Pendekar Naga dan Harimau Jilid 46 (Tamat)
KEDUA sahabat itu berpelukan dengan eratnya, sementara prajurit tadi telah keluar dari kemah itu. "Kau agak kurus, sekarang, "A-hou." kata Pakkiong Liong sambil melepaskan pelukannya dan mengamat-amati tubuh sahabatnya itu.
"Dan kau berbau arak, padahal kau adalah seorang panglima yang selalu melarang pasukanmu untuk minum arak apabila sudah berada dihadapan musuh," sahut Tong Lam-hou.
"Aku tidak menduga kau akan mengunjungiku. Mari duduklah."
Kedua orang itu kemudian duduk berhadapan dalam kemah itu, dan cawan demi cawan arakpun mulai mengalir lewat tenggorokan mereka. Membuat kesadaran semakin kabur dan keragu-raguan mulai hilang.
“A-liong...."
“Jangan banyak bicara, mari minum lagi.”
"A-liong, aku tidak bisa membiarkan paman-pamanku, bibi-bibiku, saudara-saudara sepupuku dan orang-orang Hwe-liong-pang yang setia kepada mendiang ayahku itu besok pagi terbantai oleh pasukanmu yang dahsyat itu. Karena itulah aku datang kemari."
Mata Pakkiong Liong yang redup karena terpengaruh arak itu agak terbelalak sedikit, lalu katanya, “Kau kira akupun menyenangi tugas ini? Aku benci membunuhi pendekar-pendekar berhati mulia, aku hanya senang membunuhi para pengacau negara. Tapi aku tidak bisa memilih yang baik bagi diriku sendiri. Aku seorang prajurit, apabila perintah dijatuhkan maka akupun bertindak tidak peduli hatiku senang atau tidak."
Tong lam-hou meneguk lagi secawan araknya dan berkata, "Aku mengerti. Aku hanya ingin berkata bahwa biang keladi dari pertumpahan darah ini adalah Tong Lam-hou seorang. Asal kau ringkus diriku dan kau seret aku ke Pak-khia untuk diserahkan kepada Pakkiong An untuk memuaskan dendamnya atas kematian Pakkiong Hok, semuanya akan beres. Pertikaian berhenti, tidak ada lagi orang-orang tak bersalah ying menjadi korban pertentangan ini, dari pihak prajurit maupun dari pihak Hek-ku-nia."
Pakkiong liong termangu-mangu sejenak mendengar hal itu. "Dapatkah aku berbuat demikian? Menyerahkan seorang yang pernah menolong nyawaku dari taring serigala-serigala ke tangan algojo?“
"Itu memang tugasmu bukan? Tugas seorang prajurit yang tidak bias diingkari lagi. Aku menyerahkan diri atau, tidak, toh sama saja akhirnya kau akan membawa aku ke Pak-khia, sebab memang akulah yang diincar oleh Pakkiong An. Tapi jika aku bisa kau bawa sekarang, maka besok tidak akan ada pertempuran lagi, beratus-ratus nyawa akan terselamatkan."
Pakkiong Liong mengangguk-anggukkan kepalanya, hatinya terasa pedih tetapi ia merasakan jalan yang diusulkan Tong Lam-hou itulah jalan yang terbaik untuk menekan jumlah korban sekecil-kecilnya. Namun tiba-tiba teringatlah Pakkiong Liong akan seorang perempuan tua di lereng gunung Tiam-jong-san, yang keramah-tamahannya membuat Pakkiong Liong merasakan gubuk kecil di lereng gunting itu seperti di sorga rasanya.
Perempuan itu hanya memiliki seorang anak, akankah ia merampas anaknya itu untuk diserahkan ke tangan algojo, supaya dirinya sendiri mendapat pujian sebagai seorang panglima yang tegas terhadap sahabatnya sendiri sekalipun?
Lalu ia ingat ketika taring segerombolan serigala sudah mengerumuninya, muncul seoarang anak gunung yang menyelamatkannya tanpa pedulikan yang ditolongnya itu orang Han atau Manchu, seorang anak gunung yang berpikiran lugu dah cita-citanya hanyalah melihat dunia ini menjadi damai, tanpa perang lagi. Kenapa orang macam ini harus dihukum mati dengan fitnahan yang keji sementara orang macam Pakkiong An malah mendapat kedudukan yang semakin terhormat?
"Kau rela berkorban untuk itu, A-hou?" tanya Pakkiong Liong.
"Benar. Demi beratus-ratus nyawa yang masih bisa diselamatkan dari ganasnya api peperangan."
Tiba-tiba Pakkiong Liong menggebrak meja sambil berseru, "Bagus, benar-benar laki-laki sejatil Tidak percuma aku punya sahabat seperti kau, mati hidupkupun terasa berharga. Tong Lam-hou, biarlah kuberi kau satu kesempatan."
"Apa maksudmu?"
"Kau menyayangkan matinya ratusan orang, akupun demikian. Tapi aku merasa diriku tidak adil jika aku membawa dirimu begitu saja ke Pak-khia tanpa mengeluarkan setetes keringatpun, sedangkan kau pernah menolong nyawaku. Karena itu, biarlah kita mengadakan pertaruhan nyawa."
"Ah, kau membuat persoalan jadi bertambah sulit saja, A-liong. Bukankah kau tinggal meneriakkan perintah dan aku tidak akan melawan untuk kau tangkap dan kau seret ke Pak-khia?"
"Tidak. Kita akan berduel besok pagi dengan disaksikan kedua pasukan kalau aku menang, aku puas sebab aku mencapai kemenanganku tidak dengan cuma-cuma. Apabila kau yang menang, anggaplah aku membalas kebaikanmu ketika aku hampir dilahap kawanan serigala di Hun-lam dulu, meskipun persahabatan kita tidak bisa dinilai dengan apapun juga. Aku rasa ini adalah jalan tengah yang paling adil, lebih adil daripada aku menyeretmu begitu saja seperti menyeret seekor ternak yang hendak dibawa ke pasar. Aku lebih suka mati di ujung pedangmu daripada pulang membawa kegagalan perintah Peng-po Siangsi,"
"...dan akaupun sebenarnya lebih suka mati daripada di seret-seret sebagai tawanan penuh kehinaan menuju Pak-khia," sahut Tong Lam-hou.
Tak terasa keempat tangan dari sepasang sahabat karib itu saling genggam dengan eratnya, dan dengan mata berkaca-kaca Pakkiong Liong berkata, Betapa menyedihkan kita berdua bukan? Selamanya kita tidak pernah berpikir untuk saling melukai seujung rambut-pun, tapi kini kita dipaksa saling menikamkan pedang ke jantung kita masing masing..."
"Jangan menyesal, A-liong, tidak ada yang lebih tulus dari persahabatan kita. Tapi kau masih punya kesempatan untuk mencabut keputusanmu tentang duel itu, kau seorang Panglima yang unggul diatas angin kedudukannya dibandingkan aku yang hanya seorang pelarian tak berharga...”
"Hentikan omongan melanturmu itu, A-hou, aku harus adil terhadap sahabatku. Dan tentang siapa yang bakal mati besok pagi, kita serahkan saja kepada nasib kita masing-masing."
"Baik, mari kita minum lagi...!"
"Kita angkat cawan untuk persahabatan kita...!"
"Kita minum untuk kejayaan negeri!"
"Kita minum untuk... kematian kita?!"
"Bagus! Untuk kematian kita!"
Cawan demi cawan arak terus mengalir lewat tenggorokkan, sementara percakapanpun semakin melantur karena pengaruh arak. Mereka hanya ingin melupakan kepedihan hati mereka, tapi toh jika pengaruh arak nanti lenyap maka kepedihan itu masih ada di depan mata?
Ketika pengaruh arak tak tertahan lagi, maka keduanyapun ambruk menelungkupi meja. Sesaat masih terdengar mereka berdua bernyanyi tak keruan dengan suara yang parau, lalu tertawa terbahak-bahak dan kemudian mendengkur dengan napas berbau arak.
Dari balik kemah, Han Yong-kim dan perwira-perwira lainnya mendengar percakapan tentang perjanjian untuk berduel itu, sehingga mereka hanya bisa menarik napas panjang, terharu namun juga kagum bahwa di dunia ada persahabatan yang harus berakhir demikian memedihkan.
"Bagaimana sikap kita?" tanya Wa-nyen Hui kepada Han Yong-kim yang dianggap sebagai "perwira dekat" yang paling mengerti perasaan Pakkiong Liong.
"Kita hormati perjanjian antara mereka sebagai perjanjian antara dua laki-laki dan biarkan berlangsung seperti yang mereka perjanjikan," sahut Han Yong-kim. "Perintah dari Peng-po Siangsi juga hanyalah untuk menangkap Tong Lam-hou. Sedang Muyong Beng memperluas perintah itu sesuai dengan kemauannya sendiri untuk menumpas seluruh Hwe-liong-pang sehingga ia harus menelan, pengalaman pahit seperti itu."
Hu Lan-to dan Wanyen Hui mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Hao Yong-kim berkata, "Beritahukan seluruh pasukan agar besok pagi tidak bergerak lebih dulu. Aku juga akan mengirimkan seorang utusan ke Hek-ku-nia ke laskar musuh tentang rencana perang-tanding ini. Barangkali memang cara ini yang terbaik untuk memuaskan semua pihak kecuali pihak-pihak yang haus darah.”
"Bagaimana dengan Muyong Beng dan pasukannya?"
"Aku adalah wakil Pakkiong Ciang-kun jika Ciangkun berhalangan," kata Han Yong-kim. "Kalau Muyong Beng membangkang maka dia akan dihukum dengan tata tertib ketenteraan."
Demikianlah Han Yong-kim telah mengambil tindakan-tindakan seperlunya untuk "mengamankan" duel yang akan berlangsung esok pagi itu. Sebenarnya hati Han Yong-kim pedih juga, sebab bagaimanapun juga yang hendak saling membunuh itu adalah sahabat-sahabatnya, siapapun yang bakal menang maka ia akan tetap kehilangan seorang sahabat.
Namun memang itulah jalan untuk mencegah pertempuran berlanjut dengan korban-korban yang tidak perlu, dan untuk itu dua orang laki-laki sanggup mengorbankan persaannya dan persahabatannya. Sebuah surat juga dikirimkan ke Hek-ku-nia oleh seorang prajurit yang membawa, bendera putih di tangannya. Dan ketika utusan itu kembali, ia membawa surat balasan Tong wi-hong sebagai pimpinan seluruh laskar bahwa mereka dapat menyetujui hal itu.
Buat Tong Wi-hong, betapapun cemasnya ia akan nasib keponakannya itu, namun kepentingan seluruh laskar harus didahulukan. Kesempatan istirahat sehari itu akan dapat sedikit memulihkan keadaan laskarnya yang babak belur setelah dua hari pertempuran itu. Yang susah adalah ketika "harus menenangkan orang-orang Hwe-liong-pang yang dengan bernafsu ingin menyerbu turun bukit malam itu juga. Tapi akhirnya merekapun dapat diberi pengertian bahwa kesempatan satu hari itu dapat mereka gunakan untuk "mengambil napas".
Ketika kokok ayam jantan terdengar terakhir kalinya dan matahari merekah di ufuk timur, pasukan kerajaan meskipun tidak akan bertempur ternyata bersiap-siap juga, begitu pula laskar Hek ku-nia. Bagaimanapun suasana 'perang masih mempengaruhi kedua belah pihak sehingga masing-masing tetap merasa perlu untuk berjaga-jaga.
Ketika Muyong Beng diberitahu, maka wajahnyapun cemberut. Katanya, "Membuang waktu saja. Sekarang Tong Lam-hou sedang mabuk, langsung saja potong lehernya sebelum dia siuman, lalu serbu bukit itu sampai musuh tertumpas tak tersisa seorangpun. Buat apa membuat perjanjian duel dengan seorang bandit rendahan? Hanya membuang waktu dan membuat mereka besar kepala.
“Aku tidak setuju..."
Han Yong-kim menatap lurus-lurus mata Muyong Beng dan berkata tajam, "Kalau kau tidak setuju, pagi ini juga kau kehilangan kepala. Paham?"
Wajah Muyong Beng menjadi merah padam mendengar ucapan Han Yong-kim itu, "He, Korea busuk, berdasar hak apa kau bisa memerintah aku dan bersikap sekurang ajar itu kepadaku? Memangnya ketenteraan kita ini adalah hukum rimba yang tidak punya tata tertib?"
Tanpa takut-takut Han Yong-kim menyahut, "Andaikata tata tertib ketentaraan itu ada, maka ia sudah lama rusak karena digerogoti orang-orang macam Pakkiong An dan begundal-begundalnya semacam kau ini. Karena itu, tidak ada lagi aturan tetek-bengek di medan perang ini, karena kami dari Hui liong-kun lebih kuat dari kalian, maka kalian harus tunduk kepada kami atau kami hukum dengan tata tertib yang kami buat sendiri."
Jawaban seenaknya itu membuat dada Muyong Beng hampir meledak, tapi ia terpaksa menahan diri karena sadar bahwa pihaknya sedang kalah kedudukan. Jumlah prajuritnya sekarang sudah menyusut tinggal kira-kira enam ribu orang, itupun dalam keadaan semangat merosot dan kekalahan karena sudah bertempur dua hari. Sedang Hui-liong-kun berjumlah tujuhribu limaratus dan masih segar, selain itu mutu prajurit dari kedua pasukan itu juga berbeda jauh. Jika sampai bentrok hanya akan merugikan pihaknya sendiri.
Namun Muyong Beng sempat juga menggertak untuk melampiaskan kejeng-kelamnya, "Sekarang kau boleh bertingkah di sini, Korea busuk, tetapi setelah di Pak-khia nanti kau akan tahu siapa yang berkuasa..."
Han Yong-kim tentu saja tahu apa yang dimaksud oleh Muyong Beng itu, sahutnya sambil tertawa dingin, "Maksudmu apabila usaha Pakkiong An untuk menduduki singgasana itu berhasil? He-he-he, jangan terkejut, usaha panglimamu yang dicobanya untuk diselubungi rapat-rapat itu sudah bocor kesana kemari, dan pihak yang setia kepada Kaisar pun tidak akan tinggal diam untuk membuat gerakan tandingan. Kau jangan terlalu mengandalkan Panglima tua itu atau kau hanya akan kecewa karena mendapat sandaran yang rapuh!"
Wajah Muyong Beng yang merah padam itu berubah menjadi pucat karena terkejutnya. Usaha Pakkiong An untuk memupuk kekuatan dan merebut tahta itu sangat rahasia dan hanya diketahui oleh Pakkiong An serta beberapa perwiranya yang paling terpercaya seperti Muyong Beng ini, tapi jika sampai "orang luar" seperti Han Yong-kim ini tahu.
Bukankah artinya rahasia itu terancam bocor dan membuat pihak-pihak yang setia kepada Kaisar membuat persiapan-persiapan? Artinya rencana perebutan kekuasaan itu terancam gagal, dan Muyong Beng tahu apa akibatnya apabila rencana itu sampai gagal. Itulah yang membuat wajahnya pucat dan mulutnya bungkam tak dapat lagi menjawab Han Yong-kim.
Han Yong-kim tertawa melihat sikap Muyong Beng itu, katanya, "Jangan takut itu, bukankah kau seorang panglima perang yang cukup punya nama di medan-medan perang? Jalankan saja perintahku tadi, dan setiap pelanggaran dari seorang prajuritmu yang paling rendah saja maka aku akan menuntut tanggung jawab dari padamu. Paham?"
Kali ini Muyong Beng tidak bersikap garang lagi, ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bertanya, "Jadi pasukanku harus diapakan kalau tidak bersiap-siap untuk perang?"
"Siapkan saja dan berbaris di tepi dataran rumput itu, untuk menjadi saksi duel itu. Belum tertutup kemungkinan bahwa pihak musuh akan berbuat curang dan mengacau jalannya pertandingan, sehingga kita harus bersiap siap."
"Baiklah," sahut Muyong Beng yang kali ini berubah menjadi “jinak".
Sementara itu, dari Hek-ku-nia pun laskar yang terdiri dari macam-macam golongan itupun berbondong-bondong turun ke dataran rumput itu dan kemudian berbaris berderet-deret di sisi barat, di kaki bukit. Dalam keremangan pagi nampak wajah tokoh-tokohnya seperti Siangkoan Hong, Lim Hong-pin.
Para Tongcu yang jumlahnya sudah tidak lengkap, Bu-gong Hweshio, Sebun Him, beberapa tokoh macam-macam perguruan, dan juga Tong Wi-hong serta isterinya dan kedua anaknya, Ting Bun beserta isterinya dan anak gadisnya yang berdiri berdampingan dengan Im Yao, pemimpin gerombolan Jing-liong-pang, Lim Kan.
Yang paling tegang tentu saja adalah Tong Wi-hong dan keluarganya, sebab buat mereka Tong Lam-hou bukan sekedar "jago aduan" namun adalah bagian dari darah daging mereka. Mereka sudah tahu jelas isi perjanjian perang tanding antara Tong Lain hou dan Pakkiong Liong sebab tadi malam seorang utusan Han Yong-kim sudah naik ke bukit untuk membawa surat yang berisi keterangan lengkap tentang perjanjian itu.
Banyak orang dipihak laskar Hek-ku-nia yang menaruh penghargaan tinggi atas pengorbanan Tong Lam-hou itu, namun juga kepada Pakkiong Liong yang tidak mau sewenang-wenang kepada sahabatnya itu meskipun dalam kedudukan yang lebih kuat.
Apabila di antara orang-orang Manchu terdapat orang-orang berbudi luhur semacam Pakkiong Liong, rasanya memang kurang masuk akal kalau sembarang membabi buta terus, mengacau pemerintahan Manchu sehingga menimbulkan suasanaa tidak tenang terus-menerus di seluruh negeri. Yang harus ditentang adalah orang-orang pemerintahan semacam Pakkiong An atau Muyong Beng, bukan hantam kromo saja.
Ketika matahari merekah, dari arah perkemahan pasukan kerajaan tiba-tiba muncul dua orang yang berjalan berdampingan menuju ke tengah-tengah arena. Masing-masing membawa pedang yang masih berada dalam sarungnya, dan ketika tiba di tengah arena kedua orang itupun saling berpalukan lama sekali.
Merekalah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou, si Naga Utara yang akan melakukan duel sampai mati melawan si Harimau Selatan demi menetapi kewajibannya masing-masing. Kewajiban terhadap pendiriannya masing-masing. Ketika berpelukan itu, kedua orang itu menjadi merah matanya.
Kata Pakkiong Liong, "Cacingpun akan menggeliat diinjak. A-hou, kau harus berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang laki-laki terhormat, jangan biarkan aku membunuhmu begitu gampang. Dan kalau bisa kaupun tidak usah ragu-ragu membunuhku sebab akupun malu pulang hidup-hidup ke Pak-khia jika membawa kegagalan."
"Kita berdua akan berusaha sebaik-baiknya, A-liong."
Tiba-tiba langit menjadi mendung dan hujan kecilpun turun, namun ribuan manusia di kedua sisi dataran berumput itu tidak menghiraukannya. Semuanya sedang terpaku perhatiannya ke arah dua laki-laki jantan di tengah arena itu, yang sebentar lagi akan bertarung antara mati dan hidup. Macam-macam perasaan bergolak di hati orang-orang yang melihatnya. Ada yang sinis, tapi ada pula yang terharu, tergantung sudut pandangan masing-masing.
Merasakan air dari langit yang menyiram tubuh mereka, Pakkiong Liong berbisik, "Langit menangis untuk kita."
“Kita sudah berbuat yang terbaik tapi masih juga menyedihkan banyak orang," sahut Tong Lam-hou.
“Asal perbuatan kita selaras dengan suara hati nurami kita, apa pedulinya dengan pergunjingan orang lain?”
“Aku setuju. A-liong, kalau aku mati rawatlah ibuku."
"Ibumu adalah ibuku juga."
"Terima kasih."
Keduanyapun saling melepaskan pelukannya dan kemudian mundur masing-masing beberapa langkah. Lalu dua batang pedangpun hampir bersamaan keluar dari sarungnya. Hujan semakin deras menyiram bumi, namun tak seorangpun sudi bergeser dari tempatnya untuk melewatkan menyaksikan duel antara naga dan harimau itu. Kedua orang, yang berhadapan itu masih ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian Pakkiong Liong yang sejak kecil sudah tergembleng jiwanya dalam berbagai medan perang, lebih dulu berhasil menyingkirkan keragu-raguannya, Disertai sebuah bentakan keras iapun melompat maju setinggi beberapa kaki dengan tubuh sejajar tanah dan pedangnyapun berkeredap seperti air terjun ke arah tubuh Tong Lam-hou. Itulah jurus Hui-pau-liu-coan (Air Terjun Terbang) dari Thian-liong-kiam-hoat yang dikuasainya Pakkiong Liong.
Cepat Tong Lam-hou menanggapinya dengan Hui-eng-ciong-soan-kiam (Burung Garuda Terbang Berputar). Mula-mula tubuhnya merendah hampir rata dengan tanah, tiba-tiba melonjak lebih tinggi dari Pakkiong Liong dan pedangnyapun membuat sebuah lingkaran perak lebar yang berusaha mengurung tubuh Pakkiong Liong.
"Bagus!" teriak Pakkiong Liong yang cepat melakukan, gerak Liong-wi-gong-coan (Naga Sakti Berguling dan Membalik di Awan), tubuhnya menggeliat geliat cepat seperti cacing kepanasan di tengah udara, kemudian mendarat di tanah tanpa kurang suatu apa.
Tapi Tong Lam-hou yang menemukan tekad harus berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan paman-pamannya, bibi-bibinya serta saudara-saudara sepupunya itu, kini tidak ragu-ragu lagi dalam menyerang. Pakkiong Liong terjun ke tanah, diapun menyusul terjun pula sambil memutar kencang pedangnya menjadi gulungan pedang yang seakan hendak menelan lawannya dalam "pusaran pedang" yang mengerikana itu.
Tetapi Pakkiong Liong pun bertahan dengan gigihnya, mengurung dirinya sendiri dalam sebuah pertahanan serapat benteng baja. Kedua pedangpun berbenturan cepat sekali dalam sekejap mata saja berbenturan belasan kali banyaknya dan kemudian kedua petarung sama-sama terdorong mundur selangkah.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu, tidak peduli dari pihak manapun, diam-diam menjadi kagum melihat kehebatan pertarungan itu. Dalam gebrakan-gebrakan pertama masih belum diketahui siapa yang unggul, namun jelas kedua pihak sudah menunjukkan kehebatan permainan pedang masing-masing.
Sebun Him yang menyaksikan kehebatan jurus-jurus kedua orang itu diam-diam merasa bahwa kalau dirinya ingin mensejajarkan diri dengan kedua jagoan muda itu, sekarang belum saatnya. Agaknya ia masih harus menempa diri paling tidak tujuh atau delapan tahun lagi jika ingin sejajar dengan mereka. Ia ingat bagaimana kemarin Tong Lam-hou sampai dua kali dengan tidak terlalu sulit melucuti pedangnya. Yang jelas, dengan Kun-goan-sin-kang melulu ia tidak cukup pantas untuk menyebut dirinya Se-him (Beruang Barat) yang sejajar dengan Pak-liong ataupun Lam-hou.
Sementara itu pertempuran pun meningkat semakin sengit sejalan dengan semakin hilangnya keragu-raguan masing-masing pihak, pedang mereka bergerak semakin cepat dan bergulung dahsyat sampai akhirnya tubuh Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou lenyap tertelan gulungan cahaya senjatanya masing-masing. Kadang-kadang nampak cahaya pedang itu memanjang di udara seperti seekor naga yang menggeliat di udara, atau menggeleser di tanah, sementara Tong Lam-hou bertempur tidak kalah garangnya.
Inilah benar-benar pertarungan antara naga dan harimau seperti yang sering digambarkan para tukang cerita denting pedang yang beradupun mengalun nyaring menandakan bahwa benturan pedang itu bukan cuma berdasarkan tenaga otot, melainkan adu tenaga dalam tingkat tinggi. Para pendekar kawakan seperti Tong Wi-hong dan Bu-gong Hweshiopun menahan napas melihat tingkatan tenaga dalam dari anak-anak muda itu.
"Sayang sekali, dua anak muda yang sama-sama berilmu tinggi dan berwatak jantan harus terlibat dalam pertentangan karena pertentangan di benua ini," Kata Tong Wi-hong dalam hatinya. "Andaikata mereka berdua bersatu menegakkan keadilan di rimba persilatan, maka kaum durjana pasti akan menggigil ketakutan mendengar nama mereka."
Di sebelahnya, Tong Wi-lian, adik perempuan Tong Wi-hong, matanya kabur entah oleh air hujan atau air mata? Yang terang, keperkasaaan Tong Lam-hou telah mengingatkan perempuan akan ayah Tong Lam-hou, kakak sulung Tong Wi-lian, yang dulu menjadi Ketua Hwe-liong-pang itu. Dulu Tong Wi-siang juga seorang anak muda yang oleh sementara orang dianggap tersesat karena cita citanya yang terlalu tinggi.
Sementara ada segolongan orang yang malah menganggapnya sebagai gembong iblis karena kakaknya itu mewarisi ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui. Tak seorangpun memahami cita-cita kakaknya itu sampai akhir hidupnya. Orang boleh mengutuk Tong Wi-siang serendah-rendahnya, tapi bagi Tong Wi-lian, kakak sulungnya itu tetap seorang pengabdi cita-cita yang tak kenal menyerah sampai ujung hidupnya, seorang lelaki sejati yang memeluk keyakinannya sampai mati.
Dan kini Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang seakan menjelma dalam diri tetesan darah dagingnya ini. Tong Lam-hou. Bukan saja kesamaan dalam hal tampang atau bentuk tubuh, namun juga kekerasan hati yang tak goyah seujung ram-butpun meskipun harus menentang arus pendapat orang banyak.
Dulu Tong Wi-siang berjuang menumbangkan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng meskipun gagal, dan kini Tong Lam-hou memperjuangkan hidup berdampingan antara bangsa Han dan Manchu yanq sudah puluhan tahun bermusuhan itu, suatu cita-cita yang hampir mustahil, namun kegigihan Tong Lam-hou mirip kegigihan ayahnya dulu.
Kini dengan perasaan bergolak ia melihat penjelmaan Tong Wi-siang itu terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin dahsyat. Setiap kali Tong Lam-hou meningkatkan ilmunya, hal itu diikuti pula oleh Pakkiong Liong, dan sebaliknya. Bukan rasa benci yang menyebabkan kedua sahabat itu bertarung mati-matian, melainkan karena tanggung-jawab terhadap kewajibannya masing-masing. Matipun puas asal sudah menjalankan kewajiban dengan sekuat tenaga.
Ketika pertarungan semakin meningkat dan ilmu-ilmu andalan mulai dikeluarkan, maka orang-orang di sekitar gelanggang terpaksa melangkah mundur karena hawa pukulan dari kedua petarung itupun sudah cukup berbahaya dan bisa melukai bagian dalam tubuh. Mula-mula orang-orang yang menonton pertempuran itu merasa heran ketika melihat tubuh Pakkiong Liong yang kena air hujan itu ternyata tetap kering saja.
Ketika diperhatikan, barulah diketahui samar-samar tubuh Pakkiong Liong diliputi uap yang mirip uap orang menyerang air. Setiap titik air hujan yang mengenai tubuh Pakkiong Liong langsung saja menguap karena tubuh Pakkiong Liong yang tengah menerapkan, ilmu Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) yang dahsyat itu. Beberapa tombak di sekelilingnya sudah terasa hawa panas menyengat seperti di dalam tanur peleburan logam.
Bahkan pedangnyapun menjadi kemerah-merahan dan selalu mengeluarkan desisan apabila terkena air hujan. Gulungan udara maha panas yang berpusar seirama dengan gerakan Pakkiong Liong itu mampu memaksa mundur para penonton yang cukup jauh dari arena.
Sebun Him yang dengan angkuh mencoba untuk tidak mundur selangkahpun dengan mengerahkan Kun-goan-sin-kangnya untuk melindungi kulitnya, ternyata ia tidak sanggup bertahan dan terpaksa melangkah mundur, karena kulitnya sanggup menahan hawa panas. Sebun Him merasa dirinya semakin kecil di hadapan Pakkiong Liong.
Dan orang-orang itu dengan heran melihat bagaimana Tong Lam-hou bertempur seolah-olah sama sekali tidak merasakan hawa panas itu. Ia telah mengeluarkan ilmu Han-im-ciangnya untuk menandingi Hwe-liong-sin-kang. Maka di tengah gelanggang itu selain berpusar hawa panas juga ada hawa dingin yang sanggup membuat api yang terkobar padam seketika.
Orang-orang yang menonton melihat bahwa tubuh Tong Lam-hou semakin lama semakin dilapisi bintik-bintik putih yang ternyata adalah titik-titik air hujan yang begitu menyentuh tubuhnya akan langsung membeku menjadi butiran-butiran es yang menempel di pakaiannya.
Apabila Tong Lam-hou menerjang Pakkiong Liong, maka sebagian dari hawa dinginnya yang menusuk tulang itu sirna oleh hawa panas yang melindungi tubuh Pakkiong Liong, begitu pula sebaliknya apabila Pakkiong Liong menyerang dengan hawa panasnya yang mampu mencairkan logam itu, maka yang sampai ke kulit Tong lam-hou hanyalah udara hangat-hangat kuku saja.
Ratusan, bahkan ribuan jurus sudah dilalui oleh kedua orang yang berlaga mati-matian itu, namun belum ada satu pihakpun yang unggul setengah juruspun. Para penonton hampir tidak betah tersambar hawa panas dan dingin yang berganti-ganti dengan tajamnya itu, namun dua orang yang bertempur seolah-olah tidak merasakan apa-apa dan mereka masih saja berkelahi dengan kesegaran seperti semula.
Suatu saat terdengar Pakkiong Liong berdesis menahan sakit karena pedang Tong Lam-hou berhasil menyusup dan melukai lambung kirinya, tapi sesaat kemudian Tong Lam-houlah yang menyeringai pedih karena pedang Pak-kiong Liong yang sepanas bara di tanur peleburan itu menghanguskan dagingnya di bagian pundak.
Sedang Pakkiong Liong Ratusan, bahkan ribuan jurus sudah dilalui oleh kedua orang yang berlaga mati-matian itu, namun belum ada satu pihakpun yang unggul setengah juruspun. merasakan lambungnya yang terluka oleh pedang Tong Lam-hou itu bagaikan ditusuk dengan jarum es yang dinginnya menggigit tulang.
Pada saat pertempuran semakin seru, maka kira-kira tiga atau empat li di sebelah timur arena itu ada seorang penunggang kuda yang berpacu menuju ke arena tanpa peduli hujan yang membuat tubuhnya dan tubuh kudanya basah kuyup. Pakaiannya adalah pakaian yang indah seperti pakaian pejabat istana, dilengkapi dengan pedang bersarung perak yang tergantung di pinggang kirinya.
Namun pakaiannya yang indah itu jadi nampak tidak karuan karena sudah diguyur air hujan. Sementara orangnya sendiri nampak bermata merah karena kurang tidur, namun dengan nekad ia terus berpacu ke arah pesanggrahan para prajurit. Ketika ia mendekati pesanggrahan, beberapa prajurit hendak merintaginya karena belum kenal siapa orang itu, namun orang berkuda itu cepat mengangkat segulung kain berwarna kuning emas yang terpegang dengan tangan kanannya, sambil berteriak,
"Aku To Ki-hong perwira berpangkat bu-ciang dari Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana) membawa perintah Kaisar untuk Pakkiong Liong dan Muyong Beng! Siapa yang memperlambat jalannya perintah ini terancam hukuman mati!" Melihat bahwa orang itu benar-benar membawa gulungan perintah Kaisar, para prajurit itu tidak berani merintanginya. Orang itu bertanya, "Di mana Pakkiong Liong dan Muyong Beng? Suruh keluar!"
"Mereka berada di arena. Pakkiong Ciangkun sedang melakukan duel untuk menentukan kesudahan perang ini, melawan Tong Cong... eh, Tong Lam-hou..."
Tanpa menantikan selesainya jawaban itu, si pembawa perintah Kaisar yang mengaku bernama To Ki-hong itu segera membedalkan kudanya ke arah suara ramai-ramai di kejauahan sana. Ia yakin bahwa itulah tempat yang dijadikan arena duel Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou itu. Para prajurit tidak merintanginya lagi meskipun merasa heran bahwa seroang perwira dari Pasukan Pelindung Istana bisa berkeliaran sampai sedemikian jauhnya dari Pak-khia dan nampak terburu-buru pula.
Sementara itu, duel antara Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou sudah melewati puncaknya namun tetap belun bisa ditebak siapa yang akan mengalahkan lawannya. Kedua orang itu sudah sama-sama terluka dan gerakan merekapun mulai mengendor karena kelelahan.
Saat itulah arena dikejutkan dengan munculnya To Ki-hong yang menerjangkan kudanya ke tengah-tengah arena itu sambil mengangkat tinggi-tinggi gulungan kuningnya dan berteriak, "Hentikan! Hentikan...!"
Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou memang agak mengendorkan gerakan-gerakan mereka namun tidak berhenti. Tapi setelah penunggang kuda itu berteriak, "Aku membawa perintah Kaisar untuk Pakkiong Liong dan Muyong Beng! barulah Pakkiong Liong terpaksa meloncat mundur dari gelanggang sambil berteriak, "Aku minta waktu, A-hou!"
Tong Lam-hou pun menghentikan serangannya sambil berkata, "Silahkan, A-liong."
Pakkiiong Liong dan Muyong Beng segera berlutut di deapan pembawa peintah Kaisar, sementara perwira-perwira lainnya seperti Han Yong Kim, Tamtai Au-kha dan lain-lainnyapun berlutut pula, jantung anak buat Pakkiong An seperti Muyong Beng dan Tamtai Au-kha diam-diam berdebar kencang sebab mereka menebak-nebak dalam hati, siapakah yang disebut “Kaisar” sekarang ini? Masih si “ingusan” Hian-hua yang bergelar Khong-hi ataukah sudah berhasil diambil alih oleh Pakkiong An?
Sementara para perwira musuh berlutut mendengarkan pemabacaan perintah kaisar itu ternyata pihak Hwe-liong-pang dan kawan-kawannya tidak berbuat apa-apa kecuali ikut mendengarkan perintah kaisar itu meskipun tanpa berlutut, mereka ikut menghormati sikap Tong Lam-hou yang menghentikan duelnya sejenak untuk gencatan senjata.
To Ki-hong si perwira Lwe-teng-wi si pembawa perintah Kaisar itupun berdiri tegak dan membuka gulungan kain kuning itu untuk dibacakan dengan suara lantang,
"Perintah Kaisar! Pakkiong Liong dan Huyong Beng harus segera menarik pasukannya ke Pak-khia. Perintah untuk menangkap Tong Lam-hou dicabut sebab ternyata Tong Lam-hou tidak bersalah dan hanya terfitnah saja.
Tertanda
Khong-hi"
Pakkiong Liong, han Yong-kim dan perwira-perwira Hui-liong-kun lainnya segera berseru serempak, "Ban-swe! (Panjang umur Kaisar)"
Sebaliknya Muyong Beng dan Tamtai Au-kha yang merupakan pengikut-pengikut setia Pakkiong An itu menjadi terkejut dan kecewa mendengar hal itu. Sadarlah mereka bahwa gerakan pengambil-alihan Singgasana Naga yang diatur selama bertahun-tahun oleh Pakkiong An itu ternyata telah gagal, artinya lenyap pula impian tentang pangkat yang tinggi serta gelar kebangsawanan yang selama ini dijanjikan Pakkiong An kepada pengikut-pengikut-rijra. Bahkan apabila seluruh komplotan Pakakiong An gagal, berarti mereka semua terancam hukuman mati, termasuk Muyong Beng dan Tamtai Au-kha, sebab mencoba menggulingkan Kaisar adalah kesalahan tak berampun.
Karena itu tiba-tiba saja Muyong Beng meloncat sambil menghunus pedangnya dan menikam ke arah To Ki-hong sambil berteriak, "Bohongi. Berani kau memalsukan perintah Kaisar?!"
Namun perwira Lwe-teng-wi-su itu-pun bukan seorang yang berilmu rendah. Prajurit-prajurit Pengawal Istana adalah prajurit-prajurit yana terkenal ketangguhannya, apalagi kalau seseorang sampai berhasil mencapai pangkat perwira, tentu telah dianggap cukup mampu sesuai dengan kedudukannya. Maka tikaman Muyong Beng dapat dielakkannya dengan melompat ke belakang, bahkan kemudian ia pun menyabut pedangnya dan membentak ,"Muyong beng, berani kau bersikap kurang ajar terhadap seorang utusan Kaisar?"
Muyong Beng agaknya sudah begitu goncang jiwanya sehingga pengendalian dirinya sudah buyar beterbangan. Tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak, “Utusan Kaisar? ha-ha-ha, mana bisa di ingusan Khong-hi itu bertahan di singgasananya kalau Pakkiong Ciangkun sudah mengincarnya?! Ha-ha saat ini Pakkiong Ciangkung (maksudanya Pakkiong An) tentu sudah menjadi kaisar dan siapa yang tidak tunduk kepada Kaisar baru itu akan berhadapan dengan aku, aku adalah Panglima Besar kepercayaan Sri Baginda Pakkiong An!”
Demikian Muyong Beng berteriak-teriak, menandakan bahwa sarafnya sudah terganggu karena terpukul oleh kekecewaannya yang luar biasa. Akhirnya ia kehabisan tenaga dan kemudian guling-guling di tanah yang basah oleh air hujan sambil menangis tersedu-sedu, bercampur tertawa dan bercampur pula dengan caci maki entah kepada siapa. Dengan gampang dua orang prajurit kemudian meringkusnya dan mengikatnya.
Sedang Tamtai Au-kha juga tidak melawan sedikitpun ketika hendak diikat, tapi ia masih berkata untuk meringankan keslahannya, "Aku memang sering diajak bicara oleh Pakkiong An, namun sungguh sungguh mati aku tidak tahu kalau ada urusan semacam ini..."
Sahut si utusan Kaisar, "Jangan kuatir, saudara Tamtai, kalau kau terbukti tidak bersalah tentu akan dibebaskan dan dikembalikan ke kedudukannya yang semula. Pengadilan akan berjalan bersih, tidak seperti pengadilan yang diatur oleh Pakkiong An ketika mengadili saudara Tong Lam-hou dulu."
Sementara itu, kaum pendekar di Hek-ku-nia menyaksikan apa yang terjadi di depan mata itu dengan melongo heran. Tadinya mereka menganggap bahwa apa yang dikatakan Tong Wi-hong atau Tong Lam-hou tentang adanya perbedaan antara "Manchu yang jahat” dan "Manchu yang baik" itu cuma dibuat-buat saja, namun kini adegan yang terpampang di depan mata mencerminkan betapa di Pak-khia sendiri selalu terjadi pergolakan perebutan pengaruh antara kekuatan-kekuatan di Istana.
Pergolakan yang tidak menggunakan senjata, tetapi akibatnya tidak kalah gawatnya sebab bisa menentukan ke arah mana kerajaan besar itu hendak diarahkan Dan meskipun dengan beberapa kelemahan, Kaisar Khong-hi dapatlah disebut "Manchu yang baik hati” dan jauh lebih baik daripada negara dikendalikan orang semacam Pakkiong An, atau bahkan semacam Kaisar Congceng dari dinasti Beng.
Sementara itu, To Ki-hong menoleh kepada Tong Lam-hou dan berkata, "Kaisar menyampaikan beberapa pesan lisan kepadamu, saudara Tong.”
Cepat Tong lam-hou membungkuk hormat namun tidak berlutut, sambil menyahut, "Tong Lam-hou mendapat kehormatan besar dengan hal ini, saudara To. Silahkan bicara."
"Sri Baginda masih muda, namun ia menyadari bahwa ia telah khilaf dalam beberapa tindakannya terhadapmu dan terhadap Hwe-liong-pang, untuk itu Kaisar tidak segan-segan minta maaf..." kata To Ki-hong, namun kata-katanya itu terputus oleh ucapan Tong Lam-hou.
"Nanti dulu, saudara To, biar orang-orang Hwe-liong-pang sendiri mendengar pesan Kaisar itu. Kau tidak keberatan?"
To Ki-hong ragu-ragu sejenak, "Kalau mereka mendengar permintaan maaf dari Kaisar, apakah martabat Kaisar tidak akan jatuh di mata mereka?"
Sahut Tong Lam-hou, "Justru tidak, orang justru akan menganggap Kaisar adalah seorang berjiwa besar yang sanggup melihat kesalahannya sendiri dan punya keberanian untuk minta maaf secara jantan. Orang akan bertambah hormat kepada beliau. Lagi pula, apa gunanya permintaan maaf kalau tidak didengar sendiri oleh pihak yang hendak dimintai maaf?"
"Kau benar, saudara Tong, mudah-mudahan hal ini tidak menjatuhkan martabat Kaisar tapi malahan bisa menambah tenteramnya negeri ini. Nah, panggillah mereka mendekat."
Tong Lam-hou segera memanggil Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan para Tongcu untuk mendekat. Bahkan juga Tong Wi-hong serta beberapa tokoh dari macam-macam perguruan.
Di hadapan mereka To Ki-hong berkata, "Saudara-saudara, aku membawa pesan lisan Kaisar untuk saudara Tong Lam-hou dan juga untuk Hwe-liong-pang. Kaisar memang masih seorang muda sehingga ia merasa bersikap agak keterlaluan terhadap saudara Tong dan Hwe-liong-pang. Untuk itu Kaisar menyatakan penyesalan, sekaligus bahwa di kemudian hari kalian bisa diajak kerjasama untuk mensejahterkan negeri ini."
Orang-orang Hwe-liong-pang itu tertegun mendengar itu, betapapun hati mereka masih terpengaruh oleh kemarahan, namun mendengar bahwa pihak "musuh" berani minta maaf lebih dulu maka mereka tersentuh juga perasaannya. Sesaat mereka saling bertukar pandangan, dan kemudian Siangkoan Hong berkata mewakili kaumnya,
"Bagus, kalau seorang Kaisar berani melihat kekeliruan dirinya sendiri, itu berarti negeri ini ada harapan untuk mencapai kemakmuran dibawah pemerintahannya. Tidak seperti Cong-ceng yang dengan gampang menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang tidak disenanginya."
Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban Siangkoan Hong itu. Tapi ia masih bertanya kepada lain-lainnya, "Bagaimana pendapat saudara-saudara Hwe-liong-pang lain."
"Aku kira, pendapat Siangkoan Hiangcu cukup mewakili pendapat kami. Bunuh membunuh memang sebaiknya dihentikan. Asal Kaisar bisa menjadi pelindung yang baik bagi rakyatnya, kamipun tidak akan mengacau, tapi kalau tidak, kami akan mengangkat senjata," kata Oh Yun-kim.
"Apakah selama ini Kaisar kurang baik?" tanya To Ki-hong dengan alis berkerut karena melihat "kekurangajaran" Oh Yun-kim itu.
Sahut Oh Yun-kim, "Cukup baik. Hanya saja jangan mudah terhasut oleh kawanan dorna semacam Pakkiong An. Dan sebaiknya sering keluar istana untuk mencoba melihat dan merasakan sendiri bahwa masih ada sebagian rakyat yang hidup susah. Nasib mereka harus diperbaiki."
"Sejak kapan kau diangkat jadi Penasehat Kaisar?" bentak To Ki-hong dengan mata melotot.
Suasana jadi memanas sejenak, tapi Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou cepat-cepat menengahinya. Pakkiong Liong berkata kepada To Ki-hong, "Saudara To, jangan mudah menjadi panas mendengar ucapan macam itu. Bagaimanapun rakyat kecil berhak menyuarakan keluhannya, sebab bagi mereka Kaisar adalah bagaikan ayah mereka. Kita harus mendengarkan apa yang mereka katakan."
"Aku mengerti, saudara Pakkiong. Tapi orang harus bicara sedikit sopan dalam menyebut-nyebut nama Kaisar junjungan kita."
"Benar, namun terlalu banyak pulasan malah membuat seseorang jadi munafik, sedang orang yang kedengarannya bicaranya kasar malahan menunjukkan isi hatinya yang sebenarnya. Tidak ada yang tersembunyi lagi. Jangan seperti pamanku sendiri, Pakkiong An, yang pintar bicara dan bermanis-manis muka di hadapan Kaisar tapi ternyata malah ia punya niat untuk berkhianat!"
Akhirnya To Ki-hong dapat menerimanya, dan suasana pun "mendingin" kembali. Oh Yun-kim juga mulai reda kemarahannya. Ia harus menahan diri "supaya perdamaian yang hampir tercapai itu menjadi berantakan kembali hanya karena salah seorang tidak bias mengendalikan diri.
"Saudara To, sebenarnya apa yang sudah terjadi di ibukota, sehingga kau menempuh perjalanan dengan tergesa-gesa seperti ini?"
Saat itu sebenarnya To Ki-hong sudah ingin tidur, karena sudah empat malam ia berpacu di atas kuda tanpa tidur sekejappun, demi menjalankan perintah Kaisar agar jangan sampai terlambat. Namun kini terpaksa ia bercerita dengan didengarkan oleh perwira-perwira kerajaan maupun para pendekar.
"Pakkiong Ciangkun, sebenarnya inilah hasil karyamu yang gemilang, meskipun kau jauh dari Ibukota tetapi kehadiranmu terasa sekali di Ibukota, meskipun tidak langsung, sehingga Kaisar sangat berterima kasih kepadamu...."
Pakkiong Liong tertawa, "Kau bicara berputar-putar, saudara To."
To Ki-hongpun tertawa, "Baik, aku bicara singkat. Setelah Ibukota Kerajaan kau tinggalkan, saudara Pakkiong, maka gerak-gerik Pakkiong An makin mencurigakan dan makin berani, agaknya karena dia beranggapan tidak ada lagi yang cukup berarti untuk merintangi ambisinya untuk menduduki tahta. Namun karena kelengahannya, segala gerak-geriknya itu berhasil dibongkar oleh seorang perwira dari pasukan rahasiamu saudara Pakkiong, yaitu Lim Tong-eng.
Lim Tong-eng segera melaporkan kepada Ha To-ji yang mewakilimu di Pak-khia, dan Ha To-ji lapor kepada Kaisar sambil menggalang kekuatan-kekuatan yang setia kepada Kaisar. Ketika Pakkiong An mencium itu, iapun berusaha menggerakkan kekuatannya untuk merebut tahta secara kekerasan, namun karena kurang persiapan maka akhirnya Pakkiong An sendirilah yang tergulung beserta semua komplotannya. Saat ini barangkali ia dan kawan-kawannya sudah menjadi setan-setan tanpa kepala..."
Pakkiong Liong menarik napas. Dalam percaturan kekuasaan, Pakkiong An adalah lawannya, tapi dari hubungan keluarga ia adalah pamanya, maka ia agak sedih juga mendengar berita kematiannya. Namun itu adalah salah pamannya sendiri yang terlalu haus kekuasaan tanpa menghiraukan cara apapun yang dipakai, akhirnya yang didapatkannya bukannya singgasana melainkan golok sang algojo.
Tapi kegembiraan yang didapatkan hari itu lebih besar dari kesedihannya. Ia tidak jadi saling bunuh dengan Tong Lam-hou, selain itu kaum Hwe-liong-pangpun agaknya dapat "dilunakkan" sehingga tahun-tahun mendatang diharapkan keadaan negeri akan lebih tenteram. Bagaimanapun Hwe-liong-pang adalah golongan yang terbesar yang menentang pemerintahan Manchu, maka apabila itu menjadi "jinak" maka golongan-golongan lain pun akan kehilangan semangatnya.
Kemudian To Ki-hong berkata kepada Tong Lam-hou, "Saudara Tong, Kaisar tidak ingin memaksamu, tapi kedudukanmu yang telah kau tinggalkan karena pokal Pakkiong An dulu, dapat kau tempati kembali bila kau mau."
Namun sebelum Tong Lam-hou menjawab, terdengar Auyang Siau-pa sebagai Jinq-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijaui Hwe-liong-pang berkata, "Saudara Tong, kami sudah melihat keteguhan hatimu dan cita-cita luhurmu untuk perdamaian negeri ini, karena itu saudara harus memimpin Hwe-liong-pang."
"Benar," sahut Yu Leng-hoa yang baru beberapa hari menjabat Ui-ki Tong cu (Tongcu Bendera Kuning) menggantikan Kwa Heng yang gugur itu. "Dalam diri Tong Pangcu kita seolah-olah menemukan pribadi mendiang Tong pangcu seutuhnya."
Segera Tong-cu-tongcu lainnya pun bersorak mendukung usul itu. Melihat itu, Pakkiong Liong berkata kepada To Ki-hong sambil tersenyum, "Saudara To, kalau melihat gelagatnya, kita harus mengalah. Perdamaian negeri seperti yang dicita-citakan Sri Baginda akan lebih cepat tercapai apabila Hwe-liong-pang dipimpin orang sematang Tong Lam-hou."
"Kita tanyai saudara Tong dulu. “Bagaimana, saudara Tong?"
Sahut Tong Lam-hou, "Saudara To, pengabdianku kepada negeri ini sama saja lewat jalur yang manapun. Tapi daripada saudara-saudara Hwe-liong-pang ini berkeliaran seperti anak ayam kehilangan induknya, dan mudah dihasut oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh, lebih baik kalau aku bersama mereka."
To Ki-hong tak dapat bersikap lain kecuali memberi hormat, "Kalau begitu, ucapan selamatku untuk Tong Pangcu (Ketua Tong), mudah-mudahan Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Tong Pangcu akan semakin berkembang ke arah yang menguntungkan perdamaian."
Sementara Pakkiong Liong berkata pula, "Aku juga mengucapkan selamat. Sekarang antara prajurit-prajurit Hui-liong-kun dengan saudara-saudara Hwe-liong-pang harus bantu membantu demi kepentingan majikan bersama kita..."
Ucapan itu agak mengejutkan orang-orang Hwe-liong-pang. Dengan alis berkerut kurang senang Lu Siong bertanya, "Siapa majikan itu?!"
Pakkiong Liong menjawab sambil tersenyum, "Rakyat, bukankah kita sama-sama berkewajiban untuk membuat majikan kita itu hidup tenteram, kenyang dan berpakaian pantas?"
Orang-orang Hwe-liong-pang yang hampir marah mendenar ucapan Pakkiong Liong tadi, kini tertawa pula mendengar jawaban itu. Dan merekapun mengangguk-angguk setuju. Sementara Pakkiong Liong telah saling menggenggam tangan dengan Tong Lam-hou, sambil berkata, "A-hou yang tadi itu rasanya seperti mimpi buruk bukan?"
"Benar, terlalu mengerikan untuk sebuah latihan. Betapa ngerinya seandainya utusan Kaisar itu datang setelah salah satu dari kita terkapar mampus."
"Nah, aku akan kembali ka Pak-khia. Kapan kaupun berkunjung ke Pak-khia, sebab kau tidak dianggap buronan lagi? Di sana ada seorang yang menunggumu. Bukan Ha Toji, tentunya."
Wajah Tong Lam-hou agak tersipu merah seperti anak perawan ditawari untuk kawin. Katanya, "Aku akan ke sana setelah membenahi kembali Hwe-liong-pang yang kini terbeban di pundakku. Aku minta kau mewakili aku untuk menyuguhkan tiga cawan arak, masing-masing kepada Lim Tong-eng dan Ha To-ji. Dan sembah sujudku untuk Sri Baginda."
"Akan kusampaikan. Jangan lagi hanya tiga cawan, sedangkan tiga ratus cawanpun kulakukan karena akupun bersyukur kepada mereka."
"Selamat jalan."
"Selamat tinggal."
Hujan berhenti dan mendung tersingkir, matahari muncul kembali ketika pasukan kerajaan itu membentuk sebuah barisan panjang dan meninggalkan dataran rumput yang meninggalkan kesan mendalam pada diri mereka itu.
Tong Lam-hou termangu-mangu memandangi bendera Hui-liong-kun yang seakan melambai-lambai kepada dirinya itu, sampai terasa ada seseorang yang menggamitnya dari samping dan bertanya, "Siapa yang oleh Pakkiong Ciangkun dimaksudkan masih menunggumu di Pak-khia itu?"
Tong Lam-hou menoleh dan melihat bahwa yang bertanya itu adalah Ting Hun-giok, maka dijawabnya, "Dia adalah lawan beratmu dalam hal kecerewetan, kejahilan mengganggu orang lain, dan juga keayuan."
"Wah, kapan aku boleh memanggilnya Soso (kakak ipar perempuan)?"
"Jangan cerewet."
"Aku akan melaporkannya kepada paman Wi-hong..."
"Jangan!"
Tapi Ting Hun-giok berlari menjauh, sementara Im Yao terus "melekat" seperti lintah di belakang gadis itu. Tong Lam-hou tersenyum. "Ibu harus segera diberitahu pula dan kalau bisa pindah ke Tiau-im-hong di markas Hwe-liong-pang..."
Sementara itu, jauh dari arena pertempuran, Sebun Him berjalan seorang diri sambil menggerutu, "Keparat! Perhatian semua orang hanya ditujukan kepada Tong Lam-hou yang hanya bermain sandiwara dengan Pakkiong Liong, seolah dia seolah-olah pahlawan besar. Sedangkan aku yang sudah banyak berbuat untuk laskar malahan didiamkan saja Keparat. Suatu ketika kelak mereka akan menggigil ketakutan mendengar nama Sebun Him."
"Dan kau berbau arak, padahal kau adalah seorang panglima yang selalu melarang pasukanmu untuk minum arak apabila sudah berada dihadapan musuh," sahut Tong Lam-hou.
"Aku tidak menduga kau akan mengunjungiku. Mari duduklah."
Kedua orang itu kemudian duduk berhadapan dalam kemah itu, dan cawan demi cawan arakpun mulai mengalir lewat tenggorokan mereka. Membuat kesadaran semakin kabur dan keragu-raguan mulai hilang.
“A-liong...."
“Jangan banyak bicara, mari minum lagi.”
"A-liong, aku tidak bisa membiarkan paman-pamanku, bibi-bibiku, saudara-saudara sepupuku dan orang-orang Hwe-liong-pang yang setia kepada mendiang ayahku itu besok pagi terbantai oleh pasukanmu yang dahsyat itu. Karena itulah aku datang kemari."
Mata Pakkiong Liong yang redup karena terpengaruh arak itu agak terbelalak sedikit, lalu katanya, “Kau kira akupun menyenangi tugas ini? Aku benci membunuhi pendekar-pendekar berhati mulia, aku hanya senang membunuhi para pengacau negara. Tapi aku tidak bisa memilih yang baik bagi diriku sendiri. Aku seorang prajurit, apabila perintah dijatuhkan maka akupun bertindak tidak peduli hatiku senang atau tidak."
Tong lam-hou meneguk lagi secawan araknya dan berkata, "Aku mengerti. Aku hanya ingin berkata bahwa biang keladi dari pertumpahan darah ini adalah Tong Lam-hou seorang. Asal kau ringkus diriku dan kau seret aku ke Pak-khia untuk diserahkan kepada Pakkiong An untuk memuaskan dendamnya atas kematian Pakkiong Hok, semuanya akan beres. Pertikaian berhenti, tidak ada lagi orang-orang tak bersalah ying menjadi korban pertentangan ini, dari pihak prajurit maupun dari pihak Hek-ku-nia."
Pakkiong liong termangu-mangu sejenak mendengar hal itu. "Dapatkah aku berbuat demikian? Menyerahkan seorang yang pernah menolong nyawaku dari taring serigala-serigala ke tangan algojo?“
"Itu memang tugasmu bukan? Tugas seorang prajurit yang tidak bias diingkari lagi. Aku menyerahkan diri atau, tidak, toh sama saja akhirnya kau akan membawa aku ke Pak-khia, sebab memang akulah yang diincar oleh Pakkiong An. Tapi jika aku bisa kau bawa sekarang, maka besok tidak akan ada pertempuran lagi, beratus-ratus nyawa akan terselamatkan."
Pakkiong Liong mengangguk-anggukkan kepalanya, hatinya terasa pedih tetapi ia merasakan jalan yang diusulkan Tong Lam-hou itulah jalan yang terbaik untuk menekan jumlah korban sekecil-kecilnya. Namun tiba-tiba teringatlah Pakkiong Liong akan seorang perempuan tua di lereng gunung Tiam-jong-san, yang keramah-tamahannya membuat Pakkiong Liong merasakan gubuk kecil di lereng gunting itu seperti di sorga rasanya.
Perempuan itu hanya memiliki seorang anak, akankah ia merampas anaknya itu untuk diserahkan ke tangan algojo, supaya dirinya sendiri mendapat pujian sebagai seorang panglima yang tegas terhadap sahabatnya sendiri sekalipun?
Lalu ia ingat ketika taring segerombolan serigala sudah mengerumuninya, muncul seoarang anak gunung yang menyelamatkannya tanpa pedulikan yang ditolongnya itu orang Han atau Manchu, seorang anak gunung yang berpikiran lugu dah cita-citanya hanyalah melihat dunia ini menjadi damai, tanpa perang lagi. Kenapa orang macam ini harus dihukum mati dengan fitnahan yang keji sementara orang macam Pakkiong An malah mendapat kedudukan yang semakin terhormat?
"Kau rela berkorban untuk itu, A-hou?" tanya Pakkiong Liong.
"Benar. Demi beratus-ratus nyawa yang masih bisa diselamatkan dari ganasnya api peperangan."
Tiba-tiba Pakkiong Liong menggebrak meja sambil berseru, "Bagus, benar-benar laki-laki sejatil Tidak percuma aku punya sahabat seperti kau, mati hidupkupun terasa berharga. Tong Lam-hou, biarlah kuberi kau satu kesempatan."
"Apa maksudmu?"
"Kau menyayangkan matinya ratusan orang, akupun demikian. Tapi aku merasa diriku tidak adil jika aku membawa dirimu begitu saja ke Pak-khia tanpa mengeluarkan setetes keringatpun, sedangkan kau pernah menolong nyawaku. Karena itu, biarlah kita mengadakan pertaruhan nyawa."
"Ah, kau membuat persoalan jadi bertambah sulit saja, A-liong. Bukankah kau tinggal meneriakkan perintah dan aku tidak akan melawan untuk kau tangkap dan kau seret ke Pak-khia?"
"Tidak. Kita akan berduel besok pagi dengan disaksikan kedua pasukan kalau aku menang, aku puas sebab aku mencapai kemenanganku tidak dengan cuma-cuma. Apabila kau yang menang, anggaplah aku membalas kebaikanmu ketika aku hampir dilahap kawanan serigala di Hun-lam dulu, meskipun persahabatan kita tidak bisa dinilai dengan apapun juga. Aku rasa ini adalah jalan tengah yang paling adil, lebih adil daripada aku menyeretmu begitu saja seperti menyeret seekor ternak yang hendak dibawa ke pasar. Aku lebih suka mati di ujung pedangmu daripada pulang membawa kegagalan perintah Peng-po Siangsi,"
"...dan akaupun sebenarnya lebih suka mati daripada di seret-seret sebagai tawanan penuh kehinaan menuju Pak-khia," sahut Tong Lam-hou.
Tak terasa keempat tangan dari sepasang sahabat karib itu saling genggam dengan eratnya, dan dengan mata berkaca-kaca Pakkiong Liong berkata, Betapa menyedihkan kita berdua bukan? Selamanya kita tidak pernah berpikir untuk saling melukai seujung rambut-pun, tapi kini kita dipaksa saling menikamkan pedang ke jantung kita masing masing..."
"Jangan menyesal, A-liong, tidak ada yang lebih tulus dari persahabatan kita. Tapi kau masih punya kesempatan untuk mencabut keputusanmu tentang duel itu, kau seorang Panglima yang unggul diatas angin kedudukannya dibandingkan aku yang hanya seorang pelarian tak berharga...”
"Hentikan omongan melanturmu itu, A-hou, aku harus adil terhadap sahabatku. Dan tentang siapa yang bakal mati besok pagi, kita serahkan saja kepada nasib kita masing-masing."
"Baik, mari kita minum lagi...!"
"Kita angkat cawan untuk persahabatan kita...!"
"Kita minum untuk kejayaan negeri!"
"Kita minum untuk... kematian kita?!"
"Bagus! Untuk kematian kita!"
Cawan demi cawan arak terus mengalir lewat tenggorokkan, sementara percakapanpun semakin melantur karena pengaruh arak. Mereka hanya ingin melupakan kepedihan hati mereka, tapi toh jika pengaruh arak nanti lenyap maka kepedihan itu masih ada di depan mata?
Ketika pengaruh arak tak tertahan lagi, maka keduanyapun ambruk menelungkupi meja. Sesaat masih terdengar mereka berdua bernyanyi tak keruan dengan suara yang parau, lalu tertawa terbahak-bahak dan kemudian mendengkur dengan napas berbau arak.
Dari balik kemah, Han Yong-kim dan perwira-perwira lainnya mendengar percakapan tentang perjanjian untuk berduel itu, sehingga mereka hanya bisa menarik napas panjang, terharu namun juga kagum bahwa di dunia ada persahabatan yang harus berakhir demikian memedihkan.
"Bagaimana sikap kita?" tanya Wa-nyen Hui kepada Han Yong-kim yang dianggap sebagai "perwira dekat" yang paling mengerti perasaan Pakkiong Liong.
"Kita hormati perjanjian antara mereka sebagai perjanjian antara dua laki-laki dan biarkan berlangsung seperti yang mereka perjanjikan," sahut Han Yong-kim. "Perintah dari Peng-po Siangsi juga hanyalah untuk menangkap Tong Lam-hou. Sedang Muyong Beng memperluas perintah itu sesuai dengan kemauannya sendiri untuk menumpas seluruh Hwe-liong-pang sehingga ia harus menelan, pengalaman pahit seperti itu."
Hu Lan-to dan Wanyen Hui mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Hao Yong-kim berkata, "Beritahukan seluruh pasukan agar besok pagi tidak bergerak lebih dulu. Aku juga akan mengirimkan seorang utusan ke Hek-ku-nia ke laskar musuh tentang rencana perang-tanding ini. Barangkali memang cara ini yang terbaik untuk memuaskan semua pihak kecuali pihak-pihak yang haus darah.”
"Bagaimana dengan Muyong Beng dan pasukannya?"
"Aku adalah wakil Pakkiong Ciang-kun jika Ciangkun berhalangan," kata Han Yong-kim. "Kalau Muyong Beng membangkang maka dia akan dihukum dengan tata tertib ketenteraan."
Demikianlah Han Yong-kim telah mengambil tindakan-tindakan seperlunya untuk "mengamankan" duel yang akan berlangsung esok pagi itu. Sebenarnya hati Han Yong-kim pedih juga, sebab bagaimanapun juga yang hendak saling membunuh itu adalah sahabat-sahabatnya, siapapun yang bakal menang maka ia akan tetap kehilangan seorang sahabat.
Namun memang itulah jalan untuk mencegah pertempuran berlanjut dengan korban-korban yang tidak perlu, dan untuk itu dua orang laki-laki sanggup mengorbankan persaannya dan persahabatannya. Sebuah surat juga dikirimkan ke Hek-ku-nia oleh seorang prajurit yang membawa, bendera putih di tangannya. Dan ketika utusan itu kembali, ia membawa surat balasan Tong wi-hong sebagai pimpinan seluruh laskar bahwa mereka dapat menyetujui hal itu.
Buat Tong Wi-hong, betapapun cemasnya ia akan nasib keponakannya itu, namun kepentingan seluruh laskar harus didahulukan. Kesempatan istirahat sehari itu akan dapat sedikit memulihkan keadaan laskarnya yang babak belur setelah dua hari pertempuran itu. Yang susah adalah ketika "harus menenangkan orang-orang Hwe-liong-pang yang dengan bernafsu ingin menyerbu turun bukit malam itu juga. Tapi akhirnya merekapun dapat diberi pengertian bahwa kesempatan satu hari itu dapat mereka gunakan untuk "mengambil napas".
Ketika kokok ayam jantan terdengar terakhir kalinya dan matahari merekah di ufuk timur, pasukan kerajaan meskipun tidak akan bertempur ternyata bersiap-siap juga, begitu pula laskar Hek ku-nia. Bagaimanapun suasana 'perang masih mempengaruhi kedua belah pihak sehingga masing-masing tetap merasa perlu untuk berjaga-jaga.
Ketika Muyong Beng diberitahu, maka wajahnyapun cemberut. Katanya, "Membuang waktu saja. Sekarang Tong Lam-hou sedang mabuk, langsung saja potong lehernya sebelum dia siuman, lalu serbu bukit itu sampai musuh tertumpas tak tersisa seorangpun. Buat apa membuat perjanjian duel dengan seorang bandit rendahan? Hanya membuang waktu dan membuat mereka besar kepala.
“Aku tidak setuju..."
Han Yong-kim menatap lurus-lurus mata Muyong Beng dan berkata tajam, "Kalau kau tidak setuju, pagi ini juga kau kehilangan kepala. Paham?"
Wajah Muyong Beng menjadi merah padam mendengar ucapan Han Yong-kim itu, "He, Korea busuk, berdasar hak apa kau bisa memerintah aku dan bersikap sekurang ajar itu kepadaku? Memangnya ketenteraan kita ini adalah hukum rimba yang tidak punya tata tertib?"
Tanpa takut-takut Han Yong-kim menyahut, "Andaikata tata tertib ketentaraan itu ada, maka ia sudah lama rusak karena digerogoti orang-orang macam Pakkiong An dan begundal-begundalnya semacam kau ini. Karena itu, tidak ada lagi aturan tetek-bengek di medan perang ini, karena kami dari Hui liong-kun lebih kuat dari kalian, maka kalian harus tunduk kepada kami atau kami hukum dengan tata tertib yang kami buat sendiri."
Jawaban seenaknya itu membuat dada Muyong Beng hampir meledak, tapi ia terpaksa menahan diri karena sadar bahwa pihaknya sedang kalah kedudukan. Jumlah prajuritnya sekarang sudah menyusut tinggal kira-kira enam ribu orang, itupun dalam keadaan semangat merosot dan kekalahan karena sudah bertempur dua hari. Sedang Hui-liong-kun berjumlah tujuhribu limaratus dan masih segar, selain itu mutu prajurit dari kedua pasukan itu juga berbeda jauh. Jika sampai bentrok hanya akan merugikan pihaknya sendiri.
Namun Muyong Beng sempat juga menggertak untuk melampiaskan kejeng-kelamnya, "Sekarang kau boleh bertingkah di sini, Korea busuk, tetapi setelah di Pak-khia nanti kau akan tahu siapa yang berkuasa..."
Han Yong-kim tentu saja tahu apa yang dimaksud oleh Muyong Beng itu, sahutnya sambil tertawa dingin, "Maksudmu apabila usaha Pakkiong An untuk menduduki singgasana itu berhasil? He-he-he, jangan terkejut, usaha panglimamu yang dicobanya untuk diselubungi rapat-rapat itu sudah bocor kesana kemari, dan pihak yang setia kepada Kaisar pun tidak akan tinggal diam untuk membuat gerakan tandingan. Kau jangan terlalu mengandalkan Panglima tua itu atau kau hanya akan kecewa karena mendapat sandaran yang rapuh!"
Wajah Muyong Beng yang merah padam itu berubah menjadi pucat karena terkejutnya. Usaha Pakkiong An untuk memupuk kekuatan dan merebut tahta itu sangat rahasia dan hanya diketahui oleh Pakkiong An serta beberapa perwiranya yang paling terpercaya seperti Muyong Beng ini, tapi jika sampai "orang luar" seperti Han Yong-kim ini tahu.
Bukankah artinya rahasia itu terancam bocor dan membuat pihak-pihak yang setia kepada Kaisar membuat persiapan-persiapan? Artinya rencana perebutan kekuasaan itu terancam gagal, dan Muyong Beng tahu apa akibatnya apabila rencana itu sampai gagal. Itulah yang membuat wajahnya pucat dan mulutnya bungkam tak dapat lagi menjawab Han Yong-kim.
Han Yong-kim tertawa melihat sikap Muyong Beng itu, katanya, "Jangan takut itu, bukankah kau seorang panglima perang yang cukup punya nama di medan-medan perang? Jalankan saja perintahku tadi, dan setiap pelanggaran dari seorang prajuritmu yang paling rendah saja maka aku akan menuntut tanggung jawab dari padamu. Paham?"
Kali ini Muyong Beng tidak bersikap garang lagi, ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bertanya, "Jadi pasukanku harus diapakan kalau tidak bersiap-siap untuk perang?"
"Siapkan saja dan berbaris di tepi dataran rumput itu, untuk menjadi saksi duel itu. Belum tertutup kemungkinan bahwa pihak musuh akan berbuat curang dan mengacau jalannya pertandingan, sehingga kita harus bersiap siap."
"Baiklah," sahut Muyong Beng yang kali ini berubah menjadi “jinak".
Sementara itu, dari Hek-ku-nia pun laskar yang terdiri dari macam-macam golongan itupun berbondong-bondong turun ke dataran rumput itu dan kemudian berbaris berderet-deret di sisi barat, di kaki bukit. Dalam keremangan pagi nampak wajah tokoh-tokohnya seperti Siangkoan Hong, Lim Hong-pin.
Para Tongcu yang jumlahnya sudah tidak lengkap, Bu-gong Hweshio, Sebun Him, beberapa tokoh macam-macam perguruan, dan juga Tong Wi-hong serta isterinya dan kedua anaknya, Ting Bun beserta isterinya dan anak gadisnya yang berdiri berdampingan dengan Im Yao, pemimpin gerombolan Jing-liong-pang, Lim Kan.
Yang paling tegang tentu saja adalah Tong Wi-hong dan keluarganya, sebab buat mereka Tong Lam-hou bukan sekedar "jago aduan" namun adalah bagian dari darah daging mereka. Mereka sudah tahu jelas isi perjanjian perang tanding antara Tong Lain hou dan Pakkiong Liong sebab tadi malam seorang utusan Han Yong-kim sudah naik ke bukit untuk membawa surat yang berisi keterangan lengkap tentang perjanjian itu.
Banyak orang dipihak laskar Hek-ku-nia yang menaruh penghargaan tinggi atas pengorbanan Tong Lam-hou itu, namun juga kepada Pakkiong Liong yang tidak mau sewenang-wenang kepada sahabatnya itu meskipun dalam kedudukan yang lebih kuat.
Apabila di antara orang-orang Manchu terdapat orang-orang berbudi luhur semacam Pakkiong Liong, rasanya memang kurang masuk akal kalau sembarang membabi buta terus, mengacau pemerintahan Manchu sehingga menimbulkan suasanaa tidak tenang terus-menerus di seluruh negeri. Yang harus ditentang adalah orang-orang pemerintahan semacam Pakkiong An atau Muyong Beng, bukan hantam kromo saja.
Ketika matahari merekah, dari arah perkemahan pasukan kerajaan tiba-tiba muncul dua orang yang berjalan berdampingan menuju ke tengah-tengah arena. Masing-masing membawa pedang yang masih berada dalam sarungnya, dan ketika tiba di tengah arena kedua orang itupun saling berpalukan lama sekali.
Merekalah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou, si Naga Utara yang akan melakukan duel sampai mati melawan si Harimau Selatan demi menetapi kewajibannya masing-masing. Kewajiban terhadap pendiriannya masing-masing. Ketika berpelukan itu, kedua orang itu menjadi merah matanya.
Kata Pakkiong Liong, "Cacingpun akan menggeliat diinjak. A-hou, kau harus berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang laki-laki terhormat, jangan biarkan aku membunuhmu begitu gampang. Dan kalau bisa kaupun tidak usah ragu-ragu membunuhku sebab akupun malu pulang hidup-hidup ke Pak-khia jika membawa kegagalan."
"Kita berdua akan berusaha sebaik-baiknya, A-liong."
Tiba-tiba langit menjadi mendung dan hujan kecilpun turun, namun ribuan manusia di kedua sisi dataran berumput itu tidak menghiraukannya. Semuanya sedang terpaku perhatiannya ke arah dua laki-laki jantan di tengah arena itu, yang sebentar lagi akan bertarung antara mati dan hidup. Macam-macam perasaan bergolak di hati orang-orang yang melihatnya. Ada yang sinis, tapi ada pula yang terharu, tergantung sudut pandangan masing-masing.
Merasakan air dari langit yang menyiram tubuh mereka, Pakkiong Liong berbisik, "Langit menangis untuk kita."
“Kita sudah berbuat yang terbaik tapi masih juga menyedihkan banyak orang," sahut Tong Lam-hou.
“Asal perbuatan kita selaras dengan suara hati nurami kita, apa pedulinya dengan pergunjingan orang lain?”
“Aku setuju. A-liong, kalau aku mati rawatlah ibuku."
"Ibumu adalah ibuku juga."
"Terima kasih."
Keduanyapun saling melepaskan pelukannya dan kemudian mundur masing-masing beberapa langkah. Lalu dua batang pedangpun hampir bersamaan keluar dari sarungnya. Hujan semakin deras menyiram bumi, namun tak seorangpun sudi bergeser dari tempatnya untuk melewatkan menyaksikan duel antara naga dan harimau itu. Kedua orang, yang berhadapan itu masih ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian Pakkiong Liong yang sejak kecil sudah tergembleng jiwanya dalam berbagai medan perang, lebih dulu berhasil menyingkirkan keragu-raguannya, Disertai sebuah bentakan keras iapun melompat maju setinggi beberapa kaki dengan tubuh sejajar tanah dan pedangnyapun berkeredap seperti air terjun ke arah tubuh Tong Lam-hou. Itulah jurus Hui-pau-liu-coan (Air Terjun Terbang) dari Thian-liong-kiam-hoat yang dikuasainya Pakkiong Liong.
Cepat Tong Lam-hou menanggapinya dengan Hui-eng-ciong-soan-kiam (Burung Garuda Terbang Berputar). Mula-mula tubuhnya merendah hampir rata dengan tanah, tiba-tiba melonjak lebih tinggi dari Pakkiong Liong dan pedangnyapun membuat sebuah lingkaran perak lebar yang berusaha mengurung tubuh Pakkiong Liong.
"Bagus!" teriak Pakkiong Liong yang cepat melakukan, gerak Liong-wi-gong-coan (Naga Sakti Berguling dan Membalik di Awan), tubuhnya menggeliat geliat cepat seperti cacing kepanasan di tengah udara, kemudian mendarat di tanah tanpa kurang suatu apa.
Tapi Tong Lam-hou yang menemukan tekad harus berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan paman-pamannya, bibi-bibinya serta saudara-saudara sepupunya itu, kini tidak ragu-ragu lagi dalam menyerang. Pakkiong Liong terjun ke tanah, diapun menyusul terjun pula sambil memutar kencang pedangnya menjadi gulungan pedang yang seakan hendak menelan lawannya dalam "pusaran pedang" yang mengerikana itu.
Tetapi Pakkiong Liong pun bertahan dengan gigihnya, mengurung dirinya sendiri dalam sebuah pertahanan serapat benteng baja. Kedua pedangpun berbenturan cepat sekali dalam sekejap mata saja berbenturan belasan kali banyaknya dan kemudian kedua petarung sama-sama terdorong mundur selangkah.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu, tidak peduli dari pihak manapun, diam-diam menjadi kagum melihat kehebatan pertarungan itu. Dalam gebrakan-gebrakan pertama masih belum diketahui siapa yang unggul, namun jelas kedua pihak sudah menunjukkan kehebatan permainan pedang masing-masing.
Sebun Him yang menyaksikan kehebatan jurus-jurus kedua orang itu diam-diam merasa bahwa kalau dirinya ingin mensejajarkan diri dengan kedua jagoan muda itu, sekarang belum saatnya. Agaknya ia masih harus menempa diri paling tidak tujuh atau delapan tahun lagi jika ingin sejajar dengan mereka. Ia ingat bagaimana kemarin Tong Lam-hou sampai dua kali dengan tidak terlalu sulit melucuti pedangnya. Yang jelas, dengan Kun-goan-sin-kang melulu ia tidak cukup pantas untuk menyebut dirinya Se-him (Beruang Barat) yang sejajar dengan Pak-liong ataupun Lam-hou.
Sementara itu pertempuran pun meningkat semakin sengit sejalan dengan semakin hilangnya keragu-raguan masing-masing pihak, pedang mereka bergerak semakin cepat dan bergulung dahsyat sampai akhirnya tubuh Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou lenyap tertelan gulungan cahaya senjatanya masing-masing. Kadang-kadang nampak cahaya pedang itu memanjang di udara seperti seekor naga yang menggeliat di udara, atau menggeleser di tanah, sementara Tong Lam-hou bertempur tidak kalah garangnya.
Inilah benar-benar pertarungan antara naga dan harimau seperti yang sering digambarkan para tukang cerita denting pedang yang beradupun mengalun nyaring menandakan bahwa benturan pedang itu bukan cuma berdasarkan tenaga otot, melainkan adu tenaga dalam tingkat tinggi. Para pendekar kawakan seperti Tong Wi-hong dan Bu-gong Hweshiopun menahan napas melihat tingkatan tenaga dalam dari anak-anak muda itu.
"Sayang sekali, dua anak muda yang sama-sama berilmu tinggi dan berwatak jantan harus terlibat dalam pertentangan karena pertentangan di benua ini," Kata Tong Wi-hong dalam hatinya. "Andaikata mereka berdua bersatu menegakkan keadilan di rimba persilatan, maka kaum durjana pasti akan menggigil ketakutan mendengar nama mereka."
Di sebelahnya, Tong Wi-lian, adik perempuan Tong Wi-hong, matanya kabur entah oleh air hujan atau air mata? Yang terang, keperkasaaan Tong Lam-hou telah mengingatkan perempuan akan ayah Tong Lam-hou, kakak sulung Tong Wi-lian, yang dulu menjadi Ketua Hwe-liong-pang itu. Dulu Tong Wi-siang juga seorang anak muda yang oleh sementara orang dianggap tersesat karena cita citanya yang terlalu tinggi.
Sementara ada segolongan orang yang malah menganggapnya sebagai gembong iblis karena kakaknya itu mewarisi ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui. Tak seorangpun memahami cita-cita kakaknya itu sampai akhir hidupnya. Orang boleh mengutuk Tong Wi-siang serendah-rendahnya, tapi bagi Tong Wi-lian, kakak sulungnya itu tetap seorang pengabdi cita-cita yang tak kenal menyerah sampai ujung hidupnya, seorang lelaki sejati yang memeluk keyakinannya sampai mati.
Dan kini Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang seakan menjelma dalam diri tetesan darah dagingnya ini. Tong Lam-hou. Bukan saja kesamaan dalam hal tampang atau bentuk tubuh, namun juga kekerasan hati yang tak goyah seujung ram-butpun meskipun harus menentang arus pendapat orang banyak.
Dulu Tong Wi-siang berjuang menumbangkan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng meskipun gagal, dan kini Tong Lam-hou memperjuangkan hidup berdampingan antara bangsa Han dan Manchu yanq sudah puluhan tahun bermusuhan itu, suatu cita-cita yang hampir mustahil, namun kegigihan Tong Lam-hou mirip kegigihan ayahnya dulu.
Kini dengan perasaan bergolak ia melihat penjelmaan Tong Wi-siang itu terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin dahsyat. Setiap kali Tong Lam-hou meningkatkan ilmunya, hal itu diikuti pula oleh Pakkiong Liong, dan sebaliknya. Bukan rasa benci yang menyebabkan kedua sahabat itu bertarung mati-matian, melainkan karena tanggung-jawab terhadap kewajibannya masing-masing. Matipun puas asal sudah menjalankan kewajiban dengan sekuat tenaga.
Ketika pertarungan semakin meningkat dan ilmu-ilmu andalan mulai dikeluarkan, maka orang-orang di sekitar gelanggang terpaksa melangkah mundur karena hawa pukulan dari kedua petarung itupun sudah cukup berbahaya dan bisa melukai bagian dalam tubuh. Mula-mula orang-orang yang menonton pertempuran itu merasa heran ketika melihat tubuh Pakkiong Liong yang kena air hujan itu ternyata tetap kering saja.
Ketika diperhatikan, barulah diketahui samar-samar tubuh Pakkiong Liong diliputi uap yang mirip uap orang menyerang air. Setiap titik air hujan yang mengenai tubuh Pakkiong Liong langsung saja menguap karena tubuh Pakkiong Liong yang tengah menerapkan, ilmu Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) yang dahsyat itu. Beberapa tombak di sekelilingnya sudah terasa hawa panas menyengat seperti di dalam tanur peleburan logam.
Bahkan pedangnyapun menjadi kemerah-merahan dan selalu mengeluarkan desisan apabila terkena air hujan. Gulungan udara maha panas yang berpusar seirama dengan gerakan Pakkiong Liong itu mampu memaksa mundur para penonton yang cukup jauh dari arena.
Sebun Him yang dengan angkuh mencoba untuk tidak mundur selangkahpun dengan mengerahkan Kun-goan-sin-kangnya untuk melindungi kulitnya, ternyata ia tidak sanggup bertahan dan terpaksa melangkah mundur, karena kulitnya sanggup menahan hawa panas. Sebun Him merasa dirinya semakin kecil di hadapan Pakkiong Liong.
Dan orang-orang itu dengan heran melihat bagaimana Tong Lam-hou bertempur seolah-olah sama sekali tidak merasakan hawa panas itu. Ia telah mengeluarkan ilmu Han-im-ciangnya untuk menandingi Hwe-liong-sin-kang. Maka di tengah gelanggang itu selain berpusar hawa panas juga ada hawa dingin yang sanggup membuat api yang terkobar padam seketika.
Orang-orang yang menonton melihat bahwa tubuh Tong Lam-hou semakin lama semakin dilapisi bintik-bintik putih yang ternyata adalah titik-titik air hujan yang begitu menyentuh tubuhnya akan langsung membeku menjadi butiran-butiran es yang menempel di pakaiannya.
Apabila Tong Lam-hou menerjang Pakkiong Liong, maka sebagian dari hawa dinginnya yang menusuk tulang itu sirna oleh hawa panas yang melindungi tubuh Pakkiong Liong, begitu pula sebaliknya apabila Pakkiong Liong menyerang dengan hawa panasnya yang mampu mencairkan logam itu, maka yang sampai ke kulit Tong lam-hou hanyalah udara hangat-hangat kuku saja.
Ratusan, bahkan ribuan jurus sudah dilalui oleh kedua orang yang berlaga mati-matian itu, namun belum ada satu pihakpun yang unggul setengah juruspun. Para penonton hampir tidak betah tersambar hawa panas dan dingin yang berganti-ganti dengan tajamnya itu, namun dua orang yang bertempur seolah-olah tidak merasakan apa-apa dan mereka masih saja berkelahi dengan kesegaran seperti semula.
Suatu saat terdengar Pakkiong Liong berdesis menahan sakit karena pedang Tong Lam-hou berhasil menyusup dan melukai lambung kirinya, tapi sesaat kemudian Tong Lam-houlah yang menyeringai pedih karena pedang Pak-kiong Liong yang sepanas bara di tanur peleburan itu menghanguskan dagingnya di bagian pundak.
Sedang Pakkiong Liong Ratusan, bahkan ribuan jurus sudah dilalui oleh kedua orang yang berlaga mati-matian itu, namun belum ada satu pihakpun yang unggul setengah juruspun. merasakan lambungnya yang terluka oleh pedang Tong Lam-hou itu bagaikan ditusuk dengan jarum es yang dinginnya menggigit tulang.
Pada saat pertempuran semakin seru, maka kira-kira tiga atau empat li di sebelah timur arena itu ada seorang penunggang kuda yang berpacu menuju ke arena tanpa peduli hujan yang membuat tubuhnya dan tubuh kudanya basah kuyup. Pakaiannya adalah pakaian yang indah seperti pakaian pejabat istana, dilengkapi dengan pedang bersarung perak yang tergantung di pinggang kirinya.
Namun pakaiannya yang indah itu jadi nampak tidak karuan karena sudah diguyur air hujan. Sementara orangnya sendiri nampak bermata merah karena kurang tidur, namun dengan nekad ia terus berpacu ke arah pesanggrahan para prajurit. Ketika ia mendekati pesanggrahan, beberapa prajurit hendak merintaginya karena belum kenal siapa orang itu, namun orang berkuda itu cepat mengangkat segulung kain berwarna kuning emas yang terpegang dengan tangan kanannya, sambil berteriak,
"Aku To Ki-hong perwira berpangkat bu-ciang dari Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana) membawa perintah Kaisar untuk Pakkiong Liong dan Muyong Beng! Siapa yang memperlambat jalannya perintah ini terancam hukuman mati!" Melihat bahwa orang itu benar-benar membawa gulungan perintah Kaisar, para prajurit itu tidak berani merintanginya. Orang itu bertanya, "Di mana Pakkiong Liong dan Muyong Beng? Suruh keluar!"
"Mereka berada di arena. Pakkiong Ciangkun sedang melakukan duel untuk menentukan kesudahan perang ini, melawan Tong Cong... eh, Tong Lam-hou..."
Tanpa menantikan selesainya jawaban itu, si pembawa perintah Kaisar yang mengaku bernama To Ki-hong itu segera membedalkan kudanya ke arah suara ramai-ramai di kejauahan sana. Ia yakin bahwa itulah tempat yang dijadikan arena duel Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou itu. Para prajurit tidak merintanginya lagi meskipun merasa heran bahwa seroang perwira dari Pasukan Pelindung Istana bisa berkeliaran sampai sedemikian jauhnya dari Pak-khia dan nampak terburu-buru pula.
Sementara itu, duel antara Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou sudah melewati puncaknya namun tetap belun bisa ditebak siapa yang akan mengalahkan lawannya. Kedua orang itu sudah sama-sama terluka dan gerakan merekapun mulai mengendor karena kelelahan.
Saat itulah arena dikejutkan dengan munculnya To Ki-hong yang menerjangkan kudanya ke tengah-tengah arena itu sambil mengangkat tinggi-tinggi gulungan kuningnya dan berteriak, "Hentikan! Hentikan...!"
Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou memang agak mengendorkan gerakan-gerakan mereka namun tidak berhenti. Tapi setelah penunggang kuda itu berteriak, "Aku membawa perintah Kaisar untuk Pakkiong Liong dan Muyong Beng! barulah Pakkiong Liong terpaksa meloncat mundur dari gelanggang sambil berteriak, "Aku minta waktu, A-hou!"
Tong Lam-hou pun menghentikan serangannya sambil berkata, "Silahkan, A-liong."
Pakkiiong Liong dan Muyong Beng segera berlutut di deapan pembawa peintah Kaisar, sementara perwira-perwira lainnya seperti Han Yong Kim, Tamtai Au-kha dan lain-lainnyapun berlutut pula, jantung anak buat Pakkiong An seperti Muyong Beng dan Tamtai Au-kha diam-diam berdebar kencang sebab mereka menebak-nebak dalam hati, siapakah yang disebut “Kaisar” sekarang ini? Masih si “ingusan” Hian-hua yang bergelar Khong-hi ataukah sudah berhasil diambil alih oleh Pakkiong An?
Sementara para perwira musuh berlutut mendengarkan pemabacaan perintah kaisar itu ternyata pihak Hwe-liong-pang dan kawan-kawannya tidak berbuat apa-apa kecuali ikut mendengarkan perintah kaisar itu meskipun tanpa berlutut, mereka ikut menghormati sikap Tong Lam-hou yang menghentikan duelnya sejenak untuk gencatan senjata.
To Ki-hong si perwira Lwe-teng-wi si pembawa perintah Kaisar itupun berdiri tegak dan membuka gulungan kain kuning itu untuk dibacakan dengan suara lantang,
"Perintah Kaisar! Pakkiong Liong dan Huyong Beng harus segera menarik pasukannya ke Pak-khia. Perintah untuk menangkap Tong Lam-hou dicabut sebab ternyata Tong Lam-hou tidak bersalah dan hanya terfitnah saja.
Tertanda
Khong-hi"
Pakkiong Liong, han Yong-kim dan perwira-perwira Hui-liong-kun lainnya segera berseru serempak, "Ban-swe! (Panjang umur Kaisar)"
Sebaliknya Muyong Beng dan Tamtai Au-kha yang merupakan pengikut-pengikut setia Pakkiong An itu menjadi terkejut dan kecewa mendengar hal itu. Sadarlah mereka bahwa gerakan pengambil-alihan Singgasana Naga yang diatur selama bertahun-tahun oleh Pakkiong An itu ternyata telah gagal, artinya lenyap pula impian tentang pangkat yang tinggi serta gelar kebangsawanan yang selama ini dijanjikan Pakkiong An kepada pengikut-pengikut-rijra. Bahkan apabila seluruh komplotan Pakakiong An gagal, berarti mereka semua terancam hukuman mati, termasuk Muyong Beng dan Tamtai Au-kha, sebab mencoba menggulingkan Kaisar adalah kesalahan tak berampun.
Karena itu tiba-tiba saja Muyong Beng meloncat sambil menghunus pedangnya dan menikam ke arah To Ki-hong sambil berteriak, "Bohongi. Berani kau memalsukan perintah Kaisar?!"
Namun perwira Lwe-teng-wi-su itu-pun bukan seorang yang berilmu rendah. Prajurit-prajurit Pengawal Istana adalah prajurit-prajurit yana terkenal ketangguhannya, apalagi kalau seseorang sampai berhasil mencapai pangkat perwira, tentu telah dianggap cukup mampu sesuai dengan kedudukannya. Maka tikaman Muyong Beng dapat dielakkannya dengan melompat ke belakang, bahkan kemudian ia pun menyabut pedangnya dan membentak ,"Muyong beng, berani kau bersikap kurang ajar terhadap seorang utusan Kaisar?"
Muyong Beng agaknya sudah begitu goncang jiwanya sehingga pengendalian dirinya sudah buyar beterbangan. Tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak, “Utusan Kaisar? ha-ha-ha, mana bisa di ingusan Khong-hi itu bertahan di singgasananya kalau Pakkiong Ciangkun sudah mengincarnya?! Ha-ha saat ini Pakkiong Ciangkung (maksudanya Pakkiong An) tentu sudah menjadi kaisar dan siapa yang tidak tunduk kepada Kaisar baru itu akan berhadapan dengan aku, aku adalah Panglima Besar kepercayaan Sri Baginda Pakkiong An!”
Demikian Muyong Beng berteriak-teriak, menandakan bahwa sarafnya sudah terganggu karena terpukul oleh kekecewaannya yang luar biasa. Akhirnya ia kehabisan tenaga dan kemudian guling-guling di tanah yang basah oleh air hujan sambil menangis tersedu-sedu, bercampur tertawa dan bercampur pula dengan caci maki entah kepada siapa. Dengan gampang dua orang prajurit kemudian meringkusnya dan mengikatnya.
Sedang Tamtai Au-kha juga tidak melawan sedikitpun ketika hendak diikat, tapi ia masih berkata untuk meringankan keslahannya, "Aku memang sering diajak bicara oleh Pakkiong An, namun sungguh sungguh mati aku tidak tahu kalau ada urusan semacam ini..."
Sahut si utusan Kaisar, "Jangan kuatir, saudara Tamtai, kalau kau terbukti tidak bersalah tentu akan dibebaskan dan dikembalikan ke kedudukannya yang semula. Pengadilan akan berjalan bersih, tidak seperti pengadilan yang diatur oleh Pakkiong An ketika mengadili saudara Tong Lam-hou dulu."
Sementara itu, kaum pendekar di Hek-ku-nia menyaksikan apa yang terjadi di depan mata itu dengan melongo heran. Tadinya mereka menganggap bahwa apa yang dikatakan Tong Wi-hong atau Tong Lam-hou tentang adanya perbedaan antara "Manchu yang jahat” dan "Manchu yang baik" itu cuma dibuat-buat saja, namun kini adegan yang terpampang di depan mata mencerminkan betapa di Pak-khia sendiri selalu terjadi pergolakan perebutan pengaruh antara kekuatan-kekuatan di Istana.
Pergolakan yang tidak menggunakan senjata, tetapi akibatnya tidak kalah gawatnya sebab bisa menentukan ke arah mana kerajaan besar itu hendak diarahkan Dan meskipun dengan beberapa kelemahan, Kaisar Khong-hi dapatlah disebut "Manchu yang baik hati” dan jauh lebih baik daripada negara dikendalikan orang semacam Pakkiong An, atau bahkan semacam Kaisar Congceng dari dinasti Beng.
Sementara itu, To Ki-hong menoleh kepada Tong Lam-hou dan berkata, "Kaisar menyampaikan beberapa pesan lisan kepadamu, saudara Tong.”
Cepat Tong lam-hou membungkuk hormat namun tidak berlutut, sambil menyahut, "Tong Lam-hou mendapat kehormatan besar dengan hal ini, saudara To. Silahkan bicara."
"Sri Baginda masih muda, namun ia menyadari bahwa ia telah khilaf dalam beberapa tindakannya terhadapmu dan terhadap Hwe-liong-pang, untuk itu Kaisar tidak segan-segan minta maaf..." kata To Ki-hong, namun kata-katanya itu terputus oleh ucapan Tong Lam-hou.
"Nanti dulu, saudara To, biar orang-orang Hwe-liong-pang sendiri mendengar pesan Kaisar itu. Kau tidak keberatan?"
To Ki-hong ragu-ragu sejenak, "Kalau mereka mendengar permintaan maaf dari Kaisar, apakah martabat Kaisar tidak akan jatuh di mata mereka?"
Sahut Tong Lam-hou, "Justru tidak, orang justru akan menganggap Kaisar adalah seorang berjiwa besar yang sanggup melihat kesalahannya sendiri dan punya keberanian untuk minta maaf secara jantan. Orang akan bertambah hormat kepada beliau. Lagi pula, apa gunanya permintaan maaf kalau tidak didengar sendiri oleh pihak yang hendak dimintai maaf?"
"Kau benar, saudara Tong, mudah-mudahan hal ini tidak menjatuhkan martabat Kaisar tapi malahan bisa menambah tenteramnya negeri ini. Nah, panggillah mereka mendekat."
Tong Lam-hou segera memanggil Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan para Tongcu untuk mendekat. Bahkan juga Tong Wi-hong serta beberapa tokoh dari macam-macam perguruan.
Di hadapan mereka To Ki-hong berkata, "Saudara-saudara, aku membawa pesan lisan Kaisar untuk saudara Tong Lam-hou dan juga untuk Hwe-liong-pang. Kaisar memang masih seorang muda sehingga ia merasa bersikap agak keterlaluan terhadap saudara Tong dan Hwe-liong-pang. Untuk itu Kaisar menyatakan penyesalan, sekaligus bahwa di kemudian hari kalian bisa diajak kerjasama untuk mensejahterkan negeri ini."
Orang-orang Hwe-liong-pang itu tertegun mendengar itu, betapapun hati mereka masih terpengaruh oleh kemarahan, namun mendengar bahwa pihak "musuh" berani minta maaf lebih dulu maka mereka tersentuh juga perasaannya. Sesaat mereka saling bertukar pandangan, dan kemudian Siangkoan Hong berkata mewakili kaumnya,
"Bagus, kalau seorang Kaisar berani melihat kekeliruan dirinya sendiri, itu berarti negeri ini ada harapan untuk mencapai kemakmuran dibawah pemerintahannya. Tidak seperti Cong-ceng yang dengan gampang menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang tidak disenanginya."
Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban Siangkoan Hong itu. Tapi ia masih bertanya kepada lain-lainnya, "Bagaimana pendapat saudara-saudara Hwe-liong-pang lain."
"Aku kira, pendapat Siangkoan Hiangcu cukup mewakili pendapat kami. Bunuh membunuh memang sebaiknya dihentikan. Asal Kaisar bisa menjadi pelindung yang baik bagi rakyatnya, kamipun tidak akan mengacau, tapi kalau tidak, kami akan mengangkat senjata," kata Oh Yun-kim.
"Apakah selama ini Kaisar kurang baik?" tanya To Ki-hong dengan alis berkerut karena melihat "kekurangajaran" Oh Yun-kim itu.
Sahut Oh Yun-kim, "Cukup baik. Hanya saja jangan mudah terhasut oleh kawanan dorna semacam Pakkiong An. Dan sebaiknya sering keluar istana untuk mencoba melihat dan merasakan sendiri bahwa masih ada sebagian rakyat yang hidup susah. Nasib mereka harus diperbaiki."
"Sejak kapan kau diangkat jadi Penasehat Kaisar?" bentak To Ki-hong dengan mata melotot.
Suasana jadi memanas sejenak, tapi Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou cepat-cepat menengahinya. Pakkiong Liong berkata kepada To Ki-hong, "Saudara To, jangan mudah menjadi panas mendengar ucapan macam itu. Bagaimanapun rakyat kecil berhak menyuarakan keluhannya, sebab bagi mereka Kaisar adalah bagaikan ayah mereka. Kita harus mendengarkan apa yang mereka katakan."
"Aku mengerti, saudara Pakkiong. Tapi orang harus bicara sedikit sopan dalam menyebut-nyebut nama Kaisar junjungan kita."
"Benar, namun terlalu banyak pulasan malah membuat seseorang jadi munafik, sedang orang yang kedengarannya bicaranya kasar malahan menunjukkan isi hatinya yang sebenarnya. Tidak ada yang tersembunyi lagi. Jangan seperti pamanku sendiri, Pakkiong An, yang pintar bicara dan bermanis-manis muka di hadapan Kaisar tapi ternyata malah ia punya niat untuk berkhianat!"
Akhirnya To Ki-hong dapat menerimanya, dan suasana pun "mendingin" kembali. Oh Yun-kim juga mulai reda kemarahannya. Ia harus menahan diri "supaya perdamaian yang hampir tercapai itu menjadi berantakan kembali hanya karena salah seorang tidak bias mengendalikan diri.
"Saudara To, sebenarnya apa yang sudah terjadi di ibukota, sehingga kau menempuh perjalanan dengan tergesa-gesa seperti ini?"
Saat itu sebenarnya To Ki-hong sudah ingin tidur, karena sudah empat malam ia berpacu di atas kuda tanpa tidur sekejappun, demi menjalankan perintah Kaisar agar jangan sampai terlambat. Namun kini terpaksa ia bercerita dengan didengarkan oleh perwira-perwira kerajaan maupun para pendekar.
"Pakkiong Ciangkun, sebenarnya inilah hasil karyamu yang gemilang, meskipun kau jauh dari Ibukota tetapi kehadiranmu terasa sekali di Ibukota, meskipun tidak langsung, sehingga Kaisar sangat berterima kasih kepadamu...."
Pakkiong Liong tertawa, "Kau bicara berputar-putar, saudara To."
To Ki-hongpun tertawa, "Baik, aku bicara singkat. Setelah Ibukota Kerajaan kau tinggalkan, saudara Pakkiong, maka gerak-gerik Pakkiong An makin mencurigakan dan makin berani, agaknya karena dia beranggapan tidak ada lagi yang cukup berarti untuk merintangi ambisinya untuk menduduki tahta. Namun karena kelengahannya, segala gerak-geriknya itu berhasil dibongkar oleh seorang perwira dari pasukan rahasiamu saudara Pakkiong, yaitu Lim Tong-eng.
Lim Tong-eng segera melaporkan kepada Ha To-ji yang mewakilimu di Pak-khia, dan Ha To-ji lapor kepada Kaisar sambil menggalang kekuatan-kekuatan yang setia kepada Kaisar. Ketika Pakkiong An mencium itu, iapun berusaha menggerakkan kekuatannya untuk merebut tahta secara kekerasan, namun karena kurang persiapan maka akhirnya Pakkiong An sendirilah yang tergulung beserta semua komplotannya. Saat ini barangkali ia dan kawan-kawannya sudah menjadi setan-setan tanpa kepala..."
Pakkiong Liong menarik napas. Dalam percaturan kekuasaan, Pakkiong An adalah lawannya, tapi dari hubungan keluarga ia adalah pamanya, maka ia agak sedih juga mendengar berita kematiannya. Namun itu adalah salah pamannya sendiri yang terlalu haus kekuasaan tanpa menghiraukan cara apapun yang dipakai, akhirnya yang didapatkannya bukannya singgasana melainkan golok sang algojo.
Tapi kegembiraan yang didapatkan hari itu lebih besar dari kesedihannya. Ia tidak jadi saling bunuh dengan Tong Lam-hou, selain itu kaum Hwe-liong-pangpun agaknya dapat "dilunakkan" sehingga tahun-tahun mendatang diharapkan keadaan negeri akan lebih tenteram. Bagaimanapun Hwe-liong-pang adalah golongan yang terbesar yang menentang pemerintahan Manchu, maka apabila itu menjadi "jinak" maka golongan-golongan lain pun akan kehilangan semangatnya.
Kemudian To Ki-hong berkata kepada Tong Lam-hou, "Saudara Tong, Kaisar tidak ingin memaksamu, tapi kedudukanmu yang telah kau tinggalkan karena pokal Pakkiong An dulu, dapat kau tempati kembali bila kau mau."
Namun sebelum Tong Lam-hou menjawab, terdengar Auyang Siau-pa sebagai Jinq-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijaui Hwe-liong-pang berkata, "Saudara Tong, kami sudah melihat keteguhan hatimu dan cita-cita luhurmu untuk perdamaian negeri ini, karena itu saudara harus memimpin Hwe-liong-pang."
"Benar," sahut Yu Leng-hoa yang baru beberapa hari menjabat Ui-ki Tong cu (Tongcu Bendera Kuning) menggantikan Kwa Heng yang gugur itu. "Dalam diri Tong Pangcu kita seolah-olah menemukan pribadi mendiang Tong pangcu seutuhnya."
Segera Tong-cu-tongcu lainnya pun bersorak mendukung usul itu. Melihat itu, Pakkiong Liong berkata kepada To Ki-hong sambil tersenyum, "Saudara To, kalau melihat gelagatnya, kita harus mengalah. Perdamaian negeri seperti yang dicita-citakan Sri Baginda akan lebih cepat tercapai apabila Hwe-liong-pang dipimpin orang sematang Tong Lam-hou."
"Kita tanyai saudara Tong dulu. “Bagaimana, saudara Tong?"
Sahut Tong Lam-hou, "Saudara To, pengabdianku kepada negeri ini sama saja lewat jalur yang manapun. Tapi daripada saudara-saudara Hwe-liong-pang ini berkeliaran seperti anak ayam kehilangan induknya, dan mudah dihasut oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh, lebih baik kalau aku bersama mereka."
To Ki-hong tak dapat bersikap lain kecuali memberi hormat, "Kalau begitu, ucapan selamatku untuk Tong Pangcu (Ketua Tong), mudah-mudahan Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Tong Pangcu akan semakin berkembang ke arah yang menguntungkan perdamaian."
Sementara Pakkiong Liong berkata pula, "Aku juga mengucapkan selamat. Sekarang antara prajurit-prajurit Hui-liong-kun dengan saudara-saudara Hwe-liong-pang harus bantu membantu demi kepentingan majikan bersama kita..."
Ucapan itu agak mengejutkan orang-orang Hwe-liong-pang. Dengan alis berkerut kurang senang Lu Siong bertanya, "Siapa majikan itu?!"
Pakkiong Liong menjawab sambil tersenyum, "Rakyat, bukankah kita sama-sama berkewajiban untuk membuat majikan kita itu hidup tenteram, kenyang dan berpakaian pantas?"
Orang-orang Hwe-liong-pang yang hampir marah mendenar ucapan Pakkiong Liong tadi, kini tertawa pula mendengar jawaban itu. Dan merekapun mengangguk-angguk setuju. Sementara Pakkiong Liong telah saling menggenggam tangan dengan Tong Lam-hou, sambil berkata, "A-hou yang tadi itu rasanya seperti mimpi buruk bukan?"
"Benar, terlalu mengerikan untuk sebuah latihan. Betapa ngerinya seandainya utusan Kaisar itu datang setelah salah satu dari kita terkapar mampus."
"Nah, aku akan kembali ka Pak-khia. Kapan kaupun berkunjung ke Pak-khia, sebab kau tidak dianggap buronan lagi? Di sana ada seorang yang menunggumu. Bukan Ha Toji, tentunya."
Wajah Tong Lam-hou agak tersipu merah seperti anak perawan ditawari untuk kawin. Katanya, "Aku akan ke sana setelah membenahi kembali Hwe-liong-pang yang kini terbeban di pundakku. Aku minta kau mewakili aku untuk menyuguhkan tiga cawan arak, masing-masing kepada Lim Tong-eng dan Ha To-ji. Dan sembah sujudku untuk Sri Baginda."
"Akan kusampaikan. Jangan lagi hanya tiga cawan, sedangkan tiga ratus cawanpun kulakukan karena akupun bersyukur kepada mereka."
"Selamat jalan."
"Selamat tinggal."
Hujan berhenti dan mendung tersingkir, matahari muncul kembali ketika pasukan kerajaan itu membentuk sebuah barisan panjang dan meninggalkan dataran rumput yang meninggalkan kesan mendalam pada diri mereka itu.
Tong Lam-hou termangu-mangu memandangi bendera Hui-liong-kun yang seakan melambai-lambai kepada dirinya itu, sampai terasa ada seseorang yang menggamitnya dari samping dan bertanya, "Siapa yang oleh Pakkiong Ciangkun dimaksudkan masih menunggumu di Pak-khia itu?"
Tong Lam-hou menoleh dan melihat bahwa yang bertanya itu adalah Ting Hun-giok, maka dijawabnya, "Dia adalah lawan beratmu dalam hal kecerewetan, kejahilan mengganggu orang lain, dan juga keayuan."
"Wah, kapan aku boleh memanggilnya Soso (kakak ipar perempuan)?"
"Jangan cerewet."
"Aku akan melaporkannya kepada paman Wi-hong..."
"Jangan!"
Tapi Ting Hun-giok berlari menjauh, sementara Im Yao terus "melekat" seperti lintah di belakang gadis itu. Tong Lam-hou tersenyum. "Ibu harus segera diberitahu pula dan kalau bisa pindah ke Tiau-im-hong di markas Hwe-liong-pang..."
Sementara itu, jauh dari arena pertempuran, Sebun Him berjalan seorang diri sambil menggerutu, "Keparat! Perhatian semua orang hanya ditujukan kepada Tong Lam-hou yang hanya bermain sandiwara dengan Pakkiong Liong, seolah dia seolah-olah pahlawan besar. Sedangkan aku yang sudah banyak berbuat untuk laskar malahan didiamkan saja Keparat. Suatu ketika kelak mereka akan menggigil ketakutan mendengar nama Sebun Him."
TAMAT
Selanjutnya;