Pendekar Naga dan Harimau Jilid 40
Karya : Stevanus S.P
“ITU melebihi seribu bintang jasa dan sejuta medali penghargaan."
“Terima kasih."
Tugas untuk Bok Teng-san si perwira perbekalan terhitung agak ringan namun memerlukan keahlian khusus pula. Ia sebagai perwira perbekalan dan juga keuangan Hui-liong-kun yang memegang keuangan pasukan, harus mendukung usaha Lim Tong-eng itu dengan apa saja yang diperlukan dan bisa disediakan, namun harus tetap terselubung. Dalam buku catatan keuangan harus tidak sampai terlihat bahwa keuangan pasukan digunakan untuk biaya "pertempuran" bawah tanah itu.
Untuk itupun ada pengorbanan bagi Bok Teng-san, yaitu korban perasaan. Sebulan sekali tentu keuangan dari semua pasukan akan diperiksa oleh seorang utusan dari Hou-po Siangsi (Menteri Keuangan Kerajaan), apabila utusan Hou-po Siangsi itu melihat buku keuangan Pasukan Hui-liong-kun begitu banyak pengeluarannya, tentu Bok Teng-san akan mendapat "sentilan" pedas yang memerahkan telinga.
Mungkin dituduh menggelapkan uang dan sebagainya. Tuduhan yang tentu akan merupakan beban jiwa yang sangat berat buat seorang perwira jujur seperti Bok Teng-san yang sangat bangga dengan nama baiknya dalam kedudukannya sebagai seorang perwira dibagian perbekalan dan keuangan.
Namun ternyata Bok Teng-san menyatakan sanggup juga. Ia dapat memaklumi tindakan Pakkiong Liong yang mengajak main kucing-kucingan dengan petugas pemeriksa buku keuangan dari Hou-po Siangsi itu, sebab Pakkiong Liong masih belum tahu apakah Hou-po Siangsu itu sudah berda dalam "genggaman" Pakkiong An atau belum.
"Terima kasih atas kesanggupan saudara-saudara,” kata Pakkiong Liong kemudian. "Harap kalian menyadari bahwa masalah ini bukan hanya antara Pakkiong An pribadi berhadapan dengan Tong Lam-hou pribadi, melainkan antara Kesewenang-wenangan melawan keadilan, dan kebetulan dalam peristiwa Tong Lam-hou kita bisa menggunakan kesempatan untuk membongkar komplotan jahat di sekitar Sri Baginda itu."
Lim Tong-eng dan Bok Teng-san sudah paham betul watak Panglima mereka yang mengabdi negara dengan sepenuh hati itu, dan merekapun percaya bahwa Pakkiong Liong melakukan semuanya itu bukan karena mentang-mentang Tong Lam-hou adalah sahabat karibnya, melainkan karena melihat suatu kesempatan terbuka untuk membersihkan orang macam Pakkiong An dari Pak-khia, tidak peduli pamannya sendiri.
"Nah, kalian boleh pergi. Akupun akan pergi ke rumah paman Pakkiong An untuk melawat jenazah puteranya yang mati itu, sambil coba-coba mendengarkan ada kasak-kusuk macam apa saja di gedung itu."
Begitulah kehidupan orang-orang yang ikut bermain di panggung kekuasaan. Sambil tersenyum-senyum maka tangan mereka sudah menggenggam pisau balik jubahnya.
Sementara itu, jauh dari Kotaraja Pak-khia, di sebuah jalan pegunungan yang sepi, kelihatan dua sosok bayangan meluncur dengan kecepatan seperti bayangan hantu saja. Seorang lelaki setengah abad yang bertubuh tegap dan berambut kelabu, serta memakai jubah kelabu yang berkibaran di belakang tubuhnya yang melayang.
Di sampingnya, seorang lelaki sebaya dengannya dan berambut pendek seperti seorang hweshio yang baru saja melepaskan kedudukannya, tubuhnya kurus dan tidak setegap teman seperjalanannya itu, tapi gerakannya ternyata tidak kalah pesatnya dari temannya itu.
Mereka adalah Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, dua orang yang sementara ini memegang pimpinan Hwe-Liong-pang yang baru bangkit kembali itu, sampai kelak terpilihnya seorang Ketua baru yang bisa disetujui para anggota berkedudukan tinggi. Beberapa hari yang lalu, seorang anggota Kay-pang naik ke atas Tiau-im-hong dan menyerahkan sebuah berita dari Tong Wi-hong di Pak-khia yang mengabarkan Tong Lam-hou akan dihukum berat karena menolak perintah Kaisar untuk menghancurkan Hwe-liong-pang.
Maka gemparlah Tiau-im-hong. Tadinya beberapa Tongcu sudah merasa agak kecewa melihat Tong Lam-hou menghambakan diri kepada bangsa Manchu, tapi berita dari Pak-khia itu sedikit banyak mengubah pandangan mereka terhadap putera dari Ketua mereka yang sudah almarhum, Tong Wi-siang. Menentang perintah Kaisar untuk menumpas apa yang sudah dibangun oleh ayah Tong Lam-hou, menandakan bahwa perwira muda itu masih punya perasaan juga, dan juga melakukan tindakan yang berani karena tidak semua orang berani menentang Kaisar.
Saat itu orang-orang Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong mana tahu kalau mereka cuma dibohongi oleh Tong Wi-hong? Mereka segera berunding, lalu diputuskan bahwa sepuluh orang akan berangkat ke Kota-raja Pak-khia untuk melihat bagaimana gelagatnya. Ke sepuluh orang itu adalah Lim Hong-pin, Siangkoan Hong dan delapan orang Tongcu yang masing-masing punya kepandaian silat yang tak disangsikan lagi kehebatannya.
Namun Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak betah melakukan perjalanan berkuda bersama dengan ke delapan Tongcu, sehingga mereka berdua memutuskan untuk mendahului dengan mengandalkan sepasang kaki mereka sendiri. Dua kaki yang lebih cepat dari empat kaki kuda. Dengan salah salah ilmu warisan Bu-san jit-kui yang disebut Jian-po-leng-kong (Seribu Langkah di Udara Kosong).
Sebuah campur adukan antara Ilmu meringankan tubuh, ilmu tenaga dalam dan ilmu-ilmu gaib yang merupakan ciri khas semua ilmu-ilmu Bu-san-iit-kui, maka kedua orang tokoh puncak Hwe-liong-pang itu dapat menempuh perjalanan dengan jauh lebih cepat dari delapan orang Tongcu yang menunggang kuda, meskipun yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda yang tegar.
Dari arah selatan, ada pula seorang lainnya yang juga menuju ke arah kota Pak-khia. Seorang tua berambut putih dan berjenggot putih seperti kapas, usianya mungkin hampir seratus tahun, namun ketika ia berjalan, ia lebih cepat dari kereta atau kuda meskipun ia berjalan dengan menggendong tangan dan langkahnyapun berlenggang. Dialah guru Tong Lam-hou, Ang Hoan yang berjulukkan Tiam-jong-lo-sia (si sesat tua dari gunung Tiam-jong).
Ang Hoan melangkah tak peduli lewat jalan-jalan besar penghubung antar kota, membuat beberapa pemakai jalan merasakan heran kenapa kudanya yang sudah dilarikan sekencang kencangnya itu tidak juga mampu mendahului seorang kakek yang berjalan berlenggang kangkung. Dan untuk menyeberangi sungai-sungai yang lebar, Ang Hoan hanya menggunakan dua potong ranting kayu yang diikatkan di kakinya.
Dan berjalanlah ia di atas air sehingga beberapa orang yang melihatnya menjadi pucat, seolah melihat siluman keluar ke dunia dengan berwujud seorang kakek-kakek. Begitulah beberapa tokoh berilmu tinggi secara bersamaan atau terpisah-pisah tengah berada dalam perjalanan menuju ke Kotaraja Pak-khia. Dari Tiau-im-hong dan dari Tiam-jong-san.
Sementara itu, ketika tiba hari yang ditentukan, maka pengadilan atas diri Tong Lam-hou sendiri berjalan dengan "lancar", dan arahnyapun sudah seperti yang diduga oleh banyak orang. Semua "bukti kejahatan" dan 'saksi mata’ yang dikerahkan oleh Pakkiong An lewat tangan-tangan tersembunyinya, memberatkan Tong Lam-hou. Bahkan ada tuduhan-tuduhan yang membuat Tong Lam-hou terlongong kebingunan karena ia merasa belum pernah melakukan hal itu. Tapi toh tuduhan itu tercantum juga dalam surat tuduhan, dan beberapa "saksi" menyatakan melihat sendiri.
Tong Lam-hou, si Harimau Selatan, kini hanya mirip kucing sakit-sakitan yang terperangkap dalam terali besi yang mengelilingi dirinya. Dan keputusanpun dijatuhkan, tepat seperti yang dikehendaki oleh musuh-musuhnya, dihukum picis, kepala dipenggal dan ditancapkan di ujung tombak untuk diludahi setiap orang yang lewat, namanya diumumkan sebagai nama seorang pengkhianat yang paling keji yang harus dikutuk sampai beratus tahun.
Hari itu juga pelaksanaan hukuman akan dijalankan. Dengan leher dan kedua tangannya diborgol kuat-kuat dengan balok kayu yang besar, pakaian yang kusut dan robek-robek, dan tanpa sepatu, ia akan dibawa keluar kota Pak-khia ke sebuah lapangan yang memang biasa digunakan untuk keperluan macam itu.
Di lapangan itupun sudah dijaga oleh pasukan yang kuat, di mana-mana, di segala sudut hanya nampak prajurit-prajurit berseragam kuning dari pasukan Ui-ih-kunnya Pakkiong An, juga yang berseragam hitam anak buah Kiu-bun Tetok Tam Liong. Bahkan Kiu-bun Tetok sendiri hadir di lapangan itu dengan seragamnya dan pedang dilambungnya, didampingi beberapa perwira.
Banyak penduduk kota Pak-khia yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman dari orang yang terkenal itu, namun mereka hanya boleh melihat dari kejauhan. Prajurit-prajurit Ui-ih-kun pagi itu nampak jauh lebih garang dari hari-hari sebelumnya, mereka tidak segan-segan menendang atau memukul orang dengan gagang tombak, mereka berkeliaran di kota-kota dengan sombongnya seolah-olah baru saja memenangkan sebuah pertempuran besar.
Jika mereka berpapasan dengan prajurit-prajurit Hui-liong-kun, maka pandangan mata mengejek mereka lontarkan, meskipun mereka tidak berani cari perkara. Mencari perkara dengan prajurit-prajurit Hui-liong-kun sama saja dengan mencari penyakit.
Sebalaiknya prajurit-prajurit Hui-liong-kun lebih banyak tinggal dalam barak-barak mereka, berkumpul bersama rekan-rekan mereka sendiri. Beberapa orang pergi keluar menghabiskan waktunya di warung-warung arak.
Tong Lam-hou sudah diikat di sebuah tonggak di tengah lapangan di luar kota itu, disamping tonggak ada sebuah meja kecil dan di atas meja itu ada sebuah pisau tajam dan semangkuk air garam. Nanti algojo dan pembantu-pembantunya akan mulai menggoreskan pisau itu ke kulit Tong Lam-hou sedikit demi sedikit, dan mulut luka akan ditaburi air garam itu sehingga terasa pedih bukan kepalang.
Si terhukum tidak segera mati, tapi dua atau tiga hari lagi barulah ia mati dengan melewati penderitan yang luar biasa. Wajah Tong Lam-hou nampak agak tegang, namun dia tetap pasrah bahwa hukum kerajaan harus ditegakkan.
Ketika gembreng dibunyikan, maka seorang pelaksana hukuman membuka baju Tong Lam-hou dengan kasarnya. Bahkan caranya membuka baju dengan dirobek-robek. Maklum, pelaksana hukuman itu adalah seorang prajurit dari pasukan Ui-ih-kun, pasukan yang selama ini saling membenci dan bersaing dengan pasukan Hui-liong-kun, dan kini prajurit Ui-ih kun itu merasa mendapat kesempatan untuk "membalas" kepada Tong Lam-hou dari Hui-liong-kun, bahkan kebanggaan Hui-liong-kun di samping Pakkiong Liong sendiri.
"Percuma saja nama besarmu di medan-medan perang selama ini, pengkhianat she Tong," kata prajurit Ui-ih-kun itu. "Kau mati bukan sebagai pahlawan besar tetapi sebagai pengkhianat busuk. Aku gembira sekali bahwa akulah yang mendapat tugas untuk pertama kali menggoreskan pisau ke tubuhmu. Aku agak ahli dalam hal ini dan sebentar lagi boleh kau rasakan keahlianku ini."
Tapi baru saja pelaksana hukuman itu mengangkat pisaunya dan diarahkan ke pipi Tong lam-hou, tiba-tiba matanya terbelalak terkejut dan ngeri. Tepat di antara kedua matanya, tiba-tiba entah dari mana datangnya telah tertancap sesuatu yang menembus tengkoraknya sampai ke otaknya. Dan yang menembus itu ternyata hanyalah sehelai rumput ilalang! Sehelai rumput ilalang yang begitu ringan dan lembek, ternyata bisa dilemparkan sampai menembus batok kepala seorang manusia dewasa yang cukup keras, maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaga pelemparnya.
Tong Lam-hou terkejut melihat algojonya mengalami nasib seperti itu, lamat-lamat nalurinya merasakan bahwa ada seorang yang akan menolongnya dan orang itu adalah seorang yang cukup dekat dengannya.
Robohnya seorang prajurit Ui-ih-kun dengan batok kepala tertembus sehelai rumput ilalang itu telah menggemparkan segenap prajurit yang berjaga di tempat itu. Prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang baru saja menunjukkan kecongkakannya karena "kemenangan" mereka atas Hui-liong-kun, sekarang menjadi panik dan lari hilir-mudik ke sana kemari dengan muka yang pucat. Mereka berteriak-teriak, "Ada pembunuh ! Tangkap pembunuh!"
Sedangkan prajurit-prajurit Kiu-bun Tetok Tam Liong diam-diam tertawa mengejek melihat tingkah laku prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu, benar-benar tingkah laku dari prajurit-prajurit yang bernyali kecil. Namun prajurit-prajurit Kiu-bun Tetok itu pun dengap sigap segera berpencaran untuk menangkap pembunuh gelap itu.
Tidak usah dicari, si pembunuh gelap itu muncul sendiri. Dari antara kerumunan penduduk yang menonton pelaksanaan hukuman itu, muncul seorang kakek berjubah kelabu, berambut dan berjenggot putih seperti kapuk, namun wajahnya merah segar seperti wajah orang-orang muda saja, dan mata-nyapun mencolong tajam membuat siapa pun tak sanggup menatapnya lama-lama. Dengan langkah lebar ia menuju ke tengah lapangan, dua orang prajurit yang merintanginya telah disingkirkannya dengan sebuah kibasan ringan dari lengan jubahnya yang rebar itu.
Melihat orang itu, Tong Lam-hou berteriak, "Suhu (guru)! Jangan bunuh prajurit-prajurit yang tak bersalah dan cuma menjalanklan perintah itu!"
Orangtua itu memang bukan lain adalah Tiam-jong-losia Ang Hoan, tokoh tua dari gunung Tiam-jong-san yang jarang sekali muncul di dunia ramai namun memiliki nama yang menggetarkan. Bagi orangtua ini, urusan yang terjadi di dunia ramai yang bagaimanapun juga tidak menarik perhatiannya untuk ikut campur, tapi kalau sudah menyangkut diri Tong Lam-hou.
Maka masalahnya lain lagi. Ia begitu sayang kepada murid satu-satunya itu, sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri karena memang orangtua itulah yang memomong sejak Tong Lam-hou masih berujud bayi merah, di samping ibu Tong Lam-hou sendiri.
Maka ketika seorang anggota Kay-pang dari kota Tayli mengantarkan surat ke puncak Tiam-jong-san, saat itu juga Ang Hoan meninggalkan gunungnya untuk berjalan cepat ke kota Pak-khia yang berlaksa-laksa li jauhnya. Dan ia tiba tepat pada waktunya.
Teriakan Tong Lam-hou untuk tidak membunuh prajurit-prajurit itu dijawab oleh Ang Hoan, "Kalau tidak kubunuh, paling tidak harus kuberi hajaran setimpal dengan mematahkan tangan atau kaki mereka. Keterlaluan sekali menjatuhkan hukuman keji kepada seorang yang berjasa sepertimu, A-hou, hanya karena fitnahan seseorang yang kebetulan punya pengaruh besar di kalangan pemerintahan!"
Mendengar itu, Tong Lam-hou tahu bahwa gurunya agaknya sudah mendengar secara lengkap persoalan yang menimpa dirinya. Dan sambil berbicara itu maka kembali beberapa prajurit sudah ia robohkan. Tidak mati, tetapi hanya berkaok-kaok kesakitan karena ada tulang-tulang mereka yang patah.
Tanpa mendapat rintangan berarti, orangtua itu berhasil mendekati tonggak tempat Tong Lam-hou terikat. Hanya dengan tangannya ia mematah-matahkan borgol kayu di leher dan tangan muridnya, dan rantai-rantai besi itu dirusakkannya seperti benang lapuk saja.
"Suhu, aku sudah ikhlas menerima hukuman ini demi tegaknya hukum kerajaan," kata Tong Lam-hou.
"Kau ikhlas karena kau tolol," sahutnya dengan mendongkol. "Kau ikhlas tapi beribu-ribu orang tidak ikhlas karena hukum ditegakkan tidak dengan mestinya."
Lalu tanpa mempedulikan muridnya setuju atau tidak, Ang Hoan menyeret tangan muridnya itu untuk pergi dari situ. Ketika puluhan prajurit menyerbu mereka, maka guru dan murid itu sama-sama mengerahkan tenaga dalam Han-im-ciang sehingga dalam jarak beberapa tombak dari tubuh mereka ada semacam "perisai" berujud hawa maha dingin yang membuat para prajurit tidak dapat lagi mendekati mereka karena tidak ingin mati membeku.
Bahkan Panglima Kiu-bun Tetok yang berilmu tinggi itupun tidak sanggup mendekati kedua guru dan murid itu. Maka ia pun segera memerintahkan anakbuahnya untuk melempar-lemparkan lembing-lembing dan panah. Namun di hadapan Tiam-jong-losia Ang Hoan, semuanya itu bagaikan permainan anak kecil saja.
Bagaikan dua ekor elang, guru dan murid dari Tiam-jong-san itu melayang meninggalkan lapangan itu. Di luar kota Pak-khia itu banyak pohon cemara, dan mereka berdua bagaikan bagaikan dua ekor tupai meloncat-loncat dari satu pohon ke pohon lainnya, makin lama makin jauh dari jangkauan para prajurit.
Apa yang diperhitungkan oleh Tong Wi-hong memang tepat. Karena yang menolong Tong Lam-hou adalah seorang yang berilmu luar biasa tingginya seperti Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan, maka memang tidak jatuh korban yang berlarut-larut. Yang mati hanya satu prajurit, yaitu algojo yang dikeningnya tertancap sehelai rumput ilalang itu. Sedang pertempuranpun berjalan amat singkat, sebab tidak ada tandingan yang setimpal buat Tiam-jong-lo-sia di tempat itu.
Dengan gemas Kiu-bun Tetok Tam Liong melihat perginya kedua orang itu, sambil menghentakkan kaki ke tanah ia berteriak, "Laporkan kepada Pakkiong Ciangkun!"
Tentu saja yang dimaksudkan dengan Pakkiong Ciangkun adalah Pakkiong An, bukan Pakkiong Liong. Pakkiong An yang tengah berada di gedungnya yang masih bersuasana berkabung, dan dengan dendam "menyala-nyala menunggu berita dimulainya hukuman maha berat buat Tong Lam-hou itu, terkejut bukan kepalang ketika mendengar lolosnya Tong Lam-hou.
Sesaat itu terlongong seperti orang linglung dan tiba-tiba tangannya menyambar sebuah jambangan bunga yang terletak di samping tempat duduknya, dan menghantamkan jambangan bunga itu ke kepala prajurit yang melaporkan hal itu sampai si prajurit sial itu pingsan seketika.
Sebaliknya ketika Pakkiong Liong juga menerima berita itu, hampir saja ia melompat kegirangan. Dia tahu bahwa pamannya yang kecewa itu tentu akan bertindak aneh-aneh untuk melampiaskan kekecewaannya, namun Pakkiong Liong tidak peduli, yang penting Tong lam-hou lolos lebih dulu. Tetapi ia tidak menghentikan usahanya untuk membongkar komplotan Pakkiong An.
Dihubunginya Lim Tong-eng dan "diperintahkannya untuk tetap melanjutkan penyelidikan, tidak peduli Tong Lam-hou sudah bebas dari hukuman. Komplotan Pakkiong An harus dimusnahkan, sebab meskipun kali ini mereka gagal menjatuhkan korban, di kemudian hari masih akan banyak korban fitnahan mereka yang berjatuhan apabila komplotan itu terus bercokol di Ibukota.
TONG-LAM-HOU mengajak gurunya lari ke arah barat daya, ia ingin menuju Tiau-im-hong untuk bertemu dengan para pimpinan Hwe-liong-pang yang sudah dikenalnya. Bukan untuk menggabungkan diri atau bahkan menjadi Ketua mereka, melainkan untuk menasehati agar Hwe-liong-pang menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah Manchu. Tidak ada gunanya memperjuangkan suatu keadaan yang dianggap lebih baik, sementara yang ada sekarangpun sebenarnya sudah cukup baik, sedangkan selama memperjuangkan sesuatu yang baru itupun rakyat sudah menjadi korban lebih dulu.
Tong Lam-hou berharap bahwa suaranya sebagai putera Hwe-liong Pangcu Tong Wi-Siang masih sudi didengarkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang, dan setelah itu Tong Lam-hou ingin kembali ke Tiam-jong-san untuk hidup bersama ibunya, sebagai peladang dan pemburu. Hidup miskin namun penuh ketenteraman, dibandingkan hidup di kota Pak-khia yang serba gemerlapan namun di baliknya terdapatlah kebusukan-kebusukan dari orang-orang yang berebut kekayaan dan kekuasaan.
Di tengah jalan, guru dan murid itu berpapasan dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang juga sedang hendak menuju ke Pak-khia. Lalu mereka pun berjalan berempat menuju Tiau-im-hong. Selama dalam perjalanan itu, Tong Lam-hou mengemukakan pikiran-pikiran-nya dan ternyata baik Siangkoan Hong maupun Lim Hong-pin dapat menerimanya.
Pada dasarnya kedua orang itu memang tidak begitu peduli siapa yang memerintah, dari suku apa atau golongan apa, asal dapat mengurus negara dengan becus maka bisa diterima Siangkoan Hong bahkan pernah hidup berpuluh tahun di Jiat-ho (Jehol), kota yang merupakan kampung halamannya orang Manchu sebelum menyeberangi Tembok Besar. Berpuluh tahun hidup bertetangga dengan orang Manchu, merasakan suka duka bersama mereka, sampai Siangkoan Hong sendiri merasa dirinya sudah "setengah Manchu".
Dan selama itu pula ia merasakan bahwa orang Manchu bukanlah "orang-orang biadab" seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Han. Tuduhan yang hanya berdasarkan rasa unggul diri. Orang Manchu merupakan orang-orang yang juga merasakan suka dukanya perang seperti orang Han, karena yang menentukan adalah Kaisar, dan mereka sebagai rakyat harus tunduk jika Kaisar meminta anak-anak laki-laki mereka, suami mereka, kekasih mereka, kakak atau adik mereka, untuk dipersenjatai dan kemudian disurukkan ke tengah-tengah ganasnya peperangan tanpa ada jalan mundur lagi, jauh dari kampung halaman.
Karena itu, Siangkoan Hong menyatakan tidak keberatan jika untuk tahun-tahun berikutnya bangsa Manchu dan bangsa Han harus hidup berdampingan seperti saudara, di bawah satu bendera, peperangan harus berhenti agar orang-orang Han maupun orang-orang Manchu dapat memanggul cangkul mereka ke ladang dengan rasa aman di hati.
Anak-anak kecil bergembira tanpa sebentar-sebentar dikejutkan oleh derap kaki kuda dengan penunggang-penunagangnya yang berwajah garang dan mengayun-ayunkan pedang mereka yang berkilat-kilat. Dengan saling pengertian dari kedua pihak, suasana yang menakutkan itu akan dapat dihentikan.
Sayang, impian Tong Lam-hou yang begitu indah tentang sebuah negara yang damai sejahtera mirip tanpa bunga rasaksa, sulit terwujud-selama di kalangan pemegang kekuasaan di kota Pak-khia masih ada orang Pakkiong An. Seorang yang sadar bahwa dirinya berkuasa, tapi tidak sadar untuk apa kekuasaan itu seharusnya digunakan.
Dengan suara yang gemuruh dahsyat, suatu hari pintu gerbang kota Pak-khia terpentang lebar dan mengalirkan dua-ribu limaratus pasukan berkuda yang berseragam baju kuning, pasukannya Pakkiong An, yang bertugas untuk mengejar Tong Lam-hou dan sekaligus menghancur leburkan Hwe-liong-pang.
Bukan apa, hanya sekedar melampiaskan dendam Pakkiong An yang kehilangan anak laki-laki satu-satunya. Begitu pentingnya pembalasan dendam itu bagi si Panglima tua itu, sehingga tidak peduli andaikata ratusan prajuritnya bakal mampus di peperangan, dan keluarga-keluarga mereka. kehilangan tiang keluarga mereka. Para prajurit toh dibayar untuk berkelahi?
Pasukan berkuda itu hanya merupakan perintis jalan saja, pemimpinnya adalah seorang perwira berpangkat Congpeng bawahan Pakkiong An, bernama Tamtai Au-kha, seorang peranakan Manchu-Mongol yang oleh kaum prajurit sendiri diberi gelar "Panglima berjan-tung iblis" karena kejamnya. Sedangkan ia didampingi oleh belasan jago-jago bayaran Pakkiong An, orang-orang yang gemar mencabut nyawa orang hanya karena upah sekepeng uang.
Di belakang pasukan berkuda itu masih ada pasukan berjalan kaki, juga dari Ui ih-kun yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sepuluh ribu orang yang dipimpin oleh seorang Congpeng lain yang tidak kalah ganasnya dari Tamtai Aukha, bernama Muyong Beng, seorang berdarah Sianbi jauh dekat kutub sana, yang bahkan masih suka makan daging mentah yang dibekukan untuk menjaga kekuatannya.
Kepada kedua Cong-peng itu, Pakkiong An berpesan bahwa mereka bertugas untuk "mengingatkan kembali orang-orang Han bahwa mereka hanya suku taklukan" dan untuk "cara mengingatkannya" terserahlah kepada kedua Congpeng itu. Tentu saja kedua Congpeng yang dasarnya memang berwatak buas itu jadi gembira mendapat tugas semacam itu. Dengan demikian dua gelombang besar pasukan Ui-ih-kun meninggalkan Pak-khia dengan bersamaan, namun sudah terang bahwa pasukan berkudanya Tamtai Au-kha akan tiba ke hadapan musuh lebih dulu.
Agaknya, dengan kedok membalaskan kematian anaknya, Pakkiong An bermaksud pula untuk menyempurnakan pengkhianatannya terhadap Kaisar yang selama ini sudah dipendamnya dalam hati. Untuk itu, Kotaraja Pak-khia harus dikosongkan dulu dari pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar, dan dipenuhi pasukan-pasukan yang sudah di bawah pengaruhnya. Maka dengan bujukan kepada Peng-po Siangsi (Menteri Perang), Pakkiong An berhasil pula 'memberangkatkan’ Pakkiong Liong dengan separuh dari pasukannya, Pasukan Naga Terbang, untuk diperbantukan sebagai pasukan gelombang ketiga.
Menerima tugas itu, tentu saja Pakkiong Lionag menjadi tidak senang. Andaikata Hwe-liong-pang benar-benar memberontak kepada Kerajaan haruskah diperlukan pasukan sebanyak itu untuk menumpasnya? Itu ibarat ingin membunuh nyamuk dengan sebatang gada besi seberat seratus kati, terlalu berlebihan. Tapi lebih dari itu, nalurinya sebagai prajurit telah membisikkan kecurigaan terhadap pamannya sendiri, bahwa semuanya itu hanyalah siasat sang paman untuk mengosongkan Pak-khia dari pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar.
Jika benar-benar Hui-liong-kun keluar dari Pak-khia, maka di Pak-khia hanya tinggal Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana) dan Gin-cian-si-wi (Pasukan Pengawal Kaisar) yang benar-benar setia kepada Kaisar, namun kedua pasukan itu terlalu sedikit jumlahnya meskipun terdiri dari orang-orang berilmu silat tinggi. Pasukan-pasukan lain juga ada, tapi kebanyakan sudah dipengaruhi Pakkiong An, atau berpendirian kurang jelas. Tegasnya, Pakkiong Liong mencemaskan bahwa kekosongan Ibukota itu adalah direncanakan Pakkiong An untuk merebut tahta dengan kekerasan.
Tapi Pakkiong Liong benar-benar tidak dapat menolak perintah, sebab surat perintah itu bukan hanya diberi cap Peng-po Cengtong tapi juga cap dari Kaisar sendiri. Melawan surat perintah itu sama saja dengan melawan Kaisar sendiri, dan itu adalah suatu perbuatan yang sampai matipun Pakkiong Liong tidak akan melakukannya. Karena itu, dengan setengah hati dan kurang bersemangat, Pakkiong Liong berangkat juga bersama pasukannya.
Ia bukan mencemaskan nasib dirinya dan pasukannya di medan laga, tapi justru mencemaskan keadaan di Ibukota yang ditinggalkannya. Kalau benar sampai Pakkiong An merebut tahta, entah bagaimana 'jadinya dengan negeri ini? Karena itu, diam-diam Pakkiong Liong berpesan kepada Ha Toji yang ditinggalkannya di Pak-khia bersama dengan separoh dari pasukannya, agar Ha-Toji mengawasi dengan baik dan bertindak bilamana perlu.
Sementara itu, Tong Lam-hou berempat bersama dengan gurunya, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, belum mencapai separuh perjalanan ke Tiau-im-hong, ketika tiba-tiba mereka mendengar gemuruh derap kaki kuda di belakang mereka. Selama beberapa hari ini memang mereka berjalan dengan santai sambil bercakap-cakap seenaknya, maka dalam waktu beberapa hari saja mereka telah tersusul oleh barisan Ui-ih-kun yang dipimpin oleh Tam-tai Au-kha yang lihai dan kejam itu.
Begitu melihat panji-panji Ui-ih-kun dalam pasukan berkuda itu, maka Tong Lam-hou menduga bahwa dirinyalah yang dikejar. Namun ia pantang melarikan diri, begitu pula Ang Hoan, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, sehingga dalam waktu singkat saja keempat orang itu sudah terkurung pasukan berkuda yang berlapis-lapis.
Jika orang lain yang mengalami hal demikian, boleh jadi lututnya akan gemetar dan mukanya pucat karena terpengaruh oleh wibawa pasukan berkuda itu. Namun Tong Lam-hou bersama gurunya dan dua orang pamannya adalah orang-orang bernyali besar, sehingga dalam kepungan ribuan prajurit itupun mereka tetap menunjukkan sikap tenang.
Tamtai Au-kha yang berwajah runcing dan bermata tajam seperti burung elang itupun memajukan kudanya dan membentak, "Tong Lam-hou dan kau orang tua-tua yang melarikan Tong Lam-hou, menyerahlah untuk kubawa kembali ke Pak-khia!"
Dalam hatinya, kesetiaan Tong Lam-hou terhadap hukum dan Kaisar tidak berkurang sedikitpun, namun ia harus berpikir dua belas kali sebelum pergi sebagai tawanan yang dibawa oleh orang macam Tamtai Au-kha. Selama menjadi perwira kerajaan, Tong Lam-hou sudah kenal beberapa orang perwira dari berbagai pasukan, di antaranya adalah peranakan Manchu-Mongol ini. Seorang yang tidak segan-segan berbuat sekeji apapun hanya mencari muka terhadap Pakkiong An, atasannya.
Andaikata yang menyuruh Tong Lam-hou untuk menyerah itu Pakkiong Liong sendiri, atau Panglima lain yang sudah dikenal kejujurannya, maka dengan senang hati Tona Lam-hou akan mengulurkan tangannya untuk dibelenggu demi tegaknya hokum. Tapi Tamtai Au-kha? Nanti dulu. Sahut Tong Lam-hou,
"Maafkan, saudara Tamtai, hukum Negara dan Kaisar kujunjung tinggi, tetapi haruslah hukum yang ditegakkan berlandaskan kebenaran. Aku menyesali ketololanku sendiri tempo hari ketika aku menyerah begitu saja untuk dihukum, kelihatannya menyerah kepada hukum padahal sebenarnya menyerah kepada nafsu berkuasa Pakkiong An yang melonjak-lonjak menuntut korban demi korban!"
Wajah Tamtai Au-kha merah padam' mendengar jawaban itu, "Kau berani bicara seperti itu tentang Pakkiong Ciangkun ?! Kau tahu siapa dia? Barangkali saat ini, di Ibukota Pak-khia sudah terjadi pergantian Kaisar, dan aku tidak tedeng aling-aling lagi bahwa Pakkiong Ciangkun pasti menang dalam perebutan ini sebab semuanya sudah direncanakan baik-baik!"
Agaknya begitu yakinnya Tamtai Aukha akan kemenangan Panglimanya di Ibukota, sehingga ia tidak merasa perlu lagi untuk menyimpan rahasia itu. Dan bahkan ia bangga karena mengira dirinya sekarang adalah Panglima terpercaya dari Kaisar yang baru.
Sebaliknya Tong Lam-hou terkejut bukan kepalang mendengar pengakuan Tamtai Au-kha itu. Di bawah pimpinan Kaisar Khong-hi, kesejahteraan rakyat sudah mulai meningkat sedikit demi sedikit, meskipun di mana-mana masih ada perlawanan terhadap pemeriritah Man-chu. Tapi kalau Pakkiong An yang jadi Kaisar, maka Tong Lam-hou yakin bahwa negara akan berantakan. Kerusuhan akan berkobar di mana-mana dan ketenteraman yang sudah di ambang mata itu-pun akan semakin kabur kembali seperti awan dihembus angin.
Dengan wajah merah padam, Tong Lam hou menuding Tamtai Aukha yang duduk dengan congkak di pelana kudanya itu. "Jadi... jadi kalian sendiri yang sebenarnya hendak berkhianat kepada Kaisar namun sengaja mengalihkan perhatian terhadap diriku dan Hwe-liong-pang? Sungguh keji!"
Tamtai Au-kha tertawa terbahak-bahak, "Bukan keji tetapi cerdik, hanya orang secerdik Pakkiong Ciangkun yang pantas menduduki singgasana, bukan orang selemah Hian-hua yang kemudian bergelar Khong-hi itu! Dia hanya mewarisi tahta dari ayahnya, dan lagipula sikapnya kepada Hwe-liong-pang terlalu lembek, tetapi jika Pakkiong Ciangkun menjadi Kaisar, lihat saja Hwe-liong-pang kalian bisa berkutik atau tidak?"
"Atas nama Sri Baginda Khong-hi, orang semacam kau harus dilenyapkan!" seru Tong Lam-hou marah. Berbareng dengan habisnya kata-katanya, tubuhnya telah melayang tinggi dengan gerakan Eng-khik-tiang-gong (Elang Menyergap Dari Udara), sepasang tangannya-masing-masing dengan tiga jari yang tertekuk melengkung seperti kuku elang telah menerkam ke pundak kiri kanan dari Panglima itu.
Tamtai Au-kha terkejut melihat betapa cepatnya gerakan Tong Lam-hou, ia memang sering mendenqar kehebatan Tong Lam-hou di medan tempur, tetapi baru kali ini ia mengalaminya sendiri. Bahkan golok yanq sudah terpegang di tangannyapun tak sempat memainkan jurus apapun, yang sempat hanyalah melontarkan dirinya secepat-cepatnya dari atas punggung kudanya, tapi tak urung topinya yang berhias bulu merak itu tersambar juga oleh tangan Tong Lam-hou.
Sementara Tong Lam-hou dalam kemarahannya telah kehilangan pengendalian dirinya. Serangannya yang luput itu mengenai kepala kuda tunggangan Tamtai Aukna, dan tiga buah jari Tong l,am-hou itupun amblas di batok kepala kuda itu. Kuda itu meringkik hebat dan kemudian roboh dengan tiga lubang yang mengalirkan cairan darah dan otak dari kepalanya. Tamtai Au-kha dan pengikut-pengikutnya tergetar hatinya melihat keperkasaan Tong Lam-hou itu.
Tong Lam-hou sendiri dengan geram terus mengejar Tamtai Au-kha, tapi perwira Ui-ih-kun itu tidak sendirian. Begitu Tong Lam-hou menerjang maju, maka dua orang jago sewaan Pakkiong An telah menerjang serempak dari kanan dan kiri dengan meloncat dari punggung kuda. Yang satu bersenjata sebatang kong-pian (ruyung baja) yang dihantamkan ke pelipis dengan sekuat tenaga, yang satu lagi tidak perlu meloncat dari kudanya sebab senjatanya aciaian sebatang tombak panjang yang ditikamkan ke rusuk Tong Lam hou.
Bagaikan seekor harimau luka, Tong Lam-hou dengan tangkas menunduk untuk menghindari kemplangan ruyung ke kepalanya, sementara tangan kanannya dengan tangkas sekali menangkap tangkai tombak dan langsung menyentakkannya ke atas dengan sekuat tenaga. Begitu hebat tenaganya, sehingga ketika penyerang dari atas kuda itu ngotot mempertahankan tombaknya, maka malah tubuhnya sekalian ikut terangkat dan terbanting dari atas punggung kudanya.
Dengan tombak rampasannya, Tong Lam-hou meloncat ke atas punggung kuda yang ditinggalkan Tamtai Au-kha tadi, sehingga sekarang kedudukannya menjadi sama kuat dengan musuh-musuhnya. Dengan tombak panjang yang diputar kencang, ia bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayapnya, kegarangannya menjadi berkali lipat.
Sementara itu, Ang Hoan, Siang-koan Hong serta Lim Hong-pin, tiga orang tokoh sakti yang jauh di atas kemampuan prajurit-prajurit biasa itu dengan mudah merampas kuda bagi diri mereka masing-masing seekor. Dan ketika di tangan merekapun masing-masing tergenggam senjata, jadilah mereka bertiga seperti serigala-serigala kelaparan di tengah kerumunan kambing-kambing gemuk, daiam sekejap saja beberapa lapis terdepan dari prajurit-prajurit musuh sudah jungkir-balik.
"Tangkap hidup atau mati para pengacau ini!" teriak Tamtai Au-kha dengan geram kepada pasukannya yang berjumlah duaribu lima ratus prajurit itu, semuanya mahir bertempur di atas kuda. Dia sendiri sudah mendapatkan seekor kuda pengganti karena kudanya telah "dipinjam" oleh Tong lam-hou.
Dengan demikian di tempat itu terjadilah pertempuran berkuda yang amat sengit Dari segi jumlah, perbandingan antara dua pihak sungguh sangat menyolok, empat lawan duaribu limaratus, tapi ternyata duaribu limaratus itu tidak dapat segera memenangkan pertempuran, sebab keempat orang yang hendak mereka tangkap itu memiliki bobot sendiri-sendiri yang tidak ringan.
Dua orang adalah bekas tokoh-tokoh tertinggi dalam Hwe-liong-pang, tokoh ketiga dan keempat di bawah urutan Ketua mereka dulu, sebagai pewaris-pewaris ilmu Bu-san Jit-kui yang kepandaiannya luar biasa dan bahkan berbumbu ilmu gaib.
Seorang lagi adalah Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang sejak puluhan tahun yang lalu sudah menduduki urutan pertama dari tokoh-tokoh sakti di kolong langit, dan seorang lagi adalah murid kesayangan Tiam-jong lo-sia yang di medan-medan perang terkenal dengan sebutan Si Harimau dari Selatan.
Masih untung, para prajaurit yang kebentur Tong Lam-hou, sebab anakmuda itu betapapun juga masih tidak tega membabati nyawa prajurit-prajurit yang hanya menjalankan perintah Pakkiong An itu. Tapi bagi Ang Hoan, Siangkoan Hong serta Lim Hong-pin, tiga orang yang dapat digolongkan sebagai "setengah sesat" itu, membunuh bukan hal yang terlalu memberatkan hati mereka.
Mereka berpendapat, jika nyawa sendiri terancam, maka lebih baik si penyeranglah yang mampus. Dengan demikian bergelimpanglah tubuh-tubuh tak berdaya di sekitar ketiga orang yang ternyata juga cukup tangkas berkelahi sambil melarikan kuda mereka itu. Bahkan lama kelamaan, Tong Lam-hou sendiripun mulai panas hatinya dan ujung tombaknyapun mulai mencabut nyawa beberapa prajurit.
Menghadapi musuh yang begitu banyak yang tanpa kenal ampun terus menyerbu seperti orang-orang mabuk, terlalu berbelas-kasihan hanya akan merugikan diri sendiri. Maka diatas kudanya yang berlari kencang menerobos ke sana kemari, Tong Lam-hou berubah seperti malaikat maut yang dengan semena-mena mencabuti nyawa korban-korbannya.
Patukan tombaknya hampir-hampir tak pernah meleset menghunjam ke perut atau leher lawan, sementara tangkai tombaknya juga tidak kalah berbahaya sebab dapat meretakkan pelipis kepala atau mematahkan tengkuk lawan.
Setiap kal ia menyambar dengan kudanya yang berlari kencang, maka satu prajurit roboh, bahkan kadang-kadang dua atau tiga sekaligus. Demikian pula Gurunya serta kedua pamannya. Melihat begitu banyak korban, Tong Lam-hou merasa tak tega juga. Ia pikir, yang harus dibekuk lebih dulu adalah Tamtai Au-kha sebagai kepala perangnya. Kalau orang itu sudah berhasil dilumpuhkan pula tanpa bertambahnya korban lebih banyak lagi.
Namun Tong Lam-hou mengumpat-umpat dengan gemas ketika melihat bagaimana Tamtai Au-kha selalu berlindung di balik pengawalan kuat anak buahnya, dan selalu menghindari kemanapun dikejar.
"Tamtai Au-kha, jangan jadi banci seperti itu!" teriak Tong Lam-hou sambil mencoba menerjang ke arah pemimpin musuh itu. "Kau korbankan anakbuahmu untuk menyelamatkan dirimu sendiri? Hayo keluar dan ladeni aku bertempur tigaribu jurus, supaya aku yakin bahwa nama besarmu di peperangan bukan bualan belaka!"
Demikian Tong Lam-hou mencoba memanas-manasi hati Tamtai Au-kha agar terpancing keluar dari kerumunan peng-awal-pengawalnya, namun rupanya perwira bawahan Pakkiong An itu bermuka cukup tebal. Tantangan Tong Lam-hou itu tidak dihiraukannya, sebab ia sadar bahwa dirinya bukan tandingan dari si Harimau Selatan yang garang itu. Ia hanya mengandalkan jumlah anakbuahnya yang sangat banyak, yang lama-lama tentu akan melelahkan musuh-musuhnya itu.
Dan untuk itu ia tidak perlu memperhitungkan berapa ratus nyawa piagu-ritnya yang bakal amblas, toh di belakang mereka masib ada pasukan gelombang kedua yang gauh lebih banyak. Bagi orang berjantung iblis seperti Tamtai Au-kha, nyawa prajurit tidak pernah dianggapnya sebagai nyawa manusia, melainkan hanya sebagai barang kebutuhan saja. Kalau habis, ya ambil lagi.
Dan perhitungan Tamtai Au-kha itu memang cukup jitu, Betapapun tinggi ilmu keempat musuhnya itu, tapi lama kelamaan mereka kewalahan juga harus menghadapi, musuh yang seolah-olah tak habis-habisnya itu. Dirobohkan satu, muncul dua orang. Dirobohkan dua orang, empat orang menggantikannya, demikian seterusnya sehingga tangan mereka terasa pegal-pegal karena terlalu beradu senjata dengan musuh.
Dan prajurit musuhpun bukan makanan makanan empuk yang menyerahkan lehernya begitu saja untuk dibantai, meskipun ilmu mereka tidak tinggi, namun satu persatu dari mereka cukup tangkas juga bertempur di atas kuda. Keempat orang itupun mulai mandi keringat.
Sedangkan pedang-pedang yang harus mereka tangkis dan mereka balas, mereka juga harus waspada terhadap lembing atau panah yang mereka lemparkan, apalagi di antara perwira-perwira musuh ada pula orang-orang yang mahir melempar-lemparkan senjata rahasia berbagai jenis seperti hui-to (golok terbang) yang berar aan gampang dilihat, sampai jarum-jarum bunga sakura (Bwe-hoa-ciam) yang lembut dan sukar dilihat.
Meskipun Ang Hoan adalah guru Tong Lam hou dan ilmunyapun paling lihay di antara empat orang itu, namun usianya yang hampir seratus tahun itu mempengaruhi kekuatan tubuhnya juga. Sudah sejak tadi dia telah mengerahkan Han-im-ciang yang berhasil membuat belasan prajurit Ui-ih-kun mati membeku tapi ilmu itu memerlukan banyak tenaga sehingga akhirnya tenaganyapun mulai menurun.
Dengan napas agak terengah ia berhasil menangkis seorang prajurit berkuda yang menerjang dengan kampak, bahkan membabatnya sehingga prajurit itu roboh dengan lambung terluka. Tapi sebatang lembing yang meluncur dari belakang tak sempat dihindari dan sempat menancap di pundak orang tua itu, sehingga tubuhnya miring dan hampir saja roboh dari kudanya.
Terlukanya Ang Hoan itu merupakan suatu isyarat bagi Tong Lam-hou, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bahwa apabila mereka nekad bertahan terus di tempat itu maka mereka akan tertumpas habis meskipun bersama mereka akari gugur pula ratusan prajurit musuh.
Tapi kalau hendak kabur, lalu kabur kemana? Di sekeliling tempat yang kelihatan hanyalah prajurit-prajurit musuh yang berkuda, berlapis-lapis mengepung mereka berempat, sementara ujung-ujung senjata mencuat rapatnya seperti daun ilalang di padang. Bendera yang berkibar-kibar, kuda-kuda yang meringkik gelisah, gomerincing senjata, semuanya benar-benar mirip dengan sebuah benteng baja yang meng elilirigi Tong Lam-hou dan kawan-kawannya.
Sedangkan usaha Tong Lam-hou untuk meskipun puluhan orang yang merintanginya sudah dirobohkan, tapi ia tidak dapat juga mencapai Tamtai Au-kha yang memang sengaja menghindarinya itu. Tong Lam-hou melarikan kudanya ke dekat gurunya, sambil bertanya, "Suhu, beratkah lukamu?"
Wajah Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan nampak pucat menahan sakit, tetapi ia tidak mau membuat hati muridnya merasa kuatir, sehingga diapun menjawab sambil tertawa, "Lembingnya sudah kucabut dan ternyata hanya melukai kulitku. Aku masih sanggup bertempur, tapi lebih baik selamatkan dirimu lebih dulu."
Tong Lam-hou terharu mendengar itu. Kasih sayang gurunya kepada dirinya sama besarnya dengan kasih sayang seorang ayah kepada puteranya, di saat dirinya terlukapun Tiam-jong-lo-sia masih tidak memikirkan dirinya sendiri dan malahan memerintahkah muridnya untuk menyelamatkan diri lebih dulu.
Sudah tentu Tong Lam-hou tidak sudi menyelamatkan airi sendiri dengan meninggalkan Guru dan kedua pamannya. Teriaknya, "Suhu, paman Siangkoan dan paman Lim, kita menerjang ke utara!"
Di sebelah utara memang terlihat sebuah lereng bukit yang agak terjal dan ditumbuhi banyak pohon, dengan demikian Tong Lam-hou mengharap bahwa di tempat itu gerakan pasukan berkuda Tamtai Au-kha akan dipersulit, sedangkan bagi dirinya berempat yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup mahir, tempat itu akan lebih menguntungkan.
Tapi sementara itu Tamtai Au-kha juga sudah berteriak kepada pasukannya, "Perkuat kepungan di sebelah utara!"
Tong Lam-hou yang gelisah karena kuatir akan luka di pundak gurunya yang terus meneteskan darah dan akan berbahaya jika tidak segera dirawat itu, menjadi habis sabarnya ketika melihat prajurit-prajurit Tamtai Au-kha bagaikan kesetanan terus merintanginya mencapai lereng bukit itu. Diputarnya tombaknya sambil berteriak, "Saudara-saudara, meskipun aku bukan lagi prajurit seperti kalian tapi aku masih segan untuk membantai rumput. Karena itu minggirlah, biarlah kami berlalu!"
Beberapa prajurit menunjukkan wajah ragu-ragu, namun beberapa prajurit sama sekali tidak menghiraukan teriakan Tong Lam-hou itu sebab mata mereka sudah digelapkan janji-janji hadiah yang dijanjikan Pakkiong An buat siapa saja yang berhasil membunuh Tong Lam-hou. Janji dan seorang "Calon Kaisar" yang dipercaya sungguh-sungguh oleh prajurit-prajurit itu, sehingga dengan demikian lupalah prajurit-prajurit itu akan ilmu mereka yang rendah berhadapan dengan Tong Lam hou yang garang. Ibaratnya telur membentur batu, namun toh "telur-telur" lainnya terus berdatangan untuk mencoba menggempur sang "batu".
Menghadapi mereka, tidak ada jalan lain bagi Tong Lam-hou kecuali memutar senjatanya dengan kencang untuk menyibakkan jalan. Di atas kudanya yang mendesak maju, Tong Lam-hou memutar tombaknya seperti angin prahara yang menghembus pepohonan. Satu persatu prajurit-prajaurit yang merintanginya ditikam roboh sehingga ujung tombaknya bagaikan dicat merah, jumbai benang-benang merah di dekat kepala tombakpun telah menjadi lekat karena basah oleh Tong Lam-hou bertindak sebagai pembuka jalan bagi paman-paman dan gurunya.
Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak tinggal diam pula. Mereka bertindak sebagai "sayap-sayap" kanan dan kiri Tong Lam-hou untuk mengapit Ang Hoan yang teruka di tengah-tengah. Dengan susunan seperti itu, mereka mengikuti Tong Lam-hou untuk mendesak ke utara, betapapun pepatnya rintangan ke arah sana. Sedangkan Ang Hoan sendiri ternyata tidak sudi diperlakukan seperti seorang sakit berat di bawah perlindungan para jururawat, orangtua itu justru memajukan kudanya ke depan untuk keluar dari perlindungan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, dan kemudian mendapingi muridnya yang tengah mencari jalan itu.
"Hati-hati dengan lukamu. Suhu!" teriak Tong Lam-hou yang cemas melihat jubah Suhunya di bagian kiri berlumuran darah.
Tapi Ang Hoan menjawab dengan garang, "Huh, masakan cecurut-cecurut ini mampu membunuh aku?" Dan sambil menjawab dia mengayunkan pedangnya, dua prajurit terjungkal dari atas kudanya.
Demikianlah, meskipun keempat orang itu berjuang habis-habisan untuk bisa lolos dari kepungan, tapi kepungan yang berlapis-lapis itu sungguh mustahil untuk bisa diterobos. Tewasnya berpuluh prajurit tidak terasa berarti buat seluruh pasukan yang terdiri dari ribuan orang itu. Setiap jengkal Tong Lam-hou dan teman-temannya berhasil maju, namun tenaga yang diperasnyapun cukup banyak, sementara pasukan musuh bagaikan gelombang pantai yang terus menghantam tak henti-hentinya.
Jika bagian depan pecah, gelombang kedua sudah siap meneruskan gempuran, di belakangnya lagi masih ada gelombang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Ujung-ujung senjata bagaikan tak terhitung banyaknya bersambaran dari segala penjuru. Bukan saja pedang dan tombak, tapi juga panah, lembing yang dilontarkan dan juga senjata rahasia yang bagaikan hujan lebat. Kini yang luka bukan cuma Ang Hoan, tetapi keempat-empatnya sudah luka semuanya.
Tamtai Au-kha, melihat dengan seringai kejamnya bagaimana keempat orang itu nampak mulai kelelahan, dan baju-baju mereka mulai merah oleh darahnya sendiri. Teriaknya memberi semangat kepada anakbuahnya, "Gempur terus! Keempat orang itu sudah kehabisan tenaga!"
Begitulah Tamtai Au-kha berteriak-teriak "gempur terus" tapi dia sendiri berada di tempat yang aman dalam lindungan pengawal-pengawalnya. Yang mempertaruhkan nyawa adalah anakbuahnya, tapi di Pak-khia nanti yang menerima pujian atau kenaikan pangkat sudah tentu dirinya sendiri.
Ketika Tong Lam-hou dan guru serta kedua pamannya sudah hampir putus-asa dan hampir saja memutuskan cara terakhir "Boleh mampus asal membawa korban sebanyak-banyaknya di pihak lawan", maka terjadilah suatu perkembangan yang membesarkan hati.
Dari lereng bukit di utara itu tiba-tiba terdengar suitan nyaring beberapa kali berturut-turut, masing-masing melengking tinggi namun nadanya berbeda-beda. Jelas suitan-suitan itu dilontarkan oleh orang-orang yang berbeda-beda pula. Menyusul itu, dari lereng bukit itu nampak ada puluhan titik-titik hitam yang meluncur turun dan langsung menerjang ke arah barisan musuh. Jumlah penyerang dari lereng bukit itu tidak banyak, barangkali tidak lebih dari duapuluh orang, namun terjangan mereka ternyata cukup membuat pasukan musuh jadi tergoncang sejenak.
Di satu bagian, kelihatan seorang penunggang kuda yang berpakaian seperti gembala-gembala ternak di daerah Su-coan, lengkap dengan sepatu jerami, rompi dari kulit kambing, dan ikat kepala yang berwarna putih. orang itu dengan wajah dingin tanpa perasaan mengayun-ayunkan sebatang golok yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit, tipis namun tajam berkilat-kilat. Sementara tangan kirinya dengan tangkas memegang kendali kudanya dengan sangat mahir.
Caranya mengayunkan golok sabitnya sungguh luar biasa, gerakannya begitu lugu dan sederhana tidak menuruti saja ilmu silat dari aliran apapun, namun sabetan-sabetannya begitu cepatnya sehingga setiap kali goloknya bergerak maka hanya terlihat seleret garis keperak-perakan sekejap mata dan tahu-tahu musuhpun sudah terbelah tubuhnya. Begitu cepatnya.
Begitu seorang prajurit musuh mengangkat pedang atau tombaknya hendak menyerangnya, maka pada saat senjata musuh masih terangkat itu golok sabitnya sudah berkelebat lebih dulu ke bagian tubuh musuh yang tak terjaga. Bila yang menyerang dua musuh sekaligus, dengan lincah orang itu menggerakkan kudanya untuk menghindar kemudian secepat kilat berbalik dan merobohkan musuhnya satu demi satu.
Dengan demikian barisan musuh yang diterjang oleh orang itu menjadi agak kacau. Orang itu bukan lain adalah Auyang Siau-pa, si Jing-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijau) dari Hwe-liong-pang. Kecepatan goloknya sangat terkenal sehingga kabarnya dia dengan sekali tebas sanggup membelah tubuh tiga ekor lalat yang sedang terbang.
Di sebelah lain, nampak Lam-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) In-Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) juga telah membasahi goloknya yang sepasang itu dengan darah prajurit-prajurit musuh. Atau Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) bu Siong dengan pukulan seribu katinya menghajar terpental setiap prajurit musuh yang berada di dekat nya. Di tengah riuhnya perkelahian itu dia tetap bertangan kosong dan lebih mengandalkan sepasang tinju besinya untuk mengobrak-abrik barisan musuh.
Selain itu nampak pula Tongcu-tongcu Hwe-liong-pang lainnya menyerbu dari berbagai arah, ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam) Kwa Teng-siong dengan sepasang belatinya yang tidak kalah tangkasnya meladeni pedang atau tombak musuh yang jauh lebih panjang, nampak pula Siau-lo-cia (Si Dewa Kecil) Ma Hiong yang kali ini tidak bersenjata Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan) karena dianggapnya terlalu pendek dalam pertempuran berkuda, kini ia memain kan sebatang golok tan-to yang berputar dahsyat di sekitar tubuhnya bagaikan baling-baling terhembus prahara.
Nampak pula Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) Ji Tiat, Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim yang kali ini terpaksa bersenjata sebatang toya meskipun tendangan geledeknya masih saja sering dilontarkan dari kedudukannya di atas pelana. Di ujung sana seorang tua bungkuk dan kurus ternyata mampu membuat barisan musuh kalang-kabut dengan sepasang pedangnya, dialah Tiat-jiau-tho-wan (Si Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng, Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning).
Bagaimanapun hebatnya kepandaian ke delapan orang Tongcu Hwe-liong-pang itu, sudah tentu mereka hanya berdelapan saja tidak akan sanggup menerobos barisan barisan berkudanya Tamtai Au-kha yang ribuan orang, dan sejelek-jeleknya mereka tapi merekapun prajurit-Prajurit yang telah pernah mengalami latihan-latihan berat. Karena itu, ke delapan Tongcu itupun tidak dapat segera menerobos ke tengah untuk bergabung dengan Tong Lam-hou dan teman-temannya, antara mereka dengan Tong Lam-hou masih terpisah barisan prajurit berkuda yang amat banyak.
Apalagi kemudian pajurit-prajurit Ui-ih-kun itu bertindak cukup cerdik, mereka tidak lagi melawan para Tongcu yang lihai itu dengan satu persatu melainkan tiap beberapa orang membentulj. sebuah regu kecil yang secara serempak berusaha membendung sepak terjang para Tongcu itu. Siasat itu lumayan berhasil, sehingga para Tongcu itu sekarang maju setapak demi setapak dengan berat sekali. Tapi dengan gigihnya para Tongcu itu maju terus demi menyelamatkan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin sebagai pemimpin mereka.
Namun ternyata para Tongcu Hwe-liong-pang itu, tidak sendirian. Ketika mereka gagal untuk maju lebih lanjut, maka dari lereng bukit itu kembali terdengar suitan, dan muncul pula puluhan orang dengan pakaian aneka warna menyerbu ke pasukan Ui-ih-kun. Kali ini orang-orang itu tidak berkuda, namun dari gerak-gerik mereka yang tangkas ketika berloncatan menuruni tebing, jelaslah bahwa mereka orang-orang yang berilmu pula. Bahkan orang-oranq yang paling depan dari mereka seolah-olah bukan meloncat, namun terbang meluncur begitu saja.
Paling depan, nampak seorang lelaki setengah tua berpakaian serba putih dengan pedang di tangannya, dia bukan lain adalah Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, paman kandung dari Tong Lam-hou. Pendekar itu gerakannya nampak belum begitu tangkas, agaknya masih terganggu oleh luka-lukanya yang didapatnya di Pak-khia tempo hari. Dia didampingi oleh seorang perempuan berpakaian ringkas yang tangan nya memegang sepasang senjata yang disebut Hau-thau-kau (kaitan Kepala Harimau), dan dua orang anakmuda yang bersenjata pedang.
Perempuan setengah baya dan kedua orang anak muda itu tidak pernah jauh dari Tong Wi-hong, sebab kuatir akan si walet perak yang belum benar-benar sembuh itu. Mereka bukan lain adalah isteri Tong Wi-hong yang bernama Cian Ping serta dua orang putera mereka yang bernama Tong Hoa-tiong Cian Hoa-seng, sepasang kakak beradik seayah dan seibu tetapi memakai nama she (nama marga) yang berbeda.
Selain Tong Wi-hong dan keluarganya, kelihatan pula adik Tong Wi-hong yaitu Tong Wi-lian yang bersenjata sehelai selendang merah serta suaminya, Tiang Bun, yang bersenjata golok dan juga puteri mereka, Ting Hun-giok, yang bersenjata golok pula seperti ayahnya. Kelihatan pula Gin-hoa-ki-am (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng dari Hoa-san-pay, serta keponakan muridnya yang tinggi besar dan bertangan kidal, Sebun Him, yang mengamuk seperti seekor beruang yang sedang marah.
Masih ditambah dengan segerombolan orang berpakaian compang camping dan tambal-tambalan yang bersenjata tongkat panjang, mereka anggota-anggota Kay-pang (Serikat Pengemis) yang dipimpin seorang pengemis bertubuh gemuk bulat dan bermuka putih gemuk, tampang yang sebenarnya kurang cocok untuk menjadi pengemis, tampang yang cocok untuk bandar judi. Dialah Sun Ciok-peng yang dengan tongkat besinya menerjang ke tengah barisan musuh tanpa kenal takut.
Begitulah, kalau yang muncul Kedelapan Tongcu Hwe-liong-pang saja, tentunya tidak akan banyak mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Tapi setelah muncul pula orang-orang lainnya yang semuanya berilmu tinggi, maka pasukan berkuda pimpinan Tamtai Au-kha itupun mulai goncang. Biarpun prajurit prajuritnya yang gugur cuma satu demi satu, tapi kalau terus-terusan akan habis juga.
Apalagi kemudian muncul pula puluhan orang yang terdiri dari macam-macam jenis. Ada pendeta gundul, ada pendeta berambut panjang, ada imam To, ada pula orang-orang biasa namun kesamaan mereka adalah bahwa semuanya kelihatan tangkas dan berilmu cukup lihay. Kembali pasukan Tamtai Au-kha menjadi panik mendapat terjangan itu.
Meskipun pengemis-pengemis itu tidak berkuda dan harus menghadapi lawan-lawan yang menunggang kuda, namun mereka ternyata cukup cerdik untuk menghadapi lawan. Pengemis-pengemis itu lebih dulu menghantam kaki kaki kuda musuh sartibil berjongkok, sementara seorang temannya melindunginya dan kemudian menggebuk setiap kali prajurit musuh itu jatuh dari kudanya.
Tapi pengemis-pengemis itu juga harus berhati-hati terhadap terjangan kaki-kaki kuda yang sengaja diarahkan kepada mereka, selain terhadap panah-panah dan lembing-lembing musuh yang dilontarkan dengan cukup terarah.
Dengan datangnya bala bantuan buat Tong Lam-hou dan teman-temannya, maka Tamtai Au-kha merasa bahwa pasukan berkudanya menemui hambatan yang tidak kecil. Meskipun jumlah lawan-lawannya tidak lebih dari seratus orang, tapi rata-rata mereka adalah orang-orang pilihan yang setiap orangnya senilai dengan sepuluh atau lima belas prajurit biasa.
Dilihatnya bagaimana seorang Hweshio berambut panjang memutar senjata Hong-pian-jan dengan kencangnya, sehingga prajurit-prajurit yang diterjangnya berhamburan seperti daun-daun kering saja, karena hweshio itu agaknya bertenaga sangat besar. Bahkan sempat dilihatnya bagaimana hweshio itu menyambar sepasang kaki depan seekor kuda yang masih ada penunggangnya, lalu diputar-putarnya di atas kepalanya seringan orang memutar-mutar seekor kucing saja, dan kemudian dilemparkan ke tengah kerumunan prajurit prajuritnya yang lain.
Akhirnya Tamtai Au-kha sadar bahwa jika dipaksakan, meskipun pasukannya yakin bisa memusnahkan orang-orang itu, namun paling tidak separoh dari pasukannyapun akan ikut musnah pula. Deretan nama-nama seperti Tong Lam-hou, Ang Hoan, Siang-koan Hong, Lim Hong-pin, Tong Wi-hong, Auyang Seng, Bu-gong Hweshio, Sun Ciok peng Sebun Him serta delapan orang Tongcu Hwe-liong-pang itu benar-benar sama kekuatannya seperti sebuah pasukan yang tangguh...
“Terima kasih."
Tugas untuk Bok Teng-san si perwira perbekalan terhitung agak ringan namun memerlukan keahlian khusus pula. Ia sebagai perwira perbekalan dan juga keuangan Hui-liong-kun yang memegang keuangan pasukan, harus mendukung usaha Lim Tong-eng itu dengan apa saja yang diperlukan dan bisa disediakan, namun harus tetap terselubung. Dalam buku catatan keuangan harus tidak sampai terlihat bahwa keuangan pasukan digunakan untuk biaya "pertempuran" bawah tanah itu.
Untuk itupun ada pengorbanan bagi Bok Teng-san, yaitu korban perasaan. Sebulan sekali tentu keuangan dari semua pasukan akan diperiksa oleh seorang utusan dari Hou-po Siangsi (Menteri Keuangan Kerajaan), apabila utusan Hou-po Siangsi itu melihat buku keuangan Pasukan Hui-liong-kun begitu banyak pengeluarannya, tentu Bok Teng-san akan mendapat "sentilan" pedas yang memerahkan telinga.
Mungkin dituduh menggelapkan uang dan sebagainya. Tuduhan yang tentu akan merupakan beban jiwa yang sangat berat buat seorang perwira jujur seperti Bok Teng-san yang sangat bangga dengan nama baiknya dalam kedudukannya sebagai seorang perwira dibagian perbekalan dan keuangan.
Namun ternyata Bok Teng-san menyatakan sanggup juga. Ia dapat memaklumi tindakan Pakkiong Liong yang mengajak main kucing-kucingan dengan petugas pemeriksa buku keuangan dari Hou-po Siangsi itu, sebab Pakkiong Liong masih belum tahu apakah Hou-po Siangsu itu sudah berda dalam "genggaman" Pakkiong An atau belum.
"Terima kasih atas kesanggupan saudara-saudara,” kata Pakkiong Liong kemudian. "Harap kalian menyadari bahwa masalah ini bukan hanya antara Pakkiong An pribadi berhadapan dengan Tong Lam-hou pribadi, melainkan antara Kesewenang-wenangan melawan keadilan, dan kebetulan dalam peristiwa Tong Lam-hou kita bisa menggunakan kesempatan untuk membongkar komplotan jahat di sekitar Sri Baginda itu."
Lim Tong-eng dan Bok Teng-san sudah paham betul watak Panglima mereka yang mengabdi negara dengan sepenuh hati itu, dan merekapun percaya bahwa Pakkiong Liong melakukan semuanya itu bukan karena mentang-mentang Tong Lam-hou adalah sahabat karibnya, melainkan karena melihat suatu kesempatan terbuka untuk membersihkan orang macam Pakkiong An dari Pak-khia, tidak peduli pamannya sendiri.
"Nah, kalian boleh pergi. Akupun akan pergi ke rumah paman Pakkiong An untuk melawat jenazah puteranya yang mati itu, sambil coba-coba mendengarkan ada kasak-kusuk macam apa saja di gedung itu."
Begitulah kehidupan orang-orang yang ikut bermain di panggung kekuasaan. Sambil tersenyum-senyum maka tangan mereka sudah menggenggam pisau balik jubahnya.
Sementara itu, jauh dari Kotaraja Pak-khia, di sebuah jalan pegunungan yang sepi, kelihatan dua sosok bayangan meluncur dengan kecepatan seperti bayangan hantu saja. Seorang lelaki setengah abad yang bertubuh tegap dan berambut kelabu, serta memakai jubah kelabu yang berkibaran di belakang tubuhnya yang melayang.
Di sampingnya, seorang lelaki sebaya dengannya dan berambut pendek seperti seorang hweshio yang baru saja melepaskan kedudukannya, tubuhnya kurus dan tidak setegap teman seperjalanannya itu, tapi gerakannya ternyata tidak kalah pesatnya dari temannya itu.
Mereka adalah Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, dua orang yang sementara ini memegang pimpinan Hwe-Liong-pang yang baru bangkit kembali itu, sampai kelak terpilihnya seorang Ketua baru yang bisa disetujui para anggota berkedudukan tinggi. Beberapa hari yang lalu, seorang anggota Kay-pang naik ke atas Tiau-im-hong dan menyerahkan sebuah berita dari Tong Wi-hong di Pak-khia yang mengabarkan Tong Lam-hou akan dihukum berat karena menolak perintah Kaisar untuk menghancurkan Hwe-liong-pang.
Maka gemparlah Tiau-im-hong. Tadinya beberapa Tongcu sudah merasa agak kecewa melihat Tong Lam-hou menghambakan diri kepada bangsa Manchu, tapi berita dari Pak-khia itu sedikit banyak mengubah pandangan mereka terhadap putera dari Ketua mereka yang sudah almarhum, Tong Wi-siang. Menentang perintah Kaisar untuk menumpas apa yang sudah dibangun oleh ayah Tong Lam-hou, menandakan bahwa perwira muda itu masih punya perasaan juga, dan juga melakukan tindakan yang berani karena tidak semua orang berani menentang Kaisar.
Saat itu orang-orang Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong mana tahu kalau mereka cuma dibohongi oleh Tong Wi-hong? Mereka segera berunding, lalu diputuskan bahwa sepuluh orang akan berangkat ke Kota-raja Pak-khia untuk melihat bagaimana gelagatnya. Ke sepuluh orang itu adalah Lim Hong-pin, Siangkoan Hong dan delapan orang Tongcu yang masing-masing punya kepandaian silat yang tak disangsikan lagi kehebatannya.
Namun Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak betah melakukan perjalanan berkuda bersama dengan ke delapan Tongcu, sehingga mereka berdua memutuskan untuk mendahului dengan mengandalkan sepasang kaki mereka sendiri. Dua kaki yang lebih cepat dari empat kaki kuda. Dengan salah salah ilmu warisan Bu-san jit-kui yang disebut Jian-po-leng-kong (Seribu Langkah di Udara Kosong).
Sebuah campur adukan antara Ilmu meringankan tubuh, ilmu tenaga dalam dan ilmu-ilmu gaib yang merupakan ciri khas semua ilmu-ilmu Bu-san-iit-kui, maka kedua orang tokoh puncak Hwe-liong-pang itu dapat menempuh perjalanan dengan jauh lebih cepat dari delapan orang Tongcu yang menunggang kuda, meskipun yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda yang tegar.
Dari arah selatan, ada pula seorang lainnya yang juga menuju ke arah kota Pak-khia. Seorang tua berambut putih dan berjenggot putih seperti kapas, usianya mungkin hampir seratus tahun, namun ketika ia berjalan, ia lebih cepat dari kereta atau kuda meskipun ia berjalan dengan menggendong tangan dan langkahnyapun berlenggang. Dialah guru Tong Lam-hou, Ang Hoan yang berjulukkan Tiam-jong-lo-sia (si sesat tua dari gunung Tiam-jong).
Ang Hoan melangkah tak peduli lewat jalan-jalan besar penghubung antar kota, membuat beberapa pemakai jalan merasakan heran kenapa kudanya yang sudah dilarikan sekencang kencangnya itu tidak juga mampu mendahului seorang kakek yang berjalan berlenggang kangkung. Dan untuk menyeberangi sungai-sungai yang lebar, Ang Hoan hanya menggunakan dua potong ranting kayu yang diikatkan di kakinya.
Dan berjalanlah ia di atas air sehingga beberapa orang yang melihatnya menjadi pucat, seolah melihat siluman keluar ke dunia dengan berwujud seorang kakek-kakek. Begitulah beberapa tokoh berilmu tinggi secara bersamaan atau terpisah-pisah tengah berada dalam perjalanan menuju ke Kotaraja Pak-khia. Dari Tiau-im-hong dan dari Tiam-jong-san.
Sementara itu, ketika tiba hari yang ditentukan, maka pengadilan atas diri Tong Lam-hou sendiri berjalan dengan "lancar", dan arahnyapun sudah seperti yang diduga oleh banyak orang. Semua "bukti kejahatan" dan 'saksi mata’ yang dikerahkan oleh Pakkiong An lewat tangan-tangan tersembunyinya, memberatkan Tong Lam-hou. Bahkan ada tuduhan-tuduhan yang membuat Tong Lam-hou terlongong kebingunan karena ia merasa belum pernah melakukan hal itu. Tapi toh tuduhan itu tercantum juga dalam surat tuduhan, dan beberapa "saksi" menyatakan melihat sendiri.
Tong Lam-hou, si Harimau Selatan, kini hanya mirip kucing sakit-sakitan yang terperangkap dalam terali besi yang mengelilingi dirinya. Dan keputusanpun dijatuhkan, tepat seperti yang dikehendaki oleh musuh-musuhnya, dihukum picis, kepala dipenggal dan ditancapkan di ujung tombak untuk diludahi setiap orang yang lewat, namanya diumumkan sebagai nama seorang pengkhianat yang paling keji yang harus dikutuk sampai beratus tahun.
Hari itu juga pelaksanaan hukuman akan dijalankan. Dengan leher dan kedua tangannya diborgol kuat-kuat dengan balok kayu yang besar, pakaian yang kusut dan robek-robek, dan tanpa sepatu, ia akan dibawa keluar kota Pak-khia ke sebuah lapangan yang memang biasa digunakan untuk keperluan macam itu.
Di lapangan itupun sudah dijaga oleh pasukan yang kuat, di mana-mana, di segala sudut hanya nampak prajurit-prajurit berseragam kuning dari pasukan Ui-ih-kunnya Pakkiong An, juga yang berseragam hitam anak buah Kiu-bun Tetok Tam Liong. Bahkan Kiu-bun Tetok sendiri hadir di lapangan itu dengan seragamnya dan pedang dilambungnya, didampingi beberapa perwira.
Banyak penduduk kota Pak-khia yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman dari orang yang terkenal itu, namun mereka hanya boleh melihat dari kejauhan. Prajurit-prajurit Ui-ih-kun pagi itu nampak jauh lebih garang dari hari-hari sebelumnya, mereka tidak segan-segan menendang atau memukul orang dengan gagang tombak, mereka berkeliaran di kota-kota dengan sombongnya seolah-olah baru saja memenangkan sebuah pertempuran besar.
Jika mereka berpapasan dengan prajurit-prajurit Hui-liong-kun, maka pandangan mata mengejek mereka lontarkan, meskipun mereka tidak berani cari perkara. Mencari perkara dengan prajurit-prajurit Hui-liong-kun sama saja dengan mencari penyakit.
Sebalaiknya prajurit-prajurit Hui-liong-kun lebih banyak tinggal dalam barak-barak mereka, berkumpul bersama rekan-rekan mereka sendiri. Beberapa orang pergi keluar menghabiskan waktunya di warung-warung arak.
Tong Lam-hou sudah diikat di sebuah tonggak di tengah lapangan di luar kota itu, disamping tonggak ada sebuah meja kecil dan di atas meja itu ada sebuah pisau tajam dan semangkuk air garam. Nanti algojo dan pembantu-pembantunya akan mulai menggoreskan pisau itu ke kulit Tong Lam-hou sedikit demi sedikit, dan mulut luka akan ditaburi air garam itu sehingga terasa pedih bukan kepalang.
Si terhukum tidak segera mati, tapi dua atau tiga hari lagi barulah ia mati dengan melewati penderitan yang luar biasa. Wajah Tong Lam-hou nampak agak tegang, namun dia tetap pasrah bahwa hukum kerajaan harus ditegakkan.
Ketika gembreng dibunyikan, maka seorang pelaksana hukuman membuka baju Tong Lam-hou dengan kasarnya. Bahkan caranya membuka baju dengan dirobek-robek. Maklum, pelaksana hukuman itu adalah seorang prajurit dari pasukan Ui-ih-kun, pasukan yang selama ini saling membenci dan bersaing dengan pasukan Hui-liong-kun, dan kini prajurit Ui-ih kun itu merasa mendapat kesempatan untuk "membalas" kepada Tong Lam-hou dari Hui-liong-kun, bahkan kebanggaan Hui-liong-kun di samping Pakkiong Liong sendiri.
"Percuma saja nama besarmu di medan-medan perang selama ini, pengkhianat she Tong," kata prajurit Ui-ih-kun itu. "Kau mati bukan sebagai pahlawan besar tetapi sebagai pengkhianat busuk. Aku gembira sekali bahwa akulah yang mendapat tugas untuk pertama kali menggoreskan pisau ke tubuhmu. Aku agak ahli dalam hal ini dan sebentar lagi boleh kau rasakan keahlianku ini."
Tapi baru saja pelaksana hukuman itu mengangkat pisaunya dan diarahkan ke pipi Tong lam-hou, tiba-tiba matanya terbelalak terkejut dan ngeri. Tepat di antara kedua matanya, tiba-tiba entah dari mana datangnya telah tertancap sesuatu yang menembus tengkoraknya sampai ke otaknya. Dan yang menembus itu ternyata hanyalah sehelai rumput ilalang! Sehelai rumput ilalang yang begitu ringan dan lembek, ternyata bisa dilemparkan sampai menembus batok kepala seorang manusia dewasa yang cukup keras, maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaga pelemparnya.
Tong Lam-hou terkejut melihat algojonya mengalami nasib seperti itu, lamat-lamat nalurinya merasakan bahwa ada seorang yang akan menolongnya dan orang itu adalah seorang yang cukup dekat dengannya.
Robohnya seorang prajurit Ui-ih-kun dengan batok kepala tertembus sehelai rumput ilalang itu telah menggemparkan segenap prajurit yang berjaga di tempat itu. Prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang baru saja menunjukkan kecongkakannya karena "kemenangan" mereka atas Hui-liong-kun, sekarang menjadi panik dan lari hilir-mudik ke sana kemari dengan muka yang pucat. Mereka berteriak-teriak, "Ada pembunuh ! Tangkap pembunuh!"
Sedangkan prajurit-prajurit Kiu-bun Tetok Tam Liong diam-diam tertawa mengejek melihat tingkah laku prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu, benar-benar tingkah laku dari prajurit-prajurit yang bernyali kecil. Namun prajurit-prajurit Kiu-bun Tetok itu pun dengap sigap segera berpencaran untuk menangkap pembunuh gelap itu.
Tidak usah dicari, si pembunuh gelap itu muncul sendiri. Dari antara kerumunan penduduk yang menonton pelaksanaan hukuman itu, muncul seorang kakek berjubah kelabu, berambut dan berjenggot putih seperti kapuk, namun wajahnya merah segar seperti wajah orang-orang muda saja, dan mata-nyapun mencolong tajam membuat siapa pun tak sanggup menatapnya lama-lama. Dengan langkah lebar ia menuju ke tengah lapangan, dua orang prajurit yang merintanginya telah disingkirkannya dengan sebuah kibasan ringan dari lengan jubahnya yang rebar itu.
Melihat orang itu, Tong Lam-hou berteriak, "Suhu (guru)! Jangan bunuh prajurit-prajurit yang tak bersalah dan cuma menjalanklan perintah itu!"
Orangtua itu memang bukan lain adalah Tiam-jong-losia Ang Hoan, tokoh tua dari gunung Tiam-jong-san yang jarang sekali muncul di dunia ramai namun memiliki nama yang menggetarkan. Bagi orangtua ini, urusan yang terjadi di dunia ramai yang bagaimanapun juga tidak menarik perhatiannya untuk ikut campur, tapi kalau sudah menyangkut diri Tong Lam-hou.
Maka masalahnya lain lagi. Ia begitu sayang kepada murid satu-satunya itu, sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri karena memang orangtua itulah yang memomong sejak Tong Lam-hou masih berujud bayi merah, di samping ibu Tong Lam-hou sendiri.
Maka ketika seorang anggota Kay-pang dari kota Tayli mengantarkan surat ke puncak Tiam-jong-san, saat itu juga Ang Hoan meninggalkan gunungnya untuk berjalan cepat ke kota Pak-khia yang berlaksa-laksa li jauhnya. Dan ia tiba tepat pada waktunya.
Teriakan Tong Lam-hou untuk tidak membunuh prajurit-prajurit itu dijawab oleh Ang Hoan, "Kalau tidak kubunuh, paling tidak harus kuberi hajaran setimpal dengan mematahkan tangan atau kaki mereka. Keterlaluan sekali menjatuhkan hukuman keji kepada seorang yang berjasa sepertimu, A-hou, hanya karena fitnahan seseorang yang kebetulan punya pengaruh besar di kalangan pemerintahan!"
Mendengar itu, Tong Lam-hou tahu bahwa gurunya agaknya sudah mendengar secara lengkap persoalan yang menimpa dirinya. Dan sambil berbicara itu maka kembali beberapa prajurit sudah ia robohkan. Tidak mati, tetapi hanya berkaok-kaok kesakitan karena ada tulang-tulang mereka yang patah.
Tanpa mendapat rintangan berarti, orangtua itu berhasil mendekati tonggak tempat Tong Lam-hou terikat. Hanya dengan tangannya ia mematah-matahkan borgol kayu di leher dan tangan muridnya, dan rantai-rantai besi itu dirusakkannya seperti benang lapuk saja.
"Suhu, aku sudah ikhlas menerima hukuman ini demi tegaknya hukum kerajaan," kata Tong Lam-hou.
"Kau ikhlas karena kau tolol," sahutnya dengan mendongkol. "Kau ikhlas tapi beribu-ribu orang tidak ikhlas karena hukum ditegakkan tidak dengan mestinya."
Lalu tanpa mempedulikan muridnya setuju atau tidak, Ang Hoan menyeret tangan muridnya itu untuk pergi dari situ. Ketika puluhan prajurit menyerbu mereka, maka guru dan murid itu sama-sama mengerahkan tenaga dalam Han-im-ciang sehingga dalam jarak beberapa tombak dari tubuh mereka ada semacam "perisai" berujud hawa maha dingin yang membuat para prajurit tidak dapat lagi mendekati mereka karena tidak ingin mati membeku.
Bahkan Panglima Kiu-bun Tetok yang berilmu tinggi itupun tidak sanggup mendekati kedua guru dan murid itu. Maka ia pun segera memerintahkan anakbuahnya untuk melempar-lemparkan lembing-lembing dan panah. Namun di hadapan Tiam-jong-losia Ang Hoan, semuanya itu bagaikan permainan anak kecil saja.
Bagaikan dua ekor elang, guru dan murid dari Tiam-jong-san itu melayang meninggalkan lapangan itu. Di luar kota Pak-khia itu banyak pohon cemara, dan mereka berdua bagaikan bagaikan dua ekor tupai meloncat-loncat dari satu pohon ke pohon lainnya, makin lama makin jauh dari jangkauan para prajurit.
Apa yang diperhitungkan oleh Tong Wi-hong memang tepat. Karena yang menolong Tong Lam-hou adalah seorang yang berilmu luar biasa tingginya seperti Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan, maka memang tidak jatuh korban yang berlarut-larut. Yang mati hanya satu prajurit, yaitu algojo yang dikeningnya tertancap sehelai rumput ilalang itu. Sedang pertempuranpun berjalan amat singkat, sebab tidak ada tandingan yang setimpal buat Tiam-jong-lo-sia di tempat itu.
Dengan gemas Kiu-bun Tetok Tam Liong melihat perginya kedua orang itu, sambil menghentakkan kaki ke tanah ia berteriak, "Laporkan kepada Pakkiong Ciangkun!"
Tentu saja yang dimaksudkan dengan Pakkiong Ciangkun adalah Pakkiong An, bukan Pakkiong Liong. Pakkiong An yang tengah berada di gedungnya yang masih bersuasana berkabung, dan dengan dendam "menyala-nyala menunggu berita dimulainya hukuman maha berat buat Tong Lam-hou itu, terkejut bukan kepalang ketika mendengar lolosnya Tong Lam-hou.
Sesaat itu terlongong seperti orang linglung dan tiba-tiba tangannya menyambar sebuah jambangan bunga yang terletak di samping tempat duduknya, dan menghantamkan jambangan bunga itu ke kepala prajurit yang melaporkan hal itu sampai si prajurit sial itu pingsan seketika.
Sebaliknya ketika Pakkiong Liong juga menerima berita itu, hampir saja ia melompat kegirangan. Dia tahu bahwa pamannya yang kecewa itu tentu akan bertindak aneh-aneh untuk melampiaskan kekecewaannya, namun Pakkiong Liong tidak peduli, yang penting Tong lam-hou lolos lebih dulu. Tetapi ia tidak menghentikan usahanya untuk membongkar komplotan Pakkiong An.
Dihubunginya Lim Tong-eng dan "diperintahkannya untuk tetap melanjutkan penyelidikan, tidak peduli Tong Lam-hou sudah bebas dari hukuman. Komplotan Pakkiong An harus dimusnahkan, sebab meskipun kali ini mereka gagal menjatuhkan korban, di kemudian hari masih akan banyak korban fitnahan mereka yang berjatuhan apabila komplotan itu terus bercokol di Ibukota.
* * * * * * *
TONG-LAM-HOU mengajak gurunya lari ke arah barat daya, ia ingin menuju Tiau-im-hong untuk bertemu dengan para pimpinan Hwe-liong-pang yang sudah dikenalnya. Bukan untuk menggabungkan diri atau bahkan menjadi Ketua mereka, melainkan untuk menasehati agar Hwe-liong-pang menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah Manchu. Tidak ada gunanya memperjuangkan suatu keadaan yang dianggap lebih baik, sementara yang ada sekarangpun sebenarnya sudah cukup baik, sedangkan selama memperjuangkan sesuatu yang baru itupun rakyat sudah menjadi korban lebih dulu.
Tong Lam-hou berharap bahwa suaranya sebagai putera Hwe-liong Pangcu Tong Wi-Siang masih sudi didengarkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang, dan setelah itu Tong Lam-hou ingin kembali ke Tiam-jong-san untuk hidup bersama ibunya, sebagai peladang dan pemburu. Hidup miskin namun penuh ketenteraman, dibandingkan hidup di kota Pak-khia yang serba gemerlapan namun di baliknya terdapatlah kebusukan-kebusukan dari orang-orang yang berebut kekayaan dan kekuasaan.
Di tengah jalan, guru dan murid itu berpapasan dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang juga sedang hendak menuju ke Pak-khia. Lalu mereka pun berjalan berempat menuju Tiau-im-hong. Selama dalam perjalanan itu, Tong Lam-hou mengemukakan pikiran-pikiran-nya dan ternyata baik Siangkoan Hong maupun Lim Hong-pin dapat menerimanya.
Pada dasarnya kedua orang itu memang tidak begitu peduli siapa yang memerintah, dari suku apa atau golongan apa, asal dapat mengurus negara dengan becus maka bisa diterima Siangkoan Hong bahkan pernah hidup berpuluh tahun di Jiat-ho (Jehol), kota yang merupakan kampung halamannya orang Manchu sebelum menyeberangi Tembok Besar. Berpuluh tahun hidup bertetangga dengan orang Manchu, merasakan suka duka bersama mereka, sampai Siangkoan Hong sendiri merasa dirinya sudah "setengah Manchu".
Dan selama itu pula ia merasakan bahwa orang Manchu bukanlah "orang-orang biadab" seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Han. Tuduhan yang hanya berdasarkan rasa unggul diri. Orang Manchu merupakan orang-orang yang juga merasakan suka dukanya perang seperti orang Han, karena yang menentukan adalah Kaisar, dan mereka sebagai rakyat harus tunduk jika Kaisar meminta anak-anak laki-laki mereka, suami mereka, kekasih mereka, kakak atau adik mereka, untuk dipersenjatai dan kemudian disurukkan ke tengah-tengah ganasnya peperangan tanpa ada jalan mundur lagi, jauh dari kampung halaman.
Karena itu, Siangkoan Hong menyatakan tidak keberatan jika untuk tahun-tahun berikutnya bangsa Manchu dan bangsa Han harus hidup berdampingan seperti saudara, di bawah satu bendera, peperangan harus berhenti agar orang-orang Han maupun orang-orang Manchu dapat memanggul cangkul mereka ke ladang dengan rasa aman di hati.
Anak-anak kecil bergembira tanpa sebentar-sebentar dikejutkan oleh derap kaki kuda dengan penunggang-penunagangnya yang berwajah garang dan mengayun-ayunkan pedang mereka yang berkilat-kilat. Dengan saling pengertian dari kedua pihak, suasana yang menakutkan itu akan dapat dihentikan.
Sayang, impian Tong Lam-hou yang begitu indah tentang sebuah negara yang damai sejahtera mirip tanpa bunga rasaksa, sulit terwujud-selama di kalangan pemegang kekuasaan di kota Pak-khia masih ada orang Pakkiong An. Seorang yang sadar bahwa dirinya berkuasa, tapi tidak sadar untuk apa kekuasaan itu seharusnya digunakan.
Dengan suara yang gemuruh dahsyat, suatu hari pintu gerbang kota Pak-khia terpentang lebar dan mengalirkan dua-ribu limaratus pasukan berkuda yang berseragam baju kuning, pasukannya Pakkiong An, yang bertugas untuk mengejar Tong Lam-hou dan sekaligus menghancur leburkan Hwe-liong-pang.
Bukan apa, hanya sekedar melampiaskan dendam Pakkiong An yang kehilangan anak laki-laki satu-satunya. Begitu pentingnya pembalasan dendam itu bagi si Panglima tua itu, sehingga tidak peduli andaikata ratusan prajuritnya bakal mampus di peperangan, dan keluarga-keluarga mereka. kehilangan tiang keluarga mereka. Para prajurit toh dibayar untuk berkelahi?
Pasukan berkuda itu hanya merupakan perintis jalan saja, pemimpinnya adalah seorang perwira berpangkat Congpeng bawahan Pakkiong An, bernama Tamtai Au-kha, seorang peranakan Manchu-Mongol yang oleh kaum prajurit sendiri diberi gelar "Panglima berjan-tung iblis" karena kejamnya. Sedangkan ia didampingi oleh belasan jago-jago bayaran Pakkiong An, orang-orang yang gemar mencabut nyawa orang hanya karena upah sekepeng uang.
Di belakang pasukan berkuda itu masih ada pasukan berjalan kaki, juga dari Ui ih-kun yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sepuluh ribu orang yang dipimpin oleh seorang Congpeng lain yang tidak kalah ganasnya dari Tamtai Aukha, bernama Muyong Beng, seorang berdarah Sianbi jauh dekat kutub sana, yang bahkan masih suka makan daging mentah yang dibekukan untuk menjaga kekuatannya.
Kepada kedua Cong-peng itu, Pakkiong An berpesan bahwa mereka bertugas untuk "mengingatkan kembali orang-orang Han bahwa mereka hanya suku taklukan" dan untuk "cara mengingatkannya" terserahlah kepada kedua Congpeng itu. Tentu saja kedua Congpeng yang dasarnya memang berwatak buas itu jadi gembira mendapat tugas semacam itu. Dengan demikian dua gelombang besar pasukan Ui-ih-kun meninggalkan Pak-khia dengan bersamaan, namun sudah terang bahwa pasukan berkudanya Tamtai Au-kha akan tiba ke hadapan musuh lebih dulu.
Agaknya, dengan kedok membalaskan kematian anaknya, Pakkiong An bermaksud pula untuk menyempurnakan pengkhianatannya terhadap Kaisar yang selama ini sudah dipendamnya dalam hati. Untuk itu, Kotaraja Pak-khia harus dikosongkan dulu dari pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar, dan dipenuhi pasukan-pasukan yang sudah di bawah pengaruhnya. Maka dengan bujukan kepada Peng-po Siangsi (Menteri Perang), Pakkiong An berhasil pula 'memberangkatkan’ Pakkiong Liong dengan separuh dari pasukannya, Pasukan Naga Terbang, untuk diperbantukan sebagai pasukan gelombang ketiga.
Menerima tugas itu, tentu saja Pakkiong Lionag menjadi tidak senang. Andaikata Hwe-liong-pang benar-benar memberontak kepada Kerajaan haruskah diperlukan pasukan sebanyak itu untuk menumpasnya? Itu ibarat ingin membunuh nyamuk dengan sebatang gada besi seberat seratus kati, terlalu berlebihan. Tapi lebih dari itu, nalurinya sebagai prajurit telah membisikkan kecurigaan terhadap pamannya sendiri, bahwa semuanya itu hanyalah siasat sang paman untuk mengosongkan Pak-khia dari pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar.
Jika benar-benar Hui-liong-kun keluar dari Pak-khia, maka di Pak-khia hanya tinggal Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana) dan Gin-cian-si-wi (Pasukan Pengawal Kaisar) yang benar-benar setia kepada Kaisar, namun kedua pasukan itu terlalu sedikit jumlahnya meskipun terdiri dari orang-orang berilmu silat tinggi. Pasukan-pasukan lain juga ada, tapi kebanyakan sudah dipengaruhi Pakkiong An, atau berpendirian kurang jelas. Tegasnya, Pakkiong Liong mencemaskan bahwa kekosongan Ibukota itu adalah direncanakan Pakkiong An untuk merebut tahta dengan kekerasan.
Tapi Pakkiong Liong benar-benar tidak dapat menolak perintah, sebab surat perintah itu bukan hanya diberi cap Peng-po Cengtong tapi juga cap dari Kaisar sendiri. Melawan surat perintah itu sama saja dengan melawan Kaisar sendiri, dan itu adalah suatu perbuatan yang sampai matipun Pakkiong Liong tidak akan melakukannya. Karena itu, dengan setengah hati dan kurang bersemangat, Pakkiong Liong berangkat juga bersama pasukannya.
Ia bukan mencemaskan nasib dirinya dan pasukannya di medan laga, tapi justru mencemaskan keadaan di Ibukota yang ditinggalkannya. Kalau benar sampai Pakkiong An merebut tahta, entah bagaimana 'jadinya dengan negeri ini? Karena itu, diam-diam Pakkiong Liong berpesan kepada Ha Toji yang ditinggalkannya di Pak-khia bersama dengan separoh dari pasukannya, agar Ha-Toji mengawasi dengan baik dan bertindak bilamana perlu.
Sementara itu, Tong Lam-hou berempat bersama dengan gurunya, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, belum mencapai separuh perjalanan ke Tiau-im-hong, ketika tiba-tiba mereka mendengar gemuruh derap kaki kuda di belakang mereka. Selama beberapa hari ini memang mereka berjalan dengan santai sambil bercakap-cakap seenaknya, maka dalam waktu beberapa hari saja mereka telah tersusul oleh barisan Ui-ih-kun yang dipimpin oleh Tam-tai Au-kha yang lihai dan kejam itu.
Begitu melihat panji-panji Ui-ih-kun dalam pasukan berkuda itu, maka Tong Lam-hou menduga bahwa dirinyalah yang dikejar. Namun ia pantang melarikan diri, begitu pula Ang Hoan, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, sehingga dalam waktu singkat saja keempat orang itu sudah terkurung pasukan berkuda yang berlapis-lapis.
Jika orang lain yang mengalami hal demikian, boleh jadi lututnya akan gemetar dan mukanya pucat karena terpengaruh oleh wibawa pasukan berkuda itu. Namun Tong Lam-hou bersama gurunya dan dua orang pamannya adalah orang-orang bernyali besar, sehingga dalam kepungan ribuan prajurit itupun mereka tetap menunjukkan sikap tenang.
Tamtai Au-kha yang berwajah runcing dan bermata tajam seperti burung elang itupun memajukan kudanya dan membentak, "Tong Lam-hou dan kau orang tua-tua yang melarikan Tong Lam-hou, menyerahlah untuk kubawa kembali ke Pak-khia!"
Dalam hatinya, kesetiaan Tong Lam-hou terhadap hukum dan Kaisar tidak berkurang sedikitpun, namun ia harus berpikir dua belas kali sebelum pergi sebagai tawanan yang dibawa oleh orang macam Tamtai Au-kha. Selama menjadi perwira kerajaan, Tong Lam-hou sudah kenal beberapa orang perwira dari berbagai pasukan, di antaranya adalah peranakan Manchu-Mongol ini. Seorang yang tidak segan-segan berbuat sekeji apapun hanya mencari muka terhadap Pakkiong An, atasannya.
Andaikata yang menyuruh Tong Lam-hou untuk menyerah itu Pakkiong Liong sendiri, atau Panglima lain yang sudah dikenal kejujurannya, maka dengan senang hati Tona Lam-hou akan mengulurkan tangannya untuk dibelenggu demi tegaknya hokum. Tapi Tamtai Au-kha? Nanti dulu. Sahut Tong Lam-hou,
"Maafkan, saudara Tamtai, hukum Negara dan Kaisar kujunjung tinggi, tetapi haruslah hukum yang ditegakkan berlandaskan kebenaran. Aku menyesali ketololanku sendiri tempo hari ketika aku menyerah begitu saja untuk dihukum, kelihatannya menyerah kepada hukum padahal sebenarnya menyerah kepada nafsu berkuasa Pakkiong An yang melonjak-lonjak menuntut korban demi korban!"
Wajah Tamtai Au-kha merah padam' mendengar jawaban itu, "Kau berani bicara seperti itu tentang Pakkiong Ciangkun ?! Kau tahu siapa dia? Barangkali saat ini, di Ibukota Pak-khia sudah terjadi pergantian Kaisar, dan aku tidak tedeng aling-aling lagi bahwa Pakkiong Ciangkun pasti menang dalam perebutan ini sebab semuanya sudah direncanakan baik-baik!"
Agaknya begitu yakinnya Tamtai Aukha akan kemenangan Panglimanya di Ibukota, sehingga ia tidak merasa perlu lagi untuk menyimpan rahasia itu. Dan bahkan ia bangga karena mengira dirinya sekarang adalah Panglima terpercaya dari Kaisar yang baru.
Sebaliknya Tong Lam-hou terkejut bukan kepalang mendengar pengakuan Tamtai Au-kha itu. Di bawah pimpinan Kaisar Khong-hi, kesejahteraan rakyat sudah mulai meningkat sedikit demi sedikit, meskipun di mana-mana masih ada perlawanan terhadap pemeriritah Man-chu. Tapi kalau Pakkiong An yang jadi Kaisar, maka Tong Lam-hou yakin bahwa negara akan berantakan. Kerusuhan akan berkobar di mana-mana dan ketenteraman yang sudah di ambang mata itu-pun akan semakin kabur kembali seperti awan dihembus angin.
Dengan wajah merah padam, Tong Lam hou menuding Tamtai Aukha yang duduk dengan congkak di pelana kudanya itu. "Jadi... jadi kalian sendiri yang sebenarnya hendak berkhianat kepada Kaisar namun sengaja mengalihkan perhatian terhadap diriku dan Hwe-liong-pang? Sungguh keji!"
Tamtai Au-kha tertawa terbahak-bahak, "Bukan keji tetapi cerdik, hanya orang secerdik Pakkiong Ciangkun yang pantas menduduki singgasana, bukan orang selemah Hian-hua yang kemudian bergelar Khong-hi itu! Dia hanya mewarisi tahta dari ayahnya, dan lagipula sikapnya kepada Hwe-liong-pang terlalu lembek, tetapi jika Pakkiong Ciangkun menjadi Kaisar, lihat saja Hwe-liong-pang kalian bisa berkutik atau tidak?"
"Atas nama Sri Baginda Khong-hi, orang semacam kau harus dilenyapkan!" seru Tong Lam-hou marah. Berbareng dengan habisnya kata-katanya, tubuhnya telah melayang tinggi dengan gerakan Eng-khik-tiang-gong (Elang Menyergap Dari Udara), sepasang tangannya-masing-masing dengan tiga jari yang tertekuk melengkung seperti kuku elang telah menerkam ke pundak kiri kanan dari Panglima itu.
Tamtai Au-kha terkejut melihat betapa cepatnya gerakan Tong Lam-hou, ia memang sering mendenqar kehebatan Tong Lam-hou di medan tempur, tetapi baru kali ini ia mengalaminya sendiri. Bahkan golok yanq sudah terpegang di tangannyapun tak sempat memainkan jurus apapun, yang sempat hanyalah melontarkan dirinya secepat-cepatnya dari atas punggung kudanya, tapi tak urung topinya yang berhias bulu merak itu tersambar juga oleh tangan Tong Lam-hou.
Sementara Tong Lam-hou dalam kemarahannya telah kehilangan pengendalian dirinya. Serangannya yang luput itu mengenai kepala kuda tunggangan Tamtai Aukna, dan tiga buah jari Tong l,am-hou itupun amblas di batok kepala kuda itu. Kuda itu meringkik hebat dan kemudian roboh dengan tiga lubang yang mengalirkan cairan darah dan otak dari kepalanya. Tamtai Au-kha dan pengikut-pengikutnya tergetar hatinya melihat keperkasaan Tong Lam-hou itu.
Tong Lam-hou sendiri dengan geram terus mengejar Tamtai Au-kha, tapi perwira Ui-ih-kun itu tidak sendirian. Begitu Tong Lam-hou menerjang maju, maka dua orang jago sewaan Pakkiong An telah menerjang serempak dari kanan dan kiri dengan meloncat dari punggung kuda. Yang satu bersenjata sebatang kong-pian (ruyung baja) yang dihantamkan ke pelipis dengan sekuat tenaga, yang satu lagi tidak perlu meloncat dari kudanya sebab senjatanya aciaian sebatang tombak panjang yang ditikamkan ke rusuk Tong Lam hou.
Bagaikan seekor harimau luka, Tong Lam-hou dengan tangkas menunduk untuk menghindari kemplangan ruyung ke kepalanya, sementara tangan kanannya dengan tangkas sekali menangkap tangkai tombak dan langsung menyentakkannya ke atas dengan sekuat tenaga. Begitu hebat tenaganya, sehingga ketika penyerang dari atas kuda itu ngotot mempertahankan tombaknya, maka malah tubuhnya sekalian ikut terangkat dan terbanting dari atas punggung kudanya.
Dengan tombak rampasannya, Tong Lam-hou meloncat ke atas punggung kuda yang ditinggalkan Tamtai Au-kha tadi, sehingga sekarang kedudukannya menjadi sama kuat dengan musuh-musuhnya. Dengan tombak panjang yang diputar kencang, ia bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayapnya, kegarangannya menjadi berkali lipat.
Sementara itu, Ang Hoan, Siang-koan Hong serta Lim Hong-pin, tiga orang tokoh sakti yang jauh di atas kemampuan prajurit-prajurit biasa itu dengan mudah merampas kuda bagi diri mereka masing-masing seekor. Dan ketika di tangan merekapun masing-masing tergenggam senjata, jadilah mereka bertiga seperti serigala-serigala kelaparan di tengah kerumunan kambing-kambing gemuk, daiam sekejap saja beberapa lapis terdepan dari prajurit-prajurit musuh sudah jungkir-balik.
"Tangkap hidup atau mati para pengacau ini!" teriak Tamtai Au-kha dengan geram kepada pasukannya yang berjumlah duaribu lima ratus prajurit itu, semuanya mahir bertempur di atas kuda. Dia sendiri sudah mendapatkan seekor kuda pengganti karena kudanya telah "dipinjam" oleh Tong lam-hou.
Dengan demikian di tempat itu terjadilah pertempuran berkuda yang amat sengit Dari segi jumlah, perbandingan antara dua pihak sungguh sangat menyolok, empat lawan duaribu limaratus, tapi ternyata duaribu limaratus itu tidak dapat segera memenangkan pertempuran, sebab keempat orang yang hendak mereka tangkap itu memiliki bobot sendiri-sendiri yang tidak ringan.
Dua orang adalah bekas tokoh-tokoh tertinggi dalam Hwe-liong-pang, tokoh ketiga dan keempat di bawah urutan Ketua mereka dulu, sebagai pewaris-pewaris ilmu Bu-san Jit-kui yang kepandaiannya luar biasa dan bahkan berbumbu ilmu gaib.
Seorang lagi adalah Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang sejak puluhan tahun yang lalu sudah menduduki urutan pertama dari tokoh-tokoh sakti di kolong langit, dan seorang lagi adalah murid kesayangan Tiam-jong lo-sia yang di medan-medan perang terkenal dengan sebutan Si Harimau dari Selatan.
Masih untung, para prajaurit yang kebentur Tong Lam-hou, sebab anakmuda itu betapapun juga masih tidak tega membabati nyawa prajurit-prajurit yang hanya menjalankan perintah Pakkiong An itu. Tapi bagi Ang Hoan, Siangkoan Hong serta Lim Hong-pin, tiga orang yang dapat digolongkan sebagai "setengah sesat" itu, membunuh bukan hal yang terlalu memberatkan hati mereka.
Mereka berpendapat, jika nyawa sendiri terancam, maka lebih baik si penyeranglah yang mampus. Dengan demikian bergelimpanglah tubuh-tubuh tak berdaya di sekitar ketiga orang yang ternyata juga cukup tangkas berkelahi sambil melarikan kuda mereka itu. Bahkan lama kelamaan, Tong Lam-hou sendiripun mulai panas hatinya dan ujung tombaknyapun mulai mencabut nyawa beberapa prajurit.
Menghadapi musuh yang begitu banyak yang tanpa kenal ampun terus menyerbu seperti orang-orang mabuk, terlalu berbelas-kasihan hanya akan merugikan diri sendiri. Maka diatas kudanya yang berlari kencang menerobos ke sana kemari, Tong Lam-hou berubah seperti malaikat maut yang dengan semena-mena mencabuti nyawa korban-korbannya.
Patukan tombaknya hampir-hampir tak pernah meleset menghunjam ke perut atau leher lawan, sementara tangkai tombaknya juga tidak kalah berbahaya sebab dapat meretakkan pelipis kepala atau mematahkan tengkuk lawan.
Setiap kal ia menyambar dengan kudanya yang berlari kencang, maka satu prajurit roboh, bahkan kadang-kadang dua atau tiga sekaligus. Demikian pula Gurunya serta kedua pamannya. Melihat begitu banyak korban, Tong Lam-hou merasa tak tega juga. Ia pikir, yang harus dibekuk lebih dulu adalah Tamtai Au-kha sebagai kepala perangnya. Kalau orang itu sudah berhasil dilumpuhkan pula tanpa bertambahnya korban lebih banyak lagi.
Namun Tong Lam-hou mengumpat-umpat dengan gemas ketika melihat bagaimana Tamtai Au-kha selalu berlindung di balik pengawalan kuat anak buahnya, dan selalu menghindari kemanapun dikejar.
"Tamtai Au-kha, jangan jadi banci seperti itu!" teriak Tong Lam-hou sambil mencoba menerjang ke arah pemimpin musuh itu. "Kau korbankan anakbuahmu untuk menyelamatkan dirimu sendiri? Hayo keluar dan ladeni aku bertempur tigaribu jurus, supaya aku yakin bahwa nama besarmu di peperangan bukan bualan belaka!"
Demikian Tong Lam-hou mencoba memanas-manasi hati Tamtai Au-kha agar terpancing keluar dari kerumunan peng-awal-pengawalnya, namun rupanya perwira bawahan Pakkiong An itu bermuka cukup tebal. Tantangan Tong Lam-hou itu tidak dihiraukannya, sebab ia sadar bahwa dirinya bukan tandingan dari si Harimau Selatan yang garang itu. Ia hanya mengandalkan jumlah anakbuahnya yang sangat banyak, yang lama-lama tentu akan melelahkan musuh-musuhnya itu.
Dan untuk itu ia tidak perlu memperhitungkan berapa ratus nyawa piagu-ritnya yang bakal amblas, toh di belakang mereka masib ada pasukan gelombang kedua yang gauh lebih banyak. Bagi orang berjantung iblis seperti Tamtai Au-kha, nyawa prajurit tidak pernah dianggapnya sebagai nyawa manusia, melainkan hanya sebagai barang kebutuhan saja. Kalau habis, ya ambil lagi.
Dan perhitungan Tamtai Au-kha itu memang cukup jitu, Betapapun tinggi ilmu keempat musuhnya itu, tapi lama kelamaan mereka kewalahan juga harus menghadapi, musuh yang seolah-olah tak habis-habisnya itu. Dirobohkan satu, muncul dua orang. Dirobohkan dua orang, empat orang menggantikannya, demikian seterusnya sehingga tangan mereka terasa pegal-pegal karena terlalu beradu senjata dengan musuh.
Dan prajurit musuhpun bukan makanan makanan empuk yang menyerahkan lehernya begitu saja untuk dibantai, meskipun ilmu mereka tidak tinggi, namun satu persatu dari mereka cukup tangkas juga bertempur di atas kuda. Keempat orang itupun mulai mandi keringat.
Sedangkan pedang-pedang yang harus mereka tangkis dan mereka balas, mereka juga harus waspada terhadap lembing atau panah yang mereka lemparkan, apalagi di antara perwira-perwira musuh ada pula orang-orang yang mahir melempar-lemparkan senjata rahasia berbagai jenis seperti hui-to (golok terbang) yang berar aan gampang dilihat, sampai jarum-jarum bunga sakura (Bwe-hoa-ciam) yang lembut dan sukar dilihat.
Meskipun Ang Hoan adalah guru Tong Lam hou dan ilmunyapun paling lihay di antara empat orang itu, namun usianya yang hampir seratus tahun itu mempengaruhi kekuatan tubuhnya juga. Sudah sejak tadi dia telah mengerahkan Han-im-ciang yang berhasil membuat belasan prajurit Ui-ih-kun mati membeku tapi ilmu itu memerlukan banyak tenaga sehingga akhirnya tenaganyapun mulai menurun.
Dengan napas agak terengah ia berhasil menangkis seorang prajurit berkuda yang menerjang dengan kampak, bahkan membabatnya sehingga prajurit itu roboh dengan lambung terluka. Tapi sebatang lembing yang meluncur dari belakang tak sempat dihindari dan sempat menancap di pundak orang tua itu, sehingga tubuhnya miring dan hampir saja roboh dari kudanya.
Terlukanya Ang Hoan itu merupakan suatu isyarat bagi Tong Lam-hou, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bahwa apabila mereka nekad bertahan terus di tempat itu maka mereka akan tertumpas habis meskipun bersama mereka akari gugur pula ratusan prajurit musuh.
Tapi kalau hendak kabur, lalu kabur kemana? Di sekeliling tempat yang kelihatan hanyalah prajurit-prajurit musuh yang berkuda, berlapis-lapis mengepung mereka berempat, sementara ujung-ujung senjata mencuat rapatnya seperti daun ilalang di padang. Bendera yang berkibar-kibar, kuda-kuda yang meringkik gelisah, gomerincing senjata, semuanya benar-benar mirip dengan sebuah benteng baja yang meng elilirigi Tong Lam-hou dan kawan-kawannya.
Sedangkan usaha Tong Lam-hou untuk meskipun puluhan orang yang merintanginya sudah dirobohkan, tapi ia tidak dapat juga mencapai Tamtai Au-kha yang memang sengaja menghindarinya itu. Tong Lam-hou melarikan kudanya ke dekat gurunya, sambil bertanya, "Suhu, beratkah lukamu?"
Wajah Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan nampak pucat menahan sakit, tetapi ia tidak mau membuat hati muridnya merasa kuatir, sehingga diapun menjawab sambil tertawa, "Lembingnya sudah kucabut dan ternyata hanya melukai kulitku. Aku masih sanggup bertempur, tapi lebih baik selamatkan dirimu lebih dulu."
Tong Lam-hou terharu mendengar itu. Kasih sayang gurunya kepada dirinya sama besarnya dengan kasih sayang seorang ayah kepada puteranya, di saat dirinya terlukapun Tiam-jong-lo-sia masih tidak memikirkan dirinya sendiri dan malahan memerintahkah muridnya untuk menyelamatkan diri lebih dulu.
Sudah tentu Tong Lam-hou tidak sudi menyelamatkan airi sendiri dengan meninggalkan Guru dan kedua pamannya. Teriaknya, "Suhu, paman Siangkoan dan paman Lim, kita menerjang ke utara!"
Di sebelah utara memang terlihat sebuah lereng bukit yang agak terjal dan ditumbuhi banyak pohon, dengan demikian Tong Lam-hou mengharap bahwa di tempat itu gerakan pasukan berkuda Tamtai Au-kha akan dipersulit, sedangkan bagi dirinya berempat yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup mahir, tempat itu akan lebih menguntungkan.
Tapi sementara itu Tamtai Au-kha juga sudah berteriak kepada pasukannya, "Perkuat kepungan di sebelah utara!"
Tong Lam-hou yang gelisah karena kuatir akan luka di pundak gurunya yang terus meneteskan darah dan akan berbahaya jika tidak segera dirawat itu, menjadi habis sabarnya ketika melihat prajurit-prajurit Tamtai Au-kha bagaikan kesetanan terus merintanginya mencapai lereng bukit itu. Diputarnya tombaknya sambil berteriak, "Saudara-saudara, meskipun aku bukan lagi prajurit seperti kalian tapi aku masih segan untuk membantai rumput. Karena itu minggirlah, biarlah kami berlalu!"
Beberapa prajurit menunjukkan wajah ragu-ragu, namun beberapa prajurit sama sekali tidak menghiraukan teriakan Tong Lam-hou itu sebab mata mereka sudah digelapkan janji-janji hadiah yang dijanjikan Pakkiong An buat siapa saja yang berhasil membunuh Tong Lam-hou. Janji dan seorang "Calon Kaisar" yang dipercaya sungguh-sungguh oleh prajurit-prajurit itu, sehingga dengan demikian lupalah prajurit-prajurit itu akan ilmu mereka yang rendah berhadapan dengan Tong Lam hou yang garang. Ibaratnya telur membentur batu, namun toh "telur-telur" lainnya terus berdatangan untuk mencoba menggempur sang "batu".
Menghadapi mereka, tidak ada jalan lain bagi Tong Lam-hou kecuali memutar senjatanya dengan kencang untuk menyibakkan jalan. Di atas kudanya yang mendesak maju, Tong Lam-hou memutar tombaknya seperti angin prahara yang menghembus pepohonan. Satu persatu prajurit-prajaurit yang merintanginya ditikam roboh sehingga ujung tombaknya bagaikan dicat merah, jumbai benang-benang merah di dekat kepala tombakpun telah menjadi lekat karena basah oleh Tong Lam-hou bertindak sebagai pembuka jalan bagi paman-paman dan gurunya.
Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak tinggal diam pula. Mereka bertindak sebagai "sayap-sayap" kanan dan kiri Tong Lam-hou untuk mengapit Ang Hoan yang teruka di tengah-tengah. Dengan susunan seperti itu, mereka mengikuti Tong Lam-hou untuk mendesak ke utara, betapapun pepatnya rintangan ke arah sana. Sedangkan Ang Hoan sendiri ternyata tidak sudi diperlakukan seperti seorang sakit berat di bawah perlindungan para jururawat, orangtua itu justru memajukan kudanya ke depan untuk keluar dari perlindungan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, dan kemudian mendapingi muridnya yang tengah mencari jalan itu.
"Hati-hati dengan lukamu. Suhu!" teriak Tong Lam-hou yang cemas melihat jubah Suhunya di bagian kiri berlumuran darah.
Tapi Ang Hoan menjawab dengan garang, "Huh, masakan cecurut-cecurut ini mampu membunuh aku?" Dan sambil menjawab dia mengayunkan pedangnya, dua prajurit terjungkal dari atas kudanya.
Demikianlah, meskipun keempat orang itu berjuang habis-habisan untuk bisa lolos dari kepungan, tapi kepungan yang berlapis-lapis itu sungguh mustahil untuk bisa diterobos. Tewasnya berpuluh prajurit tidak terasa berarti buat seluruh pasukan yang terdiri dari ribuan orang itu. Setiap jengkal Tong Lam-hou dan teman-temannya berhasil maju, namun tenaga yang diperasnyapun cukup banyak, sementara pasukan musuh bagaikan gelombang pantai yang terus menghantam tak henti-hentinya.
Jika bagian depan pecah, gelombang kedua sudah siap meneruskan gempuran, di belakangnya lagi masih ada gelombang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Ujung-ujung senjata bagaikan tak terhitung banyaknya bersambaran dari segala penjuru. Bukan saja pedang dan tombak, tapi juga panah, lembing yang dilontarkan dan juga senjata rahasia yang bagaikan hujan lebat. Kini yang luka bukan cuma Ang Hoan, tetapi keempat-empatnya sudah luka semuanya.
Tamtai Au-kha, melihat dengan seringai kejamnya bagaimana keempat orang itu nampak mulai kelelahan, dan baju-baju mereka mulai merah oleh darahnya sendiri. Teriaknya memberi semangat kepada anakbuahnya, "Gempur terus! Keempat orang itu sudah kehabisan tenaga!"
Begitulah Tamtai Au-kha berteriak-teriak "gempur terus" tapi dia sendiri berada di tempat yang aman dalam lindungan pengawal-pengawalnya. Yang mempertaruhkan nyawa adalah anakbuahnya, tapi di Pak-khia nanti yang menerima pujian atau kenaikan pangkat sudah tentu dirinya sendiri.
Ketika Tong Lam-hou dan guru serta kedua pamannya sudah hampir putus-asa dan hampir saja memutuskan cara terakhir "Boleh mampus asal membawa korban sebanyak-banyaknya di pihak lawan", maka terjadilah suatu perkembangan yang membesarkan hati.
Dari lereng bukit di utara itu tiba-tiba terdengar suitan nyaring beberapa kali berturut-turut, masing-masing melengking tinggi namun nadanya berbeda-beda. Jelas suitan-suitan itu dilontarkan oleh orang-orang yang berbeda-beda pula. Menyusul itu, dari lereng bukit itu nampak ada puluhan titik-titik hitam yang meluncur turun dan langsung menerjang ke arah barisan musuh. Jumlah penyerang dari lereng bukit itu tidak banyak, barangkali tidak lebih dari duapuluh orang, namun terjangan mereka ternyata cukup membuat pasukan musuh jadi tergoncang sejenak.
Di satu bagian, kelihatan seorang penunggang kuda yang berpakaian seperti gembala-gembala ternak di daerah Su-coan, lengkap dengan sepatu jerami, rompi dari kulit kambing, dan ikat kepala yang berwarna putih. orang itu dengan wajah dingin tanpa perasaan mengayun-ayunkan sebatang golok yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit, tipis namun tajam berkilat-kilat. Sementara tangan kirinya dengan tangkas memegang kendali kudanya dengan sangat mahir.
Caranya mengayunkan golok sabitnya sungguh luar biasa, gerakannya begitu lugu dan sederhana tidak menuruti saja ilmu silat dari aliran apapun, namun sabetan-sabetannya begitu cepatnya sehingga setiap kali goloknya bergerak maka hanya terlihat seleret garis keperak-perakan sekejap mata dan tahu-tahu musuhpun sudah terbelah tubuhnya. Begitu cepatnya.
Begitu seorang prajurit musuh mengangkat pedang atau tombaknya hendak menyerangnya, maka pada saat senjata musuh masih terangkat itu golok sabitnya sudah berkelebat lebih dulu ke bagian tubuh musuh yang tak terjaga. Bila yang menyerang dua musuh sekaligus, dengan lincah orang itu menggerakkan kudanya untuk menghindar kemudian secepat kilat berbalik dan merobohkan musuhnya satu demi satu.
Dengan demikian barisan musuh yang diterjang oleh orang itu menjadi agak kacau. Orang itu bukan lain adalah Auyang Siau-pa, si Jing-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijau) dari Hwe-liong-pang. Kecepatan goloknya sangat terkenal sehingga kabarnya dia dengan sekali tebas sanggup membelah tubuh tiga ekor lalat yang sedang terbang.
Di sebelah lain, nampak Lam-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) In-Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) juga telah membasahi goloknya yang sepasang itu dengan darah prajurit-prajurit musuh. Atau Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) bu Siong dengan pukulan seribu katinya menghajar terpental setiap prajurit musuh yang berada di dekat nya. Di tengah riuhnya perkelahian itu dia tetap bertangan kosong dan lebih mengandalkan sepasang tinju besinya untuk mengobrak-abrik barisan musuh.
Selain itu nampak pula Tongcu-tongcu Hwe-liong-pang lainnya menyerbu dari berbagai arah, ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam) Kwa Teng-siong dengan sepasang belatinya yang tidak kalah tangkasnya meladeni pedang atau tombak musuh yang jauh lebih panjang, nampak pula Siau-lo-cia (Si Dewa Kecil) Ma Hiong yang kali ini tidak bersenjata Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan) karena dianggapnya terlalu pendek dalam pertempuran berkuda, kini ia memain kan sebatang golok tan-to yang berputar dahsyat di sekitar tubuhnya bagaikan baling-baling terhembus prahara.
Nampak pula Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) Ji Tiat, Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim yang kali ini terpaksa bersenjata sebatang toya meskipun tendangan geledeknya masih saja sering dilontarkan dari kedudukannya di atas pelana. Di ujung sana seorang tua bungkuk dan kurus ternyata mampu membuat barisan musuh kalang-kabut dengan sepasang pedangnya, dialah Tiat-jiau-tho-wan (Si Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng, Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning).
Bagaimanapun hebatnya kepandaian ke delapan orang Tongcu Hwe-liong-pang itu, sudah tentu mereka hanya berdelapan saja tidak akan sanggup menerobos barisan barisan berkudanya Tamtai Au-kha yang ribuan orang, dan sejelek-jeleknya mereka tapi merekapun prajurit-Prajurit yang telah pernah mengalami latihan-latihan berat. Karena itu, ke delapan Tongcu itupun tidak dapat segera menerobos ke tengah untuk bergabung dengan Tong Lam-hou dan teman-temannya, antara mereka dengan Tong Lam-hou masih terpisah barisan prajurit berkuda yang amat banyak.
Apalagi kemudian pajurit-prajurit Ui-ih-kun itu bertindak cukup cerdik, mereka tidak lagi melawan para Tongcu yang lihai itu dengan satu persatu melainkan tiap beberapa orang membentulj. sebuah regu kecil yang secara serempak berusaha membendung sepak terjang para Tongcu itu. Siasat itu lumayan berhasil, sehingga para Tongcu itu sekarang maju setapak demi setapak dengan berat sekali. Tapi dengan gigihnya para Tongcu itu maju terus demi menyelamatkan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin sebagai pemimpin mereka.
Namun ternyata para Tongcu Hwe-liong-pang itu, tidak sendirian. Ketika mereka gagal untuk maju lebih lanjut, maka dari lereng bukit itu kembali terdengar suitan, dan muncul pula puluhan orang dengan pakaian aneka warna menyerbu ke pasukan Ui-ih-kun. Kali ini orang-orang itu tidak berkuda, namun dari gerak-gerik mereka yang tangkas ketika berloncatan menuruni tebing, jelaslah bahwa mereka orang-orang yang berilmu pula. Bahkan orang-oranq yang paling depan dari mereka seolah-olah bukan meloncat, namun terbang meluncur begitu saja.
Paling depan, nampak seorang lelaki setengah tua berpakaian serba putih dengan pedang di tangannya, dia bukan lain adalah Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, paman kandung dari Tong Lam-hou. Pendekar itu gerakannya nampak belum begitu tangkas, agaknya masih terganggu oleh luka-lukanya yang didapatnya di Pak-khia tempo hari. Dia didampingi oleh seorang perempuan berpakaian ringkas yang tangan nya memegang sepasang senjata yang disebut Hau-thau-kau (kaitan Kepala Harimau), dan dua orang anakmuda yang bersenjata pedang.
Perempuan setengah baya dan kedua orang anak muda itu tidak pernah jauh dari Tong Wi-hong, sebab kuatir akan si walet perak yang belum benar-benar sembuh itu. Mereka bukan lain adalah isteri Tong Wi-hong yang bernama Cian Ping serta dua orang putera mereka yang bernama Tong Hoa-tiong Cian Hoa-seng, sepasang kakak beradik seayah dan seibu tetapi memakai nama she (nama marga) yang berbeda.
Selain Tong Wi-hong dan keluarganya, kelihatan pula adik Tong Wi-hong yaitu Tong Wi-lian yang bersenjata sehelai selendang merah serta suaminya, Tiang Bun, yang bersenjata golok dan juga puteri mereka, Ting Hun-giok, yang bersenjata golok pula seperti ayahnya. Kelihatan pula Gin-hoa-ki-am (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng dari Hoa-san-pay, serta keponakan muridnya yang tinggi besar dan bertangan kidal, Sebun Him, yang mengamuk seperti seekor beruang yang sedang marah.
Masih ditambah dengan segerombolan orang berpakaian compang camping dan tambal-tambalan yang bersenjata tongkat panjang, mereka anggota-anggota Kay-pang (Serikat Pengemis) yang dipimpin seorang pengemis bertubuh gemuk bulat dan bermuka putih gemuk, tampang yang sebenarnya kurang cocok untuk menjadi pengemis, tampang yang cocok untuk bandar judi. Dialah Sun Ciok-peng yang dengan tongkat besinya menerjang ke tengah barisan musuh tanpa kenal takut.
Begitulah, kalau yang muncul Kedelapan Tongcu Hwe-liong-pang saja, tentunya tidak akan banyak mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Tapi setelah muncul pula orang-orang lainnya yang semuanya berilmu tinggi, maka pasukan berkuda pimpinan Tamtai Au-kha itupun mulai goncang. Biarpun prajurit prajuritnya yang gugur cuma satu demi satu, tapi kalau terus-terusan akan habis juga.
Apalagi kemudian muncul pula puluhan orang yang terdiri dari macam-macam jenis. Ada pendeta gundul, ada pendeta berambut panjang, ada imam To, ada pula orang-orang biasa namun kesamaan mereka adalah bahwa semuanya kelihatan tangkas dan berilmu cukup lihay. Kembali pasukan Tamtai Au-kha menjadi panik mendapat terjangan itu.
Meskipun pengemis-pengemis itu tidak berkuda dan harus menghadapi lawan-lawan yang menunggang kuda, namun mereka ternyata cukup cerdik untuk menghadapi lawan. Pengemis-pengemis itu lebih dulu menghantam kaki kaki kuda musuh sartibil berjongkok, sementara seorang temannya melindunginya dan kemudian menggebuk setiap kali prajurit musuh itu jatuh dari kudanya.
Tapi pengemis-pengemis itu juga harus berhati-hati terhadap terjangan kaki-kaki kuda yang sengaja diarahkan kepada mereka, selain terhadap panah-panah dan lembing-lembing musuh yang dilontarkan dengan cukup terarah.
Dengan datangnya bala bantuan buat Tong Lam-hou dan teman-temannya, maka Tamtai Au-kha merasa bahwa pasukan berkudanya menemui hambatan yang tidak kecil. Meskipun jumlah lawan-lawannya tidak lebih dari seratus orang, tapi rata-rata mereka adalah orang-orang pilihan yang setiap orangnya senilai dengan sepuluh atau lima belas prajurit biasa.
Dilihatnya bagaimana seorang Hweshio berambut panjang memutar senjata Hong-pian-jan dengan kencangnya, sehingga prajurit-prajurit yang diterjangnya berhamburan seperti daun-daun kering saja, karena hweshio itu agaknya bertenaga sangat besar. Bahkan sempat dilihatnya bagaimana hweshio itu menyambar sepasang kaki depan seekor kuda yang masih ada penunggangnya, lalu diputar-putarnya di atas kepalanya seringan orang memutar-mutar seekor kucing saja, dan kemudian dilemparkan ke tengah kerumunan prajurit prajuritnya yang lain.
Akhirnya Tamtai Au-kha sadar bahwa jika dipaksakan, meskipun pasukannya yakin bisa memusnahkan orang-orang itu, namun paling tidak separoh dari pasukannyapun akan ikut musnah pula. Deretan nama-nama seperti Tong Lam-hou, Ang Hoan, Siang-koan Hong, Lim Hong-pin, Tong Wi-hong, Auyang Seng, Bu-gong Hweshio, Sun Ciok peng Sebun Him serta delapan orang Tongcu Hwe-liong-pang itu benar-benar sama kekuatannya seperti sebuah pasukan yang tangguh...
Selanjutnya;