Kemelut Tahta Naga I Jilid 24
Karya Stevanus S P
MATA Yong Ceng bersinar-sinar, bibirnya menyunggingkan senyuman, dan ia bergumam, "Selamat jalan saudara-saudaraku yang budiman. Mudah-mudahan kalian akan kerasan di tempat kalian yang baru!”
la benar-benar santai menikmati pemandangan itu, sambil makan minum. Tidak ada yang lebih berarti baginya kecuali semakin kokohnya kekuasaannya, dengan cara apapun. Tidak lama kemudian, Hap Lun, Panglima Kiu-bun Te-tok, berlutut dihadapannya dan melaporkan bahwa semua "sudah dibereskan" sesuai dengan perintah, tidak tersisa seorangpun. Tentang jumlah perajurit yang tewas, Hap Lun tidak melaporkannya, sebab tahu bahwa hal itu tidak disukai Kaisar. Perajurit kan memang digaji untuk mampus?
Yong Ceng tertawa puas mendengar laporan itu, sedangkan Hap Lun meremang bulu tengkuknya. Sedang Liong Ke Toh lain lagi. Dengan muka berseri-seri ia suguhkan secawan arak ke hadapan Kaisar, sambil berkata, "Hamba mengucapkan selamat, Tuanku. Kini habislah orang-orang yang selalu mengusik Tuanku dengan tuntutan tuntutan mereka yang tidak masuk akal. Sekali lagi, selamat, Tuanku."
Yong Ceng menerima cawan itu dan diteguknya dengan amat puas. Kalau musuh-musuh dalam negeri sudah dibereskan, ia akan segera memukul keluar perbatasan untuk meluaskan wilayah. Jing-hai harus diamankan, suku-suku di Asia Tengah harus ditundukkan seperti jaman dinasti Tong dulu. Tibet yang cuma "setengah takluk" akan dibuatnya jadi takluk sepenuhnya. Annam juga harus diberi "jeweran" karena upetinya sering terlambat datang, mentang-mentang sudah punya teman baru.
Perancis. Makao akan dibiarkan dulu, sebab Portugis yang bercokol disana dianggapnya masih berguna. Setelah itu, tiba gilirannya untuk menggasak musuh-musuh lama, Rusia di utara dan Jepang di timur.
"Hemm, kerajaanku kelak akan lebih luas dari yang pernah digelar oleh Jengish Khan..." Seteguk lagi ia menikmati araknya, lalu kepada seorang pelayan tua yang menjadi juru tuIisnya, ia bertanya, "Apakah surat untuk panglima-panglima di propinsi sudah kau kirimkan?"
"Sudah hamba kirimkan dengan penunggang-penunggang kuda tercepat, Tuanku," sahut si juru tulis. "Sekarang tentu sudah tiba di tangan para panglima di propinsi-propinsi.”
Yong Ceng tersenyum puas dan mengangguk-angguk. Ternyata, pada hari yang sama Yong Ceng juga membuat gebrakan diseluruh negeri, termasuk di Lia-tong wilayah asal orang-orang Manchu sendiri. Itu disebutnya "pembersihan'. Bukan saja para pendekar penentang yang ditangkapl, juga para sastrawan atau pujangga yang syairnya-syairnya dianggap “menggoyahkan kesejahteraan dan keamanan", semua dibabat sekalian.
Di antara pujangga terkenal yang ikut dibabat itu termasuk Lu Liu Liang, ayah dari Lu Se Nio, sahabat karib Yong Ceng sendiri dimasa muda. Tapi golok algojo cuma bergerak dari atas, tak kenal sahabat atau bukan sahabat.
Perlawanan timbul, namun perlawanan yang tidak kompak karena bergerak sendiri-sendiri, maklumlah mereka tidak siap akan adanya "pembersihan" itu. Sebaliknya tentang pemerintah keluar semua dengan kekuatan penuh. Maka perlawananpun dapat dihabisi dengan gampang.
Darah tertumpah di seluruh negeri. Namun penghancuran terbesar terjadi di gunung Siong-san, tempat berdirinya Kuil Siau-lim-si, yang dianggap sebagai “sumber tuntutan penghapusan diskriminasi" itu. Laksaan tentara dikerahkan.
Pun-bu Hwe-shio dan para pendeta Siau-Iim-si melawan dengan gigih, namun perlawanan itu dipatahkan dengan makan korban jiwa bertumpuk-tumpuk di kedua belah pihak. Lalu api dinyalakan, Siau-lim-si habis menjadi abu, termasuk Pun-bu Hwe-shio dan pendeta pendeta yang bertahan di situ.
Praktis sekali cara Yong Ceng "memperabukan" gurunya dan saudara-saudara seperguruannya. Sebagian besar pendeta-pendeLa Siau-lim-si berhasil melarikan diri untuk menyelamatkan kitab-kitab berharga, kitab agama maupun kitab silat. Mereka lari ke selatan, ke kuil Siau-lim si cabang Hok-kian.
Kejutan yang dilakukan Yong Ceng itu memang berhasil mengkocar-kacirkan perlawanan dalam negeri. Para penentang kehilangan sebagian besar dari kekuatan mereka, dan kekuatan yang terpecah-pecah itu bukan lagi ancaman yang berarti melainkan hanya gangguan-gang-guan kecil.
Lalu mata serigala Yong Ceng mulai menoleh ke Hwe-Iiong-pang. KaIau Siau-Iim-pai dianggap "biang keladi tuntutan tidak masuk akal”, maka Hwe-liong-pang kebagian tuduhan "komplotan Pangeran In Te" atau “persembunyian para buronan".
Hong-thian-lau sudah menjadi tempat yang menakutkan. Disitu hanya ada puing-puing dan mayat-mayat. Ketika malam tiba, tempat itu menjadi seperti tidak ada orang lewat, sebab mereka takut diganggu hantu penasaran. Orang-orang yang kemarin masih berbangga bagai "sahabat lama Si Liong-cu”, sekarang bergelempangan beku dengan malangnya.
Ketika malam makin sepi, tiba-tiba salah satu mayat itu bergerak-gerak sedikit, lalu duduk dan akhirnya berdiri. Terlihatlah kemudian bentuk tubuhnya yang tinggi besar, muka hitam dan kepala gundul. Pakaiannya sudah robek-robek atau terbakar api sebagian, namun masih bisa dikenali sebaga jubah pendeta berwarna kelabu.
Pun-seng Hwe-shio, ternyata ia tidak mati. Dalam pertempuran tadi dia roboh luka-luka, namun lawan-lawannya mengira Ia sudah mati sehingga tubuhnya tidak diusik lagi. Maka nyawanya itu benar-benar nyawa saringan.
Begitu ia siuman, matanya disuguhi pemandangan mengerikan di sekitarnya, dan hidungnya dipaksa mencum bau “daging bakar” yang tidak merangsang selera. Sebab itu bukan daging kambing atau lembu, melainkan daging manusia. Darah Pun-seng Hwe-shio menghangat. Ia sudah mendapat jawaban untuk kebimbangannya selama ini. Yong Ceng sudah menjawab. Janjinya keadilan dan kesederajatan, yang diberikannya kematian dan kehancuran.
Ingin rasanya Pun-seng Hwe-shio mencekik Yong Ceng malam itu juga, namun akal sehatnya memperingatkan bahwa itu percuma. Keadaan takkan tertolong. Yong Ceng pasti akan berlindung di belakang barisan pengawalnya yang berlapis-lapis. Amukan Pun-seng Hwe-shio takkan berarti lain daripada bunuh diri. Akhirnya Pun-seng Hwe-shio dapat menemukan akal sehatnya. "Bukan sekarang, tapi kelak, murid durhaka itu akan menerima ganjarannya."
Dengan badan terasa remuk, Pun-seng Hwe-shio berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. la memilih lorong-lorong yang sunyi, kadang-kadang harus bersembunyi kalau berpapasan dengan perajurit peronda. Dalam keadaan tiga perempat mati seperti itu, Pun-seng Hwe-shio sadar bahwa seorang perajurit yang berilmu silat paling rendah pun akan bisa membunuhnya dengan satu bacokan saja.
Menjelang fajar, Pun-seng Hwe-shio berhasiI menerobos keluar tembok kota Pak-khia dengan cara merayap lewat saluran air kotor. Tiba di luar kota, barulah ia dapat duduk dengan tenang, berusaha memulihkan kekuatan tubuhnya, sambil memikirkan rencana selanjutnya. “Aku harus kembali ke Siong-san unfuk memberitahu kepuda Pun-bu Su-heng bahhwa Yong Ceng tidak bisa diharapkan lagi."
Sama sekali ia belum tahu bahwa kuil itu juga sudah jadi abu bersama Pun-bu Hwe-shio dan ratusan pendeta lainnya. Hari kejadiannya sama dengan hari pembantaian di Hong-thian-lau. Pada saat Hong-thian-lau menjadi obor raksasa, hari itu juga kuil Siau-lim-si menjadi crematorium raksasa.
Ketika kemudian Pun-seng Hwe-shio mulai berjalan lagi, ia melihat di sepanjang jalan banyak didirikan pos-pos pengawasan yang dikawal ketat. Orang-orang yang berlalu-lalang diperiksa, yang mencurigakan langsung ditangkap. Rupanya Yong Ceng ingin "pembersihan”nya benar-benar berhasil, tidak setengah-setengah.
Pun-seng Hwe-shio tidak berani lewat jalan besar, itu sama saja dengan mencari penyakit. la berjalan menyusup nyusup hutan, menyusuri ladang-ladang dan jalan setapak, menuruni dan merambat naik lereng-lereng berbatu tajam Akhirnya ia memasuki wilayah Ho-lam.
Firasatnya semakin tidak enak karena dekat ke Siong-san, terlihat penjagaan tentara kerajaan yang semakin ketat. Di mana-mana yang kelihatan hanyalah orang-orang berseragam merah biru yang kepalanya memakai caping-caping berhias benang merah, tangan memanggul tombak atau pedang.
Karena dorongan rasa ingin tahunya, ia memutuskan untuk masuk kota Teng-hong untuk mencari keterangan, yang sedikit menyerempet bahaya. Dengan menyamar sebagai seorang bungkuk yang kepalanya memakai caping petani. ia tertatih-tatih mendekati pintu gerbang kota Teng-hong yang dijaga sekelompok perajurit bersenjata lengkap.
Ternyata perajurit-perajurit itu cerdik juga menggunakan kesempatan. Asal kelihatan ada seorang lewat yang nampaknya berduit, orang itu segera dihentikan dan dituduh "dicurigai sebagai pemberontak" dan diancam masuk penjara. Daripada masuk penjara, orang-orang itu lebih suka merogoh kantorg untuk menyuap para penjaga, lalu rereka dibiarkan lewat, dengan demikian “pembersihan” yang dilakukan Yong Ceng itu pun memberikan tambahan rejeki kepada para prajurit. Orang lewat yang kelihatannya tak berduit. Dibiarkan lewat begitu saja. Meskipun tetap diawasi dengan tajam. Dari mereka, apanya yang bias diperas.?
Sambil berjalan, diam-diam Pun-seng Hwe-shio menghitung, bahwa untuk beberapa tahun mendatang, kekuasaan Yong Ceng akan tetap kokoh. Lalu Pun-seng Hwe-shio ingat seorang murid Siau-lim-pai lainnya, Ni Keng Giau, yang menjadi Panglima Tertinggi Kekaisaran. Mungkinkah Ni Keng Giau kelak bisa dibujuk berbalik melawan Yong Ceng. Ataukan Ni Keng Giau jangan-jangan sudah sama busuknya dengan kakak seperguruannya...?
Pun-Seng Hwe-Shio melihat keadaan kota Teng-hong jauh lebih sepi dari biasanya. Banyak pintu tertutup rapat. Ada juga warung yang buka, namun pengunjungnya sedikit sekali. Orang-orang di jalan juga sedikit. Kota itu dicekam ketakutan. Tengah Pun-Sen Hwe-shio mencari-cari orang yang bisa diminta keterangan, tiba-tiba dari ujung jalan nampak seseorang yang berlari-lari kencang dengan diburu sekelompok perajurit.
“He, maling dari Siau-lim-si, kembalikan roti yang kau curi!” teriak perajurit-perajurit itu.
Hati Pun-sen Hwe-shio jadi panas, mana ada orang Siau-lim-si mencuri roti? Namun ketika ia memperhatikan orang yang diburu itu, alangkah terkejutnya. Ia berjalan sempoyongan sambil menggerogoti sepotong roti murahan dengan rakusnya. Keliatan memang betul-betul kelaparan. Yang mengejutkan, karena orang itu memakai jubah pendeta Siau-lim-si biarpun sudah kotor dan robek-robek, dan Pun-Sen Hwe-shio mengenalnya sebagai Hian-tong Hwe-shio, murid mendiang Pun-hoat Hwe-shio, adik seperguruan Pun-seng Hwe-shio. Jadi benar-benar ada seorang pendeta Siau-lim-pai nyolong roti!
Agaknya Hian-tong Hwe-shio tidak kuat berlari lagi. la tersusul. Seorang perajurit menyerampang kakinya dengan tangkai tombak sehingga Hian-tong Hwe-shio terguling, rotinya yang sudah berkurang beberapa gigitan itu terlepas dan jatuh di jalanan yang berdebu. Namun Hian-tong Hwe-shio mati-matian berusaha meraih kembaIi roti itu. "Gaya"nya itu sungguh merupakan pemandangan tidak sedap di mata Pun-seng Hwe-shio sampai bertingkah macam itu?
Lebih heran lagi, karena perwira yang memimpin pengejaran itu juga dikenalnya sebagai bekas murid Siau-lim dari golongan bukan pendeta, namanya The Yan Ki. Dulu ia bersikap hormat kepada pendeta-pendeta Siau-lim-si, kenapa sekarang sikapnya begitu kasar? Dalam benak Pun-seng Hwe-shio tiba-tiba muncul perasaan tajam, mungkinkah wihara Siau lim-si sudah menjadi Hong-thin-lau kedua?
Biarpun tubuhnya digebuki dan ditendangi, Hian-tong Hwe-shio tetap mati-matian berusaha meraih roti itu. The Yan Ki itulah yang paling bersemangat menghajar, "Anjing gundul, kuilmu sudah ditumpas, kau masih juga berani berkeliaran mencuri makanan?"
Pun-seng Hwe-shio terkejut mendengar ucapan itu. Lupa akan penyamarannya, tiba-tiba ia melompat maju dan sekali cengkeram saja tubuh The Yan Ki telah diangkatnya terkatung-katung di udara. Sambil mengguncang-guncang tubuh itu, ia bertanya dengan bengis, "Coba ulangi kata-karamu tadi , kuil mana yang sudah ditumpas dan oleh siapa?"
Bukan main kagetnya The Yan Ki karena uwa-guru yang paling ditakutinya itu tiba-tiba muncul dihadapannya dan langsung bersikap sebengis itu. la bingung untuk menjawab. Mengetahui watak Supeknya yang berangasan, ia khawatir kalau menjawab terang-terangan akan langsung dibanting mampus di tempat itu juga.
Sementara itu, melihat munculnya Pun-seng Hwe-shio, lupalah Hian-tong Hwe-shio akan roti yang "diperjuangkan"nya sejak tadi. la menangis dan berkata serak, "Supek, kuil kita telah dibakar habis oleh tentara kerajaan! Pun-bu Supek dan ratusan pendeta lainnya ikut tewas! The Yan Ki ikut membakar dan menghancurkan kuil!"
Hian-tong Hwe-shio tak sempat meneruskan bicaranya, sebab seorang perajurit membacoknya mampus tanpa ampun. Pun-seng Hwe-shio terlongong tak percaya mendengar ucapan Hian-tong Hwe shio sebelum mati tadi. Namun sesaat kemudian, kesedihan dan kemarahanlah yang menguasai dirinya. Tubuh The Yan Ki diguncangnya semakin keras, dan pertanyaannya memekakkan telinga, "Benar-kah itu? Benarkah itu?"
Bibir The Yan Ki bukan merah namun putih, karena takutnya, namun suaranya masih keluar juga, "Su... pek, sabar.... aku... aku hanya menjalankan tu.... tugas dan Supek, jangan..."
Itu teriakan terakhir The Yan Ki. Pun-seng Hwe-shio dengan kalap memegang sepasang kaki The Yan Ki lalu dipentangnya kuat-kuat. Separuh tubuh The Yan Ki dilempar ke utara, separuhnya lagi ke selatan, sedang tubuh Pun-seng Hwe-shio sendiri mandi darah sehingga tampangnya menyeramkan sekali.
Perajurit-perajurit lainnya menjadi ngeri. Ketika Pun-seng Hwe-shio melangkah mendekati mereka, mereka lebih suka kabur ketakutan. "Orang gila…Orang gila!" teriak mereka.
Pun-seng Hwe-shio sendiri memang sudah diambang kegilaan karena peristiwa-peristiwa yang dialaminya berturut-turut. la mengejar perajurit-perajurit yang ketakutan itu. Dua perajurit yang paling belakang berhasil disambar dan kepala mereka dibenturkan satu sama lain sehingga retak. Masih belum puas, ia mengejar kencang dan satu perajurit lagi berhasil diringkusnya, lalu dilemparkan ke atas sekuat tenaganya. Tubuh malang itu melayang sampai melewati atap rumah di pinggir jalan, terhempas di bagian lain dalam keadaan patah.
Tengah Pun-seng Hwe-shio mengamuk, muncullah empat orang berseragam pengawal gubernuran Ho-lam. Merekalah jagoan-jagoan pilihan yang tanpa gentar segera mengurung Pun-seng Hwe-shio. Dua orang dari mereka bertubuh pendek sekali, sehingga ketika berhadapan dengan Pun-seng Hwe-shio, mereka jadi kelihatan seperti sepasang anak kucing yang manis berdiri di hadapan seekor beruang raksasa.
Namun mereka bukan kucing-kucing jinak, melainkan dua bersaudara Ki Ki-ong dan Ki Beng yang dijuluki Siang-sat-ai-jin (Sepasang Manusia Pendek Yang Kejam). Tangan kanan masing-masing memegang sabit beracun, tangan kiri mereka berkuku panjang-panjang dan beracun pula. Tanpa gentar mereka menghadang Pun-seng Hwe-shio.
"Kau pendeta Siau-lim-si?” tanya Ki Kong dengan mata yang berkedip-kedip "lucu". Seperti anak-anak kecil saja mereka, namun bagi yang sudah mengenal kekejaman mereka berdua, mereka tidak kelihatan lucu lagi.
"Benar!" sahut Pun-seng Hwe-shio menggemuruh. "Siapa yang membakar kui itu?!”
Jawaban Ki Beng melenceng jauh dari pertanyaannya, "Kau harus mampus!"
Lucu juga orang bertubuh kecil itu menggertak Pun-seng Hwe-shio yang tinggi besar. Namun mereka berdua bukan cuma menggertak, juga langsung turun tangan. Kedua orang pendek itu bergerak serempak dan alangkah cepatnya serangan mereka.Ki Kong meluncur untuk membabat sepasang kaki Pun-seng Hwe-shio dengan sabit beracunnya, sementara kuku-kuku tangan kirinya mencengkeram keselakangan Pun-seng Hwe-shio. Sedangkan Ki Beng melompat untuk menyabit leher dan mencakar mata.
Ketika Pun-seng Hwe-shio mengelak mundur, Ki Beng tiba-tiba meluncur turun untuk mengincar lambung si pendeta dengan sabitnya. Ki Kong merendahkan tubuhnya, kelihatan hendak menyerang bagian bawah, namun tiba-tiba melompat keatas untuk membacok kepala. Begitulah serangan mereka berganti-ganti arah dan serba tidak terduga.
Kembali Pun-seng Hwe-shio mendoyongkan tubuh. Namun ketika sepasang manusia kerdil iiu hendak menyusun serangan ketiga, Pun-seng Hwe-shio mendahului menyerang dengan sabetan telapak tangan ke lambung Ki Kong yang tengah melayang. Kim-kong-sau-hong (Si Malaikat Menyapu Puncak Gunung).
Menghadapi serangan balasan, Ki Kong dan Ki Bong tetap bekerja dengan rapi. Mereka berlompatan berpental ke kiri kanan, yang satu mencoba memecah perhatian, yang lainnya hendak membuka serangan dari arah lain. Tetapi sekali Hong-gu-kun-hoat (Silat Kerbau Gila) Pun-seng Hwe-shio "dibuka", maka serangannya mengalir bagaikan bendungan jebol. Itulah jurus-jurus yang hanya menyerang dan memaksa lawan memperhatikan keselamatan dirinya leblh dulu.
Semakin deras serangan Pun-seng Hwe-shio, semakin pecah kerja-sama kedua saudara itu. Kini mereka kebingungan harus melindungi nyawanya sendiri-sendiri. Memang, sedikit saja tubuh Pun-seng Hwe-shio tergores sabit atau kuku dua saudara Ki itu, Itu alamat Pun-seng Hwe-shio bakal mampus. Tapi kedua saudara Itu sulit mendapat kesempatan itu, setiap kali merekalah yang terancam oleh pukulan yang dapat mencopot kepala ataupun tulang rusuk berantakan. Maka pontang-pantinglah sepasang manusia kejam menyelamatkan hidupnya.
Namun dipihak musuh masih ada dua jagoan lagi. Seorang yang berdandan sebagai Tojin (imam), menanti kesempatan baik, lalu ia tiba-tiba melompat tinggi untuk menyabetkan senjatanya yang berupa hud-tim (kebut pertapa). Lebih dulu Pun-Seng Hwe-shio mendesak sepasang manusia pendek sampai kocar-kacir, bahkan Ki Beng sampai terguling-guling dengan wajah pucat karena pundaknya terserempet tinju si pendeta yang seberat gunung runtuh itu.
Kemudian Pun-seng Hwe-shio melompat menyongsong si To-jin dengan dua tinju dijotoskan sejajar dengan tipu Siang-Iiong-jut-hai. (Sepasang Naga Keluar Dari Lautan). Si To-jin kaget sekali, karena serangannya dibarengi serangan pula. Karena tubuhnya tengah melayang, tak ada kesempatan menghindar lagi, tukar-menukar serangan terjadi di tengah udara. Bulu-bulu hudtim si To-jin memecahkan baju di pundak Pun-seng Hwe-shio, sebaliknya sepasang tinju Pun-seng Hwe-shio bersarang telak di dada si Tojin.
Si hwe-shio merasa pundaknya seperti digigit nyamuk, sebaliknya si To-jin merasa dadanya dijatuhi batu sebesar kerbau dari langit. Tubuh si Tojin langsung jatuh dan meringkuk di tanah seperti seekor udang. Selesai dalam segebrakan. Pun-seng Hwe-shio kemudian dengan kalap menerjang ke arah jago gubernuran yang satu lagi.
Orang itu tinggi besar, berjenggot panjang, matanya besar mencorong, mukanya merah, senjatanya golok Koan-to, sehingga ia mirip Koan Kong dalam cerita Sam-kok. Hanya nyalinya saja yang tidak sama dengan Koan Kong, semuanya sudah sama. Melihat Pun seng Hwe-shio melangkah ke arahnya, buru-buru diletakkannya senjatanya, lalu ia berjongkok sambil memeluk kepalanya dan meratap-ratap, "Ampun Toa-suhu! Ampun Toa-suhu!”
Pun-seng Hwe-shio jadi kasihan, maka orang itu hanyalah dibentaknya sehingga lari terbirit-birit. Sedangkan dua saudara Ki juga sudah kabur. Begitulah empat jagoan gubernuran Ho-lam itupun dipukul mundur semua, kecuali si To-jin yang tidak bisa mundur kalau tidak di gotong.
Namun ratusan perajurit. kemudian muncul mengepung tempat itu. Bagaimana pun tingginya kepandaian Pun-seng Hwe-shio, dia tidak akan bisa menerobos kepungan rapat itu, biarpun seandainya ia dapat membunuh banyak lawan. Tetapi pendeta itu rupanya sudah nekad, dengan matanya yang liar ia menatap perajurIt-perajurit yang mengepungnya. Perajurit-perajurit yang paling depan menjadi ngeri melihat tatapan mata itu. Begitu sang komandan menyuruh menyerang, orang-orang paling depanlah yang akan mati paling dulu.
"Lepaskan panah!" teriak sang komandan. Perintah itu setidak-tidaknya lebih ringan daripada kalau disuruh maju dalam pertempuran jarak dekat menghadapi lawan yang demikian menakutkan. Ratusan batang panah dan lembing segera dihujankan ke tubuh Pun-seng Hwe-shio. Pendeta itu menyambar sebatang lembing untuk segera diputar kencang, menangkis semua Panah dan lembing.
Untunglah di antara perajurit itu tidak ada yang membawa bedil. Rupanya Yong Ceng khawatir kalau pasukan di daerah terlalu kuat akan membahayakan pemerintah pusat, maka pasukan di propinsi-propinsi tidak diperkenankan mempunya bedil. Hanya pasukan di Ibukota serta pasukan yang sedang berperang sajalah yang boleh memanggul senjata api itu.
Biarpun tidak ada bedil, toh hujan panah dan lembing yang tak habis-habisnya itu membuat Pun-seng Hwe-shio lama-lama tangannya pegal karena harus menangkis terus. Ketika gerakannya kendor sedikit saja, sebatang panah menancap di lengan kirinya.
"Keparat busuk!" teriaknya, biarpun ia seorang pendeta. Tapi Pun-seng Hwe-shio belum ditakdirkan mati hari itu. Ketika hampir saja ia kehabisan tenaga, muncul seorang pendeta tua dari atap rumah dipinggir jalan, turun ke dekat Pun-seng Hwe-shio.
Hwe-shio itu beralis putih panjang, begitu juga kumis dan jenggotnya, wajahnya tidak garang seperti Pun-seng Hwe-shio, bahkan Nampak lembut. Wajahnya lebih lembut, namun ilmunya justru lebih hebat dari Pun-seng Hwe-shio. Sepasang lengat jubahnya yanglebar itu melambai seperti sepasang bendera, namun menimbulkan guncangan udara yang menyapu rontok berpuluh-puluh panah dan lembing. Padahal lembing-lembing itu cukup berat bobot-nya, namun kini tersapu seringan batang batang jerami dihembus angin.
Melihat siapa yang datang itu, Pun-seng Hwe-shio berseru dengan perasaan meluap-luap, "Suheng... kuil kita... telah.... telah....”
Penolong itu bukan lain adalah Pun-khong Hwe-shio yang terkenal dalam Tai-lik-kim-hong-ciang (Tangan Malaikat Berkekuatan Besar). Dikalangan persilatan, hanya ada beberapa gelintir orang yang sanggup menghadapi pukulannya.
"Aku sudah tahu," jawab Pun-khong Hwe-shio tenang. "Cepat kita pergi dari sini...." Sambil bicara, sepasang lengan jubahnya kembali "berkibar" menerbitkan taufan dahsyat. Beberapa perajurit yang berdiri agak dekat bahkan terguling roboh, sementara debu terangkat naik menutupi pemandangan.
Namun tidak gampang lolos dari kepungan perajurit yang begitu banyak. Atas perintah si komandan, para perajurit kini nekad menyerbu dengan pedang dan tombak, bukan lagi sekedar melemparkan panah atau lembing. Sadar akan kemarahan adik-seperguruannya, Pun-khong Hwe-shio membisiki Pun-seng Hwe-shio,
"Sebisa-bisanya hindari pembunuhan Sute, jangan manjakan dendammu. Mereka hanya orang-orang yang diperintah, sedang yang paling bertanggung-jawab jauh ada di Pak-khia sana....."
Hampir saja Pun-seng Hwe-shio membantah bahwa para perajurit itupun telah memeras dan menggebuki rakyat. Namun ia tidak sempat berbantahan lagi, sebab ujung-ujung senjata telah mengerumuninya dari segala jurusan. Kedua pendeta tua itu kemudian bertempur dengan hebat untuk mencari jalan keluar. Pun-khong Hwe-shio dengan sepasang lengan jubahnya membuat barisan perajurit tumpang tindih.
Pun-seng Hwe-shio mencoba memenuhi anjuran kakak seperguruannya untuk tidak membunuh, lembing rampasannya tidak digunakan untuk menusuk, melainkan "Hanya" menggebuk. Tetapi "hanya” untuk ukuran Pun-seng Hwe-shio jauh bedanya dengan "hanya"nya orang lain. Banyak prajurit roboh, tidak mati, namun patah tulang rusuknya atau remuk pundaknya atau muntah darah dan seumur hidup menderita sesak napas.
Saat itu, kembali dua orang kakek kakek seolah melayang turun dari langit, ke tengah-tengah para perajurit, dan mereka langsung merobohkan banyak orang dengan totokan-totokan kilat mereka. Kehebatan mereka tak perlu diherankan lagi, sebab merekalah Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam Hou dan si bekas panglima Hui-liong-kun Pak KiongLiong.
Dengan munculnya mereka, biarpun pasukan itu jumlahnya dilipatkan dua juga takkan berhasil membendung mereka. Berturut-turut mereka berempat melompat ke atas genteng, lalu kabur bagaikan terbang ke arah luar kota Teng-hong. Para perajurit melongo melihat empat orang itu, seolah empat dewa yang terbang saja. Ada "dewa taufan", "dewa api”, "dewa salju" dan satu “dewa muka hitam" yang tenaganya hebat sekali.
Tiba di tembok kota, Tong Lam Hou Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio segera melompat turun dengan ringannya. Tapi Pun-seng Hwe-shio yang bertubuh berat dan tidak ahli dalam ilmu meringankan tubuh, tidak berani melompat begitu saja dari tempat setinggi itu. la copot jubahnya yang lebar untuk dipegang keempat sudutnya, lalu melompat turun dengan "parasut" darurat itu. Maka biarpun ia sempoyongan sampai ketanah, tetapi tidak usah harus patah kakinya.
Di luar kota, mereka bergabung dengan In Tong serta tiga murid Siau-lim-pai yang tadinya mengikuti Pun-khong Hwe-shio. Merekalah Ci-Sian Ci-Hian dan Ci-seng Hwe-shio. Tadinya mereka lima orang, namun yang dua orang sudah tewas di kota Yu-pin, menjadi korban Hiat-ti-cu. Tiba di sebunh bukit belukar di luar kota Teng-hong, barulah mereka berhenti berlari. Luka-luka Pun-seng Hwe-shio juga mulai diobati.
Di tempat itulah Pun-seng Hwe-shio bercerita tentang apa yang terjadi di Hong-thi an-lau, tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi. Yong Ceng yang selama ini diharapkan oleh pihak Siau-lim-pai untuk menjadi raja yang baik, malahan menjadi raja yang amat bengis. Siau-lim-pai membayar mahal untuk kesalahan perhitungan ini.
Maka ketika Pak Kiong Liong kemudian mengajak agar para pendeta Siau-lim-pai itu mendukung Pangeran In Te saja, para pendeta itu ragu-ragu. Mereka dulu sudah tertipu oleh Yong Ceng, kini mereka khawatir tertipu lagi oleh In Te. Maka mereka menolak ajakan Pak Ki ong Liong itu, dengan alasan akan lebih dulu mencari murid-murid Siau-lim-pai yang lari tercerai-berai itu, untuk dikumpulkan lagi.
Pak Kiong Liong paham bahwa alasan itu hanya dibuat-buat, para pendeta itu rupanya takut akan terkecoh untuk kedua kalinya. Namun urusan pendirian masing-masing, Pak Kiong Liong tidak bisa memaksa mereka untuk sependapat dengannya. Malah, dalam suatu kesempatan berbicara empat mata, Pun-khong Hwe-shio memperingatkan Tong Lam Hou agar hati-hati dalam sikapnya mendukung In Te, juga harus hati-hati terhadap muridnya, In Tong. Menurut Pun-khong Hwe-shio, bagaimanapun Yong Ceng, In Tong dan In Te berasal dari "satu cetakan" sehingga barangkali saja punya kesamaan dalam watak buruk.
Namun Tong Lam Hou hanya tertawa saja mendengar peringatan itu. la anggap pendeta tua itu sedang amat kecewa terhadap Yong Ceng, sehingga mencurigai pula semua saudara-saudaranya Yong Ceng. Lalu Tong Lam Hou menjelaskan bahwa In Tong adalah "murid yang baik", sedang sifatnya yang agak kejam itu "bisa dimaklumi" akibat pernah disiksa dalam penjara. Nanti sifat-sifat buruk itu perlahan-lahan agar dihapuskan.
Pun-Khong Hwe-shio akhirnya hanya bisa menarik manarik napas menghadapi kekukuhan sikap ketua Hwe-liong-pang itu. la hanya berharap agar kelak Hwe-liong-pang jangan sampai mengaIami nasib seburuk siau-lim-pai.
“Dulu kami sudah tertipu oleh Yong Ceng” pikirnya. "Apakah Pak kiong Goan-swe kelak juga akan terkecoh oleh In Te, dan Tong Pangcu oleh In Tong? Betapa sulitnya meyakinkan mereka. Tapi bukakah dulu kami juga sulit mengubah pandangan terhadap Yong Ceng? Pun-hoat Sute malah sampai membunuh diri di depan Tong Pangcu hanya untuk mencegah perjalanannya ke Pak-khia. Apakah kami yang tua-tua ini harus selalu dikecoh oleh anak-anak istana itu?"
Sementara itu, karena mengkhawatirkan keadaan Hwe-liong-pang, maka Tong Lam Hou, Pak Kiong Liong dan In Tong segera berpamitan dari pendeta-pendeta Siau-lim-si itu pulang ke Tiau-im-hong. Beberapa hari kemudian, ketiga orang itu sudah masuk ke propinsi Se-cuan. Pemandanganpun mulai berubah. Kalau di wilayah tengah banyak gunung dan lembah, maka di Se-cuan banyak dataran rumput luas. Daerahnya subur, sehingga dijuluki “gudang beras” namun sekaligus “gudang malapetaka”. Kenapa? Sebab dalam tiap perebutan kekuasaan, gudang beras ini lalu dijadikan rebutan oleh pihak-pihak yang berperang.
Ketika itu, Tong Lam Hou bertiga sedang berjalan perlahan lewat sebuat jalan kecil yang sepi. Di sebelah kanannya ada tebing yang hamper tegak lurus, kerapun sulit memanjat ke atas. Sedang di sebelah kiri adalah tebing Sungati Bu-sia yang curam. Sungai itu kecil saja, namun kalau orang sampai terjerumus ke situ pastilah mampus. Bukan mati tenggelam, tapi mati karena tubuhnya hancur oleh batu-batu tajam di dasar sungai atau di permukaan tebing. Maka biarpun gemericik sungai Bu-sia terdengar merdu. Tak ada yang berselera untuk menjenguknya ke bawah karena takut tergelincir.
Tengah ketiga orang itu berjalan enak-enak, tiba tiba dari sebelah depan terdengar teriakan. "Tolong... tolong....”
Ketiganya segera bergegas ke arah suara itu. Maka terlihatlah seseorang bergelantungan di tebing sungai Bu-sia. Seorang yang agaknya tukang mencari kayu, sebab di pinggir jalan ada seonggok kayu bakar dan sebuah kampak. Rupanya orang itu berjalan kurang hati-hati dan tergelincir, untung tangannya sempat menyambar sebatang pohon untuk bergantung. Tetapi pohon itupun semakin melengkung oleh beban tubuhnya, nampaknya sebentar lagi akan patah.
"Biar kutolong dia," kata Tong Lam Hou. Namun Pak Kiong Liong merasa was-was, mencurigai orang itu. Hanya saja ia tidak memberitahukan kepada Tong Lam Hou, sebab sahabatnya itu terlalu polos, sehingga peringatannya tentu takkan digubris. Tong Lam Hou terlalu gampang mempercayai orang, apalagi orangnya kelihatan menderita. Karena Pak Kiong Liong mengkhawatirkan sahabatnya itu, maka ia mendahului Tong Lam Hou dan berkata, “Biar aku saja yang menolongnya. A-hou. Kau waspada saja keadaan sekitar sini...."
Tong Lam Hou pikir sama saja apakah dirinya yang menolong orang itu atau Pak Kiong Liong, pokoknya orang itu tertolong. Namun ia geli juga mendengar pesan Pak Kiong Liong untuk waspada, ia anggap Pak Kiong Liong sudah kejangkitan penyakit orang-orang Pak-khia yang selalu berprasangka kepada siapapun.
Sementara itu Pak Kiong liong dengan hati-hati juga menuruni tebing sungai itu untuk mendekati si tukang kayu. Makin dekat dan makin jelas melihat, makin curigalah Pak Kiong Liong. Pakaian orang itu memang pakaian orang desa, namun matanya tajam berkilat-kilat. KuIit tubuhnya tidak gelap kasar seperti umumnya orang sederhana yang berada di bawah terik matahari setiap hari, melainkan halus namun kekar. Dilihatnya pula, pohon kecil tempatnya bergantung itu memang melengkung-lengkung, tapi tidak kelihatan hendak patah, menandakan orang itu mampu menguasai berat badannya dengan baik. Ini benar-benar tukang kayu istimewa.
Sesaat setelah dekat, Pak Kiong Liong mengulurkan tangannya sambil berkata, “sahabat, peganglah tanganku….”
“Terimakasih,” sahut si tukang kayu dengan terengah-engah yang dibuat-buat. “Siapakah tuan?”
Pak Kiong Liong berbohong untuk mencoba bagaimana reaksi orang itu, “Aku Tong Lam Hou dari Tiau-im-hong….”
Bibir si “tukang kayu” tiba-tiba menyeringai kejam, “Terimakasih atas pertolonganmu…” Tangannya menyambut uluran tangan Pak Kiong Liong, namun dengan cengkraman amat kuat yang langsung mengarah ke urat nadi yang melumpuhkan.
Andaikata yang bertindak menolong tadi adalah Tong Lam Hou. Pasti sudah masuk perangkap. Bukan karena ilmunya rendah, namun karena tidak berprasangka apapun. Namun Pak Kiong Liong sudah waspada sejak semula, tenaga dalam Hwe-Liong-sin-kang dikerahkan sampai keujung jarinya.
Si “tukang kayu” berhasil mencengkram keras tangan itu, namun kemudian ia menjerit kaget dan buru-buru menarik tangannya kembali. Rasanya seperti memegang sepotong besi merah habis dibakar. Sekaligus ia sadar bahwa perangkapnya sudah terbongkar. Ia lepaskan peganganya dan tubuhnya meluncur turun ke sungai Bu-sia, tapi tidak hancur terhempas karena bagaikan seekor burung saja kakinya menjejak-jejak tebing dan sampai dibawah dengan ringannya.
“Hem, dia sebenarnya ingin mencelakai A-hou,” pikir Pak Kiong Liong lalu tubuhnyapun meluncur turun tidak kalah pesatnya utuk membekuk orang itu.
Dari atas tebing, Tong lam Hou dan In Tong menyaksikan kejadian itu Tong Lam Hou menarik napas, “Hem, memang aku yang gegabah, hampir saja aku yang menjadi korban perangkap tadi."
Sementara itu, dari tepian Sungai Bu-sia yang tak terlihat dari atas tebing, telah terdengar bentakan-bentakan orang bertempur. Agaknya Pak Kiong Liong tidak cuma menghadapi satu orang, melainkan tiga atau empat orang.
Kata Tong Lam Hou, "In Tong, kita harus membantu pamanmu itu, ayo kita turun..."
Sementara In Tong sendiri tengah tergoda oleh bisikan yang semakin keras dalam hatinya, "Inilah peluang emasmu. Inilah peluang emas mu. Inilah."
Tiba-tiba dari atas tebing di sebelah kanan jalan itu gemuruhlah suara dua buah batu besar, sebesar kerbau bunting, meluncur ke arah guru dan murid itu.
"In Tong, awas!" dalam detik-detik berbahaya itu Tong Lam Hou tetap mencemaskan nasib muridnya, ditariknya In Tong masuk ke sebuah cekungan tebing yang cukup aman, lalu Tong Lam Hou sendiri mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul batu-batu yang nyaris meremukkannya itu.
Batu-batu itu berbobot ratusan kati, lagipula meluncur dari atas sehingga kekuatannya hebat sekali. Namun Tong Lam Hou tidak memukulnya secara langsung, melainkan memotong dari samping hanya untuk mengubah sedikit arahnya. Kedua buah batu itupun menggelundung masuk Sungai Bu-sia dengan suara gemu ruh.
Selagi perhatian gurunya terpusat keatas tebing, menunggu serangan berikutnya, diam-diam tangan In Tong merogoh kedalam jubahnya dan mengeluarkan sepucuk pistol buatan Portugis. Pistol yang tiap hari diminyakinya, di ganti bubuk mesiunya dan diisi peluru agar kalau tiba saatnya digunakan, tidak akan mengecewakan. Hanya ada satu peluru, dan tidak boleh gagal....
In Tong yang berada tepat di belakang gurunya itu menyembunyikan pistol di bawah lengan jubahnya yang lebar. Lalu jarinya menarik pelatuknya. Batu-batu tadi memang tidak menggelundung sendiri, tetapi digelundungkan oleh dua orang anggota Hiat-ti-cu yang memang ditugaskan untuk membunuh Ketua Hwe-liong-pang.
Dua orang di atas tebing itu kecewa bahwa Tong Lam Hou selamat dari lemparan batu mereka. Tapi mereka terkejut ketika mendengar dari jalan kecil itu ada suara ledakan senjata api. Lalu terlihat tubuh Ketua Hwe-Iiong-pang itu jatuh tertelungkup dengan punggung berlubang oleh peluru, namun penembaknya tidak nampak dari atas tebing, karena berada cekungan di bawah tebing.
Kedua Hiat-ti-cu di atas tebing itu saling berpandangan, yang satu bertanya, "Siapa yang menembaknya?"
"Mungkin salah satu dari teman kita!”
"Bagus, tugas kita kali ini benar benar sukses. Hwe-liong-pang tanpa Tong Lam Hou akan seperti ular tanpa kepala."
“Ayo kita turun dari jalan tadi, untuk membantu teman-teman kita membantai Pak Kiong Liong. Kita beruntung sekali hari ini."
Di jalan kecil itu, biarpun hanya habis menarik sebuah pelatuk yang begitu kecil, namun In Tong merasa tenaganya terkuras habis. Itu bukan lain karena ketegangannya. Dilihatnya tubuh gurunya tertelungkup tak bernyawa. Sekilas ada juga kenangannya selama menjadi murid Ketua Hwe-liong-pang itu. Gurunya selalu menyayanginya, menurunkan ilmunya dengan tekun, memperhatikan kemajuan ilmunya. Dan kini ia menarik pelatuk pistolnya justru di saat gurunya sedang melindunginya dari batu batu yang jatuh dari atas tebing.
Mata In Tong basah juga sedikit, gumamnya lirih, "Maafkan aku, Suhu, semua ini kulakukan demi cita-citaku. Kalau aku menjadi Kaisar kelak, akan kubangun sebuah kuil termegah di negeri ini untuk menghormati arwah suhu..."
Memang lebih gampang membangunkan monumen untuk seorang pahlawan setelah mati, daripada menghargainya selagi masih hidup. Nasib Tong Lam Hou ternyata sama dengan nasib sahabatnya, Pun-bu Hwe-shio, dikhianati murid-murid terpercayanya. Tong Lam Hou hanya "sedikit lebih beruntung" dari Pun-bu Hwe-shio karena akan dibangunkan kuil termegah buat arwahnya....
Setelah ia tenang kembaIi, diangkatnya tubuh gurunya untuk dibawa ke Tiau-im-hong yang tidak jauh lagi. Pistolnya dibuang ke sebuah jurang. Sambil berjalan, otaknya mulai mengarang cerita apa yang akan dikatakannya kepada orang-orang Hwe-liong-pang nanti.
la berjalan terus, tak peduli di bawah Sana masih kedengaran suara pertempuran yang seru. la harapkan Pak Kiong Liong mampus saja, namun kelak ia takkan membuatkan kuil untuknya, malah di atas kuburannya,akan dibangun kakus umum untuk para gelandangan. Bencinya kepada pamannya itu meresap sampai ke tulang sungsum.
In Tong yang membawa mayat Tong Lam Hou itupun tiba di markas Hwe-liong-pang sambil menangis, dan disambut dengan tangisan pula. Dengan suara "amat sedih" (sebenarnya ia memang agak sedih juga), ia bercerlta tentang pembantaian di Hong-thian-lau yang didengarnya dari Pun-seng Hwe-shio, pembakaran wihara Siau-lim-si, lalu babak terakhir ia berkata,
"Kami bertiga dihadang para algojo Hiat-ti-cu. Suhu secara licik ditembak dari belakang, sedang paman Pak Kiong Liong dikeroyok dan terjerumus ke da- lam jurang....."
Berbohong yang baik adalah yang dicampur kenyataan sedikit-sedikit, dan In Tong ahli dalam "meramu" ini. Ceritanya dipercaya, seluruh Hwe-liong-pang berkabung. Yang paling sedih adalah Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng, mereka masing-masing kehilangan sekaligus ayah dan ayah mertua mereka. Begitu pula si kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long yang sekaligus kehilangan kedua kakek mereka.
Dalam urusan menunjukkan kesedihan, In Tong tidak mau kalah. Siang malam ia berada dekat dua peti jenazah di aula. Satu peti jenazah yang benar-benar berisi tubuh Tong Lam Hou, satunya lagi hanya berisi barang-barang milik Pak Kiong Liong, sebab kata In Tong, "Mayat paman Pak Kiong Liong jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam dan tak bisa diketemukan.
In Tong juga tidak doyan makan, setiap hari ia hanya makan setengah mangkuk bubur tanpa lauk pauk di hadapan orang-orang Hwe-liong-pang. Tapi kalau sendirian dalam kamarnya, dia menghabiskan lima mangkuk dan satu ekor ayam panggang utuh. Ketika kedua peti itu dimakamkan, Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng malahan nampak tabah, sedang In Tong justru kelihatan yang “paling susah dihibur". Di depan kuburan ia bersumpah akan mencincang Yong Ceng biarpun kakaknya sendiri.
Menurut adat, masa berkabung adalah tiga tahun. Tetapi Hwe-liong-pang tidak bisa menunggu selama itu tanpa pimpinan. "Gerakan Pembersihan“ sedang dilakukan Yong Ceng diseluruh wilayah kekaisaran tentu Hwe-liong- pang merupakan satu sasaran. Maka tidak boleh tanpa pimpinan. Maka tiga hari setelah pemakamaman seluruh Hiang-cu, Tong-cu, Hutong-cu dan keluarga Ketua Hwe-liong-pang berkumpul di aula untuk memilih Ketua baru.
Ada dua calon kuat, yaitu Tong Gin Yan dan In Tong. Orang yang mendukung Tong Gin Yan berpendapat bahwa putera Tong Lam Hou itu tepat sebagai Ketua baru, karena pembawaannya tenang dan selalu berpiklr dengan dingin. Sedang yang mendukung In Tong berpendapat bahwa di saat gawat seperti itu Hwe-liong-pang memerlukan seorang pimpinan yang tegas dan cepat bertindak, dan In Tong dianggap memenuhi syarat itu.
Hampir sehari penuh berdebatan berlangsung, namun berdasarkan perbadingan suara, masih tetap leblh banyak yang memilih Tong Gin Yan. Bagaimanapun In Tong adalah orang baru yang belum sampai tiga tahun menjadi anggota Hwe-liong-pang, biarpun dia murid dari Ketua yang lama.
Namun atas usul Tong Gin Yan sendiri, untuk menghindarkan Hwe-liong-pang dari perpecahan, ia ingin mengangkat In Tong sebagai Hupang-cu (wakil ketua). Inilah jabatan baru yang belum pernah ada sejak Hwe-liong-pang didirikan oleh kakek Tong Lam Hou dulu, Tong Wi Siang. Tetapi demi kekompakan Hwe-liong-pang, usul Tong Gin Yan itu diterima juga.
Tetapi, ketika orang-orang di aula itu belum bubar, tiba-tiba dari luar ruangan terdengar suara dingin, "Seorang yang tega menembak gurunya sendiri dari belakang, mana boleh menjadi wakil Ketua Hwe-liong-pang?"
Semua orang terkejut dan menoleh ke arah pintu. Munculah dari situ seorang kakek tua berpakaian robek-robek dan ada bekas-bekas luka di tubuhnya. In Tong terkejut sampai mukanya pucat. Itulah Pak Kiong Liong yang dikabarkannya "masuk jurang dan mayatnya tidak diketemukan".
Pak Kiong Eng sendiri tercengang. Setelah yakin bahwa yang berdiri di ambang pintu itu bukanlah hantu, dia berlari memeluknya sambil berseru, "Ayah!"
Menyusul Tong Gin Yan dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya mengerumuni Pak Kiong Liong untuk menanyakan hal yang sebenarnya terjadi. Sementara ribuan mggota Hwe-liong-pang lainnya menjadi gempar dan membanjir masuk ke aula itu.
Saat itulah In Tong merasa dirinya dalam bahaya karena kedoknya akan terlucuti. Secepat ia bisa, ia berlari ke arah jendela untuk melarikan diri. la akan menggunakan suasana ribut itu untuk menyelamatkan diri lebih dulu.
Namun Pak Kiong Liong senantiasa mengawasinya, buru-buru ia mendorong tubuh anak perempuannya yang masih memeluknya, lalu tubuhnya bagaikan seekor elang raksasa melompati kepala ba-nyak orang Hwe-liong-pang untuk mengejar In Tong. Bentaknya, "Pangeran, pertanggung-jawabkan dulu perbuatanmu!”
In Tong sadar, sekali tertangkap, habislah ia menjadi sasaran kemarahan orang-orang Hwe-liong-pang. Karena takutnya, tenaganya seolah berlipat ganda. la mendorong-dorong dan menyusup ke arah orang-orang Hwe-liong-pang yang kacau balau, sehingga mereka tumpang tindih.
Ketika mendengar bentakan pamannya sudah dekat di belakangnya, In Tong tiba-tiba mencengkeram dua orang anggota Hwe-liong-pang untuk dilemparkan sekuatnya ke arah Pak Kiong Liong. Kalau In Tong tak peduli keselamatan orang-orang Hwe-liong-pang, maka Pak Kiong Liong sebaliknya. la harus lebih dulu menyambut dua tubuh yang dijadikan “senjata rahasia" itu agar kepala mereka tidak terhempas ke lantai. Maka In Tong jadi punya waktu tambahan beberapa detik untuk menyusup-nyusup di an tara orang-orang yang simpang-siur itu.
Memang semua orang Hwe-liong-pang bermaksud menangkap In Tong, namun para calon penangkap ini malah saIing bertabrakan sendiri karena gesitnya In Tong menyusup-nyusup. Orang-orang Hwe-liong-pang yang semula mendukung In Tong kini justru paling geram dan paling sengit mencoba menangkap In Tong. Mereka malu karena merasa bersalah pernah mendengarkan hasutan In Tong.
Tetapi In Tong sendiri sadar, tidak mungkin terus menerus kucing-kucingan macam itu. Ketika melihat Tong Hai Long di dekatnya, tanpa pikir panjang lagi In Tong melompat untuk menangkapnya. Seorang anggota Hwe-liong-pang berseru memperingatkan bocah itu, namun anggota itu segera retak tempurung kepalanya karena jotosan In Tong.
Tong Hai Long sendiri tahu dirinya diserang, namun bocah tanggung itu dengan berani malah menyongsongkan pedangnya sambiI membentak, "Orang tak kenal budi! Kakek menolongmu berkali-kali, kau malah berbuat keji kepadanya!”
Tapi In Tong bergerak jauh lebih cepat, telapak tangannya berhasil menebas pergelangan tangan Tong Hai Long sehingga pedang bocah itu jatuh. Serempak tangannya yang lain menerkam dengan Kim-na-jiu (menangkap dan memelintir), dalam sekejap Tong Hai Long berhasil diringkusnya, sepasang tangan dibelakang punggungnya dan ditekan kepunggung.
Seorang anggota Hwe-liong-pang dengan berani mencekik In Tong dari belakang untuk menolong Tong Hai Long. In Tong mengeraskan otot-otot lehernya yang terlatih itu, sehingga cekikan itu hampir tak berpengaruh. Dengan dua tangan tetap mencengkeram Tong Hai Long, la membungkuk sambil menyepak rendah ke belakang. Itulah gerakan Kau-tui-hoan-tui (Menekuk lutut Menyepak ke Belakang) ajaran Tong Lam Hou, yang klni malah dlgunakan untuk membunuh seorang anggota Hwe-liong-pang sendiri yang selakangannya remuk.
Teriak In Tong, "Berhenti semuanya! Atau aku bunuh bocah ini..!” Telapak tangan kanannya dipasang di tengkuk Tong Hai Long. Siapapun tahu kekuatan tangan itu, sekali tebas tentu tulang leher Tong Hai Long akan di patahkannya.
Hiruk-pikuk reda, semua mata diarahkan kepada In Tong dan tawanannya. Kedok In Tong sebagai “murid yang baik“ atau "calon pemimpin yang gagah berani" dan sebagainya kini sudah dilucuti habis-habisan. Sejam yang lalu pendukung-pendukungnya masih menatap dengan kagum, kini seisi ruangan itu menatap dengan benci dan muak.
Sementara itu, Tong Hai Long berseru, "Jangan hiraukan aku! Balaskan sakit hati kakek!”
Sedangkan Pak Kiong Liong menyindir, "Hemm, beginikah pengecutnya seorang yang bercita-cita menjadi raja? Menurut penilaianku, Yong Ceng yang busuk itupun masih sedikit lebih baik daripadamu, In Tong!"
In Tong kena juga oleh ucapan itu. Kalau perbuatannya yang rendah itu kelak tersebar luas, sulitlah mendapat dukungan bagi "perjuangan"nya. Dulu Yong Ceng berhasil mendapat dukungan karena bertopeng sebagai pendekar yang berwatak jantan sehingga dihargai orang. Namun detik-detik itu bagi In Tong yang penting adalah tetap hidup dan berhasil selamat. Kalau mati, ia hanya akan menjadi kaisarnya cacing-cacing dalam tanah.
Tanpa mengendorkan cengkeramannya atas diri Tong Hai Long, In Tong berkata, "Paman Pak Kiong Liong, kau menuduhku membunuh Suhu, mana buktinya?" Sambil berkata, In Tong menyeret tawanannya semakin dekat ke pintu.
Pak Kiong Liong paham maksud In Tong, namun ia benar-benar tak berdaya bertindak karena tidak mau mempertaruhkan keselamatan cucunya. Satu-satunya cara hanyalah mengajak perang mulut, sambil menunggu kesempatan yang menguntungkan.
"Pangeran ingin bukti? Ketika aku bertempur di bawah tebing Sungai Bu-sia, aku mendengar di atas ada tembakan. Setelah lawan-lawanku lari, tak jauh dari tempatku bertempur kutemukan benda ini, yang dibuang oleh Pangeran."
Pak Kiong Liong mengeluarkan sebuah pistol berukir buatan Portugis yang sudah tak berpeluru. Benda itu dilemparkannya ke lantai. Beberapa orang Hweliong-pang mengenal benda itu sebagai milik In Tong, karena di gagang pistol terukir pula nama In Tong.
Pak Kiong Liong melanjutkan kata-katanya, "Sayang, akupun luka-luka dalam pertempuran itu, sehingga perjalananku menjadi lambat sekali dan tak sempat menghadiri pemakaman A-hou. Tapi aku sebagai sahabatnya, puas bisa melucuti kedok muridnya yang berkhianat ini, dan menyelamatkan Hwe-liong-pang dari tipu dayanya!"
Caci maki segera memenuhi ruangan itu, dan In Tong masih mati-matian menyangkal, "Bohong! Bohong!"
Tapi Pak Kiong Liong terus menyudutkannya, "Semua orang Hwe-liong-pang tahu, bahwa Tong Lam Hou tak semudah itu dibunuh dengan senjata api. Di Pak-khia berpuIuh-puIuh bedilpun tak ada yang bisa mengenainya satupun. Kalau dia sampai berhasil ditewaskan oleh senjata api, itu aku yakin karena ditembak dari belakang dan oleh orang yang tidak dicurigai sama sekali!"
Tong Gin Yan merah padam mukanya dan gemeretak giginya. Jadi In Tonglah yang membunuh ayahnya? Seandainya Tong Hai Long tidak sedang dijadikan sandera, Tong Gin Yan ingin menerkam dan merobek-robek muka In Tong.
Sementara itu, karena kalap setelah tersudut, In Tong berteriak-teriak. "Paman, kenapa kau menghalangi aku? Kenapa paman hanya menyayangi adinda In Te, padahal aku juga keponakanmu?" Dalam kata-katanya yang serabutan itu, ia menelanjangi dirinya sendiri, tercetuslah maksud sebenarnya untuk mencapai cita-citanya dengan memperaalat Hwe-liong-pang.
“Nah, kau sudah mengaku?" Kata Pak Kiong Liong penuh kemenangan.
In Tong sadar bahwa mulutnya telah "bocor” menunjukkan hatinya. Dalam nekadnya, la berkata tanpa tedeng aling-aling lagi. “Bangsat tua Pak Kiong Liong, agaknya apapun tidak bisa bersembunyi dari mata malingmu. Baik, aku terang-terangan. Kalau In Si, In Ceng, In Gi dan In Te boleh berebutan tahta, kenapa aku tidak boleh? Memang aku akan memimpin Hwe-liong-pang menduduki tahta. Saudara-saudara Hwe-liong-pang yang setuju dengan cita-citaku, marilah bergabung dengan aku untuk menuju jaman keemasan yang…. “
Kata-kata selanjutnya tak terdengar lagi, karena tenggelam dalam suara caci-maki orang-orang Hwe-liong-pang yang tak tertarik oleh ajakannya. Orang-orang Hwe-liong-pang hanya tertarik untuk membalaskan sakit hati ketua lama mereka. In Tong kini merasa sendirian ditengah serigala-serigala itu, cita-citanya rasanya sudah kandas. Tanpa sadar, pegangannya atas Tong Hai Long agak kendor.
Tong Hai Long merasakan itu. Tiba-tiba ia membungkuk dengan gerakan Ling-yo-kui-kak (Kambing gembel melepaskan tanduk) sambil menyentak lepas tangannya yang dipegang musuh. Masih ditambah ia manumit jempol kaki In Tong keras-keras. Lalu menggulingkan diri sejauh-jauhnya. Ia lepas!
In Tong dengan marah hendak menangkap kembali Tong Hai Long, tetapi kedua orang tua bocah itu sudah melompat menghalangi. Demi hidupnya, In Tong merubah arah untuk kabur secepatnya lewat pintu Pak Kiong Liong dengan geram hendak mengejarnya, namun saat itu terjadilah kegemparan lain.
Seorang anggota Hwe-liong-pang berlari terengah-engah datang, didepan pintu ia langsung berteriak, "Kita diserang pasukan.....” Kalimatnya tidak selesai, sebatang panah menembus punggungnya. Kemudian panah-panah lainnya menyusul, panah-panah api yang langsung menimbulkan kobaran api di segala sudut markas Hwe-liong-pang itu.
Dalam keributan itu, tak ada lagi yang memperhatikan Pangeran In Tong yang segera menghilang. Tong Gin Yan sebagai Ketua baru segera mengatasi hiruk-pikuk anggota-anggotanya, "Bertahan di aula, sampai memungkinkan menyusun kekuatan untuk menyerang balik!”
"Omong kosong!” dari arah pintu terdengar suara mengejek. Lalu muncullah Hap To si komandan Hiat-ti-cu yang membawa tombak di tangannya. "Kalian sudah seperti ikan dalam jaring! Menyerahlah baik-baik, supaya jangan bernasib seperti Siau-lim-si!” Di belakang Hap To, selain ada puluhan jago-jago Hiat-ti-cu, juga ada ribuan perajurit dari gubernuran Seng-toh yang "dipinjam" oleh Hap To.
Melihat Pak Kiong Liong juga ada di situ, Hap To langsung menghadapinya. Dalam keadaan biasa ia gentar juga kepada Pak Kiong Liong, namun karena ia sudah mendapat laporan dari anak buahnya yang bertugas menghadang di tebing sungai Bu-sia bahwa Pak Kiong Liong terluka, maka Hap To memberanikan diri melawannya. Slapa tahu bisa mengalahkannya, blar mengurangi kebanggaan Kim Seng Pa saingannya di istana yang amat dibencinya itu. Dengan gerakan Liong-leng-hong-bu (Naga Melingkar, Burung Hong Menari), Hap To langsung memainkan Jit-seng-jio hoat (llmu Tombak Tujuh Bintang) yang lincah.
Pak Kiong Liong memang agak kaget, merasa kepandaian lawannya jauh meningkat dibandingkan dulu-dulu. Namun ia tetap meladeninya dengan tangan kosong. Hap To begitu yakin akan kemenangannya kali ini, sehingga ketika Tam Tai Liong, wakilnya, mendekatinya untuk membantu, ia menolak, "Tidak usah kau bantu aku, Tam Tai Hu cong-koan. Cari lawan lain saja. Pak Kiong Goan-swe ini teman lamaku!''
Sambil mclompat mundur, Tam Tai Liong berpikir, ''Kebetulan, kalau kau mampus dibunuh Pak Kiong Liong, maka kursi Cong-koan akan kududuki.
Sementara Itu, anak-buah Hap To telah membanjlr masuk dan menyerbu dengan sengit, kaum Hiat-ti-cu bercampur aduk dengan perajurit-perajurit gubernuran Se-cuan. Orang-orang Hwe-liong-pang juga melawan dengan gigih, sehingga berkobarlah pertempuran sengit. Mulanya pertempuran hanya di aula, lalu melebar ke kedua halaman samping, lalu melebar lagi kemana-mana, sampai seluruh markas Hwe-liong-pang itu akhirnya merata dengan suara gemerincing senjata dan teriakan-teriakan.
Tong Gin Yan maju paling depan bersama dua orang Hiang-cu, masing-masing Ui-bin-peng-hou Hu Se Hiong dan Ko Seng Hwe-shio. Ko Seng Hwe-shio yang biasanya lemah lembut itu, tiba-tiba bertempur dengan bengis sekali. Toyanya berputar dengan kekuatan besar, para perajurit yang diterjangnya roboh berpelantingan. Ternyata Ko Seng Hwe-shio marah karena dia adalah murid asal Siau-lim-si yang sudah dibumi hanguskan itu. Siau-lim-si adalah sumber ilmunya, sedang Hwe-Iiong-pang adalah wadah perjuangannya.
Sedangkan Tong Gin Yan juga telah dihadang Tam Tai Liong yang bersenjata tiat-koai itu. "Kau tentu pemimpin baru dari gerombolan bandit Hwe-liong-pang ini, baiklah, kuringkus kau lebih dulu!”
Sambil bicara, tongkat melengkung berujung tajam itu langsung hendak mengait ke leher Tong Gin Yan. Tong Gin Yan menunduk sambil melangkah maju dengan kaki bersilang, pedangnya balas menikam ke pinggang Tam Tai Liong sama cepatnya. Tam Tai Liong melompat ke atas dan mengincar punggung, namun Tong Gin Yan membalik dengan gerakan Pek-ho-keng-ih (Bangau Putih Menyisik Bulu) untuk mengelak dan sekaligus menebas ke pergelangan tangan musuh dengan kecepatan yang tinggi.
Saling gebrak itu mengingatkan kedua belah pihak bahwa mereka masing-masing sudah ketemu tandingan berat. Ko Seng Hwe-shio yang tengah melabrak para perajurlt itupun kemudian melawan dua anggota Hiat-ti-cu, masing-masing Ya-hing-kui-long (Serigala iblis Pengembara malam) Im Bu To yang bersenjata toya serta Tiat-kak-lok (Kijang Bertanduk Besi) Kang Hui Kok yang bersenjata kau-lian-jio (Tombak Berkaitan).
Ko Seng Hwe-shio yang tengah penasaran buat Siau-lim-pai itu menerjang siapapun yang ada di depannya asalkan berseragam perajurlt musuh. Lebih dulu toyanya dihantamkan ke arah Im Bun To dengan tipu Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san Menimpa Kepala).
Im Bun To juga memegang toya yang berat, menandakan diapun bertenaga besar. Namun ia tidak berani menangkis, hanya melompat mundur. Sedangkan Kang Huai Ok dari samping sudah mengangkat tombaknya, siap membantu rekannya itu.
Ko Seng Hwe-shio mengubah geraknya menjadi Oh-liong-boan-jiu (Naga Hitam melilit Pohon), toyanya mendatar menyerampang pinggang Kang Huai Ok. To ya berat itu tidak gampang diubah arah nya, namun Ko Seng Hwe- shio dapat seenaknya saja mengubah-ubah arahnya seolah-olah yang dipegangnya Itu hanya sebatang rotan saja. Ini mengejutkan kedua lawannya.
Begitulah, semua orang sudah menemukan lawannya masing masing, beribu-rlbu orang. Tokoh berilmu ditandingi tokoh berilmu, anak-buah ditandingi anak-buah. Namun faktor jumlah ikut menentukan pula. Para penyerbu yang dibawa Hap To itu berjumlah jauh lebih banyak dari orang-orang Hwe-liong-pang, sehingga perlahan-lahan mereka berhasil mendorong mundur pihak Hwe-liong-pang terus menerus.
Pihak penyerbu berguguran, pihak yang bertahan juga berguguran. Di pihak Hwe-liong-pang, kelihatan Sung-bun-siau (Seruling Berkabung) Oh Kian Keng agaknya harus berkabung buat dirinya sendiri dan tak bisa lagi meniup serulingnya. Tubuhnya terpaku di tembok oleh sebatang tombak, sementara di sekitarnya bergelimpanganlah korban-korbannya, hasil amukannya sebelum ia gugur tadi. Tidak jauh daripadanya, Siang Koan Liong masih melawan gigih, tapi sekujur tubuhnya sudah luka-luka juga.
Melihat keadaan pihaknya yang kurang menguntungkan, Tong Gin Yang berpikir kalau bersikeras melawan terus tentu akan tertumpas habis dan jatuh korban bertumpuk-tumpuk. Sambll tetap melawan Tam Tai Liong, rupanya ia juga sempat memperhatikan keadaan anak buahnya di sekitarnya. Ketlka melihat Lu Kan San bertempur di dekatnya, Tong Gin Yan memanggi, "Saudara Lu kemari!”
Tong Gin Yan bukannya mohon bantuan untuk mengeroyok Tam Tai Liong, melainkan memerintahkan, "Coba kau Iihat kebun belakang dan kutunggu laporanmu!"
"Baiklah," sahut Lu Kan San. Ia tahu bahwa Ketuanya memerintahkan mempersiapkan jalan untuk mengundurkan diri sebelum tertumpas habis. Pertempuran berlangsung terus, dan ketika Lu Kan San datang kembali untuk berteriak bahwa "kebun belakang" sudah siap, maka Tong Gin Yan bersuit nyaring. Isyarat itu diteruskan bersambung, sampai seluruh anggota Hwe-liong pang yang bertempur di manapun mendengar dan memahaminya.
Maka separoh lebih anggota Hwe-liong-pang yang masih tersisa itupun bergerak bagaikan air surut, memenuhi perintah Ketua mereka, lewat kebun belakang. Gerakan mundur serempak itu tidak tercegah oleh pasukan kerajaan. Pasukan kerajaan memang berkekuatan lebih besar untuk mampu menekan, tapi tidak mampu mencegah gerakan mundur itu. Apalagi para pemimpin Hwe-liong-pang yang berilmu tinggi itupun mundur paling akhir untuk melindungi anak buah mereka dari belakang.
Pak Kiong Liong tengah bertempur sengit melawan Hap To, namun dapat mendengar isyarat itu dan diam-diam menyetujui tindakan menantunya itu. Itu tindakan bijaksana, menyelamatkan kekuatan yang masih tersisa daripada melawan hancur-hancuran hanya untuk memperoleh sebutan "gagah berani".
Dalam pertempurannya, Pak Kiong Liong sebenarnya sudah mulai berhasil mengekang dan menekan permainan tombak Hap To. Kalau diberi kesempatan barang limapuluh jurus lagi, tentu Hap To akan dikaIahkannya. Namun Pak Kiong Liong tidak mau ditinggalkan sendirian di situ oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
"Kau beruntung tidak mati di tanganku," kata Pak Kiong Liong sambil melompat meninggalkan arena.
Harusnya Hap To tahu diri, behwa pertempuran tadi sudah membuktikan keunggulan ilmu Pak Kiong Liong atas dirinya. Tapi kemarahan dan kesombongan membutakan matanya dari kenyataan Itu. la berteriak, "Jangan lari, Pak Kiong Liong! Kau kira kau sudah menang dariku? Masih ada beberapa jurus hebatku yang akan membuat tubuhmu penuh lubang...!”
"Kelak saja kau tunjukkan padaku, supaya agak bagus," ejek Pak Kiong Li ong. "Kalau sekarang, paling-paling ya hanya begitu-begitu saja."
Sementara itu, bagaikan "parit” yang dibuka bendungannya, orang-orang Hwe-liong-pang lari ke belakang gunung, sebuah lereng terjal yang menjadi "sarapan sehari-hari" dalam latihan mereka. Pasukan Hap To tidak sanggup mengejar, sebab lereng belakang itu ternyata juga penuh perangkap. Agaknya, jalan mundur itu sudah lama disiapkan pihak Hwe-Liong-pang sejak mereka sadar sudah masuk "daftar hitam"nya Yong Ceng.
Karena lolosnya sebagian orang-orang Hwe-Liong-pang itu, Hap To melampiaskan kemarahannya dengan membakar habis markas Hwe-Liong-pang. Maka pemandangan di atas gunung Tiau-im-hOng itu tak ada bedanya dengan pemandangan di atas Siong-san beberapa saat yang lalu, saat Siau-lim-si dibakar habis.
Dari kejauhan, sisa-sisa orang Hwe-Liong-pang itu dengan geram dan masygul melihat kobaran api itu. Bahkan ada yang menangis, sebab yang terbakar itu adalah rumah keluarga besar mereka.
Tong Gin Yan menghibur mereka, "Jangan berlarut-larut terbawa perasaan. Hal yang tak terhindari ini harus kita hadapi dengan semangat yang tetap menyala namun tetap terkendali oleh akal sehat pula. Kalian berpencaranah. Hwe-liong-pang tidak bubar, namun untuk sementara akan bersembunyi di bawah tanah sambil menyusun kekuatan, sambil menunggu saat kebangkitan kembali yang tepat.”
Bicara sampai di sini, tak terasa mata Tong Gin Yan berkaca-kaca dan suaranya bergetar. Berat juga berpisah dengan orang-orang yang sekian lama di satukan oleh suka duka bersama bertahun-tahun. “Kita memang akan berpencaran, saudara-saudara, tapi tidak begitu dengan semangat kita..”
"Selamat berpisah, Pang-cu. Kami yakin kelak kita akan bangkit kembali...”
“Kita semuanya yakin. Jagalah diri kalian baik-baik, kita akan sering bertukar kabar...."
Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun kemenangan Yong Ceng. Jit-goat-pang, Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang sudah ditaklukkan. Pangeran In Te juga sudah dikirim ke Jing-hai dan Yong Ceng yakin Ni Keng Giau akan mematuhi pesan rahasianya. Kekuasaan Yong Ceng semakin kokoh, semakin terasa. Keras dan dingin. Tapi permainan belum selesai. Setelah menabur, biasanya lalu menuai bukan?
la benar-benar santai menikmati pemandangan itu, sambil makan minum. Tidak ada yang lebih berarti baginya kecuali semakin kokohnya kekuasaannya, dengan cara apapun. Tidak lama kemudian, Hap Lun, Panglima Kiu-bun Te-tok, berlutut dihadapannya dan melaporkan bahwa semua "sudah dibereskan" sesuai dengan perintah, tidak tersisa seorangpun. Tentang jumlah perajurit yang tewas, Hap Lun tidak melaporkannya, sebab tahu bahwa hal itu tidak disukai Kaisar. Perajurit kan memang digaji untuk mampus?
Yong Ceng tertawa puas mendengar laporan itu, sedangkan Hap Lun meremang bulu tengkuknya. Sedang Liong Ke Toh lain lagi. Dengan muka berseri-seri ia suguhkan secawan arak ke hadapan Kaisar, sambil berkata, "Hamba mengucapkan selamat, Tuanku. Kini habislah orang-orang yang selalu mengusik Tuanku dengan tuntutan tuntutan mereka yang tidak masuk akal. Sekali lagi, selamat, Tuanku."
Yong Ceng menerima cawan itu dan diteguknya dengan amat puas. Kalau musuh-musuh dalam negeri sudah dibereskan, ia akan segera memukul keluar perbatasan untuk meluaskan wilayah. Jing-hai harus diamankan, suku-suku di Asia Tengah harus ditundukkan seperti jaman dinasti Tong dulu. Tibet yang cuma "setengah takluk" akan dibuatnya jadi takluk sepenuhnya. Annam juga harus diberi "jeweran" karena upetinya sering terlambat datang, mentang-mentang sudah punya teman baru.
Perancis. Makao akan dibiarkan dulu, sebab Portugis yang bercokol disana dianggapnya masih berguna. Setelah itu, tiba gilirannya untuk menggasak musuh-musuh lama, Rusia di utara dan Jepang di timur.
"Hemm, kerajaanku kelak akan lebih luas dari yang pernah digelar oleh Jengish Khan..." Seteguk lagi ia menikmati araknya, lalu kepada seorang pelayan tua yang menjadi juru tuIisnya, ia bertanya, "Apakah surat untuk panglima-panglima di propinsi sudah kau kirimkan?"
"Sudah hamba kirimkan dengan penunggang-penunggang kuda tercepat, Tuanku," sahut si juru tulis. "Sekarang tentu sudah tiba di tangan para panglima di propinsi-propinsi.”
Yong Ceng tersenyum puas dan mengangguk-angguk. Ternyata, pada hari yang sama Yong Ceng juga membuat gebrakan diseluruh negeri, termasuk di Lia-tong wilayah asal orang-orang Manchu sendiri. Itu disebutnya "pembersihan'. Bukan saja para pendekar penentang yang ditangkapl, juga para sastrawan atau pujangga yang syairnya-syairnya dianggap “menggoyahkan kesejahteraan dan keamanan", semua dibabat sekalian.
Di antara pujangga terkenal yang ikut dibabat itu termasuk Lu Liu Liang, ayah dari Lu Se Nio, sahabat karib Yong Ceng sendiri dimasa muda. Tapi golok algojo cuma bergerak dari atas, tak kenal sahabat atau bukan sahabat.
Perlawanan timbul, namun perlawanan yang tidak kompak karena bergerak sendiri-sendiri, maklumlah mereka tidak siap akan adanya "pembersihan" itu. Sebaliknya tentang pemerintah keluar semua dengan kekuatan penuh. Maka perlawananpun dapat dihabisi dengan gampang.
Darah tertumpah di seluruh negeri. Namun penghancuran terbesar terjadi di gunung Siong-san, tempat berdirinya Kuil Siau-lim-si, yang dianggap sebagai “sumber tuntutan penghapusan diskriminasi" itu. Laksaan tentara dikerahkan.
Pun-bu Hwe-shio dan para pendeta Siau-Iim-si melawan dengan gigih, namun perlawanan itu dipatahkan dengan makan korban jiwa bertumpuk-tumpuk di kedua belah pihak. Lalu api dinyalakan, Siau-lim-si habis menjadi abu, termasuk Pun-bu Hwe-shio dan pendeta pendeta yang bertahan di situ.
Praktis sekali cara Yong Ceng "memperabukan" gurunya dan saudara-saudara seperguruannya. Sebagian besar pendeta-pendeLa Siau-lim-si berhasil melarikan diri untuk menyelamatkan kitab-kitab berharga, kitab agama maupun kitab silat. Mereka lari ke selatan, ke kuil Siau-lim si cabang Hok-kian.
Kejutan yang dilakukan Yong Ceng itu memang berhasil mengkocar-kacirkan perlawanan dalam negeri. Para penentang kehilangan sebagian besar dari kekuatan mereka, dan kekuatan yang terpecah-pecah itu bukan lagi ancaman yang berarti melainkan hanya gangguan-gang-guan kecil.
Lalu mata serigala Yong Ceng mulai menoleh ke Hwe-Iiong-pang. KaIau Siau-Iim-pai dianggap "biang keladi tuntutan tidak masuk akal”, maka Hwe-liong-pang kebagian tuduhan "komplotan Pangeran In Te" atau “persembunyian para buronan".
* * * *
Hong-thian-lau sudah menjadi tempat yang menakutkan. Disitu hanya ada puing-puing dan mayat-mayat. Ketika malam tiba, tempat itu menjadi seperti tidak ada orang lewat, sebab mereka takut diganggu hantu penasaran. Orang-orang yang kemarin masih berbangga bagai "sahabat lama Si Liong-cu”, sekarang bergelempangan beku dengan malangnya.
Ketika malam makin sepi, tiba-tiba salah satu mayat itu bergerak-gerak sedikit, lalu duduk dan akhirnya berdiri. Terlihatlah kemudian bentuk tubuhnya yang tinggi besar, muka hitam dan kepala gundul. Pakaiannya sudah robek-robek atau terbakar api sebagian, namun masih bisa dikenali sebaga jubah pendeta berwarna kelabu.
Pun-seng Hwe-shio, ternyata ia tidak mati. Dalam pertempuran tadi dia roboh luka-luka, namun lawan-lawannya mengira Ia sudah mati sehingga tubuhnya tidak diusik lagi. Maka nyawanya itu benar-benar nyawa saringan.
Begitu ia siuman, matanya disuguhi pemandangan mengerikan di sekitarnya, dan hidungnya dipaksa mencum bau “daging bakar” yang tidak merangsang selera. Sebab itu bukan daging kambing atau lembu, melainkan daging manusia. Darah Pun-seng Hwe-shio menghangat. Ia sudah mendapat jawaban untuk kebimbangannya selama ini. Yong Ceng sudah menjawab. Janjinya keadilan dan kesederajatan, yang diberikannya kematian dan kehancuran.
Ingin rasanya Pun-seng Hwe-shio mencekik Yong Ceng malam itu juga, namun akal sehatnya memperingatkan bahwa itu percuma. Keadaan takkan tertolong. Yong Ceng pasti akan berlindung di belakang barisan pengawalnya yang berlapis-lapis. Amukan Pun-seng Hwe-shio takkan berarti lain daripada bunuh diri. Akhirnya Pun-seng Hwe-shio dapat menemukan akal sehatnya. "Bukan sekarang, tapi kelak, murid durhaka itu akan menerima ganjarannya."
Dengan badan terasa remuk, Pun-seng Hwe-shio berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. la memilih lorong-lorong yang sunyi, kadang-kadang harus bersembunyi kalau berpapasan dengan perajurit peronda. Dalam keadaan tiga perempat mati seperti itu, Pun-seng Hwe-shio sadar bahwa seorang perajurit yang berilmu silat paling rendah pun akan bisa membunuhnya dengan satu bacokan saja.
Menjelang fajar, Pun-seng Hwe-shio berhasiI menerobos keluar tembok kota Pak-khia dengan cara merayap lewat saluran air kotor. Tiba di luar kota, barulah ia dapat duduk dengan tenang, berusaha memulihkan kekuatan tubuhnya, sambil memikirkan rencana selanjutnya. “Aku harus kembali ke Siong-san unfuk memberitahu kepuda Pun-bu Su-heng bahhwa Yong Ceng tidak bisa diharapkan lagi."
Sama sekali ia belum tahu bahwa kuil itu juga sudah jadi abu bersama Pun-bu Hwe-shio dan ratusan pendeta lainnya. Hari kejadiannya sama dengan hari pembantaian di Hong-thian-lau. Pada saat Hong-thian-lau menjadi obor raksasa, hari itu juga kuil Siau-lim-si menjadi crematorium raksasa.
Ketika kemudian Pun-seng Hwe-shio mulai berjalan lagi, ia melihat di sepanjang jalan banyak didirikan pos-pos pengawasan yang dikawal ketat. Orang-orang yang berlalu-lalang diperiksa, yang mencurigakan langsung ditangkap. Rupanya Yong Ceng ingin "pembersihan”nya benar-benar berhasil, tidak setengah-setengah.
Pun-seng Hwe-shio tidak berani lewat jalan besar, itu sama saja dengan mencari penyakit. la berjalan menyusup nyusup hutan, menyusuri ladang-ladang dan jalan setapak, menuruni dan merambat naik lereng-lereng berbatu tajam Akhirnya ia memasuki wilayah Ho-lam.
Firasatnya semakin tidak enak karena dekat ke Siong-san, terlihat penjagaan tentara kerajaan yang semakin ketat. Di mana-mana yang kelihatan hanyalah orang-orang berseragam merah biru yang kepalanya memakai caping-caping berhias benang merah, tangan memanggul tombak atau pedang.
Karena dorongan rasa ingin tahunya, ia memutuskan untuk masuk kota Teng-hong untuk mencari keterangan, yang sedikit menyerempet bahaya. Dengan menyamar sebagai seorang bungkuk yang kepalanya memakai caping petani. ia tertatih-tatih mendekati pintu gerbang kota Teng-hong yang dijaga sekelompok perajurit bersenjata lengkap.
Ternyata perajurit-perajurit itu cerdik juga menggunakan kesempatan. Asal kelihatan ada seorang lewat yang nampaknya berduit, orang itu segera dihentikan dan dituduh "dicurigai sebagai pemberontak" dan diancam masuk penjara. Daripada masuk penjara, orang-orang itu lebih suka merogoh kantorg untuk menyuap para penjaga, lalu rereka dibiarkan lewat, dengan demikian “pembersihan” yang dilakukan Yong Ceng itu pun memberikan tambahan rejeki kepada para prajurit. Orang lewat yang kelihatannya tak berduit. Dibiarkan lewat begitu saja. Meskipun tetap diawasi dengan tajam. Dari mereka, apanya yang bias diperas.?
Sambil berjalan, diam-diam Pun-seng Hwe-shio menghitung, bahwa untuk beberapa tahun mendatang, kekuasaan Yong Ceng akan tetap kokoh. Lalu Pun-seng Hwe-shio ingat seorang murid Siau-lim-pai lainnya, Ni Keng Giau, yang menjadi Panglima Tertinggi Kekaisaran. Mungkinkah Ni Keng Giau kelak bisa dibujuk berbalik melawan Yong Ceng. Ataukan Ni Keng Giau jangan-jangan sudah sama busuknya dengan kakak seperguruannya...?
Pun-Seng Hwe-Shio melihat keadaan kota Teng-hong jauh lebih sepi dari biasanya. Banyak pintu tertutup rapat. Ada juga warung yang buka, namun pengunjungnya sedikit sekali. Orang-orang di jalan juga sedikit. Kota itu dicekam ketakutan. Tengah Pun-Sen Hwe-shio mencari-cari orang yang bisa diminta keterangan, tiba-tiba dari ujung jalan nampak seseorang yang berlari-lari kencang dengan diburu sekelompok perajurit.
“He, maling dari Siau-lim-si, kembalikan roti yang kau curi!” teriak perajurit-perajurit itu.
Hati Pun-sen Hwe-shio jadi panas, mana ada orang Siau-lim-si mencuri roti? Namun ketika ia memperhatikan orang yang diburu itu, alangkah terkejutnya. Ia berjalan sempoyongan sambil menggerogoti sepotong roti murahan dengan rakusnya. Keliatan memang betul-betul kelaparan. Yang mengejutkan, karena orang itu memakai jubah pendeta Siau-lim-si biarpun sudah kotor dan robek-robek, dan Pun-Sen Hwe-shio mengenalnya sebagai Hian-tong Hwe-shio, murid mendiang Pun-hoat Hwe-shio, adik seperguruan Pun-seng Hwe-shio. Jadi benar-benar ada seorang pendeta Siau-lim-pai nyolong roti!
Agaknya Hian-tong Hwe-shio tidak kuat berlari lagi. la tersusul. Seorang perajurit menyerampang kakinya dengan tangkai tombak sehingga Hian-tong Hwe-shio terguling, rotinya yang sudah berkurang beberapa gigitan itu terlepas dan jatuh di jalanan yang berdebu. Namun Hian-tong Hwe-shio mati-matian berusaha meraih kembaIi roti itu. "Gaya"nya itu sungguh merupakan pemandangan tidak sedap di mata Pun-seng Hwe-shio sampai bertingkah macam itu?
Lebih heran lagi, karena perwira yang memimpin pengejaran itu juga dikenalnya sebagai bekas murid Siau-lim dari golongan bukan pendeta, namanya The Yan Ki. Dulu ia bersikap hormat kepada pendeta-pendeta Siau-lim-si, kenapa sekarang sikapnya begitu kasar? Dalam benak Pun-seng Hwe-shio tiba-tiba muncul perasaan tajam, mungkinkah wihara Siau lim-si sudah menjadi Hong-thin-lau kedua?
Biarpun tubuhnya digebuki dan ditendangi, Hian-tong Hwe-shio tetap mati-matian berusaha meraih roti itu. The Yan Ki itulah yang paling bersemangat menghajar, "Anjing gundul, kuilmu sudah ditumpas, kau masih juga berani berkeliaran mencuri makanan?"
Pun-seng Hwe-shio terkejut mendengar ucapan itu. Lupa akan penyamarannya, tiba-tiba ia melompat maju dan sekali cengkeram saja tubuh The Yan Ki telah diangkatnya terkatung-katung di udara. Sambil mengguncang-guncang tubuh itu, ia bertanya dengan bengis, "Coba ulangi kata-karamu tadi , kuil mana yang sudah ditumpas dan oleh siapa?"
Bukan main kagetnya The Yan Ki karena uwa-guru yang paling ditakutinya itu tiba-tiba muncul dihadapannya dan langsung bersikap sebengis itu. la bingung untuk menjawab. Mengetahui watak Supeknya yang berangasan, ia khawatir kalau menjawab terang-terangan akan langsung dibanting mampus di tempat itu juga.
Sementara itu, melihat munculnya Pun-seng Hwe-shio, lupalah Hian-tong Hwe-shio akan roti yang "diperjuangkan"nya sejak tadi. la menangis dan berkata serak, "Supek, kuil kita telah dibakar habis oleh tentara kerajaan! Pun-bu Supek dan ratusan pendeta lainnya ikut tewas! The Yan Ki ikut membakar dan menghancurkan kuil!"
Hian-tong Hwe-shio tak sempat meneruskan bicaranya, sebab seorang perajurit membacoknya mampus tanpa ampun. Pun-seng Hwe-shio terlongong tak percaya mendengar ucapan Hian-tong Hwe shio sebelum mati tadi. Namun sesaat kemudian, kesedihan dan kemarahanlah yang menguasai dirinya. Tubuh The Yan Ki diguncangnya semakin keras, dan pertanyaannya memekakkan telinga, "Benar-kah itu? Benarkah itu?"
Bibir The Yan Ki bukan merah namun putih, karena takutnya, namun suaranya masih keluar juga, "Su... pek, sabar.... aku... aku hanya menjalankan tu.... tugas dan Supek, jangan..."
Itu teriakan terakhir The Yan Ki. Pun-seng Hwe-shio dengan kalap memegang sepasang kaki The Yan Ki lalu dipentangnya kuat-kuat. Separuh tubuh The Yan Ki dilempar ke utara, separuhnya lagi ke selatan, sedang tubuh Pun-seng Hwe-shio sendiri mandi darah sehingga tampangnya menyeramkan sekali.
Perajurit-perajurit lainnya menjadi ngeri. Ketika Pun-seng Hwe-shio melangkah mendekati mereka, mereka lebih suka kabur ketakutan. "Orang gila…Orang gila!" teriak mereka.
Pun-seng Hwe-shio sendiri memang sudah diambang kegilaan karena peristiwa-peristiwa yang dialaminya berturut-turut. la mengejar perajurit-perajurit yang ketakutan itu. Dua perajurit yang paling belakang berhasil disambar dan kepala mereka dibenturkan satu sama lain sehingga retak. Masih belum puas, ia mengejar kencang dan satu perajurit lagi berhasil diringkusnya, lalu dilemparkan ke atas sekuat tenaganya. Tubuh malang itu melayang sampai melewati atap rumah di pinggir jalan, terhempas di bagian lain dalam keadaan patah.
Tengah Pun-seng Hwe-shio mengamuk, muncullah empat orang berseragam pengawal gubernuran Ho-lam. Merekalah jagoan-jagoan pilihan yang tanpa gentar segera mengurung Pun-seng Hwe-shio. Dua orang dari mereka bertubuh pendek sekali, sehingga ketika berhadapan dengan Pun-seng Hwe-shio, mereka jadi kelihatan seperti sepasang anak kucing yang manis berdiri di hadapan seekor beruang raksasa.
Namun mereka bukan kucing-kucing jinak, melainkan dua bersaudara Ki Ki-ong dan Ki Beng yang dijuluki Siang-sat-ai-jin (Sepasang Manusia Pendek Yang Kejam). Tangan kanan masing-masing memegang sabit beracun, tangan kiri mereka berkuku panjang-panjang dan beracun pula. Tanpa gentar mereka menghadang Pun-seng Hwe-shio.
"Kau pendeta Siau-lim-si?” tanya Ki Kong dengan mata yang berkedip-kedip "lucu". Seperti anak-anak kecil saja mereka, namun bagi yang sudah mengenal kekejaman mereka berdua, mereka tidak kelihatan lucu lagi.
"Benar!" sahut Pun-seng Hwe-shio menggemuruh. "Siapa yang membakar kui itu?!”
Jawaban Ki Beng melenceng jauh dari pertanyaannya, "Kau harus mampus!"
Lucu juga orang bertubuh kecil itu menggertak Pun-seng Hwe-shio yang tinggi besar. Namun mereka berdua bukan cuma menggertak, juga langsung turun tangan. Kedua orang pendek itu bergerak serempak dan alangkah cepatnya serangan mereka.Ki Kong meluncur untuk membabat sepasang kaki Pun-seng Hwe-shio dengan sabit beracunnya, sementara kuku-kuku tangan kirinya mencengkeram keselakangan Pun-seng Hwe-shio. Sedangkan Ki Beng melompat untuk menyabit leher dan mencakar mata.
Ketika Pun-seng Hwe-shio mengelak mundur, Ki Beng tiba-tiba meluncur turun untuk mengincar lambung si pendeta dengan sabitnya. Ki Kong merendahkan tubuhnya, kelihatan hendak menyerang bagian bawah, namun tiba-tiba melompat keatas untuk membacok kepala. Begitulah serangan mereka berganti-ganti arah dan serba tidak terduga.
Kembali Pun-seng Hwe-shio mendoyongkan tubuh. Namun ketika sepasang manusia kerdil iiu hendak menyusun serangan ketiga, Pun-seng Hwe-shio mendahului menyerang dengan sabetan telapak tangan ke lambung Ki Kong yang tengah melayang. Kim-kong-sau-hong (Si Malaikat Menyapu Puncak Gunung).
Menghadapi serangan balasan, Ki Kong dan Ki Bong tetap bekerja dengan rapi. Mereka berlompatan berpental ke kiri kanan, yang satu mencoba memecah perhatian, yang lainnya hendak membuka serangan dari arah lain. Tetapi sekali Hong-gu-kun-hoat (Silat Kerbau Gila) Pun-seng Hwe-shio "dibuka", maka serangannya mengalir bagaikan bendungan jebol. Itulah jurus-jurus yang hanya menyerang dan memaksa lawan memperhatikan keselamatan dirinya leblh dulu.
Semakin deras serangan Pun-seng Hwe-shio, semakin pecah kerja-sama kedua saudara itu. Kini mereka kebingungan harus melindungi nyawanya sendiri-sendiri. Memang, sedikit saja tubuh Pun-seng Hwe-shio tergores sabit atau kuku dua saudara Ki itu, Itu alamat Pun-seng Hwe-shio bakal mampus. Tapi kedua saudara Itu sulit mendapat kesempatan itu, setiap kali merekalah yang terancam oleh pukulan yang dapat mencopot kepala ataupun tulang rusuk berantakan. Maka pontang-pantinglah sepasang manusia kejam menyelamatkan hidupnya.
Namun dipihak musuh masih ada dua jagoan lagi. Seorang yang berdandan sebagai Tojin (imam), menanti kesempatan baik, lalu ia tiba-tiba melompat tinggi untuk menyabetkan senjatanya yang berupa hud-tim (kebut pertapa). Lebih dulu Pun-Seng Hwe-shio mendesak sepasang manusia pendek sampai kocar-kacir, bahkan Ki Beng sampai terguling-guling dengan wajah pucat karena pundaknya terserempet tinju si pendeta yang seberat gunung runtuh itu.
Kemudian Pun-seng Hwe-shio melompat menyongsong si To-jin dengan dua tinju dijotoskan sejajar dengan tipu Siang-Iiong-jut-hai. (Sepasang Naga Keluar Dari Lautan). Si To-jin kaget sekali, karena serangannya dibarengi serangan pula. Karena tubuhnya tengah melayang, tak ada kesempatan menghindar lagi, tukar-menukar serangan terjadi di tengah udara. Bulu-bulu hudtim si To-jin memecahkan baju di pundak Pun-seng Hwe-shio, sebaliknya sepasang tinju Pun-seng Hwe-shio bersarang telak di dada si Tojin.
Si hwe-shio merasa pundaknya seperti digigit nyamuk, sebaliknya si To-jin merasa dadanya dijatuhi batu sebesar kerbau dari langit. Tubuh si Tojin langsung jatuh dan meringkuk di tanah seperti seekor udang. Selesai dalam segebrakan. Pun-seng Hwe-shio kemudian dengan kalap menerjang ke arah jago gubernuran yang satu lagi.
Orang itu tinggi besar, berjenggot panjang, matanya besar mencorong, mukanya merah, senjatanya golok Koan-to, sehingga ia mirip Koan Kong dalam cerita Sam-kok. Hanya nyalinya saja yang tidak sama dengan Koan Kong, semuanya sudah sama. Melihat Pun seng Hwe-shio melangkah ke arahnya, buru-buru diletakkannya senjatanya, lalu ia berjongkok sambil memeluk kepalanya dan meratap-ratap, "Ampun Toa-suhu! Ampun Toa-suhu!”
Pun-seng Hwe-shio jadi kasihan, maka orang itu hanyalah dibentaknya sehingga lari terbirit-birit. Sedangkan dua saudara Ki juga sudah kabur. Begitulah empat jagoan gubernuran Ho-lam itupun dipukul mundur semua, kecuali si To-jin yang tidak bisa mundur kalau tidak di gotong.
Namun ratusan perajurit. kemudian muncul mengepung tempat itu. Bagaimana pun tingginya kepandaian Pun-seng Hwe-shio, dia tidak akan bisa menerobos kepungan rapat itu, biarpun seandainya ia dapat membunuh banyak lawan. Tetapi pendeta itu rupanya sudah nekad, dengan matanya yang liar ia menatap perajurIt-perajurit yang mengepungnya. Perajurit-perajurit yang paling depan menjadi ngeri melihat tatapan mata itu. Begitu sang komandan menyuruh menyerang, orang-orang paling depanlah yang akan mati paling dulu.
"Lepaskan panah!" teriak sang komandan. Perintah itu setidak-tidaknya lebih ringan daripada kalau disuruh maju dalam pertempuran jarak dekat menghadapi lawan yang demikian menakutkan. Ratusan batang panah dan lembing segera dihujankan ke tubuh Pun-seng Hwe-shio. Pendeta itu menyambar sebatang lembing untuk segera diputar kencang, menangkis semua Panah dan lembing.
Untunglah di antara perajurit itu tidak ada yang membawa bedil. Rupanya Yong Ceng khawatir kalau pasukan di daerah terlalu kuat akan membahayakan pemerintah pusat, maka pasukan di propinsi-propinsi tidak diperkenankan mempunya bedil. Hanya pasukan di Ibukota serta pasukan yang sedang berperang sajalah yang boleh memanggul senjata api itu.
Biarpun tidak ada bedil, toh hujan panah dan lembing yang tak habis-habisnya itu membuat Pun-seng Hwe-shio lama-lama tangannya pegal karena harus menangkis terus. Ketika gerakannya kendor sedikit saja, sebatang panah menancap di lengan kirinya.
"Keparat busuk!" teriaknya, biarpun ia seorang pendeta. Tapi Pun-seng Hwe-shio belum ditakdirkan mati hari itu. Ketika hampir saja ia kehabisan tenaga, muncul seorang pendeta tua dari atap rumah dipinggir jalan, turun ke dekat Pun-seng Hwe-shio.
Hwe-shio itu beralis putih panjang, begitu juga kumis dan jenggotnya, wajahnya tidak garang seperti Pun-seng Hwe-shio, bahkan Nampak lembut. Wajahnya lebih lembut, namun ilmunya justru lebih hebat dari Pun-seng Hwe-shio. Sepasang lengat jubahnya yanglebar itu melambai seperti sepasang bendera, namun menimbulkan guncangan udara yang menyapu rontok berpuluh-puluh panah dan lembing. Padahal lembing-lembing itu cukup berat bobot-nya, namun kini tersapu seringan batang batang jerami dihembus angin.
Melihat siapa yang datang itu, Pun-seng Hwe-shio berseru dengan perasaan meluap-luap, "Suheng... kuil kita... telah.... telah....”
Penolong itu bukan lain adalah Pun-khong Hwe-shio yang terkenal dalam Tai-lik-kim-hong-ciang (Tangan Malaikat Berkekuatan Besar). Dikalangan persilatan, hanya ada beberapa gelintir orang yang sanggup menghadapi pukulannya.
"Aku sudah tahu," jawab Pun-khong Hwe-shio tenang. "Cepat kita pergi dari sini...." Sambil bicara, sepasang lengan jubahnya kembali "berkibar" menerbitkan taufan dahsyat. Beberapa perajurit yang berdiri agak dekat bahkan terguling roboh, sementara debu terangkat naik menutupi pemandangan.
Namun tidak gampang lolos dari kepungan perajurit yang begitu banyak. Atas perintah si komandan, para perajurit kini nekad menyerbu dengan pedang dan tombak, bukan lagi sekedar melemparkan panah atau lembing. Sadar akan kemarahan adik-seperguruannya, Pun-khong Hwe-shio membisiki Pun-seng Hwe-shio,
"Sebisa-bisanya hindari pembunuhan Sute, jangan manjakan dendammu. Mereka hanya orang-orang yang diperintah, sedang yang paling bertanggung-jawab jauh ada di Pak-khia sana....."
Hampir saja Pun-seng Hwe-shio membantah bahwa para perajurit itupun telah memeras dan menggebuki rakyat. Namun ia tidak sempat berbantahan lagi, sebab ujung-ujung senjata telah mengerumuninya dari segala jurusan. Kedua pendeta tua itu kemudian bertempur dengan hebat untuk mencari jalan keluar. Pun-khong Hwe-shio dengan sepasang lengan jubahnya membuat barisan perajurit tumpang tindih.
Pun-seng Hwe-shio mencoba memenuhi anjuran kakak seperguruannya untuk tidak membunuh, lembing rampasannya tidak digunakan untuk menusuk, melainkan "Hanya" menggebuk. Tetapi "hanya” untuk ukuran Pun-seng Hwe-shio jauh bedanya dengan "hanya"nya orang lain. Banyak prajurit roboh, tidak mati, namun patah tulang rusuknya atau remuk pundaknya atau muntah darah dan seumur hidup menderita sesak napas.
Saat itu, kembali dua orang kakek kakek seolah melayang turun dari langit, ke tengah-tengah para perajurit, dan mereka langsung merobohkan banyak orang dengan totokan-totokan kilat mereka. Kehebatan mereka tak perlu diherankan lagi, sebab merekalah Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam Hou dan si bekas panglima Hui-liong-kun Pak KiongLiong.
Dengan munculnya mereka, biarpun pasukan itu jumlahnya dilipatkan dua juga takkan berhasil membendung mereka. Berturut-turut mereka berempat melompat ke atas genteng, lalu kabur bagaikan terbang ke arah luar kota Teng-hong. Para perajurit melongo melihat empat orang itu, seolah empat dewa yang terbang saja. Ada "dewa taufan", "dewa api”, "dewa salju" dan satu “dewa muka hitam" yang tenaganya hebat sekali.
Tiba di tembok kota, Tong Lam Hou Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio segera melompat turun dengan ringannya. Tapi Pun-seng Hwe-shio yang bertubuh berat dan tidak ahli dalam ilmu meringankan tubuh, tidak berani melompat begitu saja dari tempat setinggi itu. la copot jubahnya yang lebar untuk dipegang keempat sudutnya, lalu melompat turun dengan "parasut" darurat itu. Maka biarpun ia sempoyongan sampai ketanah, tetapi tidak usah harus patah kakinya.
Di luar kota, mereka bergabung dengan In Tong serta tiga murid Siau-lim-pai yang tadinya mengikuti Pun-khong Hwe-shio. Merekalah Ci-Sian Ci-Hian dan Ci-seng Hwe-shio. Tadinya mereka lima orang, namun yang dua orang sudah tewas di kota Yu-pin, menjadi korban Hiat-ti-cu. Tiba di sebunh bukit belukar di luar kota Teng-hong, barulah mereka berhenti berlari. Luka-luka Pun-seng Hwe-shio juga mulai diobati.
Di tempat itulah Pun-seng Hwe-shio bercerita tentang apa yang terjadi di Hong-thi an-lau, tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi. Yong Ceng yang selama ini diharapkan oleh pihak Siau-lim-pai untuk menjadi raja yang baik, malahan menjadi raja yang amat bengis. Siau-lim-pai membayar mahal untuk kesalahan perhitungan ini.
Maka ketika Pak Kiong Liong kemudian mengajak agar para pendeta Siau-lim-pai itu mendukung Pangeran In Te saja, para pendeta itu ragu-ragu. Mereka dulu sudah tertipu oleh Yong Ceng, kini mereka khawatir tertipu lagi oleh In Te. Maka mereka menolak ajakan Pak Ki ong Liong itu, dengan alasan akan lebih dulu mencari murid-murid Siau-lim-pai yang lari tercerai-berai itu, untuk dikumpulkan lagi.
Pak Kiong Liong paham bahwa alasan itu hanya dibuat-buat, para pendeta itu rupanya takut akan terkecoh untuk kedua kalinya. Namun urusan pendirian masing-masing, Pak Kiong Liong tidak bisa memaksa mereka untuk sependapat dengannya. Malah, dalam suatu kesempatan berbicara empat mata, Pun-khong Hwe-shio memperingatkan Tong Lam Hou agar hati-hati dalam sikapnya mendukung In Te, juga harus hati-hati terhadap muridnya, In Tong. Menurut Pun-khong Hwe-shio, bagaimanapun Yong Ceng, In Tong dan In Te berasal dari "satu cetakan" sehingga barangkali saja punya kesamaan dalam watak buruk.
Namun Tong Lam Hou hanya tertawa saja mendengar peringatan itu. la anggap pendeta tua itu sedang amat kecewa terhadap Yong Ceng, sehingga mencurigai pula semua saudara-saudaranya Yong Ceng. Lalu Tong Lam Hou menjelaskan bahwa In Tong adalah "murid yang baik", sedang sifatnya yang agak kejam itu "bisa dimaklumi" akibat pernah disiksa dalam penjara. Nanti sifat-sifat buruk itu perlahan-lahan agar dihapuskan.
Pun-Khong Hwe-shio akhirnya hanya bisa menarik manarik napas menghadapi kekukuhan sikap ketua Hwe-liong-pang itu. la hanya berharap agar kelak Hwe-liong-pang jangan sampai mengaIami nasib seburuk siau-lim-pai.
“Dulu kami sudah tertipu oleh Yong Ceng” pikirnya. "Apakah Pak kiong Goan-swe kelak juga akan terkecoh oleh In Te, dan Tong Pangcu oleh In Tong? Betapa sulitnya meyakinkan mereka. Tapi bukakah dulu kami juga sulit mengubah pandangan terhadap Yong Ceng? Pun-hoat Sute malah sampai membunuh diri di depan Tong Pangcu hanya untuk mencegah perjalanannya ke Pak-khia. Apakah kami yang tua-tua ini harus selalu dikecoh oleh anak-anak istana itu?"
Sementara itu, karena mengkhawatirkan keadaan Hwe-liong-pang, maka Tong Lam Hou, Pak Kiong Liong dan In Tong segera berpamitan dari pendeta-pendeta Siau-lim-si itu pulang ke Tiau-im-hong. Beberapa hari kemudian, ketiga orang itu sudah masuk ke propinsi Se-cuan. Pemandanganpun mulai berubah. Kalau di wilayah tengah banyak gunung dan lembah, maka di Se-cuan banyak dataran rumput luas. Daerahnya subur, sehingga dijuluki “gudang beras” namun sekaligus “gudang malapetaka”. Kenapa? Sebab dalam tiap perebutan kekuasaan, gudang beras ini lalu dijadikan rebutan oleh pihak-pihak yang berperang.
Ketika itu, Tong Lam Hou bertiga sedang berjalan perlahan lewat sebuat jalan kecil yang sepi. Di sebelah kanannya ada tebing yang hamper tegak lurus, kerapun sulit memanjat ke atas. Sedang di sebelah kiri adalah tebing Sungati Bu-sia yang curam. Sungai itu kecil saja, namun kalau orang sampai terjerumus ke situ pastilah mampus. Bukan mati tenggelam, tapi mati karena tubuhnya hancur oleh batu-batu tajam di dasar sungai atau di permukaan tebing. Maka biarpun gemericik sungai Bu-sia terdengar merdu. Tak ada yang berselera untuk menjenguknya ke bawah karena takut tergelincir.
Tengah ketiga orang itu berjalan enak-enak, tiba tiba dari sebelah depan terdengar teriakan. "Tolong... tolong....”
Ketiganya segera bergegas ke arah suara itu. Maka terlihatlah seseorang bergelantungan di tebing sungai Bu-sia. Seorang yang agaknya tukang mencari kayu, sebab di pinggir jalan ada seonggok kayu bakar dan sebuah kampak. Rupanya orang itu berjalan kurang hati-hati dan tergelincir, untung tangannya sempat menyambar sebatang pohon untuk bergantung. Tetapi pohon itupun semakin melengkung oleh beban tubuhnya, nampaknya sebentar lagi akan patah.
"Biar kutolong dia," kata Tong Lam Hou. Namun Pak Kiong Liong merasa was-was, mencurigai orang itu. Hanya saja ia tidak memberitahukan kepada Tong Lam Hou, sebab sahabatnya itu terlalu polos, sehingga peringatannya tentu takkan digubris. Tong Lam Hou terlalu gampang mempercayai orang, apalagi orangnya kelihatan menderita. Karena Pak Kiong Liong mengkhawatirkan sahabatnya itu, maka ia mendahului Tong Lam Hou dan berkata, “Biar aku saja yang menolongnya. A-hou. Kau waspada saja keadaan sekitar sini...."
Tong Lam Hou pikir sama saja apakah dirinya yang menolong orang itu atau Pak Kiong Liong, pokoknya orang itu tertolong. Namun ia geli juga mendengar pesan Pak Kiong Liong untuk waspada, ia anggap Pak Kiong Liong sudah kejangkitan penyakit orang-orang Pak-khia yang selalu berprasangka kepada siapapun.
Sementara itu Pak Kiong liong dengan hati-hati juga menuruni tebing sungai itu untuk mendekati si tukang kayu. Makin dekat dan makin jelas melihat, makin curigalah Pak Kiong Liong. Pakaian orang itu memang pakaian orang desa, namun matanya tajam berkilat-kilat. KuIit tubuhnya tidak gelap kasar seperti umumnya orang sederhana yang berada di bawah terik matahari setiap hari, melainkan halus namun kekar. Dilihatnya pula, pohon kecil tempatnya bergantung itu memang melengkung-lengkung, tapi tidak kelihatan hendak patah, menandakan orang itu mampu menguasai berat badannya dengan baik. Ini benar-benar tukang kayu istimewa.
Sesaat setelah dekat, Pak Kiong Liong mengulurkan tangannya sambil berkata, “sahabat, peganglah tanganku….”
“Terimakasih,” sahut si tukang kayu dengan terengah-engah yang dibuat-buat. “Siapakah tuan?”
Pak Kiong Liong berbohong untuk mencoba bagaimana reaksi orang itu, “Aku Tong Lam Hou dari Tiau-im-hong….”
Bibir si “tukang kayu” tiba-tiba menyeringai kejam, “Terimakasih atas pertolonganmu…” Tangannya menyambut uluran tangan Pak Kiong Liong, namun dengan cengkraman amat kuat yang langsung mengarah ke urat nadi yang melumpuhkan.
Andaikata yang bertindak menolong tadi adalah Tong Lam Hou. Pasti sudah masuk perangkap. Bukan karena ilmunya rendah, namun karena tidak berprasangka apapun. Namun Pak Kiong Liong sudah waspada sejak semula, tenaga dalam Hwe-Liong-sin-kang dikerahkan sampai keujung jarinya.
Si “tukang kayu” berhasil mencengkram keras tangan itu, namun kemudian ia menjerit kaget dan buru-buru menarik tangannya kembali. Rasanya seperti memegang sepotong besi merah habis dibakar. Sekaligus ia sadar bahwa perangkapnya sudah terbongkar. Ia lepaskan peganganya dan tubuhnya meluncur turun ke sungai Bu-sia, tapi tidak hancur terhempas karena bagaikan seekor burung saja kakinya menjejak-jejak tebing dan sampai dibawah dengan ringannya.
“Hem, dia sebenarnya ingin mencelakai A-hou,” pikir Pak Kiong Liong lalu tubuhnyapun meluncur turun tidak kalah pesatnya utuk membekuk orang itu.
Dari atas tebing, Tong lam Hou dan In Tong menyaksikan kejadian itu Tong Lam Hou menarik napas, “Hem, memang aku yang gegabah, hampir saja aku yang menjadi korban perangkap tadi."
Sementara itu, dari tepian Sungai Bu-sia yang tak terlihat dari atas tebing, telah terdengar bentakan-bentakan orang bertempur. Agaknya Pak Kiong Liong tidak cuma menghadapi satu orang, melainkan tiga atau empat orang.
Kata Tong Lam Hou, "In Tong, kita harus membantu pamanmu itu, ayo kita turun..."
Sementara In Tong sendiri tengah tergoda oleh bisikan yang semakin keras dalam hatinya, "Inilah peluang emasmu. Inilah peluang emas mu. Inilah."
Tiba-tiba dari atas tebing di sebelah kanan jalan itu gemuruhlah suara dua buah batu besar, sebesar kerbau bunting, meluncur ke arah guru dan murid itu.
"In Tong, awas!" dalam detik-detik berbahaya itu Tong Lam Hou tetap mencemaskan nasib muridnya, ditariknya In Tong masuk ke sebuah cekungan tebing yang cukup aman, lalu Tong Lam Hou sendiri mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul batu-batu yang nyaris meremukkannya itu.
Batu-batu itu berbobot ratusan kati, lagipula meluncur dari atas sehingga kekuatannya hebat sekali. Namun Tong Lam Hou tidak memukulnya secara langsung, melainkan memotong dari samping hanya untuk mengubah sedikit arahnya. Kedua buah batu itupun menggelundung masuk Sungai Bu-sia dengan suara gemu ruh.
Selagi perhatian gurunya terpusat keatas tebing, menunggu serangan berikutnya, diam-diam tangan In Tong merogoh kedalam jubahnya dan mengeluarkan sepucuk pistol buatan Portugis. Pistol yang tiap hari diminyakinya, di ganti bubuk mesiunya dan diisi peluru agar kalau tiba saatnya digunakan, tidak akan mengecewakan. Hanya ada satu peluru, dan tidak boleh gagal....
In Tong yang berada tepat di belakang gurunya itu menyembunyikan pistol di bawah lengan jubahnya yang lebar. Lalu jarinya menarik pelatuknya. Batu-batu tadi memang tidak menggelundung sendiri, tetapi digelundungkan oleh dua orang anggota Hiat-ti-cu yang memang ditugaskan untuk membunuh Ketua Hwe-liong-pang.
Dua orang di atas tebing itu kecewa bahwa Tong Lam Hou selamat dari lemparan batu mereka. Tapi mereka terkejut ketika mendengar dari jalan kecil itu ada suara ledakan senjata api. Lalu terlihat tubuh Ketua Hwe-Iiong-pang itu jatuh tertelungkup dengan punggung berlubang oleh peluru, namun penembaknya tidak nampak dari atas tebing, karena berada cekungan di bawah tebing.
Kedua Hiat-ti-cu di atas tebing itu saling berpandangan, yang satu bertanya, "Siapa yang menembaknya?"
"Mungkin salah satu dari teman kita!”
"Bagus, tugas kita kali ini benar benar sukses. Hwe-liong-pang tanpa Tong Lam Hou akan seperti ular tanpa kepala."
“Ayo kita turun dari jalan tadi, untuk membantu teman-teman kita membantai Pak Kiong Liong. Kita beruntung sekali hari ini."
Di jalan kecil itu, biarpun hanya habis menarik sebuah pelatuk yang begitu kecil, namun In Tong merasa tenaganya terkuras habis. Itu bukan lain karena ketegangannya. Dilihatnya tubuh gurunya tertelungkup tak bernyawa. Sekilas ada juga kenangannya selama menjadi murid Ketua Hwe-liong-pang itu. Gurunya selalu menyayanginya, menurunkan ilmunya dengan tekun, memperhatikan kemajuan ilmunya. Dan kini ia menarik pelatuk pistolnya justru di saat gurunya sedang melindunginya dari batu batu yang jatuh dari atas tebing.
Mata In Tong basah juga sedikit, gumamnya lirih, "Maafkan aku, Suhu, semua ini kulakukan demi cita-citaku. Kalau aku menjadi Kaisar kelak, akan kubangun sebuah kuil termegah di negeri ini untuk menghormati arwah suhu..."
Memang lebih gampang membangunkan monumen untuk seorang pahlawan setelah mati, daripada menghargainya selagi masih hidup. Nasib Tong Lam Hou ternyata sama dengan nasib sahabatnya, Pun-bu Hwe-shio, dikhianati murid-murid terpercayanya. Tong Lam Hou hanya "sedikit lebih beruntung" dari Pun-bu Hwe-shio karena akan dibangunkan kuil termegah buat arwahnya....
Setelah ia tenang kembaIi, diangkatnya tubuh gurunya untuk dibawa ke Tiau-im-hong yang tidak jauh lagi. Pistolnya dibuang ke sebuah jurang. Sambil berjalan, otaknya mulai mengarang cerita apa yang akan dikatakannya kepada orang-orang Hwe-liong-pang nanti.
la berjalan terus, tak peduli di bawah Sana masih kedengaran suara pertempuran yang seru. la harapkan Pak Kiong Liong mampus saja, namun kelak ia takkan membuatkan kuil untuknya, malah di atas kuburannya,akan dibangun kakus umum untuk para gelandangan. Bencinya kepada pamannya itu meresap sampai ke tulang sungsum.
In Tong yang membawa mayat Tong Lam Hou itupun tiba di markas Hwe-liong-pang sambil menangis, dan disambut dengan tangisan pula. Dengan suara "amat sedih" (sebenarnya ia memang agak sedih juga), ia bercerlta tentang pembantaian di Hong-thian-lau yang didengarnya dari Pun-seng Hwe-shio, pembakaran wihara Siau-lim-si, lalu babak terakhir ia berkata,
"Kami bertiga dihadang para algojo Hiat-ti-cu. Suhu secara licik ditembak dari belakang, sedang paman Pak Kiong Liong dikeroyok dan terjerumus ke da- lam jurang....."
Berbohong yang baik adalah yang dicampur kenyataan sedikit-sedikit, dan In Tong ahli dalam "meramu" ini. Ceritanya dipercaya, seluruh Hwe-liong-pang berkabung. Yang paling sedih adalah Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng, mereka masing-masing kehilangan sekaligus ayah dan ayah mertua mereka. Begitu pula si kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long yang sekaligus kehilangan kedua kakek mereka.
Dalam urusan menunjukkan kesedihan, In Tong tidak mau kalah. Siang malam ia berada dekat dua peti jenazah di aula. Satu peti jenazah yang benar-benar berisi tubuh Tong Lam Hou, satunya lagi hanya berisi barang-barang milik Pak Kiong Liong, sebab kata In Tong, "Mayat paman Pak Kiong Liong jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam dan tak bisa diketemukan.
In Tong juga tidak doyan makan, setiap hari ia hanya makan setengah mangkuk bubur tanpa lauk pauk di hadapan orang-orang Hwe-liong-pang. Tapi kalau sendirian dalam kamarnya, dia menghabiskan lima mangkuk dan satu ekor ayam panggang utuh. Ketika kedua peti itu dimakamkan, Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng malahan nampak tabah, sedang In Tong justru kelihatan yang “paling susah dihibur". Di depan kuburan ia bersumpah akan mencincang Yong Ceng biarpun kakaknya sendiri.
* * * *
Menurut adat, masa berkabung adalah tiga tahun. Tetapi Hwe-liong-pang tidak bisa menunggu selama itu tanpa pimpinan. "Gerakan Pembersihan“ sedang dilakukan Yong Ceng diseluruh wilayah kekaisaran tentu Hwe-liong- pang merupakan satu sasaran. Maka tidak boleh tanpa pimpinan. Maka tiga hari setelah pemakamaman seluruh Hiang-cu, Tong-cu, Hutong-cu dan keluarga Ketua Hwe-liong-pang berkumpul di aula untuk memilih Ketua baru.
Ada dua calon kuat, yaitu Tong Gin Yan dan In Tong. Orang yang mendukung Tong Gin Yan berpendapat bahwa putera Tong Lam Hou itu tepat sebagai Ketua baru, karena pembawaannya tenang dan selalu berpiklr dengan dingin. Sedang yang mendukung In Tong berpendapat bahwa di saat gawat seperti itu Hwe-liong-pang memerlukan seorang pimpinan yang tegas dan cepat bertindak, dan In Tong dianggap memenuhi syarat itu.
Hampir sehari penuh berdebatan berlangsung, namun berdasarkan perbadingan suara, masih tetap leblh banyak yang memilih Tong Gin Yan. Bagaimanapun In Tong adalah orang baru yang belum sampai tiga tahun menjadi anggota Hwe-liong-pang, biarpun dia murid dari Ketua yang lama.
Namun atas usul Tong Gin Yan sendiri, untuk menghindarkan Hwe-liong-pang dari perpecahan, ia ingin mengangkat In Tong sebagai Hupang-cu (wakil ketua). Inilah jabatan baru yang belum pernah ada sejak Hwe-liong-pang didirikan oleh kakek Tong Lam Hou dulu, Tong Wi Siang. Tetapi demi kekompakan Hwe-liong-pang, usul Tong Gin Yan itu diterima juga.
Tetapi, ketika orang-orang di aula itu belum bubar, tiba-tiba dari luar ruangan terdengar suara dingin, "Seorang yang tega menembak gurunya sendiri dari belakang, mana boleh menjadi wakil Ketua Hwe-liong-pang?"
Semua orang terkejut dan menoleh ke arah pintu. Munculah dari situ seorang kakek tua berpakaian robek-robek dan ada bekas-bekas luka di tubuhnya. In Tong terkejut sampai mukanya pucat. Itulah Pak Kiong Liong yang dikabarkannya "masuk jurang dan mayatnya tidak diketemukan".
Pak Kiong Eng sendiri tercengang. Setelah yakin bahwa yang berdiri di ambang pintu itu bukanlah hantu, dia berlari memeluknya sambil berseru, "Ayah!"
Menyusul Tong Gin Yan dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya mengerumuni Pak Kiong Liong untuk menanyakan hal yang sebenarnya terjadi. Sementara ribuan mggota Hwe-liong-pang lainnya menjadi gempar dan membanjir masuk ke aula itu.
Saat itulah In Tong merasa dirinya dalam bahaya karena kedoknya akan terlucuti. Secepat ia bisa, ia berlari ke arah jendela untuk melarikan diri. la akan menggunakan suasana ribut itu untuk menyelamatkan diri lebih dulu.
Namun Pak Kiong Liong senantiasa mengawasinya, buru-buru ia mendorong tubuh anak perempuannya yang masih memeluknya, lalu tubuhnya bagaikan seekor elang raksasa melompati kepala ba-nyak orang Hwe-liong-pang untuk mengejar In Tong. Bentaknya, "Pangeran, pertanggung-jawabkan dulu perbuatanmu!”
In Tong sadar, sekali tertangkap, habislah ia menjadi sasaran kemarahan orang-orang Hwe-liong-pang. Karena takutnya, tenaganya seolah berlipat ganda. la mendorong-dorong dan menyusup ke arah orang-orang Hwe-liong-pang yang kacau balau, sehingga mereka tumpang tindih.
Ketika mendengar bentakan pamannya sudah dekat di belakangnya, In Tong tiba-tiba mencengkeram dua orang anggota Hwe-liong-pang untuk dilemparkan sekuatnya ke arah Pak Kiong Liong. Kalau In Tong tak peduli keselamatan orang-orang Hwe-liong-pang, maka Pak Kiong Liong sebaliknya. la harus lebih dulu menyambut dua tubuh yang dijadikan “senjata rahasia" itu agar kepala mereka tidak terhempas ke lantai. Maka In Tong jadi punya waktu tambahan beberapa detik untuk menyusup-nyusup di an tara orang-orang yang simpang-siur itu.
Memang semua orang Hwe-liong-pang bermaksud menangkap In Tong, namun para calon penangkap ini malah saIing bertabrakan sendiri karena gesitnya In Tong menyusup-nyusup. Orang-orang Hwe-liong-pang yang semula mendukung In Tong kini justru paling geram dan paling sengit mencoba menangkap In Tong. Mereka malu karena merasa bersalah pernah mendengarkan hasutan In Tong.
Tetapi In Tong sendiri sadar, tidak mungkin terus menerus kucing-kucingan macam itu. Ketika melihat Tong Hai Long di dekatnya, tanpa pikir panjang lagi In Tong melompat untuk menangkapnya. Seorang anggota Hwe-liong-pang berseru memperingatkan bocah itu, namun anggota itu segera retak tempurung kepalanya karena jotosan In Tong.
Tong Hai Long sendiri tahu dirinya diserang, namun bocah tanggung itu dengan berani malah menyongsongkan pedangnya sambiI membentak, "Orang tak kenal budi! Kakek menolongmu berkali-kali, kau malah berbuat keji kepadanya!”
Tapi In Tong bergerak jauh lebih cepat, telapak tangannya berhasil menebas pergelangan tangan Tong Hai Long sehingga pedang bocah itu jatuh. Serempak tangannya yang lain menerkam dengan Kim-na-jiu (menangkap dan memelintir), dalam sekejap Tong Hai Long berhasil diringkusnya, sepasang tangan dibelakang punggungnya dan ditekan kepunggung.
Seorang anggota Hwe-liong-pang dengan berani mencekik In Tong dari belakang untuk menolong Tong Hai Long. In Tong mengeraskan otot-otot lehernya yang terlatih itu, sehingga cekikan itu hampir tak berpengaruh. Dengan dua tangan tetap mencengkeram Tong Hai Long, la membungkuk sambil menyepak rendah ke belakang. Itulah gerakan Kau-tui-hoan-tui (Menekuk lutut Menyepak ke Belakang) ajaran Tong Lam Hou, yang klni malah dlgunakan untuk membunuh seorang anggota Hwe-liong-pang sendiri yang selakangannya remuk.
Teriak In Tong, "Berhenti semuanya! Atau aku bunuh bocah ini..!” Telapak tangan kanannya dipasang di tengkuk Tong Hai Long. Siapapun tahu kekuatan tangan itu, sekali tebas tentu tulang leher Tong Hai Long akan di patahkannya.
Hiruk-pikuk reda, semua mata diarahkan kepada In Tong dan tawanannya. Kedok In Tong sebagai “murid yang baik“ atau "calon pemimpin yang gagah berani" dan sebagainya kini sudah dilucuti habis-habisan. Sejam yang lalu pendukung-pendukungnya masih menatap dengan kagum, kini seisi ruangan itu menatap dengan benci dan muak.
Sementara itu, Tong Hai Long berseru, "Jangan hiraukan aku! Balaskan sakit hati kakek!”
Sedangkan Pak Kiong Liong menyindir, "Hemm, beginikah pengecutnya seorang yang bercita-cita menjadi raja? Menurut penilaianku, Yong Ceng yang busuk itupun masih sedikit lebih baik daripadamu, In Tong!"
In Tong kena juga oleh ucapan itu. Kalau perbuatannya yang rendah itu kelak tersebar luas, sulitlah mendapat dukungan bagi "perjuangan"nya. Dulu Yong Ceng berhasil mendapat dukungan karena bertopeng sebagai pendekar yang berwatak jantan sehingga dihargai orang. Namun detik-detik itu bagi In Tong yang penting adalah tetap hidup dan berhasil selamat. Kalau mati, ia hanya akan menjadi kaisarnya cacing-cacing dalam tanah.
Tanpa mengendorkan cengkeramannya atas diri Tong Hai Long, In Tong berkata, "Paman Pak Kiong Liong, kau menuduhku membunuh Suhu, mana buktinya?" Sambil berkata, In Tong menyeret tawanannya semakin dekat ke pintu.
Pak Kiong Liong paham maksud In Tong, namun ia benar-benar tak berdaya bertindak karena tidak mau mempertaruhkan keselamatan cucunya. Satu-satunya cara hanyalah mengajak perang mulut, sambil menunggu kesempatan yang menguntungkan.
"Pangeran ingin bukti? Ketika aku bertempur di bawah tebing Sungai Bu-sia, aku mendengar di atas ada tembakan. Setelah lawan-lawanku lari, tak jauh dari tempatku bertempur kutemukan benda ini, yang dibuang oleh Pangeran."
Pak Kiong Liong mengeluarkan sebuah pistol berukir buatan Portugis yang sudah tak berpeluru. Benda itu dilemparkannya ke lantai. Beberapa orang Hweliong-pang mengenal benda itu sebagai milik In Tong, karena di gagang pistol terukir pula nama In Tong.
Pak Kiong Liong melanjutkan kata-katanya, "Sayang, akupun luka-luka dalam pertempuran itu, sehingga perjalananku menjadi lambat sekali dan tak sempat menghadiri pemakaman A-hou. Tapi aku sebagai sahabatnya, puas bisa melucuti kedok muridnya yang berkhianat ini, dan menyelamatkan Hwe-liong-pang dari tipu dayanya!"
Caci maki segera memenuhi ruangan itu, dan In Tong masih mati-matian menyangkal, "Bohong! Bohong!"
Tapi Pak Kiong Liong terus menyudutkannya, "Semua orang Hwe-liong-pang tahu, bahwa Tong Lam Hou tak semudah itu dibunuh dengan senjata api. Di Pak-khia berpuIuh-puIuh bedilpun tak ada yang bisa mengenainya satupun. Kalau dia sampai berhasil ditewaskan oleh senjata api, itu aku yakin karena ditembak dari belakang dan oleh orang yang tidak dicurigai sama sekali!"
Tong Gin Yan merah padam mukanya dan gemeretak giginya. Jadi In Tonglah yang membunuh ayahnya? Seandainya Tong Hai Long tidak sedang dijadikan sandera, Tong Gin Yan ingin menerkam dan merobek-robek muka In Tong.
Sementara itu, karena kalap setelah tersudut, In Tong berteriak-teriak. "Paman, kenapa kau menghalangi aku? Kenapa paman hanya menyayangi adinda In Te, padahal aku juga keponakanmu?" Dalam kata-katanya yang serabutan itu, ia menelanjangi dirinya sendiri, tercetuslah maksud sebenarnya untuk mencapai cita-citanya dengan memperaalat Hwe-liong-pang.
“Nah, kau sudah mengaku?" Kata Pak Kiong Liong penuh kemenangan.
In Tong sadar bahwa mulutnya telah "bocor” menunjukkan hatinya. Dalam nekadnya, la berkata tanpa tedeng aling-aling lagi. “Bangsat tua Pak Kiong Liong, agaknya apapun tidak bisa bersembunyi dari mata malingmu. Baik, aku terang-terangan. Kalau In Si, In Ceng, In Gi dan In Te boleh berebutan tahta, kenapa aku tidak boleh? Memang aku akan memimpin Hwe-liong-pang menduduki tahta. Saudara-saudara Hwe-liong-pang yang setuju dengan cita-citaku, marilah bergabung dengan aku untuk menuju jaman keemasan yang…. “
Kata-kata selanjutnya tak terdengar lagi, karena tenggelam dalam suara caci-maki orang-orang Hwe-liong-pang yang tak tertarik oleh ajakannya. Orang-orang Hwe-liong-pang hanya tertarik untuk membalaskan sakit hati ketua lama mereka. In Tong kini merasa sendirian ditengah serigala-serigala itu, cita-citanya rasanya sudah kandas. Tanpa sadar, pegangannya atas Tong Hai Long agak kendor.
Tong Hai Long merasakan itu. Tiba-tiba ia membungkuk dengan gerakan Ling-yo-kui-kak (Kambing gembel melepaskan tanduk) sambil menyentak lepas tangannya yang dipegang musuh. Masih ditambah ia manumit jempol kaki In Tong keras-keras. Lalu menggulingkan diri sejauh-jauhnya. Ia lepas!
In Tong dengan marah hendak menangkap kembali Tong Hai Long, tetapi kedua orang tua bocah itu sudah melompat menghalangi. Demi hidupnya, In Tong merubah arah untuk kabur secepatnya lewat pintu Pak Kiong Liong dengan geram hendak mengejarnya, namun saat itu terjadilah kegemparan lain.
Seorang anggota Hwe-liong-pang berlari terengah-engah datang, didepan pintu ia langsung berteriak, "Kita diserang pasukan.....” Kalimatnya tidak selesai, sebatang panah menembus punggungnya. Kemudian panah-panah lainnya menyusul, panah-panah api yang langsung menimbulkan kobaran api di segala sudut markas Hwe-liong-pang itu.
Dalam keributan itu, tak ada lagi yang memperhatikan Pangeran In Tong yang segera menghilang. Tong Gin Yan sebagai Ketua baru segera mengatasi hiruk-pikuk anggota-anggotanya, "Bertahan di aula, sampai memungkinkan menyusun kekuatan untuk menyerang balik!”
"Omong kosong!” dari arah pintu terdengar suara mengejek. Lalu muncullah Hap To si komandan Hiat-ti-cu yang membawa tombak di tangannya. "Kalian sudah seperti ikan dalam jaring! Menyerahlah baik-baik, supaya jangan bernasib seperti Siau-lim-si!” Di belakang Hap To, selain ada puluhan jago-jago Hiat-ti-cu, juga ada ribuan perajurit dari gubernuran Seng-toh yang "dipinjam" oleh Hap To.
Melihat Pak Kiong Liong juga ada di situ, Hap To langsung menghadapinya. Dalam keadaan biasa ia gentar juga kepada Pak Kiong Liong, namun karena ia sudah mendapat laporan dari anak buahnya yang bertugas menghadang di tebing sungai Bu-sia bahwa Pak Kiong Liong terluka, maka Hap To memberanikan diri melawannya. Slapa tahu bisa mengalahkannya, blar mengurangi kebanggaan Kim Seng Pa saingannya di istana yang amat dibencinya itu. Dengan gerakan Liong-leng-hong-bu (Naga Melingkar, Burung Hong Menari), Hap To langsung memainkan Jit-seng-jio hoat (llmu Tombak Tujuh Bintang) yang lincah.
Pak Kiong Liong memang agak kaget, merasa kepandaian lawannya jauh meningkat dibandingkan dulu-dulu. Namun ia tetap meladeninya dengan tangan kosong. Hap To begitu yakin akan kemenangannya kali ini, sehingga ketika Tam Tai Liong, wakilnya, mendekatinya untuk membantu, ia menolak, "Tidak usah kau bantu aku, Tam Tai Hu cong-koan. Cari lawan lain saja. Pak Kiong Goan-swe ini teman lamaku!''
Sambil mclompat mundur, Tam Tai Liong berpikir, ''Kebetulan, kalau kau mampus dibunuh Pak Kiong Liong, maka kursi Cong-koan akan kududuki.
Sementara Itu, anak-buah Hap To telah membanjlr masuk dan menyerbu dengan sengit, kaum Hiat-ti-cu bercampur aduk dengan perajurit-perajurit gubernuran Se-cuan. Orang-orang Hwe-liong-pang juga melawan dengan gigih, sehingga berkobarlah pertempuran sengit. Mulanya pertempuran hanya di aula, lalu melebar ke kedua halaman samping, lalu melebar lagi kemana-mana, sampai seluruh markas Hwe-liong-pang itu akhirnya merata dengan suara gemerincing senjata dan teriakan-teriakan.
Tong Gin Yan maju paling depan bersama dua orang Hiang-cu, masing-masing Ui-bin-peng-hou Hu Se Hiong dan Ko Seng Hwe-shio. Ko Seng Hwe-shio yang biasanya lemah lembut itu, tiba-tiba bertempur dengan bengis sekali. Toyanya berputar dengan kekuatan besar, para perajurit yang diterjangnya roboh berpelantingan. Ternyata Ko Seng Hwe-shio marah karena dia adalah murid asal Siau-lim-si yang sudah dibumi hanguskan itu. Siau-lim-si adalah sumber ilmunya, sedang Hwe-Iiong-pang adalah wadah perjuangannya.
Sedangkan Tong Gin Yan juga telah dihadang Tam Tai Liong yang bersenjata tiat-koai itu. "Kau tentu pemimpin baru dari gerombolan bandit Hwe-liong-pang ini, baiklah, kuringkus kau lebih dulu!”
Sambil bicara, tongkat melengkung berujung tajam itu langsung hendak mengait ke leher Tong Gin Yan. Tong Gin Yan menunduk sambil melangkah maju dengan kaki bersilang, pedangnya balas menikam ke pinggang Tam Tai Liong sama cepatnya. Tam Tai Liong melompat ke atas dan mengincar punggung, namun Tong Gin Yan membalik dengan gerakan Pek-ho-keng-ih (Bangau Putih Menyisik Bulu) untuk mengelak dan sekaligus menebas ke pergelangan tangan musuh dengan kecepatan yang tinggi.
Saling gebrak itu mengingatkan kedua belah pihak bahwa mereka masing-masing sudah ketemu tandingan berat. Ko Seng Hwe-shio yang tengah melabrak para perajurlt itupun kemudian melawan dua anggota Hiat-ti-cu, masing-masing Ya-hing-kui-long (Serigala iblis Pengembara malam) Im Bu To yang bersenjata toya serta Tiat-kak-lok (Kijang Bertanduk Besi) Kang Hui Kok yang bersenjata kau-lian-jio (Tombak Berkaitan).
Ko Seng Hwe-shio yang tengah penasaran buat Siau-lim-pai itu menerjang siapapun yang ada di depannya asalkan berseragam perajurlt musuh. Lebih dulu toyanya dihantamkan ke arah Im Bun To dengan tipu Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san Menimpa Kepala).
Im Bun To juga memegang toya yang berat, menandakan diapun bertenaga besar. Namun ia tidak berani menangkis, hanya melompat mundur. Sedangkan Kang Huai Ok dari samping sudah mengangkat tombaknya, siap membantu rekannya itu.
Ko Seng Hwe-shio mengubah geraknya menjadi Oh-liong-boan-jiu (Naga Hitam melilit Pohon), toyanya mendatar menyerampang pinggang Kang Huai Ok. To ya berat itu tidak gampang diubah arah nya, namun Ko Seng Hwe- shio dapat seenaknya saja mengubah-ubah arahnya seolah-olah yang dipegangnya Itu hanya sebatang rotan saja. Ini mengejutkan kedua lawannya.
Begitulah, semua orang sudah menemukan lawannya masing masing, beribu-rlbu orang. Tokoh berilmu ditandingi tokoh berilmu, anak-buah ditandingi anak-buah. Namun faktor jumlah ikut menentukan pula. Para penyerbu yang dibawa Hap To itu berjumlah jauh lebih banyak dari orang-orang Hwe-liong-pang, sehingga perlahan-lahan mereka berhasil mendorong mundur pihak Hwe-liong-pang terus menerus.
Pihak penyerbu berguguran, pihak yang bertahan juga berguguran. Di pihak Hwe-liong-pang, kelihatan Sung-bun-siau (Seruling Berkabung) Oh Kian Keng agaknya harus berkabung buat dirinya sendiri dan tak bisa lagi meniup serulingnya. Tubuhnya terpaku di tembok oleh sebatang tombak, sementara di sekitarnya bergelimpanganlah korban-korbannya, hasil amukannya sebelum ia gugur tadi. Tidak jauh daripadanya, Siang Koan Liong masih melawan gigih, tapi sekujur tubuhnya sudah luka-luka juga.
Melihat keadaan pihaknya yang kurang menguntungkan, Tong Gin Yang berpikir kalau bersikeras melawan terus tentu akan tertumpas habis dan jatuh korban bertumpuk-tumpuk. Sambll tetap melawan Tam Tai Liong, rupanya ia juga sempat memperhatikan keadaan anak buahnya di sekitarnya. Ketlka melihat Lu Kan San bertempur di dekatnya, Tong Gin Yan memanggi, "Saudara Lu kemari!”
Tong Gin Yan bukannya mohon bantuan untuk mengeroyok Tam Tai Liong, melainkan memerintahkan, "Coba kau Iihat kebun belakang dan kutunggu laporanmu!"
"Baiklah," sahut Lu Kan San. Ia tahu bahwa Ketuanya memerintahkan mempersiapkan jalan untuk mengundurkan diri sebelum tertumpas habis. Pertempuran berlangsung terus, dan ketika Lu Kan San datang kembali untuk berteriak bahwa "kebun belakang" sudah siap, maka Tong Gin Yan bersuit nyaring. Isyarat itu diteruskan bersambung, sampai seluruh anggota Hwe-liong pang yang bertempur di manapun mendengar dan memahaminya.
Maka separoh lebih anggota Hwe-liong-pang yang masih tersisa itupun bergerak bagaikan air surut, memenuhi perintah Ketua mereka, lewat kebun belakang. Gerakan mundur serempak itu tidak tercegah oleh pasukan kerajaan. Pasukan kerajaan memang berkekuatan lebih besar untuk mampu menekan, tapi tidak mampu mencegah gerakan mundur itu. Apalagi para pemimpin Hwe-liong-pang yang berilmu tinggi itupun mundur paling akhir untuk melindungi anak buah mereka dari belakang.
Pak Kiong Liong tengah bertempur sengit melawan Hap To, namun dapat mendengar isyarat itu dan diam-diam menyetujui tindakan menantunya itu. Itu tindakan bijaksana, menyelamatkan kekuatan yang masih tersisa daripada melawan hancur-hancuran hanya untuk memperoleh sebutan "gagah berani".
Dalam pertempurannya, Pak Kiong Liong sebenarnya sudah mulai berhasil mengekang dan menekan permainan tombak Hap To. Kalau diberi kesempatan barang limapuluh jurus lagi, tentu Hap To akan dikaIahkannya. Namun Pak Kiong Liong tidak mau ditinggalkan sendirian di situ oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
"Kau beruntung tidak mati di tanganku," kata Pak Kiong Liong sambil melompat meninggalkan arena.
Harusnya Hap To tahu diri, behwa pertempuran tadi sudah membuktikan keunggulan ilmu Pak Kiong Liong atas dirinya. Tapi kemarahan dan kesombongan membutakan matanya dari kenyataan Itu. la berteriak, "Jangan lari, Pak Kiong Liong! Kau kira kau sudah menang dariku? Masih ada beberapa jurus hebatku yang akan membuat tubuhmu penuh lubang...!”
"Kelak saja kau tunjukkan padaku, supaya agak bagus," ejek Pak Kiong Li ong. "Kalau sekarang, paling-paling ya hanya begitu-begitu saja."
Sementara itu, bagaikan "parit” yang dibuka bendungannya, orang-orang Hwe-liong-pang lari ke belakang gunung, sebuah lereng terjal yang menjadi "sarapan sehari-hari" dalam latihan mereka. Pasukan Hap To tidak sanggup mengejar, sebab lereng belakang itu ternyata juga penuh perangkap. Agaknya, jalan mundur itu sudah lama disiapkan pihak Hwe-Liong-pang sejak mereka sadar sudah masuk "daftar hitam"nya Yong Ceng.
Karena lolosnya sebagian orang-orang Hwe-Liong-pang itu, Hap To melampiaskan kemarahannya dengan membakar habis markas Hwe-Liong-pang. Maka pemandangan di atas gunung Tiau-im-hOng itu tak ada bedanya dengan pemandangan di atas Siong-san beberapa saat yang lalu, saat Siau-lim-si dibakar habis.
Dari kejauhan, sisa-sisa orang Hwe-Liong-pang itu dengan geram dan masygul melihat kobaran api itu. Bahkan ada yang menangis, sebab yang terbakar itu adalah rumah keluarga besar mereka.
Tong Gin Yan menghibur mereka, "Jangan berlarut-larut terbawa perasaan. Hal yang tak terhindari ini harus kita hadapi dengan semangat yang tetap menyala namun tetap terkendali oleh akal sehat pula. Kalian berpencaranah. Hwe-liong-pang tidak bubar, namun untuk sementara akan bersembunyi di bawah tanah sambil menyusun kekuatan, sambil menunggu saat kebangkitan kembali yang tepat.”
Bicara sampai di sini, tak terasa mata Tong Gin Yan berkaca-kaca dan suaranya bergetar. Berat juga berpisah dengan orang-orang yang sekian lama di satukan oleh suka duka bersama bertahun-tahun. “Kita memang akan berpencaran, saudara-saudara, tapi tidak begitu dengan semangat kita..”
"Selamat berpisah, Pang-cu. Kami yakin kelak kita akan bangkit kembali...”
“Kita semuanya yakin. Jagalah diri kalian baik-baik, kita akan sering bertukar kabar...."
Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun kemenangan Yong Ceng. Jit-goat-pang, Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang sudah ditaklukkan. Pangeran In Te juga sudah dikirim ke Jing-hai dan Yong Ceng yakin Ni Keng Giau akan mematuhi pesan rahasianya. Kekuasaan Yong Ceng semakin kokoh, semakin terasa. Keras dan dingin. Tapi permainan belum selesai. Setelah menabur, biasanya lalu menuai bukan?
TAMAT
Selanjutnya,