwe-liong-pang, tidakkah ini menandakan bahwa Sribaginda adalah seorang yang berusaha menghindari pertumpahan darah?"
"Itulah kelicikan Yong Ceng!" suara Pak Kiong Liong mulai meninggi. "Dia sanggup bermuka dua dengan sempurna! Di hadapan Toa-suhu, dia berperanan sebagai seorang yang cinta damai dan menghindari kekerasan. Tetapi di belakang layar dia menyuruh algojo-algojonya untuk mengadu domba, belumkah Toa-suhu menyadari hal ini?"
"Goan-swe, kaulah yang berat sebelah. Sribaginda sampai sekarang belum sempat mewujudkan janjinya karena keaaan negeri belum aman, ini antara lain karena orang-orang semacan Goan-swe yang ngotot mendukung Pangeran In Te sambil menghasut kesana kemari. Tidakkah Goan-swe sebenarnya hanya putus-asa karena Pangeran In Te gagal naik tahta?"
Pembicaraan jadi tegang karena Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio ngotot membela "momongan" masing-masing di Pak-khia sana. Sedangkan Pangeran In Tong diam-diam bersorak dalam hati, ia ingin ada keributan, tidak peduli siapa lawan siapa, sebab hanya dalam suasana macam itulah maka rencananya akan mendapat banyak peluang untuk berhasil. Dengan tegang dia menunggu, siapa yang akan menjotos lebih dulu?
Ternyata tidak ada adu jotos, sebab Ketua Hwe-liong-pang segera menempatkan diri di tengah sambil berkata, "He, kalian yang sudah berjenggot putih ini apakah hendak bertingkah laku seperti anak-anak berebutan kembang gula? Kalian berselisih pendapat, itu tidak keliru, tetapi tidakkah kalian sabar menunggu munculnya kebenaran yang sejati? Setidak-tidaknya kalian punya persamaan, yaitu sama-sama tidak ingin melihat pertumpahan darah di kekaisaran ini, ingin melihat kekaisaran ini aman, bukankah begitu?"
"Kau benar, A-hou...."
"Kau benar, Pang-cu....."
Yang kecewa adalah In Tong, baku hantam yang diharapkannya ternyata tidak terjadi. Sementara itu, mayat-mayat segera dibereskan, yang luka-luka diobati. Empat Hiat-ti-cu yang ditawan itu segera ditanyai, tetapi mereka hanyalah anak-buah yang tidak tahu terlalu banyak, mereka hanya menjalankan perintah dan menurut saja ketika disuruh menyamar sebagai orang-orang Hwe-liong-pang.
"Beberapa hari sebelum kami berangkat dari Pak-khia, sekelompok teman kami memang mendapat tugas yang agak ganjil," kata seorang Hiat-ti-cu yang sakit hati karena ditinggalkan begitu saja oleh Hap To. "Teman-teman kami itu disuruh mencukur gundul kepala mereka, dan mereka dipilih dari orang-orang yang pandai bertempur dengan toya, mereka juga diajari beberapa jurus ilmu toya...."
Wajah Pun-khong Hwe-shio berkerut mendengar keterangan itu, kepercayaannya akan "keluhuran budi" Yong Ceng mulai terusik, biarpun belum lenyap sama sekali. "Ilmu toya apa, dan siapa yang melatihnya?" desak Pun-khong Hwe-shio, lebih bernafsu dari Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou yang bukan pendeta.
Sahut si tawanan, "Entahlah, Toa-suhu, aku agak lupa meskipun temanku pernah bercerita kepadaku. Kalau tidak salah seperti... Hok... mo... entah apa kelanjutannya....."
"Hok-mo-tung-hoat?"
"Ya, benar!"
"Siapa yang melatih?"
"Aku tidak tahu. Mereka diijinkan berlatih di ruangan yang secara pribadi sering digunakan latihan Sribaginda sendiri...."
Kuping Pun-khong Hwe-shio dan pendeta-pendeta Siau-lim-pai lainnya berdengung mendengar jawaban itu. Suka atau tidak suka, mereka mulai mencurigai Yong Ceng. Selama ini sebagai orang-orang beribadat, mereka selalu berpikiran lurus, tak pernah menyangka bahwa Yong Ceng bisa bermuka dua macam itu. Di satu pihak menyuruh paman-gurunya sebagai "utusan perdamaian" ke Tiau-im-hong, di lain pihak membunuh orang-orang Hwe-liong-pang secara keji "atas nama" Siau-lim-pai.
"Mungkinkah... dia itu seekor serigala berbulu domba?"
Pun-khong Hwe shio berdesis. Pertanyaan yang ditujukan kepada diri sendiri, namun ia tidak berani menjawabnya sendiri. Di wajahnya bercampur aduk ekspresi kemarahan, ketidak-percayaan, malu, kecewa dan entah apa lagi.
Biarpun Pak Kiong Liong senang bahwa Pun-khong Hwe-shio mulai "terbuka matanya", namun ia secara bijaksana tidak menggunakan kesempatan itu untuk menuding-nuding kesalahan orang, dibiarkannya pendeta tua itu merenung sendiri. Bukan salah para sesepuh Siau-lim-pai sepenuhnya, namun karena lihainya Yong Ceng bersandiwara sebagai "anak manis" di depan gurunya, paman gurunya, saudara-saudara seperguruannya dan sahabat-sahabatnya selama ini.
"Aku harus ke Pak-khia untuk bertanya sendiri kepada Yong Ceng, kenapa ia lakukan semuanya ini?" desis Pun-khong Hwe-shio.
"Semuanya harus dilakukan dengan kepala dingin, Toa-suhu, supaya kita ke Pak-khia tidak sekedar menyetorkan batok kepala kita," kata Pak Kiong Liong menghibur, karena tahu hati pendeta tua itu sedang terluka. "Kelak kami bersedia menemani ke Pak-khia...."
Otak Pun-khong Hwe-shio memang sedang beku rasanya, maka ia hanya mengangguk-angguk saja. Begitulah, Tong Lam Hou dan Pun-khong Hwe-shio yang tadinya bermaksud saling mengunjungi, malah bertemu di Yu-pin dan akan bergabung pergi ke Pak khia. Namun harus menunggu sampai luka luka di kaki Pun-khong Hwe-shio sembuh Yang menjadi gembira adalah In Tong. Akan ada keributan lagi. Kini Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai satu pihak, menghadapi Yong Ceng dilain pihak, la harus pandai melihat ksempatan demi rencananya sendiri.
Sekarang tentang Pun-seng Hweshio, rahib tinggi besar bermuka hitam yang sudah tua namun tetap berangsan. Sejak dia meninggalkan Yu-pin untuk mengejar para pendeta gadungan, ia hampir tak pernah beristirahat. Karena bentuk tubuh dan tampangnya gampang menarik perhatian orang, ia mengganti jubah pendetanya dengan pakaian biasa, sedang kepalanya memakai caping bambu yang tepiannya melengkung ke bawah untuk menyamarkan wajahnya.
Dengan bertanya tanya sepanjang jalan, ia berhasil juga mengenali arah perjalanan orang- orang yang dikejarnya. Dua hari sejak ia meninggalkan Yu pin, orang-orang itu sudah dilihatnya di depan sana. Sebagai orang berwatak tidak sabaran, ia tidak telaten mengikuti saja dari kejauhan. Begitu melihat mereka, langkahnya segera dipercepat untuk mengejar, sambil menggeram,
"Biar langsung kutanyai mereka, kalau jawaban tidak memuaskan, langsung kubekuk mereka untuk dibawa ke Tiau-im-hong."
Dan suaranya yang keras pun terdengar dijalanan itu, "He, berhentilah kalian...!"
Kawanan pendeta gadungan itu sebenarnya sedang berjalan sambil bercakap cakap jorok. Salah seorang dari mereka sedang menceritakan tentang pelacur berpinggang besar yang semalam menemaninya. Tapi ketika ada orang memanggil, cepat-cepat mereka berubah sikap. Telapak tangan kiri tegak di depan dada, kepala agak menunduk, muka alim, tangan kanan memegang toya. Benar-benar mirip para hwe-shio sejati.
"Omitohud, ada keperluan apa tuan memanggil kami?” tanya seorang Hwe-shio yang tubuhnya pendek.
Pun-seng Hwe-shio panas hatinya ketika melihat mereka benar-benar berpakaian seperti orang-orang Siau-lim-si. Mereka juga berkalung tasbih, membawa kantong derma berwarna putih yang berlukis lambang "Ban-ji" (Swastika) yang merupakan lambang Siau-Iim-pai. "Apakah kalian dari Siau-lim-pai?" tanya Pun-seng Hwe-shio tanpa berputar-putar lagi.
"Benar," sahut yang ditanya, karena mengira Pun-seng Hwe-shio bukan pendeta.
"Kenapa kalian bepergian sejauh ini?"
"Kami baru saja menumpas sekelompok bandit Hwe-Iiong-pang yang mengacau keamanan negara," sahut si hweshio gadungan kalem, la bahkan berharap bahwa ucapannya akan tersebar, dan memanaskan hubungan antara Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang.
"Siapa yang menyuruh kalian?"
Si "hweshio" pendek dengan beraninya terus membual. "Kami ditugaskan oleh paman-guru kami, Pun-seng Hwe-shio."
"Bagaimana tampang Pun-seng Hwe-shio itu?"
Memangnya hwe-shio gadungan itu belum tahu bagaimana tampang Pun-seng Hwe-shio, maka ia menjawab dengan menggambarkan tampang umumnya para hwe-shio, "Beliau bermuka putih kemerah-merahan, penuh welas-asih, selalu tersenyum dan rendah hati...."
"Pembohong!" Pun-seng Hwe-shio tak dapat menahan kemarahannya dan mencopot caping bambunya. "Lihat baik-baik tampang asli paman gurumu ini!"
Lalu terlihatlah bentuk kepalanya yang asli. Gundul, hitam dan berkilat-kilat. Hwe-shio gadungan berwajah pendek itu memang kaget sejenak, la sebenarnya adalah anggota Hiat-ti-cu yang berasal dari golongan hitam, bernama Im Bun To dan berjuluk Ya-hing-kui-liong (Serigala Iblis Pengembara Malam). Namun karena banyak temannya dan yang dihadapinya hanya seorang, maka nyalinya jadi besar, la malahan tertawa dan berseru kepada teman-teman.
"Teman-teman, berikan salam hangat kepada paman-guru!"
"Salam hangat”nya dibuka dengan kemplangan loya yang keras ke pelipis Pun-seng Hwe-shio. Hek-liong-pa-bwe (Naga Hitam Memutar Ekor). Pun-seng Hwe-shio menggeram Sengit. Dalam kemarahannya, langsung saja ia bertempur dengan gaya ciptaannya sendiri, Hong-gu-kun-hoat (Silat Kerbau Gila). Kemplangan musuh tidak digubrisnya, namun dibarengi dengan jejakan kakinya yang lebih cepat ke arah perut Im Bun To. Itulah ciri khas Hong-gu-kun-hoat, serangan langsung dibalas serangan.
Kalau serangan pertama gagal, sebenarnya Im Bun To sudah menyiapkan serangan susulannya. Tapi reaksi Pun-seng Hwe-shio tak terduga. Dengan gugup ia memalangkan toyanya untuk membendung kaki Pun-seng Hwe-shio. Toyanya terpental lepas, sepasang telapak tangannya sampai terkelupas berdarah. Baru sekarang ia sadar betapa berbahanya kelakarnya tadi.
Para pendeta gadungan lainnya juga segera turun tangan serempak. Seorang yang bernama Kang Huai Ok dan berjulukan Tiat-kak-lok (Menjangan Bertanduk Besi), melompat tinggi. Dengan gugup ia memalangkan toyanya untuk membendung kaki Pun-seng Hwe-shio. Toyanya terpental lepas, sepasang telapak tangannya sampai terkelupas berdarah dan ujung toyanya dia sodokkan ke arah mata Pun-seng Hwe-shio.
Dengan cengkeraman Kim-liong-tam jiau (Naga Emas Mengulur Cakar), Pun-seng Hwe-shio berhasil mertcengkeram ujung toya Kang Huai Ok tanpa bergeming, sehingga Kang Huai Ok yang tengah melompat tinggi itu jadi terkatung-katung di tengah udara karena tetap berpegangan pada toyanya.
Pun-seng Hwe-shio tertawa bergelak, "Keponakan murid yang manis, salam hangatmu sudah kuterima. Kau boleh mundur dulu!"
Lalu dengan kekuatan yang mirip ekor kerbau digabung jadi satu, ia lemparkan tubuh toya dan pemiliknya sekalian. Tubuh Kang Huai Ok melayang deras dan baru berhenti setelah menubruk pohon di pinggir jalan. Matanya berkunang-kunang dan tulang punggungnya sakit sekali, untuk sementara ia tidak bisa ikut berkelahi.
Tapi yang lain-lainnya segera mengerubut Pun-seng Hwe-shio. Di antara mereka terdapat bekas jago-jago tangguh golongan hitam seperti Im-kan-tiat koai (Tongkat Besi Neraka) Kao Seng, Keng-te-ai-mo (Hantu Cebol Menggetar Bumi) Au Yang Ki dan sebagainya, yang dipilih oleh Yong Ceng karena pintar bersilat dengan toya. Kemudian Im Bu To dan Kang Huai Ok berhasil bangkit lagi untuk ikut mengepung.
Betapapun tangguhnya Pun-seng Hwe-shio, karena dikeroyok delapan jagoan tangguh, ia repot juga. Sebagian besar permukaan kulitnya memang tahan gebukan, namun lawan-lawannya dengan cerdik tidak mau menggebuk sembarangan, melainkan kebagian-bagian lemah seperti mata, belakang kuping, selakangan, biji leher, tulang kering dan sebagainya, mau tak mau Pun-seng Hwe-shio harus menyelamatkan tempat-tempat itu.
Namun lawan-lawannya tercengang juga melihat ketangguhan si raksasa hitam dari kuil Siau-lim itu. Tinju, sabetan telapak tangan atau tendangan Pun-seng Hwe-shio berdesir desir mengguncangkan udara, sanggup meremukkan bagian tubuh mana saja yang dikenai-nya. Kadang-kadang jari-jari tangannya juga berfungsi sebagai pedang yang bisa membuat isi perut bertebaran.
Diam-diam Pun-seng Hwe-shio menyesal dulu tidak menuruti nasehat kakak seperguruannya untuk memperdalam lwe-kang (tenaga dalam) dan hanya melatih gwa-kang (tenaga luar). Kalau ia berlatih lwe-kang, tentu bisa melakukan pukulan jarak jauh seperti Pek-gong-ciang (Memukul Udara Kosong) atau Thai lek-kim-kong-ciang. Namun ia tidak bisa kedua macam ilmu itu, terpaksa hanya mengandalkan jurus-jurusnya dan kekebalan kulitnya yang tidak menyeluruh.
Jemu akan perkelahian yang tidak selesai-selesai itu, Pun-seng Hwe-shio nekad mengincar salah satu lawan dengan serangan ganda. Tangan kiri dengan dua jarinya hendak menusuk mata, tipu Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Merebut Mutiara), tangan kanan menjotos perut dengan Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Me nerkam Hati). Lawannya mundur sambil menunduk, berbareng menyodokkan toyanya ke kemaluan Pun-seng Hwe-shio. Sementara dua temannya dari dua arah serempak menggebuk ke tengkuk dan ubun-ubun Pun-seng Hwe-shio.
Kali ini Pun-seng Hwe-shio nekad, ia hanya menunduk dan serahkan pundaknya untuk digebuk dua kali sampai ia menyeringai kesakitan, tapi ia maju terus. Jotosan ke depan diubah menjadi Tin-jiu-kim-na (Menurunkan Sikut Dan Menangkap), toya musuh yang menyerang selakangannya kena tertangkap dan langsung ditarik sekuat tenaga. Si pemegang toya terhuyung ke depan dengan wajah pucat, sadar akan nasib buruk yang sudah menunggunya. Benar, ia roboh dengan pelipis retak kena tamparan Pun-seng Hwe-shio, dan toyanya berpindah ke tangan si raksasa hitam.
Dengan toya di tangannya, Pun-seng Hwe-shio seperti macan yang keluar sayapnya, amukannya semakin hebat. Sebaliknya lawannya mulai kocar-kacir, mereka tidak lagi berpikir untuk bekerja sama, namun memikirkan bagaimana menyelamatkan diri sendiri-sendiri. Maka kerja-sama mereka makin kacau, makin gampang diobrak-abrik Pun-seng Hwe-shio.
Terdengar pendeta muka hitam itu menggertak, "Menyerahlah kalian, supaya bisa kubawa ke Tiau-im-hong untuk mempertanggung-jawabkan kekejaman kalian di kota Yu-pin!"
Tentu saja kaki tangan Yong Ceng itu enggan menyerah dan dijadikan bulan-bulanan kemarahan orang-orang Hwe-liong-pang. Mereka tetap melawan dengan gigih. Ketika suatu kali Pun-seng Hwe-shio menyikut dada seorang musuh dari samping, orang itu pasang kuda-kuda dan mengerahkan tenaga untuk memalangkan toya besinya. Toya besi kena sikutan ltu sehingga melengkung, si pemegangnya sendiri nampak tegar dan kokoh.
Teman-temannya kagum melihat itu, mengira teman mereka itu dapat menandingi kekuatan Pun-seng Hwe-shio biarpun senjatanya rusak. Namun tubuh orang yang dikagumi itu tiba-tiba roboh seperti seonggok kain saja, lalu meringkuk tak berkutik. Maka kepungan para kaki tangan Yong Ceng itu semakin kendor dan serabutan. Mereka sebenarnya ahli juga bertempur jarak jauh dengan kantong kulit Hiat-ti-cu, namun dalam penyamaran sebagai pendeta-pendeta Siau-sim-si, mereka tidak membawa barang-barang itu.
Di saat mereka mulai cemas, dari jauh nampaklah dua orang berkuda yang memakai jubah dan topi pembesar. Manchu. Salah satu dari mereka bertubuh tinggi besar seperti Pun-seng Hwes-hio hanya mukanya tidak hitam, dan ia membawa tombak panjang. Melihat kedatangan kedua orang itu, para pendeta gadungan jadi gembira.
"Hap Cong-koan, Tam Tai Hu cong koan!" teriak salah seorang. Ketika berteriak itu dia agak lengah sehingga lututnya disapu patah oleh Toya Pun-seng Hwe-shio. Mereka adalah Hap To dan Tam Tai Liong yang di kota Yu-pin telah gagal membunuh orang-orang Siau-lim-pai dengan menyamar sebagai orang-orang Hwe-liong-pang. Dan kini mereka jumpai pula anak-buah mereka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta Siau-lim-pai itu tengah dibikin morat-marit oleh Pun-seng Hwe-shio.
Hap To yang berilmu tinggi itu sama sekali tidak gentar melihat tandang Pun-seng Hwe-shio. Dari kejauhan ia telah memacu kudanya sambil berseru kepada anak-buahnya, "Minggir kalian!"
Para pendeta gadungan itu berlompatan minggir, mereka tinggal lima orang, namun lega melihat kedatangan Hap To dan Tam Tai Liong yang bisa diandalkan. Ketika itulah tubuh Hap To yang besar itu tiba-tiba melayang mendahului kudanya, bagaikan seekor burung elang besar, ia menubruk dari angkasa dan tombaknya menikam dengan gerakan Sam goan-tho-goat (Tiga Gelang Menjerat Rembulan). Ujung tombaknya melingkar lingkar, tidak jelas manakah sasaran yang sebenarnya.
Pun-seng Hwe-shio kehilangan banyak lawan dan mendapatkan hanya satu lawan sebagai gantinya, tetapi yang satu orang ini ilmunya lebih tinggi dari lawan-lawan terdahulu. Gerakan tombaknya membingungkan. Tapi Pun-seng Hwe-shio tidak sudi memusingkan kepala untuk menebak arah serangan yang sebenarnya, pokoknya serangan dibalas serangan. Dengan tipu Boan-liong-seng-thian (Naga Naik ke Langit) toyanya ia sodokkan ke pusar lawannya yang tengah melayang di udara.
Itulah serangan nekad, kalau sama sama diteruskan maka kedua pihak akan gugur bersama. Akhirnya Hap To kalah nyali dan merasa lebih baik mencari cara lain. Di tengah udara ia melakukan Hui-eng-hoan-sin (Elang Terbang Membalik Tubuh), badannya berputar dan mendarat beberapa langkah di samping Pun-seng Hwe-shio. Tapi toh keringat dinginnya mengalir juga.
Sementara itu, Tam Tai Liong juga menerjang bersama kudanya, bahkan kaki kaki kuda yang depan itu merupakan serangan berbahaya pula, sedangkan Tam Tai Liong mengangkat tinggi-tinggi senjata Tiat-koainya untuk melubangi kepala Pun-seng Hwe-shio.
Tangkas sekali Pun-seng Hwe-shio menghindar ke sebelah kiri kuda, sehingga Tam Tai Liong yang bukan orang kidal itu mati langkah. Sebelum sempat ia memutar tubuh, Pun-seng Hwe-shio telah membuang toyanya dan dengan tangan kiri menjambret tali di moncong kuda, mengerahkan tenaga sambil berseru, "Turun!”
Hebat kekuatan pendeta raksasa muka hitam itu. Memang ia terseret dua langkah, namun kuda yang tengah berlari kencang itupun berhasil dihentikannya hanya dengan tangan kiri. Ketika Pun-seng Hwe-shio sekuat tenaga menekan ke bawah, kuda itu dipaksa "berlutut dengan kedua kaki depannya. Tam Tai Liong yang dengan susah payah berusaha menguasai keseimbangan, tahu-tahu tengkuknya berhasil dicengkeram Pun-seng Hwe-shio lalu dibanting pingsan.
Tetapi Pun-seng Hwe-shio tidak sekedar menuruti kemarahannya saja, dia sadar bahwa dirinya seorang takkan bisa melawan Hap To ditambah lima pendeta gadungan yang masih waras. Maka sehabis membanting Tam Tai Liong, dengan langkah lebar Pun-seng Hwe-shio kabur ke dalam hutan.
Hap To dan anak-buahnya tidak mengejar. Sambil mengutuk habis-habisan, mereka angkut tubuh-tubuh yang tewas dan terluka itu kekota yang terdekat. Hap Tu bercerita pula bahwa usaha adu-domba agaknya gagal, karena pihak-pihak yang diadu domba cukup berkepala dingin.
Sementara itu, dalam hutan Pun-seng Hwe shio mulai memutar otak. Ia bertenaga kerbau namun tidak berotak kerbau. Tadinya ia menduga kelompok pengadu domba itu adalah "begundal-begundal In Te", tapi mendengar orang-orang tadi berteriak memanggil Hap Cong-koan" dan "Tam Tai Hu-congkoan" ia jadi bimbang. Namun ia belum timbul tuduhan ke arah Yong Ceng, bukankah Yong Ceng sendiri meminta para pendeta Siau-lim-pai menjadi "utusan perdamaian" ke Tiau-im-hong?
Bukan goblok, tapi ia terlalu polos mengikuti liku-liku "permainan" Yong Ceng. Dalam bimbangnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Pak-khia sekali lagi, ia berharap Yong Ceng masih menghargainya sebagai paman guru dan menjawab dengan jujur semua pertanyaannya. Bagaimanapun juga, kepercayaannya kepada Yong Ceng sudah mulai luntur. Karena itu, ia masuk kota dengan menyamar sebagai seorang tua bungkuk, supaya tinggi badannya yang menyolok itu tidak menarik perhatian, la juga tidak langsung ke istana, melainkan berkeliling-keliling kota Pak-khia lebih dulu.
Ketika perutnya lapar, ia masuk ke warung yang kelihatannya murah, sebab bekalnya tinggal sedikit. Dan kalau biasanya ia menghabiskan sepuluh mangkuk nasi, maka sekarang dia harus puas dengan dua mangkuk saja, itupun tanpa lauk-pauk, sehingga pemilik warung dengan ogah-ogahan melayani "orang tua meIarat" itu.
Tengah ia duduk dalam warung, nampak dua orang tamu masuk ke warung itu. Dua orang lelaki gagah yang membawa senjata, menandakan bahwa mereka dari kalangan persilatan. Mereka duduk, lalu bercakap-cakap dengan logat propinsi Hok-kian yang jauh di selatan. Mula-mula Pun-seng Hwe-shio tidak tertarik oleh pembicaraan mereka, namun lama-lama ada juga daya penarik dalam percakapan meieka, sehingga Pun-seng Hwe-shio mulai pasang kuping sambil pura-pura makan.
"Akupun tadinya mengira setelah Si Liong-cu menjadi Kaisar, dia akan melupakan kita...." kata si tamu yang lebih pendek tubuhnya, la membawa sebatang tombak pendek yang disandarkan di meja. "Karena itu, aku hampir tidak percaya ketika seorang perajurit gubernuran Hok-kian datang ke rumahku, membawa sepucuk surat undangan yang ditulis sendiri oleh Si Liong-cu."
Nada suaranya terdengar amat bangga. Maklumlah, yang disebut Si Liong-cu itu adalah salah satu nama samaran Kaisar Yong Ceng semasa masih berkelana di dunia persilatan dulu. Tidak heran kalau orang itu bersuara keras, agar orang-orang di warung itu mendengar semuanya. Siapa tidak bangga kalau diundang sendiri oleh Kaisar?
Tetapi teman semejanya tidak buru buru bangga, malah mukanya nampak prihatin. Katanya, "Saudara Lim, jangan buru-buru bangga dulu. Kita belum tahu ada maksud apa Kaisar mengundang semua bekas sahabat-sahabatnya di Kang-lam untuk berkumpul di Pak-khia. Si Liong-cu sekarang jangan dianggap sama dengan Si Liong-cu semasa masih berjuang memerangi golongan hitam bersama kita dulu. Sekarang ia adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang jalan pikirannya rumit, tak dipahami oleh orang-orang kasar dunia persilatan macam kita-kita ini.."
“Jadi, apa tujuan saudara Ho datang ke Pak-khia ini?" si lelaki she Lim berkata dengan nada tidak senang, la merasa bahwa orang she Ho itu agak "mengurangi kebanggaan"nya. "Apa kita datang dengan prasangka buruk? Atau jangan-jangan jauh di dasar hati kita ada perasaan iri akan kedudukannya yang agung? Bukankah dalam surat undangan itu dia memakai nama Si Liong-cu, tidak memakai cap kekaisaran, menandakan undangan itu dari sahabat kepada sahabat? Bukankah ia tidak menyombongkan kedudukannya sebagai Kaisar?"
Orang she Ho itu ingin mengingatkan riwayat lama. Bagaimana Cu Goan-ciang berjuang bersama Han San Tong, Han Lim Ji, Siang Gi Jun dan Thio Su Seng ketika masih sama-sama melarat, untuk menumbangkan dinasti Goan. Namun setelah Cu Goan-ciang naik tahta, mendirikan dinasti Beng dan bergelar Hong-bu, maka semua teman seperjuangannya malah dianggap duri dalam daging.
Han San Tong dan Han Lim Ji, pemimpin Pek-lian-kau (agama Teratai Putih), ditumpas habis dan Pek lian-kau dinyatakan sebagai kelompok terlarang, padahal Pek-lian-kau banyak membantu perjuangan Cu Goan-ciang. Thio Su Seng dan pasukannya dihancurleburkan di tepi sungai Tiang-kang karena dianggap hendak menyaingi kekuasaannya.
Siang Gi Jun, sahabat Cu Goan-ciang yang paling jujur, disuguhi makanan beracun hingga menemui ajalnya. Itulah riwayat orang yang mabuk kekuasaan sehingga "memakan" sahabat-sahabatnya sendiri. Dulu Si Liong-cu memang teman para pendekar Kang-lam, tapi apakah sekarang masih begitu? Orang she Ho ingin mengingatkan temannya she Lim itu dengan riwayat Cu Goan-siang, namun di warung itu teri alu banyak orang.
Akhirnya orang she Ho itu cuma berkata, “Entahlah, mungkin memang aku terlalu berprasangka. Mungkin juga ter lalu terpengaruh berita tentang kekejaman... ah sudahlah. Kita lihat saja nanti...”
Orang she Lim menyahut, "Tentu saja kau hanya berprasangka, saudara Ho. Seorang penguasa, demi menyelamatkan negara dan rakyatnya, kadang-kadang memang harus bertangan besi terhadap golongan pengacau. Dan berita ini diputar-balik lalu disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak menyenangi sahabat kita itu naik tahta."
Setiap kali mengucapkan kata "sahabat kita", ia bersikap bangga, sambil menoleh kiri kanan, untuk menyaksiikan bagaimana wajah orang-orang di warung itu menunjukkan rasa iri kepada para "sahabat Kaisar" yang diundang pesta di loteng Hong-thian-lau itu.
Percakapan tambah ramai dengan munculnya dua orang lagi yang langsung bergabung di meja orang she Lim dan Ho yang agaknya sudah saling kenal semuanya. Kedua tamu baru ini pun mengaku mendapat "undangan bersahabat" dari Si Liong-cu. Salah seorang dari mereka nampak pendiam dan berwajah dingin, tapi sekali ia buka mulut, bukan kepalang bualannya.
Katanya dulu Si Liong-cu pernah diperbaiki ilmu silatnya atas permintaan Si Liong-cu sendiri. Di lain saat, katanya pernah menolong Si Liong-cu dari ancaman segerombolan bandit, sehingga ia yakin tentu sampai sekarang Kaisar Yong Ceng masih merasa berhutang budi.
Lalu pembicaraan beralih, soal bagaimana menghadapi Yong Ceng kelak? Yang satu usul untuk berlutut saja, bagaiamanapun juga Si Liong-cu sudah menjadi Kaisar yang disujudi seisi kekaisaran. Yang lain bilang, cukup memberi hormat secara dunia persilatan saja, sebab Si Liong-cu mengundang bukan sebagai Kaisar, melainkan sebagai sahabat lama. Si pembual bilang, ia akan merangkul dan menepuk-nepuk pundak Si Liong-cu. Kawan-kawannya jadi melongo, setengah percaya setengah tidak.
Pun-seng Hwe-shio jemu mendengar pembicaraan yang makin simpang siur dan tak bermutu itu. la segera membayar makanannya dan terbungkuk-bungkuk meninggalkan warung sambil memakai capingnya. Namun ia senang mendapatkan berita itu. Pikirnya, "rupanya Si Liong cu masih ingat juga kepada sahabat-sahabat lama yang bagaimanapun juga berjasa mendukungnya sampai ke tahta. Di hadapan para pendekar yang diundangnya, mudah-mudahan ia ingat janjinya untuk menghapuskan diskriminasi terhadap bangsa Han, syukur kalau sekaligus mengumumkan tindakan nyata."
Maka Pun-seng Hwe-shio membatalkan niatnya untuk ke istana, ia ingin hadir saja di loteng Hong-thian-lau (loteng langit merah) untuk melihat bagaimana sikap Yong Ceng di depan para pendekar. Biarpun ia tidak memiliki sepucuk surat undanganpun. namun ia yakin sebagai paman gurunya Yong Ceng akan di sambut.
Loteng Hong-thian-lau yang tiga tingkat itu tadinya sebuah bangunan setengah bobrok yang tak terpakai. Namun menjelang acara perjamuan yang diselenggarakan Yong Ceng tempat ini di perbaiki dengan mengerahkan ratusan tukang yang dijanjikan upah tinggi. Namun selama bekerja, tukang-tukang itu diawasi oleh sepasukan perajurit bersenjata lengkap. Juga ada peraturan aneh, selama bekerja, para tukang dilarang berbicara kepada siapapun.
Selesai perbaikan di tempat itu, para tukang dibariskan dan diajak ke sebuah tempat sepi di luar kota, katanya untuk "menerima upah". Namun mereka tidak kembali lagi ke keluarganya masing-masing. Hari perjamuan tiba. Para pendekar undangan berbondong-bondong datang ke Hong-thian-lau yang kini sudah nampak megah. Ada yang kelihatan gembira dan bangga, ada yang acuh tak acuh, ada yang nampak waspada meskipun kurang jelas harus waspada kepada apa dan siapa.
“Tidak ada yang Patut dicurigai, Saudara Si Liong-cu agaknya benar-benar tulus ingin menjamu kita sebagal sahabat-sahabat lamanya," kata seorang tamu. "Mari masuk bersama aku, saudara Sun. Jangan begitu tegang seolah-olah hendak maju ke medan perang saja."
Oleh seorang penyambut tamu berpakaian indah, semua undangan dibawa ke lantai dua dan tiga. Lantai pertama hanya untuk meletakkan banyak perabotan kayu yang tak terpakai, serta berpuluh-puluh guci yang nampaknya adalah guci-guci arak. Begitu para tamu duduk, suguhan mulai dihidangkan, sebuah rombongan musik mengiringi sekelompok penari yang memancing tepuk tangan para tamu. Orang-orang yang tadinya bersikap tegang, kini mulai mengendorkan kewaspadaan mereka.
Tetapi setelah sekian lama, Yong Ceng belum juga kelihatan batang hidungnya. Sebagian kecil undangan merasa heran, tapi sebagian besar lebih peduli kepada hidangan-hidangan dan acara-acara yang menghibur hati. Beberapa orang masih berlomba memuji-muji Si Liong-cu "yang baik hati", sudah menjadi Kaisar namun belum melupakan teman lama.
Dan mereka tak menyadari bahwa para penyambut tamu yang berpakaian indah-indah itupun satu persatu menghilang dari ruangan itu tanpa kentara. Hanya Pun-seng Hwe-shio yang mendadak merasa hatinya tidak enak. Apalagi ketika dari dekat pintu sana tiba-tiba terdengar seseorang bertanya keras,
"He, Si Liong-cu belum datang, kenapa pintunya sudah dikancing?"
Dan dari arah lain lagi, "Apakah kau gila? Udara begini panas, kenapa kau tutup jendela- jendela itu? Cepat buka, supaya ada angin segar masuk!"
"Bukan aku yang menutup!"
“Kalau bukan kau, lalu siapa?"
“Aku kurang memperhatikan, sebab tadi aku hanya memperhatikan tari-tarian tapi tadi rasanya jendela itu terbuka….."
"Cepat buka!"
"Wah, tidak bisa! Dikancing dari luar!"
Mula-mula hanya keributan kecil, namun ketika para undangan menemukan semua pintu dan jendela sudah tertutup dari luar, mereka mulai agak panik. Orang-orang yang berprasangka buruk menambah suasana panik dengan mengatakan dugaan-dugaan yang menyeramkan.
"Jangan-jangan kita memang sengaja dikurung di sini, untuk.... untuk...."
"Untuk apa? Bicaramu membuat penasaran saja!"
"Untuk dibakar. Nah, kau tidak penasaran lagi?"
Dugaan itu beralasan, sebab udara semakin panas, dan samar-samar mulai tercium bau asap. Jelas bukan asap makanan, biarpun masakan-masakan itupun masih berasap yang sedap baunya. Keadaan jadi ribut, kepanikan menghinggapi semua orang. Para pemain musik dan gadis- gadis penari semakin menambah ribut dengan teriakan-teriakan mereka. Asap masuk semakin tebal.
Udara makin panas. Tegasnya, Yong Ceng mengumpulkan sahabat-sahabat lamanya itu bukan untuk menikmati masakan, melainkan untuk dijadikan "masakan" langsung. Yong Ceng khawatir para pendekar akan menagih janji lamanya tentang penghapusan diskriminasi bagi orang Han, maka daripada ia jemu menghadapi "tagihan" terus-menerus, lebih baik sahabat-sahabatnya itu sama sekali "dibebaskan" saja dari dunia ini. Dikirim ke dunia arwah, dimana tidak ada diskriminasi.
Kemeriahan pesta berubah jadi kegemparan. Teriakan-teriakan marah dan putus-asa terdengar di mana-mana. Ratusan orang saling mendorong dan menginjak untuk mencapai pintu atau jendela. Namun mereka kecewa. Jendela-jendela dan pintu-pintu yang catnya baru dan indah itu bukan terbuat dari kayu, melainkan sudah diganti dengan lempengan-lempengan besi, percuma didorong atau didobrak dari dalam.
Bahkan pintu-pintu besi itupun makin lama makin panas sampai catnya mengelupas. Itulah hasil kerja tukang-tukang yang dipekerjakan secara kilat. Lalu tukang-tukang itupun sudah dibereskan pula secara kilat agar tidak membuka rahasia.
“Kalau tidak bisa menjebol pintu atau jendela, jebol temboknya!" seseorang mengusulkan, mengatasi suara hiruk-pikuk Pedang, golok, ruyung dan berpuluh-puluh senjata lainnya segera dihunus untuk dipukul-pukulkan ke tembok, mencari harapan hidup mereka. Namun ternyata setelah lapisan-lapisan dinding itu terkelupas, nampak di bagian dalamnya ada lembaran besi. juga. Andai kata bisa dijebol, tentu makan waktu lama dan mereka semua keburu mati keracunan asap di ruangan tertutup itu, atau hangus.
Kepanikan segera merata. Pun-seng Hwe-shio nampak tetap duduk tenang di kursinya sendiri, namun wajahnya sudah basah air mata, la tidak menangisi kematiannya. la menangisi kenapa dulu pihak Siau-lim-pai begitu mempercayai Yong Ceng yang ternyata setelah menjadi Kaisar lalu berubah begini keji? la menangisi nyawa-nyawa yang akan melayang dalam ruangan yang makin panas. Menangisi jutaan rakyat kekaisaran, tak peduli apapun suku bangsanya, yang akan jatuh dalam pemerintahan seorang maha lalim seperti Yong Ceng.
"Dulu kami buta semuanya," sesalnya dalam heti. "Sesosok iblis berwujud manusia telah kami puja-puja seperti sesosok malaikat penolong yang akan membawa berkah bagi umat manusia."
Tapi ketika telinganya mendengar jerit panik dari orang-orang dalam ruangan itu, terbangkitlah semangat Pun-seng Hwe-shio. Semutpun akan menggigit kalau diinjak. Mana boleh dia membiarkan si Kaisar durhaka itu begitu gampang membasmi nyawa bekas sahabat-saha batnya sendiri? Tiba-tiba Pun-seng Hwe-shio bangkit dari duduknya sambil menggeram.
Di ambilnya sebatang ruyung baja dari meja seorang undangan yang tengah terlongong-Iongong kehilangan sukma, lalu ia melangkah lebar ke dinding ruangan. Saat itu dinding sudah rapat oleh manusia- manusia yang dengan kalap mengayun-ayunkan senjata untuk membobol dinding. Manusia manusia yang pikiran mereka sudah dibekukan oleh ketakutan dan kemarahan.
Pun-seng Hwe-shio mendesak maju sambil mendorong-dorongkan tangan kiri nya. Tak seorangpun sanggup menahan kekuatan raksasanya, sehingga tak lama kemudian di hadapannya terluang sebidang tembok besi yang sudah luka-luka oleh bacokan macam- macam senjata, namun nampaknya belum ada tanda-tanda akan berhasil dijebol.
Pun-seng Hwe-shio lalu mengerahkan tenaganya sampai otot thai-yang-hiat di pelipisnya menggelembung. Disertai bentakan memekakkan telinga, ia hantamkan ruyung baja itu ke tembok. Tembok itu berdebum dan bergetar dahsyat. Tidak.roboh, bahkan ruyungnya Patah. Namun hantamannya tepat di bagian tembok yang merupakan sambungan, sehingga terlihat mulai retak sedikit. Retakan kecil itu bagaikan pintu kehidupan yang disoraki dengan gembira oleh orang-orang dalam ruangan itu. Namun mereka merasa ruangan itu semakin panas.
"Gempur lagi. Toa-suhu!" mereka berteriak- teriak.
"Beri aku senjata lain!" kata Pun seng Hwe-shio sambil membuang potongan ruyungnya.
Terdorong rasa senasib di bawah ancaman maut, berpuluh-puluh orang segera meminjamkan senjatanya. Pun-seng Hwe-shio memilih sebatang tok-kak-tong jin (patung tembaga berkaki satu) yang bobotnya sangat berat, senjata bagi orang yang biasa mengandalkan tenaga besarnya. Sekali lagi ia mengerahkan tenaga, membentak dan menghantam, sekali lagi dinding itu bergetar dahsyat. Kali ini benar-benar terbuka. Lapisan besinya yang selebar lima kaki itu terpental keluar loteng itu. Namun setelah dinding terbuka, orang jadi ragu-ragu untuk melompat keluar.
"Di luar sudah penuh kobaran api!"
"Tidak mungkin kita melompat dari tempat setinggi ini!"
"Di halaman bawah sudah ada pasukan yang siap menyambut kita!"
Tetapi suara Pun-seng Hwe-shio menggemuruh, menindas suara-suara bernada putus harapan itu, "Diam! Kalian pilih mana? Tetap di tempat ini, kita mampus sia-sia seperti ayam goreng! Kalau kita keluar, barangkali juga mampus, tapi kita sudah melawan sebagai laki- laki! Jangan sampai Yong Ceng keenakan mendapat nyawa kita dengan cuma cuma!"
Seruan itu membangkitkan semangat orang banyak. "Toa-suhu benar! Lebih baik melawan mati-matian lebih dulu, mampuspun puas!"
"Ayo kita lompat keluar!" Pun-seng Hwe-shio sendiri bukan hanya membakar hati orang lain, namun juga mempelopori. Dipungutnya sebatang golok di lantai, lalu sambil memutar kencang golok itu di depan tubuhnya, dia mendahului orang-orang itu melompat keluar. Menerobos api yang menyala-nyala di luar dinding, dan di balik api itu ratusan pemanah Yong Ceng siap menaburkan panah-panah mereka. Juga beberapa ragu bersenjata bedil.
Rupanya Yong Ceng memang tidak menghendaki bekas sahabat-sahabatnya itu lolos seorangpun. Di bagian luar loteng Hong-thian-lau itu sudah berbaris melingkar pasukan Kiu bun Te-tok yang dipimpin Hap Lun sendiri. Hap Lun benci tugas pembantaian itu, namun ia tak dapat menolak perintah Kaisar yang tegas- tegas berpesan agar jangan satu-pun yang ketinggalan hidup. Para pemain musik dan penari-penari yang disewa dari sebuah kelompok kesenian itupun terpaksa ikut dikorbankan dalam api.
Pasukan yang mengepung di bawah loteng kaget ketika melihat selembar besi lempengan pelapis dinding tiba-tiba copot dan melayang keluar. Mereka berlari-lari menghindari benda itu, namun tiga orang perajurit agak terlambat dan merekapun berteriak ngeri tertimpa lempengan besi itu. Bukan saja berat, tapi juga panas karena sudah bebeberapa jam terpanggang api.
Itulah "harga" pertama yang harus dibayar Yong Ceng. Namun seperti di manapun dan kapanpun, "harga" itu tidak dibayar sendiri oleh Yong Ceng yang tengah enak-enak duduk di istananya, melainkan oleh kaum bawahan yang hanya menjalankan perintah. Menyusul dari atas loteng itu meluncur turun sesosok "manusia api" yang memutar golok. Itu bukan lain adalah Pun-seng Hwe-shio yang jubahnya terjilat api.
Para pemanah dan penembak segera beraksi. Namun karena barisan mereka masih agak kacau gara-gara jatuhnya lempengan besi tadi, maka bidikan mereka jadi kurang cermat. Sementara panah atau peluru yang terarah ke tubuh Pun-seng Hwe-shio telah tersapu goloknya yang diputar rapat-rapat.
Pun-seng Hwe-shio bertenaga besar, namun bukan seorang ahli meringankan tubuh. Maka begitu sampai ditanah, ia agak sempoyongan dan terguling guling. Tapi ia tidak cidera berat, hanya lecet, malahan api yang membakar pakaiannya jadi padam dan hanya sedikit meninggalkan luka kulit yang melepuh.
Begitu melompat bangun, Pun-seng Hwe-shio tidak mau memberi kesempatan para perajurit untuk memasang kembali panah mereka atau mengisi kembali bedil-bedil mereka. Sekali goloknya berkelebat, dua korban jatuh. Berkelebat lagi, dan tiga korban lagi ditambahkannya. Para perajurit jadi agak kacau. Sebagian segera meletakkan busur atau bedil mereka, mengganti dengan tombak dan pedang untuk mengeroyok Pun-seng Hwe-shio.
"Mana si murid durhaka In Ceng itu?!” teriak Pun-seng Hwe-shio beringas. "Suruh si pengecut itu keluar untuk mempertanggung-jawabkan kekejamannya...!”
Seorang perwira bersenjata Kui-thau-to (golok kepala setan) yang tebal dan berat, segera membacok. Agaknya dia bangga akan kekuatannya juga. Tapi begitu goloknya membentur golok Pun-seng Hwe shio, goloknya terpental dan menancap di tubuh seorang perajuritnya sendiri. Si perwira sendiri jatuh terjengkang.
Sementara itu, dari atas loteng susul-menyusul melompat keluar untuk berusaha hidup, daripada terpanggang mentah-mentah di dalam loteng. Beberapa orang yang melompat keluar itu langsung disambut panah atau peluru, sehingga yang sampai ke tanah hanyalah tubuh tidak berikut nyawanya. Setidak-tidaknya kematian mereka berharga sebatang panah atau sebutir peluru. Memang sangat murah, tapi tidak gratis.
Ada yang sampai di tanah dalam keadaan hidup, namun kaki atau punggungnya patah, sehingga mereka dengan kejam langsung dihabisi oleh para perajurit. Namun yang berhasil sampai di tanah tanpa kurang suatu apapun, segera menjadi serigala-serigala kelaparan yang secara kalap menerjang pasukan kerajaan. Begitulah terjadi pertempuran hebat di halaman Hong-thian-lau yang sudah menjadi obor raksasa itu.
Namun ada juga orang yang tidak berani melompat turun, lebih suka mati seperti laron-laron. Mereka rela memberikan nyawa mereka secara gratis kepada Yong Ceng. Meskipun para pendekar serta Pun-seng Hwe-shio melawan mati-matian, tetapi para perajurit berjumlah ribuan. Maka para pendekarpun bertumbangan satu satu.
Saat pembantaian dahsyat itu berlangsung, Yong Ceng berada di loteng tingkat sembilan, tingkat paling atas, dari pagoda yang dibangunnya untuk kaum Ang-ih-kau. Didampingi Liong Ke Toh dan beberapa pelayan yang membawa nampan makanan kecil. Sedang para pengawalnya berjaga di bagian bawah pagoda.
Dari tempat setinggi itu, Yong Ceng dapat melihat ke arah Hong-thian-lau. Dilihatnya kobaran api yang begitu besar sehingga di arah itu seakan-akan hendak terbit fajar. Tiba-tiba Yong Ceng merasa bahwa nama Hong-thian lau (Loteng Langit Merah) benar-benar cocok, sebab sekarang mampu mewarnai langit sesuai dengan namanya...
"Inikah makna firasatku ketika hendak meninggalkan Siong-san dulu?" pikir Pun-khong Hwe-shio.
Sementara Lu Kan San tak kenal ampun telah menusuk pula, kali ini ia baik-baik mengincar sasarannya dengan cermat. Sambil menyerang, ia membentak pula, "Hari ini kau mampus di tangan Ci-ki Tong-cu, keledai tua!"
Tapi sesosok tubuh melayang dari atas genteng dngan kecepatan kilat, menyelamatkan Pun-khong Hwe-shio. Satu tangannya menebas ketangkai tombak sehingga patah, dan tangan lainnya mendorong Lu Kan-san sampai mencelat mundur.
"He-he... sejak kapan Hap To menjadi Ci-ki Tong-cu?" ejek bayangan, yang menolong Pun-khong Hwe-shio itu.
Lu kan San dengan terkejut membentak, "Kau sia..." Kalimatnya tertelan kembali ke dalam tenggorokan, sebab ia segera mengenali orang itu. "Kau... kau., adalah..."
Ternyata dia cuma Lu Kan San gadungan. la sebenarnya adalah Hap To, si komandan Hiat-ti-cu, yang mengemban tugas dari Yong Ceng untuk mengadu domba Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang, se suai dengan usul Liong Ke Toh. Sedang orang bersenjata Tiat-koai itu bernama Tam Tai Liong, seorang Mongol, wakil komandan Hiat-ti-cu. Dengan gabungan antara dua orang itu, apalagi cuma Pun-khong Hwe-shio, bahkan Pun-bu Hwe-shio atau Ketua Hwe-liong-pang juga tak bisa mengalahkan mereka.
Hap To gentar kepada penolong Pun khong Hwe-shio itu, sebab ia mengenal pendatang baru itu adalah Pak Kiong Liong, jenderal tua yang sudah lama menghilang dari Pak-khia. Sebaliknya Tam Tai Liong yang merupakan orang baru di Pak-khia itu belum kenal siapa Pak Kiong Liong. Berbekal sikap macam itu. Tam Tai Liong bangkit lagi, lalu menerkam dengan Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit), ujung Tiat-koainya yang tajam langsung hendak "membedah" perut Pak Kipng Liong.
"Tam Tai Liong, dialah Pak Kiong Liong!" seru Hap To memperingatkan.
Namun Tam Tai Liong malah menambah tenaganya. Pikirnya, kalau Kim Seng Pa kabarnya bisa mengalahkan Pak Kiong Liong, kenapa dia tidak bisa? Siapa tahu kalau Kaisar mendengar berita kemenangannya, kedudukannya akan ditukar dengan Hap To?
Hanya saja, kali ini ia terlalu gegabah menghitung kekuatan lawannya. Pak Kiong Liong dengan tangkas memiringkan tubuhnya, dua tangannya bergerak sekaligus, tangan kiri mencengkeram lengan, tangan kanan mencengkeram pinggul. Lalu ia memutar tubuh sambil melemparkan Tam Tai Liong lewat belakang pundaknya. Maka terlemparlah Tam Tai Liong tidak tanggung-tanggung, melayang sampai jatuh di atas genteng, lalu merosot turun dalam keadaan babak belur.
Dalam urusan banting-membanting, Tam Tai Liong sebenarnya mahir juga gulat Mongol, namun kali ini ia harus rela mencicipi gulat gaya Manchu yang di sebut Sut-kau. Sebetulnya Tam Tai Liong berilmu tidak lemah, kalau ia tidak gegabah, tentu tidak semudah itu ia di pecundangi.
Sementara itu, dari atas genteng berlompatan pula dua sosok tubuh. Merekalah Tong Lam Hou dan muridnya, Pangeran In Tong, yang siang tadi juga tiba di Yu-pin. Jadi pihak Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai yang bermaksud saling “mengunjungi” itu malahan berpapasan di Yu-pin.
Mengenali Tong Lam Hou, Pun-khong Hwe-shio cepat berseru, "Pang-cu, tolong jelaskan kepada anak buahnya bahwa…”
Sahut Tong Lam Hou, "Mereka bukan anak-buahku, Toa-suhu...."
Sambil berbicara, tubuhnya bergerak cepat sekali mengelilingi arena, merobohkan beberapa anggota Hwe-liong-pang palsu yang sebenarnya adalah anggota-anggota Hiat-ti-cu itu. Sedangkan In Tong mengamuk pula dengan ganas. Ada lawan yang dipecahkan kepalanya, dijebol dadanya atau di cabut tangannya dengan tenaganya yang besar. Keruan pihak musuh jadi gempar melihat keganasannya. Biarpun yang dibunuhi adalah musuh, namun Pun-khong Hwe-shio jadi berkesan kurang baik kepada In Tong.
Sementara Tong Lam Hou juga telah memben tak muridnya, "In Tong, kuasai dirimu...”
"Baik, suhu," sahut In Tong yang menyesal karena kelakuannya telah membuat tidak senang gurunya.
Melihat datangnya Pak Kiong Liong, Tong Lam Hou dan In Tong, pihak Hiat-ti-cu insyaf bahwa mereka kini berada di pihak berbahaya, "Kan-loh-tin" mereka juga mulai berantakan. Hap To segera bersuit nyaring sebagai isyarat untuk mengundurkan diri, la sendiri langsung melompat ke atas genteng, diikuti oleh Tam Tai Liong yang meskipun badannya terasa remuk namun memaksa untuk menyelamatkan diri. Beberapa anggota Hiat-ti-cu juga berhasil menjauhkan diri dari arena, tetapi sebagian besar dari mereka belum lepas dari lawan mereka.
Sambil berbicara, tubuhnya bergerak cepat sekali mengelilingi arena, merobohkan beberapa anggota Hwe-liong-pang palsu yang sebenarnya adalah anggota-anggota Hiat-ti-cu itu. Untuk menolong teman-teman yang masih ketinggalan, Hap To, Tam Tai-Li-ong dan beberapa anak-buah mereka lalu mengeluarkan senjata khas kelompok mereka. Kantung-kantung kulit besar yang di dalamnya ada pisau jepit yang bisa memutuskan leher, yang dikendalikan dengan rantai panjang tipis.
Maka sesaat kemudian, di atas halaman belakang wihara itu melayang-layanglah senjata-senjata maut itu, siap mencaplok batok kepala si apapun yang lengah. Hampir bersamaan, Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong berteriak memperingatkan para pendeta,
“Awas Hiat-ti-cu.!”
Para pendeta Siau-lim-pai dan Go-bi-pai memang belum pernah melihat senjata seaneh itu, belum tahu pula cara-kerjanya senjata itu. Mereka hanya merasakan bahwa senjata aneh itu rupanya amat berbahaya, sebab Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou sendiri nampaknya khawatir.
Ketika sebuah kantung Hiat-ti-cu menyambar kepala Bu-teng Hwe-shio, pendeta itu mengelak sambil menunduk. Namun kantung kulit itu seperti seekor mahluk bernyawa yang tidak jatuh berkat kantung kulit tipis yang menyelubungi bagian luarnya dan berfungsi sebagai parasut itu, dengan pengendalian jarak jauh yang mahir, kantung kulit itu terus mengejar kepala Bu-teng Hwe-shio. Sekilas nampak mulut kantung itu seperti rahang seekor ikan hiu yang penuh gigi tajam, siap mengeremus hancur kepala korbannya.
Cepat Bu-teng Hwe-shio menikamkan pedangnya ke dalam kantung kulit itu, pisau-pisau dalam kantung segera menjepit dan mematahkan pedang Bu-teng Hwe-shio. Tapi ujung pedang Bu-teng Hwe-shio juga berhasil merobek kulit tipis pelapis luar kantung itu, sehingga udaranya bocor dan kantung itu jatuh ke tanah, tak bisa dikendalikan lagi.
Namun rupanya Bu-teng Hwe-shio lengah, dari belakangnya menyambarlah kantung lainnya yang langsung menungkrup kepalanya. Tak terlihat bagaimana muka Bu-teng Hwe-shio, sebab tertutup kantung maut itu, namun kalau melihat gerakan tubuhnya, jelas pendeta itu amat kesakitan. Tapi rasa sakit itu tidak lama, sebab kantung kulit itu terbang lagi meninggalkan tubuh Bu-teng Hwe-shio tetapi membawa serta batok kepaIanya.
Korban Hiat-ti-cu jatuh pula di pihak Siau-lim-pai. Dua pendeta huruf Ci juga menjadi pendeta-pendeta tak berkepala. Cocok dengan namanya, Hiat-ti-cu (Setetes Darah), para korban tidak mengeluarkan banyak darah, hanya sedikit saja.
Jatuhnya korban-korban itu menimbulkan kemurkaan Tong Lam Hou, Pak Ki-ong Liong dan Pun-khong Hwe-shio. Sebelum korban Hiat-ti-cu bertambah, mereka bertiga melompat ke atas untuk menyambar para Hiat-ti-cu yang masih menerbangkan senjata mereka seasyik anak anak bermain layang-layang. Tiga pukulan dahsyat dari tiga tokoh tua yang marah itu segera mengambil korbannya.
Pun-khong Hwe-shio mengeluarkan Thai-lik-kim-kong-ciang (Telapak Malaikat Tenaga Raksasa), sepasang telapak tangannya menghembuskan tenaga maha kuat, sehingga lembaran-lembaran genteng tersingkap lepas dari kerangkanya seperti dilewati badai. Dua anggota Hiat-ti-cu terpental dengan isi tubuh luluh lantak, darah mengalir dari semua lubang tubuh mereka.
Sementara Pak Kiong Liong dengan Hwe-Iiong-sin-kang juga telah mengambil korban dua algojo kejam itu. Keduanya roboh dengan tubuh hangus, seperti sepotong daging yang terlambat diangkat dari penggorengan.
Ketua Hwe-Iiong-pang adalah yang paling hebat di antara tiga orang itu, dengan pukulan Hian-im-ciang. Pukulannya tidak kelihatan hebat, tidak pula menerbitkan angin menderu yang memekakkan telinga, namun seolah ada jutaan batang jarum es lembut yang disebarkan dalam lingkaran seluas beberapa tombak. Empat tombak di sekitarnya, empat pula anggota Hiat-ti-cu yang menggeliat kejang dan roboh dengan kulit membeku kebiruan. Mereka merasa pori-pori tubuh mereka diresapi hawa dingin luar biasa, membuat darah menggumpal, menyumbat, nadi dan jantungpun tak mampu berdenyut lagi.
Hap To bergidik melihatnya, la segera kerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk kabur secepat-cepatnya. Sisa anak-buahnya yang masih tertinggal tidak dihiraukannya lagi. Namun Pak Kiong Liong mengejarnya dan membentak, “Jangan buru-buru pergi, saudara Hap, kita kan kenalan lama belum sempat berbincang-bincang?”
Alangkah takutnya Hap To mendengar itu, ia tahu yang dimaksud dengan "berbincang-bincang” ialah diperas keterangannya dari mulutnya. Dua orang Hiat-ti-cu yang berlari didekatnya, tiba-tiba dicengkeramnya dengan kedua tangannya yang bagaikan cakar-cakar elang, lalu dilemparkan ke arah Pak Kiong Liong, dan ia sendiri kabur secepatnya.
Mengira dirinya diserang, karena malam gelap, Pak Kiong Liong menyambut tubuh kedua Hiat-ti-cu itu dengan sengit, sehingga mereka mencelat dengan tulang-tulang rusuk berpatahan. Namun ia kehilangan jejak Hap To yang langsung menghilang dalam lorong-lorong kecil kota Yu-pin yang ruwet seperti sarang laba-laba itu. Bahkan Tam Tai Liong dan beberapa Hiat-ti-cu yang berkepandaian agak tinggi juga berhasil lolos.
Yang kasihan adalah para Hiat-ti-cu yang ilmunya pas-pasan dan tak sempat kabur. Untunglah Tong Lam Hou dan lain lainnya bukan orang haus darah, kecuali In Tong yang biarpun kejam namun tak berani berbuat semaunya di hadapan gurunya. Para Hiat-ti-cu yang tersisa dan masih hidup itu akhirnya hanya ditotok lumpuh dan ditawan.
Pihak para pendeta berkabung karena kehilangan tiga orang, termasuk Bu-teng Hwe-shio, si tuan rumah yang mengesankan. Namun pihak Hiat-ti-cu harus meninggalkan sepuluh mayat dan empat orang tawanan.
Sambil menarik napas, Pun-khong Hwe-shio berkata, "Tak terduga ada peristiwa menyedihkan macam ini. Kiranya orang-orang ini hanyalah anggota-anggota Hwe-liong-pang gadungan. Dan berita tentang murid-murid Siau-lim-pai yang membunuh delapan puluh sembilan anggota Hwe-liong-pang itu juga..."
Tong Lam Hou cepat menukas lembut, "Jangan khawatir, Toa-suhu, sejak semula pun aku tidak percaya murid-murid Siau-lim-pai menghasilkan tindakan biadab macam itu. Kami harap Toa-suhu juga percaya bahwa kami takkan menggunakan senjata-senjata keji macam itu...." sambil menunjuk sebuah kantong kulit Hiat-ti-cu yang tergeletak di tanah.
Sikap Ketua Hwe-liong-pang itu amat melegakan Pun-khong Hwe-shio yang memang datang untuk berdamai, bukan untuk berkelahi. "Semuanya jelas sekarang," kata Pun-khong Hwe-shio. "Ada pihak yang menyamar sebagai orang Hwe-liong-pang maupun Siau-lim-pai untuk mengadu domba kita."
"Mereka menginginkan Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai cakar-cakaran..." kata Pak Kiong Liong. "Mereka lupa bahwa di dalam Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai ada orang-orang berkepala dingin yang tak gampang dihasut. Si pengadu domba itu harus gigit jari."
Sampai di sini, kedua belah pihak sepakat. Namun ketidaksepakatan dimulai ketika Pun-khong Hwe-shio berkata, "Benar, Pangeran In Te benar-benar licik sekali..."
Pak Kiong Liong terkejut mendengarnya. "Maaf, Toa-suhu, apakah arti ucapan Toa-suhu itu?"
"Adu domba ini pasti didalangi oleh Pangeran In Te, karena dia tidak suka kehilangan Hwe-liong-pang yang di harapkan sebagai alat ambisinya kelak. Pak Kiong Goan-swe, kami baru pulang dari Pak-khia untuk berbincang dengan pamanda Sri baginda, dan ketika itu keadaan istana masih berantakan karena baru saja ada bentrokan antara dua kelompok pengawal istana, mereka juga di adu- doinba oleh In Te...."
"Aku kira Toa-suhu keliru. Mana mungkin Pangeran In Te mendalangi adu-domba ini? Orang yang menyamar sebagai Lu Ku San tadi sebenarnya adalah Hap To, komandan Hiat-ti-cu, regu algojo bengis yang hanya menjalankan perintah Yong Ceng."
Pun-khong Hwe-shio termangu-mangu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Jadi Pak Kiong Goan-swe malah menuduh Sribaginda yang mendalanginya? Ini tidak mungkin juga. Ketahuilah, perjalananku ini juga atas permintaan Sribaginda untuk merundingkan perdamaian dengan Hwe-liong-pang, tidakkah ini menandakan bahwa Sribaginda adalah seorang yang berusaha menghindari pertumpahan darah?"
"Itulah kelicikan Yong Ceng!" suara Pak Kiong Liong mulai meninggi. "Dia sanggup bermuka dua dengan sempurna! Di hadapan Toa-suhu, dia berperanan sebagai seorang yang cinta damai dan menghindari kekerasan. Tetapi di belakang layar dia menyuruh algojo-algojonya untuk mengadu domba, belumkah Toa-suhu menyadari hal ini?"
"Goan-swe, kaulah yang berat sebelah. Sribaginda sampai sekarang belum sempat mewujudkan janjinya karena keaaan negeri belum aman, ini antara lain karena orang-orang semacan Goan-swe yang ngotot mendukung Pangeran In Te sambil menghasut kesana kemari. Tidakkah Goan-swe sebenarnya hanya putus-asa karena Pangeran In Te gagal naik tahta?"
Pembicaraan jadi tegang karena Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio ngotot membela "momongan" masing-masing di Pak-khia sana. Sedangkan Pangeran In Tong diam-diam bersorak dalam hati, ia ingin ada keributan, tidak peduli siapa lawan siapa, sebab hanya dalam suasana macam itulah maka rencananya akan mendapat banyak peluang untuk berhasil. Dengan tegang dia menunggu, siapa yang akan menjotos lebih dulu?
Ternyata tidak ada adu jotos, sebab Ketua Hwe-liong-pang segera menempatkan diri di tengah sambil berkata, "He, kalian yang sudah berjenggot putih ini apakah hendak bertingkah laku seperti anak-anak berebutan kembang gula? Kalian berselisih pendapat, itu tidak keliru, tetapi tidakkah kalian sabar menunggu munculnya kebenaran yang sejati? Setidak-tidaknya kalian punya persamaan, yaitu sama-sama tidak ingin melihat pertumpahan darah di kekaisaran ini, ingin melihat kekaisaran ini aman, bukankah begitu?"
"Kau benar, A-hou...."
"Kau benar, Pang-cu....."
Yang kecewa adalah In Tong, baku hantam yang diharapkannya ternyata tidak terjadi. Sementara itu, mayat-mayat segera dibereskan, yang luka-luka diobati. Empat Hiat-ti-cu yang ditawan itu segera ditanyai, tetapi mereka hanyalah anak-buah yang tidak tahu terlalu banyak, mereka hanya menjalankan perintah dan menurut saja ketika disuruh menyamar sebagai orang-orang Hwe-liong-pang.
"Beberapa hari sebelum kami berangkat dari Pak-khia, sekelompok teman kami memang mendapat tugas yang agak ganjil," kata seorang Hiat-ti-cu yang sakit hati karena ditinggalkan begitu saja oleh Hap To. "Teman-teman kami itu disuruh mencukur gundul kepala mereka, dan mereka dipilih dari orang-orang yang pandai bertempur dengan toya, mereka juga diajari beberapa jurus ilmu toya...."
Wajah Pun-khong Hwe-shio berkerut mendengar keterangan itu, kepercayaannya akan "keluhuran budi" Yong Ceng mulai terusik, biarpun belum lenyap sama sekali. "Ilmu toya apa, dan siapa yang melatihnya?" desak Pun-khong Hwe-shio, lebih bernafsu dari Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou yang bukan pendeta.
Sahut si tawanan, "Entahlah, Toa-suhu, aku agak lupa meskipun temanku pernah bercerita kepadaku. Kalau tidak salah seperti... Hok... mo... entah apa kelanjutannya....."
"Hok-mo-tung-hoat?"
"Ya, benar!"
"Siapa yang melatih?"
"Aku tidak tahu. Mereka diijinkan berlatih di ruangan yang secara pribadi sering digunakan latihan Sribaginda sendiri...."
Kuping Pun-khong Hwe-shio dan pendeta-pendeta Siau-lim-pai lainnya berdengung mendengar jawaban itu. Suka atau tidak suka, mereka mulai mencurigai Yong Ceng. Selama ini sebagai orang-orang beribadat, mereka selalu berpikiran lurus, tak pernah menyangka bahwa Yong Ceng bisa bermuka dua macam itu. Di satu pihak menyuruh paman-gurunya sebagai "utusan perdamaian" ke Tiau-im-hong, di lain pihak membunuh orang-orang Hwe-liong-pang secara keji "atas nama" Siau-lim-pai.
"Mungkinkah... dia itu seekor serigala berbulu domba?"
Pun-khong Hwe shio berdesis. Pertanyaan yang ditujukan kepada diri sendiri, namun ia tidak berani menjawabnya sendiri. Di wajahnya bercampur aduk ekspresi kemarahan, ketidak-percayaan, malu, kecewa dan entah apa lagi.
Biarpun Pak Kiong Liong senang bahwa Pun-khong Hwe-shio mulai "terbuka matanya", namun ia secara bijaksana tidak menggunakan kesempatan itu untuk menuding-nuding kesalahan orang, dibiarkannya pendeta tua itu merenung sendiri. Bukan salah para sesepuh Siau-lim-pai sepenuhnya, namun karena lihainya Yong Ceng bersandiwara sebagai "anak manis" di depan gurunya, paman gurunya, saudara-saudara seperguruannya dan sahabat-sahabatnya selama ini.
"Aku harus ke Pak-khia untuk bertanya sendiri kepada Yong Ceng, kenapa ia lakukan semuanya ini?" desis Pun-khong Hwe-shio.
"Semuanya harus dilakukan dengan kepala dingin, Toa-suhu, supaya kita ke Pak-khia tidak sekedar menyetorkan batok kepala kita," kata Pak Kiong Liong menghibur, karena tahu hati pendeta tua itu sedang terluka. "Kelak kami bersedia menemani ke Pak-khia...."
Otak Pun-khong Hwe-shio memang sedang beku rasanya, maka ia hanya mengangguk-angguk saja. Begitulah, Tong Lam Hou dan Pun-khong Hwe-shio yang tadinya bermaksud saling mengunjungi, malah bertemu di Yu-pin dan akan bergabung pergi ke Pak khia. Namun harus menunggu sampai luka luka di kaki Pun-khong Hwe-shio sembuh Yang menjadi gembira adalah In Tong. Akan ada keributan lagi. Kini Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai satu pihak, menghadapi Yong Ceng dilain pihak, la harus pandai melihat ksempatan demi rencananya sendiri.
Sekarang tentang Pun-seng Hweshio, rahib tinggi besar bermuka hitam yang sudah tua namun tetap berangsan. Sejak dia meninggalkan Yu-pin untuk mengejar para pendeta gadungan, ia hampir tak pernah beristirahat. Karena bentuk tubuh dan tampangnya gampang menarik perhatian orang, ia mengganti jubah pendetanya dengan pakaian biasa, sedang kepalanya memakai caping bambu yang tepiannya melengkung ke bawah untuk menyamarkan wajahnya.
Dengan bertanya tanya sepanjang jalan, ia berhasil juga mengenali arah perjalanan orang- orang yang dikejarnya. Dua hari sejak ia meninggalkan Yu pin, orang-orang itu sudah dilihatnya di depan sana. Sebagai orang berwatak tidak sabaran, ia tidak telaten mengikuti saja dari kejauhan. Begitu melihat mereka, langkahnya segera dipercepat untuk mengejar, sambil menggeram,
"Biar langsung kutanyai mereka, kalau jawaban tidak memuaskan, langsung kubekuk mereka untuk dibawa ke Tiau-im-hong."
Dan suaranya yang keras pun terdengar dijalanan itu, "He, berhentilah kalian...!"
Kawanan pendeta gadungan itu sebenarnya sedang berjalan sambil bercakap cakap jorok. Salah seorang dari mereka sedang menceritakan tentang pelacur berpinggang besar yang semalam menemaninya. Tapi ketika ada orang memanggil, cepat-cepat mereka berubah sikap. Telapak tangan kiri tegak di depan dada, kepala agak menunduk, muka alim, tangan kanan memegang toya. Benar-benar mirip para hwe-shio sejati.
"Omitohud, ada keperluan apa tuan memanggil kami?” tanya seorang Hwe-shio yang tubuhnya pendek.
Pun-seng Hwe-shio panas hatinya ketika melihat mereka benar-benar berpakaian seperti orang-orang Siau-lim-si. Mereka juga berkalung tasbih, membawa kantong derma berwarna putih yang berlukis lambang "Ban-ji" (Swastika) yang merupakan lambang Siau-Iim-pai. "Apakah kalian dari Siau-lim-pai?" tanya Pun-seng Hwe-shio tanpa berputar-putar lagi.
"Benar," sahut yang ditanya, karena mengira Pun-seng Hwe-shio bukan pendeta.
"Kenapa kalian bepergian sejauh ini?"
"Kami baru saja menumpas sekelompok bandit Hwe-Iiong-pang yang mengacau keamanan negara," sahut si hweshio gadungan kalem, la bahkan berharap bahwa ucapannya akan tersebar, dan memanaskan hubungan antara Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang.
"Siapa yang menyuruh kalian?"
Si "hweshio" pendek dengan beraninya terus membual. "Kami ditugaskan oleh paman-guru kami, Pun-seng Hwe-shio."
"Bagaimana tampang Pun-seng Hwe-shio itu?"
Memangnya hwe-shio gadungan itu belum tahu bagaimana tampang Pun-seng Hwe-shio, maka ia menjawab dengan menggambarkan tampang umumnya para hwe-shio, "Beliau bermuka putih kemerah-merahan, penuh welas-asih, selalu tersenyum dan rendah hati...."
"Pembohong!" Pun-seng Hwe-shio tak dapat menahan kemarahannya dan mencopot caping bambunya. "Lihat baik-baik tampang asli paman gurumu ini!"
Lalu terlihatlah bentuk kepalanya yang asli. Gundul, hitam dan berkilat-kilat. Hwe-shio gadungan berwajah pendek itu memang kaget sejenak, la sebenarnya adalah anggota Hiat-ti-cu yang berasal dari golongan hitam, bernama Im Bun To dan berjuluk Ya-hing-kui-liong (Serigala Iblis Pengembara Malam). Namun karena banyak temannya dan yang dihadapinya hanya seorang, maka nyalinya jadi besar, la malahan tertawa dan berseru kepada teman-teman.
"Teman-teman, berikan salam hangat kepada paman-guru!"
"Salam hangat”nya dibuka dengan kemplangan loya yang keras ke pelipis Pun-seng Hwe-shio. Hek-liong-pa-bwe (Naga Hitam Memutar Ekor). Pun-seng Hwe-shio menggeram Sengit. Dalam kemarahannya, langsung saja ia bertempur dengan gaya ciptaannya sendiri, Hong-gu-kun-hoat (Silat Kerbau Gila). Kemplangan musuh tidak digubrisnya, namun dibarengi dengan jejakan kakinya yang lebih cepat ke arah perut Im Bun To. Itulah ciri khas Hong-gu-kun-hoat, serangan langsung dibalas serangan.
Kalau serangan pertama gagal, sebenarnya Im Bun To sudah menyiapkan serangan susulannya. Tapi reaksi Pun-seng Hwe-shio tak terduga. Dengan gugup ia memalangkan toyanya untuk membendung kaki Pun-seng Hwe-shio. Toyanya terpental lepas, sepasang telapak tangannya sampai terkelupas berdarah. Baru sekarang ia sadar betapa berbahanya kelakarnya tadi.
Para pendeta gadungan lainnya juga segera turun tangan serempak. Seorang yang bernama Kang Huai Ok dan berjulukan Tiat-kak-lok (Menjangan Bertanduk Besi), melompat tinggi. Dengan gugup ia memalangkan toyanya untuk membendung kaki Pun-seng Hwe-shio. Toyanya terpental lepas, sepasang telapak tangannya sampai terkelupas berdarah dan ujung toyanya dia sodokkan ke arah mata Pun-seng Hwe-shio.
Dengan cengkeraman Kim-liong-tam jiau (Naga Emas Mengulur Cakar), Pun-seng Hwe-shio berhasil mertcengkeram ujung toya Kang Huai Ok tanpa bergeming, sehingga Kang Huai Ok yang tengah melompat tinggi itu jadi terkatung-katung di tengah udara karena tetap berpegangan pada toyanya.
Pun-seng Hwe-shio tertawa bergelak, "Keponakan murid yang manis, salam hangatmu sudah kuterima. Kau boleh mundur dulu!"
Lalu dengan kekuatan yang mirip ekor kerbau digabung jadi satu, ia lemparkan tubuh toya dan pemiliknya sekalian. Tubuh Kang Huai Ok melayang deras dan baru berhenti setelah menubruk pohon di pinggir jalan. Matanya berkunang-kunang dan tulang punggungnya sakit sekali, untuk sementara ia tidak bisa ikut berkelahi.
Tapi yang lain-lainnya segera mengerubut Pun-seng Hwe-shio. Di antara mereka terdapat bekas jago-jago tangguh golongan hitam seperti Im-kan-tiat koai (Tongkat Besi Neraka) Kao Seng, Keng-te-ai-mo (Hantu Cebol Menggetar Bumi) Au Yang Ki dan sebagainya, yang dipilih oleh Yong Ceng karena pintar bersilat dengan toya. Kemudian Im Bu To dan Kang Huai Ok berhasil bangkit lagi untuk ikut mengepung.
Betapapun tangguhnya Pun-seng Hwe-shio, karena dikeroyok delapan jagoan tangguh, ia repot juga. Sebagian besar permukaan kulitnya memang tahan gebukan, namun lawan-lawannya dengan cerdik tidak mau menggebuk sembarangan, melainkan kebagian-bagian lemah seperti mata, belakang kuping, selakangan, biji leher, tulang kering dan sebagainya, mau tak mau Pun-seng Hwe-shio harus menyelamatkan tempat-tempat itu.
Namun lawan-lawannya tercengang juga melihat ketangguhan si raksasa hitam dari kuil Siau-lim itu. Tinju, sabetan telapak tangan atau tendangan Pun-seng Hwe-shio berdesir desir mengguncangkan udara, sanggup meremukkan bagian tubuh mana saja yang dikenai-nya. Kadang-kadang jari-jari tangannya juga berfungsi sebagai pedang yang bisa membuat isi perut bertebaran.
Diam-diam Pun-seng Hwe-shio menyesal dulu tidak menuruti nasehat kakak seperguruannya untuk memperdalam lwe-kang (tenaga dalam) dan hanya melatih gwa-kang (tenaga luar). Kalau ia berlatih lwe-kang, tentu bisa melakukan pukulan jarak jauh seperti Pek-gong-ciang (Memukul Udara Kosong) atau Thai lek-kim-kong-ciang. Namun ia tidak bisa kedua macam ilmu itu, terpaksa hanya mengandalkan jurus-jurusnya dan kekebalan kulitnya yang tidak menyeluruh.
Jemu akan perkelahian yang tidak selesai-selesai itu, Pun-seng Hwe-shio nekad mengincar salah satu lawan dengan serangan ganda. Tangan kiri dengan dua jarinya hendak menusuk mata, tipu Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Merebut Mutiara), tangan kanan menjotos perut dengan Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Me nerkam Hati). Lawannya mundur sambil menunduk, berbareng menyodokkan toyanya ke kemaluan Pun-seng Hwe-shio. Sementara dua temannya dari dua arah serempak menggebuk ke tengkuk dan ubun-ubun Pun-seng Hwe-shio.
Kali ini Pun-seng Hwe-shio nekad, ia hanya menunduk dan serahkan pundaknya untuk digebuk dua kali sampai ia menyeringai kesakitan, tapi ia maju terus. Jotosan ke depan diubah menjadi Tin-jiu-kim-na (Menurunkan Sikut Dan Menangkap), toya musuh yang menyerang selakangannya kena tertangkap dan langsung ditarik sekuat tenaga. Si pemegang toya terhuyung ke depan dengan wajah pucat, sadar akan nasib buruk yang sudah menunggunya. Benar, ia roboh dengan pelipis retak kena tamparan Pun-seng Hwe-shio, dan toyanya berpindah ke tangan si raksasa hitam.
Dengan toya di tangannya, Pun-seng Hwe-shio seperti macan yang keluar sayapnya, amukannya semakin hebat. Sebaliknya lawannya mulai kocar-kacir, mereka tidak lagi berpikir untuk bekerja sama, namun memikirkan bagaimana menyelamatkan diri sendiri-sendiri. Maka kerja-sama mereka makin kacau, makin gampang diobrak-abrik Pun-seng Hwe-shio.
Terdengar pendeta muka hitam itu menggertak, "Menyerahlah kalian, supaya bisa kubawa ke Tiau-im-hong untuk mempertanggung-jawabkan kekejaman kalian di kota Yu-pin!"
Tentu saja kaki tangan Yong Ceng itu enggan menyerah dan dijadikan bulan-bulanan kemarahan orang-orang Hwe-liong-pang. Mereka tetap melawan dengan gigih. Ketika suatu kali Pun-seng Hwe-shio menyikut dada seorang musuh dari samping, orang itu pasang kuda-kuda dan mengerahkan tenaga untuk memalangkan toya besinya. Toya besi kena sikutan ltu sehingga melengkung, si pemegangnya sendiri nampak tegar dan kokoh.
Teman-temannya kagum melihat itu, mengira teman mereka itu dapat menandingi kekuatan Pun-seng Hwe-shio biarpun senjatanya rusak. Namun tubuh orang yang dikagumi itu tiba-tiba roboh seperti seonggok kain saja, lalu meringkuk tak berkutik. Maka kepungan para kaki tangan Yong Ceng itu semakin kendor dan serabutan. Mereka sebenarnya ahli juga bertempur jarak jauh dengan kantong kulit Hiat-ti-cu, namun dalam penyamaran sebagai pendeta-pendeta Siau-sim-si, mereka tidak membawa barang-barang itu.
Di saat mereka mulai cemas, dari jauh nampaklah dua orang berkuda yang memakai jubah dan topi pembesar. Manchu. Salah satu dari mereka bertubuh tinggi besar seperti Pun-seng Hwes-hio hanya mukanya tidak hitam, dan ia membawa tombak panjang. Melihat kedatangan kedua orang itu, para pendeta gadungan jadi gembira.
"Hap Cong-koan, Tam Tai Hu cong koan!" teriak salah seorang. Ketika berteriak itu dia agak lengah sehingga lututnya disapu patah oleh Toya Pun-seng Hwe-shio. Mereka adalah Hap To dan Tam Tai Liong yang di kota Yu-pin telah gagal membunuh orang-orang Siau-lim-pai dengan menyamar sebagai orang-orang Hwe-liong-pang. Dan kini mereka jumpai pula anak-buah mereka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta Siau-lim-pai itu tengah dibikin morat-marit oleh Pun-seng Hwe-shio.
Hap To yang berilmu tinggi itu sama sekali tidak gentar melihat tandang Pun-seng Hwe-shio. Dari kejauhan ia telah memacu kudanya sambil berseru kepada anak-buahnya, "Minggir kalian!"
Para pendeta gadungan itu berlompatan minggir, mereka tinggal lima orang, namun lega melihat kedatangan Hap To dan Tam Tai Liong yang bisa diandalkan. Ketika itulah tubuh Hap To yang besar itu tiba-tiba melayang mendahului kudanya, bagaikan seekor burung elang besar, ia menubruk dari angkasa dan tombaknya menikam dengan gerakan Sam goan-tho-goat (Tiga Gelang Menjerat Rembulan). Ujung tombaknya melingkar lingkar, tidak jelas manakah sasaran yang sebenarnya.
Pun-seng Hwe-shio kehilangan banyak lawan dan mendapatkan hanya satu lawan sebagai gantinya, tetapi yang satu orang ini ilmunya lebih tinggi dari lawan-lawan terdahulu. Gerakan tombaknya membingungkan. Tapi Pun-seng Hwe-shio tidak sudi memusingkan kepala untuk menebak arah serangan yang sebenarnya, pokoknya serangan dibalas serangan. Dengan tipu Boan-liong-seng-thian (Naga Naik ke Langit) toyanya ia sodokkan ke pusar lawannya yang tengah melayang di udara.
Itulah serangan nekad, kalau sama sama diteruskan maka kedua pihak akan gugur bersama. Akhirnya Hap To kalah nyali dan merasa lebih baik mencari cara lain. Di tengah udara ia melakukan Hui-eng-hoan-sin (Elang Terbang Membalik Tubuh), badannya berputar dan mendarat beberapa langkah di samping Pun-seng Hwe-shio. Tapi toh keringat dinginnya mengalir juga.
Sementara itu, Tam Tai Liong juga menerjang bersama kudanya, bahkan kaki kaki kuda yang depan itu merupakan serangan berbahaya pula, sedangkan Tam Tai Liong mengangkat tinggi-tinggi senjata Tiat-koainya untuk melubangi kepala Pun-seng Hwe-shio.
Tangkas sekali Pun-seng Hwe-shio menghindar ke sebelah kiri kuda, sehingga Tam Tai Liong yang bukan orang kidal itu mati langkah. Sebelum sempat ia memutar tubuh, Pun-seng Hwe-shio telah membuang toyanya dan dengan tangan kiri menjambret tali di moncong kuda, mengerahkan tenaga sambil berseru, "Turun!”
Hebat kekuatan pendeta raksasa muka hitam itu. Memang ia terseret dua langkah, namun kuda yang tengah berlari kencang itupun berhasil dihentikannya hanya dengan tangan kiri. Ketika Pun-seng Hwe-shio sekuat tenaga menekan ke bawah, kuda itu dipaksa "berlutut dengan kedua kaki depannya. Tam Tai Liong yang dengan susah payah berusaha menguasai keseimbangan, tahu-tahu tengkuknya berhasil dicengkeram Pun-seng Hwe-shio lalu dibanting pingsan.
Tetapi Pun-seng Hwe-shio tidak sekedar menuruti kemarahannya saja, dia sadar bahwa dirinya seorang takkan bisa melawan Hap To ditambah lima pendeta gadungan yang masih waras. Maka sehabis membanting Tam Tai Liong, dengan langkah lebar Pun-seng Hwe-shio kabur ke dalam hutan.
Hap To dan anak-buahnya tidak mengejar. Sambil mengutuk habis-habisan, mereka angkut tubuh-tubuh yang tewas dan terluka itu kekota yang terdekat. Hap Tu bercerita pula bahwa usaha adu-domba agaknya gagal, karena pihak-pihak yang diadu domba cukup berkepala dingin.
Sementara itu, dalam hutan Pun-seng Hwe shio mulai memutar otak. Ia bertenaga kerbau namun tidak berotak kerbau. Tadinya ia menduga kelompok pengadu domba itu adalah "begundal-begundal In Te", tapi mendengar orang-orang tadi berteriak memanggil Hap Cong-koan" dan "Tam Tai Hu-congkoan" ia jadi bimbang. Namun ia belum timbul tuduhan ke arah Yong Ceng, bukankah Yong Ceng sendiri meminta para pendeta Siau-lim-pai menjadi "utusan perdamaian" ke Tiau-im-hong?
Bukan goblok, tapi ia terlalu polos mengikuti liku-liku "permainan" Yong Ceng. Dalam bimbangnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Pak-khia sekali lagi, ia berharap Yong Ceng masih menghargainya sebagai paman guru dan menjawab dengan jujur semua pertanyaannya. Bagaimanapun juga, kepercayaannya kepada Yong Ceng sudah mulai luntur. Karena itu, ia masuk kota dengan menyamar sebagai seorang tua bungkuk, supaya tinggi badannya yang menyolok itu tidak menarik perhatian, la juga tidak langsung ke istana, melainkan berkeliling-keliling kota Pak-khia lebih dulu.
Ketika perutnya lapar, ia masuk ke warung yang kelihatannya murah, sebab bekalnya tinggal sedikit. Dan kalau biasanya ia menghabiskan sepuluh mangkuk nasi, maka sekarang dia harus puas dengan dua mangkuk saja, itupun tanpa lauk-pauk, sehingga pemilik warung dengan ogah-ogahan melayani "orang tua meIarat" itu.
Tengah ia duduk dalam warung, nampak dua orang tamu masuk ke warung itu. Dua orang lelaki gagah yang membawa senjata, menandakan bahwa mereka dari kalangan persilatan. Mereka duduk, lalu bercakap-cakap dengan logat propinsi Hok-kian yang jauh di selatan. Mula-mula Pun-seng Hwe-shio tidak tertarik oleh pembicaraan mereka, namun lama-lama ada juga daya penarik dalam percakapan meieka, sehingga Pun-seng Hwe-shio mulai pasang kuping sambil pura-pura makan.
"Akupun tadinya mengira setelah Si Liong-cu menjadi Kaisar, dia akan melupakan kita...." kata si tamu yang lebih pendek tubuhnya, la membawa sebatang tombak pendek yang disandarkan di meja. "Karena itu, aku hampir tidak percaya ketika seorang perajurit gubernuran Hok-kian datang ke rumahku, membawa sepucuk surat undangan yang ditulis sendiri oleh Si Liong-cu."
Nada suaranya terdengar amat bangga. Maklumlah, yang disebut Si Liong-cu itu adalah salah satu nama samaran Kaisar Yong Ceng semasa masih berkelana di dunia persilatan dulu. Tidak heran kalau orang itu bersuara keras, agar orang-orang di warung itu mendengar semuanya. Siapa tidak bangga kalau diundang sendiri oleh Kaisar?
Tetapi teman semejanya tidak buru buru bangga, malah mukanya nampak prihatin. Katanya, "Saudara Lim, jangan buru-buru bangga dulu. Kita belum tahu ada maksud apa Kaisar mengundang semua bekas sahabat-sahabatnya di Kang-lam untuk berkumpul di Pak-khia. Si Liong-cu sekarang jangan dianggap sama dengan Si Liong-cu semasa masih berjuang memerangi golongan hitam bersama kita dulu. Sekarang ia adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang jalan pikirannya rumit, tak dipahami oleh orang-orang kasar dunia persilatan macam kita-kita ini.."
“Jadi, apa tujuan saudara Ho datang ke Pak-khia ini?" si lelaki she Lim berkata dengan nada tidak senang, la merasa bahwa orang she Ho itu agak "mengurangi kebanggaan"nya. "Apa kita datang dengan prasangka buruk? Atau jangan-jangan jauh di dasar hati kita ada perasaan iri akan kedudukannya yang agung? Bukankah dalam surat undangan itu dia memakai nama Si Liong-cu, tidak memakai cap kekaisaran, menandakan undangan itu dari sahabat kepada sahabat? Bukankah ia tidak menyombongkan kedudukannya sebagai Kaisar?"
Orang she Ho itu ingin mengingatkan riwayat lama. Bagaimana Cu Goan-ciang berjuang bersama Han San Tong, Han Lim Ji, Siang Gi Jun dan Thio Su Seng ketika masih sama-sama melarat, untuk menumbangkan dinasti Goan. Namun setelah Cu Goan-ciang naik tahta, mendirikan dinasti Beng dan bergelar Hong-bu, maka semua teman seperjuangannya malah dianggap duri dalam daging.
Han San Tong dan Han Lim Ji, pemimpin Pek-lian-kau (agama Teratai Putih), ditumpas habis dan Pek lian-kau dinyatakan sebagai kelompok terlarang, padahal Pek-lian-kau banyak membantu perjuangan Cu Goan-ciang. Thio Su Seng dan pasukannya dihancurleburkan di tepi sungai Tiang-kang karena dianggap hendak menyaingi kekuasaannya.
Siang Gi Jun, sahabat Cu Goan-ciang yang paling jujur, disuguhi makanan beracun hingga menemui ajalnya. Itulah riwayat orang yang mabuk kekuasaan sehingga "memakan" sahabat-sahabatnya sendiri. Dulu Si Liong-cu memang teman para pendekar Kang-lam, tapi apakah sekarang masih begitu? Orang she Ho ingin mengingatkan temannya she Lim itu dengan riwayat Cu Goan-siang, namun di warung itu teri alu banyak orang.
Akhirnya orang she Ho itu cuma berkata, “Entahlah, mungkin memang aku terlalu berprasangka. Mungkin juga ter lalu terpengaruh berita tentang kekejaman... ah sudahlah. Kita lihat saja nanti...”
Orang she Lim menyahut, "Tentu saja kau hanya berprasangka, saudara Ho. Seorang penguasa, demi menyelamatkan negara dan rakyatnya, kadang-kadang memang harus bertangan besi terhadap golongan pengacau. Dan berita ini diputar-balik lalu disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak menyenangi sahabat kita itu naik tahta."
Setiap kali mengucapkan kata "sahabat kita", ia bersikap bangga, sambil menoleh kiri kanan, untuk menyaksiikan bagaimana wajah orang-orang di warung itu menunjukkan rasa iri kepada para "sahabat Kaisar" yang diundang pesta di loteng Hong-thian-lau itu.
Percakapan tambah ramai dengan munculnya dua orang lagi yang langsung bergabung di meja orang she Lim dan Ho yang agaknya sudah saling kenal semuanya. Kedua tamu baru ini pun mengaku mendapat "undangan bersahabat" dari Si Liong-cu. Salah seorang dari mereka nampak pendiam dan berwajah dingin, tapi sekali ia buka mulut, bukan kepalang bualannya.
Katanya dulu Si Liong-cu pernah diperbaiki ilmu silatnya atas permintaan Si Liong-cu sendiri. Di lain saat, katanya pernah menolong Si Liong-cu dari ancaman segerombolan bandit, sehingga ia yakin tentu sampai sekarang Kaisar Yong Ceng masih merasa berhutang budi.
Lalu pembicaraan beralih, soal bagaimana menghadapi Yong Ceng kelak? Yang satu usul untuk berlutut saja, bagaiamanapun juga Si Liong-cu sudah menjadi Kaisar yang disujudi seisi kekaisaran. Yang lain bilang, cukup memberi hormat secara dunia persilatan saja, sebab Si Liong-cu mengundang bukan sebagai Kaisar, melainkan sebagai sahabat lama. Si pembual bilang, ia akan merangkul dan menepuk-nepuk pundak Si Liong-cu. Kawan-kawannya jadi melongo, setengah percaya setengah tidak.
Pun-seng Hwe-shio jemu mendengar pembicaraan yang makin simpang siur dan tak bermutu itu. la segera membayar makanannya dan terbungkuk-bungkuk meninggalkan warung sambil memakai capingnya. Namun ia senang mendapatkan berita itu. Pikirnya, "rupanya Si Liong cu masih ingat juga kepada sahabat-sahabat lama yang bagaimanapun juga berjasa mendukungnya sampai ke tahta. Di hadapan para pendekar yang diundangnya, mudah-mudahan ia ingat janjinya untuk menghapuskan diskriminasi terhadap bangsa Han, syukur kalau sekaligus mengumumkan tindakan nyata."
Maka Pun-seng Hwe-shio membatalkan niatnya untuk ke istana, ia ingin hadir saja di loteng Hong-thian-lau (loteng langit merah) untuk melihat bagaimana sikap Yong Ceng di depan para pendekar. Biarpun ia tidak memiliki sepucuk surat undanganpun. namun ia yakin sebagai paman gurunya Yong Ceng akan di sambut.
* * * *
Loteng Hong-thian-lau yang tiga tingkat itu tadinya sebuah bangunan setengah bobrok yang tak terpakai. Namun menjelang acara perjamuan yang diselenggarakan Yong Ceng tempat ini di perbaiki dengan mengerahkan ratusan tukang yang dijanjikan upah tinggi. Namun selama bekerja, tukang-tukang itu diawasi oleh sepasukan perajurit bersenjata lengkap. Juga ada peraturan aneh, selama bekerja, para tukang dilarang berbicara kepada siapapun.
Selesai perbaikan di tempat itu, para tukang dibariskan dan diajak ke sebuah tempat sepi di luar kota, katanya untuk "menerima upah". Namun mereka tidak kembali lagi ke keluarganya masing-masing. Hari perjamuan tiba. Para pendekar undangan berbondong-bondong datang ke Hong-thian-lau yang kini sudah nampak megah. Ada yang kelihatan gembira dan bangga, ada yang acuh tak acuh, ada yang nampak waspada meskipun kurang jelas harus waspada kepada apa dan siapa.
“Tidak ada yang Patut dicurigai, Saudara Si Liong-cu agaknya benar-benar tulus ingin menjamu kita sebagal sahabat-sahabat lamanya," kata seorang tamu. "Mari masuk bersama aku, saudara Sun. Jangan begitu tegang seolah-olah hendak maju ke medan perang saja."
Oleh seorang penyambut tamu berpakaian indah, semua undangan dibawa ke lantai dua dan tiga. Lantai pertama hanya untuk meletakkan banyak perabotan kayu yang tak terpakai, serta berpuluh-puluh guci yang nampaknya adalah guci-guci arak. Begitu para tamu duduk, suguhan mulai dihidangkan, sebuah rombongan musik mengiringi sekelompok penari yang memancing tepuk tangan para tamu. Orang-orang yang tadinya bersikap tegang, kini mulai mengendorkan kewaspadaan mereka.
Tetapi setelah sekian lama, Yong Ceng belum juga kelihatan batang hidungnya. Sebagian kecil undangan merasa heran, tapi sebagian besar lebih peduli kepada hidangan-hidangan dan acara-acara yang menghibur hati. Beberapa orang masih berlomba memuji-muji Si Liong-cu "yang baik hati", sudah menjadi Kaisar namun belum melupakan teman lama.
Dan mereka tak menyadari bahwa para penyambut tamu yang berpakaian indah-indah itupun satu persatu menghilang dari ruangan itu tanpa kentara. Hanya Pun-seng Hwe-shio yang mendadak merasa hatinya tidak enak. Apalagi ketika dari dekat pintu sana tiba-tiba terdengar seseorang bertanya keras,
"He, Si Liong-cu belum datang, kenapa pintunya sudah dikancing?"
Dan dari arah lain lagi, "Apakah kau gila? Udara begini panas, kenapa kau tutup jendela- jendela itu? Cepat buka, supaya ada angin segar masuk!"
"Bukan aku yang menutup!"
“Kalau bukan kau, lalu siapa?"
“Aku kurang memperhatikan, sebab tadi aku hanya memperhatikan tari-tarian tapi tadi rasanya jendela itu terbuka….."
"Cepat buka!"
"Wah, tidak bisa! Dikancing dari luar!"
Mula-mula hanya keributan kecil, namun ketika para undangan menemukan semua pintu dan jendela sudah tertutup dari luar, mereka mulai agak panik. Orang-orang yang berprasangka buruk menambah suasana panik dengan mengatakan dugaan-dugaan yang menyeramkan.
"Jangan-jangan kita memang sengaja dikurung di sini, untuk.... untuk...."
"Untuk apa? Bicaramu membuat penasaran saja!"
"Untuk dibakar. Nah, kau tidak penasaran lagi?"
Dugaan itu beralasan, sebab udara semakin panas, dan samar-samar mulai tercium bau asap. Jelas bukan asap makanan, biarpun masakan-masakan itupun masih berasap yang sedap baunya. Keadaan jadi ribut, kepanikan menghinggapi semua orang. Para pemain musik dan gadis- gadis penari semakin menambah ribut dengan teriakan-teriakan mereka. Asap masuk semakin tebal.
Udara makin panas. Tegasnya, Yong Ceng mengumpulkan sahabat-sahabat lamanya itu bukan untuk menikmati masakan, melainkan untuk dijadikan "masakan" langsung. Yong Ceng khawatir para pendekar akan menagih janji lamanya tentang penghapusan diskriminasi bagi orang Han, maka daripada ia jemu menghadapi "tagihan" terus-menerus, lebih baik sahabat-sahabatnya itu sama sekali "dibebaskan" saja dari dunia ini. Dikirim ke dunia arwah, dimana tidak ada diskriminasi.
Kemeriahan pesta berubah jadi kegemparan. Teriakan-teriakan marah dan putus-asa terdengar di mana-mana. Ratusan orang saling mendorong dan menginjak untuk mencapai pintu atau jendela. Namun mereka kecewa. Jendela-jendela dan pintu-pintu yang catnya baru dan indah itu bukan terbuat dari kayu, melainkan sudah diganti dengan lempengan-lempengan besi, percuma didorong atau didobrak dari dalam.
Bahkan pintu-pintu besi itupun makin lama makin panas sampai catnya mengelupas. Itulah hasil kerja tukang-tukang yang dipekerjakan secara kilat. Lalu tukang-tukang itupun sudah dibereskan pula secara kilat agar tidak membuka rahasia.
“Kalau tidak bisa menjebol pintu atau jendela, jebol temboknya!" seseorang mengusulkan, mengatasi suara hiruk-pikuk Pedang, golok, ruyung dan berpuluh-puluh senjata lainnya segera dihunus untuk dipukul-pukulkan ke tembok, mencari harapan hidup mereka. Namun ternyata setelah lapisan-lapisan dinding itu terkelupas, nampak di bagian dalamnya ada lembaran besi. juga. Andai kata bisa dijebol, tentu makan waktu lama dan mereka semua keburu mati keracunan asap di ruangan tertutup itu, atau hangus.
Kepanikan segera merata. Pun-seng Hwe-shio nampak tetap duduk tenang di kursinya sendiri, namun wajahnya sudah basah air mata, la tidak menangisi kematiannya. la menangisi kenapa dulu pihak Siau-lim-pai begitu mempercayai Yong Ceng yang ternyata setelah menjadi Kaisar lalu berubah begini keji? la menangisi nyawa-nyawa yang akan melayang dalam ruangan yang makin panas. Menangisi jutaan rakyat kekaisaran, tak peduli apapun suku bangsanya, yang akan jatuh dalam pemerintahan seorang maha lalim seperti Yong Ceng.
"Dulu kami buta semuanya," sesalnya dalam heti. "Sesosok iblis berwujud manusia telah kami puja-puja seperti sesosok malaikat penolong yang akan membawa berkah bagi umat manusia."
Tapi ketika telinganya mendengar jerit panik dari orang-orang dalam ruangan itu, terbangkitlah semangat Pun-seng Hwe-shio. Semutpun akan menggigit kalau diinjak. Mana boleh dia membiarkan si Kaisar durhaka itu begitu gampang membasmi nyawa bekas sahabat-saha batnya sendiri? Tiba-tiba Pun-seng Hwe-shio bangkit dari duduknya sambil menggeram.
Di ambilnya sebatang ruyung baja dari meja seorang undangan yang tengah terlongong-Iongong kehilangan sukma, lalu ia melangkah lebar ke dinding ruangan. Saat itu dinding sudah rapat oleh manusia- manusia yang dengan kalap mengayun-ayunkan senjata untuk membobol dinding. Manusia manusia yang pikiran mereka sudah dibekukan oleh ketakutan dan kemarahan.
Pun-seng Hwe-shio mendesak maju sambil mendorong-dorongkan tangan kiri nya. Tak seorangpun sanggup menahan kekuatan raksasanya, sehingga tak lama kemudian di hadapannya terluang sebidang tembok besi yang sudah luka-luka oleh bacokan macam- macam senjata, namun nampaknya belum ada tanda-tanda akan berhasil dijebol.
Pun-seng Hwe-shio lalu mengerahkan tenaganya sampai otot thai-yang-hiat di pelipisnya menggelembung. Disertai bentakan memekakkan telinga, ia hantamkan ruyung baja itu ke tembok. Tembok itu berdebum dan bergetar dahsyat. Tidak.roboh, bahkan ruyungnya Patah. Namun hantamannya tepat di bagian tembok yang merupakan sambungan, sehingga terlihat mulai retak sedikit. Retakan kecil itu bagaikan pintu kehidupan yang disoraki dengan gembira oleh orang-orang dalam ruangan itu. Namun mereka merasa ruangan itu semakin panas.
"Gempur lagi. Toa-suhu!" mereka berteriak- teriak.
"Beri aku senjata lain!" kata Pun seng Hwe-shio sambil membuang potongan ruyungnya.
Terdorong rasa senasib di bawah ancaman maut, berpuluh-puluh orang segera meminjamkan senjatanya. Pun-seng Hwe-shio memilih sebatang tok-kak-tong jin (patung tembaga berkaki satu) yang bobotnya sangat berat, senjata bagi orang yang biasa mengandalkan tenaga besarnya. Sekali lagi ia mengerahkan tenaga, membentak dan menghantam, sekali lagi dinding itu bergetar dahsyat. Kali ini benar-benar terbuka. Lapisan besinya yang selebar lima kaki itu terpental keluar loteng itu. Namun setelah dinding terbuka, orang jadi ragu-ragu untuk melompat keluar.
"Di luar sudah penuh kobaran api!"
"Tidak mungkin kita melompat dari tempat setinggi ini!"
"Di halaman bawah sudah ada pasukan yang siap menyambut kita!"
Tetapi suara Pun-seng Hwe-shio menggemuruh, menindas suara-suara bernada putus harapan itu, "Diam! Kalian pilih mana? Tetap di tempat ini, kita mampus sia-sia seperti ayam goreng! Kalau kita keluar, barangkali juga mampus, tapi kita sudah melawan sebagai laki- laki! Jangan sampai Yong Ceng keenakan mendapat nyawa kita dengan cuma cuma!"
Seruan itu membangkitkan semangat orang banyak. "Toa-suhu benar! Lebih baik melawan mati-matian lebih dulu, mampuspun puas!"
"Ayo kita lompat keluar!" Pun-seng Hwe-shio sendiri bukan hanya membakar hati orang lain, namun juga mempelopori. Dipungutnya sebatang golok di lantai, lalu sambil memutar kencang golok itu di depan tubuhnya, dia mendahului orang-orang itu melompat keluar. Menerobos api yang menyala-nyala di luar dinding, dan di balik api itu ratusan pemanah Yong Ceng siap menaburkan panah-panah mereka. Juga beberapa ragu bersenjata bedil.
Rupanya Yong Ceng memang tidak menghendaki bekas sahabat-sahabatnya itu lolos seorangpun. Di bagian luar loteng Hong-thian-lau itu sudah berbaris melingkar pasukan Kiu bun Te-tok yang dipimpin Hap Lun sendiri. Hap Lun benci tugas pembantaian itu, namun ia tak dapat menolak perintah Kaisar yang tegas- tegas berpesan agar jangan satu-pun yang ketinggalan hidup. Para pemain musik dan penari-penari yang disewa dari sebuah kelompok kesenian itupun terpaksa ikut dikorbankan dalam api.
Pasukan yang mengepung di bawah loteng kaget ketika melihat selembar besi lempengan pelapis dinding tiba-tiba copot dan melayang keluar. Mereka berlari-lari menghindari benda itu, namun tiga orang perajurit agak terlambat dan merekapun berteriak ngeri tertimpa lempengan besi itu. Bukan saja berat, tapi juga panas karena sudah bebeberapa jam terpanggang api.
Itulah "harga" pertama yang harus dibayar Yong Ceng. Namun seperti di manapun dan kapanpun, "harga" itu tidak dibayar sendiri oleh Yong Ceng yang tengah enak-enak duduk di istananya, melainkan oleh kaum bawahan yang hanya menjalankan perintah. Menyusul dari atas loteng itu meluncur turun sesosok "manusia api" yang memutar golok. Itu bukan lain adalah Pun-seng Hwe-shio yang jubahnya terjilat api.
Para pemanah dan penembak segera beraksi. Namun karena barisan mereka masih agak kacau gara-gara jatuhnya lempengan besi tadi, maka bidikan mereka jadi kurang cermat. Sementara panah atau peluru yang terarah ke tubuh Pun-seng Hwe-shio telah tersapu goloknya yang diputar rapat-rapat.
Pun-seng Hwe-shio bertenaga besar, namun bukan seorang ahli meringankan tubuh. Maka begitu sampai ditanah, ia agak sempoyongan dan terguling guling. Tapi ia tidak cidera berat, hanya lecet, malahan api yang membakar pakaiannya jadi padam dan hanya sedikit meninggalkan luka kulit yang melepuh.
Begitu melompat bangun, Pun-seng Hwe-shio tidak mau memberi kesempatan para perajurit untuk memasang kembali panah mereka atau mengisi kembali bedil-bedil mereka. Sekali goloknya berkelebat, dua korban jatuh. Berkelebat lagi, dan tiga korban lagi ditambahkannya. Para perajurit jadi agak kacau. Sebagian segera meletakkan busur atau bedil mereka, mengganti dengan tombak dan pedang untuk mengeroyok Pun-seng Hwe-shio.
"Mana si murid durhaka In Ceng itu?!” teriak Pun-seng Hwe-shio beringas. "Suruh si pengecut itu keluar untuk mempertanggung-jawabkan kekejamannya...!”
Seorang perwira bersenjata Kui-thau-to (golok kepala setan) yang tebal dan berat, segera membacok. Agaknya dia bangga akan kekuatannya juga. Tapi begitu goloknya membentur golok Pun-seng Hwe shio, goloknya terpental dan menancap di tubuh seorang perajuritnya sendiri. Si perwira sendiri jatuh terjengkang.
Sementara itu, dari atas loteng susul-menyusul melompat keluar untuk berusaha hidup, daripada terpanggang mentah-mentah di dalam loteng. Beberapa orang yang melompat keluar itu langsung disambut panah atau peluru, sehingga yang sampai ke tanah hanyalah tubuh tidak berikut nyawanya. Setidak-tidaknya kematian mereka berharga sebatang panah atau sebutir peluru. Memang sangat murah, tapi tidak gratis.
Ada yang sampai di tanah dalam keadaan hidup, namun kaki atau punggungnya patah, sehingga mereka dengan kejam langsung dihabisi oleh para perajurit. Namun yang berhasil sampai di tanah tanpa kurang suatu apapun, segera menjadi serigala-serigala kelaparan yang secara kalap menerjang pasukan kerajaan. Begitulah terjadi pertempuran hebat di halaman Hong-thian-lau yang sudah menjadi obor raksasa itu.
Namun ada juga orang yang tidak berani melompat turun, lebih suka mati seperti laron-laron. Mereka rela memberikan nyawa mereka secara gratis kepada Yong Ceng. Meskipun para pendekar serta Pun-seng Hwe-shio melawan mati-matian, tetapi para perajurit berjumlah ribuan. Maka para pendekarpun bertumbangan satu satu.
Saat pembantaian dahsyat itu berlangsung, Yong Ceng berada di loteng tingkat sembilan, tingkat paling atas, dari pagoda yang dibangunnya untuk kaum Ang-ih-kau. Didampingi Liong Ke Toh dan beberapa pelayan yang membawa nampan makanan kecil. Sedang para pengawalnya berjaga di bagian bawah pagoda.
Dari tempat setinggi itu, Yong Ceng dapat melihat ke arah Hong-thian-lau. Dilihatnya kobaran api yang begitu besar sehingga di arah itu seakan-akan hendak terbit fajar. Tiba-tiba Yong Ceng merasa bahwa nama Hong-thian lau (Loteng Langit Merah) benar-benar cocok, sebab sekarang mampu mewarnai langit sesuai dengan namanya...
Selanjutnya,