Pendekar Naga dan Harimau Jilid 44
Karya : Stevanus S.P
ALANGKAH geramnya Muyong Beng melihat hal itu. Nafsunya untuk menghancur-leburkan orang-orang hwe-liong-pang malam itu juga ternyata tidak bakal terkabul. Bagaimanapun marahnya, tapi sebagai kepala perang yang berpikiran luas, ia sadar bahwa jika dipaksakan untuk maju maka laskar musuh akan berbalik mendapatkan kemenangan, cukup dengan mengguling-gulingkan balok-balok dan batu-batu yang entah berapa banyak persediaan mereka. Muyong Beng tidak ingin pasukannya musnah karena itu. Maka betapapun geram hatinya, iapun menyerukan aba-aba untuk mundur.
Tidak usah diulang untuk kedua kalinya, pasukan Ui-ih-kun yang memang sudah sudah kelelahan itu segera menarik diri dan kemudian membuat perapian di padang rumput bekas arena pertempuran itu. Bahkan Muyong Beng juga memerintahkan untuk mengawasi sisa-sisa bukit sebelah utara, barat dan selatan untuk menjaga jangan sampai laskar Hek-ku-nia kabur lewat arah arah itu. Kalau melihat gerakan laskar Hek-ku-nia, pengawas-pengawas itu harus memberikan isyarat yang ditentukan.
"Kenapa tidak kita kepung saja, Ciangkun?" tanya Tamtai Au-kha kepada atasannya itu.
“Keliling bukit ini cukup panjang, kalau pasukan kita harus mengepungnya maka kepungan itu akan rapuh sekali sebab pasukan kita tidak cukup banyak untuk itu."
"Tadi kenapa Ciangkun agak terlambat menerjunkan pasukan berkuda ke arena?" tanya Tamtai Au-kha lagi. "Andaikata kami diterjunkan lebih pagi, tentu bangsat-bangsat Hwe-liong-pang itu sudah hancur sekarang.”
“Sore ini pun mereka sudah hampir hancur, hanya diselamatkan oleh tenggelamnya matahari...”
"...dan juga balok-balok kayu serta batu-batu itu," sambung Muyong Beng gemas. "Mundur di siang hari atau mundur di sore hari, mereka tetap akan menggunakan benda-benda keparat itu. Lagipula tadinya aku memperhitungkan bahwa cukup dengan pasukan berjalan kaki saja mereka akan bisa digilas habis. Tak terduga ternyata mereka begitu ulet. Kita harus membuat perhitungan yang lebih cermat bila ingin menang."
Ketika diadakan penghitungan kembali pasukan Ui-ih-kun untuk mengetahui seberapa besar kekuatan yang besok masih bisa dikerahkan ke medan, ternyatalah hampir sepertiga dari pasukan berjalan kaki itu sudah gugur atau luka-luka berat sehingga jelas tidak bisa berkelahi lagi. Selain prajurit-prajurit biasa, hari itu Ui-ih-kun juga telah kehilangan beberapa perwira-perwira berilmu tinggi, atau jagoan-jagoan andalan mereka.
Tong-hai siang-sat (Sepasang Pembunuh dari Laut Timur) Thia Peng dan Thia Hong sudah bertamasya ke neraka, sebab mereka keliru memilih lawan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dari Hwe-liong-pang, malahan dua perwira yang membantu merekapun ikut-ikutan mampus. Hui-tho-koay (Siluman Bungkuk Terbang) Ki Koat agaknya cukup setia kawan dengan rekan-rekannya dari lautan timur itu, meskipun kematiannya melalui tangan yang berbeda, yaitu lewat tangan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin.
Dari empat jagoan tingkat tinggi yang dibawa Muyong Beng dari Pak-khia itu, tinggal Im-kan-hong-kui To Hok-leng yang nyawanya masih alot, namun orang itu pun kelihatan lesu dan murung, sikapnya tidak tidak segarang kemarin hari. Di peperangan tadi, nyawanya hampir saja amblas oleh pedang Sebun Him kalau saja ia tidak ditolong oleh beberapa perwira Ui-ih-kun.
Suasana muram bukan hanya di kubu pasukan Ui-ih-kun yang di luar dugaan gagal memperoleh kemenangan, tapi juga meliputi kubu orang-orang Hek-ku-nia. Di dalam kubu, orang-orang Ki-lian-pay yang berwajah sedih mengerumuni jenazah Ketua mereka, The Toan-yong, yang gugur di ujung tombak Muyong Beng yang lihay. Orang-orang Kay-pang kehilangan dua orang tokohnya, Pek Siau-thian yang terbunuh oleh Muyong Beng pula, dan Sun Ciok-peng yang terpenggal kepalanya oleh To-hok-leng.
Hwo-liong-pang harus merelakan keper-gian Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning) Kwa Heng yang berjuluk Tiat-jiau-thb-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi), sementara seorang Tongcu lainnya, Ya-hui-miao (si Kucinu Mala.n) Kwa Teng-siong menderita luka-luka berat sampai tidak bisa bangkit dari pembaringannya. Namun rata-rata semangat orang-orang Hek-ku-nia itu tetap tinggi, bahkan entah siapa yang mulai, orang-orang itu banyak yang mengikatkan kain merah ke kepala mereka sebagai tanda siap berkorbar. sampai titik darah terakhir.
Malam itu juga, Siangkoan Hong menunjuk seorang anggota Hwe-liong-pang yang cukup menonjol kepribadiannya dan masih muda pula, baru duapuluh enam tahun, bernama Yu Leng-hoa untuk menduduki jabatan Ui-ki Tongcu agar tidak kosong dengan meninggalnya Kwa Heng. Yu Leng-hoa dikenal sebagai bekas murid Khong-tong-pay, dan mahir dalam memainkan sepasang Gun-goan-pay (Perisai Berpingggiran Tajam), keberaniannya juga sudah terbukti dalam berbagai peristiwa.
Sehingga pengangkatannya sebagai Ui-ki Tongcu itu tidak menimbulkan banyak keberatan. Sedang Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) untuk sementara akan dipimpin oleh Hek-ki Hutongcu (Wakil Tongcu Bendera Hitam) Lamkiong San yang berjulukan Jian-li-hui-eng (Elang Terbang Seribu Li) karena kemahirannya dalam ilmu meringankana tubuh dan berjalan jauh.
Begitulah suasana di Hek-ku-nia, selain yang gugur, di barak itu juga berjajar-jajar mereka yang luka dan perlu mendapatkan perawatan. Mereka tahu barangkali ada teman-teman mereka yang luka dan tidak sempat dibawa mundur, tertinggal di medan perang, namun dengan menyesal orang-orang Hek-ku-nia tidak bisa mengambil teman-teman mereka itu, sebab sekeliling bukit diawasi dengan ketat oleh prajurit prajurit Ui-ih-kun. Menurut hukum perang, sebenarnya petugas perawatan orang sakit dari kedua pihak diperkenankan mengambil orang-orang yang terluka tanpa boleh diganggu.
Tapi itu hanyalah berlaku antara prajurit-prajurit, sedang dalam pandangan Muyong Beng, orang-orang Hek-ku-nia itu cuma gerombolan liar yang tidak pantas membicarakan aturan perang segala. Karena itulah Muyong Beng membiarkan orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak sempat dibawa teman-temannya itu, dibiarkannya mati sendiri tanpa belas kasihan sedikitpun.
Dalam suasana murung di Hek-ku-nia itu, Sebun Him dibicarakan orang sebagai "bintang lapangan" karena keberhasilannya menandingi To Hok-leng, tokoh golongan hitam yang terkenal kelihaiannya dan keganasan itu. Tentu saja Sebun Him menjadi sangat bangga mendengar cerita-cerita tentang dirinya itu, dan setiap kali ia berbicara dengan teman-temannya maka tidak lupa ditambah-tambahinya ceritanya sehingga jauh lebih hebat dari cerita yang sebenarnya, tentu saja dengan nada yang "rendah hati".
Tapi dengan mendongkol Sebun Him melihat bahwa cerita kehebatan dirinya itu sedikitpun tidak menarik perhatian Ting Hun-giok. Dilihatnya gadis itu malahan sedang duduk di pojok barak, sambil membalut lengan Im Yao yang terluka dalam perang tadi.
Gerutu Sebun Him dalam hatinya, "Perempuan gila itu agaknya menganggap si bandit Kui-kiong lelaki paling hebat di dunia, lebih dari segala-galanya. Dasar katak dalam sumur. Dalam pertempuran besok pagi, aku akan menunjukkan kehebatanku lebih dari hari ini biar mata semua orang bisa mem-bandingkan apa yang terjadi, siapa aku siapa Im Yao."
Ketika tengah malam tiba, baik pesanggrahan Ui-ih-kun maupun orang-orang Hek-ku-nia berangsur-angsur menjadi sunyi. Sebagian besar dari orang-orang kedua belah pihak telah mulai tertidur karena kelelahan, kecuali sebagian kecil yang bertugas untuk berjaga-jaga mengawasi keadaan.
Namun di kaki bukit sendiri, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga seperti sesosok hantu gentayangan saja. Lalu orang itu berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bekas ajang pertempuran yang masih berbau darah, meskipun mayat-mayat sudah dikuburkan secara sembarangan di pinggir hutan itu. Berkali-kali orang itu menarik napas seolah-olah berusaha melemparkan keluar sebuah beban berat yang menekan hatinya.
Terdengar orang itu bergumam sendirian, "Pakkiong An di Pak-khia tentu tidak melihat sendiri akibat-akibat perang ini, meskipun dia yang memerintahkan serangan ini. Dalam pesta pora di istananya yang indah, diladeni pelayan-pelayan yang cantik-cantik, mana bisa ia membayangkan bahwa di sini banyak yang merintih karena pedihnya luka-luka?"
Orang itu bukan lain daripada Tong Lam-hou, si perwira pelarian dari Pak-khia. Meskipun ia telah memisahkan diri dari rombongan paman kandungnya dan para pendekar lainnya, karena merasa ada perbedaan pendapat dengan mereka, sebenarnya Tong Lam-hou tidak pergi jauh-jauh. Diam-diam ia terus membayangi rombongan pendekar itu untuk melihat gerak-gerik mereka, kalau perlu mencegah apabila mereka hendak merugikan perdamaian, tidak peduli di antara mereka terdapat paman kandungnya, bibi kandungnya, saudara-saudara sepupunya, adik-adik seperguruan ayahnya dan sebagainya.
Namun yang dilihatnya kemudian malah berbeda. Bukan para pendekar itu yang mendahului merusak perdamaian, tapi malah pasukan kerajaan, pasukannya Pakkiong An. Sejak dari Pak-khia, Tong Lam-hou memang sudah tahu bahwa Pakkiong An sangat getol menghasut Kaisar untuk mengeluarkan perintah penghancuran terhadap Hwe-liong-pang, dan sekarang ini Tong Lam-hou tidak dapat memastikan apakah pasukan itu menyerbu karena perintah Kaisar ataukah karena kemauan Pakkiong An sendiri?
Dan apa maksud perkataan Tamtai Au-kha yang didengar oleh Tong Lam-hou beberapa hari yang lalu, yang mengatakan bahwa saat itu gerakan Pakkiong An di Ibukota pasti sudah berhasil? Gerakan apa? Merebut tahta seperti yang didesas-desuskan?
Di tengah dataran yang berumput yang sunyi dan masih berbau darah itu, Tong Lam-hou duduk termangu-mangu di atas sebungkah batu sambil bertopang dagu dan berpikir keras. Bagaimana caranya menghentikan pertempuran agar korban tidak berjatuhan lebih banyak lagi? Baik korban berupa orang orang Hek-Ku-nia maupun yang berupa prajurit-prajurit rendahnn Ui-ih-kun, bagi Tong Lam-hou sama berharganya dan harus dihindari sejauh-jauhnya. Mereka sama-sama tidak bersalah, yang bersalah adalah biang keladi dari peperangan itu. Dan biang keladinya berada jauh di Pak-khia sana.
Ketika mata Tong Lam-hou menatap kelap-kelip perapian di perkemahan laskar Ui-ih-kun sana, timbul niatnya untuk berjalan kesana dan menyerahkan diri untuk dibawa ke Kotaraja Pak-khia, bukankah peperangan ini diakibatkan oleh dirinya yang lari dari Pak-khia? Tapi kemudian Tong Lam-hou menggeleng-gelengkan kepalanya, jalan itu tidak menjamin bahwa pasukan Ui-ih-kun ditarik dari kaki bukit itu. la kenal betul orang-orang macam apa Muyong Beng dan Tamtai Au-kha itu, orang-orang yang belum puas apabila belum mengadakan penghancuran besar-besaran.
Meskipun Tong Lam-hou menyerahkan kedua tangannya untuk dirantai dan digiring ke Pak-khia, tapi Muyong Beng pasti tidak akan membatalkan penghancurannya kepada orang-orang Hek-ku-nia, dengan demikian pengorbanan Tong Lam-hou akan sia-sia belaka. Orang seperti Mu-yong Beng gemar melihat tumpukan mayat manusia atau aliran darah yang menganak sungai, dan udara perang yang dihirupnya akan membuatnya segar.
Lalu Tong Lam-hou menoleh ke atas bukit di mana terdapat kelap-kelip api pula. Ataukah dirinya bergabung saja dengan orang-orang Hwe-liong-pang untuk melawan kelaliman Pakkiong An? Tapi dipikir-pikir cara itupun kurang baik. Jika Hwe-liong-pang bisa mengalahkan Ui-ih-kun, persoalan tidak selesai begitu saja namun malahan akan berkepanjangan, sebab salah-salah Hwe-liong-pang akan dianggap memberontak, sama dengan Jit-goat-pangnya Pangeran Cu Leng-ong dulu, dan hal itu hanya akan memancing lebih banyak pasukan yang dikirim dari Pak-khia untuk menghancurkannya.
Jika pihak Hwe-liong-pang mendapat dukungan pula dari orang-orang anti Manchu yang masih banyak jumlahnya di seluruh negeri, maka benar-benar akan berkobar perang besar seperti di jaman Li Cu-seng dulu. Siapa menang siapa kalah belum diketahui, tapi sudah jelas bahwa rakyat bakal menjadi korban paling dulu.
Jalan itu jelas tidak dikehendaki Tong Lam-hou yang tiap hari me-mimpikan perdamaian di seluruh negeri, memimpikan persaudaraan sederajat antara Han dan Manchu dan bahkan dengan suku-suku perbatasan lain. Bagaimanapun juga Hwe-liong-pang berhak membela diri apabila diperlakukan sewenang-wenang, hendak ditumpas begitu saja tanpa tuduhan yang jelas.
Dalam bingungnya, Tong Lam-hou hanya duduk termangu-mangu sekian lama tanpa tahu apa yang mesti diperbuat nya. Dia adalah seorang laki-laki yang biasanya dapat mengambil sikap tegas dengan cepat, tetapi kali ini hampir semalam suntuk otaknya terasa buntu. Dan tengah, ia melamun, ia dikejutkan oleh suara kokok-ayam jantan, dan cahaya kemerahan yang merekah di ufuk timur.
"Fajar tiba, pembunuhan besar-besaran akan dimulai lagi," keluh Tong Lam-hou seorang diri, namun tak ada yang mendengarkannya. ''Sementara aku belum menemukan jalan keluarnya." Karena tidak ingin diketahui oleh kedua belah pihak yang sama-sama punya kecurigaan terhadap dirinya, maka Tong Lam-hou pun bangkit dari duduknya, dan dengan beberapa kali loncatan saja ia telah menghilang ke dalam hutan.
Sementara di kedua kubu dari pihak yang bermusuhan itu telah terjadi kesibukan masing-masing untuk mempersiapkan diri menghadapi hari yang bakal datang. Perut diisi dengan kenyang, meskipun barangkali perut itu akan dilubangi oleh pedang musuh di peperangan nanti. Senjata-senjata disiapkan.
Sebagai prajurit yang cukup terlatih, pasukan Ui-ih-kun dapat mempersiapkan diri dengan cepat. Pasukan berkuda Tam-tai Au-kha akan ikut bertempur namun tidak dengan kuda-kuda mereka, sebab Muyong Beng memperhitungkan bahwa laskar Hek-ku-nia pasti tidak akan berani menuruni bukit, mereka pasti hanya akan bertahan di atas bukit sambil memanah, melemparkan lembing atau mengguling-gulingkan balok-balok kayu dan batu seperti kemarin.
Dengan demikian maka pihak Ui-ih-kunlah yang harus memahjat naik ke lereng apabila ingin menggempur habis mereka. Tapi Muyong Beng tidak ingin pasukannya habis ludes di kaki bukit hanya karena balok-balok dan batu-batu, maka ia telah mengatur siasat untuk itu. Pasukannya dibagi dalam tiga bagian, yang menerjang dari lereng depan justru yang kekuatannya paling kecil, tujuannya tak lain hanya mengalihkan perhatian laskar Hek-ku-nia.
Tapi dua bagian lagi akan menyergap dari lereng utara dan lereng selatan, lereng yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar sehingga jika musuh menyerang dengan balok-balok kayu dan batu-batu maka prajurit-prajurit akan bisa berlindung. Selain itu, prajurit-prajurit Ui-ih-kun dipersenjatai dengan panah-panah berapi yang dapat membakar barak Hek-ku-nia yang sebagian besar terdiri kayu dan ijuk itu.
Sebelum hari menjadi terang, kedua pasukan yang akan menyerang dari utara dan selatan itu berangkat lebih dulu supaya gerakan mereka tidak terlihat dari atas bukit. Di pihak Hek-ku-nia yang dipimpin Tong Wi-hong, gerakan pasukan Ui-ih-kun itu sama sekali tidak mereka duga. Bagaimanapun cerdasnya Tong wi-hong, dia bukan seorang panglima perang dan cara berpikirnyapun tidak seperti orang yang terdidik dalam ilmu perang.
Dalam hal ilmu silat, boleh jadi dia mengungguli Muyong Beng, namun dalam ilmu mengatur barisan perang jelaslah pendekar Tay-beng itu tidak dapat menandinginya. Para pendekar selalu berpikir menurut norma-norma persilatan, sementara para panglima perang dapat menggunakan siasat apapun untuk memenangkan pertempuran.
Karena itu, alangkah kagetnya laskar Hek-ku-nia ketika mereka sedang bersiap-siap tahu-tahu pasukan musuh sudah menyerang dari dua arah. Segera mereka menggulingkan balok-balok kayu dan batu-batu serta melepas panah dan lembing. Namun kali ini serangan mereka banyak yang gagal, sebab banyak balok kayu dan batu yang tertahan oleh pohon-pohon besar yang banyak tumbuh di lereng utara itu.
Prajurit-prajurit Ui-ih-kun dengan mudah dapat berlindung dibalik pepohonan, bahkan kemudian dengan tidak kalah derasnya mereka membalas dengan panah-panah biasa berujung tajam. Beberapa prajurit gugur, tapi lebih banyak prajurit Ui-ih-kun yang berhasil mencapai kaki dinding barak yang terbuat dari kayu-kayu besar yang ditanam berjajar rapat di tanah itu. Dengan kampak-kampak mereka, para prajurit itu mencoba merusak dinding itu.
Sementara itu panah-panah berapi yang dilepaskan telah menimbulkan kebakaran di bagian barak. Beberapa laskar Hek-ku-nia yang bertahan diatas dinding barak telah terjungkal karena tubuh mereka terpatuk panah atau lembing Ui-ih-kun. Dan kepanikan itu bertambah-tambah ketika dari arah selatan juga muncul hujan panah berapi, sementara balok-balok dan kayu yang mereka gulingkan tidak banyak membawa hasil karena rapatnya pepohonan, hanya berhasil membunuh beberapa orang prajurit yang terlambat mengambil perlindungan.
Tong wi-hong dan lain-laian pendekar mencoba mengatasi kepanikan itu dengan mengatur perlawanan. Berteriak-teriak sampai kerongkoanannya hampir jebol, barulah ia berhasil membagi orang-orangnya dengan agak teratur, sebagian memadamkan api, sebagian mengadakan perlawanan.
Sementara itu, Muyong Beng ketika melihat kobaran api dan keributan di atas bukit, segera merasa sudaha tiba waktunya untuk bertindak. Ia segera pimpin pasukannya untuk menyerbu naik. Memang ada balok dan batu yang digelundungkan, tetapi tidak segencar kemarin, dan merupakan rintangan yang nyaris tak berarti bagi Muyong Beng dan orang-orangnya itu.
Ia didampingi oleh im-kan-hong-kui To Hok-leng yang memutar kampak besarnya dengan rapat untuk menghalau panah-panah yang tertuju ke tubuhnya. Bahkan batu-batu sebesar kambingpun kadang-kadang dihantam dengan Tong Wi-hong dan lain-lain pendekar mencoba mengatasi kepanikan itu dengan perlawanan.
kampaknya sehingga terpental beberapa langkah. Melihat itu prajurit-prajurit Ui-ih-kun menjadi amat bersemangat dan seperti rekan-rekan mereka di utara dan selatan, mereka juga memanah dengan panah berapi. Bu-gong Hweshio yang berdiri di atas dinding barak di bagian yang diserang Muyong Beng itupun melihat betapa hebatnya kekuatan To Hok-leng, sehingga hwesio yang juga bertenaga besar ini menjadi gatal tangannya.
Diambilnya sebongkah batu sebesar kambing, diangkatnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan, kekuatannya, lalu dilemparkannya ke arah To Hok-ieng Sambil berteriak, "Orang yang bersenjata kampak, terimalah hadiahku!"
Demikianlah watak ksatria Bu-gong Hweshio, meskipun dalam peperangan ia tetap memberi peringatan kepada lawannya, sebab batu yang dilontarkannya itu melayang bersama batu-batu yang lain sehingga bisa-tidak terlihat oleh musuh.
To Hok-leng memang terperanjat sekali ketika merasa ada sebutir batu besar melayang ke arahnya dengan suara menderu dan jauh lebih pesat dari batu-batu lainnya. Jelas pelemparnya adalah orang yang berilmu tinggi. Namun To Hok-leng merasa malu kalau harus menghindari lemparan itu, maka iapun memasang kuda-kuda dengan kaki yang kokoh, lalu dengan mengerahkan tenaganya pula ia mengayunkan kampaknya untuk menangkis batu istimewa itu.
Kekuatan si pelempar batu maupun penerimanya memang hebat, sehingga batu itulah yang tidak sanggup menahannya. Batu itupun pecah berkeping-keping menjadi gumpalan-gumpalan kecil sebesar kepala kambing. Meskipun kuda-kuda To Hok-leng agak tergempur dan dadanya terasa agak nyeri, tapi tak urung keberhasilan To Hok leng itu memancing sorakan gemuruh dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun.
Lalu gembong golongan hitam itu meletakkan kampaknya dan iapun memungut sebutir batu yang hampir sama besarnya dengan "hadiah" Bu-gong Hweshio tadi, dikerahkannya tenaganya dan sekejap kemudian batu itupun melesat ke arah Bu-gong Hweshio yang berdiri di atas dinding barak itu. Deru angin dahsyat menyertai luncuran batu itu.
"Pendeta busuk, terimalah balasanku!" teriak To Hok-leng.
Bu-gong Hweshio ketika melihat itu timbul niatnya untuk memamerkan kelihaiannya untuk membangkitkan semangat laskarnya. Ia terkenal dengan ilmu Jian-kin-cun-tui (Palu Sikut Seribu Kati)nya, maka disingsingkannya lengan baju kanannya dan dengan siku tangan kanannya ia menyambut luncuran batu besar itu. Bukan dengan senjata Hong-pian-jan yang malahan diletakkan disampingnya.
Dan terbelalaklah mata To Hok-leng dan prajurit-prajurit Ui-ih-kun ketika melihat batu itu pecah menjadi kepingan-kepingan kecil, lebih kecil dari kepingan-kepingan yang terkena kampak To Hok-leng, sehingga orang bodohpun bisa menyimpulkan bahwa kekuatan Bu-gong hweshio setingkat lebih tinggi dari To Hok-leng. Apalagi Bu-gong Hweshio hanya menggunakan siku tangan sedang To Hok-leng menggunakan kampak besar.
Kekalahan kemarin dari Sebun Him masih terasa memberati hati To Hok leng, dan kini sekali lagi ia melihat ada orang lain yang selihai itu. Diam-diam semangatnya merosot lagi beberapa bagian namun tidak diperlihat kaanyaa di depan Muyong Beng. Meskipun secara perorangan, barangkali tokoh-tokoh di Hek-ku-nia lebih lihai dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun, tapi jumlah yang banyak ikut mempengaruhi juga.
Pasukan Ui-ih-kun yang terus menyerbu seperti semut itu tidak tertahan seluruhnya hanya dengan panah dan lembing, apalagi karena balok-balok kayu dan batu-batu besar di pihak Hek-ku-niapun habis persediaannya. Maka prajurit Ui-ih-kun semakin berhasil mendekati dinding barak yang hanya terbuat dari kayu itu.
Beberapa prajurit bertubuh kuat segera menggunakan kampaknya untuk merusak pintu gerbang vang tertutup rapat itu. Mendobrak pintu gerbang dengan cara biasanya, yaitu dengan mengangkat sebatang balok kayu besar yang beramai ramai dibawa lari dan disodokkan ke daun pintu, tidak mungkin dilakukan, sebab jalan di harapan pintu gerbang itu tidak lurus dan tinggi rendahnya-pun tidak rata sehingga tidak mungkin ancang-ancang dapat dilakukan.
Dari atas pintu gerbang, Bu-gong Hweshio serta beberapa tokoh lainnya dengan cemas melihat betapa prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu semakin berhasil merusak pintu. Bu-gong Hweshio tidak sabar lagi, tanpa menunggu perintah lagi, tiba-tiba ia berkata, "Biar’ aku cegah kawanan kuku garuda itu merusak pintu sebelum semuanya terlambat!"
Habis berkata demikian tubuhnyapun melompat ke bawah sambil memutar senjata Hong-pian-jannya. Perbuatan yang sungguh mengejutkan rekan-rekannya di atas dinding, sebab Bu-gong Hweshio sama saja dengan menerjunkan dirinya ke tengah-tengah ribuan prajurit musuh. Dua pendeta Siau-lim-pay lainnya, Bu-sian dan Bu-teng Hweshio yang masing-masing bersenjata toya besi itu, tidak membiarkan saudara seperguruan mereka mengadu nyawa seorang diri di bawah sana. Maka bagaikan burung-burung garuda yang perkasa dan menyambar dari langit, merekapun berturut-turut menerjunkan diri ke bawah dinding.
Turunnya Bugong Hweshio serta kedua saudara saudara seperguruannya keluar dinding itu tidak sempat dicegah oleh orang-orang di atas dinding, dari atas dinding ilu mereka melihat bagaimana ketiga rahib itu sudah mulai memutar senjata masing-masing untuk menghajar prajurit-prajurit yang mencoba merusak pintu. Namun prajurit-prajurit itupun segera dilindungi oleh teman-teman mereka, sehingga bertempurlah mereka.
Bu-gong Hweshio sambil menggeram marah segera menyerang Muyong Beng yang bersenjata tombak panjang itu. Keduanya segera berkelahi dengan sengit di depan pintu gerbang. Bu-sian dan Bu-teng Hweshio juga telah memutar toyanya masing-masing untuk menyerbu ke tengah-tengah "lautan" prajurit musuh, seperti dua ekor singa terluka menerjang kawanan kambing.
Orang-orang di atas dinding itu menggeleng-gelengkan kepala melihat tandang ketiga saudara seperguruan dari siau-lim-pay itu. Salah seorang bergumam, "Siau-lim-pay dianggap sebagai kubangan naga dan gua harimau, kiranya bukan omong kosong belaka. Tiga orang muridnya inipun bukan saja berilmu tinggi tetapi juga bernyali besar."
Orang yang berdiri di sebelahnya menyahut, "Wah, Bu-sian dan Bu-teng Hweshio itu dalam pergaulan sehari-hari nampak lemah lembut dan tidak kelihatan kegarangannya sama sekali, tapi kini lihatlah, mereka bisa mengamuk sehebat itu."
"Apakah akan kita laporkan kepada Tong Tay-hiap?'
"Tidak usah, biar akupun terjun ke bawah."
Kedua orang yang bercakap-cakap itu menoleh kepada orang yang menyahut itu, dan ternyata adalah Lam-ki Tongcu In Yong.
"Maksud In Tongcu bagaimana?"
"Daripada terkepung di dalam barak yang sudah terbakar, lebih baik kita mencoba menerjang keluar selagi masih ada kesempatan," sahut In Yong. "Siapa ikut aku?"
"Aku, saudara In," seseorang menyahut. Dialah Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng dari Hoa-san-pay.
Maka kedua orang itupun terjun ke bawah, menggabungkan diri dengan Bu-gong Hweshio bertiga untuk mempertahankan pintu gerbang yang hendak di-rusak dari luar itu. Waktu itu keadaan dalam barak memang semakin merepotkan, api menyala di mana-mana sehingga orang-orang yang terluka terpaksa diungsikan ke sebuah lapangan luas di tengah barak yang tidak terjangkau api. Tetapi dinding barak sebelah utara sudah berhasil dirobohkan oleh prajurit kerajaan dan merekapun membanjir masuk seperti air menjebol bendungan, di bawah pimpinan Tamtai Au-kha.
Pertempuran jarak pendek segera berkobar di jalan-jalan, di lorong-lorong, di sela sela bangunan barak itu. Nampaklah Tong Wi-hong didampingi oleh isterinya, kedua puteranya, iparnya, adik perempuannya dan juga Ting Hun-giok serta Im Yao, gigih membendung gelombang serangan musuh itu. Namun karena jumlah musuh yang amat banyak maka merekapun terdesak mundur selangkah demi selangkah, meskipun merekapun berhasil membabat puluhan prajurit musuh.
Bertempur berdampingan dengan ayah ibunya serta pamannya, apalagi kekasihnya, maka Ting Hun-giok bersemangat sekali. Tapi bagaimanapun bersemangatnya dia harus tetap bergeser mundur terus. Saat itu datanglah Ui-ki Tongcu Hwe-liong-pang yang baru saja diangkat kemarin malam, Yu Leng-hoa bersama Pek-ki Tongcu Oh Yun-kim yang langsung saja menerjunkan diri ke arena.
Di belakang mereka ikutlah puluhan pejuang yang campur aduk terdiri dari orang-orang Hwe-liong-pang, Jing-liong pang, Kay-pang, Ki-lian-pay dan berbagai golongan lainnya yang juga langsung menerjunkan diri tanpa kenal takut. Semuanya memakai secarik kail merah untuk mengikat kepala mereka, menandakan tekad mereka untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Boleh gugur tapi harus membawa korban sebanyak-banyaknya dari pihak musuh.
Di pihak musuh, Tamtai Au-kha si peranakan Mongol-Manchu yang terkenal keganasannya di medan perang sehingga sering dijuluki Kui-sim Ciang-kun (Kepala Perang Berhati Iblis) itu, membuktikan bahwa julukannya tidak keliru. Dengan pedang yang sudah merah oleh darah lawan-lawannya, ia memimpin orang-orangnya untuk mendesak terus, berapapun korban di pihak lawan atau kawan tidak dipedulikannya. Ia sendiri mendapatkan kegembiraannya dengan mengayunkan pedangnya kesana kemari.
Tapi "kegembiraan" si panglima berhati iblis itu terhenti ketika di hadapannya muncul seorang anak muda yang tanpa tanya apa-apa lagi langsung menikamkan pedangnya ke leher Tamtai Au-kha. "Siapa kau, anakmuda? Nampaknya kau bukan orang sembarangan!" bentak Tamtai Au-kha sambil memiringkan tubuhnya untuk mengelak tikaman itu.
Tapi anak muda itu dengan kelincahan seekor burung walet telah melejit ke samping dan pedangnyaapun ikut menebas ke samping dengan gerakan yang lincah tapi mantap. Sambil menjawab, "Tong Hoa-tiong, putera Tong Wi-hong dari Tay-beng!"
"Oh, kau puteranya si pemberontak itu? Baik, aku akan meringkusmu sekalian!"
Keduanya segera bergebrak sengit di tengah-tengah hiruk-pikuknya ratusan orang yang berkelahi serta suara gemeretaknya barak yang tengah di makan api. Meskipun usia Tong Hoa-tiong masih muda, namun kemantapan ilmu pedangnya ternyata boleh juga, berkat gemblengan ayahnya sejak ia masih kecil.
Gerakannya mantap, lengannya kokoh kuat namun pergelangan tangannya justru lemas sehingga mampu menggerakkan pedang seperti seekor ular yang membelit-belit licin, tapi di lain saat sang ular berubah menjadi seekor burung walet yang lincah beterbangan. Tamtai Au-kha harus bekerja keras untuk menghadapi anakmuda dari Tay-beng ini.
Waktu itu, keadaan sudah sangat kacau sehingga kedua belah pihak tidak lagi menggunakan bentuk-bentuk barisan perang yang tersedia di buku-buku ilmu perang. Semuanya berkelahi dimana saja mereka bertemu dengan musuh. Bahkan orang-orang yang terluka tetapi masih dapat berdiri, telah memegang senjata dan siap menantikan mu-duh meskipun musuh belum sampai ke tempat mereka.
Pasukan Ui-ih-kun membanjir masuk dari dinding-dinding barak yang berhasil mereka rusakkan dari utara dan selatan. Orang-orang Hek-ku-nia bertahan gigih di dalam barak, meskipun mereka jumlahnya kalah jauh namun dengan semangat tempur yang menyala-nyala mereka tidak gampang dikalahkan. Untuk mengalahkan mereka, agaknya pihak Ui-ih-kun harus mengadakan pengorbanan besar-besaran dari prajurit mereka.
Siangkoan Hong tokoh paling tinggi kedudukananya dalam Hwe-liong-pang saat itu, kelihatan mengamuk dengan hebatnya. Dapat dikatakan bahwa setiap gerakan yang dilancarkan dengan kaki atau tangannya tentu merobohkan seorang musuh. Sepuluh gerakan, sepuluh musuh pula yang roboh. Gerakannya terlalu cepat untuk diikuti mata prajurit-prajurit musuh, dan setiap sentuhan ujung kaki atau tangannya akan berarti remuknya tulang-tulang di bagian badan yang tersentuh itu.
Maka porak-porandalah pasukan Ui-ih-kun yang diterjang olehnya. Namun prajurit musuh terus membanjir datang tak habis-habisnya. Ilmu silat yang bagaimanapun saktinya yang pernah diciptakan manusia, tidak ada yang bisa digunakan untuk melawan kerubutan ribuan manusia. Karena itulah Siangkoan Hong lama kelamaan terasa kelelahan juga. Bahkan ia mulai menggunakan ilmunya yang disebut Jit-mo-tiau-goat-sin-hoat (Ilmu Sakti Tujuh Hantu Menyembah Kem-bulan) warisan Bu-san-jit-kui.
Terdengar mulutnya menggumamkan mantera aneh dalam bahasa yang aneh pula, lalu prajurit-prajurit musuh kebingungan melihat tubuh Siangkoan Hong tiba-tiba terpecah menjadi tujuh sosok yang semuanya bergerak sendiri-sendiri secara berlain-lainan. Yang enam adalah bayangan semua dan yang asli hanya satu, namun tidak mudah membedakan yang asli dan yang palsu.
Kadang-kadang seorang prajurit menikam sosok tubuh "Siangkoan Hong" yang didekatnya, namun yang ditikamnya itu ternyata tembus seperti segumpal asap saja, dan Siangkoan Hong yang asli dengan mudah menghantam kepalanya dari belakang.
Tapi Siangkoan Hong sendiri tidak lengah, andaikata tombak dan pedang para prajurit musuh itu benar-benar mengenai tubuhnya, maka kulitnya akan robek benar-benar, sebab ia tidak menguasai ilmu kebal. Di sini terlihatlah bahwa keluarnya ilmu Jit-mo-tiau-goat-sin-hoat itu karena Siangkoan Hong benar-benar sudah terdesak, sehingga ia perlu menggunakan ilmu gaibnya itu untuk membingungkan lawannya.
Di bagian lain, pewaris Bu-san-jit-kui lainnya, Lim Hong-pin, juga sudah melakukan hal yang sama. Tujuh bayangan tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar musuhnya, menjatuhkan banyak korban tetapi toh prajurit musuh terus membanjir-seperti kesetanan.
Sementara itu, pertempuran di bagian depan gerbang yang tertutup, antara Bu-gong Hweshio dan beberapa rekannya yang mencoba menghadang prajurit prajurit musuh yang mencoba merusak pintu gerbang, masih berlangsung sengit sekali. Rata-rata pakaian Bugong, Bu-sian, Bu-teng Hweshio serta In Yong dan Auyang Seng berlima sudah kotor, oleh darah. Bukan darah musuh saja namun juga darah mereka sendiri karena luka-lukanya. Tapi mereka berlima masih saja mengamuk hebat, membabat siapa saja yang berani mendekati ke arah mereka.
Bu-gong Hweshio nampaknya berhasil mendesak Muyong Beng. Namun apa artinya kemenangan seorang atas seorang lainnya dalam pertempuran besar-besaran, macam itu? Bu-gong Hweshio hanya berharap bila ia berhasil membunuh Muyong Beng maka pasukannya akan kocar-kacir kehilangan pimpinan. Perhitungan yang terlalu sederhana dari seorang pendekar rimba persilatan yang sama sekali tidak tahu seluk-beluk peperangan . Lagipula Muyong Beng bukan seorang yang berilmu silat rendahan, namun memiliki ilmu tombak yang cukup berbahaya dan dikuasainya dengan baik.
Waktu itu, laskar Hek-ku-nia yang berdiri di atas dinding sudah tidak nampak lagi. Semuanya sudah dikerahkan ke bawah untuk melawan musuh yang jauh lebih banyak. Sedangkan prajurit-prajuritnya Muyong Beng yang bertugas merusak pintu itupun sudah berhasil membuat lubang besar dengan kampak-kampak mereka. Maka dengan dahului oleh perwira-perwira berilmu silat tinggi yang memegang perisai di depan tubuh mereka, merekapun menyerbu masuk lewat lubang itu. Di antara mereka terlihat To Hok-leng ikut menerobos masuk.
Pertempuran baru segera berkobar di balik pintu gerbang yang dengan sia-sia sudah dicoba untuk dipertahankan oleh Bu-gong Hweshio berlima itu. Begitu berada di dalam, kampak besar To-hok-leng kembali terayun menyebarkan irama maut dan beberapa korbanpun jatuh bergelimpangan. Tapi ia tidak bisa mengumbar nafsu haus darahnya sepuas hati, sebab ia bertemu lagi dengan musuhnya yang kemarin juga.
Sebun Him, si pendekar muda bertangan kidal dari Hoa-san-pay yang sedang getol-getolnya mengangkat nama besar buat dirinya sendiri. Di tangan kirinya tergenggamlah pedangnya yang lebih besar, lebih tebal dan lebih panjang dari pedang ukuran biasanya, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
"Kemarin pertempuran kita terlalu singkat waktunya sehingga aku tidak sempat memenggal kepalamu," kata Sebun Him dingin. "Sekarang akan kutuntaskan pekerjaanku yang kemarin belum Belesai."
Hati To Hok-leng bergetar karena kemarin ia sudah merasakan betapa lihainya anak muda itu. Tapi di hadapan sekian banyak kawan maupun lawan, sudah tentu To Hok-leng sebagai gembong golongan hitam terkenal tidak sudi menunjukkan rasa takutnya kepada Sebun Him yang munculnya di dunia persilatan belum genap setahun itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera melompat ke depan dengan jurus Hek-hau-tiau-kan-(Macan Hitam Meloncati Parit) di mana mata kampaknya menebas tegak ke dada Sebun Him.
Ketika Sebun Him meloncat mundur maka ia lanjutkan dengan Hek-hou-teng-san (Macan Hitam Naik ke Gunung), dengan tubuh setengah berjongkok ia gerakkan kampaknya untuk menebas leher lawan dari bawah ke atas. Tapi lagi-lagi Sebun Him dapat mengelakkannya dengan loncatan pendek, dan detik berikutnya pedang Sebun Himlah yang bergulung melibat lawannya.
Meskipun semangat tempur To Hok-leng tidak sebesar kemarin, tetapi kalau sudah menyangkut urusan keselamatan nyawa, terpaksa iapun mempertahankan dirinya dengan sungguh-sungguh. Tapi ia sadar bahwa Sebun Him benar-benar merupakan lawan yang sulit diatasinya. Dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, dengan mengandalkan tenaga besarnya dia selalu berusaha membenturkan senjatanya ke senjata lawan agar kedudukan lawan rusak.
Namun kali ini ia tidak bisa berbuat demikian, sebab itu sama saja dengan mencari penyakit. Sedang dalam hal kecepatan gerakpun dia ternyata kalah dari lawannya yang muda itu, sehingga dalam beberapa puluh jurus saja ia sudah terdesak oleh Sebun Him.
Tapi gambaran pertempuran Sebun Him dengan To Hok-leng itu bukan gambaran yang mewakili medan perang secara keseluruhan. Di bagian manapun, laskar Hek-ku-nia terdesak mundur setapak demi setapak, meskipun mereka sudah bertahan sekuat tenaga, dan para pendekar berilmu tinggipun sudah mengerahkan segenap kemahiran mereka masing-masing. Namun untuk maju setapak demi setapakpun pihak Ui-ih-kun harus berjuang maha keras, setiap jengkal tanah mereka rebut dengan berpuluh-puluh korban di pihak mereka.
Dimedan sebelah timur, Tong Wi-hong dan lain-lainnyapun sudah terdesak sehingga dari semua arah laskar Hek-ku-nia bagaikan "digiring" ke tengah barak untuk dimusnahkan di situ. Dalam hiruk-pikuknya pertempuran hebat itu, Ting Hun-giok telah terpisah dari rombongan ayah ibunya, pamannya dan saudara-saudara sepupunya. Seorang diri ia terjebak di sebuah lorong, kiri kanannya adalah barak-barak yang sudah terbakar, sementara dari depan dan dari belakang prajurit-prajurit musuh terus menyerbu.
Sambil mengertak gigi, gadis itu memutar goloknya yang sudah berwarna merah darah itu, belasan musuh sudah dirobohkannya. Tapi gadis itupun mulai kelelahan, keringat membasahi seluruh wajah dan tubuhnya, sementara tangannya yang memegang golok mulai terasa pegal-pegal dan gerakannyapun tidak mantap lagi, sementara musuh kelihatannya tidak semakin berkurang tetapi malahan semakin banyak.
Yang membuat Ting Hun-giok merasa ngeri bukanlah kematian, bahkan andaikata tubuhnya tercincang hancur sekalipun, melainkan ketika melihat sikap prajurit-prajurit yang mengepungnya itu sangat kurang ajar. Yang terancam bukan cuma nyawanya tetapi juga kehormatannya.
"Jangan lukai, tangkap dia hidup-hidup! teriak seorang perwira setengah tua yang hidungnya merah dan matanya berair, menandakan orang yang memanjakan nafsunya. "Dia masih perawan dan tentu lebih hebat mainnya dari perempuan di kota Wan-cuan dulu!"
Prajurit-prajurit lainnyapun tertawa-tawa sambil mengeluarkan kata-kata cabul yang memerahkan telinga Ting Hun-giok. Namun prajurit-prajurit itu juga harus berhati-hati sebab di tangan Ting Hun-giok masih ada sebatang golok yang salah-salah bisa menggorok leher mereka. Ada dua rekan mereka yang mampus tersambar golok ketika mencoba merayu gadis itu.
Sementara itu Ting Hun-giok bisa mengertak gigi dengan geram sambil melawan mati-matian. Jika menuruti perasaan kewanitaannya, tentu ia ingin menangis dan menjerit sepuasnya untuk melampiaskan kepepatan hatinya, tapi ia mengerti bahwa jika ia berbuat demikian maka lawan-lawannya akan semakin senang menggangunya.
Karena itulah Ting Hun-giok bertekad melawan mati-matian, kemudian jika sudah tidak sanggup melawan lagi barulah ia akan menggigit lidahnya sendiri sampai mati. Lebih baik mati daripada tubuhnya dijadikan sasaran pesta pora prajurit-prajuritnya Pakkiong An itu.
"Kuda betina ini agak binal juga, thongleng (tuan perwira)!" teriak seorang prajurit sambil enangkis golok Ting Hun-giok dengan perisainya.
"Aku justru senang, semakin binal akan semakin mengasyikkan untuk menungganginya!" sahut perwira berhidung merah itu. Namun kemudian tempa: itu digetarkan teriakan kesakitan dari prajurit yang menyebut Tong Hun-giok dengan sebutan, "kuda b|tina" tadi. Sebab di saat perisainya menangkis golok gadis itu dari atas, maka tanpa terlihat tahu-tahu kaki Ting Hun-giok sudah melayang dan mendarat keras di antara kedua pahanya sampai mengeluarkan suara berdetak keras. Dalam hal ilmu menendang, Ting Hun-giok sudah mendapat gemblengan ibunya yang ahli dalam soal menendang itu, sehingga tendangannya kali inipun langsung membuat prajurit itu terjungkal dengan wajah pucat.
Entah hanya pingsan entah langsung mampus, tapi Ting Hun-giok tidak sempat memperhatikannya sebab sebatang tangkai tombak telah melayang dari samping menghantam pundaknya sehingga gadis itu sempoyongan. Agaknya prajurit itu sengaja tidak menggunakan ujung tombaknya, karena ia hanya ingin menangkapnya hidup-hidup.
Di saat itulah seorang prajurit lainnya juga mengambil kesempatan untuk menendang pergelangan tangan kanan Ting Hun-giok, sehingga golok gadis itu terpental lepas dari tangannya. Lalu dengan tangan kiri ia siap melumpuhkan gadis itu dengan tangan kirinya yang dipukulkan ke tengkuk. Namun tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat menggertakkan tempat itu, "Tahan!"
Bukan, bentakan yang asal keras saja, namun mengandung perrbawa yang berat sehingga membuat hati prajurit-prajurit itu tergoncarg, bahkan beberapa orang sampai ciut nyalinya. Itulah ilmu Sau-cu-hau (Geraman Harimau). Prajurit yang hampir berhasil memukul Ting Hun-giok pada tengkuknya itupun tak terasa membatalkan tindakannya, sehingga memberi kesempatan kepada Ting Hun-giok untuk menjotoskan kepalanya ke pingggang dengan gerakan Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Mencuri Jantung), sehingga prajurit itu terjungkal pingsan.
Kini semua mata menoleh ke arah asal suara bentakan itu, dan tidak peduli mata Ting Hun-giok maupun mata para prajurit itu sama-sama terbelalak karena hampir tak percaya akan apa yang mereka lihat. Beberapa prajurit mengucak-ucak matanya, namun yang dilihatnya itu memang kenyataan dan bukan gambaran semua saja.
Di antara kobaran api yang dahsyat yang tengah menelan sebuah barak itu, nampak sesosok tubuh berpakaian serba hitam dengan kedok hitam pula yang menutupi separuh mukanya, berdiri di tengah-tengah kobaran api namun tak terjilat oleh api. Dari tempatnya berdiri, sejauh dua tombak keliling api padam dengan sendirinya seolah tak dapat mendekati tubuh orang berpakaian serba hitam itu. Orang yang melihatnya jadi kebingungan entah berhadapan dengan malaikat atau siluman?
Orang berpakaian serba hitam itu lalu melangkah keluar dari tengah-tengah korban api itu dengan tenangnya seperti berjalan di taman bunga saja, dan api yang berkobar padam sendirinya jika ia melewati tempat itu, bahkan baranya yang menyalapun padam seperti disiram air.
Setelah orang itu cukup dekat dengan Ting Hun-giok dan prajurit-prajurit itu barulah terasa bahwa dari tubuh orang itu ternyata memancarkan hawa yang begitu dinginnya sampai mengatasi kobaran api, sehingga di mana dia lewat maka ia mampu menindas kobaran api dengan hawa dingin di tubuhnya itu.
Jelaslah orang ini memiliki ketinggian ilmu yang bukan main-main, udara dingin dari tubuhnya itu apabila dipancarkan dengan pukulan akan sanggup membekukan seluruh cairan dalam tubuh sasarannya termasuk darahnya, dan tentu saja si korban akan mampus seketika.
Dengan tajamnya orang berkedok itu menatap para prajurit, dan berkata dingin, "menyingkir, supaya aku tidak perlu bertindak keras dengan membuat kalian mati beku di tempat ini."
Prajurit-prajurit itu banyak yang berasal dari Pak-khia, sehingga samar-samar merekapun dapat mengenali bentuk tubuh maupun suara orang berkedok hitam itu. Si perwira setengah tua berhidung . merah itu dengan suara gemetar berkata, "Kau...kau... Tong Congpeng?"
Orang berkedok itu tertegun, kedoknya agaknya tidak dapat menyembunyikan diri sepenuhnya dari pandangan mata prajurit-prajurit itu, karena di Pak-khia dia adalah seorang yang memiliki ketenaran sejajar dengar Pakkiong Liong, Panglima Hui-liong-kun. Akhirnya orang berkedok itupun merenggut kedoknya dari wajahnya, dan ternyata dia memang Tong Lam-hou.
Kepada prajurit-prajurit di hadapannya itu. Tong Lam-hou berkata setengah membujuk setengah mengancam, "Saudara-saudara, mengingat akupun bekas prajurit kerajaan seperti kalian, aku tidak akan membunuh kalian apabila kalian cukup tahu diri untuk menyingkir dari sini."
Para prajurit itu tahu benar bagaimana dahsyatnya Tong Lam-hou di medan perang, beritanya sampai mengguncangkan seluruh negeri. Namun untuk mundur begitu saja, para prajurit itu-pun takut dihukum oleh atasannya. Kata perwira berhidung merah itu sambil memberi hormat,
"Tong Congpeng, kau bekas seorang prajurit sehingga kau tentu tahu pula bagaimana kewajiban seorang prajurit terhadap tugas yang diletakkan di pundaknya. Gugur demi kerajaan yang besar ini akan menjadi kebanggaan kami."
Tong Lam-hou tertawa dingin, "Kalian di sini bukan gugur demi Negara dan Kaisar, melainkan demi Pakkiong An si tua bengek itu. Ia mengorbankan ribuan prajurit macam kalian di medan perang hanya untuk memuaskan nafsu kemarahan atas kematian anaknya, Pakkiong Hok. Dan selama kalian mengadu jiwa di sini, di Pak-khia sendiri Pakkiong An sudah merebut kekuasaan pemerintahan.
Dan kalian tidak usah mengharap tanda jasa apapun untuk bahaya yang kalian tempuh di sini, yang akan menerima tanda jasa adalah Muyong Beng, Tamtai Au-kha dan sebagainya sementera banyak isteri kalian menjadi janda, anak-anak kalian menjadi kelaparan dan menanyakan ayahnya, tapi sudikah Pakkiong An memperhatikan hal itu?"
Para prajurit itu termangu-mangu merasakan kebenaran kata-kata Tong Lam hou yang betapapun adalah bekas orang yang mereka hormati di Pak-khia, biarpun berbeda pasukan. Sementara Tong Lam-hou berkata lebih lanjut, "Aku tahu kalian akan menang dalam perang ini. Tapi kalian lihat bagaimana orang orang Hwe-liong-pang itu melawan? Meskipun kalian menang tapi bangkai kalian akan bertumpuk-tumpuk memenuhi bukit ini, yang pulang ke Pak-khia barangkali hanya seperlima dari kalian.
Orang-orang Hwe-liong-pang boleh saja merasa berharga karena kematian mereka demi mempertahankan cita-cita dan pendirian mereka. Tapi kalian? Kalian bukan pahlawan, tapi mati konyol karena ditipu Pakkiong An dan hanya memenuhi nafsu serakah panglima tua yang gila kekuasaan itu!"
Dengan ucapan-ucapannya itu Tong Lam-hou memang berhasil mematahkan se mangat prajurit-prajurit itu. Maka perwira berhidung merah itu segera memberi hormat kepada Tong Lam-hou secara ketentaraan, sahutnya, "Ucapan Congpeng memang benar, kami hanyalah seperti kayu-kayu kering yang dilemparkan ke dalam api, sementara dia. sendiri enak-enak di Pak-khia bermain kekuasaan. Terima kasih, Congpeng, aku mohon diri."
Maka prajurit-prajurit itupun mengeloyor pergi. Mereka masih ikut bertempur di bagian lain, namun hanya dengan setengah hati dan lebih banyak cari selamat saja. Mereka masih ingin pulang kembali kepada keluarga mereka dengan badan utuh dan nyawa masih menempel di badan. Ucapan Tong Lam-hou masih saja terngiang-ngiang di telinga.
Sementara itu, Ting Hun-giok bersyukur sekali dengan kedatangan Tong Lam-hou yang menolongnya dari malapetaka itu. Ia menganggukkan kepala dengan agak canggung, dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan Cong-peng eh... piau-ko (kakak misan)!"
Tong Lam-hou tersenyum melihat kecanggungan gadis itu, tadi ia sudah menyaksikan keberanian dan kebandelan gadis itu dan itu mengingatkannya kepada seorang gadis Manchu adik sepupu Pakkiong Liong di Pak-khia sana, yang mirip betul dengan adik sepupunya ini. Pakkiong Liong sering dibikin pusing oleh adik sepupunya itu, mungkinkah sekarang ia juga akan mengalami nasib sama dengan sepupunya itu, mungkinkah sekarang ia juga akan mengalami nasib sama dengan sahabatnya di Pak-khia i-tu?
Sahut Tong Lam-hou, "Sudahlah, jangan seperti terhadap orang lain kita kan bersaudara. Yang penting, segeralah bergabung dengan ayah-ibumu dan paman serta bibimu, dan lebih berhati-hati, mengerti?"
"Piau-ko sendiri hendak ke mana, kalau tidak bergabung dengan kami?" tanya Ting Hun-giok.
"Paman Wi-hong sudah menerangkan kepada sekalian pendekar tentang pendirianmu yang menginginkan perdamaian dengan bangsa Manchu itu, dan nampaknya bisa diterima. meskipun kemudian suasana dirusak oleh kedatangan pasukan kerajaan yang hendak membantai kami ini."
Sahut Tong Lam-hou, "A-giok, pasukan ini tidak diperintahkan oleh Sri Baginda Khong-hi melainkan hanyalah pokal Pakkiong An sendiri. Bahkan menurut perhitunganku, saat ini Sri Baginda di Pak-khia malahan juga sedang dibahayakan oleh pokal Pakkiong An yang memang sudah lama ingin mendongkel Sri Baginda dari singgasananya. Tolong kau sebarkan keterangan ini terhadap teman-temanmu. Nah, pergilah, aku masih harus berkeliling seluruh arena untuk mencoba mengundurkan pasukan Pakkiong An."
“Baik, piau-ko, apakah piau-ko akan membabat mereka dengan ilmu udara dinginmu yang hebat itu?"
"Itu hanya senjata terakhir. Manusia dikaruniai mulut dan akal budi untuk menyelesaikan segala persoalan dengan damai lebih dulu, meskipun ke dada karunia itu jarang digunakan. Manusia lebih sering menggunakan pedang lebih dulu, baru mulutnya. Aku kalau bisa ingin membujuk prajurit-prajurit musuh agar mereka jangan mau dikorbankan demi nafsu berkuasa Pakkiong An. Kalau tidak mau kunasehati, barulah kuhunus pedangku."
"Jadi piau-ko akan bertempur di pihak kami melawan tentara Man...eh tentara Pakkiong An?"
"Benar," sahut Tong Lam-hou, dan bersamaan dengan selesainya kata-katanya itu tubuhnya telah melayang pergi. Kobaran api yang menjilat langit dan panasnya bukan kepalang itu diterjang begitu saja seolah tidak ada apa-apanya. Ting Hun-giok menatap kakak sepupunya itu dengan kekaguman melihat kesaktiannya, sambil bergumam sendirian, "Piau-ko begitu lihai namun tingkah lakunya begitu lembut dan mengagumkan, berbeda dengan Sebun Him yang meskipun lihai namun bukan main sombongnya."
Sementara itu, Tong Lam-hou benar-benar mengelilingi arena pertempuran itu. Apa yang dilakukannya adalah sama dengan yang dilakukan di tempat ia menemui Ting Hun-giok tadi. Diyakin-kannya para prajurit dan bahkan para perwira bahwa tidak ada gunanya membuang nyawa untuk Pakkiong An di bukit terpencil ini, sementara Pakkiong An sendiri bukan seorang yang menghargai hasil kerja bawahannya.
Di satu bagian Tong Lam-hou berhasil, tapi di lain bagian ia bertemu dengan prajurit prajurit atau perwira-perwira yang setia kepada Pakkiong An sampai ke tulang sungsumnya, sehingga terhadap diri mereka itu tidak ada jalan lain bagi Tottg Lam-hou kecuali bertindak keras. Namun secara keseluruhan, kemunculan Tong Lam-hou itu mempengaruhi medan perang. Sebagian prajurit yang telah mendengar ucapannya menjadi setengah hati dalam bertempur, asal mempertahankan hidup saja.
Sementara sebagian lainnya kehilangan dukungan teman-temannya. Maka desakan pasukan Ui-ih-kun yang tadinya terasa berat hampir tak tertahankan oleh pihak Hwe-li-ong-pang dan teman-temannya itu, tiba-tiba terasa mengendor dibeberapa bagian, padahal saat itu tengah haripun belum dan mustahil sebuah pasukan Ui-ih-kun kelelahan begitu cepat, padahal kemarin mereka sanggup berkelahi dari pagi sampai sore.
Keheranan bukan saja menghinggapi orang-orang Hwe-liong-pang dan teman teman mereka, tapi juga prajurit-prajurit Ui-ih-kun sendiri. Mereka yang ada di garis depan dan membutuhkan bantuan dari barisan belakang supaya serangan dapat mengalir lancar, begitu yang diajarkan dalam latihan prajurit, tiba-tiba merasakan bantuan dari barisan belakang tidak lancar lagi. Terputus-putus, sehingga malah o-rang-orang Hwe-liong-pang mendapat kesempatan untuk mendesak balik.
Sebagai panglima yang banyak pengalaman dan berpandangan tajam, Muyong Beng yang belum selesai bertarung melawan Bu-gong Hweshio itu juga dapat merasakan kemerosotan semangat prajurit-prajuritnya itu, meskipun hanya sebagian. Karena itu, sambil menangkis serangan-serangan Bu-gong Hweshio yang gencar, ia mengeluarkan perintahnya, "Sebarkan perintahku. Yang bertempur dengan sungguh-sungguh akan mendapat hadiah, yang berkelahi dengan setengah hati akan kehilangan kepalanya malam ini juga!"
Ketika perintah itu merata ke segenap pasukan, maka prajurit-prajurit yang mulai lesu itupun terpaksa harus menunjukkan kesungguhannya lagi, sebab kalau ketidak sungguhan itu terlihat oleh teman mereka sendiri dan kemudian dilaporkan ke atasan, maka celakalah mereka. Akhirnya mereka memilih lebih suka bertempur dengan sungguh-sungguh daripada dihukum mati dengan nama yang ternoda sebagai pengkhianat.
Di arena pertempuran di dekat pintu gerbang, terlihat To Hok-leng sudah mulai terdesak oleh lawannya, Sebun Him. Kampaknya yang mengerikan dan sudah memenggal beratus-ratus kepala manusia itu, kini tidak lebih hanyalah alat bertahan yang diputar rapat di sekeliling badannya. Itupun kadang-kadang ujung pedang Sebun Him beberapa kali berhasil menerobos pertahanannya dan melukai tubuhnya. Bukan luka mematikan memang, tapi darah yang terus menerus mengalir dari luka telah membuat To Hok-leng semakin lemah.
Kini, Im-kan-hong-kui (Iblis Gila Dari Akherat) itu barulah merasakan apa artinya ketakutan terhadap maut. Biasanya dia gembira melihat calon korbannya menggigil ketakutan atau meratap-ratap minta ampun, namun ia tidak pernah menaampuninya dan setiap kalipun.kampaknya terayun menebas leher korbannya.
Karena ia tidak percaya adanya pengampunan antara dua orang yang bertempur, bahkan, menganggap hal itu tolol, maka kini diapun yakin, bahwa Sebun Him tidak akan mengampuninya. To Hok-leng sudah kehilangan harapan, apalagi melihat wajah Sebun Him yang beringas itu nampaknya juga bukan wajah seorang pemaaf.
Suatu ketika, Sebun Him melakukan sebuah jurus Hoa-san-pay yang disebut Hui-tou-goat-hong-tian-ci (Memutar Kepala Melihat Rembulan, Burung Hong Membuka Sayap). Jurus yang namanya indah seperti sebuah syair, namun kehebatannya luar biasa, apalagi dimainkan Sebun Him yang memiliki kekuatan dahsyat karena ilmu Kun-goan-sin-kang-nya. Pedangnya menderu luar biasa dan bergulung hebat ke arah lawan, sulit dibedakan mana yang serangan asli dan mana yang hanya gerak tipu saja.
To Hok-leng mati-matian dan meloncat mundur pula, tetapi cahaya pedang Sebun Him bagaikan mulur mengejarnya. To Hok-leng memalangkan kampaknya di depan dada, tapi pedang Sebun Him bagaikan ular tiba-tiba menggeliat dan tangan kiri To Hok-leng pun tertabas putus. Di tengah seringai kesakitannya, tanpa malu-malu lagi To Hok-leng berkata,
"Ampuni aku, siauhiap..." dan sinar matanya juga memancarkan ketakutan luar biasa. Sangat berbeda dengan sinar matanya ketika kemarin ia menjilati darah korban-korbannya yang melekat di mata kampaknya. Waktu itu matanya memancarkan kemenangan bercampur kebuasan hewani, dan juga kebanggaan karena orang-orang lain menatapnya dengan rasa ngeri.
Yang matanya mirip dengan dirinya ketika menjilati darah di kampak kemarin itu kini adalah mata Sebun Him. Anak muda itu tidak menjawab sepatah katapun akan permintaan ampun To Hok-leng itu, melainkan dijawabnya dengan sebuah sabetan pedang yang membuat kepala To Hok-leng menggelundung. Sebun Him merasa bangga setelah melakukan itu. la memandang berkeliling, lalu tiba-tiba iapun meloncat menerjang prajurit-prajurit Ui-ih-kun dan kemudian pedangnyapun terayun ke-sana kemari menjatuhkan korban di antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun.
Demikianlah, pembunuhan di mana-mana terjadi, di segala sudut barak itu. Baik Ui-ih-kun maupun lawannya kehilangan banyak orang. Orang-orang Hwe-liong-pang telah menunjukkan cara bertarung yang sangat menggetarkan hati kawan maupun lawan, cara bertempur yang sampai hampir matipun masih berusaha keras untuk mengayunkan senjata atau menendang untuk mencari tambahan korban baru.
Dengan demikian prajurit-prajurit Ui-ih-kun itupun mulai merosot semangatnya, bagaimanapun juga kata-kata Tong Lam-hou selalu terngiang di telinga mereka. Buat apa mereka bertempur seperti ini? Buat menyenangkan Pakkiong An, atau cuma sekedar sebuah "langkah catur" dari si panglima tua itu...?
Tidak usah diulang untuk kedua kalinya, pasukan Ui-ih-kun yang memang sudah sudah kelelahan itu segera menarik diri dan kemudian membuat perapian di padang rumput bekas arena pertempuran itu. Bahkan Muyong Beng juga memerintahkan untuk mengawasi sisa-sisa bukit sebelah utara, barat dan selatan untuk menjaga jangan sampai laskar Hek-ku-nia kabur lewat arah arah itu. Kalau melihat gerakan laskar Hek-ku-nia, pengawas-pengawas itu harus memberikan isyarat yang ditentukan.
"Kenapa tidak kita kepung saja, Ciangkun?" tanya Tamtai Au-kha kepada atasannya itu.
“Keliling bukit ini cukup panjang, kalau pasukan kita harus mengepungnya maka kepungan itu akan rapuh sekali sebab pasukan kita tidak cukup banyak untuk itu."
"Tadi kenapa Ciangkun agak terlambat menerjunkan pasukan berkuda ke arena?" tanya Tamtai Au-kha lagi. "Andaikata kami diterjunkan lebih pagi, tentu bangsat-bangsat Hwe-liong-pang itu sudah hancur sekarang.”
“Sore ini pun mereka sudah hampir hancur, hanya diselamatkan oleh tenggelamnya matahari...”
"...dan juga balok-balok kayu serta batu-batu itu," sambung Muyong Beng gemas. "Mundur di siang hari atau mundur di sore hari, mereka tetap akan menggunakan benda-benda keparat itu. Lagipula tadinya aku memperhitungkan bahwa cukup dengan pasukan berjalan kaki saja mereka akan bisa digilas habis. Tak terduga ternyata mereka begitu ulet. Kita harus membuat perhitungan yang lebih cermat bila ingin menang."
Ketika diadakan penghitungan kembali pasukan Ui-ih-kun untuk mengetahui seberapa besar kekuatan yang besok masih bisa dikerahkan ke medan, ternyatalah hampir sepertiga dari pasukan berjalan kaki itu sudah gugur atau luka-luka berat sehingga jelas tidak bisa berkelahi lagi. Selain prajurit-prajurit biasa, hari itu Ui-ih-kun juga telah kehilangan beberapa perwira-perwira berilmu tinggi, atau jagoan-jagoan andalan mereka.
Tong-hai siang-sat (Sepasang Pembunuh dari Laut Timur) Thia Peng dan Thia Hong sudah bertamasya ke neraka, sebab mereka keliru memilih lawan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dari Hwe-liong-pang, malahan dua perwira yang membantu merekapun ikut-ikutan mampus. Hui-tho-koay (Siluman Bungkuk Terbang) Ki Koat agaknya cukup setia kawan dengan rekan-rekannya dari lautan timur itu, meskipun kematiannya melalui tangan yang berbeda, yaitu lewat tangan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin.
Dari empat jagoan tingkat tinggi yang dibawa Muyong Beng dari Pak-khia itu, tinggal Im-kan-hong-kui To Hok-leng yang nyawanya masih alot, namun orang itu pun kelihatan lesu dan murung, sikapnya tidak tidak segarang kemarin hari. Di peperangan tadi, nyawanya hampir saja amblas oleh pedang Sebun Him kalau saja ia tidak ditolong oleh beberapa perwira Ui-ih-kun.
Suasana muram bukan hanya di kubu pasukan Ui-ih-kun yang di luar dugaan gagal memperoleh kemenangan, tapi juga meliputi kubu orang-orang Hek-ku-nia. Di dalam kubu, orang-orang Ki-lian-pay yang berwajah sedih mengerumuni jenazah Ketua mereka, The Toan-yong, yang gugur di ujung tombak Muyong Beng yang lihay. Orang-orang Kay-pang kehilangan dua orang tokohnya, Pek Siau-thian yang terbunuh oleh Muyong Beng pula, dan Sun Ciok-peng yang terpenggal kepalanya oleh To-hok-leng.
Hwo-liong-pang harus merelakan keper-gian Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning) Kwa Heng yang berjuluk Tiat-jiau-thb-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi), sementara seorang Tongcu lainnya, Ya-hui-miao (si Kucinu Mala.n) Kwa Teng-siong menderita luka-luka berat sampai tidak bisa bangkit dari pembaringannya. Namun rata-rata semangat orang-orang Hek-ku-nia itu tetap tinggi, bahkan entah siapa yang mulai, orang-orang itu banyak yang mengikatkan kain merah ke kepala mereka sebagai tanda siap berkorbar. sampai titik darah terakhir.
Malam itu juga, Siangkoan Hong menunjuk seorang anggota Hwe-liong-pang yang cukup menonjol kepribadiannya dan masih muda pula, baru duapuluh enam tahun, bernama Yu Leng-hoa untuk menduduki jabatan Ui-ki Tongcu agar tidak kosong dengan meninggalnya Kwa Heng. Yu Leng-hoa dikenal sebagai bekas murid Khong-tong-pay, dan mahir dalam memainkan sepasang Gun-goan-pay (Perisai Berpingggiran Tajam), keberaniannya juga sudah terbukti dalam berbagai peristiwa.
Sehingga pengangkatannya sebagai Ui-ki Tongcu itu tidak menimbulkan banyak keberatan. Sedang Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) untuk sementara akan dipimpin oleh Hek-ki Hutongcu (Wakil Tongcu Bendera Hitam) Lamkiong San yang berjulukan Jian-li-hui-eng (Elang Terbang Seribu Li) karena kemahirannya dalam ilmu meringankana tubuh dan berjalan jauh.
Begitulah suasana di Hek-ku-nia, selain yang gugur, di barak itu juga berjajar-jajar mereka yang luka dan perlu mendapatkan perawatan. Mereka tahu barangkali ada teman-teman mereka yang luka dan tidak sempat dibawa mundur, tertinggal di medan perang, namun dengan menyesal orang-orang Hek-ku-nia tidak bisa mengambil teman-teman mereka itu, sebab sekeliling bukit diawasi dengan ketat oleh prajurit prajurit Ui-ih-kun. Menurut hukum perang, sebenarnya petugas perawatan orang sakit dari kedua pihak diperkenankan mengambil orang-orang yang terluka tanpa boleh diganggu.
Tapi itu hanyalah berlaku antara prajurit-prajurit, sedang dalam pandangan Muyong Beng, orang-orang Hek-ku-nia itu cuma gerombolan liar yang tidak pantas membicarakan aturan perang segala. Karena itulah Muyong Beng membiarkan orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak sempat dibawa teman-temannya itu, dibiarkannya mati sendiri tanpa belas kasihan sedikitpun.
Dalam suasana murung di Hek-ku-nia itu, Sebun Him dibicarakan orang sebagai "bintang lapangan" karena keberhasilannya menandingi To Hok-leng, tokoh golongan hitam yang terkenal kelihaiannya dan keganasan itu. Tentu saja Sebun Him menjadi sangat bangga mendengar cerita-cerita tentang dirinya itu, dan setiap kali ia berbicara dengan teman-temannya maka tidak lupa ditambah-tambahinya ceritanya sehingga jauh lebih hebat dari cerita yang sebenarnya, tentu saja dengan nada yang "rendah hati".
Tapi dengan mendongkol Sebun Him melihat bahwa cerita kehebatan dirinya itu sedikitpun tidak menarik perhatian Ting Hun-giok. Dilihatnya gadis itu malahan sedang duduk di pojok barak, sambil membalut lengan Im Yao yang terluka dalam perang tadi.
Gerutu Sebun Him dalam hatinya, "Perempuan gila itu agaknya menganggap si bandit Kui-kiong lelaki paling hebat di dunia, lebih dari segala-galanya. Dasar katak dalam sumur. Dalam pertempuran besok pagi, aku akan menunjukkan kehebatanku lebih dari hari ini biar mata semua orang bisa mem-bandingkan apa yang terjadi, siapa aku siapa Im Yao."
Ketika tengah malam tiba, baik pesanggrahan Ui-ih-kun maupun orang-orang Hek-ku-nia berangsur-angsur menjadi sunyi. Sebagian besar dari orang-orang kedua belah pihak telah mulai tertidur karena kelelahan, kecuali sebagian kecil yang bertugas untuk berjaga-jaga mengawasi keadaan.
Namun di kaki bukit sendiri, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga seperti sesosok hantu gentayangan saja. Lalu orang itu berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bekas ajang pertempuran yang masih berbau darah, meskipun mayat-mayat sudah dikuburkan secara sembarangan di pinggir hutan itu. Berkali-kali orang itu menarik napas seolah-olah berusaha melemparkan keluar sebuah beban berat yang menekan hatinya.
Terdengar orang itu bergumam sendirian, "Pakkiong An di Pak-khia tentu tidak melihat sendiri akibat-akibat perang ini, meskipun dia yang memerintahkan serangan ini. Dalam pesta pora di istananya yang indah, diladeni pelayan-pelayan yang cantik-cantik, mana bisa ia membayangkan bahwa di sini banyak yang merintih karena pedihnya luka-luka?"
Orang itu bukan lain daripada Tong Lam-hou, si perwira pelarian dari Pak-khia. Meskipun ia telah memisahkan diri dari rombongan paman kandungnya dan para pendekar lainnya, karena merasa ada perbedaan pendapat dengan mereka, sebenarnya Tong Lam-hou tidak pergi jauh-jauh. Diam-diam ia terus membayangi rombongan pendekar itu untuk melihat gerak-gerik mereka, kalau perlu mencegah apabila mereka hendak merugikan perdamaian, tidak peduli di antara mereka terdapat paman kandungnya, bibi kandungnya, saudara-saudara sepupunya, adik-adik seperguruan ayahnya dan sebagainya.
Namun yang dilihatnya kemudian malah berbeda. Bukan para pendekar itu yang mendahului merusak perdamaian, tapi malah pasukan kerajaan, pasukannya Pakkiong An. Sejak dari Pak-khia, Tong Lam-hou memang sudah tahu bahwa Pakkiong An sangat getol menghasut Kaisar untuk mengeluarkan perintah penghancuran terhadap Hwe-liong-pang, dan sekarang ini Tong Lam-hou tidak dapat memastikan apakah pasukan itu menyerbu karena perintah Kaisar ataukah karena kemauan Pakkiong An sendiri?
Dan apa maksud perkataan Tamtai Au-kha yang didengar oleh Tong Lam-hou beberapa hari yang lalu, yang mengatakan bahwa saat itu gerakan Pakkiong An di Ibukota pasti sudah berhasil? Gerakan apa? Merebut tahta seperti yang didesas-desuskan?
Di tengah dataran yang berumput yang sunyi dan masih berbau darah itu, Tong Lam-hou duduk termangu-mangu di atas sebungkah batu sambil bertopang dagu dan berpikir keras. Bagaimana caranya menghentikan pertempuran agar korban tidak berjatuhan lebih banyak lagi? Baik korban berupa orang orang Hek-Ku-nia maupun yang berupa prajurit-prajurit rendahnn Ui-ih-kun, bagi Tong Lam-hou sama berharganya dan harus dihindari sejauh-jauhnya. Mereka sama-sama tidak bersalah, yang bersalah adalah biang keladi dari peperangan itu. Dan biang keladinya berada jauh di Pak-khia sana.
Ketika mata Tong Lam-hou menatap kelap-kelip perapian di perkemahan laskar Ui-ih-kun sana, timbul niatnya untuk berjalan kesana dan menyerahkan diri untuk dibawa ke Kotaraja Pak-khia, bukankah peperangan ini diakibatkan oleh dirinya yang lari dari Pak-khia? Tapi kemudian Tong Lam-hou menggeleng-gelengkan kepalanya, jalan itu tidak menjamin bahwa pasukan Ui-ih-kun ditarik dari kaki bukit itu. la kenal betul orang-orang macam apa Muyong Beng dan Tamtai Au-kha itu, orang-orang yang belum puas apabila belum mengadakan penghancuran besar-besaran.
Meskipun Tong Lam-hou menyerahkan kedua tangannya untuk dirantai dan digiring ke Pak-khia, tapi Muyong Beng pasti tidak akan membatalkan penghancurannya kepada orang-orang Hek-ku-nia, dengan demikian pengorbanan Tong Lam-hou akan sia-sia belaka. Orang seperti Mu-yong Beng gemar melihat tumpukan mayat manusia atau aliran darah yang menganak sungai, dan udara perang yang dihirupnya akan membuatnya segar.
Lalu Tong Lam-hou menoleh ke atas bukit di mana terdapat kelap-kelip api pula. Ataukah dirinya bergabung saja dengan orang-orang Hwe-liong-pang untuk melawan kelaliman Pakkiong An? Tapi dipikir-pikir cara itupun kurang baik. Jika Hwe-liong-pang bisa mengalahkan Ui-ih-kun, persoalan tidak selesai begitu saja namun malahan akan berkepanjangan, sebab salah-salah Hwe-liong-pang akan dianggap memberontak, sama dengan Jit-goat-pangnya Pangeran Cu Leng-ong dulu, dan hal itu hanya akan memancing lebih banyak pasukan yang dikirim dari Pak-khia untuk menghancurkannya.
Jika pihak Hwe-liong-pang mendapat dukungan pula dari orang-orang anti Manchu yang masih banyak jumlahnya di seluruh negeri, maka benar-benar akan berkobar perang besar seperti di jaman Li Cu-seng dulu. Siapa menang siapa kalah belum diketahui, tapi sudah jelas bahwa rakyat bakal menjadi korban paling dulu.
Jalan itu jelas tidak dikehendaki Tong Lam-hou yang tiap hari me-mimpikan perdamaian di seluruh negeri, memimpikan persaudaraan sederajat antara Han dan Manchu dan bahkan dengan suku-suku perbatasan lain. Bagaimanapun juga Hwe-liong-pang berhak membela diri apabila diperlakukan sewenang-wenang, hendak ditumpas begitu saja tanpa tuduhan yang jelas.
Dalam bingungnya, Tong Lam-hou hanya duduk termangu-mangu sekian lama tanpa tahu apa yang mesti diperbuat nya. Dia adalah seorang laki-laki yang biasanya dapat mengambil sikap tegas dengan cepat, tetapi kali ini hampir semalam suntuk otaknya terasa buntu. Dan tengah, ia melamun, ia dikejutkan oleh suara kokok-ayam jantan, dan cahaya kemerahan yang merekah di ufuk timur.
"Fajar tiba, pembunuhan besar-besaran akan dimulai lagi," keluh Tong Lam-hou seorang diri, namun tak ada yang mendengarkannya. ''Sementara aku belum menemukan jalan keluarnya." Karena tidak ingin diketahui oleh kedua belah pihak yang sama-sama punya kecurigaan terhadap dirinya, maka Tong Lam-hou pun bangkit dari duduknya, dan dengan beberapa kali loncatan saja ia telah menghilang ke dalam hutan.
Sementara di kedua kubu dari pihak yang bermusuhan itu telah terjadi kesibukan masing-masing untuk mempersiapkan diri menghadapi hari yang bakal datang. Perut diisi dengan kenyang, meskipun barangkali perut itu akan dilubangi oleh pedang musuh di peperangan nanti. Senjata-senjata disiapkan.
Sebagai prajurit yang cukup terlatih, pasukan Ui-ih-kun dapat mempersiapkan diri dengan cepat. Pasukan berkuda Tam-tai Au-kha akan ikut bertempur namun tidak dengan kuda-kuda mereka, sebab Muyong Beng memperhitungkan bahwa laskar Hek-ku-nia pasti tidak akan berani menuruni bukit, mereka pasti hanya akan bertahan di atas bukit sambil memanah, melemparkan lembing atau mengguling-gulingkan balok-balok kayu dan batu seperti kemarin.
Dengan demikian maka pihak Ui-ih-kunlah yang harus memahjat naik ke lereng apabila ingin menggempur habis mereka. Tapi Muyong Beng tidak ingin pasukannya habis ludes di kaki bukit hanya karena balok-balok dan batu-batu, maka ia telah mengatur siasat untuk itu. Pasukannya dibagi dalam tiga bagian, yang menerjang dari lereng depan justru yang kekuatannya paling kecil, tujuannya tak lain hanya mengalihkan perhatian laskar Hek-ku-nia.
Tapi dua bagian lagi akan menyergap dari lereng utara dan lereng selatan, lereng yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar sehingga jika musuh menyerang dengan balok-balok kayu dan batu-batu maka prajurit-prajurit akan bisa berlindung. Selain itu, prajurit-prajurit Ui-ih-kun dipersenjatai dengan panah-panah berapi yang dapat membakar barak Hek-ku-nia yang sebagian besar terdiri kayu dan ijuk itu.
Sebelum hari menjadi terang, kedua pasukan yang akan menyerang dari utara dan selatan itu berangkat lebih dulu supaya gerakan mereka tidak terlihat dari atas bukit. Di pihak Hek-ku-nia yang dipimpin Tong Wi-hong, gerakan pasukan Ui-ih-kun itu sama sekali tidak mereka duga. Bagaimanapun cerdasnya Tong wi-hong, dia bukan seorang panglima perang dan cara berpikirnyapun tidak seperti orang yang terdidik dalam ilmu perang.
Dalam hal ilmu silat, boleh jadi dia mengungguli Muyong Beng, namun dalam ilmu mengatur barisan perang jelaslah pendekar Tay-beng itu tidak dapat menandinginya. Para pendekar selalu berpikir menurut norma-norma persilatan, sementara para panglima perang dapat menggunakan siasat apapun untuk memenangkan pertempuran.
Karena itu, alangkah kagetnya laskar Hek-ku-nia ketika mereka sedang bersiap-siap tahu-tahu pasukan musuh sudah menyerang dari dua arah. Segera mereka menggulingkan balok-balok kayu dan batu-batu serta melepas panah dan lembing. Namun kali ini serangan mereka banyak yang gagal, sebab banyak balok kayu dan batu yang tertahan oleh pohon-pohon besar yang banyak tumbuh di lereng utara itu.
Prajurit-prajurit Ui-ih-kun dengan mudah dapat berlindung dibalik pepohonan, bahkan kemudian dengan tidak kalah derasnya mereka membalas dengan panah-panah biasa berujung tajam. Beberapa prajurit gugur, tapi lebih banyak prajurit Ui-ih-kun yang berhasil mencapai kaki dinding barak yang terbuat dari kayu-kayu besar yang ditanam berjajar rapat di tanah itu. Dengan kampak-kampak mereka, para prajurit itu mencoba merusak dinding itu.
Sementara itu panah-panah berapi yang dilepaskan telah menimbulkan kebakaran di bagian barak. Beberapa laskar Hek-ku-nia yang bertahan diatas dinding barak telah terjungkal karena tubuh mereka terpatuk panah atau lembing Ui-ih-kun. Dan kepanikan itu bertambah-tambah ketika dari arah selatan juga muncul hujan panah berapi, sementara balok-balok dan kayu yang mereka gulingkan tidak banyak membawa hasil karena rapatnya pepohonan, hanya berhasil membunuh beberapa orang prajurit yang terlambat mengambil perlindungan.
Tong wi-hong dan lain-laian pendekar mencoba mengatasi kepanikan itu dengan mengatur perlawanan. Berteriak-teriak sampai kerongkoanannya hampir jebol, barulah ia berhasil membagi orang-orangnya dengan agak teratur, sebagian memadamkan api, sebagian mengadakan perlawanan.
Sementara itu, Muyong Beng ketika melihat kobaran api dan keributan di atas bukit, segera merasa sudaha tiba waktunya untuk bertindak. Ia segera pimpin pasukannya untuk menyerbu naik. Memang ada balok dan batu yang digelundungkan, tetapi tidak segencar kemarin, dan merupakan rintangan yang nyaris tak berarti bagi Muyong Beng dan orang-orangnya itu.
Ia didampingi oleh im-kan-hong-kui To Hok-leng yang memutar kampak besarnya dengan rapat untuk menghalau panah-panah yang tertuju ke tubuhnya. Bahkan batu-batu sebesar kambingpun kadang-kadang dihantam dengan Tong Wi-hong dan lain-lain pendekar mencoba mengatasi kepanikan itu dengan perlawanan.
kampaknya sehingga terpental beberapa langkah. Melihat itu prajurit-prajurit Ui-ih-kun menjadi amat bersemangat dan seperti rekan-rekan mereka di utara dan selatan, mereka juga memanah dengan panah berapi. Bu-gong Hweshio yang berdiri di atas dinding barak di bagian yang diserang Muyong Beng itupun melihat betapa hebatnya kekuatan To Hok-leng, sehingga hwesio yang juga bertenaga besar ini menjadi gatal tangannya.
Diambilnya sebongkah batu sebesar kambing, diangkatnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan, kekuatannya, lalu dilemparkannya ke arah To Hok-ieng Sambil berteriak, "Orang yang bersenjata kampak, terimalah hadiahku!"
Demikianlah watak ksatria Bu-gong Hweshio, meskipun dalam peperangan ia tetap memberi peringatan kepada lawannya, sebab batu yang dilontarkannya itu melayang bersama batu-batu yang lain sehingga bisa-tidak terlihat oleh musuh.
To Hok-leng memang terperanjat sekali ketika merasa ada sebutir batu besar melayang ke arahnya dengan suara menderu dan jauh lebih pesat dari batu-batu lainnya. Jelas pelemparnya adalah orang yang berilmu tinggi. Namun To Hok-leng merasa malu kalau harus menghindari lemparan itu, maka iapun memasang kuda-kuda dengan kaki yang kokoh, lalu dengan mengerahkan tenaganya pula ia mengayunkan kampaknya untuk menangkis batu istimewa itu.
Kekuatan si pelempar batu maupun penerimanya memang hebat, sehingga batu itulah yang tidak sanggup menahannya. Batu itupun pecah berkeping-keping menjadi gumpalan-gumpalan kecil sebesar kepala kambing. Meskipun kuda-kuda To Hok-leng agak tergempur dan dadanya terasa agak nyeri, tapi tak urung keberhasilan To Hok leng itu memancing sorakan gemuruh dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun.
Lalu gembong golongan hitam itu meletakkan kampaknya dan iapun memungut sebutir batu yang hampir sama besarnya dengan "hadiah" Bu-gong Hweshio tadi, dikerahkannya tenaganya dan sekejap kemudian batu itupun melesat ke arah Bu-gong Hweshio yang berdiri di atas dinding barak itu. Deru angin dahsyat menyertai luncuran batu itu.
"Pendeta busuk, terimalah balasanku!" teriak To Hok-leng.
Bu-gong Hweshio ketika melihat itu timbul niatnya untuk memamerkan kelihaiannya untuk membangkitkan semangat laskarnya. Ia terkenal dengan ilmu Jian-kin-cun-tui (Palu Sikut Seribu Kati)nya, maka disingsingkannya lengan baju kanannya dan dengan siku tangan kanannya ia menyambut luncuran batu besar itu. Bukan dengan senjata Hong-pian-jan yang malahan diletakkan disampingnya.
Dan terbelalaklah mata To Hok-leng dan prajurit-prajurit Ui-ih-kun ketika melihat batu itu pecah menjadi kepingan-kepingan kecil, lebih kecil dari kepingan-kepingan yang terkena kampak To Hok-leng, sehingga orang bodohpun bisa menyimpulkan bahwa kekuatan Bu-gong hweshio setingkat lebih tinggi dari To Hok-leng. Apalagi Bu-gong Hweshio hanya menggunakan siku tangan sedang To Hok-leng menggunakan kampak besar.
Kekalahan kemarin dari Sebun Him masih terasa memberati hati To Hok leng, dan kini sekali lagi ia melihat ada orang lain yang selihai itu. Diam-diam semangatnya merosot lagi beberapa bagian namun tidak diperlihat kaanyaa di depan Muyong Beng. Meskipun secara perorangan, barangkali tokoh-tokoh di Hek-ku-nia lebih lihai dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun, tapi jumlah yang banyak ikut mempengaruhi juga.
Pasukan Ui-ih-kun yang terus menyerbu seperti semut itu tidak tertahan seluruhnya hanya dengan panah dan lembing, apalagi karena balok-balok kayu dan batu-batu besar di pihak Hek-ku-niapun habis persediaannya. Maka prajurit Ui-ih-kun semakin berhasil mendekati dinding barak yang hanya terbuat dari kayu itu.
Beberapa prajurit bertubuh kuat segera menggunakan kampaknya untuk merusak pintu gerbang vang tertutup rapat itu. Mendobrak pintu gerbang dengan cara biasanya, yaitu dengan mengangkat sebatang balok kayu besar yang beramai ramai dibawa lari dan disodokkan ke daun pintu, tidak mungkin dilakukan, sebab jalan di harapan pintu gerbang itu tidak lurus dan tinggi rendahnya-pun tidak rata sehingga tidak mungkin ancang-ancang dapat dilakukan.
Dari atas pintu gerbang, Bu-gong Hweshio serta beberapa tokoh lainnya dengan cemas melihat betapa prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu semakin berhasil merusak pintu. Bu-gong Hweshio tidak sabar lagi, tanpa menunggu perintah lagi, tiba-tiba ia berkata, "Biar’ aku cegah kawanan kuku garuda itu merusak pintu sebelum semuanya terlambat!"
Habis berkata demikian tubuhnyapun melompat ke bawah sambil memutar senjata Hong-pian-jannya. Perbuatan yang sungguh mengejutkan rekan-rekannya di atas dinding, sebab Bu-gong Hweshio sama saja dengan menerjunkan dirinya ke tengah-tengah ribuan prajurit musuh. Dua pendeta Siau-lim-pay lainnya, Bu-sian dan Bu-teng Hweshio yang masing-masing bersenjata toya besi itu, tidak membiarkan saudara seperguruan mereka mengadu nyawa seorang diri di bawah sana. Maka bagaikan burung-burung garuda yang perkasa dan menyambar dari langit, merekapun berturut-turut menerjunkan diri ke bawah dinding.
Turunnya Bugong Hweshio serta kedua saudara saudara seperguruannya keluar dinding itu tidak sempat dicegah oleh orang-orang di atas dinding, dari atas dinding ilu mereka melihat bagaimana ketiga rahib itu sudah mulai memutar senjata masing-masing untuk menghajar prajurit-prajurit yang mencoba merusak pintu. Namun prajurit-prajurit itupun segera dilindungi oleh teman-teman mereka, sehingga bertempurlah mereka.
Bu-gong Hweshio sambil menggeram marah segera menyerang Muyong Beng yang bersenjata tombak panjang itu. Keduanya segera berkelahi dengan sengit di depan pintu gerbang. Bu-sian dan Bu-teng Hweshio juga telah memutar toyanya masing-masing untuk menyerbu ke tengah-tengah "lautan" prajurit musuh, seperti dua ekor singa terluka menerjang kawanan kambing.
Orang-orang di atas dinding itu menggeleng-gelengkan kepala melihat tandang ketiga saudara seperguruan dari siau-lim-pay itu. Salah seorang bergumam, "Siau-lim-pay dianggap sebagai kubangan naga dan gua harimau, kiranya bukan omong kosong belaka. Tiga orang muridnya inipun bukan saja berilmu tinggi tetapi juga bernyali besar."
Orang yang berdiri di sebelahnya menyahut, "Wah, Bu-sian dan Bu-teng Hweshio itu dalam pergaulan sehari-hari nampak lemah lembut dan tidak kelihatan kegarangannya sama sekali, tapi kini lihatlah, mereka bisa mengamuk sehebat itu."
"Apakah akan kita laporkan kepada Tong Tay-hiap?'
"Tidak usah, biar akupun terjun ke bawah."
Kedua orang yang bercakap-cakap itu menoleh kepada orang yang menyahut itu, dan ternyata adalah Lam-ki Tongcu In Yong.
"Maksud In Tongcu bagaimana?"
"Daripada terkepung di dalam barak yang sudah terbakar, lebih baik kita mencoba menerjang keluar selagi masih ada kesempatan," sahut In Yong. "Siapa ikut aku?"
"Aku, saudara In," seseorang menyahut. Dialah Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng dari Hoa-san-pay.
Maka kedua orang itupun terjun ke bawah, menggabungkan diri dengan Bu-gong Hweshio bertiga untuk mempertahankan pintu gerbang yang hendak di-rusak dari luar itu. Waktu itu keadaan dalam barak memang semakin merepotkan, api menyala di mana-mana sehingga orang-orang yang terluka terpaksa diungsikan ke sebuah lapangan luas di tengah barak yang tidak terjangkau api. Tetapi dinding barak sebelah utara sudah berhasil dirobohkan oleh prajurit kerajaan dan merekapun membanjir masuk seperti air menjebol bendungan, di bawah pimpinan Tamtai Au-kha.
Pertempuran jarak pendek segera berkobar di jalan-jalan, di lorong-lorong, di sela sela bangunan barak itu. Nampaklah Tong Wi-hong didampingi oleh isterinya, kedua puteranya, iparnya, adik perempuannya dan juga Ting Hun-giok serta Im Yao, gigih membendung gelombang serangan musuh itu. Namun karena jumlah musuh yang amat banyak maka merekapun terdesak mundur selangkah demi selangkah, meskipun merekapun berhasil membabat puluhan prajurit musuh.
Bertempur berdampingan dengan ayah ibunya serta pamannya, apalagi kekasihnya, maka Ting Hun-giok bersemangat sekali. Tapi bagaimanapun bersemangatnya dia harus tetap bergeser mundur terus. Saat itu datanglah Ui-ki Tongcu Hwe-liong-pang yang baru saja diangkat kemarin malam, Yu Leng-hoa bersama Pek-ki Tongcu Oh Yun-kim yang langsung saja menerjunkan diri ke arena.
Di belakang mereka ikutlah puluhan pejuang yang campur aduk terdiri dari orang-orang Hwe-liong-pang, Jing-liong pang, Kay-pang, Ki-lian-pay dan berbagai golongan lainnya yang juga langsung menerjunkan diri tanpa kenal takut. Semuanya memakai secarik kail merah untuk mengikat kepala mereka, menandakan tekad mereka untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Boleh gugur tapi harus membawa korban sebanyak-banyaknya dari pihak musuh.
Di pihak musuh, Tamtai Au-kha si peranakan Mongol-Manchu yang terkenal keganasannya di medan perang sehingga sering dijuluki Kui-sim Ciang-kun (Kepala Perang Berhati Iblis) itu, membuktikan bahwa julukannya tidak keliru. Dengan pedang yang sudah merah oleh darah lawan-lawannya, ia memimpin orang-orangnya untuk mendesak terus, berapapun korban di pihak lawan atau kawan tidak dipedulikannya. Ia sendiri mendapatkan kegembiraannya dengan mengayunkan pedangnya kesana kemari.
Tapi "kegembiraan" si panglima berhati iblis itu terhenti ketika di hadapannya muncul seorang anak muda yang tanpa tanya apa-apa lagi langsung menikamkan pedangnya ke leher Tamtai Au-kha. "Siapa kau, anakmuda? Nampaknya kau bukan orang sembarangan!" bentak Tamtai Au-kha sambil memiringkan tubuhnya untuk mengelak tikaman itu.
Tapi anak muda itu dengan kelincahan seekor burung walet telah melejit ke samping dan pedangnyaapun ikut menebas ke samping dengan gerakan yang lincah tapi mantap. Sambil menjawab, "Tong Hoa-tiong, putera Tong Wi-hong dari Tay-beng!"
"Oh, kau puteranya si pemberontak itu? Baik, aku akan meringkusmu sekalian!"
Keduanya segera bergebrak sengit di tengah-tengah hiruk-pikuknya ratusan orang yang berkelahi serta suara gemeretaknya barak yang tengah di makan api. Meskipun usia Tong Hoa-tiong masih muda, namun kemantapan ilmu pedangnya ternyata boleh juga, berkat gemblengan ayahnya sejak ia masih kecil.
Gerakannya mantap, lengannya kokoh kuat namun pergelangan tangannya justru lemas sehingga mampu menggerakkan pedang seperti seekor ular yang membelit-belit licin, tapi di lain saat sang ular berubah menjadi seekor burung walet yang lincah beterbangan. Tamtai Au-kha harus bekerja keras untuk menghadapi anakmuda dari Tay-beng ini.
Waktu itu, keadaan sudah sangat kacau sehingga kedua belah pihak tidak lagi menggunakan bentuk-bentuk barisan perang yang tersedia di buku-buku ilmu perang. Semuanya berkelahi dimana saja mereka bertemu dengan musuh. Bahkan orang-orang yang terluka tetapi masih dapat berdiri, telah memegang senjata dan siap menantikan mu-duh meskipun musuh belum sampai ke tempat mereka.
Pasukan Ui-ih-kun membanjir masuk dari dinding-dinding barak yang berhasil mereka rusakkan dari utara dan selatan. Orang-orang Hek-ku-nia bertahan gigih di dalam barak, meskipun mereka jumlahnya kalah jauh namun dengan semangat tempur yang menyala-nyala mereka tidak gampang dikalahkan. Untuk mengalahkan mereka, agaknya pihak Ui-ih-kun harus mengadakan pengorbanan besar-besaran dari prajurit mereka.
Siangkoan Hong tokoh paling tinggi kedudukananya dalam Hwe-liong-pang saat itu, kelihatan mengamuk dengan hebatnya. Dapat dikatakan bahwa setiap gerakan yang dilancarkan dengan kaki atau tangannya tentu merobohkan seorang musuh. Sepuluh gerakan, sepuluh musuh pula yang roboh. Gerakannya terlalu cepat untuk diikuti mata prajurit-prajurit musuh, dan setiap sentuhan ujung kaki atau tangannya akan berarti remuknya tulang-tulang di bagian badan yang tersentuh itu.
Maka porak-porandalah pasukan Ui-ih-kun yang diterjang olehnya. Namun prajurit musuh terus membanjir datang tak habis-habisnya. Ilmu silat yang bagaimanapun saktinya yang pernah diciptakan manusia, tidak ada yang bisa digunakan untuk melawan kerubutan ribuan manusia. Karena itulah Siangkoan Hong lama kelamaan terasa kelelahan juga. Bahkan ia mulai menggunakan ilmunya yang disebut Jit-mo-tiau-goat-sin-hoat (Ilmu Sakti Tujuh Hantu Menyembah Kem-bulan) warisan Bu-san-jit-kui.
Terdengar mulutnya menggumamkan mantera aneh dalam bahasa yang aneh pula, lalu prajurit-prajurit musuh kebingungan melihat tubuh Siangkoan Hong tiba-tiba terpecah menjadi tujuh sosok yang semuanya bergerak sendiri-sendiri secara berlain-lainan. Yang enam adalah bayangan semua dan yang asli hanya satu, namun tidak mudah membedakan yang asli dan yang palsu.
Kadang-kadang seorang prajurit menikam sosok tubuh "Siangkoan Hong" yang didekatnya, namun yang ditikamnya itu ternyata tembus seperti segumpal asap saja, dan Siangkoan Hong yang asli dengan mudah menghantam kepalanya dari belakang.
Tapi Siangkoan Hong sendiri tidak lengah, andaikata tombak dan pedang para prajurit musuh itu benar-benar mengenai tubuhnya, maka kulitnya akan robek benar-benar, sebab ia tidak menguasai ilmu kebal. Di sini terlihatlah bahwa keluarnya ilmu Jit-mo-tiau-goat-sin-hoat itu karena Siangkoan Hong benar-benar sudah terdesak, sehingga ia perlu menggunakan ilmu gaibnya itu untuk membingungkan lawannya.
Di bagian lain, pewaris Bu-san-jit-kui lainnya, Lim Hong-pin, juga sudah melakukan hal yang sama. Tujuh bayangan tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar musuhnya, menjatuhkan banyak korban tetapi toh prajurit musuh terus membanjir-seperti kesetanan.
Sementara itu, pertempuran di bagian depan gerbang yang tertutup, antara Bu-gong Hweshio dan beberapa rekannya yang mencoba menghadang prajurit prajurit musuh yang mencoba merusak pintu gerbang, masih berlangsung sengit sekali. Rata-rata pakaian Bugong, Bu-sian, Bu-teng Hweshio serta In Yong dan Auyang Seng berlima sudah kotor, oleh darah. Bukan darah musuh saja namun juga darah mereka sendiri karena luka-lukanya. Tapi mereka berlima masih saja mengamuk hebat, membabat siapa saja yang berani mendekati ke arah mereka.
Bu-gong Hweshio nampaknya berhasil mendesak Muyong Beng. Namun apa artinya kemenangan seorang atas seorang lainnya dalam pertempuran besar-besaran, macam itu? Bu-gong Hweshio hanya berharap bila ia berhasil membunuh Muyong Beng maka pasukannya akan kocar-kacir kehilangan pimpinan. Perhitungan yang terlalu sederhana dari seorang pendekar rimba persilatan yang sama sekali tidak tahu seluk-beluk peperangan . Lagipula Muyong Beng bukan seorang yang berilmu silat rendahan, namun memiliki ilmu tombak yang cukup berbahaya dan dikuasainya dengan baik.
Waktu itu, laskar Hek-ku-nia yang berdiri di atas dinding sudah tidak nampak lagi. Semuanya sudah dikerahkan ke bawah untuk melawan musuh yang jauh lebih banyak. Sedangkan prajurit-prajuritnya Muyong Beng yang bertugas merusak pintu itupun sudah berhasil membuat lubang besar dengan kampak-kampak mereka. Maka dengan dahului oleh perwira-perwira berilmu silat tinggi yang memegang perisai di depan tubuh mereka, merekapun menyerbu masuk lewat lubang itu. Di antara mereka terlihat To Hok-leng ikut menerobos masuk.
Pertempuran baru segera berkobar di balik pintu gerbang yang dengan sia-sia sudah dicoba untuk dipertahankan oleh Bu-gong Hweshio berlima itu. Begitu berada di dalam, kampak besar To-hok-leng kembali terayun menyebarkan irama maut dan beberapa korbanpun jatuh bergelimpangan. Tapi ia tidak bisa mengumbar nafsu haus darahnya sepuas hati, sebab ia bertemu lagi dengan musuhnya yang kemarin juga.
Sebun Him, si pendekar muda bertangan kidal dari Hoa-san-pay yang sedang getol-getolnya mengangkat nama besar buat dirinya sendiri. Di tangan kirinya tergenggamlah pedangnya yang lebih besar, lebih tebal dan lebih panjang dari pedang ukuran biasanya, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
"Kemarin pertempuran kita terlalu singkat waktunya sehingga aku tidak sempat memenggal kepalamu," kata Sebun Him dingin. "Sekarang akan kutuntaskan pekerjaanku yang kemarin belum Belesai."
Hati To Hok-leng bergetar karena kemarin ia sudah merasakan betapa lihainya anak muda itu. Tapi di hadapan sekian banyak kawan maupun lawan, sudah tentu To Hok-leng sebagai gembong golongan hitam terkenal tidak sudi menunjukkan rasa takutnya kepada Sebun Him yang munculnya di dunia persilatan belum genap setahun itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera melompat ke depan dengan jurus Hek-hau-tiau-kan-(Macan Hitam Meloncati Parit) di mana mata kampaknya menebas tegak ke dada Sebun Him.
Ketika Sebun Him meloncat mundur maka ia lanjutkan dengan Hek-hou-teng-san (Macan Hitam Naik ke Gunung), dengan tubuh setengah berjongkok ia gerakkan kampaknya untuk menebas leher lawan dari bawah ke atas. Tapi lagi-lagi Sebun Him dapat mengelakkannya dengan loncatan pendek, dan detik berikutnya pedang Sebun Himlah yang bergulung melibat lawannya.
Meskipun semangat tempur To Hok-leng tidak sebesar kemarin, tetapi kalau sudah menyangkut urusan keselamatan nyawa, terpaksa iapun mempertahankan dirinya dengan sungguh-sungguh. Tapi ia sadar bahwa Sebun Him benar-benar merupakan lawan yang sulit diatasinya. Dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, dengan mengandalkan tenaga besarnya dia selalu berusaha membenturkan senjatanya ke senjata lawan agar kedudukan lawan rusak.
Namun kali ini ia tidak bisa berbuat demikian, sebab itu sama saja dengan mencari penyakit. Sedang dalam hal kecepatan gerakpun dia ternyata kalah dari lawannya yang muda itu, sehingga dalam beberapa puluh jurus saja ia sudah terdesak oleh Sebun Him.
Tapi gambaran pertempuran Sebun Him dengan To Hok-leng itu bukan gambaran yang mewakili medan perang secara keseluruhan. Di bagian manapun, laskar Hek-ku-nia terdesak mundur setapak demi setapak, meskipun mereka sudah bertahan sekuat tenaga, dan para pendekar berilmu tinggipun sudah mengerahkan segenap kemahiran mereka masing-masing. Namun untuk maju setapak demi setapakpun pihak Ui-ih-kun harus berjuang maha keras, setiap jengkal tanah mereka rebut dengan berpuluh-puluh korban di pihak mereka.
Dimedan sebelah timur, Tong Wi-hong dan lain-lainnyapun sudah terdesak sehingga dari semua arah laskar Hek-ku-nia bagaikan "digiring" ke tengah barak untuk dimusnahkan di situ. Dalam hiruk-pikuknya pertempuran hebat itu, Ting Hun-giok telah terpisah dari rombongan ayah ibunya, pamannya dan saudara-saudara sepupunya. Seorang diri ia terjebak di sebuah lorong, kiri kanannya adalah barak-barak yang sudah terbakar, sementara dari depan dan dari belakang prajurit-prajurit musuh terus menyerbu.
Sambil mengertak gigi, gadis itu memutar goloknya yang sudah berwarna merah darah itu, belasan musuh sudah dirobohkannya. Tapi gadis itupun mulai kelelahan, keringat membasahi seluruh wajah dan tubuhnya, sementara tangannya yang memegang golok mulai terasa pegal-pegal dan gerakannyapun tidak mantap lagi, sementara musuh kelihatannya tidak semakin berkurang tetapi malahan semakin banyak.
Yang membuat Ting Hun-giok merasa ngeri bukanlah kematian, bahkan andaikata tubuhnya tercincang hancur sekalipun, melainkan ketika melihat sikap prajurit-prajurit yang mengepungnya itu sangat kurang ajar. Yang terancam bukan cuma nyawanya tetapi juga kehormatannya.
"Jangan lukai, tangkap dia hidup-hidup! teriak seorang perwira setengah tua yang hidungnya merah dan matanya berair, menandakan orang yang memanjakan nafsunya. "Dia masih perawan dan tentu lebih hebat mainnya dari perempuan di kota Wan-cuan dulu!"
Prajurit-prajurit lainnyapun tertawa-tawa sambil mengeluarkan kata-kata cabul yang memerahkan telinga Ting Hun-giok. Namun prajurit-prajurit itu juga harus berhati-hati sebab di tangan Ting Hun-giok masih ada sebatang golok yang salah-salah bisa menggorok leher mereka. Ada dua rekan mereka yang mampus tersambar golok ketika mencoba merayu gadis itu.
Sementara itu Ting Hun-giok bisa mengertak gigi dengan geram sambil melawan mati-matian. Jika menuruti perasaan kewanitaannya, tentu ia ingin menangis dan menjerit sepuasnya untuk melampiaskan kepepatan hatinya, tapi ia mengerti bahwa jika ia berbuat demikian maka lawan-lawannya akan semakin senang menggangunya.
Karena itulah Ting Hun-giok bertekad melawan mati-matian, kemudian jika sudah tidak sanggup melawan lagi barulah ia akan menggigit lidahnya sendiri sampai mati. Lebih baik mati daripada tubuhnya dijadikan sasaran pesta pora prajurit-prajuritnya Pakkiong An itu.
"Kuda betina ini agak binal juga, thongleng (tuan perwira)!" teriak seorang prajurit sambil enangkis golok Ting Hun-giok dengan perisainya.
"Aku justru senang, semakin binal akan semakin mengasyikkan untuk menungganginya!" sahut perwira berhidung merah itu. Namun kemudian tempa: itu digetarkan teriakan kesakitan dari prajurit yang menyebut Tong Hun-giok dengan sebutan, "kuda b|tina" tadi. Sebab di saat perisainya menangkis golok gadis itu dari atas, maka tanpa terlihat tahu-tahu kaki Ting Hun-giok sudah melayang dan mendarat keras di antara kedua pahanya sampai mengeluarkan suara berdetak keras. Dalam hal ilmu menendang, Ting Hun-giok sudah mendapat gemblengan ibunya yang ahli dalam soal menendang itu, sehingga tendangannya kali inipun langsung membuat prajurit itu terjungkal dengan wajah pucat.
Entah hanya pingsan entah langsung mampus, tapi Ting Hun-giok tidak sempat memperhatikannya sebab sebatang tangkai tombak telah melayang dari samping menghantam pundaknya sehingga gadis itu sempoyongan. Agaknya prajurit itu sengaja tidak menggunakan ujung tombaknya, karena ia hanya ingin menangkapnya hidup-hidup.
Di saat itulah seorang prajurit lainnya juga mengambil kesempatan untuk menendang pergelangan tangan kanan Ting Hun-giok, sehingga golok gadis itu terpental lepas dari tangannya. Lalu dengan tangan kiri ia siap melumpuhkan gadis itu dengan tangan kirinya yang dipukulkan ke tengkuk. Namun tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat menggertakkan tempat itu, "Tahan!"
Bukan, bentakan yang asal keras saja, namun mengandung perrbawa yang berat sehingga membuat hati prajurit-prajurit itu tergoncarg, bahkan beberapa orang sampai ciut nyalinya. Itulah ilmu Sau-cu-hau (Geraman Harimau). Prajurit yang hampir berhasil memukul Ting Hun-giok pada tengkuknya itupun tak terasa membatalkan tindakannya, sehingga memberi kesempatan kepada Ting Hun-giok untuk menjotoskan kepalanya ke pingggang dengan gerakan Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Mencuri Jantung), sehingga prajurit itu terjungkal pingsan.
Kini semua mata menoleh ke arah asal suara bentakan itu, dan tidak peduli mata Ting Hun-giok maupun mata para prajurit itu sama-sama terbelalak karena hampir tak percaya akan apa yang mereka lihat. Beberapa prajurit mengucak-ucak matanya, namun yang dilihatnya itu memang kenyataan dan bukan gambaran semua saja.
Di antara kobaran api yang dahsyat yang tengah menelan sebuah barak itu, nampak sesosok tubuh berpakaian serba hitam dengan kedok hitam pula yang menutupi separuh mukanya, berdiri di tengah-tengah kobaran api namun tak terjilat oleh api. Dari tempatnya berdiri, sejauh dua tombak keliling api padam dengan sendirinya seolah tak dapat mendekati tubuh orang berpakaian serba hitam itu. Orang yang melihatnya jadi kebingungan entah berhadapan dengan malaikat atau siluman?
Orang berpakaian serba hitam itu lalu melangkah keluar dari tengah-tengah korban api itu dengan tenangnya seperti berjalan di taman bunga saja, dan api yang berkobar padam sendirinya jika ia melewati tempat itu, bahkan baranya yang menyalapun padam seperti disiram air.
Setelah orang itu cukup dekat dengan Ting Hun-giok dan prajurit-prajurit itu barulah terasa bahwa dari tubuh orang itu ternyata memancarkan hawa yang begitu dinginnya sampai mengatasi kobaran api, sehingga di mana dia lewat maka ia mampu menindas kobaran api dengan hawa dingin di tubuhnya itu.
Jelaslah orang ini memiliki ketinggian ilmu yang bukan main-main, udara dingin dari tubuhnya itu apabila dipancarkan dengan pukulan akan sanggup membekukan seluruh cairan dalam tubuh sasarannya termasuk darahnya, dan tentu saja si korban akan mampus seketika.
Dengan tajamnya orang berkedok itu menatap para prajurit, dan berkata dingin, "menyingkir, supaya aku tidak perlu bertindak keras dengan membuat kalian mati beku di tempat ini."
Prajurit-prajurit itu banyak yang berasal dari Pak-khia, sehingga samar-samar merekapun dapat mengenali bentuk tubuh maupun suara orang berkedok hitam itu. Si perwira setengah tua berhidung . merah itu dengan suara gemetar berkata, "Kau...kau... Tong Congpeng?"
Orang berkedok itu tertegun, kedoknya agaknya tidak dapat menyembunyikan diri sepenuhnya dari pandangan mata prajurit-prajurit itu, karena di Pak-khia dia adalah seorang yang memiliki ketenaran sejajar dengar Pakkiong Liong, Panglima Hui-liong-kun. Akhirnya orang berkedok itupun merenggut kedoknya dari wajahnya, dan ternyata dia memang Tong Lam-hou.
Kepada prajurit-prajurit di hadapannya itu. Tong Lam-hou berkata setengah membujuk setengah mengancam, "Saudara-saudara, mengingat akupun bekas prajurit kerajaan seperti kalian, aku tidak akan membunuh kalian apabila kalian cukup tahu diri untuk menyingkir dari sini."
Para prajurit itu tahu benar bagaimana dahsyatnya Tong Lam-hou di medan perang, beritanya sampai mengguncangkan seluruh negeri. Namun untuk mundur begitu saja, para prajurit itu-pun takut dihukum oleh atasannya. Kata perwira berhidung merah itu sambil memberi hormat,
"Tong Congpeng, kau bekas seorang prajurit sehingga kau tentu tahu pula bagaimana kewajiban seorang prajurit terhadap tugas yang diletakkan di pundaknya. Gugur demi kerajaan yang besar ini akan menjadi kebanggaan kami."
Tong Lam-hou tertawa dingin, "Kalian di sini bukan gugur demi Negara dan Kaisar, melainkan demi Pakkiong An si tua bengek itu. Ia mengorbankan ribuan prajurit macam kalian di medan perang hanya untuk memuaskan nafsu kemarahan atas kematian anaknya, Pakkiong Hok. Dan selama kalian mengadu jiwa di sini, di Pak-khia sendiri Pakkiong An sudah merebut kekuasaan pemerintahan.
Dan kalian tidak usah mengharap tanda jasa apapun untuk bahaya yang kalian tempuh di sini, yang akan menerima tanda jasa adalah Muyong Beng, Tamtai Au-kha dan sebagainya sementera banyak isteri kalian menjadi janda, anak-anak kalian menjadi kelaparan dan menanyakan ayahnya, tapi sudikah Pakkiong An memperhatikan hal itu?"
Para prajurit itu termangu-mangu merasakan kebenaran kata-kata Tong Lam hou yang betapapun adalah bekas orang yang mereka hormati di Pak-khia, biarpun berbeda pasukan. Sementara Tong Lam-hou berkata lebih lanjut, "Aku tahu kalian akan menang dalam perang ini. Tapi kalian lihat bagaimana orang orang Hwe-liong-pang itu melawan? Meskipun kalian menang tapi bangkai kalian akan bertumpuk-tumpuk memenuhi bukit ini, yang pulang ke Pak-khia barangkali hanya seperlima dari kalian.
Orang-orang Hwe-liong-pang boleh saja merasa berharga karena kematian mereka demi mempertahankan cita-cita dan pendirian mereka. Tapi kalian? Kalian bukan pahlawan, tapi mati konyol karena ditipu Pakkiong An dan hanya memenuhi nafsu serakah panglima tua yang gila kekuasaan itu!"
Dengan ucapan-ucapannya itu Tong Lam-hou memang berhasil mematahkan se mangat prajurit-prajurit itu. Maka perwira berhidung merah itu segera memberi hormat kepada Tong Lam-hou secara ketentaraan, sahutnya, "Ucapan Congpeng memang benar, kami hanyalah seperti kayu-kayu kering yang dilemparkan ke dalam api, sementara dia. sendiri enak-enak di Pak-khia bermain kekuasaan. Terima kasih, Congpeng, aku mohon diri."
Maka prajurit-prajurit itupun mengeloyor pergi. Mereka masih ikut bertempur di bagian lain, namun hanya dengan setengah hati dan lebih banyak cari selamat saja. Mereka masih ingin pulang kembali kepada keluarga mereka dengan badan utuh dan nyawa masih menempel di badan. Ucapan Tong Lam-hou masih saja terngiang-ngiang di telinga.
Sementara itu, Ting Hun-giok bersyukur sekali dengan kedatangan Tong Lam-hou yang menolongnya dari malapetaka itu. Ia menganggukkan kepala dengan agak canggung, dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan Cong-peng eh... piau-ko (kakak misan)!"
Tong Lam-hou tersenyum melihat kecanggungan gadis itu, tadi ia sudah menyaksikan keberanian dan kebandelan gadis itu dan itu mengingatkannya kepada seorang gadis Manchu adik sepupu Pakkiong Liong di Pak-khia sana, yang mirip betul dengan adik sepupunya ini. Pakkiong Liong sering dibikin pusing oleh adik sepupunya itu, mungkinkah sekarang ia juga akan mengalami nasib sama dengan sepupunya itu, mungkinkah sekarang ia juga akan mengalami nasib sama dengan sahabatnya di Pak-khia i-tu?
Sahut Tong Lam-hou, "Sudahlah, jangan seperti terhadap orang lain kita kan bersaudara. Yang penting, segeralah bergabung dengan ayah-ibumu dan paman serta bibimu, dan lebih berhati-hati, mengerti?"
"Piau-ko sendiri hendak ke mana, kalau tidak bergabung dengan kami?" tanya Ting Hun-giok.
"Paman Wi-hong sudah menerangkan kepada sekalian pendekar tentang pendirianmu yang menginginkan perdamaian dengan bangsa Manchu itu, dan nampaknya bisa diterima. meskipun kemudian suasana dirusak oleh kedatangan pasukan kerajaan yang hendak membantai kami ini."
Sahut Tong Lam-hou, "A-giok, pasukan ini tidak diperintahkan oleh Sri Baginda Khong-hi melainkan hanyalah pokal Pakkiong An sendiri. Bahkan menurut perhitunganku, saat ini Sri Baginda di Pak-khia malahan juga sedang dibahayakan oleh pokal Pakkiong An yang memang sudah lama ingin mendongkel Sri Baginda dari singgasananya. Tolong kau sebarkan keterangan ini terhadap teman-temanmu. Nah, pergilah, aku masih harus berkeliling seluruh arena untuk mencoba mengundurkan pasukan Pakkiong An."
“Baik, piau-ko, apakah piau-ko akan membabat mereka dengan ilmu udara dinginmu yang hebat itu?"
"Itu hanya senjata terakhir. Manusia dikaruniai mulut dan akal budi untuk menyelesaikan segala persoalan dengan damai lebih dulu, meskipun ke dada karunia itu jarang digunakan. Manusia lebih sering menggunakan pedang lebih dulu, baru mulutnya. Aku kalau bisa ingin membujuk prajurit-prajurit musuh agar mereka jangan mau dikorbankan demi nafsu berkuasa Pakkiong An. Kalau tidak mau kunasehati, barulah kuhunus pedangku."
"Jadi piau-ko akan bertempur di pihak kami melawan tentara Man...eh tentara Pakkiong An?"
"Benar," sahut Tong Lam-hou, dan bersamaan dengan selesainya kata-katanya itu tubuhnya telah melayang pergi. Kobaran api yang menjilat langit dan panasnya bukan kepalang itu diterjang begitu saja seolah tidak ada apa-apanya. Ting Hun-giok menatap kakak sepupunya itu dengan kekaguman melihat kesaktiannya, sambil bergumam sendirian, "Piau-ko begitu lihai namun tingkah lakunya begitu lembut dan mengagumkan, berbeda dengan Sebun Him yang meskipun lihai namun bukan main sombongnya."
Sementara itu, Tong Lam-hou benar-benar mengelilingi arena pertempuran itu. Apa yang dilakukannya adalah sama dengan yang dilakukan di tempat ia menemui Ting Hun-giok tadi. Diyakin-kannya para prajurit dan bahkan para perwira bahwa tidak ada gunanya membuang nyawa untuk Pakkiong An di bukit terpencil ini, sementara Pakkiong An sendiri bukan seorang yang menghargai hasil kerja bawahannya.
Di satu bagian Tong Lam-hou berhasil, tapi di lain bagian ia bertemu dengan prajurit prajurit atau perwira-perwira yang setia kepada Pakkiong An sampai ke tulang sungsumnya, sehingga terhadap diri mereka itu tidak ada jalan lain bagi Tottg Lam-hou kecuali bertindak keras. Namun secara keseluruhan, kemunculan Tong Lam-hou itu mempengaruhi medan perang. Sebagian prajurit yang telah mendengar ucapannya menjadi setengah hati dalam bertempur, asal mempertahankan hidup saja.
Sementara sebagian lainnya kehilangan dukungan teman-temannya. Maka desakan pasukan Ui-ih-kun yang tadinya terasa berat hampir tak tertahankan oleh pihak Hwe-li-ong-pang dan teman-temannya itu, tiba-tiba terasa mengendor dibeberapa bagian, padahal saat itu tengah haripun belum dan mustahil sebuah pasukan Ui-ih-kun kelelahan begitu cepat, padahal kemarin mereka sanggup berkelahi dari pagi sampai sore.
Keheranan bukan saja menghinggapi orang-orang Hwe-liong-pang dan teman teman mereka, tapi juga prajurit-prajurit Ui-ih-kun sendiri. Mereka yang ada di garis depan dan membutuhkan bantuan dari barisan belakang supaya serangan dapat mengalir lancar, begitu yang diajarkan dalam latihan prajurit, tiba-tiba merasakan bantuan dari barisan belakang tidak lancar lagi. Terputus-putus, sehingga malah o-rang-orang Hwe-liong-pang mendapat kesempatan untuk mendesak balik.
Sebagai panglima yang banyak pengalaman dan berpandangan tajam, Muyong Beng yang belum selesai bertarung melawan Bu-gong Hweshio itu juga dapat merasakan kemerosotan semangat prajurit-prajuritnya itu, meskipun hanya sebagian. Karena itu, sambil menangkis serangan-serangan Bu-gong Hweshio yang gencar, ia mengeluarkan perintahnya, "Sebarkan perintahku. Yang bertempur dengan sungguh-sungguh akan mendapat hadiah, yang berkelahi dengan setengah hati akan kehilangan kepalanya malam ini juga!"
Ketika perintah itu merata ke segenap pasukan, maka prajurit-prajurit yang mulai lesu itupun terpaksa harus menunjukkan kesungguhannya lagi, sebab kalau ketidak sungguhan itu terlihat oleh teman mereka sendiri dan kemudian dilaporkan ke atasan, maka celakalah mereka. Akhirnya mereka memilih lebih suka bertempur dengan sungguh-sungguh daripada dihukum mati dengan nama yang ternoda sebagai pengkhianat.
Di arena pertempuran di dekat pintu gerbang, terlihat To Hok-leng sudah mulai terdesak oleh lawannya, Sebun Him. Kampaknya yang mengerikan dan sudah memenggal beratus-ratus kepala manusia itu, kini tidak lebih hanyalah alat bertahan yang diputar rapat di sekeliling badannya. Itupun kadang-kadang ujung pedang Sebun Him beberapa kali berhasil menerobos pertahanannya dan melukai tubuhnya. Bukan luka mematikan memang, tapi darah yang terus menerus mengalir dari luka telah membuat To Hok-leng semakin lemah.
Kini, Im-kan-hong-kui (Iblis Gila Dari Akherat) itu barulah merasakan apa artinya ketakutan terhadap maut. Biasanya dia gembira melihat calon korbannya menggigil ketakutan atau meratap-ratap minta ampun, namun ia tidak pernah menaampuninya dan setiap kalipun.kampaknya terayun menebas leher korbannya.
Karena ia tidak percaya adanya pengampunan antara dua orang yang bertempur, bahkan, menganggap hal itu tolol, maka kini diapun yakin, bahwa Sebun Him tidak akan mengampuninya. To Hok-leng sudah kehilangan harapan, apalagi melihat wajah Sebun Him yang beringas itu nampaknya juga bukan wajah seorang pemaaf.
Suatu ketika, Sebun Him melakukan sebuah jurus Hoa-san-pay yang disebut Hui-tou-goat-hong-tian-ci (Memutar Kepala Melihat Rembulan, Burung Hong Membuka Sayap). Jurus yang namanya indah seperti sebuah syair, namun kehebatannya luar biasa, apalagi dimainkan Sebun Him yang memiliki kekuatan dahsyat karena ilmu Kun-goan-sin-kang-nya. Pedangnya menderu luar biasa dan bergulung hebat ke arah lawan, sulit dibedakan mana yang serangan asli dan mana yang hanya gerak tipu saja.
To Hok-leng mati-matian dan meloncat mundur pula, tetapi cahaya pedang Sebun Him bagaikan mulur mengejarnya. To Hok-leng memalangkan kampaknya di depan dada, tapi pedang Sebun Him bagaikan ular tiba-tiba menggeliat dan tangan kiri To Hok-leng pun tertabas putus. Di tengah seringai kesakitannya, tanpa malu-malu lagi To Hok-leng berkata,
"Ampuni aku, siauhiap..." dan sinar matanya juga memancarkan ketakutan luar biasa. Sangat berbeda dengan sinar matanya ketika kemarin ia menjilati darah korban-korbannya yang melekat di mata kampaknya. Waktu itu matanya memancarkan kemenangan bercampur kebuasan hewani, dan juga kebanggaan karena orang-orang lain menatapnya dengan rasa ngeri.
Yang matanya mirip dengan dirinya ketika menjilati darah di kampak kemarin itu kini adalah mata Sebun Him. Anak muda itu tidak menjawab sepatah katapun akan permintaan ampun To Hok-leng itu, melainkan dijawabnya dengan sebuah sabetan pedang yang membuat kepala To Hok-leng menggelundung. Sebun Him merasa bangga setelah melakukan itu. la memandang berkeliling, lalu tiba-tiba iapun meloncat menerjang prajurit-prajurit Ui-ih-kun dan kemudian pedangnyapun terayun ke-sana kemari menjatuhkan korban di antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun.
Demikianlah, pembunuhan di mana-mana terjadi, di segala sudut barak itu. Baik Ui-ih-kun maupun lawannya kehilangan banyak orang. Orang-orang Hwe-liong-pang telah menunjukkan cara bertarung yang sangat menggetarkan hati kawan maupun lawan, cara bertempur yang sampai hampir matipun masih berusaha keras untuk mengayunkan senjata atau menendang untuk mencari tambahan korban baru.
Dengan demikian prajurit-prajurit Ui-ih-kun itupun mulai merosot semangatnya, bagaimanapun juga kata-kata Tong Lam-hou selalu terngiang di telinga mereka. Buat apa mereka bertempur seperti ini? Buat menyenangkan Pakkiong An, atau cuma sekedar sebuah "langkah catur" dari si panglima tua itu...?
Selanjutnya;